View
96
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
jurnal pendidikan
Citation preview
JURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU
ISSN 1693-4849
(Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan)
VOLUME 13 NOMOR 2 SEPTEMBER 2012
• Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistic (PMR)
Muhamad Saleh (Hal 51–59)
• Penerapan Pendekatan Matematika Realistik Dalam Mengkonstruksi Algoritma Perkalian Siswa SD
Cut Morina Zubainur (Hal 60–65)
• Penerapan Model Apprentice Training Yang Berwawasan Konstruktivisme Dalam Upaya Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran Kimia
Mariati MR, Cut Nova Riska (Hal 66–69)
• Relevansi Sikap Ilmiah Siswa Dengan Konsep Hakikat Sains Dalam Pelaksanaan Percobaan Pada
Pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh
Sardinah, Tursinawati, Anita Noviyanti (Hal 70-80)
• Manajemen Pembelajaran Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan pada BKPP Aceh
Sri Rezeki, Murniati, AR, Cut Zahri Harun (Hal 81–90)
• Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi Informasi (T.I) pada Jurusan Bahasa Arab
FAkultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman (Hal 91-97)
• Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks dan Dampaknya Pada Kemampuan Reading
dan Pemerolehan Kosakata Aktif dan Pasif
Septhia Irnanda, Muhammad Aulia (Hal 98-107)
• Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share (TPS) Dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Siswa Pada materi Ciri-Ciri Makhluk Hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie
Yahya (Hal 108-117)
• Efektivitas Peningkatan Kemampuan Profesional Guru SMK di Kabupaten Aceh Besar
Megawati (Hal 118-124)
Diterbit Oleh
FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
Jurnal
Pendidikan
Serambi Ilmu
Volume 13
Nomor 2
Hal Banda Aceh
September
2012
51
PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN PENDEKATAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIC (PMR)
Oleh:
Muhamad Saleh, S.Pd.,M.Pd
Abstrak. Materi matematika sekolah didominasi oleh materi yang bersifat abstrak. Untuk itu
perlu upaya pembelajaran matematika yang “disajikan” secara konkret sehingga lebih mudah
dipahami oleh siswa. Bila semua guru telah menerapkan model pembelajaran kooperatif
melalui pendekatan matematika relisatik diikuti pula dengan pengetahuan procedural yang
memadai, akan dapat membantu siswa dalam memahami konsep matematika yaitu makna dan
maksud dari apa yang dia lakukan/kerjakan. Lebih lanjut siswa akan memiliki kemampuan
memecahkan masalah yang berhubungan dengan matematika dan prosedur penyelesaian
matematika dan melalui kerja kelompok akan tertanam pada diri siswa suatu karakter yang
menghargai pendapat orang lain. Selain itu kualitas lulusan para siswa akan dapat meningkat
khususnya pada materi matematika. Model pembelajaran yang membawa siswa ke
Pendekatan realistik matematika ditonjolkan agar materi matem model pemblejaran yang
lebih konkret dapat di terapkan melalui Pembelajran Matematika Realistik (PMR).
Kata kunci: guru, kooperatif, realistic.
Pada tahun 1916 John Dewey seorang
staf pengajar di Universitas Chicago menulis
sebuah buku yang menetapkan sebuah konsep
pendidikan menyatakan bahwa kelas
seharusnya cerminan masyarakat dalam sistem
sosial dengan menjalankan prosedur
demokrasi dan proses ilmiah. Namun
sebenarnya model pembelajaran kooperatif
merupakan ide lama pada awal abad pertama,
dimana seorang filosof berpendapat bahwa
untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki
teman. Dengan teman dapat berinteraksi dalam
belajar untuk mencapai suatu tujuan, (Ibrahim
dkk, 2000:12).
Tujuan pembelajaran yang
diharapkan setelah pebelajar mengikuti
serangkaian proses belajar bergantung dari
masing-masing mata pelajaran. Matematika
salah satu mata pelajaran yang di pelajari oleh
siswa di sekolah pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah. Objek dasar yang
dipelajari dalam matematika adalah abstrak.
Keabstrakan yang terdapat dalam matematika
itu perlu diupayakan sehingga dapat
diwujudkan lebih konkret dan dapat membantu
siswa sehingga mereka lebih mudah
memahaminya. Salah satu upaya yang dapat
membantu siswa memahami konsep
matematika melalui pembelajaran yang lebih
konkret atau masalah yang dikemas secara
kontekstual melalui pendekatan matematika
realistik. Pendekatan pembelajaran
matematika realistik adalah suatu
pembelajaran berfokus pada masalah yang
dapat dibayangkan siswa sebagai masalah
dalam kehidupan nyata mereka atau masalah
dalam dunia mereka. Dengan demikian
melalui masalah realistik yang dihadapkan
kepada siswa memberi peluang untuk mereka
jawab sesuai dengan hasil pegamatan yang
dilakukan oleh siswa itu sendiri sehingga
kesan yang mereka terima labih baik dan lebih
lama mereka ingat (Muhamad Saleh,
2003:101).
Melalui penerapan pembelajaran
kooperatif yang mencakup sekelompok siswa
bekerja dalam sebuah tim yang terdiri dari
teman sebaya dalam kelompok, mereka dapat
berinteraksi untuk mecapai tujuan. Kerja
kelompok dapat juga bermanfaat tuntuk
mengatasi/mengurangi kefakuman, karena
siswa yang mampu diharapkan dapat
membimbing temannya yang kurang mampu
(Muhamad Saleh, 2003:13).
Disisi lain keabstrakan yang terdapat
dalam matematika itu perlu diwujudkan lebih
konkret sehingga dapat membantu siswa lebih
mudah memahaminya. Dengan demikian perlu
diupayakan suatu model pembelajaran
kooperatif yang penerapannya kepada para
Muhamad Saleh, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis Wil I dpk pada FKIP Univeersitas Serambi Mekkah
52
siswa diajak untuk berdiskusi untuk
menyelesaikan masalah matematika melalui
masalah kontekstual yang realistik. Demikian
halnya yang yang termuat dalam standar isi
(2006:139) mengatakan bahwa : “Dalam setiap
kesempatan, pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan
masalah yang sesuai dengan situasi (contextual
problem).
Dengan mengajukan masalah kontekstual,
peserta didik secara bertahap dibimbing untuk
menguasai konsep matematika. Untuk
meningkatkan keefektifan pembelajaran,
sekolah diharapkan menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi seperti komputer,
alat peraga, atau media lainnya”.
Melalui kegiatan diskusi yang
dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan
masalah kontekstual, diharapkan siswa dapat
menemukan suatu prinsip atau konsep
matematis dalam bentuk model matematika
dan suatu kesimpulan bagaimana cara atau
proses penyelesaiannya dan selanjutnya
dibimbing oleh guru untuk matematika yang
lebih luas dan formal yaitu dengan
memanfaatkan atau mentransformasikannya ke
dalam bentuk lambang atau simbol-simbol
(matematisasi horizontal dan matematisasi
vertikal).
Struktur tujuan Setiap proses belajar mengandung
struktur tujuan yang diharapkan dapat dicapai
oleh siswa. Ada tiga struktur tujuan yang dapat
dipedomani oleh para guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran:
1) Struktur tujuan individualistik.
Struktur tujuan individualistic terjadi jika
pencapaiana tujuan seorang siswa tidak
memerlukan interaksi dengan siswa lain
dan tidak bergantung pula dengan hasil
baik atau buruknya yang dicapai orang
lain. Secara individual, siswa meyakini
bahwa untuk mencapai tujuan yang dia
inginkan tidak ada hubungannya dengan
siswa lain.
2) Struktur tujuan kompetitif
Struktur tujuan kompetitif merupakan
prinsip persaingan simana siswa berusaha
mampu tampil lebih baik sehingga
orang/siswa lain dapat ditaklukkan.
Dengan demikian struktur tujuan
kompetitif, siswa berusaha mencapai
suatu tujuan sehingga siswa lain tidak
mencapai tujuan tersebut.
3) Struktur tujuan kooperatif
Struktur tujuan kooperatif terjadi jika
seorang siswa dapat mencapai tujuan
beserta siswa lain dengan siapa mereka
bekerja sama mencapai tujuan tersebut.
Dalam struktur tujuan kooperatif tiap-
tiap siswa memiliki andil dalam
mencapai suatu tujuan. Sebagai
ilustrasi dapat digambarkan seperti dua
orang yang bekerja dan berperan saling
ketergantungan satu sama lain.
Sehingga keberhasilan seseorang
merupakan keberhasilan bersama,
sebaliknya kegagalan seseorang
mempengaruhi kegagalan bersama pula.
Dalam struktur ini, bagaikan suatu tim
yang terdapat dalam satu sistem yang
masing-msing anggota memiliki peran
penting dalam kelompoknya. Struktur
inilah yang akan diterapkan dalam
model pembelajaran bagian kedua.
Struktur penghargaan yang
diterapkan juga bervariasi, tergantung pada
model pembelajaran yang dilaksanakan.
Penghargaan individualistic dapat diberikan
kepada siapa saja dan tidak tergantung kepada
siswa lain. Penghargaan kompetitif diberikan
kepada siswa yang mampu mengalahkan
pesaingnya di dalam kelas. Dengan edmikian
bagi siapa yang memeproleh rngking dalam
kelas, maka kepadanya diberikan
penghargaan. Sedangkan pengarhgaan
kooepratif diberikan kepada satu tim yang
mampu bekerja sama dengan baik sehingga
menjadi pemenang. Pemberain penghargaan
diberikan kepada siswa dengan tujuan dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa penerima
penghargaan juga siswa lainnya.
1. Pengertian Belajar Kooperatif
Belajar koopratif adalah cara belajar
yang menerapkan kerjasama antar siswa dalam
sekelompok kecil terdiri dari 3 sampai 5 orang
siswa dalam satu kelompok sehingga mereka
dapat belajar dalam satu tim untuk mecapai
tujuan. Di dalam belajar kooperatif pebelajar
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
53
berdiskusi dan saling mambantu serta
memberikan motivasi serta saling membantu
antara satu siswa dengan lainnya dalam rangka
pemahaman terhadap isi materi pelajaran
(Johnson & Johnson, 1991:6). Belajar dalam
satu kelompok yaitu bekerja secara bersama
untuk menyelesaikan sebuah masalah,
menyelesaikan tugas-tugas yang
diajukan/dihadapi. Dalam belajar kelompok
semua anggota tim memiliki tugas dan
tanggung jawab dan secara bersamaan
membahas dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Dalam belajar kooperatif tidak
hanya sekedar mengelompokkan siswa dalam
satu kelas menjadi beberapa kelompok yang
duduk saling berdekatan, namun dalam proses
dan kegiatan belajarnya hanya seorang
diantaranya yang aktif menyelesiakn tugas
yang diberikan. Belajar kooeperatif
menekankan agar terjadi interaksi antar teman
sebaya dalam kelompoknya dalam rangka
menyeledaikan tugas kelompok. Kehadiran
teman sebaya sebagai kolega dalam belajar
memberikan rasa lebih bebas beraktifitas
karena dalam ruang lingkup kelompok yang
semuanya merupakan orang-orang dekat dan
teman bergaul. Dengan demikian setiap siswa
akan lebih berarni untuk mengemukakan ide-
ide atau pendapatnya dalam kelompok.
1) Karakteristik belajar kooperatif Tiga karakteris untuk semua jenis
model belajar kooperatif yang dikemukan
Slavin dalam Kauchak (1998:235) sebagai
berikut:
a. Tujuan kelompok (group goals) :adalah
menghargai anggota kelompok dari
kemampuan yang berbeda untuk bekerja
bersama dan membantu satu sama lain
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
b. Tanggung jawab individual (individual
accountability): mempunyai
pengertaian bahwa setiap anggota
kelompok memberikan keinginan untuk
menguasai materi, dan setiap anggota
diasses oleh anggota yang lain. Hal ini
merupakan ide yang sangat penting.
Pebelajar yang terlibat dalam belajar
kooperatrif akan memahami bahwa
mereka diharapkan untuk belajar dan
melakukan aktivitas bersama-sama serta
dapat menunjukkan bahwa mereka dapat
memahami isi materi
c. Kesempatan yang sama untuk sukses
(equal oppurtunity for success),
mempunyai pengertian bahwa setiap
anggota kelompok mempunyai
kesempatan yang sama untuk menguasai
materi pelajaran dan mendapatkan
penghargaan dari kemampuan yang
dicapainya.
2. Unsur-unsur keberhasilan belajar
kooperatif
Keberhsilan penggunaan model ini
menurut Johnson & Johnson (1991:56-59)
dapat dicapai dengan memperhatikan lima
komponen essensial sebagai berikut:
a. Saling ketergantungan positif
Setiap anggota kelompok harus merasa
adanya rasa saling tergantung secara
positif. Mempunyai rasa “satu untuk
semua”. Merasa tidak akan sukses jika
pebelajar yang lian juga tidak sukses.
Dengan demikian tugas/kegiatan
kelompok haruslah mencerminkan aspek
saling ketergantungan.
b. Interaksi langsung
Komunikasi verbal antar pebelajar yang
didukung oleh saling ketergantungan
positif diharapkan akan menghasilkan
hasil belajar yang labih sempurna. Posisi
di atur sedemikian rupa sehingga mereka
bertatapan secara langsung antara satu
sama lain sehingga memudahkan mereka
saling berkomunikasi.
c. Pertanggung jawaban individual
(individual accountability and personal
responsibility).
Penguasaan bahan ajar setiap individual
selaku anggota kelompook sangat
menentukan sumbangan, dukungan dan
bantuan yang diberikan untuk anggota
lain di kelompoknya. Dengan demikian
setiap anggota kelompok bertanggung
jawab untuk mempelajari bahan ajar dan
bertanggung jawab pula terhadap hasil
belajar kelompok.
d. Ketrampilan berinteraksi antar
individual dan kelompok (interpersonal
and small-group skill)
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
54
Keterampilan sosial sengat penting dalam
belajar kooperatif dan harus
diajarkan/disampaikan kepada pebelajar.
Pebelajar perlu dimotivasi untuk
bekerjasama dan berkolaborasi dengan
sesama. Kerjasama ini sangat bermanfaat
bagi pebelajar di dalam memahami
konsep-konsep sulit.
e. Proses kelompok (group-processing) Efektifitas di dalam belajar kelompok ini
dapat dilakukan dengan cara melakukan
pembagian tugas untuk memimpin secara
bergantian. Pebelajar memantau dan
menjelaskan tindakan mana yang dapat
menyumbangkan belajar dan mana yang
tidak dari setiap kegiatan yang terjadi di
kelompok.
Hasil dari proses belajar manusia
diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuannya dari yang tidak paham
sehingga dapat menjadi paham dan dapat
mengaktualisasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk memahamkan
seseorang dari sesuatu yang belum
mereka katahaui, perlu diawali dari apa
yang telah mereka ketahui melalui
pengenalan maslaah yang sesuai dengan
situasi (contextual problem) sesuai
dengan yang dimaksud oleh Badan
Standare Nasional Pendidikan. Kemudian
melalui masalah yang diajukan, guru
dapat membimbingnya dengan
mengarahkan pola pikir yang dimiliki
oleh siswa dan menuju kekonsep yang
benar. Poroses belajar seperti ini yang
dapat menjadikan proses pembelajaran
yang berpusat pada siswa (student
centered). Proses pembelajaran seperti
yang dikemukakan di atas, siswa akan
lebih mudah memahami dan menemukan
apa yang ingin mereka temukan sehingga
pemahaman yang mereka terima/miliki
merupakan hasil dari membangun
pengetahuannya sendiri. Berikut
diberikan ilustrasi suatu masalah pecahan
yang disajikan dengan pengajuan masalah
kontekstual (contextual problem) :
Kepada siswa (kelompok) diminta
untuk membagi dua sama luas
kertas yang telah disediakan.
Illustrasi pembelajaran yang
sederhana di atas mengajak para siswa
menyelesaikan masalah dengan membawa
mereka kepada sesuatu yang bukan hal
baru bagi mereka dan diselesaikan secara
bersama-sama (berkelompok).
Belajar merurut pandangan konstruktivis
merupakan suatu kegiatan aktif, dimana
pebelajar membangun sendiri
pengetahunannya. Menurut Suparno
(1997:28) bahwa : “konstruktivisme
beranggapan bawha pengetahuan adlah
hasil konstruksi manusia. Manusia
mengkonstruksi pengetahuan mereka
melalui intearksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman, dan lingkungan
mereka”. Dengan demikian kegiatan
mengajar menurut pandangan
konstruktivis bukanlah memindahkan
pengetahuan dari guru ke pebelajar seperti
memindahkan air dari suatu wadah ke
media/wadah lain. Kegiatan mengajar
merupakan kegiatan yang dapat
membantu dan memfasilitasi siswa
belajar agar mereka dapat membangun
pengetahuannya sendiri. Suparno
(1997:12) mengatakan : “banyak cara
belajar di sekolah didasarkan pada teori
konstruktivisme, seperti cara belajar yang
menekankan pernan murid dalam
membentuk pengetahuannya sedangkan
guru lebih berperan sebagai fasilitator
yang membantu keaktifan murid
tersaebut dalam pembentukan
pengetahuannya. Kurikulum pendidikan
sains dan matematika mulai disesuaikan
berdasarkan prinsip konstruktivime”.
Sesuai dengan pandangan
konstruktivisme di atas, para siswa perlu
diajak belajar dengan memanfaatkan
sesuatu yang telah dipahami oleh mereka.
3. Langkah-langkah dalam belajar kooperatif Slavin (1995:75) menyatakan 5
langkah utama di dalam kegiatan pembelajaran
untuk setiap bentuk model belajar kooperatif
sebagai berikut
(1). penyajian kelas
(2). kegiatan belajar kelompok
(3 ).tes individual
(4). skor peningkatan individual dan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
55
(5). penghargaan kelompok
Sebelum kelima langkah di atas
dilaksanakan terlebih dahulu diberikan
informasi kepada pebelajar tentang pentingnya
materi yang akan dipelajari, tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai, penjejakan
tentang pengetahuan prasyarat dan
pembentukan kelompok.
1. penyajian kelas.
Penyajian kelas adalah tahap yang
dilakukan dengan penyajian informasi
melalui berbagai metoda dengan
pendekatan pendidikan realistic
matematika. Tahap ini menggunakan
waktu 1-2 jam pertremuan. Setiap
pembelajaran dengan model STAD, selalu
dimulai dengan menjelaskan tujuan
pembelajran, memberikan motivasi untuk
berkooperatif, menggali pengetahuan
prasyarat dan sebagainya, disesuaikan
dengan isi bahan ajar/pelajaran dan
kemampuan peserta didik/siswa. Langkah-
langkah penyajian pembelajran
menekankan pada beberapa hal berikut:
1) pembukaan
hal yang dilakukan pada kegiatan
pembukaan antara lain, (1)
memberikan informasi tentuang
tujuan pembelajran, menjelaskan
kepada pebelajrea apa yangakan
dipelajari, dan mengapa pembelajaran
ini dinanggap penting, (2).
Membangkitkan rasa ingin tahu
pebelajar dengan demonstrasi yang
mengagumkan misalnya dengan
memberikan teka-teki, masalah
kehidupan sehari dengan pendekatan
realistic, atau berbaagai hal l;ain, (3).
Mengajak pebelajar bekerja
dikelompok untuk menemukan
konsep dan menambah keinginan
pebelajar untuk belajar, (4)
mengulang atau menggali kembali
pengetahuan prasyarat yang
diperlukan
2) pengembangan
kegiatan yang dilakukan pada
umumnya (1) memfokuskan pada
tujuan yang ingindiajarkan pada
pebelajar, (2) memfokuskan pada
pengertian, bukan hafalan, (3)
mendemonstrasikan konsep atau
keterampilan secara aktif dengan
mengggunakan berbagai contoh, (4)
sering mengecek pemahaman
pebelajar dengan mengajukan
pertanyaan, (5) menjelskan mengapa
jawaban ini benar atau salah, kecual
jika hal tersebut sudah cukup jelas,
(6) berpindah kekonsep dengan cepat,
begitu pebelajar sudah menguasainya,
(7) memelihara situasi dengan
menghilangkan gangguan,
menanyakan berbagai pertanyaan dan
terus melaksanakan pembelajaran
dengan teratur.
3) Latihan Terbimbing
Kegiatan pembelajaran pada latihan
terbimbing antara lain (1) meminta
siswa untuk mengerjakan soal atau
contoh atau menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh guru, (2)
menunjuk peera didik secara random
untuk menjawab pertanyaan, (3) tidak
memberikan tugas yang
menggunakan waktu yang realtif
alam, (4) memberikan waktu kepada
siswa untuk bekerja satu atau dua
maslah atau contoh, kemudain
,memberikan umpan balik.
2. belajar kelompok
Pada tahap ini pebelajar bekerjasama
dalam kelompok untuk menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan. Dengan
melibatkan kemampuan dan potensi yang
ada pada diri setiap anggota kelompok
diharapkan semua anggota dapat
memahami apa yang menjadi jawaban
mereka sehingga hal ini menimbulkan
konsekwensi setiap anggota kelompok
dapat dan mampu mempresentasikan
jawaban yang diberikan kelompok.
Materi yang digunakan di dalam kegiatan
ini adalah dua lembar tugas dan dua
lembar kunci jawaban untuk setiap
kelompok. Lembar tugs diberikan pada
waktu kegiatan belajar kelompok,
sdangkan kunci jawban diberikan setelah
kegiatan kelompok selesai. Satu
kelompok terdiri dari 2-6 orang siswa.
Guru membagikan lembar kerja memuat
materi/masalah yang dirancang memuat
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
56
realistic matematika untuk setiap siswa.
Dimana satu lembar digunakan oleh dua
orang atau lebih, dengan tujuan agar dapat
terjalin kerja sama diantara sesame dalam
kelompok. Guru memberikan tahapan dan
fungsi belajar kelompok tipe STAD,
dimana setiap peserta didik mendapatkan
peran meimpion anggota-anggota di dalam
kelompoknya. Dengan mendapat peran
dikelompoknya, diharapkan setiap anggota
kelompok termotivasi un tuk membuka
wacana dalam diskusi. Dengand emikian
diharapkan setiapanggota kelompok
mendapat perannya masing-masing,
seperti mencari,m enjelaskan dan
menuliskan hasil pembicaraan, mengecek
jawaban dan saling mengganti peran dalam
waktu tertentu.
3. tes individual
Tes individual adalah tes untuk menguji
kinerja dan kemampuan setiap pebelajar..
Pada tahap ini pebelajar tidak
diperkenankan saling membantu antara
satu anggota dengan anggota lain dalam
satu kelompok maupun kelompok lain.
Hasil tes individu setiap anggota kelompok
berdampak atau memberikan kontribusi
skor terhadap kelompoknya.
4. skor peningkatan individual
Skor peningkatan secara individual
dilakukan berdasarkan skor dasar yang
diperoleh secara individu. Lebih
lengkapnya poin perkembangan seperti
yang di paparkan pada table berikut:
Skor peserta didik Poin perkembangan
Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar
10 poin hingga 1 poin dibawah skor dasar
Skor dasar sampai 10 poin di atasnya
lebih 10 poin di atas skor dasar
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor awal)
5
10
20
30
30
5. penghargaan kelompok
Penghargaan kelompok didasarkan pada perolehan poin perkembangan kelompok. Penentuan poin
pencapaian kelompok digunakan rumus yang diadaptasi dari Slavin (1995:82). Nk adalah
keterangan tentang poin perkembangan kelompok yaitu:
kelompokanggotabanyaknya
kelompokanperkembangskortotaljumlahN k =
dengan sebutan penghargaan sebagai berikut:
a. poin rata-rata 15, sebagai kelompok baik
b. poin rata-rata 20 sebagai kelompok hebat
c. poin rata-rata 25, sebagai kelompok super
4. Jenis-jenis Model Belajar Kooperatif
Pada bagian ini akan disampaikan
tiga tipe belajar kooperatif yaitu :
1). Student Teams Achievement Devision
(STAD),
2) Team Games Tournament (TGT) dan
3). Teams Assisted Individualitation (TAI).
Secara umum dari ketiga jenis belajar
kooperatif di atas memiliki cirri-ciri yang
sama, yaitu diawali dengan penyajian kelas,
kegiatan belajar kelompok, tes individu dan
penghargaan atas keberhasilan kelompok.
namun dari masing-masing jenis memiliki
karakteristik tersendiri..
Student Teams Achievement Division
(STAD)
Student Teams Achievement Division
(STAD) merupakan salah satu model yang
paling sederhana dari semua model belajar
kooperatif, dan merupakan suatu model yang
baik untuk pembelajaran yang baru mengenal
tentang belajar kooperatif (Slavin, 1986:1).
Prosedur dalam model STAD mengikuti
tahapan sebagai berikut:
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
57
Tahap 1. tahapan penyajian guru / Penyajian
kelas
Langkah-langkah penyajian menekankan pada
beberapa hal berikut:
1. Pembukaan,
2. pengembangan dan
3. latihan terbimbing
Team Games Tournament (TGT) Team Games Tournament (TGT)
tidak menggunakan tes individual, tetapi
menggantinya dengan turnamen yang
dilakukan terlebih dahulu dengan membentuk
kelompok baru yang masing-masing memiliki
kemampuan relative sama.
Teams Assisted Individualitation (TAI) Teams Assisted Individualitation
(TAI) dimulai dengan tes penempatan untuk
mementukan tingkat kemampuan prasyarat
pebelajar. Setiap anggota kelompok dapat
mengerjakan materi yang berbeda-beda. Jika
pebelajar mengalami kesulitan, maka ia masih
harus menyelesaikan soal lain ditahap tersebut.
5. Pendidikan Matematika Realistik Pendekatan metode pembelajaran
merupakan faktor yang mempengaruhi proses
pembelajaran (Joni, 1983:68). Pembelajaran
Realistic Mathematics Education (RME) telah
diteliti dan dikembangkan di Belanda dan
telah berhasil meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa.
Di Indonesia istilah Realistic
Mathematics Education (RME) dikenal
dengan Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI). Pendidikan matematika
realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan
realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret
dan dapat diamati secara langsung sesuai
dengan lingkungan tempat siswa berada
(Soedjadi, 2001:2). Sedangkan menurut
Suharta (2001:9): ”Matematika Realistik (MR)
merupakan salah satu pendekatan
pembelajaran matematika yang berorientasi
pada pematematisasian pengalaman sehari-hari
(mathematize everyday experience) dan
menerapkan matematika dalam kehidupan
sehari-hari (everydaying mathematics)”.
Pembelajaran yang berorientasi pada
RME dapat dicirikan oleh : (a) pemberian
perhatian yang besar pada “reinvention”, yakni
siswa diharapkan membangun konsep dan
struktur matematika bermula dari intuisi
mereka masing-masing; (b) pengenalan
konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang
konkret atau dari sekitar siswa; (c) selama
pematematikaan, siswa mengkontruksi
gagasannya sendiri, tidak perlu sama antar
siswa yang satu dengan lainnya, bahkan tidak
perlu sama dengan gagasan gurunya; (d) hasil
pemikiran siswa dikonfrontir dengan hasil
pemikiran siswa lainnya (Treffers dan
Panhuizen dalam Yuwono, 2001:3).
Dengan pengenalan konsep dan
abstraksi melalui hal-hal yang konkret atau
dari sekitar siswa akhirnya kebenaran dapat
dirujukkan kepada kenyataan yang ada atau
realitas, sehingga dalam keadaan ini dapat
dikatakan bahwa ‘hakim tertinggi ilmu
pengetahuan alam adalah realitas’ (Soedjadi
1999/2000:29).
Menurut Gravemeijer (dalam
Zulkardi, 2002:652) Realistic Mathematics
Education mempunyai lima karakteristik, yaitu
:
(1) Menggunakan masalah kontekstual
(masalah kontekstual sebagai aplikasi
dan sebagai titik tolak darimana
matematika yang diinginkan dapat
muncul)
(2) Menggunakan model atau jembatan
dengan instrumen vertikal (perhatian di
arahkan pada pengembangan model,
skema dan simbolisasi dari pada hanya
menstransfer rumus atau matematika
formal secara langsung).
(3) Menggunakan kontribusi murid
(kontribusi yang besar pada proses
belajar mengajar diharapkan dari
konstruksi murid sendiri yang
mengarahkan mereka dari metode
informal mereka ke arah yang lebih
formal atau standar).
(4) Interaktivitas (negosiasi secara eksplisit,
intervensi, kooperasi dan evaluasi
sesama murid dan guru adalah faktor
penting dalam proses belajar secara
konstruktif di mana strategi informal
murid digunakan sebagai jantung untuk
mencapai yang formal).
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
58
(5) Terintegrasi dengan topik pembelajaran
lainnya (pendekatan holistik,
menunjukkan bahwa unit-unit belajar
tidak akan dicapai secara terpisah tetapi
keterkatian dan keterintegrasian harus di
eksploitasi dalam pemecahan masalah).
Dari karakteristik yang terdapat pada
matematika realistik, akan membuat siswa
mampu menyelesaikan suatu masalah secara
logis. Didalam laporannya Shepard, 1975
(dalam Hudojo, 1979:49) mengatakan bahwa
anak-anak pada tahap operasi konkrit mampu
menyelesaikan suatu masalah secara logis bila
masalah tersebut dipilih dengan menggunakan
bahasa sederhana-tidak menggunakan bahasa
yang kompleks.
a. Penekanan Pematematikaan pada
Matematika Realistik
Dua jenis yang berkaitan dengan
pematematikaan yaitu pematematikaan
horizontal dan pematematikaan vertikal.
Pematematikaan horizontal berkaitan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sebelumnya bersama intuisi mereka sebagai
alat untuk menyelesaikan masalah dari dunia
nyata. Sedangkan pematematikaan vertikal
berkaitan dengan proses organisasi kembali
pengetahuan yang telah diperoleh dalam
simbol-simbol matematika yang lebih abstrak
(Traffer 1991:32).
Matematisasi horizontal lebih
menekankan proses trasnformasi masalah yang
dinyatakan dalam bahasa sehari-hari ke dalam
bahasa matematika atau sering kita sebut
dengan pemodelan dari situasi soal. Pada
matematisasi horizontal siswa dengan
pengetahuan yang dimilikinya dapat
mengorganisasikan dan menyelesaikan
masalah yang ada pada situasi dunia nyata
dengan kata lain matematika horizontal
bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol. Hal
ini dilakukan melalui interaksi sosial antara
siswa. Sedangkan pada matematisasi vertikal,
proses pengorganisasian kembali dengan
menggunakan matematika itu sendiri atau
“dunia nyata” merupakan sumber dari
matematisasi sebagai tempat untuk
mengaplikasikan kembali konsep-konsep
matematika.
Sesuai dengan pelaksanaan
pembelajaran pecahan dengan pendekatan
matematika realistik, kepada anak dihadapkan
hal-hal yang berkaitan dengan konteks dalam
kehidupan sehari-hari dan disamping itu
benda-benda yang dapat diamati juga
digunakan. Dengan memanfaatkan apa yang
telah biasa pada siswa juga benda yang dapat
diamati untuk menyelesaikan permasalahan
yang berkaitan dengan pecahan akan terjadi
suatu aktivitas atau proses pematematikaan
horizontal. Sedangkan matematisasi vertikal
tidak lain proses yang terjadi dalam
matematika itu sendiri yang mengarah pada
pengembangan pengetahuan dan keterampilan
yang berjalan dalam sistim dunia simbol.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa
dalam pendidikan matematika realistik,
pengalaman belajar siswa dimulai dari suatu
yang realistik atau hal yang telah terbayangkan
oleh siswa. Dengan demikian pembelajaran
tidak diawali dengan formal, melainkan lebih
banyak berawal dari intuisi siswa. Sebagai
contoh dalam matematisasi vertikal adalah
proses pembuktian dalam matematika atau
mungkin proses mencari selesaian yang
menggunakan strategi manipulatif simbol-
simbol.
Berkaitan dengan dua tipe
pematematikaan di atas, Treffers (1987) dan
Freudental (1991), (dalam Yuwono 2001:23)
mengklasifikasikan pendekatan pembelajaran
matematika berdasarkan intensitas
pematematikaan:
• mekanistik atau pandekatan tradisional,
dalam pendekatan ini pembelajaran
matematika lebih difokuskan pada drill,
dan panghafalan rumus saja, sedangkan
proses pematimatikaan keduanya tidak
tampak;
• emperistik, lebih menekankan kepada
pematematikaan horizontal dan cenderung
mengabaikan pematematikaan vertikal;
• strukturalis, lebih menekankan kepada
pematematikaan vertikal dan cenderung
mengabaikan pemetematikaan horizontal,
pendekatan ini sering disebut ‘new math’
membangun konsep matematika
berdasarkan pada teori himpunan;
• realistik, memberikan perhatian yang
seimbang antara pematematikaan yang
horizontal dan vertikal dan disampaikan
secara terpadu terhadap siswa.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
59
Berkaitan dengan dua pendekatan
pembelajaran tersebut, Treffers (1991:32)
memberikan gambaran sebagaimana dalam
tabel dibawah ini.
Tabel 1
Horizontal Vertikal
Mekanistik - -
Empiristik + -
Strukturalis - +
Realistik + +
b. Pendidikan Matematika Realistik dan
Relevansinya Dengan Pembelajaran
Pecahan
Pendidikan matematika realistik
menggunakan hal ’nyata’. Realistik yang
diumaksud dalam tulisan ini adalah hal-hal
yang nyata atau konkret yang dapat diamati
atau dapat dipahami lewat membayangkan.
Dengan demikian mungkin saja digunakan
benda-benda konkret dalam meragakan ide
matematika untuk menemukan suatu konsep
(Marpaung 2001:9)
Pecahan yang termasuk dalam cabang
matematika, banyak terdapat penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
sebelum anak memperoleh pengetahuan
formal disekolah mengenai pecahan, mereka
telah memiliki pengetahuan yang berkaitan
dengan pecahan, misalnya ketika anak
membagikan sesuatu menjadi dua bagian yang
sama.
Pengetahuan informal yang selalu
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-
hari perlu dikembangkan melalui intuisi anak
ke dalam bentuk matematika formal termasuk
misalnya rumus-rumus yang dinyatakan dalam
bentuk simbol-simbol atau variabel. Dengan
demikian pada saat anak kembali menghadapi
permasalahan dalam konteks kehidupan,
mereka telah terbiasa dan lebih lanjut
diharapkan dalam pemecahan masalah yang
dihadapi tersebut akan lebih baik. Pernyataan
tersebut di atas sesuai dengan terdapat dalam
panduan pengembangan silabus mata pelajran
matamtika bahwa guru perlu
mengembangakan sikap menggunakan
matematika sebagai alat untuk memecahkan
problematika baik di sekolah maupun di
rumah.
Pernyataan di atas dimaksdukan agar
siswa belajar matematika di sekolah adalah un
tuk mempersiapkan siswa agar sanggup
menghadapi perubahan keadaan di dalam
kehidupan dan dunia yang selalu berkembang,
melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran
logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif;
mempersiapkan siswa agar dapat
menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan
dalam mempelajari ilmu pengetahuan
(Depdikbud, 1994 :1).
