View
34
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
IKHTIAR DALAM PEMIKIRAN KALAM HAMKA:
Analisa Ikhtiar sebagai Prinsip Pembangunan Harkat Hidup Manusia
Tesis
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar
Magister
dalam keilmuan Filsafat Agama di Fakultas Ushuluddin
Oleh:
Khumaidi
NIM: 2113033100002
Konsentrasi Kalam, Jurusan Filsafat Agama
Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2017
ABSTRAK
Pemikiran kalam di nusantara nota bene berprinsip pada faham
Asy’ariyah. Di faham Asy’ariyah, persoalan kebebasan manusia dalam
berkehendak (free will), yang berhubungan dengan ikhtiar, dan kehendak mutlak
Tuhan (predestination), yang disebut juga dengan takdir, seakan memiliki
dimensi wewenang yang tidak selaras. Dimana ikhtiar tidak memiliki potensi
yang siginifikan karena semua kehendak Tuhan. Ikhtiar manusia seolah memiliki
potensi abu-abu. Hamka datang dengan paradigma pemikiran kalam yang agak
berbeda, yakni membawa perbedaan pemikiran yang moderat. Sebagai ulama
nusantara, Hamka menyuguhkan pandangan tentang ikhtiar yang memiliki
potensi dapat merubah kehidupan manusia menjadi berharkat, baik di dunia
maupun di akhirat, dengan tetap berpegang pada kekuatan takdir.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Hamka tentang
ikhtiar secara jelas. Diharapkan dengan terungkapnya pemikiran tentang ikhtiar
Hamka itu dapat memunculkan karya ulama nusantara yang dapat dikonsumsi
oleh masyarakat dan bisa sebagai kontribusi ilmiah dalam khazanah keilmuan
Islam. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan kajian pustaka
dengan pendekatan hermeneutik sebagai usaha interprestasi pokok pikiran atau
ide tokoh, tanpa mengurangi keotentikan makna teks. Sebagai proses telaah
digunakan pendekatan idealisasi untuk memadukan teks dengan realitas.
Tesis ini menyimpulkan bahwa ikhtiar menurut Hamka adalah berusaha
dan bekerja mencapai kemanusiaan dengan sepenuh daya upaya yang dilakukan
sesuai tuntunan syariat dengan niat dan dilakukan dengan ikhlas. Namun ruang
gerak ikhtiar manusia terbatasi oleh aturan hukum Tuhan yaitu takdir. Tetapi,
Ikhtiar dan takdir itu seiring-sejalan. Seberapa besar ikhtiar manusia, disitu akan
mendapatkan takdir sesuai yang diusahakan. Dengan demikian, ikhtiar dalam
pemikiran kalam Hamka dapat menjadi prinsip pembangunan hidup manusia
yang berharkat, baik manusia sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk individu,
maupun sebagai makhluk sosial.
Kata kunci: Ikhtiar, takdir, harkat.
ABSTRACT
Thought of Islamic theology (kalam) in archipelago is postscript
principled on Asy'ariyah schools. In Asy'ariyah schools, the issue of human
freedom in wills (free will), which is associated with the initiative, and the power
and the absolute will of God (predestination), also called fate, given the
dimensions of authority that is not aligned. Where is free will have not a
significant potential for all up to fate or God's will. Human endeavor has the
potential of gray only. Hamka comes with a pen thinking paradigm somewhat
different, ie a difference of thought that moderates. As scholars archipelago,
Hamka inside view of endeavor that has the potential to transform human life
into quality, both globally and in the hereafter, by sticking to the power of fate
(God's will).
This study aims to determine Hamka thinking more clearly about the
endevador. Expected with the unfolding endeavors Hamka thinking about it can
bring the work of scholars archipelago which can be consumed by the public and
can be as scientific contributions in the treasures of Islamic scholarship. In
conducting this study the author uses literature review with a hermeneutic
approach as fundamental interpretation of business leaders thought or idea to
carry out the internal meaning of the text, without compromising the
authenticity of the text's meaning. As the review process used idealization
approach to combine text with reality.
This thesis concludes that the endeavor according to Hamka is to try
and work to achieve humanity with all the efforts that are done according to
Shariat guidance with the intention and done with sincerity. But the space of
human endeavor is limited by the rule of God called fate. But, the endeavor and
destiny are in tandem. How big human endeavor, there will get his destiny. Thus,
the endeavor in Hamka's kalam thought can be the principle of development of
glorious human life (quality life), both human being as God's creatures,
individual beings, as well as social beings.
ملخص البحث
حرية بين . و في ىذا المذىب, بمذىب أشعريةبنوع التقليدية ر الكلام في نوسنتاراافكتنوعت أطلقة وتسميها بالقدر كأن لهما تحكم غير الله الم الإنسان في الإرادة التي تتعلق بالإختيار و إرادة
شيئ من لأن كل بيرةالإختيار لا يملك النفوذ الك وأما الأسباب من تلك المشكلة ىي أنمعتدل. نماذج النفوذ الصريح لكن المبهم. ثم جاء حمك بختيار الإنسان لا يملك إخلق الله وإرادتو. وأما
يقدمنتارا . حمك ىو من أحد علماء في نوسةتوسطأفكاره م غيره لأنعن المختلفةو ر كلامافكأتمسك و القيمة في الدنيا كان أم في الأخرة, ستكون لها أن يغير حياة الإنسان يمكن الإختيار الذي
. الله قدربقوة حمك أيضا اختيار الباحث بمعرفة أملوي .اصريحر حمك عن الإختيار افكأعلم تل ىيمن ىذا البحث أىداف وأما
با كون كتتالمجتمع و وسيعمل قرأسينوسنتارا التي في علماء الن يطلع كتب ختيار حمك يستطيع أإليفسر تلك ىذا البحث من البحث المكتبوي باستعمال الهيرمينوطيقا علميا في عالم الإسلام.
يستعمل الباحث كذلك . و فكار بالواقعالأويستعمل الباحث المعنى العامة لعملية تمجيد .لأفكاراأصول دين الإسلام لتحليلها. نهج
تحت خلاصة ىذا البحث ىو الاختيار عند حمك بمعن الجهد والعمل للحصول الى دراجة الانسانية كم لله وىو القدرة. لان القدرة رعاية شريعة الله اخلاص لله تعالى. والاختيار عند حمك محدود بح
والاختيار عنده متسويان. لذالك, قدرة الله على الناس بحسب اختياره. واخيرا, الاختيار عند كلام يستطيع ان يكون بناء على مجد الحياة البشرية, البشرية كمخلوقات الله او فردية او اجتماعية.حمك
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt atas limpahan segala
karunia, rahmat, dan nikmat-Nya, khususnya nikmat Islam, Iman, dan sehat lahir-
bathin, sehingga saya masih dapat berfikir sehat dan berbuat dengan baik serta
mampu menggerakkan jari-jemari untuk merangkai kata demi kata dalam
menyelesaikan tugas tesis ini. Shalawat dan salam saya haturkan kepada baginda
nabi besar Muhammad Rasulullah Saw, yang telah menyalakan cahaya
peradaban, sehingga kita semua dapat menikmati keterangbenderangan
peradaban hingga saat ini.
Rasa geram dan kalut menyelimuti selama satu setengah tahun berjalan.
Diri ini begitu bersalah karena tidak dapat mengelola waktu yang sangat
berharga untuk menyelesaikan studi. Antara keinginan cepat selesai dan
susahnya mengatur waktu untuk menyelesaikan studi kadang membuat galau dan
resah. Setelah sekian lama terseok-seok, akhirnya, berkat lambaian harapan dan
lecutan ‚cambuk‛ semangat dari ibu tercinta dan tersayang, saya mendedikasikan
untuk fokus memporsikan waktu dalam menyelesaikan tugas tesis ini dengan
waktu yang terukur. Alhamdulillah, dengan konsistensi waktu dan konsentrasi,
tesis ini dapat saya selesaikan sesuai target.
Terima kasih saya sampaikan kepada bapak Prof Dr. Masrie Mansoer,
MA yang telah bersedia membimbing saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Ibu Dr. Atiyatul Ulya, MA, selaku
ketua program magister Fakultas Ushuluddin, dan bapak Maulana, M.Ag, selaku
sekretaris program magister Fakultas Ushuluddin, atas waktu dan kesempatan
yang selalu mengingatkan agar segera menyelesaikan studi dan memberikan
motivasi dan solusi. Tak lupa terima kasih saya sampaikan pula kepada bapak
Prof. Dr. Masrie Mansoer, MA, selaku penguji proposal tesis yang telah
memberikan nilai spesial karena tanpa tatap muka, dan kepada bapak Dr. Media
Zainul Bahri, MA, juga selaku penguji proposal tesis yang memberikan
DAFTAR SINGKATAN
Cet = Cetakan
dkk. = Dan kawan-kawan
Ed. = Editor
H. = Tahun Hijriah
M. = Tahun Masehi
No. = Nomor
QS. = Qur‘a>n, Surat
Saw. = S{alla> Alla>h ‘alaihi> wa Sallam
Swt. = Subh}a>nahu wa Ta’a>la>
t.th = Tanpa tahun
t.tp = Tanpa tempat
tp. = Tanpa penerbit
terj. = Terjemahan
Vol. = Volume
W. = Wafat
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah
ALA-LC ROMANIZATION tables, yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
}D ض A ا
}T ط B ب
}Z ظ T ت
’ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ه، ة S س
W و Sy ش
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fath}ah} A A
Kasrah I I
D{ammah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Nama
... ي Fath}ah} dan Ya Ai A dan I
... و Fath}ah} dan
Waw Au A dan U
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan Nama
ـا <Fath}ah dan alif a ـ ـa dan garis di
atas
ـي <Kasrah dan ya i ـ ـi dan garis di
atas
ــو ـ ـD{ammah dan
waw u>
u dan garis di
atas
D. Kata Sandang (Alif+Lam)
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf (ال) dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rija>l bukan ar-rija>l, al-
diwa>n bukan ad-diwa>n.
E. Syaddah (Tasydi>d)
Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-daru>rah melainkan al-
daru>rah, demikian seterusnya.
F. Ta’ Marbu>t}ah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta’ marbu>t}ah (ة) terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta’ marbu>t}ah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta’ marbu>t}ah tersebut diikuti kata benda (isim), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
Tari>qah طريقة 1
الإسلاميةالجامعة 2 al-ja>mi’ah al-isla>miyyah
Wah}dat al-wuju>d وحدة الوجود 3
(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat, dan sebagainya,
kecuali dikehendaki lafaz aslinya)
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>
bukan Abu> H{a>mid Al-Ghaza>li>, al-Kindi> bukan Al-Kindi>).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf
cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul
buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dengan alih
aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ditulis ‘Abd al-S{amad al-Palimba>ni>,
Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>.
H. Cara Penulisan kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf
(h}arf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dhahaba al-usta>dhu ذهب الأستاذ
thabata al-ajru ثبت الأجر
al-h}arakah al’as}riyyah الحركة العصرية
ashhadu an la> ila> ha illa> Alla>h أشهد أن لا إله إلا الله
Maula>na> Malik al-S{a>lih} مولانا ملك الصالح
yu‘aththirukum Alla>h يؤثركم الله
al-maz}a>hir al-‘aqliyyah المظاهر العقليه
al-a>ya>t al-kauniyyah الآيات الكونية
Al-d}aru>rat tubi>h}u al-mah}z}u>ra>t الضرورة تبيح المحظورات
DAFTAR ISI
Halaman Judul ......................................................................................................
Persetujuan Pembimbing ......................................................................................
Surat Pernyataan Bebas Plagiasi ....................................................................... iii
Abstrak .............................................................................................................. iv
Kata Pengantar ................................................................................................. vii
Daftar Singkatan ............................................................................................. viii
Pedoman Translitrasi ......................................................................................... ix
Daftar Isi ........................................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Pembatasan Masalah ................................................................................. 11
C. Rumusan Masalah ..................................................................................... 11
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 12
E. Kajian Pustaka ........................................................................................... 12
F. Metode Penelitian ..................................................................................... 15
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 18
BAB II. KAJIAN TEORI: IKHTIAR DAN HARKAT HIDUP ..................... 20
A. Ikhtiar dalam Ilmu Kalam ......................................................................... 24
B. Hidup dan Tujuan Hidup ........................................................................... 38
1. Hidup dan Makna Hidup ................................................................... 38
2. Tujuan Hidup ...................................................................................... 45
C. Harkat Hidup Manusia .............................................................................. 49
BAB III. HAMKA DAN IKHTIAR DALAM PEMIKIRAN KALAMNYA. 57
A. Sejarah Sosial-Intelektual Haji Abdul Malik bin Abdul Karim
Amrullah (HAMKA) ................................................................................. 57
1. Biografi Hamka .................................................................................. 57
2. Pendidikan dan Karir Pekerjaan ......................................................... 68
3. Identifikasi Karya Intelektual ............................................................ 72
B. Ikhtiar dalam Pemikiran Kalam Hamka .................................................... 77
1. Konsep Ikhtiar .................................................................................... 77
2. Ikhtiar dan Takdir ............................................................................... 91
3. Ikhtiar sebagai Prinsip Hidup: Taklif Kewajiban dan Hak .............. 102
4. Ikhtiar Berorientasi pada Ibadah dan Keutamaan........................... .108
a. Allah sebagai Orientasi Utama............................................ ...... 108
b. Amar Ma’ruf Nahi Munkar................................ ........................ 113
c. Keutamaan Budi sebagai Tujuan Kemanusiaan ........................ 118
BAB IV. IKHTIAR DAN MEMBANGUN HIDUP BERHARKAT:
MANUSIA YANG BERKUALITAS ............................................ 126
A. Manusia sebagai Makhluk Tuhan ........................................................... 126
B. Manusia sebagai Makhluk Individu dan Sosial....................................... 131
C. Kemuliaan Hidup Manusia ...................................................................... 151
BAB V. PENUTUP ....................................................................................... 161
A. Kesimpulan .............................................................................................. 161
B. Saran ........................................................................................................ 162
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................164
1
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembicaraan pemikiran Islam tentang kalam sudah ada benih-benih
kemunculannya sejak khalifah Umar bin Khattab. Perbincangan tersebut mulai
merambah luas sejak khalifah Utsman wafat dan pada masa kekhalifan Ali bin
Abi Thalib, yang ditandai dengan pertikaian politik antar kelompok soal
pemimpin atau kekhalifahan. Dalam sejarah Islam dikatakan bahwa pertikaian
yang kemudian melahirkan berkembangan pemikiran masyarakat di berbagai
disiplin adalah fithnah al-kubra1 pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan.
Pemikiran kalam menjadi bagian yang lahir dan berkembang dari adanya al-kubra
itu.2 Khawarij adalah kelompok yang terbentuk karena peristiwa itu.
Berkembangnya pemikiran kalam dalam Islam yang disebabkan oleh
peristiwa tragis itu kemudian pada tahap selanjutnya melahirkan perbedaan
pemikiran dengan terbentuknya berbagai faham/aliran dalam Islam.
Terbentuknya faham tersebut lebih dilatari oleh dua perbedaan prinsip, yakni
karena persoalan politik dan aqidah atau teologi.3
Kondisi tersebut mengalir hingga kini dengan adanya berbagai sekte,
aliran, dan pemahaman yang dengan mudah terbentuk karena ketidakadanya
1Fitnah yang keji datang dari Mesir berupa tuduhan-tuduhan palsu yang dibawa oleh
orang-orang yang datang hendak umrah pada bulan Rajab. Fitnah tersebut ditujukan kepada
khalifah Utsman tentang beberapa kebijakan yang dilakukan. 2Syafieh, Sejarah Munculnya Ilmu Kalam dan Kerangka Berfikir Aliran Kalam, Papper,
2013, h. 1 3Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terjemahan dari
Tarikh al-Madzhahib al-Islamiyah oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos,
1996), h. vi-vii. Lihat juga Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Muhammad (Bandung:
Pustaka Salman, 1990), hal. 349
2
kesepakatan. Bahkan perbedaan kesepakatan dalam satu forum yang sama juga
dapat memunculkan potensi terbelahnya forum tersebut. Baik itu dalam ranah
teologis maupun organisatoris. Begitu pun dalam bidang kehidupan lainnya
seperti ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang tercipta dari
inovasi pemikiran dan material fisik.
Tatanan kehidupan manusia tidak luput dari peran akal yang
dianugerahkan Tuhan padanya. Akan tetapi masih ada yang belum memahami
sepenuhnya tentang potensi akal itu dan wilayah kegunaannya yang sesuai
dengan prosedur dan hukum yang ditentukan dalam wahyu. Sehingga perbedaan
pemahaman dalam menggunakan potensi akal itu menjadikan kondisi
ketimpangan prestasi dalam kehidupan secara riil terlihat jelas. Misalkan kasus
sama-sama menjadi marketing, karena beda usahanya (bentuk dan cara ikhtiar)
tentu menciptakan prestasi yang berbeda pada para marketing itu. Begitu pula
misalkan sama-sama belajar tentang suatu hal yang sama, bisa terjadi perbedaan
dalam pemahaman. Semua kondisi tersebut merupakan sebagai bentuk akibat
dari efek prilaku yang diusahakan.
Tuhan menganugerahkan berupa akal kepada manusia memiliki maksud
dan tujuan yang istimewa. Anugerah akal merupakan karunia kenikmatan yang
tiada tara dan memiliki potensi kegunaan yang istimewa pula. Dengan akal itu
manusia menjadi makhluk yang istimewa dibanding dengan makhluk ciptaan
Allah lainnya. Dengan akal manusia dapat berfikir dan bernalar, berkeinginan,
dan berkemauan. Seolah manusia dapat melakukan apa saja –bahkan yang
terburuk sekali pun- dan dapat menentukan pilihan sesuai kehendaknya.
3
Di zaman yang dikatakan penuh dengan inovasi dan kreasi ini dapat
menjadi inspirasi dan pertanda bahwa pada kenyataannya akal memang memiliki
potensi untuk melakukan yang dikehendaki manusia, bahkan menjadi seorang
atheis. Berbagai produk dan material dapat tercipta berkat peran potensi akal.
Sarana dan prasarana manusia terpenuhi juga karena tergunanya akal.
Namun disisi lain masih sering didengar kata nasib, yakni sebuah kata
yang diejawantahkan sebagai sebuah deskripsi kondisi kehidupan.4 Nasib, term
yang terungkap bagi siapa saja yang merasa mendapat keadaan hidup yang dirasa
baik oleh orang lain atau pun dirasa jelek oleh dirinya sendiri –walaupun ini
mengandung kesan subyektif, masih menjadi kata yang pantas diucapkan untuk
mewakili kondisi kehidupan. ‚Sudah begini mau gimana lagi....‛, atau ‚semua
orang memiliki nasibnya sendiri-sendiri...‛, merupakan redaksi yang kadang kita
sering dengar dari seseorang sebagai refleksi dari sebuah kondisi kehidupannya.
Dalam pemikiran teologi, kata yang menyangkut iradah manusia dalam
melakukan perbuatan dan kebebasan berusaha hanya dikenal kata ikhtiar,
sunatullah, qadla, dan takdir. Secara umum, nasib sebagai kata yang diserupakan
maknanya dengan takdir. Walaupun ungkapan itu dianggap kurang tepat.5
Waktu saya kecil ada stigma dan doktrin yang ekstrim. Bahwa setiap
kehidupan seseorang akan selalu mengikuti kondisi orang tua atau keturunannya.
Orang yang pandai dan berposisi prestisius anaknya juga akan menjadi orang
yang pandai dan kaya pula. Sedangkan orang yang lahir dari orang biasa, petani
4Nasib diantaranya diartikan sebagai sebuah proses sebab akibat yang terjadi karena
adanya program pikiran (sebab) tertentu yang menghadirkan prilaku, emosi, dan atau kejadian-
kejadian yang datang (akibat) sebagai bentuk yang personal dan subyekktif yang akhrnya menjadi
sebuah ‚dunia‛ tersendiri yang dialami oleh subyek yang bersangkutan. –see more at:
http://coacchandrewpeterson.com/nasib-takdir/ 5Za’ba, Falsafah Takdir, penyunting Hamdan Hassan (Pahang-Malaysia: Syarikat
Percitakan Inderapura, 1980), h. 33
4
atau buruh dan atau setara lainnya, maka anaknya pun akan memiliki hidup yang
serupa dengan kondisi orang tuanya. Namun doktrin dan stigma itu sudah luntur
dan pudar sesuai perkembangan zaman. Saat ini semua orang sudah tertanam
pengetahuan dan pengalaman bahwa kondisi kehidupan tidaklah statis. Secara
umum orang sudah mengetahui bahwa keinginan memiliki kehidupan yang
berubah dan yang lebih baik bisa dilakukan oleh setiap orang. Walaupun masih
ada sebagian masyarakat pinggiran (terpencil) yang menganggap perubahan atau
kemajuan kondisi kehidupan itu adalah nasib.
Ada pula persepsi yang mengatakan bahwa rejeki itu sudah diplot oleh
Allah, dan bahkan jodoh dan mati juga sudah ditentukan oleh Allah. Sehingga
sekeras dan sekuat apapun usaha atau ikhtiar yang dilakukan belum tentu
mendapatkan sesuai kadar yang diinginkan. Bahkan bisa jadi apa yang
didapatkan tidak sesuai rencana dan usaha yang dilakukan. Karena semua telah
ditentukan oleh kehendak-Nya. Allah mengetahui tentang keadaan makhluknya
sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami, termasuk masalah
kebahagiaan dan kecelakaan. Sebuah hadits menyatakan:
ث نا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أب عبد الرحن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : حديكون علقة وهو الصادق المصدوق : إن أحدكم يمع خلقه ف بطن أمه أربعي ي وما نطفة، ث
فخ فيه الروح، وي ؤمر بأ مثل ربع ذلك، ث يكون مضغة مثل ذلك، ث ي رسل إليه الملك ف ي ن ر إن أحدكم لي عمل ف و الله الذي ل أو سعيد. وشقي كلمات: بكتب رزقه وأجله وعمله إله يي
ن ها إل ذراع ف يسبق عليه الكتاب ف ي عمل نه وب ي بعمل أهل النار بعمل أهل النة حت ما يكون ب ي ن ها إل ذراع ف يسبق عليه ف يدخلها، وإن أحدكم لي عمل بعمل أهل نه وب ي النار حت ما يكون ب ي
6 )روا البخاري ومسلم (النة ف يدخلها هل الكتاب ف ي عمل بعمل أ
6Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Bad’u al-
Khalq, Bab Zikr al-Malaikah, Nomor Hadits 3208, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998), h.
5
‚Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra, beliau berkata :
Rasulullah Saw. menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang
yang benar dan dibenarkan: Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan
penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh
hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari,
kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian
diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia
diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya,
ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang
tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang
melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga
tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia
melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka.
sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka
hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah
ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka
masuklah dia ke dalam surga.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Manusia dikatakan makhluk yang bebas dalam berikhtiar, karena ia
melakukan segala tindakannya atas dasar akal dan kehendaknya. Menurut
Thomas Aquinas7, manusia menuntun dirinya sendiri, berkemauan dan
berkehendak mengikuti akal fikiran yang dikaruniakan Tuhan.8 Berbeda dengan
makhluk lain, pekerjaan manusia berangkat dari ilmu dan kehendak. Pertama-
tama ia mempertimbangkan keuntungan dan kerugian suatu pekerjaan yang
hendak ia lakukan, kemudian memutuskan untuk melakukannya atau
617. Abi all-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab al-
Qadr, Bab Kaifiyyah al-Khalq al-Adami fi Bathni Ummmihi, Nomor Hadits 2643, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2003), h. 1301. 7Filosof terkemuka nasrani dan murid dari seorang filosof bernama Agustinus.
8Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur’an: Filsafat, Spiritual, dan Sosial dalam Isyarat
Qur’an, cet. II, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 231
6
meninggalkannya. Ia memiliki kebebasan dan ikhtiar. Sebab itu, ia berpikir dan
mencari kemaslahatan dirinya.9
Salah satu bukti bahwa manusia memiliki ikhtiar adalah pujian dan celaan
orang-orang berakal. Bentuknya dengan menyebut baik sebagian pekerjaan dan
memuji pelakunya dan menganggap buruk sebagian lainnya serta mengecam
pelakunya. Kalau bukan karena ikhtiar, pujian dan kecaman itu tidak ada artinya.
Islam juga menganggap manusia bebas dan mempunyai ikhtiar. Ada banyak
ayat yang berbicara seputar masalah ini, yang diantaranya yakni:
يعا بصيرا نسان من نطفة أمشاج ن بتليه فجعلنا س إنا هدي نا السبيل إما شاكرا (2)إنا خلقنا ال
10 (3)وإما كفورا‚Kami ciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur untuk Kami uji.
Kami jadikan mendengar dan melihat. Kami tunjukkan jalan lurus
kepadanya, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.‛
ه ها ومن يرد ث واب الخرة ن ؤته من ن يا ن ؤته من 11 وسنجزي الشاكرين ا ومن يرد ث واب الد‚...barang siapa yang menginginkan pahala dunia, maka Kami akan
memberinya dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, maka
Kami akan memberinya. Kami akan memberi ganjaran kepada orang-orang
yang bersyukur.‛
فمن شاء ف لي ؤمن ومن شاء ف ليكفر لق من ربكم وقل ا12
‚Katakanlah, ‚Kebenaran berasal dari Tuhan kalian. Barang siapa yang
menginginkannya hendaknya ia beriman, dan barang siapa yang tidak
menginginkannya hendaknya ia kafir.‛
9 Rofa’ah, Akhlak, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 183
10 QS. al-Insan:2-3.
11 QS. Ali Imran: 145
12 QS. al-Kahfi:29.
7
13ا أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم وي عفو عن كثير وم ‚Bila musibah menimpa kalian, maka itu disebabkan perbuatan kalian
sendiri. Allah mengampuni banyak dosa (yang dilakukan manusia).‛
14 وما أصابك من سيئة فمن ن فسك ما أصابك من حسنة فمن الله
Apa pun yang kamu peroleh berupa kebaikan, maka itu dari Allah (karena
karunia dan kemurahan-Nya), dan apa pun yang menimpamu berupa
keburukan, maka itu dari dirimu sendiri.
15ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ي رجعون ظهر الفساد ف الب ‚Telah tampak kerusakan di darat dan laut karena disebabkan oleh
perbuatan manusia supaya Allah mereka merasakan akibat kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka mau kembali (ke
jalan yang lurus).‛
ها ما اكت ل يكلف الله ن فسا إل وسعها 16 سبت لا ما كسبت وعلي ‚Allah tidak memberi beban kepada seorangpun kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Manfaat amal baik yang ia lakukan akan kembali
kepadanya dan akibat amal buruk juga kembali kepadanya.‛
نا ر أم من يأت آمنا ي وم القيام إن الذين ي لحدون ف آياتنا ل يفون علي ة أفمن ي لقى ف النار خي
17إنه با ت عملون بصير اعملوا ما شئتم
‚Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, maka
tidak tersembunyi bagi Kami. Maka apakah orang yang dilempar ke neraka
itu lebih baik atau orang yang datang di hari kiamat dengan tenang dan
aman? Lakukanlah apa yang kalian inginkan, sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa yang kalian perbuat.‛
13
QS. asy-Syura [42]: 30 14
QS. an-Nisaa [4]: 79 15
QS. ar-Rum [30]:41 16
QS. al-Baqarah [2]: 286 17
QS. Fushilat [41]: 40
8
18إن الله ل ي غي ر ما بقوم حت ي غي روا ما بأن فسهم ‚…sesungguhnya allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri‛
Beberapa ayat di atas menisbahkan semua perbuatan manusia kepada
mereka sendiri dan menyatakan bahwa yang menimpa mereka adalah hasil
perbuatan mereka. Atas dasar ini, manusia dalam pandangan Al-Qur’an adalah
makhluk bebas dan berikhtiar. Ayat-ayat Al-Quran tersebut di atas seolah
berseberangan dengan hadits riwayat Bukhori dan Muslim di atas. Dimana Tuhan
telah menetapkan rizki, ajal, amal, dan bahagia atau duka kepada manusia.
Empat hal itu sudah diplot secara rinci kah atau masih bersifat global dan umum?
Yusuf Ali19
mengatakan bahwa manusia benar-benar merupakan
penciptaan yang sempurna (ahsani takwim). Dimana dalam penciptaan-Nya
manusia dibekali dengan sifat serba menyeluruh Ilahiyyah, yang karenanya
manusia pantas menjadi khalifah di bumi. Dan salah satu kualitas unggulan yang
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya (pengecualian jin dalam kosmologi spiritual)
adalah kehendak bebas (free will). Dari perspektif persamaan Allah dengan
ciptaan-Nya, menurutnya bahwa kehendak bebas manusia adalah cerminan dari
kehendak bebas Allah. Menurutnya, kehendak bebas manusia adalah anugerah
Allah –sehingga tidaklah sama dengan kehendak Allah, dan oleh karenanya
kehendak bebas manusia memiliki kebebasan yang terbatas (limited free will).
Namun demikian, kehendak bebas manusia dapat melahirkan bentuk kebebasan
18
Qs. al-Ra’du [13]: 11 19
Cendekiawan asal India dengan karya tafsir fenomenalnya yang berjudul The Holy Quran.
9
asasi, sebuah center of power dalam kepribadian atau jiwa manusia.20
Pada
perspektif yang lain juga dikatakan bahwa kehendak bebas manusia yang limited
free will hanyalah sekedar sebuah kemampuan atau kekuatan,21
yang
substansinya menempatkannya sebagai pusat tanggung jawab dan lokus ujian
Allah atas manusia. Sehingga apapun pilihan perbuatannya, prilaku baik atau
buruk, akan menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Apakah benar bahwa manusia bebas memilih dan menentukan
sepenuhnya pada perbuatannya? Dan apakah manusia juga memiliki potensi
kebebasan inovatif dalam melaksanakan keputusan dan tuntunan agama Islam?
Dalam pandangan yang lain dikatakan bahwa Al-Qur’an dengan terang
menjelaskan tentang masalah kebebasan manusia. Bahwa manusia diberikan hak
sendiri dengan leluasa menentukan pilihan perbuatan dan kehendaknya diantara
yang baik dan yang buruk. Manusia bahkan dikatakan di-back up sepenuhnya
oleh Al-Qur’an dalam kebebasan memilih apa yang menjadi suka hatinya.22
Di sisi lain terdapat pendapat yang berbeda. Kebebasan manusia
dikatakan tidak ada, dan hanya kiasan belaka. Karena iradah yang dimiliki
manusia merupakan anugrah yang tanpa fungsi bila tidak ada kehendak dari
Allah. Segala perbuatan dan rencana manusia tidak akan terwujud bila tanpa izin
dan ridla dari Allah. Pelaku sebenarnya adalah Allah, Allah-lah yang berkuasa
penuh (QS. Asy-Shaffat: 96), sedangkan manusia hanyalah merealisasikan
kehendak Allah. Perbuatan baik datangnya dari Allah, sedangkan perbuatan
20
M. Samsul Hady, M. Ag, Islam Spiritual: Cetak Biru Keserasian Eksistensi, (Malang:
UIN-Malang Pess, 2007), h. 244-245. 21
Ahmad Amin, Al-Akhlaq (tp, tt), terjemahan Indonesia oleh KH. Farid Ma’ruf, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 46
22Za’ba, Falsafah Takdir, h. 80
10
buruk datangnya dari manusia itu sendiri. Perbuatan baik akan diganjar dengan
pahala, dan perbuatan jahat akan diganjar dengan siksa (dosa).23
Pendapat ini
terkesan membingungkan, karena apabila terlaksana dan wujudnya perbuatan itu
atas izin-Nya, mengapa ada perbuatan buruk dan ganjaran siksa?
Perdebatan tentang teologi Islam selama ini seolah selalu berkutat pada
‚persoalan langit‛. Padahal seharusnya diskusi dan perdebatan tentang teologi
Islam itu juga memperbincangkan persoalan yang dapat menyentuh dan
memberikan konstribusi terhadap ‚persoalan bumi‛, yakni menjadi sugesti positif
dan solusi yang baik terhadap kehidupan manusia. Untuk itu, dalam tesis ini akan
mengkaji lebih lanjut tentang ikhtiar yang konstributif, yakni bagaimana ikhtiar
mampu memberikan konstribusi terhadap pola hidup manusia yang lebih indah,
harmonis, dan membahagiakan bagi manusia. Baik itu secara pribadi, sosial,
maupun sebagai makhluk Tuhan.
Sugesti, tuntunan, aturan, dan panutan tentang tata cara hidup sudah
disyiarkan oleh para ustadz, ulama, dan mutakallimin. Baik berupa kitab,
khutbah, maupun tabligh yang corak dan nuansanya Islam Nusantara. Dimana
telah kita ketahui bersama bahwa corak dan karakter untuk Islam nusantara
adalah bermadzhab Syafi’i, berteologi Asy’ari, dan bertasawuf Al-Ghazali.
Salah seorang ulama mutakallimin Indonesia yang memiliki citra cukup
terpandang akan pemikiran kalam dan corak tablighnya yang moderat adalah
Hamka. Hamka dianggap memiliki konsep pemikiran tentang kalam modern
yang cukup berbeda dengan lainya semisal Prof. Dr. Harun Nasution, KH. Agus
23
Fethullah Gulen, Qadar: Di Tangan Siapakah Takdir atas Diri Kita?, cet. III, edisi
terjemahan dari judul asli al-Qadaru fi Dhau-i al-Kitab wa al-Sunnah, (Jakarta, Republika Press,
2005), h. 28-31
11
Salim, dan HM. Rasjidi, walaupun sisi rasionalitasnya tidak jauh beda. Sosok
cendekiawan muslim yang telah mendapatkan tempat yang cukup besar di hati
para pemerhati dan pengkaji epistemologi di nusantara.
Hamka adalah seorang dari mutakallimin nusantara yang corak dan
karakter pemikirannya dipersepsikan moderat. Padahal Islam nusantara memiliki
karakter teologi Asy’ariyah. Dengan alasan inilah penulis mengangkat karya
kalam Hamka untuk dianalisa lebih lanjut mengenai persoalan ikhtiar yang
berhubungan dengan bagaimana ikhtiar mampu menjadi prinsip dalam tata
laksana kehidupan manusia yang harmonis dan bahagia.
B. Pembatasan Masalah
Dari pemaparan latar belakang tersebut, penulis membatasi permasalahan
dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Studi ini melakukan kajian tentang ikhtiar dalam ilmu kalam. Studi ini
akan mengidentifikasi hubungan ikhtiar dengan takdir dan urgensi ikhtiar
terhadap kehidupan manusia secara komperhensip, baik secara pribadi,
sosial, dan sebagai makhluk Tuhan.
2. Pengkajian pemikiran ikhtiar ini dilakukan pada salah satu tokoh, yakni
Hamka.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada batasan masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
12
1. Bagaimana ikhtiar dalam pemikiran kalam Hamka? Apakah ikhtiar itu
sebagai manifestasi takdir, seiring-sejalan, atau sisi mata uang? Dan
bagaimana urgensi ikhtiar bagi manusia?
2. Apakah pemikiran ikhtiar dalam pemikiran kalam Hamka dapat menjadi
prinsip pembangun harkat hidup manusia, berkaitan dengan manusia
sebagai makhluk individu, sosial, dan sebagai makhluk Tuhan.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menggali pemikiran Hamka tentang ikhtiar manusia dan urgensinya.
2. Memunculkan pemikiran tentang relasi ikhtiar dengan kehidupan manusia
menurut Hamka, berkaitan dengan manusia sebagai makhluk pribadi,
sosial, dan sebagai makhluk Tuhan.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, memunculkan karya ulama nusantara dalam ranah kalam
yang mudah dikonsumsi oleh masyarakat dan implementatif serta sebagai
kontribusi ilmiah dalam rangka memperkaya khazanah keilmuan Islam.
Kemudian tergalinya pemikiran kalam Hamka yang berkaitan dengan
ikhtiar manusia dan korelasinya terhadap harkat hidup manusia.
2. Secara praksis, sebagai sebuah upaya penyadaran tentang ikhtiar yang
dapat menjadi prinsip untuk membangun kehidupan manusia yang
berharkat, baik di dunia maupun di akhirat.
E. Kajian Pustaka
13
Hamka merupakan tokoh yang hadir pada dua dekade, yaitu dekade pra
kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Sebagai
tokoh yang memiliki latar belakang pembelajaran yang islami dan karakter
pengetahuan yang multi prinsipil, menjadikan seorang Hamka tampil menjadi
sosok yang dikenal masyarakat sebagai ulama, politikus, sastrawan, dan juga
pemikir Islam yang moderat. Dengan persona pribadi dan keilmuanya, banyak
kalangan akademisi yang mengkaji pemikirannya dan dijadikan sebagai karya
ilmiah. Tulisan karya Hamka meliputi keislaman, politik, sastra, hak asasi
manusia, perempuan dalam Islam, pendidikan, kalam, sosial, dan pluralisme.
Kupasan pemikiran Hamka dalam bentuk skripsi yang terbaru antara lain
berjudul ‚Tuhan dalam Pandangan Hamka‛, oleh Mochammad Fadli,
‚Tasawuf sebagai Metode Terapi Krisis Manusia Modern Menurut Hamka‛
oleh Husnul Khotimah, kemudian ada ‚Konsep Bahagia menurut Pandangan
Hamka‛ oleh Dwi Astrianingsih. Ketiganya dari Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang pertama mengupas tentang pemikiran
kalam Hamka yaitu tentang hakekat dan sifat Tuhan, kemudian karya kedua
dan ketiga merupakan galian pemikiran dari tasawuf Hamka. Karya skripsi
lain yang banyak terkupas dari pemikiran Hamka sangat variatif, khususnya
tentang dunia pendidikan Islam.
Dalam bentuk tesis antara lain berjudul ‚Kajian terhadap Penafsiran
Hamka tentang Kedudukan Perempuan dalam Al-Qur’an‛ karya Nurul
Qomariyah, dan ‚Hati dalam Tafsir Al-Azhar Hamka‛ karya Jejen, keduanya
dari FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian tesis yang berjudul
‚Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme‛ yang ditulis oleh
14
Akmal Sjafril dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Dalam tesis tersebut
mengupas tentang beberapa ayat dalam tafsir al-azhar Hamka. Kandungan isi
tesis antara lain tentang janji keadilan dari Tuhan kepada seluruh manusia.
Selain itu juga menjelaskan tentang toleransi dan pluralisme dalam agama.
Dari ketiga tesis tersebut hanya tesis karya Akmal Syafril yang berbicara
tentang kalam.
Kemudian dalam bentuk disertasi adalah karya ilmiah Prof. Dr. Yunan
Yusuf yang yang berjudul ‚Corak Pemikiran Kalam Hamka dalam Tafsir Al-
Azhar: Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam .‛ Dalam
disertasi tersebut mengupas dan menguraikan pokok-pokok pikiran kalam
Hamka yang terkandung dalam Tafsir Al-Azhar dan kemudian menentukan
corak pemikirannya. Dan masih banyak lagi tulisan karya ilmiah yang tersebar
dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi dengan berbagai judul dan
bahasannya yang tersebar di seluruh perguruan tinggi di Nusantara. Namun
sejauh pengamatan penulis, tulisan yang mengkaji kalam Hamka dalam
bentuk tesis masih sepi di rak-rak perpustakaan. Apalagi tesis yang
bersinggungan dengan judul yang penulis angkat dalam proposal kali ini. Oleh
karena itu, sangat penting mengkaji pemikiran kalam Hamka, sebagai ulama
nusantara, untuk ditampilkan sebagai satu pengetahuan yang kontributif dan
informasi alternatif sebagai sebuah prinsip dalam membangun hidup manusia.
Varian karya ilmiah yang tercipta dari para akademisi mengindikasikan
betapa luasnya keilmuan yang dimiliki seorang Buya Hamka. Namun
demikian masih banyak pula pokok pikiran Hamka yang masih belum terkaji
secara komperhensif. Antara lain tentang kalam, khususnya tentang ikhtiar
15
manusia. Walaupun dalam disertasi Prof. Dr. Yunan Yusuf telah menguraikan
dengan baik semua pokok pikiran kalam Hamka, begitu pun soal ikhtiar yang
juga tersebutkan dengan baik dalam karya tersebut, namun penulis tidak
mendapatkan penjelasan secara komperhensifnya. Untuk itu, penulis
mengangkat tentang pemikiran kalam Hamka dengan spesifikasi pembahasan
tentang Ikhtiar yang kemudian dilakukan penelaahan tentang bagaimana
urgensinya sebagai sarana pembangun kemuliaan hidup manusia. Hal ini
penting untuk mempersembahkan satu pengetahuan tentang kalam yang
kontributif dan membumi.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat teoritis. Jenis penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (liberary research), yakni data-data yang menjadi
objek penelitian terdiri-dari bahan-bahan kepustakaan.24
Metode yang
digunakan adalah metode kualitatif, yaitu sebuah metode yang secara
umum didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang hasil data
deskriptifnya berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang
atau prilaku yang dapat diamati.25
2. Sumber Data
Data-data penelitian ini secara umum ada dua kategori, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer berupa buku-buku karangan
24
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, (Yogyakarta: Paradigma,
2010), h. 134 25
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2013), h. 4
16
Hamka yang berkenaan dengan objek penelitian, kemudian untuk data
sekunder berupa data pendukung yang memberikan informasi atau
keterangan terhadap data primer. Data sekunder dapat berupa literatur-
literatur buku, jurnal, bulletin, serta sumber lain yang mendukung
terhadap data primer.
Data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku pokok yang
berhubungan tema penelitian yang ditulis oleh Hamka. Buku-buku yang
dijadikan sumber data primer yaitu Pelajaran Agama Islam (PAI),
Falsafah Hidup, Pandangan Hidup Muslim, Lembaga Hidup, Lembaga
Budi, Tasawuf Modern, Dari Lembah Cita-cita, Pribadi Hebat, Ayahku,
dan Tafsir Al-Azhar. Untuk buku Tafsir Al-Azhar, penulis hanya
menggali informasi ayat dan keterangannya yang berkaitan dengan objek
penelitian. Sehingga hanya sebagian juz saja yang penulis jadikan acuan
data. Sedangkan untuk sumber data sekunder berupa literatur yang berisi
tentang studi Islam dan teologi Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan. Untuk itu
dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan teknik dokumentasi,26
yakni teknik yang dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen
kepustakaan yang terkait dengan objek penelitian. Dokumen dalam hal
ini berupa data yang didasarkan atas jenis sumber tulisan dan gambaran.
26
Dalam penelitian kualitatif, teknik dalam pengumpulan data dapat dilakukan dengan
cara observasi, interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi, dan triangulasi
(gabungan). Lihat, Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2008),
h. 240
17
Penggunaan teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi
ini dilakukan terhadap semua sumber data, baik primer maupun
sekunder. Untuk data sekunder, teknik pengumpulan datanya diambil
sesuai dengan kebutuhan terhadap obyek penelitian. Dalam hal data teks
keagamaan berupa dalil naqli (ayat Al-Qur’an dan Hadits), dilakukan
dengan cara menggunakannya sebagai dasar penguat argumentasi, teori,
maupun interpretasi.
4. Metode Analisis Data
Setiap teks dapat dipastikan ada yang menciptakannya atau
membuatnya. Sehingga teks dianggap sebagai cerminan dari pemahaman
jiwa atau pikiran pembuatnya. Sebuah pembacaan yang dilakukan oleh
pembaca dengan upaya pemahamannya diarahkan kepada memahami
pikiran atau jiwa pembuat teks, yakni memahami adalah mengerti
pikiran atau jiwa pembuatnya, maka upaya pemahaman itu merupakan
upaya rekonstruksi atau reproduksi (pemahaman).27
Objek penelitian ini berupa pemikiran tokoh. Dalam mengkaji
pemikiran tokoh yang tertuang dalam dokumen-dokumen tertulis, maka
diperlukan pendekatan pemahaman. Pendekatan pemahaman ini penulis
menggunakan cara memahami pokok pikiran atau maksud gagasan tokoh
dan memahami kehidupan tokoh, yang tertuang dalam biografi, saat
27
Faris Pari, Hermeneutika Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rahmat Garut,
Disertasi, 2005, h. 60
18
penuangan gagasan yang dimaksud. Dalam proses memahami ini, penulis
menggunakan hermeneutika yang dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey.28
Dalam proses hermeneutik setidaknya ada tiga unsur, yakni teks
(yang akan dipahami), pemahaman, dan interpretasi.29
Dari data teks
primer kemudian dilakukan upaya pemahaman teks dengan mengacu
pada biografi pembuat teks, kondisi sosial pembuat teks, dan aktifitas
pembuat teks. Dari upaya pemahaman tersebut kemudian penulis
melakukan interpretasi, teks terhadap kondisi sosial, yang berlandaskan
pada teks primer dan sekunder sebagai pendukung untuk mencapai hasil
sesuai obyek penelitian.
Aplikasi proses memahami maksud gagasan ini penulis paparkan
pada bab III. Sedangkan hasil dari proses memahami (makna universal)
penulis gunakan untuk sinkronisasi atau harmonisasi pokok pikiran atau
maksud gagasan tokoh dengan realitas hidup manusia. Implementasinya
terpaparkan pada bab IV.
Penulis menggunakan analisa deskriptif terhadap pemikiran kalam
Hamka, yang dalam prosesnya mencakup klarifikasi dan prediksi
kandungan (pokok pikiran). Sedangkan pendekatan analisanya adalah
pendekatan teologi Islam.30
28
E. Sumaryono, Hermeneutika sebagai Metode Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), h. 57 29
Faris Pari, Hermeneutika Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rahmat Garut,.....,h. 59
30Teologi Islam secara pengertian adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan
tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta, diantaranya tentang hidup manusia, menurut
perspektiif Islam yang harus diimani, dan hal-hal yang terkait dengan ajaran Islam yang harus
diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat). Lihat, Atika Halim,
Teologi Islam, Papper, 2012, h. 1
19
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan tesis ini dibagi dalam 5 (lima) bab, yang masing-masing
dilengkapi dengan sub bab-sub bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang
berisi tentang pembukaan, sekilas informasi tentang Hamka, urgensi ikhtiar,
diskursus keilmuan kalam, mapping penelitian dan metode pembahasan, dan
garis besar sistematika penulisan.
Bab kedua berisi kajian teori. Dalam bab ini dipaparkan pokok bahasan
tentang ikhtiar dan penjelasannya menurut pandangan teologi Islam, tentang
hidup dan tujuan hidup manusia, harkat dan signifikansinya bagi kehidupan
manusia. Bab ketiga memaparkan tentang sosok Buya Hamka yang meliputi
biografi, pendidikan, arkeologi pemikiran, karir, dan karya-karyanya. Pada bab
ini pula akan dibahas tentang ikhtiar dalam pemikiran kalam Hamka dan
standarnya. Sedangkan pembahasan tentang telaah ikhtiar dalam pemikiran
kalam Hamka sebagai prinsip pembangun harkat hidup manusia akan
dipaparkan dalam bab keempat.
Dan sebagai penutup adalah bab kelima, yang memuat kesimpulan yang
ditarik dari pembahasan-pembahasan dalam bab-bab sebelumnya dan saran-
saran konstruktif.
20
BAB II
KAJIAN TEORI:
IKHTIAR DAN HARKAT HIDUP
Ikhtiar1 ( secara etimologis berasal dari kata kerja dalam bahasa (إختيار
Arab يختار-اختار yang berarti memilih, satu akar kata dengan kata خير
yang berarti baik. Berdasar pada asal kata tersebut, ikhtiar diartikan
memilih mana yang lebih baik diantara yang ada, atau mencari hasil yang
lebih baik.2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ikhtiar diartikan
pilihan (pertimbangan, kehendak, pendapat, dan lainya) bebas.3 Ikhtiar
dimaknai sebagai usaha atau suatu yang dikerjakan seseorang.4
Secara terminologis ikhtiar adalah upaya yang dilakukan agar segala
sesuatu yang berkenaan dengan hajat hidup bisa tercapai.5 Ikhtiar
merupakan usaha yang ditentukan sendiri, dimana manusia berbuat sebagai
pribadi dan tidak diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginan
sendiri dan kecintaannya pada kebaikan.6 Atau, ikhtiar adalah usaha yang
1Ikhtiar adalah wujud ejawantah dari takdir Tuhan yang berkaitan dengan akal fikiran,
kemauan, kemampuan, dan kebebasan manusia dalam berbuat. Lihat Sudirman Tebba,
Nikmatnya Iman: Menenangkan Hati dan Pikiran, (Tangerang: Pustaka irVan, 2007), h. 141 2Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, ketua penyusun:
Prof. Dr. H. Harun Nasution, (Jakarta: IAIN Press, 1992), h. 110 3Kebebasan dalam Islam terdapat dalam salah satu istilah syariat; ikhtiar yakni memilih
yang baik. Kebebasan yang berlandaskan pada aturan agama, yakni kebebasan yang terbatas dan
terikat oleh kehendak Allah. Lihat Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung: Mizan, 2003), h. 102. Lihat juga Hamka Haq, Al-Syatibi: Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab Al-Muwafaqat, (Jakarta: Erlangga,
2007), h. 193 4Azuar Juliandi, Parameter Prestasi Kerja dalam Perspektif Islam, Jurnal Manajemen dan
Bisnis, Vol.14, No.1, 2014, h. 43 5Aries Fatma, Cara Cepat Meraih Prestasi Diri, (Jakarta: LPDS, t.th.), h. 34
6Solichin, HMI Candradimuka Mahasiswa, (Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation,
2010), h. 252
21
sungguh-sungguh7 dan sepenuh hati untuk memenuhi kebutuhan dalam
hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar
tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Dapat
dikatakan bahwa ikhtiar adalah berusaha dengan mengerahkan segala
kemampuan untuk mendapatkan hasil dan menggapai cita-cita yang
diinginkan sesuai dengan tuntunan Islam.
Melihat pengertian tersebut, maka unsur kebaikan dalam ikhtiar
menjadi signifikan, bahkan keniscayaan. Kebaikan yang dimaksud tentunya
menurut syari’at Islam, bukan semata akal, adat, atau pendapat umum.
Dengan demikian, ikhtiar lebih tepat diartikan sebagai ‚memilih yang
baik‛, yakni melakukan segala sesuatu yang selaras dengan tuntunan Allah
dan Rasul-Nya.8 Orang yang berikhtiar berarti dia memilih suatu pekerjaan
atau perbuatan, kemudian dia melakukannya dengan sungguh-sungguh
sesuai syariat agar dapat berhasil dan sukses sesuai yang dikehendaki.
Dari terminologi di atas ikhtiar adalah bentuk usaha yang sungguh-
sungguh dalam meraih kehendak yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu
yang berlaku dalam bidang yang diusahakan9, dan sesuai kaidah Islam,
dengan disertai doa kepada Allah agar usahanya berhasil dengan baik.
7‚Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju
Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.‛ (Q.S. Al-Insyiqaq [84]:6). ‚Maka apabila kamu
telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.‛
(Q.S. Al-Insyirah [94]:7). Sungguh-sungguh merupakan bukti kesadaran manusia yang beriman
dan berkehendak untuk prestasi, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, sungguh-sungguh
dalam usaha (ikhtiar) merupakan bentuk ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Lihat Azuar
Juliandi, ‚Parameter Prestasi Kerja dalam Perspektif Islam‛,....., h. 41. 8Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al
Attas, ....., h. 102 9Bidang yang dimaksud berupa disiplin keilmuan, baik teologi, filsafat, tasawuf,
ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lainya, yang dikategorikan dalam pengetahuan untuk
kemaslahatan umat.
22
Dengan demikian dalam ikhtiar terkandung pesan taqwa,10
yakni
bagaimana menuntaskan masalah dengan mempertimbangkan pertama-
tama apa yang baik menurut Islam, dan kemudian menjadikannya sebagai
pilihan, untuk kemaslahatan umat dan mencari ridha-Nya.
Selain dari pada itu, ikhtiar mengandung nilai-nilai kreativitas, inovasi,
inisiatif dalam melakukan pekerjaan dalam koridor Islam.11
Karena ikhtiar
bermakna memilih dan menentukan mana yang baik untuk dilaksanakan.
Pemilihan dan penentuan ide, gagasan, dan cara yang baik, maka akan
mendapatkan hasil kerja yang baik atau berprestasi tinggi. Allah
menghendaki manusia untuk berusaha, dan manusia akan dibalas oleh Allah
dari apa yang diusahakannya.12
10
Berusaha yang dilakukan dengan pertimbangan sesuai kaidah Islam dan didahului niat
dan disertai doa, maka usaha itu bernilai ibadah. Dilakukan dengan waspada dan hanya mencari
ridha-Nya. Itu adalah asas hidup yang benar yang sesuai asas takwa. Nurcholis Madjid, Asas Hidup Takwa, penyunting: Asrori S. Karni & Lina Sellin, (Jakarta: Noura Books, 2015), h. 18
11Ikhtiar itu usaha yang dilakukan dengan penuh semangat, giat bekerja, dan optimis.
Dilakukan sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki. Ikhtiar adalah lawan dari kelemahan,
kemalasan, dan bahil. Supriyanto, Tawakal bukan Pasrah, (Jakarta, Qultum Media, 2010), h. 16 12
Ayat-ayat mengenai ikhtiar ini banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an yang dapat
menjadi pedoman bagi setiap manusia untuk selalu berusaha dalam kehidupan di dunia ini. ‚Dan
dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi diri mu,
tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-
apa yang kamu kerjakan.‛ (QS. Al-Baqarah [2]:110). ‚Itu adalah umat yang lalu; baginya apa
yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan
diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.‛ (Q.S. Al-Baqarah
[2]:134). ‚Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikurniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada
apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.‛ (Q.S. An-Nisa [4]:32). ‚Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di
langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan
dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.‛ (Q.S. Al-An’am [6]:3). ‚Itulah orang-orang
yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?‛ (Q.S. Huud [11]:16).
