View
38
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
1
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN
Peneliti di Matatimoer Institute
Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ
e-mail: senandungtimur@gmail.com
Wayang Kulit: Tarikan-tarikan Politik Kolonial-Poskolonial dalam Pertunjukan
―Wayang adalah Jawa dan Jawa adalah wayang!‖ Ungkapan tersebut kiranya
sesuai untuk menggambarkan bagaimana wayang telah menjadi identitas budaya yang
selama ratusan tahun dilekatkan pada jati diri orang Jawa Mataraman, di manapun
mereka berada sehingga untuk memahami beragam peristiwa—baik ekonomi, politik,
maupun sosio-kultural—yang terjadi pada masyarakat Jawa sepertinya belum lengkap
sebelum dikaitkan dengan cerita wayang. Tjipto Mangunkusumo, sebagaimana dikutip
Sears (2005), dalam pengasingannya di negeri Belanda (1914) pernah menulis dalam
sebuah majalah berbahasa Belanda—De Indische Gids—tentang wayang. Dia
menjelaskan:
Dalam (wayang) orang Jawa mewujudkan bagian bijak dari kedalaman filosofis dan mistik;
dia menyatakan sisi kedalaman hidupnya. Tidak mengherankan jika di istana aristokrat
ataupun di rumah-rumah keluarga miskin, wayang menjadi teater rakyat yang sangat
digemari. Orang tua dan muda menghabiskan waktu untuk mendengarkan ukara dalang,
mengikuti ceritanya tentang dewata dan raja, pangeran dan kesatria, bagaimana mereka
menderita dan kalah, merasa terpenjara oleh hasrat, menjadi budaknya, dan akhirnya,
bagaimanapun juga, mampu memenangkan pertarungan. Wayang adalah ciptaan asli
orang Jawa yang telah dipertunjukkan di istana keraton Daha sekita tahun 800 dan
direvisi pada sekita tahun 1500 oleh Sunan Kalijaga. Tentu, karena wayang memang
benar-benar kreasi orang Jawa, maka melaluinya seseorang bisa belajar banyak hal
tentang kehidupan dalam orang Jawa. Masyarakat Teosofis Cabang Hindia-Belanda telah
melakukan pekerjaan yang baik dengan memasukkan kembali (drama India) Sakuntala
dan menerbitkan hasil penelitiannya.
Namun, apakah wayang memang sejak awal menjadi identitas ―budaya dalam‖ orang
Jawa? Sears mempunyai pendapat berbeda tentang hal itu. Popularitas wacana wayang
sebagai identitas kultural Jawa tidak bisa dilepaskan dari usaha diskursif yang
melibatkan kepentingan politis sebagai berikut: (1) ide wayang sebagai esensi budaya
Jawa merupakan produk kesalinghubungan antara visi estetik Jawa dan Belanda serta
agenda intelektual yang menghasilkan dan dihasilkan dengan wacana modernitas.; (2)
ide tersebut juga sesuai dengan para ahli Belanda dan aparat pemerintah—dan kedua
kelompok tersebut saling melampaui—karena wayang bisa menggusur perhatian dari
potensi yang cukup mengganggu dari unifikasi Jawa di bawah panji Islam yang mulai
berkembang pada 1912 dalam wujud Sarikat Islam; dan (3) baik bagi nasionalis Jawa
dan Hindia, memposisikan wayang sebagai esensi budaya Jawa dan
mengsasosiasikannya dengan perkembangan spiritual serta kebajikan adiluhung secara
mailto:senandungtimur@gmail.com
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
2
cepat diadopsi karena nasionalis bisa menggunakannya untuk membicarakan hak
politik di bawah kuasa Belanda.
Ajaran-ajaran normatif wayang merupakan pintu masuk bagi wacana kolonial
untuk menggusur perkembangan Islam yang bisa membahayakan kuasa sosial-politik
Belanda. Para pemikir Belanda memandang ajaran dan tradisi pra-Islam—Hindu dan
Budha—bisa digunakan untuk membendung perkembangan tersebut karena elit-elit
Jawa dan rakyat pedesaan masih terbiasa dengan tradisi tersebut. Pemikiran tersebut
sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Masyarakat Teosofis Cabang Hindia Belanda
yang mulai mengembangkan kajian mitologi Hindu-Jawa yang bisa menjadi basis bagi
agama Jawa (Javanese religion) sehingga bisa menggusur Islam. Apa yang dilakukan
kemudian adalah mendirikan pusat pendidikan dalang sehingga wayang yang semula
dianggap banyak menyimpang dari tradisi Hindu bisa diperbaiki dan mengembalikan
ajaran-ajaran Jawa pra-Islam ke dalam kesadaran massa serta mengikis keyakinan
fanatik terhadap Islam. Dari proses tersebut bisa dilihat adanya kejelian dan
kecerdikan dari para ahli Belanda untuk memanfaatkan tradisi pra-Islam yang masih
mengakar dalam masyarakat Jawa sebagai alat untuk mewacanakan kuasa kolonial
melalui wayang guna mengeliminir wacana Islam, sebagaimana dilakukan di wilayah
lain Hindia-Belanda, seperti Aceh maupun Minang.
Apa yang diwacanakan oleh kolonial memang berhasil memberikan pemahaman
bagi warga Hindia-Belanda—baik elit maupun rakyat biasa—bahwa wayang berisi
ajaran-ajaran moralitas dan reliji yang sesuai dan akan menjadi identitas kultural
Jawa, meskipun asumsi tersebut bisa dipertanyakan lagi mengingat orang Jawa
memang sudah sejak dulu mengenal wayang dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.
Namun, keberhasilan tersebut ternyata juga dimaknai lain oleh kaum nasionalis
Hindia-Belanda untuk mempropagandakan wacana kebangsaan berorientasi Hindia,
dan bukannya Jawa. Dalam tulisan yang sama, Tjipto Mangunkusumo memaparkan:
Prajurit penguasa asing yang terdiri dari ―buto‖ (orgres) membuat camp di hutan (di mana
seorang pangeran agung tengah berjalan sendiri). Pertemuan dengan sang pangeran tidak
terhindarkan. Sang pangeran agung, yang diminta untuk kembali, membalas bahwa ia
lebih baik mati daripada harus menggagalkan perjalanannya. Pertempuran pecah,
pertempuran antara pejuang agung yang sendiri dan keseluruhan prajurit buto, satu
melawan banyak, melawan semua. Cerita itu hampir mirip dengan dongeng peri, cerita
dari dalang. Pangeran bertubuh kecil melawan raksasa dalam jumlah banyak. Dan, apakah
kita tidak melihat ini dalam kehidupan nyata yang terjadi lagi dan lagi? Apakah kita tidak
memahami bahwa seringkali terjadi manusia kecil, yang dibangkitkan dari spirit yang
hidup di dalam dirinya, berani untuk mengambil tugas yang di balik pertimbangan yang
tipis seseorang akan berpikir untuk jauh melampaui kekuatannya?
Paparan Tjipto menunjukkan adanya usaha untuk melakukan perlawanan sekaligus
fungsi penyadaran secara ideologis kepada para pembaca, bahwa kolonial Belanda
adalah ―para buto‖ yang sebenarnya bisa dikalahkan oleh kesatria yang berani
melakukan perjuangan melampaui batas-batas kekuatannya sendiri. Namun, karena
tulisan tersebut ditulis untuk pembaca Belanda yang hendak pergi ke Hindia, apa yang
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
3
dilakukan Tjipto sebenarnya merupakan usaha untuk mengkritik sekaligus
menegosiasikan kepentingan pribumi kepada orang-orang Belanda yang sudah banyak
merugikan masyarakat dengan kuasa dan kekuatannya.
Usaha Tjipto tersebut menandakan selalu adanya ruang ketiga yang
mempertemukan bermacam kepentingan di dalam tanda-tanda budaya, termasuk
wayang, yang bersifat ideologi dan sudah disepakati di dalam masyarakat. Wayang
pada masa kolonial, memang menjadi bagian aparatus hegemonik kultural untuk
mengendalikan keliaran dan subversi yang bisa muncul dalam masyarakat. Namun,
sebagai tanda konsensual, kelompok lain dalam masyarakat, seperti Tjipto yang
nasionalis Hindia, berhak juga menggunakannya secara dekonstruktif untuk
menegosiasikan kepentingan-kepentingan politik, meskipun hanya sebatas tulisan,
yang berorientasi pada kesadaran berbangsa dalam konteks Hindia-Belanda dan bukan
dalam konteks Jawa. Artinya pemaknaan pesan moralitas dan reliji bahwa yang baik
selalu menang dan yang jahat selalu kalah oleh kolonial maupun elit Jawa ditunda
pemaknaannya melalui penggantian makna oleh elit nasionalis Hindia-Belanda.
Pemaknaan wayang sebagai media untuk menyebarkan kuasa hegemonik juga
dilakukan oleh rezim pemerintah, baik pada masa Sukarno maupun Orde Baru. Kedua
rezim, dengan konteks yang berbeda, hampir sama dengan rezim kolonial yang
berkolaborasi dengan elit Jawa, berusaha memaknai wayang dalam rangka untuk
menjaga kepentingan dan keberlangsungan politik dalam lingkup keindonesiaan,
meskipun dengan menggunakan contoh produk budaya Jawa. Rezim Sukarno terkenal
dengan kebijakan politik budaya yang lebih mengedepankan produk budaya sendiri,
tanpa banyak mengambil yang berasal dari luar. Kebijakan ini memberikan
keuntungan, baik secara kultural maupun finansial, bagi para seniman rakyat yang
merasa memperoleh perhatian lebih secara politis dari pemerintah maupun partai
politik yang tumbuh subur pada masa itu. Apa yang tidak menguntungkan bagi
seniman rakyat pada masa ini adalah terlalu suburnya kepentingan ideologi dari partai
politik yang pada akhirnya menghadirkan tragedi bagi keberlangsungan hidup kesenian
dan seniman rakyat. Sebagian besar seniman rakyat yang bergelut dalam seni Jawa,
terutama dalam kethoprak, ludruk, jaranan, janger, dan lain-lain, pada masa Orla
memang lebih banyak berafiliasi ke dalam LEKRA yang menjadi underbow PKI.
