View
304
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
KONSEP GURU YANG IKHLAS MENURUT IMAM AL -
GHAZALI DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam
Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:
LISA FATHIYANA NIM: 063111056
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
ABSTRAK
Lisa Fathiyana (NIM : 063111056). “Konsep Guru Yang Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin”. Dalam bidang Pendidikan Agama Islam (Tinjauan Yuridis Formal). Skripsi. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Semarang. 2011.
Keyword: Guru, Ikhlas, Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep Guru Yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan metode penelitian deskriptif, dari keseluruhan data yang terkumpul kemudian dianalisis yang bersifat kualitatif dengan menggunakan metode berikut, yaitu Metode Interpretasi dan Content Analysis. Dengan menggunakan metode Interpretasi ini peneliti akan menganalisis Kitab Ihya’ Ulumiddin untuk mengungkapkan makna yang terkandung didalamnya. Kemudian dengan metode Content Analysis peneliti akan mengungkapkan isi pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin tentang konsep guru yang ikhlas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin mencakup berbagai pengetahuan yang luas, yang merupakan perpaduan antara ilmu fiqh dan ilmu tasawuf. Dalam kitab ini terdapat materi pembahasan tentang guru yang terdapat pada bahagian peribadatan dalam bab ilmu, dan pembahasan tentang ikhlas ada pada bahagian perbuatan yang menyelamatkan dalam bab niat, benar dan ikhlas. Adapun konsep guru yang ikhlas menurut Al-Ghazali adalah seorang guru yang senantiasa membersihkan hati dan memurnikan segala tujuan amal ibadahnya semata-mata hanya karena Allah SWT, yaitu untuk mendapatkan ridha-Nya dan menjadikan ilmunya manfaat, bukan karena mencari harta, kedudukan dan pangkat. Ia menyatakan bahwa tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu tersebut akan sia-sia, kecuali apabila ilmu itu diamalkan. Sementara amal akan ditolak kecuali dengan ikhlas.
Menurut Al-Ghazali, orang yang berprofesi sebagai guru sangat mulia, baik dihadapan Allah maupun dihadapan para makhluk-Nya. Oleh karena itu, maka guru hendaknya ikhlas dalam mengamalkan ilmunya semata-mata untuk Allah SWT. Guru juga harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti penguasaan ilmu, kepribadian dan akhlak yang mulia serta menyayangi muridnya dengan sepenuh hati. Pemikiran Al-Ghazali berkaitan dengan guru yang ikhlas, dapat diterapkan pada masa sekarang ini, terutama sebagai bahan refleksi dan peringatan bagi para guru. Karena pada masa sekarang ini, banyak guru yang lupa akan kewajibannya, namun sangat keras dalam menuntut haknya. Namun demikian, Al-Ghazali tidak melarang adanya upah atau gaji atas pengajaran tersebut. Hal itu demi kesejahteraan hidup guru dan demi kelancaran proses belajar mengajar.
Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi para mahasiswa, para tenaga pengajar, para peneliti dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
iii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka KM 1 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Semarang, 27 Mei 2011 Lamp : 4 (Empat) Eksemplar Hal : Naskah Skripsi Kepada Yth. An. Sdri. Lisa Fathiyana Dekan Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah saya mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya, maka saya menyatakan bahwa skripsi saudari: Nama : Lisa Fathiyana NIM : 063111056 Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Konsep Guru Yang Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin
Telah melalui proses bimbingan, selanjutnya saya mohon agar skripsi saudari tersebut dapat di munaqosahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb. Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Ikhrom, M.Ag Dr. H. Raharjo, M.Ed, St. NIP. 19650329 199403 1 002 NIP. 19651123 199103 1 003
iv
PERNYATAAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab peneliti menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 27 Mei 2011
Deklarator,
Lisa Fathiyana NIM. 063111056
v
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka KM 1 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
N a m a : Lisa Fathiyana
N I M : 063111056
Fakultas/Jurusan : Tarbiyah / PAI
Judul Skripsi : Konsep Guru Yang Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal:
15 Juni 2011 Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Tarbiyah.
Semarang, 20 Juni 2011
Dewan Penguji Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Drs. Wahyudi, M.Pd Nadhifah, S.Th.I., M.SI NIP. 19680314 199503 1 001 NIP. 19750827 200312 2 003 Penguji I, Penguji II,
Drs. H. Jasuri, M.Si Alis Asikin, M.A NIP. 19671014 199403 1 005 NIP. 19690724 199903 1 002 Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Ikhrom, M.Ag Dr. H. Raharjo, M.Ed, St. NIP. 19650329 199403 1 002 NIP. 19651123 199103 1 003
vi
MOTTO
�ت�ّ� �� ا���� ل ��اّ� :� ���ل� ا� �� � وّ�ر� ل ا� �ّ�
�ئ �� ��ىوا ّ� �١ )روا% ا�$#� ري و�!��( �� � � ا
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya balasan yang akan diperoleh seseorang dari amalnya
juga sesuai dengan niatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Seluruh manusia akan binasa, kecuali orang-orang yang beriman.
Orang-orang yang beriman akan binasa, kecuali mereka yang berilmu.
Orang-orang yang berilmu akan binasa, kecuali mereka yang mengamalkannya.
Orang-orang yang beramal akan binasa, kecuali mereka yang ikhlas. 2
1 Abi Zakariya Yahya, Riyadhush Shalihin, (Semarang: Pustaka Alawiyah, tt.), hlm. 6. 2 Shihab, Pintu-Pintu Kesalehan, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), Cet. I, hlm. 234.
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Kedua orang tuaku:
Bapakku Abdurrahim dan Ibuku Waqi’ah
Kakak-kakakku:
M. Ali Soghir beserta keluarganya, Siti Nur Azizah beserta keluarganya
dan kakakku tercinta Muhammad Mustajib
Adik-adikku tercinta & tersayang:
Muhammad Khumaedi, Rizki Amelia dan Uswatun Chasanah
Terkasih:
R.H. Bagus Satriyo Negoro Djoyo Diningrat (Mz. Habib)
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Berkat rahmat dan nikmat Allah SWT, penulis dapat menyajikan skripsi
ini guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam ilmu pendidikan
Islam (tarbiyah).
Kepada semua pihak yang membantu kelancaran dalam menulis skripsi
ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya, khususnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Sujai, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
2. Drs. Abdul Wahib, M.Ag, selaku Wali Studi.
3. Drs. Ikhrom, M.Ag, beserta keluarganya dan Dr. H. Raharjo, M.Ed, St, selaku
Dosen Pembimbing, yang dengan ikhlas telah meluangkan banyak waktu,
tenaga dan pikirannya guna membimbing dan mengarahkan penulis hingga
terselesaikannya skripsi ini.
4. Segenap Civitas Akademika Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
5. Bapakku Abdurrahim dan Ibuku Waqi’ah yang penuh dengan cinta kasih serta
kesabaran dalam berjuang, mendidik dan selalu memberikan yang terbaik bagi
putrinya. Segala doa dan dukungan yang mereka berikan, baik berupa moral
maupun material dengan tulus ikhlas demi kesuksesan putri tercinta. Semoga
Allah senantiasa meridhai atas segala budi baik mereka. Amin.
6. Saudara-saudaraku beserta segenap keluarga yang telah turut serta membantu
dan memberikan dukungan baik berupa moral maupun material.
7. Untuk Mz. Habib yang selalu memberikan semangat dan motivasi, serta ilmu
yang bermanfaat bagi kehidupan dan kelancaran penulis. Terimakasih untuk
segalanya.
ix
8. Keluarga besar Pondok Pesantren Raudlothut Tholibin (PPRT), antara lain:
Bpk. KH. Zaenal Asyikin (Alm) dan Ibu Nyai Hj. Muthohiroh, Ibu Nyai Hj.
Muniroh, Bpk. KH. Abdul Khaliq, Lc. dan Ustadz Qolyubi S.Ag, beserta
segenap keluarga yang senantiasa membimbing dan mendoakan terhadap
keberhasilan penulis.
9. Keluarga besar TPQ Miftahus Shibyan, khususnya untuk anak-anakku yang
telah mewarnai hari-hari penulis selama di Semarang.
10. Guru-guruku yang telah mengantarkan penulis dari tidak tahu menjadi tahu.
11. Sahabat-sahabatku: Zammi Diannitasari, Listiana dan Ummu Aiman.
12. Teman-teman PPRT yang selama ini hidup bersama dan mendukung penulis,
khususnya (mba Ika, mba Aan, Ifeh, Aiz, Tyaz, Sakin, Nihlatun, Indah, Uus,
Muji, Lilis dan Ardana) semoga tetap kompak dan rukun.
13. Teman-teman PAI Paket B, khususnya (Aim, Mb. Nur, Mb. Obi dan Fatma),
serta kawan senasib seperjuangan.
14. Semua pihak yang telah berperan dan membantu penulis hingga skripsi ini
bisa terwujud.
Teriring doa dan harapan semoga amal baik dan jasa dari semua pihak
tersebut di atas akan mendapat balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.
Penulis menyadari, bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik dari
teknik penulisan maupun isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik
dan saran yang konstruktif bagi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membaca, terutama bagi Civitas
Akademika IAIN Walisongo Semarang. Amin.
Semarang, 27 Mei 2011
Penulis,
Lisa Fathiyana NIM. 063111056
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii
HALAMAN DEKLARASI .............................................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... v
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................ vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Penegasan Istilah ............................................................... 6
C. Fokus Penelitian ........................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 8
E. Metodologi Penelitian .................................................. 9
1. Metode Pengumpulan Data ................................... 9
2. Metode Analisis Data ............................................ 10
BAB II. GURU YANG IKHLAS A. Guru ………………………………………..………… 12
1. Pengertian Guru ..................................................... 12
2. Kriteria dan Syarat Guru ........................................ 13
3. Tugas dan Peranan Guru ........................... …….... 17
4. Guru Sebagai Profesi............................................. . 18
B. Ikhlas ……………………………………………. ….. 22
1. Pengertian Ikhlas……………………………….. 22
2. Hakikat Ikhlas ………………………………….. 25
3. Buah Keikhlasan…………………………… …. 28
C. Guru Yang Ikhlas……………………………… …. 29
1. Pengertian Guru Yang Ikhlas…………………… 29
xi
2. Kriteria Guru Yang Ikhlas.................................... 30
3. Pendapat Para Tokoh Berkaitan Dengan
Guru Yang Ikhlas................................................. 32
D. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan…………. … 35
BAB III. PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
1. Biografi Imam Al-Ghazali……………………… 39
2. Perjalanan Imam Al-Ghazali Sebagai Guru……. 43
3. Karya-Karya Imam Al-Ghazali………………… 47
B. Kitab Ihya’ Ulumiddin
1. . Sekilas Isi Kitab Ihya’ Ulumiddin………………. 48
2. . Pemikiran Imam Al-Ghazali
Dalam KItab Ihya’ Ulumuddin………………….. 57
BAB IV. ANALISIS KONSEP GURU YANG IKHLAS DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN
Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Konsep Guru
Yang Ikhlas Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin
1. Pengertian Guru Yang Ikhlas ……………………. 70
2. Kriteria Guru Yang Ikhlas ……..………………… 75
3. Tujuan Menjadi Guru…………………………….. 78
4. Efek dan Kontribusi Guru Yang Ikhlas …………. 85
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................. 89
B Saran-Saran ................................................................. 90
C Penutup ....................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Guru ikhlas atau guru yang ikhlas merupakan suatu fenomena yang
terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Penafsiran yang berbeda, akan
menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Banyak orang yang keliru
dalam menafsirkan guru ikhlas. Mereka beranggapan bahwa guru yang ikhlas
adalah seseorang yang dengan rela mengajar tanpa harus diberi upah atas
pekerjaannya tersebut. Jika memang demikian, lalu bagaimana seorang guru
bisa mengajar dengan tenang sementara ia harus memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Di sisi lain, mengajar juga merupakan suatu profesi yang
menuntut keahlian dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji.1
Oleh karena itu, maka dari segi mana seorang guru dikatakan sebagai guru
yang ikhlas. Dari sinilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang
konsep guru yang ikhlas.
Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa siapa yang menekuni tugas
sebagai pengajar, berarti ia tengah menempuh suatu perkara yang sangat
mulia. Oleh karena itu, ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang
menyertainya.2 Salah satu diantaranya adalah, seorang guru harus menjaga
adab dan tugasnya dengan meneladani Rasulullah SAW. Dalam hal ini,
pengajar tidak diperkenankan menuntut upah dari aktivitas mengajarnya.
Sebagaimana firman Allah SWT.
Ÿω ߉ƒ Ì� çΡ óΟä3ΖÏΒ [ !#t“y_ Ÿωuρ # �‘θ ä3ä© ∩∪
Kami tidak mengharap balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terimakasih. (Q.S. Al-Insan: 9).3
1 Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP, (Jakarta: Gaung Persada Press,
2008), hlm. 3. 2 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet.
12, hlm. 212. 3 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm.
857.
2
Dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan, bahwa ”Sesungguhnya kami
memberikan makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan ridha
Allah,” yaitu mengharapkan kerelaan dan pahala dari Allah. ”kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terimakasih.” Dalam
hal ini Rasulullah tidak meminta imbalan atas pemberiannya kepada orang
lain. Rasulullah juga tidak mengharapkan ucapan terimakasih, karena beliau
hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT.4
Ayat tersebut menunjukkan, bahwa dalam memberi sesuatu hendaknya
dilandasi dengan dasar keikhlasan, semata-mata untuk mendapatkan ridha
Allah bukan untuk yang lainnya, seperti mengharap pujian dan balasan yang
seimbang serta ucapan terimakasih dari orang lain.5 Hal ini sama halnya bagi
seorang guru dalam memberikan suatu ilmu, pemahaman dan pengertian
kepada muridnya. Seorang guru harus senantiasa menjaga niatnya dengan
baik, agar tidak terkecoh akan kemegahan duniawi dan menjadikan ilmunya
sebagai alat untuk memperoleh harta, pangkat dan jabatan. Akan tetapi, harus
mendasarkan niatnya untuk mencari keridhaan Allah SWT dan mengamalkan
ilmunya agar bermanfaat, baik bagi dirinya maupun untuk orang lain.
Meneladani Rasulullah SAW dengan tidak meminta upah pengajaran,
tidak bermaksud mencari imbalan ataupun ucapan terimakasih melainkan
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, guru juga tidak
merasa perlu penghargaan dari murid walaupun hal itu adalah kewajiban
mereka. Para guru hendaknya menilai, bahwa mereka memiliki keutamaan
karena mau membersihkan hatinya agar dekat kepada Allah dengan menabur
berbagai ilmu. Seperti halnya orang yang meminjamkan tanahnya kepada
orang lain untuk di tanami dan hasilnya untuk sang peminjam tersebut, maka
manfaat yang diperolehnya dari tanah itu lebih besar daripada manfaat yang
diperoleh oleh pemilik tanah itu. 6
4 Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999),
Jilid 4, Cet. I, hlm. 878. 5 Ibid. 6 Hawa, Tazkiyatun Nafs, terj. Tim Kuwais, (Jakarta: Darus Salam, 2005), hlm. 22.
3
Dengan demikian, maka bagaimana guru mengharuskan seorang murid
untuk memberi penghargaan kepadanya, sedangkan pahala pengajaran di sisi
Allah lebih besar daripada pahala dari murid itu. Akan tetapi, kehadiran murid
sangat berarti bagi seorang guru. Karena seandainya tidak ada murid, niscaya
seorang guru tidak akan meraih pahala tersebut. Maka dari itu, hendaknya
seorang guru jangan meminta upah, kecuali kepada Allah Yang Mahatinggi.
Sebagaimana firman Allah SWT mengisahkan Nabi Nuh a.s.,
ÏΘ öθ s)≈tƒ uρ Iω öΝà6 è=t↔ó™r& ϵø‹ n=tã »ω$ tΒ ( ÷βÎ) y“ Ì� ô_r& āω Î) ’n? tã «!$# ∩⊄∪
Dan wahai kaumku, Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai imbalan) atas seruanku, imbalanku hanyalah dari Allah. (Q.S. Hud: 29).7
Ayat tersebut menunjukkan, bahwa nabi Nuh merupakan orang yang
ikhlas. Ia senantiasa mengharap ridha Allah dalam setiap seruannya mengajak
kepada amar ma’ruf nahi mungkar. Ia tidak pernah mengharapkan upah dari
kaumnya. Sebagaimana firman Allah sebelumnya, yang menggambarkan
Rasulullah dalam memberikan sesuatu tidak mengharapkan adanya imbalan,
melainkan hanya ridha Allah dan pahala disisi-Nya.8
Namun yang menjadi latar belakang dan permasalahan dalam hal ini,
apakah benar ikhlas artinya tidak menerima upah setelah mengajar? Benarkah
makna ikhlas tidak menerima amplop setelah kegiatan dakwah? Dalam Al-
Qur’an, orang yang menyebarkan agama Islam termasuk fi sabilillah dan
berhak mendapatkan bagian dari zakat, meskipun orang tersebut kaya raya.
Dengan demikian, ketika seorang mubalig atau guru menerima upah, maka ia
tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima
atau menolak upah.9
7 Departemen Agama, op.cit, hlm. 301. 8 Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, hlm. 782-783. 9 Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), Cet. I, hlm.
148.
4
Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Gusmian, bahwa:
Kita hanya pantas menggerakkan hidup ini untuk Sang Pemiliknya. Namun hal ini bukan berarti bahwa kreativitas dalam hidup kita tidak perlu dihargai secara material. Sebagian orang memahami ikhlas dengan melakukan kebajikan tanpa penghargaan secara material. Misalnya mengajar baca tulis Al-Qur’an gratis, menjadi pembicara di acara pengajian tanpa bayaran. Gratis bukanlah identik dengan sikap ikhlas, karena ikhlas adalah urusan sikap hati.10
Sebagai contoh, ada seorang penceramah dengan begitu bangga
mengatakan di depan jamaah bahwa dirinya tidak mau menerima bayaran dari
profesinya, karena merasa kasihan kepada para jamaah dan dengan mengatakan
bahwa dirinya ikhlas. Hal ini belum tentu bahwa dia benar-benar orang yang
ikhlas. Sebab dengan pengakuan keikhlasan itu, bisa jadi dia justru ingin
mendapat pujian bahwa dirinya telah mampu menguasai ilmu ikhlas. Padahal,
ia justru sedang riya’, mencari pujian di hadapan manusia dengan amal
baiknya. Maka dengan demikian, keikhlasan bukan berarti tanpa penghargaan
material di dunia, melainkan kemampuan seseorang dalam menjaga hati dari
orientasi dan belenggu dunia.
Berkaitan dengan pemaparan di atas, peneliti ingin mengkaji konsep
guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali. Hal ini bisa dilihat dari latar
belakang beliau yang juga sebagai guru, dan melihat dari perjalanan hidup
beliau dalam mengarungi samudera kehidupan, sehingga menemukan hakekat
kebenaran. Hal ini sebagaimana pernyataan Imam Al-Ghazali:
Kehausan untuk mengetahui hakekat segala sesuatu adalah watak dasarku sejak lahir. Ini pembawaan yang dianugerahkan Allah di jiwaku, bukan hasil usahaku sendiri. Sejak remaja, sebelum usia 20 tahun, sampai berusia 50 tahun, aku telah mengarungi gelombang lautan (mazhab dan ilmu) yang sangat dalam. Aku menyelami kedalamannya sebagai seorang pengembara dan bukan sebagai seorang pengecut. Aku terjebak dikegelapannya, namun dapat mengatasi rintangannya. Aku menceburkan diri di tengah-tengahnya, menyelidiki setiap mazhab dan membuka misteri ajarannya, sehingga aku mengetahui kebenaran dan kesalahan masing-masing. 11
10 Gusmian, Surat Cinta Al-Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2006), Cet. II, hlm. 168. 11 Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 11.
5
Pernyataan Al-Ghazali tersebut menunjukkan, bahwa ia benar-benar
telah menyelami hidupnya dengan berbagai pengalaman spiritual, sehingga
mengantarkan ia sebagai guru yang ikhlas. Hal ini karena ia telah menemukan
hakikat kebenaran dan keikhlasan. Sehingga ia mampu mempraktikan dan
membuktikannya, dengan mengamalkan dan mengajarkan ilmunya semata-
mata karena Allah SWT.
Tugas mendidik memiliki nilai spiritual yang tinggi, jika tugas
mendidik tersebut di orientasikan untuk mencari keridhaan Allah SWT. Selain
itu, mendidik juga memiliki nilai universal yang dilakukan oleh siapapun di
dunia ini. Oleh karena itu, tugas mendidik merupakan tugas yang sangat mulia
dan merupakan tugas utama guru, maka guru harus secara sungguh-sungguh
dan tulus-ikhlas melakukan tugas tersebut sehingga ia dapat menikmati,
menjiwai dan merasa nyaman menjadi seorang guru.12
Adapun karena kemuliaan yang dimiliki oleh seorang guru, berbagai
gelar disandangnya. Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa
tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, manusia serba bisa, warga
negara yang baik, soko guru, ki ajar, sang guru dan sebagainya.13 Betapa
tingginya derajat seorang guru, sehingga wajarlah bila guru diberi berbagai
julukan yang tidak akan pernah ditemukan pada profesi lain. Semua julukan
itu perlu dilestarikan dengan pengabdian yang tulus ikhlas, dengan motivasi
kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan segalanya demi uang
yang membatasi tugas dan tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah. 14
Dengan demikian, maka ketulusan dalam mengajar sangat penting
sekali untuk diperhatikan bagi seorang guru. Sehingga dalam setiap gerak
langkahnya, seorang guru harus senantiasa menanamkan niat yang ikhlas,
semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Dalam hal ini,
penulis sangat tertarik ingin meneliti dan mengkaji, bagaimana konsep guru
12 Hidayatullah, Guru Sejati, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), hlm. 129-130. 13 Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2005), Cet. II, hlm. 41. 14 Ibid, hlm. 42.
6
ikhlas yang akan di jabarkan dalam skripsi dengan judul: Konsep Guru yang
Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.
B. Penegasan Istilah
Untuk memudahkan pemahaman dan pemaknaan sekaligus untuk
menghindari kesalahpahaman persepsi dalam memahami judul di atas serta
untuk memperjelas dalam penulisan skripsi ini, maka terlebih dahulu akan
penulis kemukakan beberapa istilah yang dipandang perlu dijelaskan. Adapun
istilah-istilah tersebut sebagai berikut:
1. Konsep
Konsep secara bahasa berarti ide umum; pengertian; pemikiran;
rancangan; rencana dasar.15 Sedangkan secara istilah konsep adalah ide
atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret.
2. Guru Yang Ikhlas
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.16
Ikhlas secara bahasa berarti rela; dengan tulus hati; rela hati.17
Sedangkan secara istilah ikhlas adalah keterampilan (skill) penyerahan diri
total kepada Tuhan untuk meraih puncak sukses dan kebahagiaan dunia
akhirat.18
Adapun yang dimaksud dengan konsep guru yang ikhlas, adalah
suatu konsep yang membahas tentang hakekat keikhlasan seorang guru
dalam mengamalkan ilmunya, sehingga menjadikan ilmunya manfaat serta
15 M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 362. 16 Undang-Undang R.I No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra
Umbara, 2006). 17 M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, op.cit, hlm. 241.
18 Sentanu, Quantum Ikhlas, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), hlm. xxxiv.
7
membawa kebaikan bagi orang lain. Selain itu, bagaimana seorang guru
bisa membawa hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan
pengajar. Ia mendasarkan niat yang benar dan ikhlas semata-mata untuk
mendapatkan ridha dari Allah SWT, sehingga mencapai kesuksesan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3. Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi Al-
Faqih Ash-Shufi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari. Ia mendapat gelar Hujjatul Islam
yang artinya pembela Islam dan Zainuddin yang artinya hiasan agama. Ia
lahir di Kota Thus pada tahun 450 Hijriah.19 Abu Hamid Muhammad Al-
Ghazali (1058-1111M) seorang filsuf, teolog, ahli hukum, dan Sufi. Di
kalangan Barat ia dikenal dengan Nama Al-Qazeel. Al-Ghazali lahir dan
meninggal di Thus Persia. Ia banyak menulis karya, diantaranya yang
terbesar mengenai pencarian ilmu pengetahuan antara lain: Ihya Ulum al-
Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), al-Munqid Min al Zalalah
(penyelamat dari kesesatan), dan di dalam karyanya Tahafut al-Falasifah
(sanggahan terhadap pemikiran kaum filsafat).20
4. Kitab Ihya’ Ulumiddin
Kitab Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu
Agama), merupakan salah satu karya monumental yang ditulis oleh Imam
Abu Hamid Al-Ghazali pada awal abad ke-5 Hijriyah. Kitab ini terdiri dari
empat bahagian besar (empat rubu’) antara lain: Pertama, bahagian (rubu’)
peribadatan (rubu’ ibadah). Kedua, bahagian (rubu’) pekerjaan sehari-hari
(rubu’ adat kebiasaan). Ketiga, bahagian (rubu’) perbuatan yang
membinasakan (rubu’ al-muhlikat). Keempat, bahagian (rubu’) perbuatan
19 Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2008),
hlm. 9. 20 Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 116-
117.
