View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
IMPLEMENTASI KOORDINASI SATUAN TUGAS PENANGANAN
TENAGA KERJA INDONESIA BERMASALAH (TKIB) TAHUN 2015
(Studi kasus di debarkasi Kota Tanjungpinang)
SKRIPSI
Oleh :
RAMZAN
NIM. 120565201018
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2016
IMPLEMENTASI KOORDINASI SATUAN TUGAS PENANGANAN
TENAGA KERJA INDONESIA BERMASALAH (TKIB) TAHUN 2015
(Studi kasus di debarkasi Kota Tanjungpinang)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
pada Program Studi Ilmu Pemerintahan
Oleh :
RAMZAN
NIM. 120565201018
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2016
MOTTO
ZUHUD-LAH TERHADAP APA
YANG ADA DI DUNIA MAKA
ALLAH AKAN MENCINTAIMU,
DAN ZUHUD-LAH TERHADAP
APA YANG ADA DI TANGAN
MANUSIA MAKA MANUSIA PUN
AKAN MENCINTAIMU (H.R IBNU
MAJAH).
DI ANTARA TANDA
KEBAIKAN
KEISLAMAN
SESEORANG
ADALAH IA
MENINGGALKAN
PERKARA YANG
TAK BERGUNA
BAGINYA (H.R
TIRMIDZI)
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil „alamiin, segala puji bagi Allah Subhanahu wa
Ta‟ala atas segala nikmat dan kasih saying-Nya, serta atas pertolongan-Nya lah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul
Implementasi Koordinasi Satuan Tugas Penanganan Tenaga Kerja
Indonesia Bermasalah (TKIB) Tahun 2015 (Studi Kasus Di Debarkasi Kota
Tanjungpinang) dengan baik dan lancar. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).
Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan banyak ucapan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dan
memberikan dukungan serta masukan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini, diantaranya :
1. Kepada Ummi Nurbaya, yang telah berjuang membesarkan dan merawat
penulis dengan sepenuh hati, memberikan banyak dukungan dan nasehat,
yang selalu memberikan do’a terbaiknya bagi penulis dan meridhoi setiap
pilihan yang penulis ambil.
2. Bapak Drs. Hajarullah Aswad M.Hum beserta keluarga, selaku orang tua
asuh yang selama ini telah memberikan tempat bernaung untuk penulis,
memberikan banyak nasehat serta wejangan-wejangan yang berharga
kepada penulis.
3. Bapak Kustiawan, M. Pol, Sc, selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak
Sayed Fauzan Riyadi, S.sos, IMAS, selaku Dosen Pembimbing II yang
vi
telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam
melakukan penelitian, serta banyak memberikan koreksi-koreksi yang
membangun dalam meyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Afrizal, S. IP, M. Si sebagai Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan
yang telah banyak memberikan pengetahuan dan membantu penulis
selama menjalankan masa perkuliahan di Universitas Maritim Raja Ali
Haji.
5. Bapak Drs. Son Haji, M Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
6. Bapak Dr. Oksep Adhayanto, SH, MH selaku penasehat akademik yang
telah bersedia menyempatkan waktu ketika penulis butuhkan.
7. Seluruh bapak dan ibu dosen serta staff di Jurusan Ilmu Pemerintahan
yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya, yang telah memberikan
percikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama kuliah di
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
8. Kepada seluruh narasumber yang tidak bisa disebutkan satu persatu di
lingkungan pemerintah kota Tanjungpinang, Dinsosnaker, Dishub, Dinkes,
Satpol PP, Pendamping Pemulangan Debarkasi, yang telah menyediakan
waktunya memberikan bantuan dan informasi yang penulis butuhkan
selama meneliti di lingkungan narasumber masing-masing.
9. Kepada seluruh rekan-rekan seperjuangan selama menjalani perkuliahan,
terutama kader-kader dakwah yang yang berada di lingkungan LDF FSIRI,
Imron Nadi (Ron), Gilang Ramadhan (Lang), M. Arif Fauzan (Rif), Fahmi
Dasrizal (Mi), Said Faisal (Sal), Bhakti A.A, Baginda Raja Sulaiman
vii
(BaRa), serta kader yang tersebar di Universitas Maritim Raja Ai Haji
yang memberikan banyak dukungan moril dan semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi.
10. Kepada pengajar di Yayasan Al-Madinah yang ikut membantu dalam
dukungan moril dan materil, Suhaili S.Pd.I, Adhariansya S.Pd.I, M. Bobby
P, Dandan Mardiana, S.IP, Bang Fi’i, Rudi S.Pd.I, Zulkarnaen S.HI, serta
pegawai yang ada di lingkungan Yayasan Al-Madinah.
11. Kepada teman-teman LBQ yang banyak memberikan do’a dan semangat
kepada penulis, Ustd. Riza Hafiz S.Pd.I, Ustd. Anto Makmur Lc, Ustd.
Zaki, Ustd. Kasyful, Ustd. Syaifudin S.IQ, akh Dhani (al-fatih), Yadit
(Ustd muda), serta seluru teman seperjuangan di LBQ Markaz Huffadz.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan dan jauh
dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun penulis
harapkan untuk perbaikan yang lebih baik lagi ke depannya. Demikian yang dapat
penulis sampaikan pada kesempatan ini, mohon maaf atas segala kekurangan dan
kesalahan yang penulis lakukan, sekian terima kasih.
Tanjungpinang, Desember 2016
Penulis
viii
ABSTRAK
Tenaga Kerja Indonesia bermasalah (TKIB) yang dideportasi dari Negara
Malaysia ke Kota Tanjungpinang sebagai salah satu daerah debarkasi tidak pernah
ada habisnya. Proses penanganan TKIB ini dilakukan oleh Tim Satuan Tugas
TKIB Kota Tanjungpinang yang diketuai oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tanjungpinang bersama Pendamping Pemulangan Debarkasi Kementerian
Sosial Republik Indonesia. Masalah yang sering dihadapi pada saat penanganan
TKIB adalah adanya oknum yang menjemput TKIB yang bukan berasal dari
keluarga TKIB sehingga ketika keluarganya datang mereka telah keluar terlebih
dahulu. Selain itu adalah adanya keterlambatan pemulangan TKIB ke daerah asal
sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan di rumah penampungan selama
berhari-hari sehingga dikhawatirkan terjadinya kerawanan sosial serta kerentanan
sosial diantara TKIB. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
implementasi kebijakan Satuan Tugas Lapangan Penanganan TKIB di Kota
Tanjungpinang serta bagaimana koordinasi antar setiap pemangku kepentingan
yang terlibat dalam proses penanganan TKIB ini. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian deskriptif kualitatif yang terdiri dari 12 orang informan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan satuan tugas lapangan
penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang sudah berjalan sesuai dengan ketentuan
kebijakan yang telah ditetapkan. Hal ini ditandai dengan berjalanya indikator
implementasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini. Namun belum
adanya SOP (standard operating procedures) baku yang dibentuk oleh Tim
Satgas TKIB di lapangan dalam proses penanganan TKIB tersebut. Disisi lain
sumber daya staf yang ada dirasa terlalu banyak sehingga terjadi ketidak efektifan
tugas dan menyebabkan ketidak efesiensi penggunaan anggaran dalam
pembiayaan honorer satgas. Proses penanganan TKIB oleh Tim Satgas TKIB
yang berjalan belum menunjukkan adanya collaboarative governance yang baik.
Kata kunci : Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB), Implementasi
kebijakan, Koordinasi, Collaborative governance.
ix
ABSTRACT
Workers Indonesia troubled, who was deported from Malaysia to the city
of Tanjungpinang (as one of the disembarkation) is never-ending. Handling
process is done by the task force Handling Courses Indonesian Workers Affected
from Tanjungpinang directly chaired by the Head of Department of Social and
Labor Tanjungpinang, along with the Companion Discharge Debarkation
(officers of the Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia). Problems
encountered in the handling of this deportation is the emergence of "another
person" who pick them up and did not come from their families. When their
families come to pick them up, they have been out in advance. In addition, delays
in the repatriation to their home areas lead to the accumulation of people in
shelters for days that feared the occurrence of social insecurity and social
vulnerability among them. The purpose of this study was to determine how the
policy implementation of the task force Handling Courses Indonesian Workers
Affected of Tanjungpinang in handling them and how coordination between all
stakeholders involved in the process of handling them. This type of research is
qualitative descriptive study consisting of 12 informants. The results of this study
indicate that the policy implementation of Task Handling Courses Indonesian
Workers Affected from Tanjungpinang city has been running in accordance with
the established policy. It is characterized by the passage of policy implementation
indicators used in this study. But in the process of handling, yet using Standard
Operating Procedures created by the team itself. On the other hand, the resources
available staff too much which causes ineffectiveness in the division of tasks and
cause no efficiency in the use of the budget to hire them. Handling processes
carried out by the task force in handling this Field Workers Affected Indonesia
has not shown good collaborative governance.
Keywords: Workers Indonesia Troubled (TKIB), policy implementation,
coordination, Collaborative governance.
x
DAFTAR ISI
Halaman judul luar
Halaman judul dalam
Halaman pengesahan
Halaman pernyataan
Halaman tanda tangan tim penguji
Halaman motto
Kata pengantar ............................................................................................ v
Abstrak bahasa Indonesia .......................................................................... viii
Abstrak bahasa Inggris............................................................................... ix
Daftar isi ....................................................................................................... x
Daftar tabel .................................................................................................. xiii
Daftar lampiran ........................................................................................... xiv
Bab I Pendahuluan ...................................................................................... 1
A. Latar belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan masalah.............................................................................. 7
C. Tujuan penulisan ............................................................................... 8
D. Konsep teoritis .................................................................................. 8
D.1. Kebijakan publik ....................................................................... 8
D.2. Implementasi kebijakan............................................................. 9
D.3. Koordinasi ................................................................................. 12
D.4. Collaborative governance ......................................................... 15
D.5. Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) ............................ 20
E. Tinjaun pustaka ................................................................................. 20
F. Konsep operasional ........................................................................... 21
F.1. Implementasi kebijakan ............................................................. 22
F.2. Collaborative Governance ......................................................... 22
G. Metode penelitian .............................................................................. 23
G.1. Jenis penelitian .......................................................................... 23
G.2. Lokasi penelitian ....................................................................... 23
G.3. Jenis data ................................................................................... 23
xi
G.4. Informan .................................................................................... 24
G.5. Teknik dan alat pengumpulan data............................................ 25
H. Teknik analisa data ............................................................................ 26
I. Sistematika penulisan ........................................................................ 27
Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................ 28
A. Kebijakan publik ............................................................................... 28
A.1. Pengertian .................................................................................. 28
A.2. Tahapan kebijakan..................................................................... 29
B. Implementasi kebijakan .................................................................... 31
B.1. Komunikasi................................................................................ 32
B.2. Sumber daya .............................................................................. 33
B.3. Disposisi sikap ........................................................................... 35
B.4. Struktur birokrasi ....................................................................... 35
C. Koordinasi ......................................................................................... 36
C.1. Macam-macam koordinasi ........................................................ 37
C.2. Unsur-unsur berjalannya koordinasi.......................................... 38
D. Collaborative governance .................................................................. 39
D.1. Collaborative ............................................................................. 39
D.2. Governance ............................................................................... 40
D.3. Tahapan collaborative governance ........................................... 42
Bab III Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................... 46
A. Gambaran Umum Satuan Tugas Tenaga Kerja Indonesia
Bermasalah (TKIB) Kota Tanjungpinang ........................................ 46
B. Gambaran Umum Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) ...... 50
C. Gambaran Umum Dinas Sosial dan Tenga Kerja
Kota Tanjungpinang ......................................................................... 54
D. Gambaran Umum Pendamping Pemulangan Debarkasi Kementerian
Sosial Republik Indonesia ................................................................ 58
Bab IV Implementasi Kebijakan Satuan Tugas Lapangan
Penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah
di Kota Tanjungpinang Tahun 2015 ......................................... 60
xii
A. Komunikasi ....................................................................................... 61
B. Sumber daya ...................................................................................... 66
C. Disposisi ............................................................................................ 72
D. Struktur birokrasi .............................................................................. 74
Bab V Koordinasi Antar Sektor Satuan Tugas (Satgas)
Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah
(TKIB) Kota Tanjungpinang Dalam Pemulangan
Tenaga Kerja Indonesia (TKIB) Ke Daerah Asal ................... 80
A. Penilaian ............................................................................................ 82
B. Permulaan .......................................................................................... 89
C. Pertimbangan..................................................................................... 94
D. Implementasi ..................................................................................... 99
Bab VI Penutup ........................................................................................... 104
A. Kesimpulan ....................................................................................... 104
B. Saran .................................................................................................. 106
Daftar Pustaka ............................................................................................. 107
Lampiran
Riwayat Penulis
xiii
DAFTAR TABEL
1. Tabel I.1 Data kedatangan TKIB di kota Tanjungpinang 5
2. Tabel I.2 Konsep Operasional Implementasi Kebijakan 22
3. Tabel I.3 Konsep Operasional Berjalannya Koordinasi 22
4. Table I.4 Data Informan Penelitian 25
5. Tabel II.1 Perbandingan model implementasi kebijakan 32
6. Tabel III.1 Daftar Instansi Anggota Satgas Beserta Tugas Tahun 2015 48
7. Tabel III.2 Jumlah Kedatangan TKIB Deportasi Malaysia Tahun 2015 49
8. Tabel III.3 Data kedatangan TKIB di kota Tanjungpinang 52
9. Tabel III.4 Jumlah Kedatangan TKIB Deportasi Malaysia Tahun 2015 53
10. Tabel III.5 Jumlah Kepulangan TKIB ke Daerah Asal Tahun 2015 59
11. Tabel V.1 Daftar Pemangku Kepentingan Pemulangan TKIB Tahun 2015 87
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Pedoman Wawancara
Lampiran II Surat Keputusan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji tentang Dosen
Pembimbing Skripsi
Lampiran III Surat Keputusan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji tentang Dosen Penelaah
Seminar Usulan Penelitian
Lampiran IV Surat Permohonan Izin / Rekomendasi Penelitian dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Maritim Raja
Ali Haji
Lampiran V Surat Rekomendasi Penelitian dari KESBANGPOL
LINPENMAS Kota Tanjungpinang
Lampiran VI Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian
Lampiran VII Dokumentasi Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya, setiap Warga Negara Indonesia (WNI) mempunyai hak
untuk bebas meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah Negara Republik
Indonesia. Hal ini merupakan ketentuan yang sesuai dengan undang-undang yang
mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM) (Pasal 27 ayat (2) UU NO. 39
Tahun 1999). Kebebasan untuk keluar dan masuk kembali ke negara asal juga
merupakan salah satu hak atas kebebasan pribadi yang diatur dalam Pasal 12
Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Implikasi
dari adanya ketentuan tersebut adalah adanya migrasi yang dilakukan oleh warga
Negara Indonesia ke negara lain secara bebas sesuai dengan aturan yang
diterapkan oleh negara penerima.
Migrasinya warga Negara Indonesia ke negara lain bisa disebabkan oleh
berbagai faktor pendorong, seperti; belajar, bekerja sebagai TKI, maupun hanya
sekedar liburan. Dari faktor-faktor yang disebutkan tersebut, (faktor untuk bekerja
menjadi TKI) merupakan faktor yang terbesar daripada yang lain, hal ini
disebabkan oleh sulitnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia, serta harapan
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan bekerja di negara yang
menyediakan upah kerja lebih besar dari upah kerja yang ada di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang banyak menyediakan TKI yang tersebar
dibanyak negara, salah satu negara yang banyak menerima TKI adalah Malaysia.
Malaysia menjadi negara yang paling banyak menampung TKI, hal ini disebabkan
2
oleh jarak yang dekat serta rumpun bahasa yang cenderung lebih sama. Implikasi
dari hal tersebut adalah banyaknya TKI yang bekerja di Malaysia yang pada tahun
ini totalnya berjumlah 97.635 TKI, jumlah ini merupakan jumlah terbanyak yang
menjadi tujuan TKI dari semua negara tujuan TKI (BNP2TKI, 2015). Jarak serta
bahasa yang cenderung lebih sama tersebut dimungkinkan sebagai alasan bagi
para TKI untuk masuk ke Malaysia melalui cara-cara ilegal, seperti tidak memiliki
dokumen resmi, serta masuk dengan visa pelancong, padahal sejatinya mereka ini
bekerja. Hal-hal tersebut nantinya akan menjadi masalah besar bagi diri mereka
sendiri. Akibat selanjutnya yang disebabkan oleh tidak adanya dokumen resmi
sebagai TKI adalah terjadinya deportasi TKI dalam jumlah besar dari negara
penerima. Sebagaimana yang sering terjadi di Malaysia, setiap harinya kita akan
mendengar berita pemulangan TKI oleh pemerintah Malaysia ke Indonesia.
Pemulangan TKI oleh pemerintah Malaysia dilakukan lewat beberapa jalur
debarkasi yang memang merupakan daerah perbatasan dengan Malaysia. Kota
Tanjungpinang merupakan salah satu daerah debarkasi yang berada di Provinsi
Kepulauan Riau, pemulangan juga terjadi di daerah Nunukan yang merupakan Pos
Lintas Batas RI-Malaysia yang berada di Kabupaten Nunukan Provinsi
Kalimantan Timur, daerah lainnya adalah Entikong. Entikong merupakan Pos
Lintas Batas RI-Malaysia yang ada di Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan
Barat, yang secara geografis berbatasan langsung dengan Malaysia (Serawak)
dengan panjang perbatasan lebih kurang sekitar 800 km (Pamungkas, dkk.,
2010:21). Daerah-daerah tersebut adalah tempat yang paling sering dijadikan
sebagai debarkasi deportasi TKI di Malaysia.
3
Tenaga Kerja Indonesia yang dideportasi melalui daerah-daerah
perbatasan, dalam hal ini melalui pelabuhan Internasional Sri Bintan Pura di
Tanjungpinang, tentunya berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Pada
prosesnya, untuk memulangkan TKI yang berasal dari berbagai daerah ke daerah
asalnya masing-masing, diperlukan mekanisme penanganan dan biaya yang tidak
sedikit. Apakah penanganan ini sepenuhnya tanggungjawab pemerintah daerah
debarkasi, atau merupakan tanggungjawab pemerintah pusat. Jika semua proses
penanganan tersebut dilimpahkan kepada pemerintah daerah debarkasi, tentunya
ini sangat memberatkan bagi pemerintah daerah. Kemudian, bagaimana dengan
tanggungjawab pemerintah pusat dengan masalah TKI tersebut, apakah ada
koordinasi dengan pemerintah daerah tempat asal TKI tersebut. Untuk menjawab
semua permasalahan tersebut, maka perlu dilihat kembali peraturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Demi mengatasi permasalahan TKI yang dideportasi ini sebenarnya
Pemerintah RI telah membentuk suatu badan yang yang disebut dengan Tim
Koordinasi Pemulangan TKI Bermasalah (TK-PTKIB). Salah satu tugas dari
banyak tugas TK-PTIKB adalah pemberian pelayanan kebutuhan dasar sejak dari
penampungan selama perjalanan sampai ke tempat asal (Pamungkas, 2010:39).
Adanya Satgas TK-PTKIB ini awalnya diatur dalam Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2004, kemudian berubah menjadi
Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2013 dan selanjutnya diatur dalam Peraturan
Menteri Sosial Nomor 22 Tahun 2013, yang kepengurusannya terdiri dari
kementerian-kementerian yang ada. Berdasarkan Peraturan Presiden No 45 Tahun
4
2013, ketua dari Tim Koordinasi adalah Menteri Koordinator Bidang
kesejahteraan Rakyat. Adapun dalam melaksanakan tugasnya, TK-PTKIB bekerja
sama dengan Gubernur dan Bupati/Walikota dan/atau pihak-pihak lain yang
dipandang perlu sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 11 Peraturan Presiden
No 45 Tahun 2013. Selanjutnya, Satgas TKIB di daerah dibentuk oleh kepala
daerah setempat sebagaimana hasil kerja sama antara TK-PTKIB dengan
pemerintah daerah seperti yang telah diatur sebelumnya, kemudian satgas
tersebutlah yang mengurusi TKIB sejak kedatangan sampai pemulangan ke daerah
asalnya.
Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau merupakan daerah
debarkasi terdekat untuk menerima TKIB deportan dari Johor Bahru Malaysia
(Pamungkas, dkk., 2010:20). Dalam data yang dikeluarkan oleh BNP2TKI, pada
tahun 2011 jumlah TKI yang dideportasi ke Tanjungpinang sebanyak 15.850
orang, tahun 2012 jumlah TKI yang dideportasi ke Tanjungpinang ada sebanyak
7.864 orang, kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 17.748 orang, hingga
pada tahun 2014 telah ada sekitar 15.611 orang, terakhir tahun 2015 tercatat
sebanyak 17.682 orang TKI yang dideportasi (PUSLITFO BNP2TKI, 2015). Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
5
Tabel I.1 Data kedatangan TKIB di kota Tanjungpinang
No. Tahun Jumlah
1. 2011 15.850
2. 2012 7.864
3. 2013 17.784
4. 2014 15.611
5. 2015 17.682
Sumber: Pusat Penelitian Pengembangan Dan Informasi (PUSLITFO
BNP2TKI).
Hal ini merupakan akibat dari tidak terdaftarnya TKI tersebut dalam
dokumen resmi TKI, hingga akhirnya menjadi masalah, bukan hanya bagi TKI
tersebut, namun juga menjadi masalah bagi pemerintah kota Tanjungpinang
sendiri.
Kota Tanjungpinang yang merupakan salah satu daerah debarkasi,
memiliki tim satgas lapangan yang bertugas menangani TKIB yang dideportasi ke
kota Tanjungpinang. Penanganan yang dilakukan berupa sejak mulai dari
kedatangan di pelabuhan, pendataan, pelayanan, penampungan sampai pada
pemulangan ke daerah asal. Adapun komposisi Satgas Lapangan Penanganan
TKIB Kota Tanjungpinang terdiri dari beberapa instansi yang telah ditunjuk, yaitu
:
a. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang
b. Kantor Imigrasi Pelabuhan Sri Bintan Pura
c. Kantor Kesehatan Pelabuhan
d. Kepolisian Sektor Pelabuhan Sri Bintan Pura
6
e. SABHARA Polres Tanjungpinang
f. Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Kota Tanjungpinang
g. Dinas kesehatan Kota Tanjungpinang
h. SATPOL PP Kota Tanjungpinang
Daerah debarkasi Tanjungpinang dalam upaya penanganan TKIB yang
dideportasi, membentuk Tim Satuan Tugas Lapangan Penanganan Tenaga Kerja
Indonesia Bermasalah (TKIB) Kota Tanjungpinang. Berdasarkan pasal 11
Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2013, TK-PTKIB bekerja sama dengan
gubernur dan bupati/walikota untuk membentuk Satgas TKIB di daerah.
