View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PERANCANGAN TATA LETAK DAN KEBUTUHAN APAR DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN
DI GEDUNG MEDIK RS. ST CAROLUS JAKARTA
TAHUN 2019
SKRIPSI
Marianus Paskalis Naru
NIM : 031721011
PROGRAM STUDI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS BINAWAN
JAKARTA
2019
PERANCANGAN TATA LETAK DAN KEBUTUHAN APAR DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN
DI GEDUNG MEDIK RS. ST CAROLUS
TAHUN 2019
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Oleh:
Marianus Paskalis Naru
NIM : 031721011
PROGRAM STUDI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS BINAWAN
JAKARTA
2019
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Binawan, saya yang bertanda
tangan di bawah ini :
Nama : Marianus Paskalis Naru
NIM : 031721011
Program Studi : Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Binawan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-
Exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
PERANCANGAN TATA LETAK DAN KEBUTUHAN APAR DALAM
UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN DI GEDUNG MEDIK RUMAH
SAKIT ST. CAROLUS JAKARTA TAHUN 2019 Beserta perangkat yang
ada (apabila diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Binawan berhak
menyimpan, menggalih media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk
pangkalan data (database), mendistribusikan -nya, dan menampilkan/
tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Segala
bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam
karya ilmiah ini menjadi tanggung jawab saya pribadi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Jakarta Pada Tanggal 9 Juli 2019
Yang menyatakan:
Marianus Paskalis Naru
iii
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Marianus Paskalis Naru, Amd.Rad
Tempat/Tanggal Lahir : Ende, 17-03-1994
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Khatolik
Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat : Jl. Jakarta Timur.
Telepon : 081235803104
Email : rarond1703@gmail.com
Riwayat Pendidikan
1. Tahun 2000 – 2006 : SDK SANTA THERESIA ENDE 3
2. Tahun 2006 – 2009 : SMP NEGERI 1 ENDE
3. Tahun 2009 – 2012 : SMA NEGERI 1 ENDE
4. Tahun 2012 – 2015 : ATRO Nusantara Jakarta
5. Tahun 2017 – 2019 : Universitas Binawan
Riwayat Pekerjaan
1. Tahun 2015 – Sekarang : Rs. St. Carolus Jakarta
2. Tahun 2017 – 2018 : KLINIK HI-LAB Jakarta
Motivasi : Tetap berkarya selagi masih ada
kesempatan
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan baik.
Penulisan skripsi ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah
satu syarat menyelesaikan perkuliahan Program Studi Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) di Universitas Binawan. Dalam perjalanan penelitian
skripsi ini, peneliti banyak mendapat bantuan serta bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sangat berterima kasih kepada
kedua orang tua, pembimbing akademik, dosen Prodi K3, pembimbing
lapangan dan pihak pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
perkuliahan Program Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di
Universitas Binawan. Selama menyusun skripsi ini, peneliti telah banyak
mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik bantuan
moril maupun materil. Oleh karena itu peneliti ingin berterima kasih
sebesar- besarnya kepada:
1. Kedua orangtua saya, Bapak Drs. Andreas Kosmas Kugu dan Mama
Petronela Bhoki atas dukungan moril dan materil yang telah diberikan
serta motivasinya.
2. Adik saya, Maria Cyntia Andriani Dhone dan Kristiano Andriano Teko
yang selalu memberikan dukungan.
3. Teman Hidup Stephania Asty Waju yang selalu memberikan
bantuan, motivasi dan juga dukungan doa kepada penulis
4. Bapak Husen, SST.K3, M.Si, selaku Kepala Program Studi K3
Universitas Binawan sekaligus Dosen Pembimbing saya.
5. Ibu Lulus Suci H, S.Kom, M.si selaku Pembimbing Akademik
6. Bapak Ir. Christofel P. Simanjuntak, M.Si dan Bapak Sri Purwadi, ST.
M.Si selaku penguji sidang skripsi saya.
7. Dr. Rita Ingewaty, MKK selaku pembimbing lapangan Sekaligus
vi
kepala K3 RS. St. Carolus Jakarta
8. Pak Daud Selaku kepala Sekuriti RS. St. Carolus Jakarta yang telah
memberikan gambaran maupun info tentang kondisi APAR di RS. St.
Carolus Jakarta
9. Mas Niko selaku Staff PTB yang telah memberikan bantuan denah
lokasi Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta
10. Seluruh Dosen, Staff dan Karyawan Universitas Binawan yang telah
memberikan ilmu, wawasan dan pengalaman kepada penulis selama
ini.
11. Teman-teman dan rekan kerja di radiologi RS. St. Carolus Jakarta
yang telah memberikan bantuan doa dan juga motivasi kepada
penulis
12. Bapak Endratmo dan juga Ibu Sri Uning selaku PJ. Radiologi RS. St.
Carolus Jakarta yang telah memberikan waktu dan juga dukungan
sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan di Universitas
Binawan
13. Sahabat terbaik di Ultraman Latief, Tika, Royhan, Nisa, Intan, Taufik,
Didit, Ansori, Laeli, dan Weni yang selalu memberikan bantuan dan
juga motivasi kepada penulis selama penulis menjalankan
perkuliahan
14. Teman – teman program B jurusan K3 Universitas Binawan yang
selalu mendukung dan juga memberikan bantuan selama penulis
menjalankan perkuliahan
Peneliti sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
baik dari segi penulisan maupun penyampaian materi. Maka dari itu kritik
dan saran sangat dibutuhkan penulis agar pada penulisan skripsi
selanjutnya dapat lebih baik lagi.
Besar harapan peneliti agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan dapat menjadi referensi penulisan laporan lainnya.
Jakarta, Juli 2019
Peneliti
vii
ABSTRAK
Nama : Marianus Paskalis Naru
Prodi : Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Judul : Perancangan Tata Letak APAR dan Kebutuhan APAR dalam upaya pencegahan kebakaran di Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta tahun 2019
Latar Belakang :
Kebakaran merupakan suatu peristiwa oksidasi dimana bertemunya tiga unsur kebakaran yakni bahan yang dapat terbakar, oksigen yang terdapat di udara, dan panas yang dapat berakibat menimbulkan kerugian harta benda dan cidera bahkan kematian manusia. Oleh karena itu, untuk mengatasi tinggi nya resiko kebakaran, perlu di upayakan pencegahan dalam rangka untuk meminimalisir terjadinya kebakaran. Di Indonesia pernah terjadi kebakaran tepatnya di tahun 2017 di Rumah Sakit St. Carolus Jakarta. Kebakaran ini terjadi di bagian laundry yang disebabkan oleh aliran korsleting listrik di bagian atap mesin pengering. Berdasarkan informasi terdapat beberapa Alat Proteksi yang tidak berfungsi dengan baik.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui jumlah kebutuhan dan tata letak APAR di Gedung Medik RS. St Carolus Jakarta dan melakukan perancangan kebutuhan dan tata letak APAR sesuai standar PERMENAKER RI. No. Per. 04/MEN/1980 dan NFPA 10 tahun 2013.
Hasil: Berdasarkan hasil observasi dan wawancara jumlah kebutuhan APAR masih sangat minim dan Tata letak APAR di Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta belum sesuai peraturan yang berlaku serta rata-rata karyawan di Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta belum mendapatkan pelatihan tentang penggunaan APAR. Sehingga di lakukan Perancangan kebutuhan dan Tata letak APAR di Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta sesuai peraturan PERMENAKER No.04 tahun 1980 dan NFPA 10 tahun 2013 dan di peroleh Total APAR untuk Gedung medik 45 unit yang di letakkan sesuai dengan jenis dan klasifikasi kelas kebakaran yang sesuai.
Simpulan : Dari hasil perancangan kebutuhan APAR dan Tata letak APAR di peroleh total APAR untuk Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta berjumlah 45 unit yang di letakkan di berbagai titik dengan jenis dan klasifikasi yang sesuai peraturan PERMENAKER No.04 tahun 1980 dan NFPA 10 tahun 2013 dan dari hasil wawancara diperoleh hasil bahwa karyawan di Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta belum mendapatkan pelatihan APAR. Kata kunci : Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta, Kebutuhan APAR, Tata
Letak APAR
viii
ABSTRACT
Name : Marianus Paskalis Naru
Study Program : Occupational Health and Safety
Title : The Design of Fire Extinguisher Layout and Fire Extinguisher Needs in fire prevention efforts at the medical buiding. St. Carolus Hospital Jakarta in 2019
Background :
Fire is an oxidation event where the meeting of three fire elements, namely combustible material, oxygen in the air, and heat which can result in loss of property and injury and even human death. Therefore, to overcome the high risk of fire, prevention must be sought in order to minimize the occurrence of fires. In Indonesia there was a fire in 2017 at the St. Carolus Hospital Jakarta. This fire occurred in the laundry section caused by the flow of electrical short circuit on the roof of the drying machine. Based on information, there are several Protection Devices that are not functioning properly.
Method: This study was conducted using descriptive analytical research method using a qualitative approach that aims to determine the number of needs and layout of the Fire Extinguisher at the Hospital Medical Building. St Carolus Jakarta and do the design and layout of Fire Extinguisher according to the PERMENAKER RI standard. No. Per. 04 / MEN / 1980 and NFPA 10 2013.
Results: Based on the results of observations and interviews, the number of Fire Extinguisher needs is still very minimal and the Fire Extinguisher layout is in the Medical Building. St. Carolus Hospital Jakarta has not yet complied with the applicable regulations and the average employee at the Medical Building. St. Carolus Hospital Jakarta has not received training on the use of APAR. So the design of the needs and layout of the Fire Extinguisher was done at the Medical Building. St. Carolus Hospital Jakarta according to PERMENAKER regulation No. 04 of 1980 and NFPA 10 of 2013 and obtained Total Fire Extinguisher for the Medical Building 45 units placed according to the type and classification of the appropriate fire class.
Conclusion: From the results of the design of Fire Extinguisher requirements and Fire Extinguisher layout, the Fire Extinguisher was obtained for the Medical Building. St. Carolus Hospital Jakarta numbered 45 units placed at various points with the type and classification according to PERMENAKER regulation No. 04 of 1980 and NFPA 10 in 2013 and from the results of interviews obtained results that employees at the has not received Fire Extinguisher training.
