View
227
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
MODERNISASI PIKIRAN DAN TINDAKAN PEREMPUAN DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA
PENDEKATAN KRITIK SASTRA FEMINIS
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Maria Viustana
NIM: 034114004
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
SEPTEMBER 2009
ii
iii
iv
MOTTO
Dari lima besar, masing-masing memiliki pengikut.
Semua mengaku miliknya-lah yang benar.
Semua menyalahkan yang lain.
Semua saling berlomba memaksakan miliknya pada yang lain.
Semua bahkan menuhankan-“nya”.
Namun, beberapa mulai terbuka pikirannya.
Beberapa memilih untuk “putih”.
Begitupun aku.
Bagiku, memiliki-“nya” atau tidak, bukanlah soal.
Bagiku, berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik untukku dan orang
lain, itulah yang terpenting.
--Viustana--
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan dengan rendah hati, kepada:
Kedua orangtuaku, Bapak Arief Budiyanto dan Ibu Maryuni tersayang,
yang telah membesarkan dan mendidikku hingga dewasa kini, serta
memberikan pengorbanan dalam banyak hal untuk hidupku.
Adikku tersayang.
Seluruh teman dan sahabat yang telah memberikan semangat maupun
beberapa pengetahuan yang belum ku ketahui.
Seorang laki-laki spesial yang bersedia menjadi kekasih sekaligus teman
dalam berbagi suka dan duka, ketika proses pembuatan skripsi.
Daddy-ku yang telah menjadi inspirasi dalam hidupku.
Semua anak, terutama anak-anak cacat mental yang berada di Panti
Asuhan Sayap Ibu, secara tidak langsung kalian telah memberikan warna
tersendiri dalam hidupku.
Semua orang yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut
memberikan semangat.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur, penulis persembahkan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Atas kemuliaannya, skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Skripsi ini disusun dalam rangka melengkapi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana sastra di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari berbagai pihak
yang telah menyumbangkan pikiran, tenaga, waktu, dan bimbingan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Ir. P. Wiryono P., SJ., selaku rektor Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
2. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
3. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M. Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum., selaku dosen pembimbing II yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dengan
teliti, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis kuliah.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa, penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
sehingga masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
para pembaca yang tentunya bersifat membangun, sangat penulis harapkan.
Yogyakarta, 2009
Penulis
Maria Viustana
viii
ABSTRAK
Viustana, Maria. 2009. Modernisasi Perempuan dalam Novel Maria dan Mariam, Karya Farahdiba, Pendekatan Kritik Sastra Feminis. Skripsi Strata I (S-I). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi berjudul Modernisasi Perempuan dalam Novel Maria dan Mariam, Karya Farahdiba, Pendekatan Kritik Sastra Feminis ini memiliki tujuan, yang pertama adalah menganalisis dan mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam. Tujuan yang kedua adalah menganalisis dan mendeskripsikan modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam.
Dalam melakukan analisis terhadap novel Maria dan Mariam, karya Farahdiba tersebut, penulis menggunakan pendekatan kritik sastra feminis. Dalam menjawab tujuan penelitian tersebut, penulis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh adalah tokoh dan penokohan, yaitu tokoh utama serta penokohannya dan tokoh tambahan serta penokohannya.
Hasil penelitian yang kedua adalah modernisasi perempuan. Modernisasi
perempuan tersebut berupa modernisasi dalam berpikir dan bertindak. Modernisasi dalam berpikir, meliputi: memiliki kebebasan berpikir dan memiliki keberanian berpendapat. Sedangkan modernisasi dalam bertindak, meliputi: mandiri dalam menjalankan kehidupan dan memiliki kebebasan dalam berpenampilan.
ix
ABSTRACT
Viustana, Maria. 2009. Women Modernization in Farahdiba’s Novel, Maria dan Mariam, Feminist Approach. Undergraduate Thesis (S-I). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
The thesis entitled Modernisasi Perempuan in Farahdiba’s Novel, Maria dan Mariam, Feminist Approach has some objectives. The first is analyze and describe the character and characterization in the novel Maria dan Mariam. The second is analyze and describe women modernization in the novel Maria dan Mariam.
The writer analyzed the novel using feminist approach. To answer the objectives of research, the writer applied qualitative method.
From the objectives above, the writer can draw the answers of the research. The first are character and characterization in the novel Maria dan Mariam. modernization in the novel Maria dan Mariam. The character and characterization has two study; they are main character with characterization and flat character with characterization.
The second answer of research is women modernization in the novel Maria dan Mariam. The women modernization has some subjects. The subjects are, modernization in thinking and action. Subjects of modernization in thinking contain, the freedom to think and the courage to give thought. Whereas for subjects of modernization in action are, to be independence in life and be free to express herself in appearance.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI…………………………………… iii
MOTTO……………………………………………………………………… iv
PERSEMBAHAN…………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR………………………………………………………. vi
ABSTRAK………………………………………………………………….. viii
ABSTRACT……………………………………………………………….…. ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………... x
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………. 10
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………….. 10
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………… 11
1.5 Tinjauan Pustaka……………………………………………….. 11
1.6 Landasan Teori…………………………………………………. 13
1.6.1 Kritik Sastra Feminis……………………………………… 13
1.6.2 Tokoh dan Penokohan…………………………………….. 19
1.6.2 Modernisasi……………………………………………….. 20
xi
1.6.3 Modernisasi Perempuan………………………………….. 23
1.7 Metode Penelitian………………………………………………. 25
1.8 Sistematika Penyajian…………………………………………… 27
BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN……………………………………. 28
2.1 Pengantar……………………………………………………….. 28
2.2 Sinopsis………………………………………………………… 28
2.3 Analisis Tokoh dan Penokohan………………………………… 30
2.3.1 Tokoh Utama dan Penokohannya…………..……… 31
2.3.2 Tokoh Tambahan dan Penokohannya..……………. 35
2.4 Rangkuman……………………………………………………... 37
BAB III MODERNISASI PEREMPUAN………………………………….. 38
3.1 Pengantar……………………………………………………….. 38
3.2 Analisis Modernisasi Perempuan………………………………. 48
3.2.1 Modernisasi dalam Berpikir………………………… 53
3.2.2 Modernisasi dalam Bertindak………………………. 55
3.3 Rangkuman……………………………………………………… 59
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 61
4.1 Kesimpulan……………………………………………..………. 61
4.2 Saran……………………………………………………………. 63
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 65
xii
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual, yang diungkapkan dengan
kata-kata plastis yang memiliki daya magis, dikemas melalui bentuk-bentuk cerita
rekaan atau seni rekaan, sehingga sastra merupakan lukisan-lukisan kehidupan,
yang berupa cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari. Hal itu membuat
penikmatnya percaya bahwa sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita apa
saja yang memberikan kepada manusia, sebuah pengalaman spiritual untuk
merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Bertujuan
mengantarkan manusia ke kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih
membahagiakan manusia bersama-sama. Sastra adalah imajinasi yang hanya
tertangkap oleh mata hati yang peka (Wijaya, http://www. bhs-sastra.web.id).
Pengalaman spiritual merupakan pengalaman kehidupan yang terjadi pada
diri seseorang. Pengalaman hidup itu, ia serap dalam jiwanya, sehingga
merangsang pikirannya untuk berimajinasi. Pengalaman dan imajinasi itu ia
gabungkan, ia olah menjadi bentuk karya sastra dengan media bahasa. Dalam
membuat karya sastra yang baik, seseorang haruslah memiliki banyak sekali
pengetahuan. Hal itu karena karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan
nyata, yang harus dapat dipertanggungjawabkan (Wijaya, http://www. bhs-
sastra.web.id).
Karya sastra bukan hanya sebatas cerita, melainkan cerita yang berisi
pemikiran-pemikiran dan pesan dari pengarangnya. Bentuk karya sastra tersebut
2
kemudian ia tujukan kepada pembaca untuk dibaca, dinikmati, dan kemudian
ditanggapi. Pembaca biasanya akan mulai menginterpretasikan apa dan bagaimana
karya sastra yang telah ia baca. Berbagai macam hasil interpretasi itu akan
berbeda, tergantung bagaimana daya penafsiran dari para pembaca (Wijaya,
http://www. bhs-sastra.web.id).
Pengarang menciptakan suatu cerminan kenyataan tentang kehidupan
manusia. Dalam menciptakan karya itu, para tokoh tidak selalu digambarkan
sebagai manusia. Terkadang dapat digambarkan sebagai mahkluk hidup bukan
manusia dan benda mati, tetapi mencerminkan sifat dan perilaku manusia. Hal itu
dimaksudkan oleh si pengarang karya sastra sebagai penggambaran dari karakter
manusia yang berbeda-beda. Meskipun tidak digambarkan sebagai manusia,
tokoh-tokoh dalam karya sastra tetaplah merupakan cerminan dari kehidupan
nyata. Terutama dalam penciptaan tokoh, selalu disesuaikan dengan kenyataan,
yaitu dengan adanya pembedaan jenis kelamin para tokoh. Pembedaan jenis
kelamin tersebut dijelaskan lagi dengan pembedaan karakter para tokoh (Wijaya,
http://www. bhs-sastra.web.id).
Kebanyakan pengarang baik laki-laki maupun perempuan, membedakan
tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan melalui karakter. Biasanya tokoh laki-
laki digambarkan sebagai mahkluk yang kuat dengan segala sifat dan tindakannya
dalam lingkungan masyarakat, sedangkan tokoh perempuan digambarkan sebagai
mahkluk yang lemah sifat dan tindakannya dalam lingkungannya. Dapat
dikatakan pengarang-pengarang tersebut menjadikan tokoh laki-laki sebagai
3
subjek yang menindas perempuan dan tokoh perempuan sebagai objek yang
ditindas oleh laki-laki (Nenden, http//:www.pikiranrakyat.com).
Dalam novel Maria dan Mariam, tokoh laki-laki yang diceritakan menjadi
subjek yang menindas perempuan hanya sebagian kecil dan bukan tokoh utama.
Sebagian tokoh laki-laki digambarkan sebagai laki-laki yang berpikiran modern,
yang tidak lagi menindas perempuan. Namun beberapa tokoh laki-laki masih
digambarkan sebagai laki-laki yang menindas perempuan. Hal itu dimaksudkan
pengarang untuk mengkritik budaya patriarkal yang ada dalam sebuah pesantren.
Di sini penulis mencoba menganalisis karya sastra tersebut. Penulis
melakukan analisis menggunakan kritik sastra, yang lebih disempitkan lagi pada
pendekatan kritik sastra feminis. Penulis melakukan kritik sastra feminis terhadap
kondisi perempuan yang terhimpit oleh budaya yang sedikit-banyak dipengaruhi
oleh suatu agama, terutama di Indonesia, dalam novel Maria dan Mariam, karya
Farahdiba. Penulis mencoba mengkritisi budaya patriarkal yang masih
diberlakukan dalam sebuah pesantren. Budaya patriarkal tersebut berasal dari
tafsiran yang kurang tepat terhadap ayat-ayat dalam kitab suci umat Islam.
Apabila kita sedikit melihat ke “belakang”, akan dapat diketahui mengapa
sampai saat ini patriarki masih dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat.
Salah satu penyebabnya, tak lain adalah hal mendasar yang paling dijunjung
tinggi (terutama di Indonesia) sampai saat ini, yaitu agama. Terdapat sebuah
diagram dalam majalah Prancis (Lemaire, 2003-2004: 45), tentang tiga agama
besar yang berakar pada monoteisme Musa, dan yang paling awal adalah agama
Yahudi. Hal itu kemudian diikuti oleh dua cabang lagi, yaitu Islam dan Kristen.
4
Agama langit pertama yang melakukan pelarangan terhadap pengetahuan
adalah agama Yahudi. Disebutkan bahwa Hawa adalah seorang perempuan yang
memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan, sehingga ia menjadi terhinakan
dan dihukum, tetapi implikasinya tidak terbatas pada Hawa saja, melainkan
seluruh anak cucunya yang berkelamin perempuan juga menanggung dampaknya
(S’adawi dan Izzat, 2000:5).
Pada intinya, ketiga agama besar tersebut, membuat masyarakat
pengikutnya menyalah-artikan tentang perempuan yang diciptakan setelah laki-
laki. Seperti yang telah kita ketahui, Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal
ini membuat masyarakat beranggapan bahwa Hawa (sebagai perempuan) adalah
mahkluk nomor dua yang diciptakan sebagai pelengkap bagi Adam (laki-laki),
(S’adawi dan Izzat, 2000:5).
Demikian pula patriarki yang terjadi dalam novel Maria dan Mariam.
Penulis melihat patriarki yang terjadi dalam novel tersebut sebagai hasil dari
kesewenang-wenangan penafsiran ayat-ayat dalam Kitab Suci Al-Quran. Hal
tersebut menciptakan anggapan bahwa laki-laki adalah mahkluk yang lebih tinggi
dari perempuan.
Hal tersebut di atas, diperkuat dengan pernyataan Hassan dalam situs
internet (http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803) yang
membeberkan beberapa ayat Al-Quran, yang menurutnya telah membuat
perempuan ditempatkan pada posisi yang lemah dan tertindas. Menurutnya,
masyarakat Muslim telah telanjur berkembang sebagai masyarakat lelaki
(patriarkal). Artinya Quran, Sunnah, Hadis, dan Fiqih, dengan
5
seenaknya ditafsirkan oleh kaum laki-laki untuk menentukan nasib
perempuan Muslim. Itulah sebabnya segala kungkungan fisik dan rohani
yang menimpa perempuan Muslim diterima dengan pasrah. Baru akhir-
akhir ini, dengan makin banyaknya Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU)
yang bersifat anti-perempuan berkedok Islamisasi di beberapa negeri, perempuan
Muslim makin sadar bahwa agama telah digunakan untuk menindas.
Pakistan disebutnya sebagai salah satu contoh di mana berbagai UU
dikeluarkan untuk mencegah emansipasi perempuan. Ada UU Hadud (menolak
kesaksian perempuan dalam perkara Hadd, termasuk perkosaan) pada 1979, ada
juga UU Qisas dan Diyat (uang darah) pada 1984. Juga bukan rahasia bahwa
tingkat buta huruf perempuan Muslim termasuk paling tinggi di dunia
(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803).
Menurut Hassan, masalah perempuan bagi Muslim menjadi penting justru
karena umat Islam menerima modernisasi, tetapi menolak modernitas
(westernisasi). Berabad-abad masyarakat Muslim dibuat percaya bahwa harus ada
batas pemisah antara wilayah keluarga yang khusus untuk perempuan, dan
wilayah umum untuk lelaki. Karena jika tampak melanggar batas itu, emansipasi
perempuan dianggap bagian dari westernisasi, lalu ditolak
(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803).
