View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016
TESIS
Oleh
T. MUKHLIS 137032239/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2016
Universitas Sumatera Utara
DRUG MANAGEMENT AT THE HEALTH AGENCY OF LHOKSEUMAWE, IN 2016
THESIS
By
T. MUKHLIS 137032239/IKM
MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
2016
Universitas Sumatera Utara
MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
T. MUKHLIS 137032239
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2016
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji Pada Tanggal : 18 Oktober 2016 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M 2. dr. Heldy BZ, M.P.H 3. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN
MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN
KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 18 Oktober 2016 Penulis
T. Mukhlis 137032239/IKM
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat. Perumusan masalah penelitian yaitu bagaimanakah manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam. Informan pada penelitian ini adalah seluruh staf yang terlibat pada manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan yaitu berjumlah 7 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe belum berjalan maksimal, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan pemakaian obat, pencatatan dan pelaporan belum lengkap, masih terdapat jumlah dan jenis obat yang tidak sesuai permintaan Puskesmas dan masih terdapat obat kadaluwarsa, serta pelatihan pengelolaan obat di Puskesmas belum dilaksanakan. Namun, perencanaan obat telah dilaksanakan oleh Tim perencanaan obat dan pemilihan kebutuhan obat menggunakan metode konsumsi didasarkan pada obat generik yang tercantum dalam DOEN dan Fornas. Kesimpulan penelitian ini adalah perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilaksanakan oleh tim perencanaan obat. Perencanaan kebutuhan obat telah dilaksanakan sesuai tahapan perencanaan. Sering terjadi keterlambatan laporan LPLPO. Waktu pengadaan dan kedatangan obat belum mengikuti ketepatan waktu yang disepakati. Pada saat penerimaan obat masih terdapat obat yang hampir kadaluwarsa. Penyimpanan obat dilakukan di Gudang Farmasi. Pengaturan tata ruang kurang baik, masih terdapat penumpukan obat dan terdapat obat kadaluwarsa. Pendistribusian obat dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas dilaksanakan dengan cara mengambil langsung ke Gudang Farmasi. Masih terdapat jumlah dan jenis obat yang tidak sesuai permintaan Puskesmas. Kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas belum berjalan dengan efektif dan efisien.
Kata Kunci : Perencanaan Obat, Pengadaan Obat, Penyimpanan Obat, Pendistribusian Obat, Supervisi dan Evaluasi Pengelolaan Obat
i Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
An effective medicinal management is needed to guarantee the availability of medicines in correct types and total numbers. The research problem was how about the medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe. The objective of the research was to find out medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe. The research used qualitative method. The data were gathered by conducting in-depth interviews, and there were 7 informants that consisted of the staffs in charge of medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe. The result of the research showed that the medicinal management in the Health Agency of Lhokseumawe was not maximal due to the lateness in reporting the use of medicines, incomplete records and reporting the kinds and imbalance between the number of medicines and the request from Puskesmas, expired medicines, and no training about medicinal management at Puskesmas. However, medicinal planning had been carried out by the Medicinal Planning and Medicinal Need Selection Team using consumption method based on generic medicines in DOEN and Fornas. The conclusion of the research was that medicinal planning in the Health Agency of Lhokseumawe was carried out by the Medicinal Planning Team according to the planning stages, but lateness in LPLPO report often occurred. The procurement and supply of medicines were not punctual, and there were still expired medicines. The medicines were stored in the Pharmacy Storage. The layout was bad since there was still the heap of medicines and expired medicines. The distribution of medicines from the health Agency to Puskesmas was done by getting them directly from the Pharmacy Storage. There was still the number of and the types of medicines which were not in accordance with the demand of the Puskesmas. The supervision and evaluation of medicinal management in Puskesmas did not run effectively and efficiently.
Keywords: Medicinal Planning, Medicinal Procurement, Medicinal Storage, Medicinal Distribution, Medicinal Supervision and Management
ii Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan,
selawat dan salam kepada Nabi Rasullulah Muhammad SAW atas rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul MANAJEMEN
PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE
TAHUN 2016 .
Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih dan penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara
3. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara
4. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes, selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak
membantu mengarahkan penulis untuk penyelesaian tesis ini
5. dr. Fauzi, S.K.M selaku anggota Komisi Pembimbing yang memberikan saran
perbaikan penulisan tesis ini
iii Universitas Sumatera Utara
6. dr. Heldy BZ, M.P.H dan Dra. Jumirah, Apt, M.Kes selaku Komisi Penguji yang
memberikan kritik dan masukan penulisan tesis ini
7. Ayahanda H. T. Soekman dan Ibunda Hj. Marwati M. Nur yang senantiasa
berdoa dan memberikan dukungan baik moril dan materiil dalam menyelesaikan
pendidikan
8. Keluarga tercinta T. Aznal Zahri, T. Zainal Amri, Cut Mustika Sari, Merry, dan
Safriadi yang senantiasa berdoa dan memberikan dukungan dalam penyelesaikan
pendidikan
9. Seluruh Dosen Program Studi S2 IKM dan seluruh Staf Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu
10. Rekan-rekan mahasiswa S2 peminatan AKK angkatan 2013 dan 2014 yang
memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis
Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan ridho-Nya bagi kita dan bagi
semua pihak yang telah membantu. Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran untuk penyempurnaannya.
Medan, 18 Oktober 2016 Penulis
T. Mukhlis 137032239/IKM
iv Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
T. Mukhlis dilahirkan di Lhoksukon pada tanggal 12 Mei 1982 dari pasangan
H. T. Soekman dan Hj. Marwati M. Nur, anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis
beragama Islam dan bertempat tinggal di JL. Medan-Banda Aceh Desa Tutong No.
14 Lhoksukon, Aceh Utara. Penulis mulai sekolah dari Tahun 1988-1989 di SD
Negeri Pangkat Lhoksukon, Tahun 1989-1991 di SD Negeri Muhammadiyah
Lhoksukon, Tahun 1991-1994 SD Negeri Bertingkat Lhoksukon, Tahun 1994-1997
di SMP Negeri 1 Lhoksukon, dan Tahun 1997-2000 di SMU Negeri 2 Modal Bangsa
Aceh Besar. Kemudian Tahun 2000-2006 Penulis melanjutkan pendidikan S1-
Kedokteran Umum di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.
Tahun 2013 penulis mengikuti pendidikan lanjutan pada Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra
Utara (USU) dengan minat studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK).
Penulis pernah bekerja dari April-Oktober 2007 sebagai dokter PTT Puskesmas
Patek, November 2007-Maret 2008 sebagai dokter PTT Puskesmas Lhok Kruet
Kabupaten Aceh Jaya dan Maret 2008-sekarang penulis bekerja sebagai dokter
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Puskesmas Blang Cut Pemkot Lhokseumawe.
v Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ......................................................................................................... i ABSTRACT .......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. v DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 8 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11
2.1. Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan ......................... 11 2.2. Tinjauan Umum tentang Obat .......................................................... 26 2.3. Dasar Kebijakan Pengelolaan Obat ................................................. 28
2.4. Indikator Pengelolaan Obat ............................................................. 32 2.5. Kerangka Pikir ................................................................................. 37
BAB 3. METODE PENELITIAN ...................................................................... 38
3.1. Jenis Penelitian ................................................................................ 38 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 38 3.3. Informan ( Sumber Informasi) ......................................................... 38 3.4. Instrumen Penelitian ........................................................................ 40 3.5. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 40 3.6. Definisi Konsep ............................................................................... 41 3.7. Metode Pengolahan Data ................................................................. 42 3.8. Metode Analisa Data ........................................................................ 43
BAB 4. HASIL PENELITIAN ........................................................................... 44
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................. 44 4.1.1.Letak dan Batas Wilayah ........................................................ 44 4.1.2.Data Demografi ....................................................................... 45 4.2. Visi Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ............................. 46 4.3. Derajat Kesehatan Kota Lhokseumawe ........................................... 47 4.4. SDM Kesehatan Kota Lhokseumawe .............................................. 49 4.5. Informan Penelitian .......................................................................... 51
vi Universitas Sumatera Utara
4.6. Perencanaan Obat di Dinkes Kota Lhoksweumawe ........................ 51 4.7. Pengadaan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe .............................. 55 4.8. Penyimpanan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe ......................... 58 4.9. Pendistribusian Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe ....................... 63 4.10.Supervisi dan Evaluasi Obat .......................................................... 67
BAB 5. PEMBAHASAN ..................................................................................... 70
5.1. Perencanaan Obat di Dinkes Kota Lhokseumawe ........................... 70 5.2. Pengadaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe .............. 75 5.3. Penyimpanan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe .......... 80 5.4. Pendistribusian Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ....... 84 5.5. Supervisi dan Evaluasi Obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhoseumawe .................................................................................... 88 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 97
6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 97 6.2. Saran ................................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 101 LAMPIRAN
vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman 3.1 Informan dalam Penelitian ........................................................................ 39
4.1 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan ..................................................... 45
4.2 Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan ............................................... 46
4.3 Informan Penelitian ................................................................................... 50
viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman 2.5. Kerangka Pikir Penelitian .......................................................................... 37
4.1 10 Penyakit Terbanyak .............................................................................. 48
4.2 Jumlah Tenaga Kesehatan Kota Lhokseumawe ........................................ 50
ix
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI Tahun 2010 tentang materi pelatihan manajemen kefarmasian di
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, disebutkan bahwa obat merupakan komponen
esensial dari suatu pelayanan kesehatan, selain itu karena obat sudah merupakan
kebutuhan masyarakat, maka persepsi masyarakat tentang hasil dari pelayanan
kesehatan adalah menerima obat setelah berkunjung ke sarana kesehatan, yaitu
Puskesmas, Poliklinik, Rumah Sakit, Dokter praktek swasta dan lain-lain. Oleh
karena vitalnya obat dalam pelayanan kesehatan, maka pengelolaan yang benar,
efisien dan efektif sangat diperlukan oleh petugas di Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1996, belanja obat
merupakan anggaran terbesar biaya kesehatan. Di Indonesia biaya obat berkisar 40
persen anggaran kesehatan, namun sebagian besar dari populasi mungkin tidak
memiliki akses terhadap obat esensial. Dana yang tersedia terbatas dan sering
dihabiskan untuk obat tidak efektif, tidak perlu, atau bahkan berbahaya. (Depkes RI,
2002).
Saat ini dana pemerintah untuk kesehatan telah dimasukkan ke dalam Dana
Alokasi Umum (DAU), karena itu anggaran obat untuk pelayanan kesehatan dasar di
daerah menjadi tanggung jawab pemda. Anggaran obat untuk pelayanan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
dasar di daerah sangat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena
adanya perbedaan visi dan persepsi Pemda tentang kesehatan. Walaupun demikian
pemerintah pusat tetap bertanggung jawab membantu kabupaten/kota menyediakan
obat untuk keperluan bencana dan kekurangan obat. (Depkes RI, 2006).
WHO mendefinisikan obat esensial sebagai obat untuk memenuhi kebutuhan
mayoritas penduduk, karena itu harus selalu tersedia. Alasan pemilihan dan
penggunaan obat esensial adalah untuk mengarahkan ke perbaikan pasokan obat-
obatan, resep yang lebih rasional, dan biaya yang lebih rendah. Pada kenyataannya,
penggunaan yang tepat obat esensial adalah salah satu strategi yang paling efektif
yang dapat diberlakukan oleh suatu negara. (Olson, 2012).
Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan komponen terakhir dari rantai
pasokan farmasi. Pengelolaan obat di tingkat pusat langsung mempengaruhi kualitas
kesehatan. Jika obat-obatan secara konsisten tidak tersedia, pasien menderita dan
anggota staf kehilangan motivasi. Semua orang kehilangan kepercayaan dalam sistem
kesehatan, dan kehadiran pasien menurun. Pengelolaan obat konstan dapat
mempromosikan pelayanan kesehatan yang efektif, membangkitkan rasa percaya di
fasilitas kesehatan, dan memberikan kontribusi untuk kepuasan kerja dan harga diri
pekerja. (Sallet, 2012).
Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut
aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, serta
penggunaan obat secara rasional. Pengelolaan obat yang efektif terletak pada
kebijakan dan kerangka hukum yang membangun dan mendukung komitmen publik
Universitas Sumatera Utara
untuk pasokan obat esensial dan dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi. Panduan ini
memberikan konsep dan pendekatan yang dapat menghasilkan perbaikan kesehatan
terukur melalui akses yang lebih besar dan penggunaan obat rasional. (Embrey,
2012).
Tujuan pengelolaan obat adalah tersedianya obat esensial dan dapat diakses
oleh seluruh penduduk, menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diproduksi
dan pemerataan distribusi, meningkatkan kehadiran obat esensial di fasilitas
kesehatan, penggunaan obat rasional oleh masyarakat. (Embrey, 2012).
Untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, penggunaan obat
esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus disesuaikan dengan pedoman
pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat berkaitan dengan pengelolaan obat.
Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan
jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi standar mutu sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan No. HK. 02.02/Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional
sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.
02.02/Menkes/137/2016.
Alasan memilih obat esensial adalah bahwa hal itu dapat menyebabkan
pasokan yang lebih baik, penggunaan lebih rasional, dan biaya yang lebih rendah.
Obat esensial dianggap memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan mayoritas
penduduk dan harus tersedia dalam bentuk sediaan yang tepat dan bermutu setiap
saat. Karena pemilihan obat memiliki dampak yang cukup besar pada kualitas
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan dan biaya pengobatan, itu adalah salah satu cara yang paling
murah untuk dilakukan intervensi. (Olson, 2012).
Ketersediaan obat didukung oleh industri farmasi yang berjumlah sekitar 204
perusahaan dan 90% berlokasi di pulau Jawa, telah dapat memproduksi 98%
kebutuhan obat nasional, namun sebagian besar bahan baku masih di impor.
Ketergantungan terhadap impor bahan baku obat ini dapat menyebabkan tidak
stabilnya penyediaan obat nasional dan mengakibatkan fluktuasi harga obat. (Depkes
RI, 2006).
Pelayanan kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan
bertujuan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, keamanan
penggunaan obat dan efisiensi biaya obat, serta meningkatkan kualitas hidup pasien
harus mengikuti praktek pelayanan kefarmasian yang sebagaimana yang dianjurkan
oleh WHO. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa praktik pelayanan
kefarmasian belum terlaksana sebagaimana mestinya dihampir semua Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP), strata kedua (Rumah Sakit kelas C dan B non
pendidikan), strata ketiga (rumah sakit kelas B pendidikan dan kelas A) dan farmasi
komunitas (apotek). Pelayanan kefarmasian yang belum mengikuti pelayanan
kefarmasian yang baik tidak hanya disebabkan oleh sistem pengelolaan obat,
ketersediaan obat, tetapi juga karena ketersediaan, pemerataan dan profesionalisme
tenaga farmasi yang masih kurang. (Depkes RI, 2006).
Beberapa hal yang masih menjadi permasalahan dalam pengelolaan obat di
Indonesia antara lain, masih ada Pemerintah Daerah yang belum mengalokasikan
Universitas Sumatera Utara
anggaran untuk obat secara optimal karena kurangnya komitmen Pemerintah Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengalokasikan anggaran bagi penyediaan obat
dari APBD sehingga biaya untuk obat mengandalkan anggaran Dana Alokasi Khusus
(DAK). (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan
keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan
jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e-
purchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara
elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak
diskriminatif dan akuntabel.
Dengan telah terbangunnya sistem E-Catalogue Obat, maka seluruh Satuan
Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) atau Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dalam
pengadaan obat baik untuk program Jaminan Kesehatan Nasional maupun program
kesehatan lainnya tidak perlu melakukan proses pelelangan, namun dapat langsung
memanfaatkan sistem E-Catalogue obat dengan prosedur E-Purchasing. Dengan
adanya perubahan sistem pengadaan obat ini, diperlukan proses adaptasi baik pada
satuan kerja sebagai pengguna, industri sebagai penyedia obat, dan distributor. Hal ini
mempengaruhi pengadaan obat di setiap jenjang dan berdampak pada ketersediaan
obat.
Siklus distribusi obat dimulai pada saat produk obat keluar dari pabrik atau
distributor, dan berakhir pada saat laporan konsumsi obat diserahkan kepada unit
Universitas Sumatera Utara
pengadaan. Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain sistem dan manajemen
yang baik dengan cara antara lain: menjaga suplai obat tetap konstan,
mempertahankan mutu obat yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat
yang tidak terpakai karena rusak atau kadaluwarsa dengan perencanaan yang tepat
sesuai kebutuhan masing-masing daerah, memiliki catatan penyimpanan yang akurat,
rasionalisasi depo obat dan pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan
obat. (Clark, 2012).
Setiap fasilitas kesehatan perlu menyimpan dan mengelola obatnya. Sistem
penyimpanan bertujuan untuk memastikan penyimpanan aman, penyimpanan dalam
kondisi lingkungan yang benar, pencatatan akurat, penataan yang efektif, dan
pemantauan obat yang kadaluwarsa, serta pencegahan pencurian. Penyimpanan harus
terletak di dalam gedung yang tahan cuaca kering. Obat harus diatur dan mudah
diakses, disimpan di rak-rak (sebagian besar obat di fasilitas kesehatan disimpan di
rak-rak). Ruang dan peralatan pendingin harus disediakan untuk pendingin vaksin dan
barang-barang lainnya. Suhu dan tingkat kelembaban harus dikontrol dalam batas-
batas yang tepat, dan ruang harus memiliki ventilasi yang baik. (Sallet, 2012).
Dinas Kesehatan sebagai unsur Pemerintah Daerah di bidang kesehatan
diharapkan dapat memberikan yang terbaik pada masyarakat, maka Dinas Kesehatan
Kota Lhokseumawe merumuskan VISI dan MISI sebagai satu kesatuan dengan
rangkaian kebijakan yang akan dilaksanakan dari tahun ke tahun. Salah satu
kebijakan Dinas Kesehatan dalam rangka mencapai visi adalah dengan meningkatkan
dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan SDM
Universitas Sumatera Utara
secara berkelanjutan, sarana dan prasarana dalam bidang medis termasuk
ketersediaan obat yang terjangkau masyarakat. Ketersediaan obat menjadi salah satu
kebijakan yang dilaksanakan untuk mendukung pelayanan kesehatan yang ada.
