View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
12
IMPLEMENTASI APAPO DALAM MODEL PENERIMAAN TEKNOLOGI
DAN KETERJANGKAUAN SOSIAL
(Implementation of APAPO from Technology Acceptance Model and Sosial
Affordances)
Elyan Nadian Zahara
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya No.4, Kenari Jakarta Pusat 10430
elyannadianzahara@gmail.com
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi Aplikasi Pendaftaran
Antrean Paspor Online (APAPO) berdasarkan TAM dan keterjangkauan social. Penelitian ini
merupakan conceptual paper dengan pendekatan kualitatif menggunakan metode tinjauan pustaka.
APAPO digunakan sebagai unit analisis dengan data pengaduan masyarakat Direktorat Jenderal
Imigrasi sebagai sampel purposive untuk merepresentasikan. Berdasarkan pembahasan, diketahui
bahwa APAPO tidak diterima dengan baik oleh pengguna dan memiliki keterjangkauan social yang
rendah.
Kata Kunci: Antrean Online; TAM; Keterjangkauan Sosial
Abstract
The purpose of this study is to explain how was the Implementation of Online Passport Queue
Registration Application (APAPO) based on TAM and social affordances. This study is a conceptual
paper using qualitative approach with literature review. APAPO is used as a unit of analysis with
Directorate General of Immigration’s public complaint data as a purposive sample. From the result,
it was recognized that APAPO was not well-received by users and had low social affordances.
Keywords: Queue Registration Online; TAM; Social Affordances
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini, teknologi informasi dan
komunikasi adalah nafas dalam kehidupan
sehari-hari. Perkembangannya membuat sendi-
sendi kehidupan menjadi lebih praktis dan
efisien. Implementasi teknologi komunikasi
dan informasi diadopsi dalam berbagai aspek,
telekomunikasi, media, ekonomi, kedokteran,
periklanan, hingga pelayanan publik yang
disediakan oleh Lembaga pemerintah.
Teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) berperan besar dalam membantu
mengubah sektor publik menjadi lebih efisien,
transparan, dan berorientasi pengguna. Tidak
sedikit lembaga pemerintah di seluruh dunia
yang mencoba menghadirkan layanan publik
dalam bentuk interaksi digital yang dikenal
sebagai (e- government) di mana lembaga
pemerintah menyediakan layanan online
kepada publik melalui sebuah sistem. E-
government adalah bentuk layanan pemerintah
dalam versi elektronik, dengan tujuan
peningkatan pelayanan, yang memungkinkan
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi
publik1. Di Indonesia, e-government
dicanangkan melalui Instruksi Presiden Nomor
3 tahun 2003, kemudian diperbaharui dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 95 tahun 2018
mengenai Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE).
Salah satu Badan Publik yang sudah
mengimplementasikan layanan berbasis
elektronik adalah Direktorat Jenderal Imigrasi
(DJI). DJI adalah unit eselon I di bawah
Kementerian Hukum dan HAM yang di
antaranya mengemban tugas dan fungsi dalam
perumusan, pelaksanaan kebijakan pelayanan
dan fasilitas keimigrasian, salah satunya adalah
pelayanan paspor melalui 125 Kantor Imigrasi
di seluruh Indonesia.
Dalam mengimplementasikan Instruksi
Presiden Nomor 3 tahun 2003, Imigrasi
membangun Sistem Informasi Manajemen
Keimigrasian pada tahun 2008, kemudian
meluncurkan aplikasi pra permohonan paspor
1 Tamara Almarabeh and Amer AbuAli, “A General
Framework for E-government: Definition Maturity
Challenges, Opportunities, and Success,” European Journal
of Scientific Research 39, no. 1 (2010): 29–
42.
online berbasis web di tahun 20112, Melalui
aplikasi ini, pemohon harus mengisi formulir
permohonan paspor secara elektronik,
mengunggah data serta identitas yang
dibutuhkan secara elektronik, kemudian
melakukan pembayaran, sebelum datang ke
Kantor Imigrasi untuk melakukan pengambilan
foto biometrik, sidik jari serta melakukan
wawancara dengan petugas. Empat hari kerja
kemudian, paspor dapat diambil di Kantor
Imigrasi.
Pada versi ini, aplikasi terintegrasi ke
dalam Sistem Penerbitan Paspor, sehingga
petugas imigrasi hanya tinggal mengunduh
data yang telah diinput, kemudian
diubahsuaikan apabila terdapat kesalahan
input. Seiring berjalannya waktu, dilakukan
pembaharuan regulasi terkait Paspor melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2014.
Dalam peraturan ini, aplikasi pra permohonan
paspor online disebutkan sebagai salah satu
metode permohonan paspor. Pemohon masih
dapat memilih untuk mengajukan permohonan
melalui online lebih dahulu, atau langsung
datang ke Kantor Imigrasi.
Di tahun 2017, aplikasi tersebut diperharui
menjadi Aplikasi Pendaftaran Antrean Paspor
Online (APAPO), yang berbasis web, serta
dapat diunduh pada playstore dan appstore.
Aplikasi diubahsuaikan menjadi hanya sebatas
pendaftaran untuk mendapatkan antrean datang
ke Kantor Imigrasi, melalui surat edaran nomor
IMI- UM.01.01-4166. Dengan
diberlakukannya surat edaran ini, semua
pemohon kecuali kelompok rentan dan
disabilitas, diarahkan menggunakan aplikasi
antrean ini sebelum datang ke Kantor Imigrasi
untuk mengurus paspor. Jika melakukan
sebaliknya, pemohon diarahkan untuk
mengambil antrean online lebih dahulu
sebelum permohonan dapat diproses. Kendala
mulai muncul ketika antrean sulit didapat,
terutama pada kantor-kantor imigrasi di daerah
padat penduduk, seperti Jabodetabek. Terlebih
lagi, antrean hanya dibuka satu kali dalam satu
minggu pada jam yang telah ditentukan.
2 Surat Direktur Jenderal Imigtasi Nomor IMI-
PR.08.04-2481 tanggal 20 Juni 2011 perihal Layanan
Permohonan Paspor Online
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
14
Kendala-kendala teknis berikutnya pun mulai
menyusul, diikuti keluhan pengguna bahkan
ulasan negatif pada aplikasi, media massa serta
kanal pengaduan DJI.
Rumusan Masalah
APAPO, platform antrean berbasis web dan
aplikasi yang menghadirkan interaksi antara
manusia dan teknologi sebagai pengganti
interaksi antara manusia dengan manusia.
