View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan konsep dan kajian – kajian literatur yang berkaitan
dengan penelitian. Penelitian akan memaparkan teori-teori yang terkait seperti
Manajemen Keperawatan, Preceptorship, orientasi, proses adaptasi dan
kepuasan, perawat baru, pelatihan dan karakteristik perawat serta terkait pasien
safety. Pada akhir bab dua digambarkan kerangka teori yang melandasi
penelitian.
2.1 Konsep Manajemen Keperawatan
Manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber
daya secara efisien, efektif, dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan sebelumnya (Kuntoro, 2010). Manajemen juga secara
singkat diartikan sebagai proses untuk melaksanakan pekerjaan melalui
upaya orang lain (Nursalam, 2015), Manajemen keperawatan adalah proses
pelaksanaan pelayanan keperawatan melalui upaya staf keperawatan untuk
memberikan asuhan keperawatan, pengobatan dan rasa aman kepada
sekelompok pasien. Manajemen keperawatan merupakan suatu proses yang
dilaksanakan sesuai dengan pendekatan sistem terbuka. Oleh karena itu,
manajemen keperawatan terdiri atas beberapa komponen yang tiap-tiap
komponen saling berinteraksi. Pada umumnya suatu sistem dicirikan oleh
lima (5) elemen, yaitu input, proses, output, kontrol dan mekanisme umpan
balik.
Proses manajemen keperawatan dalam aplikasi di lapangan berada sejajar
dengan proses keperawatan sehingga keberadaan manajemen keperawatan
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan proses
keperawatan. Tujuan dalam proses manajemen adalah pelayanan yang
efektif dan ekonomis pada sekelompok pasien dan pengembangan anggota
staf. Proses manajemen terdiri dari pengumpulan data, perencanaan,
13
pengorganisasian, staffing, pengarahan, dan pengawasan sedangkan proses
keperawatan terdiri dari pengumpulan data, diagnosa, perencanaan,
implementasi dan evaluasi.
2.1.1 Fungsi Manajemen Keperawatan
Manajemen yang terdiri dari fungsi-fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian,
Menurut Marquis dan Houston (2012), fungsi manajemen terdiri
dari:
2.1.1.1. Fungsi Perencanaan
Perencanaan memiliki tujuan yang spesifik dan merupakan
salah satu pendekatan untuk mengembangkan strategi.
Perencanaan diartikan sebagai aktivitas spesifik yang
dilakukan untuk membantu mencapai tujuan organisasi.
Secara umum, perencanaan dibagi menjadi empat tipe:
reaktif, inaktivism, preaktivism, dan interaktif/ proaktif
(Marquis & Huston, 2012). Perencanaan reaktif dilakukan
setelah masalah terjadi. Pada perencanaan reaktif ini upaya
yang dilakukan adalah memberi arah pada organisasi untuk
terus mengembangkan diri tanpa melihat ke belakang. Hal
ini dilakukan jika terdapat ketidakpuasan dengan kondisi
yang terjadi saat ini. Seringnya, kesepakatan yang diambil
pada tahap ini hanya dengan sebagian anggota organisasi,
tidak dengan organisasi secara keseluruhan. Pada tipe
perencanaan ini yang sering terjadi adalah kesalahan dan
pengambilan keputusan yang terburu-buru, mengingat
perencanaan ini dilakukan jika terjadi krisis dalam
organisasi (Marquis & Huston, 2012).
2.1.1.2. Perencanaan inaktism merupakan tipe perencanaan
konvensional. Inaktism mencari status quo dan menyimpan
14
kemampuannya untuk mencegah terjadinya perubahan dan
menjaga kesesuaian. Ketika perubahan terjadi, maka
perubahan ini akan terjadi sangat lambat dan bertahap
(Marquis & Huston, 2012). Perencanaan preaktism
merupakan tipe perencanaan ketiga. Perencana preaktivsm
menggunakan teknologi untuk mempercepat perubahan dan
berorientasi pada masa depan. Karena ketidakpuasan
dengan masa lalu dan sekarang, preaktism tidak
menggunakan pengalaman nilai dan keyakinan yang
kedepannya selalu berubah (Marquis & Huston, 2012).
Tipe perencanaan terakhir adalah perencanaan interaktif
atau proaktif. Perencana yang menggunakan tipe ini sebagai
pertimbangan masa lalu, masa kini dan masa yang akan
datang. Perencanaan ini menetapkan rencana kedepan
daripada hanya reaktif terhadap masalah yang terjadi.
Karena pengaturan organisasi itu sering terjadi, penyesuaian
diri merupakan kunci pada perencanaan proaktif. Setelah
perencanaan proaktif dilakukan, antisipasi kebutuhan
perubahan dan pertumbuhan organisasi harus dipenuhi
sebaik memenuhi kebutuhan personal manajer. (Marquis &
Huston, 2012).
2.1.1.3. Fungsi Pengorganisasian
Pengorganisasian dilakukan setelah fungsi perencanaan.
Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas-aktivitas
untuk tujuan mencapai objektif, penugasan suatu kelompok
manajer dengan autoritas pengawasan setiap kelompok, dan
menentukan cara dari pengorganisasian aktivitas yang tepat
dengan unit lain, baik secara vertikal maupun horisontal.
Fungsi ini melihat bagaimana struktur organisasi
15
memfasilitasi atau menghambat komunikasi, fleksibilitas
dan kepuasan kerja.
2.1.1.4. Fungsi Pengaturan Staf
Fungsi pengaturan staf meliputi kegiatan manajemen untuk
merekrut, memilih, memberikan orientasi, dan
meningkatkan perkembangan individu untuk mencapai
tujuan organisasi. Dalam mewujudkan keselamatan
perawat, kegiatan yang dilakukan dapat berupa perubahan
jam praktik perawat, pergantian shift, seleksi dan
mempertahankan perawat yang mempunyai pengetahuan
yang baik tentang keselamatan perawat (Marquis & Huston,
2012; RNAO, 2006). Canadian Nurses Association (CNA)
dan RNAO pada 2010 mengeluarkan rekomendasi tentang
kebijakan penjadwalan kerja perawat. Kebijakan tersebut
antara lain: jumlah jam kerja tiap shift tidak lebih dari 12
jam dalam 24 jam, rotasi shift minimal 2 minggu untuk
menjaga kestabilan irama sirkadian, meminimalkan on call,
dan tidak melakukan interupsi pekerjaan saat perawat
menggunakan jam istirahatnya.
2.1.1.5. Fungsi Pengarahan
Pengarahan dilakukan dengan memberikan motivasi,
mengatasi konflik, mengkomunikasikan dan memfasilitasi
kolaborasi. Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan
stressor kerja perawat. Perawat yang bekerja dibawah
stresor akan mengurangi produktivitas, menaikkan jumlah
hari ijin kerja dan meningkatkan angka turnover (Marquis
& Huston, 2012; Palumbo, McLaughlin, McIntosh, &
Rambur, 2011; RNAO, 2006).
2.1.1.6. Fungsi Pengendalian, Pengendalian merupakan suatu proses
pemantauan prestasi dan pengambilan tindakan untuk
menjamin hasil yang diharapkan. Pada proses ini
16
manajemen memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan
baik dan sesuai dengan waktu yang ditetapkan (Marquis &
Huston, 2012). Kegiatan dalam fungsi pengendalian
meliputi penilaian kinerja, tanggung gugat fiskal,
pengawasan mutu, pengawasan hukum dan etika, dan
pengawasan hubungan profesional dan kolegial (Marquis &
Huston, 2012).
2.1.2 Manajemen SDM Keperawatan
Salah satu fungsi manajemen yang terpenting yang harus
dilaksanakan oleh seorang manajer adalah pengelolaan ketenagaan.
Manfaat memandang individu sebagai sumber yang dapat
dikembangkan dirasakan sangat penting untuk memenuhi tantangan
yang dihadapi di lingkungan keperawatan kesehatan yang terus
berkembang pesat (Cameron & Snyders, 1999, dalam Marquis &
Huston, 2010).
Ketenagaan (staffing) adalah fase ketiga proses manajemen. Pada
fungsi ketenagaan, manajer merekrut, memilih, memberikan
orientasi, dan meningkatkan perkembangan individu untuk mencapai
tujuan organisasi. Fungsi ini penting dalam proses manajemen di
organisasi keperawatan dan kesehatan. Selain itu, tenaga kerja yang
besar terdiri atas para profesional yang sangat terampil dan
kompeten perlu dikelola dengan baik dan tepat.
2.1.2.1 Perekrutan
Perekrutan adalah proses mencari atau menarik pelamar
secara aktif untuk mengisi posisi yang tersedia. Meskipun
pada waktu tertentu organisasi mungkin memiliki suplai RN
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, data yang ada
menunjang gagasan bahwa perekrutan adalah proses yang
berkelanjutan. Nevidjon dan Erikson (2001) dalam Marqius
17
dan Huston, (2010) menyatakan bahwa retensi perawat
dimulai dengan seberapa besar organisasi menghargai staf
atau tidak.
Pekerjaan harus diselesaikan oleh kelompok dalam
organisasi yang kompleks, oleh karena itu, manajer yang
baik mencoba membuka diri mereka di antaraorang yang
mempunyai kemampuan, motivasi dan menjanjikan.
Pegawai yang sempurna merefleksikan manajernya dengan
baik karena mereka mencegah stagnansi dan meningkatkan
produktivitas dalam organisasi tersebut. Peran
kepemimpinan dalam ketenagaan mencakup
mengidentifikasi, merekrut, dan mempekerjakan orang yang
berbakat (Marquis dan Huston, 2010)
2.1.2.2 Wawancara
Wawancara adalah interaksi verbal antara individu untuk
tujuan tertentu. Maksud dan tujuan wawancara seleksi ada
tiga, antara lain: (1) pewawancara mencoba mencari
informasi yang cukup untuk menentukan kesesuaian
pelamar untuk posisi yang tersedia; (2) pelamar
mendapatkan informasi yang memadai untuk mengambil
keputusan yang cerdas apakah akan menerima pekerjaan
tersebut apabila ditawarkan; dan (3) pewawancara mencoba
melakukan wawancara dengan cara sedemikian rupa
sehingga, tanpa memandang hasil wawancara, pelamar akan
terus menghargai dan mempunyai maksud baik terhadap
organisasi (Marquis dan Huston, 2010).
2.1.2.3 Seleksi
Seleksi adalah proses pemilihan individu yang memiliki
kualitas terbaik atau individu untuk pekerjaan atau posisi
18
tertentu dari banyak pelamar. Proses seleksi terdiri atas
memastikan kualifikasi para pelamar, meneliti mengenai
riwayat kerjanya, dan memilih apakah ada kecocokan antara
kualifikasi pelamar dengan ekspektasi organisasi(Marquis
dan Huston, 2010)
Keragaman pegawai sebaiknya juga dipertimbangkan dalam
mengambil keputusan seleksi. Memiliki staf yang berbeda
jenis kelamin, usia, budaya, etnisitas, dan bahasa
bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan populasi klien yang
semakin beragam. Selain itu, memiliki staf yang beragam
meningkatkan moral dan produktifitas kelompok minoritas
dalam organisasi dan memperkaya keseluruhan organisasi,
membawa perspektif baru dalam pemikiran dan pemecahan
masalah yang berlangsung sehari-hari serta menawarkan
solusi yang lebih kompleks dan kreatif (Tappen, 2001).
2.1.2.4 Penempatan
Pimpinan yang cerdas mampu menempatkan pegawai baru
di posisi tempat pegawai tersebut memiliki kesempatan
untuk berhasil dalam lingkup kewenangannya. Seseorang
mungkin dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan
kelompok yang telah berdiri tersebut, tetapi seseorang
dengan kualifikasi yang sama mungkin juga tidak akan
pernah menjadi bagian dari hal tersebut (Marquis dan
Huston, 2010).
Seringkali pendatang baru merasa gagal karena penempatan
yang tidak tepat dalam organisasi. Penempatan yang tepat
sama pentingnya untuk fungsi organisasi dan keberhasilan
pegawai baru. Penempatan yang salah dapat menyebabkan
menurunnya efisiensi organisasi, meningkatnya reduksi,
19
ancaman terhadap keutuhan organisasi, dan frustrasi pribadi
serta ambisi profesional. Sebaliknya, penempatan yang
benar meningkatkan pertumbuhan pribadi, memberikan
iklim motivasi bagi pegawai, memaksimalkan produktifitas,
dan meningkatkan kemungkinan terpenuhinya tujuan
organisasi (Marquis dan Huston, 2010).
2.1.2.5 Pemberian Ajaran secara Mendalam (Indoctrination)
Indoktrinasi, sebagai fungsi manajemen, merujuk pada
penyesuaian pegawai yang terencana dan terbimbing
terhadap organisasi dan lingkungan kerja. Proses
indoktrinasi mencakup tiga fase yang berbeda: induksi,
orientasi, dan sosialisasi (Marquis dan Huston, 2010).
Indoktrinasi menunjukkan pendekatan yang lebih luas
terhadap proses penyesuaian pegawai daripada induksi atau
orientasi. Indoktrinasi mencoba untuk (1) membentuk sikap
pegawai yang baik terhadap organisasi, unit, dan bagian, (2)
menyediakan informasi dan pendidikan yang dibutuhkan
agar berhasil dalam posisi tersebut, (3) memasukkan
perasaan memiliki dan menerima.
Program indoktrinasi yang efektif menghasilkan
produktifitas yang lebih tinggi, pelanggaran peraturan yang
lebih sedikit, pengurangan yang lebih sedikit, dan kepuasan
pegawai yang lebih besar (Marquis dan Huston, 2010).
a. Induksi
Induksi, fase pertama pada indoktrinasi, berlangsung
setelah pegawai terpilih, tetapi sebelum melakukan
peran kerja. Proses induksi meliputi semua kegiatan
20
yang mendidik pegawai baru tentang organisasi dan
pekerjaan serta kebijakan dan prosedur personal.
Aktivitas induksi sering dilakukan selama fungsi
kepersonaliaan penempatan dan prakerja atau dapat
dimasukkan pada kegiatan orientasi. Namun, induksi
dan orientasi seringkali merupakan kegiatan yang
terpisah, dan pegawai baru mengalami kesulitan jika
materi salah satu program tersebut dihilangkan. Faktor
yang paling penting adalah memberikan informasi yang
memadai bagi pegawai tersebut.