(Dinkes Kota Lhokseumawe, 2014).
Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti, perencanaan kebutuhan obat di
Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilakukan oleh Kepala Seksi Bidang
Kefarmasian dengan menggunakan metode konsumsi, dilakukan secara manual dan
belum terkomputerisasi, hal ini dapat menyulitkan petugas menentukan dalam
menentukan jumlah persediaan. Puskesmas sering mengalami keterlambatan dalam
pengiriman berkas Laporan Pemakaian dan Lembar Permintan Obat (LPLPO) ke
Dinas Kesehatan.
Hasil observasi peneliti di Gudang Farmasi Dinkes Kota Lhokseumawe
menunjukkan bahwa masih terjadi penumpukan beberapa jenis obat yang sudah
cukup lama tidak didistribusikan, hal ini mencerminkan ketidaktepatan perencanaan
kebutuhan obat tidak tepat atau kurang baiknya sistem distribusi. Masih terdapat
penumpukan obat yang kadaluwarsa di Gudang Farmasi, kemungkinan dikarenakan
kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan dan dapat menimbulkan kerugian
biaya.
Menurut Cheng dan Whittemorre (2008) yang meneliti tentang manajemen
rantai pasok di rumah sakit, sistem yang masih manual menjadi salah satu penyebab
dari kelebihan pemesanan yang akhirnya menimbulkan persediaan yang berlebih.
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan logistik sangat ditentukan oleh kegiatan perencanaan, misalnya
dalam menentukan barang yang pengadaannya melebihi kebutuhan. Hal tersebut
dapat merusak suatu siklus manajemen logistik secara keseluruhan, sehingga
menimbulkan pemborosan dan pembengkakan dalam biaya, akhirnya obat tidak
tersalurkan sehingga bisa rusak atau kadaluwarsa meskipun baik pemeliharaannya di
gudang. (Seto, 2004).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimanakah perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Tahun 2016?
2. Bagaimanakah pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Tahun 2016?
3. Bagaimanakah penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Tahun 2016?
4. Bagaimanakah pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Tahun 2016?
5. Bagaimanakah supervisi dan evaluasi manajemen pengelolaan obat di Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016?
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitan
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimanakah manajemen
pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
Berkaitan dengan tujuan umum diatas, maka tujuan khusus dalam penelitian
ini adalah untuk :
1. Mengetahui perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun
2016?
2. Mengetahui pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun
2016?
3. Mengetahui penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Tahun 2016?
4. Mengetahui pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Tahun 2016?
5. Mengetahui supervisi dan evaluasi manajemen pengelolaan obat di Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2016?
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain :
1. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan konsep manajemen
pengelolaan obat melalui proses perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian dan pengawasan obat
2. Penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe dalam rangka penentuan arah kebijakan dan
perbaikan dalam hal manajemen pengelolaan obat
3. Bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan Puskesmas di
wilayah kerjanya dalam rangka menyusun perencanaan kebutuhan obat secara
efektif dan efisien
4. Bagi Peneliti diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam
mengaplikasi ilmu pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pendidikan
di Universitas Sumatra Utara (USU).
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan
Manajemen berasal dari bahasa inggris yaitu "Manage" yang berarti,
mengurus, mengelola, mengendalikan, mengusahakan, memimpin. Sedangkan
pengertian manajemen secara etimologis adalah seni melaksanakan dan mengatur.
Pengertian manajemen juga dipandang sebagai disiplin ilmu yang mengajarkan
proses mendapatkan tujuan organisasi dalam upaya bersama dengan sejumlah orang
atau sumber milik organisasi.
Menurut Gulick yang dikutip oleh Wijayanti (2008), mendefinisikan
manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang berusaha secara sistematis
untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama-sama untuk
mencapai tujuan dan bermanfaat bagi kemanusiaan.
Menurut Terry dan Leslie (2010), menjelaskan bahwa manajemen adalah
suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu
kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud
yang nyata. Manajemen merupakan suatu proses yang khas yang terdiri atas tindakan-
tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian untuk
menentukan serta mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan
sumber daya lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan definisi yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
manajemen merupakan usaha yang dilakukan secara bersama-sama untuk
menentukan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan
pengawasan (controlling). (Terry dan Leslie, 2010).
Pengertian pengelolaan obat adalah bagaimana cara mengelola tahap-tahap
dari kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan saling mengisi sehingga
dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan efisien agar obat yang
diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat dibutuhkan dalam jumlah cukup dan
mutu terjamin untuk mendukung pelayanan yang bermutu.
(Anief, 2007).
Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut
aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, serta
penggunaan obat secara rasional. Pengelolaan obat yang efektif terletak pada
kebijakan dan kerangka hukum yang membangun dan mendukung komitmen publik
untuk pasokan obat esensial dan dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi. Panduan ini
memberikan konsep dan pendekatan yang dapat menghasilkan perbaikan kesehatan
terukur melalui akses yang lebih besar dan penggunaan obat rasional. (Embrey,
2012).
Tujuan pengelolaan obat adalah tersedianya obat esensial dan dapat diakses
oleh seluruh penduduk, menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diproduksi
Universitas Sumatera Utara
dan pemerataan distribusi, meningkatkan kehadiran obat esensial di fasilitas
kesehatan, penggunaan obat rasional oleh masyarakat. (Embrey, 2012).
Menurut Quick (1997), bahwa dalam sistem manajemen obat, masing-masing
fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi
selanjutnya. Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap
kebutuhan untuk melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan,
perencanaan dan pengadaan memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Siklus
manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management
support) yang meliputi organisasi, keuangan, atau finansial, sumber daya manusia
(SDM), dan sistim informasi manajemen (SIM). Setiap tahap siklus manajemen obat
yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga pengelolaan dapat
berlangsung secara efektif dan efisien.
2.1.1 Perencanaan Obat
Perencanaan yaitu sebagai dasar pemikiran dari tujuan dan penyusunan
langkah-langkah yang akan dipakai untuk mencapai tujuan. Merencanakan berarti
mempersiapkan segala kebutuhan, memperhitungkan matang-matang apa saja yang
menjadi kendala, dan merumuskan bentuk pelaksanaan kegiatan yang bermaksud
untuk mencapai tujuan (Terry dan Leslie, 2010).
Perencanaan di bidang kesehatan pada dasarnya merupakan suatu proses
untuk merumuskan masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan
kebutuhan dan sumber daya yang harus disediakan, menetapkan tujuan yang paling
pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan yang
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan. Perencanaan menurut ilmu administrasi kesehatan terdapat 3 aspek pokok
yang harus diperhatikan meliputi: hasil kerja perencanaan (outcome of planning),
perangkat perencanaan (mechanic of planning), dan proses perencanaan (process of
planning).
Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat antara lain :
a. Tahap Pemilihan Obat
Fungsi seleksi/pemilihan obat adalah untuk menentukkan apakah obat benar-
benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah. Untuk
mendapatkan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan dasar-dasar
seleksi kebutuhan obat yaitu meliputi: (Kemenkes, 2010).
1) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan
efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan
ditimbulkan
2) Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari
duplikasi dan kesamaan jenis
3) Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih
baik
4) Hindari penggunaan kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek
yang lebih baik dibanding obat tunggal
5) Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug
of choice) dari penyakit yang prevalensinya
Universitas Sumatera Utara
b. Tahap perhitungan kebutuhan obat
Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan
masing-masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/puskesmas selama setahun dan
sebagai pembanding bagi stok optimum. (Kemenkes, 2010).
Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah:
1) Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan
kesehatan/puskesmas
2) Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh
unit pelayanan kesehatan/puskesmas
3) Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat kabupaten/kota
Tahap perhitungan kebutuhan obat merupakan tantangan yang berat yang
harus dihadapi oleh tenaga farmasi yang bekerja di Unit Pengelola Obat Publik Dan
Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) Kabupaten/Kota maupun Unit Pelayanan
Kesehatan Dasar (PKD). Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi
apabila informasi semata-mata hanya berdasarkan informasi teoritis terhadap
kebutuhan pengobatan.
Koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu
serta melalui tahapan seperti diatas, diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat
jenis, tepat jumlah serta tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan.
Metode yang lazim digunakan untuk menyusun perkiraan kebutuhan obat di
tiap unit pelayanan kesehatan adalah: (Kemenkes, 2010).
Universitas Sumatera Utara
a) Metode konsumsi
Metode ini dilakukan dengan menganalisis data komsumsi obat tahun
sebelumnya. Hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1) Pengumpulan data dan pengolahan data
2) Analisis data untuk informasi dan evaluasi
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
b) Metode epidemiologi
Metode ini dilakukan dengan menganalisis kebutuhan obat berdasarkan pola
penyakit, perkiraan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam
metode ini antara lain:
1) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani
2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit
3) Menyediakan standar/pedoman pengobatan yang digunakan
4) Menghitung perkiraan kebutuhan obat
5) Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia
2.1.2 Pengadaan Obat
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk
penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat dan
perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. (Kemenkes, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan
keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan
jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e-
purchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara
elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak
diskriminatif dan akuntabel.
Pembelian obat secara elektronik (E-Purchasing) berdasarkan sistem Katalog
Elektronik (E-Catalogue) obat dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
dan Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) atau Pejabat Pengadaan
melalui aplikasi E-Purchasing pada website Layanan Pengadaan Secara Elektronik
(LPSE), sesuai Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing. Untuk dapat menggunakan
aplikasi E-Purchasing, PPK dan Pokja ULP atau Pejabat Pengadaan harus memiliki
kode akses (user ID dan password) dengan cara melakukan pendaftaran sebagai
pengguna kepada LPSE setempat.
Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat melalui E-Purchasing adalah
sebagai berikut: (Perpres, 2015).
1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi
E-Purchasing berdasarkan Daftar Pengadaan Obat. Paket pembelian obat
dikelompokkan berdasarkan penyedia.
Universitas Sumatera Utara
2. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan
pembelian obat kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang termasuk dalam
kelompok paket pengadaan.
3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian
obat melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan
persetujuan atas permintaan pembelian obat dan menunjuk
distributor/Pedagang Besar Farmasi (PBF). Apabila menyetujui, penyedia
obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan pembelian kepada
distributor/PBF untuk ditindaklanjuti. Apabila menolak, penyedia
obat/Industri Farmasi harus menyampaikan alasan penolakan.
4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja
ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal
permintaan pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri
Farmasi, maka ULP melakukan metode pengadaan lainnya sesuai Peraturan
Presiden No.4 Tahun 2015.
5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang
telah disetujui dengan distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia
obat/Industri Farmasi.
6. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan isi
perjanjian/kontrak jual beli.
Universitas Sumatera Utara
7. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi
riwayat pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi E-
Purchasing.
8. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh
penyedia obat/Industri Farmasi kepada Kepala Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) c.q Direktur Pengembangan
Sistem Katalog, tembusan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan c.q Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
paling lambat 5 (lima) hari kerja.
Dalam hal aplikasi E-Purchasing mengalami kendala operasional/offline
(gangguan daya listrik, gangguan jaringan, atau gangguan aplikasi), maka pembelian
dapat dilaksanakan secara manual.
2.1.3 Penyimpanan Obat
Sistem penyimpanan bertujuan untuk memastikan penyimpanan aman,
penyimpanan dalam kondisi lingkungan yang benar, pencatatan akurat, penataan yang
efektif, dan pemantauan obat yang kadaluwarsa, serta pencegahan pencurian. (Sallet,
2012).
Menurut Yogaswara (2001), bahwa penyimpanan adalah kegiatan dan usaha
untuk melakukan pengurusan, penyelenggaraan dan pengaturan barang persediaan di
dalam ruang penyimpanan.
Universitas Sumatera Utara
a. Tujuan Penyimpanan Obat
Penyimpanan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tujuan dari
penyimpanan tercapai. Menurut Warman (1997), tujuan dari penyimpanan obat antara
lain:
1) Mempertahankan mutu obat dari kerusakan akibat penyimpanan yang tidak
baik
2) Mempermudah pencarian di gudang/kamar penyimpanan
3) Mencegah kehilangan
4) Mempermudah stok opname dan pengawasan
5) Mencegah bahaya penyimpanan yang salah
b. Prosedur Penyimpanan Obat
Prosedur penyimpanan obat antara lain mencakup sarana penyimpanan,
pengaturan persediaan berdasarkan bentuk/jenis obat yang disimpan, serta sistem
penyimpanan.
c. Sarana Penyimpanan Obat
Obat harus selalu disimpan di ruang penyimpanan yang layak. Bila obat
rusak, mutu obat menurun dan memberi pengaruh buruk bagi penderita. Beberapa
ketentuan mengenai sarana penyimpanan obat antara lain :
1) Gudang/tempat penyimpanan :
a) Gudang penyimpanan terpisah dari apotek atau ruang pelayanan.
b) Gudang cukup besar untuk menyimpan semua persediaan obat dan cukup
untuk pergerakan petugas, minimal luasnya 3 m x 4 m.
Universitas Sumatera Utara
c) Pintu gudang mempunyai kunci pengaman 2 (dua) buah yang
terpisah/berbeda.
d) Struktur gudang dalam keadaan baik, tidak ada retakan, lubang atau tanda
kerusakan oleh air.
e) Atap gudang dalam keadaan baik dan tidak bocor.
f) Gudang rapi, rak dan lantai tidak berdebu dan dinding bersih.
g) Gudang bebas hama dan tidak ada tanda infestasi hama.
h) Udara bergerak bebas di gudang; kipas angin dan kawat nyamuk dalam
keadaan baik.
i) Tersedia cukup ventilasi, sirkulasi udara dan penerangan.
j) Tersedia alat pengukur dan pengatur suhu ruangan.
k) Jendela dicat putih atau mempunyai gorden serta aman dan mempunyai
teralis.
l) Terdapat rak/lemari penyimpanan.
m) Terdapat lemari pendingin untuk obat tertentu dan dalam keadaan baik.
n) Terdapat lemari khusus yang mempunyai kunci untuk penyimpanan
narkotik dan psikotropika.
o) Terdapat alat bantu lain untuk pengepakan dan perpindahan barang.
2) Dokumen pencatatan:
a) LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat)
b) Buku stok
c) Buku penerimaan dan pengeluaran obat
Universitas Sumatera Utara
d) Catatan obat rusak atau kadaluarsa
d. Pengaturan Persediaan
1) Obat-obatan dipisahkan dari bahan beracun.
2) Obat luar dipisahkan dari obat dalam.
3) Narkotik dan psikotropika dipisahkan dari obat-obatan lain dan disimpan di
lemari khusus yang mempunyai kunci.
4) Tablet, kapsul dan oralit disimpan dalam kemasan kedap udara dan diletakkan
di rak bagian atas.
5) Cairan, salep dan injeksi disimpan di rak bagian tengah.
6) Obat yang membutuhkan suhu dingin disimpan dalam kulkas.
7) Obat rusak atau kadaluarsa dipisahkan dari obat lain yang masih baik dan
disimpan di luar gudang.
8) Obat cairan dipisahkan dari obat padatan.
9) Barang/obat ditempatkan menurut kelompok berat dan besarnya :
10) Untuk barang yang berat ditempatkan pada tempat yang memungkinkan
pengangkatannya dilakukan dengan mudah. Antara lain :
a) Untuk barang yang besar harus ditempatkan sedemikian rupa, sehingga
apabila barang tersebut dikeluarkan tidak mengganggu barang yang lain.
b) Untuk barang yang kecil sebaiknya dimasukkan kedalam kotak yang
ukurannya agak besar dan ditempatkan sedemikian rupa, sehingga mudah
dilihat/ditemukan apabila diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
e. Penyimpanan Khusus
1) Obat, vaksin dan serum memerlukan tempat khusus seperti lemari pendingin
khusus (cold chain) dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya arus
listrik.
2) Bahan kimia harusnya disimpan dalam bangunan khusus yang terpisah dari
gudang induk.
3) Peralatan besar/alat berat memerlukan tempat khusus yang cukup untuk
penyimpanan dan pemeliharaannya.
f. Sistem Penyimpanan Obat
1) Obat disusun berdasarkan abjad (alfabetis) atau Nomor.
2) Obat disusun berdasarkan frekuensi penggunaan :
a) FIFO (First In First Out), yang berarti obat yang datang lebih awal harus
dikeluarkan lebih dahulu.
b) FEFO (First Expired First Out), yang berarti obat yang lebih awal
kadaluarsa harus dikeluarkan leih dahulu.
3) Obat disusun berdasarkan volume
a) Barang yang jumlahnya banyak ditempatkan sedemikian rupa agar tidak
terpisah, sehingga mudah pengawasan dan penanganannya.
b) Barang yang jumlah sedikit harus diberi perhatian/tanda khusus agar
mudah ditemukan kembali.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Pendistribusian Obat
Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan
pengiriman obat, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlah secara merata dan teratur
untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Distribusi obat dilakukan
agar persediaan jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan
menumpuknya persediaan serta mempertahankan tingkat persediaan obat. (Clark,
2012).
Distribusi obat bertujuan untuk:
1. Terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga dapat
diperoleh pada saat dibutuhkan.
2. Terjaminnya mutu obat dan perbekalan kesehatan pada saat pendistribusian
3. Terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit
pelayanan kesehatan.
4. Terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan
program kesehatan
Kegiatan distribusi obat di Kabupaten/ Kota terdiri dari :
1. Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan
pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan
2. Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk :
a. Program kesehatan
b. Kejadian Luar Biasa (KLB)
c. Bencana (alam dan sosial)
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Supervisi dan Evaluasi Obat
Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga
secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh atasan. Supervisi
dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih luas, karena istilah yang
digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan dilakukan secara
kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah mengamati dan menjaga
jadi bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki pengertian menjaga.
Pengawasan yaitu untuk mengawasi apakah gerakan dari organisasi ini sudah
sesuai dengan rencana atau belum. Serta mengawasi penggunaan sumber daya dalam
organisasi agar bisa terpakai secara efektif dan efisien tanpa ada yang melenceng dari
rencana. (Terry dan Leslie, 2010).
