View
57
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
Writing is like Saying
PORTOFOLIORINA ANGGRAENI SAFIA
About Me
1
I have a passion in writing. Since childhood, I wrote about thechildren's stories for my self. I had represented my junior highschool in Essay Writing Competition. My short story about“Persembahan Untuk Ayah” brought me as the best ten shortstory writer in Writing Competition. I have an anthology bookwhich have been published by Javakarsa Media in title"Kompilasi Rasa: Kumpulan Puisi, Prosa, dan Cerpen". Now, Iam writing in my personal blog cawansastra.wordpress.com.For me, writing is like saying.
PORTOFOLIO
Rina Anggraeni Safia
Buletin Kabar IndonesiaMengajar
Kabar Indonesia Mengajar bulletin published every half ayear as a form of change reports and news from variousparts of the Young Teacher placement locations. Thisbulletin is distributed to IM’s stakeholders and partners.I had been a contributor to two articles which publishedin different semesters.
2
1
Nomor 7/Tahun VSemester I 2015
MENUJUIM 2.0
22
22
CERITA SEMESTA
Merajut Keberlanjutan Dalam Kemasan Sederhana“Sebuah cerita tentang satu langkah, dimana keberlanjutan gerakan pendidikan dan
dampak positif adalah muara akhir yang ingin dituju”
I
Oleh: Rina Anggraeni Safia | Pengajar Muda Angkatan IX Kabupaten Majene
ni adalah tahun terakhir Pengajar Muda bertugas di
sini. Lima tahun adalah perjalanan saat Indonesia Mengajar meyakini bahwa keberlanjutan gerakan akan hadir dari interaksi para aktor penggerak pendidikan di daerah.
Setengah tahun waktu yang tersisa bukan hanya untuk menuntaskan apa yang belum selesai atau melanjutkan apa yang telah mapan dan baik, tapi juga untuk mempersiapkan kemandirian dan keberlanjutan dalam sebuah ruang interaksi dan kolaborasi dimana seluruh elemen masyarakat bertemu dan bersama-sama bergerak demi pendidikan yang lebih baik di daerahnya.
Maka, waktu yang tidak banyak dan terus berjalan ini, jangan lagi mencetuskan hal-hal besar jika hanya kita sendiri yang bergerak, tapi letakkan hal-hal kecil selama banyak tangan yang ikut membangun dan banyak kaki yang ikut bergerak.
Forum Keberlanjutan (FK) merupakan satu langkah yang diharapkan bisa menjadi muara kecil bertemunya seluruh elemen masyarakat untuk ikut terlibat memikirkan, menemukan, kemudian memetakan cita-cita di bidang pendidikan. FK telah menjadi salah satu menu wajib yang telah dikonsumsi oleh 5 kabupaten terakhir penempatan Pengajar Muda, termasuk salah satunya adalah Kabupaten Majene. FK yang diselenggarakan pada 22 Desember 2014 telah menyuguhkan
ruang interaksi yang baru bagi para aktor pendidikan. Mereka bertemu, berdiskusi, berkolaborasi dan berkomitmen untuk mencapai pendidikan yang lebih baik.
Berangkat dari FK di Kabupaten, maka diadopsilah FK tersebut untuk tingkat dusun yang diharapkan mampu mengolaborasikan ide antaraktor pendidikan di tingkat dusun, membantu masyarakat untuk memetakan kebutuhan mereka di bidang pendidikan, mendampingi masyarakat menyusun strategi dan program beserta penanggung jawabnya dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka di bidang pendidikan, dan menumbuhkan kemandirian serta kepercayaan diri masyarakat dalam memajukan pendidikan di dusun mereka tanpa Pengajar Muda. FK Dusun yang telah dilaksanakan diberi nama Forum Bersama (FB). Nama Forum Bersama dipilih agar lebih dipahami oleh masyarakat dusun, dan membentuk pola pikir masyarakat bahwa forum ini merupakan sebuah forum mereka untuk membicarakan serta mendiskusikan hal-hal yang dibutuhkan secara bersama-sama.
FB yang telah diselenggarakan pada 9 Mei 2015 di SDN 33 Buttutala telah berhasil mempertemukan berbagai aktor pendidikan di tingkat dusun antara lain kepala sekolah, guru PNS, guru honorer, penjaga sekolah, komite sekolah, orang tua siswa, kepala dusun, imam dusun, perwakilan remaja, dan guru TPA. Kekhawatiran
sempat melanda diri saya, tentang kebekuan dalam forum karena tidak ada inisiatif yang muncul, tentang peserta yang tidak seluruhnya hadir, atau terjadi persepsi yang seharusnya dibawa menuju hal positif ternyata lari ke hal negatif.
Selaku fasilitator, saya membuka forum dengan sebuah apresiasi atas peran masyarakat dalam mendukung kemajuan pendidikan di dusun mereka selama ini. Proses yang digunakan dalam forum adalah Appreciative Inquiry (AI) dengan pengemasan yang lebih sederhana, mengingat peserta yang hadir merupakan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah bahkan beberapa tidak mengerti Bahasa Indonesia serta belum bisa baca tulis. Selama proses memang terlihat seperti rapat atau diskusi pada umumnya, namun sebenarnya peserta diajak berpikir tahap per tahap. Peran Pengajar Muda sebagai fasilitator yang mendampingi peserta menyelesaikan tahap per tahap proses AI.
