View
2.326
Download
16
Category
Preview:
Citation preview
JUDUL PROPOSAL
KEWAJIBAN PEMASANGAN TANDA BATAS BAGI PEMILIK HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997
SEBAGAI SALAH SATU SARANA PEMBERIAN KEPASTIAN HUKUM
A. Latar Belakang
Tanah bagi pemenuhan kebutuhan untuk pembangunan di Indonesia semakin
meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk kegiatan
usaha. Sehubungan dengan hal tersebut akan meningkat pula kebutuhan akan
dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan
kepastian di bidang pertanahan, memerlukan tersedianya perangkat hukum yang
tertulis, lengkap dan jelas, yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan
isi ketentuan-ketentuannya.
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia
hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu
berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia
baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Begitu
pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha
memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan
suatu sengketa tanah di dalam masvarakat.
1
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka
didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah
juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan
UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak
(orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria adalah
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum
mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh karena itu, untuk
dapat mewujudkan hal tersebut diselenggarakan pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19
ayat (1) dan (2) :
(1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti
yang kuat.
Hasil dari proses pendaftaran tanah, kepada pemegang hak atas tanah yang
didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang disebut sertipikat. Sertipikat menurut PP
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah berupa satu lembar
2
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan dari suatu bidang
tanah yang didaftar.
Terselenggaranya pendaftaran tanah memungkinkan bagi para pemegang hak
atas tanah dapat dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Bagi
para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditur dapat
dengan mudah untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang
menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan. Bagi pemerintah dapat
membantu dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahannya. Pada awalnya
pelaksanaan pendaftaran tanah diadakan menurut ketentuanketentuan yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah.
Namun dalam perjalanan waktu keberadaan PP ini dianggap belum maksimal karena
ada beberapa kendala diantaranya keterbatasan dana dan tenaga sehingga penguasaan
tanah-tanah sebagian besar tidak didukung oleh alat pembuktian yang memadai.
Selain itu Peraturan Pemerintah ini belum cukup memberikan kemungkinan
untuk terlaksananya pendaftaran tanah dengan waktu yang singkat dan hasil yang
memuaskan. Karena tidak ada batas waktu dalam mendaftarkan tanah yang diperoleh
setelah peralihan hak, selain itu yang mendaftar tidak harus Pejabat Pembuat Akta
tanah tetapi bisa juga pemilik baru dari hak atas tanah sehingga seringkali tanahnya
tidak didaftarkan Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini dikeluarkanlah
peraturan mengenai pendaftaran tanah yang baru untuk lebih menyempurnakan
peraturan pendaftaran tanah sebelumnya, yaitu PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
3
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA
untuk memberikan bagi si pemilik dan atau yang menguasai tanah tersebut, meliputi
kepastian obyek tanah, hak dan subyek dan ketertiban administrasi pertanahan. Jadi
dengan telah didaftarkannya hak atas tanah terhadap suatu bidang tanah, maka akan
memberikan rasa kepastian dalam penguasaannya. Kepastian atas pendaftaran tanah
tersebut dibuktikan dengan sertipikat tanah, tang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
Pndaftaran tanah terbagi dalam dua tahap yaitu tahap pendaftaran pertama kali (
pendaftaran secara sistematik dan sporadic ) dan pemeliharaan data. Pendaftaran
pertama kali meliputi kegiatan antara lain pengukuran, pemetaan, dan pembukuan
tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, serta pemberian surat tanda bukti
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Salah satu hal yang paling penting dalam proses pendaftaran tanah adalah
proses pengukuran tanah, dan sebelum tanah diukur maka harus sudah terpasang
tanda batas tanah di setiap sudut tanah. Adapun yang perlu dilakukan oleh pemegang
atau pemilik tanah adalah melaksanakan kewajibannya memasang atau memelihara
tanda batas sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kewajiban memasang atau
memelihara tanda batas yang telah ada dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
perselisihan mengenai batas tanah.
Meskipun kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun masih saja
terdapat permasalahan-permasalahan yang terjadi dilapangan seperti adanya tumpang
tindih atau overlapping batas bidang tanah akibat tidak jelasnya batas suatu bidang
4
tanah yang disebabkan pemilik tanah tidak memelihara tanda batas tanah. Juga
seringnya pemilik tanah selaku pemegang sertipikat tanah tidak mengetahui sampai
dimana batas tanah yang dimilikinya akibat tidak ada tanda batas tanah atau
hilangnya tanda batas tanah. Demikian juga dalam hal kepemilikan sebidang tanah,
misalnya saja terhadap sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum
selama bertahun tahun dan telah dilengkapi dengan sertipikat. Terhadap tanah itu
masih ada pihak luar yang menuntut hak atas tanah tersebut. Permasalahan ini sering
terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk mengatur pertanahan di Indonesia
untuk kemakmuran rakyat terutama dalam pembangunan nasional, yaitu dengan
memberikan penjelasan arti pentingnya sertipikat tanah yang berfungsi sebagai alat
bukti hak yang kuat serta dapat dijadikan jaminan di bank.
Sertipikat hak atas tanah diberikan apabila terpenuhi syarat-syarat yang
ditentukan, dan salah satunya adalah kewajiban pemilik tanah untuk memasang tanda
batas atas bidang tanah tersebut dan memelihara tanda batas, dan pemasangan tanda
batas ini dilakukan sebelum dilaksanakan pengukuran dan kewajiban memasang dan
memelihara tanda batas terhadap pemilik tanah dimaksudkkan untuk menghindari
terjadinya perselisihan mengenai batas tanah.
Terkait dengan banyak mencuatnya permasalahan sengketa tanah ini, Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat
sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah
yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang
bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
5
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas penulis tertarik untuk meneliti dan
membahas implikasi dan penerapan pelaksanaan pemasangan tanda batas tanah sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang
sekaligus juga sebagai pembatasan permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah kewajiban pemasangan tanda batas bagi pemilik atas tanah
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ?
2. Apakah akibat hukum yang timbul apabila tidak dilaksanakan pemasangan
tanda batas bagi pemilik atas tanah ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari penulisan ini adalah :
1. Untuk menganalisis penerapan dari kewajiban pemasangan tanda batas tanah
di wilayah Kabupaten Gresik.
2. Untuk menganalisis akibat hukum yang timbul dari tidak dilaksanakannya
kewajiban pemasangan tanda batas tanah.
D. Manfaat Penelitian
6
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum agraria, khususnya hukum pertanahan mengenai
pentingnya kewajiban pemasangan tanda batas tanah untuk mewujudkan
kepastian hukum sertipikat hak atas tanah.
2. Manfaat Praktis.
Dalam penelitian ini diharapkan memberikan suatu bahan masukan bagi
Pemerintah Indonesia, Badan Pertanahan Nasional dan lebih khusus lagi bagi
pemerintah Kabupaten Gresik, Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik terutama
aparat dan pejabat pertanahan di daerah mengenai arti penting dari kewajiban
pemilik tanah untuk memasang tanda batas tanah dalam rangka mewujudkan
kepastian hukum sertipikat hak atas tanah dan juga untuk mengurangi
permasalahan pertanahan khususnya mengenai batas bidang tanah.
Selain itu tulisan ini juga diharapkan mendorong masyarakat untuk
melaksanakan kewajibannya selaku pemilik tanah untuk memasang tanda batas
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan
masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data
guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-
7
pokok permasalahan yang dirumuskan dalam bab I Pendahuluan, sehingga
diperlukan rencana yang sistematis, metodelogi merupakan suatu logika yang
menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan
penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi
induknya.1
Dalam suatu penulisan ilmiah atau tesis agar mempunyai nilai ilmiah, maka
perlu diperhatikan syarat syarat metode ilmiah. Oleh karena penelitian merupakan
suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistimatis, metodologis dan
konsisten melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisis dan konstruksi
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.2
Penelitian merupakan suatu proses yang terdiri dari suatu rangkaian
langkah-langkah secara terencana dan sistematik untuk memperoleh pemecahan
suatu permasalahan atau mendapatkan suatu jawaban atas suatu pertanyaan tertentu.
Langkah-langkah yang satu dengan yang lain harus sesuai dan saling mendukung
agar penelitian yang dilakukan itu mempunya nilai ilmiah dan menghasilkan
kesimpulan yang tidak diragukan lagi.
Soerjono Soekanto, mendefinisikan penelitian sebagai suatu kegiatan ilmiah
yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologi
sistematis dan konsisten. Metodologi berarti sesuai dengan metode atau cara-cara
1 Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1998), halaman 92 Soeryono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: Rajawali Press.1985) Hal.1
8
tertentu. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
Penelitian merupakan suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji suatu pengetahuan. Sebelum seseorang melakukan penelitian ia dituntut
untuk dapat menguasai dan menerapkan metodologi dengan baik.
Metodologi berasal dari kata “metodos” dan “logos” yang berarti “jalan
ke”. Seorang peneliti tanpa menggunakan metodologi tidak mungkin mampu untuk
menemukan, merumuskan, menganalisis suatu masalah tertentu untuk
menggunakan suatu kebenaran. Karena metode pada prinsipnya memberikan
pedoman tentang cara para ilmuwan mempelajari, menganalisis serta memahami
permasalahan yang dihadapinya.
Penelitian merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia secara sadar
yang diarahkan untuk mengetahui/mempelajari fakta-fakta.3
Koentjaraningrat menyatakan bahwa metodologi adalah cara atau jalan yang
berhubungan dengan upaya ilmiah maka metode menyangkut cara kerja untuk
memaham objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.4
Berdasarkan uraian di atas maka segala upaya yang digunakan untuk
mencapai tujuan penelitian harus dilandasi dengan suatu yang dapat memberikan
arah yang cermat dan syarat-syarat yang ketat sehingga metode penelitian mutlak
diperlukan dalam pelaksanaan suatu pemelitian.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
3 M Soeparmoko, Metode Penelitian Praktis, (Jogyakarta: BPFE, 1991), hal 1
4 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:Gramedia, 1984), hal 17
9
E.1. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan hanya meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer,
sekunder, dan tertier. Tujuan dari penelitian hukum normatif mencakup penelitian
asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.5
E. 2. Pengumpulan Bahan Hukum
Sumber Bahan Hukum, yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan
dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan. Sumber Bahan Hukum
yang akan diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari peraturan perundangan,
buku-buku literatur, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pokok masalah
yang akan diteliti, meliputi :
a. Bahan hukum primer :
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria.
