View
23.829
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain:
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan
prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak
berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan
hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra
mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Dalam percakapan sehari-hari dikalangan guru dan mahasiswa jurusan PLB
masih sering terjadi ketidak konsistenan dalam menggunakan istilah menggunakan
istilah anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus oleh sebagian
orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak
penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tidak tepat, sebab
pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-
anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di
dalamnya anak-anak penyandang cacat). Mereka memerlukan layanan yang
bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan
sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis
pendidikan bagi Anak
1
Umumnya guru memiliki catatan atau rekaman tentang perkembangan masing-
masing siswa, bagaimana kondisinya dan kebutuhan pendidikan apa yang diperlukan,
terlebih untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Untuk mengenali anak-anak berkebutuhan khusus dapat dimulai dengan
melakukan identifikasi. Identifikasi dalam pengertian ini, dimaksudkan adalah usaha
untuk mengenali atau menemukan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan ciri-ciri
yang ada. Dalam kamus kontemporer dijelaskan bahwa yang dimaksud identifikasi
adalah pengenalan, penyamaan, dan tanda bukti pengenal, menemukenali anak-anak
berkebutuhan khusus sudah barang tentu membutuhkan perhatian serius. Ada anak-
anak dengan mudah dapat dikenali sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi ada juga
yang membutuhkan pendekatan dan peralatan khusus untuk menentukan, bahwa anak
tersebut tergolong anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang mengalami kelainan
fisik misalnya, dapat dikenali dengan keberadaannya, sebaliknya untuk anak-anak
yang mengalami kelainan dalam segi intelektual maupun emosional memerlukan
instrument dan alasan yang rasional untuk dapat menentukan keberadaanya.1
1.2. Analisis Stuasi
Anak berkebutuhan khusus mempunyai ciri yang perlu dikenal dan
diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya karena membutuhkan pelayanan
pendidikan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan
medik, latihan-latihan terapetik, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan
untuk membantu mengurangi keterbatasannya dalam hidup bermasyarakat.
Prevalensi anak berkebutuhan khusus semakin hari semakin meningkat. Data
yang didapatkan dari SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh. Jumlah Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) khususnya di Yayasan BUKESRA Ulee kareng Banda
Aceh, sejumlah 57 Orang, dari 57 orang tersebut terdiri dari , tunagrahita, tuna netra,
1 http://wahyupgsd10.blogspot.com/2013/07/layanan-pendidikan-anak-berkebutuhan.html
2
tuna rungu, dan tuna daksa termasuk cacat bawaan lahir, contohnya seper lahir dengan
tampa kaki sebelah dan kaki pendek sebelah.
Di luar data tersebut tentu masih banyak anak berkebutuhan khusus yang
belum teridentifikasi dengan jelas jenis kelainan dan belum mendapatkan layanan
yang sesuai dengan kebutuhan anak. Terbatasnya pengetahuan masyarakat mengenai
anak berkebutuhan khusus menjadi salah satu penyebab permasalahan tersebut. Oleh
karena itu, perlu adanya sosialisasi serta identifikasi anak berkebutuhan khusus di
masyarakat maupun sekolah umum.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang muncul adalah :
a. Apa itu ABK ( Anak berkebutuhan Khusus) ?
b. Apa pengertian dan pembagian Tunagrahita ?
c. Bagaimana keadaan dan pendidikan anak berkebutuhan khusus pada SLB-AB
BUKESRA Ulee kareng Banda Aceh Khususnya bagi anak tuna Grahita?
1.3. Tujuan Identifikasi
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam kegiatan identifikasi terhadap anak
ABK di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh adalah:
a. Mengetahui pengertian ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
b. Mengetahui pengertian Tunagrahita dan pembagiannya
c. Mengetahui bagaimana cara mendidik anak yang menderita tunagrahita ringan
pada SD-LB Yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh
3
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1. Pengetian Pendidikan ABK ( Anak Berkebutuhan Khusus)
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis
pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1)
UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan
Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi Pendidikan
Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang
pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia.
Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di
Indonesia dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu,
SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk
tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Seharusnya Pemerintah dapat memberikan perlakuan yang sama kepada Anak
Indonesia tanpa diskriminasi, kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri, SMA
Negeri untuk anak bukan ABK, maka juga harus berani mendirikan SD-LB Negeri,
SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri bagi ABK. Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi
Jawa Tengah dan DIY baru Pemerintah Kabupaten Cilacap yang berani mendirikan
4
SLB-AB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri masing-masing berdiri sendiri
sebagai satuan pendidikan formal.
2.2. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social,
emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-
anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain:
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan
prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak
berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan
hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra
mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.2
Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan
tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak
memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan
kebutuhan khusus.3
Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, tetapi khusus
untuk keperluan pendidikan inklusi, anak dengan kebutuhan khusus akan
dikelompokkan menjadi 9 jenis. Berdasarkan berbagai studi, ke 9 jenis ini paling
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus3 http://nanaplb11.blogspot.com/2013/03/pengertian-dan-jenis-jenis-abk.html
5
sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Jika di luar 9 jenis tersebut masih dijumpai
di sekolah, maka guru dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk
menanganinya, seperti anak-anak autis, anak korban narkoba, anak yang memiliki
penyakit kronis, dan lain-lain.
Namun anak yang Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk
menggantikan kata Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan
khusus yang memiliki karakteristik berbeda antara satu dengan yang lainnya (Delphie,
2006:1).
ABK terdiri atas beberapa kategori. Kategori cacat A (tunanetra) ialah anak
dengan gangguan penglihatan, kategori cacat B (tunawicara dan tunarungu) ialah anak
dengan gangguan bicara dan gangguan pendengaran. Kategori ini dijadikan satu
karena biasanya antara gangguan bicara dan gangguan pendengaran terjadi dalam satu
keadaan, kategori cacat C (tunagrahita) ialah anak dengan gangguan intelegensi
rendah atau perkembangan kecerdasan yang terganggu, kategori cacat D (tunadaksa)
ialah anak dengan gangguan pada tulang dan otot yang mengakibatkan terganggunya
fungsi motorik, kategori cacat tunalaras ialah anak dengan gangguan tingkah laku
sosial yang menyimpang, kategori anak berbakat ialah anak dengan keunggulan dan
kemampuan berlebih (IQ tinggi), dan kategori anak berkesulitan belajar ialah anak
dengan ketidakberfungsian otak minimal (Somantri, 2006:65-193).
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus,
seperti disability, impairment, dan Handicap. Menurut World Health Organization
(WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut:
1. Disability : keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari
impairment) untuk menamilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih
dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu.
6
2. Impairment: kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau
struktur anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ.
3. Handicap : Ketidak beruntungan individu yang dihasilkan dari impairment
atau disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang
normal pada individu.
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
2.3. Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita merupakan asal dari kata tuna yang berarti “merugi” sedangkan
grahita yang berarti “pikiran”. Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental
(Mental Retardation) yang artinya terbelakang mental. Tunagrahita juga memiliki
istilah- istilah sebagai berikut :
1. Lemah fikiran (feeble minded)
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded)
3. Bodoh atau dungu (idiot)
4. Cacat mental
5. Mental Subnormal, dll.
Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi
dibawah intelegensi normal. Menurut American Asociation on Mental Deficiency
mendefinisikan Tunagrahita sebagai suatu kelainan yang fungsi intelektual umumnya
di bawah rata- rata, yaitu IQ 84 ke bawah. Biasanya anak- anak tunagrahita akan
mengalami kesulitan dalam “Adaptive Behavior” atau penyesuaian perilaku. Hal ini
berarti anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran
(standard) kemandirian dan tanggung jawab sosial anak normal yang lainnya dan juga
7
akan mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan berkomunikasi dengan
kelompok usia sebaya.