Perubahan kecenderungan politik akibat meletusnya G 30 S 1965, menjadikan para
seniman rakyat sebagai korban dari rekayasa politik nasional—atau bahkan
internasional?—yang hanya menguntungkan segelintir elit yang kemudian menjadi
penggagas, pelaksana, dan penikmat rezim Orba.
Pada masa Orba, wayang seperti menjadi the silent drama di mana para dalang
tidak berani atau tidak memberanikan diri untuk melakukan kritik-kritik politik,
ketika pertunjukan lain, seperti teater modern, berani menggelar karya-karya yang
beraroma subversif untuk mengganggu kepentingan rezim. Kondisi itu bisa dimaklumi
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
4
karena pada masa tragedi 65, para seniman rakyatlah yang menjadi korban kekezaman
politik. Tindakan represif yang dilakukan oleh penguasa Orba terhadap kemungkinan-
kemungkinan subversif, baik dalam dunia politik maupun kesenian menjadi faktor
eksternal yang menjadikan mereka takut. Wayang cenderung aman dari tindakan
represif rezim karena cerita wayang itu sendiri, jarang sekali menampilkan potensi
resisten karena sudah dibingkai dalam keteraturan moralitas dan hirarki yang sulit
untuk diganggu oleh kawula biasa. Bahkan dalam salah satu lakon yang terkesan
subversif, Petruk Dadi Ratu, ending cerita tetap mengembalikan Petruk, sang
Punakawan, ke dalam peran semula setelah menyadari kesalahannya yang melawan
kodrat sebagai abdi Pandawa, meskipun pada awalnya para kesatria Pandawa tidak
mampu mengalahkannya. Alih-alih memberdayakan wayang sebagai bagian dari
kebijakan pembangunan nasional dalam segala bidang, rezim Orba tidak begitu banyak
menunjukkan keberpihakan terhadap perkembangan wayang kulit. Meskipun
demikian, rezim menggunakan kuasanya untuk menciptakan wayang suluh dan wayang
pancasila untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah yang didukung oleh
ketertiban dan keamanan di level masyarakat. Pemerintah juga menggunakan wayang
sebagai medium untuk mensosialisasikan program pemerintah seperti Keluarga
Berencana, Penataran P-4, dan lain-lain. Partai berkuasa, Golkar, dalam beberapa
kesempatan kampanye menjelang pemilu juga menggunakan pertunjukan wayang
untuk menyampaikan propagandanya, bukan melalui penciptaan lakon sendiri, tetapi
melalui sisipan-sisipan dalam dialog yang dilakukan dalang.
Merekayasa pakem dalam batas modernitas-tradisional-posmordernitas
Wayang memang selalu menyediakan ruang bagi kepentingan-kepentingan yang
mengelilinginya, meskipun para dalang atau seniman-seniman lain yang terlibat di
dalamnya, seperti asisten dalang, pengrawit, maupun sinden juga mempunyai
kepentingan lain yang mereka negosiasikan melalui pertunjukan wayang. Meskipun
mewarisi tradisi pakem-minded sebagai jejak kuasa hegemonik warisan kolonial dan
keraton, tidak sedikit dalang yang memberanikan diri untuk membuat kreasi-kreasi
baru dalam pertunjukannya. Beberapa dalang yang berangkat dari lingkungan
akademis, semisal Humardani (STSI Surakarta), menciptakan model wayang ringkes
yang berdurasi satu atau dua jam. Pertunjukan yang dilakukan memang banyak
memangkas adegan dan dialog dalam satu cerita, tetapi tidak menghilangkan esensi
utama dari lakon yang dimainkan. Sementara beberapa dalang yang lebih banyak
menggelar pertunjukannya untuk melayani tanggapan, melakukan improvisasi estetik
dengan memasukkan kesenian pop-industri, seperti campursari atau dangdut sebagai
pelengkap pertunjukan yang bertujuan untuk membuat betah penonton. Pioner dari
improvisasi tersebut adalah Ki Manteb Sudarsono yang kemudian banyak ditiru oleh
para dalang, baik di wilayah Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Beberapa dalang,
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
5
seperti Ki Enthus Susmono, juga membuat ‗lompatan yang mengejutkan‘ dengan cara
mendesakralisasi keadiluhungan dan kelemah lembutan dalam tuturan wayang melalui
penggunaan tuturan yang dicampur bahasa kasar bahkan tidak jarang berasosiasi
porno.
Keberanian dalang untuk melakukan negosiasi kepentingan berupa improvisasi
estetik pertunjukan, memang bukan semata-mata sebagai peristiwa estetik. Lebih dari
itu, improvisasi tersebut berkorelasi dengan persoalan kultur yang lebih besar dalam
konteks masyarakat yang sedang bergerak di ruang antara: menatap modernitas-global
sembari meyakini kultur tradisional sebagai pengaruh dari perkembangan industri
budaya di tengah-tengah masyarakat. Para dalang jelas membutuhkan biaya untuk
menggelar sebuah pertunjukan sehingga mereka dituntut untuk melakukan
perombakan—meskipun tidak secara total—terhadap pakem dan cerita demi untuk
terus memperbarui nilai tawar wayang di mata masyarakat yang sedang bergeser
orientasi dan kesukaan kulturalnya. Tidak perlu tergesa-gesa berbicara pelestarian
tradisi karena bagi para dalang yang pertama-tama diperhatikan adalah kesediaan
masyarakat untuk nanggap sehingga mereka perlu menghadirkan tontonan yang
menarik. Di samping itu, dalam interpretasi bebas-kritis, keberanian melakukan
improvisasi juga bisa menandakan adanya gerakan untuk mengganggu kemapanan dan
keadilihungan pakem dan cerita yang diwacanakan oleh pihak keraton dan kolonial
pada masa lampau. Apakah dengan demikian hal itu bisa dikatakan sebagai resistensi?
Iya, dalam konteks memunculkan gangguan terhadap konsensus estetik dan moralitas
wayang yang sudah terlanjur menjadi hegemoni bagi kesadaran kultural masyarakat
Jawa.
Dari perspektif tradisionalisme yang selalu membayangkan adanya keadiluhungan
di balik pakem dan cerita wayang, improvisasi yang dilakukan para dalang tersebut
jelas bisa mengacaukan tatanan estetik yang selama ini berusaha dilestarikan. Namun,
apa yang bisa dilakukan para dalang ketika wacana modernitas sudah menjadi ideologi
baru bagi masyarakat terkini? Wayang, kenyataannya, tengah hidup di zaman yang
membutuhkan sesuatu yang serba cepat—baik dalam hal komunikasi-informasi, produk
estetik, makanan, pakaian, dan pengetahuan—di mana kemonotonan menjadi ‗barang
antik‘ yang kurang atau tidak lagi applicable bagi gerak cepat transformasi zaman, yang
tidak hanya berlangsung di kota, tetapi juga di pelosok dusun. Sangat tidak mungkin
mengharapkan kaum muda desa terus mencintai wayang sesuai dengan pakemnya,
karena mereka sudah terbiasa memandang dan menikmati produk-produk modernitas
industri budaya di tanah air yang sebagian besar memang mengambil inspirasi dari
Amerika dan Eropa. Kecepatan tayangan di televisi juga menjadikan warga dusun
semakin larut di depan ‗kotak ajaib‘ yang lebih berani menghadirkan beragam pilihan
dari pada sekedar duduk atau berdiri bercampur debu hanya untuk semalaman
menonton wayang dan belum tentu bisa mengikuti jalinan ceritanya.
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
6
Dalam konteks di atas, apakah layak untuk dikatakan bahwa wayang telah
kehilangan jati diri dan terhegemoni oleh kuasa diskursif modernitas melalui
improvisasi-improvisasi yang jelas-jelas melampaui batas-batas kewajaran pakem?
Pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab hanya dalam satu perspektif karena berkaitan
dengan beberapa persoalan kultural masyarakat desa saat ini. Para dalang memang
tengah menikmati proses terhegemoni industri budaya yang selalu menawarkan
kebaruan dan kecepatan estetik sebagai ideologi pertunjukannya. Para dalang memang
tidak bisa menolak untuk tidak mengakomodir ‗teriakan‘ penonton muda yang sedang
bergelora dan bersemangat dalam menyongsong pergeseran nilai dan norma dalam
masyarakat lokal. Ketika mengabaikan semua tuntutan itu, tentu saja, mereka akan
kehilangan pemasukan finansial sebagai sumber ekonomi untuk mengupah para sinden,
pengrawit, hingga dirinya sendiri. Namun, para dalang juga tidak mau sepenuhnya
kehilangan orientasi tradisional, terutama karakteristik wayang.
Dalam batas-batas itulah, para dalang dan juga sebenarnya tengah masuk ke
dalam praktik ―transkulturalisme‖. Ortiz (dikutip Sommer, 2005: 173) menjelaskan
proses tersebut sebagai berikut:
Kata, seperti akulturasi kehilangan kebaruan secara bersama-sama dengan mereduksi
pertentangan kultural Dunia Baru ke dalam proses satu-arah transisi dari satu budaya ke
budaya lain, dan beragam konsekuensi sosialnya. Namun, transkulturalisme adalah terma
yang lebih tepat…Manusia, ekonomi, budaya, ambisi semuanya menjadi asing di sini,
sementara waktu, berubah, ―burung-burung yang terbang‖ mengitari negeri,
mengutamakan hasil, melawan harapan-harapannya, dan tanpa pengakuannya. Semua hal
di atas dan berikut, hidup bersama dalam atmosfer yang sama dari teror dan penindasan,
si tertindas diteror hukuman, penindas diteror balas dendam, semua selain keadilan, selain
perubahan, selain diri mereka sendiri. Dan semua berada dalam proses yang menyakitkan
dari transkulturalisme.
