View
232
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
“KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DAN AGAMA TENTANG KERUKUNAN
UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH”
(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memporelah Gelar Sarjana Komunikasi Islam
(S.Kom.I)
Oleh:
MOHAMMAD MIQDAD
1112051000075
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
i
ABSTRAK
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA TENTANG
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH
(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso)
Berbicara Sunni dan Syiah, kedua golongan besar dalam Islam ini seakan
tidak berujung, dan selalu tidak lepas dengan konflik terkait dengan adanya beberapa
perbedaan pemahaman antara keduanya perihal; Imamah (kepemimpinan), fiqih dan
perayaan tradisi keislaman. Hal ini, yang kemudian menjadi pemicu terciptanya
konflik didaerah-daerah, begitu pula di daerah Jambesari pada tahun 2006. Desa
Jambesari merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Jambesari Darus
sholah. di Desa Jambesari, golongan Syiah secara terang-terangan berkelompok dan
menyampaikan keyakinan keSyiah-annya, mereka hidup berkelompok akan tetapi
tetap terbuka dengan kelompok lainnya, sehingga tercipta kehidupan yang rukun.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan tulisan ini adalah untuk menjawab
pertanyaan Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama (KAAB) golongan Sunni
dan Syiah di desa Jambesari dalam membangun kerukunan? Sedangkan pertanyaan
minornya adalah Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil
membangun kerukunan?
Pada tahun 2006 dapat dikatakan bahwa tidak terjalin dengan baik komunikasi
antarbudaya pada masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari, sehingga
terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun, lambat laun
masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut semakin dewasa dalam
memahami perbedaan.
Untuk meganalisis dan memahami komunikasi antarbudaya dan agama
golongan Sunni dan Syiah, peneliti menggunakan teori Edward T.Hall yang
menyatakan communication is culture and culture is communication dan teori dua
puluh Andi Faisal Bakti, konservatif dan transformatif. Serta faktor-faktor yang
mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya menurut Alo Liliweri.
Adapun metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dan metode studi kasus. Studi kasus adalah metode riset yang menggunakan
berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti,
menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu,
kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis.
Berhasilnya masyarakat golongan Sunni dan Syiah dalam menimalisir faktor-
faktor yang menghambat komunikasi antarbudaya dan agama, yang hal ini terekam
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambesari, menjadikan masyarakat golongan
Sunni dan Syiah desa Jambesari hidup dengan penuh kedamaian dan kerukunan.
Kata kunci: Komunikasi antarbudaya dan agama, Sunni, Syiah, Kerukunan
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahi ar-rahmani ar-rahim…
Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Alih Sayyidina Muhammad…
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Puji dan Syukur yang sebesar-besarnya atas
kehadirat Allah SWT yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia kepada
hamba-hamba-Nya. Serta Sholawat dan Salam semoga selalu Allah limpahkan
kepada kekasih-Nya, penutup kenabian, Baginda Agung Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan parasahabatnya, yang telah menjadi suri tauladan untuk kita
melangkah dalam jalan kebenaran.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi
sempurnanya skripsi ini, penulis sangat membutuhkan dukungan dan sumbangsih
pikiran yang berupa kritik dan saran yang bersifat membangun.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta Ali Rahbini
dan Siti Fadilah, yang telah tulus ikhlas memberikan kasih sayang, cinta, do’a,
perhatian, dukungan moral dan materil yang telah diberikan selama ini. Terima kasih
telah meluangkan segenap waktunya untuk mengasuh, mendidik, membimbing, dan
mengiringi perjalanan hidup penulis dengan dibarengi alunan do’a yang tiada henti
agar penulis sukses dalam menggapai cita-cita.
iii
Dengan terselesaikannya skripsi yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya
Dan Agama Tentang Kerukunan Umat Beragama Golongan Sunni Dan Syiah
(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur)
ini, perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
(FDIKOM), Suparto, M. Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr.
Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta
Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.
2. Drs. Masran, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan
Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
3. Dr. A. Ilyas Ismail, MA Selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan skiripsi ini, ditengah-tengah kesibukannya beliau
selalu menyempatkan diri untuk memberikan pemikirannya dan mengarahkan
penulis dalam penyusunan skiripsi yang baik.
4. Umi Musyarofah, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang
bermanfaat bagi penulis, selama penulis berada dibangku perkuliahan.
6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
dan juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta yang telah
iv
memberikan kemudahan penulis untuk mendapatkan berbagai referensi dalam
penyelesaian skiripsi ini.
7. Segenap staff dan karyawan Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan pelayanan terbaik kepada penulis perihal
surat-menyurat.
8. Maltup Al-Hidayah, SH selaku Kepala Desa Jambesari. Bapak Qurdi selaku
Sekretaris Desa Jambesari. Serta kepada Bapak H.Abdullah, Bapak Ahmad Rawi,
Bapak Mukhlis, yang telah meluangkan waktunya dan bersedia menjadi
narasumber dalam penelitian ini.
9. Kifliah Batul kakak pertama dan suaminya Imam Ghozali, mereka adalah orang
tua penulis selama berada ditanah perantauan, kedua anaknya; Mahdi dan Mahda
yang selalu menemani dan menghibur penulis. Serta keluarga kakak kedua, Siti
Sofiah A.Noval dan Najmah, yang selalu mensupport penulis. Terimakasih atas
do’a dan nasihat-nasihat kalian.
10. Keluarga Besar Bani Soekarno, Bani Rafi’I, dan Bani Ami, Bani Rajidin.
11. Teman-teman KPI 2012 terkhusus teman-teman KPI C, kelompok KKN
KATULISTIWA, LASKAR 14, PANDU AB, dan TOP yang selalu meberikan
pelajaran mengenai arti petemanan, persaudaraan, atau bahkan percintaan.
Semoga persaudaraan kita tetap terjalin.
12. Habib Husein Jakfar al-Hadar, Kak Husein bin Abu Thalib al-Mudor, kawan-
kawan di Omah Jibriel; Bang Fadel BSA, Soivi, Khudori, Hasan M yang selalu
menyadarkan penulis untuk menjadi manusia paripurna.
v
13. Sedulur Lir-ilir; Kang Syech, Mas Faisal, Ka Eidith, Ka Andini, Mas Abram, Mas
Sule, Mas Dana, Ali A, Bagier, Harsya dan Ali P, yang tak segan-segan untuk
selalu berbagi pengalaman dan pengetahuannya.
14. Ka Samsul, kaka senior yang telah bersedia meminjamkan buku-bukunya. Serta
kawan-kawan seperjuangan Skiripsi, Sari Setianingrum, Dewi Mufarikah, Melqy
A, Falahul Mualim Y, Rifqi M, Haris M yang selalu saling berbagi motivasi.
15. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, namun tanpa
mengurangi rasa hormat, penulis ucapkan terimakasih.
Akhir kata dari penulis, semoga segala bentuk motivasi, dukungan dan do’a
yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang berlimpah dan ridha dari
Allah SWT. Amin.
Jakarta, 1 Agustus 2016
Mohammad Miqdad
vi
DAFTAR ISI:
ABSTRAK …………………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR ……………..…………………………………………………ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. vi
DAFTAR TABEL ..………………………………………………………………… ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………….. ix
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah .…………………………………………………1
B. Batasan Dan Perumusan Masalah ……………………………………….. 6
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 6
D. Signifikansi Penelitian …………………………………………………... 7
E. Metodologi Penelitian……………………………………………………. 7
F. Teknik Analisis Data ……………………………………………………13
G. Pedoman Penelitian……………………………………………………...15
H. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….. 15
I. Sistematika Penelitian ………………………………………………….. 17
BAB II KAJIAN TEORI…………………………………………………………….19
A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama…………………………….19
1. Hakikat Agama dalam Komunikasi Antarbudaya………………….. 22
vii
2. Agama sebagai kelompok etnik ……………………………………. 23
J. Teori komunikasi Antaragama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal
Bakti………………………………………..………………………….... 25
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya…………. 31
1. Faktor Kognitif……………………………………………………... 31
2. Faktor gaya pribadi …...……………………………………………. 32
3. Faktor-faktor Lain …………………………………………………. 37
C. Konsep Kerukunan Umat Beragama ……..……………………………. 38
D. Golongan Sunni dan Syiah ……………………………………………...41
1. Definisi Sunni dan Syiah ……………………………………………41
2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah ………………………………42
BAB III GAMBARAN UMUM DESA JAMBESARI ……………………………..45
A. Kondisi Geografis desa Jambesari ………………………………………45
B. Kondisi Demografis ……………………………………………………..47
C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari…52
BAB IV TEMUAN DAN HASIL ANALISIS………………………………………56
A. Komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan
Syiah di desa Jambesari …………………………………………………57
B. Analisis Komunikasi Antarbudaya dan Agama Golongan Sunni dan Syiah
menurut teori Andi Faisal Bakti (teori duapuluh) ……………………….60
viii
C. Faktor yang mempengaruhi komunikasi Antarbudaya dan Agama
Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari ……………..66
1. Faktor Kognitif Golongan Sunni dan Syiah ……………………….. 66
2. Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah …………………... 67
3. Faktor-faktor lain golongan Sunni dan Syiah ……………………… 80
D. Interpretasi Data ………………………………………………………... 85
BAB V PENUTUP ………………………………………………………………… 88
A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 88
B. Saran …………………………………………………………………… 90
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 91
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………………… 95
ix
DAFTAR TABEL
TABEL 2.1 …………………………………………………………………….. 25
TABEL 3.1 …………………………………………………………………….. 46
TABEL 3.2 …………………………………………………………………….. 48
TABEL 3.3 …………………………………………………………………….. 49
TABEL 3.4 …………………………………………………………………….. 51
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 3.1 …………………………………………………………………… 44
GAMBAR 3.2…………………………………………………………………….. 50
GAMBAR 4.1…………………………………………………………………….. 61
GAMBAR 4.2…………………………………………………………………….. 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi
sosial kalau tidak berkomunikasi. Komunikasi merupakan hal yang sangat
penting bagi manusia. apalagi bagi yang hidup dengan keragaman
kebudayaan, menuntut manusia untuk memahami dan berinteraksi dengan
budaya lain. Setiap sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup manusia adalah
budaya. Setiap manusia pun akan berusaha berada dalam tatanan budaya
tersebut. Misalnya, cara berbicara, kebiasaan makan dan minum, bahasa
sehari-hari dan kegiatan keagamaan tertentu. Hal tersebut merupakan hasil
dari penyesuaian serta respon dari manusia, baik individu maupun sosial,
terhadap pola-pola budaya yang dikenalnya. Mereka lahir dan dibesarkan
dalam bentuk budayanya masing-masing.1
Semakin luas pergaulan dan pengetahuan tentang budaya lain, maka
makin besar fungsi, peranan dan tanggung jawab sosial seseorang. Makin
sering seseorang terlibat dalam proses komunikasi, maka akan berpegaruh
terhadap tingkah lakunya, karena komunikasi pada dasarnya adalah proses
penyampaian dan penerimaan lambang-lambang (pesan) yang mengadung
1Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2009), h.18
2
makna antara komunikator dan komunikannya dengan tujuan mewujudkan
kesamaan makna dan kebersamaan. Artinya dengan adanya proses
komunikasi yang baik maka akan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman
baik antar individu, etnik, kelompok atau antar seseorang yang berbeda latar
belakang budayanya.
Beberapa tahun terakhir ini, di Indonesia seringkali terdengar konflik
terkait dengan suku, agama dan ras (SARA); perusakan rumah ibadah
pengikut Ahmadiyah, pembakaran rumah masyarakat Syiah di Sampang pada
tahun 2012, konflik Tolikara pada tahun 2015, pelarangan perayaan Asyuro
masyarakat Syiah di Bogor, pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh dan
lainnya. Alhasil, Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau
berkeyakinan sepanjang tahun 2014 dari hasil riset The Wahid Institute
berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan. Dari jumlah tersebut, 80
peristiwa melibatkan 98 aktor negara; sementara 78 peristiwa melibatkan 89
aktor non-negara. Adapun jumlah korban dari peristiwa pelanggaran ini
adalah anggota Syiah dengan 235 korban.2
Konflik internal dalam agama Islam, antara pengikut Sunni dan Syiah
tak ada habisnya diperbincangkan oleh masyarakat. Sunni dan Syiah
merupakan dua aliran besar dalam perkembangan teologi Islam. Sunni dan
Syiah tidak berbeda pendapat perihal fundamen agama, melainkan perbedaan
2 The Wahid Institute, Laporan tahunan kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi
(Jakarta; The Wahid Institute, 2014)
3
diantara mereka terjadi dalam memahami hukum-hukum yang bersifat
partikular (al-a]hkam al-Far’iyyah), karena perbedaan cara pandang mereka,
khususnya dalam mengambil istinbat dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas
yang digunakan oleh kalangan Sunni dan akal yang digunakan oleh Syiah
Imamiyah. Karena itu perbedaan mereka dalam hal-hal yang bersifat parsial
merupakan rahmat, berkah, potensi, dan keluasan.3 Perbedaan ini, yang
kemudian dijadikan alasan bagi kaum intoleran untuk menyesatkan dan
membolehkan perusakan seperti yang terjadi di desa Karanggayam, Omben
Sampang 2012 silam.
Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah masih
sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke arah selatan
dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini masyarakat golongan Syiah hidup
bekelompok dan secara terang-terangan menyatakan keyakinan keSyiah-
annya hidup berdampingan dengan masyarakat golongan Sunni penuh dengan
keharmonisan. Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini Sunni
dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006 perusakan
rumah dan mobil pengikut Syiah yang sedang menggelar pengajian. Di tahun
selanjutnya, 2007 kembali terjadi perseteruan, yakni pembakaran rumah salah
seorang tokoh Syiah. Tak hanya itu, dalam prilaku keseharian pun masyarakat
Syiah yang minoritas sering mendapat perlakuan yang berbeda. Misalkan,
3 Mustofa Rafi’I, Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah (Jakarta: Fitrah, 2013), cet ke-1, h.3.
4
masyarakat Syiah yang notabane bekerja sebagai buruh tani dan kuli
bangunan, tidak dipercaya lagi sehingga jarang dipekerjakan. Dalam acara
keIslamanpun seperti, akad nikah, selametan sunatan, perayaan maulid Nabi,
dan tradisi lainnya, masyarakat Syiah tidak diundang karena sudah dianggap
sesat atau bahkan kafir yakni bukan bagian dari Islam. Namun, saat ini di
lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup rukun dengan
mengedepankan persamaan dan tidak mempermasalahkan perbedaan.
Pada dasarnya banyak kesamaan antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah
atau (NU) sebutan lain dari Sunni dengan Syi’ah. “NU itu Syi’ah minus
Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer
Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selain itu Gus Dur juga
pernah menyatakan bahwa NU adalah “Syi’ah Kultural”. Agus Sunyoto
mengungkapkan maksud dari pernyataan Gus Dur bahwa NU adalah “Syiah
kultural” dari kacamata kebudayaan. Maksudnya, tradisi keIslaman yang
dijalankan orang NU memiliki kesamaan secara kultural dengan yang
dijalankan orang-orang Syiah, meskipun kedua juga memiliki perbedaan.4
Daniel dan Mahdi sebagaimana yang dikutip oleh Larry A.Samovar
dkk, juga menjelaskan walaupun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki perbedaan
sejak tahun 632, namun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki banyak kesamaan.
