View
237
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA (STUDI KASUS MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN LAJANG
YANG BEKERJA
DI KECAMATAN SUKOHARJO)
Skripsi
Oleh:
Nuraini Dewi Masithoh
K8405003
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus
dijalankan, tidak terkecuali manusia. Kodrat merupakan kekuasaan Tuhan yang
meliputi sesuatu hal yang melekat pada diri manusia, baik itu berupa hukum alam
maupun sifat bawaan yang dimiliki oleh manusia. Dengan adanya kodrat Toety
Nurhadi ( 1991 :122 ) mengatakan, “ manusia akan terjebak dalam keadaan baku
yang tidak bisa diubah”. Secara alamiah dan biologis, kodrat membagi manusia
dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Masing-masing jenis kelamin akan
memiliki implikasi yang berbeda-beda. Perempuan memiliki kodrat menstruasi,
hamil, melahirkan dan menyusui, yang semua kemampuan ini tidak dimiliki oleh
laki-laki. Sedangkan kodrat yang didefinisikan secara sosial, mengandung arti
bahwa manusia harus menjalani serangkaian tahapan kehidupan, yang disebut
sebagai siklus kehidupan. Siklus kehidupan manusia dimulai dari masa bayi,
beralih ke masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, hingga akhirnya masuk
pada kehidupan keluarga.
Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam hubungan
sosial masyarakat. Keluarga terbentuk dari adanya suatu tahapan dari siklus hidup
manusia yaitu perkawinan. Perkawinan menurut Siany Liestysari ( 2007 : 122 )
diartikan sebagai “ penyatuan antara dua pihak yang berbeda kelamin yakni antara
laki-laki dan perempuan”. Proses penyatuan ini, jika dipandang dari sudut
kebudayaan manusia, maka akan berhubungan dengan kehidupan seksual dan
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Koentjaraningrat( 1985 ; 90 )
mengatakan, “ perkawinan akan menyebabkan seorang laki-laki dan perempuan
dalam pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh dengan sembarang lelaki
atau perempuan lain” . Selanjutnya Henry ( 1997 : 197 ) mengatakan “
3
perkawinan menjadi sebuah kesatuan (union) yang dimasuki oleh laki-laki dan
perempuan dan berharap untuk membagi bagian utama dari kehidupan mereka
bersama-sama”. Dari dua pengertian tersebut maka secara implisit akan
memberikan makna bahwa dengan adanya perkawinan akan memberikan
pembedaan peran ( hak dan kewajiban ) baik bagi laki-laki atau perempuan.
Dalam masyarakat Jawa kultur pembagian peranan antara laki-laki dan
perempuan akan semakin kental terasa meskipun di berbagai kultur masyarakat
yang lain juga demikian halnya. Perkawinan menempatkan laki-laki dalam posisi
yang lebih dominan. Sedangkan perempuan, sebagai seorang istri harus berada
dalam ranah domestik yang kedudukannya lebih rendah dari laki-laki. Seorang
laki-laki berperan sebagai kepala keluarga—seperti yang digariskan dalam budaya
Jawa dan agama serta aturan pemerintah, sementara seorang istri berperan
sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai aktivitas domestik yang dilimpahkan
kepadanya.
Membincang kembali tentang perkawinan maka pada konteks tahun
1970-an, mayoritas perkawinan Jawa dilaksanakan segera sesudah anak
perempuan mengalami haidnya yang pertama. Secara kultural para perempuan
tersebut memiliki beban untuk menikah dan mempunyai anak. Perkawinan
tersebut biasanya diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Orang tualah yang
mencarikan bakal jodoh dan menentukan hari pernikahan. Sehingga tidak heran
jika banyak perempuan kita yang telah memiliki status sebagai seorang istri rata-
rata pada saat berumur 16-17 tahun. Namun hal ini berbeda konteksnya bagi laki-
laki, dalam keluarga Jawa memberikan kebebasan dan izin bagi para anak laki-
lakinya untuk menikah sampai mereka telah merasa siap baik secara sosial
maupun material., yaitu ketika mereka telah mampu menyangga sebuah keluarga
dengan layak.
Geertz (1982:81) menjelaskan, “perkawinan pada masyarakat Jawa
yang bersifat parental tersebut tidak hanya dilihat dari kerangka organisasi
kekeluargaan semata-mata, tetapi lebih dari itu dilihat dari struktur ekonomi dan
gengsi”. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengertian perkawinan yang
dipandang secara konvensional. Artinya bahwa perkawinan dilakukan sebagai
4
salah satu life cycle yang pasti dilalui oleh setiap manusia. Setiap individu harus
melalui tahapan perkawinan ketika mereka menginjak dewasa. Perkawinan
ditekankan sebagai bentuk kewajaran yang harus dilakukan oleh setiap manusia
dan dijadikan sebagai kewajiban sosial bukan hak kebebasan individu.
Perkawinan semacam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat yang bersifat
tradisional ataupun pedesaan bahkan juga di masyarakat perkotaan.
Ketika perempuan sudah memasuki institusi perkawinan, maka
kewajiban mutlak yang melekat pada dirinya adalah menjadi seorang ibu rumah
tangga dengan sederet pekerjaan domestik yang mulai menanti. Kewajiban untuk
menjadi ibu rumah tangga ini, erat kaitannya dengan kekalahan perempuan atas
laki-laki dalam kepemilikan harta pribadi (privat property). Awalnya pekerjaan
domestik perempuan seperti meramu, memasak dan mengasuh anak adalah
pekerjaan yag memiliki posisi lebih tinggi dari laki-laki. Namun setelah
berkembangnya pertanian dan perdagangan laki-laki memiliki posisi yang lebih
kuat dengan kemampuan mereka untuk menukarkan hasil buruan mereka dengan
hasil pertanian yang lainnya. Sejak itulah laki-laki meganggap bahwa lembaga
perkawinan sebagai tempat untuk melindungi property yang dimilikinya.
Pekerjaan domestik yang dilimpahkan pada perempuan, menjadi suatu bagian
yang tidak memiliki arti penting lagi. Inilah yang mengawali posisi perempuan
selalu berada di bawah bayang-bayang lelaki.
Dikatakan oleh Ayu Ratih (2002 : 47) pekerjaan domestik yang melilit
perempuan, ketika mulai masuk pada jenjang perkawinan ini dalam konstruksi
masyarakat telah dianggap sebagai kontrak sosial yang seolah tidak memberikan
kesempatan pada perempuan untuk memiliki sebuah pilihan, karena hal tersebut
selalu dibumbui atas nama kewajiban. Tidak mengikuti aturan sosial ini
merupakan suatu hal yang tabu dan di luar kebiasaan. Salah-salah akan dicap
melanggar aturan agama dan tak layak mendapat predikat istri solehah.
Perempuan harus selalu berteman dengan berbagai perkerjaan domestik mulai dari
memasak, mencuci, mengurus rumah tangga, megurus suami, mengurus anak,
yang semuanya akan mengikat badan, hati dan pikiran perempuan ke rumah sejak
ia bangun pagi hingga malam hari.
5
Di Indonesia, keadaan tersebut seolah dipertegas dan dilegalkan oleh
peraturan undang-undang yang berlaku. Dalam UU perkawinan no 1 Tahun 1974
dengan jelas dikatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu
rumah tangga, yang memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Ini
menunjukkan bahwa betapa undang-undang telah ikut berperan dalam melegalkan
budaya patriarki dalam hubungan keluarga dan dalam masyarakat. Perempuan
dibentuk sebagai pribadi yang berada dalam kekuatan laki-laki. Dan hal ini
dibenarkan oleh hukum kita, maka implikasinya perempuan harus berada di
bawah bayang kuasa laki-laki. Apabila ini tidak dilakukan, maka perempuan kita
dianggap melanggar kaidah atau aturan.
Namun seiring berjalannya waktu, modernitas dan berbagai hal lainnya
membawa babak baru dalam kehidupan manusia. Modernisasi, menunjuk pada
suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai
(fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan
fungsional. Berbagai perubahan pun muncul mengikuti perkembangan proses
modernisasi tersebut. Perubahan tersebut meliputi cara berfikir dan cara
berperilaku yang semuanya mengerucut pada adanya perubahan pada kebudayaan
manusia.
Dalam konteks masyarakat Jawa, maka salah satu perubahan itu terlihat
dari masuknya perempuan ke dalam sektor publik yakni bekerja. Banyak
perempuan bekerja dalam berbagai sektor, baik formal ataupun informal.
Pendidikan dianggap sebagai salah satu hal yang berpengaruh positif pada
terbukanya ruang bagi partisipasi perempuan adalam meningkatkan kesempatan
kerja. Banyak perempuan yang mulai memasuki jenjang pendidikan tingkat SLTA
bahkan ada pula yang mencapai gelar sarjana. Bekerja pun menjadi tujuan mereka
dalam upaya merampungkan pendidikannya. Perkembangan ini erat pula
kaitannya dengan makin dikenalnya ide dan pemikiran feminisme pada
perempuan.
Feminisme berangkat dari kesadaran dan keinginan perempuan untuk
bebas dalam kultur patriarki yang selama ini menjerat mereka. Kamla Bhasin
6
(1995 : 5) mendefinisikan, “ feminisme adalah perjuangan untuk mencapai
kesederajatan / kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih
dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah
tangga”. Kenyataan inilah kemudian membawa keinginan perempuan untuk
menuntut dan berjuang demi “persamaan” agar tercipta keadilan dalam kehidupan
masyarakat, termasuk halnya keadilan dalam ruang publik dan ruang kerja.
Dengan masuknya perempuan pada dunia kerja, maka akan membuka
peluang karir serta posisi yang lebih sesuai bagi perempuan. Konsep bekerja jika
ditelaah lebih jauh memiliki makna yang luas. Definisi bekerja secara umum
adalah usaha mencapai tujuan. Adapun secara ekonomi, definisi bekerja adalah
kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa baik untuk
digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Jadi, ada prinsip
pertukaran dalam hal ini. Namun, bekerja sesungguhnya bukan sekadar pertukaran
ekonomi. Bekerja itu dalam arti yang sangat mendasar adalah kegiatan yang
dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan hidup seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu lingkungan tertentu dimana melalui kegiatan
tersebut mereka dapat menemukan jati diri (eksistensi) mereka. Bekerja dengan
demikian, bukan sekadar untuk mengubah lingkungan fisik atau suatu bahan baku
menjadi barang material yang dikonsumsi sendiri atau oleh orang lain lalu
dipertukarkan dengan imbalan ekonomi - demikian pula bukan sekadar
memberikan jasa untuk mendapatkan imbalan - melainkan merupakan bagian dari
untuk mendapatkan harkat kemanusiaannya
(http://www.bkkbn.go.id/print.php?tid=2&rid=225).
Hal ini sejalan seperti yang terjadi pada perempuan masa kini. Bekerja
bagi perempuan, bukan hanya sekedar mencari tambahan penghasilan berupa
uang dan berbagai materi lainnya, tapi mereka memanfaatkan kerja juga sebagai
ajang aktualisasi atas kemampuan diri mereka. Ketika para perempuan bekerja
dalam sektor domestik, komentar miring sebagai seorang “pengangguran”, akan
senantiasa mendatangi mereka. Ini dikarenakan pekerjaan domestik tidak
menghasilkan suatu hasil material atau uang. Namun sebaliknya bila
menghasilkan uang dalam sektor publik maka pelakunya dianggap bekerja. Hal ini
7
dikarenakan pemahaman bahwa kerja upahan dalam sektor publik dianggap
sebagai kerja produktif yang notabene lebih bernilai daripada kerja yang bukan
upahan.Buktinya para pembantu rumah tangga (PRT), yang aktivitasnya sama
seperti yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga, justru dianggap bekerja,
karena mereka menghasilkan uang atau penghasilan secara material.
(http://www.bkkbn.go.id/print.php?tid=2&rid=225)
Masuknya perempuan dalam ruang kerja publik membuka wacana baru
dalam pemikiran mereka. Hal ini membawa dampak pula pada pergeseran
persepsi tentang makna perkawinan. Perkawinan dimaknai sebagai hak kebebasan
individu. Bagi perempuan lajang kita, perkawinan menjadi sebuah kontrak sosial,
yang mengharuskan terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak, tanpa ada
intervensi dari pihak lain. Para perempuan lajang yang notabene perempuan yang
memiliki otonomi dan kuasa penuh atas dirinya sendiri (Wiwik Sushartami, 2002 ;
29), menganggap perkawinan adalah sebuah pilihan rasional, personal dan tidak
ditentukan oleh masyarakat. Dengan demikian sistem perjodohan yang dilakukan
oleh orang tua menjadi hal yang tidak relevan lagi , karena setiap individu
memiliki kebebasan untuk menentukan dan memilih pendamping hidupnya.
Konstruksi masyarakat tentang stigma perawan tua tak laku mulai
bergeser. Dahulu ketika perempuan memilih untuk menunda pernikahan di usia
yang sudah mapan, maka akan muncul stereotipe bahwa perempuan tersebut tidak
laku, turun pasaran , ataupun perawan tua. Yang terjadi kemudian banyak di
antara mereka yang memutuskan untuk menikah tanpa pertimbangan yang matang,
namun sekedar mengikuti keharusan sosial yang berlaku. Mereka mengikat
komitmen bukan karena keinginan atau menemukan pasangan yang tepat, tapi
kondisi budaya, agama dan lingkungan sekitar membuat perempuan tersebut
wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan.
Budaya menikah muda juga mulai bergeser. Menurut Terrence Hull yang melakukan riset di beberapa kota besar di Indonesia pada tahun 1970-an,
angka pernikahan bagi perempuan di Indonesia dilakukan ketika menginjak usia
16-19 tahun, pada tahun 2005 banyak perempuan yang menikah pada akhir umur
30 tahun. Tercatat 51,4 % perempuan Indonesia yang berumur 25-29 memilih
8
untuk menunda perkawinanya. Jadi makin banyak prosentase perempuan
Indonesia yang menikah pada usia yang cukup mapan, baik dai segi karir maupun
pendidikan dan materi.
Dari sinilah muncul pemaknaan dan definisi tentang perkawinan. Bagi
perempuan, perkawinan tidak hanya dipandang dari segi kebutuhan secara
kultural, namun lebih dari itu perkawinan mulai dimaknai secara sosial maupun
ekonomis. Diperlukan berbagai pertimbangan bagi perempuan hingga akhirnya
memtuskan untuk melakukan perkawinan. Semakin majunya tingkat pendidikan,
terbukanya peluang kerja ekonomis untuk perempuan, semakin lancarnya arus
informasi dan komunikasi membuat kehidupan manusia mengalami perubahan.
Semakin tinggi usia perkawinan dan fenomena perempuan bekerja/ berkarier
merupakan satu dari sekian banyak gejala bahwa perkawinan pun menjadi sesuatu
yang bisa dinegosiasikan khususnya oleh perempuan
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka akan diambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana makna perkawinan bagi perempuan lajang (bekerja) ?
2. Mengapa para perempuan lajang (bekerja) menunda usia perkawinannya ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui makna perkawinan bagi perempuan lajang yang bekerja.
2. Untuk mengetahui alasan para perempuan lajang menunda usia
perkawinannya.
9
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan tentang
kajian dalam ilmu sosiologi dan antropologi.
2. Manfaat Praktis
a) Untuk memberikan gambaran tentang makna dan fungsi perkawinan
bagi perempuan masa kini.
b) Dapat memberikan masukan atau sumbangan terhadap kajian
antropologi dalam pola kekerabatan (perkawinan) pada umumnya, dan
memahami persoalan sosial budaya yang terkait fenomena perkawinan.
3. Manfaat Metodologis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan penelitian selanjutnya
yang lebih mendalam
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Perkawinan
Secara sosial manusia memiliki kodrat berupa rangkaian atau tingkat-
tingkat hidup tertentu. Koenjaraningrat (1992 : 192) menyatakan bahwa tingkat-
tingkat sepanjang hidup individu ini dalam kitab antropologi sering disebut
sebagai stages along the life-cycle. Life cycle ( siklus kehidupan ) adalah
serangkaian tahapan yang harus dilalui manusia dimulai dari masa bayi, beralih ke
masa kanak-kanak, masa remaja, adolescent, masa dewasa, hingga akhirnya
masuk pada kehidupan keluarga. Asumsinya perkembangan dan pertumbuhan ini
akan menjadikan manusia sebagai seorang sosok yang utuh atau sempurna yaitu
utuh secara pertumbuhan biologis, sosial dan juga utuh secara psikologis atau utuh
kepribadiannya.
Perkembangan siklus kehidupan manusia ini menurut Khairudin (1985 :
10) mencapai titik puncaknya pada saat setiap individu membentuk suatu keluarga
dimana institusi tersebut merupakan kelompok primer yang terpenting dalam
masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk dari suatu organisasi terbatas dan
mempunyai ukuran minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya
mengadakan suatu ikatan.
Keluarga menurut Gertz (1982 : 58) terbentuk dari adanya suatu tahapan
siklus hidup manusia, yaitu perkawinan. Sementara itu perkawinan dapat
didefinisikan dari berbagai macam perspektif atau sudut pandang. Menurut UU
Perkawinan No 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Ini definisi perkawinan yang dipandang dari agama
islam, diman selanjutnya perkawinan dipandang sebagai jalan yang alami bagi
9
11
perempuan dan laki-laki. Selanjutnya menurut Suryani dan Bagus JL (2007 ; 5 )
mendefinisikan bahwa,“ Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat
karena dibentuk menurut undang-undang. Hubungan ini mengikat kedua pihak
dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan nonformal yang
dibentuk atas kemauan bersama secara sungguh-sungguh yang hanya mengikat
kedua pihak tersebut”.
Dari sudut pandang kaum fungsionalisme, perkawinan jelas
dipandang sebagai bagian dari rangkaian siklus hidup manusia. Lebih
lanjut, Koentjaraningrat (1992 : 193) menjelaskan bahwa,“ perkawinan
adalah suatu peralihan terpenting pada life cycle semua manusia di seluruh
dunia, saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat berkeluarga”.
Jadi perkawinan menjadi bagian kehidupan manusia dari proses
peralihan masa remaja menuju tingkatan keluarga, yang selanjutnya akan
membentuk kesatuan hidup bersama. Dalam hubungannya dengan kehidupan
bersama ini, dijelaskan oleh Gough (1959 : ) perkawinan lantas dimaknai sebagai
struktur yang memproduksi, memelihara dan mengembangkan anak, untuk dapat
menjadi anggota dari masyarakat. Perkawinan menjadi tempat dimana
ditetapkannya legitimasi anak sebagai anggota yang bisa diterima oleh
masyarakat.
Dari sudut pandang kaum strukturalisme, perkawinan dapat dilihat dari
makna yang timbul di dalamnya akibat pengaruh dari unsur-unsur budaya yang
berkembang dalam masyarakat. Perkawinan dikatakan sebagai bagian dari proses
pertukaran. Ini berarti perkawinan dijelaskan Henry (1997 ; 198) sebagai berikut
“in the section on exchange, marriage is one means of maintaning communication
between peoples, whether it be friendly or hostile”. (dalam konteks pertukaran,
perkawinan adalah satu tujuan dari pemeliharaan komunikasi di antara manusia
apakah itu persahabatan atau permusuhan).
Di sini lebih lanjut, Levi Strauss menjelaskan bahwa dalam perkawinan
tersebut terdapat suatu bentuk komunikasi antar kelompok kekerabatan, di mana
wanita merupakan wahana bagi berlangsungnya proses komunikasi tersebut.
Menurut Ahimsa Putra dalam Siany Indria L (2003 : 49) menjelaskan bahwa
12
perspektif tersebut dapat dilihat bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sebagai
persatuan bukan antara laki-laki dan perempuan, tetapi laki-laki dan laki-laki. Hal
ini disebabkan karena setelah menikah si wanita akan tinggal bersama suaminya,
dan dalam kerangka teori Levi Strauss wanitalah yang dianggap sebagi sesuatu
yang dipertukarkan, dan melalui pertukaran inilah terjadi persatuan antara pria dan
wanita.
Dikatakan oleh Siany Indria L (2003 : 49) melalui proses pertukaran
yang terjadi dalam perkawinan tersebut, maka akan terbentuk suatu komunitas
baru yang anggotanya berasal dari kedua belah pihak. Dalam proses pertukaran
tersebut kita akan mengenal konsep dowry, sebagai sesuatu yang harus ada dalam
perkawinan. Dowry atau mas kawin dianggap sebagai perantara yang bersifat
material maupun non material, sebagai bentuk pertukaran atau gift. Artinya
pemberian mas kawin dalam perkawinan bisa berbentuk pemberian berupa materi
atau uang, namun demikian juga bisa berbentuk barang dan hal lainnya. Yang
terpenting di sini adalah segala bentuk pemberian tersebut diberikan sebagai
bentuk pemberian yang bersifat simbolik yang berarti akan terbentuk komunikasi
yang lebih internal dari kedua belah pihak ( laki-laki dan perempuan ataupun
keluarga dari pihak perempuan dan laki-laki ).
Dikatakan oleh Geertz (1983: 58) di dalam kultur masyarakat Jawa,
perkawinan menjadi sebuah tanda terbentuknya sebuah somah baru di mana anak
segera akan memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas
dari kelompok orang tua dan membentuk sebuah basis untuk sebuah rumah tangga
baru Di sini pengertian perkawinan menurut Geertz (1982 : 58) lebih ditekankan
pada keadaan dimana seseorang memiliki kelompok kecil baru dengan beban
ekonomi yang lepas dari orang tua ataupun kelompoknya. Namun demikian bukan
berarti mereka terlepas dari hubungan kekerabatan atau kelompoknya, tetapi
dengan adanya perkawinan maka akan terjadi pelebaran menyamping tali ikatan
antara dua kelompok himpunan yang tak bersaudara, atau pengukuhan
keanggotaan dalam suatu kelompok endogam bersama. Anggota keluarga besar
masing-masing pihak tetap memberikan dukungan, sumbangan, bantuan,
13
kesaksian sesuai dengan kekhususan hubungannya dengan pasangan suami istri
yang baru tersebut.
2. Perkawinan Dalam Konsep Feminisme
Perkawinan bisa dipandang dari berbagai sudut atau berbagai pengertian
yang berbeda-beda. Salah satunya adalah pandangan yang dikemukakan oleh
kaum feminis, perkawinan dipandang dari sudut pandang kaum perempuan
dengan berbagai bentuk pertimbangan yang bersifat kultural maupun sosial.
Feminisme menurut Kamla Bhasin (1995 : 5) diartikan sebagai , “ perjuangan
untuk mencapai kesederajatan / kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan
untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun
di luar rumah tangga.”
Bagi kaum feminis perkawinan dikaji dari berbagai aspek seperti;
perkawinan sebagai tempat di mana kategori-kategori gender direproduksi;
sebagai tempat dimana terdapat pembagian kerja secara seksual dan subordinasi
perempuan serta sebagai model bagi pelembagaan sosial lainnya yang berkaitan
dengan norma seksual ( Anonim , 2002 ; 127 ).
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan menjadi tempat
untuk memenuhi kebutuhan biologis atau nafsu seksual bagi kaum laki-laki.