Anak- anak yang sulit berkomunikasi tidak selamanya itu adalah anak
tunagrahita. Bisa jadi anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antara
autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan yang
diberikan pun harus berbeda. Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami
gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris,
pola bermain, dan emosi 4. Penyebabnya karena antar jaringan dan fungsi otak tidak
sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya biasa- biasa saja. Survei
menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke
atas. Ketika dikandung, asupan gizi ke ibunya tak seimbang. Adapun tunagrahita
adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah
rata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan
tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak
sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika
dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
Anak tunagrahita kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat
abstrak, yang sulit-sulit dan yang berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau
tidak berhasil bukan sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-
lamanya dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya. Lebih-
lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan
symbol-simbol berhitung, dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga
mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Pendapat diatas sejalan dengan definisi yang ditetapkan AAMD yang dikutip
oleh Grossman (Kirk & Gallagher, 1986:116), yang artinya bahwa ketunagrahitaan
4 http://annesdecha.blogspot.com/2010/03/pengertian-tunagrahita.html
8
mengacu pada sifat intelektual umum yang secara jelas dibawah rata-rata, bersama
kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung pada masa perkembangan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :
1. Anak tunagrahita memiliki kecerdasan dibawah rata-rata sedemikian rupa
dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
2. Adanya keterbatasan dalam perkembangan tingkah laku pada masa
perkembangan
3. Terlambat atau terbelakang dalam perkembangan mental dan social
4. Mengalami kesulitan dalam mengingat apa yang dilihat, didengar sehingga
menyebabkan kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi
5. Mengalami masalah persepsi yang menyebabkan tunagrahita mengalami
kesulitan dalam mengingat berbagai bentuk benda (visual perception) dan
suara (audiotary perception)
6. Keterlambatan atau keterbelakangan mental yang dialami tunagrahita
menyebabkan mereka tidak dapat berperilaku sesuai dengan usianya.
Tunagrahita/Cacat Ganda adalah kelainan dalam pertumbuhan dan
perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi / dalam
kandungan atau masa bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor organik
biologis maupun faktor fungsional, adakalanya disertai dengan cacat fisik dengan ciri-
ciri dan klasifikasi sebagai berikut.5
Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata (Somantri,2006:103). Istilah
lain untuk siswa (anak) tunagrahita dengan sebutan anak dengan hendaya
perkembangan. Diambil dari kata Children with developmental impairment. Kata
impairment diartika sebagai hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya
5 http://made688.wordpress.com/pengertian-tuna-grahita/
9
kemampauan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas (American Heritage
Dictionary,1982: 644; Maslim.R.,2000:119 dalam Delphie:2006:113).
10
BAB III
METODE IDENTIFIKASI
3.1. Ruang Lingkup
Identifikasi yang dilakukan untuk mengetahui bagai pendidikan, keadaan dan
perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng
Banda Aceh, yang khususnya penulis teliti pada anak yang mengalami/ menderita
Tunagrahita Ringan, berorientasi pada ciri-ciri atau karakteristik ada pada sesorang
anak, yang mencakup kondisi fisik, kemampuan intelektual, komunikasi, maupun
sosial emosional.
1. Kondisi fisik, ini mencakup keberadaan kondisi fisik secara umum (anggota
tubuh) dan kondisi indera seorang anak, baik secara organic maupun
fungsional, dalam artian apakah kondisi yang ada mempengaruhi fungsinya
atau tidak, misalnya apakah ada kelainan mata yang mempengaruhi fungsi
penglihatan. Ini juga mencakup mekanisme gerak-gerak motorik seperti
berjalan, duduk, menulis, menggambar atau yang lainnya.
2. Kemampuan intelektual, dalam konteks ini adalah kemampuan anak untuk
melaksanakan tugas-tugas akademik di sekolah. Kesanggupan mengikuti
berbagai pelajaran akademik yang diberikan guru, seperti pelajaran bahasa dan
matematika (menghitung, membedakan bentuk, dsb).
3. Kemampuan komunikasi, kesanggupan seorang anak dalam memahami dan
mengekspresikan gagasannya dalam berinteraksi terhadap lingkungan
sekitarnya, baik secara lisan/ucapan maupun tulisan.