Selama proses berlangsung, Pengajar Muda hanya mendominasi pada bagian pembukaan dan apresiasi. Proses diskusi selanjutnya, kepala dusun dan seorang guru mampu menjadi pengarah diskusi, sesuai dengan apa yang saya dan fasilitator lain rencanakan. Lebih dari itu, mereka mampu mengajak dan mendorong peserta yang lain untuk aktif berpendapat dan mengeluarkan ide mereka. Saya menyimpulkan hasil tiap tahap dan membawa peserta ke tahap
23
- semangat belajar dan percaya diri anak-anak meningkat- anak-anak terbina dalam bidang pengetahuan dan agama- anak-anak dapat berkompetisi sampai tingkat kabupaten- masyarakat terbantu dalam masalah kesehatan hingga birokrasi- kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan meningkat
- pendidikan moral secara keseluruhan - perpustakaan di luar rumah PM- membangun semangat belajar di luar sekolah- perkumpulan ibu-ibu- pemberantasan buta huruf - mencari kader penerus guru ngaji - kepemilikan Iqra’ per siswa
- membangun taman baca- kelompok belajar anak-anak- kelompok belajar orang tua yang buta huruf- kelompok majelis ta’lim- kaderisasi guru TPA
Program
taman bacakelompok belajar anakkelompok majlis ta’limkelompok belajar orang
tuaPelatihan guru TPA
Penangung jawab
Pak SandiPak Sandi
Mamak DinaNardi
Nardi dan Icang
23
Bermula dari muara kecil ini, hal-hal positif ternyata menye-bar pelan-pelan dan menjem-put satu per satu kepercayaan masyarakat pada kemampuan mereka sendiri
enyum merekah di wajah mereka, bola mata berbinar penuh takjub. Papan tulis telah penuh dengan hal-hal positif yang dipetakkan sendiri oleh peserta. Sebenarnya masyarakat dusun telah memiliki kemandirian dalam hal ide, namun tidak ada forum yang memfasilitasi ide-ide mereka. Kepala dusun sendiri telah mampu memimpin jalannya forum, dan menggerakkan para peserta untuk mengeluarkan inisiatif mereka. Beberapa peserta, seperti Pak Gustiar dan Pak Nardi pun bisa menjadi penggerak peserta lain untuk mengeluarkan pendapat mereka, bahkan mereka membantu Pengajar Muda untuk menerjemahkan kalimat beberapa warga ke dalam Bahasa Indonesia.
“Pertemuan seperti ini bagus sekali ternyata, Bu. Sepertinya saya harus
rutin mengadakan pertemuan lagi. Nanti Ibu guru mendampingi saya saja”, Ucap Pak kepala dusun sembari menjabat erat tangan Pengajar Muda.
Bermula dari muara kecil ini, hal-hal positif ternyata menyebar pelan-pelan dan menjemput satu per satu kepercayaan masyarakat pada kemampuan mereka sendiri. Bermula dari sebuah ruang kecil di salah satu sudut sekolah, ternyata menularkan kekuatan untuk masyarakat dapat bergerak sendiri atas inisiatif mereka. Tak perlu sebuah pertemuan besar dengan sederet bahasan yang sangat intelektual, cukup perbincangan sederhana yang mudah dipahami akan tetapi melahirkan ide dan langkah kecil yang berdampak besar.
“Segera berbuat, serentak bergerak”
S
berikutnya. Forum ditutup dengan menyampaikan motivasi untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan komitmen dalam menjalankan program-program yang telah dipetakan bersama meskipun Pengajar Muda sudah tidak ada lagi di dusun.
Lebih dari ekspektasi, keterbatasan dalam pengusaan Bahasa Indonesia dan kemampuan baca tulis ternyata tidak menghalangi mereka untuk berkontribusi dalam menyumbang ide bagi kemajuan pendidikan di daerah mereka. Peserta telah mampu menggali kebutuhan dan paham strategi-strategi sederhana yang harus mereka lakukan untuk mencapai tujuan dalam upaya memenuhi kebutuhan, strategi yang mereka sampaikan mungkin terdengar sangat sederhana, tetapi persetujuan bersama pada akhir forum adalah hal yang dibutuhkan untuk memulai sebuah langkah kolaborasi.
Hasil diskusi forum FK dengan menggunakan pendekatan Appreciative Inquiry
Buletin Indonesia Mengajar | Nomor VIII/Tahun VI 2016
Waktu yang Tepat Untuk Berpisah*
Oleh : Rina Anggraeni Safia (Pengajar Muda IX Kabupaten Majene)
“Perjalanan biasa hanya membawa diri sendiri pada kebajikan, tapi perjalanan luar biasasanggup membawa diri dan seluruh semesta disekitarnya turut bergerak menuju
kebajikan”
Salah satu yang membahagiakan adalah ketika seorang alumni Pengajar Muda (PM)kembali ke daerah penempatan dan bercerita tentang sejarah perjalanan yang ia lakoni.Cerita tentang masih banyak anak yang sering naik meja dan berteriak, guru yang hadirsebulan sekali, orang tua yang mengacuhkan proses tumbuh kembang anak, dan susahnyamenemukan kawan yang punya kepedulian yang sama membangun pendidikan di daerah.