8
yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat). Setiap rubu’ terdiri dari sepuluh
bab.21
Adapun pembahasan tentang guru terdapat pada bahagian (rubu’)
peribadatan dalam bab ilmu, dan pembahasan tentang ikhlas ada pada
bahagian (rubu’) perbuatan yang menyelamatkan dalam bab niat, benar
dan ikhlas. Kitab Ihya’ ini juga merupakan referensi utama bagi penulis
sekaligus sebagai obyek kajian dalam penelitian ini.
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka penulis
mambatasi permasalahan dengan fokus penelitian pada: Bagaimana Konsep
Guru yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melaksanakan penelitian
ini adalah: untuk mengetahui bagaimana konsep guru yang ikhlas menurut
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah, antara lain:
1. Secara teoritis:
Hasil studi ini diharapkan bisa menambah kepustakaan tentang konsep
ikhlas, khususnya konsep guru yang ikhlas agar khalayak mengetahui
betapa pentingnya keikhlasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan
pentingnya ikhlas dalam melakukan setiap pekerjaan.
2. Secara praktis:
a. bagi guru : Terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri seorang guru,
bahwa dalam mengajar hendaknya dilandasi dengan niat
tulus ikhlas semata-mata untuk mengamalkan ilmunya dan
mengharap ridha dari Allah SWT, tidak berorientasi pada
materi.
21 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 33.
9
b. bagi siswa : Terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri seorang murid,
bahwa dalam menuntut ilmu hendaknya meluruskan niat
untuk mencari ridha Allah dan menghilangkan kebodohan.
E. Metodologi Penelitian
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan data dengan
metode kepustakaan (library research). Metode ini digunakan untuk
mengumpulkan data yang bersumber dari buku dan dokumen-dokumen
lainnya.22
Metode kepustakaan ini penulis gunakan untuk meneliti tentang
konsep guru yang ikhlas dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menurut Imam Al-
Ghazali yang ditunjang dengan buku-buku ilmiah lainnya atau dari
beberapa sumber yang lain.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data langsung yang dikaitkan
dengan objek penelitian yaitu kata-kata atau tindakan orang-orang
yang diamati atau diwawancarai.23 Sumber data primer yang
digunakan oleh penulis sebagai rujukan adalah Kitab Ihya’ Ulumiddin
karya Imam Al-Ghazali.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain
atau lewat dokumen.24 Sumber data sekunder sebagai data pendukung
dan pelengkap dari sumber data primer. Adapun sumber data sekunder
22 Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang: RaSAIL,
2008), Cet. I, hlm. 5-6. 23 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2007), hlm. 157. 24 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11, hlm. 309.
10
dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya-karya ilmiah yang
isinya dapat melengkapi data yang diperlukan penulis dalam penelitian
ini. Misalnya Mutiara Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali,
Mengarungi Samudra Ikhlas karya Rachmat Ramadhana al-Banjari,
Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu dan lain sebagainya.
2. Metode Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, maka penulis akan menganalisis data.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari berbagai hasil pengumpulan data.25
Metode analisis data yang penulis gunakan adalah metode
deskripsi. Karena data yang terkumpul kemudian dianalisis secara non
statistik, adapun data yang terkumpul berupa data deskriptif. Menurut
Sukardi, penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama untuk menggambarkan secara sistematis
fakta dan karakterisitik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.26
Metode ini penulis gunakan untuk mendeskripsikan konsep guru yang
ikhlas. Adapun metode yang digunakan adalah:
a. Metode Analisis Isi (Content Analysis)
Menurut Earl Babbie “content analysis as the study of recorded
human communications, such as books, websites, paintings and laws.”
Berkaitan dengan hal ini, Harold Lass well formulated the core
questions of content analysis: “Who says what, to whom, why, to what
extent and with what effect?” 27 Earl Babbie mendefinisikan content
analysis sebagai suatu penyelidikan yang mencatat sistem komunikasi
manusia, seperti buku-buku, website, lukisan-lukisan dan hukum-
hukum. Sementara Harold Lass well merumuskan beberapa pertanyaan
inti tentang content analysis, antara lain: siapa yang mengatakan,
25 Ibid, hlm. 335. 26 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet. VII,
hlm. 157. 27 http://en. wikipedia.org/wiki/Content analysis, diundo 26/02/2011.
11
kepada siapa, mengapa, untuk apa secara luas dan bagaimana dengan
pengaruhnya.
Berkaitan dengan pengertian content analysis tersebut, Burhan
Bungin mengatakan bahwa content analysis adalah “teknik penelitian
untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan
sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Adapun content-
analysis ini berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi.”28
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka content analysis
merupakan suatu metode untuk mengungkapkan isi pemikiran tokoh
yang diteliti, yang meliputi beberapa pertanyaan inti tersebut tentang
content analysis. Adapun content analysis ini penulis gunakan untuk
mengungkapkan isi dan menggambarkan dari kitab Ihya’ Ulumiddin.
b. Metode Interpretasi
Menurut Moleong, metode interpretasi data merupakan upaya
untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas
terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.29 Metode ini penulis
gunakan untuk menganalisis beberapa buku secara implisit untuk
mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya.
28 Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Pendidikan, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008), hlm. 231. 29 Moleong, op. cit, hlm. 151.
12
BAB II
GURU YANG IKHLAS
A. Guru
1. Pengertian Guru
Guru dalam literarur kependidikan Islam, biasa disebut sebagai
ustadz, mudarris, mu’allim, murabbiy, mursyid, dan muaddib.1 Sedangkan
dalam bahasa Inggris disebut teacher yang artinya pengajar dan educator
yang artinya pendidik.2
Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan
ilmu pengetahuan kepada anak didik. Sementara guru dalam pandangan
masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat
tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa di masjid, di
surau, di rumah, dan sebagainya.3
Menurut Undang-Undang RI Nomor 14, guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.4
Guru sebagai seorang pendidik disebut mu’addib yaitu orang yang
berusaha mewujudkan budi pekerti yang baik atau akhlakul karimah,
sebagai pembentukan nilai-nilai moral atau transfer of values. Sementara
guru sebagai pengajar disebut mu’allim yaitu orang yang mengajarkan
berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik, sehingga peserta didik
1 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), Cet. II, hlm. 209. 2 Hassan Shadily & John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,
1996), Cet. 23, hlm. 207. 3 Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2005), Cet. II, hlm. 31. 4 Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra
Umbara, 2006), hlm. 2-3.
13
mengerti, memahami, menghayati dan dapat mengamalkan berbagai ilmu
pengetahuan yang disebut sebagai transfer of knowledge. 5
Adapun definisi atau pengertian guru menurut beberapa pakar
pendidikan, sebagaimana dikutip oleh Nurdin, antara lain:
Guru menurut Ahmad D. Marimba adalah orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik. Sedangkan guru menurut Zahra Idris dan Lisma Jamal, adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam hal perkembangan jasmani dan ruhaninya untuk mencapai tingkat kedewasaan, memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu yang mandiri dan makhluk sosial. Sementara guru menurut Zakiah Daradjat adalah pendidik profesional, karena secara implisit telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan dari pundak para orang tua. Adapun guru menurut Poerwadarminta adalah orang yang kerjanya mengajar. 6
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
guru adalah orang yang bertanggung jawab memberikan pendidikan dan
ilmu pengetahuan serta menanamkan nilai-nilai moral kepada anak didik
mereka, sehingga menjadi manusia dewasa yang berguna bagi nusa dan
bangsa serta memiliki akhlakul karimah. Hal ini menunjukkan bahwa
seorang guru mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam
membentuk sebuah generasi penerus, yang bisa membawa perubahan
suatu bangsa. Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan nilai-nilai sebagai
suatu pedoman dalam membentuk generasi yang berbudi pekerti luhur.
2. Kriteria dan Syarat Guru
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui beberapa
kriteria seorang guru ideal. Adapun yang dimaksud guru ideal ialah sosok
guru yang mampu menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan
baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat.
5 Abdul Mu’ti & Chabib Thoha, Abdul, PBM-PAI di Sekolah, (Semarang: Fak. Tarbiyah
IAIN Walisongo, 1998), Cet. I, hlm. 179. 6 Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), Cet. I, hlm.
49-128.
14
Menurut Husnul Chotimah, sebagaimana dikutip oleh Asmani, ada
empat kriteria guru ideal yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia di
abad 21 ini. Pertama, dapat membagi waktu dengan baik, dapat membagi
waktu antara tugas utama sebagai guru dan tugas keluarga, serta dalam
masyarakat. Kedua, rajin membaca. Ketiga, banyak menulis. Keempat,
gemar melakukan penelitian. 7
Dari kriteria tersebut dapat disimpulkan, bahwa kriteria guru ideal
antara lain: Pertama, guru yang memahami benar profesinya. Kedua, guru
yang rajin membaca dan menulis. Ketiga, guru yang sensitif terhadap
waktu. Keempat, guru yang kreatif dan inovatif. Kelima, guru yang
memiliki kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan moral,
kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan motorik.8
Adapun sosok kepribadian guru ideal menurut Islam telah di
tunjukkan pada keguruan Rasulullah SAW.
Sebagaimana firman Allah SWT.
ô‰s)©9 tβ% x. öΝä3s9 ’ Îû ÉΑθ ß™u‘ «!$# îοuθ ó™é& ×πuΖ|¡ym .... ∩⊄⊇∪
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu. (Q.S. Al-Ahzab: 21).9
Ayat tersebut menerangkan tentang norma-norma yang tinggi dan
adanya teladan yang baik telah berada dihadapan manusia, jika mereka
menghendaki, hendaknya mereka mengambil contoh Rasulullah SAW di
dalam amal perbuatannya, dan hendaknya mereka berjalan sesuai dengan
petunjuknya.10
Sementara dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa ayat tersebut
merupakan prinsip utama dalam meneladani Rasulullah SAW baik dalam
7 Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), Cet. II, hlm. 21.
8 Ibid, hlm. 21-24. 9 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm.
595. 10 Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. K. Anshori Umar Sitanggal, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1998), juz VIII, hlm. 277.
15
ucapan, perbuatan, maupun perilakunya. Ayat ini merupakan perintah
Allah kepada manusia agar meneladani Nabi SAW dalam peristiwa al-
ahzab yaitu dengan meneladani kesabaran, upaya dan penantiannya atas
jalan keluar yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla. Karena itu Allah
Ta’ala berfirman kepada orang yang hatinya kalut dan guncang dalam
peristiwa al-ahzab, ”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW
suri tauladan yang baik bagimu”.11
Adapun maksud dari ayat tersebut adalah perintah bagi manusia
untuk mengikuti dan meneladani Rasulullah SAW dalam segala tingkah
laku, perkataan dan perbuatannya. Jika diterapkan oleh seorang guru,
maka hal ini akan sangat mendukung profesinya, karena Rasulullah adalah
orang yang sangat berhasil dalam mendidik dan mengajarkan ilmu, baik
kepada para sahabatnya maupun kepada para umatnya.
Agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik, maka seorang guru
harus memiliki syarat-syarat pokok. Syarat pokok tersebut menurut Sulani,
sebagaimana dikutip oleh Nurdin, antara lain: Pertama, syarat syakhsiyah
(memiliki kepribadian yang dapat diandalkan). Kedua, syarat ilmiah
(memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni). Ketiga, syarat idhafiyah
(mengetahui, menghayati dan menyelami manusia yang dihadapinya,
sehingga dapat menyatukan dirinya untuk membawa peserta didik menuju
tujuan yang ditetapkan). 12
Sementara menurut Suwarno, syarat-syarat untuk guru yang baik,
antara lain: syarat profesional (ijazah), syarat biologis (kesehatan jasmani),
syarat psikologis (kesehatan mental) dan syarat paedagogies-didaktis
(pendidikan dan pengajaran).13 Syarat-syarat tersebut menunjukkan bahwa
profesi guru tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, selain ia telah
menempuh pendidikan, ia juga harus sehat jasmani dan rokhaninya.
11 Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid 3, Cet. I, hlm. 841.
12 Nurdin, op.cit, hlm. 129. 13 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), Cet. III, hlm. 92-
93.
16
Sedangkan menurut Al-Ghazali, syarat seorang guru (syekh) adalah
sebagai berikut:
a. Alim
Orang yang pantas menjadi penerus Rasulullah adalah orang
yang alim, namun tidak semua orang alim bisa menjadi penerus
Rasulullah. Adapun syarat seorang alim di sini, adalah berpaling dari
kesenangan duniawi dan tidak menyukai pangkat serta kedudukan.
b. Berakhlak mulia
Orang yang berakhlak mulia disini ialah orang yang mampu
mengendalikan hawa nafsunya, dengan sedikit makannya, sedikit
bicaranya, dan sedikit tidurnya, serta suka memperbanyak shalatnya,
shadaqah, dan puasa. Semua hal tersebut ia kerjakan semata-mata
untuk mencari keridhaan Allah dan kedekatan kepada-Nya. Selain itu,
seorang guru berakhlak mulia dalam segala tingkah lakunya, seperti
sabar, tekun dalam menjalankan shalatnya, senantiasa bersyukur atas
kenikmatan Allah yang diterimanya, dan selalu bertawakkal kepada
Allah SWT dalam segala kehidupannya.14
Dari berbagai syarat di atas menujukkan bahwa seorang guru
adalah orang yang menjadi panutan, sehingga segala tingkah lakunya
harus mencerminkan akhlak yang mulia. Selain itu, ia juga harus
mempunyai ilmu pengetahuan yang luas, sehingga bisa mengayomi murid-
muridnya. Seorang guru senantiasa harus meluruskan niatnya untuk
mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari materi semata.
Sehingga ilmu yang dimilikinya manfaat, baik untuk dirinya maupun
untuk orang lain. Selain itu, seorang guru juga harus memahami betul sifat
dan karakteristik para muridnya, sehingga hubungan antara guru dan
murid bisa tetap terjaga dan terjalin dengan baik.
14 Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, terj. Fu’ad Kauma, ( Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2005),
Cet.I, hlm. 50-51.
17
3. Tugas dan Peranan Guru
Jabatan guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas
maupun diluar dinas dalam bentuk pengabdian. Tugas guru tidak hanya
sebatas sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan
dan kemasyarakatan.
Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk
mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Adapun mendidik, mengajar, dan melatih anak
didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik
berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak
didik. Adapun tugas guru sebagai pengajar ialah meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik.
Sedangkan tugas guru sebagai pelatih ialah mengembangkan ketrampilan
dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. 15
Tugas kemanusiaan merupakan salah satu segi dari tugas guru.
Dalam hal ini, guru harus terlibat dalam kehidupan di masyarakat dengan
interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada
anak didik. Selain itu, guru juga harus bisa menempatkan diri sebagai
orang tua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan oleh orang
tua atau wali murid dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap jiwa dan watak anak didik diperlukan agar dapat
dengan mudah memahami mereka.16
Berkaitan dengan hal ini, Al-Ghazali membagi tugas dan adab
seorang guru, antara lain:
Pertama, seorang guru harus mempunyai rasa belas kasih kepada
murid-muridnya dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri. Kedua,
dengan mengikuti jejak Rasulullah SAW yakni tidak mencari upah,
balasan dan terimakasih atas pengajaran tersebut. Ketiga, memberi nasihat
15 Djamarah, op.cit, hlm. 37. 16 Ibid.
18
dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat ilmu, sebelum pada tingkat
ilmu tersebut dan melarangnya belajar ilmu yang tersembunyi sebelum
selesai ilmu yang terang. Keempat, memberi nasehat kepada para murid
dengan tulus, serta mencegah mereka dari akhlak tercela.17
Adapun peranan (role) seorang guru ialah keseluruhan tingkah laku
yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru.
Guru mempunyai peranan yang amat luas, baik di sekolah, keluarga, dan
di dalam masyarakat. Adapun yang paling utama adalah kedudukannya
sebagai pengajar dan pendidik, yakni sebagai guru. Berdasarkan
kedudukannya sebagai guru, ia harus menunjukkan perilaku yang layak
(bisa dijadikan teladan oleh siswanya). Tuntutan masyarakat khususnya
siswa dari guru dalam aspek etis, intelektual dan sosial lebih tinggi
daripada yang dituntut dari orang dewasa lainnya.18
Untuk memenuhi tuntutan di atas, maka guru harus mampu
memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang
pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik.
Dalam hal ini, Mulyasa mengidentifikasikan ada 19 peran guru, yakni guru
sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu
(inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas,
pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa ceritera,
aktor, emansipator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator.19
4. Guru Sebagai Profesi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Profesi adalah bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu (ketrampilan,
kejuruan dan sebagainya). Sementara profesional adalah sesuatu yang
bersangkutan dengan profesi, sesuatu yang memerlukan keahlian khusus
17 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I,
Cet. 12, hlm. 212-217. 18 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2005), hlm. 165. 19 Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), Cet.
VII, hlm. 36-37.
19
untuk menjalankannya, dan mengharuskan adanya pembayaran untuk
melakukannya.20
Kata profesi identik dengan kata keahlian, hal ini sebagaimana
dikutip oleh Daeng Arifin & Dedi Permadi, bahwa Jarvis mengatakan
”seseorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai orang yang ahli
(expert)”. Pada sisi lain profesi mempunyai pengertian seseorang yang
menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik dan
prosedur berdasarkan intelektualitas. Selain itu, profesi juga sebagai
spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui studi dan
training yang bertujuan menciptakan ketrampilan, pekerjaan yang bernilai
tinggi, sehingga ketrampilan dan pekerjaan itu diminati, disenangi oleh
orang lain dan ia dapat melakukan pekerjaan itu dengan mendapat
imbalan berupa bayaran, upah dan gaji (payment).21
Dari pengertian profesi di atas, maka profesi yang disandang oleh
guru, merupakan suatu pekerjaan yang membutuhkan ilmu pengetahuan,
ketrampilan, kemampuan, keahlian dan ketelatenan dalam menciptakan
generasi penerus yang sesuai dengan harapan. Adapun pengertian profesi
guru diatas dilihat dari usaha keras dan keahlian yang dimiliki oleh
seorang guru, sehingga mereka wajar mendapatkan kompensasi yang adil
berupa gaji dan tunjangan yang besar serta fasilitas yang memadai
dibanding pegawai struktural, apabila dilihat dari berat ringan pekerjaan.
Tugas guru sebagai pembimbing, pelatih dan pengajar merupakan tugas
yang berat yakni memeras otak. Guru harus siap mental dan fisik untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya dalam menciptakan guru yang profesional, maka para guru
diberi kesempatan untuk mengembangkan diri, dengan mengikuti
berbagai pelatihan, kursus dan penataran serta melanjutkan pendidikan ke
20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), Cet. 2, hlm. 789. 21 Daeng Arifin & Dedi Permadi, The Smiling Teacher, (Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2010), hlm. 11.
20
jenjang yang lebih tinggi. Mereka juga diberi kesempatan untuk
menduduki jabatan apapun di negeri ini sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya. Sehingga dalam hal ini, profesi guru sama dengan profesi
yang lainnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen juga dijelaskan, bahwa profesional adalah pekerjaan (profesi) atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang
harus memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.22 Seorang guru yang profesional akan beritikad untuk
merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang
digelutinya. Oleh karena itu, dalam hal ini seorang guru tidak terlalu
mementingkan atau mengharapkan imbalan upah material.
Adapun masalah profesionalisme guru, mengandung pengertian
kegiatan dan usaha meningkatkan kompetensi guru ke arah yang lebih
baik dilihat dari berbagai aspek demi terselenggaranya suatu optimalisasi
pelayanan kegiatan atau pekerjaan profesi guru yang memiliki makna
penting sebagaimana dikutip oleh Daeng Arifin & Dedi Permadi, antara
lain: 23
Pertama, profesionalisme akan memberikan jaminan perlindungan
kepada kesejahteraan masyarakat umum. Kedua, profesionalisme guru
merupakan suatu cara untuk memperbaiki profesi pendidikan yang selama
ini dianggap oleh sebagian masyarakat, rendah. Ketiga, profesionalisme
guru memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang
memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan
memaksimalkan kompetensinya, selanjutnya dengan profesionalisme
guru, terjadi pergeseran fungsi guru dari pengajar (teacher), beralih
22 Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, op. cit, hlm. 3. 23 Daeng Arifin & Dedi Permadi, op. cit, hlm. 12.
21
sebagai pelatih (coach), pembimbing (concelor), dan sebagai manajer
pembelajaran (learning manager).
Sementara itu, profesionalitas menunjukkan adanya kualitas suatu
profesi atau pekerjaan sesuai dengan standar yang diinginkan dan
mendapat pengakuan secara positif dari klien atau masyarakat atas hasil
yang dicapai dari profesi guru akan dilakukannya. Dalam hal ini, kualitas
profesi guru akan ditunjukkan oleh sikap utama berikut ini: keinginan
untuk selalu menampilkan perilaku hasil kerja yang mendekati sesuai
dengan standar ideal, senantiasa berusaha meningkatkan dan memelihara
citra profesinya, memiliki keinginan yang kuat untuk senantiasa mengejar
kesempatan pengembangan profesional agar dapat meningkatkan dan
memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya, senantiasa
mengejar dan mengutamakan kualitas atau mutu dan cita-cita dalam
profesi, serta memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Adapun Kode Etik Guru Indonesia, antara lain:
a. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk
manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
b. Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum
sesuai kebutuhan anak didik masing-masing.
c. Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh
informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala
bentuk penyalahgunaan.
d. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara
hubungan dengan orang tua anak didik sebaik-baiknya bagi
kepentingan anak didik.
e. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar
sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan
pendidikan.
f. Guru sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan
meningkatkan mutu profesinya.
22
g. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru,
baik berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan
keseluruhan.
h. Guru secara hukum bersama-sama memelihara, membina, dan
meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana
pengabdiannya.
i. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang pendidikan.24
B. Ikhlas
1. Pengertian Ikhlas
Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: ���- ����� -
و��� yang artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih.25
Ikhlas secara bahasa berbentuk mashdar, dan fiilnya adalah
akhlasha. Fiil tersebut berbentuk mazid. Adapun bentuk mujarradnya
adalah khalasha. Makna khalasha adalah bening (shafa), segala noda
hilang darinya. Jika dikatakan khalashal ma’a minal kadar (air bersih dari
kotoran) artinya air itu bening. Jika dikatakan dzahaban khalish (emas
murni) artinya emas yang bersih tidak ada noda di dalamnya. Dalam hal
ini, emas tidak dicampuri oleh partikel lain seperti perunggu dan lain
sebagainya.26
Ikhlas adalah menyaring sesuatu sampai tidak lagi tercampuri
dengan yang lainnya. Kalimatul ikhlas adalah kalimat tauhid yaitu laa
ilaaha illallah. Surah ikhlas adalah surat qul huwallahu ahad, yaitu surat
tauhid. Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa makna ikhlas
secara bahasa adalah suci (ash-shafa’), bersih (an-naqi), dan tauhid.
24 Djamarah, op.cit, hlm. 49-50. 25 Munawir & Al-Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 171. 26 Abu Farits, Tazkiyatunnafs, terj. Habiburrahman Saerozi, (Jakarta: Gema Insani, 2006),
Cet. II, hlm. 15.