Dikatakan oleh Subiantoro ( 2002 : 9) bahwa dalam hal ini perempuan dinikahi
sebagai objek seks laki-laki dalam rangka menghasilkan keturunan. Dalam
konteks inilah perempuan akan memasuki wilayah kontrol atas seksualitas yang
menjadi bidang subordinasi perempuan dengan mewajibkan untuk memberikan
pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan laki-
laki. Konsep ini sebenarnya erat kaitannya dengan bagaimana subordinasi pada
perempuan pada ranah perkawinan itu dimulai., yaitu berhubungan dengan
pembagian kerja seksual yang menyertai proses perkawinan tersebut.
Dalam kaitanya dengan pembagian kerja secara seksual, dapat dilihat
bahwa perkawinan menjadi suatu proses yang akan membentuk struktur
pembagian kerja yang didasarkan atas pembagian gender yang mana akan
memunculkan berbagai aktivitas sosial yang mengharuskan masing-masing pihak
terlibat di dalamnya. Perempuan akan menjadi objek yang memiliki posisi yang
14
subordinat dibanding laki-laki. Hal ini dapat terlihat dari berbagai aktivitas rumah
tangga.
Subordinasi perempuan dalam pembagian aktivitas kerja rumah tangga,
berkaita erat dengan pengertian perkawinan yang masih kental dengan budaya
patriarki. Menurut Engles perkawinan merupakan konsep yang masih kental
dengan ideologi patriarki, yang belum bisa memecahkan masalah keterpurukan
nasib bagi perempuan (Veny, 2002 ; 114 ). Hal ini terlihat dalam sistem “mas
kawin ”, yang dianggap sebagai pembayaran cash yang menimbulkan
konsekuensi seolah perempuan “dibeli” oleh laki-laki. Dalam kondisi demikian,
perempuan seolah harus selalu berada dalam bayang-bayang laki-laki.
Perkembangan ajaran Budha seperti yang tertuang dalam kitab Anggutara Nikaya
IV, 265 dalam Venny, 2002 ; 115 misalnya, menggambarkan bahwa dalam
perkawinan istri berkewajiban memenuhi syarat menjadi istri yang sempurna.
Seperti ; bangun pagi lebih dulu dari suami, pergi tidur setelah suami tidur, selalu
mematuhi perintah suami, selalu bersikap ramah dan sopan, serta mulutnya hanya
keluar kata-kata ramah .
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan menempatkan
perempuan pada posisi lebih subordinat dari laki-laki. Dan perempuan memiliki
suatu kewajiban secara kultural terhadap laki-laki. Kewajiban-kewajiban inilah
yang lantas menempatkan perempuan pada putaran aktivitas domestik, yang
membuat mereka harus menerima ini sebagai suatu kewajiban sosial. Berbagai
kewajiban sosial tersebut tumbuh sebagai bagian dari adanya pembagian aktivitas
dan ruang kerja secara seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang yang
memiliki kuasa yang lebih tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat property,
dan perempuan harus berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas sosial yang
disusun dan di atur oleh laki-laki.
Lebih lanjut, dalam hubungannya dengan perkawinan, dijelaskan oleh
Subiantoro (2002 : 10). perempuan akan terjebak pada kuasa yang diciptakan
kaum laki-laki. Salah satu contohnya bahwa pekawinan dilakukan sebagi imbas
dari mitos “cinderella compleks”. Dalam mitos ini, diperlihatkan bahwa
perempuan mendambakan seorang “pangeran” untuk mempersunting dirinya. Para
15
perempuan dalam rasionalitasnya selalu mendambakan laki-laki yang diyakini
sebagai seorang pangeran yang diimpikan dengan segala kesempurnaan baik itu
secara sosial, fisik maupun ekonomi, yang akhirnya akan memberikan
kebahagiaan dalam hidupnya. Pada posisi ini, perempuan akan pasrah untuk
diperlakukan apa saja demi pangeran yang didambakannya. Ini akan membawa
dampak munculnya pengertian bahwa perempuan tidak berarti apa-apa tanpa
kehadiran laki-laki. Budaya patriarki pun mulai berkoalisi dengan mitos tersebut,
sehingga menyebabkan makin bertahannya konsep tersebut
Selain itu secara kultural, dijelaskan oleh Subiantoro ( 2002 : 11)
perkawinan dilakukan perempuan untuk menghindari mitos “perawan tua”. Bagi
perempuan di Indonesia khususnya pada konteks masyarakat Jawa, menikah
adalah hal yang sarat dengan berbagai nilai yang telah lama dikondisikan dengan
budaya patriarki. Kondisi budaya, agama dan pengaruh lingkungan sekitar
membuat perenpuan wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Karena
jika hal ini tidak dilakukan, maka akan muncul labeling sebagai “perawan tua”.
Banyak orang tua menginginkan anak perempuannya segera menikah, agar
mereka tidak dianggap sebagai perawan tua. Sedikit saja perempuan tersebut
terlambat menikah pada usia yang diyakini pantas untuk menikah, maka akan
berkembang mitos, bahwa perempuan tersebut tidak akan mendapat suami dan
akhirnya menjadi perawan tua
Koentjaraningrat (1992 : 192)menjelaskan bahwa dalam prakteknya,
perkawinan bukan hanya berfungsi sebagai pengatur perilaku sex, tetapi
perkawinan juga berfungsi secara sosial dalam kehidupan kebudayaan dan
masyarakat manusia. Perkawinan akan memberikan perlindungan, hak dan
kewajiban kepada hasil persetubuhan yaitu anak-anak. Selanjutnya, perkawinan
juga akan memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berhubungan dengan teman
hidup, memenuhi kebutuhan akan harta, akan gengsi dan perwujudan berbagai
kelas sosial dalam masyarakat, serta memelihara hubungan baik antara berbagai
kelompok kekerabatan.
16
3. Makna Perkawinan
Dari berbagai pandangan dan pengertian tentang perkawinan tersebut di
atas, maka perkawinan menjadi suatu hal yang memiliki makna luas bukan
sekedar sebagai bentuk penyatuan antara dua belah pihak yang melakukan
perkawinan. Lebih dari itu dalam proses penyatuan antara dua orang individu
yang akan membentuk suatu relasi sosial baru bagi keduanya, yang akan
berpengaruh pada perubahan dan pembagian peran dalam masing-masing aktivitas
yang timbul dalam perkawinan. Perkawinan lantas menjadi bagian dari hubungan
sosial manusia dalam masyarakat, yang terjadi atas dasar berbagai kepentingan
dan tujuan, yang didasarkan atas berbagai pertimbangan yang bersifat personal,
yang tak lupa diikuti pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sosial . Berbagai
kepentingan dan tujuan tersebut dapat terwujud tergantung dari sudut mana
masing-masing pihak menentukan makna serta esensi perkawinan itu sendiri.
Dalam masyarakat kita berkembang 2 makna umum tentang perkawinan,
yaitu perkawinan dengan makna konvesional dan perkawinan yang bermakna
sebagai pilihan rasional ( modern). Dari sudut pandang perempuan, perkawinan
menjadi sebuah konsep yang menimbulkan berbagai konsekuensi sosial, yang
menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus dilaksanakan. Baik itu kewajiban
yang dipandang dari sudut ekonomi, sosial, politik maupun ikatan kultural. Ini
yang menandai perkawinan dalam arti atau makna konvensional. Perkawinan
menurut Henry (1999 : 197) adalah ,“ sebagai sebuah penyatuan yang dimasuki
oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan harapan dapat membagi kehidupan
secara bersama”.
Perkawinan menjadi kerangka atau dasar untuk dua orang individu
menjalani aktivitas hidup bersama. Artinya yang terpenting dalam perkawinan
adalah membentuk hubungan atau penyatuan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan dalam makna konvensional ini, biasanya dilakukan oleh masyarakat
yang memiliki pola pikir dan pola tindak yang masih tradisional.
17
Hal ini terlihat pada konteks masyarakat Jawa pada tahun 1970-an
misalnya, dimana perempuan memiliki kewajiban untuk menikah tepat setelah
mereka memasuki masa dewasa secara biologi yaitu setelah mengalami haidnya
yang pertama. Perkawinan oleh Geertz (1982 : 59) dijelaskan sebagai bagian dari
siklus yang harus dilalui manusia untuk tahapan hidup selanjutnya. Sistem
perjodohan pun tak ayal menjadi pilihan yang digunakan untuk mengikuti tekanan
kultural atas perkawinan tersebut. Kebanyakan perkawinan diatur oleh orang tua
kedua belah pihak. Orang tualah yang mencarikan bakal jodoh dan memutuskan
hari perkawinan, terutama apabila perkawinan pertama untuk anak mereka.
Barangkali kebanyakan gadis Jawa telah kawin setidaknya untuk waktu yang
singkat pada saat kira-kira berumur 16-17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah
menikah sama sekali.
Perjodohan merupakan tindakan sosial konvensional yang berlaku di
banyak negara di dunia ini. Perkawinan di sini adalah perjodohan antara laki-laki
dan perempuan yang dilakukan oleh pihak lain, tapi biasanya oleh kedua orang tua
mereka. Dalam memilih jodoh, orang tua biasanya akan mempertimbangkan dari
sudut bibit, bebet atau bobot dari masing-masing pihak, sehingga diharapkan
jodoh yang dipilihkan untuk anak akan tepat dan dapat memberikan kebahagiaan
bagi anak secara material maupun sosial. Perkawinan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan tiga “B” inilah yang seringkali dianggap ideal pada sebagian
besar masyarakat Jawa pada konteks tahun 1970-an.
Dijelaskan oleh Ahimsa Putra ( 2006 : 411-412) dari sudut bibit, jodoh
dipilih dengan melihat asal-usul dari pihak yang dijodohkan, bagaimana latar
belakang keluarga dan keturunannya. Dalam masyarakat Jawa yang diutamakan
pula adalah bagaimana memilih bibit yang sehat, yang artinya calon jodoh tidak
berasal dari keluarga yang salah seorang anggotanya “cacat” misalnya memiliki
penyakit keturunan maupun penyakit jiwa. Sedangkan dari pengertian bebet,
mengacu ada harta kekayaan. Pihak keluarga yang ingin menikah biasnya akan
memperhatikan juga tingkat ekonomi keluarga atau orang tua calon suami atau
istri. Pertimbangan faktor ekonomi calon jodoh ini lebih kuat terlihat pada pihak
perempuan, karena biasanya setelah menikah si perempuan akan tinggal di tempat
18
suami atau mengikuti suami . Yang terkahir dilihat dari segi bobot. Bobot secara
harfiah berarti “beratnya”. Bobot ini berrati status sosial atau kualitas yang
dimiliki oleh seorang individu, yang di masa lalu itu berrati kebangsawanan
seseorang. Kini bobot biasanya dikaitkan dengan pendidikan atau jabtan
seseorang.
Sekitar tahun 1970 sistem perjodohan ini banyak terjadi pada
masyarakat di Indonesia. Prosentasi perempuan yang belum menikah di usia
tersebut masih berkisar 62,6 %, berbeda dengan tahun 2005 yang angkanya terus
naik hingga mencapai 90, 8 %. Jadi awalnya pernikahan bagi anak yang berusia
15-19 tahun adalah hal yang memang wajar dan menjadi kehendak masyarakat. (
Badan Pusat Statistik, 2006 )
Selanjutnya dalam pengertian perkawinan secara konvensional tersebut,
perempuan tidak memiliki banyak kesempatan untuk memilih dan menyampaikan
pilihan lagi. Dalam hal ini, perkawinan menjadi bentuk kewajiban bagi
perempuan, dan menjadi sebuah pilihan bagi laki-laki. Sistem perjodohanpun
biasanya lebih banyak diterima oleh perempuan daripada laki-laki. Laki-laki,
diberikan kebebasan untuk tidak segera menikah sampai dia benar-benar siap
untuk membentuk sebuah keluarga. Umumnya para orang tua menunggu sang
anak untuk akhirnya siap menikah dan menyampaikannya pada orang tua (Geertz,
1982 ; 60) . Pembedaan pandangan dan makna dalam perkawinan inilah yang
kadang menyebabkan perempuan, tak kuasa memaknai perkawinan sesuai dengan
keinginan atau makna secara pribadi, melainkan lebih pada mengikuti berbagai
tuntutan dan aturan sosial masyarakat.
Dijelaskan oleh Sofia Kartika ( 2002 : 60 ) bahwa ketika perempuan
tidak segera menikah pada usia yang “tepat” menurut budaya masyarakat (yaitu
setelah masa haidnya yang pertama), lingkungan yang akan memberikan label
“perawan tua”, akan memberikan pengaruhnya yang lebih signifikan daripada
laki-laki yang diberi label dengan “perjaka tua”. Realita yang terjadi dalam
masyarakat inilah yang kemudian membuat perempuan lebih cepat ingin menikah.
Karena untuk menghindari berbagai macam hal yang tentunya tidak diinginkan
19
oleh masyarakat. Mereka setidaknya akan segera memikirkan perkawinan,
menciptakan keluarga yang bahagia dan memiliki anak.
Ayu Ratih ( 2002 : 47 ) menjelaskan bahwa ketika perempuan masuk
dalam lembaga perkawinan serangkaian tugas telah menanti. Mulai dari
melahirkan, mengurus anak, suami dan rumah tangga, sudah menanti. Hal ini
harus diterima sebagai sesuatu yang semestinya. Sesuatu yang alamiah dan
bersifat semestinya ini kemudian menjadi mitos yang didukung oleh wacana yang
dikuasai oleh laki-laki. Mitos itupun kemudian diterima dan didukung oleh
struktur sosial-budaya dan pengorganisasian dalam suatu masyarakat. Umumnya
tanpa disadari tugas-tugas tersebut akan mengikat badan, hati dan pikiran
perempuan ke rumah sejak ia bangun hingga malam hari.
Perkawinan dalam makna dan pengertian konvensional ini secara
keseluruhan dilakukan dengan berbagai tujuan dan dilatar belakangi berbagai hal,
salah satunya adalah pandangan yang bersifat ekonomis. Dari sisi ekonomis
dijelaskan oleh Subiantoro ( 2002 : 10 ), terjadi kasus perkawinan dilakukan atas
dasar perjodohan yang dilakukan oleh orang tua. Dalam kisah Siti Nurbaya, akan
jelas terlihat bagaimana perempuan tidak memiliki kekuatan untuk membebaskan
diri atau membela diri dalam tradisi patriarki yang sangat kental. . Perjodohan ini,
menjadi sebuah tradisi yang harus dijalankan sebagai sesuatu yang “lumrah” dan
kodrati. Apabila terjadi penolakan atas perjodohan ini, diyakini akan
mendatangkan aib yang akan mencelakan kesejahteraan keluarga. Perjodohan
inipun biasanya dilakukan dengan laki-laki yang dianggap memiliki kecukupan
secara material maupun memiliki kedudukan yang kuat secara sosial. Ini akan
menciptakan keuntungan secara ekonomis bagi keluarga pihak perempuan.
Secara konvensional perkawinan memiliki makna yang berdasarkan
pada suatu konsep tentang kewajiban harus yang dilalui oleh manusia (dalam hal
ini kita berbicara tentang perempuan lajang), dan dilakukan atas dasar hal-hal
yang berhubungan dengan tuntutan sosial kemasyarakatan. Umumnya perkawinan
dilakukan berdasar pada patokan usia tertentu dengan ketentuan pemilihan jodoh
yang sesuai dengan keinginan orang tua maupun masyarakat. Ketika berhasil dan
20
telah melalui hal tersebut dengan baik, maka mereka akan dianggap menjadi
anggota masyarakat secara sempurna.
Selain makna secara konvensional, kita juga mengenal makna
perkawinan secara rasional. Secara rasional, perkawinan diartikan sebagai proses
yang dilalui individu atas dasar pilihan atau kriteria tertentu. Bagi para perempuan
lajang, yang notabene memiliki otonomi dan kekuasaan yang luas terhadap
dirinya, memaknai perkawinan tak lagi secara konvensional, tetapi perkawinan
dimaknai dari sudut pandang kebebasan individu. Perkawinan dalam hal ini lebih
dimaknai sebagai kontrak sosial yang mensyaratkan adanya kesepakatan di antara
kedua belah pihak tanpa ada intervensi dari pihak lain. Perkawinan pada makna
ini dijadikan sebagai sebuah pilihan rasional atau hak setiap individu dan bukan
merupakan kewajiban sosial dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian,
menurut Siany Liestyasari ( 2003 : 124 ) perjodohan yang dirancang orang tua
sudah tidak relevan lagi, namun setiap individu berhak untuk menentukan
pasangan hidup sendiri.
Perlu adanya berbagai macam pertimbangan yang dianggap rasional bagi
perempuan, untuk akhirnya dapat memilih seseorang menjadi pasangan hidup,
sesuai dengan yang diinginkannya. Baik itu pertimbangan yang didasarkan pada
kriteria secara material, emosional, maupun sosial.
“Schooling and work not only offer socially legitimate alternatives to marriage for women, ……but they also are instrumental in motivating young men and womn to emulate a wetern conceptualization f marriage in terms of self- selection of spouses and more nuclear, conjugal, and egalitri marital relationsip.” (pendidikan dan pekerjaan tidak hanya menawarkan kepada para wanita alternatif pernikahan yang dapat diterima secara sosial…namun juga memotivasi para pria dan wanita muda untuk menerapkan konsep pernikahan ala barat dalam hal menyeleksi sendiri pasangan, juga dalam hal hubungan pernikahan yang lebih seimbang) (Malhotra, 1997:437)
Pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam memutuskan
perkawinan, didasarkan pada anggapan bahwa perkawinan adalah pilihan
individual dari setiap manusia, oleh sebab itu mereka berhak untuk memilih
pasangan sesuai dengan prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan mereka.
Lebih lanjut Mahotra ( 1997 : 437) menjelaskan bahwa, “…….marriage becomes
21
a more individualized process, to be entered into for love or self-fulfillment rather
than for traditional family concern” (…pernikahan menjadi proses yang lebih
individual, berdasarkan cinta atau pemenuhan kebutuhan pribadi, dan bukan
urusan keluarga).”
Pelaksanaan perkawinan yang didasarkan atas keputusan masing-masing
pihak, tidak lagi melibatkan hal-hal yang berhubungan denagn pertimbangan
keluarga, seperti layaknya perkawinan yang dilaksanakan pada masyarakat
tradisional. Hal-hal yang bersifat esensial tetap menjadi keputusan pihak yang
akan menjalankan perkawinan.
Dalam hubungan perkawinan tersebut terciptalah privatisasi perkawinan.
Perkawinan dalam cara pandang ini menjadi upacara pribadi yang tak harus
diperhatikan dan dihormati secara khusus oleh publik. Hubungan perkawinan pun
hanya menjadi hubungan mitra (partner) daripada hubungan suami-istri. Bahkan
Hillary Clinton (dalam Suryani dan Lesmana, 2007 : 8 ). pernah mengatakan; “
saya belajar sejak lama bahwa hanya ada dua orang yang penting dalam
perkawinan, yaitu kedua orang yang menikah tersebut”. Ini kembali mempertegas
bahwa perkawinan sebagai sebuah pilihan yang rasional, perkawinan menjadi
bagian yang dikonstruksi oleh kedua belah pihak yang melakukan perkawinan.
Segala keputusan yang berhubungan dengan perkawinan menjadi kuasa masing-
masing pihak, dan ketika perkawinan itu terjadi maka segala proses dan keputusan
yang terjadi di dalamnya merupakan keputusan bersama antara dua pihak tersebut.
Segala bentuk pemaknaan tentang perkawinan secara rasional ini
berkembang mengikuti arus perubahan zaman kearah yang lebih modern. Menurut
Huntington (dalam Mansour Fakih 2007 ; 32 ), “ modernisasi merupakan proses
yang bersifat revolusioner ( perubahan cepat dari tradisi ke modern ) , kompleks (
melalui berbagai cara sistematik ) , global ( akan mempengaruhi semua manusia
), bertahap ( melalui langka-langkah ), hegemonisasi , convergency dan progresif.
Modernisasi terjadi suatu proses perubahan yang direncanakan dimana melibatkan
semua kondisi, nilai-nilai sosial maupun kebudayaan secara integratif.”
Modernisasi juga mulai memasuki kancah pemikiran para perempuan kita. Para
perempuan kita mulai berupaya untuk mencoba mengubah tradisi tentang berbagai
22
sistem yang menunjukkan ketiadkadilan bagi mereka dengan berbagai orientasi
nilai yang lebih rasional dengan berbasis pada keadilan.
Ini membawa wacana baru dalam kajian mengenai perempuan dan
berbagai realita sosial yang menyertainya, yang dikenal sebagai feminisme.
Feminisme sesungguhnya bukan ajaran yang menanamkan kebencian pada kaum
lelaki. Feminisme juga bukan gerakan pemberontakan terhadap laki-laki dalam
upaya melawan pranata sosial yang ada. Namun lebih dari itu, feminisme
memiliki kajian yang sarat akan nilai-nilai keadilan. Menurut Kamla Bhasin dan
Khan ( 1999 : 9) “feminisme adalah perjuangan untuk mecapai kesederajatan /
kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola
kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga”.
Feminisme mengantarkan persamaan bagi perempuan, demi menciptakan keadilan
dalam masyarakat baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
Menilik dari apa yang ada dalam kajian feminisme, perempuan selalu
berada dalam bayang-bayang lelaki, karena erat kaitannya dengan kultur patriarki
yang terlanjur melembaga di negara ini. Dalam setiap urusan publik, perempuan
dibatasi oleh kondisi yang dibedakan atas konstruksi yang dinamakan gender.
Perbedaan gender akan melahirkan peran gender yang mengkonstruksi perempuan
secara biologis seperti kemampuan hamil, melahirkan, menyusui dengan peran
gender seperti merawat, mengasuh dan mendidik anak. Awalnya ini menjadi
bahasan yang tidak menimbulkan masalah, namun yang lantas menjadi masalah
adalah ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender tersebut. Marginalisasi
perempuan ini terjadi mulai dari kehidupan rumah tangga, masyarakat maupun
negara, yang banyak membuat berbagai kebijakan yang seolah menganggap
perempuan menjadi kaum yang tidak penting. Hal ini diperkeruh lagi, dengan
makin dibatasinya gerak atau aktivitas perempuan dalam berbagai sektor. Sektor
ekonomi, keluarga, maupun kancah sosial dan politik.
Namun perubahan yang dilandasakan pada gerakan feminisme mulai
membawa babak baru dalam kehidupan banyak perempuan. Makin terbukanya
pikiran dan pandangan mereka tentang berbagai aktivitas hidup, membuat
perempuan pun mulai banyak yang memasuki ruang publik. Ruang publik
23
memungkinkan masing-masing individu untuk menunjukkan eksitensi diri dalam
kehidupan masyarakat. Para perempuan pun mulai banyak yang memasuki dunia
kerja atau karir. Hal ini erat kaitannya dengan makin tinggi pula pendidikan yang
dapat mereka miliki untuk akhirnya dapat memperoleh jenjang karir dan kerja
yang sesuai dengan potensi mereka masing-masing. Jenjang karir dan pendidikan
yang cukup tinggi, memberikan pengaruh yang cukup besar daam berbagai
aktivitas hidup mereka, salah satunya adalah ketika mereka memikirkan
perkawinan.