Bagaimana dengan kalian? Saya pribadi selalu menunggu kalimat pamungkas ketikaakhirnya rangkaian ingatan menjelma menjadi sebuah pernyataan dan pertanyaankonfirmasi, “Sekarang sudah banyak berubah ya? Melegakan sekali disambut banyak gurudan anak-anak yang sopan nan ceria ketika kembali menginjak sekolah ini.”
Perubahan-perubahan positif itu bukan seutuhnya buah tangan dari PM 9 sebagaiepilog garda depan angkatan ganjil. Bukan pula sepenuhnya buah karya orang-orang di baliklayar yang berkutat di Galuh, kantor pusat Indonesia Mengajar. Rangkaian perubahan yangkami saksikan adalah jerih payah dan peluh keringat seluruh orang yang telah turut menjaganyala lilin kebajikan ini senantiasa terus bernyala.
Saya jadi teringat percakapan kecil dengan Tiwi, anggota Komuntas Majene Volunteer.“Kenapa kalian harus pergi saat kami terbakar semangat untuk banyak berbuat lebih? Kankami masih butuh pendamping,” ujarnya sedikit dengan nada protes. Saya memandangnyasejenak kemudian beralih fokus ke deretan aksesoris dan kertas warna-warni, “Ya, karena
Buletin Indonesia Mengajar | Nomor VIII/Tahun VI 2016
kalian sudah terlalu keren, terlalu bersemangat, itulah pertanda kami sudah waktunya pulang.Kami hanya pemantik lilin, kalian adalah yang sebenar-benarnya lilin bagi Majene.”
Syukuran Indonesia Mengajar di Majene dilaksanakan pada 30 Desember 2015. Acaradiramaikan oleh festival komunitas yang memajukan pendidikan di Majene, sebut sajaMajene Volunteer, Kelas Inspirasi Majene, Perahu Pustaka dari Polewali Mandar, Komunitas1000 Guru Sulbar, Sahabat Kita Pinrang, Penyala Makassar dan Mamuju Mengajar. Pararelawan seolah sudah ahli mencuri waktu di sela kesibukan mereka sebagai kaum profesionaldan juga pemilik keluarga.
Melihat semua ini, bukankah memang ini waktu yang tepat untuk melambaikantangan? Bukan karena segala tantangan pendidikan di Majene telah usai, tapi karena telahada banyak tangan yang siap melanjutkan estafet Pengajar Muda, tangan pemuda-pemudidaerah yang sanggup menyelesaikan beragam tantangan yang ada.
Malam yang dinantikan banyak orang akhirnya tiba. Seluruh elemen masyarakatberkumpul di satu tempat yang sama, baik pemerintah daerah, penggerak daerah dariberbagai komunitas, kepala sekolah, guru, siswa-siswi, serta masyarakat sipil lainnya. Malamini kami berpesta, bersuka cita merayakan dan mengapresiasi keberhasilan yang tidak gratis.
Seketika mata saya tertuju di stand paling ujung, stand Majene Volunteer. Merekaadalah kumpulan pemuda-pemudi yang dipertemukan satu sama lain setelah Kelas Inspirasipertama di Majene. Aksi nyata mereka antara lain, pendirian taman baca di Dusun Luaor danLimboro dan penyelenggaraan Ruang Berbagi Ilmu (RuBI) Majene. Mengutip perkataan Okky(Koordinator PM 9 Majene), sesungguhnya PM hanya mak comblang. PM bertugasmempertemukan jodoh positif antara relawan Jakarta dan relawan daerah. RuBI Majene jugamembuka ruang kolaborasi yang kuat antara pemerintah daerah dan relawan daerah.
Masih teringat jelas ketika bulan-bulan pertama saya bertugas di Majene. Saya danteman-teman PM berangkat ke Kabupaten dan mendaftarkan anak-anak untuk bertanding diSMP 3 Unggulan Majene. Ini pertama kali anak-anak dari SD pedalaman yang jauh dariKabupaten ikut berpartisipasi dalam lomba tersebut. Lawan tanding mereka adalah SDunggulan dari kabupaten yang tiap tahun membawa piala kemenangan. Semangat dankegembiraan muncul bukan karena yakin bakal merebut juara. Mereka bahagia telah mampumenjadi lawan seimbang dengan anak-anak SD unggulan, bertemu dengan teman-temanbaru, mengantongi segenggam pengalaman berharga, dan berkesempatan melihat KotaKabupaten. Cerita bahwa mereka berhasil membawa pulang kemenangan adalah bonus. Darisekolah saya, ada Icha dari SDN Inpres 39 Manyamba membawa pulang juara pertama LombaBercerita, Ra’uf dari SDN 33 Buttutala dan Lena dari SDN Inp 22 Rura menggenggam juaraharapan Lomba Menyanyi. Ternyata kami bisa pulang dengan membawa kebahagiaan danpiala.