Namun kemudian, Pemerintah Kota Tanjungpinang mendelegasikan
kewenangan tersebut kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang
untuk membentuk Satgas Lapangan Penanganan TKIB Kota Tanjungpinang
melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang Nomor 25 Tahun 2015. Untuk menjalankan tugasnya dalam
memulangkan TKIB ke daerah asal, diharapkan Satgas Lapangan Penanganan
TKIB dapat mengimplementasikan dengan baik sesuai dengan perencanaan yang
sudah ditetapkan. Hal ini dikarenakan telah adanya peraturan yang menjelaskan
tentang tugas dari setiap instansi dalam lingkungan satgas.
Fenomena yang terjadi pada TKI-TKI yang dideportasi tersebut sebelum
dipulangkannya mereka ke daerah asalnya terkadang adalah adanya orang-orang
dari luar, yang berasal dari daerah Kepulauan Riau yang mengaku sebagai
keluarga dari tenaga kerja wanita yang ingin menjemput tenaga kerja wanita
tersebut, namun ternyata setelah itu datang seorang wanita yang ternyata
7
merupakan anak dari tenaga kerja wanita tersebut yang ingin menjemput ibunya.
Hal ini menjadi suatu hal yang mesti diatasi oleh petugas pemulangan, karena
mekanisme yang begitu mudah dalam menjemput TKIB. Keterlambatan jadwal
kapal juga menjadi suatu permasalahan yang serius, sehingga menyebabkan
menumpuknya TKIB yang berada di rumah penampungan selama berhari-hari
(BNP2TKI, 2015). Berbagai masalah yang terjadi sebagaimana yang disebutkan
diatas menimbulkan kerawanan sosial bagi para TKI yang berada di penampungan
sementara tersebut karena terdiri dari berbagai daerah dan suku yang berada di
Indonesia, yang sebagian besar berasal dari daerah Jawa (wawancara bersama
anggota satgas, 17 Mei 2016, 10:10 WIB).
Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana implementasi koordinasi
yang telah dilakukan oleh Satgas Lapangan Penanganan TKIB dalam
memulangkan kembali para TKIB dari Tanjungpinang ke daerah asal, maka
diperlukan suatu penelitian yang berjudul “IMPLEMENTASI KOORDINASI
SATUAN TUGAS LAPANGAN PENANGANAN TENAGA KERJA
INDONESIA BERMASALAH PADA TAHUN 2015” yang studi kasusnya
dilakukan di Kota Tanjungpinang yang merupakan salah satu daerah debarkasi
TKIB.
B. Rumusa Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di
atas, maka dari itu adapun rumusan masalah yang akan diangkat dari penelitian ini
adalah:
8
1. Bagaimana implementasi kebijakan Satuan Tugas Lapangan Penanganan
TKIB di Kota Tanjungpinang ?
2. Bagaimana koordinasi antar instansi Satuan Tugas Lapangan Penanganan
TKIB Kota Tanjungpinang dalam penanganan TKIB ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini berdasarkan penjelasan dan latar
belakang serta rumusan masalah yang diangkat adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Satuan Tugas
Lapangan Penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang.
b. Untuk mengetahui bagaimana koordinasi antar instansi pada Satuan Tugas
Lapangan Penanganan TKIB Kota Tanjungpinang dalam penanganan
TKIB.
D. Konsep Teoritis
D.1 Kebijakan Publik
Dalam kegiatan pemerintahan, setiap tindakan seseorang memiliki dasar,
dasar dari tindakan seseorang itu adalah berupa kebijakan publik yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan publik merupakan sekumpulan aturan yang
mengatur bagaimana suatu program itu dibentuk dan dijalankan sesuai dengan
bagiannya masing-masing.
Banyak definisi kebijakan yang dikemukakan oleh para ahli, diantara
definisi yang ada adalah definisi yang dikemukakan oleh James Anderson, yang
mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai pelaksanaan tindakan yang relatif
9
stabil dan digunakan untuk tujuan tertentu, diikuti oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam menghadapi masalah (Nugroho, 2014:43).
Robert Eyestone menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah hubungan
suatu unit pemerintah dengan lingkungannya (Winarno, 2012:20). Pengertian
yang diberikan oleh Eyestone masih bersifat luas, karena hanya menjelaskan
hubungan secara umum. Pengertian lain diberikan oleh Carl Friedrich dengan
penjelasan yang lebih spesifik, yaitu suatu arah tindakan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang
memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang
diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu
tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu (Winarno,
2012:21).
D.2 Implementasi Kebijakan
Sebuah kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, maka perlu di
implementasikan agar memberikan pengaruh kepada masyarakat terkait dengan
perihal yang diatur dalam sebuah kebijakan. Implementasi adalah proses untuk
memastikan terlaksananya suatu program dan tercapainya program tersebut
(Mukarom & Wijaya Laksana, 2015:206). Untuk mencapai keberhasilan dari
terlaksananya program dengan tujuan dari dibuatnya suatu program ditentukan
oleh beberapa faktor pendukung yang menjadikan suatu program tersebut
berjalannya dengan lancar.
Dalam proses implementasi kebijakan, ada banyak model implementasi
yang dikemukakan oleh para ahli di banyak literatur. Model implementasi
10
kebijakan klasik dikembangkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn, yang
menyebutkan beberapa variabel kritis implementasi kebijakan adalah sumber daya
dan tujuan standar, yang mendorong ke komunikasi antar organisasi dan
penegakan aktivitas, karakteristik badan-badan yang mengimplementasikan, yang
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan kondisi politik, yang pada
gilirannya membangkitkan watak pengimplementasi agar dapat mencapai kinerja
kebijakan (Nugroho, 2014:219).
Terdapat banyak model lainnya yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan, salah satu model yang banyak menjadi rujukan dari peneliti adalah
model yang dijelaskan oleh George Edward III (Nugroho, 2014:225), yang
mengemukakan empat faktor krusial yang menentukan keberhasilan dari
implementasi kebijakan, faktor-faktor tersebut adalah:
a. Komunikasi
Komunikasi adalah dalam hal bagaimana kebijakan dikomunikasikan
kepada publik untuk memperoleh respon dari pihak-pihak yang terlibat. Secara
umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan,
yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan.
Menurut Edward persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang
efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa
yang harus mereka lakukan. Oleh karena itu, komunikasi-komunikasi harus akurat
dan harus dimengerti dengan cermat oleh pelaksana kebijakan.
Dalam komunikasi juga harus terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas, agar
pelaksana tidak mengalami kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan.
11
Selain itu, petunjuk-petunjuk tersebut juga harus konsistensi, keputusan-
keputusan yang bertentangan akan membingungkan pelaksana dan menghambat
kemampuan mereka melaksanakan kebijakan secara efektif.
b. Sumber daya
Sumber daya adalah menyangkut ketersediaanya khususnya kompetensi
sumber daya manusia dan kapabilitas untuk melakukan kebijakan secara efektif.
Sumber daya yang penting dalam pelaksanaan kebijakan terdiri dari staf,
informasi, wewenang, dan fasilitas.
Staf yang memadai tidak hanya dari segi kuantitas namun juga didukung
dengan kualitas yang kompeten. Infromasi termasuk sumber daya yang harus
dimiliki dalam pelaksanaan kebijakan.
Informasi mengenai program-proram adalah penting terutama bagi
kebijakan-kebijakan baru atau kebijakan-kebijakan yang melibatkan persoalan-
persoalan teknis.
Wewenang adalah berupa kekuasaan untuk menjalankan implementasi
kebijakan beserta penggunaan aset-aset yang menunjang implementasi kebijakan.
Fasilitas merupakan sumber daya yang digunakan sebagai penunjang dari
impelementasi. Ketersediaan fasilitas yang memadai sangat dibutuhkan demi
keberhasilan implementasi
c. Disposisi sikap
Disposisi adalah dalam hal kesediaan aktor untuk melakukan implementasi
kebijakan. Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekuensi-
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para
12
pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang dalam hal ini
berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian juga
sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku para pelaksana berbeda dengan
pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan sulit.
d. Struktur birokrasi
Struktur birokrasi adalah dalam hal tantangan agar tidak menjadi
fragmentasi birokrasi, karena menurunkan efektivitas implementasi. Struktur
birokrasi menjelaskan susunan tugas dan para pelaksana kebijakan,
memecahkannya dalam perincian tugas, serta menetapkan prosedur standar
operasi.
Keempat faktor yang dijelaskan oleh Edward III tersebut saling
mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya dalam proses implementasi.
Sehingga diperlukan kesesuaian keempat faktor tersebut sangat diperlukan untuk
keberhasilan implementasi kebijakan.
D.3 Koordinasi
Dalam setiap tim kerja ataupun dalam sebuah organisasi ada pembagian-
pembagian kerja yang dilimpahkan kepada setiap unit-unit yang ada di dalam
sebuah organisasi, begitu juga dengan sebuah negara yang mengatur segala hal
yang berkaitan denga pelayanan masyarakat terbagi dalam bagian-bagian yang
berbeda. Untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan oleh sebuah organisasi
apapun bentuk organisasi tersebut yang terbagi dalam beberapa unit kerja,
diperlukan suatu koordinasi.
13
Tugas untuk mengkoordinasikan semua kegiatan unit-unit untuk mencapai
tujuan organisasi tersebut adalah tugas pimpinan. Artinya pimpinan harus dapat
mengkoordinasikan tujuan organisasi kepada setiap unit dengan cara
menerjemahkan tujuan tersebut menjadi sasaran-sasaran khusus masing-masing
unit organisasi. Pimpinan harus berusaha supaya setiap unit mengetahui dan
memperoleh informasi yang cukup tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
unit-unit lain sehingga unit-unit yang berbeda kegiatannya tersebut dapat bekerja
sama dengan lancer (Arif, dkk., 2007:4.68).
Newman mengemukakan bahwa koordinasi adalah suatu usaha
menyelaraskan tindakan-tindakan dan penyerapan waktu yang dilakukan oleh
berbagai-bagai kesatuan dalam rangka penyatuan tugas-tugas sehingga tercipta
keharmonisan dalam mencapai tujuan organisasi (Arif, dkk., 2007:4.68).
D.3.1 Unsur-unsur Koordinasi
Ada beberapa unsur yang diperlukan dalam koordinasi, hal ini dinyatakan
oleh Inu Kencana Syafiie di dalam bukunya (2011:44), yaitu :
a. Pengaturan
Pengaturan, yaitu pengaturan waktu dan ketepatan waktu koordinasi dalam
pelaksanaan koordinasi, terdapat unsur pengaturan waktu dan ketepatan waktu.
Pengaturan waktu dan ketepatan waktu koordinasi ini telah dibuat dan disesuaikan
dengan kebutuhan koordinasi. Pengaturan waktu dan ketepatan waktu koordinasi
ini sangat penting karena keberhasilan koordinasi akan tercapai jika instansi yang
berkoordinasi ini dapat memenuhi pengaturan dan ketepatan waktu koordinasi.
14
b. Sinkronisasi
Sinkronisasi, yaitu kegiatan koordinasi berjalan secara serentak dan
berurutan. Unsur kedua yang terdapat dalam koordinasi adalah koordinasi ini
berjalan serentak dan berurutan. Koordinasi berupa seperti rapat dan musyawarah
baik yang berupa formal maupun tidak resmi dijalankan berurutan, agar tidak
terjadi tumpang tindih pekerjaan dalam koordinasi.
c. Kepentingan bersama
Kepentingan bersama, yaitu koordinasi merupakan pandangan menyeluruh
dalam mencapai sasaran bersama. Unsur yang ketiga dalam koordinasi adalah
kepentingan bersama. Kepentingan bersama ini merupakan cara pandang instansi
dalam mencapai sasaran bersama, koordinasi juga akan berjalan dengan baik jika
ada unsur kepentingan bersama yang diterapkan dalam menjalani koordinasi.
d. Tujuan bersama
Tujuan bersama, yaitu koordinasi sesuai dengan tujuan yang ditetapkan
bersama. Tujuan tersebut adalah yang pertama menciptakan dan memelihara
efektifitas pelaksanaan kebijakan, melalui sinkronisasi, penyerasian dan
kesinambungan. Yang kedua mencegah konflik dalam koordinasi, menciptakan
efisiensi yang tinggi melalui kesepakatan-kesepakatan yang dibuat untuk
kepentingan bersama. Dan yang ketiga adalah menciptakan dan memelihara sikap
saling responsif antara instasi melalui jaringan informasi dan komunikasi yang
efektif.
15
D.3.2 Macam-macam Koordinasi
Mirrian Sjofyan Arif, dkk., di dalam bukunya (2007:4.70-4.71), membagi
koordinasi menurut sifatnya menjadi dua (2) macam bentuk, yaitu :
a. Koordinasi vertical
Koordinasi yang melakukan kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan
yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja
yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Tegasnya, atasan
mengkoordinasi semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara
langsung. Koordinasi vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan
dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur.
b. Koordinasi literal atau horizontal
Merupakan kegiatan mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-
kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam
tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.
1. Koordinasi antara departemen
2. Koordinasi antara departemen melalui perantara
3. Koordinasi melalui panitia atau task force
4. Struktur matriks
D.4 Collaborative Governance
Dalam tata kelola pemerintahan modern, disertai dengan adanya tuntutan
masyarakat pada zaman sekarang, isu pembangunan bukan hanya menjadi urusan
pemerintah saja. Dalam hal perumusan kebijakan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan masyarakat, pemerintah tidak hanya melaksanakannya sendiri, akan
16
tetapi adanya tuntutan untuk melibatkan masyarakat atau kelompok-kelompok di
luar pemerintah itu sendiri. Ikut sertanya masyarakat dan pemangku kepentingan
di luar pemerintah dalam menyelesaikan sebuah permasalahan publik dikenal
dengan pemikiran collaborative governance.
Definisi dari collaborative governance yang diberikan oleh Ansell dan
Gash (2007:544) adalah,
”A governing arrangement where one or more public agencies directly
engage non-state stakeholders in a collective decision-making process that is
formal, consensus-oriented, and deliberative and that aims to make or implement
public policy or manage public programs or assets.‖
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan umum bahwa
collaborative governance merupakan sebuah bentuk kerja sama kemitraan yang
dilakukan oleh aktor pemerintah bersama aktor non pemerintah baik berupa
stakeholders swasta maupun masyarakat dalam membuat sebuah kesepakatan atau
keputusan yang bersifat publik dengan jalan konsensus bersama.
Dalam menjalankan sebuah proses collaborative, ada prasyarat agar
collaborative dapat terjadi, sebagaimana yang disebutkan oleh Sufianti (Ely
Sufianti, dkk., 2013:3). Adapun prasyarat yang harus ada agar terjadinya
collaborative adalah :
1. Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan.
2. Terdapat kondisi dimana ada kesetaraan kekuasan.
3. Terdapat aktor-aktor yang kompeten.
D.4.1 Tahapan collaborative governance
17
Dalam menjalankan collaborative governance ada tahapan-tahapan yang
harus dilalui agar proses dalam collaborative governance dapat berjalan dengan
baik. Tahapan dalam collaborative governance ini bisa menjadi tolak ukur
apakah dalam sebuah pemerintahan, baik itu dalam merumuskan atau
mengimplementasikan sebuah kebijakan publik sudah terjadi proses collaborative
governance atau tidak.
Tahapan collaborative governance yang akan dijelaskan pada
pembahahasan ini adalah empat (4) tahapan collaborative governance yang
dijabarkan oleh Morse dan Stephens (2012:567-569). Morse dan Stephens
menyebutkan bahwa tahapan collaborative governance ini adalah sebuah tahapan
umum dari proses collaborative governance berdasarkan literatur yang mereka
kaji.
a. Penilaian
Tahapan pertama dari collaborative governance adalah melakukan
penilaian. Fase ini merupakan kondisi awal yang sangat mempengaruhi
kemungkinan keberhasilan dan penilaian dalam sebuah kemitraan, apakah
kolaborasi memang benar diperlukan dan tepatkah untuk dilaksanakan. Fase ini
meliputi :
1. Memahami faktor-faktor kontekstual seperti sejarah kerjasama dan
insentif kelembagaan lain atau paksaan.
2. Mengidentifikasi stakeholders.
3. Kesepakatan umum dalam permasalahan, atau setidaknya kesepakatan
dari tujuan bersama.
18
4. Perasaan penting atau komitmen sekarang untuk mengejar solusi
kolaboratif.
Dengan demikian, fungsi penting untuk seorang calon pemimpin
kolaboratif adalah melakukan sebuah penilaian terhadap situasi awal. Kondisi
awal harus dianalisa untuk menilai apakah kolaborasi benar-benar diperlukan dan
layak untuk dijalankan.
b. Inisiasi
Inisiasi merupakan sebuah permulaan dari proses collaborative
governance. Setelah jelas diketahui bahwa suatu kondisi mengharuskan kolaborasi
dan adanya potensi sukses untuk dilakukan kolaboratif setidaknya terlihat
menguntungkan, prosesnya berlanjut dari penilaian ke inisiasi. Proses inisiasi
meliputi :
1. Mengidentifikasi pengadaan dan peran sponsor, yang mungkin
meliputi mengidentifikasi sumber daya.
2. mempertemukan pemangku kepentingan, mengembangkan kelompok
kerja, dan mendesain proses.
Jika sebelumnya, pada tahap penilaian berbicara tentang kemampuan
analisis, maka proses inisiasi menekankan "soft skill" dari penyelenggaranya,
yakni bagaimana membangun sebuah hubungan dalam tim.
c. Pertimbangan
Setelah memulai proses dengan kelompok inti dari pemangku kepentingan
dan adanya sebuah komitmen untuk bekerja sama dalam berbagai cara, pekerjaan
19
selanjutnya yang terbilang sulit, yaitu dari pertimbangan akan dimulai. Disini
keahlian fasilitas dikedepankan. Unsur fase pertimbangan mencakup :
1. membangun aturan dasar.
2. musyawarah dan dialog sebagai bagian dari proses saling belajar
bertujuan menciptakan dan mengeksplorasi pilihan.
3. mencapai kesepakatan kolaboratif.
Dalam diskusi antara Agranoff dan McGuire tentang kolaborasi antar
pemerintah, mengacu pada semacam ―karya kelompok‖ yang dikembangkan
dalam kemitraan yang sukses, gagasan yang erat melacak unsur fase
pertimbangan. Mereka berpendapat bahwa karya kelompok ini memerlukan modal
sosial, belajar bersama, dan negoisasi.
d. Implementasi
Implementasi merupakan tahapan terakhir dari proses collaborative
governance, yang merupakan pelaksanaan dari apa yang telah disepakati pada fase
pertimbangan sebelumnya bersama para stakeholders. Setelah mitra memutuskan
hasil dan strategi, proses kolaboratif bergerak ke tahap implementasi.
Implementasi melibatkan berbagai komponen yang saling mendukung, termasuk :
1. Merancang struktur tata pemerintahan.
2. Membangun dukungan konstituen atau menemukan juara yang lain.
3. Pemantau perjanjian, mengevaluasi hasil, dan yang lainnya yaitu
mengelola kemitraan.
Pada tahapan implementasi adalah tahap dimana banyak kemitraan
membuat kesalahan. Perjanjian dan rencana yang telah dibuat, tetapi ketika terjadi
20
suatu pepatah yaitu ―karet memenuhi jalan‖, menjadi sulit bagi mitra untuk
mengubah atau dalam keadaan lain menindak lanjutinya.
Dalam menguraikan proses kolaboratif dengan cara ini-seperti empat (4)
fase yang luas itu, penting untuk mengakui bahwa setiap fase mungkin memiliki
batasan yang keropos dengan fase yang berdampingan, dan dalam prakteknya
sering ada perulangan antara pertimbangan dan fase implementasi. Selain itu, ada
banyak variasi dalam setiap fase mengenai unsur-unsur tertentu dan jenis
kejadian. Proses kolaboratif jarang terjadi secara teratur, ragam langkah demi
langkah, itulah sebabnya ―sistem berpkir‖ sering diidentifikasi sebagai meta-
kompetensi.
D.5 Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB)
TKI-B adalah Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah. Merupakan TKI yang
dideportasi dari negara tempatnya bekerja karena bekerja di negara asing dengan
status ilegal. TKIB dikatakan bekerja secara ilegal karena berbagai sebab seperti,
bekerja dengan menggunakan passport pelancong, habisnya masa bekerja yang
tidak diperpanjang, masuk ke negara asing tanpa dokumen resmi, serta TKI yang
merupakan korban dari calo-calo TKI yang tidak bertanggungjawab.
E. Tinjaun Pustaka
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan sebelumnya dan relevan
dengan penelitian ini adalah penelitian yang berjudul ―Implementasi Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2013 Tentang Koordinasi
Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia‖, penelitian ini mengambil studi kasus di
Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau, oleh Indra Sakti Simbolon pada tahun
21
2015. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan tujuan
untuk mengetahui implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2013 tentang Koordinasi Pemulangan Tenaga kerja Indonesia pada
pemulangan TKI ke daerah asal oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Implementasi Peraturan
Presiden Indonesia Nomor 45 tahun 2013 secara umum sudah berjalan dengan
baik, hal ini dapat dilihat dari Satuan Tugas yang dibentuk sudah mempersiapkan
para pegawainya untuk melaksanakan regulasi tersebut. Menurut peneliti, dalam
penanganan pekerja migran, kerjasama, komunikasi dan koordinasi pelaksanaan
pembangunan kesejahteraan sosial sudah dilakukan dengan berbagai instansi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah,
pada penelitian ini hanya membahas tentang implementasi dari Peraturan Presiden
Indonesia Nomor 45 tahun 2013 yang masih bersifat umum, sedangkan pada
penelitian yang akan dilakukan berikutnya adalah lebih spesifik pada peraturan
yang ada di daerah dan membahas bagaimana hubungan koordinas antar setiap
instansi dalam melakukan penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang.
F. Konsep Operasional
Dalam penelitian ini akan digunakan dua konsep operasional yang akan
menjelaskan dua rumusan masalah yang telah disebutkan dibagian sebelumnya.
Adapun konsep operasional yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
konsep implementasi kebijakan dan konsep koordinasi.
22
F.1 Implementasi Kebijakan
Tabel I.2 Konsep Operasional Implementasi Kebijakan
F.2 Tahap-tahap Collaborative Governance
Tabel I.3 Konsep Operasional Berjalannya Koordinasi
Konsep Implementasi kebijakan
Teori Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan oleh
Edward III 1980
Dimensi 1. Komunikasi 2. Sumber daya 3. Disposisi 4. Struktur
birokrasi
Indikator
a. Transmisi
b. Kejelasan
c. Konsistensi
a. Staf
b. Informasi
c. Wewenang
d. Fasilitas
a. Adanya
dukungan dari
implementor
a. Adanya
perincian tugas
b. Adanya SOP
Konsep Koordinasi
Teori Tahap-tahap collaborative governance oleh R. S. Morse dan J. B. Stephens
Dimensi 1. Penilaian 2. Permulaan 3. Pertimbangan 4. Pelaksanaan
Indikator
1. Perlunya
Kolaborasi
2. Mengidentifikasi
stakeholders
3. Mengidentifikasi
pemeran kunci
1. Mengidentifikasi
sumber daya
2. Mempertemukan
pemangku
kepentingan.
