View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Menelusuri Jejak Islam di Tanah Minahasa
Muhammad Nur Ichsan A. Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado
Jalan Katamso, Bumi Beringin Lingkungan V
Telepon (0431) 855311 / Faksimile. (0431) 864926
Pos-el: Icchank_ichsan@yahoo.com
Abstract
Entrance of Islamic religion at North Sulawesi is a development of though and
for Islamic society. Islamic religion that come in early XIX and developed in
the middle of XIX gave positive influence for people at North Sulawesi. The
trader from Arab, China, and Netherland hostages obtained good islamization.
Some area like Tondano, Bolaang-Mongondow, and Gorontalo are the
illustration of success ato islamisation in Nusantara, especially at North
Sulawesi. The lacal people who had opened minded as a factor of seccessed
Islamasation at North Sulawesi. This article is aim to describe and find a clue
of Islamization. This writing uses historical approachment and litarate method.
Key Word: Islam, North Sulawesi, Islamization
I. PENDAHULUAN
Dalam catatan sejarah,
Islam –sebagai agama dan
keyakinan- lahir di akhir abad ke
VII M. Ajaran ini di bawah seorang
utusan Allah yang bernama
Muhammad di daerah Mekkah. Di
dalam kitab tarikh Nurul Yaqin
menuliskan bahwa sejarah dan
perkembangan agama Islam
berawal ketika berumur 40 tahun.
Beliau memulainya dengan cara
menyeru kepada penduduk
Mekkah, namun mendapatkan
perlawanan dari para pembesar
Quraisy, terutama dari pamannya,
Abu Jahal dan Abu Lahab. Setelah
beliau wafat, penyebaran,
perkembangan, dan pengajaran
Islam dilanjutkan oleh para sahabat,
dan para ulama yang telah belajar
langsung dari beliau. Pada
pertengahan abad ke awal abad IX
hingga XII M., perkembangan
islam baru mencapai daratan Asia
Selatan, Gujarat, dan Asia Timur,
Cina, hingga pada akhir abad ke
XIII M Islam baru mencapai
daratan Asia Tenggara di daerah
Aceh yang di bawa oleh pedagang.
Dengan demikian, persebaran dan
perkembangan ajaran Islam di
Dunia –bahkan hingga sampai ke
Indonesia- melalui beberapa
tahapan.
Ricklefs menuliskan bahwa
di Asia Tenggara agama Islam telah
masuk. Hal tersebut terbukti dengan
berdirinya Kerajaan Perlak di
Semenanjung Malaka, sedangkan di
Indonesia telah terdapat seorang
raja di Sumatera Utara yang
memiliki nama Islam dan bergelar
“sultan”. Raja yang dimaksud oleh
Ricklefs ialah Sultan Sulaiman bin
Abdullah bin al-Basir yang wafat
pada tahun 1211 M. Berbeda
dengan seorang musafir dari
Vanesia, Marco Polo,
mendeskripsikan bahwa Perlak
sebagai kota Islam. Keduanya
mendapatkan dukungan dari
sejarawan muslim, Ibn Batuta,
menjelaskan keduanya memberikan
penafsiran dan gambaran yang
gamblang mengenai kontak
pertama Islam dengan masyarakat
Asia Tenggara, khususnya di
Nusantara, ialah dengan melihat
madzhab fiqh syafi’i yang
berkembang dan mendarah daging
bagi masyarakat islam Nusantara.
Perkembangan selanjutnya dibawa
ke daerah lainnnya, terutama di
daerah pesisir Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Ternate-
Tidore.
Perkembangan Islamisasi di
Pulau Sulawesi berawal dari
kerajaan-kerajaan lokal yang
mendapatkan pengaruh dari
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
dan Sumatera, termasuk Gowa-
Tallo. Kesultanan ini merupakan
salah satu kerajaan Islam yang
berpengaruh di daratan Sulawesi
yang menerima ajaran Islam di
tahun 1605. Pada awal abad XVII
hingga awal abad ke XVIII, Gowa-
Tallo mengalami perkembangan
pesat, terutama di bidang politik,
ekonomi, dan sosial. Gowa-Tallo
memberikan pengaruh di seluruh
daratan Sulawesi. Terbukti dengan
mampu menguasai daerah daratan
dan pesisir Sulawesi dari Selatan
hingga Utara, bahkan sampai
daerah Maluku, Ternate-Tidore,
yang kemudian memulai
pengaruhnya dengan membangun
hubungan politik antar kerajaan di
daerah sekitarnya. Pengaruh
kerajaan Gowa-Tallo juga mencapai
daerah pesisir utara Pulau Sulawesi.
Di daerah Barat Sulawesi, terdapat
sebuah kesultanan yang paling
berpengaruh bagi orang-orang
Utara Sulawesi. Gorontalo,
Limboto, Sangihe-Talaud,
Mindanao, hingga daerah Teluk
Tomini berhasil dikuasai oleh
Maharaja dari Sulu. Dengan
demikian, menarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai
sejarah dan perkembangan Islam
dan Islamisasi di Sulawesi Utara
dan Minahasa.
Penulisan ini menggunakan
metode penelitian sejarah yang
berusaha mengungkapkan
terjadinya proses islamisasi dan
menggambarkan perkembangan
agama islam di Sualwesi Utara.
Metode sejarah merupakan metode
awal dalam sebuah penulisan yang
kemudian digabungkan dengan
metode lain. Dalam tulisan ini,
penulis berusaha menyatukan
metode sejarah-sosial yang
berusaha menginterpretasikan
kondisi sosial-keagamaan yang
terjadi di Sulawesi Utara, dengan
batuan metode sejarah.