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan
Penjelasannya.
- Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan
Penjelasannya.
5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI, 1986), halaman 43
10
- Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kepala Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan, yang meliputi: buku-buku,
makalah, surat kabar, artikel, buletin, informasi pada situs internet, makalah,
karya ilmiah para sarjana, dan lain-lain yang berhubungan dengan kepastian
hukum sertipikat hak atas tanah.
E. 3. Analisis Bahan Hukum
Pengolahan Bahan Hukum adalah suatu metode dimana bahan hukum yang
diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan dan dipilih, kemudian dihubungkan
dengan masalah yang akan diteliti menurut kualitas dan kebenarannya, sehingga
akan dapat menjawab permasalahan yang ada.
Pengolahan bahan disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan
menginterprestasikan secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara
berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan ilmiah.
Setelah analisis Bahan Hukum selesai, maka hasilnya akan disajikan secara
deskriptif, dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Dari hasil tersebut akan ditarik suatu kesimpulan yang
merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini di bagi menjadi 4 bab, sebagai berikut :
11
BAB I : PENDAHULUAN,
Pada bab ini yang merupakan pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan sekilas mengenai pengertian dari Pendaftaran Tanah, Pengukuran
Tanah, Tanda Batas Hak Atas Tanah.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menguraikan mengenai Hasil Penelitian dan Pembahasan.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan dan Saran dari penelitian ini.
Daftar Pustaka
12
Daftar Pustaka
Harsono, Boedi. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Jakarta : Djambatan.
______________. 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukkan Undang-
Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan,
Koentjaraningrat, 1984. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta:Gramedia.
Lexy J.Moleong, 1995. Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Parlindungan A.P. 1999. Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan. Bandung:
Mandar Maju.
Prasetyawati, Endang. 2010. Metode Penelitian Hukum, Bahan Ajar Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 :
Surabaya.
Ronny Hanityo Soemitro, 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
____________________,1985. Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,.
Soeryono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat. 1985. Jakarta: Rajawali Press.
Soeparmoko. M, 1991. Metode Penelitian Praktis, Jogyakarta: BPFE.
13
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Taun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Penunjukan Pendaftaran Tanah
dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Tinjauan Tentang Pendaftaran Tanah
Tanah telah berkembang menjadi sumberdaya yang semakin strategis karena
jumlahnya yang terbatas dan semakin beragamnya kepentingan yang berkaitan
dengan tanah. Hal ini menyebabkan peranan tanah sangat besar bagi pemenuhan
hajat hidup manusia.
Dinamika masalah pertanahan mempunyai muatan kerumitan yang tinggi, hal ini disebabkan oleh realitas yang menunjukkan bahwa kebutuhan manusia akan tanah senantiasa meningkat seiring dengan laju pembangunan di segala bidang. Di lain pihak secara kuantitatif jumlah tanah tidak bertambah luasnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka di bidang pertanahan dituntut untuk mengelola tanah yang tersedia secara optimal, sehingga secara profesional masingmasing kepentingan dapat diakomodir dan dikoordinasikan dengan baik. Hal tersebut penting karena fungsi pemerintah, adalah mengatur, memerintah, menyediakan fasilitas serta memberi pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, Said Zainal Abidin sebagaimana dikutip Inu Kencana Syafie, menegaskan pentingnya kebijakan publik untuk memecahkan masalah dan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan masyarakat.6
Lebih lanjut kebijakan publik menurut Inu Kencana yang dikutip dari
William N. Dunn, menjelaskan bahwa, "kebijakan publik adalah suatu rangkaian
6 Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, 2002, hal. 35.
15
pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah
pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan ".7
Kebijakan publik dalam implementasinya tidak selamanya berjalan lancar namun
adakalanya terjadi kesenjangan antara yang dirumuskan dengan apa yang yang
dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, Said Zainal Abidin menyimpulkan, "kebijakan
yang baik adalah kebijakan yang mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan,
asumsi yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap". 8
Kompleksitas suatu kebijakan mengharuskan proses perumusan, pelaksanaan dan
evaluasi kebijakan yang melibatkan banyak pihak dalam masyarakat.
Dalam lima tahun terakhir pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijakan di bidang pertanahan. Kebijaksanaan tersebut pada umumnya adalah
rincian lebih lanjut dari ketentuan UUPA yang diperlukan untuk melaksanakan
prinsip-prinsip dasar hukum pertanahan nasional guna memenuhi kebutuhan
masyarakat dan pembangunan. Salah satu kebijakan pemerintah di bidang
pertanahan yaitu dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah berdasarkan PP
24/1997, pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional membuat
perencanaan untuk menyelesaikan pembuatan sertipikat tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia melalui Proyek Administrasi Pertanahan dengan pendekatan
7 Inu Kencana Syafiie, dkk, Ilmu Administrasi Publik, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hal. 107.
8 Said Zainal Abidin, Op. Cit, hal. 208.
16
sistematis, yang dikenal dengan Proyek Ajudikasi. Proyek ini akan dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat, termasuk lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah.
Ajudikasi sebagai kebijakan publik adalah kegiatan dalam rangka proses
pendaftaran tanah. Hal ini sesuai dengan pandangan Harold D. Lasswell dalam M.
Irfan Islamy menyatakan, kebijakan sebagai : "a projected program of goals,
values, and practices" (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan
praktekpraktek yang terarah).9 Sementara itu menurut pendapat Amara Raksasatata
dalam M. Irfan Islamy, kebijakan diartikan sebagai "suatu taktik dan strategi yang
diarahkan untuk mencapai tujuan".
Pakar lain Said Zainal Abidin, menyatakan kebijakan secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum, kebijakan
pelaksanaan dan kebijakan teknis.10
Kebijaksanaan pertanahan (Land Policy) dan pengelolaan pertanahan (Land
management) yang dikemas dalam kebijakan pertanahan nasional diatur dalam
Undang-Undang Pokok Agraria yang secara umum dapat dikategorikan sebagai
berikut :
a. kebijakan pengaturan penguasaan dan hak-hak atas tanah
b. kebijakan perencanaan penggunaan tanah
c. kebijakan pendaftaran tanah
Pengelolaan pertanahan pada dasarnya merupakan suatu proses pembuatan
dan pelaksanaan keputusan tentang bagaimana tanah dan sumberdayanya
didistribusikan, digunakan, dan dilindungi dalam masyarakat. Dalam kaitannya
9 M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, PT Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hal. 15.10 Said Zainal Abidin, Op. Cit, hal. 28.
17
dengan pengelolaan pertanahan, administrasi pertanahan merupakan salah satu
kunci yang penting dalam mengambil keputusan. Pengertian Administrasi
Pertanahan ada beberapa macam, salah satu pengertian tersebut adalah yang disitir
oleh BAPPENAS dan BPN dalam laporan akhir Proyek Administrasi Pertanahan,
yaitu "Land Administration is the management of the land tenure system".
Kemudian menurut Land Administration Guidline yang dikeluarkan oleh PBB,
adalah: " Land Administration is the processes of recording and disseminating
information about the ownership, value and use of land and its associated
resources ".
Terlepas dari beragamnya pengertian tentang administrasi pertanahan, yang
perlu dicapai dalam pelaksanaan administrasi adalah terwujudnya tertib
administrasi pertanahan, yaitu :
1. Setiap bidang tanah telah tersedia catatan mengenai data fisik dan yuridis,
penguasaan, penggunaan, nilai tanah, jenis tanah dan jenis hak yang dikelola
dalam sistem informasi pertanahan yang lengkap.
2. Terdapat mekanisme prosedur/tata cara pelayanan di bidang pertanahan yang
sederhana, cepat dan murah, namun menjamin kepastian hukum yang
dilaksanakan secara tertib dan konsekuen.
3. Penyimpanan warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan pensertipikatan
tanah telah dilakukan secara tertib, beraturan dan terjamin keamanannya.
2. 1. 1. Pengertian Pendaftaran Tanah
18
Istilah Pendaftaran tanah berasal dari kata “Cadastre” dalam bahasa
Belanda merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas, nilai
dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah.
Sedangkan kata “Cadastre” berasal dari bahasa latin “Capitastrum” yang berarti
suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi
(Capotatio Terrens).11
Dalam buku Hukum Agraria Indonesia, Boedi Harsono mengatakan bahwa:
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.12
Kata-kata "rangkaian kegiatan" menunjuk adanya berbagai kegiatan dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah. Kata-kata "terus menerus" menunjuk kepada
pelaksanaan kegiatan, bahwa sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Kata "teratur"
menunjukkan, bahwa semua kegiatan harus berlandaskan kepada peraturan
perundang-undangan yang sesuai.
Pengertian pendaftaran tanah tersebut juga ditegaskan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 1 bahwa :
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
11 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan I, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal 18
12 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005,hal. 474.
19
Pengertian di atas menunjukkan bahwa ada berbagai macam kegiatan dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berurutan, saling berkaitan satu sama lain
dan merupakan suatu kesatuan untuk memperoleh apa yang disebut sertipikat.
Kegiatan pendaftaran tanah tidak hanya diadakan sekali tetapi untuk seterusnya
apabila terjadi perubahan terhadap tanah maupun pemegang haknya sehingga sesuai
dengan kenyataan terakhir yang ada berlandaskan peraturan hukum yang ada.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 bahwa defenisi pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi 6 (enam) hal, yaitu pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian
serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Defenisi tersebut di atas merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup
kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 10 tahun 1961 yang hanya meliputi : pengukuran, perpetaan dan pembukuan
tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak
sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pendaftaran Tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum,
pendaftaran tanah ini diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
pemerintah. 13
13 Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, Maret 1989, hal. 3.