3. Mendesain proses
1. Membangun aturan
dasar
2. Musyawarah dan
dialog
3. Mencapai
kesepakatan
kolaboratif
1. Adanya
pembagian tugas
2. Mengevaluasi
hasil
23
G. Metode Penelitian
G.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk menjelaskan bagaimana proses
suatu kejadian atau kasus itu terjadi dengan menggunakan penjelasan kata-kata.
Menurut Ulber Silalahi penelitian deskriptif kualitatif semata-mata mengacu pada
identifikasi sifat-sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia,
benda, atau peristiwa (Silalahi, 2012:27).
G.2 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang akan dilakukan ini adalah berada di kota
Tanjungpinang yang merupakan salah satu entry point di Provinsi Kepulauan
Riau, tepatnya pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sebagai intansi yang
mengetuai Tim Satgas TKI-B kota Tanjungpinang. Dipilihnya Kota
Tanjungpinang sebagai lokasi penelitian karena Kota Tanjungpinang merupakan
salah satu daerah entry point (pintu masuk) terdekat untuk menerima TKIB dari
Johor Bahru, Malaysia.
G.3 Jenis Data
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari
subjek penelitian yang merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat
melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio tapes, pengambilan
foto, atau film (Moleong, 2012:157).
24
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui sumber kedua setelah
sumber utama yang bisa dijadikan sebagai bahan penunjang dari data yang
didapatkan dari sumber utama. Data sekunder bisa didapatkan dari data-data
berupa sumber dari buku-buku penelitian, sumber dari arsip, serta dari sumber
dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian.
G.4 Informan
Informan adalah orang yang dimintai untuk memberikan informasi tentang
situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2012:132). Dalam pemilihan
informan, penulis memilih informan yang terlibat langsung dalam kegiatan yang
akan diteliti.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan satu orang informan kunci (key
informan) yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang akan diteliti,
dan beberapa orang informan tambahan yang ditentukan dengan dasar
pertimbangan sebagai pelengkap informasi dari informan kunci. Adapun informan
kunci yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Sosial dan
Tenaga kerja sebagai kepala instansi yang mengetuai Tim Satgas TKI-B.
Sedangkan informan tambahan dipilih dari staf Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tanjungpinang yang berurusan langsung dengan hal yang akan diteliti, serta
informan dari instansi yang lain sebagai mana dicantumkan tabel di bawah ini.
25
Table I.4 Data Informan Penelitian
Sumber : Data olahan peneliti
G.5 Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Wawancara
Wawancara merupakan proses berlangsungnya tanya jawab diantara dua
orang atau lebih yang dilakukan oleh orang yang membutuhkan informasi dengan
informan dalam mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu. Data yang diperoleh
No. Informan Jumlah
1. Informan Kunci :
Kepala Dinsosnaker
1
2. Informan 1 :
Kasi Jamsos Dinsosnaker
1
3. Informan 2 :
Staf Sei. Angkutan Dishub
1
4. Informan 3 :
Kepala Puskesmas Batu X
1
5. Informan 4 :
Anggota Sabhara Tpi
1
6. Informan 5 :
Petugas Imigrasi
1
7. Informan 6 :
Petugas KKP
1
8. Informan 7 :
Danru Satpol PP Tanjungpinang
1
9. Informan 8 :
Anggota KSPSBP
1
10. Informan 9 :
Koor. Pendamping
1
11. Informan 10 : Seksi
Perlindungan dan Pemberdayaan
BP3TKI Kota Tanjungpinang
1
12. Informan 11 :
Kepala operasional PT. Pelni
Tanjungpinang
1
26
terdiri dari kutipan langsung dari orang-orang tentang pengalaman, pendapat,
perasaan, dan pengetahuannya (Suyanto, dkk., 2008:186).
2. Observasi
Obervasi adalah kegiatan berupa pengamatan langsung di lapangan
mengenai objek yang diteliti. Data yang didapat melalui observasi langsung
terdiri dari pemerian rinci tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang, serta
juga keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal, dan proses penataan yang
merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati (Suyanto, dkk.,
2008:186).
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah sebuah proses pengumpulan bukti-bukti atau
keterangan dari suatu kejadian atau kegiatan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, menjelaskan bahwa dokumentasi adalah pemberian atau pengumpulan
bukti dan keterangan (seperti gambar, kutipan, guntingan koran, dan bahan
referensi lain) (KBBI.WEB.ID).
4. Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah berupa :
a. Pedoman wawancara
b. Recorder (Hp)
H. Teknik Analisa Data
Analisis data berkaitan dengan pengolahan data. Analisis data adalah
proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan
data ke dalam suatu kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesis,
27
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari,
dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun
orang lain (Saebani, 2008:199).
Adapun teknik yang akan digunakan dalam menganalisis data yang telah
didapat adalah dengan cara reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari
tema dan polanya (Saebani, 2008;201). Inti dari reduksi data adalah proses
penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu
bentuk tulisan (script) yang akan dianalisis (Herdiansyah, 2010:165).
I. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, adapun sistematika penulisan
yang akan digunakan adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Kerangka Teori
Bab III : Gambaran Umum Lokasi penelitian
Bab IV : Implementasi Kebijakan Pemulangan TKI-B ke Daerah Asal
Bab V : Koordinasi antar Sektor Satgas TKI-B Kota Tanjungpinang
dalam pemulangan TKIB ke daerah asal
Bab VI : Penutup
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan Publik
A.1 Pengertian
Dalam kegiatan pemerintahan, setiap tindakan seseorang memiliki dasar,
dasar dari tindakan seseorang itu adalah berupa kebijakan publik yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan publik merupakan sekumpulan aturan yang
mengatur bagaimana suatu program itu dibentuk dan dijalankan sesuai dengan
bagiannya masing-masing. Banyak definisi kebijakan yang dikemukakan oleh
para ahli, diantara definisi yang ada adalah definisi yang dikemukakan oleh James
Anderson, yang mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai pelaksanaan
tindakan yang relatif stabil dan digunakan untuk tujuan tertentu, diikuti oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam menghadapi masalah (Nugroho,
2014:43).
Robert Eyestone menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah hubungan
suatu unit pemerintah dengan lingkungannya (Winarno, 2012:20). Pengertian
yang diberikan oleh Eyestone masih bersifat luas, karena hanya menjelaskan
hubungan secara umum. Pengertian lain diberikan oleh Carl Friedrich dengan
penjelasan yang lebih spesifik, yaitu suatu arah tindakan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang
memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang
diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu
29
tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu (Winarno,
2012:21).
Secara umum, istilah kebijakan digunakan untuk menunjuk perilaku
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Winarno,
2012:19). Sedangkan Riant Nugroho menyimpulkan bahwa kebijakan publik
adalah keputusan negara atau pemerintah (sebagai pemegang kekuasaan) untuk
me-manage kehidupan publik (sebagai lingkungan) agar dapat mencapai misi
bangsa (Nugroho, 2014:47).
A.2 Tahapan kebijakan
Sebuah kebijakan publik dibuat oleh sekelompok aktor yang memiliki
kewenangan yang sudah ditetapkan dalam mengatur suatu kondisi dalam
masyarakat. Dalam proses pembuatannya, ada beberapa tahap dari penyusunan
kebijakan publik. Sebagaimana yang dipaparkan oleh William Dunn (1999)
(Winarno, 2012:36), tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut :
1. Tahap penyusunan agenda
2. Tahap formulasi kebijakan
3. Tahap adopsi kebijakan
4. Tahap implementasi kebijakan
5. Tahap evaluasi kebijakan
Sedangkan menurut pandangan Ripley dalam Subarsono (2009:11), bahwa
tahapan kebijakan publik terdiri dari :
1. Penyusunan agenda kebijakan,
2. Formulasi dan legitimasi kebijakan,
30
3. Implementasi kebijakan dan
4. Evaluasi terhadap implementasi, kinerja, & dampak kebijakan.
Dalam tahap penyusunan agenda kebijakan, menurut Ripley (Subarsono,
2009:11) menyatakan bahwa terdapat tiga kegiatan yang perlu dilakukan yaitu:
1. Membangun persepsi di kalangan stake holder bahwa sebuah fenomena benar-
benar dianggap masalah
2. Membuat batasan masalah dan
3. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut bisa masuk dalam agenda
pemerintah.
Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, Ripley dalam Subarsono
(2009:12) mengatakan bahwa analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan
menganalisa informasi yang berhubungan dengan masalah yang bersangkutan,
kemudian berusaha mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun
dukungan dan melakukan negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang
dipilih.
Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Ripley dalam
Subarsono (2009:12) mengatakan bahwa pada tahap ini diperlukan dukungan
sumber daya dan penusunan organisasi pelaksanaan kebijakan. Dalam proses
implementasi sering ada mekanisme insentif dan sanksi agar implementasi suatu
kebijakan berjalan dengan baik. Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja
dan dampak kebijakan, dan proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap
implementasi, kinerja dan dampak kebijakan. Menurut Riplye dalam Subarsono
31
(2009:12) bahwa ―hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru di
masa yang akan datang‖.
B. Implementasi Kebijakan
Sebuah kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, maka perlu di
implementasikan agar memberikan pengaruh kepada masyarakat terkait dengan
perihal yang diatur dalam sebuah kebijakan. Implementasi adalah proses untuk
memastikan terlaksananya suatu program dan tercapainya program tersebut
(Mukarom & Wijaya Laksana, 2015:206). Untuk mencapai keberhasilan dari
terlaksananya program dengan tujuan dari dibuatnya suatu program ditentukan
oleh beberapa faktor pendukung yang menjadikan suatu program tersebut
berjalannya dengan lancar.
Dalam proses implementasi kebijakan, ada banyak model implementasi
yang dikemukakan oleh para ahli di banyak literatur. Model implementasi
kebijakan klasik dikembangkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn, yang
menyebutkan beberapa variabel kritis implementasi kebijakan adalah sumber daya
dan tujuan standar, yang mendorong komunikasi antar organisasi dan penegakan
aktivitas, karakteristik badan-badan yang mengimplementasikan, yang
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan kondisi politik, yang pada
gilirannya membangkitkan watak pengimplementasi agar dapat mencapai kinerja
kebijakan (Nugroho, 2014:219).
32
Tabel II.1 Perbandingan model implementasi kebijakan
Model
No.
Van Horn & Van
Meter
Edward III Mazmanian & Sabatier
1. Standar dan sasaran
kebijakan
Komunikasi Karakteristik masalah
2. Sumber daya Sumber daya Karakteristik kebijakan
3. Komunikasi antar
organisasi dan
penguatan aktivitas
Disposisi Variable lingkungan
4. Karakteristik agen
pelaksana
Struktur
birokrasi
5. Kondisi sosial,
ekonomi dan
politik
6. Disposisi implementor Sumber: Olahan Peneliti
Terdapat banyak model lainnya yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan, salah satu model yang banyak menjadi rujukan dari peneliti adalah
model yang dijelaskan oleh George Edward III (Nugroho, 2014:225), yang
mengemukakan empat faktor krusial yang menentukan keberhasilan dari
implementasi kebijakan, faktor-faktor tersebut adalah:
B.1 Komunikasi
Komunikasi adalah dalam hal bagaimana kebijakan dikomunikasikan
kepada publik untuk memperoleh respon dari pihak-pihak yang terlibat. Secara
umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan,
yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan. Menurut Edward persyaratan pertama
bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang
melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Oleh
karena itu, komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan
33
cermat oleh pelaksana kebijakan. Dalam komunikasi juga harus terdapat
petunjuk-petunjuk yang jelas, agar pelaksana tidak mengalami kebingungan
tentang apa yang harus mereka lakukan. Selain itu, petunjuk-petunjuk tersebut
juga harus konsistensi, keputusan-keputusan yang bertentangan akan
membingungkan pelaksana dan menghambat kemampuan mereka melaksanakan
kebijakan secara efektif. Ada tiga hal penting yang menjadi indikator dalam
proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan.
1. Transmisi
Faktor pertama yang mendukung implementasi kebijakan adalah transmisi.
Seorang pejabat yang mengimplementasikan keputusan harus menyadari bahwa
suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaanya telah
dikeluarkan.
2. Kejelasan
Faktor kedua yang mendukung implementasi kebijakan adalah kejelasan,
yaitu bahwa petunjuk-petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak hanya harus diterima
oleh para pelaksana kebijakan, tetapi komunikasi tersebut harus jelas.
3. Konsistensi
Faktor ketiga yang mendukung implementasi kebijakan adalah konsistensi,
yaitu jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-
perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.
B.2 Sumber daya
Sumber daya adalah menyangkut ketersediaanya khususnya kompetensi
sumber daya manusia dan kapabilitas untuk melakukan kebijakan secara efektif.
34
Sumber daya yang penting dalam pelaksanaan kebijakan terdiri dari staf,
informasi, wewenang, dan fasilitas.
1. Staf
Staf merupakan sumber daya yang paling penting sebagai pelaksana
implementasi kebijakan. Kuantitas staf yang banyak tidak selalu memberikan
dampak positif bagi impelentasi jika tidak berbanding dengan kualitas. Kualitas
berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan staf dalam mengimplementasikan
kebijakan. Staf yang memadai tidak hanya dari segi kuantitas namun juga
didukung dengan kualitas yang kompeten.
2. Informasi
Infromasi merupakan sumber penting yang kedua dalam implementasi
kebijakan. Informasi yang diperlukan mengenai bagaimana melaksanakan
kebijakan. Pelaksana perlu diberi petunjuk tentang apa yang dilakukan dan
bagaimana mereka melakukannya. Informasi mengenai program-proram adalah
penting terutama bagi kebijakan-kebijakan baru atau kebijakan-kebijakan yang
melibatkan persoalan-persoalan teknis.
3. Wewenang
Wewenang berupa kekuasaan untuk menjalankan implementasi kebijakan
beserta penggunaan aset-aset yang menunjang implementasi kebijakan.
4. Fasilitas
Fasilitas merupakan sumber daya yang digunakan sebagai penunjang dari
impelementasi. Ketersediaan fasilitas yang memadai sangat dibutuhkan demi
keberhasilan implementasi.
35
B.3 Disposisi sikap
Disposisi adalah dalam hal kesediaan aktor untuk melakukan implementasi
kebijakan. Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekuensi-
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para
pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang dalam hal ini
berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian juga
sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku para pelaksana berbeda dengan
pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan sulit
dijalankan dengan baik.
B.4 Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu struktur pemerintah dan juga
organisasi-organisasi swasta. Ada dua indikator yang dapat dilihat dari struktur
birokrasi
1. Adanya perincian tugas
Perincian tugas yang ditetapkan dalam struktur birokrasi bagi pelaksana
kebijakan untuk menghindari tumpang tindih dari masing-masing pelaksana
kebijakan.
2. Adanya prosedur standar operasi
Prosedur standar operasi digunakan untuk menyeragamkan tindakan-
tindakan para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar
luas, sehingga menciptakan kesamaan dalam penetapan aturan-aturan.
36
Struktur birokrasi adalah dalam hal tantangan agar tidak menjadi
fragmentasi birokrasi, karena menurunkan efektivitas implementasi. Struktur
birokrasi menjelaskan susunan tugas dan para pelaksana kebijakan,
memecahkannya dalam perincian tugas, serta menetapkan prosedur standar
operasi.
Keempat faktor yang dijelaskan oleh Edward III tersebut saling
mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya dalam proses implementasi.
Sehingga diperlukan kesesuaian keempat faktor tersebut yang sangat diperlukan
untuk keberhasilan implementasi kebijakan.
C. Koordinasi
Dalam setiap tim kerja ataupun dalam sebuah organisasi ada pembagian-
pembagian kerja yang dilimpahkan kepada setiap unit-unit yang ada di dalam
sebuah organisasi, begitu juga dengan sebuah negara yang mengatur segala hal
yang berkaitan denga pelayanan masyarakat terbagi dalam bagian-bagian yang
berbeda. Untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan oleh sebuah organisasi
apapun bentuk organisasi tersebut yang terbagi dalam beberapa unit kerja,
diperlukan suatu koordinasi.
Tugas untuk mengkoordinasikan semua kegiatan unit-unit untuk mencapai
tujuan organisasi tersebut adalah tugas pimpinan. Artinya pimpinan harus dapat
mengkoordinasikan tujuan organisasi kepada setiap unit dengan cara
menerjemahkan tujuan tersebut menjadi sasaran-sasaran khusus masing-masing
unit organisasi. Pimpinan harus berusaha supaya setiap unit mengetahui dan
memperoleh informasi yang cukup tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
37
unit-unit lain sehingga unit-unit yang berbeda kegiatannya tersebut dapat bekerja
sama dengan lancar (Arif, dkk., 2007:4.68). Newman mengemukakan bahwa
koordinasi adalah suatu usaha menyelaraskan tindakan-tindakan dan penyerapan
waktu yang dilakukan oleh berbagai-bagai kesatuan dalam rangka penyatuan
tugas-tugas sehingga tercipta keharmonisan dalam mencapai tujuan organisasi
(Arif, dkk., 2007:4.68).
C.1 Macam-macam Koordinasi
Mirrian Sjofyan Arif, dkk, di dalam bukunya (2007:4.70-4.71) membagi
koordinasi menurut sifatnya menjadi dua (2) macam bentuk, yaitu :
1. Koordinasi vertikal
Koordinasi yang melakukan kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan
yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja
yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Tegasnya, atasan
mengkoordinasi semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara
langsung. Koordinasi vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan
dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur.
2. Koordinasi literal atau horizontal
Merupakan kegiatan mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-
kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam
tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.
1. Koordinasi antara departemen
2. Koordinasi antara departemen melalui perantara
3. Koordinasi melalui panitia atau task force
38
4. Struktur matriks
C.2 Unsur-unsur berjalannya koordinasi
Dalam melakukan koordinasi, ada beberapa unsur yang harus dipenuhi
agar suatu koordinasi berjalan dengan baik. Beberapa unsur tersebut adalah:
1. Pengaturan
Pengaturan, yaitu pengaturan waktu dan ketepatan waktu koordinasi dalam
pelaksanaan koordinasi, terdapat unsur pengaturan waktu dan ketepatan waktu.
Pengaturan waktu dan ketepatan waktu koordinasi ini telah dibuat dan disesuaikan
dengan kebutuhan koordinasi. Pengaturan waktu dan ketepatan waktu koordinasi
ini sangat penting karena keberhasilan koordinasi akan tercapai jika instansi yang
berkoordinasi ini dapat memenuhi pengaturan dan ketepatan waktu koordinasi.
2. Sinkronisasi
Sinkronisasi, yaitu kegiatan koordinasi berjalan secara serentak dan
berurutan. Koordinasi berupa seperti rapat dan musyawarah baik yang berupa
formal maupun tidak resmi dijalankan berurutan, agar tidak terjadi tumpang tindih
pekerjaan dalam koordinasi.
3. Kepentingan bersama
Kepentingan bersama yaitu koordinasi merupakan pandangan menyeluruh
dalam mencapai sasaran bersama. Kepentingan bersama ini merupakan cara
pandang instansi dalam mencapai sasaran bersama, koordinasi juga akan berjalan
dengan baik jika ada unsur kepentingan bersama yang diterapkan dalam menjalani
koordinasi.
39
4. Tujuan bersama
Tujuan tersebut adalah yang pertama menciptakan dan memelihara
efektifitas pelaksanaan kebijakan. Yang kedua mencegah konflik dalam
koordinasi, menciptakan efisiensi yang tinggi melalui kesepakatan-kesepakatan
yang dibuat untuk kepentingan bersama. Dan yang ketiga adalah menciptakan dan
memelihara sikap saling responsif antara instasi melalui jaringan informasi dan
komunikasi yang efektif.
D. Collaborative Governance
―Over the last two decades, a new strategy of governing called
„„collaborative governance‟‟ has developed. This mode of governance brings
multiple stakeholders together in common forums with public agencies to engage
in consensus-oriented decision making.”(Ansell and Gash, 2007:543)
Dalam tata kelola pemerintahan modern, disertai dengan adanya tuntutan
masyarakat pada zaman sekarang, isu pembangunan bukan hanya menjadi urusan
pemerintah saja. Dalam hal perumusan kebijakan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan masyarakat, pemerintah tidak hanya melaksanakannya sendiri, akan
tetapi adanya tuntutan untuk melibatkan masyarakat atau kelompok-kelompok di
luar pemerintah itu sendiri. Ikut sertanya masyarakat dan pemangku kepentingan
di luar pemerintah dalam menyelesaikan sebuah permasalahan publik dikenal
dengan pemikiran collaborative governance.
D.1 Collaborative
Collaborative governance merupakan sebuah konsep yang muncul dalam
dua dekade terkahir ini. Konsep yang menggabungkan dua buah kata yang terdiri
dari collaborative dan governance. Proses collaborative merupakan sebuah proses
40
adaptive system dimana pendapat-pendapat yang berbeda dari berbagai pihak
yang akhirnya menghasilkan suatu konsensus (Ely Sufianti, dkk., 2013:3). Secara
umum, collaborative merupakan sebuah rangkaian bentuk kerjasama yang
dilakukan oleh dua atau lebih organisasi yang dilakukan untuk mencapai suatu
tujuan bersama yang sudah ditetapkan dengan cara menggabungkan sumber daya
yang ada pada setiap masing-masing organisasi dan menciptakan kesepakatan
bersama tentang cara dan keputusan yang akan diambil.
Dalam menjalankan sebuah proses collaborative, ada prasyarat agar
collaborative dapat terjadi, sebagaimana yang disebutkan oleh Sufianti (Ely
Sufianti, dkk., 2013:3). Adapun prasyarat yang harus ada agar terjadinya
collaborative adalah :
1. Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan.
2. Terdapat kondisi dimana ada kesetaraan kekuasan.
3. Terdapat aktor-aktor yang kompeten.
Prasyarat diatas merupakan hal-hal yang harus ada untuk mewujudkan
proses collaborative, tanpa adanya ketiga hal diatas maka collaborative sulit
untuk diwujudkan dalam sebuah masyarakat atau kelompok.