Ia mengungkapkan, tidak jarang hambatan terhadap emansipasi
perempuan, dibela dengan menafsirkan ayat-ayat Al Quran secara keliru. Yang
paling sering ditafsirkan adalah surah yang mengatakan bahwa lelaki ialah
pemimpin (kowamun) perempuan (4:34); bahwa warisan lelaki dua
6
kali sebanyak warisan perempuan (4:11); bahwa kesaksian lelaki sama
dengan kesaksian dua perempuan (2:282). Pendeknya, masyarakat Islam,
sebagaimana juga Yahudi dan Kristen, dibuat percaya tiga hal pokok
mengenai kedudukan perempuan: (1) ciptaan Allah yang utama adalah
lelaki, sedang perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki; (2)
perempuan adalah alat utama kejatuhan manusia dalam dosa di Taman
Firdaus; (3) perempuan diciptakan tidak hanya dari lelaki, tapi untuk
lelaki, sehingga hidup seorang perempuan hanya bersifat instrumental,
bukan fundamental
(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803).
Temuan ayat-ayat di atas memperlihatkan penyebab inti, mengapa
perempuan sampai sekarang masih sering mengalami penindasan baik secara fisik
maupun psikis. Sampai sekarang sebagian besar masyarakat masih menganggap
perempuan sebagai keturunan Hawa. Perempuan dianggap sebagai kaum nomor
dua, yang dalam hidupnya akan diberikan fasilitas kehidupan nomor dua pula.
Ayat-ayat yang diungkapkan oleh Riffat Hasan tersebut, juga memperlihatkan
bagaimana patriarki masih dijunjung tinggi dalam sebagian besar masyarakat
Islam.
Penulis menganalisis novel Maria dan Mariam ini menggunakan kritik
sastra. Dalam melakukan kritik sastra, seorang kritikus sastra membaca setiap
karya yang biasa didapatkan, entah siapa penulisnya. Setelah membaca, akan
muncul perasaan senang, terkesan, ataupun bosan. Kemudian akan dituliskan
dalam bentuk sebuah karangan untuk menerangkan, mengapa buku yang
7
dibacanya membosankan atau mengesankan. Untuk menerangkan hal itu,
dibutuhkan perenungan dan penimbangan dengan pikiran dan perasaan. Dalam
merenung dan menimbang, tidak hanya terhadap apa saja yang terkandung dalam
buku yang dibaca, tetapi juga terhadap pikiran, perasaan, selera hati, dan
pengalamannya sendiri. Dengan demikian dalam melakukan kritik sastra, tidak
hanya kritis terhadap karya sastra tetapi juga pada diri sendiri. Sikap kritis
tersebut diperoleh karena kritikus sastra itu bukan lagi seorang anak yang serba
murni dan polos jiwanya, melainkan seorang dewasa yang sudah berulangkali
membaca, hingga dapat dikatakan bahwa semakin banyak membaca, semakin
besar pula dorongan untuk bersikap kritis (Hardjana, 1982: 19).
Tanggapan kritis atas karya sastra itu didasarkan pada pengalaman-
pengalaman hidupnya. Seperti yang penulis lakukan dalam melakukan kritik
sastra feminis terhadap novel Maria dan Mariam ini, berdasarkan pengalaman
hidup penulis. Penulis melihat banyak sekali terjadi ketidakadilan dalam
masyarakat kita. Segala perbedaan kelas, ras, dan agama, telah menciptakan suatu
ketidakadilan yang membuat kelompok masyarakat yang dianggap minoritas
menjadi tersingkirkan, sedangkan kelompok masyarakat yang dianggap mayoritas,
menjadi semakin jauh berada di atas kaum minoritas. Oleh karena itu, kaum
mayoritas masih sering melakukan penindasan terhadap kaum minoritas. Hal ini
terjadi juga pada adanya perbedaan jenis kelamin di Indonesia (terutama), yang
sebagian besar masyarakatnya masih menganggap jenis laki-laki adalah jenis yang
“unggul”, sedangkan jenis perempuan adalah jenis yang “tidak unggul”, sehingga
hal itu sangat mempengaruhi bagaimana perlakuan masyarakat terhadap
8
perempuan. Perempuan masih sering diperlakukan sebagaimana perlakuan kaum
mayoritas terhadap kaum minoritas, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan
penindasan terhadap perempuan. Penindasan tersebut tidak hanya terjadi terhadap
fisik, melainkan juga penindasan terhadap jiwa dan pikiran (psikis) perempuan.
Segala jenis penindasan terhadap psikis perempuan seperti, memberikan ruang
gerak yang sempit pada perempuan, melarang perempuan untuk pergi jauh dari
lingkungan rumah, melarang perempuan untuk melakukan aktivitas yang
dianggap tidak sesuai kodratnya (seperti: bekerja mencari uang), menolak
perempuan menjadi seorang pemimpin, dan lain sebagainya, merupakan hal yang
memacu masyarakat untuk menganggap perempuan sebagai mahkluk yang lemah
(Nenden, http//:www.pikiranrakyat.com).
Hal ini terjadi pada perempuan dalam novel Maria dan Mariam, mereka
dianggap sebagai mahkluk pelengkap untuk memberikan pelayanan kepada laki-
laki. Laki-laki mengatas-namakan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah nabi untuk
“mengunci” pikiran perempuan dan membatasi ruang gerak perempuan. Dari
pemisahan bilik antara laki-laki dan perempuan, mengharuskan para istri bersikap
manis dalam melayani laki-laki sebagai suami, sampai memaksakan kehendak
untuk menjadikan perempuan muda dan cantik sebagai istri baru mereka.
Dalam novel Maria dan Mariam, karya Farahdiba ini, kedudukan
perempuan merupakan kedudukan yang berada pada nomor dua setelah laki-laki.
Hal itu berarti perempuan masih dianggap lemah. Perempuan selalu dianggap
mahkluk yang lemah dalam banyak hal, dan juga tidak diperbolehkan
mengungkapkan pendapat karena dianggap hanya laki-laki yang memiliki hak
9
mengungkapkan pendapat. Rupanya anggapan seperti itu dengan sendirinya telah
terpatri dalam pikiran perempuan, sehingga mereka hanya dapat mengikuti
pemikiran serta budaya tersebut, yang terlanjur ada. Meskipun sesungguhnya
sebagai manusia yang mampu berpikir, mereka memiliki pemikiran tersendiri
untuk kehidupan pribadi dan lingkungan sekeliling mereka, namun selalu merasa
takut untuk mengungkapkannya. Akhirnya, keputusan yang diambil adalah
mengikuti segala pemikiran para laki-laki (terutama suami, yang menganggap dan
dianggap sebagai pemimpin suatu keluarga). Ketakutan seperti itu semakin
menguatkan anggapan bahwa laki-laki mahkluk nomor satu, yang memiliki hak
mutlak terhadap segala aspek kehidupan dan perempuan. Hal tersebut dapat
dilihat dalam kutipan berikut.
(1)Ia memang seorang Nyai dengan pikiran yang cukup terbuka. Baginya seorang anak tidak harus lahir dari rahimnya sendiri, yang penting terlahir dari hatinya sendiri, dari cintanya…Nyai Fatimah selalu bersikap nrimo dan tidak pernah protes, meski Mariam tahu sebetulnya, ibu Nyainya punya ide-ide progresif (hlm. 7).
Pernyataan Nenden (http:www.pikiranrakyat.com) berikut, memperjelas
tentang pembedaan posisi antara laki-laki dan perempuan.
Di dalam dunia fiksi, tema-tema seputar rumah tangga dan persoalan-persoalan yang mengiringinya (cinta, perselingkuhan, dan sejenisnya) cenderung diidentikkan dengan perempuan (baik penulis, maupun pembacanya). Selama ini, karya-karya yang mengusung tema-tema seputar rumah tangga (atau diistilahkan para kritikus dengan dunia dalam rumah), atau dunia yang dianggap sebagai dunia perempuan, cenderung dipandang sebagai karya inferior, sempit, dan kurang estetis sehingga kurang diperhitungkan keberadaannya. Hal ini pernah mendapat protes tajam dari kaum feminis sebab penilaian seperti itu lebih dipengaruhi oleh pandangan
10
masyarakat yang selalu menganggap dunia laki-laki lebih tinggi dari pada dunia perempuan. Di masyarakat misalnya kerap terjadi penyepelean terhadap profesi ibu rumah tangga (sektor domestik). Penghargaan terhadap profesi ibu rumah tangga cenderung kurang dibandingkan dengan penghargaan terhadap profesi laki-laki sebagai agen produktif di luar rumah. Cara pandang demikian tentu merupakan cara pandang yang tidak adil. Persoalan-persoalan di sektor domestik yang kerap dipandang sebagai dunia perempuan sesungguhnya tidaklah sesederhana dan semudah yang kerap dituduhkan.
Adanya pembedaan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat, sedikit-banyak dipengaruhi oleh keadaan biologis yang berbeda antar
keduanya. Keadaan biologis perempuan yang digambarkan lebih lembut daripada
laki-laki, menciptakan suatu pemikiran bahwa perempuan itu lemah.
Hal di atas diperkuat dengan pernyataan Purwati dalam situs internet
(http:// www.ceritaremaja.com) berikut ini.
Perempuan diakui keberadaannya sebagai makhluk hidup, tetapi lingkup kehidupannya dipercayai telah dibatasi oleh kewajiban biologis. Kewajiban biologis itu bergantung pada konstruksi tubuhnya yang menentukan secara alamiah apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Misalnya saja, keberadaan rahim dalam tubuh perempuan sudah menjadikan fungsi mengandung dan melahirkan anak sebagai kewajiban mutlak perempuan yang tidak bisa diganggu-gugat. Oleh karena itulah, perempuan yang mempertanyakan akan pentingnya kewajiban tersebut sebagaimana layaknya manusia yang mampu berpikir, mereka dianggap melawan kehendak alam. Berangkat dari hal-hal seperti itu, masyarakat telah menghidupkan sebuah tataran aturan yang meletakkan perempuan pada nomor dua setelah laki-laki.
Dalam novel ini, pengarang memperlihatkan bagaimana kedudukan
perempuan pada suatu lingkungan yang sangat diatur oleh budaya yang
terpengaruh olah suatu agama, tepatnya budaya dari tempat asal agama tersebut,
yang diterima secara “mentah-mentah” oleh para pengikutnya. Penulis
11
memandang bahwa, perempuan dalam novel ini terbagi dalam dua karakter yang
berlawanan. Karakter pertama adalah perempuan yang lemah karena berada pada
kondisi yang memaksanya untuk tidak dapat berbuat sesuai kehendaknya.
Karakter kedua adalah perempuan kuat, yang dapat dengan leluasa berbuat sesuai
dengan apa yang dia inginkan, tanpa takut ditentang oleh lingkungan sekitarnya.
Kedua karakter tersebut ada pada beberapa tokoh perempuan dalam novel ini,
termasuk tokoh pendukung.
Mariam (Siti Mariam, sebagai tokoh utama protagonis) termasuk dalam
karakter pertama. Sejak kecil ia dididik dalam lingkungan pesantren, sampai ia
dewasa. Pemikiran serta cara bersikapnya telah terbentuk oleh budaya dan aturan
dalam Pesantren Al-Azis. Ia telah terbentuk menjadi perempuan yang lemah, yang
memiliki pemikiran kaku dan tertutup. Budaya kaku dalam pesantren itu,
membuatnya tidak tahu banyak hal di luar pesantren, sedangkan Maria (salah satu
tokoh utama protagonis yang lain) termasuk dalam karakter kedua. Ia merupakan
tokoh yang sebenarnya disukai oleh Mariam, karena ia perempuan aktif dan
dinamis. Ia memiliki pikiran yang tidak kaku terhadap perubahan, ia juga
memiliki pikiran yang terbuka, dan ia memiliki keberanian untuk mengungkapkan
pikirannya serta menentukan tujuan hidupnya. Perbedaan antara Maria dan
Mariam, terlihat dalam kutipan berikut.
(2)“Maaf ya De’. Adik ini seperti seorang aktivis yang suka berdemo dan berteriak-teriak di jalanan, atau mungkin seorang pendaki gunung. Nah, mereka yang dating ke pesantren ini, biasanya sudah menyesuaikan diri, Sudah menggunakan busana muslim, ya pakai kerudung dan…” “Oo, maksud Mbak, pakai jilbab?” potong Maria. “T’rus pakai gamis atau baju terusan yang menutupi lekukan tubuhnya…”
12
“Gila nih anak,” pikir Mariam. “Tapi mana yang lebih penting Mbak, menutupi badan atau menutupi hati dari hal-hal yang jahat?” Mariam tersenyum kecut, ia sebetulnya mengetahui hal itu. Namun, di lingkungan ini, ia tak selalu bisa mengekspresikan jalan pikirannya (hlm. 11-12). Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan antara Mariam yang
lemah akan pemikirannya dengan Maria yang terbuka dan tegas sebagai seorang
perempuan. Hal tersebut sepertinya ingin diungkapkan oleh si pengarang novel
(Farahdiba), dengan maksud memodernisasi kaum perempuan. Perempuan
seharusnya memiliki pola pikir yang modern dan terbuka. Perempuan bukanlah
kaum nomor dua yang lemah, yang dapat dengan mudah menerima budaya yang
meletakkannya pada posisi tak berdaya.
Novel Maria dan Mariam, karya Farahdiba ini termasuk sebagai karya
dari seorang perempuan yang berani mengungkapkan keadaan perempuan yang
tertindas lebih secara psikis oleh budaya yang terpengaruh oleh suatu agama yang
berasal dari luar Indonesia yang tanpa direnungi dan diolah terlebih dahulu, telah
diterima secara “buta”. Budaya seperti, mewajibkan perempuan Muslim
mengenakan pakian tertutup, tidak memperbolehkan perempuan mengeluarkan
pendapat terhadap suatu masalah, serta tidak memperbolehkan perempuan
memiliki sikap seperti laki-laki, memperlihatkan tentang keterpojokkan posisi
perempuan dikarenakan memiliki keadaan biologis yang berbeda dengan laki-laki.
Permasalahan lain yang muncul dalam novel tersebut adalah kurangnya
suatu pemikiran yang matang dari seorang perempuan yang ingin memperbarui
pola pikirnya. Lebih banyak, pikiran itu masih labil, dan pembaruan yang
13
dilakukan lebih karena emosi atau pemberontakan terhadap aturan-aturan yang
selama ini mengungkungnya. Hal ini terjadi pada diri Mariam, yang tadinya
adalah seorang santri alim dan shaleh, mengubah cara berpakaiannya yang tadinya
mengenakan jilbab, menjadi lebih berani. Bahkan ia berani menunjukkan
kemesraan bersama kekasih barunya yang berkewarganegaraan Amerika di depan
umum, yang dalam masa lalunya kemungkinan besar akan dilarang dan ditentang.
Hal tersebut tidak lebih dari gejolak emosi Mariam yang tidak kuat menerima
kemunafikan dan tekanan peraturan dari budaya masa lalunya. Kutipan di bawah
ini menunjukkan perubahan diri Mariam.
(3)…Dandanannya gorjes – plesetan dari gorgeus. Celana jeans dipadukan dengan kaos Mango warna pink yang mempertontonkan perutnya yang ramping. Orang yang sadar fashion, pikir Maria. “Honey, if you’re still looking for CDs and if you don’t mind, I would like to talk with Maria for a few minutes…Perhaps at Fish and Co Restaurant. Is it okay with you?” Tanya Mariam, meminta izin Andrew. “Sure, darling. I’m okay,” jawab Andrew dengan riang. “Okay. I’ll see you in a minute, timpal Mariam lalu mencium bibir Andrew dengan mesra. Maria melongo untuk kesekian kalinya (hlm. 265-266).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini,
sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam?