20
Dalam memenuhi kebutuhan ini pemerintah melakukan data penguasaan
tanah terutama yang melibatkan para pemilik tanah. Pendaftaran tanah semula
dilaksanakan untuk tujuan fiscal (fiscal kadaster) dan dalam hal menjamin
kepastian hukum seperti diuraikan di atas maka pendaftaran tanah menjadi Recht
Kadaster.14
2. 1. 2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal
19 ayat (1) dan (2), bahwa :
(1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi :a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti
yang kuat.
Dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) pemerintah ditugaskan untuk melakukan
pendaftaran tanah. Selain itu pendaftaran tanah juga mewajibkan pemegang hak
atas tanah untuk melakukan pendaftaran haknya. Hal ini diatur dalam beberapa
pasal dalam UUPA, yaitu Pasal 23 mengenai pendaftaran Hak Milik, Pasal 32
mengenai Pendaftaran Hak Guna Usaha dan Pasal 38 mengenai Pendaftaran Hak
Guna Bangunan.
Sehubungan dengan itu UUPA memerintahkan diselenggarakannya
pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum sebagaimana yang
dimaksud di atas. Pendaftaran tanah kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan
14 Ibid, hal. 5.
21
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961, tetapi karena peraturan ini dianggap belum dapat
memberikan hasil yang maksimal maka dilakukan penyempurnaan terhadap
peraturan ini yaitu dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah. Sebagai peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tersebut berlaku pula Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Taun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah. Serta Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Penunjukan
Pendaftaran Tanah dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
2. 1. 3. Tujuan Pendaftaran Tanah
Pada dasarnya tujuan Pendaftaran tanah adalah untuk memberikan suatu
kepastian hukum di bidang pertanahan, seperti yang ada dalam Pasal 19 UUPA.
Rincian lebih lanjut tujuan pendaftaran tanah diatur dalam PP Nomor 24 tahun 1997
pada Pasal 3, bahwa :
Pendaftaran tanah bertujuan :a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak yang bersangkutan
dan agar dapat dengan mudah membuktikan haknya maka diberikanlah suatu
sertipakat hak atas tanah. Untuk menyediakan informasi sebagaimana dalam Pasal 3
22
huruf b Kantor Pertanahan bersifat terbuka, sehingga pihak-pihak yang
berkepentingan dapat dengan mudah mencari data fisik dan data yuridis tentang
suatu bidang tanah yang sudah terdaftar. Sedangkan untuk tertib administrasi
pertanahan maka pendaftaran tanah tidak hanya dilakukan sekali tapi secara terus-
menerus mengikuti perbuatan hukum dan peristiwa hukum yang mengakibatkan
data fisik maupun data yuridis pada suatu bidang tanah mengalami suatu perubahan.
Menurut J.B. SOESANTO, dalam diktatnya Hukum Agraria I menyatakan
bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah15 :
a. Memberikan kepastian hukum, yaitu kepastian mengenai bidang teknis (kepastian
mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan). Hal ini
diperlukan untuk menghindarkan sengketa dikemudian hari, baik dengan pihak
yang menyerahkan maupun pihak-pihak yang mempunyai tanah.
b. Memberikan kepastian hak, yaitu ditinjau dari segi yuridis mengenai status
hukum, siapa yang berhak atasnya (siapa yang mempunyai) dan ada tidaknya
hak-hak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga). Kepastian mengenai status
hukum dari tanah yang bersangkutan diperlukan, karena dikenal tanah-tanah
dengan bermacam-macam status hukum, yang masing-masing memberikan
wewenang dan meletakan kewajiban-kewajiban yang berlainan kepada pihak
yang mempunyai hal mana akan terpengaruh pada harga tanah.
c. Memberikan kepastian subyek, yaitu kepastian mengenai siapa yang mempunyai
diperlukan untuk mengetahui dengan siapa kita harus berhubungan untuk dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah mengenai ada atau tidak
15 J.B. Soesanto. Hukum Agraria I. (Semarang. Penerbit. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang). Hal 90
23
adanya hak-hak dan kepentingan pihak ketiga, diperlukan untuk mengetahui
perlu atau tidaknya diadakan tindakan-tindakan tertentu untuk menjamin
penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan secara efektif dan aman.
2. 1. 4. Asas-asas Pendaftaran Tanah
Menurut Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir dan terbuka.16
1. Asas Sederhana adalah agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya
dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada
pemegang hak atas tanah.
2. Asas Aman dimaksudkan untuk menunjukan bahwa, pendaftaran tanah harus
diselengarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Asas Terjangkau artinya dapat dijangkau oleh golongan ekonomi lemah dengan
memperlihatkan kebutuhan dan kemampuanny, artinya pendaftaran tanah harus
dapat terjangkau oleh pihak-pihak yang memerlukan.
4. Asas Mutakhir artinya data-data yang ada didalam atau diperoleh dari
penyelengaraan pendaftaran tanah harus dijaga eksistensinya, sehingga data
terpelihara sesuai dengan kenyataan yang terjadi dilapangan.
5. Asas Terbuka artinya melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah, bagi
masyarakat maupun pemerintah yang ingin memperoleh keterangan data fisik
16 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, isidan pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 471.
24
dan data yuridis, akan dapat memperoleh data yang benar setiap saat di Kantor
Pertanahan.
2. 1. 5. Sistem Pendaftaran Tanah
Ada dua macam sistem pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono, yaitu
sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak
(registration of titles). Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan : apa yang
didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda
bukti haknya.17
Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun dalam sistem pendaftaran hak,
akta merupakan sumber data yuridis. Dalam sistem Pendaftaran akta, akta-akta
inilah yang didaftar. Dalam sistem pendaftaran akta, pejabatnya bersikap pasif. Ia
tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar.
Di kantor Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT), salinan akta disimpan dan terbuka
untuk umum, sedangkan pemilik hak diberikan tanda bukti berupa asli atau minuta
akta tersebut.
Dalam sistem pendaftaran akta tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan
akta sebagai buktinya. Sehingga dalam sistem ini, data yuridis yang diperlukan
harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Cacat hukum dalam suatu akta bisa
mengakibatkan tidak sahnya perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta yang
dibuat kemudian. Untuk memperoleh data yuridis harus dilakukan apa yang disebut
“title search”, yang bisa memakan waktu dan biaya karena memerlukan bantuan
ahli. Maka kemudian diciptakanlah sistem yang lebih sederhana dan
17 Ibid., hal. 76.
25
memungkinkan orang memeperoleh keterangan dengan cara yang mudah, tanpa
harus mengadakan tittle search pada akta-akta yang ada yaitu sistem pendaftaran
hak
Dalam sistem pendaftaran hak setiap penciptaan hak baru dan
perbuatanperbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian, juga harus
dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan pendaftarannya bukan
aktanya yang didaftar, melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-
perubahannya kemudianlah yang didaftar. Akta hanya merupakan sumber datanya.
Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahannya yang terjadi, kemudian
disediakan suatu daftar isian, yang biasa disebut “register” atau di Indonesia disebut
buku tanah, sehingga jika terjadi perubahan, tidak dibuatkan buku tanah baru,
melainkan dicatatkan pada ruang mutasi yang disediakan pada buku tanah yang
bersangkutan. Sebelum dilakukan pendaftaran haknya dalam buku tanah dan
pencatatan perubahannya kemudian, oleh Pejabat Pendaftaran Tanah dilakukan
pengujian kebenaran data yang dimuat dalam akta yang bersangkutan, sehingga
pejabatnya dapat dikatakan bersikap aktif. Dalam sistem ini buku-buku tanah
disimpan di Kantor Pendaftaran Tanah dan terbuka untuk umum. Sebagai tanda
bukti hak, diterbitkan sertipikat yang merupakan salinan register, yang di Indonesia
sertipikat hak atas tanah terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid
menjadi satu dalam sampul dokumen.
2. 1. 6. Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah
Sistem publikasi pendaftaran tanah tergantung pada asas hukum yang dianut
oleh suatu negara dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Ada beberapa sistem
26
publikasi pendaftaran tanah yang dianut oleh negara-negara yang
menyelenggarakan pendaftaran tanah, yakni sistem Torrens, sistem negatif dan
sistem positif. 18
a. Sistem Torrens.
Sistem Torrens berasal dari Australia Selatan, diciptakan oleh Sor Robert
Torrens. Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property Act atau
Torrens Act yang mulai berlaku di Australia Selatan sejak tanggal 1 Juli 1858
dan sistem ini sekarang dipakai di banyak Negara, antara lain Aljazair, Tunisia,
Kongo, Spayol, Norwegia, Malaya, Kepulauan Fiji, Canada dan Yamaica
Trinidad. Dalam detailnya sistem Torrens disempurnakan dengan tambahan-
tambahan dan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan hukum
materialnya masing-masing.19
Dalam pelaksanaan sistem Torrens, setiap pendaftaran hak atas tanah
sebelum dicatat dalam buku tanah, maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
dan penyelidikan yang sangat teliti terhadap data yang disampaikan oleh
pemohon.
Kelebihan sistem Torrens dibandingkan dengan sistem negatif adalah
ketidakpastian diganti dengan kepastian, biaya lebih murah dan waktu yang
digunakan lebih singkat, ketidakjelasan dan berbelitnya uraian menjadi singkat
dan jelas, persetujuan-persetujuan disederhanakan sedemikian rupa, sehingga
setiap orang akan dapat mengurus sendiri setiap kepentingannya, penipuan
18 Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), hal.47.
19 Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, (Bandung: Alumni,1993), hal.30
27
sangat dihalangi, banyak hak-hak milik atas tanah yang berkurang nilainya
karena ketidakpastian hukum hak atas tanah telah dikembalikan kepada nilai
yang sebenarnya.
Dalam sistem ini sertipikat tanah merupakan alat yang paling lengkap
tentang hak dari pemilik yang tersebut di dalamnya serta tidak dapat diganggu
gugat, demikian menurut Torrens. Ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah
melalui dana asuransi (verzekeringsponds) yang sebelumnya dikenakan pada
pemohon hak dalam pendaftaran tanah. Untuk merubah buku tanah adalah tidak
dimungkinkan, terkecuali jika memperoleh sertipikat tanah dimaksud melalui
cara pemalsuan dengan tulisan atau diperoleh dengan penipuan.
b. Sistem Positif.
