View
3
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PERANTAU BUGIS DALAM NARASI SEJARAH:
SEBUAH KRITIK HISTORIOGRAFI
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Shanata Dharma
Yogyakarta
Disusun Oleh:
U M A R
Nim: 136322018
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PERANTAU BUGIS DALAM NARASI SEJARAH: SEBUAH KRTIKHISTORIOGRAFI
Umar
ABSTRAK
Perantau Bugis hadir dalam berbagai narasi sejarah. Setiap sejarawan tentumemiliki cara yang berbeda dalam proses penarasiannya. Narasi sejarah tersebutmelahirkan berbagai pengertian tentang perantau Bugis. Salah satu pengertianyang sering dilekatkan oleh para sejarawan terhadap perantau Bugis adalah lekatdengan kehidupan bahari. Penelitian ini mengkaji bagaimana sejarawanmenghadirkan perantau Bugis dalam narasi sejarahnya.
Penelitian ini memakai model penelitian narasi sejarah yang dikembangkan olehHayden White. Ada tiga konsep Hayden White yang dipakai dalam penelitianini, yaitu konsep Representasi, individu dan Moral. Konsep-konsep tersebutdigunakan sebagai perangkat teoretis untuk menganalisa empat teks sejarahtentang perantau Bugis yang telah dipilih. Hasil analisa tersebut sekaligus menjadikritik historiografi.
Melalui penelitian ini ditemukan bahwa setiap sejarawan memiliki identifikasiyang berbeda tentang perantau Bugis dalam setiap narasinya. Orang Bugis diJohor diidentifikasi lekat dengan kekuasaan oleh Kesuma. Orang Bugis di Balidiidentikkan dengan perdagangan oleh Suwitha. Orang Bugis di Kamal Muaralekat dengan Nelayan menurut Said dan Prabowo. Terakhir orang Bugis diAmbon diidentikkan dengan Islam oleh Sholeh. Setiap sejarawan memiliki posisiyang berbeda dalam menarasikan perantau Bugis. Kecenderungan kesimpulanmereka tidak lepas dari latar belakang mereka masing-masing.
Kata kunci: Perantau Bugis, Narasi sejarah, Hayden White, Kritik Historiografi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
BUGINESE MIGRANTS IN HISTORICAL NARRATIVES: AHISTORIOGRAPHICAL CRITIQUE
Umar
Abstract
Buginese migrants are present in various historical narratives. Every historianalso has a different way in presenting their narrating process. Those historicalnarratives gave birth to various notions of Buginese migrants. One of the notionsoften attributed by historians to Buginese migrants is their lives are almost alwaysassociated with the sea. The purpose of this research is to examine how historianspresent Buginese migrants in their historical narratives.
This research uses the historical narrative research model developed by HaydenWhite. There are three Hayden White’s concepts used in this study, among others,the concept of Representation, Individual, and Morals. These concepts aretheoretical tools to analyze four historical texts about Buginese migrants. Theresults of these analyses become a historiographical critique.
This research found that every historian has a different identification of Buginesemigrants in each of their narratives. The Buginese people in Johor are identifiedas closely connected with power by Kesuma. Buginese people in Bali areassociated with trade by Suwitha. The Buginese people in Kamal Muara areclosely associated with fishermen by Said and Prabowo. Lastly, Buginese peoplein Ambon are associated with Islam by Sholeh. Each historian has a differentposition in narrating Buginese migrants. Their tendencies are affected by theirown background.
Keywords: Buginese Migrants, Historical Narratives, Hayden White,Historiographical Critique
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
KATA PENGANTAR
Tesis ini bermula dari pengalaman saya yang memilih meninggalkan kampunghalaman, namun selalu ragu menyebutnya sebagai prantauan. Keraguan itumuncul karena apa yang saya alami sepertinya tidak seheroik cerita pengalamanperantauan orang Bugis yang pernah saya dengar. Akan tetapi, Proses pengerjaantesis ini tetap saya ibaratkan sebagai perjalanan manusia Bugis yang memilihmerantau, meninggalkan tanah kelahiran untuk menjalani kehidupan. Dalamprosesnya, kehidupan seperti menuntun saya memilih kuliah di program studiIlmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma, yang tidak pernahterbayang sebelumnya. Pengerjaan tesis ini merupakan proses terakhir di IRBsebagai syarat untuk merampungkan studi, sebelum melanjutkan perjalanankehidupan lainnya.
Ada banyak pihak yang terkait selama proses pengerjaan tesis ini dan selama sayamenempuh studi di IRB. Pertama dan teristimewa ucapan terima kasih kepadakedua orang tua dan saudara-saudara saya, tanpa mereka studi ini tidak mungkinrampung. Terima kasih saya haturkan kepada Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.Jselaku pembimbing tesis ini. Terima kasih kepada Dr. G. Budi Subanar, S.J selakudirektur pascasarjana yang telah memperkenalkan IRB dan memberi kemudahanlainnya berupa fasilitas beasiswa penelitian. Kepada ketua program studi IlmuReligi dan Budaya, Dr. Y. Tri Subagya. Kepada dosen-dosen lainnya Dr. St.Sunardi, Prof. Dr. A. Supratiknya, Dr. Katrin Bandel, Dr. Bagus Laksana, S.J, Dr.Alb. Budi Susanto S.J, Dr. Y. Devi Ardhiani terima kasih atas transfer ilmunyadan telah mewarnai pengetahuan saya selama ini. Kepada Mbak Desi dan MbakDita juga terima kasih.
Kepada teman-teman IRB 2013, Cahyo, Pomat, Hans, Alexander Koko, Anto,Anne, Umi, Vina, Padmo, Felo, Jolni, Andre, Pak Riwi, Efraem, Alfons, MasLukas, Ali Antoni, Yekti dan generasi lainya yang selama ini bersama-samamelakoni proses di IRB. Terima kasih kepada teman-teman belajar bersamaPusdep. Kepada Gogor yang menyediakan trova studio sebagai tempatmerampungkan tesis ini. Kepada sahabat Ipul, Noe, Cunni dan abdi yang lebihdulu selesai terima kasih telah menjadi teman ngopi membuat sulawesi selalumenarik walaupun kita berada di tanah seberang. Kepada teman sekaligus guru diPusat Kajian Representasi Sosial terima kasih atas dorongan dan semangatnyauntuk belajar tentang masyarakat kita sendiri. Tak lupa ucapan terima kasihkepada orang yang pernah mampir dan ikut mewarnai perjalanan kehidupan saya.Paling penting terima kasih dan puji syukur kepada Allah SWT yang selalumemberi jalan pada setiap kesulitan yang saya hadapi selama ini serta selalumemberi jalan dalam melakoni kehidupan selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING............................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...........................................................
LEMBAR PERSETUJUAN KARYA ILMIAH ............................................
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
ABSTRACT ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI...................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Tema Penelitian ............................................................................................ 6
C. Rumusan Masalah ......................................................................................... 6
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 7
F. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 7
G. Kerangka Teori.............................................................................................. 12
1. Representasi ............................................................................................ 16
2. Individu ................................................................................................... 17
3. Moral ....................................................................................................... 18
H. Metode........................................................................................................... 19
I. Sistematika penulisan.................................................................................... 19
BAB II. PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI BUGIS ............................ 22
A. Peran Pemerintah Kolonial ......................................................................... 26
B. Aktivitas Ilmuan Asing selain Pemerintah Kolonial .................................. 29
C. Narasi Intelektual Lokal............................................................................... 33
D. Jejak Tertulis orang Bugis di Tanah Rantau ................................................ 37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
E. Rangkuman ................................................................................................ 40
BAB III. DINAMIKA PERANTAU BUGIS SEBAGAIMANA
DINARASIKAN DALAM TEKS-TEKS SEJARAH..................................... 43
A. Bugis Dalam Ruang Representasi................................................................ 43
A.1. Tanah Kelahiran yang tidak Menentu: Antara Perang dan Harga Diri 44
A.2.Spirit Bahari Sebagai Legitimasi Perantauan: Cerita Rakyat, Pengatahuan
dan keterampilan yang dimilikinya.............................................................. 53
B. Jejak-Jejak Kehidupan Di Tanah Rantau .................................................... 58
B.1. Johor ..................................................................................................... 58
B.2. Bali ...................................................................................................... 61
B.3. Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara .......................................... 66
B.4. Ambon ................................................................................................. 69
C. Kehadiran Individu (Bangsawan) Dalam penulisan Sejarah Perantau Bugis
...................................................................................................................... 72
D. Rangkuman ................................................................................................. 77
BAB IV. MELIHAT POSISI SEJARAWAN MELALUI NARASI SEJARAH
PERANTAU BUGIS ......................................................................................... 78
A. Bergerak Menuju Perantauan ...................................................................... 79
B. Narasi Kemampuan Bahari Sebagai Narasi Yang Dirayakan...................... 88
C. Bugis Yang Dibentuk Berdasarkan Narasi Sejarah ..................................... 94
C.1. Narasi Kesuma tentang Bugis dan Kekuasaan di Johor ....................... 95
C.2. Narasi Suwitha tentang Bugis dan perdagangan di Bali ...................... 99
C.3. Narasi Said dan Prabowo tentang Bugis Sebagai Nelayan di Kamal
Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara.................................................... 105
C.3. Narasi Badrus Sholeh tentang Bugis dan Citra Islam di Ambon ......... 108
D. Aktor Sejarah dan Sejarawan dalam Narasi sejarah .................................... 111
E. Rangkuman ................................................................................................. 115
BAB V. PENUTUP ........................................................................................... 117
A. Kesimpulan dan Saran .................................................................................. 117
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sompe1 adalah kata yang sangat sering penulis dengar. Kata tersebut
banyak diperbincangkan oleh masyarakat di kampung penulis yang ada di Pinrang
Sulawesi Selatan. Setidaknya sejak SD penulis sudah mengerti apa yang
dimaksud dengan arti kata sompe tersebut. Kata ini dipakai dalam bahasa Bugis
untuk menunjukkan orang yang meninggalkan kampung yang pergi ke sebuah
tempat yang harus melewati lautan. Dengan kata lain sompe berarti merantau bagi
orang Bugis. Cerita tentang petualangan orang yang melakukan perantauan sering
penulis dengar melalui cerita langsung (oral story) dari kerabat maupun
masyarakat yang ada di kampung.
Selain melalui pengertian atas arti kata sompe dan cerita langsung,
pengenalan selanjutnya tentang kisah pertantauan orang Bugis pada penulis terjadi
saat belajar di universitas Hasanuddin Makassar. Penulis temukan beberapa kisah
perantau Bugis dari berbagai tulisan sebagai bahan kuliah. Hal ini membuat
penulis semakin akrab dengan narasi sejarah tentang perantau Bugis.
Beberapa kisah perantau Bugis yang penulis temukan dalam buku-buku
sejarah. Salah satunya adalah kisah petualangan Opu Daeang Rilakka yang
merupakan keturunan Datu Luwu We Tenrileleang di Johor Malaysia pada abad
1 “Sompe” selain memiliki arti merantu juga bisa berarti layar (digunakan pada perahu). LihatAbidin, Aslan, Merantau Sebagai bentuk “Perlawaan” Suku Bugis. dalam Jurnal Wacana, Edisi 24tahun VIII 2008 hal 56, lihat juga Hamid, Passompe: Pengembaraan Orang Bugis, Makassar,Pustaka Refleksi, 2004 hal 46-47.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
ke-17.2 Datu Luwu merupakan gelaran bagi penguasa di kerjaan Luwu, salah satu
kerajaan yang merupakan asal dari orang-orang Bugis.
Dalam kisah tersebut serta narasi-narasi sejarah serupa, tampak bahwa orang
Bugis melakukan perantauan karena didukung oleh tradisi bahari yang mereka
miliki. Tradisi bahari merupakan kegiatan yang berhubungan dengan laut, yang
menunjukkan bahwa petualangan adalah bagian dari kehidupan masyarakat Bugis.
Narasi tentang petualangan orang Bugis di laut menjadi ingatan bersama mereka
yang antara lain terekam dalam Sureq I La Galigo.3 Naskah tersebut berisi cerita
tentang perjalanan Sawerigading4 tokoh utama dalam sureq I La Galigo ke
berbagai tempat menggunakan perahu layar.
Narasi lain yang menunjukkan bahwa orang Bugis menggunakan laut
sebagai ruang aktifitasnya dapat dilihat dalam naskah yang dibuat oleh pimpinan
orang Bugis Wajo pada akhir abad ke-17. Naskah itu berisi rumusan Matoa Wajo
tentang peraturan pelayaran dan perdagangan yang digunakan oleh orang-orang
Bugis Wajo ketika melakukan pelayaran perdagangan antar pulau.5
Adanya narasi yang menunjukkan bahwa kebiasaan masyarakat Bugis dekat
dengan kehidupan bahari merupakan legitimasi bahwa mereka memiliki jiwa
2 Kusuma, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta: Ombak, 2004 hal 96-106.3 Sureq I La Galigo adalah naskah lontara yang merupakan mitologi masyarakat Bugis yang ditulisoleh Arung Pancana. Ringkasaan naskah ini dapat dilihat dalam Kern, R.A. I La Galigo,Yogyakarta, Gadjah Mada Yniversity Press, 1993. Sureq I La Galigo juga sudah transkripsi danditerjemahkan tiga jilid dari 12 jilid. Arung Pancana Toa, La Galigo, Jakarta, Djambatan, 1995.Arung Pancana Toa, La Galigo jilid II, Makassaar, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin,2000.4 Sawerigading adalah toko utama dalam naskah Sureq I La Galigo.5 Peraturan perdagangan ini disebut dalam bahasa Bugis “Adeq Aloping-loping BicarannaPabalue”. Isi peraturan perdagangan tersebut lihat Tobing, PH.O.L, Hukum Pelayaran danPerdagangan Amanna Gappa. Ujung Pandang : Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, (1977).Aktifitas perdagangan antar pulau masyarakat Sulawesi Selatan terutama yang melalui pelabuhanMakassar dapat dilihat dalam Poelinggomang, Makassar abad XIX, Makassar, KPG 2004.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
petualang. Keinginan petualangan itu didukung oleh kemampuan bahari yang
mereka miliki seperti pembuatan perahu, kemampuan dan pengetahuan tentang
pelayaran, serta kemampuan navigasi dan perdagangan.6 Seluruh pengetahuan
tersebut mereka peroleh secara turun-temurun, sehingga bagi masyarakat Bugis
merantau selalu diartikan sebagai melakukan pelayaran melalui lautan.
Dalam narasi-narasi sejarah yang ada, dikatakan bahwa alasan mencari
penghidupan yang lebih baik merupakan salah satu faktor penyebab mereka
merantau. Akan tetapi hal ini dilakukan bukan karena keadaan tanah di daerah
yang ditinggalkan tidak subur. Alasannya lebih pada kondisi keamanan di daerah
asal yang tidak stabil. Ketidak stabilan politis mendorong orang Bugis untuk
meninggalkan tanah kelahirannya.7
Sebagaimana tercermin dalam narasi-narasi sejarah yang ada, setidaknya
ada dua peristiwa besar di daerah tersebut yang menyebabkan kondisi kampung
halaman tidak lagi stabil. Pertama, perang Makassar yang berakhir dengan
perjanjian Bungaya pada tahun 1667 kemudian diperbarui pada tahun 1669.8
Kedua, adanya gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang
berlangsung pada tahun 1950 sampai 1965 di Sulawesi Selatan.9 Dua peristiwa itu
mendorong banyak masyarakat Bugis keluar untuk merantau.
Selain alasan ketidak stabilan politis, ada pula alasan filosofis yang
mendasari. Alasan lebih filosofis itu adalah satu nilai penting yang hingga saat ini
6 Hamid, Abu, 2004, hal 13.7 J.Noorduyn, “komunitas saudagara Wajo di Makassar” dalam Roger Tol dkk (ed), Kuasa danUsaha, Makassar, Ininnawa, 2009, hal 126.8 Lihat Patunru, Abdurrazak, Daeng, Sejarah Gowa, Ujung Pandang, Yayasan KebudayaanSulawesi Selatan, 1993, hal 50-619 Gonggong, Anhar, Abdul Qahar Mudzakkar dari Patriot Hingga Pemberontak” Yogyakarta,Ombak, 2004 hal 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
dianut oleh masyarakat Bugis, yaitu siri,10 yang secara harfiah berarti rasa malu.
Siri menjadi alasan lain bagi orang Bugis untuk merantau, dan hal itu terkait
dengan masalah harga diri.11 Harga diri yang rusak dapat mendorong satu
keluarga Bugis untuk merantau, dan mereka memerlukan waktu cukup lama untuk
kembali. Sukses di perantauan menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk
mengembalikan harga diri yang telah gagal mereka pertahankan sebelum
merantau.
Harga diri memiliki posisi yang cukup penting bagi masyarakat Bugis.
Untuk menjaganya baik bagi diri sendiri maupun pada keluarga, membuat mereka
merasa tidak memiliki kebebasan ketika berada di kampung. Bagi keluarga
bangsawan bahkan merasa tidak memliki kebebasan untuk melakukan pekerjaan
sembarangan. Ketika harga diri dianggap sudah tidak ada maka pantang bagi
keluarga bangsawan untuk tetap tinggal di kampung, sebab secara tidak langsung
mereka tidak lagi memiliki kemerdekaan. Sementara bagi masyarakat kebanyakan
merantau mereka lakukan karena tidak memiliki kebebasan untuk berusaha secara
optimal di kampung.12 Tanpa memiliki kebebasan berusaha, tidak mungkin dapat
meningkatkan taraf hidup secara ekonomi dan berkecukupan secara materi yang
menjadi impian bagi setiap orang Bugis. Kemungkinan untuk mewujudkan setiap
impian dapat mereka lakukan ketika melepaskan diri dari ikatan keluarga dan
merantau merupakan salah satu pilihan.
10 Siri dalam tesis ini mengacu pada pengertian menurut Matulada, lihat Matulada, Latoa, SatuLukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Ujung Pandang, HasanuddinUniversity press 1993, hal 62.11 Abidin, Aslan, “Merantau Sebagai bentuk “Perlawaan” Suku Bugis”. dalam Jurnal Wacana,Edisi 24 tahun VIII 2008 hal 57.12 Gonggong, Anhar, “Merantau dan Menetap: untuk kehidupan yang lebih baik”, pengantardalam Kesuma, 2004 hal xiv-xv.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Selain siri keyakinan yang hadir dalam narasi sejarah perantau Bugis, yaitu
ketika bertahan hidup dan melakukan usaha di perantauan, mereka memanfaatkan
“tiga bekal” yang dibawa dan berada dalam diri setiap perantau. Tiga bekal
tersebut adalah “ujung lidah”, “ujung kemaluan”, dan “ujung badik”. Tiga bekal
itu memiliki makna bahwa untuk merantau orang Bugis harus memiliki bekal
kemampuan bela diri, kemampuan bernegosiasi, kemampuan mengambil hati
tokoh masyarakat sehingga dapat menjadi bagian dari keluarganya.13
Dalam narasi sejarah yang ada tampak bahwa ada banyak tempat yang
menjadi tujuan perantauan orang Bugis selama ini. Hampir semua kota-kota besar
yang ada di Indonesia sampai kawasan Asia Tenggara menjadi tujuan perantauan
mereka. Di Nusantara tempat yang dituju sebagai tujuan perantauan mereka
adalah pulau-pulau seperti Kalimantan, Jawa, Sumatera, Maluku, Papua.
Sementara di kawasan Asia Tenggara tujuan perantauan mereka adalah
Semenanjung Malaya. Daerah pesisir dan kawasan pasar biasanya merupakan
pilihan mereka ketika memilih merantau. Alasannya karena di tempat itulah
mereka dapat mengembangkan kehidupannya.14 Jiwa niaga dan bahari serta
koneksi keluarga atau jaringan sesama orang Sulawesi Selatan yang lebih dahulu
merantau merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam menentukan
tempat perantauan.
Pertanyaannya, seperti apakah dasar narasi sejarah perantau Bugis yang
sudah ada tersebut? Sebuah narasi sejarah ditulis tentu memiliki tujuan. Sementara
13 Bakti, Andi faisal (ed), Diaspora Bugis Dalam Alam Melayu Nusantara, Makassar :Ininnawa,2010 hl. 814 J.Noorduyn, “Komunitas Saudagar Wajo di Makassar” dalam Roger Tol dkk (ed), 2009, hal126.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
itu tiap penulis memiliki subjektivitasnya masing-masing dalam menyusun narasi
sejarah. Dalam konteks narasi sejarah perantau Bugis bagaimana narasi sejarah itu
terbangun melalui berbagai tulisan?
Tesis ini akan membahas empat teks sejarah, yaitu: pertama, buku yang
berjudul Migrasi Dan Orang Bugis, ditulis oleh Andi Ima Kesuma. Kedua, buku
yang berjudul Perahu Pinisi di Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat
Bugis di Bali sekitar Abad XIX yang ditulis oleh I Putu Gede Suwitha. Ketiga,
teks yang berjudul “Akulturasi Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara,
Pesisir Pantai Jakarta Utara”, tulisan Mashadi Said dan Hendro Prabowo.
Keempat, teks dengan judul “Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisasi
Bagian Timur Indonesia: Kasus Konteks Sejarah Ambon” yang ditulis oleh
Badrus Sholeh.
Narasi sejarah perantau Bugis yang ada menghasilkan pengertian tentang
perantau Bugis menurut setiap sejarawan. Pengertian tersebut antara lain,
memiliki jiwa petualangan, keberanian mempertahankan harga diri di negeri
orang dan berbagai definisi lainnya. Hal itu membuat penulis tertarik untuk
menelusuri bagaimana pengertian-pengertian tentang perantau Bugis disusun oleh
sejarawan melalui nasari sejarah mereka tulis.
B. Tema
Tema tesis ini adalah Perantau Bugis dalam Narasi Sejarah: Sebuah Kritik
Historigrafi
C. Rumusan Masalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Berbagai macam pengertian tentang perantau Bugis sudah hadir dalam
narasi sejarah. Namun demikian, narasi tersebut dibangun dengan berbagai
argumentasi yang belum pernah menjadi perhatian. Tesis ini melihat bagaimana
narasi itu dibentuk dan mengapa sejarawan menulis sejarah tentang perantau
Bugis. Untuk menjelaskan hal tersebut ada beberapa pertanyaan yang akan
dijawab melalui tesis ini.
1. Bagaimana perantau Bugis direpresentasikan dalam narasi sejarah?
2. Bagaimana posisi sejarawan dalam proses penarasian sejarah perantau
Bugis?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan sebelumnya, saya akan
merumuskan tujuan dari penelitian ini, yakni:
1. Melihat representasi yang ada dalam narasi sejarah perantau Bugis. Saya
berharap dengan menemukan kecenderungan sejarah perantau Bugis
dipresentasikan dalam sejarah yang ada selama ini.
2. Mengetahui posisi sejarawan dalam penulisan narasi sejarah perantau
Bugis. Saya berharap akan menemukan alasan rasional setiap sejarawan
dalam setiap pilihan narasinya.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat untuk publik pembaca dari penelitian ini adalah memberi
konstribusi akademik dengan ikut terlibat dalam perdebatan akademik tentang
narasi sejarah perantau Bugis, sekaligus sebagai kritik historiografi. Manfaat lain
dari penelitian ini adalah memberi pemahaman kepada orang lain yang membaca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
tesis ini nantinya, bahwa sebuah narasi sejarah tidak lepas dari naratornya dalam
hal ini sejarawan. Dengan kata lain sejarah tidak lahir begitu saja. Dalam proses
penarasiannya selalu ada intervensi sejarawan di dalamnya.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang perantau Bugis bukanlah merupakan hal baru dalam studi
akademik. Ada beberapa penelitian terkait tema ini, baik penelitian dengan
pendekatan studi sejarah maupun penelitian dengan pendekatan bidang ilmu
lainnya. Akan tetapi penelitian yang secara khusus mengkaji teks sejarah
perantau Bugis dengan pendekatan narasi dan kritik historiografi, sepertinya
belum ada yang melakukan. Untuk menempatkan penelitian ini di antara berbagai
penelitian lainnya, tinjauan pustaka ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian
pertama akan membahas penelitian yang terkait dengan perantau Bugis terutama
penelitian yang menggunakan pendekatan sejarah. Kedua, penelitian mengenai
narasi sejarah yang memakai pendekatan kritik historiografi, terutama
historiografi Indonesia. Ketiga, penelitian terkait dengan teori dan metode
penelitian narasi sejarah.
Penelitian yang terkait dengan perantau Bugis di sini ada dua yaitu:
pertama, karya Aslan Abidin yang berjudul “Merantau sebagai bentuk perlawanan
suku Bugis: perspektif historis atas tindak kekerasan dan perbudakan di Sulawesi
Selatan. Kedua, karya Kathryn Gray Anderson, The Open Door: Early Modern
Wajorese Statecraft and Diaspora.
Aslan Abidin dalam penelitiannya tahun 2008 menelusuri berbagai literatur
dan refleksi pengalaman pribadinya untuk melihat latar historis orang-orang Bugis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
meninggalkan kampung halamannya. Aslan Abidin membahas munculnya
peristiwa kekerasan dan penindasan sepanjang priode sejarah Sulawesi Selatan.
Dia membagi lima fase penindasan yang dipernah dialami oleh orang Bugis. Fase
pertama, penindasan dalam mitologi I La Galigo. Fase kedua, penindasan raja
Bugis dan Gowa-Tallo. Fase ketiga, penindasan penjajah Belanda dan Jepang.
Fase keempat, penindasan Kahar Muzakkar dan DII/TII. Fase kelima, penindasan
rezim Orde Baru. Lima bentuk penindasan itulah yang dianggap oleh Abidin
sebagai latar belakang banyak orang Bugis meninggalkan daerahnya.
Sementara penelitian Anderson tahun 2003 merupakan disertasi, yang
menjelaskan bagaimana orang Bugis yang berasal dari kerajaan Wajo melakukan
migrasi ke berbagai tempat. Tujuan perantauannya meliputi wilayah Sumatera
Barat, Makassar, Malaka, Kalimantan timur. Menurut Anderson, proses migrasi
orang Bugis terjadi setelah perang Makassar yang berakhir tahun 1669. Anderson
menemukan bahwa orang Bugis yang bermigrasi tetap membentuk komunitas
sesama orang Bugis di daerah perantauan. Komunitas mereka juga masih
memiliki hubungan dengan komunitas orang Bugis lainnya yang berasal dari
Wajo. Menurut Anderson komunitas orang Bugis seperti itu tetap memiliki bentuk
pemerintahan sendiri ketika berada diperantauan, pimpinan mereka disebut
Matowa.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, kedua karya tersebut diletakkan
untuk melihat bagaimana terjadinya perantau Bugis sepanjang sejarah. Ada
beberapa periode sejarah orang-orang Bugis bergerak meninggalkan tanah
kelahirannya. Selain itu, kedua karya tersebut memberi gambaran bahwa orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Bugis yang berasal dari Sulawesi selatan tidak tunggal. Orang Bugis yang berasal
dari Wajo hanya salah satu di antara yang lain.
Penelitian yang terkait dengan narasi sejarah, terutama yang berhubungan
dengan kritik historiografi Indonesia juga ada dua yakni: pertama, karya Sartono
Kartodirjo yang berjudul Tjatatan Tentang Segi-Segi Messianistis Dalam Sejarah
Indonesia. Kedua, John Roosa tahun 2006 yang berjudul Pretext for Mass
Murder: The September 30th Movement and Suharto,s coup d’Etat in Indonesia.
Karya Sartono Kartodirjo membahas bagaimana berbagai tulisan sejarah
menarasikan perlambang Djayabaja (selanjutnya memakai ejaan baru “Jayabaya”)
yang memuat harapan akan datangnya seorang Ratu Adil. Tokoh seperti Ratu Adil
selalu dipercaya oleh masyarakat Jawa akan kedatangannya. Melalui karya itu
Sartono berusaha menelusuri tulisan-tulisan yang membahas tentang perlambang
Jayabaya. Melalui penelusuran tersebut Sartono menunjukkan bahwa tidak hanya
naskah atau terjemahan perlambang Jayabaya yang ada, tapi juga kemunculan
akan Ratu Adil selalu hadir dalan narsi sejarah Indonesia. Berbagai gerakan yang
muncul untuk melawan pemerintah kolonial, sebagian didasari oleh semangat
akan munculnya Ratu Adil tersebut. Buku ini memang tidak membahas narasi
sejarah perantau, tapi buku ini penting untuk menunjukkan bagaimana catatan
perlambang Jayabaya tentang Ratu Adil hadir dalam narasi sejarah Indonesia.
Ratu Adil hadir dalam narasi sejarah Indonesia sebagai legitimasi untuk
membangun sebuah gerakan perlawanan terhadap kolonial. Buku ini digunakan
untuk melihat penelitian narasi sejarah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Sementara karya John Roosa berjudul Pretext for Mass Murder: The
September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia yang
kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Dalih Pembunuhan
Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Karya ini membahas narasi
sejarah pristiwa Gerakan 30 September sekaligus malahirkan narasi sejarah yang
berbeda dengan narasi sejarah versi pemerintah. Melalui buku ini John Roosa
menunjukkan bahwa narasi sejarah G-30-S yang ada sebelumnya sangat
ditentukan oleh siapa yang menuliskannya dan sumber apa yang dipakai. Dalam
hal ini John Roosa mengungkapkan bagaimana pemerintah Orde Baru menulis
narsi sejarah G-30-S yang menempatkan PKI sebagai dalang dari peristiwa
tersebut sehingga sah untuk membunuh anggotanya. Selain mengkritisi narasi
sejarah versi pemerintah dan mengkritisi sumber yang digunakan, John Roosa
juga menghadirkan sumber baru dalam membangun narasi sejarah yang dihasilkan
melalui buku ini. Sekali lagi narasi sejarah sangat ditentukan oleh siapa yang
menulis dan narasi sejarah tidak pernah lepas dari intervensi naratornya.
Dalam kaitanya dengan penelitian ini, kedua karya tersebut dijadikan dasar
untuk melihat bentuk krtitik historiografi yang berkembang di Indonesia. Krtitik
yang ada selama ini lebih pada membangun narasi baru dengan sumber yang
biasanya diabaikan oleh narasi sebelumnya. Kritik historiografi seperti ini akan
berusaha membuat narasi tandingan dan menjadi narasi utama selanjutnya.
Kemudian penelitian yang terkait dengan teori dan metode yang dipakai
dalam penelitian ini . Ada dua hasil penelitian yang terkait dengan hal itu yakni:
karya Hayden White dengan judul Metahistory: The Historical Imagination In
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Nineteenh-Century Europe dan karya Herman Paul yang berjudul Hayden White
the Historical Imagination.
Karya White merupakan buku yang diterbitkan oleh the Johns Hopkins
University Press pada tahun 1975. Buku ini peneliti gunakan untuk melihat
bagaimana White merealisasikan penelitian narasi sejarah yang dia lakukan.
White meneliti narasi sejarah Eropa abad XIX. Melalui buku ini juga, peneliti
bermaksud mengetahui lebih jauh konsep-konsep yang digunakan oleh Hayden
White dalam penelitian narasi sejarah.
Selanjutnya karya Herman Paul yang berjudul Hayden White the Historical
Imagination. buku ini di terbitkan pada tahun 2011 oleh Polity Press yang berada
di Cambridge. Buku ini menjelaskan bagaimana Hayden White menyusun sejarah.
Terutama cara White berpikir sehingga menghasilkan teori-teori sejarah yang dia
kembangkan. Dengan meneliti karya-karya White dan orang-orang yang menulis
tentang tulisan-tulisannya, Herman Paul menunjukkan konsep-konsep yang
dikembangkan oleh White. Dari buku ini kita akan mengetahui bagaimana White
merumuskan sejarah.