Untuk manecapai maksud di atas,
guru perlu memperhatikan dan menumbuh
kembangkan daya imajinasi dan rasa ingin
tahu siswa kita, juga siswa harus dibiasakan
untuk mendapat kesempatan bertanya dan
berpendapat sehingga dalam proses belajar
matematika tersebut anak merasa bahwa
matematika lebih bermakna. Jika siswa telah
memiliki kebermaknaan matematika, harapan
selanjutnya akan terbentuk rasa ingin tahu dan
kecintaan siswa terhadap matematika.
Agar siswa merasa matematika lebih
bermakna, sebaiknya diupayakan siswa aktif
mengkonstruksi pengetahuan matematika itu,
dan guru berperan sebagai fasilitator. Artinya
bahwa murid harus didorong dan diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat
sesuai dengan jalan pikirannya dan mungkin
juga dapat belajar dari ide-ide temannya
sendiri.
Aktivitas siswa pada saat
menyelesaikan masalah sesuai dengan jalan
pikirannya, sesuai dengan karakteristik/prinsip
dari pembelajaran pendidikan matematika
realistik. Karkteristik/prinsip dari
pembelajaran pendidikan matematika realistik
adalah suatu kegiatan atau aktivitas konstruktif
(Sutawidjaja, 2001 & Marpaung, 2001:3).
Landasan filosofi ini dekat dengan filasafat
konstrukstivisme yang menyebutkan bahwa
pengetahuan itu adalah konstruksi dari
seseorang yang sedang belajar (Suparno,
1997:29). Demikian halnya yang dikatakan
oleh (Nikson dalam Hudojo, 1988 : 6) bahwa
pandangan konstruktivis memandang
pembelajaran sebagai usaha membantu siswa
dalam mengkonstruk konsep-konsep/prinsip-
prisnip matematika dengan kemampuannya
sendiri melalui proses internalisasi sehingga
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
60
konsep tesebut terbangun kembali. Belajar
dengan kemampuannya sendiri berarti
menggunakan hal-hal apa yang telah
diketahuinya sebagai pengetahuan awal.
Salah satu faktor penting yang dapat
mempengaruhi belajar anak adalah apa yang
telah diketahuinya, yaitu berupa pengetahuan
awal (Novak, 1985: 20). Pengetahuan awal
yang telah dimiliki oleh anak akan
berkembang secara optimal bila diikuti dengan
ketepatan pemanfaatannya dalam hal
menerima konsep baru. Guru sangat berperan
dalam hal ini, sehingga dituntut agar guru
berusaha mengetahui dan memanfaatkan
pengetahuan awal siswa yang telah ada dalam
pikiraannya sebelum mereka mempelajari
lebih lanjut sutu konsep atau pengetahuan
baru. Bila dalam belajarnya siswa menghadapi
hal atau masalah yang tidak asing atau familiar
terhadap dirinya harapan selanjutnya bahwa
siswa akan terlibat langsung secara aktif dalam
proses pembelajaran.
Guru hendaknya dapat memilih dan
menggunakan strategi atau metode dalam
pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga
lebih banyak melibatkan siswa secara aktif
dalam belajar yaitu aktif secara mental, fisik,
maupun sosial. Untuk mensinergikan keaktifan
ini dalam pembelajaran dapat saja siswa
dibimbing kearah mengamati, menebak,
berbuat, mencoba sehingga pada akhirnya
mampu menjawab persoalan yang mengarah
kepada pertanyaan “mengapa”. Prinsip belajar
aktif inilah yang mampu menumbuhkan dan
mengarahkan sasaran pembelajaran sesuai
dengan tujuan belajar matematika.
2. Rangkuman
Dari uraian yang telah disampaikan,
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
• Belajar kooperatif (kooperatif learning)
mengandung pengertian sebagai suatu
strategi pembelajaran yang membagi
siswa dalam beberapa kelompok yang
setiap kelompoknya terdiri dari 4-5 orang.
Dalam kelompok tersebut, masing-masing
siswa sebagai anggota kelompok aktif dan
mereka bekerja bersama dalam
menyelesaikan permasalahan ayng
diajukan sehingga terjadi suatu diskusi
dan saling membagi pengetahuan, saling
berkomunikasi, saling membantu untuk
memahamkan materi pelajaran.
• Karakteristik model belajar kooperatif
adalah:
- tujuan kelompok
- tanggung jawab individu
- kesempatan yang sama untuk sukses.
• Keberhasilan suatu model belajar
kooperatif didasari oleh unsur-unsur
berikut:
- saling bergantungan
- interaksi langsung
- pertanggung jawaban individu
- keterampilan berintegrasi
- prosese kelompok
• langkah-langkah dalam penerapan model
kooperatif adalah
- penyajian
- belajar kelompok
- kinerja individu dan penghargaan
konerja kelompok.
• Pelaksanaan pembelajaran kooperatif
suatu model pembeljaran yang memusat
pada siswa dalam kelompoknya dan guru
berperan sebagai fasilitator dan mediator.
• Dengan menerapkan model koopeatif
dalam pembelajran dapat menimbulkan
sikap positif terhadap budaya gotong
royong yang merupakan milik budaya
rakyat Indonesia dan memiliki prinsip
demokrasi
• Pendidikan Matematika Relasistik
Indonesia (PMRI) adalah suatu
pendekatan yang dapat membantu guru
melaksanakan proses pembelajaran yang
membawa siswa masuk kedalam konteks
dunia nyata, sehingga siswa memiliki
kesan yang ”berkualitas” karena siswa
mengalami langsung dalam menemukan
konsep matematika yang dihadapkan dan
mereka pelajari.
• Pendidikan matematika realistik,
memberikan perhatian yang seimbang
antara pematematikaan yang horizontal
dan vertikal serta disampaikan secara
terpadu terhadap siswa.
Daftar Pustaka
Armanto D. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Pendidikan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
61
Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Makalah disajikan pada
seminar PMRI di Banda Aceh April
2007.
Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan
Silabus Mata Pelajaran Matematika,
Jakarta.
Hudojo. 1979. Pengembangan Kurikulum
Matematika & Pelaksanaannya di
Depan Kelas. Surabaya: Usaha
Nasional.
Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran
Kooperatif. Universitas Negeri
Surabaya, University Pres, Surabaya.
Johnson, D.W & Johnson, R.T. 1991.
Learning Together and Alone,
Coopertive, Competitive, and
Individualistic Leraning. (Third
Edition). Boston: Allyn and Bacon.
Marpaung 2001. Prospek RME Untuk
Pembelajaran Matematika di
Indonesia. Makalah disajikan dalam
seminar Nasional Realistic
Mathematics EducationUniv Negeri
Surabaya di Jurusan Matematika
FMIPA UNESA, Surabaya 24 Feb
2001.
Marpaung, Y.2002. Pendidikan Matematika
Realistik di Indonesai. Perubahan
Paradigma Dalam Pembelajaran
Matematika Di Sekolah. Dalam
Jurnal Matematika atau
Pembelajarannya. Tahun VIII, Edisi
Khusus, Juli 2002. Proseding
Konfrensi Nasional Matematika XI
Bagian I, UM 22-25 Juli 2002.
Muhamad Saleh. 2003. Pembelajaran Materi
Peluang Melalui Pendekatan
Pendidikan Matematika Realistik.
Tesis tidak diterbitkan, Malang
Program PascaSarjana Universitas
Negeri Malang.
Novak, J.D, Gowin, D.B. 1985. Learning How
to Learn. New York: Glenco Mc
Millan/MCc Graw Hill.
Slavin, E.R.1995.Cooperative Learning:
Theory, Research, and Practice
(Second Editiion). Massachusetts.
Allyn and Bacon.
Soedjadi. 2001. Pemanfaatan Realitas dan
Lingkungan Dalam Pembelajaran
Matematika. Makalah Disajikan
Pada Seminar Nasional “Realistic
Mathematics Education (RME).
Surabaya: Jurusan Matematika
FMIPA UNESA. 24 Februari 2001.
Suharta. 2001. Pembelajaran Pecahan Dalam
Matematika Realistik. Makalah
Disajikan Pada Seminar Nasional
“Realistic Mathematics Education
(RME). Surabaya: Jurusan
Matematika FMIPA UNESA. 24
Februari 2001.
Suparno P. 1997. Filsafat Konstruktifisme
Dalam Pendidikan. Kanisius,
Yogyakarta.
Sutawidjaja, A. 2001. Pendidikan Matematika
Realistik. Makalah Disajikan pada
stadium general. Jurusan Tadris
Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. 27
Oktober 2001.
Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Univ
Pendidikan Indonesia (UPI),
Bandung-Indonesia.
Treffers. 1991. Didactical Background Of a
mathematics program for primary
education, dalam L.Streefland (Ed),
Realistic Mathematics Education in
Primary School (hal 21). Utrecht
University, The Netherlands.
Yuwono, I. 2001. RME (Realistic Mathematics
Education) dan Hasil Studi Awal
Implementasinya di SLTP. Makalah
disajikan dalam seminar Nasional
Realistic Mathematics Education
Univ Negeri Surabaya di Jurusan
Matematika FMIPA UNESA,
Surabaya 24 Feb 2001.
Zulkardi. 2002. Pendidikan Realistik
Matematika Indonesia:
Perkembangan Dan Permasalahan.
Dalam jurnal matamatika ataiu
pembelajarannya. Tahun VIII. Edisi
khusus, Juli 2002. Proseding
Konfrensi Nasional Matematika XI
bagian I, UM 22-25 juli 2002
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
62
60
PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK DALAM
MENGKONSTRUKSI ALGORITMA PERKALIAN SISWA SD
Oleh:
Cut Morina Zubainur
Abstrak: Dalam penerapan PMRI di sekolah, siswa belajar secara mandiri atau berkelompok
untuk menentukan strategi penyelesaian kontekstual. Strategi ini dikembangkan dan
diciptakan sendiri oleh siswa (free production) dalam bentuk matematika informal (diagram,
gambar, kode, simbol, dan lainnya) dan juga matematika formal seperti konsep dan algoritma
yang telah mereka pelajari sebelumnya. Guru memfasilitasi pembentukan matematika
informal menjadi matematika formal yang standar. Aktifitas belajar berlangsung secara maju
melalui diskusi interaktif antara siswa dan guru. Pendekatan realistik merupakan pendekatan
pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara
aktif dan mentalnya dalam mengkonstruksi pengetahuan yang dikaitkan dengan pengalaman
kehidupan nyata siswa. Tulisan ini akan membahas contoh soal kontekstual dan alternatif
jawaban siswa yang muncul pada proses pembelajaran yang bertujuan mengkonstruksi
algoritma perkalian. Proses ini diperlukan untuk menjembatani siswa dalam melakukan
perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka. Perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka
merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai siswa kelas III semester 1
berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Alternatif jawaban siswa
didasarkan pada pengamatan yang dilakukan terhadap siswa SD Negeri 69 Banda Aceh, SDIT
Nurul Ishlah Banda Aceh, dan SD Negeri 3 Banda Aceh.
Kata kunci: penerapan, PMRI,mengkonstruksi, algoritma, perkalian
Pendekatan realistik merupakan
pendekatan pembelajaran matematika yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk
terlibat secara aktif dan mentalnya dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang dikaitkan
dengan pengalaman kehidupan nyata siswa
(Hadi, 2005). Pembelajaran matematika
dengan menggunakan pendekatan realistik
pertama sekali dikembangkan di Belanda
semenjak tahun 1971 dengan nama RME
(Realistic Mathematics Education) yang
berdasar pada konsep Fruedenthal yang
mengatakan bahwa matematika merupakan
aktivitas manusia (Fruedenthal dalam
Gravemeijer, 1994). RME di Indonesia dikenal
dengan Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI).
PMRI didasarkan pada argumen
Freudental (1973) bahwa matematika harus
tidak disajikan pada siswa dalam bentuk hasil-
jadi (a ready-made product) tetapi siswa harus
belajar menemukan kembali konsep-konsep
matematika tersebut. Siswa membentuk
sendiri konsep dan prosedur matematika
(conceptual mathematization, De Lange,
1987) melalui penyelesaian permasalahan
yang realistik dan kontekstual. Hal ini sesuai
dengan pandangan teori constructivism yang
menyatakan bahwa pengetahuan matematika
tidak dapat diajarkan oleh guru tetapi
dibangun sendiri oleh siswa (Nur, 2001).
Menurut Gravemeijer (1994) terdapat
tiga prinsip utama dalam PMRI, yaitu (1)
penemuan terbimbing dan bermatematika
secara maju (guided reinvention and
progressive mathematizartion), (2) realitas
(realty principle), dan (3) model
pengembangan mandiri (self-developed
model).
Prinsip penemuan terbimbing berarti
siswa diberikan kesempatan untuk
menemukan sendiri konsep matematika
dengan menyelesaikan berbagai soal
kontekstual. Soal kontekstual ini mengarahkan
siswa membentuk konsep, menyusun model,
menerapkan konsep yang telah diketahui, dan
menyelesaikannya berdasarkan kaidah
matematika yang berlaku (Treffers & Goffree,
1985). Berdasarkan soal, siswa membangun
model dari (model of) situasi soal (dalam
Cut Morina Zubainur, S.Pd, M.Pd adalah Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah
61
bentuk formal atau tidak), kemudian
menyusun model matematika untuk (model
for) menyelesaikannya hingga siswa
mendapatkan pengetahuan formal matematika.
Prinsip bermatematika secara maju
dapat dibagi atas dua komponen yaitu
bermatematika secara horizontal, siswa
mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus
ditransver ke dalam soal bentuk matematika
untuk lebih dipahami lebih lanjut. Dalam
bermatematika secara vertikal, siswa
menyelesaikan bentuk matematika formal atau
tidak formal dari soal kontekstual dengan
menggunakan konsep, operasi dan prosedur
(aturan, rumusan, dan kondisi) matematika
yang berlaku. Siswa menunjukkan
hubungandari rumus yang digunakan,
membuktikan aturan matematika yang berlaku,
membandingkan model, menggunakan model
yang berbeda, mengkombinasikan dan
menerapkan model, serta merumuskan konsep
matematika dan mengeneralisasikannya (De
Lange, 1987).
Prinsip realitas (realty principle)
menekankan pentingnya soal kontekstual
untuk memperkenalkan topik-topik
matematika kepada siswa. Soal kontekstual
didefinisikan sebagai soal yang
merepresentasikan hadirnya lingkungan yang
nyata bagi siswa (Gravemeijer, 1999).
Pengertian nyata bukan sebatas apa nyata pada
pandangan siswa tetapi juga semua hal yang
dapat dibayangkan siswa, terjangkau oleh
imajinasinya (Van den Heuvel-Panhuizen,
1996). Dalam hal ini konteks merujuk pada
situasi dalam hidup sehari-hari, situasi yang
bersifat fantasi, dan juga soal matematika itu
sendiri (bare mathematical problems).
Prinsip ketiga adalah pengembangan
model mandiri (self-developed model) yang
berfungsi menjembatani antara pengetahuan
matematika tidak formal dan formal dari
siswa. Dalam menyelesaikan masalah
kontekstual dari situasi nyata, siswa
menemukan model untuk (model for) bentuk
tersebut (bentuk formal matematika), hingga
mendapatkan penyelesaian masalah tersebut
dalam bentuk pengetahuan matematika yang
standar.
Dalam penerapan PMRI di sekolah,
siswa belajar secara mandiri atau berkelompok
untuk menentukan strategi penyelesaian
kontekstual. Strategi ini dikembangkan dan
diciptakan sendiri oleh siswa (free production)
dalam bentuk matematika informal (diagram,
gambar, kode, simbol, dan lainnya) dan juga
matematika formal seperti konsep dan
algoritma yang telah mereka pelajari
sebelumnya. Guru memfasilitasi pembentukan
matematika informal menjadi matematika
formal yang standar. Aktifitas belajar
berlangsung secara maju melalui diskusi
interaktif antara siswa dan guru.
Pengembangan fenomena
pembelajaran dijelaskan oleh Streefland
(1990) dalam teori pengajaran 5 x 5 (the five
tenets of the instructional theory of RME).
a. Belajar merupakan aktivitas konstruksi
yang distimulasikan dengan kekonkritan
(concreteness) dan mengajar melibatkan
penggunaan soal yang dikenal siswa.
b. Belajar merupakan proses jangka panjang
yang bergerak dari konkrit menuju abstrak
dan mengajar memfasilitasi siswa dari
pengetahuan matematika tidak formal
menuju matematika formal.
c. Belajar difasilitasi oleh refleksi terhadap
pola pikir mandiri dan pola pikir orang
lain, dan mengajar meliputi pendorongan
siswa untuk melihat kembali dan
merefleksikannya dalam proses belajar.
d. Belajar melibatkan konteks sosial-budaya,
jadi mengajar meliputi pemberian
kesempatan berkomunikasi dan
bekerjasama dalam kelompok kecil atau
diskusi kelas.
e. Belajar merupakan pengkonstruksian
pengetahuan dan keterampilan menuju
bentuk yang terstruktur, dan mengajar
melibatkan berbagai aspek yang saling
berkaitan.
Berdasarkan uraian prinsip RME di
atas, maka pembelajaran matematika yang
dilaksanakan di kelas hendaknya memberikan
kepada siswa situasi masalah yang dapat
mereka bayangkan atau miliki hubungan
dengan dunia nyata. Nyata yang dimaksudkan
dalam realistik selain dekat dengan kehidupan
sehari-hari siswa, juga dapat dibayangkan
(nyata dalam pikiran) siswa. Sehingga proses
pembelajaran dapat memberi kesempatan
kepada siswa mengkonstruksi pemahamannya
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
62
tentang matematika. Hal ini diharapkan dapat
mengaktifkan siswa, melatih siswa berlaku
demokratis, membuat kelas menyenangkan,
dan memacu guru untuk meningkatkan hasil
belajar siswa.
Pembahasan
Prinsip kedua PMRI menekankan
pada pentingnya konteks dalam
memperkenalkan topik-topik matematika
kepada siswa. Konteks dimanfaatkan sebagai
bahan ilustrasi dari soal matematika. Soal
kontekstual dalam PMRI didefinisikan sebagai
soal yang merepresentasikan hadirnya
lingkungan yang nyata bagi siswa. Nyata yang
dimaksud adalah semua kondisi dekat dengan
kehidupan sehari-hari siswa, atau dapat
dibayangkan (nyata dalam pikiran), dan
terjangkau oleh imajinasi siswa. Hal yang
perlu dipertimbangkan adalah bahwa soal
kontekstual tersebut cocok untuk proses
matematisasi, dimana siswa dapat mengenal
situasinya dan dapat menggunakan
pengetahuan mereka untuk memodelkan dan
menyelesaikannya.
Beberapa fungsi utama konteks
menurut pendapat Van den Heuvel-Pahuizen
(1996) adalah:
1. Konteks membantu agar soal dapat
dipecahkan
Soal kontekstual yang disajikan dengan
menarik akan memudajkan siswa untuk
membayangkan soal secara visual dan
menangkap maksud soal tersebut serta
dapat mengilustrasikannya dalam bentuk
yang berbeda (gambar dan bagan). Dalam
hal ini siswa dapat menggunakan model
matematika yang formal maupun yang
tidak formal. Bentuk matematika yang
tidak formal seperti membuat
gambar/ilustrasi tentang soal tersebut
dalam bentuk berbeda dari semula.
Misalnya soal yang berkaitan dengan
suatu benda yang dikelompokan.
Kelompok-kelompok tersebut dapat
digambarkan dengan gambar lingkaran,
sedangkan bendanya digambarkan dengan
bundaran-bundaran dalan lingkaran
tersebut sebanyak benda yang disebutkan
dalam soal.
2. Konteks menunjang terbentuknya ruang
gerak dan transparansi soal
Konteks akan memberikan kesempatan
bagi siswa menunjukkan kemampuannya.
Soal tentang perkalian misalnya jumlah
penghapus yang ada dalam 13 kemasan,
dimana tiap-tiap kemasan terdiri dari 6
penghapus merupakan contoh dimana
siswa dapat menghasilkan konsep
perkalian sebagai penjumlahan berulang.
3. Konteks dapat melahirkan berbagai
variasi strategi
Konteks soal seperti pada butir 2 di atas
mengandung saran untuk siswa dalam
menggunakan kemampuannya untuk
menyusun banyak strategi penyelesaian.
Setiap strategi yang dirancang merupakan
inspirasi langsung dari soal tersebut.
Tingkat kedalaman dan konsep yang
digunakan siswa mengindikasikan
kedalaman pengetahuan matematika yang
telah dimilikinya.
Berikut akan diulas contoh soal
kontekstual dan alternatif jawaban siswa yang
muncul pada proses pembelajaran yang
bertujuan mengkonstruksi algoritma perkalian.
Proses ini diperlukan untuk menjembatani
siswa dalam melakukan perkalian yang
hasilnya bilangan tiga angka. Perkalian yang
hasilnya bilangan tiga angka merupakan salah
satu kompetensi dasar yang harus dicapai
siswa kelas III semester 1 berdasarkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Alternatif jawaban siswa didasarkan
pada pengamatan yang dilakukan terhadap
siswa SD Negeri 69 Banda Aceh, SDIT Nurul
Ishlah Banda Aceh, dan SD Negeri 3 Banda
Aceh.
Soal:
Humaira akan membagikan pensil kepada 13
orang temannya yang kurang mampu. Tiap-
tiap teman-teman Humaira akan mendapatkan
6 pensil. Berapa banyakkah pensil yang harus
disiapkan Humaira?
Berikut akan disajikan strategi yang
digunakan siswa menyelesaikan soal tersebut.
Cut Morina, Penerapan Pendekatan Matematika Realistik
63
Strategi 1.
Satu anak akan mendapatkan 6 pensil
Dua anak akan mendapatkan 12 pensil
Tiga anak akan mendapatkan 18 pensil
Empat anak akan mendapatkan 24 pensil
Lima anak akan mendapatkan 30 pensil
Enam anak akan mendapatkan 36 pensil
Tujuh anak akan mendapatkan 42 pensil
Delapan anak akan mendapatkan 48 pensil
Sembilan anak akan mendapatkan 54 pensil
Sepuluh anak akan mendapatkan 60 pensil
Sebelas anak akan mendapatkan 66 pensil
Dua belas anak akan mendapatkan 72 pensil
Tiga belas anak akan mendapatkan 78 pensil
Strategi 2.
13 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6
12 12 12 12 12 12 + 6
24 24 24 + 6
72
6 +
78
Strategi 3.
13 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6
60 18
60
18 +
78
Strategi 4.
13 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6
60 18
10 x 6 = 60
3 x 6 = 18 +
13 x 6 = 78
Dari strategi 4 untuk pembelajaran pada
pertemuan selanjutnya, siswa dapat dimotivasi
sehingga bentuk
10 x 6 = 60
3 x 6 = 18 +
13 x 6 = 78
dapat ditulis dalam bentuk lain, misalnya
menjadi
13 = 10 + 3
6 = 6 x
10 + 8
60 + 0
70 + 8 = 78
Berdasarkan pengalaman, siswa
merasa kurang nyaman dengan cara (bentuk)
penyelesaian di atas. Perasaan kurang nyaman
tersebut juga ditunjukkan siswa saat belajar
penjumlahan dengan cara tersebut di kelas II
semester 1. Hal ini memberikan kesempatan
kepada guru untuk menggali ide siswa
menuliskan dalam bentuk lain yang lebih
praktis. Bentuk yang lebih praktis misalnya
13 atau 13
6 x 6 x
18 18
60 6
78 78
Pengalaman siswa dalam
menyelesaikan soal di atas dapat digunakan
untuk menyelesaikan perkalian yang
menghasilkan bilangan tiga angka. Siswa
mempunyai strategi jawaban berbeda dalam
menyelesaikan perkalian yang hasilnya
bilangan tiga angka berikut.
25 x 5 = ....
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
64
Strategi 1.
10 x 5 = 50
10 x 5 = 50
5 x 5 = 25 +
25 x 5 = 125
Strategi 2.
20 x 5 = 50
5 x 5 = 25 +
25 x 5 = 125
Dari strategi 2 di atas, siswa dapat dimotivasi
sehingga bentuk
20 x 5 = 50
5 x 5 = 25 +
25 x 5 = 125
dapat ditulis dalam bentuk lain, misalnya
menjadi
25 = 20 + 5
5 = 5 x
20 + 5
100 + 0 + 0 +
100 + 20 + 5 = 125
Karena sebelumnya siswa telah
memiliki pengalaman menemukan cara yang
praktis dalam menyelesaian 13 x 6 = ...., guru
dapat memotivasi siswa menuliskan bentuk di
atas dalam bentuk lain yang lebih praktis,
misalnya
25 atau 25
5 x 5 x
25 25
100 + 10 +
125 125
Diharapkan dari pengalaman di atas
siswa akan menemukan alternatif strategi
untuk menyelesaikan perkalian yang
menghasilkan bilangan tiga angka lainnya
seperti
12 x 13 = ......
22 x 15 = .....
dst.
Proses di atas akan dapat terjadi jika
siswa diberi kesempatan yang cukup untuk
menemukan alternatif strategi penyelesaian
(mungkin berbeda-beda untuk tiap-tiap siswa)
tanpa merasa tertekan. Kesempatan yang
cukup maksudnya dari segi waktu dan
pemahaman terhadap materi prasyarat,
misalnya sebelum menemukan 13 = 10 + 3
siswa perlu dilatih membuat soal penjumlahan
bilangan yang hasilnya 13 (5 dengan 8, 7
dengan 6, atau 5 dengan 6 dan 2, dst). Pada
awalnya pembelajaran akan berjalan lambat.
Namun kondisi ini lebih bermanfaat
dibandingkan jika guru langsung menyajikan
cara cepat (cara yang selama ini dilakukan),
dimana siswa tidak memahami alasan
penggunaan cara cepat tersebut dalam
menyelesaikan soal yang diberikan. Siswa
hanya diminta menghafal dan melakukan
prosedur yang asing baginya.
Manfaat lain yang dapat diperoleh
siswa antara lain adalah melalui proses seperti
di atas guru dapat membangun kepercayaan
diri siswa. Karena ternyata soal matematika
dapat diselesaikan siswa berdasarkan ide atau
strategi yang muncul dalam dirinya. Hal ini
diharapkan akan menumbuhkan rasa senang
belajar matematika karena sesuai dengan
tingkat berpikir siswa.
Penutup
Pengetahuan matematika tidak dapat
diajarkan oleh guru tetapi dibangun sendiri
oleh siswa. Siswa harus belajar menemukan
kembali dan membentuk sendiri konsep-
konsep dan prosedur matematika tersebut.
Konteks dapat dimanfaatkan sebagai bahan
ilustrasi dalam memperkenalkan topik-topik
matematika kepada siswa. Soal kontekstual
hendaknya dapat menghadirkan lingkungan
yang nyata bagi siswa, artinya dekat dengan
kehidupan sehari-hari siswa, atau dapat
dibayangkan (nyata dalam pikiran), dan
terjangkau oleh imajinasi siswa. Hal yang
perlu untuk proses matematisasi, dimana siswa
dapat mengenal situasinya dan dapat
menggunakan pengetahuan mereka untuk
memodelkan dan menyelesaikannya. Konteks
sangat membantu dalam mengkonstruksi
algoritma perkalian yang hasilnya bilangan
tiga angka. Peran guru dalam memfasilitasi
pembentukan matematika informal menjadi
matematika formal yang standar melalui
diskusi interaktif antara siswa dan guru,
merupakan suatu hal yang mutlak.
Daftar Pustaka De Lange, Jan. (1994). Assessing
Mathematical Skills,
Cut Morina, Penerapan Pendekatan Matematika Realistik
65
Understanding, and Thingking. In
Richard Lesh and J. Lamon (Ed),
Asessment of Authentic
Performance in School
Mathematics Texas A&M
University, College Station, Texas:
AAAS Press.
Gravemeijer, K.P.E. (1994) Developing
Realistics Mathematics Education.
Utrecht, The Netherlands:
Freudenthal Institute.
Johar R., (2001). Implementasi belajar anak.
Semarang: Grafika Press.
Johar R.(2004). Strategi belajar mengajar .
Banda Aceh. FKIP Unsyiah.
Muhammad Noor (2000). Strategi belajar
mengajar . Surabaya Pusat Studi
Matematika dan IPA Sekolah Dasar
dan Menengah
Mulyasa, E (2002). Kurikulum berbasis
kompetensi konsep dan implementasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E (2008). Kurikulum berbasis
kompetensi dalam prakteks. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
McNeil, J.D., (1977), Curriculum: a compre-
hensive introduction. Boston: Little,
Brown and Company.
Morina Zubainur Cut,dkk (2008). Kurikulum
integratif pada pembelajaran tematik
di SD/MI Banda Aceh Unsyiah
Darussalam.
Morrow, L.M., Smith, J.K., dan Wilkinson,
L.Ch., Ed., (1994). Integrated
language arts: controversy to
concensus. Massachusetts: Allyn &
Bacon.
Nurdin Syafruddin, (2005). Mengenali
profesional guru. Jakarta: Gramedia.
Nurdin Abubakar dan Ikhsan, (2003).
Falsafah pendidikan dan kurikulum.
Tanjung Malim Malaysia: Quantum
Books.
Sabda Saifuddin, (2006). Model kurikulum
terpadu IPTEK dan IMTAK. Jakarta:
Quantum Teaching Ciputat Press
Group.
Saedah Siraj, (2007) Pendidikan anak-anak
(Children education) (2nd ed.).
Selangor, Malaysia: Alam Pintar.
Saedah Siraj, (2009). Pengurusan kurikulum
(Curriculum management). Selangor,
Malaysia: Alam Pintar
Saedah Siraj, Ahmad Sobri Shuib, & Halimah
Salleh (Eds.), (2008). Pengajaran
efektif (Effective teaching). [in
writing]
Sanders, J.R, (1994), The evaluation
standards, 2nd
Ed., Thousand Oaks:
Sage Publications.
Santrock, J.W, (1994). Child development.
Edisi VI. Wisconsin: Brown &
Benchmark.
Soefie, Ibrahim,(2009) Penguasaan konsep
IPA bagi guru sekolah dasar Jurnal
Serambi Ilmu No. XII Vol 3 thn IV.
12-15.
Scriven, M, (1991). Evaluation thesaurus, 4th
Ed. Thousand Oaks: Sage
Publications.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
66
PENERAPAN MODEL APPRENTICE TRAINING YANG BERWAWASAN
KONSTRUKTIVISME DALAM UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS PEMBELAJARAN KIMIA
Oleh:
Mariati MR dan Cut Nova Riska
Abstrak: Penelitian ini bertujuan meningkatkan kualitas proses pembelajaran,
meningkatkan hasil belajar siswa, dan meningkatkan keterampilan siswa pada konsep
larutan asam dan larutan basa melalui penerapan model apprentice training yang
berwawasan konstruktivisme di SMA Negeri 4 Kota Banda Aceh. Penelitian tindakan ini
melibatkan 38 orang siswa. Data penelitian dikumpulkan dengan tes, uji keterampilan,
kuisioner, pedoman observasi aktivitas guru dan aktivitas siswa, dan dianalisis analisis
secara naratif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus I, proses
pembelajaran berlangsung cukup efektif, rerata hasil belajar siswa mencapai 77,6;
sedangkan rerata nilai uji keterampilan siswa sebesar 78,7. Pada siklus 11, proses
pembelajaran berlangsung lebih efektif, rerata hasil belajar siswa mencapai 80,1;
sedangkan rerata nilai uji keterampilan siswa sebesar 80,3. Hasil analisis respon siswa
menunjukkan bahwa siswa yang memiliki persepsi dan sikap positif jauh lebih besar
dibandingkan yang memiliki respon negative.
Kata Kunci : Model apprentice training, konstruktivisme, hasil belajar, keterampilan.
Kedudukan guru dalam proses
pembelajaran pada kurikulum ditegaskan
bahwa sangatlah strategis dan menentukan.
Strategis karena guru akan menentukan
kedalaman dan keluasan materi pelajaran,
sedangkan bersifat menentukan karena
gurulah yang memilih dan memilah bahan
pelajaran yang akan disajikan kepada siswa.
Salah satu faktor yang mempengaruhi guru
dalam upaya mempeluas dan memperdalam
materi pelajaran adalah rancangan
pembelajaran yang dibuat dan dipilihnya.
Melalui fungsi ini proses pembelajaran yang
efektif, efisien, menarik dan hasil
pembelajaran yang bermutu tinggi dapat
dilakukan dan dicapai oleh setiap guru.
Berdasarkan pengamatan, guru di
lapangan jarang memanfaatkan fungsi ini
secara optimal. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa tugas yang diemban guru
sebagai perancang pembelajaran sangat
rumit, karena dia berhadapan dengan dua
variable di luar kontrolnya, yaitu cakupan isi
pelajaran yang telah ditetapkan tedebih
dahulu berdasarkan tujuan yang akan
dicapai, dan siswa yang membawa
seperangkat sikap, kemampuan awal dan
karakteristik perseorangan lainnya ke dalam
situasi pembelajaran. Guru hanya
berpeluang memanipulasi strategi atau
metode pembelajaran di bawah karakteristik
tujuan pembelajaran dan siswa. Hal ini
diakui oleh Reigluth (1983) yang
menyatakan bahwa pada hakekatnya hanya
variable metode pembelajaran yang
berpeluang besar untuk dapat dimanipulasi
oleh setiap guru dan perancang
pembelajaran.
Keberhasilan dan kebermaknaan
pada pelajaran kimia sangat terkait dengan
kesinergian antara pemaparan konsep di
kelas dengan kegiatan praktikum di
laboratorium. Di kalangan guru dan terlebih
lagi di kalangan siswa, masih sangat banyak
ditemui keluhan. Pada guru sendiri
ditemukan permasalahan rendahnya
kemampuan konsep dan keterampilan dalam
melaksanakan kegiatan praktikum. Untuk
mengantisipasi dampak ini, maka salah satu
upaya yang dapat ditempuh adalah melalui
perbaikan sistem pembelajaran dengan
memberikan suatu tindakan berupa
penerapan model apprentice training dalam
proses pembelajaran kimia.
Model apprentice training
merupakan salah satu bentuk gabungan
antara pembelajaran di kelas, praktek dan
pengalaman kerja di laboratorium yang
dilakukan secara terstruktur dan terintegrasi.
Guna membantu guru dalam menciptakan
Dra. Mariati MR, M.Si adalah Dosen Tetap Yayasan Serambi Mekkah
67
suasana pembelajaran yang kondusif dan
berkualitas maka dicobalakukan penelitian
tindakan (action research) dengan
menerapkan model apprentice training.
Penelitian ini sifatnya on the spot yaitu
berawal dari situasi dan kondisi alamiah
(realita) untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh guru dalam upaya
mendongkrak prestasi belajar siswa ke arah
yang lebih baik.
Metode Penelitian
Subyek pada penelitian ini dipilih
secara random 1 (satu) kelas siswa pada
kelas XI SMA Negeri 4 Banda Aceh.
Penelitian ini dilakukan pada konsep larutan
asam dan larutan basa yang dibagi menjadi
dua siklus besar, yaitu siklus I dan siklus II.
Rancangan penelitian tindakan untuk
masing-masing siklus mencakup beberapa
tahapan, yaitu perencanaan, tindakan,
observasi/evaluasi, dan refleksi.