Buku saku pegawai, bagian penting suatu induksi,
biasanya disusun oleh departemen personalia. Manajer
harus mengetahui apa isi buku tersebut dan sebaiknya
memberikan masukan pada perkembangannya. Karena
pegawai tidak dapat menyerap semua informasi induksi
sehingga mereka perlu acuan nantinya.
Aktivitas induksi diberikan karena dua alasan. Pertama,
tujuan induksi adalah membekali pendatang baru
dengan informasi yang memungkinkan dia merasa
kerasan di lembaga tersebut dan mengenali tujuan serta
programnya. Kedua, setelah ia mulai bekerja di unit
tempat ia ditugaskan, pegawai baru tersebut akan
memperoleh informasi yang cukup mengenai kondisi
kerja dan kebijaksanaan personil dari rekan kerjanya.
Biasanya aktivitas induksi dilakukan selama dua atau
tiga hari pertama (Marquis dan Huston, 2010).
b. Orientasi
Orientasi adalah proses penyesuaian bagi pekerja baru
dengan lingkungan pekerjaan sehingga dia dapat
21
berhubungan cepat dengan lingkungan sekitarnya yang
baru. Maksud orientasi adalah membuat pegawai baru
merasa diinginkan dan diperlukan oleh rekan sekerja
serta atasan juga untuk meyakinkan dia bahwa
kehadirannya dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita
organisasi.
Setelah kegiatan induksi selesai, pegawai sebaiknya
diorientasikan kepada pekerjaan khusus yang mana
karena itu ia diangkat. Ada perbedaan yang sangat
tajam diantara organisasi keperawatan berkenaan
dengan lama, bentuk dan isi program orientasi untuk
personil perawatan pasien. dalam banyak lembaga,
orientasi dua-minggu diberikan kepada personil
keperawatan yang ditugaskan di ruang operasi atau unit
rawat intensif. Didalam beberapa unit kerja program
orientasi tiga-bulan diberikan kepada semua perawat
yang baru lulus untuk menekan “kekagetan realitas”
selama masa transisi dari status siswa ke status
pegawai. Beberapa lembaga memberikan program
orientasi atau masa belajar suatu keahlian selama enam
bulan atau dua belas bulan.
Bentuk program orientasi bisa sentralisasi atau
desentralisasi, standardisasi atau individualisasi. Isi dari
program orientasi didalam unit keperawatan, seksi, atau
divisi sebaiknya dipilih oleh perawat yang praktek di
dalam keahlian tersebut. Tujuan keseluruhan dari
induksi dan orientasi meliputi membantu pegawai
dengan menyediakan informasi yang memperlancar
transisi mereka ke lingkungan kerja yang baru. Tujuan
proses orientasi adalah membuat pegawai merasa
22
bagian dari tim. Hal ini akan mengurangi gesekan dan
membantu pegawai baru menjadi mandiri dalam peran
baru mereka lebih cepat (Marquis & Huston, 2010).
Swanburg (2000) tujuan utama orientasi adalah
membantu perawat dalam menyesuaikan diri pada
situasi baru. Menyiapkan suatu program indoktrinasi
yang memenuhi kebutuhan pegawai dan organisasi
merupakan tanggung jawab bersama departemen
personalia, departemen pengembangan staf, dan setiap
unit layanan keperawatan. Manajer unit harus
memainkan peran penting dalam orientasi pegawai
baru. Program orientasi yang memadai meminimalkan
kecenderungan pelanggaran peraturan, keluhan, dan
kesalahpahaman; menumbuhkan perasaan memiliki dan
menerima; dan meningkatkan antusiasme dan moral.
2.2 Preceptorship
Preceptorship adalah masa transisi pendekatan proses belajar mengajar
dalam praktik klinik untuk memfasilitasi hubungan antara preceptor dan
preceptee. Tujuannya untuk menumbuhkan sikap berpikir kritis dalam
pengembangan profesional, di mana prosesnya preceptee akan didampingi
oleh preceptor di tempat kerjanya dalam kurun waktu tertentu.
Preceptorship secara konsisten dan terstruktur memaksimalkan manfaat dari
pendidikkan keperawatan klinis dalam hal pengetahuan, keterampilan,
kepercayaan diri, nilai-nilai dan perilaku untuk mengembangkan profesional
secara otonom yang terus berkelanjutan (Happell, 2009; Health department
of UK, 2010; Asirifi, Mill, Myrick & Richardson, 2013).
Menurut NMC (Nurse Midwifery Council di UK 2009) mendefinisikan
preceptorship sebagai suatu periode (preceptorship) untuk membimbing dan
mendorong semua praktisi kesehatan baru yang memenuhi persyaratan
23
untuk melewati masa transisi bagi perawat untuk mengembangkan
kemampuannya sesuai dengan bidang yang diamanatkannya.
Preseptor adalah seseorang yang telah memiliki pengalaman pada
pelayanan kesehatan, bekerja bersama perawat pada seting klinik, berperan
sebagai pendidik klinis sekaligus sebagai seorang perawat profesional.
Preseptor bertugas untuk membimbing perawat baru untuk belajar
menerapkan teori dan pengetahuan yang dimiliki (Mingpun, Srisa-ard &
Jumpamool. 2015). Preseptor keperawatan merupakan kunci proses
pelaksanaan pembelajaran klinis. Preseptor menentukan keberhasilan
pencapaian kompetensi perawat baru dan profil perawat mendatang.
Preseptor harus dapat menjadi teladan dalam pelaksanaan evidence base
practice (Reghuram & Caroline, 2010).
Preseptor diartikan sebagai praktisi keperawatan teregisterasi yang secara
formal memiliki tanggungjawab untuk memberikan dukungan kepada
perawat baru dengan pendekatan proses preseptorship (Minnesota
Department of Health, 2010). Preseptor merupakan seorang dosen yang
ditempatkan di tatanan klinik atau perawat senior yang bekerja di tatanan
layanan dan ditetapkan sebagai preseptor. (AIPNI, 2016).
Pada beberapa lembaga sebuah sistem preceptor dipakai untuk penyesuaian
pegawai baru terhadap tanggung jawab pekerjaannya. Staf perawat yang
baru diangkat dipasangkan dengan staf perawat yang berpengalaman di
dalam unit yang sama. Kedua perawat tersebut dijadwalkan untuk jam kerja
yang sama dan ditugaskan untuk merawat pasien yang sama. Perawat yang
lebih berpengalaman bertanggung jawab atas bukti penguasaan setiap
keahlian keperawatan perawat baru yang sedang dibimbingnya. Pemakaian
sistem preceptor selama orientasi adalah berdasarkan pada prinsip
pendidikan orang dewasa bahwa sebuah model peran membentuk perilaku
seseorang yang sedang belajar.(Blais et al, 2007).
24
Preceptor adalah seorang perawat level pertama yang qualified dan
berpengalaman yang bersedia bekerja dalam kemitraan dengan seorang
perawat baru dalam rangka mendampingi dan mendukung perawat baru.
Preceptee adalah seorang perawat praktisi baru yang bertanggung jawab dan
bertanggung gugat dan qualified. Preceptorship biasanya ditunjuk untuk
perawat yang baru dalam unit keperawatan guna membantu mereka
meningkatkan keterampilan keperawatan yang diperlukan agar dapat
melakukan praktik yang efektif dalam lingkungan kerja mereka. Mereka
juga membantu perawat baru mempelajari rutinitas, kebijakan, dan prosedur
diunit tersebut. Preceptorship harus sabar dan mau mengajar perawat baru,
dan mereka harus bersedia menjawab pertanyaan–pertanyaan dan
mengklarifikasi harapan peran perawat dalam lingkungan praktik. (Beverley
A. Janes 1996, Chanell Watkins 2013)
Pengalaman preceptorship cenderung dalam periode singkat ( 1 – 12 bulan).
Lama waktunya tergantung ciri-ciri dari pada peserta program, kebutuhan
sekelompok pasien, dan juga jenis setting dari tempat kerja (CNA, 2004).
Menurut Beecroft, Dorey, dan Wentern (2008) bahwa program
pembimbingan ini berlangsung selama 22 minggu.
Preseptor merupakan seorang ahli atau berpengalaman dalam memberikan
pelatihan dan pengalaman praktik kepada peserta didik. Preseptor biasanya
seorang perawat praktisi yang bekerja dan berpengalaman disuatu area
keperawatan tertentu yang mampu mengajarkan, memberikan konseling,
menginspirasi, serta bersikap dan bertindak sebagai “model peran”.
Preseptor mendukung pertumbuhan dan perkembangan individu pemula
dalam periode tereantu dengan tujuan tertentu mensosialisasikan pemula
kedalam peran baru sebagai profesional (Kurikulum AIPNI, 2016).
Seorang preceptor seharusnya berpendidikan lebih tinggi dari peserta didik
(PP no. 19/2005, pasal 36 ayat 1), pendidikan preceptor minimal merupakan
seorang ners tercatat (STR)/ memiliki lisensi Surat Ijin Kerja Perawat
(SIKP) sesuai dengan PERMENKES RI No 17 tahun 2017. Preseptor harus
25
memiliki sertifikat kompetensi sesuai keahlian dibidangnya (PP no 19/2005
tentang standar nasional pendidikan, pasal 31 ayat 3 dan pasal 36 ayat 1).
Preseptor biasanya telah berpengalaman minimal 2 tahun berturut-turut
ditempatnya bekerja, sehingga preseptor dapat membimbing peserta didik
dengan baik.
2.2.1. Tujuan dari preceptorship dapat dikategorikan menjadi 2
2.2.1.1. Secara Mikro : Preceptorship secara mikro bertujuan
membantu proses transisi dari pembelajaran ke praktisioner;
mengurangi dampak sebagai “syok realita” dan
memfasilitasi individu untuk. berkembang dari apa yang
dihadapi dari lingkungan barunya.
2.2.1.2. Secara Makro : Preceptorship secara mikro bertujuan untuk
melibatkan pengembangan perawat di dalam berorganisasi.
Preceptorship digunakan sebagai sosialiasi dan orientasi,
sehingga diskusi anatara preceptors dan preceptee
diperlukan untuk memberikan pandangan dan harapan
preceptee akan memiliki kemampuan yang sama dengan
preceptorsnya
2.2.2. Elemen-elemen dalam Preceptorship
Preceptor adalah profesional kesehatan yang diberi tanggung jawab
formal untuk mendukung perawat baru melalui program
preceptorship. Preceptor merupakan narasumber, fasilitator, pendidik,
konsultan dan role model dalam praktek klinis. Preceptor bertugas
mendampingi mahasiswa perawat ataupun perawat baru lulus dalam
lingkungan pekerjaan baru mereka, sehingga perawat baru dapat
beradaptasi dengan mudah di tempat kerjanya (Turner, 2007; Health
Department of UK, 2010; Rodrigues, Carla, Witt & Regina 2013).
26
Preceptee dalam preceptorship memiliki kesempatan untuk
menerapkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai yang sudah dipelajari. Mengembangkan kompetensi
spesifik yang berhubungan dengan peran preceptee. Dukungan
pembelajaran menanamkan nilai-nilai dan harapan dari profesi
misalnya kepemimpinan, manajemen dan bekerja secara efektif dalam
tim multidisiplin. Kesempatan untuk mengevaluasi hasil kerja dan
bimbingan, menerima umpan balik yang konstruktif dan diskusi
bersama (Chapman; Health department of UK, 2010, 2013).
2.2.3. Benefit Preceptorship
Manfaat dari pelaksanaan preceptorship bagi para pemangku
kepentingan yang berkontribusi terhadap pengalaman pasien secara
keseluruhan (Health department of UK, 2010). Salah satu keuntungan
dari preceptorship adalah dapat menjalin hubungan yag baik antara
preceptor dan preceptee. Penelitian Zilembo & Monterosso (2008)
menyatakan bahwa hubungan antara preceptor dan preceptee sangat
penting dalam membentuk pengalaman perawat baru pada daerah
klinis dan dunia kerja dalam dunia keperawatan.
Manfaat penerapan preceptorship dari perspektif para pemangku
kepentingan kunci yang berbeda bagi pemangku kepentingan maupun
bagi pelaku preceptorship itu sendiri di antaranya bagi preceptee
keuntungan yang didapatkan yaitu preceptee dapat mengembangkan
rasa percaya diri, dapat bersosialisasi secara profesional dalam
lingkungan kerja. Peningkatan kepuasan kerja yang mengarah kepada
peningkatan kepuasan pasien/klien/pengguna jasa.
Bagi preceptor, keuntungan yang didapatkan yaitu adanya
pengembangan penilaian, pengawasan, bimbingan dan keterampilan.
Preceptor juga berkesempatan meningkatkan kemampuan dalam
memberikan arahan kepada siswa. Memberikan nilai kepada perawat
27
baru untuk dapat berkontribusi terhadap organisasi dan pasien.
Mengidentifikasi komitmen peraturan dalam profesi, sebagai
pendukung long life learning untuk karir dimasa depan.
Manfaat preceptorship bagi pemimpin berupa peningkatan kualitas
perawatan pasien, peningkatan pengalaman pengguna jasa dan
peningkatan kepuasan staf. Pemimpin juga berkesempatan untuk
mengidentifikasi staf yang membutuhkan dukungan tambahan atau
perubahan peran. Mengurangi risiko terjadinya keluhan baik dari
pelanggan internal maupun eksternal. Mengidentifikasi staf yang
memerlukan dukungan lebih lanjut / ekstra.
Keuntungan bagi profesi yaitu adanya pertanggung jawaban secara
profesional dalam memberikan standar praktek dan perawatan.
Memiliki kepedulian prioritas terhadap layanan, dan saling
menghormati satu sama lain. Dapat melindungi dan mempromosikan
kesehatan dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat luas Bersikap
terbuka dan jujur, bertindak dengan integritas dan menjunjung tinggi
reputasi profesi sehingga dapat meningkatkan citra kesehatan
perawatan profesional.