Keywords: Medical Building. St. Carolus Hospital Jakarta, Fire Extinguisher Needs, Fire Extinguisher Layout.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 4
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................. 4
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 7
2.1 Teori Api ................................................................................... 7
2.1.1 Defenisi Api .................................................................... 7
2.1.2 Struktur Api ..................................................................... 8
2.1.3 TeoriSegitigaApi ............................................................ 9
2.1.4 Teori Tetrahedron Api .................................................... 10
2.1.5 Proses Penjalaran Api .................................................... 11
2.1.6 Teori Pemadaman Api .................................................... 12
2.2 Teori Kebakaran ........................................................................ 13
2.2.1 Definisi Kebakaran ......................................................... 13
x
2.2.2 Proses Pengembangan Kebakaran ................................ 14
2.2.3 Bentuk Kebakaran .......................................................... 16
2.2.4 Proses Terjadinya Penyalaan ......................................... 17
2.2.5 Klasifikasi Kebakaran ..................................................... 19
2.2.5.1 Klasifikasi Kebakaran NFPA ............................... 20
2.2.5.1 Klasifikasi Kebakaran Indonesia ......................... 21
2.2.6 Klasifikasi Kebakaran Sesuai Jenis Tempat Kerja ......... 21
2.2.7 Klasifikasi Tingkat Potensi Bahaya Kebakaran .............. 24
2.3 Teori Proteksi Kebakaran ......................................................... 26
2.3.1 Defenisi Sistem Proteksi Kebakaran .............................. 26
2.3.2 Sistem Proteksi Pasif ..................................................... 27
2.3.3 Sistem Proteksi Aktif ...................................................... 28
2.4 Teori APAR ............................................................................... 29
2.4.1 Defenisi APAR ................................................................ 29
2.4.2 Jenis-jenis APAR ............................................................ 30
2.4.2.1 Jenis APAR Menurut OSHA ............................... 30
2.4.2.2 Jenis APAR Menurut PERMENAKER ................ 33
2.4.3 Tipe Konstruksi APAR .................................................... 33
2.4.4 Penandaan dan Pengenalan .......................................... 34
2.4.5 Perhitungan APAR ......................................................... 35
2.4.6 Penempatan APAR ........................................................ 36
2.4.6.1 Penempatan APAR menurut PERMENAKER .... 36
2.4.6.2 Penempatan APAR menurut NFPA 10 ............... 37
2.4.7 Penempatan APAR di Gedung menurut NFPA 10 ......... 41
2.4.8 Inspeksi APAR ............................................................... 41
2.4.9 Pemeliharaan APAR ...................................................... 42
2.4.10 Tanda APAR .................................................................. 42
2.5 Kerangka Teori ......................................................................... 44
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................... 45
3.1 Kerangka Konsep ..................................................................... 45
3.2 Jenis dan Rancangan Penelitian ............................................... 46
3.3 Objek Penelitian ........................................................................ 46
xi
3.4 Defenisi Operasional ................................................................. 46
3.5 Sumber Data Penelitian ............................................................ 47
3.5.1 Data Primer ...................................................................... 47
3.5.2 Data Sekunder ................................................................. 47
3.6 Instrumen Penelitian ................................................................. 47
3.7 Pengumpulan Data ................................................................... 48
3.7.1 Teknik Pengumpulan Data ............................................... 48
3.8 Metode Analisa Data ................................................................. 49
3.9 Jadwal Penelitian dan Lokasi Penelitian ................................... 49
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 50
4.1 Hasil Penelitian ......................................................................... 50
4.1.1 Profil Rumah Sakit .......................................................... 50
4.1.1.1 Data Umum ........................................................ 50
4.1.1.2 Struktur Organisasi ............................................. 52
4.1.1.3 Struktur Organisasi Komite K3 Rumah Sakitt ..... 53
4.1.1.4 Logo Rumah Sakit .............................................. 53
4.1.2 Struktur dan Konstruksi Gedung Medik .......................... 54
4.1.2.1 Luas dan Tinggi Gedung .................................... 54
4.1.2.2 Klasifikasi Bangunan .......................................... 54
4.1.2.3 Klasifikasi Potensi Bahaya Kebakaran ............... 54
4.1.2.4 Konstruksi Gedung ............................................. 55
4.1.3 Hasil Observasi .............................................................. 55
4.1.3.1 Jenis APAR di Gedung Medik ............................ 55
4.1.3.2 Spesifikasi APAR................................................ 56
4.1.3.3 Jumlah APAR di Gedung Medik ......................... 57
4.1.3.4 Kondisi Penempatan APAR ................................ 57
4.1.4 Hasil Wawancara ........................................................... 72
4.1.4.1 Hasil Wawancara Gedung Lantai 1 .................... 72
4.1.4.2 Hasil Wawancara Gedung Lantai 2 .................... 72
4.1.4.3 Hasil Wawancara Gedung Lantai 3 .................... 73
4.1.4.4 Hasil Wawancara Gedung Lantai 4 .................... 74
4.2 Pembahasan Penelitian ............................................................ 74
xii
4.2.1 Perhitungan Kebutuhan APAR ....................................... 76
4.2.1.1 Perhitungan Menurut PERMENAKER ................ 76
4.2.1.2 Perhitungan Menurut NFPA ............................... 79
4.2.2 Rancangan Tata Letak APAR Gedung Medik ................ 81
4.2.2.1 Peletakkan APAR menurut PERMENAKER ....... 82
4.2.2.2 Denah Layout Peletakkan APAR ........................ 92
4.2.3 Efektifitas Kebutuhan APAR dan Tata Letak APAR ....... 97
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 101
5.1 Kesimpulan ............................................................................... 101
5.1.1 Kesimpulan Perhitungan Kebutuhan APAR ................... 101
5.1.1.1 Perhitungan APAR menurut PERMENAKER ..... 101
5.1.1.2 Perhitungan APAR menurut NFPA ..................... 101
5.1.2 Kesimpulan Rancangan Tata Letak APAR ..................... 102
5.1.3 Kesimpulan Efektifitas Kebutuhan dan
Tata Letak APAR ............................................................ 103
5.2 Saran ........................................................................................ 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 105
LAMPIRAN .................................................................................................. 108
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram Statistik Kebakaran DKI Jakarta ........................ 2
Gambar 2.1 Struktur Api ..................................................................... 8
Gambar 2.2 Segitiga Api ...................................................................... 10
Gambar 2.3 Tetrahedron Api ............................................................... 11
Gambar 2.4 Proses Pengembangan Kebakaran ................................. 16
Gambar 2.5 Alat Proteksi Kebakaran Aktif ........................................... 28
Gambar 2.6 Water Extinguisher ........................................................... 31
Gambar 2.7 Dry Chemical Extinguisher ............................................... 32
Gambar 2.8 Carbon Dioxide Extinguisher ............................................ 33
Gambar 2.9 Jangkauan Maksimal APAR ............................................. 35
Gambar 2.10 Tanda APAR .................................................................. 43
Gambar 2.11 Bentuk Tiang Kolom dan Lingkaran APAR .................... 43
Gambar 2.12 Kerangka Teori............................................................... 44
Gambar 3.1 Kerangka Konsep............................................................. 45
Gambar 3.2 Defenisi Operasional ........................................................ 46
Gambar 4.1 Gedung Medik RS. St. Carolus Jakarta ........................... 51
Gambar 4.2 Struktur Organisasi Rumah Sakit ..................................... 52
Gambar 4.3 Strujtur Organisasi Komite K3 Rumah Sakit .................... 53
Gambar 4.4 Logo Rumah Sakit ............................................................ 53
Gambar 4.5 Denah Evakuasi Lantai 1 ................................................. 59
Gambar 4.6 APAR MH235-6MR .......................................................... 59
Gambar 4.7 Denah Evakuasi Lantai 2 ................................................. 62
Gambar 4.8 APAR Lantai 2 ................................................................. 63
Gambar 4.9 Denah Evakuasi Lantai 3 ................................................. 66
Gambar 4.10 APAR Area HCU ............................................................ 67
Gambar 4.11 Denah Evakuasi Lantai 4 ............................................... 70
Gambar 4.12 APAR Lantai 4 Farmasi Oka .......................................... 71
Gambar 4.13 Jangkauan APAR ........................................................... 92
Gambar 4.14 Denah Jangkauan APAR Lantai 1 ................................. 93
xiv
Gambar 4.15 Denah Jangkauan APAR Lantai 2 ................................. 94
Gambar 4.16 Denah Jangkauan APAR Lantai 3 ................................. 95
Gambar 4.17 Denah Jangkauan APAR Lantai 4 ................................. 96
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Kebakaran ........................................................... 20
Tabel 2.2 Klasifikasi Kebakaran Menurut PERMENAKER ................... 21
Tabel 2.3 Klasifikasi Kebakaran dan Jenis Tempat Kerja .................... 23
Tabel 2.4 Luas Area Penempatan APAR ............................................. 39
Tabel 2.5 Jarak Penempatan APAR kelas A ....................................... 40
Tabel 2.6 Jarak Penempatan APAR kelas B ....................................... 40
Tabel 4.1 Ceklis kondisi APAR lantai 1 ................................................ 58
Tabel 4.2 Jumlah APAR dan posisi letak APAR lantai 2 ...................... 60
Tabel 4.3 Jarak Antar APAR lantai 2 ................................................... 60
Tabel 4.4 Tinggi APAR, Jenis APAR, dan Klasifikasi kelas APAR ....... 61
Tabel 4.5 Ceklis Kondisi APAR lantai 2 ............................................... 63
Tabel 4.6 Jumlah APAR dan posisi letak APAR lantai 3 ...................... 64
Tabel 4.7 Jarak antar APAR lantai 3 .................................................... 64
Tabel 4.8 Tinggi APAR, Jenis APAR, dan Klasifikasi kelas APAR ....... 65
Tabel 4.9 Ceklis kondisi APAR lantai 3 ................................................ 67
Tabel 4.10 Jumlah APAR dan posisi letak APAR lantai 4 .................... 68
Tabel 4.11 Jarak antar APAR lantai 4 ................................................. 68
Tabel 4.12 Tinggi APAR, Jenis APAR, dan Klasifikasi kelas APAR..... 69
Tabel 4 13 Ceklis Kondisi APAR lantai 4 ............................................. 71
Tabel 4.14 Jenis APAR dan Peletakkan APAR lantai 1 ....................... 83
Tabel 4.15 Jarak Antar APAR lantai 1 ................................................. 84
Tabel 4.16 Jenis APAR dan Peletakkan APAR lantai 2 ....................... 85
Tabel 4.17 Jarak antar APAR lantai 2 .................................................. 86
Tabel 4.18 Jenis APAR dan Peletakkan APAR lantai 3 ....................... 87
Tabel 4.19 Jarak antar APAR lantai 3 .................................................. 89
Tabel 4.20 Jenis APAR dan Peletakkan APAR lantai 4 ....................... 90
Tabel 4.21 Jarak antar APAR lantai 4 .................................................. 91
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Struktur Organisasi RS. St. Carolus Jakarta . ................. 108
Lampiran II Struktur Organisasi Komite K3 RS. Carolus Jakarta……. 109
Lampiran III Denah Layout Lantai 1 …………………………………….. 110
Lampiran IV Denah Layout Lantai 2 …………………………………….. 111
Lampiran V Denah Layout Lantai 3 …………………………………….. 112
Lampiran VI Denah Layout Lantai 4 …………………………………….. 113
Lampiran VII Lembaran Pertanyaan Wawancara ………………………. 114
Lampiran VIII Foto Hasil Wawancara Gedung Medik …………………… 115
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebakaran adalah suatu peristiwa oksidasi dimana bertemunya tiga
unsur kebakaran yakni bahan yang dapat terbakar, oksigen yang terdapat
di udara, dan panas yang dapat berakibat menimbulkan kerugian harta
benda dan cidera bahkan kematian manusia (NFPA,1992). Oleh karena
itu, untuk mengatasi tinggi nya resiko kebakaran, perlu di upayakan
pencegahan dalam rangka untuk menyadari atau mewaspadai akan
faktor-faktor yang menyebabkan munculnya atau terjadinya kebakaran
serta mengambil langkah-langkah untuk mencegah kemungkinan
kebakaran tersebut menjadi kenyataan. Sebagian orang telah lama
menganggap bahwa penanggulangan terhadap bahaya kebakaran adalah
urusan petugas pemadam kebakaran.Kita hanya perlu menghubunginya
dan menunjukkan lokasi kebakaran terjadi, Namun pemahaman semakin
berkembang bahwa penanggulangan lebih efektif bila pada bangunan
disediakan peralatan pemadam kebakaran termasuk sarana deteksinya,
khususnya di bangunan tinggi, bangunan berukuran luas, serta di
bangunan vital.