23
Adapun ikhlas dalam syariat Islam adalah sucinya niat, bersihnya
hati dari syirik dan riya serta hanya menginginkan ridha Allah semata
dalam segala kepercayaan, perkataan dan perbuatan.27
Berkaitan dengan ikhlas, Nawawi mengungkapkan bahwa:
٢٨ �#"�! �ن ���ت ��ا�� ا��� ه�ة وا��� ��� �� ا��ق ا� ا��ص Ikhlas yaitu membersihkan pancaindranya dengan lahir dan batin
dari budi pekerti yang tercela.
Sementara ikhlas menurut Al-Imam Asy Syahid, sebagaimana
dikutip oleh Ramadhan adalah sebuah sikap kejiwaan seorang muslim
yang selalu berprinsip bahwa semua amal dan jihadnya karena Allah SWT.
Hal itu ia lakukan demi meraih ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa
sedikitpun melihat pada prospek (keduniaan), derajat, pangkat, kedudukan,
dan sebagainya.29
Arberry dalam bukunya Sufism An Account Of The Mystics Of
Islam, mengatakan ikhlas (sincerity) that is, seeking only God in every act
of obedience to Him.30 Ikhlas atau ketulusan hati yaitu, yang dalam setiap
perbutannya ditujukan hanya semata-mata karena Tuhan.
Adapun beberapa pendapat guru tasawuf mengenai ikhlas,
sebagaimana dikutip oleh Al-Ghazali, antara lain sebagai berikut: As-Susi
berkata, ”Ikhlas adalah hilangnya pandangan keikhlasan. Karena, barang
siapa melihat keikhlasan di dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya memerlukan
keikhlasan.” Sahl ditanya, ”Apakah yang paling sulit bagi diri?” Ia
menjawab, ”Ikhlas, karena ia tidak mempunyai bagian di dalamnya.” Ia
pun pernah berkata, ”Ikhlas adalah diam dan geraknya hamba hanyalah
27 Ibid, hlm. 16. 28 Nawawi As-Syafi’i Al-Qadiri, Bahjatul Wasaail Bisyarhi Masaail, (Semarang:
Maktabah Wamatbaah “Karya Thoha Putra”, tt.), hlm. 32. 29 Ramadhan, Quantum Ikhlas, terj. Alek Mahya Shofa, (Solo: Abyan, 2009), hlm. 9. 30 Arberry, Sufism An Account Of The Mystics Of Islam, (London: George Allen & Unwin
Ltd, t.th), hlm. 77.
24
karena Allah SWT semata.” Al-Junaid mengatakan bahwa, ”Ikhlas adalah
membersihkan perbuatan dari kotoran.”31
Dalam perspektif sufistik, ikhlas di samping sebagai bagian dari
maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, juga merupakan syarat syahnya suatu ibadah. Jika
amal perbuatan diibaratkan sebagai badan jasmani, maka ikhlas adalah roh
atau jiwanya. Hal ini berbeda sekali dengan pandangan ulama fiqh yang
menganggap bahwa ikhlas bukanlah syarat syahnya suatu ibadah.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
ikhlas adalah mengerjakan suatu amal perbuatan semata-mata hanya untuk
mendapatkan ridha dari Allah SWT, bukan untuk meraih pamrih duniawi,
dengan tidak mengharapkan pujian dari manusia dan senantiasa menjaga
niatnya dengan benar. Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak
benar, maka tidak akan diterima sehingga amal itu ikhlas dan benar.
Adapun ikhlas artinya amal itu dikerjakan karena Allah, dan benar jika
amal itu dikerjakan berdasarkan sunah. Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh ‘Audah al-‘Awayisyah, bahwa suatu aktivitas apabila tidak memenuhi
dua perkara maka tidak akan diterima oleh Allah. Pertama, hendaknya
aktivitas itu ditujukan semata-mata hanya mengharap keridhaan Allah
’azza wa jalla. Kedua, hendaknya aktivitas itu sesuai dengan apa yang
disyariatkan Allah SWT dalam al-Qur’an dan sesuai dengan penjelasan
Rasul-Nya dalam sunah beliau.32
Jadi, ikhlas adalah berbuat sesuatu dengan tidak ada pendorong
apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah SWT,
serta mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian tidak
akan tercipta melainkan dari orang yang betul-betul cinta kepada Allah
SWT, dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya untuk mencintai
harta keduniaan.
31 Al-Ghazalli, Mutiara Ihya Ulumuddin, ( Bandung: Mizan, 2008), hlm. 412. 32 ‘Audah al-‘Awayisyah, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani, (Yogyakarta: Maktabah Al-
Hanif, 2007), Cet. I, hlm.6.
25
2. Hakikat Ikhlas
Ikhlas dengan sangat indah digambarkan oleh Allah dalam Al-
Qur’an surat al -An’am [6] ayat 162:
ö≅è% ¨βÎ) ’ ÎAŸξ |¹ ’Å5 Ý¡ èΣuρ y“$ u‹øtxΧuρ †ÎA$ yϑtΒ uρ ¬! Éb>u‘ tÏΗs>≈ yè ø9 $# ∩⊇∉⊄∪
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku lillahi rabbil ’alamin.33
Menurut ajaran Islam, hidup ini adalah untuk beribadah, bekerja
dan berbuat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Pada
hakikatnya semua kebaikan itu, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa
saja sepatutnya hanya dipersembahkan kepada Allah semata, bukan
kepada selain-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT.
È≅è%uρ (#θ è=yϑôã$# “u�z� |¡sù ª! $# ö/ ä3n=uΗxå …ã& è!θ ß™u‘uρ tβθãΖÏΒ ÷σßϑø9 $#uρ ( šχρ–Š u�äIy™uρ 4’n<Î)
ÉΟÎ=≈ tã É=ø‹ tóø9 $# Íοy‰≈ pꤶ9 $#uρ / ä3ã∞ Îm7t⊥ ã‹ sù $ yϑÎ/ ÷ΛäΖä. tβθè=yϑ÷ès? ∩⊇⊃∈∪
Dan katakanlah: ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At-Taubah [9]: 105).34
!$ tΒ uρ (# ÿρâ÷É∆ é& āω Î) (#ρ߉ç6 ÷èu‹ Ï9 ©!$# t ÅÁÎ=øƒèΧ ã& s! tÏe$!$# u!$ x"uΖãm (#θ ßϑ‹É)ムuρ nο4θ n=¢Á9 $#
(#θ è?÷σムuρ nο4θ x.̈“9 $# 4 y7 Ï9≡ sŒ uρ ߃ ÏŠ Ïπ yϑÍhŠs)ø9 $# ∩∈∪
Dan mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah [98]: 5).35
33 Departemen Agama, op.cit, hlm. 201 34 Ibid, hlm. 273. 35 Ibid, hlm. 907.
26
Beberapa ayat di atas menegaskan bahwa beribadah dengan ikhlas
adalah satu-satunya tugas dan kewajiban manusia kepada Allah SWT.
Artinya, seluruh aktivitas hidup dan kehidupan manusia (gerak dan
diamnya) adalah dalam rangka pengabdian (’ubudiyah) dan perilaku
ketauhidan yang jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) serta jauh dari
kesesatan.
Seorang tokoh sufi bernama Dzun al-Misry menjelaskan tentang
ciri-ciri orang yang berbuat ikhlas dalam amalnya, sebagaimana dikutip
oleh Syukur, antara lain: Pertama, disaat orang yang bersangkutan
memandang pujian dan celaan manusia sama saja. Kedua, melupakan amal
ketika beramal dan Ketiga, jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh
pahala di akherat karena amal baiknya.36
Dengan demikian, maka ikhlas merupakan pondasi penting dalam
membangun agama, karena ikhlas mempunyai cakupan yang tidak kalah
penting, antara lain: Ikhlas dalam niat, yakni ikhlas beribadah dan beramal
hanya demi Allah semata. Ikhlas dalam nasihat, sebagaimana asal muara
kata nasihat (dalam bahasa Arab) adalah khulus atau kemurnian. Ikhlas
dalam agama atau akidah, adapun yang dimaksud akidah adalah hakekat
Islam dan prinsip dasar yang terbangun atas ketundukan yang mutlak
hanya kepada Allah, tidak yang lain-Nya. Hal itu semua terangkum dalam
redaksi kalimat tauhid yang berbunyi: ”La illaha illallah, Muhammadur
rasulullah.” 37
Sebagaimana firman Allah SWT.
ωç7 ôã$$ sù ©!$# $ TÁÎ=øƒèΧ çµ©9 šÏe$!$# ∩⊄∪
Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. (Q.S. Az-Zumar [39]:2).38
36 Syukur, op.cit, hlm. 120. 37 Ramadhan, op.cit, hlm. 31-32.
38 Departemen Agama, op.cit, hlm. 658.
27
Maksud dari ayat di atas adalah sebuah perintah bagi umat manusia
untuk mengabdi kepada-Nya dan menyeru kepada semua orang untuk
mengabdi kepadanya saja. Tidak ada sekutu bagi-Nya, karena tidak layak
peribadatan kecuali bagi-Nya saja. Oleh karena iu, Allah berfirman,
”ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih”. Maksudnya,
tidak ada amalan yang diterima kecuali bila amalan itu ikhlas semata-mata
karena-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya.39
Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap
sekaligus sebagai unsur penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam
sifat ikhlas. Selain itu, unsur penunjang tersebut sekaligus sebagai quality
control bagi keikhlasan itu sendiri, diantaranya adalah sifat atau sikap:
Husnuzhan (berprasangka baik), Istiqamah, Tawakkal, Sabar, Syukur,
Zuhud dan Wara’.40
Banyak diantara manusia yang menganggap dirinya sudah ikhlas
dalam hal niat, i’tikad (keyakinan), tujuan dan maksud dari perbuatannya.
Namun, apabila mereka mau menyelidikinya dengan teliti, mereka akan
mengetahui bahwa telah tersembunyi dalam niat, keyakinan, tujuan, dan
maksud selain Allah dalam aktivitasnya tersebut. Adapun indikasi atau
tanda-tanda ikhlas berdasarkan al-Qur’an dan hadist Nabi SAW adalah
sebagai berikut: Ikhlas yaitu tidak berharap apapun kepada makhluk,
menjalankan kewajiban bukan mencari status, tidak ada penyesalan, tidak
berbeda apabila direspons positif ataupun negatif, tidak membedakan
situasi dan kondisi, menjadikan harta dan kedudukan bukan sebagai
penghalang, berintegrasinya lahir dan batin, jauh dari sikap sektarian atau
fanatisme golongan, selalu mencari celah untuk beramal saleh.41
Dengan adanya indikasi tersebut, maka akan menjadi cermin bagi
setiap orang, khususnya bagi seorang guru agar senantiasa mengontrol
dirinya untuk ikhlas dan tidak terkecoh akan kemegahan dunia dengan
39 Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, jilid 4, hlm. 90. 40 Al-Banjari, Mengarungi Samudra Ikhlas, (Jogjakarta: Diva Press, 2007), hlm. 28. 41 Ibid, hlm. 61-75.
28
segala yang menghiasinya. Adapun mengenai hal-hal yang dapat menjadi
rusaknya ikhlas, antara lain: riya’ (suka pamer), nifaq, ’ujub, sum’ah,
waswas, takabur, cinta dunia, kedudukan, dan jabatan, hasad (dengki),
su’uzhan (berburuk sangka) dan bakhil (kikir).42
Sifat-sifat tersebut mengenai hal yang dapat merusak keikhlasan
seseorang merupakan sifat-sifat yang tercela. Sehingga untuk menjadi
orang yang ikhlas, maka harus senantiasa menjaga sikap dan sifatnya
dengan terus istiqomah untuk melakukan kebaikan dan amal sholeh
semata-mata untuk mendapat ridha Allah dan senantiasa mengoreksi diri.
3. Buah Keikhlasan
Diantara buah ikhlas karena Allah SWT, sebagaimana disebutkan
oleh ’Audah al-’Awasyiah, antara lain sebagai berikut:
1. Akan ditolong dan dibela oleh Allah SWT. 2. Selamat dari siksa di akhirat. 3. Mendapat kedudukan tinggi di akhirat. 4. Diselamatkan dari kesesatan di dunia. 5. Merupakan sebab bertambahnya petunjuk (hidayah). 6. Orang yang ikhlas dicintai penduduk langit. 7. Orang yang ikhlas diterima dengan baik di muka bumi. 8. Orang yang ikhlas akan mendapatkan reputasi (nama baik)
di kalangan manusia. 9. Dihindarkan dari kesulitan-kesulitan duniawi. 10. Ketentraman hati dan kebahagiaan. 11. Menyebabkan iman indah dalam hati dan menjadikan hati
benci kepada kefasikan dan kemaksiatan. 12. Orang yang ikhlas akan diberi taufik oleh Allah sehingga
berkesempatan berteman dengan orang-orang yang ikhlas. 13. Sanggup memikul segala kesulitan hidup di dunia, betapa pun
beratnya. 14. Mendapat husnul khatimah. 15. Doanya makbul. 16. Merasakan kenikmatan dan kabar gembira akan mendapatkan
kesenangan di dalam kubur.43
42 Ibid, hlm. 9.
43 ‘Audah al-‘Awayisyah, op.cit, hlm. 149-156.
29
C. Guru Yang Ikhlas
1 . Pengertian Guru Yang Ikhlas
Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia daripada pekerjaan sebagai
guru atau pengajar. Semakin tinggi dan bermanfaat materi ilmu yang
diajarkan, maka yang mengajarkannya juga semakin mulia dan tinggi
derajatnya. Jika guru atau pengajar mengikhlaskan amalnya karena Allah,
maka akan memberi manfaat kepada manusia dengan amalnya itu karena
mengajarkan kebaikan kepada mereka. Akan tetapi, banyak orang yang
belajar dan berilmu tanpa beramal. Padahal, menuntut ilmu harus
disempurnakan dengan menyibukkan diri beramal yang disertai dengan
keikhlasan.
Dengan demikian, maka keikhlasan seorang guru dalam mengajar
harus senantiasa terjaga. Adapun yang dimaksud dengan guru yang ikhlas
disini ialah mengajar dengan niat semata-mata mengamalkan ilmunya
karena Allah dan untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Ia selalu membawa
hatinya dalam mengajar, sehingga ia benar-benar menikmati tugasnya
sebagai pengajar dan murid pun bisa menerima dengan baik ilmu yang
diajarkan gurunya. Dengan demikian, maka akan terciptalah lingkungan
belajar yang kondusif. Sehingga tujuan pembelajaran pun bisa tercapai
dengan baik, yakni menciptakan generasi penerus yang cerdas, beriman
dan bertaqwa serta mempunyai akhlakul karimah.
Jadi, dalam hal ini seorang guru hanya pantas menggerakkan
hidupnya untuk Allah semata, inilah yang disebut ikhlas. Tapi, hal ini
bukan berarti bahwa kreativitas dalam hidup ini tidak perlu dihargai
secara material. Sebagian orang memahami ikhlas dengan melakukan
kebajikan tanpa penghargaan secara material. Misalnya mengajar baca
tulis al-Qur’an gratis, menjadi pembicara di pengajian tanpa bayaran.
30
Gratis bukanlah identik dengan sikap ikhlas, karena ikhlas adalah urusan
sikap hati. 44
Berkaitan dengan hal ini, disebutkan dalam al-Qur’an, bahwa
orang yang menyebarkan agama Islam termasuk fi sabilillah dan berhak
mendapatkan bagian dari zakat, meskipun ia kaya raya. Ketika mubalig
atau guru menerima upah, ia tidak kehilangan ikhlasnya. Karena ikhlas
tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah. Demikian
juga apabila guru meminta upah (gaji) setelah memberikan pelajaran.
Sejauh guru menuntut upah itu karena tahu bahwa Allah dan Rasulnya
menyuruh untuk menuntut haknya, maka ia masih tergolong ikhlas. Justru
menjadi tidak ikhlas ketika seorang guru menolak upah, sementara ia
sangat memerlukannya. Apalagi jika penolakan tersebut lantaran ia tidak
ingin disebut orang yang tidak ikhlas.45
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa ikhlas artinya bersih,
murni, dan tidak bercampur dengan yang lain. Sedangkan ikhlas menurut
istilah adalah ketulusan hati dalam melaksanakan suatu amal yang baik,
yang semata-mata karena Allah. Apabila pekerjaan dilakukan dengan
ikhlas (tulus hati), maka pekerjaan itu tidak akan terasa berat, betapa pun
pekerjaan itu sangat sulit. Dengan demikian, keikhlasan guru dalam
mengajar sangat penting. Sehingga guru tidak merasa terbebani dengan
tugasnya, para muridpun akan merasa nyaman dalam belajar sehingga
proses pembelajaran akan berjalan lancar.
2. Kriteria Guru Yang Ikhlas
Berdasarkan ciri-ciri dan kriteria guru ideal di atas, maka kriteria
guru yang ikhlas adalah sebagai berikut:
a. Berniat untuk mencari ridha Allah SWT.
44 Gusmian, Surat Cinta Al-Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2006), Cet. II, hlm. 168. 45 Nurdin, op. cit, hlm. 148.
31
b. Senantiasa mendekatkan diri dengan menjalani perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
c. Menghadirkan hati dan jiwanya dalam mengajar.
d. Menguasai empat kompetensi guru, antara lain kompetensi paedagogik,
profesional, personal dan sosial.
e. Tidak berorientasi pada materi.
Seorang guru yang ingin mengajar dan mendidik dengan berhasil
harus mampu membawa pembelajaran dengan menghadirkan jiwanya.
Guru tidak sekedar mentransfer ilmu yang bersifat kognitif, melainkan
seorang guru juga dituntut untuk dapat menyertakan semangat, gairah,
perhatian dan kesabarannya selama proses pembelajaran sehingga dapat
menumbuhkan suasana pembelajaran yang kondusif. 46
Kepandaian guru dalam memahami perasaan dan keinginan peserta
didik menjadikan suasana kelas menjadi lebih hidup dan dinamis. Adanya
kesempatan lebih besar yang diberikan pendidik kepada peserta didik
untuk terlibat dalam proses pembelajaran menyebabkan peserta didik
merasa dihargai dan merasa ikut memiliki. Suasana tersebut lebih efektif
untuk menumbuhkan semangat dan memacu gairah belajar peserta didik.
Namun, proses pembelajaran tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya
kehadiran jiwa dari seorang guru, sebagaimana disebutkan di atas.
Berkaitan dengan empat kompetensi guru di atas, maka seorang
guru harus menguasai empat bidang tersebut dalam proses pengajaran.
Menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, yang dimaksud dengan
kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki oleh guru atau dosen dengan jenis, jenjang, dan satuan
pendidikan formal di tempat penugasan.47
Dalam bidang paedagogik, maka seorang guru harus mempunyai
ilmu pengetahuan yang mumpuni. Adapun kompetensi profesional, maka
46 Hidayatullah, Guru Sejati, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), Cet. II, hlm. 147. 47 Undang-Undang R.I No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, op. cit, hlm. 4.
32
pekerjaan guru memerlukan berbagai kemahiran, keahlian, dan kecakapan
yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi dengan mendapat penghasilan. Sedangkan kompetensi
personal, maka seorang guru harus mempunyai kepribadian yang baik dan
mulia, karena guru sebagai teladan bagi para muridnya. Sementara
kompetensi sosial, maka seorang guru harus bisa hidup bermasyarakat,
baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
3. Pendapat Para Tokoh Berkaitan Dengan Guru Yang Ikhlas
Beberapa tokoh yang menyatakan bahwa seorang guru haruslah
ikhlas, antara lain:
Nasih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad Fil Islam,
menyatakan bahwa sifat-sifat mendasar yang harus dimiliki pendidik,
antara lain: ikhlas, takwa, berilmu, penyabar, dan rasa tanggung jawab.
Adapun tentang sifat ikhlas, beliau menjelaskan bahwa pendidik
hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata untuk Allah dalam
seluruh pekerjaan mendidiknya, baik yang berupa perintah, larangan,
nasehat, pengawasan ataupun hukuman. Dengan demikian, maka pendidik
akan mendapat pahala dan keridhaan Allah SWT sebagai hasil dari
usahanya. Yakni apabila pelaksanaan terhadap sebuah metode pendidikan
dilakukan secara langgeng dan pengawasan terhadap anak didik
berlangsung secara terus menerus.48
Nasih Ulwan juga menggunakan dasar hukum al-Qur’an (QS. Al-
Bayyinah: 5 dan QS. Al-Kahfi: 110) dalam menegaskan betapa
pentingnya ikhlas bagi seorang guru. Oleh karena itu, setelah pendidik
mengetahui betapa pentingnya niat, maka hendaknya ia memurnikan niat
bermaksud mendapatkan keridhaan Allah dalam setiap amal perbuatan
yang dikerjakannya. Hal demikian agar diterima oleh Allah, dan dicintai
anak-anak serta muridnya. Disamping itu, apa yang dinasehatkan oleh
48 Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Tarbiyatul Aulad Fil Islam, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), Juz 2, hlm. 337.
33
guru dengan tulus ikhlas bisa membekas dengan baik pada anak didik
mereka.
Asy Syalhub juga mengatakan dalam bukunya yang berjudul
Guruku Muhammad SAW, bahwa salah satu sifat yang harus dipelihara
seorang guru adalah mengikhlaskan ilmu kepada Allah. Ia menyatakan
bahwa perkara besar yang dilupakan oleh kebanyakan guru dan pengajar
ialah menanamkan prinsip keikhlasan ilmu dan amal kepada Allah.
Banyak ilmu yang berguna dan pekerjaan yang besar bagi umat, namun
orang yang memilikinya atau orang yang mengerjakannya tidak bisa
mengambil manfaat apapun darinya. Hal itu karena orang tersebut tidak
mengikhlaskan ilmu dan amalnya, dan tidak menjadikannya di jalan
Allah. Akan tetapi tujuan mereka adalah untuk mendapatkan kedudukan,
pangkat dan semacamnya.49
Dari pernyataan di atas, maka sudah sepatutnya bagi para guru dan
pendidik untuk menanamkan sifat mengikhlaskan ilmu dan amal kepada
Allah, serta mencari pahala dan balasan dari Allah kedalam jiwa anak
didik mereka. Adapun jika ia mendapatkan pujian dan sanjungan dari
orang-orang, maka itu adalah anugerah dan nikmat dari Allah yang patut
untuk di syukuri. Jadi dalam hal ini, seorang guru harus menanamkan sifat
ikhlas kedalam jiwa murid-muridnya. Selain itu, seorang guru juga harus
membawa serta sifat itu dalam setiap memulai pekerjaan dan harus selalu
mengingatnya.
Sementara itu, Hidayatullah menjelaskan tentang keikhlasan
seorang guru yang dikaitkan dengan konsep mendidik dengan hati. Ia
menjelaskan bahwa untuk mengaktualisasikan pendidikan dan pengajaran
dengan suara hati, maka guru harus mendasarkan niatnya untuk mencari
keridhaan Allah. Adapun inti mendidik dengan hati adalah membangun
sebuah motivasi yang tumbuh dari dalam diri secara ikhlas. Dengan kata
lain bagaimana menumbuhkan motivasi internal untuk melakukan suatu
49 Asy Syalhub, Guruku Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 5.
34
aktivitas. Adapun motivasi internal adalah sebuah motivasi dari dalam diri
yang dilandasi dengan sebuah keikhlasan dalam bekerja.50
Dengan demikian, maka mengajar dan mendidik berdasarkan suara
hati merupakan kata lain dari mengajar dan mendidik dengan ikhlas.
Karena agar bisa mengajar dan mendidik dengan suara hati, seorang guru
harus melandasi niatnya untuk mencari keridhaan Allah SWT. Yakni
dengan munculnya motivasi dalam diri seorang guru secara ikhlas, dengan
segala kesadaran dan tanpa ada paksaan dari orang lain.
Nurdin juga menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Kiat
Menjadi Guru Profesional, bahwa salah satu syarat profesionalisme guru
dalam Islam adalah harus ikhlas. Adapun yang dimaksud dengan
profesionalisme dalam hal ini ialah sebagai kemampuan dan kewenangan
guru dalam menjalankan profesinya. Yakni guru yang piawai dalam
menjalankan tugasnya, sehingga disebut sebagai guru yang berkompeten
dan profesional.51
Suatu pekerjaan apabila dilakukan dengan ikhlas (tulus hati), maka
pekerjaan itu tidak akan terasa berat, betapapun pekerjaan itu sangat sulit.