Gibson menyebut hal ini sebagai sebuah
keterjangkauan, yaitu sarana di antara
seseorang dan dunia, yang memungkinkan
terjadinya tindakan3. Lebih lanjut lagi, sebuah
teknologi dapat memfasilitasi keterjangkauan
sosial apabila dapat memfasilitasi interaksi
antar masyarakat.
Penelitian ini berusaha mencari tahu
bagaimana penerimaan masyarakat terhadap
APAPO dengan melihat interaksi antara
pengguna dengan teknologi4 dengan
menggunakan teori Technology Acceptance
Model (TAM) dari sisi Perceived Usefulness
(PU) dan Perceived Ease of Use (PEOU) serta
konsep keterjangkauan social dari Kavanaugh.
Oleh karena itu, digunakan data pengaduan
masyarakat DJI sebagai sampel untuk
merepresentasikan interaksi yang kurang
harmonis dari keseluruhan populasi. Menurut
Sugiyono, dalam penelitian kualitatif teknik
sampling yang lebih sering digunakan adalah
purposive sampling dan snowball sampling.
Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu, misalnya orang tersebut
dianggap paling tahu tentang apa yang kita
harapkan. Dengan demikian, penelitian ini
mempertimbangkan perubahan, serta hal- hal
tidak terduga dalam proses penyesuaian dlam
3 Andrea Kavanaugh et al., “(Hyper) Local News
Aggregation: Designing for Social Affordances,” Government
Information Quarterly 31, no. 1 (2014): 30– 41, http: // dx.
doi. org/10.1016/j.giq .2013.04.004. 4 Anne Beaudry and Alain Pinsonneault,
“Understanding User Responses to Information Technology:
A Coping Model of USer Adaptation,” MIS Quarter 27, no.
1 (2003): 51–90,
https://www.jstor.org/stable/25148693. 5 Volkmar Pipek and Volker Wulf, “Infrastructuring:
Toward an Integrated Perspective on the Design and Use of
Information Technology,” Journal of the Association for
Information Systems 10, no. 5 (2009):
447–473. 6 K. Adiyarta et al., “User Acceptance of E-
penggunaan teknologi.5 .
Oleh karena itu dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
Bagaimana implementasi APAPO apabila
dievaluasi dari konsep keterjangkauan sosial
dan dilihat dari sisi PU dan PEOU?
Tinjauan Literatur
Beberapa penelitian telah membahas mengenai
implementasi TAM dalam adopsi sistem e-
government di Indonesia6. APAPO merupakan
bentuk e-government yang dapat memberikan
kontribusi penting dalam khasanah TAM,
meskipun tidak banyak penelitian yang telah
membahasnya. Penelitian mengenai APAPO
dilakukan oleh Syahrin pada tahun 2019. Hasil
penelitiannya merekomendasikan untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam APAPO
sebagai bahan perbaikan selanjutnya7.
1. Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik
Mengikuti logika McLuhan, teknologi
adalah perpanjangan indera manusia8.
Teknologi membantu mempermudah manusia
dalam kehidupannya. Demikian pula halnya
dalam suatu instansi. teknologi menjadi alat
bantu untuk mempermudah instansi tersebut
menjalankan fungsinya. Berhasilnya
teknologi tidak hanya ditentukan oleh
bagaimana sistem tersebut berjalan dengan
baik, melainkan juga penilaian akan
kompatibilitasnya dengan pengguna.
Jogiyanto menyebutkan bahwa sebuah sistem
belum disebut berhasil bila pengguna sulit
menerimanya atau enggan menggunakannya9.
Penggunaan e-government berperan dalam
memperkuat tata pemerintahan yang baik di
sektor publik. Secara tradisional, istilah tata
Government Services Based on TRAM Model,” IOP
Conference Series: Materials Science and Engineering
352, no. 1 (2018); Fran Sayekti and 7 M Alvi Syahrin, “Audit Hukum Regulasi
Aplikasi Pendaftaran Antrian Permohonan Paspor
Secara Online ( Apapo ) Dalam Pelayanan Paspor Ri
Berbasis E-Government : Studi Dogmatik Keimigrasian
Dengan Pendekatan Critical Legal Studies” 6, no. Imi
(2019): 23–56. 8 Marshall McLuhan, Understanding Media: The
Extensions of Man (California: Gingko Press, 2013),
www.gingkopress.com. 9 Sayekti and Putarta, “Penerapan Technology
Acceptance Model (TAM) Dalam Pengujian Model
Penerimaan Sistem Informasi Keuangan Daerah.”
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
15
kelola menggabungkan banyak bidang seperti
inklusivitas dan partisipasi, akuntabilitas,
transparansi, daya tanggap, efisiensi dan
efektivitas10. Karena hubungan ini, e-
government telah memasukkan banyak bentuk
dan bentuk, termasuk e- revenue, e-bea cukai
(sebagai bagian dari National Single Window
for Association of South East Asia) Negara
atau anggota ASEAN), untuk membantu
meningkatkan pemberian layanan publik11.
E-government adalah versi elektronik
pemerintah yang ditujukan untuk
meningkatkan layanan publik yang ditawarkan
oleh pemerintah, dengan beberapa konsep
tambahan seperti transparansi, akuntabilitas,
dan partisipasi12. Ndou mengelompokkan e-
government menjadi empat jenis, yaitu, G2C
(pemerintah ke warga negara) untuk interaksi
antara pemerintah dan masyarakat, G2B
(pemerintah ke bisnis) untuk interaksi antara
pemerintah dan lembaga swasta atau
perusahaan dan G2G (pemerintah ke
pemerintah) untuk interaksi antara sesama
lembaga pemerintah, serta G2E (pemerintah
ke karyawan) untuk interaksi antara
pemerintah dan karyawannya13.
Salah satu unsur penting dalam penerapan
sebuah teknologi adalah penerimaan terhadap
teknologi tersebut. Bagi sebuah organisasi,
teknologi berfungsi sebagai alat bantu untuk
pencapaian tujuan organisasi melalui
penyediaan informasi. Kesuksesan sebuah
sistem informasi tidak hanya ditentukan oleh
bagaimana sistem dapat memproses masukan
dan menghasilkan informasi dengan baik,
tetapi juga bagaimana pengguna mau
menerima dan menggunakannya, sehingga
mampu mencapai tujuan organisasi. SPBE
merupakan upaya berkesinambungan dalam
pembangunan aparatur negara untuk
10 Emad Abu-Shanab, “Antecedents of Trust in E
government Services: An Empirical Test in Jordan,”
Transforming Government: People, Process and Policy 8, no.