Buletin Indonesia Mengajar | Nomor VIII/Tahun VI 2016
Barangkali setiap orang yang berkumpul di aula ketika itu, tidak pernah menyadariatau bahkan tidak pernah berhitung sejauh mana mereka bergerak dan menggerakkan, tidakpernah mengukur sudah sejauh mana perjalanan yang telah dilalui hingga membuahkanperubahan-perubahan positif dan membanggakan itu. Berbagai kegiatan pendidikan bahkanmenjamur di masyarakat dusun sejak pertengahan 2015.
Malam itu mungkin akhir perjalanan bagi kami para PM. Namun malam itu adalahawal dari perjalanan Majene dan sekumpulan pemuda-pemudi hebat menjaga lilin kebaikansehingga tidak lekas padam. Kalau ada yang membuat kami sedih, itu hanya karenamemikirkan akan berpisah dengan keluarga dan saudara-saudara di Tanah Mandar.
*meminjam salah satu judul lagu Sheila on Seven dengan judul yang sama
Blog Indonesia Mengajar
Indonesia Mengajar’s Blog is an official media to capturethe change stories of the Young Teachers. This blog is toaccommodate the inspiring stories from many youngteacher placement locations.
3
Blog Pengajar Muda | 08/11/2015
Mimpiku Setinggi Langit?“Bermimpilah setinggi-tingginya, bermimpi setinggi langit. Kalaupun jatuh, kamu akan berada di tengah
bintang-bintang”
Bagaimana mungkin anak-anak bermimpi tinggi jika yang mereka kenal hanya beberapa profesi.
Bagaimana mungkin anak-anak bermimpi jauh jika yang mereka ketahui hanya dusunnya, kecamatannya,
dan kabupatennya saja. Di sekolah dimana aku mengajar dan menghabiskan setengah hariku selama enam
hari dalam seminggu, selalu kukenalkan mereka pada banyak profesi dan banyak tempat melalui surat dari
teman-temanku yang telah bekerja maupun tengah menempuh program master di luar negeri, melalui video
yang aku download gratis melalui youtube, melalui film-film, dan melalui buku-buku. Setiap awal tahun
pelajaran baru, kuajak mereka untuk menghias kelas dan menggantungkan cita-cita dan mimpi mereka di
langit-langit kelas atau di samping jendela, tempat dimana mereka dapat dengan mudah melihatnya setiap
waktu. Ila sekarang bisa berkata, “Bu Guru, bagus kurasa kalau kita rajin membaca dan belajar, supaya saya
nanti bisa jadi penulis”.
Tapi, bagaimana dengan sekolah-sekolah lain yang lebih terpencil dari sekolah penempatan saya?
Yang lebih susah akses jalannya, yang lebih jauh dari hiruk pikuk kecamatan bahkan kabupaten. Bagaimana
anak-anak di sana mampu bermimpi tinggi jika bapak ibu gurunya jarang hadir di kelas?.
Kekhawatiran itu tumbang, karena bukan hanya pengajar muda yang prihatin dengan tantangan
pendidikan di Majene, tapi ada relawan-relawan yang turut serta memikirkan pendidikan dan mimpi-mimpi
mereka. Relawan-relawan ini bergerak di bawah naungan Kelas Inspirasi Majene. Kelas Inspirasi di Wilayah
Sulbar telah gencar diperkenalkan dan digerakkan oleh Bu Hikmah yang berdomisili di Kabupaten Polman.
Selain Kabupaten Majene, Bu Hikmah juga telah menggerakkan Kelas Inspirasi di Kabupaten Mamuju, Polman,
dan juga Pinrang. Di tiap kabupaten yang berada di Wilayah Sulbar memiliki koordinatornya masing-masing
yang berkoordinasi dengan Bu Hikmah.
Koordinator Kelas Inspirasi Majene sendiri adalah Ibu Lia, salah satu Local Champion atau sering
disebut sebagai penggerak kabupaten yang bekerja di BKKBN Majene. Tahun ini, Kelas Inspirasi Majene #2
telah mampu bergerak secara mandiri, jika Kelas Inspirasi Majene #1 peran pengajar muda masih dominan,
maka Kelas Inspirasi Majene #2 pengajar muda hanya diundang dalam rapat kemudian masuk menjadi salah
satu anggota di masing-masing divisi kepanitiaan dan telah mengurangi porsinya untuk memberikan inisiatif.
Kelas Inspirasi Majene #2 dilaksanakan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Malunda dan Ulumanda,
kecamatan yang paling jauh dari pusat pemerintahan daerah. SD-SD yang terjaring sebagai lokasi Kelas
Inspirasi adalah sekolah-sekolah yang jauh dari jalan poros atau utama dan memiliki akses jalan yang susah
dijangkau. Setiap minggu, para relawan panitia yang kesehariannya bekerja, meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk rapat dan berkoordinasi demi terselenggaranya acara ini.
Hari briefing, relawan panitia bertemu dengan para relawan inspirator, videografer, dan fotografer.