Dalam sistem positif, suatu sertipikat tanah yang diberikan berlaku sebagai
tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti
hak atas tanah. Ciri pokok sistem ini adalah bahwa pendaftaran
tanah/pendaftaran hak atas tanah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang
terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, kendatipun ia ternyata
bukan pemilik yang berhak atas tanah tersebut. Sistem positif ini memberikan
kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat dalam sistem ini bersifat
sangat aktif, mereka menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindahkan itu
dapat untuk didaftar ataukah tidak, menyelidiki identitas para pihak,
wewenangnya dan apakah formalitas-formalitas yang diisyaratkan untuk itu telah
dipenuhi atau tidak. Menurut sistem ini hubungan antara hak dari orang yang
28
namanya terdaftar dalam buku tanah dengan pemberi hak sebelumnya terputus
sejak hak tersebut didaftar.
Kebaikan dari sistem Positif ini adalah :20
1. adanya kepastian dari buku tanah;
2. peranan aktif dari pejabatnya;
3. mekanisme kerja dalam penerbitan sertipikat tanah mudah dimengerti oleh
orang awam.
Asas peralihan hak atas tanah dalam sistem ini adalah asas itikad baik, yaitu
berarti orang yang memperoleh hak dengan itikad baik akan tetap menjadi
pemegang yang sah menurut hukum. Jadi asas ini bertujuan untuk melindungi
orang yang beritikad baik. Untuk melindungi orang yang beritikad baik inilah
perlu daftar umum yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam sistem ini
pihak ketiga yang beritikad baik yang bertindak berdasarkan bukti tersebut
menurut sistem positif ini mendapatkan jaminan mutlak dengan adanya uang
pengganti terhadap tanah yang sebenarnya ia haki. Walaupun ternyata bahwa
segala keterangan yang tercantum dalam sertipikat tanah tersebut adalah tidak
benar.21
Dengan demikian, sistem Positif ini memberikan suatu jaminan yang mutlak
terhadap buku tanah, kendatipun ternyata bahwa pemegang sertipikat bukanlah
pemilik yang sebenarnya. Adapun kelemahan sistem ini adalah22 :
20 ibid., hal.32.
21 ibid, hal 33
22 log. cit.
29
1. Peranan aktif pejabatnya akan memakan waktu yang lama;
2. Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya oleh
karena kepastian dari buku tanah itu sendiri;
3. Wewenang Pengadilan diletakkan dalam wewenang administratif.
c. Sistem Negatif.
Menurut sistem Negatif bahwa segala apa yang tercantum dalam sertipikat
tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya.
Asas peralihan hak atas tanah menurut sistem ini adalah asas “nemo plus
yuris”.23 Asas Nemo plus yuris artinya orang tidak dapat mengalihkan hak
melebihi hak yang ada padanya. Jadi pengalihan hak oleh orang yang tidak
berhak adalah batal. Asas ini bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang
sebenarnya. Ia selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama
orang lain.
Ciri pokok sistem negatif ini ialah bahwa pendaftaran tanah/pendaftaran hak
atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku
tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik yang
sebenarnya. Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak
sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan mata rantai dari perbuatan
hukum dalam pendaftaran hak atas tanah. Ciri pokok lainnya dalam sistem ini
adalah Pejabatnya berperan pasif artinya pejabat yang
bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari surat-surat
yang diserahkan kepadanya.
23 log. cit.
30
Kebaikan dari sistem ini adalah adanya perlindungan terhadap pemegang hak
sejati.24
Sedang kelemahannya adalah : 25
1. Peranan pasif pejabatnya yang menyebabkan tumpang tindihnya sertipikat
tanah.
2. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertipikat tanah sedemikian rupa
sehingga kurang dimengerti oleh orang awam.
Menurut Boedi Harsono, pertanyaan yang timbul berkaitan dengan system
publikasi pendaftaran tanah adalah sejauh mana orang boleh mempercayai
kebenaran data yang disajikan? Sejauh mana hukum melindungi kepentingan
orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah
didaftar, berdasarkan data yang disajikan di Kantor Pendaftaran Tanah atau yang
tercantum di dalam surat tanda bukti hak yang diterbitkan atau didaftar oleh
Pejabat Pendaftaran Tanah, jika kemudian ternyata data tersebut tidak benar ? 26
Pada garis besarnya, menurut Boedi Harsono ada dua sistem publikasi
Pendaftaran tanah yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif.
Dalam sistem publikasi positif, data disimpan dalam register atau buku tanah dan
sertipikat sebagai surat tanda bukti hak. Dalam sistem ini, orang boleh
mempercayai penuh data yang disajikan dalam register karena pendaftaran atau
pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang
24 ibid, hal 34
25 ibid, hal 35
26 Boedi harsono, op.cit. , hal 80
31
membuat orang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan
perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan. Dalam sistem publikasi
positif, orang yang dengan itikad baik dan pembayaran serta kemudian
mendaftarkan dirinya sebagai pemegang hak dalam register memperoleh hak
yang tidak dapat diganggu gugat dari orang yang namanya tidak terdaftar sebagai
pemegang hak dalam register, hal ini biasa disebut “indefeasible tittle” Dengan
selesainya dilakukan pendaftaran atas nama penerima hak, pemegang hak yang
sebenarnya menjadi kehilangan haknya. Ia tidak dapat menuntut pembatalan
perbuatan hukum yang memindahkan hak yang bersangkutan kepada pembeli.
Dalam keadaan tertentu ia hanya bisa menuntut ganti kerugian kepada
Negara. Untuk menghadapi tuntutan ganti kerugian tersebut disediakan suatu
dana khusus. Sehingga hukum benar-benar melakukan perlindungan terhadap
orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah
didaftar.
Dalam sistem publikasi negatif, yang menentukan berpindahnya hak
kepada pembeli adalah sahnya perbuatan hukum yang dilakukan, bukan
pendaftaran yang dilakukan. Asas peralihan menurut sistem ini adalah asas
“nemo plus yuris”, yaitu orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak
melebihi apa yang ia punyai sendiri. Asas ini bertujuan untuk melindungi
pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang
mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak yang sebenarnya. Maka
data yang disajikan dalam pendaftaran dengan sistem ini tidak boleh begitu saja
32
dipercayai kebenarannya. Negara tidak menjamin data yang disajikan. Biarpun
sudah melakukan pendaftaran, pembeli selalu masih menghadapi kemungkinan
gugatan dari orang yang dapat membuktikan bahwa ialah pemegang hak yang
sebenarnya.
Sistem Publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah menurut UUPA
dan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur
positif.27
Pendaftaran tanah menurut UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 akan
menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang
kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat
(2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Sehingga sistem Pendaftaran Tanah menurut
UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 bukanlah sistem negatif yang murni.
Sistem publikasi yang murni tidak akan menggunakan pendaftaran hak, juga
tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal UUPA tersebut, bahwa
sertipikat merupakan alat bukti yang kuat.
Hal tersebut juga terlihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur
prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang
diperlukan serta pemeliharaannya dan penerbitan sertipikat haknya, biarpun
sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan
dilaksanakan secara seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya.
2. 2. Tinjauan Tentang Penyelenggaraan Pengukuran Tanah
27 ibid, hal. 477
33
Kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah di lingkungan
Badan Pertanahan Nasional dilakukan oleh Pegawai Badan Pertanahan Nasional
yang khusus diberi kewenangan sebagai petugas ukur, hal tersebut dimaksudkan
untuk mempertahankan kualitas pengukuran dan pemetaan sesuai dengan prosedur,
mekanisme dan spesifikasi teknis yang sudah dibakukan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.
Adapun metode pengukuran bidang tanah yang digunakan adalah :
1. Metode Terrestris.
Jika Peta Dasar Pendaftaran yang tersedia di lokasi pekerjaan
pengukuran dan pemetaan kadastral berupa peta garis digital maka
metode pengukuran bidang tanah dilakukan dengan Pengukuran
Terrestris.
Metode yang digunakan dalam pengukuran terrestris ini adalah :
1. Metode Trilaterasi
2. Metode Polar :
a. Azimuth dan jarak
b. Sudut dan Jarak
c. Gabungan metode
Apabila sudah tersedia titik dasar teknik nasional sekitar bidang tanah
yang diukur, maka pengukuran bidang tanah tersebut harus diikatkan
terhadap titik dasar teknik nasional. Apabila di sekitar bidang tanah
34
tidak tersedia titik dasar teknik maka pengukuran bidang tanah dapat
diikatkan pada detail-detail yang mudah diidentifikasi secara pasti di
lapangan dan di peta garis seperti: pojok tembok, tiang listrik,
perempatan pematang , pagar dan lain sebagainya.
2 Metode Fotogrametris
Jika Peta Dasar Pendaftaran yang tersedia di lokasi pekerjaan
pengukuran dan pemetaan kadastral berupa peta foto digital ( foto
udara / citra satelit resolusi tinggi ) maka metode pengukuran bidang
tanah dapat dilakukan dengan Metode Fotogrametrik ( Identifikasi ).
Pengukuran bidang tanah dengan Metoda Fotogrametrik ( Identifikasi )
adalah identifikasi bidang-bidang tanah dengan menggunakan Peta
Dasar Pendaftaran berupa peta foto yang merupakan hasil pemetaan
fotogrametrik. Metoda ini biasanya dilaksanakan untuk daerah terbuka
( mudah untuk diidentifikasi ).
3 Metode Lainnya ( metode pengamatan satelit, GPS dll ).
Pengukuran bidang tanah dengan metode pengamatan satelit atau GPS
adalah pengukuran dengan menggunakan penentuan posisi titik koordinat
yang diikatkan pada posisi satelit minimal enam satelit.
2. 2. 1. Proses Pengukuran Tanah
35
Untuk keperluan pendaftaran hak, Pengukuran bidang tanah dilaksanakan
setelah selesai melakukan penetapan batas dan pemasangan tanda-tanda batas pada
bidang yang dimohon.