1.2.2 Bagaimana modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam?
14
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumuan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini, yaitu:
1.3.1 Menganalisis dan mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel
Maria dan Mariam.
1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan modernisasi perempuan dalam novel
Maria dan Mariam.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam bidang sastra, penelitian ini merupakan apresiasi penulis terhadap
karya sastra. Manfaat teoritisnya adalah untuk menambah sumbangan penelitian
tentang kritik sastra feminis sebagai penelitian yang mungkin jarang dilakukan
oleh mahasiswa Sastra Indonesia. Berkaitan dengan studi perempuan, penelitian
ini dapat memberikan inspirasi kepada pembaca skripsi, dalam melakukan kritik
terhadap karya-karya sastra yang ditulis oleh perempuan atau yang menceritakan
tentang perempuan. Manfaat praktisnya adalah memberikan inspirasi serta
motivasi kepada kaum perempuan yang mengalami tekanan-tekanan dari
lingkungannya, untuk berani mengutarakan pikirannya serta melakukan
pembaruan terhadap hidupnya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Menurut sepengetahuan penulis, skripsi atau tulisan dalam bentuk apapun
mengenai modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam belum pernah
dianalisis sebelumnya. Namun Kritik Sastra Feminis (selanjutnya disingkat KSF),
15
telah dilakukan sebelumnya. Rahayu (2006), dalam skripsinya yang berjudul
Relasi Gender dalam Novel Supernova Edisi Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh,
melakukan analisis menggunakan pendekatan KSF. Ia menjelaskan bahwa relasi
gender dalam novel yang dianalisisnya dapat berupa relasi homoseksual antara
laki-laki dengan laki-laki, pernikahan antara perempuan dengan laki-laki,
perselingkuhan antara perempuan dengan laki-laki lain, persahabatan antara laki-
laki dan perempuan, dan relasi komersil antara pelacur dengan pelanggannya. Hal
tersebut dijelaskannya sebagai kesejajaran antara laki-laki dengan perempuan.
Namun, menurutnya, laki-laki tetap lebih memiliki peran daripada perempuan.
Yaitu, relasi yang terjalin tak lebih dari laki-laki sebagai penguasa dan perempuan
sebagai yang dikuasai. Hal itu disebabkan oleh budaya patriarkhi yang terlanjur
tertanam dalam masyarakat.
Di sini, Rahayu (2006) melakukan perbandingan terhadap dua tokoh
perempuan, Diva dan Rana. Diva, seorang perempuan yang bekerja sebagai
model, pragawati, sekaligus pelacur, merupakan sosok perempuan mandiri,
modern, dan perempuan yang mampu melepaskan predikat bahwa perempuan
adalah kaum nomor dua. Rana adalah sosok perempuan yang terkungkung oleh
budaya Jawa, dimana seorang perempuan hanyalah kaum lemah yang dianggap
tidak dapat berdiri sendiri tanpa seorang laki-laki di sisinya. Rahayu (2006)
memandang bahwa apapun profesi yang dikerjakan oleh perempuan dalam novel
ini, adalah profesi yang membuat perempuan hanya menjadi objek bagi laki-laki
(seperti: pelacur, model, pragawati, dan sekretaris). Tentu hal ini menunjukkan
bahwa posisi perempuan dengan laki-laki belumlah setara.
16
Nenden dalam tulisannya pada sebuah situs internet (http://www.pikiran
rakyat.com. Dunia Perempuan Dalam Cerpen Tetet Cahyati), melakukan analisis
menggunakan KSF terhadap kumpulan cerpen karya Tetet Cahyati (ada tiga judul:
Lelaki Berdasi Merah, Pertemuan di Pantai Jimbaran, dan Katakan Aku Cantik).
Dalam ketiga cerpen tersebut, perempuan selalu bergantung pada laki-laki.
Terlihat dalam Pertemuan di Pantai Jimbaran, seorang istri yang sudah dikhianati
suaminya dengan berselingkuh, masih meminta izin untuk pergi ke suatu tempat.
Perempuan hanya dibutuhkan untuk mengurus rumah. Dalam Laki-Laki Berdasi
Merah pun terlihat perbedaan peran antara pempuan dengan laki-laki. Hal ini
terlihat jelas ketika dua keranjang belanjaan seorang laki-laki dan perempuan
yang tertukar. Tentu isi keranjang tersebut sangat berbeda. Keranjang si laki-laki
berisi semua kebutuhan nya, demikian sebaliknya, sehingga belanjaan perempuan
berupa bahan dan bumbu masakan, menyiratkan gambaran peran perempuan.
Menurut Nenden, perbedaan peran dan gender bukan sesuatu yang kodrati,
melainkan suatu konstruksi sosial yang dapat diubah. Nenden juga menemukan
representasi masyarakat tentang mitos kecantikan terhadap perempuan, dalam
Lelaki Berdasi Merah dan Katakan Aku Cantik. Mitos ini menganggap bahwa
perempuan hanya dinilai dari kecantikan fisiknya. Hal ini membuat perempuan
beranggapan bahwa ia harus selalu cantik dengan memburu berbagai alat
kecantikan supaya selalu mendapat tempat di hati laki-laki, tak peduli dengan
otak. Semua kondisi perempuan ini, menunjukkan betapa pentingnya perubahan
pemikiran dari seluruh masyarakat mengenai pandangannya terhadap perempuan.
17
Pendekatan kritik sastra feminis penulis gunakan dalam penelitian
terhadap novel Maria dan Mariam untuk mengkritisi budaya patriarkal yang
masih terjadi dalam sebuah pesantren. Penelitian dalam novel Maria dan Mariam
ini, merupakan analisis terhadap tokoh-tokoh perempuan yang modern dan
analisis tentang modernisasi tokoh Mariam. Di sini penulis mendeskripsikan
bagaimana tokoh serta penokohan beberapa tokoh perempuan modern dalam
novel Maria dan Mariam, kemudian mendeskripsikan bagaimana pengaruh tokoh
perempuan modern ini terhadap modernisasi tokoh Mariam. Penulis juga
mendeskripsikan bagaimana tokoh dan penokohan Mariam, serta mendeskripsikan
bagaimana modernisasi yang terjadi pada tokoh Mariam.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Kritik Sastra Feminis (KSF)
Djajanegara (2000: 1-4), menuliskan tentang keberagaman pendapat
mengenai kemunculan KSF, dalam bukunya Kritik Sastra Feminis: Sebuah
Pengantar, sebagai berikut.
Aspek pertama adalah politis. Berkaitan dengan kemerdekaan Amerika Serikat, pada tahun 1776. Pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika, disebutkan bahwa “all men are created equal” (“semua laki-laki diciptakan sama”), tanpa menyebut kata perempuan. Kemudian, para feminis merasa hal itu tidaklah adil. Oleh karena itu, para feminis saat itu, memproklamasikan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang berbunyi: “all men and women are created equal” (“semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama”). Kedua adalah aspek agama. Ketika itu, agama Protestan dan Katolik, memposisikan perempuan pada tempat yang lebih rendah di bawah lelaki. Perempuan hanya dianggap sebagai konco wingking yang harus selalu tunduk pada lelaki, bahkan dianggap sebagai mahkluk kotor dan wakil iblis. Perempuan dianggap tidak memiliki hak
18
berbicara. Bahkan ada hal yang lebih menyakitkan, yaitu bahwa dalam kebiasaan kaum lelaki Yahudi kuno, ketika berdoa, selalu mengucapkan syukur karena tidak diciptakan sebagai perempuan. Ketiga adalah konsep sosialisme dan konsep Marxis. Di Amerika, perempuan dianggap sebagai kaum proletar, sedangkan lelaki adalah kaum borjuis (perempuan kaum tertindas dan lelaki kaum penindas). Ketiga aspek tersebutlah yang mendasari terjadinya gerakan feminisme pertama di Amerika. gerakan feminis tersebut dilakukan, bukan untuk balas menindas kaum laki-laki, melainkan untuk menyetarakan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Hal itu dilakukan supaya tidak ada lagi kaum perempuan yang tertindas. Menurut Djajanegara (2000: 20), KSF merupakan alat baru untuk
mengkaji atau mendekati suatu teks. Dengan KSF, kita mampu menafsirkan
kembali, serta menilai kembali seluruh karya sastra. KSF dilakukan karena para
pengkritik laki-laki tidak mampu menafsirkan dan menilai dengan tepat tulisan-
tulisan perempuan. Pada umumnya, pembaca laki-laki tidak mengenal tulisan-
tulisan perempuan, tidak menguasai tradisi sastranya, dan asing dengan dunia
nyata perempuan. Menurutnya, pengkritik sastra feminis menginginkan hak yang
sama dalam penciptaan karya sastra, serta bebas mengungkapkan makna-makna
baru dan bebas pula menentukan ciri dalam teks yang sesuai dengan dirinya.
Ragam KSF yang penulis gunakan, lebih cenderung pada kritik ideologis.
KSF ini melibatkan perempuan sebagai pembaca. KSF ini merupakan cara
menafsirkan teks dengan membebaskan pikiran pembaca. Hal yang biasa menjadi
pusat perhatian pembaca perempuan adalah citra serta stereotip perempuan dalam
karya sastra (Djajanegara, 2000: 28-29).
Penulis, sebagai pembaca perempuan, ingin menganalisis karya yang juga
ditulis oleh perempuan. Menurut penulis, penulis dapat lebih memahami dunia
perempuan dibandingkan dengan pembaca laki-laki. Penulis melihat tidak adanya
19
kesetaraan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan dalam novel Maria dan
Mariam, sehingga hal itu membuat penulis tergerak untuk bersikap kritis terhadap
suatu budaya merendahkan perempuan, yang telah melekat dalam pikiran
masyarakat.
1.6.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah
karya naratif. Istilah tokoh dalam suatu karya sastra, menjelaskan pada pembaca,
siapa saja tokoh dalam sebuah karya sastra. Istilah lain yang lebih luas
pengertiannya daripada tokoh adalah penokohan. Penokohan mencakup, siapa
tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan serta
pelukisannya dalam cerita, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas
kepada pembaca (Nurgiantoro, 1995:164-170).
Tokoh dan penokohan merupakan satu kesatuan yang saling mendukung
antara yang satu dengan yang lainnya, dalam analisis struktur. Tidak cukup jika
hanya menganalisis tokoh saja dalam karya sastra, karena kita hanya akan
mengetahui siapa tokohnya. Tetapi, akan lebih jelas, ketika penokohan dari para
tokoh dalam karya sastra, ikut dianalisis. Penokohan akan menunjukkan
bagaimana sikap, watak, serta bagaimana para tokoh itu ditempatkan dan
dilukiskan dalam suatu karya sastra (Nurgiantoro, 1995:171).
Fiksi merupakan bentuk karya kreatif. Pengarang menciptakan para tokoh
cerita tak lepas dari daya imajinasi dan kreativitasnya. Dalam menciptakan tokoh-
tokoh cerita itu, pengarang menyesuaikannya dengan pandangannya tentang
20
kehidupan dalam dunia nyata. Namun, dalam dunia fiksi, ia memiliki kebebasan
untuk menampilkan para tokoh sesuai daya kreativitasnya. Meskipun demikian,
dalam penciptaan tokoh, haruslah merupakan tokoh yang hidup secara wajar, yang
masih dapat dipertanggungjawabkan (Nurgiantoro, 1995: 174-176).
Salah satu langkah untuk menganalisis unsur tokoh terhadap karya sastra,
yaitu menganalisis tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan
tokoh yang diutamakan penceritaannya. Jumlahnya dapat lebih dari satu, walau
kadar keutamaannya tidak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh
dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap plot. Tokoh utama
akan selalu berkaitan dengan tokoh-tokoh lain, dan ia sangat mempengaruhi
perkembangan plot. Tokoh utama selalu hadir dalam setiap kejadian, dan dapat
ditemui dalam setiap penceritaan. Namun dalam novel tertentu, tokoh utama tidak
selalu muncul dalam setiap penceritaan. Sedangkan tokoh tambahan,
kemunculannya lebih sedikit dalam keseluruhan cerita. Ia dihadirkan jika hanya
ada keterkaitannya dengan tokoh utama (Nurgiantoro, 1995: 176-177).
Pembedaan antara tokoh utama dengan tokoh tambahan tidak dapat
dilakukan secara pasti. Pembedaan atau penggolongan tokoh utama dan tokoh
tambahan lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat.
Yaitu: tokoh utama yang utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, dan
tambahan yang memang tambahan (Nurgiantoro, 1995: 177-178).
21
1.6.3 Modernisasi
Kata modernisasi secara etimologi berasal dari kata modern. Kata modern
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) adalah baru, terbaru, cara baru
atau mutakhir, sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan
zaman, dapat juga diartikan maju dengan baik. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1990), modernisasi ialah suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas,
sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai tuntutan masa kini.
Kata modernisasi merupakan kata benda dari bahasa latin “modernus”
(modo: baru saja) atau model baru, dalam bahasa Perancis disebut Moderne.
Adapun definisi modernisasi secara terminologi menurut Daniel Lerner yaitu,
istilah baru untuk satu proses panjang, proses perubahan sosial, dimana
masyarakat yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi
masyarakat yang lebih berkembang. Kemoderenan selalu identik dengan
kehidupan keserba-adaan, sedangkan modernisasi itu sendiri merupakan salah satu
ciri umum peradaban maju, yang dalam sosiologi berkonotasi perubahan sosial
masyarakat yang kurang maju atau primitif untuk mencapai tahap yang telah
dialami oleh masyarakat maju atau berperadaban
(http://chilophe.blogspot.com/2008/05/definisi-modernisasi.html).
Modernisasi, sesungguhnya telah terjadi sejak lama. Masyarakat di berbagai
negara, terutama negara Barat yang dianggap mempelopori modernisasi, telah
melakukan modernisasi dalam banyak bidang. Entah karena mereka memiliki otak
yang jenius atau memiliki sikap kritis, atau juga memiliki kepekaan yang tinggi
dalam melihat keterpurukan. Banyak sekali hal-hal baru yang mereka temukan,
22
yang akan menjadi kebutuhan hidup, baik ilmu pengetahuan maupun teknologi
yang akan membantu meringankan tugas masyarakat
(http://chilophe.blogspot.com/2008/05/definisi-modernisasi.html).
Dunia modern di barat, telah dimulai sejak zaman rennaisans yang
merupakan awal dari perkembangan sains dan teknologi, perluasan ekspansi
perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang ‘humanisme’; sebagai
tantangan terhadap kepercayaan keagamaan Abad pertengahan dan sebagai satu
bentuk pendewaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah manusia
(http://chilophe.blogspot.com/2008/05/definisi-modernisasi.html).
Modernisasi dari dunia barat itu, kemudian merambah ke negara-negara
lain, bahkan ke dalam lembaga-lembaga termasuk lembaga agama. Semua agama
pada dasarnya memiliki aturan-aturan yang mereka ambil dari kitab suci mereka.
