View
14
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
IMPLIKASI KONFLIK BERSENJATA ANTARA THAILAND DAN KAMBOJA
TERHADAP INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU NEGARA ANGGOTA ASEAN
DITINJAU MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
OLEH
A.M. ALVI NAREZA CAESAR AZHAR
B 111 07 189
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi
Sarjana Hukum Dalam Bagian Hukum Internasional
Program Studi Ilmu Hukum
PADA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
A.M. Alvi Nareza Caesar Azhar, B 111 07 189, Implikasi Konflik
Bersenjata Antara Thailand dan Kamboja Terhadap Indonesia Sebagai Salah
Satu Negara Anggota ASEAN Ditinjau Menurut Hukum Internasional.
(Dibimbing oleh Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H. selaku pembimbing I dan Birkah
Latif, S.H.,M.H. selaku pembimbing II).
Penelitian ini bertujuan untuk mampu mengetahui bagaimana pengaruh yang
ditimbulkan akibat konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja terhadap
Indonesia yang merupakan sebagai salah satu negara anggota ASEAN. Selanjutnya
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa di
ASEAN yang melibatkan anggotanya dalam hal ini konflik bersenjata antara
Thailand dan Kamboja.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan
Library Research , dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan.
Data dilengkapi dengan data sekunder dari referensi-referensi (buku dan webside),
seperti peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan metode analisis
kualitatif secara deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Kementerian Luar Negeri RI
dan Perpustakaan Umum Ali Alatas, S.H.
Adapun temuan yang didapatkan dari hasil penelitian. Pertama Pengaruh
dari konflik Thailand dan Kamboja yang telah memposisikan Indonesia sebagai
pihak garda terdepan yang turut aktif untuk menengahi dan memediasi konflik
bersenjata tersebut Kedua Penyelesaian sengketa diantara negara ASEAN
ditentukan dalam Treaty of Amity Cooperation (TAC), yaitu negoisasi langasung
antara para pihak, melalui high council, menyelesaikan sengketa dengan pasal 33
piagam PBB. Penyelesaian konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja
diselesaikan dengan jalur mediasi yang mana Indonesia hadir sebagai pihak yang
memediasi keduanya. upaya penyelesaian sengketa dalam konflik Thailand dan
Kamboja merupakan evolusi peranan dari ASEAN sebagai organisasi internasional
kawasan regional dan PBB sebagai induk organisasi internasional yang meliputi
kedua negara itu (Multitrack).
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT
penguasa alam semesta atas segala limpahan rahmat, taufik, inayah, dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat merampungkan penulisan dan penyusunan skripsi yang
berjudul “Implikasi Konflik Bersenjata Antara Thailand dan Kamboja Terhadap
Indonesia Sebagai Salah Satu Negara Anggota ASEAN Ditinjau Menurut
Hukum Internasional”.
Shalawat dan salam yang tak kunjung henti kepada junjungan nabi besar kita
Muhammad SAW yang telah mengajarkan umatnya ketakwaan, kesabaran dan
keikhlasan dalam mengarungi hidup yang fana sehingga mengantarkan penulis
untuk tahu akan arti kehidupan dan cinta yang hakiki.
Pertama-tama penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang terdalam
dan tak terhingga kepada kedua orang tua Ayahanda (Gufran Buchari, Idris
Faisal) dan Ibunda (A.Evie Mochtar, A.Irawati Mochtar) serta Kakanda (Mario
Caesar, Ihsan Pasamula) dan juga Adinda (Caca, Cica) dan Seluruh Keluarga
atas segala kasih sayang, cinta kasih dan dukungannya yang tiada henti sehingga
membentuk kepribadian dan kedewasaan penulis dalam meraih cita. Semoga Allah
vii
SWT senantiasa memberi kasih sayang-Nya sebagaimana kasih sayang yang telah
kalian berikan selama ini.
Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan semangat, tenaga, pikiran serta
bimbingan dari berbagai pihak yang sangat penulis hargai. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga serta
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr. R.M. Marty Muliana Natalegawa, M.Phil, B.Sc., selaku
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.
2. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO., selaku Rektor
Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H.,M.H.,DFM., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin;
4. Bapak Prof.Dr. Ir. Abrar, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan I, Bapak
Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan II, dan Bapak
Romy Librayanto, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan III;
5. Bapak Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H., selaku Pembimbing I terima
kasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis, kesabaran,
keikhlasan dan keteguhannya dalam membimbing penyusunan dan
penulisan skripsi ini;
6. Ibu Birkah Latif, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II yang senantiasa
memberikan semangat dalam belajar dan membaca serta diskusi-
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Idrus_A._Paturusi&action=edit&redlink=1
viii
diskusi mengenai skripsi penulis dan juga terima kasih atas segala
perhatian, ilmu yang diberikan, keikhlasan, dan segala kesabaran
dalam membimbing penulis;
7. Bapak Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H., selaku Penguji I,
Ibu Inneke Lihawa, S.H., M.H., selaku Penguji II,
Ibu Tri Fenny Widayanti, S.H., M.H., selaku Penguji III,
Terima kasih atas kesediaan dan partisipasinya untuk menguji
penulis dalam ujian skripsi serta saran-saran membangun yang
telah diberikan kepada penulis;
8. Seluruh pengajar/dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
khususnya dosen pada bagian Hukum Internasional atas segala
ilmu yang telah diberikan kepada penulis;
9. Seluruh Staf Akademik (ibu haji haderah,ibu farida, pak KTU, pak
Bunga) dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
yang telah banyak membantu penulis selama berada di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin;
10. Bapak Ade Padmo Sarwo (Direktur Polkam ASEAN), Bapak Andri
Djufri Said (Secretariat Directorate General of ASEAN Cooperation,
KEMENLU RI), Ibu Endang D Mardeyani (Kepala Bagian Umum
BPPK), Bapak Derry Aman (Kasubdit Polkam ASEAN), Mas ramzi,
Mas andri, Mbak Iim, serta para nara sumber lain yang telah
ix
membantu penulis dalam penyediaan materi-materi yang terkait
dengan skripsi ini;
11. Emiria Rufaida, S.H. yang senantiasa memberikan motivasi,
support dan kasih sayang dalam suka dan duka serta membantu
belajar selama 4 tahun 3 bulan di fakultas hukum universitas
hasanuddin, dan juga salam buat Amelia, tante noura, om basri,
nenek dan oma
12. Teman-teman pada organisasi ILSA, HmI ang.99, ALSA, FOPMAB,
Hipma Gowa, UKM Sepak Bola FHUH, DPM FHUH periode 08/09.
13. Teman-teman KKN Profesi Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin tahun 2010 pada Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia : Yudho, Fauzan, Minarti, Devyta, Randi, Andi, Lange,
Ulva, Afrizal, Ahkam, Ipul, Aswin, Boy, Jane, Rininta, dll;
14. Teman-teman seperjuangan : IkhwanMS, madi, danu, sakir, Ka
gufi, Ka rahmat, Ka raju, Ka nandar, Ka oci, alif, om tri, arandi, devi,
sasa, fandy, bom-bom, erik, joko, ippang, imal, anto, arifandi, fanci,
eca kurni, iLo, cakra, luki, bondan, cuncunk, cappo, hari, andika,
fikar, uga, irsad, iccang, aswin, dauta, aryo, dito, fadli nyong, iwan,
ardi, riswan, udpa, ari, ramdan, mamad, fadlan, faris, panjul, ali,
acca, ibenk, halik, ical fuad, eca, piyan, cimeng, mail, aso, ryan,
ismed, tomi, takdir, wiwin, fahrul, fazlur, pius, sira’, accul, riki, ka
x
ical, akbar ai, mace sija’, nenek hj, ka ratna, ka oca, Daeng rais,
mas/mbak bakso, sunny, dll.
15. Warkop AI, Anjelo ai, Banana FC, lobe-lobe, Kios 28, Mamo Crew,
Adenoid (odi, gatra, iwan, gandro, obheq, wandi, diki, nino, puang,
dll);
16. Rekan-rekan angkatan EKSTRADISI 2007 Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
Dan semua pihak yang tak dapat penulis tuliskan namanya satu persatu,
terima kasih atas segala bantuan dan sumbangsinya baik itu moral maupun
materil dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini. Dengan segala
keterbatasan penulis hanyalah manusia biasa dan tak dapat memberikan
yang setimpal atau membalasnya dengan apa-apa kecuali memohon
keridhoan yang maha kuasa agar kiranya bantuan tersebut dapat berbuah
pahala dan mendatangkan fitrah bagi kita semua.
Pada akhirnya semoga keikhlasan yang telah dipersembahkan kepada
penulis mendapat rahmat dan hidayah dari yang maha mengetahui.