Dalam transkulturalisme berlangsung percampuran-percampuran kultural dalam
nuansa hibrid dan sinkretik di antara bermacam kebudayaan yang ada dalam
masyarakat melalui proses yang cukup kompleks dan rumit. Hasilnya memang luar
biasa, budaya-budaya yang ada mampu melebur, meskipun dengan suasana yang
menyakitkan karena harus kehilangan sebagian besar karakteristik kulturalnya. Para
dalang memang tidak lagi ditindas oleh penjajah, namun penjajah itu muncul dalam
bentuk baru industri budaya yang menggusur harapan hidup mereka dan keseniannya
sehingga mereka harus melakukan percampuran yang diharapkan mampu
memunculkan kembali minat masyarakat dan mengembalikan hak ekonomi dan
kultural mereka, meskipun harus melakukan ―rekayasa pakem‖ sembari ―melepas
sebagian pakaian yang selama ini dikenakan dan dicintai‖.
Namun, sekali lagi, apakah rekayasa pakem tersebut menandakan
ketidakberdayaan para dalang untuk masuk ke dalam hegemoni industri budaya pop?
Apakah itu semua menyakitkan bagi para dalang? Iya, kalau memang hegemoni
diartikan sebagai proses kuasa tanpa koersif dengan menghadirkan konsensus dari
kelas subordinat—dalam hal ini dalang—melalui penggunaan produk-produk kultural
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
7
yang dianggap milik bersama. Tidak menyakitkan, karena para dalang memiliki
kesadaran untuk bersikap adaptif terhadap perkembangan dan pergeseran orientasi
kultural masyarakat desa. Apa yang perlu dicatat adalah selalu ada negosiasi yang
terus berlanjut dalam proses hegemonik di mana kelas subordinat tidak serta-merta
tunduk. Para dalang berusaha terus menegosiasikan kepentingan ekonomi dan kultural
yang mereka impikan dan yakini dalam laku kehidupan. Mereka menggunakan
sebagian produk industri budaya modern untuk meneruskan perjuangan di ranah
kreatif sehingga seolah-olah menunjukkan ketertundukan sekaligus
ketidaktertundukan: berhasil dikuasai tetapi tidak sepenuhnya dikuasai. Tradisi besar
estetik seni modern yang mengutamakan kecepatan dan kebaruan diganggu dengan
tampilan estetik posmodern ala wayang yang memunculkan percampuran antara
kebenaran subjektif tradisi dan kebenaran subjektif budaya modern: the presence of the
past in the present, tetapi tetap tidak kehilangan atmosfer tradisi.
Di tengah-tengah medan budaya poskolonial yang dipenuhi tradisi besar
modernitas, para dalang tengah bermain-main dengan tradisi posmo untuk terus
menunjukkan eksistensinya dalam pemahaman ganda modernitas dan tradisonalitas
sembari mengganggu kemapanan hegemoni modernitas sekaligus melakukan
pembacaan ulang tradisionalitas untuk menghasilkan budaya hibrid. Argumen Sangari
(1995: 144-145) tentang penulis hibrid menarik untuk dicermati:
…penulis hibrid terbuka terhadap dua dunia dan terkonstruksi di dalam sesuatu yang
bersifat nasional dan internasional, sistem politik dan kultural dari kolonialisme dan
neokolonialisme. Menjadi hibrid adalah untuk memahami dan mempertanyakan
sepertihalnya untuk merepresentasikan tekanan-tekanan penempatan historis. Yang
hibrid…juga merupakan dasar analisis politik dan perubahan…Sebagai ensemble budaya,
modernisme dikumpulkan, sebagian, melalui internalisasi dari teritori geograpik yang
berbahaya—yang saat ini diinkorporasikan baik sebagai citra/metafor ‗primitif‘ atau
sebagai struktur nonlinier yang mobile. Meskipun dimaksudkan sebagai kritik, inkorporasi
tersebut sering menjadi alat bagi renovasi ideologi borjuis, khususnya melalui
institusionalisasi modernisme. Ironisnya, kemungkinan ‗pembebasan‘ modernisme
internasional, oposisional, dan ‗revolusioner‘ bagi penulis dan seniman Dunia Ketiga
muncul pada saat modernisme menggunakan produk-produk budaya negara non-barat
secara luas dalam fragmen estetik. Modernisme yang mereka pinjam secara mendalam
sudah diimplikasikan dalam sejarah mereka sendiri, didasarkan secara partial pada
penyesuasian secara acak dan remodeling terhadap kemungkinan ‗yang membebaskan‘ dan
menggelorakan tradisi lokal mereka sendiri.
Sebagai wacana dan praktik kultural hegemonik, modernitas Barat memang tidak
sanggup membatasi dirinya dari kemungkinan-kemungkinan dekonstruktif yang
dilakukan oleh para seniman lokal yang tengah membaca modernitas itu sendiri.
Kesenian-kesenian industrial yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat
desa saat ini, dibaca ulang oleh para dalang wayang sebagai sebuah peluang untuk
‗dimasuki‘ dan digunakan menggelorakan kembali pertunjukan wayang kulit.
Para dalang, dengan demikian, telah menunjukkan pembacaan subversif dalam
konteks poskolonial dan posmodern dengan menunjukkan ironi dari kemapanan narasi
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
8
besar modernitas yang selalu ditonjolkan sebagai kebenaran mutlak—objektif—yang
harus diikuti oleh umat manusia di belahan dunia manapun ketika mereka ingin
dikatakan maju: selalu ada potensi subversif dari dalam. Hutcheon (1995: 133)
menjabarkan ―potensi subversif dari dalam‖ sebagai berikut:
Di samping area formal dan tematik dari perhatian mutual (antara posmodernisme dan
poskolonialisme, pen)…terdapat juga apa yang disebut sesuatu yang strategik atau retorik:
penggunaan rangkaian ironi sebagai wacana ganda atau terpecah yang mempunyai potensi
mengganggu dari dalam. Beberapa pemikir telah mengamati valorisasi dari ironi sebagai
tanda bagi peningkatan nilai kode pos-struktural yang diakui dalam masyarakat Barat,
namun pos-strukturalisme bisa juga dilihat sebagai produk usaha kultural yang lebih besar
dari posmodernisme. Dalam kasus lain, meski, sebagai pembicaraan-ganda, mode silat
lidah (forked-tongued mode), ironi menjadi strategi retorik populer untuk bergerak dari
dalam wacana mapan sembari melawannya pada saat bersamaan.
Para dalang, bagaimanapun juga, tengah masuk ke dalam wacana dan praktik
modernitas yang serba disiplin dengan orientasi produk-produk budayanya. Alih-laih
ikut memapankan kebenaran produk-produk budaya tersebut di tengah-tengah
masyarakat, para dalang justru memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri
dan sekaligus menunjukkan bahwa produk estetik industrial yang beraroma Barat
sekalipun bisa dicuri dan digunakan balik untuk menyerangnya melalui percampuran
dengan budaya lokal. Keunggulan produk budaya modern diganggu bukan dimusuhi,
bukan melalui peniadaan tetapi penggunaan yang bertujuan bukan untuk kemapanan
budaya modern, tetapi kontestasi budaya lokal—wayang.
Para dalang memang tengah—dan mungkin akan terus—melakukan rekayasa
estetik berupa penyiasatan terhadap pakem cerita dan pertunjukan yang disesuaikan
dengan konteks perkembangan dan dinamika kultural dalam masyarakat sebagai
patron yang harus dilayani dan ditundukkan demi sebuah eksistensi. Tentu saja,
pembacaan teoretik ini membutuhkan pembuktian-pembuktian empiris yang bisa jadi
memunculkan realitas-realitas yang mendukung ataupun berbeda dari cara pembacaan
ini. Sangat mungkin, rekayasa estetik yang dilakukan para dalang di level lokal—dalam
hal ini Jember—tidak serumit yang diasumsikan dalam kerangka pembacaan tersebut.
Atau, sangat mungkin pula, negosiasi dan adaptasi kultural yang mereka lakukan lebih
rumit dan njlimet dari realitas surfisial yang tampak sangat sederhana. Semuanya
memang serba mungkin dalam ruang dan konteks kultural yang semakin
terfragmentasi dewasa ini.
Menentukan sikap di antara pergeseran kultural
Sebagai daerah yang secara administratif masuk ke dalam wilayah administratif
Jawa Timur, Jember, secara kultural ternyata tidak sama dengan wilayah-wilayah lain
yang memang sudah memiliki karakteristik partikular dalam hal budaya. Hal serupa
juga terjadi dalam wayang kulit. Ketika daerah-daerah lain, seperti Kediri, Malang,
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
9
Surabaya, Jombang, Sidoarjo, dan Lamongan, mengembangkan gaya pewayangannya
sendiri, para dalang di Jember ternyata lebih berkiblat ke gaya Surakarta. Kondisi ini,
paling tidak, disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sebagian besar komunitas Jawa di
Jember bagian Selatan dan Barat memang berasal dari migran Mataraman—Surakarta
dan Ngayogkarta serta wilayah-wilayah Jawa Timur yang dekat dengan Jawa Tengah.
Kedua, beberapa dalang muda di Jember menimba ilmu pewayangan langsung dari
Solo. Kedua faktor itulah yang secara estetik mengikat gaya pewayangan dari para
dalang di Jember, meskipun dalam perkembangannya mereka juga tidak sepenuhnya
mengambil dari gaya Surakarta.
Sampai dengan era 90-an awal, pakem, baik dalam hal cerita maupun struktur
estetik pertunjukan, masih menjadi orientasi bagi para dalang dalam menggelar
pertunjukan. Cerita yang bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana menjadi
suguhan setiap kali ada pertunjukan wayang di mana banyak penonton rela begadang
sampai byar (matahari terbit) hanya untuk menikmati adegan dan dialog yang
dilakonkan oleh para dalang karena pada masa itu memang belum terlalu banyak
hiburan bagi wong ndeso di Jember, kecuali acara-acara di TVRI dan pertujukan
kesenian rakyat lainnya. Di Jember sendiri, pada masa ini, terdapat beberapa dalang
yang serius dalam melakoni pakem dan menceritakan kisah-kisah epos, seperti (Alm)
Mbah Gombloh yang berasal dari Semboro. Keterikatan pada pakem sebenarnya lebih
dikarenakan selera kultural masyarakat yang memang belum banyak dipengaruhi oleh
wacana dan produk industri budaya pop sehingga apapun yang disuguhkan para dalang
akan tetap menarik untuk dinikmati.
