View
161
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
Citation preview
Pengusaha Sukses
1. Reza Nurhilman (AXL)
Profil Produk
1. Keripik singkong pedas ( level
3,5,10)
2. Baso Goreng
3. Gurilem
4. Seblak
Profil Bisnis
Dengan Tagline : “ For Ichiher With Love “ maicih ingin tampul dekat
dengan para penggemarnya, selalu memanjakan penggemarnya di
seantero nusantara dengan cita rasa yang berkualitas.
Belum genap setahun, 'keripik setan' bermerek Maicih menjadi ikon
jajanan yang fenomenal di Bandung. Bak tersihir, saat ini banyak orang
yang penasaran akan cemilan pedas yang satu ini. Sosok dibalik
kesuksesan Maicih adalah Reza Nurhilman atau yang akran disapa Axl.
Laki-laki berumur 23 tahun inilah yang menemukan resep keripik dari
seorang nenek-nenek.Axl bertemu sosok emak-emak (Nenek-nenek )
yang memang mempunyai resep keripik lada atau keripik setan yang
rasanya enak. Sosok emak-emak tersebut bukan bernama Maicih. Axl
sendiri membuat nama tersebut agar lebih nyeleneh dan mudah diingat
orang. Sosok emak-emak ini identik dengan ke-icihan. Dia pake selalu
pakai ciput. Nama aslinya bukan Mak Icih, biar nyeleneh saja jadi beri
nama Maicih. Pertemuan Axl dengan Si Emak tersebut terjadi sekitar 3
tahun lalu di daerah Cimahi. Menurut Axl, Emak tersebut tidak menjual
keripik setannya secara komersil. Keripik hanya diproduksi saat momen-
momen tertentu saja.
2. Puspo Wardoyo
Puspo Wardoyo, merintis waralaba Ayam Bakar Wong Solo hingga
menjadi sebesar sekarang ini dari titik paling bawah. Ia pernah
menjajakan ayam bakar di kaki lima. Sejak kecil Puspo sudah terbiasa
berurusan dengan ayam. Orangtuanya penjaja ayam. Pagi hari, Puspo
kecil membantu menyembelih ayam untuk dijual di pasar. Siang sampai
malam, ia membantu orangtuanya menjajakan menu siap saji seperti
ayam goreng, ayam bakar, dan menu ayam lainnya di warung milik
orangtuanya di dekat kampus UNS Solo.
Dia bercerita bahwa peluang usaha warung makan di Medan sangat
bagus. Pedagang bakso itu telah membuktikannya. Dalam sehari ia bisa
meraup keuntungan bersih di akhir tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000.
Dari keuntungan berjualan bakso dengan gerobak sorong itulah teman
Puspo ini bisa pulang menengok kampung halamannya di Solo setiap
bulan. "Dengan uang, jarak antara Solo Medan lebih dekat dibanding Solo
Semarang, " kata Puspoyo menirukan ucapan temannya tadi. Wajar saja
jika dengan pesawat terbang waktu tempuh antara MedanSolo Berganti
pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Sementara
dengan naik bis jarak antara SoloSemarang ditempuh sekitar empat jam.
3. Purdi E Chandra
Purdi E Chandra lahir di Lampung 9
September 1959. Secara “tak resmi”
Purdi sudah mulai berbisnis sejak ia
masih duduk di bangku SMP di Lampung,
yakni ketika dirinya beternak ayam dan
bebek, dan kemudian menjual telurnya
di pasar.
Bisnis “resminya” sendiri dimulai pada 10 Maret 1982, yakni ketika ia
bersama teman-temannya mendirikan Lembaga Bimbingan Test
Primagama (kemudian menjadi bimbingan belajar). Waktu mendirikan
bisnisnya tersebut Purdi masih tercatat sebagai mahasiswa di 4 fakultas
dari 2 Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Namun karena merasa
“tidak mendapat apa-apa” ia nekad meninggalkan dunia pendidikan untuk
menggeluti dunia bisnis.
Dengan “jatuh bangun” Purdi menjalankan Primagama. Dari semula
hanya 1 outlet dengan hanya 2 murid, Primagama sedikit demi sedikit
berkembang. Kini murid Primagama sudah menjadi lebih dari 100 ribu
orang per-tahun, dengan ratusan outlet di ratusan kota di Indonesia.
Karena perkembangan itu Primagama ahirnya dikukuhkan sebagai
Bimbingan Belajar Terbesar di Indonesia oleh MURI (Museum Rekor
Indonesia).
Kini Primagama sudah menjadi Holding Company yang membawahi lebih
dari 20 anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang seperti:
Pendidikan Formal, Pendidikan Non-Formal, Telekomunikasi, Biro
Perjalanan, Rumah Makan, Supermarket, Asuransi, Meubelair, Lapangan
Golf dan lain sebagainya.