G. Kerangka Teori
Narasi sejarah perantau Bugis lahir dari konstruksi sejarawan, sehingga
menjadi sejarah yang dibentuk melalui tulisan. Di sini penulis menggunakan
“sejarah yang dibentuk” karena apa yang tertulis merupakan hasil intervensi
manusia. Apapun bentuk narasi sejarah perantau Bugis, hal itu tidak akan pernah
lepas dari peranan sejarawan itu sendiri. Tesis ini berusaha melihat apa yang
sebenarnya direpresentasikan oleh narasi sejarah perantau Bugis. Hal kedua yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
ingin penulis jawab dari penelitian ini adalah bagaimana narasi perantau Bugis
dibentuk oleh naratornya. Untuk menjawab apa yang menjadi permasalahan tesis
ini, penulis memakai beberapa konsep Hayden White.
Ada beberapa konsep teori dari Hayden White yang akan dipakai untuk
menjelaskan persoalan narasi sejarah perantau Bugis. Sebelum menjabarkan
konsep teori tersebut akan terlebih dahulu diperkenalkan pemikirin Hayden White
secara umum. Hayden White dalam perjalanan kariernya berusaha menantang
bentuk konvensional pada tiga bidang kajian dalam sejarah. Pertama, bidang
kajian filsafat sejarah. Filsafat sejarah diidentifikasi dengan studi tentang hukum-
hukum perkembangan sejarah yang terjadi sejak abad kedelapan belas. Lebih jauh
White mengatakan bahwa filsafat ini tidak mempelajari proses sejarah tapi hanya
menjalankan “beasiswa sejarah”. Dari filsafat ini White mempertanyakan antara
filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah analitis.15
Kedua, ia mempertanyakan perbedaan antara yang “sebenarnya” dalam
praktik sejarah dan yang “spekulatif” dalam filsafat sejarah. Praktik Leopold von
Ranke yang dianggap sebagai Bapak Sejarah Modern selalu menghindari
spekulasi untuk menempatkan “fakta” yang berasal dari sumber primer. Jadi fakta
hanya berasal dari sumber primer. Pertanyaanya kemudian adalah apakah semua
peristiwa yang tercatat dalam dokumen sejarah dapat diklasifikasikan sebagai
sejarah? Jika tidak, bagaimana membedakan antara sejarah dengan fakta lainnya?
15 Paul Herman, “Hayden White The Historical Imagination”, Cambridge UK, Polity Press, 2011,hal 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Kategori semacam itu menurut White tidak dapat didefinisikan tanpa melihat
realitas sebenarnya.16
Ketiga, White mempertanyakan batas antara fiksi dan sejarah. White
berpendapat bahwa sejarawan menulis sejarah atau menghasilkan narasi sehingga
banyak kesamaannya dengan penulis sastra fiksi. Sejarawan akan menafsirkan
masa lalu sesuai dengan narasi yang mereka bangun. Dari narasi tersebut
sejarawan membangun versi masa lalu dan tidak bisa tidak memaksakan asumsi
mereka sendiri pada realitas masa lalu. Dalam hal inilah sejarawan akan sama
dengan penulis sastra fiksi. Bahkan Hayden White berpendapat bahwa narasi
sejarah adalah bentuk lain dari fiksi.17
Penelitian yang dilakukan oleh Hayden White terfokus pada penulisan
sejarah bukan pada penelitian sejarah. Penulisan sejarah pasti menghasilkan narasi
yang di dalamnya mengandung kalimat-kalimat individual. Pemahaman White
tentang narasi memang bergantung pada argumen yang dimaksudkan untuk
melawan realisme sebagai bentuk dominan. Hayden White dalam mendekati
narasi selalu menggunakan sudut pandang retorika, ideologi, dan politik.
Hayden White hadir untuk menantang imajinasi historis zamannya yang
berasal dari pandangan moral dan politik White. Gagasan White mengenai
manusia harus membuang “beban sejarah” mereka jika ingin berkontribusi untuk
dunia yang lebih baik bagi anak-anak dan keturunan mereka. Beban sejarah yang
dimaksud di sini adalah kejayaan masa lalu yang selalu menjadi standar bagi
generasi berikutnya, sehingga dianggap sebagai beban. Bagi Hayden White yang
16 Paul Herman, 2011, hal 4.17 Paul Herman, 2011, hal 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
penting dalam hal ini adalah bagaimana manusia sebagai individu
mengembangkan makna untuk membebaskan diri dari tradisi, konvensi, dan
kekuatan tirani lainnya. Dalam setiap interpretasi sejarah diperlukan pertimbangan
moral, dan setiap penulis sejarah memiliki tanggung jawab pribadi.18
Hayden White berfokus pada penulisan sejarah dalam konteks sejarah Barat.
Dalam penelitiannya tentang narasi, White membedakan lima jenis karakteristik
narasi dalam teori sejarah yang terjadi di Barat, meskipun untuk jenis yang kelima
ia masih ragu-ragu untuk menyebutnya sebagai karakterisasi. Pertama, narasi
yang ditentukan status epistemik narasinya. Jenis ini berupa tipe penjelasan (kind
of expalanation) yang sesuai dengan penjelasan sejarah, seperti berjalan alamiah
berupa kejadian dan proses. Walsh, Gardiner, Dray, Gallie, Morton White, Danto,
Mink merupakan contoh orang-orang di balik narasi semacam ini. Kedua, bagi
sejarawan yang berorientasi sosial ilmiah, seringkali narasi historiografi dianggap
tidak ilmiah. Arah pandangan ini diperlukan suatu transformasi dalam studi
sejarah supaya menjadi sains murni. Mashab Analles seperti Braudel, Furet, Le
Goff, LeRoy Ladurie adalah pelopor kararter ini. Ketiga, narasi yang dianggap
berorientasi semiologikal pada sastra dan filsafat. Dalam hal ini narasi dipelajari
dengan semua manifestasinya, kemudian melihat itu hanya sebagai salah satu
diskursif kode di antara yang lainnya. Mungkin tidak sesuai representasi realitas,
hanya bergantung pada tujuan pragmatis dalam pandangan pembicara. Narasi
semacam ini bisa ditemukan dalam karya Barthes, Foucault, Derrida, Todorov,
Julia Kristeva, Benveniste, Genette, Eco. Keempat, narasi dianggap sebagai
18 Paul Herman, 2011, hal 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
manifestasi wacana jenis tertentu (the manifestation in discourse) yang spesifik
pada kesadaran waktu atau struktur waktu. Pandangan ini berorientasi pada
hermeunetik seperti Gadamer dan Ricoeur. Kelima, yang Hayden White masih
ragu-ragu mengkategorikannya, adalah narasi yang dilihat secara terhormat dalam
menjalankan atau dalam praktik sejarah. White melihatnya ada pada J. H. Hexter
dan Geoffrey Elton. Pada karakter narasi seperti ini sejarawan dianggap bukan
milik filsafat atau metodologi tertentu, tetapi lebih berbicara dari sudut pandang
doxa profesi. Representasi naratif tidak menimbulkan masalah teoritis yang
signifikan.19
Model White akan penulis pakai untuk melihat narasi-narasi sejarah
perantau Bugis. Dalam realisasi tesis ini penulis “meminjam” beberapa konsep
teori dari Hayden White. Setidaknya ada tiga konsep yang akan penulis
kembangkan dalam konteks narasi. Yaitu Representasi Naratif, Individu dan
Moral. Selanjutnya secara ringkas akan penulis uraikan konsep tersebut satu
persatu.
1. Representasi
Menurut Hayden White narasi adalah cara berbicara universal seperti
bahasa. Dengan kata lain narasi merupakan cara representasi lisan sehingga
menjadi tampak alami dalam kesadaran manusia.20 Dalam narasi representasi
akan muncul aspek percakapan sehari-hari dan wacana biasa. Dalam
19 White, Hayden, The Content Of The Form, Baltimore dan London, The Johns HorpkinsUniversity Press, 1987, hal 26-57.20Untuk Penjelasan ini Hayden White mengambil dari R. Barthes, lebih jauh lihat White, Hayden,“The Question Of Narrative In Contemporary Historical Theory”, History and Theory, Vol. 23,No. 1 Published by: Blackwell Publishing for Wesleyan University, URL:http://www.jstor.org/stable/2504969 hal 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
perkembangan ilmu pengetahuan, studi sejarah selalu ingin dianggap sebagai
sebuah ilmu. Model narasi represetasi dapat dilihat dalam deskripsi sejarawan
tentang fenomena dari objek studinya. Sebagian sejarawan menganggap bahwa
narasi representasi merupakan kegagalan dalam metodologi dan teori. Bagi
Hayden White, studi sejarah profesional melihat narasi bukan sebagai produk teori
dan metode melainkan sebagai bentuk dari wacana (form of discourse) yang tidak
dapat digunakan sebagai representasi dari peristiwa sejarah. Dalam perdebatan ini
White akhirnya mengantar kita pada perdebatan tentang bagaimana membedakan
“sejarah” dan “fiksi”. Konsep representasi dalam penelitian ini dipakai untuk
melihat berbagai representasi yang hadir dalam narasi sejarah perantau Bugis.
Kemudian, memeriksa bagaimana cara setiap sejarawan menghadirkan apa yang
menjadi representasi dari perantau Bugis.
2. Individu
Hayden White menekankan adanya kompleksitas realitas dan menurutnya
tidak mungkin merumuskan kompleksitas itu dalam satu rumusan tunggal. Sifat
manusia tidak pernah tetap karena harus diwujudkan terus-menerus oleh individu.
Kekhasan itulah yang merupakan sejarah yang unik bagi diri manusia sebagai
individu, sehingga manusia cenderung “ingin menjadi” daripada “diberitahu untuk
menjadi”. Sederhananya, tidak ada yang universal. Yang ada hanyalah kebebasan
individu untuk menyadari sendiri apa yang manusia anggap sebagai tanggung
jawabnya. Kebebasan individu bagi White berarti adanya kebebasan untuk
bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang manusia pilih sendiri, bukan nilai-nilai
yang berasal dari masa lalu. Bukan berarti bahwa kita terputus sama sekali dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
masa lalu, tetapi lebih pada cara individu menanggapi keadaan yang tidak pernah
dapat diturunkan dari masa lalu. Dalam artian, manusia memiliki kebebasan untuk
memutuskan sendiri pilihan kehidupannya. Begitupun individu berperan dalam
menentukan apa yang terjadi di masa lalu. Dalam hal ini dorongan White untuk
menulis sejarah bertentangan dengan dorongan antik yang hanya untuk
memastikan apa yang telah terjadi di masa lalu. Di sini menulis sejarah
ditempatkan sebagai keinginan untuk memahami arti masa lalu. Dari kebebasan
individu yang dikembangkannya, White menemukan sebuah rumusan yang
disebut “Historiografi pembebasan” (liberation historiography).21 Kosep individu
dipakai dalam penelitian ini untuk melihat peran berbagai aktor sejarah yang
dihadirkan oleh setiap sejarawan. Setiap sejarawan memiliki alasan, aktor siapa
dan peran apa yang dihadirkan dalam narasinya.
3. Moral
Konsep moral yang dikembangkan oleh White merupakan yang berangkat
dari komitmen moral yang dia pinjam dari konsep Croce. Menurut White
tanggung jawab moral sejarawan tidak terdapat pada pemberian saran konkrit
untuk memecahkan persoalan. Tanggung jawab moral ditunjukkan justru ketika
sejarawan menolak untuk menarik garis lurus dari masa lalu ke masa kini yang
berbeda dari orang-orang sezamannya. Kebebasan dimiliki oleh sejarawan untuk
memutuskan sendiri tentang kebaikan dan kejahatan. White memahami sejarah
bukan sebagai akibat dari kekuatan impersonal atau keadaan kebetulan tetapi
sebagai produk kecerdasan dan kehendak manusia. Moral dan estetika akan
21 Paul Herman, 2011, hal 36.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
menjadi pemandu bagi setiap kebebasan individu untuk memilih masa lalu seperti
mereka memilih masa depan. Artinya, historiografi pembebasan yang menjadi
pilihan individu untuk menyusun masa lalunya akan ditentukan oleh moral yang
dimiliki sejarawan. Moral dari sejarawan itu terbentuk pada orientasi nilai yang
dimilikinya. Orientasi nilai ini merupakan sebuah konsep yang dimiliki secara
khas oleh individu maupun kelompok, baik yang terlihat maupun yang implisit,
sehingga dapat mempengaruhi pilihan dalam bertindak. Hal ini oleh White
disamakan dengan “Ideologi”. 22 Konsep moral dalam penelitian ini dipakai untuk
memeriksa latar belakang sejarawan ketika memilih aktor sejarah dan peristiwa
yang dihadirkan dalam narasi.
H. Metode
Tesis ini menggunakan metode kepustakaan dalam proses pengumpulan
datanya. Data yang sekaligus menjadi objek material dalam penelitian ini adalah
tulisan sejarah tentang perantau Bugis. Ada empat teks yang menjadi data primer
dalam penelitian ini yaitu: pertama, buku yang berjudul Migrasi Dan Orang
Bugis, ditulis oleh Andi Ima Kesuma. Buku ini terbit pada tahun 2004 di
Yogyakarta. Kedua, buku yang berjudul Perahu Pinisi di Pesisir Dewata: Migrasi
dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali sekitar Abad XIX ditulis oleh I Putu Gede
Suwitha, terbit tahun 2013 di Denpasar, Bali. Ketiga, teks yang berjudul
“Akulturasi Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara, Pesisir Pantai
Jakarta Utara”, tulisan ini ditulis oleh Mashadi Said dan Hendro Prabowo.
Keempat, teks dengan judul “Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisasi
22 Paul Herman, 2011, hal 22-23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Bagian Timur Indonesia: Kasus Konteks Sejarah Ambon” yang ditulis oleh
Badrus Sholeh. Dua tulisan terakhir berada buku Diaspora Bugis di Alam Melayu
Nusantara terbit pada tahun 2010 di Makassar . Tulisan-tulisan sejarah tersebut
merupakan karya dari para akademisi dalam negeri. Kategori lainnya terletak pada
jenis tulisan yang dihasilkan apakah termasuk tulisan sejarah atau tidak. Jadi ada
proses kategorisasi dalam pengumpulan tulisan-tulisan yang dianalisis narasinya.
Tulisan-tulisan tersebut digunakan sebagai data primer. Kemudian untuk
memperkuat analisis narasi menggunakan tulisan-tulisan yang berhubungan
dengan perantau Bugis tapi tidak dikategorikan dalam tulisan sejarah.
Dalam proses analisis, penulis terlebih dahulu menelusuri setiap narasi
sejarah yang ada untuk menemukan bentuk represntasi yang dihadirkan oleh
setiap sejarawan. Setelah menemukan representasi narasinya maka langkah
selanjutnya adalah menelusuri bagaimana setiap sejarawan membangun
argumentasinya. Disini akan mememukan kata maupun kalimat subjektif yang
muncul dari setiap sejarawan. Selanjutnya akan menunjukkan kecenderungan apa
yang ada dalam narasi sejarah perantau Bugis. Dari proses itu akan terlihat bentuk
intervensi setiap sejarawan dalam narasi yang ada.
I. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan di bagi dalam lima bagian. Bab I akan berisi latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian.
Pada Bab II akan diuraikan perkembangan historiografi Bugis. Ada tiga
bagian yang menjadi fokus pembahasan yaitu peran pemerintah kolonial, Ilmuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Asing yang menarasikan Bugis dan intelektual lokal. Di bagian akhir dari bab ini
menelusuri tulisan-tulisan tentang perantau Bugis, sekaligus membahas sepintas
teks yang menjadi bahan analisa dari tesis ini.
Pada Bab III akan dijelaskan teks-teks sejarah yang akan dianalisa dalam
penelitian ini dengan membaginya dalam tiga bagian. Pertama, berdasarkan teks-
teks sejarah tersebut akan dilihat dinamika perantau Bugis untuk menunjukkan
representasi yang hadir dalam setiap teks. Kedua, akan ditunjukkan gambaran
perantau Bugis di beberapa daerah perantauan berdasarkan teks-teks sejarah yang
dipilih. Ketiga, akan ditunjukkan peran individu yang dimunculkan dalam setiap
teks.
Pada Bab IV akan berisi penjelasan posisi sejarawan berdasarkan narasi
yang mereka buat tentang sejarah perantau Bugis. Dalam hal ini akan dijelaskan
lebih jauh bagaimana representasi yang dihadirkan setiap sejarawan dalam
narasinya. Kemudian melihat cara setiap sejarawan dalam membangun narasinya
tentang Bugis di setiap wilayah perantauan. Bagian terakhir dari bab ini dilihat
aktor sejarah yang ada dalam narasi dan sejarawan yang menarasikannya.
Terakhir Bab V akan berisi kesimpulan dari hasil penelitian terhadap narasi
sejarah perantau Bugis. Kemudian, berisi saran yang akan menjadi pertimbangan
bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
BAB II
PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI TENTANG MASYARAKAT
BUGIS
Untuk melihat dinamika narasi sejarah perantau Bugis, di bagian bab ini
akan terlebih dahulu diuraikan perkembangan penulisan sejarah Bugis. Penulisan
sejarah Bugis tidak lepas dari perkembangan pemakaian aksara dalam kehidupan
masyarakat yang berada di bagian selatan pulau Sulawesi. Aksara yang dimaksud
adalah Lontaraq, meskipun konotasi Lontaraq tidak tunggal hanya sebatas aksara
saja. Penyebutan Lontaraq juga terkait dengan naskah yang dihasilkan sebagai
catatan tertulis oleh masyarakat Bugis.1
Sebagaimana diketahui, Bugis merupakan salah satu dari beberapa
kelompok masyarakat yang saat ini mendiami wilayah Sulawesi Selatan.2 Bahasa
merupakan unsur utama yang dapat dilihat ketika membedakan masyarakat Bugis
dengan kelompok masyarakat lainnya, walupun bahasa Bugis sendiri tidak satu.
Setiap kelompok masyarakat Bugis memiliki dialeknya sendiri. Selain melalui
bahasa akan sulit membedakan kelompok masyarakat Bugis dengan kelompok
masyarakat lainnya. Masyarakat Bugis tidak hanya mendiami satu wilayah
tertentu, mereka tersebar di beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan.
Penyebaran ini tidak lepas dari fakta bahwa dalam sejarahnya orang-orang Bugis
mendiami beberapa kerajaan. Kategori Bugis dan bukan Bugis sangat terkait
dengan pembagian yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan dengan
1 Lontaraq yang dimaksud dalam tesis ini, selanjutnya adalah tulisan yang sudah berbentuknaskah, apapun bentuknya.2 Wilayah Sulawesi Selatan dulunya termasuk wilayah Sulawesi Barat saat ini, sebelum dimekarkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
pengertian siapa “lawan” dan siapa “kawan”. Bugis yang dimaksud dalam tesis ini
adalah Bugis secara umum, yakni mereka yang hidup dan menggunakan bahasa
Bugis dengan berbagai dialeknya.3
Bahasa Bugis yang digunakan oleh masyarakat Bugis tidak hanya berfungsi
sebagai alat komunikasi, melainkan juga berfungsi sebagai sarana untuk menulis,
dengan menggunakan aksara sendiri yang disebut huruf lontaraq. Lontaraq juga
merujuk pada medium penulisannya. Lontaraq menjadi medium yang digunakan
untuk mencatat berbagai peristiwa dalam kehidupan bermasyarakat terutama yang
terkait dengan peristiwa yang terjadi di sekitar kerajaan. Jenis tulisan lontaraq
tersebut banyak digunakan sebagai sumber dalam penulisan sejarah Bugis dan
kelompok masyarakat lainnya yang ada di Sulawesi Selatan selanjutnya.
Pencatatan berbagai kejadian yang dilakukan oleh pihak kerajaan setidaknya
dimulai pada awal abad ke-16. Naskah lontaraq memiliki banyak jenis, baik dari
segi isi naskah maupun bentuk penulisan, serta cara penyajiannya.
Terkait dengan bahan-bahan sumber sejarah, A.A. Cense mengkategorikan
lontaraq dalam lima bentuk. Satu, berupa buku-buku harian; dua teks-teks
perjanjian; tiga, catatan-catatan mengenai hukum adat; empat, surat-menyurat;
kelima, iktisar iktisar sejarah yang singkat, yang kelima ini dianggap sebagai
peralihan kepustakaan penulisan sejarah atau historiografi.4 Kategori-kategori
tersebut tidak lepas dari kategori yang dibuat oleh Cense karena ia melihat
naskah-naskah yang ada, terutama naskah yang masih dapat diakses saat dia
3 Pelras, Manusia Bugis,Nalar, Jakarta 2006 hal 144 Cense, Beberapa Tjatatan mengenai penulisan sedjarah Makassar-Bugis, Bharata, Jakarta 1972hal. 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
melakukan penelitian. Nanti pada bagian lain dari tesis ini akan diuraikan
bagaimana lontaraq diperlakukan pada masa kolonial.
Lontaraq merupakan produk tertulis paling tua yang dapat ditempatkan
sebagai sumber sejarah, sekaligus sebagai bentuk awal tulisan sejarah bagi
masyarakat Bugis maupun kelompok masyarakat lainnya yang ada di Sulawesi
Selatan. Penulisan sejarah Bugis menempatkan lontaraq sebagai sumber yang
(cukup) kuat sebagai alat legitimasi. Beberapa lontaraq sering kali tidak
dikategorikan sebagai sebuah tulisan sejarah, sebagaimana yang dikembangkan
oleh para sejarawan akademik. Dalam tesis ini lontaraq yang dimaksud tidak
terbatas pada lontaraq yang dibuat sampai kedatangan orang-orang Eropa di
Sulawesi, tapi lontaraq yang terus diproduksi sampai awal 1990-an.
Lontaraq yang menjadi legitimasi dalam penulisan sejarah biasanya berisi
informasi tentang asal usul sebuah kerajaan. Seperti misalnya lontaraq Sukkuna
Wajo yang bercerita tentang asal usul kerajaan Wajo. Ada juga Lontaraq Bone,
yang bercerita tentang pembentukan kerajaan Bone. Lontaraq Addituang
Sidenreng, Lontaraq Akkarungeng Sawitto, Lontaraq Akkarungeng Suppa,
Lontaraq Akkarungeng Alitta, lontaraq-lontaraq ini bercerita tentang asal-usul
masing-masing kerajaan yang masuk dalam aliansi Ajattappareng.5 Lontaraq
Gowa yang bercerita tentang asal usul kerajaan Gowa, walaupun kerajaan ini
tidak termasuk kerajaan Bugis tetapi naskah seperti itu juga membahas keadaan
wilayah-wilayah Bugis sehingga sering dipakai sebagai rujukan dalam penulisan
sejarah Bugis.
5 Latif Abd, Para Penguasa Ajattapareng, Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis, Ombak,Jogjakarta 2014 hal 16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Selain lontaraq yang bercerita tentang asal usul sebuah kerajaan terdapat
juga lontaraq yang berisi nasehat misalnya lontaraq Latoa. Menurut Mattulada,
Lontaraq ini merupakan kumpulan ucapan-ucapan orang Bugis yang bijaksana
dan petuah-petuah raja dari zaman sebelumnya yang banyak berisi soal hubungan
raja dan rakyatnya.6 Naskah ini diperkirakan oleh Mattulada ditulis sekitar tahun
1560-1578. Artinya, lontaraq itu ditulis sebelum Belanda menaklukkan kerajaan-
kerajaan yang ada di wilayah Sulawesi Selatan. Naskah yang digunakan oleh
Mattulada dalam penelitiannya adalah naskah salinan dari tulisan tangan Arung
Pancana pada tahun 1872.7
Pencatatan yang dilakukan oleh pihak kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan
tentang berbagai hal sudah berlangsung sebelum datangnya orang-orang Eropa di
daerah tersebut. Bentuknya belum bisa dikatakan sebagai tulisan sejarah tetapi
tulisan-tulisan itu sudah merupakan catatan sejarah, yang oleh A.A Cense
menyebutnya iktisar-iktisar sejarah yang singkat.8
Periode sejarah yang dapat ditelusuri melalui lontaraq-lontaraq tersebut
mulai sekitar abad XII. Naskah lain yang bercerita tentang masyarakat Bugis
adalah sure’galigo. Naskah ini merupakan naskah yang berangkat dari tradisi
lisan, yang kemudian ditulis dan biasa dibacakan dalam setiap acara adat. Naskah
yang sudah tertulis itulah yang disebut lontaraq sure’galigo. Naskah ini berisi
cerita mitologi.9 Sampai saat ini naskah tersebut masih menjadi perdebatan apakah
6 Mattulada, Latoa, Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,Hasanuddin University Press, Ujung pandang 1995 hal 79.7 Mattulada, 1995, hal 80. Mengenai peranan kolonial dalam penulisan sejarah Bugis akan dibahasdalam bagian tersendiri.8 Cense, 1972, hal 18.9 Mattulada, 1995, hal 65.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
isinya merupakan cerita sejarah atau bukan. Beberapa ahli akhirnya menempatkan
sebagai karya sastra. Ketiadaan tahun terjadinya sebuah peristiwa dalam naskah
tersebut menjadi persoalan sendiri dalam rangka menelusuri apakah peristiwa-
peristiwa tersebut pernah terjadi. Selain itu, tempat-tempat yang disebutkan dalam
naskah tersebut juga sulit dilacak lokasinya saat ini. Fachruddin Ambo Enre
menyebutnya zaman Galigo.10 Dia memperkirakan periode yang ada dalam
naskah tersebut terjadi sekitar abad ke-7sampai abad ke-10.11
Pada bagian ini yang akan dipertegas adalah bahwa tidak semua naskah
yang disebutkan sebelumnya merupakan naskah yang ditulis sebelum kedatangan
orang-orang Belanda di Sulawesi. Penulisan naskah semacam itu terus
berlangsung dalam perjalanan sejarah masyarakat Bugis. Ada yang langsung
ditulis ketika sebuah peristiwa terjadi, ada pula yang ditulis lama setelah
peristiwanya terjadi bahkan banyak juga berupa salinan dari naskah sebelumnya.
Tradisi penyalinan naskah menggunakan aksara lontaraq Bugis menjadi
kebiasaan yang dilakukan oleh kalangan bangasawan.
Bagian berikut akan mengurai bagaimana penulisan naskah lontaraq Bugis
tersebut kaitannya dengan pemerintah kolonial. Lontaraq-lontaraq tersebut tentu
berpengaruh dalam penulisan sejarah Bugis selanjutnya.
A. Peran Pemerintah Kolonial
Bagaimana peran pemerintah kolonial dalam penulisan sejarah Bugis?
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang ingin dijawab pada sub bagian ini.
10 Ambo Enre, Fachruddin, Ritumpana Welenrengnge: Sebuah Episode Sastra Bugis KlasikGaligo, Yayasan Obor Indonesia, jakarta 1999, hal 21.11 Ambo Enre, Fachruddin, 1999, hal 22.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Harus diakui bahwa pemerintah kolonial memiliki peran besar dalam penulisan
sejarah Bugis. Alasan ingin menguasai merupakan alasan dasar kenapa
pemerintah kolonial harus mengintervensi masyarakat jajahannya.12
Untuk melihat peran pemerintah kolonial dalam penulisan sejarah Bugis ada
dua lapis persoalan yang harus diurai.13 Lapis pertama, adalah adanya pengaruh
pihak pemerintah kolonial pada naskah-naskah lokal. Lapis kedua, beberapa
pegawai pemerintah kolonial yang pernah bertugas di daerah Sulawesi Selatan
menulis tentang masyarakat Bugis sekembalinya ke Belanda. Ada yang secara
langsung menulis sejarah masyarakat Bugis, ada pula yang hanya membuat
laporan selama berada berada di Sulawesi. Literatur-literatur seperti itulah yang
kemudian dipakai sebagai sumber penulisan sejarah Bugis.
Produksi naskah lokal terus dilakukan oleh masyarakat terutama kalangan
bangsawan sampai kedatangan VOC, yang sejak awal 1800 digantikan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Ada dua bentuk pengaruh pihak pemerintah kolonial
terhadap naskah-naskah lokal. Dalam bentuk pertama, pada saat naskah-naskah
tersebut dicatat dan disalin. Beberapa naskah ditulis dan disalin oleh orang lokal
atas permintaan pejabat pemerintah kolonial, seperti permintaan B.F. Matthes,
seorang pegawai pemerintah kolonial.14 Selain itu, beberapa pejabat kolonial yang
pernah bertugas di Sulawesi Selatan aktif mengumpulkan naskah-naskah lokal.
Fachruddin Ambo Enre mencatatan koleksi Matthes sebanyak 26 buku yang
12 Philpot, Simon, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postcolonial dan Otoritarianisme, Yogyakarta,Lkis, 2003. Hal 61.13Tidak hanya berlaku pada punulisan sejarah Bugis tapi hampir seluruh kelompok masyarakat,kolonial menerapkan hal yang sama.14 Ambo Enre, Fachruddin 1999 hal 13, lihat pula pengantarnya pada buku Kern, Lagaligo, GadjahMada University Press, Yogyakarta 1993 hal IX.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
diserahkan ke Nederlandsce Bijbelgenotschap, Schoemann mengumpulkan
naskah dan mempunyai koleksi 19 buku yang dibeli perpustakaan Bela Rusia di
Berlin, J.C.G. Jonker mengumpulkan 67 buku tulis dan sebuah lontar yang
dihibahkan oleh jandanya ke Rijksuniversitieits Bibliotheek di Leiden.15
Dalam bentuk kedua, pengaruh pihak pemerintah kolonial dalam penulisan
sejarah Bugis dapat dilihat dari literatur yang diterbitkan terkait dengan
masyarakat setempat. A.A Cense mencatat yang berangkat dari catatan Roelof
Block dalam memori serah terima pada tahun 1759, pada tahun 1820 Crawfurd
menerbitkan “History of the Indian Archipelago” yang di dalamnya termuat
sejarah Bone dan Gowa.16 Kemudian diikuti oleh S.A. Buddingh yang menulis
tentang pemerintahan Belanda dari Makassar dalam tulisan “Het nederlandsche
Gouvernement van Makassar op het eiland Celebes” yang dimuat dalam
Tijdschrift v.Ned.Indie tahun 1843. Di media yang sama J.A. Bakkers menulis
tentang kerajaan pinjaman Bone. B.F. Matthes menerbitkan “Makassarse en
Boeginese Chrestomathieen” atau bunga rampai dari Makassar. Tulisan ini
diterbitkan pada tahun 1872. Pada tahun 1883 G.K Niemann menerbitkan hikayat
kerajaan Bugis Tanete.17 A.A. Cense sendiri yang pernah menjadi pegawai bahasa
di Makassar pada 1930 sampai 194118 juga menerbitkan tulisan tentang penulisan
sejarah Bugis Makassar, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia pada
tahun 1971 dengan judul Beberapa Tjatatan mengenai Penulisan Sedjarah
Makassar-Bugis.
15 Ambo Enre, Fachruddin, 1999, hal 13-14.16 Cense hal 10 lihat juga I.A. Caldwell kronologi raja-raja luwu hingga tahun 1611 dalam kathrynRobinson dan Mukhlis Paeni Tapak-Tapak waktu, Ininnawa Makassar 2005 hal 3517Cense, 1972, hal 9-1218 Abidin Zainal, pengantar dalam Cense, 1972 hal.6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Dengan mempertimbangkan pengaruh pemerintah kolonial dalam berbagai
sumber yang menjadi acuan dalam penulisan sejarah Bugis, maka kita perlu lebih
kritis pula dalam melihat tulisan sejarah yang ada. Sulit dipastikan apa yang
membuat para pegawai pemerintah kolonial melakukan usaha-usaha pengumpulan
naskah-naskah lokal maupun mereka yang menulis tentang Bugis, kecuali untuk
kepentingan penjajahan. Perlu dicatat dengan publikasi-publikasi yang dilakukan
oleh para pegawai pemerintah kolonial tersebut ikut memperluas informasi
tentang masyarakat Bugis di Eropa.