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Karenanya, penulis membuka diri
terhadap kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini, sehingga dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
xi
Tak ada gading yang retak, tak ada manusia yang tak sempurna apabila
ada kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaafkan. Billahi taufik wal
hidayah.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Januari 2012
P e n u l i s
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. ii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ..................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah……………………………………... ................................... 7
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Konflik Bersenjata ......................................................................................... 9
1. A. Pengertian Konflik Bersenjata...………………………………………… ... 9
1. B. Dasar Hukum Konflik Bersenjata………………………….. .................... 10
2. Penyelesaian sengketa Internasional ............................................................ 12
2. A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Damai..…………............. 14
2. B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Paksa…………………….. 29
xiii
3. Organisasi Internasional................................................................................ 36
3. A. Pengertian Organisasi Internasional……………………………………… 36
3. B. Pembentukan Organisasi Internasional………………………………….. 37
3. C. Status Hukum Organisasi Internasional…………………………………. 38
3. D. Keanggotaan Organisasi Internasional…………………………………... 41
3. E. Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Internasional……………… 42
4. ASEAN (Association of South East Asian Nations) ....................................... 45
4. A. Latar Belakang dan Sejarah…………………………………………......... 45
4. B. Tujuan dan Prinsip ASEAN……………………………………………….. . 49
4. C. Struktur Organisasi Internasional………………………………………… 54
4. D. Perkembangan Komunitas ASEAN………………………………………. 56
5. Negara Indonesia Sebagai Anggota ASEAN…………………………………... 58
BAB III METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian ........................................................................................... 63
2. Jenis dan Sumber Data ................................................................................. 63
3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 64
4. Analisis Data ................................................................................................. 64
5. Sistematika Penulisan ................................................................................... 65
xiv
BAB IV PEMBAHASAN
1. Pengaruh Yang Ditimbulkan Akibat Konflik Bersenjata Antara Thailand
Dan Kamboja Terhadap Indonesia Sebagai Salah Satu Negara
Anggota ASEAN. ........................................................................................... 66
1. A. Pengaruh Internal Akibat Konflik Bersenjata antara Thailand dan
Kamboja………………………………………………………………... ..... .67
1. B. Pengaruh Eksternal Akibat Konflik Bersenjata antara Thailand
dan Kamboja…………………………………………………………... ...... 69
2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di dalam ASEAN Terhadap
Kasus Sengketa yang Melibatkan Anggotanya (Konflik Bersenjata
Antara Thailand dan Kamboja). ................................................................... 75
2. A. Penyelesaian Sengketa di ASEAN…………………………………........ 75
2. B. Penyelesaian Sengketa Konflik Bersenjata Antara Thailand dan
Kamboja…………………………………………………………………….. 78
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan .................................................................................................. 87
2. Saran ........................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Negara Thailand dan negara Kamboja pada awalnya memiliki
hubungan yang baik, kedua negara sangat jarang terlibat konflik. Hal ini
mungkin dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak persamaan,
salah satu persamaannya adalah agama, yaitu agama Buddha yang
merupakan agama mayoritas dikedua negara tersebut. Persamaan kedua
ialah dari sistem pemerintahan mereka yang sama-sama mengadopsi sistem
monarki konstitusional, akan tetapi hubungan yang baik itu menjadi
merenggang selepas konflik perang Indochina pada tahun 1975, selepas
perang Indochina tersebut hubungan kedua negara terus menerus
merenggang. Hubungan tersebut semakin memburuk yang diperparah
dengan konflik antara keduanya yang semakin memanas belakangan ini.
Adapun konflik yang memicu antara Thailand dan Kamboja adalah
permasalahan yang terletak pada suatu tempat yaitu kuil Preah Vihear.
Sebuah kuil yang berusia kurang lebih 900 tahun, yang belakangan ini
menjadi perbincangan. Penyebabnya adalah karena wilayahnya seluas 4,6
km2 di sekitar kuil tersebut kini sedang diperebutkan dua negara ASEAN
2
tersebut yaitu Thailand dan Kamboja. Kedua negara itu sama-sama
mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, dan keduanya sama-sama
berpendapat penempatan tentara dari kedua negara di wilayah tersebut
merupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Juli 2008 lalu,
kedua negara yang bertikai sama-sama menempatkan tentaranya yang
keseluruhannya berjumlah lebih dari 4000 pasukan di kawasan kuil Preah
Vihear tersebut.1
Wilayah kuil Preah Vihear yang seluas 4,6 km2 ini memang sudah
menjadi perdebatan sejak lama. Akan tetapi, perdebatan semakin memanas
sejak dikeluarkannya keputusan UNESCO yang memasukkan kuil itu ke
dalam daftar warisan sejarah dunia. Keputusan UNESCO ini kemudian
mengundang dua reaksi berbeda, reaksi gembira dari rakyat Kamboja, serta
reaksi negatif dari rakyat Thailand. Sebenarnya, masalah kepemilikan kuil
tersebut sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun 1962 tentang
“Case Concerning the Temple of Preah Vihear” Dalam keputusannya,
mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kuil
Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus
menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut. 2 Namun yang
1 http://www.kompas.com/2008/10/18/55775/thailand-Kamboja/, diakses pada tanggal 4 Agustus 2011,
pukul 11.17 wita. 2 http://www.icj-cij.org/homepage/index.php?lang=en, diakses pada tanggal 4 Agustus 2011,
pukul11.25 wita.
http://www.kompas.com/2008/10/18/55775/thailand-kamboja/http://www.icj-cij.org/homepage/index.php?lang=en
3
menjadi masalah di sini adalah wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut
yang tidak dijelaskan kepemilikannya oleh Mahkamah Internasional.3
Masalah kepemilikan yang tidak jelas inilah yang menyebabkan
terjadinya sengketa yang kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata di
wilayah sekitar kuil Preah Vihear. Konflik bersenjata yang terjadi pada
tanggal 15 Oktober 2009 dikabarkan telah menewaskan tiga tentara Kamboja
dan membuat empat tentara Thailand luka-luka. Hal ini tentu membuat warga
Kamboja berang. Kemarahan warga Kamboja itu menyebabkan kedutaan
Thailand dan beberapa usaha milik warga Thailand dibakar yang berada di
ibu kota Phnom Penh.
Perdebatan mengenai wilayah sekitar kuil Preah Vihear itu sebenarnya
sudah dimulai sejak lama. Perdebatan ini muncul karena Kamboja sebagai
negara bekas jajahan Perancis memiliki peta teritori wilayahnya yang pernah
digunakan oleh mantan penjajahnya yaitu Perancis, sedangkan disatu sisi
pihak Thailand juga menggunakan peta teritori wilayahnya sendiri, dengan
penafsiran mengenai besar wilayah sehingga menimbulkan klaim terhadap
wilayah masing-masing. Salah satu wilayah yang menjadi masalah adalah
wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil Preah Vihear tersebut. Jika klaim
Kamboja tentang wilayah 4,6 km2 ini dikabulkan oleh Thailand, Thailand
khawatir Kamboja akan semakin merajalela dan mencaplok pula wilayah-
3 http://www.kompas.com/2008/10/18/55775/thailand-Kamboja/, diakses pada tanggal 4 Agustus 2011,
pukul 11.30 wita.
http://www.kompas.com/2008/10/18/55775/thailand-kamboja/
4
wilayah lain yang juga disalah tafsirkan. Hal yang sama juga dilakukan oleh
pihak Kamboja. Karena itu tidak heran wilayah yang hanya seluas 4,6 km2
begitu diperebutkan, baik oleh Kamboja maupun Thailand.4
Dalam hal ini ada satu masalah lagi yang mendorong Kamboja
maupun Thailand untuk memiliki wilayah sekitar kuil Preah Vihear tersebut.
Alasannya adalah karena wilayah sekitar kuil Preah Vihear adalah wilayah
yang kaya akan sumber daya mineral, minyak bumi, dan gas alam.
Kepemilikan akan wilayah sekitar kuil Preah Vihear itu berarti akan menjamin
terpenuhinya kebutuhan energi negara pemiliknya, juga sekaligus akan
meningkatkan pemasukan negara tersebut dari sektor penjualan sumber
energi. Hal ini menambah alasan mengapa wilayah sekitar kuil Preah Vihear
merupakan wilayah yang layak untuk diperebutkan, baik oleh Thailand
maupun Kamboja.5
Sengketa wilayah antara Thailand dan Kamboja menimbulkan korban
jiwa dan memaksa ribuan orang mengungsi. Hal tersebut telah mencoreng
prestasi dan reputasi ASEAN sebagai sebuah mekanisme pencegahan
konflik khususnya bagi negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Dalam
hal ini ASEAN tidak dapat lagi memandang bahwa sengketa wilayah di
antara negara anggotanya tidak akan pernah menjadi penyebab konflik
4 http://www.theJakartapost.com/2008/10/16/55350 /400-an-warga-thailand-tinggalkan-Kamboja/,
diakses pada tanggal 4 Agustus 2011, pukul 16.54 wita. 5 Derek Manangka, 2008, Bara Dendam Thailand dan Kamboja, Penerbit Kencana, Jakarta, hlm 14.
http://www.thejakartapost.com/2008/10/16/55350%20/400-an-warga-thailand-tinggalkan-kamboja/
5
bersenjata. Sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara,
Indonesia jelas menyadari implikasi konflik antara Thailand dan Kamboja
yang membuat kredibilitas ASEAN dipertanyakan, melainkan juga stabilitas
regional dan pada umumnya bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN pada
tahun 2011. Hal itu mendorong pemerintah Indonesia mengambil peran aktif
membantu mencari solusi, bukan dengan meminta kedua pihak yang bertikai
“menyapu masalah ke bawah karpet”, melainkan dengan memfasilitasi
perundingan damai secara langsung dan terbuka.6
Sangat disayangkan, usaha Indonesia ini terganjal oleh kompleksitas
faktor-faktor politik dalam negeri dikedua negara, dimana Menteri luar negeri
Thailand dan Kamboja sepakat meminta Indonesia menempatkan tim
observasi di wilayah pertikaian dan berpartisipasi dalam proses bilateral
selanjutnya, akan tetapi hal tersebut tidak dapat terlaksanakan dikarenakan
hal tersebut ditentang oleh pihak militer Thailand.7
Tentu saja terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa usaha Indonesia
telah mengalami kegagalan. Dalam konteks hubungan internasional,
penyelesaian konflik dan sengketa territorial merupakan masalah yang amat
sulit dan membutuhkan proses panjang. Yang terpenting adalah kedua belah
pihak tetap menyadari pentingnya peran Indonesia dalam menjalankan “opsi
6 Derek Manangka, op. cit., hlm 16.
7 Penolakan ini terjadi pada tanggal 21 Desember 2010 (Merupakan proses awal ikutnya Indonesia.
Kemudian di tanggal 22 Februari 2011 terjadi perubahan hingga Indonesia bisa menjadi mediator dan mengerahkan tim observasinya di daerah sengketa wilayah tersebut).