‚Agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang ia usahakan.
Sesungguhnya Allah Maha cepat hisab-Nya.‛ (Q.S. Ibrahim [14]:51). ‚Dan barang siapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia
adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.‛ (Q.S.
Al-Isra’ [17]:19). ‚Berbuatlah (dan bergeraklah), karena Allah, rasul, dan orang-orang beriman
akan menjadi saksi atas perbuatan kita." (QS At-Taubah [9]: 105). ‚Dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan apa pun yang telah kita lakukan, kecuali selalu ada nilai di hadapan-Nya.‛ (QS
23
Segala kebutuhan, keinginan, cita-cita, dan harapan dapat dicapai
dengan cara usaha. Diam hanya akan melahirkan kekecewaan, kegagalan,
dan kesialan. Tidak ada keberuntungan diraih dengan berpangku tangan
( توك لس بااح جالن تسيل ). Tidak mungkin emas jatuh tiba-tiba dari langit.
Semuanya ada proses dan waktu. Di situlah sesungguhnya peran ikhtiar
kita. Tidak bergerak dan berproses berarti berhentinya roda kehidupan.
Memilih sesuatu yang terbaik adalah kebebasan yang sejati, dan untuk
melakukannya seseorang dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk.13
Sedangkan memilih sesuatu yang buruk adalah pilihan
yang jelas berdasarkan kejahilan dan bersumber dari aspek-aspek tercela
nafsu hewani.14
Jadi, berikhtiar berarti kebebasan untuk melakukan upaya
memilih sesuatu yang terbaik, atau bebas berusaha meraih yang terbaik
diantara berbagai macam kebaikan. Kebebasan yang tidak mengandung
kebaikan, tidak selaras dengan ide kebebasan dalam Islam.15
Karena
kebebasan dalam Islam berlandaskan pada aturan agama.
Ali Imran [3]: 191). ‚…sesungguhnya allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.‛ Qs. al-Ra’du [13]: 11. ‚Apabila
telah di tunaikan shalat, maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia allah dan
ingatlah allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.‛ Qs. al-Jumua’’ah [62]: 10. Dalam hadits
juga disebutkan antara lain: ‚Sesungguhnya nilai amal itu tergantung niatnya, dan setiap
pekerjaan akan mendapat (pahala) dari apa yang ia niatkan.‛ (HR. Abu Dawud). ‚Dari Zabir bin
‘Awam, bahwa Nabi Saw. berkata: sungguh jika sekiranya salah seorang di antara kamu
membawa talinya (untuk mencari kayu bakar) kemudian ia kembali dengan membawa seikat kayu
di punggungnya lalu ia menjualnya sehingga Allah mencukupi kebutuhanya (dengan hasil itu)
adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada manusia, baik mereka memberi atau mereka
menolak.‛ (HR. Bukhari). Lihat Azuar Juliandi, ‚Parameter Prestasi Kerja dalam Perspektif
Islam‛, ....., h. 43-44 13
Nilai baik-buruk dalam Islam terkonsep dalam akhlak, yang ukurannya adalah wahyu
Allah yang universal. Lihat Wahyuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Grasindo, 2009) h. 52
14Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al
Attas, ....., h. 102 15
Muhim Kamaluddin, ‚Kebebasan dalam Pandangan Islam‛, InPAS: Institut Pemikiran dan Peradaban Islam, Desember 2013.
24
Unsur yang prinsipil berkaitan dengan ikhtiar adalah niat. Eksistensi
niat menjadi pengaruh penting terhadap kualitas ikhtiar. Ikhtiar akan
memiliki nilai ibadah apabila diawali dengan niat tulus karena Allah.
Karena niat merupakan lokomotif yang akan menentukan sebuah hasil, baik
atau tidak, bernilai ibadah atau tidak.16
A. Ikhtiar dalam Ilmu Kalam
Islam memberikan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan.
Ketinggian, keutamaan, dan kelebihan yang dimiliki manusia yang
membuatnya berbeda dengan makhluk Tuhan lainnya terletak pada akal
yang dianugerahkan kepadanya. Akal merupakan karunia kenikmatan yang
tiada tara dan dapat dipastikan memiliki potensi kegunaan yang istimewa
pula. Kebudayaan dan peradaban yang diciptakan dan disemai manusia
adalah karena akal yang dimilikinya. Adanya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terwujud juga karena akal.
Dalam pandangan filsafat manusia, manusia yang berakal ini disebut
al-hayawan al-nathiq17, hewan yang berbicara atau berfikir.
18 Dengan akal
manusia mampu berfikir, memahami, mengetahui, dan mencipta. Gerakan
16
Asep Yudi dan Yana Suryana, Muslim Kaya, Pintu Surga Terbuka, (Bandung: Ruang
Kata, 2013), h. 43 17
Banyak ayat Al-Qur’an yang diakhiri dengan kata ta’qilun, tatafakkarun, tubshirun, yafqahun, dan tatadzakkarun. Kata-kata tersebut konotasinya adalah akal (merenung, berfikir,
dan mengerti). Kata al-hayawan al-nathiq adalah istilah dalam ilmu mantiq, lihat Jalaluddin &
Abdullah Idi, M. Ed, Filasfat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014), h. 132-133 18
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 2000),
Cet. VI, h. 139.
25
berfikir yang kemudian dapat mewujudkan pengetahuan dan peradaban,
dan itu bentuk dari ikhtiar.19
Manusia dalam Islam disebutkan berasal dari kata insan dan basyar.
Insan berasal dari kata nasiya (yang suka lupa) dan kata anasa yang
memiliki arti abshara (melihat), ‘alima (mengetahui), dan isti’dzana
(meminta izin).20
Pengertian ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki
kemampuan menalar. Menalar dari apa-apa yang dilihatnya dan mengetahui
mana yang benar atau salah. Dengan kata insan menunjukkan manusia
memiliki kualitas pemikiran dan kesadaran. Sedangkan kata abshara
memiliki arti makhluk dalam tinjauan biologis, yang menunjukkan dimensi
alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, yakni makan,
minum, tidur, berkembang biak, dan sebagaianya.21
Munculnya pemikiran dalam Islam, salah satunya ilmu kalam,
merupakan upaya sungguh-sungguh para pakar Islam memikirkan dan
memahami dengan benar dan tepat isi dan makna kandungan Al-Qur’an.
Masalah yang muncul diselesaikan dengan melandaskan pada ayat-ayat Al-
Qur’an. Ini berarti bahwa pemikiran dalam Islam selalu bertolak dari Al-
Qur’an22
, begitu pun pembahasan tentang manusia.
Pemikiran dalam Islam yang memperbincangkan tentang kalam
teridentifikasi ada sembilan masalah yang menjadi kajian para teolog.
19
Dalam filsafat manusia, dengan daya tahu yang ada pada manusia, karena berakal,
membuat manusia selalu berusaha dan menyelidiki segalanya. Lihat Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia), (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983), Cet. III, h. 50.
20Ibnu Mandzhur, Lisan al-‘Arab, (Baerut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, 1988), h. 306
21Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, cet. I, (Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 1999), h. 4-5. 22
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar; Sebuah Telaah dalam Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 56
26
Kategori kelompok masalah yang menjadi basis kajian dalam pemikiran
kalam yaitu akal dan wahyu, fungsi wahyu, free will dan predestination23,
iman dan kufur, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan,
dzat dan sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan hari kiamat.24
Pembahasan persoalan kalam yang lain seperti takdir, qadla, qadar, dan
sunnatullah biasanya terkupas dalam rangkaian pembicaraan persoalan
tentang free will dan predestination dan keadilan Tuhan. Dimana persoalan
tentang ikhtiar juga secara implisit tersebutkan dalam masalah free will
dan predestination dan keadilan Tuhan. Namun, perbincangan tentang
ikhtiar tidak sekentara pembahasan tentang takdir, qadla, qadar, maupun
sunnatullah. Ikhtiar menjadi pembahasan secara implisit ketika
membicarakan persoalan-persoalan tersebut. Ketika membicarakan tentang
ikhtiar, secara eksplisit membicarakan free will dan predestination dan
keadilan Tuhan.25
23Free will adalah perbuatan yang dimulai dengan niat, rencana, pilihan, sampai hasil
akhir. Perbuatan itu merupakan tanggung jawab penuh manusia yang akan diminta
pertanggungjawabannya oleh Allah. Dikenal dalam bahasa yang lain dengan kebebasan
berkehendak (iradah), dimana ikhtiar adalah bentuk dari kebebasan dalam berkehendak. Lihat
Muhammad Mahdi Al-Asyifi, Mencerdaskan Hawa Nafsu, (Jakarta: Misbah, 2004), h. 42.
Sedangkan predestination adalah kekuasaan Tuhan atau kehendak mutlak Tuhan, yang dalam
Islam disebut dengan qodho wa qadar. Dalam istilah umum indonesia disebut dengan takdir. Lihat W. Montgomery Watt, dkk, Studi Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah, (Jakarta: Tiara
Wacana, 1999), h. 109. Lihat juga TH. Lathief Rousydiy, Agama dalam Kehidupan Manusia,
(Jakarta: Rimbow, 1986), h. 252. 24
Pengkategorian persoalan yang menjadi kajian para mutakallimin dalam kalam
disarikan dari beberapa literatur, diantaranya yaitu Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. ix-x, A. Athailah, Rashid Ridha; Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta, Erlangga, 2006), x-xi, Hamka Haq,
Al-Syatibi; Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab Al-Muwafaqat, (Jakarta: Erlangga,
2007), h. viii-ix, Tim Penulis, Sejarah Pemikiran dalam Islam, pengantar: Harun Nasution,
(Jakarta: Pustaka Antara-LSIK, 1996), h. III, Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar; Sebuah Telaah Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam,..., h. xii-xiii, Harun Nasution,
Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. V, h.
iii. 25
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam
27
Setiap bergerak, manusia melakukan 2 (dua) hal, terciptanya rasa ingin
dan upaya untuk mewujudkan keinginan itu. Untuk itu, manusia yang
hidup dan menghendaki keberlangsungan hidupnya harus bergerak dan
berusaha untuk mewujudkan kehidupan yang diharapkan. Menurut
Muhammad Abduh (1849-1905 M.), untuk mewujudkan kehidupan yang
diharapkan itu manusia harus berikhtiar.26
Karena manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau
qadariyah). Manusia diciptakan dengan memiliki kemampuan memilih dan
kemampuan daya untuk mewujudkan pilihan. Dengan alasan itulah bahwa
balasan di akhirat sangat berkaitan erat dengan amal perbuatan yang
dilakukan seseorang di dunia. Untuk itu manusia harus mewujudkan
perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak
melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuatan dan kekuasaan yang lebih
tinggi.27
Manusia merupakan makhluk yang berpikir dan berikhtiar dalam amal
perbuatan sesuai dengan pemikirannya. Manusia memiliki kehendak bebas
karena ia memiliki pikiran untuk menentukan pilihan dalam perbuatannya,
26
. Pemikiran Muhammad Abduh, filosof Islam dan teolog modern dari Mesir, guru dari
Muhammad Rasyid Ridha, tentang kebebasan manusia senada dengan tokoh pemikir teologi
lainya, yakni seorang pemimpin dan ahli hukum India yaitu Amir Ali (1849-1928 M). Yang
berpendapat bahwa manuisa memiliki kekuasaan atas tingkah laku dan perbuatannya disertai
tanggung jawab atas perbuatannya itu. Amir Ali juga menyatakan bahwa kemajuan umat Islam
dan berkibarnya panji-panji ilmu pengetahuan tergantung pada optimalisasi ide-ide rasional dan
kebebasan berusaha/berkehendak. Lihat Amir Ali, The Spirit of Islam, (New Delhi: Low Price
Publications, 1995), h. 403-405. 27
Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet.
I, h. 78. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 66. Lihat juga Anisatul Mardiyah, Pemikiran Teologi Islam Modern, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006), h. 18
28
bebas menentukan nasibnya sendiri.28
Menurut Muhammad Abduh, tidak
ada paksaan bagi manusia untuk beramal dan penentuan pilihan perbuatan.
Manusia diberikan akal untuk dapat mengetahui mana yang baik dan mana
yang buruk. Sehingga pilihan perbuatan yang dilakukan manusia akan
menimbulkan konsekuensi, yakni jika perbuatan itu baik akan diberi
pahala, jika perbuatan itu jahat maka pelakunya akan memperoleh siksa.29
Dalam perbincangan persoalan kalam, ada tiga corak mainset yang
selalu menjadi pijakan pemikiran, yakni rasional, moderat, dan tradisional.
Kelompok rasional diwakili oleh Qadariyah dan Mu’tazilah, moderat
diwakili oleh Maturidiyah Samarkand, dan tradisional diwakili oleh
Jabariah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah Bukhara. Walaupun sampai zaman
kontemporer terlahir pemikir-pemikir teologi Islam, namun ketiga
kelompok faham klasik tersebut tetap menjadi kiblat dan pijakan utama.
Karena para pemikir teologi Islam modern dan kontemporer selain kutub
arah pijakannya masih ke arah ketiga corak faham tersebut juga
pemikirannya tidak memiliki keabsahan pengikut dan menjadi sebuah
faham.
Untuk itu, sebagai perwakilan pembahasan, dalam uraian selanjutnya
akan dipaparkan pemikiran tentang ikhtiar menurut Mu’tazilah,
Maturidiyah Samarkand, dan Asy’ariyah.
Problematika kebebasan manusia dalam berkehendak menurut aliran
Mu’tazilah berkaitan erat dengan Keadilan Tuhan. Mu’tazilah berprinsip
28
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 2 29
Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern,.........., h. 79. Lihat juga Harun
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), h. 53.
29
bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan
memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan
hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Tuhan
berkewajiban melakukan yang baik dan terbaik untuk hamba-Nya (al-
shalah wa al-ashlah).30
Manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan
perbuatannya tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan, dan manusia juga
bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu. Manusia bebas melakukan
perbuatannya dan menentukan pilihan dalam berbuat sesuai kemampuan
(daya) yang dimiliki.31
Hal ini karena menurut pandangan Mu’tazilah
bahwa perbuatan manusia bukan diciptakan oleh Allah, akan tetapi
diwujudkan oleh manusia dengan daya yang dimiliki.32
Tidaklah adil jika
Tuhan memberi pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya
dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.33
Mereka memandang
bahwa keadilan Allah menjadi hilang jika seorang dituntut harus
mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau jika ia
dihisab tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki.34
Namun kebebasan kehendak tidak terbatas pada prinsip keadilan saja,
tetapi juga berkaitan dengan prinsip tauhid. Manusia diberikan daya
(qudrah), kasb, iradah, dan kebebasan oleh Yang Maha Berkehendak.
Berarti kekuasaan manusia bersifat temporal (al-haditsah) yang bersumber
dari kekuasaan yang eternal (qadim). Dimana perbuatan manusia tidak
30
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ....., h. 48 31
Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah Ushulul Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965),
h. 367 32
Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah Ushulul Khamsah, ....., h. 323-324 33
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 182 34
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.
161
30
akan bisa melampaui perbuatan Allah. Apa yang dilakukan oleh manusia
berada dalam kekuasaan dan kehendak Allah, sebuah hukum alam semesta
yang bernama sunnatullah.35
Dengan alasan kasb dan kebebasan
berkehendak itulah manusia bertanggung jawab terhadap segala
perbuatannya, perbuatan yang beresiko pahala atau dosa.36
Mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua klasifikasi,
yaitu ikhtiariah dan idtirariyah. Perbuatan-perbuatan ikhtiariah adalah
tindakan-tindakan yang aqliyah dengan berdasarkan pada pengetahuan dan
kehendak. Perbuatan-perbuatan jenis ini termasuk diantaranya seperti
shalat dan puasa. Sedangkan perbuatan-perbuatan idtirariyah adalah
perbuatan-perbuatan yang terjadi secara alami, tanpa ada campur tangan
dari kehendak manusia, seperti api membakar, es itu dingin, dan menggigil
ketika dingin, dan lainya. Pengaitan perbuatan idtirariyah itu kepada
manusia kadang-kadang secara allegoris (majaz) karena perbuatan itu
terjadi di tangannya.
Mayoritas kaum mu’tazilah berpegang teguh dengan pendapat bahwa
perbuatan manusia itu berasal dari manusia itu sendiri. Allah telah
mengutus para rasul dan memberi berbagai taklif (tugas-tugas keagamaan)
35
Muhammad Abduh memberikan arti sunnatullah adalah hukum alam ciptaan Allah
yang tersistem dan terukur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an tersebutkan sunnatullah berlaku
tetap dan tidak pernah berubah. Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh, juga mempercayai
hukum sebab-akibat ini (sunatullah). Menurut aliran Mu’tazilah, dengan adanya sunnatullah itu
kekuasaan Allah menjadi tidak mutlak lagi. Dengan sunnatullah itulah Allah memberlakukan
Maha Adil-Nya. Lihat Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,......, h. 182-183. Lihat juga
Anisatul Mardiyah, Pemikiran Teologi Islam Modern,...., h. 17-24. Dalam surah al-Ahzab ayat 62
disebutkan ‚dan tidak akan engkau jumpai perubahan pada Sunnah Allah‛ (ولن تجد لسنة الله تبديلا ( 36
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,.........., h. 162-163
31
dan menyampaikan bahwa keadilan tidak mungkin menghisab kecuali
terhadap apa yang mereka perbuat.37
Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan berbuat sesuatu semata-
mata karena kekuasaan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lainnya. Mereka mengartikan
keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap yang dimiliki serta
mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Allah melakukan apa
saja yang dikehendaki, dan semua peristiwa yang terjadi adalah kehendak
Allah (أنياشاءالله .(وماتشاءونالا38
Bagi kaum Asy’ariyah Tuhan tidak terikat terhadap apapun, janji-janji,
maupun norma-norma keadilan. Tuhan juga tidak memiliki kewajiban-
kewajiban terhadap manusia dan terikat terhadap kewajiban itu. Tuhan
tidak tunduk kepada siapa pun.39
Dengan demikian, keadilan Tuhan
mengandung arti bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak terhadap
makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya. Tuhan dapat memberi
pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak-Nya.
Begitu pula Tuhan dapat menghendaki baik atau buruk bagi manusia
karena tidak ada aturan yang mengikat-Nya.40
37
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,..........., h. 163-165 38
Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Kitab Al-Luma’: Arrod ‘ala Ahl al-Zig wa al-Bada’, (Mesir: Matba’ah al-Munir, t.th), h. 46-47
39Zainal Arifin Purba, ‚Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilannya: Analisa Perbandingan
antar Aliran‛, Jurnal IAIN Padang Sidimpuan, Vol. 2, No. 1, 2016, h. 86 40
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, ......, h. 184. Lihat Abu Al-Hasan Ali
Ibn Isma’il al-Asy’ary, Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, (Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah,
1410 H), h. 168
32
Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan menciptakan manusia dan
perbuatannya (تعملون وما خلقكم dan menciptakan apa-apa yang tidak ,(والله
diketahui oleh manusia ) (خلقكموماتعملون .41
Walaupun demikian, ada peran
manusia dalam perbuatannya. Manusia diberikan daya dan kehendak oleh
Tuhan dalam melakukan perbuatannya, karenanya manusia dimintai
pertanggungjawaban dalam segala hal yang timbul dalam dirinya. Menurut
mereka, pertanggungjawaban itu terkait erat dengan kasb dan usaha dari
manusia. Kasb bagi Al-Asy’ary diartikan bahwa yang mewujudkan
perbuatan manusia adalah Allah, namun manusia diberi daya dan pilihan
untuk melaksanakan perbuatan atas kehendak Allah. Daya yang diciptakan
Tuhan untuk menusia itu adalah perantara timbulnya peristiwa (al-iktisab).
Untuk itu, manusia bukanlah fa’il, tetapi kasib.42
Ini mengandung arti
Tuhan menciptakan kuasa bersifat sementara yang berkaitan perbuatan
pada manusia, dan kuasa itu tidak memiliki pengaruh yang hakiki dalam
mewujudkannya, hanya kuasa Allah-lah yang memberikan pengaruh yang
sebenarnya.43
Dapat dipahami tentang konsep kasb Al-Asy’ariyah tersebut bahwa
Tuhan adalah pengantar dari segala kehendak manusia dalam perbuatannya.
Dengan sarana kehendak yang telah Tuhan berikan kepada manusia,
manusia memiliki kemauan atau kehendak untuk melaksanakan
41Kitab Al-Luma’: Arrod ‘ala Ahl al-Zig wa al-Bada’,....., h. 69 42
Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ary, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-
Musallin. al-(Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah, 1950), Jilid I, h. 315 dan Jilid II, h. 221.
Lihat juga Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ary, Kitab Al-Luma’: Arrod ‘ala Ahl al-Zig wa
al-Bada’,....., h. 76 43
Muhammad Syarif Hasyim, ‚Al-Asy’ariyah: Studi tentang Pemikiran Al-Baqillani,
Al-Juwaini, Al-Ghazali‛, Jurnal Hunafa, Vol. 2, No. 3, Desember 2005, h. 6
33
perbuatannya. Namun semua pelaksanaan perbuatan itu akan menjadi
kenyataan hanya dengan kuasa Tuhan.44
Al-Baqillani45
dan al-Juwaini46
berpendapat agak rasional atau berpola
pikir kreatif-inovatif. Menurut mereka, dengan daya atau qudrah yang
diberikan Tuhan kepada manusia, maka manusia mempunyai kebebasan
dalam perbuatannya. Manusia bebas mengarahkan daya yang diciptakan
Tuhan itu untuk mewujudkan perbuatan sesuai kehendak dan keinginan.
Manusia mempunyai peranan efektif dalam mengarahkan daya dan
mewujudkan perbuatannya. Namun, perbuatan manusia tetap ciptaan
Tuhan. Karena pada hakekatnya manusia tidak mampu berbuat apa-apa
tanpa adanya daya Tuhan.47
Jadi, perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan walaupun
bukan manusia yang menciptakannya. Sulit untuk dibantah bahwa
Tuhanlah yang menentukan berhasil atau tidaknya, atau seberapa jauh hasil
44
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ....., h. 106 45
Tokoh penerus Al-Asy’ariyah dan purifikatif terhadap pemikiran gurunya Al-Asy’ari
ini memiliki nama Al-Qadi Abu Bakar Muhammad ibnu al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn
al-Qasim Abu Bakar al-Baqillani. Lihat Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaaannya dengan Al-Asy’ari, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1997), h. 13 46
Salah satu tokoh faham Asy’ariyah setelah Al-Baqillani ini memiliki nama Abul
Ma’ali ‘Abdul Malik bin ‘Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Hayyuwiyyah
Al-Juwaini An-Nisaburi, guru dari Imam Al-Ghazali. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1997), cet. VII, h. 328. Dan lihat Muhammad Al-
Zuahili, Imam Al-Juwaini, (Damaskus: Darul Qalam, 2002), h. 79-81 47
Abu al-Ma’ali ‘Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad Al-Juwayni, al-‘Aqidah al-Nizamiyyah, (al-Qahirah: Maktabat al-Kulliyyah al-Azhariyyah,1979), h. 34. Al-Qadi Abu
Bakr Al-Baqillani, Kitab al-Tamhil al-Awa’il wa Talkhis al-Dala’il, (Bayrut: al-Maktabah al-
Sharqiyyah, 1957), h. 347. Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 97-
98.
34
usaha manusia tersebut.48
Padahal, kekuasaan dan kehendak mutlak hanya
pada Tuhan, dan itu berlaku semutlak-mutlaknya.49
Perbedaan antara Asy’ariyah dan Jabariyah ialah, menurut Jabariyah
tidak ada qudrat bagi manusia, dan tidak ada pula iradah dan tidak ada
perbuatan. Sebaliknya menurut Asy’ariyah, manusia punya qudrat dan
memiliki perbuatan serta punya iradah, dimana perbuatannya bersandar
kepadanya. Walaupun semuanya diciptakan Tuhan, namun manusia bisa
dikatakan punya pilihan dalam perbuatannya.
Dalam memahami agama, Asy’ariyah tidak setuju hanya dengan
berpegang kepada nash semata, karena menurutnya hal itu akan membawa
Islam kepada jumud dan mundur. Sebaliknya ia juga tidak setuju dengan
terlalu mengagungkan ‘aql, yang menurutnya akan membawa Islam kepada
kehancuran (al-dimar).50
Al-Maturidi51
juga memiliki pemikiran yang sama dengan Al-Asy’ary
bahwa manusia dan perbuatannya adalah ciptaan Allah. Akan tetapi dalam
penjelasannya al-Maturidi memiliki penafsiran yang berbeda. Menurutnya,
Allah menciptakan dan memberikan daya (qudrah) dan kasb kepada
manusia, dan manusia diberikan kebebasan untuk berusaha (ikhtiar)
melakukan dan membuat perbuatannya sesuai taklif-nya. Allah juga
48
Nukman Abbas, Al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta:
Erlangga, 2002), h. 236. 49
Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 141. 50
Nukman Abbas, Al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, ......, h.
237-238. Lihat juga Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), ....., h. 60 51
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Al-Maturidi,
ia dilahirkan di sebuah kota yang bernama Maturid, Samarkand (Uzbekistan), Asia Tengah. Ia
lahir sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil
dinasti Bani Abbasiyah (232-274 H/847-861 M). Lihat Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), ....., h.70. Lihat juga Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, Aswaja an-Nahdliyah, (Surabaya: Khalista, 2007), cet. II, h. 12.
35
menciptakan takdir perbuatan dari yang dikehendaki dan dilakukan oleh
manusia. Dengan kasb, manusia adalah pelaku atas perbuatannya, dan
mendapatkan takdir dari apa yang telah dilakukannya itu. Perbuatan
manusia bukan perbuatan Tuhan tetapi perbuatan manusia sendiri.
Manusia diberikan hukum dan upah atas perbuatan yang dikehendaki dan
dilakukannya dengan kebebebasan ikhtiar yang diberikan Tuhan, bukan
karena keterpaksaan.52
Ini menyangkut perbuatan manusia yang
ikhtiariyah. Sedangkan perbuatan idtirariyah menurut al-Maturidi berasal
dari Allah semata.
Pendapat al-Maturidi tentang perbuatan manusia mirip dengan
pendapat Mu’tazilah. Manusia memiliki kebebasan berikhtiar tetapi
dibatasi oleh kekuasaan Allah berupa hukum alam (sunatullah) yang
diciptakan oleh Allah. Perbedaan keduanya hanya pada waktu pemberian
daya dari Allah ke manusia. Dimana al-Maturidi berpendapat bahwa daya
diberikan kepada manusia sebelum perbuatan dilaksanakan atau saat
manusia akan berkehendak untuk berbuat.53
Namun pada dasarnya ketika
manusia berkehendak dan perbuatan dilakukan, iradah, daya, dan perbuatan
memiliki kesamaan, yakni semua berasal dari manusia.54
Lebih lanjut al-Maturidi berpendapat bahwa manusia, daya, dan takdir
dari perbuatannya diciptakan oleh Allah. Daya diberikan Allah saat
52
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ......., h.