B. Aktivitas Ilmuwan Asing Selain Pemerintah Kolonial
Ketertarikan orang-orang Barat terhadap dunia Timur tidak hanya
berlangsung ketika wilayah-wilayah tersebut masih berstatus sebagai wilayah
jajahan, melainkan juga ketika wilayah-wilayah jajahan itu sudah merdeka,
termasuk Indonesia. Dua Perang Dunia yang terjadi di awal dan pertengahan abad
ke-20 tidak menghentikan ketertarikan mereka tetapi justru berlanjut, walaupun
dengan motif yang berbeda. Satu kata kunci yang bisa digunakan untuk mengikat
dari berbagai alasan yang tidak tertulis dari setiap kegiatan orang-orang Barat di
negara-negara dunia ketiga adalah ilmu pengetahuan. Alasan itu pulalah yang
membuat masyarakat Bugis sebagai salah satu objek kajian ilmu pengetahuan bagi
beberapa ilmuan.
Tulisan-tulisan yang pernah diterbitkan oleh bekas pegawai pemerintah
Belanda tentang daerah-daerah Bugis menjadi titik awal keberangkatan penelitian
orang Barat lainnya. Setelah itu, berlajut dengan penelitian terhadap naskah-
naskah lokal yang banyak dikoleksi oleh bekas pejabat pemerintah Kolonial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Belakangan naskah-naskah tersebut tersimpan di berbagai perpustakaan di
Eropa.19 Tidak terhitung dengan pasti jumlah ilmuan asing yang pernah meneliti
masyarakat Bugis dengan berbagai tema dan latar belakang keilmuan. Bagian ini
akan membahas beberapa tulisan tentang Bugis yang berhubungan dengan
penulisan sejarah Bugis.
Ada beberapa naskah dari ilmuwan asing yang harus mendapat perhatian
ketika membahas bentuk penulisan sejarah masyarakat Bugis. Pertama, karya
Leonard Andaya yang berjudul The heritage of Arung Palakka: A History of
South Sulawesi (Celebes) ini the Seventeenth Century, yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Warisan Arung Palakka:
Sejarah Sulawesi Selatan abad ke-17. Tulisan kedua adalah karya Christian Pelras
dengan judul The Bugis yang dalam edisi bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi
Manusia Bugis. Kedua karya tersebut penting karena merupakan hasil penelitian
dan sudah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia.
Karya Leonard Andaya diterbitkan pertama kali pada tahun 1981 oleh
KITLV, sebuah lembaga milik pemerintahan Kerajaan Belanda. Karya ini
mewakili bentuk historiografi modern20, karena setidaknya memenuhi syarat-
syarat penulisan sejarah ilmiah. Cara paling mudah untuk mengidentifikasi bahwa
karya tersebut merupakan karya historiografi adalah dengan melihat adanya
batasan temporal dan spasial. Karya ini memilih kurun waktu abad ke-17 dan
19 Ambo Enre Fachruddin, 1999, hal 13-15.20 Hiitoriografi modern di Indonesia terkait dengan dimulainya penggunaan prinsip-prinsip metodekritis dalam penulisan sejarah. lihat Purwanto dan Warman Adam, Menggugat HistoriografiIndonesia, Ombak, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3. Lihat juga Soejatmoko, Sejarawan Indonesia DanZamannya, dalam Soedjatmoko dkk (ed) Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar, GramediaPustaka Utama, Jakarta, 1995 hal 358-363.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
secara spasial memilih Sulawesi Selatan.21 Karya ini tidak terlalu banyak
diketahui oleh masyarakat umum, kecuali mereka yang bergelut dalam dunia
intelektual. Edisi dalam bahasa Indonesia baru terbit pada tahun 2004. Andaya
membahas Arung Palakka, salah satu tokoh sejarah bagi masyarakat Bugis Arung
Palakka selama ini selalu dikategorikan sebagai pengkhianat dalam narasi sejarah
Indonesia. Ia diposisikan sebagai tokoh yang bekerja sama dengan Belanda. Posisi
tersebut membuat narasi sejarah nasional tidak mungkin menjadikan Arung
Palakka sebagai pahlawan nasional. Namun demikian bagi masyarakat Bugis
(terutama Bone), Arung Palakka merupakan tokoh yang dihormati karena
dianggap berperan utama dalam membebaskan Kerajaan Bugis (Bone) dari
Kerajaan Gowa.
The Bugis yang ditulis oleh Christian Pelras pertama kali diterbitkan pada
tahun 1996 dalam edisi bahasa Inggris. Pada tahun 2006 karya tersebut juga terbit
dalam edisi bahasa Indonesia dengan beberapa tambahan pembahasan.22 Karya
itu, walaupun bukan karya sejarah sebagaimana yang ditulis oleh Leonard
Andaya, penting untuk dilihat sebagai bagian dari perkembangan historiografi
Bugis. Tidak adanya batasan temporal membuat karya tersebut tidak bisa
dikategorikan sebagai karya sejarah modern, karena pembahasannya melampaui
berbagai kurun waktu.
Dalam narasi Pelras, masyarakat Bugis dibahas hingga zaman prasejarah.
Berangkat dari teks I La Galigo, Pelras menggambarkan keadaan masyarakat
21Leonard y. Andaya, “Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan abad ke-17”. Ininnawa,Makassar ,2004.22 Pelras, “Manusia Bugis” Nalar, Jakarta, 2006, hal vii.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Bugis yang dianggap sebagai periode Bugis awal.23 Menurutnya, gambaran
masyarakat di Sulawesi Selatan dan Tengah sebelum abad ke-14 dapat diperoleh
apabila informasi tentang siklus I La Galigo serta membandingkannya dengan
berbagai tradisi lisan yang berkembang.24 Pelras membahas kerajaan-kerajaan
yang dimulai dari berbagai mitos asal usul kerajaan, sekaligus sebagai penjelasan
naskah I Lagaligo. Lalu dilanjutkan dengan membahas priodesasi sejarah.25
Kerajaan Luwu ditempatkan sebagai penguasa wilayah-wilayah Bugis di akhir
abad ke-15, tetapi upaya-upaya melepaskan diri terus bermunculan bersamaan
dengan semakin merosotnya kekuasaan kerajaan tersebut.26 Di antara kerajaan-
kerajaan Bugis tidak ada yang saling menguasai secara penuh, bahkan beberapa di
antaranya justru membuat persekutuan kewilayahan seperti yang dilakukan
kerajaan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, Bacukiki dan Rapppang yang
membentuk peresekutuan Aja’Tappareng atau wilayah barat danau Tempe.27 Ada
juga persekutuan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya yang pernah terjadi antara
Bone, Soppeng dan Wajo yang disebut persekutuan Tellung Mpocco’-e’.
Persekutuan tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi kekuasaan kerajaan
Gowa.28 Selain itu, pentingnya karya ini dalam narasi sejarah Bugis, juga karena
membahas masyarakat Bugis yang relatif lebih baru.
Dalam sejarah masyarakat Bugis, Aja’Tappareng merupakan salah satu
bentuk persekutuan kerajaan-kerajaan Bugis yang dibentuk untuk memperkuat
23 Pelras, 2006, hal 71-110.24 Pelras, 2006, hal 71.25 Pelras, 2006, hal111-116.26 Pelras, 2006, hal 133.27 Pelras 2006, hal 133.28 Pelras 2006, hal 157.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
kekuatan politik dalam menghadapi kekuatan politik lainnya, seperti Luwu dan
Gowa dari priode yang berbeda. Persekutuan tersebut terbentuk atas kedekatan
wilayah yang berada di pantai barat Sulawesi. Stephen C. Druce merupakan
ilmuwan asing yang cukup kompleks membahas wilayah tersebut. Penelitiannya
cukup mutakhir tentang Bugis, terbit pada tahun 2009.29 Lontaraq kerajaan-
kerajaan yang dijadikan sumber dalam karya tersebut membuat penjelasan Druce
cukup detail. Artefak-artefak arkeologis juga dihadirkan sehingga penjelasannya
semakin akurat. Druce tidak hanya menggunakan satu pendekatan keilmuan
dalam penelitiannya tetapi berusaha menggabungkan beberapa pendekatan, seperti
sejarah dan arkeologi. Kekurangan dari karya ini karena hanya terbit dalam
bahasa Inggris dan belum ada pengalihan ke bahasa Indonesia.
Tentu tidak hanya tiga orang itu, ilmuwan asing yang meneliti tentang
Bugis, terutama pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Ada nama-nama seperti
Susan Bolyard Millar yang menulis buku berjudul Perkawinan Bugis, Ian
Caldwell yang menulis tesis untuk studinya yang berjudul Bugis Text South
Sulawesi AD1300-1600: Ten Bugis Tex, dan lain-lain.30 Mereka ikut mewarnai
penulisan sejarah Bugis. Karya-karya yang dibahas sebelumnnya belum semua
membahas daerah yang didiami masyarakat Bugis.
C. Narasi Intelektual Lokal
Masyarakat Bugis menulis tentang diri mereka sepertinya tidak pernah
berhenti sejak dikenalnya huruf lontaraq dalam penulisan naskah. Berbagai arus
29.Druce, Stephen C, The Lands West of the Lakes: A history of the Ajatappareng Kingdoms ofSouth Sulawesi 1200 to 1600 CE,” KITLV press, Laiden 2009.30 Lihat rujukan yang digunakan oleh pelras, 2006.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
kebudayaan luar yang bersentuhan dengan aktivitasnya membuat mereka terbuka
terhadap berbagai hal. Percampuran huruf lokal dengan huruf Arab merupakan
varian lain yang ditemukan dalam beberapa naskah lokal. Bentuk naskah seperti
itu adalah salah satu hasil persinggungan mereka dengan dunia luar. Pendidikan
Eropa yang diperkenalkan oleh Belanda di awal abad ke-20 juga ikut mewarnai
dinamika berpengetahuan masyarakat Bugis. Beberapa sekolah untuk pribumi
akhirnya didirikan. Golongan bangsawanlah yang pertama mendapat akses dan
biasanya mereka dipersiapkan menjadi pegawai Belanda. Setelah kemerdekaan
1945 dan masuknya Sulawesi sebagai bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT),
peran intelektual didikan Belanda tidak kehilangan tempat. Justru mereka yang
kemudian bermetamorfosis menjadi pejabat-pejabat daerah.
Di tengah gelora semangat memunculkan narasi sejarah nasional, muncul
seorang bekas pegawai pamongpraja yang merintis penulisan sejarah lokal untuk
daerah Sulawesi Selatan. Dia adalah Abdurrazak Daeng Patunru.31 Beberapa
tulisan sejarah daerah masyarakat Bugis hadir di tangannya, seperti Sedjarah
Wadjo yang merupakan karya pertamanya di tahun 1967. Menurut Dias
Pradadimara dalam pengantar salah satu buku kumpulan tulisan Abdurrazak
Daeng Patunru, pemilihan daerah Wadjo sebagai tema sejarah dipilih lebih karena
faktor kedekatan. Daerah tersebut merupakan salah satu tempat dia pernah
bertugas di masa kolonial.32 Daerah Bugis lain yang pernah ditulis yaitu Tanete,
Sidenreng, Soppeng, walaupun secara lebih singkat. Melihat bentuk tulisan dari
31 Pradadimara, Dias, “Abdurrazak Daeng Patunru dan Karyanya, sebuah perkenalan singkat”pengantar dalam Abdurrazak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan,PUSKIT dan Lephas, makassar 2004. Hal xiii.32 Pradadimara, Dias, dalam Patunru 2004, hal ix.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
tiga kerajaan yang ditulisnya itu, rupanya Abdurrazak Daeng Patunru tidak ketat
dalam usaha melakukan penulisan ilmiah. Meskipun demikian pada bagian akhir
tulisannya ia menyebut sumber-sumber yang digunakan.33 Sepertinya ia mewarisi
bentuk penulisan lontaraq di masa lalu ketika mengisahkan asal-usul sebuah
kerajaan, dipadu dengan pengalamannya sebagai seorang birokrat yang pernah
menempuh pendidikan formal Belanda. Dari sumber yang digunakan dalam
beberapa tulisannya terlihat bahwa naskah-naskah lokal dan catatan Belanda
menjadi pilihan utama sebagai sumber tulisannya.34
Penulisan sejarah Bugis yang berdasarkan hasil penelitian akademik
dilakukan oleh Andi Zainal Abidin yang menulis tentang Wajo Abad XV-XVI,
walaupun ia bukanlah akademisi pertama yang menjadikan Bugis sebagai tema
penelitian. Karyanya merupakan bagian dari sejarah Bugis yang ditulis oleh
intelektual lokal. Sebagai karya akademis maka model penulisannya sangat ketat
mengikuti aturan keilmiahan. Hal itu bisa dipahami karena karya tersebut
merupakan karya disertasi doktoral pada tahun 1979. Secara akademis Abidin
bukan berlatar belakang ilmu sejarah. Namun demikian ia mulai tertarik pada
naskah-naskah lokal saat menjadi kurator pada Yayasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan.35 Kerajaan Wajo yang dibahasnya merupakan salah satu kerajaan Bugis
yang pernah ada. Abidin menganggap unik kerajaan tersebut karena di abad ke
33Lihat Abdurrazak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, PUSKITdan Lephas, makassar 2004.34Lihat misalnya bagian daftar literatur pada bukunya, Patunru Abdrrazak Daeng, Sejarah Gowayayasan kebudayaan sulawesi selatan, Ujung Pandang, 1993, bahkan, menurut Paradadimara daripenggunaan sumbernya beliau lebih cenderung mengandalakan catatan-catatan yang dibuat olehpara pegawai kolonial dibanding menggunakan lontara atau naskah lokal. Pradadimara, Dias,“Abdurrazak Daeng Patunru dan Karyanya, sebuah perkenalan singkat” pengantar dalamAbdurrazak Daeng Patunru, 2004. Hal x.35 Abidin, Andi Zainal, Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Dari SulawesiSelatan Dari Lontara, Alumni, Bandung 1985 hal vii.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
XV-XVI pemerintahannya di tingkat pusat diselenggarakan oleh suatu dewan
yang jumlahnya cukup besar. Selain itu, menurut dia orang-orang Wajo juga bisa
ikut mempengaruhi jalannya pemerintahan dan sudah cukup mengenal adanya
kebebasan.36 Karya yang mencapai 600 halaman setelah diterbitkan menjadi buku
tersebut memberikan informasi tentang kerajaan Wajo, terutama peroses
terbentuknya kerajaan sampai beberapa pemerintahan setelahnya. Untuk
mempertegas bahwa karya tersebut mempunyai akar yang cukup kuat dalam
masyarakat Bugis. Di bagian kedua dari bukunya dimuat transkripsi dan translasi
salah satu Lontaraq yang digunakan.37 Di bagian ketiga buku itu Abidin
memperkuat argumentasinya dengan membandingkan Lontaraq Sukkuna Wajo
sebagai naskah yang menjadi kajian utamanya dengan lontaraq-lontaraq yang
berasal dari daerah lain, seperti Lontaraq Luwu, Gowa, Bone dan Soppeng.38
Yang perlu menjadi catatan dalam buku tersebut hanya membahas salah satu
kelompok masyarakat Bugis.
Intelektual lokal generasi Abidin bukan satu-satunya yang menulis tentang
Bugis untuk kepentingan akademik tetapi masih ada yang lain, seperti yang
dilakukan oleh Mattulada. Mattulada menganalisa salah satu naskah Lontaraq,
sekaligus menjadi judul bukunya yaitu Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap
Antropologi Politik Orang Bugis. Buku Abidin dan Mattulada terbit di tahun yang
sama yaitu tahun 1985, walaupun belum diketahui mana yang lebih dahulu
merampungkan disertasinya. Buku yang ditulis oleh Mattulada melukiskan salah
36 Abidin, Andi Zainal, 1985,hal 7.37 Abidin, Andi Zainal, 1985, hal 52-276.38 Abidin, Andi Zainal 1985,hal 277-346.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
satu kerajaan Bugis yang pernah ada yaitu kerajaan Bone tetapi pendekatannya
lebih antropologis.39
Karya lain yang lahir dari kalangan akademisi yaitu Para Penguasa
Ajatappareng, Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis yang ditulis oleh Abd
Latif. Sebagai salah satu dosen di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin
Makassar, karya ini juga merupakan karya sejarah akademik. Buku itu membahas
secara deskripsi tentang para penguasa dalam kofenderasi Ajatappareng. Pada
awalnya karya tersebut merupakan bagian dari disertasinya, tapi kemudian
diterbitkan secara terpisah.40 Sumber yang digunakan dalam menyusun buku
tersebut adalah Lontaraq dari lima kerajaan Bugis yang berada di pantai barat
Sulawesi Selatan. Pertama kali diterbitkan pada tahun 2014, buku tersebut bisa
dipandang sebagai tulisan tentang Bugis yang relatif lebih baru.
Berbagai tulisan tentang Bugis yang berlatar belakang sejarah cukup
mewarnai narasi sejarah Bugis juga lahir dari akademisi lainnya seperti A.Rasyid
Asba, yang menulis buku berjudul Kerajaan Nepo, Sebuah Kearifan Lokal Dalam
Sistem Politik Tradisional Bugis Di Kabupaten Barru. Selain itu dia juga pernah
menulis buku Gerakan Sosial Di Tanah Bugis: Raja Tanete Lapatau Menentang
Belanda. Kedua buku tersebut terbit di tahun 2010. Selain karya yang sudah
terpublikasi dan tersebar ke masyarakat karena sudah diterbitkan dalam bentuk
buku, tentu masih banyak lagi serpihan-serpihan sejarah Bugis yang lahir dari
para sarjana, terutama alumni universitas-universitas yang memiliki jurusan
sejarah, baik mereka yang berlatar belakang ilmu sejarah murni maupun
39 Mattulada, 1995,hal 1.40 Latif Abd, 2014, hal ix.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
pendidikan sejarah, seperti Universitas Hasannuddin, Universitas Negeri
Makassar, Universitas Islam Negeri Alauddin yang mempunyai jurusan sejarah
dan peradaban islam serta Universitas Veteran Republik Indonesia.
D. Jejak Tertulis Orang Bugis Di Tanah Rantau
Seperti halnya jejak orang Bugis secara umum, lontaraq menjadi acuan
tertulis untuk melihat jejak orang Bugis di tanah rantau. Pada abad ke-17 sebuah
lontaraq ditulis oleh Amana Gappa berisi pengaturan orang Bugis yang berada di
Sulawesi dan di luar Sulawesi ketika melakukan pelayaran dan perdagangan.
Lontaraq tulisan Amanna Gappa yang dibahas di sini berasal dari pembahasan
PH. O. L. Tobing dalam bukunya Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna
Gappa.41 Amamna Gappa adalah Matoa42 orang Bugis yang berasal dari Wajo
yang tinggal di Makassar. Dialah yang berinisiatif untuk merumuskan aturan
tertulis yang mengatur pelayaran dan perdagangan bagi komunitas orang Bugis.
Mekanisme perumusan aturan itu dilakukan dengan memanggil Matoa-matoa
lainnya ke Makassar. Dalam lontaraq itu disebutkan Matoa-matoa dari Sumbawa
dan Paser hadir.43 Menurut PH. O. L.Tobing berdasarkan lontaraq tersebut pada
abad ke-17 kelompok-kelompok orang Bugis sudah ada di Ambon, Banjarmasin,
Palembang, Malaka, Djohor. Kesimpulan itu didapat dengan melihat adanya rute-
rute pelayaran yang disebutkan dalam naskah.44 Lontaraq tersebut memang tidak
41 Tobing, Hukum Pelayaran Dan Perdagangan Amanna Gappa, Yayasan Kebudayaan sulawesiselatan, Ujung Pandang, 1977.42Matoa merupakan penyebutan orang yang diangkat sebagai pimpinan dalam komunitas orangBugis yang berasal dari Wajo, baik ketika berada di Wajo sendiri maupun orang Wajo yangbermukim diluar. Setiap komunitas orang Bugis yang bersal dari Wajo biasanya memiliki Matoa.43Tobing 1977,hal 24.44 Tobing, 1977, hal 23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
menggambarkan kehidupan orang Bugis di tempat mereka bermukim, tetapi dapat
dijadikan dasar untuk melihat persebaran orang Bugis di luar Sulawesi Selatan.
Catatan perjalanan orang-orang Eropa juga menjadi penting untuk
menemukan gambaran orang-orang Bugis di berbagai tempat. Salah satunya
adalah catatan yang dibuat oleh Josep Conrad saat melakukan perjalanan dari
Singapura ke Kalimantan Timur. Di setiap pelabuhan yang disinggahinya Conrad
bertemu dengan orang Bugis.45 Catatan seperti ini memberikan informasi
mengenai aktivitas orang Bugis yang mereka temui di beberapa pusat
perdagangan, terutama daerah yang memiliki pelabuhan. Mengidentifikasi orang
Bugis memang tidak dilakukan lebih jauh, tapi sepertinya yang disebut sebagai
orang Bugis tidak hanya orang-orang yang berasal dari daerah di Sulawesi Selatan
yang berbahasa Bugis, melainkan juga hampir semua orang yang berasal dari
wilayah tersebut.
Naskah yang dibuat atau yang terdapat di daerah perantau menjadi penting
untuk melihat peranan perantau Bugis di tempat mereka bermukim. Naskah
seperti ini bahkan dapat menjadi dasar untuk menelusuri silsilah orang Bugis,
seperti yang dilakukan oleh Arena Wati ketika menyusun silsilah Melayu dan
Bugis. Tulisan tersebut didasarkan pada karangan Ali Al Haji yang berjudul
Tuhfat Al Nafis.46 Naskah lainnya ada yang berbentuk pantun, seperti naskah yang
menggambarkan keterlibatan perantau Bugis dalam perang di Semenanjung
Melayu. Naskah seperti ini menjadi acuan akademisi ketika menelusuri silsilah
45 Tobing, 1977, hal 19.46 Kesuma 2004, hal 98.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
orang-orang Melayu maupun perantau Bugis di wilayah Melayu.47 Naskah
Melayu yang tekait dengan perantau Bugis bahkan ada yang ditulis oleh keturunan
Bugis Wajo yang bernama Husin bin Ismail.48 Akan tetapi naskah yang disalinnya
belum ada yang menceritakan keberadaan orang Bugis di Melayu secara khusus.
Ada beberapa karya tulis lain yang merekam keberadaan orang Bugis di
perantauan dan disusun oleh akademisi dalam negeri, yang sekaligus dijadikan
sebagai bahan analisis untuk melihat perantau Bugis dalam narasi sejarah.
Misalnya karya sejarah yang berjudul Migrasi dan orang Bugis ditulis oleh Andi
Ima Kesuma, merupakan salah satu tulisan sejarah yang menelusuri keberadaan
orang Bugis di Johor Malaysia. Buku ini bahkan secara khusus berusaha
mendeskripsikan peran Opu Daeng Rilakka beserta keturunannya di Johor pada
abad ke-18. Tulisan tersebut merupakan tulisan akademik, diterbitkan dalam
bentuk buku oleh penerbit Ombak di kota Yogyakarta. Dalam pengantarnya,
penulis mengungkapkan bahwa buku itu ditulis berdasarkan penelitian yang
dilakukan pada tahun 1988, tetapi baru dipublikasi dalam bentuk buku pada tahun
2004.
Contoh lain adalah buku yang berjudul Perahu Pinisi di Pesisir Dewata,
Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali Sekitar Abad XIX yang mencoba
menelusuri keberadaan orang Bugis di wilayah Bali. Buku ini berangkat dari
penelitian untuk kepentingan akademik tertentu dan seteleh mengalami perbaikan
diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 2011. Buku tersebut diterbitkan oleh
47 Kesuma 2004,hal 119-124.48 Roger Tol, pengembaraan La Galigo ke Washington D.C dalam Nurhayati Rahman dkk (editor)La Galigo, Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, pusat studi la galigo pusat kegiatan penelitianuniversitas hasanuddin dan pemerintah daerah kabupaten Barru,Makassar 2003, hal 60.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
penerbit Pustaka Larasan yang ada di Bali. Penulisnya bernama I Putu Gede
Suwitha asal Bali. Penulisnya pernah tinggal di Makassar selama dua tahun,
dalam rangka penelitian.
Buku yang juga memuat tentang perantau Bugis adalah buku Diaspora
Bugis di Alam Melayu Nusantara. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan
yang dieditori oleh Andi Faisal Bakti, akademisi yang masih keturunan Bugis.
Kumpulan tulisan tersebut diterbitkan oleh penerbit Ininnawa yang beralamat di
Makassar pada tahun 2010. Sebagai kumpulan tulisan di dalamnya termuat
banyak tulisan. Penulisnya pun beragam, mulai dari yang berasal dari luar negeri
sampai yang berasal dari dalam negeri. Dalam buku itu ada dua tulisan yang
dijadikan bahan untuk tesin ini. Pertama, tulisan yang berjudul “Akulturasi Orang
Bugis Dan Orang Betawi Di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara”. Tulisan
ini lahir dari penelitian yang dilakuan oleh dua orang yang bernama Mashadi Said
dan Hendro Prabowo. Kedua, tulisan yang berjudul “Peranan Bugis pendatang
dalam proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia: Kasus Konteks Sejarah
Ambon”. Tulisan tersebut dibuat oleh Badrus Sholeh.
Rangkuman
Historiografi tentang Masyarakat Bugis yang pernah ada dimulai ketika
masyarakat terebut mengenal aksara yang disebut huruf lontaraq. Penyebutan
lontaraq sendiri sekaligus untuk penamaan naskah yang dibuat oleh masyarakat
Bugis di berbagai kerajaan yang pernah ada, sekaligus sebagai bentuk
historiografi paling awal. Masyarakat Bugis juga beragam karena berasal dari
kerajaan yang berbeda di masa lalu. Masuknya orang Eropa di wilayah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
didiami masyarakat Bugis ikut mempengaruhi penulisan sejarah yang ada,
sekaligus pengertian Bugis sendiri. Dimulai dengan orang Eropa yang datang
untuk menjajah seperti yang di lakukan oleh Belanda. Demi untuk menguasai
masyarakat Bugis maka mereka mengumpulkan berbagai naskah lokal yang ada,
bahkan ikut mempengaruhi proses produksi yang dilakukan oleh masyarakat
setempat, terutama masyartakat kerajaan yang berada di bawah taklukan orang
Eropa. Ketelibatan orang asing dalam perkembangan historiografi Bugis tidak
berhenti saat penjajahan berakhir tetapi terus berlanjut setelahnya. Ilmuwan asing
ikut mewarnai perjalanan penulisan sejarah Bugis kemudian melalui penelitian-
penelitian untuk kepentingan akademik mereka. Penulisan sejarah Bugis juga
dilakukan oleh intelektual lokal dan akademisi dalam negeri lainnya, mengikuti
perkembangan dunia sekolah yang ada.
Perkembangan penulisan sejarah Bugis diikuti dengan penulisan sejarah
orang-orang Bugis yang berada di luar daerahnya. Pola penulisannya juga
mengikuti pola penulisan sejarah masyarakat Bugis secara umum. Penulisan
sejarah masyarakat Bugis diperantauan juga berawal dari tulisan lontaraq yang
ditulis oleh kalangan mereka sendiri. Penulisan sejarah selanjutnya berasal dari
catatan orang Eropa yang bertemu dengan komunitas orang Bugis di berbagai
tempat, terutama daerah pelabuhan. Para akademisi juga memiliki perhatian dan
minat untuk menulis orang-orang Bugis perantauan, baik yang dilakukan oleh
akademisi luar maupun akademisi dalam negeri. Bab selanjutnya membahas
empat karya sejarah perantau Bugis. Tulisan tersebut merupakan objek
pembahasan dalam tesis ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
BAB III
DINAMIKA PERANTAU BUGIS SEBAGAIMANA DINARASIKAN
DALAM TEKS-TEKS SEJARAH
Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana penulisan sejarah perantau Bugis
dinarasikan oleh para intelektual. Sebagaimana telah disebut, ada empat teks
sebagai objek utama tesis ini. Pertama, buku yang berjudul Migrasi Dan Orang
Bugis, yang ditulis oleh Andi Ima Kesuma. Kedua, buku yang berjudul Perahu
Pinisi di Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali sekitar
Abad XIX. Buku tersebut merupakan karya I Putu Gede Suwitha. Ketiga artikel
yang berjudul “Akulturasi Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara,
Pesisir Pantai Jakarta Utara”, tulisan ini ditulis oleh Mashadi Said dan Hendro
Prabowo. Keempat, tulisan yang berjudul “Peranan Bugis Pendatang dalam
Proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia: Kasus Konteks Sejarah Ambon” yang
ditulis oleh Badrus Sholeh. Kedua artikel tersebut merupakan dua tulisan yang
terdapat dalam satu buku yang berjudul Diaspora Bugis di Alam Melayu
Nusantara, dieditori oleh Andi Faisal Bakti.
A. Bugis dalam Ruang Representasi
Ketika membaca narasi sejarah perantau Bugis, kita akan melihat berbagai
hal hadir dalam narasi sejarah tersebut. Representasi merupakan salah satu cara
yang dipakai oleh sejarawan untuk menghadirkan berbagai fenomena dalam
narasi. Menurut White representasi dapat dilihat dalam deskripsi yang dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
oleh sejarawan tentang objek studi mereka.1 Bagian ini akan melihat beberapa
penggalan yang dihadirkan dalam narasi sejarah perantau Bugis. Penggalan
tersebut merupakan representasi dari perantau Bugis yang hadir dalam narasi.
Representasi pertama, soal keadaan tanah kelahiran yang tidak menentu: selalu
berada dalam situasi antara perang dan harga diri. Bagian ini berisi tentang
keadaan kampung halaman orang Bugis yang berada di Sulawesi Selatan. Hal ini
penting untuk melihat penyebab orang Bugis melakukan perantauan. Representasi
kedua, soal spirit bahari sebagai legitimasi perantauan. Bagian ini berisi narasi
tentang bagaimana orang Bugis melakukan perantauan.
A.1. Tanah Kelahiran yang tidak Menentu: Antara Perang dan Harga Diri
Ketika membaca narasi sejarah perantau Bugis, kita akan tertuju pada satu
pertanyaan mendasar yaitu kenapa orang Bugis melakukan perantauan?
Terjadinya gejolak di wilayah Sulawesi Selatan sebagai akibat perang merupakan
salah satu alasan yang ditampilkan oleh sejarawan, sebagai penyebab orang Bugis
meninggalkan daerahnya. Perang yang memuncak pada tahun 1667 antara
Makassar melawan VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dianggap
memiliki dampak yang menyebabkan orang-orang di pulau Sulawesi bagian
selatan meninggalkan pulau itu. Perang tersebut dikenal sebagai Perang Makassar.
Lalu apa hubungannya dengan orang Bugis?
Perebutan pengaruh di antara kerajaan yang ada di kawasan Sulawesi
merupakan latar sejarah yang ditampilkan dalam narasi sejarah ketika memotret
pertarungan antar kerajaan di abad ke-17. Ketegangan semakin menjadi-jadi
1 White, The Conten of the form, 1987, hal 189
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
ketika VOC sebagai kekuatan luar ingin merebut pengaruh di wilayah itu. VOC
menganggap wilayah Sulawesi bagian Selatan terutama Makassar strategis karena
menghubungkan sumber rempah-rempah yang ada di kepulauan Maluku dengan
Batavia sebagai pusat kekuasaannya. Koalisi antar kerajaanpun terjadi pada
periode tersebut. Posisi orang Bugis sendiri tidak tunggal karena kerajaan Wajo
sebagai salah satu kerajaan Bugis saat itu berkoalisi dengan kerajaan Makassar.2
Perang antara VOC dengan Makassar pada tahun 1967 menimbulkan
rentetan peristiwa sampai meletusnya perang terbuka yang berujung pada ditanda
tanganinya perjanjian Bongaya di tahun yang sama kemudian diperbarui pada
tahun 16693. Perang tersebut dianggap sebagai salah satu perang besar
sebagaimana yang dinarasikan oleh Kesuma: “… perang VOC-Makassar pada
tahun 1667, suatu bentuk perang yang unik lagi dahsyat, tak ada taranya dengan
perang kolonial lainnya yang pernah terjadi pada masa kekuasaan VOC/Belanda
di Kepulauan Nusantara.”4 Kronologi perang tersebut dinarasikan oleh Kesuma
lengkap dengan pasal perjanjian yang terpaksa disetujui oleh pihak Makassar.5
Perang ini kemudian disebut Perang Makassar yang memicu terjadi perpindahan
orang-orang Bugis dari Sulawesi Selatan ke daerah lain, terutama mereka yang
berkoalisi dengan kerajaan Makassar.