Supervisi yang dilakukan oleh petugas Instalasi Farmasi Kesehatan (IFK)
adalah proses pengamatan secara terencana dari unit yang lebih tinggi (Instalasi
Farmasi Propinsi/Kabupaten/Kota) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh
petugas pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya).
Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama. (Kemenkes, 2010).
Pelaksanaan Supervisi dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Menemui kepala/pejabat institusi yang dituju untuk menyampaikan tujuan
supervisi.
2. Mengumpulkan data dan informasi dengan cara :
a. mempelajari data yang tersedia
Universitas Sumatera Utara
b. wawancara dan diskusi dengan pihak yang disupervisi.
c. pengamatan langsung.
3. Membahas dan menganalisis hasil temuan :
a. Pencocokkan berbagai data, fakta dan informasi yang diperoleh.
b. Menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan tugas.
c. Menemukan berbagai macam masalah dan faktor penyebabnya.
d. Membuat kesimpulan sementara hasil supervisi.
4. Mengadakan tindakan intervensi tertentu apabila ditemukan masalah yang
perlu segera ditanggulangi.
5. Melaporkan kepada pimpinan institusi yang didatangi tentang :
a. tingkat pencapaian hasil kerja unit yang disupervisi
b. masalah dan hambatan yang ditemukan.
c. penyebab timbulnya masalah.
d. tindakan intervensi yang telah dilakukan.
e. rencana pokok tidak lanjut yang diperlukan.
2.2 Tinjauan Umum tentang Obat
Menurut Kebijakan Obat Nasional tahun 2006 obat adalah sediaan atau
paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi.
Dengan demikian obat mencakup produk biologi tidak termasuk mencakup obat.
Universitas Sumatera Utara
Upaya pengobatan merupakan segala bentuk kegiatan pelayanan pengobatan
yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan untuk menghilangkan penyakit dan
gejalanya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan cara yang khusus untuk
keperluan tersebut. (Anief, 2007).
Menurut Anief (2007) obat dibedakan atas 7 golongan yaitu:
a. Obat tradisional yaitu obat yang berasal dari bahan-bahan tumbuh-tumbuhan,
mineral dan sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang
usaha pengobatannya berdasarkan pengalaman.
b. Obat jadi yaitu obat dalam kemasan murni atau campuran dalam bentuk
serbuk, cairan, salep, tablet, pil, supositoria atau bentuk lain yang mempunyai
nama teknis sesuai dengan FI (Farmakope Indonesia) atau buku lain.
c. Obat paten yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si
pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik
yang memproduksinya.
d. Obat baru yaitu obat yang terdiri dari zat yang berkhasiat maupun tidak
berkhasiat misalnya lapisan, pengisi, pelarut serta pembantu atau komponen
lain yang belum dikenal khasiat dan keamanannya.
e. Obat esensial yaitu obat yang paling dibutuhkan untuk pelaksanaan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat yang meliputi diagnosa, profilaksis terapi dan
rehabilitasi.
f. Obat generik berlogo yaitu obat yang tercantum dalam DOEN (Daftar Obat
Esensial Nasional) dan mutunya terjamin karena di produksi sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan diuji ulang oleh
Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan.
g. Obat wajib apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter
oleh apoteker di apotek.
Menurut Kristin (2002), obat esensial adalah obat yang paling dibutuhkan
untuk pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi sebagian populasi yang harus tersedia
setiap saat dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau serta memiliki
kemanfaatan yang tinggi baik untuk keperluan diagnostik, profilaksis terapetik dan
rehabilitasi.
Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang
Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
No.HK.02.02/Menkes/137/2016, untuk meningkatkan penggunaan obat yang
rasional, penggunaan obat esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus
disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat
berkaitan dengan pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk
menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi
standar mutu.
2.3 Dasar Kebijakan Pengelolaan Obat
Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang
Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
No.HK.02.02/Menkes/137/2016, untuk meningkatkan penggunaan obat yang
Universitas Sumatera Utara
rasional, penggunaan obat esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus
disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat
berkaitan dengan pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk
menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi
standar mutu.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan
keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan
jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e-
purchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara
elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak
diskriminatif dan akuntabel.
Pengelolaan obat terdiri atas (Depkes, 2002):
1. Pengelola Obat di Dinas Kesehatan
Organisasi Pengelola Obat di Provinsi/Kabupaten/Kota disebut dengan Unit
Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) di Provinsi/
Kabupaten/Kota. Salah satu tujuan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan
adalah agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan
berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit
Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas).
Agar tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebagai pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di daerah
memiliki tugas dan peran antara lain :
Universitas Sumatera Utara
1) Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh
tim perencanaan obat terpadu berdasarkan system“bottom up”
2) Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun
dengan menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi
3) Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana,
agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan
tidak tumpang tindih
4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan
obat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya
5) Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan untuk Puskesmas
6) Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas
7) Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota
8) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pendistribusian
obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar
9) Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan
perbekalan kesehatan yang rusak dan kadaluwarsa
10) Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat
yang ada di UPOPPK dan UPK.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengelola Obat di Puskesmas
Pengelolaan obat dalam manajemen persedian obat di Puskesmas adalah
Kepala Puskesmas, Petugas Gudang Obat dan Petugas Obat di sub unit pelayanan
adalah: (Kemenkes, 2010).
1) Kepala Puskesmas
Kepala Puskesmas bertanggungjawab atas pelaksanaan pengelolaan obat dan
pencatatan pelaporan, mengajukan obat untuk pengadaan persediaan kepada Kepala
Dinas/Kepala GFK, menyampaikan laporan bulanan pemakaian obat, melaporkan
semua obat yang hilang, rusak maupun kadaluarsa kepada Kepala Dinas
Kesehatan/Kepala GFK.
2) Petugas Gudang Obat
Petugas gudang obat bertanggungjawab dalam menerima obat dari GFK,
menyimpan dan mengatur ruang gudang obat serta mengendalikan persediaan obat,
mendistribusikan obat untuk unit pelayanan obat, mengawasi mutu obat, melakukan
pencatatan dan pelaporan. Petugas gudang obat membantu Kepala Puskesmas dalam
hal menjaga keamanan obat, penyusunan persediaan, distribusi dan pengawasan
persediaan obat.
3) Petugas Obat di Sub Unit Pelayanan
Petugas obat pada sub unit pelayan bertanggungjawab dalam menerima,
menyimpan dan memelihara obat dari gudang obat Puskesmas, menerima resep
dokter, meracik/menyiapkan obat, mengemas obat, menyerahkan obat dan
Universitas Sumatera Utara
memberikan informasi penggunaan obat, membuat catatan dan laporan pemakaian
obat untuk petugas gudang obat serta mengamati mutu obat secara umum.
2.4 Indikator Pengelolaan Obat
Indikator adalah alat ukur untuk dapat membandingkan kinerja yang
sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan
atau sasaran telah berhasil dicapai. Penggunaan lain dari indikator adalah untuk
penetapan prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian strategi dari sasaran
yang ditetapkan. Indikator pengelolaan obat di kabupaten kota adalah: (Kemenkes,
2010).
1. Alokasi dana pengadaan obat
Penyediaan dana yang memadai dari pemerintah sangat menentukan
ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial oleh masyarakat. Ketersediaan dana
pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan obat untuk populasi merupakan
prasyarat terlaksananya penggunaan obat yang rasional yang pada gilirannya akan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dengan indikator ini akan dapat dilihat
komitmen Kabupaten/Kota dalam penyediaan dana pengadaan obat sesuai kebutuhan
Kabupaten/Kota.
2. Persentase alokasi dana pengadaan obat
Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang
disediakan/dialokasikan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung
Universitas Sumatera Utara
program kesehatan di daerah Kabupaten/Kota dibandingkan dengan jumlah alokasi
dana untuk bidang kesehatan.
3. Biaya obat perpenduduk
Biaya obat perpenduduk adalah besarnya dana yang tersedia untuk masing-
masing penduduk dan besaran dana yang tersedia untuk masing-masing penduduk.
Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai kebutuhan populasi bervariasi untuk
masing-masing Kabupaten/Kota untuk itu perlu diketahui besarnya dana yang
disediakan oleh Kabupaten/Kota apakah telah memasukkan parameter jumlah
penduduk dalam pengalokasian dananya. Pada tahun 2009 WHO telah menetapkan
alokasi dana obat sektor publik secara nasional adalah US $ 3 perkapita.
4. Ketersediaan obat sesuai kebutuhan
Ketersediaan obat sesuai kebutuhan adalah jumlah obat yang mampu
disediakan pemerintah dibandingkan dengan jumlah obat yang dibutuhkan rakyat
dalam pelayanan kesehatan dasar yang diselenggarakan pemerintah.
5. Pengadaan obat esensial
Pengadaan obat esensial adalah nilai obat esensial yang diadakan di
kabupaten/kota yang disimpan di instalasi farmasi kabupaten/kota dibandingkan
dengan nilai total yang tersedia di instalasi farmasi kabupaten/kota.
6. Pengadaan obat generik
Pengadaan obat generik adalah nilai obat generik yang diadakan di
kabupaten/kota yang disimpan di instalasi farmasi kabupaten/kota dibandingkan
dengan nilai total yang tersedia di instalasi farmasi kabupaten/kota.
Universitas Sumatera Utara
7. Biaya obat per kunjungan resep
Ketersediaan dana obat yang sesuai dengan jumlah kunjungan resep yang ada
di Kabupaten/Kota bervariasi untuk masing-masing Kabupaten/Kota.Untuk itu perlu
diketahui besaran dana yang disediakan olehKabupaten/Kota apakah telah
memasukkan parameter jumlah kunjungan resep dalam pengalokasian dananya.
8. Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN tahun 2013
Penetapan obat yang masuk dalam DOEN telah mempertimbangkan faktor
drug of choice, analisis biaya-manfaat dan didukung dengan data ilmiah.Untuk
pelayanan kesehatan dasar maka jenis obat yang disediakan berdasarkan DOEN yang
terbaru agar tercapai prinsip efektivitas dan efisiensi.
9. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit
Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kotaharus
sesuai dengan kebutuhan populasi berarti harus sesuai dengan pola penyakit yang ada
di Kabupaten/Kota. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit adalah
kesesuaian jenis obat yang tersedia di instalasi farmasi dengan pola penyakit yang ada
di Kabupaten/Kota adalah jumlah jenis obat yang tersedia dibag idengan jumlah jenis
obat untuk semua kasus penyakit di Kabupaten/Kota.
10. Tingkat ketersediaan obat
Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus
sesuai dengan kebutuhan populasi berarti jumlah (kuantum) obat yang tersedia di
gudang minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat.
Universitas Sumatera Utara
11. Ketepatan perencanaan
Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus
sesuai dengan kebutuhan populasi berarti harus sesuai dalam jumlah dan jenis obat
untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.
12. Persentase dan nilai obat rusak atau kadaluarsa
Terjadinya obat rusak atau kadaluarsa mencerminkan ketidaktepatan
perencanaan, dan/atau kurang baiknya sistem distribusi, dan/atau kurangnya
pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan/atau perubahan pola penyakit.
13. Ketepatan distribusi obat
Kesesuaian waktu antara distribusi dan penggunaan obat di unit pelayanan
sangat penting artinya bagi terlaksananya pelayanan kesehatan yang bermutu.
Ketepatan distribusi obat adalah penyimpangan jumlah unit pelayanan kesehatan
yang harus dilayani (sesuai rencana distribusi) dengan kenyataan yang terjadi serta
selisih waktu antara jadwal pendistribusian obat dengan kenyataan.
14. Persentase penyimpangan jumlah obat yang didistribusikan
Obat yang didistribusikan adalah sebesar stok optimum dikurangi dengan sisa
stok di unit pelayanan kesehatan. Sedang stok optimum sendiri merupakan stok kerja
selama periode distribusi ditambah stok pengaman.
15. Rata-rata waktu kekosongan obat
Persentase rata-rata waktu kekosongan obat dari obat indikator
menggambarkan kapasitas sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin
Universitas Sumatera Utara
kesinambungan suplai obat. Waktu kekosongan obat adalah jumlah hari obat kosong
dalam waktu satu tahun.
16. Ketepatan waktu LPLPO
LPLPO yang merupakan sumber data pengelolaan obat sangat penting artinya
sebagai bahan informasi pengambilan kebijakan pengelolaan obat. Salah satu syarat
data yang baik adalah tepat waktu Ketepatan waktu pengiriman LPLPO adalah
jumlah LPLPO yang diterima secara tepat waktu dibandingkan dengan jumlah
seluruh LPLPO yang seharusnya diterima setiap bulan.
17. Kesesuaian ketersediaan obat program dengan kebutuhan
Obat yang disediakan untuk keperluan program biasanya diadakan oleh pusat
dengan tidak memperhitungkan jumlah kebutuhan yang ada didaerah. Sehingga
seringkali jumlahnya tidak sesuai dan menyebabkan terjadi penumpukan yang akan
menyebabkan obat menjadi rusak atau kadaluarsa. Kesesuaian ketersediaan obat
program dengan jumlah kebutuhan adalah kesesuaian jumlah obat program yang
tersedia di instalasi Farmasi dengan kebutuhan untuk sejumlah pasien yang
memerlukan obat programtersebut.
18. Kesesuaian permintaan obat
Sebagian kebutuhan obat-obatan di tingkat kabupaten/kota dapat dipenuhi
oleh obat dari berbagai sumber. Ada kalanya permintaan dari kabupaten/kota tidak
sesuai dengan obat yang tersedia.Kesesuaian Pemenuhan Obat adalah perbandingan
antara jumlahpermintaan yang diajukan oleh kabupaten/kota dengan jumlah yang
dapat dipenuhi oleh obat dari berbagai sumber.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Pikir
Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Perencanaan a. Tahap Pemilihan Obat b. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat c. Perhitungan Kebutuhan Obat d. Proyeksi Kebutuhan Obat
Penyimpanan a. Pengaturan Tata Ruang b. Penyusunan Stok Obat c. Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat d. Pengamanan Mutu Obat
Pengadaan a. Pemilihan Metode Pengadaan Obat b. Penentuan Waktu Pengadaan dan
Kedatangan Obat c. Penerimaan dan Pemeriksaan Obat
Pendistribusian
a. Mekanisme Pendistribusian Obat b. Unit-unit Pendistribusian Obat c. Pengamanan Mutu Obat
Supe
rvis
i dan
Eva
luas
i
Gambar 2.1 Manajemen Pengelolaan Obat
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan masalah
dilakukan dengan analisis deskriptif yaitu mendapatkan informasi secara mendalam
mengenai Manajemen Pengelolaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Tahun 2016. Menurut Bungin (2010), penelitian kualitatif adalah penelitian yang
memandang bahwa makna adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman
seseorang dalam kehidupan sosialnya bersama orang lain. Makna bukan sesuatu yang
lahir di luar pengalaman objek penelitian atau peneliti, akan tetapi menjadi bagian
terbesar dari kehidupan penelitian ataupun objek penelitian.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dengan
alasan lokasi ini masih memiliki permasalahan dalam manajemen pengelolaan obat.
Objek penelitiannya meliputi Dinas Kesehatan, Gudang Farmasi dan Puskesmas.
Waktu penelitian direncanakan akan dilakukan pada bulan April-Juni 2016.
Kegiatan dimulai dari survey awal, penelusuran bahan, pengambilan data hingga
penyajian hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara
3.3 Informan Penelitian
Informan adalah orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang
situasi dan kondisi mengenai fokus penelitian. Informan penelitian terbagi atas:
a. Informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki
informasi pokok yang diperlukan. Adapun informan kunci pada penelitian ini
adalah: Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Bidang
Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Seksi
Bidang Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Kepala Gudang
farmasi dan dan Kepala Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe.
b. Informan utama yaitu mereka yang terlibat langsung dalam penggunaan obat.
Adapun informan utama dalam penelitian ini adalah Kepala Puskesmas dan
Staf Bagian Kefarmasian Puskesmas.
Adapun informan dalam penelitian ini antara lain:
Tabel 3.1 Informan dalam Penelitian
No. Sumber Instansi
Informan Informasi yang ingin diperoleh
1 Dinas Kesehatan
- Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
- Kebijakan Manajemen Pengelolaan Obat
- Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
- Pelayanan kesehatan yang memanfaatkan obat
- Kepala Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
- Proses manajemen pengelolaan obat
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.1 (Lanjutan)
2 Puskesmas - Kepala Puskesmas dan Staf Bagian Kefarmasian Puskesmas Banda Sakti
- Prosedur pemanfaatan obat di tingkat Puskesmas
- Kepala Puskesmas dan Staf Bagian Kefarmasian Puskesmas Blang Cut
- Prosedur pemanfaatan obat di tingkat Puskesmas
3.4 Instrumen Penelitian
Jenis penelitian kualitatif dengan instrumen utama adalah peneliti sendiri
dengan menggunakan alat bantu : panduan wawancara, tape recorder, perekam
gambar dan buku catatan.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah :
a. Metode Pengumpulan Data Primer yaitu:
1) Wawancara mendalam yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan
dengan tanya-jawab secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait secara
mendalam tentang pengetahuan manajemen pengelolaan obat.
2) Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan
langsung terhadap sejumlah acuan yang berkenaan dengan topik di lokasi
penelitian, dimana data yang diambil adalah laporan pemakaian dan
penggunaan obat bulanan selama setahun.
Universitas Sumatera Utara
b. Metode pengumpulan data sekunder yaitu :
1) Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan catatan-
catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain
yang relevan dengan obyek penelitian.
2) Studi literatur yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan berbagai
literatur seperti buku, majalah, jurnal dan laporan penelitian lainnya.
3.6 Definisi Konsep
1) Manajemen pengelolaan obat adalah serangkaian kegiatan dalam rangka
memenuhi kebutuhan obat yang terdiri atas perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian dan pengawasan obat.
2) Perencanaan obat adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam
menentukan jenis dan jumlah obat yang dibutuhkan pelayanan kesehatan pada
kurun waktu tertetu.