Para relawan dari berbagai profesi berkumpul di satu tempat dan bersama-sama memikirkan sekaligus
Blog Pengajar Muda | 08/11/2015
mempersiapkan untuk pelaksanaan Kelas Inspirasi Majene #2. Mereka ingin memberikan yang terbaik tanpa
dibayar apapun, mereka ingin memberikan yang terbaik demi mimpi anak-anak yang mereka pun tak pernah
sekalipun bertemu.
H-1 pelaksanaan Kelas Inspirasi Majene #2, saya selaku fasilitator acara di SDN 20 Sambabo,
Ulumanda, berkumpul dengan para relawan dan menginap di rumah Kepala UPTD Malunda. Sampai lewat
tengah malam, kami masih belum tidur untuk mempersiapkan semuanya dan memastikan tidak ada yang
terlewat. Esok paginya, kami berangkat pagi-pagi untuk mengikuti upacara terlebih dahulu.
Anak-anak sudah tidak lagi ketakutan, seperti halnya kali pertama saya datang ke sekolah ini untuk
survey. “Ada bu dokter, ada bu dokter! Ada suntikan!”, teriak mereka waktu itu, seketika anak-anak kelas
rendah langsung menangis dan menjerit. Saya menahan tawa, saya sengaja berpura-pura menjadi bu dokter
dan mengejar mereka. Tapi hari ini, mereka tersenyum sumringah melihat banyak bapak dan ibu guru baru
yang saya bawa, bapak dan ibu guru yang memakai macam-macam seragam profesi, mulai dari tentara,
penyiar TV, pegawai bank hingga hakim. Pun relawan, mereka sangat antusias dan tidak sabar untuk bermain
dan belajar bersama anak-anak. Di tengah acara, rombongan Penyala Makassar datang jauh-jauh dari
Makassar dengan menempuh 8 jam perjalanan untuk ikut meramaikan acara ini.
Acara ditutup dengan penempelan daun cita-cita ke pohon cita-cita. Anak-anak menuliskan cita-cita
mereka di kertas yang berbentuk daun, kemudian mereka menempelkannya bersama-sama di pohon cita-
cita. Anak-anak lupa waktu, anak-anak enggan untuk berlalu pulang, anak-anak masih ingin bermain dan
mencoba banyak hal baru bersama bapak dan ibu gurunya di hari itu. Anak-anak membawa serta mimpi-
mimpinya berjalan menuju rumah dan para relawan membungkus ketulusan, kebahagiaan, serta
kesederhanaan anak-anak dalam hati mereka.
“Seluruh orang mampu berupaya demi pendidikan anak-anak, tidak perlu materi yang berlimpah dan tidak
pula kehebatan pangkat serta jabatan, mulailah dari hal kecil yang ada di diri kita tapi ditransfer kepada
anak-anak dengan tulus”
Malunda, Maret 2015
Sembari mengistirahatkan kaki-kaki yang letih.
Buku Antologi
“Kompilasi Rasa: Kumpulan Puisi, Prosa, dan Cerpen” ismy first anthology. The book is published by JavakarsaMedia, Yogyakarta. Here is an excerpt from one of mywriting from the book.
4
Kisah Dibalik Bilik
Gelap menyergap ruangan yang sedang berduka. Tangis demi tangis telah berhenti, namun
suasana pemakaman masih menari di atap gubuk ini. Sesekali angin menerobos masuk melewati
jendela kecil di belakang punggungku, menggerak-gerakkan gorden kumuh yang menutupi pintu bilik
ini. Bilik ini merupakan satu-satunya ruangan di gubuk kami yang tak pernah kujamah. Aku selalu
penasaran isi yang disembunyikannya, tapi kisah yang selalu diceritakan emak membunuh rasa
penasaranku.
“Itu bilik keramat. Kata bapakmu tidak boleh dibuka-buka lagi setelah kematiannya. Kalau
dibuka bisa membawa bencana ke seluruh desa. Kau dengar aku, Larasati?” Suatu hari emak berkata
padaku, ketika itu aku masih kecil, bocah yang selalu ketakutan pada kutukan atau hantu di atas
pohon. Semenjak hari itu, aku tak pernah berani menyimpan rasa penasaran pada bilik keramat
tersebut
Sore ini, aku akan memberanikan diri untuk membuka pintu bilik keramat dan memasuki
ruangan yang selama 20 tahun tak pernah sedikit pun kuintip isinya. Emak yang jenazahnya telah
dikuburkan kemarin sore mungkin akan murka di kuburnya. Tapi rasa penasaranku sudah terlampau
besar, sudah tidak dapat aku bunuh lagi. Aku lelah membunuh rasa penasaran ini.
Keringatku sudah sebesar biji jagung, beberapa telah mengucur dan berjatuhan ke kaos.
Tanganku gemetar memegang handle pintunya. Tapi, aku tetap harus membukanya.