2.2.4. Implementasi Preceptorship
Implementasi preceptorship menurut Health department of UK (2010)
memiliki desain dan metode pembelajaran yang harus diintegrasikan
ke dalam preceptorship. Program tersebut dapat dipersonalisasi untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing perawat baru dalam membangun
kepercayaan diri mereka sebagai praktisi profesional. Pembelajaran
dapat dicapai melalui preceptorship berbasis keorganisasian, misalnya
merancang alur belajar, self-directed learning, fokus terhadap praktek
klinis, pendampingan atau dukungan secara langsung atau jarak jauh /
menggunakan media elektronik.
28
Preceptorship dapat difasilitasi dalam kemitraan dengan institusi
pendidikkan tinggi yang disampaikan melalui program akademis
terakreditasi belajar berbasis kerja, misalnya pembelajaran berbasis
sikap dan perilaku melalui pemodelan peran. Preceptorship efektif
cenderung melihat perawat baru terlibat dalam berbagai kegiatan
untuk beberapa waktu selama enam sampai dua belas bulan pertama
peran pasca-pendaftaran pertama mereka. Pertimbangan yang cermat
harus diberikan untuk memastikan investasi hemat biaya, waktu dan
sumber daya yang ditujukan dalam preceptorship untuk
memungkinkan keseimbangan yang baik antara preceptorship efektif
dan penyediaan yang lebih luas.
Preceptorship harus mencerminkan dan menunjukkan tentang belajar
teori (misalnya membaca atau kelas berbasis jarak/e-learning) dan
pengawasan/dipandu refleksi pada praktek (satu ke satu atau dalam
kelompok kecil, tatap muka atau jarak jauh). Keoptimalan komponen
ini harus terdiri dari sekitar 4-6 hari untuk belajar teori dan sekitar 18
jam untuk pengawasan/refleksi yang dibimbing dan disesuaikan
dengan kebijakan tempat kerja.
Preceptorship direncanakan dalam konteks individu yang bertanggung
jawab secara profesional sesuai dengan kebutuhan organisasi. Output
preceptorship yang diharapkan yaitu perawat baru akan menjadi
efektif, percaya diri dan sepenuhnya otonomi, serta mampu
memberikan perawatan berkualitas tinggi untuk pasien atau pengguna
jasa. Sehingga dalam perjalanan karir praktisi akan terus maju ke
depan sebagai pemimpin dan panutan secara independen dan inovatif
untuk generasi praktisi kesehatan di masa depan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2017 tentang pengembangan jenjang karir profesional perawat
klinis, preceptor menjadi role model dari perawat baru, mengarahkan
dan mengevaluasi pencapaian kompetensi serta melaksanakan asuhan
29
bersama dengan perawat baru. Preceptorship dilaksanakan melalui
one to one dimana preceptor tidak hanya menjadi role model dalam
melaksanakan asuhan keperawatan tetapi juga memberikan motivasi
serta membantu proses adaptasi dari staf baru. Perawat baru akan
mengikuti siklus dinas preceptor dan dalam proses preceptorship akan
dievaluasi pencapaian kompetensinya kemudian didokumentasikan
dalam logbook dan preceptor akan mengevaluasi apakah perawat
sudah mapu mandiri dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
Langkah-langkah dalam melakukan bimbingan teknis keperawatan
adalah membangun hubungan dalam preceptorship yaitu membangun
kepercayaan dimana langkah penting dalam membangun hubungan
antara preceptor dan preceptee dan memberikan landasan dalam
mengembangkan pengalaman bekerja bagi preceptee. Fokus dari
proses preceptorship adalah untuk memperjelas peran, membahas
pengalaman bersama, meninjau latar belakang preceptee, memahami
jenjang karir, kebijakan dan regulasi.
Pelaksanaan preceptorship adalah sebagai berikut: 1) preceptor dan
preseptee bertemu dan mendiskusikan tujuan – tujuan yang akan
dicapai, 2) mendiskusikan tentang kegiatan, pelatihan dan seminar
yang disesuaikan dengan kebutuhan preceptee, 3) mendiskusikan
tentang kondisi pasien dan rencana tindakan keperawatan yang akan
dilakukan, 4) menyediakan peralatan dan fasilitas yang dibutuhkan
dalam kegiatan, 5) melaksanakan kegiatan sesuai dengan standar
prosedur rumah sakit, 6) diskusi antar preseptor dan preseptee setelah
melakukan kegiatan, 7) mengatasi permasalahan atau kendala yang
ditemukan selama kegiatan berlangsung, 8) preceptor memberikan
umpan balik secara berkesinambungan kepada preseptee, hal tersebut
akan membantu preseptee dalam memaksimalkan keterampilanya
secara sistematis, 9) saling berbagi pengalaman dan mendiskusikan
strategi untuk praktik keperawatan yang dapat memungkinkan
30
preseptee untuk memperkaya pemahamanya tentang bagaimana peran
yang dilakukan dan bagaimana memecahkan permasalahan, 10)
mengevaluasi hasil kegiatan dan merencanakan tindak lanjut sesuai
dengan kebutuhan.
2.2.5. Program Preceptorship
Program preceptorship dilakukan untuk memberikan dukungan
kepada perawat baru baik terhadap pengembangan kompetensi
maupun transisi peran dari perawat lulusan baru. Tim desain dari
pimpinan perawat, perawat pendidik, perawat praktik lanjut,
preceptorship keperawatan, dan petugas sosial mengembangkan suatu
pendekatan untuk mendukung perawat lulusan baru dalam tahun
pertama mereka sebagai karyawan. Keuntungan program
Preceptorship dirasakan memberikan keuntungan terhadap Preceptee,
Preceptor, Instansi kesehatan dan profesi keperawatan. (Barbara
Penprase 2012, Beverley.A.Janes 1996, Chanell Watkins 2013)
2.2.6. Kompetensi Preceptorship
AIPNI (2016) menjabarkan bahwa preseptor harus memiliki
kemampuan berkomunikasi secara baik dan benar, mampu menjadi
model peran professional, berkeinginan memberikan waktu yang
cukup untuk peserta didik. Preseptor mampu menjadi pendengar yang
baik dan mampu menyelesaikan masalah, tanggap terhadap kebutuhan
dan ketidak berpengalaman peserta didik, cukup megenali dan terbiasa
dengan teori dan praktik terkini, kompeten dan percaya diri dalam
peran sebagai preceptor atau mentor
Gaberson dan Oerman (2010) mendeskripsikan 4 domain kompetensi
yang harus dimiliki seorang preseptor yaitu: pengetahuan
(knowledge) preseptor harus memiliki pengetahuan yang memadai
tentang pasien (tipe, permasalahan, dan pengelolaan), teknologi baru
31
dan riset-riset yang berhubungan dengan pengelolaan pasien. Domain
kompetensi preseptor yang kedua adalah kompetensi klinis (clinical
competency) preseptor akan mampu membimbing perawat baru jika
memiliki kompetensi klinis yang baik.
Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, penilaian, dan atribut
pribadi yang disyaratkan untuk seorang untuk praktek secara aman
dan etis dalam menjalankan perannya di tempat kerja. Kompetensi
perawat dikembangkan pada waktu masuk, pada level khusus dan
level praktek lebih lanjut (CNA, 2002).
2.2.6.1. Daftar kompetensi preceptor dibagi dalam lima (5) kategori
utama: (CNA, 2004) yaitu:
a. Kolaborasi: berkolaborasi dengan preceptee pada semua
tahap preceptorship, membuat dan mempertahankan
hubungan kolaborasi dengan manajer dan rekan lain
(rekan kerja, profesi kesehatan lain, pasien), membuat
jejaring dengan preceptor lain untuk saling berbagi
praktek terbaik, mendampingi preceptee secara tepat
untuk menginterpretasikan perannya terhadap individu,
keluarga, komunitas dan masyarakat.
b. Atribut pribadi: menunjukkan antusiasme dan keinginan
dalam pendampingan, menampakkan ketertarikan yang
tulus dalam kebutuhan pembelajaran dan perkembangan
preceptee, membangun lingkungan pembelajaran yang
positif, mengadaptasi perubahan, melakukan
keterampilan komunikasi yang efektif dengan pasien dan
rekan kerja, melakukan keterampilan penyelesaian
masalah secara efektif, menunjukkan kesiapan dan
keterbukaan akan proses belajar bersama dengan
preceptee, menampakkan penghargaan terhadap
32
perbedaan preceptee (latar belakang pendidikan, ras,
budaya), mengintegrasikan preceptee ke dalam budaya
sosial institusi, memiliki kesabaran dan kepercayaan diri,
mengenali keterbatasan dan berkonsultasi dengan yang
lain bila perlu.
c. Memfasilitasi pembelajaran: kaji kebutuhan belajar
preceptee (kaji ulang kompetensi utama, diskusikan hasil
yang diharapkan, kaji pengalaman yang lalu tentang
pengetahuan dan keterampilan preceptee dengan rasa
hormat, identifikasi kesempatan belajar/memberi
penugasan), merencanakan aktifitas pembelajaran,
mengimplementasikan aktifitas pembelajaran klinik di
area klinik, evaluasi keluaran pembelajaran klinik.
d. Praktik Profesional: praktik secara mandiri dan
berkesinambungan sesuai dengan standar keperawatan,
bekerja sesuai standar nasional/internasional yang
terbaru, mendampingi preceptee mencapai pengetahuan,
keterampilan dan penilaian praktek sesuai standar
keperawatan, jelaskan peran, hak, dan tanggung jawab
sehubungan dengan pembimbingan dengan cara yang
tepat.
e. Penguasaan terhadap area/setting: dapat memahami isi
dasar dari institusi (Misi, Filosofi; metode asuhan
keperawatan; kebijakan dan prosedur; lingkungan fisik;
peran dan fungsi antar disiplin ilmu; format,
dokumentasi dan mekanisme pelaporan; sumber
pembelajaran), melakukan peran perawat dalam tim
multidisiplin, mengkaji ulang pedoman pendidikan
institusi untuk preceptor dan preceptee.
33
Kualitas dari preceptor yang efektif menurut Rose
(2007) adalah keterampilan komunikasi yang baik, role
model yang profesional, rela memberikan waktu bagi
preceptee, seorang pendengar dan pengelola masalah
yang baik, peka terhadap kebutuhan dan
ketidakpengalaman preceptee, mengenal teori dan
praktik terbaru, kompeten dan percaya diri dalam peran
sebagai preceptor.
2.2.7. Uraian tugas preceptorship
2.2.7.1. Tugas dari seorang preceptor adalah:
a. Memberi suport
b. Supervisi
c. Memonitor proses belajar
d. Menilai penampilan perawat baru
e. Menyakinkan bahwa perawat baru dapat mencapai
tujuan belajar.
f. Perawat baru dapat dievaluasi secara proporsional.
2.2.7.2. Tanggung jawab preseptor adalah:
a. Mengorientasikan perawat baru ke unit keperawatan/
kebidanan dan klien
b. Meriview tujuan belajar dan menyediakan anjuran bagi
berlangsungnya pengalaman belajar
c. Melakukan supervisi
d. Bertanya kepada mahasiswa dan membawa mahasiswa
pada situasi yang menantang sesuai dengan tujuan
belajar
e. Memfasilitasi belajar
f. Bersikap role model
g. Mengidentifikasi kebutuhan
h. Meriview tugas belajar
34
2.2.8. Langkah-langkah preceptorship
2.2.8.1. Persiapan Pertemuan
Wawancara Awal: Hal Yang Perlu dilakukan oleh Perseptor
adalah :
a. Mencari tahu tentang kebutuhan perseptee dalam
bimbingan.
b. Membantu Perseptee menentukan tujuan bimbingan
yang ingin dicapai.
c. Menanyakan kepada perseptee tentang tugas yang
dibebankan
d. Memperkenalkan tentang sikap perseptor dan
kesempatan bimbingan.
e. Menjajaki psikologis perseptee tentang kesiapan
bimbingan, Memberi dukungan perseptee untuk self –
assessment setiap tahap bimbingan
2.2.8.2. Tahap pelaksanaan
Wawancara Lanjutan: Hal yang perlu dilakukan oleh
Perseptor adalah :
a. Mendukung perseptee untuk mengetahui kelemahan dan
kelebihan diri sendiri.
b. Mengklarifikasi setiap ide yang di tentukan oleh
perseptee,
c. Memberikan saran perseptee untuk perbaikan.
d. Mencatat point - point penting yang sampaikan oleh
perseptee.
e. Melihat kembali perkembangan perseptee setelah
wawancara.
f. Mendorong perseptee untuk menjawab pertanyaan
perseptor.
35
2.2.8.3. Tahap evaluasi
Wawancara Akhir : Hal yang perlu dilakukan Perseptor
adalah :
a. Menanyakan kepada perseptee kesiapan dalam
menerapkan hasil wawancara
b. Mendiskusikan dengan perseptee hal- hal yang dianggap
penting
c. Menilai kemajuan dan kemampuan perseptee dalam
proses wawancara tentang topik yang sudah disepakati.
2.3 Proses Adaptasi
2.3.1. Asumsi model adaptasi stres Struart
Asumsi model adaptasi stress Struart. (Hamid, 2016 dalam buku
Struart) :
2.3.1.1. Model adaptasi adalah bahwa alam diatur dalam suatu hirarki
sosial dari unit tersederhana hingga yang paling komplik
2.3.1.2. Model adaptasi adalah asuhan keperawatan diberikan dalam
konteks biologis, psikologis, sosial budaya, legal, etik,
kebijakan dan advokasi
Perawat harus memahami tiap aspek tersebut sehingga
mampu memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan
kompeten.
2.3.1.3. Model adaptasi adalah sehat/sakit dan adaptasi/ maladaptasi
merupakan dua rentang yang berbeda,
a. Rentang sehat/sakit berasal dari pandangan dunia medis.
b. Rentang adaptasi/ maladaptasi berasal dari pandangan
dunia keperawatan
36
2.3.1.4. Model adaptasi mencakup pencegahan, tritmen dan
pemulihan dengan menguraikan empat tahap, krisis, akut,
mempertahankan kesehatan dan promosi kesehatan.
2.3.1.5. Model adaptasi berbasis penggunaan proses keperawatan dan
standar asuhan serta kinerja profesional perawat.