Metode Heuristik
merupakan metode utama dalam
penelitian sejarah. Pengumpulan
sumber dan data adalah hal yang
peling utama dalam menuliskan
sebuah hasil penelitian yang
diungkapkan. Verifikasi merupakan
metode kedua dari penulisan
sejarah. Metode ini merupakan
kritik sumber dari data yang telah
ditemukan dan dikumpulkan,
sehingga dengan menggunakan
metode ini penulis berusaha
menemukan sumber primer dan
sekunder. Intepretasi merupakan
penjelasan lanjutan dari data yang
dianggap valid. Hal ini merupakan
tindakan lanjutan dari penjelasan
dan penggamabran dari data yang
telah ditemukan setelah dilakukan
verifikasi data. Historiografi
meurupakan tahp terakhir yang
berarti tahap penulisan. Metode ini
adalah proses penulisan hasil
penelitian setelah dilakukan
beberapa metode sebelumnya,
sehingga dari metode ini hasil dari
penelitian ini dituangkan dalam
bentuk tulisan.
Dalam penulisan ini, teori
islamisasi yang diungkapkan oleh
golongan tokoh orientalis yang
mengkaji islam di Nusantara,
namun berbeda jika kita melihat
gambaran dari Asyumardi Azra.
Para sejarawan dan pemikir Islam
sepakat bahwa islam di nusantara
masuk melalui berbagi jalur,
termasuk perdagangan. Van Leur
mengatakan bahwa perdagangan
tidak dapat dipisahkan dari tujuan-
tujuan politik yang dibawa oleh
pedagang muslim masuk ke
Indonesia dan mengalami puncak
Islamisasi pada paruh abad ke
XIX.1
Islamisasi merupakan
sebuah proses yang tak pernah
berhenti sampai sekarang. Di mulai
dari datangnya, penerimaan, dan
persebarannya, hingga sampai
1 J. C. van Leur, 1960, Indonesia Trade
and Society, The Hague dan Bandung, hal.
92.
sekarang, islamisasi terus berjalan.
Namun islamiasasi pun dapat
berkembang dengan melihat
beberapa faktor. Kondisi
masyarakat, dan penyebarnya pun
menjadi faktor penting dari
islamisasi yang terjadi. Dengan
demikian proses islamisasi yang
terjadi harus memiliki batasan dan
ruang lingkup untuk memfokuskan
penulisan yang dilakukan.
II. PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Sulawesi Utara
Kondisi geografis Sulawesi
Utara berada di daratan utara dari
Pulau Sulawesi ditambah dengan
beberapa gugusan pulau kecil yang
menjadi bagian darinya, Kepulauan
Sangihe dan Talaud. Daerah ini
berada di ujung belalai sebelah
timur laut Pulau Sulawesi. Daerah
Sulawesi Utara terbagi atas empat
lingkungan sejarah dan budaya
yang menjadi identitasnya;
Sangihe-Talaud, Minahasa,
Bolaang Mongondow dan
Gorontalo.2 Akan tetapi Gorontalo
2 L. Th. Manus, 1978, Sejarah
Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
telah membentuk daerah provinsi
tersendiri pasca reformasi yang
kemudian membentuk identitas
tersendiri.3 Oleh karena itu, hanya
menyisakan tiga daerah dan etnis di
Sulawesi Utara: Minahasa, Bolaang
Mongondow, dan Sangihe-Talaud.
Letak Pulau Sulawesi yang
strategis untuk jalur perdagangan
maritime menjadi salah satu
keuntungan bagi Nusantara. Di
selatan, Kesultanan Gowa-Tallo
mengalami perkembangan yang
pesat setelah membuka jalur
perdagangan internasional. Daratan
Sulawesi menghubungkan Jawa,
Sumatera, dan Maluku yang
menjadi tujuan utama para
pedagang yang mencari rempah-
rempah. Para pedagang harus
melakukan perjalanan panjang ke
Maluku membutuhkan tempat
persinggahan sebagai Bandar transit
di daratan Pulau Sualwesi. Di
daratan Sulawesi di utara, pedagang
Utara, Manado, P3KD Depdikbud
Sulawesi Utara. 3 M. Tumenggung Sis, 2002, “Etnik
Minoritas Islam Minahasa di Daerah
Minahasa”, dalam Nasrun Sandiah dan
Alex J. Ulaen (ed.), Niyaku Tondano,
BKSNT Manado, hal. 38-39.
yang datang dari Cina, dan Sulu ke
Maluku-lah yang membuatnya
menjadi Bandar transito.
Perebutan hegemoni antara
Gowa-Tallo dan Belanda menarik
para penguasa di daerah pesisir
utara pulau Sulawesi untuk
memperkuat posisi mereka.
Kembalinya pengaruh Portugis dan
Spanyol juga memperpanas
hegemoni antara Gowa-Tallo,
Belanda, Portugis, dan Spanyol.
Selain Gowa-Tallo, terdapat juga
Kesultanan Sulu yang mencoba
menamkan pengaruhnya di daerah
utara, terutama di Minandanao,
Manguindao, Sangir-Talaud,
Sangihe, dan beberapa wilayah di
daerah pesisir utara Laut Sulawesi.
Dengan demikian, terdapat dua
kubu yang berusaha menanamkan
pengaruh di pesisir utara laut
Sulawesi.