Dalam tulisannya Daniel dan Mahdi menjelaskan,
4 Purkon Hidayat, Jalan Tasawuf Kebangsaan Gus Dur diakses pada tanggal 12 januari 2016
dari http://www.gusdurian.net/id
5
“Mereka menggunakan kitab suci yang sama qur’an,
memercayai pandangan yang sama mengenai Tuhan, menghormati
Nabi yang sama, melakukan shalat yang sama, berdo’a kearah yang
sama kepada Tuhan yang sama, berpuasa dalam jumlah hari yang
sama, dan lain.”5 Mereka juga berbagi “etnis, bahasa, makanan, dan
pakaian yang sama.”6
Prof. Dr.Syekh Ahmad Muhammad Ahmad ath-thayyeb pun
mengatakan dalam pesannya saat melakukan kunjungan ke Indonesia;
Hentikan Konflik Sunni-Syiah kalian bersaudara. Grand Syekh Al-Azhar
mengatakan bahwa;
“Syiah beragam, namun mereka adalah saudara, mereka tetap
Muslim, kita tidak bisa serta-merta menghakimi mereka keluar Islam
hanya karena satu perkara. Memang tedapat sikap berlebihan, tidak di
semua Syiah dan tidak semua ulama mereka demikian…..”7
Dua aliran kepercayaan dalam Islam ini, dalam kajian komunikasi
antarbudaya, dikenal dengan subkultur. Menurut porter dan Samovar
subkultur, yaitu komunitas yang menjadi pembeda dengan subkultur lainnya.
Dalam kebudayaan masyarakat yang ada dalam lingkungan tempat tumbuh
berkembangnya komunitas tersebut ataupun ditempat lain. Adapun yang
menjadi pembeda pada komunitas subbudaya adalah ras, etnik, regional, e
konomi, dan bahkan perilaku sosial yang menjadikan ciri tersendiri bagi
komunitas tersebut.8
5 Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta:
Salemba Humanika. 2010), h.149. 6 Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya h.149.
7 m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara diakses pada tanggal, 25 Maret 2016.
8 Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) h.18.
6
Berdasarkan pada latar belakang di atas, penulis memberi judul:
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA TENTANG
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH
(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa
Timur)
B. Batasan Dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah komunikasi yang
dilakukan oleh golongan Sunni dan Syiah terkait menjalin kerukunan
beragama khususnya di desa jambesari. Komunikasi yang difokuskan
kepada komunikasi antarbudaya dan agamanya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, disusunlah rumusan
masalah, yaitu:
1. Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan
Syiah di Desa Jambesari dalam membangun kerukunan?
2. Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil
membangun kerukunan?
7
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
A. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi antar budaya dan agama
golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari.
B. Untuk mengetahui mengapa golongan Sunni dan Syiah di desa
Jambesari berhasil membangun kerukunan.
D. Signifikansi Penelitian
Dilihat dari tujuan penelitian tersebut maka manfaat dari penelitian ini
dapat dilihat dari segi akademis dan praktis.
1. Manfaat akademis
Peneliti berharap penelitia ini memberikan konstribusi teoritis,
dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penelitian
selanjutnya dalam studi komunikasi antarbudaya dan agama, serta
memberikan konstribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri.
2. Manfaat Praktis
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan informasi
kepada masyarakat tentang komunikasi antarbudaya dan agama
masyarakat Sunni dan Syiah di Desa Jambesari dalam membangun
kerukunan.
8
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas
dunia nyata.9 Pada penelitian ini paradigma yang digunakan adalah
konstruktivisme. Realitas yang ada merupakan hasil konstruksi dari
kemampun berfikir seseorang. Dalam paradigma ini, perlu adanya
interaksi antara peneliti yang diteliti, agar mampu merekonstruksi realitas
yang diteliti melalui metode kualitatif.10
Untuk itu peneliti akan
melakukan penelitian terhadap golongan Sunni dan Syiah agar mampu
merekonstruksi realitas yang ada.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sifat
penelitian deskriptif. Menurut Whitney (1960) dikutip oleh Nazir, metode
deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.11
Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah masyarakat, serta tata
cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk
tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan,
9 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2010) cet
ke-7. h.9. 10
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi
Komunikasi di Masyarakat), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.238. 11
Moh Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013) Cet ke-8. h.54
9
serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari
suatu fenomena.12
Jenis metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus
(case study). Menurut John W. Creswell, studi kasus merupakan strategi
penelitian, dimana peneliti menyelidiki secara cermat suatu program,
peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu.13
Kasus-kasus
dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi
secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data
berdasarkan waktu yang telah ditentukan.14
Dilihat dari objek
penelitiannya, jenis studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini
adalah instrumental tunggal (single instrumental case study). Yakni
penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan kasus untuk
suatu isu atau perhatian. Peneliti memperhatikan dan mengkaji suatu isu
yang menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai
sarana (instrument) untuk menggambarkannya secara terperinci. Dalam
hal ini, yakni “konflik antara masyarakat golongan Sunni dan Syiah di
desa Jambesari pada tahun 2006, sebagai instrument untuk
menggambarkan secara terperinci komunikasi antarbudaya dan agama
12
Moh Nazir, Metode Penelitian h.55 13
John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,
(Bandung: Pustaka Pelajar, 2008), h.19. 14
John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, h.19.
10
golongan Sunni dan Syiah dalam membangun kerukunan antar umat
beragama”.
Maka pada penelitian ini peneliti mengamati dan berhubungan dengan
golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari melalui teknik pengumpulan
data wawancara, dokumentasi, dan observasi langsung pada aktifitas
komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah di desa
Jambesari dalam membangun kerukunan.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi Subjek penelitian adalah Golongan
Sunni dan golongan Syiah di Desa Jambesari yang menjadi sumber bagi
peneliti untuk memperoleh keterangan dalam data. Sedangkan objek
penelitiannya adalah bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama
golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari.
4. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Jambesari, Kecamatan Jambesari
Darus Solah, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Adapun waktu
penelitian yakni sejak diturunkannya surat ijin melaksanakan penelitian
tanggal 27 April-21Juni 2016.
a. Pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 09.00 WIB, peneliti melakukan
wawancara dengan Qurdi, selaku Sekretaris desa yang bertempat di
kantor balai desa Jambesari.
11
b. Pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan
wawancara dengan H.Abdullah selaku tokoh masyarakat golongan
Sunni di desa Jambesari.
c. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan
wawancara dengan Ahmad Rowi, selaku tokoh masyarakat Syiah
desa Jambesari, bertempat dikediamannya di RT 07 RW 012 desa
Jambesari.
d. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan
wawancara dengan Mukhlis, selaku salah seorang tokoh masyarakat
Syiah di kediamannya yang bertempat di RT 07 RW 012 desa
Jambesari.
e. Pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan
wawancara dengan Abdur Rahim, salah seorang golongan Sunni
yang bekerja sebagai buruh tani.
5. Sumber Data
Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, disini peneliti
menggunakan data primer dan data sekunder.
a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber
berupa hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan
masyarakat Syiah dan Sunni di desa Jambesari.
b. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat
dalam buku, jurnal, kutipan-kutipan, dokumenatasi atau arsip-arsip
12
dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian mengenai
komunikasi antarbudaya, masyarakat syi’ah dan Sunni.
6. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini, peneliti menggunakan tiga tehnik dalam pengumpulan
data, yaitu:
a. Observasi
Observasi yaitu dasar semua ilmu pengetahuan, karena ilmuan
hanya dapat bekerja berdasarkan data atau fakta mengetahui dunia
kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Marshall mengatakan
bahwa melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan
makna dari perilaku tersebut.15
Dalam hal ini peneliti mengamati
langsung proses komunikasi antarbudaya dan agama golongan
Sunni dan Syiah.
b. Interview (wawancara) mendalam
Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode
wawancara, suatu teknik yang dianggap tepat dalam mendapatkan
informasi. Karena itu, peneliti melakukan wawancara bebas
terpimpin (semi structured interview), yaitu wawancara dengan
menggunakan interview guide atau pedoman wawancara yang
15
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,2010), hal-64
13
dibuat berupa daftar pertanyaan.16
Wawancara dilakukan secara
bebas, tetapi menggunakan pedoman wawancara yang baik dan
benar agar pertanyaan terstruktur dan terarah.
Dalam hal ini peneliti telah melakukan tanyajawab/wawancara
kepada beberapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari.
Wawancara ini bertujuan untuk menggali keterangan lebih
mendalam seputar kerukunan golongan Sunni dan Syiah di desa
tersebut. Adapun Narasumber pada penelitian ini adalah; Bapak
Qurdi selaku Sekretaris desa Jambesari, Bapak H.Abdullah selaku
tokoh masyarakat golongan Sunni, Bapak Abdur Rahim selaku
masyarakat golongan Sunni. Bapak Ahmad Rawi selaku tokoh
masyarakat golongan Syiah, dan Bapak Mukhlis selaku tokoh
masyarakat golongan Syiah.
c. Dokumentasi
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode
observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.17
Menurut
Burhan Bungin, metode dokumenter adalah salah satu metode
pengumpulan data yang digunakan dalam metodelogi penelitian
16
Denzin, Norman K, Lincoln, Yonna S, Handbook of Qualitative Research, Dariyanto dkk
(edisi terjemahan Indonesia), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009). 17
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. hal.82
14
sosial. Pada intinya, metode dokumenter adalah metode yang
digunakan untuk menelusuri data historis. 18
F. Teknik Analisis Data
Pada penelitian studi kasus kualitatif teknik analisis datanya adalah
Description, Themes, Assertions19
sebagai berikut:
a) Description
Sejak kehadirannya pada tahun 2006 di desa Jambesari, paham
Syiah tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini,
diduga karena paham Syiah memiliki ajaran yang berbeda dengan
ajaran yang dipahami masyarakat setempat, khususnya ajaran dari para
sesepuh desa Jambesari. Beragam isu negatif yang ditujukan kepada
masyarakat golongan Syiah, mulai dari cara shalat berbeda, bisa tukar
menukar istri, al-Qur’annya berbeda, dan semacamnya. Sehingga
terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun,
lambat laun masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut
semakin dewasa dalam memahami perbedaan.
b) Themes
Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah
masih sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke
18
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikas, Ekonomi, kebijakan Publik, dan
Ilmu sosial Lainnya (Jakarta: kencana Prenada Media group,2005) Cet ke-1, h.121 19
Michael Quinn Patton, How to Use Qualitative Methods in Evaluation (London: SAGE
Publications, 1991), hlm. 23
15
arah selatan dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini nampak harmonis.
Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini golongan Sunni
dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006. Namun,
saat ini di lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup
rukun.
c) Assertions
Dalam bermasyarakat dengan beragam aliran kepercayaan,
perlu adanya saling mengedepankan persamaan dan tidak
mempermasalahkan perbedaan. Sebab perbedaan adalah sebuah
keniscayaan yang tak perlu dipermasalahkan.
G. Pedoman Penelitian
Pedoman penelitian ini adalah buku Pedoman Penelitian Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis dan Disertasi) karangan Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan
oleh CeQDA UIN Jakarta 2015.
H. Tinjauan Pustaka
Dalam menentukan judul ini peneliti sudah melakukan tinjauan
terhadap skripsi atau penelitian terdahulu. Harus diakui bahwa kajian
mengenai Sunni dan Syiah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak.
Berdasarkan pengamatan langsung peneliti di perpustakaan Fakultas Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengenai skripsi ataupun tesis yang
16
membahas tentang Sunni dan Syiah. Peneliti meninjau pada skiripsi atau
penelitian yang sudah ada, yang berkaitan dengan judul yang dianalisis
peneliti seperti;
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syukri, Mahasiswa
Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013, dengan judul “Komunikasi
Antarbudaya (Studi pada Pola Komunikasi Masyarakat Suku Betawi dengan
Madura dikeluarahan Condet Batu Ampar)”. Penelitian tersebut menekankan
pola lain dari komuikasi antarbudaya masyarakat suku Betawi dengan Suku
Madura, dalam konteks keagamaan. Serta, lebih banyak mengunakan pola
komunikasi antarpribadi dan kelompok. Adapun perbedaanya dengan
penelitian ini adalah terletak pada subjek penelitiannya. Yang menjadi subjek
penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan Madura di
kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan Subjek pada penelitian ini adalah
golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian dari
keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi
antarbudaya.
Penelitian lain yang dilakukan Ita Anastianah, dengan judul “Elite &
Konflik Komunal Keagamaan (Studi kasus Konflik Sunni-Syiah Sampang”.
Penelitian tersebut mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
konflik komunal Sunni dan Syiah di desa Karang Gayam, Sampang. Adapun
perbedaanya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak
pada objek penelitian. Yang menjadi objek penelitian dalam penelitian Ita
17
adalah konflik komunal antara Sunni dan Syiah yang terjadi di Sampang,
Madura. Sedangkan objek penelitian penulis adalah komunikasi antarbudaya
golongan Sunni dan Syiah. Namun subjek penelitian keduanya sama-sama
golongan Sunni dan Syiah, meskipun lokasi penelitiannya berbeda.
Serta penelitian yang di lakukan oleh Siti Asiyah, Mahasiswa
Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013 dengan judul “Pola Komunikasi
Antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan
Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang). Penelitian
tersebut menemukan pola komunikasi dalam proses akulturasi, asimilasi, dan
enkulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04
kelurahan Mekarsari Tangerang. Adapun perbedaanya dengan penelitian ini
adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam
penelitian Siti Asiyah adalah warga Tionghoa dengan Muslim pribumi di RW
04 kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan Subjek penelitian penulis
adalah golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian
dari keduanya yaitu sama-sama membahas dari segi kajian komunikasi
antarbudaya.
I. Sistematika Penelitian
Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan
dalam penelitian ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan ke dalam
18
Lima bab. Dimana masing-masing bab dibagi ke dalam sub-sub dengan
penulisan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : KAJIAN TEORI
Terdiri dari teori komunikasi antarbudaya dan agama, hakikat
agama dalam komunikasi antarbudaya, agama sebagai
kelompok etnik, teori duapuluh andi faisal bakti, komunikasi
antarbudaya yang efektif, konsep kerukunan umat beragama,
serta konsep golongan Sunni dan Syiah.
BAB III : GAMBARAN UMUM
Adalah gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari
keadaan geografis, kondisi demografis desa jambesari,
Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, serta gambaran umum
tentang kehidupan masyarakat golongan Sunni dan Syiah
setempat.
BAB IV : KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA
GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH DI DESA
JAMBESARI
19
Adalah penyajian data-data yang diperoleh dari hasil
penelitian, berikut analisanya. Yaitu tentang komunikasi
antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang
kurukunan di Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa
Timur. Serta mengapa golongan Sunni dan Syiah berhasil
menjalin kerukunan.
BAB V : PENUTUP
Adalah bab penutup dari tulisan ini yang berisi tentang
kesimpulan dan saran.
20
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama
Istilah “antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang
antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent
Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi
dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The
Process of Communication (an introduction to theory and practice). Dalam
tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya,
komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR,
yaitu: source, messages, channel, receiver.1
Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall, teori hall
mengaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat.
Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Pada
satu sisi, komunikasi merupakan suatu cara untuk menyebarluaskan norma-
norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat
kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke
generasi berikutnya secara turun temurun. Pada sisi lain, budaya merupakan
norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
1 Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Cet ke-II h.1.
21
Pada dasarnya, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang
tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satusama lain. Budaya tidak
hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana
komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana
orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-
kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.
Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada
budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya
merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka
beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.2
Adapun pengertian komunikasi antarbudaya (intercultural
Communication) adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang dari
kultur yang berbeda, yakni antara orang-orang yang memiliki kepercayaan,
nilai dan cara berperilaku kultur yang berbeda.3 Berikut pengertian
komunikasi antarbudaya menurut para ahli;
1) Andrea L.Rich dan Dennis M.Ogawa mendefinisikan komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antara etnik dan ras, antar
kelas social.4
2) Charley H.Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili
2 Mulyana dan Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-
orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) h.20. 3 Devito, Joseph A. Komunikasi Antar Manusia (Tangerang: Kharisma Publishing Group.
2011) h. 535 4 Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013)
h.10
22
pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi
para peserta.
3) Andi Faisal Bakti dalam beberapa teori dua puluh sering menyebutkan
bahwa komunikasi antarbudaya melibatkan suatu kelompok, golongan,
agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya
menurut Andi Faisal Bakti adalah komunikasi yang terjadi melibatkan
orang secara individu atau kelompok yang mempunyai latar belakang
yang berbeda.5
Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna
antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya
mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa
makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya-budaya bersangkutan,
bahasa bisa saja sama, tetapi kemungkinan bisa berbeda maknanya.