6
ASEAN”, dan tidak bersikukuh dengan “opsi bilateral” (dalam hal ini Thailand)
ataupun “opsi PBB/ internasional” (seperti yang diinginkan Kamboja).
Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja jelas menunjukan
bahwa sengketa wilayah dan perbatasan tetap menjadi sumber konflik yang
tidak dapat lagi diabaikan oleh ASEAN, di samping itu masih banyak kasus
sengketa wilayah lainnya yang melibatkan negara-negara ASEAN, termasuk
antara beberapa negara ASEAN dan Cina di laut Cina selatan. Sengketa ini
menjadi ganjalan tidak hanya bagi perwujudan cita-cita komunitas keamanan
ASEAN, tapi juga bagi upaya mempertahankan peran sentral ASEAN di
kawasan Asia timur.8
Sebagai ketua ASEAN 2011, Indonesia harus memanfaatkan
momentum seperti ini dengan mendorong ASEAN untuk memperkuat dan
melembagakan moralitas serta mekanisme penyelesaian sengketa secara
lebih terperinci dan operasional, ASEAN Charter dan Treaty Amity
Cooperation sesungguhnya telah memberi dasar untuk itu. 9 Bersamaan
dengan itu, Indonesia juga perlu mengambil prakarsa untuk memeperkuat
kapasitas ASEAN dalam menggunakan good office, konsiliasi, dan mediasi
yang merupakan mandat piagam ASEAN serta diikuti melalu kerja sama
8 http://www.korantempo.com/menjaga.perdamaian.ASEAN.html?page=2, diakses pada tanggal 6
Agustus 2011, pukul 05.24 wita. 9 http://mediaindonesia.com/ASEAN.diuji.konflik.thailand-kamboja/, diakses pada tanggal 6 Agustus
2011, pukul 13.39 wita.
http://www.korantempo.com/http://mediaindonesia.com/ASEAN.diuji.konflik.thailand-kamboja/
7
dengan Perserikatan Bangsa Bangsa. 10 Tanpa langkah-langkah strategis
seperti ini, ASEAN dikhawatirkan akan menjadi sebuah komunitas regional
tanpa persatuan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk memfokuskan penulisan
skripsi ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh yang ditimbulkan akibat konflik bersenjata
antara Thailand dan Kamboja terhadap Indonesia sebagai salah satu
negara anggota ASEAN ?
2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN
terhadap sengketa yang melibatkan anggotanya (Konflik bersenjata
antara Thailand dan Kamboja) ?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a) Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan akibat konflik
bersenjata antara Thailand dan Kamboja terhadap Indonesia
sebagai salah satu negara anggota ASEAN.
10
http://mediaindonesia.com/ASEAN.diuji.konflik.thailand-kamboja/, diakses pada tanggal 6 Agustus 2011, pukul 13.57 wita.
http://mediaindonesia.com/ASEAN.diuji.konflik.thailand-kamboja/
8
2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa di
ASEAN yang melibatkan anggotanya dalam hal ini konflik
bersenjata antara Thailand dan Kamboja.
b) Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum
pada umumnya, hukum internasional, hukum organisasi
internasional dan proses penyelesaian sengketa
internasional pada khususnya serta dapat digunakan
sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis.
2. Hasil penelitian diharapkan guna mengembangkan
penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk
mengembangkan kemampuan dalam mengkritisi persoalan-
persoalan hukum.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konflik Bersenjata
A. Pengertian Konflik Bersenjata
“Definisi dari Konflik Bersenjata menurut Pietro Verri adalah Suatu konflik non-internasional (atau konflik internal), dapat dianggap (menjadi) konflik bersenjata yang bersifat internasional apabila telah terpenuhi syarat-syarat berikut11:
1. Jika suatu negara yang berperang melawan pasukan pemberontak di dalam wilayahnya telah mengakui pihak pemberontak tersebut sebagai pihak yang bersengketa (belligerent);
2. Jika terdapat satu atau lebih negara asing yang memberikan bantuan kepada salah satu pihak dalam konflik internal, dengan mengirimkan Angkatan Bersenjata resmi mereka dalam konflik yang bersangkutan; dan
3. Jika terdapat dua negara asing, dengan Angkatan Bersenjata masing-masing melakukan intervensi dalam suatu negara yang sedang terlibat konflik internal, di mana masing-masing angkatan bersenjata tersebut membantu pihak yang saling berlawanan”.
“Haryomataram membagi konflik bersenjata menjadi 2 bagian12:
1. Konflik bersenjata yang bersifat internasional
Adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain.
11
Pietro Verri, 1992, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, hlm 35. 12
Haryomataram, 2002, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, hlm 3.
10
2. Konflik bersenjata yang bersifat Non-internasional
Dikenal juga sebagai “perang pemberontakan”, ialah perang yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C”
“Starke membagi konflik bersenjata menjadi dua13:
1. Perang yang tepat antara negara
2. Konflik bersenjata yang bukan dari karakter perang”
B. Dasar Hukum Konflik Bersenjata
Sumber hukum yang mengatur tentang konflik bersenjata terbagi
menjadi14:
1. Konvensi Den Haag 1907;
Mengatur alat dan cara-cara berperang.
2. Konvensi Genewa 1949;
Mengatur korban perang baik kombatan dan sipil.
3. Protokol tambahan 1977.
Protokol ini menyempurnakan isi dari Konvensi Genewa dan prinsip-
prinsip yang terdapat dalam Konvensi Genewa masih tetap berlaku.
Dalam konflik bersenjata, masyarakat internasional harus
memperhatikan prinsip-prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI).
Prinsip mendasar dari HHI adalah hasil kompromi antara prinsip
13
Haryomataram, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, op. cit., hlm 4. 14
Ibid., hlm 45.
11
kemanusiaan (principle of humanity) dan prinsip kepentingan (principle of
necessity).15
Prinsip-prinsip HHI yang harus diperhatikan adalah16:
1. Prinsip Kemanusiaan (Principle of Humanity);
Menentukan bahwa pihak yang berperang diwajibkan untuk berperilaku memperhatikan kemanusiaan, dimana mereka dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan penderitaan yang berlebihan.
2. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle);
Membedakan antara pihak kombatan 17 dan penduduk sipil dalam wilayah negara yang berperang.
3. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle);
Tujuan dalam prinsip ini adalah untuk menyeimbangkan antara kepentingan militer dan resiko yang akan merugikan penduduk sipil.
4. Prinsip Larangan untuk Menyebabkan Penderitaan yang Tidak Seharusnya (Principle of Prohibition of Causing Unnecessary Suffering). Para pihak yang berperang mempunyai keterbatasan dalam memilih alat dan metode berperang. Para pihak tidak dapat menggunakan senjata yang menyebabkan penderitaan yang berlebihan (superfluous injury) atau penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
5. Prinsip Kepentingan Militer (Military Necessity)
Para pihak dalam menggunakan kekuatan militer harus sah menurut hukum. Dalam menggunakan kekerasan, hal yang harus diperhitungkan adalah prinsip proporsionalitas dan keseimbangan antara kepentingan militer dan kepentingan kemanusiaan.
15
Jean Pictet, 1996, The Principle of International Humanitarian Law, ICRC, Geneva, hlm 27. 16
Sri Setianingsih, 2006, Pengantar Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional
FHUI, hlm 8. 17
Kombatan adalah penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil tidak ikut aktif dalam peperangan.
12
2. Penyelesaian Sengketa Internasional
Penyelesaian sengketa merupakan satu tahapan penting dan
menentukan, dalam hal terjadinya sengketa oleh karena itu hukum
internasional memainkan peranan penting guna memberikan pedoman,
aturan, dan cara atau metode bagaimana suatu sengketa dapat diselesaikan
oleh para pihak secara damai. Hal ini dituangkan dalam pasal 1 Konvensi
Den Haag tahun 1907. Pasal 1 Konvensi 1907 ini kemudian diambil oleh
piagam PBB, yaitu pasal 2 ayat 3 Piagam PBB berbunyi18:
“All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. “
Ketentuan pasal 2 ayat 3 Piagam PBB ini kemudian dijabarkan dalam
pasal 33 ayat 1 Piagam PBB yang mengatakan bahwa19:
“Pihak-pihak yang berada dalam suatu sengketa yang terus menerus yang mungkin membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian melalui negosiasi, penyelidikan, dengan peraturan, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilih sendiri.”
Prinsip penyelesaian sengketa secara damai kemudian diambil alih
dalam Deklarasi mengenai hubungan bersahabat dan kerja sama antar
negara tanggal 14 Oktober 1970 (A/RES/2625/XXV) dan Deklarasi Manila
18
Charter of United Nations, 1945. 19
Ibid.
13
tanggal 15 November 1982 (A/RES/37/10) mengenai penyelesaian sengketa
internasional secara damai. Selain penyelesaian sengketa secara damai
perlu kita ketahui bahwa dikenal juga penyelesaian sengketa dengan
kekerasan di dalam hukum internasional.
Sebelum kita membahas mekanisme penyelesaian sengketa
internasional, perlu diketahui bahwa sengketa internasional terbagi dua
yaitu20:
1. Sengketa Hukum (legal judicial disputes);
Sengketa hukum biasanya diselesaikan dengan cara arbitrase dan pengadilan dunia.
2. Sengketa Politik (political or nonjusticiable disputes)
Sengketa politik biasanya diselesaikan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, penyelidikan (enquiry), penyelesaian melalui organisasi internasional, perang, retorsi, reprisal, blokade, intervensi, invasi, dan agresi.
Penyelesaian sengketa internasional dapat dilakukan dengan dua
macam cara yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan secara paksa
atau kekerasan.
20
Huala Adolf, 2007, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 3.
14
A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Damai
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan
langsung oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran
diplomatik biasa. Cara ini merupakan cara yang sangat praktis dan efektif.