Posisi strategis Laut Utara
Sulawesi menjadi “primadona”
dipertengahan abad XVI hingga
awal abad XIX. Para pedagang dari
seluruh dunia, terutama Belanda
dan Spanyol berusaha menguasai
Manado sebagai salah satu gudang
penyimpanan rempah-rempah.
Posisi yang strategis ini membuat
para kolonialis berusaha
mempertahankan Manado dari
Spanyol dan Portugis.
B. Pedagang dan Muallim Muslim
dalam Pelayaran
Pengetahuan navigasi
pelayaran dari para muallim lokal
dimanfaatkan oleh portugis dan
belanda. Para muallim yang
diangkat sebagai nahkoda kapal
orang Eropa menjadi penunjuk
jalan untuk menemukan pusat
rempah-rempah di dunia. Kapal
Eropa pertamakali menggunakan
muallim Nusantara untuk diantar ke
tempat tujuannya. Para muallim ini
mendapatkan upah sebagai
penunjuk jalan pelayaran dan
nahkoda.
Masuknya agama Islam di
Sulawesi Utara tidak telepas dari
perkembangan dan kemajuan
teknologi para pedagang. Mereka
yang berusaha mencari daerah baru
untuk mendapatkan sumber
ekonomi. Dari kepentingan
tersebut, teori persebaran agama
dan kebudayaan yang disandarkan
pada factor ekonomi adalah suatu
pandangan yang dapat diterima.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri
kembali bahwa ada hal lain yang
mendorong terjadinya islamisasi di
daerah pesisir Utara Pulau Sulawesi
ini.
Pada pertengahan abad XVI,
adanya pengaruh dari orang asia
timur, terutama Cina, semakin
memperkuat adanya proses
akulturasi dan asimilasi budaya.
Setelah dinasti Mongol Cina dapat
memasuki daerah Nusantara di
akhir abad XIII, membuka peluang
bagi orang-orang cina untuk
kembali menyusuri jalan tersebut.
Rute Yunan-Malaka-Sumatera-
Jawa-Makassar-Maluku adalah rute
dari arah barat untuk memasuki
daerah Nusantara. Rute yang lain
juga tercipta untuk memasuki
daerah Nusantara. Yunan-Malaka-
Brunei/Filipina-Manguindanao-
Sulu-Sangihe dan Talaud, serta
Pesisir Utara Sulawesi-Maluku/Hitu
adalah rute yang kemudian terbuka
melalui jalur utara.
Masuknya orang Cina dan
para muallim miliki eropa yang
menemukan daerah transit baru di
Sulawesi Utara membuat jalur
perdagangan di daerah pesisir utara
pulau Sulawesi semakin ramai.
A.B. Lapian menuliskan bahwa
para pedagang Bugis dan Makassar
menggunakan selat Makassar untuk
mengunjungi Sulawesi Utara.4
Selain para pedagang dan Muallim
Eropa pedagang Nusantara pun
telah mengenal Sulawesi utara
sebagai Bandar transit seperti
daerah-daerah lainnya di Nusantara
yang pada titik akhirnya adalah
Maluku.
Suku Arab disamping
sebagai pedagang, mereka juga
menjadi muallim bagi kapal Eropa.
Campuran suku arab terdiri dari
pedagang dari Persia, India, dan
bahkan beberapa pedagang arab
yang aktif melakukan kegiatan
perdagangan di Nusantara telah
mengetahui jalur perdagangan jauh
sebelum bangsa Eropa mengenal
Nusantara. Bahkan keturunan
4 A. B. Lapian, 2008, Pelayaran dan
Perniagaan Abad 16 dan 17, Jakarta:
Komunitas Bambu, hal 49.
mereka pun masuk dalam sebutan
tersebut, dan di kemudian hari hal
ini menjadi identitas dan jati diri
suku Arab di Nusantara.
A. Jaringan Islamisasi
Kesultanan Sulu-Sulawesi
Utara-Maluku
Nusantara pada pertengahan
abad ke XVI merupakan “emas”
bagi para pedagang dan pencari
remaph-rempah di dunia. Seiring
dengan kebutuhan tersebut, para
pedagang berani menyisir perairan
luas untuk mendapatkan hasil bumi
dan kebutuhan primernya.
Hubungan pedagang dari luar
dengan penduduk Nusantara
berawal di daerah pesisir utara
Sumatera dan Malaka. Bersamaan
dengan proses perdagangan yang
berlangsung, proses islamisasi pun
terjadi.
Daerah Sulawesi yang
berbatasan dengan laut merupakan
sebuah pemisah yang tak dapat
dihindari. Sesuai dengan hukum
laut yang dikeluarkan berdasarkan
perjanjian yang ditetapkan melalui
konvensi PBB –UNCLOS- di tahun
1982 meyatakan bahwa kekuatan
alamiah yang menunjukkan
terjadinya pemisahan dan batas. Hal
seperti berlaku di daerah kawasan
Laut Sulawesi. Sulawesi Utara yang
berbatasan langsung dengan Negara
Filipina memberikan dampak
positif dan negative dalam
perkembangannya. Dengan
demikian, garis perbatasan yang
tercipta adalah sebuah hasil
pertumbuhan dan perkembangan
sejarah yang telah berlangsung
sejak lama.