Padahal aturan-aturan dalam kitab suci adalah aturan yang berlaku pada masa
kitab itu ditulis. Tentunya ada beberapa yang tidak sesuai bila diberlakukan pada
zaman ini. Namun, orang-orang yang menurut penulis memiliki pengetahuan yang
sempit, akan mendewakan aturan-aturan kuno itu. Mereka akan tetap menganggap
aturan tersebut sebagai suatu dogma yang wajib mereka taati, sekaligus menjadi
tameng bagi mereka (laki-laki) untuk menghalalkan perbuatan-perbuatan
penindasan psikis dan fisik pada perempuan. Terkadang ayat-ayat kitab suci
mereka jadikan kambing hitam untuk membenarkan perbuatan mereka
(http://chilophe.blogspot.com/2008/05/definisi-modernisasi.html).
Mereka yang ingin memaksakan aturan kuno itu tetap dipakai, hanyalah
untuk melindungi diri mereka dari hal-hal yang akan merugikan mereka. Namun,
23
bagi orang-orang yang telah memiliki pengetahuan luas, akan dapat menerima
suatu perubahan aturan yang disesuaikan pada kondisi zaman. Mereka akan
berusaha melakukan modernisasi terhadap aturan maupun budaya pada masa
kuno, supaya tidak terjadi ketidakadilan dalam masyarakat
(http://chilophe.blogspot.com/2008/05/definisi-modernisasi.html).
Dalam Islam pun sebenarnya, modernisasi sudah mulai terjadi. Di sini,
modernisasi diartikan sebagai proses menghadirkan hasil budidaya baru. Dalam
proses pembaruan tersebut, terjadi apa yang disebut dengan reflexivity (kesadaran
seseorang untuk bertindak berdasarkan penilaian kritis atas keadaan pada saat itu,
terlepas dari patokan yang telah terbakukan dalam ikatan sosial lama). Hal ini
telah memungkinkan seseorang menghadapi gelombang perubahan dengan daya
tahan yang tinggi, bahkan mendambakan perubahan itu
(http://chilophe.blogspot.com/2008/05/definisi-modernisasi.html).
1.6.4 Modernisasi Perempuan
Modernisasi turut berperan dalam memberikan pandangan mengenai
kesetaraan gender. Peradaban Barat cenderung berpandangan bahwa perempuan
memiliki hak yang setara dengan pria hampir dalam segala bidang.
Pandangan tradisional menyangkut gambaran perempuan semakin langka di
Barat. Adanya jaminan hukum dari negara semakin memperkuat kesejajaran hak
antara perempuan dan pria. Namun, nilai-nilai Barat yang merambah masuk ke
Timur mempengaruhi pandangan mengenai kesetaraan gender. Ada yang
24
menerima begitu saja definisi kesetaraan, namun ada pula yang menolaknya
mentah-mentah atas nama kodrat (S’adawi dan Izzat, 2000:6-7).
Modernisasi perempuan yang terjadi di Barat, dapat dikatakan sebagai
awal kebebasan terhadap diri perempuan. Perempuan yang sebelumnya terkekang
oleh segala aturan yang mengatasnamakan kebenaran, menjadi lebih leluasa untuk
mulai meyetarakan kedudukannya dengan laki-laki kembali. Mengapa dikatakan
menyetarakan kedudukan dengan laki-laki kembali, karena pada zaman Mesir
kuno, kedudukan perempuan justru berada di atas laki-laki. Kedudukan
perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Terlihat pada kedudukan para dewi yang
lebih diutamakan daripada dewa. Pada saat itu dewi yang dianggap kedudukannya
paling tinggi adalah dewi Nut dan anak perempuannya yang bernama dewi Isis,
dilambangkan dengan matahari. Seperti kita ketahui, matahari merupakan pusat
dalam tatanan tata surya. Matahari merupakan sumber cahaya bagi segala benda
di jagad raya ini. Itu berarti perempuan dianggap sebagai mahkluk yang sangat
utama dan penting dalam kehidupan (S’adawi dan Izzat, 2000:6-7).
Dewi Nut bagi masyarakat Mesir dianggap sebagai dewa langit, sedangkan
suaminya Gaeb sebagai dewa bumi. Oleh karena itu istilah ruh dikategorikan
dalam jenis perempuan, dan langit serta seluruh benda langit dikategorikan
dengan jenis perempuan juga. Dewi Isis yang memakai lingkaran matahari di
kepalanya, dianggap sebagai lambing ilmu pengetahuan dan kearifan (S’adawi
dan Izzat, 2000:6-7).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan perempuan modern.
Hal yang paling utama adalah mengubah cara berpikir yang kaku dan tertutup,
25
yang selama ini diterapkan, menjadi cara berpikir yang modern dan terbuka. Ini
dilakukan supaya perempuan dapat mandiri, tidak tergantung pada laki-laki.
Dengan demikian, orang akan melihat bahwa ternyata perempuan dapat
melakukan hal yang selama ini hanya dilakukan lelaki. Jadi, tidak ada lagi
anggapan dalam masyarakat tentang predikat kedua terhadap perempuan.
1.7 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif merupakan metode yang menggunakan cara-cara penafsiran,
yang disajikan dalam bentuk deskripsi (Kutha Ratna, 2004: 46-47).
Sebagai bagian perkembangan ilmu sosial, kualitas penafsiran dalam
metode kualitatif, dibatasi oleh hakikat fakta-fakta sosial. Metode ini memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks
keberadaannya. Metode kualitatif melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang
relevan. Dalam karya sastra, akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial di
mana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya.
Sumber data pada metode ini adalah karya, naskah, data penelitian, sebagai data
formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana (Kutha Ratna, 2004: 46-47).
Penelitian terhadap novel Maria dan Mariam ini, menggunakan
pendekatan KSF. Penulis membaca keseluruhan novel yang akan dianalisis.
Kemudian untuk mendukungnya, penulis melakukan studi pustaka, dengan
mencari dan mengumpulkan data baik dari situs internet maupun dari buku-buku
teori.
26
Penulis menggunakan pendekatan KSF, karena penulis melihat sebagian
tokoh perempuan dalam novel Maria dan Mariam mengalami ketertindasan
psikis, yang membuat pikiran mereka kaku dan tertutup. Dalam novel tersebut,
perempuan yang sesungguhnya memiliki pikiran-pikiran maju dan modern, masih
menganggap dirinya lemah karena telah dididik dalam dunia patriarkal, di mana
laki-laki merupakan seorang pemimpin dan perempuan adalah mahkluk yang
dipimpin. Sehingga mereka lebih banyak diam dan pasrah akan ketergantungan
hidup mereka pada laki-laki.
Tokoh-tokoh perempuan dalam novel Maria dan Mariam, merupakan
perempuan yang tertindas secara psikis. Mereka mendapatkan perlakuan tidak
adil dalam lingkungan pesantren. Dalam lingkungan tersebut, perempuan tidak
mendapat tempat yang sejajar dengan laki-laki, karena mereka dianggap sebagai
mahkluk nomor dua. Dalam pesantren tersebut, laki-laki dapat menikahi
perempuan lebih dari satu, sedangkan perempuan tidak. Hal tersebut terlihat
dalam kutipan percakapan antara Maria dan Mariam di bawah ini.
(4)Mendengar nama Gus Falah, yang tak lain adalah kekasihnya, Mariam tertunduk lesu sambil menghela napas panjang. Setelah beberapa saat, akhirnya ia mengungkapkan, “Kamu tahu siapa Kiai Shiddieq? Dia ayahnya Mas Falah…” “Hahhh? Bukannya Gus Falah itu anaknya Nyai Nafisah?” “Iya, Nyai Nafisah itu istri pertama Kiai Shiddieq. Nyai meminta cerai ketika Kiai akan menikahi santri perempuan, Ibu Nyai Padma.” “Ya ampun, jadi sebenarnya Kiai itu sudah kawin berapa kali Mbak?” “Istrinya tetap empat, kalau mau kawin lagi, salah satu istri harus diceraikan dulu.” (hlm. 14).
27
Meskipun dalam lingkungan patriarkal, tokoh-tokoh perempuan dalam
novel ini memiliki kodrat melayani laki-laki, membahagiakan laki-laki dengan
menjadi istri yang baik dan manis, tunduk terhadap peraturan yang dibuat oleh
laki-laki, dikebiri haknya sebagai manusia, namun bukan berarti mereka ingin
balas menindas laki-laki. Mereka ingin kedudukan antara laki-laki dan perempuan
menjadi setara. Tidak ada kaum penindas dan kaum tertindas. Mereka ingin me-
modernisasi keseluruhan diri mereka, baik fisik maupun cara berpikir. Perempuan
juga ingin menunjukkan bahwa mereka dapat melakukan hal-hal yang selama ini
dibatasi oleh kodrat dari lingkungannya. Mereka ingin menunjukkan bahwa
mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki, karena pada hakikatnya,
mereka itu sama sebagai manusia.
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian yang terdapat dalam skripsi Modernisasi Pikiran
dan Tindakan Perempuan Dalam Novel Maria dan Mariam, Karya Farahdiba,
Pendekatan Kritik Sastra Feminis, sebagai berikut: Pada bab I, yaitu pendahuluan,
berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode menelitian, dan sistematika penyajian. Pada bab II berisi deskripsi analisis
tokoh dan penokohan perempuan dalam novel Maria dan Mariam. Kemudian
pada bab III, berisi: deskripsi analisis modernisasi perempuan dalam novel Maria
dan Mariam. Dan terakhir, pada bab IV, berisi: kesimpulan dan saran.
28
BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN
DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM, KARYA FARAHDIBA
2.1 Pengantar
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah
karya naratif. Istilah tokoh dalam suatu karya sastra, menjelaskan pada pembaca,
siapa saja tokoh dalam sebuah karya sastra. Istilah lain yang lebih luas
pengertiannya daripada tokoh adalah penokohan. Penokohan mencakup, siapa
tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan serta
pelukisannya dalam cerita, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas
kepada pembaca (Nurgiantoro, 1995:164-170).
2.2 Sinopsis Novel Maria dan Mariam, Karya Farahdiba
Sebuah Pondok Pesantren Al-Azis yang berdiri di pinggiran kota
Yogyakarta, menyimpan permasalahan pelik yang dialami oleh para santrinya.
Dalam pondok pesantren itu, tempat antara santri perempuan dan laki-laki
dipisahkan dengan tembok. Ketika mereka menginginkan untuk sekedar menyapa
satu sama lain, mereka harus mengintip dari lubang tembok. Pemisahan itu
dilakukan dengan alasan supaya antara santri laki-laki dan perempuan, tidak
saling menjalin hubungan berpacaran.
Pada tiap tahun, pesantren ini membuka kesempatan bagi orang-orang
untuk mendaftarkan diri menjadi santri. Ketika itu Siti Mariam (salah satu santri
senior), ditunjuk sebagai panitia pendaftaran. Mariam adalah santri yang dikenal
29
Shaleh di pesantren itu, dan ia adalah anak angkat dari pasangan Kiai Faqih dan
Nyai Fatimah.
Pada hari pertama pendaftaran, Mariam kedatangan seorang pendaftar
perempuan. Ia adalah Maria. Namun, Mariam heran mengapa Maria tidak
mengenakan busana Muslim seperti calon santri lainnya, melainkan hanya
memakai kaos dan celana jeans. Mariam juga heran, mengapa nama calon santri
ini Maria Magdalena, tidak seperti nama orang Muslim. Akhirnya Maria
menjelaskan bahwa nama tidaklah mencerminkan agama yang dianut pemiliknya,
dan ia pun diterima sebagai santri di pesantren itu.
Suatu ketika, Mariam dirundung masalah. Ia akan dinikahkan dengan salah
satu kiai besar, Kiai Shiddieq. Kiai Shiddieq adalah ayah dari kekasih Mariam,
Gus Falah, dan Kiai ini telah memiliki empat orang istri. Dalam hati Mariam
menolak hal ini, tetapi ia tidak berani mengungkapkannya. Maria yang telah
menjadi sahabat Mariam selalu menyemangati Mariam supaya mengungkapkan
penolakan itu, tetapi Mariam belum berani melakukannya.
Gus Falah sebagai kekasih Mariam tidak tahu mengenai keinginan
ayahnya untuk menikahi Mariam. Falah yang bilikya terpisah dengan Mariam,
seringkali mengirim surat atau puisi, itulah cara mereka berpacaran. Suatu hari
terjadi kehebohan, tentang surat dan puisi itu. Surat dan puisi itu disita oleh para
pengurus pesantren. Karena nama panggilan Mariam dan Maria sama-sama Mar,
akhirnya dituduhlah Maria sebagai pembuat masalah karena dianggap dialah yang
berpacaran dengan Falah. Oleh karena itu, Maria dikeluarkan dari pesantren.
30
Setelah keluar dari pesantren, ia melakukan tugas mencari data tentang
kesenian di Solo. Di Solo, ia akhirnya menemukan seorang guru spiritual yang
membuat hidupnya menjadi lebih baik. Setelah itu, ia kembali ke Jakarta, dan
sedang menyusun rencana untuk mengadakan pameran kesenian bersama rekan-
rekannya.
Mariam yang telah terpengaruh oelh pemikiran modern Maria, akhirnya
memutuskan untuk melarikan diri dari pesantren, sebelum acara lamaran dimulai.
Ia pergi ke Jakarta, dan mendapat pekerjaan sebagai baby sitter. Di sana ia mulai
mengubah penampilannya, ia tidak mengenakan jilbab lagi. Tidak lama kemudian,
ia bekerja di sebuah café ternama di Jakarta. Selama di Jakarta, ia seringkali
menyempatkan diri terbang ke Jogja untuk bertemu dengan Falah, di hotel
langganan mereka. Setelah itu mereka tidak berhubungan lagi, karena Falah
memilih untuk melepaskan Mariam dan menyendiri di tempat terpencil. Mariam
akhirnya berpacaran dengan Andrew, seorang pria berkewarganegaraan Amerika.
Mariam kini telah menjadi perempuan modern. Ia menjadi perempuan
mandiri dan memiliki pikiran terbuka, setelah keluar dari aturan-aturan yang
dianggapnya penuh kemunafikan.
2.3 Analisis dan Deskripsi Tokoh dan Penokohan dalam Novel Maria dan Mariam
Tokoh dan penokohan ini perlu dianalisis untuk mengetahui siapa saja
tokoh dalam novel Maria dan Mariam, serta mengetahui bagaimana
penokohannya. Berikut ini analisis tokoh dan penokohan tersebut.
31
2.3.1 Tokoh Utama dan Penokohannya
2.3.1.1 Maria (Maria Magdalena)
Ia adalah seorang perempuan Muslim yang tidak mau dinilai ke-
Islamannya hanya melalui penampilan fisik, maka ia tidak mengenakan jilbab
yang biasa dikenakan oleh perempuan Muslim untuk menutupi aurat. Ia justru
mengenakan pakaian yang ia sesuaikan dengan karakternya, yaitu pakaian yang
apa adanya, cenderung modern meskipun tidak mengikuti trend mode, dan lebih
terkesan sporty.