4 (2014): 480–499.- 11 Rizqa Nulhusna et al., “The Relation of E-
Government Quality on Public Trust and Its Impact on Public
Participation,” Transforming Government: People, Process
and Policy 11, no. 3 (2017): 393– 12 Almarabeh and AbuAli, “A General Framework for E-
Government: Definition Maturity Challenges, Opportunities,
and Success.” 13 Hisham Al-Saghier et al., “Conceptualising
Citizen’s Trust in e-Government: Application of Q
mewujudkan bangsa yang berdaya saing. Pada
akhir tahun 2025 diharapkan pemerintah
sudah berhasil mencapai keterpaduan SPBE
baik di dalam dan antar Instansi Pusat dan
Pemerintah Daerah, dan keterhubungan SPBE
antara Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dengan SPBE yang terpadu, diharapkan akan
menciptakan proses bisnis pemerintahan yang
terintegrasi antara Instansi Pusat dan
Pemerintah Daerah sehingga akan membentuk
satu kesatuan pemerintahan yang utuh dan
menyeluruh serta menghasilkan birokrasi
pemerintahan dan pelayanan publik yang
berkinerja tinggi. Untuk mencapai hal
tersebut, setiap Instansi Pusat dan Pemerintah
Daerah perlu melakukan transformasi
paradigma dan proses dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan
publik berbasis elektronik, dukungan TIK, dan
SDM14.
Menurut Heeks, diperkirakan bahwa 85%
implementasi e-government di negara
berkembang gagal15. Indonesia merupakan
negara berkembang yang masih berjuang
dalam mengimplementasikan e- government16.
Di tingkat nasional, PeGI telah menangkap
penggunaan TIK oleh lembaga pemerintah di
Indonesia. PeGI (2015) melaporkan lembaga
pemerintah di tingkat provinsi memiliki skor
rata-rata total 2,50, yang merupakan hasil yang
buruk. Terlepas dari potensi manfaat TIK
untuk lembaga pemerintah, kegagalan e-
government sebagian besar disebabkan oleh
tingkat penggunaan yang rendah. Penerimaan
pengguna dapat memprediksi tingkat
penggunaan sistem informasi. Karena
penerimaan pengguna menentukan
keberhasilan sistem informasi termasuk e-
government, maka studi tentang faktor- faktor
yang mempengaruhi penerimaan pengguna
Methodology,” Electronic Journal of e-Government 7,
no. 4 (2009): 295–310.
14 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2018
mengenai Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. 15 Richard Heeks, “ICT4D 2.0: The next Phase of
Applying ICT for International Development,” Computer 41,
no. 6 (2008): 26–31. 16 W Munyoka and F M Manzira, “Alignment of E-
Government Policy Formulation with Practical
Implementation : The Case of Sub-Saharan Africa,”
International Journal of Social, Human Science and
Engineering 7, no. 12 (2013): 43–48.
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
16
menjadi penting untuk dilakukan17.
Aplikasi Antrean Paspor Online (APAPO)
Berdasarkan Undang-undang nomor 6 tahun
2011 tentang keimigrasian, paspor dokumen
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia kepada warga negara Indonesia
untuk melakukan perjalanan antarnegara yang
berlaku selama jangka waktu tertentu. Terdapat
tiga jenis paspor yang diterbitkan oleh
Indonesia. Pertama adalah paspor diplomatik,
dokumen perjalanan berwarna hitam, yang
dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri
bagi warga negara Indonesia yang akan
melakukan perjalanan keluar Wilayah
Indonesia dalam rangka penempatan atau
perjalanan tugas yang bersifat diplomatik.
Kedua, paspor dinas dengan warna biru tua,
yang diterbitkan bagi warga negara Indonesia
yang akan melakukan perjalanan keluar
Wilayah Indonesia dalam rangka penempatan
atau perjalanan dinas yang tidak bersifat
diplomatik. Kedua jenis paspor ini diterbitkan
oleh Kementerian Luar Negeri. Jenis paspor
ketiga adalah paspor biasa yang berwarna hijau
kebiruan. Paspor jenis ini. diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian
Hukum dan HAM melalui 125 Kantor Imigrasi
di seluruh Indonesia serta perwakilan
Indonesia di luar negeri.
Paspor merupakan dokumen negara yang
rentan disalahgunakan karena ada potensi
pemohon memberikan keterangan tidak benar
dalam proses penerbitannya18. Oleh karena itu
dalam pengurusannya, ada ketentuan-
ketentuan yang harus dipenuhi. Mekanisme
penerbitan paspor biasa di antaranya meliputi
pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan
persyaratan; pembayaran biaya Paspor;
pengambilan foto dan sidik jari; wawancara;
verifikasi; dan adjudikasi. Apabila pemegang
paspor dinyatakan sebagai tersangka atas suatu
perbuatan pidana, kemudian terancam
hukuman penjara sekurang-kurangnya lima
tahun, penarikan paspor biasa dapat dilakukan.
Penarikan paspor juga dapat dilakukan
terhadap WNI di luar Indonesia, yang masuk
17 Adiyarta et al., “User Acceptance of E-Government
Services Based on TRAM Model.” 18 Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang
keimigrasian, pasal 126.
ke dalam daftar red notice dari interpol.
Pembatalan paspor yang telah diterbitkan
juga dapat dibatalkan apabila paspor tersebut
diperoleh secara tidak sah; pemegangnya
memberikan keterangan palsu atau tidak benar
dalam proses penerbitannya; pemegangnya
meninggal dunia pada saat proses penerbitan;
paspor tidak diambil dalam jangka waktu satu
bulan sejak tanggal diterbitkan.
Pada tahun 2011, Direktorat Jenderal
Imigrasi meluncurkan aplikasi pra permohonan
paspor online berbasis web. Melalui aplikasi
ini, pemohon harus mengisi formulir
permohonan paspor secara elektronik,
mengunggah secara elektronik data serta
identitas yang dibutuhkan, kemudian
melakukan pembayaran, sebelum datang ke
Kantor Imigrasi untuk melakukan pengambilan
foto biometrik, sidik jari serta melakukan
wawancara dengan petugas. Empat hari kerja
kemudian, paspor dapat diambil di Kantor
Imigrasi.
Pada versi ini, aplikasi terintegrasi ke
dalam Sistem Penerbitan Paspor, sehingga
petugas imigrasi hanya tinggal mengunduh
data yang telah diinput, kemudian
diubahsuaikan apabila terdapat kesalahan.