Hal ini disebabkan karena cara penyelesaian dengan negosiasi ini para pihak
dapat langsung berhubungan dan saling memberikan pengertian tentang apa
yang dikehendaki, oleh karenanya kedua belah pihak dapat bertindak dengan
bijaksana untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.21 Dalam hal
ini negosiasi mempunyai prinsip di mana telah diakui bahwa pencegahan
adalah lebih penting dari pengobatan dan salah satu bentuk negosiasi adalah
konsultasi.
Negosiasi dalam pelaksanaanya memiliki dua bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Cara ini dapat digunakan menyelesaikan sengketa
ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain.22
Kelemahan utama penggunaan cara ini dalam menyelesaikan
sengketa adalah23:
21
Sri Setianingsih, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI – Press, Jakarta, hlm 7. 22
Ibid., hlm 8. 23
Huala Adolf, op. cit., hlm 19.
15
1. Dimana kedudukan para pihak tidak seimbang, salah satu
pihak kuat, sedangkan pihak lain lemah. Dalam keadaan
ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan
pihak lainnya. Hal ini acap kali terjadi manakala dua pihak
bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa di antara
mereka.
2. Proses berlangsungnya negosiasi acap kali lambat dan
makan waktu lama. Hal dikarenakan permasalahan antar
negara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan
dengan ekonomi internasional. Selain itu, jarang sekali
adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak
untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi.
3. Dimana suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya.
Keadaan ini dapat menimbulkan proses negosiasi menjadi
tidak produktif.
Agar negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa berhasil, maka
antar para pihak yang bersengketa harus ada kepercayaan akan
penyelesaian dengan negosiasi. Adanya ketidakpercayaan antar para pihak
dapat menyebabkan tidak tercapainya penyelesaian sengketa mereka. Ada
beberapa cara untuk dapat mengatasi hal tersebut. Bila negosiasi antar para
16
pihak untuk masalah substansi mengalami jalan buntu, maka kemungkinan
untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah mengadakan perjanjian yang
memberikan kompensasi pada salah satu untuk dapat mencairkan isu
substansi. Sebagai contoh misalnya24:
“Ketika ada sengketa antara Inggris dan Iceland tentang masalah batas wilayah penankapan ikan. Tahun 1961 kedua belah pihak mengakhiri sengketanya dengan membuat suatu perjanjian yang berisi bahwa Inggris mengakui klaim Iceland untuk memperpanjang wilayah penangkapan ikan Iceland, namun Inggris akan diberitahu tentang perpanjangan tersebut dalam waktu enam bulan. Dalam hal timbulnya sengketa karena perpanjangan wilayah perikanan tersebut kedua belah pihak setuju untuk membawanya ke Mahkamah Internasional (ICJ).”
Contoh di atas menggambarkan penyelesaian dengan package deal,
hal ini sering terjadi dikonferensi multilateral, di mana kepentingan antar
anggota berbeda-beda. Suatu anggota menawarkan kepentingannya untuk
didukung oleh pihak lain, pihak tersebut akan mendukung usul pihak lain
yang membutuhkan dukungannya.25
Perlu diingat bahwa negara terikat untuk mengadakan penyelesaian
sengketanya dengan negosiasi bila hal tersebut dinyatakan dalam perjanjian
yang telah disetujuinya atau kewajiban untuk mangadakan negosiasi itu
didasarkan pada hukum kebiasaan internasional. Pasal 33 piagam PBB
menentukan alternatif penyelesaian sengketa di antaranya dengan negosiasi.
24
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 12. 25
Ibid., hlm 13.
17
Oleh karena itu negara-negara anggota PBB berhak untuk menggunakan
negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa.26
2. Mediasi
Apabila sengketa internasional tidak mampu diselesaikan dengan cara
negosiasi, maka dimungkinkan adanya campur tangan pihak ketiga yang
akan menyelesaikan jalan buntu ini dan menghasilkan penyelesaian yang
dapat diterima masing-masing pihak. Hal ini biasanya disebut mediasi, dalam
keadaan ini pihak ketiga menyumbangkan “jasa baik”nya kepada kedua
belah pihak yang bersengketa.27
Mediasi mungkin juga dilaksanakan lebih dari suatu negara, sebagai
contoh komisi tiga negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat) komisi ini
dibentuk oleh PBB dalam rangka menyelesaikan masalah sengketa Republik
Indonesia dan Belanda pada tahun 1947, komisi ini bahkan membantu
perumusan Perjanjian Renville.
Mediasi juga dapat dilaksanakan dengan sokongan keuangan dan
bantuan lain yang bernilai untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai contoh28:
“Pada saat ada sengketa antara Pakistan dan India tentang wilayah perairan Indus antara tahun 1951 dan 1961 Bank Dunia menawarkan bantuan keuangan dan usaha ini berhasil.”
26
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 14. 27
J.G. Merrills, 1998, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, hlm 22. 28
Ibid., hlm 24.
18
Mediasi juga sering dilakukan oleh orang-orang terkenal. Sebagai
contoh29:
“Sengketa perbatasan antara Bahrain dan Qatar tahun 1988, Raja Fahd dari Saudi Arabia berindak sebagai mediator.”
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa mediator bisa individu,
negara, atau organisasi internasional. Mediator harus memiliki “itikad baik”
dan tidak memihak. Hal ini disebabkan bahwa para pihak dengan itikad baik
menyerahkan sengketa pada mediator dengan harapan bahwa mediator
dapat menyelesaikan sengketanya dengan baik. Mediator dapat
mengusulkan suatu proposal sehingga kedua belah pihak akan menerima.
Mediator juga dapat mengatur di mana kedua belah pihak akan bertemu di
tempat yang netral.
Perlu diperhatikan bahwa mediasi hanya dapat dilakukan apabila para
pihak menghendakinya. Dalam hal ini para pihak tidak dapat menerima
usulan yang disampaikan oleh mediator, atau karena para pihak tidak dapat
menerima tindakan mediator maka mediasi tidak dapat dilaksanakan. Mediasi
akan berhasil apabila kedua belah pihak yang bersengketa percaya bahwa
sengketanya akan terselesaikan dengan adanya mediasi.30
29
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 17. 30
Huala Adolf, op. cit., hlm 34.
19
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan sengketa
internasional mengenai keadaan apapun di mana suatu komisi yang dibentuk
oleh pihak-pihak, baik yang bersifat tetap atau ad hoc untuk menangani suatu
sengketa, berada pada pemeriksaan yang tidak memihak atas sengketa
tersebut dan berusaha untuk menentukan batas penyelesaian yang dapat
diterima oleh pihak-pihak, atau memberi pihak-pihak, pandangan untuk
menyelesaikannya, seperti bantuan yang mereka inginkan.31
Perjanjian konsiliasi diadakan untuk pertama kalinya pada tahun 1920,
dimana pihak yang bersengketa adalah Swedia dan Chili. Pada tahun 1922
konsiliasi ditetapkan sebagai alternatif cara menyelesaikan sengketa dalam
suatu perjanjian yang dibuat antara Jerman dan Swiss.32
Adapun tugas dari Dewan Konsiliasi adalah menyelidiki fakta dan
hukum serta merumuskan proposal bagi suatu penyelesaian, akan tetapi
disatu sisi Perancis dan Swiss telah mendefinisikan fungsi komisi konsiliasi
permanen pada tahun 1975, yang menjadi model bagi perjalanan selanjutnya
sebagai berikut33:
“Tugas komisi konsiliasi permanen adalah untuk menjelaskan masalah dalam sengketa, dengan tujuan itu mengumpulkan semua keterangan
31
J.G. Merrills, op. cit., hlm 54. 32
Ibid., hlm 55. 33
Ibid., hlm 57.
20
yang berguna melalui penyelidikan atau dengan cara lain, dan berusaha untuk membawa pihak-pihak pada persetujuan. Komisi ini, setelah mempelajari kasus itu, dapat mendekatkan pada pihak-pihak batas penyelesaian yang kelihatannya sesuai, dan menetapkan batas waktu kapan mereka harus membuat keputusan. Pada akhirnya pemeriksaanya komisi itu akan membuat suatu laporan, karena hal ini memungkinkan, yang menyatakan bahwa pihak-pihak harus mencapai persetujuan dan, jika perlu batas persetujuan, atau bahwa terbukti tidak mungkin untuk melakukan penyelesaian.”
Konsiliasi biasanya digambarkan sebagai kombinasi antara enquiry
dan mediasi. Konsiliator yang telah dipilih berdasarkan perjanjian antara para
pihak, menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sengketa dan mengusulkan
penyelesainnya. Konsiliasi lebih formal dan kurang fleksibel jika dibandingkan
dengan mediasi. Jika usulan dari mediator tidak diterima, maka mediator
dapat mengusulkan usul lain. Sedangkan konsiliator hanya dapat membuat
suatu laporan, walaupun sebelum membuat laporan konsiliator biasanya
telah mendiskusikan dengan para pihak tentang masalah-masalah yang
dihadapi untuk mendapatkan persamaan persepsi yang dapat dijadikan dasar
perjanjian penyelesaian sengketa antara para pihak. Para pihak tidak
diwajibkan untuk menerima usulan dari konsiliator, karena usul konsiliator itu
hanya merupakan rekomendasi, namun terlepas dari hal tersebut konsiliasi
biasanya menuju pada penyelesaian dengan arbitrase terutama bila sengketa
tersebut menyangkut masalah hukum yang pelik.34
34
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, hlm 213.
21
Pada umumnya konsiliator terdiri dari beberapa anggota, yang
biasanya diatur dalam perjanjian bilateral atu multilateral, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan pihak yang bersengketa menunjuk langsung satu
konsiliator.