4. Sosial emosial, mencakup aktivitas sosial yang dilakukan seorang anak dalam
kegiatan interaksinya dengan teman-teman ataupun dengan gurunya serta
11
perilaku yang ditampilkan dalam pergaulan kesehariannya, baik di lingkungan
sekolah maupun di lingkungan lainnya
3.2. Teknik Idektifikasi
Pada hakekatnya ada banyak metode atau teknik yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar pada
yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh. Beberapa teknik khusus akan sangat
diperlukan untuk menemukenali anakanak yang berkebutuhan khusus. Hal ini
diperlukan, mengingat adanya karakteristik atau ciri-ciri khusus yang ada pada
mereka, yang tidak dapat diidentifikasi secara umum.
Namun demikian, pada kesempatan ini hanya akan diuraikan beberapa teknik
identifikasi secara umum, yang memungkinkan bagi guru-guru untuk melakukannya
sendiri di sekolah, yaitu; observasi; wawancara; tes psikologi; dan tes buatan sendiri.
Secara lebih jelas keempat teknik tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Observasi,
Observasi merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
melakukan identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu dengan cara mengamati
kondisi atau keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas atau di
sekolah secara sistematis. Observasi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak
langsung. Secara langsung, dalam arti melakukan observasi secara. langsung terhadap
obyek atau siswa dalam lingkungan yang wajar, apa adanya dalam aktivitas
kesehariannya. Sedang observasi tidak langsung, dilakukan dengan menciptakan
kondisi yang diinginkan untuk diobservasi, misalnya anak diminta untuk melakukan
sesuatu, berbicara, menulis, membaca atau yang lainnya untuk selanjutnya diamati dan
dicatat hasilnya. Sebenarnya apabila dilihat dari kedudukan observer, observasi dapat
pula dilakukan secara partisipan dan nonpartisipan.
12
Partisipan dalam artian apabila orang yang melakukan observasi turut
mengambil bagian pada situasi yang diobservasi. Sedang nonpartisipan, apabila orang
yang melakukan observasi berada di luar situasi yang sedang diobservasi, ini
dimaksudkan agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi anak yang diobservasi.
Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa memperoleh data yang
lengkap, namun hal ini akan lebih baik dan lebih mudah dilakukan oleh guru-guru di
sekolah, dibandingkan dengan teknik lainnya. Melalui observasi ini pula akan
diperoleh data individu anak yang lebih lengkap dan utuh baik kondisi fisik maupun
psikologisnya. Guru di sekolah akan memiliki kesempatan yang luas untuk melakukan
observasi dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari.
Banyak gejala atau fenomena anak berkebutuhan khusus di sekolah yang dapat
diamati oleh guru, yang itu menunjukkan adanya perbedaan atau penyimpangan dari
anak-anak pada umumnya. Apabila guru saat observasi mendapati seorang anak yang
selalu mendekatkan matanya saat menulis atau membaca, maka dimungkinkan anak
tersebut mengalami kelainan fungsi penglihatan. Jika kelainan anak tersebut tidak
dapat dikoreksi dengan kacamata, maka dia termasuk pada anak yang berkebutuhan
khusus. Demikian juga misalnya ada anak-anak sulit berkonsentrasi, suka
mengganggu temannya, sering membolos, jarang mencatat, dan masih banyak lagi
yang bisa diobservasi dan mengindikasikasikan sebagai anak berkebutuhan khusus.
Untuk mempermudah pelaksanaan observasi dalam upaya identifikasi anakanak
berkebutuhan khusus, guru dapat mempersiapkan lembar observasi sederhana yang
dapat dirancang dan dikembangkan berdasarkan karakteristik yang dimiliki anak-anak
berkebutuhan khusus.
13
2. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi
mengenai keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus, dalam upaya melakukan
penelitian. Apabila data atau informasi yang diperoleh melalui observasi kurang
memadai, maka guru dapat melakukan wawancara terhadap siswa, orangtua, keluarga,
teman sepermainan, atau fihak-fihak lain yang dimungkinkan untuk dapat
memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan anak tersebut. Saudara dapat
menggunakan materi instrumen observasi sebagai panduan dalam melakukan
wawancara. Hal ini akan mempermudah bagi guru dalam menfokuskan informasi
yang ingin diperoleh. Kendati demikian, saudara juga dapat mengembangkan
instrumen sebagai panduan dalam wawancara sesuai dengan tujuan yang lebih spesisif
yang ingin diperoleh informasinya, yang mungkin dapat melengkapi data observasi.