Bagi seorang guru hendaknya ia harus ikhlas, karena ikhlas termasuk sifat
rabbaniyyah. Dengan kata lain, seseorang yang berprofesi sebagai guru
harus bercita-cita menggapai keridhaan Allah. Karena, kalau saja sifat
ikhlas ini hilang, dikhawatirkan terjadi sikap saling mendengki diantara
para guru, dan tidak menghiraukan pendapat orang lain. Sehingga akan
muncul sifat egois yang didukung oleh hawa nafsu yang menggantikan
pola hidup di atas kebenaran. Padahal kemuliaan hidup ini hanya dapat
dicapai dengan mendidik dari generasi ke generasi, supaya bisa
menggapai kemuliaan disisi Allah yang di upayakan dengan penuh
keikhlasan dan perhatian.52
50 Hidayatullah, op. cit, hlm. 131. 51 Nurdin, op. cit, hlm. 48-49. 52 Ibid, hlm. 148.
35
Dari beberapa pendapat para tokoh di atas, menggambarkan betapa
pentingnya keikhlasan bagi seorang guru dalam menjalani profesinya.
Keikhlasan seorang guru tidak bisa dilihat dari ia menerima atau menolak
upah atas imbalan dari mengajarnya. Karena ikhlas adalah suatu dorongan
dalam diri seorang guru sehingga bisa membawa hatinya dalam mengajar.
Sehingga guru mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan
memberikan ilmu yang manfaat serta mendapat ridha dari Allah SWT.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya para guru dan pendidik
menanamkan sifat mengikhlaskan ilmu dan amal kepada Allah, serta
mencari pahala dan balasan dari Allah ke dalam jiwa anak didik mereka.
Kemudian jika mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang-orang,
maka itu adalah anugrah dan nikmat dari Allah yang patut di syukuri.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW.
. ذر ر/. ا( &�� -� ل -#, ����ل ا( ��* ا( &�#� و��) أ&� و3>";: ا��� س &�#� -� ل 7�8 &�4, � ا�6#�53 ا��4, 23", ا�2", �أرأ
٥٣)روا: �@�) ( ?�ى ا�"=��Dari Abu Dzar, ia berkata: “pernah ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW. ‘Bagaimanakah tentang seorang yang berbuat kebajikan, lalu ada orang lain yang memuji nya (padahal niatnya ikhlas karena Allah)?’ Beliau menjawab: ‘itu adalah kegembiraan awal yang diberikan kepada seorang mukmin.’(H.R. Muslim)
D. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Pembahasan tentang ikhlas dan guru telah banyak dikemukakan dalam
berbagai penelitian. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa buku, skripsi dan
sebagainya. Namun yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah tentang
konsep guru yang ikhlas.
53 Abi Zakariya Yahya, Riyadhush Sholihin, (Semarang: Pustaka Alawiyah, t.t.), hlm. 618.
36
Dengan adanya telaah pustaka adalah sebagai bahan perbandingan
terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kekurangan atau kelebihan
sebelumnya.
Dari karya-karya yang dijumpai penulis, data yang dapat mendukung
kajian ini antara lain: skripsi karya Muhammad Ghozali tahun 2006 yang
berjudul “Etika Guru dan Murid menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’
Ulumuddin”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam Kitab Ihya’
Ulumuddin yang merupakan karya monumental Imam Al-Ghazali terdapat
beberapa etika yang harus dilaksanakan bagi guru dan murid demi kesuksesan
proses pembelajaran sehingga terjadilah suatu relasi yang harmonis antara
keduanya. Guru merupakan sosok yang mampu sebagai penunjuk ke jalan
Allah. Kesuksesan anak adalah tanggung jawab guru dan kesuksesan anak
adalah kesuksesan orang tua.54 Sementara pada penelitian ini, penulis
memfokuskan pada pembahasan tentang guru dalam kitab Ihya’ Ulumiddin,
yang berkaitan dengan keikhlasan guru dalam mengajar.
Skripsi karya Dewi Khurun Aini tahun 2009 yang berjudul “Pemikiran
Al-Ghazali tentang Kompetensi Guru Pendidikan Akhlak (Studi atas Kitab
Ihya’ Ulumuddin)”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa Al-Ghazali
mengharuskan pada seorang pendidik untuk menguasai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan keberhasilan pendidikan akhlak, seperti psikologi, kesehatan
dan sebagainya. Secara keseluruhan Imam Al-Ghazali termasuk sebagian dari
filosof yang menciptakan sistem pendidikan yang komprehensif, termasuk
tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik dalam memberikan
pendidikan akhlak kepada peserta didik. 55 Dalam penelitian tersebut, peneliti
memfokuskan pada kajian tentang kompetensi guru pendidikan akhlak,
semantara penulis dalam penelitian ini, fokus pada konsep Imam Al-Ghazali
tentang guru yang ikhlas. Dari konsep tersebut kemudian akan menghasilkan
sebuah rumusan tentang beberapa kompetensi guru ikhlas, yang dijadikan
54 Ghozali, Etika Guru dan Murid menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin,
( Semarang : Fak.Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006). 55 http://digilib.uin-suka.ac.id/download.php?id=2009, diundo 16/05/2011.
37
pedoman bagi guru dalam mengajar, sehingga mendapat ridha dari Allah
SWT.
Karya Asy Syalhub yaitu dalam buku yang berjudul Guruku
Muhammad SAW, yang merangkum berbagai keteladanan Rasulullah sebagai
seorang guru, dan untuk memperluas cakrawala tentang pendidikan dan
pengajaran dalam pandangan Islam. Salah satu bab dalam buku tersebut
menjelaskan tentang sifat-sifat yang harus dipelihara oleh seorang guru, antara
lain: seorang guru harus mengikhlaskan ilmu kepada Allah, jujur, sesuai
perkataan dan perbuatan, menghiasi dengan akhlak mulia dan sebagainya.56
Adapun perbedaannya dengan penelitian ini, penulis lebih cenderung dengan
pemikiran Al-Ghazali dalam memaparkan tentang konsep keikhlasan seorang
guru. Namun demikian, penulis tidak lepas dari ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai landasan dasar dalam memaparkan
konsep guru yang ikhlas.
Karya Herdananto dalam buku yang berjudul Menjadi Guru Bermoral
Profesional. Dalam buku ini diterangkan, bahwa profesi apapun yang dijalani
secara profesional pasti akan memberikan hasil yang terbaik. Maka, sangatlah
penting bagi siapapun untuk bersikap dan bermoral profesional, tak terkecuali
bagi seorang guru. Profesi yang sangat mulia ini mengantarkan sebuah bangsa
menjadi bermartabat. Dalam buku ini disebutkan tentang beberapa niatan awal
seseorang menjadi guru, sehingga menjadikan kemampuan guru berbeda-beda
dalam menyikapi hidup sebagai seorang guru, baik dalam persoalan antusias
dan kesungguhan dalam mengajar, masalah gaji maupun masalah lainnya yang
berkaitan dengan pembelajaran.57
Berkaitan dengan penelitian ini, penulis menyinggung masalah
pekerjaan seorang guru sebagai profesi, dimana seorang guru harus
mempunyai berbagai ketrampilan dan keahlian serta berbagai syarat lainnya
yang memenuhi kriteria guru sebagai profesi. Adapun perbedaan dengan
56 Asy Syalhub, op. cit, hlm. i-iii. 57 Herdananto, Menjadi Guru Bermoral Profesional, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009),
hlm. ix-xi.
38
penelitian ini, penulis lebih menekankan pada profesi guru, dimana seorang
guru diperbolehkan untuk mengambil imbalan jasa atau upah. Hal ini demi
kesejahteraan hidup guru dan keluarganya serta demi kelancaran proses
pembelajaran. Namun demikian, guru dalam hal ini harus tetap menanamkan
niatnya dengan tulus ikhlas semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan
karena urusan duniawi, seperti mencari harta, jabatan, pangkat maupun
kedudukan.
Dari berbagai data di atas, menunjukkan bahwa penelitian ini bukanlah
sesuatu hal yang baru. Karena masalah guru dan hal ikhlas telah banyak dikaji,
akan tetapi sepengetahuan penulis belum ada yang membahas tentang konsep
guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali. Sehingga penulis berkesimpulan
bahwa belum ada secara khusus penelitian yang membahas Konsep Guru
Yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.
39
BAB III
PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI
DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
1. Biografi Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi Al-
Faqih Ash-Shufi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari. Ia mendapat gelar al-Hujjah al-
Islam Zaynuddin al-Thusi.1 Ada dugaan, kata Al-Ghazali berasal dari
Ghazalah, desa di Khurasan Iran tempat dimana Al-Ghazali di lahirkan.
Ada pendapat lain, Al-Ghazali berasal dari kata Ghazzal al-Shuf, berarti
pemintal benang wol, yaitu profesi ayah Imam Al-Ghazali untuk
menghidupi keluarga. Jadi, sebutan Al-Ghazali berasal dari dua Ghazala.2
Di kalangan Barat Al-Ghazali dikenal dengan nama Al-Qazeel.
Imam Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di kota
Thus yang merupakan kota kedua di Khurasan setelah Naysabur. Beliau
berasal dari keluarga Muslim dengan anggota keluarganya sebagai
pemintal wol. Imam Al-Ghazali selanjutnya dikenal sebagai seorang filsuf,
teolog, ahli hukum, dan Sufi. Imam Al-Ghazali wafat di Thus pada hari
senin, 14 Jumada al-Akhir 505 H/1111 M dalam usia 55 tahun. Al-Hujjah
al-Islam Zaynuddin al-Thusi Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-
Ghazali di kuburkan di Zhahir al-Thabiran, ibu kota Thus.3
Ayah Al-Ghazali merupakan orang yang saleh. Dia tidak makan
kecuali dari hasil usahanya sendiri. Mata pencahariannya adalah memintal
bulu domba dan menjualnya di tokonya. Ketika ajal akan menjemputnya,
1 Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2008), hlm. 9. 2 Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 7. 3 Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Marja’, 2003), Cet. I,
hlm.18.
40
dia menitipkan Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad, kepada sahabatnya
seorang sufi yang dermawan. Dia berkata kepada karibnya, “Aku
menyesal tidak pernah belajar menulis. Oleh karena itu, aku ingin sekali
memperoleh apa yang telah aku tinggalkan itu pada kedua anakku, ajarilah
mereka menulis. Untuk itu, engkau boleh menggunakan peninggalanku
untuk pendidikan mereka. 4
Al-Ghazali masuk sekolah Ahmad Al-Razkani di Thus. Di sini ia
belajar ilmu fiqih secara luas. Semangatnya menuntut ilmu sangat tinggi.
Al-Ghazali pun pergi ke Naysabur untuk menuntut ilmu lebih luas. Di sana
ia belajar ilmu mantik (logika) dan ilmu kalam (teologi) kepada al-
Juwaini, yang dikenal dengan imam Haramain. Ia mempunyai kecerdasan
tinggi karena pandai menggunakan logika. Kemampuannya menguasai
ilmu dan diskusi ilmiah diakui oleh teman-temannya.5
Al-Ghazali juga aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu dengan
susunan dan metode yang sangat bagus. Ada sebuah riwayat, bahwa ketika
Al-Ghazali menulis bukunya Al-Mankhul dan memaparkan kepada
gurunya untuk meminta pendapatnya tentang karyanya itu, Imamul
Haramain mendesah ketika membacanya dengan sungguh-sungguh:
“Wahai, engkau telah memudarkan ketenaranku sebagai seorang penulis,
sampai-sampai aku berasa telah mati.” Pada saat kematiannya, Imam
Haramain meninggalkan beberapa karya terkemuka dan empat ratus ulama
istimewa sebagai murid-muridnya, tetapi Al-Ghazali melampaui mereka
semua. 6
Al-Ghazali adalah orang yang sangat cerdas, berwawasan luas,
kuat hafalan, berpandangan mendalam, menyelami makna, dan memiliki
hujjah-hujjah (argumen) yang akurat. Ketika Imam Haramain Al-Juwaini
wafat, Al-Ghazali pergi menemui Perdana Menteri Nizham Al-Mulk. Ia
4 Ibid., hlm.13-14. 5 Said Basil, loc.cit, hlm. 7 6 Qayyum, Surat-Surat Al-Ghazali, terj. Haidar Baqir, (Bandung: Mizan, 1985), Cet. II,
hlm. 6.
41
mendapat sambutan hangat darinya dan kedudukan yang agung karena
ketinggian derajatnya dan pandangan-pandangannya yang cemerlang.
Majelis Nizham al-Mulk senantiasa dipadati para ulama dan didatangi para
imam, pada suatu kesempatan Al-Ghazali mengemukakan pandangan-
pandangannya yang sesuai dengan pandangan para tokoh itu, dari situ
maka mencuatlah namanya, dan menjadi tokoh yang terkenal dengan
pemikirannya yang tajam dan cemerlang.
Dengan penguasaan ilmu tersebut Imam Al-Ghazali dipercaya
untuk mengelola Madrasah Nizamiyah di Baghdad sehingga majelis
taklim ini didatangi oleh para ulama dengan kebesaran sorbannya tidak
kurang dari tiga ratus orang ulama yang ingin berguru kepada Imam Al-
Ghazali. Dalam hal ini beliau ditunjuk sebagai guru hukum Islam di
Madrasah Nizamiyah tersebut, yang didirikan oleh Gubernur Nizam al-
Muluk, yakni seorang negarawan dan tokoh pendidikan yang sekaligus
sebagai pendiri lembaga pendidikan madrasah. 7
Di Baghdad, Al-Ghazali meraih sukses besar sebagai ahli hukum
Islam. Akan tetapi, walaupun demikian, Al-Ghazali merasa masih perlu
untuk terus menuntut ilmu. Ia lalu meninggalkan Baghdad dan menuntut
ilmu ke berbagai kota, ia menuju Syria untuk bermujahadah dan ber’uzlah
(mengasingkan diri dari kehidupan dan keramaian) selama dua tahun, guna
mencari esensi hakiki kehidupan. Al-Ghazali juga berziarah ke makam
Rasulullah SAW dan juga ke makam para aulia untuk pendekatan diri
kepada Allah. 8
Disebutkan bahwa Al-Ghazali pergi meninggalkan kota Baghdad
yang penuh kehormatan dan kemuliaan baginya itu, menuju Baitullah al-
Haram di Makkah al-Mukarrramah. Lalu, beliau menunaikan ibadah haji
pada bulan Zulhijah 488 H. Sementara pengajaran di Baghdad, beliau
7 Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 116-
117. 8 Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), Cet. I,
hlm. 176.
42
mewakilkan kepada adiknya. Sekembalinya dari haji pada tahun 489 H Al-
Ghazali menuju ke Damaskus. Beliau tinggal di situ tidak lama, kemudian
pergi ke Baitul Maqdis. Setelah menunaikan ibadah di sana, beliau
kembali lagi ke Damaskus, dan beriktikaf di menara sebelah barat masjid
jami’. Al-Ghazali tinggal dan menetap di tempat tersebut.9
Di Damaskus, beliau tinggal selama sepuluh tahun, disitu beliau
mulai menulis bukunya, Ihya’ Ulumiddin. Selain itu, beliau juga
membaktikan dirinya untuk ibadah, terus-menerus mengaji Al-Qur’an dan
menyebarkan pengetahuan serta memutuskan kontak dengan orang-orang.
Kemudian setelah mengunjungi Yerusalem dan Iskandariah, ia kembali ke
rumahnya di Thus, tempat ia mendirikan universitas untuk melatih dan
mempersiapkan ulama-ulama yang kelak bisa memberikan petunjuk dan
kepemimpinan yang dibutuhkan bagi dunia Islam.10
Al-Ghazali diminta kembali untuk menjadi Guru Besar di
Universitas Nizamiyah di Naysabur. Al-Ghazali menyetujuinya dan ia pun
kembali pada kehidupan kemasyarakatan pada tahun 500 H atau tahun
1106 M. Namun setelah mengajar beberapa waktu, ia berhenti dari
jabatannya dan kembali untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya di kota
asalnya Thus. Di samping rumahnya dia mendirikan madrasah untuk para
fuqaha (ahli fiqih) dan kamar-kamar untuk para Sufi. Dia membagi
waktunya untuk mengkhatamkan al-Qur’an, berdiskusi dengan ulama lain,
mengkaji ilmu, dan terus mendirikan shalat, puasa dan ibadah-ibadah
lainnya hingga wafat.11
Al-Ghazali meninggal dengan husnul khatimah pada hari senin
tanggal 14 juamadil akhir tahun 505 H (1111M) di Thusia. Jenazahnya
dikebumikan di samping makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang
termasyhur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-
kata yang di ucapkan pula oleh Francis Bacon seorang filsuf Inggris, yaitu:
9 Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub, op.cit, hlm. 17. 10 Qayyum, op.cit, hlm. 9-10. 11 Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub, op.cit, hlm. 18.
43
“Ku letakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat
bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan
dan buah bibir umat manusia di masa depan”.12
Ia meninggalkan pusaka yang tidak dapat dilupakan oleh umat
muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya dengan karangan-
karangannya yang berjumlah hampir seratus buah banyaknya.
2. Perjalanan Imam Al-Ghazali Sebagai Guru
Al-Ghazali, selain dikenal sebagai seorang Sufi, filsuf, teolog dan
ahli hukum, juga dikenal sebagai seorang guru. Hal ini bisa dilihat dari
perjalanan hidup beliau yang sarat akan pengalaman spiritual dan
menunjukkan bahwa Al-Ghazali adalah orang alim, yang mengetahui
hakekat dari setiap ilmu yang ia pelajari, sehingga pada akhirnya ia
menemukan arti dan hakekat dari keikhlasan. Ia mendekatkan dirinya
kepada Allah dengan melakukan segala peribadatan dan menjalani sunah-
sunah rasul serta meninggalkan semua harta-bendanya, kesenangan dunia,
pangkat dan kedudukan. Ia hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT,
senantiasa melakukan apapun karena Allah dan untuk Allah.
Al-Ghazali memiliki kecerdasan yang sangat luar biasa, hal ini
diakui oleh gurunya sendiri Imam Al-Juwaini, sehingga ia diberi gelar
oleh gurunya dengan “bahr muhriq”(samudera yang menenggelamkan),
dan ia sering diminta untuk mengajar adik-adik kelasnya.13 Adapun masa
mengajar Al-Ghazali sebagai guru, dimulai setelah Imam Al-Juwaini
meninggal. Ia pergi ke Muaskar, di sana ia bertemu wazir Nidzam al-
Mulk. Nidzam al-Mulk mengetahui kemampuan Al-Ghazali dalam
berdebat dan berdiskusi. Karena itu, ia diangkat menjadi dosen Universitas
Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M. Masa ini sangat
penting bagi Al-Ghazali, ia juga mendalami filsafat Yunani ditengah
12 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet.
XII, hlm. 25. 13 Jahja, Teologi Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. I, hlm. 71.
44
kesibukannya mengajar. Hal ini ia lakukan tanpa bantuan seorang guru,
akan tetapi ia bisa memahami seluk beluk filsafat Yunani tersebut. Untuk
itu ia menulis Maqashid al-Falasifah (Tujuan Filsafat) yang memuat
tentang pikiran-pikiran filsafat, sebagai pengantar bagi bukunya yang lain.
Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para filosuf), buku ini berisi kritik yang
keras terhadap filsafat. Karenanya ada anggapan filsafat tidak akan
tumbuh kembali. Setelah itu, Al-Ghazali menyusun Mi’yar al-‘ilm dan
buku-bukunya yang lain.
Al-Ghazali telah mencapai kedudukan yang mulia, semua orang
takjub akan keindahan tutur katanya, kesempurnaan keutamaannya,
kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya, dan kekuatan isyaratnya. Ia
mengkaji ilmu dan menyebarkannya melalui pengajaran dan pemberian
fatwa serta menulis buku. Ia memiliki kedudukan yang mulia, menduduki
posisi yang tinggi, ucapannya didengar dimana-mana, terkenal namanya,
menjadi teladan dan didatangi banyak orang. Namun, ia mengabaikan
semua itu dan pergi ke Baitullah al-Haram di Makkah al-Mukarramah. Dia
menunaikan ibadah haji pada bulan Zulhijah 488 H, sementara untuk
pengajaran di Baghdad, ia mewakilkannya pada adiknya.
Sekembalinya Imam Al-Ghazali ke Khurasan di Baghdad, beliau
memutuskan hanya untuk beribadah dan memilih uzlah, karena senang
untuk kholwah dan membersihkan atau mengonsentrasikan hati untuk
berdzikir kepada Allah. Pada suatu saat ia diminta untuk menjadi guru lagi
di Madrasah Nidzamiyah di Naysabur oleh Fajrul Muluk bin Nidzom Al
Muluk, tetapi ia menolaknya dan berkata: “aku hanya ingin untuk
beribadah” maka Fajrul Muluk berkata: ”tidak halal bagimu mencegah
kaum muslimin yang hendak mengambil faedah darimu”. Akhirnya Al-
Ghazali menerima anjuran mengajar walau tidak lama dan kemudian ia
kembali ke Thus.14 Di samping rumahnya ia mendirikan madrasah untuk
para fuqaha (ahli fiqih) dan menyediakan kamar-kamar untuk para sufi, ia
14 Syakur, Biografi Ulama Pengarang Kitab Salaf, (Kediri: Baroza, 2008), hlm. 38.
45
membagi waktunya untuk mengkhatamkan al-Qur’an, berdiskusi dengan
ulama lain, mengkaji ilmu, dan terus mendirikan shalat, puasa, dan ibadah-
ibadah lainnya hingga wafat. Imam Al-Ghazali wafat di Thus pada hari
Senin, 14 Jumada Akhir 505 H.
Dari berbagai pemaparan di atas, maka jelas bahwa Al-Ghazali
adalah orang yang haus akan ilmu dan selalu mengamalkan ilmunya. Ia
mengamalkan ilmunya dalam berbagai kesempatan, baik melalui dakwah,
diskusi, pengajaran formal maupun ia tuangkan dalam bentuk tulisan dan
buku. Adapun ilmu yang ia tuangkan dalam berbagai tulisan dan buku,
telah membuktikan akan keluasan ilmunya, hingga sampai saat sekarang
ini bisa dinikmati oleh siapa saja yang membacanya.
Perlu diketahui, bahwa pada awalnya Al-Ghazali menuntut ilmu
karena ingin menjadi seorang guru profesional untuk menghidupi dirinya.
Namun ketika ia telah mencapai keinginan itu, timbul hasrat untuk
menambah pengetahuan yang lebih banyak lagi. Hal ini bisa dilihat dari
masa belajarnya, yang dimulai dengan belajar ilmu fiqih kepada Ahmad
Al-Radzkani. Setelah itu, ia pergi ke Naysabur dan belajar kepada Imam
al-Haramain, Abi Ma’ali al-Juwaini. Ia belajar dengan sungguh-sungguh
sehingga menguasai ilmu-ilmu tentang mazhab, khilaf, ilmu argumentasi,
dan logika (manthiq). Ia pun mempelajari hikmah (tasawuf). Disamping
belajar tersebut ia juga aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan susunan
yang sangat bagus.15 Selain itu, Al-Ghazali juga menekuni filsafat disela
kesibukannya mengajar di Baghdad seperti yang telah disebutkan di atas.
Al-Ghazali memiliki watak semangat untuk mengetahui hakekat
kebenaran. Namun semangat ini terkalahkan oleh kedudukannya di masa
muda. Akan tetapi, setelah mendalami beberapa ilmu tersebut dan ketika
hasratnya pada kedudukan dan jabatan hilang, semangatnya untuk mencari
hakekat kebenaran semakin kuat.
15 Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub, op. cit, hlm.15.
