View
8
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
otitis media akut
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Otitis Media Akut (OMA) merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum
terjadi di berbagai belahan dunia (Aboet, 2006), terutama oleh karena infeksi bakteri pada anak-
anak serta penyakit yang cukup sering diterapi dengan antibiotik (Heikkinen dkk, 1999). Di sisi
lain, OMA juga merupakan salah satu gangguan THT terkait infeksi yang umum terjadi di
negara-negara dengan ekonomi rendah dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran moderat
(WHO, 2006). Tidak hanya itu, OMA juga merupakan salah satu penyakit telinga yang sering
terjadi sehari-hari di Indonesia.
Tingginya kasus OMA di Indonesia ini perlu menjadi perhatian khusus, sebab OMA yang
tidak ditangani secara adekuat dan tetap bertahan dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih
serius, yaitu Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), yang merupakan salah satu dari empat
gangguan THT yang menjadi prioritas di Indonesia untuk penanggulangan dan pencegahan
kecacatan, selain tuli sejak lahir (kongenital), pemaparan bising, dan presbiakusis (WHO-
SEARO, 2002). Oleh karena itu, OMA perlu mendapatkan perhatian khusus agar kejadian
gangguan ini dapat dicegah atau jika sulit dilakukan demikian, individu yang sudah atau rentan
mengalami OMA perlu mendapatkan perhatian dan penanganan adekuat.
Otitis media pada anak-anak sering kali diakibatkan oleh ISPA (Revai, 2007). Menurut
Banz (1998) dalam Mora et al. (2002), kasus ISPA rekuren yang sering terjadi adalah rinitis,
bronkitis, dan sinusitis kronik. Pada penelitian terhadap 112 orang pasien anak-anak yang
berumur 6 sampai dengan 35 bulan, didapatkan 30% mengalami OMA dan 8% sinusitis (Revai,
2007). Di Saudi, penelitian menunjukkan 62% anak-anak dibawah 12 tahun yang menderita
OMA mempunyai riwayat ISPA (Zakzouk et al., 2002).
Kasus OMA sangat banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan kalangan usia
lainnya. Kondisi tersebut terjadi oleh karena pada fase perkembangan telinga tengah saat usia
anak-anak, tuba eustachius memang memiliki posisi yang cenderung lebih pendek, lebar dan
terletak horizontal (Michael dkk,1997) dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan
posisi tuba eustachius pada rentang usia yang lebih dewasa (Tortora dkk, 2009), Hal ini
1
membuat kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak menjadi lebih besar daripada
orang dewasa. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu terpapar dengan lingkungan grup anak-anak
yang meningkatkan insidensi infeksi saluran nafas, banyaknya pajanan pada asap lingkungan,
polusi iritan dan bahan-bahan alergen yang nantinya akan berkaitan dengan tuba eustachius,
kurangnya waktunya pemberian ASI esklusif, pemberian makan dalam posisi terlentang, riwayat
OMA pada keluarga, kelainan kepala dan wajah, penurunan sistem imun,dan aliran balik dari
lambung dan esopagus (Linsk dkk, 2002).
Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan di Poli THT sub-bagian Otologi THT
RSCM dan Poli THT RSAB Harapan Kita pada Agustus 2004 sampai dengan Februari 2005,
terhadap 43 orang pasien yang didiagnosis dengan OMA, sebanyak 30,2% dijumpai pada anak-
anak yang berumur kurang dari 2 tahun. Anak-anak yang berumur 2 sampai dengan 5 tahun
adalah sebanyak 23,3%. Golongan umur 5 sampai dengan 12 tahun adalah paling tinggi yaitu
32,6%. Anak-anak yang berumur 12 sampai dengan 18 tahun adalah 4,7% dan bagi yang
berumur 18 tahun ke atas adalah 9,2% (Titisari, 2005).
Pada penelitian yang sama, antara 43 orang pasien, 30,2% pasien tidak ada riwayat
demam. 62,8% pasien mempunyai riwayat demam selama satu hingga tujuh hari. Terdapat 7,0%
pasien dengan riwayat demam lapan hari hingga dua minggu. Selain itu, antara 43 orang pasien,
62,8% pasien adalah didahului dengan riwayat ISPA kurang dari tujuh hari. Pasien dengan
riwayat ISPA tujuh hari sampai dua minggu mencapai 27,9%. Yang lebih dari dua minggu
adalah 9,3%. Dari hasil kultur, jenis kuman telinga tengah yang dijumpai adalah Staphylococcus
aureus (78,3%), Haemophilus influenzae (8,7%), dan Streptococcus pneumonia (13,0%)
(Titisari, 2005). Selain tiga jenis mikroorganisme tersebut, Streptococcus pyogenes dan
Moraxella catarrhalis juga biasa dijumpai (Mora et al., 2002).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga d an liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga
dibentuk oleh tulang rawan yang dibungkus oleh perikondrium dan bagian terluar dilapisi oleh
kulit. Liang telinga dibagi atas bagian tulang rawan (2/3 luar) dan bagian tulang (1/3 dalam),
panjangnya kira-kira 3,7 cm.