Di Indonesia kasus kebakaran masih cukup tinggi. Dari data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (2015) di Indonesia ditemukan
sebanyak 969 kasus kebakaran terhitung dari tahun 2012 sampai Juni
2015. Kasus kebakaran mengalami peningkatan setiap tahun, Pada tahun
2012 terdapat sebanyak 53 kasus kebakaran, tahun 2013 terjadi
peningkatan sebesar 86 % yaitu 400 kasus kebakaran, tahun 2014 terjadi
peningkatan sebesar 15 % yaitu terdapat 472 kasus kebakaran.
Berdasarkan data dinas penanggulangan kebakaran dan
penyelamatan DKI Jakarta sepanjang tahun 2018, terdapat 722 kasus.
kebakaran Listrik menjadi penyebab kebakaran terbesar dengan jumlah
469 kejadian disusul dengan kejadian meledaknya kompor gas sebanyak
82 kasus, yang disebabkan oleh rokok sebanyak 20 kasus, dan 151 kasus
2
yang belum diketahui penyebabnya. Berikut grafik kasus kebakaran di
tahun 2014 – 2018 ;
Gambar 1.1 Diagram statistik kebakaran di Propinsi DKI Jakarta
(Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan kebakaran DKI, 2019)
Kebakaran dapat terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa bisa di
prediksi, khusus nya sering terjadi di bangunan yang memiliki gedung
tinggi, area pertokaan ataupun rumah sakit yang padat penduduk.
Ditahun 2018 tepatnya pada tanggal 26 januari 2018 telah terjadi
kebakaran besar di rumah sakit sejong di kota Miryang Korea selatan.
Dilaporkan ada sekitar 200 orang yang berada di dalam Rumah sakit.
Evakuasi 15 pasien yang berada di ruangan ICU memakan waktu cukup
lama karena harus di bawah pengawasan staf medis. Kebakaran tersebut
menyebabkan 41 orang tewas, lebih dari 70 orang mengalami luka-luka
dengan 10 diantaranya dalam keadaan kritis. Kebakaran ini terjadi pada
pukul 07.30 dan melahap sebuah gedung enam lantai yang menjadi lokasi
rumah sakit sejong dan sebuah rumah jompo. Laporan menyebutkan api
mulai muncul di ruangan gawat darurat, penyebab sementara diduga
adanya korsleting listrik dikarenakan terdapat beberapa kabel yang cacat
berasal dari langit-langit. Di ketahui sebelumnya bahwa rumah sakit ini
juga tidak memiliki alat pemadam api yang memadai untuk memadamkan
api yang cukup besar (Detik.com). Dari kejadian tersebut maka sangat di
perluhkan sistem Fire emergency plan dan juga sistem proteksi kebakaran
di setiap gedung yang memiliki potensi terjadi nya kebakaran tidak
terkecuali rumah sakit.
3
Korseleting Listrik merupakan penyebab yang sering di temukan pada
kasus kebakaran gedung, pemukiman, ataupun rumah sakit. Di Indonesia
pernah terjadi kebakaran tepatnya di tahun 2017 di Rumah Sakit St.
Carolus Jakarta. Kebakaran ini terjadi di bagian laundry yang disebabkan
oleh aliran korsleting listrik di bagian atap mesin pengering, kebakaran ini
diduga adanya kemungkinan panas berlebih yang dihasilkan mesin uap
pengering. kejadian tersebut terjadi pada tanggal 02 juni 2017 pukul 15.00
WIB. Berdasarkan informasi dari petugas yang bertugas di unit laundry
dan data sekunder berupa RCA dari pihak K3 rumah sakit di peroleh info
bahwa, terdapat beberapa Alat Proteksi kebakaran tidak berfungsi dengan
baik, salah satunya selang Hidrant yang putus dan bocor ketika dialirkan
air dan ingin digunakan, sehingga api semakin besar dan menghancurkan
seluruh gedung laundry. Api bisa dipadamkan sekitar pukul 16.25 WIB
yang di bantu oleh petugas DAMKAR DKI Jakarta.
Dari fakta tersebut diatas maka dari setiap gedung dituntut untuk
memiliki suatu sistem proteksi sendiri dalam bangunan yang dapat
menanggulangi kebakaran sendiri seperti yang diatur dalam Perda DKI
Jakarta No. 3 Tahun 1992, bahwa suatu gedung hendaknya memiliki
sistem penanggulangan kebakaran yang bersifat (Self contained) yaitu
suatu sistem yang mampu menanggulangi sendiri kebakaran yang terjadi,
mengingat penyediaan fasilitas umum dalam bidang pemadam kebakaran
kebanyakan belum tersedia, maka rumah sakit terutama yang memiliki
bangunan bertingkat harus mempunyai sistem penanggulangan
kebakaran yang mandiri (Self contained).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang Perancangan Tata Letak dan Kebutuhan APAR dalam upaya
pencegahan kebakaran di Gedung Medik RS.Carolus. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi resiko kerugian yang disebabkan oleh Kebakaran yang
tidak cepat teratasi karena kurang nya kebutuhan APAR ataupun tata
letak APAR yang tidak sesuai, sehingga dapat memakan waktu lama
dalam penanganan awal kebakaran.
4
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah
penelitian nya adalah masih kurangnya sistem proteksi kebakaran APAR
di rumah sakit yang belum sesuai standar dari tata letak maupun
kebutuhan APAR Sehingga menimbulkan kurangnya efisiensi
penggunaan APAR dalam upaya penanggulangan bahaya kebakaran di
Rumah sakit. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan
Perancangan Tata letak APAR dan Kebutuhan APAR dalam upaya
pencegahan kebakaran di Gedung Medik RS. Carolus.
Dari rumusan masalah diatas maka timbulah pertanyaan-pertanyaan
peneliti untuk melakukan Perancangan Tata letak APAR dan Kebutuhan
APAR dalam upaya pencegahan kebakaran di Gedung Medik RS.
Carolus;
1.2.1. Berapakah kebutuhan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang
di butuhkan di Gedung Medik Rs. St Carolus Jakarta
1.2.2. Bagaimana tata letak Alat Pemadam Api Ringan (APAR) di
Gedung Medik Rs. St carolus
1.2.3. Efektifkah Tata letak APAR dan Kebutuhan APAR setelah
dilakukan perancangan dalam upaya pencegahan kebakaran?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah membuat perancangan Tata
Letak APAR dan Kebutuhan APAR di Gedung Medik RS. St.
Carolus Jakarta dalam Upaya Pencegahan Kebakaran
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1.3.2.1. Mengetahui jumlah kebutuhan Alat Pemadam Api
Ringan (APAR) di Gedung Medik RS. St carolus
1.3.2.2. Mengetahui tata letak Alat Pemadam Api Ringan
(APAR) di Gedung Medik RS. St carolus
5
1.3.2.3. Mengetahui keefektifan Tata letak APAR dan
Kebutuhan APAR
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Rumah Sakit
1.4.1.1. Diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi
manajemen Rumah Sakit untuk melakukan evaluasi
dan bahan perbaikan terhadap Tata Letak dan
Kebutuhan APAR di Gedung Medik RS. St. Carolus
Jakarta
1.4.1.2. Diharapkan dapat membantu Rumah Sakit dalam
Upaya pencegahan awal kebakaran.
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan
1.4.2.1. Dapat menambah referensi kepustakaan mengenai
Perancangan Tata Letak dan Kebutuhan APAR dalam
upaya pencegahan kebakaran di gedung Rumah Sakit.
1.4.2.2. Sebagai media untuk mengukur sejauh mana tingkat
pemahaman mahasiswa terhadap bimbingan selama
proses perkuliahan.
1.4.3. Bagi Mahasiswa
1.4.3.1. Mendapatkan pengalaman dan ilmu tambahan
mengenai Perancangan Tata Letak dan Kebutuhan
APAR dalam upaya pencegahan kebakaran di gedung
Rumah Sakit
1.4.3.2. Dapat menambah kesadaran dan sikap peduli /
awareness terhadap pentingnya bahaya kebakaran di
lingkungan kerja serta lingkungan sekitarnya.