Seiring berjalannya waktu, dilakukan
pembaharuan regulasi terkait Paspor melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2014.
Dalam peraturan ini, aplikasi pra permohonan
paspor online disebutkan sebagai salah satu
metode permohonan paspor. Pemohon masih
dapat memilih untuk mengajukan permohonan
melalui online lebih dahulu, atau langsung
datang ke Kantor Imigrasi.
Di tahun 2017, aplikasi tersebut diperharui
menjadi Aplikasi Pendaftaran Antrean Paspor
Online (APAPO). APAPO tersedia dalam
format web, serta versi smartphone yang dapat
diunduh pada playstore dan appstore. APAPO
menyediakan informasi seputar permohonan
paspor, serta pengambilan antrean secara
online.
Sebelum mengakses aplikasi, ada
notifikasi pop-up bagi para pengguna, dengan
informasi sebagai berikut19:
19 Berdasarkan hasil penelusuran akses aplikasi pada
tanggal 22 Maret 2020
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
17
1. Pengguna diminta untuk mempersiapkan
dokumen seperti KTP, KK, akte lahir/ akte
nikah/ ijazah/ surat baptis dengan identitas
yang harus identik pada setiap dokumen,
karena data yang didaftarkan harus benar.
Nomor telepon yang sama tidak boleh
digunakan oleh lebih dari satu pengguna;
2. Satu akun dapat digunakan untuk
mendaftarkan lima anggota keluarga yang
berada dalam satu kartu Keluarga. Data
Pemohon Pertama Harus Sesuai Dengan
Data Pembuat Akun
a. APAPO hanya dapat digunakan untuk
pendaftaran paspor baru dan
penggantian. Pengguna yang hendak
mengurus paspor hilang diarahkan
untuk langsung datang ke kantor
imigrasi dengan membawa surat
kehilangan dari kepolisian dan
dokumen yang dibutuhkan;
b. Pengguna yang melakukan
pembatalan permohonan atau tidak
hadir pada tanggal yang telah
dipilihnya, baru akan dapat
melakukan pendaftaran kembali
dengan akun yang sama 30 hari
kemudian.
Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan
upaya meminimalisir penyalahgunaan aplikasi
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab.
Berikut adalah alur penggunaan APAPO
yang disarikan pada saat mengakses.
20 Kavanaugh et al., “(Hyper) Local News Aggregation:
Designing for Social Affordances.” 21 Ibid 22 H. Rex Hartson, “Cognitive, Physical, Sensory, and
Keterjangkauan Sosial
Sebuah gagang cangkir memungkinkan
seseorang untuk mengangkat cangkir dengan
lebih mudah. Dalam konteks komputer, papan
ketik dan tetikus memiliki kegunaannya sendiri
yang memungkinkan untuk menunjuk atau
mengetik. Hal ini merupakan konsep
keterjangkauan yang disebutkan oleh Gibson
dalam Kavanaugh dkk20. Norman pun
menyebutkan bahwa tanpa anggapan yang
sama dari pengguna akan keterjangkauan
tersebut, sebuah keterjangkauan yang
diimplementasikan dalam sebuah rancangan
tidaklah cukup21.
Dalam interaksi manusia dan komputer,
keterjangkauan dikelompokkan ke dalam
subkategori yang lebih kecil, seperti kognisi,
sesuatu yang bersifat fisik dan fungsional22
Kavanaugh memperluas pengelompokkan oleh
Hartson ke dalam realitas sosial, menjadi
konsep keterjangkauan sosial. Keterjangkauan
sosial (social affordances) adalah kualitas
suatu artefak dalam ruang fisik dan virtual
yang memfasilitasi interaksi di antara
pengguna23. Dalam hal ini, APAPO dilihat
Functional Affordances in Interaction Design,” Behaviour and
Information Technology 22, no. 5 (2003): 315–338.
23 Sameer Ahuja, “A Tale of Two Sites: An
Baru
Login dengan gmail/facebook Login dengan
username
Isi identitas
Pilih Ketik kode
capcha
Pilih Tanggal
Konfirmasi nama
Terima Bukti Antrean berupa QRCode
Selesai
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
18
sebagai artefak yang memfasilitasi
keterjangkauan dalam interaksi sosial
masyarakat.
Keterjangkauan social dapat berbentuk
tagging, pemeringkatan dan berbagi.
Keterjangkauan dalam sebuah website
berfokus pada beberapa fitur berikut:24
Penandaan (tagging): sistem penandaan
berbasis web yang memungkinkan pengguna
membubuhi keterangan sumber daya tertentu,
seperti halaman web, memposting blog,
gambar, atau objek apa pun dengan
serangkaian kata kunci yang dipilih secara
bebas. Tag biasanya memfasilitasi pencarian
dan berbagi konten.
1. Arus aktivitas (streaming activities): fitur
ini memungkinkan sesama pengguna
mengomentari pengguna lain pada
beberapa bagian situs; fitur ini bermanfaat
dalam menemukan konten.
2. Profil Pengguna: informasi identitas yang
diungkapkan sendiri oleh pengguna
individu.
3. Komentar: media percakapan utama di
situs jejaring sosial yang sering
menunjukkan hubungan sosial; juga hadir
di beberapa situs publik, seperti media
berita (misalnya New York Times) dan
halaman organisasi Facebook.
4. Sistem Pemeringkatan dan Pungut Suara
(Ranking and Voting): fitur yang
menunjukkan reputasi sistem yang
merupakan hasil ulasan dari pengguna.
Selain itu, fitur ini juga memungkinkan
pengguna untuk mengetahui pendapat,
pemikiran, dan umpan balik pengguna
lain serta membantu dalam keterlibatan
pengguna dan membangun koneksi sosial.
