View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Kualitas Udara Mikrobiologis pada Rumah Pemotongan Hewan dengan Parameter Jamur dan Bakteri
Cindy Ruth Maharini
1. Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 2. Unit Pelaksana Teknis Dinas Rumah Pemotongan Hewan Tapos, Depok, 16457, Indonesia
E-mail: cindyrm@live.com
Abstrak
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia seringkali belum memenuhi standar operasional, higienis dan sanitasi yang berlaku. Hal tersebut dapat menimbulkan risiko pencemaran udara mikrobiologis oleh bakteri dan jamur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas udara mikrobiologis pada RPH, serta pengaruh parameter fisik lingkungan dan jumlah hewan ternak terhadap konsentrasi mikroba di udara dengan parameter bakteri, jamur, dan bakteri E. coli. Pengambilan sampel udara mikrobiologis dilakukan sebanyak 5 kali. Sampel diambil diambil menggunakan alat EMS Bioaerosol Sampler, dengan menggunakan media TSA untuk bakteri, media MEA untuk jamur, dan media EA untuk E. coli, serta dilakukan secara triplo. Kemudian, hubungan antara jumlah hewan ternak dalam kandang hewan dan konsentrasi mikroba di udara dianalisis menggunakan uji statistik parametris dengan uji korelasi. Hasil pengukuran sampel menunjukkan konsentrasi bakteri dan jamur yang sebagian besar belum memenuhi baku mutu indoor Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/Menkes/SK/XI/2002, sementara baku mutu outdoor Polish Standard PN-Z-04111-02:1989 telah terpenuhi pada dua lokasi outdoor. Konsentrasi mikroba indoor rata-rata 2.565 CFU/m3 dan seluruh lokasi tidak memenuhi baku mutu, dan konsentrasi mikroba outdoor rata-rata 2.983 CFU/m3 . Hasil korelasi statistik menunjukkan korelasi yang kuat antara peningkatan jumlah hewan ternak dengan konsentrasi mikroba di udara dengan nilai korelasi rata-rata diatas 0,5.
Kata kunci: bakteri; baku mutu ; E. coli; jamur; kualitas udara mikrobiologis; Rumah Pemotongan Hewan
Abstract
Abattoirs (RPH) in Indonesia often do not meet operational standards, hygienic and sanitary regulations. Thus, it can pose a risk of microbiological air contamination by bacteria and fungi. This study aims to determine the microbiological air quality at the abattoir, also the influences of the physical parameters of the environment and the number of cattle on the concentration of airborne microbes with the parameters of bacteria, fungi, and E. coli. Microbiological air sampling was performed 5 times. Samples were taken using EMS Bioaerosol Sampler, using medium TSA for bacteria, MEA medium for fungi, and EA medium for E. coli, the samples were taken in triplo. Then, the correlations between the number of cattles and microbial air concentration were analyzed with statistic parametric test using the correlation test. The samples measurement showed that most of the concentrations of bacteria and fungi haven’t meet the indoor microbial air quality standard (Kemenkes No. 1405/Menkes/SK/XI/2002) and outdoor microbial air quality standard (Polish Standard PN-Z-04111-02: 1989) that has been fulfilled by two outdoor locations, with the average concentration of indoor microbial air concentration at 2.565 CFU/m3, and the average of outdoor microbial air concentration at 2.983 CFU/m3. Statistical correlation analysis showed a strong correlation between the increase of the number of cattles along with microbial air concentration by the average correlation values of above 0.5. Keywords: abattoir; bacteria; E. coli; fungi; microbiological air quality; quality standards
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Pendahuluan Hampir tiap kota di Indonesia memiliki fasilitas atau Rumah Pemotongan Hewan (RPH) masing-
masing. Tiap fasilitas pemotongan hewan memiliki luas dan kapasitas yang berbeda tiap
wilayahnya. Rumah Pemotongan Hewan pada kota-kota besar biasanya memiliki tata ruang yang
baik serta regulasi untuk menjaga kehigienisan tempat maupun hasil produksinya, bahkan tidak
sedikit yang memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sendiri. Namun tidak banyak RPH
yang sudah memenuhi kriteria tersebut, sehingga kejadian atau risiko pencemaran terhadap hasil
produksi berupa daging, maupun pencemaran yang terjadi pada tanah, air, atau udara meningkat.
Pencemaran yang terjadi biasanya ditularkan oleh daging yang tercemar sehingga dapat
menularkan penyakit zoonosis atau keracunan makanan (Foodborne disease dan Foodborne
intoxication) (Distankan, 2010). Selain pencemaran yang disebabkan hasil produksi, pencemaran
udara juga dapat terjadi pada RPH yang biasanya disebabkan oleh konsentrasi mikroba yang
terdapat di udara, sehingga dapat menimbulkan penyakit atau gejala penyakit yang ditimbulkan
oleh pencemar udara mikrobiologis (Airborne disease) (Kung'u, Airborne bacteria and mold in
slaughterhouse facilities, 2012).
Permasalahan pencemaran udara lainnya yang umum terjadi pada kawasan Rumah Pemotongan
Hewan biasanya berupa bau yang mengganggu. Bau timbul karena terdapatnya kegiatan
mikroorganisme yang menghasilkan gas-gas tertentu [Rahayu, 2013]. Bau juga dapat timbul
karena manajemen limbah yang kurang baik pada Rumah Pemotongan Hewan. Gangguan berupa
bau tersebut juga dapat timbul dari bakteri pengurai yang bekerja pada kotoran hewan,
pemrosesan kompos, maupun pada air limbah (Maat, 2015).