6
1.5. Ruang Lingkup
Penelitian ini membahas mengenai Perancangan Tata Letak dan
Kebutuhan APAR dalam upaya pencegahan kebakaran di Gedung Medik
Rumah sakit St. Carolus Jakarta. Penelitian ini di lakukan di Gedung
Medik Rumah Sakit St. Carolus Jakarta, Hal ini dikarenakan di gedung
tersebut terdapat ruangan perawatan intensif, Perawatan ibu hamil dan
bayi dimana keadaan pasien tidak kooperatif dan sulit melakukan proses
evakuasi jika terjadi kebakaran. Gedung Medik juga memiliki fasilitas yang
sangat berpotensi mengalami korsleting listrik seperti fasilitas Ct-scan,
MRI, Cath-lab, Alat monitor EKG, inkubator dan masih banyak lagi fasilitas
lain nya yang memicu terjadinya kebakaran, oleh sebab itu sangat di
perlukan sistem proteksi kebakaran yang baik dalam upaya pencegahan
kebakaran. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan pada bulan April - Juni
2019. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi D-IV
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Binawan. Penelitian ini
dilakukan karena mengingat pentingnya keberadaan sarana proteksi
kebakaran aktif (terutama APAR) yang efektif dan siap pakai. penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui jumlah kebutuhan dan tata letak APAR di
Gedung Medik Rs. St. Carolus Jakarta. Penelitian ini bersifat Deskriptif
analitik dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk
menggambarkan perancangan jumlah kebutuhan dan tata letak APAR di
Gedung Medik Rumah Sakit St. Carolus Jakarta . Sumber data yang
digunakan adalah data primer dan sekunder. Penelitian ini dilakukan
dengan menilai kondisi aktual mengenai kebutuhan APAR dan Tata letak
APAR di Gedung Medik Rumah Sakit St. Carolus Jakarta, kemudian
dilakukan perancangan mengenai kebutuhan dan tata letak APAR
berdasarkan Peraturan PERMENAKER No. 04/MEN/1980 dan NFPA 10
tahun 2013.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Api
2.1.1. Defenisi Api
Api adalah proses oksidasi dalam waktu yang cepat, dan
merupakan reaksi kimia yang menghasilkan evolusi cahaya
dan panas dalam berbagai intensitas. Setiap pembakaran yang
merusak dan tidak terkontrol, termasuk ledakan. (NFPA
Glossary of Terms, 2008). Api juga didefinisikan sebagai suatu
kejadian/reaksi kimia eksotermik yang diikuti munculnya
panas/kalor, cahaya (nyala), asap dan gas dari bahan yang
terbakar (Building & Plant Institite dan ditjen Binawas
Depnaker, 2005). Pusdiklatkar (pusat pendidikan dan pelatihan
pemadam kebakaran) mendefinisikan api sebagai reaksi kimia
yang disertai dengan pengeluaran asap, panas, dan gas-gas
lainnya. Api juga bisa disebut dengan hasil dari reaksi
pembakaran yang cepat (Pusdiklatkar, 2006).
Defenisi dari Api menurut National Fire Protection
Association (NFPA) adalah suatu masa zat yang sedang
berpijar yang dihasilkan dalam proses kimia oksidasi yang
berlangsung dengan cepat dan disertai pelepasan
energi/panas. Timbulnya Api ini sendiri disebabkan oleh
adanya sumber panas yang berasal dari berbagai bentuk
energi yang dapat menjadi sumber penyulutan dalam segitiga
Api.
8
2.1.2. Struktur Api
Jika dilihat dari strukturnya, api terdiri dari 4 komponen yaitu
gas, nyala, asap, dan energi panas. Pada bagian terbawah
dekat sumbernya, api merupakan gas yang bereaksi dengan
oksigen. Bahan yang terbakar dari suatu benda pada dasarnya
dalam bentuk gas. Gas ini secara terus menerus terbentuk
karena panas dan reaksi berantai selama kebakaran
berlangsung (Soehatman Ramli, 2010).
Selanjutnya gas yang terbentuk ini akan menimbulkan nyala
(flame) yang kita lihat sebagai api. Nyala ini berwarna biru atau
kemerahan tergantung sempurna atau tidaknya proses reaksi
antara gas dengan oksigen. Dari nyala ini akan dihasilkan asap
(smoke) yaitu berupa hasil sisa pembakaran. Semakin
sempurna pembakaran, semakin sedikit asap yang terbentuk
(Soehatman Ramli, 2010).
Elemen keempat adalah energi panas yang dihasilkan oleh
reaksi pembakaran. Energi ini besarnya bervariasi, mulai dari
100⁰C sampai ribuan derajat tergantung intensitas kebakaran,
jumlah bahan yang terbakar dan sifat kimia nya (Soehatman
Ramli, 2010).
Gambar 2.1 Strukutur Api
Sumber : Manajemen kebakaran (Soehatman Ramli, 2010)
9
2.1.3. Teori Segitiga Api
Api tercipta karena adanya interaksi kimiawi antara uap
bahan bakar, oksigen dan sumber panas. Oksigen bereaksi
dengan cepat dengan substansi lain dan mengalami proses
reaksi kimia, semakin cepat oksigen bereaksi dengan substansi
tersebut, semakin panas, dan semakin menyala api yang
dihasilkan (Frisch, 2002).
Terdapat tiga elemen yang dibutuhkan untuk terciptanya
nyala api yang dikenal dengan segitiga api, elemen tersebut
yaitu bahan bakar atau bahan yang akan terbakar, panas, dan
oksigen. Elemen pertama adalah bahan bakar, bahan bakar ini
dapat berupa padatan (kayu, kertas,pakaian, plastik), cairan
(bensin, solvent, kerosene, cooking oil), atau gas (LPG,
Acetylene). Elemen yang kedua adalah panas, jika bahan
bakar tidak mendapatkan panas yang cukup, bahan bakar tidak
akan terbakar. Elemen yang ketiga adalah oksigen, oksigen
tersedia dengan bebas di udara. Jika tidak ada salah satu dari
ketiga komponen api ini, api tidak akan menyala (Frisch, 2002).
Api tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan suatu proses
kimiawi antara uap bahan bakar dengan oksigen dan bantuan
panas. Teori ini dikenal sebagai (fire triangle). Menurut teori ini
kebakaran terjadi karena adanya 3 faktor yang menjadi unsur
api;
1) Bahan bakar (fuel)
2) Sumber panas (Heat)
3) oksigen
Kebakaran dapat terjadi jika ketiga unsur api tersebut
saling berinteraksi satu dengan yang lain nya. Tanpa adanya
10
salah satu unsur tersebut api tidak dapat terjadi (Soehatman
Ramli, 2010).
Gambar 2.2 Segitiga API
Sumber : Manajemen kebakaran (Soehatman Ramli, 2010)
2.1.4. Teori Tetrahedron Api
Pada tahun-tahun sebelumnya dipercaya bahwa proses
terjadinya kebakaran disebabkan oleh teori segitiga api.
Kemudian teori segitiga api dikembangkan dan disimpulkan
bahwa api terjadi karena 3 elemen yang telah disebutkan di
teori segitiga api dan ditambah oleh 1 elemen yaitu reaksi
berantai pembakaran. Tanpa adanya reaksi berantai
pembakaran maka api tidak akan dapat hidup terus menerus
(Soehatman Ramli, 2010)
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan,
ditemukan satu elemen lagi yang menyebabkan terjadinya api,
elemen tersebut adalah reaksi berantai atau chain reaction
yang menjelaskan mengapa api tidak hanya diam di satu titik,
tetapi terus menerus menyala dan berkembang (Chandler,
2009). Reaksi berantai adalah proses kimia yang menghasilkan
produk yang dapat berperan sebagai inisiator bagi reaksi lain,
atau memperbesar reaksi yang telah terjadi (Cote, 2004)
Berkembangnya ilmu pengetahuan menambah satu faktor
yang di identifikasikan sebagai penyebab timbulnya api, teori ini
11
ditemukan dari hasil penelitian dan pengembangan dari bahan
pemadam tepung kimia (dry chemical), dan halon
(halogenated hydrocarbon), yaitu adanya aspek reaksi berantai
dalam terjadinya api. Teori ini berdasarkan panas pembakaran
yang normal akan timbul nyala.
Reaksi kimia yang terjadi menghasilkan beberapa zat hasil
pembakaran, seperti CO2, CO, SO2, asap, dan gas. Hasil lain
dari reaksi ini adalah adanya radikal bebas dari atom oksigen
dan hidrogen dalam bentuk hidroksil (OH). Bila dua gugus OH
bereaksi, akan terbentuk H2O dan radikal bebas O, O ini akan
berfungsi lagi sebagai umpan pada proses pembakaran,
sehingga disebut reaksi pembakaran berantai
(Karla,2007;Goestech,2005).
Gambar 2.3 Tetrahedron Api
Sumber : Manajemen kebakaran (Soehatman Ramli, 2010)
2.1.5. Proses Penjalaran Api
1) Konduksi
Yaitu penjalaran api melalui benda padat, misalnya
merambat melalui besi, beton, kayu, atau dinding. Jika
terjadi kebakaran di suatu ruangan, misalnya kamar hotel
atau kantor, panas dapat merambat melalui dinding
sehingga ruangan di sebelah akan mengalami pemanasan
(Soehatman Ramli,2010).
12
2) Konveksi
Api juga dapat menjalar melalui fluida, misalnya air, udara
atau bahan cair lainnya. Suatu ruangan yang terbakar dapat
menyebarkan panas melalui hembusan angin yang
membawa udara panas ke daerah sekitarnya (Soehatman
Ramli, 2010).
3) Radiasi
Penjalaran panas lainnya adalah melalui proses radiasi yaitu
pancaran cahaya atau gelombang elektromagnetik yang
dikeluarkan oleh nyala api. Dalam proses radiasi ini terjadi
proses perpindahan panas (heat transfer) dari sumber
panas ke objek penerimanya atau target (Soehatman Ramli,
2010).
2.1.6. Teori Pemadaman Api
Teknik pemadaman api adalah dengan cara merusak
keseimbangan pencampuran ketiga unsur penyebab
kebakaran. Menurut NFPA (1991) teknik-teknik pemadaman
api antara lain :
1) Cooling (Pendingin)
Suatu kebakaran dapat dipadamkan dengan mendinginkan
permukaan dan bahan yang terbakar dengan menggunakan
bahan semprotan air sampai mencapai suhu dibawah titik
normal. Pendinginan permukaan dari minyak yang terbakar
akan menghentikan proses terbentuk nya Uap. Bila
penguapan dapat dihentikan, kebakaran akan berakhir.