Narasi Kesuma menunjukkan bahwa Perang Makassar berakhir dengan
Perjanjian Bungaya. Dalam narasinya, Kesuma menghadirkan sembilan pasal
2 Kerajaan Makassar merupakan penyebutan lain dari kerajaan Gowa terutama setelahpenggabungan kerajaan Gowa dan Tallo, lihat Patunru, Sejarah Gowa, Ujung pandang , YayasanKebudayaan Sulawesi Selatan, 1993.3 Kesuma, 2004, hal 65. Lihat juga Patunru,1993 hal 63,4 Kesuma 2004, hal 58.5 kesuma 2004 hal 59- 67.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Perjanjian Bungaya yang kesemuanya cenderung merugikan pihak kerajaan
Makassar bersama koalisinya. Protes terhadap pasal perjanjian itu ditunjukkan
oleh Kesuma seperti berikut ini:
Jikalau diperhatikan beberapa pasal dalam perjanjian tersebut, sudah tentu sangatmerisaukan sejumlah sekutu maupun pengikut Sultan Hasanuddin. Terutama mengenaipasal 4. Menurut penulis, inilah yang menjadi alasan utama mengapa Karaeng Galesongdan Karaeng Bontomarannu secara diam-diam meninggalkan Makassar berlayar ke pulauJawa, yaitu masing-masing ke Madura dan Banten.6
Menurut Kesuma kepindahan bekas pasukan kerajaan Makassar secara
berkelompok tidak berhenti sesaat setelah Perjanjian Bungaya. Perpindahan itu
terus berlangsung, seperti yang dilakukan oleh Karaeng Luwu dan pasukannya
yang berjumlah 300 orang.7
Kesuma menyebutkan bahwa akibat dari Perang Makassar beberapa daerah
di Sulawesi Selatan mengalami ketidakstabilan salah satunya dialami oleh
Kerajaan Wajo. Sebagai kerajaan yang memihak pada pihak yang kalah maka
sebagai konsekuensinya kerajaan ini terus mengalami gangguan keamanan ketika
perang Makassar berakhir. Saat itu Wajo tidak ikut menandatangani perjanjian
dengan VOC.8
Menurut Kesuma gangguan keamanan terhadap orang-orang Wajo justru
semakin meningkat setelah Perang Makassar berakhir, sebab gabungan pasukan
VOC dan Arung Palakka justru mengarahkan kekuatannya untuk menyerang pusat
kerajaan Wajo yang ada di Tosora. Dalam narasinya, Kesuma menyebut bahwa
6 Kesuma 2004, hal 67, pasal 4 berisi “orang-orang yang bersalah karena telah melakukanpembunuhan-pembunuhan atas diri orang Belanda, akan dihukum di hadapan residen Belanda diMakassar”.7 Kesuma 2004, hal 68.8 Kesuma 2004, hal 69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
kerajaan tersebut dikepung selama tiga tahun.9 Serangan besar-besaran kemudian
dilakukan pada tahun 1670 dan memakan korban 1300 orang dari pihak kerajaan
Wajo. Kesuma menyebut bahwa penyerangan itu berakhir dengan perjanjian yang
ditandangani pada tanggal 23 desember 1670, sekaligus merupakan perjanjian
penyerahan. Pihak Wajo dihadiri oleh tiga panglima besar kerajaan Wajo yaitu
Cakkuridi Wajo, Pattola Wajo dan Pilla Wajo.10 Ketidakstabilan kerajaan Wajo
pada akhirnya membuat masyarakatnya memilih meninggalkan kerajaan tersebut
sebagaimana yang dinarasikan oleh Kesuma:
Selama berlangsungnya peperangan penduduk Wajo boleh dikatakan mengalamipenderitaan yang maha hebat. Oleh sebab itu banyak di antaranya yang meninggalkankampung halaman, tercerai-berai menuju negeri lain seperti Mandar, Luwu, Enrekang,Makassar, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Selangor dan Johor.11
Berakhirnya Perang Makassar yang melahirkan perjanjian Bongaya pada
tahun 1667, juga terdapat dalam narasi Suwitha sebagai salah satu sebab banyak
orang Bugis meninggalkan wilayah Sulawesi Selatan saat itu. Perjanjian itu
membuat peta politik perdagangan berubah. Tidak hanya di Makassar, perubahan
juga terjadi di kawasan timur Nusantara. Monopoli yang dilakukan oleh VOC
membuat Makassar ditinggalkan oleh para pedagang.
Ditinggalkannya kawasan Makassar dinarasikan oleh Suwitha sebagai
berikut:
Pada periode inilah banyak bangsawan Bugis yang meninggalkan tanah kelahirannyamenyebar keseluruh Asia Tenggara sambil berdagang karena hak hidup mereka dirampas.Terdapat pusat penyebaran orang Bugis, seperti Kutai, Pontianak, Pulau Batam, Riau, danFlores. Pulau Laut misalnya, hampir semua penduduknya orang Bugis.12
9 Kesuma 2004, hal 72.10 Kesuma 2004, hal 73.11 Kesuma 2004, hal 74.12 Suwitha 2013, hal 48.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Narasi Suwitha menunjukkan bahwa kekuasaan Makassar mulai surut setelah
Perjanjian Bungaya. Hal ini membuat kekuasaan VOC berangsur-angsur besar di
wilayah Sulawesi begian selatan. Suwitha tidak melihat adanya kekuasaan
kerajaan Bone yang meningkat sebagai sekutu VOC dalam perang Makassar.
Akibat perang itu pula terjadi konflik antar kerajaan Bugis sendiri, baik karena
akibat perang Makassar maupun karena permainan VOC.
Kerajaan Wajo yang bersekutu dengan kerajaan Gowa pada perang
Makassar dan menolak menandatangani Perjanjian Bungaya. Kerajaan tersebut
akhirnya harus menghadapi kerajaan Bone sebagai pihak pemenang dalam perang
Makassar. Perang tersebut terjadi masih pada abad ke-17 yang membuat wilayah
kerajaan Wajo mengalami kehancuran, sebagaimana yang dinarasikan oleh
Suwitha:
Perpindahan terbesar terutama bagi orang Bugis Wajo terjadi setelah pertengahan abadke-17. Pada waktu itu kerajaan Wajo terlibat peperangan dengan tetangganya yangberakhir dengan hancurnya daerah Wajo dan ibu kotanya Tosora pada tahun 1670. Makadari itu, timbul kelaparan dan akibat-akibat lainnya.13
Bukan hanya Perang Makassar yang dihadirkan oleh Suwitha dalam narasinya.
Perang antar kerajaan yang ada di bagian selatan pulau Sulawesi tersebut juga
disebut, seperti perang yang terjadi karena penyebaran Islam yang dilakukan oleh
Kerajaan Gowa ke kerajaan-kerajaan Bugis. Perang tersebut sering disebut dalam
bahasa Bugis sebagai musu’asellengeng atau perang pengislaman.14 Selanjutnya
perang ini akhirnya membuat kerajaan-kerajaan Bugis memeluk agama Islam.
Akibat perang seperti itu membuat kawasan ini mengalami situasi yang tidak
menentu, walaupun terjadi sebelum Perang Makassar.
13 Suwitha 2013, hal hal 49.14 Suwitha 2013, hal 47.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Mashadi Said dan Hendro Prabowo juga menempatkan perang Makassar
dalam narasinya ketika membahas keberadaan orang Bugis di Kamal Muara,
pesisir pantai Jakarta Utara. Menurutnya perang itulah yang menjadi salah satu
sebab orang-orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Mereka menulis:
“... pada abad ketujuh belas terdapat perang di mana orang Bugis Bone bersekutu
dengan VOC untuk menghancurkan Makassar. Kondisi ini membawa konsekuensi
tersendiri sehingga terjadi persebaran orang Bugis, khususnya Bugis-Wajo yang
bersekutu dengan Gowa-Makassar.”15 Perang itu juga membuat kondisi beberapa
kerajaan di pulau Sulawesi bagian selatan tidak menentu, terutama kerajaan yang
berpihak ke kerajaan Gowa saat perang itu berlangsung. Perang tersebut berakibat
sebagian orang Bugis memilih meninggalkan tanah kelahirannya. Pola
perpindahan tersebut menurut Said dan Prabowo disebut sebagai pola migrasi
yang mengutamakan untuk mencari nafkah atau dalam bahasa Bugis disebut
massapa dalle.16
Bukan hanya gejolak Perang Makassar yang dilihat oleh Said dan Prabowo.
Kedua penulis itu menempatkan wilayah Sulawesi Selatan sebagai wilayah
gejolak terjadi di awal kemerdekaan. Gerakan Permesta dan pemberontakan
Abdul Qahar Mudzakkar adalah dua peristiwa yang secara periode terjadi hampir
bersamaan, yaitu antara tahun 1950 sampai 1965. Kedua peristiwa ini dianggap
sebagai penyebab mengapa wilayah tersebut mengalami ketidakstabilan, terutama
terkait dengan masalah gangguan keamanan. Hal inilah yang oleh keduanya
15 Said dan Prabowo, dalam Bhakti,Andi Faisal, Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara,Ininnawa, Makassar, 2010, hal 114.16 Said dan Prabowo, dalam Bhakti,Andi Faisal, 2010, hal 115.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
dianggap sebagai salah satu sebab mengapa orang-orang Bugis meninggalkan
daerahnya.17
Keadaan wilayah Sulawesi yang tidak menentu pada masa kolonial juga
dinarasikan oleh Badrus Sholeh berdasarkan penelitiannya atas orang-orang Bugis
di Ambon. Sholeh melihat bahwa salah satu alasan orang Bugis melakukan
migrasi ke daerah Ambon adalah akibat perang. Dalam narasinya Sholeh tidak
menyebutkan secara jelas perang mana yang dimaksud. Hal ini terlihat dalam
salah satu bagian narasinya yang berbunyi: “Selama perang pada periode
kolonialisasi, sebagian besar masyarakat Bugis-Makassar melakukan migrasi ke
kepulauan-kepulauan tetangga atas alasan keamanan dan keselamatan.”18
Bagi Sholeh perang bisa terjadi kapan saja sejak terjadinya kolonialisasi
terhadap kerajaan-kerajaan di Sulawesi yang dimulai ketika berakhirnya Perang
Makassar. Setelah perang berakhir banyak kerajaan di wilayah itu keadaannya
tidak menentu. Hal itu membuat masyarakat Bugis banyak yang memilih
meninggalkan daerahnya.
Selain perang, beberapa narasi menyebutkan persoalan harga diri sebagai
penyebab perantauan orang-orang Bugis. Persoalan harga diri terjadi terutama
ketika masyarakat harus berhadapan dengan penguasa setempat. Menurut Kesuma
mereka merasa lebih baik meninggalkan kampung halaman dari pada tinggal
tanpa kehormatan. Harga diri menjadi taruhan yang mendorong orang Bugis
merantau. Perantauan seperti ini sekaligus merupakan bentuk perlawanan terhadap
pemimpin yang mereka tidak sepakati cara kepemimpinnya. Keputusan seperti ini
17 Said dan Prabowo, dalam Bhakti,Andi Faisal, 2010,hal 114.18 Sholeh, Badrus , Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisasi Bagian Timur Indonesiakonteks Sejarah Ambon, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 180.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
biasanya dilakukan dengan membawa serta seluruh keluarga dan seisi rumah,
yang dalam narasi Kesuma disebut mellekke dapureng.19
Kesuma dalam narasinya menguraikan bahwa tidak sepakat pada seorang
pemimpin merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat Bugis, apalagi ketika
pemimpin tersebut berperilaku tidak sesuai dengan adat. Tunduk pada aturan adat
merupakan pegangan bagi orang Bugis sekaligus menjadi alasan untuk merantau
ketika aturan itu tidak ditegakkan lagi oleh penguasa. Narasi seperti itu terlihat
dalam tulisan Kesuma sebagai berikut:
... justru bertumpu pada filosofi negara “maradeka to wajo’e Ade’mi napopuang” kemanapun berani merantau. Bahwasanya hanya dengan kemerdekaanlah orang Wajo dapatmenciptakan kehidupan yang sejahtera. Demikianlah dalam kenyataannya, mengapaorang Wajo itu meninggalkan negerinya, ya bilamana Batara Wajo atau Arung Matoasudah tidak menegakkan citra abstraksi konstitusi kerajaan Wajo tersebut itu,20
Adat yang dimaksud oleh Kesuma merujuk pada sebuah perjanjian yang disebut
“Perjanjian Cinnobatti”, yaitu perjanjian yang berisi kesepakatan antara penguasa
dengan rakyatnya.
Menurut Kesuma pelaksanaan pemerintahan menurut adat yang dilakukan
oleh kerajaan Wajo merujuk pada kerajaan yang lebih tua yaitu kerajaan Luwu. Di
tempat itu pemimpin harus selalu bertindak berdasarkan aturan. Dalam tradisi
Bugis ada ungkapan “’naiya Datu’e matutui ri ade’e, tettong ri welong panasa’e’
(adapun datu atau raja dan atau pemerintah itu waspada terhadap pelaksanaan
hukum, tegak diatas kata yang benar atau kejujuran)”.21
Sementara menurut Suwitha, pemerintahan yang dijalankan oleh penguasa
tanpa mengikuti aturan adat membuat rakyat yang diperintah merasa terganggu di
19 Kesuma, 2004, hal 8, lihat pula pengantar Anhar Gonggong hal xiv.20 Kesuma 2004, hal 6-7.21 Kesuma 2004, hal 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
tanah kelahirannya. Pilihan merantau merupakan cara rakyat menentang
penguasa. Kenyataan seperti itu merupakan salah satu sebab orang Bugis
meninggalkan tanah kelahirannya, sebagaimana yang dinarasikan Suwitha :
“... seorang raja yang memerintah dengan tidak adil akan menghadapi tiga kemungkinan.Dalam hal ini rakyat akan menurunkan raja itu dan menggantikan dengan caramusyawarah. Kalau hal ini tidak berhasil, akan dilakukan dengan jalan kekerasan. Bilausaha ini gagal pula, maka rakyat akan meninggalkan rajanya.”22
Sebagaimana tampak dalam penggalan narasi di atas, Suwitha menekankan bahwa
ketika ada penguasa yang ditinggalkan oleh rakyatnya, penyebabnya pasti karena
raja memerintah secara sewenang-wenang. Raja seperti ini dianggap sebagai raja
yang jelek.23 Kekuasaan yang sewenang-wenang oleh raja membuat rakyat tidak
lagi merasa nyaman dalam mencari penghidupan, walaupun dalam keseharian
mereka tampak selalu dekat dengan keluarganya.
Suwitha juga menulis bahwa kelompok yang melakukan perantauan dengan
latar belakang seperti itu memang lebih banyak dilakukan oleh orang yang berasal
dari kalangan biasa, sebab mereka tidak memiliki akses kekuasaan. Merantau
merupakan salah satu cara yang paling tepat bagi orang Bugis dari kalangan biasa
untuk mencapai strata sosial yang lebih baik. Merantau dianggap dapat menjadi
jalan untuk memperoleh kekayaan maupun pengetahuan. Keberhasilan itu dapat
dipakai sebagai alat untuk mencapai strata sosial yang lebih tinggi, baik yang
memilih menetap di tanah rantau maupun ketika kembali ke tanah kelahiran.24
A.2. Spirit Bahari sebagai Legitimasi Perantauan: Cerita Rakyat,
Pengetahuan dan Keterampilan yang Dimilikinya.
22 Suwitha 2013, hal 53.23 Lihat catatan kaki 5 Suwitha 2013, hal 53.24 Suwitha 2013, hal 55.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Di bagian ini akan diuraikan bagaimana spirit bahari dijadikan legitimasi
perantauan yang terdapat dalam narasi sejarah. Perantauan bagi orang-orang
Bugis tidak lepas dari kemampuan mereka beradaptasi dengan laut dan
diwujudkan dengan melakukan pelayaran. Semangat bahari yang dimiliki
merupakan kekuatan ketika melakukan pelayaran. Ada dua bentuk spirit bahari
yang dihadirkan dalam narasi sejarah perantau Bugis. Pertama, hadirnya cerita
rakyat dalam setiap tulisan sebagai legitimasi sejarah. Kedua, hadirnya
kemampuan secara pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pelayaran
sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Bugis membuat mereka berada di
daerah perantauan.
Kesuma menganggap I La Galigo sebuah epos yang dimiliki oleh
masyarakat Bugis sekaligus sebagai penggerak dalam setiap proses kehidupan
mereka. Naskah itu yang menceritakan tentang perjalanan seorang laki-laki Bugis
yang mengunjungi berbagai negeri dengan perahu. Kisah seperti itu yang
dihadirkan dalam setiap narasi sejarah untuk melegitimasi bahwa masyarakat
Bugis memiliki semangat dan kemampuan untuk mengarungi lautan. Sekaligus
sebagai legitimasi terhadap kehidupan perantauan yang mereka lakukan.
Sawerigading adalah salah satu tokoh yang hadir dalam cerita I La Galigo
untuk menggambarkan kemampuan orang Bugis melakukan pelayaran,
sebagaimana yang dinarasikan oleh Kesuma berikut ini:
Sejak di masa kerajaan Luwu Purba, perairan, atau kawasan Selat Malaka dan Laut CinaSelatan, telah di jelajahi armada Sawerigading Opunna Wareq putra mahkota KerajaanLuwu di sekitar abad ke X. Salah sebuah episode diceritakan dalam buku I La Galigo(salah satu karya ke susastraan terbesar di dunia yang tebalnya jikalau dihimpun dandisusun setelah menghilangkan isinya yang paralel kurang lebih 6000 halaman) akanmenemukan gambaran kerajaan tertua di Nusantara bagian timur, bernama Luwu yangrakyatnya sangat gemar berkelana serta bertualang ke negeri-negeri yang jauh. Malaka,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Mancapaiq dan Ulio disebut dalam buku itu, bahwa rajanya dikalahkan di tengah lautoleh Sawerigading dalam pelayaran ke Cina.25
Kesuma menganggap Sawerigading sebagai tokoh yang ideal sehingga perlu
dihadirkan untuk menunjukkan bagaimana kemampuan orang Bugis melakukan
pelayaran. Narasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa mendatangi daerah lain
merupakan hal yang lumrah bagi masyarakat Bugis. Kesuma menghadirkan cerita
Sawerigading dalam narasinya untuk menunjukkan apabila keberadaan orang
Bugis di Semananjung Tanah Melayu sudah cukup lama.
Begitupun dalam narasi Suwitha yang menuliskan keberadaan orang Bugis
di Bali juga tidak lepas dari latar cerita Sawerigading. Tokoh utama Sawerigading
disebut oleh Suwitha untuk menunjukkan keberanian orang Bugis dalam
melakukan pelayaran. Kisah tersebut didapat oleh Suwitha dari cerita rakyat
masyarakat Bugis yang ditelitinya. Rupanya cerita tentang Sawerigading begitu
lekat dengan kehidupan masyarakat Bugis, terutama untuk menunjukkan
kepiawaiannya menyeberangi lautan. Suwitha menulis: “... cerita-cerita tentang
Sawerigading yang isinya pada pokoknya mengisahkan keberanian orang-orang
Bugis dalam berlayar mengarungi lautan, yang merupakan fakta sosial.”26
Cerita keberanian di laut dapat ditempatkan sebagai semangat bahari yang
dimiliki oleh orang Bugis, sekaligus sebagai legitimasi dalam narasi sejarah. Akan
tetapi sering kali naskah I La Galigo dalam kajian akademik hanya ditempatkan
sebagai karya sastra. Bagi Suwitha bukan persoalan penting apakah kisah dalam I
La Galigo benar-benar pernah terjadi atau tidak tetapi cerita itu menempati ruang
dalam kehidupan orang-orang Bugis di Bali.
25 Kesuma, 2004, hal 95.26 Suwitha, 2013, hal 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Keberadaan orang Bugis di Kamal Muara Pesisr Pantai Jakarta Utara yang
dibahas oleh Said dan Prabowo tidak disertai cerita tentang Sawerigading yang
terkenal akan kehebatannya dalam melakukan pelayaran. Meskipun demikian
narasi mereka tetap menunjukkan kemampuan orang Bugis di laut, mereka
menuliskan: “Dibekali keberanian mengarungi lautan, orang Bugis melakukan
pelayaran untuk mencari kehidupan baru yang menjanjikan”.27 Artinya menurut
mereka jiwa kebaharian yang dimiliki oleh orang Bugis menunjang keberadaan
mereka di berbagai wilayah.
Selaian cerita rakyat berupa kisah Sawerigading yang diambil dari naskah I
La Galigo, orang-orang Bugis juga memiliki pengetahuan dan keterampilan di
laut sebagai legitimasi perantaun. Pengetahuan dan keterampilan mereka
wujudkan dengan pelayaran yang menjadi faktor penggerak, sehingga laut sudah
dijadikan ruang kehidupan sekaligus menjadi jalur penghubung dengan daerah
lain. Berikut akan dilihat bagaimana kemampuan tersebut dihadirkan dalam narasi
sejarah perantau Bugis.
Menurut Kesuma maupun Suwitha, pengetahuan akan pelayaran orang-
orang Bugis dapat dilihat ketika mereka merumuskan sebuah aturan yang menjadi
pedoman ketika beraktifitas di laut. Aturan tersebut menjadi sebuah perestasi
sekaligus dijadikan penegasan dalam narasi sejarah perantau Bugis, apabila
kehidupan masyarakat Bugis lekat dengan laut. Aturan yang dimaksud adalah
“ade’allopi-loping Bicaranna pabalue” yakni hukum pelayaran dan perdagangan
yang pertama kali dirumuskan oleh Matoa Wajo ke-3 di Makassar yang bernama
27 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 114.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Ammana Gappa, sekitar tahun 1667.28 Aturan tersebut menjadi pedoman ketika
melakukan pelayaran dan perdagangan. Dikatakan oleh Kesuma:
Dengan hukum tersebut itulah yang dijadikan pedoman bagi setiap nahkoda “kapal layar”Bugis jenis Lambo, Padewakang, dan Pinisi yang mengarungi laut Nusantara. Dapatdikatakan bahwa dengan adanya trayek (route) pelayar ke berbagai penjuru di kepulauanNusantara dan sekitarnya termasuk Filipina, Kamboja, Siam, Johor, Brunai, Tumasik,Malaka, dan Ceylon memperluas cakrawala kepelayaran (Maritim) orang Bugis-Makassar-Mandar. Oleh karena itu, sarana pelayaran dan objek-objeknya itu merupakanmedia migrasi yang utama bagi ketiga suku bangsa tersebut.29
...Menurut penulis, di sinilah terletak jasa yang besar dari Amanna Gappa meletakkandasar-dasar pengelolaan pelayaran di kepulauan nusantara.30
Penggalan narasi tersebut menegaskan bahwa setiap generasi orang-orang Bugis
memiliki keterikatan dengan laut. Bagi orang-orang Bugis kegiatan menyeberangi
lautan sudah menjadi tradisi. Aturan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa
selama melakukan pelayaran akan selalu ada jaminan kehidupan.
Keberhasilan orang Bugis menjadikan laut sebagai ruang pelayaran dan
perdagangan di masa lalu juga disebut oleh Suwitha ketika menarasikan sejarah
orang Bugis di Bali. Menurut Suwitha hukum pelayaran Amanna Gappa menjadi
kata kunci prestasi masa lalu orang Bugis di lautan. Di abad ke-17 mereka sudah
membuat aturan perdagangan yang dipakai bersama sekaligus menjadi indikasi
bahwa aktifitas orang-orang Bugis di dunia pelayaran cukup padat. Berikut
kutipan narasi Suwitha: “...Dengan kepandaian berlayar dan perdagangan itu,
sampai saat ini mereka masih meninggalkan warisan hukum niaga Amanna
Gappa, yang telah ditulis dan dibukukan dalam lontar pada abad ke-17.” 31
Kemampuan membuat aturan dalam pelayaran di masa lalu kembali
ditegaskan oleh Suwitha di bagian selanjutnya, ketika ia mempertegas bahwa
28 Kesuma 2004, hal 81, Matoa Wajo disini merupakan pimpinan orang Bugis Wajo di Makassar.29 Kesuma, 2004, hal 81.30 Kesuma, 2004, hal 83.31 Suwitha,2013, hal 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
salah satu alasan orang-orang Bugis meninggalkan daerahnya adalah alasan
ekonomi. Aturan yang dibuat Amanna Gappa digunakan sebagai pembenaran
bahwa keturunan masyarakat Bugis memiliki kecakapan dalam perniagaan.
Suwitha mengatakan: “Hukum laut Amanna Gappa yang terkenal sampai
sekarang juga peninggalan orang Bugis Wajo. Dengan keterangan ini, kuatlah
keyakinan kita bahwa orang Bugis datang ke Bali seperti Puak Matua di Serangan
lebih bermotif ekonomi.32 Hukum pelayaran Amanna Gappa kembali disebut oleh
Suwitha ketika ia menunjukan bahwa wilayah Bali sudah dijangkau oleh orang
Bugis untuk melakukan pelayaran dan perdagangan. Aturan pembayaran yang
dibuat oleh Amanna Gappa sudah menyebut wilayah Bali secara khusus. Ia
menulis:
Dalam hukum pelayaran dan perniagaan, warisan orang Bugis Amanna Gappa, telahdisebutkan bahwa, apabila perahu-perahu Bugis akan berlayar untuk berniaga dari jalur-jalur pelayaran yang telah di tetapkan ke Bali, sewa perahunya setiap orang di tetapkandua setengah rial dan belum terhitung muatan barang-barang. Dengan demikian, pulauBali sudah masuk dalam jangkauan pelayaran dan perniagaan orang-orang Bugis. Hukumlaut itu sendiri ditulis dan dibukukan dalam lontar oleh Amanna gappa tahun 1676.33
Kemampuan pelayaran yang dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup bagi
masyarakat Bugis—yang dirumuskan dalam bentuk aturan di laut—merupakan
dampak dari kemampuan mereka memanfaatkan laut. Perantau yang dalam bahasa
Bugis disebut pasompe34 justru dilihat oleh Suwitha sebagai kemampuan
melakukan pelayaran di laut. Dengan kata lain sebagai kehidupan pelayaran.35.
32 Suwitha, 2013, hal 49.33 Suwitha, 2013, hal 59.34 Pasompe disisni berarti para perantau yang bentuknya jamak. Lihat Hamid, Abu, Pasompe,Pengembaraan Orang Bugis, Makassar, Pustaka Refleksi 2004.35 Suwitha, 2013, hal 52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
B. Jejak-Jejak Kehidupan di Tanah Rantau
Berdasarkan keempat teks sebelumnya telah disebut beberapa daerah yang
menjadi tujuan bagi perantau Bugis seperti Johor, Selangor, Samarinda, Kamal
Muara Pesisir Jakarta Utara, Bali, Ambon dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut
merupakan pilihan yang diambil oleh perantau awal yang kemudian ditempati
secara turun temurun. Ada yang bertahan hingga sekarang namun tidak sedikit
pula yang telah pergi dan hanya meninggalkan jejak orang Bugis.
Dari teks-teks sejarah yang menjadi objek kajian tesis ini akan dibahas
tempat-tempat yang akhirnya menjadi pilihan perantu Bugis untuk melanjutkan
kehidupan mereka. Selain tempat, hal penting lain yang juga dilihat dalam setiap
narasi adalah cara orang Bugis hidup di daerah baru tersebut. Pada bagian ini akan
dibahas empat wilayah yang menjadi tujuan perantau Bugis yaitu Johor, Bali,
Kamal Muara Pesisir Jakarta Utara dan Ambon.
B.1. Johor
Bagian ini akan membahas mengenai narasi Kesuma tentang perantau Bugis
di Johor, Malaysia, dalam buku yang berjudul Migrasi dan Orang Bugis. Menurut
Kesuma dalam buku itu Tanah Melayu merupakan salah satu wilayah yang
memiliki peran penting dalam jalur pelayaran di abad ke-17 dan menjadi tujuan
orang Bugis, terutama setelah Perang Makassar berakhir. Jalur perdagangan
sangat menentukan tujuan perantau Bugis. Hal itu bisa menjadi dasar ketika
menelusuri wilayah-wilayah tujuan perantauan mereka, sebab dengan
pelayaranlah mereka mencapai tempat perantauan. Perjalanan perantu Bugis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
sangat bergantung pada pelayaran. Johor merupakan salah satu wilayah yang
menjadi tujuannya.
Dalam narasinya, Kesuma membahas Johor pada periode abad ke-16 hingga
ke-18. Menurut Kesuma, perebutan kekuasaan yang terjadi di Johor pada periode
itu ikut mempengaruhi kedudukan orang-orang Bugis. Kesuma melalui narasinya
menelusuri kedatangan bangsawan Bugis yang bernama Opu Daeng Rilakka
bersama dengan kelima putranya pada abad ke-17. Merekalah yang nantinya
berhasil masuk dalam lingkaran kekuasaan di wilayah Johor. Kelima putra Daeng
Rilakka bernama Opu Daeng Parani, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng
Marewa, Opu Daeng Cella’ dan Opu Daeng Kamase.36
Menurut Kesuma terjadinya perebutan kekuasaan di wilayah Johor
memungkinkan setiap kelompok masyarakat berpeluang untuk merebut pengaruh.
Kesuma menyebut Portugis dan Belanda sebagai dua kekuatan asing yang pernah
menguasai Johor. Portugis berkuasa antara tahun 1511-1641 dan Belanda pada
1641-1795. Sebelum itu ada kerajaan Malaka yang berkuasa sejak 1401 sampai
1511.37
Kesuma menulis bahwa keterlibatan orang-orang Bugis dalam konflik
perebutan kekuasaan di Johor dimulai ketika pemerintahan Sultan Mahmud Shah
II yang memerintah 1685-1699 berakhir. Diangkatnya bendahara Abdul Jalil
Rahmat Shah IV menjadi Sultan menggantikan Sultan Mahmud Shah II
merupakan awal terjadi perebutan kekuasan di Johor. Anak dari Sultan Mahmud
Shah II dari gundiknya yang disebut Raja Kecil dari Siak menuntut tahta kerajaan
36 Kesuma, 2014, hal 97.37 Tidak hanya tiga (Malaka, Portugis dan Belanda) yang pernah menguasai Johor, masih adaInggris dan invasi Aceh dan serta Siak. Kesuma, 2004, hal 106-112.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Johor. Raja kecil kemudian berhasil merebut tahta kerajaan Johor. Saat
memerintah ia bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah (1699-1718). Pusat
pemeritahannya kemudian dipindahkan ke Riau pada tahun 1719. Pergolakan
menentang kehadiran Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah di Kerajaan Johor terjadi
dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1721.38 Penentangan pemerintahan inilah
yang melibatkan orang-orang Bugis dan membuat mereka berada di pihak yang
berkuasa. Sebagaimana dinarasikan oleh Kesuma: “Raja Kecil dihalau oleh orang
Bugis kembali ke negeri asalnya Siak. Maka Sultan Sulaiman dilantik menjadi
Sultan Johor, memerintah dari tahun 1718-1760. Pada perkembangan
pemerintahan di kerajaan Johor, kenyataan Sultan tidak berkuasa penuh.”39
Penggalan narasi Kesuma di atas menunjukkan bahwa kekerabatan
merupakan modal dasar bagi perantau Bugis yang memungkinkan mereka
memiliki nilai tawar kepada pihak kerajaan yang saling bertikai, sekaligus
keuntungan bagi komunitasnya. Kekerabatan inilah yang terus dibangun oleh
orang-orang Bugis, bahkan dengan kelompok lain. Atas jasa orang-orang Bugis
yang terlibat dalam perebutan kekuasaan kerajaan Johor, Sultan Sulaiman
kemudian menyerahkan kepulauan Riau ke orang-orang Bugis sebagai balas jasa.