Menurut Alo liliweri, Pendekatan komunikasi antarbudaya memiliki
wajah ganda.6 Pertama, jika ditinjau dari perspektif sosiologi komunikasi,
komunikasi antarbudaya membahas peranan agama dan kelompok keagamaan
dalam proses pembudayaan dan pembudidayaan, pengalihan nilai dan norma
(penyebaran) agama dari dan ke suatu kelompok dalam suatu masyarakat.
Dalam hal ini berarti sosiologi komunikasi mempelajari bentuk, sifat, cara,
metode, teknik “penyebarluasan dan norma dan nilai agama terhadap
intrakelompok maupun terhadap ekstern agama dan kelompok keagamaan.
5 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Jakarta: INIS, 2004) h. 128. 6 Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Cet ke-II h.254.
23
Kedua, kelompok keagamaan dan bahkan agama sekalipun dapat dipandang
sebagai satu etnik yang tetap mempertahankan sistem norma dan nilai
sehingga menimbulkan kesan agama bersifat eksklusif, tertutup, sehingga
tentu ada tatanan yang mengatur cara seorang menjadi anggota suatu agama.
Pada akhirnya sangat penting dalam pembelajaran komunikasi
antarbudaya, memahami terhadap apa yang dipercayai orang tentang
bagaimana dunia ini kelihatannya dan berjalan. Sebagaimana dikatakan Paden
dalam Samovar;
“Belajar tentang agama...mempersiapkan kita untuk memasuki
tempat dan kebiasaan lain dan berbagai versi dari hal yang sakral
maupun tidak sakral; juga untuk menerjemahkan dan menghargai
bahasa dan perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang orang lain mempunyai peranan yang penting.”7
1. Hakikat Agama dalam komunikasi antarbudaya
Sulit dipisahkan antara masyarakat dengan agama, sebab agama
menurut Liliweri adalah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan
yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat yang menginterpretasi
dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang
ghaib dan suci.8 Sebagai suatu sistem keyakinan yang membentuk perilaku
keseharian penganut agamanya, maka sangat erat kaitannya antara agama
dengan budaya yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa dari manusia. Hal
7 Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta; Salemba Humanika, 2010)
h.126. 8 Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Jakarta; Pustaka Pelajar 2011) Cet ke-
2, h.254
24
ini juga dipertegas Lamb dalam samovar mengatakan kaitan antara agama dan
budaya adalah sangat jelas. Guruge juga mengatakan agama dan peradaban
saling bergandengan tangan dalam evolusi manusia sampai tahap yang tidak
dapat disimpulkan seseorang dimana keduanya setara dan berdampingan.9
Pada akhirnya, agama dan budaya saling mengisi dan melengkapi dimana
agama mempengaruhi dan membentuk budaya sedangkan budaya dibatasi
dengan nilai-nilai agama, sehingga sulit memisahkan hubungan keduanya.
2. Agama sebagai kelompok etnik
Manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman
terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok agama. Karena itu,
agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara historis dapat
disaksikan bahwa agama sebagai kelompok etnik itu mewakili suatu populasi
tertentu yang kita kenal keberadaannya dalam suatu masyarakat.10 Sebagai
contoh, masyarakat yang berkeyakinan Syiah adalah kelompok internal
dalam agama islam yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok yang
laiinya.
Keberadaan kelompok agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda,
materi, pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa materi dan
immaterial, bahkan sikap dan cara berpikir yang sifatnya abstrak.
9 Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.126.
10 Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.255
25
Pada akhirnya menurut Alo Liliweri setiap kelompok agama hadir dan
diakui karena:
1) Para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan dengan
mempunyai jumlah tertentu.
2) Kehadiran kelompok itu diterima karena tidak membawa bibit
perpecahan
3) Adanya kesamaan nilai antar kelompok yang diimani secara sadar,
sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu bersama-sama.
4) Membangun komunikasi dalam kelompok secara teratur.
5) Mampu menentukan perbedaan ciri-ciri kelompok dengan kelompok
yang lainnya.
6) Terkadang memiliki wilayah pengaruh dan kekuasaan.11
Secara universal agama berfungsi sebagai; fungsi edukatif, penyelamatan,
pengawasan sosial, transformatif dan persaudaraan.
1) Fungsi Edukatif. Yakni, agama berperan mengajarkan kepada para
pemeluknya nilai-nilai dan norma serta membimbing untuk
menjalankan dalam kehidupan.
2) Fungsi Penyelamatan. Yakni, agama berperan untuk menyadarkan
para pemeluknya terhadap keselamatan di dunia dan akhirat.
11
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.257
26
Sehingga dengan adanya kesadaran terhadap keselamatan, akan
mempengaruhi sikap atau perilaku penganutnya untuk selalu berbagi
kebaikan kepada seluruh mahluk.
3) Fungsi Pengawasan Sosial. Yakni agama menjadikan penganutnya
peka terhadap segala persoalan dalam kehidupan, sehingga dengan
adanya kepekaan tersebut tidak bisa menjadikan para penganutnya
hanya berdiam diri menyaksikan suatu persoalan.
4) Fungsi memupuk persaudaraan, Artinya setiap agama mengajarkan
untuk saling menghargai dan menghormati keyakinan setiap orang
baik intern umat beragama maupun antar umat beragam.
5) Fungsi transformatif, agama mewariskan nilai-nilai baru kepada
masyarakat, misalnnya inkulturasi yang proses penerapannya melalui
pemanfaatan media digital untuk menyebarkan agama.
6) Fungsi khusus agama, menjalankan tugas dan fungsinya melalui
pemeliharaan ciri khas, kekhususan, inkulturasi dengan masyarakat
budaya lokal. Misalnya kesatuan sosiologis unsur kesamaan darah,
Bahasa, dan daerah.12
B. Teori Komunikasi Antar Agama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal Bakti
Teori dua puluh ini menunjukkan keadaan budaya kolektif yang masih
kaku (konservatif) dan lawannya yaitu keadaan budaya yang sudah elastis,
12
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.258
27
dapat mengadopsi budaya lain di luar budayanya sendiri (transformatif).13
Teori ini menggambarkan keadaan peradaban timur dan barat. Lalu, dalam
teori dua puluh ini dimunculkan pula solusi yang ditawarkan oleh Islam atas
dua corak komunikasi antarbudaya yang tergambar dari teori duapuluh.
No Kaum Konservatif Kaum Transformatif Islam
1 (Être pensé par sa culture) Suatu
kelompok, golongan, agama, dan
budaya terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang
dikendalikan atau dikontrol oleh
budayanya (masa lalu).
(Penser sa culture) Suatu
kelompok, golongan, agama,
dan budaya terdiri atas nilai-
nilai persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang berupaya untuk
mengubah budayanya. Baik itu
yang sekarang maupun masa
depan. Hal ini sangat berkaitan
dengan budaya lain yang
dikembangkan untuk masa
depan.
Al-
muhafadzo
tu „ala al-
qadim al-
sholih wa
al-akhdzu
bi al-jadid
al-aslah.
2 Hériter la culture: Suatu
kelompok,golongan,agama, dan
budaya terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang mewarisi
budayanya dari masa lalu dan
mewariskannya kepada generasi
yang akan datang.
Acquérir la culture: Suatu
kelompok ,golongan, agama,
dan budaya terdiri atas nilai-
nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang berupaya untuk
mendapatkan kultur-kultur yang
baru dan berbeda dari warisan
keluarga dan budayanya.
Dengan kata lain lebih produktif
Al-
muhafadzo
tu „ala al-
qadim al-
sholih wa
al-akhdzu
bi al-jadid
al-aslah.
13
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Jakarta: INIS, 2004) h. 128.
28
dalam mendapatkan kultur yang
baru.
3 Submission: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang hanya tunduk kepada
budayanya sendiri dan tidak
terpengaruh dengan ajaran lain
yang bertentangan dengan
budayanya sendiri.
Egalitarian/Emancipation:
Sekelompok masyarakat,
agama, dan budaya yang
mengikuti aturan-aturan lain dan
bersikap egaliter atau tidak
tunduk serta ingin bebas dari
cengkraman yang sudah ada.
al-Islam
4 Adoration of scriptures:
Sekelompok masyarakat, agama,
dan budaya yang sangat mencintai
atau menyukai teks agamanya
(kitab sucinya).
Interpretation of sciptures
(ijtihād): Sekelompok masya-
rakat, agama, dan budaya yang
memaknai atau memahami teks
(kitab suci) yang menjadi
pegangannya
Ijtihād.
5 Textualist: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang percaya teks sebagai suatu
kebenaran. Dengan kata lain teks
yang berkata-kata atau berbicara.
Contextualist: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang percaya kepada konteks
dan pemahamannya tidak secara
harfiah.
al-tafsir
6 Gemeinschaft: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang ingin membangun
kelompoknya berdasarkan
komunitasnya.
Gesellschaft: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang ingin membangun
kelompoknya berdasarkan
societas.
al-ummah
7 Reproduction: Sekelompok
masyarakat, agama, dan budaya
yang memproduksi budaya dan
Creation and trust in foreigners:
Sekelompok masyarakat,
agama, dan budaya yang tidak
harus memproduksi generasi
Al-
Amanah.
29
keluarganya.
yang sama. Akan tetapi dari
budaya yang sama dan memiliki
kreasi dengan keadaan sekarang
8 Fundamentalism: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang
berdasarkan pada pondasi utama
ajaran agama, bangsa, negara, dan
masyarakat tertentu. Dengan kata
lain dianggap sebagai kekuatan
yang absolut. Fundamentalism
berasal dari Protestan yang anti
teknologi dan sains.
Rationalism/Secularization:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang berdasarkan
rasionalisme atau akal bukan
pada kitab dan lebih
mementingkan dunia. Kedua
teori tersebut dalam Islam
disebut dengan ihsan.
Ihsan.
9.
Geographical immobility:
Pemikiran KAAB yang terdiri atas
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang tidak mau pindah-
pindah dan lebih mengutamakan
menetap di suatu tempat.
Geographical mobility:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang lebih
mengutamakan berpindah-
pindah.
Hijrah.
10. Je me souviens: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang
cenderung mengingat masa
lalunya yang harus dipertahankan.
Dan ini lebih mengarah kepada
Déracinement: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-
nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang tercerabut dari
akar-akarnya. Artinya
meninggalkan masa lalu untuk
menatap masa depan yang lebih
Al-
Hadharah.
30
hal-hal yang negatif.
baik dan lebih pasti.
11. Paganism (Idol worshipping):
Pemikiran KAAB yang terdiri atas
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang melakukan
penyembahan kepada yang selain
Tuhan. Baik itu terhadap sesajen,
jimat, dukun atau membaca ayat-
ayat tertentu untuk tujuan tertentu.
Monotheism (Idol
destruction)/Humanism (God
created by humans): Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-
nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang percaya kepada
Tuhan yang satu.
Al-Tauhid.
12. Imposition/Holy war/Proselytism:
Pemikiran KAAB yang terdiri atas
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang cenderung
memaksakan agama dengan cara-
cara berupa bujukan, rayuan,
paksaan, tekanan, intimidasi atau
dengan cara melalui perang suci.
Negotiation: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang mengutamakan
sama rata dan sama rasa.
Al-
musyawar
ah
13. Nationalism/Tribalism: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang sangat
menekankan nasionalisme atau
kesukuan/fanatik.
Universalism/Internationalism:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan,
tradisi, kreasi, kepercayaan,
pola pikir, dan perasaan yang
sangat mengutamakan universal.
Dalam arti tanpa ada sekat-
sekat.
Al-
Ta„Aruf.
31
14. Orthodoxy/Traditionalism:
Pemikiran KAAB yang terdiri atas
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tra-
disi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang ingin
mempertahankan
budaya tradisional yang ada dan
masih bersifat ortodoks.
Protestantism/Modernism:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tra-
disi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang
mengikuti perkembang-
an secara modern dan lebih
maju.
Al-
Maslahah.
15 Sectarian communitarianism:
Pemikiran KAAB yang terdiri atas
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yag patuh hanya kepada
golongan/ komunitasnya saja.
Global communitarianism:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kreasi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang lebih
terbuka tetapi hanya kepada
agamanya saja
Al-Qaum.
16. Cul./Lang./Competence/Inheritenc
e: Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang berdasarkan
kemampuan berbahasa budaya
yang didapat atau diperoleh atau
diwariskan dari masa lalu.
Cult./Lang./Competence
acquisition: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kepercayaan,
pola pikir, dan perasaan yang
memiliki penguasaan bahasa
melalui proses pembelajaran.
al-Ta„lim.
17. Dependency/Egoism: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang cenderung
kepada orang/bangsa yang mampu
Interdependency/Solidarity:
Pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai- nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi,
kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang mengutamakan
Al-
Ta„Awun.
32
dan egois akan tetapi sangat
bergantung kepada yang lain.
saling tolong-menolong dan
bantu-membantu.
18. Exclusivism: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang menolak orang
lain untuk masuk ke dalam
kelompoknya.
Inclusivism: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kepercayaan,
pola pikir, dan perasaan yang
bersedia menerima orang lain.
Al-
Washatiya
h.
19. Vernacular language: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, keper-
cayaan, pola pikir, dan perasaan
yang cenderung belajar bahasa
sendiri/lokal
Vehicular language: Pemikiran
KAAB yang terdiri atas nilai-
nilai, persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, keper-
cayaan, pola pikir, dan perasaan
yang belajar bahasa
pengetahuan/bahasa lain.
Al-Lisan.
20. Parochialism: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan,
tradisi, kepercayaan, pola pikir,
dan perasaan yang menyampaikan
ajaran secara kaku.
Flexibility: Pemikiran KAAB
yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kepercayaan,
pola pikir, dan perasaan yang
menyampaikan ajaran secara
elastis/lentur.
Tasamuh.
Tabel 2.1
Tabel di atas menjelaskan tentang karakteristik pemikiran KAAB yang
terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan,
33
pola pikir dan perasaan setiap kelompok masyarakat, agama maupun
budayanya. Lebih lanjut, Teori ini menerangkan tentang macam-macam
budaya dengan beberapa ketentuan dan pengelompokannya. Teori tersebut
berjumlah dua puluh.
C. Faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya
Kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka
ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.14 Komunikasi
antarbudaya diharapkan dapat membantu memahami perbedaan budaya yang
dapat mempengaruhi praktik-praktik komunikasi. Komunikasi antarbudaya
juga diharapkan dapat mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul
dalam komunikasi antarbudaya sekaligus mengatasi masalah tersebut.
Hammer (1989), Ruben (1977) Olebe dan Koester 1989, serta Kealey
(1989) sebagaimana dikutip Alo Liliweri, mengemukakan bahwa paling tidak
ada dua faktor yag paling berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya,15
yakni;
1. Faktor Kognitif
Ruben (1977) mengemukakan bahwa terjalinnya komunikasi
antarbudaya pada umumnya dan perilaku antarbudaya pada
khususnya ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman dan pikiran
14
Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h.18. 15
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013)
h.265.
34
yang membentuk konsep antarbudaya.16 Kata Ruben, seseorang yang
bekerja dalam suatu organisasi, melaksanakan komunikasi
antarbudaya secara intensif hanya jika dia mempunyai apresiasi
terhadap pekerjaan dan tugas yang dibebankan kepadanya. Yang
terpenting adalah bagaimana dia menampilkan kekuatan untuk
membangun kebudayaan pribadinya melalui gaya antarpribadi, dan
kerjasama antarbudaya. Dengan demikian, perhatian terhadap
kebudayaan tetaplah penting dalam proses komunikasi antarbudaya.
2. Faktor Gaya Pribadi
Gaya pribadi atau perilaku gaya sering disebut (self-
oriented).17Studi ini mengacu pada pendapat Kealey bahwa
komunikasi antarbudaya yang berdasarkan orientasi diri dapat
mengubah efektivitas komunikasi menjadi komunikasi yang
disfungsional. Hal ini disebabkan karena orang terlalu menampilkan
self-oriented yang berlebihan sehingga orang itu menjadi congkak,
dan menunjukkan gagasan yang tidak menarik atau membosankan.