Prinsip pemadamannya antara lain :
(1) Kecepatan pemindahan panas sebanding dengan
luas permukaan cairan, permukaan yang terpapar
oleh api
(2) Kecepatan pemindahan panas harus tergantung
perbedaan suhu udara sekitar atau benda terbakar
13
(3) Kecepatan pemindahan panas yang tergantung pada
kandungan uap dalam udara khususnya dalam hal
penjalaran api
(4) Kapasitas penyerapan panas dari air tergantung pada
jarak yang ditempuh oleh air dan kecepatannya
dalam daerah pembakaran
2) Smothering (Penyelimutan)
Suatu kebakaran dapat dibatasi dengan memutus
hubungannya dengan oksigen atau udara yang diperluhkan
dalam terjadinya proses kebakaran, dengan menyelimuti
bagian yang terbakar CO2 atau busa akan menghentikan
suplai udara.
3) Starvation (memisahkan bahan yang terbakar)
Suatu bahan yang terbakar dapat dipisahkan dengan jalan
menutup aliran yang menuju ketempat kebakaran tanpa
menghentikan suplai bahan bakar yang dapat terbakar.
4) Memutus mata rantai reaksi
Pemutusan rantai reaksi pembakaran dapat dilakukan
secara fisika, kimia atau kombinasi fisika-kimia. Secara fisik
nyala api dapat dipadamkan dengan meledakkan bahan
peledak ditengah-tengah kebakaran. Secara kimia
pemadaman nyala api dapat dilakukan dengan pemakaian
bahan-bahan yang dapat menyerap hidroksit (OH) dari
rantai reaksi pembakaran. Bahan bahan tersebut dapat
dibedakan kedalam 3 kelompok, yaitu:
(1) Logam alkali berupa tabung kimia (Dry chemicals)
(2) Ammonia berupa tepung kimia kering
(3) Halogen yang berupa gas dan cairan
2.2. Teori Kebakaran
2.2.1. Defenisi Kebakaran
Kebakaran merupakan suatu peristiwa atau kejadian timbulnya
api yang tidak terkendali yang dapat membahayakan
14
keselamatan jiwa maupun harta benda (Perda DKI No.3 tahun
1992). Badan Nasional Penanggulangan Bencana
mendefinisikan kebakaran sebagai situasi dimana bagunan
pada suatu tempat seperti rumah/pemukiman, pabrik, pasar,
gedung, dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban
dan atau kerugian. Kebakaran juga didefinisikan sebagai suatu
peristiwa oksidasi yang melibatkan tiga unsur yang harus ada,
yaitu bahan yang mudah terbakar, oksigen dalam udara,
sumber energi atau panas yang dapat menimbulkan kerugian
harta benda, cidera bahkan kematian (NFPA).
Menurut Soehatman Ramli pada tahun 2010, kebakaran
adalah api yang tidak terkendali artinya diluar kemampuan dan
keinginan manusia.
Menurut Standar Nasional Indonesia, kebakaran adalah
suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai
temperatur kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen
(sebagai contoh) yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya,
asap, uap air, karbon monoksida, karbon dioksida, atau produk
dan efek lainnya (Badan Standar Nasional Indonesia, 2000).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
26/PRT/M/2008 tentang persyaratan teknis sistem proteksi
kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan, bahaya
kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya
ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari
awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas
yang ditimbulkan (Departemen Pekerjaan Umum, 2008).
2.2.2. Proses Pengembangan Kebakaran
Kebakaran diawali dengan adanya proses penyalaan api
yang kemudian berkembang menjadi api yang besar,
International Fire Service Training Association (IFSTA)
15
membagi nyala api menjadi empat tahapan yaitu Incipient
stage, growtth, fully developed, dan depay.
1) Incipient Stage (Tahap Penyalaan)
Incipient stage adalah tahap awal ketika panas, oksigen,
dan bahan bakar berinteraksi sehingga terjadi reaksi kimia
yang menghasilkan api. Tahap ini dikenal juga dengan tahap
ignition, biasanya mempresentasikan api dengan jumlah dan
ukuran yang kecil yang dapat mati dengan sendirinya
sebelum tahapan selanjutnya terjadi. Rekognisi kebakaran
pada tahap ini merupakan tindakan terbaik.
Tahap ini merupakan tahap awalan dan dapat dipadamkan
dengan menggunakan alat pemadam api portable atau Alat
Pemadam Api Ringan (APAR), Tahap ini berkembang
perlahan 1-10 menit. (NFPA Glossary of Terms, 2008).
2) Growth (Tahap Pertumbuhan)
Tahap ini terjadi ketika api membesar dan oksigen menjadi
bahan bakar untuk terjadinya kebakaran. Terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi tahap pertumbuhan api,
antara lain yaitu bahan yang dapat terbakar di sekitar nyala
api.
3) Fully Developed (Taham Pembakaran Penuh)
Pada tahap ini pertumbuhan api telah mencapai batas
maksimalnya, dan semua bahan yang dapat terbakar telah
terbakar. Keadaan ini merupakan keadaan terpanas dan
paling berbahaya.
4) Decay (Tahap Surut)
Biasanya merupakan tahapan paling panjang dalam
kebakaran, ditandai dengan penurunan jumlah oksigen atau
bahan bakar yang signifikan. Bahaya dari tahap ini adalah
jika terdapat bahan yang dapat terbakar namun tidak
terbakar dan berpotensi menimbulkan kebakaran baru jika
16
tidak dimatikan dengan benar.
Gambar 2.4 Proses pengembangan kebakaran
Sumber : Manajemen kebakaran (Soehatman Ramli, 2010)
2.2.3. Bentuk Kebakaran
Bentuk kebakaran atau api bermacam-macam sesuai
dengan kondisi dan bentuk sumber bahan bakar dan faktor
lingkungannya.
1) Flash fire
Api jenis ini terjadi jika suatu uap bahan bakar di udara atau
disebut vapour cloud tiba-tiba menyala sekilas seperti kilat
menuju pusat apinya dan biasanya berlangsung dalam
waktu singkat. Jenis api ini akan mengeluarkan energi
panas yang tinggi yang mencapai 0,1 – 0,3 psi sehingga
dapat menghanguskan benda atau orang di dekatnya. Api
terjadi jika uap bahan bakar yang bocor atau menguap dari
sumbernya tersebut bercampur dengan oksigen dari udara
dan kemudian mencapai titik nyalanya (Soehatman Ramli,
2010).
2) Bola api (ball fire)
Bola api (fire ball) biasanya terjadi akibat gas bertekanan
dalam suatu wadah yang tiba-tiba bocor akibat pecah.
Misalnya tangki LPG yang tiba-tiba bocor, mengakibatkan
gas mengembang dengan cepat ke udara dan tiba-tiba
17
terbakar salah satu penyebab terjadinya fenomena bola api
adalah peristiwa BLEVE (Boiling Liquid Expantion Vapor
Explosion). Seperti flash fire, kebakaran jenis bola api juga
berlangsung singkat biasanya 5 – 20 detik. Namun
demikian dampaknya dapat menghancurkan dalam area
yang cukup luas (Soehatman Ramli, 2010).
3) Kolam api
Jenis kebakaran yang disebut kolam api (pool fire) biasanya
menyangkut bahan bakar cair seperti minyak atau bahan
kimia. Kebakaran terjadi jika suatu cairan tumpah dan
mengenai suatu tempat atau dalam wadah terbuka seperti
tangki timbun. Besarnya api ditentukan oleh jumlah bahan
yang terbakar, sifat kimiawi dan fisis bahan, serta kondisi
lingkungan misalnya arah angin dan cuaca ( Soehatman
Ramli, 2010).
4) Api Jet
Kebakaran jenis jet fire terjadi jika bahan bakar keluar
dalam lubang yang kecil dengan tekanan yang tinggi.
Biasanya bahan bakar dalam bentuk gas misalnya dari
suatu pipa yang bocor atau peralatan produksi lainnya. Api
jenis ini biasanya mengeluarkan suara desis yang tinggi
dan menimbulkan energi panas yang sangat besar
(Soehatman Ramli, 2010).
2.2.4. Proses Terjadinya Penyalaan
Berdasarkan teori kebakaran yang diuraikan di atas,
penyalaan adalah proses reaksi kimia antara bahan bakar
dengan oksigen dan adanya sumber panas. Penyalaan dapat
terjadi jika ada tiga unsur yang disebut segi tiga api (fire
triangle) yaitu bahan bakar (fuel), sumber panas (heat) dan
oksigen dari udara (O2). Tanpa ketiga unsur tersebut suatu
bahan tidak akan dapat menyala (Ramli, 2010).
18
Proses penyalaan suatu bahan bakar ditentukan oleh
berbagai faktor, yang penting diketahui antara lain sebagai
berikut ;
1) Titik nyala (flash point)
Titik nyala adalah temperatur terendah dimana suatu bahan
mengeluarkan uap yang cukup untuk menyala sesaat jika
terdapat sumber panas. Semakin rendah titik nyala, maka
bahan tersebut semakin mudah terbakar atau menyala.
Sebagai contoh titik nyala minyak tanah antara 30 – 70˚C,
premium -43˚C dan propane -104˚C. Titik nyala ini perlu
diperhatikan dalam kegiatan pengolahan, penyimpanan
atau pengangkutan bahan kimia khususnya yang mudah
terbakar atau meledak (Ramli, 2010).
2) Batas nyala (flammable range)
Batas nyala (flammable range) atau sering juga disebut
batas ledak (explosive range) adalah konsentrasi atau
campuran uap bahan bakar dengan oksigen dari udara
yang dapat nyala atau meledak jika terdapat Batas nyala
(flammable range)
Batas nyala (flammable range) atau sering juga disebut
batas ledak (explosive range) adalah konsentrasi atau
campuran uap bahan bakar dengan oksigen dari udara
yang dapat nyala atau meledak jika terdapat sumber panas.
Semakin tinggi kadar bahan bakar di udara semakin sulit
nyala dan sebaliknya jika kadar bahan bakar terlalu kecil
juga sulit untuk menyala. Batas konsentrasi terendah dan
tertinggi tersebut disebut batas nyala atau batas ledak
yang terdiri atas batas nyala atau ledak bawah (Lower
Explosive Limit – LEL) dan batas nyala atau ledak atas
(Upper Explosive Limit – UEL) (Ramli, 2010).