D.2 Governance
”One critical component of the term collaborative governance is
„„governance.‟‟ Much research has been devoted to establishing a workable
definition of governance that is bounded and falsifiable, yet comprehensive. For
instance, Lynn, Heinrich, and Hill (2001, 7) construe governance broadly as
„„regimes of laws, rules, judicial decisions, and administrative practices that
constrain, prescribe, and enable the provision of publicly supported goods and
services.‟‟ This definition provides room for traditional governmental structures
as well as emerging forms of public/private decision-making bodies. (Ansell dan
Gash, 2007:545)”
41
Menurut Stoker (Ansell and Gash, 2007:545) berkaitan dengan
governance,
―As a baseline definition it can be taken that governance refers to the rules
and forms that guide collective decision-making. That the focus is on decision-
making in the collective implies that governance is not about one individual
making a decision but rather about groups of individuals or organisations or
systems of organisations making decisions.”
Sedangkan Morse dan Stephens (2012:566) mengatakan bahwa, Governance is
more than government; it is the combined efforts of all sectors in the “steering”
of society. (governance lebih dari pemerintah; ini adalah upaya gabungan dari
semua sektor dalam "kemudi" masyarakat).
Samodra Wibawa (2014:77) mengatakan bahwa govenance menekankan
pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan
institusi-institusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta maupun warga negara.
Bahkan institusi non pemerintah ini dapat saja memegang peran dominan dalam
governance tersebut, atau bahkan lebih dari itu pemerintah tidak mengambil
peran apapun.
―Collaborative governance is therefore a type of governance in which
public and private actors work collectively in distinctive ways, using particular
processes, to establish laws and rules for the provision of public goods.” (Ansell
and Gash, 2007:545)
Salah satu definisi dari collaborative governance yang diberikan oleh
Ansell dan Gash (2007:544) adalah,
A governing arrangement where one or more public agencies directly
engage non-state stakeholders in a collective decision-making process that is
formal, consensus-oriented, and deliberative and that aims to make or implement
public policy or manage public programs or assets.
42
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat kita ambil kesimpulan umum
bahwa collaborative governance merupakan sebuah bentuk kerja sama kemitraan
yang dilakukan oleh aktor pemerintah bersama aktor non pemerintah baik berupa
stakeholders swasta maupun masyarakat dalam membuat sebuah kesepakatan
atau keputusan yang bersifat publik dengan jalan konsensus bersama.
D.3 Tahapan Collaborative Governance
Dalam menjalankan collaborative governance ada tahapan-tahapan yang
harus dilalui agar proses dalam collaborative governance dapat berjalan dengan
baik. Tahapan dalam collaborative governance ini bisa menjadi tolak ukur
apakah dalam sebuah pemerintahan, baik itu dalam merumuskan atau
mengimplementasikan sebuah kebijakan publik sudah terjadi proses collaborative
governance atau tidak.
Tahapan collaborative governance yang akan dijelaskan pada
pembahahasan ini adalah empat (4) tahapan collaborative governance yang
dijabarkan oleh Morse dan Stephens (2012:567-569). Morse dan Stephens
menyebutkan bahwa tahapan collaborative governance ini adalah sebuah tahapan
umum dari proses collaborative governance berdasarkan literatur yang mereka
kaji.
1. Penilaian
Tahapan pertama dari collaborative governance adalah melakukan
penilaian. Fase ini berhubungan dengan kondisi awal yang sangat mempengaruhi
kemungkinan dari adanya keberhasilan dan penilaian dari kemitraan yang akan
43
dilakukan, apakah kolaborasi memang benar diperlukan dan mungkin tepat untuk
dilaksanakan. Fase ini meliputi :
a. Memahami faktor-faktor kontekstual seperti sejarah kerjasama dan insentif
kelembagaan lain atau paksaan.
b. Mengidentifikasi stakeholders.
c. Kesepakatan umum dalam permasalahan, atau setidaknya kesepakatan dari
tujuan bersama.
d. Perasaan penting atau komitmen sekarang untuk mengejar solusi kolaboratif.
Dengan demikian, fungsi penting untuk seorang calon pemimpin
kolaboratif adalah melakukan penilaian situasi. Kondisi awal harus dianalisa
untuk menilai apakah kolaborasi benar-benar diperlukan dan layak untuk
dilakukan.
2. Inisiasi
Inisiasi merupakan sebuah permulaan dari proses collaborative
governance. Setelah diketahui dengan jelas bahwa kondisi mengharuskan
kolaborasi dan adanya potensi sukses untuk dilakukan kolaboratif setidaknya agak
menguntungkan, prosesnya berlanjut dari penilaian ke inisiasi. Proses inisiasi
meliputi :
a. Mengidentifikasi pengadaan dan peran sponsor, yang mungkin meliputi
mengidentifikasi sumber daya.
b. mempertemukan pemangku kepentingan, mengembangkan kelompok kerja,
dan mendesain proses.
44
Jika pada tahap penilaian lebih berbicara tentang kemampuan analisis,
maka proses inisiasi lebih kepada menekankan "soft skill" dari penyelenggaranya,
berupa pengembangan hubungan dan membangun tim dalam kemitraan.
3. Pertimbangan
Setelah memulai proses dengan kelompok inti dari pemangku kepentingan
dan mendapatkan komitmen untuk bekerja sama dalam berbagai cara, pekerjaan
sulit dari fase pertimbangan akan dimulai. Disini keahlian fasilitas dikedepankan.
Unsur fase pertimbangan mencakup :
a. membangun aturan dasar.
b. musyawarah dan dialog sebagai bagian dari proses saling belajar bertujuan
menciptakan dan mengeksplorasi pilihan.
c. mencapai kesepakatan kolaboratif.
Dalam diskusi Agranoff dan McGuire, yaitu tentang kolaborasi antar
pemerintah, yang mengacu pada semacam ―karya kelompok‖ yang dikembangkan
dalam kemitraan yang sukses, gagasan yang erat melacak unsur fase
pertimbangan. Mereka berpendapat bahwa karya kelompok ini memerlukan modal
sosial, belajar bersama, dan negoisasi.
4. Implementasi
Implementasi merupakan tahapan terakhir dari proses collaborative
governance, yang merupakan pelaksanaan dari apa yang telah disepakati pada fase
pertimbangan sebelumnya bersama para stakeholders. Setelah mitra memutuskan
hasil dan strategi, proses kolaboratif bergerak ke tahap implementasi (Carlson,
45
2007). Implementasi melibatkan berbagai komponen yang saling mendukung,
termasuk :
a. Merancang struktur tata pemerintahan.
b. Membangun dukungan konstituen atau menemukan juara yang lain.
c. Pemantau perjanjian, mengevaluasi hasil, dan yang lainnya yaitu mengelola
kemitraan.
Pada tahapan implementasi merupakan tahap dimana banyak kemitraan
membuat kesalahan. Perjanjian dan rencana yang dibuat, tetapi ketika terjadi suatu
pepatah yaitu ―karet memenuhi jalan‖, menjadi sulit bagi mitra untuk mengubah
atau dalam keadaan lain menindak lanjutinya.
Dalam menguraikan proses kolaboratif dengan cara ini-seperti empat (4)
fase yang luas itu, penting untuk mengakui bahwa setiap fase mungkin memiliki
batasan yang keropos dengan fase yang lain, dan dalam prakteknya sering ada
perulangan antara pertimbangan dan fase implementasi. Selain itu, ada banyak
variasi dalam setiap fase mengenai unsur-unsur tertentu dan jenis kejadian. Proses
kolaboratif jarang terjadi secara teratur, ragam langkah demi langkah, itulah
sebabnya ―sistem berpikir‖ sering diidentifikasi sebagai meta-kompetensi.
46
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Satuan Tugas Lapangan Penanganan Tenaga Kerja
Indonesia Bermasalah (TKIB) Kota Tanjungpinang
Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mengatasi permasalahan
deportasi TKIB menjalankan tugasnya melalui Tim Koordinasi Pemulangan
Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dari Malaysia (TK-PTKIB) yang dibentuk
melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2013. Sebelum
peraturan ini diterbitkan, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden
Nomor 106 Tahun 2004. Tim Koordinasi Pemulangan TKI yang selanjutnya
disebut dengan Tim Koordinasi dibentuk untuk melakukan koordinasi dalam
pemulangan TKI yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden (PP No. 45 Tahun 2013).
Tim Koordinasi dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sama dengan
Gubernur, Bupati/Walikota dan/atau pihak-pihak lain yang terkait yang berada di
daerah entry point. Dalam menjalankan koordinasi pemulangan TKI di daerah,
Bupati/Walikota membentuk Satuan Tugas (Satgas) Lapangan Penanganan TKIB
di daerah masing-masing yang menjadi daerah entry point. Dalam menjalankan
tugasnya, satgas melakukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan
Tim Koordinasi.
Pemerintah Kota Tanjungpinang sebagai salah satu entry point tempat
pertama kali masuknya Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) melalui
Malaysia dan kembali ke Indonesia dalam menindak lanjuti Peraturan Presiden
47
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2013 telah membentuk Satgas Lapangan
Penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) dan Keluarganya serta
korban tracfiking di Debarkasi Kota Tanjungpinang yang ditetapkan dalam suatu
keputusan yang dilimpahkan kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang melalui Keputusan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang Nomor 25 Tahun 2015 (SK K.a Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tanjungpinang No. 25 Tahun 2015). Tugas yang dilaksanakan oleh Satgas
Lapangan Penanganan TKIB adalah mengkoordinir proses pemulangan Tenaga
Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) dari Malaysia di Debarkasi Kota
Tanjungpinang, mulai dari pintu Kedatangan di Pelabuhan Sri Bintan Pura
Tanjungpinang hingga keberangkatan TKIB ke Tanjung Priok melalui Pelabuhan
Sri Bay-Intan Kijang Kabupaten Bintan.
Secara keseluruhan, jumlah anggota yang ada dalam Tim Satgas Lapangan
Penanganan TKIB berjumlah 45 orang. Adapun komposisi Satgas Lapangan
Penanganan TKIB yang selanjutnya disebut Satgas TKIB serta jumlah perinstansi,
berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang Nomor 25 Tahun 2015 terdiri dari beberapa instansi yang telah
ditunjuk, disertai dengan tugas dari masing-masing instansi dapat dilihat dari tabel
dibawah ini.
48
Tabel III.1 Daftar Instansi Anggota Satgas Beserta Tugas
Tahun 2015
No. Instansi Tupoksi
1. Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Tanjungpinang
- Koordinasi
- Pendataan
- Pelayanan
2. Kantor Imigrasi Pelabuhan
Sri Bintan Pura
- Menerima dan mendata jumlah TKI
sesuai dengan manivest kedatangan
3. Kantor Kesehatan
Pelabuhan
- Pemeriksaan dan pelayanan kesehatan
bagi TKI di pelabuhan Sri Bintan Pura
4. Kepolisian Sektor
Pelabuhan Sri Bintan Pura
- Menjaga keamanan pada saat kedatangan
TKI di pelabuhan Sri Bintan Pura
5. SABHARA Polres
Tanjungpinang
- Pengawalan menuju rumah
penampungan
6.
Dinas Perhubungan,
Komunikasi, dan
Informatika Kota
Tanjungpinang
- Mempersiapkan angkutan menuju rumah
penampungan dank ke pelabuhan Sri
Bayi Intan, Kijang
7. Dinas Kesehatan Kota
Tanjungpinang
- Memberikan pelayanan kesehatan TKI
selama berada di rumah penampungan
8.
SATPOL PP Kota
Tanjungpinang
- Mengkoordinir pengawalan, penjagaan
dan pengamanan
Sumber : SK Dinsosnaker Kota Tanjungpinang No. 25 Tahun 2015.
Pada Tahun 2015, Satgas TKIB Kota Tanjungpinang telah menangani
Pemulangan TKIB yang dideportasi dari Malaysia sejumlah 17.682 orang, yang
terdiri dari 12.550 laki-laki dan 5.132 perempuan, dengan rincian sebagaimana
yang terlihat pada tabel berikut ini.
49
Tabel III.2 Jumlah Kedatangan TKIB Deportasi Malaysia
Tahun 2015
L AL P AP
1 Januari 1,135 17 399 10 1,561
2 Februari 813 12 283 4 1,112
3 Maret 1,457 13 659 19 2,148
4 April 1,479 21 554 18 2,072
5 Mei 807 16 359 10 1,192
6 Juni 1,336 15 625 16 1,992
7 Juli 1,427 32 513 21 1,993
8 Agustus 921 6 350 7 1,284
9 September 1,070 15 413 24 1,522
10 Oktober 1,179 18 539 20 1,756
11 November 382 12 157 10 561
12 Desember 361 6 118 4 489
12,367 183 4,969 163 17,682 JUMLAH
No BulanJenis Kelamin
Jumlah
Keterangan :
L = Laki-laki
P = Perempuan
AL = Anak Laki-laki
AP = Anak Perempuan
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga kerja Kota Tanjungpinang, 2015.
Adapun dalam pelaksanaan penanganan TKIB, alur koordinasi yang
selama ini berjalan dalam proses penanganannya adalah sebagaimana yang terlihat
pada bagan dibawah ini.
Bagan Alur Koordinasi Satgas TKIB
KSP
KONSULAT
JENDERAL
DINSOSNAKER
SATPOL
DISHUB DINKES
IMIGRASI
SABHAR
TRANSPORTAS
PEMAKANAN
PENDAMPING
PELNI
50
B. Gambaran Umum Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB)
Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) merupakan TKI yang
dideportasi dari negara tempatnya bekerja karena bekerja di negara asing dengan
status ilegal. TKIB dikatakan bekerja secara ilegal karena berbagai sebab seperti,
bekerja dengan menggunakan passport pelancong, habisnya masa bekerja yang
tidak diperpanjang, masuk ke negara asing tanpa dokumen resmi, serta TKI yang
merupakan korban dari calo-calo TKI yang tidak bertanggungjawab.
Proses dari pendeportasian sendiri dimulai ketika tertangkapnya TKI oleh
aparat Malaysia, sehingga menjadi tahanan polisi sampai pada tiba waktunya
persidangan. Hasil dari persidangan yang menyatakan TKI bersalah akan
memberikan hukuman berupa penjara sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pada
saat masa tahanan TKI telah habis, maka TKI akan ditempatkan di penampungan
yang bernama Pasir Gudang, yaitu sebuah tempat untuk mengumpulkan TKI yang
akan dideportasi sampai pada jumlah tertentu.
Selama TKI berada di Pasir Gudang pemerintah Malaysia mengkonfirmasi
kepada Konsulat Jenderal Republik Indonesia tentang adanya TKIB tersebut dan
Konsulat Jenderal melakukan pendataan terhadap TKIB tersebut. Ketika TKIB
sudah berjumlah sekitar dua ratusan keatas, maka pemerintah Malaysia akan
mendeportasi TKIB tersebut, sementara itu Konsulat Jenderal melakukan
pemberitahuan kepada Satgas di daerah yang menjadi debarkasi dan memberikan
manifest data TKIB yang telah di data oleh Konsulat Jendral selama di Malaysia.
Adapun mekanisme pemulangan TKIB dapat dilihat pada gambar diberikut ini.
51
Penyambutan kedatangan TKIB di
pelabuhan Sri Bintan Pura oleh
Dinsosnaker
Pendataan kewarga negaraan oleh
imigrasi
Penyesuaian data TKIB oleh
Dinsosnaker dan PPD
Pemeriksaan kesehatan oleh
Kantor Kesehatan Pelabuhan
Pengamanan TKIB oleh Kepolisian
Sektor Pelabuhan
Penertiban menuju transportasi oleh
Satpol PP dan PPD
Penyiapan transportasi dan mobilisasi TKIB
oleh Dishub
Pengawalan TKIB menuju rumah
penampungan oleh Satpol PP dan
Sabhara
Pelayanan kesehatan selama di
penampungan oleh Dinas Kesehatan
Pengambilan tiket kapal di Kantor Pelni oleh PPD
Pemulangan TKIB melalui pelabuhan
Sri Bayi Intan, Kijang
Bagan Alur Mekanisme Pemulangan TKIB
Masuknya TKI tanpa menggunakan dokumen resmi TKI hingga masuk
melalui calo dengan janji-janji akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik tidak
mensurutkan niat para TKIB untuk merantau di negeri Malaysia. Padahal mereka
mengetahui resiko yang akan mereka terima jika tertangkap oleh pihak berwajib
di Malaysia. Mereka akan mendapatkan perlakuan yang tidak menguntungkan
berupa penahanan passport, upah yang tidak dibayarkan, dipenjara hingga di
deportasi. Walaupun beresiko seperti itu, modus pengiriman TKI tersebut banyak
diminati oleh calon TKI yang tidak mendapatkan kesempatan kerja di dalam
negeri, khususnya bagi mereka yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai
52
keterampilan yang tinggi. Di Malaysia mereka banyak dipekerjakan pada jenis
pekerjaan yang kasar, kotor, terkadang berbahaya dengan gaji murah di
pedalaman (hutan, kebun sawit, kaebun karet), dan di perkotaan (kedai, rumah
tangga, pabrik, pasar, atau bangunan). Jenis pekerjaan seperti itu sudah tidak
diminati lagi oleh warga negara Malaysia yang berpendidikan relatif lebih baik
(Laporan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang, 2015).
Para TKIB yang berada di Malaysia ini di negara Malaysia disebut dengan
Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI). Pemulangan PATI oleh negara Malaysia
baik melalui program amnesi maupun di deportasi telah berlangsung sejak tahun
2004 dan masih berlangsung sampai sekarang. Hal ini disebabkan juga dari
lemahnya Pemerintah Malaysia dalam menindak para majikan yang
mempekerjakan PATI tersebut (Laporan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang, 2015). Jumlah kedatangan TKIB di kota Tanjungpinang sendiri
setiap tahunnya selama lima (5) tahun ini selalu berada diangka ribuan orang.
Tabel III.3 Data kedatangan TKIB di kota Tanjungpinang
No. Tahun Jumlah
1. 2011 15.850
2. 2012 7.864
3. 2013 17.784
4. 2014 15.611
5. 2015 17.682
Sumber: Pusat Penelitian Pengembangan Dan Informasi (PUSLITFOBNP2TKI)
53
Sedangkan data kedatangan untuk rincian pada tahun 2015 yang direkap oleh
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang selama menangani
pemulangan TKIB beserta anggota satgasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel III.4 Jumlah Kedatangan TKIB Deportasi Malaysia
Tahun 2015
L AL P AP
1 Januari 1,135 17 399 10 1,561
2 Februari 813 12 283 4 1,112
3 Maret 1,457 13 659 19 2,148
4 April 1,479 21 554 18 2,072
5 Mei 807 16 359 10 1,192
6 Juni 1,336 15 625 16 1,992
7 Juli 1,427 32 513 21 1,993
8 Agustus 921 6 350 7 1,284
9 September 1,070 15 413 24 1,522
10 Oktober 1,179 18 539 20 1,756
11 November 382 12 157 10 561
12 Desember 361 6 118 4 489
12,367 183 4,969 163 17,682 JUMLAH
No BulanJenis Kelamin
Jumlah
Keterangan : L = Laki-laki
P = Perempuan
AL = Anak Laki-laki
AP = Anak Perempuan
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga kerja Kota Tanjungpinang, 2015.
54
SEKRETARIS
KEPALA DINAS
KASUBBAG.
PENYUSUNAN
PROGRAM
KASUBBAG. UMUM
KEPEGAWAIAN
KASUBBAG.
KEUANGAN
KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL
KABID. PENEMPATAN
TENAGA KERJA
KABID. HUBUNGAN
INDUSTRIAL DAN
PENGAWASAN NAKER
KABID. PELAYANAN,
BANTUAN DAN JAMINAN
SOSIAL
KABID. PEMBERDAYAAN
DAN REHABILITASI SOSIAL
KASI. PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA
KERJA ASING
KASI. PELATIHAN DAN
PRODUKTIFITAS
KASI. INFORMASI DAN PERLUASAN TENAGA
KERJA
UPTD
KASI. HI DAN PENGAWASAN TENAGA
KERJA
KASI. ORGANISASI PEKERJA DAN
PENGUSAHA
KASI. PENGAWASAN
NORMA KERJA DAN K3
KASI. REHABILITASI
SOSIAL
KASI. PEMBINAAN USAHA
BERSAMA DAN KEMITRAAN
KASI. PEMBERDAYAAN
DAN KELEMBAGAAN
SOSIAL
KASI. PELAYANAN SOSIAL
KASI. BANTUAN SOSIAL
KASI. JAMINAN SOSIAL
C. Gambaran Umum Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang
BAGAN STRUKTUR ORGANISASI
DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA TANJUNGPINANG
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang merupakan salah satu
SKPD yang melaksanakan tugasnya berdasarkan Peraturan Walikota
Tanjungpinang Nomor 49 Tahun 2012. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang berkantor di Jl. D.I.Panjaitan Km. X Komplek Embung Fatimah
Taman Seraya Bintan Center Tanjungpinang (Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang, 2015).
55
C.1 Visi dan Misi
Visi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang adalah
―Terwujudnya Kemampuan Penanganan Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Dan Tenaga Kerja yang Profesional Memiliki Daya Saing Dalam Rangka
Terciptanya Masyarakat Kota Tanjungpinang yang Sejahtera―. Pemahaman atas
pernyataan visi tersebut bermakna bahwa Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang sebagai unsur utama melaksanakan urusan Pemerintah Daerah
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang Sosial dan
Ketenagakerjaan bersama dengan instansi lainnya menuju masyarakat Kota
Tanjungpinang yang sejahtera dalam rangka mendukung terwujudnya visi Kota
Tanjungpinang.
Untuk mewujudkan Visi tersebut, terdapat 3 (tiga) Misi yang akan
dilaksanakan dalam membangun Kota Tanjungpinang selama 5 (lima) tahun
kedepan (2013 —2018), yaitu :
1. Meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat melalui pemberdayaan
ekonomi lokal dan program pengentasan kemiskinan.
2. Meningkatkan pelayanan dan penanganan masalah kesejahteraan sosial
melalui pembinaan dan pengembangan kemitraan dengan masyarakat agar
terwujudnya kehidupan masyarakat yang sejahtera.
3. Menciptakan iklim ketenagakerjaan yang kondusif dengan meningkatkan
pelayanan sektor ketenagakerjaan dan kesejahteraan tenaga kerja demi
terwujudnya hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan.
56
C.2 Tugas dan Fungsi
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang merupakan Satuan
Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab kepada Walikota Tanjungpinang
sebagai penyelenggara pembangunan di bidang kesejahteraan sosial dan
ketenagakerjaan dalam wilayah Kota Tanjungpinang. Hal ini tertuang dalam
Berdasarkan Peraturan Walikota Tanjungpinang Nomor 49 Tahun 2102 tentang
perubahan atas peraturan Walikota No. 10 Tahun 2009 tentang Uraian Tugas
Pokok dan Fungsi Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Tanjungpinang.