Walaupun kesibukannya sebagai entrepreneur sangat tinggi, namun jiwa
organisatoris Purdi tetap disalurkan di berbagai organisasi. Tercatat Purdi
pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
(HIPMI) cabang Yogyakarta dan pengurus Kamar Dagang dan Industri
Daerah (Kadinda) DIY. Selain itu Purdi pernah juga tercatat sebagai
anggota MPR RI Utusan Daerah DIY.
4. Carline Darjanto dan Ria Sarwono (Pemilik “Cottonink”
Carline dan Ria / Cottonink
Cottonink dirintis sejak November
2008 dengan niat ‘coba-coba’ dari
Carline Darjanto dan Ria Sarwono.
Lalu, perlahan-lahan, mereka
serius mengembangkan bisnis
Cottonink dengan sedikit demi
sedikit memperbanyak koleksi baru. Promosi lewat media sosial dan
komitmen untuk selalu mendengarkan keluhan pelanggan juga membuat
Cottonink menjadi besar seperti sekarang.
“Oleh karena itu, kami membuka online shop sebagai alternatif berbelanja
baju lewat internet yang dapat dilakukan dari manapun dan kapanpun”
5. Dion Arochman (Pemilik “Garda Jersey”)
Dion Arochman / Garda Jersey
Mahasiswa tingkat tiga di Universitas Indonesia ini
bisa menjual tujuh ribu sampai sepuluh ribu jersey
per bulan. Dengan bisnis online-nya, kini Dion bisa
membantu orang tua untuk membiayai kuliahnya.
Selain itu, ia juga membantu untuk membeli buku,
hingga membayar biaya sewa kost di Depok, Jawa
Barat.
“Bisnis online sama orang punya toko (offline) itu memang berbeda
sekali. Jauh. Jadi, kalau dihitung menurut keuangannya, kita lebih untung
di bisnis online karena kita tidak bayar sewa toko. Begitu pula dengan
saya”
6. Puspa Sri Wulandari (Pemilik “ProdukAnak.com”)
Puspa Sri Wulandari /
ProdukAnak.com
Puspa mengatakan, ada
beberapa keuntungan yang bisa
didapatkan jika ia membuka toko
online. Salah satunya adalah
jauh dari utang-piutang. Karena, transaksi langsung dilakukan tanpa
kredit lewat transfer antar-bank.
“Semua pembayaran berbentuk cash sehingga tidak ada utang. Kami
paling tidak bisa menagih utang. Selain itu, pemasaran bisa dilakukan ke
seluruh Indonesia. Jadi, bisa punya banyak teman di mana-mana. Kami
juga bisa menawarkan produk-produk yang unik yang belum tentu bisa
laku kalau di jual secara offline.”
7. Yuliadi (Pemilik “Original-Solution.com”)
Yuliadi / Original-Solution.com
Bisnis aksesori gadget milik Yuliadi di
offline sudah cukup besar. Ini terbukti dari
tiga buah toko offline-nya yang berada di
tiga pusat perbelanjaan terkenal di
Jakarta. Walaupun usaha tersebut sudah
besar, Yuliadi ingin mencoba untuk
menjajal ranah online dengan membuka
situs toko online yang ia kelola sendiri
bersama timnya.
“Saya melihat bahwa dunia online mulai
berkembang. Teknologi internet pun juga maju. Saya membaca di media
bahwa pengguna internet di Indonesia jumlahnya banyak. Kesimpulannya,
bisnis online memiliki prospek yang baik saat ini. Karenanya, saya mulai
membuka website dan berjualan di e-commerce.”
8. Bu Sukini
Dia hanya seorang ibu rumah
tangga biasa yang
kesehariannya hanya bergelut
dengan segala urusan rumah.
Hingga akhirnya tahun 1990 dia
dikarunia anak pertama. "Begitu
lahir Galih Widodo, anak
pertama kami, saya merasa
kebutuhan rumah tangga semakin bertambah, sementara suamiku cuma
bekerja serabutan. Paling sering kerja proyek. Tidak ada pemasukan yang
lain," katanya saat ditemui Derap Serayu di rumahnya, RT 3 RW X,
kompleks belakang Pasar Gumiwang, Banjarnegara, belum lama ini.
Keinginannya untuk membantu suami semakin kuat ketika dia menyadari
kesehariannya makin lebih besar pasak daripada tiang (lebih banyak
pengeluaran daripada pemasukan). Terutama desakan untuk memenuhi
kebutuhan bagi putra pertamanya yang baru lahir. Meski sang suami
Siswanto (48) selalu berusaha memenuhi apapun permintaannya, tapi dia
merasa masih cukup punya energi untuk meringankan beban suami
mencari uang.