Perkembangan zaman dan pesatnya industri budaya pop lambat laun merubah
atau menggeser orientasi kultural masyarakat, terutama kaum muda, terhadap
kebenaran ajaran dan kisah dalam pertunjukan wayang kulit. Para pemuda desa yang
sudah terbiasa dengan hingar-bingar pertunjukan musik—baik dangdut, campursari,
kendang kempul, pop maupun rock—tentu tidak akan betah untuk berlama-lama
menonton cerita wayang yang patuh pada pakem dan cerita aslinya. Pertunjukan
wayang yang terlalu menurut pada pakem bagi sebagian besar kaum muda tentu akan
menjadi nostalgia terhadap masa lampau yang tidak mungkin mereka jangkau lagi.
Namun benarkah semata-mata desakan budaya pop dan kultur modern yang telah
menggeser pemahaman tersebut? Ki Jagat Waluyo Sakibi, salah satu dalang senior di
Semboro yang sudah tidak mau wayangan lagi, memberikan pernyataan yang berbeda:
Sekarang ini saya sudah bingung untuk mengikuti alur dan cerita setiap pertunjukan
wayang, sudah tidak jelas mana yang seharusnya benar. Para dalang sepertinya sudah
mulai tidak begitu memperhatikan alur cerita, karena terlalu asyik dengan improvisasi-
improvisasi pertunjukan, terlalu banyak waktu untuk campursari atau dangdutan, sampai-
sampai inti ceritanya tidak kesampaian. Apalagi penonton, jelas mereka tidak dong apa
maksud dari ceritanya, paling hanya beberapa penonton dari generasi tua yang masih bisa
mengerti. Padahal banyak ajaran yang baik-baik dari wayang. Saat ini cerita wayang itu
seperti tempelan belaka, sementara yang utama ya, campursari atau dangdutan itu.
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
10
Memang, kalau diruntut lagi, ini juga kesalahan dalang sendiri, terutama Ki Manteb
Sudarsono yang mempelopori tampilan campursari dan improvisasi lainnya. Nah, dalang
Jember itu kan bergurunya ke mbahnya dalang itu, jadinya ya, seperti sekarang ini, ndak
jelas, ndak karuan. (Wawancara, 22 Juni 2008)
Apa yang dituturkan Ki Jagat menandakan dua hal sekaligus. Pertama, adanya
kekhawatiran dari generasi seniman tua yang masih pakem-minded demi melihat
ketidakberaturan yang dilakukan para dalang muda dalam pertunjukannya sehingga
menghilangkan ajaran-ajaran yang dianggap adiluhung dalam cerita wayang.
Kekhawatiran ini secara semiotik merupakan penanda bagi munculnya krisis dalam
budaya lokal yang akan bisa hilang, bukan hanya karena desakan budaya industrial,
tetapi juga karena ulah dalang itu sendiri. Kedua, munculnya respons internal dari para
dalang untuk melakukan kreativitas estetik dalam menyikapi perkembangan kultur
masyarakat dan pesatnya desakan budaya pop yang dihadirkan oleh industri. Artinya,
pergeseran sosio-kultural sebagai akibat wacana dan praktik modernitas menjadikan
para dalang mengambil sikap kreatif agar masyarakat tetap menggemari pertunjukan
wayang, meskipun harus menggeser aturan-aturan pakem yang menjadikan wayang
tidak murni lagi.
Pertentangan dalam menyikapi pakem pewayangan, memang tidak sampai
berujung pada konfrontasi diskursus secara terbuka antara mereka yang berpandangan
tradisional dan adaptif. Namun, realitas kultural dalam masyarakat—seperti terlihat
dalam skema di atas—menunjukkan bahwa para dalang yang kukuh dalam memegang
pakem, lambat-laun hilang dari pagelaran wayang. Sementara para dalang muda yang
Budaya modern masyarakat desa
Sikap tradisionalis dalang: ingin mempertahankan
pakem
Sikap adaptif dalang: Mengambil dari yang
nge-pop sebagai strategi bertahan
Bertahan dengan rekayasa estetik: menampilkan
kesenian modern (campursari, dangdut, rock, kendang kempul
Perlahan hilang dari ruang
kultural desa
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
11
adaptif melalui improvisasi pertunjukan tetap eksis dalam jagat pewayangan di Jember.
Mereka antara lain: Siswo Utomo (Semboro), Edi Siswanto (Ambulu), Timbul (Ambulu),
Andy (Semboro), dan Wiwid (Semboro). Siapa yang benar dan siapa yang salah, bukan
lagi menjadi acuan yang tepat untuk melihat perkembangan wayang, karena masing-
masing pihak tentu mempunyai argumen masing-masing dalam memposisikan
keberpihakan dalam menentukan sikap.
Alasan utama untuk menentukan sikap, bagi Ki Jagat Waluyo sebagai wakil dari
dalang sepuh, tentu lebih didasarkan pada aspek klangenan terhadap keadiluhungan
ajaran moralitas dan kultural Jawa yang ada di balik cerita wayang seperti sudah
diwacanakan secara turun-temurun melalui pendidikan dalang maupun pendidikan
kebudayaan di institusi akademis. Ketika wayang sudah ter-erosi sebagai akibat dari
percampuran dengan produk-produk musik yang hanya mengedepankan aspek
kesenangan, tentu cerita tentang kebajikan akan menjadi kabur dan tidak lagi
memperoleh kontekstualitasnya dalam pagelaran wayang. Namun, para dalang muda,
juga mempunyai alasan yang kuat, mengapa harus melakukan percampuran. Siswo
Utomo memaparkan:
―Sekarang ini posisi wayang serba sulit. Masyarakat desa itu tidak seperti dulu lagi.
Mereka itu sudah modern. Lihat saja, VCD musik, baik dangdut, campursari, rock, pop,
sangat murah dan mudah didapatkan. Mereka itu sebenarnya lebih tertarik untuk
menonton musik. Bagi kami yang muda-muda, kondisi itu sungguh menyulitkan. Oleh para
dalang sepuh kami ini dituntut untuk terus nguri-uri kabudayan Jawa, tetapi masyarakat
sendiri sudah sulit menerimanya. Apa jadinya, sulit kan? Tidak mungkin kalau nuruti
pakem terus-menerus, bisa-bisa wayang tidak laku lagi dan hilang, musnah, amblas dari
peredaran. Maka, yang bisa kami lakukan, ya membuat siasat untuk bertahan dengan
menampilkan pertunjukan musik. Tambahan campursari atau, sesekali kendang kempul
dan dangdut, tidak lain hanya digunakan untuk menarik minat generasi muda agar mau
datang ke pagelaran wayang. Kita semua, sebagai dalang, tentu tidak ingin wayang tiba-
tiba hilang dari peredaran. Nah, dengan menampilkan pertunjukan musik, minimal,
mereka tertarik untuk melihat. Minimal itu. Meskipun mereka tidak paham sepenuhnya
makna atau cerita yang disajikan, yang penting mereka tahu apa itu wayang. Itu dulu
yang penting. Jangan sampai kaum muda kita jadi tidak mengenal wayang. ‖ (Wawancara,
25 Juli 2007)
Bagaimanapun juga, ruang kultural desa sebagai ―lahan basah‖ bagi para dalang
memang sedang bergeser. Kaum muda di desa lebih suka menikmati produk musik
industrial, baik yang beraroma Barat (sebagaimana yang diusung band-band di Jakarta)
maupun lokal (seperti campursari maupun kendang kempul). Para ibu lebih memilih
sinetron sebagai ―tontonan wajib‖ di waktu malam. Anak-anak sudah mulai asyik
dengan play station. Remaja sekolahan lebih menikmati MTV maupun chatting di
warung-warung internet yang sudah mulai merambah wilayah kecamatan. Artinya,
desa bukan lagi menjadi ―ruang eksotis bersifat rural dan natural‖ yang jauh dari
jangkauan lalu-lintas peradaban dan kebudayaan modern. Meskipun masih
mempraktikkan tradisi-tradisi lokal warisan leluhur atau tradisi beraroma Islam,
seperti selamatan dan tahlilan, toh wong ndeso dalam praktik sehari-hari sedang
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
12
menikmati keterpesonaan terhadap ―imaji indah modernitas‖ sebagaimana yang
berlangsung pada ruang kultural kota. Kondisi-kondisi itulah yang menjadikan para
dalang muda, seperti Ki Siswo Utomo, memutar otak untuk kemudian memilih ―pakem
tambahan‖ seperti pertunjukan lagu-lagu dangdut (bergaya koplo), campursari, kendang
kempul, maupun lagu-lagu pop yang di-koplo-kan.
Improvisasi estetika-hibrid dalam pertunjukan wayang
Transformasi dan improvisasi estetik-hibrid pada pagelaran wayang, dengan
demikian, menjadi strategi survival untuk bisa terus berkontestasi di ruang kultural
desa yang sangat ambivalen. Memang, motivasi ekonomi tampak sebagai keniscayaan
yang tidak bisa ditawar lagi, karena para dalang, sinden, maupun pengrawit butuh
uang untuk tambah kebutuhan sehari-hari, meskipun honor dari tanggapan sebenarnya
juga tidak mencukupi. Dalam konteks impovisasi estetik-hibrid itulah, telah terjadi
ambivalensi pemberdayaan kesenian tradisi-lokal yang pada sisi berusaha untuk
melakukan penguatan terus-menerus, tetapi di sisi lain harus memasukkan elemen-
elemen kesenian modern yang sangat kontras atau bahkan bisa mengurangi aura dari
kesenian tersebut. Ambivalensi tersebut tentu akan menghasilkan tontonan-tontonan
yang secara sekilas tidak lagi memegang pakem pertunjukan wayang kulit seperti
dilakukan pada masa lampau, meskipun tidak sepenuhnya pakem hilang karena siasat-
siasat estetik sebisa mungkin disesuaikan dengan bagian-bagian pertunjukan wayang.
Ambivalensi yang dihasilkan dari improvisasi estetik-hibrid, dengan demikian, tetap
menghasilkan nilai strategis bagi dalang dan pertunjukannya.