Berikut beberapa bentuk gaya pribadi yang seringkali tampil dalam
komunikasi antarpribadi;
a) Etnosentrisme
16
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.266. 17
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.266.
35
Etnosentrisme adalah suatu perasaan superior atau
keunggulan dari suatu kelompok orang yang menganggap
kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul.18 Perasaan
merasa dirinya atau kelompoknya lebih unggul dari yang
lainnya ini, dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi
antarbudaya. Menurut Tucker dan Baier (1985) dikutip Alo
Liliweri, kemampuan komunikasi saja belum cukup membuat
seseorang bersikap kritis atau cermat dalam penyesuaian
antarbudaya tetapi mencoba untuk menghilangkan sikap
merasa diri lebih unggul daripada orang lain.
b) Toleransi, Sikap Mendua dan Keluwesan
Dalam proses komunikasi antarbudaya seringkali orang
kurang mampu bereaksi terhadap sebuah situasi baru atau
situasi yang mendua, dengan kata lain komunikasi antarbudaya
mengandung sifat mendua,19 karena kita menghadapi dua
ketidakpastian kebudayaan, yakni kebudayaan sendiri maupun
kebudayaan orang lain. Hal ini sekaligus yang menjadi
hambatan dalam efektivitas komunikasi antarbudaya.
Singkatnya, apabila dua orang atau lebih yang berbeda
latabelakang budayanya berhasil menghadapi situasi yang tidak
18
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.214. 19
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya.hlm 267
36
dapat dipahami, atau situasi yang mendua maka orang tersebut
telah bersikap toleran terhadap situasi ini.
c) Empati
Empati merupakan kemampuan untuk merasakan,
melihat secara akurat, dan memberikan respons secara tepat
kepada kepribadian, hubungan, dan lingkungan sosial
seseorang.20 Broome dalam samovar mengatakan bahwa
empati merupakan hal yang penting dalam kompetensi
komunikasi yang umum dan merupakan karakter utama dari
komunikasi antarbudaya yang kompeten dan efektif.21
Maka dari itu dapat dikatakan bahwa empati merupakan dasar
untuk terjalinnya komunikasi antar orang-orang yang berbeda
latarbelakang budayanya.
d) Keterbukaan
Devito (1989) dalam penelitiannya mencatat bahwa
keterbukaan pribadi (Self-disclosure) dan keluwesan pribadi
(Self flexibility) merupakan faktor penting untuk menciptakan
relasi antarpribadi yang maksimum.22 Dengan keterbukaan
bukan berarti bahwa setiap orang harus membuka diri seluas-
luasnya, namun membuka kesempatan untuk sama-sama
20
Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466 21
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya h.214. 22
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya.h. 268.
37
mengetahui informasi tentang diri maupun tentang lawan
bicara.
e) Kompleksitas Kognitif
Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan
pribadi untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Secara
umum dapat dikatakan bahwa kompleksitas kognitif individu
membuat seorang semakin akurasi menentukan dan
mengembangkan kesan terhadap orang lain.
f) Kenyamanan Antarpribadi
Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan
dan interaksi antarpribadi berkaitan dengan prinsip efektivitas.
Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak
percaya dengan relasi antarpribadi dalam kebudayaan anda,
maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak tenang, dan
tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda.
g) Kontrol Pribadi
Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga sangat
tergantung pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol
pribadi terhadap lingkungan sekitarnya. Tucker dan Baier
(1985) dikutip oleh Liliweri menemukan ada hubungan yang
signifikan antara kontrol pribadi dan tampilan pribadi dengan
penyesuaian budaya. Penelitian lain menunjukkan bahwa ada
38
hubungan antara pandangan hidup pribadi, kecenderungan
untuk pasrah dengan penyesuaian pribadi (Dood 1987). 23
h) Kemampuan Inovasi
Inovasi merupakan salah satu bentuk perubahan sosial
yang dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan
teknologi baru melalui sistem sosial suatu masyarakat.
i) Harga diri
Harga diri (self esteem) sangat menentukan terjalinnya
komunikasi antarbudaya. Seorang komunikator dituntut untuk
memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan
komunikan. Artinya, seorang komunikator tidak
mempertahankan harga dirinya, sebab komunikator akan
semakin sulit berkomunikasi dengan komunikan, begitupun
sebaliknya, jika perasaan “rendah diri” menyelimuti
komunikator maka keadaan psikologis itu dapat menghambat
komunikasi antarbudaya.
j) Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi
Dodd (1987) dikutip oleh Liliweri (2013) mengatakan
bahwa kecemasan komunikasi antarpribadi, kecemasan dalam
kelompok, serta kecemasan atas publisitas dapat berdampak
23
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.269.
39
atas penyesuaian antarbudaya yang pada gilirannya
mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya.
3. Faktor-faktor Lain
Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi
terjalinnya komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut;
a) Faktor Keramahtamahan
Faktor keramahtamahan atau friendliness juga
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
efektivitas komunikasi antarbudaya. Meskipun batas
keramahtamahan antarbudaya yang satu dengan yang lain
sangat relatif tetapi pada umumnya setiap kebudayaan
mengajarkan keramahtamahan dalam komunikasi antarpribadi.
b) Faktor Motivasi
Motivasi merupakan satu aspek psikologi, antarbudaya.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi
ditentukan oleh orang yang memperhatikan faktor-faktor
psikologi, atau memperhatikan faktor-faktor apa saja yang
mendorong komunikasi.
c) Faktor Akulturasi
Akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur
kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan pencampuran
40
unsur-unsur tersebut namun perbedaan diantara unsur-unsur
asing dengan yang asli masih tampak.
d) Faktor Umur
Dalam beberapa kebudayaan, penghargaan
antarmanusia sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan orang
jawa, mereka yang berusia lebih muda tidak diperkenankan
menatap mata orang yang lebih tua. Hal semacam ini,
menunjukkan bahwa perbedaan umur antarpribadi sangat
mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya.
e) Faktor Pekerjaan
Dalam masyarakat yang distratifikasi berdasarkan
jenis-jenis pekerjaan menunjukkan bahwa faktor pekerjaan
turut menghambat efektivitas komunikasi. Misalnya, seorang
atasan dengan bawahan, hubungan antarpekerja ini akan
ditentukan oleh aturan organisasinya.
D. Konsep Kerukunan Umat Beragama
Secara etimologi kata kerukunan berasal dari bahasa Arab, yaitu
ruknun yang berarti tiang, dasar, sila. Jamak dari ruknun ialah arkan yang
berarti bangunan sederhana yang terdiri atas berbagai unsur. Jadi, kerukunan
itu merupakan satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang berlainan
41
dan setiap unsur tersebut saling menguatkan.24 Dalam bahasa Indonesia arti
rukun ialah:
1. Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya
pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak
cukup syarat, dan rukunya asas, yang berarti dasar atau sendi:
semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya
agama.
2. Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya
kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat. Merukunkan
berarti: (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan: (1)
perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup
bersama.25
Kerukunan juga diartikan sebagai kehidupan bersama yang diwarnai
oleh suasana baik dan damai. Hidup rukun berarti tidak bertengkar, melainkan
bersatu hati, dan sepakat dalam berfikir dan bertindak demi mewujudkan
kesejahteraan bersama. Didalam kerukunan semua orang bisa hidup bersama
24
Said agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antaragama (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
h.4. 25
Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan
Umat Beragama (Jakarta, Puslitbang, 2008), h.525.
42
tanpa kecurigaan, dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati
dan kesediaan untuk bekerjasama demi kepentingan bersama.26
Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi
Kerukunan27, yaitu:
1) Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama
Ialah kerukunan di antara aliran-aliran/paham-pahm/mazhab-
mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama.
2) Kerukunan di antara umat/komunitas agama yang berbeda-beda
Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang
berbeda-beda yaitu di antara pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen
Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.
3) Kerukunan antar umat/komunitas agama dengan pemerintah
Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara
para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah
dengan saling memahami dan menghargai tugas masing-masing
dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang
beragama.
26
M.Zainuddin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia
(Jakarta:Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2001) h.67 27
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta;
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, 1997), hal. 8-10
43
E. Golongan Sunni dan Syiah
1. Definisi Sunni dan Syiah
Sunni dan Syiah merupakan dua aliran besar dalam teologi
Islam. Kedua aliran ini muncul berawal dari persoalan siapa yang
berhak menjadi pemimpin pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kaum
Syiah meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah pemimpin pengganti
Rasul yang sah. Secara bahasa Syiah berasal dari يشيع -شاع sya‟a-
Yasyi‟u yang berarti mengikuti juga berarti menemani. Syiah juga
berarti kelompok. Dan berarti pula penolong.28 Yang kemudian
diidentikkan dengan pengikut sayyidina Ali (Syiah Ali). sedangkan
Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-
orang yang seara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw.,29
dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan
beliau serta sahabat beliau. Maka dari itu, Dr.Muhammad at-Tijani
dikutip Husein Ja’far menyatakan as-Syiah hum Ahlussunnah
(Kelompok Syiah [imamiyah] mereka itulah Ahlussunnah).30 Sebab,
Sayyidina Ali merupakan salah satu sepupu, sahabat, sekaligus
menantu Nabi yang konsisten mengikuti, meneladani, dan
28
HM.Attamimy, SYI‟AH; Sejarah, Doktrin dan Perkembangan di Indonesia (Yogyakarta:
Graha Guru, 2009) h.1. 29
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera
Hati, 2007) h.57. 30
Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam
Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, (Jakarta; MAARIF Institute, 2015) Vol.10, No.2. h.107
44
mengajarkan pengikutnya untuk taat pada Sunnah Nabi, sehingga Nabi
sendiri dalam hadis mutawatir menyebutnya sebagai pintu Kota ilmu
Nabi “ana madinatul ilmi wa aliyun babuha”. Oleh karena itu, sejak
Nabi wafat, Sayyidina Ali menjadi rujukan utama (termasuk oleh tiga
khalifah sebelumnya) tentang berbagai urusan agama. Hingga
Khalifah umar penah menyatakan; “jika tidak ada Ali, maka celakalah
Umar, (laula Ali lahalaka Umar)”.31 Begitu pula Sunni, secara bahasa
berarti Syiah. Sebab Sunni juga pecinta dan pengikut Sayyidina Ali
sebagai salah satu khalifah dari Khulafa ar-Rasyidin. Tentu ulama dan
kaum Sunni sangat keberatan jika mereka tidak digolongkan sebagai
pecinta dan pengikut Sayyidina Ali. Karenanya secara bahasa,
Ahlussunnah hum asy-Syiah.
2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah
Kelompok Sunni dan Syiah sama-sama memiliki pokok ajaran.
Pokok ajaran keduanya hanya berbeda dalam istilah sedangkan
maknanya sama. Kaum Syiah menyebut rukun Islam dengan istilah
furu‟ad-din dan rukun iman dengan istilah ushul ad-din. Kaum Sunni
menyebut rukun iman dengan Arkanul Iman dan Arkanul Islam untuk
rukun Islam.
31
Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam
Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Vol.10, No.2. h.107
45
Menurut Syaikh Muhammad Husein al-Kasyif al-Ghitha
seorang ulama besar Syiah dikutip oleh Quraish Syihab, pada
prinsipnya rukun iman mengandung tiga poin.
“Islam dan iman adalah sinonim, yang keduanya secara
umum bertumpu pada tiga rukun yaitu: Tauhid (Keesaan
Tuhan), Kenabian, dan Hari Kemudian. Jika seseorang
mengingkari salah satu dari ketiganya, maka dia bukanlah
seorang mukmin, bukan juga seorang Muslim, tetapi apabila ia
percaya tentang keesaan Allah, kenabian penghulu para nabi,
yakni Nabi Muhammad SAW., serta percaya tentang hari
pembalasan (kiamat), maka adalah seorang muslim yang benar.
Dia mempunyai hak sebagaimana hak-hak orang-orang
Muslim yang lain. Darah, harta, dan kehormatannya haram
diganggu. Kedua kata itu juga (Iman dan Islam) memiliki
pengertian khusus yaitu ketiga rukun tersebut ditambah dengan
rukun keempat yang terdiri dari tonggak-tonggak, yang atas
dasarnya Islam dibina, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, dan
jihad.32
Keempat rukun inilah yang merupakan prinsip-prinsip iman
dan Islam bagi umat Islam secara umum, dan menurut Syaikh
Muhammad Husein, tidak ada perbedaan antara golongan Syiah
(imamiyah) dengan Ahlussunnah dalam hal itu. Selanjutnya, Syaikh
Muhammad Husein dikutip Quraish Syihab menyatakan;
“Syiah imamiyah menambahkan rukun kelima, yaitu
kepercayaan kepada Imam, yang maknanya adalah percaya
bahwa imamah adalah kedudukan yang bersumber dari Tuhan
sebagaimana kenabian (yang juga bersumber dari Tuhan).33
32
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera
Hati, 2007) h.86 33
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera
Hati, 2007) h.87
46
Imamah atau kepercayaan terhadap imam dalam tradisi syiah
bukan merupakan ushuluddin, melainkan hanya ushul al-madzhab
yakni hasil elaborasi sesuai tafsiran dan identitas mazhab masing-
masing, sebagaimana ditegaskan Ruhullah Imam Khomeini dikutip
oleh Husein Ja’far menyatakan bahwa; “imamah dalam syiah
bukanlah ushuluddin, melainkan ushul al-mazhab oleh karena itu,
yang mengingkarinya dinilai bukan atau keluar dari Syiah, bukan atau
keluar dari Islam.”34
Ahlussunnah juga berpendapat, sebagaimana kelompok syiah,
bahwa iman dan Islam sinonim, serta memiliki perngertian umum dan
khusus. Namun, mayoritas Ahlussunnah menyatakan bahwa iman
terdiri dari enam rukun, yaitu keimanan kepada: 1) Allah SWT, 2)
Para malaikat, 3) Kitab-kitab Suci, 4) Para Rasul, 5) Hari Kemudian,
6) Percaya tentang Qadha dan Qadar. Sedangkan Rukun Islamnya ada
Lima hal yaitu, 1) Syahadat, 2) Shalat, 3) Zakat, 4) Puasa, dan 5)
Haji.35
34
Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam
Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Vol.10, No.2. h.109 35
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, h.87
47
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA JAMBESARI
A. Kondisi Geografis Desa Jambesari
Gambar 3.1
Desa jambesari adalah salah satu desa yang berada dikecamatan
Jambesari Darus Solah, Kabupaten Bondowoso. Luas desa Jambesari 467,2
Ha atau 4,672 km2. Menurut keterangan masyarakat desa setempat, bahwa
kata-kata Jambesari berarti pinang yang berbunga. Diceritakan dahulu
sebelum desa jambesari berbentuk sebuah desa, daerah tersebut banyak sekali
tumbuh pohon pinang; di pekarangan, ladang dan terbanyak di persawahan.
Menjelang musim berbuah tiba, Pohon-pohon pinang tersebut mulai
mengeluarkan bunga-bunga yang indah, sehingga dinamakanlah daerah yang
banyak dengan pohon pinang yang berbunga tersebut dengan nama Jambesari.
Desa yang memiliki jarak sekitar 12 kilometer dari ibu Kota kabupaten/Kota
Bondowoso ini memiliki batas wilayah;
1. Sebelah utara : Desa Grujugan Lor
48
2. Sebelah selatan : Sumber Kemuning
3. Sebelah timur : Jambe Anom
4. Sebelah barat : Pejagan
Desa Jambesari termasuk daerah dataran rendah dengan luas 405 Ha
atau 4,05 km2. Selain itu wilayahnya terdiri dari lima dusun yaitu dusun
Krajan, dusun Gabugan, dusun Karang Malang, dusun Beddian, dan dusun
Angsanah. Lahan di desa Jambesari sebagian besar dimafaatkan untuk lahan
pertanian. Sebagaimana data berikut;
Sawah irigasi teknis 148,7 Ha
Sawah irigasi ½ Teknis 135,5 Ha
Sawah tadah hujan 40 Ha
Tegal/ ladang 15 Ha
Pemukiman 9,7 Ha
Pekaragan 111,3 Ha
Tanah bengkok 13 Ha
Sawah desa 5 Ha
Perkantoran pemerintah 4,3 Ha
Pertokoan 9 Ha
Dan lain lain 5 Ha
Dari data diatas dijelaskan bahwa desa jambesari memiliki potensi
sumberdaya alam dibidang pertanian, sehingga tidak heran jika sebagian besar
49
masyarakat desa jambesari memilih bertani dan menjadi buruh tani sebagai
pekerjaan kesehariannya, Disamping terdapat juga masyarakat memilih
sebagai wiraswasta.