Setiap orang mengalami sesuatu yang disebut stress sepanjang
kehidupannya. Stress dapat memberi stimulus terhadap perubahan dan
pertumbuhan dan dalam hal ini, suatu stres adalah positif dan bahkan
diperlukan. Namun demikian, terlalu banyak stres dapat
mengakibatkan penyesuaian yang buruk, penyakit fisik, dan
ketidakmampuan untuk mengatasi atau koping terhadap masalah.
Sejumlah dengan berbagai kelainan fisik dan psikiatrik (Potter dan
Perry, 2005). Stress adalah fenomena yang mempengaruhi semua
dimensi dalam kehidupan seseorang.
Stress dapat menyebabkan perasaan negatif dan mengganggu cara
seseorang dalam mencerap realitas, menyelesaikan masalah, berpikir
secara umum; dan hubungan seseorang dan rasa memiliki. Stress
dapat mengakibatkan kelelahan dan hilangnya energi yang berdampak
pada menurunnya kesehatan fisik dan berakibat negatif pada
produktifitas kerja (Passmore, 2010).
Faktor utama penyebab stress menurut Health and Safety Executive
(HSE), 2004/2005 dalam Passmore, (2010) adalah beban kerja, target
waktu pekerjaan, kurangnya dukungan, dan adanya perasaan terancam
di tempat kerja. Persepsi atau pengalaman individu terhadap
perubahan besar menimbulkan stres. Stimuli yang mengawali atau
mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor ini bisa
diklasifikasikan sebagai stresor internal dan eksternal.
Model adaptasi Roy melihat bahwa seseorang merupakan sistem
adaptif dalam berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal.
37
Lingkungan adalah sumber bermacam-macam stimulus, maka tugas
seseorang adalah untuk mempertahankan integritas dalam menghadapi
stimulus lingkungan. Integritas adalah tingkat keutuhan yang dicapai
melalui adaptasi perubahan kebutuhan (Aligood dan Tomey, 2006).
2.3.2. Model Adaptasi
Model adaptasi menunjukkan bahwa empat faktor menentukan apakah
suatu situasi adalah menegangkan (Mechanic, 1962 dalam Potter dan
Perry, 2005). Kemampuan untuk menghadapi stres, faktor pertama,
biasanya bergantung pada pengalaman seseorang dengan stresor
serupa, sistem dukungan, dan persepsi keseluruhan terhadap stres.
Faktor kedua berkenaan dengan praktik dan norma kelompok sebaya
individu. Jika kelompok sebaya memandang normal untuk
membicarakan tentang stresor tertentu, klien mungkin berespon
dengan mengeluhkan tentang stresor tersebut atau mendiskusikannya.
Respon ini dapat membantu beradaptasi terhadap stres, atau klien
meresponnya dengan cara yang sederhana untuk menyesuaikan diri
dengan perilaku kelompok sebaya. (Potter dan Perry, 2005)
Faktor ketiga adalah dampak dari lingkungan sosial dalam membantu
seorang individu untuk beradaptasi terhadap stressor. Faktor terakhir
mencakup sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi stresor.
Kedua faktor ini akan mempengaruhi bagaimana ia mengakses sumber
tersebut untuk membantu mengatasi stresor fisiologis (Potter dan
Perry, 2005).
2.3.3. Adaptasi terhadap stresor Adaptasi merupakan usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dengan tingkat, tempat, dan kondisi yang berbeda.
Manusia secara terus menerus berusaha menyesuaikan diri untuk
meningkatkan dan mempertahankan keseimbangan fungsi-fungsi fisik,
psikis, sosial, dan spiritual, sehingga individu berperilaku sebagai
manusia sehat. Adaptasi juga merupakan proses dimana dimensi
38
fisiologis dan psikososial berubah dalam berespon terhadap stresor
(Potter & Perry, 2005) Karena banyak stresor tidak dapat dihindari,
promosi kesehatan sering difokuskan pada adaptasi individu, keluarga
atau komunitas terhadap stres. Ada banyak bentuk adaptasi. Adaptasi
fisiologis memungkinkan homeostasis fisiologis. Namun demikian
mungkin terjadi proses yang serupa dalam dimensi psikososial dan
dimensi lainnya. Suatu proses adaptif terjadi ketika stimulus dari
lingkungan internal dan eksternal menyebabkan penyimpangan
keseimbangan organisme. Roy mengatakan bahwa adaptasi fisiologis
merujuk pada cara seseorang merespon secara fisik terhadap
rangsangan dari lingkungan (Roy dan Anderson, 1999 dalam Alligood
dan Tomey, 2006).
Paparan diatas adaptasi adalah suatu upaya untuk mempertahankan
fungsi yang optimal. Adaptasi melibatkan reflek, mekanisme otomatis
untuk perlindungan, mekanisme koping dan idealnya dapat mengarah
pada penyesuaian atau penguasaan situasi. seseorang mampu berespon
terhadap stresor dan beradaptasi terhadap tuntutan atau perubahan
yang dibutuhkan. Adaptasi membutuhkan respon aktif dari seluruh
individu.
2.3.4. Empat Model Adaptif Roy Sistem adaptif Roy terdiri dari dua sub-
sistem yang saling berhubungan yaitu subsistem primer dan sub-
sistem sekunder. Sub-sistem primer adalah suatu proses kontrol
internal atau fungsional yang terdiri dari regulator dan kognator.
Subsistem sekunder adalah suatu sistem efektor yang menunjukkan
aktifitas kognator dan regulator. Sub-sistem sekunder ini terdiri dari
empat model adaptif yaitu (1) Model fisiologis mencakup kebutuhan
fisiologis dasar tubuh dan cara beradaptasi terkait dengan cairan dan
elektrolit, aktifitas dan istirahat, sirkulasi dan oksigen, nutrisi dan
eliminasi, perlindungan, indera, dan fungsi neurologi dan endokrin,
(2) Model konsep diri mencakup dua komponen: diri fisik, yang
39
mencakup sensasi dan citra tubuh, dan diri pribadi, yang mencakup
ideal diri, konsistensi diri, dan etika moral diri, (3) Model fungsi peran
ditentukan oleh kebutuhan akan integritas sosial dan mengacu pada
pelaksanaan tugas yang berlandaskan pada posisi yang diberikan
dalam masyarakat, (4) Model interdependen melibatkan hubungan
seseorang dengan orang dekat dan sistem pendukung yang
memberikan bantuan, kasih sayang, dan perhatian (Blais et al, 2007).
Model adaptasi Roy dan fase transisi perawat baru saling berhubungan
satu sama lain. Menurut pengertian dari masing-masing model dan
fase disimpulkan bahwa tidak bisa dipisah antara satu dengan yang
lain karena saling berkaitan.
2.4 Kepuasan
2.4.1. Pengertian Kepuasan
Setiap orang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari
tempatnya bekerja dan kepuasan kerja tersebut akan mempengaruhi
produktivitas yang sangat diharapkan organisasi. Ada beberapa hal
yang membuat kita puas terhadap hasil kerja, di tempat kerja, di
rumah dan di manapun kita berada. Kesatu, kualitas jika kita
merasa bangga akan kualitas kerja yang kita hasilkan, tentu kita
akan puas. Kualitas yang prima, dapat di hasilkan karena
ketekunan, kecermatan dan perhatian pada detail. Karena sebuah
karya dengan kualitas unggulan salah satu kriterianya adalah
“penghargaan”. Kedua, manfaat dan solusi. Selain pengakuan hasil
karya dengan secara terbuka dan ajang festifal, ataupun pengakuan
dari pelanggan, kepuasan kerja juga dapat tumbuh dari kesadaran ,
karena hasil tersebut dapat memberi manfaat buat banyak orang.
Ketiga, kompensasi, faktor yang membuat kita tersenyum
kompensasi finansial, jika hasil karya kita unggul, maka dapat di
jual dengan harga tinggi (Simamora, 2013)
40
Kepuasan kerja mencerminkan sikap dan bukan perilaku.
Menyatakan kepuasan kerja adalah sikap yang dimiliki pekerja
tentang pekerjaan mereka. Sikap tersebut menunjukkan perbedaan
antara jumlah penghargaan yang diterima dengan jumlah yang
pekerja yakini seharusnya mereka terima. Kepuasa seseorang untuk
mencapai prestasi adalah sebagai kunci dan motivasi terhadap
kepuasan kerja (Nursalam, 2015)
Kajian literatur menunjukkan kepuasan kerja perawat di hampir
semua negara masih rendah (Sugiyono, 2007) tingginya
ketidakpuasan perawat sering menjadi masalah di rumah sakit
seperti kinerja menurun, turnover yang tinggi dan kemangkiran
kerja (Curtis dan Cortose, 2007)
Kepuasan adalah persepsi terhadap produk atau jasa yang telah
memenuhi harapannya (Kurniawan, 2013). Kepuasan juga diartikan
sebagai model kesenjangan antara harapan (standar kinerja yang
seharusnya) dengan kinerja aktual yang diterima pelanggan
(Nursalam, 2015).
Kepuasan kerja adalah sikap yang dimiliki pekerja tentang
pekerjaan mereka. Sikap tersebut menunjukkan perbedaan antara
jumlah penghargaan yang diterima dengan jumlah yang pekerja
yakini seharusnya mereka terima dan penilaian sejauh mana
lingkungan pekerjaan memenuhi kebutuhan pekerja. Sikap yang
dideskripsikan dapat bersifat positif atau negatif terhadap kondisi
fisik dan sosial lingkungan kerjanya (Alam, 2010)
Kepuasan terhadap pekerjaan mewarnai sikap individu untuk
melakukan sejumlah tugas dan berhubungan dengan penampilan
kerja. Kepuasan kerja perawat adalah tingkat kesenangannya
41
terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja perawat adalah sikap
perawat baik positif maupun negatif yang selalu berubah tentang
pekerjaannya dan perasaan tersebut dapat berdampak pada
penampilan kerjannya (Siagian, 2009)
Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang mengenai
kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat kepuasan kerja
merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian
menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja
untuk organisasi. Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam
perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran
mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan tingkat stres
anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung
bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan
dan terlibat dalam berbagai perilaku yang kontraproduktif. Dalam
berusaha tentunya kita mengharapkan kepuasan kerja dalam bentuk
finansial dan non finansial (fisik, emosional, dan intelektual)
(Hughes, 2012)
2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Studi penelitian tentang kepuasan kerja dalam keperawatan
didapatkan hasil bahwa terdapat faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepuasan kerja. Hasil penelitian itu diantaranya rutinitas,
shift kerja, beban kerja, dominasi medik, konflik peran dan peran
ganda, keamanan kerja, otonomi, tipe kepemimpinan, pengakuan
dan penghargaan, kebijakan organisasi, remunerasi, pengembangan
profesional (seperti pelatihan, peluang promosi), interaksi perawat
pasien, perawat dokter, perawat tenaga kesehatan lain. Adapun
faktor-faktor kepuasan kerja diantaranya:
2.4.2.1. Faktor-faktor kepuasan kerja berdasarkan kategorinya,
meliputi (Simeulu, 2006):
42
a. Konten kerja Konten kerja ditandai oleh pekerjaan
keperawatan itu sendiri seperti rutinitas, otonomi,
umpan balik, kebutuhan kerja
b. Organisasi kerja Organisasi kerja yaitu strategi
pekerjaan keperawatan dikelola,seperti konflik peran,
peran ganda dan kemungkinan pengembangan.
c. Psikososial kerja Psikososial kerja berhubungan
dengan teman kerja dan supervisor, gaya atau tipe
kepemimpinan dan sters kerja.
2.4.2.2. Faktor-faktor kepuasan kerja berdasarkan enam aspek
utama yang terdiri dari (Hughes, 2012):
a. Kepuasan dengan preceptor Kepuasan kerja
ditentukan oleh persepsi perawat tentang seberapa
banyak informasi dan bimbingan yang diberikan oleh
preceptors untuk melaksanakan pekerjaan.
b. Kepuasan dengan preceptor keragaman tugas
Kepuasan yang dirasakan dengan memiliki berbagai
tugas yang menantang dan tidak rutinitas, akan
membantu perawat untuk melihat bahwa ada banyak
peluang yang tersedia untuk tumbuh dalam organisasi.
c. Kepuasan dengan otonomi dalam pekerjaan Kepuasan
yang dirasakan dengan memiliki kebebasan dalam
menyelesaikan pekerjaan dari awal sampai akhir.
Memberikan kesempatan kepada preceptee untuk
melakukan tindakan tetapi tetap dalam pengawasan
preceptor.
d. Kepuasan kompensasi Kepuasan yang dirasakan
berdasarkan imbalan yang diterima oleh karyawan.
Hasil riset menunjukan kecilnya korelasi antara gaji
dan kepuasan kerja. Motivasi untuk bekerja tidak
hanya karena uang, namun juga strategi rumah sakit
43
memenuhi kebutuhan karyawan, memperlakukan
karyawan dengan baik, menerapkan manajemen yang
fleksibel dan komunikator, serta melibatkan karyawan
dalam pengambilan keputusan (Curtis, 2007)
e. Kepuasan dengan rekan kerja Kepuasan yang
dirasakan karena adanya kehadiran dan dukungan dari
rekan kerja. Rekan kerja yang menjadi tim kuat atau
efektif akan membuat pekerjaan jadi menyenangkan.
f. Kepuasan dengan manajemen dan kebijakan sumber
daya manusia Kepuasan yang berhubungan dengan
kebijakan organisasi. Salah satu sumber utama
ketidakpuasan kerja perawat adalah manajemen
keperawatan yang tidak efektif, rendahnya
keterlibatan dalam pengambilan keputusan, hubungan
yang buruk dengan manajemen, kurangnya
pengakuan, dan kurangnya fleksibilitas dalam
penjadwalan (Curtase, 2007).
2.4.2.3. Faktor-faktor kepuasan kerja yang berdasarkan demografi
meliputi (Robbins, 2006) :
a. Usia
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan tentang
hubungan positif antara usia dengan kepuasan kerja.
Kepuasan kerja rendah terjadi ketika seseorang
berusia antara 20 - 30 tahun.
b. Lama kerja
Lama kerja mempunyai korelasi dengan kepuasan
kerja. Kepuasan kerja relatif meningkat pada awal
kerja, menurun berangsur-angsur selama 5-8 tahun
kemudian meningkat perlahan-lahan dan mencapai
puncaknya setelah 20 tahun kerja (Robbins, 2006).