(5)Saat itu di depan sekretariat, tempat pendaftaran pesantren kilat…terlihat seorang gadis manis namun dengan dandanan layaknya seorang aktivis yang baru habis berdemonstrasi di depan Markas Kodam. Bercelana jins lusuh, menggantungkan ransel di bahu kanannya dan berkaos hitam dengan tulisan : “Kaum Demokrat Mencibir Ketika Perempuan Bersikap Kritis” (hlm. 10). (6)…Mariam lebih kaget lagi, kali ini ia sengaja memandang gadis di depannya dari atas kepala yang sama sekali tak ditutupi hingga ke kaki-kakinya yang terlihat seperti menggunakan “sepatu hansip” (hlm. 10-11).
Ia perempuan yang pintar, aktif dalam banyak kegiatan, juga cerdas. Ia
memiliki pikiran yang terbuka, fleksibel, mudah bergaul, selalu berpikir dahulu
sebelum bertindak. Ia termasuk perempuan yang berani mengutarakan pikirannya,
meskipun banyak yang menentang. Ia juga berani mengambil sikap tegas, ketika
ketidakadilan diberlakukan dalam lingkungannya. Dalam cerita, ia adalah sosok
perempuan dewasa, yang sering menjadi tempat mencurahkan hati atau tempat
berbagi masalah, dan tempat mencari solusi dari setiap masalah yang dihadapkan
padanya.
32
(7)“Tapi, mana yang lebih penting mbak, menutupi badan atau menutupi hati dari hal-hal yang jahat?” cerocosnya seperti senapan mesin (hlm. 12). (8)…Pikirannya melayang, mengingat kembali peristiwa yang mendekatkan dirinya dengan Mariam dan Gus Falah. Peristiwa yang mencatatkan dirinya sebagai peserta pertama dalam sejarah Pondok Pesantren Al-Aziz, yang terusir dari program pesantren kilat. Peristiwa yang sempat membuatnya merasa muak, karena tak bisa menerima perlakuan yang dianggapnya sebagai sebentuk arogansi dan kemunafikan dari sebuah lembaga yang dianggapnya mewakili nilai-nilai moral yang ideal (hlm. 15-16).
Dalam urusan percintaan, awalnya sebelum berguru pada seorang guru
spiritual, ia termasuk perempuan yang memiliki pemikiran lemah terhadap
hubungannya dengan laki-laki. Ia lemah ketika harus mengalami perpisahan
dengan kekasihnya. Namun, setelah ia berguru pada guru spiritualnya, ia
disadarkan dengan sebuah pelajaran baru bagaimana sebenarnya memaknai cinta,
bahwa cinta tidak hanya dapat terealisasikan secara fisik, melainkan lebih tinggi
dari itu. Ia menjadi perempuan yang lebih tegar.
Dalam novel Maria dan Mariam, ia ditempatkan sebagai tokoh utama.
Karena ia selalu ada dalam setiap bab penceritaan. Ia selalu mendominasi dalam
setiap penceritaan. Tokoh Maria juga salah satu tokoh utama yang mempengaruhi
jalan cerita (plot/alur).
Maria adalah anak dari keluarga yang keadaan ekonominya menengah ke
atas. Kedua orangtuanya berbeda agama, sehingga ia dididik dalam budaya dan
agama yang pluralis dan terbuka. Hal tersebut membentuknya menjadi perempuan
yang modern (dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman),
33
serta memiliki banyak pengetahuan yang membuatnya memiliki pikiran terbuka
terhadap hal-hal baru.
Menurut penulis, tokoh Maria merupakan identifikasi dari pengarang
novel. Hal itu, penulis lihat pada sifat/watak serta keaktifan Maria yang hampir
sama dengan sang pengarang. Di sinilah terlihat cara penyampaian pesan dari
pengarang kepada pembaca. Pengarang menyampaikannya melalui mediator,
yaitu tokoh yang ia ciptakan, yang identik dengan dirinya. Sehingga pesan serta
dasar pemikiran penulisan novel tersebut dapat terbaca oleh daya tafsir pembaca.
2.2.3.2 Mariam
Mariam atau lengkapnya Siti Mariam, awalnya adalah seorang perempuan
Muslim yang taat pada peraturan yang diberlakukan dalam lingkungannya. Ia
digambarkan sebagai perempuan cantik, saleh, dan hafal semua ayat Al-Quran. Ia
jauh bertolak belakang dari Maria. Sebagai Muslimah, ia mengikuti aturan yang
mewajibkannya mengenakan jilbab (pakaian tertutup dari kepala sampai kaki,
yang tidak boleh memperlihatkan lekuk tubuh, dan yang boleh terlihat hanyalah
wajah dan telapak tangan).
Ia termasuk perempuan yang taat beragama, taat terhadap peraturan yang
sebenarnya bersifat diskriminatif terhadap dirinya yang seorang perempuan.
Terdidik dalam peraturan itu, ia tumbuh menjadi perempuan yang lemah, tidak
berani mengutarakan pikiran meskipun ia sebenarnya memiliki pikiran-pikiran
yang progresif, termasuk perempuan aktif dalam kegiatan-kegiatan pesantren, ia
pintar tetapi tidak memiliki ketegasan dalam mengambil sikap karena terbentur
oleh ketakutan atas sanksi yang akan ia peroleh. Ia juga perempuan yang
34
emosional, dalam artian mudah terhanyut oleh suasana yang tercipta dari suatu
permasalahan (sedih, marah, khawatir, takut). Dalam mengambil keputusan dan
bertindak, ia tidak memiliki pondasi pikir yang kuat, sehingga ia cepat dalam
mengambil keputusan.
Mariam terkategorikan dalam perempuan yang lemah dalam banyak hal,
terutama percintaan. Ia diceritakan tidak memiliki keberanian untuk mengakui
hubungannya dengan kekasihnya, karena takut akan sanksi. Namun, tiba-tiba ia
memberontak dengan melarikan diri dari pesantren karena akan dinikahkan
dengan ayah kekasihnya. Akhirnya ia keluar dari pesantren dan meninggalkan
kehidupan lamanya. Ia juga menjadi perempuan berani ketika memutuskan untuk
berpisah dari kekasih lamanya, dan mendapatkan pasangan baru. Dari sinilah ia
menjadi perempuan modern dan mandiri.
Dalam novel Maria dan Mariam, Siti Mariam (Mariam) ditempatkan
sebagai tokoh utama. Meskipun ia tidak selalu ada dalam penceritaan setiap bab,
tetapi perannya amat mempengaruhi alur cerita, apalagi namanya dipakai dalam
judul novel.
Ia diceritakan sebagai anak keluarga petani miskin, yang tidak mampu
membesarkannya. Kemudian ia dititipkan oleh kedua orangtuanya kepada istri
almarhum pengasuh Pondok Pesantren Al-Azis. Pendidikan yang ia terima di
pesantren dapat dikatakan tertutup, kolot, dan kaku. Hal itu menyebabkannya
memiliki pengetahuan yang sedikit, terpaku pada hal yang sama, membuatnya
menjadi tertutup pada ilmu dan budaya di luar yang dipelajarinya, dan
membuatnya kaku terhadap perubahan zaman.
35
Menurut penulis, pengarang (Farahdiba) ingin melakukan suatu
perbandingan antara dua orang perempuan beserta sikap dan karakternya dalam
kehidupan. Di sini, pengarang ingin memperlihatkan tentang modernisasi yang
dilakukan oleh dua karakter perempuan yang berbeda.
2.3.2 Tokoh Tambahan Serta Penokohannya
2.3.2.1 Nyai Fatimah
Nyai Fatimah adalah ibu angkat Mariam di pondok pesantren. Ia adalah
istri dari almarhum Kiai Haji Faqih. Ia termasuk perempuan yang sebenarnya
memiliki pikiran-pikiran yang maju, namun karena keterikatannya dengan budaya
dalam pesantren, ia tidak berani menyampaikan pikiran-pikiran tersebut. Ia lebih
bersikap pasrah menerima semua aturan yang diberlakukan untuknya. Nyai
Fatimah merupakan tokoh tambahan, karena tidak mempengaruhi perkembangan
plot.
2.3.2.2 Mama
Tokoh mama adalah ibu kandung Maria. Diceritakan sebagai perempuan
yang memiliki pikiran terbuka. Ia menikah dengan papa Maria yang berbeda
keyakinan, dan tidak mengikuti keyakinan suaminya, tetapi ia tetap menghargai
keyakinan suaminya. Ia diceritakan telah meninggal ketika Maria masih kecil. Ia
termasuk tokoh tambahan, karena meskipun hanya dimunculkan ketika berkaitan
dengan Maria, tetapi ia ikut mempengaruhi cara berpikir Maria.
2.3.2.3 Papa
Tokoh Papa adalah ayah kandung Maria. Ia merupakan laki-laki Muslim
yang bijaksana dan memiliki pemikiran modern. Ketika istrinya meninggal dunia,
36
ia harus mendidik anak perempuan semata wayangnya sendirian. Tokoh ini
digambarkan sebagai tokoh tambahan, karena meskipun kehadirannya hanya
sedikit, namun tetap mempengaruhi cara berpikir Maria.
2.3.2.4 Pak Darmo Budi (Guru Darmo)
Pak Darmo adalah seorang laki-laki yang digambarkan tinggi besar. Ia
adalah guru spiritual Maria di Solo. Ia merupakan tokoh tambahan. Kehadirannya
mempengaruhi perkembangan plot.
2.3.2.5 Martha
Martha adalah teman sekaligus rekan kerja Maria. Ia termasuk tokoh
perempuan modern, karena diceritakan sebagai perempuan yang memiliki karier.
Ia tinggal di Jakarta. Termasuk tokoh tambahan karena berperan sebagai orang
yang secara tidak langsung membawa Maria ke Guru Darmo.
2.3.2.6 Khadijah
Khadijah, dalam Al-Qur’an adalah istri Nabi Muhammad. Namun
dimasukkan dalam novel ini sebagai sosok ibu bijaksana yang mendatangi mimpi
Maria. Ia termasuk tokoh utama tambahan karena kehadirannya mempengaruhi
perkembangan plot.
2.3.2.7 Alin
Alin adalah rekan kerja Maria. Ia menggantikan Ira sebagai panitia acara
yang diadakan Maria dan Martha. Ia digambarkan sebagai orang yang cekatan,
loyal, dan berinisiatif tinggi. Termasuk tokoh tambahan karena tidak
mempengaruhi perkembangan plot.
37
2.2 Rangkuman
Analisis tokoh dan penokohan di atas merupakan satu langkah untuk
dapat mengetahui siapa saja tokoh yang ada dalam novel Maria dan Mariam.
Melalui langkah-langkah serta cara menganalisis tokoh dan penokohan, penulis
dapat mengetahui perwatakan para tokoh, sehingga mempermudah penulis untuk
melakukan analisis tentang modernisasi perempuan dalam novel tersebut. Analisis
tokoh dan penokohan ini mempermudah penulis dalam melakukan analisis
berikutnya yaitu analisis modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam.
Tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam, merupakan tokoh
yang diciptakan oleh Farahdiba sebagai cerminan dari kehidupan nyata. Para
tokoh perempuan seperti Maria, Mariam, Martha serta Alin adalah empat tokoh
yang digambarkan sebagai perempuan modern. perempuan yang dapat mendobrak
zaman, terutama Maria (tokoh utama). Mereka adalah contoh perempuan yang
memiliki pikiran modern, yang mampu menjadi perempuan mandiri.
38
BAB III MODERNISASI PIKIRAN DAN TINDAKAN PEREMPUAN
DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM, KARYA FARAHDIBA 3.1 Pengantar
Dalam novel Maria dan Mariam, modernisasi belum terjadi pada seluruh
tokoh perempuan. Terlihat pada tata cara dalam pesantren, yang memisahkan
ruangan laki-laki dengan perempuan, juga membedakan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Dalam pesantren ini, tidak ada
perempuan yang diperbolehkan mengutarakan pendapatnya, bahkan bersikap
kritis terhadap suatu permasalahan. Kesadaran seseorang (perempuan) untuk
bertindak berdasarkan penilaian kritis atas keadaan pada saat itu sebenarnya telah
terlihat pada beberapa tokoh perempuan, namun bagi tokoh perempuan lain yang
masih berada di bawah naungan Pesantren Al-Azis, sikap kritis belum terlihat.
Perempuan dalam kehidupan pesantren dalam novel Maria dan Mariam,
terlihat sebagai perempuan yang dibatasi ruang geraknya. Karena perempuan
dianggap sebagai mahkluk pelengkap, dan diciptakan setelah laki-laki, maka
perempuan juga dianggap sebagai kaum yang pantas dipimpin oleh laki-laki.
Perempuan (istri) harus taat kepada suami mereka. Apapun yang dilakukan oleh
para istri atau perempuan harus ada kontrol dari laki-laki. Sedangkan laki-laki
(suami), dapat melakukan apapun, tanpa kontrol dari istri mereka. Hal tersebut
diperkuat dengan pernyataan S’adawi dan Izzat (2000:21) berikut.
Disebutkan dalam surat al-Ahram, “Sedangkan untuk istri, pada dasarnya ada larangan untuk bepergian, kecuali adanya izin dari suami atau siapapun yang mewakilinya.” Para ahli fikih mengemukakan bahwa suami
39
berhak untuk melarang istrinya, sebagai kompensasi karena suami telah memberi nafkah. Hal ini bersandar pada firman-Nya dalam QS. An-Nisa 4: 34, yang berbunyi: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian bagi mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Berdasarkan hal-hal di atas, diperlukan adanya modernisasi perempuan.
Modernisasi perempuan dapat dikatakan merupakan suatu proses pergeseran sikap
dan mentalitas sebagai perempuan untuk bisa hidup sesuai tuntutan masa kini.
Proses tersebut dilakukan untuk menyetarakan kedudukan antara perempuan
dengan laki-laki, supaya tidak ada lagi kaum penindas maupun yang tertindas.
Berkaitan dengan novel Maria dan Mariam, yang bertemakan perempuan
Islam modern, modernisasi sangatlah diperlukan. Terutama dalam novel ini
digambarkan, bahwa perempuan sebagai mahkluk yang ditindas oleh laki-laki,
salah satunya dengan alasan mengikuti sunnah nabi. Hal seperti inilah yang
membuat budaya atau aturan-aturan dalam Islam terkesan kaku dan dapat
dikatakan tidak adil. Karena aturan-aturan (yang terdapat dalam AL-Quran)
tersebut disalah artikan dalam masyarakat untuk mendiskreditkan perempuan.
Dunia perempuan dalam novel Maria dan Mariam dibuat terbatas hanya
pada lingkungan pesantren (rumah). Hal itu dilakukan dengan tujuan, supaya
perempuan terfokus pada kodratnya sebagai pengurus rumah tangga. Kodrat
perempuan diperoleh dari adanya perbedaan keadaan biologis dengan laki-laki.
Keadaan biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki membuatnya
dianggap sebagai mahkluk lemah, karena keadaan tersebut menentukan perbedaan
40
kemampuan dari perempuan dan laki-laki. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Purwati (http:// www.ceritaremaja.com) berikut.
