View
117
Download
10
Category
Preview:
DESCRIPTION
dddddddddddddddddddddddddddddd ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd d
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif dan kronis, yang memerlukan
pengobatan jangka panjang dan perawatan pasien secara mandiri, untuk dapat mencegah efek
komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. Diagnosis DM ditegakkan bila pemeriksaan
gula darah puasa > 126 mg/dl dan/atau gula darah 2 jam setelah makan > 200 mg/dl.
Angka prevalensi DM di dunia telah mencapai jumlah wabah atau EPIDEMI. WHO
memperkirakan pada negara berkembang pada tahun 2025 akan muncul 80% kasus baru
(Diabetes Atlas, 2006). Saat ini, DM di tingkat dunia diperkirakan lebih dari 230 juta, hampir
mencapai proporsi 6% dari populasi orang dewasa.
Diperkirakan 20 tahun mendatang jumlah penderita DM akan mencapai 350 juta. Setiap 10
detik ada orang yang meninggal terkait dengan DM. DM merupakan penyakit epidemi
tersembunyi yang memakan korban setiap tahunnya setara dengan angka kematian yang
disebabkan oleh HIV/AIDS. Th 2007 diperkirakan menyebabkan angka kematian 3,5 juta
orang.
DM Tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor genetik dan/atau lingkungan, yang
biasanya muncul saat usia dewasa. DMT2 bertanggung jawab atas 90-95% kasus DM.
Amputasi sampai 1 juta tindakan setiap tahunnya, katarak, dan paling tidak ada 5% kebutaan
di tingkat dunia terkait dengan retinopati diabetik. DM menjadi penyebab tersering dari
Gagal Ginjal pada negara berkembang dan bertanggung jawab terhadap tingginya angka
biaya hemodialisis. WHO memperkirakan di tahun 2000 jumlah penderita DM di Indonesia
8,426,000, dan di tahun 2030 diperkirakan mencapai 21,257,000. Menurut Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS), yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan Indonesia, hasil angka
kejadian DM pada orang dewasa Indonesia 5,7%.
DMT2 merupakan penyakit yang progresif, saat terdiagnosis pertama kali sebenarnya jumlah
sel-sel beta pankreas diperkirakan sudah tinggal 45%, dan dengan berjalannya waktu maka
jumlah tersebut makin lama makin berkurang. Obat yang bisa menghentikan progresi tas DM
sampai saat ini belum diketemukan. Menurut laporan penelitian United Kingdom Prospective
Study (UKPDS), 6 tahun sejak DM ditemukan maka 50% pasien akan memerlukan injeksi
Insulin untuk bisa mencapai gula darah yang normal (UKPDS, 1995). Apakah terapi insulin
mudah dilaksanakan? Masih banyak fobia insulin di kalangan pasien dan dokter: Pasien
masih banyak yang menolak terapi insulin, meskipun indikasi klinik sudah ada. Komplikasi
kronik berat sering ditemui akibat keterlambatan atau keengganan pasien menjalani terapi
insulin.
Berbagai kendala terapi insulin meliputi hal-hal dibawah ini:
1) Insulin menyebabkan ketergantungan;
2) Insulin hanya untuk DM yang berat;
3) Insulin merusak ginjal; dan 4) Insulin dapat mematikan, ada pasien yang
meninggal setelah disuntik insulin.
Pemberian Insulin seringkali baru dimulai jika sudah terjadi komplikasi, padahal dengan
pemberian insulin saat terapi oral sudah tidak memberikan respon memuaskan, maka
komplikasi DM pun dapat dicegah. Terapi Insulin memungkinkan para diabetisi dapat
mengatur kontrol gula darah secara eksibel sesuai dengan aktivitas hidup yang sangat
bervariasi dari hari ke hari.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Teori DM
Pengertian
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)
Etiologi
1. Diabetes tipe I :
o Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan
genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
o Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan
insulin endogen.
o Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
2. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses
terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
o Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
o Obesitas
o Riwayat keluarga
Anatomi Fisiologi Pankreas
Anatomi
Terletak retroperitoneal melintang di abdomen bagian atas dengan panjang ± 25 cm, dan
berat 120 g
Terdiri dari:
Caput
Leher
Corpus
Cauda
Proc uncinatus (bag caput yg menonjol ke bwh)
Caput
o Meliputi v.cava setinggi L2
o Bagian posterior bertetangga dengan ginjal kanan, v.renalis, gl.adrenalis
o Bagian lat berelasi ke bagian medial dari duodenum
Ductus biliaris communis masuk dari bagian atas dan belakang dari caput pankreas dan
bermuara ke bagian kedua dari duodenum
Aliran darah:
o A.coeliaca, A.mesenterica sup dan cabang-cabang a.pancreaticoduodenalis memberi darah
untuk caput
o A.pancreatico dorsal memberi darah untuk leher dan corpus
o A.pancreatico caidalis memberi darah untuk cauda
Jalannya vena mengikuti arteri dan bermuara ke vena porta
Getah bening berhubungan langsung antara jaringan getah bening pankreas dengan ductus
thoracicus merupakan rute utama insulin (masuk ke duct.thoracicus)
Tahun 1903 OPTE ada saluran bersama:
Ductus pankreas dan ductus biliaris communis refluks dari empedu masuk ke dalam duct
pancreaticus terjadi pancreatitis (fatal) akibatnya enzym keluar karena trauma, enzimnya
memakan semua fatal
Autopsi : 70 – 80% memperkuat penemuan OPTE
Banyak variasi antara:
1. Duct Santorini
2. Duct Wirsungi
Umumnya duct.santorini < Duct wirsungi
Duct santorini mengairi bagian atas caput pankreas
Persarafan
1. Saraf-saraf simpatis
2. Cabang-cabang N.vagus
Nyeri oleh caput pankreas menyebar ke paramedia kanan
Nyeri oleh corpus pankreas menyebar ke epigastrik
Nyeri oleh cauda pankreas menyebar ke seluruh abdomen kiri
Pancreatitis acuta: menyebar ke abdomen bagian atas dan ke lumbal atas seperti ikat
pinggang
Secara Mikroskopis
Ada 2 fungsi pankreas:
1. Eksokrin fungsi sama seperti kelenjar ludah
2. Endokrin, terdiri dari 3 jenis sel:
a. α cell
o memproduksi
glukagon
meningkatkan glukagon
menurunkan kadar glukosa
Hyperglycemic factor
o sel bulat dg dinding tipis
b. β cell
o memproduksi insulin
o Hypoglycemic factor
o bertentangan dengan sel α
menurunkan glukagon
meningkatkan glukosa
c. ∂ cell – belum diketahui
Ketiga macam sel ini terdapat di pulau-pulau langerhans: ± 200 rb – 2 juta sel
Bagian corpus dan cauda memiliki pulau langerhans lebih banyak dibanding caput
Fisiologis
Endokrin β cell menghasilkan insulin
α cell menghasilkan glukagon
Eksokrin
o Terdapat ± 9 enzim, jg ikut membentuk protein
o Mengandung banyak elektrolit
o Menghasilkan bikarbonat (menetralisir asam lambung yang masuk ke duodenum)
Ada 3 hormon untuk menstimulasi sekresi pankreas:
1. Sekretin
Dihasilkan oleh duodenum dan merangsang pengeluaran bikarbonat
2. Pancreozymin
Dihasilkan oleh duodenum dan mungkin juga oleh jejunum dan anthrum di lambung
Makanan yang masuk akan merangsang sel-sel duodenum mengeluarkan pancreozymin
merangsang pankreas
3. Gastrin
Merangsang asam lambung dan pankreas
Terdapat gastrin I dan II
Hormon yang lain adalah Cholecystokinin – menyebabkan relaksasi sphincter pankreas
dan ductus choledochus
Patofisiologi
1. Diabetes Tipe I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel ? pankreas telah
dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial
(sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin
(glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
2. Diabetes Tipe II
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus
pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah
harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel ? tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan
meningkat danterjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabtes tipe II,
namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.
Meskipun demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi
glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan
tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas,
poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang
kabur.
Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya
tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi
degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan
patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa
gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah
adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan
otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan
adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10.Neuropati viseral
11.Amiotropi
12.Ulkus Neurotropik
13.Penyakit ginjal
14.Penyakit pembuluh darah perifer
15.Penyakit koroner
16.Penyakit pembuluh darah otak
17.Hipertensi
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi,
dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin.
Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi
adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium
lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia
lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang
tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan
gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi
dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan
berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak
bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan
dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.
Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl).
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena :
o <100
o 100 - 200 = belum pasti DM
o >200 = DM
Darah kapiler :
o <80
o 80 - 100 = belum pasti DM
o > 200 = DM
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena :
o <110>
o 110 - 120 = belum pasti DM
o > 120 = DM
Darah kapiler :
o <90>
o 90 - 110 = belum pasti DM
o > 110 = DM
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75
gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl).
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati.
Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan
Pengkajian
o Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
o Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis
apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien
untuk menanggulangi penyakitnya.
o Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
o Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada
kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
o Integritas Ego
Stress, ansietas
o Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
o Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan
diuretik.
o Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan
penglihatan.
o Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
o Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
o Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Masalah Keperawatan
1) Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
2) Kekurangan volume cairan
3) Gangguan integritas kulit
4) Resiko terjadi injury
Intervensi
1) Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan
masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
o Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
o Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
- Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
- Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang
dapat dihabiskan pasien.
- Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan
makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
- Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan
segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
- Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
- Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit
lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
- Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
- Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
- Kolaborasi dengan ahli diet.
2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer
dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan
kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
- Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
- Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
- Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
- Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
- Pantau masukan dan pengeluaran
- Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang
dapat ditoleransi jantung
- Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
- Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
- Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau
pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati
perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :
- Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti
balut.
- Kaji tanda vital
- Kaji adanya nyeri
- Lakukan perawatan luka
- Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
- Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
4) Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
- Hindarkan lantai yang licin.
- Gunakan bed yang rendah.
- Orientasikan klien dengan ruangan.
- Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
- Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
B. Teori Model Calista Roy
Model konsep adaptasi pertama kali dikemukakan oleh Suster Calista Roy (1969) yang
lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939. Konsep ini dikembangkan dari konsep
individu dan proses adaptasi seperti diuraikan di bawah ini.
Asumsi dasar model adaptasi Roy adalah :
1. Manusia adalah keseluruhan dari biopsikologi dan sosial yang terus-menerus berinteraksi
dengan lingkungan.
2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-perubahan
biopsikososial.
3. Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas kemampuan untuk
beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan respon terhadap semua rangsangan baik
positif maupun negatif.
4. Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, jika
seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia mempunyai kemampuan
untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.
5. Sehat dan sakit merupakan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan
manusia.
Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy (1984) sebagai penerima asuhan keperawatan
adalah individu, keluarga, kelompok, masyarakat yang dipandang sebagai “Holistic
adaptif system”dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan.
System adalah Suatu kesatuan yang di hubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan
untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya.
System terdiri dari proses input, autput, kontrol dan umpan balik ( Roy, 1991 ), dengan
penjelasan sebagai berikut :
1. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi,
bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi
dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual.
a) Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang, efeknya
segera, misalnya infeksi .
b) Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal
maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara
subyektif dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat
menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.
c) Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada
tetapi sukar untuk diobservasi meliputi kepercayan, sikap, sifat individu berkembang
sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya
pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang tidak.
2. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di
gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang merupakan
subsistem.
a) Subsistem regulator
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen : input-proses dan output. Input
stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural
atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord
yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis
yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.
b) Subsistem kognator
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku output dari
regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator subsistem.
Kognator kontrol proses berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,
penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal
dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses
imitasi, reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam).
Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang
berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk
mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang.
3. Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapt di amati, diukur atau secara subyektif
dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar . Perilaku ini merupakan
umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang
adaptif atau respon yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan
integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut
mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup,
perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon yang mal adaptif perilaku
yang tidak mendukung tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol
seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa mekanisme koping diwariskan atau
diturunkan secara genetik (misal sel darah putih) sebagai sistem pertahanan terhadap
bakteri yang menyerang tubuh. Mekanisme yang lain yang dapat dipelajari seperti
penggunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu
Keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut Regulator dan Kognator
dan mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memahami konsep model ini, Callista Roy mengemukakan konsep keperawatan
dengan model adaptasi yang memiliki beberapa pandangan atau keyakinan serta nilai
yang dimilikinya diantaranya:
a. Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan social yang selalu berinteraksi dengan
lingkungannya.
b. Untuk mencapai suatu homeostatis atau terintegrasi, seseorang harus beradaptasi sesuai
dengan perubahan yang terjadi.
c. Terdapat tiga tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan oleh roy, diantaranya:
Focal stimulasi yaitu stimulus yang langsung beradaptasi dengan seseorang dan akan
mempunyai pengaruh kuat terhadap seseorang individu.
Kontekstual stimulus, merupakan stimulus lain yang dialami seseorang, dan baik
stimulus internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi, kemudian dapat
dilakukan observasi, diukur secara subjektif.
Residual stimulus, merupakan stimulus lain yang merupakan ciri tambahan yang ada
atau sesuai dengan situasi dalam proses penyesuaian dengan lingkungan yang sukar
dilakukan observasi.
d. System adaptasi memiliki empat mode adaptasi diantaranya:
Fungsi fisiologis, komponen system adaptasi ini yang adaptasi fisiologis diantaranya :
oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit, indera, cairan dan
elektrolit, fungsi neurologis dan fungsi endokrin.
Konsep diri yang mempunyai pengertian bagaimana seseorang mengenal pola-pola
interaksi social dalam berhubungan dengan orang lain.
Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan dengan bagaimana
peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi social dalam berhubungan dengan
orang lain.
Interdependent merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-pola tentang kasih
sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara interpersonal pada tingkat
individu maupun kelompok.
e. Dalam proses penyesuaian diri individu harus meningkatkan energi agar mampu
melaksanakan tujuan untuk kelangsungan kehidupan, perkembangan, reproduksi dan
keunggulan sehingga proses ini memiliki tujuan meningkatkan respon adaptasi.
Teori adaptasi sister Callista Roy memandang klien sebagai suatu system adaptasi.
Sesuai dengan model Roy, tujuan dari keperawatan adalah membantu seseorang untuk
beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan
hubungan interdependensi selama sehat dan sakit (Marriner-Tomery,1994). Kebutuhan
asuhan keperawatan muncul ketika klien tidak dapat beradaptasi terhadap kebutuhan
lingkungan internal dan eksternal. Seluruh individu harus beradaptasi terhadap
kebutuhan berikut :
Pemenuhan kebutuhan fisiologis dasar
Pengembangan konsep diri positif
Penampilan peran sosial
Pencapaian keseimbangan antara kemandirian dan ketergantungan
Perawat menetukan kebutuhan di atas menyebabkan timbulnya masalah bagi klien dan
mengkaji bagaimana klien beradaptasi terhadap hal tersebut. Kemudian asuhan
keperawatan diberikan dengan tujuan untuk membantu klien beradaptasi.
Skema . Sister Callista Roy (1984), dikutip dari Alligood dan Tomey (2006)
Menurut Roy terdapat empat objek utama dalam ilmu keperawatan, yaitu :
1. Manusia (individu yang mendapatkan asuhan keperawatan)
Roy menyatakan bahwa penerima jasa asuhan keperawatan individu, keluarga,
kelompok, komunitas atau social. Masing-masing dilakukan oleh perawat sebagai system
adaptasi yang holistic dan terbuka. System terbuka tersebut berdampak terhadap
perubahan yang konstan terhadap informasi, kejadian, energi antara system dan
lingkungan. Interaksi yang konstan antara individu dan lingkungan dicirikan oleh
perubahan internal dan eksternal. Dengan perubahan tersebut individu harus
mempertahankan intergritas dirinya, dimana setiap individu secara kontinyu beradaptasi.
Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif. Sebagai sistem
adaptif, manusia dapat digambarkan secara holistik sebagai satu kesatuan yang
mempunyai input, kontrol, out put dan proses umpan balik. Proses kontrol adalah
mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan cara- cara adaptasi. Lebih spesifik
manusia didefenisikan sebagai sebuah sistem adaptif dengan aktivitas kognator dan
regulator untuk mempertahankan adaptasi dalam empat cara-cara adaptasi yaitu : fungsi
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Dalam model adaptasi keperawatan, manusia dijelaskan sebagai suatu sistem yang hidup,
terbuka dan adaptif yang dapat mengalami kekuatan dan zat dengan perubahan
lingkungan. Sebagai sistem adaptif manusia dapat digambarkan dalam istilah
karakteristik sistem, jadi manusia dilihat sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan
antara unit fungsional secara keseluruhan atau beberapa unit fungsional untuk beberapa
tujuan. Input pada manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah dengan menerima
masukan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Input atau
stimulus termasuk variabel standar yang berlawanan yang umpan baliknya dapat
dibandingkan. Variabel standar ini adalah stimulus internal yang mempunyai tingkat
adaptasi dan mewakili dari rentang stimulus manusia yang dapat ditoleransi dengan
usaha-usaha yang biasa dilakukan. Proses kontrol manusia sebagai suatu sistem adaptasi
adalah mekanisme koping. Dua mekanisme koping yang telah diidentifikasi yaitu :
subsistem regulator dan subsistem kognator.
2. Keperawatan
Keperawatan adalah bentuk pelayanan professional berupa pemenuhan kebutuhan dasar
dan diberikan kepada individu baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik,
psikis dan social agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Roy mendefinisikan bahwa tujuan keperawatan adalah meningkatkan respon adaptasi
berhubungan dengan empat mode respon adaptasi. Perubahan internal dan eksternal dan
stimulus input tergantung dari kondisi koping individu. Kondisi koping seseorang atau
keadaan koping seseorang merupakan tingkat adaptasi seseorang. Tingkat adaptasi
seseorang akan ditentukan oleh stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Fokal adalah
suatu respon yang diberikan secara langsung terhadap ancaman/input yang masuk.
Penggunaan fokal pada umumnya tergantung tingkat perubahan yang berdampak
terhadap seseorang. Stimulus kontekstual adalah semua stimulus lain seseorang baik
internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur, dan
secara subjektif disampaikan oleh individu. Stimulus residual adalah
karakteristik/riwayat dari seseorang yang ada dan timbul releva dengan situasi yang
dihadapi tetapi sulit diukur secara objektif.
3. Konsep sehat
Roy mendefinisikan sehat sebagai suatu continuum dari meninggal sampai tingkatan
tertinggi sehat. Dia menekankan bahwa sehat merupakan suatu keadaan dan proses
dalam upaya dan menjadikan dirinya secara terintegrasisecara keseluruhan, fisik, mental
dan social. Integritas adaptasi individu dimanifestasikan oleh kemampuan individu untuk
memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi.
Sakit adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk beradapatasi terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu. Kondisi sehat dan sakit sangat
individual dipersepsikan oleh individu. Kemampuan seseorang dalam beradaptasi
(koping) tergantung dari latar belakang individu tersebut dalam mengartikan dan
mempersepsikan sehat-sakit, misalnya tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, budaya dan
lain-
4. Konsep lingkungan
Roy mendefinisikan lingkungan sebagai semua kondisi yang berasal dari internal dan
eksternal,yang mempengaruhi dan berakibat terhadap perkembangan dari perilaku
seseorang dan kelompok. Lingkunan eksternal dapat berupa fisik, kimiawi, ataupun
psikologis yang diterima individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman. Sedangkan
lingkungan internal adalah keadaan proses mental dalam tubuh individu (berupa
pengalaman, kemampuan emosioanal, kepribadian) dan proses stressor biologis (sel
maupun molekul) yang berasal dari dalam tubuh individu.manifestasi yang tampak akan
tercermin dari perilaku individu sebagai suatu respons. Dengan pemahaman yang baik
tentang lingkungan akan membantu perawat dalam meningkatkan adaptasi dalam
merubah dan mengurangi resiko akibat dari lingkungan sekitar.