Adapun contoh penunjukan konsiliator adalah sebagai berikut35:
“Pada tahun 1977 ketika Uganda, Kenya, dan Tanzania yang semula tergabung dalam masyarakat Afrika Timur yang didorong oleh Bank Dunia untuk membagi asetnya telah menunujuk Dr. Victor Umbricht (diplomat Swiss) untuk bertindak sebagai konsiliator.”
4. Penyelidikan (Enquiry)
Suatu cara penyelesaian sengketa yang mula-mula dilahirkan tahun
1899 dalam Konvensi Den Haag I atas inisiatif Kaisar Nicholas I. Dalam
Konvensi Den Haag II tahun 1907 menegaskan dan menyempurnakan
prosedur ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Den Haag I.36
Adapun penjelasan dari enquiry adalah di mana kedua belah pihak
yang bersengketa setuju untuk membentuk komisi angket/pemeriksa
(enquiry). Komisi ini mempunyai tugas untuk menjernihkan fakta-fakta yang
menjadi pangkal sengketa dengan mengadakan penyelidikan dengan teliti
dan tidak memihak. Jadi tugas komisi ini hanya menyelidiki fakta-fakta saja,
35
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 34. 36
J.G. Merrills, op. cit., hlm 36.
22
namun penyelidikan fakta-fakta tersebut telah mendapat gambaran “siapakah
yang bersalah”.37
Dalam konvensi Den Haag II tahun 1907 tugas dan cara kerja komisi
angket/pemeriksa (enquiry) dicantumkan dalam bab II, pasal 9-36. Pada garis
besarnya dinyatakan bahwa komisi angket/pemeriksa adalah sebagai
berikut38:
1. Komisi angket/pemeriksa bertujuan menjernihkan fakta-fakta;
2. Komisi dibentuk atas persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa;
3. Laporan komisi ini tidak mengikat para pihak.
Jadi jelaslah bahwa kewenangan komisi angket/ pemeriksa ini terbatas
pada penyelidikan fakta.
Pada Konvensi Den Haag pada tahun 1899 telah disetujui
persyaratan-persyaratan tertentu untuk penunjukan komisi angket/pemeriksa
sebagai berikut39:
1. Hanya dipergunakan dalam penyelesaian sengketa “yang tidak
mempengaruhi kehormatan ataupun kepentingan yang
essensial”;
37
J.G. Merrills, op. cit., hlm 37. 38
Ibid., hlm 38. 39
Ibid., hlm 39.
23
2. Tugas komisi angket/pemeriksa hanya sehubungan dengan
pertanyaan fakta dan tidak berhubungan dengan masalah
hukum;
3. Pembentukan komisi ataupun implementasi dari hasil
penemuan bukan merupakan kewajiban dari para pihak untuk
menerimanya.
5. Arbitrase
Dalam Hukum Internasional publik, arbitrase dikenal sebagai suatu
cara penyelesaian sengketa antara negara dengan damai, hal ini sudah
dikenal sejak zaman Yunani dan dalam abad pertengahan berbagai unit
politik telah dibentuk dalam rangka kekaisaran Romawi, dalam abad ke-12
dan ke-13 sering dipergunakan dalam sengketa antara kota-kota di kerajaan
Italia dan juga antara daerah-daerah di Swiss.40
Secara modern arbitrase dikenal dalam perjanjian Jay (tahun 1974),
dimana perjanjian tersebut disepakati antara Amerika Serikat dan Inggris,
dimana ditentukan bahwa jika timbul perselisihan antara mereka maka akan
diselesaikan oleh komisi nasional yang ditunjuk yang terdiri dari pihak ketiga
yang tidak memihak. Ini adalah bentuk arbitrase pertama kalinya, komisi
Amerika Serikat dan Inggris yang menyelesaikan sengketa tidak melalui
40
Huala Adolf, op. cit., hlm 39.
24
pengadilan dalam arti modern, akan tetapi penyelesaian sengketa dengan
pertimbangan diplomatik untuk menghasilkan satu penyelesaian sengketa.41
Pada tahun 1899 dibentuklah Mahkamah Arbitrase Tetap (Permanent
Court of Arbitration). PCA berkedudukan di Den Haag, namun walaupun PCA
bukan court dalam arti sebenarnya dan sifat permanen ini bukan
menunjukkan sifat tetap, namun merupakan suatu panel arbitrator. Arbitrator
ini terdiri dari daftar ahli hukum terkemuka yang berasal dari negara-negara
peserta Konvensi Den Haag.42
Aktivitas penyelesaian sengketa dengan damai melalui arbitrase
teruse berjalan. Dalam Konvensi Den Haag 1907 tentang penyelesaian
sengketa dengan damai ditentukan dalam pasal 37, sebagaimana berbunyi43:
“International Arbitration has for its object the settlement of disputes between states by judges of their own choices and on the basis respect of law. Recourse of arbitration implies engagement to submit in good faith to award.”
Dalam masyarakat internasional sebagaimana telah dikemukakan di
atas tidak ada pemerintah pusat, tidak ada organisasi yang mengorganisasi
sistem hukum, maka fungsi tersebut didesentralisasi dan diserahkan pada
anggota masyarakat internasional.
41
Huala Adolf, op. cit., hlm 40. 42
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 42. 43
Den Haag Convention, 1907.
25
Arbitrase lebih dan fleksibel jika dibandingkan dengan penyelesaian
melalui pengadilan, di mana di dalam arbitrase para pihak dapat menentukan
dimana perwasitan itu akan berlangsung dan dapat menentukan dan memilih
arbiter sesuai dengan kemampuannya, prosedur yang akan diterapkan,
kekuatan dari keputusannya melalui perumusan (yang juga disebut hasil
kompromi antara para pihak).44
6. Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional adalah penyerahan sengketa kepada
pengadilan permanen untuk suatu keputusan sifatnya mengikat secara
hukum. Pengadilan Dunia meliputi dua badan yaitu45:
1. Mahkamah Internasional Permanen yang dibentuk sebagai bagian dari penyelesaian perdamaian 1919;
2. Mahkamah Internasional yang didirikan pada tahun 1945 sebagai badan peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kewenangan Mahkamah Internasional untuk memutuskan sengketa
diatur dalam statuta Mahkamah Internasional dan dikenal sebagai
kewenangan contentious (perselisihan) nya. Menurut Statuta Mahkamah
Internasional hanya negara-negara lah yang dapat menjadi pihak dalam
perkara contentious (perselisihan) dan wewenang Mahkamah Internasional
44
Boer Mauna, op. cit., hlm 232. 45
Ibid., hlm 247.
26
dalam kasus seperti ini tergantung pada persertujuan negara-negara yang
bersangkutan.46
Mahkamah Internasional beranggotakan 15 hakim, yang dipilih batas
waktu selama 9 tahun oleh Dewan Keamanan dan Majelis umum
Perserikatan Bangsa-bangsa.
Dalam pembicaraan tentang penyelesaian sengketa melalui
Mahkamah Internasional (ICJ) maka di sini akan diuraikan kasus Sipadan
Ligitan, dimana negara yang bersengketa adalah Indonesia dengan Malaysia.
“Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia itu timbul pada tahun 1969 ketika Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis batas landas kontinen antara Sabah dan Kalimantan Timur muncullah masalah Sipadan Ligitan. Sebelumnya kedua belah pihak berusaha menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara diplomasi, namun perundingan yang diadakan tidak membawa hasil, oleh karena itu kedua negara membawa sengketa tersebut ke ICJ guna mendapatkan keputusan yang mengikat secara hukum. Setelah dalam tahap proses penyelsaian sengketa akhirnya ICJ berpendapat bahwa fakta-fakta yang dikemukakan oleh Malaysia membuktikan adanya pengelolaan secara damai dan berkelanjutan sejak kolonial Inggris dan ini dinilai oleh ICJ Malaysia telah menunjukkan adanya keinginan dan melaksanakan fungsi negara berkaitan dengan pulau Sipadan Ligitan.”47
Kasus di atas membuktikan bahwa keputusan atau penyelesaian
sengketa yang dilaksanakan melalui Pengadilan Dunia dianggap mengikat
secara hukum dan harus dipatuhi oleh negara-negara peserta PBB.
46
Boer Mauna, op. cit., hlm 270. 47
Ibid., hlm 274.
27
7. Penyelesaian Sengketa Melalui Organisasi Internasional
Instrumen-instrumen hukum yang mendasari berdirinya organisasi
internasional, tersirat adanya kehendak dari negara–negara pendirinya untuk
menghindari cara-cara kekerasan dalam penyelesaian sengketa. Instrumen-
instrumen tersebut mengakui dan menyadari bahwa penyelesaian sengketa
harus dilaksanakan secara damai diantara mereka.
Adapun cara-cara penyelesaian sengketa melalui organisasi
internasional adalah sebagai berikut48:
1. Adanya kata kesepakatan dalam menentukan cara
penyelesaian sengketa diantara mereka;
2. Organisasi internasional memberikan fungsi non yudisial
kepada lembaga baik yang sudah ada atau yang secara
khusus dibentuk;
3. Penyelesaian dapat dilakukan dengan negosiasi, mediasi, atau
penyelesaian melalui bantuan pihak ketiga lainnya, baik oleh
suatu lembaga permanen atau suatu lembaga ad hoc
(sementara);
48
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 213.
28
4. Pemanfaatan pasal 33 ayat (1) piagam PBB, khususnya
penyelesaian melalui jalur hukum, dalam hal ini oleh
Mahkamah Internasional (ICJ), cara ini hanya ditempuh oleh
para pihak manakala cara-cara penyelesaian sengketa secara
langsung (atau melalui pihak ketiga) telah ditempuh dan
ternyata gagal.
Dalam hal ini peran organisasi internasional telah diakui dalam
menyelesaikan sengketa internasional oleh masyarakat international. Pada
waktu Liga Bangsa-Bangsa (LBB) didirikan pendiri LBB telah menyadari
pentingnya peran organisasi regional dalam penyelesaian sengketa
internasional. Pasal 21 kovenen LBB menentukan bahwa49:
“Nothing in this Covenant shall be deemed to affect the validity of international engagements, such as treaties of arbitration or regional understandings like Monroe doctrine50, for securing the maintenance of peace.”