Adapun tugas pokok dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja ini adalah
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Walikota mempunyai fungsi, sebagai
berikut :
1. Perumusan kebijakan teknis dibidang sosial dan tenaga kerja.
2. Penyelenggaraan pelayanan dibidang sosial dan tenaga kerja.
3. Pembinaan pelaksanaan tugas dibidang sosial dan tenaga kerja.
4. Pelaksanaan urusan kesekretariatan dinas.
5. Pelaksanaan tugas yang diberikan pimpinan.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang merupakan SKPD
yang mengetuai dalam Satgas penanganan TKIB, sehingga Pemerintah Kota
Tanjungpinang melimpahkan kepada Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang dalam mengeluarkan keputusan yang terkait dengan koordinasi
Satuan Tugas Penanganan TKIB ini. Adapun bidang yang terlibat dalam satgas ini
57
adalah Bidang Pelayanan, Bantuan dan Jaminan Sosial, khususnya bagian Seksi
Jaminan Sosial.
Berdasarkan data bulan Desember 2014, jumlah pegawai yang ada pada
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang saat ini sebanyak 80 orang.
Diklasifikasi menurut tingkat pendidikan terdiri dari : Pasca Sarjana (S2)
sebanyak 2 orang, Sarjana (S1 ) sebanyak 27 orang , D3 sebanyak 6 orang dan
SLTA sebanyak 45 orang. Sedangkan diklasifikasi menurut jabatan terdiri dari
Pejabat Struktural sebanyak 21 orang dan staf sebanyak 60 orang (Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang, 2015).
C.3 Tujuan dan Sasaran
Adapun tujuan dan sasaran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang yang merupakan penjabaran dari Visi dan Misi Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang Tahun 2013 – 2018 adalah sebagai berikut :
1. Misi Pertama : Meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat melalui
pemberdayaan ekonomi lokal dan program pengentasan kemiskinan.
Tujuan : Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat.
Sasaran:
a. Meningkatnya Kesejahteraan Sosial Masyarakat.
b. Menurunnya Angka Pengangguran Melalui Penempatan Dan Peningkatan
Kualitas Angkatan Kerja
2. Misi Kedua : Meningkatkan pelayanan dan penanganan masalah kesejahteraan
sosial melalui pembinaan dan pengembangan kemitraan dengan masyarakat
agar terwujudnya kehidupan masyarakat yang sejahtera.
58
Tujuan : Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan terhadap Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Penanggulangan Bencana.
Sasaran : Terlayaninya, terlindunginya dan tersantuninya Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) serta tersedianya bantuan tanggap
darurat bencana.
3. Misi Ketiga : Menciptakan iklim ketenagakerjaan yang kondusif dengan
meningkatkan pelayanan sektor ketenagakerjaan dan kesejahteraan tenaga
kerja demi terwujudnya hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
berkeadilan.
Tujuan : Meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan kesejehteraan tenaga
kerja.
Sasaran : Terciptanya hubungan industrial yang efektif, efesien dan
professional guna meningkatkan perlindungan tenaga kerja, kesejahteraan
tenaga kerja dan pelayanan penyelesaian kasus PHI/PHK.
D. Gambaran Umum Pendamping Pemulangan Debarkasi Kementerian
Sosial Republik Indonesia Kota Tanjungpinang
Tugas pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) selain
dilaksanakan oleh Satuan Tugas Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia
Bermasalah (Satgas TKIB), juga dibantu oleh petugas Pendamping Pemulangan
Debarkasi (PPD) Kota Tanjungpinang. Pendamping Pemulangan Debarkasi
(PPD) Kota Tanjungpinang merupakan petugas yang dibentuk oleh Kementerian
Sosial Republik Indonesia di setiap daerah debarkasi pemulangan TKI deportasi.
Pendamping Pemulangan Debarkasi tersebut mulai terbentuk pada tahun 2011
59
melalui surat keputusan yang dikeluarkan setiap pergantian tahun anggaran. Oleh
karena itu, petugas Pendamping Pemulangan Debarkasi (PPD) bersifat honorer
dari Kementerian Sosial, dan ketika terjadi pergantian tahun anggaran maka akan
terjadi pergantian surat keputusan.
Pendamping Pemulangan Debarkasi (PPD) Kota Tanjungpinang memiliki
kantor skretariat dalam menjalankan tugasnya yang bertempat di Rumah
Perlindungan Trauma Center (RPTC) Provinsi Kepulauan Riau. Rumah
Perlindungan Trauma Center (RPTC) sendiri dikelola oleh pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau, dan Pendamping Pemulangan Debarkasi masuk dalam salah satu
struktur yang ada di bagian RPTC bersama unit tugas lainnya yang terdiri dari
pekerja sosial, praktisi, pramu sosial, security, dan pendamping pemulangan
debarkasi.
Tabel III.5 Jumlah Kepulangan TKIB Deportasi Malaysia ke Daerah Asal
Tahun 2015
L AL P AP
1 Januari 1,135 17 399 10 1,561
2 Februari 813 12 283 4 1,112
3 Maret 1,456 14 658 20 2,148
4 April 1,479 21 554 18 2,072
5 Mei 807 16 359 10 1,192
6 Juni 1,336 15 625 16 1,992
7 Juli 1,427 32 513 21 1,993
8 Agustus 921 6 350 7 1,284
9 September 1,070 15 413 24 1,522
10 Oktober 1,179 18 539 20 1,756
11 November 382 12 157 10 561
12 Desember 394 13 138 4 549
12,399 191 4,988 164 17,742 JUMLAH
No BulanJenis Kelamin
Jumlah
Keterangan : L = Laki-laki
P = Perempuan
AL = Anak Laki-laki
AP = Anak Perempuan
Sumber: Pendamping Pemulangan Debarkasi Kemensos RI Kota Tanjungpinang, 2015.
60
BAB IV
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SATUAN TUGAS LAPANGAN
PENANGANAN TENAGA KERJA INDONESIA BERMASALAH
DI KOTA TANJUNGPINANG TAHUN 2015
Pemerintah Indonesia telah berusaha melakukan berbagai upaya dalam
menangani permasalahan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) yang sudah
dilakukan sejak dari tahun 2004, terutama dalam mengatasi TKIB deportasi yang
berasal dari Malaysia oleh Satgas TKIB. Malaysia merupakan negara yang paling
sering dan banyak mendeportasi TKIB, yang merupakan negara terdekat dan ada
kemiripan budaya dengan Indonesia. Berbagai aturan dan kebijakan telah
dikeluarkan untuk menangani masalah ini.
Dalam tingkatan nasional, terdapat Peraturan Presiden yang mengatur
tentang Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia yang awalnya diatur
dalam PP Nomor 106 Tahun 2004, kemudian diganti dengan PP Nomor 45 Tahun
2013. Selanjutnya terdapat aturan turunan yang dikeluarkan oleh Menteri Sosial
yaitu Peraturan Menteri Sosial Nomor 22 tahun 2013 yang mengatur tentang
Pemulangan Pekerja Migran Bermasalah dan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah
ke Daerah Asal.
Pada tingkat daerah, dalam hal ini Kota Tanjungpinang Provinsi
Kepulauan Riau, yang merupakan tataran lapangan di daerah debarkasi dari
kebijakan yang telah disebutkan diatas terdapat peraturan pemerintah daerah yang
berbentuk surat keputusan yaitu Keputusan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tanjungpinang yang mengatur tentang Satuan Tugas Lapangan yang
61
bertugas dalam melakukan pemulangan TKIB yang datang dari Malaysia kembali
ke daerah asal para deportan. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan tersebut adalah
merupakan upaya pemerintah dalam mengatasi masalah TKIB yang dideportasi.
Salah satu tahapan yang ada dalam proses kebijakan adalah proses
implementasi kebijakan. Bagaimana sebuah kebijakan diimplementasikan sangat
mempengaruhi keberhasilan dari sebuah kebijakan, yaitu menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dalam suatu keadaan. Untuk melihat tingkat
keberhasilan dari implementasi kebijakan, maka perlu dilihat apa saja hal yang
mempengaruhi implementasi kebijakan, yang terdapat di dalam teori-teori yang
dijelaskan oleh para ahli.
Dalam penelitian ini, untuk melihat implementasi kebijakan satuan tugas
lapangan penanganan tenaga kerja indonesia bermasalah di kota Tanjungpinang
tahun 2015 yang selanjutnya disebut Satgas Penanganan TKIB, peneliti
menggunakan teori Edward III dalam menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam implementasi kebijakan yang akan dijelaskan di bawah ini.
A. Komunikasi
Sebuah kebijakan sebelum diiplementasikan pada sasaran kebijakan maka
perlu dikomunikasikan terlebih dahulu kepada implementor kebijakan. Adanya
komunikasi kebijakan sangat diperlukan untuk keberhasilan kebijakan tersebut,
dengan adanya komunikasi kebijakan maka diharapkan para implementor
memahami dan dapat melaksanakan kebijakan sesuai dengan tujuan dari adanya
kebijakan tersebut. Oleh karena itu, agar implementor dapat menjalankan
62
tugasnya dengan baik, maka komunikasi harus dilakukan dengan akurat dan jelas
tentang bagaimana menjalankan implementasi kebijakan yang sudah ada.
Dalam mengimplementasikan kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang, sebagai ketua Satgas
Lapangan Penanganan TKIB Kota Tanjungpinang, maka perlu adanya komunikasi
kebijakan yang dilakukan dengan anggota-anggota satgas yang tergabung dalam
satgas tersebut. Dengan adanya komunikasi yang dilakukan oleh pembuat
keputusan dengan pelaksana keputusan, maka diharapkan anggota-anggota satgas
dapat melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi kebijakan.
1. Transmisi
Sebuah komunikasi kebijakan perlu ditransmisikan kepada setiap
implementor agar setiap implementor mengetahui adanya kebijakan yang harus
diimplementasikan. Dalam Tim Satgas Lapangan Penanganan TKIB, para anggota
tim dari setiap instansi telah mengetahui tentang adanya kebijakan pemerintah
tentang penanganan TKIB dari Malaysia ke Kota Tanjungpinang. Penanganan
TKIB yang tidak bisa diselesaikan oleh hanya satu instansi saja memerlukan kerja
sama dari instansi yang lain untuk penyelesaiannya.
Pemerintah Kota Tanjungpinang yang merupakan daerah debarkasi
pemulangan TKIB dari Malaysia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 45
Tahun 2013, membentuk Satuan Tugas Penanganan TKI di daerah masing-masing
yang bekerja sama dengan Tim Koordinasi Pemulangan TKIB pusat dalam
memulangkan TKIB ke daerah asal TKIB tersebut.
63
Pembentukan Satgas Lapangan Penanganan TKIB dilakukan pada setiap
tahun mengikuti pengalokasian anggaran daerah. Pada tahun 2015, pemerintah
Kota Tanjungpinang membentuk Tim Satgas Lapangan Penanganan TKIB
melalui keputusan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang
selaku ketua tim satgas di Kota Tanjungpinang. Dibentuknya Satgas Lapangan
Penanganan TKIB oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang pada
tahun 2015 dikarenakan ketiadaan anggaran pada pemerintah kota pada saat itu,
sehingga pada tahun 2015 anggaran terkait satgas dibebankan pada DPA-SKPD
Dinas Sosial dan Tenaga kerja Kota Tanjungpinang (wawancara 3 Agustus 2016,
Kasi Jaminan Sosial, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja).
Dalam menentukan anggota satgas dari setiap instansi yang terlibat, pihak
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja mengirimkan surat permintaan kepada instansi
lain untuk mengirimkan nama yang akan bergabung menjadi anggota satgas.
Selanjutnya kepala dinas dari instansi lain akan menunjuk anggotanya dan
mengirimkan nama mereka untuk dimasukkan menjadi anggota satgas.
Sebagaimana yang dikatakan oleh masing-masing anggota satgas dari setiap
instansi, bahwa mereka ditunjuk oleh kepala dinas mereka masing-masing setelah
mendapatkan surat permintaan dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, sehingga
mereka mengetahui langsung melalui pemberitahuan dari masing–masing kantor
bahwa mereka terlibat menjadi anggota satgas dan bertugas sesuai dengan bidang
mereka masing-masing berdasarkan arahan dari kepala dinas yang bersangkutan
(wawancara kepada satu anggota dari setiap instansi, Agustus 2016).
64
Dengan kata lain setiap anggota satgas dari setiap instansi yang tergabung,
mengetahui adanya kebijakan tentang adanya tim satgas penanganan TKI di Kota
Tanjungpinang yang bertugas menangani TKIB mulai dari kedatangan sampai
pada pemulangan ke daerah asal berdasarkan fungsi kerja mereka masing-masing.
2. Kejelasan
Kejelasan merupakan hal yang penting dalam komunikasi kebijakan, para
implementor kebijakan perlu mendapatkan kejelasan mengenai apa yang harus
mereka lakukan dalam mengimplementasikan kebijakan. Jika komunikasi tidak
disampaikan dengan jelas maka implementor kebijakan akan mengalami ketidak
pahaman tentang kebijakan yang akan diimplementasikan.
Dalam menjalankan keputusan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja tentang
Satgas Lapangan Penanganan TKIB, anggota satgas dari setiap instansi telah
memahami dengan jelas apa yang harus dilakukan oleh setiap anggota, karena
tugas setiap anggota sudah disampaikan dengan jelas oleh pimpinan masing-
masing. Selain itu, mereka mengetahuin tujuan dari kebijakan tersebut sehingga
mereka dapat melaksanakannya dengan baik. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh salah satu anggota dari Satpol PP bahwa mereka telah mengetahui dengan
jelas bahwa tugas mereka adalah melakukan pengawalan bersama Kepolisian dan
Dinas Perhubungan selaku pihak yang menyiapkan kendaraan mulai dari
kedatangan TKIB dari Malaysia hingga pemulangan melalui kapal Pelni di
Pelabuhan Kijang (wawancara Satpol PP, 2 Agustus 2016).
Hal senada juga disampaikan oleh anggota dari Kesatuan Sabhara, bahwa
dalam menjalankan tugas sebagai anggota Satgas Lapangan Penanganan TKIB,
65
mereka telah mengetahui dengan jelas tugas yang mereka lakukan adalah
mengawali TKIB sejak kedatangan sampai ke RPTC yang berkoordinasi melalui
jaringan radio bersama Kepolisian Sektor Pelabuhan (wawancara Sabhara Polres,
1 Agustus 2016).
Melihat respon dari anggota satgas dalam menjalankan tugas tersebut,
kejelasan komunikasi kebijakan telah didapatkan oleh masing-masing anggota
sehingga mereka telah mengetahui apa yang harus mereka lakukan dana kapan
mereka melaksanakannya.
3. Konsistensi
Dalam menyampaikan komunikasi kebijakan, maka hal berikutnya yang
harus diperhatikan adalah konsistensi dari komunikasi. Komunikasi yang tidak
konsisten akan membuat implementor kebingungan dalam mengimplementasikan
kebijakan. Penyebab dari kebingungan tersebut karena tidak konsistennya
komunikasi yang selalu berubah-ubah dalam menyampaikan, hingga pada
akhirnya para implementor hanya akan melakukan hal yang mudah menurut
mereka.
Anggota Satgas Lapangan Penanganan TKIB telah melakukan tugasnya
sebanyak sekali setiap minggu, hal ini mereka lakukan terus menerus tanpa
berubah-ubah selama setahun, ini menunjukkan bahwa komunikasi yang berjalan
konsisten. Jika komunikasi yang mereka dapatkan tidak konsisten, maka tentu ada
perbedaan pada setiap tugas yang mereka laksanakan. Namun ada sedikit
perbedaan dari apa yang dituturkan oleh petugas yang Dinas Kesehatan yang ada
66
di Puskesmas Batu X dengan apa yang dituturkan oleh petugas dari Kantor
Kesehatan Pelabuhan.
Berdasarkan keputusan ketua satgas, diketahui bahwa petugas dari Kantor
Kesehatan Pelabuhan hanya bertugas memeriksa TKIB pada saat awal kedatangan
di pelabuhan, namun dari pihak petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan mengatakan
bahwa mereka juga melakukan pemeriksaan TKIB pada saat di penampungan
yang dilakukan setiap bulan (wawancara Kantor Kesehatan pelabuhan, 4 Agustus
2016). Hal ini bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh pihak Dinas
Kesehatan yang menjabat sebagai kepala Puskesmas Batu X, bahwasanya yang
melakukan pemeriksaan TKIB selama di penampungan merupakan tugas dari
mereka selama ini (wawancara kepala Puskesmas Batu X, 8 Agustus 2016).
B. Sumber Daya
Dalam mengimplementasikan kebijakan, selain mengetahui tentang
adanya suatu kebijakan, sumber daya juga merupakan faktor yang perlu
diperhatikan. Sumber daya merupakan syarat mutlak jika sebuah implementasi
kebijakan ingin berhasil, tanpa adanya sumber daya yang memadai maka
implementasi tidak akan bisa dijalankan dengan maksimal.
Ada beberapa sumber daya utama yang perlu ada agar implementasi
kebijakan berjalan dengan baik.
1. Staf
Dalam implementasi kebijakan, staf merupakan sumber daya paling utama
yang harus dimiliki, karena staflah yang akan menjalankan implementasi
kebijakan tersebut. Ketersedian sumber daya staf tidak hanya dilihat dari segi
67
kuantitas, namun juga perlu kualitas yang sesui dengan keahlian yang dibutuhkan.
Satgas Lapangan Penanganan TKIB dalam menangani TKIB terdiri dari beberapa
tugas yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja selaku ketua tim dari satgas sejak awal
kedatangan TKIB melakukan pendataan, mengawali setiap kegiatan bersama
anggota lain dan mengkoordinir instansi lain dalam penanganan TKIB, hingga
setiap saat penanganan pihak Dinas Sosial dan Tenaga Kerja akan selalu ada,
karena tidak semua anggota akan ada pada setiap waktu, tergantung dari tugas
yang akan mereka lakukan saja (wawancara Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, 3
Agustus 2016).
Dalam mengatasi masalah kesehatan para TKIB, satgas memiliki anggota
dari Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan. Ketika tiba kedatangan TKIB
di pelabuhan Internasional, staf dari Kantor Kesehatan Pelabuhan telah menunggu
di pelabuhan guna memeriksa setiap TKIB, hal ini dilakukan untuk menghindari
penyakit yang berasal dari luar negeri masuk ke Indonesia. Hal ini diungkapkan
oleh staf dari Kantor Kesehatan Pelabuhan, bahwa mereka bertugas memeriksa
TKIB pada saat TKIB tiba di pelabuhan, guna mencegah masuknya penyakit dari
luar negeri. Jika terdapat TKIB yang positif mengidap penyakit berbahaya yang
berasal dari luar, maka TKIB akan segera di karantina (wawancara Kantor
Kesehatan Pelabuhan, 4 Agustus 2016).
Selain itu, untuk TKI yang berada di penampungan, pemeriksaan
dilakukan oleh petugas Dinas Kesehatan, dan apabila diperlukan maka TKIB akan
dirujuk ke rumah sakit, yang disana telah ada petugas lain dari Dinas Kesehatan
68
yang mengurusi TKIB selama di rumah sakit. (wawancara petugas Dinas
Kesehatan, 8 Agustus 2016).
Dalam hal melakukan pengawalan, anggota satgas memiliki petugas yang
berasal dari Sabhara Polres Tanjungpinang, yang mengawali TKIB selama
penjemputan di pelabuhan sampai ke rumah penampungan RPTC, dalam
melakukan tugasnya, Sabhara berkoordinasi dengan petugas Kepolisian Sektor
Pelabuhan dan bekerja sama dengan petugas dari Satpol PP Kota Tanjungpinang.
(wawancara Sabhara Polres, 1 Agustus 2016).
Jika dilihat dari sisi kualitas dan kuantitas, sumber daya staf dalam Satgas
Lapangan Penanganan TKIB sangat mencukupi, karena setiap instansi melakukan
tugas yang sesua dengan fungsi instansi mereka masing-masing. Sedangkan dalam
hal kuantitas juga mencukupi, jika ternyata anggota yang ditunjuk tidak
mencukupi, mereka akan menambah personil yang ada di instansi. Namun
berdasarkan observasi yang peneliti lakukan, ada beberapa instansi yang memiliki
kelebihan kuantitas yang akhirnya menimbulkan ketidak efektifan tugas, karena
ada sebagian staf yang hanya menunggu dan sekedar hadir dan melihat pada saat
kedatangan TKIB.
2. Informasi
Informasi termasuk sumber daya yang penting dalam
mengimplementasikan kebijakan. Ketersediaan informasi dalam pelaksanaan
keputusan akan mampu meningkatkan keberhasilan implementasi yang dilakukan.
Anggota satgas dalam menjalankan tugasnya di lapangan saling
berkoordinasi antara Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dengan instansi lainnya.
69
Dalam pelaksanaanya, sumber daya informasi diperoleh melalui proses koordinasi
yang dilakukan melalui alat komunikasi berupa Hp dan saluran radio. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh staf Dinas Sosial dan Tenaga Kerja bahwa
pada saat kedatangan TKIB, pihak Dinas Sosial dan Tenaga Kerja akan
menyampaikan informasi tersebut kepada instansi lain melalui handphone dan
segera berkoordinasi untuk mempersiapkan kedatangan TKI (wawancara Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja, 3 Agustus 2016).
Hal senada juga disampaikan oleh anggota Dishub, bahwa pada saat
kedatangan TKIB, mereka mendapatkan informasi dari pihak Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja melalui handphone tentang waktu dan jumlah TKIB yang tiba di
pelabuhan, sehingga dengan informasi yang didapat tersebut mereka segera
menyiapkan angkutan untuk mengangkut para TKIB ke panampungan di RPTC
(wawancara anggota Dishub, 4 Agustus 2016).
Sedangkan dari petugas Sabhara mengatakan bahwa untuk melaksanakan
tugas mereka dalam mengawali TKIB, mereka akan mendapatkan informasi dari
petugas yang ada di Kepolisian Sektor Pelabuhan, yang menginformasikan kepada
pihak Sabhara melalui jaringan radio yang mereka gunakan (wawancara Kasat
Sabhara, 1 Agustus 2016). Penuturan yang sama juga dikatakan oleh petugas dari
Kepolisian Sektor Pelabuhan (wawancara petugas KSP, 4 Agustus 2016).
Dilihat dari keterangan dari beberapa anggota satgas diatas, mereka saling
berbagi informasi dalam menjalankan tugasnya melalui handphone dan saluran
radio. Informasi tersebut didapat dalam proses koordinasi antar instansi pada saat
kedatangan TKIB.