Model adaptasi Roy memberikan petunjuk untuk perawat dalam mengembangkan proses
keperawatan. Elemen dalam proses keperawatan menurut Roy meliputi pengkajian tahap
pertama dan kedua, diagnosa, tujuan, intervensi, dan evaluasi, langkah-langkah tersebut
sama dengan proses keperawatan secara umum.
a) Pengkajian
Roy merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengkajian tahap I
dan pengkajian tahap II. Pengkajian pertama meliputi pengumpulan data tentang perilaku
klien sebagai suatu system adaptif berhubungan dengan masing-masing mode adaptasi:
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan ketergantungan. Oleh karena itu pengkajian
pertama diartikan sebagai pengkajian perilaku,yaitu pengkajian klien terhadap masing-
masing mode adaptasi secara sistematik dan holistic.
Setelah pengkajian pertama, perawat menganalisa pola perubahan perilaku klien tentang
ketidak efektifan respon atau respon adaptif yang memerlukan dukungan perawat. Jika
ditemukan ketidak efektifan respon (mal-adaptif), perawat melaksanakan pengkajian
tahap kedua. Pada tahap ini, perawat mengumpulkan data tentang stimulus fokal,
kontekstual dan residual yang berdampak terhadap klien. Menurut Martinez, factor yang
mempengaruhi respon adaptif meliputi: genetic; jenis kelamin, tahap perkembangan,
obat-obatan, alcohol, merokok, konsep diri, fungsi peran, ketergantungan, pola interaksi
social; mekanisme koping dan gaya, strea fisik dan emosi; budaya;dan lingkungan fisik
b) Perumusan diagnosa keperawatan
Roy mendefinisikan 3 metode untuk menyusun diagnosa keperawatan :
Menggunakan tipologi diagnosa yang dikembangkan oleh Roy dan berhubungan
dengan 4 mode adaptif .
Menggunakan diagnosa dengan pernyataan/mengobservasi dari perilaku yang tampak
dan berpengaruh tehadap stimulusnya
Menyimpulkan perilaku dari satu atau lebih adaptif mode berhubungan dengan
stimulus yang sama, yaitu berhubungan Misalnya jika seorang petani mengalami
nyeri dada, dimana ia bekerja di luar pada cuaca yang panas.
”
c) Perencanaan
- Merumuskan Tujuan
Tujuan adalah harapan perilaku akhir dari manusia yang dicapai. Itu dicatat merupakan
indikasi perilaku dari perkembangan adaptasi masalah pasien. Pernyataan masalah
meliputi perilaku. Pernyataan tujuan meliputi: perilaku, perubahan yang diharapkan dan
waktu. Tujuan jangka panjang menggambarkan perkembangan individu, dan proses
adaptasi terhadap masalah danm tersedianya energi untuk tujuan lain (kelangsungan
hidup, tumbuh, dan reproduksi). Tujuan jangka pendek mengidentifikasi hasil perilaku
pasien setelah managemen stimulus fokal dan kontektual. Juga keadaan perilaku pasien
itu indikasi koping dari sub sistim regulator dan kognator.
- Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan merubah atau
memanipulasi stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Pelaksanaannya juga ditujukan
kepada kemampuan klien dalam koping secara luas, supaya stimulus secara keseluruhan
dapat terjadi pada klien, sehinga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi
meningkat.
Tujuan intervensi keperawatan adalah pencapaian kondisi yang optimal, dengan
menggunakan koping yang konstruktif (Julia B.George; 1995). Intervensi ditujukan pada
peningktan kemampuan koping secara luas. Tindakan diarahkan pada subsistim regulator
(proses fisiologis/biologis) dan kognator (proses pikir. Misalnya: perspesi, pengetahuan,
pembelajaran).
d) Implementasi
Implementasi keperawatan direncanakan dengan tujuan merubah atau memanipulasi
fokal, kontextual dan residual stimuli dan juga memperluas kemampuan koping
seseorang pada zona adaptasi sehinga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi
meningkat.
e) Evaluasi
Penilaian terakhir dari proses keperawatan berdasarkan tujuan keperawatan yang
ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada
perubahan perilaku dari kriteria hasil yang ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada
individu.
DAFTAR PUSTAKA
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani,
Jakarta:EGC, 1997.
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made
Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih,
Jakarta : EGC, 1997.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin
asih, Jakarta : EGC, 2002.
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I
Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 200
Sumber:http://www.ilmukeperawatan.com
Recommended