Technology Acceptance Model
Davis dkk menyebutkan dua faktor penting
yang menjadi penentu penerimaan atau
Explorative Study of the Design and Evaluation of Social
Network Sites,” no. October (2009): 130,
http://scholar.lib.vt.edu/theses/available/etd- 24 Sameer Ahuja, “A Tale of Two Sites: An
Explorative Study of the Design and Evaluation of Social
Network Sites,” no. October (2009): 130,
http://scholar.lib.vt.edu/theses/available/etd- 25 Fred D. Davis, “Perceived Usefulness, Perceived
Ease of Use, and User Acceptance of Information
Technology,” MIS Quarterly 13, no. 3 (September 1989):
319,
penolakan seseorang terhadap penggunaan
teknologi informasi25. Faktor yang pertama
adalah anggapan seseorang bahwa teknologi
tersebut dapat membantu mencapai tujuan
mereka dengan lebih efisien. Davis
menyebutnya sebagai perceived usefulness
(PU) atau persepsi akan kegunaan. Faktor yang
kedua adalah anggapan akan kemudahan
penggunaan teknologi tersebut. Meskipun
pengguna yang potensial mempercayai bahwa
teknologi yang diberikan memiliki kegunaan,
jika sebuah teknologi tidak mudah untuk
digunakan, kegunaan teknologi tersebut akan
akan kurang terlihat. Davis et. Al menyebutnya
sebagai perceived ease of use (PEoU).
Kegunaan yang dirasakan di sini didefinisikan
sebagai "sejauh mana seseorang percaya
bahwa menggunakan sistem tertentu akan
meningkatkan kinerja pekerjaannya." Suatu
sistem dengan persepsi kegunaan yang tinggi,
pada gilirannya, adalah salah satu yang
dipercayai oleh pengguna tentang adanya
hubungan penggunaan-kinerja yang positif. Di
sisi lain, persepsi kemudahan dalam
penggunaan, mengacu pada "sejauh mana
seseorang mempercayai bahwa penggunaan
sistem tertentu membutuhkan lebih sedikit
usaha."26. Konsep ini menjadi alat prediksi
yang cukup penting dari maksud awal dari
penggunaan sebuah sistem informasi27.
Dalam menjelaskan sikap pengguna
terhadap sistem teknologi informasi baru,
Technology Acceptance Model (TAM) adalah
yang dianggap paling tepat28. Behavioral
intension to use suatu teknologi ditentukan
oleh dua hal, yaitu: perceived usefulness yang
didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang
yakin bahwa penggunaan sebuah teknologi
akan memudahkan tujuannya. Yang kedua
adalah perceived ease of use yang didefinisikan
sebagai sejauh mana seseorang meyakini akan
kemudahan penggunaan teknologi tersebut.
https://www.jstor.org/stable/249008?origin=crossref.
26 ibid 27 Anol Bhattacherjee, “Understanding Information
Systems Continuance: An Expectation-Confirmation Model,”
MIS Quarter 27, no. 1 (2003): 51–90. 28 Viswanath Venkatesh and Fred D. Davis,
“Theoretical Extension of the Technology Acceptance
Model: Four Longitudinal Field Studies,” Management
Science 46, no. 2 (2000): 186–204.
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
19
Dalam TAM, variabel-variabel eksternal
seperti karakteristik sistem, proses
pengembangan dan pelatihan berpengaruh
terhadap keinginan menggunakan (intension of
use), yang dimediasi oleh PU dan PEoU.
Disebutkan pula bahwa PU dipengaruhi oleh
PEoU.
Metodologi
Penelitian ini merupakan conceptual paper
dengan pendekatan kualitatif
menggunakan metode tinjauan pustaka.
APAPO digunakan sebagai unit analisis
dengan data pengaduan masyarakat DJI
sebagai sampel purposive untuk
merepresentasikan interaksi yang kurang
harmonis dari keseluruhan populasi.
Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu, misalnya orang
tersebut dianggap paling tahu tentang apa
yang kita harapkan. Pengkajian dilakukan
dengan melihat data pengaduan
masyarakat DJI sebagai hasil interaksi
antara pengguna dengan APAPO. Data
kemudian diklasifikasikan berdasarkan
dimensi PU dan PEOU dari TAM,
kemudian dilakukan analisis.
PEMBAHASAN
Untuk mengakses APAPO melalui web
browser, pengguna harus mengetik alamat
antrian.imigrasi.go.id pada url bar,
kemudian halaman muka APAPO akan
muncul. Bagi pengguna yang memilih
mengakses aplikasi lewat ponsel pintarnya
dapat mengunduh aplikasi pada platform
Google Play, Appstore atau dapat juga
mengakses melalui web browser pada
ponsel masing-masing.
Gambar 1
Tampilan muka APAPO versi web (kiri), dan
versi smartphone (kanan)
Pada tahap ini, terdapat beberapa
perbedaan dari segi tampilan muka. Aplikasi
web-based berwarna hijau kebiruan sedangkan
versi smartphone berwarna merah. Fitur sign-
in/log-in melalui facebook hanya terakomodir
dalam versi smartphone dan tidak dicantumkan
pada aplikasi web. Sebaliknya, fitur verifikasi
kode capcha hadir dalam aplikasi web dan tidak
muncul dalam versi smartphone.
Tidak ada pilihan untuk membuat akun
(sign up) bagi pengguna baru. Pengguna harus
memiliki akun gmail untuk dapat masuk ke
dalam aplikasi. Bagi pengguna yang sudah
pernah masuk dan membuat akun pun, tidak
dapat masuk hanya dengan menginput
username dan password, karena akan harus
mengisi kode capcha yang tidak terlihat dan
tidak dapat didengarkan. Pengguna
mengeluhkan kendala pada tahap awal
mengakses aplikasi dengan keluhan laiinya
berupa username yang tidak terdaftar, tidak
menerima email ketika meng-klik lupa
password; gagal Log-in melalui Google
maupun facebook; serta Unexpected errror.
Gambar 2. Form identitas diri
Setelah berhasil masuk ke dalam
aplikasi, pengguna akan diminta mengisi
identitas diri seperti di atas. Pada tahap ini,
kendala yang tercatat adalah notifikasi
bahwa NIK pengguna tidak sesuai;
notifikasi bahwa NIK sudah terdaftar serta
tidak ada fitur perubahan data pada
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
20
identitas yang salah input.
Gambar 3.
Laman pencarian kantor imigrasi
APAPO
Tahap selanjutnya adalah pemilihan
kantor imigrasi. Pada aplikasi berbasis
web, pengguna dapat memilih kantor
imigrasi mana saja, namun pada versi
smartphone, pengguna harus memilih
kantor imigrasi berdasarkan lokasinya
pada saat mengakses aplikasi. Walaupun
versi smartphone cukup praktis karena
memberikan rekomendasi kantor imigrasi
berdasarkan lokasi pengguna, namun dapat
dilakukan di kantor imigrasi mana saja di
seluruh Indonesia.
Gambar 4.