Setelah LBB bubar dan digantikan oleh PBB maka dalam rangka PBB
juga diakui pentingnya organisasi regional dalam penyelesaian sengketa.
Bab VIII piagam PBB mengatur tentang Regional Arrangements dari Pasal 52
piagam PBB
49
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 213. 50
Monroe doctrine adalah doktrin yang dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat, Presiden Monroe tahun 1823 yang isinya menentang campur tangan (intervens) Eropa di Amerika.
29
Pasal 52 piagam PBB, menentukan bahwa51:
“Nothing in the present Charter precludes the existence of regional arrangements or agencies for deadling with such matters relating to the maintenance of international peace and security as are appropriate for regional action, provided that such arrangements or agencies and their activities are consistent with the Purposes and Principles of the United Nations.”
Dari ketentuan diatas jelaslah bahwa PBB mengakui bahwa organisasi
regional untuk menangani masalah-masalah yang bertalian dengan masalah
perdamaian dan keamanan internasional menurut cara yang sesuai bagi
kawasan tersebut, asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan PBB.
B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Paksa
1. Perang
Perang adalah pertentangan yang disertai penggunaan kekerasan
oleh masing-masing negara dengan tujuan menundukkan lawan dan
menetapkan persyaratan perdamaian secara sepihak.
Menurut Oppenheim Lauterpacht, pengertian perang adalah52:
“War is connection between two or more states through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions a peace as the victor pleases.”
51
Charter of United Nations, 1945. 52
Oppenheim, L., 1952, International Law Disputes, War and Neutrality, Seventh Edition, Longmans, hlm 150.
30
Menurut Starke, pengertian perang adalah53:
“The laws of war consist of the limits set by international law within which the force required to overpower the enemy may be used, and the principle thereunder governing the treatment of individuals in the course of war and armed conflict.”
Jadi dapat disimpulkan perang adalah suatu sengketa bersenjata
antara dua negara atau lebih yang mempergunakan kekuatan bersenjatanya
dengan maksud mengadu kekuatan masing-masing untuk dapat mencapai
perdamaian setelah mendapat kemenangan.
Konvensi-konvensi yang mengatur tentang perang diantaranya
adalah54:
1. Declaration of Paris 1856: mengatur perang di laut;
2. Konvensi Jenewa 1864: mengatur perbaikan kondisi prajurit yang mati di medan perang;
3. Code Lieber atau Instructions for Government of Armies of the United States 1863;
4. Konvensi Den Haag 1899. Konvensi Den Haag ini menghasilkan tiga konvensi yaitu:
1) Konvensi I tentang penyelesaian sengketa secara damai;
2) Konvensi II tentang hukum dan kebiasan perang di darat;
3) Konvensi III tentang adaptasi asas-asas konvensi Den Haag. Jenewa pada 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.
53
Haryomataram, 1984, Pengantar Hukum Humaniter, Penerbit Rajawali, Jakarta, hlm 3. 54
Ibid., hlm 7.
31
2. Retorsi
Retorsi adalah pembalasan suatu negara terhadap perbuatan tidak
pantas yang dilakukan negara ke negara lain (lawan dalam sengketa).
Adapun contoh tindakan-tindakan adalah sebagai berikut55:
1. Pemutusan hubungan diplomatik;
2. Pembatasan gerak gerik perwakilan diplomatik negara lawan;
3. Penarikan kembali exequatur bagi konsul negara lawan;
4. Hapusan hak-hak istimewa warga negara atau perusahaan milik negara lawan;
5. Penutupan tapal batas bagi arus lalu lintas.
Dalam rangka PBB maka anggota PBB untuk mempraktekan retorsi
harus mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam piagam PBB,
sebagai contoh Pasal 2 (3) yang menyebutkan bahwa56:
“All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered.”
3. Reprisal
Reprisal adalah pembalasan suatu negara terhadap perbuatan
melanggar hukum negara lain yang menjadi lawan dalam sengketa. Suatu
55
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 197. 56
Charter of The United Nations, 1945.
32
tindakan kekerasan agar dapat dianggap sebagai tindakan pembalasan,
maka tindakan itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut57:
1. Bahwa telah diusahakan untuk menyelesaikan sengketa dengan damai;
2. Bahwa pihak lawan telah melakukan tindakan melawan hukum;
3. Bahwa tindakan pembalasan tersebut tidak dapat dilakukan dengan berlebih-lebihan;
4. Bahwa tindakan pembalasan tersebut tidak boleh merugikan kepentingan negara ketiga dan warga negaranya;
5. Tindakan pembalasan tersebut harus dihentikan bila keadaan yang dituntut telah dipenuhi oleh pihak lawan.
Adapun contoh tindakan pembalasan dapat berupa58:
1. Tindakan terhadap diri atau kekayaan warga negara lawan.;
2. Pemboman atas wilayah tertentu;
3. Pendudukan atas wilayah pihak lawan;
4. Penghentian pembayaran hutang.
Tindakan pembalasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tindakan
pembalasan yang positif dan tindakan pembalasan yang negatif. Tindakan
pembalasan positif adalah tindakan yang dalam keadaan normal merupakan
tindakan yang melanggar hukum internasional. Sedangkan yang dimaksud
dengan tindakan pembalasan negatif adalah suatu penolakan untuk
57
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 198. 58
Ibid., hlm 199.
33
melakukan kewajiban internasional, misalnya pemenuhan kewajiban untuk
suatu perjanjian internasional.59
Sebagaimana halnya dengan retorsi maka rambu-rambu untuk
membatasi tindakan pembalasan adalah Pasal 2 (3) piagam PBB dan Pasal
2 (4) piagam PBB yang menentukan bahwa60:
“All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.”
4. Blokade Secara Damai
Blokade secara damai adalah bentuk khusus dari tindakan
pembalasan, namun dapat dikategorikan sebagai intervensi atau tindakan
pembalasan.
Blokade secara damai disebutkan dalam pasal 42 piagam PBB yaitu
sebagai salah satu tindakan yang dapat diambil oleh Dewan Keamanan
dalam ,menjalankan tugasnya untuk memulihkan dan mempertahankan
perdamaian dan keamanan internasional.
“Menurut Starke ada beberapa hal positif dengan penggunaan blokade damai ini, karena blokade damai ini tidak menggunakan kekerasan sebagaimana perang dan sifatnya fleksibel jika dibandingkan dengan
59
J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 403. 60
Charter of The United Nations, 1945.
34
tindakan pembalasan, maka tindakan blokade damai ini dianggap sebagai perang. negara-negara maritim yang kuat menggunakan blokade damai untuk menghindarkan beban perang dan kesulitan akibat perang.”61
5. Intervensi
Intervensi secara umum adalah tindakan sesuatu negara mengenai
hal yang seharusnya menjadi urusan negara lain (yang bersangkutan).
Intervensi terbagi tiga, yaitu62:
1. Intervensi Internal;
Suatu negara terlibat dengan sengketa dalam negeri antar pihak di negara lain dengan cara mendukung salah satu pihak.
2. Intervensi Eksternal;
Suatu negara terlibat dalam sengketa antar negara lain dengan cara mendukung salah satu pihak.
Contoh kasus63:
“Italia melibatkan diri dalam PD II dengan cara berpihak pada Jerman melawan Inggris.”
3. Intervensi Punitif.
Suatu negara melakukan tindakan balasan pada negara lain yang melanggar perjanjian internasional.
Contoh kasus64:
“Rusia, Perancis, dan Jerman memaksa Jepang mengembalikan wilayah Liaotung yang dirampas Jepang dan China melalui perjanjian Shimonoseki.”
61
J.G Starke, op. cit., hlm 416. 62
Ibid., hlm 419. 63
Oppenheim, L., op. cit., hlm 150. 64
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 205.
35
Intervensi-intervensi yang dapat diakui harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut65:
1. Kolektif, sesuai Piagam PBB;
Ini adalah tindakan Dewan Keamanan berdasarkan bab VII Piagam,
atau sanksi yang dijatuhkan oleh majelis umum PBB dalam rangka
Uniting for Peace Resolution 3 November 1950
2. Melindungi hak, kepentingan, keselamatan jiwa warga negara di
luar negeri;
3. Pertahanan diri, jika intervensi diperlukan untuk mencegah adanya
keadaan yang sangat berbahaya karena adanya serangan
bersenjata secara nyata;
4. Dalam hal melaksanakan tugasnya sebagai negara protektorat
terhadap wilayah yang menjadi dominionnya;
5. Jika negara yang menjalankan intervensi telah dipersalahkan
melakukan pelanggaran berat hukum internasional, misalnya jika
negara bersangkutan telah menjalankan intervensi tidak sah.
Sebagai contoh adanya intervensi adalah sebagai berikut66:
65
Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 203. 66
Ibid., hlm 204.
36
“Inggris dan Perancis melakukan intervensi dalam perang antara Mesir dan Israel dimana Mesir menutup terusan suez pada bulan Oktober-November tahun 1958. Intervensi yang dilakukan oleh Inggris dan Perancis dalam rangka melindungi kepentingan mereka sehubungan adanya perang Mesir-Israel.”