70
3. Wewenang
Adanya wewenang yang melekat pada implementor, membuat mereka
tidak perlu melewati berlapis-lapis birokrasi dalam memutuskan suatu
permasalahan teknis dilapangan, atau menggunakan aset-aset yang diperlukan
dalam kelancaran implementasi. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota satgas
ada yang bertugas dengan menggunakan aset instansi yang mereka miliki,
tentunya mereka harus memiliki kewenangan untuk bisa menggunakan aset
tersebut. Seperti dalam hal pemeriksaan dan pengobatan yang dilakukan oleh
kepala Puskesmas Batu X, untuk melakukan tugasnya dan harus menggunakan
fasilitas dari puskesmas, tidak perlu meminta izin dari atasannya, karena
kewenangan untuk itu telah dimilikinya sebagai kepala Puskesmas Batu X.
Salah satu bentuk kewenangan adalah kewenangan adalah adanya
wewenang untuk menambah personil jika personil yang ada tidak mencukupi. Hal
ini berdasarkan penuturan dari petugas Dishub, bahwa nama yang tertera di
keputusan tentang anggota satgas hanya ada empat (4) orang, namun karena dirasa
kurang mencukupi untuk mengawali perjalanan TKIB yang berjumlah ratusa
orang, mereka menambahkan anggota menjadi tujuh (7) orang personil
(wawancara petugas Dishub, 4 Agustus 2016). Hal ini juga dilakukan oleh
petugas dari Sabhara Polres (wawancara Kasat Sabhara, 1 Agustus 2016).
Pada intinya, setiap anggota dari setiap instansi diberi kewenangan untuk
menggunakan fasilitas yang dimiliki dalam mendukung kelancaran tugas mereka,
begitu juga dengan kewenangan untuk menambah personil ketika dibutuhkan
penambahan personil.
71
4. Fasilitas
Fasilitas merupakan alat pendukung atau penunjang dalam sebuah
kegiatan, baik itu berupa kantor dan peralatannya ataupun kendaraan, serta
fasilitas lainnya yang dibutuhkan. Satgas Lapangan Penanganan TKIB dalam
melaksanakan tugasnya menggunakan fasilitas yang melekat pada instansi
mereka sesuai dengan tugas yang mereka emban. Seperti yang dikemukakan oleh
pihak Dinas Kesehatan, yang salah satunya merupakan kepala Puskesmas Batu X,
mereka mempunyai tugas untuk memeriksa kesehatan TKIB selama berada di
penampungan, dalam melaksanakan tugas tersebut mereka menggunakan fasilitas
yang berada di Puskesmas Batu X sesuai dengan tingkat kebutuhan pemerikasaan,
jika TKIB tersebut mengalami gangguan kesehatan yang parah, maka TKIB
tersebut akan di rujuk ke Rumah Sakit Umum Kota (wawancara Kepala
Puskesmas, 8 Agustus 2016).
Dalam proses penjemputan dan pemulangan menuju pelabuhan di Kijang,
Kabupaten Bintan, fasilitas kendaraan yang digunakan bukan milik Dishub,
namun fasilitas kendaraan angkutan umum dari Pacitan Indah. Berdasarkan
penuturan yang disampaikan oleh petugas Dishub, Kementerian Sosial telah
bekerja sama dengan pihak angkutan umum Pacitan Indah dalam menyediakan
angkutan umum guna mengangkut TKIB, tugas dari petugas Dishub hanya
menghubungi pihak Pacitan Indah saat kendaraan dibutuhkan. Pada saat petugas
Dishub mendapatkan informasi tentang jumlah TKIB yang telah tiba dari pihak
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, maka petugas Dishub menghubungi pihak
Pacitan Indah untuk segera menyediakan angkutan berdasarkan jumlah TKIB
72
yang ada. Pihak Pacitan Indah menerima pembayaran dari Kementerian Sosial
yang telah melakukan perjanjian bersama, dan pembayaran dibayarkan perbulan
oleh pihak Kementerian Sosial (wawancara petugas Dishub, 4 Agustus 2016).
Jadi, dalam hal penyediaan fasilitas untuk menunjang tugas satgas dalam
penanganan TKIB, fasilitas yang digunakan adalah fasilitas yang melekat pada
instansi masing-masing anggota. Walaupun pada fasilitas kendaraan, pihak
Kementerian Sosial melakukan perjanjian kerja sama dengan pihak swasta,
sehingga penggunaan fasilitas Dishub hanya digunakan untuk pengawalan saja.
C. Disposisi
Kecenderungan para pelaksana keputusan sangat berpengaruh dalam
mengimplementasikan kebijakan, karena kecenderungan-kecenderungan
implementor merupakan gambaran apakah mereka mendukung kebijakan tersebut
atau tidak. Kecenderungan yang baik oleh implementor terhadap suatu keputusan
akan menunjukkan suatu dukungan, yang berarti mereka akan melaksanakan
keputusan tersebut dengan baik sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat
keputusan. Implementor akan benar-benar melaksanakan apa yang diperintahkan
oleh atasannya, jika apa yang mereka kerjakan tersebut sesuai dengan keinginan
mereka, ataupun karena adanya niat mereka untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang menjadi tujuan dari adanya kebijakan tersebut.
Namun sebaliknya, ketika implementor menunjukkan kecenderungan yang
bertentangan dengan pembuat keputusan dan tidak menampakkan dukungan yang
baik, mereka akan melaksanakan keputusan tersebut dengan setengah hati dan tak
acuh. Hal ini berakibat pada penyimpangan tindakan dengan apa yang sudah
73
ditetapkan. Dalam menjalankan tugas selama ini, anggota satgas telah
melaksanakan tugas mereka menurut bagiannya masing-masing. Terlepas dari
kekurangan-kekurangan yang terjadi dilapangan, apakah itu berasal dari faktor
internal satgas atau merupakan hal yang disebabkan oleh faktor eksternal.
Pada umumnya, TKIB yang tiba di Kota Tanjungpinang itu kebanyakan
adalah TKI yang berasal dari luar daerah Tanjungpinang. Melakukan pekerjaan
yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, hal ini tentunya sesuatu yang
menambah beban bagi daerah, karena tenaga dan anggaran terpakai untuk
mengurusi sesuatu yang tidak ada kepentingannya dengan daerah, namun anggota
satgas tetap melaksanakan tugasnya dengan membebankan anggaran pada APBD
kota.
Alasan kuat anggota satgas melaksanakan tugasnya adalah karena mereka
merasa bertanggung jawab atas tugas yang sudah diberikan oleh atasan. Salah satu
petugas Dishub mengatakan, bahwa mereka melakukan tugas ini karena memang
hal ini sudah merupakan tugas yang diperintahkan, dan hal ini sudah berjalan
sejak tahun 2004 (wawancara petugas Dishub, 4 Agustus 2016). Pandangan lain
diberikan oleh petugas dari imigrasi, bahwa tugas ini sudah menjadi kewajiban
bagi mereka, karena walau bagaimanapun, TKIB tersebut merupakan warga
Negara Indonesia, sehingga sudah seharusnya mereka melaksanakan tugas
tersebut yang merupakan kewajiban bagi abdi negara dalam membantu sesama
warga Negara Indonesia (wawancara petugas Imigrasi, 2 Agustus 2016).
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh petugas dari Kepolisian Sektor
Pelabuhan, bahwa tugas ini sudah menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai
74
warga Negara Indonesia dalam menjaga keamanan dan ketertiban Kota
Tanjungpinang (wawancara petugas KSP, 4 Agustus 2016). Beberapa penuturan
dari petugas instansi yang lain juga mengatakan hal yang serupa, bahwa adanya
tugas ini merupakan tanggung jawab bersama.
Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan yang baik dari implementor
terhadap tugas yang sudah ditetapkan tersebut kepada mereka. Dengan adanya
kecenderungan yang baik dari implementor tersebut, maka dukungan untuk
melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan akan muncul dari setiap petugas
satgas.
D. Struktur Birokrasi
Ada dua hal yang bisa dilihat dalam struktur birokrasi yang menjadikan
struktur birokrasi menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan implementasi
kebijakan.
1. Perincian Tugas
Satgas Lapangan Penanganan TKIB dalam melaksanakan tugasnya, terdiri
dari beberapa instansi yang berbeda-beda yang setiap mereka sudah memiliki
tugas masing-masing. Penjabaran tugas dari setiap instansi tersebut telah
dijabarkan dalam keputusan yang dikeluarkan oleh ketua satgas. Dengan adanya
perincian tugas yang telah dijelaskan dalam keputusan tersebut, setiap anggota
satgas melaksanakan tugas mereka tanpa adanya tumpang tindih tugas dengan
petugas dari instansi yang lain.
Adanya perincian tugas tersebut, selain terdapat pada keputusan yang
dikeluarkan, juga dapat dilihat dari apa yang dipaparkan oleh petugas dari Dinas
75
Sosial dan Tenaga Kerja, bahwa setiap instansi sudah memiliki rincian tugas
masing-masing sebagaimana fungsi yang sudah melekat pada setiap instansi.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sendiri mempunyai tugas untuk melakukan
pendataan terhadap TKIB yang tiba di Tanjungpinang dan bertugas
mengkoordinir setiap anggota dari instansi yang tergabung untuk melakukan tugas
mereka masing pada saat kedatangan TKIB tersebut (wawancara Kasi Jaminan
Sosial, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, 8 Agustus 2016).
Adanya perincian tugas tersebut juga dibenarkan oleh petugas dari Dinas
Kesehatan yang merupakan kepala Puskesmas Batu X, bahwa tugas yang
diberikan kepadanya hanya memeriksa dan mengobati penyakit ringan saja untuk
TKIB di penampungan, namun jika ditemukan TKIB yang mendapatkan penyakit
yang parah, maka akan dirujuk ke RSU Kota, dan disana ada petugas lain dari
Dinas Kesehatan yang menunggu TKIB di rumah sakit. Sementara itu, petugas
kesehatan dari Kantor Kesehatan Pelabuhan hanya bertugas memeriksa TKIB
pada waktu awal kedatangan di pelabuhan saja (wawancara kepala Puskesmas
Batu X, 8 Agustus 2016).
Berdasarkan penuturan yang disampaikan oleh beberapa anggota satgas
tersebut, dan ini juga dikatakan juga oleh petugas yang lain, bahwa dalam struktur
birokrasi Satgas Lapangan Penanganan TKIB, perincian tugas sudah dijelaskan
dengan rinci kepada setiap anggota satgas sebagaimana yang terdapat dalam
keputusan ketua satgas.
76
2. Adanya Standard Operating Procedures (SOP)
Dalam struktur birokrasi, SOP merupakan aturan-aturan dasar dalam
melaksanakan sesuatu, termasuk dalam hal implementasi kebijakan. Adanya SOP
dalam staruktur birokrasi karena suatu pekerjaan yang komplek yang dilakukan
terus menerus, sehingga diperlukan SOP untuk menciptakan keseragaman
tindakan dan kefektifan waktu. Satgas Lapangan Penanganan TKIB dalam
menjalankan tugasnya selama ini hanya berdasarkan aturan yang ditetapkan
sendiri oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja selaku ketua dari tim Satgas. Aturan
yang dijalankan tersebut hanya melalui koordinasi di lapangan saja, tanpa adanya
aturan tertulis tentang SOP pelaksanaanya.
Namun berdasarkan keterangan dari petugas dari Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja, yang merupakan kasi Jaminan Sosial, SOP pelaksanaan penanganan TKIB
ini berdasarkan SOP dari Kementerian Sosial yang masih bersifat umum,
sedangkan SOP untuk pelaksanaan di lapangan secara langsung belum pernah ada
(wawancara Kasi Jaminan Sosial, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, 8 Agustus
2016). Karena tidak adanya SOP yang baku bagi anggota satgas dalam
melaksanakan tugasnya, maka setiap anggota hanya melakukan koordinasi yang
dipimpin oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja pada saat penanganan TKIB
berlangsung.
Berdasarkan penjelasan dan penjabaran dari faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III,
secara pelaksanaannya, implementasi kebijakan Koordinasi Satuan Tugas
Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) Tahun 2015
77
(Studi kasus di debarkasi Kota Tanjungpinang) yang dilakukan oleh Satgas
Lapangan Penanganan TKIB sudah berjalan sesuai dengan ketentuan kebijakan
yang telah ditetapkan.
Hal ini dapat dilihat dari terpenuhinya faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Edward
III yang dijadikan sebagai konsep operasional dalam penelitian ini.
Implementasi kebijakan Koordinasi Satuan Tugas Lapangan Penanganan
Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) Tahun 2015 (Studi kasus di
debarkasi Kota Tanjungpinang) berdasarkan konsep operasional dari teori
implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III seperti yang telah
dipaparkan diatas, menggunakan empat (4) dimensi yaitu, komunikasi, sumber
daya, disposisi dan struktur birokrasi. Komunikasi dalam implementasi kebijakan
Koordinasi Satuan Tugas Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia
Bermasalah (TKIB) Tahun 2015 (Studi kasus di debarkasi Kota Tanjungpinang)
berjalan dengan baik karena telah memenuhi indikator yang diperlukan berupa
transmisi, kejelasan dan konsistensi. Sehingga setiap implementor pada dasarnya
mengetahui apa yang harus mereka perbuat.
Dalam hal sumber daya, dari beberapa indikator berupa sumber daya staf,
informasi, wewenang dan fasilitas, semua sumber terlengkapi dari setiap instansi
sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing tugas. Namun untuk kuantitas
sumber daya staf, tidak semua instansi harus mengirimkan jumlah yang sama,
karena ada instansi yang memang memerlukan banyak tenaga di lapangan, dan
ada juga instansi yang hanya perlu mengirimkan petugasnya seperlunya saja. Jika
78
disamakan semua antar instansi, maka yang terjadi adalah ketidak efektifan
sumber daya staf, dan hanya akan memboroskan anggaran saja.
Faktor disposisi, merupakan pemulus dari implementasi kebijakan yang
datang dari keinginan implementor untuk mendukung suatu kebijakan.
Pemulangan TKIB yang sudah berjalan sejak tahun 2004 masih tetap terlaksana
hingga saat ini, disposisi implementor dalam kebijakan ini cukup terlihat positif,
walaupun instensif yang didapat tidak terlalu besar.
Dimensi struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan Koordinasi
Satuan Tugas Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB)
Tahun 2015 (Studi kasus di debarkasi Kota Tanjungpinang) kurang berjalan
secara maksimal. Dalam perincian tugas memang telah terlaksana dengan baik
dengan penjabaran tugas masing-masing instansi. Namun dalam hal adanya SOP
(standard Operating Procedures), SOP yang digunakan hanya SOP yang
ditetapkan dari Kementrian Sosial yang mungkin ada sedikit perbedaan jika
diterapkan di lapangan.
Satuan Tugas Lapangan Penanganan TKIB di Debarkasi Tanjungpinang
yang terdiri dari berbagai instansi tersebut melakukan suatu tugas dalam
menyelesaikan masalah yang sama dalam sebuah tim koordinasi. Keberadaan
instansi yang ada tersebut dalam sebuah tim satgas menuntut adanya hubungan
kerja sama yang saling terkait antara satu instansi dengan instansi lain berupa
collaborative Governance. Selain satgas yang terdiri dari instansi-isntansi yang
ada di Pemerintah Kota Tanjungpinang, penanganan TKIB juga ditangani oleh
79
Pendamping Pemulangan Debarkasi yang merupakan petugas dari Kementerian
Sosial serta terdapat instansi BP3TKI Kota Tanjungpinang.
Dalam menjalankan tugasnya, Pendamping Pemulangan Debarkasi
bertugas mendampingi TKIB dan bekerja sama dengan Satgas Lapangan
Penanganan TKIB dalam memulangkan TKIB ke daerah asalnya. Demi menjamin
kelancaran dan tercapainya tujuan dari setiap tugas yang diemban oleh satgas
maupun Pendamping Pemulangan Debarkasi, maka diperlukan collaborative
governance yang terjadi diantara setiap instansi dan tenaga pendamping. Dengan
adanya collaborative governance maka pelaksanaan pemulangan TKIB akan lebih
terkoordinasi dengan baik dan diharapkan dapat mencapai hasil yang lebih
maksimal.
Untuk melihat koordinasi yang terjadi antara instansi dalam Satgas
Lapangan Penanganan TKIB maupun koordinasi yang terjadi dengan Pendamping
Pemulangan Debarkasi, maka perlu dilihat apakah ada collaborative governance
antara instansi tersebut. Karena implementasi dari pelaksanaan penanganan TKIB
akan berjalan dengan baik jika terciptanya collaborative governance dalam
pelaksanaan penanganan TKIB yang dilakukan antar instansi di dalam Satgas
TKIB. Oleh karena itu, pembahasan tentang collaborative governance antara
instansi dalam satgas maupun Pendamping pemulangan Debarkasi dari
Kementerian Sosial akan dibahas pada bab selanjutnya.
80
BAB V
KOORDINASI ANTAR SEKTOR SATUAN TUGAS (SATGAS)
LAPANGAN PENANGANAN TENAGA KERJA INDONESIA
BERMASALAH (TKIB) KOTA TANJUNGPINANG DALAM
PEMULANGAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKIB)
KE DAERAH ASAL
Proses pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) dari Kota
Tanjungpinang ke daerah asal melibatkan beberapa instansi pemerintahan kota
Tanjungpinang. Instansi pemerintahan kota Tanjungpinang yang terlibat dalam
proses pemulangan TKIB tersebut bekerja dalam sebuah tim satuan tugas yang
dibentuk oleh pemerintah kota Tanjungpinang. Tim Satuan Tugas (Satgas)
Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) melakukan
tugasnya sesuai dengan fungsi dari instansi masing-masing dari setiap anggota tim
satgas tersebut serta saling melakukan koordinasi.
Selain melakukan koordinasi antar sektor, Tim Tatgas Lapangan
Penanganan TKIB juga berkoordinasi dengan Pendamping Pemulangan Debarkasi
(PPD) Kementerian Sosial. Bersama dengan Pendamping Pemulangan Debarkasi
(PPD) Kementerian Sosial, tim satgas melayani kedatangan TKIB deportasi
secara bahu membahu dalam kerja sama tersebut, selain itu terdapat juga Balai
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) kota
Tanjungpinang, yang juga hadir pada saat kedatangan TKIB di pelabuhan.
Bekerja dalam satu tim kerja, yang terdiri dari beberapa lintas sektor,
dengan tugas yang berbeda-beda, membutuhkan sebuah koordinasi yang baik
81
dalam mencapai keberhasilannya. Koordinasi dilakukan karena setiap sektor
memiliki cara kerja yang berbeda, namun berada dalam suatu wadah yang
memiliki objek dan tujuan yang sama. Dalam sistem kerja antar sektor yang
menuntut adanya sebuah koordinasi, diperlukan keaktifan setiap sektor dalam
merespon informasi dan menginformasikannya kembali kepada sektor yang lain,
inilah dasar dari koordinasi.
Dalam sebuah tugas yang diemban oleh banyak sektor dalam
pelaksanaannya, koordinasi merupakan hal yang mendasar untuk mencapai
keberhasilan sebuah kerja sama. Untuk menciptakan koordinasi yang baik dalam
sebuah kerja antar sektor, maka diperlukan sebuah konsep yang mengatur tentang
bagaimana menciptakan kerja sama yang efektif dalam setiap tugas. Sebuah
konsep yang mengatur tentang sebuah kerja sama yang membutuhkan koordinasi
antar sektor dalam menjalankan sebuah pemerintahan, baik itu untuk membuat
sebuah keputusan publik maupun untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan
yang sudah ada, dikenal dengan teori collaborative governance.
Teori collaborative governance menjelaskan bagaimana tahapan yang
dilalui untuk menciptakan sebuah kolaborasi dalam kerja sama yang sudah
dibentuk. Melalui tahapan-tahapan inilah bisa kita lihat apakah sebuah kerja sama
yang dilakukan oleh sebuah tim sudah dikategorikan sebagai collaborative
governance atau belum. Jika sebuah tim kerja sudah menerapkan pola
collaborative governance dalam kerjanya, maka koordinasi akan berjalan dengan
baik dan mendapatkan hasil yang baik pula. Namun, apabila pola collaborative
82
governance belum dapat berjalan dengan baik, maka koordinasi yang dilakukan
tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.
Adapun tahapan yang akan digunakan sebagai indikator berjalan atau
tidaknya collaborative governance dalam sebuah pelaksanaan fungsi
pemerintahan yang akan dijelaskan dalam bab ini adalah tahapan collaborative
governance yang dikemukakan oleh Ricardo S. Morse dan Jhon B. Stephens
(2012). Tahapan atau fase dari collaborative governance yang dijelaskan oleh
Ricardo S. Morse dan Jhon B. Stephens terdiri dari empat (4) tahapan yang akan
dijelaskan dalam bab ini untuk menganalisa koordinasi yang dilakukan oleh
Satgas Lapangan Penanganan TKIB yang terdiri dari beberapa sektor instansi
yang telah ditunjuk, serta Pendamping Pemulangan Debarkasi yang ditugaskan
langsung oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam mendampingi proses
pemulangan TKIB dan pihak-pihak lain yang terkait dengan proses pemulangan
TKIB dari kota Tanjungpinang sampai ke daerah asal mereka masing-masing.
A. Penilaian
Tahapan pertama dari collaborative governance adalah penilaian.
Penilaian merupakan hal pertama yang harus dilakukan untuk menciptakan sebuah
hubungan collaborative governance, dengan penilain ini akan dianalisa apakah
collaborative governance bisa dilaksanakan atau tidak dalam sebuah hubungan
pemerintahan. Tahapan ini berhubungan dengan kondisi awal yang sangat
mempengaruhi kemungkinan keberhasilan dari collaborative governance yang
akan dijalankan nantinya. Adapun perihal yang akan menjadi penilaian dari
dijalankannya collaborative governance atau tidak dalam penanganan
83
pemulangan TKIB ke daerah asal ini, terdiri dari beberapa indikator mendasar
sebelum collaborative governance benar-benar dijalankan. Dengan melihat
beberapa indikator iniliah dapat disimpulkan apakah penanganan pemulangan
TKIB ke daerah asal melalui collaborative governance akan dilaksanakan atau
tidak.
1. Perlunya collaborative governance
Pertanyaan pertama yang menjadi dasar sebagai penilaian dalam
collaborative governance adalah berkaitan dengan keperluan dari adanya
collaborative governance itu sendiri. Sebelum collaborative governance
dilaksanakan, maka perlu adanya analisa terlebih dahulu apakah collaborative
governance benar-benar diperlukan untuk mengatasi sebuah permasalahan yang
sedang dihadapi saat ini. collaborative governance akan benar-benar diperlukan
jika permasalahan yang muncul sudah bersifat kompleks dan menuntut adanya
penyelesaian oleh banyak pihak.
Pertanyaan pertama dalam aspek penilaian ini berguna untuk
memaksimalkan sumber daya yang ada dalam pelaksanaan collaborative
governance, jangan sampai pelaksanaan collaborative governance hanya
digunakan untuk menghadapi permasalahan yang sebenarnya bisa diatasi oleh satu
sektor dalam pemerintahan. Sehingga dalam pelaksanaan collaborative
governance, segala sumber daya yang dialokasikan dan tenaga yang terpakai
hanya terbuang sia-sia saja karna tidak maksimal penggunaannya.