Tampilan pemilihan tanggal pada APAPO
Setelah memilih Kantor Imigrasi tujuan,
pengguna dapat melihat tanggal yang tersedia
untuk datang ke kantor imigrasi. Warna hijau
pada Gambar 4 menunjukkan kuota tersedia
pada hari itu, warna kuning menunjukkan
kuota belum dibuka, warna abu-abu
menunjukkan hari libur, sedangkan warna
merah menunjukkan kuota yang habis
sehingga tidak dapat dipilih.
Gambar 5 Tampilan kuota pada
APAPO
Warna abu-abu menunjukkan kuota yang
telah terpakai, sedangkan warna kuning
menunjukkan sisa kuota pemohon untuk
tanggal tersebut. Pengguna juga dapat
memilih sesi pagi atau siang untuk datang ke
Kantor Imigrasi. Pada tahap ini, kendala yang
teridentifikasi adalah tanggal berkode hijau
yang tidak dapat dipilih, serta pengguna yang
tidak mendapatkan kuota saat jadwal antrean
dibuka.
Gambar 6. Tampilan Biodata Pemohon
Pengguna kemudian memastikan
identitas yang tertera sebagai pemohon
sudah benar, apabila terdapat kesalahan
ketik, pengguna dapat melakukan
perbaikan pada fitur ubah data pada
sebelah kiri bawah laman. Pada tahap ini,
kendala yang teridentifikasi adalah
walaupun sudah mengakses fitur ubah data,
pengguna tidak dapat memperbaharui data
yang telah dia input.
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
21
Gambar 7. Tampilan APAPO Setelah
Pemilihan Tanggal
Beberapa pengguna mendapati
kendala pada tahap ini, misalnya tidak
berhasil men- submit tanggal wawancara.
Setelah pengguna memilih tanggal dan
sesi kedatangan, pengguna akan menerima
bukti antrean berupa kode booking berbentuk
QR Code, serta identitas pemohon antrean
paspor. Pengguna dapat menyimpan bukti
antrean ini dalam bentuk tangkapan layar
(screenshot), atau menyimpan dalam bentuk
PDF-nya. QR Code yang berfungsi sebagai
bukti pengambilan antrean tidak muncul. Pada
tahap akhir ini, kendala yang kerap muncul
adalah QR Code tidak muncul; sesi yang
dipilih, tidak sesuai dengan sesi yang muncul
29 Data Pengaduan Masyarakat DJI Januari s.d.
pada barcode; serta jenis permohonan yang
dipilih di awal proses tidak sama dengan yang
tertera pada bukti antrean.
Kemampuan APAPO dalam memfasilitasi
keterjangkauan sosial dievaluasi dari fitur-
fitur yang menyusunnya. Di antaranya adalah
penandaan (tagging), Arus aktivitas (streaming
activities), profil pengguna, komentar
pengguna, serta sistem Pemeringkatan dan
Pungut Suara (Ranking and Voting). Dari
kelima fitur tersebut, yang terakomodir dalam
APAPO adalah Fitur geo-tagging dan fitur
profil pengguna. Fitur geo-tagging ini hadir
dalam versi smartphone, baik yang
berbasis IOS maupun android, namun fitur
ini tidak ditemukan pada APAPO berbasis
web. Lokasi pengguna akan terdeteksi dan
memungkinkan aplikasi merekomendasikan
Kantor Imigrasi yang terdekat.
Sebaliknya, fitur profil pengguna
terakomodir dalam kedua jenis aplikasi. Setiap
pengguna harus mengisikan identitas diri
sesuai dengan yang tercantum pada KTP
elektroniknya. Apabila pengguna mengisikan
data pengguna, terutama NIK secara
sembarang, dan nomor ponsel yang sama
didaftarkan berulang kali, sistem akan otomatis
mengenali dan tahap selanjutnya dari
pengambilan nomor antrean tidak
dimungkinkan. APAPO hanya memiliki dua
dari lima fitur yang memungkinkan sebuah
teknologi memiliki keterjangkauan sosial,
sehingga dapat dikatakan tidakmemiliki
keterjangkauan social yang tinggi. Selanjutnya,
untuk melihat APAPO dari sisi PU dan PEOU,
akan dianalisis melalui data- data pengaduan
masyarakat dari arsip Humas DJI. Pada Januari
s.d. September 2019, tercatat 5.524 pengaduan
mengenai APAPO yang meliputi 56,17% dari
total pengaduan yang masuk ke kanal
pengaduan DJI29.
Tabel 1.
September 2019
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
22
Diolah kembali dari Laporan Pengaduan
Masyarakat Ditjen Imigrasi
Bulan Januari s.d. September Tahun
2019
Tabel 2.
Diolah kembali dari Laporan Pengaduan
Masyarakat Ditjen Imigrasi
Bulan Januari s.d. September Tahun
2019
Kendala dalam APAPO dirinci kembali ke
dalam topik-topik yang spesifik dan
diklasifikasikan berdasarkan konsep PU
dan PEOU yang mereka representasikan.
Tabel 3. Klasifikasi Temuan
Davis dkk menurunkan konstruk PU dan
PEU masing-masing ke dalam tiga deskripsi
yang merepresentasikan penggambaran akan
konstruk tersebut, yang kemudian peneliti
sadur menjadi pernyataan yang berhubungan
30 Davis, “Perceived Usefulness, Perceived Ease of
Use, and User Acceptance of Information
dengan penelitian30. Deskripsi konstruk
tersebut kemudian disandingkan dengan
temuan- temuan yang didapat berdasarkan data
pengaduan masyarakat DJI, sebagaimana tabel
di atas dengan penjelasan sebagai berikut:
Perceived Ease of Use
Deskripsi:
1. Penggunaan APAPO tidak
memerlukan usaha berlebih
Temuan:
a. Notifikasi bahwa NIK pengguna
tidak sesuai: 13,07%
722 orang mengeluhkan akan adanya
notifikasi NIK yang tidak sesuai saat
mereka menginput identitas diri. DJI
menggunakan format NIK dari
Direktorat Jenderal Kependudukan
dan Catatan Sipil Kementerian Dalam
Negeri untuk mencegah NIK diinput
secara sembarang pada aplikasi,
namun pada prakteknya tidak semua
NIK yang diterbitkan mengikuti
format tersebut, sehingga tidak
sedikit pengguna yang terjebak dan
tidak bisa melanjutkan ke tahap
berikutnya.
b. Notifikasi bahwa NIK sudah terdaftar
569 orang atau 10,3% mendapati
bahwa NIK mereka sudah terdaftar,
padahal mereka mengaku belum
pernah mendaftar dengan
menggunakan NIK tersebut.