4. Perempuan Lajang
Perkawinan tidak lagi ditentukan atas dasar hal-hal yasng berbau kutural,
yang menyangkut usia maupun keinginan masyarakat.Hal ini tentu tidak akan
sesuai lagi, karena modernisasi makin membuka pemikiran manusia bahwa
perkawinan adalah perkara yang sangat esensial, yang tidak hanya dapat
dilakukan untuk mengikuti kewajiban. Bagi perempuan lajang di Indonesia
perkawinan telah menjadi bagian dari pola hidup yasng penting, rasional dan
bersifat personal. Inilah yang lantas menyebabkan perkawinan menjadi suatu hal
yang membutuhkan pertimbangan dari berbagai sudut. Perkawinan bukan hanya
dilakukan untuk mengikuti patokan usia wajib menikah yang terlanjur
membudaya dalam masyarakat, yaitu ketika perempuan sudah memasuki masa
haidnya yang pertama.
Bagi perempuan lajang di Indonesia dijelaskan oleh Sushartami
(2002:36) ,pertimbangan tersebut menjadi sangat mutlak, karena perempuan
lajang adalah perempuan yang notabene memiliki kekuasaan penuh atas dirinya
sendiri Jadi setiap keputusan dan berbagai pertimbangan yang menyangkut
hidupnya membutuhkan suatu pemikiran atas dasar kajian yang rasional dan
personal.
Berbicara mengenai perempuan lajang, tentu akan menjadi suatu wacana
yang berbeda ketika kita membicarakan dengan perempuan menikah. Perbedaan
itu dapat dilihat dari segi sosial, moral, ekonomis dan politis yang masih sangat
kental dan terasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Suhartami (2002 : 36-
24
37) menyebutkan bahwa definisi tentang perempuan lajang menampilkan satu
fenomena bahwa perempuan lajang menjadi simbol yang kuat atas modernitas
yang aktif, yang memiliki image sebagai perempuan yang menggambarkan
berbagai identitas perempuan Indonesia modern.
Ada berbagai pandangan atau definisi yang menggambarkan tentang
perempuan lajang. Cargan dan Melko (1982 : 18) menyatakan “perempuan lajang
seringkali diidentikkan dengan perawan tua yang tidak mendapat laki-laki karena
dia tidak atraktif, dan tidak memiliki kemampuan untuk mendapat laki-laki karena
dia memiliki pendidikan tinggi, ambisius dan biasanya memiliki karir atau
pekerjaan yang mapan”. Di sini dapat terlihat pengertian bahwa perempuan lajang
mempresentasikan dirinya secara aktif, sehingga mereka dapat memiliki dan
memperoleh bidang-bidang kegiatan publik yang cukup baik atau bisa dikatakan
mapan. Mereka memiliki pertimbangan sediri dan berpikir atas dasar kepentingan
personal, sehingga apa yang mereka inginkan dapat tercapai secara maksimal.
Stein (1981), menjelaskan bahwa kategori dari perempuan lajang ini ada
2, yaitu lajang atau dasar keinginan sendiri (secara sengaja dan tidak sengaja) dan
lajang secara permanen (sementara dan tetap). Perempuan yang sengaja melajang
sementara (voluntary temporary singles) terdiri dari orang-orang yang lajang
(belum menikah atau sudah pernah menikah), mereka masih membuka diri untuk
menikah tapi hal tersebut bukan menjadi prioritas utama, melainkan yang
diutamakan adalah pendidikan, karir, politik maupun pengembangan dirinya.
Perempuan yang sengaja melajang seterusnya (voluntary stables singles) terdiri
dari perempuan lajang yang sengaja tidak ingin menikah atau melakukan
perkawinan . Sedangkan perempuan yang tidak sengaja melajang sementara
(involuntary temporary singles) adalah perempuan lajang yang belum menikah
tapi mereka menginginkan perkawinan dan berupaya untuk menemukan pasangan
yang tepat. Dan yang terakhir adalah Perempuan yang tidak sengaja melajang
seterusnya (involuntary stables singles) adalah perempuan lajang yang berusia tua
yang ingin menikah tapi belum menemukan pasangan yang tepat dan pasrah
menerima status singlenya.
25
5. Makna Kerja Bagi Perempuan
Berbicara mengenai perempuan lajang, tentunya erat kaitannya dengan
kerja dan peluang karir yang senantiasa melingkupi aktivitas mereka. Perempuan
lajang umumnya memang memiliki prioritas utama dalam pendidikan dan dunia
kerja. Kedua hal tersebut menjadi sangat penting bagi mereka untuk membentuk
eksistensi diri dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi penting karena
perempuan lajang memiliki pola pikir yang lebih modern.
Kerja memiliki berbagai makna dan pengertian, yang dibedakan atas
berbagai konsep. Bekerja menurut Burman dan Wallman (1979 : 2, dalam Moore,
1998 : 83 ) bukan hanya berkaitan dengan persoalan apa yang dilakukan orang,
karena setiap definisi harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu
dilakukan, dan nilai atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu Menurut
Karl Marx, bekerja merupakan aktivitas yang sangat hakiki bagi manusia. Bekerja
adalah aktivitas yang menjadi sarana bagi manusia untuk menciptakan eksistensi
dirinya. Timboel Siregar ( 2003 : 78-79 ) menjelaskan bahwa bekerja pada
dasarnya adalah wadah aktivitas yang memungkinkan manusia mengekspresikan
segala gagasannya, kebebasan manusia berkreasi, sarana, menciptakan produk,
dan pembentuk jaringan sosial. Manusia eksis bukan hanya untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk orang lain.
Selain itu Nash ( 1984 : 45 ) menjelaskan, “ bekerja diartikan sebagai
aktivitas tertentu yang berhubungan dengan cara memproduksi atau
mengkonsumsi barang dan jasa. Jadi bekerja berhubungan dengan usaha manusia
untuk memenuhi kebutuhan sosial dalam hubungannya dengan penghargaan diri
dan bagaimna orang memandang terhadap dirinya”. Usaha untuk memenuhi
kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri juga merupakan rangkaian dari
usaha pemenuhan kebutuhan fisik, yag lebih banyak dikaitkan dengan kebutuhan
ekonomi.
26
Bekerja dimaknai berdasarkan masing-masing pihak, dalam konteks
kajian yang berbeda-beda pula. Bagi perempuan lajang , yang merupakan fokus
penelitian kali ini bekerja memiliki makna, pengertian dan konsep tertentu.
Konsep bekerja menjadi bagian penting yang membentuk fungsi dan peran
mereka dalam masyarakat. Berbagai aktvitas kerja bagi perempuan lajang Di
Indonesia , setidaknya telah membawa pengaruh besar dalam memaknai dan
memperbincangkan berbagai aktivitas hidup, termasuk halnya dengan perkawinan.
Berbicara mengenai wilayah kerja bagi perempuan, Engels (1992 :149)
menjelaskan awalnya perempuan memiki wilayah / ruang kerja yang penting
dalam aktivitas kehidupan. Awalnya laki-laki dan perempuan memiliki posisi
kerja yang sejajar, bahkan bisa dikatakan perempuan lebih banyak memiliki andil
yang besar dalam kerja rumah tangga. Laki-laki bertugas untuk berburu, meramu,
dan mengumpulkan makanan. Sedangkan peremuan berkutat dalam aktivitas
domestiknya mulai dari mengurus kebutuhan rumah tangga sampai pada
mengelola hasil buruan laki-laki. Nilai kerja bagi keduanya memiliki posisi yang
seimbang, walaupun dalam wilayah yang terpisah. Bagi perempuan, walaupun
aktivitas kerjanya tidak menghasilkan keuntungan secara material, namun nilai
kerjanya terap diakui oleh kaum pria atau masyarakat luas
Namun hal ini mengalami perubahan, ketika mulai terjadi kepemilikan
pribadi (privat property) dan berkembangnya keluarga monogamy, yang
kemudian mengubah kedudukan kaum wanta dalam masyarakat, dan hal inilah
sebagi tanda awal kekalahan perempuan atas laki-laki. Keadaan ini terus berlanjut
hingga sekarang. Ketika perempuan bekerja dalam aktivitas domestik, mereka
dianggap tidak bekerja karena mereka tidak memiliki nilai kerja berupa
penghasilan secara material. Secara konvesional, Moore (1998:83) menjelaskan
bahwa makna kerja berhubungan dengan kerja upahan di luar rumah sedangkan
kerja yag berhubungan dengan aktivitas domestik tidak diakui. Pekerjaan seperti
mencuci, memasak, mengasuh anak, melayai suami, tidak dianggap sebagai satu
kerja produktif walaupun secara nyata mereka telah melakukan berbagai aktivitas
yang menguras dan mengeluarkan banyak tenaga.
27
Saat ini, dengan makin terbukanya ruang publik bagi perempuan, mereka
pun mulai mendapatkan kesempatan untuk memasuki berbagai wilayah kerja.
Awalnya, perempuan masuk dalam wilayah kerja, secara umum terdorong untuk
mencari nafkah karena tuntutan ekonomi keluarga. Saat penghasilan suami belum
dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang terus meningkat, dan tidak seimbang
dengan pendapatan riil yang tidak ikut meningkat. Hal ini lebih banyak terjadi
pada lapisan masyarakat bawah. Namun yang terjadi pada perempuan kini,
bekerja bukan semata-mata diorientasikan untuk mencari tambahan dana secara
ekonomis, namun lebih dari itu bekerja sebagai bentuk aktualisasi diri, mencari
afiliasi diri dan wadah untuk sosialisasi.
Bekerja memberikan pengaruh dan berbagai babak baru dalam
kehidupan perempuan. Perempuan telah mulai memasuki ruang publik yang lebih
luas yang pada awalnya hanya dikuasi oleh kaum laki-laki. Bekerja bagi
perempuan menjadi bagian yang penting dalam menciptakan berbagai keputusan
hidupnya. Hal ini sessuai dengan yang dijelaskan Molo (1993 : 91) bahwa
“bekerja memiliki status sebagai junior partner. Dalam tingkatan ini, hak-hak
instrumental perempuan meningkat, yang selanjutnya meningkatkan otoritas
perempuan dalam pengambilan keputusan.”
Seperti yang dijelaskan oleh Molo dengan masuknya perempuan dalam
kerja produktif (aktivitas dalam ruang publik), mereka memiliki kesempatan
untuk mengembangkan potensi atau kemampuan diri, pada tingkatan tertentu. Hal
ini turut andil dalam meningkatakn pola piker, pola tindak maupun pola tingkah
laku yang berpengaruh dalam akivitas hidup, yang berhubungan dengan
aktualisasi diri maupun berhubungan dengan hal-hal yang bersifat pribadi,/
personal, salah satunya adalah perkawinan.
Perempuan lajang dengan pendidikan dan tingkatan kerja yang tinggi
tentu akan memaknai perkawinan secara lebih luas, sebagai bagian dari pola pikir
yang rasional. Umumnya mereka memiliki berbagai kriteria dan pandangan
tertentu sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Terkadang hal inilah yang
kemudian menyulut anggapan bahwa perempuan lajang kita banyak yang
menunda perkawinan. Menurut Jones (2004), proporsi kenaikan angka perempuan
28
yang belum menikah pada usia 30-40 tahun, disebabkan makin tingginya
kesempatan pendidikan dan makin terbukanya ruang kerja bagi perempuan,
terutama dalam sektor-sektor publik yang selama ini menjadi kuasa laki-laki.
B. Kerangka Berpikir
Perkawinan merupakan salah satu praktek budaya, yang berada dalam
siklus hidup manusia yang dikonstruksi sebagai landasan munculnya hubungan
keluarga. Perkawinan meletakkan perempuan dan laki-laki dalam suatu ikatan
yang legal, dan memunculkan hak dan kewajiban antara keduanya. Hal ini, akan
mengakibatkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam institusi
rumah tangga tersebut.
Perkawinan dalam konteks tahun 1970-an awalnya dimaknai secara
konvensional .Perkawinan dimaknai sebagai kewajiban (khususnya bagi para
perempuan), yang dilakukan untuk mengikuti perkembangan siklus hidup
manusia, sebagai bagian dari kultur yang berkembang dalam masyarakat.
Konsekuensinya adalah para perempuan harus memikirkan perkawinan segera
sesudah ia dinyatakan dewasa secara alamiah, yaitu sesudah mengalami haidnya
yang pertama. Perkawinan banyak dilakukan dengan sistem perjodohan, untuk
menemukan pasangan yang ideal menurut masyarakat. .
Namun perubahan terjadi dalam kehidupan manusia. Perubahan ini
merujuk pada penciptaan nilai baru, yang terjadi karena adanya pengetahuan dan
wacana baru dalam ruang berpikir manusia. Hal ini akan berdampak pada
perubahan perilaku, cara pandang maupun sikap manusia. Sama halnya dengan
perkawinan bagi perempuan. Perkawinan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban
secara kultural, tetapi perkawinan menjadi suatu pilihan yang bersifat personal
dan rasional, yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang akan melakukan
perkawinan.
Agaknya hal inilah yang banyak menghinggapi pemikiran perempuan
lajang di Indonesia. Perempuan lajang yang memiliki keaktifan atas dirinya
29
sendiri memandang perkawinan secara rasional yang bisa terjadi karena berbagai
faktor, bukan karena tuntutan kultural. Pendidikan dan ruang kerja yang terbuka
lebar bagi banyak perempuan lajang, kian membuka pemikiran mereka.
Perkawinan menjadi perkara yang penting namun bukan menjadi prioritas utama.
Kerja dan karir untuk menunjukkan eksistesi mereka dalam ruang publik menjadi
hal yang lebih penting.
Perkawinan menjadi bagian dari pola hidup yang dapat diperbincangkan
dengan berbagai kesepakatan bersama antara kedua belah pihak yang melakukan
perkawinan, walaupun tak dapat menutup mata komunikasi dan hubungan
kekerabatan antara keluarga keduanya akan mempengaruhi pola hubungan
selanjutnnya.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam setiap penelitian diperlukan adanya metodologi penelitian, yang
digunakan dalam rangka pengumpulan data yang dapat mendukung dan menjadi
sasaran dari tujuan penelitian. Menurut Y Slamet ( 2002 : 25) “ metodologi
adalah filsafat dari proses penelitian, yang mencakup asumsi-asumsi dan nilai-
nilai yang merupakan jalan berfikir (rationale) bagi penelitian dan standar atau
ukuran yang dipakai untuk meninterpretasikan data dan memperoleh kesimpulan”.
Dengan demikian, metodologi adalah proses penelitian yang digunakan mulai dari
perumusan masalah, kerangka teori yang dipakai, pengumpulan data, pengujian
hipotesis sampai pada penarikan kesimpulan.
Sedangkan pengertian penelitian sebagai suatu usaha untuk mempelajari
suatu problem atau permasalahan secara sistematik dan objektif dengan maksud
menarik prinsip-prinsip umum menurut Theodorson dalam Y Slamet ( 2006 : 1).
Dalam prosesnya, berbagai penelitian sosial tersebut dilakukan sebagai kegiatan
yang berhubungan dengan pengumpulan data untuk memudahkan dalam
menjawab berbagai aspek kemasyarakatan yang menjadi bahan kajian atau
permasalahan.
Jadi, secara umum menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003 :
18) metodologi penelitian adalah “ cara melakuan sesuatu dengan menggunakan
pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Pendapat tersebut
mengandung arti bahwa metodologi penelitian merupakan cara dan upaya yang
ditempuh oleh seorang peneliti untuk mencapai tujuan penelitiannya , dengan
menggunakan metode atau paradigma ilmiah”.
31
A. Tempat Dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian yang mengambil judul “Makna Perkawinan Bagi Perempuan
Bekerja ” ini, dilakukan di Kecamatan Sukoharjo. Lokasi tersebut dipilih karena
memiliki kriteria yang tepat untuk menemukan informan yang akan dijadikan
sebagai sumber penelitian, yaitu perempuan lajang yang bekerja pada berbagai
aktivitas ruang publik.
Berdasarkan data yang dihimpun dari KUA Kecamatan Sukoharjo, pada
awal tahun 2005, lebih dari 70% perempuan menikah pada usia 20-25 tahun.
Perubahan ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun 1970-an. Menurut
data yang terdapat di KUA, rata-rata usia “normal” bagi perempuan untuk
menikah maksimal berusia 25 tahun, namun akhir-akhir ini banyak perempuan-
perempuan yang berusia hampir 30 tahun yang baru melaksanakan perkawinan.
Kriteria tersebut lah yang digunakan sebagai salah satu dasar pemilihan lokasi.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapatkan ijin penelitian dari
pihak yang terkait diantaranya Program, Dekan, Rektor, Bapeda, Kesbanglinmas,
dan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dalam hal ini adalah di bawah Departemen
Agama. Penelitian diawali dengan penyusunan proposal sampai pada penulisan
laporan akhir. Waktu penelitian dilakukan mulai pada bulan November 2008
sampai dengan bulan Desember 2009.
32
No
Kegiatan
Bulan Nov ‘08
Des ‘08
Jan ‘09
Feb ‘09
Mar ‘09
Apr ‘09
Mei ‘09
Jun ‘09
Jul’09 - Des ‘09
1. Penyusunan proposal
2. Desain Penelitian
3. Pengumpulan data dan analisis data
4. Penyusunan laporan
B. Bentuk Dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian untuk
menemukan makna perkawinan bagi perempuan lajang yang bekerja, maka
bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan bentuk
penelitian study kasus terpancang tunggal. Gorman dan Clayton dalam Santana
(2007 ; 28) menjelaskan “ penelitian kualitatif adalah meaning of event dari apa
yang diamati penulis. Laporannya berisi amatan berbagai kejadian dan interaksi
yang diamati langsung penulis dari tempat kejadian. Tujuan akhir dari penelitian
kualitatif adalah untuk memahami apa yang dipelajari dari perspektif itu sendiri
dari sudut pandang kejadiannya itu sendiri”.
Jadi menurut Santana ( 2007 : 81 ) dalam penelitian kualitatif tidak
hanya sekedar untuk mendiskripsikan suatu peristiwa atau masalah, tetapi juga
partisipasi penulis dalam rangka memaknai berbagai peristiwa memiliki peranan
penting. Penulisan ilmiah secara kualitatif bertujuan hendak mendalami
pemahamnnya mengenai sebuah topik, yang telah ditemukannya. Analisis
penulisan ini bukan berdasar pemikiran yang berbentuk judgmental dan
perspektif, melainkan melalui pemaknaan temuan-temuan pemaknaan dari
33
kehidupan dan segala kejadiannya. Penelitian kualitatif ini berusaha untuk
menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa
yang lebih berharga daripada sekedar pernyataan kuantitatif ataupun frekuensi
dalam bentuk angka.
Dari penjelasan tersebut, maka dalam penelitian ini dipilih jenis
penelitian kualitatif karena dalam penelitian kualitatif proses untuk memperoleh
makna digali lebih luas, sehingga diperoleh makna yang dalam. Sesuai dengan
sifatnya, penelitian kualitatif ini bersifat holistic, jadi memandang suatu masalah
sebagai sebuah kesatuan dari proses sosial. Dalam masalah keputusan menikah
ataupun menemukan makna perkawinan, teknik kualitatif akan lebih mudah
digunakan karena didalamnya terdapat berbagai proses interpretative secara lebih
dalam, yang berusaha untuk menjawab hakekat dari realitas yang tebentuk secara
sosial. ( Cassirer, 1985 ; Berger & Luckmann, 1991 ). Dari berbagai proses
tersebut, maka dapat diungkap informasi kualitatif dengan mendeskripsikan secara
cermat dan penuh makna berharga. Maka dari itu dengan proses kualitatif ini
diharapkan dapat ditemukan makna dan definisi perkawinan dari sudut pandang
perempuan lajang yang bekerja,. Dari hasil penelitian ini dianalisis secara
diskriptif dan diintepretasikan, sehingga akan terjaring makna sesuai dengan
pertanyaan dan tujuan penelitian.
2. Strategi Penelitian
Strategi penelitian ini adalah studi kasus terpancang. Studi kasus
menurut Schramm dalam Yin 1981 adalah suatu pendekatan untuk mempelajari,
menerangkan atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya
secara natural, tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Mulyana (2003 ; 201
)menjelaskan, “ studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai
berbagi aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas),
suatu program, atau suatu situasi sosial “. Jadi dalam studi kasus yang terpenting
adalah bagaimana menyajikan pandangan subjektif dari peneliti. Hal ini dapat
dilakukan atau dapat dicapai dengan menggunakan metode wawancara,
pengamatan, telaah dokumen atau survei.
34
Dalam penelitian ini, menggunakan studi kasus tentang makna
perkawinan bagi perempuan lajang (karir), dipilih 6 informan untuk mewakili dan
mengungkapkan jawaban tentang bagaimana keputusan para perempuan lajang
(karir) tersebut dalam menentukan perkawinan, serta menjelaskan makna
perkawinan itu sendiri. Studi kasus dipilih karena dengan menggunakan studi
kasus maka peneliti dapat menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek
yang diteliti ( yaitu para perempuan lajang yang bekerja ), lewat berbagai metode
yang beraneka seperi ; wawancara, pengamatan langsung, penelaah dokumen,
ataupun survey. Dengan studi kasus ini dapat mempelajari semaksimal mungkin
seorang individu yang menjadi informan atau responden, yang dapat memberikan
pandangan yang lengkap mengenai masalah yang diteliti, yang dalam hal ini
adalah masalah perkawinan. Ini akan membawa dampak pada data yang diperoleh
lebih nyata dan dalam, sehingga dari data tersebut dapat dimaknai secara lebih
luas, dan menghasilkan gambaran permasalahan yang tampak lebih jelas.
C. Sumber Data
Dalam penelitian, data memiliki peranan penting untuk menentukan
ketepatan dan kebenaran tujuan penelitian dari informasi yang diperoleh. Menurut
Slamet (2006 ; 164) data didefinisikan , “data merupakan bahan mentah yang
masih harus diolah, dimana data tersebut dipilih dari berbagai hal yang relevan
dan dianggap penting dalam penelitian”. Data atau informasi yang diperoleh dari
penelitian digali dari berbagai sumber data. Dalam penelitian ini, menggunakan
sumber data yaitu berasal dari informan-informan yang menjadi objek penelitian,
yaitu para perempuan lajang di Sukoharjo yang bekerja di berbagai sektor publik.
Menurut Spradley (2007 : 39 ) “ informan adalah sumber informasi atau
secara harfiah informan menjadi guru bagi etnografer “. Seorang informan ,
menurut HB Sutopo (2002 : 50), memiliki peranan penting bukan hanya sekedar
memberikan tanggapan pada apa yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih
memiliki arah dan selera dalam menyajikan informasi. Maka dari itu, dalam
penelitian ini dipilihlah informan yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan
penelitian. Dalam memilih informan yang baik, Spradley (1997 : 61) menjelaskan
35
ada 5 syarat minimal yang harus dipenuhi dalam memilih informan yang baik,
yaitu : 1) Enkulturasi penuh, 2) Keterlibatan langsung, 3) Suasana budaya yang
tidak dikenal, 4) Waktu yang cukup, dan 5) Non-analisis. Informan atau
narasumber yang dipilih dalam penelitian kali ini adalah
a. para perempuan lajang yang berusia minimal 25 tahun. . Ini disesuaikan
dengan angka perkawinan yang dianggap wajar bagi perempuan pada
masyarakat Jawa yaitu ketika menginjak masa haidnya yang pertama. Dan
para perempuan yang memasuki usia minimal 25 tahun disinyalir merupakan
usia yang rentan segera menikah, sehingga bagi mereka yang belum menikah
pada usia tersebut tentu memiliki berbagai alasan yang mendasar.
b. perempuan yang bekerja dalam berbagai aktivitas sektor publik, yang dibatasi
pada aktivitas kerja kantor dan sejenisnya. Artinya dipilih para perempuan
lajang yang bekerja pada berbagai sektor pelayanan publik yang ditempatkan
dalam aktivitas kerja formal. Ini dikarenakan pengaruh kerja dan hubungan
dengan teman kerja dalam aktivitas kantor, tentu akan mmberikan pengaruh
dan pandangan yang baru dan berbeda bagi para perempuan lajang tersebut
dalam memutuskan atau membincangkan perkawinan.
c. perempuan yang memiliki tingkat pendidikan minimal Strata 1. Karena
jenjang S1 merupakan jenjang paling awal dari sekolah tinggi, dimana
mahasiswa memiliki berbagai ilmu dan pandangan baru yang tingkatannya
lebih tinggi, sehingga dengan demikian akan berpegaruh pula dalam proses
hidup kedepannya.