“Kriettt…”, bunyi pintu bilik yang dibuka, menyeramkan. Bermacam-macam terkaan
berkumpul dan berputar-putar di kepalaku, hantu bilik kah? Cincin bertuah kah? Jin botol kah?. Bilik
terbuka, tak ada yang menyeramkan seperti film-film misteri yang suka ditonton ramai-ramai di
rumah tetanggaku. Ranjang dengan satu bantal dan satu guling yang bau spreinya masih segar seperti
baru saja dicuci. Sebuah lemari kayu berdiri kokoh di samping pintu, tanpa debu seperti dibersihkan
setiap hari. Dinding bilik dipenuhi foto pernikahan emak dan bapak, serta sebuah foto bayi, barangkali
itu fotoku. Apa yang disembunyikan emak di bilik ini? Kenapa seluruh foto keluarga dikumpulkan
di bilik ini? Tidak satu pun ada foto keluarga di ruangan yang lain. Selama hidup, baru kali ini aku
bisa melihat foto bapak, tampan.
Kubuka Jendela kayu dengan cat yang sudah mengelupas di sudut-sudutnya. Sorot jingga
menembus bilik, cahaya senja yang memancing kerinduanku pada emak, juga pada bapak. Gubuk ini
makin menyerupai labirin, sepi dan senyap menyusup diam-diam dalam tiap jengkal lantai semen.
Kubaringkan tubuh di ranjang yang tak empuk, sebuah buku tulis butut tergeletak sembarangan di
samping bantal. Entah kenapa buku tulis itu sangat menggoda untuk dibuka. Tulisan emak, besar dan
jelek.
***
Halaman terakhir
Larasati, gadis remaja emak yang sangat cantik. Kau semakin mirip bapakmu. Kerinduan
emak terbayarkan tiap kali memandangimu tertawa. Bapakmu juga suka sekali tertawa.
Kamu sudah dewasa Larasati. Suatu hari kamu akan menyusup masuk ke dalam bilik ini,
tidak akan percaya pada takhyul yang kerap kali aku ceritakan kepadamu tentang bilik keramat ini.
Memang benar, bilik ini tidak pernah membawa bencana, bilik ini selalu membawa kembali ingatan
tentang bapakmu, menyusun kembali kisah tentang pertemuan emak dan bapak.
Kamu pasti bertanya-tanya, Larasati?. Emak menyembunyikan kisah buruk di sini dan emak
tidak mau kamu mengingatnya. Kamu memang mirip sekali dengan bapakmu, penuh emosi dan
pendendam. Karena itulah, emak tidak ingin kamu menyimpan dendam dengan bapakmu, lelaki yang
sangat emak cintai.
Bapakmu belum mati, nak. Suatu hari, bapak kembali dari sawah sambil tergopoh-gopoh.
Dia memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam tas dan pergi meninggalkan rumah ini. Janda muda
merenggutnya dari emak saat emak masih mengandungmu. Tak dihiraukan tangisan dan rengekan
emakmu ini. Bapakmu berlalu pergi dan meminta maaf pada emak.
Kamu tahu siapa janda muda itu? Dia adalah mantan pacar bapakmu. Betapa bapakmu dulu
sangat mencintainya, hampir dia bunuh diri karena ditinggal kawin. Emak potong tali yang melilit
di leher bapakmu. Setiap hari emak temani dia, karena emak takut bapakmu akan bunuh diri lagi.
Sampai akhirnya orang tua kami menikahkan emak dengan bapakmu.
Tahun ketiga pernikahan kami, janda muda itu datang. Aku masih ingat, dia berdiri di ujung
jalan, menunggu bapak. Mobil angkutan desa membawa bapakmu pergi. Emak menangis tersedu-
sedu di depan rumah, menunggu bapakmu pulang. Tapi tak kunjung pulang sampai kamu sudah
beranjak dewasa. Emak tidak pernah lelah menunggu bapakmu pulang. Di bilik ini emak tumpahkan
kerinduan pada bapakmu. Di bilik ini emak selalu menunggu bapakmu pulang.
Jika suatu hari bapak pulang, berjanjilah kamu tidak akan membencinya dan memaafkannya.
Demi emak, berjanjilah Larasati. Sampaikan pada bapak bahwa emak tetap mencintainya dan selalu
menerimanya kembali ke dalam gubuk ini.
Tangisku tumpah, amarahku meradang. Selama bertahun-tahun emak menyimpan rapi rasa
kehilangannya seorang diri. Bilik ini menyembunyikan kisah cinta yang tak pernah usang di gerus
usia, tak pernah layu meski kanker menggerogoti leher rahim emak. Bilik ini mencatat detik-detik
penantian emak yang tak kunjung lelah. Tapi aku tidak sanggup berjanji untuk menerima lelaki yang
telah melumat kebahagiaanmu, emak.
Jingga di langit lenyap, senja melarung kisah yang disembunyikan bilik. Aku biarkan
bayangan bapak menguap melewati jendela kayu yang catnya telah mengelupas. Aku tidak akan
pernah merindukan dan menantikannya pulang. Kisahnya usai bersama senja yang menutup hari.