1. Siklus I
a. Perencanaan. Pada tahapan
perencanaan ditempuh langkah-
langkah: menyiapkan instrumen
penelitian, menelusuri pengetahuan
awal dan keterampilan awal siswa,
manyusun dan menyempurnakan LKS
yang berorientasi konstruktivisme,
dan menyiapkan buku panduan.
b. Tindakan. Pada tahap tindakan
dilakukan I-angkah-langkah:
melaksanakan program pembelajaran
dan pelatihan, sebelum pelatihan,
instruktur teriebih dahulu
memberikan ceramah dan
demonstrasi di hadapan siswa tentang
teknik kerja di laboratorium,
selanjutnya memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan
sendiri di bawah bimbingan dan
petunjuk instruktur
c. Observasi/evaluasi. Pada tahap ini
ditempuh langkah-langkah:
mengamati proses pelaksanaan
pembelajaran dan pelatihan dengan
lembaran observasi, mengevaluasi
penguasaan konsep, hasil
pembelajaran, dan respon siswa.
d. Refleksi. Berdasarkan hasil
observasi/evaluasi yang dilakukan
pada siklus I, maka dilaksanakan
refleksi untuk melakukan tindakan
pada siklus berikutnya.
2. Siklus II
Kegiatan yang dilakukan pada
siklus II pada prinsipnya sama dengan pada
siklus I, tetapi dengan perbaikan-perbaikan
berdasarkan hasil refleksi siklus I.
3. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan terdiri dari
data awal dan data akhir setelah tindakan
pada setiap siklus penelitian, yaitu:
a. Data hasil belajar siswa tentang
konsep larutan asam dan larutan basa
dikumpulkan dengan teknik pre-test
dan post-test yang berbentuk essay
terstruktur.
b. Data tingkat keterampilan awal
dikumpulkan dengan teknik uji
keterampilan.
c. Data mengenai proses pembelajaran
dan praktikum di laboratorium
dikumpulkan dengan teknik
observasi.
d. Data respon mahasiswa dikumpulkan
dengan teknik angket.
4. Analisis data dan indikator penelitian
Data yang terkumpul kemudian
dianalisis secara kualitatif dan
dideskripsikan secara naratif. Hasil belajar
siswa dianalisis secara deskriptif.
Keberhasilan siswa dalam pembelajaran
tercapai jika nilai rata-rata hasil post-test
pada setiap siklus mencapai 70. Data tentang
tingkat keterampilan mahasiswa dianalisis
secara deskriptif. Keberhasilan siswa dalam
menguasai keterampilan tercapai jika nilai
rata-rata post-test mencapai minimal 70.
Analisis terhadap respon siswa dilakukan
perhitungan persentase.
Hasil Penelitian
Materi ajar yang dibelajarkan pada
siklus I adalah larutan asam, yang dilakukan
dengan pendekatan/teknik bertanya. Siswa
dalam proses pembelajaran tampak masih
kurang aktif merespon pertanyaan guru.
Kemasan LKS yang kurang menarik, dan
keterlambatan dalam pendistribusian LKS
kepada siswa cukup menyulitkan siswa
mengikuti pembelajaran yang dilakukan.
Pada kegiatan praktikum, siswa masih lebih
banyak menunggu instruksi dari guru,
karena pengetahuan awal siswa tentang
larutan asam relatif masih rendah.
Rerata nilai hasil belajar dan uji
keterampilan praktikum yang diperoleh
siswa pada siklus I seperti ditunjukkan pada
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
68
table berikut.
Table 1. Nilai uji keterampilan dan hasil belajar siklus I
No Aspek Pre Pos Gain
X SD X SD X SD
1. Uji Keterampilan 22,8 10,1 78,7 8,5 23,8 10,8
2. Hasil Belajar 39,8 11,0 77,6 7,6 32,8 10,1
Dari tabel di atas tampak bahwa
rata-rata hasil belajar dan tingkat
keterampilan siswa setelah tindakan
termasuk dalam kategori baik. Bertolak dari
hasil yang diperoleh pada siklus I, maka
pelaksanaan pembelajaran dan praktikum
pada siklus II diusahakan upaya-upaya
perbaikan dengan mendistdbusikan LKS
sedini mungkin, dan memberikan bimbingan
di saat praktikum yang lebih intensif. Materi
ajar yang diberikan pada siklus II adalah
larutan basa. Pada proses pembelajaran,
siswa tampak sudah aktif merespon
pertanyaan guru dengan intensitas
keterlibatan yang cukup banyak.
Rerata nilai hasil belajar dan uji
keterampilan yang diperoleh siswa pada
siklus II ini seperti ditunjukkan pada tabel 2
berikut.
Table 2. Nilai uji keterampilan dan hasil belajar siklus II
No Aspek Pre Pos Gain
X SD X SD X SD
1. Uji Keterampilan 38,9 9,6 80,3 8,1 40,9 9,8
2. Hasil Belajar 40,1 10,8 80,1 7,8 47,1 11,6
Dari tabel di atas tampak bahwa rata-
rata hasil belajar dan tingkat keterampilan siswa
setelah tindakan termasuk dalam kategori baik,
namun hasilnya belum optimal karena masih
ada siswa yang masih mendapatkan program
remedial untuk bias melewati standar KKM
yang ditetapkan.
Hasil terhadap respon siswa terhadap
pelaksanaan pembelajaran larutan asam basa
diperoleh bahwa persentase siswa dengan
jawaban skor 4 dan 5 sebesar 54.8%, sedangkan
jawaban skor 3 sebesar 10%, dan jawaban
dengan skor 1 dan 2 sebesar 15,11%.
Pembahasan
Pembelajaran pada konsep larutan
asam basa dengan model apprentice training
yang berwawasan konstruktivisme diharapkan
dapat meningkatkan hasil belajar dan
keterampilan praktikum siswa di laboratorium.
Penelitian tindakan yang dilakukan terhadap
siswa menunjukkan bahwa pembelajaran pada
materi larutan asam dan larutan basa dengan
penerapan model apprentice training baik pada
siklus I maupun siklus II telah menunjukkan
peningkatan penguasaan konsep. Peningkatan
penguasaan konsep-konsep larutan asam dan
larutan basa secara ilmiah akan memberikan
kontribusi pada peningkatan kemampuan siswa
untuk menganalisis permasalahan pada materi
larutan asam dan larutan basa. Hal ini teriihat
dari hasil belajar yang dicapai siswa pada siklus
I termasuk kategori baik dengan rerata 78,7 dan
80,1 pada siklus II. Begitu pula terjadi
peningkatan gain score dari 32,8 (pada siklus I)
menjadi 47,1 (pada siklus II).
Hasil belajar yang dicapai siswa baik
pada siklus I maupun pada siklus II sudah
memenuhi target penelitian tindakan ini. Namun
demikian, hasil yang dicapai belum optimal
karena masih ada beberapa siswa yang
diremedial untuk mencapai nilai KKM yang
telah ditetapkan oleh pihak sekolah.
Lebih lanjut, pelaksanaan praktikurn
pada konsep larutan asam larutan basa telah
mampu meningkatkan keterampilan siswa
bekerja di laboratorium secara lebih merata
pada seluruh siswa (biasanya hanya beberapa
siswa saja yang aktif dan terampil). Guru
memberikan bimbingan dan latihan yang lebih
intensif kepada siswa yang memiliki tingkat
keterampilan awal yang relatif masih rendah,
dan mengelola proses praktikum sedemikian
rupa sehingga siswa yang relatif lebih aktif dan
lebih terampil mau membantu siswa yang
kurang aktif dan kurang terampil, sehingga pada
akhimya siswa dapat bekerja secara mandiri.
Dari dua siklus yang dilaksanakan tampak
Mariati Mr Dan Cut Nova Riska, Penerapan Model Apprentice Training Yang
69
terjadi peningkatan tingkat keterampilan siswa
dalam bekerja, dimana pada siklus I rerata nilai
uji keterampilan siswa 79,8 dan pada siklus II
80,1. Begitu pula terjadi peningkatan gain score
dari 23,8 (pada siklus 1) menjadi 40,9 (pada
siklus II). Penerapan model apprentice training
menunjukkan telah mampu meningkatkan
keterampilan siswa bekerja di laboratorium pada
praktikum konsep larutan asam dan larutan
basa. Hasil empiris ini mendukung pernyataan
Kearsley (1996) yang menyatakan bahwa
keterampilan bekerja di laboratorium dalam
pelaksanaan praktikum suatu konsep tidak bisa
diperoleh dengan pembelajaran konsep yang
biasa dilakukan lewat kegiatan demonstrasi.
Di samping terjadinya peningkatan
hasil belajar dan tingkat keterampilan siswa,
penerapan model apprentice trandrig juga
memperbaiki respon siswa terhadap
pembelajaran kimia. Jawaban angket yang
diberikan kepada siswa pada akhir dari siklus II
menunjukkan bahwa persentase siswa yang
memiliki persepsi dan sikap yang positif
sebanyak 54,8% lebih besar dibandingkan
persentase siswa yang memiliki persepsi dan
sikap negative sebanyak 25,1%. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa sangat bergairah
dalam mengikuti pembelajaran melalui
penerapan model apprentice training pada
konsep larutan asam dan larutan basa, sehingga
proses pembelajaran berlangsung lebih efektif
dibandingkan sebelumnya.
Kesimpulan
• Penerapan model apprentice training
yang berwawasan konstruktivisme dapat
meningkatkan kualitas hasil belajar siswa
pada konsep larutan asam dan larutan
basa.
• Penerapan model apprentice training
yang berwawasan konstruktivisme dapat
meningkatkan keterampilan siswa dalam
pelaksanaan praktikum pada konsep
larutan asam dan larutan basa.
• Siswa memiliki respon yang positif
terhadap proses pembelajaran kimia
dengan penerapan model apprentice
training yang berwawasan
konstruktivisme.
Saran
• Perlu adanya penambahan guru
pendamping, mengingat bahwa proses
kegiatan praktikum di laboratorium yang
bertujuan untuk meningkatkan
keterampilan siswa secara individual
memerlukan jumlah guru
pendamping/instruktur yang rnemadai.
• Menindaklanjuti respon positif dari siswa,
perlu kiranya penerapan model apprentice
training yang berwawasan
konstruktivisme ini dilanjutkan pada
konsep-konsep lain yang relevan.
Daftar Pustaka Ausubel, D.P., et.al, 1978. Educational
Psychology: A Cognitive Vie, 2nd
, New
York : Holt Rinehart and Winstone.
Berg, 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi.
Salatiga : Universitas Satya Wacana.
Borgia, E.T. & D. Schuler, 2003. Action
Research in Early Childhood
Education Online, diakses 16 April
2003.
Huew, 1994. Modern Teaching Learning
Approach. Singapore: John Wiley &
Sons.
Kearsley, G., 1982. Training and Technology, A
Handbook For HRD Profesionals,
Canada: Addison Wesley Publishing
Company, Inc.
Kemmis, S. & Mc. Taggert, 1988. The Action
Research Planner, (3rd
ed), Victoria:
Deakin University.
Moekijat, 1991. Latihan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia, Bandung:
Mandar Maju.
O,Loughlin, M., 1992. "Rethinking Science
Beyond Piagetian Constructivism
Toward a Socioculture", Model of
Teaching and Learning, In Ronal G.
Good (Ed), Journal of Research in
Science Teaching. 20(8).
Reigluth, C.M., 1983. Instruction-Design
Teories and Models; An Overview of
Their Current Status. London :
Lawrence Erlbaum Associates,
Publisher.
Shasta, J., 1998. "Peranan Pelatihan Tentang
Teknik Pemakaian dan Perawatan Alat-
alat Laboratorium dalam Mengurangi
Tingkat Kesalahan dan Kerusakan
Alat-alat Laboratorium Pada Saat
Mahasiswa Berpraktikum", Journal
Pendidikan dan Pengajaran, IKIP
Singara
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
70
RELEVANSI SIKAP ILMIAH SISWA DENGAN KONSEP HAKIKAT SAINS
DALAM PELAKSANAAN PERCOBAAN PADA PEMBELAJARAN
IPA DI SDN KOTA BANDA ACEH
Oleh
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti
Abstrak: Hakikat sains adalah landasan untuk berpijak dalam mempelajari IPA. Aspek
hakikat sains mengandung tiga aspek yaitu sains sebagai produk, sains sebagai proses, dan
sains sebagai sikap ilmiah. Kurangnya penanaman nilai sikap ilmiah dalam proses kegiatan
ilmiah berakibat pada peroleh hakikat sains yang tidak utuh dan kurangnya terbentuk sikap
ilmiah siswa dalam melaksanakan kegiatan ilmiah. Dengan demikian perlu adanya analisis
relevansi sikap ilmiah siswa dengan hakikat sains dalam pelaksanaan percobaan pada
pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh. Yang menjadi rumusan masalah pada penelitian
ini adalah: Bagaimanakah kemunculan sikap ilmiah, penguasaan konsep hakikat sains siswa,
dan hubungan antara sikap ilmiah siswa yang dilaksanakan dalam percobaan pembelajaran
IPA SD dengan konsep hakikat sains?. Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif yang bertujuan untuk melihat relevansi sikap ilmiah siswa dengan
hakikat sains dalam melaksanakan percobaan pada pembelajaran IPA SDN Kota Banda Aceh.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi deskriptif dan uji korelasi. Penelitian
ini akan dilaksanakan pada Sekolah Dasar Negeri di Kota Banda Aceh. Populasi dari
penelitian ini adalah siswa kelas V SDN di Kota Banda Aceh dengan jumlah 71 SDN. Sampel
ditetapkan pada 10 SDN. Instrumen yang digunakan dala penelitian ini adalah lembar
observasi, dokumentasi, tes, pedoman wawancara guru. Teknik analisis Data menggunakan
rumus persentase dan uji korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kemampuan
dasar siswa terhadap penguasaan konsep hakikat sains menunjukkan rerata 40%. Hal ini
menunjukkan pada kategori rendah. Pada kemunculan sikap ilmiah siswa pada pelaksanaan
percobaan pada pembelajaran IPA menunjukkan kategori baik. Dan terdapat hubungan antara
sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda
Aceh dengan ketentuan thitung > ttabel yaitu (30,8 > 1,28).
Kata Kunci : Sikap ilmiah, konsep hakikat sains, pelaksanaan percobaan.
Terpuruknya moralitas banga
Indonesia adalah bentuk ketidak tercapaian
proses pendidikan di negara kita. Jujur, teliti,
rasa ingin tahu, tidak berprasangka,
bertanggung jawab dan kedisiplinan diri
adalah harapan yang ingin dimiliki pada
peserta didik kita. Namun hal ini semakin sulit
kita temui dalam diri siswa, baik pada siswa
SMA, SMP ataupun SD. Maka perlu adanya
pembentukan sikap seperti pada pembelajaran
IPA, yaitu pembentukan sikap ilmiah yang
mengacu kepada sikap yang harus dimiliki
seorang ilmuan atau penyelidik dalam
melakukan proses penelitian. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Abroscato (1982) sains
meliputi aspek sikap di samping sains sebagai
produk dan proses. Sains sebagai proses di
dalamnya mengandung sikap ilmiah (Scientific
attitude) yang merupakan faktor sentral dalam
menyongkong perkembangan ilmu.
Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
merupakan pondasi awal dalam menciptakan
siswa-siswa yang memiliki pengetahuan,
keterampilan dan sikap ilmiah. Pembelajaran
IPA diarahkan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga IPA
bukan hanya merupakan penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-
fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja,
tetapi juga merupakan suatu proses penemuan
dan pembentukan sikap ilmiah.
Hakikat sains adalah landasan untuk
berpijak dalam mempelajari IPA. Banyak cara
yang telah dilakukan untuk mencapai aspek
Dra. Sardinah, M. Si, Tursinawati. S.Pd.I. M. Pd, Anita Noviyanti, M. Pd adalah Dosen Tetap
Yayasan Serambi Mekkah
71
yang terkandung di dalam hakikat sains,
namun belum juga menunjukkan hasil yang
memuaskan. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa guru IPA di SD di Aceh
menunjukkan bahwa guru telah menerapkan
beberapa model pembelajaran yang
berorientasi pada siswa, dan banyaknya
percobaan telah dilakukan dalam pembelajaran
IPA di SD, namun mutu pendidikan IPA di SD
belumlah menunjukkan hasil yang memuaskan
dan hakikat sains belumlah terwujud secara
utuh. Disamping itu juga guru belum
memahami konsep hakikat sains. Hal ini
sejalan yang diungkapkan Widodo (2007)
pembelajaran sains yang hanya membelajarkan
fakta, konsep, prinsip,hukum, dan teori
sesungguhnya belum membelajarkan sains
secara utuh. Dalam membelajarkan sains guru
hendaknya juga melatih keterampilan siswa
untuk berproses (keterampilan proses) dan
juga menanamkan sikap ilmiah, misalnya rasa
ingin tahu, jujur, bekerja keras, pantang
menyerah, dan terbuka.
Untuk mencapai hakikat sains secara
utuh membutuhkan upaya dan kompetensi
guru untuk memuat aspek hakikat sains dalam
proses pembelajaran IPA. Percobaan pada
pembelajaran IPA merupakan bentuk
sederhana dari aspek sains sebagai proses yaitu
melakukan kegiatan ilmiah sehingga
membangkitkan motivasi siswa menjadi
seorang ilmuan di masa akan datang.
Walaupun demikian sikap ilmiah menjadi
aspek yang sangat penting dalam
melaksanakan percobaan-percobaan (kegiatan
ilmiah sederhana). Sikap ilmiah siswa menjadi
tolak ukur etika penelitian para ilmuan dalam
menjalani kegiatan ilmiah. Apabila sikap
ilmiah siswa dalam melaksanakan percobaan
tidak dimilikinya, maka akan berdampak
negatif kepada produk sains atau teknologi
yang mereka hasilkan. Oleh sebab itu sikap
ilmiah dalam melaksanakan percobaan pada
proses pembelajaran menjadi syarat mutlak
yang harus diketahui dan dimiliki oleh peserta
didik kita.
Dari hasil penelitian menggambarkan
pentingnya aspek hakikat sains dalam proses
pembelajaran IPA. Tursinawati (2010)
menjelaskan tentang peningkatan pemahaman
siswa pada aspek sains sebagai sikap berada
pada kategori yang paling rendah
dibandingkan dari aspek lain pada hakikat
sains. Susilawati (2009) menjelaskan bahwa
guru belum memahami hakikat sains
seutuhnya. Salah satu faktor masih rendahnya
pemahaman hakikat sains oleh guru adalah
kurangnya pemahaman konsep hakikat sains
yang dimiliki guru, hal ini disebabkan guru
tidak memperoleh pengetahuan yang jelas
tentang hakikat sains.
Hakikat sains belumlah menjadi satu
kesatuan dalam proses pembelajaran IPA.
Pentingnya pengembangan sikap ilmiah siswa
dalam melaksanakan kegiatan ilmiah sehingga
dapat membentuk sikap saintis yang tepat.
Dengan demikian akan tercapailah hakikat
sains/IPA secara utuh. Maka perlu adanya
suatu penelitian untuk mengetahui relevansi
sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat
sains dalam pelaksanaan percobaan pada
pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian
ini untuk menjawab pertanyaan sebagai
berikut : Bagaimanakah kemunculan sikap
ilmiah yang dilaksanakan dalam percobaan
pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda
Aceh?; Bagaimanakah penguasaan konsep
hakikat sains siswa pada pembelajaran IPA di
SDN Kota Banda Aceh? Adakah hubungan
antara sikap ilmiah siswa yang dilaksanakan
dalam percobaan pada pembelajaran IPA SD
dengan penguasaan konsep hakikat sains
siswa?
1. Hakikat sains
Hakikat sains merupakan syarat
dalam mata pelajaran IPA baik pada jenjang
pendidikan SD, SMP, SMA, dan selanjutnya.
Karena segala aspek yang termuat dalam
pembelajaran IPA baik hasilnya, proses yang
dilaksanakan dalam pembelajaran IPA, dan
sikap-sikap yang harus dimiliki siswa dalam
melaksanakan proses pembelajaran adalah
suatu keutuhan dan aspek hakikat sains.
Apabila kita berbicar tentang IPA maka kita
sedang membahas aspek-aspek hakikat sains.
Hakikat sains mengandung tiga aspek
yaitu, sains sebagai produk, sains sebagai
proses dan sains sebagai sikap. Sejalan dengan
ungkapan Sulistyorini (2007) menyatakan
bahwa hakikatnya, IPA dapat dipandang dari
segi produk, proses dan dari segi
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
72
pengembangan sikap. Artinya, belajar IPA
memiliki dimensi proses, dimensi hasil
(Produk), dan dimensi pengembangan sikap
ilmiah. Ketiga dimensi tersebut bersifat saling
keterkaitan. Menurut Mariana dan Praginda
(2009) hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
merupakan makna alam dan berbagai
fenomena/perilaku/karakteristik yang dikemas
menjadi sekumpulan teori dan konsep melalui
serangkaian proses ilmiah yang dilakukan
manusia. Teori maupun konsep yang
terorganisir ini menjadi sebuah inspirasi
terciptanya teknologi yang dapat dimanfaatkan
bagi kehidupan manusia. Tursinawati (2010)
menjabarkan hakikat sains sesuai yang
tercantum pada Tabel. 1.
Tabel 1.1 Hakikat Sains
NO. HAKIKAT
SAINS
INDIKATOR
1 Sains sebagai
produk
1) Ilmu pengetahuan berlandaskan pada fakta empiris
2) Teori yang lebih tepat daripada teori sebelumnya dapat mengubah
ilmu pengetahuan
3) Pengetahuan ilmiah didasarkan pada bukti eksperimental
4) Ilmu pengetahuan adalah suatu usaha untuk menjelaskan gejala
5) Ilmu pengetahuan berlandaskan pada argumentasi yang logis
6) Ilmu pengetahuan bersifat objektif
7) Ilmu pengetahuan dibangun oleh apa yang telah ada sebelumnya
8) Produk sains berupa hukum, teori, fakta, konsep dan prinsip
9) Ilmu pengetahuan berperan penting dalam teknologi
2 Sains Sebagai
Proses
1) Pengetahuan ilmiah bersifat sementara
2) Ilmu pengetahuan harus dapat diuji
3) Pengetahuan ilmiah berdasarkan pada pengamatan
4) Metode ilmiah merupakan cara untuk melakukan penyelidikan
meliputi merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, membuktikan
hipotesis dan membuat kesimpulan
5) Ilmu pengetahuan yang diuji menjadi kerangka berfikir bagi ilmu
pengetahuan
3. Sains sebagai
sikap
1) Ilmuwan tidak pernah puas terhadap ilmu pengetahuan
2) Ilmu pengetahuan bersifat konsisten
3) Ilmuwan harus terbuka pada ide baru
4) Ilmuwan bersifat jujur
5) Ilmu pengetahuan menjadi bagian dari tradisi intelektual
6) Ilmuwan harus bertanggung jawab terhadap keilmuwannya
2. Sikap Ilmiah siswa dalam pelaksanaan
percobaan pada pembelajaran IPA
Makna “sikap” pada pengajaran IPA
SD/MI dibatasi pengertiannya pada sikap
ilmiah terhadap perolehan ilmu pengetahuan
alam sekitar. Menurut Wynne Harlen dalam
Hendro Darmojo (dalam Sulistyorini, 2007),
setidak-tidaknya ada sembilan aspek sikap dari
sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada
anak usia SD/MI, yaitu: Sikap ingin tahu,
sikap ingin mendapat sesuatu yang baru, sikap
tidak putus asa, sikap tidak berprasangka,
sikap mawas diri, sikap bertanggung jawab,
sikap berpikir bebas, sikap kedisiplinan diri.
Namun demikian sikap ilmiah dapat
dikembangkan menjadi beberapa aspek lagi
yaitu:
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswa�
73
Tabel. 2. Aspek-Aspek sikap Ilmiah dalam pelaksanaan praktikum pada pembelajaran IPA
No Aspek-Aspek Sikap
Ilmiah
Indicator
1 Ilmuan bersifat jujur 1) Melaporkan pemerhatian asal walaupun pemerhatian asal
menyangkal hipotesis awal
2 Ilmuan harus terbuka
pada ide-ide baru
(willnes ti Change
Opinions)
2) Kesedian untuk menukar pandangan/pendapat
3) Menerima hasil penyelidikan sesuai dengan data walaupun
tidak sesuai dengan hipotesis
3 Ilmuan harus
bertanggung jawab
terhadap keilmuannya
4) Menjaga alat dan bahan yang dilakukan dalam
praktikum/penyelidikan
5) melaksanakan tugas dan kewajibannya yang dibebankan dalam
kegiatan percobaan/penyelidikan
4 Ilmuan harus bersikap
objective
6) Sikap mempertimbangkan semua data yang ada sebelum
sebelum membuat keputusan
7) Melaporkan apa adanya tanpa melakukan manipulasi ke data
dan sampai ke atasnya
5 Bekerja sama
(Kooperatife)
8) Menghargai pendapat orang lain
9) Berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan kelompok dalam
kegiatan pembelajaran
10) Menafsirkan bersama-sama terhadap hasil pengamatan
6 Pemikiran kritikal
(Critical mindedness)
11) mencari kejelasan pernyataan atau pertanyaan
12) mencoba memperoleh informasi yang benar
7 Berlandaskan pada bukti
(respect for evidence)
13) Sikap seseorang bergantung kepada fakta, data-data emperikal
dalam membuat keputusan
8 Rasa ingin tahu 14) Mengajukan dugaan sementara (hipotesis) terhadap fenomena
alam
15) Mengamati kejadian atau fenemona yang dilaksanakan dalam
praktikum IPA
9 Sikap mawas diri (hati-
hati)
16) Sikap hati-hati dalam melaksanakan praktikum/penyelidikan
17) Menjaga keaman dari bahaya yang ditimbulkan dalam
melaksanakan praktikum/penyelidikan
10 Kedisiplinan diri 18) patuh pada berbagai ketentuaan /peraturan laboratorium
19) Menempatkan alat laboratorium pada tempatnya
11 Kesadaran atau peduli
terhadap lingkungan
20) Mengembngkan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi
Hakikat sains tidak hanya terfokus
kepada aspek sains sebagai produk, namun
memiliki arti yang lebih luas yaitu kegiatan-
kegiatan ilmiah yang mengarahkan mereka
untuk memahami apa sebenarnya yang
dipelajari dalam sains/IPA. Artinya disini,
terjadinya proses-proses pemerolehan
informasi dengan kegiatan inkuiri dengan
memiliki sikap ilmiah dalam melaksanakan
proses pembelajaran IPA. Sains sebagai sikap
hendaknya menjadi penekanan yang amat
penting karena semakin terpuruknya
moral/sikap orang pada perkembangan sosial
saat ini. Untuk memperbaiki moralitas bangsa,
maka usaha yang tepat adalah menanamkan
sikap ilmiah sejak dini pada peserta didik kita.
Aplikasi pembetukan sikap ilmiah dapat
dilaksanakan dalam setiap proses
pembelajaran, baik dalam menyampaikan
materi, melaksanakan percobaan, dalam
menilai hasil percobaan dan prestasi belajar
siswa. Sikap ilmiah sangat bermakna dalam
interaksi sosial, ilmu pengatahuan dan
teknologi. Apabila sikap ilmiah telah terbentuk
dalam diri siswa maka akan terwujudlah suri
tauladan yang baik bagi peserta didik, baik
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
74
dalam melaksanakan penyeldikan atau
berinteraksi dengan masyarakat. Secara tidak
langsung sikap ilmiah dalam proses
pembelajaran IPA dapat menyelesaikan
masalah-masalah moralitas anak bangsa ini.
Pembentukan sikap ilmiah siswa
dapat terbentuk apabila guru yang mengajar
memiliki kompetensi dan kreativitas dalam
mengajar. Guru dituntut untuk dapat
memahami konsep hakikat sains, karena
apabila guru tidak memahami hakikat sains
maka guru kesulitan dalam membentuk sikap
ilmiah siswa. Hal ini disebabkan oleh
ketidaktahuan guru terhadap aspek-aspek
yang terkandung pada hakikat sains sebagai
sikap. Selain itu siswa juga dituntut untuk
dapat memahami konsep hakikat sains, agar
sikap-sikap yang akan terbentuk dalam diri
mereka menjadi lebih bermakna dalam
kehidupan sosial, ilmu dan teknologi.
Firman dan Widodo (2007)
menjelaskan bahwa seorang guru sains
dituntut untuk mempunyai gambaran yang
jelas dan tepat tentang apa itu sains, sebab
keyakinan tentang sains akan sangat
berpengaruh terhadap bagaimana seorang guru
mengajarkan sains. National Science
Foundation/ NSF ( 2004) menjelaskan bahwa
sebaiknya pendidikan sains membutuhkan
pembelajaran konsep ilmiah dan
mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah.
Ruang kelas yang efektif bergantung pada
berbagai cara mengajar ilmu tersebut. Apabila
proses pengamatan dan pertanyaan muncul,
memberikan kesempatan untuk berinteraksi
lebih dengan fenomena dan lebih besar potensi
untuk pengembangan pemahaman lebih lanjut.
Pemahaman hakikat sains penting
untuk dipahami oleh guru dan siswa, karena
ketika guru dan siswa tidak memahami hakikat
dari suatu pembelajaran maka akan
memperoleh kebuntuan pencapaian
pembelajaran IPA. Pembelajaran sains tidak
terarah dan proses yang dilaksanakan dalam
pembelajaran IPA menjadi sia-sia, disebabkan
kurangnya pemahaman akan hakikat sains.
Untuk memberikan pemahaman
konsep hakikat sains, guru dapat menentukan
model pembelajaran yang berpusat pada siswa
seperti model pembelajaran inkuiri terbimbing,
pembelajaran kooperatif, pembelajaran
contectual learning, Salingtemas. Beberapa
metode pembelajaran yang dapat mendukung
model pembelajaran adalah metode
demonstrasi, eksperimen, diskusi, kelompok,
karya wisata. Trihastuti (2008) menyatakan
bahwa pendidikan sains diarahkan untuk
inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu
peserta didik untuk memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Penelitian kualitatif bertujuan
untuk melihat kemunculan sikap ilmiah siswa
dalam pelaksanaan percobaan pada
pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh.
Sedangkan penelitian kuantitatif bertujuan
untuk mengetahui hubungan atau relevansi
sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat
sains dalam pelaksanaan percobaan pada
pembelajaran IPA SDN Kota Banda Aceh, dan
kemampuan dasar penguasaan siswa terhadap
konsep hakikat sains. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian studi deskriptif
dan uji korelasi. Penelitian ini akan
dilaksanakan pada Sekolah Dasar Negeri di
Kota Banda Aceh. Populasi dari penelitian ini
adalah siswa kelas V SDN di Kota Banda
Aceh dengan jumlah 71 SDN. Sampel dari
penelitian ini adalah siswa kelas V SDN di
Kota Banda Aceh dengan jumlah 10 SDN
yang mewakili setiap kecamatan yang ada
pada Kota Banda Aceh. Instrumen penelitian
ini adalah observasi, dokumentasi, dan tes.
Observasi bertujuan untuk mengamati
kemunculan sikap ilmiah siswa dalam
pelaksanaan percobaan pada pembelajaran
IPAdi SDN Kota Banda Aceh. Tes digunakan
untuk mengetahui kemampuan dasar siswa
terhadap penguasaan konsep hakikat sains.
Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara
sikap ilmiah dalam pelaksanaan percobaan
pada pembelajaran IPA dengan konsep hakikat
sains dianalisis antara hasil kemunculan sikap
ilmiah dalap pelaksanaan percobaan pada
pembelajaran IPA dengan kemampuan dasar
siswa dalam penguasaan konsep hakikat sains.
Pedoman wawancara guru digunakan sebagai
panduan wawancara dengan guru untuk
mengetahui pengalaman guru dalam
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswa�
�
75
memperoleh konsep hakikat sains dan
pelaksanaan pembelajaran IPA yang
mengkaitkan seluruh askpek hakikat sains
khususnya hakikat sains di SDN Kota Banda
Aceh.
Hasil Penelitian
a. Penguasaan konsep hakikat sains pada
siswa SD
Dalam mengukur kemampuan siswa
dalam penguasaan konsep hakikat sains
diberikan lembar soal penguasaan konsep
hakikat sains pada siswa. Dari hasil analisis
data dan uji statistik diperoleh bahwa dari 10
SD Negeri Kota Banada Aceh kemampuan
dasara siswa dalam penguasaan konsep
hakikat sians berada pada rata-rata 40%
dengan kategori rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa masih rendahnya penguasaan konsep
hakikat siswa siswa di SD. Hal ini dapat
dilihat pada table di bawah ini:
Tabel.3. Kemampuan Dasar Siswa dalam Penguasaan Konsep Hakikat Sains
Di SD Kota Banda
N
O
Hakikat
Sains
Indikator No
Soal
Jumlah Siswa Yang Menjawab Benar / SDN Jlh
� %
R
E
R
A
T
A
SD
2
SD
8
SD
56
SD
60
SD
20
SD
51
SD
67
SD
63
SD
03
SD
16
Jumlah siswa 22 23 26 9 26 22 23 26 22 26 225
1
Sains
Sebagai
Produk
1. Ilmu Pengetahuan
Berlandaskan Pada
Fakta Empiris
1 12 0 2 0 13 6 10 3 3 14 63 28
41
2. Teori yang lebih
tepat daripada teori
sebelumnya dapat
mengubah ilmu
pengetahuan
2 10 7 19 6 12 10 13 13 9 12 111 49
3. Pengetahuan
ilmiah didasarkan
pada bukti
eksperimental
3 11 4 9 4 11 4 9 6 5 17 80 36
4. Ilmu pengetahuan
adalah suatu usaha
untuk menjelaskan
gejala
4 15 9 11 1 17 12 14 15 15 19 128 57
5. Ilmu pengetahuan
berlandaskan pada
argumentasi yang
logis
5 17 7 14 2 16 12 15 13 11 18 125 56
6. Ilmu pengetahuan
bersifat objektif 6 19 11 15 3 16 16 13 5 13 18 129 57
7. Ilmu pengetahuan
dibangun oleh apa
yang telah ada
sebelumnya
7 2 5 16 3 10 3 9 5 7 9 69 31
8. Produk sain
berupa hukum, teori,
fakta, konsep dan
prinsip
8 2 1 0 1 3 4 2 2 1 1 17 8
9. Ilmu pengetahuan
berperan penting 9 13 12 13 3 15 9 13 11 5 14 108 48
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
76
dalam teknologi
2 Sains
Sebagai
Proses
10. Pengetahuan
ilmiah bersifat
sementara
10 4 8 4 3 13 5 12 9 7 9 74 33
44
11. Ilmu pengetahuan
harus dapat diuji 11 12 6 7 0 7 3 8 4 8 7 62 28
12. Pengetahuan
ilmiah berdasarkan
pada pengamatan
12 10 3 8 2 14 6 15 8 6 17 89 40
13.Metode ilmiah
merupakan cara untuk
melakukan
penyelidikan meliputi
merumuskan
masalah,mengajukan
hipotesis,
membuktikan
hipotesis dan
membuat kesimpulan
13 15 8 13 3 15 15 20 11 15 15 130
58
14. Ilmu pengetahuan
yang di uji menjadi
kerangka berfikir bagi
ilmu pengetahuan
14 17 7 20 8 18 12 17 11 7 5 136 60
3
Sains
Sebagai
Sikap
15. Ilmuwan tidak
pernah puas terhadap
ilmu pengetahuan
15 14 5 14 2 8 11 17 5 4
95 42
35
16. Ilmu pengetahuan
bersifat konsisten 16 0 6 3 2 4 5 3 3 2 3 47 21
17. Ilmuan harus
terbuka pada ide baru 17 3 4 5 3 3 3 6 5 4 7 60 27
18. Ilmuan bersifat
jujur 18 11 12 17 7 11 13 12 11 4 9 125 56
19. Ilmu pengetahuan
menjadi bagian dari
tradisi intelektual
19 3 2 6 5 5 5 1 6 7 3 62 28
20. Ilmuwan harus
bertanggung jawab
terhadap
keilmuwannya
20 10 7 6 6 3 6 10 7 5 3 83 37
TOTAL 200 124 202 64 214 160 219 153 138 200 1674
RERAT
A 40
Untuk lebih rinci dapat dijabarkan pada grafik di bawah ini:
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswa�
Gambar.1. Diag
Berdasarkan gam
menunjukkan bahwa yang
rendah adalah indicator 8 y
berupa hukum, teori, fakta, k
memperoleh nilai 8%. Indica
bagian dari sains sebagai pro
yang menunjukkan paling ti
indicator ilmu pengetahua
menjadi kerangka berf
pengetahuan memperoleh n
Indicator ini merupakan b
sebagai proses.