Perempuan diakui keberadaannya sebagai makhluk hidup, tetapi lingkup kehidupannya dipercayai telah dibatasi oleh kewajiban biologis. Kewajiban biologis itu bergantung pada konstruksi tubuhnya yang menentukan secara alamiah apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Misalnya saja, keberadaan rahim dalam tubuh perempuan sudah menjadikan fungsi mengandung dan melahirkan anak sebagai kewajiban mutlak perempuan yang tidak bisa diganggu-gugat. Oleh karena itulah, perempuan yang mempertanyakan akan pentingnya kewajiban tersebut sebagaimana layaknya manusia yang mampu berpikir, mereka dianggap melawan kehendak alam. Berangkat dari hal-hal seperti itu, masyarakat telah menghidupkan sebuah tataran aturan yang meletakkan perempuan pada nomor dua setelah laki-laki.
Dalam novel Maria dan Mariam ini, proses perubahan yang dimaksudkan
adalah proses perubahan menuju pada pemikiran yang modern. Suatu perubahan
cara berpikir yang menganggap peraturan kuno dalam suatu agama sebagai
peraturan yang dituhankan, menuju ke suatu peraturan yang fleksibel dengan
perubahan zaman. Mengapa peraturan kuno tersebut sebaiknya diubah? Karena
segala peraturan itu telah membuat terjadinya ketimpangan dalam hubungan
antara laki-laki dengan perempuan. Peraturan-peraturan yang lebih banyak
mengelaskan laki-laki pada kelas atas atau kaum penindas, dan perempuan pada
kelas bawah atau kaum tertindas.
Sebenarnya dalam novel tersebut, telah terjadi modernisasi pada diri tokoh
Maria. Maria adalah tokoh perempuan yang dapat disebut sebagai pelopor
terjadinya modernisasi pada beberapa tokoh perempuan lain, terutama tokoh
Mariam. Ia membawa pengaruh besar dalam hidup Mariam, sehingga Mariam
41
memiliki keberanian bersikap dalam ketertindasannya. Pengaruh kemodernan
Maria terhadap Mariam ketika Mariam dilamar oleh Kiai Shiddieq, ayah dari
kekasihnya, dapat terlihat dalam kutipan berikut.
(9)Peristiwa itu terjadi beberapa bulan setelah penyelenggaraan pesantren kilat terakhir yang sempat menghebohkan. “apa yang harus saya lakukan De’, saya bingung. Saya tentu tak mau melihat Ibu Nyai sedih, tapi saya menolak lamaran ini…,” ungkap Mariam pada sahabatnya, Maria. “Membuat sedih Ibu kan Cuma sebentar, nanti juga akan baik lagi. Tapi menyakiti dirimu sendiri, membohongi diri kamu sendiri, itu akan kamu tanggung seumur hidup,” timpal Maria (hlm. 9). Setelah lama berpikir, Mariam akhirnya memberanikan diri untuk
bertindak menolak lamaran itu dengan melarikan diri dari pesantren. Ia akhirnya
menerima pengaruh yang dibawa oleh Maria. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
(10)“Kamu ingat waktu aku kabur dari Pondok?” “Maria, begitu aku tiba di Jakarta, aku sempat ditampung Ira. Kemudian aku bertemu dengan salah seorang sepupuku yang bekerja sebagai baby-sitter di sebuah pasangan keluarga Amerika. Awalnya aku Cuma membantunya membersih-bersihkan rumah. Tapi, belakangan sepupuku pindah kerja dan aku yang menjadi baby-sitter.” (hlm. 268).
Maria adalah perempuan yang berani mengkritik budaya patriarkal, yang
telah turun-temurun dilestarikan dalam pesantren. Ia memandang bahwa para
perempuan dalam novel tersebut berupa perempuan yang dididik dalam
lingkungan patriarkal, sehingga perempuan cenderung memiliki sifat yang
berlawanan dengan laki-laki. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
42
(11)“Ibu tidak pernah bertanya dulu padaku, apakah aku suka atau tidak menerima lamaran Kiai Shiddieq,” ujar Mariam lirih. “Bilang saja sama Ibu, kalau kamu keberatan…’Aku ndak cinta sama Kiai bangkotan itu’. Selesai perkara.” “Astagfirullah De’, jangan begitu. Bagaimana kalau didengar orang-orang…beliau itu Kiai besar, tidak baik menghujat seperti itu.” “Bukan menghujat. Ini kenyataan kok, ‘ngakunya Kiai besar, tapi istrinya di mana-mana. Sekarang malah mau nambah satu lagi, mau ngikutin sunnah Rasul? Udah lewat Mbak!” “Maksudnya?” Tanya Mariam penasaran. “Bukan zamannya lagi, Mbak. Lagian kalau mau ngikutin sunnah Rasul kan dengan tujuan untuk melindungi. Kok milihnya yang cantik-cantik saja ya Mbak…Kiai besar sih Kiai besar, tapi yang ini besar syahwatnya.” (hlm. 9-10).
Kemunculan sifat perempuan dari pendidikan dalam lingkungan patriarkal
itu membuatnya menjadi kaum lemah yang mudah ditindas oleh kaum laki-laki.
Oleh karena itu, diperlukan modernisasi terhadap kaum perempuan, yang akan
membawa perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki.
Laki-laki dalam novel Maria dan Mariam, sebagian besar digambarkan
sebagai laki-laki yang masih menindas perempuan dari segi psikis. Laki-laki yang
lebih banyak digambarkan sebagai pemimpin dalam pesantren (Kiai), mereka
meletakkan perempuan pada posisi lemah. Mereka menganggap perempuan
adalah mahkluk nomor dua, yang tidak diperbolehkan melakukan hal-hal seperti
yang laki-laki boleh lakukan. Hal tersebut, penulis lihat sebagai ketidaktepatan
dalam penafsiran sunnah-sunnah nabi dalam kitab suci mereka. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Hasan dalam situs internet
(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803), banyak sekali
ayat ataupun sunnah yang disalah-artikan, sehingga membuat perempuan
memiliki posisi lemah.
43
Menurutnya, masyarakat Muslim telah telanjur berkembang sebagai
masyarakat lelaki (patriarkal). Artinya Qu’ran, Sunnah, Hadis, dan Fiqih, dengan
seenaknya ditafsirkan oleh kaum laki-laki untuk menentukan nasib perempuan
Muslim. Itulah sebabnya segala kungkungan fisik dan rohani yang menimpa
perempuan Muslim diterima dengan pasrah
(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803).
Ada UU Hadud (menolak kesaksian perempuan dalam perkara Hadd,
termasuk perkosaan) pada1979, ada juga UU Qisas dan Diyat (uang darah) pada
1984. Juga bukan rahasia bahwa tingkat buta huruf perempuan Muslim termasuk
paling tinggi di dunia
(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803).
Menurut Riffat Hassan, masalah perempuan bagi Muslim menjadi penting
justru karena umat Islam menerima modernisasi, tetapi menolak modernitas
(westernisasi). Berabad-abad masyarakat Muslim dibuat percaya bahwa harus ada
batas pemisah antara wilayah keluarga yang khusus untuk perempuan, dan
wilayah umum untuk lelaki. Karena jika tampak
melanggar batas itu, emansipasi perempuan dikira bagian dari
westernisasi, lalu ditolak
(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803).
Ia berpendapat, tidak jarang hambatan terhadap emansipasi perempuan,
dibela dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara keliru. Yang paling sering
ditafsirkan adalah surah yang mengatakan bahwa lelaki
ialah pemimpin (kowamun) perempuan (4:34); bahwa warisan lelaki dua
44
kali sebanyak warisan perempuan (4:11); bahwa kesaksian lelaki sama
dengan kesaksian dua perempuan (2:282). Pendeknya, masyarakat Islam,
sebagaimana juga Yahudi dan Kristen, dibuat percaya tiga hal pokok
mengenai kedudukan perempuan: (1) ciptaan Allah yang utama adalah
lelaki, sedang perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki; (2)
perempuan adalah alat utama kejatuhan manusia dalam dosa di Taman
Firdaus; (3) perempuan diciptakan tidak hanya dari lelaki, tapi untuk
lelaki, sehingga hidup seorang perempuan hanya bersifat instrumental,
bukan fundamental
(http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803).
Dalam Maria dan Mariam, laki-laki menganggap dirinya sebagai
pemimpin perempuan. Apa yang menjadi keinginan laki-laki, perempuan harus
memenuhinya, tidak peduli apakah itu merugikan perempuan atau tidak. Laki-laki
telah mengeksploitasi kehidupan perempuan. Laki-laki diperbolehkan menikahi
perempuan lebih dari satu, sedangkan perempuan tidak, dan ada peraturan yang
melarang dalam pesantren yang melarang para santrinya untuk berpacaran. Hal
tersebut terlihat pada kutipan di bawah ini.
(12)“Bukan menghujat. Ini kenyataan kok, ‘ngakunya Kiai besar, tapi istrinya di mana-mana. Sekarang malah mau nambah satu lagi, mau ngikutin sunnah Rasul? Udah lewat Mbak!” “Maksudnya?” Tanya Mariam penasaran. “Bukan zamannya lagi, Mbak. Lagian kalau mau ngikutin sunnah Rasul kan dengan tujuan untuk melindungi. Kok milihnya yang cantik-cantik saja ya Mbak…Kiai besar sih Kiai besar, tapi yang ini besar syahwatnya.” (hlm. 9-10).
45
(13)“Di pesantren, para santri tidak diperbolehkan berpacaran, karena akan mengganggu proses pembelajaran santri.” “Lho kok bias begitu. Ini kan hak semua orang, untuk saling mencintai. Kok dilarang?” protes Maria (hlm. 17).
Namun hal itu hanya terjadi di dalam pesantren. Ketika perempuan telah
keluar dari pesantren, mereka bebas dari segala macam penindasan dari laki-laki.
Mereka bisa menjadi perempuan mandiri dalam segala bidang. Mereka bisa
menjadi perempuan modern tanpa beban rasa takut lagi. Hal tersebut dialami oleh
Mariam, seperti terlihat pada kutipan berikut.
(13)“Setahun lebih aku bekerja di Café itu. Saat itulah, aku benar-benar mandiri. Bebas menentukan langkahku sendiri. Tidak munafik,” kata-kata terakhir yang diucapkannya dengan keras. Mariam sempat terlibat hubungan asmara dengan salah seorang pelanggan Café, anak seorang pejabat tinggi. Dari sana pula ia kemudian bertemu dengan Andrew, kekasihnya saat ini (hlm. 269).
Dalam kehidupan nyata, sebagian besar perempuan memang masih
memiliki rasa takut untuk berani mengungkapkan pemikiran mereka. Keadaan
sekitar yang “beraroma” patriarkal, memaksa mereka memendam pemikiran-
pemikiran progresif. Mereka terpaksa bersikap pasrah, menerima semua keadaan
atas nama patriarkal. Akhirnya mereka menjadi manusia yang menggantungkan
hidup mereka pada laki-laki.
Namun, tidak sedikit perempuan yang mencoba untuk bangkit dari
keterpurukan mereka. Sudah banyak perempuan di zaman modern ini yang berani
melakukan modernisasi, melawan budaya patriarkal, sehingga mereka menjadi
perempuan modern dalam segala bidang kehidupan. Telah banyak perempuan
46
yang maju dan mandiri, salah satunya dalam bidang ekonomi, bahkan banyak juga
yang menyuarakan jeritan perempuan-perempuan lain yang masih tertindas.
Perempuan yang memiliki pemikiran modern telah mulai bermunculan,
seperti dalam novel Maria dan Mariam ini, salah satunya adalah Maria. Maria
mewakili pikiran Farahdiba (si pengarang novel), ingin memperjuangkan hak
kaum perempuan yang masih tergolong dalam kaum tertindas. Maria diceritakan
sebagai seorang aktivis perempuan yang pernah menjadi pengurus dalam
organisasi pemuda Islam, serta menjadi pembela kaum buruh. Kutipan percakapan
antara Maria dan Gus Falah berikut ini, memperlihatkan seorang Maria, sebagai
perempuan aktif dan modern.
(14)“Kamu pernah jadi salah satu pengurus sebuah organisasi pemuda Islam yang cukup besar kan?” pancing Falah sambil tersenyum. “Aku tahu kamu pernah bekerja di sebuah organisasi buruh ternama…” (hlm. 56).
Perempuan dalam Maria dan Mariam, sebagian besar tergolong sebagai
perempuan yang masih sulit untuk menentukan hidup mereka, meskipun sebagian
besar telah memiliki pikiran modern. Perempuan-perempuan itu lebih memilih
untuk menyerahkan hidup mereka pada laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai
imam atau pemimpin bagi perempuan, dan perempuan tidak dapat menjadi
pemimpin bagi yang lain, seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.
(15)Ia memang seorang Nyai dengan pikiran yang cukup terbuka. Baginya seorang anak tidak harus lahir dari rahimnya sendiri, yang penting terlahir dari hatinya sendiri, dari cintanya…Nyai Fatimah selalu bersikap nrimo
47
dan tidak pernah protes, meski Mariam tahu sebetulnya, ibu Nyainya punya ide-ide progresif (hlm. 7).
Hal itu sangat berlawanan dengan Maria yang ingin mencoba untuk
membawa perempuan pada kedudukan yang setara dengan laki-laki. Ia adalah
perempuan dengan pemikiran modern yang ingin memberikan suatu pesan kepada
pembaca-pembaca perempuan, tentang bagaimana perempuan seharusnya
bersikap supaya tidak lagi menjadi objek bagi laki-laki. Kutipan di bawah ini
menunjukkan cara berpikir Maria yang modern.
(16)Maria gelisah memikirkan aturan-aturan tidak adil yang berlaku di pondok pesantren, di zaman modern seperti sekarang ini. Kenapa tidak ada aturan yang lebih terbuka, yang lebih maju? Intervensi terlalu besar terhadap hak-hak setiap orang (hlm. 20). (17)“Bagiku keislaman tidak harus ditonjolkan dengan pakaian atau symbol-simbol yang lain, Mbak. Yang penting, ia membawa kebaikan buat semua. Ia juga harus bias menerima kemajuan, termasuk dalam bidang fashion, ilmu pengetahuan, film, musik dan sebagainya. Tidak kaku, dan… agak gaul gitu lho, Mbak,” ujar Maria (hlm. 34).
Kemodernan yang terjadi pada para tokoh dalam novel ini, masih penulis
sebut sebagai proses karena para tokoh baru berada pada tahap proses perubahan.
Proses ini terjadi karena adanya suatu “pemberontakan” diri para tokoh terhadap
suatu kehidupan yang dianggap kaku dan tertutup. Kehidupan dalam satu
lingkungan pesantren yang masih menjunjung budaya patriarkal, yang selalu
meletakkan perempuan pada posisi yang lemah.
Modernisasi perempuan merupakan pembaharuan pemikiran oleh
perempuan yang kemudian diikuti oleh pembaharuan sikap serta tindakan.
48
Pembaharuan pemikiran, membuat perempuan berani mengambil sikap dan
melakukan tindakan-tindakan demi kemajuan hidup mereka. Tindakan-tindakan
itu meliputi segala bidang kehidupan, baik itu pendidikan, ekonomi, bahkan
keluarga. Semua itu saling berkaitan, dan menjadikan perempuan menjadi
mandiri. Namun, bukan berarti mereka lalu mengubah patriarkal menjadi
matriarchal. Perempuan hanya menginginkan diri mereka setara dengan laki-laki,
supaya tidak tertindas lagi.