Tidak hanya Kesultanan
Makassar yang memiliki peran dan
pengaruh di Sulawesi Utara, akan
tetapi Kesultanan Sulu telah
menanankan pengaruhnya jauh
sebelum masuknya pedagang Bugis
dan Makassar. Kesultanan Sulu
yang berpusat di Jolo telah
mengirimkan armada lautnya ke
Sangihe-Talaud pada awal abad ke-
17. Ketika itu seorang Sultan Sulu
bernama Pangiran Buddiman,
mendaulat dirinya sebagai penguasa
Sulu, Tawi-Tawi, Manguindanao,
Zamboanga, dan Mindanao. Dia
mendaulat dirinya karena telah
berhasil menggantikan Maharaja
Upo sebagai penguasa Sulu dan
mengeluarkan titah bahwa syarat
kedaulatannya adalah menguasai
dan menduduki Maluku dan
wilayah bawahannya termasuk
Sangihe-Talaud, dan Manado.5
Akan tetapi, spanyol tidak pernah
mengakui kedaulatan dan
kekuasaan Pangiran Buddiman.
Spanyol yang mengakuisisi daratan
Filipina pada tahun 1660 menolak
Pangiran Buddiman dan menunjuk
Don Manrique de Lara dan Don
Diego Salcedo sebagai Gubernur
Sulu.6
Jalur Islamisasi di Sulawesi
Utara pada pertengahan abad ke
XVII tidak mengalami
perkembangan yang signifikan.
Penerus Sultan Pangiran Buddiman,
5 Short History of The Sulu Sultanante
(HPP) lihat juga, Shinzo Hayase, Domingo
M. Non dan Alex J. Ulaen,
Silsilah/Tarsilas (Genealogis) and
Historical Narratives in Saranggani Bay
and Davao Gulf, South Mindanao,
Philippnes, and Sangihe-Talaud Islands,
North Sulawesi, Indonesia, Japan: CSAS
Kyoto University, hlm. 9-11. 6 In The Permanent Court of Arbitration,
The Hague, National Printing Office, 1925.
Hal. 10
Sultan Shah Tangah dan Sultan
Bungsu, hanya memerankan peran
kecil dalam mengirim pedagang ke
Maluku melalui Pelabuhan Tahuna,
Sangihe. Penguasaan Belanda,
Great Britain (Inggris) dan Spanyol
menghalangi Islamisasi di sana
melalu perjanjian dengan Sultan
Sulu termasuk dengan Pangiran
Bakhtiar. Hanya Sangihe dan
Talaud yang merasakan Islamisasi
dari kawasan Kesultanan Sulu
yakni dari pedagang dan keturunan
dari Syarif Awliya karim al-
Makhdum.
Pigafetta yang menyaksikan
langsung penduduk Sangihe dan
pulau disekitarnya memberikan
catatan mengenai penduduk lokal
yang menganut ajaran Kristen dan
Islam. Dia mencatat bahwa di
Sangihe, Kedatuan Kendahe telah
mengenal ajaran Islam yang dibawa
oleh tiga Imam bernama Mahdum,
Masud, dan Hadung. Dari
penjelasan Pigafetta ini
mengindikasikan bahwa Mahdum
yang dikenal adalah seorang Syarif
Awliya yang bernama Karim al-
Makhdum dari daratan Sulu, Jolo.
Oleh karena itu, Islamisasi di
Kepulauan Sangihe dapat disebut
sebagai bukti bahwa ajaran Islam
pernah mengisi skep dan space di
Kepuluan Sangihe melalui
pelabuhan Tahuna. Sampai
sekarang ajaran Islam masih
bertahan di Kepulauan Sangihe
dengan ajaran masade.
Selain peninggalan
pengaruh ajaran, nama sebagai
identitas pun masih terdapat dan
menjadi ciri khas penganut ajaran
Islam di Sangihe. Nama arab yang
merujuk pada tradisi dan gelar arab
digunakan oleh penguasa Kendahe.
Dia bernama Raja Syam Syah Alam
dengan gelar Syarif Maulana yang
berkuasa pada pertengahan abad ke
XVII M. Kedatuan di Sangihe tidak
hanya terdapat di daerah Kendahe,
namu beberapa daerah di daratan
Sangihe seperti Manganitu,
Tabukan, Tahuna, dan Siau
merupakan kedatuan yang merujuk
pada istilah kedatuan yang berada
di daratan semenanjung Melayu.
Melihat dari penjelasan Pigafetta
dan gelar yang tersemat pada
penguasa Kendahe, Syarif Maulana,
maka Islam di Kesultanan Sulu,
Jolo, dan di Kepulauan Sangihe
memiliki hubungan. Meskipun
tidak ada tahun pasti mengenai dari
siapa dan kapan Syam Syah Alam
mendapatkan gelar sebagai Syarif
Maulana, kita bisa melihat dari
silsilah yang terdapat pada
Kesultanan Manguindanao yang
dipipin oleh Sultan Syarif
Muhammad Kabungsuan. Ini
berarti bahwa bisa saja dan
memungkinkan bahwa Datu Syam
Syah Alam merupakan raja
bawahan dari Sultan Syarif
Maulana Kabungsuan.
Daratan Minahasa yang
menganut kepercayaan polytheisme
telah terlebih dahulu menjalin
hubungan dengan Spanyol sehingga
penduduk Minahasa telah memeluk
agama Katolik. Karena adanya
pengkhianatan dari spanyol yang
merusak perjanjian dengan rakyat
Minahasa maka, orang-orang
spanyol diusir dari tanah Minahasa
di bawah pimpinan Bortolemeu de
Souse (1651). Para pemimpin
Minahasa: Supit, Paat, dan Lontak
dengan segera meminta bantuan
kepada VOC agar Spanyol diusir
dari Minahasa. Akhirnya Belanda
mendirikan kembali loji dagang di
Manado pada tahun 1657 di bawah
pemerintahan Gubernur Sigimon
Cos dan Spanyol berhasil diusir
dari Minahasa pada tahun 1660.