Secara keseluruhan
siswa dalam penguasaan kon
rata-rata 40% pada kategori ti
�
��
��
��
��
��
��
�
� � � �
�
��
��
�
�
�
�
�
�
�
�
�
������
Jurnal Pendidikan
�
agram Kemampuan Dasar Penguasaan Konsep Hakikat Sain
SDN Kota Banda
ambar di atas
ng berada paling
yaitu produk sain
, konsep dan prinsip
cator ini merupakan
produk. Sedangakan
tinggi berada pada
uan yang di uji
erfikir bagi ilmu
nilai sebesar 60%.
bagian dari sains
n kemampuan dasar
onsep hakikat sains
i tidak baik.
b. Kemunculan sikap ilmia
Untuk mengetahu
sikap ilmiah siswa m
pengamatan langsung terhad
siswa yang dilaksanakan p
dalam pembelajaran IPA di
Banda Aceh. Selanjutn
mengunakan persentasi. Asp
ilmiah yang dilaksanakan dala
IPA di SD Negeri Kota Ba
diamati oleh obsover dapat di
2. Sedangkan hasil analisis
statistik dapat dijabarkan pada
� � � � �� �� �� �� �� �� �� � � ��
� �� �
��
�
���
��
���
��
���
��
�
������������ �����������������������������
n Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 77
ains Siswa
iah siswa
hui kemunculan
maka dilakukan
adap sikap ilmiah
pada praktikum
i SD Negeri Kota
utnya dianalisis
spek-aspek sikap
alam pembelajaran
Banda Aceh yang
dilihat pada Tabel.
isis data dan uji
da Gambar. 2.
��
�
� �� ��
���������
�����������
� �������������
�������������
� ���������� ��
�������������
� ������������
�������
or 2
Gambar 2. Uji Stati
Berdasarkan gam
menunjukkan bahwa yang
rendah adalah indicator 1
pemerhatian asal walaupun
menyangkal hipotesis awal
3.5%. Indicator ini merupa
sikap ilmiah sebagai Ilmua
Sedangakan yang menunjuk
berada pada indicato
mengembangkan upaya
memperbaiki kerusakan al
terjadi memperoleh nila
Indicator ini merupakan bag
dari kesadaran atau p
lingkungan.
Pada indicator
pemerhatian asal walaupun
menyangkal hipotesis awal
3.5%. Indicator ini merupa
sikap ilmiah sebagai Ilmua
merupakan indicator teren
ilmiah dibandingkan denga
lainnya. Hal ini disebabka
indicator ini kurang muncul
siswa terhadap melaporka
adanya yang ada dalam pelak
pada pembelajaran IPA.
�
��
��
��
��
��
��
�
�
��
� � � �
���
��
����
���
����� �!���������"!�
�
�
�
�
�
�
�
�
Sardinah, Tursina
�Sardinah, Tursin
�
atistik dari Sikap Ilmiah Siswa
ambar di atas
ng berada paling
yaitu melaporkan
n pemerhatian asal
l memperoleh nilai
pakan bagian dari
uan bersifat jujur.
ukkan paling tinggi
tor 20 yaitu
ya-upaya untuk
alam yang sudah
ilai sebesar 89%.
agian sikap ilmiah
peduli terhadap
or melaporkan
n pemerhatian asal
l memperoleh nilai
pakan bagian dari
uan bersifat jujur,
rendah dari sikap
ngan sikap ilmiah
kan adalah. Pada
culnya sikap ilmiah
kan data-data apa
aksanaan percobaan
A. Siswa secara
individual kurang memperha
harus dikumpulkan secara
Sehingga hal ini menunjukka
ilmiah siswa kurang jujur.
Sedangkan peroleh
tertinggi dari 20 indikator sik
pada indicator ke-20 yaitu
upaya-upaya untuk memper
alam yang sudah terjadi m
sebesar 89%. Indicator ini m
sikap ilmiah dari kesadara
terhadap lingkungan. Hal
karena media yang dig
pelaksanaan percobaan pad
yang menghindari kerusakan
penggunaan barang bekas.
sekolah dari 10 SDN Kot
memanfaatkan alat dan bah
digunakan dalam pra
pembelajaran IPA. pengguna
yang tidak dipakai lagi oleh m
mengurangi pencemaran lingk
merupakan suatu sikap ilmiah
peduli terhadap lingkungan.
Secara keseluruhan k
ilmiah siswa dalam pelaksa
� � � �� �� �� �� �� �� �� � � �� ��
����
����
��
�'��
�(��
��
(��� (���
�����(��
���(
(�����
����
��
�'
!���#�������!�����!����������� �$������������$�!�
����)���*�& �#�
inawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswasinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Sisw 78
hatikan data yang
ra apa adanya.
kan kepada sikap
han persentase
sikap ilmiah yaitu
mengembangkan
erbaiki kerusakan
memperoleh nilai
merupakan bagian
aran atau peduli
l ini disebabkan
igunakan dalam
ada pembelajaran
n lingkungan yaitu
. Hampir seluruh
ota Banda Aceh
ahan bekas yang
raktikum pada
naan barang bekas
masyarakat dapat
gkungan. Sikap ini
ah kesadaran atau
kemunculan sikap
sanaan percobaan
�
�
�
�
�
�
�
��
��
��
��
��
����
�
�
��
��
!�%�����"�&�
wa�iswa�
79
pada pembelajaran IPA rerata 60% berada
pada kategori cukup.
c. Hubungan antara sikap ilmiah siswa
yang dilaksanakan dalam percobaan
pada pembelajaran IPA SD dengan
penguasaan konsep hakikat sains siswa
Berdasarkan hasil perhitungan data
diperoleh koefisien korelasi yang muncul
antara relevansi sikap ilmiah siswa dan konsep
hakikat sains siswa SD adalah 0.90, yang
berada pada kategori tinggi.
Untuk menguji hipotesis yang
dirumuskan, digunakan uji distribusi t, dengan
rumus sebagai berikut : � � ��������
Hasil perhitungan koefisien korelasi
antara sikap ilmiah siswa dengan konsep
hakikat sains pada pembelajaran IPA SDN
Kota Banda Aceh adalah 0.90, dengan jumlah
subjek 225 siswa sebanyak 10 Sekolah Dasar
Negeri dalam Kota Banda Aceh. Hasil tersebut
akan diuji dengan menggunakan uji distribusi
t. Perhitungan uji distribusi t terhadap
koefisien korelasi antara sikap ilmiah siswa
dengan konsep hakikat sains adalah 30,8.
Selanjutnya angka tersebut dibandingkan
dengan koefisien korelasi kritik yang tertera
dalam daftar t-tabel pada n = 225 dan taraf
signifikansi 0.90, yaitu 1,28. Hasil
perbandingan kedua nilai tersebut
menunjukkan bahwa thitung > ttabel yaitu (30,8 >
1,28). Dengan demikian hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini “terdapat
hubungan antara sikap ilmiah siswa dengan
konsep hakikat sains pada pembelajaran IPA
di SDN Kota Banda Aceh”. Adapun tingkat
korelasi dan pengujian hipotesis terhadap
kemunculan sikap ilmiah pada konsep hakikat
sains berada pada kategori tinggi.
Pembahasan Pembahasan hasil penelitian ini
berdasarkan analisis data dan temuan di
lapangan. Penelitian ini dioerentasikan pada
tiga aspek yaitu kemampuan dasar penguasaan
konsep hakikat sains siswa SD, kemunculan
sikap ilmiah, dan hubungan atau relevansi
sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat
siswa pada pelaksanaan percobaan pada
pembelajaran IPA.
Berdasarkan hasil atau data diperoleh
bahwa masih rendahnya kemampuan dasar
siswa dalam penguasaan konsep hakikat sains
siswa di Sekolah Dasar yaitu 40%. Hal ini
disebabkan karena konsep hakikat sains
merupakan hal baru bagi siswa dan
pengatahuan guru pada konsep hakikat sains
masih rendah. Susilawati (2009) menjelaskan
bahwa guru belum memahami hakikat sains
seutuhnya. Salah satu faktor masih rendahnya
pemahaman hakikat sains oleh guru adalah
kurangnya pemahaman konsep hakikat sains
yang dimiliki guru, hal ini disebabkan guru
tidak memperoleh pengetahuan yang jelas
tentang hakikat sains.
Pada kemunculan sikap ilmiah
dapat digolongkan pada kategori baik. Hal ini
disebabkan karena siswa telah melaksanakan
kegiatan ilmiah secara baik, khususnya pada
kegiatan bekerja sama. Namun siswa masih
rendah dalam pemahaman atau penguasaan
konsep terhadap hakikat sains.
Pada hubungan sikap ilmiah siswa
dengan konsep hakikat sains dalam
pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA
menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan yaitu thitung > ttabel yaitu (30,8 >
1,28). Dengan demikian hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini Ha diterima dan
Ho ditolak. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa “terdapat hubungan antara
sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat
sains pada pembelajaran IPA di SDN Kota
Banda Aceh”. Adapun tingkat korelasi dan
pengujian hipotesis terhadap kemunculan
sikap ilmiah pada konsep hakikat sains berada
pada kategori tinggi.
Penutup
Dari hasil penelitian ini diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan dasar siswa dalam
penguasaan konsep hakikat sains
diperoleh secara total rata-rata 40% pada
kategori tidak baik
2. Kemunculan sikap ilmiah siswa pada
sepuluh SD Negeri diperoleh rata-rata
60% pada kategori cukup. Hal ini
disebabkan karena siswa telah
melaksanakan kegiatan ilmiah secara baik,
khususnya pada kegiatan bekerja sama.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
80
Namun siswa masih rendah dalam
pemahaman atau penguasaan konsep
terhadap hakikat sains.
3. Terdapat hubungan antara sikap ilmiah
siswa dengan konsep hakikat sains pada
pembelajaran IPA di SDN Kota Banda
Aceh, dengan menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan yaitu thitung >
ttabel yaitu (30,8 > 1,28).
Daftar Pustaka
Alberta (2004) Focus on inquiry: a teacher’s
guide to implementing inquiry-based
learning. Canada:Alberta Learning.
http://www.learning.gov.ab.ca
(Maret, 2010)
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
(2006). Panduan Penyusunan KTSP
Jenjang Pendidikan Dasar. Jakarta:
BNSP
Bell, Frederich h. (1978) Teaching And
Learning Mathematics (in Secondary
School). Dubuque, Lowa: Wm.C.
Brown Company.
Hergenhahn dan Olson, Matthew H (2008)
Theories Of Learning, Edisi Ketujuh.
Jakarta: Kencana.
Holbrook, Jack dan Rannikmae, Miia (2007)
The Nature of Science Education for
Enhancing Scientific Literacy.
Intenational Jurnal of Science
Education Vol 29, No 11, 3
September 2007, PP. 1347-1362
Liem, Tik L (2007) Asyiknya Meneliti Sains.
Jawa Barat: Pundak Scientific.
McComas, W.F. dan Olson, J.K. (1998). The
Nature of Science in International
Science Education Standards
Document. In W. F. McComas (Ed),
The Nature of Science in Science
Education. Dordrecht: Kluwer
Academic Publishers. (pp. 41-52)
NRC. (2000). Inquiry and The National
Science Education Standarts. A Guide
for Teaching ang Learning.
Washington DC: National Academic
Press
National Science Foundation/NSF (2004 )
Inquiry Thoughts, Views, and
Strategies for the K–5 Classroom.
Arlington: Division of Elementary,
Secondary, and Informal Education.
Smolska, Eva Krugly dan taylor, Peter C
92004) Inquiry in Science Education:
International Perspectives.
International Jurnal Of Science
Education.
Sulistyorini, Sri (2007) Pembelajaran IPA
Sekolah Dasar, Dan Penerapan
Dalam KTSP. Yogyakarta: Unnes dan
Tiara Wacana.
Tursinawati,. (2008). Penerapan pembelajaran
inkuiri terbimbing Untuk
meningkatkan penguasaan konsep
dan pemahaman hakikat sains siswa.
Bandung: UPI Press. [Tesis, tidak
diterbitkan]
Trihastuti, Singgih dan Rimy, Yoko
(2008) Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikandaerah Istimewa
Yogyakarta 2008 . Yogyakarta:
LPMP.
Widodo, Ari, dkk (2007) Pendidikan IPA Di
SD. Bandung: UPI Press.
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswa�
�
���
AMANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
PRAJABATAN PADA BKPP ACEH
Oleh
Sri Rezeki, Murniati, AR, Cut Zahri Harun
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi, dan hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan manajemen
pembelajaran diklat prajabatan pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan
Aceh. Penelitian ini mengunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, teknik
pengumpulan data adalah wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa:(1) Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran diklat prajabatan
dilakukan oleh tenaga pengajar sesuai kompetensi yang ditetapkan Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia; (2) Pelaksanaan pembelajaran diklat
prajabatan dilakukan oleh widyaiswara sesuai kompetensi yang ditetapkan Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia; (3) Evaluasi pembelajaran dilakukan untuk
mengetahui kemampuan peserta dalam penguasaan materi melalui ujian tertulis
setelah seluruh mata diklat dalam kurikulum diberikan; dan (4) Hambatan-hambatan
yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen pembelajaran diklat prajabatan adalah
kurangnya kemampuan pengelolaan pembelajaran secara efektif oleh widyaiswara,
kurangnya motivasi intrinsik peserta diklat, dan kurangnya pemantauan oleh
penyelenggara diklat.
Kata kunci :manajemen dan pembelajaran diklat
Sumber Daya Manusia (SDM) pada
hakekatnya merupakan pelaku utama dalam
proses pembangunan. Pemerintah sebagai
penggerak, pembimbing, pembina, dan
pencipta iklim yang dapat meningkatkan dan
menumbuh kembangkan semangat dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi guna memperteguh
akhlak mulia, kreatif, disiplin, bertanggung
jawab dalam mengembangkan kualitas
manusia. SDM merupakan unsur utama dalam
organisasi dan tidak terlepas dari proses
manajemen yakni strategi perencanaan,
pengembangan manajemen dan
pengembangan organisasi.
SDM merupakan kunci keberhasilan
organisasi, karena pada dasarnya SDM yang
merancang, memasang, mengoperasikan dan
memelihara sistem integral input, proses, dan
output (Nasution, 2006:27). Dalam organisasi
pemerintahan, Pegawai Negeri Sipil (PNS)
merupakan unsur utama SDM dan mempunyai
peranan dalam keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Menurut Lembaga Administrasi Negara
(2008:18) mengemukakan bahwa untuk
melaksanakan tugas pelayanan, sumber daya
aparatur dituntut memiliki kompetensi,
profesionalisme, wawasan global, dan mampu
berperan sebagai unsur perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kompetensi
sumber daya aparatur secara umum berarti
kemampuan dan karakteristik yang dimiliki
seorang PNS berupa pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan perilaku, yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya.
Kompetensi dapat ditingkatkan melalui
pendidikan dan pelatihan (diklat). Diklat
merupakan proses pembelajaran yang
melibatkan perolehan keahlian, konsep,
peraturan dan sikap untuk meningkatkan
kinerja dengan hakekat meningkatkan kualitas
produktivitas, mengurangi waktu belajar
formal, dan pengembangan kepribadian
mereka.
Smith (Nawawi, 2005:99) memperkuat
tentang manfaat pelatihan sebagai berikut: (a)
pelatihan dan pengembangan memiliki potensi
untuk meningkatkan produktivitas tenaga
kerja, (b) pelatihan dan pengembangan dapat
memperbaiki kualitas output dan seseorang
yang lebih terlatih tidak hanya lebih kompeten
terhadap pekerjaannya tetapi juga lebih peka
terhadap tindakannya, dan (c) pelatihan dan
pengembangan memperbaiki kemampuan
organisasi untuk menghadapi perubahan,
kesuksesan implementasi perubahan apakah
Sri Rezeki adalah Magister Administrasi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Murniati, AR dan Cut Zahri Harun adalah Dosen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
���
�
� � �
bersifat teknik atau strategi tergantung pada
keterampilan dari SDM dalam organisasi itu.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan
Jabatan Pegawai Negeri Sipil, antara lain
ditetapkan jenis-jenis pendidikan dan
pelatihan PNS. Salah satu jenis diklat adalah
diklat prajabatan golongan III yang merupakan
syarat pengangkatan Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) untuk menjadi PNS golongan
III.
Diklat prajabatan golongan III
dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan
dalam rangka pembentukan wawasan
kebangsaan, kepribadian dan etika PNS.
Disamping pengetahuan dasar tentang sistem
penyelenggaraan pemerintah Negara, bidang
tugas dan budaya organisasinya agar mampu
melaksanakan tugas dan peranannya sebagai
pelayan masyarakat. Berdasarkan uraian di
atas, penulis ingin mengkaji masalah ini secara
mendalam, dengan membuat sebuah penelitian
tentang ”Manajemen Pembelajaran Pendidikan
dan Pelatihan Prajabatan pada Badan
Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Aceh.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah
manajemen pembelajaran pendidikan dan
pelatihan prajabatan pada Badan Kepegawaian
Pendidikan dan Pelatihan Aceh?.
Teori Pendukung
Menurut Usman (2009:5)
mengemukakan bahwa manajemen berasal
dari bahasa latin yaitu dari kata manus yang
berarti tangan dan agere yang berarti
melakukan. Penggabungan kata-kata tersebut
menjadi kata kerja manager yang berarti
menangani managere diterjemahkan dalam
bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to
manage dengan kata benda management dan
manajer untuk orang yang melakukan kegiatan
manajemen. Akhirnya management
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
menjadi manajemen atau pengelolaan. Sagala
(2009:54) menyatakan bahwa administrasi dan
manajemen pendidikan adalah mencakup
semua kegiatan yang dijalankan oleh institusi
pendidikan, khususnya satuan pendidikan pada
berbagai tingkatan dan fungsi tugasnya dalam
rangka mencapai tujuan.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa
manajemen sama dengan administrasi.
Manajemen merupakan serangkaian kegiatan
atau proses yang sumber daya yang tidak
berhubungan ke dalam keseluruhan sistem
untuk pencapaian tujuan. Manajemen sebagai
kekuatan mutlak yang dibutuhkan oleh
organisasi atau lembaga yang membutuhkan
SDM dengan sumber daya fisik, termasuk
lembaga pendidikan atau sekolah. Organisasi
adalah wadah aktivitas manajemen
(Syafaruddin dan Nasution, 2005:71).
Hasibuan (2005:5) menyatakan salah
satu pengertian manajemen bahwa manajemen
adalah suatu kumpulan pengetahuan yang
disistemasi, dikumpulkan dan diterima
menurut pengertian kebenaran universal
mengenai manajer.
Berdasarkan pengertian tersebut,
manajemen adalah sebuah proses yang
dilakukan oleh seseorang atau bersama-sama
dengan memanfaatkan orang lain beserta
fungsi-fungsinya secara berkesinambungan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Suwardi (2007:1) menyatakan bahwa
manajemen pembelajaran sendiri dapat
diartikan sebagai usaha untuk mengelola
sumber daya yang digunakan dalam
pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran
dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam
tinjauan Siswanto (2008:73), bahwa
manajemen SDM dapat diartikan sebagai
kegiatan perencanaan, pengadaan,
pengembangan, pemeliharaan dan penggunaan
SDM dalam upaya mencapai tujuan
individual maupun organisasional. Adapun
pelatihan adalah proses pembelajaran yang
melibatkan perolehan keahlian, konsep,
peraturan, atau sikap untuk meningkatkan
kinerja karyawan. Perencanaan adalah usaha
sadar yang dilakukan yang terorganisir dan
terus menerus dilakukan untuk memilih
alternatif yang baik yang bermanfaat dalam
pencapaian tujuan pembelajaran.
Perencanaan dikatakan berhasil jika
kegiatan yang telah dirumuskan dapat
terlaksana sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Jadi perencanaan pembelajaran
menentukan sesuatu yang harus dilaksanakan
dan cara melakukannya, sehingga
pelaksanaannya sesuai dengan rencana. Fattah
(2006:49) menyatakan bahwa perencanaan
merupakan tindakan menetapkan apa yang
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
���
�
� � �
akan dikerjakan, bagaimana mengerjakan, apa
yang harus dikerjakan dan siapa yang
mengerjakannya.
Dengan demikian, perencanaan sangat
penting dilakukan agar tujuan yang telah
ditetapkan dapat berjalan sebagaimana
mestinya, dapat diarahkan menuju arah yang
lebih baik dan berpengaruh terhadap
pelaksanaannya yang baik pula.
Dalam pelaksanaan pembelajaran
widyaiswara sangat berperan dalam
pencapaian tujuan pembelajaran, menciptakan
kegiatan belajar yang efektif sehingga harus
dirumuskan tahap perencanaan, pelaksanaan
pembelajaran dan evaluasi yang tepat dalam
pembelajaran. Widyaiswara hendaknya
memahami hal-hal yang berhubungan dengan
pembelajaran yaitu dengan membuat
GBPP/SAP, menetapkan kegiatan belajar
mengajar yang harus dilakukan, menetapkan
alat penilaian untuk mengukur keberhasilan
pembelajaran.
Widyaiswara harus kreatif dalam
memotivasi dan menciptakan atmosfir kelas
yang kondusif untuk mendorong peserta agar
secara sadar memaksa dirinya menggunakan
kemampuan verbalnya untuk bertanya dan
menjawab pertanyaan. Widyaiswara juga
harus memberikan penguatan kepada peserta
dengan memberikan pujian apabila bertanya
dan menjawab pertanyaan. Keaktifan peserta
diklat dalam kegiatan pembelajaran sangat
tergantung dari pemanfaatan potensi yang
mereka miliki. Karenanya keaktifan peserta
dalam menjalani proses belajar mengajar
merupakan salah satu kunci keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaan.
Peserta diklat akan aktif dalam kegiatan
pembelajaran bila ada motivasi, baik
motivasi ekstrinsik maupun instrinsik.
Berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan
terdapat beberapa pendapat, Purwanto
(2006:7) mengartikan bahwa pendidikan
sebagai usaha sadar untuk mempersiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran bagi peranan dimasa mendatang.
Sedangkan pelatihan adalah usaha sadar
untuk memperbaiki kinerja pegawai pada
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya
(Nawawi, 2005:51). Dalam tinjauan Hamalik
(2005:10), konsep sistem pelatihan secara
operasional adalah proses yang meliputi
serangkaian tindakan yang dilaksanakan
dengan sengaja dalam bentuk pemberian
bantuan kepada tenaga kerja yang dilakukan
oleh tenaga profesional dalam waktu tertentu
bertujuan meningkatkan kemampuan kerja
guna meningkatkan efektivitas, produktivitas
dalam suatu organisasi. Sehingga dapat
dipahami bahwa dalam pelatihan terdapat
unsur, proses-proses yang disengaja dalam
rangka pemberian bantuan kepada peserta
diklat yang dilakukan oleh fasilitator yang
profesional dalam satuan waktu tertentu
bertujuan meningkatkan kemampuan tenaga
kerja.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, hal ini karena bentuk penelitian ini
mempunyai ciri-ciri penting, diantaranya
peneliti merupakan instrumen kunci, data
bersifat deskriptif, menitik beratkan pada
proses, analisis data bersifat induktif dan
pemaknaan setiap kejadian dengan perhatian
yang esensial.
Menurut Creswell (Emzir:2007:27)
bahwa pendekatan kualitatif adalah suatu
proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi dengan
menyelidiki suatu fenomena sosial dan
masalah manusia.
Selanjutnya Sukardi (2005:15)
menyatakan bahwa penelitian deskriptif
merupakan metode penelitian yang berusaha
menggambarkan obyek atau subyek yang
diteliti sesuai dengan apa adanya dengan
tujuan menggambarkan secara sistematis
fakta dan karakteristik obyek yang di teliti
secara tepat.
Penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Moleong, 2007:3).
Subjek dalam penelitian ini adalah
ketua penyelenggara diklat, sekretaris, dan
peserta diklat pra jabatan golongan III.
Selanjutnya ada beberapa orang subjek
tambahan yang tidak disebutkan sebagai
trianggulasi data antara lain petugas
ruangan, petugas pengamanan kegiatan
diklat, dan staf administrasi. Penetapan subjek
penelitian ini dipilih karena keterlibatan
mereka secara langsung dalam manajemen
pembelajaran diklat pra jabatan.
Sri Rezeki, Murniati, Ar, Cut Zahri Harun, Manajemen Pembelajaran Pendidikan
���
�
� � �
Moleong (2005:65) mengemukakan
bahwa subjek penelitian pada penelitian
kualitatif adalah sampel bertujuan artinya
menjaring informasi dari berbagai macam
sumber dan bentuknya sehingga dapat dirinci
kekhususan yang ada dalam konteks yang
unik. Dalam menemukan data yang benar
tentang manajemen pembelajaran pendidikan
dan pelatihan prajabatan pada BKPP Aceh,
peneliti mengunakan teknik pengumpulan
data melalui: observasi, wawancara dan
studi dokumentasi.
Selanjutnya untuk menganilisis data
yang telah dikumpulkan sejak awal penelitian
sampai akhir penelitian dengan teknik
reduksi data, penyajian data dan kesimpulan.
Hasil Penelitian
Perencanaan Pembelajaran Diklat
Prajabatan pada BKPP Aceh Hasil penelitian membuktikan bahwa
perencanaan pembelajaran diklat prajabatan
pada BKPP Aceh berpedoman pada
kurikulum dan silabus yang telah ditetapkan
Kepala LAN-RI Nomor 18 Tahun 2010.
Dalam kurikulum pembelajaran tersebut
memuat analisis materi pembelajaran yang
memuat tentang standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator dan materi pokok.
Selanjutnya hasil penelitian
membuktikan bahwa widyaiswara diberikan
kesempatan untuk menyiapkan GBPP/SAP,
bahan ajar, dan bahan tayang serta seluruh
perangkat pembelajaran yang diperlukan
sesuai dengan kurikulum yang mencakup
kompetensi dasar, materi pokok, pengalaman
belajar, target pendidikan, penilaian, alokasi
waktu dan sumber belajar.
Bersadarkan wawancara dengan
penyelenggara diklat dapat diketahui bahwa
untuk menunjuk tenaga widyaiswara yang
akan mengajar pada diklat prajabatan
kompetensi yang harus dimiliki widyaiswara
pada pembelajaran diklat prajabatan golongan
III diantaranya memahami dan mampu
membimbing peserta agar memiliki komitmen
dan integritas moral serta tanggung jawab
profesi sebagai PNS, memahami dan
membimbing peserta untuk menegakkan
disiplin dan memiliki etos kerja.
Dari hasil observasi penelian
membuktikan bahwa semua widyaiswara yang
mengajar terlebih dahulu mempersiapkan
GBPP/SAP, bahan ajar, dan bahan tayang
sehingga dengan adanya perencanaan tersebut
widyaiswara lebih mudah dan terarah dalam
mengajar dan mencapai tujuan pembelajaran.
Perencanaan yang baik akan memberikan
pengaruh terhadap proses belajar mengajar.
Pelaksanaan Pembelajaran Diklat
Prajabatan pada BKPP Aceh
Untuk memperoleh data terhadap
pelaksanaan pembelajaran diklat prajabatan
peneliti telah melakukan pengamatan terhadap
pelaksanaan pembelajaran. Adapun
pendekatan yang dilakukan adalah andragogi
dan menggunakan metode ceramah yang
dikombinasikan dengan tanya jawab, diskusi
dan simulasi (role playing).
Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi di lapangan widyaiswara
menggunakan metode mengajar, media,
sarana dan prasarana pembelajaran meskipun
masih terbatas namun berdasarkan
wawancara dengan peserta, widyaiswara
kurang kreatif dalam menciptakan tmosfir
kelas yang menarik sehingga proses
kominikasi tidak optimal.
Dari hasil observasi penelitian
membuktikan bahwa pelaksanaan
pembelajaran dimulai dengan membuka
pembelajaran dan melakukan evaluasi awal
pembelajaran untuk mengetahui kemampuan
peserta. Terdapat sebagian widyaiswara yang
kurang memperhatikan penggunaan waktu
sehingga penyampaian materi tidak terstruktur
dengan baik. Sebenarnya hal ini bukan
disebabkan karena ketidakmampuan
widyaiswara dalam menggelola materi
pembelajaran, namun disebabkan karena
kurangnya pengelolaan waktu.
Evaluasi Pembelajaran Diklat Prajabatan
pada BKPP Aceh
Hasil penelitian memuktikan bahwa
sebagian besar widyaiswara melakukan
evaluasi pembelajaran saat pertama kali
memasuki ruangan. Penilaian tersebut dalam
bentuk pertanyaan tentang masalah yang sudah
diajarkan ataupun wawasan lainnya yang
berhubungan dengan materi diklat. Evaluasi
juga dilakukan pada saat diklat berlangsung
untuk mengetahui sejauh mana pemaham,an
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
���
�
� � �
peserta terhadap materi yang sedang
disampaikan.
Hasil penelitian juga membuktikan
bahwa evaluasi yang dilakukan dalam
pembelajaran diklat prajabatan adalah
penilaian berbasis kelas yang didasarkan pada
prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian
berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten
sebagai akuntabilitas publik.
Hal ini berarti penilaian berbasis kelas
harus dilakukan secara terus menerus selama
proses belajar mengajar sehingga sistem
penilaian tidak hanya didasarkan pada hasil
ujian semata, tetapi juga didasarkan pada
proses pembelajarannya.
Hambatan dalam Pelaksanaan Manajemen
Pembelajaran Diklat Prajabatan pada
BKPP Aceh Hasil penelitian membuktikan bahwa
terdapat berbagai hambatan sehingga target
pembelajaran tidak tercapai secara optimal.
Beberapa masalah yang dihadapi widyaiswara.
Terbatasnya kemampuan widyaiswara dalam
mengembangkan GBPP/SAP sehingga masih
banyak widyaiswara yang mengadopsi dari
widyaiswara lainnya untuk digunakan dalam
mengajar.
Namun secara umum widyaiswra yang
menjadi subjek penelitian ini sudah
melakukan sesuai dengan petunjuk. yaitu
mengembangkan GBPP/SAP berdasarkan
ketentuan LAN-RI. Untuk terlaksananya
perencanaan pembelajaran dengan baik,
widyaiswara harus aktif mengembangkan
potensi dirinya baik melalui diskusi dengan
teman sejawat, dan mengikuti pelatihan.
Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan
oleh Suwardi (2007:6) bahwa upaya
membangun hubungan yang baik dan luas
dapat dilakukan dengan membina jaringan
kerjasama atau networking untuk membantu
meningkatkan kinerja sesama pengajar sebagai
suatu profesi. Perencanaan pembelajaran
sangat menentukan suksesnya pembelajaran
karena itu widyaiswara sangat dituntut agar
dapat meningkatkan dan mengembangkan diri
secara professional.
PEMBAHASAN
Perencanaan Pembelajaran Diklat
Prajabatan pada BKPP Aceh
Perencanaan pembelajaran merupakan
kegiatan persiapan yang harus dilaksanakan
oleh widyaiswara dan merupakan langkah
awal dari suatu kegiatan pembelajaran.
Langkah pertama yang dilakukan widyaiswara
adalah menelaah kurikulum dan silabus yang
telah ditetapkan agar dapat dijabarkan
dalam GBPP/SAP. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kesesuaian bahan ajar dan bahan
tayang dengan kurikulum yang berlaku.
Perencanaan pembelajaran diklat
prajabatan telah sesuai dengan tujuannya yaitu,
untuk memberi perbekalan kepada PNS untuk
memahami lebih lanjut tentang tanggung
jawab dan fungsinya dalam lingkungan
kerjanya. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor
18 Tahun 2010 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
Prajabatan yang mengemukankan bahwa salah
satu tujuan pembelajaran diklat prajabatan
adalah untuk dapat membentuk sosok PNS
yang mampu menjadi perekat persatuan dan
kesatuan bangsa, maka diklat prajabatan
tersebut mengarah kepada upaya peningkatan:
(a) sikap dan semangat pengabdian yang
berorientasi pada kepentingan masyarakat,
bangsa, Negara, dan tanah air, (b) kompetensi
teknis, manajerial dan kepemimpinan, (c) efe-
siensi dan efektifitas, dan (d) kualitas
pelaksanaan tugas yang dilakukan dengan
semangat, kerjasama dan tanggung jawab
sesuai dengan lingkungan kerja dan organisasi.
Berkaitan dengan perencanaan
pembelajaran yang menjadi tanggung jawab
widyaiswara terdapat beberapa hal yang
berkaitan dengan perencanaan bahan pelajaran
diantaranya harus menyusun GBPP/SAP,
bahan ajar dan bahan tayang.
Hamalik (2005:80) menyatakan bahwa
penyusunan program pembelajaran yang
efektif membutuhkan pengkajian (analisis)
yang cermat. Pada dasarnya, penggunaan
analisis merupakan bentuk penerapan
pendekatan sistem yang disebut sistem
analisis.
Sri Rezeki, Murniati, Ar, Cut Zahri Harun, Manajemen Pembelajaran Pendidikan
���
�
� � �
Pelaksanaan Pembelajaran Diklat
Prajabatan pada BKPP Aceh
Dalam pelaksanaan pembelajaran
widyaiswara merupakan fasilitator dan dituntut
untuk memfasilitasi proses belajar mengajar
sesuai dengan pendekatan orang dewasa
sehingga diperlukan kemampuan
berkomunikasi secara efektif, pengelolaan
kelas menyenangkan dan mengembangkan
metode pembelajaran yang sesuai.