Rumah Pemotongan Hewan Tapos, Kota Depok merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
yang berada dibawah naungan Dinas Perikanan dan Peternakan Kota Depok. UPTD RPH Tapos,
Depok merupakan salah satu unit pelayanan publik memiliki fungsi teknis, sosial dan ekonomis,
khususnya pada proses pemotongan hewan dan peternakan unggas. Kawasan UPTD RPH Tapos,
Depok, Jawa Barat juga merupakan Rumah Pemotongan Hewan terbesar di Jawa Barat.
Dengan kapasitas yang ada, RPH ini dapat memotong hingga 100 ekor sapi per hari (Distankan,
2011). Di dalam Kawasan RPH ini terdapat beberapa rumah dinas dan kantor untuk kegiatan
administrasi RPH. Adanya rumah tempat tinggal di dalam kawasan RPH tentunya memiliki risiko
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
akan paparan mikroba di udara (bioaerosol) terhadap penghuni rumah tersebut. Bioaerosol diduga
dapat diemisikan dari fasilitas-fasilitas pada RPH seperti kandang ternak, tempat penyimpanan
rumen serta tempat pemotongan hewan.
Maka, penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui kualitas udara mikrobiologis indoor dan
outdoor dengan parameter bakteri, jamur, dan bakteri E. coli pada Kawasan UPTD RPH Tapos,
Depok; 2) Mengetahui pengaruh suhu udara, kelembapan udara dan kecepatan angin terhadap
konsentrasi mikroba di udara dalam ruangan (indoor) dan di luar ruangan (outdoor); 3)
Mengetahui hubungan antara jumlah hewan ternak pada Rumah Pemotongan Hewan terhadap
konsentrasi mikroba di udara.
Tinjauan Teoritis Secara umum, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan
komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (PP RI No.
41 tahun 1999). Selain itu, pencemaran udara juga berarti kehadiran materi yang tidak diinginkan
di udara, dalam jumlah tertentu sehingga dapat menghasilkan dampak yang merusak [Nevers,
1995].
Pencemaran udara dapat ditimbulkan berbagai macam hal, salah satunya diakibatkan oleh
konsentrasi mikroba di udara, seperti bakteri dan jamur, dalam hal ini disebut sebagai bioaerosol.
Bioaerosol merupakan mikrorganisme atau sekelompok mikroorganisme yang menempel pada
partikel cair atau padat yang ada di udara [Humberto, 2004]. Paparan akibat bioaerosol dapat
menyebabkan gangguan pernapasan dan berbagai gangguan kesehatan lainnya seperti infeksi,
pneumonitis hipersensitifitas dan keracunan [Yassin, 2010].
Beberapa kegiatan pada Rumah Pemotongan Hewan menjadi sumber utama dalam pertumbuhan
bioaerosol. Kulit dan tulang yang tersisa dari proses pemotongan dapat menjadi sumber bakteri
dan jamur di udara. Pada Rumah Pemotongan Hewan, biasanya digunakan peralatan yang
memiliki kecepatan tinggi dan sirkulasi udara yang cepat. Oleh karena itu, bakteri dan jamur
seringkali menempel pada permukaan tubuh hewan, pekerja dan berbagai peralatan yang
bertumbuh menjadi bioaerosol.
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Secara garis besar, pertumbuhan mikroba berupa bakteri dan jamur di udara paling banyak
terdapat pada area pemotongan dan pengulitan, eviserasi, immobilisasi, dan ruang
penyimpanan/pendinginan daging. Terutama apabila area tidak langsung dibersihkan sehabis
kegiatan. Selain itu, bakteri patogen dapat berasal pada kulit, membran mukus, dan usus hewan
yang terdiri dari glikogen, peptida, asam amino, ion logam dan fosfor terlarut yang membuat
jaringan otot menjadi tempat subur bagi pertumbuhan bakteri patogen [Humberto, 2004].
Jenis mikroorganisme yang terlibat dalam proses pembentukan bioaerosol di udara akibat
aktivitas pada Rumah Pemotongan Hewan adalah Salmonella, Listeria, Toxoplasma, E. coli,
Campylobacter, jamur, serta ragi (yeast) [Humberto, 2004]. Sementara itu, bakteri dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu bakteri heterotrof dan bakteri autotrof. Bakteri heterotrof hidup dengan
memakan organisme lainnya, sementara bakteri autotrof membuat makanannya sendiri dengan
melakukan fotosintesis atau kemosintesis. Sedangkan bakteri fecal coliform merupakan bakteri
yang terdapat pada feses manusia maupun hewan. Fecal coliform bersifat fakultatif anaerob,
merupakan bakteri Gram Negatif, tidak membentuk spora, berbentuk rod, juga memproduksi gas
dan asam selama 48 jam apabila dikultivasi dalam suhu 35 ℃.
Sementara itu, sebuah RPH harus berjarak sekurang-kurangnya 2-3 km dari rumah penduduk.
Lokasi sebuah RPH harus memenuhi persyaratan bahwa tidak bertentangan dengan Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dan Rencana Bagian Wilayah
Kota (RBWK). Lokasi RPH juga harus berada pada bagian kota yang tidak padat penduduk, tidak
berada di tengah kota, lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak rawan banjir, tidak berada
dekat industri logam atau kimia, serta memiliki lahan yang luas [Rianto, 2010]. RPH yang baik
wajib memiliki laboratorium bersamaan dengan bangunan RPH. Laboratorium tersebut berguna
untuk menguji kesehatan ternak dan daging yang akan didistribusikan. Hal tersebut termaktub
dalam Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Pada dasarnya beberapa peraturan yang ditetapkan untuk mengontrol aktivitas RPH telah
mengakomodasi keperluan pencegahan persebaran mikroorganisme di udara, seperti Permentan
No. 381/Kpts/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner, SNI RPH (SNI 01-6159-
1999), dan SNI RPU (SNI 01-6160-1999), serta mengikuti standar-standar operasional kegiatan
yang berlaku pada RPH. Namun beberapa hal yang menjadi fokus dalam pencegahan pencemaran
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
dan penyebaran mikroorganisme di udara adalah seputar pencahayaan, pengaturan suhu ruangan,
pengolahan limbah, perputaran udara, lokasi RPH, jarak antar ruangan, dan lain sebagainya.