Berkaitan dengan pertanyaan pertama ini, penanganan pemulangan TKIB
ke daerah asal merupakan pekerjaan yang tidak bisa hanya dilakukan oleh satu
84
instansi saja, karena ada bagian-bagian kerja lain yang bukan merupakan fungsi
dari satu instansi namun merupakan fungsi dari instansi yang lain. Hal ini
dikarenakan penanganan pemulangan tersebut tidak hanya terdiri dari satu
masalah saja yang berkaitan dengan instansi tertentu, namun juga ada
permasalahan lain yang berkaitan dengan instansi yang lain.
Dalam Satgas TKIB tersebut misalnya, terdapat salah satu anggotanya
yang merupakan instansi Dinas Kesehatan, hal ini dikarenakan para TKIB tersebut
ada yang terkena penyakit, baik itu penyakit yang dialami pada saat kedatangan
maupun penyakit yang sudah ada sebelum TKIB tersebut sampai di Rumah
Perlindungan Trauma Center (RPTC). Hal tersebut merupakan salah satu contoh
dari masalah yang merupakan fungsi dari salah satu instansi dari anggota satgas.
Selain itu, dalam proses pemulangan akan didapati masalah-masalah lain seperti
masalah pendataan, transportasi, pengamanan, dan bantuan sosial, semua ini
diperlukan kerja sama dengan instansi yang lain yang mempunyai kewenangan
dan tugas pokok masing-masing.
Maka dari itu, untuk mengakomodasi setiap masalah yang terjadi tersebut,
yang tidak hanya bisa diatasi oleh satu instansi saja, maka diperlukan
collaborative governance diantara instansi-instansi yang ada di kota
Tanjungpinang agar setiap proses pemulangan dapat berjalan dengan baik karena
setiap aspek dalam proses pemulangan ditangani oleh instansi yang sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Hal serupa juga telah disampaikan oleh kepala Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja kota Tanjungpinang selaku ketua Satgas Lapangan
Penanganan TKIB, bahwa dalam penanganan pemulangan TKIB ini, perlu adanya
85
kerja sama setiap pihak yang terkait dengan proses pemulangan, karena dalam
proses pemulangan banyak tugas-tugas lain yang tidak bisa ditangani oleh
Dinsosnaker sendiri, namun itu menjadi fungsi dari instansi yang lain, oleh karena
itu diperlukan kerja sama dengan saling koordinasi antar setiap instansi yang
terkait agar proses pemulangan dapat berjalan dengan lancar (wawancara 8
Agustus 2016, kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja).
Berdasarkan penjelasan serta wawancara yang dilakukan bersama kepala
Dinsosnaker tersebut, maka adanya collaborative governance dalam proses
penanganan pemulangan TKIB ke daerah asal memang sangat diperlukan,
mengingkat masalah yang terjadi begitu komplek pada saat proses pemulangan
terjadi mulai dari proses pendataan pada saat kedatangan, pengangkutan ke RPTC
serta pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para TKIB sampai pada proses
pemulangan ke daerah masing-masing. Sehingga dengan adanya collaborative
governance, penyelesaian masalah dalam pemulangan TKIB ke daerah asal lebih
mudah dihadapi dan dapat berjalan dengan baik.
2. Mengidentifikasi stakeholders
Pertanyaan kedua yang bisa digunakan dalam penilaian situasi
pelaksanaan collaborative governance adalah berkaitan dengan siapa saja
pemangku kepentingan yang akan terlibat dalam proses collaborative governance
tersebut. Hal ini penting untuk menentukan orang-orang yang akan diajak kerja
sama agar dapat menentukan tiap-tiap tugas dari setiap pemangku kepentingan.
Dalam proses penanganan pemulangan TKIB ke daerah asal, pemangku
kepentingan terdiri dari banyak anggota dari instansi yang ada di kota
86
Tanjungpinang, selain itu terdapat juga pemangku kepentingan dari Kementerian
Sosial, dan lembaga negara non kementerian yaitu BP3TKI. Pemangku
kepentingan yang berasal dari instansi Pemerintahan Kota Tanjungpinang
tergabung dalam Satgas Lapangan Penanganan TKIB, anggota-anggota dari satgas
ini ditunjuk langsung oleh Walikota Tanjungpinang. Sedangkan pemangku
kepentingan dari Kementerian Sosial berasal dari pegawai kontrak yang berada
dibawah perintah dari Kementerian Sosial yang bertugas sebagai Pendamping
Pemulangan Debarkasi.
Namun di luar itu, terdapat juga pemangku kepentingan yang bertugas
menyediakan jasa seperti dari PO Pacitan Indah yang merupakan pihak swasta
yang melayani penyediaan angkutan darat, serta pemangku kepentingan dari
BUMN yaitu dari PT. Pelni Indonesia yang melayani penyediaan angkutan laut.
Kedua pemangku kepentingan tersebut merupakan pihak yang sudah melakukan
kontrak kerja sama dengan Kementerian Sosial untuk penyediaan jasa layanan
transportasi.
Sedangkan BP3TKI merupakan pemangku kepentingan yang berasal dari
lembaga negara non-kementerian yang sebenarnya berfungsi dalam perlindungan
dan penempatan TKI ke luar negeri, namun mereka juga ikut terlibat dalam proses
pemulangan selama di lapangan. Akan tetapi, ada pertentangan antara keterangan
yang disampaikan oleh pihak BP3TKI dan Pendamping Pemulangan Debarkasi
Kota Tanjungpinang terkait dengan keaktifan BP3TKI dalam keikut sertaan pada
proses penanganan TKIB.
87
Pemangku kepentingan dari perusahaan penyedia jasa yang terdiri dari PT.
Pelni dan PO Pacitan Indah hanya menerima pemesanan jasa saja melalui
koordinasi dari satgas dan PPD, mereka tidak diikut sertakan dalam proses
penanganan pemulangan. Tugas dari kedua pemangku kepentingan tersebut hanya
menyediakan jasa ketika dihubungi oleh tim satgas maupun PPD.
Tabel V.1 Daftar Instansi Pemangku Kepentingan
dalam Pemulangan TKIB ke Daeah Asal Tahun 2015
No. Instansi
1. Dinsosnaker Kota TPI
2. Kantor Imigrasi Pelabuhan
3. Kantor Kesehatan Pelabuhan
4. Kantor ADPEL TPI
5. DISHUBKOMINFO Kota TPI
6. KSP Sri Bintan Pura
7. SABHARA Polres TPI
8. SATPOL PP Kota TPI
9. Dinas Kesehatan Kota TPI
10. Pendamping Pemulangan
Debarkasi Kementerian Sosial
11. BP3TKI
12. PT. Pelni Indonesia Cab. TPI
13. PO Pacitan Indah TPI
Sumber: Data olahan peneliti
Dari keseluruhan pemangku kepentingan yang terlibat dalam penanganan
pemulangan TKIB diatas khususnya dari Tim Satgas TKIB serta dari PPD, ada
beberapa instansi yang memiliki tugas yang sama dengan instansi yang lain. Hal
88
ini tentunya menimbulkan ketidak efektifan dalam hal penggunaan sumber daya
yang ada. Sehingga perlu dipikirkan lagi oleh ketua satgas demi efesiensi sumber
daya. Hal yang bisa dilakukan adalah memilih satu instansi untuk setiap satu tugas
dan mengeliminasi instansi yang lainnya.
3. Mengidentifikasi pemeran kunci
Pada proses pemulangan TKIB ke daerah asal, pihak yang menjadi pemeran
kunci adalah Satgas Lapangan Penanganan TKIB yang dibentuk oleh Walikota
Tanjungpinang dan Pendamping Pemulangan Debarkasi yang diangkat oleh
Kementerian Sosial. Keduah belah pihak ini selalu bekerja sama dalam hal
koordinasi dan pendampingan pada saat kedatangan TKIB sampai pada proses
pemulangan. Dalam satgas itu sendiri terdapat instansi-instansi lain yang diketuai
oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang merupakan ketua satgas merupakan
pemeran kunci dalam satgas, karena sebagai ketua satgas, Dinsosnaker memiliki
tugas untuk mengkoordinasikan seluruh instansi yang lain ketika ada kedatangan
TKIB ke Tanjungpinang. Hal itu dikarenakan Dinsosnaker merupakan pihak
pertama yang mengetahui adanya kedatangan TKIB dari Malaysia melalui
pemberitahun dari konsulat jendral yang ada di Malaysia, pernyataan ini
disampaikan oleh kepala Dinsosnaker (wawancara 8 Agustus 2016, kepala Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja).
Adapun Pendamping Pemulangan Debarkasi (PPD) merupakan petugas
yang mendampingi dan membantu satgas dalam proses penanganan pemulangan
TKIB, yang berada di bawah dan diangkat oleh Kementerian Sosial serta
89
bertanggung jawab kepada Kementerian Sosial dalam pelaksanaan tugasnya.
Pendamping Pemulangan Debarkasi merupakan salah satu pemeran kunci dalam
pemulangan TKIB, karena berada di bawah Kementerian Sosial, PPD
menyerahkan laporan tugasnya kepada Kementerian Sosial.
Fungsi penting dari PPD ini membuatnya menjadi pemangku kepentingan
yang menjadi salah satu pemeran kunci diantaranya adalah menjadi pihak yang
mengeluarkan surat rekomendasi keluar kepada TKIB jika ada anggota keluarga
yang menjemput di RPTC. Selain itu, PPD juga mengurus tiket kapal
keberangkatan TKIB ke pihak Pelni untuk diberangkatkan ke Jakarta dan Medan,
sekaligus mendampingi keberangkatan TKIB di dalam kapal menuju ke tempat
tujuan (wawancara 18 Oktober 2016, koordinator PPD).
Dengan tugas yang begitu penting seperti itu, maka PPD merupakan
pemangku kepentingan yang mengisi peran kunci dalam proses pemulangan TKIB
ke daerah asal selain dari Dinsosnaker yang merupakan ketua dari Satgas
Lapangan Penanganan TKIB.
B. Permulaan
Setelah tahapan penilaian dilakukan, maka selanjutnya masuk pada
tahapan kedua dari proses collaborative governance yaitu tahapan permulaan.
Tahapan permulaan akan dilanjutkan jika pada tahapan penilaian sudah
diputuskan bahwa collaborative governance memang perlu dilakukan dalam
sebuah hubungan pemerintahan. Sehingga pada tahapan penilaian, harus benar-
benar dianalisa keadaan dan kondisi yang harus dilakukan. Masuk pada tahapan
90
permulaan, ada beberapa hal yang mejadi indikator berjalannya proses
collaborative governance dalam tahapan permulaan.
1. Mengidentifikasi sumber daya
Dalam pelaksanaan collaborative governance, sumber daya akan sangat
menentukan keberhasilan berjalannya collaborative governance yang akan
dilaksanakan. Jika pada tahapan penilaian sudah diputuskan bahwa collaborative
governance perlu dilaksanakan, namun sumber daya yang ada tidak memadai
dalam pelaksanaannya maka collaborative governance akan sulit berjalannya
dengan baik.
Dalam proses penanganan pemulangan TKIB ke daerah asal yang
dilaksanakan Satgas TKIB bersama dengan PPD, sumber daya yang tersedia
cukup memadai. Umumnya sumber daya yang tersedia tersebut berasal dari setiap
instansi yang bertugas. Setiap instansi yang mendapatkan tugas sesuai dengan
fungsi instansi tersebut, sehingga sumber daya sarana dan prasarana dalam proses
penanganan TKIB menggunakan sarana dan prasarana yang melekat pada setiap
instansi yang ada.
Penggunaan sumber daya yang dimiliki oleh setiap instansi tersebut,
dinyatakan juga oleh dinas kesehatan Tanjungpinang terkait dengan tugas mereka
dalam pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, bahwa dalam menjalankan tugas
mereka, sarana dan prasarana menggunakan sarana dan prasarana yang tersedia di
instansi mereka (wawancara 8 Agustus 2016, Ka. Puskesmas Batu X), hal serupa
juga terjadi ketika peneliti menanyakan kepada SATPOL PP Kota Tanjungpinang
terkait dengan tugas pengawalan yang mereka lakukan (wawancara 2 Agustus
91
2016, SATPOL PP). Oleh karena itu, sumber daya berupa sarana dan prasarana
secara umum cukup memadai karena tersedia pada masing-masing instansi.
Dalam hal pendanaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain berupa
kebutuhan pangan serta pembiayaan tiket kapal pemulangan, disediakan oleh
pemerintah melalui anggaran Kementerian Sosial. Pihak Kementerian Sosial
membayar langsung segala pembayaran setiap kebutuhan TKIB kepada pihak
penyedia yang sebelumnya telah melakukan kesepakatan kerja sama untuk
penyediaan kebutuhan TKIB selama di Tanjungpinang.
Pada aspek sumber daya manusia dalam penanganan TKIB, berdasarkan
hasil observasi, peneliti melihat ada pemubaziran anggota dari setiap instansi yang
tergabung dalam satgas. Hal ini tentunya menyebabkan pembengkakan anggaran
APBD atas pembayaran honor setiap anggota satgas.
2. Mempertemukan pemangku kepentingan
Mempertemukan kepentingan merupakan bagian dari permulaan dari
proses collaborative governance, yaitu bagaimana melibatkan setiap pemangku
kepentingan sehingga ikut berpartisipasi dalam proses collaborative governance
yang akan dilaksanakan.
Pada proses penanganan pemulangan TKIB di Kota Tanjungpinang yang
dilaksanakan oleh Tim Satgas Lapangan Penanganan TKIB, anggotanya berasal
dari setiap instansi yang ditunjuk oleh Walikota Tanjungpinang. Walikota
Tanjungpinang mengeluarkan surat tugas kepada setiap instansi untuk ikut serta
menjadi anggota satgas dalam penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang dan
kemudian menyerahkan nama-nama yang telah ditunjuk kepada kepala
92
Dinsosnaker yang bertugas sebagai ketua Satgas Lapangan Penanganan TKIB
Kota Tanjungpinang.
Penunjukan anggota Satgas TKIB tahun 2015 tersebut oleh Walikota
Tanjungpinang kemudian ditindak lanjuti oleh kepala Dinsosnaker dengan
membuat surat keputusan tentang pelaksanaan tugas penanganan TKIB. Dalam
surat keputusan tersebutlah dicantumkan nama-nama anggota satgas serta tugas
dari masing-masing instansi. Hal tersebut berdasarkan pernyataan dari kepala
Dinsosnaker Tanjungpinang (wawancara 8 Agustus 2016). Pernyataan serupa juga
dikatakan oleh salah satu petugas Dishub Tanjungpinang yang menyatakan bahwa
mereka ditunjuk oleh kepala Dinas Dishub untuk menjadi anggota satgas
berdasarkan perintah dari Walikota Tanjungpinang (wawancara 4 Agustus 2016).
Dilihat dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa keterlibatan
pemangku kepentingan dalam proses penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang
berdasarkan perintah dari walikota. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ikutnya
setiap pemangku kepentingan tersebut bukan atas inisiatif sendiri dari setiap
instansi.
3. Mendesain proses
Mendesain proses merupakan rancangan kerja yang dilakukan oleh seluruh
pemangku kepentingan yang terlibat, semuanya ikut andil dalam memberikan
pandangan dan masukan tentang bagaimana proses kerja sama akan dijalankan.
Terbentuknya rancangan kerja yang akan dilaksanakan tentunya merupakan hasil
konsensus dari seluruh pemangku kepentingan, tanpa adanya pihak yang
memonopoli setiap keputusan yang dibuat. Hal ini dikarenakan dalam proses
93
collaborative governance semua pemangku kepentingan memiliki kedudukan
yang sama dalam menyepakati hasil konsensus yang akan dilaksanakan.
Perlunya keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam proses
mendesain proses, agar setiap pemangku kepentingan memiliki perasaan penting
terhadap setiap proses agenda yang sudah ditetapkan bersama. Ketika proses
dalam collaborative governance yang didesain tidak mencerminkan kesepakatan
seluruh pemangku kepentingan, maka proses kerja yang sudah ditetapkan tersebut
tidak akan berjalan dengan lancar. Hal ini diakibatkan tidak adanya perasaan
memiliki bersama terhadap proses kerja yang sudah didesain tersebut karena
hanya mengakomodasi keinginan beberapa pihak saja.
Maka dari itu penting untuk diperhatikan, dalam proses mendesain proses
untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam hubungan
collaborative governance agar seluruh pemangku kepentingan tersebut
menghargai proses yang sudah ditetapkan bersama dan mau menjalankannya
dengan sepenuh hati. Bentuk output dari mendesain proses adalah menghasilkan
sebuah Standart Operating Procedure (SOP) dalam pelaksanaan sebuah proses
collaborative governance.
Proses penanganan TKIB oleh Tim Satgas TKIB dan PPD yang berada di
Tanjungpinang menggunakan panduan yang diatur oleh Kementerian Sosial yang
tercantum dalam surat keputusan yang dikeluarkan sejak tahun 2013 tentang
pemulangan pekerja migran bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
proses penanganan TKIB tersebut tidak terdapat SOP tentang bagaimana proses
penanganan TKIB terjadi di lapangan yang dirancang sendiri oleh tim satgas. Hal
94
ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Kasi Jaminan Sosial Dinsosnaker, bahwa
SOP pelaksanaan penanganan TKIB ini berdasarkan SOP dari Kementerian Sosial
yang masih bersifat umum, sedangkan SOP pelaksanaan di lapangan secara
langsung belum ada (wawancara Kasi Jamsos, 8 Agustus 2016).
Ketiadaan SOP standar di lapangan yang dibentuk sendiri oleh tim satgas
dan instansi yang terkait mengenai penanganan TKIB di kota Tanjungpinang ini,
jelas ini menunjukan kepada kita bahwa selama ini tim satgas dan PPD serta
instansi yang terkait yang ikut terlibat dalam penanganan TKIB tidak ada inisiatif
untuk berusaha mendesain proses penanganan TKIB di lapangan. Seharusnya hal
ini sudah lama dipikirkan oleh semua pemangku kepentingan karena penanganan
TKIB ini sudah sejak lama dilaksanakan, hal ini demi menciptakan keefektifan
dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas.
C. Pertimbangan
Memasuki fase ketiga setelah melalui fase permulaan dalam tahapan
collaborative governance yaitu fase pertimbangan. Fase pertimbangan dimulai
setelah memulai proses dengan kelompok inti dari pemangku kepentingan dan
mereka memberikan komitmen untuk bekerja sama dalam beberapa cara yang
sebelumnya sudah disepakati dengan konsensus bersama. Ada beberapa indikator
yang bisa dilihat dari fase pertimbangan yang akan dipaparkan dibawah ini.
1. Membangun aturan dasar
Membangun aturan dasar merupakan hal pertama yang dilakukan dalam
fase pertimbangan. Aturan dasar merupakan hal yang penting dalam collaborative
governance sebagai landasan awal sebagai legitimasi bagi pemangku kepentingan
95
dalam menjalankan collaborative governance. Dengan aturan dasar itulah setiap
pemangku kepentingan berpijak dalam menjalankan setiap aktivitas tugasnya,
sehingga dengan adanya aturan dasar tersebut diharapkan setiap pemangku
kepentingan menghormati segala tugas dan proses yang dilakukan dalam
collaborative governance.
Pada proses penanganan TKIB di kota Tanjungpinang, pemangku
kepentingan yang menjadi pemeran inti hanya tim satgas dan PPD yang bertugas
menangani kedatangan dan pemulangan TKIB. Tim satgas merupakan gabungan
pemangku kepentingan dari instansi pemerintah Kota Tanjungpinang yang
disatukan dalam sebuah surat keputusan pemerintah Kota Tanjungpinang. Surat
keputusan yang dikeluarkan oleh kepala Dinsosnaker sebagai ketua satgas
merupakan aturan dasar bagi anggota dalam tim satgas dalam menjalankan
tugasnya. Namun aturan dasar tersebut hanya berlaku bagi tim satgas saja,
sedangkan PPD dan pemangku kepentingan lain yang terlibat dalam penanganan
TKIB tidak terdapat aturan dasar dalam proses kerja sama ini.
Dengan kata lain, PPD melaksanakan tugasnya berdasarkan aturan yang
telah dikeluarkan oleh Kementerian Sosial. Dalam hal ini setiap pemangku
kepentingan hanya menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berasal dari
instansi mereka sendiri tanpa adanya aturan dasar bersama yang dibentuk oleh
sesama pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses penanganan TKIB di
Kota Tanjungpinang.
Tidak adanya sebuah aturan dasar bersama bagi seluruh pemangku
kepentingan yang mendasari setiap tugas yang mereka kerjakan, hal ini
96
berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti di
lapangan. Sebagaimana keterangan dari beberapa instansi, bahwa tim satgas hanya
melakukan pertemuan ketika mereka melakukan evaluasi kegiatan saja, pertemuan
yang berlangsung tidak pernah membahas tentang aturan dasar dalam penanganan
TKIB (wawancara 18 Agustus 2016, Satpol PP dan Imigrasi). Pertemuan yang
dilakukan oleh tim satgas hanya membahas tentang evaluasi kerja yang dilakukan
selama empat kali dalam setahun, selain itu terdapat juga pertemuan yang
dilakukan dalam rangka sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan.
Oleh karena itu perlunya bagi setiap pemangku kepentingan untuk duduk
bersama dan bersinergi dalam menciptakan sebuah aturan dasar dalam
menjalankan proses penanganan TKIB agar koordinasi yang terjadi lebih efektif
dan terjalin hubungan kerja sama yang lebih solid.
2. Musyawarah dan dialog
Musyawarah dan dialog yang terjadi dalam proses collaborative
governance merupakan sebuah bagian dari proses saling belajar bagi setiap
pemangku kepentingan yang tujuannya untuk menciptakan dan menggali banyak
pilihan dalam menjalankan kerja sama tersebut. Ketika musyawarah dan dialog
dilakukan, maka setiap pemangku kepentingan mengeluarkan pendapat dan saling
bertukar pikiran tentang bagaimana menciptakan solusi-solusi baru dalam
mengatasi permasalahan yang mereka hadapi.
Proses penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang selalu diikuti dengan
berbagai macam masalah-masalah kecil dilapangan, walaupun begitu tetap saja
sebuah masalah kecil yang terjadi berulang-ulang akan mengurangi keefektifan
97
kinerja dari pemangku kepentingan. Masalah-masalah yang sering terjadi seperti
menumpuknya TKIB dalam jangka waktu dua minggu serta terjadinya
penjemputan TKIB yang bukan berasal dari keluarga korban, menunjukkan tidak
adanya pilihan solusi dari pemangku kepentingan dalam menjalankan tugas.