Pelaksanaan pembelajaran hendaknya
dilaksanakan secara terstruktur dan diawasi
agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan
tujuan pembelajaran. Pengawasan tersebut
turut membantu kegiatan belajar secara
optimal dan merangsang peserta untuk belajar.
Salah satu faktor yang mendukung
kondisi belajar dalam diklat kemampuan
widyaiswara memberikan motivasi
pembelajaran selama proses belajar yang
dilakukan. Dalam proses belajar mengajar
terjadi komunikasi langsung dari widyaiswara
dan peserta secara timbal balik. Kedua belah
pihak berperan dan berbuat secara aktif dalam
kerangka kerja dengan menggunakan cara dan
kerangka berpikir yang disepakati dan
dipahami bersama.
Dengan demikian kriteria keberhasilan
dari rangkaian keseluruhan proses interaksi
belajar mengajar tersebut hendaknya dapat
dilihat pada perubahan-perubahan yang
diharapkan terjadi pada perilaku dan pribadi
peserta diklat. Selama proses pembelajaran
berlangsung, yang menjadi inti aktivitas belajar
adalah terciptanya komunikasi pembelajaran
yang efektif yang mencakup asas kejelasan
pesan, asas konsistensi, asas ketepatan waktu,
asas distribusi pesan, dan asas pesan yang
menarik dan mudah dipahami.
Dengan memperhatikan asas-asas
tersebut pelaksanaan pembelajaran menjadi
lebih bermakna. Pelaksanaan pembelajaran
dikatakan berhasil apabila peserta diklat
mengalami perubahan-perubahan signifikan
setelah menjalani proses belajar. Perubahan
tersebut meliputi tahapan pengetahuan,
keterampilan dan perilaku sebagaimana yang
diharapkan.
Sebagai pemberi motivasi, hendaknya
widyaiswara mengembangkan sikap percaya
diri dan mencoba menemukan apa yang
peserta biasa lakukan. Widyaiswara dituntut
untuk menumbuhkan keberanian peserta diklat
untuk bertanya dan menjawab pertanyaan.
Karena itu perlu dibiasakan keberanian
dalam pengambilan keputusan, bertanya dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta
diklat. Widyaiswara juga harus kreatif dalam
menciptakan atmosfir kelas yang kondusif un-
tuk mendorong peserta agar secara sadar
memaksa dirinya menggunakan kemampuan
verbal untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan.
Keaktifan peserta diklat dalam kegiatan
pembelajaran sangat tergantung dari
kemampuan widyaiswara dalam pemanfaatan
potensi yang mereka miliki, karenanya perlu
senantiasa memberikan motivasi pembelajaran
pada peserta.
Beberapa hal yang dapat merangsang
tumbuhnya motivasi belajar peserta diklat
sebagaimana yang tercantum dalam (LAN,
2008:32) antara lain: (a) penampilan
widyaiswara yang hangat dan menumbuhkan
partisipasi positif, (b) peserta diklat
mengetahui maksud dan tujuan pembelajaran,
(c) tersedianya fasilitas, media, sumber belajar,
dan lingkungan belajar yang mendukung
kegiatan pembelajaran, (d) adanya prinsip
pengakuan penuh atas pribadi setiap peserta
diklat, (e) adanya konsistensi dalam penerapan
aturan atau perlakuan oleh widyaiswara dalam
pembelajaran, dan (f) adanya pemberian
reinforcement atau penguatan dalam proses
pembelajaran.
Evaluasi Pembelajaran Diklat Prajabatan
pada BKPP Aceh
Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang
merupakan kewajiban bagi setiap tenaga
pengajar. Dikatakan kewajiban karena setiap
widyaiswara pada akhirnya harus dapat
memberikan informasi kepada lembaga dan
kepada peserta sendiri, bagaimana dan sampai
dimana penguasaan dan kemampuan yang
telah dicapai tentang materi tertentu yang telah
dipelajarinya.
Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian,
karena penilaian merupakan proses
menetapkan kualitas hasil belajar atau proses
untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan
pembelajaran oleh peserta didik. Mengingat
kompleksnya proses penilaian, widyaiswara
dituntut untuk menguasai pengetahuan,
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
��
�
� � �
ketrampilan, dan sikap yang memadai tentang
penilaian itu sendiri.
Evaluasi bukan akhir dari pembelajaran,
tetapi merupakan proses kontinu untuk
membantu peserta dalam rangka pencapaian
tujuan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran
diklat prajabatan yang diterapkan oleh
widyaiswara dan penyelenggara pada BKPP
Aceh meliputi aspek penguasaan materi yang
dilaksanakan secara tertulis. Indikator
penguasaan tersebut adalah angka yang
dihasilkan dari jawaban peserta dalam ujian
tertulis, yang dilakukan setelah seluruh mata
diklat dalam kurikulum diberikan.
Tujuan evaluasi pembelajaran adalah
untuk mendapatkan data pembuktian yang
akan menunjukkan sampai di mana tingkat
kemampuan dan keberhasilan peserta didik
dalam pencapaian tujuan-tujuan kurikulum. Di
samping itu dapat digunakan untuk mengukur
dan menilai sampai di mana tingkat
keefektifan pengalaman belajar, kegiatan-
kegiatan belajar, dan metode mengajar yang
digunakan.
Dengan demikian, dapat dikatakan
betapa penting peranan dan fungsi evaluasi
proses pembelajaran. Dalam melaksanakan
penilaian tenga pengajar dituntut untuk
membuat laporan tentang hasil penilaiannya
tentang kemajuan pembelajaran peserta.
Sehubungan dengan deskripsi hasil
evaluasi belajar, Syafaruddin dan Nasution
(2005:139) menjabarkan fungsi-fungsi
evaluasi hasil belajar tersebut antara lain
sebagai berikut: (a) untuk diagnostik dan
pengembangan, penggunaan hasil dari
kegiatan evaluasi hasil belajar sebagai dasar
diagnosis kelemahan dan keunggulan peserta
didik dan sebab-sebabnya. Diagnosis inilah
yang dapat dilakukan guru terhadap
pengembangan kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar, (b) untuk seleksi,
hasil dari kegiatan evaluasi belajar seringkali
digunakan sebagai dasar untuk menentukan
siswa-siswa yang paling cocok untuk jenis
jabatan atau jenis pendidikan tertentu karena
hasil dari evaluasi ini bertujuan untuk seleksi,
(c) untuk kenaikan kelas, menentukan apakah
seorang siswa dapat dinaikkan ke kelas yang
lebih tinggi atau tidak, memerlukan informasi
yang dapat mendukung keputusan yang dibuat
guru, dan (d) untuk penempatan, agar siswa
dapat berkembang sesuai dengan tingkat
kemampuan dan potensi yang mereka miliki,
maka perlu dipikirkan ketepatan penempatan
siswa pada kelompok yang sesuai.
Selain dari fungsi tersebut di atas,
evaluasi juga berfungsi sebagai wacana psi-
kologis yang sangat signifikan bagi peserta
diklat dan fasilitator. Bagi peserta diklat,
penilaian merupakan alat bantu untuk
mengatasi kekurangan dan kelemahan dalam
menilai kemampuan dan kemajuan dirinya
sendiri.
Bagi fasilitator, evaluasi menjadi
kebutuhan untuk mengidektifikasi hasil usaha
dan tanggungjawabnya dalam
mengembangkan potensi belajar peserta diklat.
Pengetahuan seperti ini dapat menimbulkan se-
mangat pada widyaiswara dalam menentukan
langkah pendidikan lanjutan bagi peserta
diklat.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa
fasilitator yang berhasil dalam pembelajaran
tidak saja mampu menyampaikan materi,
menggunakan metode dan media dengan baik,
tetapi juga harus didukung oleh kegiatan
evaluasi yang tepat.
Sebab dari hasil evaluasi itulah dapat
diketahui kemampuan fasilitator dan peserta
diklat dalam proses pembelajaran. Pada saat
merumuskan alat penilaian juga harus melihat
tingkat kesulitan soal yang dibuat oleh
trainer diklat.
Dengan demikian evaluasi yang
diterapkan dapat dimulai dengan perencanaan
evaluasi yang dikembangkan dan dirancang
oleh fasilitator diklat, pelaksanaan evaluasi
yang sesuai dengan perencanaan, selanjutnya
melakukan analisis dari hasil pelaksanaan
penilaian, dan pemanfaatan hasil evaluasi
untuk kepentingan tindak lanjut program
pembelajaran yang berkesinambungan.
Hambatan dalam Pelaksanaan Manajemen
Pembelajaran Diklat Prajabatan pada
BKPP Aceh
Widyaiswara merupakan faktor penting
dalam pelaksanaan pembelajaran karena
kemampuannya sangat mempengaruhi proses
pembelajaran. Sebagai tenaga pengajar
Widyaiswara mempunyai ruang lingkup
tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk
mendidik, mengajar dan/atau melatih PNS
pada lembaga diklat pemerintah.
Sri Rezeki, Murniati, Ar, Cut Zahri Harun, Manajemen Pembelajaran Pendidikan
���
�
� � �
Artinya, selain pada peserta pelatihan itu
sendiri, keberhasilan peserta pelatihan dalam
menyerap, mengerti dan memahami materi
yang disampaikan dalam sebuah kegiatan
pelatihan sebagian besar terletak pada
widyaiswara.
Bila dilihat dari aspek tenaga pengajar,
maka kendala yang dihadapi BKPP Aceh
mencakup aspek-aspek berikut: (a) rendahnya
kompetensi widyaiswara dalam pengelolaan
pembelajaran diklat secara efektif, (b)
kurangnya waktu yang tersedia untuk
menanamkan kompetensi-kompetensi yang
diharapkan dari peserta diklat, (c) kurangnya
keterlibatan peserta diklat dalam proses belajar
sehingga pembelajaran tidak optimal, dan (d)
kurangnya kemampuan widyaiswara dalam
melakukan evaluasi awal pembelajaran
sehingga tidak mengetahui kemampuan kelas.
Dari aspek peserta diklat, kendala yang
dihadapi BKPP Aceh mencakup komponen
berikut, yaitu kurangnya motivasi intrinsik
peserta diklat untuk mendalami materi
pembelajaran sehingga pembelajaran yang
diajarkan hanya untuk melengkapi syarat
sebagai PNS saja. Deskripsi tersebut
merupakan hambatan yang harus dipenuhi
oleh penyelenggara diklat dan widyaiswara
dalam perannya sebagai tenaga pegajar yang
mampu membangkitkan motivasi belajar para
peserta diklat.
Dalam proses belajar, motivasi sangat
diperlukan, sebab seseorang yang tidak
mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan
mungkin melakukan aktivitas belajar. Hal ini
merupakan pertanda bahwa sesuatu yang
dikerjakan itu tidak menyentuh kebutuhannya.
Sedangkan pada aspek pengelola diklat,
kendala dihadapi BKPP Aceh mencakup
aspek-aspek penyediaan sarana dan prasarana
pembelajaran, yaitu: (a) modul pembelajaran,
(b) LCD/projector (c) white board dan flip
chart (d) jaringan komputer dan internet (e)
tehnologi multimedia.
Pelaksanaan manajemen pembelajaran
tidak akan berjalan maksimal apabila tidak
memiliki fasilitas pembelajaran yang
memadai. Pengelolaan sarana dan prasarana
pendidikan merupakan kegiatan yang amat
penting, karena keberadaannya akan sangat
mendukung suksesnya proses pembelajaran.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Mulyasa (2007:49), bahwa sarana pendidikan
adalah peralatan dan perlengkapan yang secara
langsung dipergunakan dan menunjang proses
pendidikan, khususunya proses belajar men-
gajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi,
serta alat-alat dan media pengajaran.
Adapun yang dimaksud dengan
prasarana pendidikan adalah fasilitas yang
secara tidak langsung menunjang jalannya
proses pendidikan atau pengajaran, seperti
halaman, kebun, taman, sekolah, jalan menuju
sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara
langsung untuk proses belajar mengajar,
seperti taman sekolah islami untuk pengajaran
biologi, halaman sekolah sekaligus lapangan
olah raga, komponen tersebut merupakan
sarana pendidikan.
Diperlukan pemahaman akan pentingnya
manajemen sarana dan prasarana pendidikan
pada setiap lembaga pendidikan dan pelatihan.
Deskripsi di atas semakin mempertebal
pemahaman kita akan pentingnya
pemahaman manajemen sarana dan
prasarana pendidikan di setiap lembaga
pendidikan dan pelatihan.
Dalam pengelolaan bidang manajemen
sarana dan prasarana pendidikan khususnya,
faktor penting dalam memajukan lembaga
pendidikan dan pelatihan dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan adalah
tersedianya sarana dan prasarana pendidikan
yang sejajar dan sesuai kebutuhan.
Dalam pengelolaan bidang manajemen
sarana dan prasarana pendidikan khususnya,
faktor penting dalam memajukan lembaga
pendidikan dan pelatihan dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan adalah
tersedianya sarana dan prasarana pendidikan
yang sejajar dan sesuai kebutuhan. Bila hal ini
dipenuhi oleh masing pengelola administrasi
setiap lembaga diklat tentunya
penyelenggaraan proses belajar mengajar akan
dapat terlaksana dengan baik dan
menyenangkan. Di samping itu, manajemen
sarana dan prasarana pendidikan di sekolah
berkaitan erat dengan aktivitas-aktivitas
perencanaan, pengadaan, pendistribusian,
penggunaan, perawatan, inventarisasi, serta
penghapusan.
Hal ini menunjukkan bahwa perlunya
suatu proses dan keahlian seorang
penyelenggara dalam kegiatan pengelolaan
dan tindakan preventif yang tepat terhadap
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
��
�
� � �
masing-masing fasilitas yang dimiliki terhadap
sarana dan prasarana.
Kesimpulan
Dari hasil temuan penelitian, ada
beberapa hal yang dapat penulis simpulkan,
yaitu:
1. Perencanaan pembelajaran diklat
prajabatan pada BKPP Aceh dilakukan
dengan penyusunan kurikulum seluruh
mata pembelajaran diklat prajabatan yang
dilakukan oleh widyaiswara sesuai
dengan jenis komponen pembelajaran,
dan relevansi bahan ajar yang dikemas
dalam format RPP pembelajaran sesuai
dengan konsentrasinya masing-masing
kelompok kerja widyaiswara.
2. Pelaksanaan pembelajaran diklat
prajabatan pada BKPP Aceh dilakukan
dengan: (a) membuat GBPP/SAP, (b)
menetapkan kegiatan belajar dengan
peserta diklat, dan (c) menetapkan alat
penilaian untuk mengukur keberhasilan
pengajaran.
3. Adapun dalam proses belajar mengajar
dilakukan dengan pendekatan interaksi
dengan peserta diklat, sedangkan
widyaiswara hanya berperan sebagai
fasilitator pembelajaran sehingga
menimbulkan nuansa pembelajaran yang
aktif.
4. Evaluasi pembelajaran diklat prajabatan
pada BKPP Aceh dilakukan dalam bentuk
tiga aspek antara lain: (a) evaluasi
program pembelajaran diklat yang
diajarkan, (b) evaluasi proses
pembelajaran diklat yang diajarkan, dan
(c) evaluasi hasil pembelajaran diklat.
5. Hambatan dalam pelaksanaan manajemen
pembelajaran diklat prajabatan pada
BKPP Aceh antara lain dipengaruhi oleh
aspek tenaga pengajar, peserta diklat, dan
pengelola diklat
Saran
Adapun saran-saran yang diajukan
adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan pembelajaran diklat
prajabatan hendaknya disiapkan dengan
baik agar pelaksanaan pembelajaran yang
meliputi tujuan pembelajaran, materi,
interaksi belajar mengajar, media dan
sumber belajar, bentuk dan teknik
evaluasi dapat berjalan dengan lancar.
2. Dalam pelaksanaan pembelajaran,
widyaiswara diharapkan dapat mengelola
pembelajaran, memodifikasi metode
pembelajaran dengan lebih bervariasi
sehingga peserta diklat terlibat langsung
dalam proses pembelajaran.
3. Evaluasi pembelajaran diklat memberi
banyak manfaat bagi peserta diklat, untuk
itu penyelenggara diharapkan dapat
menyampaikan hasil evaluasi secara
akurat kepada peserta diklat sehingga
dapat mengetahui kompetensi yang harus
ditingkatkan individu masing-masing.
4. Untuk menanggulangi hambatan dan
permasalahan manajemen pembelajaran
diklat prajabatan, diperlukan leader
komitmen dan kerjasama tim dengan
tanggung jawab yang tinggi secara terus
menerus.
Daftar Pustaka
Emzir. (2007). Metode Penelitian Pendidikan
Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta:Raja
Grafindo Persada.
Fatah, Nanang. (2006). Landasan Manajemen
Pendidikan. Bandung:Remaja Rosda-
karya.
Hamalik, Oemar. (2005). Proses Belajar
Mengajar. Bandung:Bumi Aksara.
Hasibuan, J.J. (2005). Proses Belajar
Mengajar, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Lembaga Administrasi Negara. (2008). Modul
Diklat:Analisis Kebutuhan Diklat,
Jakarta:Tim Lembaga Administrasi
Negara Republik Indonesia.
Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja
Rosdakarya.
-------------, (2007). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2007). Manajemen Berbasis
Sekolah, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Sri Rezeki, Murniati, Ar, Cut Zahri Harun, Manajemen Pembelajaran Pendidikan
��
�
� � �
Nasution. (2006). Kurikulum dan Pengajaran,
Jakarta:Bina Aksara.
Nawawi, Hadari. (2005). Administrasi
Personel Untuk Peningkatan
Produktivitas Kerja, Jakarta:Haji
Intermedia.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000
tentang Pendidikan dan Pelatihan
Jabatan PNS.
Purwanto, Ngalim. (2006). Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sagala, Syaiful. (2009). Kemampuan
Profesional Guru dan Tenaga
Kependidikan, Bandung:Alfabeta.
Siswanto, H. B. (2008). Pengantar
Manajemen, Jakarta:Bina Aksara.
Sukardi, Dewa Ketut. (2005). Bimbingan dan
Penyuluhan Belajar di Sekolah.
Surabaya: Usaha Nasional.
Suwardi. (2007). Manajemen Pembelajaran:
Mencipta Guru Kreatif dan
Berkompetensi, Jakarta:Temprina
Media Grafika.
Syafaruddin dan Irwan Nasution, (2005).
Manajemen Pembelajaran,
Jakarta:Quantum Teaching.
Usman, Husaini. (2009). Manajemen:Teori,
Praktek, dan Riset Pendidikan,
Jakarta:Bumi Aksara.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
���
�
�
MANAJEMEN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB BERBASIS TEKNOLOGI
INFORMASI (T.I) PADA JURUSAN BAHASA ARAB FAKULTAS
TARBIYAHIAIN AR-RANIRY BANDA ACEH
Oleh
Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman
Abstrak: Dalam era globalisasi dan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(T.I.K) yang bergerak begitu cepat, mengharuskan semua sistem dan tatanan pendidikan
untuk menyesuaikan diri baik, visi, misi, tujuan serta strateginya demi tercapainya
pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Salah satunya dengan melaksanakan
pengelolaan pembelajaran bahasa arab berbasis Teknologi Informasi pada Jurusan
Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah angket wawancara dan observasi dokumentasi. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa para dosen bahasa Arab pada jurusan bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang mengajar di kelas ternyata belum
seluruhnya membuat perencanaan pembelajaran berupa Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
dengan baik dan benar dalam ketikan Microsoft Word bahasa Arab. Dalam pelaksanaan
pembelajaran menunjukkan bahwa dalam membuka pelajaran, menjelaskan materi
perkuliahan, kebanyakan para dosen bahasa Arab sudah mampu dan mahir dalam
melaksanakannya dengan baik terutama dalam menyiapkan alat-alat pendukung
pembelajaran seperti leptop, flashdisk, infokus, dan layanan wifi internet online. Hasil
penelitian melalui observasi mengenai penilaian perkuliahan mahasiswa pada jurusan
bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh belum baik. Hasil
wawancara dengan salah seorang dosen pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah
IAIN AR-Raniry Banda Aceh yaitu Bapak Marzun R menunjukkan bahwa belum
semuanya berupaya meningkatkan evaluasi dalam pembelajaran di ruang belajar, karena
penilaian yang dilakukan adalah penilaian proses dan produk.
Kata Kunci : Manajemen Pembelajaran, Bahasa Arab, dan Teknologi Informasi (T.I)
Sejalan dengan perkembangan zaman
di era globalisasi serta kemajuan dibidang
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat
pesat, khususnya dalam bidang pendidikan,
maka pembaharuan dalam lembaga
pendidikan harus segera dilakukan, demi
terciptanya pendidikan yang terarah, bermutu
dan berkualitas. Untuk menghasilkan
pendidikan yang berkualitas, diperlukan
manajemen yang baik dan terarah yang dapat
mendukung tercapainya tujuan pendidikan.
Pasca pengesahan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tersebut terjadi
perubahan besar dalam konteks pengelolaan
proses pendidikan di Indonesia. Dalam
undang-undang tersebut tidak lagi dikenal
istilah pengajaran, namun menggunakan
istilah pembelajaran. Pada konsep
pengajaran akan memunculkan kondisi
teacher center. Sedangkan pada konsep
pembelajaran dosen lebih bersifat fasilitator
yang membuat siswa belajar sendiri. Pada
konsep ini pula sangat mungkin dan relevan
terwujudnya student center. Maka salah satu
komponen penting dalam meningkatkan
mutu dan kualitas pendidikan di era
globalisasi ini adalah dengan melaksanakan
pengelolaan proses pembelajaran
(manajemen pembelajaran) dengan dukungan
berbagai fasilitas Teknologi Informasi (T.I)
dan multimedia pembelajaran, sehingga
pembelajaran menjadi lebih terbuka, kreatif,
efektif dan dinamis, yang akhirnya kita bisa
merapatkan barisan untuk sejajar dalam
globalisasi dunia pendidikan nasional bahkan
Internasional.
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam
penerapan pembelajaran berbasis Teknologi
Informasi dan multimedia oleh para dosen di
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh masih banyak
ditemui kendala, terutama yang berkaitan
dengan Sumber Daya Manusia (SDM)
maupun kelengkapan sarana dan
prasarananya, dan untuk mengatasi kendala-
kendala tersebut, tentu menjadi suatu
keharusan bagi para dosen dan akademisi
pendidikan melakukan perencanaan dan
Zulkhairi adalah Magister Administrasi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Djailani. AR, dan Nasir Usman Harun adalah Dosen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
���
�
�
pengaturan yang matang tentang
pemanfaatan fasilitas Teknologi Informasi
dan Komunikasi (T.I.K) dalam proses
pembelajaran.
Berdasarkan permasalahan di atas,
maka yang menjadi fokus dalam rumusan
penelitian ini adalah “Bagaimanakah
profesionalitas para dosen dalam
melaksanakan pengelolaan pembelajaran
bahasa Arab dengan menggunakan alat-alat
(hardware dan software) Teknologi
Informasi (T.I) pada Jurusan Bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh?
Landasan Teori
Kata manajemen berasal dari bahasa
Prancis “ménagement” yang memiliki arti
seni melaksanakan dan mengatur. Bahasa
Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa
Inggris menjadi “management” yang
memiliki arti seni melaksanakan dan
mengatur. Sedangkan menurut Siswanto
(2006:3) memberikan batasan manajemen
sebagai berikut; “Manajemen adalah seni dan
ilmu dalam perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pemotivasian dan pengendalian
terhadap orang dan mekanisme kerja untuk
mencapai tujuan”.
Menurut Widjaja (2002:6) bahwa
fungsi-fungsi atau bagian-bagian proses
manajemen terdiri dari : (1) perencanaan, (2)
pengorganisasian, (3) pengarahan, (4)
pengendalian. Sedangkan menurut Siagian
(2005:32) berpendapat bahwa: Pada dasarnya
para ilmuwan telah sepakat tentang fungsi-
fungsi manajerial dapat digolongkan dalam
dua jenis utama, yaitu fungsi organik dan
fungsi penunjang, fungsi-fungsi organik
tersebut merupakan penjabaran
kebijaksanaan dasar atau strategi organisasi
yang harus digunakan dalam bertindak,
diantara klasifikasi fungsi-fungsi organik
manajemen yaitu; Perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan,
pengawasan dan penilaian. Sedangkan fungsi
penunjang adalah meliputi berbagai kegiatan
yang diselenggarakan oleh satuan kerja
dalam organisasi dan dimaksudkan
mendukung semua fungsi organik para
manajer.
Kata “pembelajaran” sengaja dipakai
sebagai padanan kata “instruction” dari kata
bahasa Inggris, kata instruction atau
pembelajaran mempunyai pengertian yang
lebih luas dari pada kata “pengajaran”, jika
kata pengajaran ada dalam konteks dosen-
murid dikelas (ruang) formal, akan tetapi
pembelajaran atau instruction mencakup
pula kegiatan belajar mengajar yang tidak
dihadiri dosen secara fisik, oleh karena dalam
instruction yang ditekankan adalah proses
belajar, maka usaha-usaha yang terencana
dalam memanipulasi sumber-sumber belajar
agar terjadi proses belajar dalam diri siswa,
yang kita sebut dengan pembelajaran
(Sadiman dkk. 2008:7).
Sebagaimana dikemukakan oleh Wina
Sanjaya (2008:78) kata pembelajaran adalah
terjemahan dari “instruction” yang banyak
dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika
Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh
Psikologi Kognitif-Holistik yang
menempatkan siswa atau mahasiswa sebagai
sumber dari kegiatan.
Pembelajaran dapat didefinisikan
sebagai suatu proses kegiatan atau
perubahan lewat reaksi dari suatu situasi
yang dihadapi. Sebagaimana ungkapan
Hilgard dan Bower dalam Bonoma (1987:6)
yaitu :“Learning is the process by wich an
activity originates or is changed through
reacting to an encountered situation” Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa
pembelajaran terjadi ketika anda berubah
karena suatu kejadian dan perubahan yang
tejadi bukan secara alami seperti menjadi
dewasa dengan sendirinya, akan tetapi lebih
karena reaksi dari situasi yang dihadapi
(Jogiyanto, 2006:12).
Metode Penelitian Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan menggunakan pendekatan bersifat
analisis deskriptif. Pendekatan yang bersifat
analisis deskriptif adalah sebuah bentuk
pengumpulan data secara kaya dari suatu
fenomena yang ada untuk dianalisis,
sehingga diperoleh gambaran terhadap apa
yang sudah diteliti. data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, gambar, dokumen, serta
tingkah laku. Selain itu peneliti bermaksud
memahami situasi sosial secara mendalam,
menemukan pola, hipotesis dan teori
(Sugiyono 2006:399). Selain alasan tersebut,
peneliti juga mempunyai beberapa
pertimbangan-pertimbangan.
Pertama, menyesuaikan metode
kualitatif lebih mudah apabila berhadapan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
���
�
�
dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini
menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dan responden.
Ketiga, metode ini lebih peka dan dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman
pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai
yang dihadapi (Moleong 2004:10).
Dalam penelitin ini, lokasi yang
peneliti pilih adalah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh.
Mengenai waktu dan masa penelitian dimulai
pada awal bulan mei tahun 2010 dan pada
waktu itu peneliti sedang melakukan
perbaikan proposal penelitian hingga selesai
penelitian.
Dalam penelitian ini yang menjadi
instrumen penelitian adalah para dosen
bahasa Arab yang masi aktif sebagai staf
pengajar tetap pada jurusan bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh, yang berjumlah 10 orang dosen.
Penentuan subjek penelitian tersebut
berpedoman pada pendapat arikunto
(2001:154), yaitu sampel yang diambil dalam
sebuah penelitian jika populasinya kurang
dari 100, maka lebih baik diambil
seluruhnya, sehingga penelitiannya
merupakan penelitian populasi. Apabila
populasinya lebih besar dari 100 maka dapat
diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih.
Adapun teknik-teknik yang digunakan
adalah sebagai berikut : (1) Metode
Observasi. Metode observasi dilakukan
dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung terhadap fenomena yang akan
diteliti. Dimana dilakukan pengamatan atau
pemusatan perhatian terhadap obyek dengan
menggunakan seluruh alat indera. Jadi
mengobservasi dapat dilakukan melalui
penglihatan, penciuman, pendengaran dan
pengecap (Arikunto, 1997:204). (2) Metode
Wawancara. Wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu. Teknik Wawancara
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara terstruktur dengan menggunakan
alat bantu yaitu pedoman wawancara.
(3) Metode Dokumentasi. Dokumentasi yaitu
teknik yang digunakan untuk mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda, dan
sebagainya (Arikunto, 1997:206). Metode ini
digunakan untuk memperoleh data mengenai
perangkat pembelajaran para dosen, daftar
nama-nama mahasiswa, daftar nama-nama
dosen pangkat serta golongannya maupun
bidang keahlian yang dimilikinya.
Analisis data hasil penelitian ini
dilakukan secara induktif dan dilakukan
secara terus menerus, kegiatan ini dilakukan
mulai sejak pengumpulan data dan dikerjakan
lagi sesudah meninggalkan lapangan tempat
penelitian. Analisa data ini dilakukan oleh
peneliti dengan mengikuti proses analisis
data kualitatif interaktif, sebagaimana
dikemukakan oleh Milles dan Huberman
dalam Rachman (1999:20) bahwa metode
analisis interaksi dimana komponen reduksi
data dan sajian data dilakukan bersamaan
dengan proses pengumpulan data.
Hasil Penelitian Berdasarkan temuan dilapangan, dari
hasil observasi, data hasil wawancara dengan
ketua jurusan bahasa Arab dan masing-
masing dosen pengajar bahasa Arab di IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh. Peneliti paparkan
secara lengkap dan rinci sesuai fakta yang
ada pada Jurusan bahasa Arab Fakultas
Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
sebagaimana berikut ini:
1. Gambaran Umum lokasi Penelitian Sebagaimana dengan permasalahan di
atas, penelitian ini dilaksanakan pada jurusan
bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-
Raniry Banda Aceh, termasuk Dekan
Fakultas Tarbiyah, ketua jurusan bahasa Arab
beserta para dosen pada jurusan bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh. Fakultas Tarbiyah yang dulunya
terletak di sebelah barat kantor biro Rektor
kemudian karena musibah tsunami maka
untuk sementara proses pembelajaran di
kampus terutama Fakultas Tarbiyah
dipindahkan ke lokasi Gedung Universitas
Iskandar Muda (UNIDA) di Surin arah dekat
monumen kapal PLTD apung yang diterjang
ombak tsunami beberapa tahun lalu.
a. Profil IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Ar-Raniry Banda Aceh adalah sebuah
lembaga pendidikan Islam resmi yang ada di
Aceh yang terletak di kota Banda Aceh
tepatnya di komplek mahasiswa Darussalam
dibawah naungan Kementerian Agama
Republik Indonesia. Adapun struktur
organisasinya dipimpin oleh seorang rektor
yaitu Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA
masa Periode 2009 sampai dengan sekarang.
Adapun pembantu rektor I yaitu Prof. Dr.
Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi
���
�
�
Amirul Hadi MA, dengan berbagai bidang
dan seksi masing-masing. IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh terdiri dari fakultas-fakultas,
diantaranya Fakultas Syari’ah, Fakultas
Tarbiyah, Fakultas adab (sastra), Fakultas
Ushuluddin dan Fakultas Dakwah.
Penelitian ini dilakukan pada Fakultas
Tarbiyah yang dipimpin oleh seorang dekan
yaitu Bapak DR. Muhibbuthabry, M.Ag,
yang didalamnya terdapat program studi atau
jurusan-jurusan, diantanya; jurusan
pendidikan bahasa Inggris, jurusan
pendidikan bahasa Arab, jurusan pendidikan
Fisika, jurusan pendidikan Biologi, jurusan
pendidikan matematika, jurusan pendidikan
kimia. Adapun tempat penelitian ini
berlangsung pada jurusan bahasa Arab yang
dipimpin oleh seorang Ketua Jurusan
(KAJUR) yaitu Bapak Drs. Suhaimi, M.Ag
beserta para dosen.
b. Kualifikasi Tingkat Pendidikan Dosen
Jurusan Bahasa Arab
Berdasarkan hasil observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi jumlah
diperoleh data sebagaimana paparan berikut
ini: (1) Suhaimi, Drs. M.Ag, dimana jenjang
pendidikannya adalah Strata dua (S2), (2)
Azwir, MMLS, jenjang pendidikannya
adalah Strata dua (S2), (3)Bukhari Muslim,
M.Ag. Dr. Jenjang pendidikannya adalah
Strata Tiga (S3), (4) Wardi A.Wahab, Drs.
M.Ag. jenjang pendidikan adalah Strata Dua
(S2). (5) Muakhir, MA dengan jenjang
pendidikannya Strata Dua (S2), (6) Qusaiyen,
M, Ag dengan jenjang pendidikannya Strata
Dua (S2), (7) Jamaluddin, MA dengan
jenjang pendidikannya Strata Dua (S2), (8)
Hilmi, M.Ed dengan jenjang pendidikannya
Strata Dua (S2), (9) Tarmizi, Ninoersy, MA
dengan jenjang pendidikannya Strata Dua
(S2) dan (10) Marzun R, Drs. M.Ag, jenjang
pendidikannya adalah S2.
2. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa
Arab Berbasis Teknologi Informasi Peneliti telah melakukan pengamatan
terhadap pelaksanaan pembelajaran bahasa
Arab pada jurusan bahasa Arab yang
dilakukan di ruang kelas gedung Lantai I, dan
lantai II komplek kampus Universitas
Iskandar Muda yang terletak di kawasan
Surin sebagaimana gambaran berikut:
a) Membuka Pembelajaran
Hasil penelitian observasi
menunjukkan bahwa dalam membuka
pelajaran, kebanyakan para dosen bahasa
Arab sudah mampu dan mahir dalam
melaksanakannya dengan baik terutama
dalam menyiapkan alat-alat pendukung
pembelajaran seperti leptop, flashdisk,
infokus, dan layanan wifi internet online. Ada
sebahagian dosen yang masih kurang mampu
membuka pelajaran dengan fasilitas
Teknologi Informasi (T.I) langsung menulis
di papan tulis (whiteboard) tema dari isi mata
kuliah yang akan di ajarkan serta tidak
memotivasi mahasiswa dengan pertanyaan-
pertanyaan.
b) Menjelaskan Materi Kuliah
Hasil penelitian berdasarkan
observasi pada jurusan bahasa Arab Fakultas
Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
diperoleh data bahwa kegiatan yang
dilakukan oleh para dosen dalam proses
pembelajaran untuk penyampaian materi
perkuliahan meliputi menulis isi materi
kuliah yang akan dipelajari dan
menjelaskannya, dan ada juga dosen yang
memaparkannya melalui leptop, infokus dan
proyektor atau dinding kelas, lalu
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta
para mahasiswa memperhatikan dan
menanggapi jawaban temannya,
mengarahkan mahasiswa bekerja dalam
kelompok, memberi bimbingan kepada
mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam
memahami materi perkuliahan.
3. Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab
berbasis Teknologi Informasi (T.I) Hasil penelitian melalui observasi
mengenai penilaian belajar mahasiswa pada
jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh belum baik. Upaya
dosen dalam menentukan keberhasilan
mahasiswa terbatas pada hasil test yang biasa
dilakukan secara tertulis. Sasaran penilaian
hanya terbatas untuk mengetahui kemampuan
peserta didik mengisi soal yang biasa keluar
dalam test.