Pengguna tidak mendapatkan solusi
serta penjelasan yang memadai
mengenai keluhan ini, yang
mengakibatkan mereka tidak bisa
melanjutkan ke tahap berikutnya.
2. APAPO Mudah digunakan
Temuan:
a. Username Tidak Terdaftar
7,89% keluhan yang masuk adalah
mengenai username yang tidak
terdaftar. Pengguna yang sudah
pernah membuat akun, mencoba untuk
log-in kembali melalui input username
Technology.”
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
23
dan password. Di tahap ini, pengguna
yang tidak yakin akan ingatan mereka
mengenai username, akan mencoba
tautan untuk mereset password,
berharap dikirimkan tautan untuk
mereset username dan password,
namun tidak berhasil. Pengguna yang
yakin akan username mereka,
membuat pernyataan keluhan ke kanal
pengaduan DJI. Opsi lain untuk login
yang sebenarnya tersedia adalah log-in
melalui akun facebook atau google,
namun tetap masih ada kemungkinan
gagal log-in.
b. Kode Capcha Salah
8,49% keluhan yang masuk adalah
terkait kode capcha yang disebutkan
selalu salah, padahal mereka sudah
menggunakan capcha suara untuk
memastikan kode yang diinput adalah
benar. Keluhan ini hanya berasal dari
pengguna aplikasi berbasis web,
karena permintaan verifikasi melalui
kode capcha tidak terdapat pada
APAPO versi SA.
3. APAPO Mudah diakses, kapanpun dan
di mana pun
Temuan:
a. Unexpected error 9,18%
507 pengguna mendapati error
pada saat akan masuk ke dalam
sebelumnya. Meskipun tidak
berdampak besar, namun ini
menimbulkan pertanyaan bagi
pengguna apakah mereka harus
mengulang mengambil nomor antrean,
ataukah tidak.
b. Gagal log-in melalui facebook atau
google. Fitur sign-in melalui facebook
pada aplikasi web sudah ditiadakan,
sedangkan pada aplikasi SA masih
diakomodir. Permasalahan ini terkait
koneksi jaringan dan dapat kembali
berfungsi normal apabila dicoba pada
lain waktu.
Perceived Usefulness
Dekskripsi
1. APAPO Berguna Temuan :
a. Kesulitan mereset
password/username
9,96% keluhan yang masuk
mengutarakan kesulitannya dalam
mengatur ulang password pergantian
password/username tidak pernah
mereka terima.
b. Inkonsistensi jenis permohonan
3,73%
Tedapat dua jenis permohonan paspor,
yaitu permohonan paspor baru bagi
yang belum pernah memiliki paspor,
dan permohonan penggantian bagi
yang sduah pernah memiliki paspor
namunharus melakukan penggantian,
dengan berbagai alasan. Dalam
kendala ini, pengguna yang memilih
jenis permohonan penggantian,
mendapatkan bukti pendaftaran
dengan jenis permohonan paspor baru,
tidak sesuai dengan yang mereka pilih
sebelumnya. Meskipun tidak
berdampak besar, namun ini
menimbulkan pertanyaan bagi
pengguna apakah mereka harus
mengulang mengambil nomor antrean,
ataukah tidak.
c. Kantor Imigrasi yang dituju tidak ada
dalam sistem : 2,81 %
APAPO versi SA menggunakan fitur
geo-tagging, sehingga pengguna
mendapatkan rekomendasi kantor
imigrasi terdekat berdasarkan
lokasinya saat itu. Namun fitur ini
membuat pengguna tidak dapat
memilih kantor imigrasi di luar
wilayah dia berada saat itu., hal inilah
yang menjadi kendala dan dilaporkan
melalui kanal Pengaduan DJI.
d. Tidak mengakomodir perubahan data
pada identitas yang salah input :
1,19%
66 orang pengguna melaporkan bahwa
mereka tidak bisa mengubah data
ketika sala input, walaupun sudah
menggunakan fitur “ubah data”.
e. Sesi yang dipilih, tidak sesuai dengan
sesi yang muncul pada barcode
:1,05%
Setelah memilih tanggal, pengguna
dapat memilih sesi pagi atau siang
untuk datang ke kantor imigrasi. Pada
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
24
tahap ini, kendala yang muncul adalah
sesi yang dipilih tidak sesuai dengan
sesi yang muncul pada bukti antrean.
Kendala ini dialami oleh 58 pengguna
APAPO.
2. APAPO Membuat Proses Mengantre
Lebih Cepat
Temuan :
a. Kuota selalu penuh/tidak tersedia.
943 orang atau sekitar 17,8 %
mengeluhkan kuota yang selalu
penuh/tidak tersedia. Topik ini
merupakan yang terbanyak di antara
keluhan yang lain mengenali APAPO.
Idealnya dengan APAPO,
pembenahan antrean akan lebih
mudah, namun yang terjadi tidak
sedikit pengguna mendapati kuota
yang selalu jenuh.
b. QR Code yang berfungsi sebagai bukti
pengambilan anterean tidak muncul :
3,58% Pengguna yang berhasil
menyelesaikan proses pengambilan
anterean, akan menerima QR Code.
Namun hal ini tidak berlaku bagi 198
orang pengguna yang menyampaikan
keluhannya. Mereka tidak menerima
QR Code.
3. APAPO Menghemat Waktu Pengguna
Temuan :
a. Tidak bisa submit tanggal yang dipilih
0,6%
33 orang mengeluhkan kegagalan
mereka dalam mensubmit tanggal
wawancara.
b. Tanggal berkode hijau tidak dapat
dipilih 4,85%
Terdapat tiga kode tanggal pada
APAPO. Kode merah, berarti kuota
penuh, pengguna dirarankan
menunggu pembukaan antrean
berikutnya, atau mencoba memilih
antrean di kantor imigrasi lain . kode
kuning berarti kuota belum dibuka,
sedangkan kode abu-abu berarti hari
libur. Kendala muncul ketika tanggal
berkode hijau tidak dapat dipilih.
Dalam beberapa keluhan pengguna,
hal ini dirasa membingungkan apalagi
ketika mencoba di waktu yang lain,
tidak ada lagi kuota yang tersedia.
Behavioral intension to use suatu teknologi
ditentukan oleh dua hal, yaitu: perceived
usefulness yang difinisikan sebagai sejauh
mana seseorang yakin bahwa
PENUTUP
Kesimpulan:
PU dan PEOU dari APAPO tidak dapat
dikatakan baik, serta tidak memiliki pengaruh
terhadap intensions to use APAPO. Selain itu,
APAPO juga bukan merupakan teknologi yang
memfasilitasi keterjangkauan sosial di antara
penggunanya.