46
Berkaitan dengan hal ini, Al-Ghazali menyatakan:
Sekarang aku tidak seperti dahulu. Jika dahulu aku masih mencari kedudukan. Sekarang tujuanku memperbaiki pribadiku dan juga orang lain. Aku mengajak menuju ilmu yang bisa untuk meninggalkan kedudukan duniawi dan untuk mengetahui rendahnya mencari kedudukan. Bukan aku yang menggerakkan, tetapi Allah yang memperjalankan aku. Segala sesuatu yang aku kerjakan ini semata-mata ikhlas karena Allah SWT. 16
Para sejarawan sependapat bahwa Al-Ghazali adalah sosok
manusia yang berpindah dari satu pendapat pada pendapat lainnya. Setelah
lama menuntut ilmu untuk jabatan, ia berubah menjadi penuntut ilmu
karena Allah. Abu Abbas mendengar, bahwa Al-Ghazali mengulang-ulang
ungkapan tadi dalam suatu pertemuan ilmiah. Maksudnya, Al-Ghazali
telah menuntut ilmu untuk tujuan selain Allah, padahal ilmu itu tidak
berkompromi kecuali untuk Allah.17
Hal ini sesuai dengan pernyataan Al-Ghazali,
Menjelang ayahku meninggal dunia, beliau meninggalkan sedikit harta untukku dan saudaraku. Ketika harta itu habis, kami menghadapi kesulitan ekonomi. Karena itu kami masuk sekolah menuntut ilmu fiqh dengan tujuan memperoleh biaya hidup. Itu berarti, ketika itu kami belajar bukan karena Allah, padahal ilmu hanya untuk Allah SWT.18
Pernyataan-pernyataan Al-Ghazali di atas menunjukkan, setelah
Al-Ghazali berusaha mengejar harta, secara drastis ia berusaha mencari
ma’rifah dengan jalan mendekatkan dirinya kepada Allah. Ibnu Al-Jauzi di
dalam Al-Muntazhim mengatakan bahwa menjelang wafatnya, Al-Ghazali
diminta sebagian sahabatnya untuk berwasiat, maka Al-Ghazali pun
menjawab: ”hendaklah engkau ikhlas”, senantiasa ia mengulanginya
hingga meninggal.19
Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Fadhalalla Haeri, one of
his famous saying is, “Those which are learned about, for example, the
16 Munir Amin, lok. cit, hlm. 176. 17 Said Basil, op.cit, hlm. 13. 18 Ibid. 19 Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Iwan Kurniawan, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2008), hlm. 19.
47
laws of divorce, can tell you nothing about the simpler aspects of spiritual
life, such as the meaning of sincerely towards God or trust in Him.”20
Salah satu perkataan Al-Ghazali yang paling terkenal adalah “bahwa
ketika mempelajari tentang suatu hal, sebagai contoh tentang hukum talak,
kamu dapat memberitahukan bahwa tidak ada aspek yang lebih sederhana
dalam kehidupan spiritual, sebagaimana makna keikhlasan kepada Allah
atau kepercayaan pada-Nya.
3. Karya-Karya Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali bagi dunia Islam merupakan seorang tokoh yang tidak
bisa dilupakan. Jika berbicara tentang tasawuf dan filsafat Islam secara
luas, maka dianggap tidak lengkap tanpa menyertakan buah pikiran dan
pendapat beliau. Hal itu karena jasa Al-Ghazali sangat besar dalam
memperkaya perkembangan ilmu-ilmu Islam. Hasil usahanya sangat
berharga dalam mempertemukan fiqih dan tasawuf dengan sublimates
yang luar biasa. Kemampuan itu bisa dilihat pada karya-karyanya.21
Selama hidupnya yang kaya dengan berbagai peristiwa, ia
membuktikan diri sebagai penulis yang produktif dari kira-kira tujuh puluh
buku. Beberapa diantaranya karya-karya baku dalam bidang hadist, tafsir,
akhlak, teologi, filsafat, logika, tauhid, tasawuf, metafisika dan ilmu-ilmu
lain. Karya-karyanya yang paling terkenal sebagian telah disebutkan di
atas, antara lain:
a. Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama)
b. Kimiya-i-Sa’adat (Kimia Kebahagiaan)
c. Al-Munqidz Minadh Dhalal (Pembebas dari Kesesatan)
d. Tahafutul Falasifah (Rubuhnya para Filosof), suatu risalah yang
dirancang untuk menyangkal dan memusnahkan doktrin-doktrin para
filosof muslim.
20 Fadhalalla Haeri, The Elements Of Sufism, (Dorset: Elements Books Limited, 1990), hlm..
99. 21 Adnan (ed), Gema Ruhani Imam Ghazali, terj. Saifuddin Mujtaba, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1993), Cet. I, hlm. 2.
48
e. Mizanul ‘Amal, sebuah risalah tentang logika.
f. Al-Mankhul, tentang skolastik muslim atau kalam.
g. Al- Wajiz, pelajaran ilmu tauhid.
h. Mihakkun Nazhar, tentang logika.
i. Mi’yarul ‘Ilm, juga tentang logika.
j. Maqasidul Falasifah, sebuah risalah tentang logika, ilmu-ilmu alam,
metafisika dan sebagainya.
k. Misykatul Anwar (Misykat Cahaya-cahaya).
l. Makatibul Ghazali (Surat-surat Al-Ghazali).
Dari berbagai karya Imam Al-Ghazali tersebut, menunjukkan bukti
akan keluasan ilmunya dalam berbagai bidang. Adapun salah satu
karyanya yang sangat monumental dan telah membuatnya hidup terus
adalah karyanya yang amat terkenal, Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan
Kembali Ilmu-ilmu Agama), yang penuh dengan mutiara-mutiara
kebijakan dan ditaburi dengan penafsiran-penafsiran sufistik dan filosofis
tentang kehidupan.
B. Kitab Ihya’ Ulumiddin
1. Sekilas Isi Kitab Ihya’ Ulumiddin
Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali ditulis pada abad
ke-5 Hijriyah tahun 489 H. Kitab ini ditulis dalam masa pengembaraan
beliau dalam mencari hakikat kebenaran, tepatnya pada masa perjalanan
beliau pulang dari ibadah haji menuju Damaskus dan Baitul Maqdis.
Sampai beliau menetap dan tinggal di Damaskus, tepatnya di sebelah barat
Masjid Jami’ Al-Umawi, di suatu sudut yang terkenal sampai sekarang
dengan nama “Al-Ghazaliyah”. Nama sudut tersebut diambil dari nama
Al-Ghazali, dan pada masa itulah ia mulai mengarang kitab Ihya’
Ulumiddin.
Kitab Ihya’ ini mempunyai peranan dan pengaruh yang sangat
besar dalam membendung serangan materialisme dan ateisme, yang
49
bertujuan meruntuhkan agama dari fondasinya. Serangan terhadap ajaran-
ajaran agama Islam sedemikian gencar dan berbagai macam cara. Bahkan
sinar keagamaan nyaris dimatikan. Oleh karena itu pula, Imam Al-Ghazali
memberi judul bukunya dengan Ihya’ Ulumiddin, dalam bahasa Inggris
disebut ‘Revival of Religious Sciences’ yang berarti “Menghidupkan
Kembali Ilmu-ilmu Agama”.
Kitab Ihya’ Ulumiddin merupakan salah satu karya Imam Al-
Ghazali yang sangat monumental, dan merupakan salah satu usahanya
yang sangat berharga dalam memperkaya perkembangan ilmu-ilmu Islam.
Kitab ini, merupakan hasil usahanya dalam mempertemukan ilmu fiqih
dan ilmu tasawuf dengan penyatuan yang sangat luar biasa. Hasil karyanya
tersebut mampu menembus ruang dan waktu, sehingga tetap terasa segar
sampai saat ini. Hal ini, dikarenakan latar belakang beliau sebagai seorang
Sufi, pemikir dan ulama dengan perjalanan ruhani mencari hakikat dalam
lautan hikmah dan usahanya yang keras dalam menyingkap berbagai hijab.
Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Fadhalalla Haeri, bahwa Imam
Al-Ghazali’s book called Revival of the Religious Sciences is considered to
be his greatest work. It is the spiritual experience. This made him one of
the most influential theologians in the Muslim world, as well as making the
orthodox religious scholars take sufi movements seriously.22 Kitab Imam
Al-Ghazali yang disebut dengan Ihya’ Ulumiddin, merupakan hasil
karyanya yang terbesar. Kitab ini merupakan hasil dari pengalaman
spiritual. Karyanya yang satu ini sangat berpengaruh terhadap para teologi
di dunia Islam, sebagaimana menjadikan pelajar-pelajar Kristen dengan
pergerakan sufi secara serius.
Hal ini terbukti dengan eksistensinya kitab Ihya’ tersebut yang
terus berkembang dengan berbagai cetakan dan penerbit serta berbagai
bahasa di antaranya cetakan Bulaq tahun 1269, 1279, 1282, dan 1289,
22 Fadhalalla Haeri, loc. cit, hlm. 99.
50
cetakan Istanbul tahun 1321, cetakan Teheran tahun 1293, dan cetakan Dar
Al-Qalam Beirut tanpa tahun.23
Dalam kalangan agama di negeri ini tidak ada yang tidak mengenal
kitab Ihya’ Ulumiddin, suatu buku standar terutama tentang akhlak. Di
Eropa, kitab ini mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih bahasakan
ke dalam beberapa bahasa modern. Dalam dunia Kristen telah lahir pula,
Thomas a Kempis (1379-1471 M) yang mendekati dengan pribadi Al-
Ghazali dalam dunia Islam, berhubung dengan karangannya “De Imitation
Christi” yang sifatnya mendekati Ihya’, tetapi dipandang dari pendidikan
Kristen.
Hal tersebut membuktikan, bahwa kitab Ihya’ Ulumiddin benar-
benar suatu karya yang sangat besar, dengan sarat makna dan fikiran yang
terkandung di dalamnya. Ds. Zwemmer, tokoh sending Kristen yang
terkenal, berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad SAW, ada dua
pribadi yang sangat besar jasanya dalam menegakkan Islam. Pertama,
Imam Bukhari karena pengumpulan haditsnya dan kedua, Imam Al-
Ghazali karena Ihya’-nya.24
Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin ini, Al-Ghazali menyusun menjadi
empat bab utama dan masing-masing bab utama dibagi kedalam sepuluh
pasal. Keempat bab utama itu adalah bab utama tentang ibadah (rubu’ al
ibadah), bab utama kedua adalah berkenaan dengan adat istiadat (rubu’ al
’adat), bab utama ketiga adalah berkenaan dengan hal-hal yang
mencelakakan (rubu’ al-muhlikat) dan bab utama keempat berkenaan
dengan maqamat dan ahwal (rubu’ al-munjiyat).
Keempat bab utama dalam Ihya’ tersebut sangat penting bagi
seseorang yang memasuki tasawuf. Dalam bab utama pertama akan
diketahui kepentingan ilmu, dasar-dasar akidah yang amat diperlukan dan
mengetahui berbagai ibadah, keutamaan dan rahasia yang dikandungnya
23 Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, op.cit, hlm. 11. 24 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 15.
51
hingga dapat dilaksanakan dengan seksama dan menjaganya dengan
intensif. Dalam bab utama kedua akan diketahui berbagai aturan yang
perlu ditegakkan, rahasia-rahasia kehidupan dan kebiasaan yang perlu dan
mana-mana yang tidak perlu atau ditinggalkan. Dalam bab utama yang
ketiga akan diketahui hal-hal yang mencelakakan baik yang timbul dalam
diri manusia, pergaulan dan dunia yang menjadi penghambat jalannya
seorang menuju kepada Tuhan. Dengan itu terdorong untuk menggantinya
dengan sifat-sifat, pemikiran dan perbuatan yang terpuji. Dan apa yang
terpuji itu ditemui dalam bab keempat. Dalam bab keempat di uraikan oleh
Al-Ghazali secara rinci berupa maqamat dan ahwal yang perlu ditempuh
oleh seorang salik. Ia mengemukakan maqamat dan ahwal yang perlu
ditempuh oleh salik itu adalah tobat, sabar, syukur, raja’, khauf, zuhud,
tawakkal, mahabbah, unsu, ‘isyq dan ridha. 25
Adapun sistematika penulisan kitab Ihya’ Ulumiddin, secara umum
dibagi menjadi empat bahagian besar (empat rubu’), dan setiap bahagian
besar (rubu’) terdiri dari sepuluh bab yaitu:
a. Bahagian (rubu’) peribadatan (rubu’ ibadah), melengkapi sepuluh bab:
1) Bab ilmu.
2) Bab kaidah-kaidah i’tikad (aqidah).
3) Bab rahasia (hikmah) bersuci.
4) Bab hikmah shalat.
5) Bab hikmah zakat.
6) Bab hikmah shiyam (puasa).
7) Bab hikmah haji.
8) Bab adab (kesopanan) membaca Al-Qur’an.
9) Bab dzikir dan doa.
10) Bab wirid pada masing-masing waktunya.
25 Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), Cet.
III, hlm. 161.
52
b. Bahagian (rubu’) pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan),
melengkapi sepuluh bab:
1) Bab adab makan.
2) Bab adab perkawinan.
3) Bab hukum berusaha (bekerja).
4) Bab halal dan haram.
5) Bab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan
manusia.
6) Bab ‘uzlah (mengasingkan diri).
7) Bab adab bermusafir (berjalan jauh).
8) Bab mendengar dan merasa.
9) Bab amar ma’ruf dan nahi mungkar.
10) Bab adab kehidupan dan budi pekerti (akhlaq) kenabian.
c. Bahagian (rubu’) perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat),
melengkapi sepuluh bab:
1) Bab menguraikan keajaiban hati.
2) Bab latihan diri (jiwa).
3) Bab bahaya hawa nafsu perut dan kemaluan.
4) Bab bahaya lidah.
5) Bab bahaya marah, dendam dan dengki.
6) Bab tercelanya dunia.
7) Bab tercelanya harta dan kikir.
8) Bab tercelanya sifat suka kemegahan dan cari muka (ria).
9) Bab tercelanya sifat takabur dan mengherani diri (‘ujub).
10) Bab tercelanya sifat suka tertipu dengan kesenangan duniawi.
d. Bahagian (rubu’) perbuatan yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat),
melengkapi sepuluh bab:
1) Bab taubat.
2) Bab sabar dan syukur.
3) Bab takut dan harap.
4) Bab fakir dan zuhud.
53
5) Bab tauhid dan tawakkal.
6) Bab cinta kasih, rindu, jinak hati dan rela.
7) Bab niat, benar dan ikhlas.
8) Bab muraqabah dan menghitung malam.
9) Bab memikirkan hal diri (tafakkur).
10) Bab ingat mati.26
Pada bahagian ibadah diterangkan tentang periadabnya yang
mendalam, sunah-sunahnya yang halus dan maksudnya yang penuh
hikmah, yang diperlukan bagi orang yang berilmu dan mengamalkan.
Bahkan tidaklah dari ulama akhirat, orang yang disia-siakan dalam ilmu
fiqih. Adapun bahagian pekerjaan sehari-hari, diterangkan tentang hikmah
pergaulan yang berlaku antara sesama manusia, liku-likunya, sunahnya
yang halus-halus dan sifat memelihara diri yang tersembunyi pada tempat-
tempat lalunya, yaitu yang harus dipunyai oleh orang yang beragama.
Pada bahagian perbuatan yang membinasakan, diterangkan tentang
semua budi pekerti yang tercela, yang tersebut dalam al-Qur’an, dengan
menghilangkannya, membersihkan jiwa dan mensucikan hati daripadanya.
Dari masing-masing budi pekerti itu diterangkan batas dan hakikatnya.
Kemudian sebab terjadinya, bahaya yang timbul daripadanya, tanda-tanda
mengenalinya, cara mengobatinya supaya terlepas dari padanya.
Adapun bahagian perbuatan yang melepaskan, diterangkan tentang
semua budi pekerti yang terpuji dan keadaan yang disukai, yang menjadi
budi pekerti orang-orang muqarrabin dan shaddiqin, yang mendekatkan
hamba kepada Tuhan semesta alam. Pada setiap budi pekerti itu
diterangkan batas dan hakikatnya, sebab yang membawa tertarik
kepadanya, faedah yang dapat diperoleh daripadanya, tanda-tanda untuk
mengenalinya dan keutamaan yang membawa kegemaran kepadanya, serta
apa yang ada padanya, dari dalil-dalil syariat dan akal pikiran.
26 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 33-34.
54
Penulis-penulis lain sudah mengarang beberapa buku yang
berkaitan dan mengenai sebagian maksud-maksud tadi. Akan tetapi kitab
ini, berbeda dari buku-buku itu dalam lima hal, antara lain:
a. Menguraikan dan menjelaskan apa yang ditulis penulis-penulis lain
secara singkat dan umum.
b. Menyusun dan mengatur apa yang dibuat mereka itu berpisah-pisah.
c. Menyingkatkan apa yang dibuat mereka itu berpanjang-panjang dan
menentukan apa yang ditetapkan mereka.
d. Membuang apa yang dibuat mereka itu berulang-ulang dan menetapkan
dengan kepastian di antara yang diuraikan.
e. Memberi kepastian hal-hal yang meragukan yang membawa kepada
salah paham, yang tidak disinggung sedikitpun dalam buku-buku yang
lain. Karena semuanya, walaupun mereka itu menempuh pada suatu
jalan, tetapi tak dapat di bantah, bahwa masing-masing orang salik
(orang yang berada pada jalan Allah) itu mempunyai perhatian
tersendiri, kepada suatu hal yang tertentu baginya dan dilupakan teman-
temannya. Atau ia tidak lalai dari perhatian itu, akan tetapi ia
dipalingkan oleh sesuatu yang memalingkannya dari pada
menyingkapkan yang tertutup daripadanya.27
Oleh sebab itulah, kitab Ihya’ ini dalam keadaan khusus, berbeda
dengan kitab atau buku-buku yang lainnya serta mengandung semua ilmu
pengetahuan didalamnya. Adapun yang membuat beliau mendasarkan
kitab Ihya’ ini menjadi empat bahagian (rubu’) ada dua hal, antara lain:
Pertama, yaitu pendorong asli, bahwa susunan ini menjelaskan
hakekat dan pengertian, seperti ilmu dlaruri (ilmu yang mudah, tidak
memerlukan pemikiran yang mendalam). Pengetahuan yang menuju ke
akhirat, terbagi menjadi ilmu muamalah dan ilmu mukasyafah. Adapun
yang dimaksud dengan ilmu mukasyafah ialah ilmu yang hanya diminta
untuk mengetahuinya saja. Sedangkan ilmu mu’amalah, selain diminta
27 Ibid, hlm. 35.
55
untuk mengetahuinya juga diminta untuk mengamalkan ilmu tersebut.
Sementara yang dimaksudkan dari kitab ini, ialah ilmu mu’amalah saja,
bukan ilmu mukasyafah, sebab tidak mudah menyimpannya di buku-buku,
meskipun menjadi maksud dan tujuan para pelajar serta keinginan
perhatian orang-orang shiddiqin. 28
Ilmu muamalah merupakan jalan menuju ilmu mukasyafah. Akan
tetapi, para nabi tidak mengatakan kepada orang banyak, selain mengenai
ilmu untuk jalan dan petunjuk kepada ilmu mukasyafah itu. Adapun ilmu
mukasyafah, mereka tidak mengatakannya selain dengan jalan rumus dan
isyarat, yang merupakan contoh dan kesimpulan. Karena para nabi itu tahu
akan singkatnya pemahaman banyak orang, sehingga berat untuk dapat
memikulnya. Sebagaimana disebutkan, bahwa alim ulama adalah pewaris
para nabi. Maka, tidak ada jalan bagi mereka untuk berpaling daripada
mengikuti dan mematuhinya. 29
Adapun ilmu muamalah itu terbagi kepada:
a. ilmu dhahir, yaitu ilmu mengenai amal perbuatan anggota badan.
b. ilmu bathin, yaitu ilmu mengenai amal perbuatan hati dan yang melalui
anggota badan. Adakalanya adat kebiasaan dan adakalanya ibadah.
Sesuatu yang datang pada hati, yang tidak dapat dilihat dengan
panca indra, merupakan bagian alam malakut, adakalanya terpuji dan
adakalanya tercela. Maka dari itu, ilmu ini terbagi menjadi dua, yaitu
dhahir dan bathin. Bagian dhahir menyangkut dengan anggota badan,
terbagi kepada adat kebiasaan dan ibadah. Bagian bathin yang menyangkut
dengan hal ihwal hati dan budi pekerti jiwa, terbagi kepada: yang tercela
dan yang terpuji. Jadi, semuanya berjumlah empat bahagian. Sehingga
tidaklah kurang perhatian pada ilmu muamalah, dari bahagian-bahagian
ini.30
28 Ibid, hlm. 36. 29 Ibid. 30 Ibid, hlm. 36-37.
56
Kedua, yang menggerakkan Al-Ghazali untuk menyusun kitab ini
menjadi empat bahagian, ialah karena melihat keinginan para pelajar yang
sangat besar terhadap ilmu fiqih, ilmu yang layak bagi orang yang tidak
takut kepada Allah SWT, yang memperalat ilmu itu untuk mencari
kemegahan dan penonjolan kemegahan serta kedudukan dalam
perlombaan. Ilmu fiqih itu terdiri dari empat bahagian. Orang yang
menghiasi dirinya dengan hiasan yang disukai orang banyak, tentu dia
akan disukai. Maka dari itu, kitab ini dibentuk dengan fiqih untuk menarik
hati golongan pelajar-pelajar. Maka dari inilah, sebagian orang yang ingin
menarik hati pembesar-pembesar kepada ilmu kesehatan, bertindak lemah
lembut, lalu membentuknya dalam bentuk ilmu bintang dengan memakai
ranji dan angka. Dan menamakannya ilmu takwim kesehatan, supaya
kejinakan hati mereka dengan cara itu menjadi tertarik untuk
membacanya.31
Sikap lemah lembut untuk menarik hati orang kepada ilmu
pengetahuan yang berguna dalam kehidupan abadi, lebih penting daripada
kelemahlembutan menariknya kepada ilmu kesehatan, yang faedahnya
hanya untuk kesehatan jasmaniah belaka. Sementara faedah pengetahuan
ini ialah membawa kesehatan kepada hati dan jiwa yang bersambung terus
kepada kehidupan abadi. Apalah artinya ilmu kesehatan itu yang hanya
dapat mengobati tubuh kasar saja, yang akan hancur binasa dalam waktu
yang tidak lama lagi.
Dari berbagai pemaparan di atas, mengenai kitab Ihya’ Ulumiddin,
maka Imam Al-Ghazali menekankan betapa pentingnya pendidikan. Ia
membuat strategi dengan memadukan ilmu-ilmu agama, tasawuf dengan
ilmu fiqh, agar ilmu tersebut bisa diminati dan bermanfaat bagi orang
banyak, khususnya bagi para pelajar. Ia menyajikannya dalam sebuah buku
yang sarat akan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai ketuhanan. Ia
menyatakan, bahwa dengan bertambahnya ilmu seseorang, maka akan
31 Ibid.
57
semakin mendekatkan orang tersebut kepada Allah. Sehingga dapat
disimpulkan, bahwa tujuan dari menuntut ilmu adalah semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan mengamalkannya kepada orang
lain demi meraih ridha-Nya.
2. Pemikiran Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumidd in
Al-Ghazali merupakan seorang ulama Sufi yang banyak mengulas
masalah keguruan, dan menempatkan posisi guru sebagai profesi yang
sangat mulia. Hal ini berawal dari perhatiannya yang sangat mendalam
tentang ilmu dan pendidikan. Ia mempunyai keyakinan yang kuat bahwa
pendidikan yang baik itu merupakan suatu jalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Adapun pembahasan tentang guru dalam kitab Ihya’ Ulumiddin
terdapat pada bahagian (rubu’) peribadatan dalam kitab ilmu.
Berkaitan dengan ilmu pengetahuannya, manusia mencakup empat
macam keadaan, antara lain: Pertama, dalam keadaan mencari. Kedua,
dalam keadaan berusaha. Ketiga, dalam keadaan menghasilkan yang tidak
perlu lagi kepada bertanya dan Keempat dalam keadaan meneliti, yaitu
berpikir mencari yang baru dan mengambil faedah darinya.32
Berdasarkan hal tersebut, maka keadaan mancari dan berusaha
ialah suatu keadaan dimana seseorang mencari dan menuntut ilmu dengan
berusaha untuk mengerti dan memahaminya. Adapun mengenai keadaan
menghasilkan ialah suatu keadaan dimana orang tersebut sudah faham dan
mengetahui ilmu tersebut dengan baik, sehingga ia tidak perlu lagi untuk
bertanya kepada orang lain. Sementara keadaan meneliti, yaitu keadaan
berpikir untuk mencari suatu hal yang baru dan mengambil faedah atau
manfaat darinya serta keadaan untuk memberi sinar cemerlang kepada
orang lain, yakni dengan mengajarkan ilmu pengetahuannya tersebut
kepada orang lain, dan inilah suatu keadaan yang paling mulia.