Untuk mengecek kualitas udara mikrobiologis di udara, diperlukan baku mutu yang dapat
dijadikan perbandingan atau acuan. Namun, baku mutu yang khusus mengatur kualitas udara
mikrobiologis di kawasan RPH, baik indoor maupun outdoor, belum tersedia hingga saat ini di
Indonesia. Namun, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1405/Menkes/SK/XI/2002 yang mengatur tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri (Menkes, 2002) digunakan untuk lokasi penelitian indoor. Dalam
peraturan tersebut termaktub bahwa angka kuman tidak boleh melebihi 700 CFU/m3 pada lokasi
indoor. Sementara itu, baku mutu yang diterapkan pada lokasi outdoor di Polandia merujuk
kepada Polish Standard PN-Z-04111-02:1989, bahwa jumlah angka kuman tidak boleh melebihi
3.000 CFU/m3 (Michalkiewicz & Pruss, 1989).
Gambaran Umum Objek Studi RPH Tapos, Kota Depok merupakan lokasi Rumah Pemotongan Hewan yang dilengkapi dengan
kandang hewan, peternakan unggas, IPAL, beberapa kantor, serta rumah dinas. RPH Tapos
berdiri pada lahan seluas 2.6 Ha. Jumlah pegawai pada Kawasan RPH Tapos, Depok ini tidak
terlalu banyak, hanya sekitar 15-20 orang. RPH Tapos memiliki kapasitas untuk memotong
hingga 100 ekor sapi setiap harinya, namun kini kondisinya hanya terdapat sekitar 30 ekor sapi
yang dipotong setiap harinya.
Gambar 1. Denah Lokasi RPH Tapos, Depok
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Unit Pelaksana Teknis Dinas Rumah Pemotongan Hewan Tapos, Depok, Jawa Barat merupakan
pusat sarana pemotongan hewan khusus sapi di Jawa Barat. Setiap harinya Rumah Pemotongan
Hewan Tapos, Depok beroperasi dari pukul 08.00 – 22.00 WIB, dengan jam aktif operasional
pemotongan di malam hari dimulai pada pukul 19.00 WIB. Kegiatan-kegiatan yang berlangsung
pada hari-hari biasa berupa pemeliharaan hewan sapi, peternakan unggas, kegiatan pemotongan
atau penyembelihan hewan, kegiatan pengiriman pasokan daging, serta pembersihan ruangan-
ruangan sehabis pemotongan.
Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pengelola Rumah Pemotongan Hewan
Tapos, Depok, hampir sekitar 70% asal ternak pada Rumah Pemotongan Hewan ini berasal dari
Bali dan Jawa Timur. Terdapat pula hewan ternak yang berasal dari luar Pulau Jawa, namun
hanya sebagian kecil. Hewan ternak sisanya merupakan ternak impor, biasanya diimpor dari
Australia.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini tergolong sebagai penelitian kuantitatif. Teknik pengambilan sampel pada
umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian,
analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan [Sugiyono, 2011]. Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel
terkait. Variabel bebas terdiri dari: suhu; kelembapan udara; kecepatan angin; jumlah hewan
ternak pada kandang. Variabel terkait terdiri dari: jumlah bakteri; jumlah bakteri jenis E. coli;
jumlah jamur.
Populasi penelitian ini adalah konsentrasi bakteri dan jamur pada udara di UPTD RPH Tapos,
Depok. Sampel penelitian yang diambil adalah bakteri dan jamur yang dapat tumbuh pada media
kultivasi berupa agar. Untuk melakukan sampling pada penelitian ini, digunakan 3 (tiga) jenis
media. Media kultivasi yang digunakan adalah media umum Tryptic Soy Agar untuk kultivasi
bakteri, kemudian media selektif Eosin Methylene Blue Agar untuk kultivasi bakteri fecal
coliform, media selektif Endo Agar untuk kultivasi bakteri E. coli, serta media selektif Malt
Extract Agar untuk kultivasi jamur. Pengambilan sampel dilakukan secara triplo sebanyak lima
kali sampling, dengan rincian lokasi pengambilan sampel sebagai berikut:
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
No Lokasi Sampling Jenis Ruang (Indoor & Outdoor)
1 IPAL (kondisi terbuka) Outdoor 2 Ruang rumen (composting) Outdoor 3 Ruang pemotongan hewan Indoor 4 Ruang penyimpanan daging Indoor 5 Kandang hewan Outdoor 6 Rumah dinas dan kantor Outdoor 7 Kontrol 150 m dari titik sampling Outdoor
Metode sampling dilakukan dengan dua metode. Single Stage Impaction merupakan metode
sampling bioaerosol bakteri dan jamur yang menggunakan alat impactor tipe Andersen N6,
dengan spesifikasi laju alir 28,3 lpm (Zefon, 2016). Metode Open Plate digunakan untuk
mengambil sampel jenis E. coli. Lama waktu pengambilan sampel bervariasi antara 15-60 detik
untuk pengambilan sampel bioaerosol bakteri dan jamur, sementara waktu pengambilan sampel
bioaerosol E. coli mencapai 45 menit. Selanjutnya, sampel berupa udara bioaerosol yang
terperangkap dalam media kemudian akan dibawa menuju laboratorium terdekat untuk dilakukan
pertumbuhan bakteri dan jamur dengan inkubasi. Inkubasi untuk bakteri dilakukan pada suhu 35 –
37 ℃ selama 24 – 48 jam. Kemudian, inkubasi untuk bakteri E. coli dilakukan pada suhu 44,5 ℃
selama 24 – 48 jam. Sementara itu, inkubasi untuk jamur dilakukan pada suhu 25 – 27 ℃ selama
96 jam.