Tentunya hal ini merupakan penyebab dari tidak adanya musyawarah dan dialog
yang memadai dalam proses kerja sama tersebut.
Jika seluruh pemangku kepentingan menjalankan musyawarah dan dialog
yang memadai, tentunya masalah-masalah yang terjadi tersebut akan dapat diatasi
dengan berbagai pilihan solusi, hal ini dikarenakan dalam musyawarah dan dialog
tersebut terjadinya proses saling belajar dan bertukar pikiran bagi setiap
pemangku kepentingan. Adanya proses saling belajar dan bertukar pikiran
tersebut tentunya akan mengeluarkan pikiran dan solusi-solusi baru dalam
pemecahan sebuah masalah, dan ini memang merupakan tujuan dari adanya
musawarah dan dialog dalam menjalankan collaborative governance.
3. Mencapai kesepakatan kolaboratif
Kesepakatan kolaboratif merupakan sebuah kesepakatan bersama dari
setiap pemangku kepentingan, kesepakatan ini merupakan hasil dari pertemuan-
pertemuan, diskusi, serta musyawarah dan dialog yang sebelumnya sudah
dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam collaborative governance, dan sifat
dari kesepakatan ini merupakan hasil konsensus bersama. Kesepakatan kolaboratif
inilah yang nantinya akan dijalankan bersama oleh setiap pemangku kepentingan
dalam kerja sama yang akan dilakukan, yang mungkin berupa berbagai macam
solusi bersama yang telah dibahas sebelumnya, serta bagaimana penanganan yang
98
dilakukan dalam setiap masalah. Sehingga dengan adanya kesepakatan kolaboratif
ini maka setiap pemangku kepentingan berkerja sesuai dengan kesepakatan yang
telah disetujui bersama tersebut.
Dalam proses penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang oleh tim satgas
dan PPD yang pada umumnya mendominasi dalam proses penanganan TKIB ini,
menjalankan semua proses penanganan TKIB dengan alur dan cara yang begitu-
begitu saja tanpa ada perubahan dalam pelaksanaannya yang sudah dilakukan
selama bertahun-tahun. Semua proses terjadi dengan sendirinya tanpa pernah ada
kesepakatan kolaboratif sebelumnya, dan ini dilakukan atas dasar fungsi dari
masing-masing instansi yang terlibat.
Hal ini terjadi dikarenakan setiap instansi sudah menerima tugas-tugas
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga tanpa mencapai kesepakatan
kolaboratif diantara mereka, setiap instansi tersebut hanya mengikuti alur proses
yang telah umum dilakukan. Mencapai kessepakatan kolaboratif artinya sebuah
kesepakatan yang dicapai tentang bagaimana kerja sama yang dilakoni itu berjalan
melalui dialog dan musyawarah, sedangkan yang terjadi pada setiap pemangku
kepentingan yang ada pertemuan hanya dilakukan pada saat evaluasi yang
dilaksanakan per triwulan (wawancara 20 September 2016, Koordinator PPD).
Selain itu pertemuan juga dilakukan hanya bersifat sosialisasi yang
dilaksanakan oleh dinsosnaker sebagai ketua satgas. Oleh karena itu sudah
seharusnya dinsosnaker menginisiasi pertemuan untuk seluruh pemangku
kepentingan agar saling berdialog dalam menyelesaikan masalah penanganan
99
TKIB tersebut. Dengan dialog tersebut diharapkan tercipta cara-cara baru yang
disepakati bersama dalam menangani proses penanganan TKIB ini.
D. Implementasi
Fase terakhir dari proses collaborative governance adalah fase
pelaksanaan. Fase implementasi merupakan tahap dilaksanakannya rencana dari
seluruh hal yang sudah dibahas dan disepakti pada tahap sebelumnya, yaitu pada
fase pertimbangan. Tahap implementasi akan dilaksanakan jika seluruh pemangku
kepentingan telah memutuskan hasil dan strategi yang akan dijalankan, yang
berasal dari fase pertimbangan yang sebelumnya melibatkan dinamika kelompok
antar pemangku kepentingan yang saling bekerja sama.
Untuk melihat bagaimana fase implementasi berjalan dalam sebuah proses
collaborative governance, ada beberapa hal yang dilihat dari fase implementasi
agar collaborative governance dapat berjalan dengan baik.
1. Adanya pembagian tugas
Collaborative governance merupakan kerja sama yang dilakukan oleh
berbagai aktor baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Tergabungnya
berbagai pemangku kepentingan dalam suatu wadah kerja sama membutuhkan
pembagian kerja yang jelas dalam setiap prosesnya. Adanya pembagian tugas ini
berdasarkan hasil dari kesepakatan pemangku kepentingan dari fase-fase yang
telah dilalui sebelumnya, melalui kesepakatan inilah setiap pemangku kepentingan
bertanggung jawab terhadap tugas yang sudah menjadi domain dari masing-
masing pemangku kepentingan.
100
Pada fase implementasi ini setiap pemangku kepentigan menjalankan
tugas yang sudah disepakati pembagiannya, sehingga bisa kita lihat pada fase
implementasi ini apakah ada pembagian tugas atau tidak dalam sebuah kerja
sama. Jika terdapat pembagian tugas, maka akan terlihat setiap pemangku
kepentingan memiliki aktivitas masing-masing yang dijalankan dengan sebuah
koordinasi dalam proses mencapai tujuan dari kerja sama tersebut.
Dalam proses penanganan TKIB yang dilakukan oleh tim satgas yang
terdiri dari berbagai instansi di pemerintahan Kota Tanjungpinang dan PPD dari
Kementerian Sosial Republik Indonesia, memiliki tugas masing-masing, selain itu
terdapat pihak penyedian jasa yang berasal dari BUMN dan pihak swasta. Setiap
pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses penanganan TKIB ini sudah
memiliki tugas masing-masing yang sudah ditetapkan.
Namun pembagian tugas tersebut bukanlah hasil dari kesepakatan bersama
dari setiap pemangku kepentingan, pembagian tugas tersebut merupakan
pembagian tugas yang ditetapkan oleh pemerintah melalui sebuah surat
keputusan. Surat keputusan yang diterbitkan tersebut merupakan surat keputusan
yang menetapkan siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses
penanganan TKIB, didalamnya juga terdapat pembagian tugas dari setiap
pemangku kepentingan yang dinyatakan terlibat tersebut.
Instansi yang tergabung dalam Tim Satgas Lapangan Penanganan TKIB
merupakan instansi yang ditunjuk oleh pemerintah Kota Tanjungpinang, dan tugas
yang diemban berdasarkan tupoksi dari masing-masing instansi dan tidak terlibat
dengan aktivitas lain yang bukan menjadi tupoksi dari instansi tersebut.
101
Pembagian tugas tersebut diatur dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh
kepala Dinsosnaker yang merupakan ketua satgas di Kota Tanjungpinang, dan
pembagian tugas tersebut bukan berdasarkan kesepakatan bersama dari setiap
pemangku kepentingan yang ada.
Sedangkan Pendamping Pemulangan Debarkasi (PPD) merupakan petugas
yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia melalui surat
keputusan Direktur Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja
Migran, didalamnya terdapat pembagian tugas yang akan dilaksanakan oleh PPD
Kota Tanjungpinang dalam penanganan TKIB.
Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap
pemangku kepentingan sudah memiliki pembagian tugas masing-masing. Namun
pembagian tugas yang ada tersebut bukan merupakan pembagian tugas yang
berdasarkan oleh kesepakatan dari pemangku kepentingan itu sendiri, akan tetapi
pembagian tugas yang ditetapkan oleh pemerintah melalui sebuah surat
keputusan.
2. Mengevaluasi hasil
Evaluasi hasil merupakan sebuah proses penilaian terhadap kegiatan yang
telah dilakukan, tujuan dari evaluasi ini adalah untuk melihat seberapa jauh
kegiatan tersebut berhasil dilaksanakan. Untuk melihat keberhasilan tersebut dapat
melalui analisa terhadap tujuan dari sebuah kegiatan itu dilakukan, semakin dekat
tercapainya tujuan maka dikatakan semakin berhasil sebuah kegiatan itu
dilaksanakan.
102
Evaluasi hasil biasanya dilakukan pada sesi akhir dari pelaksanaan
kegiatan, dengan melihat hasil dari evaluasi tersebut diharapkan pada setiap
pemangku kepentingan untuk bisa melihat setiap kekurangan dari pelaksanaan
yang sudah berlalu. Selanjutnya, dengan mengetahui kekurangan-kekurangan dari
masing-masing pemangku kepentingan, maka akan timbul suatu pelajaran dan
usaha untuk memperbaiki kekurangan tersebut agar tidak terulang lagi pada
pelaksanaan berikutnya.
Pada proses penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang yang dilakukan
oleh tim satgas dan PPD, evaluasi hasil dilakukan selama empat (4) kali dalam
setahun kerja. Pertemuan untuk membahas evaluasi hasil dikoordinasikan
langsung oleh Dinsosnaker sebagai ketua satgas, yang kemudian mengatur waktu
dan tempat pertemuan. Dalam pertemuan evaluasi hasil tersebut, seluruh anggota
satgas hadir untuk mengikuti pertemuan tersebut setelah mendapat koordinasi dari
dinsosnaker.
Berdasarkan keterangan dari beberapa sumber, pertemuan tersebut
membahas tentang hasil dari kerja tim selama beberapa bulan oleh masing-masing
pemangku kepentingan yang terlibat. Setiap pemangku kepentingan juga
memberikan masukan kepada Disosnaker selaku ketua tim satgas terkait dengan
pelaksanaan penanganan TKIB kedepannya. Namun terkadang masukan yang
disampaikan tersebut tidak terlaksana sebagaimana yang disampaikan, sehingga
hal-hal yang pernah terjadi pada pelaksanaan sebelumnya terkadang terulang lagi
pada proses pelaksanaan berikutnya (wawancara 18 Agustus 2016, anggota Satpol
PP).
103
Pada proses evaluasi hasil tersebut, ada juga pihak pemangku kepentingan
yang hanya sekedar mengingatkan tentang jadwal-jadwal penting dalam prose
pamulangan, sebagaimana yang dilakukan oleh pihak PT. Pelni, yang
mengingatkan tentang jadwal keberangkatan kapal. Hal ini dilakukan agar tidak
terjadi keterlambatan dalam pengambilan tiket (wawancara 25 Oktober 2016,
Kepala operasional Pelni). Penjelasan diatas dapat menggambarkan bahwa dalam
proses penanganan TKIB kota Tanjungpinang, terdapat proses evaluasi hasil
terhadap tugas yang dijalankan.
Berdasarkan penjelasan dan penjabaran dari fase-fase yang dilalui dalam
proses collaborative governance yang dikemukakan oleh R.S Morse dan J.B
Stephens, secara umum proses yang berjalan belum sepenuhnya menunjukkan
adanya collaboarative governance yang baik. Hal yang paling terlihat dari fase-
fase yang diperhatikan adalah pada fase pertimbangan, pada fase ini terlihat masih
sangat kurangnya peranan dari seluruh pemangku kepentingan.
Sebagian indikator dari setiap fase yang dilalui untuk menentukan
berjalannya proses collaborative ini kebanyakannya hanya bersifat mobilisasi saja
dari pemangku kepentingan selain dari dinsosnaker dan Pendamping Pemulangan
Debarkasi (PPD). Kurangnya peranan seluruh pemangku kepentingan dalam
menyepakati konsensus bersama juga disebabkan oleh sistem kerja yang masih
bersifat komando dari pemerintah yang diatasnya, sehingga setiap pemangku
kepentingan hanya menjalankan apa yang sudah menjadi ketentuan dari
pemerintah atasan.
104
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyimpulkan bahwa
secara pelaksanaannya, implementasi kebijakan Koordinasi Satuan Tugas
Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) Tahun 2015
yang dilakukan oleh Satgas TKIB Kota Tanjungpinang sudah berjalan sesuai
dengan ketentuan kebijakan yang telah ditetapkan dalam SK Kepala Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang Nomor 25 Tahun 2015. Hal ini dapat
dilihat dari terpenuhinya faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan dalam penelitian ini, serta didukung dengan data kedatangan TKIB
yang berjumlah 17.742 berhasil dipulangkan dengan jumlah yang sama
berdasarkan data yang bersumber dari Pendamping Pemulangan Debarkasi Kota
Tanjungpinang. Namun hasil dari implementasi tersebut belum tercapai dengan
maksimal, hal ini dapat dilihat dari sisi ketersedian tempat, salah satu dari tempat
penampungan masih merupakan pinjaman dari pihak swasta.
Selain itu, hal lain yang ditemukan adalah ada sedikit kekurangan pada
penjelasan faktor keempat dari indikator yang ada, yaitu belum adanya SOP
(standard operating procedures) di lapangan dalam proses penanganan TKIB
tersebut. Disisi lain yang terkait dengan faktor kedua pada indikator sumber daya
staf, sumber daya staf yang ada dirasa terlalu banyak sehingga terjadi ketidak
efektifan tugas dan menyebabkan ketidak efesiensi penggunaan anggaran dalam
pembiayaan honorer satgas.
105
Selanjutnya, secara umum, proses penanganan TKIB oleh tim satgas yang
berjalan belum menunjukkan adanya collaboarative governance yang baik. Hal
yang paling terlihat dari fase-fase yang diperhatikan adalah pada fase
pertimbangan, pada fase ini terlihat masih sangat kurangnya peranan dari seluruh
pemangku kepentingan. Sebagian indikator dari setiap fase yang dilalui untuk
menentukan berjalannya proses collaborative ini kebanyakannya hanya bersifat
mobilisasi saja dari pemangku kepentingan selain dari Dinsosnaker dan
Pendamping Pemulangan Debarkasi (PPD).
Kurangnya peranan seluruh pemangku kepentingan dalam menyepakati
konsensus bersama juga disebabkan oleh sistem kerja yang masih bersifat
komando dari pemerintah yang diatasnya, sehingga setiap pemangku kepentingan
hanya menjalankan apa yang sudah menjadi ketentuan dari pemerintah atasan.
Akibatnya, seluruh pemangku kepentingan tidak bisa begitu saja menciptakan hal-
hal baru yang tidak diatur dalam menyelesaikan masalah penanganan TKIB di
kota Tanjungpinang ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara implementasi dan
collaborative governance dalam proses penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang
pada Tahun 2015 yaitu tidak maksimalnya implementasi kebijakan Koordinasi
Satuan Tugas Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB)
Tahun 2015 disebabkan karena kurangnya berjalannya collaborative governance
dalam proses pelaksanaan penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang.
106
B. Saran
Adapun saran yang bisa diberikan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Perlunya inisiatif dari ketua satgas untuk membuat SOP penanganan TKIB
bersama anggota satgas lainnya yang dibuat berdasarkan proses penanganan di
lapangan yang bersifat baku, dan hendaknya jumlah anggota satgas dari
Dinsosnaker dikurangi maksimal 10 orang dari 15 anggota karena ada petugas
Pendamping Pemulangan Debarkasi yang ikut membantu dan anggota instansi
lain yang ada perlu dipertimbangkan lagi agar sesuai dengan kebutuhan di
lapangan.
2. Dalam hal collaborative governance, setiap pemangku kepentingan harus aktif
dalam memberikan ide-ide, dan menjadi kewajiban ketua satgas untuk
menfasilitasi pertemuan yang terjadwal diantara pemangku kepentingan untuk
mencapai konsensus dalam mengatasi masalah yang ada.
107
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arif, Mirrian Sjofyan, dkk. 2007. Manajemen Pemerintahan. Universitas
Terbuka. Jakarta.
AS, Enjang. 2009. Komunikasi Konseling. NUANSA. Bandung.
Herdiansyah, Haris.2010. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Salemba Humanika. Jakarta.
Moleong, L. J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Rosdakarya.
Bandung.
Mukarom, Zaenal, dkk. 2015. Manajemen Pelayanan Publik. Pustaka Setia.
Bandung.
Nugroho, Riant. 2014. Kebijakan Publik, Di Negara-negara Berkembang. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Metode Penelitian. Pustaka Setia. Bandung.
Silalahi, Ulber. 2012. Metode Penelitian Sosial. Refika Aditama. Bandung.
Sumaryadi, I. Nyoman. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom Dan
Pemberdayaan Masyarakat. Citra Utama. Jakarta.
Suyanto, Bagong, dkk. 2008. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Prenada Media Group. Jakarta.
Syafiie, Inu Kencana. 2011. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Refika Aditama.
Bandung.
Torang, syamsir. 2013. Organisasi & Manajemen (Perilaku, Struktur, Budaya &
Perubahan Organisasi). Alfabeta. Bandung.
Wibawa, Samodra. 2014. Good Governance dan Otonomi Daerah. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik; Teori, Proses, dan Studi Kasus. CAPS.
Jakarta.
Jurnal :
Chris Ansell and Alison Gash. 2007. Collaborative Governance in Theory and
Practice. University of California, Berkeley. Vol. 18.
Ely Sufianti, dkk. 2013. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis
Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif. Institut Teknologi Bandung.
Vol. 29
Ricardo S. Morse and Jhon B. Stephens. 2012. Teaching Collaborative
Governance: Phases, Competencies, and Case-Based Learning. The
University of North Carolina. Vol. 18
Internet :
http://www.bnp2tki.go.id
108
Hasil Penelitian :
Indra Sakti Simbolon. 2015.‖Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 2013 Tentang Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja
Indonesia‖.
Ismardi Danardono Jati Pamungkas, dkk. 2010.―Peran Pemerintah Daerah Di
Wilayah Perbatasan Dalam Melindungi Warga Negara Indonesia Yang
Dideportasi‖.
Sukron Amin, dkk. 2013.‖Upaya Meningkatkan Koordinasi Dalam
Mengembangkan Industri Pariwisata Di Kabupaten Wonosobo‖.
Dokumen :
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2004 Tentang Tim
Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya
dari Malaysia.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2013 Tentang
Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang
Pemulangan Pekerja Migran Bermasalah dan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah
ke Daerah Asal.
Keputusan Direktur Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja
Migran Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Penetapan Pendamping Debarkasi Tahun
2015.
Keputusan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang Nomor 25
Tahun 2015 Tentang Satuan Tugas Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia
Bermasalah dan Keluarganya serta Korban Trafficking Deportasi Negara Malaysia
di Debarkasi Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau Tahun Anggaran
2015.
109
110
PEDOMAN WAWANCARA
NAMA :
INSTANSI :
JABATAN :
1. Komunikasi
a. Apakah bapak mengetahui adanya kebijakan tentang pembentukan Satgas
TKIB dalam penanganan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah di Kota
Tanjungpinang ?
b. Apakah bapak mengetahui apa saja tugas yang bapak lakukan dalam menjadi
anggota Satgas TKIB Kota Tanjungpinang ?
c. Apakah dalam menjalankan tugas, bapak selalu mendapatkan informasi yang
berbeda-beda terkait dengan tugas yang harus dilakukan ?
2. Sumber daya
a. Bagaimana kondisi staf anggota Satgas TKIB Kota Tanjungpnang dalam
penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang ?
b. Bagaimanakah bapak mendapatkan informasi dalam menjalankan tugas
sebagai anggota Satgas TKIB Kota Tanjungpinang ?
c. Apakah bapak memiliki kewenangan tertentu dalam menjalankan tugas
penanganan TKIB ?
d. Bagaimana penyediaan fasilitas yang diperlukan dalam melakukan proses
penanganan TKIB ?
111
3. Disposisi
a. Bagaimana menurut bapak tentang tugas yang bapak lakukan dalam menjadi
anggota Satgas Kota Tanjungpinang ?
4. Struktur birokrasi
a. Apakah ada perincian tugas yang dilakukan dalam menjadi anggota Satgas
TKIB Kota Tanjungpinang ?
b. Apakah terdapat SOP lapangan dalam proses penanganan TKIB yang dibentuk
sendiri oleh Satgas TKIB Kota Tanjungpinang ?
112
PEDOMAN WAWANCARA
NAMA :
INSTANSI :
JABATAN :
1. Penilaian
a. Apakah collaborative governance diperlukan oleh Satgas TKIB dalam
penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang ?
b. Siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses collaborative
governance ?
c. Siapa pemangku kepentingan yang menjadi pemeran kunci dalam
collaborative governance ?
2. Permulaan
a. Bagaimana ketersediaan sumber daya dalam pelaksanaan collaborative
governance pada proses penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang ?
b. Bagaimana melibatkan setiap pemangku kepentingan yang tergabung dalam
Tim Satgas TKIB untuk ikut serta dalam proses collaborative governance ?
c. Apakah terdapat SOP lapangan yang disepakati oleh seluruh pemangku
kepentingan dalam menjalankan proses collaborative governance ?
3. Pertimbangan
a. Apakah terdapat aturan dasar yang dibentuk bersama dalam menjalankan
proses collaborative governance terhadap penanganan TKIB ?
113
b. Apakah terdapat musyawarah dan dialog yang dilakukan oleh seluruh
pemangku kepentingan dalam proses collaborative governance ?
c. Apakah terdapat kesepakatan kolaboratif antar seluruh pemangku kepentingan
tentang penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang ?
4. Implementasi
a. Apakah terdapat pembagian tugas antar pemangku kepentingan dalam proses
penanganan TKIB ?
b. Apakah terdapat proses valuasi hasil yang dilakukan oleh seluruh pemangku
kepentingan terhadap hasil dari penanganan TKIB di Kota Tanjungpinang ?
114
115
116
117
118
119
120
121
122
Lampiran Dokumentasi
123
124
125
RIWAYAT PENULIS
Penulis merupakan putra pertama dari pasangan Alm. Zahar
dan Ibu Nurbaya, yang dilahirkan di Kota Tanjungpinang pada
tanggal 15 Maret 1993. Pendidikan formal ditempuh di SD
Negeri 015 Batam (1999-2006), kemudian melanjutkan
pendidikan di SLTP Negeri 13 Batam (2006-2009), dan setelah itu menempuh
pendidikan SMA Negeri 9 Batam (2009-2012) pada jurusan Ilmu Pendidikan
Sosial. Pada tahun 2012 Penulis diterima di Universitas Maritim Raja Ali Haji
(UMRAH) pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
Selain mengikuti perkuliahan, penulis juga ikut serta dalam organisasi
Lembaga Dakwah Fakultas Forum Studi Islam Robbul Izzah dan ditunjuk sebagai
sekretaris pada kepengurusan Tahun 2015/2016. Penulis pernah mengikuti
kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KUKERTA) di Desa Penarah, Kecamatan Belat,
Kabupaten Karimun selama dua (2) bulan.
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan
mendapatkan gelar sarjana (S1) pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH),
penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Implementasi
Koordinasi Satuan Tugas Lapangan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia
Bermasalah (TKIB) Tahun 2015 (Studi Kasus di Debarkasi Kota
Tanjungpinang)”.
Recommended