B. Kondisi Demografis
1. Penduduk
Berdasarkan data dari profil desa dan kelurahan kabupaten
bondowoso pada tahun 2015, jumlah penduduk desa Jambesari 7.507
jiwa, dengan perbandingan penduduk laki-laki 3.916 orang,
sedangkan penduduk perempuannya 3.591 orang. Berikut data
penduduk desa Jambesari berdasarkan usia;
Tabel 3.1
Data Penduduk Desa Jambesari Berdasarkan Usia
Kelompok Umur Laki-laki (Orang) Perempuan (Orang)
0-14 727 724
15-20 394 335
21-25 253 292
26-30 326 302
31-35 346 285
35-40 303 266
41-45 318 260
46-50 278 267
50
51-55 273 231
56-60 209 151
61-65 175 168
66-70 122 123
71-75 117 99
Diatas 75 74 84
Total 3916 3591
Kehidupan masyarakat desa Jambesari masih sangat kental
dengan kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya, yakni
tradisional dan sederhana. Masyarakat desa jambesari saling
menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Meskipun, sempat
adanya provokasi terkait dengan keyakinan keagamaan yakni
perbedaan paham ajaran. Namun, dengan karakter kekerabatan yang
kuat, dan solidaritas yang tinggi masyarakat jambesari menjalin
kehidupan yang harmonis. Hal ini, dapat diketahui ketika misalkan,
salah satu warga mengalami musibah kematian, warga lainnya akan
berbondong-bondong untuk berkunjung sekaligus turut berduka cita,
biasanya dengan membawa seserahan semacam beras, gula ataupun
lainnya.
51
2. Mata Pencaharian Pokok
Desa jambesari yang memiliki potensi sumberdaya alam di
bidang persawahan sehingga menjadikan masyarakat jambesari
memilih petani sebagai pekerjaan utamanya, disamping ada
masyarakat berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), buruh
migran dan lainnya. Hal ini sesuai dengan data profil desa dan
kelurahan kabupaten bondowoso pada tahun 2015, sebagai berikut;
Tabel 3.2
Mata Pencaharian Masyarakat Desa Jambesari
No Jenis Pekerjaan Laki-Laki
(Orang)
Perempuan
(Orang)
1 Petani 968 302
2 Buruh Tani 208 117
3 Buruh migran 152 124
4 Pegawai negeri sipil 16 2
5 Peternak 4 -
6 Bidan swasta - 1
7 Pensiunan 6 2
8 Wiraswasta 966 90
9 Lain-lain 1599 2953
Jumlah 3916 3591
Jumlah Total Penduduk 7507
52
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan di Desa Jambesari masih dapat dikatakan
rendah, sebab masih banyaknya masyarakat desa Jambesari yang
hanya tamat sekolah Dasar (SD) dengan perbandingan jumlah laki-
lakinya 1731 orang dan perempuannya 1622 orang. Sedangkan
masyarakat yang tamat S-1/Sederajat dengan perbandingan jumlah
laki-lakinya 48 orang dan perempuannya 20 orang. Berikut tabel
tingkat pendidikan masyarakat desa jambesari sesuai dengan profil
desa dan kelurahan kabupaten Bondowoso pada tahun 2015.
Tabel 3.3
Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Jambesari
No Tingkat Pendidikan Laki-
Laki
(Orang)
Perempuan
(Orang)
1 Usia 7-18 tahun yang tidak pernah
sekolah
96 74
2 Usia 7-18 tahun yang sedang
sekolah
621 624
3 Usia 18-56 tahun tidak pernah
sekolah
518 650
4 Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 540 724
5 Usia 18-56 tahun tidak tamat SMP 629 603
6 Usia 18-56 tahun tidak tamat SMA 321 337
7 Tamat SD/sederajat 1731 1622
53
8 Tamat SMP/sederajat 511 296
9 Tamat SMA/sederajat 36 35
10 Tamat D-1/sederajat 2 -
11 Tamat D-2/sederajat 2 1
12 Tamat D-3/sederajat 12 14
13 Tamat S-1/sederajat 48 20
14 Tamat S-2/sederajat 3 2
15 Tamat S-3/sederajat - -
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat jambesari ini
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi.
Dengan kehidupan yang serba pas-pasan tidak sedikit masyarakat desa
jambesari yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya
ke tingkat yang lebih tinggi. Selain itu pula, kesadaran akan
pentingnya dunia pendidikan untuk anak-anaknya juga menjadi faktor
rendahnya tingkat pendidikan di desa Jambesari.
4. Agama
54
Gambar 3.2
Jumlah penduduk dari segi keagamaan, masyarakat desa
Jambesari mayoritas beragama Islam. Hal ini dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut;
Tabel 3.4
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agamanya
No Agama Laki-Laki
(Orang)
Perempuan
(Orang)
1 Islam 3916 3591
2 Kristen - -
3 Katholik - -
4 Hindu - -
5 Budha - -
6 Konghucu - -
Jumlah 3916 3591
Adapun terkait dengan golongan kepercayaan dalam agama
Islam, mayoritas masyarakat desa Jambesari meyakini ahlussunnah
waljamaah sebagai aqidahnya. Disamping terdapat keyakinan
55
masyarakat desa Jambesari terhadap ajaran Syiah dengan jumlah 250
orang.1
C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari
Masyarakat desa yang berjarak 12 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten/
Kota Bondowoso tersebut masih tergolong tradisional, hal ini dapat diketahui
dengan minimnya pengetahuan masyarakat desa jambesari terhadap dunia
modern.
Masyarakat desa Jambesari mayoritas meyakini agama Islam sebagai
dasar keyakinan dalam menjalankan kehidupan kesehariannya. Dalam agama
Islam terdapat beberapa aliran yang hingga saat ini masih dikenal dan diikuti
oleh sekolompok masayarakat, misalnya aliran Sunni dan Syiah. Golongan
Sunni berlandaskan kepada al-quran dan Sunnah Nabi Saw sebagai
pedomannya, sedangkan golongan Syiah berlandasakan kepada Al-Qur’an
dan Ahlulbayt Nabinya. Keduanya sama-sama meyakini al-qur’an sebagai
landasan untuk menjalankan kehidupan, dan berbeda pada Sunnah dan
ahlulbayt, meskipun pada dasarnya keduanya sama saja, maksudnya ahlulbayt
yang berarti keluarga Nabi kumpulan yang paling dekat dengan Nabi Saw
tentunya melaksanakan Sunnah yang diajarkan oleh Nabinya. Akan tetapi hal
ini msih banyak belum disadari oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga
1Data pribadi Mukhlis (tokoh Syiah) desa Jambesari, “Data Masyarakat/Ikhwan Jambesari”.
56
ketika berbicara Sunni dan Syiah sudah pasti tidak jauh dari pembahasan
konflik antara keduanya.
Ketika didaerah lain golongan Sunni dan Syiah selalu terjadi gesekan,
di desa Jambesari justru hal sebaliknya yang nampak, yakni kerukunan antara
penganut golongan yang berbeda tersebut. Masyarakat golongan Sunni dan
Syiah telah menyatu. Hal ini terlihat ketika salah satu dari keduanya sedang
melaksanakan tradisi atau ritual keagamaan, mereka saling menghargai
dengan tidak melarang untuk mengadakan tradisi tersebut.
Adapun tradisi keagamaan yang masih sering dilaksanakan oleh
masyarakat setempat adalah;
1. Hari-hari besar dalam Islam.
Kegiatan keagamaan dalam menyambut hari-hari besar dalam
Islam yang masih sering dilaksakan oleh masyarakat desa
Jambesari adalah Muludan, Isra’Miraj dan lainnya.
Muludan dan Isra’ Mi’raj Nabi adalah kegiatan keagamaan
yang dilakukan masyarakat muslim pada umumnya, yakni
merayakan hari lahir Nabi besar Muhammad SAW dan Isra’
Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram ke
Masjid Al-Aqsa. Biasanya dilaksanakan di Masjid-masjid dengan
membaca, do’a-do’a, shalawatan atau puji-pujian terhadap Nabi
Muhammad SAW dan ceramah agama oleh Habaib/Kiyai/tokoh
agama setempat atau sengaja mendatangkan dari daerah lain.
57
2. Yasinan
Yasinan adalah kegiatan keagamaan berupa pembacaan surat
Yasin dan Tahlil serta do’a yang biasanya dilaksanakan setiap
malam Jum’at, setelah shalat Maghrib, yang diadakan di mushola-
mushola. Peserta Yasinan biasanya adalah jama’ah shalat Maghrib
di Mushola.
Selain dilaksanakan secara rutin pada malam Jum’at, kegiatan
Yasinan sering dilaksanakan pada saat-saat memperingati
meninggalnya seseorang, istilahnya lok telloen yang dilaksanakan
pada hari ke-3, hari ke-7 (tok Petto’en), hari ke-40 (empak polo
arenah), hari ke-100 (nyatos), hari ke-1000 (nyibuh).
3. Anjangsana
Anjangsana adalah kegiatan membaca tahlil dan shalawat nariyah
yang dilakukan oleh perangkat desa, biasanya dilaksanakan
dirumah-rumah perangkat desa secara bergiliran. Menurut
keterangan warga setempat, anjangsana berarti berkeliling dengan
adanya tujuan, yakni silaturrahmi guna mempererat hubungan
antar pengurus desa.
Golongan Sunni dan Syiah sama-sama meyakini dan melaksanakan
tradisi-tradisi keagamaan tersebut. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut,
masyarakat Sunni dan Syiah saling berbaur satu dengan yang lainnya.
58
Meskipun ada tradisi keagamaan yang dilakukan oleh golongan Sunni dan
Syiah secara masing-masing, misalkan golongan Syiah setiap malam jumat
selain membaca tahlil, mereka juga membaca do’a kumail, yang konon adalah
do’a yang diajarkan oleh para imam yang mereka yakini. Selain itu juga,
golongan Syiah sering mengadakan peringatan kelahiran maupun kematian
para imam mereka. Kegiatan tersebut biasanya hanya dilakukan oleh intern
golongan Syiah.
59
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Setelah penulis melakukan penelitian di desa Jambesari, terus
berkembangnya ajaran Sunni umumnya, dan ajaran Syiah khususnya di desa
Jambesari ini tidak lepas dari komunikasi, dan kebudayaan yang terdapat pada
ajaran Sunni maupun Syiah, sehingga tidak jarang ditemukan bahwa terdapat
saling mempengaruhi antara komunikasi dan budaya dalam keseharian
masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari.
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 2, Menurut teori komunikasi
antarbudaya Edward T. Hall, Hall mengaitkan komunikasi dengan budaya
memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and
culture is communication. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu
mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik
secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun
secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini terlihat
pada masyarakat desa Jambesari golongan Sunni maupun Syiah. Dimana
dalam menjelaskan keyakinan ataupun ajaran yang dipahaminya, seperti
memaknai kehidupan didunia, tatacara beribadah ataupun berinteraksi terhadap
sesama keyakinan ataupun berbeda keyakinan, komunikasi dijadikan alat
utamanya.
60
Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang
dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Dalam ajaran Sunni dan Syiah, yang
keduanya merupakan dua aliran besar dalam Islam, memiliki kebudayaan
masing-masing, yang sekilas berbeda namun pada hakikatnya sama, yakni
mengikuti al-Quran dan Sunnah Nabinya. Misalkan yang baru-baru ini
dilaksanakan oleh masyarakat desa Jambesari yakni menyambut dan
merayakan salah satu hari besar dalam Islam Isra’ Mi’raj Nabi SAW.
Masyarakat desa Jambesari merayakannya dengan berkumpul dimasjid atau
musholla membaca do’a dan solawatan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW.
A. Komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan
Syiah di desa Jambesari
Sejak kehadirannya pada tahun 2006 di desa Jambesari, paham Syiah
tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini, diduga karena
paham Syiah memiliki ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dipahami
masyarakat setempat, khususnya ajaran dari para sesepuh desa Jambesari.
Beragam isu negatif yang ditujukan kepada masyarakat golongan Syiah, mulai
dari cara shalat berbeda, memperbolehkan untuk tukar menukar istri, al-
Qur’annya berbeda, dan isu-isu yang mengandung unsur provokatif lainnya.
Berikut hasil kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang tokoh Syiah,
Bapak Mukhlis;
61
“Ya tadi itu, bisa tukar menukar istri, bukan bicara mut’ah,
bukan. Kalo mati dihadapkan ketimur, dibungkus kain hitam, kalo caci
maki sahabat kan lagu lama, ya paling nggak sholat jumat padahal
shalat jumat, ga suka tahlil, padahal sering tahlil, kalo mati dibungkus
kain hitam, padahal kain putih meskipun ada tulisan jausyannya.1
Beredarnya isu-isu negatif dan berbeda dengan ajaran Islam pada
umumnya, yang terdengar dikalangan masyarakat Jambesari yang sengaja
disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini, menjadikan
salah pahamnya masyarakat golongan non Syiah menilai masyarakat
golongan Syiah. Sehingga meletuplah kerusuhan di desa Jambesari pada tahun
2006 tersebut.
Dampak dari isu-isu provokatif tersebut, beragam perlakuan yang
didapatkan dan dirasakan oleh masyarakat golongan Syiah; pembakaran
rumah milik seorang tokoh Syiah, pengajian yang dibubarkan paksa, tidak
saling tegur sapa antara masyarakat golongan Syiah dengan golongan
masyarakat Sunni, hingga terputusnya tali silaturrahmi dan berakibat
kehilangan pekerjaannya.
Dalam hal kekeluargaan misalnya, antara paman dengan ponakan
bermusuhan karena salah satunya mengikuti ajaran Syiah yang dianggap
sesat. Muda mudi yang bertunangan pun dibatalkan karena perbedaan
keyakinan tersebut. Begitu pula dalam hal pekerjaan, masyarakat Jambesari
yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani, sulit mendapatkan pekerjaan
1 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
62
karena perbedaan keyakinan tersebut. Seorang berpaham Sunni pemilik lahan,
tidak mempekerjakan petani untuk menggarap sawahya yang berpaham Syiah,
dan begitu pun sebaliknya.
Seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat golongan Sunni dan
Syiah di desa Jambesari mulai kondusif, yang mulanya masyarakat tertutup
sekarang sudah terbuka. Yang mulanya, masyarakat Syiah tidak mendapat
pekerjaan, sekarang mendapat pekerjaan yang layak, seperti masyarakat lain
pada umumnya. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang
Syiah, Ahmad Rowi;
“Dulu, semenjak adanya penyerangan itu masyarakat Sunni
menutup diri terhadap masyarakat Syiah, contohnya saat tahlilan,
walimah kita masyarakat syiah tidak diundang, ketika bekerja pun
banyak ihwan kita tidak di percaya lagi, tapi saya tetap men-sabarkan
mereka. Dan mengatakan kalo kerja ya kerja degan benar, jangan
banyak ngomong. Dan Alhamdulillah sekarang justru ihwan kita yang
dipercaya sebagai kepala di sawah. Dan masyarakat disini sudah
mulai mengerti dan tidak mempermasalahkan perbedaan itu.”2
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa, lambat
laun masyarakat Jambesari memahami terkait beragamnya keyakinan dalam
Islam. Meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa hal, masyarakat
Jambesari lebih memperhatikan persamaan antara kedua keyakinan yang
berbeda ini. Seakan memang terlihat tidak acuh terhadap perbedaan, akan
tetapi masyarakat Jambesari justru semakin dewasa menyikapi perbedaan
2 Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rawi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016,
Pukul 10.00 WIB.