3) Pengadaan obat adalah serangkaian kegiatan untuk menyediakan jenis dan
jumlah obat yang dibutuhkan pelayanan kesehatan.
4) Penyimpanan obat adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk
menempatkan obat secara benar dan memudahkan proses pengambilan
pelayanan kesehatan.
5) Pendistribusian adalah serangkaian kegiatan untuk menyalurkan obat dari
gudang farmasi ke Puskesmas ataupun dari Puskesmas ke unit-unit pelayanan
kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
6) Pengawasan obat adalah proses pemantauan pelaksanaan obat di lapangan,
dalam rangka memastikan realisasi sesuai dengan rencana yang sudah dibuat.
7) Sarana/Prasarana adalah alat yang digunakan petugas dalam mendukung
manajemen obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.
8) Sumber daya manusia adalah kemampuan tenaga kesehatan dalam manajemen
obat di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.
9) Sumber daya keuangan adalah potensi uang yang dimiliki oleh Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe dalam mendukung proses manajemen obat di
Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
3.7 Metode Pengolahan Data
Data yang terkumpul dari hasil wawancara mendalam selanjutnya dibuat
dalam bentuk transkrip, kemudian disederhanakan dalam bentuk matriks. Matriks ini
kemudian dicari kata kuncinya. Uji keabsahan dilakukan dengan teknik triangulasi
data (Bungin, 2010).
Proses triangulasi yaitu dengan melakukan crosscheck. Crosscheck yang
dilakukan terdiri dari crosscheck data, observasi dan telaah dokumen. Kemudian
dilakukan triangulasi sumber yaitu crosscheck dengan informan lain dengan
melibatkan teman sejawat yang tidak ikut dalam penelitian ini untuk menelaah
validitas data. Proses triangulasi dilakukan secara terus-menerus sepanjang proses
mengumpulkan data dan analisis data, sampai suatu saat peneliti yakin bahwa sudah
Universitas Sumatera Utara
tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dan tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasi kepada
informan.
3.8 Metode Analisa Data
Pengolahan data yang diperoleh adalah dengan menggunakan analisis isi
(Content Analysis) dari hasil wawancara mendalam yang kemudian disajikan dalam
bentuk narasi. Hasil catatan wawancara lapangan akan disempurnakan penulisannya
serta dilengkapi dengan mengkroscek hasil rekaman agar catatan menjadi lengkap.
Hal ini dilakukan untuk menjaga keakuratan dan kelengkapan informasi.
Setelah itu dalam memudahkan analisis, akan dibuat matriks berdasarkan
masing-masing hasil wawancara. Dengan menggunakan teknik analisis isi,
berpedoman terhadap transkrip dan matriks dibuat laporan hasil penelitian. Matriks
sangat membantu dalam menetapkan kategori jawaban informan.
Adapun proses teknik analisis data, yaitu: proses analisis data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari hasil wawancara, catatan lapangan dan
dokumen. Setelah itu, mereduksi data dengan cara membuat rangkuman, memilih hal-
hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, untuk pencarian tema dan
pola data (inti dan proses pernyataan-pernyataan informan).
Kemudian, interpretasi data hasil reduksi. Setelah data direduksi, maka
langkah berikutnya adalah interpretasi data dengan menyajikan data dalam bentuk
teks yang bersifat naratif. Dan terakhir adalah penarikan kesimpulan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1 Letak dan Batas Wilayah
Kota Lhokseumawe terletak pada garis 960 20’-970 21’ Bujur Timur dan 040
54’-050 18’ Lintang Utara dengan luas wilayah 181.06 Km2
- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat malaka
. Secara geografis Kota
Lhokseumawe berbatasan dengan wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Makmur (Aceh Utara)
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Syamtalira Bayu (Aceh Utara)
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Dewantara (Aceh Utara).
Kota Lhokseumawe terdiri dari 68 (enam puluh delapan) desa dan 4 (empat)
Kecamatan antara lain : Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan
Muara Satu dan Kecamatan Blang Mangat.
Penggunaan lahan terbesar di Kota Lhokseumawe adalah untuk pemukiman
seluas 10.877 ha atau sekitar 60% dari luas yang ada. Kebutuhan lahan yang
meNo.njol adalah untuk usaha kebun campuran 4.590 ha atau sekitar 25,35%, di
samping untuk kebutuhan persawahan seluas 3.747 ha atau sekitar 21%. Untuk
kebutuhan perkebunan rakyat telah dimanfaatkan seluas 749 ha atau sekitar 4% dan
untuk lain–lainnya. Kegiatan ekonomi yang berlangsung di kota ini adalah industri
Universitas Sumatera Utara
dan perdagangan, dimana perdagangan merupakan sektor yang utama, terutama pada
transaksi jual beli kebutuhan sehari-hari.
4.1.2 Data Demografi
a. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk.
Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe tahun 2015 sebesar 181.976 jiwa.
Jumlah penduduk laki-laki 90.691 dan perempuan 91.285 dengan sex ratio 99,35
(BPS Lhokseumawe, 2015). Sementara jumlah penduduk setiap kecamatan dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk menurut Kecamatan Kota Lhokseumawe Tahun 2015
Kecamatan Jumlah penduduk
Banda Sakti 80.769
Muara Dua 48.699
Muara Satu 34.229
Blang Mangat 23.758
Total 181.976
Sumber : BPS Kota Lhoksuemawe, 2015 b. Kepadatan dan Penyebaran Penduduk
Kepadatan penduduk tahun 2015 di Kota Lhokseumawe adalah 1.005/Km2.
Bila kepadatan penduduk dilihat untuk setiap kecamatan Banda Sakti merupakan
kecamatan dengan tingkat tertinggi kepadatan tertinggi yaitu 6.963 per/Km2,
sedangkan yang paling jarang yaitu kecamatan Blang Mangat dengan tingkat
Universitas Sumatera Utara
kepadatan penduduk 411 per/Km2
. Kepadatan penduduk Kota Lhokseumawe menurut
Kecamatan tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.2. Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan Kota Lhokseumawe Tahun 2015
Kecamatan Kepadatan Penduduk/Km2
2014 2015
Banda Sakti 6880 6963
Muara Dua 626 818
Muara Satu 484 596
Blang Mangat 374 411
Sumber : BPS Kota Lhokseumawe, 2015 Kepadatan penduduk dipengaruhi oleh besarnya wilayah pada masing-masing
kecamatan, kepadatan penduduk merupakan indikator dalam melihat beberapa
kondisi kesehatan sekarang dan yang akan muncul terutama kondisi kesehatan
lingkungan yang berkaitan dengan ketersediaan air, sisten pembuangan air limbah
dan sampah keluarga.
4.2 Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Visi Dinas Kesehatan Kota Lhoksuemawe tahun 2012-2017 adalah
Menjadikan Masyarakat Kota Lhokseumawe Sehat Secara Mandiri dan Islami.
Sedangkan Misi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1) Memberikan Prioritas pada Program Kesehatan Keluarga
2) Memandirikan Masyarakat untuk Hidup Sehat
3) Meningkatkan Profesionalisme Sumber Daya Manusia Kesehatan
4) Meningkatkan Prasarana dan Sarana Kesehatan
5) Menjaga Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
Dalam pembangunan kesehatan pemerintah Kota Lhokseumawe menyediakan
pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau dan berkualitas. Dengan demikian perlu
disediakan tenaga kesehatan yang berkualitas, sarana fisik dan peralatan kesehatan,
obat-obatan dan kebutuhan lainnya untuk mendukung kegiatan promosi kesehatan
yang berpihak kepada masyarakat.
4.3 Derajat Kesehatan Kota Lhokseumawe a. Mortalitas
Kejadian kematian suatu kelompok populasi mencerminkan kondisi kesehatan
masyarakat. Keberhasilan pelayanan kesehatan dan berbagai program pembangunan
kesehatan lainnya juga dapat diukur melalui tingkat kematian yang ada.
Infant Mortality Rate (IMR) atau Angka Kematian Bayi dan Mother Mortality
Rate (MMR) atau Angka Kematian Ibu merupakan salah satu indikator yang paling
sensitif untuk menentukan derajat kesehatan. IMR Kota Lhokseumawe sebesar
46/3.888 x 1000, sementara IMR nasional sebesar 35/1.000 lahir hidup. MMR Kota
Lhokseumawe sebesar 4/3.888 x 100.000 kelahiran hidup.
Universitas Sumatera Utara
b. Umur Harapan Hidup (UHH)
Rata-rata umur harapan hidup Kota Lhokseumawe adalah 70 (tujuh puluh)
tahun. Upaya untuk meningkatkan UHH menjadi 70 tahun merupakan hal penting
yang perlu dicermati melalui upaya-upaya peningkatan program yang berdampak
pada tingkat kesejahteraan masyarakat seperti penurunan resiko kesakitan pada
keluarga rentan, trend penyakit degeneratif dan tidak menular serta peningkatan
kesehatan kelompok usia lanjut yang hidup produktif dan mandiri.
c. 10 (sepuluh) Penyakit Terbanyak di Puskesmas Kota Lhokseumawe
Berdasarkan rekapitulasi laporan SP2TP Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
pada tahun 2015 dapat diketahui daftar 10 (sepuluh) penyakit yang sering ditangani di
Puskesmas Kota Lhokseumawe.
Grafik 4.1. 10 (sepuluh) Penyakit Terbanyak di Puskesmas
Kota Lhokseumawe Tahun 2015 Sumber : S2TP Dinkes Lhokseumawe, 2015 Dari data tersebut di atas diketahui bahwa penyakit batuk dan pilek
merupakan penyakit umum yang diderita oleh masyarakat yang tersebar di
Series1; Batuk & Pilek; 57.733
Series1; ISPA; 20.530
Series1; Peny.jar otot;
18.125
Series1; Peny.lambung;
16.699
Series1; Hipertensi;
14.465Series1; Diabetes
Melitus; 9.814Series1; Alergi; 6.341
Series1; Diare; 6.011Series1; Infeksi
Kulit; 3.157Series1; Tukak
lambung; 2.630
Universitas Sumatera Utara
Puskesmas Kota Lhokseumawe. Sementara infeksi kulit dan tukak lambung
merupakan penyakit yang sedikit jumlahnya.
4.4 Sumber Daya Kesehatan Kota Lhokseumawe
a. Puskesmas
Sarana kesehatan meliputi Puskesmas, Rumah Sakit, sarana Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat
kesehatan dan institusi pendidikan tenaga kesehatan. Tahun 2014 Puskesmas yang
ada di Kota Lhokseumawe berjumlah 6 unit dengan pembagian rawat inap 1 unit dan
puskesmas No.n rawat inap 5 unit.
b. Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan merupakan bagian terpenting didalam peningkatan
pelayanan kesehatan di Kota Lhokseumawe. Kualitas menjadi faktor utama yang
harus terus mendapatkan perhatian oleh pemerintah daerah dan pusat. Peningkatan
harus menjadi prioritas utama mengingat tenaga kesehatan saat ini belum sepenuhnya
berpendidikan D-III maupun S-1, sedangkan yang berpendidikan SPK/sederajat
minim terhadap pelatihan teknis.
Universitas Sumatera Utara
Grafik 4.2. Jumlah Tenaga Kesehatan Kota Lhokseumawe Tahun 2015
Sumber : Bidang Sarprakes Dinkes Kota Lhokseumawe 2015 Dari tersebut di atas dapat diketahui bahwa jenis ketenagaan kesehatan di kota
Lhokseumawe masih belum memenuhi standar tenaga kesehatan berdasarkan
undang-undang No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan disebutkan bahwa
tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan
terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi.
Series1; Dokter Umum; 17
Series1; Dokter Gigi; 9
Series1; Perawat; 179
Series1; Bidan; 235
Series1; Perawat Gigi; 8
Series1; Kesehatan
Lingkungan; 8
Series1; Tenaga Gizi; 16
Series1; Tenaga Farmasi; 21
Universitas Sumatera Utara
4.5 Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini dapat diketahui pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.3. Informan Penelitian
No. Nama JK Umur Jabatan 1 dr. Said Alam Zufikar L 42 Kadinkes Kota Lhokseumawe 2 dr. Lasmita NH P 51 Kabid Pelayanan Kesehatan 3 Eva Susanti, Apt P 32 Ka. Seksi Kefarmasian dan Ka. Gudang Farmasi
4 Nanda S, SKM, MSM L 45 Ka. Puskesmas Banda Sakti 5 Zuheri, S.Kep, M.Kes P 40 Ka. Puskesmas Blang Cut 6 Nurhayati, AMF P 32 Pengelola Obat PKM Banda Sakti 7 Yusmalinda, AMF P 30 Pengelola Obat PKM Blang Cut
Sumber : Data terolah 2016
4.6 Perencanaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dalam proses perencanaan
obat pada Dinas Kesehatan Lhokseumawe :
“Waalaikumsalam.. Syukur Alhamdulilah kita bisa bertemu kembali pak Mukhlis dalam rangka wawancara perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Seperti kita ketahui bahwa perencanaan obat ditingkat Kabupaten tetap mengacu pada peraturan menteri kesehatan dan peraturan terkait lainnya termasuk peraturan pak Walikota. Dalam hal perencanaan obat ini, kita mengawalinya dengan membentuk tim perencana obat yang ditetapkan melalui keputusan Walikota. Nah..susunan tim tersebut terdiri dari dokter puskesmas, kepala puskesmas, kasie farmasi, kabid yankes dan kadinkes. Masing-masing mempunyai peran dan tanggungjawab yang berbeda. Dalam setahun minimal satu kali diadakan pertemuan, biasanya awal tahun.. Kemudian dalam hal perencanaan obat, Dinas kesehatan selalu berpatokan dari laporan pemakaian dan sisa obat dari Puskesmas termasuk sisa persediaan atau buffer stok yang masih
Universitas Sumatera Utara
ada di Gudang farmasi. Untuk itu saya selalu menginstruksikan kepada kepala puskesmas agar aktif memberikan laporan pemakaian obat dan hal-hal apa saja masalah yang dihadapi. Namun...masih ada juga puskesmas yang terlambat mengirimkan laporannya... ”(Kadinkes).
Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan
Kota Lhokseumawe seputar perencanaan obat dapat diketahui sebagai berikut :
“Waalaikumsalam.. Baik pak..pertama kami jelaskan bahwa perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ini memang merupakan kewenangan kami sebagai pelaksana pengadaan obat, namun dalam proses perencanaannya kami melibatkan semua pihak terutama dokter dan kepala puskesmas. Setiap awal tahun diadakan pertemuan membahas perencanaan obat.. Tahap awal perencanaan obat di mulai dari pemilihan obat dimana setiap obat yang diusulkan dari puskesmas harus benar-benar sesuai pola penyakit dan jumlah penduduk setempat, dan harus berdasarkan DOEN dan Fornas, walaupun masih ada beberapa jenis yang tidak ada pada daftar DOEN.. Selanjutnya tahap kompilasi dimana kami melihat rata-rata pemakaian obat di puskesmas dalam setahun, tahap berikutnya yaitu kami menghitung berapa obat yang harus disediakan, biasanya kami menggunakan pola konsumsi. Selama ini kami telah berupaya menjalankan tahapan perencanaan obat dengan sebaik-baiknya dikarenakan ketersediaan obat di puskesmas menjadi prioritas dinkes untuk menjawab keluhan masyarakat selama ini.. namun tidak semua berjalan dengan baik, salah satu faktor penyebabnya Puskesmas belum melaksanakan perencanaan yang baik, ketepatan dan kebenaran data LPLPO Puskesmas belum menunjukan kebutuhan optimum, selain itu tanggungjawab kepala puskesmas yang cukup banyak seringkali menyebabkan perencanaan obat di Puskesmas terbengkalai..”(Kabid Yankes).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala
Gudang terkait dengan perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Universitas Sumatera Utara
dapat diketahui dari rangkuman wawancara berikut :
“Wa’alaikumsalam..terkait dengan perencanaan obat di Dinas Kesehatan kota Lhokseumawe, menurut kami pelaksanaannya masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya koordinasi antara tim perencana obat yang telah dibentuk. Rapat perencanaan obat paling Cuma sekali di awal tahun saja. Saya sebagai kasie kefarmasian hanya melakukan kompilasi data pemakaian obat dari semua Puskesmas berdasarkan LPLPO.. kemudian menyiapkan daftar harga berbagai jenis obat, menyiapkan daftar obat yang akan diterima pada tahun berjalan, daftar sisa obat dari puskesmas. pokoknya tugas saya banyak pak.. Nah, selanjutnya kami serahkan kepada kabid pelayanan kesehatan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan obat..”(Kasie Kefarmasian dan Ka. Gudang).
Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti terkait
perencanaan obat di Puskesmas :
“Waalaikumsalam.. Baik pak, jadi tentang perencanaan obat pak, kami sampaikan bahwa untuk perencanaan obat di puskesmas kami harus menunggu surat keputusan Walikota tentang pembentukan tim perencanaan obat karena itu sebagai dasar kami merencanakan obat. Di Puskesmas kami menggunakan LPLPO yang setiap bulan kami kirim laporan ke Dinkes.. Obat yang sudah kami pakai dan laporan obat yang masih tersisa. Semua data pemakaian obat ini berasal dari semua unit pelayanan, termasuk Pustu, Polindes. Walaupun masih sering terlambat data laporan tersebut. Ada masalah sedikit pak, kadang-kadang obat yang kami rencanakan tidak semua bisa diakomodir oleh Dinkes, jumlah yang dikirim juga tidak sesuai dengan permintaan, sehingga masih terjadi kekosongan obat untuk jenis-jenis tertentu. Misalkan saja bulan ini, kami kekurangan stok PCT Tablet.. Belum lagi obat yang dikirim masa kadaluarsa yang sudah dekat, ada yang 1 bulan, 3 bulan, hal ini menjadi permasalahan perencanaan obat untuk Puskesmas kami..”(Kapus Banda Sakti).
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait
perencanaan obat di Puskesmas :
“Walaikumsalam pak.. Dalam hal merencanakan obat pak kami percayakan kepada pengelola obat bekerjasama dengan dokter. Kami hanya menerima laporan saja setelah direkap oleh petugas obat kami. Maaf ya pak, tanggungjawab kami ini cukup banyak jadi untuk obat kami sudah berikan kepercayaan kepada staf yang lain”(Kapus Blang Cut).