Dosen belum memiliki keterampilan
yang cukup dalam mendemonstrasikan alat -
alat Teknologi Informasi (T.I) seperti leptop,
flashdisk, proyektor, infokus, sarana wifi
kampus yang dapat memotivasi mahasiswa
untuk belajar lebih giat dan bersemangat, dan
juga tidak adanya fasilitas kampus yang
lengkap dalam menunjang belajar siswa
dengan menggunakan komputer atau leptop
berbahasa Arab atau minimal memiliki
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
���
�
�
program Mikrosoft Word bahasa Arab.
4. Hambatan Pembelajaran Bahasa Arab
berbasis Teknologi Informasi (T.I)
Hasil wawancara dengan dosen
bahasa Arab jurusan bahasa Arab Fakultas
Tarbiyah IAIN AR-Raniry Banda Aceh
menunjukkan bahwa hanya sebahagian dosen
saja yang melengkapi langkah langkah
pembelajaran bahasa Arab dengan baik dan
menyampaikannya dengan menggunakan
media atau alat-alat Teknologi Informasi
(T.I),.
Pembahasan Pembahasan yang diuraikan disini
mengenai manajemen pembelajaran bahasa
Arab berbasis Teknologi Informasi pada
jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh. (a) Perencanaan
Pembelajaran Bahasa Arab berbasis
Teknologi Informasi (T.I). Hasil penelitian
menunjukkan, bahwa upaya dosen bahasa
Arab jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang mengajar
masih menggunakan pembelajaran manual
dan kurang membuat perencanaan
pembelajaran dengan fasilitas dan alat-alat
Teknologi Informasi (T.I) seperti; Komputer,
leptop, flashdisk, sarana wifi. Berikut ini ada
beberapa langkah pembelajaran yang
dikeluarkan oleh badan Standar Nasional
(BSNP). (b) Pelaksanaan Pembelajaran
Bahasa Arab berbasis Teknologi Informasi
(T.I) Berdasarkan observasi, dokumentasi
dan wawancara menunjukkan bahwa dosen
bahasa Arab pada jurusan bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh masih kurang mampu melaksanakan
pembelajaran atau perkuliahan dengan baik,
karena terlihat dosen mengalami kesulitan
dalam hal sebagai berikut; (1) Belum
dikomunukasikannya tujuan dan kegiatan
perkuliahan yang akan dilakukan kepada
mahasiswa secara jelas. (2) Belum dipahami
dan digunakannya media dan alat-alat
Teknologi Informasi (T.I) dalam pelaksanaan
perkuliahan. (3) Pada akhir kegiatan inti
dosen tidak melakukan pembahasan maupun
mengarahkan mahasiswa untuk selalu
memanfaatkan alat-alat Teknologi Informasi
(T.I) dalam pembelajaran baik di kampus
maupun diluar kampus.
Hal ini bertentangan dengan
pendekatan konstuktivisme yang terdapat
dalam kurikulum, 2004 (KBK) dan KTSP
bahwa dosen atau dosen seharusnya memberi
kesempatan kepada peserta didik atau
mahasiswanya untuk membangun sendiri
pengetahuannya dengan bantuan dosen
terhadap suatu masalah secara realistis.
Proses mengkonstruksi materi perkuliahan
yang dialami peserta didik perlu dipahami
oleh dosen tersebut. Oleh karena itu dosen
seyogyanya harus mampu mengupayakan
proses rekonstruksi ini sedernikian bagus
sehingga peserta didik dapat belajar dengan
pendekatan konstruktivisme.
Dalam penyampaian bahan ajar,
dosen seharusnya mampu meningkatkan
pemahaman dan keterampilannya dalam
mengembangkan materi perkuliahan yang
terkait dengan tema. Kemampuan dosen
dalam mengembangkan materi perkuliahan
ini erat hubungannya dengan pernillihan tema
yang menarik sehingga menjadi fokus
mahasiswa dalam proses pelaksanaan
pembelajaran. Pemilihan tema yang dekat
dengan diri dan lingkungan mahasiswa
sangat membantu dosen dalam
mengembangkan materi perkuliahan.
Tindakan seperti ini, dari hasil penelitian
yang dilakukan pada jurusan bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh, ternyata dilakukan oleh sebahagian
besar para dosen.
Pelaksanaan perkuliahan yang
belum baik oleh sebahagian dosen pada
jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh ternyata juga terkait
dengan penguasaan materi perkuliahan yang
belum baik pada sebagian dosen. Hal ini
ditunjukkan oleh prilaku tertentu misalnya
teknik penyampaian materi perkuliahan yang
monoton, dosen lebih banyak duduk dikursi
membaca dan memerintahkan peserta didik
membuka buku paketnya masing-masing
untuk membuat tugas. Perilaku dosen yang
demikian dapat menyebabkan hilangnya
kepercayaan peserta didik sehingga akan sulit
mengendalikan ruangan belajar dengan baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dosen bahasa Arab pada jurusan bahasa Arab
Fakultas tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh menunjukkan sebahagian dosen yang
mampu membuka pembelajaran dengan baik.
Sebelum pelajaran dimulai dosen berusaha
menarik perhatian mahasiswa dengan
berbagai cara, bertanya tentang pembelajaran
yang sudah pernah diajarkan atau
Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi
�
���
�
�
mengumpulkan tugas rumah, atau yang
lainnya. (2) Menjelaskan Materi Kuliah.Hasil
penelitian menunjukkan kemampuan dosen
bahasa Arab yang sebagian kecil belum baik
dalam menyampaikan atau menjelaskan
materi perkuliahan kepada mahasiswa.
Berdasarkan data hasil penelitian
terhadap program evaluasi yang dilakukan
oleh dosen bahasa Arab Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh ternyata semua
dosen melakukan evaluasi untuk menentukan
keberhasilan, belajar peserta didik terbatas
pada hasil test yang dilakukan secara tertulis.
Akibatnya sasaran pembelajaran hanya
terbatas pada kemampuan peserta, didik
untuk mengisi soal yang biasa keluar dalam
test. Seharusnya penilaian yang dilaksanakan
dosen juga mengcakup ulangan harian atau
ulangan setelah selesai pembelajaran
kompetensi dasar tertentu dengan istilah per-
KD, sedangkan ujian semester akhir
dilaksanakan setelah menyelesaikan sejumlah
KD yang telah ditetapkan pada semester
tersebut dan biasanya dilaksanakan pada
batas akhir waktu pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Selanjutnya dari temuan penelitian
dosen bahasa Arab jurusan bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh kurang memperhatikan penilaian proses
dan cenderung hanya melakukan penilaian
hasil saja. Padahal untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran, evaluasi sebaiknya
bukan dilakukan pada hasil belajar saja, akan
tetapi juga terhadap proses belajar karena
pada dasarnya penilaian merupakan salah
satu bagian yang terintegrasi dengan
pembelajaran. Dalam proses belajar yang
dinilai adalah bagaimana langkah-langkah
berpikir peserta didik dalam menyelesaikan
masalah pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sanjaya (2008:33): "Untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran,
evaluasi sebaiknya dilakukan bukan hanya
terhadap hasil belajar, akan tetapi juga proses
belajar".
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian saya
mengenai Manajemen Pembelajaran Bahasa
Arab Berbasis Teknologi Informasi (T.I)
pada Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, dapat saya
simpulkan sebagai berikut : (1) Manajemen
adalah suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan, usaha-usaha para anggota
organisasi dan penggunaan sumber daya-
sumber daya organisasi lainnya agar
rnencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. (2) Pelaksanaan pembelajaran
bahasa Arab jurusan bahasa Arab Fakultas
Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
menekankan pada dosen tentang penyusunan
silabus dan penyusunan Satuan Acara
Perkuliahan (SAP) dan penyampaian
pembelajaran di kelas. (3) Seorang dosen
maupun dosen harus memahami dan
mengerti tentang unsur-unsur serta
komponen proses pengelolaan pembelajaran
(manajemen pembelajaran) yang terdiri dari;
Perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengawasan beserta
evaluasinya dalam pengajaran baik
dilingkungan sekolah maupun diperguruan
tinggi. (4) Evaluasi dalam pembelajaran
bahasa Arab yang dilakukan pada jurusan
bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-
Raniry Banda Aceh adalah tes formatif dan
tes sumatif untuk mengukur tingkat kemajuan
peserta didik. (5) Hambatan yang dihadapi
oleh dosen bahasa Arab diantaranya
kurangnya pemahaman dosen tentang
Teknologi Informasi (T.I) yang berhubungan
dengan pembelajaran bahasa Arab.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan tentang “Manajemen
Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis
Teknologi Informasi (T.I) pada Jurusan
Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-
Raniry Banda Aceh” maka penulis
menyarankan sebagai berikut : (1) Kepada
para dosen bahasa arab pada Jurusan Bahasa
Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh, diharapkan untuk terus belajar
memahami tentang perangkat komputer serta
alat-alat multimedia pembelajaran lainnya
serta mengerti cara-cara penggunaannya,
sehingga para dosen-dosen bahasa arab lebih
maju dari segi keilmuan dalam bidang
Teknologi Informasi (T.I) dan multimedia
pendidikan. (2) Kepada pihak fakultas
disarankan untuk lebih memperbanyak
workshop, pelatihan serta bimbingan kepada
seluruh dosen di lingkungan kampus IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh di bidang penggunaan
Teknologi Informasi dan Multimedia dalam
pembelajaran. (3) Kepada pihak jurusan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
��
�
�
terutama ketua jurusan bahasa arab dan
sekretarisnya untuk lebih banyak lagi
mengarahkan para staff pengajarnya agar
selalu menggunakan dan memanfaatkan
media pembelajaran berbasis Informasi dan
Teknologi (Infotech) dalam tiap-tiap
pertemuan pembelajarannya agar suasana
proses belajar-mengajar lebih inovatif dan
aktif.
Daftar Kepustakaan Anonim, (2003). Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional No.20 Tahun
2003, Jakarta : Sinar Grafika , PT.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Edisi Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta.
Arsyad, Azhar. (2005). Media
Pembelajaran. Jakarta : Raja Grafindo
Persada, PT.
Away, Yuwaldi. (2008). Sistem Informasi
Manajemen Pendidikan. Modul Kuliah
Mhs. Program Studi. Administrasi
Pendidikan, UNSYIAH.
Bafadal Ibrahim, (2004). Dasar-Dasar
Manajemen dan Supervisi pada Taman
Kanak-Kanak, Jakarta : Bumi Aksara,
PT.
Djamarah Bahri Syaiful, Zein Aswan.
(2002). Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta : Asdi Mahasatya.
HM. Jogiyanto. (2006). Filosofi,
Pendekatan, dan Penerapan
Pembelajaran Metode Kasus.
Yogyakarta ; Andi, PT.
Hamalik, Oemar. (1989). Media Pendidikan,
Bandung : Citra Aditya Bakti, PT
Heriyanto Dwi. (2005). Belajar dan
Mengajar Bahasa Inggris dengan
Menggunakan Teknologi Modern.
Yogyakarta ; Pustaka Widyatama.
Lexy J Moleong (2007) Metode Penelitian
Kualitatif, Bandung : Remaja
Risdakarya, PT. (Edisi Revisi).
Miarso, Yusuf Hadi. (2005). Menyemai
Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta;
Prenada Media,
Murniati, A.R. (2008). Manajemen Stratejik,
Peran Kepala Sekolah dalam
Pemberdayaan. Bandung : Cita Pustaka
Media Perintis.
Moh. Gade (2005) “Kesiapan Dosen dalam
Pengimplementasian Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK, Tesis
(tidak diterbitkan).
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan; Sebuah Panduan
Praktis. Bandung : PT Remaja
Rosdakary
Munir, (2008). Kurikulum Berbasis
Teknologi Informasi dan Komunikasi,
Bandung : Alfabeta CV, Kerjasama
Sekolah Pascasarjana UPI.
Nasution, S. (2003). Metode Penelitian
Naturalistik Kualitatif. Bandung: PT.
Tarsito.
Oetomo, Dharma, Budi Oetomo. (2002). E-
Education, Konsep Teknologi dan
Aplikasi Internet Pendidikan.
Yoyakarta ; Andi, PT.
Rohani, Ahmad, H.M. (2004). Pengelolaan
Pengajaran. Jakarta : PT. Rineka Cipta,
PT.
Sanjaya, Wina. (2009). Perencanaan dan
Desain Sistem Perencanaan. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Simamora, L. (2003). Cakrawala Pendidikan
E-Learning : Konsep dan
Perkembangan Teknologi yang
Mendukung. Jakarta : U.T.
Siswanto H.B.(2005), Pengantar
Manajemen. Jakarta : Bumi Aksara.
Wena Made. (2009). Strategi Pembelajaran
Inovatif Kontemporer. Jakarta; Bumi
Aksara, PT.
W.Gulo. (2005). Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta : Gramedia PT.
Yamin, Martinis. H. (2009). Strategi
Pembelajaran berbasis Kompetensi.
Ciputat ; Gaung Persada Press
Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi
�
98
STRATEGI MENEBAK MAKNA KATA BERDASARKAN KONTEKS
DAN DAMPAKNYA PADA KEMAMPUAN READING DAN
PEMEROLEHAN KOSAKATA AKTIF DAN PASIF
Oleh
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia
Abstract: Konteks dapat membantu seseorang untuk memahami ide-ide di dalam teks,
sekaligus menambah kosakata. Penelitian ini ingin melihat apakah (1) strategi menebak
makna kata yang diaplikasikan pada kegiatan membaca akan mampu meningkatkan
kemampuan mahasiswa memahami teks?, dan (2)apakah makna kata yang diperoleh dengan
menggunakan strategi menebak berdasarkan konteks lebih dapat diingat (kosakata pasif) dan
digunakan dalam skil bahasa produktif (kosakata aktif) dibandingkan dengan kata-kata yang
diperoleh maknanya tanpa strategi menebak atau dengan strategi melihat kamus. Penelitian
merupakan sebuah eksperimen yang melibatkan dua kluster; eksperimen dan kontrol. Hasil
menunjukkan bahwa (1)tidak ada perbedaan signifikan antara kelas eksperimen dengan kelas
reading dalam kemampuan Reading comprehension setelah strategi diterapkan, namun (2)
kelas eksperimen dapat mengingat kata dengan lebih baik dan lebih banyak menggunakannya
dalam kalimat dibandingkan kelas kontrol.
Keywords: strategi menebak makna kata, konteks, teks, kamus, kosakata aktif , kosakata
pasif
Kemampuan menebak makna kata
merupakan sesuatu yang penting bagi seorang
pembelajar bahasa inggri karena dapat
meningkatkan kemampuan berfikir dan
kemampuan menghubungkan pada siswa
karena mereka mengaktifkan skil tersebut saat
menebak makna kata. Keingintahuan mereka
akan makna kata tersebut mendorong mereka
untuk menghubungkan kata tersebut dengan
konteks kalimat. Pada akhirnya, saat mereka
berhasil menebak dengan benar, mereka akan
lebih percaya diri untuk mencoba cara ini
dikesempatan yang lain.
Gu dan Johnson (1996) menyebutkan
bahwa pembelajaran kosakata bahasa kedua
(L2) meliputi strategi-strategi seperti
metakognitif, kognitif, memori dan aktifasi.
Kognitif strategi dalam taksonomi Gu dan
Johnson meliputi strategi menebak,
penggunaan kamus yang bijaksana dan strategi
mencatat (note-taking).
Kemampuan menebak kata adalah
penting bagi pembelajar bahasa Inggris pada
khususnya. Mikulecky and Jeffries (1996:49)
menyatakan bahwa strategi ini efektif karena:
1. Cepat dan pembaca tidak terganggu
kegiatan membacanya.
2. Membantu meningkatkan pemahaman
dalam membaca karena pembaca tetap
fokus pada isi bacaan yang sedang dibaca.
3. Membantu membangun kosakata karena
cenderung lebih mengingat kata yang
ditebak.
4. Membuat pembaca lebih menikmati
kegiatan membaca karena tidak perlu
berhenti sebentar-sebentar.
Qian menyatakan dalam jurnalnya
bahwa skil menebak makna kata (berdasarkan
konteks) adalah skil yang paling penting bagi
pembaca untuk mendapatkan kosakata baru.
Pendapat ini beralasan karena skil ini memang
sangat bermanfaat bagi para pembelajar
bahasa pada kondisi-kondisi seperti saat
mereka sedang mengikuti tes membaca
dimana kamus tidak boleh dipergunakan, atau
pada kondisi dimana kamus tida tersedia dan
tidak ada orang yang dapat ditanyai.
Dalam website English Online,
disebutkan bahwa:
“Yet when using the dictionary, students
have to learn to consider the context of
the word as the explanations in
dictionaries can be confusing. Students
should therefore learn strategies to guess
Septhia Irnanda, M.TESOL dan Muhammad Aulia, M.TESOL adalah Dosen Tetap Yayasan Serambi Mekkah
�
99
the meaning of a word before referring to
the dictionary. This will also encourage
them to use their thinking and linking
skills and making a good guess builds up
their confidence.”
“Namun saat menggunakan kamus,
siswa harus belajar mempertimbangkan
konteks dari kata karena penjelasan di dalam
kamus dapat saja membingungkan. Siswa
harus belajar strategi menebak mana kata
sebelum merujuk ke kamus. Cara ini akan
mendorong mereka untuk menggunakan skil
berpikir dan skil menghubungkan mereka dan
ketika mereka berhasil menebak dengan benar,
kepercayaan diri mereka dapat bertambah”
Jadi, skil menebak makna kata ini
dapat mengembangkan kemampuan siswa
dalam berpikir dan menghubungkan informasi
karena mereka mengaktifkan skil-skil ini saat
mereka mencoba menebak makna kata di
dalam teks. Keingintahuan mereka untuk
mengetahui makna kata mendorong mereka
untuk menghubungkan kata-kata dengan
konteks dalam kalimat. Pada akhirnya, ketika
mereka berhasil menebak, mereka akan
percaya diri untuk mencoba teknik yang sama
dikemudian hari.
Dalam website developing
teacher.com, McDonough and Shaw (2003)
menyatakan bahwa:
“Prediction is crucial in reading and to
become efficient readers our learners
need to develop this skill. Predicting will
allow them to react with the text by having
expectations and ideas about the purpose
of the text, as well as ideas about possible
outcomes. Predicting will help them
become selective about what is significant
and insignificant in the passage and how
to pick up the key words in reading, which
will ultimately lead to better fluency and
reading speed. It also leads the student to
become sensitive to contextual and extra-
textual clues in creating meaning.”
Singkatnya, memprediksi atau
menebak makna kata penting dalam kegiatan
membaca karena cara ini memiliki banyak
keuntungan bagi pembaca, khususnya
pembelajar bahasa asing yang sangat
bergantung pada kamus untuk meningkatkan
kosakatanya.
Tujuan daripada penelitian ini adalah
untuk mengetahui keefektifan strategi
menebak makna kata berdasarkan konteks
terhadap peningkatan kosakata mahasiswa
Pendidikan Bahasa Inggris Universitas
Serambi Mekkah Banda Aceh.
A. Contextual Guessing/ Berdasarkan
Konteks Teknik memperoleh makna kata sulit
didalam teks dengan cara melihat konteks
dikenal dengan contextual guessing atau
context identification atau penggunaan
petunjuk konteks (Qian, 2005:4). Konteks
memainkan peran penting dalam
pengidentifikasian kata-kata di dalam teks
(Gough dikutip dari Dycus 1997). Rapaport
(2001:1) menyatakan bahwa pemerolehan
kokata melalui ‘konteks’ adalah pemerolehan
kata yang aktif dan bersengaja dengan cara
menarik pemahaman dari petunjuk-petunjuk
tekstual dan pengetahuan yang sudah dimilki
termasuk kemampuan dan hipotesis tetang
bahasa, tanpa bantuan eksternal seperti dari
orang lain ataupun kamus.
Memiliki kemampuan menganalisa
konteks adalah salah satu persyaratan dalam
membaca kritis. Kontekstualisasi adalah
sebuah strategi membaca kritis yang
memungkinkan pembelajar bahasa membuat
kesimpulan tentang pemilihan konteks
historical maupun cultural untuk melihat
perbedaan antara konteks didalam teks dengan
konteks yang kita miliki (Axelrod, 1996:432).
B. Context Clues / Konteks sebagai
Petunjuk Kustaryo (1988:23) menyatakan bahwa
“kata-kata yang terisolasi seringkali tidak
memberikan makna yang berarti. Kata-kata
memiliki makna yang berbeda tergantung pada
konteks. Contohnya kata banks, makna
sebenarnya ditentukan oleh penggunaannya.
She placed all her money in the bank. (a
place to deposit money)
The river bank overflowed from the
storm. (the earth sides of a river)
A plane appeared out of the fog, banked,
and stopped. (to tilt and cause to turn)
Dengan kata lain, sebuah kata akan
menunjukkan makna sebenarnya ketika
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
100
diletakkan didalam kalimat. Inilah yang
disebut makna secara konteks.
Penelitian telah menunjukkan konteks
dapat memberikan pengaruh yang besar pada
perbendaharaan kata pembelajar (Stahl, 1999).
Belajar kosakata melalui konteks dipercaya
lebih baik daripada belajar kosakata dengan
mengahapal urutan kata dan maknanya (list
learning). Pertama karena konteks
memberikan ruang yang lebih besar untuk
menghubung-hubungkan materi pembelajaran
sehingga dapat lebih bermakna. Kedua,
konteks menyediakan sebuah situasi yang
mirip dengan situasi belajar langsung
(discovery learning). Menurut Qian (2005:15),
petunjuk konteks memiliki beberapa kegunaan
di dalam membaca:
1. Petunjuk dari konteks dapat membantu
pembaca mendapatkan cara baca dan
makna dari kata yang tidak diketahui
didalam teks.
2. Petunjuk dari konteks juga dapat
membantu dalam menentukan penekanan
(accentuation) dari kata-kata yang mirip
namun dalam konteks yang berbeda, atau
penggunaan dalam tata bahasa yang
berbeda juga akan mempengaruhi makna.
3. Konteks memberikan petunjuk dari makna
kata-kata yang bervariasi berdasarkan
subjek area yang digunakan.
a) Mengidentifikasi Hubungan-Hubungan
Didalam Konteks Setiap teks memiliki kohesi leksikal
atau hubungan yang mengikat setiap kata-kata
di dalamnya menjadi sebuah kesatuan.
Hubungan itu antara lain ditunjukkan dengan
adanya pronoun atau kata ganti, sinonim,
antonym, kata hubung maupun sekedar
pengulangan (restatement/repetition). Berikut
adalah ilustrasi hubungan leksikal yang oleh
Henry (2004).
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Petunjuk Kontekstual
Clue Word & Definition Sentence
Synonym or
Restatement
Monition – warning
of impending
danger.
Tabloid newspapers must love to print the monitions of
Nostradamus. It seems every other week his warnings of
impending danger are on the front page.
Antonym or
Contrast
Ignoble – not
having high moral
character.
To be a thief is to be ignoble. If one were a thief, having a
strong moral character would not be important.
Example Altruistic -
unselfish
Many wealthy people take up altruistic causes; for instance,
Princess Diana worked to help people with AIDS, the poor,
and the victims of land mines.
General Sense
of Passage
Elevations –
heights
A climber must think about the harmful impact high
mountain elevations can have on her body.
1. Synonyms atau Restatement Sebuah sisnonim adalah dua atau
lebih kata-kata yang memiliki makna yang
sama atau mirip (Hancock 1995:19). Saat
seorang penulis menggunakan sebuah istilah
yang sulit, mereka seringkali menggunakan
juga sebuah sinonim untuk kata tersebut untuk
membuat makna menjadi lebih jelas.
Contoh:
The old man was cantankerous. He was
ill-tempered, mean and extremely
quarrelsome.
Restatement atau pengulangan juga
merupakan penyebutan kata yang sama dalam
cara yang berbeda, biasanya dengan
penjelasan yang lebih sederhana (Hancock,
1995:19).
Contoh:
Polygamy, the practice of having many
mates, is unlawful, in the United States.
2. Antonym atau Contrast Antonim adalah sebuah kata yang
memilki makna yang berlawanan. Sebuah
makna yang berlawanan yang diletakkan
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia, Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks
101
dalam sebuah konteks akan memberikan
petunjuk kontras kepada makna kata yang
tidak diketahui. Kata hubung seperti
‘walaupun’, ‘tetapi’ dan ‘namun’ menjadi
sinyal hubungan kontras ini.
Contoh:
The sea lion is a cumbersome animal on
land, but in the water it is one of the most
graceful
3. Example Cara lain memberi petunjuk kepada
pembaca dalam menemukan makna kata sulit
adalah dengan menggunakan contoh. Seorang
penulis dapat memberikan satu atau lebih
contoh. Contoh-contoh ini tidaklah sama
dengan sinonim. Kata-kata mengindikasi
seperti, ‘ such as’, ‘including’, dan ‘consists
of’. Tanda baca seperti colon (:) dan dash (-)
juga dapat menjadi petunjuk pemberian
contoh/example.
Contoh:
The river was full of noxious materials
such as cleaning agents from factories and
pesticides from the nearby farms.
4. General sense of Passage Menurut perpesktif Dycus (1997:2),
konteks bukanlah sesuatu yang absolut ada
didalam teks, namun kadang kala diciptakan
sendiri oleh si pembaca. Dengan kata lain,
pembaca memiliki kontribusi dalam
membangun makna dari sbuah kata di dalam
konteks.
Contoh:
The cat springs on the rat.
Kata ‘spring’ dalam kalimat diatas
dapat ditebak maknanya karena kita dapat
membangun makna berdasarkan logika umum
dari kalimat tersebut. Kucing biasanya, dalam
konteks nyata kehidupan, melakukan sesuatu
yang menyakiti tikus. Jadi, kita telah
menyempitkan makna dari spring disini;
bahwa maknanya pastilah suatu aksi yang
bernilai negatif.
Beberapa ahli menganggap jenis
petunjuk ini petunjuk yang dating dari
pembaca sehingga mereka
mengelompokkannya ke dalam pengetahuan
awal atau prior knowledge.
C. Pemerolehan kosakata secara
kontekstual/Contextual Vocabulary
Acquisition (CVA) CVA adalah salah satu cara untuk
meningkatkan perbendaharaan kata. Rapaport
(2000) mendefinisikannya sebagai
pemerolehan kosakata secara sengaja maupun
tidak sengaja dengan cara melakukakan proses
reasoning terhadap petunjuk-petunjuk
kontekstual, pengetahuan awal,tanpa bantuan
eksternal seperti kamus atau orang lain.
Dibawah akan diilustrasikan proses
pemerolehan kata melalui CVA:
What does ‘brachet’ mean?
There came a white hart running into
the hall with a white brachet next to him,
and thirty couples of black hounds came
running after them. As the hart went by
the sideboard, the white brachet bit him.
The knight arose, took up the brachet and
rode away with the brachet. A lady came
in and cried aloud to King Arthur, “Sire,
the brachet is mine”. There was the white
brachet which bayed at him fast. The hart
lay dead; a brachet was biting on his
throat, and other hounds came behind.
(Adopted from: Rapaport: 2000)
Paragraf diatas menceritakan tentang
sesuatu bernama ‘brachet’. Sebelum membaca,
seorang pembaca tidak mengetahui arti kata
‘brachet’. Namun setiap kalimat dianalisa
dengan mendalam dengan memperhatikan
konteks dan menggunakan pengetahuan awal
yang sudah dimiliknya (prior knowledge),
sehingga makna kata ‘brachet’ bisa diketahui.
Berikut adalah analisa dari kalimat pertama:
There came a white hart running into the
hall with a white brachet next to him, and
thirty couples of black hounds came
running after them.
Pembaca akan berpikir bahwa
‘brachet’ pastilah sebuah objek fisik karena
hanya objek fisiklah yang bisa memiliki
warna. Tapi pembaca belum dapat memastikan
objek fisik apakah ‘brachet’ itu. Apakah benda
hidup atau benda mati. Untuk itu dianalisa
kalimat kedua,
As the hart went by the sideboard, the
white brachet bit him.
Pada kalimat diatas pembaca
menemukan petunjuk lain tentang ‘brachet’
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
102
bahwa ternyata ‘brachet’ bisa menggigit.
Menggunakan logika, dapatlah diasumsikan
sementara bahwa ‘brachet’ adalah seekor
hewan. Karena yang biasanya menggigit
adalah hewan.
The knight arose, took up the brachet and
rode away with the brachet.
Pada tahap ini, pembaca
mendapatkan inforasi lain lagi tentang
‘brachet’, bahwa ternyata ia dapat diambil dan
dibawa (took up, rode away with), kesimpulan
yang bisa diambil adalah bahwa ‘brachet’
adalah binatang yang ukurannya lebih kecil
dari manusia sehingga bisa dibawa.
A lady came in and cried aloud to King
Arthur, “Sire, the brachet is mine”.
Kalimat terakhir member petunjuk
lain yang dapat pembaca tambahkan dan
asosiasikan pada informasi-informasi yang
terdahulu. Potongan kalimat “brachet is
mine” menunjukkan bahwa binatang ‘brachet’
ini dapat dimiliki. Menggunakan pengetahuna
kita tentang budaya (cultural knowledge),
dapat disimpulkan bahwa binatang yang dapt
dimiliki adalah binatang peliharaan dan
bukanlah binatang buas atau liar.
There was the white brachet which bayed
at him fast
Kata ‘bay’ adalah sinonim kata ‘bark’
yang berarti menggonggong. Hewan
peliharaan yang menggonggong adalah anjing.
Sekarang, pembaca telah mendaptakan
gambaran yang cukup jelas tentang ‘brachet’
yang pastilah seekor anjing atau sejenis anjing.
The hart lay dead; a brachet was biting
on his throat, and other hounds came
behind.
Pada kalimat terakhir, diperlukan
prior knowledge tentang pola atau aturan
dalam bahasa inggris dimana :
X and the other Y
X is a Y
Luisa is and the other girls
Luisa is a girl
A brachet is…. And the other hounds
brachet is a hound
Hound adalah kata benda untuk hunt
yang bermana ‘memburu’. Maka dapat
diasumsikan bahwa hound berarti pemburu.
Maka pebaca mendapatkan ide bahwa
‘brachet’ adalah anjing pemburu.
Dari pembahasan diatas, dapatlah kita
simpulkan untuk menebak makna kata dalam
teks, kita bergantung pada konteks pada setiap
kalimat yang kita asosiasikan satu persatu
dengan pengetahuan yang sudah kita miliki
sebelumnya, baik dari budaya, pengalaman
hidup, maupun pembelajaran.
Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental yang melibatkan dua grup
mahasiswa dimana satu grup menjadi grup
eksperimen dan yang lain adalah grup kontrol.
Sampling data menggunakan teknik purposive
sampling yang memilih mahasiswa Bahasa
Inggris yang telah lulus Reading III. Masing-
masing kelas terdiri dari 20 mahasiswa,
sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 40 orang. Data dikumpulkan melalui
dua macam tes. Pertama adalah instrument pre
tes – treatment – lalu post test. Kelas
eksperimen diberikan pelatihan reading
comprehension menggunakan strategi
menebak makna kata dan dilarang
menggunakan kamus kecuali diakhir pelajaran.
sedangkan kelas kontrol bebas menggunakan
kamus didalam kelas dan bebas saling
bertanya makna kata dengan teman-teman
sekelompoknya. Kedua, tes kosakata atau tes
vocabulary. Tes ini diberikan diakhir
pelatihan terhadap kedua grup yang selama
pelatihan memperoleh materi teks yang
didalamnya terdapat kata-kata sulit yang sama.
Tes kosakata diberikan dengan 4 cara yaitu;
secara tulisan, membaca, mendengar dan
berbicara. Tujuannya untuk membandingkan
apakah kosakata yg didapat dengan menebak
diterima dan disimpan lebih baik dari kosakata
yang didapat dengan strategi melihat kamus.
Hasil pre-test dan post-test Reading
akan dianalisis menggunakan uji-t untuk
melihat apakah ada perbedaan pencapaian
dalam hal memahami teks setelah mahasiswa
mempelajari strategi menebak makna kata.
Untuk tes kosakata, hasil tes ke-empat skil
(skil reading, listening, speaking dan writing)
dari grup kontrol akan dibandingkan dengan
hasil ke-empat tes dari grup eksperimen.
Semua analisis ini akan menggunakan SPSS
dengan rumus analisis uji t.
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia, Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks
103
Hasil dan Diskusi 1. hasil pre-tes dan pos-tes grup kontrol dan eksperimen
Tabel 4.5 Hasil pre-tes dan pos-tes kelas Kontrol
No Nama Nilai
Pre Test Post Test gain
1 Siswa group A 1 45 40 -5
2 Siswa group A 2 35 40 5
3 Siswa group A 3 35 30 -5
4 Siswa group A 4 60 55 -5
5 Siswa group A 5 30 35 5
6 Siswa group A 6 20 30 10
7 Siswa group A 7 40 30 -10
8 Siswa group A 8 50 75 25
9 Siswa group A 9 45 45 0
10 Siswa group A 10 50 65 15
11 Siswa group A 11 50 70 20
12 Siswa group A 12 40 50 10
13 Siswa group A 13 50 75 25
14 Siswa group A 14 40 60 20
15 Siswa group A 15 55 40 -15
16 Siswa group A 16 10 40 30
17 Siswa group A 17 40 50 10
18 Siswa group A 18 40 50 10
19 Siswa group A 19 40 65 25
20 Siswa group A 20 65 45 -20
Mean 42 49.5
Tabel diatas menunjukkan nilai pre-tes dan pos-tes kelas kontrol serta selisih nilai kedua tes
(n-gain). Nilai rata-rata mengalami peningkatan sebanyak 7,5.
Tabel 4.6 Hasil Pre-tes dan Pos-tes Kelas Eksperimen
No Nama Nilai
Pre Test Post Test gain
1 Mahasiswa grup B 1 35 40 5
2 Mahasiswa grup B 2 55 40 -15
3 Mahasiswa grup B 3 25 30 5
4 Mahasiswa grup B 4 55 60 5
5 Mahasiswa grup B 5 50 65 15
6 Mahasiswa grup B 6 55 25 -30
7 Mahasiswa grup B 7 25 40 15
8 Mahasiswa grup B 8 50 55 5
9 Mahasiswa grup B 9 60 60 0
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
104
10 Mahasiswa grup B 10 55 55 0
11 Mahasiswa grup B 11 25 45 20
12 Mahasiswa grup B 12 85 80 -5
13 Mahasiswa grup B 13 30 45 15
14 Mahasiswa grup B 14 45 30 -15
15 Mahasiswa grup B 15 65 60 -5
16 Mahasiswa grup B 16 30 55 25
17 Mahasiswa grup B 17 40 55 15
18 Mahasiswa grup B 18 55 70 15
19 Mahasiswa grup B 19 35 60 25
20 Mahasiswa grup B 20 45 45 0
Mean 46 50.75
Tabel diatas menginformasikan hasil tes (pretes dan postes) kelas eksperimen yang menggunakan
modul strategi menebak makna kata, serta selisih nilai (n-gain). Nilai rata-rata mengalami peningkatan
sebesar 4,7. Dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata yang dialami kelas eksperimen lebih rendah
daripada kelas kontrol.