3. Tes
Teknik lain yang dapat dilakukan dalam idenditikasi anak-anak berkebutuhan
khusus di sekolah dasar adalah melalui tes yang dibuat sendiri oleh guru. Tes
merupakan suatu cara untuk melakukan penilaian yang berupa suatu tugas atau
serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak, yang akan menghasilkan suatu
nilai tentang kemampuan atau perilaku anak yang bersangkutan.
Bentuk tes berupa suatu tugas yang berisi pertanyaan-pertanyaan atau perintah-
perintah yang harus dikerjakan anak, untuk selanjutnya dinilai hasilnya. Di dalam
konteks ini, untuk identifikasi anak berkebutuhan khusus tes dapat dilakukan dalam
bentuk perbuatan ataupun tulisan. Dalam bentuk perbuatan, misalnya guru dapat
meminta siswa yang diduga mengalami kelainan tertentu untuk melakukan sesuatu
yang terkait dengan kemungkinan terjadinya kelainan. Misalnya, untuk anak yang
diduga mengalami kelainan pendengaran diminta untuk menyimak beberapa jenis
14
suara, kemudian ditanyakan suara apa itu, dari mana datangnya suara, dan sebagainya.
Sedang tes tertulis dapat diberikan kepada siswa-siswa yang diduga mengalami
kelainan untuk menilai kemampuannya. Dalam hal ini, soal atau pertanyaan-
pertanyaan dapat dibuat secara sederhana, sesuai dengan kondisi dan perkembangan
anak. Apabila anak mampu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan
usianya, maka materi tugas yang diberikan ditingkatkan sesuai dengan usia di atasnya,
sebaliknya bila anak tidak mampu mengerjakan, maka materi tugas di turunkan di
bawah usia anak yang bersangkutan. Hal ini dilakukan secara sistematis dan
terstruktur.
Melalui tes ini guru akan memperoleh informasi pendukung dalam
menafsirkan keberadaan seorang anak, apakah berkebutuhan khusus atau tidak. Untuk
itu sangat penting bagi saudara untuk kembali memperhatikan karakteristik anak-anak
berkebutuhan khusus, yang telah dibahas pada unit sebelumnya. Dengan demikian
saudara mendapat kemudahan dalam menginterpretasikan seseorang anak yang
berkebutuhan khusus.
15
BAB IV
HASIL IDENTIFIKASI DAN PEMBAHASAN
4.1. Sejarah Singkat SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh
SLB-AB Ulee Kareng adalah sebuah sekolah dasar dibawah pimpinan kepala
sekolah yang bernama Munawarman A.Ma, yang mana sekolah tersebut terletak desa
Doy, Ulee Kareng Banda Aceh. SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng merupakan salah
satu bagian dari Yayasan BUKESRA (Badan Usaha Kesejahteraan Para Cacat), yang
mana yayasan tersebut memiliki 3 tingkat sekolah, yaitu tingkat SD, SMP, dan SMA.
Yang mana ketiga-tiganya merupaka sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
4.2. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Untuk Anak Yang Mengalami
Tunagrahita di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh
Anak tunagrahita memiliki fungsi intelektual tidak statis. Kelompok tertentu,
termasuk beberapa dari down syndrome, memiliki kelainan fisik dibanding teman-
temannya, tetapi mayoritas dari anak tunagrahita terutama yang tergolong ringan,
terlihat sama seperti yang lainnya. Dari kebanyakan kasus banyak anak tunagrahita
16
terdeteksi setelah masuk sekolah. Tes IQ mungkin dapat dijadikan indicator dari
kemampuan mental seseorang. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya
tercermin pada hasil tes IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan lingkungan social
sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang.
Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan
Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis.
Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi padahal sebenarnya sangat
merugikan anak karena dalam prakteknya seorang guru yang mengajar di SLB-AB
juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang diberikan kadang sama
antara kepada siswa SLB-AB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas materi pelajaran
juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis karena tidak menghargai perbedaan
karakteristik rentang usia.
Pada SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh para guru pendidik
sebagian besarnya merupakan guru honorer, sangat sedikit diantara para pendidiknya
tersebut merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditugaskan di SLB-AB
Tersebut. Tertapi walaupun kebanyakan dari para pendidik atau guru merupakan
honorer, mereka sangat membantu dalam mendidik para ABK untuk menjadikan
mereka seperti yang kita inginkan.
Tidak sedikit dari para ABK yang telah di didik memiki bakat yang sangat
menonjol, seperti, main gitar, bermain piano, sulam, dan lain sebagainya, diantara
mereka ada yang sangat berbakat dalam hal tersebut, contohnya seperti anak yang
mengalami tuna netra, ada diantara mereka yang sangat ahli dalam bermain piano
layaknya seperti orang yang normal, bahkan bisa dikatakan lebih berbakat mereka
yang mengalami cacat dibandingkan yang normal lainnya.
17
Lain hal pada anak yang mengalami Tunagrahita , mereka didik dengan penuh
kesabaran sehingga emosi dan daya pikir mereka lebih berkembang. Kebiasaan anak
yang mengalami Tunagrahita sangat susah untuk dididik. Dikarenakan emosional
yang tidak stabil menjadi kendala utama dalam pendidikannya. Akan tetapi di SLB-
AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh pendidikan anak tunagrahita dikhususkan
dalam satu kelas yang berjumlah 7 orang siswa. Sehingga guru lebih mudah dalam
mendidiknya dikarenakan jumlah siswa yang akan dibimbingnya lebih sedikit.6
6 Hasil wawancara dengan salah satu wali murid SLB-AB Bukesra Ulee Kareng
18
4.3. Daftar Kasus (Objek Penelitian)
Anak yang menderita tunagrahita di Yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda
Aceh, ia mempunya kelebihan tersendirinya. “Mungkin Tuhan mempunyai tujuan
sehingga Ia menkaruniakan anak seperti Putri kepada saya” . kata seorang juru masak
di Yayasan BUKESRA Ulee kareng kepada penulis, beliau adalah seorang ibu dari 3
orang anak, yang salah satu anaknya menderi tunagrahita ringan, yang mana anak
tersebut bernama Putri, dan 2 dari 3 anak ibu tersebut normal seperti yang lainnya.
Pada identifikasi ini penulis mengambil salah satu sample pada anak yang
belajar dan diasuh di Yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh, yang mana
biodata anak tersebut adalah sebagai berikut :
Nama : Putri Amelia
TTL : Lhoekseumawe , 29 Agustus 2003
Jenis kelamin : Perempuan
Agama :Islam
Anak ke : Pertama
Alamat : Yayasan BUKESRA
Kelas : 1 SD
Nama Ayah : M. Amin
Pekerjaan Ayah : Swasta
No hp : 085360411824
Nama Ibu : Eliani
Pekerjaan Ibu : Juru masak di Yayasan BUKESRA Ulee Kareng
Ket : Menderita tunagrahita ringan
19
Adapun ciri-ciri Putri adalah sebagai berikut :
Tinggi : 140 CM
Berat badan : 35 Kg
Kulit : Sawo Matang
Rambut : Lurus
Kelainan dari Putri adalah :
- Suka menangis pada hal yang tidak jelas
- Suka diam
- Suka menyendiri
4.4. Penanganan Tunagrahita di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda
Aceh
Penyandang tunagrahita (cacat ganda) adalah seorang yang mempunyai
kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu, adakalanya
cacat mental dibarengi dengan cacat fisik sehingga disebut cacat ganda Misalnya,
cacat intelegensi yang mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan
(cacat pada mata), ada juga yang disertai dengan gangguan pendengaran. Adanya
cacat lain yang dimiliki selain cacat intelegensi inilah yang menciptakan istilah lain
untuk anak tunagrahita yakni cacat ganda. Penanganan pada setiap ABK memiliki
cara tersendiri.Mulai dari segi akademik, pribadi dan sosial mereka. Semuanya
disesuaikan dengan kondisi fisik dan mental mereka.