Data yang diperoleh selain berasal dari informan, juga diperoleh dari
dokumen atau arsip. Menurut Sugiyono (2005 : 82) , “dokumen merupakan
cacatan peristiwa yang sudah berlalu”. Lebih lanjut HB Sutopo (2002 : 54)
menjelaskan bahwa “ dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang
bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu”. Dokumen ini bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah arsip serta data mengenai
angka / usia pernkawinan pada perempuan lajang di daerah Sukoharjo , dari tahun
36
1970-an sampai pada tahun 2000an, yang diperoleh di Kantor Urusan Agama
(KUA).
Pengumpulan data melalui Kantor Urusan Agama ini dipilih untuk
memudahkan dalam membandingkan dan mengetahui tingkat atau angka usia
perkawinan pada perempuan di Sukoharjo dari tahun ke tahun. Di KUA telah
disediakan data yang tertulis secara jelas, angka dan waktu pelaksanaan
perkawinan pada masyarakat di Sukoharjo. Jadi dengan demikian akan diperoleh
angka atau perhitungan yang riil tentang usia perkawinan pada kebanyakan
perempuan di Sukoharjo.
D. Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data merupaka bagian yang penting dalam setiap
penelitian. Dalam penelitian kualitatif, data penelitian bukan sebagai alat dasar
pembuktian tetapi sebagai modal dasar bagi pemahaman, sehingga proses
pengumpulan data akan lebih lentur dan dinamis ( HB Sutopo, 2001 : 47). Dalam
penelitian kualitatifm dikenal beberapa teknik pengumpulan data :
1. Wawancara, yaitu cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui
kegiatan interaksi sosial antara peneliti dan yang diteliti, melalui kegiatan
tanya jawab ( Y Slamet, 2006 : 101). wawancara kepada informan. Sedangkan
Mulyana (2003 :180) menjelaskan bahwa wawancara adalah bentuk
komunikasi antra dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh
informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu
2. Observasi / Pegamatan ( secara langsung ), adalah teknik pengumpulan data
yang bersifat non verbal, biasanya berupa studi lapangan di mana peneliti
berperan sebagai pengamat.
3. Dokumentasi, pengumpulan data yang dilakukan menelaah dokumen, arsip
yang berhubungan dengan peristiwa atau masalah. Umumnya berupa catatan
yang berharga bagi pemahaman suatu peristiwa. Mencatat dokumen menurut
Yin bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen
atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat.( Sutopo, 2002 : 69-70)
37
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
dengan wawancara dan dokumentasi. Wawancara dipilih karena untuk
memperoleh informasi langsung kepada responden-respondn, melalui proses
komunikasi lewat tanya jawab. Lebih lanjut, Susan Stainback dalam Soegiyono
(2005 : 72) menjelaskan bahwa interviewing provide the researcher a means to
gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or
phenomenon than can be gained through observation alone. Jadi, dengan
wawancara maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang
partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana
hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.
Dalam penelitian tentang makna perkawinan bagi perempuan lajang ini,
teknik wawancara dipilih karena akan memudahkan dalam pengumpulan data
pada para informan. Guna mendukung agar data yang diperoleh memiliki makna
yang lebih dalam dan lebih luas maka dipilih wawancara secara tak terstruktur
atau dikenal pula dengan wawancara mendalam. Soegiono ( 2005 : 74)
menjelaskan bahwa , “ wawancara tidak berstuktur adalah wawancara yang telah
tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman
wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang
akan ditanyakan”. Wawancara jenis ini menurut Mulyana bersifat lebih luwes,
susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah
pada saat wawancara, yang disesaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat
wawancara, termasuk karakteristik sosial budaya responden yang di hadapi.
Sehingga suasana ynag terjadi dalam proses wawancara tidak berjalan kaku dan
formal, dan memudahkan informan mengeluarkan argumen dan pendapatnya
secara lebih terbuka.
E. Teknik Cuplikan Atau Sampling
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Teknik
sampling atau cuplikan merupakan bentuk khusus atau proses bagi pemusatan
atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi. Fokus teknik
cuplikan dalam kualitatif ini lebih bersifat selektif. Peneliti mendasarkan pada
38
landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris
yang dihadapi ( HB Sutopo, 2002 : 55-54). Dalam penelitian ini, menggunakan
teknik sampling, purposive sampling. Sugiyono ( 2005 : 54 ) menjelaskan bahwa ,
“ purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan
menggunakan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini , misalnya orang
tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, atau mungkin
dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi situasi
sosial yang diteliti “.
F. Validitas Data
Untuk mengetahi tingkat keabsahan data yang berhasil dikumpulkan
maka, dalam penelitian kualitatif perlu diadakan pengukuran atau pengujian
validitas data. Dalam penelitian kualitatif, Sogiono (2006 : 119) menyatakan
bahwa untuk mengetahui valid tidaknya data atau temuan di lapangan , yang
dilihat adalah tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa
yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Yang perlu diingat bahwa
dalam penelitian kualitatif, kebenaran realitas data tidak bersifat tunggal tetapi
bersifat jamak dan tergantung pada konstruksi manusia, dibentuk dalam diri
seseorang sebagai hasil proses mental tiap individu dengan berbagai latar
belakangnya. Trianggulasi dalam penelitian kualitatif dibedakan atas 4 jenis :
1. Trianggulasi Data ( trianggulasi sumber )
Trianggulasi sumber adalah untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan
dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. (
Sugiyono, 2005 : 127)
2. Trianggulasi Metode
Trianggulasi jenis ini dilakukan oleh seorang peneliti dengan mengumpulkan
data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data
yang berbeda (HB Sutopo, 2002 : 80 )
3. Trianggulasi Peneliti
39
Trianggulasi adalah hasil penelitian baik data ataupun kesimpulan mengenai
bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa
peneliti ( HB Sutopo, 2002 : 81 )
4. Trianggulasi Teori
Trianggulasi ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih
dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. ( HB Sutopo, 2002
: 82 )
Dalam penelitian ini, validitas data diperoleh melalui model trianggulasi
sumber dan menggunakan bahan referensi guna mendukung data yang telah
terkumpul agar dapat diuji kebenarannya. Trianggulasi sumber menurut Sugiyono
(2005 : 125) dijelaskan sebagai, teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah
ada. Bila peneliti melaukan pengumpulan data dengan trianggulasi, maka
sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus mernguji kredibilitas data.
Trianggulasi ini didasari oleh pola pikir fenomenologi yang bersifat
multiperspektif. Artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak
hanya satu cara pandang.
Trianggulasi sumber dipilih karena data yang sudah diperolah yang
berasal dari sumber data yang beragam, yang sifatnya sama atau sejenis akan
lebih mantap kebenarannya. Dengan demikian apa yang diperoleh dari satu
sumber bisa dibandingkan dengan data sejenis yang dipeoleh dari sumber lain
yang berbeda. Untuk mengetahui validitas data dengan mengggunakan teknik ini,
dapat dilakukan dengan :
1. membandingkan hasil wawancara antara satu informan dengan informan
lain tentang makna perkawinan dalam pandangan mereka.
2. membandingkan hasil wawancara dengan data yang diperoleh di KUA
tentang angka perkawinan pada masyarakat sukoharjo
Selain trianggulasi validitas data juga dapat diperoleh atau diketahui dari
menggunakan bahan referensi. Sugiyono (2005 : 128) menjelaskan bahwa “ bahan
referensi di sini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah
ditemukan oleh peneliti”. Contohnya hasil wawancara perlu didukung dengan
40
rekaman wawancara. Oleh karena itu dalam penelitian kali ini, disertakan pula
rekaman hasil wawancara untuk mendukung validitas data dan sebagai dokumen
yang sifatnya autentik.
G. Analisis Data
Sugiyono (2005 : 89) menjelaskan bahwa, “ analisis data adalah proses
mencari data dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan
data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari,
dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun
orang lain”.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam
periode tertentu. Miles dan Huberman dalam Sugiyono ( 2005 : 91)
mengemukakan bahwa, “ aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas”. Aktivitas dalam
analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing /
verification. Langkah langkah analisisnya dapat ditunjukkan sebagai berikut, yaitu
analisis data model interaktif.
Data collection
Data reduction
Conclusion: drawing / verifying
Data display
41
Gambar 2. Analisis Data Kualitatif Menurut Milles Dan Huberman
a. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. Dalam mereduksi data, setiap
peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Reduksi data ini
merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan
dan kedalaman wawasaaan yang tinggi., sehingga peneliti dapat mereduksi
data-data yan memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yan signifikan.
(Sugiyono, 2005 : 92-93)
b. Data Display (penyajian data)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data.
Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal
ini Miles dan Huberman menyatakan, “the most frequent form of display data
for qualitative research data in the past has been narrative text”. Artinya
yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. ”(Sugiyono, 2005 : 95)
c. Conclusion Drawing / verification
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles Dan Hubermaan
adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan
bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan berikutnya.
42
d. Penarikan Kesimpulan / Verifikasinya
Dari proses penarikan kesimpulan, maka peneliti akan mengerti pola atau
hubungan sebab akibat dari permasalahan yang diteliti. Kesimpulan akhir
tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir.
Kesimpulan tersebut harus diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar
dapat dipertanggung jawabkan secara sosial maupun keabsahannya.
H. Prosedur Penelitian
Adapun langkah-langkah penelitian menurut HB Sutopo (2002 : 187-
190), yang terdiri dari berbagai alur kegiatan mulai dari tahap persiapan,
pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan penelitian, dapat
dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
1. Persiapan
a. Menyusun proposal yang dimulai dengan proses pengajuan judul kepada
dosen pembimbing.
b. Mengurus berbagi perijinan yang diperlukan, baik itu perijinan yang
berasal dari FKIP maupun perijinan yang berhubungan dengan instansi
masyarakat (KUA)
c. Menentukan lokasi dan menentukan informan yang dijadikan sumber
informasi
d. Menyiapkan instrumen penelitian
2. Pengumpulan Data
a. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam
dan membuat catatan dari dokumen atau arsip.
b. Membuat field note atau cacatatan lapangan dan menyajikannya dalam
transkrip hasil wawancara.
3. Analisis Data
a. Menentukan analisis data yang meliputi tahap reduksi data, penyajian data,
verifikasi dan penarikan kesimpulan.
b. Mengembangkan hasil intepretasi data dengan analisis lanjut kemudian
disesuaikan dengan hasil temuan dilapangan.
43
4. Penyusunan Laporan Penelitian
a. Penyusunan laporan awal
b. Review laporan
c. Perbaikan laporan dan disusun sebagai laporan akhir
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Diskripsi Lokasi Penelitian
Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Propinsi
Jawa Tengah. Kabupaten ini berada pada jarak 10 Km dari Kota Surakarta.
Kabupaten ini memiliki luas area sekitar 444,666 km persegi, dengan batas
wilayah yang diapit oleh 6 ( enam ) kabupaten. Yaitu sebelah utara berbatasan
dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
Gunung kidul ( Provinsi DIY ) dan Kabupaten Wonogiri, serta sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Sukoharjo merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk cukup
tinggi. Terhitung pada tahun 2007 terdapat 831.613 jiwa dengan pembagian
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 411.340 ( 49,46%) dan penduduk perempuan
sebesar 420.273 ( 50,54 %). Sehingga tidak heran, dengan kepadatan penduduk
demikian, Sukoharjo menjadi salah satu daerah sub urban di Surakarta dengan
potensi pengembangan wilayah yang cukup potensial. Bahkan beberapa daerah di
Sukoharjo pun telah menjadi bagian dari pusat pengembangan pemerintah Kodya
Surakarta yang mendatangkan income baik dari segi material maupun sumber
daya manusia dan sumber daya alam.
Sebagai daerah sub urban yang notabene merupakan daerah pinggiran
Surakarta, beberapa daerah di Kabupaten Sukoharjo menjadi pusat pengembangan
44
pemerintah Kodya Surakarta karena daerah ini menjadi batas peralihan antara pola
hidup modern dan tradisional. Hal ini terkait dengan tingginya sektor
perkembangan ekonomi dan industri. Data di Disperindagkop ( tahun 2007)
menjelaskan bahwa jumlah pabrik di Sukoharjo saat ini sebanyak 15.690 unit.
Sektor Industri yang paling berkembang adalah industri tekstil dan sentra-sentra
kerajinan yang ada di Sukoharjo, seperti mebel, rotan, kaca dan lainnya.
Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa Sukoharjo memiliki potensi dan
pengembangan kerja yang cukup baik. Saat ini Kabupaten Sukoharjo memiliki
potensi yang sangat besar di bidang industri dan perdagangan yaitu mencapai 31
persen, angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan potensi pertanian
yang hanya mencapai angka di bawah 13 persen.. Menurut data yang dihimpun
dari DP4 ( tahun 2008 ), jumlah tenaga kerja di bidang industri di Sukoharjo
tercatat 326.893 orang laki-laki dan 339.592 orang perempuan. Namun untuk
posisi-posisi pegawai negeri masih tetap didominasi oleh kaum laki-laki. Dari
9701 jumlah pegawai di Sukoharjo, terdapat 5334 Laki-laki dan 4367 tenaga
perempuan.
Dapat terlihat bahwa jumlah tenaga kerja perempuan di bidang industri
dan pabrik jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan
upah dari tenaga kerja perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Selain itu
banyak sekali para ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam UMK ( Usaha
Menengah Kecil ) mendirikan berbagai jenis atau bidang industri rumah tangga
yang dapat menunjang perekonomian.
Tenaga kerja terampil yang menduduki berbagai posisi kerja merupakan
potensi sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan dalam berbagai hal
pembangunan, sehingga untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil ini tidak
lupa terkait pula dengan pendidikan. Di Kabupaten Sukoharjo sendiri, menurut
data yang terdapat di Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo tahun 2007
lulusan terbanyak di duduki lulusan SLTA dengan jumlah pekerja terbaanyak di
bidang industri.
Guna meningkatkan potensi dan kualitas dalam bidang pendidikan,
pemerintah Kabupaten Sukoharjo, menyelenggarakan sekolah gratis bagi pelajar
45
sampai tingkat SLTA terhitung mulai tahun 2006. Dari pemberian sekolah gratis
ini, pemerintah mengharapkan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk
dapat memiliki peluang kerja yang lebih tinggi. Bagi perempuan tentu saja ini
membawa iklim yang lebih positif. Karena dengan demikian kesempatan para
perempuan di Sukoharjo untuk mendapatkan pendidikan dan kerja yang baik bisa
terpenuhi. Dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo tahun 2007,
beberapa posisi bidang kerja didominasi oleh perempuan misalnya saja pada
bidang industri ataupun jasa.
Ini menunjukkan bahwa geliat posisi perempuan dalam berbagai ruang
publik yang vital di Sukoharjo makin terlihat. Hal ini juga didukung dengan data
yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat kelulusan di bidang
pendidikan ( strata 1 ) yang lebih tinggi dari laki-laki. Terdapat 145 lulusan laki-
laki dan 350 lulusan perempuan.
Sukoharjo memiliki potensi yang cukup besar di bidang industri. Hal ini
membuat minat kerja bagi masyarakatnya cukup tinggi, tak terkecuali bagi
perempuan. Menurut data yang dilansir dari beberapa artikel yang berkenaan
dengan wilayah Sukoharjo, posisi perempuan dalam sektor ekonomi sebenarnya
sudah cukup berkembang dengan baik. Namun yang menjadi pangkal persoalan
sekarang pemerintah masih kurang melibatkan perempuan dalam berbagai
aktivitas dan keputusan pemerintahan. Hal ini mengakibatkan kurangnya
keterlibatan perempuan dalam posisi pendidikan maupun hal-hal yang berkenaan
dengan masalah-masalah krusial.
Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah minat mereka tentang kerja dan
kepentingan ekonomi sangat tinggi. Berbagai jaringan kerja perempuan banyak
terbentuk di daerah Sukoharjo. Mulai dari pembentukan koperasi maupun
UMKM, yang kesemuanya memiliki andil besar bagi pendapatan di Sukoharjo.
Hal ini membawa dampak semakin tingginya kesadaran untuk meningkatkan
kemandirian bagi kaum perempuan. Tidak hanya meliputi sektor ekonomi saja,
hal ini akan berkelanjutan dan membawa dampak pada berbagai keputusan dan
bersifat aktivitas sosial masyarakat.
46
Berpengaruh pula pada keputusan untuk melakukan perkawinan. Dari
catatan KUA Kecamatan Sukoharjo pada tahun 1970-an, rata-rata usia
perkawinan pada perempuan berkisar antara usia 16- 21 tahun dan untuk laki-laki
berkisar antara usia 19-22 tahun.Misalnya saja pada tahun 1973, dari bulan Juli
sampai bulan Agustus terhitung 23 kali jumlah perkawinan dengan usia
perempuan 16 – 22 tahun dan laki-laki 19-23 atau 24 tahun. Tentu saja ini tak
lepas dari status pendidikan atau pekerjaan yang mereka miliki. Umumnya untuk
perempuan akan melakukan perkawinan begitu memasuki usia dewasa secara
biologis ( setelah haidnya yang pertama ). Namun perubahan cara pikir yang
dipengaruhi oleh kompleksitas kehidupan sosial dalam ruang kerja atau
pendidikan memberikan perubahan yang cukup signifikan. Mulai awal tahun 2000
banyak perempuan yang menikah pada usia lebih dari 20 tahun bahkan ada yang
mendekati 30 tahun. Pada tahun 2005 saja misalnya pada bulan Januari 20 kali
jumlah perkawinan rata-rata usia perempuan adalah 26 dan 27 tahun ( kebanyakan
perempuan kelahiran 1977, 1978 dan 1979 ). Namun demikian memang masih
dijumpai perempuan berusia 24 atau 23 tahun yang sudah menikah. Perkara
perkawinan lantas menjadi bagian dari kompleksitas hidup manusia yag tidak
hanya dilakukan karena mengikuti siklus semata tetapi dilakukan dengan berbagai
negosiasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari faktor sosial, mental
maupun material.
B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori
Persoalan perkawinan menjadi bagian dari praktek budaya yang memiliki
beragam fungsi dan makna. Perkawinan menjadi suatu permasalahan yang
kompleks dan membutuhkan berbagai analisa yang tepat untuk menemukan setiap
makna dan sistem permasalahnnya, dari alasan dalam melakukan perkawinan
sampai pada proses hidup baru yang terbentuk dari perkawinan Hal ini menjadi
bahan perbincangan yang membutuhkan pemikiran dan pembahasan yang cukup
detail. Dalam memutuskan untuk melakukan perkawinan tentu bukanlah
keputusan yang mudah bagi seorang individu. Ada banyak tujuan dan berbagai
47
pertimbangan yang harus dipikirkan, sehingga akhirnya dapat sampai pada
keputusan untuk melakukan perkawinan. Berbagai macam pertimbangan
diberikan oleh seseorang sampai akhirnya dia memutuskan untuk melangsungkan
perkawinannya atau menundanya.
Dari hasil pembahasan yang terdapat dalam bab ini menjelaskan hasil
wawancara dan pengamatan dari informan untuk menggali tentang persoalan
bagaimana mereka memaknai perkawinan. Apakah yang menjadi pertimbangan
dan alasan mereka (informan — perempuan lajang yang bekerja) menunda usia
perkawinan. Ada 6 informan yang bersedia diwawancarai untuk membagi kisah
dan cerita menyangkut persoalan tersebut, yaitu WT ( 26 tahun) , SR ( 26 tahun),
FTR ( 27 tahun ), KK ( 39 tahun ), TY ( 26 tahun ) dan TR ( 25 Tahun ) .Dari
jawaban para informan ini dapat memberikan gambaran tentang persoalan yang
diajukan dalam penelitian ini.
1. Makna Perkawinan
a. Makna Perkawinan Bagi Informan
Perkawinan sebagai bagian dari kompleksitas budaya kehidupan
masyarakat yang kemudian menjadi salah satu bagian dari siklus kehidupan
manusia. Siklus hidup manusia menurut diartikan sebagai serangkaian tahapan
yang harus dilalui manusia yakni berupa tingkatan-tingkatan dari hal-hal
sederhana sampai pada proses hidup yang lebih kompleks (Koentjaraningrat,1992
: 192). Siklus hidup manusia akan mengalami puncaknya pada waktu manusia
membentuk sebuah keluarga. Hal ini berarti manusia mengalami puncak aktivitas
hidup waktu membentuk keluarga. Oleh karena itu keluarga menjadi bagian yang
penting dan paling primer dalam hidup bermasyarakat.
Keluarga terbentuk dari proses hidup yang diawali dengan adanya
perkawinan ( Geertz, 1982:58). Perkawinan menjadi cikal bakal penyatuan dua
orang dalam satu kesatuan yang disebut sebagai keluarga. Dalam kultur
masyarakat Jawa (khususnya), perkawinan menjadi sebuah tanda terbentuknya
kedewasaan anak untuk membentuk sebuah somah baru di mana anak segera akan
memisahkan diri dengan orang tua, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal,
untuk membentuk sebuah keluarga dalam rumah tangga baru. Pengertian
48
perkawinan lebih ditekankan pada terbentuknya kelompok kecil baru dengan
beban ekonomi dan tempat tinggal yang lepas dari orang tuanya ( Geertz,
1983:58).
Ada beberapa definisi tentang perkawinan yang diutarakan oleh para
informan. Definisi masing-masing informan tentu saja berbeda sesuai dengan
bagaimana cara mereka memandang perkawinan itu sendiri. Berdasarkan hasil
wawancara maka ditemukan opini tentang perkawinan dari WT dan KK masing-
masing berusia 26 tahun dan 39 tahun, yang memberikan pengertian bahwa
perkawinan sebagai penyatuan antara dua orang individu yang akan membentuk
suatu relasi sosial baru, yang merupakan suatu kesatuan personal yang disepakati
bersama antara laki-laki dan perempuan secara sah. .Lebih lanjut WT menuturkan
sebagai berikut “Perkawinan adalah suatu proses hidup bersama yang dilakukan
secara legal antara laki-laki dan perempuan. ”( W/WT /19/04/09 )
Jawaban hampir serupa juga dikemukakan oleh KK ( 39 tahun ), sebagai berikut
“ Perkawinan itu ya hubungan dua manusia antara laki-laki dan perempuan yang
telah diikat oleh ikatan hukum perkawinan.” (W/KK/20/06/09)
Dari komentar WT maupun KK, terlihat bahwa perkawinan adalah
hubungan antara laki-laki dan perempuan secara sah baik lahir maupun batin yang
membutuhkan legalisasi/ legitimasi hukum tertentu, baik secara hukum negara
maupun hukum agama. Hal ini sejalan yang dikatakan Suryani dan Bagus ( 2007 :
5) bahwa perkawinan sebagai hubungan ikatan lahir. Artinya bahwa perkawinan
sebagai hubungan formal yang dibentuk oleh undang-undang atau legitimasi
tertentu bagi keduanya dalam hubungan masyarakat.