Selain keripik pisang, Sukini juga membuat sale dan menggoreng kacang
kulit. Secara umum, usaha keripik pisang yang dilakukan bungsu dari
delapan bersaudara itu berhasil. Meskipun pemasarannya masih
dilakukan secara tradisional.
Awalnya Sukini hanya mempekerjakan 3 orang untuk membantu
usahanya, tapi kini usahanya bisa menyerap tenaga kerja lokal
(tetangganya) sebanyak 25 orang. “Bahkan ketika permintaan pasar
membludak, seperti pada saat lebaran, pekerja pun saya tambah sampai
30 orang,” ungkapnya.
9. Liana
Sebagai pengusaha pemula, Lianna enggan untuk
mengecewakan pelanggannya, sehingga ia pun
berburu pengrajin lain. Bahkan, ia sampai keluar
masuk perkampungan Bogor dengan berjalan
kaki, tujuannya hanya satu ingin mencari
pengrajin sepatu yang bisa diandalkan. Dan ia
pun menemukannya di Kota Bandung!
Jenis kerja sama yang ia terapkan pada pengrajin Bandung ini berbeda dengan
yang sebelumnya. Kali ini Lianna memasok semua bahan produksi sepatu,
singkatnya si pengrajin hanya mengerjakan sepatu sesuai desain Lianna. Tapi,
malang diterima, Lianna malah menuai kerugian, karena modal yang ia keluarkan
banyak terpakai untuk bahan pembuatan sepatu.
Pada awal 2010, tren batik sedang semarak di Indonesia. Sedangkan produk
fashion alas kaki, hanya sebagai sandal batik saja. Melihat ada peluang bisnis pada
tren ini, Lianna pun berpikir kenapa tidak membuat sepatu batik yang berkelas,
apalagi, batik garut sedang hot dengan motif dan warna yang cerah.
Dengan menambah modal puluhan juta, Lianna pun mulai mengembangkan sepatu
batik. Ia melakukan banyak uji coba untuk melekatkan kain batik ke bahan lain
yang menjadi dasar sepatu. Yang seluruhnya dilalui dengan tahapan yang tidak
mudah.
10. Bang Sodik
Seperti kebanyakan orang yang ingin keluar
dari hidup yang serba terbatas, Sodikin pun
rela meninggalkan kampungnya tercinta,
untuk mengadu nasib di tempat lain. Dan
yang menjadi pilihannya adalah kota Semarang, yang menjanjikan masa
depan bagi orang – orang di sekitar Jawa Tengah.
Sodikin pun hijrah ke Semarang dan bekerja di bagian food court pada
sebuah perusahaan. Setelah beberapa tahun bekerja di sana, Sodikin
merasa tak mungkin bisa jadi orang sukses jika terus – terusan jadi
karyawan. Dia sadar harus maju, harus berubah. Sodikin pun mulai
berpikir membuka usaha sendiri. Dan yang jadi pilihannya adalah
martabak, sebab menurutnya cara membuatnya mudah.
Dibantu Sunarti sang istri, Sodikin mengawali usaha pada tahun 1993
dengan berjualan secara kaki lima. Bukan hanya martabak, dirinya juga
menambah dengan tahu petis. Namun, kenyataan memang tak seindah
harapan. Karena perantau, dirinya sama sekali tak punya teman di
Semarang. Sehingga tak tahu strategi apa yang harus dijalankan agar
sukses berjualan di kota ini. Akibatnya, di awal tahun usahanya tak
memberikan hasil maksimal. Sehari dia hanya mendapatkan keuntungan
Rp. 11.000.
Sodikin menuturkan, kunci kesuksesannya adalah berani dan modal
nekad serta optimis. Dan yang tak kalah penting, untuk perantau seperti
dirinya, harus segera punya teman, sebab itu sangat membantu
kelancaran usaha. Dan dari berteman dengan Sriboga Raturaya, dirinya
menemukan bahan baku yang tinggi kualitasnya.
Lebih dari itu, Sodikin dan istri juga merasa dihargai, sebab mendapatkan
bimbingan usaha lewat sarana Koperasi Mitra Sriboga. Selain itu, dia juga
diajak mengunjungi sentra industri kecil lain untuk studi banding. Setelah
belasan tahun berbisnis martabak, Sodikin sudah mendapatkan hasil yang
semakin melebarkan senyumnya. Omzet usahanya mencapai 30 juta per
minggu, dengan konsumsi empat sak Beruang Biru dan Tali Emas per
minggunya.
Sekian Terima kasih
Recommended