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat dianalisis perencanaan obat
di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai berikut:
4.6.1 Tahap Pemilihan atau Seleksi Kebutuhan Obat
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa perencanaan
obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe diawali dengan pembentukan Tim
Perencanaan Obat. Kemudian dilakukan proses perencanaan pemilihan dan
kebutuhan obat dengan mempertimbangkan pola penyakit dan pola konsumsi obat
periode sebelumnya. Proses seleksi juga mengacu pada Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas), walaupun masih ada
beberapa jenis obat yang dipilih tidak berdasarkan DOEN dan Fornas.
4.6.2 Tahap Kompilasi Obat
Proses perencanaan kebutuhan Obat per tahun dilakukan secara berjenjang.
Puskesmas menyediakan data pemakaian Obat setiap bulan dengan menggunakan
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Selanjutnya Instalasi
Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe melakukan kompilasi pemakaian obat
Universitas Sumatera Utara
dengan cara menjumlahkan pemakaian setiap jenis obat dari masing-masing
Puskesmas.
4.6.3 Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa perhitungan
kebutuhan obat menggunakan metode konsumsi dengan cara analisis data,
perhitungan perkiraan kebutuhan obat dan disesuaikan dengan anggaran yang
tersedia.
4.7 Pengadaan Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Untuk mengetahui proses pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe maka dapat diketahui dari rangkuman wawancara berikut ini :
“Untuk pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe berdasarkan pada peraturan Menteri Kesehatan No..63 tahun 2014 tentang pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik. Nah..dalam pelaksanaannya saya sudah mengnunjuk Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk menetapkan daftar pengadaan obat sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran. Selanjutnya diusulkan kepada ULP pada sekretariat Walikota Lhokseumawe untuk diadakan Pengadaan dengan metode e-purchasing”(Kadinkes).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan
terkait dengan Pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai
berikut :
“Kami sebagai PPK tentunya mempunyai tanggungjawab dalam pengadaan obat. Kami selalu berupaya untuk meminimalisir setiap kesalahan yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu kami juga harus memastikan ketersediaan obat di Puskesmas. Tahap pengadaan yang kami lakukan pertama adalah memilih metode pengadaan apakah melalui e-purchasing atau secara manual (offline). Apabila ULP sudah menyetujui maka kami membuat perjanjian kontrak dengan pihak rekanan. Dalam perjanjian kontrak tersebut disebutkan waktu kedatangan obat yang harus dituruti oleh pihak rekanan. Dinas Kesehatan Lhokseumawe ini kita merencanakan kedatangan obat sekitar bulan sebelas atau sebelum akhir tahun. Ya..kita juga mengalami hambatan biasanya pihak rekanan kurang tepat waktu untuk mengirimkan obat kepada kita. Hal terakhir yang dilakukan dalam pengadaan obat ini adalah pemeriksaan obat yang sudah diterima. Jadi sebelum saya menandatangani berita acara penerimaan maka tim pemeriksa melakukan tugasnya untuk memeriksa setiap item obat yang sudah diterima..”(Kabid Yankes).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala
Gudang seputar pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai
berikut :
“Waalaikumsalam..tentang pengadaan obat kami memiliki kewenangan sebatas penerimaan dan pemeriksaan obat. Jadi setiap obat yang sudah sampai di Dinas Kesehatan kami langsung memeriksanya terlebih dahulu. Hanya saja pak jujur kami katakan bahwa seluruh item obat yang kami terima itu tidak mungkin kami hitung satu persatu pada waktu itu, jumlahnya banyak, tenaga pemeriksan juga sangat terbatas pak. Dan kami tidak mempunyai alat untuk mempercepat penghitungan obat itu pak. Jadi kemungkinan juga ada obat yang tidak sesuai dengan permintaan, belum lagi obat yang kami terima banyak yang hampir kadaluarsa..”(Kasie Kefarmasian dan Ka. Gudang).
Universitas Sumatera Utara
4.7.1 Pemilihan Pengadaan Obat
Pemilihan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden No.4 Tahun 2015 tentang pengadaan
barang dan jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian
secara e-purchasing dengan sistem e-catalgue.
4.7.2 Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat
Waktu pengadaan dan kedatangan obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe dilakukan berdasarkan pada isi perjanjian kontrak antara
Distributor/PBF dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dari hasil observasi
yang dilakukan diketahui bahwa waktu pengadaan dan kedatangan obat di Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe masih belum mengikuti ketepatan waktu seperti yang
disepakati pada isi perjanjian kontrak.
4.7.3 Penerimaan dan Pemeriksaan Obat
Pemeriksaaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilakukan pada
saat kedatangan obat di Gudang Farmasi, sementara pemeriksaan obat di Puskesmas
dilakukan pada saat penerimaan obat dari gudang farmasi kepada petugas obat
puskesmas.
Dari rangkuman wawancara tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe tidak berjalan sesuai dengan
ketentuan.
Universitas Sumatera Utara
4.8 Penyimpanan Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dapat diketahui
dari rangkuman wawancara sebagai berikut :
“Logistik obat dan bahan habis pakai di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe disimpan di Gudang farmasi sehingga itu sudah menjadi kewenangan Kepala gudang farmasi. Kalau saya sendiri tidak begitu memantau situasi digudang farmasi. Hanya bila ada masalah saya panggil kepala gudangnya untuk memberi petunjuk memecahkan masalah. Sejauh ini kami melihat belum ada hal-hal yang menghambat penyimpanan obat..”(Kadinkes).
Demikian halnya hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan
Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe terkait penyimpanan obat sebagai
berikut :
“Pertama-tama kami jelaskan terlebih dahulu bahwa ukuran gudang penyimpanan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe ini seluas ± 10x15 atau sekitar 150 m2, hal ini belum memadai untuk menampung semua obat dinkes. Gudang Farmasi terdiri dari beberapa buah rak/lemari, lemari pendingin, lemari khusus untuk obat narkotika, ac, dan kipas angin, serta pompa air. Sementara untuk metode penyusunan obatnya menerapkan prinsip FIFO dan FEFO. Karena keterbatasan ruangan prinsip ini belum berjalan dengan baik, obat rusak atau kadaluarsa sudah dipisahkan dengan obat yang masih bagus. Sedangkan untuk pencatatan kartu stok obat jujur saja ya, ini belum dijalankan dengan baik. Kami juga tidak mau menyalahkan staf gudang karena jumlah SDM terbatas. Demikian juga laporan penyimpanan obat belum berjalan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Nah..untuk pengamanan mutu obat tentunya harus diperiksa satu persatu, jadi hal itu belum dilakukan untuk semua jenis obat. Biasanya laporan kerusakan obat kami terima dari Puskesmas bilamana obat yang diterima sudah rusak atau kadaluarsa..”(Kabid Yankes).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala
Gudang terkait penyimpanan obat di gudang farmasi sebagai berikut :
“Kegiatan penyimpanan obat dilaksanakan setelah obat diterima lengkap oleh Dinas Kesehatan yang dibuktikan dengan berita acara penerimaan obat. Jadi pak..obat yang kami simpan itu sudah melalui tahap pemeriksaan, apabila belum lengkap maka kami tidak menyimpannya namun kami kembalikan kepada distributornya. Nah, terkait dengan keadaan penyimpanan kita memang masih belum memadai. Luas gudang ini belum cukup untuk menyimpan obat-obatan dan bahan habis pakai. Sehingga kami letakkan di lantai dan kami tumpuk, dan sebagain kami tempatkan dibagian kantor administrasi gudang. Hal yang paling mengganggu ini pak saat listrik padam, nah itukan bisa mempengaruhi suhu dalam gudang penyimpanan dan bisa menyebabkan kerusakan obat. Sementara untuk kartu stok obat yah, bapak bisa lihat sendiri masih banyak yang kosong, ini disebabkan keterbatasan SDM pak. Untuk prinsip penyimpanan kami rotasi dengan sistem FIFO dan FEFO, untuk bentuk sediaan kami susun berdasarkan alfabeti, tetapi tidak semua jenis obat kami terapkan, hanya obat tertentu saja pak. Obat yang rusak dan kadaluarsa sudah kami pisah pak, jumlahnya banyak, ada yang udah dari tahun lalu belum dilakukan penghapusan barang. Barang yang baru datang juga banyak yang hampir kadaluarsa pak, butuh dana untuk kirim balik. emang agak susah dengan rekanan sekarang pak, belum lagi pihak Puskesmas tidak mau terima kalau obat yang hampir kadaluarsa. Untuk pengamanan mutu obat tidak dilakukan secara khusus, tetapi kami lihat rusak/expired ketika ingin menyerahkan ke Puskesmas. ”(Kasie Kefarmasian dan Ka. Gudang).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti terkait
penyimpanan obat di Puskesmas sebagai berikut :
“Sesuai dengan pertanyaan bapak tentang penyimpanan obat di Puskesmas maka kami mencoba menjawabnya. Di puskesmas kita
Universitas Sumatera Utara
ini sudah ada gudang penyimpanan obat. Namun luasnya kurang memadai sehingga seringkali obat yang tidak bisa muat dalam gudang kami simpan diruangan lain. Saya sudah instruksikan pengelola obat agar obat-obat yang diterima dari gudang farmasi agar disimpan dengan baik sesuai prinsip FIFO dan FEFO. Hanya saja kadangkala instruksi saya ini tidak dijalankan. Kalau pencatatan stok obat, bapak bisa lihat sendiri di gudang kalau kartu stok obat yang jarang diisi. Inilah salah satu kelemahan kita pak..”(Kapus Banda Sakti).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti
terkait penyimpanan obat di puskesmas sebagai berikut :
“Waalaikumsalam pak, Sebagai pengelola obat di Puskesmas Banda Sakti maka kami mempunyai tanggungjawab untuk menyimpan obat dengan baik. Obat yang kami terima dari dinkes kami periksa semuanya satu persatu, tapi tidak langsung hari terima barang, kalau ada yang kurang atau kadaluarsa saya cuma lapor kapus, selebihnya urusan kapus. Untuk prinsip penyimpanan kami rotasi dengan sistem FIFO dan FEFO, untuk bentuk sediaan kami susun berdasarkan alfabeti, tetapi tidak semua jenis obat kami terapkan, hanya obat yang sering kami pakai pak. Untuk jenis vaksin kami simpan di kulkas di ruang KIA, Obat yang kadaluarsa juga sudah kami pisah, menunggu waktu yang tepat untuk dikembalikan ke dinkes. Untuk pencatatan dan pelaporan stok obat belum semuanya terisi pak, karena keterbatasan SDM pak, soalnya saya terlibat juga di apotik untuk membantu pelayanan farmasi..”(Pengelola obat PKM Banda Sakti).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Blang Cut tentang
penyimpanan obat di Puskesmas dapat diketahui sebagai berikut :
“Tentang penyimpanan obat di Puskesmas Blang Cut ini kami sudah jalankan pak, karena kami menganggap hal ini sangat penting dan merupakan tanggungjawab kami untuk
Universitas Sumatera Utara
melaksanakannya. Namun pak kalau ditanya bagaimana hasilnya, terus terang itu belum maksimal. Contohnya gudang penyimpanan obat di puskesmas belum layak. Selain ukurannya kecil fasilitas atau alat penyimpanannya terbatas. Hal yang paling bermasalah itu pak..di puskesmas kita ini sering padam lampu PLN sehingga penyimpanan obat menjadi terganggu. Untuk kartu stok saya pikir kita sama-sama tahu pak bahwa itu sulit untuk dilakukan setiap hari..karena obat yang sudah dipakai diapotik biasanya tidak dilaporkan kepada pengelola obat pada hari itu juga. Soal keamanan obat itu juga masih belum maksimal pak. Untuk obat yang kadaluarsa sudah saya suruh pisah pak, saya juga bilang ke orang dinkes agar barang yang hampir kadaluarsa jangan lagi dikasi kami. Fasilitas pendukungnya masih terbatas terutama SDM kita di Puskesmas yang terbatas juga pak.”(Kapus Blang Cut).
Hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Blang Cut terkait dengan
penyimpanan obat di Puskesmas dapat diketahui sebagai berikut :
“Waalaikumsalam pak, untuk penyimpanan obat di puskesmas ini sudah disediakan satu gudang yang khusus untuk menyimpan obat. Penyimpanan obat disusun dirak dan sebagian dilantai karena raknya kurang. Tidak semua obat kami susun dirak, karena hanya obat-obat yang sering dibutuhkan saja yang kami susun. Pengaturan dengan cara FIFO dan FEFO, sediaan kami susun alfabetis supaya mudah ngambil, obat sirup, salep juga dipisah, kami atur sesuai ukuran tempat. Sementara untuk obat-obat yang rusak atau kadaluarsa sudah kami pisah. Untuk pencatatan kartu stok masih belum lengkap pak, saya akui itu butuh perhatian khusus..”(Pengelola obat PKM Blang Cut).
4.8.1 Pengaturan Tata Ruang
Dari hasil wawancara dengan informan dapat dijelaskan bahwa tata ruang
penyimpanan obat di gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe masih
Universitas Sumatera Utara
disimpan dalam satu ruangan dan tidak ada sekat-sekat (gabungan), sementara sistem
arah arus gudang obat mengikuti arus lurus. Untuk rak penyimpanan obat
menggunakan bahan dari kayu dan sebagian besi, namun tidak semua obat dapat
diletakkan diatas rak karena keterbatasan jumlah raknya. Penyimpanan obat-obatan
golongan khusus seperti vaksin dan golongan narkotika disimpan dilemari khusus.
Hal lain yang belum dilengkapi pada gudang penyimpanan obat di Dinas Kesehatan
Kota Lhokseumawe dan Puskesmas adalah tabung pemadaman kebakaran.
4.8.2 Penyusunan Stok Obat
Berdasarkan keterangan informan tentang penyusunan obat di gudang obat
Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dijelaskan bahwa prinsip penyusunan obat
yang digunakan selama ini adalah menggunakan prinsip FIFO dan FEFO, bentuk
sediaan di susun berdasarkan alfabetis, tetapi tidak terapkan untuk semua jenis obat-
obatan. Obat yang rusak dan kadaluarsa sudah di pisah. Sementara dari hasil
observasi yang dilakukan secara langsung diketahui bahwa tidak semua obat di
gudang penyimpanan obat mengikuti penyusunan dengan prinsip FIFO dan FEFO.
Masih terdapat obat-obatan yang belum disusun dengan baik dan teratur sehingga
menyebabkan penumpukan obat di satu tempat.
4.8.3 Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat
Pencatatan dan pelaporan stok obat di gudang farmasi dan puskesmas Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe telah dilaksanakan. Namun tidak semua jenis obat
dicatat dalam kartu stok obat. Hal ini disebabkan karena petugas farmasi Dinas
Kesehatan dan Puskesmas belum membuatnya. Berdasarkan observasi yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan digudang farmasi diketahui bahwa pencatatan dan pelaporan pada kartu
stok obat belum terisi secara rutin, masih terdapat kartu stok yang tidak diisi
sehingga kondisi obat di gudang farmasi dan gudang puskesmas tidak dapat
diketahui dengan jelas.
4.8.4 Pengamanan Mutu Obat
Pengamanan mutu obat di gudang farmasi dan gudang penyimpanan obat di
Puskesmas Kota Lhokseumawe diketahui bahwa obat-obat di gudang farmasi dan
gudang penyimpanan obat di puskesmas dilakukan apabila terdapat jenis obat yang
sudah rusak.
Dari hasil wawancara dengan informan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa manajemen pengelolaan obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan
Puskesmas masih belum mengikuti ketentuan dan tahapan-tahapan terutama dalam
hal penyimpanan obat yang baik.
4.9 Pendistribusian Obat pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Untuk mengetahui pendistribusian obat pada Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe dapat diketahui dari hasil wawancara sebagai berikut:
“Kegiatan pendistribusian obat merupakan tanggungjawab kepala gudang farmasi bekerjasama dengan kepala puskesmas. Untuk jadwal pendistribusian obat terbagi 2 yaitu distribusi rutin dan distribusi khusus. Sebelum didistribusikan pihak puskesmas terlebih dahulu mengusulkan obat-obat yang mereka butuhkan melalui bidang pelayanan, seterusnya dievaluasi dan dibuat surat permohonan persetujuan oleh kadinkes. Nah..setelah saya setujui maka obat sudah bisa didistribusikan. Untuk teknis
Universitas Sumatera Utara
pendistirbusiannya saya kira bidang yankes dan gudang farmasi yang menjelaskannya”(Kadinkes).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan
terkait dengan pendistribusian obat sebagai berikut :
“Pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilakukan dengan beberapa tahap. Yang pertama adalah kami melihat setiap perencanaan obat yang telah disusun dalam satu tahun, seterusnya kami mengevaluasi laporan pemakaian dan lembar permintaan obat (LPLPO) dari puskesmas..apakah itu perbulan triwulan atau persemester. Nah..dari sana kami bisa merencanakan obat-obat yang akan didistribusikan ke Puskesmas. Jadi belum tentu permintaan puskesmas itu kami penuhi semua karena kami selalu memperhatikan sisa stok obat puskesmas sebelumnya”(Kabid Yankes).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala
Gudang Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe terkait pendistribusian obat di
Puskesmas sebagai berikut :
“Untuk kegiatan pendistribusian obat dilaksanakan sesuai kebutuhan puskesmas. Untuk mendistribusikan obat terlebih dahulu harus mendapat persetujuan bapak kepala Dinas kesehatan, selanjutnya kami menghubungi puskesmas untuk datang kegudang farmasi mengambil obat yang sudah disetujui oleh pak kadis. Jadi, untuk distribusi obat pihak puskesmas yang mengambil ke gudang. Sebelumnya saya tugaskan staf untuk menyiapkan obat-obat yang akan diambil oleh puskesmas”(Kasie Kefarmasian dan Ka. Gudang).