Orang Bugis yang bernama Opu Daeang Marewa akhirnya dilantik sebagai
penguasa di Riau dengan gelar Yamtuan Muda Riau I.40
Selain dengan cara perebutan kekuasaan langsung, menurut Kesuma orang-
orang Bugis juga membangun kekerabatan dengan jalan kawin dengan keluarga
kerajaan. Dalam narasi Kesuma dituliskan: “Adapun Opu Daeng calla’ dan Opu
38 Kesuma, 2004, hal 115-117.39 Kesuma,2004, hal 117.40 Kesuma, 2004, hal 118.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Daeng Parani dikawinkan dengan saudara-saudara Sultan Sulaiman yaitu putri-
putri bendahara Abdul Jalil IV.”41 Itulah narasi yang dibangun oleh Kesuma untuk
menunjukkan cara orang Bugis membangun kekerabatan di Johor melalui
perkawinan.
B.2 Bali
Bagian ini akan membahas narasi Suwitha tentang masyarakat Bugis di
Bali,, sebagaimana yang dituliskan dalam buku yang berjudul Perahu Pinisi di
Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali sekitar abad
XIX. Terhubungnya Bali dengan jalur pelayaran menurut Suwitha memungkinkan
wilayah ini dapat diakses oleh orang-orang Bugis. Komunitas Bugis yang menjadi
sorotan di pembahasan Suwitha merupakan orang-orang Bugis yang berada di
Bali pada priode abad ke-19. Akan tetappi sejak Abad ke-17, antara orang-orang
dari wilayah Sulawesi bagian selatan dengan orang Bali sudah ada kontak.
Kerajaan Makassar pernah mengadakan perjanjian dengan pihak raja Gelgel di
Bali mengenai pembagian wilayah.42 Di tahun 1697 I Gusti Ngurah Panji Sakti
bahkan mendapat bantuan dari orang-orang Bugis yang memiliki markas di Teluk
Pampang Blambangan ketika menaklukkan Blambangan.43
Menurut Suwitha ada beberapa titik yang menjadi tempat pemukiman orang
Bugis di wilayah Bali seperti di Pantai Lingga muara Sungai Banyuala yang
kemudian berpindah ke timur. Perkampungan itu kemudian dikenal sebagai
kampung Bugis. Di Buleleng orang Bugis menempati daerah Pabean atau
41 Kesuma, 2004, hal 118.42 Suwitha, 2013, hal 58.43 Suwitha, 2013, hal 60.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Pelabuhan Buleleng, Pelabuhan Celukan Bawang dan Pelabuhan Sangsit. Di
Kerajaan Jembrana orang Bugis menempati Desa Loloan, Desa Air Kuning dan
Banyubiru. Sementara di Kerajaan Badung perkampungan orang Bugis berada di
Desa Serangan, Tuban dan Banoa atau Tanjung. 44
Suwitha menuliskan bahwa bentuk perkampungan orang-orang Bugis
memiliki karakter yang sama di setiap tempat. Ciri utamanya adalah berada di
sekitar pantai. Pemilihan tempat seperti itu merupakan pilihan strategis dalam
kehidupan sehari-hari, sebab orang-orang Bugis hidup dari perdagangan maupun
aktifitas lainnya yang terikat erat dengan dunia pelayaran.45 Pola perkampungan
yang tinggal secara berkelompok membuatnya memiliki ikatan kekerabatan yang
kuat di antara mereka. Apalagi kedatangan mereka biasanya dilakukan secara
berkelompok. Bentuk seperti itulah yang memungkinkan mereka memiliki
mekanisme sendiri dalam mengatur anggota kelompoknya, sekaligus
memungkinkan mereka untuk memiliki posisi tawar kepada penguasa setempat.
Bentuk perkampungan seperti itu merupakan pola umum bagi perkampungan
kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Kehidupan berkelompok dan memiliki akses terhadap dunia luar—sebab
mereka hidup pada perdagangan dan dunia pelayaran—membuat orang-orang
Bugis memiliki peranan cukup penting di Bali. Peran itu diungkapkan oleh
Suwitha dalam narasinya:
Orang-orang Bugis di Bali terutama dalam abad ke-19 meskipun dari segi jumlahnyamerupakan masyarakat kecil, namun mereka sangat menguasai beberapa sektor
44 Suwitha, 2013, hal 68-71.45 Suwitha, 2013, hal 73.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
kehidupan kerajaan pada waktu itu. Terutama dalam sektor perekonomian, di sampingpolitik dan militer.46
Aktifnya orang Bugis dalam sektor perdagangan memungkinkan mereka memiliki
akses untuk menjalin hubungan dengan raja-raja yang ada di Bali. Suwitha
menyebut bahwa perdagangan budak merupakan komoditas yang cukup
menguntungkan bagi raja-raja di Bali pada periode abad ke-17 hingga awal abad
ke-19. Selain perdagangan budak orang-orang Bugis juga membawa keluar
barang-barang berupa minyak kelapa, gula, ikan asin atau dendeng dan hasil bumi
lainnya. Sementara barang-barang yang dibawa masuk ke Bali meliputi emas,
benang emas, perak, candu dan lain-lain.47 Candu menjadi barang yang
diseludupkan oleh pedagang Bugis masuk ke Buleleng karena mempunyai
keuntungan cukup besar. Suwitha menyebut bahwa lebih dari 150 peti setiap
tahunnya.48 Penyeludupan tersebut dapat terjadi karena orang-orang Bugis
memiliki hubungan dekat dengan raja yang secara posisi cukup kuat. Selain itu,
orang-orang Bugis juga memberikan hadiah kepada raja supaya dapat mengambil
hati penguasa.
Keberhasilan orang-orang Bugis dalam perdagangan di Bali pada abad ke-
19 digambarkan oleh Suwitha dalam narasinya:
Orang-orang Bugis di Bali sebagai kelas pedagang sangat berhasil dalam usahanya,terutama pada abad ke-19. Mereka sangat ulet sehingga selalu berhasil. Tambahan pula,mereka mempunyai perahu-perahu sendiri yang memudahkan untuk mencari ataumenambah penghasilan dengan jalan menangkap ikan dan juga meneruskan usahadagang49.
46 Suwitha, 2013, hal 82.47 Suwitha, 2013, hal 82.48 Suwitha, 2013, hal 87.49 Suwitha, 2013, hal 85.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Selain ikut terlibat langsung dalam perdagangan barang, pihak kerajaan tertentu
juga memanfaatkan perahu milik orang Bugis untuk melakukan hubungan dagang
dengan kerajaan tetangganya. Seperti yang dilakukan oleh pihak Kerajaan
Jembrana yang memanfaatkan perahu orang-orang Bugis ketika melakukan
kontak dagang dengan Kerajaan Buleleng.50
Suwitha menambahkan kedekatan orang-orang Bugis dengan penguasa
membuat beberapa kerajaan di Bali mengangkat syahbandar dari kelompok orang
Bugis. Seperti di Kerajaan Badung yang mengangkat orang Bugis bernama
Pattimi sebagai syahbandar di Loloan ketika pelabuhan itu jatuh ke tangan
Kerajaan Badung.51 Di Serangan juga diangkat orang Bugis sebagai syahbandar
bernama Puak Metuwa dan syahbandar di Tanjung juga orang Bugis tetapi tidak
diketahui namanya.52 Jabatan syahbandar seperti itu juga membuat orang Bugis
semakin dekat dengan pihak kerajaan, bahkan syahbandar dapat bertindak sebagai
wakil raja.53
Sebagaimana yang dilakukan di Johor, menurut Suwitha ikut terlibat
langsung dalam perebutan kekuasaan merupakan cara lain orang-orang Bugis
mendekatkan diri dengan penguasa setempat. Seperti ketika orang Bugis ikut
memihak pada pasukan I Gusti Ngurah Pasekan sewaktu memberontak pada Raja
I Gusti Putu Ngurah di Kerajaan Jembrana tahun 1855.54 Keberpihakan itu
membuat I Gusti Ngurah Pasekan bisa merebut kekuasaan sekaligus membuat
posisi orang Bugis semakin kuat. Di Kerajaan Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik
50 Suwitha, 2013, hal 84.51 Suwitha, 2013, hal 84.52 Suwitha, 2013, hal 95.53 Suwitha, 2013, hal 94.54 Suwitha, 2013, hal 100.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
membentuk pasukan inti yang terdiri dari orang-orang Bugis. Pasukan dibentuk
sebagai persiapan Kerajaan Buleleng menghadapi Belanda, walaupun kemudian
pasukan Belanda dapat menguasai kerajaan tersebut.
Pada abad ke 19 Kerajaan Badung dapat melepaskan diri dari kekuasaan
kerajaan Mengwi atas bantuan orang-orang Bugis. Pasukan Bugis tersebut
merupakan pasukan pilihan yang dipimpin oleh Puak Matuwa yang kemudian
diangkat menjadi syahbandar.55 Keterlibatan orang-orang Bugis dalam pasukan
militer Kerajaan Badung digambarkan oleh Suwitha:
Dalam perang ini kerajaan Badung mempergunakan pasukan orang-orang Bugis pilihandari Serangan dengan kekuatan 500 orang. orang Bugis dalam posisi pasukan depan. RajaBadung mengharapkan, seandainya musuh kuat, biar pasukan Bugis ini yang mengamuk.Mereka selalu diandalkan oleh Raja Badung, sedangkan Pasukan Badung yang terdiri dariksatria lainnya berada jauh di belakang.56
Menurut Suwitha orang-orang Bugis di Bali walaupun memiliki akses ke pusat
pemerintahan kerajaan tidak pernah benar-benar menjadi penguasa di wilayah itu.
Mereka hanya berkoalisi pada salah satu kelompok ketika terjadi perebutan
kekuasaan. Mereka sepertinya hanya memanfaatkan kedekatan itu untuk
kepentingan perdagangan yang mereka lakukan.
B.3 Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara
Bagian ini akan membahas masyarakat rantau Bugis di Kamal Muara,
sebagaimana ditulis oleh Said dan Prabowo dalam tulisannya yang berjudul
“Akultirasi Orang Bugis dan Betawi di Kamal Muara Pesisir Pantai Utara
Jakarta.” Disebutkan oleh Said dan Prabowo, Kamal Muara merupakan kawasan
yang masuk ke wilayah pantai utara Jakarta Utara. Wilayah ini sama dengan
55 Suwitha, 2013, hal 106.56 Suwitha, 2013, hal 107.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
karakter daerah yang umum ditempati oleh orang Bugis di tempat lain, berupa
pesisir pantai. Orang-orang Bugis yang menempati wilayah Kamal Muara
diperkirakan mencapai 40 persen dari seluruh penduduk.57 Sebagian besar dari
mereka menggantungkan hidupnya pada hasil laut dan olahannya. Laut
merupakan satu hal yang melekat pada kehidupan orang Bugis ketika berada di
daerah perantauan.
Menurut Said dan Prabowo orang-orang Bugis di Kamal Muara, merupakan
kelompok yang datang sekitar tahun 1960-an. Keterangan itu diperoleh dari
penelitian yang pernah dilakukannya pada awal mei 2002 hingga juni 2003.58
Cara mereka mengambil data dengan melakukan observasi partisipan dan
pengamatan di wilayah itu .
Menurut Said dan Prabowo orang-orang Bugis memilih Kamal Muara
sebagai salah satu tempat perantauan lebih karena pertimbangan keuntungan
ekonomis, walaupun pada awalnya tempat itu hanya sebagai tempat singgahan.
Wilayah itu dimanfaatkan oleh orang Bugis untuk menangkap ikan. Mereka dapat
bertahan dan mendapat keuntungan di tempat itu sebab mereka membawa cara
baru dalam proses penangkapan ikan yang tidak dikenal oleh kelompok
masyarakat lainnya, terutama oleh masyarakat Betawi. Selain menangkap ikan
dengan perahu mereka juga menggunakan “bagan” sebagai perangkap sehingga
bisa mendapat ikan lebih banyak. Cara “bagan” itulah yang dianggap cara baru
oleh kelompok masyarakat Betawi di periode 1960-an hingga 1970-an.
57 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 116.58 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 114.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Dari narasi Said dan Prabowo tampak bahwa ketika hasil tangkapan ikan
mereka mulai berkurang akibat lingkungan air yang tercemar oleh industri yang
menjamur di kawasan itu, orang Bugis akhirnya menemukan komoditas laut baru
yang sebelumnya mereka tidak kenal, yaitu remis hijau. Komoditas inilah yang
mereka olah sebagai produk baru yang memungkinkan mereka membuat ikatan
kerja, baik dengan kalangan orang Bugis sendiri maupun kelompok masyarakat
lainnya. Selain orang Bugis yang terlibat langsung dalam pekerjaan di laut, ada
kelompok orang Betawi, sekaligus dianggap sebagai warga asli.
Ikatan kerja tersebut digambarkan oleh Said dan Prabowo sebagai berikut:
Di Kamal Muara, dan menemukan bahwa disana terdapat ikatan yang kuat dan salingketergantungan antara kelompok, khususnya mereka yang didasarkan atas pekerjaan.Kelompok ini termasuk nelayan, pemilik bagan, produsen ikan asin, pengolah remis,pencari ikan, makelar, dan tukang ojek. Terdapat ikatan fungsional yang bernilaiekonomis namun mereka juga memiliki suatu komponen sosial59.
Ikatan kerja menjadi penghubung orang-orang Bugis dengan kelompok
masyarakat lainnya serta didukung oleh ikatan sosial yang cukup kuat yang
dimiliki oleh orang Bugis sendiri. Ikatan sosial dengan latar belakang sosial yang
sama merupakan kelanjutan dari ikatan sosial yang ada di kampung halaman
mereka. Salah satunya dapat dilihat ketika di antara mereka ada yang mendapat
musibah maka yang lain akan ikut membantu, baik memberi sumbangan berupa
materi maupun hanya berupa tenaga. Bentuk lain dari ikatan sosial yang dapat
dilihat, yaitu ketika mendirikan rumah maka orang Bugis lainnya akan ikut
membantu. Bentuk ikatan sosial itu kemudian mereka formalkan dalam bentuk
oraganisasi berupa kelompok “Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan” yang biasa
59 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 122.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
disingakat menjadi KKSS.60 Perkumpulan seperti ini dapat menjadi kekuatan
politik mereka ketika berhadapan dengan kelompok masyarakat lain, maupun
ketika berhadapan dengan pemerintah setempat. Belakangan organisasi ini bahkan
bisa menjadi nilai tawar politik, terutama ketika berlangsung pemilu.
Menurut Said dan Prabowo, orang-orang Bugis ketika berada di Kamal
Muara mengharuskan mereka membuat ikatan sosial yang lebih luas, terutama
dengan kelompok sosial Betawi. Latar belakang agama yang sama memungkinkan
dua kelompok ini dapat lebih cair membaur sehingga mereka dapat memperkuat
ikatan sosial. Majelis ta’lim merupakan salah satu contoh wadah sosial antara
kedua kelompok tersebut yang dibentuk berdasarkan keagamaan. Wadah ini
terbagi berdasarkan tingkat usia. Baik orang Bugis maupun orang Betawi ikut
terlibat dalam wadah itu bukan didasari atas kesamaan suku melainkan agama.61
Kegiatan lain yang melibatkan kedua kelompok ini adalah perayaan-perayaan
seperti perayaan pernikahan, sunatan dan upacara leluhur. Digambarkan oleh Said
dan Prabowo dalam narasinya:
Begitu juga, antara Bugis dan Betawi terdapat ikatan sosial yang berkaitan denganperayaan (seperti pernikahan, sunatan, atau atau upacara leluhur) dan kelompok religi.Sebuah kelompok kondangan di Kamal Muara merumuskan komitmen bersama. Satukelompok terdiri atas 40 pria, mereka membangun ikatan yang kuat denganmengumpulkan dana sumbangan atau barang berupa bantuan makanan. Kehadiranmereka merupakan tanggung jawab moral yang harus ditaati.62
Cara lain untuk memperkuat ikatan sosial yang dilakukan oleh orang Bugis
di Kamal Muara menurut Said dan Prabowo adalah dengan cara laki-laki Bugis
menikah dengan perempuan Betawi. Cara ini sekaligus merupakan jalan yang
60 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 123.61 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 125.62 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 124.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
sangat efektif untuk berintegrasi dengan kelompok masyarakat setempat.
Memiliki latar belakang agama Islam yang sama membuat kedua kelompok ini
relatif lebih mudah disatukan dalam bentuk perkawinan. Cara tersebut
melegitimasi salah satu pegangan bagi laki-laki Bugis ketika merantau, yaitu
menggunakan “tiga ujung” ketika berada di daerah perantauan, yaitu “ujung
lidah,” “ujung kemaluan” dan “ujung badik”.63
B.4. Ambon
Dalam bagian ini akan diuraikan narasi Badrus Sholeh tentang masyarakat
rantau Bugis di Ambon, sebagaimana yang ia tulis dalam artikel yang berjudul
“Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisai Bagian Timur Indonesia: Kasus
Konteks Sejarah Ambon.” Keberadaan orang-orang Bugis di Ambon menurut
Sholeh bukanlah waktu yang pendek. Kontak dengan wilayah ini sudah mereka
lakukan sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Orang Bugis yang dimaksud oleh Sholeh dalam tulisannya, bukan hanya
orang-orang Bugis yang berasal dari daerah yang berbahasa Bugis di Sulawesi
Selatan, melainkannya juga suku-suku lain yang berasal dari Sulawesi Selatan,
yaitu mereka yang merupakan pendatang dan beragama Islam.64 Islam dijadikan
salah satu identitas bagi Sholeh untuk mengidentifikasi kelompok orang Bugis.
berdasarkan penelusuran sholeh, sejak 1607 di wilayah Kerajaan Ternate sudah
63 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 125. Istilah Badik dipakai sesuaidengan narasi Kesuma dan senjata khas masyarakat Bugis. Said dan Prabowo menggunakan istilahkeris.64 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 181.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
terdapat wilayah yang dinamakan sebagai Kampung Makassar yang dihuni oleh
kelompok masyarakat yang berasal dari Sulawesi Selatan.65
Sholeh membagi dua priode kedatangan orang Bugis ke wilayah Ambon.
Pertama, mereka yang datang sebelum masa kolonial hingga Republik Indonesia
terbentuk pada masa kepemimpinan Soekarno. Sholeh menyebutnya sebagai
Bugis pendatang pertama. Kedua, periode kedatangan pada masa pemerintahan
Orde Baru dan pascareformasi.66 Sejak datang di wilayah tersebut, orang-orang
Bugis terlibat dalam proses penyebaran agama Islam yang dimulai sejak
kedatangan pertama mereka di awal abad ke-17.
Kontribusi orang-orang Bugis dalam proses penguatan kekuasaan politik
Islam di wilayah itu dilakukan dengan cara melakukan perkawinan campuran
dengan masyarakat setempat.67 Menurut Sholeh daerah Leihitu dan Hatuhaha
yang pertama diislamkan yang merupakan bagian dari kepulauan Ambon. Daerah
itu masuk dalam wilayah Kerajaan Ternate dan Tidore. Keterlibatan orang-orang
Bugis dalam proses penyebaran Islam digambarkan oleh sholeh sebagai berikut:
“Daerah yang pertama kali diislamkan di kepulauan Ambon adalah Leihotu dan
Hatuhaha yang masuk dalam wilayah kerajaan Ternate dan Tidore. Upaya ini
sangat disokong masyarakat Bugis-Makassar, yang punya alasan ekonomi dan
politik….”.68 Proses pengislaman wilayah itu disokong penuh oleh orang-orang
Bugis yang bermodalkan kemampuan mereka menguasai pasar-pasar tradisional
yang membuat peranan orang-orang Bugis penting di wilayah itu. Seperti
65 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 182.66 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 181.67 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 182.68 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 183.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
misalnya, pada masa kekuasaan Jepang kelompok orang Bugis dan masyarakat
yang beragama Islam lainnya bekerja sama melawan kekuasaan kolonial Eropa.
Selain itu orang-orang Bugis juga terlibat dalam meredam perlawanan kelompok
Republik Maluku Selatan (RMS) terhadap pemerintahan pusat, dalam hal ini
pemerintahan Soekarno.69
Menurut Sholeh pada periode Orde Baru orang-orang Bugis terus
berdatangan di wilayah itu. Ketika pemerintah begitu gencar melakukan program
transmigrasi, kedatangan orang-orang Bugis di Ambon bukan merupakan bagian
dari program itu. orang-orang Bugis memilih wilayah perkotaan, pasar dan pantai
sebagai tempat bermukim mereka. Posisi mereka penting dalam kegiatan
perekonomian kota Ambon, sebab mereka cukup dominan di pasar tradisional dan
perekonomian kelas menengah.
Konflik yang terjadi selama reformasi ikut mengubah keadaan sosial di
Ambon. Konflik itu dianggap dipicu oleh kelompok pendatang yang kemudian
diindentifikasi sebagai kelompok Bugis, Buton dan Makassar atau lazim disebut
BBM. Kesenjangan terhadap akses ekonomi dan kekuasaan antara pendatang dan
masyarakat setempat merupakan alasan yang diungkapkan oleh Sholeh.
Kesenjangan tersebut didukung oleh pemerintahan Orde Baru yang mengontrol
kekuasaan politik maupun perekonomian lokal.70 Diakui oleh Sholeh bahwa di
sisi yang lain masyarakat setempat juga sulit bersaing dengan para pendatang
karena minimnya keterampilan yang mereka miliki.
69 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 184.70 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 186.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Pada Narasi Sholeh dijelaskan bahwa setelah konflik yang terjadi antara
tahun 1999-2002, para pendatang termasuk Bugis semakin mendapat saingan
dalam bidang prekonomian, terutama di pasar-pasar tradisional dan pekerjaan
yang dianggap lebih rendah. Setelah konflik, orang-orang Bugis juga berusaha
mendapatkan kembali pekerjaan mereka melalui negosiasi yang difasilitasi oleh
perkumpulan orang Bugis yang mereka buat sebelumnya. Diungkapkan oleh
Sholeh:
Kerukunan Keluarga Bugis Makassar di Kepulauan Ambon memainkan peranan yangmenonjol dalam hal negosiasi dan mempertahankan hak-hak Bugis-Makassar pendatanguntuk memeroleh kembali pekerjaan, keamanan dan lahan mereka yang ditinggalkanselama konflik berlangsung.71
Narasi Sholeh menunjukkan bahwa ikatan kekerabatan yang mengikat orang-
orang Bugis digunakan untuk memperoleh kembali hak-hak mereka setelah
konflik. Kekerabatan itu memang didasari lebih pada kesamaan daerah asal,
walaupun mereka tidak memiliki ikatan darah. Sekaligus menunjukkan bahwa
kekerabatan itu selalu dapat digunakan sebagai posisi tawar ketika berada di
perantauan.
C. Kehadiran Individu (Bangsawan) Dalam Penulisan Sejarah Perantau
Bugis
Individu merupakan konsep lain dari Hayden White yang dipakai untuk
menganalisa narasi tentang sejarah perantau Bugis. Menurut Hayden White,
individu memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan dalam bentuk apa mereka
akan hidup. Dalam bahasa lain, setiap individu memiliki kebebasan untuk
menentukan sejarahnya sendiri. Begitu pun dalam hal penulisan sejarah. Setiap
71 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 187.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
sejarawan memiliki kebebasan untuk memilih jenis sejarah yang akan mereka
bangun. Pada bagian ini akan dilihat bagaimana narasi sejarah perantau Bugis
menghadirkan individu, sekaligus akan dilihat bagaimana dalam narasinya para
sejarawan menghadirkan pilihan-pilihan individu orang Bugis.
Pada bagian sebelumnya dari bab ini telah dibahas bagaimana para
sejarawan menarasikan daerah-daerah yang menjadi tujuan para perantau Bugis.
Empat teks yang menjadi objek kajian tesis ini menunjukkan adanya empat daerah
yang menjadi tujuan perantau Bugis, yaitu Johor, Bali, Kamal Muara (pesisir
pantai Jakarta Utara) dan Ambon. Berdasarkan empat narasi itu akan dilihat
bagaimana sejarawan menarasikan pilihan-pilihan tindakan setiap individu,
sekaligus melihat pilihan-pilihan sejarawan itu sendiri dalam menuliskan sejarah
perantau Bugis. Dengan demikian bagian ini akan membahas bagaimana
sejarawan memilih individu sebagai bagian dari narasi sejarahnya.
Narasi sejarah perantau Bugis menunjukkan peran individu yang berasal
dari kelompok bangsawan menjadi penting. Dimulai oleh tulisan yang dinarasikan
oleh Andi Ima Kesuma, dengan mudah dapat diindentifikasi apabila penulis ini
masih merupakan orang Bugis yang berasal dari kelompok bangsawan. Hal itu
dapat dilihat dari penggunaan nama “Andi” di bagian awal namanya. Gelar
tersebut merupakan simbol kebangsawanan yang masih digunakan hingga saat ini
di Sulawesi Selatan. Informasi tersebut penting sebagai pengetahuan awal
sebelum melihat narasi Kesuma ketika menempatkan tokoh sejarah yang
dihadirkan dalam narasi sejarah yang dibangunnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Kesuma mengahadirkan Opu Daeng Rilakka bersama lima putranya dalam
narasi sejarah. Merekalah yang kemudian dianggap sebagai orang-orang yang
membuat sejarah orang Bugis perantauan di Johor. Kesuma menelusri
kebangsawanan Opu Daeng Rilakka dengan mengacu pada naskah-naskah
Melayu dan Bugis. Kesimpulan dari penelusuran itu dapat dilihat dalam narasinya
ketika ia menulis sebagai berikut:
Dari silsilah tersebut memperjelas bahwa Opu Daeng Rilakka masih keturunan DatuLuwu I Batara Guru. Malahan jika dicantumkan dari jalur keturunan ibunya,bersumberkan sislsilah raja-raja Luwu, maka ibu Lamaddusila (La Maddusalat) yangbernama We Tenrileleang, ternyata dua kali menjadi Datu Luwu, yaitu yang ke-24 danke-26.72
Kesuma memperkuat kebangsawanan Opu Daeng Rilakka dengan memaparkan
silsilah kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan seperti Soppeng dan Luwu. Dari
paparan silsilah itu, Kesuma akhirnya meneguhkan Opu Daeng Rilakka sebagai
bangsawan yang memiliki silsilah dan berkaitan dengan beberapa kerajaan yang
ada di Sulawesi Selatan. Silsilah itu Kesuma gunakan sebagai legitimasi untuk
mengatakan bahwa bahwa Opu Daeng Rilakka dan keturunannya wajar diterima
sebagai pemimpin di perantauan. Ia menulis:
Dengan demikian Opu Daeng Rilakka bersama kelima putranya dapat diterima oleh sukubangsa Bugis dari berbagai asal “kerajaan” (Luwu, Gowa, Bone, Wajo, Soppeng, Tanete,Suppa, pammana, dan lain-lain) sebagai pemmimpin di perantauan. Tampilnya sebagaipenegak kedaulatan Johor dari versi Raja kecil dari Siak tidak dapat disangkal jikamendapat dukungan serempak dari kaum migran Bugis di Johor.73
Kesuma menghadirkan orang yang berasal dari keturunan bangsawan dalam
narasinya untuk menekankan peran mereka dalam berbagai peristiwa yang ada di
Johor. Kesuma menganggap bahwa Opu Daeang Rilakka dan keturunannya
72 Kesuma,2004, hal 100.73 Kesuma, 2004, hal 103.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
diterima sebagai pemimpin orang-orang Bugis di Johor.74 Silsilah yang digunakan
rujukan oleh Kesuma menunjukkan bahwa Opu Daeang Rilakka memiliki
keterkaitan kebangsawanan dari beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan. Hal itu
jadi alasan lain yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa keturunan Opu Daeng
Rilakka diterima sebagai pemimpin di Johor. Narasi Kesuma begitu menonjolkan
peran bangsawan bagi perantau Bugis di Johor.
Sebaliknya dalam narasi Suwitha peranan keturunan bangsawan Bugis di
Bali tidak banyak dibahas. Bahkan tidak ada nama khusus yang ditelusuri
silsilahnya oleh Suwitha baik berdasarkan naskah Bali maupun naskah silsilah
raja-raja di Sulawesi Selatan. Berbagai kelompok orang Bugis yang ada di Bali
disebutnya orang-orang Bugis.
Suwitha sempat menyebut nama Pattimi, orang yang diangkat sebagai
syahbandar di Loloan, kemudian menyebut naman Puwak Matua di Serangan.75
Puwak Matua diidentifikasi oleh Suwitha sebagai seorang keturunan bangsawan
Bugis dengan cara melihat makam orang-orang Bugis di Bali. Menurutnya makam
tersebut mirip dengan makam raja-raja yang ada di Sulawesi Selatan. Salah satu
orang yang dimakamkan di tempat itu adalah keturunan dari Puwak Matua yang
bernama Haji Abdurrachman. Sehinggga dengan sedikit keraguan Suwitha
berpendapat secara tidak langsung bahwa Puwak Matua merupakan keturunan
Bangsawan Bugis.76
Sementara dalam narasi Said dan Prabowo yang menuliskan keberadaan
orang-orang Bugis di Kamal Muara, pesisir pantai Jakarta Utara salah satu tokoh
74 Lihat pembahasan sebelumnya pada bab III sub bab berlabuh di Johor.75 Suwitha, 2013, hal 95.76 Suwitha, 2013, hal 108.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
yang dihadirkan adalah Haji Latif. Dia dianggap penting oleh Said dan Prabowo
karena mewakili orang-orang Bugis yang ada di wilayah itu. Haji Latif disebut
pertama kali datang ke wilayah Kamal Muara pada tahun 1960-an, tetapi tidak
disebutkan asal daerahnya di Sulawesi Selatan. Said dan Prabowo hanya
menyebut bahwa Haji Latif berasal dari tanah Bugis.77
Said dan Prabowo hanya mengidentifikasi orang-orang Bugis secara umum
di wilayah itu dengan menuliskan bahwa mereka berasal dari Bone dan Palopo.
Bugis Bone dan Bugis Palopo menjadi penyebutan untuk menandai asal wilayah
mereka.78 Selebihnya, sepanjang narasi Said dan Prabowo hanya menggunakan
kata orang Bugis untuk menyebut etnis yang berasal dari Sulawesi Selatan
tersebut.
Kehadiran individu hanya ditemukan sekali dalam narasi Sholeh ketika
maenarasikan keberadan orang-orang Bugis di Ambon. Sholeh mengidentifikasi
orang-orang Bugis sebagai kelompok masyarakat yang berasal dari Sulawesi
Selatan. Sholeh bahkan tidak membedakan dengan kelompok suku lainnya yang
berasal dari wilayah itu.79
Sholeh lebih mengidentikkan orang-orang Bugis dengan Islam dalam
narasinya. Jadi setiap kelompok masyarakat yang berasal dari Sulawesi Selatan
dan beragama Islam disebut sebagai orang Bugis oleh Sholeh.80 Sholeh sepanjang
narasinya hanya menyebut nama Syaikh Yusuf Al-Makassary. Aktor itu
77 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 117.78 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 117.79 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 181.80 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 181.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
dihadirkan oleh Sholeh sebagai contoh bagi perantau Bugis yang berhasil karena
keislamannya.