63
karena prinsip masyarakat Jambesari yang terpenting adalah ketentraman dan
kerukunan dalam menjalani kehidupan. Berikut hasil wawancara peneliti
dengan bapak Mukhlis:
“Sama-sama punya prinsip yang Syii, Syii; yang Sunni; Sunni,
ayo kita bangun kerukunan. Entah itu Sunni, entah itu Syii yang
penting kita bisa baca syahadat itu Islam. Banyak yang mengatakan
seperti ini sudah. Sama-sama Islam kok.”3
B. Analisis Komunikasi antarbudaya dan Agama Golongan Sunni dan Syiah
menurut Teori Andi Faisal Bakti (teori duapuluh)
Setelah peneliti melakukan analisis terhadap komunikasi antarbudaya
dan agama golongan Sunni dan Syiah diatas, peneliti akan melakukan analisis
data dengan menggunakan teori yang dikemukakan Andi Faisal Bakti melalui
teori komunikasi antaragama dan budaya (KAAB) yang berjumlah dua puluh.
Dalam analisis ini, peneliti menggunakan beberapa teori dari hasil
temuan dilapangan. Dari dua puluh teori hanya digunakan beberapa teori saja.
Pertama, Adoration of Scriptures lawan dari teori ini adalah Interpretation
of Scriptures. Kedua, Monotheism (idol destriction) / Humanism (God
created by Humans) lawan dari teori ini adalah paganism (idol worshipping).
Ketiga, Sectarian Communitarism lawan dari teor ini adalah Global
Communitarism. Tiga teori inilah temuan peneliti yang akan peneliti analisis.
3 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
64
1. Adoration of scriptures
Adoration of scriptures adalah sekelompok masyarakat, agama, dan
budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab
sucinya). Lawan dari teori ini adalah Interpretation of Scriptures adalah
sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau
memahami teks (kitab suci) yang menjadi pegangannya. Dalam Islamteori
ini sejalan dengan Ijtihad.
Dalam tradisi golongan Sunni dan Syiah, ketika terdapat salah seorang
meninggal dunia, selain masyarakat membantu mengurus prosesi
memandikan hingga menguburkan, setiap malam selama tujuh malam
diadakan pembacaan tahlil yang dikhususkan untuk orang yang meninggal
tersebut. Biasanya, masyarakat yang hadir hanya membaca dan tanpa
mengetahui maknanya. Secara keseluruhan bacaan yang dibaca dalam
perayaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Serangkaian do’a fatihah yang diperuntukkan kepada Nabi,
keluarga nabi, para sahabat-sahabat Nabi, para Wali, para pengikut
Nabi, para orang-orang baik dan para malaikat,kemudian para ahli
kubur terutama dari keluarga yang membaca tahlil. Biasanya
pembacaannya dipisah-pisah dengan masing-masing pembacaan
surat Al-Fatihah.
2) Pembacaan surat Al-Ikhlas sebanyak tiga kali, Al-Falaq satu kali
dan Al-Nas satu kali. Pada setiap akhir pembacaan masing-masing
65
surat itu dipisah dengan pembacaan Lailahaillahu Allahu Akbar
Walillahil Hamdu. Ada pula yang membacakan surat yasin.
3) Pembacaan surat Al-Fatihah dan dilanjutkan dengan pembacaan
beberapa penggalan ayat-ayat Al-Qur‟an, diantaranya surat Al-
Baqarah dari ayat 1-5, Al-Baqarah ayat 163, Al-Baqarah ayat 255
atau ayat kursi, Al-Baqarah 284-286, dipisah dengan bacaan
irhamna ya arhamarrahimin sebanyak tujuh kali, kemudian
dilanjutkan dengan surat Hud ayat 73, surat Al-Ahzab ayat 33, Al-
Ahzab ayat 56, lalu dilanjutkan dengan pembacaan sholawat,
setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan surat Ali Imran ayat 173,
Al-Anfal ayat 40, dan ditutup dengan kalimat Tahlil sebanyak
seratus kali. Sebagai penutupnya bianya dibacakan do’a tahlil
Selain tahlil, golongan Sunni dan Syiah dalam menyambut hari
besar dalam Islam juga menggelar pengajian. Adapun pengajian yang
baru-baru ini digelar yakni Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad.
Gambar 4.1
66
Gambar diatas tampak Bapak Ahmad Rawi memimpin
pengajian, dengan melantunkan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad
SAW, dan masyarakat dengan khidmat mengikuti pengajian tersebut.
2. Monotheism (idol destriction) / Humanism (God created by Humans)
Monotheism (Idol destruction) / Humanism (God created by humans)
adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat
istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan
yang percaya kepada Tuhan yang satu. Lawan dari teori ini adalah
paganism (idol worshipping) yakni melakukan penyembahan kepada yang
selain Tuhan. Baik itu terhadap sesajen, jimat, dukun atau membaca ayat-
ayat tertentu untuk tujuan tertentu. Dalam Islam teori ini sejalan dengan
at-Tauhid.
Golongan Sunni dan Syiah sebagai dua aliran besar dalam Islam sudah
tentu sama-sama meyakini dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
yang patut disembah dan Muhammad utusan Allah (Assyhadu anla ilaha
illa Allah Wa asyhadu anna Muhammadun rasulullah). Dengan bersaksi
bahwa hanya Allah lah yang patut disembah, masyarakat golongan Sunni
dan Syiah mengerjakan segala sesuatu yang telah diperintahkan serta
menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
67
Gambar 4.2
Gambar diatas tampak masyarakat golongan Syiah sedang
melaksanakan ibadah shalat Jum’at, yang merupakan kewajiban bagi umat
Muslim untuk melaksanakannya.
3. Sectarian Communitarism
Sectarian communitarianism adalah pemikiran KAAB yang terdiri
atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang patuh hanya kepada
golongan/komunitasnya saja. Lawan dari teori ini adalah Global
Communitarism. Dalam Islam teori ini sejalan dengan al-Qoum.
Sebagai golongan yang sama-sama besar dalam islam, tentu golongan
Sunni dan Syiah memiliki pengaruh besar terhadap para penganutnya,
sehingga tidak heran jika rasa cinta terhadap golongannya juga sangat
besar. Di desa Jambesari, kedua penganut golongan tersebut sangat
mencintai dan membangga-banggakan alirannya. Sehingga dengan adanya
rasa unggul dari golongan lain tersebut, menjadikan masyarakat golongan
68
Sunni dan Syiah konflik. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak
Mukhlis;
“Kalo dulu iya, merasa paling benar sampe-sampe teman-
teman disini nyari lawan untuk berdialog, sampe-sampe ada statement
dari temen-temen kalo dalam Bahasa maduranya “mun lambek eberik
ngakan calatong, satiyah eberik ngakan roti, yeh nyaman “(kalo dulu
dikasi makan kotoran, sekarang dikasi makan roti, ya merasa bangga.
Terus kiyai-kiyai disini dibodoh-bodohkan sama teman-teman. “mun
kiyaenah been roh buduh” ( kiyai kamu itu bodoh). Dan emang ada
dasarnya, iya kan. Sampe terjadi gejolak. Terus saya redam, kiai
dengan teman-teman saya redam. Yang mulutnya agak tajam ini
dikumpulkan tiap malam ada pengkajian-pengkajian, dan sekarang
sudah aman-aman sajah.”4
Banyaknya sikap merasa dirinya paling unggul dikalangan masyarakat
Syiah ini, tidak dibenarkan oleh tokoh Syiah sendiri yakni Ahmad Rawi.
Sehingga beliau menekankan untuk tidak merasa unggul dan selalu
menjunjung ukhuwah Islamiyah.
“Ketika saya diminta berceramah, yang saya tekankan adalah
ukhuwah Islamiyah. Jangan saling merasa unggul, karena kita tidak
tau siapa yang lebih unggul, Itu urusan ALLAH SWT. Orang Sunni
punya alesan sendiri kenapa mereka iku syiah, dan orang syiah juga
punya alasan. Yah intinya jangan merasa paling benar.”5
Sebagai salah seorang yang didengar nasehat-nasehatnya, setelah
mengeluarkan statement tersebut, masyarakat golongan Syiah patuh.
Sehingga mulai lebih dewasa memahami perbedaan dan selalu menjalin
4 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB. 5 Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rawi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016,
Pukul 10.00 WIB.
69
ukhuwah Islamiyah, sehingga terjalinnya komunikasi antarbudaya
masyarakat golongan Sunni dan Syiah.
C. Faktor yang Mempengaruhi komunikasi Antar Budaya dan Agama
Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari
Terjalinnya kerukunan antar golongan Sunni dan Syiah di desa
Jambesari, disebabkan terjalinnya komunikasi antarbudaya dan agama yang
dilakukan masyarakat golongan Sunni dan Syiah dalam kehidupan sehari-
harinya. Hal ini, terlihat jelas bahwa Golongan Sunni dan Syiah dalam
komunikasi antarbudaya dipengaruhi beberapa faktor, yakni Faktor Kognitif,
faktor gaya pribadi, dan faktor lainnya.
1. Faktor Kognitif Golongan Sunni dan Syiah
Faktor kognitif yang dimaksud adalah pengetahuan, pengalaman dan
pikiran seseorang yang membentuk konsep antarbudaya. Pengetahuan akan
budaya sendiri dan orang lain ini nantinya akan mempegaruhi perilaku dan
efektivitas komunikasi antarbudaya. Dalam keseharian masyarakat golongan
Sunni dan Syiah sama-sama telah mengetahui mengenai adanya beberapa
perbedaan dalam ajaran Sunni dan Syiah. Berikut adalah hasil kutipan
wawancara peneliti dengan H.Abdullah (salah satu tokoh Sunni) terkait
adanya perbedaan antara Sunni dan Syiah:
“Yah paling Adzan itu. Kalo Syiah menambahkan Hayya ala
hairil Amal. Karena pake speaker jadi kedengaran. Tentang lainnya
saya tidak tau, Bagaimana do’anya orang Syiah, saya tidak tau.
70
Sepengetahuan saya sekilas, wudlu. Shalat, Cuma saya tidak pernah
melihat langsung. Tetapi informasi yang beredar di masyarakat,
shalatnya bisa digabung (rangkos), kalau punya pekerjaan takut ga
nutut waktu asharnya, jadi digabungin di waktu dzuhurnya. Seperti itu
informasi yang beredar dimasyarakat. Tetapi saya tidak mengetahui
bettul, yang penting shalatnya sendiri benerin. Apa yang diajarkan
sesepuh dulu, itu yang di ikuti.”6
Sadar dengan adanya perbedaan dalam kegiatan keseharian
masyarakat golongan Sunni dan Syiah tidak menjadikan masyarakat kedua
golongan tersebut terus-terusan mempermasalahkan perbedaan, justru mereka
tidak acuh terhadap perbedaan tersebut, dan fokus untuk menjalankan
ajarannya masing-masing.
2. Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah
Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga ditentukan oleh perilaku
gaya berdasarkan gaya pribadi (self-oriented). Seseorang yang terlalu
menampilkan self-orieted menjadikannya congkak, dan menunjukkan gagasan
yang tidak menarik atau membosankan. Berikut beberapa bentuk gaya pribadi
yang seringkali tampil dalam komunikasi antarpribadi, yang nantinya peneliti
jadikan indikator dalam efektivnya komunikasi antarbudaya masyarakat
golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari;
a. Etnosentrisme
6 Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00
WIB.
71
Etnosentrisme yakni adanya perasaan lebih unggulnya
golongan atau kelompok sendiri dibandingkan dengan golongan yang
lainnya. Sikap demikian ini yang menjadikan sulit terjalinnya
komunikasi antarbudaya. Sejak kehadirannya, pada tahun 2006 dan
masyarakat Jambesari berbondong-bondong mengikuti ajaran Syiah,
masyarakat golongan Syiah merasa sedang berada dijalan kebenaran,
dan hanya mereka yang benar. Adanya perasaan paling benar
dibandingkan dengan golongan yang lainnya ini, menyulitkan
masyarakat golongan Syiah berkomunikasi dengan golongan yang
lainnya. Sehingga, tidak heran jika pada tahun 2006 tersebut,
masyarakat Syiah dijauhi atau bahkan terjadi konflik dengan
masyarakat non-Syiah. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan
Bapak Mukhlis salah seorang tokoh Syiah;
“Kalo dulu iya, merasa paling unggul. sampe-sampe
teman-teman disini nyari lawan untuk berdialog, sampe-sampe
ada statement dari temen-temen kalo dalam Bahasa
maduranya “mun lambek eberik ngakan calatong, satiyah
eberik ngakan roti, yeh nyaman “(kalo dulu dikasi makan
kotoran, sekarang dikasi makan roti, ya merasa bangga. Terus
kiyai-kiyai disini dibodoh-bodohkan sama teman-teman. “mun
kiyaenah been roh buduh” ( kiyai kamu itu bodoh). Dan emang
ada dasarnya, iya kan. Sampe terjadi gejolak.” 7
Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa,
Adanya sikap etnosentris yakni merasa paling benar yang ditunjukkan
7 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
72
masyarakat golongan Syiah terhadap ajaran agama Islammenjadikan
masyarakat golongan Sunni tidak terima, sehingga meruntuhkan
kerukunan dan menimbulkan konflik. Hal ini menunjukkan bahwa
etnosentrisme dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi
antarbudaya.
b. Toleransi, Sikap Mendua dan Keluwesan
Golongan Syiah yang memiliki perbedaan dalam beberapa hal
dengan keyakinan golongan Sunni pada umumnya, tidak serta merta
langsung diterima kehadirannya. Tidak menyapa, jaga jarak
merupakan beberapa contoh yang terekam dalam keseharian
masyarakat Jambesari, hal ini menunjukkan tidak efektivnya
komunikasi antarbudaya kedua golongan tersebut. Namun, tingginya
kesadaran masyarakat Jambesari akan toleransi dengan golongan yang
berbeda, mendukung efektivnya komunikasi antarbudaya sehingga
terbentuk kehidupan yang rukun. Berikut kutipan wawancara peneliti
dengan H.Abdullah;
“Terkait kekeluargaan, sudah tidak ada masalah apa-
apa, karena masyarakat tidak memperpanjang persoalan
perbedaan, ya si Sunni jalan apa adanya dengan keyakinannya
dan yang Syiah juga sperti itu (Tak nabheng lanjheng) sudah
membiarkan jalan sendiri-sendiri.”8
8 Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
73
Berdasarkan hasil wawancara diatas, masyarakat Jambesari
Golongan Sunni dan Syiah, sama-sama saling menunjukkan adanya
rasa keluwesan, yakni masyarakat Jambesari tidak terus-terusan
membahas perbedaan, dan mempersilahkan untuk menjalankan
ibadahnya sesuai keyakinan masing-masing. Berikut kutipan
wawancara peneliti bersama dengan bapak Ahmad Rawi;
“Alhamdulillah sekarang responnya sudah baik, jika
acara besar dalam Islamtidak sedikit masyarakat golongan
sunni yang ikut bareng. Tetapi kalo acara milad atau
menyambut kelahiran para imam masyarakat golongan sunni
tidak ikut berpartisipasi dikarenakan kami mengadakannya
hanya kecil-kecilan dan masyarakat responnya juga baik.”9
Berdasarkan hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa,
dengan adanya tradisi keagamaan yang sama-sama diyakini dan
dilaksanakan oleh golongan Sunni dan Syiah, menjadikan penganut
kedua golongan tersebut saling berinteraksi, dan bertoleransi sehingga
menjadikan komunikasi antarbudaya efektif dan tercipta kehidupan
yang rukun antar masyarakat golongan Sunni dan Syiah.
c. Empati
Empati merupakan kemampuan untuk merasakan, melihat
secara akurat, dan memberikan respons secara tepat kepada
kepribadian, hubungan, dan lingkungan sosial seseorang.10 Sebagai
9 Wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Rowi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016.
Pukul 10.00 WIB. 10
Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466
74
masyarakat yang hidup dipedesaan, golongan Sunni dan Syiah di desa
Jambesari sering kali ikut merasakan hal-hal yang terjadi terhadap
seseorang. Terdapat sesuatu yang unik pada masyarakat Jambesari
perihal empati. Misalkan salah seorang golongan Sunni meninggal
dunia, masyarakat desa Jambesari terlepas Sunni dan Syiah semuanya
turut berduka dan mendatangi rumahnya, dan membantu meringankan
beban keluarga yang ditinggalkannya. Berikut adalah hasil kutipan
wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis:
“...Kalau ada kifayah, orang meninggal, Sunni Syii
ngumpul sekarang, ngelayat semua. Ya kalo yang meninggal
orang Syii, yang didepan mensholati orang Syii, kalo yang
meninggal Sunni yang didepan orang Sunni. Secara upcaranya
seperti itu.”11
Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa Empati tidak
dapat dipisahkan dengan kehidupan keseharian masyarakat Jambesari.