Adapun tanggapan Kepala Puskesmas Banda Sakti tentang pendistribusian
obat sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
“Jadi masalah pendistribusian obat ini pak..kami dari puskesmas selalu mempedomani petunjuk dari Dinas Kesehatan. Namun untuk pendistribusian obat ini pihak gudang farmasi tidak langsung mengantarkan obat ke puskesmas walaupun sebenarnya itu adalah tugas mereka pak. Untuk itu kami diminta untuk mengambil atau menjemput obat ke gudang farmasi setiap 3 bulan sekali menggunakan mobil ambulans yang ada di puskesmas. Saya menugaskan pengelola obat untuk menjemput obat sesuai dengan permintaan”(Kapus Banda Sakti).
Sementara tanggapan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait pendistribusian
obat sebagai berikut :
“Secara rutin kami mengirimkan laporan pemakaian dan lembar permintaan obat ke Dinkes. Dalam hal permintaan obat kami sesuaikan dengan keadaan obat yang cepat habis digunakan di puskesmas, pustu, poskesdes. Setelah semua direkap maka selanjutnya kami mengirimkan permintaan obat ke Dinkes. Nah..kami menunggu hasil persetujuan dari Dinkes beberapa hari baru bisa menjemput obat digudang farmasi. Saya tugaskan pengelola obat bersama supir ambulans untuk mengambil obat sesuai dengan permintaan obat yang telah disetujui Dinkes. Apabila obat sudah sampai di puskesmas maka kami memberitahu penanggungjawab unit pelayanan dipuskesmas, pustu, poskesdes untuk mengajukan permintaan obat agar dapat didistribusikan segera”(Kapus Blang Cut).
Tanggapan Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti tentang pendistribusian
obat sebagai berikut :
“Untuk pendistribusian obat dari gudang farmasi, biasanya kami yang menjemput bersama dengan supir ambulans. Kami diberikan surat tugas oleh kepala puskesmas. Sebelum obat kami terima kami cek satu persatu kemudian setelah dicek kami langsung angkat obat tersebut kedalam mobil ambulans. Hanya saja pak kami tidak membuka lagi kardus obatnya pada saat
Universitas Sumatera Utara
mengecek karena membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang cukup. Jadi kami menganggap apa yang tertulis dikemasan obat itu sudah cukup untuk dicatat dalam berita penerimaan obat. Kalau pendistribusian ke unit pelayanan di puskesmas, pustu, poskesdes tidak ada kendalanya pak”(Pengelola obat PKM Banda Sakti).
Hasil wawancara dengan Pengelola Obat Puskesmas Blang Cut tentang
pendistribusian obat sebagai berikut :
“Tentang pendistrubusian obat dari gudang farmasi selama ini belum ada hambatan. Karena kami yang langsung menjemputnya di gudang farmasi. Tapi kalau masalah apakah obat yang kami terima sudah sesuai dengan permintaan..nah itu kami tidak bisa menjaminnya pak. Karena hampir setiap obat yang kami usulkan ke Dinkes berbeda dengan yang kami terima. Memang sih pak kami diberikan penjelasan bahwa obat yang kami minta itu jumlah stoknya tinggal sedikit digudang farmasi bahkan kosong. Nah..untuk pendistribusian ke pustu, poskesdes dan bidan desa biasanya kami beritahukan kepada mereka agar menjemput ke puskesmas setelah mendapat persetujuan dari pak kapus”(Pengelola obat PKM Blang Cut).
Berdasarkan rangkuman wawancara tersebut di atas maka diketahui bahwa
manajemen pendistribusian obat dari gudang farmasi ke Puskesmas Kota
Lhokseumawe belum berjalan dengan baik. Obat yang didistribusikan masih belum
sesuai permintaan Puskesmas.
4.9.1 Mekanisme Pendistribusian Obat
Berdasarkan informasi dari para informan diketahui bahwa kegiatan
pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilaksanakan setelah
Universitas Sumatera Utara
Kepala Dinas Kesehatan memberikan persetujuan pendistribusian sesuai dengan
rencana kebutuhan obat di Puskesmas.
4.9.2 Unit-unit Pendistribusian Obat
Obat-obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe di
distribusikan ke masing-masing puskesmas selanjutnya puskesmas melakukan
pendistribusian ke pustu, polindes dan poskesdes termasuk kepada bidan desa.
4.10 Supervisi dan Evaluasi Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe
Berikut hasil wawancara dengan beberapa informan terkait dengan
pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas sebagai berikut :
“Untuk pelaksanaan supervisi pengelolaan obat di Puskesmas dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah direncanakan dalam APBD. Dalam hal supervisi pengelolaan obat di puskesmas dikoordinir oleh bidang pelayanan kesehatan. Hasil dari supervisi akan dievaluasi di Dinas Kesehatan bersama dengan beberapa kepala bidang terkait. Untuk tahapan pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat dapat dijelaskan oleh bidang pelayanan kesehatan.”(Kadinkes).
Tahapan pelaksanaan supervisi dan evaluasi obat di Puskesmas dapat
diketahui dari penjelasan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan sebagai berikut :
“Tahapan supervisi pengelolaan obat puskesmas yang kami lakukan adalah pertama kami menyiapkan instrumen supervisi seperti form indikator, LPLPO dsb. Kemudian kami merencanakan jadwal untuk turun ke Puskesmas. Pelaksana supervisi ini semua dari bidang yankes. Di puskesmas kami melakukan wawancara dengan kapus dan petugas pengelola obat kemudian memantau gudang penyimpanan obat. Hasil dari
Universitas Sumatera Utara
supervisi, kami catat dalam formulir laporan yang telah kami siapkan. Selanjutnya kami serahkan kepada pak kadis. Sementara untuk evaluasi pengelolaan obat biasanya tidak langsung keluar hasilnya. Dibutuhkan waktu untuk penilaian”(Kabid Yankes).
Untuk proses pelaksanaan supervisi dan evaluasi di Puskesmas Banda Sakti
dapat diketahui dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas sebagai berikut :
“Baik pak..kami jelaskan bahwa pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat dari Dinkes Kota Lhokseumawe masih jarang dilakukan. Dalam setahun paling banyak 2 kali mereka ke Puskesmas itupun hanya sebentar saja. Biasanya mereka datang menemui saya di ruangan dan memanggil pengelola obat untuk diwawancarai sebentar. Tidak lama mereka supervisi pak, sebenarnya masih banyak kekurangan kami dalam hal pengelolaan obat ini. Kami bersedia untuk dievaluasi namun hasil evaluasinyapun tidak disampaikan kepada kami”(Kapus Banda Sakti).
Demikian halnya dengan tanggapan Kepala Puskesmas Blang Cut terkait
dengan kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas Blang
Cutsebagai berikut :
“Terkait dengan kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat dari Dinkes, boleh kami katakan masih belum maksimal pak..supervisi seharusnya dapat memberikan masukan bagi kami bagaimana mengelola obat dengan baik. Demikian halnya dengan hasil evaluasi pengelolaan obat dari Dinkes, dimana sampai saat ini kami belum memperoleh hasilnya. Nah..untuk mendampingi tim supervisi dari Dinkes saya menugaskan pengelola obat kami untuk mendampingi karena dia yang lebih tahu tentang pengelolaan obat ini pak”(Kapus Blang Cut).
Universitas Sumatera Utara
4.10.1 Supervisi dan Evaluasi
Supervisi dan evaluasi obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
dikoordinir oleh Bidang Pelayanan Kesehatan. Sasaran supervisi dan evaluasi adalah
sarana infrastruktur, sistem pengelolaan dan sumber daya manusia. Supervisi
dilakukan berdasarkan sumber anggaran yang tersedia dan disesuaikan dengan
kebutuhan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dapat diambil kesimpulan
pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat oleh Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe belum berjalan efektif dan efisien terutama hasil dan tujuan
pelaksanaan kegiatannya masih belum maksimal.
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Perencanaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan
kesehatan untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan
kebutuhan obat di Puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat untuk Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setiap periode dilaksanakan oleh Tim Perencana Obat dan
Perbekalan Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam proses perencanaan kebutuhan obat
per tahun, Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan
mengunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang akan melakukan kompilasi dan
analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di wilayah kerjanya.
Perencanaan merupakan salah satu fungsi yang sangat penting dalam
manajemen, karena dengan adanya perencanaan akan menentukan fungsi
manajemen lainnya terutama pengambilan keputusan. Fungsi perencanaan
merupakan landasan dasar dari fungsi menajemen secara keseluruhan. Tanpa adanya
perencanaan, pelaksanaan kegiatan tidak akan berjalan dengan baik. Dengan
demikian perencanaan merupakan suatu pedoman atau tuntunan terhadap proses
kegiatan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan hasil wawancara terkait perencanaan obat dengan informan
dapat diketahui bahwa tahapan perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota
Universitas Sumatera Utara
Lhokseumawe diawali dengan pembentukan Tim Perencanaan Obat yang terdiri dari
pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Tim yang sudah dibentuk akan diusulkan
kepada Walikota Lhokseumawe untuk ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota
tentang Tim Perencana Obat Kota Lhokseumawe. Perencanaan kebutuhan obat
dilaksanakan oleh tim perencanaan obat, yang diketuai oleh Kepala Bidang
Pelayanan Kesehatan dan dibantu oleh Kepala Seksi Kefarmasian.
Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Yankes diketahui bahwa proses
perencanaan obat di Dinas Kesehatan dilaksanakan menggunakan metode konsumsi
berdasarkan pada obat generik yang tercantum dalam Daftar Obat Esensial Nasional
(DOEN) dan Formularariun Nasional (Fornas). Perencanaan kebutuhan obat telah
dilaksanakan sesuai dengan tahapan perencanaan antara lain tahap pemilihan obat,
tahap kompilasi dan tahap penghitungan obat. Namun tidak semua berjalan dengan
baik, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan data pemakaian obat
(LPLPO).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala
Gudang menjelaskan bahwa tugas dari tim perencanaan obat Kota Lhokseumawe
kurang maksimal, diantaranya pertemuan hanya satu kali setahun, kurangnya
koordinasi tim perencanaan obat dan tidak pernah melakukan pelatihan terhadap
petugas pengelolaan obat puskesmas.
Dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti menjelaskan
bahwa tidak semua jenis obat yang sudah direncanakan dapat diakomodir nantinya
oleh Dinas Kesehatan dan jumlahnya tidak sesuai permintaan. Sedangkan penjelasan
Universitas Sumatera Utara
dari Kepala Puskesmas Blang Cut menyatakan bahwa tugas-tugas perencanaan obat
dipercayakan kepada petugas pengelolaan obat karena alasan tugas Kepala
Puskesmas cukup banyak.
Konsep yang diperoleh dari hasil wawancara terkait tentang perencanaan
kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe adalah pembentukan tim
perencanaan obat. Pemilihan kebutuhan obat menggunakan metode konsumsi
berdasarkan pada obat generik yang tercantum dalam DOEN dan Fornas. Proses
perencanaan kebutuhan obat publik diawali dari data yang disampaikan Puskesmas
(LPLPO) ke Dinas Kesehatan, kemudian dikompilasi menjadi rencana kebutuhan
obat, selanjutnya melakukan perhitungan kebutuhan obat dan disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia.
Dari uraian pernyataan informan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
manajemen perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe telah
dilaksanakan oleh tim perencanaan obat, namun belum berjalan dengan baik.
Pertemuan/Rapat kerja penyusunan kebutuhan obat hanya satu kali setahun,
kurangnya koordinasi tim perencanaan obat dan tidak pernah melakukan pelatihan
terhadap petugas pengelolaan obat puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat telah
dilaksanakan sesuai dengan tahapan perencanaan, namun tidak semua berjalan
dengan baik, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan data pemakaian
obat (LPLPO), tidak semua jenis obat dapat diakomodir oleh Dinas Kesehatan dan
jumlahnya tidak sesuai permintaan. Adapun tujuan perencanaan obat adalah 1).
Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan kebutuhan; 2). Meningkatkan efisiensi penggunaan obat; 3).
Meningkatkan penggunaan obat secara rasional (Kemenkes, 2010).
Berdasarkan Hasil penelitian Triana (2013) tentang evaluasi perencanaan obat
pelayanan kesehatan dasar di Gudang Farmasi Kabupaten Gunung Mas Provinsi
Kalimantan Tengah menyimpulkan bahwa kepatuhan pada pedoman perencanaan
obat masih rendah, dibuktikan ada beberapa langkah-langkah perencanaan yang tidak
dilakukan oleh petugas, hal ini disebabkan karena kurang pemahaman terhadap
langkah-langkah perencanaan, tidak adanya SOP, beban kerja berlebihan serta
kurangnya supervisi secara berkala dari atasan terhadap pelaksanaan perencanaan
obat yang dilakukan.
Menurut Hasibuan (2007), perencanaan adalah pekerjaan mental untuk
memilih sasaran, kebijakan, prosedur dan program yang diperlukan untuk mencapai
apa yang diinginkan pada masa yang akan datang. Sedangkan rencana adalah
sejumlah keputusan mengenai keinginan dan berisi pedoman pelaksanaan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan itu. Jadi setiap rencana mengandung unsur tujuan
yang hendak dicapai.
Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai kriteria antara lain
sebagai berikut :
a. Perencanaan harus mempunyai tujuan yang jelas.
b. Perencanaan harus mengandung uraian yang lengkap tentang segala aktifitas
yang akan dilaksanakan, yang dibedakan pula atas aktivitas pokok serta
aktifitas tambahan.
Universitas Sumatera Utara
c. Perencanaan harus dapat menguraikan pula jangka waktu pelaksanaan setiap
aktifitas ataupun keseluruhan aktifitas yang akan dilaksanakan. Suatu rencana
yang baik, hendaknya berorientasi pada masa depan bukan sebaliknya.
d. Perencanaan harus dapat menguraikan macam organisasi yang dipandang
tepat untuk melaksanakan aktvitas-aktivitas yang telah disusun. Dalam
organisasi tersebut harus dijelaskan pula pembagian tugas masing-masing
bagian atau individu.
e. Perencanaan harus memiliki unsur fleksibilitas artinya sesuai dengan situasi
dan kondisi yang dihadapi, sedemikian rupa sehingga pemanfaatan sumber
dan tata cara dapat diatur dengan baik dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
f. Perencanaan harus mencantumkan dengan jelas standar yang dipakai untuk
mengukur keberhasilan atau kegagalan yang akan terjadi. Jadi suatu rencana
dapat menguraikan pula mekanisme kontrol yang akan dipergunakan.
g. Perencanaan harus dilaksanakan terus-menerus, artinya hasil yang diperoleh
dari perencanaan yang sedang dilakukan, dapat dipakai sebagai pedoman
untuk perencanaan selanjutnya.
Sumber penyediaan obat di Puskemas berasal dari Dinas Kesehatan. Obat
yang diperkenankan untuk disediakan di Puskesmas adalah obat esensial yang jenis
dan itemnya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formulararium Nasional (Fornas). Selain itu,
sesuai dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri Ke sehatan No. 85
Universitas Sumatera Utara
tahun 1989 tentang k ewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat
Generik di Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah dan Permenkes RI No. HK.
02.02/MENKES/068/I/2010 tentang kewajban menggunakan obat Generik di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik saja yang
diperkenankan tersedia di Puskesmas.
5.2 Pengadaan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Pengadaan adalah proses untuk mendapatkan pasokan barang di bawah
kontrak atau pembelian langsung untuk memenuhi kebutuhan bisnis. Pengadaan
dapat mempengaruhi keseluruhan proses arus barang karena merupakan bagian
penting dalam proses tersebut, karena itu pengadaan harus dianggap sebagai fungsi
yang strategis dalam manajemen logistik, dimana dalam pelaksanaan pengadaan ini
harus tersedia dalam jumlah obat yang cukup, pada waktu yang tepat dan harus
diganti dengan cara berkesinambungan dan teratur.
Pengadaan obat di Dinas Kesehatan dilakukan untuk memperoleh jenis dan
jumlah obat dengan mutu yang tinggi, menjamin tersedianya obat dengan cepat
dan tepat waktu. Oleh karena itu, pengadaan obat harus memperhatikan dan
mempertimbangkan bahwa obat yang diadakan sesuai dengan jenis dan jumlah obat
yang telah direncanakan.
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dijelaskan
bahwa kedudukan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dalam kegiatan
pengadaan adalah sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan pihak
Universitas Sumatera Utara
rekanan. Proses pengadaan obat diawali dengan perencanaan obat yang telah
dibuat oleh tim perencana obat. Setelah melalui beberapa seleksi dan evaluasi
melalui katalaog elektronik obat, maka PPK membuat daftar obat yang
dibutuhkan, dan selanjutnya disampaikan kepada pokja Unit Layanan Pengadaan
(ULP) untuk segera membuat paket pembelian obat dalam aplikasi e-purchasing
berdasarkan daftar pengadaan obat.
Berdasarkan keterangan yang di dapat dari Kepala Seksi Kefarmasian
Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dijelaskan bahwa setelah proses pengadaan
selanjutnya adalah proses penerimaan obat di Gudang Farmasi Dinas kesehatan
Kota Lhokseumawe yang melibatkan tim pemeriksa barang. Namun pada
kenyataannya tidak semua obat yang diterima dilakukan pemeriksaan pada waktu
penerimaan barang disebabkan jumlah barang yang banyak dan beban kerja
petugas yang tinggi. Informan menjelaskan salah satu penyebabnya adalah
kurangnya jumlah SDM yang melakukan pemeriksaan obat dan alat-alat
pendukung yang dibutuhkan dalam pemeriksaan belum tersedia sehingga
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memeriksa obat satu persatu.
Dari rangkuman wawancara dengan informan di atas maka dapat
simpulkan bahwa pelaksanaan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe berdasarkan katalog elektronik (e-catalogue). Namun masih
terdapat jenis obat yang tidak dapat dipenuhi oleh rekanan dengan alasan bahwa
jenis obat tersebut habis stok sehingga kebutuhan obat di Puskesmas tidak dapat
dipenuhi. Pada tahap pemeriksaan juga terdapat masalah seperti tidak
Universitas Sumatera Utara
dilakukannya pemeriksaan terhadap semua jenis obat yang diterima pada waktu
penerimaan barang. Hal ini dapat menimbulkan masalah seperti jenis obat yang
dibutuhkan tidak sesuai dengan jenis obat yang dipesan.