2. Telinga Tengah
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi.
Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji.
Promotorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani
sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah (Boeis, 1994).
Gambar 1. Anatomi Telinga Tengah
Dinding lateral dari telinga tengah adalah membrana timpani, sedangkan bagian medial
berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap
lonjong (fenestra ovalis), tingkap bundar (fenestra rotundum) dan yang paling dominan adalah
promotorium. Di dinding anterior terdapat pintu ke tuba Eustachius, sedangkan di dinding 3
posterior terdapat aditus ad antrum, yaitu saluran yang menuju ke rongga mastoid. Bagian dasar
telinga tengah adalah bulbus jugularis (dipisahkan dengan vena jugularis oleh tulang tipis).
Dinding superior berbatasan dengan lantai fosa kranii media yang disebut tegmen timpani.
Di dalam telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran yang saling berhubungan,
tersusun dari luar ke dalam yaitu maleus, inkus, dan stapes. Prosesus longus maleus melekat
pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, inkus melekat pada stapes, dan stapes
melekat pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.
Membrana timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga.
Terdiri atas tiga lapis; 1) lapisan luar berupa lanjutan epitel kulit dari liang telinga, 2) bagian
tengah berupa jaringan ikat yang lentur, dan 3) lapisan dalam ialah sel kubis bersilia. Bagian atas
membran timpani disebut pars flaksida yang mengandung dua lapisan yaitu bagian luar dan
dalam, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa yang mengandung ketiga lapisan tersebut.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari
umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada jam 7 untuk
membran timpani kiri dan jam 5 untuk membran timpani kanan.
Tuba Eustachius ialah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga
tengah yang berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.
Terdiri dari tulang rawan pada 2/3 ke arah nasofaring dan 1/3 sisanya terdiri dari tulang. Pada
anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa
hingga infeksi dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa
kira-kira 3,75 cm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 1,75 cm ( Boeis, 1994 ). Bagian tulang
rawan tuba biasanya tertutup dan baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah
atau pada saat mengunyah, menelan atau menguap. Pembukaan tersebut dibantu oleh kontraksi
otot tensor palatinum dan levator palatinum yang masing-masing dipersarafi oleh nervus
mandibularis dan pleksus faringealis.
3. Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehIngga disebut sebagai labirin (Boeis, 1994).
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
4
vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Koklea berperan dalam fungsi
pendengaran dan vestibular berperan dalam fungsi keseimbangan.
Gambar 2. Anatomi Telinga
2.2 Definisi Otitis Media Akut (OMA)
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-
tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi
secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta
otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah. Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah
ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas pada membran
timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.
5
2.3 Epidemiologi OMA
Bayi dan anak mempunyai resiko paling tinggi untuk mendapatkan otitis media;
insidensinya sebesar 15 – 20 % dengan puncaknya terjadi antara umur 6 – 36 bulan dan 4 – 6
tahun. Insidensi penyakit ini mempunyai kecenderungan untuk menurun sesuai fungsi umur
setelah usia 6 tahun. Insidensi tinggi dijumpai pada laki-laki, kelompok sosial ekonomi rendah,
anak-anak dengan celah pada langit-langit serta anomali kraniofasial lain, dan pada musim
dingin atau hujan. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas atas makin besar
kemungkinan terjadinya otitis media akut. Pada bayi terjadinya otitis media akut dipermudah
oleh karena tuba Eustachius pendek, lebar dan agak horizontal.
2.4 Etiologi OMA
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75%
kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur
cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak
ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering
adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan
Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram
negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan
neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai
pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan
yang dijumpai pada anak-anak.
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan
dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu
respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira
10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa
dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan
6
adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya.
2.5. Faktor Risiko OMA
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status
sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan
merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi,
infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba
Eustachius dan lain-lain.
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi
dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba
Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah.
Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak
perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga
berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk,
fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas. ASI
dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan
ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA
yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang
sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga
meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA
karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah.
Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik
bakteri atau virus.
2.6 Patogenesis OMA
Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran
napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga
7
terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama
akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk
mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat
obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam
telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi.
Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta
terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada
sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi
yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat
meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien
terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak
dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat
merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi.