2. Hasil Tes Kosakata Grup Kontrol Dan Eksperimen
Tabel 4.7 Nilai Tes Kosakata Kelas Kontrol
No Nama
Kosakata
Pasif Aktif
Listening Reading Writing Speaking
1 Mahasiswa Grup A1 86.7 100.0 80 90
2 Mahasiswa Grup A2 26.7 53.3 0 0
3 Mahasiswa Grup A3 66.7 73.3 30 50
5 Mahasiswa Grup A4 60.0 80.0 40 80
6 Mahasiswa Grup A5 40.0 73.3 20 30
8 Mahasiswa Grup A6 60.0 53.3 40 40
9 Mahasiswa Grup A7 40.0 40.0 40 20
10 Mahasiswa Grup A8 0.0 0.0 0 10
11 Mahasiswa Grup A9 33.3 40.0 20 10
12 Mahasiswa Grup A10 46.7 73.3 60 60
13 Mahasiswa Grup A11 73.3 66.7 50 10
14 Mahasiswa Grup A12 33.3 26.7 10 40
15 Mahasiswa Grup A13 93.3 80.0 40 30
16 Mahasiswa Grup A14 60.0 60.0 70 60
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia, Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks
�
105
18 Mahasiswa Grup A15 60.0 66.7 60 50
19 Mahasiswa Grup A16 60.0 66.7 20 20
20 Mahasiswa Grup A17 40.0 46.7 20 50
21 Mahasiswa Grup A18 46.7 40.0 20 20
22 Mahasiswa Grup A19 53.3 46.7 50 40
23 Mahasiswa Grup A20 73.3 93.3 50 40
Mean 52.7 59.0 36 37.5
Tabel 4.8. Hasil tes Kosakata Grup Eksperimen
No Nama
Kosakata
Pasif Aktif
Listening Reading Writing Speaking
1 Mahasiswa grup B 1 80.0 93.3 40 70
2 Mahasiswa grup B 2 73.3 73.3 40 20
3 Mahasiswa grup B 3 80.0 100.0 90 70
4 Mahasiswa grup B 4 80.0 93.3 70 60
5 Mahasiswa grup B 5 86.7 100.0 90 40
6 Mahasiswa grup B 6 53.3 60.0 40 10
7 Mahasiswa grup B 7 93.3 93.3 50 30
8 Mahasiswa grup B 8 86.7 100.0 90 50
9 Mahasiswa grup B 9 93.3 100.0 100 40
10 Mahasiswa grup B 10 86.7 73.3 50 40
11 Mahasiswa grup B 11 80.0 86.7 70 10
12 Mahasiswa grup B 12 93.3 100.0 90 70
13 Mahasiswa grup B 13 93.3 80.0 60 10
14 Mahasiswa grup B 14 80.0 86.7 60 50
15 Mahasiswa grup B 15 93.3 80.0 70 40
16 Mahasiswa grup B 16 53.3 66.7 20 20
8 Mahasiswa grup B 17 66.7 73.3 40 100
18 Mahasiswa grup B 18 80.0 86.7 40 40
19 Mahasiswa grup B 19 93.3 100.0 100 60
20 Mahasiswa grup B 20 86.7 86.7 60 60
Mean 81.7 86.7 63.5 44.5
a. Analisis data nilai pre-tes dan pos-tes
menggunakan SPPS uji-t Menggunakan rumus uji-t dengan
program SPSS, didapatkan bahwa taraf
signifikan hasil post-tes dari grup eksperimen
dan grup kontrol adalah 0,38. Ini berarti
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
106
antara kedua grup dalam kemampuan Reading
Comprehension sebelum perlakuan dilakukan.
Setelah diberikan training terhada
kedua grup, dimana grup eksperimen
memperoleh training membaca dengan strategi
menebak makna kata tanpa kamus, sedang
grup kontrol hanya training membaca saja
dengan bantuan kamus, maka didapatkan hasil
post-tes dimana taraf signifikan adalah 0,78.
Ini artinya tidak ada perbedaan yang signifikan
pada kemampuan Reading Comprehension
antara kedua grup setelah diberikan treatment
yang berbeda.
b. Analisis Data Tes Kosakata Pasif dan
Aktif Menggunakan SPSS uji-t
1. Tes Kosakata Pasif;Listening-Reading Uji-t pada tes kosakata Listening
mendapatkan taraf signifikan sebanyak
(t=0,00) dimana berarti ada perbedaan
signifikan antara kemampuan mengingat
kosakata yang diberikan selama pelatihan
antara grup eksperimen dan grup kontrol,
dimana grup eksperimen lebih mampu
mengingat kosakata dengan lebih baik ketika
kosakata tersebut diperdengarkan secara audio.
Taraf signifikan yang sama
ditunjukkan pada uji t hasil tes kosakata
Reading (t=0,00) sehingga didapatkan
kesimpulan bahwa grup eksperimen lebih
mampu mengingat kosakata baru ketika
kosakata tersebut dihadirkan secara tekstual.
2. Tes Kosakata Aktif; Speaking-Writing Ketika dites untuk menghadirkan
kosakata yang diperoleh selama pelatihan,
peserta daro grup kontrol dan grup eksperimen
mengikuti tes koskata secara speaking dan
writing. Uji t tes Speaking menunjukkan taraf
signifikan 4,97 yang berarti tidak ada
perbedaan antara kedua grup.
Sementara itu, dari uji tes
kemampuan kosakata secara writing, taraf
signifikan yang didapat adalah (t=0,01)
dimana berarti tidak ada perbedaan signifikan
pada hasil tes kedua grup.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari
hasil penyajian data sebelumnya adalah
bahwa strategi menebak makna kata ternyata
(1) tidak mempengaruhi kemampuan Reading
Comprehension seseorang, namun dapat
meningkatkan kosakata pasif seseorang
walau belum terbukti dapat meningkatkan
kosakata aktif.
Ini membuktikan bahwa pengajaran
kosakata lewat konteks adalah sangat efektif.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang
menganalisa konteks seperti diatas, patut
dimiliki oleh siswa ataupun mahasiswa yang
belajar bahasa inggris. Akan menjadi
pertanyaan pengajaran konteks yang seperti
apakah yang dapat mempengaruhi tidak
ahanya kosakata pasif namun juga kosakata
pasif seorang pembelajar bahasa Inggris?
Daftar Pustaka Axelrod, R. B and Cooper, C. R. (1996).
Reading Critically Writing Well.
Fourth Edition. New York. St.
Martin’s Press. Inc.
Dycus, David. (1997). Guessing Word
Meaning from Context:Should we
encourage it? Aichi Shukutoku
University. Available at:
http://www2.aasa.ac.jp. Accesssed
on Wednesday, February 18, 2009.
Gu. Y & Johnson, R.K (1996). Vocabulary
Learning Strategies and Language
Learning Outcomes. Available at:
www-writing.berkeley.edu.
Accessed on Tuesday, February
17, 2009
Hancock. O. H. (1995). Reading Skills for
College Students. Third Edition. New
Jersey. Prentice
Henry, D.J. 2004. The Skilled Reader. New
York: Person Education Inc.
Kustaryo, Sukirah. (1998). Reading
Techniques for College Students.
Jakarta: Depdikbud.
Mikulecky, B S. and Jeffries, L. (1996). More
Reading Power. Addison Wesley
Publishing Company. Inc.
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia, Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks
�
107
---- Developing teachers.com. Available
at: www.developing
teachers.com. Accessed on Thursday,
April 2, 2009.
Qian, T.(2005). On Contextual Guessing in
Reading Comprehension. US-China
Foreign Language. Available at:
www.linguist.org . Accessed on
Tuesday, February 17, 2009.
Rapaport. J. W. (2000). What is the ‘Context’
for Contextual Vocabulary
Acquisition? Available at:
http://www.cse.buffalo.edu/_rapaport
/cva.html. Accessed on Monday,
September 15, 2008.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
�
����
�
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR AND
SHARE (TPS)DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA
PADA MATERI CIRI-CIRIMAKHLUK HIDUP DI SMP
NEGERI 2 SAKTI KABUPATEN PIDIE
Oleh:
Yahya
Abtraks: Penelitian tentang penerapan model pembelajaran Tipe Think Pair and Chare
(TPS) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup di
SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie telah dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus sampai
dengan 10 September 2012. Permasalah yang dikaji dalam penelitian adalah: Apakah
Penerapan Pembelajaran koopratif tipe think pair and chare mampu meningkatkan
prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup di SMP Negeri 2 Sakti
Kabupaten Pidie. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara terperinci ada
tidaknya peningkatan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidupmelalui
penerapanmodel pembelajaran kooperatif tipe think pair and chare di SMP Negeri 2 Sakti
Kabupaten Pidie. Sampel penelitian siswa kelas VII A sebanyak 23 orang sebagai
kelompok kontrol dan kelas VII B sebanyak 22 orang sebagai kelompok eksperimen.
Teknik pengumpulan data dengan memberi tes, yaitu pretes dan postes. Teknik
pengolahan data dengan menggunakan statistik uji-t. Hasil analisis data diperoleh t hitung �
t tabel yaitu 2,01 � 1,68 pada taraf signifikan 0,05. Berdasarkan data tersebut, maka Ha
dapat diterima dan menolak Ho. Maka dapat disimpulkan: Penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair and Chare dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada
materi cari-ciri makhluk hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie.
Kata Kunci : Pembelajaran, think pair and chare, ciri-ciri makhluk hidup
Pendidikan merupakan pewarisan nilai-
nilai kebudayaan, pengetahuan,
keterampilan dari generasi ke generasi
berikutnya melalui berbagai fasilitas dan
kesempatan. Selain itu pendidikan juga
merupakan upaya yang dilakukan manusia
untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih
baik.Pendidikan yang dilakukan harus sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional yaitu
“membentuk manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
beretika (beradab dan berwawasan budaya
bangsa Indonesia) memiliki nalar (maju,
cakap, kreatif, dan bertanggung jawab),
berkemampuan komunikasi sosial (tertip dan
sadar hukum, komperatif, kompetitif,
demokratis) dan berbadan sehat sehingga
menjadi manusia mandiri” (Mulyana,
2008:5).
Proses belajar mengajar pada
hakekatnya selalu diarahkan agar peserta
didik dapat belajar dengan baik, sesuai
dengan apa yang tertuang dalam tujuan
pendidikan nasional, sehingga dapat
menghasilkan manusia yang bermanfaat bagi
bangsa, negara serta agama. “Belajar dan
mengajar merupakan dua konsep yang tidak
bisa dilepaskan satu sama lain. Dua konsep
tersebut menjadi terpadu dalam suatu
kegiatan manakala terjadi interaksi antara
guru dan siswa serta siswa dengan siswa.
Pada saat pengajaran itu berlangsung
interaksi guru dan siswa sebagaimana proses
pengajaran dan memegang peranan penting
untuk mencapai tujuan pengajaran yang
efektif” (Nurhadi, 2003:7).
Banyak kalangan siswa menganggap
belajar adalah aktifitas yang kurang
menyenangkan, duduk berjam-jam dengan
mencurahkan perhatian dan pikiran pada
suatu pokok bahasan, baik yang sedang
disampaikan guru maupun yang sedang
dihadapi di meja belajar. Kegiatan itu
hampir nselalu dirasakan sebagai beban dari
pada upaya aktif untuk memperdalam ilmu.
Sungguh ironis sekali sangkaan demikian
masih menyelimuti para peserta didik.
Mungkin tidak banyak dari sejumlah anak
yang memiliki keasadaran bahwa belajar
merupakankewajiban yang harus dijalani.
Menurutnya gairah belajar, selalu
disebabkan oleh karena tidak sesuainya
metodologis, juga berakar pada paradigma
pendidikan konvensional yang selalu
Drs. Yahya, M.Si adalah Staf pengajar Kopertis Wil I dpk FKIP Unigha Sigli
����
�
menggunakan metode pengajaran
klasikaldan ceramah, tanpa pernah diselingi
berbagai metode yang menantang untuk
berusaha, sehingga banyak siswa tidak
termotivasi dan kurang bersemangat dalam
mengikuti pelajaran khususnya pelajaran
Biologi. Untuk mengatasi hal tersebut guru
perlu menerapkan metode pembelajaran
yang dapat meningkatkan semangat belajar
siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi
belajarnya.
Metode thing pair and chare merupakan
salah satu alternatif metode pembelajaran
yang dapat diterapkan dalam proses belajar
mengajar sebagai upaya untuk
menumbuhkan semangat belajar siswa.
Metode think pair and chare memberikan
waktu kepada siswa untuk berpikir dan
merespon serta saling membantu dalam
mengkaji permasalahan yang disajikan guru.
Dalam proses belajar mengajar seperti ini
guru bukan lagi sebagai internal fokus
belajar, tetapi lebih diarahkan kepada
bagaimana anak didik lebih aktif belajardi
bawah bimbimbingan guru. “Guru tidak lagi
merupakan sumber informasi utamadidalam
suatu proses belajar mengajar, situasi
berubah pada siswa menjadi sumber utama
pada sesama mereka, sedangkan guru
bertindak sebagai pemandu dan pembimbing
(Nurhadi, 2004:25).
Ciri-ciri makhluk hidup merupakan
salah satu materi pelajaran Biologi yang
diajarkan pada semester II kelas VII
ditingkat SLTP. Pemilihan mertode think
pair and chare pada materi ciri-ciri makhluk
hidup diharapkan agar siswa dapat berpikir
lebih kritis dan sistematis serta dapat berbagi
pengalaman ataupun informasi dengan
sesama anggota kelompok yang terbentuk.
Ciri-ciri makhluk hidup erat kaitannya
dengan kehidupan manusia, hal itu
memudahkan siswa dalam mengkaji gejala-
gejala yang menyangkut dengan ciri khas
makhluk hidup.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakangn masalah di
atas, maka permasalah dapat dapat
dirumuskan adalah : Apakah penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe think
pair and chare dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk
hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten
Pidie.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalah yang telah
dirumuskan, maka peneltian ini memiliki
tujuan yaitu: Untuk mengetahui secara rinci
ada tidaknya peningkatan prestasi belajar
siswa dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe think pair and
chare pada materi ciri-ciri makhkluk hidup
di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie.
Hipotesis Penelitian
Dalam peneltian ini yang menjadi
hipotesis adalah sebagai berikut: Penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe think
pair and chare dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk
hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten
Pidie.
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat
bermanfaat untuk:
1.Bagi siswa, dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe think pair
and chare diharap lebih meningkatkan
prestasi belajar siswa terutama pada
materi ciri-ciri makhluk hidup.
2.Bagi guru, menjadi salah satu bahan
masukan dalam usaha meningkatkan
hasil belajar mengajar Biologi dengan
penerapan kooperatif tipe think pair and
chare.
3.Bagi Sekolah, hasil penelitian ini
memberikan sumbangan pikiran pada
sekolah dalam rangka meningkat mutu
pendidikan di sekolah.
4.Bagi peneliti, lebih mempertajam
pemikiran dan kajian penelitian di
berbagai bidang khususnya dibidang
pendidikan Biologi.
LANDASAN TEORETIS
Pengertian Belajar
Dalam proses pendidikan di sekolah,
kegiatan belajar merupakan kegiatan yang
fondamental. Hal ini berti berhasil tidaknya
pencapaian tujuan pendidikan banyak
bergantung pada proses belajar mengajar
yang berlangsung. Pandangan seseorang
tentang belajar akan mempengaruhi
tindakan-tindakan yang berhubungan dengan
belajar. Tiap orang memiliki pandangan
yang berbeda-beda tentang belajar. Menurut
Gie (1982:39) “Belajar merupakan proses
perubahan tingkah laku seseorang melalui
suatu aktivitas yang dilakukan secara terus
menerus dan berkesinambungan sehingga
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
����
�
hasilnya akan nampak dari peri lakunya”.
Perubahan ntingkah laku dalam waktu yang
relatif lamadan disertai usaha orang tersebut,
sehingga dari tidak mampu untuk melkukan
sesuatu menjadi mampu melakukannya.
Usaha untuk mencapai perubahan tingkah
laku itu sendiri merupakan proses belajar.
Slameto (2003:2) mengartikan
“belajar sebagai proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhansebagai nhasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya”. Kemudian
Sardiman (2003:23) mengatakan bahwa:
“Belajar berarti berusaha merubah tingkah
laku yang membawa suatu perubahan pada
individu yang belajar. Perubahan itu tidak
hanya berkaitan dengan penambahan ilmu
pengetahuan, tetapi juga berbentuk
kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian
harga diri. Jelasnya menyangkut perubahan
disegala aspek, tingkah laku dan
keperibadian seseorang”.
Belajar merupakan suatu proses
yang ditandai dengan adanya perubahan
yang positif pada diri seseorang baik dari
segi keterampilan, kebiasaan, pengetahuan,
pemahaman, tingkah laku, kecakapan dan
kemampuan yang dihasilkan dari
pengalaman dan pelatihan. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Syaodih (2004:155)
menyatakan bahwa: “Belajar merupakan
perubahan dalam keperibadian yang
dimanifestasikan sebagai pola-pola respon
baru yang berbentuk keterampilan, sikap,
kebiasaan, pengetahuan ndan kecakapan”.
Dari beberapa pendapat para ahli
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
belajar amat penting dalam kehidupan
manusia, karena dapat mewarnai kehidupan
sehingga tampil lebih disiplin serta memberi
landasan berpikir kritis, kreatif serta ikut
serta dalam perubahan diri ke arah yang
lebih baik. Belajar memberi pola baru dalam
kehidupan modern serta ikut perkembangan
zaman, sehingga pola-pola berpikir klasikal
ditinggalkan, Akhirnya belajar memberi
makna kehidupan yang labih maju.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Belajar
Dalam usaha mencapai tujuan
belajar yang baik dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Slameto (2003:54) mengemukakan
bahwa: “Faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar siswa dapat digolongkan menjadi dua
golongan, yaitu faktor internal dan
eksternal”.
Faktor Internal
Faktor internal ialah faktor yang
timbul dari dala individu itu sendiri. Faktor
ini dibagi dua yaitu Faktor Jasmani dan
Psikologis.
1)Faktor Jasmani
Faktor jasmani adalah faktor yang
erat hubunganya dengan fisik dan panca
indra seseorang (Slameto:2003:53). Kondisi
umum jasmani dan tonus (tegangan otot)
yang menandai tingkat kebugaran organ-
organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat
mempengaruhi semangat dan intensitas
siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi
organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai
pusing-pusing misalnya dapat menurunkan
ranah kognitif, sehingga materi yang
dipelajari akan nkurang berbekas, Menurut
Syah (2002:153) “Untuk mempertahankan
tonus jasmani agar tetap bugar, bahwa
sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi
makanan dan minuman yang bergizi”. Selain
nitu siswa juga memilih waktu sitirah yang
cukup, serta secara rutin memlakukan
olahraga. Hal ini amat penting sebab
perubahan pola makan dan minum dan
pengaturan jam istirahat yang minimum
akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif
dan akan mempengaru phisik psikologis
seseorang.
2)Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor
yang berhubungan dengan rohaniah. “
Faktor psikologis dapat mempengaruhi
belajar siswa antara lain intelegensi, minat,
bakat dan motivasi. Siswa yang memiliki
tingkat intelegensinyang tinggi akan lebih
berhasil dalam belajar dari pada siswa yang
memiliki tingkat intelegensi yang rendah.
Minat dan motivasi juga besar peran dalam
menentukan keberhasilan seseorang dalam
belajar.
Dengan demikian faktor internal ini
yang berkaitan dengan jasmani perlu dijaga
dandibina serta dilatih untuk terbiasa
melakukan sesuatu yang berkaitan dengan
belajar. Konsep belajar akan lebih mudah
bila kondisi fisik dalam keadaan sehat. Akan
nampak sulit belar bagi seseorang yang
kondisi fisiknya kurang sempurna. Bukan
bearti orang kurang fisik akan menemukan
Yahya, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share
����
�
kegagalan dalam belajar, akan tetapi banyak
menemukan kesulitan-kesulitan dalam
belajar.
Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah berkaitan
dengan faktor luar individu dan dapat
mempengaruhi proses belajar mengajar
seseorang. Menurut Slameto (2003:60)
mengemukakan bahwa: “Faktor-
faktoreksternal dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat”. Lingkungan keluarga
merupakan tempat pertama sekali melalui
proses belajar bagi anak. Lalu mulai
mengenal keluarga, peran ibu bapak ikut
mewarna perkembangan dan pertumbuhan si
anak. Lalu yang terakhir faktor sekolah ikut
berperan menjadi penyeimbang dalam
mendapat ilmu pengetahuan. Sekolah mulai
perlu dan amat penting perannya dalam
kehidupan si anak.
Pembelajaran Kooperatif Perkembangan model pembelajaran
dari waktu ke waktu terus mengalami
perubahan. Model-model pembelajaran
tradisional kini mulai ditinggalkan berganti
dengan model-model pembelajaran yang
lebih modern. Salah satu model
pembelajaran yang kini banyak mendapat
respon adalah model pembelajaran
kooperatif think pair and chare.
Perhatian guru amat penting untuk
memotivasi siswa agar lebih giat dalam
belajar, serta dapat mengatasi masalahnya
sendiri. Siswa dituntut untuk dapat bekerja
sama untuk dapat mengatasi
permasalahannya sendiri dalam proses
belajar mengajar, inilah yang banyak
dibahas dalam model pembelajaran
kooperatif tipe thing pair and chare.
Isjoni (2009:16) mengatakan bahwa;
“Pembelajaran kooperatif adalah suatu
model pembelajaran yang saat ini banyak
digunkan untuk mewujudkan kegiatan
belajar mengajar yang berpusat pada siswa
(Studen oriented), terutama untuk mengatasi
permasalahan yang ditemui guru dalam
mengaktifkan siswa yang tidak dapat bekerja
sama dengan orang lain”. Menurut Lie
(2000:34) “Pembelajaran kooperatif adalah
sisten pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk
bekerja sama dengan siswa lain dalam tugas-
tugas terstruktur”.
Pembelajaran kooperatif memberi
makna meningkatkan pelayanan kepada
siswa dengan mengarahkan agar lebih
meningkat dalam mengatasi permasalah-
permasalahan yang dijumpai dalam proses
belajar mengajar. Guru berperan sebagai
pembimbing unjtuk mengarahkan sisiwa
agar lebih meningkat dalam kerja sama
dengan semua pihak.
Peran Guru Dala Pembelajaran
Kooperatif
Dalam Model pembelajaran
kooperatif seorang guru memegang peranan
penting. Walaupun dalam model ini siswa
dituntut memilki peran lebih, tetapi bukan
berati guru menjadi pasif. Dalam kegiatan
belajar mengajar peran guru sangat
dibutuhkan. Hal ini tentu untuk lebih mudah
tercapainya tujuan belajar yang
sesungguhnya, yaitu adanya perubahan.
Perubahan diharapkan dapat berupa
penambahan ilmu pengetahuan maupun
perubahan tingkah laku menuju ke
dewasaan. Baik dewasa dalam berpikir,
bersikap, maupun bertidak untuk
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pelaksanaan model
pembelajaran kooperatif dibutukan kemauan
serta kearifan guru dalam mengelola
lingkungan kelas. Sehingga dengan
menggunakan model pembelajaran ini guru
bukan menjadi pasif, tetapi harus nlebih
aktif terutama saat menysusun Rencana
Pembelajaran yang lebih matang.
Pengaturan kelas saat model pebelajarana
berlangsung, serta mempersiapkan tugas-
tugas yang harus dikerjakan para siswa.
Menururt Soematri (2001:35)
“Dalam model pembelajaran kooperatif guru
haru harus mampu menciptakan kelas
sebagai laboratorium yang lebih demokrtais,
supaya peserta didi terlatih dan terbiasa
berbeda pendapat”. Kebiasaan ini amat
penting dikondisikan semenjak di bangku
sekolah, agar peserta didik lebih jujur,
sportif serta mengakui kelemahannya sendiri
dan menghargai pendapat orang lain.
Selanjutnya Isjoni (2009:67)
menyebutkan “Peran guru dalam
pelaksanaan pembelajaran kooperatif adalah
sebagai fasilitator, mediator, director,
motivator dan evaluator. Jadi peran guru
bertambah luas, karena itu seorang guru
dituntut memiliki pengalaman dan
kemampuan yang lebih sehingga tidak salah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
����
�
dalam meneraspkan model pembelajaran
kepada siswa.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Watu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP
Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie semenjak 28
Agustus sampai dengan 10 September 2012.
Populasi dan Sampel Penelitian Adapun yang menjadi populasi
dalam penelitian ini seluruh siswa kelas VII
SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie Tahun
Ajaran 2011/2012. Sampelnya siswa kelas
VII A sebanyak 23 orang dan siswa Kelas
VII B sebanyak 22 orang.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
menggunakan tes untuk melihat ada
tidaknya meningkat prestasi siswa SMP
Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie melalui
penerapan model pembelajaran kooperatic
tipe think pair and chare. Tes diberikan
dalam bentuk pretes dan postes dalam
belajar mengajar ciri-ciri makhluk
hidup.Pretes dan Postes diberikan kepada
kelas kontrol dan kelas kelas eksperimen.
Setelah proses belajar mengajar berlangsung
baru diberikan Postes.
Teknik Pengolahan Data
Teknik ini menggunakan statistik
Uji-t. Data yang diperoleh dalam penelitian
ini diolah dengan menggunakan rumus Uji-t
dua pihak dengan taraf kepercayaan 5% �
= 0,05) ... Sudjana (2005:70).
1.Rumus untuk mencari rat-rata : �������� �
Keterangan : X = nilai rata-rata siswa
Xi= nilai tengah
Fi = frekwensi kelas kontrol.
2.Rumus untuk mencari Varians (S2) :
��������� ���
Keterangan : S2 = Varians
n = Jumlah sampel
3.Rumus untuk menentukan varian
golongan:
��� �V�����������
�������
Keterangan : n1 = jumlah siswa kelompok
eksperimen
n2 = jumlah siswa kelompok kiontrol
S1/2 =simpangan baku dari kelompok
eksperimen
S2/2 = Simpangan baku dari kelompok
kontrol
4. Untuk menguji hipotesi menggunakan
rumus Uji-t :
� � �� � ������ � ��� ! ��"#�
Keterangan : t = harga t hitung
X1= nilai rarta-rata kelas eksperimen
X2= nilai rata-rata kelas kontrol
Sgab = Varian gabungan antara S1 dan S2
masing-masing tes
n1 = jumlah siswa mengikuti tes pada kelas
eksperimen
n2=Jumlah siswa mengikuti tes pada kelas
kontrol.
Data yang terkumpul kemudian
dikelompokkan dalam tabel distribusi
frekwensi. Adapun langkah ini yang harus
dilakukan sebelum membuat daftar
distribusi frekwensi adalah sebagai berikut :
1)Rentang adalah data terbesar dikurangi
data terkecil
2)Banyak kelas interval yang sesuai dengan
menggunakan aturan sytruggles yaitu
banyak kelas = 1 +3,3 log n
3)Panjang kelas interval ( P )
P = Rentang/banyak kelas
Selanjutnya untuk mengetahui
apakah objek penelitian (kelas eksperimen
dan kelas kontrol) memiliki kemampuan
yang sama atau tidak, maka perlu diuji
homogenetitas sampel dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
P = $%&�%�'(&�()%&�$%&�%�'(&*(+,�-
Pengujian hipotesis dalam
penelitian ini menggunakan Uji pihak kanan
dengan kritieria pengujian :
Jika t hitung� t tabel maka terima Ho tolak Ha
ika t hitung� t tabel terima H=a tolak Ho
Derajat kebebasan untuk daftar distribusi t
adalah dk =n1 +n2-2 dengan � = 0,05
HASIL PENELITIAN Data-data penelitian yang
terkumpulkan dalam penelitian ini nilai
siswa kelas VII B sebagai kelas kelas
eksperimen dan kelas VII A sebagai kelas
kontrol. Data-data yang telah terkumpul
dapat disajikan dalam tabel berikut :
Yahya, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share
����
�
Tabel 4.1 Nilai Pretes dan Postes kelas
Eksperimen
No Kode
sampel/nama
Nilai
Pretes
Nilai
postes 1 2 3 4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20
21.
22.
Abthal Auzan
Dedi Sutensi
Fakhrurrazi AB
Fakhrurrazi IB
Fauzi
Firdaus
Fitriani
Heri Saputra
Ina Anzaina
M. Haikal
Mutaharuddin
Nailul Khairan
Rahmani
Sarah Nadia
Sri Wahyuni
Taslima
Irlanda Pranto
Yusrizal
Fahrol
Miftahul Jannah
Wahyu
Zikri Hayana
60
40
58
65
70
80
25
30
80
72
50
45
35
75
70
55
67
60
50
55
68
60
70
50
68
77
80
90
45
55
90
80
69
70
58
78
82
63
72
67
75
65
75
85
Tabel 4.2 nilai pretes dan postes Kelas
kontrol
No Kode
sampel/Nama
Nila
Pretes
Nilai
Postes 1 2 3 4
1.
2,
3.
4.
5.
Arif Munandar
Afrijal
Ayu Natasya
Cut Sarah
Erlia Watierni
50
50
40
45
60
75
70
60
65
85
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17
18.
19.
20.
21.
23
22.
Herizal
Ikhsan
Juliana
Kamisah
Kudri
Mastura
Maulida Wati
Mutia Sari
Nora
Nova Sari
Rahma Zania
Rizki
Saskia Ilmi
Fauna
Zuhra
Zikrina Aula
Mutia
Zikrina
Ambia
58
38
30
35
60
55
50
47
48
45
40
44
35
40
20
25
25
42
35
50
48
55
80
60
77
70
45
65
58
85
80
58
68
66
75
60
Hasil Nilai Pretes
1. Kelas Eksperimen
a) Menentukan Rentang
Rentang (R) = Nilai tertinggi – nilai terendah, = 80 – 25= 55
b) Menentukan banyak kelas interval
Interval kelas (K) = 1 + 3,3 log n, = 1 + 3,3 log 22, = 1 + 3,3 (1,34), = 1 + 4,42, = 5,42 (K -6)
c) Menentukan Panjang Interval (P)
P = .(�'%�/
0%�1%*2(-%), P = 3334+�, P = 10
Tabel 4.3 Daftar Distribusi Frekwensi Nilai Pretes Kelas Eksperimen
Interval
Kelas
Fi Xi Fi - Xi (Xi – X) (Xi – X) Fi (Xi – X)2
1 2 3 4 5 6 7
25 - 34
35 - 44
45 - 54
2
2
3
29,5
39,5
49,5
59
79
148,5
-30
-20
-10
900
400
100
1800
800
300
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
����
�
55 - 64
65 – 74
75 - 84
5
7
3
59,5
69,5
79,5
297,5
486,5
238,5
0
10
20
0
100
400
5
700
1200
22 1309 4805
Nilai Rata-rata Pretes kelas eksperimen dari tabel 4.3 adalah sebagai berikut:
�����������������56 � �7�8��7� , Xi =
�9:;�� , Xi = 59,5
Selanjutnya Varians dan simpangan baku dapat diperoleh :
Si2 =
�7��8�8��� , i
2 =
+<:3���, Si
2 =
+<:3�� , Si
2 = 228,80, Si = 228,80, Si = 15,12
2. Kelas Kontrol
a. Menentukan Rentang
Ruang (R) = Nilai Tertinggi – Nilai Terrendah, 60 – 20 = 40
b. Menentukan banyak kelas interval
Interval Kelas (K) = 1 + 3,3 log n, = 1 + 3,3 log 23, = 1 + 3,3 (1,36), = 1 + 4,48, = 5,48 (K=5)
c. Menentukan Panjang Interval (P):
P = .(�'%�/
0%�1%*2(-%), P = 8
Tabel 4.4 Daftar Distribusi Frekwensi Nilai Pretes kleas Kontrol
Interval
Kelas
Fi Xi Fi - Xi XI – X (XI –
X)2
F (Xi-X)2
1 2 3 4 5 6 7
20 – 28
29 – 36
37 – 44
45 – 52
53 - 60
3
4
5
7
4
24
32,5
40,5
48,5
56,5
72
130
202,5
339,5
14,33
-18,17
-9,67
-1,67
6,33
14,33
330,14
93,50
2,78
40,06
205,34
990,42
374
13,9
280,42
821,36
23 970 2480,33
Nilai Rata-rata Pretes Kelas Kontrol dari tabel 4.4 sebagai berikut:
X2 = �7�8��7� , X2 =
;�:�9 , X2 = 42,17
Selanjutnya Varians dan Simpangan Baku dapat diperoleh:
S22 =
�7��8�8��� , S2
2 =
�+<:4��� , S2
2 = 112,73, S1
2, =� 112,73, S2 = 10,81
Uji Homogenitas Pretes
Uji homogenitas digunakan untuk
mengetahui sampel penelitian ini berasal
dari populasi yang sama, sehingga hasil
penelitian dapat berlaku bagi populasi.
Untuk menguji homogenitas diguanakan
rumus : F = $%&�%�)=(&�()%&$%&�%�)>'(&*(,�-
Hipotesis yang akan diuji pada taraf
Signifikans � = 0,05. Untuk Pengujiann
Homogenitas dua sampel dapat ditulis : Ho
=S1 = S2, Ha = S1 = S22.
Dengan kriteria pengujian adalah tolak Ho
jika F Hitung� F � ( n1-1, n2 -2) dala hal lain
Ho diterima. Berdasarkan persamaan di atas
diperoleh : S
F Hitung = ������, F Hitung =
��<4<:���4?9, F hitung =
2,02, F � (n1 – 1, n2 -1) = F 0,05 (21 – 22)
= 209
Karena pengujian adalah “ Tolak
Ho jika F hitung� F (n1 – 1, n2 – 1) dalam hal
ini Ho diterima “ Dari hasil analisis ternyata
F hitung � F tabelyaitu 1,56 2,09, maka Ho
Diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa
varians-varians kedua kelas adalah
Homogen.