Setelah proses sampling, koloni jamur dan bakteri akan terperangkap pada cawan petri untuk
kemudian diinkubasikan pada waktu yang ditentukan. Waktu inkubasi untuk bakteri adalah 24 –
48 jam, sementara waktu inkubasi untuk jamur adalah 96 jam. Setelah melalui proses inkubasi,
koloni bakteri dan jamur dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Konsentrasi bakteriCFUm! =
jumlah koloni bakteri x 60 s/menitt x Q
Konsentrasi jamurCFUm! =
jumlah koloni jamur x 60 s/menitt x Q
Dimana: t = waktu (sekon)
Q = laju alir (m3/menit)
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Pada penelitian ini digunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Statistik inferensial
digunakan untuk menguji hipotesis berdasarkan data sampel. Uji hipotesis penelitian berupa
korelasi antara jumlah hewan ternak dalam kandang dan konsentrasi mikroba di udara
dirumuskan dalam bentuk Hipotesis Nol (H0) sebagai hipotesis penelitian dan Hipotesis Alternatif
(H1) sebagai hipotesis validasi. Hipotesis yang biasa diajukan dalam uji statistik adalah sebagai
berikut:
H0 : ! = 0, maka terdapat hubungan antara variabel x dan y.
H1 : ! ≠ 0, maka tidak terdapat hubungan antara variabel x dan y.
Dengan demikian, hipotesis yang dajukan pada penelitian ini adalah:
H0 : Jumlah hewan ternak dalam kandang mempengaruhi tingkat konsentrasi bakteri dan
jamur di udara.
H1 : Jumlah hewan ternak dalam kandang tidak mempengaruhi tingkat konsentrasi bakteri
dan jamur di udara.
Hubungan antara jumlah hewan ternak dalam kandang hewan dan konsentrasi mikroba di udara
akan dianalisis menggunakan uji statistik parametris dengan uji korelasi. Uji korelasi dapat
dilakukan dengan banyak metode untuk jenis data rasio dan interval seperti regresi linear, partial
correlation, multiple correlation, dan Person product moment (Sugiyono, 2011). Pada penelitian
ini, uji korelasi dengan metode regresi linear yang digunakan.
Hasil korelasi antara dua variabel tersebut diekspresikan dengan koefisien korelasi dan makna
dari koefisien korelasi yang didapat mengacu pada Error! Reference source not found.. Namun
sebelum melakukan uji korelasi, data yang digunakan harus dilakukan uji normalitas untuk
melihat apakah data terdistribusi dengan normal atau tidak. Distribusi data yang normal dapat
diolah dengan analisis statistik parametris, sedangkan distribusi data yang tidak normal diolah
dengan analisis statistik non-parametris. Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan uji
Shapiro-Wilk, dengan nilai W adalah:
=( !!! ! )!
!!!!
( (!!!!)!!!!
!
Dimana: W = nilai korelasi antara data dan angka distribusi normal
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
W > 0,05; distribusi data normal
W < 0,05; distribusi data tidak normal
!! = data terkecil pada sampel
Kemudian, data diolah menggunakan persamaan koefisien korelasi untuk menentukan korelasi
antara variabel bebas dan variabel terikat.
r =n xy− x ( y)
n x! − x ! {n y! − { y)!}
Dimana: n = banyaknya pasangan data X dan Y
X = total jumlah variabel X
Y = total jumlah variabel Y
X! = nilai kuadrat dari total jumlah variabel X
Y! = nilai kuadrat dari total jumlah variabel Y
XY = hasil perkalian dari total jumlah variabel X dan Y
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Grafik 1; Grafik 2; Grafik 3. Konsentrasi Bakteri; Konsentrasi Jamur; Konsentrasi E.
coli pada Lokasi Sampling
Pada terlihat bahwa titik sampling yang memiliki tingkat konsentrasi bakteri paling tinggi adalah
Kandang Hewan, diikuti dengan Ruang Pemotongan. Konsentrasi bakteri tertinggi terdapat pada
Kandang Hewan adalah 17.760 CFU/m3 pada pengambilan sampel ke-2, sementara konsentrasi
bakteri terendah adalah 600 CFU/m3 pada pengambilan sampel ke-5. Rata-rata konsentrasi bakteri
pada lokasi ini adalah 5.304 ± 3.726 CFU/m3 .
Grafik 2 memperlihatkan besar konsentrasi jamur pada setiap titik sampling. Konsentrasi jamur
di udara tertinggi terjadi pada Kandang Hewan, serupa dengan konsentrasi bakteri, diikuti oleh
titik sampling IPAL. Sementara itu, konsentrasi jamur terendah terdapat pada lokasi sampling
Titik Kontrol 150 meter. Pada titik sampling ke-5, yaitu Kandang Hewan, konsentrasi jamur
maksimum adalah 2.480 CFU/m3 pada sampling ke-1, sementara konsentrasi minimum adalah
649 CFU/m3 terjadi pada sampling ke-5. Rata-rata konsentrasi jamur pada titik sampling ini
0
5,000
10,000
15,000
20,000
1 2 3 4 5 6 7 Konsen
trasi B
akteri (CFU
/m3 )
Ti6k Sampling
0 500
1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500
1 2 3 4 5 6 7 Konsen
trasi Jam
ur (C
FU/m
3 )
Ti6k Sampling
0
50
100
150
1 2 Konsen
trasi B
akteri E. coli
(CFU
/m3 )
Ti6k Sampling
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
adalah 1.084 ± 396 CFU/m3. Konsentrasi jamur pada lokasi ini dapat dipengaruhi oleh aktivitas
operasional pemeliharaan hewan, juga aktivitas lain yang terjadi pada lingkungan RPH, juga
karena kondisi cuaca yang cukup lembap pada lokasi pengambilan sampel.