19
Batas nyala atau ledak (explosive limit) yaitu batas antara
LEL dan UEL dimana bahan bakar dan oksigen berada
pada batasan konsentrasi yang cukup untuk menyala.
(1) Batas ledak bawah (Lower Explosive Limit – LEL)
yaitu batas konsentrasi terendah uap bahan bakar
dengan oksigen yang dapat menyala.
(2) Batas ledak atas (Upper Explosive Limit – UEL) yaitu
batas konsentrasi tertinggi uap bahan bakar dengan
oksigen yang dapat menyala (Ramli, 2010).
(3) Titik nyala sendiri (auto ignition)
Pada temperatur tertentu bahan bakar atau bahan
kimia bisa terbakar dengan sendirinya tanpa adanya
sumber api (source of ignition). Sebagai contoh, jika
bahan kimia tumpah mengenai permukaan panas
seperti bagian mesin atau knalpot maka dapat nyala
dengan sendirinya (Ramli, 2010).
2.2.5. Klasifikasi Kebakaran
Klasifikasi kebakaran yang dimiliki di Indonesia mengacu
pada standard National Fire Protection Association (NFPA
Standard No. 10, for the installation of portable fire
extinguishers) yang telah dipakai oleh PERMENAKERTRANS
RI No. Per. 04/MEN/1980.
Tujuan klasifikasi kebakaran adalah agar memudahkan
usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran. Klasifikasi
kebakaran digunakan untuk memilih media (bahan) pemadam
yang tepat dan sesuai bagi suatu kelas kebakaran, sehingga
usaha pencegahan dan pemadaman api akan tepat.
Klasifikasi kebakaran juga berguna untuk menentukkan
sarana proteksi kebakaran untuk menjamin keselamatan
nyawa tim pemadam kebakaran.
20
2.2.5.1. Klasifikasi kebakaran NFPA
NFPA atau National Fire Protection Association
merupakan suatu lembaga swasta dibidang
penanggulangan bahaya kebakaran di Amerika
Serikat. NFPA 10 tahun 2013 membagi klasifikasi
kebakaran menjadi beberapa jenis, sesuai dengan
bahan yang terbakar. Bahan pemadam untuk masing
masing kelas tersebut pun berbeda beda diantaranya;
Tabel 2.1 Klasifikasi kebakaran
(Sumber : NFPA 10 Tahun 2013)
Kelas Klasifikasi Kebakaran
Kelas A
Kebakaran pada benda mudah terbakar yang menimbulkan arang/karbon (contoh: kayu, kertas, karton/kardus, kain, kulit, plastik)
Kelas B
Kebakaran pada benda cair dan gas yang mudah terbakar (contoh : bahan bakar, besin, lilin, gemuk, minyak tanah, thinner)
Kelas C
Kebakaran pada benda yang menghasilkan listrik atau yang mengandung unsur listrik
Kelas D
Kebakaran pada logam mudah terbakar (contoh: sodium, lithium,radium)
Kelas K
Kebakaran pada bahan masakan (contoh: nabati, lemak hewani,lemak)
21
2.2.5.2. Klasifikasi kebakaran Indonesia
Menurut Peraturan Mentri Tenaga kerja dan
Transmigrasi No. Per-04/MEN/1980, kebakaran dapat
diklasifikasikan sebagai berikut ;
Tabel 2.2 Klasifikasi kebakaran menurut Permenakertrans
(Sumber : PERMENAKERTRANS RI No. Per. 04/MEN/1980)
Kelas Material /Jenis Alat Pemadam
Kelas A Kebakaran dengan bahan padat bukan
logam
Air sebagai alat pemadam pokok
Kelas B Kebakaran dengan bahan cair atau gas
mudah terbakar
jenis basah sebagai alat pemadam pokok
Kelas C Kebakaran instalasi listrik bertegangan
Dry Chemical, CO2, Gas Hallon
Kelas D Kebakaran dengan bahan bakar logam
Bubuk kimia kering (Dry Sand bubuk
pryme)
2.2.6. Klasifikasi Kebakaran sesuai jenis tempat kerja
Potensi bahaya kebakaran adalah tingkat kondisi atau
keadaan bahaya kebakaran yang terdapat pada objek tertentu
tempat manusia beraktifitas. Menurut Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. KEP.186/MEN/1999 tentang Unit
Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja, juga
mengklasifikasi kebakaran sesuai dengan jenis tempat
kerjanya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini ;
22
Klasifikasi Jenis Tempat Kerja
Bahaya Kebakaran Ringan
Tempat kerja yang mempunyai jumlah
dan kemudahan terbakar rendah, dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan
panas rendah sehingga menjalarnya api
lambat.
Tempat ibadah
Gedung/ruang perkantoran
Gedung/ruang pendidikan
Gedung/ruang perumahan
Gedung/ruang perawatan
Gedung/ruang restoran
Gedung/ruang perpustakaan
Gedung/ruang perhotelan
Gedung/ruang lembaga
Gedung/ruang rumah sakit
Gedung/ruang museum Gedung/ruang penjara
Bahaya Kebakaran Sedang I
Tempat kerja yang mempunyai jumlah
dan kemudahan terbakar sedang,
menimbun bahan dengan tinggi tidak
lebih dari 2,5 meter dan apabila terjadi
kebakaran melepaskan panas sedang.
Tempat parkir
Pabrik elektronika
Pabrik roti
Pabrik barang gelas
Pabrik minuman
Pabrik permata
Pabrik pengalengan
Binatu Pabrik susu
Bahaya Kebakaran Sedang II
Tempat kerja yang mempunyai jumlah
dan kemudahan terbakar sedang,
menimbun bahan dengan tinggi lebih
dari 4 meter dan apabila terjadi
kebakaran melepaskan panas sedang
sehingga menjalarnya api sedang.
Penggilingan padi
Pabrik bahan makanan
Percetakan dan penerbitan
Bengkel mesin
Gudang pendinginan Perakitan kayu
Gudang perpustakaan
Pabrik barang keramik
Pabrik tembakau
Pengolahan logam
Penyulingan
Pabrik barang kelontong
Pabrik barang kulit
Pabrik tekstil
Perakitan kendaraan bermotor
Pabrik kimia (kimiadengan kemudahan terbakar
sedang)
Pertokoan denganpramuniaga kurang dari 50
orang
23
Tabel 2.3 Klasifikasi kebakaran dan jenis tempat kerja
Sumber: Departemen Tenaga Kerja danTransmigrasi, 1999
Bahaya Kebakaran Sedang III Ruang pameran
Pabrik permadani
Pabrik makanan
Pabrik sikat
Pabrik ban
Pabrik karung
Bengkel mobil
Pabrik sabun
Pabrik tembakau
Pabrik lilin
Studio dan pemancar
Pabrik barang plastik
Pergudangan
Pabrik pesawat terbang
Pertokoan dengan pramuniaga lebih dari 30 orang
Penggergajian dan pengolahan
kayu
Pabrik makanan kering dari bahan tepung
Pabrik minyak nabati
Pabrik tepung terigu Pabrik pakaian
Bahaya Kebakaran Berat
Tempat kerja yang mempunyai jumlah
dan kemudahan terbakar tinggi, menyimpan bahan cair.
Pabrik kimia dengan kemudahan terbakar tinggi
Pabrik kembang api
Pabrik korek api
Pabrik cat
Pabrik bahan peledak
Penggergajian kayu dan penyelesaiannya
menggunakan bahan mudah terbakar
Studio film dan televisi Pabrik karet buatan Hangar Pesawat Terbang Pabrik Karet dan Plastik busa
24
2.2.7. Klasifikasi Tingkat Potensi Bahaya Kebakaran
Menurut peraturan Daerah DKI Jakarta no 08 tahun 2008
tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran,
mengklasifikasikan bahaya kebakaran menjadi:
1) Bahaya Kebakaran Ringan
Bahaya kebakaran ringan adalah ancaman bahaya
kebakaran yang mempunyai nilai dan kemudahan terbakar
rendah, apabila kebakaran melepaskan panas rendah,
sehingga penjalaran api lambat.
2) Bahaya Kebakaran Sedang I
Bahaya kebakaran sedang I adalah ancaman bahaya
kebakaran yang mempunyai jumlah dan kemudahan
terbakar sedang, penimbunan bahan yang mudah terbakar
dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 (dua setengah) meter dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang,
sehingga penjalaran api sedang.
3) Bahaya Kebakaran Sedang II
Bahaya kebakaran sedang II adalah ancaman bahaya
kebakaran yang mempunyai jumlah dan kemudahan
terbakar sedang; penimbunan bahan yang mudah terbakar
dengan tinggi tidak lebih dari 4 (empat) meter dan apabila
terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga
penjalaran api sedang.
4) Bahaya Kebakaran Sedang III
Bahaya kebakaran sedang III adalah ancaman bahaya
kebakaran yang mempunyai jumlah dan kemudahan
terbakar agak tinggi, menimbulkan panas agak tinggi serta
penjalaran api agak cepat apabila terjadi kebakaran.
25
5) Bahaya kebakaran berat I
Bahaya kebakaran berat I adalah ancaman bahaya
kebakaran yang mempunyai jumlah dan kemudahan
terbakar tinggi, menimbulkan panas tinggi serta penjalaran
api cepat apabila terjadi kebakaran,
6) Bahaya Kebakaran Berat II
Bahaya kebakaran berat II adalah ancaman bahaya
kebakaran yang mempunyai jumlah dan kemudahan
terbakar sangat tinggi, menimbulkan panas sangat tinggi
serta penjalaran api sangat cepat apabila terjadi kebakaran.
Sedangkan SNI 03-3987-1995, mengklasifikasikan bahaya
kebakaran menjadi tiga kelas, yaitu:
1) Bahaya kebakaran ringan
Bahaya kebakaran pada tempat yang hanya terdapat
sedikit barang jenis A yang dapat terbakar, termasuk
perlengkapan, dekorasi dan semua isinya, tempat yang
mengandung bahaya ini meliputi bangunan perumahan
(hunian), pendidikan (ruang kelas), kebudayaan dan
keagamaan. Kebakaran berdasarkan perhitungan bahwa
barang-barang dalam ruangan bersifat tidak mudah
terbakar, atau api tidak mudah menjalar. Di sini juga
termasuk barang- barang jenis B yang ditempatkan di
ruang tertutup dan tersimpan aman.