127 53
Pemikiran tentang waktu pemberian daya dari Allah ke manusia dalam konteks
pelaksanaan perbuatan ini sama dengan pemikiran al-Juwaini. Pengikut al-Asy’ary ini memiliki
pemikiran yang agak rasional dibanding al-Asy-ary dan al-Baqillani. Al-Juwaini mengatakan
bahwa manusia memiliki sumbangan yang efektif terhadap perbuatannya. Lihat Syafeih, ‚Konsep
Al-Kasb Al-Asy’ariyah dan Modernisasi dalam Islam‛, Papper, 2014. 54
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ......., h.
113-116
36
manusia melakukan iradah-nya, bersama-sama dengan perbuatannya.
Dengan daya itu manusia bebas ber-iradah dan berikhtiar, tetapi manusia
tidak bebas dan lepas kendali dari Allah.55
Manusia tersusun dari materi,
dimana materi adalah terbatas, dan manusia hidup di lingkungan hukum
alam yang diciptakan Allah, juga manusia adalah makhluk yang diciptakan
Allah yang harus tunduk dan ibadah kepada-Nya. Oleh karenanya, manusia
menurut al-Maturidi tidak memiliki kemerdekaan semerdeka seperti
pendapat Mu’tazilah. Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah, maka
manusia harus berhajat kepada Allah.56
Dengan pendapatnya ini al-
Maturidi dianggap berposisi diantara al-Asy’ary dan Mu’tazilah.
Berdasarkan penalaran demikian, al-Maturidi berpendapat bahwa
qudrah Allah dan qudrah manusia tidak bertentangan. Qudrah Allah itu
mencipta sedangkan qudrah manusia men-kasb. Seseorang berniat
melakukan perbuatan yang baik, maka Allah pun menciptakan qudrah pada
dirinya agar bisa melakukannya, dan berhak menerima pahala karena
niatnya itu. Atau, ia berniat melakukan perbuatan yang jelek, maka Allah
pun menciptakan qudrah pada dirinya agar bisa melakukannya, dan ia
berdosa akan niatnya itu. Tuhan akan memberikan upah dan hukuman
(pahala dan dosa) kepada manusia sesuai perbuatannya.57
Kasb menurut al-Maturidi adalah proses kesengajaan (al-qasd), dan
kesengajaan itu murni merupakan amal manusia, karena perbuatan berawal
55
Muh. Najih Maimoen, Ahlussunnah wal Jama’ah: Aqidah, Syariah, Amaliah, (Sarang,
Toko Kitab Al-Anwar, t.th), h. 16-17 56
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ......., h.
106 57
Abdul Rojak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet.
III, h. 166. Lihat juga Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran aliran Sejarah Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1972), 24-25
37
dari niat. Al-qasd dikatakan sebagai amal hati tetapi mengakibatkan
pengaruh-pengaruh eksternal. Untuk itu, perbuatan itu sendiri tidak
mengkonsekuensikan pahala dan dosa bila orang itu sedang tidak memiliki
al-qasd, seperti anak kecil dan orang yang sedang tidur. Perbuatan itu
sendiri berefek baik atau buruk, tergantung maksud melakukannya.58
Untuk mempertegas pandangannya, al-Maturidi membawa
teori masyiah dan ridha ke dalam masalah ini. Manusia melakukan segala
perbuatan baik dan buruk atas kehendak (masyi’ah) Tuhan. Tetapi, tidak
semuanya dengan kerelaan Tuhan, karena Tuhan tidak suka manusia
berbuat jahat. Dengan begitu, manusia berbuat baik atas kehendak
kerelaanNya. Sebaiknya, manusia berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan
tetapi tidak atas kerelaan-Nya.59
Dari uraian di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut:60
Aliran Daya Kehendak Kasb61 Ikhtiar Perbuatan Hasil
Mu’tazilah Tuhan Manusia Manusia Manusia Manusia Manusia
Al-Asy’ariyah
Tuhan
(sebenarnya),
manusia (kiasan)
Tuhan (Pemberi
sarana), manusia
berkemauan
Tuhan pencipta,
manusia yang
mengusahakan
Manusia
Tuhan
(sebenarnya),
Manusia (kiasan)
Tuhan
Al-Matudiyah
Samarkand Tuhan Manusia Manusia (al-Qasd) Manusia Manusia Tuhan
Hamka Tuhan Manusia Manusia Manusia Manusia Tuhan
(Takdir)
58
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.
195 59
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawwuf, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 1995), cet. III, h. 73 60
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ....., h.
116, Supriadin, ‚Al-Asy’ariyah: Sejarah, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dan Doktrin-doktrin
Teologinya‛, Sulesana, Volume 9, Nomor 2, Tahun 2014, h. 69, Syarif Hasyim, ‚Al-Asy’ariyah:
Studi tentang Pemikiran Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghazali‛, Jurnal Hunafa, Vol. 2, No. 3,
Desember 2005, h. 6. Urutan dari daya - hasil merupakan analisa penulis setelah menganalisa
pemikiran aliran tentang konsep perbuatan manusia. 61
Kasb bermakna dasar menginginkan, mencari, dan memperoleh. Diartikan sebagai
suatu perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah.
Lihat Supriadin, ‚Al-Asy’ariyah: Sejarah, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dan Doktrin-doktrin
Teologinya‛, ....., h. 69
38
Daya merupakan potensi pertama yang diberikan Allah kepada
manusia yang kemudian memunculkan kehendak. Dari kehendak
selanjutnya manusia dapat berusaha (kasb). Usaha itu kemudian
memunculkan ikhtiar, yakni proses memilih dan menjalankan usaha dengan
baik dan sungguh-sungguh, yang lantas secara eksplisit menciptakan suatu
perbuatan. Dari perbuatan itu kemudian lahirlah satu hasil yang diinginkan.
B. Hidup dan Tujuan Hidup
1. Makna Hidup
Keberadaan berbagai macam makhluk, baik manusia, binatang,
tumbuhan, yang bergerak di bumi memberikan isyarat dan tanda bahwa
mereka semua itu hidup. Hidup dan geraknya manusia dan makhluk lainnya
tiada lain karena adanya unsur wujud jasmani dan ruh. Manusia tidak
mungkin hidup hanya dengan jasmani saja. Untuk itu, hidup pada
hakekatnya adalah ruh. Tiada adanya ruh, jasmani atau raga tiada guna.62
Ruh lah yang membuat makhluk menjadi bergerak, berprilaku, dan
memberi warna corak dan rona kehidupan. Ruh membuat makhluk,
khususnya manusia, bergerak dan bereksistensi.
Secara etimologis, makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari
suatu kata, benda, atau keadaan.63
Makna dalam istilah bahasa arab adalah
jaudah, yang artinya kualitas, kadar, atau tingkat baik-buruknya sesuatu.64
62
Ahmad Chodjim, Annas: Segarkan Jiwa dengan Surah Manusia, (Jakarta: Serambi,
2004), h. 168 63
Bambang Thiptadi, Tata Bahasa Indonesia, cet. II, (Jakarta: Yudistira, 1984), h. 19. 64
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), h. 603.
39
Hidup diartikan keadaan suatu benda65
yang karena kekuatan Zat yang
Maha Kuasa benda itu dapat bernafas. Arti yang lain disebutkan hidup
adalah pertalian antara roh dan badan serta hubungan interaksi antar
keduanya. Hidup juga dapat diartikan sesuatu sifat yang dengan sifat itu
sesuatu menjadi berpengetahuan dan memiliki kekuatan.66
Jadi kata
"hidup" bukan lawannya "mati", karena "mati" adalah lawannya "lahir".
Lahir adalah awal kehidupan dan mati adalah akhir kehidupan.67
Makna
hidup adalah arti atau maksud dari hidup itu sendiri, yakni suatu yang
dianggap penting, benar, dirasakan berharga, dan memberikan nilai, serta
dapat dijadikan sebagai tujuan hidup. Hakekatnya relatif karena makna dari
sebuah hidup manusia tergantung dari cara pandang dan penilaian masing-
masing terhadap apa yang dilakukan dan hendak dilakukan.68
Kehidupan adalah serba-serbi dari pada hidup itu sendiri, mulai dari
makhluk itu lahir sampai dengan mati. Hidup akan berarti atau bermakna
apabila dapat dimotivasi dengan baik.69
Motivasi orang untuk hidup
bermacam-macam, dan puncak tertingginya disebut cinta, yaitu keinginan
untuk bersedia didominasi dan untuk mencapainya diperlukan
pengorbanan, dimana setelah mencapainya menimbulkan kebahagiaan.
65
Yang dimaksud dengan keadaan benda itu adalah fungsi paru-paru dan peredaran darah
bagi manusia dan binatang, atau insang bagi sebagian ikan, atau kulit dan daun bagi sebagian
tumbuh-tumbuhan. 66
Didiek Ahmad Soepadi, dkk, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.
183 67
Inu Kencana Syafiie, Filsafat Kehidupan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 3 68
Komarudin Hidayat, Psikologi Kebahagiaan: Merawat Bahagia Tiada Akhir, (Jakarta:
Naura Books, 2013), h. 118-119 69
Dengan menghayati pekerjaan atau kegiatan sebaik mungkin, seorang akan
mendapatkan kebahagiaan sebagai efek sampingnya. Untuk menemukan makna hidup, orang
harus menghayati bahwa pekerjaan atau aktifitas adalah amanah, rahmah, dan ibadah. Kebaikan,
kebenaran, dan keindahan akan dapat ditemukan saat interaksi dilakukan dengan orang lain atau
sesuatu yang lain. Lihat JB. Suharjo B. Cahyono, Meraih Kekuatan Penyembuhan Diri yang Tak Terbatas, (Jakarta: Gramedia, 2011), h. 209 & 212.
40
Misalnya cinta anak, cinta harta, cinta pangkat dan sebagainya. Tetapi
yang kekal dan abadi adalah cinta secara sepiritual, yaitu cinta kepada
Tuhan.70
Sebuah penelitian psikologi sosial menyebutkan bahwa ada tiga zona
utama untuk membuat kehidupan bahagia, yaitu memiliki keluarga yang
baik, kerja dan karir yang baik, dan teman dan komunitas yang baik. Dari
ketiga zona tersebut dikatakan bahwa zona keluarga yang baik adalah yang
paling mendasar. Secara emosional keluarga memiliki daya grafitasi paling
besar bagi kehidupan seseorang. Kemana pun seorang pergi, dan apapun
yang dilakukan seorang di luar rumah, pada akhirnya akan kembali dan
berlabuh ke rumah.71
Hidup pasti bermakna. Hidup akan berarti terus-menerus dan dapat
mengubah semua keadaan dan semua yang kita temui menjadi cahaya dan
nyala. Setiap orang selalu ingin menangkap nilai dan perspektif dari hal-
hal yang bersifat sementara, dan melepaskan diri dari putaran arus
kehidupan sehari-hari.72
Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar, dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup -
bila berhasil dicapai- akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian
berarti dan berharga. Dan pada akhirnya akan menimbulkan penghayatan
70
Inu Kencana Syafiie, Filsafat Kehidupan,...,h. 3-4 71
Komarudin Hidayat, Psikologi Kebahagiaan: Merawat Bahagia Tiada Akhir, ....., h.
116 72
Jalaluddin Rakhmat, Kata Pengantar dalam Homo Philipus l\ile (Ed.), Kamus Filsafat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. v.
41
bahagia (happieness) sebagai akibatnya.73
Untuk mencapainya seorang
harus melakukan sesuatu dalam hidupnya, yakni berusaha dengan
maksimal. Karena seberapa besar makna hidup yang membanggakan dan
membahagiakan seseorang berkaitan erat dengan seberapa besar perjuangan
dan pengorbanan yang dilakukan.74
Ada tiga karakteristik makna hidup.75
Pertama, makna hidup itu
sifatnya unik dan personal. Artinya, apa yang dianggap berarti oleh
seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. Bahkan mungkin, apa yang
dianggap penting dan bermakna pada saat ini oleh seseorang belum tentu
sama bermaknanya bagi orang itu pada saat lain. Dalam hal ini, makna
hidup seseorang dan apa yang bermakna baginya biasanya bersifat khusus,
berbeda dengan orang lain, dan mungkin dari waktu ke waktu berubah pula.
Kedua, makna hidup itu spesiflk dan konkrit. Artinya, dapat ditemukan
dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari dan tidak selalu harus
dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealitas, prestasi-prestasi akademis yang
tinggi, atau hasil-hasil renungan filosofis yang kreatif. Mengagumi
merekahnya ufuk timur pada saat terbit fajar, memandang dengan penuh
kepuasan tumbuhnya putik-putik bunga hasil tanaman sendiri, turut
tersenyum melihat senyuman bayi montok, menghayati perasaan kasih dan
haru, menyaksikan anak sendiri terbaring sakit, bersemangat mengerjakan
tugas yang disenangi, melakukan perbuatan ibadah yang diinginkan dan
73
Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta: Paramadina, 1998), h.
14. 74
Komarudin Hidayat, Psikologi Kebahagiaan: Merawat Bahagia Tiada Akhir, ....., h.
124
75
Andewi Suhartini, ‚Agama dan Problem Makna Hidup‛, Hermeneia, Jurnal Kajian
Islam Interdisipliner Vol. 2 No. 1, Januari- Juni 2003, h. 143.
42
sesuai syariat, merupakan contoh peristiwa sehari-hari yang bermakna bagi
seseorang.
Ketiga, sifat lain makna hidup adalah memberi pedoman dan arah
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-
akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk
memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup
ditentukan, maka seseorang seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan
dan memenuhinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi
lebih terarah.
Mengingat keunikan dan kekhususan ini, makna hidup tidak dapat
diberikan oleh siapa pun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.
Orang lain, termasuk pakar Logoterapi, hanya dapat menunjukkan segala
sesuatu yang secara potensial bermakna, namun untuk menentukan apa-apa
yang dianggap bermakna pada akhirnya terpulang pada orang yang diberi
petunjnk itu sendiri. Seorang konselor hanya berfungsi membantu
memperluas cakrawala pandangan mengenai kemungkinan-kemungkinan
dan cara-cara menemukan makna hidup. Selain itu, ia juga menunjukkan
sumber-sumber makna hidup, dan membantu untuk lebih menyadari
tanggung jawab pribadi dalam memenuhi tujuan-tujuan yang harus dicapai
serta kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan.76
Di samping makna hidup yang sifatnya unik, personal, temporer, dan
spesifik itu, ada juga makna hidup yang mutlak (absolud), semesta
(universal), dan paripurna (ultimate) sifatnya. Bagi kalangan yang tidak
76
JB. Suharjo B. Cahyono, Meraih Kekuatan Penyembuhan Diri yang Tak Terbatas,.....,
h. 213
43
beragama atau kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, mungkin saja
beranggapan bahwa alam semesta, ekosistem, pandangan filsafat, dan
ideologi tertentu memiliki nilai universal dan paripurna. Atas dasar ini,
kalangan tersebut menjadikannya sebagai landasan dan sumber makna
hidup. Sedangkan bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keagamaan, maka ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidup
paripurna masing-masing pribadi. Dalam hal ini, alam semesta sebagai eko
sistem yang tertib, teratur, dan tunduk pada hukum-hukum alam yang serba
eksak dianggap sebagai ciptaan dan pengejawantahan keagungan Tuhan.
Makna hidup (the meaning of life) merupakan motivasi utama manusia
untuk meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningfutt life).77
Upaya manusia untuk meraih taraf kehidupan bermakna itu pada
dasarnya adalah respon manifestasi dari makna kehidupan. Ada beberapa
kecenderungan yang melahirkan makna kehidupan.78
Pertama,
kecenderungan material. Kecenderungan ini memberi makna kehidupan di
dunia untuk dinikmati sepuas-pusanya, karena hanya dialami sekali, mati
merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan sekarang. Kecenderungan
ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya
uang, bahkan tidak perlu dibagi dengan orang lain.
Kedua, kecenderungan psikologis. Kecenderungan ini memberi makna
kehidupan untuk meemperoleh ketenangan psikologis. Sehingga usaha
mengejar kesejahteraan material dilakuakn secukupnya, dengan dibatasi
77
Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna,....., h. 12-15. 78
Hadari Nawawi & Mimi Martini, Manusia Berkualitas, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994), h. 41-44
44
hanya mengejar yang tidak menimbulkan rasa gelisah dan tak aman.
Ketiga, kecenderungan spiritual, yakni kecenderungan yang memberikan
makna kehidupan di dunia sekedar menumpang lewat untuk memasuki
kehidupan abadi di akhirat. Hidup dalam konteks ini kehidupan diisi
dengan beribadat dan beramal dengan seluruh harta kekayaan, tenaga, dan
pikiran yang dimilikinya untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan yang
abadi. Bahkan –yang ekstrim- urusan material untuk kehidupan sehari-hari
diserahkan kepada Tuhan, yang akan memberikan rezki melalui jalan yang
tidak terduga.
Dan keempat, kecenderungan berupa keseimbangan antara material,
psikologis, dan spiritual. Orang yang memiliki kecenderungan ini berusaha
untuk mengejar kesejahteraan material dilakukan dengan gigih. Dengan
keberhasilan itu dalam setiap kesempatan, kemampuannya itu
dipergunakan untuk membantu dan menolong orang lain sebagai wujud
kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Bersamaan dengan itu,
kehidupannya pun dipenuhi dengan kesungguhan dan ketekunan
menjalankan ibadah kepada Tuhan.
Realitas empat kecenderungan di atas menunjukkan bahwa makna
hidup tidak memiliki makna tunggal, dan mengindikasikan betapa
variasinya makna hidup itu. Setiap pekerjaan dan aktifitas menyiratkan
makna.79
79
Karl Britton, Filsafat Kehidupan: Dekonstruksi atas Makna Kehidupan, Terj. Inyiak
Ridwan Muzyir, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002), h. 167
45
2. Tujuan Hidup
Agama merupakan simbol keyakinan yang melibatkan emosi-emosi
dan pemikiran-pemikiran yang bersifat pribadi dan diwujudkan dalam
tindakan-tindakan keagamaan. Setiap agama memiliki nilai-nilai esoterik
yang diyakini secara ruhaniyah oleh para penganutnya sebagai kebenaran
paling otentik dan mulak yang dapat menyelamatkannya dari segala
penderitaan lahir-batin. Melalui agama, manusia yang beriman akan
senantiasa merasakan manisnya iman (kalawah al-iman) dan ketenangan
jiwa (al-sakinah) serta kebahagiaan (al-sa'adah) karena terpenuhinya
"fttrah" essensial ruhaniyah manusia dalam mengakui adanya kekuasaan
yang Maha Kuasa di luar dirinya.
Manisnya iman, kebahagiaan, dan ketenangan jiwa tidak akan
diperoleh kecuali oleh orang-orang yang benar-benar menghayati dan
mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara murni dan konsekuen.
Walaupun kebenaran yang ditawarkan oleh orang lain, pada akhirnya, akan
dianggap salah dan bukan merupakan kebenaran dan keselamatan, yang
dalam bahasa agamanya disebut kafir, musyrik, dan kegelapan. 80
Pada dasarnya agama merupakan sumber nilai positif yang digunakan
sebagai petunjuk masyarakat dalam mengatur kehidupannya. Agama adalah
pandangan umum bagi umat manusia.81
Keyakinan dan kepercayaan
terhadap Tuhan tidak dapat dibendung oleh kekuatan apa pun di dunia ini.
Karena manusia adalah makhluk spiritual dan memiliki fitrah ruhaniyah,
80
Andewi Suhartini, ‚Agama dan Problem Makna Hidup‛, Hermeneia,....., h. 155 81
Frithjof Schuon, Islam and The Perrenial Philosophy, terj. Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan, 1988), h. 17
46
maka jika mereka meninggalkan agama, pada hakikatnya selalu risau dan
rindu untuk bertemu dengan penguasa manusia, yakni Tuhan Yang Maha
Kuasa.82
Untuk itu, manusia yang hidup di dunia ini harus mempunyai tujuan.
Tujuan hidup, baik jangka pendek maupun jangka panjang, adalah kondisi
yang ingin dicapai berkenaan dengan makna hidup yang diinginkan.
Manusia petualang yang meraba-raba dalam perjalanan hidupnya tanpa
memiliki tujuan pasti akan ‚kandas‛ dan terombang-ambing di lautan
hidup ini; mendatangkan kerugian buat dirinya dan orang lain. Karena
tujuan hidup merupakan soal yang essensial dalam hidup dan kehidupan.
Allah menciptakan manusia dengan tujuan mulia, dan sama sekali bukan
untuk main-main. Sebagai makhluk spiritual, manusia mempunyai tujuan
hidup berbakti kepada yang menjadikannya, yaitu Tuhan.83
Di dalam Al-
Qur’an dinyatakan:
نس إل لي عبدون وما خلقت الن وال
‚Dan tidak Aku (Allah) menjadikan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah (berbakti) kepada-Ku.‛84
Agama merupakan sistem pandangan hidup yang menawarkan makna
dan tujuan hidup yang benar dan baik. Argumen yang diberikan agama
tentang hal ini adalah:
1. Sudah tegas bahwa hidup ini bermakna secara intrinsik, artinya ia
berharga karena dirinya sendiri. Karena itu, tidak relevan untuk
82
Andewi Suhartini, ‚Agama dan Problem Makna Hidup‛, Hermeneia,....., h. 157 83
M. Yunan Nasution, Dinamika Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), h. 7-8. Lihat
juga Didiek Ahmad Soepadi, dkk, Pengantar Studi Islam, ....., h. 184 84
Qs. al-Dzariyat [51]: 56
47
menanyakan apakah hidup lebih baik dari pada mati, sebab pertanyaan
seperti itu mengisyaratkan komparasi antara kehidupan dan kematian -
suatu yang mustahil, karena tak seorang pun hidup yang pernah "secara
sadar" mengalami kematian untuk menjadi bahan perbandingan dengan
hidupnya itu sendiri. Hidup yang terwujud harus dilindungi dan
dihormati serta dimaknai sebaik mungkin.
2. Hidup ini berpangkal dari sesuatu dan berujung kepada sesuatu, yaitu
Tuhan, Pencipta dan Pemberi Kehidupan. Karena tujuan hidup itu ialah
Tuhan, maka arti dan makna hidup ditemukan dalam usaha kita
"bertemu" dan "mencari" Tuhan, dengan harapan memperoleh ridla
(perkenan)-Nya. Hidup bertujuan perkenaan atau ridla Tuhan
membentuk makna kosmis hidup itu, sedangkan wujud nyata usaha
manusia dalam hidup di dunia untuk mencapai tujuan ridla Tuhan itu
merupakan makna terrestrial hidup itu. Justru untuk memperoleh
kesejatiannya, sebagaimana dijabarkan dalam deretan argumen diatas,
suatu makna hidup terrestrial harus dikaitkan dengan makna hidup
kosmis. Jika tidak, maka seseorang akan mudah terjerembab dalam
lembah pesimisme mengingkari adanya makna dan tujuan hidup,
sehingga hidup itu menjadi tidak tertahankan dan bebannya tak
terpikulkan. Dengan kata lain, hilangnya dimensi kosmis dari hidup
akan membuat goyahnya dimensi terrestrial, yang kegoyahan itu akan
berakhir dengan hilangnya rasa makna hidup secara keseluruhan.85
85
Nurcholish Madjid, Islam, Dokrin, dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 26-
28
48
Karena kematian bukanlah akhir segala-galanya, khususnya bukan
akhir pengalaman manusia tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, maka
kematian adalah suatu peristiwa peralihan (transitory), yang mengawali
pengalaman akan kebahagiaan atau kesengsaraan yang hakiki.86
Untuk
lebih memperjelas nilai ketuhanan sebagai tujuan hidup perlu dikaji bahwa,
karena kenyataan hampir tidak ada orang yang tidak memiliki suatu makna
hidup, dan makna hidup itu dapat berbeda dari satu orang atau kelompok ke
orang atau kelompok lain, maka berarti ada masalah tentang makna hidup
yang benar dan makna hidup yang salah.
Oleh karena itu, persoalan selanjutnya adalah bagaimana menguji
kebenaran suatu tujuan hidup dan maknanya? Dalam menjawab pertanyaan
ini, Paul Edwards menawarkan jawaban, bahwa kita barangkali harus
membedakan antara makna dan tujuan hidup yang dapat disepakati oleh
umat manusia secara rasional dan dengan ketulusan pengertian, dan makna
serta tujuan hidup yang hanya secara sepintas saja tampak seperti rasional
dan penuh pengertian. Sepanjang persoalan makna dan tujuan hidup
manusia, taruhan yang amat menentukan ialah suara hati nurani. Makna
dan tujuan hidup yang benar ialah yang ditopang oleh pertimbangan hati
nurani yang tulus.87
Untuk itu, tujuan hidup manusia secara garis besarnya terbagi dua.
Pertama, tujuan hidup yang berdasarkan idealisme (cita-cita murni), yang
mencakup kepentingan bersama dan universal. Tujuan hidup yang demikian
hanya dapat dilihat dengan mata hati (bashariyah) dan dinikmati oleh jiwa.
86
Nurcholish Madjid, Islam, Dokrin, dan Peradaban, ....., h. 27-29 87
Nurcholish Madjid, Islam, Dokrin, dan Peradaban, ....., h. 31-33
49
Kedua, tujuan hidup yang berdasarkan materialisme (kebendaan), dimana
yang demikian dapat dirasakan oleh indera dan jasmani manusia.88
Tujuan hidup yang pertama bersendikan pada pri kemanusiaan, bahwa
fungsi manusia hidup di dunia ini ialah untuk berbuat baik terhadap sesama
(hablum min al-nas ). Bagi orang-orang yang menjadikan yang pertama ini
menjadi tujuan hidup, mereka menganggap bahwa kehidupan di dunia
bukanlah tujuan, tetapi hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi, yaitu kenikmatan batin atau ruhani. Sedangkan tujuan hidup
yang kedua membentuk manusia menjadi orang yang mengutamakan
kepentingan diri sendiri, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain. Bagi
kelompok manusia yang menjadikan tujuan yang kedua ini, terpenuhinya
segala kehendak dan keinginan adalah puncak kebahagiaan.89
C. Harkat Hidup Manusia
1. Pengertian Harkat
Harkat memiliki arti mulia, kualitas, nilai, dan kekuatan.90
Arti
kata harkat ini sudah mafhum dipergunakan dalam banyak literatur
yang membahas tentang hakekat manusia dan hak asasinya. Tidak ada
perbedaan dalam menyikapi arti dari kata harkat ini. Secara umum
88
Perspektik terbentuknya tujuan hidup manusia ini memang rasional. Berkenaan dengan
terbentuknya wujud manusia itu sendiri yang dalam perspektif filsafat diyakini terdiri dari dua
unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur ruhani. Unsur jasmani manusia berasal dari tanah (materi),
dan unsur ruhani berasal dari ruh dan qalbu (akal dan jiwa). Lihat Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan,....., h. 9.