Swaragama WritingCompetition
My short story “Persembahan Untuk Ayah” brought meas the best ten short story writer in Writing Competition“Soundtrack of Your Life” by Radio Station of SwaragamaFM, 2011
5
Kompetisi Menulis Cerpen “Soundtrack of Your Life” | Swaragama FM
Persembahan Untuk Ayah
Kamar kos Puri Asri, 2011
Hujan menerkam tanah, dingin mulai memburu panas yang menyerbu ruangan tanpa AC,
gerah yang tak mampu dikalahkan sepoi angin dari putaran kipas angin perlahan menguap. Sejenak
tangan berhenti menekan tombol keyboard, bola mata mengalihkan pandangan dari layar komputer
butut ke arah pemandangan di luar jendela. Hujan yang sama, selalu sama seperti 8 tahun lalu. Radio
dengan antena yang bergelayut pasrah hampir tumbang mengajak ingatanku bernostalgia, tentang
rumah, tentang ayah, dan tentang perngorbanannya. Pelan-pelan sebuah lagu mengalun lembut,
kerinduan membuncah semakin deras membawaku jatuh ke masa 8 tahun silam.
“ ...kau ingin ku menjadi yang terbaik bagimu, patuhi perintahmu, jauhkan godaan yang mungkin
kulakukan dalam waktuku beranjak dewasa jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan
terinjak, Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya, kuterus berjanji takkan khianati
pintanya, ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu kan kubuktikan kumampu penuhi
maumu…”
(Ada Band, Yang Terbaik Bagimu)
***
Ruang Tamu, 2003
Dingin, gerimis merambat pelan melalui kaca jendela, dalam hitungan menit telah
bermetamorfosa menjadi hujan lebat. Aroma tanah yang diguyur air hujan menyengat masuk melalui
kisi-kisi jendela, bau yang membawa damai dan menelusupkan rasa kantuk. Bunyi hujan dan
aromanya selalu menyenangkan bagiku, tapi entah kenapa tidak untuk hari ini. Ruang tamu hening,
hanya terdengar dengusan napas berat dari beberapa manusia. Kulihat ayah mengumpulkan segenap
kekuatan untuk memulai suatu pembicaraan, tak pernah kulihat ayah seputus asa itu. Kulirik ibu yang
duduk tenang di samping tubuhku yang meringkuk kedinginan di terjang hawa musim hujan,
wajahnya teduh dan sorotan matanya hendak meyakinkan ayah tentang sesuatu, entahlah tentang apa.
Kedua kakakku duduk dengan cemas menunggu ayah memulai percakapan. Ruang tamu jadi sesak,
sesak dengan emosi yang teramal dalam otakku, mesin hidup paling canggih yang pernah kumiliki.
“Sebenarnya ayah berat mengatakan ini pada kalian semua. Hidup memang tidak bisa
selamanya mudah dan selalu seperti yang kita harapkan, ayah harap kalian bisa bersabar atas cobaan
ini”, kupandang ayah yang seperti hendak kehilangan nyawa dalam ucapannya. “Usaha ayah
Kompetisi Menulis Cerpen “Soundtrack of Your Life” | Swaragama FM
bangkrut, dan beberapa perabotan rumah akan digadaikan untuk membayar hutang. Kakak1 harus cuti
kuliah dulu, adik2 juga tidak bisa melanjutkan kuliah di tahun ini, ayah hanya mampu membiayai
sekolah si kecil3 dulu untuk saat ini”.
Kakak pertamaku diam, mencerna baik-baik perkataan ayah dan berusaha menerima apa
yang sedang menimpa keluarga kami. Kakak keduaku langsung beranjak dari ruang tamu, masuk
kamar dan menutup pintunya tanpa meninggalkan celah sedikit pun. Ada ketidakadilan hidup yang
dirasakan olehnya, mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi favoritnya harus
ditenggelamkan dalam-dalam. Aku bisu, tapi cukup paham tentang apa yang sedang menimpa
keluarga kami. Kesimpulan yang diproses sel neuron otakku adalah mulai sekarang kami telah
menjadi miskin.
“Tenang saja ayah, Ratih akan terus sekolah sampai jadi sarjana dengan bekerja sendiri.
Tidak akan menyusahkan ayah lagi. Dan kakak tidak perlu putus sekolah”, ucapku dengan penuh
semangat, kemudian tersenyum memandang wajah ayah, ibu, dan kakak pertamaku. Sorot mata ayah
penuh dengan penyesalan, ibu memandang dengan iba, dan kakak mengelus pelan rambut kepalaku.
Bagi mereka ucapanku seperti angin lalu, hanya sebatas kata-kata dari bocah SMP yang belum tahu
kerasnya hidup. Kemudian, ruang tamu kembali hanyut dalam keheningan.
Sebulan setelah adegan di ruang tamu, ayah memutuskan untuk menjadi nelayan mingguan
dan berlayar bersama bapak-bapak tetangga rumah. Bukanlah pekerjaan yang mudah, ayah tidak suka
gelombang laut yang mengocok perutnya, memaksanya untuk mengeluarkan semua isi perut. “Anak-
anak harus tetap bersekolah, mereka harus jadi orang pintar dan berguna, jangan sampai seperti kita
ini, bu. Orang bodoh dan tidak berpendidikan”, kudengar ucapan ayah sebelum berangkat
meninggalkan kami.
***
Ruang tamu, 2004
Mendung menggelayut manja di atap langit, perutnya telah penuh sesak dengan molekul-
molekul air. Petang yang ganjil, tanpa salam perpisahan matahari sebelum malam membawa gelap.