Legalisasi yang dimaksud adalah adanya keabsahan perkawinan dengan
diperolehnya surat nikah yang tercatat di KUA tentang perkawinan kedua orang
laki-laki dan perempuan, dan tersimpan sebagai arsip negara. Menurut WT dan
KK, pelegalan semacam ini perlu dilakukan karena keabsahan dari suatu lembaga
negara terhadap perkawinan tentu akan dapat digunakan untuk memperkuat status
hubungan berdasarkan hukum serta hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan
perkawinan (persoalan anak maupun harta) sehingga untuk kemudian hari tidak
49
menjadi masalah apabila terjadi sesuatu. Selain itu keabsahan tersebut juga
menunjukkan eksistensi mereka dalam masyarakat sebagai pasangan yang sah.
Legitimasi perkawinan sangat penting (dalam konteks perempuan) karena
di dalamnya terdapat pola / ikatan-ikatan tertentu yang mengatur hubungan
perkawinan tersebut. Dalam hubungannya dengan kepemilikan anak misalnya,
legalitas perkawinan penting, seperti diungkapkan oleh Gough ( 1959)
“ Perkawinan menjadi tempat dimana ditetapkannya legitimasi anak sebagai
anggota yang bisa diterima oleh masyarakat “. Artinya dalam hubungan
perkawinan tersebut, perkawinan sebagai struktur yang memproduksi ,
memelihara dan mengembangkan anak, untuk dapat menjadi anggota dari
masyarakat, dan dapat diterima serta diakui sebagai anggota baru. Anak yang lahir
dalam hubungan perkawinan yang sah akan mendapatkan jaminan hukum yang
pasti, misalnya terakui dalam bentuk akte kelahiran.
Namun sebaliknya, kedudukan atau posisi anak yang lahir di luar
hubungan perkawinan akan sangat lemah. Artinya bahwa salah satu
konsekuensinya adalah menjadi bahan pembicaraan masyarakat dan sulit untuk
menentukan anak dari bapak siapa ( dalam masyarakat Jawa disebut anak Jaddah).
Dalam berbagai kasus misalnya laki-laki tidak bisa dirtuntut pertanggung
jawabannya jika tidak ada ikatan perkawinan. Artinya seorang perempuan yang
hamil di luar pernikahan harus menanggung sendiri segala biaya yang
dikeluarkan, tidak ada penuntutan terhadap si laki-laki ( Arivia, 2002 : 88). Ketika
anak lahir diluar nikah, maka dalam akta kelahiran akan dicatat sebagai “anak luar
nikah” atau anak tidak sah dan konsekuensinya anak hanya akan memiliki
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayah. Selain itu anak yang lahir di luar perkawinan yang
sah secara hukum mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya
kehidupan dan pendidikan dari ayahnya ( Musdah Mulia, 2006 : 76)
Bagi perempuan perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum
negara, akan membuat mereka lebih merasa “aman” dalam menuntut dan
melaksanakan hak dan kewajiban yang ada dalam perkawinan. Sebut saja,
misalnya yang telah dijelaskan dalam UU Perkawinan pasal 30, 31 dan 32
50
menjelaskan hak-hak yang diterima istri (perempuan) walaupun memang tidak
tertuliskan secara gamblang. Diantaranya adalah perkawinan berkaitan dengan
posisi dan kedudukan istri yang sejajar dengan suami yang berimplikasi bahwa
istri (perempuan) dalam rumah tangga memiliki posisi dan peran yang sama
pentingnya, sehingga tidak ada salah satu yang mendominasi.
Jika secara hukum tidak ada legitimasi hukum yang sah maka istri akan
berada dalam posisi yang dirugikan baik secara hukum maupun secara hubungan
sosial ( Musdah Mulia, 2006 : 76) . Dalam hubunganya dengan hukum, istri tidak
dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki bukti hukum yang autentik.
Akibatnya istri tidak berhak atas harta gono gini1 jika mungkin terjadi perceraian
atau kematian. Sedangkan dalam dampak sosial, perempuan akan merasa sulit
untuk melakukan sosialisasi di masyarakat, karena mungkin akan muncul
anggapan sebagai istri simpanan atau hanya kumpul kebo2.
Jawaban berbeda justru ditemukan dari informan yang lainnya, yang
memandang bahwa perkawinan sebagai bagian dari proses penyatuan antara dua
orang individu yang berbeda. Dalam hal ini perkawinan didefinisikan sebagai
sebuah penyatuan yang dimasuki oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan
harapan dapat membagi kehidupan secara bersama ( Henry, 1999:197). Jadi
perkawinan sebagai sarana atau tempat untuk menyatukan dua orang individu
menjadi satu kesatuan hidup bersama dan membagi segala aktivitas hubungan
perkawinan secara bersama. SR mengungkapkan definisi perkawinan sebagai
berikut, “Marriage is combaining two person with another characteristic into
one” (Perkawinan adalah mengkombinasikan dua orang yang berbeda
karakteristik untuk menjadi satu)( W/SR/26/04/09). Sama halnya dengan SR, TR
memberikan definisi tentang perkawinan sebagai bagian dari proses penyatuan
dua individu pula. Lebih lanjut dia menyatakan, “ Perkawinan adalah ikatan yang
menyatukan dua hati dan pikiran laki-laki dan perempuan supaya bisa membentuk
keluarga sakinah. ”(W/TR/19/06/09)
1 Gono-gini Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama ( pasal 35 UU Perkawinan ) 2 Kumpul Kebo : tinggal serumah tanpa menikah ( Musdah Mulia, 2006 : 76)
51
Dari opini yang dikemukakan SR dan TR terlihat bahwa perkawinan
sebagai proses yang dilakukan 2 orang bersama (laki-laki dan perempuan) dengan
dua sifat, dua karakter dan dengan aktivitas hidup yang berbeda (kerja) untuk
dapat menyatu dan hidup selaras dalam satu rumah tangga.
Dalam hubungan perkawinan tersebut ada proses bersama yang
dilakukan oleh kedua belah pihak. Aktivitas atau proses bersama ini mengandung
pengertian bahwa dua orang tersebut berada dalam satu ikatan rumah tangga yang
membagi aktivitas sehari-hari secara bersama, mulai dari bangun pagi sampai
malam hari khususnya mengerjakan pekerjaan rumah dan sama-sama bekerja,
mengurus anak dan kebutuhan rumah tangga. Lebih lanjut konsep tentang proses
hidup bersama ini diartikan hidup bersama secara hukum yang memungkinkan
tinggal dalam satu atap bersama, membagi struktur pekerjaan rumah tangga
ataupun pekerjaan di luar rumah secara bersama, serta proses bersama dalam
mewujudkan keturunan ( anak-anak yang dihasilkan dari hubungan perkawinan ).
Perkawinan dilakukan untuk membentuk kehidupan keluarga yang
harmonis, dinamis, selaras, saling menghormati dan menghargai antara yang satu
dengan yang lain. Menurut SR tidak ada keinginan untuk saling mengubah sifat
mapun karakterisik dasar masing-masing, tapi justru berupaya untuk
menyeimbangkan dan menyelaraskan hubungan dalam rangka menumbuhkan atau
menciptakan kesatuan dalam hidup berumah tangga.
Hal ini mengadung arti bahwa adanya hubungan perkawinan
mengharapkan adanya kebersamaan untuk menghindari konflik sekecil apapun
sehingga tidak akan terjadi silih pendapat yang akan mengganggu kehidupan
perkawinan dan akan lebih mudah mewujudkan tujuan sebagai keluarga yang
sakinah. Misalnya dengan cara saling mengerti perbedaan sifat atau karakter,
mengerti akan pekerjaan dan profesi masing-masing. Pola hubungan yang seperti
ini oleh Geertz dalam tatanan masyarakat Jawa sering disebut sebagai konsep
harmoni sosial. Harmoni sosial ini sebagai salah satu nilai kejawen yang penting
dalam hubungan keluarga. Geertz (1983 : 154 ) menjelaskan sebagai berikut
“..determinasi untuk memelihara pernyataan sosial yang harmonis dengan memperkecil sebanyak-banyaknya pernyatan konflik sosial dan pribadi secara terbuka dalam bentuk apapun..........didasarkan pada
52
pandangan kejawen tentang keseimbangan emosional-statis emosional- sebagi nilai tertinggi“
Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh SR maupun TR menyiratkan
suatu keadaan dimana dalam hubungan keluarga dibutuhkan adanya upaya atau
hal-hal dalam rangka menciptakan keselarasan atau kedamaian pasangaan (suami
istri) serta berupaya memperkecil terjadinya konflik atau pertengkaran. Masing-
masing pihak (laki-laki dan perempuan) berupaya untuk menjalin komunikasi atau
hubungan yang terbuka, sehingga setiap aktivitas rumah tangga (aktivitas sehari-
hari, aktivitas hubungan personal, aktivitas hubungan sosial, aktivitas hubungan
kerja) akan dapat berjalan secara selaras, seimbang, serasi, harmonis dan dinamis
sehingga penuh kerukunan.
Pola hubungan perkawinan yang menuntut adanya kehidupan yang
harmonis dan penuh kerukunan juga disampaikan oleh responden yang ketiga,
FTR sebagai berikut ,“ Suatu hal atau peristiwa yang harus dipikirkan matang-
matang agar dalam perkawinan tersebut tidak seumur jagung dan tetap bertahan
untuk selamanya menjadi keluarga yang harmonis, sakinah , mawadah dan
warohmah. ”( W/FTR/17/05/09)
Istilah tentang kerukunan dan keharmonisan di sini menurut SR, TR
maupun FTR menjadi nilai yang penting dalam membina hubungan perkawinan
antara laki-laki dan perempuan. Kerukunan ini tidak hanya berhubungan dengan
kegiatan yang saling membantu dan bekerja sama, tapi juga berupaya untuk
mencoba menghindari perbedaan pendapat. Karena disadari atau tidak, diinginkan
atau tidak dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan itu tentu tidak selalu
terjadi secara sejalan. Seperi halnya yang diungkapkan oleh Anderson ( 2005 :
164 ) bahwa “....they can also of trouble, conflict and sorrow “(...mereka-
perkawinan juga akan terdapat masalah, konflik maupun derita) .Maka kerukunan
dalam konsep harmoni sosial ini juga mengupayakan untuk memperkecil dan
menghindari konflik dalam hubungan perkawinan. Selanjutnya dalam
hubungannya dengan kerukunan / rukun, Geertz ( 1983 : 156 ) menjelaskan bahwa
“ Istilah rukun......menyatakan adanya kesepakatan, adanya kebulatan suara dalam kelompok dalam hal cara dan tujuan, setidak tidaknya pada tindak tanduk lahiriah. Jika tidak terdapat pernyataan pendapat dan
53
perasaan berselisih yang terbuka, kelompok yang bersangkutan disebut rukun. ....rukun sebenarnya penampilan sebagaimana mestinya, tiadanya pertentangan antar pribadi secara terbuka “
Dengan adanya nilai-nilai kerukunan dalam mewujudkan harmoni sosial inilah
maka perkawinan lantas akan dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa sudah
terjadi kesepakatan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai harmonis, serasi,
seimbang Selain itu dengan adanya kerukunan dan upaya untuk menghindari
konflik sekecil mungkin, maka diharapkan akan dapat membentuk hubungan
keluarga sesuai dengan tujuan atau fungsi perkawinan dalam konsep mereka.
Perkawinan berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa makna perkawinan adalah sebagai suatu hubungan antara laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri yang sah. Konsep-konsep tentang keabsahan ini
menjadi penting ( khususnya bagi perempuan ) karena di dalamnya terdapat
berbagai bentuk kepastian dan perlindungan hukum yang dapat memberikan
jaminan secara kuat. Ini akan membawa implikasi juga pada diterimanya
hubungan 2 orang manusia ( laki-laki dan perempuan ) untuk dapat menjalankan
segala aktivitas hidup dalam satu atap bersama, tanpa terjadi berbagai konflik
yang sifatnya bertentangan dengan nilai moral kemasyarakatan.
Selanjutnya konsep perkawinan juga sebagai bentuk penyatuan secara
personal, emosional antara laki-laki dan perempuan dalam upaya mewujudkan
tujuan perkawinan serta dapat hidup bersama dengan damai, bahagia, sejahtera
dan harmonis dalam suatu lembaga keluarga yang dibina atas dasar persamaan
tanggung jawab dan kasih sayang. Hal ini memberikan arti bahwa dalam
perkawinan juga harus terdapat negosiasi yang kuat dalam merencanakan atau
menyadari berbagai kesepakatan bersama yang dibentuk untuk membina nilai-
nilai harmonis dalam keluarga, baik itu secara finansial maupun emosional. Nilai
harmoni secara finansial lebih ditekankan pada terpenuhinya kebutuhan ekonomi
keluarga baik itu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Sedangkan harmonis
secara emosional, lebih pada ikatan batin dalam menunjukkan atau membina
perasaan cinta kasih dalam rangka memperkecil terjadinya konflik atau
pertengkaran.
54
Perkawinan seperti yang diungkapkan oleh FTR tersebut juga berupaya
mewujudkan pola atau hubungan yang sakinah, mawadah dan warohmah. Hal ini
erat kaitannya dengan konsep perkawinan yang dipandang dari sudut suatu agama,
dalam hal ini islam. Dalam islam perkawinan adalah institusi yang paling penting
bagi komunitas manusia. Haifa (2002: 105 ) menjelaskan bahwa , “ pernikahan
harus membawa maslahat , baik bagi suami atau istri, maupun masyarakat”. Hal
ini berkaitan erat bahwa dalam islam perkawinan dilakukan untuk mewujudkan
rumah tangga yang bisa menyenangkan bagi pasangan suami istri.
b. Fungsi Perkawinan Bagi Informan
Kembali pada persoalan mengenai pengertian perkawinan maka
sebenarnya akan diperoleh berbagai pengertian dan makna yang dapat dianalisis
dari sudut pandang berbeda. Artinya masing-masing definisi perkawinan yang
diungkapkan informan menunjukkan arah pengertian yang berbeda tentang
perkawinan dalam benak mereka ( WT, SR, FTR, KK,TR maupun TY ). Terlepas
dari itu semua, pembicaraan mengenai perkawinan, tentu akan membawa pada
kajian tentang fungsi perkawinan. Fungsi perkawinan memiliki implementasi
terhadap manfaat atau tujuan yang ingin dicapai dari proses perkawinan tersebut.
Ada berbagai anggapan ataupun asumsi yang diberikan masing-masng
orang tentang fungsi dari perkawinan, tak terkecuali bagi keenam informan.
Perkawinan memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan dan
mengaplikasikan kebutuhan emosional bersama yang berhubungan dengan aspek-
aspek kebutuhan pribadi, yang salah satunya berhubungan dengan kebutuhan akan
rasa cinta dan kasih sayang. Ini nampaknya sama dengan fungsi perkawinan yang
disampaikan oleh SR,“Yang pertama perkawinan sebagai tempat untuk
mendapatkan kenyaman dan kasih sayang dari orang yang kita sayangi.”
(W/ SR/26/04/09). Hal ini serupa dengan yang dikatakan Malhotra ( 1997 : 437)
bahwa “…….marriage becomes a more individualized process, to be entered into
for love or self-fulfillment ” (…perkawinan menjadi proses yang lebih
individual, berdasarkan cinta atau pemenuhan kebutuhan pribadi...........)
55
Jadi dengan adanya perasaan cinta dan kasih sayang akan menjadi
landasan dasar terjadinya perkawinan. Kebutuhan yang berhubungan dengan
afeksi atau rasa cinta kasih menjadi bagian dari kebutuhan utama manusia. Hal ini
sama seperti yang diungkapkan oleh Maslow, yang menjelaskan berbagai macam
kebutuhan manusia, yang disajikan dalam bentuk piramida kebutuhan manusia.
Salah satunya adalah kebutuhan yang menyangkut pada rasa cinta kasih. Jadi
kebutuhan ini berkaitan dengan penyeimbangan aspek spiritual.
Selain itu perkawinan juga memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan
biologis dalam memperoleh keturunan. Jawaban ini dapat ditemukan dari dua
responden yaitu SR dan TY. SR mengatakan bahwa, “ Fungsi perkawinan yang
kedua adalah untuk sarana meneruskan keturunan “ (W/ SR/26/04/09) TY
memberikan jawaban yang hampir sepadan, “ Ya perkawinan itu untuk
berkembang biak ( sambil tertawa). Eh..maksudku biar dapat keturunan “
(W/TY/20/06/09).
Keturunan merupakan konsekuensi biologis dari adanya hubungan secara
seksual antara laki-laki dan perempuan yang berimplikasi pada kehadiran seorang
anak. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1992 : 192) menjelaskan, “ dari anak-anak
yang dihasilkan dari proses persetubuhan tersebut, wajib diberikan perlindungan
dan kasih sayang serta rasa aman”. Perkawinan menjadi tempat dimana
ditetapkannya legitimasi anak sebagai anggota yang bisa diterima oleh
masyarakat.
Selain itu dengan hadirnya seorang anak, maka akan dapat meningkatkan
dan mempererat hubungan berkeluarga antara pihak laki-laki dan perempuan.
Sehingga, akan terjadi suatu pelebaran menyamping tali ikatan antara dua
kelompok himpunan yang tak bersaudara, atau pengkuhan keanggotaan di dalam
suatu kelompok endogam bersama. Lebih lanjut Geertz (1983: 58) menyatakan
bahwa dari hasil hubungan yang melibatkan dua somah tersebut akan melahirkan
cucu milik bersama, yang dapat mempererat keintiman atau kedekaatan hubungan
kekerabatan.
Ini menggambarkan bahwa dari anak hasil keturuanan tersebut dapat
menjadi pengikat tali persaudaraan antara keluarga atau hubungan kekerabatan
56
( dari pihak laki-laki dan pihak perempuan ) sehingga akan memperluas jumlah
anggota suatu kelompok kekerabatan. Hal ini juga dapat menjadi bagian dari
upaya untuk mempertahankan eksistensi atau kedudukan suatu kelompok
kekerabatan dalam masyarakat. Karena dengan adanya pewaris atau penerus maka
akan tetap mempertahankan kedudukan kelompok dalam masyarakat, sekalipun
nantinya generasi tua sudah tidak ada.
Perkawinan juga berfungsi untuk dapat hidup bersama dengan orang
yang kita sayang, dan mengungkapkan berbagai perasan secara legal, sehingga
perkawinan digunakan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup lahir
batin yang berhubungan dengan teman hidup. Yang berarti seseorang
membutuhkan orang lain, dalam kesehariannya ( dalam konteks intim dan
kontinue) . Hal ini berarti perkawinan merupakan bagian dari kebutuhan manusia
dalam hubungannya dengan teman hidup ( Koentjaraningrat 1992 :192).
Dalam hubungannya dengan teman hidup, seseorang akan memiliki
kesempatan yang sah untuk tinggal dan melakukan aktivitas hidup bersama
dengan aturan resmi yang berdasarkan hukum masyarakat maupun negara.
Berdasarkan hukum artinya tidak ada yang akan menyalahkan atau
mempergunjingkan apa yang dilakukan seseorang dengan lawan jenisnya, karena
sudah memiliki ikatan yang legal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh WT dalam
membicarakan fungsi perkawinan.
“ piye ya, saya bingung kalau harus menjelaskan tujuan atau fungsi saya ne kawin. Saya bukan orang yang berplaning hidup jauh. Saya hanya orang yang suka berangan-angan. Jadi ne kawin ya tujuane apa ya………..pokoe tidak ada yang menyalahkan ne hidup bersama dengan orang yang aku mau.( Tujuan perkawinan itu bagi saya sangat sederhana saja yaitu dapat hidup bersama dengan orang yang kita suka)” ( W/WT/19/04/09 )
Jawaban hampir sama pun juga ditemukan dari FTR , “ Dari perkawinan itu nanti
kita bisa hidup dengan suami, saling menghargai dan saling melengkapi satu sama
lain “ ( W/FTR/ 17/05/09). Dengan melakukan perkawinan menurut WT dan FTR
maka akan terjadi proses hidup dan tinggal bersama dalam satu atap, namun tidak
memiliki konsekuensi yang negatif dari masyarakat, karena mereka telah
mendapatkan pengakuan yang sah lewat perkawinan yang telah dilakukan.
57
Perkawinan sebagai suatu proses hidup yang ternyata dilakukan sesuai
dengan fungsinya maing-masing. Hampir setiap informan memberikan jawaban
yang berbeda. Ini berarti fungsi perkawinan dilihat dari konteks makna
perkawinan menurut maing-masing orang. Dapat dilihat pula bahwa bagi
informan, perkawinan berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup yang nyaman
dan penuh kasih sayang, dan memenuhi kebutuhan hidup bersama baik kebutuhan
biologis ( akan datangnya keturunan ) maupun kebutuhan yang berhubungan
dengan kelangsungan hidup selanjutnya.
c. Pandangan informan tentang perkawinan ideal
Perkawinan berupaya untuk membentuk dan menciptakan suatu keadaan
atau pola yang ideal yang sesuai dengan keinginan masing-masing pasangan.
Dalam perkawinan, akan terbentuk suatu hubungan perkawinan(dalam keluarga)
secara ideal yaitu terbentuknya hubungan yang harmonis dan dinamis dengan
tercapainya kebutuhan hidup, yang menjadi tujuan dari perkawinan. Sebagai
tujuan dari perkawinan, tentu masing-masing orang / pasangan berusaha untuk
mewujudkan nilai-nilai ideal tersebut.
Pemberian definisi tentang perkawinan ideal ini berkenaan dengan
berbagai konteks. Dari keenam informan WT, SR, FTR, TY, TR maupun KK
memberikan gambaran yang hampir sepadan. Namun demikian TY maupun KK
lebih memandang perkawinan ideal dari sudut agama yang mereka anut muslim.
TY mengatakan, “Yo ideal menurutku lho..mbuh ne wong liyo. Ne menurutku
perkawinan ideal ki akur sama pasangan, harmonis, kompak, selaras, mwadah dan
warrohmah ( perkawinan ideal menurut saya adalah harmonis, kompak, selaras,
mawadah dan warohmah terhadap pasangan)”.( TY/19/06/09).
FTR memberikan gambaran tentang perkawinan ideal, yang hampir
serupa, “ Perkawinan ideal itu, perkawinan yang harmonis, gak sering padu dan
yang paling penting ki saling menerima kekurangan (Perkawinan ideal itu adalah
perkawinan yang harmonis, tidak saling bertengkar dan saling menerima
kekurangan masing-masing)“( FTR/17/05/09). Sedangkan KK menceritakan
58
gambaran perkawinan ideal sebagai berikut, “ Bagi saya perkawinan yang ideal
itu ya perkawinan yang di dasari saling mencintai punya kesamaan tujuan dan
tentu saja perkawinan yang seagama. “ ( KK/20/06/09)
Ideal juga merujuk pada keinginan untuk membentuk keluarga yang
harmonis. Hal yang demikian inilah yang dapat ditangkap dari jawaban ketiganya.