89 M. Yunan Nasution, Dinamika Hidup,....., h. 8-9
90Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 299. Dalam literatur yang lain dikatakan harkat adalah kepribadaian
yang baik, yang antara lain ada sifat jujur, setia, amanah, suci, teguh pendirian, dan lainnya. Lihat
M. Yunan Nasution, Dinamika Hidup, ....., h. 29. Bisa dikatakan bahwa harkat yang juga disebut
sebagai kepribadian yang baik itu adalah akhlak mahmudah.
50
harkat diberikan arti kualitas diri dan kemuliaan. Secara pengertian
dapat dikatakan bahwa harkat adalah nilai manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa yang dibekali daya cipta, rasa, dan karsa, serta
hak dan kewajiban asasi. Harkat dapat dicapai bila manusia memiliki
daya tersebut dan mampu mengamalkannya dengan baik.91
Dengan
harkat inilah manusia menjadi berbeda dengan makhluk lain ciptaan
Tuhan di alam semesta. Harkat dapat dicapai hanya dengan jalan usaha
mengamalkan nilai-nilai dalam Al-Qur’an.92
Berkaitan dengan harkat itu, hakekat manusia memiliki dimensi-
dimensi kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan tersebut yaitu dimensi
kefitrahan, dimensi keindividulan, dimensi kesosialan, dimensi
kesusilaan, dan dimensi keberagamaan (ketuhanan). Kata kunci dimensi
kefitrahan adalah kejujuran dan kebenaran, dimensi keindividualan
adalah potensi dan perbedaan, dimensi kesosialan adalah komunikasi
dan kebersamaan, dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral (akhlak),
dan dimensi keagamaan (ketuhanan) adalah iman dan takwa.93
Kelima dimensi kemanusiaan tersebut merupakan satu kesatuan,
saling terkait dan berpengaruh. Pada dasarnya menyatu, berdinamika,
dan bersinergi sejak awal kejadian individu sampai akhir kehidupannya.
91
Daya cipta atau fikir menimbulkan keberanian menentang yang munkar, daya karsa
membuat manusia berani menjadi pelaksana dan penyuruh perbuatan yang ma’ruf, dan dengan
daya rasa manusia memiliki jiwa yang terlepas dari rantai dan belenggu benda, dan hanya tertuju
ke satu tujuan yaitu Sang Pencipta benda. Lihat Hamka, Pandangan Hidup Muslim, ....., h. 64-66. 92
Maman Imanulhaq Faqih, Zikir Cinta Menggapai Kebahagiaan, (Jakarta: Kompas,
2008), h. 117 93
Rodi Harono, ‚Harkat dan Martabat Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan‛,
Papper, 2009. Lihat juga Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan (Jakarta: PP Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2008), h. 15
51
Kelima dimensi itu menuju kepada perkembangan individu menjadi
manusia seutuhnya.
Untuk memungkinkan perkembangan individu ke arah yang
dimaksud itu, dan dimensi kemanusiaannya berkembang dengan baik,
manusia dikaruniai Tuhan lima jenis potensi yang dalam hal ini
disebut panca daya, yaitu: daya takwa, daya cipta, daya rasa, daya karsa,
dan daya karya. Kelima daya tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:94
- Daya takwa, merupakan basis dan kekuatan pengembangan yang
secara hakiki ada pada diri manusia (masing-masing individu) untuk
mengimani dan mengikuti perintah dan larangan dari Tuhan Yang
Maha Esa.
- Daya cipta, bersangkut paut dengan kemampuan akal, pikiran, fungsi
kecerdasan, dan fungsi otak.
- Daya rasa, mengacu kepada kekuatan perasaan atau emosi dan sering
disebut dengan unsur afektif. Hal-hal terkait dengan suasana hati dan
penyikapan termasuk ke dalam daya rasa.
- Daya karsa, merupakan kekuatan yang mendorong individu untuk
melakukan sesuatu, secara dinamis begerak dari satu posisi ke posisi
lain, baik adalam arti psikis maupun keseluruhan diri. Kemampuan
atau keinginan berbuat atau will, dan semangat termasuk
didalamnya prakarsa merupakan isi daya karsa.
- Daya karya, mengarah kepada dihasilkannya produk-produk nyata,
yang secara langsung dapat digunakan atau dimanfaatkan baik oleh
94
Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, ....., h. 18-19.
52
diri sendiri, orang lain, dan/atau lingkungan.
Panca daya tersebut menjadi sisi hakiki dari keseluruhan dimensi
kemanusiaan. Dalam kajian, panca daya dimanifestasikan sebagai
intelegensi spiritual, intelegensi rasional, intelegensi emosional,
intelegensi sosial, dan, intelegensi instrumental.95
Manusia dianggap ada karena bergerak. Harkat manusia tercermin
dari setiap gerakan dalam kegiatan kehidupan yang menghadirkan hasil,
baik itu cinta, kasih-sayang, belajar, simpati, sosial, ibadah keagamaan,
melakukan kewajiban pemenuhan kebutuhan hidup, dan lain-lain.
Kualitas, kemuliaan, atau nilai diri manusia, baik subyektif maupun
obyektif96
, adalah yang menuju ke wilayah kebaikan dan keluhuran.97
Sebab, kebenaran dan keluhuran ialah harkat itu sendiri, dan harkat
adalah apresiasi dari kreatifitas positif.
2. Signifikansi Harkat dalam Kehidupan Manusia
Unsur perwujudan manusia terdari dari jasad yang materi dan roh
yang kosmos. Tentunya, bahagia yang diinginkan manusia diniscayakan
berorientasi pada kedua unsur itu, yakni materi atau kosmos.
Kebahagiaan yang diinginkan dapat berupa karena berlimpahnya materi,
95
Rodi Harono, ‚Harkat dan Martabat Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan‛,
Papper, 2009. 96
Burbecher membedakan nilai menjadi dua bagian, yaitu intrinsik dan instrumental.
Intrinsik adalah nilai yang dianggap baik, tidak untuk suatu yang lain, melainkan di dalam diri
sendiri. Sedangkan instrumental adalah nilai yang diangggap baik karena bernilai untuk yang lain.
Lihat H. Jalaluddin dan H. Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia , Filsafat, dan Pendidikan, cet. IV, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 137
97Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia , Filsafat, dan Pendidikan,
....., h. 136-138
53
terwujudnya kasih-sayang, atau juga dapat berupa rasa dekat dengan
Sang Pencipta alam semesta, berupa ibadah dan rasa syukur.98
Manusia hidup memiliki kehidupan dan bertindak dalam
kehidupannya. Dia memiliki akal budi, tujuan hidup, kemauan, dan cita-
cita. Dia adalah makhluk yang berusaha di dalam kehidupannya. Dan
setiap manusia memiliki rekam jejak perjalanan hidup dan usahanya.
Berarti-tidaknya dan berharga-tidaknya diri seseorang sangat
ditentukan dari tindak-tanduknya, pola pikir, kemauan, tujuan hidup,
dan apa yang dicita-citakan. Dari situlah seorang manusia berbeda harga
kemanusiaannya dengan yang lainnya.99
Setiap kehendak dan perbuatan yang dilakukan sangat ditentukan
oleh apa yang diniatkan. Dalam satu hadits disebutkan:
يات , ولكل امرء ما ن وى )رواه ابودوود( العمال بالن ا ن‚Sesungguhnya nilai amal itu tergantung niatnya, dan setiap pekerjaan
pasti mendapatkan (imbalan) dari apa yang ia niatkan.‛
Dari hadits di atas mengisyaratkan bahwa baik-buruknya tindakan, efek
yang ditimbulkan, dan imbalan yang diberikan oleh Tuhan sangat
ditentukan oleh niat. Niat menjadi ruh dan pimpinan yang mendominasi
prilaku selama melakukan tindakan atau perbuatan. Niat baik atau buruk
dapat terlihat dari bagaimana dan seperti apa tindakan atau perbuatan
itu dilakukan, dari awal hingga akhir.
98
Komarudin Hidayat, Psikologi Kebahagiaan: Merawat Bahagia Tiada Akhir, ....., h.113 99
Kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita-cita, bentuk tubuh, kelebihan dan kekurangan,
berarti atau tidaknya seseorang, Hamka mengartikannya sebagai pribadi. Kemuliaan atau
tidaknya diri seseorang dapat dideteksi dari hal-hal tersebut. Mengutip perkataan Socrates,
Hamka mengatakan bahwa manusia yang bahagia dan mulia adalah yang mau dan mampu
mengenali diri atau pribadinya. Karena positif dan negatifnya diri pribadi seseorang dapat
dipahami oleh diri sendiri. Lihat Hamka, Pribadi Hebat, ....., h. 2-5.
54
Manusia adalah makhluk yang beragama.100
Sebagai makhluk
spiritual, manusia berkehendak dan berusaha untuk melakukan
perbuatan yang terbaik bagi dirinya. Sifat, perkataan, perbuatan, dan
prilaku ibadah diusahakan berkualitas dan berharap mendapat tanggapan
imbalan baik (pahala) dari Tuhan, bahagia, dan berhadiah surga
nantinya. Manusia juga berdimensi sosial. Dengan dimensi sosial ini
manusia memiliki kehendak untuk hidup yang butuh bantuan orang lain,
hidup berdampingan bersama, bermasyarakat, dan saling tolong-
menolong. Perbuatan yang sesuai dengan kehendak dan keridlaan-Nya,
yakni yang berprinsip pada ‘amar ma’ruf nahi munkar.101
Dari dua dimensi itu mengisyaratkan bahwa manusia tidak bisa
hidup sendiri dan menyendiri. Kalaupun bisa, eksistensinya kurang
mulia dihadapan Tuhan, karena hanya mementingkan diri sendiri.
Karena dari dua dimensi tersebut mengindikasikan bahwa manusia
membutuh Tuhan dan beribadah kepada Tuhan. Selain itu manusia juga
butuh bertetangga, bergaul, dan memasyarakat مه وحبل الله مه )حبل
Orang yang baik bukan hanya konsentrasi untuk tujuan ukhrowi .الن اس(
saja, tapi juga harus bermanfaat dan memberi manfaat bagi orang lain
للن اس( مهينفع الن اس 102.)خير
100
Dimensi pembawaan dari kehidupan manusia sejak diciptakan, atau dengan istilah lain
disebut dengan fitrah. Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya: Karya
Abditama, 1994), h. 28. Lihat juga Usep Usman Ismail, Pengembangan Diri menjadi Pribadi Mulia, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011), h. 126.
101Didiek Ahmad Soepadi, dkk, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011),
h. 143 102
Usep Usman Ismail, Pengembangan Diri menjadi Pribadi Mulia,....., h. 227
55
Untuk menjadi manusia yang berpribadi baik tentunya seorang
harus semangat bergerak, berusaha, berilmu pengetahuan, berkarya,
beribadah, dan bersosial. Karena dari hal-hal tersebutlah manusia dapat
memiliki nilai, kualitas, dan strong. Kehendak akan memiliki nilai,
bermakna atau berharkat, bila dilakukan dengan cara sesuai dengan
aturan agama.
Al-Qur’an dan Hadits sebagai panduan utama dalam kehidupan
manusia (muslim) memberikan arahan komperhensif tatanan prilaku
yang harus dilakukan. Sayyed Hossein Nasr mengatakan bahwa seluruh
aspek kehidupan manusia dipengaruhi oleh panduan-panduan etika,
dimana panduan etika itu dapat dijumpai dalam Al-Qur’an dan
Hadits.103
Usaha beragama setiap manusia akan menghasilkan praktek
prilaku, dan prilaku dapat menjadi indikator penilai terhadap kualitas
beragama. Semakin baik beragama seseorang, maka akan semakin baik
pula tata laksana perilaku yang dilakukan. Karena setiap orang yang
beragama akan selalu berusaha untuk mencari dan mendapatkan yang
benar, yang baik, dan yang indah.104
Tindakan dan ibadah yang sesuai
dengan hukum yang benar, baik dalam akhlak, dan indah dalam tata laku
dan interaksi sosial yang terpandu oleh akal. Usaha yang merupakan
cerminan dalam rangka mencari dan mendapatkan hidup yang mulia.105
103
Sayyed Hossein Nasr, Islam Agama, Sejarah, dan Peradaban, Terj. Koes
Adiwidjajanto, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 115 104
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2001), h. 377.
105Kemuliaan (harkat) hidup manusia sangat ditentukan oleh kemampuan dan kapasitas
potensi akal. Karena akal memiliki potensi memilah dan memilih mana yang benar, baik, dan
indah, sesuai dalam panduan Al-Qur’an dan Hadits. Lihat, Sunardi, Falsafah Ibadah, (Bandung:
Pustaka Al-Kasyaf, 2013), h. 54. Manusia secara fitrah diciptakan Tuhan dengan bentuk yang
56
Menurut Nurcholis Madjid, manusia bisa menjadi utuh (kamil) dan
mulia apabila dalam dirinya tercerminkan nama-nama Allah dan selalu
memenuhi perintah-Nya dalam tata hidupnya, yang diimplementasikan
dalam bentuk takwa.106
Manusia, melalui kehendaknya, bertumpu pada kemuliaan zatnya,
dapat meraih kemuliaan ikhtiari yang menjadi ukuran nilai kemanusiaan
dan kedekatannya terhadap Allah. Dengan kemuliaan ikhtiari ini,
manusia bisa menjadi lebih baik dan beda dengan manusia yang lain,
karena bertumpukan pada takwa. Sebuah kemuliaan yang bernanung
pada iman dan amal shalih.107
Dalam Al-Qur’an ditegaskan:
108 إن أكرمكم عند اللو أت قاكم ‚sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa.‛
Kemuliaan hidup manusia akan dapat diraih dengan selalu
komitmen berinteraksi dengan Al-Qur’an dan Hadits. Kitab suci
termaktub berbagai aturan dan prinsip-prinsip agama serta kisah-kisah
yang penuh ibrah dengan tujuan untuk membimbing manusia pada jalan
hidayah dan menghadiahkan kesempurnaan dan kemuliaan kepada
semua mukmin. Aturan dan prinsip itu antara lain tentang iman, takwa,
sempurna, dan manusia menjadi mulia disebabkan diberikannya akal oleh Tuhan. Lihat, Ali
Asgari Yazdi, Kemuliaan Manusia dalam Pandangan Islam, Bayan: Jurnal Ilmu-ilmu Islam, Vo. 6
No. 1, 2016, h. 37. Sejauh akal digunakan dalam memahami kebenaran yang berpedoman pada Al-Qur’an
dan Sunnah, maka kebenaran akal dapat dijadikan pegangan dalam meraih kemuliaan dan kemajuan hidup.
Lihat, Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Perjalanan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti, (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 147
106Al-Qur’’an adalah wahyu yang mengandung pesan keagamaan berupa takwa kepada
Allah. Takwa yang bermakna hablun min Allah dan hablun min al-naas. Budhy Munawar
Rachman, Membaca Nurcholis Madjid: Islam dan Pluralisme, (Jakarta: Democracy Project
Yayasan Abad Demokrasi, 2011), h. 53-55 107
Ali Asgari Yazdi, Kemuliaan Manusia dalam Pandangan Islam, ....., h. 40-41. 108
QS. Al-Hujarat [49]: 13.
57
sayang dan hormat serta bakti pada orang tua, syukur, akhlak, halal-
haram, menghormati dan menghargai kepada sesama, dan ghirah dalam
kehidupan dan usaha (ikhtiar).109
109
Ahmad Badar, Cara Hidup untuk Mendapatkan Kemuliaan, Paper, Academia Edu,
2015.
58
BAB III.
HAMKA DAN IKHTIAR DALAM PEMIKIRAN KALAMNYA
A. Sejarah Sosial-Intelektual Haji Abdul Malik Bin Abdul Karim Amrullah
(HAMKA)
1. Biografi HAMKA
HAMKA (tahun 1908 - 1981 M.), adalah akronim dari nama Haji Abdul
Malik Karim Amrullah.1 Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik,
pejuang, dan penulis Indonesia yang terkenal di Nusantara. Beliau lahir pada
tanggal 16 Februari 1908 M./13 Muharram 1362 H. di kampung Molek desa
Tanah Sirah, Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau, Agam, Sumatera
Barat.2 Hamka adalah putra pertama pasangan dari Abdul Karim bin
Amrullah, atau dikenali sebagai Haji Rasul, dan Siti Shaffiah Tanjung binti
H. Zakaria, putri keturunan seniman Minang dari Gelanggang Bagindo nan
Batuah.3 Ayahnya meninggal pada tanggal 21 Juni 1945, sedangkan ibunya
meninggal pada tahun 1934.4 Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang
kokoh pada pendirian dari ayahnya yang dikenal sebagai seorang pelopor
Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, dan salah satu tokoh utama dari
1Penulisan selanjutnya akan ditulis dengan singkatan ‚Hamka‛. Nama Hamka dilekatkan
kepadanya setelah beliau pulang dari haji pada tahun 1927. Lihat Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 60
2Didi Junaedi, Pahlawan-pahlawan Indonesia Sepanjang Masa, (Yogyakarta: Indonesia
Tera, 2014), h. 16. 3M. Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, ( Jakarta: Rajagrafindo Persada dan
MP Dikdasmen PP Muhammadiyah, 2005), h. 134. 4Titiek W.S, ‚Nama Saya Hamka‛, dalam Nasir Tamara, dkk, HAMKA Dimata Hati Umat,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 51. Lihat juga Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Inteletual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 15-18.
59
gerakan pembaharuan kaum muda yang membawa reformasi Islam di Padang
Panjang Sumatera Barat.5
Nama Abdul Malik adalah nama do’a harapan ayahnya. Abdul Malik
adalah nama yang diberikan ayahnya kepada Hamka untuk mengenang nama
anak gurunya, Syekh Ahmad Khatib di Makkah. Abdul Malik bin Syekh
Ahmad Khathib ini pada zaman pemerintahan Syarif Husain di Mekkah
pernah menjadi Duta Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir. Diharapkan, nama
Abdul Malik dapat menjadi keberkahan dan kemasyhuran, dan kelak menjadi
ulama yang didambakan umat.6
Ketika Hamka berusia 10 tahun, ayahnya mendidiknya di madrasah
thawalib, sekolah yang didirikan ayahnya di Jembatan Besi Padang Panjang.
Tujuan ayahnya mendidik di madrasah thawalib, harapan dari nama Abdul
Malik yang diberikan, adalah agar Hamka kelak menjadi ulama.7 Untuk itu,
di madrasah thawalib Hamka dididik pelajaran agama dan bahasa Arab.
Hamka juga mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan
oleh ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid,
Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo. Namun sistem
pembelajaran yang diterapkan di madrasah thawalib tidak membuat Hamka
puas dan merasa bebas berekspresi. Sistem menghafal dalam pembelajaran
yang diterapkan membuat Hamka bosan dan jenuh. Kemudian Hamka
5Haji Abdul Karim Amrullah di kalangan masyarakat Minangkabau dikenal dengan sebutan
inyik deer (kakek doktor) dan dikenal sebagai ulama besar yang menyuarakan paham pembaruan
Islam di daerah Minangkabau pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20. Lihat Murodi,
‚Hamka: Potret Ulama-Pujangga‛, Academia, Vol. 21 No. 2, 2014. Lihat juga Hamka, Dari Lembah Cita-cita, (Jakarta: Gema Insani Press, 2016), h. 97.
6Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran HAMKA, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2000), h. 28 7Leon Agusta, ‚Di Akhir Pementasan yang Rampung‛, dalam Hamka di Mata Hati Umat, (
Jakarta: Sinar Harapan, 1983). hlm. 71-97.
60
melampiaskan pelariannya ke perpustakaan umum milik Zainuddin Labai El-
Yunusi dan Bagindo Sinaro yang banyak menyediakan buku-buku cerita dan
sejarah serta mudah dicerna. Dari perpustakaan iniah Hamka menemukan
banyak pengetahuan baru yang kemudian memacu gairah semangat
keilmuannya.8
Hamka menggali pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan,
seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi, dan politik, baik bernuansa
Islam ataupun Barat. Dengan berbahasa arabnya yang baik setelah dari Mesir,
beliau dapat mempelajari karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-'Aqqad, Mustafa Luthfi al-
Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau mampu
membaca karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman seperti Albert Camus,
William James, Freud, Arnold Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx, dan Pierre
Loti.9
Pada tahun 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa. Berkat Ja’far
Amrullah, pamannya, beliau mendapatkan peluang kursus mempelajari seluk-
beluk gerakan Islam modern dan mengasah bakat berpidatonya. Di
Yogyakarta beliau menggali pengetahuan dari H. Oemar Said Tjokroaminoto,
Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), Raden Mas
Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq
8M.Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran
Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003) , Cet. II, hal. 42. 9Azyumardi Azra,‚Prof. Dr. Hamka: Pribadi Institusi MUI‛, dalam Tokoh dan Pemimpin
Agama: Biografi Sosial Intelektual,(ed), Azyumardi Azra dan Saiful Umam, ( Jakarta: Litbang
Depag dan PPIM IAIN Jakarta, 1998), h. 8
61
Fakhruddin), dan Syamsu Rijal, tokoh Jong Islamieten Bond (JIB).10
Dari Ki
Bagus Hadikusumo, Hamka mendapatkan pelajaran tafsir Al-Qur’an. Kursus-
kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo, Pakualaman,
Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan
menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua
Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-
tokoh ulama setempat. Menimba ilmu selama setahun di Jawa membuat
Hamka mulai berpidato di mana-mana dengan jiwa dan semangat kesadaran
sebagai seorang pengajar dan penyiar Islam.11
Pada bulan Juli tahun 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan,
Padang Panjang. Sejak tahun 1925, sepulang dari Jawa, beliau memulai
kiprahnya dalam organisasi Muhammadiyah. Di tahun itu pula beliau sudah
menjadi utusan organisasi untuk tujuan dakwah dalam bentuk menentang
khurafat, bidaah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang.12
Namun
pidato Hamka mendapat cemoohan dari ulama Minangkabau. Ia dicemooh
sebagai mubaligh yang tidak memahami bahasa Arab. Sindiran ini menjadi
cambukan bagi Hamka yang sudah merantau jauh ke tanah Jawa menimba
ilmu agama. Dalam kondisi itu, pada tahun 1927, beliau berangkat ke
Makkah sembari menunaikan ibadah haji.13
Di Makkah ia sempat mendirikan
Persatuan Hindia Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran
10
M.Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, ... h, 43
11Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta:Bulan Bintang, 1990) Jilid I, hlm.. 37
12Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), Cet. III, h. viii-ix. Lihat juga M. Yunan Yusuf, dkk,
Ensiklopedi Muhammadiyah, ...... h. 135 13
Azyumardi Azra,‚Prof. Dr. Hamka: Pribadi Institusi MUI‛, dalam Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial Intelektual,(ed), .... h. 9
62
manasik haji bagi orang-orang Indonesia yang berkunjung ke Makkah untuk
melaksanakan ibadah haji.
Tidak lama Hamka di Tanah Suci, enam bulan kemudian beliau kembali
ke ranah Minang dengan membawa kemampuan berbahasa Arab selama
berada di Makkah. Hamka kembali ke tanah air dengan tujuan kota Medan.
Di Medan ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa
bulan. Pada akhir tahun 1927, ia kembali ke kampung halamannya. Dengan
kemampuan berbahasa Arab yang semakin lancar itu kemudian beliau
kembali melakukan syiar Islam melalui Muhammadiyah cabang Padang
Panjang. Karena ketekunannya menyampaikan ajaran agama Islam melalui
Muhammadiyah, maka pada tahun 1934 beliau diangkat menjadi anggota
tetap Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.14
Sejak masuk organisasi Muhammadiyah tahun 192515
, beliau selalu
mengikuti pertumbuhan Muhammadiyah. Karir organisasi Hamka makin
berkembang. Pada tahun 1928 beliau terpilih menjadi ketua Cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Dengan posisinya itu, Hamka menjadi
peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo. Setahun kemudian beliau
mendirikan pusat latihan dakwah Muhammadiyah, dan pada tahun 1930 ia
mendapat misi untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Kemudian
pada tahun 1931, beliau diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke
Ujung Pandang untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah dalam rangka
menggerakkan semangat menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21.
14
M. Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, ( Jakarta: Rajagrafindo Persada dan
MP Dikdasmen PP Muhammadiyah, 2005), h. 134 15
Hamka saat itu baru berusia 17 tahun. Di tahun ini pula Hamka mulai ikut serta dalam
kegiatan politik sebagai anggota di Partai Sarekat Islam.
63
Hingga pada akhirnya beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan
Muhammadiyah di Padang Panjang Sumatera Barat oleh Konferensi
Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946.
Dengan posisinya yang semakin strategis di oganisasi, beliau semakin gencar
dan semangat melakukan aktifitas gerakan dakwah Islam, khususnya di
Sumatera Barat.16
Aktifitas Hamka begitu padat. Selain aktif dalam perjuangan membela
tanah air dalam upaya kemerdekaan bangsa, juga aktif di dunia organisasi. Di
usia beliau yang masih muda, waktunya hampir sepenuhnya dihabiskan untuk
berjuang, berorganisasi, dan juga menulis, serta sebagai jurnalis.
Dalam karirnya menjadi pejuang17
, pada tahun 1947 Hamka diberikan
mandat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Keaktifannya
dalam perjuangan membela tanah air tidak membuat surut tekadnya dalam
berorganisasi. Tekad membangun Muhammadiyah terus membara. Hingga
dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950, beliau
terpilih menjadi ketua. Pada tahun ini pula Hamka mengajak keluarganya
hijrah ke Jakarta18
untuk memulai karirnya menjadi pegawai negeri di
Departemen Agama yang saat itu dipimpin oleh KH. Abdul Wahid
Hasyim.19
Dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri di Departemen Agama
(sekarang Kementerian Agama RI), Hamka diberi tugas untuk memberikan
16
Murodi, ‚Hamka: Potret Ulama-Pujangga‛, Academia Vol. 21 No. 2, 2014. 17
Saat menjadi pejuang, Hamka membantu melakukan penentangan usaha kembalinya
penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan.
Kegigihan beliau dalam ikut menjadi pejuang kemudian diberikan mandat menjadi ketua Barisan
Pertahanan Nasional Indonesia pada tahun 1947. 18
Pindah ke Jakarta, Hamka dan keluarganya tinggal di rumah sewaan milik orang
keturunan arab di gang buntu jalan Toa Hong II Kebun Jaruk Taman Sari Jakarta Barat. Lihat
Irfan Hamka, Ayahku: Kisah Buya Hamka, (Jakarta: Republika Penerbit, 2013), h. 35. 19
M. Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah,... h. 135
64
materi kuliah di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di
Yogyakarta, dan beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam lainnya. Selang 5
tahun kemudian beliau meletakkan jabatan karena masalah prinsip.