Tampilan tambahan yang paling kentara dalam pertunjukan wayang saat ini
adalah pertunjukan musik campursari, kendang kempul, dangdut, maupun pop-
industrial yang sedang nge-trend di masyarakat desa. Hal ini bisa masuk akal karena di
wilayah pedesaan Jawa Jember (bagian Selatan) musik-musik yang sedang nge-pop
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kultural mereka. Dangdut,
campursari dan kendang kempul, tidak hanya disukai oleh generasi 30 tahun ke atas,
tetapi juga generasi 20 tahunan. Sementara musik pop-industrial memang lebih banyak
disukai oleh generasi belasan tahun sampai 20 tahunan, meskipun generasi 30 tahunan
juga masih ada yang menggemari. Sedangkan generasi 50 tahunan ke atas lebih
menyukasi gending-gending klasik beraroma Mataraman yang kalem. Tambahan
pagelaran musik tersebut biasanya berlangsung sebelum jejer pembukaan, cangik-
limbuk di tengah-tengah alur pertunjukan, dan gara-gara di bagian akhir sebelum
pertunjukan berakhir.
Pertunjukan musik sebelum jejer biasanya dimulai pukul 21.00 WIB. Sebelum
pertunjukan dimulai para sinden yang berdandan Jawa, kebaya lengkap, dengan
rambut disanggul bersiap di atas panggung. Duduk bersebelahan dengan para sinden,
yang biasanya berjumlah 5 orang, para penyanyi dangdut dengan pakaian khas yang
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
13
serba minim. Para pengrawit dengan pakaian Jawa lengkap juga sudah siap dengan
instrumennya masing-masing. Para pemusik juga memegang alat masing-masing,
meskipun pakaian mereka tidak njawani, tetapi tetap seragam. Ketika semua sudah
siap, maka wiraswara atau MC akan segera membuka pagelaran. Dengan bahasa Jawa
alus, MC menyapa tuan rumah sembari mengucapkan terima kasih serta tidak lupa
menyapa para penonton. Para penonton yang terdiri dari anak-anak SD, kaum muda,
hingga yang tua, laki-laki dan perempuan, berkumpul di depan panggung, siap
menikmati hiburan. Kehadiran pertunjukan musik sebelum jejer sekilas mengesankan
adanya perubahan dramatis dari sebuah pagelaran wayang kulit karena selama ini jejer
dengan suluk dalang dianggap sangat sakral dan menjadi syarat wajib. Dengan
digelarnya pertunjukan musik pembuka, maka kesan kesakralan tersebut tergantikan
oleh hingar-bingar tembang, dentuman musik, dan goyang pinggul para penyanyi.
Namun, itu semua memang tidak berlangsung lama, hanya sekitar satu jam
pertunjukan. Lagipula, inilah cara untuk menarik perhatian penonton agar segera
berkumpul di depan panggung.
Salah satu dari pesinden biasanya akan dipersilakan menyanyi terlebih dahulu,
bukannya penyanyi dangdut. Lagu campursari yang sudah populer di masyarakat
menjadi pilihan tembang untuk dipersembahkan kepada penonton. Lagu seperti Perahu
Layar, Nyidam Sari, Wuyung, Sewu Kutho, dan beberapa lagu lainnya, biasanya
menjadi pilihan. Pada pembukaan, para pengrawit biasanya ikut mengiringi dengan
alunan nada gamelan dan kendang yang menonjol. Namun, sampai di tengah-tengah
lagu—reff—para pemusik segera mengambil kendali musik dengan memasukkan
instrumen-instrumen modern seperti gitar, keyboard, bass, drum, dan ketipung. Musik
segera berganti menjadi koplo yang menghangatkan suasana malam dan batin
penonton. Koplo akan terus dimainkan sampai lagu berakhir.
Meskipun musik koplo sangatlah rancak, beda dengan karawitan atau musik
campursari standard, pesinden yang sedang menyanyi sudah mempunyai aturan-aturan
normatif untuk tidak bergoyang berlebihan. Gaya panggung mereka tetaplah berada
dalam garis-garis kesantunan Jawa. Konteks kultur yang melekat pada diri mereka,
seperti terepresentasikan dalam pakaian yang dikenakan, rupa-rupanya ikut
memberikan batasan-batasan yang secara sadar tidak dilanggar. Mereka sadar bahwa
mereka juga akan nembang—mengiringi lakon—sebagai bagian integral dari pagelaran
wayang. Hal itu pula yang membedakan mereka dengan penyanyi dangdut.
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
14
Gambar 1
Dua orang sinden sedang beratraksi di atas panggung dengan lagu campursari
(Pagelaran wayang kulit Dalang Ki Siswo Utomo dari Kelompok Sabda Kawedar, di Desa Gading Rejo, Kec.
Umbulsari, Jember, 7 Juni 2009, Foto koleksi Ikwan Setiawan)
Hal yang kontras ditampilkan oleh para penyanyi dangdut yang berpakaian serba
minim dan bergoyang ala Inul (penyanyi dangdut yang mempopulerkan goyang ngebor
dan kemudian diikuti oleh banyak penyanyi dangdut lain dengan gaya goyang yang
berbeda). Meskipun berpakaian mini, mereka juga masih mengenakan socking untuk
menutupi kaki. Rata-rata mereka adalah gadis remaja yang masih duduk di SMA atau
bahkan ada yang di SMP. Beberapa juga sudah lulus SMA. Ketika MC mempersilahkan
mereka naik ke pentas, maka musik dangdut menyambut kehadiran mereka. Lagu-lagu
yang dibawakan adalah lagu-lagu dangdut, kendang kempul, dan pop-industrial dari
band-band terkenal Jakarta. Tanpa rasa canggung berada dalam ruang beratmosfer
Jawa yang sebenarnya penuh nuansa alus, mereka menyapa bernyanyi dan bergoyang
mengikuti irama koplo.
Gambar 2
Dua penyanyi dangdut koplo sedang menampilkan kebolehannya di atas panggung
(Pagelaran wayang kulit Dalang Ki Wahyu Widodo Gomblo Atmojo dari Kelompok Ngesti Manunggal, di
Desa Semboro Kec. Semboro, 31 Mei 2009, Foto koleksi Ikwan)
Atraksi kedua penyanyi di atas memang mengesankan kontras dalam hal estetika
pertunjukan wayang. Background wayang yang sangat tradisional seakan menjadi
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
15
setting dari atraksi modernitas yang tidak terbendung lagi di tengah-tengah ruang
kultural masyarakat desa. Sesaat, ekspresi Jawa wayang seolah-olah ‗diambil alih‘ dan
‗ditundukkan‘ oleh ekspresi koplo: panggung tengah menjadi milik kedua penyanyi
tersebut. Cerita-cerita keadiluhungan narasi wayang sebagaimana yang diimpikan oleh
generasi tua yang lahir di era 50-an seperti terhapus oleh kelincahan dan ‗keliaran‘ para
penyanyi koplo yang memang sedang menjadi trend. Deretan wayang di belakang
mereka tampak hanya menjadi pelengkap yang ‗tidak berdaya‘. Begitupula para
pesinden yang harus memberikan kesempatan kepada para penyanyi koplo untuk
menghibur penonton.
Namun demikian, pagelaran musik pembuka tidak semuanya menampilkan
penyanyi dangdut koplo. Kalau penanggap selaku tuan rumah yang punya hajatan tidak
menghendaki penyanyi koplo hadir dalam pertunjukan musik pembuka atau cangik
limbuk, maka dalang juga tidak akan menghadirkannya. Realitas tersebut menandakan
bahwa di balik kecenderungan umum untuk menyukai para penyanyi koplo dengan
atraksi-atraksi sensualnya, masih ada sebagian kecil masyarakat yang lebih menyukai
sesuatu yang njawani. Bahkan di antara mereka ada juga yang menghendaki musik
pembuka hanya diisi oleh gending-gending klasik Mataraman, tanpa adanya musik
koplo, meski untuk cangik limbuk tetap menggunakan campursari, kendang kempul,
dan dangdut koplo tanpa penyanyi, khusus pesinden. Meskipun tanpa menghadirkan
penyanyi koplo, penonton tetaplah antusias untuk menikmati pagelaran musik
pembuka. Memang penonton yang hadir, terutama dari kalangan muda, tidak sebanyak
ketika ada penyanyi koplo. Namun, penonton yang hadir tetap menikmati pagelaran.
Pagelaran musik pembuka akan berakhir pada pukul 22.00 WIB, ketika dalang
mulai membuka cerita wayang dengan suluk dengan diiringi gending-gending
pewayangan. Ketika dalang memulai pertunjukan, ratusan penonton yang semula
menikmati pagelaran musik, satu per satu beranjak, terutama mereka yang berasal dari
generasi muda dan ibu-ibu. Namun, para bapak yang rata-rata berusia 40 tahun ke atas
biasanya masih bertahan. Mereka inilah yang disebut penonton wayang tulen,
sementara penonton kategori pertama adalah penonton pemula. Penonton tulen ini
biasanya akan bertahan sampai pagelaran berakhir menjelang Subuh. Jumlah mereka
berkisar antara 50 orang.
Pukul 22.00 WIB, biasanya dalang akan membuka wayang dengan jejer untuk
kemudian memaparkan cerita pendahuluan yang akan dimainkan pada pagelaran.
Dalam jejer, para dalang masih menggunakan pakem, yakni membuka cerita dengan
membeber gunungan sebagai penanda awal setiap lakon, disusul suluk, dan dialog
antartokoh—biasanya ber-setting keraton. Setelah berlangsung 1 ½ jam, tepatnya pukul
23.30 WIB, cerita biasanya memasuki konflik. Di saat itulah jalannya cerita harus
berhenti terlebih dahulu karena pertunjukan memasuki breaking, yang, lagi-lagi
menghadirkan pertunjukan musik: cangik-limbuk.