2) Bahaya kebakaran menengah
Bahaya kebakaran yang terjadi pada tempat yang terdapat
barang jenis A yang mudah terbakar dan jenis B yang
dapat terbakar dalam jumlah lebih banyak dari pada barang
yang terdapat di tempat yang mengandung bahaya
26
kebakaran ringan. Tempat ini meliputi bangunan
perkantoran, rekreasi, umum, pendidikan (ruang
praktikum).
3) Bahaya kebakaran tinggi
Bahaya kebakaran pada tempat dimana terdapat barang-
barang jenis A yang mudah terbakar dan jenis B yang
dapat terbakar, yang jumlah nya lebih banyak dari yang
diperkirakan pada jumlah yang terdapat pada bahaya
kebakaran menengah. Tempat ini meliputi bangunan
transportasi (terminal), perniagaan (tempat pameran hasil
produksi, showroom), pertokoan, pasar raya dan gudang.
2.3. Teori Proteksi Kebakaran
2.3.1. Defenisi Sistem Proteksi Kebakaran
Permen PU no 26/PRT/M 2008 mendefinisikan sistem
proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan
adalah sistem yang terdiri atas peralatan, kelengkapan, dan
sarana, baik yang terpasang maupun terbangun pada
bangunan yang digunakan baik untuk tujuan sistem proteksi
aktif, sistem proteksi pasif maupun cara-cara pengelolaan
dalam rangka melindungi bangunan dan lingkungannya
terhadap bahaya kebakaran.
Proteksi kebakaran berhubungan dengan desain, sistem,
atau perlengkapan dalam gedung, struktur, atau situasi, yang
beresiko terjadinya kebakaran, untuk mengurangi bahaya bagi
manusia dan properti dengan deteksi, pemadaman atau
pengendalian kebakaran (Ridley, 1990). Menurut NFPA 550
(1986) tiga unsur dasar dari keselamatan kebakaran yaitu :
27
1) Menyelamatkan jiwa (life safety)
2) Perlindungan harta benda ( property protection)
3) Kelangsungan operasional (operational continuity)
Sistem proteksi kebakaran bertujuan untuk mendeteksi
dan memadamkan kebakaran sedini mungkin dengan
menggunakan peralatan yang digerakan secara manual atau
otomatis (Ramli, 2010). Sistem proteksi kebakaran dibagi
menjadi 2 yaitu sistem proteksi kebakaran aktif dan sistem
proteksi kebakaran pasif.
2.3.2. Sistem Proteksi Pasif
Menurut Perda DKI No 8 Tahun 2008, yang dimaksud
dengan proteksi pasif adalah sistem perlindungan terhadap
kebakaran yang dilaksanakan dengan melakukan pengaturan
komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan
struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni
dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran meliputi
antara lain bahan bangunan gedung, konstruksi bangunan
gedung, kompartementasi, pintu tahan api, penghenti api,
pelapis tahan api, dan lain lain yang berfungsi untuk
mencegah dan membatasi penyebaran kebakaran, asap dan
keruntuhan sehingga penguni bangunan mempunyai cukup
waktu untuk melakukan evakuasi secara aman tanpa
dihalangi oleh penyebaran api dan asap kebakaran.
Sedangan menurut PERMEN No/26/PRT/M 2008
mendefenisikan sistem kebakaran pasif sebagai sistem
proteksi kebakaran yang terbentuk atau terbangun melalui
pengaturan penggunaan bahan dan komponen struktur
bangunan, kompertemenisasi atau pemisahan bangunan
berdasarkan tingkat ketahanan terhadap api serta
perlindungan terhadap bahaya panas.
28
2.3.3. Sistem Proteksi Aktif
Sistem proteksi kebakaran aktif adalah sistem proteksi
kebakaran yang secara lengkap terdiri atas sistem
pendeteksian kebakaran baik manual ataupun otomatis,
sistem pemadam kebakaran berbasis air seperti sprinkler,
pipa tegak dan selang kebakaran, serta sistem pemadam
kebakaran berbasis bahan kimia, seperti APAR dan pemadam
khusus (Departemen PU, 2008). Sistem proteksi aktif ada 5
diantaranya Detektor, Fire Alarm, Sprinkler, Hidrant dan
APAR.
Gambar 2.5 Alat Proteksi Kebakaran Aktif
Sumber : https://www.indonetwork.co.id/apar?page=8
29
2.4. Teori APAR (Alat Pemadam Api Ringan)
2.4.1. Defenisi APAR (Alat Pemadam Api Ringan)
Alat pemadam api ringan (APAR) ialah alat pemadam
yang bisa diangkut, diangkat, dan dioperasikan oleh satu
orang. (Soehatman Ramli, 2010). Kemampuan alat pemadam
untuk memadamkan kebakaran disebut fire rating. Fire rating
diberi kode huruf dan angka, angka menunjukan ukuran
besarnya api yang dapat dipadamkan dan huruf menunjukan
kelas kebakaran. Misal untuk APAR dengan kebakaran kelas
A, Rating 1 A maksudnya adalah kemampuan APAR tersebut
setara dengan APAR yang berisi air 1 – 1.25 galon. Untuk
kelas kebakaran B, apabila ratingnya 40 B maka luas
kebakaran kelas B yang dapat dipadamkan seluas 40 ft 2.
Salah satu pertimbangan untuk menentukan jumlah APAR
yang dibutuhkan adalah menurut tingkat risiko kebakaran
yaitu :
1) Tingkat bahaya rendah (Low hazard) seperti kantor, ruang
kelas, kamar hotel, dan lain-lain.
2) Tingkat bahaya sedang (Ordinary hazard) seperti gudang,
ruang pamer mobil, dan lain- lain.
3) Tingkat bahaya tinggi (High hazard), bengkel, dapur,
SPBU, pabrik, dan lain-lain.
Menurut Depnaker (1987), Pemilhan APAR harus di
perhatikan hal-hal sebagai berikut;
1) Jenis harus sesuai dengan klasifikasi kebakaran yang
mungkin terjadi
2) Jenis dan ukuran harus sesuai dengan beban kebakaran
3) Harus dirawat secara teratur agar senantiasa siap pakai
4) Karyawan yang ada harus dapat mengoperasikan nya
30
Gambar 2.6 Alat Pemadam Api Ringan
Sumber : Laporan Tugas Besar APAR (Aprillia S.Anggraeni,
2015)
2.4.2. Jenis – Jenis APAR
Mengenal berbagai jenis media pemadam api
dimaksudkan agar dapat menentukan jenis media yang tepat,
sehingga dapat dicapai pemadaman yang efektif, efisien dan
aman. Media pemadaman api yang umum dipakai untuk alat
pemadam api ringan adalah :
2.4.2.1. Jenis APAR menurut OSHA
1) APAR Jenis air
APAR yang berisikan air ini hanya untuk digunakan
untuk kebakaran tipe A, yaitu kebakaran bahan padat
bukan logam, contohnya kayu, kertas, karton/kardus, kain,
kulit, plastik. Sistem kerja dari APAR yang berisikan air ini
adalah dengan menghilangkan unsur panas dari segitiga
api, yaitu mendinginkan permukaan dari bahan bakar
tersebut. APAR jenis ini tidak boleh digunakan pada
kebakaran pada cairan mudah terbakar dan juga
kebakaran pada elektrik, dikarenakan air merupakan
penghasil panas yang baik sehingga api akan semakin
membesar.
31
Gambar 2.7 Water Extinguisher
Sumber: Laporan Tugas Besar APAR (Aprillia S.Anggraeni,
2015)
2) APAR Jenis Serbuk Kimia Kering
Sifat serbuk kimia ini tidak beracun tetapi dapat
menyebabkan untuk sementara sesak nafas dan
pandangan mata agak terhalang. Dapat digunakan untuk
memadamkan kebakaran kelas A, B dan C. Daya
pemadaman dari serbuk kimia kering tergantung pada
jumlah serbuk yang dapat menutupi permukaan yang
terbakar. Cara kerja dari pemadam ini adalah dengan
merusak reaksi kimia pembakaran dengan membentuk
lapisan tipis pada permukaan bahan yang terbakar. Makin
halus butiran serbuk kimia kering maka makin luas
permukaan yang ditutupi. Karena kemampuannya untuk
mematikan jenis api di tiga kelas, jenis tabung ini paling
banyak digunakan diberbagai kantor dan perumahan.
32
Gambar 2.8 Dry Chemical Estinguisher
Sumber: Laporan Tugas Besar APAR (Aprillia S.Anggraeni,
2015)
3) APAR Jenis Carbon Dioksida ( CO2 )
APAR ini berisikan bahan karbondioksida (CO2)
yang merupakan gas tidak mudah terbakar pada tekanan
sangat rendah. Api dipadamkan dengan menggantikan
oksigen atau dengan kata lain mengisolasi oksigen yang
merupakan salah satu elemen dari segitiga api. CO2
mempunyai pengaruh pendinginan yang efektif dan
memadamkan api dengan mengurangi kadarnya oksigen
dari udara.
APAR tipe ini digunakan untuk kebakaran tipe B dan C,
yaitu kebakaran bahan cair atau gas mudah terbakar dan
kebakaran instalasi listrik bertegangan. APAR ini tidak
boleh digunakan pada kebakaran tipe A dikarenakan api
semakin membesar jika karbon dioksida sudah habis.
Selain itu, dilarang menggunakan APAR ini pada ruangan
tertutup ketika masih ada orang tanpa menggunakan alat
pelindung pernafasan yang baik.
33
Gambar 2.9 Carbon dioxide extinguisher
Sumber: Laporan Tugas Besar APAR (Aprillia S.Anggraeni,
2015)
4) Dry and Wet Chemical (Kimia Basah dan Kering)
Alat pemadam jenis ini digunakan untuk memadamkan
api karena kebakaran minyak (nabati) dapur (kelas K).
Ketika memakai jenis alat pemadam ini lampu dan listrik
harus dimatikan karena agen pemadam ini bersifat
konduktif listrik. Untuk jenis kimia kering menggunakan
agen bernama kalium bikarbonat sedangkan jenis kimia
basah menggunakan kabut halus.
2.4.2.2. Jenis APAR menurut PERMENAKER No. PER.
04/MEN/1980, yaitu :
1. Jenis cairan (air)
2. Jenis busa
3. Jenis tepung kering
4. Jenis gas (hydrocarbon berhalogen dan sebagainya)
2.4.3. Tipe Konstruksi APAR
1) Tipe tabung gas (gas container type) adalah suatu
pemadam yang bahan pemadamnya di dorong keluar oleh
gas bertekanan yang dilepas dari tabung gas.