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor
intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada
mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan
otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga
mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi
adenoid.
2.7 Gejala Klinis dan Stadium OMA
Gejala klinis otitis media akut tergantung pada umur dan stadium penyakit. Pada bayi dan
anak kecil gejala khas otitis media akut adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada
stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur
membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tertidur
dengan tenang. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, keluhan disamping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek
8
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, gejala utamanya nyeri telinga.
Disamping itu juga didapat sensasi penuh di telinga, gangguan pendengaran, sering timbul tinitus
pulsatil dan demam. Ruptur spontan membran timpani, dengan hasil sekret purulen, berdarah,
akan mengurangi rasa nyeri secara dramatis.
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis
atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi.
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran
timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya
absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal,
refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya
tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,
atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.
Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan
alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai
oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa
yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya
invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran
timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan
pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih
normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi
karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara
dua belas jam sampai dengan satu hari.
9
Gambar 3. Membran Timpani Tampak Hiperemis
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga
tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin
hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani
menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan
ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga
bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan
gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
\
Gambar 4. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah
yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
10
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh
terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak
berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung
melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua
keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka
keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.
Gambar 5. Membran Timpani Peforasi
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya
otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi
membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering.
Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
2.8 Diagnosa OMA
Kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi
dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya
membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, 11
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari
telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah
satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri
telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria
diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani
yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada
membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi
pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan
kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan
tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat
sedang sampai berat
2.9 Penatalaksanaan OMA
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium
awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan
lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk
menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala,
memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 %
dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan
fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat
diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan
penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi
12
mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik
diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada
anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin
atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut
atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan
menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi,
dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar
melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi
dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari,
atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat
terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya.
2.10. Komplikasi OMA
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut
biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar
(2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani,
mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses
subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).
13
2.11. Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi
dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI
minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain.
14
BAB 3
KESIMPULAN
Otitis Media Akut (OMA) merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum
terjadi di berbagai belahan dunia (Aboet, 2006), terutama oleh karena infeksi bakteri pada anak-
anak serta penyakit yang cukup sering diterapi dengan antibiotik. Di sisi lain, OMA juga
merupakan salah satu gangguan THT terkait infeksi yang umum terjadi di negara-negara dengan
ekonomi rendah dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran moderat.
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-
tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi
secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta
otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah. Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah
ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas pada membran
timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis
atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi.
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium
awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan
lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk
menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala,
memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Aboet, A., 2006. Terapi pada otitis media supuratif akut. Majalah KedokteranNusantara, 39(3): 356.
2. Adams G. L., Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Penerbit : Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1994 ; hal . 89 – 100.
3. Bambang. Pelajaran Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Penerbit : BP FK UNDIP, Semarang, 1991; hal. 31.
4. Cody D. T. R., Kern E. B., Pearson B. W., 1993. Alih Bahasa Andrianto P., Samsudin S. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta: EGC, 112-135.
5. DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 1992
6. Djaafar Z. A., 2001. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi E. A., Iskandar., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru-FKUI, 49-58.
7. Gardjito W., Puruhito, Darmadipura, dkk., 1997. Kepala dan Leher. Dalam: Sjamsuhidajat R., Jong W. J., ed., 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC, 474-477.
8. Heikkinen, T., Thint, M., Chonmaitree, T., 1999. Prevalence of Various Respiratory Viruses in The Middle Ear During Acute Otitis Media. The New England Journal of Medicine (NEJM), 340 (4): 260 – 261.
9. Herry S. Fisiologi Telinga Tengah. Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang.10. Linsk, R., dkk., 2002. Otitis Media Guideline. University of Michigan Health System: 1 –
4.11. Mora, R., Barbieri, M., Passali, G.C., Sovatzis, A., Mora, F., Cordone, M.P., 2002. A
Preventive Measure for Otitis Media in Children with Upper Respiratory Tract Infections. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 63: 111-118.
12. Nelson W. E., Behrman R. E., Vaughan V. C., 1993. Alih Bahasa Maulany R. F. Ilmu Kesehatan Anak-Nelson Edisi ke-12 Bagian ke-2. Jakarta: EGC, 588-593.
13. Rifki N, S Purnaman, Pandi, Mangunkusumo E. Penyakit Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1990
14. Soepardi & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar Sosialisman Dalam Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006
15. Soetirto I., Hendarmin H., 2001. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga Dalam: Soepardi E. A., Iskandar N., Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru-FKUI, 9-15.
16. Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
17. World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training Resource: Advanced Level. WHO Press: 14 – 15.
16
Recommended