D. Rangkuman
Dari paparan yang telah diuraikan sepanjang Bab ini, representasi perantau
Bugis dalam narasi sejarah mengikuti pola perjalanan perantauan mereka, dimulai
dari tanah kelahiran hingga tiba di tanah rantau. Tanah kelahiran yang tidak
menentu merupakan representasi pertama yang terdapat di empat teks narasi.
Keadaan itu terjadi akibat perang yang terjadi wilayah tanah kelahiran orang
Bugis, kemudian dikenal sebagai Perang Makassar. Akibat lainnya adalah harga
diri yang mulai terusik di tanah kelahiran. Representasi kedua berupa spirit bahari
yang menjadi legitmasi perantauan, hal ini mewakili perantau Bugis selama
perjalanan menuju tanah rantau. Bagian akhir dari representasi adalah potret
kehidupan perantau Bugis di empat tempat yaitu: Johor, Bali, Kamal Muara di
pesisir jakarta Utara dan Ambon. Kesuma mengidentikkan orang-orang Bugis di
Johor dengan kekuasaan. Suwitha mengidentikkan orang-orang Bugis di Bali
dengan perdagangan dan pelayaran yang menjadi jalan bagi mereka berada di
sekitara kekuasaan. Adapun Said dan Prabowo menjadikan nelayan dan laut
sebagai identifikasi bagi orang-orang Bugis di Kamal Muara pesisir Jakarta Utara.
Sementara Sholeh menjadikan Islam sebagai sebagai identifikasi orang-orang
Bugis di Ambon. Setiap sejarawan menghadirkan aktor sejarah dalam narasinya.
Kelompok bangsawan memiliki ruang berbeda dalam pada setiap narasi, Kesuma
memberi ruang lebih banyak dari kelompok tersebut. Suwtiha hanya menyebut
beberapa nama sebagai aktor sejarah yang dia anggap berasal dari kelompok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
bangsawan. Kelompok bangsawan sebagai aktor sejarah bahkan luput pada narasi
Said dan Prabowo, yang juga luput dari narasi Sholeh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
BAB IV
MELIHAT POSISI SEJARAWAN MELALUI NARASI SEJARAH
PERANTAU BUGIS
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan beberapa hal yang merupakan
representasi dari narasi sejarah perantau Bugis. Ada tiga hal yang merupakan
representasi dalam narasi sejarah perantau Bugis. Pertama, situasi tanah kelahiran
tidak menentu secara politis membuat orang Bugis meninggalkan tanah
kelahirannya. Kedua, spirit bahari sebagai legitimasi perantauan menjadi
representasi dalam teks sejarah perantau Bugis. Ketiga, tentang kehidupan di
tanah rantau, ada empat tempat yang menurut teks yang dibahas dalam tesis ini,
menjadi tujuan para perantau Bugis, yaitu Johor, Kamal Muara Pesisir Pantai
Jakarta utara, di Bali dan di Ambon.
Pada awal bab IV ini, akan dibahas mengenai bentuk representasi yang
dihadirkan oleh para sejarawan dari empat teks yang menjadi objek penelitian
tesis ini. Selanjutnya, akan ditunjukkan lebih jauh fitur-fitur yang dihadirkan
dalam setiap narasi, sehingga memungkinkan kita bisa melihat bagaimana
representasi tersebut dihadirkan dalam narasi. Menghadirkan sebuah peristiwa
dalam narasi sesuai dengan pendapat Hayden White yang mengatakan bahwa
sebuah peristiwa bukan hanya daftar kerangka kronologis, tapi peristiwa itu
diriwayatkan, ada yang mengatakan, diungkapkan sehingga memiliki struktur dan
urutan makna.1 Bentuk kehadiran representasi inilah yang akan dibahas pada bab
ini. Dengan melihat setiap cara sejarawan dalam merepresentasikan sebuah
1 White, The Question of Narrative in Contemporary Historical Theory, History and Theory, Vol.23, No. 1 Published by: Blackwell Publishing for Wesleyan University, URL:http://www.jstor.org/stable/2504969, 1984, hal 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
peristiwa dalam narasi sejarah perantau Bugis, sekaligus menjadi cara penulis
untuk membangun sebuah kritik historiografi.
Menurut White Setiap representasi berupa peristiwa yang ada dalam setiap
narasi sejarah tidak hadir begitu saja, tetapi bagaimana hasil representasi itu
diterima sebagai sesuatu yang nyata atau pernah terjadi. Sejarawan dalam
menarasikan perisitiwa menentukan diterimanya peristiwa tersebut sebagai hal
yang nyata atau tidak. Setiap sejarawan memiliki cara untuk menghadirkan
peristiwa dalam narasi sehingga bisa diterima sebagai kenyataan.2
Ada tiga hal yang akan menjadi perhatian penulis ketika menjelaskan bentuk
representasi yang dihadirkan oleh setiap sejarawan. Pertama, terkait dengan
peristiwa direpresentasikan atau dikabarkan. Kedua, bagaimana penuturan
informan dalam hal ini sumber sejarah yang digunakan. Ketiga, ucapan sejarawan
tentang peristiwa yang direpresentasi dalam narasi.3
A. Bergerak Menuju Perantauan
Di keempat teks yang ada, secara umum dinarasikan perjalanan orang Bugis
dari kampung halaman ke perantauan. Pada Bab III telah dibahas tentang tanah
kelahiran yang tidak menentu dan bagaimana hal itu menjadi salah satu alasan
mengapa mereka meninggalkan tanah kelahirannya, yakni tanah Bugis. Dalam
keempat teks itu disebutkan bahwa perang merupakan penyebab yang membuat
2 White, The Question of Narrative in Contemporary Historical Theory dalam The Conten of theform hal 8.3 Ini mengacu pada konsep linguistiknya Roman Jakobson tentang shifter berupa Kode menunjukPesan sebagaimana yang dipakai oleh Roland Barthes dan dikembangkan oleh Hayden White. lihatBarthes, Roland, The Rustle of Language, California, Universitas California Press,California,1989, hal 127-140.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
keadaan tanah kelahiran orang Bugis tidak stabil. Perang yang dimaksud dalam
narasi-narasi tersebut adalah Perang Makassar yang terjadi pada abad ke-17.
Dalam bukunya yang berjudul Migrasi dan Orang Bugis Kesuma
mengatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan pernah mengalami kekacauan sosial
politik karena terjadinya Perang Makassar pada abad ke-17.4 Setidaknya ada 21
entri5 tentang Perang Makassar yang ditemukan dalam teks Kesuma. Tentang
perang itu sendiri Kesuma lebih suka menyebutnya sebagai perang VOC-
Makassar.6
Selanjutnya terkait dengan sumber atau informan yang bercerita tentang
peristiwa Perang Makassar Kesuma menggunakan pengalaman seorang Belanda
yang terlibat dalam perang tersebut sebagai sumber. Orang Belanda itu adalah
F.W. Stapel, yang kesaksiannya Kesuma ambil dari hasil tulisan Sagimun MD.7
Sebagaimana yang ia tulis, berdasarkan kutipan langsung atas tulisan Sagimun
MD. Kesuma menulis:
Pertempuran terjadi tidak hanya pada hari itu saja (hari berlangsungnya PerangMakassar), akan tetapi juga berlangsung terus pada malam berikutnya dengan tiada henti-hentinya. Percaya atau tidak, malam itu adalah malam dahsyat yang sangat mengerikan,sehingga prajurit-prajurit yang sudah lanjut usianya mungkin bahkan di Eropa sekalipunjarang yang pernah mendengarnya. Serdadu-serdadu belanda pada malam itumenembakkan 30.000 butir peluru. …8
Kutipan tersebut diatas merupakan versi bahasa Indonesia terjemahan dari bahasa
Belanda yang merupakan bahasa aslinya. Dalam narasi Kusuma kutipan tersebut
4 Kesuma, 2004, hal 58.5 Entri ini terdapat di halaman 4,15,53,45,45,62,63,64,64,64,65,66,69,70,72,73,85,92,112,136,137.6 Kesuma, 2004, hal 58.7 Sagimun MD adalah seorang peneliti dari kementrian pendidikan dan kebudayaan yang menulistentang biografi pahlawan nasional. salah satu tulisannya tentang Sultan Hasanuddin, raja Gowaketika berlangsungnya Perang Makassaar.8 Kesuma, 2004, hal 59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
diatas lengkap dengan bahasa asli yang digunakan oleh informan yaitu bahasa
Belanda.9 Sebelum Kesuma menuliskan secara langsung apa yang disampaikan
oleh informan dalam hal ini F.W. Stapel yang merupakan informan dari Sagimun
MD, dia terlebih dahulu memberi penjelasan tentang sumber yang digunakan.
Sumber tersebut berasal dari Sagimun MD sebagaimana narasi Kesuma:
Begitu dahsyatnya peperangan itu, dapatlah dibaca pengakuan orang-orang Belandasendiri (diungkap oleh Sagimun MD dalam makalahnya “Sumba Opu” – dipresentasikanpada “Seminar Sejarah Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan” tanggal 8-11 Desember1982, hal 13) ialah sebagai berikut:…10
Sementara pada kutipan keduanya, Kesuma menuliskan: “gambaran begitu
kuatnya pertahanan yang dihadapi, tatkala menyerang Benteng Sumba Opu
F.W.Stapel, menuliskan sebagai berikut:….”11 Pada kutipan kedua ini, Kesuma
sudah tidak lagi menyebut nama Sagimun MD di awal kutipannya, tetapi hanya
langsung menyebut penulis Belanda yang dikutip oleh Sagimun MD. Dari kedua
kutipan diatas dengan jelas dapat kita bedakan cara Kesuma menggunakan
sumber. Pengalaman pelaku sejarah yang dia kutip dalam narasinya berasal dari
tulisan Sagimun MD.
Hal yang berbeda Kesuma lakukan ketika ia menggunakan tulisan Abdul
Razak Daeng Patunru, Kesuma justru menarasikan ulang jalannya perang
Makassar. Ketika Kesuma menghadirkan peristiwa perang Makassar dalam
narasinya, ia membuat deskripsi ulang tentang jalannya perang Makassar yang
bersumber dari buku Abdul Razak Daeng Patunru. Ringkasan tersebut ditemukan
dari halaman 64 sampai 65 dalam tulisan Kesuma. Salah narasi Kesuma ketika
9 Kesuma, 2004, hal 59.10 Kesuma, 2004, hal 58, Lanjutan kutipan tersebut berisi pengalaman orang Belanda yang terlibatperang Makassar menggunakan bahasa Inggris lengkap dengan terjemahan bahasa Indonesia.11 Kesuma,2004, hal 63. lanjutan kutipan tersebut berisi pengalaman orang Belanda yang terlibatperang Makassar menggunakan bahasa Inggris lengkap dengan terjemahan bahasa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
mendeskripkan ulang Perang Makassaar sebagai Berikut: “Tanggal 7 Juli 1967
terjadi lagi pertempuran antara pasukan-pasukan Belanda dengan lascar Gowa dan
hebatnya, namun lascar Gowa terpaksa mengundurkan diri karena kekuatan tidak
seimbang, lalu kembali ke Gowa mempertahannya mati-matian ibukota Kerajaan
Gowa.”12
Selain narasi jalannya Perang Makassar, Kesuma juga menghadirkan
beberapa pasal isi perjanjian Bungaya dalam narasinya sebagai akhir dari Perang
Makassar. Salah satu isi pasal perjanjian Bungaya yang ada dalam narasi Kesuma
sebagai berikut: “orang-orang yang bersalah karena telah melakukan
pembunuhan-pembunuhan atas diri orang-orang Belanda, akan dihukum di
hadapan residen Belanda di Makassar.”13 Perjanjian Bungaya dijadikan pijakan
selanjutnya oleh Kesuma untuk mendeskripsikan terjadinya perpindahan
penduduk keluar dari wilayah yang didiami masyarakat Bugis.
Kesuma mengarahkan narasinya supaya Perang Makassar menjadi penyebab
orang-orang Bugis maupun kelompok masyarakat lainnya yang ada di wilayah
Sulawesi Selatan meninggalkan daerahnya, dengan cara mengambil contoh dari
beberapa pimpinan Perang Makassar yang memilih meninggalkan Makassar
karena tidak sepakat dengan perjanjian Bungaya. Seperti dalam narasi Kesuma:
“Menurut penulis inilah yang menjadi alasan utama mengapa Karaeng Galesong
dan Karaeng Bontomarannu secara diam-diam meninggalkan Makassar berlayar
ke Pulau Jawa, yaitu masing-masing ke Madura dan Banten”.14 Kutipan ini
12 Kesuma, 2004, hal 64.13 Kesuma, 2004, hal 66 isi pasal 4 dari 9 pasal perjanjian Bungaya. Seluruh isi pasal PerjanjianBungaya dapat dilihat di Kesuma 2004, hal 65-67.14 Kesuma, 2004, hal 67.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
menunjukkan bagaimana sejarawan sebagai penutur berpendapat tentang sebuah
peristiwa. Artinya, sejarawan walaupun menggunakan kata ganti penulis tetap
menuliskan secara jelas bahwa dirinyalah yang berpendapat tentang peristiwa itu.
Aktifitas pasukan Makassar yang memilih untuk berpindah ke Pulau Jawa
ditelusuri oleh Kesuma berdasarkan tulisan Sartono Kartodirjo. Penggalan tulisan
Sartono yang bercerita tentang keterlibatan bekas pasukan Makassar berjuang
melawan Belanda di Pulau Jawa, bahkan dikutip langsung oleh Kesuma, seperti
berikut ini:
suatu faktor yang perlu diperhitungkan dalam pergolakan pada masa dalam penelaansekarang ialah kehadiran kontingen Makassar dan Bugis yang tersebar di pelbagai tempatdi Jawa. Peranan mereka sebagai eksponen anti Kompeni cukup berpengaruh dalamperjuangan untuk membendung penetrasi Belanda di Banten dan Mataram. Disampingsemangat untuk membalas dendam atas kekalahan yang diderita dalam perang Makassar,perjuangan mereka juga dijiwai oleh ideologi kafir, semacam pan-Islamisme. Dipandangdari kecamata mereka Jawa sebagai benteng pertahanan akhir terhadap agresi Belanda,perlu dipertahankan, maka mereka mengadakan persekutuan dengan pihak-pihak sejiwaantara lain Banten dan Madura. Di kedua daerah itulah terpusatkan kesatuan-kesatuankontingen Makassar/Bugis.15
Menurutnya, meninggalkan wilayah Sulawesi menjadi pola yang diikuti oleh
koalisi pasukan Makassar lainnya.
Narasi Kesuma menjadikan Perang Makassar sebagai faktor utama untuk
melihat terjadinya kekacauan di Sulawesi bagian selatan, walaupun perang itu
sendiri sebenarnya berpusat di wilayah Kerajaan Gowa. Perang Makassar menjadi
dasar ketika Kesuma menunjukkan wilayah Sulawesi bagian selatan lainnya,
terutama wilayah yang didiami orang Bugis juga mengalami kekacauan.
15 Kesuma, 2004, hal 67-68, kutipan ini merupakan kutipan langsung Kesuma dari tulisan SartonoKartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emperium kem imperium (Jakarta:Gramedia 1987), hal 173-174.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Kekacauan itu merupakan kelanjutan dari Perang Makassar karena perseteruan
dua kerajaan Bugis, yaitu antara kerajaan Wajo dengan kerajaan Bone.16
Kesuma menggambarkan Perang antara Bone yang dibantu oleh VOC
melawan pihak Kerajaan Wajo lebih banyak berdasarkan buku tulisan Abdul
Razak Daeng Patunru yang berjudul Sejarah Wajo yang ditulis pada tahun 1964.
Peristiwa tersebut ditempatkan oleh Kesuma dalam narasinya untuk menunjukkan
bahwa orang Bugis Wajo sudah meninggalkan daerahnya secara berkelompok
sejak abad ke-XVII.
Sementara Suwitha dalam buku yang berjudul Perahu Phinisi Di Pesisir
Dewata:Migrasi Dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali Sekitar Abad XIX, juga
menganggap Perang Makassar sebagai sebab terjadinya kekacauan. Cara Suwitha
menghadirkan Perang Makassar sebagai salah satu faktor terjadinya kekacauan di
Sulawesi Selatan di abad ke-17 yang menyebabkan orang Bugis meninggalkan
daerahnya. Setidaknya ada enam17 entri yang terkait Perang Makassar yang
ditemukan dalam narasi Suwitha. Perang Makassar dianggap oleh Suwitha
sebagai bagian dari faktor politik, dengan perjanjian Bungaya sebagai hasil Perang
Makassar membuat terjadinya perubahan politik di wilayah tersebut.18
Cara Suwitha dalam narasinya menghubungkan perjanjian Bungaya sebagai
akhir dari peristiwa Perang Makassar dengan bergeraknya orang-orang Bugis
meninggalkan daerahnya seperti dalam narasi berikut:
Perjanjian Bungaya kemudian membawa perubahan yang penting dalam ikatan politikkawasan timur. Semua pedagang di luar VOC dipaksa untuk meninggalkan Makassarsehingga Makassar kemudian menjadi Bandar yang sepi. Pada periode inilah banyak
16 Pembahasan ini juga dibahas di bagain bab III.17 Entri ini ada di halaman 46, 48, 48, 61, 68, 120.18 Suwitha, 2013, hal 48.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
bangsawan Bugis dengan para pengikutnya pergi meninggalkan tanah kelahirannyamenyebar keseluruh Asia Tenggara sambil berdagang karena hak hidup mereka dirampas.Terdapat pusat penyebaran orang-orang Bugis, seperti Kutai, Pontianak, Pulau Batam,Riau, dan Flores. Pulau laut misalnya, hampir semua penduduknya adalah orang Bugis.19
Narasi tersebut ditulis oleh Suwitha berdasarkan buku Nusantara: History Of
Indonesia yang ditulis oleh Vlekke, B.H.M, terbit tahun 1967 dan buku
Encyclopedia Van Nederlandsch India Vol 1. Sumber itu digunakan untuk
menunjukkan daerah tujuan orang Bugis ketika meninggalkan tanah kelahirannya.
Suwitha selalu membahasakan ulang sumber yang digunakan lalu di bagian akhir
menuliskan sumber yang digunakan.
Seperti narasi Kesuma, Suwitha juga menempatkan Perang Makasaar
sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekacauan di wilayah
Sulawesi Selatan. Menurut Suwitha, sebagai akibat Perang Makassar, kerajaan
Wajo terlibat peperangan dengan Bone. Peristiwa tersebut membuat ibu kota
kerajaan Wajo mengalami kehancuran dan menimbulkan bencana kelaparan bagi
masyarakat serta akibat lainnya. Keadaan serba kacau seperti itu mendorong orang
Bugis Wajo banyak yang meninggalkan daerahnya dan oleh Suwitha dalam
narasinya disebut sebagai faktor ekonomi.20
Said dan Prabowo dalam teksnya yang berjudul “Akulturasi Orang Bugis
dan Orang Betawi di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara” mengikuti pola
narasi Kesuma dan Suwitha untuk menempatkan peristiwa Perang Makassar
sebagai salah satu sebab orang Bugis berada di Kamal Muara. Said dan Prabowo
tetap menempatkan Perang Makassar sebagai salah satu sebab wilayah Sulawesi
bagian selatan mengalami ketidakpastian yang membuat banyak orang Bugis
19 Suwitha, 2013, hal 48.20 Suwitha, 2013, hal 49.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
meninggalkan daerahnya. Sebagai sebuah peristiwa Said dan Prabowo bahkan
dalam narasinya menyamakan peristiwa Perang Makassar dengan pemberontakan
Qahar Muzakkar dan Permesta yang waktu kejadian rentang waktunya sangat
jauh.
Perang Makassar sebagai peristiwa yang dimaksud dalam narasi itu tidak
disebut secara langsung sebagai Perang Makassaar oleh kedua penulis. Said dan
Prabowo menyebut terjadi perang itu seperti berikut: “Pada abad ketujuh belas
terdapat perang dimana orang Bugis-Bone bersekutu dengan VOC untuk
menghancurkan Makassar. Kondisi ini membawa konsekuensi tersendiri sehingga
terjadi persebaran orang Bugis, khususnya Bugis Wajo yang bersekutu dengan
Gowa Makassar.”21 Sumber yang menyebut Perang Makassar tersebut tidak
dituliskan dalam narasi Said dan Prabowo.
Setelah melihat Said dan Prabowo membahas peristiwa perang Makassar
dalam narasinya, kita dapat melihat bagaimana Perang Makassar dihubungkan
dengan peritiwa lainnya. Berikut kutipan narasinya:
Jadi, migrasi terbesar orang Bugis terjadi sebagai akibat perang (pada abad ke tujuhbelas) dan pemberontakan (pada tahun 1950-an dan 1960-an) di negeri mereka sendiri,yang membentuk suatu pola migrasi di mana orang Bugis menggambarkannya sebagaimassapa dale (mencari nafkah). Kamal Muara adalah salah satu tanah tujuan yangmenjanjikan dan menjadi tempat persinggahan dan kediaman orang Bugis sampai saatini.22
Perang Makassar dalam narasi said dan prabowo disebut sebagai perang yang
terjadi abad ketuju belas, tanpa menyebut langsung sebagai perang Makassar.
Said dan Prabowo menempatkan peristiwa perang Makassar sebagai titik tolak
peristiwa yang memengaruhi peristiwa-peristiwa setelahnya.
21 Said dan Prabowo dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 114.21 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 114.22 Said dan Prabowo dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 114-115.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Sementara Sholeh dalam tulisannya yang berjudul “Peranan Bugis
pendatang dalam proses islamisasi bagian timur Indonesia:kasus konteks sejarah
Ambon”, melihat orang Bugis di Ambon. Menurut Sholeh, salah satu alasan
orang-orang Bugis melakukan migrasi adalah alasan perang. Peristiwa perang itu
menyebabkan keadaan wilayah Sulawesi Selatan tidak menentu. Menurut Sholeh
untuk mendapat kebebasan dalam menjalani kehidupan sebagian masyarakat
Bugis akhirnya memilih keluar dari wilayah itu. Akan tetapi sepanjang narasi
Sholeh tidak penyebut Perang Makassar secara langsung.
Untuk menggambarkan keberadaan orang Bugis di Ambon, Sholeh
menggunakan sumber dari tulisan Leirizza yang berjudul Maluku Dalam
Perjuangan Nasional Indonesia. Rujukan itu digunakan untuk menelusuri
keberadaan orang Bugis yang ada di Ambon. Sholeh menjadikan bahan itu
sebagai sumber dengan membahasakan ulang dalam narasinya tanpa pernah
menggunakan kutipan langsung. Misalnya Sholeh menarasikan seperti ini: “Pada
tahun 1607, di Ternate sudah dikenal sebuah wilayah dengan nama kampung
Makassar yang umumnya dihuni oleh masyarakat Bugis-Makassar...”23
Sebagai penutup pada bagian ini, peristiwa Perang Makaassar yang
merupakan salah satu representasi untuk menjelaskan kedaan wilayah Sulawesi
bagian selatan mengalami kekacauan, semua hadir di empat teks yang ada, dengan
bentuk yang berbeda. Setiap sejarawan punya cara menampilkan perisitiwa perang
Makassar dalam narasinya. Cara mereka menghadirkan sumber juga bervariasi,
23 Sholeh dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 182.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
misalnya Kusuma memasukkan secara langsung sumber yang digunakan dalam
narasinya yang tidak kita temukan di tiga teks lainnya.
B. Narasi Kemampuan Bahari Sebagai Narasi yang Dirayakan
Berdasarkan empat teks yang dibahas, tampak bahwa perantauan yang
dilakukan oleh orang-orang Bugis karena latar belakang daerahnya yang
mengalami kekacauan akibat perang. Berdasarkan narasi itu keadaannya didukung
oleh kemampuan bahari yang dimiliki masyarkat Bugis membuat mereka berani
mengarungi lautan untuk menuju perantauan. Pada bab III sudah dibahas bahwa
ada dua bentuk bahari yang hadir dalam narasi sejarah perantau Bugis, sekaligus
sebagai representasi dalam narasi. Pertama, hadirnya cerita rakyat yang berbasis
petualangan bahari dalam narasi sejarah. Kedua, kemampuan, pengetahuan dan
keterampilan dalam bidang bahari merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
Bugis. Keduanya sangat terkait dengan kemampuan bahari yang dimiliki oleh
orang-orang Bugis. Dalam setiap narasi yang ada, hal tersebut selalu muncul
sebagai legitimasi sejarah.
Untuk melihat bagaimana sejarawan menarasikan representasi bahari yang
terdapat dalam teksnya masing-masing, maka bagian ini akan kembali melihat
sejarawan menempatkan tiga hal dalam narasinya yaitu peristiwanya, informannya
dalam hal ini sumber sejarahnya dan penuturnya atau sejarawannya.24 Dengan
memperhatikan hal itu akan terlihat bagaimana setiap sejarawan
merepresentasikan sebuah peristiwa dalam narasi sejarah.
24 Lihat hal 2 (bagian awal bab IV ) menggunakan konsep shifter-nya Jakobson sebagaimana yangdipakai oleh Roland Barthes dan dikembangkan oleh Hayden White. lihat Barthes, Roland, TheRustle of Language, California, Universitas California Press, 1989, hal 127-140.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Kesuma dalam narasinya menghadirkan kemampuan bahari sebagai salah
satu argumen untuk menunjukkan keberadaan orang-orang Bugis di wilayah
Johor. Menurutnya, kemampuan bahari orang-orang Bugis menunjang akan
pilihan mereka melakukan perantauan. Untuk menunjukkan kemampuan tersebut,
Kesuma menghadirkan cerita rakyat Bugis dalam narasinya. Cerita tersebut
berasal dari epos I La Galigo yang bercerita tentang Sawerigading ketika
melakukan petualangan ke berbagai negeri. Cerita rakyat inilah yang akan
ditelusuri lebih jauh dibagian ini.
Selanjutnya adalah penelusuran posisi epos I La Galigo dengan cerita
perjalanan Sawerigading dalam narasi Kesuma dan ketiga narasi lainnya. Kesuma
menempatkan cerita I La Galigo dalam narasinya ketika menelusuri jejak
kedatangan orang Bugis di Semenanjung Tanah Melayu. Dapat kita lihat salah
satu bagian narasi Kesuma ketika menempatkan cerita perjalanan Sawerigading
sebagai bagian dari narasi penyebaran orang Bugis di Tanah Melayu sebagai
berikut:
Perantau dan atau pemukiman orang Bugis di Semenanjung Tanah Melayu sebetulnyasudah berlangsung lama sekali. Sejak di masa Kerajaan Luwu Purba, perairan, ataukawasan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, telah di jelajahi armada SawerigadingOpunna Wareq putra mahkota Kerajaan Luwu di sekitar abad ke X. Salah satu episodeyang diceritakan dalam buku I La Galigo… 25
Cerita Sawerigading dalam narasi itu dapat ditempatkan sebagai peristiwa sejarah.
Cerita itu diambil oleh Kesuma dari teks I La Galigo. Kalimat “sejak di masa
kerajaan luwu purba…” menunjukkan ketika Kesuma yang seolah-olah bercerita
tentang kejadian itu. Cara seperti itu juga dapat dilihat pada kalimat sebelumnya,
sebagai beritkut: “Perantau dan atau pemukiman orang Bugis di Semenanjung
25 Kesuma, 2004, hal 95.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Tanah Melayu sebetulnya sudah berlangsung lama sekali.” Pengaturan waktu
semacam itu dilakukan oleh Kesuma untuk mengatur ketika peristiwa itu terjadi
dan waktu ketika peristiwa itu ditulis.
Konteks cerita tersebut dihadirkan oleh Kesuma ketika menarasikan orang-
orang Bugis yang pernah datang ke Semenanjung Tanah Melayu. Kesuma menulis
narasi tersebut setelah pada bagian sebelumnya menarasikan kisah-kisah orang
Bugis lainnya yang ada di Semenanjung Tanah Melayu, seperti kedatangan orang
Bugis Wajo pada tahun 1666 yang dipimpin oleh Daeng Saleh. Dalam narasinya,
Kesuma bercerita bahwa Daeng Saleh tiba di Teluk Mas bersama dengan
pengikutnya sebanyak 27 buah perahu. Kisah itu diambil oleh Kesuma dari buku
Tsubachi dan Narifum yang berjudul Three Malay Villages: A Sociology of Paddy
Growers ini West Malaysia.26
Kesuma tidak hanya menempatkan kisah orang-orang Bugis di
Semenanjung Tanah Melayu dalam narasinya untuk menggambarkan kehebatan
orang Bugis. Kesuma juga menuliskan kisah orang-orang Bugis yang ada di
Samarinda Kalimantan Timur dalam narasinya, seperti berikut ini:
Pada permulaan tahun 1853 saudagar Bugis bernama La Taipa berangkat dari Samarindake daerah hulu membawa sebuah perahu bermuatan barang-barang perdagangan; orangBugis bernama Andi Gara Panae, yang tinggal di Samarinda, membeli seorang budak asalSumba dari seorang nahkoda bawonan; ada seorang raja Bugis meminta kepada TuanKing untuk menyediakan alat perlengkapan yang diperlukan oleh 3000 orang rakyatnya,berkeinginan selekas mungkin dan secara bersama-sama menyeberang ke Kutai.27
Narasi tersebut merupakan ilustrasi orang Bugis di Samarinda yang diungkapkan
oleh J. Sweger dalam karangannya yang berjudul Kerajaan Kutai Di Pesisir
Timur Kalimantan Dan Hulu Dan Hal Ihwalnya Dalam Tahun 1853 (Tjidschrift
26 Kesuma, 2004, hal 94.27 Kesuma, 2004, hal 93.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
voor Nederlandsch-indie seri 4, 1866). Sumber tulisan tersebut Kesuma berasal
dari tulisan Andi Zainal Abidin, Persepsi Orang Bugis Makassar Tentang Hukum,
Negara, Dan Dunia Luar tahun 1983.28
Kisah Sawerigading dan La Taipa dapat dilihat sebagai cara Kesuma
membangun narasinya, dia menghubungkan beberapa peristiwa menjadi satu
rangkaian cerita sehingga terlihat saling terhubung. Selain dari segi tempat yang
berbeda, peristiwa tersebut dari segi jarak waktu kejadian juga cukup jauh.
Perjalanan Sawerigading yang diperkirakan oleh Kesuma terjadi abad ke-10
disandingkan dengan kedatangan saudagar Bugis bernama La Taipa yang terjadi
pada abad ke-19.
Cerita tentang Sawerigading yang digunakan oleh Kesuma merupakan kisah
yang berdasarkan buku I La Galigo. Dia merujuk dua penulis yaitu Andi Zainal
Abidin dan Fahcruddin Ambo Enre. Penulis kedua menelaah salah satu kisah
cerita dalam I La Galigo yang berjudul Ritumpana Welenrengnge. Sementara
Suwitha menghadirkan cerita Sawerigading berasal dari cerita yang berkembang
di masyarakat Bugis yang ada di Bali.29
Kisah petualangan orang Bugis yang dihadirkan oleh setiap sejarawan
adalah kisah yang dimaksud untuk menunjukkan bahwa orang Bugis memiliki
kemampuan dan pengetahuan bahari yang cukup kuat. Kesuma maupun Suwitha
menggunakan kisah Amanna Gappa dalam narasinya untuk menggambarkan
28 Kesuma, 2004, hal 92.29 Lihat bab III (hal 50).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
kemampuan dan pengetahuan orang Bugis dalam dunia pelayaran, sehingga
memungkinkan mereka dapat bepergian ke berbagai wilayah.30
Ada kesamaan pada narasi Kesuma dan Suwitha yang dianalisis dalam tesis
ini. Dua narasi tersebut mengungkapkan bahwa kemampuan bahari yang dimiliki
oleh masyarakat Bugis merupakan salah satu keahlian yang memungkinkan
mereka melakukan perantauan. Untuk menunjukkan kemampuan pelayaran orang-
orang Bugis kedua narasi tersebut menghadirkan kemampuan Amanna Gappa
yang berhasil merumuskan aturan pelayaran dan perdagangan di antara orang-
orang Bugis.