3.2 Analisis Modernisasi Pikiran dan Tindakan Perempuan dalam Novel
Maria dan Mariam
Modernisasi perempuan dapat dikatakan sebagai proses perubahan yang
dilakukan oleh perempuan atas penindasan dan perlakuan-perlakuan tidak adil
dari laki-laki dan lingkungannya. Dalam modernisasi perempuan ini, ada
pengaruh-pengaruh yang dialami oleh perempuan. Ada pengaruh yang didapatkan
dari lingkungan, hingga perempuan dapat menjadi modern. Ada juga pengaruh
yang diberikan oleh perempuan pada lingkungannya.
Dalam novel Maria dan Mariam, tokoh Maria merupakan perempuan
yang menjadi modern oleh karena pengaruh yang didapatkan dari lingkungan
keluarganya, sejak ia kecil. Maria berada pada lingkungan pendidikan keluarga
yang modern dan terbuka.
(18)…Pikirannya melayang, mengingat kembali peristiwa yang mendekatkan dirinya dengan Mariam dan Gus Falah. Peristiwa yang mencatatkan dirinya sebagai peserta pertama dalam sejarah Pondok Pesantren Al-Aziz, yang terusir dari program pesantren kilat. Peristiwa
49
yang sempat membuatnya merasa muak, karena tak bisa menerima perlakuan yang dianggapnya sebagai sebentuk arogansi dan kemunafikan dari sebuah lembaga yang dianggapnya mewakili nilai-nilai moral yang ideal (hlm. 15-16).
Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana kemodernan cara berpikir
Maria. Kemodernan Maria tidak lepas dari pengaruh sistem pendidikan yang
diberikan oleh orangtuanya. Ia memiliki orangtua yang berbeda keyakinan, tetapi
tidak saling memaksakan. Orangtuanya termasuk orangtua yang berpikiran
modern.
(19)“Ma, Mama lagi ngapain?” Tanya Maria kecil pada mamanya. “Meditasi, Nak.” “Apa itu meditasi?” “Sama seperti berdoa.” “Kok Maria nggak denger suara Mama berdoa?” “Berdoa tidak harus mengeluarkan suara. Dalam hati pun bisa berdoa dan bersyukur atas karunia-Nya. Dia kan Maha Pendengar dan Maha Tahu, Mariaku…” “Dia siapa Ma?” “Tuhan, Maria. Dia akan selalu ada bersamamu.” (hlm. 80-81).
(20)Saat ia duduk di kelas 3 sekolah dasar, Pak Usman guru agamanya bertanya kepadanya, “Maria Magdalena, kamu teh orang mana?” “Papaku Sunda.” “Agamanya?” “Islam.” “Kalau ibumu?” Maria terdiam. Sulit baginya untuk menjawab…(hlm. 82).
Ibu Maria, dalam cerita tidak dijelaskan beragama apa, namun dari kutipan
di atas dapat terlihat bahwa orangtuanya berbeda agama. Ibunya meninggal ketika
ia masih kecil, dan ia hanya dididik oleh ayahnya. Ayahnya adalah seorang yang
50
bijak, yang memandang hal tidak hanya dari satu sisi saja. Ia adalah orang yang
memiliki pikiran terbuka.
(21)“Pap, apa betul Mama di neraka?” “Siapa bilang Maria?” “Aku yang bilang. Pak Usman bilang, kalau tidak melakukan Shalat, mengaji, puasa…kita tidak akan masuk surga. Aku nggak pernah lihat Mama shalat, mengaji, dan puasa.” “Sayang, duduk sini…kamu lupa ya, Mama sering duduk bersila dan memejamkan mata. Itulah cara Mama berhubungan dengan Tuhan. Ada banyak cara yang bisa digunakan, Maria.” (hlm. 86)
Dari didikan orangtuanya, Maria tumbuh menjadi perempuan yang
memiliki pikiran terbuka. Ia tidak memandang bahwa seseorang yang beragama
harus menunjukkan keimanannya hanya melalui penampilan luar.
Maria sebagai tokoh utama modern dalam novel ini, merupakan tokoh
yang layak dijadikan inspirasi untuk para perempuan. Banyak permasalah hidup
yang ia alami. Dari permasalahan yang ia alami di pesantren, permasalahan
cintanya, sampai pada permasalahan tentang hubungan antara manusia dengan
sang pencipta. Permasalahan yang sebenarnya saling berkaitan itu, membuatnya
kadang mengalami keraguan akan apa yang ada dalam kehidupan ini. Namun, ia
akhirnya menemukan seorang guru spiritual di kota Solo, yang memberikan
banyak ajaran tentang kehidupan padanya. Peristiwa tersebut yang membuatnya
mengalami modernisasi menjadi perempuan yang lebih modern, terutama dalam
hakikat kehidupan. Ia mendapatkan ketenangan jiwa, terutama dalam hal religi
dan kepemilikan akan seseorang terhadap orang lain. Ia menyadari bahwa cinta
bukan hasrat untuk memiliki, ia juga menyadari bahwa ketika kita memberikan
51
cinta bukan berarti kita harus menerima balasan cinta. Hal tersebut terlihat dalam
beberapa kutipan berikut.
(22)Maria kini mengerti bahwa nenek moyang orang Indonesia bukanlah para penyembah patung. Mereka sengaja menciptakan simbol-simbol yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan. Simbol-simbol itu, apapun bentuknya selalu mengingatkan manusia untuk mewujudkan keilahian dalam dirinya (hlm. 110).
(23)Himbauan untuk bersyurkur menjadi sangat berkesan dalam diri Maria. Itu sebabnya, Suryanamaskar menjadi salah satu latihan favoritnya. Dengan selalu ingat untuk bersyukur, Maria merasa sangat tenang dan damai. Untuk sesaat ia tidak lagi diperbudak oleh nafsu dan keinginannya (hlm. 111). (24)“Tetaplah mencinta Maria. Lembabkan jiwamu dengan cinta. Hanya orang-orang pengecut yang takut mencinta. Mencintailah, tapi jangan mengharapkan apapun sebagai balasan. Jangan membiarkan harapan-harapanmu menodai kemurnian cintamu, merendahkan dirimu…” (hlm. 114).
Modernisasi yang merupakan suatu proses perubahan yang terjadi pada
tokoh-tokoh perempuan dalam novel Maria dan Mariam ini adalah hal yang
belum biasa dialami dalam lingkungan Pesantren Al-Azis. Namun, proses
perubahan yang dibawa oleh Maria, perlahan mulai mempengaruhi tokoh-tokoh
lain, terutama sahabatnya, Mariam. Mariam mulai berani menentukan sikap untuk
membebaskan dirinya dari tekanan-tekanan yang dialaminya dalam pesantren.
Pengaruh modernisasi yang diterima Mariam terlihat dalam kutipan di bawah ini.
(25)“Kamu ingat waktu aku kabur dari Pondok?” “Maria, begitu aku tiba di Jakarta, aku sempat ditampung Ira. Kemudian aku bertemu dengan salah seorang sepupuku yang bekerja sebagai baby-
52
sitter di sebuah pasangan keluarga Amerika. Awalnya aku Cuma membantunya membersih-bersihkan rumah. Tapi, belakangan sepupuku pindah kerja dan aku yang menjadi baby-sitter.” (hlm. 268).
(26)Ia dikursuskan bahasa Inggris, bahkan diajak berlibur ke Bali, Bangkok, PhnomPenh, dan Hongkong…Kemudian dengan kemampuan bahasa Inggrisnya yang lumayan, ia diterima bekerja di sebuah Café terkenal, di kawasan Kemang (hlm. 269).
Pengaruh modernisasi yang dibawa oleh Maria, tidak hanya
mempengaruhi perempuan, tokoh laki-laki yang merupakan teman Maria, Gus
Falah, juga ikut terpengaruh oleh kemodernan berpikir Maria. Gus Falah
memutuskan untuk meninggalkan pesantren dan berusaha meningkatkan cintanya
pada Mariam, bahwa cinta tidak hanya sebatas hubungan fisik. Hal tersebut
terlihat dalam kutipan surat dari Falah untuk Maria.
(27)Semenjak kejadian yang menimpamu, dan pertemuan terakhir di Losmen Niti, aku terus merenungkan makna di balik semua kejadian itu…Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan semuanya, tetapi aku akan membawa rasa cinta yang masih membara yang bisa aku bagi untuk sesuatu yang lebih tinggi di manapun aku nanti berada (maaf aku mengambil kata-katamu), (hlm. 60-61).
Selain pengaruh-pengaruh di atas, ada beberapa hal penting dalam
modernisasi ini, yaitu: modernisasi dalam berpikir dan modernisasi dalam
bertindak. Modernisasi dalam berpikir dapat berupa: memiliki kebebasan untuk
berpikir, serta memiliki keberanian dalam berpendapat, sedangkan modernisasi
dalam bertindak dapat berupa: memiliki kemandirian dalam menjalankan
kehidupan serta memiliki kebebasan dalam berpenampilan.
53
3.2.1 Modernisasi dalam Berpikir
Modernisasi dalam berpikir merupakan hal yang paling utama dalam
proses menuju modern. Menurut penulis pikiran adalah pusat dari kehidupan
manusia. Oleh karena itu, modernisasi yang harus dilakukan paling utama adalah
pada pemikiran. Modernisasi dalam berpikir ini, dapat dibagi ke dalam dua poin
berikut ini.
3.2.1.1 Memiliki Kebebasan untuk Berpikir
Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan merupakan mahkluk
yang dapat berpikir. Dan seharusnya keduanya memiliki hak dan kebebasan yang
sama untuk berpikir. Akan tetapi, masih saja ada perempuan yang tidak diberi
kebebasan untuk itu. Demikian pula dalam novel Maria dan Mariam ini, masih
ada tokoh perempuan yang mengalaminya. Tokoh perempuan tersebut adalah
Nyai Fatimah, ibu angkat dari Siti Mariam dan Siti Mariam sendiri.
Nyai Fatimah, adalah seorang yang sebenarnya memiliki banyak
pemikiran progresif. Namun, dalam lingkungannya, yaitu pesantren, ia tidak
diberi kebebasan untuk berpikir, oleh laki-laki. Oleh sebab itu, Nyai Fatimah lebih
memilih untuk memendam pemikirannya dan memilih bersikap pasrah, seperti
terlihat dalam kutipan berikut ini.
(28)Ia memang seorang Nyai dengan pikiran yang cukup terbuka. Baginya seorang anak tidak harus lahir dari rahimnya sendiri, yang penting terlahir dari hatinya sendiri, dari cintanya…Nyai Fatimah selalu bersikap nrimo dan tidak pernah protes, meski Mariam tahu sebetulnya, ibu Nyainya punya ide-ide progresif (hlm. 7).
54
Tokoh lain yang termasuk tokoh utama, yang sebenarnya memiliki pikiran
modern, namun tidak memiliki kebebasan untuk mengungkapkannya adalah
Mariam atau Siti Mariam. Mariam hanya dapat memendam pemikiran-
pemikirannya, karena pola pikirnya terlanjur terbentuk oleh didikkan orang tua
asuhnya yang menerapkan budaya patriarkhal. Hal tersebut terlihat dalam kutipan
perbincangan antara Maria dan Mariam di bawah ini.
(29)Bukan zamannya lagi, Mbak. Lagian kalau mau ‘ngikuti’ sunnah Rasul kan dengan tujuan untuk melindungi. Kok milihnya yang cantik-cantik saja ya, Mbak…Kiai besar sih Kiai besar, tapi yang besar ini syahwatnya”, ujar Maria… “Aduh De’, kamu ada-ada saja,” kali ini Mariam harus menahan geli sekuat tenaga. Ucapan Maria seperti mewakili salah satu lintasan pikirannya sendiri yang tak pernah berani ia ungkapkan. Entah mengapa ia menyukai kawannya yang kurang ajar ini…(hlm. 9-10).
3.2.1.2 Memiliki Keberanian Berpendapat
Berani mengutarakan pendapat merupakan hak setiap manusia. Namun,
hal ini dapat dimiliki, jika seseorang memiliki ketegasan, sehingga ia juga
memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Tokoh perempuan
dalam novel ini yang memiliki keberanian berpendapat adalah Maria. Kutipan di
bawah ini, menunjukkan tentang keberanian Maria dalam berpendapat.
(30)“Siapa nama Adik? tanya Mariam. “Maria Magdalena.” “Oh, nama yang bagus. Kalau tidak salah itu kan nama…,” Ragu-ragu Mariam melanjutkan kata-katanya. “Nama seorang pelacur di zamannya Yesus!” Maria mempertegas. “Maaf Mbak, nama Mbak siapa? Giliran Maria bertanya. “Siti Mariam”
55
“Wah nama kita saling berhubungan dong, nama perempuan di sekitar Jesus Christ,” ujar Maria terkesan. “Maksudnya Nabi Isa…?” Tanya Mariam. “Iya, Jesus, Yesus Kristus, Nabi Isa…sama kan?” “Di agama Islam, kami mengenal Nabi Isa ‘De,” terang Mariam. “Lho , aku juga Islam, Mbak. Bagiku, Nabi Isa, Yesus Kristus, adalah orang yang sama, seperti halnya Maria, Mariam, Yusuf atau Josep. Setiap nama toh bisa ditulis dengan cara yang berbeda-beda. Yang penting artinya sama.” (hlm. 12-13).
Maria juga berani mengutarakan pendapatnya tentang busana jilbab.
Berikut ini kutipannya.
(31)“Setahuku jilbab itu busana orang Arab atau Timur Tengah, yang memang cocok bagi mereka. Secara geografis, wilayah Arab memang dikelilingi gurun pasir, sangat panas dan anginnya besar pula. Oleh karena itu, semua perempuan mengenakan jilbab – termasuk yang non-Islam.” …”Mbak busana orang Indonesia itu kebaya atau kerudungan. Nggak cocok kita pakai gamis atau sebangsanya. Kiai ini hidup di Negara tropis, kalau dating musim panas…bau apek,” goda Maria, hati-hati (hlm. 34-35).
3.2.2 Modernisasi dalam Bertindak
Dalam modernisasi, tidaklah lengkap rasanya jika hanya melakukan
modernisasi pada pikiran. Modernisasi perempuan akan lebih lengkap jika,
perempuan juga mau bertindak. Modernisasi dalam tindakan ini, terbagi menjadi
beberapa poin berikut.
3.2.2.1 Mandiri dalam Menjalankan Kehidupan
Kemandirian merupakan hal penting yang harus dimiliki dan dilakukan
oleh perempuan yang ingin modern. Beberapa tokoh perempuan dalam novel
Maria dan Mariam, telah menjadi perempuan yang mandiri, terutama dalam
bidang ekonomi. Tokoh-tokoh perempuan tersebut adalah Maria (tokoh utama),
56
Mariam (tokoh utama), Martha (tokoh tambahan), dan Alin (tokoh tambahan).
Kutipan-kutipan di bawah ini menunjukkan kemandirian tokoh-tokoh perempuan
tersebut, dalam bidang ekonomi.