Grafik 3 menunjukkan bahwa, pada lokasi sampling pertama, yaitu Ruang Simpan Daging,
konsentrasi bakteri E. coli maksimum adalah 7 CFU/m3, sementara konsentrasi minimumnya
adalah 0,3 CFU/m3. Rata-rata konsentrasi bakteri E. coli pada lokasi sampling ini adalah 2± 2
CFU/m3. Pada lokasi sampling ke-2, yaitu Tempat Rumen, konsentrasi bakteri E. coli maksimum
adalah 137 CFU/m3, sementara konsentrasi minimumnya adalah 2 CFU/m3. Rata-rata konsentrasi
bakteri E. coli pada lokasi sampling ini adalah 46 ±36 CFU/m3. Apabila membandingkan ke-2
data yang dihasilkan tersebut, belum dapat diketahui pola yang sebenarnya dari dispersi bakteri E.
coli di udara, terutama karena perbandingan data dilakukan pada dua jenis lokasi yang berbeda,
yakni indoor dan outdoor. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa kondisi
ruangan dan aktivitas RPH mempengaruhi konsentrasi bakteri E. coli di udara.
Grafik 4; Grafik 5. Perbandingan Konsentrasi Mikroba di Udara Indoor dan Outdoor
dengan Baku Mutu
Pada Grafik 4Error! Reference source not found., terlihat bahwa baku mutu angka kuman pada
lokasi sampling indoor adalah 700 CFU/m3, yang terdiri dari 3 lokasi sampling. Terlihat pada
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
grafik bahwa seluruh lokasi pengambilan sampel indoor tidak memenuhi baku mutu yang
diterapkan. Konsentrasi mikroba di udara pada lokasi indoor yang paling tinggi mencapai 3.590
CFU/m3 di Ruang Potong. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi bakteri pada lokasi
sampling ini. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kegiatan operasional pemotongan pada lokasi ini,
juga kondisinya yang cukup lembap dan sering tergenang air. Hal tersebut menguatkan
pernyataan bahwa kondisi lembap dan tergenang air menjadi salah satu pengaruh
perkembangbiakkan mikroba di udara (Azhar, 2013).
Dalam penelitian ini ditetapkan bahwa baku mutu untuk lingkungan kerja outdoor yang
digunakan mengacu pada standar di Negara Polandia karena belum tersedianya standar baku mutu
di Indonesia. Standar baku mutu lingkungan kerja outdoor adalah 3.000 CFU/m3 (Michalkiewicz
& Pruss, 1989). Lokasi sampling outdoor terdiri dari 4 lokasi sampling. Pada grafik tersebut
terlihat pula bahwa hampir seluruh lokasi pengambilan sampel outdoor memenuhi baku mutu
yang diterapkan, kecuali pada Kandang Hewan. Dengan konsentrasi mikroba paling kecil terdapat
pada Titik Kontrol 150 meter, dengan konsentrasi 736 CFU/m3. Konsentrasi mikroba pada dua
lokasi lainnya, yaitu IPAL dan Tempat Rumen juga melebihi konsentrasi mikroba di Titik
Kontrol 150 meter. Lokasi sampling Titik Kontrol 150 meter dijadikan sebagai konsentrasi
mikroba background. Kondisi Kandang Hewan yang memiliki tingkat pencemaran oleh
konsentrasi mikroba di udara paling tinggi dengan tingkat pencemaran mikroba mencapai 6.400
CFU/m3 yang didominasi oleh konsentrasi bakteri.
00
5,000
10,000
15,000
0 10 20 30 40 50
Konsen
trasi M
ikroba
(CFU
/m3 )
Suhu Udara (derajat Celsius)
Konsentrasi Bakteri (CFU/m3) Konsentrasi Jamur (CFU/m3)
Konsentrasi E. coli (CFU/m3)
00
20,000
40,000
60,000
0 20 40 60 80
Konsen
trasi B
akteri (CFU
/m3)
Kelembapan Udara (%)
Konsentrasi Bakteri (CFU/m3) Konsentrasi Jamur (CFU/m3)
Konsentrasi E. coli (CFU/m3)
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Grafik 6; Grafik 7; Grafik 8. Pengaruh Parameter Suhu Udara, Kelembapan Udara,
Kecepatan Angin terhadap Konsentrasi Mikroba di Udara.
Grafik 6Error! Reference source not found. menunjukkan bahwa persebaran koloni bakteri
terkonsentrasi pada suhu 30℃ hingga 40℃. Suhu tersebut merupakan suhu ideal bagi
pertumbuhan bakteri, yang secara teori berkisar antara 35℃− !"℃. Konsentrasi koloni bakteri
berkisar antara 100 – 14.000 CFU/m3. Suhu yang tinggi tersebut lebih sering terukur pada titik
sampling yang bersifat outdoor (Kung'u, Airborne bacteria and mold in slaughterhouse facilities,
2012). Sementara itu, persebaran koloni bakteri paling sedikit terdapat pada lokasi sampling
dengan suhu diatas 40℃, dengan konsentrasi bakteri sebesar 0 – 2000 CFU/m3.