Kembali konsep harmoni sosial yang mengemuka dalam hal ini, bahwa
perkawinan berupaya mewujudkan kenyamanan dan keharmonisan keluarga untuk
menciptakan kerukunan dan menghindari berbagai konflik yang mungkin timbul
dalam hubungan perkawinan.
Sedangkan SR dan WT memberikan gambaran yang sedikit berbeda
tentang bagaimana konsep perkawinan ideal dalam benak mereka. SR
menjelaskan sebagai berikut,
“ Perkawinan ideal menurutku terjadi perkumpulan atau hidup bersama. Laki-laki dan perempuan tinggal dan hidup bersama, dari pagi sampai pagi lagi. Walaupun pada siang hari mereka bebas melakukan aktivitas apapun. Tapi istri harus sudah ada di rumah sebelum suami pulang dan mengurus rumah tangga serta menjamin kebutuhan jasmani maupun rohani anak terpenuhi. Selain itu terdpat aktivias sharing bersama, sehingga dapat berkumpul jadi satu.“ (SR/26/04/09 )
Sedangkan perkawinan ideal yang menjadi keinginan WT sebagai berikut
“ Secara riil aku belum tau piye-piyene. Tapi aku pengen ne kawin aku bebas ngapa-ngapain, suamiku juga bebas ngapa-ngapain. Maksudnya bebas kerja atau melakukan apapun, tanpa ganggu dan merugikan lho ya, dasare ya sama kesepakatan tadi lho. Piye ya sing penting ki urip bareng sak omah, penak-penakan ae gitu …..( secara riil saya belum tahu perkawinan ideal itu seperti apa. Tapi ketika saya sudah menikah nanti saya ingin hubungan kami tidak saling mengganngu, tidak saling merugikan ) ”(WT/19/04/09)
Dalam konsep perkawinan ideal, SR dan WT juga sedikit banyak
menggambarkan tentang bagaimana pembagian peran atau hak dan kewajiban
antara laki-laki ( suami) dan perempuan ( istri ). Dalam membentuk perkawinan
dengan konsekuensi hidup bersama antara 2 orang yang berbeda tentu bukan
menjadi hal yang mudah. Apabila tidak bisa saling mengerti dan memahami posisi
59
dan tugas masing-masing bisa saja terjadi permasalahan. Oleh karena itu WT dan
SR menyadari, dibutukan adanya kesapakatan dan keterbukaan menyangkut apa
saja yang menjadi hak atau kewajiban antara keduanya. Hal ini perlu menjadi
bahan perbincangan sebelum melakukan perkawinan, agar masing-masing
mengetahui dan menyadari kekurangan dan kelebihannya serta posisi dan
kedudukan mereka dalam perkawinan. Perjanjian atau kesepakatan ini menjadi
penting bagi WT maupun SR.
Pengertian penting di sini memiliki makna bahwa dengan
memperhitungkan hal-hal yang menjadi resiko atau akibat dari perkawinan
mereka. Tak mengherankan jika hal ini mendera pola pikir keduanya yang
memang telah mulai terpengaruh oleh pola-pola hidup kekinian / modern.
Modernitas menjadi salah satu hal yang membawa pola pikir ke arah rasional,
dengan membentuk opini dan pertimbangan yang didasarkan pada landasan pikir
yang berdasarkan akal / rasional. Ini dapat di lihat dari background pendidikan
keduanya ( yang sama-sama memegang gelar S1), di mana pendidikan tinggi
setidaknya menyumbang berbagai bentuk pemikiran yang berwawasan luas dan
modern. Pendidikan atau sekolah dapat memberikan berbagai ilmu, pemahaman
tentang berbagai cara berperilaku baru, dan berbagai aspirasi baru dalam rangka
pengembangan pikir seseorang ke arah yang kompleks dan kearah modern
(Caldwell,1982 ;Goode ,1963 ;Thornton & Lin, 1994).
Dalam perkembangan hidup selanjutnya, dengan makin terbukanya ruang
pendidikan yang tinggi ini perempuan lebih banyak memiliki kesempatan terbuka
untuk berkutat dalam segala aktivitas publik ( kerja ). Ini tentu berbeda jika
dipandang dengan konteks bagi perempuan pada tahun 1970-an ( pada masyarakat
Jawa ). Perempuan tidak memiliki banyak pilihan ketika dia telah mulai
menginjak masa dewasanya. Masa dewasa yang ditandai dengan haidnya yang
pertama, mengharuskan bagi mereka memiliki tanggung jawab baru untuk segera
mencari pasangan, memiliki suami dan memiliki anak dalam hubungan
perkawinan.( Geertz, 1983 : 59). Pandangan Geertz tentang perkawinan masih
sangat primitif dan tradisional yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman saat
ini, bahwa perempuan harus berada dalam aktivitas domestik yang kedudukan dan
60
posisinya sangat tegantung atau dibatasi oleh kuasa laki-laki. Pola pikir dan
pengembangan diri mereka pun akan makin dibatasi oleh kultur tersebut.
Namun realita sosial yang berkembang dalam masyarakat kita, mengikuti
arus perubahan zaman. Modernisasipun lahir mengikuti perubahan tersebut.
Menurut Huntington (dalam Mansour Fakih 2007 ; 32 ) modernisasi merupakan
proses yang bersifat revolusioner ( perubahan cepat dari tradisi ke modern ) ,
kompleks ( melalui berbagai cara sistematik ) , global ( akan mempengaruhi
semua manusia ), bertahap ( melalui langka-langkah ), hegemonisasi ,
convergency dan progresif. Modernisasi terjadi suatu proses perubahan yang
direncanakan dimana melibatkan semua kondisi, nilai-nilai sosial maupun
kebudayaan secara integratif. Modernisasi juga mulai memasuki kancah
pemikiran para perempuan . Pemikiran mereka pun mulai terbuka dan berupaya
untuk merubah sistem sesuai dengan perkembangan pemikiran mereka yang di
dasarkan atas pertimbangan yang rasional.
Membentuk suatu kesepakatan dalam perkawinan adalah mutlak
keinginan dari masing-masing pasangan.Perjanjian perkawinan memang perlu
dibuat, karena UU Perkawinan tidak mungkin mengatur secara detail tentang
pembagian peran dan bagaimana pola perkawinan. Namun perjanjian perkawinan
memang belum banyak terdapat dalam budaya kita. Perlu rambu-rambu,
perjanjian-perjanjian, sebagai petunjuk arah nantinya, hingga perkawinan jadi
ajeg, langgeng. Memang perlu perjanjian tentang harta, namun harus ditekankan
dalam perjanjian berisikan komitmen agar perkawinan langgeng, bagaimana
suami-istri saling menjaga kepercayaan, berkomunikasi, jujur.
Perjanjian dalam perkawinan ini dapat juga diistilahkan sebagai bentuk
negosiasi dalam perkawinan. Negosiasi adalah persetujuan aturan kontrak,
transaksi atau persetujuan dengan saling membicarakan persoalan,dalam
memecahkan masalah. Hubungan suami istri melibatkan negosiasi di mana
terdapat diskusi bersama dengan pengaturan atau persetujuan hal-hal yang
bersangkutan dengan perkawinan. Misalnya, pembagian kerja domestik, jumlah
anak, pembelian rumah, mobil, pengaturan liburan, pengaturan hubungan seks,
dan sebagainya.
61
Perjanjian dalam perkawinan menjadi penting, seperti halnya opini yang
disampikan oleh WT berikut ini
“…aku maune sebelum nikah harus buat kontrak atau perjanjian lebih dulu. Ya semacam perjanjian pra nikah gitu lah.Aku belum tau isi atau detailnya. Tapi garis besarnya ya soal pembagian aktivitas rumah tangga, harta sama anak kali ya..Jadi kalau ada masalah, tapi ya moga-moga gak……dapat diselesaikan dengan mudah. Dasare ya ..perjanjian tadi” ( W/WT/ 19/04/09)
Hal ini juga hampir sejalan dikatakan ole SR “Ya buat semacam kesepakatan
gitu. Koyo MOU ya( sambil tertawa ), tapi ya gak perlu formal-formal. Yang
penting harus dibicarakan dahulu apa yang menjadi hak atau kewajiban masing-
masing pihak. Jadi untuk kemudian hari gak timbul masalah.” (W/SR/26/04/09)
Walaupun bagi sebagian orang perjanjian pra perkawinan menjadi hal
yang penting, namun sebagaian orang tetap menganggap bahwa perjanjian dalam
perkawinan itu bukan perkara yang harus dilakukan dalam perkawinan. Bagi
mereka yang terpenting adalah komitmen bersama yang dimiliki oleh pasangan
dengan tetap mempertahanakan prinsip pembagian peranan dalam rumah tangga
serta mengutamakan pula tentang rasa saling pengertian. Setidaknya demikian
yang dapat ditangkap dari apa yang diucapkan FTR , “ Tidak perlu ada perjanjian
lah...nanti kesannya seperti ada tata tertib. Masa kawin ada tata tertib “
( W/FTR/17/05/09).
Dengan atau tanpa adanya perjanjian tertulis , dalam perkawinan tetap
membutuhkan suatu komitmen bersama yang berhubungan dengan pembagian
peranan atau posisi, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam
perkawinan tersebut. Memahami hak dan kewajiban, posisi, peran, dan kedudukan
dalam perkawinan memang menjadi hal penting agar nantinya setiap aktivitas
rumah tangga, mulai aktivitas domestik, aktivitas kerja, maupun pengurusan anak,
dapat dibagi secara adil. Implikasi dari adil di sini adalah tidak saling
memberatkan salah satu pihak, dan keduanya dapat menjalankan tugas atau
kewajiban dengan baik.
Hak dan kewajiban ini pada umumnya, menyangkut pada pembagian
aktvitas dan ruang kerja secara seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang
62
yang memiliki kuasa yang lebih tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat
property, dan perempuan harus berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas
sosial yang disusun dan diatur oleh laki-laki. Hal ini seolah turut pula dilegalkan
oleh hukum yang berkembang di negara kita. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun
1974, yang mengatur tugas suami dan istri yang menyatakan bahwa suami adalah
kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga, yang memiliki kewajiban untuk
mengurus rumah tangga.perkawinan. Jadi kewajiban suami adalah mencari nafkah
dan istri memiliki kewajiban mengurus semua aktivitas dan kebutuhan rumah
tangga.
Agaknya apa yang tertuang dalam undang-undang tersebut memang
sedikit banyak hampir sejalan dengan pemikiran SR, FTR, KK maupun TR
terkait hak dan kewajiban dalam perkawinan,
“ Kewajiban seorang laki-laki dalam rumah tangga adalah working out home, mencari penghasilan dan nafkah untuk anak istri , sedangkan kewajiban seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Karena anak akan menjadi seperti apa nantinya adalah tergantung dari didikan orang tua terutama ibu. Hak menjadi sesuatu yang mengikuti kewajiban yang dilakukan kedua belah pihak. “( W/SR/ 26/04/09)
Sedangkan FTR menuturkan, “ Kewajiban laki-laki itu ya menafkahi kelaurga,
dan hak nya ya dilayani istri. Kalau kewajiban istri adalah melayani sumai dan
mengatur rumah tangga. Ne haknya ya dilindungi suami kayae.
”(W/FTR/17/05/09). KK memberikan penjelasan sebagai berikut , “ Ya kalau
bicara tentang kewajiban setahu saya laki-laki ya wajibe mencukupi kebutuhan
secara finansial, mengayomi dan melindungi anggota keluarsga, jadi imam
lah....Ne istri wajibe ya melayani suami, trus apa ya...ndidik anak-anake no “(KK/
20/06/09).
Mencari nafkah adalah kewajiban seorang laki-laki, dimana laki-laki
harus bertanggung jawab penuh memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan
istri memiliki kewajiban penuh pada aktivitas rumah tangga, mulai dari urusan
dapur, mencuci dan mengurus anak, dan memberikan pelayanan kepada suami.
Semua aturan tersebut tertuang dalam undang-undang perkawinan, yang bisa
ditemukan dalam buku nikah, sehingga seolah-olah sudah menginternal hampir di
63
seluruh kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang masih memiliki pola
serta pemikiran yang tradisional. Semua menjadi sebuah rutinitas yang harus
dilakukan karena hal tersebut telah dibumbui atas nama kewajiban secara kultural,
yang kemudian disebut sebagai kodrat ( sosial).
Dalam aktivitas domestiknya perempuan lebih banyak tidak memperoleh
ruang untuk memilih, karena semua dinamakan kewajiban oleh kultur patriarki.
Hal ini erat kaitannya dengan sistem mas kawin yang berlaku dalam perkawinan.
“mas kawin ”. Mas kawin ini yang dianggap sebagai pembayaran cash yang
menimbulkan konsekuensi seolah perempuan “dibeli” oleh laki-laki. Dalam
kondisi demikian, perempuan seolah harus selalu berada dalam bayang-bayang
laki-laki (Veny, 2002 ; 114 ) Dan perempuan memiliki suatu kewajiban secara
kultural terhadap laki-laki. Kewajiban-kewajiban inilah yang lantas menempatkan
perempuan pada putaran aktivitas domestik, yang membuat mereka harus
menerima ini sebagai suatu kewajiban sosial. Berbagai kewajiban sosial tersebut
tumbuh sebagai bagian dari adanya pembagian aktivitas dan ruang kerja secara
seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang yang memiliki kuasa yang lebih
tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat property, dan perempuan harus
berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas sosial yang disusun dan di atur
oleh laki-laki.
Namun pendapat SR, FTR, KK maupun TR justru berbeda dengan yang
diungkapkan WT. Menurut WT, bahwa kewajiban itu sebenarya hanya
menyangkut masalah yang sifatnya biologis, bukan hal-hal yang menyangkut pada
masalah-masalah kodrat sosial. Dalam pandangan kaum feminis hal ini kerap
disebut dengan peran gender yang dikonstruksi atas dasar perbedaan gender, yaitu
perbedaan secara seksual antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki
kewajiban secara permanen yang tidak bisa berubah sebagai ketentuan biologis
yang disebut sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat ( Fakih, 2007 : 8)
Kewajiban adalah sesuatu yang terjadi atas dasar kodrat dari Tuhan yang
memang tidak bisa tergantikan secara sosial, dan bukan kultur yang diciptakan
dan berkembang dalam masyarakat.. WT mengatakan pembagian hak dan
kewajiban suami istri adalah sebagai berikut
64
“ seorang isri hanya memiliki kewajiban mengandung, melahirkan dan menyusui. Dan selanjutnya semua aktivitas hidup menjadi kewajiban dan hak bersama. Jadi ndak ada lho kewajiban bagi saya buat masak, nyuci. Lha ne suami bisa ya wis dikerjake sendiri. Saya juga bisa kerja, jadi bukan suami aja yang wajib kerja“(WT/19/04/09)
Kewajiban istri untuk mengandung dan memiliki anak memang menjadi
perkara biologis yang tidak bisa ditawar lagi. Secara biologis hanya perempuan
yang memiliki rahim. Praktis hanya perempuan juga yang bisa mengandung dan
melahirkan. Ketika berbicara pada konteks kewajiban memang hal ini akan terjadi
demikian adanya. Namun terkait dengan kehamilan dan memiliki anak,WT lebih
lanjut menuturkan bahwa dalam perkawinan persoalan anak tetap menjadi
keputusan oleh keduanya ( laki-laki dan perempuan yang menjalani ). Secara
eksplisit terlihat bahwa dalam perkawinan, kehamilan dan memiliki anak adalah
perkara wajib bagi perempuan, namun semuanya itu dapat dinegosiasikan dan
dapat ditentukan kapan atau tidak sama sekali memiliki anak.
Memiliki anak, juga bagian dari keinginan untuk menghindari berbagai
stereotipe yang mungkin terdengar buruk dari kehidupan sosial masyarakat. Masih
kuatnya anggapan yang berkembang, bahwa perempuan yang tidak bisa hamil
akan di cap sebagai perempuan yang tidak subur atau mandul. Ini tentu tidak
hanya menimbulkan tekanan secara psikologis tapi juga akan mengganggu
bagaimana proses sosialisasi dalam masyarakat.
Konsepsi tentang perkawinan ideal ini, kemudian merujuk pula pada
sosok lawan jenis yang tentu juga dianggap ideal, cocok atau pas untuk
mewujudkan perkawinan yang sesuai dengan keinginan. Laki-laki yang dipilih
untuk menjadi pasangan hidup tentu bukan dipilih laki-laki yang sembarangan.
Tetapi dipilih laki-laki yang sesuai dengan apa yang menjadi keinginan mereka.
Berbagai hal yang menyangkut kecocokan secara visi,misi, keinginan, cita-cita,
pikiran ataupun kerja menjadi hal yang sedikit banyak memberikan pengaruh bagi
keduanya dalam menentukan dengan siapa mereka melakukan perkawinan.
Diakui ataupun tidak banyak perempuan yang masih banyak dipengarahi
oleh mitos dalam ciderella kompleks. Dalam mitos ini, diperlihatkan bahwa
perempuan mendambakan seorang “pangeran” untuk mempersunting dirinya. Para
65
perempuan dalam rasionalitasnya selalu mendambakan laki-laki yang diyakini
sebagai seorang pangeran yang diimpikan dengan segala kesempurnaan baik itu
secara sosial, fisik maupun ekonomi, yang akhirnya akan memberikan
kebahagiaan dalam hidupnya (Subiantoro, 2002 : 11). Jadi tidak heran jika
kemudian para perempuan selalu berupaya untuk mendapatkan laki-laki yang
memang memiliki kriteria yang “sempurna “ baik secara material, emosional,
maupun sosial.
Ini kemudian memicu pemikiran para perempuan ( maupun laki-laki
)untuk menyeleksi pasangan sesuai yang diinginkannya. Hal ini sejalan dengan
apa yang diungkapkan oleh Malhotra ( 1997 :437).
“…………motivating young men and women to emulate a western conceptualization of marriage in terms of self- selection of spouses and more nuclear, conjugal, and egalitr marital relationsip.”……… memotivasi para pria dan wanita muda untuk menerapkan konsep pernikahan ala barat dalam hal menyeleksi sendiri pasangan, juga dalam hal hubungan pernikahan yang lebih seimbang) (Malhotra, 1997:437)
Setiap orang berhak untuk memilih pasangan hidup yang sesuai dengan
kriteria dan keinginananya. Dalam kajian agama Islam misalnya, juga terlihat
bahwa perkawinan sebagai penyatuan dua orang dewasa yang didasari oleh
kemauan bersama, maka persetujuan bersama antara kedua belah pihak yang akan
melakukan perkawinan merupakan sebuah esensi untuk mewujudkan kehidupan
perkawinan dalam keluarga ( Haifaa Jawad, 2002 : 17). Jadi tidak akan terjadi
proses perjodohan yang seringkali masih terjadi pada masyarakat Jawa pada tahun
1970-an, dimana orang tua seringkali memilihkan jodoh kepada anaknya. Bahkan
dijelaskan bahwa pada umumnya mereka (orang tua) memilihkan bakal jodoh
untuk anaknya (Ahimsa Putra, 2006 : 411-412). Biasanya pasangan yang
dpilihkan harus memenuhi krteria dari segi bibit, bebet maupun bobot.
Memilih pasangan lewat perjodohan menurut sepertinya sudah tidak
relevan lagi. Masing-masing orang berhak untuk memilih dan menentukan
pasangan hidup yang sesuai dengan keinginannya. Apalagi saat ini zaman sudah
semakin maju, hal-hal yang sifatnya tradisional telah mulai berubah dan begeser
66
kearah modern, yang menyertakan pemikiran yang lebih rasional. WT
mengutarakan,
“ memangnya ini jaman siti Nurbaya dik. Dijodohin……Lha memangnya tar yang mau kawin sapa, yang mau hidup bareng sapa? Bapak ibuku apa aku?( memangnya ini jaman siti nurbaya, dijodohin segala. Memangya nanti yang mau menikah dan hidup bersama siapa?bapak ibuku atau aku? ) “ (W/WT/19/04/09)
Dalam kaitannya dengan sistem perjodohan ini SR menambahkan,
“Kalau dulu mungkin banyak perjodohan. Karena waktu itu perkawinan lebih pada kepentingan ekonomis. Setelah siap reproduksi mereka harus cari suami. Kalau gak dapet-dapet ya di jodohke. Tapi ne sekarang ya beda. Kawin ya pake pertimbangan dewe. Gak perlu dijodohke ( tapi kalau sekarang ya berbeda. Menikah itu memakai pertimbangan sendiri. Tidak perlu dijodohkan)”. (W/SR/26/04/09)
FTR pun tak surut ikut berkomentar pula tentang perjodohan “ Aku gak setuju
sama perjodohan. Lha memange gak iso golek dewe. Lagian kalau dijodohke kan
jamanya ibuk bapak dulu....( aku tidak setuju sama perjodohan. Memangnya tidak
bisa mencari sendiri. Dijodohkan itu kan zamannya bapak ibu dulu ).
”(W/FTR/17/05/09)
Pasangan yang dipilih setidaknya memiliki beberapa kecocokan
sehingga dapat saling menyeimbangkan hubungan, ataupun bahkan memiliki
perbedaan yang saling melengkapi dalam rangka menimbulkan keselarasan ,
keharmonisan dan kedinamisan dalam hubungan perkawinan.
“Ideal menurutku , kalau laki-laki yang memiliki chemistry sama aku. Artinya ada sesuatu yang cocok dan pas gitu, yang bisa saling terima dan menyesuaikan. Trus cara berpikirnya paling gak kita harus sejalan, ya gak harus sama, tapi ada hal-hal yang hampir sama sudah cukup”.(W/SR/26/04/09)
Ideal bukan hanya sekedar kesempurnaan secara fisik ataupun bukan
meliputi kesamaan yang mereka miliki, justru sebaliknya dari berbagai perbedaan
yang dimiliki masing-masing pasangan akan tercipta hubungan yang saling
melengkapi, jadi alur hubunganya tidak hanya sekedar monoton saja. Masing-
masing orang tentu memiliki cara berfikir atau idealisme yang berbeda, tapi justru
dengan perbedaan itu dapat menjadi penyeimbang dan pelengkap.
67
“ Sifat kami berbeda sekali. Aku ini tipe yang emosian tinggi, cepet marah, sebaliknya dia sedikit lebih sabar dan bisa meredamkan emosiku. Kami memang berbeda tapi justru itulah uniknya kami bisa saling mengisi. Tapi kami juga punya kesamaan kok, sama-sama hobi liat film...”(W/ SR/26/04/09)
Memiliki suami dengan kriteria yang diinginkan atau dianggap ideal juga
diinginkan oleh WT, hal ini dapat diismak dari jawabnya
“ Aku penginnya punya suami itu laki-laki yang pintar dan memiliki pengetahuan umum yang luas.. Trus laki-laki yang open minded terhadap segala perubahan dan perbedaan. Yang terakhir adalah……laki-laki tersebut dapat memposisikan saya sebagai teman hidupnya, bukan pria yang menguasai hidup saya.”(W/WT/19/04/09)
Jawaban yang diungkapkan oleh WT tersebut memberikan banyak
implikasi dan pemaknaan. Bahwa memilih pasangan hidup itu adalah tergantung
dari bagaimana seorang menentukan seseorang yang sesuai dengan kenginannya,
ada kecocokan yang tidak hanya keinginan dari segi fisik, tapi juga dari sisi
emosional. Ini berarti hak utama atau keputusan mutlak tetap menjadi milik dari
seseorang yang akan melakukan perkawinan.