(32)…”Kamu tahu Anne Schubert kan – temanku dari Jerman? Dia menawarkanku untuk terlibat dalam pembuatan buku tentang Teater dan Tari Tradisi di Indonesia. Nah, aku perlu data-data untuk buku itu dari berbagai daerah, khususnya Jawa dan Sumatra…Jadi kamu bisa membantuku untuk menentukan dan memilih siapa saja kiranya yang bisa dimasukkan dalam buku ini…Mereka akan membayar semua keperluanmu, mulai dari tempat tinggal, transportasi serta biaya-biaya lain, di luar honor yang juga akan kau terima.” Ujar Martha (hlm. 99).
Kutipan di atas merupakan ajakan dari Martha yang ditujukan untuk
Maria. Martha meminta tolong pada Maria untuk membantunya melakukan
penelitian kesenian. Hal ini, menunjukkan bahwa Martha adalah seorang
perempuan yang memiliki karier, begitu pula dengan Maria.
Kutipan di bawah ini memperlihatkan tentang karier yang sedang dijalani
oleh Maria, Martha, dan Alin. Mereka sedang membuat acara apresiasi seni yang
digagas oleh Maria dan Martha.
(33)…Ketika Maria masih aktif di organisasi buruh, Alin ikut membantu secara teknis beberapa kegiatan lokakarya, seminar dan konferensi pers yang melibatkan tokoh-tokoh buruh internasional. Alin sungguh dapat diandalkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan tekanan deadline (hlm. 237).
(34)“Semua sudah beres Nya. Tinggal menunggu kamu untuk briefing terakhir. Kamu datang jam berapa?” suara Alin yang bersemangat terdengar melaporkan kesiapan di lapangan pada Maria.”
57
“Acara inti baru mulai jam satu siang – sebelum itu, sponsor minta waktu untuk berpromosi. Jadi, aku datang sebelum jam 12. kamu sudah menghubungi Martha?” “Sudah. Dia lagi menjemput anak-anaknya untuk sama-sama datang ke sini,” jawab Alin dengan cepat (hlm. 238).
Kutipan di bawah ini menunjukkan kemandirian pada diri Mariam. Hal
tersebut dilakukannya atas dasar pemberontakkan diri terhadap kehidupan masa
lalunya, ketika masih berada di pesantren. Setelah memutuskan melarikan diri dari
pesantren, akhirnya ia menjadi perempuan yang mandiri.
(35)“Kamu ingat waktu aku kabur dari Pondok?” “Maria, begitu aku tiba di Jakarta, aku sempat ditampung Ira. Kemudian aku bertemu dengan salah seorang sepupuku yang bekerja sebagai baby-sitter di sebuah pasangan keluarga Amerika. Awalnya aku cuma membantunya membersih-bersihkan rumah. Tapi, belakangan sepupuku pindah kerja dan aku yang menjadi baby-sitter.” (hlm. 268).
(36)Ia dikursuskan bahasa Inggris, bahkan diajak berlibur ke Bali, Bangkok, PhnomPenh, dan Hongkong…Kemudian dengan kemampuan bahasa Inggrisnya yang lumayan, ia diterima bekerja di sebuah Café terkenal, di kawasan Kemang (hlm. 269).
(37)“Setahun lebih aku bekerja di Café itu. Saat itulah, aku benar-benar mandiri. Bebas menentukan langkahku sendiri. Tidak munafik,” kata-kata terakhir yang diucapkannya dengan keras. Mariam sempat terlibat hubungan asmara dengan salah seorang pelanggan Café, anak seorang pejabat tinggi. Dari sana pula ia kemudian bertemu dengan Andrew, kekasihnya saat ini (hlm. 269).
3.2.2.2 Memiliki Kebebasan dalam Berpenampilan
Untuk menjadi modern seutuhnya, perempuan juga seharusnya memiliki
kebebasan dalam berpenampilan. Dalam novel Maria dan Mariam ini, tokoh
perempuan yang memiliki kebebasan dalam berpenampilan adalah Maria dan
58
Mariam. Bebas berpenampilan, tidak selalu harus mengikuti trend mode yang
sedang berlaku, namun lebih pada bagaimana perempuan itu dapat dengan bebas
mengekspresikan dirinya melalui penampilannya, dan tidak merasa tertekan atau
terpaksa.
Kutipan di bawah ini menunjukkan bagaimana Maria berpenampilan. Ia
dapat dengan bebas memakai pakaian apapun. Bahkan ia tidak mngenakan jilbab
sama sekali, padahal ia akan menjadi santri dalam pesantren. Hal ini merupakan
hak yang dimiliki Maria sebagai manusia, untuk tidak berada di bawah tekanan
pihak pesantren yang pada umumnya mewajibkan santri perempuan untuk
mengenakan jilbab.
(38)Saat itu di depan sekretariat, tempat pendaftaran pesantren kilat,terlihat seorang gadis manis namun dengan dandanan layaknya seorang aktivis yang baru habis berdemonstrasi di depan Markas Kodam. Bercelana jins lusuh, menggantungkan ransel di bahu kanannya dan berkaos hitam dengan tulisan : “Kaum Demokrat Mencibir Ketika Perempuan Bersikap Kritis” (hlm. 10). (39)…Mariam lebih kaget lagi, kali ini ia sengaja memandang gadis di depannya dari atas kepala yang sama sekali tak ditutupi hingga ke kaki-kakinya yang terlihat seperti menggunakan “sepatu hansip” (hlm. 10-11). (40)…“Tapi, mana yang lebih penting mbak, menutupi badan atau menutupi hati dari hal-hal yang jahat?” cerocosnya seperti senapan mesin (hlm. 12).
Selain Maria, tokoh perempuan yang juga modern dalam berpenampilan
adalah Mariam. Walaupun awalnya Mariam adalah seorang santri yang shaleh,
sopan, bahkan mengenakan jilbab, namun karena merasa tertekan, akhirnya ia
59
berani mengekspresikan dirinya dalam berpenampilan. Ia mengubah penampilan
fisiknya. Kini ia mengganti jilbabnya dengan pakaian modern.
(41)Maria mencari-cari asal suara yang memanggilnya. Ia tak melihat ada sosok yang dikenalnya. Hanya ada seorang perempuan cantik dan eksotik. Maria seperti mengenalnya, tapi lupa di mana. Maria ragu. Dipandangnya lagi sosok perempuan itu. Ia memakai celana jeans, yang dipadukan dengan kaos Mango warna pink yang mempertontonkan perut rampingnya. Orang yang sadar fashion, pikir Maria (hlm. 264).
Perubahan yang telah dilakukan oleh Mariam merupakan suatu langkah
positif, karena ia mampu menanggalkan ketakutannya terhadap aturan kehidupan
masa lalunya. Ia mampu mengubah ketakutannya menjadi sebuah keberanian
mengambil langkah hidupnya untuk menjadi perempuan modern.
Modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam ini, adalah satu
langkah maju yang dilakukan oleh perempuan, dan hasilnya pun untuk
perempuan. Modernisasi yang dilakukan oleh perempuan ini, akan membuat dunia
lebih terbuka lebar bagi perempuan, sehingga perempuan akan menjadi manusia
modern yang tidak lagi tertindas dan dianggap lemah.
3.2.3 Rangkuman
Modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam, telah terwujud
dalam berbagai bentuk modernisasi. Dari modernisasi dalam berpikir, yang terdiri
atas dua bagian yaitu, memiliki kebebasan untuk berpikir dan memiliki keberanian
berpendapat; hingga modernisasi dalam tindakan. Modernisasi dalam tindakan
60
tersebut terdiri atas mandiri dalam menjalankan kehidupan, serta memiliki
kebebasan dalam berpenampilan.
Modernisasi yang telah dilakukan oleh para tokoh perempuan dalam novel
tersebut, merupakan suatu bentuk kemajuan yang positif, terutama positif bagi
kehidupan perempuan sendiri. Modernisasi tersebut semakin menghilangkan
pemikiran masyarakat tentang predikat kedua dari perempuan.
61
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari keseluruhan analisis tokoh perempuan modern dan modernisasi
terhadap novel Maria dan Mariam ini dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa
novel dengan judul Maria dan Mariam, merupakan karya dari seorang perempuan
yang bercerita tentang perempuan. Latar belakang masalah dalam analisis ini,
berupa adanya ketertindasan perempuan secara psikis karena kesewenang-
wenangan para laki-laki dalam menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci. Penindasan
tersebut terjadi dalam sebuah pesantren, yang berupa aturan-aturan yang ditujukan
untuk menghambat kemajuan perempuan. Secara keseluruhan, perempuan
dilarang melakukan hal yang dapat dilakukan oleh laki-laki, karena hal tersebut
dianggap melawan kodrat mereka sebagai perempuan.
Tokoh perempuan dalam novel Maria dan Mariam, sebagian besar telah
memiliki pikiran yang modern. Mereka telah memiliki pikiran-pikiran progresif
yang seharusnya dapat membuat mereka melakukan suatu modernisasi. Namun,
sebagian besar dari mereka, belum memiliki keberanian untuk melakukan suatu
perubahan. Mereka lebih banyak mengambil sikap pasrah dan menerima apapun
keputusan dari laki-laki.
Hingga saat ini, dalam lingkungan tertentu, laki-laki memang masih
dianggap sebagai mahkluk yang lebih tinggi, yang harus dipatuhi dan dihormati.
Hal ini merupakan salah satu penyebab lambatnya modernisasi dalam diri
perempuan dan juga dalam lingkungan yang ditinggali oleh perempuan itu sendiri.
62
Hanya segelintir perempuan yang berani melakukan suatu perubahan untuk
kemajuannya.
Analisis modernisasi perempuan terhadap novel Maria dan Mariam ini,
memiliki tujuan menganalisis dan mendeskripsikan tokoh dan penokohan, serta
menganalisis dan mendeskripsikan modernisasi perempuan. Dari tujuan penelitian
tersebut, diperoleh hasil penelitian; yang pertama adalah tokoh dan penokohan.
Tokoh dan penokohan tersebut berupa tokoh utama serta penokohannya dan tokoh
tambahan serta penokohannya. Analisis tokoh dan penokohan ini diperlukan
untuk mengetahui siapa saja tokoh yang ada dalam novel Maria dan Mariam,
serta mengetahui bagaimana penokohannya. Dalam analisis tokoh dan penokohan
ini, diperoleh tokoh utama; Maria dan Mariam. Kedua tokoh utama ini merupakan
tokoh perempuan yang telah melakukan modernisasi.
Hasil analisis yang kedua adalah modernisasi perempuan. Dalam
modernisasi perempuan ini ada beberapa poin penting yang harus dilakukan
perempuan. Hal tersebut berupa modernisasi dalam berpikir dan modernisasi
dalam bertindak. Memiliki kebebasan berpikir serta memiliki keberanian
berpendapat, merupakan modernisasi dalam berpikir. Mandiri dalam menjalankan
kehidupan serta memiliki kebebasan dalam berpenampilan, merupakan
modernisasi dalam bertindak.
Modernisasi tersebut telah terjadi pada dua tokoh utama, Mariam dan
Mariam. Mariam yang awalnya adalah seorang santri yang sangat patuh pada
aturan pesantren, telah berani melakukan perubahan untuk menjadi modern dalam
berpikir dan berpenampilan. Dan Maria yang merupakan inspirasi dari Mariam,
63
meskipun terkejut dengan perubahan Mariam, namun tetap berusaha bersikap
bijak, tetap terlihat sebagai perempuan yang berpikir modern.
Hidup mandiri dan tidak menggantungkan hidup pada laki-laki,
merupakan kemodernan tindakan yang seharusnya dilakukan perempuan. Dengan
mandiri, perempuan telah melakukan modernisasi. Perempuan dapat melakukan
apapun tanpa takut akan larangan dari laki-laki.
Hidup perempuan bukan hidup orang lain. Apa yang harus dan tidak harus
dilakukan oleh perempuan, hanya dirinya yang dapat menentukan, bukan orang
lain. Dan hidup perempuan itu sama dengan hidup laki-laki, tidak lebih rendah
dan tidak lebih tinggi.
Sampai saat ini, laki-laki masih dianggap sebagai mahkluk yang lebih
tinggi oleh sebagian masyarakat. Meskipun demikian, bukan berarti para
perempuan tidak dapat memodernisasi dirinya. Dengan modernisasi inilah,
anggapan tentang kedudukan laki-laki yang lebih tinggi lambat-laun akan
memudar, sehingga kedudukan antara laki-laki dan perempuan menjadi setara.
Tidak ada lagi kaum tertindas dan kaum penindas, sehingga semua dapat saling
menghargai sebagai sesama manusia.
4.2 Saran
Penelitian ini fokus pada modernisasi pada perempuan dalam novel Maria
dan Mariam, karya Farahdiba. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kritik sastra feminis. Dalam penelitian dengan pendekatan kritik sastra feminis ini,
masih ada keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sarankan pada peneliti lain untuk
64
menganalisis novel Maria dan Mariam menggunakan pendekatan-pendekatan
lain, seperti: sosiologi sastra untuk menganalisis segi sosial yang ada dalam novel
Maria dan Mariam; atau psikologi sastra, untuk menganalisis keadaan psikis para
tokoh dalam novel Maria dan Mariam.
65
DAFTAR PUSTAKA
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis : Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia pustaka Utama.
Farahdiba. Maria & Mariam. 2006. Jakarta: One Earth Media.
Hardjana, Andre. 1982. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Lemaire, André. 2003-2004. L’Arbre Généalogique Des Trois Monothéismes.
Prancis: Le Nouvel Observateur.
Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gama University Press.
Poerwadarminta, W.J.S. (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). 1976. Kamus umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rahayu, Zhita Sedtya. 2006. Relasi Gender Dalam Novel Supernova Edisi
Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Ratna, Prof. Dr. Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
S’adawi, Al Nawal dan Izzat, Ra’uf Hibah. 2000. Perempuan, Agama, dan
Moralitas—Antara Nalar Feminis & Islam Revivalis. Trj. Ibnu Rusydi. Jakarta: Erlangga.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sumber dari Internet
Anwar, Nazrul. 2007. Kritik Sastra Dalam Perspektif Feminis. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0004/11/dikbud/krit09.htm download Januari 2008.
Hasan, Riffat. http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803 download September 2008.
66
Nenden, A. Lilis. 2007. Menyambut Hari Perempuan Internasional. Kritik Sastra Era Gegar Gender . http://www.pikiranrakyat.com download Januari 2008
---------. 2007. Dunia Perempuan Dalam Cerpen Tetet Cahyati. http://www.pikiranrakyat.com download Juni 2008.
Purwati. 2003. Apa itu Gender. http:// www.ceritaremaja.com download Januari 2008.Wijaya, Putu. Sastra Sebagai Refleksi Kemanusiaan. http://www. bhs-sastra.web.id download Februari 2006.
Wilkipedia. Modernisme. http://id.wilkipedia.org/wilki/modernisme download
April 2008. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/27/lua03.html download Juli 2008.
http://chi-lophe.blogspot.com/2008/05/definisi-modernisasi.html download Juli 2008.
http://islamfeminis.wordpress.com/2007/05/22/apakah-hawa-penyebab-
terusirnya-nabi-adam-dari-surga-study-komparatif-antara-al-quran-dengan-perjanjian-lama download Maret 2009.
Recommended