Pengaruh Islam pun di tanah
Minahasa terasa ketika Ternate
berhasil memasukkannya sebagai
daerah istimewa. Rupanya hal ini
tidak terlepas dari pengaruh VOC,
Belanda, yang melakukan
pekebaran Injil sebelum pengaruh
Kesultanan Ternate menguat di
Minahasa. H.B. Palar memberikan
penjelasan mengenai pekabaran
Injil tersebut berdasarkan perjanjian
yang terjadi antara Ternate-VOC
menyepakati bahwa daerah yang
berada di bawah pengaruh Ternate
membuka diri bagi agama Islam,
kecuali daerah Minahasa
Highlanders atau orang Minahasa di
pegunungan yang menganut faham
alifuru.7 Ternyata pengaruh Ternate
di Minahasa tidak dapat ditemukan
dengan jelas apalagi pasca jatuhnya
Kesultanan Makassar berdasarkan
7 H.B. Palar, 2009, hal. 135-136.
perjanjian Bongaya (1667), namun
Sultan Ternate mengakui bahwa
rakyat Minahasa berada dalam
perlindungannya dan berhak
mendapatkan keamanan dan hak
beragama tanpa adanya paksaan
untuk memeluk agama Sultan
(Islam). Dari pengakuan Sultan
Ternate ini menunjukkan bahwa ia
menerima adanya pluralism agama
tanpa memaksa rakyat dan
menggunakan hak preogatifnya
untuk menyatukan agama seperti
yang terjadi di beberapa wilayah di
Nusantara.
Pengaruh Islam tidak hanya
berhenti di Minahasa saja, namun
dalam catatan H.M Taulu
menuliskan bahwa Islam di
MInahasa memang tidak
berkembang, namun ada sebuah
wilayah di pesisir selatan Minahasa
yang sebagian besar penduduknya
telah memeluk agama Islam. Dia
menuliskan bahwa Belang telah
mengalami Islamisasi dari seorang
Syarif yang telah laa menetap di
Ternate.8 Abdul Wahid Rais adalah
8 H. M. Thaulu, Sejarah Ringkas
Masuknya Islam di Sulawesi Utara,
syarif tersebut yang dikenal sebagai
seorang pedagang dari Ternate dan
menetap di Belang, hingga
memiliki keterunan sampai
sekarang.
Islamisasi dan jejak Islam
tidak berhenti di Minahasa. Daerah
lainnya di jazirah Sulawesi Utara,
Bolaang Mongondow, merasakan
pengaruh Islam dan mengalami
Islamisasi. Bolaang Mongondow
terdiri atas lima kerajaan pribumi
yang memiliki daerah kekuasaan
masing-masing. Kerajaan Bolaang
Mongondow, Kerajaan Bintuana,
Kerajaan Bolaang Itang, Kerajaan
Kaidipang, dan Kerajaan Bolaang
Uki. Distirik dari lime kerajaan ini
berada di daerah Kabupaten
Bolaang Mongondow sekarang.
Menurut catatan tertua di
Bolaang Mongondow, Islam
pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1653 di bawah pemerintahan
Raja Laloda Mokaagow.9
Mokaagow menjalin hubungan
persahabatan dengan Sultan Ternate
Manado, Yayasan Manguni Render, hlm.
8. 9 W. Dunnebier, Minahasa Past and
Present, hal 26.
dengan tujuan mendapatkan
keamanan dan mengakui
Kesultanan Ternate sebagai
penguasa tertinggi di Sulawesi
Utara berdasarkan perjanjian
Ternate dan VOC. Bolaang
Mongondow menjadi vassal
Ternate yang memberikan upeti
kepada Ternate. Namun Islamisasi
yang terjadi hanya sebatas di sekitar
istana kerajaan dan kerabat raja.
Rakyatnya masih menganut
kepercayaan leluhur, animism dan
dinamisme sebagai kepercayaan
utama hingga VOC mengambil alih
daerah Bolaang Mongondow dari
Ternate dan menyebarkan ajaran
Kristen di sana.
Pada masa selanjutnya,
Islam kembali berkembang melalui
daerah Lipung yang merupakan
daerah Kekuasaan Jacobus Manuel
Manoppo. Di Liping terdapat
seorang budak belian bernama
Imam Tueko dan pengaruh dari
beberapa Ulama dari Mekkah pada
akhir abad ke XIX M dan bahkan
pedagang Bugis dan Makassar dari
daerah Sulawesi Selatan. oleh
karena itu, Islam di daerah Bolaang
Mongondow, khususnya di daerah
Kotamobagu diterima oleh
masyarakat dan menjadi agama
dengan mayoritas penganut.10
Dengan dijadikannya Islam sebagai
agama resmi dikerajaan, maka raja
Jocobus Manuel Manoppo
mengintruksikan untuk mendirikan
sebuah masjid dan pesantren
dengan tujuan memperkenalkan
ajaran Islam.
C. Jejak Islam di Manado
Kisah dan sejarah mengenai
perkembangan agama di Manado
tidak hanya cerita mengenai
kristenisasi dan perkembangan
agama Kristen. Agama lain juga
menghiasi perkembangan dan
dinamika perubahan Manado.