Bagi Kesuma, karya Amanna Gappa yang membuat aturan pelayaran dan
perdagangan pada komunitas orang Bugis digunakan sebagai bukti apabila orang
Bugis memiliki kemampuan bahari. Kesuma menuliskan kemampuan Amanna
Gappa dalam narasinya sebagai berikut:
Di antara sekian itu tersebutlah seorang pemikir hukum dan ekonomi bernama AmannaGappa, yaitu “Matoa Wajo ke-3”, tersohor karena karya abadi “Ade’ allopi-lopingBicaranna Pabalu’e” (= hukum pelayaran dan perdagangan) yang ditetapkan pada tahun1676 berlaku untuk seluruh perdagangan pelaut Bugis.31
Rumusan peraturan pelayaran Amanna Gappa yang Kesuma gunakan berdasarkan
karya Ph.O.L. Tobing. Penelitian yang dilakukan oleh Tobing berdasarkan salinan
naskah yang ditulis oleh Muhammad Ibnu Badawi pada abad ke-19. Menurut
Tobing, Ibnu Badawi menyalin lontaraq Amanna Gappa saat berada di Gresik
yang diperkirakan seorang nahkoda.32 Di narasi Kesuma, sumber dan sejarawan
30 Lihat bab III.31 Kesuma, 2004, hal 81.32 Mengenai naskah yang digunakan oleh Tobing lihat Tobing, 1977, hal 29-30.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
menjadi satu dalam narasi, bahkan sumber tidak disebut penggalan narasi tersebut.
Sumber yang digunakan oleh Kesuma ditulis di dua halaman setelah bagian itu. 33
Sementara itu Suwitha menarasikan tentang Amanna Gappa sebagai berikut:
“…Dengan kepandaian berlayar dan berdagang itu, sampai saat ini mereka masih
meninggalkan warisan hukum niaga Amanna Gappa, yang telah ditulis dan
dibukukan dalam lontar pada abad ke 17.”34 Suwitha juga menggunakan karya
Ph.O.L. Tobing dalam narasinya. Dalam narasi Suwitha, sumber dan penuturnya
juga menyatu tetapi bagian akhir dari kalimat itu langsung diberi penjelasan
bahwa kisah Amanna Gappa dia ambil dari penelitian yang dilakukan oleh
Tobing.35 Suwitha yang menggunakan kata ganti mereka untuk menyebut orang
Bugis juga menjadi penanda apabila dirinya bukan bagian dari masyarakat Bugis.
Amanna Gappa sendiri menurut Suwitha adalah seorang Matoa Wajo yang berada
di Makassar dan hidup pada abad ke-17. Dia mengatur aktifitas pelayaran orang
Bugis sebagaimana dalam narasinya:
Dalam hukum pelayaran dan perniagaan, warisan orang Bugis Amanna Gappa, telahdisebutkan bahwa, apabila perahu-perahu Bugis akan berlayar untuk berniaga dari jalur-jalur pelayaran yang telah di tetapkan ke Bali, sewa perahunya setiap orang di tetapkandua setengah rial dan belum terhitung muatan barang-barang. Dengan demikian, pulauBali sudah masuk dalam jangkauan pelayaran dan perniagaan orang-orang Bugis. Hukumlaut itu sendiri ditulis dan dibukukan dalam lontar oleh Amanna Gappa tahun 1676.36
Kedua narasi tersebut di atas, baik Kesuma maupun Suwitha menempatkan
prestasi Amanna Gappa sebagai peristiwa akan tetapi cara penuturan yang
berbeda. Artinya sumber yang dugunakan bisa saja sama tetapi penggunaannya
33 Lihat Kesuma, 2004, hal 81 dan 83.34 Suwitha, 2013, hal 3 juga dikutip di bab 3.35 Lihat Suwitha, 2013, hal 3.36 Suwitha, 2013, hal 59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
dalam narasi sejarah belum tentu sama. Sejarawan menggunakan sumber
berdasarkan kebutuhannya dalam membuat narasi.
Sementara itu Said dan Prabowo tidak menyebut rumusan hukum pelayaran
dan perdagangan Amanna Gappa ketika menarasikan keberadaan orang Bugis di
Kamal Muara Pesisir Pantai Jakarta Utara. Hal yang sama terjadi dalam narasi
Badrus Sholeh ketika menuliskan keberadaan orang Bugis di Ambon. Keduanya
tidak menyebut nama Amanna Gappa maupun hukum pelayaran dan
perdagangannya.
Tulisan Said dan Prabowo menggambarkan keberadaan orang Bugis di
Kamal Muara, pesisir Jakarta Utara. Dia menempatkan kemampuan bahari orang
Bugis sebagai titik tolak dalam narasinya ketika mendeskripsikan keberadaan
orang Bugis di wilayah itu. Kemampuan bahari itulah dianggap oleh Said dan
Prabowo yang membuat orang Bugis terkenal di antara para pelaut dan pedagang
sepanjang garis pantai Asia Tenggara.37
C. Bugis yang Dibentuk Berdasarkan Narasi Sejarah
Pada bagian ini akan diuraikan bagaimana para sejarawan menjelaskan
berbagai pengertian tentang Bugis di daerah perantauan berdasarkan teks-teks
sejarah yang ada. Ada empat wilayah perantauan yang akan menjadi fokus
pembahasan ini yaitu Johor, Bali, Kamal Muara di pesisir Jakarta Utara dan
Ambon. Penentuan wilayah-wilayah tersebut berdasarkan pembahasan bab III38
yang berangkat dari teks-teks sejarah. Pada bagian ini dijelaskan bagaimana
sejarawan mengidentifikasi Bugis di perantauan melalui narasi sejarah.
37 Said dan Prabowo dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 114.38 Lihat tesis ini bab III hal 58 .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Cara kerja sejarawan dalam menjelaskan orang-orang Bugis di perantauan
tidak lepas dari kecenderungannya dalam membangun narasi. Representasi
historis menjadi salah satu pilihan, yang merupakan cara menghadirkan kejayaan
masa lalu dan bisa dianggap sebagai gagasan luhur.39 Untuk itu bagian ini akan
tetap melihat tiga hal sebagaimana bagian sebelumnya yaitu: pertama, apa yang
menjadi tuturan atau peristiwa apa yang kabarkan. Kedua, bagaimana penuturan
informan dalam hal ini sumber sejarah yang digunakan. ketiga, ucapan penutur
atau sejarawan tentang peristiwa tersebut.40 Cara inilah yang akan dipakai untuk
melihat cara setiap sejarawan dalam menarasikan tentang Bugis di perantauan.
C.1. Narasi Kesuma tentang Bugis dan Kekuasaan di Johor
Kesuma melalui narasinya menunjukkan pola interaksi orang-orang Bugis
dengan masyarakat setempat di Johor dengan cara terlibat dalam perebutan
kekuasaan.41 Fokus narasi Kesuma adalah penelusuran kisah bangsawan Bugis
yang bernama Opu Daeng Rilakka dan Kelima putranya ke wilayah semenanjung
Malaya pada abad ke-17. Sebagai pengantar, Kesuma menunjukkan sejak awal
bahwa kedatangan orang Bugis di wilayah itu selalu terlibat dalam perebutan
kekuasaan. Dia menuliskan tentang penyerangan Karaeng Samarluka terhadap
Malaka pada masa pemerintahan Mahmud Shah yang diperkirakan berlangsung
pada tahun 1424.42
39 White, 1975, hal 255.40 Pembagian ini Ini mengacu pada konsep linguistiknya Roman Jakobson tentang shiftersebagaimana yang dipakai oleh Roland Barthes dan dikembangkan oleh Hayden White .41 Lihat tesis ini bab III hal 58-61.42 Kesuma, 2004, hal 96.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Kesuma memakai perebutan kekuasaan dalam narasinya untuk
menunjukkan keturunan Bugis ikut terlibat dalam perebutan pengaruh di wilayah
semenanjung Tanah Melayu. Peran putra dari Opu Daeng Rilakka dianggap oleh
Kesuma membawa kerajaan Johor mendapat kedaulatannya kembali. Melalui
kekuasaan itu pula keturunan Bugis kemudian mengambil alih pemerintahan di
kerajaan-kerajaan Tanah Melayu. Untuk menunjukkan bahwa keturunan Opu
Daeng Rilakka memiliki garis keturunan pemimpin, Kesuma menelusuri garis
kebangsawanan mereka.43
Cara lain Kesuma lakukan untuk menghubungkan perantau Bugis dengan
kekuasaan adalah dengan mengaitkan kedatangan rombongan orang Bugis yang
bernama Daeng Lakani atau Daeng Hitam ke Johor dan kedatangan wakil perdana
menteri Malaysia ke Makassar. Dinarasikan oleh Kesuma:
… berarti sudah ada migrasi lebih dahulu di Selangor, malahan sebelum Daeng Hitam,mungkin sudah terdapat orang Bugis lainnya. Dan menurut R.J.Wikenson, orang-orangBugis mula-mula sekali datang ke Selangor diketuai oleh seorang Bugis bernama DaengLakani (ataukah Daeng Hitam termasuk salah seorang anggota Rombongannya). ApakahDaeng Hitam “nenek moyang” Datu Musa Hitam, Wakil Perdana Menteri Malaysia, yangtatkala berkunjung ke Makassar tahun 1982, dipesan oleh orang tuanya untuk melihat-lihat negeri leluhur, karena mereka adalah keturunan Bugis Makassar.44
Pada bagian ini, Kesuma menghubungkan dua peristiwa dari dua periode yang
berbeda. Peristiwa abad ke-17 yang menjadi periode penelitiannya dengan priode
ketika penelitian itu berlangsung. Cara seperti ini merupakan cara sejarawan
dalam mengatur waktu ketika peristiwa terjadi dan waktu ketika peristiwa itu
dinarasikan oleh sejarawan. Kesuma dengan jelas menunjuk abad ke 17 sebagai
waktu ketika peristiwa itu berlangsung. Kesuma memakai sumber yang berasal
43 Lihat bab III hal 73.44 Kesuma, 2004, hal 95.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
dari R.J. Wilkinson sebagai dasar apabila orang Bugis sudah ada di tanah Melayu
di abad itu.
Narasi yang dibangun oleh Kesuma tentang orang Bugis yang terlibat dalam
perebutan kekuasaan memiliki dasar. Ia menunjukkan kemampuan Daeng Rilakka
bersama kelima putranya sebagai orang yang diterima sebagai pemimpin orang
Bugis di perantauan. Sebagaimana dalam narasinya:
Dengan demikian Opu Daeng Rilakkka bersama kelima putranya dapat diterima olehsuku bangsa Bugis dari berbagai asal “kerajaan” (Luwu, Gowa, Bone, Wajo, Soppeng,Tanete Suppa, Pammana, dan lain-lain) sebagai pemimpin di perantauan. Tampilnyasebagai penegak kedaulatan Johor dari invasi Raja Kecil dari Siak tidak dapat disangkaljika mendapat dukungan serempak dari kaum migran Bugis di Johor.45
Pada bagian ini, Kesuma juga menunjukkan adanya pengertian tentang Bugis
yang satu ketika berada di daerah perantauan. Orang Bugis diidentikkan oleh
Kesuma sebagai satu kesatuan walaupun mereka berasal dari wilayah kerajaan
yang berbeda. Luwu yang disebut oleh Kesuma, dalam narasi sejarah lokal
dinggap sebagai pusat kebudayaan Bugis kuno, tempat itu disebut dalam naskah
La Galigo.46 Kerajaan lain yang ada dalam narasi sejarah lokal tidak masuk dalam
kerajaan Bugis tetapi disebut oleh Kesuma, yaitu kerajaan Gowa. Kerajaan ini
dalam kategori kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan termasuk dalam kerajaan
Makassar.47 Dari narasi itu Kesuma menggabungkan kelompok yang berasal dari
daerah wilayah Sulawesi menjadi satu kesatuan di daerah perantauan dengan
pengertian Bugis yang satu .
Pada kutipan itu juga, Kesuma tidak lagi menggunakan kata kekuasaan
secara langsung tetapi dia menggantinya dengan kata kedaulatan. Cara ini dalam
45 Kesuma, 2004, hal 103.46 Lihat Fachruddin Ambo Enre, Ritumpana Welenrengnge:Sebuah Episode Sastra Bugis KlasikGaligo, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999.47 Lihat Mattulada, Makassar dalam Sejarah 1510-1700. Bhakti Baru 1982.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
pandangan White disebut peroses troping.48 Kesuma pada bagian itu memakai
bentuk metafora dengan cara memakai kesamaan terhadap objek yang ditekankan,
yaitu antara kekuasaan dan kedaulatan.
Kesuma tidaklah mempertahankan pengaruh kekuasaan orang-orang Bugis
sepanjang narasinya. Dia juga menuliskan ketika kekuasaan orang Bugis mulai
surut di walayah semenanjung Malaya. Menurut Kesuma, kekuasaan orang Bugis
mulai merosot ketika Opu Daeng Cella digantikan oleh Daeng Kamboja menjadi
Yangtuan Muda Riau III pada tahun 1745. Pada tahun yang sama orang-orang
Bugis menyerang Belanda di Malaka, tetapi justru diserang balik dan mereka
kalah. Kekalahan tersebut mengharuskan orang-orang Bugis menjual timahnya
kepada pihak Belanda, serta membuat perjanjian bahwa tidak akan memusuhi
Sultan Sulaiman di Johor yang saat itu sudah mengadakan perjanjian dengan
Belanda.49
Di balik narasi Kesuma yang menunjukkan merosotnya kekuasaan orang-
orang Bugis, tetapi di sisi lain tetap menyebut sisa-sisa kekuasaan orang-orang
Bugis sebagaimana dalam narasinya: “… inilah permulaan merosotnya kekuasaan
orang-orang Bugis di Semenanjung Tanah Melayu dan sekitarnya, namun
pengaruhnya tetap berkembang, serta tersebar ke mana-mana. Terutama ke
Sambas, Mempawah, dan Matan di Kalimantan Barat.”50
Pola narasi seperti itu tetap menunjukkan adanya pengaruh yang pernah
dicapai dalam kekuasaan orang-orang Bugis. Kekuasaan tetap dimunculkan oleh
48 Lihat White, 1975, hal 29 dan Munslow, Alun, Deconstructing History, 1997, hal 154 dan 156.Tropig dapat diartikan sebagai proses menandai jenis hubungan/menghubungkan sebuah peristiwa.49 Kesuma, 2004, hal 124.50 Kesuma, 2004, hal 125.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Kesuma ketika menarasikan kekalahan orang-orang Bugis. Bagian narasi seperti
itu dapat diperhatikan seperti ini:
Kejayaan orang-orang Bugis di semenanjung Tanah Melayu berangsur tamat. Justruketika Belanda menyerahkan Malaka kepada Inggris, berbarengan denganditandatanganinya Tarktat Inggris-Balanda (Anglo-Dutch Treaty) tahun 1824, makaberakhirlah kekuasaan orang-orang Bugis di Semenanjung Tanah Melayu. Akan tetapisungguhpun demikian “Dinasti Opu Daeng Rilakka” masih berlangsung sampai dewasaini. dan tidak dapat dipungkiri Yang Dipertuang Agung Persekutuan Malaysia, kini(1988) dipangku oleh Sultan Ismail-yang sedang menjadi Sultan Johor- keturunan ke-7dari Opu Daeng Parani.51
Melekatnya narasi Kesuma yang membahas perantau Bugis di Johor dengan
kekuasaan dapat dijelaskan dengan menghubungkan antara penelusuran Kesuma
terhadap peran Opu Daeng Rilakka bersama dengan lima putranya yang menetap
di wilayah Melayu dengan pola kepemimpinan di masyarakat Bugis pada masa
lalu. Bagi masyarakat Bugis pemimpin harus berasal dari keturunan bangsawan.
Narasi Kesuma melegitimasi narasi tentang pemimpin harus berasal dari kalangan
bangsawan. Dia berhasil menemukan legitimasi bahwa Opu Daeang Rilakka
berasal dari keturunan bangsawan kerajaan Luwu.
Dengan demikian posisi Kesuma dalam menarasikan kekuasaan orang
Bugis di Johor dapat diartikan bahwa kekuasaan selalu melekat pada diri orang
Bugis dengan berbagai bentuk. Kesuma melihat kekuasaan orang Bugis di Johor
berkelanjutan dengan menarik garis lurus pada adanya keturunan orang Bugis
yang memegang jabatan di pemerintahan.
C.2. Narasi Suwitha tentang Bugis dan Perdagangan di Bali
Bagian ini akan menjelaskan bagaimana narasi sejarah yang dibuat oleh
Suwitha mengidentifikasi orang Bugis di Bali. Pada bab III sudah dijelaskan
51 Kesuma, 2004, hal 127.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
tentang representasi yang hadir pada narasi sejarah yang ditulis oleh Suwitha. Dari
narasi tersebut, Suwitha banyak membahas soal perdagangan yang dilakukan oleh
orang Bugis di wilayah Bali. Mereka membawa barang masuk ke Bali maupun
sebaliknya.52 Bagi orang Bugis di Bali identifikasi sebagai pedagang menjadi
identitas yang tersemat pada kelompok mereka. Setidaknya itu yang terbentuk
dalam narasi sejarah Suwitha.
Suwitha mengidentifikasi orang-orang Bugis sebagai pedagang disebabkan
oleh beberapa alasan. Pertama, orang Bugis memiliki akses ke dunia luar. Kedua,
orang Bugis memiliki akses terhadap produk yang diperdagangkan. Terakhir,
orang Bugis memiliki kedekatan dengan penguasa setempat. Ketiga hal inilah
yang akan dibahas untuk melihat bagaimana Suwitha menghadirkan orang Bugis
sebagai pedagang dalam narasi sejarahnya.
Identifikasi Suwitha melalui narasinya menunjukkan bahwa orang-orang
Bugis lekat dengan perdagangan di Bali pada abad ke-19 karena memiliki akses
terhadap dunia luar. Kepemilikan itu dapat dilihat ketika Suwita menuliskan
tentang perkampungan orang-orang Bugis di Bali sebagian besar berada di sekitar
pelabuhan atau pesisir.53 Perkampungan itu diantaranya berada di pantai Lingga,
di pelabuhan Buleleng, pelabuhan Celakung bawang dan pelabuhan Sangsit. Cara
Switha menarasikan dinamika perkembangan perkampungan orang Bugis di Bali
terlihat dinarasinya berukut ini:
Setelah pertengahan abad ke-19, perkampungan orang-orang Bugis di Bulelengmengalami perkembangan yang pesat. Hal ini karena pusat perdagangan di Baliberpindah dari pelabuhan Kuta di Bali selatan ke pelabuhan Buleleng. Dalam staatsblad
52 Lihat tesis ini hal 63.53 Lihat tesis ini hal 62.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
tahun 1882 disebutkan ada tiga buah perkampungan orang-orang asing di pantau sekitarPabean yang masing-masing dikepalai oleh orang-orang Bugis yang bertitel puadua.54
Cara Suwitha membuat narasi seperti di atas dengan cara menyebut langsung
sumber yang digunakan dalam narasi ingin menunjukkan bahwa dirinya sebagai
sejarawan berada diluar narasi itu. Sumber, dalam hal ini staatblad, dibiarkan
bercerita apa adanya sehingga terlihat tanpa ada intervensi dari sejarawan. Cara
seperti ini dilakukan untuk mendukung objketivitas dalam penulisan sejarah.
Suwitha menekankan bahwa letak perkampungan yang berada di wilayah
pelabuhan dengan kekuasaan yang dikuasai sendiri oleh kelompok orang orang
Bugis merupakan jaminan untuk mengakses dunia luar. Menurut Suwitha puaduq
atau puaadu merupakan pemuka bagi masyarakat Bugis yang dipilih oleh
anggotanya dan raja hanya mengesahkan. Tugas dari puaduq menangani urusan-
urusan politik, pemerintahan, administrasi, peradilan dalam lingkungannya.55
Menurut Suwitha faktor lain yang memudahkan orang Bugis memiliki akses
terhadap dunia luar adalah karena mereka memiki perahu dan kemampuan
pelayaran. Kemampuan itu pula membuat orang-orang Bugis tiba di wilayah Bali.
Pelayaran, dalam narasi Suwitha, merupakan faktor penentu bagi keberlangsungan
kehidupan orang Bugis di Bali. Suwitha menunjukkan kemampuan pelayaran
yang dimiliki oleh orang-orang Bugis merujuk pada rumusan peraturan
perdagangan dan pelayaran yang dibuat oleh Amanna Gappa tahun 1667.56
Hukum pelayaran Amanna Gappa yang digunakan oleh Suwitha berasal dari buku
54 Suwitha, 2013, hal 69.55 Lihat Suwitha,2013, hal 69 dan catatan kaki 25.56 Suwitha, 2013, hal 59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
yang di tulis oleh L. Tobing yang mengkaji salinan lontara Amanna Gappa.57
Selain kemampuan pelayaran, orang Bugis juga dilengkapi dengan kepemilikan
perahu. Suwitha menuliskan bahwa jenis perahu yang dimiliki oleh orang-orang
Bugis pada waktu itu adalah tipe phinisi dan lambo. Jenis kapal seperti itu
semuanya terbuat dari kayu. Menurut Suwitha tidak ada bagian dari perahu itu
yang terbuat dari besi. Layar yang digunakan terbuat dari batang kayu yang
dibelah dengan tali temali dari rotan.58 Fasilitas pelayaran seperti itulah yang
memungkinkan orang Bugis di Bali memiliki akses terhadap dunia luar.
Melekatnya orang-orang Bugis sebagai pedagang yang ditemukan dalam
narasi Suwitha juga disebabkan karena orang Bugis memiliki akses terhadap
berbagai komuditas perdagangan pada abad ke-19. Menurut Suwitha, bahkan
budak sudah menjadi komuditas utama yang diperdagangan oleh orang Bugis ke
luar Bali pada abad ke-17 hingga abad ke-19. Maraknya perdagangan budak di
Bali dan keterkaitannya dengan pedagang Bugis terdapat dalam dalam narasi
Suwitha seperti:
Sebelum masuknya pengaruh Belanda ke Bali, ekspor utama daerah Bali adalah Budakbelian, disamping candu dan sedikit beras. Pada periode abad ke-17 hingga awal abad ke-19 perdagangan budak memberikan keuntungan yang besar terutama bagi raja-raja. Jikapanen padi mengalami kegagalan, volume perdagangan budak meningkat pula.59
… perdagangan budak mulai berkurang setelah tahun 1830, tetapi perdagangan danpembelian disana-sini masih dilakukan oleh pedagang-pedagang Bugis. Tiap-tiap perahuBugis yang berlayar biasanya membawa dua budak wanita dan dua budak laki-laki yangdiajak berlayar ke sana ke mari untuk diperdagangkan dan biasanya laku di Singapura.60
Suwitha juga menuliskan bahwa selain budak, komoditas lain yang dibawa dari
Bali keluar oleh orang-orang Bugis terdiri dari minyak kelapa, gula, ikan asin,
57 Lihat L .Tobinng, 1977.58 Suwitha, 2013, hal 86.59 Suwitha, 2013, hal 82.60 Suwitha, 2013, hal 83.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
dendeng, telur asin, garam, lembu, babi, itik, sarang burung, kain kasar, benang
dari kapas, gambir, asam, pinang, malam dan kayu-kayuan. Sementara komoditas
yang dibawa masuk ke Bali terdiri dari emas, benang emas, perak tembikar
gading, belerang, besi, kain sutera dan juga candu.61
Pembahasan Suwitha tentang perdagangan budak dalam narasinya
menggunakan sumber yang ditulis oleh Lauts yang berjudul Het Eiland Bali en
Balienezen, Lekkerkerker berjudul het Voorspel der Vestiging van de
nederlandsch macht op bali en Lombok dan A.A. Gde Putra Agung dengan judul
“Masalah Perdagangan Budak di Bali abad ke-17-19.” Sementara jenis komoditas
lainnya, Suwitha merujuk tulisan Eysinga dengan judul De Volken van
Nederlandsch Indie.62
Narasi Suwitha menunjukkan bahwa orang Bugis yang ada di Bali
mengalami keberhasilan kerena keuletannya dalam berusaha yang ditunjang
dengan berbagai kemudahan dalam berdagang yang di dapat dari penguasa Bali.
Suwitha menarasikan tentang salah satu cara orang Bugis membangun kedekatan
kepada penguasa setempat adalah dengan cara memberi hadiah. Dengan
kedekatan seperti itu orang Bugis bisa memasukkan jenis barang dagangan
apapun ke wilayah Bali seperti candu dan senjata yang waktu itu menjadi barang
yang dilarang oleh Belanda63. Senjata menjadi penting bagi kerajaan yang ada di
Bali untuk memperkuat militer mereka. Suwitha mencontohkan kerajaan
Karangasem yang mendapat suplai dari pedagang-pedagang Bugis yang
dimasukkan dari melalui pelabuhan Padangbai di tenggara Bali.
61 Suwitha, 2013, hal 82.62 Suwitha, 2013, hal 82-83.63 Suwitha, 2013, hal 87.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Kedekatan dengan penguasa setempat juga dapat dilihat ketika Suwitha
menarasikan tentang pengangkatan syahbandar di beberapa pelabuhan di Bali.
Sepanjang abad ke-19 Suwitha mencatat bahwa ada tiga orang Bugis yang
menjabat sebagai syahbandar yaitu Pattimi syahbandar Loloan dengan pangkat
kapiten dari raja Badung. Puak Matuwa syahbandar di Serangan dan Syahbandar
di Tanjung yang Suwitha tidak sebut namanya. Kedudukan syahbandar cukup
penting dalam dunia perdagangan, sekaligus orang yang diangkat sebagai
syahbandar adalah orang yang memiliki pengaruh di pelabuhan. Menurut Suwitha
di Bali yang menjadi syahbandar biasanya adalah orang asing yang mempunyai
pengetahuan dalam bidang perdagangan di luar negeri. Umumnya syahbandar
adalah saudagar yang paling berwibawa. Syahbandar yang diangkat berasal dari
saudagar berarti kepentingan pedagang-pedagang Bugis terpenuhi oleh pejabat
pelabuhan karena berasal dari kalangannya sendiri.64
Suwitha juga mengungkapkan bahwa cara orang Bugis dekat penguasa di
Bali adalah dengan jalan ikut terlibat dalam perebutan kekuasaan. Bahkan
Suwitha menuliskan dalam narasinya bahwa sebelum orang-orang Bugis masuk
ke Bali, mereka sudah membantu Panji Sakti dalam penyerangan Blambangan
pada tahun 1679. Kemudian pada tahun 1767 orang-orang Bugis ikut membantu
kerajaan Mangwi mempertahankan Blambangan dari serangan VOC karena
markas mereka berada di wilayah kerajaan Mangwi.65 Bantuan orang Bugis
terhadap penguasa di Bali juga dapat terlihat dalam narasi Suwitha sebagai
berikut:
64 Suwitha, 2013, hal 94.65 Suwitha, 2013, hal 98.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Dalam serangan Buleleng yang kedua terhadap Jembrana pada tahun 1818, RajaJembrana I Gusti Putu Sloka diungsikan oleh orang-orang Bugis ke Bayuwangi.Selanjutnya patih Jembrana igusti Ngurah Gde debgab inti pasukan orang-orang Bugismengadakan perlawanan sehingga Raja Buleleng I Gusti Gde Karangasem yang langsungmemimpin penyerangan tersebut terbunuh dekat loloan pada tahun 1818.(Broek,1838:173).66
Penggalan narasi Suwitha tersebut menunjukkan bahwa data yang dipakai berasal
dari Broek dengan tulisan “verslag nopens het eiland Bali” dalam De Oosterling
Tijdshrift van Oost Indie II. Dari narasi itu juga unsur subjektif Suwitha tidak
muncul dalam narasinya. Inilah yang disebut sejarawan menyatu dengan
narasinya sehingga terlihat objektif.
C.3. Bugis Sebagai Nelayan di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara.
Pada bagian ini dijelaskan bagaimana sejarawan Said dan Prabowo
mengidentifikasi orang-orang Bugis di Kamal Muara Pesisir Pantai Jakarta Utara.
Dalam narasinya Said dan Prabowo melekatkan orang-orang Bugis sebagai
nelayan. Oleh Said dan Prabowo, orang Bugis diidentikkan dengan orang yang
memiliki aktivitas penangkap ikan maupun pengolah hasi-hasil laut. Alasannya
adalah orang-orang Bugis di wilayah Kamal Muara lebih menekankan sejarah
orang-orang Bugis yang menempati wilayah tersebut.
Said dan Prabowo mengidentifkasi orang-orang Bugis yang datang di
wilayah Kamal Muara merupakan kelompok yang memiliki pekerjaan sebagai
penangkap ikan. Mereka memperkenalkan cara menangkap ikan yang berbeda
dengan masyarakat setempat, tentu dengan hasil yang lebih banyak. Berikut salah
satu bagian dari narasi Said dan Prabowo ketika menggambarkan cara orang
Bugis menangkap ikan:
66 Suwitha, 2013, hal 98.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Awalnya, Haji Latif, asal tanah Bugis, menetap di komunitas itu pada tahun 1960-an danmembawa metode baru dalam penangkapan ikan dari Sulawesi Selatan. Dengan perahudan “bagan”-sebuah perangkap ikan- dia dapat menangkap ikan lebih banyak. Baganadalah perangkap ikan dari bambu yang mereka buat dari bentuk dalam bentuk tendamenjulang di laut. Jaring ikan dimasukkan lebih dalam ke sepanjang malam kemudianditarik di pagi hari dengan ikan hasil penjaringannya. Ikan awalnya hanya untukkonsumsi sendiri. Namun, hasil tangkapan itu berlimpah mendorong Haji Latif membuatpasar ikan yang memberikan keuntungan berlipat ganda.67
Dalam narasi di atas Said dan Prabowo secara langsung menyebut nama
informannya, tetapi apa yang menjadi pernyataan dari informan tetap dibahasakan
oleh sejarawan. Cara penarasian seperti ini merupakan bentuk ketika yang
disampaikan oleh informan menyatu dengan ujaran Said dan Prabowo.
Sebelum Said dan Prabowo menyebut aktivitas orang-orang Bugis secara
spesifik di bagian narasi itu, mereka terlebih dahulu menggambarkan orang-orang
Bugis yang lekat dengan laut pada masa lalu. Pelaut menjadi semacam identitas
yang dilekatkan oleh Said dan Prabowo pada orang-orang Bugis dalam pengantar
narasinya. Setelah itu, narasi beranjak ke pembahasan mengenai keadaan wilayah
Kamal Muara sebagai wilayah yang sesuai dengan kehidupan orang-orang Bugis
karena berada di garis pantai. Aktivitas di wilayah itu membuat orang-orang
Bugis terhubung dengan kelompok masyarakat lainnya. Menyatunya antara
pendapat informan dengan pendapat Said dan Prabowo dalam model narasi seperti
ini, terkait dengan ketika menggambarkan keadaan wilayah tersebut, mereka
berdua banyak mengandalkan data yang diambil dari pengamatan ketika
melakukan observasi maupun wawancara.