Hasil nilai Postes
1. Nilai Postes kelompok eksperimen
a. Menentukan Rentang
Yahya, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share
���
�
Rentang (R) = Nilai Tertinggi – Nilai terendah
90 – 45 = 45
b. Menentukan banyak kelas interval
Interval Kelas (K) = 1+ 3,3 Log n, = 1 + 3,3 log 25, = 1 + 3,3 (1,39), = 1 + 4,58, = 5,58 (K + 6)
c. Menentukan Panjang Interval
P = .(�'%�/
0%�1%*2(-%), P = +3343<, P = 8,06 (P =8)
Tabel 4.5 Daftar Distribusi Frekwensi Nila Postes kelas eksperimen:
Interval
Kelas
Fi Xi Fi - Xi (Xi – X) (Xi – X)2 Fi (Xi – X)
2
1 2 3 4 5 6 7
45 – 52
53 – 60
61 – 68
69 – 76
77 – 84
85 - 92
3
2
4
6
5
3
48,5
56,5
64,5
72,5
80,5
88,5
97
113
258
435
402,5
265,5
-22,9
-14,9
-6,9
1,1
9,1
17,1
524,41
222,01
47,61
1,21
82,81
292.41
1048,82
444,02
190,44
7,26
414,05
877,23
22 1571 2981,82
Nilai rata-rata postes siswa kelas eksperimen dari tabel 4.5 adalah sebagai berikut :
X1 = �7@A�@��@ , xI =
�3?��� , Xi = 71,40
Selanjutnya Varians dan simpangan baku dapat diperoleh:
Si2 =
�7��8�8���� , Si
2 =
�;<�4<��� , Si
2 =
�;<�4<���� , S1
2 = 135,53, S1 = �135,53, Si = 11,64
2. Nilai Postes kelompok kontrol
a. Menetukan Rentang
Rentang (R) = Nilai Tertinggi – Nilai Terendah
85 -3= 50
b. Menentuakan banyak Kelas interval
Interval Kelas (K) = 1 + 3,3 log n, 1 + 3,3 log 23, 1, 3,3 (1,36), 1 + 4,48, 5,48 (K=5)
c. Menentukan Panjang Interval (P): P = &(�'%�/
�%�1%**(-%), P= 3:3 , P = 10
Tabel 4.6 Daftar Distribusi Frekwensi Nila Postes kelas kontrol
Interval
Kelas
Fi Xi Fi - Xi Xi - X (Xi – X)2 Fi (Xi-X)2
1 2 3 4 5 6 7
35 – 45
46 – 56
57 – 67
68 – 78
79 - 89
2
3
7
6
5
40
50,5
60,5
70,5
80,5
80
151,5
423,5
423
402,5
-24,36
-23,86
-3,86
6,14
16,14
593,40
192.09
14,89
37,69
360,49
1186,8
576,27
104,23
226,14
1302,45
32 1480,5 3395,89
Nilai rata-rata postes kellas kontrol dari tabel 4.6 adalah sebagai berikut :
X2 = ��@8��7� , X2 =
�+<:43�9 , X2 = 64,36
Selanjutnyan varians dan simpangan baku dapat diperoleh:
S22 =
��@8��7� , S2
2= 99;34<;�9� , S2
2= 99;34<;
�� , S22 = 154, 35, S2 = �154,35, S2 = 12,42
Uji Homogenitas postes
Uji homogenitas digunakan untuk
mengetahui sampel penelitian ini berasal
dari pipulasi yang sama, sehingga hasil
penelitian dapat berlaku bagi populasi.
Untuk menguji homogenitas digunakan
rumus: F = $%&�%�)=(&�()%&$%&�%�'(&*(,�-
Hipotesis yang akan diuji pada taraf
signifikan � = 0,05, Untuk pengujian
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
���
�
homogenenitas dua sampel dapat ditulis:
Ho = Si = S2
Ha = S12 = S2
2
Dengan kriteria pengujian adalah tolak Ho
jika F hitung � F � (n1 -1, n2 -2). Dalam hal
lalu Ho diterima. Berdasar persamaan di atas
maka: F hitung = ������, F hitung =
�3+493�93439 4B�C6DE#F � �4�G
F � (n1 – 1, n2 – 1 = F 0,05 (21,22) = 2,09
Berdasarkan harga F hitung = 1,13 dan F tabel =
2,09, maka F hitung � F tabel � , dan Ho
diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa
varians-varians kedua kelas adalah
homogen.
Tinjauan Terhadap Hipotesis Tinjauan terhadap hipotesis bertujuan untuk mengetahui apakah hipotesis yang
diumuskan dapat diterima atau ditolak. Dari perhitungan sebelumnyadiperoleh nilai Mean dan
Standar Deviasi pada masing-masing kelas yaitu kelas eksperimen (X = 71,40) dan Varians (S12 =
135,53) dan Variansnya (S12 = 135,53) maka :
S2 = ��������������"�
������ , S2 = �����93439���9��3+493
����9� , S2 = ����93439�����3+493
+9 =
S2 = 145,15, S�145,15, S = 12,04, maka nilai t diperoleh t = 8�8�
��H IJI��"��
t = ?�4+:3+49K
��4:+H I����"�9
, t = ?4:+
��4:+��:4�;, t = ?4:+94+;, t = 2,01
Dengan taraf signifikan X =0,05
dan derajad kebebasan dk = (n1+n2-2) =
(22+23-2) = 43. Maka dari daftar distribusi t
diperoleh t (0,95)(43) = 1,68. Pengujian
hipotesis dilakukan pada taraf signifikan
�=0,05 dan derajad kebebasan 43.
Rumusan hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1) Ho : t hitung � t tabel = Penerapan
pembelajaran kooperatif tipe TPS tidak
dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa pada materi ciri-ciri makhluk
hidup.
2) Ha : t hitung � t tabel = Penerapan
pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa pada
materi ciri-ciri makhluk hidup.
Berdasarkan hasil pengolahan data
diperoleh harga t hitung = 2,01 sedangkan t tabel
= 1,68 sehingga Ha dapat diterima, yaitu
hasil belajar siswa yang diajarkan dengan
pendekatan tipe Think pair and share (TPS)
lebih baik dari hasil belajar siswa yang
diajarkan tanpa menggunakan pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair And Share pada
materi ciri-ciri makhluk hidup.
Pembahasan
Perdasarkan penelitian di SMP
Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie dan hasil
pengujian hipotesis yang telah dilakukan
peneliti dengan menggunakan uji-t pada
taraf signifikan � = 0,05 dengan derajad
kebebasan (dk) =43, ternyata diperoleh t
hitung � t tabel yaitu 2.01 � 1,68. Berati
hipotesis yang dirumuskan yaitu: Penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe Think
Pair And Chare dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk
hidup di SMP Negeri 2Sakti Kabupaten
Pidie. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa prestasi belajar siswa yang diajarkan
dengan metode TPS mengalami peningkatan
yang signifikan dibandingkan hasil belajar
yang lain.
Dalam model pembelajaran
kooperatif tipe TPS guru harus mampu
menciptakan kelas sebagai laboratorium
demokratis, supaya anak didik terlatih dan
terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini
menjadi amat penting, agar anak didik
menghargai pendapat orang lain, jujur,
sportif dan mengakui kekurangannya sendiri
dan siap menerima pendapat orang lain yang
lebih baik serta mampu mencari jalan
pemecahannya.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dari
hasil penelitian ini tentang penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Think pair and
chare maka dapat diambil beberapa
kesimpulan:
1.Prestasi belajar siswa SMP Negeri 2 Sakti
Kabupaten Pidie pada materi ciri-ciri
Yahya, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share
����
�
makhluk hidup yang diajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran tipe
hink Pair And Chare dapat meningkat,
hal tersebut dapat diketahui dari hasil
analisis data dengan menggunakan
statistik uji-t diperoleh t hitung � t tabel,
yaitu 2,01 � 1,68.
2. Guru tidak lagi menjadi salah satu sumber
belajar utama, tugas guru hanya
menyediakan sarana belajardan
membimbing siswa dalam menemukan
dan mempelajari materi ciri-ciri makhluk
hidup.
Saran
Adapun beberapa saran yang dapat
disampaikan oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
1.Diharapkan kepada guru untuk dapat
menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe think pair and chare
dalam pokok-pokok bahasan yang
disesuaikan dengan tujuan pengajaran.
2.Diharapkan kepada siswa supaya lebih
memperhatikan penjelasan guru saat
mengajar, memanfaatkan waktu
denganbaik, seperti diskusi, bekerja sama
dalam memecahkan masalah agar
memperoleh hasil yang maksimal.
3. Meski pembelajaran kooperatif tipe think
pair and chare memerlukan waktu yang
relatif lama, guru diharapkan terampil
dalam menciptakan suasana belajar yang
lebih baik agar waktu lebih efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 1996. Prosudur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Rhineka
cipta : Jakarta
Isjoni. 2009. Coorparatif Learning,
Pengembangan Kemampuan Belajar
Berkelompok. Altabeta : Bandung
Gie, L. 1982. Cara Belajar yang Efisien.
Gajah Mada Universiti Press :
Yogyakarta
Gie, L. 2002. Cooperative Learning.
Grasindo : Jakarta
Mulyasa, E. 2008. Kurikulum Berbasis
Kompetensi (Konsep Karakteristik
dan Implimentasi). Rosda Karya :
Bandung
Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran
Konsuptual dan Penerapannya
Dalam KBK. Universitas Negeri
Malang : Malang
Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 Pertenyaan
dan Jawaban. Grasindo : Jakarta
Sardiman. 2005. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar. Grafindo : Jakarta
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya. Rhineka
Capta : Jakarta
Sriyono. 1992. Teknik Belajar Mengajar
Dalam CBSA. Rhineka Cipta : Jakarta
Syamsuri, Istamar. 1994. IPA- Biologi. CV.
M2S : Bandung
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
118
EFEKTIVITAS PENINGKATAN KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU
SMK DI KABUPATEN ACEH BESAR
Oleh:
Megawati
Abstacs: Professional ability step-up teacher is done to increase science and teacher skill.
This observational approaching is kualitatif's approaching. Data collecting tech is
observation, interview, and studi documents. Subject is research it is headmaster,
headmaster representative, majorschairman / studi's program, supervisor, senior teacher
and MGMP. Result observationaling to point out that abilities increasing program
professional teacher be arranged to side school and is performed activity thru supervision,
training, seminar, diklat, upgrading, MGMP, higher learning and another activity. Its
performing is done at school and outside school, even still effective reducing. Faced
constraint are its reducing funds, equipment, its reducing is socialization sides on duty
Education, teacher teaches knowledge area unsuitably with expertise it, partly teacher can't
yet gain control technology, and its low willingness learns for amends.
Key Words: Increasing Effectiveness, Professional and Teacher.
Pendidikan merupakan suatu strategi dasar
yang dilakukan secara sadar dan terencana
dalam mengembangkan semua potensi peserta
didik. Pendidikan mencerdaskan kehidupan
bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam
UUD 1945. Melalui pendidikan, karakter
manusia dapat dibentuk sehingga memberikan
kontribusi terhadap kemajuan dan
pembangunan karakter bangsa (Nation
Character Building). Sumber daya manusia
(human resources) adalah penduduk yang siap
dan mampu menjalankan tugas yang
dibebankan kepadanya sehingga dapat
memberi kontribusi bagi pembangunan
bangsa. Dalam rangka menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas, cerdas,
terampil, kreatif, inovatif, berbudi pekerti
luhur, bertanggungjawab dan untuk mencegah
meningkatnya angka pengangguran,
pemerintah mengupayakannya melalui
pendidikan sekolah menengah seperti SMA/
MA dan SMK. Pemerintah merencanakan
memperbanyak SMK daripada SMA/MA,
dengan perbandingan 60% : 40%. Program ini
bertujuan untuk melahirkan tenaga kerja
menengah yang berkualitas sehingga bagi
siswa yang tidak melanjutkan pendidikan
dapat berkiprah di dunia kerja.
Melalui sekolah menengah kejuruan,
peserta didik dibekali keterampilan kerja
melalui kegiatan praktek kejuruan (mata
pelajaran produktif), sedangkan pengetahuan
umum diperoleh melalui sejumlah mata
pelajaran umum (mata pelajaran adaptif dan
normatif). Selain itu, sekolah berupaya
menyelenggarakan kegiatan praktek kerja
lapangan (PKL) yang dilakukan melalui
kerjasama dengan industri atau perusahaan
yang relevan dengan jurusan yang dipelajari
masing-masing peserta didik. Jadi seorang
peserta didik yang lulus sekolah kejuruan akan
memiliki dua Ijazah yaitu tanda lulus sekolah
kejuruan sebagaimana yang diberikan di
sekolah menengah umum lainnya dan
sertifikat uji kompetensi dari industri atau
perusahaan tempat mereka melaksanakan
praktek kerja lapangan (PKL).
Suatu pertanyaan yang muncul dan
menjadi dilema bagi peserta didik yang lulus
dan pemerintah adalah, apakah pembekalan
ilmu melalui kegiatan praktek yang diberikan
di SMK sudah memenuhi standar yang
ditetapkan oleh dunia usaha dan dunia industri
dan mampukah para lulusan menciptakan
lapangan kerja dengan bekal ketrampilan kerja
yang diperolehnya selama belajar di SMK?
Jawabannya belum. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor yang menghambat
pelaksanaan pendidikan di SMK Kabupaten
Aceh Besar. Oleh karena itu, untuk
memperoleh lulusan SMK yang berkualitas,
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kadang-
kadang sulit diprediksi. Salah satu faktor yang
secara dominan mempengaruhi keberhasilah
SMK dalam melahirkan lulusan yang
berkualitas adalah guru. Seorang guru harus
memiliki kompetensi sebagaimana yang
terdapat dalam UU No. 20 tahun 2005 tentang
guru dan dosen yaitu: ”Kompetensi
pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial”. Keempat kompetensi tersebut
merupakan modal utama bagi guru untuk
Megawati : Mahasiswa Pasca Sarjana MAP Unsyiah
119
dapat berkiprah sebagai guru profesional.
Oleh karena itu, guru harus meningkatkan
kemampuannya dalam mengajar. Dengan
adanya upaya tersebut, diharapkan guru
mampu mengembangkan proses pembelajaran
yang lebih bermutu, baik dalam penguasaan
ilmu, keterampilan maupun memiliki
kepribadian yang baik. Namun, data empirik
menunjukkan bahwa umumnya kemampuan
profesional guru-guru SMK di Kabupaten
Aceh Besar masih tergolong sedang, karena
penguasaan materi pembelajaran yang
diampunya masih rendah. Sebagaimana kita
ketahui bahwa kurikulum SMK berkembang
sesuai dengan tuntutan zaman, sementara guru
bersikap apatis. Untuk mengatasi
permasalahan ini, peningkatan kemampuan
profesional guru harus menjadi prioritas utama
dalam upaya meningkatkan mutu lulusan di
SMK. Hal ini mendorong penulis untuk
melakukan penelitian tentang peningkatan
kemampuan profesional guru SMK di
Kabupaten Aceh Besar.
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Lokasi
penelitiannya adalah SMK Negeri 1 Mesjid
Raya, berada di Jalan Laksamana Malahayati
Kilometer 15 Neuheun dan SMK Negeri 1
Kota Jantho, berada di Jalan Cut Mutia No.1
Jantho. Penelitian dilakukan selama tiga
bulan. Subjek penelitiannya kepala sekolah,
wakil kepala sekolah, ketua jurusan/prodi,
pengawas, guru senior dan MGMP.
Instrumen penelitiannya adalah peneliti
sendiri dengan pedoman wawancara dan
observasi. Penelitian dilakukan untuk
memperoleh data yang akurat tentang fokus
permasalahan. Uji kredibilitas data antara lain
dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,
meningkatkan ketekunan dalam penelitian,
triangulasi, diskusi dengan teman sejawat,
analisis kasus negatif dan membercheck.
Langkah yang ditempuh dalam pengolahan
data adalah reduksi data, display data, serta
pengambilan kesimpulan dan verifikasi.
KAJIAN PUSTAKA
Konsep Efektivitas
Efektivitas berawal dari kata “efektif” dan
kata dasarnya adalah”effect” yang berarti
pengaruh, akibat, berhasil sesuai rencana.
Efektivitas merupakan efek atau akibat yang
diinginkan dari suatu kegiatan atau pekerjaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008:284) efektif adalah “Adanya efek
(akibat, pengaruh, kesannya), manjur,
mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna
(usaha, tindakan)”. Jadi efektivitas merupakan
suatu pengukuran tercapainya sasaran dan
tujuan yang diharapkan.
Indikator Efektivitas
Indikator ialah komponen yang menjadi
ukuran untuk menentukan efektifnya suatu
kegiatan. Indikator pendidikan tersebut yaitu:
1. Indikator Input;
2. Indikator Process;
3. Indikator Output; dan
4. Indikator Outcome. (Mulyasa, 2009:91)
Pengembangan Personel
Pengembangan berasal dari bahasa Inggris
“Development”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008:662) dijelaskan bahwa
“Pengembangan merupakan proses, cara,
perbuatan mengembangkan”. Pengembangan
merupakan upaya memperluas, membawa
suatu keadaan kearah yang lebih lengkap dan
kompleks. Pengembangan lebih ditujukan
pada peningkatan pengetahuan dan
keterampilan teknis dalam melaksanakan
pembelajaran. Hasibuan (2005:69)
mendefinisikannya sebagai berikut:
Pengembangan personil adalah suatu usaha
untuk meningkatkan kemampuan teknis,
teoretis, konseptual, dan moral personil
sesuai dengan kebutuhan pekerjaan
melalui pendidikan dan latihan.
Pendidikan meningkatkan keahlian teknis,
teoretis, konseptual, dan moral personil,
sedangkan latihan bertujuan meningkatkan
ketrampilan teknis pelaksanaan pekerjaan.
Pengembangan bertujuan meningkatkan
kemampuan guru yang disesuaikan dengan
kebutuhan guru itu sendiri, melalui kegiatan
pelatihan dan pendidikan.
Proses dan Jenis Pengembangan Personel Pengembangan kemampuan guru
dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
kerja guru, meningkatkan pemahaman
konseptual guru. Melalui pengembangan
personil, organisasi sekolah dapat
meningkatkan kontinuitas dan semakin
besarnya rasa keterkaitan personil dengan
tempatnya bertugas. Pengembangan adalah
faktor kunci dalam mempertahankan kualitas
personil. Flippo (Usman, 2012:61)
menyatakan bahwa “Pengembangan staff
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
120
dapat dilakukan dalam dunia industri memiliki
empat macam metode yakni: latihan ditempat
kerja; sekolah vestibule; magang
(apprenticeship); pendidikan Khusus.
Kompetensi Guru
Kompetensi mengacu pada kemampuan
melaksanakan sesuatu yang diperoleh dari
pendidikan, yang memerlukan pengetahuan,
keterampilan dan kepribadian yang baik.
Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen pasal 1 ayat 10 dijelaskan bahwa:
“Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau
dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan”. Selanjutnya dalam UU
No.14 tahun 2005, bahwa “Guru sebagai agen
pembelajaran pada semua jenis dan jenjang
pendidikan wajib memiliki kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial”. Keempat kompetensi tersebut harus
diperoleh melalui pendidikan profesi.
1. Kompetensi Pedagogik Merupakan kemampuan mengelola
pembelajaran meliputi pemahaman
wawasan/landasan kependidikan;
pemahaman terhadap peserta didik;
pengembangan kurikulum/silabus;
pelaksanaan pembelajaran yang mendidik
dan dialogis; perancangan pembelajaran;
evaluasi hasil belajar; dan pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi Kepribadian Merupakan sejumlah kompetensi yang
berhubungan dengan kemampuan pribadi
dengan segala karakteristik yang
mendukung pelaksanaan tugas guru.
Mukhtar & Iskandar (2009:117) menyatakan
bahwa “Kompetensi kepribadian merupakan
kemampuan kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif, berwibawa, disiplin,
bijaksana, berakhlak mulia, menjadi teladan
bagi peserta didik dan masyarakat,
mengevaluasi kinerja sendiri dan
mengembangkan diri secara berkelanjutan”.
3. Kompetensi Profesional Merupakan kemampuan penguasaan
materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang memungkinkan untuk
membimbing peserta didik memenuhi
standar kompetensi yang telah ditetapkan
dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Kompetensi ini harus dimiliki guru dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
4. Kompetensi Sosial Merupakan kemampuan guru untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan
lingkungan sekitar sekolah. Dalam SNP,
penjelasan pasal 28 ayat 3 butir d (Mulyasa,
2009:173) bahwa “Yang dimaksud dengan
kompetensi sosial adalah kemampuan guru
sebagai bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua peserta
didik, dan masyarakat sekitar”.
Strategi Peningkatan Profesional Guru
1. Peningkatan Kemampuan Profesional
Guru Melalui Supervisi Pendidikan
Supervisi ialah suatu bimbingan yang
diberikan kepada personil sekolah agar
mereka dapat meningkatkan kemampuan.
Supervisi bukan untuk mencari kesalahan,
tapi memperbaiki dan mengembangkan
kemampuan yang dimiliki guru.
Supervisi adalah suatu usaha
menstimulir, mengkoordinir, dan
membimbing secara kontinu
pertumbuhan guru-guru sekolah, baik
secara individual maupun kolektif,
Boardman (Daryanto, 2006:170).
Fungsi utama supervisi adalah untuk
perbaikan pengajaran. Sedangkan tujuan inti
supervisi yaitu: memahami karakteristik dan
kemampuan siswa secara individual dalam
proses belajar; menciptakan suasana yang
mendorong siswa aktif belajar sendiri; dan
menjadikan kegiatan belajar di sekolah
bersifat dinamis dan kreatif, serta
mempunyai arti untuk kehidupan manusia,
Burhanuddin (Herabudin, 2009:226).
Untuk mencapai kualitas belajar
mengajar yang baik, perlu direncanakan
bentuk supervisi yang digunakan nantinya,
salah satunya adalah melalui supervisi
pendidikan. Supervisi pendidikan dapat
didefinisikan sebagai proses pemberian
layanan bantuan supervisi hal kepada guru
untuk meningkatkan kemampuannya dalam
melaksanakan tugas-tugas pengelolaan
proses pembelajaran secara efektif.
Megawati, Efektivitas Peningkatan Kemampuan Profesional Guru
121
Supervisi pendidikan merupakan bantuan
yang diberikan kepada personil pendidikan
untuk mengembangkan proses pendidikan
yang lebih baik dan upaya meningkatkan
mutu pendidikan. Supervisi pendidikan
bertujuan mengembangkan situasi belajar
mengajar kearah yang lebih baik. Olive
(Sahertian, 2005:19) menyatakan bahwa
“Sasaran (domain) supervisi pendidikan: a)
mengembangkan kurikulum yang sedang
dilaksanakan di sekolah; b) meningkatkan
proses belajar mengajar di sekolah; dan c)
mengembangkan seluruh staf di sekolah”.
2. Peningkatan Kemampuan Profesional
Guru Melalui MGMP
Forum MGMP merupakan wadah
kegiatan profesional guru mata pelajaran
sejenis yang bertujuan untuk membahas
berbagai permasalahan yang berhubungan
dengan proses belajar mengajar. MGMP
bertujuan untuk meningkatkan kompetensi,
mendiskusikan permasalahan yang dihadapi
dan menemukan cara pemecahannya dalam
melaksanakan tugas, memberi kesempatan
kepada guru untuk berbagi informasi dan
pengalaman, serta membangun kerja sama
yang baik dengan semua pihak dalam upaya
meningkatkan kualitas lulusan.
3. Peningkatan Kompetensi Guru Melalui
Kegiatan Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu proses
mempersiapkan guru untuk suatu pekerjaan,
membantu memperbaiki penampilan, dan
mengembangkan potensi sepenuhnya.
Latihan lebih berkenaan dengan penerapan
pengetahuan dari pada penguasaan
pengetahuan. Latihan adalah proses
pengubahan yang tertuju pada pembentukan
tingkah laku yang diharapkan. Sistem
pelatihan biasanya mencakup pelatihan
diluar tempat kerja (off-job) dan ditempat
kerja (on-job). Mudyahardjo (2009:201)
membedakan dua bentuk pelatihan guru:
a. Latihan melalui pendidikan prajabatan
(pre-inservice education/training)
diselenggarakan di lembaga pendidikan
formal.
b. Latihan melalui pendidikan selama
bekerja (in-service education/training)
dilakukan dalam dua macam bentuk,
yaitu: On-job training (latihan selama
bekerja) dilaksanakan ditempat kerja
yang bersangkutan, dan Off-job training
(latihan selama bekerja) yang dilakukan
diluar tempat kerja.
Selanjutnya, Usman (2007:123)
mengemukakan bahwa “Strategi
pengembangan mutu profesional guru dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu pendidikan
on the job training dan pendidikan di luar
pekerjaan (off the job training).”
Untuk pelaksanaan pelatihan,
sebaiknya diidentifikasi masalah yang ada
dan menetapkan program apa yang akan
digunakan, merumuskan tujuan, merancang
materi dan media pembelajaran, merancang
metode dan media , menetapkan instrumen
penilaian untuk mengukur keberhasilan
program, mengalokasi anggaran, dan
menentukan program tindak lanjutnya.
Selanjutnya perlu diperhatikan juga
beberapa faktor berikut, yaitu: ”Guru yang
akan dikembangkan, kemampuan guru yang
akan dikembangkan, dan kondisi lembaga,
seperti dana, fasilitas, dan orang yang bisa
dilibatkan sebagai pelaksana”, Bafadal
(2005:46). Faktor-faktor tersebut merupakan
pertimbangan dasar yang harus diperhatikan,
agar program yang akan dijalankan nantinya
dapat memberi hasil yang efektif.
HASIL PEMBAHASAN
1. Program Peningkatan Kompetensi
Profesional Guru.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa pihak sekolah sudah
berupaya untuk meningkatkan kemampuan
profesional guru dengan dilakukannya
penyusunan program khusus bagi peningkatan
kemampuan guru. Program disusun dengan
melibatkan kepala sekolah, wakil kepala
sekolah, ketua jurusan/prodi, pengawas,
MGMP, dan guru senior. Program tersebut
berisi tentang pengembangan kompetensi guru
yang dilaksanakan di sekolah dan di luar
sekolah, seperti supervisi, pelatihan,
penataran, diklat, magang guru, seminar, dan
kegiatan lain yang dibutuhkan guru.
Program peningkatan kemampuan guru
dilaksanakan untuk memberikan bantuan dan
memperbaiki kerja guru dalam meningkatkan
kualitas mengajar agar lebih efektif. Suhardan
(2010:182) menjelaskan bahwa ”Bantuan
yang diberikan dapat berupa saran dan nasihat,
menunjukkan sumber, menyediakan waktu,
meminta bantuan sesama guru, mengunjungi
kelas, menyediakan fasilitas, memberi izin
untuk mengikuti kegiatan akademik diluar”.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
122
Program peningkatan kemampuan
profesional guru mutlak disusun, karena di
SMK guru membutuhkan skill yang memadai
dalam mengajar. Melalui kegiatan
pengembangan, guru dapat menyadari
pentingnya meningkatkan kemampuan untuk
dapat menyesuaikan kompetensinya dengan
kemajuan dunia pendidikan khususnya SMK.
Suhardan (2010:191) menyatakan bahwa
”Pengembangan guru harus dilakukan ketika
guru dalam keadaan baik yang sangat
memungkinkan dilakukan pengembangan
yaitu ketika guru sedang membutuhkan dan
penuh kesadaran”. Jadi, pengembangan tidak
dapat dilakukan kapan pun sesuai kemauan
supervisor, akan tetapi supervisor harus dapat
membaca waktu yang tepat.
2. Pelaksanaan Peningkatan Kompetensi
Profesional Guru
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa pihak sekolah sudah
melaksanakan program pengembangan guru
baik di lingkungan sekolah maupun diluar
lingkungan sekolah. Pelaksanaan di
lingkungan sekolah dilakukan dalam bentuk
pengembangan guru secara teori dan
pratikum. Secara teori berupa kegiatan
seminar, pembentukan dan pengaktifan
MGMP dan kegiatan lainnya. Sedangkan
secara praktikum pernah dilakukan dalam
bentuk supervisi dan pelatihan, seperti
pelatihan komputer. Program pengembangan
guru diluar lingkungan sekolah dilakukan
dengan kegiatan magang guru, pengiriman
guru untuk mengikuti pelatihan/diklat apabila
ada pemanggilan peserta dari pihak terkait.
Mengajar pada dasarnya merupakan
kegiatan akademik yang berupa interaksi
komunikasi antara guru dan siswa. Melalui
interaksi ini guru dapat mengaktifkan proses
belajar siswa dengan menggunakan berbagai
macam metode belajar, sehingga pembelajaran
dapat menjadi lebih menarik bagi siswa.
Untuk mencapai interaksi yang efektif dan
bermakna, potensi guru perlu ditingkatkan.
Pengembangan potensi guru dapat dilakukan
melalui program pengembangan yang
disesuaikan dengan kebutuhan guru.
Upaya yang dapat dilakukan kepala
sekolah untuk meningkatkan kemampuan
guru, diantaranya: (a) Pemberian kesempatan
mengikuti pendidikan dan pelatihan; (b)
Mengirim guru untuk mengikuti penataran
atau pelatihan, dan (c) Memfasilitasi kegiatan
MGMP.
3. Kendala-kendala yang Dihadapi Dalam
Pelaksanaan Peningkatan Kemampuan
Profesional Guru
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pelaksanaan program peningkatan
kemampuan profesional guru sudah terlaksana
sesuai perencanaan. Namun masih saja
terdapat kendala, baik itu kendala yang berasal
dari lembaga sekolah, dari guru maupun dari
instansi terkait, yang dapat menghambat
keefektifan kegiatan tersebut. Diantara
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
program ini adalah pendanaan, kurangnya
sosialisasi dari Dinas, guru mengajar bukan
dibidang keahliannya, sebagian guru kurang
menguasai teknologi, kurangnya sarana
prasarana sekolah, rendahnya kemauan guru
untuk mengembangkan diri, serta masih
kurangnya pengawas sekolah yang memahami
kurikulum SMK.
Pada dasarnya, kendala merupakan aspek
yang tak terpisahkan dari suatu kegiatan.
Menyadari akan hal itu, langkah yang dapat
ditempuh oleh pihak sekolah mengenai
permasalahan pendanaan adalah dengan
mengajukan penganggaran (budgetting) sesuai
kebutuhan sekolah dalam jumlah dan kurun
waktu tertentu ke pihak dinas pendidikan.
Selanjutnya kebutuhan sekolah akan
sarana prasarana yang memadai dapat
menunjang proses pembelajaran. Pengadaan
sarana dan prasarana pendidikan menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah. Sarana
pendidikan berupa peralatan pendidikan,
media belajar, buku dan sumber belajar, bahan
habis pakai, serta perlengkapan lain yang
diperlukan untuk menunjang pembelajaran.
Prasarana pendidikan meliputi ruang kelas,
ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang tata
usaha, ruang perpustakaan, laboratorium,
ruang bengkel kerja, ruang unit produksi,
kantin, lapangan olahraga, tempat beribadah,
dan ruang lain yang diperlukan di sekolah.
Kebutuhan tenaga guru juga tidak kalah
penting, karena guru merupakan tombak dari
kebermaknaan dan keberhasilan pendidikan.
Sekolah membutuhkan guru yang mengajar
sesuai dengan bidang ilmunya. Namun di
SMK masih ditemukan guru yang mengajar
tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikannya.
Selanjutnya, SMK membutuhkan pengawas
sekolah yang benar-benar memahami
Megawati, Efektivitas Peningkatan Kemampuan Profesional Guru
123
kurikulum SMK dan memiliki kemampuan
dalam memberikan bantuan kepada guru
untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Program peningkatan kemampuan
profesional guru dilakukan sesuai dengan
kebutuhan guru yang disusun setiap
tahunnya dengan melibatkan kepala
sekolah, para wakil kepala sekolah, ketua
jurusan/prodi, pengawas sekolah, forum
MGMP, dan guru senior. Program berisi
upaya pengembangan kompetensi guru
yang akan dilaksanakan di sekolah dan
diluar sekolah.
2. Pelaksanaan peningkatan kemampuan
profesional guru sudah dilakukan di
sekolah dan diluar sekolah. Guru yang
telah mengikuti kegiatan pengembangan/
pelatihan seharusnya mensosialisasikan
ilmu yang diperolehnya kepada guru lain,
namun belum berjalan maksimal.
3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan peningkatan kemampuan
profesional guru diantaranya adalah
pendanaan, kurangnya sosialisasi dari
dinas pendidikan, bidang ilmu yang
diampu guru tidak sesuai dengan
kualifikasi pendidikan, masih ada guru
yang belum menguasai ilmu teknologi,
sarana prasarana juga merupakan kendala
yang masih dihadapi sekolah.
Saran-saran
1. Program peningkatan kemampuan
profesional guru SMK yang telah disusun
sebaiknya dapat dirumuskan kembali
dengan melibatkan kepala sekolah,
pengawas, para wakil kepala sekolah,
forum MGMP sekolah dan para guru yang
akan di latih/dikembangkan. Karena jika
melibatkan orang-orang yang akan terlibat
dalam pelaksanaannya, akan memudahkan
pemilihan tehnik pengembangan bila lebih
dahulu diketahui permasalahan yang
dihadapi para guru dalam pembelajaran.
2. Pelaksanaan peningkatan kemampuan
profesional guru harus dilakukan sesuai
dengan tujuan untuk memperbaiki
pembelajaran. Kegiatan pelatihan perlu
lebih ditingkatkan lagi dan perlu
disosialisasikan kembali ke tempat
pelatihan khususnya pelatihan di luar
sekolah, agar materi yang sampaikan
sesuai dengan perkembangan dan
perubahan kurikulum SMK.
3. Semua kendala yang dihadapi dapat
teratasi jika dilibatkan semua orang yang
terlibat dalam kegiatan ini, yaitu pelatih
dan pihak yang dilatih. Pengembangan
hendaknya lebih mengutamakan
kebersamaan, saling membutuhkan, saling
berbagi, sehingga dapat terciptanya
hubungan yang harmonis, dan tujuan yang
ingin diraih dapat tercapai dengan
maksimal yang berdampak kepada
peningkatan mutu pendidikan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA Bafadal, Ibrahim, 2005, Peningkatan
Profesionalisme Guru Sekolah Dasar
Dalam Kerangka Manajemen Peningkatan
Mutu berbasis Sekolah, Jakarta, Edisi
Revisi, Bumi Aksara.
Daryanto, HM, 2006, Administrasi
Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta.
Depdiknas, 2008, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Jakarta.
Depdiknas, 2005, Undang-undang Republik
Indonesia No.14 Tahun 2005, Tentang
Guru dan Dosen, Jakarta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Hasibuan, Malayu, 2005, Manajemen Sumber
Daya Manusia, Jakarta, Haji Mas Agung.
Herabudin, 2009, Administrasi & Supervisi
Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia.
Mudyahardjo, Redja, 2009, Pengantar
Pendidikan, Sebuah Studi Awal Tentang
Dasar-dasar Pendidikan Pada Umumnya
dan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta,
Raja Grafindo Persada.
Mukhtar dan Iskandar, 2009, Orientasi Baru
Supervisi Pendidikan, Jakarta, Gaung
Persada.
Mulyasa, 2009, Standar Kompetensi Dan
Sertifikasi Guru, Bandung, Remaja
Rosdakarya.
Sahertian, Piet, 2005, Konsep Dasar Dan
Teknik Supervisi Pendidikan Dalam
Rangka Pengembangan Sumber Daya
Manusia, Jakarta, Rineka Cipta.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
124
Suhardan, Dadang, 2010, Supervisi
Pendidikan, Layanan Dalam
Meningkatkan Mutu Pembelajaran Di Era
Otonomi Daerah, Bandung, Alfabeta.
Usman, Nasir, 2007, Manajemen Peningkatan
Kinerja Guru, Bandung, Mutiara Ilmu.
Usman, Nasir, 2012, Manajemen Peningkatan
Mutu Kinerja Guru, Konsep, Teori dan
Model, Bandung, Citapustaka Media
Perintis.
Megawati, Efektivitas Peningkatan Kemampuan Profesional Guru
Recommended