Dalam memilih pasangan hidup, juga tak lepas dari sifat atau
karakteristik yang dimiliki pasangan yang memang sesuai dengan keinginan. Hal
demikian dapat dilihat dari jawaban yang dikemukakan oleh FTR,
“ Laki-laki ideal buat calon suami menurutku ki yang kerja keras dan
bertanggung jawab. Kaya pacarku kae...dia itu pekerja keras banget, gak gampang
nyerah. Selain itu ya harus tanggung jawab sama istri dan anak-anaknya itu.”
(W/FTR/17/05/09)
Sebagai kaum muda, proses pacaran dan berkenalan dengan lawan jenis
telah beberapa kali mereka lakukan. Menurut SR, WT, FTR,TR maupun TY
memiliki pacar dan kemudian membina hubungan yang disebut “pacaran” , perlu
dilakukan agar dapat menyeleksi atau memilih pasangan yang sesuai dengan
keinginan. Istilah pacaran 3 ini menjadi ajang untuk melakukan penjajakan
(pengenalan sifat dan karakter, keluarga, kehidupan kerjanya atau sekolahnya)
3 Menurut KBBI (2002: 807), pacar adalah kekasih yang mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; berkasih-kasihan [dengan sang pacar]
68
dari masing-masing pihak, untuk kemudian dipertimbangkan kelanjutan hubungan
yang terjalin antara keduanya, yaitu meneruskan hubungan kearah perkawinan
atau justru menghentikan hubungan.
Saat ini SR memiliki teman dekat, yang telah menjalin komitmen dan
hubungan selama 8 tahun. Mas AT, sebut saja demikian nama teman dekat SR,
menurutnya adalah figur seorang teman dekat yang hampir ideal untuk diadikan
sebagai suami. Hubungan yang mereka bina awalnya memang tidak mendapat
restu dari orang tua, mengingat menurut orang tua keduanya saat itu masih
sekolah dan kuliah. Namun hubungan tersebut akhirnya semakin bertambah dekat
dan intim ketika keduanya telah sama-sama bekerja.
SR pun tak sungkan membawa Mas AT untuk bertemu kedua orang
tuanya, sekedar memperkenalkan tentang keluarganya. Sebaliknya SR pun telah
beberapa kali pula bertandang ke rumah Mas AT untuk lebih mengenal
keluarganya
“ Dikenalke ibu bapak ….baru berani akhir-akhir ini. Dulu pacaran aja gak boleh. Paling kalau pas SMA ya ketemu di sekolah.Habis itu kuliah long distance, dia di Jogja aku di Solo, jarang ketemu malah hamper gak pernah. Komunikasi lewat Hape aja. Nah sekarang ibu bapak udah ngizinin ya aku lebih santé ngajak dia maen kerumah “ ( W/ SR/26/04/09 )
FTR pun demikian adanya“ Aku punya pacar sekarang.. Gak usah aku sebut
namanya ya...aku serius sama dia. Aku 4 kali pacaran. Yang 3 cuma iseng, tapi ne
yang ini yang serius. “(W/FTR/17/05/09)
Dari apa yang diuturkan FTR, 4 kali dia membina hubungan dekat
dengan laki-laki hanya satu orang lah yang dianggap serius. Artinya bahwa
hubungannya dengan pacarnya yang sekarang memiliki konteks yang lebih dekat
bahkan dikenalkan pada orang tua juga. Selain karena pacarnya sudah bekerja,
waktu acaran yang cukup lama membuat FTR sampai sekarang tetap
mempertahankan hubungan dan berharap hubungannya akan sampai pada tahap
perkawinan. Jawaban yang diungkapkan oleh SR maupun FTR, disadari atau
tidak, dalam memilih pasangan yang menurut mereka ideal tetap berpatokan pada
69
pakem yang seringkali digunakan pada masyarakat Jawa. Yaitu bibit, bebet dan
bobot.
Sedangkan cerita lain datang dari WT, KK dan TY. Saat ini WT tidak
melakukan hubungan dengan siapapun, atau “jomlo”4. Beberapa kali dia pacaran
akhirnya berakhir dan tidak dapat bertahan. Sampai saat ini dia tetap saja asik
melajang dan belum memikirkan tentang teman dekat atau pun tentang calon
suami.
Teman dekat/ pacar yang menurutnya harus calon suami bukanlah orang
yang harus ngoyo dicari. Tetapi dia akan datang sendiri, dan kalaupun pada
akhirnya tidak ada dia merasa hal itu bukan masalah besar, karena dalam
agamanya pun juga dijelaskan bahwa perkawinan itu tetap saja sunnah, bukan
kewajiban. Dia mempercayai Tuhan sudah menetapkan jodoh untuk masing-
masing orang. Dia mengatakan “ jika sampai ini saya belum ketemu orang yang
pas, ya berarti saya belum ketemu jodoh saya , dan itu masih rahasia Tuhan. Ne
ngoyo cari terus kapan kerjane, kapan cari duite,...”(W/WT/19/04/09)
KK pun demikian adanya, Di usinya yang kini telah menginjak 39 tahun,
dia belum memiliki laki-laki yang dianggap tepat untuk menjadi suaminya.
Beberapa kali dia pacaran, tapi pun tidak dapat bertahan. Hingga kini di usianya
yang kian matang, dia mulai sedikit lelah untuk mencari dan menemukan laki-laki
yang diharapkan menjadi suaminya kelak. Dalam benaknya selalu terbersit pikiran
positif, bahwa memang belum ketemu jodoh. KK menjelaskan, “ Sebagai
perempuan normal saya juga pengen kawin. Tapi, belum ketemu yang cocok aja.
Belum ketemu jodoh. Ya sudah...pasrah sajalah. Saya punya
Allah...”(KK/20/06/09)
“ Belum ketemu jodoh “ seringkali menjadi alasan klasik bagi banyak
perempuan yang belum menikah. Hal ini sejalan dari apa yang dikatakan oleh
Hull ( 2002 :8).
“ the problem of marriages market is not lack of avalaible males, but the shortages of man who share theit value and expectation......When asked to describe the process of remaining single, none of them could give
70
clear answer. The most typical and spontaneous answer was I have not found my soulmate ( belum ketemu jodoh)”.
Banyak perempuan yang akhirnya belum melakukan perkawinan pada
usia 26 tahun ke atas, lebih dikarenakan belum menemukan laki-laki yang
dianggap tepat atau sesuai dengan keinginan atau secara umum dikatakan belum
ketemu jodoh. Di sadari atau tidak ungkapan seperti ini sebenarnya adalah
ungkapan yang sifatnya riil. Artinya orang diajak untuk lebih berfikir terbuka
bahwa Tuhan telah memberikan pasangan bagi siapa saja. Dan tinggal manusia
menunggu saat yang tepat ditemukan dengan jodoh tersebut.
Perkawinan secara langsung atau tidak langsung tetap menjadi keinginan
semua orang, termasuk WT dan KK. Tetapi keduanya justru menunjukkan sikap
yang lebih santai dan tidak terlalu ngoyo. Perkawinan itu perkara penting tetapi
ada banyak hal yang lebih penting yang harus dilakukan yang akan menjadi
pertimbangan dalam memutuskan untuk melakukan perkawinan atau dengan siapa
melakukan perkawinan. Selain itu sikap percaya pada jodoh membuatnya selalu
meyakini bahwa Tuhan pasti akan memberikan laki-laki yang tepat pada saat yang
tepat juga suatu hari nanti
“ Ibuku selalu bilang, manusia itu pasti punya jodo. Tapi kapan ketemunya, dimana ketemunya ya belum tau.Dan aku percaya banget itu. Ditunggu wae, wong udah dijamin Allah ada we kok. Ya usaha nyari sih….tapi ya ne gak dapet-dapet yo wis to.Sekarang mending cari temen yang banyak dulu ajalah…sapa tau nemu juga….. “(W/WT/19/04/09 )
Berbagai keputusan dan pertimbangan dalam melakukan perkawinan
tentu tak lepas juga dari peran orang tua. Memang perkara perkawinan menjadi
perkara individual yang menjadi urusan antara kedua belah pihak, mulai dari
memilih pasangan, bagaimana kehidupan perkawinannya. Tetapi orang tua juga
turut memberikan andil terutama dalam memberikan masukan yang biasanya
berupa nasehat-nasehat yang berhubungan dengan perkawinan. SR berkata,
“ Orang tua tidak ikut campur dengan siapa aku meh nikah. Tapi, orang tua tetep
memberikan nasehat untuk mencari laki-laki yang bertanggung jawab pada anak
istri dan beriman “ (W/SR/26/04/09 )
71
WT juga demikian adanya, dia menuturkan, “ Bapak ibu itu paling Cuma
bilang. kalau cari suami ki yang penting pinter dan rajin sholate. Trus kata
bapakku ya nk bisa gak usah dari keluarga yang kaya banget, tapi ya jangan yang
miskin. Yang sejajar sama keluarga kita wae...paling cuma gitu-gitu
aja“(W/WT/19/04/09). KK pun tak luput dari nasehat-nasehat seputar perkawinan
yang diberikan oleh orang tuanya, “ Orang tua selalu nasehati, kalau udah nikah
nanti..saya harus manut mituhu sama suami saya. Biar perkawinannya ndak jadi
masalah. “ ( W/KK/20/06/09)
Orang tua memberikan berbagai masukan dan nasehat penting dalam
perkawinan lebih pada konteks agar si anak mau belajar dari proses perkawinan
yang telah mereka lalui. Berharap dapat berbagi pengalaman dan menularkan hal-
hal yang positif dan mencoba menguraikan hal-hal yang negatif agar anak tidak
mengulangi hal yang sama. Anak pun demikian juga, menilik dari perkawinan
yang dilalui orang tuanya akan menimbulkan berbagai tanggapan, dan akhirnya
mereka mulai mereka reka perkawinan nya kelak seperti apa, mulai mengadopsi
nilai-nilai perkawinan orang tua yang menurut mereka sesuai dengan keinginan.
Hal ini disadari benar oleh SR. Hubungan perkawinan orang tuanya
sedikit banyak telah menginspirasi cara pikir dan cara pandangnya tentang
perkawinan. Gambaran perkawinan dari orang tua, seolah memberikan suatu
pembelajaran baru yang mmebuatnya ingin meniru/ mengikuti. SR berujar,
“ Bapak ibu itu saling menghormati. Jarang berantem, walaupun sama-sama sibuk
kerja....aku yo pengen kata gitu “ ( W/SR/26/04/09)]
Ada beberapa bagian yang memang menjadi wacana anak untuk akhirnya
di tiru. Tapi menilik dari proses perkawinan orang tua, kadang anak juga akan
memiliki gagasan lain yang sifatnya tidak sejalan. Ini seperti apa yang diucapkan
WT berikut ,
“ Bapak ibu itu sebenarnya penak hubungane. Aku seneng cara pembagian uange. Ibuku gak pernah di kasih nafkah bapak. Tapi mereka udah janjian. Uang bapak buat sekolah anak, uang ibu buat urusan rumah tangga. Tapi sing ra tak senengi kadang ne dirumah ibu kalahan sama bapak...”(W/WT/19/04/09)
72
Bagi WT, SR, FTR, KK, TR maupun TY perkawinan menjadi perkara
penting dan sakral yang dilakukan pada saat yang tepat ( pada waktu dan keadaan
yang pas ), dan hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal
yang berhubungan dengan perkawinan itu sendiri. Pertimbangan ini didasari pada
kenyataan bahwa perkawinan bukanlah perkara yang sederhana yang berhenti
pada aktivitas penyatuan antara laki-laki dan perempuan dalam satu atap. Lebih
dari itu perkawinan akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat
sosial, yang membutuhkan adanya komitmen dan kesepakatan dari pihka yang
akan melakukan perkawinan.
Perkawinan bukan hanya berkenaan tentang kesiapan secara biologis,
tetapi lebih dari itu, perkawinan juga harus dilandasi berbagai kesiapan yang
berhubungan dengan materi maupun kesiapan secara psikis. Perkawinan memiliki
makna yang lebih dalam, sehingga dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang
harus dipikirikan secara maksimal atau matang. Dalam perkawinan membutuhkan
negosiasi dan kesepakatan tertentu, sehingga akhirnya tujuan, makna dan fungsi
perkawinan itu sendiri dapat terwujud. Pertimbangan-pertimbangan yang
diperlukan bersifat rasional, sehingga dapat dimengerti implikasi dari masing-
masing tindakan, inilah yang kemudian di sebut sebagai perkawinan yang
bermakna rasional.
Perkawinan bermakna rasional akan merujuk pada pemaknaan yang lebih
konkret bahwa dalam hal ini perkawinan lebih dimaknai sebagai kontrak sosial
yang mensyaratkan adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak tanpa ada
intervensi dari pihak lain. Perkawinan pada makna ini dijadikan sebagai sebuah
pilihan rasional atau hak setiap individu dan bukan merupakan kewajiban sosial
dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, perjodohan yang dirancang orang
tua sudah tidak relevan lagi, namun setiap individu berhak untuk menentukan
pasangan hidup sendiri. ( Liestaysari, 2003 ; 124 ).
2. Penundaan usia perkawinan
Dari data yang berhasil dihimpun dari KUA Kecamatan Sukoharjo
sedikit banyak menunjukkan bahwa pada tahun 1970 perempuan memiliki rata-
73
rata usia perkawinan pada umur 16-20 tahun, sedangkan laki-laki melakukan
perkawinan rata-rata diatas usia 20 tahun. Dari fakta yang terlihat ini memang
menunjukkan bahwa awalnya memang dalam menentukan perkawinan menjadi
suatu perkara yang cukup sederhana yaitu berdasarkan kesiapan secara usia. Bagi
perempuan, dahulu pada konteks tahun 1970-an, faktor usia memang memiliki
pengaruh yang cukup penting dalam menentukan kapan harus melakukan
perkawinan. Ketika perempuan sudah memasuki masa siap reproduksi ( setelah
haidnya yang pertama ) mereka akan dianggap telah siap memasuki jenjang
perkawinan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Geertz ( 1982 : 59 ) bahwa
gadis –gadis Jawa telah kawin setidaknya untuk waktu yang singkat pada saat
kira-kira berumur 16-17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah menikah sama
sekali . Ini menunjukkan bahwa betapa banyak gadis-gadis yang berusia belasan
tahun harus segera menerima keputusan kultural untuk melakukan perkawinan,
karena dianggap telah memiliki kesiapan bereproduktif.
Namun hal ini tentu berbeda dengan keadaan masyarakat sekarang ini.
Mulai tahun 2000-2005 di Sukoharjo (dari data KUA Kecamatan Sukoharjo)
keadaan mulai berubah. Yang awalnya rata-rata usia “normal” bagi perempuan
untuk menikah maksimal berusia 25 tahun, namun akhir-akhir ini banyak
perempuan-perempuan yang berusia hampir 30 tahun yang baru melaksanakan
perkawinan. Bukti tersebut menunjukkan bahwa perkembangan dan perubahan
yang terjadi pada sistem/ pola kehidupan masyarakat, menyebabkan perubahan
cara pandang pula terhadap perkawinan. Mobilitas masyarakat Sukoharjo kian
tinggi dan mulai majunya berbagai sektor publik membuat hal-hal yang dulu
dianggap tabu secara kultural, kini telah dianggap lumrah.
Pergeseran cara pandang, cara pikir maupun cara bersikap ini juga
dipengaruhi oleh proses modernisasi yang berpengaruh signifikan pula pada kian
meningkatknay mobilitas masyarakat Sukoharjo. Kemajuan ini dapat terlihat dari
kian tingginya angka kerja dan angka pendidikan pada masyarakat. Terlebih lagi
bagi kaum perempuan. Jumlah perempuan yang memasuki dunia kerja dan
pendidikan pun semakin tinggi. Dengan demikian, Di Sukoharjo akan makin
74
banyak dijumpai perempuan yang bekerja pada berbagai sektor publik mulai dari
instansi pemerintah, swasta maupun wiraswasta dan buruh.
Dari data yang berhasil dihimpun, terbukanya kesempatan kerja dan
pendidikan bagi kaum perempuan inilah yang ternyata menjadi faktor utama
penundaan usia kawin bagi perempuan di Sukoharjo, walaupun memang masih
ada beberapa faktor lain yang mendasari. Perkawinan kemudian tidak hanya
dipandang dari kesiapan secara usia atau umur, melainkan kesiapan secara fisik,
material maupun mental. Inilah bentuk pemaknaan baru dalam perkawinan bagi
para perempuan.
Pendidikan memang sedikit banyak akan mempengaruhi ruang hidup
setiap manusia. Lewat tingginya penidikan, tentu saja orang akan diajak untuk
berfikir lebih kompleks sehingga tingkat pengetahuan merekapun akan lebih luas.
Selain itu lewat pendidikan dapat membuka ruang atau jalan bagi terpenuhinya
suatu sistem kerja, karena memang pendidikan memiliki hubungan yang erat
dengan kerja. Ini seperti yang diungkapkan oleh Jones ( 1993 : World Bank,
1995a) dalam Malhotra ( 1997 : 439) bahwa “ Third, the standard human capital
argument is that eduacation can effect marriage timing by increasing
employability through the additional skills or training it provides (standar
pendapat rata-rata orang bahwa pendidikan dapat memberikan efek pada waktu
perkawinan dengan meningkatnya kemampuan kerja melalui kemampuan atau
tersedianya pelatihan) “. Ini mengandung arti bahwa dengan adanya pendidikan,
maka kemampuan dan keterampilan seseoarang akan lebih meningkat dan makin
memperluas kesempatan dalam dunia kerja.
Selain itu kajian tentang pendidikan bagi para responden memberikan
pengaruh secara sosial maupun secara akadaemis. Secara akademis pendidikan
tentu saja mampu memberikan bekal ilmu dan pengetahuan bagi individu,
sehingga mampu berwawasan luas yang dapat diaplikasikan dalam berbagai
bidang kerja atau aktivias hidup dalam masyarakat. Ini diakui oleh Mbak KK,
“ Aku kuliah di UNNES. Perubahan habis kuliah ya tentu aja aku dapet banyak
ilmu buat bekal ngajar sekarang. “(W/KK/20/06/09)
75
Sedangkan secara sosial, pendidikan juga mampu memberikan
perubahan pada cara pandang, cara pikir, cara tingkah laku serta pola pergaulan
dengan teman sejawat. Maksudnya dengan pendidikan seseorang akan
mendapatkan pergaulan yang luas dengan komunitas yang lebih kompleks
sehingga akan makin membuka wacana atau ruang pikir mereka.Apalagi dari
keenam informan ini 4 di antaranya memperoleh pendidikan tingkat universitas di
beberapa kota besar di Indonesia, seperti bandung, Jogjakarta dan Semarang.
Secara langsung ataupun tidak langsung sebenarnya keberadaan atau lokasi dan
pola wilayah tempat pendidikan ini juga akan membentuk suatu pola pikir baru
yang tentunya memberikan pengaruh yang berbeda bahkan lebih kompleks dan
modern.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh WT, “ Temen-temenku itu sangat
menyenangkan. Umume meraka dari kota besar. Jadi....ya sedikit banyak katut
juga cara mereka bergaul, bicara, atau berpikir juga, lebih ceplas-ceplos.
“(W/WT/19/04/09).
Kerja dan pendidikan yang tinggi inilah yang disinyalir kuat
menyebabkan perempuan lajang menunda perkawinan. WT, mengakui secara
gamblang, bahwa saat ini dirinya memang menunda perkawinan. Ini dikarenakan
masih banyak targer yang berhubungan dengan kerja dan aktivitas pendidikan
yang masih ingin diraihnya. WT menyatakan, “ Setiap orang mengiginkan
menikah. Aku pun juga gitu. Tapi untuk sekarang aku masih pengen sendiri,
menikmati hidupku sendiri, dan aku masih belum ingin terikat siapapun. Lagian
planingku juga masih banyak“ ( W/WT/19/04/09)
Pendidikan dan kerja melingkupi aktivitas hidup masyarakat saat ini, baik
bagi perempuan dan laki-laki. Khususnya bagi perempuan saat ini makin
terbukanya ruang pendidikan pada posisi-posisi dalam ruang kerja. Ini salah
satunya sebab modernitas cara berfikir mereka yang mulai juga terpengaruh oleh
pola pikir feminisme. Feminisme sesungguhnya bukan ajaran yang menanamkan
kebencian pada kaum lelaki. Feminisme juga bukan gerakan pemberontakan
terhadap laki-laki dalam upaya melawan pranata sosial yang ada. Namun lebih
76
dari itu, feminisme memiliki kajian yang sarat akan nilai-nilai keadilan.
Feminisme adalah perjuangan untuk mencapai kesederajatan / kesetaraan, harkat,
serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan
tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga ( Bhasin dan Khan, 1999 :
9 ). Feminisme mengantarkan persamaan bagi perempuan, demi menciptakan
keadilan dalam masyarakat baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
Berbicara mengenai wilayah kerja bagi perempuan, awalnya perempuan
memiki wilayah / ruang kerja yang penting dalam aktivitas kehidupan. Namun
seiring dikenalnya budaya berburu, meramu dan mengumpulkan makanan, nilai
kerja laki-laki memiliki posisi yang lebih dominan atau bisa dikatakan lebih
tinggi. ( Engels, 1992 :149). Budaya patriarki pun kemudian berkembang subur,
sampai saat ini. Namun untuk perkembangan saat ini, akar-akar budaya patriarki
mulai disadari sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya. Artinya aktivitas
patrarki makin dipersemit dengan makin tingginya keaktifan para perempuan
( perempuan lajang khususnya ) untuk ikut pula berkecimpung dalam ranah
publik.
Ini juga seperti yang dialami keenam informan. Beberapa dari mereka
seperti WT, SR mapun FTR secara langsung atau tidak langsung memang
memang mengakui bahwa perkawinan bukan menjadi prioritas utama, karena
mereka menyadari pentingnya kerja bagi kehidupan mereka kedepannya. Dari
apa yang disampaikan para responden kerja dimaknai sebagai aktivitas yang
berhubungan dengan kegiatan untuk mencari dan memperoleh penghasilan utama
berupa materi. Didalamnya tentu ada berbagai aktivitas produksi dan konsumsi
yang membawa pengaruh pada terpenuhinya kebutuhan secara finansial. Ini
berarti kerja sebagai aktivitas tertentu yang berhubungan dengan cara
memproduksi atau mengkonsumsi barang dan jasa ( Nash, 1984 : 45). .
Jadi dalam aktivitas kerja tersebut yang terpenting adalah bagaimana
menghasilkan sesuatu atau hal ( barang maupun ilmu ) sebagai proses produksi
untuk menghasilkan materi sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup ( konsumsi ). Namun demikian, tidak menolak kemungkinan pula, bahwa
kerja tidak hanya dimaknai untuk memperoleh uang, tetapi kerja juga dapat
77
menjadi ajang untuk memenuhi kebutuhan akan kepuasan batin, serta
menunjukkan eksistensi seseorang. Terkait dengan eksistensi diri ini, ini
menunjukkan bahwa kerja akan menyangkut pula pada penilaian sosial terhadap
seseorang atas pekerjaannya ( Moore , 1988:43),. Artinya bekerja dilakukan
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan seseorang dari segi material saja, tapi
bekerja juga dilakukan untuk menunjukkan keberadaan seseorang dalam suatu
komunitas sosial tertentu. Dengan demikian akan mengundang persepsi orang
terhadap apa yang dilakukan orang tersebut. Ini misalnya diuangkapkan oleh WT
“ Kalau perempuan itu kerja kan dia jadi dianggap ada gitu lho dik. Jadi kalau nanti nikah dia kan tetep dianggap oleh suaminya. Ya intinya dengan kerja perempuan ki jadi terakui. Lagian kalau aku kerja semua orang jadi tau to aku bisa Bahasa Jepang, ada kepuasan juga dalam batin”(W/WT/19/04/09)
Selanjutnya dari berbagai posisi ruang kerja yang dapat diraih oleh
banyak perempuan saat ini, membawa perubahan pula pada sikap dan cara pikir
mereka. Ini seperti yang diungkapkan oleh Greenhalgh, 1985 : Salaff, 1981 dalam
Malhotra ( 1997:439 )
“ ...employement as an alternative that makes women more independent, ambitious, mobile, and free of family concern in moe modern setting “( pekerjaan sebgaai alternatif yang membuat wanita makin mandiri, ambisius, aktif, dan mampu menciptakan konsep keluarga nyaman yang modern).