Penanganan tunagrahita di yayasan Bukesra Ulee Kareng Banda Aceh sudah
mengahasilkan hasil yang bisa dikatakan dengan memuaskan, banyak anak yang
sudah bisa hidup mandiri berkat penangan para pendidik di SLB-AB tersebut. Salah
satunya seperti Putri, menurut penjelasan dari ibunya Putri, sebelumnya Putri
disekolahkan di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng sangat susah untuk diatur,
20
emosinya sangat susah untuk ditangani, kadang kala ia menangis tampa sebab dan
juga sering mengangu temannya, seperti mengambil mainnan anak lainnya yang
bermain dikalangan rumah Putri ataupun yang melewari rumahnya. Tetapi berkat
penangan para pendidik di yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda aceh, Putri
menjadi anak yang mudah diatur dan hampir seperti anak normal lainnya.
Dalam hal belajar putri hampir mengenal semua huruf abjad termasuk juga
huruf Hijayyah. Menurut penjelasan dari ibu Putri, Putri sering mengalah dengan
adiknya yang berisia 2,5 tahun, putri mengerti bahwa adiknya masih kecil dan
biasanya putri sering menjaga adiknya ketika ibunya memasak untuk anak yang
tinggal di yayasan BUKESRA tersebut.
4.5. Klasifikasi Kecacatan Anak Menderita Tunagrahita SLB-AB BUKESRA
Ulee Kareng Banda Aceh
Di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh Pegadungan jenis kecacatan
penyandang cacat grahita / cacat ganda terlantar dikelompokkan menjadi :
1. Debil, yaitu retardasi mental ringan.Penyandang cacat yang termasuk dalam
kelompok ini dapat dilatih dan dididik.
2. Embisil, yaitu retardasi mental sedang. Penyandang cacat yang termasuk dalam
kelompok ini mampu latih.
3. Idiot, yaitu retardasi mental berat. Penyandang cacat yang termasuk dalam
kelompok ini tidak dapat dilatih atau dididik karena tingkat kecerdasan (IQ)
sangat rendah, sehingga hanya mampu rawat.
4.6. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas.
Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai.
Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang
21
berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki
kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga
setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan
sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak Anak
berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan
pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-
masing anak secara individual.
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi
dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra
(temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak
yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh
faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena
trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman
traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh
intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini
memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang
disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di
sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai
kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan
pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan
dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa:
Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama
22
ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi
seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca
permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai
anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia
memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus).
Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang
tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
2. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak
yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat
internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang
kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan
dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan
emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang
bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari
anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang
luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan
khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak
berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang
cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak
berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan
pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan
pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
23
Bagan Anak Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Kebutuhan Khusus
4.7. Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan ABK
Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan
karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan
layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu
dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang
seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang
didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra)
diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label
kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas
kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.
Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih
banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan
label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak
24
yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek
lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis
menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka
semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama
berdasarkan label dan karakteristiknya.
Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education),
anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang
bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk
hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and
development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul
dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar,
hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai
akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan
mengunakan asesmen.
Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan
belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan
dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan
khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan
dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan
khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-
kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai
akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang
disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-
faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan,
25
termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena
lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan
kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan
Pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan
belajar dan hambatan perkembangan. Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga
sangat penting untuk dipertimbang- kan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti
rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial,
kreativitas, temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan
kebutuhan khusus memandang anak sangat komprehensif dan
memandang anak sebagai anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang
diberikan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar
dapat terjadi juga pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang
luas seperti ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap
individu anak.
Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting
untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada
setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami
hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus
menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-
kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat
dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum.