44
Karyawan yang telah lama bekerja memiliki kepuasan
kerja yang tinggi dan cenderung tidak akan berhenti
dari pekerjaannya. Pendapat lain menyatakan tidak
ada alasan yang meyakinkan bahwa karyawan yang
sudah lama bekerja akan lebih produktif dan memiliki
motivasi tinggi, dengan demikian hubungan antara
lama kerja dan kepuasan kerja bervariasi (Robbins,
2006)
c. Status kepegawaian Kepuasan kerja dapat dipengaruhi
oleh kedudukan dalam organisasi, pangkat/golongan,
jaminan finansial (sosial). Karyawan atau perawat
yang berstatus pegawai negeri sipil telah memiliki
status pangkat dan golongan yang jelas dalam institusi
rumah sakit, memiliki jaminan sosial berupa asuransi
kesehatan serta tunjangan lain di luar gaji pokok
sehingga kesejahteraan terjamin. Hal ini berdampak
pada kepuasan kerja (Hafizurrahman, 2009).
2.4.2.4. Teori dua faktor yang menyatakan bahwa pekerjaanlah
yang menyebabkan kepuasan kerja. karena itu dalam
rancang bangun pekerjaan perlu memperhatikan hal
sebagai berikut:
1. Otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan. Otonomi
adalah pemupukan rasa tanggung jawab atas
pekerjaan seseorang beserta hasilnya. Artinya
kepada para pekerja diberi kebebasan untuk
mengendalikan sendiri pelaksanaan tugasnya
berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang
dibebankan kepadanya. Banyak organisasi telah
membuktikan bahwa apabila kepada para pekerja
diberikan kebebasan memutuskan sendiri cara
45
penyelesaian pekerjaannya, rasa tanggung jawab dan
tingkat kepuasannya menjadi lebih besar.
2. Variasi tugas. Pemusatan pada satu tugas tertentu
dapat mengarah kepada tingkat keahlian dan
efisiensi tinggi akan tetapi sangat membosankan.
Kebosanan dalam pekerjaan mempunyai dampak
negatif yang sering menampakkan diri dalam
keletihan, kesalahan dalam pelaksanaan tugas, dan
kecelakaan.
Penerapan preceptorsip bisa membimbing perawat
baru untuk lebih percaya diri dan bisa beradaptasi
dengan lingkungan.
3. Identitas tugas. Para pekerja akan merasa bangga
apabila mereka dapat menunjukkan secara kongkret
hasil pekerjaannya. Jika hasil pekerjaan tidak
mendapat penghargaan akan menurunkan kepuasan
kerja.
4. Pentingnya pekerjaan seseorang. Hal ini berkaitan
erat dengan identitas tugas. Seorang pekerja akan
merasa bangga, mempunyai komitmen
organisasional yang besar, memiliki motivasi yang
tinggi serta kepuasan kerja yang besar jika ia
mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu
dianggap penting oleh orang lain. Apalagi kalau
orang lain bergantung padanya dalam penyelesaian
tugas tersebut.
5. Umpan balik. Umpan balik tentang cara seseorang
menyelesaikan pekerjaannya mempunyai arti yang
sangat penting bagi pekerja yang bersangkutan.
Apabila seseorang tidak memperoleh umpan balik
tentang berbagai aspek penyelesaian tugasnya,
46
baginya tidak terdapat petunjuk atau motivasi kuat
untuk berprestasi lebih tinggi.
2.4.2.5. Pengukuran Kepuasan Kerja Ada tiga cara untuk
melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu :
a. Rating scales dan kuesioner
Rating scales dan kuesioner merupakan pendekatan
pengukuran kepuasan kerja yang paling umum
dipakai. Pengukuran skala rating dapat dilakukan
dengan cara: Skala Likert, typically degrees og
agreemet with a statement, skala diferensial sematik,
attitude between two opposing words, skala rating
numerik, verbal scale, verbal satisfaction and
imortance rating.
b. Critical incidents I
Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan
pekerjaan yang mereka rasakan terutama memuaskan
atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari
untuk mengungkap tema yang mendasari.
c. Interviews
Interviews merupakan prosedur pengukuran kepuasan
kerja dengan melakukan wawancara tatap muka
dengan pekerja untuk secara langsung menanyakan
sikap mereka.
2.4.2.6. Dampak Kepuasan Kerja Kepuasan kerja yang dirasakan
pegawai akan berdampak bagi pegawai itu sendiri dan
organisasi tempat bekerja. Dampak kepuasan kerja itu
sendiri meliputi :
a. Kepuasan dan produktivitas Kepuasan dan
produktivitas masih menjadi pembahasan antara
variabel yang menjadi penyebab yang menjadi efek,
47
karena pekerja yang bahagia tidak selalu pekerja
yang produktif. Pada level individu, bukti tersebut
menunjukan bahwa pernyataan kebalikannya justru
lebih akurat, bahwa produktivitas kemungkinan
menghasilkan kepuasan. Pendapat lain mengatakan
bahwa kepuasan kerja dan produktivitas pegawai
sangat berhubungan dan hal ini menjadi kunci utama
bagi para manajer untuk meningkatkan produktivitas
pegawainya.
b. Kepuasan dan keabsenan Pegawai yang tidak puas
kemungkinan akan lebih besar absen dari
pekerjaannya (Robbins, 2006)
2.5 Perawat Baru
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam
maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan RI No.
38 Tahun 2014, Perawat baru adalah perawat lulusan baru yang memasuki
lingkungan kerja setelah melalui proses rekrutmen dalam suatu instansi
pelayanan kesehatan.
Ketakutan dan kesulitan khusus dalam beradaptasi dengan lingkungan kerja
adalah hal yang umum dialami perawat lulusan baru dan menyebut
ketakutan ini sebagai reality shock karena terjadi sebagai akibat konflik
antara ekspektasi lulusan baru terhadap peran keperawatan dan kenyataan
peran sesungguhnya (Marquis dan Huston 2010). Setelah penelitian Kramer
diterbitkan bahwa banyak rumah sakit mulai memandang metode yang
digunakan dalam program orientasinya untuk mengurangi shock akibat
memasuki dunia nyata keperawatan. Beberapa rumah sakit menyusun
periode orientasi yang lebih lama untuk lulusan baru yang berlangsung
mulai dari enam minggu hingga enam bulan. Orientasi yang berkelanjutan
atau pelatihan ini, sangat berbeda dengan rutinitas orientasi selama satu
sampai dua minggu yang biasanya dilakukan untuk pegawai yang lain.
48
Selama masa ini, perawat baru lulus biasanya ditugaskan bekerja dengan
pembimbing dan secara bertahap mengelola pasien yang sama banyak
dengan pembimbing tersebut (Marquis dan Huston, 2010)
Beberapa rumah sakit menghentikan beberapa program pelatihan karena
biayanya, tetapi rumah sakit tetap melanjutkan konsep bimbingan
pembentukan tim satu orang lulusan baru dengan perawat lain. Selain
memberikan orientasi dan sosialisasi untuk lulusan baru, pembimbing
memberikan penghargaan untuk perawat yang berpengalaman yang
menunjukkan kemampuannya dengan sangat baik.
Potensi hambatan program pelatihan dan bimbingan dapat diatasi dengan (1)
memilih pembimbing dengan cermat, (2) memilih pembimbing yang
mempunyai niat yang kuat untuk menjadi model peran, (3) mempersiapkan
pembimbing menjalani peran mereka dengan memberikan kelas formal
mengenai konsep belajar orang dewasa dan konsep belajar/sosial lainnya,
dan (4) meminta petugas pengembangan staf yang berpengalaman untuk
memantau pembimbing dan lulusan baru secara ketat untuk memastikan
bahwa hubungan yang terjadi antara pembimbing dan lulusan baru terus
menghasilkan manfaat dan pertumbuhan bagi keduanya (Marquis dan
Huston, 2010). Transisi dari mahasiswa ke perawat baru terpilih dan
perawat yang bertanggung jawab merupakan masa dalam kecemasan dan
ketidakpastian
Schmalenberg dan Kramer,1979 dalam Marquis (2003) menyatakan bahwa
ada empat (4) fase transisi peran mahasiswa menjadi staf perawatan yakni
fase bulan madu, yang diikuti dengan fase shock, fase pemulihan dan
resolusi.
2.5.1 Fase bulan madu: Terjadi pada minggu pertama perawat baru mulai
bekerja. Selama perawat pemula diterima dengan tulus di
lingkungan kerja, perawat baru tersebut hanya sedikit mengalami
kesulitan di fase bulan madu. Pada fase ini, perawat akan
49
menikmati suasana yang baru yaitu pertama kali mulai bekerja
setelah peralihan dari dunia pendidikan. Peran pembimbing adalah
sebagai pengamat dan pendorong sehingga motivasi perawat baru
dalam bekerja akan meningkat.
2.5.2 Fase shock terjadi kira-kira sebulan setelah memasuki dunia
pekerjaan. Pada fase ini terjadi shock terhadap realita, seringkali
muncul konflik personil yang berat karena perawat menemukan
bahwa banyak nilai di sekolah keperawatan tidak dihargai ditempat
kerja. Konflik bathin terjadi antara harapan di dunia pendidikan
dengan kenyataan di lapangan kerja. Pembimbing sebaiknya
menyadari adanya tanda dan gejala fase shock pada transisi peran;
mereka harus melakukan intervensi dengan mendengarkan keluhan
lulusan baru dan membantu mereka menghadapi dunia yang
sesungguhnya. Pembimbing memberikan dukungan emosional
kepada perawat baru serta menjadi tempat bertanya dan konsultasi
jika menemukan kesulitan, membangun kesempatan untuk berbagi
dan memperjelas nilai dan sikap mengenai peran keperawatan pada
program orientasi, dengan demikian perawat baru diharapkan dapat
melalui fase shock terhadap realita. Peran pembimbing adalah
sebagai role model, nara sumber dan pendorong.
2.5.3 Fase Pemulihan dan Resolusi Fase ini adalah fase terakhir yang
akan dilalui oleh perawat baru, dimana mereka akan berusaha
menyeimbangkan dunia pendidikan dengan dunia kerja. Pada fase
ini perawat baru telah menemukan jati dirinya sebagai perawat.
Perawat baru akan dapat mengatasi segala permasalahan yang
dihadapi dalam pekerjaan apabila organisasi dan atasannya
menciptakan suasana yang kondusif terutama pada fase pemulihan
dan resolusi. Fase ini terjadi dalam waktu lebih kurang satu tahun.
Peran pembimbing dalam fase ini adalah sebagai role model,
pengamat, nara sumber, pendorong, demonstrator dan pemberi
50
umpan balik. Duchscher, (2001) dalam studinya tentang lulusan
keperawatan menyimpulkan bahwa pimpinan keperawatan harus
mengenali intensitas pengalaman praktik perawat baru, mendorong
mereka menjalani hidup yang seimbang, menumbuhkan lingkungan
kerja yang saling toleransi, dan berupaya menciptakan model
hubungan kerja yang meningkatkan interdependen antara dokter
dan staf keperawatan.
Dilain pihak, pimpinan keperawatan juga sebaiknya memastikan bahwa
sebagian nilai perawat baru didukung dan didorong sehingga nilai-nilai
kerja dan akademik dapat berpadu. Perawat baru perlu memahami sifat
umum transisi peran dan tahu bahwa hal ini tidak hanya dialami oleh
perawat. Resosialisai lulusan baru juga dapat dibantu dengan
menyelenggarakan kelas mengenai transisi peran (Marquis dan Huston,
2010).
Dari semua fase di atas, lama periode setiap fase tergantung dari individu
perawat baru itu sediri dalam menjalani fase-fase tersebut dan bagaimana
mereka beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan baru. Salah satu cara yang
dapat digunakan dalam membantu perawat baru dalam proses adaptasi
adalah program orientasi. Metode yang digunakan dalam orientasi ini adalah
dengan preceptorship.
2.6 Pelatihan
2.6.1. Pengertian Pelatihan
Pelatihan adalah suatu kegiatan dari instansi yang bermaksud untuk
dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku,
keterampilan dan pengetahuan dari perawat, sesuai dengan
keinginan institusi keperawatan. Latihan adalah proses membantu
pegawai untuk memperoleh efektivitas dalam pekerjaan mereka
yang sekarang atau yang akan datang dalam memegang
keberhasilan progam pelatihan.
51
Pelatihan merupakan pengalaman belajar yang sengaja dirancang
agar dapat membantu peserta dalam menguasai kompetensi yang
tidak dimiliki sebelumnya (Kamil M,2012) Definisi lain tentang
pelatihan dikemukakan oleh Smith dan Ragan sebagai berikut :
program pelatihan dapat dimaknai sebagai pengalaman
pembelajaran yang memfokuskan pada upaya individu untuk
memperoleh keterampilan spesifik yang dapat segera digunakan.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan
bahwa pelatihan pada dasarnya bermakna sebagai upaya yang
dilakukan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang dapat digunakan segera untuk meningkatkan kinerja.(Kamil
M,2012)
2.6.2. Tujuan Pelatihan
2.6.2.1. Tujuan umum pelatihan adalah (Mulyaningrum,2010):
a. Mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat
diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif.
b. Mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan
dapat diselesaikan secara rasional.
c. Mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kerja
sama dengan teman-teman pegawai dan pimpinan.
Terdapat 3 (tiga) bidang kemampuan yang diperlukan untuk
melaksanakan proses ini yaitu :
a. Kemampuan teknis, kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan, metode, tehnik, dan
peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas
tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan
dan training.
b. Kemampuan sosial, kemampuan dalam bekerja
dengan melalui orang lain, yang mencakup
52
pemahaman tentang motivasi dan penerapan
kepemimpinan yang efektif.
c. Kemampuan konseptual, kemampuan untuk
memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian
bidang gerak unit kerja masing-masing ke dalam
bidang operasi secara menyeluruh. Kemampuan ini
memungkinkan
d. seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi
secara menyeluruh dari pada hanya atas dasar tujuan
kebutuhan keluarga sendiri.