Di tengah kesibukannya menjadi pegawai di departemen agama, beliau
menunaikan ibadah haji yang kedua. Setelah selesai menunaikan ibadah haji,
di sana beliau melakukan lawatan ke beberapa negara Arab. Dalam lawatan
tersebut, ia sempat bertemu dengan beberapa intelektual Mesir yang
dikenalnya, seperti Thaha Husein, dan Fikri Abadah. Hamka selalu membawa
kenangan dalam setiap perjalanannya. Sepulang dari lawatan itu beliau
menorehkan kenangan tersebut menjadi beberapa buku roman, yaitu Mandi
Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Daljah.20
Kemudian pada tahun 1952 Pemerintah Orde Lama (Orla) yang dipimpin
Soekarno mengangkat beliau sebagai anggota Badan Pertimbangan
Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang
Kemendiknas). Selain itu, ia juga menjadi penasihat pada Kementrian Agama
RI. Sedangkan pada bidang keilmuwan ia juga menjadi Guru Besar pada Per-
guruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makassar.21
Pada tahun 1953, karena kepiawaian dan komitmennya, Hamka juga
dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kegigihannya
sebagai anggota Partai Masyumi dan pemidato handal dalam kampanye, pada
tahun 1955 saat Pemilihan Umum (Pemilu) pertama dilaksanakan, Hamka
20
Disela-sela kesibukannya, Hamka juga menorehkan karya sastranya. Antara waktu tahun
1938 sampai tahun 1949, Hamka menulis roman berjudul Di Bawah Naungan Ka’bah (1938),
Tenggelamrrya Kapal Van Der Wijk (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah
Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku (1949). Lihat M. Yunan Yusuf,
dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, .... hlm. 135-136 21
M. Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, .... h. 136
65
mendapatkan mandat menjadi anggota konstituante dari Partai Masyumi
perwakilan dari Muhammdiyah untuk daerah pemilihan Masyumi di Jawa
Tengah.22
Meskipun beliau aktif dalam wilayah politik dan organisasi, tetapi
profesi aktifitas menulisnya tidak ditanggalkan. Di lembaga konstituante
beliau gigih menyuarakan dakwah islamiyah dan memperjuangkan
kepentingan Islam. Di berberapa media beliau juga tetap melakukan aktifitas
menulis. Karakter pendakwah dan jiwa besarnya tidak lantas luntur dengan
kedudukan yang diberikannya.23
Keaktifan Hamka di partai terhenti dengan dibekukannya Masyumi oleh
presiden Soekarno tahun 1960. Sebagai mantan politikus Partai Masyumi
yang handal dalam berpidato, organisatoris Muhammadiyah, dan komitmen
di jalan dakwah, penulis yang tidak kenal lelah, Hamka kemudian menjadi
perhatian serius oleh Partai Komunis Indonesia. Dengan berbagai tipu
muslihat dan strategi negatif, PKI sebagai partai besar dan dekat dengan
Soekarno, melakukan tindakan pemfitnahan kepada Hamka. Atas usulan PKI,
pada tahun 1964 hingga tahun 1966 Hamka dipenjarakan oleh Presiden
Sukarno karena tuduhan yang kejam, yakni dianggap melanggar Undang-
undang Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu merencanakan pembunuhan
Presiden Soekarno. Penentangan Hamka terhadap sistem demokrasi
terpimpin yang akan dicanangkan Soekarno juga menjadi satu pemicu
22
M. Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, ....h. 136. Inilah alasan mengapa
presiden Soekarno mengajukan dua opsi kepada Hamka saat menjadi pegawai tinggi agama.
Menjadi pegawai negeri atau politikus di Masyumi. Lihat juga Prof. Dr. Hamka, Dari Lembah Cita-cita,....h. 100
23Nur Hamim, Manusia dan Pendidikan Elaborasi Pemikiran HAMKA, (Sidoarjo: Qisthos,
2009), h. 29
66
penangkapannya. Karena dengan penentangan itu Hamka dianggap pro
Malaysia. Tidak hanya itu, ketika Hamka dipenjarakan, buku-buku beliau pun
dilarang beredar dan dilarang untuk diterbitkan.24
Penangkapannya sama sekali tidak pernah terpikir dan terbesit dalam
pemikiran seorang Hamka. Pada saat inilah cobaan yang tak terperikan
dirasakan oleh keluarga Hamka. Setelah mundur dari pegawai kementerian
agama, beliau kemudian difitnah dan dipenjarakan, serta buku-buku
tulisannya di-beslah25 oleh para pemuda PKI.
26 Seluruh sumber pendapatan
keuangan Hamka seakan ditutup oleh orang-orang PKI.
Tidak ada kesan putus asa atau pun marah terlihat pada sosok Hamka.
Dimana pun beliau berada selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-
baiknya untuk menulis dan tujuan dakwah. Begitu pula saat di dalam penjara.
Semasa dipenjarakan beliau menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya
ilmiah yang fenomenal sampai saat ini. Setelah keluar dari penjara, Hamka
diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesia,
anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga
Kebudayaan Nasional Indonesia.
24
Irfan Hamka, Ayahku: Kisah Buya Hamka, ... h. 255. Lihat juga Hamka, Dari Lembah Cita-cita,....h. 101. Ada sumber yang menyatakan bahwa Perkembangan situasi politik Indonesia
pada era 50-an saat itu mengarah ke aliran komunisme. Situasi politik seperti ini sangat tidak
menguntungkan bagi perkembangan karir Hamka. Karena kaum intelektual maupun kalangan
agamawan yang tidak sealiran dengan paham Komunis (partai politik yang cukup dominan saat
itu) mendapatkan ancaman dan tekanan politik. Ceramah-ceramah Hamka yang bercorak moderat
menggiringnya menjadi target musuh. Partai Komunis menganggap Hamka sebagai ‚Neo Ma-
syumi‛ yang merongrong paham-paham komunisme. Lihat Azyumardi Azra,‚Prof. Dr. Hamka:
Pribadi Institusi MUI‛, dalam Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial Intelektual,...h. 12,
dan lihat Tafsir al-Azhar Juz I, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas 2005), h. 66 25Beslah menurut Irfan Hamka dalam bukunya ‚Ayahku‛ memiliki arti pembredelan,
penyitaan, pemusnahan, dan pelarangan terbit dan beredar. 26
Irfan Hamka, Ayahku: Kisah Buya Hamka, ... h. 202
67
Berkat ketokohan dan pengalamannya di organisasi dan
keintelektualannya dalam bidang agama yang dimiliki Hamka, pada 26 Juli
1977, Menteri Agama Indonesia, yaitu Mukti Ali, kemudian meminta dan
melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia (MUI). Empat
tahun berselang beliau menjabat, pada tahun 1981 kemudian beliau
meletakkan jabatan sebagai ketua MUI. Alasan yang paling mendasar adalah
karena nasehat-nasehatnya tidak diindahkan lagi oleh pemerinta Indonesia,
terutama fatwa MUI tentang pelarangan umat Islam untuk melakukan
perayaan Natal bersama.27
Tidak lama berselang setelah mundur dari MUI,
Hamka mangkat ke hadirat Illahi Robbi.
Selain aktif dalam politik, dakwah, dan organisasi, sejak tahun 1920
Hamka juga gigih melakukan gerakan pembaruan dan syiar Islam lewat
media masa. Pada usia yang masih muda, Hamka sudah menjadi wartawan di
beberapa media massa, diantaranya seperti Pelita Andalas, Seruan Islam,
Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Di samping itu, Buya Hamka
pada tahun 1928 juga pernah menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.
Kemudian pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah
al-Mahdi di Makasar. Pada tahun 1936, Hamka mendirikan majalah Pedoman
bersama Zainal Abidin Ahmad dan M. Yunan Nasution. Selain itu beliau juga
menjadi koresponden di beberapa media, yakni harian Merdeka dan
Pemandangan. Hamka juga pernah menjadi editor dan pendiri majalah Pe-
doman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam pada tahun 1959
27
M. Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, .... h. 135
68
hingga 1962.28
Pada rentang usianya, dari 18 tahun sampai 54 tahun, Hamka
menyi\bukkan diri dalam dunia media sebagai sarana saluran dakwahnya.
Di setiap waktu selalu menjadi kesempatan emas bagi Hamka.
Kesibukan beliau di segala bidang tidak membuatnya lelah untuk selalu
menorehkan tinta hitam di kertas-kertas putih. Sehingga tidak terasa banyak
karya yang dihasilkan dari tangan dan pikiran seorang Hamka. Hamka telah
menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen.
Karya ilmiah terbesarnya ialah ‚Tafsir al-Azhar‛, dan di antara novel-
novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di
Malaysia dan Singapura yaitu ‚Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck‛, ‚Di
Bawah Lindungan Ka’bah‛ dan ‚Merantau ke Deli‛.29
Prof. Dr. Andries
Teew, seorang guru besar Universitas Leiden dalam bukunya yang berjudul
Modern Indonesian Literature I, mengatakan bahwa Hamka sebagai
pengarang juga penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu tulisan yang
bernafaskan Islam berbentuk sastra.30
Kualitas intelektual yang dimiliki Hamka membawanya ke tingkat
kehormatan dalam dunia akademis. Beliau mendapatkan anugerah
kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Kairo pada
tahun 1959, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia
28
Majalah ini dibuat tidak hanya untuk kepentingan kelompok reformis atau pembaharu
muslim di Indonesia, tapi juga diperuntukkan bagi penyebaran ide-ide atau gagasan tentang Islam
perlunya menghentikan pertikaian internal umat Islam Indonesia mengenai masalah-masalah
khilafiyah yang sering terjadi. Bahkan dalam konteks ini, Hamka memutuskan untuk menyebarkan
pesan-pesan KH. Hasyim Asy’ari dalam majalah Panji Masyarakat, pesan-pesan yang kemudian
diserukan kepada kelompok reformis (pembaharu) maupun tradisionalis untuk menghentikan
perselisihan. Lihat Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000), h. 44-45. 29
Murodi, ‚Hamka: Potret Ulama-Pujangga‛, Academia Vol. 21 No. 2, 2014. 30
Andries Teew dalam Sides Sudyarto DS, ‚Hamka, Realisme Religius‛, dalam Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 139
69
tahun 1974, dan mendapat gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr.
Moestopo.31
Kemudian Hamka juga mendapatkan kehormatan gelar Datuk
Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka dinikahkan dengan putri mamaknya yang bernama Siti Rahan
binti Endah Sutan pada tahun 1929. Pernikahan yang tergolong usia muda,
karena Hamka saat itu baru berusia 21 tahun. Pernikahannya dengan Siti
Rahan dikaruniai 11 anak. Pernikahan dengan Siti Rahan adalah pernikahan
pertamanya. Sepeninggal Siti Rahan, berselang 1 tahun 8 bulan, Hamka
menikah lagi dengan perempuan berdarah Jawa asal Cirebon Jawa Barat,
yang bernama Siti Khadijah. Pernikahan yang kedua ini Hamka tidak
dikaruniai anak.32
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada tanggal 24 Juli 1981, namun
jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan
agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan
sastrawan, akan tetapi jasa dan karya intelektualnyanya di seluruh alam
Nusantara turut dihargai, termasuk di Malaysia dan di Singapura.
2. Pengalaman Pendidikan dan Karir
Karir akademik Hamka tidaklah tinggi, hanya taraf sederhana. Beliau
tidak pernah mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi. Dengan
status akademik yang beliau dapatkan, yakni Prof. Dr., bukan suatu bukti
31
Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh pada Abad 20, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), h. 65. Lihat juga Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1987), h. XIX. 32
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, ....., h. 29. Lihat juga Titiek W.S, Nama saya Hamka, dalam Nasir Tamara, dkk,
Hamka dimata Hati Umat,....., h. 52.
70
bahwa beliau telah menempuh pendidikan sampai jenjang doktoral. Beliau
menempuh pendidikan formal hanya sampai kelas 2 (dua) Sekolah Dasar
Maninjau. Setelah usianya menginjak 10 tahun, Hamka kemudian beralih
tekun belajar mendalami ilmu agama di Sumatra Thawalib33
di Padang
Panjang, sekolah yang didirikan oleh ayahnya tahun 1906. Di Sumatra
Thawalib inilah Hamka menekuni ilmu agama dan bahasa arab. Selain di
madrasah thawalib, ilmu agamanya juga diperoleh lewat pembelajaran yang
dilakukan di surau dan masjid-masjid.
Selepas keluar dari madrasah thawalib, Hamka belajar sendiri secara
otodidak dengan membaca buku-buku di perpustakaan. Pengetahuan lain
beliau peroleh lewat rihlah belajar dari para pemimpin pergerakan Islam
Indonesia di Jawa. Belajar tentang sosialisme dan Islam dari H. Oemar Said
Tjokroaminoto, tentang agama Islam dalam tafsiran modern dari H.
Fakhrudin, tentang Sosiologi dari RM. Suryopranoto. Kemudian rihlah
belajar selanjutnya juga didapatkan dari Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan
Bandung, Muhammad Natsir, dan juga pada saudara iparnya sendiri, yakni A.
Rashid Sultan Mansur.34
Rihlah ilmiah yang dilakukan Hamka ke pulau Jawa selama kurang lebih
setahun cukup mewarnai wawasannya tentang dinamika dan universalitas
Islam. Dengan bekal tersebut, Hamka kembali pulang ke Maninjau (pada
33
Sumatera Thawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid-murid atau pelajar
mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat.
Namun dalam perkembangannya, Sumatera Thawalib kemudian bergerak dalam bidang
pendidikan dengan mendirikan sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi
sekolah dengan sistem kelas. 34
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, h. 98. Lihat juga M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensi dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), h. 201-202. Disampaikan bahwa
dengan AR. St. Mansur di Pekalongan inilah Hamka mendapatkan titisan ilmu-ilmu inti
keislaman, yang diistilahkan oleh orang Padang Panjang dengan nama ‚Baguru‛.
71
tahun 1925) dengan membawa semangat baru tentang Islam.35
Ia kembali ke
Sumatera Barat bersama AR. St. Mansur. Di tempat tersebut, AR. St.
Mansur menjadi mubaligh dan penyebar Muhammadiyah, sejak saat itu
Hamka menjadi pengiringnya dalam setiap kegiatan kemuhammadiyahan.36
Rihlah belajar Hamka selanjutnya yaitu belajar bahasa arab di Makkah
yang dilakukannya selama 6 bulan.37
Walaupun keberangkatan ke Makkah itu
dianggap sebagai rasa malu, semangat belajar, dan rasa ingin menebus
kekalahan, namun dengan kepandaian berbahasa arab yang dipelajari dari
Makkah menjadikan beliau memiliki kemampuan menelaah kitab dan buku
intelektual klasik dari berbagai ragam keilmuan. Diantaranya filsafat,
sosiologi, sastra, sejarah Islam, politik, dan lainya.
Berkat karya-karya ilmiah keislaman dan karya-karya kreatif berupa
sastra yang ditulisnya, dan berbagai dakwah yang disampaikannya, baik di
media maupun di masjid atau surau, secara implisit menjadi penilaian
terangkatnya beliau mendapat kehormatan dan penghargaan akademis.
Hamka cerdas, piawai, dan pandai karena belajar secara autodidactik, bukan
karena belajar secara akademik tersistematis yang dilakukan secara
berjenjang dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Berkat karya dan
intelektualnya, Hamka tidak hanya dikenal di negaranya sendiri. Malaysia
dan Singapura juga mengakui dan menghormati karya-karyanya.
Mengenai karirnya, Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama Islam
di Perkebunan Tebing Tinggi Medan pada tahun 1927 dan guru agama di
35
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. 1, h. 101 36
H. Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), Cet. II, h. 2 37
Mohammad Damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), ... h. 47
72
Padang Panjang pada tahun 1929. Pada akhir tahun 1935, ditengah-tengah
kesukaran ekonomi keluarganya, Hamka mendapat tawaran menjadi
hoofdredacteur dari majalah mingguan ‚Pedoman Masyarakat‛ pimpinan H.
Asbiran Ya’cub.38
Pada tahun 1949 Hamka hijrah ke Jakarta. Di Jakarta
beliau diterima menjadi anggota koresponden di surat kabar ‚Merdeka‛ dan
‚Pembangunan‛. Pada tahun 1951 hingga tahun 1960, dengan keulamaan dan
wawasan keislaman yang beliau miliki, Menteri Agama Indonesia
memberikan kesempatan kepada Hamka untuk menjadi Pegawai Tinggi
Agama.39
Namun pada tahun 1960 Hamka meletakkan jabatan itu karena
memilih bergiat dalam politik di Majlis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi).40
Tahun 1955, saat pemilu raya pertama kali dilaksanakan, Hamka dipilih
untuk menjadi anggota konstituante dari Partai Masyumi perwakilan wilayah
Jawa Tengah. Pada tahun 1957 Hamka dilantik sebagai dosen di Universitas
Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang hingga tahun
1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam
Jakarta dan Universitas Profesor Mustopo Jakarta.
Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Pemerintah Indonesia, Prof. Dr.
Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia
38
Mohammad Damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), ... h. 55 39
Mohammad Damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), ... h. 30 40
Saat dipilih menjadi pegawai tinggai agama, Hamka sedang aktif di organisasi politik
Masyumi. Dan Hamka dikatakan sangat gemar berorganisasi, berpolitik, dan gerakan keislaman.
Keaktifan Hamka di Masyumi ternyata membuat presiden Soekarno tidak suka. Dalam situasi
tersebut, tahun 1960, Presiden Soekarno menghendaki Hamka untuk memilih salah satu diantara
dua posisi itu, menjadi pegawai tinggi agama atau di Masyumi. Dimana presiden Soekarno saat
itu memang tidak berkenan dengan Masyumi karena dianggap menentang dan sebagai kubu
berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia, yang Soekarno ada di dalamnya.
73
(MUI).41
Setelah beberapa tahun menjabat, Hamka kemudian meletakkan
jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh
pemerintah Indonesia.42
Selang beberapa bulan setelah mundur dari MUI dan
aktif di kampus, Hamka kembali ke Rahmatullah. Beliau disemayamkan di
pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
3. Identifikasi Karya Intelektual
Dalam setiap kesempatan dan kondisi, Hamka selalu menyempatkan
untuk menorehkan tinta pena. Seluruh seluk-beluk kehidupan umat Islam,
fenomena, dan perjalanan hidupnya, seolah seluruhnya menjadi perhatian
detail yang tertorehkan dalam kertas-kertas putih. Lewat membaca buku-
buku karyanya saja sudah dapat mengetahui siapa sosok Hamka sebenarnya,
sosok yang telah mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari
pemerintah pada tahun 2011.43
Keintelektualannya yang terasah indah dari
literatur-literatur karya orang-orang ternama, barat dan timur, membawanya
masuk ke dunia mimbar dan media sebagai pendakwah dan penulis handal.
41
Pertemuan para ulama dan pemerintah menghasilkan dibentuknya Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Hamka adalah ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama yang
terpilih melalui kesepakatan anggota majelis. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1994), h. 123 42
Kemunduran Hamka dari kursi ketua umum MUI dikatakan karena bertentangan dengan
fatwa yang dikeluarkan oleh Menteri Agama saat itu, yaitu Alamsyah Ratu Prawiranegara.
Menteri agama mengeluarkan fatwa yang membolehkan umat muslim untuk ikut merayakan hari
besar umat Kristen, yaitu Natal, dengan alasan kerukunan umat beragama. Selain alasan tersebut,
dikatakan bahwa Hamka lebih memilih untuk fokus mengajar di kampus, yang saat itu beliau
mengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Lihat
Mirnawati, Kumpulan Pahlawan Nasional Terlengkap, (Depok: Penebar Swadaya Grup, 2012)
Cet. I, h. 294-295. 43
Penganugerahan gelar pahlawan termaktub dalam Kepres Nomor 113/TK/2011, tanggal 7
November 2011. Lihat Mirnawati, Kumpulan Pahlawan Nasional Terlengkap, ...., h. 294-295, dan
Didi Junaedi, Pahlawan-pahlawan Indonesia Sepanjang Masa, ........ h. 17.
74
Daftar karya Hamka terbagi menjadi 5 disiplin keilmuan; keislaman,
sastra, sejarah, pendidikan Islam, dan politik. Berikut daftar karya intelektual
Hamka44
:
No. Judul Buku Tahun Kategori
1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3 (bahasa arab) 1925 Keislaman
2. Si Sabariah 1926 Sastra
3. Pembela Islam (Tarikh Abu Bakar Shiddiq) 1929 Sejarah Islam
4. Adat dan Islam 1929 Keislaman
5. Ringkasan Tarikh Umat Islam 1929 Sejarah Islam
6. Kepentingan Melakukan Tabligh 1929 Keislaman
7. Hikmah Isra' dan Mikraj 1930 Keislaman
8. Arkanul Islam 1932 Keislaman
9. Laila Majnun 1932 Sastra
10. Mati Mengandung Malu (Salinan Al-
Manfaluthi)
1934 Keislaman
11. Di Bawah Lindungan Ka'bah 1936 Sastra
12. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck 1937 Sastra
13. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939 Sastra
14. Dijemput Mamaknya 1939 Sastra
15. Tasawuf Modern 1939 Keislaman
16. Falsafah Hidup 1939 Keislaman
17. Agama dan Perempuan 1939 Keislaman
18. Salahnya Sendiri 1939 Sastra
19. Bohong di Dunia 1939 Sastra
20. Merantau ke Deli 1940 Sastra
21. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940 Sastra
22. Keadilan Ilahi 1940 Keislaman
23. Lembaga Hidup 1941 Keislaman
24. Lembaga Budi 1941 Keislaman
25. Pedoman Mubaligh Islam 1941 Keislaman
26. Negara Islam 1946 Politik
44
Dari beberapa sumber literatur.
75
No. Judul Buku Tahun Kategori
27. Islam dan Demokrasi 1946 Politik
28. Revolusi Pikiran 1946 Keislaman
29. Revolusi Agama 1946 Keislaman
30. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi 1946 Politik
31. Dibantingkan Ombak Masyarakat 1946 Sastra
32. Dari Lembah Cita-cita 1946 Keislaman
33. Muhammadiyah melalui 3 Zaman 1946 Keislaman
34. Sesudah Naskah Renville 1947 Politik
35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret 1947 Politik
36. Menunggu Beduk berbunyi 1949 Sastra
37. Tinjauan Islam Ir. Soekarno 1949 Politik
38. Angkatan Baru 1949 Sastra
39. Ayahku 1950 Biografi
40. Mandi Cahaya di Tanah Suci 1950 Sastra
41 Mengembara Dilembah Nyl 1950 Sastra
42. Ditepi Sungai Dajlah 1950 Sastra
43. Pribadi 1950 Keislaman
44. 1001 Soal Hidup (Kumpulan tulisan dari
Pedoman Masyarakat) 1950 Keislaman
45. Falsafah Ideologi Islam 1950 Keislaman
46. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 Keislaman
47. Cahaya Baru 1950 Sastra
48. Terusir 1950 Sastra
49. Sejarah Islam di Sumatera 1950 Sejarah
50. Urat Tunggang Pancasila 1951 Politik
51.
Kenangan-kenangan Hidup 1-4, autobiografi
dari tahun1908-1950 1951 Sejarah
52. Sejarah Ummat Islam Jilid 1-4 1951 Keislaman
53. Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad 1952 Keislaman
54. K.H. Ahmad Dahlan 1952 Biografi
55. Empat Bulan di Amerika, Jilid 1-2 1953 Sastra
56. Lembaga Hikmat 1953 Keislaman
76
No. Judul Buku Tahun Kategori
57. Pelajaran Agama Islam 1956 Keislaman
58. Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di
Indonesia (Pidato Doktoral di Al-Azhar
Kairo) 1958 Keislaman
59. Tanya Jawab (kumpulan tulisan dari majalah
Gema Islam) 1960 Keislaman
60. Pandangan Hidup Muslim 1961 Keislaman
61. Cermin Kehidupan 1962 Sastra
62. Dari Perbendaharaan Lama 1963 Sastra
63. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri) 1963 Keislaman
64. Islam dan Adat Minangkabau 1963 Keislaman
65. Sayid Jamaluddin Al-Afghani 1965 Keislaman
66. Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi
Islam
1968 Keislaman
67. Fakta dan Khayal Tuanku Rao 1970 Sastra
68. Islam dan Kebatinan 1972 Keislaman
69. Studi Islam 1973 Keislaman
70. Kedudukan Perempuan dalam Islam 1973 Keislaman
71. Doa-doa Rasulullah Saw. 1974 Keislaman
72. Muhammadiyah di Minangkabau 1975 Keislaman
73. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II 1975 Keislaman
74. Studi Islam: Aqidah, Syari’ah, dan Ibadah 1976 Keislaman
75. Perkembangan Kebatinan di Indonesia 1976 Keislaman
76. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya 1980 Keislaman
77. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam 1982 Keislaman
78. Doktrin Islam yang Menimbulkan
Kemerdekaan dan Keberanian
1983 Keislaman
79. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial 1984 Keislaman
80. Iman dan Amal Shaleh 1984 Keislaman
81. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih
(terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim
Amrullah)
1984
Keislaman
77
No. Judul Buku Tahun Kategori
82. Renungan Tasawuf 1985 Keislaman
83. Filsafat Ketuhanan 1985 Keislaman
84. Keadilan Sosial dalam Islam 1985 Keislaman
85. Tafsir Al-Azhar, Juz 1-30 1986 Keislaman
86. Al-Akhlaqul Karimah 1989 Pendidikan Islam
87. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah
Islam
1990 Keislaman
88. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri 1995 Keislaman
Dari daftar karya tersebut semuanya adalah berupa buku. Bila dilihat dari
tahun penerbitannya dapat dipersepsikan bahwa Hamka secara konsisten menulis
dari tahun ke tahun, bahkan dari bulan ke bulan. Sedangkan karya lain di bidang
media berupa pembuatan majalah-majalah, yakni ‚Tentera‛, ‚Al-Mahdi‛,
‚Semangat Islam‛, ‚Menara’, dan ‚Panji Masyarakat‛. Selain menulis karya yang
terkemas dalam buku, tulisan HAMKA juga tersebar dalam berbagai jurnal,
bulletin, dan media massa.
B. Ikhtiar dalam Pemikiran Kalam HAMKA
1. Konsep Ikhtiar
Dalam ilmu mantiq manusia dikonsepkan sebagai hewan yang berfikir
(al-hayawan al-natiq). Daya berfikir, yang dalam falsafat Islam dikatakan
sebagai salah satu daya yang dipunyai jiwa, disebut dengan akal.45
Akal
dipandang sebagai esensi manusia. Dalam Islam, akal memiliki peran
45
Kata akal berasal dari bahasa Arab al-‘aql. Kata akal dalam kata benda tidak dijumpai
dalam Al-Quran. Kata akal dalam Al-Quran dijumpai berbentuk kata kerja, yaitu ‘aqilun, ta’qilun, na’qil, ya’qiluha, ya’qilun. Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI
Press, 1985), h. 5. Hamka memberikan arti akal dengan ikatan. Ibarat tali yang mengikat hewan
semisal unta, akal adalah ikat yang mengikat manusia. Lihat Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits,....., h.. 16
78
penting karena menjadi dasar syarat seseorang menjadi mukallaf (orang
yang sudah layak dibebani kewajiban-kewajiban agama).46
Dengan akal
pula seorang mendapat tuntutan untuk berfikir, berusaha, dan bersyukur.