4.8. Sebab-Sebab Timbulnya Kebutuhan Khusus
Terdapat tiga faktor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab
timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu: 1) Faktor internal pada diri
26
anak, 2) Faktor ekternal dari lingkungan dan, 3) Kombinasi dari factor internal dan
eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang
bersangkutan. Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar
karena ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak mengalami
kesulitan untuk begerak. Keadaan seperti itu berada pada diri anak yang bersangkutan
secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami berada di dalam diri anak
yang bersangkutan.
2. Faktor Ekternal
Faktor eksternal adalah Sesuatu yang berada di luar diri anak mengakibatkan
anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sehingga
mereka memiliki kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan. Sebagai contoh
seorang anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga dalam jangka panjang
mengakibatkan anak teresbut kehilangan konsentrasi, menarik diri dan ketakutan.
Akibantnya anak tidak tidak dapat belajar.
Contoh lain, anak yang mengalai trauma berat karena bencana alam atau
konflik sosial/perang. Anak ini menjadi sangat ketakutan kalau bertemu dengan
orang yang belum dikenal, ketakutan jika mendengar gemuruh air yang diasosiasikan
dengan banjir besar yang pernah dialaminya. Keadaan seperti ini
menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan dalam belajar, dan memerlukan
layanan khusus dalam pendidikan.
27
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Anak tunagrahita memiliki fungsi intelektual tidak statis. Kelompok tertentu,
termasuk beberapa dari down syndrome, memiliki kelainan fisik dibanding teman-
temannya, tetapi mayoritas dari anak tunagrahita terutama yang tergolong ringan,
terlihat sama seperti yang lainnya. Dari kebanyakan kasus banyak anak tunagrahita
terdeteksi setelah masuk sekolah. Tes IQ mungkin dapat dijadikan indicator dari
kemampuan mental seseorang. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya
tercermin pada hasil tes IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan lingkungan social
sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang.
Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan
Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis.
Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi padahal sebenarnya sangat
merugikan anak karena dalam prakteknya seorang guru yang mengajar di SLB-AB
juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang diberikan kadang sama
antara kepada siswa SLB-AB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas materi pelajaran
juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis karena tidak menghargai perbedaan
karakteristik rentang usia.
5.2. Saran
Kepada guru atau pedidik khususnya untuk guru-guru yang mengajar di
sekolah Luar Biasa. Agar sudi kiranya lebih memahami cara mendidik dengan baik
sehingga menghasilkan hasil didik yang lebih optimal. Dikarena mendidik anak yang
berkebutuhan khusus (ABK) lebih susah dibandingkan mendidik anak yang normal
umumnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Blackhurst, A. E & Berdine, HW (1981), An Intruduction to Special Education,
Boston: Little, Brown & Co.
Debaryshe, BD &Fryxell, D (1988), A Developmental Perspective on Anger: Family
and Peer Contexts, Journal Psychology in Schools, Voume 35, No 3.
Freeman, RD (1984), Can’t Your Child Hear? A Guide For Those Who Care About
Deaf Children, Baltimore: University Park Press.
Hallahan, DP & Kauffman, JM (1988), Exceptional Children, Introduction to Spesial
education, 4 th edition, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Hardman, ML, et .al (1990), Human Exceptionality, Boston: Allyn and Bacon, Inc.
IGAK Wardani, dkk (2002), Pengantar Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.
Johnson, BH & Skjorten, D Miriam (2004), Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah
Pengantar, terjemahan, Bandung: Program Pascasarjana UPI
Kirk, Samuel A & Gallagher (1986), Educating Exceptional Children, Boston:
Houghton Mifflin company.
Learner, JW (1985) Learning Disabilities, Theories, Diagnosis, and Teaching
Strategies, 4 th edition, Boston: Houghton Mifflin Company.
Mercer, D Cecil & Mercer, R Ann (1989), Teaching Student with Learning Problems,
Columbus: Merrill Publishing Company A Bell & Howel Information
Company.
Moh Amin (1985), Ortopedagogik Anak Tunagrahita, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Polloway, EA & Patto, JR (1993), Strategies For Teachi
29
Recommended