2.6.3. Manajemen Pelatihan
Sepuluh langkah pengelolaan pelatihan sebagai berikut (Kamil
M.,2012):
2.6.3.1. Rekrutmen peserta pelatihan
Penyelenggara menetapkan beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi oleh peserta terutama yang berhubungan
dengan karakteristik peserta yang bisa mengikuti pelatihan.
2.6.3.2. Identifikasi kebutuhan belajar, sumber belajar, dan
kemungkinan hambatan.
Tiga sumber yang bisa dijadikan dasar identifikasi
kebutuhan belajar, yaitu individu yang diberi pelayanan
pelatihan, organisasi dan atau lembaga yang menjadi
sponsor, dan masyarakat secara keseluruhan.
2.6.3.3. Menentukan dan merumuskan tujuan pelatihan
Tujuan pelatihan yang dirumuskan akan menuntun
penyelenggaraan pelatihan dari awal sampai akhir
kegiatan, dari pembuatan rencana pembelajaran sampai
evaluasi hasil belajar.
2.6.3.4. Menyusun alat evaluasi awal dan evaluasi akhir
Evaluasi awal dimaksudkan untuk mengelompokkan dan
53
menempatkan peserta pelatihan secara proporsional.
Evaluasi akhir dimaksudkan untuk mengukur tingkat
penerimaan materi oleh peserta pelatihan dan untuk
mengetahui materi-materi yang perlu diperdalam dan
diperbaiki.
2.6.3.5. Menyusun urutan kegiatan pelatihan
Penyelenggara pelatihan menentukan bahan belajar,
memilih dan menentukan metode dan teknik pembelajaran,
serta menentukan media yang akan digunakan.
2.6.3.6. Pelatihan untuk pelatih
Pelatih harus memahami karakteristik peserta pelatihan dan
kebutuhannya.
2.6.3.7. Melaksanakan evaluasi bagi peserta
Evaluasi awal yang biasanya dilakukan dengan pre test
dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan.
2.6.3.8. Mengimplementasikan pelatihan
Tahap ini merupakan inti kegiatan pelatihan, yaitu proses
interaksi edukatif antara sumber belajar dengan warga
belajar dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.6.3.9. Evaluasi akhir
Kegiatan ini untuk mengetahui daya serap dan penerimaan
warga belajar terhadap berbagai materi yang telah
disampaikan, serta penyelenggara dapat menentukan
langkah tindak lanjut yang harus dilakukan.
2.6.3.10. Evaluasi program pelatihan
Kegiatan ini untuk menilai seluruh kegiatan pelatihan dari
awal sampai akhir, dan hasilnya menjadi masukan bagi
pengembangan pelatihan selanjutnya. Kegiatan ini juga
untuk mengetahui faktor- faktor sempurna yang harus
dipertahankan, untuk mengetahui titik- titik lemah pada
setiap komponen, setiap langkah, dan setiap kegiatan yang
54
sudah dilaksanakan.
Penyelenggaraan program pelatihan diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif
perawat yang merupakan asset penting dalam institusi rumah sakit
dan diharapkan dapat meningkatkan kinerja institusi rumah sakit
dalam menghadapi perubahan dan persaingan eksternal.
2.6.4. Metode Pelatihan
Metode pelatihan berarti ketepatan cara penyampaian yang
digunakan selama pelatihan itu berlangsung. Training yang tidak
terlepas dari pengembangan kemampuan pengukuran tujuan yang
jelas, dan perubahan sikap dapat diterapkan dengan beberapa pilihan
metode seduai dengan lingkungan pelatihan (Wagonhurst, 2002).
Beberapa metode tersebut menurut Wagonhurstmeliputi lecture,
guest facilitators, and video tape material.
Hasibuan (2005) menyatakan dalam melaksanakan pelatihan ini ada
beberapa metode yang digunakan, antara lainyang dapat digunakan
metode on the job dan off the job training adalah sebagai berikut :
2.6.4.1. On The Job Training
On the job training (OJT) atau disebut juga pelatihan
dengan instruksi pekerjaan sebagai suatu metode pelatihan
dengan cara para pekerja atau calon pekerja ditempatkan
dalam kondisi pekerjaan yang nyata, dibawah bimbingan
dan supervise dari karyawan yang telah bepengalaman atau
terlatih. Dalam on the job training perlu memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Adanya pembimbing yang bertanggung jawab atas
keberhasilan calon karyawan dalam melaksanakan
tugasnya.
55
b. Tersedianyan waktu yang cukup agar dapat
mencapai tingkat terampil atau mahir.
c. Sikap, perilakupegawai yang mendukung ( antusias,
rajin dan tekun)
Beberapa macam metode pelatihan on the job training :
a. Instruksi
Pelatihan dengan instruksi pekerjaan sebagai suatu metode
pelatihan dengan cara para pekerja atau calon pekerja
ditempatkan dalam kondisi pekerjaan yang nyata, dibawah
bimbingan dan preceptor.
b. Rotasi
Untuk pelatihan silang (cross-train) bagi karyawan agar
mendapatkan variasi kerja, para pengajar memindahkan para
peserta palatihan dari tempat kerja yang satu tempat kerja yang
lainnya,
c. Magang
Magang melibatkan pembelajaran dari pekerja yang lebih
berpengalaman. Ini menggunakan partisipasi tingkat tonggi dari
peserta dan memiliki tingkat transfer tinggi pada pekerjaan.
d. Pelatihan jabatan
Calon karyawan dilibatkan secara langsung dibawah seorang
pemimpin (yang bertugas sebagai pelatih), calon karyawan
tersebut dijadikan sebagai pembantu pimpinan atau pelatih.
2.6.4.2. Off The Job Training
Pelatihan di luar kerja (off the job training) adalah pelatihan
yang berlangsung pada waktu karyawan yang dilatih tidak
melaksanakan pekerjaan rutin/ bias.
Ada beberapa macam metode pelatihan off the job training :
(Hasibuan, 2005)
56
a. Ceramah Kelas dan Presentase
Video Ceramah merupakan pendekatan yang
sering digunakan karena menawarkan sisi ekonomis
dan material organisasi. Umpan balik dan partisipasi
peserta dengan metode ini dapat meningkat dengan
adanya diskusi selama ceramah.
b. Pelatihan vestibule
Agar pembelajaran tidak mengganggu operasional
rutin, beberapa perusahaan menggunakan pelatihan
vestibule. Wilayah atau vestibule terpisah dibuat
dengan peralatan yang sama dengan yang digunakan
dalam ekerjaan. Cara ini memungkinkan adanya
transfer, repetisi, dan partisipasi serta material
perusahaan bermakna umpan balik
c. Demonstrasi
Metode demonstrasi merupakan metode palatihan
yang sangat efektif karena lebih mudah
menunjukkan kepada peserta cara mengerjakan
suatu tugas. Suatu demonstrasi menunjukkan dan
merencanakan bagaimanan sesuatu itu dikerjakan.
Metode demonstrasi melibatkan penguraian dan
memperagakan sesuatu melalui contoh-contoh.
d. Simulasi
Permainan simulasi dapat dibagi menjadi dua
macam. Pertama, simulasi yang melibatkan
simulator yang bersifat mekanik (mesin) yang
mengandalkan aspek-aspek utama dalam suatu
situasi kerja. Kedua, simulasi komputer. Metode ini
sering berupa games atau permainan. Para pemain
membuat suatu keputusan, dan komputer
57
menentukan hasil yang terjadi sesuai dengan kondisi
yang telah diprogramkan dalam computer.
e. Belajar Terprogram
Bahan-bahan pembelajaran terprogram adala bentuk
lain dari belajar mandiri. Biasanya terdapat program
komputer atau cetakan booklet yang berisi tentang
pertanyaan dan jawaban. Setelah membaca dan
menjawab pertanyaan, pembaca langsung
mendapatkan umpan balik kalau benar, belajar lanjut
kalau salah.
2.7 Karakteristik Perawat
Usia Semakin tua usia seseorang semakin kecil kemungkinan untuk
keluar dari pekerjaan, karena semakin kecil memiliki peluang
alternatif pekerjaan. Disamping itu, semakin tua usia
berkemungkinan kecil untuk mengundurkan diri dibanding usia yang
lebih muda (Robbins, 2006).
Beecroft, Dorey dan Wenten, (2008) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa karakteristik perawat yang berpengaruh dalam
keluar tidaknya perawat dalam masa orientasi adalah usia.
2.7.1. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan faktor demografi
yang berhubungan dengan komitmen. Tidak terdapat
perbedaan yang penting antara wanita dan pria yang akan
mempengaruhi kinerja mereka. Juga tidak terdapat
perbedaan yang konsisten pada pria dan wanita dalam hal
kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis,
pendorong persaingan, motivasi, sosiabilitas, atau
kemampuan belajar (Robbins, 2006).
Hasil beberapa penelitian psikologis menunjukkan bahwa
wanita lebih bersedia mematuhi wewenang sedangkan pria
58
lebih agresif dan berkemungkinan lebih besar memiliki
harapan atas keberhasilan. Jika dihubungkan dengan
tingkat kemangkiran dan keluar masuknya karyawan,
beberapa hasil penelitian mengatakan bahwa tidak ada
perbedaan yang mencolok antara pria dan wanita
(Robbins, 2006). Cooper dan Palmer (2000) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa jenis kelamin juga
berpengaruh dalam proses adaptasi.
2.7.2. Tingkat Pendidikan Pendidikan yang dimiliki individu
dalam suatu organisasi merupakan salah satu ukuran
dalam proses penempatan. Individu akan merasa senang
dan puas jika pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan
pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Pendidikan
merupakan suatu indikator yang mencerminkan
kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu
pekerjaan (Hasibuan, 2007).
Beecroft, Dorey dan Wenten (2008) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa karakteristik perawat yang
berpengaruh dalam keluar tidaknya perawat dalam masa
orientasi adalah tingkat pendidikan.
2.7.3. Lama Kerja Pekerjaan yang ditunjukkan oleh setiap
individu dipengaruhi oleh pengalaman dalam kurun waktu
tertentu. Semakin lama masa kerja individu dalam
organisasi, maka pengalaman kerja yang didapatkan
semakin bertambah dan mudah untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan kerjanya. Semakin lama seseorang
berada dalam pekerjaan, semakin kecil kemungkinan ia
mengundurkan diri (Robbins, 2006).
59
Wang, Sermsri, Sirisook dan Sawangdee (2003) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa lama kerja mempunyai
hubungan
dengan kepuasan kerja karena perawat yang mempunyai
masa kerja lama, lebih mudah mengerti dan beradaptasi
dengan lingkungan kerjanya. Masa kerja merupakan
pengalaman kerja karyawan yang meliputi lama waktu
bekerja (Sopiah, 2008).
2.7.4. Konflik/Stress
Beecroft, Dorey dan Wenten, (2008) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa karakteristik perawat yang
berpengaruh dalam keluar tidaknya perawat dalam masa
orientasi adalah konflik/stress (reality shock).
Mengenali konflik yang mungkin timbul antara preceptor
dan preceptee juga menjadi sesuatu yang penting
(Mamchur dan Myrick, 2003). Program orientasi harus
memberikan beberapa pandangan dan pendekatan baik
terhadap preceptor maupun preceptee bagaimana
mengenali dan menyelesaikan masalah. Koordinator
program dan/atau penasehat pendidik dapat memfasilitasi
bila dibutuhkan.
Pengalaman preceptorship dapat menyebabkan stress pada
preceptee (Yonge, Myrick, & Haase, 2002) dan dapat
mengarah pada kekecewaan terhadap profesi perawat.
Tanggung jawab dan tanggung gugat mereka sebagai
perawat baru untuk merawat pasien membuat mereka
stres. Ketidak pastian sehubungan dengan harapan akan
peran baru mereka dapat mengarah pada kebingungan
peran dan itu dirasakan sebagai suatu stresor di awal
60
pengalaman mereka sebagai perawat baru (Chang &
Hancock, 2003). Maka saling dan mempertahankan
informasi secara terbuka sangat penting antara preceptor
dan preceptee.
Preceptor ingin mengetahui bagaimana mengenali stres
pada preceptee, bagaimana preceptor mendampingi
mereka dalam mengelola stress dan kemana mencari
bantuan atau konseling bila dibutuhkan.
2.7.5. Strategi koping merupakan karakteristik perawat yang
berpengaruh dalam keluar tidaknya perawat dalam masa
orientasi menurut penelitian Beecroft, Dorey dan Wenten
(2008). Strategi koping adalah cara yang digunakan oleh
seseorang dalam menghadapi stressor. Adapun cara-cara
yang digunakan seseorang dalam mengatasi stressor
meliputi konfrontasi, menjauh, kontrol diri, mencari
dukungan sosial, menerima tanggung jawab, melarikan
diri-menghindar, penyelesaian masalah terencana, dan
penilaian secara positif.
Beecroft, Dorey dan Wenten (2008) dalam penelilitiannya
mengatakan bahwa mencari dukungan sosial sebagai
strategi koping meningkat. Penggunaan yang meningkat
akan strategi ini merupakan usaha perawat baru untuk
menghadapi stress transisi termasuk penyesuaian dengan
tugas baru, penguasaan keterampilan klinis, menjadi
anggota tim, mencari teman baru dan menghadapi ujian.
2.7.6. Self Efficacy Self efficacy (kemantapan diri) merupakan
karakteristik pribadi pendatang baru yang penting bagi
suatu organisasi (Saks dan Ashforth, 1997; Cooper dan
61
Palmer, 2000). Self efficacy adalah persepsi seseorang
yang dapat menghasilkan suatu tindakan yang mengarah
pada suatu hasil. Self efficacy adalah keyakinan seseorang
terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas yang
di percayakan kepadanya (Bandura, 1997 dalam Peterson,
2009).
Preceptee harus yakin terharap kemampuan serta
pengetahuan yang di milikinya sehingga preceptee bisa
beradaptasi dengan lingkungan dan memperoleh kepuasan
kerja.
2.8 Stress Kerja
2.8.1. Pengertian stress Kerja
Greenberg (2002) mengatakan bahwa stress kerja adalah
konstruk yang sangat sulit didefinisikan. Stress kerja
sebagai kombinasi antara sumber – sumber stress pada
pekerjaan, karakteristik individual dan stressor di luar
organisasi, stress juga didefinisikan interaksi antara
stimulus dengan respon individu berdasarkan penilaian
kognisinya terhadap stimulus yang dirasa mengancam
menyebabkan ketegangan emosi pada individu terhadap
suatu kondisi yang tidak pasti, namun kondisi tersebut
dirasakan sangat penting bagi individu.