Masyarakat golongan Sunni dan Syiah, sama-sama mengesampingkan
keyakinannya disaat terdapat seseorang yang mengalami musibah.
Sehingga dengan munculnya empati ini, komunikasi antara golongan
Sunni dan Syiah di desa Jambesari berjalan efektif.
d. Keterbukaan
Semakin dewasanya masyarakat golongan Sunni dan Syiah
memahami perbedaan, menjadikan pengikut kedua golongan tersebut
11
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
75
lebih terbuka dan memiliki keluwesan pribadi. Sedangkan menurut
Devito sikap keterbukaan juga merupakan faktor untuk menciptakan
relasi antarpribadi yang maksimum. Berikut hasil wawancara peneliti
dengan H.Abdulah perihal sikap luwes masyarakat Jambesari;
“Tidak, Semua ini tergantung lingkungan, tokoh
terutama pimpinan desa. Alhamdulillah di sini setiap bulan
ada shalawatan, orang sunni dan syiah di undang, karena
sama-sama rakyatnya tidak dibedakan, atau mungkin bisa jadi
dengan cara-cara seperti ini mereka kembali lagi ke
tujuannya.”12
Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa
setelah masyarakat Sunni mengetahui adanya perbedaan dengan
ajaran Syiah, mereka tidak meyatakan golongan lain itu sesat,
begitupun sebaliknya. Sehingga kedua golongan tersebut mau duduk
bersama mengikuti acara bulanan yang di selengarakan oleh pimpinan
desa. Acara tersebut biasanya diakhiri dengan berbincang-bincang
santai oleh hadirin mengenai berbagai persoalan yang terjadi di desa
Jambesari. Sehingga hal ini menunjukkan adanya keterbukaan
masyarakat Jambesari baik golongan Sunni maupun Syiah.
e. Kompleksitas Kognitif
Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan pribadi
untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Perbedaan pemahaman
mengenai ajaran Sunni dan Syiah hampir semua masyarakat
12
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
76
Jambesari mengetahui. Tentu pasti berbeda tingkatan pemahamannya.
Meskipun adanya perbedaan antara kedua golongan tersebut, tak
menjadi persoalan bagi masyarakat Jambesari. Hal ini yang
membedakan masyarakat Jambesari dengan masyarakat lainnya,
sebagaimana dijelaskan oleh H.Abdullah sebagai berikut;
“Bedanya masyarakat Jambesari dengan masyarakat
lainnya, tidak memperpanjang persoalan. Orang syiah mau
ngadain acara apapun selama dilingkungannya sendiri tidak
masalah, karena itu emang sudah ajarannya. Yang menjadikan
konflik itu kan memperpanjang persoalan perbedaan itu,
debat, kalo aqidahnya ga kuat, trus panas dan marah-
marah.”13
Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa
masyarakat Jambesari mengetahui akan adanya perbedaan keyakinan,
namun mereka tetap bersikap luwes selama tidak meresahkan
kehidupan masyarakat Jambesari.
f. Kenyamanan Antarpribadi
Kenyaman antarpribadi, juga menjadi faktor efektivitas
komunikasi antarbudaya. Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak
tenang dan tidak percaya dengan relasi antarpribadi dalam
kebudayaan anda, maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak
tenang, dan tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan
anda. Hal ini yang dirasakan pengikut Syiah, pada awal kehadirannya.
13
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
77
Pengikut Syiah merasa terasing jika berada ditengah-tengah golongan
Sunni. Tentu hal ini berdampak pada tidak efektivnya komunikasi
antarbudaya. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Muhlis;
“Kadang-kadang, kalo sempet ya dateng. Liat situasi
dan kondisi kalau yang hadir kurang begitu suka yah ga
hadir.”14
Berdasarkan kutipan hasil wawancara diatas, menunjukkan
komunikasi antarbudaya akan berjalan efektiv, jika orang-orang yang
berbeda budaya tersebut merasakan adanya kenyamanan dan
ketenangan dalam berkomunikasi. Hal ini justru yang tidak dirasakan
oleh masyarakat Syiah pada mulanya, sehingga ketika di undang
mengahadiri acara yang diselenggarakan oleh golongan Sunni,
mereka melihat siapa yang akan hadir terlebih dahulu. Akan tetapi
berbeda halnya saat ini, masyarakat Jambesari sudah merasa saling
memahami, sehingga kenyamanan pribadi pun tercipta. Berikut hasil
wawanara peneliti dengan Bapak Muhlis;
“Kalo sekarang sudah nyaman. Bukan Cuma saya,
teman-teman juga sekarang sudah merasa nyaman. Bayangkan
pekerjanya kiai matrawi ini Sunni, keluar masuk dapurnya.
Dulu jangan kan masuk kerumahnya kiai matrawi, lewat aja
gak mau. Ya klo sekarang keluar masuk sudah ga masalah.”15
g. Kontrol Pribadi
14
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB. 15
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
78
Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga sangat tergantung
pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol pribadi terhadap
lingkungan sekitarnya. Seseorang yang tidak terkontrol tentu akan
menyebabkan perseteruan. Hal ini yang terjadi di Jambesari seseorang
yang baru mengenal Syiah, menganggap Syiah itu ajaran yang paling
benar dan selain Syiah salah. Sedangkan mayoritas masyarakat di
Jambesari meyakini Sunni sebagai golongannya. Berikut hasil
wawancara peneliti dengan Bapak Muhlis;
“Iyaa, merasa unggul, merasa paling benar. Biasa lah
dek, namanya orang baru tau kok. Kayak punya barang baru,
pengen ditonjolkan terus.”16
Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat
yang baru mengenal Syiah, merasa dirinya sudah paling benar.
Dengan timbulnya perasaan paling benar tersebut menjadikan
pengikut golongan Syiah ingin membenarkan segala yang dianggap
salah atau tidak sesuai dengan ajarannya. Kurangnya kontrol terhadap
diri sendiri, dan minimnya penyesuaian diri terhadap golongan Sunni,
meresahkan masyarakat Sunni yang lebih lama hadir dan diyakini
oleh masyarakat Jambesari pada umumnya. Lagi-lagi hal ini lah yang
menjadikan gagalnya komunikasi antar masyarakat Sunni dan Syiah
di Jambesari pada tahun 2006 silam. Sehingga dapat dikatakan bahwa
16
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
79
kontrol terhadap pribadi sangat diutamakan dalam terjalinnya
komunikasi antarbudaya, dimana komunikator yang berbeda budaya
dan agama, sama-sama untuk mengontrol pribadinya serta
penyesuaian terhadap budayanya.
h. Kemampuan Inovasi
Masyarakat golongan Syiah Jambesari memiliki program
penggemukan sapi, yang program ini belum pernah ada sebelumnya.
Program ini sengaja di bentuk oleh lembaga Syiah yang ada di desa
Jambesari, melihat potensi desa Jambesari yang cukup strategis untuk
mengembangkan program tersebut. Adanya inovasi ini, menjadi daya
tarik tersendiri baik bagi kalangan masyarakat Syiah maupun
masyarakat Sunni. Adapun yang dipercaya untuk mengurus sapi-sapi
tersebut adalah salah seorang dari golongan Sunni meskipun program
tersebut milik golongan Syiah. Berikut hasil wawancara peneliti
dengan Bapak Mukhlis:
“Disini madrasah punya program menggemukkan sapi,
yang ngerawat orang Sunni. Yah silahkan, kan tidak ada
masalah.”17
17
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
80
Sehingga dengan adanya inovasi di bidang program
penggemukan sapi ini menjadikan, lebih seringnya berkomunikasi
antara pengikut gologan Sunni dan Syiah.
i. Harga diri
Harga diri (self esteem) juga sangat menentukan terjalinnya
komunikasi antarbudaya. Dimana seorang komunikator dituntut untuk
memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan
komunikan. Dalam relasi keseharian masyarakat golongan Sunni dan
Syiah, saling bergantian posisi sebagai komunikator dan komunikan,
sebab sifat komunikasinya yakni dua arah. Sehingga untuk
menciptakan komunikasi yang efektif, diperlukan inisiatif untuk
berelasi oleh kedua pengikut golongan tersebut. Hal ini yang dialami
Bapak Mukhlis sebagai tokoh Syiah jika diundang untuk menghadiri
acara golongan Sunni, beliau secara tidak langsung, mau atau tidak
dituntut untuk menyesuaikan diri dengan budaya golongan Sunni.
Dalam isi pembicaraan pun, beliau hanya membahas ahlak. Karena
ahlak atau berperilaku baik terhadap diri sendiri maupun orang lain
sangat dianjurkan dan tidak mengenal golongan. Berikut hasil
wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis;
“Kalo saya kumpul-kumpul dengan mereka, ya yang
saya bicarakan masalah ahlak. Tapi ada pengecualiannya nih,
biasanya saya ada tamu dan nanya-nanya tentang Syii ya
sudah, saya sampaikan. Kalo saya berkomunikasi dengan
mereka, saya tidak menyampaikan keyakinan-keyakinan.
81
Kecuali saya ditanya, ya terpaksa kan. Ya kalo orang mau beli
ya saya jual. Saya sampaikan dengan cara-cara yang tidak
menyinggung mereka, kita beri pengertian.”18
Berdasarkan hal diatas, adanya inisiatif yang dilakukan bapak
Muhlis untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Sunni, dengan
tidak membicarakan hal-hal yang berbeda dalam keyakinan kedua
golongan tersebut. Hal ini juga ditekankan oleh bapak Muhlis
terhadap masyarakat golongan Syiah yang lainnya. Sehingga dengan
adanya rasa untuk menyesuaikan terhadap budaya yang berbeda akan
menjadikan komunikasi antarbudaya berjalan efektif, serta terciptanya
kehidupan masyarakat yang rukun.
j. Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi
Munculnya rasa cemas yang dialami masyarakat golongan
Syiah, karena disebabkan beredarnya penyesatan terhadap
golongannya. Serta munculnya kecemasan yang dialami oleh
masyarakat golongan Sunni, karena hadirnya keyakinan Syiah yang
dianggap sesat dan tidak di perbolehkannya untuk berinteraksi dengan
golongan tersebut, menyebabkan gagalnya komunikasi antarbudaya
Sunni dan Syiah tersebut. Hal ini terjadi saat baru pertama kali
hadirnya keyakinan Syiah di desa Jambesari, sehingga timbul konflik
antar kedua golongan tersebut.
18
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
82
Semakin tingginya kecemasan untuk berinteraksi dengan
golongan yang berbeda budaya sebagaimana yang dialami masyarakat
Sunni dan Syiah di Jambesari, maka semakin kecil kemungkinan
terjadinya komunikasi yang efektif.
Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecemasan yang
dialami oleh pengikut kedua golongan tersebut, maka akan membawa
komunikasi kearah yang lebih baik, sehingga perbedaan diantara
kedua golongan tersebut tertutupi karena adanya peleburan budaya
yang dirasakan oleh pengikut golongan Sunni dan Syiah. Berikut hasil
wawancara peneliti dengan bapak muhlis, terkait dengan semakin
rendahnya rasa cemas masyarakat golongan Syiah untuk
berkmounikasi dengan masyarakat golongan Sunni:
“Kalo sekarang sudah nyaman. Bukan Cuma saya,
teman-teman juga sekarang sudah merasa nyaman. Bayangkan
pekerjanya kiai matrawi ini Sunni, keluar masuk dapurnya.
Dulu jangan kan masuk kerumahnya kiai matrawi, lewat aja
gak mau. Ya klo sekarang keluar masuk sudah ga masalah.”19
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat terlihat adanya rasa
nyaman yang dirasakan oleh masyarakat Sunni dan Syiah dalam
berkomunikasi. Bahkan orang-orang Sunni bersedia untuk bekerja
dengan orang Syiah. Hal ini terjadi karena minimnya kecemasan
untuk berinteraksi dengan yang berbeda golongan yakni Syiah.
19
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
83
3. Faktor-faktor Lain Golongan Sunni dan Syiah
Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi terjalinnya
komunikasi antarbudaya golonagan Sunni dan Syiah di desa
Jambesari adalah sebagai berikut;
a. Faktor Keramahtamahan
Pada dasarnya, keramahtamahan bersifat relatif. Akan tetapi
pada umumnya setiap kebudayaan mengajarkan keramahtamahan
dalam komunikasi antarpribadi. Terlebih lagi masyarakat pedesaan
yang sangat kental dengan hubungan kekeluargaannya. Masyarakat
golongan Sunni dan Syiah yang memiliki beberapa perbedaan,
mereka tetap bersifat ramah antara satu dengan yang lainnya. Hal
ini dapat diketahui dari prilaku masyarakat yang saling tegur sapa
dimanapun mereka berjumpa. Berikut hasil wawancara peneliti
dengan H.Abdullah:
“Jika orang syiah mengucapkan salam kepada saya, ya
wajib saya jawab.” 20
Keramahtamahan masyarakat Sunni dan Syiah di desa
Jambesari juga di pengaruhi kesamaan suku. Dalam budaya suku
Madura, maka dikenal sebagai “Taretan dhibik” (saudara sendiri).
20
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
84
Budaya taretan dhibik ini merupakan budaya dasar orang Madura
yang menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi sesama suku
Madura. Dimana pun, kapan pun, dalam keadaan apa pun, orang-
orang Madura akan tetap memegang budaya tersebut. Hal ini yang
menumbuhkan ikatan emosional masyarakat golongan Sunni dan
Syiah di desa Jambesari.
Keramahtamahan yang ditunjukkan masyarakat golongan
Sunni dan Syiah, berdampak kepada kehidupan masyarakat
Jambesari yang semakin tentram dan aman. Hal ini terbukti ketika
peneliti mengajukan pertanyaan, jika ada orang yang mencoba
memprovokasi agar golongan Sunni dan Syiah kem bali berseteru,
jawaban dari pihak Sunni dan Syiah sama-sama tidak akan
mendengarkan dan tidak akan terpengaruh, karena hal itu hanya
ingin meruntuhkan kerukunan desa Jambesari. Berikut hasil
wawancara peneliti dengan H.Abdullah terkait jika ada orang yang
mencoba memprovokasi:
“Tak mengikuti orang luar, karena orang luar hanya
membakar atau mendorong dengan tujuan bagaimana
Jambesari ini hancur. Jadi saya tidak ikut-ikut.”21
Hal serupa juga dikatakan bapak Mukhlis, bahwa Sunni dan
Syiah sudah kembali rukun, jika ada yang berusaha memecah belah
21
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
85
kembali masyarakat sudah tidak terpengaruh. Berikut hasil
wawancara peneliti dengan Bapak Mukhlis:
“Kalo ada yang mencoba mengadu domba, kita cuek
ajah. Ga usah ditanggepin. Seperti acara barusan, acara
penggagalan milad sayidah Fatimah az-zahara itukan
penggerak masanya orang Jambesari, orang Jambesarinya
gak ada yang mau. Jadi kalo ada provokator masuk ke
Jambesari, sudah tidak ditanggapi dengan mereka. Apalagi
dengan teman-teman. Mereka sendiri Orang Sunni sendiri
tidak menanggapi sudah. Statementnya mereka kita sudah
rukun “engkok lah rukun bik taretan masak gik erosakah pole”
saya sudah rukun dengan saudara masa masih mau
dibentrokkan lagi. Banyak yang mengatakan seperti itu, Ini
peryataan orang Sunni loh yah, bukan orang-orang Syii.”22
Berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa sikap
keramahtamahan mendorong adanya komunikasi antarpribadi yang
baik. Sehingga menjadikan kehidupan orang-orang yang berbeda
budayapun penuh dengan keharmonisan dan kerukunan.
b. Faktor Motivasi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat
Sunni dan Syiah yang sama-sama bersuku Madura, memiliki
budaya Taretan dhibi (saudara sendiri). Hal ini merupakan salah
satu motivasi masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa
Jambesari dalam berkomunikasi. Adanya budaya taretan dhibi ini
membangkitkan sikap emosional masyarakat Madura pada
umumnya, dan terkhusus masyarakat golongan Sunni dan Syiah di
22
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
86
desa Jambesari untuk saling membantu dan bergotong royong untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik.
c. Faktor Akulturasi
Sunni dan Syiah sebagaimana telah dijelaskan pada bab
sebelumnya merupakan dua aliran besar dalam islam. Kehadiran
Sunni di desa Jambesari boleh dikatakan lebih awal dari Syiah.