Penetapan batas bidang tanah didasarkan pada kesepakatan pihak yang
bersangkutan (contradictoire delemitatie), dimana kegiatan tersebut meliputi,
a. Menentukan batas-batas yang bersebelahan dengan pemilik atas tanah yang
bersebelahan
b. penentuan tanda batas (berupa patok)
c. pengukuran dan pemetaan bidang tanah
Pengukuran bidang tanah dilaksanakan untuk menentukan posisi / letak
geografis, batas, luas, dan bentuk geometris bidang tanah untuk keperluan
pendaftaran hak atas tanah, dalam hal ini untuk penyelenggaraan pendaftaran tanah
sistematik. Pengukuran untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah dilaksanakan
untuk pembuatan peta pendaftaran, peta bidang tanah, lampiran sertipikat (berupa
surat ukur), dan terutama untuk mendapatkan data ukuran bidang tanah sebagai
unsur pengembalian batas apabila karena suatu hal batas-batas bidang tanah
tersebut hilang.
Beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk pengukuran bidang tanah
dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah sistematik adalah sebagai berikut:
1. Persiapan pengukuran ;
36
2. Penunjukan batas bidang tanah
a. Menghadirkan pemohon/pemilik bidang tanah dan pihak-pihak yang berbatasan di
lokasi bidang tanah yang akan diukur. Kewajiban ini dilaksanakan oleh Satuan
Tugas Yuridis.
b. Jika salah satu pihak tidak dapat hadir atau berhalangan, maka sebagai
penggantinya dapat menghadirkan Kuasanya. Kuasa dari pihak yang berhalangan
dapat diterima dan sah secara hukum apabila dinyatakan dengan Surat Kuasa
tertulis. Surat kuasa yang dimaksud dilampirkan bersama dengan gambar
ukurnya.
c. Berikan kesempatan kepada pihak-pihak yang hadir untuk menunjukkan batas-
batas bidang tanahnya untuk memenuhi azas contradictoire delemitatie.
d. Jika batas bidang tanah yang ditunjukkan oleh salah satu pihak saja, maka batas
bidang tanah tersebut merupakan batas sementara sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
3. Penetapan batas bidang tanah
a. Tetapkanlah batas bidang tanah yang dimohon berdasarkan hasil penunjukan
batas oleh pihak yang berkepentingan.
b. Untuk pengukuran bidang tanah baru (belum terdaftar), penetapan batas bidang
tanah menjadi mutlak harus dilakukan.
c. Penetapan batas dilaksanakan oleh Satgas Ukur atas nama Ketua Panitia
Ajudikasi apabila pengukuran bidang–bidang tanah dilaksanakan oleh pegawai
BPN dalam pendaftaran tanah sistematik, atau
37
d. Penetapan batas dilaksanakan oleh Satgas Yuridis atas nama Panitia Ajudikasi
apabila pengukuran bidang-bidang tanah dilaksanakan oleh pihak ketiga (swasta)
dalam pendaftaran tanah sistematik.
e. Jika dalam penetapan batas bidang tanah tidak diperoleh kesepakatan antara
pemohon/pemilik bidang tanah yang bersangkutan dengan salah satu pihak yang
berbatasan, maka batas bidang tanah yang bersangkutan dinyatakan sebagai batas
sementara.
f. Hasil Penetapan batas dituangkan dalam risalah Penelitian Data Yuridis dan
Penetapan Batas (Daftar Isian 201), dan dilengkapi tanda tangan
pemohon/pemilik bidang tanah dan para pihak yang berbatasan pada kolom yang
tersedia.
g. Pada setiap bidang yang telah ditetapkan batas-batasnya diberi Nomor Identifikasi
Bidang tanah (NIB)
4. Penempatan/Pemasangan tanda batas.
a. Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya, wajib dilakukan oleh
pemohon/pemilik bidang tanah yang bersangkutan.
b. Tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah dan, apabila dianggap
perlu dipasang pada titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang tanah
tersebut atas permintaan petugas ukur.
5. Pelaksanaan pengukuran bidang tanah.
Pelaksanakan pengukuran bidang tanah mengikuti ketentuan yang terdapat pada
Standard Operasional Prosedur (SOP) pengukuran dan pemetaan, serta sesuai
38
dengan PP No.24/1997, PMNA/KBPN No.3/1997 beserta petunjuk teknis
pelaksanaannya.
a. Satgas Yuridis cukup mengisi sketsa bidang yang ada pada Daftar Isian 201
yang akan berfungsi sebagai alat kontrol untuk Satgas pengukuran
b. Satgas Yuridis harus bekerja bersama-sama dengan Satgas pengukuran untuk
menghasilkan peta bidang maupun peta pendaftaran, terutama dalam
koordinasi pemberian dan pencantuman Nomor Identifikasi Bidang (NIB),
karena dengan hasil pengukuran dan pemetaan yang baik akan menghasilkan
kualitas pendaftaran tanah yang baik dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum.
2. 2. 2. Kepastian Hukum Dalam Pengukuran Tanah
Guna menjamin kepastian dibidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor
kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu
pengukuran dan pemetaan untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah
merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian yang serius dan
seksama, baik dalam pengumpulan data penguasaan tanah tetapi juga dalam
penyajian data penguasaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut.
Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan, seperti cara penentuan titik
dasar teknis dengan bantuan satelit yang lebih dikenal dengan system Global
Positioning System ( GPS ) dan komputerisasi ditujukan untuk memberikan data
akurat yang berupa data digital dalam rangka percepatan pelayanan kepada
masyarakat.
39
Kegiatan pendaftaran tanah dimulai dengan pembuatan peta dasar
pendaftaran yang memuat titik-titik dasar teknis dan unsure-unsur geografis seperti
sungai, jalan, jembatan, bangunan dan batas fisik bidang-bidang tanah. Untuk
keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran dilakukan tugu batas titik dasar teknik,
pengukuran, pemetaan dan pemeliharaan titik dasar teknik . Yang dimaksud dengan
titik dasar teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu
pengukuran dan perhitungan dalam suatu system tertentu yang berfungsi sebagai
titik control atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas.
Pengukuran untuk pembuatan peta tersebut daiatas diikatkan dengan titik
dasar teknik nasional sebagai kerangka dasarnya. Jika disuatu daerah tidak ada atau
belum ada titik dasar teknik nasional, maka pelaksanaan pengukuran menggunakan
titik lokal yang bersifatt sementara, yang kemudian harus diikatkan dengan titik
dasar teknik nasional. Hasil kegiatan pengukuran tersebut diatas disebut peta dasar
pendaftaran yang selanjutnya menjadi dasar untuk pembuatan peta pendaftaran.
Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah,
bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur terlebih dahulu setelah ditetapkan
letak, batas-batas dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas disetiap
sudut bidang tanah yang bersangkutan. Penetapan batas-batas bidang tanah tersebut
diusahakan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan dan
penempatan tanda batas termasuk pemeldang tanah tiharaannya wajib dilakukan
oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Persetujuan penetapan batas
diatas dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani pemilik tanah dan
40
tetangga yang berbatasan. Jika dalam penetapan batas batas tidak diperoleh
kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan pemegang hak atas tanah yang
berbatasan, maka pengukuran bidang tanah tersebut untuk sementara dilakukan
berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataanya merupakan batas-batas bidang
tanah yang bersangkutan, seperti tembok, atau tanda lain yang menunjukkan batas
penguasaan tanah oleh orang yang bersangkutan. Apabila ada tanda-tanda semacam
ini, maka persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak mutlak
diperlukan. Dalam Gambar Ukur hasil pengukuran sementara tersebut dibubuhkan
catatan atau tanda yang menunjukkan bahwa batas-batas sementara hasil
pengukuran sementara dan belum diperolehnya kesepakatan batas atau
ketidakhadiran pemegang hak atas tanah yang berbatasan pada saat pengukuran
tersebut dilaksanakan, dibuat Berita Acara. Bidang-bidang tanah yang sudah
ditetapkan batas-batasnya diukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar
intpendaftaran. Yang dimaksud peta pendaftaran adalah peta-peta yang
menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan
tanah. Sedang untuk keperluan pendaftran hak bagi bidang-bidang tanah yang sudah
diukur serta dipetakan dalam peta pendaftaran dibuatkan surat ukur.
Surat Ukur menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1
menyebutkan bahwa Surat Ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu
bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. Surat Ukur ini yang nantinya menjadi
salinan lampiran sertipikat.
41
Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa untuk menjamin kepastian
hukum hak atas tanah terhadap hasil pengukuran tanah yang dilakukan secara
kadasteral harus meenuhi asas-asas sebagai berikut :
1. Asas Kontradiktur Delimitasi (contradictoire delemitatie)
a. pengukuran batas bidang tanah hanya dapat terlaksana apabila bata-batas
bidang tanah tersebut telah ditetapkan oleh pejabat pemerintah
berdasarkan hasil kesepakatan para pihak dalam penunjukan batas yang
dilakukan oleh pihak pemilik bidang tanah yang bersangkutan bersama
pemilik tanah yang berbatasan. Penetapan yang berdasarkan asas
penunjukan bersama tersebut dituangkan ke dalam suatu Berita Acara.
b. Hasil pengukuran batas bidang tanah digambarkan pada Gambar Ukur,
dengan menuliskan angka-angka ukur, sketsa pengukuran serta kronologi
contradictoire delemitatie jalannya pengukuran termasuk
penandatanganan petugas ukur, pemilik bidang tanah yang bersangkutan
dan tetangga yang berbatasan.
c. Bersama-sama dengan Berita Acara, Gambar Ukur tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi dokumen bernilai yuridis atau
memiliki kekuatan bukti dalam persidangan di lembaga peradilan
berkaitan bidang-bidang tanah.
2. Asas Publisitas
Dimaksudkan agar pihak-pihak yang berkepentingan mengetahui hasil
pengukuran yang telah dilaksanakan dan untuk memberikan kesempatan
42
kepada mereka yang dengan itikad baik mengajukan keberatan atas hasil
pengukuran tersebut.
3. Asas Spesialitas
a. Bidang tanah yang telah diukur dan dipetakan secara kadasteral
yang memiliki letak, luas, dan bentuk yang unik diatas permukaan
bumi.
b. Bidang-bidang tersebut diikatkan ke titik-titik dasar teknis yang
merupakan bagian Kerangka Dasar Kadaster Nasional sehingga
apabila sewaktu-waktu tanda-tanda batas bidang tanah dilapangan
dikemudian hari tidak dapat ditemukan bidang tanah yang telah
dipetakan tersebut dapat direkonstruksi kembali dilapangan secara
tepat.