Islam, Konghucu, Hindu dan
Buddha telah ada di Manado,
namun tidak sesukses
perkembangan ajaran Kristen yang
telah menjadi agama mayoritas di
Manado. Kehadiran agama lainnya
karena kedatangan para migran dari
berbagai daerah di Nusantara dan
10 A. Sigarlaki (eds), 1977, Sejarah Daerah
Sulawesi Utara, Manado: P3KD Sulawesi
Utara, hal. 187.
sekitarnya yang tujuan utama bukan
untuk islamisasi atau penyebaran
agama, melainkan hanya untuk
berdagang, bekerja, ataupun sebab
politik.11
Hubungan antara Belanda
dan penduduk Nusantara sudah ada
sejak jauh sebelum melakukan
kolonialisme di sini. Pada
pertengahan abad ke XVII
pengaruh Belanda yang menguat di
Nusantara ternyata membutuhkan
tambahan pasukan dan pekerja
untuk membantu mereka
menjalankan pemerintahannya.
Bantuan berupa tenaga fisik dan
keterempilan pun digunakan
belanda guna mengadakan
pembangunan atau diplomasi
politik dengan penguasa lokal.
Tercatat dalam sumber-sumber
belanda, terutama mengenai
Manado, bahwa mereka
membutuhkan tenaga terampil
untuk mendirikan benteng, rumah,
dan tempat lainnya sebagai bagian
dari kebijakan pemerintah belanda.
Mereka menggunakan tenaga
11 Ilham Daeng Makkelo, Kota Seribu
Gereja, Jogjakarta: Ombak, hal. 96.
terampil dari Tiongkok terutama
saat membangun benteng
Amsterdam pada tahun 1703.12
Selain dari orang Tiongkok,
pemerintah Belanda juga
menggunakan tenaga Muslim dari
Nusantara dan Timur Tengah untuk
berdagang dan melakukan
diplomasi dengan penguasa lokal,
atau bahkan sebagai buruh untuk
mendirikan benteng kayu di sekitar
residen belanda.13
Kedatangan pedagangan
arab ke Manado pada awal abad ke
XVIII (1704) untuk berdagang
menunjukkan bahwa mereka
diterima oleh belanda. Pada
awalnya mereka menetap di sekitar
pelabuhan Manado, kemudian
membentuk perkampungan di
sekitar benteng Amsterdam yang
pada akhirnya dikenal dengan
kampong Arab. tidak hanya di
Manado, sekitar pelabuhan Kema,
daerah Bitung sekarang, terdapat
kampung Islam yang mana mereka
memiliki perkampungan Islam
sendiri. Oleh karena itu, pelabuhan
12 Makkelo, hlm. 97-98 13 H.M. Taulu, Masuknya Agama Islam di
Sulawesi Utara, hal. 9.
tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh interaksi dan dinamika
masyarakat yang telah melakukan
mobilisasi serta menetap di suatu
daerah yang dianggap nyaman dan
aman bagi mereka.
Daerah pesisir yang menjadi
kantung-kantung pemukiman Islam
terlihat dengan jelas. Pola penataan
kota ini sama di beberapa daerah
Nusantara. Kantung-kantung Islam
berada di daerah pesisir yang
merupakan daerah pertama ditemui
oleh para pedagang dan pendatang
dari Arab. Kota manado dan
Minahasa pun sama yang memiliki
kantung-kantung penduduk Islam di
daerah pesisir. Pelabuhan Kema,
dan Manado adalah contoh yang
dapat dilihat sampai sekarang ini.
Pada masa selanjutnya,
dipertengahan abad XIX M,
isalamisasi di daerah Sulawesi
Utara semakin jelas. Meskipun
agama lslam tidak diterima secara
besar-besaran seperti yang terjadi di
Sumatera, Jawa, Makassar, dan
Maluku, namun terdapat proses
yang unik dan ciri khas islamisasi
di Manado. Sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas bahwa
Manado dan tanah Minahasa
bukannya luput atau memang
sengaja dilupakan, namun
penduduknya telah melakukan
perjanjian dan dengan sukarela
menerima ajaran samawi lainnya.
Dalam catatan Tribun
Manado, menuliskan terdapat
sebuah bukti arkeologi adanya
islamisasi yang terjadi di daerah ini.
Sebuah masjid bertahun 1802 telah
berdiri di kawasan Manado. Pada
tahun 1838, penduduk muslim
bertambah dan bangunan masjid
pun semakin membaik, hingga
diresmikan oleh Belanda yang
mengakui terdapat empat puluh
kepala keluraga yang beragama
islam di daerah tersebut. Bangunan
ini merupakan saksi bisu tonggak
perkembangan ajaran islam di
Sulawesi Utara. Masjid yang diberi
nama Awal Fathul Mubien yang
berarti sebagai awal atau pembuka
yang nyata. Kira-kira sekitar 1802
dengan keadaan bangunan masjid
masih menggunakan pondasi
karang berlantai papan.
Perkembangan di daratan
Minahasa lainnya, khususnya
Tondano juga merasakan pengaruh
agama Islam. Banyakanya migran
dan pejuang Nusantara yang
dibuang Belanda ke Tondano
merupakan sebuah keuntungan
tersendiri bagi Islamisasi di tanah
Minahasa. Peperangan yang
terkenal dengan Perang Jawa (Java
war) atau Perang Diponegoro pada
tahun 1825-1830 semakin
memperjelas pengaruh Islam dari
para pejuang Nusantara yang
diasingkan ke Tondano.