Akal menurut Hamka ialah anugerah Tuhan yang diberikan kepada
makhluk pilihan, yakni manusia, sebagai dasar pembeda terhadap makhluk
ciptaan Tuhan yang lain. Akal bagi manusia yang terpenting berfungsi
untuk mencari rahasia yang tersembunyi di alam ini. Selain itu, guna
membedakan dan memilih diantara yang baik dan yang buruk, karena
kemajuan hidup manusia tergantung dari pada kemajuan dalam
mempertimbangkan baik-buruk dan indah-jelek, juga untuk melakukan
perenungan dan penelitian terhadap semua fenomena alam semesta.47
Hamka mengatakan:
‚Keutamaanmu ialah karena akal itu. Karena akal, engkau sadar bahwa
engkau ada. Engkau sadar bahwa adamu jauh berbeda dengan adanya
makhluk yang lain.‛48
Akal diberikan kebebasan mencari, kemerdekaan berikhtiar, tetapi
wilayah jangkauan kerja akal terbatas. Keterbatasan gerak akal itu mutlak,
tetapi kemampuan akal yang dapat cerdas mampu melaksanakan
perbuatan manusia sehari-hari.49
Eksistensi akal yang tidak mutlak itu
karena aktualisasi ekesistensinya terbentengi oleh kekuasaan dan
46
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 101
47Hamka, Pelajaran Agama Islam, cet. 11, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 182-183
48Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 342
49Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 185
79
ketentuan Tuhan.50
Akal diciptakan dengan potensi yang terbatas, hanya
bergerak di wilayah keterbatasannya, dan tidak mungkin mencerna dan
menguasai perkara atau masalah yang tiada batas (transendental).51
Ibarat warga suatu negara, keberadaannya bebas melakukan apa saja.
Namun, kebabasan dan tata laksana serta cara hidupnya harus sesuai
dengan peraturan dan undang-undang yang disahkan. Demikian juga
halnya orang yang hidup dalam lingkungan suku atau kelompok
masyarakat tertentu yang juga harus selaras dengan aturan adat. Potensi
akal manusia karunia Tuhan yang dimilikinya itu, menurut Hamka,
membuat manusia memiliki kebebasan berkehendak dalam melakukan
perbuatannya. Akan tetapi, kebebasan kehendaknya itu terbatasi dengan
‚undang-undang‛ Tuhan.52
Hamka menuliskan:
‚Ingatlah bahwasanya segala soal yang pelik-pelik ini telah terbit
karena pada kita ada akal. Dengan melihat ayat ikhtiar itu kita merasa
bahwa pada kita ada kebebasan. Dan dengan melihat ayat-ayat takdir
tidaklah kita lupa daratan, bahwasanya kebebasan itu terbatas.
Laksana seorang warga negara dalam satu negara. Dia bebas dalam
lingkungan undang-undang. Sebab itu, maka pada hakekatnya
tidaklah bebas.‛53
Dalam tulisan yang lain:
‚Baiklah! Susunlah segala anasir itu menurut ukuran yang tertentu,
namun sarjana itu tak juga dapat memberinya hidup. Tuhan
50
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, ....., h. 102. Lihat juga Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 341-
342. 51
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, cet. IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 73. 52
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, ....., h. 124. Lihat juga Hamka, Tafsir Al-Azhar, XIII-XIV, h. 71.
53Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 345
80
mengambil misal di dalam Al-Qur’an tentang binatang yang hanya
kecil saja, dan dirasa tidak penting, yaitu lengau dan lalat.‛54
Kondisi ikhtiar manusia yang bebas dalam ketidakbebasan itu bukan
berarti bahwa hidup manusia disetir oleh Tuhan. Hamka mengatakan
bahwa kondisi yang demikian memiliki tujuan agar manusia tidak lupa
daratan.55
Dengan diatur kehidupannya, diharapkan manusia memiliki
hidup yang teratur, terencana dengan baik, berpandangan hidup yang baik,
memiliki target dan tujuan hidup yang baik pula.
Manusia hidup membutuhkan usaha. Makan, minum, berjalan ke arah
yang dituju, dan mencari rejeki, semua membutuhkan usaha. Tanpa usaha,
manusia bak makhluk yang mati. Seperti halnya agama tanpa ijtihad,
maka agama itu menjadi mati. Karena tidak bergerak, berkembang, dan
tidak maju. Untuk itu, manusia harus berikhtiar untuk hidup dan
kehidupannya, agar berkarya, berbudaya, bekerja, dan menunaikan taklif
yang dibebankan dengan sebaik-baiknya. Karena manusia harus punya
pendirian, cita-cita, dan berpedoman hidup.56
Hamka mengatakan,
‚Hidup yang hanya sekejab bak singgah sejenak ini harus punya
lembaga yang dituangi cita-cita dan harapan. Kita harus berikhtiar,
dan semata-mata berikhtiar, untuk menuangi lembaga itu sepenuh-
penuhnya dengan benar supaya sesuai cetakan yang kita harapkan.‛57
54
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 15 55
Tidak lupa daratan ini maksudnya adalah manusia supaya berfikir dan bertindak sesuai
aturan dan ketentuan undang-undang dunia dan akhirat yang telah ditentukan. Peraturan dan
undang-undang dunia berasal dari pemimpin atau pemerintah, sedangkan undang-undang akhirat
berupa aturan yang terkemas dalam syariat agama Islam. Karena ikhtiar manusia harus berjalan
dalam koridor keislaman. Lihat juga HAMKA, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 345 56
HAMKA, Dari Lembah Cita-cita, ....., h. 73 & 86. 57
HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. vi-viii
81
Pandangan hidup atau cita-cita yang utama muslim adalah mencapai
kesempurnaan dan menggapai surganya Allah. Manusia hidup di dunia
berjuang mencapai hidup yang sebenarnya, di tengah rintangan, kesulitan,
dan penuh resiko. Usaha saja tanpa dibarengi kesungguhan dan aturan
syariat Islam hanya membuahkan hasil satu sisi mata uang belaka. Bahkan
tanpa keberanian dan pendirian, orang bak ‚hidup yang mati‛.58
Ada hasil
tapi tidak berlaku dihadapan Allah. Mendapatkan hasil tetapi tidak
mendapatkan pahala. Dalam hal ini, memungkinkan ikhtiar sangat penting
kehadirannya dalam menghantarkan hasil perbuatan dan tindakan manusia
mendapatkan imbalan pahala, selain hasil yang semestinya59
. Menjadikan
orang hidup lebih hidup walau telah meninggalkan dunia.60
Orang hidup tidak harus hanya sekedar hidup. Hidup tidak semata-
mata hanya makan, minum, kawin, dan tidur. Orang harus sadar akan
beragama dan aturan-aturanya agar hidup tidak percuma, tersesat, dan
hilang makna.61
Jalan ke ke surga dan ke neraka telah dijelaskan oleh
wahyu lewat nabi. Memperbaiki jalan hidup bukanlah nanti, tapi sekarang
saat masih hidup di dunia. Pilihan jalan ke surga dan ke neraka adalah
hasil pilihan manusia sendiri.
58
HAMKA, Dari Lembah Cita-cita, ....., h. 87-88 59
Hasil riil dari apa yang telah diusahakan. Dapat dinikmati oleh diri sendiri maupun oleh
orang lain, dan dapat memberi manfaat kepada keluarga dan orang lain. Misalkan orang berusaha
dalam hal belajar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hasilnya dapat menghantarkannya
untuk menjadi guru, guru bagi keluarga, anak-istri, maupun bagi orang lain. 60
HAMKA, Dari Lembah Cita-cita, ....., h. 87 61
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Pustaka Islam: 1984), Juz XII, h. 36, dan Juz VII, h.
129.
82
Dari paparan-paparan di atas dapat dipahami bahwa ikhtiar bagi
Hamka adalah berusaha dan bekerja mencapai kemanusiaan dengan
sepenuh daya upaya yang dilakukan sesuai tuntunan syariat. Karena akal
merupakan pokok semua gerak dan kemajuan di dalam perikemanusiaan.62
Dalam istilah lain yaitu berusaha sekuat daya yang ada pada diri manusia,
baik pikir maupun tenaga, terhadap apa yang dipilihnya sebagai yang baik,
bermanfaat, yang memberikan nilai hidup, dengan penuh tawakal. Nasib
harus dikejar sesuai yang diharapkan, bukan berdiam diri menunggu nasib
apa adanya.63
Setiap usaha harus ada niat sebagai komitmen terhadap
perkataan dan perbuatan.64
Manusia hidup harus bergerak, dan bergerak
itu harus ikhtiar, karena dengan bekal akal yang dianugerahkan Allah
kepadanya, maka manusia dapat menimbang dan berkehendak.
Bekal akal yang dianugerahkan Allah kepada manusia itu merupakan
bentuk kehendak Allah bahwa manusia dalam hidup tidak boleh berdiam
diri, bak kapas yang entah diterbangkan kemana. Dalam menentukan dan
memilih jalan hidupnya, yang nantinya akan menentukan jalan selanjutnya
ke surga atau ke neraka, manusia harus berbuat atau berkehendak. Dengan
adanya ikhtiar yang diwewenangkan Tuhan kepada manusia, menunjukkan
bahwa manusia agar menentukan nasibnya sendiri untuk kepentingan
62
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi, ( Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 45
63Hamka, Pelajaran Agama Islam, Cet. ke-11, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 342, 350-
354. Ikhtiar menurut beberapa literatur memiliki pengertian yang sama. Pada dasarnya ikhtiar
diberikan pengertian usaha atau bekerja secara maksimal atau dengan syarat-syarat maksimal
disertai tawakal dan doa. Lihat 63
Didiek Ahmad Supadie dkk., Pengantar Studi Islam, edisi revisi,
cet. III, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), h. 208 64
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi, ....., h. 197
83
hidupnya, walaupun dalam lingkaran sunatullah.65
Hamka
menggarisbawahi bahwa manusia sayogyanya melakukan ikhtiar sesuai
kapasitas potensi daya yang dimiliki, tidak berlebihan atau memaksakan di
luar kemampuannya. Jangan sampai memakai pakaian yang tidak sesuai
atau yang bukan ukurannya, apalagi bukan pakaiannya.66
Kepentingan dan hajat hidup manusia beraneka ragam. Baik berupa
materi maupun non materi. Selama manusia hidup di dunia selalu dipenuhi
berbagai kepentingan dan kebutuhan. Berbagai keinginan yang menjadi
harapan merupakan bukti bahwa manusia memiliki rasa untuk bahagia.
Rasa bahagia muncul secara seketika atau tiba-tiba ketika bersentuhan
dengan tibanya harapan yang sesuai keinginan, atau didapatkanya suatu
hal, atau dapat melakukan dengan baik apa yang diinginkan.
Kebahagiaan adalah harapan atau tujuan setiap orang.67
Hamka
mengatakan bahwa hal pokok untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan
memberdayakan akal. Akal menurutnya akan menentukan peringkat
bahagia yang dapat dicapai manusia. Hal ini karena akal mampu
membedakan yang baik dan yang buruk, menjadi penimbang dan
65
Sunatullah adalah batas-batas ketentuan yang diciptakan Allah yang berlaku tetap namun
teratur atau tersistematis. HAMKA mempersepsikan sunatullah seperti air yang mengalir teratur
sesuai alur jalannya. Ketika cekung air itu akan memenuhi cekungan itu, ketika penuh kemudian
air itu akan tumpah dan mengalir lagi ke tempat yang lebih rendah. Lihat M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 124-125.
66Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits,...., h. 10 67
Dalam perspektif filsafat, kebahagiaan menjadi puncak pencapaian moral atau akhlak.
Menurut Hamka bahagia adalah qana’ah dan qana’ah ialah bahagia. Sebab tujuan
utama qana’ah adalah menanamkan dalam hati sendiri perasaan thuma’ninah, perasaan tenteram
dan damai, baik di waktu duka atau suka, susah atau senang, kaya atau miskin. Lantaran yang
dituntut qana’ah adalah ketenteraman, ketenteraman itu pula yang menciptakan bahagia, dan
tidak ada bahagia kalau tidak ada qana’ah. Qana’ah dan bahagia adalah satu. Lihat M. Alfan
Alfian, Hamka dan Bahagia: Reaktualisasi Tasauf Modern di Zaman Kita, (Jakarta: Penjuru Ilmu,
2014), h. 211
84
penyelidik hakikat dan kejadian segala sesuatu. Jika akal semakin
sempurna, indah dan murni, maka semakin tinggi pulalah peringkat
bahagia yang dicapai manusia. Karena itu, menurut Hamka, kesempurnaan
kebahagiaan tergantung kepada kesempurnaan akal.68
Menurut Hamka, tingkatan kebahagiaan yang dicapai oleh seseorang
tergantung kepada tingkat kesempurnaan akal. Jika akal bertambah
sempurna, indah dan murni, maka bertambah tinggi pula tingkat
kebahagiaan yang diperoleh. Akal yang tinggi akan menggiring kehendak
mencapai kebahagiaan yang tinggi pula, sebaliknya akal yang rendah
hanya mampu mempersepsi tingkat kebahagiaan yang rendah, sekaligus
mendorong kehendak untuk mencapai persepsi kebahagiaan yang rendah
itu. Hamka mengatakan,
‚Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah
bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup,
bertambah datanglah celaka.‛69
Oleh karena itu, sejak dini akal harus dibimbing dan di asah. Akal
tidak boleh dibiarkan statis. Karena itu harus senantiasa belajar untuk
menambah ilmu dan memperhalus timbangan akal. Jika timbangan akal
bertambah tinggi, maka bertambah tinggi pula martabat seseorang dalam
pergaulan hidup.70
Orang yang akalnya semakin halus, maka ia senantiasa
terhindar dari pikiran sempit dan picik, sebaliknya ia akan berpandangan
luas, pandai menginstrospeksi (meng-ihtisab) diri, mengekang dan
68
Hamka, Tasauf Modern, Cet. XII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 15 69
Hamka, Tasauf Modern,......, h. 16 70
Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits,...., h. 35-37
85
mengendalikan hawa nafsu, senantiasa mencontoh budi pekerti yang baik,
sabar dan tawakkal, serta bersahabat dengan orang-orang yang
berakal.71
Karena kebahagiaan terukur dari sejauh mana manusia
memaknai dan menghargai kehendak untuk dunia ini. Hal ini yang
menyebabkan kebahagiaan setiap orang berbeda-beda.
Kebahagiaan dapat tergapai hanya dengan ikhtiar. Menurut Hamka,
jalan yang mudah mencapai kebahagiaan adalah jalan yang direntangkan
oleh agama. Agama (baca: Islam) menurut Hamka, akan mengantarkan
orang kepada kebahagiaan jika seorang muslim memenuhi empat hal, yaitu
iktikad yang bersih, yakin, iman72
, dan agama73
. Ikhtiar yang dibarengi
iradah untuk hasil yang baik akan mendapatkan sambutan kebahagiaan
yang diharapkan dari apa yang dikerjakan.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa akal adalah nahkoda atau
lokomotif dari semua gerak manusia. Akal adalah daya yang
menggerakkan kehendak dan perbuatan manusia. Sehingga, dalam ikhtiar
ini manusia memiliki peran aktif dalam kehendak dan perbuatannya.74
Hamka mengatakan:
71
Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits,...., h. 43-44
72Iman disamping suatu kepercayaan ketuhanan juga termasuk aktivitas perkataan dan
perbuatan yang bermakna dan bertujuan pengabdian kepada Tuhan. Menurut Hamka, iman
menghasilkan amal saleh. Lihat Hamka, Tasauf Modern, ....., h. 41-42 73
Menurut Hamka, agama ialah buah atau hasil kepercayaan yang tertanam dalam hati,
yaitu ibadah yang lahir karena telah memiliki iktikad, dan lalu menurut dan patuh karena iman.
Lihat Hamka, Tasauf Modern,....., h. 53 74
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, ....., h. 116-117
86
‚Maka janganlah lembaga tinggal lembaga dan kita tidak berusaha
menuanginya. Marilah berusaha, moga-moga sesuailah usaha kita
dengan ketentuan yang telah diisediakan Tuhan buat kita.‛75
Hamka menekankan bahwa ikhtiar harus dilakukan untuk seluruh
kegiatan manusia, baik yang tergolong ibadah wajib maupun non wajib.
Islam juga sangat menganjurkan bahkan mewajibkan setiap orang untuk
bersunggguh-sungguh dalam berusaha (ikhtiar) dalam menggapai
kehidupan dunia dan akhirat. Dalam pepatah Hamka menuliskan:
‚Hidup bukan buat berpesta dan bukan untuk meratap. Hidup adalah
buat bekerja.‛76
Dengan berikhtiar diharapkan hasil sesuai ketentuan yang
dikehendaki Tuhan, yakni yang bermanfaat dan bermaslahat. Untuk itu,
ikhtiar diperlukan niat suci agar hasilnya sesuai yang diharapkan. Karena
dengan niat suci orang akan berkomitmen untuk amanah sesuai perkataan
dan kehendaknya. Hamka mengatakan:
‚orang-orang yang mempunyai niat suci ialah orang yang takluk
kepada perkataannya dan janjinya sendiri. Karena segala pekerjaan
yang akan dilakukannya timbul dari niatnya yang suci dan
timbangannya yang sempurna.‛77
Masalah ikhtiar ini menjadi bagian pembahasan secara resmi
berupa buku oleh Hamka sejak beliau berusia 31 tahun. Hingga berusia 38
75
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi, ....., h. vii
76Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup
sesuai Ketetapan Illahi, ....., h. 336 77
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi, ....., h. 197
87
tahun beliau aktif sebagai seorang aktivis organisasi, wartawan, jurnalis,
dan penggiat kegiatan kursus mubalig. Hamka juga aktif dalam pidato
keagamaan yang dilakukan di masyarakat dan di surau-surau. Pengalaman
retorika, kebebasan berfikir Hamka muda, dan sosok pendakwah,
menghiasi pemikiran Hamka dalam soal ikhtiar ini.
Manusia memang memiliki ikhtiar, dan memiliki kemampuan
untuk menggunakannya. Sebagai seorang mu’min dan sopan-santun serta
hormat dan tunduk terhadap Allah, selayaknya tetap berprinsip bahwa
semua karena Tuhan sebagai pemilik dan pencipta alam ini. Hamka
menuliskan:
‚Sehabis-habis ikhtiar yang ada pada kita, kita pergunakan. Dengan
sekali-kali tidak lupa bahwa alam ini ber-Tuhan. Meskipun segala
sesuatu telah beres, sesuai dengan apa yang kita kehendaki, namun
sebagai seorang mu’min tidak juga kita berani mengatakan bahwa itu
adalah ‘hasil tanganku’‛.78
Hamka juga menuliskan:
‚Umat Islam sekarang ini adalah laksana seorang yang hampir
tenggelam dilamun ombak. Jangan berfikir juga, apakah ada pada saya
ikhtiar untuk melepaskan diri dari dalam gelombang ini, atau semua
initerserah kepada taqdir Allah Ta’ala? Lekaslah berenang ke tepi dan
lepaskanlah diri dari bahaya tenggelam. Tak usah berfikir lagi
siapakah punya taqdir dan adakah ikhtiarku? Dan bersyukurlah kepada
Tuhan karena usahamu melepaskan diri berhasil!‛79
78
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 354 79
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 354-355
88
Dapat dipahami bahwa, bagi Hamka, manusia jangan menyerah kepada
nasib. Manusia diberikan kemampuan untuk berikhtiar, dan dapat meraih
apa yang dikehendaki. Akan tetapi manusia juga harus memahami bahwa
kemampuan berikhtiar dan hasil apapun yang terjadi adalah bukan atas
kuasa penuh dari tanganya.
Pemikiran Hamka tentang ikhtiar dapat dikatakan bersifat
pembaharuan terhadap kondisi pemahaman agama masyarakat di
lingkungan tempat Hamka dilahirkan, yakni di desa Tanah Sirah, Sungai
Batang, Agam, Sumatera Barat. Tidak mengherankan karena Hamka
mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian dari
ayahnya yang dikenal sebagai seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau, dan salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan
kaum muda yang membawa reformasi Islam di Padang Panjang Sumatera
Barat.80
Selain mewarisi darah pembaharu, semangat gerak juang pikir dan
dakwah seorang Hamka termotivasi dari hasil perantauannya di Jawa,
khususnya di Solo dan Pekalongan. Pertemuannya dengan KI Bagus
Hadikusumo, HOS. Tjokroaminoto, RM. Soeryopranoto, dan Ahmad
Rasyid Sutan Mansur, Hamka mengenal tentang Islam lebih dalam dan
memiliki pemahaman bahwa Islam sebagai suatu yang hidup, dinamis, dan
suatu perjuangan. Islam yang dikenal sebagai agama yang
memperjuangkan untuk kemajan umat dari ketertindasan dan
keterbelakangan. Pertemuannya dengan organisasi Muammadiyah juga
80
Murodi, ‚Hamka: Potret Ulama-Pujangga‛, Academia, Vol. 21 No. 2, 2014. Lihat juga
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, ....., h. 97.
89
membuat Hamka memiliki sikap juang dakwah dan syiar Islam, baik lisan
maupun tulisan.
Tidak mengherankan jika sekembalinya Hamka ke kampung
halamannya membawa ‚oleh-oleh‛ pemikiran dan gerakan yang
membangunkan pemahaman Masyarakat Padang Panjang. Di mana
masyarakat Padang Panjang saat itu masih memiliki pemahaman agama
yang melakukan ritual yang tergolong khurafat, bidah dan tahayul. Hamka
mendirikan kursus mubalig, sekolah, dan media massa sebagai sarana syiar
pemikiran dan gerakannya. Orientasi gerakan dan pemikiran Hamka itu,
bila dilihat dari literatur tentang Hamka dan buku-buku karangan Hamka,
bertujuan untuk membangun manusia agar memiliki sosok pribadi yang
hebat, berbudi, beribadah, dan memiliki cita-cita luhur. Orientasi
pemikiran yang membangun kehidupan manusia yang lebih baik dan
mulia, baik di dunia maupun akhirat.
Deskripsi tentang ikhtiar yag dimaksudkan Hamka itu dapat
penulis pahami dan ilustrasikan kembali sebagai berikut:
Rekonstruksi ikhtiar Hamka
Niat: i’tikad baik dan ikhlas untuk melakukan kehendak
Usaha: tindakan fisik dan psikis (doa dan dzikir)
Tujuan: suatu yang akan dicapai
Kebaikan: sesuai syariat agama
Hasil (Takdir)
Kebutuhan, keinginan, cita-
cita, harapan, kehendak
kemanusiaan: kebahagiaan
dan kesentosaan bersama
(keluarga & masyarakat),
dan kebahagiaan akhirat.
90
Bagan di atas dapat dijelaskan bahwa dalam setiap ikhtar harus didahului
dengan maksud atau i’tikad dan niat yang baik dan ihkhlas. Setiap
kehendak yang didahului dengan i‘tikad dan niat yang baik diharapkan
akan memberikan efek positif terhadap proses dan capaian hasil yang
dikehendaki. I’tikad dan niat baik itu kemudian diimplementasikan berupa
usaha yang sungguh-sungguh dengan berbagai cara, baik dilakukan dengan
bentuk fisik dan psikis berupa doa, zikir, dan amal ibadah lainya.
Usaha yang sunggh-sungguh itu prosesnya harus sinkron dengan
tujuan yang dimaksudkan. Misal: maksud ingin pandai, maka secara fisik
yang dilakukan adalah belajar kepada guru dan baca buku dengan
sungguh-sungguh, dan secara psikis berupa doa yang isinya terkandung
permohonan kelancaran dan kesuksesan mendapatkan kepandaian yang
dimaksudkan. Tujuan ini mengandung dua maksud, yaitu hasil capaian dan
efek dari hasil capain dari maksud yang diniatkan dan dari usaha yang
dilakukan. Untuk itu, usaha dan tujuan yang dimaksudkan harus sesuai
dengan koridor kebaikan yang tergariskan dalam syariat.
Hasil capaian yang dimaksudkan ini sangat terkait erat dengan
kehendak Allah (takdir). Jadi, segala usaha yang dilakukan setiap orang
dalam iktiarnya, kebijaksanaan hasilnya ditentukan oleh Allah sesuai
dengan prosesnya. Penulis memahami bahwa gerak lahir (fisik) dan batin
(hati kecil dan pikiran) memiliki pengaruh yang siginifikan dalam
memperoleh hasil capaian. Lebih praktisnya, dari awal proses sampai akhir
proses dalam ikhtiar harus dibalut dengan cara-cara yang baik dan pikiran
yang baik pula. Dengan ikhtiar ini secara implisit setiap orang terikat
91
dengan prinsip, janji, komitmen, konsistensi, dan teguh pendirian. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa ikhtiar dapat menjadikan kehidupan dan
pola hidup setiap orang menjadi baik.
2. Ikhtiar dan Takdir
Arti ikhtiar secara etimologis dan terminologis telah dipaparkan pada
kajian umum pada bab II. Sebagai pengayaan, Al-Allamah Al-Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan bahwa ikhtiar memiliki arti pilihan,
yaitu pilihan dari yang terbaik.81
Murtadha Muthahari juga berpandangan
sama, bahwa ikhtiar diartikan memilih, yakni memilih perilaku atau
perbuatan yang dikehendaki.82
Tidak banyak para ulama, kaum cendekia,
intelektual, dan tokoh ilmuan yang memberikan penjelasan atau pendapat
tentang arti ikhtiar ini.
Sedangkan takdir berasal dari akar kata qadara yang artinya ketentuan.