Menurut Said dan Prabowo, orang-orang Bugis tidaklah meninggalkan
aktivitasnya di laut ketika hasil tangkapan ikan semakin berkurang. Mereka justru
memanfaatkan hasil laut lainnya yang muncul karena laut sudah mulai tercemar
67 Said dan prabowo, dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
akibat perkembangan industri yang semakin banyak, sejak munculnya banyak
pencemaran pada tahun 1980-an. Hasil laut yang mereka manfaatkan adalah remis
hijau yang awalnya secara tidak sengaja tersangkut dengan galah bambu mereka
di bagan.68
Narasi Said dan Prabowo dapat dilihat ketika menggambarkan orang-orang
Bugis memanfaatkan hasil laut berupa remis hijau sebagai berikut:
Di kampung Halaman mereka. Orang-orang Bugis tidak mengolah remis hijau. Merekatidak menduga dapat menemukan metode mengolah remis hijau. Awalnya, merekamenemukan beberapa remis hijau yang menyentuh galah bambu bagan mereka.Akhirnya, mereka mempunyai ide mengembangkan remis hijau sebagai komoditi baru.mereka kemudian mengembangkan suatu metode dengan menggunakan galah bambu dilaut dan meliliti galah itu, sehingga remis hijau itu dapat tersentuh. Tali ini biasanyadisebut “tali putih”. pada dasarnya mereka harus menunggu selama lima atau enam bulanuntuk memanen remis hijau. Setelah panen mereka mempertahankan bambu dan tali ituuntuk tujuan yang sama.69
Penggalan narasi dari Said dan Prabowo itu menunjukkan bahwa dimata mereka
orang-orang Bugis yang ada di Kamal Muara tetap menunjukkan dirinya sebagai
nelayan. Dalam proses pengembangan pengolahan remis hijau tersebut menurut
Said dan Prabowo tidak hanya orang-orang Bugis yang terlibat, tetapi sudah
melibatkan kelompok masyarakat lain, termasuk keterlibatan keturunan orang
tionghoa dalam permodalan. Kelompok ini tidak terlibat langsung dalam kegiatan
produksi, karena tempat tinggal mereka tidak di Kamal Muara tetapi di kelurahan
Dadap, Tangerang dan kelurahan Tegal Alur.
Dari penjelasan yang diberikan, tampak bahwa Said dan Prabowo
menempatkan orang Bugis yang lekat dengan nelayan, maka posisi mereka dalam
penarasian menempatkan orang Bugis sebagai masyarakat bahari. Posisi seperti
itu membuat narasi mereka menguatkan penjelasan tentang orang Bugis yang
68 Said dan prabowo, Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 119.69 Said dan prabowo, Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 119.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
lekat dengan dunia bahari, sebagaimana yang dilakukan oleh Kesuma dan
Suwitha.
C.4. Narasi Badrus Sholeh tentang Bugis dan Citra Islam di Ambon
Badrus Sholeh melalui narasinya telah menujukkan bahwa orang-orang
Bugis di Ambon lekat dengan Islam.70 Bagian ini akan menelusuri narasi yang
dibuat oleh Sholeh dalam mengidentifikasi orang-orang Bugis di Ambon yang
lekat dengan keislaman. Sholeh menulis tentang “Peranan Bugis Pendatang dalam
Proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia: Kasus Sejarah Ambon.” Melalui
tulisan itu, Sholeh mengidentikkan orang-orang Bugis di Ambon dengan Islam
karena didukung oleh kegiatan perdagangan yang dijalankannya.
Sebelum membahas cara Sholeh menghubungkan perdagangan dengan
keislaman yang ada di Ambon, penting untuk melihat siapa orang-orang Bugis
yang dimaksud. Kata Bugis yang dipakai dalam tulisannya banyak disandingkan
dengan kata Makassar walaupun tidak secara konsisten. Seperti misalnya: “salah
satu kelompok pendatang yang peranannnya sangat penting di Maluku adalah
masyarakat Bugis-Makassar yang menghuni wilayah ini sebelum kedatangan
kolonialisme Eropa”.71 Pada bagian lain Sholeh menuliskan “…pengaruh peranan
pendatang Bugis bukan hanya pada islamisasi namun juga perubahan politik lokal
menjadi dipertanyakan.”72 Rupanya Bugis dan Makassar disatukan oleh Sholeh
dalam narasinya. Penegasan istilah Bugis yang dimaksud bahkan lebih khusus
dengan menghubungkan dengan Islam seperti: “Istilah Bugis dalam tulisan ini
70 Lihat tesis ini hal 70.71 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 180.72 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 181.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
ditujukan pada orang-orang Islam pendatang dari Sulawesi Selatan, dengan
perbedaan budaya satu sama lain….”73 Di sini menunjukkan bahwa sejak awal
Sholeh sudah membangun pengertian tentang orang-orang Bugis yang selalu
Islam.
Menurut Sholeh melekatnya orang-orang Bugis dengan Islam tidak lepas
dari sejarah penyebaran Islam di kepulauan Maluku, dengan perdagangan orang-
orang Bugis mencapai wilayah itu. Islamisasi terjadi di wilayah Maluku sejak
sebelum periode Kolonial. Ketika menunjukkan aktivitas perdagangan pada masa
Kolonial, Soleh tidak menyebut Bugis tapi menyebut kerajaan Makassar seperti:
“Proses Islamisasi dimulai pada periode pra-kolonial, ketika perdagangan
tembakau menjadi terkenal di wilayah Maluku. Kerajaan Islam Makassar dan
Jawa melakukan ekspansi ke Maluku untuk bersaing dengan pedagang-pedagang
China dan Eropa.74 Rupanya Kerajaan Islam Makassar yang disebutnya mewakili
orang-orang Bugis yang datang ke Maluku untuk berdagang. Aktivitas
pedagangan orang-orang Bugis di wilayah itu setidaknya sudah ramai sejak abad
ke-16. Pada narasi Sholeh dituliskan:
“Sejak abad XVI , masyarakat Bugis-Makassar telah menjadi pedagang dan migran yangpenting di kepulauan-kepulauan tetangga Maluku, Papua dan pulau lainnya. Merekamemegang peranan penting dalam melakukan perlawanan pada periode kolonial danuntuk mempertahankan Islam di kepulauan Ternate dan Ambon ”75
Sholeh dalam narasinya menarik perdagangan orang-orang Bugis jauh kebelakang
hingga abad ke-16. Diterimanya orang-orang Bugis di kepulauan Maluku juga
73 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 181.74 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 181.75 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 181.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
tidak lepas dari adanya kaitan antara kerajaan Ternate dengan kerajaan Makassar
pada abad itu.
Untuk melihat lebih jauh narasi sholeh tentang keterlibatan perdagangan
orang-orang Bugis di Ambon dan tentang kedatangan orang Bugis pada masa
Orde Baru, silahkan menyimak kutipan berikut ini:
…Masyarakat Bugis biasanya hidup di daerah pusat prekonomian dan budaya, di daerahperkotaan, pasar dan pantai. Di Kota Ambon, pedagang Bugis mendominasi pasar-pasarkecil dan tradisional dan prekonomian kelas menengah setelah dominasi kelas Chinasebagai pemegang bisnis. Dengan semangat sompe atau merantau, orang Bugismenjelmakan budaya kerja keras dan kegigihan terhadap tantangan dan kesulitan yangdihadapi.76
Menurut Sholeh, penguasaan orang-orang Bugis terhadap perdagangan ditopang
oleh semangat kerja keras yang mereka miliki. Mengakarnya pengaruh
perdagangan itu juga tidak terlepas dari periode sebelumnya. Pada masa sebelum
kemerdekaan, orang-orang Bugis bersama Jepang terlibat dalam melawan kolonial
Eropa. Hal yang sama terjadi pada masa pemerintahan Soekarno pada tahun 1950,
orang-orang Bugis terlibat meredam gejolak kelompok separatis Republik Maluku
Selatan (RMS).77 Keterlibatan seperti itulah membuat posisi orang-orang Bugis
dengan pemerintah semakin kuat yang kemudian memberi akses terhadap
kepentingan perdagangan mereka.
Narasi Sholeh tidak selalu menempatkan posisi orang-orang Bugis di
Ambon berada dalam jalur keberhasilan, mereka pernah mengalami kemerosotan
ketika terjadi konflik pada tahun 1999. Konflik tersebut terjadi kerena adanya
kesenjangan antara pendatang dengan penduduk setempat. Sholeh
mengkategorikan orang-orang Bugis ke dalam pendatang bersama orang Buton
76 Sholeh, Bakti, Andi Faisal 2010, hal 185.77 Sholeh, Bakti, Andi Faisal 2010, hal 184.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
dan Makassar atau BBM. Melalui kategori tersebut juga muncul perbedaan
identitas antara Islam dan Kristen. Orang-orang Bugis dilekatkan sebagai Islam.78
Akhirnya Sholeh menutup narasinya dengan menunjukkan bahwa orang-
orang Bugis yang identik dengan Islam menguasai perdagangan di pasar
tradisional dan mereka mengalami perubahan setelah konflik pada tahun 1999.79
Mereka semakin mendapat saingan dari kelompok masyarakat setempat. Dari cara
menutup narasinya seperti itu, dapat dilihat bahwa Sholeh tetap mengidentifikasi
orang-orang Bugis dengan menyamakan dengan Islam.
D. Aktor sejarah dan sejarawannya dalam narasi sejarah
Di bagian bab III bagian C telah dibahas bagaimana sejarawan
menghadirkan individu dalam setiap narasi. Bagian itu membahas peran dari
kelompok bangsawan dalam setiap peristiwa yang dihadirkan oleh sejarawan.80
Dalam pembahasan itu bangsawan terlihat memiliki peran yang cukup penting
dalam narasi terutama yang dihadirkan oleh Kesuma. Bagian ini akan membahas
aktor sejarah dan tindakannya yang dihadirkan oleh setiap sejarawan dalam
narasinya.
Dalam narasi Kesuma, Opu Daeng Rilakka menjadi tokoh penting bagi
keberadaan orang-orang Bugis di Tanah Melayu. Dia bersama kelima putranya
yang bernama Opu Daeng Parani, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng Marewa,
Opu Daeng Cella’, dan Opu Daeng Kamase, menjadi aktor utama. Kesuma
menghadirkan mereka dalam narasinya karena memiliki peran dalam keberadaan
78 Sholeh, Bakti, Andi Faisal 2010, hal 185.79 Sholeh, Bakti, Andi Faisal 2010, hal 189.80 Lihat bab III bagian D.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
orang-orang Bugis di Tanah Melayu. Seperti disebutkan sebelumnya, menurut
Kesuma mereka berasal dari kalangan bangsawan.81 Cara Kesuma membangun
argumentasinya untuk menunjukkan bahwa Opu Daeng Rilakka merupakan
bangsawan adalah dengan menelusuri silsilahnya. Kesuma menggunakan silsilah
di tanah rantau dan silsilah yang berasal dari kerajaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan. Selain legitimasi kebangsawanan yang dihadirkan oleh Kesuma, juga
penting untuk melihat peran yang dihadirkan oleh Kesuma atas kelima putra Opu
Daeng Rilakka.
Kesuma menuliskan bahwa Opu Daeng Marewa memerintah di Riau dengan
gelar Yamtuan Muda Riau I. Wilayah Riau merupakan pemberian dari Sultan
Sulaiman, setelah orang-orang Bugis membantu Kerajaan Johor dari serangan
pasukan Raja Kecil dari Siak. Sementara Opu Daeng Calla’ dan Opu Daeng
Parani dirangkul masuk kedalam kekuasaan Johor dengan cara mengawinkan
dengan putri-putri bendahara Abdul Jalil IV yang merupakan saudara dari Sultan
Sulaiman. Opu Daeng Calla’ melanjutkan kekuasaan Opu Daeng Marewa dengan
gelaran Yamtuan Muda Riau II.82 Berbeda dengan saudaranya yang lain Opu
Daeng Manambung dan Opu Daeng Kamase tidak disinggung lagi oleh Kesuma
dalam narasinya.
Rupanya Kesuma menghadirkan pelaku sejarah dalam narasinya ketika
orang itu dianggap penting dan memiliki keterkaitan dengan kekuasaaan. Hal itu
terlihat kembali ketika Kesuma menuliskan peran putra dari Opu Daeng Parani
yang bernama Opu Daeng Kamboja ketika diangkat menjadi Yamtuan Muda Riau
81 Lihat bab III D.82 Kesuma, 2004, hal 119.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
III menggantikan Opu Daeng Marewa pada tahun 1745.83 Kesuma juga
menuliskan pengganti dari Opu Daeng Kamboja yang bernama Raja Haji dengan
gelaran Yamtuan Muda Riau IV.84
Cara Kesuma menghadirkan aktor sejarah dalam narasinya yang
menekankan pada peran kelompok bangsawan. Kelompok yang dianggap
memiliki kemampuan memimpin dalam masyarakat Bugis. Cara Kesuma
mengatur bukti untuk melegitimasi kelompok bangsawan sebagai pemimpin
dengan cara silsilah Opu Daeng Rilakka dihubungkan dengan kelompok
bangsawan yang ada di wilayah asal orang Bugis. Cara penarasian seperti ini
menurut White merupakan bentuk ketika kepentingan politik sejarawan bekerja.85
Kepentingan politik Kesuma dalam hal ini adalah bahwa kekuasaan harus berada
ditangan bangsawan. Kesuma sebagai orang yang berasal dari keluarga
bangsawan memiliki kepentingan untuk melegitimasi pernyataan tentang
pemimpin berasal dari kelompok bangsawan. Posisi Kesuma jelas berada dalam
membela kelompok bangsawan yang memiliki legitimasi kekuasaan bagi orang
Bugis di daerah perantauan.
Sementara Suwitha ketika menarasikan keberadaan orang-orang Bugis di
Bali hanya menyebut beberapa nama sebagai aktor sejarah. Suwitha menyebut
nama Pattimi yang menjabat sebagai syahbandar Loloan dan Puak Matuwa
sebagai syahbandar di Serangan.86 Akan tetapi apa yang dikerjakan oleh Pattimi
83 Kesuma, 2004, hal 124.84 Kesuma, 2004, hal 125.85 Munslow Alun, 1997, 147.86 Suwitha, 2013, hal 95.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
dan Puak Matuwa tidak dijelaskan lebih detail, Suwitha hanya menyebut peran
syhabandar secara umum.
Suwitha menjelaskan peran syahbandar dengan menganggap mewakili tugas
syahbandar yang dijabat oleh orang Bugis. Selain tidak membahas secara khusus
apa yang dilakukan oleh Pattimi dan Puak Matuwa selama menjadi syahbandar
kedua orang ini Suwitha juga tidak menelusuri asal usulnya.
Suwitha juga tidak menyebut secara khusus nama tokoh terdapat di bagian
lain dari narasinya. Misalnya, ketika menjelaskan peran militer orang-orang Bugis
dalam kerajaan-kerajaan di Bali, Suwitha tidak menyebut nama tokoh Bugis satu
pun. Suwitha hanya menyebut orang-orang Bugis tanpa menyebut nama salah satu
diantara mereka. Hal berbeda terlihat keitka Suwitha dengan detail menulis nama
setiap penguasa Bali di masa itu. Perbedaan itu dapat dijelaskan dengan melihat
sumber yang digunakan oleh Suwitha yang merujuk pada prasasti puri gede
Jembrana,87 perasasti yang dibuat oleh penguasa Bali.
Cara penarasian Suwitha yang tidak banyak menunjukkan peran individu
orang Bugis dalam narasinya, membuat posisi Suwitha terlihat lebih berpihak ke
masyarakat Bali. Posisi itu dapat dijelaskan dengan melihat asal dari Suwitha
yang berasal dari masyarakat Bali sendiri. Dalam penggunaan sumber Suwitha
terlihat memiliki akses lebih luas terhadapat sumber-sumber yang berasal dari
Bali dibandingkan yang berasal dari masyarkat Bugis sendiri. Kesulitan itulah
yang dialami oleh Suwitha untuk menelusuri asal-usul orang Bugis yang ada di
87 Suwitha, 2013, hal 98.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Bali. Dari keseluruhan narasinya sepertinya usaha untuk kesana tidak ada, dia
hanya berhenti pada pengidentifikasian sebagai orang Bugis.
Dalam narasi Said dan Prabowo aktor sejarah tidak memiliki cukup ruang,
dia hanya menyebut satu tokoh yang bernama Haji Latif. Said dan Prabowo
menghadirkan dalam narasinya karena mengangap generasi pertama yang datang
di daerah Kamal Muara. Penamaan aktor sejarah oleh Said dan Prabowo
menggunakan bentuk yang lebih umum dengan penyebutan orang Bugis.
Sementara dalam narasi Sholeh aktor sejarah lebih sering menggunakan kata
orang Bugis. Dia hanya menyebut satu individu sepanjang narasi sejarahnya.
Sholeh hanya menyebut satu tokoh yaitu Syaikh Yusuf Al-Makassary. Tokoh
tersebut dianggap mejadi contoh orang Bugis yang merantau dan terkenal
diperantauan. Tokoh dalam peristiwa yang dinarasikan oleh sholeh bahkan tidak
dimunculkan. Sepertinya Sholeh yang membahas konflik di Ambon merupakan
isu yang sensitif menjadi alasan bagi Sholeh sehingga tidak menyebut banyak
aktor sejarah dalam narasinya.
E. Rangkuman
Sejarawan dalam narasi sejarah perantau Bugis berada pada posisi yang
berbeda dalam penarasiannya. Posisi yang berbeda itu ternyata memiliki satu alur
narasi yang sama, mereka membangun alurnya mengikuti proses perjalanan
perantauan. Semua sejarawan memiliki kesamaan alasan tentang keadaan tanah
kelahiran yang tidak menentu karena perang, tetapi dengan penarasian yang
berbeda. Semua narasi mengacu pada Perang Makassar yang terjadi pada abad ke-
17. Penggambaran mereka berbeda ketika menarasikan keadaan orang Bugis di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
tanah rantau. Kesuma menarasikan orang Bugis di Johor identik dengan
kekuasaan. Suwitha menarsikan orang Bugis di Bali lekat dengan perdagangan.
Said dan Prabowo menarasikan orang Bugis di Kamal Muara sebagai nelayan.
Sholeh menarasikan orang Bugis di Ambon identik dengan Islam.
Kesuma dalam narasinya cenderung melegitimasi keberadaan orang Bugis
di Johor yang lekat dengan kekuasaan. Caranya dengan menghadirkan beberapa
silsilah kerajaan Bugis sebagai legitimasi kebangsawanan terhadap tokoh sejarah
yang dihadirkan dalam narasinya. Posisi seperti itu tidak ditemukan dalam tiga
narasi lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
BAB VPENUTUP
Berbagai penilaian tentang perantau Bugis muncul dari setiap tempat yang
menjadi tujuan perantauan, maupun yang muncul di tanah kelahirannya. Hal ini
tidak lepas dari narasi sejarah yang membentuknya. Melalui narasi sejarah kita
menelusuri persebaran orang-orang Bugis di berbagai tempat. Tesis ini
memaparkan narasi sejarah tentang perantau Bugis. Ada dua pertanyaan yang
berusaha dijawab melalui tesis ini, yaitu (1) Bagaimana perantau Bugis
direpresentasikan dalam narasi sejarah? (2) Bagaimana posisi sejarawan dalam
proses penarasian sejarah perantau Bugis?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut tesis ini menggunakan metode
penelitian narasi sejarah yang dikembangkan oleh Hayden White, sebagaimana
yang dijelaskan pada kerangka teori. Ada empat teks sejarah yang dianalisa pada
penelitian yakni, pertama, buku yang berjudul Migrasi Dan Orang Bugis, yang
ditulis oleh Andi Ima Kesuma. Kedua, buku yang berjudul Perahu Pinisi di
Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali sekitar Abad XIX
yang ditulis oleh I Putu Gede Suwitha. Ketiga, teks yang berjudul “Akulturasi
Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara”,
tulisan ini ditulis oleh Mashadi Said dan Hendro Prabowo. Keempat, teks dengan
judul “Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia:
Kasus Konteks Sejarah Ambon” yang ditulis oleh Badrus Sholeh.
Tulisan-tulisan sejarah tersebut di atas merupakan tulisan-tulisan sejarah
ilmiah yang lahir dari tangan akademisi. Teks sejarah seperti itu lahir tidak lepas
dari perkembangan historiografi Bugis. Sebagaimana yang kita lihat di bab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
sebelumnya, penulisan lontaraq yang berkembang di kerajaan-kerajaan Bugis
merupakan bentuk historiografi paling tua yang dimiliki masyarakat Bugis.
Naskah seperti itu mencatat berbagai kejadian di sekitar istana yang dalam
perkembangannya menjadi sumber utama dalam penulisan sejarah Bugis. Catatan
perjalanan orang Eropa dan tulisan bekas pegawai pemerintahan hindia Belanda
ikut mewarnai perkembangan historiografi Bugis. Dikenalnya penulisan sejarah
ilmiah sebagaimana dari empat empat karya yang dibahas oleh akademisi
merupakan bentuk terakhir dari historiografi masyarakat Bugis. Pola penulisan
sejarah seperti itu juga terjadi dalam penulisan sejarah perantau Bugis. Bugis yang
dimaksud yang terkhir ini merupakan kelompok orang Bugis yang hidup di luar
daerah asalnya.
Bentuk representasi perantau Bugis yang dihadirkan para sejarawan dari
narasi di atas, mengikuti pola perjalanan orang Bugis dari kampung halamannya
menuju tanah rantau. Dimulai sejak masih berada di tanah kelahiran hingga
berada di tanah rantau. Reprensentasi pertama berupa realitas keadaan tanah
kelahiran yang tidak menentu. Kondisi itu menjadi alasan yang diungkapkan oleh
setiap sejarawan dalam narasinya, ketika menjelaskan orang-orang Bugis yang
meninggalkan tanah kelahirannya. Menurut narasi-narasi sejarah yang dibahas
dalam tesis ini, ada dua penyebab mengapa tanah kelahiran orang Bugis menjadi
kacau. Pertama, disebabkan karena perang. Kedua, berkaitan dengan tradisi harga
diri masyarakat yang sering kali harus berbenturan dengan penguasa setempat.
Terkait dengan perang di atas, perang yang dimaksud oleh sejarawan yang
dibahas adalah alasan Perang Makassar yang terjadi pada abad ke-17.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Representasi kedua yang disampaikan oleh sejarawan diatas berupa spirit
bahari yang dimiliki oleh orang Bugis, menjadi legitimasi perantauan menurut
sejarawan. Spirit bahari tersebut lahir dari cerita rakyat yang mereka miliki. Tidak
hanya itu, kemampuan dan keterampilan pelayaran menjadi bagian kehidupan
orang Bugis untuk mencapai tujuan, juga dihadirkan dalam narasi sejarah.
Representasi terakhir adalah kehidupan di tanah rantau. Ada empat wilayah
tujuan perantau Bugis yang dibahas oleh setiap sejarawan berdasarkan narasi
mereka, yaitu wilayah Johor, Bali, Kamal Muara pesisir pantai Jakarta utara dan
Ambon. Di empat tempat itu memiliki karakter yang berbeda.
Hal lain yang juga dibahas dalam tesis ini adalah melihat bagaimana
sejarawan menghadirkan aktor sejarah pada narasi meraka. Dalam melihat
kehadiran aktor sejarah dan sejarawannya, penelitian ini menggunakan konsep
individu sebagaimana yang dibahas pada kerangka teori berdasarkan pemikiran
Hayden White. Setelah membahas aktor sejarah mengantarkan kita lebih jauh
menelusuri posisi sejarawan dalam proses penarasiannya.
Kesuma dalam menarasikan perantau Bugis di Johor menulis bahwa sejak
kedatangan orang Bugis di wilayah itu selalu terlibat dalam perebutan kekuasaan.
Opu Daeng Rilakka merupakan orang Bugis di Johor yang ditelusuri dalam narasi
Kesuma. Menurut Kesuma orang inilah bersama kelima putranya yang ikut
terlibat dalam perebutan kekuasaan di Johor sehingga orang Bugis berada dalam
pusaran kekuasaan Johor. Kekuasaan orang Bugis diwilayah itu merosot saat
Belanda melakukan serangan dan menguasai wilayah itu. Akan tetapi walaupun
kekuasa orang Bugis akhirnya hilang di wilayah itu, Kesuma mengklaim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
keturunan orang Bugis masih bagian dari kesultanan Johor hingga penelitiannya
selesai.
Suwitha dalam menarasikan perantau Bugis di Bali menunjukkan bahwa
orang Bugis di wilayah itu identik dengan perdagangan. Ada tiga alasan yang
diungkapkan oleh Suwitha untuk menguatkan pejelasannya. Pertama, orang Bugis
yang ada di Bali memiliki akses ke dunia luar karena memiliki perahu sebagai
moda transportasi dan cenderung bermukim di pesisir pantai. Kedua, orang Bugis
memiliki akses terhadap komoditas yang diperdagangan di wilayah itu. ketiga,
orang Bugis memiliki kedekatan dengan penguasa setempat.
Sementara Said dan Prabowo menarasikan orang Bugis di Kamal Muara,
Pesisir Pantai Jakarta Utara yang lekat sebagai pelaut. Sejak kedatangannya,
aktivitas orang-orang Bugis ditempat itu sebagai penangkap ikan. Wilayah itu
awalnya hanya sebagai tempat persinggahan tetapi lama kelamaan dijadikan
sebagai tempat bermukim. Dalam perkembangannya kemudian, Said dan
Prabowo melihat bahwa orang-orang Bugis akhirnya mampu mengolah berbagai
hasil laut di wilayah itu.
Terakhir, Badrus Sholeh ketika menarasikan orang Bugis di Ambon selalu
dilekatkan dengan Islam. Orang Bugis selalu disamakan dengan Islam yang
datang dari Sulawesi. Orang Bugis di wilayah Ambon dan sekitarnya dapat
berkembang karena didukung oleh kegiatan perdagangan yang mereka lakukan.
Setidaknya aktivitas orang-orang Bugis diwilayah itu sudah ada sejak abad ke 16.
Pilihan-pilihan narasi yang dihadirkan oleh setiap sejarawan di atas
memberi penegasan terhadap pandangan Hayden White, yang mengatakan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
setiap individu (dalam hal ini sejarawan) memiliki kebebasan untuk menentukan
masa lalu yang dipilih. Pilihan-pilihan tersebut terlihat pada keempat narasi yang
dibahas sebelumnya, salah satunya narasi Kesuma yang melekatkan perantau
Bugis dengan di Johor. Dengan menelusuri cara setiap sejarawan menghadirkan
pilihan-pilihannya dalam narasi sejarah perantau Bugis, penelitian ini berusaha
membangun sebuah keritik Historiografi. Kritik itulah yang mengantarkan
penelitian ini untuk melihat posisi setiap sejarawan yang dibahas.
Melalui kesimpulan ini, penelitian ini berusaha mengantarkan kita supaya
lebih bisa membuka ruang dan memberi jeda untuk melihat kembali berbagai
macam historiografi yang ada. Hal itu penting supaya memberi jalan kepada kita
untuk memikirkan ulang bentuk historiografi yang paling sesuai untuk setiap
kelompok masyarakat Indonesia, termasuk historiografi nasional. Diharapkan
penelitian ini memberi konstribusi nyata di tengah kerumitan persoalan
historiografi yang kita miliki selama ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal, 1983, Persepsi Orang Bugis, Makassar Tentang Hukum,
Negara, Dan Dunia Luar, Bandung, Alumni
Abidin, Andi Zainal, 1985, Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah
Terpendam Dari Sulawesi Selatan Dari Lontara, Bandung, Alumni.
Abidin, Aslan, 2008, “Merantau Sebagai Bentuk Perlawanan Suku Bugis”, dalam
Jurnal Wacana, Gerakan Budaya: Antara Penghianatan Dan Gerakan
Budaya, edisi 24 Tahun VIII 2008
Ambo Enre, Fachruddin, 1999, Ritumpana Welenrengnge: Sebuah Episode Sastra
Bugis Klasik Galigo, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Andaya, Leonard Y., 2004, Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan
Abad ke-17, Makassar, Ininnawa.
Anderson, Kathryn Gray, 2003, The Open Door: Early Modern Wajorese
Statecraft and Diaspora. Disertasi Universitas of Hawai
Asba, A. Rasyid, 2010, Gerakan Sosial di Tanah Bugis: Raja Tanete Lapatau
Menentang Belanda,Yogyakarta, Ombak.
, 2010, Kerajaan Nepo: Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistem Politik
Tradisional Bugis Di Kabupaten Barru,Yogyakarta, Ombak Cense, A.A,
1972, Beberapa Tjatatan mengenai penulisan sedjarah Makassar-Bugis,
Jakarta, Bharata.
Bakti, Andi Faisal, 2010, Diaspora Bugis di Alam Melayu, Makassar: Ininnawa
Barthes, Roland, 1989, The Rustle of Language, California, Universitas California
Press,California.
Cense, A.A. 1972, Beberapa Tjatatan mengenai penulisan sedjarah Makassar-
Bugis, Jakarta, Bharata.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Druce, Stephen C, 2009, The Lands West of the Lakes: A history of the
Ajatappareng Kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE,” Leiden,
KITLV press,
Gonggong Anhar, 2004, Abdul Qahar Mudzakkar, dari Patriot Hingga
Pemberontak, Yogyakarta, Ombak.
Hamid, Abu, 2004, Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis, Makassar: Pustaka
Refleksi
Kartodirjo Sartono,1959, Tjatatan Tentang Segi-Segi Messianistis Dalam Sejarah
Indonesia, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.
Kern, R.A., 1993, La Galigo, yogyakarta, Gadjah Mada University Press,
Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta: Ombak
Latif, Abd, 2014, Para Penguasa Ajattapareng, Refleksi Sejarah Sosial Politik
Orang Bugis, Jogjakarta, Ombak,
Mattulada, 1995, Latoa, Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis, Ujung pandang, Hasanuddin University Press.
Mattulada, 1982, Makassar dalam Sejarah 1510-1700. Bhakti Baru.
Munslow, Alun, Deconstructing History, London danNew York, Routledge, 1997
Pancana Toa, Arung, 1995, I La Galigo, Menurut Naskah NBG 188,Jakarta,
Jembatan.
, 2000, I La Galigo jilid II, Menurut Naskah NBG 188, Makassar,
Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi
Selatan, Makassar, PUSKIT dan Lephas.
, 1993, Sejarah Gowa, Ujung Pandang, Yayasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Paul, Herman, 2011, “Hayden White the Historical Imagination”. Polity Press.
Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar,
Philpott, Shimon, 2003,Meruntuhkan Indonesia: Politik Postcolonial Dan
Otoritarianisme, Yogyakarta, Lkis.
Poelinggomang, Edward L, 2002, Makassar abad XIX: Studi Tentang Kebijakan
Perdaganagn Maritim, Jakarta, KPG
Purwanto, Bambang dan Warman Adam, Asvi, 2005, Menggugat Historiografi
Indonesia, Yogyakarta, Ombak
Rahman, Nurhayati, 2003, La Galigo: Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia,
Makassar, Pusat studi La Galigo, Devisi ilmu Sosial dan Humaniora Pusat
Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin.
Robinson, Kathryn dan Paeni, Mukhlis dkk, 2005, Tapak-Tapak Waktu, Sejarah,
Kebudayaan, Dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan, Makassar:
Ininnawa
Roosa John, 2008, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto, Jakarta, Hastra Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Soedjatmoko dkk (ed), 1995, Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta,
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Suwitha, I Putu Gede, 2013, Perahu Pinisi di Pesisir Dewata, Denpasar, Pustaka
Larasan
Tobing, PH.O.L., 1977, Hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa,
Ujung Pandang, Yayasan Kebudayaan sulawesi selatan.
Tol, Roger dkk, 2009, Kuasa Dan Usaha Di Masyarakat Sulawesi Selatan,
Makassar, Ininnawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
White, Hayden. (1984). ‘The Question Of Narrative In Contemporary Historical
Theory”, History and Theory, Vol. 23, No. 1 Published by: Blackwell
Publishing for Wesleyan University, URL:
http://www.jstor.org/stable/2504969
White, Hayden. (1987), The Conten of the form, Baltimore dan London, The
Johns Horpkins University Press.
, 1975, Metahistory: The Historical Imagination In Nineteenh-Century
Europe”. Johns Hopkins University Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
LAMPIRAN
Peta Johor
Sumber: Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta:
Ombak, hal 90
Sumber: Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta:Ombak, hal. 114.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Peta Bali
Sumber:https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fsultansinindonesieblog.files.
Sumber:https://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F2.bp.blogspot.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Peta Ambon:
Sumber: http://fatahillasia.blogspot.com/2015/05/peta-pulau-ambon.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Recommended