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
16
Sebenarnya cangik limbuk adalah nama dua tokoh perempuan jenaka, yakni ibu
dan anak yang dialog di antara keduanya biasanya,pada dalang melakukan kritik-kritik
terhadap apa-apa yang berlangsung dalam masyarakat, dari persoalan moralitas,
pergaulan bebas, korupsi pejabat, bahkan masalah politik. Untuk masalah politik,
dengan sangat halus, biasanya dalang akan menyampaikan pesan-pesan politis yang
seringkali dipengaruhi oleh pilihan ideologis parpol dalang yang bersangkutan. Saat
cangik limbukan, dalang juga akan membacakan permintaan lagu dari para penggemar,
tuan rumah, maupun penonton umum. Para dalang menerima pesan tersebut melalui
SMS atau secarik kertas. Biasanya mereka juga menerima bingkisan berupa rokok yang
dikhususkan bagi dalang. Dalang biasanya membaginya dengan para pengrawit. Lagu-
lagu yang akan disajikan berasal dari permintaan-permintaan tersebut.
Semua pesinden dan penyanyi dangdut akan mendapatkan giliran untuk
menyanyikan lagu. Mereka bisa menyanyikannya solo, berdua, ataupun duet dengan
penyanyi laki-laki yang berasal dari tamu, penonton, atau wiraswara. Sebelum
menyanyi, dalang akan berbasa-basi dengan penyanyi, sekedar menanyakan
keadaannya. Terkadang celetukan-celetukan genit dari pesinden keluar dalam dialog
singkat tersebut, menjadikan suasana semakin gayeng. Semata-mata hiburan adalah
istilah yang tepat untuk mendeskripsikan pertunjukan cangik limbuk. Para tamu yang
diundang untuk menyanyikan lagu bersama penyanyi atau pesinden, terkadang ada
yang napel (memberi uang kepada pesinden atau penyanyi). Adapun jumlahnya
tergantung kepada si tamu.
Gambar 3
Dua penyanyi menunjukan kebolehan mereka berjoget sambil menyanyi ―Makan Durian‖, sementara
seorang penyanyi ‗melayani‘ permintaan seorang sinoman menyanyikan lagu ―Kerinduan‖, ciptaan Rhoma
Irama
(Pertunjukan Ki Andy Very Bisono, 20 Juni 2009, Foto koleksi Ikwan Setiawan)
Segala keadiluhungan cerita wayang yang dijadikan tuntunan orang Jawa, sejenak
diporak-porandakan oleh hasrat untuk memuaskan diri dalam keliaran-keliaran estetik
oleh para pendukungnya sendiri. Estetika wayang yang pada masa lampau
dipertontonkan semalam suntuk dengan jedah cangik limbuk dan goro-roro, pada masa
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
17
kini berubah menjadi pertunjukan wayang di mana unsur lakon ceritanya hanya
berlangsung selama 3 jam dan unsur hiburannya 4 jam. Pagelaran musik sebelum jejer,
cangik limbuk, dan goro-goro, adalah permainan di ―ruang antara pertunjukan‖ yang
mensubversi secara langsung segala tatanan diskursif dari tradisi wayang sebagai
budaya luhur Jawa. Harapan-harapan normatif agar wayang dimainkan secara baik
dan sesuai pakem yang diwariskan nenek moyang serta dimasuki pengaruh kolonial
nilai-nilai filosofis, nyatanya memang mudah sekali ditunda dan dimaknai secara liar
oleh para senimannya sendiri. Hibridisasi kultural yang melingkupi pola pikir dan
praktik kultural masyarakat desa Jawa di Jember sebagai pendukung atau pewaris
pasif wayang telah menjadikan pertunjukan wayang diwarnai dengan artikulasi-
artikulasi dari budaya-budaya dominan yang sedang berkembang. Dalam kondisi-
kondisi itulah, wayang kulit mesti dibicarakan, bukan lagi semata-mata sebagai
warisan yang mesti dilestarikan dalam kemandegan pakem, tetapi dalam kedinamisan
proses sosio-kultural yang mempengaruhi estetikanya. Dalam improvisasi estetik-
hibrid, sangat mungkin terjadi proses hilangnya sebagian nilai-nilai kearifan filosofis
Jawa dan digantikan oleh estetika hiburan yang lebih kental.
Re-negosiasi tradisi: Meniadakan penyanyi dangdut
Pertunjukan sebagai sebuah struktur teks yang dinamis, tentu saja, akan selalu
memunculkan kontradiksi-kontradiksi pemaknaan, baik dari seniman maupun
penikmatnya. Struktur dan makna tidak bisa menjadi sesuatu yang utuh dan
berkesinambungan. Begitupula kenikmatan-kenikmatan yang dihasilkan dari proses
pemaknaan. Artinya, akan selalu muncul negosiasi-negosiasi yang terus berkembang
dalam sebuah pertunjukan, sehingga hegemoni estetik akan mendapatkan ‗gangguan-
gangguan baru‘ yang berasal dari dalam. Hal serupa juga terjadi dalam pertunjukan
musik yang melengkapi pagelaran wayang kulit. Pemaknaan kembali struktur dan
model pertunjukan musik yang menyuguhkan goyang aduhai para penyanyi dangdut
dengan pakaian minimnya oleh komunitas penikmat, ternyata memperoleh respons dari
dalang.
Sedahsyat apapun pergeseran selera estetik masyarakat Jawa di Jember sebagai
akibat transformasi sosio-kultural yang sedang berlangsung, banyak penikmat
wayang—utamanya yang berasal dari generasi 50-an, 40-an, dan sebagian kecil 30-an,
masih memposisikan wayang sebagai ‗benar-benar‘ identitas kultural Jawa. Akibatnya,
mereka merasa kurang respek terhadap kehadiran penyanyi-penyanyi dangdut koplo
yang bergaya seksi di atas panggung wayang. Saat ini, sebagian penanggap wayang di
wilayah Semboro, juga sudah mulai meminta dalang untuk menampilkan ―murni Jawa
+ musik‖. Artinya, tidak boleh ada penyanyi dangdut yang berada di atas pentas karena
dianggap kurang sesuai dengan adat Jawa, sehingga yang memberikan hiburan musik
cukup suara merdu para pesinden. Bahkan di beberapa desa di wilayah Kecamatan
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
18
Umbulsari, seperti Gading Rejo, tuan rumah tidak segan-segan meminta dalang untuk
tidak terlalu lama mementaskan hiburan musik campursari karena bisa menghilangkan
ceritanya.
Ki Siswo Utomo, yang semula meyakini resep hibrid dengan menghadirkan
penyanyi dangdut koplo sebagai bentuk negosiasi wayang dalam konteks masyarakat
terkini, mulai berpikir ulang akan ‗kebenaran‘ konsep tersebut. Pendapat para
penikmat setia yang diperolehnya dari ngobrol di warung kopi, menjadikannya berpikir
untuk menawarkan kepada penanggap untuk meniadakan penyanyi dangdut koplo
dalam pertunjukannya.
―Awalnya saya pikir, kehadiran penyanyi dangdut bisa menarik perhatian penonton
pemula, agar mereka mau menonton wayang. Nyatanya, mereka hanya bertahan ketika
ada pertunjukan musik. Berarti ndak ada efek positif seperti yang saya harapkan semula.
Nah, sementara para penonton setia saya mulai mengeluh tentang kehadiran para
penyanyi dangdut di atas pentas, mendampingi para pesinden. Saya berpikir, berarti
kehadiran penyanyi dangdut itu hanya ngriwuki pagelaran wayang. Mereka juga bilang,
bahwa pertunjukan musik campursari dan kendang kempul itu tidak menjadi soal, asalkan
yang menyanyikan cukup para pesinden. Dari situ, kemudian saya sadar bahwa kehadiran
penyanyi dangdut bukanlah kewajiban yang harus dituruti. Akhirnya, setiap mau pentas,
saya ngomong dulu pada tuan rumah agar tidak usah memakai penyanyi dangdut.
Ndilalah, ada sebagian penanggap yang memang meminta saya tidak membawa penyanyi
dangdut dari luar pesinden. Alasan mereka bukanlah alasan ekonomi, tetapi para penyanyi
itu ngriwuki keagungan pagelaran wayang kulit. Untuk wilayah Semboro, ada beberapa
penanggap yang sepakat, tetapi juga ada yang tetap meminta penyanyi dangdut.
Sementara di beberapa wilayah Umbulsari, termasuk Gading Rejo, memang sudah bisa
diterapkan.‖ (Wawancara, 28 Juni 2009)
Penjelasan Ki Siswo Utomo tersebut menandakan adanya proses pengendapan dan
pemikiran kritis dari seorang dalang terhadap konsepsi dan praktik yang dijalani
selama ini. Keliaran-keliaran estetik yang ia lakoni demi memuaskan hasrat
transformatif para penonton muda ternyata tidak mampu membuatnya puas. Peran
seorang dalang yang bukan semata-mata sebagai penghibur, tetapi juga tukang tutur,
mendorongnya untuk kembali menyuguhkan pertunjukan wayang dan musik yang tetap
mengedepankan unsur perfoma kejawaan. Akhirnya, pertunjukan musik pembuka,
limbukan, dan goro-goro dalam pertunjukannya dinyanyikan oleh para pesinden, tanpa
penyanyi dangdut.
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
19
Gambar 4
Pesinden Aris sedang menyanyikan sebuah tembang campursari
bersama seorang penonton setia Ki Siswo Utomo
(Pertunjukan Ki Siswo Utomo, Babatan Sidomekar, Semboro, 27 Juni 2009. Foto Koleksi Ikwan Setiawan)
Pertunjukan musik full pesinden ternyata tetap disukai oleh penonton baik yang
muda maupun yang tua. Pagelaran yang pada prinsipnya murni menghibur bisa
diterima bahkan oleh penonton dari generasi tua, karena para pesinden yang
berpakaian Jawa. Pakaian sebagai salah satu penanda kultural ternyata mampu
‗mengalahkan‘ ketidaksukaan penonton generasi tua terhadap pagelaran musik yang
selama ini menampilkan penyanyi dangdut koplo. Kehadiran pesinden dengan lagu
campursari maupun kendang kempul juga lebih bisa terterima karena pada masa
lampau para pesinden juga menyanyikan gending-gending ketika limbukan dan goro-
goro. Kastur, penonton wayang berusia 50 tahunan dari Babatan Semboro,
mengungkapkan:
―Dangdut yang itu sebenarnya tidak sesuai untuk wayang kulit, apalagi para penyanyinya
yang berpakaian ‗kayak gitu‘ (pen, seksi). Benar-benar njomplang (pen, tidak sesuai). Tapi,
ya, gimana lagi, memang sudah ombak-nya zaman. Anak-anak muda sekarang memang
suka dangdut. Kalau saya memang lebih suka yang klasik-klasik, yang tradisional, karena
pengalaman masa kecil saya kalau nonton wayang, ya yang klasik-klasik itu. Susahnya,
dalang sekarang itu tidak ada lagi yang memainkan wayang kayak zaman dulu lagi.