32 Ibid, hlm. 212.
58
Karena kemuliaan tersebut, bagi orang yang berilmu, baramal dan
mengajar, disebut orang yang besar dalam alam malakut tinggi. Ia laksana
matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan
pula kepada dirinya sendiri. Ia laksana kasturi yang membawa keharuman
kepada lainnya dan ia sendiripun harum.33
Berkaitan dengan orang yang berilmu namun tidak beramal
menurut ilmunya, Al-Ghazali memberikan beberapa perumpamaan, antara
lain: manusia seumpama suatu daftar yang memberi faedah kepada yang
lainnya, akan tetapi ia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Seumpama
batu pengasah yang menajamkan lainnya akan tetapi ia sendiri tidak dapat
memotong. Seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian
untuk lainnya akan tetapi ia sendiri telanjang. Seumpama sumbu lampu
yang dapat menerangi lainnya akan tetapi ia sendiri terbakar.34
Hal ini sebagaimana kata pantun:
� س وه� ����ق ��� ��ّ� ٭ذ �� �� و ��رت ّ� ٳ�� ه� Dia hanyalah laksana sumbu yang menyala menerangi manusia. Ia terbakar jadi abu dan orang lain yang mendapatkan sinarnya.35
Dari beberapa perumpamaan di atas, maka dapat dipahami bahwa
profesi guru merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung
dibandingkan dengan profesi yang lain. Dengan profesinya tersebut,
seorang guru menjadi perantara antara manusia dalam hal ini murid,
dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Dengan demikian, maka seorang
guru telah mengemban pekerjaan yang sangat penting. Sehingga guru
dianggap sebagai bapak kerohanian, yaitu seseorang yang mempunyai
tugas sangat tinggi dalam dunia ini. Ia memberikan ilmu sebagai
makanannya, sebagai kebutuhan manusia yang tinggi, disamping ia
sebagai alat untuk sampai kepada Tuhan.
33 Ibid. 34 Ibid. 35 Adnan (ed), Gema Ruhani Imam Al-Ghazali, op. cit, hlm. 19.
59
Menurut Al-Ghazali, guru adalah seseorang yang bertugas untuk
menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak
didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana
pernyataan Al-Ghazali, yang juga menggambarkan ketinggian derajat dan
kedudukan seorang guru, bahwa:
Guru itu berpengurusan dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah ‘Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala. Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifat-Nya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangannya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya.36
Berdasarkan pemaparan di atas, maka orang yang berilmu
diwajibkan untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang
lain. Adapun seorang guru tidak hanya sebatas mengamalkan ilmunya saja,
akan tetapi mengamalkan harus dilandasi dengan keikhlasan dalam
mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada anak didik mereka. Karena
ikhlas merupakan amal hati yang menjadi syarat diterimanya amal-amal
seseorang. Sehingga tiada sempurna sebuah amal tanpa dilandasi
keikhlasan.
Seorang guru berperan penting dalam melepaskan murid-muridnya
dari api neraka akhirat, yakni dengan ilmu yang diajarkan kepadanya.
Sementara ibu bapaknya, hanya melepaskan anaknya dari neraka dunia.
Dalam hal ini orang tua menjadi sebab lahirnya seorang anak dan dapat
hidup di dunia yang fana ini. Sedangkan guru menjadi sebab anak itu
memperoleh hidup kekal di akhirat nanti. Sehingga, jika tidak ada seorang
guru, maka apa yang diperoleh anak tersebut dari orang tuanya dapat
membawa kepada kebinasaan yang terus menerus. Oleh sebab itu, hak
36 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 77.
60
seorang guru lebih besar daripada hak ibu bapaknya. Adapun guru yang
dimaksud disini adalah guru yang memberikan kegunaan hidup akhirat
yang abadi. Yakni guru yang mengajar ilmu akhirat ataupun ilmu
pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, bukan untuk tujuan
dunia.37
Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa keikhlasan guru
dalam mengajar terletak pada niatnya, yakni untuk mencapai tujuan
akhirat, yaitu dengan mendapatkan keridhaan Allah. Sementara mengajar
dengan tujuan dunia, hanya akan membawa pada kehancuran. Hal ini
seumpama hak anak-anak dari seorang ayah, yang saling mengasihi dan
saling membantu dalam mencapai segala maksud, maka demikian juga
dengan kewajiban murid-murid terhadap seorang guru, saling mengasihi
dan menyayangi. Semua itu akan terwujud, apabila tujuan guru dan murid
adalah akhirat. Namun jika tujuannya dunia, maka yang ada hanyalah
saling mendengki dan saling bermusuh-musuhan.
Berkaitan dengan masalah upah atau imbalan, Imam Al-Ghazali
menyatakan bahwa seorang guru harus mengikuti jejak Rasulullah SAW.
Ia tidak mencari upah, balasan dan juga ucapan terimakasih dengan
mengajar itu. Tetapi seorang guru mengajar karena Allah dan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun seorang guru diperbolehkan untuk
memandang bahwa dirinya telah berbuat suatu perbuatan yang baik,
dengan menanamkan ilmu pengetahuan dan mendidik jiwa para muridnya.
Hal ini agar hatinya senantiasa dekat dengan Allah SWT.38
Al-Ghazali membuat perumpamaan tentang posisi guru dan murid
dengan seorang yang meminjamkan sebidang tanah untuk ditanami
didalamnya tanam-tanaman yang hasilnya untuk peminjam tersebut. Maka
faedah atau manfaat yang diperoleh dari peminjam tanah melebihi faedah
yang diperoleh dari pemilik tanah itu. Dengan demikian, maka seorang
37 Ibid, hlm. 212-213. 38 Ibid, hlm. 214.
61
guru tidak perlu menyebut jasa-jasanya sebab mengajar. Karena pada
hakikatnya pahala yang diperoleh guru dari mengajar tersebut, ada pada
Allah Ta’ala lebih banyak dari pahala yang diperoleh murid. Akan tetapi
keberadaan murid juga sangat penting, karena jika tidak ada murid yang
belajar, maka guru pun tidak akan memperoleh pahala tersebut. Selain itu,
proses pembelajaran pun tidak akan berjalan. Sehingga hubungan guru dan
murid pun harus senantiasa terpelihara dengan baik.39
Adapun orang-orang yang berilmu menempati derajat yang tinggi
di hadapan Allah. Orang berilmu disini ialah orang yang mempunyai ilmu
dan mengamalkannya kepada orang lain. Dalam pengamalan ilmu juga
dibutuhkan keikhlasan agar mampu menjadi jembatan amal perbuatannya,
sehingga amalnya dapat diterima oleh Allah SWT. Orang yang berilmu
akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orang yang tidak
berilmu. Hal ini sesuai dengan janji Allah dalam Al-Qur’an,
ô tΒ Ÿ≅ Ïϑtã $ [sÎ=≈ |¹ ÏiΒ @� Ÿ2sŒ ÷ρr& 4 s\Ρé& uθ èδ uρ ÖÏΒ ÷σãΒ …çµ ¨Ζt�Í‹ós ãΖn=sù Zο4θ u‹ym Zπt6 ÍhŠsÛ ( óΟßγ ¨Ψtƒ Ì“ ôf uΖs9 uρ Νèδt� ô_ r& Ç |¡ ôm r' Î/ $tΒ (#θ çΡ$ Ÿ2 tβθ è=yϑ÷ètƒ ∩∠∪
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).40
Ayat tersebut, menegaskan kepada seluruh manusia bahwa Allah
akan memberikan kehidupan yang jauh lebih baik bagi orang yang
berilmu. Adapun yang ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan
perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal
saleh harus disertai iman.
Allah menjanjikan sebuah kehidupan yang baik bagi orang yang
berilmu dan beramal. Ilmu yang bersih dari hawa nafsu ibarat cahaya bagi
39 Ibid, hlm. 214-215. 40 Departemen Agama, op. cit, hlm. 378-379.
62
siapa saja yang mendekatinya. Apabila seseorang memiliki ilmu dan ia
gunakan dengan sebaik-baiknya, maka hal itu menunjukkan adanya suatu
kemanfaatan yang besar bagi dirinya maupun orang lain. Hal inilah yang
paling Allah cintai.
Berdasarkan dari pemaparan diatas, maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman
dan berilmu. Namun demikian, ilmu tanpa amal adalah sia-sia dan amal
yang tidak disertai dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah maka
akan ditolak. Sehingga orang yang berilmu hendaknya mengamalkan ilmu
yang dimilikinya dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah. Ia tidak
mengharapkan balasan dari orang lain, karena sesungguhnya Allah telah
menjamin segala kebutuhannya dan Allah menjanjikan kehidupan yang
jauh lebih baik bagi orang yang beramal shaleh.
Selain itu, Allah juga menegaskan kembali, sebagaimana firman
Allah SWT mengisahkan Nabi Nuh as.
Θ öθ s)≈tƒ uρ Iω öΝà6 è=t↔ó™r& ϵø‹ n=tã »ω$ tΒ ( ÷βÎ) y“ Ì� ô_r& āω Î) ’n? tã «!$# 4 ∩⊄∪
Dan (Dia berkata): Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. upahku hanyalah dari Allah. (QS. Hud, ayat 29).41
Dalam tafsir ibnu Katsir, juga dijelaskan bahwa nabi Nuh
merupakan orang yang ikhlas. Beliau senantiasa mengharap ridha Allah
dalam setiap seruannya mengajak amar ma’ruf nahi mungkar. Beliau tidak
mengharapkan upah sedikitpun dari kaumnya. Sebagaimana firman Allah
sebelumnya, yang menggambarkan Rasulullah dalam memberikan sesuatu
tidak mangharapkan adanya imbalan, melainkan hanya ridha Allah dan
pahala disisi-Nya.42
Harta dan isi dunia hanyalah menjadi pesuruh dari anggota badan.
Sementara badan menjadi kendaraan dan tanggungan jiwa ilmu
41 Ibid, hlm. 301. 42 Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, hlm. 782-783.
63
pengetahuan. Oleh karena itulah yang diutamakan ialah ilmu pengetahuan.
Karena dengan ilmu pengetahuanlah, jiwa itu menjadi mulia. Orang yang
mencari harta dengan ilmu, ibarat orang yang menyapu bawah sepatunya
dengan mukanya supaya bersih. Dengan demikian, seorang guru
hendaknya tidak terkecoh oleh kesenangan duniawi, yang hanya akan
membuatnya menjadi hina, baik dimata Allah maupun dimata manusia.
Karena sejatinya Allah telah memberikan kelebihan dan kenikmatan bagi
orang yang berilmu.43
Berkaitan dengan ini, Al-Ghazali mengatakan betapa kotornya
orang berilmu, yang rela untuk dirinya kedudukan duniawi. Sementara ia
berbohong dan menipu diri sendiri dengan tidak malu mengatakan:
“Maksudku dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agama-Nya.”44
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Al-
Ghazali telah memberlakukan prinsip pengabdian dalam mengajar, baik
terhadap pejabat negara maupun terhadap tokoh masyarakat, sehingga
orang yang akan mengajar harus memantapkan dan meluruskan niatnya
hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-
Nya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas
mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru
yang baik akhlaknya serta kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal, ia
dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan
akhlaknya yang baik, ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para
muridnya. Sementara dengan kuat fisiknya, maka ia dapat melaksanakan
tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan para muridnya.
Adapun mengenai seorang guru, Al-Ghazali menyatakan bahwa
siapa yang menekuni sebagai tugas sebagai pengajar, berarti ia tengah
43 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 215. 44 Ibid.
64
menempuh suatu perkara yang sangat mulia. Oleh karena itu, ia harus
senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya. Antara lain:
Tugas dan adab yang Pertama, mempunyai rasa belas-kasihan
terhadap murid-muridnya dan memperlakukan mereka sebagai anak
sendiri. Dalam hal ini seorang guru berperan untuk melepaskan murid-
muridnya dari api neraka akhirat, yakni dengan ilmu yang diajarkannya.
Hal ini lebih penting dari usaha kedua ibu bapak, melepaskan anaknya dari
neraka dunia. Oleh karena itu, hak seorang guru lebih besar dari hak ibu
bapaknya. Orang tua menjadi sebab lahirnya anak itu dan dapat hidup di
dunia yang fana ini. Sedangkan guru menjadi sebab anak itu memperoleh
hidup kekal. Jika tidak ada seorang guru, maka apa yang diperoleh anak
dari orang tuanya, dapat membawa kepada kebinasaan yang terus menerus.
Guru memberikan keagungan hidup akhirat yang abadi. Guru di sini yang
mengajarkan ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi
dengan tujuan akhirat, tidak dunia.45
Adapun mengajar dengan tujuan dunia, maka akan binasa dan
membinasakan. Sebagaimana hak anak-anak dari seorang ayah, saling
mengasihi dan saling membantu dalam mencapai segala maksud, maka
demikian juga dengan kewajiban murid-murid terhadap seorang guru,
saling mengasihi dan menyayangi. Semua itu akan terwujud, bila tujuan
guru dan murid adalah akhirat. Namun jika tujuannya dunia, maka yang
ada hanyalah saling mendengki dan saling bermusuh-musuhan.
Tugas Kedua, mengikuti jejak Rasul SAW. Dalam hal ini tidak
mencari upah, balasan dan juga ucapan terimakasih dengan mengajar itu.
Tetapi seorang guru mengajar karena Allah dan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya. Ia tidak melihat, bahwa dirinya telah menanam budi baik
kepada murid-muridnya Itu. Akan tetapi, guru itu harus memandang
bahwa dia telah berbuat suatu perbuatan yang baik, karena telah mendidik
45 Ibid., 212-213.
65
jiwa anak-anak itu. Supaya hatinya dekat dengan Allah Ta’ala dengan
menanamkan ilmu pengetahuan kepadanya.46
Tugas Ketiga, tidak meninggalkan nasehat sedikitpun kepada yang
demikian itu, ialah dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat,
sebelum berhak pada tingkat itu. Belajar ilmu yang tersembunyi sebelum
selesai ilmu yang terang. Kemudian menjelaskan kepadanya bahwa
maksud dengan menuntut ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Allah.
Bukan karena keinginan menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan.47
Tugas Keempat, seorang guru harus bersikap lemah lembut dalam
mengajar, ketika guru menghardik muridnya dari berperangai jahat, maka
dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang.
Dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau
dengan cara terus terang, menghilangkan rasa takut murid kepada guru.
Selain itu, mengakibatkan murid berani menentang dan suka meneruskan
sifat yang tidak baik tersebut.48
Tugas Kelima, seorang guru yang bertanggung jawab pada salah
satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran yang lain
dihadapan muridnya. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang guru
yang bertanggung jawab sesuatu mata pelajaran, membuka jalan seluas-
luasnya kepada muridnya untuk mempelajari mata pelajaran yang lain.
Apabila seorang guru bertanggung jawab untuk dalam beberapa ilmu
pengetahuan, maka hendaklah menjaga kemajuan si murid dari setingkat
ke tingkat.49
Tugas Keenam, guru harus menyingkatkan pelajaran menurut
tenaga pemahaman si murid. Jangan di ajarkan pelajaran yang belum
46 Ibid., hlm. 214-215. 47 Ibid., hlm. 215-216. 48 Ibid., hlm. 217-218. 49 Ibid.
66
sampai otaknya kesana. Setelah murid memahaminya barulah guru
mengembangkan pengetahuan tersebut secara mendalam.50
Tugas Ketujuh, kepada seorang pelajar yang singkat paham,
hendaklah diberikan pelajaran yang jelas, yang layak baginya. Janganlah
disebutkan kepadanya, bahwa di balik yang diterangkan ini, ada lagi
pembahasan yang mendalam yang disimpan, tidak dijelaskan. Karena
yang demikian itu, mengakibatkan kurang keinginannya pada pelajaran
yang jelas itu dan mengacaukan pikirannya. Sebab menimbulkan dugaan
kepada pelajar itu nanti, seolah-olah gurunya kikir, tak mau memberikan
ilmu itu kepadanya.51
Tugas Kedelapan, seorang guru harus mengamalkan ilmunya
sepanjang masa. Ia harus menjaga perkataannya agar sesuai dengan
perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal dilihat
dengan mata kepala. Apabila amal tidak sesuai dengan ilmu, maka akan
tersesat dan menyesatkan. Seperti perumpamaan guru yang mursyid
dengan para muridnya, ialah seumpama ukiran dari abu tanah dan bayang-
bayang dari kayu. Bagaimanakah abu tanah itu terukir sendiri tanpa benda
pengukir dan kapankah bayang-bayang itu lurus sedang kayunya
bengkok?
Hal ini sebagaimana pantun berikut: 52
“Janganlah engkau melarang suatu pekerti, Sedang engkau sendiri melakukannya. Malulah kepada diri sendiri, Dilihat orang engkau mengerjakannya.” Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an,
tβρâ÷ß∆ ù' s?r& }̈ $ ¨Ψ9 $# Îh�É9 ø9 $$Î/ tβöθ |¡Ψs?uρ öΝä3|¡ à�Ρr& öΝçFΡr&uρ tβθè=÷Gs? |=≈tGÅ3ø9 $# 4 Ÿξ sùr& tβθ è=É)÷ès?
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. (QS. Al-Baqarah, ayat 44).53
50 Ibid. 51 Ibid, hlm. 221. 52 Ibid, hlm. 222
67
Dalam tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa Allah Ta’ala berfirman,
“Hai kaum ahli kitab, apakah kamu pantas menyuruh manusia berbuat
berbagai macam kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri,
yaitu tidak melakukan apa yang kamu perintahkan kepada orang lain?
Padahal kamu membaca al-kitab dan mengajarkan kandungannya kepada
orang yang terbatas pengetahuannya mengenai perintah-perintah Allah?
Apakah kamu waras? Apa yang telah dilakukan oleh dirimu sendiri
sehingga kamu bangun dari tidurmu dan melihat kebutaanmu.
Demikianlah Allah mencela ahli kitab dengan ayat ini,” Mengapa kamu
menyuruh manusia kepada kebajikan dan kamu sendiri melupakan dirimu
sendiri, sedang kamu membaca al-kitab, maka tidakkah kamu berpikir?”
karena, mereka menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sementara
dirinya sendiri tidak melakukannya maka mereka pantas menerima celaan
dari Allah.54
Ayat ini mengandung pengertian, bahwa tujuan ayat ini bukan
hanya mencela kepada para ulama karena menyuruh kepada amal ma’ruf
sedang mereka sendiri meninggalkannya, namun karena para ulama
meninggalkan amal ma’ruf itu, yang merupakan kewajiban bagi setiap
individu yang mengetahuinya. Akan tetapi, hal yang wajib dan utama bagi
seorang ulama ialah melakukan beramal ma’ruf dan memerintahkannya
kepada orang lain, serta tidak menyalahi mereka.
Namun demikian, bukan berarti apabila seorang ulama melakukan
kemungkaran (misalnya), kemudian ia tidak boleh melarang orang lain
berbuat kemungkaran yang dilakukannya. Hal ini sebagaimana dikutip
oleh Ibnu Katsir, bahwa Sa’id bin Jubeir berkata, “Apabila seorang tidak
menyuruh kepada amal ma’ruf dan tidak melarang kemungkaran hingga
53 Departemen Agama, op. cit, hlm. 8. 54 Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, hlm. 120.
68
pada dirinya tidak ada perkara apapun, niscaya tidak akan ada seorang pun
yang menyuruh kepada amal ma’ruf dan melarang dari kemungkaran”.55
Hal ini menunjukkan, bahwa tidak ada seorang pun yang tidak
pernah luput dari kesalahan, termasuk juga seorang ulama dan guru.
Namun perlu diketahui, bahwa dosa orang yang berilmu mengerjakan
perbuatan ma’shiat, lebih besar dari dosa orang bodoh. Karena dengan
terperosoknya orang berilmu, maka akan terperosok pula orang-orang
yang menjadi pengikutnya. Adapun bila dikaitkan dalam lingkungan
pendidikan, maka seorang guru diwajibkan untuk menyampaikan apa yang
diketahuinya mengenai suatu ilmu kepada muridnya, dan hendaknya
perbuatan seorang guru harus sesuai dengan perkataannya. Karena segala
sikap dan tingkah laku guru menjadi perhatian para muridnya.
Dari berbagai pemaparan di atas, maka keberhasilan seseorang
tergantung pada niatnya, seorang guru akan berhasil dalam mengajar dan
mendidik muridnya apabila dilandasi dengan niat yang lurus. Yakni ketika
mengajar dan mendidik, guru senantiasa berniat untuk mendekatkan diri
kepada Allah, menyebarkan ilmunya untuk kebaikan, menghilangkan
kebatilan dan menghidupkan agama serta demi kemaslahatan umat. Hal ini
yang menggambarkan sikap dan ketulusan seorang guru dalam mengajar
dan mendidik murid-muridnya.
55 Ibid, hlm. 121.
69
BAB IV
ANALISIS KONSEP GURU YANG IKHLAS
DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN
Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Konsep Guru Yang Ikhlas Dalam
Kitab Ihya’ Ulumiddin
Pada bab sebelumnya, yakni pada bab tiga telah disebutkan bahwa Imam
Al-Ghazali merupakan seorang ulama besar yang sebagian waktunya dihabiskan
untuk memperdalam khazanah keilmuan. Perhatiannya yang sangat besar pada
ilmu, menjadikan Al-Ghazali sebagai salah satu ulama Islam yang menghasilkan
banyak bentuk tulisan dari buah pemikirannya, yang hingga saat ini masih banyak
dipelajari dan dianut oleh sebagian kelompok masyarakat. Hal ini, karena ia
menuangkan buah pemikirannya dengan penuh penghayatan, dan dari hasil
pergulatan hidupnya sendiri dalam mengarungi samudra kehidupan. Sehingga
buah pemikirannya tersebut mampu menjadi sebuah karya yang sarat akan makna
dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan.
Dalam pemikiran Al-Ghazali mengenai guru yang ikhlas ini, sangat
diwarnai dengan nuansa tasawuf. Perjalanan hidupnya setelah mengalami skeptis
telah mengantarkannya pada dunia sufi secara mendalam. Ia mengabdikan seluruh
hidupnya hanya untuk Allah SWT semata. Ia senantiasa mengamalkan ilmunya
dengan mengadakan berbagai kajian dakwah, diskusi maupun dengan mengajar
secara formal. Ia juga mendirikan sebuah madrasah bagi yang ingin belajar fiqh
dan mendirikan sebuah kamar untuk para sufi. Hal ini menunjukkan akan
kecintaan beliau pada ilmu tasawuf dan ilmu fiqh, sehingga melekat dalam
hidupnya. Kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagasan dan pemikiran beliau
dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Adapun konsep guru yang ikhlas menurut Imam Al-
Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dapat dilihat dari beberapa aspek, antara
lain:
70
1. Pengertian Guru Yang Ikhlas
Guru menurut Imam Al-Ghazali adalah seseorang yang bekerja untuk
menyempurnakan, membersihkan dan mensucikan serta membimbing anak
didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Ia juga
mengatakan bahwa dari satu segi, mengajarkan ilmu merupakan suatu ibadah
kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain merupakan tugas manusia menjadi
khalifah Allah. Sementara dengan melaksanakan tugas tersebut, maka ia telah
menjadi khalifah Allah yang paling mulia.1
Hal tersebut menunjukkan bahwa profesi guru merupakan profesi yang
paling mulia dan paling agung dibandingkan dengan profesi yang lain.
Dengan profesinya tersebut, seorang guru menjadi perantara antara manusia
dalam hal ini murid, dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Dengan demikian,
maka seorang guru telah mengemban pekerjaan yang sangat penting. Sehingga
guru dianggap sebagai bapak kerohanian, yaitu seseorang yang mempunyai
tugas sangat tinggi dalam dunia ini. Maka tidak heran jika Al-Ghazali
mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
٢ا�����ء ور � ا���ء واّن
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. (HR. Abu Dawud).