Berdasarkan hasil penelitian Apriyanti, dkk (2011) tentang evaluasi
pengadaan dan ketersediaan obat di RSUD Hadji Boejasin Pelaihari menyatakan
bahwa ketersediaan obat di RSUD H.Boejasin masih belum baik yang
ditunjukkan dari tingkat ketersediaan obat yang belum memenuhi kebutuhan obat
pada unit-unit pelayanan sehingga berdampak pada pelayanan kesehatan kepada
masyarakat yang berkunjung ke Rumah Sakit.
Obat merupakan pendukung utama untuk hampir semua program kesehatan di
unit pelayanan kesehatan. Untuk itu, ketersediaan dana pengadaan obat harus
proporsional dengan anggaran kesehatan secara keseluruhan.
Biaya yang diserap untuk penggunaan obat merupakan komponen terbesar
dari pengeluaran rumah sakit. Dibanyak Negara berkembang belanja obat di rumah
dapat menyerap sekitar 30-40% dari biaya kesehatan keseluruhan. Belanja perbekalan
farmasi yang demikian besar tentunya harus dikelola dengan efektif dan efisien, hal
ini perlu dilakukan mengingat dana kebutuhan obat di fasilitas kesehatan tidak selalu
sesuai dengan kebutuhan.
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui, melalui :
1. Pembelian
2. Produksi atau pembuatan sediaan farmasi
Universitas Sumatera Utara
3. Sumbangan/drooping atau hibah
Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender) merupakan suatu
metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga,
apabila ada dua atau lebih pemasok, pejabat pengadaan harus mendasarkan pada
kriteria berikut : mutu produk, reputasi produsen, harga, berbagai syarat, ketepatan
waktu pengiriman, mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang
barang yang dikembalikan, dan pengemasan.
Mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang
baik, pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar, dan tidak
memerlukan tenaga serta waktu berlebihan.
1. Pembelian
Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan unutuk mendapatkan
perbekalan farmasi. Hal ini sesuai dengan peraturan Presiden RI No. 94 tahun 2007
tentang pengendalian dan pengawasan atas pengadaan dan penyaluran bahan obat,
obat spesifik dan alat kesehatan yang berfungsi sebagai obat dan peraturan Presiden
No.4 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden No. 54 tahun
2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Ada 4 metode pada proses pembelian :
a. Tender terbuka, berlaku untuk semua rekanan yang terdaftar, dan sesuai
dengan kriteria yang telah ditentukan.
b. Tender terbatas, sering disebutkan lelang tertutup. Hanya dilakukan pada
rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat yang baik.
Universitas Sumatera Utara
c. Pembelian dengan tawar-menawar, dilakukan bila item tidak penting, tidak
banyak, dan biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu
d. Pembelian langsung, pembeli jumlah kecil, perlu segera tersedia. Harga
tertentu, relative agak lebih mahal.
2. Produksi
Produksi perbekalan farmasi di fasilitas kesehatan merupakan kegiatan
membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non-
steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat.
Kriteria perbekalan farmasi yang di produksi :
a. Sediaan farmasi dengan formula khusus
b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih murah
c. Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali
d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran
e. Sedian farmasi untuk penelitian
f. Sediaan nutrisi parenteral
g. Rekonstusi sediaan perbekalan farmasi sitostasika
h. Sediaan farmasi yang harus selalu di buat baru
Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe harus cermat dan teliti dalam upaya
menyusun perencanaan kebutuhan obat publik agar Dana Alokasi Umum (DAU)
yang disediakan oleh pemerintah dapat mencukupi penyediaan obat di Puskesmas
yang ada di wilayahnya.
Universitas Sumatera Utara
5.3 Penyimpanan Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang
diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan
mutunya tetap terjamin. Penyimpanan bertujuan agar obat yang tersedia di Unit
pelayanan kesehatan terjamin mutu dan keamanannya. Penyimpanan obat juga
merupakan faktor yang penting dalam pengelolahan obat di Puskesmas karena
dengan penyimpanan yang baik dan benar akan dengan mudah dalam pengambilan
obat dan lebih efektif.
Penyimpanan obat di Dinas Kesehatan menggunakan prinsip FIFO (First In
First Out) yaitu obat yang datang lebih awal harus dikeluarkan lebih dahulu. FEFO
(First Expired First Out), yang berarti obat yang lebih awal kadaluarsa harus
dikeluarkan leih dahulu. Obat sediaan disusun berdasarkan abjad (alfabetis) atau
nomor. Obat rusak atau kadaluarsa dipisahkan dari obat lain yang masih baik dan
disimpan di luar gudang.
Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Kota
Lhokseumawe diketahui bahwa obat-obat yang sudah diterima dan diperiksa akan
disimpan didalam gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe. Luas
gudang penyimpanan obat adalah 150 m2
Menurut keterangan dari Kepala Seksi Kefarmasian dan Kepala Gudang
Farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, bahwa tata susunan penyimpanan obat
. Menurut Kepala Bidang Pelayanan
Kesehatan bahwa luas gudang penyimpanan di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
belum cukup untuk menyimpan obat dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
di Dinas Kesehatan belum seluruhnya mengikuti prinsip FIFO dan FEFO. Masih ada
obat-obatan yang diletakkan dilantai dan tidak beraturan termasuk golongan obat
keras yang masih tercampur dengan jenis obat lainnya. Demikian halnya dengan
pencatatan obat yang kurang aktif dicatatkan didalam kartu stok obat. Menurut
informan hal ini disebabkan karena fasilitas penyimpanan digudang obat masih
terbatas. Penyabab lainnya yaitu keterbatasan jumlah tenaga untuk melakukan
penyimpanan, pemeriksaan dan pencatatan obat dengan baik.
Sementara tanggapan dari Kepala Puskesmas Banda Sakti dan Kepala
Puskesmas Blang Cut yang menyatakan bahwa gudang penyimpanan obat di
Puskesmas masih kurang memadai. Masih ada obat yang diterima namun disimpan di
luar gudang penyimpanan atau ruangan lain. Hal ini disebabkan karena ruang
penyimpanan tidak cukup untuk menyimpan obat yang diterima. Hasil observasi yang
dilakukan diketahui bahwa fasilitas penyimpanan obat di Puskesmas Banda Sakit dan
Blang Cut sangat terbatas seperti rak penyimpanan obat biasa dan rak penyimpanan
obat keras yang masih belum tersedia. Hambatan lain adalah masalah penerangan,
dimana ventilasi diruang penyimpanan obat di Puskesmas sangat terbatas. Untuk
penerangan diruang penyimpanan masih mengandalkan lampu PLN, namun
dikeluhkan juga bahwa PLN di Puskesmas sering padam sehingga peenyimpanan
obat tergangga. Dari hasil pengamatan langsung diketahui juga bahwa kartu stok obat
di gudang penyimpanan belum lengkap dan bahkan masih ada kartu stok yang belum
dicatat.
Universitas Sumatera Utara
Keterangan dari Petugas Pengelola Obat Puskesmas Banda Sakti dan Blang
Cut bahwa proses penyimpanan obat di gudang penyimpanan obat di Puskesmas
dilakukan tanpa mengikuti tata aturan penyimpanan yang benar. Seperti masih ada
obat yang diletakkan di lantai karena rak penyimpanan tidak cukup. Demikian juga
dengan pencatatan kartu stok obat yang tidak rutin dilakukan.
Dari informasi penelitian yang diperoleh tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan manajemen penyimpanan obat di Gudang Farmasi Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe dan gudang penyimpanan obat di Puskesmas Banda
Sakti dan Blang Cut masih belum memenuhi prosedur penerimaan, pemeriksaan dan
penyimpanan obat yang baik. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang berdampak
kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Sementara hasi penelitian Sheina, dkk (2010) tentang penyimpanan obat di
gudang instalasi farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I menyimpulkan
bahwa faktor sistem penyimpanan obat di Gudang Instalasi Farmasi RS. PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit I tidak sesuai dengan standar yaitu penggolongan
obat tidak berdasarkan kelas terapi/khasiat obat. Hal tersebut dikarenakan tidak
semua petugas gudang memiliki latar belakang pendidikan kefarmasian.
Kegiatan penyimpanan memegang peranan penting dalam pengelolaan obat
publik. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sarana
penyimpanan yang memadai. Sarana yang tidak memadai menyebabkan penataan
obat dalam penyimpanan tidak teratur dan tidak mematuhi kaidah penyimpanan obat,
sehingga dapat menyebabkan obat rusak atau expired dalam penyimpan.
Universitas Sumatera Utara
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan
obat-obatan adalah 1). Memelihara mutu obat; 2). Menghindari penggunaan yang
tidak bertanggungjawab; 3). Menjaga kelangsungan persediaan; 4). Memudahkan
pencarian dan pengawasan. Sementara kegiatan penyimpanan obat meliputi 1).
Pengaturan tata ruang; b). Penyusunan stok obat; c). Pencatatan stok obat; d).
Pengamatan mutu obat.
Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian
dan pengawasan obat-obatan, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan
baik. Penyusunan dilakukan dengan sistem First Expired First Out (FEFO) untuk
masing-masing obat, artinya obat yang lebih awal kadaluwarsa harus dikeluarkan
lebih dahulu dari obat yang kadaluwarsa kemudian, dan First In First Out
(FIFO) untuk masing-masing obat, artinya obat yang datang pertama kali harus
dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang datang kemudian. Hal ini sangat penting
karena obat yang sudah terlalu lama biasanya kekuatannya atau potensinya
berkurang. Beberapa obat seperti antibiotik mempunyai batas waktu pemakaian
artinya batas waktu dimana obat mulai berkurang efektivitasnya. (Kemenkes, 2010).
Setiap pengelola obat, perlu melakukan pengamatan mutu obat secara berkala,
setiap bulan. Hal ini penting untuk diketahui terutama penggunaan antibiotik yang
sudah kadaluwarsa karena dapat menimbulkan resistensi mikroba. Resistensi mikroba
berdampak terhadap mahalnya biaya pengobatan. Selama penyimpanan beberapa
Universitas Sumatera Utara
obat dapat terurai menjadi substansi-substansi yang toksik. Sebagai contoh
Tetrasiklin dari serbuk warna kuning dapat berubah menjadi warna coklat yang toksik
(Kemenkes, 2010).
5.4 Pendistribusian Obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
Pendistribusian obat mencakup kegiatan pengeluaran dan pengiriman obat-
obatan yang bermutu, terjamin keabsahannya serta tepat jenis dan jumlah dari gudang
obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan
kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, diperoleh kesimpulan
bahwa obat yang berada di puskesmas nantinya akan didistribusikan ke Pustu,
Poskesdes dan Polindes. Penyaluran obat juga dilakukan di bagian sub-sub
puskesmas seperti, (UGD), ruang rawat inap, ruang poli umum dan poli gigi.
(Kemenkes, 2010)
Cara distribusi obat yang baik adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau
bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran
sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya. Prinsip-prinsip Cara distriubsi obat
yang baik berlaku untuk aspek pengadaan, penyimpanan, penyaluran termasuk
pengembalian obat dan/atau bahan obat dalam rantai distribusi.
Dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
dijelaskan bahwa proses pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
dilakukan berdasarkan rencana kebutuhan obat dalam satu tahun dengan
mempertimbangkan jumlah sisa obat yang belum terpakai dan jumlah obat yang telah
Universitas Sumatera Utara
terpakai. Pendistribusian obat akan dilakukan apabila usulan obat yang dibutuhkan
telah disetujui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.
Dalam hal persetujuan obat dimaksud, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan
memberikan penjelasan bahwa obat yang di distribusikan ke Puskesmas adalah obat
yang diusulkan dan disampaikan langsung oleh Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe berdasarkan perencanaan obat di Puskesmas sebelumnya.
Kemudian Bidang Pelayanan Kesehatan akan melakukan pengkajian data
LPLPO. Hasil dari pengkajian LPLPO Puskesmas tersebut akan dievaluasi kembali
untuk menentukan jumlah dan jenis obat yang akan di distribusikan ke Puskesmas.
Setiap jenis obat yang di evaluasi terlebih dahulu mempertimbangkan sisa pemakaian
obat yang masih ada di Puskesmas.
Sementara hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti dan
Kepala Puskesmas Blang Cut menyatakan bahwa pendistribusian obat ke Puskesmas
tidak diantar langsung oleh Gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe,
melainkan pihak Puskesmas yang datang langsung menjemput obat yang telah
disetujui oleh Kepala Dinas Kesehatan. Penjemputan obat dilakukan oleh Petugas
Pengelola obat Puskesmas bersama dengan supir ambulans dalam kurun waktu tiga
bulan sekali (triwulan).
Obat yang sudah diterima akan dilakukan pemeriksaan ulang guna
memastikan obat yang diterima apakah sudah sesuai atau tidak dengan yang disetujui.
Namun tidak semua jenis obat diperiksa karena biasanya obat-obat yang
didistribusikan sudah siap di bungkus dengan kertas kardus atau bahan pembungkus
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Kemudian apabila obat sudah sampai di Puskesmas maka seluruh pustu,
poskesdes dan polindes akan diberitahu agar mengambil kebutuhan obatnya di
Puskesmas.
Dari pembahasan pendistribusian obat di atas maka dapat disimpukan bahwa
manajemen pendistibusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe telah
berjalan dengan baik. Walaupun secara prosedur seharusnya kegiatan pendistribusian
obat ke Puskesmas dilakukan oleh Gudang Farmasi Dinas Kesehatan, namun pada
kenyataannya pihak Puskesmas yang menjemput obat di Gudang farmasi. Masalah
lain adalah pemeriksaan obat tidak dilakukan secara teliti pada saat obat diserah
terimakan kepada petugas pengolala obat puskesmas. Hal ini berpotensi akan
menimbulkan masalah seperti jumlah obat yang tidak sesuai, fisik obat yang rusak
dan kadarluasa.
Distribusi/penyaluran adalah kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat
secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub-sub unit pelayanan
kesehatan antara lain 1).Sub unit pelayanan kesehatan di lingkungan Puskesmas; 2).
Puskesmas Pembantu; 3). Puskesmas Keliling; 4). Posyandu; 5). Polindes. Prioritas
pendistribusian obat Puskesmas menekankan kepada obat-obat yang esensial atau
yang sering digunakan oleh Pustu, poskesdes, dan Bides maupun ke pasien
Puskesmas itu sendiri. Untuk obat-obat narkotika atau semacamnya, puskesmas
masih belum memberikan kewenangan Pustu, Poskesdes, dan Polindes untuk
menyimpan karena untuk menghindari penyalahgunaan.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan distribusi obat antara lain 1). Terlaksananya distribusi obat publik dan
perbekkes secara merata dan teratur sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan;
2). Terjaminnya ketersediaan obat publik dan perbekkes di unit pelayanan kesehatan.
Kegiatan distribusi obat publik dan perbekkes terdiri dari 1). Kegiatan distribusi rutin
yang mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan umum di unit pelayanan
kesehatan; 2). Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat publik dan
perbekkes diluar jadwal distribusi rutin.
Dalam menentukan jumlah obat perlu dipertimbangkan pemakaian rata-rata
setiap jenis obat, sisa stok obat, pola penyakit, jumlah kunjungan di masing-masing
sub unit pelayanan kesehatan dengan menghitung stok optimum setiap jenis obat.
Memeriksa mutu dan kadaluarsa obat-obat dan alat bantu kesehatan yang didistribusi
ke sub-unit pelayanan kesehatan perlu di cek mutu dan kadaluarsanya.
Tata cara pendistribusian obat antara lain:
a. Unit pengelola obat tingkat Kabupaten/Kota melaksanakan distribusi obat ke
puskesmas dan rumah sakit yang ada di wilayah kerjanya sesuai dengan
kebutuhan masing-masing unit pelayanan kesehatan.
b. Obat-obatan yang akan dikirim ke Puskesmas harus disertai dokumen
penyerahan dan pengiriman obat.
c. Sebelum dilakukan pengepakan atas obat-obat yang akan dikirim, maka perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap: 1. Jenis dan jumlah obat; 2. Kualitas/kondisi
obat; 3. Isi kemasan; 4. Kelengkapan dan kebenaran dokumen
Universitas Sumatera Utara
d. Puskesmas induk mendistribusikan kebutuhan obat untuk Puskesmas
pembantu, Puskesmas keliling dan unit-unit pelayanan kesehatan harus dicatat
dalam kartu stok obat.
5.5 Supervisi dan Evaluasi Manajemen Obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat)
sehingga secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh
atasan. Supervisi dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih
luas, karena istilah yang digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan
dilakukan secara kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah
mengamati dan menjaga jadi bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki
pengertian menjaga.
Supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan adalah proses pengamatan
secara terencana dari unit yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan pengelolaan obat
oleh petugas pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT
lainnya). Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama.
Supervisi ditujukan untuk menjaga agar pekerjaan pengelolaan obat yang
dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Evaluasi dilakukan dengan
membandingkan suatu kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang diamati.
Hasil evaluasi dari hasil supervisi dapat langsung dibahas dengan yang
bersangkutan sehingga yang bersangkutan dapat mengetahui kondisinya. Dapatkan
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan dan kemudian coba dibahas langkah-langkah apa yang akan dapat
dipergunakan untuk membantu yang bersangkutan untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
Dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
dijelaskan bahwa pelaksanaan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat dilakukan
berdasarkan APBD yang sedang berjalan. Karena untuk melakukan kegiatan
supervisi dan evaluasi dibutuhkan dana terutama untuk biaya perjalanan dinas
pegawai. Kegiatan supervisi dan evaluasi obat di Puskesmas dikoordinir oleh Kepala
Bidang Pelayanan Kesehatan.
Berdasarkan penjelasan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan tentang tahapan
kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat yaitu diawali dengan tahapan
perencanaan jadwal supervisi, berikut tahap persiapan formulir indikator dan LPLPO
serta data-data lain yang menyangkut dengan pengelolaan obat. Personil pelaksana
kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat berasal dari Bidang Pelayanan
Kesehatan. Hasil kegiatan supervisi akan dijadikan sebagai bahan laporan evaluasi
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.