Grafik 7 menunjukkan bahwa koloni mikroba terkonsentrasi pada lokasi yang memiliki
kelembapan cukup tinggi, sehingga dipengaruhi oleh kondisi alam dan cuaca pada saat sampling
(Nevers, 1995). Konsentrasi bakteri paling sering terdapat pada kisaran kelembapan udara 55% -
70%, idealnya pada kelembapan udara 60%. Tingkat pencemaran oleh koloni bakteri pada kisaran
kelembapan tersebut dapat mencapai 49.000 CFU/m3. Pada kondisi kelembapan rendah, yaitu
sekitar 10% - 20%, hanya sedikit bakteri yang dapat hidup. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi
cuaca dan kondisi lokasi pegambilan sampel, persebaran yang tinggi didominasi oleh lokasi
pengambilan sampel indoor, juga terutama pada sampling ke-2 dan ke-3, yang mana kondisi
cuaca cenderung lembap sehabis hujan.
Grafik 8 menunjukkan bahwa koloni bakteri yang terkonsentrasi pada lokasi sampling kurang
terdispersi. Lain halnya dengan lokasi yang bersifat outdoor atau semi outdoor seperti Kandang
00
20,000
40,000
60,000
0 1 2 3 4
Konsen
trasi M
ikroba
(CFU
/m3 )
Kecepatan Angin (m/s)
Konsentrasi Bakteri (CFU/m3) Konsentrasi Jamur (CFU/m3)
Konsentrasi E. coli (CFU/m3)
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Hewan, meskipun konsentrasi bakteri tinggi, bakteri dapat terdispersi lebih jauh seiring
meningkatnya kecepatan angin (CCOHS, Indoor Air Quality - Molds and Fungi, 2015).
Sementara itu, konsentrasi bakteri paling rendah terdapat pada lokasi yang memiliki kecepatan
angin 1,5 m/s hingga 2,5 m/s.
Tanggal Sampling Ke-
Jumlah Hewan Ternak
19 Februari 2016 1 30 ekor 04 Maret 2016 2 65 ekor 10 Maret 2016 3 49 ekor 18 Maret 2016 4 54 ekor 14 Maret 2016 5 49 ekor
Tabel 1. Jumlah Hewan Ternak
Tabel 1 menunjukkan jumlah hewan ternak pada Kandang Hewan pada setiap hari pengambilan
sampel.
Grafik 9. Pengaruh Jumlah Hewan Ternak terhadap Konsentrasi Mikroba di Udara pada
Titik Sampling
Grafik 9 menunjukkan bahwa pada sampling pertama di IPAL, konsentrasi bakteri mencapai 1000
CFU/m3 meskipun jumlah hewan ternak hanya 30 ekor. Pada sampling ke-2, jumlah hewan ternak
mencapai 65 ekor diikutin dengan peningkatan konsentrasi bakteri. Namun, tidak dengan
sampling ke-4, jumlah hewan 54 ekor namun konsentrasi bakteri sangat sedikit, kurang dari 500
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
CFU/m3. Sementara itu, konsentrasi jamur terlihat tidak terlalu dipengaruhi oleh jumlah hewan
ternak. Hal tersebut terlihat dari grafik bahwa pada sampling ke-2, dengan jumlah hewan ternak
paling banyak 65 ekor, konsentrasi jamur paling sedikit.
Grafik tersebut juga memperlihatkan bahwa pada Tempat Rumen, konsentrasi bakteri pada hari
pertama sampling mencapai 500 CFU/m3. Pada sampling ke-2, dimana jumlah hewan ternak
mencapai 65 ekor, konsentrasi bakteri meningkat relatif drastis, mencapai 3500 CFU/3. Terlihat
hubungan yang berbanding terbalik antara dua variabel ini, terutama pada sampling ke-3 sampai
sampling ke-5. Konsentrasi jamur pada setiap sampling cukup fluktuatif. Sama dengan
konsentrasi bakteri, konsentrasi jamur memiliki nampak tidak terlalu dipengaruhi oleh jumlah
hewan ternak di setiap kali pengambilan sampel.
Sementara itu, konsentrasi bakteri E. coli pada lokasi sampling ini terlihat cukup banyak di hari
sampling ke-2 dan ke-3, dengan jumlah hewan ternak 65 ekor dan 49 ekor. Peningkatan
konsentrasi bakteri E. coli terjadi pada sampling ke-3, mencapai 200 CFU/m3. Meski lokasi
sampling ini berdekatan dengan sumber pencemar Kandang Hewan, lokasinya yang terletak di
luar ruangan membuat faktor fisik lingkungan cukup berpengaruh akan dispersi konsentrasi
mikroba.
Sementara itu pada Ruang Potong Hewan, jumlah hewan ternak dari hari ke hari sampling
nampak tidak terlalu mempengaruhi terhadap konsentrasi bakteri di udara. Pada sampling ke-4
dimana jumlah hewan ternak mencapai 54 ekor, konsentrasi bakteri yang ada paling sedikit,
dibawah 500 CFU/m3. Hal yang serupa juga terjadi pada konsentrasi jamur di udara.
R² = 0.28137
0
2,000
4,000
6,000
0 20 40 60 80
Konsen
trasi M
ikroba
(CFU
/m3 )
Jumlah Hewan Ternak (ekor)
1 -‐ IPAL (CFU/m3) Linear (1 -‐ IPAL (CFU/m3))
R² = 0.46521
0
2,000
4,000
6,000
0 20 40 60 80
Konsen
trasi M
ikroba
(CFU
/m3 )
Jumlah Hewan Ternak (ekor)
2 -‐ Tempat Rumen (CFU/m3) Linear (2 -‐ Tempat Rumen (CFU/m3))
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Grafik 10; Grafik 11; Grafik 12; Grafik 13. Korelasi Jumlah Hewan Ternak dengan
Lokasi Sampling Kandang Hewan
Grafik-grafik diatas memperlihatkan persebaran data pada tiap lokasi sampling, juga koefisien
determinasi yang menentukan seberapa besar atau kuat pengaruh variabel bebas terhadap naik
turunnya variabel terkait. Merujuk kepada Error! Reference source not found., penghitungan
koefisien determinasi menunjukkan hasil yang bervariasi. Pada sampel di IPAL terlihat bahwa
jumlah hewan ternak berpengaruh sebesar 28% terhadap jumlah konsentrasi mikroba di udara.