2) Tipe tabung bertekanan tetap (stored preasure type) adalah
suatu pemadam yang bahan pemadamnya didorong keluar
oleh gas tanpa bahan kimia aktif atau udara kering yang
34
disimpan bersama dengan tepung pemadamnya dalam
keadaan bertekanan.
2.4.4. Penandaan dan Pengenalan
1) Penandaan APAR
Penandaan yang di syaratkan Kalimat yang bermakna
umum tidak menjurus seperti “mutu”, “umum”, atau
“universal” tidak boleh dituliskan pada pelat nama yang
dipasang pada badan APAR. Setiap APAR harus memiliki
keterangan sebagai berikut:
Kata jenis tepung Kimia Kering “ yang disusul tipe APAR
sesuai dengan ketentuan “Tipe Tabung Gas” atau “Tipe
Tabung Bertekanan Tetap”
(1) Cara pemakaian
(2) Nama dan alamat pabrik pembuat atau penjualnya
yang bertanggung jawab.
2) Cara Penandaan
Penandaan APAR dapat dilakukan dengan cara:
(1) Huruf timbul/sketsa pada plat logam yang disolder
atau pada tabung APAR
(2) Dicat langsung pada tabung APAR 31
(3) Dengan label yang tahan lama
(4) Tahun harus ditandakan secara permanen pada
badan APAR
3) Warna Pengenal
Badan APAR harus berwarna merah (DEPNAKER, 1999)
35
2.4.5. Perhitungan APAR
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. Per.04/MEN/1980, perhitungan
jumlah APAR adalah sebagai berikut:
Jumlah APAR yang di butuhkan =
Dimana : Luas Bangunan yang dilindungi =
D2
D = Luas Jangkauan APAR = 15 meter
Maka, luas perhitungan 1 APAR =
x 152
Menurut NFPA 10, perhitungan jumlah APAR
adalah sebagai berikut :
1) Penentuan luas jangkauan maksimum APAR
adalah 11.250 ft2, didapatkan dari gambar di
bawah ini:
Gambar 2.10 Jangkauan Maksimal APAR
(Sumber : NFPA 10 tahun 2013)
36
2) Penentuan jumlah APAR Rating A dengan cara,
menentukan jumlah APAR dengan asumsi jangkauan
maksimum APAR (11.250 ft2). Jadi jumlah APAR yang
akan digunakan lebih sedikit dengan ketentuan rating
APAR yang besar. Misalkan seperti perhitungan dibawah
ini
Jumlah APAR=
2.4.6. Penempatan APAR
2.4.6.1. Penempatan APAR menurut Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 04/ MEN/
1980
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. Per. 04/ MEN/ 1980, ketentuan-
ketentuan pemasangan APAR adalah sebagai
berikut :
1) Setiap satu atau kelompok alat pemadam api
ringan harus ditempatkan pada posisi yang mudah
dilihat dengan jelas, mudah dicapai dan di ambil
serta di lengkapi dengan pemberian tanda
pemasangan
2) Tinggi pemberian tanda pemasangan tersebut
adalah 125 cm dari dasar lantai tepat diatas satu
atau kelompok alat pemadam api ringan
bersangkutan
3) Pemasangan dan penempatan alat pemadam api
ringan harus sesuai dengan jenis dan
penggolongan kebakaran
4) Penempatan alat pemadam api ringan yang satu
dengan yang lainnya atau kelompok satu dengan
37
yang lainnya tidak boleh melebihi 15 meter,
kecuali ditempatkan lain oleh pegawai pengawas
atau ahli keselamatan kerja
5) Pemasangan alat pemadam api ringan harus
sedemikian rupa sehingga bagian paling atas
berada pada ketinggian 1,2 m dari permukaan
lantai kecuali jenis CO2 dan tepung kering dry
powder dapat ditempatkan lebih rendah dengan
syarat, jarak antara dasar alat pemadam api
ringan tidak kurang 15 cm dari permukaan lantai
6) Alat pemadam api ringan tidak boleh dipasang
dalam ruangan atau tempat dimana suhu melebihi
490C atau turun sampai minus 440C kecuali
apabila alat pemadam api ringan tersebut dibuat
khusus untuk suhu diluar batas tersebut diatas
2.4.6.2. Penempatan APAR menurut NFPA 10
Menurut NFPA 10 : Uniform Fire Code – 2003
editon, disebutkan bahwa instalasi rumah sakit (Health
Care Occupancles) diharuskan mempunyai sarana
sistem proteksi kebakaran APAR yang ditempatkan
didalam atau diluar ruangan dengan ketentuan seperti
yang dipersyaratkan dalam NFPA 10.
Ketentuan teknis atau syarat-syarat penempatan
dan pemasangan APAR menurut NFPA10 tahun 2013
sebagai berikut:
1) Pada APAR terdapat klasifikasi kelas kebakaran (A,
B, C, D, dan K)
2) Jarak antar APAR di tetukkan oleh kelas APAR,
untuk APAR kelas A berjarak 75 ft (22,9 m), kelas B
berjarak 50 ft (15,25 m), kelas C 75 ft (22,9 m)
38
kelas D 75 ft (22,9 m), dan kelas K 30 ft (9.15 m)
3) Isi APAR dijaga tetap penuh dan dapat dioperasikan
4) Ditempatkan didaerah yang sangat jelas dan mudah
dijangkau saat kebakaran
5) APAR yang ditempatkan diluar ruangan memiliki
ruang kabinet tapi tidak boleh dikunci
6) Penempatan tidak terhalang benda lain dan
terhindar dari bahaya kerusakan fisik
7) Diberi tanda pemasangan jika penghalangan oleh
benda lain tidak boleh dihindari
8) Terdapat petunjuk pengoperasian di bagian depan
APAR
9) Segel pengaman baik, tutup pengaman terpasang
kuat
10) Bobot tidak lebih dari 18,14 kg dan ujung atas APAR
berjarak 1,53 m dari lantai, jika bobot lebih dari
18,14 kg dipasang dengan ujung atas APAR
berjarak < 1,07 m dari lantai
11) Lumbang penyemprot tidak tersumbat, selang tidak
bocor
12) Agen belum lewat masa berlakunya
13) Tabung APAR berwarna merah, dalam keadaan
baik, tidak berkarat dan tidak bocor
14) APAR jenis CO2 dan Dry chemical penempatannya
1,5 m dari permukaan lantai
15) Semua tipe APAR tidak ditempatkan pada suhu 40C
dan pada suhu diatas 490C
Berdasarkan NFPA 10 tahun 2013 dijelaskan mengenai
penempatan APAR dimana penempatan ini tergantung
dari kelas kebakaran dan luas area bangunan. Berikut ini
akan dijelaskan mengenai penempatan APAR
berdasarkan kelas kebakaran.
39
Tabel 2.4 Luas area penempatan APAR
(Sumber : NFPA 10 Tahun 2013)
Keterangan :
1 ft2 = 0,0929 m2
Travel distance untuk kelas A,C dan D = 22,9 m
Travel distance untuk kelas B = 15,25 m dan K = 9,15 m
Rating APAR Bahaya Rendah Bahaya Sedang Bahaya Tinggi
(ft2) (ft2) (ft2)
1A ─ ─ ─
2A 6000 3000 ─
3A 9000 4500 ─
4A 11250 6000 4000
6A 11250 9000 6000
10A 11250 11250 10000
20A 11250 11250 11250
30A 11250 11250 11250
40A 11250 11250 11250
40
1) Kelas A
Jarak minimal penempatan APAR pada tabel
berikut :
Tabel 2.5 Jarak penempatan APAR kelas A
(Sumber : NFPA 10 tahun 2013)
Klasifikasi APAR
Rating APAR
Jarak Max Jangkauan APAR (ft2)
Luas Bangunan
Rendah 2A 75 11250
Sedang 2A 75 11250
Tinggi 4A 75 11250
2) Kelas B
Jarak minimal penempatan APAR dilihat pada tabel
berikut;
Tabel 2.6 Jarak penempatan APAR kelas B
(Sumber : NFPA 10 Tahun 2013)
Klasifikasi Rating Jarak Max. Jangkauan
Bahaya APAR APAR
(ft) (m)
5 B 30 9.15
Rendah
10 B 50 15.25
10 B 30 9.15
Sedang
20 B 50 15.25
41
40 B 30 9.15
Tinggi
80 B 50 15.25
3) Kelas C dan Kelas D
Jarak penempatan APAR untuk kelas C dan kelas
D sama dengan jarak penempatan kelas A
2.4.7. Penempatan APAR di gedung menurut NFPA 10 tahun
2013
Penempatan APAR (Alat Pemadam Api Ringan) dapat
ditentukan melalui survei fisik dari area yang akan dilindungi.
Secara umum, penentuan lokasi peletakkan APAR untuk
gedung harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
(1) Distribusi peletakkan APAR yang seragam
(2) Akses APAR yang mudah terjangkau
(3) Penyimpanan APAR tidak terhalang oleh benda lain
(4) Berada di jalur normal atau bebas hambatan
(5) Berada di dekat pintu masuk dan keluar pintu
(6) Bebas dari potensi kerusakan fisik
(7) Penempatan APAR mudah terlihat
(8) Ditentukan atas dasar lantai ke lantai
2.4.8. Inspeksi APAR
Menurut NFPA 10 tahun 2013, inspeksi APAR harus
di lakukan inspeksi sejak awal ditempatkan dan difungsikan
selanjutnya setelah interval waktu 30 hari APAR harus di
inspeksi secara manual atau di monitor secara elektronik,
pada interval waktu yang lebih jika keadaan membutuhkan.
Sekurang-kurangnya sebulan sekali pemeriksaan dilakukan
42
dan tanggal, nama petugas yang melakukan harus di catat
Berikut prosedur pemeriksaan yang harus diperhatikan
sebagai berikut:
(1) Instruksi pengoperasian APAR harus berada di depan
atau di atas APAR
(2) Akses ke APAR tidak terhalang.
(3) Petunjuk pengoperasian APAR dapat di baca dengan
jelas.
(4) Setiap segel atau indikator APAR tidak rusak dan hilang
(5) Pengukur tekanan atau Pressure APAR berada di
tekanan yang normal atau di posisi hijau
(6) APAR tidak korosi atau
Recommended