Terlalu banyak lagunya, ceritanya tidak ketemu. Ya, kalaupun banyak lagunya, ndak pa-
pa, yang penting yang nyanyi itu pesinden. Kalau pesinden yang nyanyi, kesan Jawa-nya
tetep ada. Lebih sopan, ndak urakan. Saya bisa betah nonton wayang.‖ (Wawancara 28
Juni 2009)
Meskipun ada perbedaan jenis lagu yang dinyanyikan, nuansa tradisional yang diusung
campursari dan kendang kempul tetap sesuai dengan selera generasi tua. Persoalan
kehadiran drum, gitar, bass, maupun irama koplo dalam musik pengiring, rupa-rupanya
tidak menjadi masalah serius, senyampang pesinden tetap berada pada garis-garis
kesopanan. Apa yang disampaikan Pak Kastur, paling tidak, menunjukkan adanya
ambivalensi kultural generasi tua Jawa di Jember, utamanya dalam selera kesenian.
Mereka memang tidak suka dengan tampilan-tampilan seronok penyanyi dangdut
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
20
dalam pertunjukan wayang, namun mereka juga tidak mempermasalahkan musik
koplo, asalkan para pesinden yang menyanyi di atas panggung.
Beragam penonton, beragam cerita
Membicarakan wayang dengan segala perkembangannya tentu membutuhkan
sebuah analisis lain, utamanya tentang bagaimana penonton wayang yang sangat
beragam memaknai dan memahami proses transformasi dan improvisasi estetik
tersebut. Seringkali para dalang berargumen bahwa segala dekonstruksi estetik yang
mereka lakukan demi memenuhi pergeseran selera penonton dengan tujuan utama
menarik hati dan perhatian para penonton pemula. Argumen tersebut, dalam konteks
kekinian, memang sesuai dengan pandangan kultural kaum muda desa yang sudah
terbiasa dengan produk-produk budaya yang cukup dinamis, seperti musik dangdut,
pop-industrial, campursari, maupun kendang kempul Banyuwangen. Apa yang luput
dari perhatian para dalang adalah para penonton dari generasi tua, 50 tahun ke atas,
yang masih juga setia menonton wayang untuk menemuka pesan-pesan filosofis dari
pertunjukan. Begitupula dengan anak-anak belia yang mungkin datang ke pertunjukan
wayang demi melihat keramaian para pedagang atau keinginan-keinginan lain yang
perlu juga dipertimbangkan signifikansinya.
Bagi penonton wayang tulen yang berasal dari generasi usia 50 tahun ke atas,
menonton wayang tentu bukan saja menonton pertunjukan musiknya. Bagi mereka
pagelaran wayang merupakan sebuah ruang untuk menemukan makna-makna dalam
menghayati segala proses kehidupan. Kehidupan bagi mereka tidak hanya semata-mata
dipahami melalui ajaran-ajaran agama formal, seperti Islam, tetapi juga agama-agama
informal, seperti wayang, yang memuat pantulan cerita kehidupan yang sebenarnya.
Dari pagelaran itulah mereka sebenarnya berharap akan menemukan hikmah
bagaimana memaknai problem-problem kehidupan yang terjadi dalam dunia nyata.
Namun, ketika pertunjukan wayang sudah kehilangan sebagian nilai-nilai luhurnya,
pun mereka mempunyai pendapat yang berbeda.
Lek Sukir, 55 tahun, warga Sidomekar Semboro, mempunyai pendapat yang
menarik untuk disimak.
―Wayang sekarang itu tidak seperti wayang pada zaman dulu. Saya masih ingat, pada
zaman dulu wayang itu dimulai siang hari, ba‘da Dhuhur, lalu istirahat sebentar
menjelang Maghrib dan dilanjutkan lagi ba‘da Isya‘. Lakon ceritanya utuh, dari awal
hingga akhir. Jadi, misalnya, bercerita tentang Baratayudha, penonton itu tahu bahwa
nanti dalang akan membuka cerita seperti ini lalu di tengah-tengah seperti itu sampai
pada bagian akhir, meskipun ada juga limbukan dan goro-goro-nya. Penonton tidak
kehilangan cerita. Nah, kalo sekarang, para dalang itu sudah ndak karuan, yang
ditonjolkan, ya musiknya itu. Para dalang sekarang juga tidak sehebat dalang dulu. Saya
ingat sama (Alm) Pak Gombloh. Dia itu dalang yang sangat terkenal di wilayah Semboro
dan sekitarnya. Dia itu pinter sekali orangnya ketika ndalang. Masing-masing tokoh
wayang mempunyai suara yang berbeda, sesuai dengan sifat asli si wayang. Dari suara
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
21
yang dikeluarkan dalang, penonton sudah tahu wayang ini adalah Bisma, Bathara Guru,
Werkudoro. Lha, kalo sekarang, dalang itu suara untuk tokoh satu dan tokoh lain hampir
sama, jadi kurang menarik lagi‖. (Wawancara, 31 Mei 2009)
Bagi penonton sepuh seperti Lek Sukir, keistimewaan wayang tetap terletak pada
bagaimana seorang dalang memainkan keutuhan cerita dan bagaimana mereka bisa
membuat spesifikasi-spesifikasi karakterisasi bagi masing-masing tokohnya. Dengan
pemahaman itulah, mereka akan lebih mudah untuk menyerap makna luhur dari
sebuah pagelaran. Masalahnya, dalang sekarang, baik yang berasal dari wilayah
Semboro maupun Ambulu, lebih banyak bermain-main dengan improvisasi pertunjukan,
sehingga keutuhan alur cerita bukan lagi menjadi persoalan serius, karena yang
penting bagi mereka adalah bagaimana penonton, khususnya dari generasi muda, mau
hadir di pertunjukan. Pencapaian-pencapaian kualitas personal dalang, seringkali
dikalahkan oleh kualitas pesinden dan penyanyi koplo yang dibawa serta dalam
pagelaran. Kondisi itulah yang menjadikan penonton tua, seperti Lek Sukir, enggan
menonton wayang sampai pagi, tidak seperti masa mudanya dulu.
Pemahaman yang agak berbeda diberikan oleh Joko Wiyono, 40 tahun, juga warga
Sidomekar Semboro. Joko adalah penggemar berat wayang. Pada masa mudanya ketika
merantau ke Kalimantan, dia sempat menjadi pengrawit dalam komunitas wayang yang
berkembang pada komunitas Jawa diasporik di sana. Ketika kembali menetap di
Semboro, dia tetap menggemari wayang, meskipun tidak lagi ikut memainkan gamelan.
Dalam setiap pertunjukan wayang di Semboro, dia selalu berusaha untuk hadir, kecuali
ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan.
Wayang memang sudah banyak berubah. Jujur, dulu saya menggemari wayang karena
cerita dan juga adegan perang yang diwarnai dengan sabetan-sabetan khas para dalang.
(Alm) Mbah Gombloh masih saya ingat sebagai dalang yang paling top dalam memainkan
cerita wayang, jadi saya jadi tahu bagaimana isi sebenarnya sebuah cerita. Lha, kalo
sekarang, saya sudah susah menemukan keunikan-keunikan itu dari dalang muda di
Semboro. Semua rata-rata berlomba-lomba untuk menampilkan pesinden dan penyanyi
ayu-ayu. Saya akhirnya kalo nonton wayang, ya tidak lagi ngoyo untuk memahami
ceritanya, lha memang sudah ndak ketemu ceritanya. Yang penting, ya sindennya yang
asyik untuk dilihat dan suaranya enak untuk didengar. Kalau dengan penyanyi dangdut,
apalagi yang koplo-an, saya tidak begitu suka, kurang sip. Tetep pesinden-nya yang
menarik perhatian. Kalo pesindenya asyik-asyik, ya, saya bisa bertahan sampai cangik-
limbukan atan bahkan sampai goro-goro dan selesainya cerita. Tapi, kalo kurang asyik, ya,
sampai cangik-limbukan sudah pulang. Saya juga lebih suka melihat pesinden
menyanyikan lagu-lagu campursari atau kendang kempul dibandingkan lagu dangdut asli.
Kurang menarik. Kalo campursari atau kendang kempul, meski iramanya pake‘ koplo, saya
masih bisa mengikuti. Sebaliknya, kalo musiknya terlalu kalem dan bergaya Mataraman,
saya rasa kurang pas. (Wawancara, 20 Mei 2009)
Pernyataan Joko di atas, paling tidak, menyiratkan bagaimana pengaruh diskursif dari
pertunjukan wayang saat ini terhadap penonton. Joko sebenarnya masih mewarisi
tradisi menonton wayang seperti penonton usia 50 tahun ke atas, yakni memahami
cerita di tambah dengan adegan perangnya. Namun, karena wayang sekarang tidak lagi
mengedepankan itu semua, akhirnya ia lebih menikmati tampilan dan atraksi suara
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
22
para pesindennya. Sebuah pilihan yang masuk akal di tengah-tengah ketidakjelasan
struktur cerita. Ketertarikannya terhadap campursari dan kendang kempul
menandakan bahwa ia sebenarnya masih lebih suka musik yang berirama tradisi,
ketimbang dangdut murni. Masih ada kerinduan terhadap musik yang bernuansa
tradisi, meskipun sudah dicampur dengan irama koplo. Sekali lagi, sebuah ambivalensi
pandangan kultural masyarakat Jawa di Jember sangat jelas terlihat. Masyarakat Jawa
di Jember yang kebanyakan berasal dari tradisi subkultur Mataraman—bukannya dari
subkultur Arek sebagai asal dangdut koplo—ternyata juga bisa menerima tradisi estetik
yang beraroma agak kasar seperti koplo dengan liukan-liukan goyang, dengan syarat
tetap ada unsur tembang yang bernuansa tradisi.