Stress kerja merupakan suatu kondisiketika stressor kerja
secara sendiri atau bersama faktor lain berinteraksi dengan
karakteristik individu, menghasilkan gangguan
keseimbangan fisiologis dan psikologis, jika berlangsung
lama, gangguan itu akan mengganggu sistem
kardiovaskuler, gangguan jiwa, gangguan muskuloskeletal,
dan gangguan kesehatan lain, stress kerja juga dapat
menyebabkan organizational strain dalam bentuk absensi,
62
penurunan performa kerja, peningkatan angka cedera dan
turn over karyawan.
2.8.2. Faktor – faktor yang menyebabkan munculnya stress kerja
a. Sumber intrinsik pada pekerjaan, stress kerja pada
karyawan bisa bersumber pada pekerjaan itu sendiri,
keadaan kondisi kerja yang kurang nyaman, bimbingan
yang kurang optimal sehinggan menyebabkan stress
kerja.
b. Peran di dalam organisasi, di dalam melaksanakan
pekerjaan karyawan memiliki peran dan tanggung
jawab terhadap pekerjaannya, namun seringkali peran
ambigu dan konflik peran terjadi pada situasi kerja,
kondisi ini menyebabkan munculnya ketidaknyamanan
karyawan dan dapat menjadi pencetus munculnya stress
kerja
c. Perkembangan karir, terdiri dari promosike jenjang
yang lebih tinggi, tingkat keamanan kerja yang kurang,
perkembangan karir yang mengalami hambatan,
ancaman terhadapkarir dan prestasi , prospek promosi
yang tidak jelas akan berpengaruh terhadap munculnya
stress.
d. Hubungan relasi di tempat kerja, kurangnya hubungan
antara pimpinan, preceptor dan rekan kerja, interaksi
sosial dalam organisasi juga bisa menyebabkan stress
kerja.
e. Struktur organisasi dan iklim kerja, situasi atau iklim
organisasi mewarnai gaya kerja karyawan yang ada di
dalamnya, ketika iklimorganisasi yang kurang kondusif
akan memunculkan beberapa kendala karena terlalu
sedikit atau bahkan tidak ada partisipasi dalam
63
pembuatan keputusan/ kebijakan, hambatan dalam
perilaku, politik yang negatif di tempat kerja, kurang
efektifnya proses konsultasi, situasi ini cenderung akan
memunculkan stress pada karyawan, karena karyawan
tidak dapat bekerja dengan nyaman.
f. Faktor stress kerja yang bersumber di luar organisasi,
masalah dalam keluarga, peristiwa dalam kehidupan,
kesulitan secara finansial
2.8.3. Faktor yang menyebabkan perawat mengalami stress
a. Hubungan kurang baik antara penyedia, dokter, rekan
perawat, pasien dan keluarga pasien
b. Perawat menciptakan harapan yang tinggi terhadap diri
sendiri sebagai cara untuk mempertahankan emosi
c. Kejenuhan dalam bekerja
d. Lingkungan kerja yang kondusif
2.9 Konsep Pasien Safety
2.9.1. Keselamatan Pasien (Patient Safety)
2.9.1.1. Pengertian
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu
sistem yang diterapkan untuk mencegah
terjadinya cedera akibat perawatan medis dan
kesalahan pengobatan melalui suatu sistem
assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan
faktor risiko, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dan tindak lanjut dari
insident serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko (Dep Kes RI,
2006). Keselamatan pasien merupakan suatu
sistem untuk mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
64
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil.
Menurut National Health Performance
Committee (NHPC, 2001, dikutip dari
Australian Institute Health and Welfare (AIHW,
2009) mendefinisikan keselamatan pasien
adalah menghindari atau mengurangi hingga
ketingkat yang dapat diterima dari bahaya
aktual atau risiko dari pelayanan kesehatan atau
lingkungan di mana pelayanan kesehatan
diberikan. Fokus dari definisi ini adalah untuk
mencegah hasil pelayanan kesehatan yang
merugikan pasien atau yang tidak diinginkan.
2.9.1.2. Tujuan Sistem Keselamatan Pasien
Tujuan penerapan sistem keselamatan pasien di
rumah sakit antara lain:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien
dirumah sakit
b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit
terhadap pasien dan masyarakat.
c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan
(KTD)
d. Terlaksananya program pencegahan
sehingga tidak terjadi pengulangan KTD,
Dalam upaya pencapaian tujuan
keselamatan pasien ini, setiap rumah sakit
wajib melaksanakan sistem keselamatan
pasien melalui upaya- upaya sebagai
berikut:
65
1. Akselerasi program infeksion control
prevention (ICP)
2. Penerapan standar keselamatan pasien
dan pelaksanaan 7 langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit. Dan di
evaluasi melalui akreditasi rumah sakit
3. Peningkatan keselamatan penggunaan
darah (blood safety).
4. Dievaluasi melalui akreditasi rumah
sakit.
5. Peningkatan keselamatan pasien di
kamar operasi cegah terjadinya wrong
person, wrong site, wrong prosedure
(Draft SPM RS:100% tidak terjadi
kesalahan orang, tempat, dan prosedur
di kamar operasi)
6. Peningkatan keselamatan pasien dari
kesalahan obat.
7. Pelaksanaan pelaporan insiden di
rumah sakit dan ke komite keselamatan
rumah sakit.
2.9.1.3. Manfaat Program Keselamatan Pasien
Program keselamatan pasien ini memberikan
berbagai manfaat bagi rumah sakit antara lain:
a. Adanya kecenderungan “Green Product”
produk yang aman di bidang industri lain
seperti halnya menjadi persyaratan dalam
berbagai proses transaksi, sehingga suatu
produk menjadi semakin laris dan dicari
masyarakat.
66
b. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan
pasien akan lebih mendominasi pasar jasa
bagi Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-
asuransi dan menggunakan Rumah Sakit
tersebut sebagai provider kesehatan
karyawan/klien mereka, dan kemudian di
ikuti oleh masyarakat untuk mencari Rumah
Sakit yang aman.
c. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih
memukuskan diri dalam kawasan
keselamatan pasien.
2.9.1.4. Indikator Keselamatan Pasien
Berdasarkan laporan IOM tahun 1999 tentang
masalah keselamatan pasien yang
menghebohkan dunia kesehatan mendorong
banyak pihak berupaya melakukan hal untuk
memperbaiki kualitas pelayanan terutama yang
berhubungan dengan keselamatan pasien. Para
peneliti dalam bidang keperawatan berusaha
mengembangkan indikator mutu pelayanan
keperawatan yang potensial bersifat sensitif
terhadap kepegawaian. Needleman, et al.
(2006) melakukan penelitian mengenai staffing
dan adverse outcomes.
Mulai tahun 2007, WHO Collaborating Center
For Patient Safety berupaya menetapkan
Sembilan Solusi keselamatan pasien untuk
mempermudah pendeteksian terjadinya masalah
pada keselamatan pasien di Rumah Sakit, yaitu :
(1) Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan
mirip (look-alike), sound-alike medication
67
names). (2) Pastikan Identifikasi pasien, (3)
Komunikasi secara benar saat serah terima
pasien, (4) Pastikan tindakan yang benar pada
sisi tubuh yang benar, (5) Kendalikan cairan
elektrolit pekat, (6) Pastikan akurasi pemberian
obat pada pengalihan pelayanan, (7) Hindari
salah kateter dan salah sambung gelamng, (8)
Gunakan alat injeksi sekali pakai, dan (9)
Tingkatkan kebersihan tangan unuk pencegahan
infeksi nosokomial (WHO, 2007 dalam Tim
KP-RS RSUP Sanglah Denpasar, 2011).
2.9.1.5. Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan
syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit
yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit.
Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine
Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO
(2007) yang digunakan juga oleh Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS
PERSI),dan dari Joint Commission
International (JCI).
Enam sasaran keselamatan pasien yang menjadi
prioritas gerakan keselamatan pasien.
Enam sasaran keselamatan pasien adalah
tercapainya hal-hal sebagai berikut :
a. Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien dengan
Tepat Rumah sakit mengembangkan
pendekatan untuk memperbaiki /
68
meningkatkan ketelitian dalam
mengidentifikasi pasien. Kesalahan dalam
mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada
pasien yang dalam keadaan yang
terbius/tersedasi, disorientasi, tidak sadar,
bertukar tempat tidur / kamar / lokasi di
rumah sakit, adanya kelainan sensori,
atau akibat situasi yang lain.
Adapun elemen penilaian untuk sasaran ini
adalah sebagai berikut :
1. Pasien yang dirawat diidentifikasi
dengan menggunakan gelang identitas
sedikitnya dua identitas pasien (nama,
tanggal lahir atau nomor rekam medik)
2. Pasien yang dirawat diidentifikasi
dengan warna gelang yang ditentukan
dengan ketentuan biru untuk laki-laki
dan merah muda untuk perempuan,
merah untuk pasien yang mengalami
alergi dan kuning untuk pasien dengan
risiko jatuh (risiko jatuh telah diskoring
dengan menggunakan protap penilaian
skor jatuh yang sudah ada)
3. Pasien yang dirawat diidentifikasi
sebelum pemberian obat, darah, atau
produk darah.
4. Pasien yang dirawat diidentifikasi
sebelum mengambil darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.
69
5. Pasien yang dirawat diidentifikasi
sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/prosedur.
b. Sasaran II: Meningkatkan Komunikasi yang
Efektif Rumah sakit mengembangkan
pendekatan untuk meningkatkan
komunikasi yang efektif antar para pemberi
layanan. Komunikasi yang dilakukan secara
efektif, akurat , tepat waktu, lengkap, jelas,
dan yang mudah dipahami oleh pasien akan
mengurangi kesalahan dan dapat
meningkatkan keselamatan pasien.
Komunikasi yang mudah menimbulkan
kesalahan persepsi kebanyakan terjadi pada
saat perintah diberikan secara lisan atau
melalui telepon. Komunikasi yang mudah
terjadi kesalahan yang lain adalah
pelaporan kembali hasil pemeriksaan
kritis. Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon
termasuk mencatat perintah yang lengkap
atau hasil pemeriksaan oleh penerima
perintah, kemudian penerima perintah
membacakan kembali (read back) perintah
atau hasil pemeriksaan dan melakukan
mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah
dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat.
Kebijakan atau prosedur pengidentifikasian
juga menjelaskan bahwa diperbolehkan
tidak melakukan pembacaan kembali (read
70
back) bila tidak memungkinkan seperti di
kamar operasi dan situasi gawat darurat.
Adapun elemen penilaian pada sasaran II ini
terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:
a. Melakukan kegiatan “READ BACK‟
pada saat menerima permintaan secara
lisan atau menerima intruksi lewat
telepon dan pasang stiker ‟SIGN HERE‟
sebagai pengingat dokter harus tanda
tangan.
b. Menggunakan metode komunikasi yang
tepat yaitu SBAR saat melaporkan
keadaan pasien kritis, melaksanakan
serah terima pasien antara shift (hand
off) dan melaksanakan serah terima
pasien antar ruangan dengan
menggunakan singkatan yang telah
ditentukan oleh manajemen.
c. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat
yang Membutuhkan Perhatian Rumah sakit
perlu mengembangkan suatu pendekatan
untuk memperbaiki keamanan obat-obat
yang perlu diwaspadai (high-alert). Bila
obat-obatan menjadi bagian dari rencana
pengobatan pasien, manajemen rumah sakit
harus berperan secara kritis untuk
memastikan keselamatan pasien agar
terhindar dari risiko kesalahan pemberian
obat. Obat-obatan yang perlu diwaspadai
71
(high alert medications) adalah obat yang
sering menyebabkan terjadi kesalahan
serius (sentinel event), obat yang berisiko
tinggi menyebabkan dampak yang tidak
diinginkan (adverse outcome) seperti obat-
obat yang terlihat mirip dan
kedengarannya mirip. Rumah sakit secara
kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan atau prosedur untuk membuat
daftar obat-obat yang perlu diwaspadai
berdasarkan data yang ada di rumah
sakit tersebut. Kebijakan atau prosedur
juga dapat mengidentifikasi area mana
saja yang membutuhkan elektrolit
konsentrat, seperti di IGD atau kamar
operasi, serta pemberian label secara benar
pada elektrolit dan bagaimana
penyimpanannya di area tersebut,
sehingga membatasi akses, untuk
mencegah pemberian yang tidak
sengaja/kurang hati-hati.
Elemen yang merupakan standar penilaian
sasaran III adalah sebagai berikut :
1. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai
obat Look Like dan Sound Alike (LASA)
atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)
2. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK
dan COUNTER SIGN setiap distribusi
obat dan pemberian obat pada masing-
masing instansi pelayanan.
72
3. Menerapkan agar Obat yang tergolong
HIGH ALERT berada di tempat yang
aman dan diperlakukan dengan
perlakuan khusus
4. Menjalankan Prinsip delapan Benar
dalam pelaksanaan pendelegasian Obat
(Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat,
Masa Berlaku Obat, Dosis, Waktu, Cara,
dan Dokumentasi).
d. Sasaran IV: Mengurangi risiko salah Lokasi,
salah pasien dan tindakan operasi .
Rumah sakit dapat mengembangkan suatu
pendekatan untuk memastikan pemberian
pelayanan dilakukan dengan tepat lokasi, tepat-
prosedur, dan tepat- pasien. Salah lokasi, salah
pasien, salah prosedur, pada operasi adalah
sesuatu yang menkhawatirkan dan kemungkinan
terjadi di rumah sakit.