3. Organisasi Internasional
A. Pengertian Organisasi Internasional
Organisasi internasional adalah suatu bentuk dari gabungan beberapa
negara atau bentuk unit fungsi yang memiliki tujuan bersama mencapai
persetujuan yang juga merupakan isi dari perjanjian atau charter. Anggapan
semacam itu juga telah ditekankan lagi dalam “International Court of Justice
Advisory Opinion Interpretation of the Agreement of 25 March 1951 between
WHO and Egypt.” Yang menyatakan bahwa organisasi internasional adalah
subjek hukum internasional yang dengan sendirinya terikat oleh kewajiban-
kewajiban yang terletak padanya dibawah aturan-aturan umum dalam hukum
internasional, instrumen pokoknya maupun persetujuan-persetujuan
internasional dimana organisasi internasional itu sebagai pihak.67
“Definisi dari hukum organisasi internasional menurut Sumaryo adalah norma-norma hukum internasional yang terhimpun di dalam suatu instrumen pokok yang mengatur tentang pembentukan suatu organisasi-organisasi internasional termasuk badan-badannya dengan tugas dan kewenangannya, prinsip-prinsip dan tujuannya serta keanggotaannya termasuk hak-hak dan
67
J.G. Starke, op. cit., hlm 85.
37
kewajibannya, cara-cara pengambilan keputusan dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan organisasi internasional tersebut”.68
Dalam hal ini “Sumaryo membagi organisasi internasional menjadi dua bagian yaitu69:
1. Organisasi Internasional Publik
Dimana organisasi internasional ini hanya menyangkut organisasi tingkat pemerintahan.
2. Organisasi Internasional Privat
Dimana organisasi internasional ini anggotanya bukan negara, oleh karena itu sering disebut sebagai organisasi non pemerintahan”.
B. Pembentukan Organisasi Internasional
Dilihat dari pembentukannya organisasi internasional mempunyai
berbagai aspek-aspek seperti aspek filosofis, aspek administratif dan aspek
hukum. Adapun penjelasannya sebagai berikut70:
1. Aspek Filosofis;
Pembentukan suatu organisasi internasional akan dipengaruhi oleh falsafah bangsa-bangsa dimana organisasi itu didirikan.
2. Aspek Administratif;
Dalam aspek administratif perlu dilihat bagaimana organisasi internasional tersebut membentuk suatu sekretariat tetap termasuk penyusunan anggota stafnya serta masalah administrasi dan anggaran organisasi tersebut.
68
Sumaryo Suryokusumo, 2007, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, P.T. Tatanusa, Jakarta, hlm 6. 69
Ibid., hlm 3. 70
Sumaryo Suryokusumo, 1977, Kasus Hukum Organisasi Internasional, P.T. Alumni, Bandung, hlm. 89.
38
3. Aspek Hukum
Dari aspek hukumnya, organisasi internasional dibentuk melalui suatu perjanjian dari tiga negara atau lebih sebagai pihak dan perjanjian semacam itu disebut sebagai instrumen pokok.
C. Status Hukum Organisasi Internasional
Suatu organisasi internasional diciptakan melalui suatu perjanjian
internasional dengan bentuk “instrumen pokok” yang berupa covenant,
charter, statute, constitution, accord, declaration atau instrumen hukum
lainnya, akan memiliki suatu personalitas hukum di dalam hukum
internasional. Personalitas hukum ini mutlak penting guna memungkinkan
organisasi internasional tersebut dapat berfungsi dalam hubungan
internasional, khususnya kemampuan untuk melaksanakan fungsi hukum
seperti membuat kontrak, membuat perjanjian dengan negara lain. Hal ini
juga dikemukakan oleh Maryan Green bahwa “pemberian suatu personalitas
hukum kepada suatu organisasi internasional itu pada hakekatnya
merupakan “sine qua non”71 mencapai tujuan organisasi internasional yang
telah dibentuk tersebut.”72
Secara yuridis, organisasi internasional memiliki personalitas hukum.
Personalitas hukum ini berkaitan dengan personalitas hukum dalam konteks
hukum nasional dan personalitas dalam konteks hukum internasional.
71
Sine qua non adalah syarat mutlak, menyatakan bahwa suatu syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan suatu perjanjian itu berlaku. 72
Maryan Green, 1973, International Law, Law of Peace, Mc. Donald & Evans Ltd, London, hlm 56.
39
1. Personalitas hukum dalam konteks hukum nasional
Personalitas hukum organisasi internasional dalam konteks
hukum nasional pada hakikatnya menyangkut keistimewaan dan
kekebalan bagi organisasi internasional itu sendiri yang berada di
wilayah suatu negara anggota, bagi wakil-wakil dari negara
anggotanya dan bagi pejabat-pejabat sipil internasional yang bekerja
pada organisasi internasional tersebut. Hampir semua instrumen
pokok mencantumkan ketentuan bahwa organisasi internasional yang
dibentuk itu mempunyai kapasitas hukum dalam rangka menjalankan
fungsinya atau memiliki personalitas hukum.73
2. Personalitas hukum dalam konteks hukum internasional
Personalitas hukum dari suatu organisasi internasional dalam
konteks hukum internasional pada hakikatnya menyangkut
kelengkapan organisasi internasional tersebut dalam memiliki suatu
kapasitas untuk melakukan prestasi hukum, baik dalam kaitannya
dengan negara lain maupun negara-negara anggotanya, termasuk
kesatuan lainnya. Kapasitas itu telah diakui dalam hukum
internasional. Pengakuan tersebut tidak saja melihat bahwa organisasi
internasional itu sendiri sebagai subjek hukum internasional, tetapi
juga karena organisasi itu harus menjalankan fungsinya secara efektif
73
Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, op. cit., hlm 21.
40
sesuai dengan mandat yang telah dipercayakan oleh para
anggotanya.74
Dari segi hukum, organisasi internasional sebagai kesatuan yang telah
memiliki kedudukan personalitas tersebut, sudah tentu memiliki
wewenangnya sendiri untuk mengadakan tindakan-tindakan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam instrumen pokoknya maupun
keputusan organisasi internasional tersebut yang telah disetujui para
anggotanya.
Keberadaan dan peran organisasi internasional telah berlangsung
semenjak awal abad ke-19 dan terus berkembang menjadi salah satu subyek
hukum internasional yang memiliki posisi strategis di dunia internasional.
Organisasi internasional yang memang beranggotakan berbagai negara-
negara ini didirikan bertujuan untuk menangani masalah internasional
ataupun memfasilitasi kepentingan kerjasama di dunia internasional. Untuk
menjamin kemandirian dalam pelaksanaan kegiatan dan fungsi organisasi
internasional tersebut umumnya diperlukan pemberian kekebalan dan
keistimewaan. Hal ini juga ditujukan agar kinerja organisasi internasional
akan bebas dari intervensi negara manapun, oleh karena itulah umumnya
organisasi internasional didirikan dengan diberikan kekebalan dan
keistimewaan. Namun, sampai saat ini pengaturan kekebalan dan
74
Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, op. cit., hlm 27.
41
keistimewaan dalam hukum internasional itu sendiri masih belum memiliki
kepastian terutama karena ketiadaan instrumen internasional umum (general
convention) yang memberikan kepastian hukum mengenai hal ini. Selain itu,
masalah lain yang sering timbul adalah ketidak jelasan prosedur pemberian
kekebalan dan keistimewaan tersebut. Dari kedua masalah pokok ini, sering
timbul berbagai sengketa internasional. Sampai saat ini praktek berbagai
organisasi internasional, diantaranya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), Uni Eropa, dan badan khusus PBB (UN Specialized Agencies) seperti
International Labour Organization (ILO), World Health Organization (WHO)
dan lain sebagainya, memiliki kekebalan dan keistimewaan yang terbatas
sesuai dengan fungsinya berdasarkan suatu perjanjian internasional yang
disusun tersendiri diantara para pihak yang berkepentingan.75
D. Keanggotaan Organisasi Internasional
Masalah keanggotaan dalam organisasi internasional merupakan hal
yang sangat penting dan bahkan dianggap sebagai masalah konstitusional
yang mendasar. Oleh karena itu tidak semua negara dapat begitu saja masuk
sebagai anggota organisasi internasional, kecuali jika sudah memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh instrumen pokok
organisasi internasional tersebut.
75
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, hlm 96.
42
Pada umumnya keanggotaan organisasi internasional mempunyai
beberapa prinsip-prinsip yaitu76:
1. Prinsip Universalitas;
Prinsip ini lebih banyak mencurahkan perhatiaanya pada masalah-masalah global, baik mengenai program yang luas dan kompleks seperti di dalam Liga Bangsa-Bangsa atau dalam PBB sendiri maupun dalam lingkungan yang terbatas seperti halnya yang terjadi dalam Badan-Badan Khusus PBB.
2. Prinsip Selektivitas;
Prinsip ini cenderung mengikuti beberapa faktor yaitu faktor geogarfis, faktor kualitatif, faktor kebudayaan, dan penerapan hak asasi manusia.
3. Prinsip Kedekatan Wilayah
Prinsip ini cenderung membentuk organisasi regional atau sub-regional yang anggotanya akan dibatasi pada negara-negara yang berada di wilayah mereka sendiri.
E. Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Internasional
Organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional
mempunyai kemampuan hukum bukan saja untuk membuat perjanjian atau
persetujuan dengan subjek hukum internasional lainnya, tetapi juga
mempunyai kemampuan hukum untuk mengajukan tuntutan internasional. Di
samping itu organisasi internasional juga mempunyai kemampuan untuk
membuat keputusan-keputusan baik kedalam maupun keluar dalam rangka
76
Sri Setianingsih, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, UI – Press, Jakarta, hlm 46.
43
menunaikan tugasnya dan mencapai tujuan-tujuannya. Kapasitas hukum
semacam itu pada umumnya dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan
instrumen pokok organisasi tersebut.77
Keputusan yang diambil oleh organisasi internasional, pada umumnya
dalam membentuk resolusi-resolusi atau keputusan-keputusan, baik berupa
permintaan untuk pelaksanaannya, himbauan, rekomendasi, maupun
penetapan suatu deklarasi atau instrumen-instrumen hukum lainnya seperti
konvensi, perjanjian, persetujuan yang akan disepakati kemudian oleh para
kepala-kepala negara anggota organisasi internasional tersebut.78
Adapun cara-cara pengambilan keputusan dalam organisasi
internasional, adalah sebagai berikut79:
1. Unanimity;
Unanimity merupakan kebulatan suara yang dinyatakan dalam
pemungutan suara untuk menyetujui suatu keputusan yang diambil
terhadap suatu masalah.