Pengasingan Pangeran
diponegoro dan Kyai Mojo oleh
belanda memberikan keuntungan
tersendiri bagi Islamisasi di
Tondano. Pangeran diponegoro
yang diasingkan di Tonadano oleh
belanda tidak bertahan lama, namun
Kyai Modjo masih tetap diasingkan
di Tondano. Pangeran Diponegoro
kemudian diasingkan kembali ke
Makassar,14 Karena belanda takut
ada perlawan kembali dari para
pengikut Pangeran Diponegoro dan
14 Margono Djojohadikusumo,
Herinneringen Uit Drei Tijdperken, 1969,
Jakarta: Indira, hal 12.
Kyai Mojo. Tidak hanya pangeran
Diponegoro dan Kyai Mojo yang
diasingkan ke jazirah Minahasa,
melainkan beberapa pejuang pun
diasingkan belanda. Adalah seorang
pemimpn agama dari tanah
Sumatera, Imam Bonjol yang
diasingkan kemudian oleh belanda
karena perlawanannya untuk
menjaga tanah kelahirannya di
Sumatera.
Selain berjuang dengan
menggunakan fisik, Pangeran
Diponegoro dan Kyai Mojo juga
menggunakan diplomasi terhadap
Belanda, namun Belanda tidak
menyukai siasat yang digunakan
oleh Kyai Mojo hingga dia
ditangkap Belanda pada tahun 1828
di Klaten. Penangkapan kyai mojo
berakhir dengan dikirimnya ke
daerah Minahasa bersama dengan
62 orang pengikutnya dan pada
tahun 1830 sampai di Tondano dan
mendirikan tempat tinggal.15
Mayoritas dari mereka berasal dari
15 Slamin Djakaria, “Sekelumit Tentang
Kampung Jawa Tondano”, dalam Nasrun
Sandiah dan Alex J. Ulaen (eds.), Niyaku
Tondano, Manado: BKSNT Manadao,
2002, hal. 15.
Pulau Jawa dan selain sebagai
seorang pejuang, mereka juga
adalah ulama.
Pada tahun 1831, tahun
pertama di Tondano, sebagai awal
berdirinya Kampung Jawa
Tondano, tahun dimana Kyai
Modjo baru memasuki usia 40
tahun. Tahun itu adalah tahun kerja
keras, tahun bermandikan peluh dan
keringat, tahun dimulainya
persahabatan antara orang Tondano
dan ”orang jawa pendatang”. Tahun
itu, tangan dan kaki telanjang
”orang jawa pendatang” menjadi
sekop dan pacul, kayu menjadi
bajak, rawa ganas diubah menjadi
ladang, menanam apa yang bisa
menjadi makanan. Tahun pertama
dengan strategi kerja keras dan
moralitas tinggi yang dipimpin oleh
Kyai Modjo dan mengajari
penduduk Tondano cara bercocok
tanam yang baik ternyata telah
membuat penduduk asli Tondano
sangat ”welcome”. Sikap dan
ahklak yang ditunjukan telah
menarik perhatian penduduk asli
Tondano. Bahkan para
”Lolombulan” (sebutan untuk anak
gadis asli Tondano pada masa itu)
tertarik untuk berkenalan dengan
laki-laki ”orang-orang jawa
pendatang” itu, dan terbukalah
pintu gerbang perkawinan antara
”orang-orang jawa pendatang”
dengan para ”lolombulan”.
Selain datangnya
gelombang islamisasi dari Jawa,
pada tahun 1841 datang pula
seorang ulama dari Sumatera, Imam
Bonjol. Ia adalah seorang ulama
yang diasingkan oleh Belanda ke
daerah Sulawesi Utara. Di sana, ia
melakukan isalmisasi dengan
mengajarkan agama islam kepada
penduduk lokal. Mereka semakin
terbuak dengan pengajaran islam
yang mengandung persamaan dan
persaudaraan.
Babcock memberikan
keterangan mengenai pengaruh
Islam dan orang Islam di Tondano.
Pengaruh umat Islam di Tondano
juga berasal dari seorang
Kedatangan yang bernama Syarif
Abdullah Assegaf. Tidak hanya di
Tondano, kantong-kantong Islam
juga ada dibeberapa daerah di
Manado dan bertahan hingga
sekarang.16 dan pengasingan kyai
Modjo memberikan dampak positif
dengan terbentuknya beberapa
pemukiman muslim. Bahkan
terdapat madrasah, dan instansi
pendidikan yang berasaskan islam.
Salah satu contoh yang masih
berdiri hingga sekarang ialah
kampung muslim yang terdapat di
daerah Tuminting. Banyaknya
pondok pesantren yang berdiri di
era ke-20 membuktikan eksistensi
muslim sebagai agama yang
memiliki pengaruh di daerah
Sulawesi Utara. Hal ini merupakan
dampak dari pola islamisasi
perkawinan dengan penduduk lokal
dan pengajaran yang diberikan
kepada mereka.
Dengan demikian perluasan
islamisasi di daerah Sulawesi utara
dilandaskan pada beberapa unsur
diantaranya: sosial, politik, dan
ekonomi. Kedatangan pedagang
asing, para pejuang dan ulama dari
Jawa, Sumatera, dan daerah lainnya
di Nusantara memberikan warna
baru bagi kehidupan sosial
keagamaan di Sulawesi Utara.
16 Minahasa past and present hal. 75
Sturuktur sosial yang terbuka
dengan adanya interaksi
menunjukkan bukti bahwa adanya
sikap terbuka dan islamisasi yang
damai. Pekerjaan para penduduk
local yang bergantung pada alam,
kemudian bertambah dengan
adanya keahlian baru untuk
pemanfaatan lahan untuk jangka
panjang menarik perhatian para
penduduk local untuk menjalin
ikatan dengannya.