Sementara bagi sebagian besar penonton dari kaum muda (20 – 30 tahunan),
menonton wayang memang sudah identik dengan menonton sinden dan penyanyi
cantik, bukan lagi cerita yang penuh ajaran bijak. Untuk penonton usia ini, mereka
memang secara umum mengerti cerita wayang, terutama dari epos Mahabarata dan
Ramayana, tetapi secara detil tidak mengerti dan memang tujuan mereka datang ke
wayang tidak untuk menikmati cerita. Bergembira dengan tembang-tembang yang
dipersembahkan para pesinden dan penyanyi dangdut adalah tujuan mereka menikmati
wayang. Penonton kategori ini, biasanya akan berada di depan pentas ketika musik
pembuka yang dimainkan. Dengan antusias mereka menikmati suara dan goyang
penyanyi dangdut serta gemulai gerak dan merdu suara para pesinden. Namun, setelah
pagelaran musik selesai, biasanya mereka akan segera meniggalkan pentas, menuju
warung-warung kaki lima dadakan yang menyediakan makanan maupun minuman.
Dalam sebuah pertunjukan Ki Siswo Utomo untuk memperingati Kemerdekaan RI
ke-64 di Dusun Babatan Sidomekar Semboro, 18 Agustus 2009, saya menanyakan
perihal tahu tidaknya ia tentang cerita yang sedang dimainkan dalang. Waktu itu lakon
yang dimainkan adalah Wahyu Tejomoyo. Dengan enteng ia menjawab: ―Saya ndak
tahu, Mas. Pokoknya seneng lihat sinden dan penyanyinya nya menyanyi‖. Sugeng
memang penonton fanatik wayang, tetapi bukan pada ceritanya tetapi pada suara
merdu dan keelokan tampilan para pesinden. Kenikmatan-kenikmatan ‗memandang‘
dan ‗mendengar‘ para pesinden sudah menjadi orientasi yang berlaku umum bagi
penonton muda wayang. Pesinden, kemudian, menjadi objek tatapan yang menjadi
objek keter-dipandangan dari hasrat memandang para penonton. Atraksi dalang dalam
mengola suluk, memerangkan wayang dan segala keunikan ceritanya, bukan lagi
menjadi orientasi penting bagi penonton muda. Memang masih ada penonton dari
generasi 40 tahun ke atas yang menonton wayang karena ingin mendapatkan pelajaran
berharga dari kisah yang disajikan dalang, namun jumlahnya sangat minor.
Para penonton juga tetap menjadikan kualitas suara pesinden sebagai acuan
penting dalam menyukai mereka, selain tampilan elok mereka. Para penonton ini
adalah penonton setia atraksi para pesinden, yang biasanya menonton pertunjukan
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
23
sampai acara selesai. Sekali lagi, tujuan utama mereka bukanlah untuk mengikuti
cerita dan atraksi yang disajikan dalang, tetapi menonton pesinden nembang
campursari berirama dangdut koplo dan Banyuwangen berbalut kebaya Jawa.
Kelompok penonton setia ini, biasanya sudah hadir ketika acara pagelaran dibuka
dengan pertunjukan musik. Namun, ada juga yang baru hadir ketika mendekati acara
limbukan, sekitar pukul 23.30 – 24.00 WIB. Mereka ini biasanya datang per kelompok
yang berasal dari beberapa wilayah, Semboro, Umbulsari, bahkan dari Lumajang.
Meskipun, bukan berbentuk organisasi formal, para penonton tersebut mengidentifikasi
diri mereka sebagai PPS alias Paguyuban Pengayom Sinden, Paguyuban Penjemput
Sinden, serta Paguyuban Penonton Sinden. Memang penamaan tersebut sekilas
terkesan guyonan, tetapi anggota-anggota paguyuban itu jelas-jelas ada walaupun
sangat informal.
Dalang sendiri sangat menghormati kehadiran para penonton setia tersebut.
Begitupula sebaliknya. Setiap kali limbukan di mulai, dalang pasti menyebut nama
mereka satu per satu. Mereka juga mengirim pesan, baik melalui secarik kertas
maupun SMS. Relasi ‗mutualis‘ ini diikuti permintaan lagu dari penonton kepada
dalang yang biasanya disertai rokok atau uang sejumlah tertentu. Dalang, kemudian,
akan meminta satu per satu dari pesinden untuk menembangkan lagu-lagu campursari
atau Banyuwangen yang diminta mereka. Ketika pesinden menyanyikan lagu-lagu yang
dipesan, dia akan mendapatkan saweran atau tapelan dari penonton yang merasa
lagunya dinyanyikan. Tidak jarang dari mereka yang kemudiam di minta dalang untuk
menemani pesinden menyanyi. Kalau sudah seperti itu, maka panggung wayang seakan
disulap menjadi panggung musik dengan para pesinden yang memuaskan hasrat
memandang para penontonnya. Cerita wayang bukan lagi narasi yang dinantikan. Ia
tergantikan oleh kenikmatan menonton pertunjukan musik.
Sebuah transformasi dalam menonton wayang, jelas-jelas sudah, sedang, dan
mungkin akan terus berlangsung di masa mendatang. Kalau pada zaman dulu,
menikmati cerita wayang dengan pesan-pesan adiluhungnya menjadi tujuan utama
para penonton, dengan limbukan dan goro-goro sebagai selingan, maka sekarang pesan-
pesan tersebut digantikan oleh gaya eksotis tubuh dan tembang para pesinden. Bahkan
beberapa penonton pada pertunjukan Ki Siswo Utomo (18 Agustus 2009, Babatan,
Sidomekar, Semboro) dengan sedikit berseloroh mengatakan, ―Lha wong, sudah sering
ndalang, kok masih saja ndalang, mbok sindene cepat suruh nyanyi‖. Ucapan itu
terlontar ketika dalang agak lambat masuk ke adegan limbukan. Meskipun bernada
guyon, namun, realitas ucapan tersebut menandakan keinginan untuk segera menonton
para pesinden nembang.
Ketika wayang bukan yang utama: Simpulan
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
24
Pilihan orientasi kultural masyarakat desa berbasis Jawa di Jember, memang
tidak pernah berdiri-sendiri dan bukan tidak terpengaruh oleh desain budaya
metropolitan, regional, dan setting lokalitas yang ‗mengelilingi‘ dan ikut
mengkonstruksi imaji dan pikiran kultural mereka. Keberlangsungan lalu-lintas
kultural yang meghadirkan produk-produk budaya pop kota ke dalam masyarakat
pedesaan, baik melalui siaran televisi maupun produk-produk industri rekaman, telah
menjadi realitas yang tidak bisa ditawar dan ditolak lagi. Mekanisme-mekanisme
tradisi untuk memperlambat laju percepatan masuknya pengaruh budaya luar ke dalam
imaji dan realitas desa, seakan semakin sulit terwujud.
Pola pikir dan laku hibrid yang oleh sebagian pemikir dikatakan sebagai bentuk
usaha untuk memasuki modernitas ataupun meninggalkannya untuk kembali
memperkuat tradisi, nyatanya perlu direvisi kembali. Tesis-tesis besar tentang
kekuatan hibridisasi kultural, memang tidak bisa diyakini berlaku general, karena
partikularitas dan kompleksitas persoalan yang berlangsung dalam lokalitas masing-
masing. Dalam kasus wayang, hibriditas kultural itu nyatanya tidak mampu membuat
generasi muda desa menikmati dan mencintai narasi dan wacana filosofis yang
disuguhkan dalang. Masuknya musik dangdut, campursari, dan Banyuwangian dalam
pertunjukan wayang di Jember, paling tidak, menunjukkan bahwa hibriditas telah
memangsa kekuatan budaya lokal itu sendiri, sehingga penonton-penonton muda tidak
lagi memosisikan wayang sebagai ―yang utama‖. Bagi mereka yang utama adalah
pertunjukan dangdut koplo dengan para penyanyi yang siap bergoyang dan menggoyang
suasana. Memang, ada dalang yang berusaha menghilangkan adegan penyanyi dangdut
dengan para sinden yang menyanyikan lagu dangdut. Namun itu semua juga tidak bisa
dijadikan patokan umum, karena semua berpulang kepada keinginan tuan rumah dan
kecenderungan penonton. Lagipula, meskipun para sinden, tetap saja mereka
menyanyikan lagu-lagu dangdut atau campursari populer.
Kalaupun ada sebuah dampak positif dari proses campur-aduk estetika
pertunjukan wayang yang berlangsung di Jember—atau bahkan di daerah-daerah
lain—adalah masih adanya ikon ke-Jawa-an di tengah-tengah modernitas desa yang
semakin biasa. Paling tidak, wayang masih ada, meskipun intensitas pertunjukannya
tidak sesering puluhan tahun silam. Meskipun hanya sebatas menjadi selebrasi
penanda ke-Jawa-an, paling tidak, di tengah-tengah posmodernitas dan poskolonialitas
masyarakat yang semakin biasa dengan tumpang-tindih elemen-elemen kultural,
wayang masih menjadi tanda ikonik dan indeksikal yang mengatakan bahwa masih ada
perayaan Jawa dalam masyarakat desa yang semakin biasa dengan budaya modern.
Daftar bacaan
Sears, Lauire J.2005. ―Intellectuals, Theosophy, an Failed Narratives of the Nation in
Late Colonial Java‖. Dalam Henry Schwarz & Sangeeta Ray (eds). A Companion to
Postcolonial Studies. Malden (USA): Blackwell Publising.
Nonton wayang atau dangdut?:
Pergeseran selera kultural dan improvisasi estetika-hibrid
dalam pertunjukan wayang kulit di Jember
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
25
Hutcheon, Linda. 1995. ―Circling the Downspout of Empire‖. Dalam Bill Aschroft, Garret
Griffiths, dan Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London:
Routledge.
Sangari, Kumkum. 1995. ―The Politics of the Possible‖. Dalam Bill Aschroft, Garret
Griffiths, dan Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London:
Routledge.
Sommer, Doris. 2005. ―A Vindication of Double Consciousness‖. Dalam Henry Schwarz &
Sangeeta Ray (eds). A Companion to Postcolonial Studies. Malden (USA):
Blackwell Publising.
Recommended