Sementara dari hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Banda Sakti dan
Kepala Puskesmas Blang Cut menjelaskan bahwa kegiatan Supervisi dan eveluasi
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe masih belum maksimal.
Tim supervisi biasanya datang ke puskesmas hanya melakukan wawancara dengan
petugas pengelola obat dan Kepala Puskesmas yang dilakukan diruangan Kepala
Puskesmas. Sementara untuk pemantauan langsung ke ruang penyimpanan obat
Universitas Sumatera Utara
termasuk apotik Puskesmas sangat jarang dilakukan. Waktu yang dibutuhkan untuk
supervisi tidak terlalu lama, sehingga petugas pengelola obat tidak mempunyai
kesempatan untuk bertanya tentang manajemen pengelolaan obat di Puskesmas.
Sedangkan hasil tindak lanjut evaluasi kegiatan supervisi pengelolaan obat di
Puskesmas sangat jarang diterima oleh Puskesmas.
Dari hasil analisis wawancara tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe belum berjalan efektif. Koordinasi antara lintas program masih kurang
terjalin dengan baik, demikian halnya juga dengan pembinaan pengelolaan obat
ditingkat Puskesmas tidak dilakukan akibatnya kualitas pelayanan obat di Puskesmas
semakin rendah.
Adapun kegiatan supervisi meliputi :
a. Proses penyusunan rencana
b. Persiapan pelaksanaan (tenaga, dana, waktu, check list)
c. Pelaksanaan (kunjungan, diskusi, umpan balik, penyelesaian)
d. Pemanfaatan hasil supervisi (kompilasi hasil, analisa, rekomendasi tindak
lanjut)
Tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan produktivitas para
petugas pengelola obat agar mutu pelayanan obat dapat ditingkatkan secara optimum.
Sementara langkah-langkah supervsi adalah sebagai berikut :
1) Persiapan Supervisi
a. Menyiapkan instrumen supervisi yang terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
• Formulir monitoring indikator
• LPLPO
• Formulir lain yang diperlukan termasuk check list kinerja petugas
seperti formulir bimtek
b. Mengumpulkan data dan informasi antara lain :
• Laporan rutin dan laporan khusus yang tersedia
• Hasil supervisi pada periode sebelumnya
• Dokumen lain yang terkait dengan rencana supervisi
c. Menganalisa data dan informasi yang telah dikumpulkan
• Memperkirakan masalah yang sedang terjadi
• Memperkirakan faktor penyebab timbulnya permasalahan
• Mempersiapkan berbagai alternatif pemecahan masalah
d. Menentukan tujuan dan sasaran utama supervisi, seperti :
• Memantau tingkat keberhasilan pengelolaan obat
• Menemukan permasalahan yang timbul
• Mencari faktor penyebab timbulnya masalah
• Menilai hasil pelaksanaan kerja
• Membina dan melatih para pelaksana.
• Mengumpulkan masukan untuk penyempurnaan kebijaksanaan dan
program
Universitas Sumatera Utara
e. Pelaksanaan Supervisi
• Menemui kepala/pejabat institusi yang dituju untuk
menyampaikan tujuan supervisi. Mengumpulkan data dan informasi
dengan cara :
• Mempelajari data yang tersedia.
• Wawancara dan diskusi dengan pihak yang disupervisi.
• Pengamatan langsung.
f. Membahas dan menganalisa hasil temuan dengan cara :
g. Pencocokkan berbagai data, fakta dan informasi yang diperoleh
h. Menilai tingkat keber hasilan pelaksanaan tugas
i. Menemukan berbagai macam masalah dan faktor penyebabnya
j. Membuat kesimpulan sem entara hasil supervisi
k. Mengadakan tindakan intervensi tertentu apabila ditemukan masalah yang
perlu segera ditanggulangi
l. Melaporkan kepada pimpinan institusi yang didatangi tentang :
• Tingkat pencapaian hasil kerja unit yang disupervisi
• Masalah dan hambatan yang ditemukan
• Penyebab timbulnya masalah
• Tindakan intervensi yang telah dilakukan
• Rencana pokok tidak lanjut yang diperlukan
Universitas Sumatera Utara
2) Tidak Lanjut Hasil Supervisi
a. Menyusun laporan resmi hasil supervisi yang mencakup :
• Hasil temuan selama supervisi
• Tindakan intervensi yang dilakukan
• Rencana tindak lanjut yang disarankan
• Catatan khusus yang bersifat rahasia
b. Menyampaikan laporan supervisi kepada :
• Atasan yang memberikan tugas supervisi
• Pihak lain yang terkait dengan hasil temuan supervisi
• Pihak yang disupervisi (sesuai kebutuhan)
Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan
memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan
dampak serta biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang
sistematis dari dampak program. Tujuan evaluasi antara lain :
a. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang
berjalan dan mencari solusinya.
b. Memprediksi kegunaan dari pengembangan program dan memperbaikinya.
c. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif.
d. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi.
e. Mengetahui kesesuaian antara sasaran yang diinginkan dengan hasil yang
dicapai.
Universitas Sumatera Utara
Ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi dinamis diantara
lingkungan program dan waktu evaluasi yaitu :
a. Evaluasi formatif yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan
program. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat dimensi kegiatan program
yang melengkapi informasi untuk perbaikan program.
b. Evaluasi sumatif yang dilakukan pada akhir program. Evaluasi ini perlu
untuk menetapkan ikhtisar program, termasuk informasi outcome,
keberhasilan dan kegagalan program.
c. Evaluasi penelitian adalah suatu proses penelitian kegiatan yang sebenarnya
dari suatu program, agar diketemukan hal-hal yang tidak tampak dalam
pelaksanaan program.
d. Evaluasi presumtif yang didasarkan pada tendensi yang menganggap bahwa
jika kegiatan tertentu dilakukan oleh orang tertentu yang diputuskan dengan
pertimbangan yang tepat, dan jika bertambahnya anggaran sesuai dengan
perkiraan, maka program dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
Analisa dan evaluasi terhadap hasil-hasil monitoring ini perlu dilakukan untuk
memastikan bahwa mutu hasil kerja dari petugas mencapai apa yang
diinginkan. Analisa dilakukan dengan membandingkan antara:
• Rencana dengan realisasi
• Proses kerja dengan sistem prosedur yang berlaku
• Sasaran kerja dengan ketentuan dan prosedur
Universitas Sumatera Utara
• Biaya yang dipergunakan dengan anggaran yang tersedia
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan suatu kondisi yang diharapkan
dengan kondisi yang diamati. Hasil evaluasi dari hasil supervisi dapat langsung
dibahas dengan yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan dapat mengetahui
kondisinya. Dapatkan kesepakatan dan kemudian coba dibahas langkah-langkah apa
yang akan dapat dipergunakan untuk membantu yang bersangkutan untuk mencapai
hasil yang diinginkan.
Proses evaluasi dapat dilihat sebagai 5 (lima) langkah model umpan balik,
yang masing-masing langkah adalah :
a. Penetapan apa yang harus diukur. Manajemen puncak menetapkan proses
pelaksanaan dan hasil mana yang akan dipantau dan dievaluasi. Proses dan
hasil pelaksanaan harus dapat diukur dalam kaitannya dengan tujuan.
b. Pembuatan standar kinerja. Standar digunakan untuk mengukur kinerja
merupakan suatu rincian dan tujuan yang strategis. Standar harus dapat
mengukur apa yang mencerminkan hasil kinerja yang telah dilaksanakan.
c. Pengukuran kinerja yang aktual yaitu dibuat pada waktu yang tepat.
d. Bandingkan kinerja yang aktual dengan standar. Jika hasil kinerja yang
aktual berada di dalam kisaran toleransi maka pengukuran dihentikan.
e. Melakukan tindakan korektif. Jika hasil kinerja aktual berada di luar
kisaran toleransi, harus dilakukan koreksi untuk deviasi yang terjadi.
Evaluasi bermanfaat untuk :
Universitas Sumatera Utara
a. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang
berjalan
b. Meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan memperbaikinya
c. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif
d. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi
e. Kesesuaian tuntutan tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dilaksanakan oleh tim
perencanaan obat yang dibentuk melalui Surat Keputusan Walikota
Lhokseumawe. Tim perencanaan obat belum berjalan dengan efektif dan efisien.
Pertemuan/Rapat kerja penyusunan kebutuhan obat hanya satu kali setahun,
kurangnya koordinasi tim perencanaan obat dan tidak pernah dilakukan pelatihan
terhadap petugas pengelolaan obat puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat telah
dilaksanakan sesuai dengan tahapan perencanaan antara lain tahap pemilihan
obat, tahap kompilasi dan tahap penghitungan obat. Namun tidak semua berjalan
dengan baik, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan data
pemakaian obat (LPLPO), tidak semua jenis obat dapat diakomodir oleh Dinas
Kesehatan dan jumlahnya tidak sesuai permintaan Puskesmas.
2. Pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe berdasarkan Peraturan
Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden
No. 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah, namun dalam
pelaksanaannya menghadapi beberapa masalah seperti masih terdapat jenis
obat yang tidak dapat dipenuhi oleh rekanan disebabkan jenis obat tersebut
Universitas Sumatera Utara
tidak ada stok atau barang habis. Waktu pengadaan dan kedatangan obat kadang-
kadang masih belum mengikuti ketepatan waktu yang disepakati pada isi
perjanjian kontrak. Penerimaan dan pemeriksaan obat dilakukan pada saat
kedatangan obat di Gudang Farmasi, sementara pemeriksaan obat di Puskesmas
dilakukan pada saat penerimaan obat dari gudang farmasi kepada petugas obat
puskesmas. Pada saat penerimaan masih terdapat obat yang hampir kadaluwarsa.
3. Penyimpanan obat dilakukan di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe. Pengaturan tata ruang masih kurang baik dan masih terjadi
penumpukan obat. Masih terdapat obat kadaluwarsa dan beberapa jenis obat yang
tidak pernah digunakan. Penyusunan stok obat belum seluruhnya menerapkan
prinsip FIFO dan FEFO. Pencatatan dan pelaporan belum lengkap sehingga tidak
dapat digunakan untuk pemantauan persediaan obat. Pengamanan mutu obat
belum dilaksanakan dengan baik.
4. Pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe belum berjalan
dengan baik. Masih terdapat jumlah dan jenis obat yang tidak sesuai permintaan
Puskesmas. Pendistribusian obat-obatan dari Dinkes ke Puskesmas dilaksanakan
dengan cara mengambil langsung ke Gudang Farmasi, setelah itu Puskesmas
menyalurkan ke Pustu, Polindes, dan bidan desa.
5. Kegiatan supervisi dan evaluasi pengelolaan obat di Puskesmas belum berjalan
dengan efektif dan efisien. Pembinaan dan Pelatihan pengelolaan obat di
Puskesmas belum dilaksanakan akibatnya pengelolaan obat di Puskesmas belum
berjalan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
6.2 Saran
Dari kesimpulan penelitian di atas maka saran dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada tim perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, serta kerjasama tim
dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai perencana kebutuhan obat.
Diharapkan kepada pihak Puskesmas dapat menyampaikan LPLPO sesuai jadwal
yang telah ditetapkan.
2. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe memilih Pedagang Besar
Farmasi (PBF) yang memiliki reputasi baik dalam pengadaan obat. Mampu
menjamin kesinambungan ketersediaan obat sesuai dengan masa kontrak. Dalam
hal obat tidak tersedia dalam e-kataloge, dapat melakukan pemesanan obat secara
langsung sesuai pedoman peraturan dan ketantuan yang berlaku. Diharapkan
Dinkes dapat membuat surat pernyataan PBF agar bersedia menyediakan obat
yang bermutu baik dan memiliki batas kadaluwarsa yang masih lama, minimal 24
bulan.
3. Untuk menghindari penumpukan obat-obatan diharapkan kepada Kepala Gudang
Farmasi Kota Lhokseumawe untuk menyesuaikan waktu kedatangan obat dengan
jadwal pendistribusian obat. Diharapkan Kepala Seksi Kefarmasian dapat
melakukan pencatatan secara rutin dari hari ke hari dan setiap terjadi mutasi obat
langsung dicatat didalam kartu stok, serta pengamatan mutu obat dilakukan secara
Universitas Sumatera Utara
rutin, apabila ada obat yang rusak atau kadaluwarsa harus dilakukan pemisahan
obat-obatan.
4. Meningkatkan hubungan kerjasama antara Gudang Farmasi Kota Lhokseumawe
dengan Puskesmas di wilayah kerjanya, agar pendistribusian obat dapat berjalan
dengan baik. Frekuensi pengiriman obat-obatan ke Puskesmas dapat dilayani
setiap tiga atau enam bulan disesuaikan dengan persediaan di Gudang Farmasi.
Diharapkan obat-obatan yang dikirim ke Puskesmas sesuai dengan data LPLPO.
5. Diharapkan kepada tim supervisi dan evaluasi pengelolaan obat untuk proaktif
melakukan kegiatan di Puskesmas dan melakukan pembinaan dan pengawasan
secara rutin. Diharapkan kepada tim supervisi dan evaluasi dalam melaksanakan
supervisi menggunakan indikator pengelolaan obat agar dapat diketahui tingkat
kinerja pengelolaan obat di Puskesmas. Diharapkan kepada tim supervisi dan
evaluasi melaporkan hasil supervisi terhadap masalah dan hambatan yang
ditemukan.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., (2007). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Cetakan Kelima.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Apriyanti, Gandjar, Satibi. 2011. Evaluasi Pengadaan dan Ketersediaan Obat di
RSUD Hadji Boejasin Pelaihari Tahun 2006-2008, Tesis. Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Bungin, B., 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi. Ekonomi, Kebijakan Publik,
Dan Ilmu Sosial Lainnya, Edisi pertama, Cetakan ke-2, Jakarta: Kencana. Cheng and Whittemore. 2008. An Engineering Approach to Improving Hospital
Supply Chains. USA. Clark, M., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for Health Drug Supply, Kumarian Press.
Depkes RI. 2002. Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan. 2nd ed. Ditjen Yanfar dan Alkes. Direktorat Bina Obat dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta.
_________. 2002. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ini
disusun untuk memberikan kejelasan bagi pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan di Propinsi/Kabupaten/Kota. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2002. Jakarta.
_________. 2006. Kepmenkes No. 189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat
Nasional. Jakarta. Dinkes Kota Lhokseumawe. 2014. Profil Kesehatan Tahun 2014. Lhokseumawe. Embrey, M., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for Health Drug Supply, Kumarian Press.
Hasibuan, SP., 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Bumi Aksara.
Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
Kemenkes RI. 2008. Kepmenkes No. 1121/Menkes/SK/XII/2008 tentang Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta.
___________. 2010. Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi
Kabupaten Kota. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010. Jakarta.
___________. 2010. Permenkes RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang
Kewajban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta.
___________. 2013. Kepmenkes RI No. 312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar
Obat Esensial Nasional. Jakarta. ___________. 2016. Permenkes HK. 02.02/Menkes/137/2016 Perubahan Atas
Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional. Jakarta.
Kristin. 2002. Dasar-dasar Perencanaan Kebutuhan Obat. (Makalah Seminar).
Agustus 2002. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM. Yagyakarta.
Olsen, C., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to
Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for Health Drug Supply, Kumarian Press.
LKPP. 2015. Perka LKPP No. 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing. Jakarta. Perpres RI. 2015. No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta. Quick, DJ., 1997. Managing Drug Supply. 2nd
ed. Management Sciences for Health. Kumarian Press. USA.
Sallet, JP., 2012. Management Sciences for Health. MDS-3: Managing Access to Medicines and Health Technologies, Arlington, VA: Management Science for Health Drug Supply, Kumarian Press.
Seto. 2004. Manajemen Farmasi. Airlangga University Press: Surabaya.
Universitas Sumatera Utara
Sheina, Umam, Solikhah. 2010. Penyimpanan Obat Di Gudang Instalasi Farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, Tesis. Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Terry and Leslie. 2010. (Penerjemah G.A. Ticoalu). Dasar-Dasar Manajemen.
Jakarta: Bumi Aksara. Triana, M., 2013. Evaluasi Perencanaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) di
Gudang Farmasi Kabupaten Gunung Mas Tahun 2012, Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
UU RI. 2014. No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta. Warman, J., 1997. Manajemen Pergudangan. Jakarta : LPPM. Wijayanti, A., 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan
Keuangan pada Perusahaan Go Publik di BEJ Tahun 2004-2005, Skripsi Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.
Yogaswara. 2001. Tinjauan Pelaksanaan Penyimpanan dan Distribusi Obat di Sub
Unit Gudang Farmasi Rumah Sakit Haji Jakarta. Depok: FKM UI.
Universitas Sumatera Utara
PANDUAN WAWANCARA
MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DI DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2016
Nama : Usia : Pendidikan : Jabatan : Tanggung Jawab : Lama Kerja : PERTANYAAN A. Perencanaan
1. Bagaimanakah Tahap Pemilihan atau Seleksi Kebutuhan Obat? 2. Bagaimanakah Tahap Kompilasi Pemakaian Obat? 3. Bagaimanakah Perhitungan Kebutuhan Obat? 4. Bagaimanakah Proyeksi Kebutuhan Obat?
B. Pengadaan
1. Bagaimanakah Cara Pemilihan Metode Pengadaan Obat? 2. Bagaimanakah Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat? 3. Bagaimanakah Cara Penerimaan dan Pemeriksaan Obat?
C. Penyimpanan
1. Bagaimanakah Pengaturan Tata Ruang? 2. Bagaimanakah Penyusunan Stok Obat? 3. Bagaimanakah Pencatatan dan Pelaporan Stok Obat? 4. Bagaimanakah Pengamanan Mutu Obat?
D. Pendistribusian
1. Bagaimanakah Mekanisme Pendistribusian Obat? 2. Kemanakah Unit-unit Pendistribusian Obat?
E. Supervisi dan Evaluasi
Universitas Sumatera Utara
Recommended