2. Konsensus;
Dalam hal pengambilan keputusan yang dilakukan secara
konsensus, negara-negara yang tidak menyetujuinya yang
77
Sri Setianingsih, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, op. cit., hlm 191. 78
Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, op. cit., hlm 84. 79
Bowett, D.W., 1963, The Law of International Organization, Praeger, New York, hlm 326.
44
jumlahnya sangat sedikit bagaimanapun juga tidak dapat
menghalangi diambilnya sesuatu keputusan. Namun tidak
mengurangi adanya kemungkinan bagi minoritas negara yang
menolak tersebut untuk menyatakan sikapnya yang tidak
menyetujuinya tersebut dengan suatu ”reservasi” (keberatan) dan
sikap ini biasanya dimasukkan dalam laporan resmi (official record).
Pengambilan keputusan dengan konsensus sifatnya lebih
didasarkan atas konsep politik.
3. Mayoritas Sederhana dan Dua-Pertiga Suara;
Pada umumnya keputusan mayoritas sederhana dan dua pertiga
diambil dengan asas mayoritas seperti yang digunakan dalam
badan-badan utama seperti majelis umum PBB dan Dewan
Ekonomi dan Sosial (ECOSOC), Mahkamah Internasional dan
Dewan Perwalian termasuk badan-badan yang berada di bawah
naungannya dan badan-badan subsidernya.
4. Suara Afirmatif;
Dalam pengambilan keputusan melalui suara afirmatif harus
digunakan apabila ada pihak yang bertikai satu sama lain sehingga
pihak tersebut tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan.
45
5. Bobot Suara (Weighted Voting)
Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara yang
didasarkan atas bobot suara (weighted voting) dimana negara-
negara anggota tertentu dari sesuatu organisasi internasional
diberikan suara atau kekuatan suara lebih dari pada anggota yang
lain.
4. ASEAN (Association of South East Asian Nations)
A. Latar Belakang dan Sejarah
Kawasan Asia Tenggara secara geopolitik dan geoekonomi
mempunyai nilai strategis. Kondisi tersebut menyebabkan kawasan ini
menjadi ajang persaingan pengaruh kekuatan pada era perang dingin antara
blok barat dan blok timur. Salah satu bukti persaingan antar negara adidaya
dan kekuatan besar pada waktu itu adalah perang Vietnam antara Vietnam
utara yang didukung kekuatan komunis dan Vietnam selatan yang didukung
kekuatan barat. Persaingan dua blok tersebut menyeret negara-negara di
Asia Tenggara menjadi basis kekuatan militer blok komunis dan blok barat.
Blok komunis yang di bawah komando Uni Soviet menempatkan pangkalan
46
militernya di Vietnam, sedangkan blok barat yang di bawah komando
Amerika Serikat menempatkan pangkalan militernya di Filipina.80
Situasi persaingan pengaruh ideologi dan kekuatan militer yang dapat
menyeret negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke dalam konflik
bersenjata yang menghancurkan itu membuat para pemimpin negara-negara
di kawasan Asia Tenggara menyadari akan perlunya suatu kerja sama yang
berfungsi untuk meredakan sikap saling curiga di antara negara-negara
kawasan Asia Tenggara serta mendorong usaha pembangunan bersama di
kawasan.81
Untuk mewujudkan gagasan para pemimpin tersebut beberapa inisiatif
yang telah dilakukan, antara lain adalah pembentukan Perhimpunan Bangsa-
Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asia/ASA), Malaya-Filipina-
Indonesia (MAPHILINDO), Traktat Organisasi Asia Tenggara (Southeast
Asia Treaty Organization/SEATO), dan Dewan Asia-Pasifk (Asia and Pacific
Council/ASPAC).82
Meskipun mengalami kegagalan, upaya dan inisiatif tersebut telah
mendorong para pemimpin di kawasan untuk membentuk suatu organisasi
kerja sama di kawasan yang lebih baik. Untuk itu Menteri luar negeri
80
Yusuf Edi, Adek Triana Yudhaswari, 2010, ASEAN Selayang Pandang 2010, Setditjen ASEAN,
Jakarta, hlm 1. 81
Ibid., hlm 2. 82
Ibid., hlm 3.
47
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand melakukan berbagai
pertemuan konsultatif secara intens sehingga disepakati suatu rancangan
Deklarasi Bersama (Joint Declaration) yang isinya mencakup, antara lain,
kesadaran perlunya meningkatkan saling pengertian untuk hidup bertetangga
secara baik dan membina kerja sama yang bermanfaat di antara negara-
negara di kawasan yang terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.83
Untuk menindaklanjuti deklarasi tersebut, pada tanggal 8 Agustus
1967, bertempat di Bangkok, Thailand, lima wakil negara-negara Asia
Tenggara, yaitu Menteri luar negeri Indonesia (Adam Malik), Wakil perdana
Menteri Malaysia (Tun Abdul Razak), Menteri luar negeri Filipina (Narciso
Ramos), Menteri luar negeri Singapura (S.Rajaratnam), dan Menteri luar
negeri Thailand (Thamat Khoman) melakukan pertemuan dan
menandatangani Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau Deklarasi
Bangkok (Bangkok Declaration).84
Deklarasi Bangkok tersebut menandai berdirinya suatu organisasi
kawasan yang diberi nama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Association of Southeast Asia Nations/ASEAN). Organisasi ini pada awalnya
bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan
83
Yusuf Edi, Adek Triana Yudhaswari, ASEAN Selayang Pandang 2010, op. cit., hlm 4. 84
http://www.ASEAN.org/, diakses pada tanggal 14 Agustus 2011, pukul 17.30 wita.
http://www.asean.org/AC-Indonesia.pdf
48
stabilitas wilayah, dan membentuk kerja sama di berbagai bidang
kepentingan bersama.
Lambat laun organsasi ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan
di bidang politik dan ekonomi, seperti disepakatinya Deklarasi Kawasan
Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality
Declaration/ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971. Kemudian pada
tahun 1976 lima negara anggota ASEAN itu juga menyepakati Traktat
Persahabatan dan Kerja sama (Treaty of Aminity Cooperation/TAC) yang
menjadi landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan
secara damai. Hal ini mendorong negara-negara di Asia Tenggara lainnya
bergabung menjadi anggota ASEAN.85
Proses penambahan keanggotaan ASEAN sehigga anggotanya 10
negara adalah sebagai berikut:86
1. Brunei Darussalam resmi menjadi anggota ke-6 ASEAN pada
tanggal 7 Januari 1984 dalam Sidang Khusus Menteri-Menteri Luar
Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) di Jakarta,
Indonesia;
85
http://www.ASEAN.org/, diakses pada tanggal 14 Agustus 2011, pukul 18.15 wita. 86
Yusuf Edi, Adek Triana Yudhaswari, ASEAN Selayang Pandang 2010, op. cit., hlm 3.
http://www.asean.org/AC-Indonesia.pdf
49
2. Vietnam resmi menjadi anggota ke-7 ASEAN pada tanggal 29-30
Juli 1995 dalam pertemuan para Menteri luar negeri ASEAN ke-28
di Bandar seri bengawan, Brunei Darussalam;
3. Laos dan Myanmar resmi menjadi anggota ke-8 dan ke-9 ASEAN
pada tanggal 23-28 Juli 1997 pada pertemuan para Menteri luar
negeri ASEAN ke-30 di Subang jaya, Malaysia;
4. Kamboja resmi menjadi anggota ke-10 ASEAN dalam upacara
khusus penerimaan pada tanggal 30 April 1999 di Hanoi, Vietnam;
Dengan diterimanya Kamboja sebagai anggota ke-10 ASEAN, cita-cita
para pendiri ASEAN yang mencakup sepuluh negara di kawasan Asia
Tenggara (visi ASEAN-10) telah tercapai.87
B. Tujuan dan Prinsip ASEAN
Tujuan ASEAN yang tertuang dalam Piagam ASEAN adalah sebagai
berikut88 :
1. Memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas,
serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian di
kawasan;
87
Yusuf Edi, Adek Triana Yudhaswari, ASEAN Selayang Pandang 2010, op. cit., hlm 6. 88
ASEAN Charter, 2007.
50
2. Meningkatkan ketahanan kawasan dengan memajukan kerja sama
politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang lebih luas;
3. Mempertahankan Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Senjata
Nuklir dan bebas dari semua jenis senjata pemusnah massal;
4. Menjamin bahwa rakyat dan negara-negara anggota ASEAN hidup
damai dengan dunia secara keseluruhan di lingkungan yang adil,
demokratis, dan harmonis;
5. Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur,
sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomi melalui fasilitasi
yang efektif untuk perdagangan dan investasi yang di dalamnya
terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas,
terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja professional, pekerja
berbakat dan buruh; dan arus modal yang lebih bebas;
6. Mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan
pembangunan di ASEAN melalui bantuan dan kerja sama timbal balik;
7. Memperkuat demokrasi, meningkatkan tata kepemerintahan yang baik
dan aturan hukum, dan memajukan, serta melindungi hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental dengan
memperhatikan kewajiban dan hak dari negara-negara anggota
ASEAN;
51
8. Menanggapi secara efektif, sesuai dengan prinsip keamanan
menyeluruh, segala bentuk ancaman, kejahatan lintas negara, dan
tantangan lintas batas;
9. Memajukan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin perlindungan
lingkungan hidup di kawasan sumber daya alam yang berkelanjutan,
pelestarian warisan budaya, kehidupan rakyat yang berkualitas tinggi;
10. Mengembangkan sumber daya manusia dengan kerja sama yang
lebih erat di bidang pendidikan dan
Recommended