Jadi dengan kerja akan membawa dampak yang besar bagi para perempuan
( khususnya perempuan lajang ) lebih memiliki kebebasan berpendapat
membentuk karakter dan sifat yang ambisius serta menjadikan seseorang memiliki
jiwa yang aktif. Kenyamaman beke;luara dalam konsep yang lebih modern.
Semua sikap ini, makin membuka angapan bahwa kerja sebagai bagian
dari hal yang mampu membentuk individu yang mandiri dan memiliki
kepercayaan tinggi atas kemampuannya, sehingga membawa dampak pada
meningkatkan otoritas keputusan . Terkait dengan hal tersebut, “ bekerja memiliki
status sebagai junior partner. Dalam tingkatan ini, hak-hak instrumental
perempuan meningkat, yang selanjutnya meningkatkan otoritas perempuan dalam
pengambilan keputusan” ( Molo, 1993 : 91). Jadi dengan bekerja, perempuan akan
78
lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengembangkan otonomi bagi
keputusan yang meyangkut diri sendiri, termasuk halnya tidak menutup
kemungkinan pada keputusan untuk melakukan perkawinan.
Berbagai kasus tentang penundaan perkawinan ini, awalnya hanya dapat
kita temui di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan
maupun Jogjakarta. Namun ternyata daerah urban seperti halnya Sukoharjo pun
memiliki “nasib” yang sama. Jones ( 2004 ; 16) dalam penelitiannya pada
sebagian besar perempuan di Asia Tenggara , memberikan pandangan, bahwa
secara umum ada dua argumen yang menjadi alasan perempuan kita terkesan
menunda perkawinan.
“two argument to explain delays in marriages : one is that women have lost faith in marriage, and instead, give priority to career and independencee, and the second is taht women still want marriage, but because they potspone it too long for other priorities, they are later unable to find suitable men to marry” (ada dua argument yang menjelaskan penundaan perkawinan : pertama perempuan kehilangan waktu menikah karena mengutamakan karir dan yang kedua perempuan sebenarnya tetap ingin menikah, tetapi karena mereka lebih mengutamakan kepentingan lain dan belum menemukan laki-laki yang tepat untuk menikah)
Jadi penundaan perkawinan pada perempuan terjadi karena makin
meningkatnya aktivitas dan kesempatan kerja serta berbagai hal lain yang
menyangkut kepentingan secara pendidikan maupun kesipaan secara material.
Sehingga tidak dapat disangkal lagi, makin banyak perempuan yang akhirnya
memiliki bermacam-macam alasan sampai akhirnya mereka memutuskan untuk
melakukan perkawinan.
Kian hari, prosentase penundaan usia perkawinan bagi sebagian
perempuan lajang di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.
Dimulai pada tahun 1971 prosentase perempuan yang belum menikah dari semua
kelompok umur berjumlah sekitar 19,3 persen. Kemudian mengalami kenaikan
prosentasenya pada tahun 1980 menjadi sebanyak 20,0 persen. Dan prosentase
terbanyak terjadi pada tahun 2005 mengalami kenaikan yang cukup signifikan
menjadi 23, 4 persen. Untuk prosentase kelompok umur terbesar yang menunda
perkawinannya adalah 15-19 tahun.
79
Bagi perempuan lajang khususnya otoritas pertimbangan dan pemilihan
pasangan akan terasa semakin kental. Tidak bisa dipungkiri seorang perempuan
lajang memiliki otoritas yang kuat atas dirinya sendiri sehingga dengan siapa atau
kapan dia akan melakukan perkawinan pun hal utama juga berdasarkan pada
kemauannya. Perempuan lajang menurut Suhartami ( 2002 : 36-37 ) diidentikkan
dengan perempuan yang aktif , simbol yang kuat atas modernitas yang aktif, yang
memiliki image sebagai perempuan yang menggambarkan berbagai identitas
perempuan Indonesia modern.
Perkawinan menurut WT menjadi hal yang memang diinginkannya. Tapi
untuk saat ini masih banyak hal yang harus dilakukan yang mungkin dapat
dijadikan juga sebagai salah satu dasar atau pertimbangan dalam menentukan
perkawinan. Selain itu ada semacam ketakutan baginya untuk “giving up
freedom”, yaitu melepas kebebasan yang sudah terlanjur terbentuk sebagai sistem
yang sangat baik dalam hidupnya. Sedangkan jawaban dengan nada berbeda
muncul dari Mbak FTR maupun Mbak SR. Mbak SR dengan tegas mengatakan, “
Ya kalau menunda gaklah...tapi kalau banyak pertimbangan iya“
( W/SR/26/04/09). Sedangkan menurut Mbak FTR, “ Gak nunda. Lha ngapa
nunda selax tuwa. Aku masih hanya nunggu aku ma calon suamiku mapan kerja
aja. “ ( W/FTR/17/05/09).
Keputusan menikah akan segera dilakukan oleh Mbak SR dan Mbak
FTR. Akhir tahun ini, keduanya merencanakan untuk mengakiri masa lajangnya.
Bagi Mbak SR keputusan ini membutuhkan pemikiran yang cukup sulit dan
cukup lama. Bukan karena pengaruh siapapun akhirnya dia memutuskan untuk
menikah. Faktor utama yang mempengaruhi adalah faktor usia. Usia di sini bukan
karena usianya yang dibilang sudah mapan dan pantas untuk menikah. Tetapi dia
memertimbangkan soal reproduksi.
“ untuk akhirnya memutuskan menikah bukan perkara mudah. Bagi perempuan usia 26 tahun adalah masa reproduksi yang tepat. Ya kalo habis nikah langsung dapat anak. Kalau enggak ? jadi njagani aja. Kan biar jarak sama anak enggak terlalu jauh. Kalau aku udah tua dan pensiun, trus anakku masih kecil yang mau ngasih makan trus sapa ?“ ( W/SR/26/04/09)
80
Pertimbangan yang dimaksud Mbak SR berkaitan dengan perkembangan
kehidupan mendatang bagi dirinya dan anak-anaknya. Artinya pertimbangan dari
segi usia dan bagaimana pemenuhan kebutuhan hidup bagi keluarga dan
kesejahteraan bagi anak nantinya menjadi bahan pertimbangan untuk akhirnya
menentukan perkawinan.
Sedangkan untuk Mbak FTR, perkawinan pun tak pelak sudah menjadi
agendanya tahun ini. Beberapa bulan lalu acara tunangan yang diyakini sebagai
simbol ikatan awal pun sudah dilalui. Apalagi menurutnya calon suaminya pun
sudah kerja matang, “ Lha gimana. Pacarku uda lulus kuliah. Gek malah cepet
banget dadi PNS. Aku juga udah kerja. Trus nunggu apa meneh...ya modale
lumayan udah ada lah”(W/FTR/17/05/09).
Keputusan melajang memiliki konotasi yang dapat dimaknai secara
berbeda-beda. Namun secara umum melajang berkaitan dengan bagaimana cara
seseorang untuk mengatur dan menentukan hidupnya sendiri tanpa pengaruh dan
pertimbangan dari orang lain. Kebanyakan dari perempuan lajang lebih memilih
untuk menunda perkawinan, karena mereka lebih banyak memiliki waktu dan
kesempatan untuk mempertimbangkan hal-hal yang memang penting dalam
hubungannya dengan perkawinan. Mereka memiliki kekuasaan yang mutlak
terhadap diri mereka sendiri, sehingga segala apa yang mereka lakukan memang
menjadi keputusan yang harus dipikirkan matang oleh dirinya juga.
Menjadi seorang lajang dengan status belum menikah pada usia yang
memang dianggap normal dan pantas menikah, memberikan warna dan cerita
yang berbeda dalam hubunganya dengan kehidupan sosial masyarakat. Manusia
adalah makhluk sosial yang terlahir secara naluriah membutuhkan bantuan dan
pertolongan orang lain. Sehingga tidak dapat dipungkiri kelangsungan hidup
seseorang juga ditentukan bagaimana proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang berada dalam suatu wilayah
tertentu kadang memiliki segenap “aturan main”, yang lantas dimaknai sebagai
aturan kultural. Untuk dapat diakui eksistensinya serta dianggap “wajar” dalam
masyarakat, orang senantiasa harus mematuhi aturan-aturan kultural tersebut, agar
81
dia tetap dapat terakui dalam kelompoknya. Ini biasanya terjadi pada masyarakat
yang masih memiliki pola pikir yang rasional.
Ada berbagai aktivitas sosial, yang selalu dibungkus atas nama aturan-
aturan kultural, sama halnya dengan perkawinan. Perkawinan menjadi perkara
yang memiliki kajian yang cukup pelik dalam masyarakat. Ada sejumlah aturan di
dalamnya mulai dari menentukan kapan harus menikah, dengan siapa menikah,
prosesi atau ritual dalam perkawinan itu sendiri sampai pada bagaimana proses
hidup sesudah perkawinan tersebut banyak diliputi aturan-aturan kultural.
Untuk di Sukoharjo sendiri, sebagai daerah yang terus mengalami
perkembangan, tidak lepas dari perubahan sistem/pola-pola sosial masyarakatnya.
Terdapat pula perbedaan atau perubahan dalam menentukan usia perkawinan.
Berada dalam kawasan tempat tinggal yang cukup ramai dan cukup padat dengan
berbagai aktivitas publik, tidak membuat masyarakat memiliki pandangan yang
lebih modern. Termasuk dalam urusan memutuskan untuk melakukan
perkawinan. Dari keenam responden memberikan pernyataan yang hampir sama.
Kadang mereka mendapati pernyataan yang sedikit sumbang dari masyarakat atau
keluarga sekitar. Seperti yang dikatakan oleh Mbak FTR, “ Ya gak ekstrim
sih..paling ditanya kapan nikah??selak tua lho. Tapi ne aku yo bodo amat dik “ (
W/FTR/ 17/05/09). Rata-rata usia perkawinan di daerah mereka adalah 20 tahun
bagi perempuan ataupun ketika sudah lulus kuliah, dan untuk laki-laki pada umur
23-24 tahun atau yang penting sudah bekerja.
Ketika disinggung mengenai anggapan ataupun label miring yang
mungkin dilontarkan pada keduanya sebagai perempuan tak laku atau perawaan
tua karena belum melakukan perkawinan pada usia mendekati 30 tahun, dengan
jujur keenam informan inipun mengatakan kadang memang merasa khawatir
menanggapi label seperti itu. Apalagi semua orang mengamini anggapan bahwa
perawan tua memiliki konotasi yang buruk, walaupun secara nyata tak selamanya
seperti itu. Pelabelan tersebut nantinya juga tidak hanya mengusik kehidupan
pribadinya saja, namun juga kehidupan keluarganya. Namun beruntunglah karena
mereka berada ditengah keluarga yang selalu menghormati keputusan masing-
masing anggota keluaraga lainnya. Awalnya menurut mereka orang tuanya juga
82
kadang memang ribut dan seringkali mencerca dengan pertanyaan yang sama
“kapan kawin?”. Namun seiring berjalannya waktu mereka kemudian meyadari
hal tersebut menjadi urusan pribadi yang tidak berhak diatur dan dicampuri orang
lain.
Bukan hanya karena ingin terbebas dari citra negatif
masyarakat/pelabelan yag kurang menyenangkan, mereka harus mengikuti apa
yang diinginkan masyarakat termasuk halnya dalam memutuskan untuk menikah
atau tidak. Ada kalanya perlu juga untuk menutup telinga dan membiarkan orang
merasa puas membicarakan apa yang menurut mereka lemah atau buruk tentang
kita. Soal perkawinan adalah menjadi urusan yang sangat sensitif dan tidak berhak
dicampuri oleh orang lain/masyarakat lain. Kadang kita juga perlu bersikap
individual dan egois jika merasa apa yang kita lakukan memang terbaik untuk kita
dan tidak mengganggu kemaslahatan orang lain/orang banyak.
Perkawinan merupakan bagian dari kompleksitas budaya yang memiliki
nilai dan fungsi yang beraneka. Baik itu mulai dari proses ritual dari perkawinan
itu sendiri sampai pada proses yang berhubungan dengan kepentingan sosial.
Perkawinan adalah bentuk ikatan atau penyatuan antara laki-laki dan perempuan
yang menurut perkembangannya dapat dilakukan dengan negosiasi yang baik dari
kedua belah pihak yang melakukan perkawinan. Bagi perempuan lajang di
Sukoharjo, berbagai negosiasi dan kesepakatan ini yang utama adalah berkenaan
dengan hubungan antara personal pelaku perkawinan walaupun memang
hubungan antar keluarga juga menjadi bagian penting.
Dengan adanya negosiasi ini lantas perkawinan dilakukan dengan
berbagai pertimbangan yang matang. Bagi perempuan lajang yang bekerja di
Sukoharajo, pertimbangan ini lebih ditekankan pada adanya kesiapan secara
material ataupun kesiapan secara mental dan sosial. Sehingga perkawinan bukan
hanya perkara penyatuan manusia secara biologis ketika sudah memasuki usia
dewasa. Berbagai pertimbangan yang mengiringi pelaksanaan perkwinan ini
lantas membuat para perempuan seolah menunda waktu perkawinan sampai
mereka merasa sudah memiliki kesiapan secara penuh.
83
Hal ini dipengarauhi oleh perkembangan pemikiran para perempuan ke
arah yag lebih kompleks. Modernktas dan feminisme secara tidak langsng
membawa pengaruh dalam membuka pemikiran perempuan akan pentingnya
berkecimpung dalam dunia kerja dan pendidikan. Lewat kerja dan pendidikan
maka perempuan akan memiliki banyak pertimbangan dalam memutuskan
perkawinan. Baik pertimbangan dari segi material, maupun hubungan personal
dan sosial yang semuanya dilakukan dalam rangka mewujudkan fungsi dan tujuan
perkawinan.
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dipadukan dengan analisis data pada bab
sebelumnya, maka dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkawinan menjadi bagian dari kompleksitas budaya manusia , yang menjadi
bagian pula dari siklus hidup manusia. Sebagai bagian dari siklus hidup,
perkawinan menjadi perkara krusial yang dilakukan dengan berbagai tujuan
ataupun makna yang menyertai. Sama halnya dengan ( sebagian besar)
perempuan lajang yang bekerja di wilayah kecamatan Sukoharjo. Perkawinan
menjadi hal yang krusial yang dilakukan dengan pemikiran tertentu dan
pemaknaan yang membutuhkan berbagai pertimbangan. Ada dua makna yang
diutarakan oleh keenam responden dalam memaknai perkawinan :
a. Perkawinan dimaknai sebagai penyatuan antara dua orang individu yang
akan membentuk suatu relasi sosial baru,menjadi suatu kesatuan personal
yang disepakati bersama antara laki-laki dan perempuan secara sah. Ini
berarti bahwa perkawinan adalah hubungan antara laki-laki dan
84
perempuan secara sah baik lahir maupun batin yang membutuhkan
legalisasi/ legitimasi hukum tertentu, baik secara hukum negara maupun
hukum agama. Legalisasi yang dimaksud adalah adanya keabsahan
perkawinan dengan diperolehnya surat nikah yang tercatat di KUA tentang
perkawinan kedua orang laki-laki dan perempuan, dan tersimpan sebagai
arsip negara. Legitimasi perkawinan sangat penting (dalam perempuan)
karena di dalamnya terdapat pola /ikatan-ikatan tertentu yang mengatur
hubungan perkawinan tersebut. Misalnya pengaturan tentang hak dan
kewajiban suami istri, tentang pembagian harta bersama ataupun perkara
keturunan hasil perkawinan ( anak).
b. Pengertian perkawinan didefinisikan sebagai sebuah penyatuan yang
dimasuki oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan harapan dapat
membagi kehidupan secara bersama. Jadi perkawinan sebagai sarana atau
tempat untuk menyatukan dua orang individu menjadi satu kesatuan hidup
bersama dan membagi segala aktivitas hubungan perkawinan secara
bersama. Hal ini mengadung arti bahwa adanya hubungan perkawinan
mengharapkan adanya kebersamaan untuk menghindari konflik sekecil
apapun sehingga tidak akan terjadi silih pendapat yang akan mengganggu
kehidupan perkawinan dan akan lebih mudah mewujudkan tujuan yang
diinginkan.
2 Makna dan definisi perkawinan mengalami perubahan, pergeseran atau
perbedaan jika dibandingkan dengan kehidupan perempuan jaman dahulu
( dalam konteks tahun 1970-an). Perkawinan dilakukan segera ketika
perempuan telah memasuki masa dewasa yang ditandai dengan haidnya yang
pertama. Pada masa inilah perempuan dianggap telah siap secara reproduksi,
walaupun memang secara material ataupun psikis terkadang belum siap.
Namun keadaan ini mengalami perubahan. Ketika wacana tentang perempuan
mulai mengemuka, pola pikir yang kian kompleks membuat para perempuan
mulai berfikir rasional. Dengan demikian perkawinan dilakukan dengan
85
berbagai pertimbangan yang memang telah dipikir secara maksimal terlebih
dahulu oleh pelakunya. Inilah mungkin salah satu hal yang menyebabkan
perempuan lajang yang sudah bekerja dianggap menunda perkawinan.
Setidaknya hal ini mereka lakukan karena beberapa hal ( atau pertimbangan ) :
a. Mulai terbukanya pendidikan yang luas, membuat banyak perempuan yang
akhirnya berlomba untuk memperoleh pendidikan tinggi, sampai pada
tingkat sarjana. Ini dilakukan karena sebagai bagian dari aktualisasi diri
dan proses untuk menemukan berbagai ilmu dan pengetahuan yang dapat
menjadi bekal kehidupan di masa datang. Jadi tidak heran jika para
informan telah menyelesaikan gelar strata satunya, bahkan ada beberapa
dari mereka yang telah memulai pendidikan magisternya. Ini menunjukkan
bahwa pendidikan menjadi salah satu hal yang kemudian dipikirkan
sebelum akhirnya memikirkan perkawinan.
b. Pekerjaan juga disinyalir sebagai hal yang menyebabkan penundaan
perkawinan. Lewat pendidikan dan bekal keterampilan yang matang,
mereka akan berusaha untuk menyalurkan berbagai keterampilannya agar
memperoleh pekerjaan yang memang sesuai. Apalagi saat ini makin
terbuka lebar kesempatan perempuan untuk bergerak dalam berbagai
bidang usaha. Mereka meyakini bahwa bekerja sebagai bagian dari
aktualisasi diri, disamping keinginan untuk memperoleh material. Ketika
perempuan telah memiliki posisi tempat kerja yang stabil atau nyaman,
maka akan terus terjadi keinginan untuk memperoleh tingkat pendidikan
yang lebih tinggi. Fokus dan optimalisasi dalam dunia kerja ini yang
menyebabkan mereka menganggap perkawinan bukan perkara yang sangat
penting untuk dipikirkan.
c. Belum menemukan pasangan atau jodoh yang tepat kadang juga menjadi
alasan klise mengapa para perempuan lajang yang bekerja tersebut masih
menunda perkawinan. Ketika pemikiran mereka berkembang maka
keinginan untuk memperoleh pasangan yang ideal pun semakin tinggi.
Akhirnya yang terjadi adalah mereka terus menyeleksi dan memilih
86
pasangan yang sesuai dengan keinginan mereka. Baik itu kemapanan
secara material, maupun secara pekerjaan dan fisik.
d. Kematangan atau kesiapan diri juga menjadi alasan perempuan lajang
yang bekerja masih menunda perkawinan. Perkawinan bagi mereka tentu
akan melibatkan emosi dan proses penyatuan dan penyeimbangan yang
tidak mudah.. Sehingga persiapan secara mental atau persiapan secara
batin untuk menyandang posisi atau dunia baru ketika melakukan
perkawinan juga menjadi bahan pemikiran mereka sebelum akhirnya
memutuskan untuk melakukan perkawinan.
B. Implikasi
1. Implikasi secara teoritis
a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam tentang makna dan alasan
bagi perempuan dalam melaksanakan perkawinan. Perkawinan menjadi
hal yang dapat dinegosiasikan bersama oleh kedua belah pihak yang akan
melakukan perkawinan. Bagi perempuan masa kini, perkawinan menjadi
hal yang butuh pertimbangan yang matang, karena didalamnya terdapat
proses atau hal-hal baru yang menjadi kesepakatan bersama.
b. Menguji kebenaran serta memantapkan keberadaan teori-teori sosiologi
dan antropologi terutama yang berkaitan dengan teori tentang perkawinan
sebagai bagian dari kompleksitas budaya manusia. Yang selanjutnya tidak
hanya dikaji masalah yang berhubungan dengan tradisi, melainkan faktor
pendorong atau pelaksanaan perkawinan juga menjadi kajian yang penting
dibahas.
c. Dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti yang lain tentang berbagai
hal yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat maupun tentang
perkawinan.
2. Implikasi secara praktis
87
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana baru yang dapat
dijadikan sebagai referensi dari berbagai wacana tentang perkawinan,
yang dipandang dari perspektif perempuan.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam memecahkan
berbagai permasalahan yang terkait dengan masalah perempuan,
terutama berhubungan dengan keputusan dalam melakukan perkawinan.
c. Memberikan stimulus pada masyarakat agar lebih bersikap peka dan
kritis terhadap perubahan yang terjadi, sehingga setiap masalah baru
yang muncul dari pergeseran budaya atau norma dapat ditanggapi dan
disikapi tanpa perlawanan atau hal-hal yang negatif.
d. Mengajak untuk bersikap lebih terbuka dalam menerima berbagai bentuk
wacana baru yang terjadi dalam masyarakat.
C. Saran
Dari hasil temuan dan analisis data di atas, ada beberapa hal yang dapat
dijadikan sebagai masukan, antara lain:
1. Bagi masyarakat
a. Perkawinan hendaknya dipahami tujuan utamanya sehingga proses dalam
perkawinan dan membentuk keluarga akan berjalan dengan baik
kedepannya.
b. Ketika akan melakukan perkawinan hendaknya dilakukan dengan berbagai
pertimbangan mulai dari kesiapan secara materi maupun kesiapan secara
mental.
c. Orang tua hendaknya memberikan kesempatan bagi anak untuk
menentukan sendiri pilihannya dalam menentukan pasangan hidupnya.
2. Bagi kalangan akademisi
Bagi kalangan akademisi ketika mengkaji masalah sosial hendaknya
lebih kritis dan memandang suatu fenomena dari berbagai sudut, sehingga
tidak akan timbul subjekativitas dalam memaknai suatu fenomena sosial.
88
Recommended