Dalam hal kebudayaan, kedua aliran ini memiliki beberapa
perbedaan yang dipengaruhi oleh pemikiran para tokohnya. Jika
Sunni hanya melaksanakan ritual khusus pada hari-hari besar islam,
golongan Syiah juga melaksanakan hari-hari besar menurut
keyakinan mereka, misalkan Asyuro yakni memperingati wafatnya
imam mereka yang ketiga Husein bin Ali bin Abu tholib, perayaan
Ghadir khum yakni hari bersejarah pengangkatan Sayyidina Ali
sebagai pemimpin pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, dan
berbagai perayaan kedukaan maupun kebahagiaan. Tentu mereka
melaksanakan acara tersebut dengan adanya penyesuaian dengan
budaya setempat yakni Jambesari.
d. Faktor Umur
Dalam beberapa kebudayaan, penghargaan antarmanusia
sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan Sunni dan Syiah, mereka
yang berusia lebih muda tidak diperkenankan menatap mata orang
yang lebih tua serta menghormatinya, sedangkan yang tua
87
menghargai yang muda. Hal semacam ini, menunjukkan bahwa
perbedaan umur antarpribadi sangat mempengaruhi efektivitas
komunikasi antarbudaya.
e. Faktor Pekerjaan
Dalam hal pekerjaan mayoritas masyarakat Jambesari
bekerja sebagai petani. Pekerjaan ini juga menunjukkan bahwa turut
mempengaruhi efektivitas komunikasi masyarakat golongan Sunni
dan Syiah. Dimana kesamaan pekerjaan, dapat mempererat tali
silaturrahmi pengikut kedua golongan tersebut. Berikut hasil
wawancara peneliti dengan Bapak Abdur Rahim, yang bekerja
sebagai buruh tani:
“Saya punya temen orang syiah, biasa ajah sekarang.
Sama-sama bekerja sebagai buruh tani. Kalo dulu temen saya
ini tidak diajak bekerja, semenjak ketauan dia Syiah. Karena
sesat katanya. Tapi sekarang dia sudah begabung lagi dengan
kami. Bahkan dia ditunjuk sebagai orang kepercayaan pemilik
sawah dek.”23
Hal serupa juga dijelaskan H.Abdullah, bahwa dalam
pekerjaanlah masyarakat Sunni dan Syiah paling sering
berkomunikasi. Berikut hasil wawancara peneliti dengan
H.Abdullah:
23
Wawancara pribadi dengan Bapak Abdur Rahim, masyarakat Sunni, 15 Mei 2016. Pukul
09.00 WIB.
88
“Antara hubungan pekerjaan, Misalkan saya punya sawah
(sunni) dan anda kerja sebagai buruh tani (syiah) yah sudah
tidak ada apa-apa. Bekerja seperti biasa. Terkait dengan beda-
bedanya kita tidak mengikuti si A mengang si , dan begitu juga
si B. ini kondusifnya Jambesari. Antara sunni dan Syiah, yah
yang sunni, sunni yang syiah Syiah. Sehingga tidak ada
meributkan masalah keyakinan. Dan juga tergantung pimpinan
desa, karena pengaturannya enak dibawah juga enak.”24
Berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa dengan
adanya kesamaan pekerjaan, masyarakat golongan Sunni dan
Syiah saling berinteraksi tanpa mempersoalkan perbedaan
keyakinan. Sehingga hal ini, menjadikan terjadinya komunikasi
yang efektif antar keduanya.
D. Interpretasi Data
Terciptanya kehidupan yang rukun antara pengikut golongan Sunni
dan Syiah di desa Jambesari, di tentukan dengan terjalinnya komunikasi
antarbudaya diantara kedua golongan tersebut. Mustahil akan tercipta
kerukunan jika tidak terjadinya komunikasi, sedangkan komunikasi sulit
dipisahkan dari budaya, sebagaimana dikatakan Edward T.Hall bahwa
komunikasi adalah budaya, dan budaya adalah komunikasi. Jelas berbeda
budaya golongan Sunni dan Syiah. Pengikut golongan Syiah mengacu kepada
Iran, negara terbesar penganut ajaran Syiah, sebagai rujukan untuk
melaksanakan tradisi-tradisi keIslaman maupun dalam berperilaku sehari-hari.
Sedangkan golongan Sunni lebih condong ke Arab, karena mengikuti para
24
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
89
leluhur terdahulu yang banyak belajar keislaman dari tanah Arab. Adanya
perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan ini akan menununjukkan adanya
perbedaan-perbedaan pula pada praktik-praktik komunikasinya. Sebagaimana
dikatakan Mulyana, bahwa kebudayaan merupakan landasan komunikasi, bila
budaya beraneka ragam, maka beraneka rragam pula praktik-praktik
komunikasinya.
Berdasarkan hasil temuan dilapangan, golongan Syiah hadir dan
diakui keberadaannya di desa Jambesari, dikarenakan beberapa hal;
1. Para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan dengan
mempunyai jumlah tertentu. Dalam hal ini, pengikut golongan Syiah
yang mulanya hanya beberapa orang saja yakni hanya keluarga besar
ahmad Rawi, saat ini menyebar kepada masyarakat yang tinggal
disekitar kediaman Ahmad Rawi, yakni sekitar 300 orang, hal ini
berdasarkan data keanggotaan milik Mukhlis.
2. Kehadiran Syiah diterima karena tidak membawa bibit perpecahan.
Sejak kehadirannya pada tahun 2006, para pengikut golongan Syiah
melaksanakan ritual keagamaanya dengan bebas, meskipun terdapat
konflik pada tahun tersebut, hal ini disebabkan karena terdapat
kesalahpahaman antara pengikut kedua golongan tersebut dalam
memahami ajarannya masing-masing. Pada akhirnya, dengan
munculnya kesadaran mengenai terdapat kesamaan-kesamaan dalam
ajaran, kesamaan dalam kebudayaan, serta tidak membawa bibit
90
perpecahan, menjadikan golongan Syiah diterima dan diakui oleh
masyarakat Jambesari.
3. Adanya kesamaan nilai antar golongan Sunni dan Syiah yang diimani
secara sadar, sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu bersama-sama.
Dengan meyakini bahwa Tuhan Maha Esa dan Nabi Muhammad adalah
Nabi dan Rasul-Nya, menuntut pengikutnya selalu menciptakan
kedamaian di muka bumi. Berdasarkan kesadaran akan hal tersebut,
menjadikan pengikut Golongan Sunni dan Syiah hidup berdampingan
dengan penuh kerukunan.
4. Membangun komunikasi dalam kelompok secara teratur. Dalam hal ini
baik masyarakat golongan Sunni dan Syiah, saling mengingatkan dan
menasehati perihal perilaku yang telah diajarkan dalam keyakinannya.
5. Golongan Syiah Mampu menentukan perbedaan ciri-ciri golongannya
dengan golongan yang lainnya. Golongan Syiah di desa Jambesari
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan golongan Sunni setempat.
Dalam ritual keagamaan golongan Syiah sering kali mengadakan
pengajian-pengajian untuk mengenang hari kelahiran maupun hari
wafatnya 12 imam mereka, ataupun berbagai perbedaaan yang lainnya.
Adanya perbedaan antara kedua golongan ini, bukan berarti faktor
untuk dijadikan bibit perpecahan, melainkan dijadikan alat untuk saling
melengkapi kekurangan satu dengan yang lainnya, serta dijadikan alat
untuk lebih mengedepankan persamaan dari perbedaannya.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan data-data yang peneliti kumpulkan
mengenai komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah pada
masyarakat desa Jambesari, peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
Pertama, komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan
Syiah di Jambesari dapat terjalin dengan baik, sehingga terciptanya kehidupan
yang rukun diantara keduanya. Hal ini, terbukti bahwa yang mulanya
masyarakat saling tidak menyapa, sekarang sudah menjalin hubungan dengan
baik. Masyarakat golongan Syiah yang mulanya tidak mendapat pekerjaan,
sekarang sudah mendapat pekerjaan, serta saling membantu tanpa memandang
dari golongan mana berasal. Selain itu, yang mulanya dalam melaksanakan
tradisi keagamaan semacam, tahlilan, maulidan, isra’mi’raj, dan lainnya
mereka melaksanakan hanya dengan golongannya masing-masing, namun
sekarang mereka sudah menyatu dan merayakan bersama tradisi keagamaan
dalam Islam tersebut. Kecuali, tradisi keagamaan yang jelas berbeda dengan
golongan Sunni, yakni Asyuro, Ghadirkhum, pembacaan do’a Kumayl,
golongan Syiah melaksanakan hanya di intern golongannya. Hal ini,
dibebaskan oleh masyarakat golongan Sunni dengan syarat tidak meresahkan
masyarakat Jambesari. Sikap toleransi, dan keluwesan serta rendahnya
92
etnosentrisme menjadikan komunikasi antarbudaya dan agama kedua
golongan efektif. Selain, dalam pelaksanaan tradisi keagamaan yang memiliki
kesamaan, peran pemerintah setempat yakni pimpinan desa Jambesari yang
tidak membeda-bedakan golongan juga merupakan faktor terciptanya
kehidupan masyarakat desa Jambesari yang rukun dan damai.
Kedua, terciptanya kerukunan masyarakat pada Jambesari ini di
tetentukan oleh beberapa faktor, yakni (1) Faktor Kognitif, berupa
pengetahuan masyarakat Jambesari terhadap adanya perbedaan dan kesamaan
pada kedua golongan tersebut. Semakin masyarakat mengetahui lebih
banyaknya kesamaan dari pada perbedaan menjadikan pengikut kedua
golongan tersebut semakin dewasa dalam menyikapi hal tersebut. (2) Faktor
gaya pribadi berupa perilaku keseharian masyarakat golongan Sunni dan
Syiah desa Jambesari, meliputi: a) Etnosentrisme b) Toleransi, sikap mendua
dan keluwesan c) Empati d) Keterbukaan e) Kompleksitas kognitif f)
Kenyamanan antarpribadi g) Kontrol pribadi h) Kemampuan inovasi i) Harga
diri j) Keprihatinan dan kecemasan komunikasi. Serta (3) Faktor Lain,
meliputi: a) Faktor keramahtamahan b) Faktor motivasi c) faktor akulturasi d)
faktor umur dan e) faktor pekerjaan. Masyarakat Jambesari, dalam hal ini
pengikut golongan Sunni dan Syiah berhasil meminimalisir faktor-faktor yang
dapat menghambat efektifitas komunikasi antarbudaya dan agama, yang hal
ini terekam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambesari. Sehingga
93
menjadikan masyarakat golongan Sunni dan Syiah desa Jambesari hidup
dengan penuh kedamaian dan kerukunan.
B. Saran
Setelah peneliti memberikan kesimpulan terkait dengan komunikasi
antarbudaya dan agama masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa
Jambesari, peneliti mengemukakan beberapa saran;
1. Peneliti berharap masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari
tetap dan terus menjaga kerukunan antar golongan. Dengan menanamkan
dalam diri bahwa “perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, yang tak
perlu dipermasalahkan”. Sehingga masyarakat Jambesari dapat menjadi
contoh bagi masyarakat di daerah lainnya.
2. Sebagai umat Islam dan mengaku sebagai pecinta Nabi Muhammad SAW,
hendaknya menjadi pelopor dalam perdamaian dengan berlomba-lomba
dalam berbuat kebaikan, terhadap sesama muslim atau bahkan kepada
non-Muslim sekalipun, sehingga terciptanya dimuka bumi ini kehidupan
yang rukun dan penuh dengan kedamaian.
94
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Artikel
Agil Husin Al-Munawar, Said, Fikih Hubungan Antaragama, Jakarta:Ciputat
Press, 2003.
Anastianah, Ita, Elite dan Konflik Komunal Keagamaan: Studi Kasus Konflik
Sunni Syiah Sampang, Kudus: Parist, 2012.
Arifin, Samsul, Komunikasi Antarbudaya Melalui Folklo “Haul Cuci Pusaka
Keramat Tajug” Di Kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan,
Jakarta: Skiripsi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
A.Samovar, Larry, dkk. Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta: Salemba Humanika,
2010.
Attamimy, HM, SYI’AH; Sejarah, Doktrin dan Perkembangan di Indonesia,
Yogyakarta: Graha Guru, 2009
Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikas, Ekonomi, kebijakan
Publik, dan Ilmu sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005. Cet ke-1
Cangara, Hafied, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Daulay, M.Zainuddin, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di
Indonesia, Jakarta:Badan Litbang Agama da Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, 2001.
95
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia,
Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997.
Devito, Joseph A, Komunikasi Antarmanusia, Jakarta: Profesional Books, 1997
Effendy, Onong Uchajana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006.
Faisal Bakti, Andi, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia:
South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program,
Jakarta: INIS, 2004.
Ja’far al-hadar, Husein, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang
Rekonsiliasi dalam Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Jakarta;
MAARIF Institute, 2015. Vol.10, No.2.
Kriyantono, Rachmat, Tehnik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009. Cet ke-4.
Liliweri, Alo, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2001.
Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013.
Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
96
Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja
Rosadakarya, 2000.
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010. Cet ke-7.
Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013. Cet ke-8.
Patton, Michael Quinn, How to Use Qualitative Methods in Evaluation, London:
SAGE Publications, 1991.
Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif, Jenis Karakter dan Keunggulannya,
Jakarta: PT Grasindo, 2010.
Rafi’I, Mustofa. Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah, Jakarta: Fitrah, 2013.
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi contoh analisis
statistic, Bandung: Remaja Rosdakarya 2000.
Syaukani, Imam, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan
Kerukunan Umat Beragama, Jakarta, Puslitbang, 2008.
Sihabudin, Ahmad, Komunikasi Antarbudaya; Satu Perspektif Multidiensi,
Jakarta; Bumi Aksara, 2013.
Shihab, M.Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?,
Jakarta; Lentera Hati, 2007.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2010.
The Wahid Institute, Laporan tahunan kebebasan beragama/ berkeyakinan dan
intoleransi, Jakarta: The Wahid Institute, 2014.
97
B. Sumber dari Internet
http://www.gusdurian.net/id/article/opini/Jalan-Tasawuf-Kebangsaan-Gus-Dur/
m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara.
http://mediamadura.com/madura-budaya-unik/
C. Wawancara Pribadi
1. Bapak Qurdi (Sekretaris Desa Jambesari)
2. Bapak H.Abdullah (Golongan Sunni)
3. Bapak Abdur Rahim (Golongan Sunni)
4. Bapak Ahmad Rawi (Golongan Syiah)
5. Bapak Mukhlis (Golongan Syiah)
LAMPIRAN-LAMPIRAN FOTO
Foto.1: Peneliti saat wawancara dengan H.Abdullah (Tokoh Masyarakat Golongan Sunni)
Foto.2: Peneliti saat wawancara dengan Bapak Mukhlis (Tokoh Masyarakat Golongan Syiah)
Foto.3: Peneliti saat wawancara dengan Bapak Ahmad Rowi
(Tokoh Masyarakat Golongan Syiah)
Foto.4 : Peneliti saat wawancara dengan Bapak Abdur Rohim (Masyarakat golongan Sunni)
Foto.4: Masyarakat Jambesari sedang bekerja di sawah.
Foto.5: Perangkat desa doa bersama pada acara Anjangsana
Recommended