Kontribusi terbesar variabel jumlah hewan ternak terhadap variabel konsentrasi mikroba di udara
ditunjukkan pada sampel di Tempat Rumen, dimana nilai KP mencapai 47%. Untuk lokasi
sampling Kandang Hewan, nilai KP mencapai 34%, semetara pada lokasi Ruang Potong
mencapai 44%. Nilai koefisien determinasi tersebut menunjukkan bahwa jumlah hewan ternak
mempengaruhi konsentrasi mikroba di udara sebanyak 28-47%, sehingga selebihnya dipengaruhi
oleh variabel lain.
Berdasarkan uji statistik korelasi, didapatkan nilai korelasi r yang kuat pada tiap lokasi sampling.
Korelasi paling kuat terjadi pada Tempat Rumen, dengan nilai r adalah 0,68, sementara di IPAL
sebesar 0,53, di Ruang Potong sebesar 0,66, dan di Kandang Hewan sebesar 0,58 (Error!
Reference source not found.). Angka tersebut termasuk dalam golongan korelasi antara dua
variabel yang kuat (Sugiyono, 2011). Pada Tempat Rumen yang berlokasi tidak jauh dari
Kandang Hewan turut mempengaruhi konsentrasi mikroba di titik sampling ini, meskipun turut
dipengaruhi oleh rumen yang terdapat pada tempat ini.
R² = 0.43956
0
5,000
10,000
15,000
0 20 40 60 80
Konsen
trasi M
ikroba
(CFU
/m
3 )
Jumlah Hewan Ternak (ekor)
3 -‐ Ruang Potong (CFU/m3) Linear (3 -‐ Ruang Potong (CFU/m3))
R² = 0.33885
0
20,000
40,000
60,000
0 20 40 60 80
Konsen
trasi M
ikroba
(CFU
/m
3 )
Jumlah Hewan Ternak (ekor)
4 -‐ Kandang Hewan (CFU/m3)
Linear (4 -‐ Kandang Hewan (CFU/m3))
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Selanjutnya, pada nilai korelasi antara jumlah hewan ternak dan konsentrasi mikroba dilakukan
uji signifikansi nilai t. Dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel, maka nilai t hitung
yang melebihi nilai t tabel memiliki signifikansi yang tinggi. Hasi uji T menunjukkan bahwa nilai
t hitung penelitian seluruhnya lebih tinggi dari t tabel, sehingga data memiliki signifikansi yang
tinggi, misal pada Tempat Rumen yang memiliki nilai t hitung sebesar 5,68. Seluruh nilai t hitung
merujuk kepada Error! Reference source not found., dengan nilai t tabel senilai 2,57.
Hal ini menunjukkan pengaruh yang berbanding lurus antara kenaikan jumlah hewan ternak dan
konsentrasi mikroba pada lokasi-lokasi sampling tersebut, sehingga Hipotesis Nol (H0) penelitian
diterima. Maka, dapat disimpulkan bahwa apabila jumlah hewan ternak meningkat maka risiko
peningkatan pencemaran konsentrasi mikroba di udara juga turut meningkat. Dengan risiko
pencemaran tersebut, pembuatan kandang isolasi menjadi penting sebagai pelengkap fungsi
kandang penampungan hewan. Pada kandang isolasi, hewan yang akan dipotong dimasukkan
kedalam kandang khusus, sehingga mengurangi jumlah hewan ternak pada kandang
penampungan. Lainnya adalah kebersihan kandang hewan dan pemrosesan limbah darah maupun
kotoran hewan ternak yang harus dimonitor dengan baik.
Kesimpulan
1. Kualitas udara mikrobiologis pada UPTD RPH Tapos, Depok, Jawa Barat adalah:
a. Konsentrasi mikroba di udara paling tinggi terdapat pada Kandang Hewan, dengan
konsentrasi rata-rata 10.095 ± 1970 CFU/m3. Sebaliknya, konsentrasi mikroba paling
rendah pada kawasan UPTD RPH ini terdapat pada Kantor Dinas, dengan konsentrasi
rata-rata 1.577 ± 207 CFU/m3. Konsentrasi ini jauh berada di atas konsentrasi Titik
Kontrol dengan konsentrasi rata-rata 736 ± 52 CFU/m3.
Hal tersebut apabila dibandingkan dengan baku mutu Kepmenkes RI No.
1405/Menkes/SK/XI/2002 untuk lokasi indoor dan baku mutu Polish Standard PN-Z-
04111-02:1989 untuk lokasi outdoor, maka UPTD RPH Tapos, Depok, Jawa Barat
belum mencapai standar RPH Ruminansia yang berlaku terkait kualitas udara
mikrobiologis di udara.
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
b. Terkait dengan lokasi operasional UPTD RPH Tapos, Depok, maka dapat disimpulkan
bahwa kualitas udara mikrobiologis pada kawasan ini adalah:
Indoor: dari semua lokasi sampling tidak ada lokasi yang memenuhi baku mutu yang
diterapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas udara mikrobiologis pada lokasi
indoor di RPH ini kurang baik.