2. 3. Tinjauan Tentang Tanda Batas Hak Atas Tanah
Dalam masyarakat adat dikenal adanya tanah ulayat. Didalam masyarakat
adat itu sendiri sebenarnya telah dikenal adanya peratuan tentang pemasangan tanda
batas yang dilakukan disekeliling tanahnya, akan tetapi usaha yang dimaksud dalam
pasal ini tidak dapat dilaksanakan secara sempurna.28
Dalam usaha untuk mencapai kepastian hukum dari hak-hak atas tanah
kepada pemegang hak milik atas tanah perlu diberikan pengetahuan tentang
pengertian akan arti pentingya pemasangan tanda batas, dengan maksud untuk
mencegah adanya sengketa tanah dan untuk mewujudkan pelaksanaan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) dengan segala peraturan pelaksanaannya ditengah-28 Soerojo Wigjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, HajiMas Agung, 1994 hal. 199.
43
tengah masyarakat untuk mewujudkan program catur tertib pertanahan dalam tata
kehidupan yang sadar akan hukum, akan hak dan kewajiban-kewajiban sebagai
Warga Negara yang baik dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang
aman, tertib, damai, sejahtera di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Catur tertib pertanahan yang merupakan pelaksanaan dari TAP MPR RI
Nomor IV/MPR/1978 yang dikukuhkan Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun
1979 tetang Catur Tertib Pertanahan yaitu :
1. Tertib hukum pertanahan, yaitu tercapainya suatu kondisi yang sadar akan hukum dikalangan masyarakat yang mengetahui hak-hak dan kewajiban dalam hal penggunaan tanah, tertibnya persepsi yang sama tentang hukum pertanahan baik dikalangan aparatur pertanahan, penegak hukum maupun masyarakat luas.
2. Tertib administrasi pertanahan, yaitu terselenggaranya system administrasi pertanahan yang lengkap dan rapi, semua bidang tanah diatur terdaftar, warkah-warkahnya mudah ditemukan apabila diperlukan, aman dan mudah dipantau, sehingga kemungkinan tumpang tindih kepemilikan dapat dihindari.
3. Tertib penggunaan tanah yaitu terselenggaranya proses penggunaan tanah berencana, sehingga setiap bidang tanah dapat memberikan manfaat yang optimal dan lestari serta diusahakan/digarap secara seimbang dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat secara proporsional.
4. Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, yaitu terselenggaranya system pemanfaatan tanah yang mmperhatikan dan melaksanakan upaya pencegahan kerusakan tanah, peningkatan kesuburan tanah serta menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan memperhatikan urian diatas maka untuk memberikan kepastian
obyek ( tanah ) sebagaimana sasaran yang ingin dicapai di bidang pertanahan dalam
upaya pelaksanaan Catur Tertib Pertanahan terutama tertib pertama dan kedua,
Pemerintah dengan segala kemampua berusaha membuat berbagai peraturn
perundangan untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut.
44
Adapun peraturan tersebut telah diwujudkan dalam UUPA dengan sgal
peraturn pelaksanaannya, adapun pemasalahan yang sering muncul dan terjadi
dibidang pertanahan diawali dengan hal yang sangat sederhana yaitu mengenai data
fisik tanahnya bagi kepemilikan tanah oleh pemilik tanah. Sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Sehingga terjadi sengketa batas tanah padahal demikian dapat diatasi dengan
pemasangan tanda batas atas sebidang tanah oleh masing-masing pemilik tanah
yang berbatasan, sehingga dengan demikian dapat dengan jelas memastikan obyek
(tanah) yang dikuasainya atau dimilikinya.
2. 3. 1 Bentuk Tanda Batas serta Tata Cara Pemasangannya
Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 20 sampai
dengan Pasal 23 tentang Penetapan dan Pemasangan Tanda Batas Bidang Tanah
telah ditetapkan sebagai berikut :
Pasal 20
(1) Dalam hal terjadi sengketa mengenai batas bidang-bidang tanah yang berbatasan, Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan/petugas pengukuran yang ditunjuk dalam pendaftaran tanah secara sporadik berusaha menyelesaikannya secara damai melalui musyawarah antara pemegang hak dan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, yang, apabila berhasil, penetapan batas yang dihasilkannya dituangkan dalam Risalah Penyelesaian Sengketa Batas (daftar isian 200).
(2) Apabila sampai saat akan dilakukannya penetapan batas dan pengukuran bidang tanah usaha penyelesaian secara damai melalui musyawarah tidak berhasil, maka ditetapkan batas sementara berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang tanah yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan kepada pihak yang merasa berkeberatan, diberitahukan secara tertulis untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.
45
(3) Hal dilakukannya penetapan dan pengukuran batas sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan di dalam daftar isian 201 dan dicatat di gambar ukur.
(4) Apabila sengketa yang bersangkutan diajukan ke pengadilan dan oleh pengadilan dikeluarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai tanah dimaksud yang dilengkapi Berita Acara Eksekusi atau apabila dicapai perdamaian antara para pihak sebelum jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 berakhir, maka catatan mengenai batas sementara pada daftar isian 201 dan gambar ukur dihapus dengan cara mencoret dengan tinta hitam.
(5) Mengenai bidang-bidang tanah yang menurut bukti-bukti penguasaan dapat didaftar melalui pengakuan hak sesuai ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 atau dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada perorangan atau badan hukum, penetapan batasnya dilakukan dengan mengecualikan bantaran sungai dan tanah yang direncanakan untuk jalan sesuai Rencana Detail Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.
(6) Dalam pendaftaran tanah secara sistematik tanah negara yang akan diberikan hak kepada perorangan atau badan hukum dan sudah diukur sebelum wilayah desa/kelurahan ditetapkan sebagai lokasi pendaftaran tanah secara sistematik akan tetapi belum dibuat surat ukurnya, ditetapkan kembali batasnya oleh Panitia Ajudikasi.
Pasal 21
(1) Tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah dan, apabila dianggap perlu oleh petugas yang melaksanakan pengukuran juga pada titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang tanah tersebut.
(2) Untuk sudut-sudut batas yang sudah jelas letaknya karena ditandai oleh benda-benda yang terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok atau tugu/patok penguat pagar kawat, tidak harus dipasang tanda batas.
Pasal 22
(1) Untuk bidang tanah yang luasnya kurang dari 10 ha, dipergunakan tanda-tanda batas sebagai berikut:a. pipa besi atau batang besi, panjang sekurang-kurangnya 100 cm dan bergaris
tengah sekurang-kurangnya 5 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang selebihnya 20 cm diberi tutup dan dicat merah, atau
b. pipa paralon yang diisi dengan beton (pasir campur kerikil dan semen) panjang sekurang-kurangnya 100 cm dan bergaris tengah sekurang-kurangnya 5 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang selebihnya 20 cm dicat merah, atau
c. kayu besi, bengkirai, jati dan kayu lainnya yang kuat dengan panjang sekurangkurangnya 100 cm lebar kayu sekurang-kurangnya 7,5 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang selebihnya 20 cm di permukaan tanah di cat merah, dengan ketentuan bahwa untuk di daerah
46
rawa panjangnya kayu tersebut sekurang-kurangnya 1,5 m dan lebar sekurang-kurangnya 10 cm, yang 1 m dimasukkan ke dalam tanah, sedang yang muncul di permukaan tanah dicat merah.Pada kira-kira 0,2 m dari ujung bawah terlebih dulu dipasang dua potong kayu sejenis dengan ukuran sekurang-kurangnya 0,05 x 0,05 x 0,70 m yang merupakan salib; atau
d. tugu dari batu bata atau batako yang dilapis dengan semen yang besarnya sekurang-kurangnya 0,20 m x 0,20 m dan tinggi sekurang-kurangnya 0,40 m, yang setengahnya dimasukkan ke dalam tanah, atau
e. tugu dari beton, batu kali atau granit dipahat sekurang- kurangnya sebesar 0,10 m persegi dan panjang 0,50 m, yang 0,40 m dimasukkan ke dalam tanah, dengan ketentuan bahwa apabila tanda batas itu terbuat dari beton di tengah-tengahnya dipasang paku atau besi.
(2) Untuk bidang tanah yang luasnya 10 ha atau lebih dipergunakan tanda-tanda batas sebagai berikut :a. pipa besi panjang sekurang-kurangnya 1,5 m bergaris tengah sekurang-
kurangnya 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, sedang kelebihnya diberi tutup besi dan dicat merah, atau
b. besi balok dengan panjang sekurang-kurangnya 1,5 m dan lebar kekurangkurangnya 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, pada bagian yang muncul di atas tanah dicat merah, atau
c. kayu besi, bengkirai, jati dan kayu lainnya yang kuat dengan panjang kekurangkurangnya 1,5 m lebar kayu sekurang-kurangnya 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, pada kira-kira 20 cm dari ujung bawah dipasang 2 potong kayu sejenis yang merupakan salib , dengan ukuran sekurang- kurangnya 0,05 x 0,05 x 0,7m;Pada bagian atas yang muncul di atas tanah dicat merah; atau d. tugu dari batu bata atau batako yang dilapis dengan semen atau beton yang besarnya sekurang-kurangnya 0,30 m x 0,30 m dari tinggi sekurang-kurangnya 0,60 m, dan berdiri di atas batu dasar yang dimasukkan ke dalam tanah sekurangkurangnya berukuran 0,70 x 0,70 x 0,40m, atau
e. pipa paralon yang diisi dengan beton dengan panjang sekurang-kurangnya 1,5 m dan diameter sekurang-kurangnya 10 cm, yang dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, dan yang muncul di atas tanah dicat merah.
(3) Penyimpangan dari bentuk dan ukuran tanda-tanda batas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyesuaikan dengan keadaan setempat ditentukan dengan keputusan Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 23
(1) Setiap bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya baik dalam pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik diberi Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB) yang dicantumkan dalam Risalah Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas (daftar isian 201 ).