D. PENUTUP
Masuknya islam di berbagai
daerah Nusantara berawal dari
interaksi antara pedagang dan
penduduk lokal. Secara umum, para
sejarawan dan cendikiawan sepakat
bahwa islam di Nusantara pertama
kali dibawa oleh para pedagang,
walaupun pada tujuan awalnya
bukan untuk islamisasi, yang
kemudian pada akhirnya
menyebarkan ajaran agama islam
melalui interaksi sosial. Pedagang-
pedagang ini bertujuan mencari
sumber rempah-rempah yang
terkenal di barat karena rasa, aroma
dan harganya yang mahal, sehingga
mereka berlomba untuk
mendaptkannya. Tujuan utama dari
pelayaran ini, bagi dunia arab dan
Negara-negara islam di timur-
tengah, ialah mengembalikan
kestabilan ekonomi yang merosot
pasca terjadinya perang panjang
dengan tentara salib serta
mengembalikan kekuasaan khilafah
yang hancur. Oleh karena itu, para
pedagang arab melakukan
pelayaran.
Masyarakat yang terbuka
menjadi salah satu faktor terjadinya
isalamisasi dengan cepat. Penduduk
local di Sulawesi Utara tergolong
masyarakat yang mau menerima
sebuah peradaban dan pengaruh
baru. Hal ini terbukti ketika para
pendatang dari Eropa, Belanda,
Spanyol, dan Portugis diterima
dengan baik oleh para penduduk
local. Penerimaan ini dikarenakan
adnanya unsure-unsur penting,
begitupun ketika para pedagang
dari Arab dan Cina datang ke
daerah ini, kepentingan berdagang
adalah salah satu unsure dan faktor
mereka dapat menerima para
pendatang.
Ketika terjadi Islamisasi,
masyarakat lokal pun, terutama
rakyat Tondano, tidak menolak hal
tersebut. Kyai Modjo yang
notabenenya seorang tawanan dapat
diterima dengan baik oleh
penduduk setempat, bahkan
sebagaian dari mereka banyak
yang belajar dan berguru
kepadanya. Selain Kyai Modjo, ada
juga Imam Bonjol seorang Ulama
dari Sumatera yang menjadi
tawanan dan di sana, dia
mengajarkan agama Islam kepada
penduduk setempat.
Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa Islamisasi di
daerah Sulawesi Utara tergolong
berhasil, walaupun dari segi
kwantitasnya sangat sedikit, bahkan
minorotas sampai sekarang.
Tercatat dalam sejarah, bahwa
kristenisisi yang dilakukan oleh
Belanda di daerah Sulawesi Utara
sangat mudah diterima oleh
masyarakat setempat dan berakar
kuat, namun beberapa daerah di
Sulawesi Utara memiliki basis
Islam yang cukup kuat, terutama di
daerah Tondano, Bolaang-
Mongondow, dan Gorontalo –
sebelum mengalami pemekaran.
Daftar Pustaka
Azra, Asyumardi., 1995, Jaringan
Ulama: Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII.
Bandung: MIZAN.
Daeng Makkelo, Ilham, Kota
Seribu Gereja: Dinamika
Penggunaan Ruang di
Kota Manado, Jogjakarta:
Ombak, 2010.
Hayase, Shinzo, Domingo M. Non
dan Alex J. Ulaen, 1999,
Silsilah/Tarsilas
(Genealogis) and
Historical Narratives in
Saranggani Bay and
Davao Gulf, South
Mindanao, Philippnes,
and Sangihe-Talaud
Islands, North Sulawesi,
Indonesia, Japan: CSAS
Kyoto University.
In The Permanent Court of
Arbitration, The Hague,
National Printing Office,
1925.
Lapian, A. B., 2008, Pelayaran dan
Perniagaan Abad 16 dan
17, Jakarta: Komunitas
Bambu.
Lapian, A. B., 2009, Orang Laut,
Bajak Laut, Raja Laut:
Sejarah Kawasan Laut
Sulawesi Abad XIX.
Jakarta: Komunitas
Bambu.
Manus, L. Th., 1978, Sejarah
Kebangkitan Nasional
Daerah Sulawesi Utara,
Manado, P3KD
Depdikbud Sulawesi
Utara.
Reid, Anthony., 2011, Asia
Tenggara Dalam Kurun
Niaga 1450-1680, Jilid 2:
Jaringan Perdagangan
Global. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Ricklefs, M. C., 2005, Sejarah
Indonesia Modern.
Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Nusantara.
Sari, Anis Puteri, 2010, Majalah
Nur Hidayah, 20 Agustus
2010.Artikel JIB (Jejak
Islam Untuk Bangsa)
yang diterbitkan pada
tanggal 14 oktober 2013.
Suryadi, 2007, Jakarta: Kompas.
Terbitan 10 November
20007.
Sagimun M. D., 1976, Pangeran
Diponegoro : Pahlawan
nasional. Jakarta: Proyek
Biografi Pahlawan
Nasional, Departemen
Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sandiah, Nasrun, dan Alex J. Ulaen
(ed.), Niyaku Tondano,
BKSNT Manado, 2002.
Sigarlaki, A. (eds), 1977, Sejarah
Daerah Sulawesi Utara,
Manado: P3KD Sulawesi
Utara.
Thaulu, H. M., Sejarah Ringkas
Masuknya Islam di
Sulawesi Utara, Manado,
Yayasan Manguni
Render
van Leur, J. C., 1960, Indonesia
Trade and Society, The
Hague dan Bandung.
Recommended