Penelitian ini akan lebih komprehensif bila
mengombinasikan metode survei kepada
masyarakat serta wawancara kepada pihak DJI
disertai dengan data penetrasi APAPO serta
data penerbitan paspor pada setiap Kantor
Imigrasi sebagai data pendukung sejak
APAPO diluncurkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Shanab, Emad. “Antecedents of Trust in
E-Government Services: An Empirical
Test in Jordan.” Transforming
Government: People, Process and Policy
8, no. 4 (2014):
480–499.
Adiyarta, K., D. Napitupulu, H. Nurdianto, R.
Rahim, and A. Ahmar. “User Acceptance
of E-Government Services Based on
TRAM Model.” IOP Conference Series:
Materials Science and Engineering 352,
no. 1 (2018).
Ahuja, Sameer. “A Tale of Two Sites: An
Explorative Study of the Design and
Evaluation of Social Network Sites,” no.
October (2009): 130.
http://scholar.lib.vt.edu/theses/available
/etd-07292009
181101/unrestricted/sameer_ahuja_the
sis.pdf.
Al-Saghier, Hisham, Marilyn Ford, Anne
Nguyen, and Rene Hexel.
“Conceptualising Citizen’s Trust in e-
Government: Application of Q
Methodology.” Electronic Journal of e-
Government 7, no. 4 (2009): 295–310.
Ali-Hasan, Noor F., and Lada A. Adamic.
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
25
“Expressing Social Relationships on the
Blog through Links and Comments.”
ICWSM 2007 - International Conference
on Weblogs and Social Media (2007).
Almarabeh, Tamara, and Amer AbuAli. “A
General Framework for E-Government:
Definition Maturity Challenges,
Opportunities, and Success.” European
Journal of Scientific Research 39, no. 1
(2010): 29–42.
Beaudry, Anne, and Alain Pinsonneault.
“Understanding User Responses to
Information Technology: A Coping
Model of USer Adaptation.” MIS Quarter
27, no. 1 (2003): 51–90.
https://www.jstor.org/stable/25148693.
Ben, Hanrahan, Sameer Ahuja, Manuel A.
Pérez-Quiñones, and Andrea L.
Kavanaugh. “Evaluating Software for
Communities Using Social Affordances.”
Conference on Human Factors in
Computing Systems - Proceedings (2011):
1621–1626.
Bhattacherjee, Anol. “Understanding
Information Systems Continuance: An
Expectation-Confirmation Model.” MIS
Quarter 27, no. 1 (2003): 51–90.
Davis, Fred D. “Perceived Usefulness,
Perceived Ease of Use, and User
Acceptance of Information Technology.”
MIS Quarterly 13, no. 3
(September 1989): 319.
https://www.jstor.org/stable/249008?ori
gin=crossref.
Hartson, H. Rex. “Cognitive, Physical,
Sensory, and Functional Affordances in
Interaction Design.” Behaviour and
Information Technology 22, no. 5
(2003): 315–338.
Heeks, Richard. “ICT4D 2.0: The next Phase
of Applying ICT for International
Development.” Computer 41, no. 6
(2008): 26–31.
Howarth, Jonathan, Pardha S. Pyla, Beth Yost,
Yonca Haciahmetoglu, Deb Young,
Robert Ball, Stelios Lambros, and Peggy
Layne. “Summary for Policymakers.” In
Climate Change 2013 - The Physical
Science Basis, edited by
Intergovernmental Panel on Climate
Change, 53:1–30. Cambridge: Cambridge
University Press, 2013.
https://www.cambridge.org/core/produc
t/identifier/CBO9781107415324A009/ty
pe/book_part.
Kavanaugh, Andrea, Ankit Ahuja, Samah
Gad, Sloane Neidig, Manuel A. Pérez-
Quiñones, Naren Ramakrishnan, and John
Tedesco. “(Hyper) Local News
Aggregation: Designing for Social
Affordances.” Government Information
Quarterly 31, no. 1 (2014): 30–41.
http://dx.doi.org/10.1016/j.giq.2013.04.
004.
McLuhan, Marshall. Understanding Media:
The Extensions of Man. California:
Gingko Press, 2013.
www.gingkopress.com.
Munyoka, W, and F M Manzira. “Alignment
of E-Government Policy Formulation
with Practical Implementation : The Case
of Sub-Saharan Africa.” International
Journal of Social, Human Science and
Engineering 7, no. 12
(2013): 43–48.
Nulhusna, Rizqa, Puspa Indahati
Sandhyaduhita, Achmad Nizar
Hidayanto, and Kongkiti Phusavat. “The
Relation of E-Government Quality on
Public Trust and Its Impact on Public
Participation.” Transforming
Government: People, Process and Policy
11, no. 3 (2017): 393–418.
Pipek, Volkmar, and Volker Wulf.
“Infrastructuring: Toward an Integrated
Perspective on the Design and Use of
Information Technology.” Journal of the
Association for Information Systems 10,
no. 5 (2009): 447–473.
Sayekti, Fran, and Pulasna Putarta.
“Penerapan Technology Acceptance
Model (TAM) Dalam Pengujian Model
Penerimaan Sistem Informasi Keuangan
Daerah.” Jurnal Manajemen Teori dan
Terapan 9, no. 3 (2016):
196–209.
Syahrin, M Alvi. “Audit Hukum Regulasi
Aplikasi Pendaftaran Antrian
Permohonan Paspor Secara Online (
Apapo ) Dalam Pelayanan Paspor Ri
Berbasis E-Government : Studi Dogmatik
Keimigrasian Dengan Pendekatan Critical
Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Vol. 3 No. 1 Tahun 2020
ISSN: 2622-4828
26
Legal Studies” 6, no. Imi (2019): 23–56.
Venkatesh, Viswanath, and Fred D. Davis.
“Theoretical Extension of the Technology
Acceptance Model: Four Longitudinal
Field Studies.” Management Science 46,
no. 2 (2000):
186–204.
Wellman, Barry, Anabel Quan-Haase, Jeffrey
Boase, Wenhong Chen, Keith Hampton,
Isabel Díaz, and Kakuko Miyata. “The
Social Affordances of the Internet for
Networked Individualism.” Journal of
Computer-Mediated Communication 8,
no. 3 (2006): 0–0.
Recommended