(2) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 13 digit, yaitu 8 digit pertama merupakan kode propinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa
47
tempat bidang tanah terletak, dan 5 digit terakhir merupakan nomor bidang tanah.
(3) Nomor bidang tanah dalam pendaftaran tanah secara sistematik merupakan nomor urut per desa/kelurahan.
(4) Nomor bidang tanah dalam pendaftaran tanah secara sporadik merupakan nomor yang diberikan secara berurutan sesuai dengan urutan penyelesaian penetapan batas.
(5) Dalam hal bidang tanah terletak di lebih dari 1 (satu) desa, maka masing-masing bagian dari bidang tanah yang terletak di desa yang berbeda tersebut diberi NIB tersendiri.
(6) NIB merupakan nomor referensi yang digunakan dalam setiap tahap kegiatan pendaftaran tanah.
(7) Bidang tanah yang telah mempunyai NIB dibukukan dalam daftar tanah.
Sesuai dengan yang diterangkan pada pasal-pasal diatas sejauh mengenai
tanda batas yakni bentuk serta cara pemasangan tanda batas maka hal tersebut
sangatlah penting untuk diketahui oleh para pemilik hak atas tanah tentang
pengetahuan mengenai bahan, bentuk dan ukuran serta tata cara pemasangan tanda
batas tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kekuatan hukum terhadap
tanah yang dikuasainya, karena penyimpangan terhadap aturan yang telah
ditetapkan pada pasal-pasal tersebut akan berakibat hukum.
Penyimpangan dari penggunaan bahan, bentuk dan ukuran serta tata cara
pemasangannya hanya bias dilakukan apabila ada Keputusan Kepala Kantor
Pertanahan dimaksud, dengan demikian penggunaan bahan, bentuk dan ukuran
yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut diatas akan membawa akibat lemahnya
pembuktian apabila dikemudian hari terjadi sengketa terhadap batas-batas hak atas
tanah.
Pada kenyataan di lapangan dapat dilihat bahwa masyarakat dalam hal
penggunaan bahan, bentuk dan ukuran tanda batas tanah banyak diabaikan dan
bahkan pemasangan tanda batas/patok batas pun masih banyak yang tidak
48
melakukannya. Oleh karena itu perlu untuk dilakukan sosialisasi yang menyeluruh
mengenai bahan, bentuk dan ukuran serta tata cara pemasangan tanda batas ini oleh
Badan Pertanahan Nasional sehingga masyarakat dapat menyadari betapa
pentingnya pemasangan tanda batas/patok batas bagi setiap bidang tanah oleh
pemegang hak/pemilik tanah.
Selain dari pada itu bagi para pemegang hak atas tanah yang mengajukan
permohonan pengukuran tanah untuk mendapatkan sertipikat hak atas tanah ke
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, salah satu persyaratannya
adalah harus telah dipasangnya tanda batas tanah yang kemudian dituangkan dalam
Berita Acara Pemasangan Tanda Batas Tanah yang telah diketahui dan mendapat
persetujuan dari para tetangga yang berbatasan dan di ketahui oleh Kepala
Desa/Kelurahan setempat. Apabila persyaratan pemsangan tanda batas tersebut
belum dipenuhi oleh pemohon/pemilik tanah maka pengukuran atas bidang tanah
tersebut maka tidak dapat dilaksanakan sampai tanda batas tersebut telah terpasang
pada setiap sudut batas tanah.
Diikutsertakannya para pemilik tanah yang berbatasan dalam hal
persetujuan pemasangan tanda batas, adalah untuk menjaga agar tidak terjadi
sengketa batas atas tanah dikemudian hari. Dan bagi pemilik bidang tanah itu
sendiri akan dapat memperoleh suatu kepastian mengenai letak, luas dan batas
tanah yang sebenarnya setelah diadakannya pengukuran secara kadasteral oleh
petugas ukur Kantor Pertanahan setempat.
Selain dari persyaratan tersebut diatas apabila nantinya hasil pengukuran
oleh petugas ukur didapat hasil luas kurang dari yang dimohon, maka permohonan
49
tersebut wajib dilengkapi dengan surat pernyataan beda luas yang isinya bahwa
pemohon menerima hasil pengukuran tersebut. Dan sebaliknya apabila ternyata
hasil pengukuran didapat luas yang melebihi luas permohonan, maka pemohonan
melengkapi surat pernyataan kelebihan luas yang menyatakan bahwa terhadap
kelebihan luas hasil pengukuran tersebut telah mendapat persetujuan dari para
teangga yang berbatasan serta tidak keberatan atas permohonan tersebut untuk
diproses lebih lanjut dan tentunya diketahui oleh Kepala Desa/Kelurahan setempat.
Dengan demikian hal tersebut bertujuan agar tidak ada permasalahan dikemudian
hari mengenai batas tanah, mengingat pemasangan tanda batas tersebut telah
memenuhi ketentuan formalnya.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dengan adanya ketentuan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 pemohon berkewajiban melaksanakan pemasangan tanda batas atas
bidang tanah miliknya serta pemeliharaan atas tanda batas tersebut. Hal mana
disamping menunjang pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur, juga
untuk memudahkan pemegang hak atas tanah memperoleh tanda bukti hak beupa
sertipikat tanah.
2. 3. 2 Kewajiban Pemilik Tanah Memasang Tanda Batas sebagai Perlindungan
Atas Haknya
Karena kewajiban pemilik tanah untuk memasang tanda batas nantinya akan
berimplikasi pada kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanahnya, maka
disini peranan dari aturan-aturan hukum yang telah diberlakukan dalam masyarakat
menjadi sangatlah penting.
50
Menurut Soerjono Soekanto, bahwa ada lima faktor yang mempengauhi
berlakunya suatu hukum yaitu :
1. Faktor Hukumnya sendiri ( undang-undang );
2. Faktor Penegak Hukumnya;
3. Faktor Sarana/Fasilitas pendukung pelaksanaan hukum;
4. Masyarakat dimana hukum itu berlaku/ditetapkan;
5. Faktor Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa didasarkan
pada karsa pergaulan hidup.29
Dengan mengacu pada pendapat tersebut diatas terutama pada faktor 4 dan
5, dimana pada kenyataannya pemegang hak milik atas tanah adalah pemegang hak
milik yang bersifat heterogen. Dimana terdiri dari berbagai suku dan kebudayaan
yang berbeda-beda, yang tentunya dengan watak dan perilaku yang berbeda pula,
yang hal ini akan mempengaruhi penyerapan penerapan hukum yang berlaku.
Selanjutnya untuk berhasilnya penerapan suatu aturan hukum diperlukan
adanya kesadaran hukum serta kepatuhan terhadap hukum itu sendiri. Jadi
kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat
didalam diri manusia tentang hukum yang ada maupun tentang hukum yang
diharapkan akan ada.
Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman tentang indkator-indikator
mari masalah tersebut diatas. Adapun indicator-indikator dari masalah hukum
tersebut adalah :
a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (Law awareness)
b. Peraturan-peraturan tentang isi-isi peraturan hukum (Law acquaintance)
29 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, Hal 19.
51
c. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (Legal attitude)
d. Pola perilaku hukum (Legal behavior) 30
Hal yang disebut diatas ini belumlah cukup, melainkan juga masih diperlukan
adanya kepatuhan terhadap hukum itu sendiri.
Menurut Bierstedt dasar-dasar kepatuhan terhadap hukum adalah :
a. Indoctrination
b. Habituation
c. Utility
d. Group identification 31
Yang masing masing dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Indoctrination
Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah
adalah karena dia diberi indoktrinasi untuk berbuat demikian. Sejak kecil
manusia telah didik agar mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam
masyrakat, sebagaimana halnya dengan unsure-unsur kebudayaan lainnya, maka
kaedah-kaedah telah ada sewaktu seseorang dilahirkan, dan semula manusia
menerima secara tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia dididik untuk
mengenal mengetahui serta mematuhi kaedah-kaedah tersebut.
b. Habituation
Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama
kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-kaedah yang
berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaedah-
30 Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1986, hal 348.31 Ibid, hal 351.
52
kaedah tadi yang seolah-olah mengekang kebebasan, akan tetapi apabila hal ini
setiap hari ditemui maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk
mematuhinya terutama apabila manusia sudah mengulangi perbuatannya dengan
bentk dan cara yang sama.
c. Utility
Pada dasarnya manusia mempunyai suatu kecenderungan untuk hidup
pantas dan teratur, akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang
belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu
patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut. Patokan-patokan ini
merupakan pedoman atau tekanan tentang tingkah laku dan ini dinamakan
kaedah.
Dengan demikian maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat
pada kaedah-kaedah adalah karena kegunaan dari kaedah-kaedah tersebut.
Manusia menadari kalau ia hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan
kaedah-kaedah.
d. Group Identification
Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah-kaedah adalah
karena kepatuha tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan
identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang
berlaku dalam kelompoknya bukan karena ia menganggap kelompoknya lebih
dominan dari kelompok lainnya.
Berbicara maslah kesadaran hukum serta hubungannya dengan kepatuhan
hukum merupakan dua variable yang berkorelasi positif. Kenyataan yang sulit
53
untuk merumuskan suatu persepsi tentang kesadaran hukum menjadi kendala utama
pemahaman dan pelaksanaan hukum ditengah masyarakat. Pengertian kesadaran
hukum didalam kamus tercantum tidak kurang dari lima arti (menurut A Marriam-
Webster Dictionary, 1967:177), yaitu :
1. Awareness esp. of something within oneself, also, the state or fact of being conscious of an external object, state of fact.
2. The state of being characterized by sensation, emotion,volition, and thought, mind.
3. The totality of conscious statcs of an individual.4. The normal state of conscious life.5. The upper level of mental life as constrasted with unconscious process.