Elemen yang menjadi penilaian pada sasaran IV
ini adalah memberi tanda spidol skin marker
pada sisi operasi (Surgical Site Marking) yang
tepat dengan cara yang jelas dimengerti dan
melibatkan pasien dalam hal ini (Informed
Consent)
e. Sasaran V: Mengurangi Risiko Infeksi
Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi
yang terkait pelayanan kesehatan yang
diberikan. Pencegahan dan pengendalian
73
infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan
biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan
merupakan hal yang menjadi perhatian besar
bagi pasien maupun para profesional
pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya
Elemen yang menjadi penilaian sasaran V
adalah sebagai berikut :
1. Rumah sakit mengadopsi atau
mengadaptasi pedoman Five Moment Hand
Hygiene dan digunakan dalam tatanan
kesehatan untuk pelayanan ke pasien.
2. Menggunakan Hand rub di ruang
perawatan dan melakukan pelatihan cuci
tangan efektif.
3. Memberikan tanggal dengan menggunakan
spidol atau tinta yang jelas setiap
melakukan prosedur invasif (infuse, dower
cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)
f. Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien
Jatuh
Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi risiko pasien
dari cedera karena jatuh. Jumlah kasus jatuh
cukup bermakna sebagai penyebab cedera
bagi pasien rawat inap. Dalam konteks
masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
disediakan, dan fasilitasnya rumah sakit perlu
mengevaluasi risiko pasien jatuh dan
74
mengambil tindakan untuk mengurangi risiko
cedera bila sampai jatuh.
Elemen yang menjadi penilaian sasaran VI
adalah sebagai berikut.
1. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada
pasien yang dirawat di rumah sakit.
2. Melakukan tindakan untuk mengurangi atau
menghilangkan risiko jatuh.
3. Memberikan tanda bila pasien berisiko
jatuh dengan gelang warna kuning dan kode
jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen
2.9.1.6. Langkah - Langkah Penerapan Sistem
Keselamatan Pasien
Penerapan sistem keselamatan pasien
membutuhkan dukungan dari berbagai bidang.
Langkah-langkah yang harus dilakukan antara
lain:
a. Membangun budaya kerja yang
mementingkan keselamatan dan keamanan
pasien dengan meningkatkan kewaspadaan
secara terus-menerus.
b. Kepemimpinan dan dukungan terhadap
seluruh petugas rumah sakit dalam menjaga
keselamatan dan keamanan pasien :
keteladanan, evaluasi dan umpan balik,
coaching dan mentoring terhadap staf secara
berkesinambungan untuk memberdayakan
petugas rumah sakit, dukungan terhadap
upaya keselamatan pasien juga mencakup
75
alokasi sumber daya manusia, informasi,
bahan dan peralatan.
c. Melakukan manajemen risiko secara
terpadu. Makna manajemen risiko tidak
hanya terbatas pada litigasi oleh pasien
maupun petugas kesehatan, tetapi lebih
mendasar lagi khususnya keselamatan
pasien, petugas kesehatan dan pengunjung
rumah sakit, manajemen, analisis
pemantauan, investigasi, dan pelatihan
mengendalikan risiko merupakan suatu
kesatuan. Pertimbangan risiko harus menjadi
bagian strategi menajemen pelayanan
kesehatan.
d. Menganjurkan dan memfasilitasi pelaporan
semua kasus medical error yang dapat
digabungkan dari tingkat lokal sampai
tingkat nasional dengan menjaga
kerahasiaan pasien dan organisasi yang
melaporkan. Pelaporan harus menjadi
pendorong pembelajaran yang harus
dikembangkan dengan budaya pelaporan
yang tanpa dibayangi ketakutan akan
hukuman.
e. Melibatkan pasien, keluarga dan seluruh
masyarakat, menjelaskan dan bila perlu
minta maaf, menyelidiki penyebab secara
terbuka. Mendukung pasien dan keluarga
bagaimana mengatasi dampak kesalahan
medis, bekerjasama dalam pengobatan dan
perawatan lebih lanjut, dan melibatkan
76
pasien dalam investigasi dan rekomendasi
untuk perubahan.
f. Mempelajari dan menyebarluaskan temuan
tentang penyebab kegagalan medis
diantaranya pendekatan root cause analysis,
dinamika sistem, diagram tulang ikan, dan
lain-lain.
g. Memberikan solusi-solusi untuk mencegah
”harm”, bukan hanya sebatas menganjurkan
staf untuk berhati-hati tetapi mengatasi
permasalahan mendasar, merancang
peralatan dan sistem serta proses-proses
lebih intuitif, mempersulit petugas untuk
melakukan kesalahan dan mempermudah
petugas untuk menemukan kesalahan.
2.9.1.7. Standar Patient Safety
Menurut PERMENKES Nomor 11 tahun 2017
Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus
ada beberapa standar yang wajib dimiliki oleh
Rumah Sakit dalam menjalankan program
keselamatan pasien.
a. Standar I. Ketentuan tentang hak pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak
untuk mendapatkan informasi tentang
rencana dan hasil pelayanan termasuk
kemungkinan terjadinya KTD.
77
Adapun kriteria dari standar ini adalah :
1. Harus terdapat dokter penanggung jawab
pelayanan.
2. Dokter penanggung jawab pelayanan
wajib membuat rencana pelayanan
kesehatan.
3. Dokter yang menjadi penanggung jawab
pelayanan wajib memberikan penjelasan
secara jelas dan benar kepada pasien dan
keluarganya tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan dan prosedur
untuk pasien termasuk kemungkinan
terjadinya KTD.
b. Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.
Rumah sakit harus mendidik pasien dan
keluarganya tentang kewajiban dan tanggung
pasien dalam asuhan kesehatan pasien.
Adapun kriteria dari standar tersebut antara
lain.
Keselamatan pasien dalam pemberian
pelayanan dapat di tingkatkan dengan
keterlibatan pasien yang merupakan patner
dalam proses pelayanan. Karena itu di rumah
sakit harus ada sistem dan mekanisme
mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam
asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut
di harapkan pasien dan keluarga dapat :
78
1. Memberi informasi yang tepat, benar,
jelas, lengkap dan jujur.
2. Mengetahui kewajiban dan tanggung
jawab pasien dan keluarga.
3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan
untuk hal yang tidak dimengerti.
4. Memahami dan menerima konsekuensi
pelayanan kesehatan.
5. Mematuhi instruksi dan menghormati
peraturan rumah sakit.
6. Memperlihatkan sikap menghormati dan
tenggang rasa.
7. Memenuhi kewajiban finansial yang
disepakati.
c. Standar III. Keselamatan pasien dan
kesinambungan pelayanan. Rumah sakit
menjamin kesinambungan pelayanan
kesehatan dan menjamin koordinasi antar
tenaga dan antar unit pelayanan.
Adapun kriteria:
1. Adanya koordinasi yang baik dari
pelayanan kesehatan secara menyeluruh
mulai dari saat pasien masuk,
pemeriksaan, diagnosis, perencanaan
pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan
dan saat pasien keluar dari rumah sakit.
2. Adanya koordinasi pelayanan kesehatan
yang di sesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan kelayakan sumber daya secara
berkesinambungan sehingga pada seluruh
79
tahap pelayanan transaksi antar unit
pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
3. Adanya koordinasi pelayanan yang
mencakup peningkatan komunikasi untuk
memfasilitasi dukungan keluarga,
pelayanan keperawatan, pelayanan sosial,
konsultasi dan rujukan, pelayanan
kesehatan primer dan tindak lanjut
lainnya.
4. Adanya komunikasi dan transfer
informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses
koordinasi tanpa hambatan, aman dan
efektif.
d. Standar IV. Rumah sakit mesti mendesain
proses baru atau memperbaiki proses yang
ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja
melalui pengumpulan data, menganalisis
secara intensif KTD, dan melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja serta
keselamatan pasien.
Kriteria dari standar IV adalah sebagai
berikut:
1. Setiap rumah sakit melakukan proses
perencanaan yang baik dengan mengacu
pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,
kebutuhan pasien-petugas pelayanan
kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik
bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain
yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai
80
dengan ”Tujuh langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit”
2. Setiap rumah sakit melakukan
pengumpulan data kinerja antara lain
yang terkait dengan pelaporan insiden,
akreditasi, manajemen risiko, utilisasi,
mutu pelayanan dan keuangan.
3. Setiap rumah sakit melakukan evaluasi
intensif terkait dengan semua KTD/KNC,
dan secara proaktif melakukan evaluasi
suatu proses kasus resiko tinggi bagi
pasien.
4. Setiap rumah sakit menggunakan semua
data dan informasi hasil analisis untuk
menentukan perubahan sistem yang di
perlukan agar kinerja dan keselamatan
pasien terjamin.
e. Standar V. Peran kepemimpinan dalam
meningkatkan keselamatan pasien.
Kriteria dari standar ini adalah sebagai
berikut.
1. Terdapat tim antar disiplin untuk
mengelola program keselamatan pasien
guna meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit.
2. Tersedia program proaktif untuk
mengidentifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden yang
mencakup jenis kejadian yang
memerlukan perhatian, mulai dari
81
KNC/Kejadian Nyaris Cedera (Near
miss) sampai dengan KTD (Adverse
event)
3. Tersedianya mekanisme kerja untuk
menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi serta
berpartisipasi dalam program
keselamatan pasien.
4. Tersedia prosedur yang cepat tanggap
terhadap insiden, termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah,
membatasi risiko pada orang lain dan
penyampaian informasi yang benar dan
jelas untuk keperluan analisis.
5. Tersedia mekanisme pelaporan baik
internal dan eksternal yang berkaitan
dengan insiden termasuk penyediaan
informasi yang benar dan jelas tentang
analisis akar masalah (RCA) kejadian
pada saat program keselamatan pasien
mulai di laksanakan.
6. Tersedia mekanisme untuk menangani
berbagai jenis insiden atau kegiatan
proaktif untuk memperkecil resiko
termasuk mekanisme untuk mendukung
staf dalam kaitan dengan kejadian yang
tidak diinginkan.
7. Terdapat kolaborasi dan komunikasi
terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan di dalam
82
Rumah Sakit dengan pendekatan antar
disiplin.
8. Tersedia sumber daya dan sistem
informasi yang dibutuhkan dalam
kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit
dan perbaikan Keselamatan Pasien,
termasuk evaluasi berkala terhadap
kecukupan sumber daya tersebut.
9. Tersedia sasaran terukur dan
pengumpulan informasi menggunakan
kriteria obyektif untuk mengevaluasi
efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit
dan keselamatan pasien, termasuk
rencana tindak lanjut dan
implementasinya.
f. Standar VI. Mendidik staf tentang
keselamatan pasien.
1. Rumah sakit memiliki proses
pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk
setiap jabatan mencakup keterkaiatan
jabatan dengan keselamatan pasien
secara jelas dan transparan.
2. Rumah sakit menyelenggarakan program
pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan
memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisiplin
dalam pelayanan pasien.
Kriteria dari standar ini adalah sebagai
berikut :
83
1. Setiap rumah sakit harus memiliki
program pendidikan, pelatihan dan
orientasi bagi staf baru yang memuat
topik tentang keselamatan paien
sesuai dangan tugasnya masing-
masing.
2. Setiap rumah sakit harus
mengintegrasikan topik keselamatan
pasien dalam setiap kegiatan
inservice training dan memberi
pedoman yang jelas tentang
pelaporan insiden.
3. Setiap rumah sakit harus
menyelenggarakan training tentang
kerjasama kelompok guna
mendukung pendekatan interdisiplin
dan kolaboratif dalam rangka
melayani pasien.
g. Standar VII. Komunikasi merupakan kunci
bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
1. Rumah sakit harus merencanakan dan
mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi
kebutuhan informasi internal dan
eksternal
2. Transmisi data dan informasi harus tepat
waktu dan akurat.
84
Kriteria dari standar ini adalah :
1. Rumah sakit perlu menyediakan
anggaran untuk merencanakan dan
mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi
tentang hal-hal terkait dengan
keselamatan pasien.
2. Tersedia mekanisme untuk
mengidentifikasi masalah dan kendala
komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada.
85
2.10 Kerangka Teori
Kerangka teori pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah
ini.
Gambar. 2.1 Kerangka Teori
Metode Pelatihan:
a. On the job training
Instruksi
Rotasi
Magang
Pelatihan
jabatan
(Hasibuan, 2005
b. Off the job
training
Ceramah
Pelatihan
vestibule
Demonstrasi
Simulasi
Belajar
terprogram
(Ranupandoyo &
Husnan, 2003)
Fungsi ketenagaan
1. Rekrutmen
2. Wawancara
3. Seleksi
4. Penempatan
5. Orientasi
6. Penjadwalan
7. Pengembangan
( Marquis & Hustn 2010)
Pelatihan preceptorship:
a. Persiapan pertemuan
b. Pelaksanaan
c. Evaluasi
Kompetensi yang dimiliki
1. kemampuan berkomunikasi
secara baik dan benar
2. mampu menjadi model
peran professional,
3. berkeinginan memberikan
waktu yang cukup untuk
peserta didik
4. Preseptor mampu menjadi
pendengar yang baik dan
mampu menyelesaikan
masalah
5. kompeten dan percaya diri
dalam peran sebagai
preceptor
(AIPNI,2016)
Aspek Kepuasan perawat
1. Otonomi
2. Variasi
3. Identitas tugas
4. Pentingnya pekerjaan
5. Umpan balik
(Siagian,2009)
asumsi adaptasi Struart :
1. Memandang alam
dalam suatu hirarki
sosial
2. Menggunakan
pendekatan
biopsikososial yang
holistik pada praktik
asuhan keperawatan
3. Memandang
adaptasi/maladptasi
berbedadari sehat/sakit
4. Mengidentifikasi
empat tahap asuhan,
krisis, akut,
pemeliharaan
kesehatan dan promosi
kesehatan
5. Digunakan lintas
tatanan pelayanan dan
sepanjang rentang
asuhan
6. Didasarkan pada
standar asuhan
keperawatan (Hamid,
2016)
Proses adaptasi perawat
baru
1. Fase bulan madu
2. Fase shock
3. Fase pemulihan
4. Resolusi
(Marquis,2003)
Fungsi manajemen
1. Perencanaan 2. Pengorganisasian 3. Pengaturan staf 4. Pengarahan 5. pengendalian
(KemKes RI, 2018)
Karakteristik
Perawat: 1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Masa Kerja
5. Konflik/stres
6. Strategi koping
7. Kemantapan diri
(self efficacy)
(Beecroft, Dorey dan
Wenten, 2008)
Recommended