Aku tidak suka musim hujan tahun ini, ada sedih yang dibangunnya dalam tiap jengkal ubin di lantai
rumah. Ayah telah terbaring di ranjang selama 2 bulan, salah satu ruas tulang belakangnya mengalami
1 Panggilan untuk anak pertama
2 Panggilan untuk anak kedua
3 Panggilan untuk anak ketiga
Kompetisi Menulis Cerpen “Soundtrack of Your Life” | Swaragama FM
cedera yang mengakibatkan kelumpuhan sementara. Dua bulan yang lalu ayah mengalami kecelakaan
di kapal ketika melaut, ombak membanting tubuh ayah ke lantai kapal.
Ekonomi keluarga benar-benar terpuruk, bahkan untuk memperoleh beras ibu harus
mengutang dan memohon belas kasihan dari saudara-saudaranya. Ibu berusaha memperoleh uang
untuk biaya berobat ayah dengan bekerja menjadi buruh pabrik ikan dan menjual tanah warisan. Pada
akhirnya, kakak-kakakku tidak mampu lagi melanjutkan sekolah, sedangkan aku tetap
mempertahankan pendidikan di SMP dengan beasiswa prestasi. Hidup menjadi sangat sulit bagi kami,
tapi ibu tidak pernah mengeluh, dan bapak tidak pernah putus asa untuk kembali sembuh, berharap
mampu berjuang kembali untuk menyelamatkan pendidikan anak-anaknya.
***
Stasiun Gubeng, 2008
Gerbong kereta ekonomi jurusan Surabaya-Yogyakarta telah berjubel manusia. Bau
keringat menyengat ke saraf penciumanku, pengap dan gerah yang teramat sangat menonjok kulit.
Temaram cahaya matahari sore semakin hilang ditelan gerombolan mendung. Gerimis mulai meraih
debu di peron stasiun dan menyentuh rel kereta yang seharian terpanggang terik matahari. Dari balik
jendela yang dipenuhi abstraksi debu kupandang ayah dan ibu yang mengamati dari luar gerbong
kereta, memastikan aku masih baik-baik saja di kursi kereta. Kereta melaju perlahan ke arah barat,
ayah dan ibu melambai dengan penuh harapan, air mataku tak terbendung lagi. Mereka
mempertaruhkan seluruh tanah warisan di kampung demi pendidikanku di Yogyakarta, di salah satu
universitas ternama. Aku adalah harapan terakhir mereka setelah kedua kakakku gagal meraih gelar
sarjana. Dan hari ini hujan kembali mengguyur bumi manusia, lebih deras dari bunyi hujan yang
pernah kudengar. Musim hujan pertama di tahun 2008 yang menemani keberangkatanku membawa
mimpi ayah.
***
Yogyakarta, 2009
Tumpukan baju menekan tenaga dan pikiranku bertubi-tubi. Ada kelelahan yang hendak
meledak. Aku tidak bisa protes terhadap hidup, aku menangis sebagai bentuk peralihan ketidakadilan
yang terjadi pada hidupku. Hidup di kota besar membutuhkan biaya yang besar. Jatah bulanan dari
kampung tidak mencukupi untuk melanjutkan hidup di kota. Terpaksa aku harus menjalani kerja
sambilan dan serabutan agar tetap bisa melanjutkan hidup dan kuliah. Pengajar private, trainer
outbond, sampai jadi buruh setrika di kos dengan upah Rp 30.000,00 per bulan, kujalani demi
mewujudkan mimpi ayah, mimpi ibu, dan cita-citaku. Kemudian, kuusap air mata yang terlanjur
memenuhi epidermis kulit pipiku dan segera menyelesaikan tumpukan baju yang harus disetrika.
***
Kompetisi Menulis Cerpen “Soundtrack of Your Life” | Swaragama FM
Kamar kos Puri Asri, 2011
Dingin mulai memagut tubuhku di penghujung petang. Hujan berhenti dan mendung
hendak memudar, melarikan diri dari atap Yogya. Langit berevolusi dan menyusupkan lembayung
sore paling damai yang pernah kurasakan. Perlahan-lahan hidup memberi kemudahan dalam tiap
langkahku, Tuhan membimbing dan menguatkan otot kakiku tiap kali aku terjatuh dan kesulitan
untuk bangun kembali. Beasiswa dari universitas dan gaji dari tugas asisten laboratorium telah banyak
membantu beban biaya ayah untuk menyekolahkan aku. Sayup-sayup lagu yang dipersembahkan
nyaring oleh speaker radio butut memenuhi rongga kepalaku. Kelenjar air mataku mencair, meleleh
dan menetes perlahan. Lagu ini selalu berhasil membangun kekuatanku untuk melanjutkan mimpi
ayah dan memberiku kenangan tanpa batas tentang pengorbanan ayah.
“…andaikan detik itu kan bergulir kembali, kurindukan suasana basuh jiwaku membahagiakan aku
yang haus akan kasih dan sayangmu, tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati. Tuhan
tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya, kuterus berjanji takkan khianati pintanya, ayah
dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu kan kubuktikan kumampu penuhi maumu…”
Yogyakarta, 2011.
Ketika kekuatan mulai meredup dan kerinduan pada ayah menyergap.
Recommended