Jadi kesadaran sebenarnya menunjuk pada independensi mental dan
intermensi mental masing-masing berorientasi pada “aku”nya manusia dan pada
“kami”nya. 32
Sedangkan kepastian hukum menyangkut proses internalisasi
(internalization) dari hukum tersebut. Tentang artinya Pospisil menyatakan
(L.Pospisil, 1971:196)
“A law is internalizaed when the majority of the group considers it to be binding, as when it stands for the only proper behavior in a given situation. Ifsuch a law is broken, the culprit has a bad conscience or at last feels that he has done wrong that hr has behaved improperly, he would not condone such behavior in other member of the society. Conformity to such law is not usually effected by external pressure it is produced by an internal mechanism which we may call conscience in some culture and fear of shame in other”
Proses internalisasi dimulai pada saat seseorang dihadapkan pada pola
perilaku baru sebagaimana yang diharapkan oleh, pada situasi tertentu, awal dari
proses inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar, dimana terjadi
perubahan pada diri seseorang. Yang esensial pada proses ini adalah adanya
penguatan terhadap respon-respon yang diinginkanmelalui imbalan atau hilangnya
32 Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1986. Hal 342-343
54
respon-respon terdahulu karena tidak adanya penguatan atau mungkin oleh adanya
sanksi yang negative terhadap perilaku demikian. Jadi hanya respon-respon yang
dipelajari yang memperoleh imbangan secara berulang-ulang. Sedangkan respon-
respon yang kehilangan kekuatan penunjangnya lama kelamaan hilang.33
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan nilai-nilai yang pada khususnya
menyangkut bidang politik, ekonomi, social hukum dan lain sebagainya. Hukum
pada hakekatnya merupakan konkretisasi dari suatu system nilai-nilai, khususnya
hukum suatu masyarakat. Oleh karena itu maka dapatlah dikatakan bahwa
kesadaran hukum sebenarnya merupakan inti daripada system budaya suatu
masyarakat, sehingga ada yang berpendapat bahwa system budaya merupakan suatu
system normative kesadaran hukum itulah yang menimbulkan berbagai system nor-
ma-norma, oleh karena itu kesadaran hukum adalah hasrat yang kuat untuk
senantiasa hidup secara teratur.
Tanggal 24 Septeber 1960 merupakan tanggal yang sangat penting dalam
kehidupanhukum di Indonesia. Pada tanggal tersebut telah diundangkan dan mulai
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, lebih terkenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria atau
disingkat dengan UUPA.
Undang-undang yang meletakkan dasar-dasar pokok dari pada hukum
Agraria Nasional yang baru ini memeuat ketentuan-ketentuan baru yang penting
sekali. Isi dari pada UUPA tersebut patut diketahui oleh setiap orang yang berada di
negeri ini. Bukan saja para sarjana hukum, setiap pelaksana hukum, setiap pejabat
pemerintahan, bahkan rakyat jelata dalam kehidupan sehari-hari akan berhadapan
33 Ibid hal 353-354
55
dengan peraturan baru tentang hukum agrarian ini. Mengingat bahwa Negara
Republik Indonesia merupakan suatu Negara agraris, dimana suasana kehidupan
rakyat terbanyak(tak kurang dari 70% menurut perkiraan) termasuk
perekonomiannya terutama masih bercorak agraris, maka apa yang dikatakan disini
tidak berlebih-lebihan. 34
Sebagai anggota masyarakat dan warga Negara yang baik sudah seharusnya
berkewajban memenuhi segala peraturan perundangan yang berlaku, agar peraturan
perundangan itu dapat terlaksana. Dengan demikian hak dari pemegang hak milik
atas tanah itu dapat terjamin kepastian hukumnya.
Penempatan tanda batas oleh setiap pemilik hak atas tanah tidak hanya
berlaku baik bagi pemegang hak yang belum terdaftar, tetapi juga berlaku bagi hak-
hak yang telah didaftarkan namun belum ada gambar situasinya/gambar ukurnya
yang sudah tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya seperti tanda batas tidak
dipasang sehingga batas-batas tanah menjadi tidak jelas. Oleh karena itu Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah menetapkan agr setiaap pemegang hak atas
tanah wajib menempatkan atau memasang tanda-tanda batas dan memeliharanya.
Hal ini dimaksudkan agar apabila terjadi sengketa hak maka petugas ukur
dilapangan dapat dengan mudah memperoleh data fisik yang diperlukan untuk
pendaftaran hak tersebut atau dalam rangka pengembalianbatas tanah, dengan
demikian maka posisi letak tanah atau bidang tanah dimaksud dapat diketahui.
Dalam menetapkan batas bidang tanah dilakukan berdasarkan atas
kesepakatan para pemegang hak yang berbaasan oleh karena itu pada saat
34 Gouw Giok Siong dan Soekahar-Badwi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria.PT Kinta, Jakarta, 1963, hal 5.
56
pengukuran dilapangan para pihak yang berbatasan harus turut hadir sehingga
semua dapat mengetahui batas-batas tanahnya.
Mengingat pentingnya penempatan tanda batas maka apabila ada pihak yang
tidak dapat hadir pada saat pengukuran maka dia harus menguasakan kepada
seseorang yang mengerti batasnya dengan kuasa tertulis, sebab pada akhirnya para
pihak yang berbatasan tersebut akan menandatangani Berita Acara Penetapan Batas.
Di dalam Pasal 17 ayat (3) Pemeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
menetapkan bahwa penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib
dilakukan oleh pemegang hak yang bersangkutan.35
Dengan merujuk pada pasal ini maka jelaslah bahwa setiap orang yang
mempunyai hak atas tanah diwajibkan menempatkan dan memelihara tanda-tanda
batas atas tanahnya, hal ini dapat dimaklumi karena tanda batas berfungsi antara
lain untuk mencegah terjadinya perselisihan dikemudian hari, menentukan luas hak
atas tanah, penunjuk letak posisi tanah, menunjuk bentuk sutasi tanah.
Pelaksanaan penempatan tanda batas dipasang pada setiap sudut batas
bidang tanah dan apabila dianggap perlu oleh petugas yang melakukan pengukuran
tanah dapat juga memasang tanda batas pada titik-titik tertentu sepanjang garis
batas bidang tanah tersebut, terutama kalau garis batas/bentuk tanahnya berkelok-
kelok, untuk sudut batas yang dirasa sudah jelas letaknya karena berdiri benda-
benda yang terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok atau
tugu/patok penguat, pagar kawat dan sebagainya tidak perlu dipasang tanda batas,
karena benda-benda tersebut yang oleh peraturan perundangan dianggap sebagai
tanda batas yang sah.
35 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Tentang Pendaftaran Tanah, Jayatama, 1997, hal 4
57
2. 3. 3 Akibat Hukum Yang Timbul Atas Tidak Dipenuhinya Kewajiban Memasang
Tanda Batas
Pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah maupun yang dlaksanakan
oleh masyarakat membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan akan tanah, yang
akhirnya kebutuhan akan tanah semakin sempit dan terbatas. Oleh karena semakin
terbatasnya tanah, maka harga tanah pun semakin meningkat dengan kata lain tanah
mempunyai nilai ekonomis dan strategis. Hal demikian itu dapatlah dipahami bukan
hanya terjadi dikota-kota besar saja tetapi juga sampai ke desa-desa, oleh karena itu
ada sementara orang yang berpendapat bahwa memiliki tanah sama dengan
investasi untuk masa yang akan datang.
Dengan demikian tanah mempunyai nilai ekonomis dan strategis bagi
kehidupan masyarakat akan tetapi dalam kenyataannya belum semua masyarakat
menyadari betapa pentingnya merawat dan memelihara tanah-tanah yang
dimilikinya, hal ini terbukti adanya peningkatan permasalahan tentang batas tanah
dilapangan. Dan kelalaian dalam memasang tanda batas akan mengakibatkan
terjadinya sengketa batas antara pemegang hak atas tanah dengan pemegang hk ats
tanah lain yang berbatasan sebagi akibat tidak adanya batas yang jelas dan benar.
Hal ini akan memakan waktu dan biaya bagi pemegang hak apabila akan
mengembalikan batas hak dikemudian hari sebagai akibat tidak adanya batas yang
jelas dan benar. Dan untuk menata kembali tanda-tanda batas guna menyelesaikan
masalah-masalah tersebut diatas tidaklah dapat dilakukan sendiri oleh pemegang
hak, tetapi harus melalui proses mengajukan permohonan pengembalian batas ke
Kantor Pertanahan setempat dan untuk proses pengembalian batas tanah tersebut
58
melalui tahapan pekerjaan yang memakan waktu dan tentunya biaya, sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997.
Penetapan batas-batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak
yang belum terdaftar atau sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar
situasinya atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan
yang sebenarnya dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara
sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
sporadic, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah
berbatasan.36
Tetapi apabila pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak menyetujui
tanda batas dimaksud karena ternyata luas tanahnya tidak sesuai lagi dengan bukti
hak yang ada padanya, maka pengukuran untuk mengembalikan tanda batas
tersebut menjadi semakin rumint, karena para pihak harus menyelesaikan melalui
gugatan ke Pengadilan Negeri dan ini akan memakan waktu yang lama dan juga
biaya. Memerlukan waktu yang lama karena harus menunggu keputusan dari
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum, selain itu keputusan
Pengadilan tersebut akan membawa konsekuensi di bidang administrasi
pertanahan, sebab baik sertipikat, surat ukur maupun buku tanah yang ada di
Kantor Pertanahan harus disesuaikan dengan keputusan dari pengadilan.
Selain akibat hokum tersebut diatas masih ada lagi akibat hokum yang dirasa
fatal, yaitu apabila pihak yang mengabaikan pemasangan tanda batas hak atas
36 Ibid, hal 11
59
tanah setelah 5 tahun sejak dikeluarkannya sertipikat kepada para pemegang hak
yang berbatasan baru timbl sengketa tentang batas-batas tanah, maka kedudukan
hak yang tidak mempunyai tanda batas akan menjadi lemah dalam hal
pembuktian maupun dalam gugatan, hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 32 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa :
Dalam hak atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah
atas nama orang atau badan hokum yang memperoleh tanah tersebut denupun
tgan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyi hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat hak itu tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala
Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke
pengadilan mengenai penguasan tanah atau penerbitan sertipikat.37
Dari ketentuan tersebut maka seseorang yang tidak memasang tanda batas
dan tidak memeliharanya akan membawa akibat hokum lemahnya kedudukan
pemegang hak dihadapan hokum atau dalam hal pembuktian di Pengadilan.
37 Ibid, hal 20.
60
Recommended