Berkaitan dengan ketinggian derajat dan kedudukan seorang guru,
Ahmad Barizi setuju dengan pendapat Al-Ghazali. Ia menyatakan bahwa guru
merupakan resi spiritual yang mengenyangkan diri dengan ilmu. Hidup dan
matinya pembelajaran bergantung sepenuhnya pada guru, sehingga peran dan
fungsi guru begitu mulia yang kedudukannya menyamai rasul Allah yang
diutus pada suatu kaum. Bahkan ia juga mengutip perkataan Al-Ghazali,
bahwa:
1 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet.
XII, hlm. 77. 2 Sulaiman, Sunan Abu Dawud, (Indonesia, Maktabah Dahlan, t.t), hlm. 317.
71
Barangsiapa yang berilmu dan mengamalkan ilmunya itu, maka dia adalah orang paling mulia di seantero dunia. Dia laksana matahari yang bisa menerangi orang lain. Disamping dirinya memang pelita yang cemerlang. Dia laksana harum minyak kasturi yang mengharumi orang lain. Barangsiapa yang bersibuk diri dengan mengajarkan ilmu (guru), maka sungguh dia telah mengikatkan suatu ikatan yang mulia dan bermakna. Maka, hormatilah profesinya (orang yang menjadi guru).3
Berdasarkan pemaparan di atas, maka orang yang berilmu diwajibkan
untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam Al-Qur’an:
øŒ Î)uρ x‹ s{r& ª!$# t,≈sVŠÏΒ tÏ%©!$# (#θ è?ρé& |=≈tGÅ3ø9 $# …çµ ¨Ζä⊥ÍhŠu;çF s9 Ĩ$ ¨Ζ=Ï9 Ÿωuρ … çµtΡθ ßϑçGõ3s?
Tatkala diambil oleh Allah akan janji mereka yang diberikan Kitab supaya diterangkannya kepada manusia dan tidak disembunyikannya. (QS. Al-Imran, ayat 187). 4
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa Allah SWT mencela dan
mengancam ahli kitab yang telah diambil janjinya oleh Allah melalui lisan
para nabi, yaitu janji untuk beriman kepada nabi Muhammad SAW, serta
menjelaskannya kepada manusia. Mereka sangat cekatan dalam menangani
persoalan Muhammad SAW. Apabila Allah mengutus seorang rasul, mereka
mengikutinya, namun menyembunyikan cerita tentang nabi Muhammad dan
menggantikan kebaikan dunia dan akhirat yang dijanjikan kepada mereka
dengan imbangan yang sedikit berupa perolehan duniawi yang hina. Maka
alangkah buruknya tukar menukar itu. 5
Ayat tersebut mengandung peringatan bagi para ulama atau orang-
orang yang berilmu, supaya mereka tetap berada pada jalannya sehingga apa
yang menimpa para ahli kitab tidak menimpa dirinya. Dengan demikian, maka
para ulama harus senantiasa memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat,
menunjukkan amal saleh kepada orang lain, serta tidak menyembunyikan ilmu
3 Barizi, Menjadi Guru Unggul, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 130. 4 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm.
95. 5 Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999),
Jilid I, Cet. I, hlm. 630-631.
72
sedikitpun. Dalam hal ini, maka seorang guru harus senantiasa mengajarkan
dan mengamalkan ilmunya dengan melihat dari tingkat kemampuan para
muridnya, sehingga ilmunya manfaat dan memperoleh kebaikan di dunia dan
akhirat. Untuk itu, maka seorang guru harus senantiasa melakukannya dengan
ikhlas, bukan karena tujuan duniawi semata. Sehingga menjadi amal shaleh
dan menjadi manusia mulia dihadapan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits,
���� أ���� ا� ����م �� �� ٦� ر &%م ا�$����� #"! � �� Barangsiapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, kemudian ia
menyembunyikannya, maka kelak pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekang dari api neraka. (HR. Abu Dawud).
Hadist tersebut menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam menuntut
ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, sehingga
orang yang sengaja tidak menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang
lain diancam dengan siksaan. Orang yang menyembunyikan ilmunya pada hari
kiamat akan dikekang dengan kekang yang terbuat dari kekang api neraka.
Al-Ghazali menyatakan, bahwa seorang guru tidak hanya sebatas
mengamalkan ilmunya saja, akan tetapi harus dilandasi dengan keikhlasan
dalam mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada anak didik mereka. Adapun
yang dimaksud dengan ikhlas adalah berbuat sesuatu dengan tidak ada
pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT, serta mengharapkan keridhaan-Nya saja.
Dengan demikian, maka guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali
adalah seseorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan
dan membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
semata-mata untuk mendapatkan ridha-Nya. Ia tidak mengharapkan upah atau
imbalan atas pengajarannya, begitu juga dengan kedudukan, pangkat dan
jabatan. Ia menganggap bahwa mengajar merupakan suatu kewajiban bagi
6 Sulaiman, op. cit, hlm. 321.
73
orang berilmu sekaligus bernilai ibadah kepada Allah, sehingga menjadikan
ilmunya bermanfaat dan dapat diterima oleh Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an:
!! !!$ tΒ uρ (# ÿρâ÷É∆ é& āω Î) (#ρ߉ç6 ÷èu‹ Ï9 ©! $# tÅÁ Î=øƒèΧ ã& s! tÏe$!$# u... !$ x�uΖãm ) �(�ا�: )(
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas mena’ati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama. (Q.S. Al Bayyinah: 5).7
Dalam perspektif sufistik, ikhlas di samping sebagai bagian dari
maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT, juga merupakan syarat syahnya suatu ibadah. Jika amal perbuatan
diibaratkan sebagai badan jasmani, maka ikhlas adalah roh atau jiwanya. Hal
ini berbeda sekali dengan pandangan ulama fiqh yang menganggap bahwa
ikhlas bukanlah syarat syahnya suatu ibadah. Maka tidaklah heran jika Al-
Ghazali menyatakan, bahwa ilmu tanpa amal akan sia-sia dan amal tanpa
ikhlas akan tertolak.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Husain, bahwa suatu
aktivitas apabila tidak memenuhi dua perkara maka tidak akan diterima oleh
Allah. Pertama, hendaknya aktivitas itu ditujukan semata-mata hanya
mengharap keridhaan Allah ’azza wa jalla. Kedua, hendaknya aktivitas itu
sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah SWT dalam al-Qur’an dan sesuai
dengan penjelasan Rasul-Nya dalam sunah beliau.8
Ilyas Ismail juga menyatakan bahwa ikhlas memperlihatkan semangat
tauhid, yaitu komitmen untuk menuhankan Allah dan menyembah hanya
kepada-Nya. Demikian juga dalam bekerja dan beramal harus dilandasi
dengan keikhlasan. Namun demikian, pada kenyataanya, seseorang dalam
bekerja dan beramal sering bukan karena Allah, tetapi karena pertimbangan
lain yang lahir dari hawa nafsu, seperti mencari muka (riya’) dan mencari
7 Departemen Agama, op. cit, hlm. 907. 8 ‘Audah al-‘Awayisyah, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani, (Yogyakarta: Maktabah Al-
Hanif, 2007), Cet. I, hlm.6.
74
popularitas (sum’ah). Kedua sifat ini, dalam kacamata sufisme, merupakan
penyakit hati yang dapat menggerogoti keikhlasan seseorang dalam beramal
dan mendekatkannya pada pintu gerbang kemusyrikan.9
Dari pernyataan di atas, maka dapat diketahui bahwa pemikiran Al-
Ghazali mengenai guru yang ikhlas diwarnai dengan nuansa tasawuf. Namun
demikian, pada saat sekarang ini pemikiran beliau masih dianggap relevan dan
terbukti dengan beberapa tokoh yang setuju akan pemikirannya mengenai guru
yang ikhlas, bahkan seringkali mereka mengutip tentang pendapat beliau
mengenai hal tersebut. Sebagaimana pandangan Abdullah Nasih Ulwan,
bahwa ikhlas merupakan sifat mendasar yang harus dimiliki pendidik. Adapun
tentang sifat ikhlas, ia menjelaskan bahwa pendidik hendaknya mencanangkan
niatnya semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan mendidiknya, baik
yang berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan ataupun hukuman.
Begitu juga dengan pandangan Fu’ad Asy Syalhub yang mengatakan bahwa
salah satu sifat yang harus dipelihara seorang guru adalah mengikhlaskan
ilmunya kepada Allah.
Dengan demikian, maka terdapat beberapa persamaan antara pendapat
Al-Ghazali mengenai guru yang ikhlas dengan beberapa tokoh tersebut di
atas. Ikhlas menjadi syarat diterimanya suatu amal, sehingga seorang guru
hanya pantas menggerakkan hidupnya semata-mata untuk Allah SWT. Ia
mengajarkan ilmunya, semata-mata untuk mendekatkan dirinya kepada Allah
SWT dan untuk mendapatkan ridha-Nya. Ia tidak berorientasi pada urusan
duniawi seperti mencari kedudukan, pangkat dan jabatan dalam mengajarkan
dan mengamalkan ilmunya kepada anak didik mereka. Sehingga ilmunya
menjadi manfaat dan diterima oleh Allah SWT. Ia juga senantiasa menjaga
niat dan hatinya agar tetap lurus, serta memohon perlindungan kepada Allah
SWT dari perbuatan syirik sekecil apapun.
Adapun pemikiran Al-Ghazali mengenai guru ikhlas tersebut, sangat
berbeda dengan apa yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14
9 Ismail, Pilar-Pilar Takwa, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 14-15.
75
tentang Guru dan Dosen, bahwa guru adalah seorang pendidik profesional
dengan beberapa tugasnya seperti mendidik, mengajar dan membimbing
dalam beberapa jalur pendidikan. Sementara profesional sendiri merupakan
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan
yang memenuhi standar mutu serta memerlukan pendidikan profesi.10
Adanya perbedaan pandangan merupakan sesuatu yang wajar, justru
dengan adanya perbedaan menjadikan adanya kekhasan dari pemikiran satu
dengan pemikiran lainnya. Dalam hal ini, maka jelas bahwa Al-Ghazali
berpandangan bahwa guru adalah profesi yang sangat mulia, bahkan guru
disebutkan sebagai ulama yang merupakan pewaris para nabi. Sehingga Al-
Ghazali menyatakan, seorang guru hanya pantas mengamalkan ilmunya
semata-mata untuk mendapat ridha Allah SWT, bukan menjadikannnya
sebagai alat untuk mencari urusan duniawi. Ia berpandangan bahwa sudah
menjadi tugas dan kewajiban bagi seorang yang berilmu untuk mengajarkan
dan mengamalkan ilmunya kepada orang lain. Sehingga ia tidak patut untuk
meminta upah, karena pahala disisi Allah jauh lebih mulia dibandingkan
urusan duniawi. Namun demikian, pada dasarnya setiap guru mempunyai
tugas yang sama, yakni mengajarkan ilmu pengetahuan dan mendidik dengan
menanamkan nilai-nilai moral. Sehingga ia menjadikan muridnya menjadi
manusia yang cerdas, bertaqwa dan mempunyai akhlakul karimah.
2. Kriteria Guru Yang Ikhlas
Dari berbagai pemaparan di atas, mengenai pemikiran Al-Ghazali
tentang guru yang ikhlas, maka dapat diketahui beberapa indikasi atau kriteria
guru yang ikhlas menurut Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.
Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas
mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru
yang baik akhlaknya serta kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal, ia dapat
10 Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra
Umbara, 2006), hlm. 2-3.
76
memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya
yang baik, ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya.
Sementara dengan kuat fisiknya, maka ia dapat melaksanakan tugas mengajar,
mendidik dan mengarahkan para muridnya. Berkaitan dengan pemikirannya
mengenai guru yang ikhlas, maka dapat diindentifikasikan sebagai berikut:
Pertama, seorang guru senantiasa mendasarkan dan meluruskan
niatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari
keridhaan-Nya. Kedua, menyadari akan kewajiban bagi setiap orang beriman
untuk berilmu dan beramal dengan tulus. Ketiga, mengikuti jejak Rasulullah
SAW, dalam hal ini tidak meminta upah dan tidak juga ucapan terimakasih.
Keempat, tidak berorientasi pada urusan duniawi, tapi melihat tujuan jangka
panjang, yakni untuk memperoleh kebahagian di akhirat kelak dengan beramal
sholeh tersebut. Kelima, senantiasa menjaga adab dan tugasnya sebagai guru.
Keenam, tidak merasa terbebani dengan tugasnya yang begitu banyak. Karena
ia senantiasa membawa hatinya dalam mengajar dan merasa nyaman dengan
pekerjaanya. Ketujuh, bersikap menerima. Kedelapan, senantiasa bersyukur
atas nikmat dan karunia yang diperoleh dari Allah SWT dan senantiasa
bersabar atas segala cobaan. Kesembilan, terus belajar dan mengkaji ilmu dan
Kesepuluh, bisa menjadi teladan bagi para muridnya.
Dari beberapa sifat guru ikhlas yang disebutkan di atas, menunjukkan
betapa indahnya apabila seorang guru mau menerapkan konsep Al-Ghazali
dalam mengamalkan ilmunya. Pekerjaan guru akan terasa ringan dan guru
akan senantiasa tersenyum dalam menerima kehendak-Nya. Dengan demikian,
maka pekerjaan guru tidak akan berhasil dengan baik, apabila tidak disertai
dengan ikhlas. Hal ini karena tugas-tugas pendidikan merupakan tugas yang
berat. Pekerjaan yang membutuhkan adanya rasa aman dan nyaman dalam
hatinya. Sehingga guru akan bisa melaksanakan tugas tertentu dengan baik,
apabila mendasarkan niatnya semata-mata karena Allah. Ia menjadikan
pekerjaan tersebut bukan suatu beban, melainkan rahmat karena telah diberi
77
kesempatan, untuk menjadi perantara antara manusia, dalam hal ini murid
dengan sang Penciptanya.
Adapun mengenai adab dan tugas seorang guru telah dipaparkan dalam
bab tiga. Dari beberapa tugas tersebut, tampak bahwa sebagiannya masih ada
yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sebagaimana sifat guru
yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian
berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan
usia, kejiwaan dan kemampuan intelektual siswa, bersikap simpatik, tidak
menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan
adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
Dengan demikian, maka kriteria guru yang ikhlas menurut Al-Ghazali
mencakup beberapa kriteria guru ideal yang telah diungkapkan oleh Husnul
Chotimah, sebagaimana dikutip Asmani. Bahwa kriteria guru ideal yang
seharusnya dimiliki bangsa Indonesia di abad 21 ini. Pertama, dapat membagi
waktu dengan baik, dapat membagi waktu antara tugas utama sebagai guru
dan tugas keluarga, serta dalam masyarakat. Kedua, rajin membaca. Ketiga,
banyak menulis. Keempat, gemar melakukan penelitian. Kelima, guru yang
memahami benar profesinya. Keenam, kreatif dan inovatif juga memiliki
kecerdasan, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan sosial,
kecerdasan emosional dan kecerdasan motorik. 11
Dari pernyataan tersebut, maka terlihat adanya persamaan antara
pemikiran Al-Ghazali dengan pemikiran kedua tokoh tersebut. Dimana
seorang guru harus memiliki kecerdasan yang berarti harus mempunyai ilmu
pengetahuan yang mumpuni, senantiasa melakukan penelitian dengan
mengkaji berbagai ilmu, serta memahami profesinya dengan baik. Adapun
perbedaanya, maka pemkiran Al-Ghazali lebih khas dengan adanya kemurnian
dari seorang guru dalam mengabdikan diri semata-mata untuk beribadah dan
mencari keridhaan-Nya. Selain itu, pemikiran Al-Ghazali juga memiliki ciri
11 Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif, (Jogjakarta: Diva Press,
2009), Cet. II, hlm. 21-24.
78
khas mengenai kepribadian seorang guru yang sangat menonjol, sebagaimana
disebutkan dalam beberapa adab dan tugas guru.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa sosok guru ideal adalah guru
yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan
ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada
anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu
menggali potensi yang dimiliki para siswa, dapat bekerja sama dengan para
siswa dalam memecahkan masalah. Ia menjadi idola di mata muridnya,
sehingga para murid akan mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya
menuju jalan akhirat.
Dari berbagai pemaparan di atas, maka terlihat bahwa pada akhirnya
para murid dibimbing menuju Allah. Berbagai upaya yang dilakukan oleh
guru terhadap muridnya dalam belajar merupakan suatu proses, yang pada
akhirnya harus dapat membawa murid menuju Allah. Atas dasar ini, terlihat
jelas sekali pengaruh pemikiran Al-Ghazali mengenai sikap guru yang harus
berniat ikhlas. Ia tidak mengharapkan adanya imbalan, berakhlak mulia,
mengamalkan ilmu yamg diajarkannya dan menjadi panutan serta mengajak
pada jalan Allah, itu semua merupakan nilai-nilai ajaran tasawuf. Maka benar,
bahwa Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali yang sangat monumental
tersebut, kaya akan khazanah keilmuan, yang memadukan antara ilmu fiqh
dan tasawuf. Termasuk di dalamnya mengenai guru yang ikhlas, Ia banyak
menggunakan pemikiran sufistik dan ilmu fiqh untuk kemudian dikaitkannya
dalam dunia pendidikan.
3. Tujuan Menjadi Guru
Al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan menjadi guru semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencari ridha-Nya. Selain itu,
karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang berilmu untuk
mengamalkan ilmunya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal ini
menunjukkan bahwa seorang guru harus senantiasa memantapkan dan
meluruskan niatnya sebelum mengajar, yakni dengan tulus ikhlas semata
79
karena Allah, bukan untuk mencari harta, kedudukan dan juga pangkat.
Dengan demikian, maka tujuan untuk menjadi guru yang ikhlas dalam
mengajar terletak pada niatnya, yakni untuk mencapai tujuan akhirat, yaitu
dengan mendapatkan keridhaan Allah SWT. Sementara itu, ia juga
menyatakan bahwa mengajar dengan tujuan dunia, hanya akan membawa pada
kehancuran.
Sebagian orang mengerti bahwa tugas mendidik adalah tugas yang
sangat mulia yang tidak bisa dinilai dengan uang. Sebagian lagi terpanggil
karena melihat kebodohan yang merajalela dan menindas masyarakat.
Menyadarkan dan mengajari mereka untuk keluar dari penjara kebodohan
adalah sebuah pekerjaan mulia. Fenomena seperti inilah yang mengetuk hati
sebagian orang yang lurus dan mulia.
Adapun tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali, maka pendidikan
harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik
penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan
bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan
dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri
kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan. Rumusan
tujuan pendidikan tersebut berdasarkan firman Allah SWT, tentang tujuan
penciptaan manusia yaitu:
$ tΒ uρ àMø)n=yz £ Ågø: $# }§ΡM}$#uρ āω Î) Èβρ߉ç7 ÷èu‹Ï9 ∩∈∉∪
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Az-Zariyat: 56).12
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali tersebut dipengaruhi
oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Karena dalam ajaran tasawuf
memandang, bahwa dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus
didewakan, karena dunia tidak abadi dan akan rusak, sementara maut dapat
memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia merupakan tempat lewat
12 Departemen Agama, op. cit, hlm. 756.
80
sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal dan maut
senantiasa mengintai setiap manusia.
Berkaitan dengan pemikiran Al-Ghazali tersebut, Herdananto juga
menyebutkan tujuan seseorang menjadi guru yang ikhlas, bahwa seorang guru
bekerja karena adanya panggilan nurani, tidak bekerja untuk mencari
penghidupan, akan tetapi justru mereka ingin menghidupkan orang lain, dan
keluar dari belenggu kebodohan. Mereka benar-benar mengabdi dengan tulus
ikhlas.13
Dalam hal ini, Nasih Ulwan juga sependapat dengan Al-Ghazali,
bahwa Islam menjadikan pengajaran dengan segala kekhususannya secara
sukarela tanpa pamrih, hal ini sesuai dengan sikap Nabi SAW yang mengajar
secara sukarela, dan memberikan peringatan secara keras kepada orang yang
mengambil upah mengajar kepada teman-temannya. Telah tercatat dalam
sejarah, bahwa Rasulullah tidak pernah mengambil upah atas dakwah dan
mengajar dari seorangpun.14
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an:
ö≅è% $ tΒ Νä3çF ø9 r' y™ ôÏiΒ 9�ô_ r& uθ ßγ sù öΝä3s9 ( ÷βÎ) y“Ì� ô_ r& āω Î) ’n? tã «!$# ( )�٧:���ء(
Katakanlah (Muhammad): “Imbalan apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Imbalanku hanyalah dari Allah.” (QS. Saba’: 47).15
Berkaitan dengan masalah upah atau imbalan, Imam Al-Ghazali
menyatakan bahwa seorang guru harus mengikuti jejak Rasulullah SAW. Ia
tidak mencari upah, balasan dan juga ucapan terimakasih dengan mengajar itu.
Tetapi seorang guru mengajar karena Allah dan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya. Adapun seorang guru diperbolehkan untuk memandang bahwa
dirinya telah berbuat suatu perbuatan yang baik, dengan menanamkan ilmu
13 Herdananto, Menjadi Guru Bermoral Profesional, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009),
hlm. 7. 14 Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Tarbiyatul Aulad Fil Islam, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), hlm. 311. 15 Departemen Agama, op. cit, hlm. 614.
81
pengetahuan dan mendidik jiwa para muridnya. Hal ini agar hatinya senantiasa
dekat dengan Allah SWT.16
Al-Ghazali mengatakan betapa kotornya orang berilmu, yang rela
untuk dirinya kedudukan duniawi. Sementara ia berbohong dan menipu diri
sendiri dengan tidak malu mengatakan: “Maksudku dengan mengajar ialah
menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
menolong agama-Nya.”17 Al-Ghazali juga menyatakan, bahwa: “Orang yang
mencari harta dengan ilmu, samalah dengan orang yang menyapu bawah
sepatunya dengan mukanya supaya bersih. Dijadikannya yang dilayani
pelayan dan pelayan menjadi yang dilayani”. 18
Pandangan Al-Ghazali tersebut, ditujukan kepada guru yang menerima
honorarium. Karena beliau berkeyakinan bahwa orang alim itu tidak lain
adalah pemberi petunjuk agama, sehingga tidak layak bagi orang alim
mencampurkan urusan agama dengan materi dan menjadikan agama sebagai
sarana penjilat orang-orang yang berharta dan berkedudukan.
Adapun alasan Al-Ghazali melarang guru untuk meminta gaji atas
pengajarannya, berdasarkan hal berikut, antara lain:
a. Al-Qur’an diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru)
yang mengajarkannya. Ini adalah alasan agama yang menuntut para guru
menunaikan tugas dan kewajibannya (bekerja) di jalan Allah.
b. Pemimpin-pemimpin kaum muslimin pada masa awal kebangkitan Islam,
semuanya memperhatikan kaum muslimin. Mereka senantiasa ikhlas, tidak
pernah terdengar bahwa mereka mengkhususkan para guru untuk mengajar
anak-anak mereka di surau-surau (kuttab) dan mengambil harta Allah
untuk menggaji guru-guru tersebut.
c. Mengajar merupakan kewajiban bagi setiap orang yang berilmu dan
bernilai ibadah, sehingga pahala ada pada Allah.
16 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op. cit, hlm. 214. 17 Ibid. 18 Ibid, hlm. 215.
82
d. Guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, dengan meminta
upah. Melainkan sebaliknya, ia harus berterima kasih kepada muridnya
atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina
mental. Karena murid telah memberi peluang kepada seorang guru untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT
Berdasarkan beberapa alasan di atas, maka dapat diketahui bahwa
pendapat Al-Ghazali tentang pengharaman gaji guru tersebut berdasarkan dari
pemahamannya mengenai kewajiban seorang yang beriman untuk berilmu dan
beramal. Al-Ghazali menyatakan bahwa orang yang mengamalkan ilmunya
merupakan sudah menjadi tugasnya sebagai kholifah Allah di bumi dan
sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Al-
Ghazali telah memberlakukan prinsip pengabdian di dalam belajar mengajar,
baik terhadap pejabat negara maupun terhadap tokoh masyarakat, sehingga
orang yang akan mengajar harus senantiasa memantapkan niatnya hanya untuk
mendapatkan keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi,
seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarnya adalah karena
mendekatkan diri kepada Allah semata-mata dan ini dapat dipandang dari dua
segi. Pertama, sebagai tugas kekhalifaan dari Allah SWT. Kedua, sebagai
pelaksana ibadah kepada Allah yang mencari keridhaan-Nya dan
mendekatkkan diri kepada-Nya. Hal yang demikian itu, dimaksudkan untuk
memurnikan tugas mendidik dan mengajar itu sendiri. Sehingga dari
pernyataan di atas, maksudnya adalah bahwa Al-Ghazali mencela guru yang
menuntut upah dari murid.