Outdoor: 3 dari 4 lokasi outdoor yang menjadi lokasi sampling, yakni IPAL, Tempat
Rumen, dan Titik Kontrol 150 meter memenuhi baku mutu yang diterapkan. Hal tersebut
menunjukkan bawah kualitas udara mikrobiologis pada lokasi outdoor di RPH ini
kurang baik.
2. Parameter fisik lingkungan berupa suhu udara, kelembapan udara, dan kecepatan angin
memiliki hubungan dengan konsentrasi mikroba di udara. Konsentrasi mikroba cenderung
berkembang biak pada suhu 30-40℃, kelembapan udara 40-70%, dan kecepatan angin 0-0,5
m/s. Hubungan parameter fisik lingkungan lebih kuat terjadi pada konsentrasi bakteri dan
jamur di udara dibandingkan dengan konsentrasi bakteri E. coli di udara.
3. Hasil uji statistik menunjukkan korelasi yang kuat untuk empat titik lokasi sampling yang
memiliki konsentrasi bioaerosol paling tinggi. Besaran koefisien korelasi tersebut adalah
0,53 untuk titik sampling di lokasi IPAL, 0,63 untuk titik sampling di dekat tempat rumen,
0,66 untuk titik sampling di ruang pemotongan hewan, dan 0,58 untuk titik sampling di
kandang hewan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah hewan ternak mempengaruhi
konsentrasi mikroba (bakteri, jamur, dan bakteri E. coli) di udara sebesar 28-47%,
selebihnya konsentrasi bakteri dan jamur di udara dipengaruhi oleh faktor atau variabel lain. Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi jamur dan bakteri yang
dihubungkan dengan arah angin, juga jarak dengan skala yang lebih luas yang dapat
menjangkau pemukiman warga dekat UPTD RPH Tapos, Depok ini.
2. Sesuai golongan RPH Kelas D, UPTD RPH Tapos, Depok seyogyanya diwajibkan untuk
melengkapi fasilitas yang menjadi persyaratan untuk mengurangi risiko pencemaran akibat
kosentrasi mikroba di udara, misal dengan membangun kandang isolasi bagi hewan, serta
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
proses maintenance yang rutin untuk menjaga kebersihan RPH, juga untuk mengatur tata
letak RPH tersebut.
3. Terdapat beberapa titik sampling yang memiliki konsentrasi mikroba di udara yang tinggi,
hal tersebut salah satunya disebabkan oleh kondisi ruangan yang kurang bersih dan desain
ruangan yang belum memenuhi kriteria desain. Upaya pencegahan pencemaran mikroba di
udara dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap desain bangunan RPH sesuai
dengan peraturan yang berlaku, juga diperlukan sertifikasi kelayakan bangunan industri
RPH.
4. Dari segi keamanan pangan, terdapat risiko pencemaran oleh bakteri patogen. Maka
jaminan kualitas higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar operasional RPH, merujuk
kepada Peraturan Menteri Pertanian No. 381 tahun 2005, maka UPTD RPH Tapos wajib
mengambil sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dan/atau sertifikasi Hazard
Analysis Critical Control Points (HACCP) secara sukarela.
5. Pembuatan biogas pada Tempat Rumen untuk mengurangi paparan mikroba dari rumen
terhadap udara ambien. Daftar Referensi
Azhar, S. (2013). Comparative Studies on the Air Microflora in Some Slaughtering Houses of Bangalore City. International Journal of Pharmaceutical Science Invention, 1.
BPS. (2010). Badan Pusat Statistik. Dipetik Oktober 2015, dari http://www.bps.go.id/.
CCOHS. (2015). Indoor Air Quality - Molds and Fungi. Retrieved 12 20, 2015, from Canadian Centre for Occupational Health and Safety: http://www.ccohs.ca/oshanswers/biol_hazards/iaq_mold.html
Distankan, D. (2010). Latar Belakang RPH Terpadu. Dipetik Oktober 2015, dari Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Depok.
Dobeic, K. (2011). Airborne Listeria spp. in the Red Meat Processing Industry, Czech J.Food Sci.
Humberto, G. (2004). Enumeration of Total Airborne Bacteria, Yeast and Mold Contaminants and Identification of E Coli, Listeria Spp, Salmonella Spp. and Staphylococcus Spp. in A Beef and Pork Slaughter Facility.
Kung'u, J. (2012). Airborne bacteria and mold in slaughterhouse facilities. Dipetik November Kamis, 2015, dari moldbacteria: http://www.moldbacteria.com/bacteria/airborne-bacteria-and-mold-in-slaughterhouse-facilities.html
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Maat, D. (2015, Desember 2). CRYING FOUL (ODORS) AT THE SLAUGHTER HOUSE, SEVERE ABATTOIR AND WASTEWATER ODORS. Retrieved Juni 13, 2016, from Scicorp Biologic : http://scicorp.net/crying-foul-odors-at-the-slaughter-house/
Menkes. (2002). Patent No. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Indonesia.
Michalkiewicz, M., & Pruss, A. (1989). Patent No. Polish Standard PN-Z-04111-02:1989. Polandia.
Nevers, D. (1995). Air Pollution Control. McGraw Hill.
Rahayu. (2013). RPH di Indonesia.
Rianto, D. (2010). Indonesia.
Sugiyono. (2011). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Yassin. (2010). Assessment of airborne bacteria and fungi in an indoor and outdoor environment. Airborne bacteria.
Zefon. (2016). Zefon A-6 Bioaerosol Impactor Kit. Retrieved Juni 13, 2016, from Sampling Equipment Specialists: http://www.zefon.com/store/zefon-a-6-bioaerosol-impactor-kit.html
Kualitas Udara ..., Cindy Ruth Maharini, FT UI, 2016
Recommended