Namun dari berbagai pernyataan di atas, timbul suatu pertanyaan,
bagaimana jika seseorang mengkhususkan dirinya sebagai pengajar, sedang ia
tidak mempunyai pendapatan lain sebagai mata pencahariannya, maka
bolehkah ia mengambil upah dari pekerjaan mengajarnya itu? Seorang guru
yang mengkhususkan dirinya untuk kegiatan belajar mengajar, sementara
sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sulit didapatkan, maka ia
83
diperbolehkan memungut upah dari pekerjaan mengajar itu sebagai imbalan
jasa, demi menjaga kehormatan diri dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berkaitan dengan hal ini, Al-Ghazali menyatakan, sebagaimana
dikutip oleh Nasih Ulwan, bahwa:
…demikianlah, maka seorang guru diperbolehkan memungut apa yang dapat mencukupinya untuk menenangkan hatinya dari masalah penghidupan, selain itu, hal ini agar seorang guru benar-benar dapat mengkhususkan dirinya di dalam menyebarkan ilmu. Adapun yang menjadi tujuannya adalah penyebaran ilmu dan pahala di akhirat. Ia diperkenankan mengambil upah untuk memudahkan pencapaian maksud tersebut.19
Pada situasi tertentu yang mengharuskan mengambil upah, seperti
guru yang mengkhususkan dirinya mengajar, sedang ia tidak mempunyai
pendapatan lain kecuali dari mengajar. Begitu juga keadaan anak-anak
menuntut wali mereka untuk mencarikan para pendidik yang mengkhususkan
diri memelihara akidah mereka dari keingkaran dan kekufuran, serta
menumbuh kembangkan dengan prinsip Islam dan pendidikan yang utama.20
Dalam situasi seperti ini, maka guru boleh mengambil upah atas pengajaran
tersebut, baik pengajaran yang berupa ilmu-ilmu agama, maupun ilmu-ilmu
lain.
Sesungguhnya, kesimpulan Al-Ghazali dalam hal mengaharamkan gaji
guru dapat dipahami secara tersirat. Bahwa, gaji yang tercela (diharamkan)
sebagaimana yang dikecam Al-Ghazali itu adalah apabila Al-Qur’an (dan
ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk mencari rizki, menumpuk
kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar dari seorang guru, yaitu
semata-mata hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan
rumah tangganya.
Sementara dalam Undang-Undang RI Nomor 14 tentang Guru dan
Dosen, disebutkan bahwa penghasilan merupakan hak yang diterima oleh guru
atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas
19 Nasih Ulwan, op. cit, hlm. 314. 20 Ibid, hlm. 318.
84
keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar
prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik
profesional.21
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 40,
juga dijelaskan bahwa seorang guru mempunyai beberapa hak profesional,
diantaranya adalah guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan
hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Bahkan guru berhak
mendapat promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja,
serta guru juga berhak memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana
pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas profesinya, dll. Dengan
demikian, masalah upah tidaklah menjadi permasalahan bagi seorang guru
untuk tetap ikhlas.22
Adapun yang disebut dengan pendidik profesional dalam Undang-
Undang Sisdiknas adalah tenaga profesional yang bertugas berkenaan dalam
merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya setiap tugas guru
atau pendidik adalah sama, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali maupun
tokoh-tokoh lain. Hanya saja yang menjadikan berbeda adalah pada tujuan
utamanya dalam mengamalkan ilmu. Adapun tujuan tersebut terletak pada niat
dan hati seorang guru.
Dengan adanya perlindungan hukum dari negara, serta kebutuhan
manusia yang kian kompleks, maka demi kelancaran proses pembelajaran,
seorang guru boleh mengambil haknya dari hasil pekerjaannya. Adapun
dengan adanya hukum atau undang-undang tersebut diharapkan bisa menjadi
prospek guru dimasa mendatang sebagai guru profesional, yang sejahtera dan
terlindungi semakin cerah. Jadi, jelaslah bahwa hal keikhlasan tidak ada
21 Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, op. cit, hlm. 5. 22 Undang-Undang R I Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Bandung: Citra Umbara,
2006), hlm. 13.
85
kaitannya dengan menerima atau menolak imbalan dari mengajar. Karena
sesungguhnya niat yang ikhlas itu berasal dari dorongan yang muncul di
dalam hati, dalam hal ini seorang guru mengamalkan ilmunya hanya karena
Allah SWT.
Dari berbagai pemaparan di atas, maka demi manfaatnya ilmu dan
ketenangan batin seorang guru serta diterimanya amal, maka sangat perlu
untuk megikhlaskan niatnya semata-mata karena Allah SWT. Rasulullah juga
mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tergantung pada niatnya, seorang
guru akan berhasil dalam mengajar dan mendidik muridnya apabila dilandasi
dengan niat yang lurus. Ia senantiasa berniat untuk mendekatkan diri kepada
Allah, menyebarkan ilmunya untuk kebaikan, menghilangkan kebatilan dan
menghidupkan agama serta demi kemaslahatan umat manusia. Hal inilah yang
menggambarkan sikap dan ketulusan seorang guru dalam mengajar dan
mendidik murid-muridnya.
4. Efek dan Kontribusi Guru Yang Ikhlas
Al-Ghazali merupakan orang yang sangat ikhlas, meskipun pada
awalnya ia menuntut ilmu dan mengamalkannya bukan karena Allah. Sebelum
Al-Ghazali menemukan hakikat kebenaran dan keikhlasan, ia mengalami
skeptis yang sangat luar biasa. Disebutkan dalam sejarah, bahwa pada masa itu
Al-Ghazali sudah sangat sukses dengan segala kedudukan, pangkat dan
jabatan yang dimilikinya. Bahkan ia telah menjadi orang yang sangat terkenal,
dengan kebesaran namanya dalam majelisnya dihadiri oleh tiga ratus orang
ulama. Setiap orang mengakui akan kecerdasannya, dan ilmunya yang begitu
luas. Namun itu semua tidak membuatnya semakin bahagia dan tenang,
sehingga ia mengalami skeptis dan sakit.
Dalam keadaan seperti itu, ia mendapat hidayah dari Allah sehigga
menemukan kebenaran dalam hatinya dan mampu melihat hakikat kebenaran
dan keikhlasan. Dalam hatinya juga muncul ketakutan yang luar biasa, yaitu
ketakutan terhadap hari akhirat. Sehingga ia memutuskan hubungan jiwanya
dengan hal-hal duniawi dengan meninggalkan dunia ini dan menghadap Allah,
86
ini hanya dapat dicapai dengan mengabaikan kekayaan dan kedudukan serta
lari dari segala sesuatu yang berkaitan dengan waktu yang sia-sia. Karena itu
ia meninggalkan jabatan mahaguru dan seluruh kariernya sebagai faqih dan
ahli theologis dengan melepaskan dirinya dari seluruh kekayaannya kecuali
yang perlu untuk nafkah dirinya sendiri dan keluarganya.23
Hal tersebut menunjukkan bahwa harta bukanlah segalanya, yang
manusia butuhkan adalah kebahagiaan sejati yang bermuara dalam hatinya.
Sehingga ia senantiasa bersikap tenang, merasa cukup dan selalu menerima.
Dalam hal ini Al-Ghazali telah mangalaminya secara nyata, sehingga efek atau
hasil dari keikhlasannya adalah adanya ketenangan batin, keberkahan dalam
hidup serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
Sehingga dalam hal ini, maka seorang guru senantiasa merasa cukup
akan rizki yang dikaruniakan oleh Allah SWT. Ia juga bisa mengajar dengan
tenang serta menyertakan hatinya, sehingga ia bisa menikmati dan menjiwai
pekerjaaannya. Ia akan senantiasa menyambut anak didiknya dengan
senyuman dan semangat yang tinggi. Yang terpenting bagi guru yang ikhlas,
adalah ia tidak akan merasa sedih apabila gaji yang diterima sangat kecil dan
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena sesungguhnya niat dari
mengajar bukanlah karena materi semata. Ia justru akan bersyukur dengan
mendapatkan imbalan tersebut, sebagai haknya menjadi guru profesional dan
berusaha untuk meningkatkan mutu dan kemampuannya dalam mengajar.
Dengan demikian, maka betapa besar dampak positif yang diperoleh
karena keikhlasan seorang guru dalam mengamalkan ilmunya. Adapun
diantara manusia yang menjadi guru, karena keinginannya untuk berbuat baik
kepada sesama manusia dengan mengajarkan ilmunya. Sebagian orang
mengistilahkan hal tersebut dengan mengajar karena panggilan nurani. Ia tidak
memedulikan besarnya gaji yang didapatkan. Ia merasa bahwa menjadi
pegawai tetap atau tidak baginya sama saja. Guru yang seperti inilah yang
23 Quasem, Etika Islam Al-Ghazali, terj. Mahjudin, (Bandung: Pustaka, 1975), Cet. I, hlm.
8.
87
disebut sebagai guru yang ikhlas, karena ia tidak berorientasi pada materi.
Akan tetapi, ia hanya mengharapkan keridhaan dari Allah SWT.
Berkaitan dengan kesejahteraan guru yang ikhlas, Bagus Herdananto
mengatakan, bahwa ada diantara banyak orang yang bertugas menjadi guru
dan mendapatkan kesejahteraan yang cukup, akan tetapi sesungguhnya tujuan
dia menjadi guru atau pengajar bukanlah untuk mencapai status atau
kesejahteraan atau materi yang lain. Karena memang ia mencintai pekerjaan
sebagai guru dan ia terpanggil untuk mendidik masyarakat, ia ingin
menghabiskan seluruh waktunya untuk mendidik orang lain. Adapun status
dan besarnya gaji tidak begitu dipikirkan karena bukan itu yang menjadi
tujuannya. Di antara orang-orang tulus tersebut ada yang mendapatkan
kesejahteraan meski bukan itu yang menjadi tujuannya, dan di antara mereka
ada yang benar-benar berkorban karena kecintaan mereka untuk mendidik dan
mengajar. 24
Menjadi seorang guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah suatu
pekerjaan yang sangat mudah, tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa
atau tuntutan hati nurani tidak mudah, karena dalam hal ini seorang guru lebih
banyak dituntut suatu pengabdian kepada murid daripada karena tuntutan
pekerjaan dengan material oriented. Dalam hal ini, guru mengabdi, dengan
tulus hati untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT, bukan semata-mata
karena mencari materi atau kesenangan duniawi. Dengan demikian, maka
seorang guru akan merasakan jiwanya lebih dekat dengan muridnya. Sehingga
guru senantiasa ingin selalu bersama dengan muridnya, bahkan ketiadaan
muridnya akan menjadi pemikirannya.
Hubungan guru dan murid yang demikian akan menciptakan generasi-
generasi yang unggul, kreatif, dan percaya diri. Karena dalam hal ini, seorang
guru menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Sehingga akan sepenuh hati
pula menyisihkan waktunya, tenaga dan fikirannya untuk membimbing,
24 Herdananto, op. cit, hlm. 8.
88
membina, mendengarkan keluh kesah muridnya, menasehati dan membantu
kesulitan-kesulitan yang dihadapi murid-muridnya.
Adapun dari beberapa keterangan di atas, peneliti dapat mengambil
pelajaran bahwa guru yang ikhlas berdasarkan konsep Al-Ghazali merupakan
suatu contoh teladan yang bisa diterapkan dalam masa sekarang ini. Dimana
perkembangan teknologi semakin canggih, sehingga peranan seorang guru
semakin berkurang. Semangat dan minat siswa dalam belajar di kelaspun
menjadi sangat lemah. Namun, dengan konsep yang ditawarkan Al-Ghazali,
bahwa seorang guru harus senantiasa ikhlas dalam mengamalkan ilmu yang
dimilikinya, menghadirkan hati dan jiwanya dalam mengajar disertai dengan
budi pekerti yang halus. Sehingga murid bisa menerimanya dengan baik,
bahkan muridpun bisa mengikutinya dengan senang hati, karena adanya
keikhlasan yang diberikan oleh sang guru. Dengan demikian, ilmu yang
diajarkan dengan tulus ikhlas menjadi ilmu yang bermanfaat dan berdampak
positif dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, maka seorang guru yang ikhlas mempunyai peran
yang sangat besar dalam perkembangan jiwa dan pendidikan seorang murid.
Menjadikan murid mengerti akan ilmu pengetahuan serta mempunyai akhlak
dan budi pekerti yang baik. Semua itu tidak akan terwujud tanpa keikhlasan
dari seorang guru. Karena dengan keikhlasan guru, maka proses belajar
mengajar pun akan menjadi hal yang sangat menyenangkan. Hal ini karena
seorang guru membawa hatinya dalam mengajar, bukan semata-mata untuk
mencari kedudukan, pangkat ataupun harta duniawi. Maka dari itu, ikhlas
sangat penting untuk diterapkan bagi seorang guru. Sehingga dalam setiap
gerak langkahnya senantiasa menanamkan niat yang tulus-ikhlas, semata-mata
untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT, dan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari telaah yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, khususnya
dengan menguak pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin
tentang konsep guru yang ikhlas, maka penulis mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
Al-Ghazali merupakan seorang ulama Sufi yang banyak mengulas
masalah keguruan, dan menempatkan posisi guru sebagai profesi yang sangat
mulia. Hal ini berawal dari perhatiannya yang sangat mendalam tentang ilmu
dan pendidikan. Ia mempunyai keyakinan yang kuat bahwa pendidikan yang
baik itu merupakan suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya ia
memberikan kedudukan yang tinggi bagi seorang guru dan menaruh
kepercayaannya terhadap seorang guru. Ia berpendapat bahwa guru adalah
seseorang yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran, serta
bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta
membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Guru yang ikhlas ialah seorang guru yang mengajar dengan niat
semata-mata mengamalkan ilmunya karena Allah dan untuk mendapatkan
ridho dari-Nya. Senantiasa membawa hatinya dalam mengajar, sehingga guru
benar-benar menikmati tugasnya sebagai pengajar dan murid pun bisa
menerima dengan baik ilmu yang diajarkan gurunya. Dengan demikian, maka
akan terciptalah lingkungan pembelajaran yang kondusif. Sehingga tujuan
pembelajaran pun bisa tercapai dengan baik, yakni menciptakan generasi yang
cerdas, beriman dan bertaqwa serta mempunyai akhlakul karimah.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin, ikhlas
adalah sebuah usaha untuk menjaga hati dan niat agar tetap suci dan bersih,
tanpa mencampurinya dengan sesuatu hal selain Allah. Selain itu, ikhlas juga
90
merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Dengan demikian, maka guru
yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali adalah seorang guru yang mengajarkan
ilmunya semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah SWT, bukan untuk
mencari harta, pangkat dan kedudukan serta menjadikan ilmunya manfaat dan
dapat diterima oleh Allah SW.
Dengan adanya sikap ikhlas tersebut, diharapkan seorang guru bisa
mengabdi dengan sepenuh jiwa dan raganya serta mengajarkan ilmu
pengetahuannya dengan sepenuh hati. Sehingga guru akan merasa nyaman dan
benar-benar menikmati tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Sikap guru
yang demikian itu, juga akan berdampak positif bagi murid-muridnya, karena
suatu pekerjaan yang dilakukan dengan tulus ikhlas, maka akan mudah
diterima dengan lapang. Dalam hal ini, para murid akan mudah menerima dan
mengerti apa yang di ajarkan oleh gurunya, selain itu para murid juga akan
merasa senang dengan pembelajaran tersebut.
B. Saran-Saran
Bagi seorang guru, hendaknya selalu menjaga niatnya agar tetap lurus
dan hendaknya menanamkan niat yang tulus ikhlas kepada para muridnya.
Guru senantiasa menjaga akhlaknya dalam mengajar dan berhubungan dengan
para muridnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali, karena
seorang guru adalah teladan dan model bagi para muridnya, sehingga guru
harus menjaga betul sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan
perbuatannya. Guru hendaknya tidak berorientasi pada materi dalam
menjalankan profesinya sebagai pengajar, karena pada hakikatnya Allah akan
membalas amal baik yang dilakukan guru atas pengajaran tersebut. Guru harus
senantiasa ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, agar bermanfaat dan tidak sia-
sia serta dapat diterima Allah SWT sebagai amal sholeh.
Hal ikhlas adalah masalah hati yang sangat halus, sehingga terkadang
manusia lalai dan telah berbuat riya’ dengan melakukan amal kebaikan,
buakan karena Allah. Maka dalam hal ini, hendaknya para guru harus
91
senantiasa berdoa memohon pertolongan kepada Allah SWT agar dijauhkan
dari perbuatan syirik sekecil apapun.
Sebagaimana dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
���و �� ��� ���� ��ك�ان �� �ذ ��� اّ� �ّ�ا�ّ������ � ك ����
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu dengan sesuatu yang kami mengetahuinya dan kami mohon ampun kepada-Mu bagi apa yang tidak kami ketahui.1
Dengan demikian, maka seorang guru hendaknya menjaga niatnya agar
tetap lurus, dan senantiasa memohon pertolongan dan perlindungan kepada
Allah dengan mengamalkan doa tersebut.
C. Penutup
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang senantiasa melimpahkan segala rahmat, hidayat, taufiq serta
inayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, yang mana beliaulah yang
membawa pelita umat, dari jaman jahiliyah menuju jaman yang terang
benderang. Beliaulah sebaik-baik guru dan suri tauladan bagi seluruh umat
manusia serta selalu kami nanti-nantikan syafaatnya di hari akhir.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan, baik dari segi materi maupun dari tulisan ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Penulis hanya bisa mengungkapkan rasa terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Penulis berharap,
semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, yakni bagi penulis
khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
1 Ridhwan, Al-Ma’tsurat, terj. Syafi’i Syukur, (Yogyakarta: Mashoer, 2007), hlm. 43.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu’ti & Chabib Thoha, PBM-PAI di Sekolah, Semarang: Fak. Tarbiyah
IAIN Walisongo, 1998. Cet, I.
Abi Zakariya Yahya, Syeikh Muhyidin, Riyadhush Shalihin, Semarang: Pustaka
Alawiyah, tt.
Abu Farits, M. Abdul Qadir, Tazkiyatunnafs, terj. Habiburrahman Saerozi,
Jakarta: Gema Insani, 2006, Cet. II.
Adnan, Anas (ed), Gema Ruhani Imam Ghazali, terj. Saifuddin Mujtaba,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1993, Cet. I.
Al-Banjari, Rahmat Ramadhana, Mengarungi Samudra Ikhlas, Jogjakarta: Diva
Press, 2007. Cet. I.
Al-Ghazali, Imam, Ayyuhal Walad, terj. Fu’ad Kauma, Bandung: Irsyad Baitus
Salam, Cet. I, 2005.
_______________, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, Jilid I, Jakarta: CV.
Faizan, 1994.
_______________, Mukasyafah al-Qulub, terj. Irwan Kurniawan, Bandung:
Marja’, Cet. I, 2003.
_______________, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, Bandung:
Mizan, 2008.
Al-Ghazali, Muhammad, Akhlaq Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 1985.
Al-Maraghi, Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, juz VIII, terj. K. Anshori Umar
Sitanggal, Semarang: CV. Toha Putra, 1998.
Arberry, A. J., Sufism An Account Of The Mystics Of Islam, London: George
Allen & Unwin Ltd, t.th.
Asmani, Jamal Ma’mur, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif,
Jogjakarta: Diva Press, 2009, Cet. II.
Asy Syalhub, Fu’ad, Guruku Muhammad SAW, Jakarta: Gema Insani, 2006.
‘Audah al-‘Awayisyah, Syaikh Husain, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani,
Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2007.
Barizi, Ahmad, Menjadi Guru Unggul, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Bungin, Burhan (Ed.), Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008.
Daeng Arifin & Dedi Permadi, The Smiling Teacher, Bandung: CV. Nuansa
Aulia, 2010.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Karya Agung,
2006.
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2005, Cet. II.
Fadhalalla Haeri, Syaikh, The Elements Of Sufism, Dorset: Elements Books
Limited, 1990.
Gusmian, Islah, Surat Cinta Al-Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati,
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006, Cet. II.
Hassan Shadily & John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT
Gramedia, 1996.
Hawa, Sa’id, Tazkiyatun Nafs, terj. Tim Kuwais, Jakarta: Darus Salam, 2005.
Herdananto, Bagus, Menjadi Guru Bermoral Profesional, Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2009.
Hidayatullah, M. Furqon, Guru Sejati, Surakarta: Yuma Pustaka, 2009, Cet. II.
Ismail, Ilyas Pilar-Pilar Takwa, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009.
Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang:
RaSAIL, 2008, Cet. I.
Jahja, Zurkani, Teologi Al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet. I.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002, Cet. III.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya,
2007.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. II, 2004.
Mujieb, M. Abdul, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, Jakarta:
Hikmah, 2009.
Mulyasa, E., Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2008, Cet. VII.
Munawir & Al-Bisri, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Munir Amin, Samsul, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2008, Cet. I.
M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 1994.
Nasib Ar-Rifa’i, Muhammad, Ringkasan Ibnu Katsir, Jilid III & IV, terj.
Syihabudin, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Nasih Ulwan, Abdullah, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Tarbiyatul Aulad
Fil Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Nawawi Asy-Syafi’i Al-Qadiri, Syekh Muhyidin, Bahjatul Wasaail Bisyarhi
Masaail, Semarang: Maktabah Matbaah “Karya Thoha Putra”, tt.
Nurdin, Muhammad, Kiat Menjadi Guru Profesional, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2008, Cet. I.
Quasem, Abdul, Etika Islam Al-Ghazali, terj. Mahjudin, Bandung: Pustaka, 1975.
Ramadhan, Muhammad, Quantum Ikhlas, terj. Alek Mahya Shofa, Solo: Abyan,
2009.
Ridhwan, Muhammad, Al-Ma’tsurat, terj. Syafi’i Syukur, Yogyakarta: Mashoer,
2007.
Said Basil, Victor, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1990.
Sentanu, Erbe, Quantum Ikhlas, Jakarta: PT. Gramedia, 2008.
Shihab, Othman, Pintu-Pintu Kesalehan, Jakarta: PT Mizan Publika, 2007, Cet. I.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010.
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Sulaiman, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta: Aksara Baru, 1988, Cet. III.
Syakur, Masyhudi, Biografi Ulama Pengarang Kitab Salaf, Kediri: Baroza, 2008.
Syukur, Amin, Tasawuf Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, Cet. 2.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2005.
Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bandung:
Citra Umbara, 2006.
Undang-Undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bandung: Citra
Umbara, 2006.
Qayyum, Abdul, Surat-Surat Al-Ghazali, terj. Haidar Baqir, Bandung: Mizan,
1985, Cet. II.
Yamin, Martinus, Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung
Persada Press, 2008.
http://digilib.uin-suka.ac.id/download.php?id=2009, diundo 16/05/2011.
http://en. wikipedia.org/wiki/Content analysis, diundo 26/04/2011.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Lisa Fathiyana
Tempat Tanggal Lahir : Brebes, 13 Maret 1988
Bangsa : Indonesia (WNI)
Agama : Islam
Alamat : Jl. KH. A. Badawi No.38 RT 2/II Ketanggungan
Kec. Ketanggungan Brebes 52263
Tempat Tinggal Sekarang : Jl. Tugurejo No. 9 RT 01/I Tugurejo Kec. Tugu
Semarang 50151
Menerangkan dengan sesungguhnya:
Pendidikan Formal :
1. SD Negeri Ketanggungan III, lulus tahun 2000
2. SLTP Negeri 1 Ketanggungan, lulus tahun 2003
3. SMA Negeri 1 Kersana, lulus tahun 2006
4. IAIN Walisongo Semarang Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Non Formal:
1. Madrasah Diniyah Wushto Tarbiyatul Muta’allimin, lulus
tahun 2001
2. Pondok Pesantren Roudhotuth Tholibin Tugurejo
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Hormat saya,
Lisa Fathiyana
063111056
Recommended