Ketetuan ini menyangkut ke-Maha Kuasa-an Allah Swt, bahwa Allah Swt
telah menentukan suatu perkara atas kehendak-Nya. Kata takdir dengan
tambahan huruf ta dan ya mempunyai arti bahwa Allah Swt telah
menentukan sesuatu.83
Menurut M. Quraish Shihab, takdir diartikan
mengukur, memberi kadar atau ukuran.84
Kadar dan ukuran ini
menyangkut segala keputusan yang menyangkut alam semesta, khususnya
81
Al-Allamah Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Jalan Orang Shalih Menuju Surga, penerjemah: Masturi dan Mujiburrahman dari kitab ‚Tariq al-Hijratain‛ (Jakarta: Akbarmedia,
2015), h. 9-10 82
Mawardi Ahmad, ‚Pemikiran Murtadha Muthahhari tentang Keadilan Illahi‛, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2006, h. 300
83Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 332
84M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Qua’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 61
92
hidup dan kehidupan manusia, yang dalam hal ini berhubungan dengan
ikhtiar. Firman Allah dalam Al-Qur’an:
ء عنده بمقدار وك ش85
‚Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya‛
Menurut Nurcholis Madjid, qadar atau takdir diartikan ukuran yang
pasti atau yang dibuat pasti.86
Menurut Fethullah Gullen, takdir secara
bahasa diartikan menetapkan segala sesuatu, yakni menilai sesuatu atas
penilaian tertentu, atau memperkirakan sesuatu atas perkiraan atasnya.87
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa takdir adalah segala sesuatu yang
terjadi karena sebab-akibat.88
Sedangkan Abu Hasan Al-Asy’ari
memberikan penjelasan tentang takdir ini bahwa takdir merupakan
perwujudan kehendak Allah Swt terhadap makhluk-Nya.89
Secara istilah, takdir (qadar) diartikan segala yang akan terjadi dan
sedang terjadi telah ditentukan oleh Allah Swt, baik itu sesuatu yang baik
maupun yang buruk.90
Atau takdir adalah ilmu Allah Swt yang meliputi
segala yang terjadi dan yang berhubungan dengan hal yang terjadi kelak
sesuai dengan apa yang telah ditentukan sejak semula oleh Allah Swt.
Jadi, ketentuan segala sesuatu yang akan terjadi dan ketentuan ukuran
85
QS. Al-Ra’du [13]: 8 86
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 291 87
Fethullah Gullen, Qadar: Di Tangan Siapakah Takdir atas Diri Kita? (Jakarta: Republika,
2011), h. 1 88
Ahmad Ibnu Taimiyah, Qada dan Qadar (Beirut: Dar al-Kutub, 2001), h. 9 89
M. Taib Tahir Abdul Muin, Risalah Qada dan Qadar (Yogyakarta: Sumbangsih, 1964), h.
7 90
A. Munir, Sudarsono, Dasar-dasar Agama Islam (Jakara: Rineka Cipta, 2013), . 38
93
atau batas-batasnya dan segala akibat-akibatnya telah ada pada ilmu Allah
Swt.91
Syekh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd memiliki pengertian yang
sama tentang qadar ini. Menurutnya, qadar adalah ilmu Allah, catatan-Nya
terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya, dan penciptaan-Nya terhadap
segala sesuatu tersebut.92
Jika demikian berarti bahwa segala sesuatu
ketentuannya adalah atas kehendak-Nya, sedangkan manusia hanya
diberikan hak kuasa untuk berusaha. Ini senada dengan Muhammad Abduh
bahwa manusia –dengan anugerahnya berupa akal- dalam takdir itu
memiliki hak usaha yang bebas dengan kemauan dan kehendaknya untuk
mencari jalan yang dapat membawanya ke kebahagiaan dan kudrat
Allah.93
Qadha berasal dari bahasa arab قضاء, yang berarti kehendak.94
Dalam
kamus Lisan al-Arab, qadha’ adalah bentuk masdar dari fi’il madhi yaitu
qadha, yaqdhi, qadha’an, yang secara etimologi bermakna keputusan,
takdir, ketentuan, rampung, wasiat, penyelesaian, melaksanakan,
penyempurnaan dan kematian.95
91
M. Amin Syukur dkk, Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadapt Jedonisme Kehidupan Modern (Semarang: Tiga Serangkai, 2003), h. 109
92Syekh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-Iman bi al-Qadha wa al-Qadar, edisi
terjemahan oleh Ahmad Syaikhu dengan judul Kupus Tuntas Masalah Takdir (Bogor: Pustaka
Ibnu Katsir, 2005), h. 25 93
M. Amin Syukur dkk, Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadapt Hedonisme Kehidupan Modern, ....., h. 108. Lihat juga Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, cet.VIII
(Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h.48 94
Abdul Hadi Awang, Beriman kepada Qadak dan Qadar (Selangor, Malaysia: PTS
Islamika, 2008), h. 13 95
Khairunnisa Rajab & Wan Muhammad Fariq, ‚Psikologi Qada’ dan Qadar‛, Jurnal Hadari, Vo. 6 No. 1, 2011, h. 15
94
Secara istilah, Syekh Ahmad Izzudin al-Bayanuni memberikan
pengertian bahwa qadha adalah pelaksanan dari qadar yang telah
ditentukan oleh Allah.96
Menurut Fethullah Gullen, qadha adalah
pelaksanaan atas segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt
sesuai dengan takdir-Nya.97
Ini berarti, qadha adalah ketentuan yang telah
ditetapkan, atau merupakan pelaksanaan dari takdir (qadar). Sedangkan
takdir atau qadar adalah hukum Allah yang ditetapkan atas segala
makhluknya. Hal ini bisa dikatakan bahwa takdir (qadar) lebih umum
daripada qadha, karena qadha merupakan pelaksanaan dari qadar.98
Dengan demikian, setiap gerak dan usaha manusia selalu akan
mendapatkan hasil, apapun bentuk dan kadarnya, sesuai dengan kapasitas
gerakan yang dilakukan. Salah satu faktor yang menentukan hasil adalah
akal. Manusia telah diberi akal berfungsi untuk menimbang mana yang
baik dan mana yang buruk, mana yang mudharat dan mana yang manfaat.
Manusia diberikan wewenang dalam bebas berkehendak dan berbuat.
Manusia memiliki kebebasan memilih apapun yang dikehendaki dan
diperbuat. Mau jadi mukmin silahkan, mau jadi kafir pun silahkan.99
Dengan adanya akal yang telah diberikan yang berfungsi sebagai alat fikir,
adanya aturan budi pekerti, dan wahyu sebagai penuntunya, manusia
menjadi makhluk budaya yang bebas menentukan karya dan ciptanya.
96
Hafiz Firdaus Abdullah, 47 Persoalan Qadar dan Qadha, (Johor, Malaysia: Perniagaam
Jahabersa, 2011), h. 23 97
Fethullah Gullen, Qadar: Di Tangan Siapakah Takdir atas Diri Kita? , ....., h. 3 98
A. Khoiron Mustafiet , Takdir 13 Skala Righter: Mempertanyakan Takdir Tuhan (Depok:
Qultummedia, 2009), h. 76 99
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, ....., h. 116-120
95
Namun, setiap orang mukmin dituntut untuk menenpuh jalan yang telah
dibentangkan dalam wahyu bila hidupnya tidak mau tersesat.100
Nurcholis Madjid mengatakan bahwa takdir ialah ajaran agar manusia
mengembalikan segala sesuatu kepada Allah Swt. Hal ini bukan berarti
fatalistik. Menurutnya, takdir adalah hukum ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah untuk mengatur pola perjalanan dan tingkah laku
alam ciptaan-Nya. Untuk itu, untuk menuai kesuksesan, manusia dituntut
untuk memahami hukum alam ketentuan Allah itu dengan jalan ikhtiar.101
Dari pengertian dan devinisi tentang takdir tersebut, dapat dipahami
bahwa manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak dan perbuatannya.
Fenomena perkembangan budaya dan peradaban dan varian pengetahuan
dan ilmu yang tercipta menunjukkan bahwa manusia diberikan potensi
untuk berikhtiar menggapai takdir. Proses tidak mungkin terjadi bila tidak
ada gerakan, kehendak, dan kemauan. Tidak ada yang terjadi secara ujug-
ujug tanpa sebab apapun. Juga tidak ada akibat yang terjadi begitu saja
tanpa ada sebabnya sama sekali.
Alam yang terhampar luas ini bergerak secara teratur. Tuhan
menurunkan hujan lalu tumbuhlah berbagai macam tumbuhan. Dengan air
hujan itu pohon-pohon di hutan menyimpan dan menggalirkan air ke tanah
lalu terjadilah sungai-sungai kecil. Dari sungai itu ada tumbuhlah berbagai
macam binatang, diantaranya adalah ikan. Semua terjadi begitu teratur.
100
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, ....., h. 122-123
101 Afif Anshori, ‚Pemikiran Kalam Nurcholis Madjid‛, Papper, Oktober 2013.
96
Itulah sekilas takdir yang terjadi karena proses kausalitas. Hamka
menuliskan:
‚Perjalanan matahari, bulan, bumi, dan bintang-bintang. Perjalanan
cahaya dan ukuranya untuk bilangan tahun, semuanya menurut taqdir.
Biji kelapa menembus tempurung dan sabut, yang keras dan tebal,
sehingga dapat hidup demikiran, adalah menjalani taqdir tertentu.‛102
Setiap kejadian dan fenomena –takdir- mengandung kualitas dan
hikmah. Dalam hidup setiap orang memiliki tujuan, apapun itu, dan ada
sebab dan akibat di samping tujuan itu. Seperti orang ingin berniaga.
Keinginan itu dapat terwujud bila ada kehendak untuk mewujudkan.
Kehendak itu dapat mewujudkan keinginan itu bila ada ikhtiar. Dari sini
dapat dicermati bahwa proses mulai adanya keinginan sampai terwujudnya
keinginan itu ada peran kausalitas. Seperti halnya orang ingin pintar, maka
dia harus belajar. Ingin menjadi sarjana, maka harus melalui jenjang
belajar di perguruan tinggi. Cita-cita dan kenginan yang berhasil terwujud
tanpa ikhtiar, atau berhasil hanya dengan modal khayal dan bermalas-
malasan adalah mustahil.103
Proses hukum sebab dan akibat ini sering disebut dengan sunatullah,
atau sebaliknya, apa yang dikenal dengan sunatullah adalah sebab dan
akibat.104
Orang menanam pohon cabe, maka tumbuhlah pohon cabai dan
berbuah cabai. Orang menanam pohon jeruk tumbuhlah pohon jeruk dan
berbuah jeruk. Lalu datanglah hewan dan binatang pemakan daun cabai
102
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 357 103
Didiek Ahmad Supadie dkk., Pengantar Studi Islam, ....., h. 206 104
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 339.
97
atau jeruk, lalu rusaklah tanaman. Manusia lalu berfikir dan mempelajari
bagaimana cara supaya binatang penghama tanaman itu hilang tidak
menganggu lagi. Kemudian ditemukan obat untuk membasmi hama itu.
Semua akibat karena tersebab dari usaha dan ikhtiar manusia. Itulah
kenikmatan, dan kenikmatan diperoleh dari usaha dan ikhtiar. Tuhan
memang menyuruh manusia untuk berusaha dan melarang berputus asa
serta bermalas-malasan.105
106
..لم نصيب ما كسب وا....
‚...bagi mereka nikmat anugerah, tersebab usaha mereka...‛
Hamparan bumi yang subur dan lautan yang menghampar penuh
rahasia nikmat bukanlah suatu hiasan, tetapi tersimpan tuntutan Tuhan
kepada manusia untuk menggali dan memanfaatkan potensi rahasia yang
ada di dalamnya. Karena manusia telah dianugerahi alat yang sejati berupa
akal yang harus dipergunakan untuk berfikir.
رون . 107..أفل ت ت فك
‚...apakah tidak engkau pikirkan?‛
108...أفل ت عقلون ‚...apakah tidak engkau akali?‛
Dan anugerah lainya berupa indera, yakni mata untuk melihat, telinga
untuk mendengar, hati untuk merenung. Semua anugerah tersebut guna
105
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 352-353 106
QS. Al-Baqarah [2]: 202 107
QS. Al-An’am [6]: 50 108
QS. Al-Baqarah [2]: 44
98
agar manusia mendapatkan kemajuan hidup prikemanusiaan.109
Hamka
menuliskan:
‚Tidaklah engkau diberi mata buat melihat, telinga buat mendengar,
hati buat merenung. Itupun semuanya adalah anugerah Illahi
kepadamu. Engkau diberi keyakinan dan petunjuk supaya percaya
kepada takdir. Gunanya bukanlah supaya engkau menyerah bermanja-
manja kepada Tuhan laksana anak kecil yang masih dalam pangkuan.
Khasiat akal yang diberikan kepadamu itu pun menyatakan bahwa
tidaklah demikian pantasnya.‛110
Setiap hasil dan perubahan kondisi kehidupan seseorang tergantung
pada diri orang itu sendiri. Nasibnya sangat ditentukan oleh ikhtiar yang
dilakukannya.
روا ما بأن فسهم. رما بقوم حت ي غي 111...ان الله ل ي غي ‚Sesungguhnya Allah tidaklah akan merubah apa yang ada pada suatu
kaum sebelum mereka merubah apa yang ada pada diri mereka.‛
Surat al-Ra’du ayat 11 merupakan salah satu ayat yang terdaftar dalam
ayat-ayat ikhtiar Hamka. Ayat-ayat lain yang masuk kelompok ayat
ikhtiar menurut Hamka yaitu:112
ا كفورا ا شاكرا وإم بيل إم إنا ىدي ناه الس‚Sesungguhnya Kami telah memberikan jalan, kadang-kadang dia
bersyukur kadang-kadang dia kafir.‛ (QS. Al-Insan [76]: 3)
109
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 346-347 110
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 347 111
QS. Al-Ra’du [13]: 11. Lihat Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 345 112
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 344
99
ذا صراطي مستقيما فاتبعوه بل ف ت فرق بكم عن سبيلو وأن ى لكم ول ت تبعوا الس ذ
قون وصاكم بو لعلكم ت ت ‚Inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah oleh kamu akan dia. Dan
janganlah mengikuti jalan lain, niscaya terpecah-belahlah kamu pada
jalan-Nya. Demikianlah diwasiatkan-Nya kepadamu supaya kamu
taqwa.‛ (QS. Al-An’am [6]: 153)
فمن شاء ف لي ؤمن ومن شاء ف ليكفر ‚Maka barang siapa berkehendak maka hendaklah dia percaya, dan
barang siapa yang berkehendak maka kafirlah.‛ (QS. Al-Kahfi [18]:
29)
د اللو غفورا رحيما. ومن يكسب إث اومن ي عمل سوءا أو يظلم ن فسو ث يست غفر اللو ي
ا ي وكان اللو عليما حكيما كسبو على ن فسو فإن ‚Dan barang siapa yang mengamalkan akan yang jahat atau
menganiaya akan dirinya, kemudian itu memohon ampun dia kepada
Allah, akan didapatinya Allah itu Pemberi Ampun dan Penyayang.
Dan barang siapa yang mengusahakan dosa, maka usahanya itu adalah
dosa atas dirinya sendiri. Dia adalah Allah Maha Tahu dan
Bijaksana.‛ (QS. An-Nisa’[4]: 110-111)
Adanya ayat-ayat ikhtiar tersebut bukan berarti manusia mendapatkan
ruang tanpa batas dan terninabobokkan dengan fasilitas dan kemampuan
yang diberikan Tuhan kepadanya. Dapat dipahami bahwa ayat-ayat ikhtiar
tersebut sebagai fasilitas Tuhan kepada manusia untuk berkehendak.
Namun perlu diingat bahwa di ruang bebas berkehendak manusia itu ada
batas dasar hukum yang telah berlaku tetap bagi tiap kehendak dan
ikhtiar. Dasar hukum itu adalah aturan besar yang tidak dapat diatasi oleh
manusia. Aturan besar itu adalah takdir. Setiap ikhtiar yang dilakukan
100
manusia akan mendapatkan takdirnya. Untuk itu, Hamka mengatakan,
bahwa takdir tidak bisa dielakkan, tetapi harus dikejar.113
Karena setiap
kehendak dan ikhtiar akan mendapat takdir. Hamka menuliskan:
‚Taqdir dikejar, bukan dielakkan. Menyerbu ke dalam taqdir, bukan
lari daripada taqdir! Seorang muslim dilarang keras datang kepada
tukang tenun dan tukan ramal, yang katanya pandai menilik nasib.
Pandai mengetahui buruk atau baik yang akan menimpa di belakang
hari. Dilarang menanyakan nasib kepada tukan tenun itu, karena yang
demikian mengurangi kepercayaan kepada Tuhan.‛114
Untuk itu, Takdir115
menurut Hamka adalah hinggaan atau jangkauan.
Menurutnya, tidak ada satu pun ikhtiar manusia yang dapat keluar dari
hinggaan atau jangkauan itu. Manusia yang berikhtiar akan memperoleh
nikmat. Manusia yang menanam padi tidak akan tumbuh ilalang. Dengan
irigasi yang baik tentu akan tumbuh padi yang subur. Dengan bumbu yang
pas dan sesuai ketentuan maka akan menghasilkan masakah yang enak
rasanya.116
Ayat-ayat takdir yang mengikat ikhtiar manusia menurut
Hamka adalah sebagai berikut:117
ولم عذاب عظيم وعلى أبصارىم غشاوة تم اللو على ق لوبم وعلى سعهم خ
113
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 349 114
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 349-350 115
Hamka menyebut takdir juga dengan istilah hukum alam atau sunatullah, yaitu peraturan
yang teguh dan tidak berubah lagi. Hukum yang tua dari segala hukum, yang dahulu dari segala
agama. Hukum agama juga terlahir dari hukum alam ini. Hukum yang datang dari Tuhan yang
cocok dengan segala zaman, peraturanya sesuai, adil, dan tidak pernah berat sebelah. Dan dengan
anugerah akal, manusia dalam menentukan baik dan buruk juga dari hukum alam. Hukum alam ini
akan dijalani manusia sejak dia datang ke dunia; lahir, sampai pada masa meninggalkan dunia;
wafat, menjadi penuntun dalam memperoleh kebahagiaan dan kesempurnaan. Seluruh yang ada di
langit dan di bumi seisinya semuanya berjalan sesuai dengan hukum alam. Lihat Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, ......, h. 73-76
116Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 355. Liha juga M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran
Kalam Tafsir Al-Azhar: sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, ....., h.127 117
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 343-344
101
‚Telah menutup Allah atas hati mereka dan atas pendengaran mereka
ada pelumuran. Dan bagi mereka adzab yang besar.‛ (QS. Al-Baqarah
[2]: 7)
ىو ربكم ل ينفعكم نصحي إن أردت أن أنصح لكم إن كان اللو يريد أن ي غويكم و
وإليو ت رجعون ‚Dan tidaklah akan memberi manfaat kepada kamu nasehat-nasehatku
jika aku mau memberi nasehat kepada kamu jika Allah Ta’ala
berkehendak menyesatkan kamu. Dialah Tuhan kamu dan kepada-
Nyalah kamu akan kembali semuanya.‛ (QS. Hud [11]: 34)
أفمن حق عليو كلمة العذاب أفأنت تنقذ من ف النار ‚Apakah orang-orang yang telah pasti atasnya kalimat siksa? Apakah
engkau akan mengeluarkan orang yang telah dalam neraka?‛ (QS. Al-
Zumar [39]: 19)
ة رسول أن اعبدوا اللو واجتنبوا الطاغوت ن ىدى اللو ولقد ب عث نا ف كل أم هم م فمن
ت عليو ن حق هم م الضللة ومن ‚Dan sesungguhnya telah mengutus kami pada tiap-tiap umat akan
utusan supaya menyembah mereka akan Allah dan menjauhi mereka
akan thaghut. Maka ada di antara mereka itu yang diberi hidayat
Allah dan di antara mereka ada pula orang yang telah pasti atas
kesesatan.‛ (QS. Al-Nahl [16]: 36)
Ayat-ayat ikhtiar dan ayat-ayat takdir tersebut di atas adalah seiring
sejalan, bukan berlawanan. Dengan melihat ayat-ayat ikhtiar menandakan
bahwa pada diri kita ada kebebasan berkehendak. Dan dengan melihat
ayat-ayat takdir tersebut menjadikan kita tidak lupa daratan, bahwa
kebebasan itu terbatas, terbatas dalam lingkup dasar hukum (takdir) Allah.
102
Ibarat kebebasan seseorang sebagai warga yang hidup di sebuah negara,
dia bebas dalam lingkungan undang-undang negara itu.118
Secara konseptual tentang ikhtiar dan takdir tersebut dapat penulis
rekonstruksi deskripsinya sebagai berikut:
Penjelasan:
Bulat biru adalah titik manusia dalam posisi diam atau belum
bergerak dan niat akan melakukan aktifitas atau ikhtiar.
Lingkaran-lingkaran merah adalah jangkauan tujuan. Kemana pun
tujuan yang diinginkan, di situ akan mendapatkan takdirnya.
Panah yang mengarah ke segala arah menunjukkan arah ikhtiar
manusia dan tuntunan atau aturan syariat. Kemana pun arah ikhtiar,
apapun bentuk ikhtiar, semua ada aturannya dalam syariat.
Warna hijau yang mewarnai seluruh lingkaran menujukkan bahwa
hidup manusia dipenuhi dengan takdir Tuhan. Kemana pun arah
ikhtiar dan tujuan yang ingin dicapai, maka akan mendapatkan
takdirnya sesuai kekuatan ikhtiar yang dilakukan.
3. Ikhtiar sebagai Prinsip Hidup: Taklif Kewajiban dan Hak
Kehidupan manusia tidak terlepas dari beragam aktifitas, antara
lain pekerjaan. Beragam jenis pekerjaan manusia tentunya beragam pula
118
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 345
Manusia, titik awal, niat
- Syariat/ketentuan agama
- Arah usaha
Tujuan
Takdir
103
kewajiban masing-masing. Setiap pilihan pekerjaan terdapat taklif dan
resiko. Seperti tukang penjual roti berbeda dengan tukang penjual sayur.
Pegawai di perusahaan tambang juga berbeda taklif kerjanya dengan
pegawai di perusahaan produk makanan. Begitu pula guru berbeda taklif
kerjanya dengan peternak.
Pilihan adalah ikatan. Kita semua yang telah mentukan pilihan
dalam beragama pada Islam pasti terikat kontrak dengan taklif tanggung
jawab dan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan. Begitu pun setiap
orang yang telah menentukan pilihan terhadap pekerjaan yang
dikehendaki, maka serta merta terikat dengan pekerjaan yang dipilihnya
itu. Baik pekerjaan itu berupa bekerja kepada orang lain di sebuah
perusahaan, bekerja sama dengan orang lain untuk mengerjakan pekerjaan
tertentu, maupun bekerja sendiri dalam mengelola perusahaannya.
Ataupun juga pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan
keagamaan.
Berat atau ringannya beban pekerjaan yang diwajibkan untuk
dikerjakan tidak ditentukan oleh tingkat jabatan, posisi, atau status
pekerjaan. Ukuran berat atau ringan pekerjaan secara riil terlihat pada
sejauh mana kemampuan atau kesanggupan orang itu memikul beban
tanggung jawab atas pekerjaan itu sesuai ukurannya masing-masing.
Karena setiap pekerjaan memiliki taklif tanggung jawab dan kewajiban
yang sama bobotnya sesuai pekerjaan yang harus ditunaikan. Pantas dan
terpujinya kemanusiaan seseorang tergantung pada taklif kewajiban tu
104
ditunaikan, dan tinggi-mulianya pembayaran kewajiban ialah yang
dikerjakan atas perintah hati nurani.119
Hamka mengatakan, kelalaian dalam memikul kewajiban pekerjaan
adalah penyakit masyarakat. Orang-orang yang bekerja dalam satu kantor
di perusahaan yang sama adalah ibarat satu tubuh. Jika ada salah satu
pegawai melakukan kewajiban pekerjaannya tidak sesuai yang ditaklifkan,
atau lalai, maka akan terjadi kekurangnyamanan, akan terjadi hubungan
kurang sehat antar pegawai, dan terganggunya proses sirkulasi taklif
pekerjaan pegawai yang lain, sehingga akan mengakibatkan kondisi tidak
fit. Beban tanggung jawab kewajiban itu ada hubungannya satu sama lain.
Ketika terjadi kelalaian di satu pihak, maka akan terjadi gangguan pada
yang lainnya. Untuk itu, teguh membayar kewajiban adalah pokok
keutamaan. Karena keteguhan dalam mengemban beban tanggung jawab
kewajiban itu menyebabkan keharmonisan hubungan antar sesama, kuat,
dan sehatnya masyarakat itu.
Membayar kewajiban itu adalah suatu yang sangat penting dan
besar. Membutuhkan hati yang kuat dan kemauan yang keras, yang harus
diniatkan dengan baik dan terus dikembangkan. Sebab, dalam proses
pengerjaan wajib itu terjadi perjuangan antara hati yang suci dengan
nafsu. Siapa saja yang tidak mempunyai kekuatan menangkis dorongan
nafsu, maka akan terbengkalai pekerjaan kewajiban itu, yang akan
119
Atas perintah hati nurani maksudnya adalah mengerjakan kewajiban dengan
pertimbangan bahwa perkara itu dikerjakan karena wajib dikerjakan sesuai taklif, bukan karena
pujian, dipaksa keadaan sehingga timbul rasa takut, atau harapan pada suatu hal (benda atau
materi). Lihat Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi, cet. II, (Jakarta: Repbulika Penerbit, 2015), h. 3-4
105
membuat diri seseorang menjadi jatuh derajatnya. Hal ini disebabkan
karena setiap orang merupakan bagian dari masyarakat, dimana dalam
berbuat dan beraktifitas maupun menunaikan taklif dalam pekerjaan harus
sesuai aturan, menjaga sopan-santun, dan sesuai kepentingan masyarakat.
Jika dia memisahkan diri dengan khalayak, maka fanalah diri dan tidak
ada harganya. Ini disebabkan karena kemanusiaaan, bahkan kepribadian
manusia, tidak akan tumbuh sempurna dengan hidup menyendiri.120
Karena hidup tidak bisa dengan seorang diri. Keberadaan setiap
orang di dunia ini tidak ujug-ujug tercipta begitu saja. Kita lahir tidak dari
seonggok batu. Kita lahir berkat kedua orang tua, di lingkungan sosial,
dan berkembang besar dalam binaan aturan masyarakat. Maka dari itu,
kesempurnaan hidup harus membaur dan bersama-sama membangun
masyarakat. Sebab, setiap diri membutuhkan orang lain dalam
berkehendak menunaikan kewajiban jasmaninya, yakni makan, minum,
tempat tinggal, pakaian, dan segala persiapan kepentingan dirinya. Begitu
pula berkehendak dalam menunaikan kewajiban ruhaninya yang berupa
pengetahuan, kebebasan berfikir dan bertindak, dan berperasaan; sabar dan
qana’ah.121
Dimana pun kita berpijak, hidup, berkumpul, berkegiatan, dan
melangsungkan prosesi pemenuhan segala kepentingan dan kebutuhan
hidup selalu bersinggungan dengan taklif. Apa yang menjadi kewajiban
120
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 6. Lihat juga Hamka, Studi Islam, (Jakarta, Pustaka
Panjimas, tt), h. 76 121
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, Cet. II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa,
1994), h. 169
106
yang harus ditunaikan, dan apa yang menjadi hak yang harus kita
dapatkan. Hubungan diantara tiap-tiap diri dengan masyarakat itu
mempunyai undang-undang yang harus ditimbang terima. Seorang
membayar kepada mayarakat, dan masyarakat juga membayar kepada
seorang itu. Orang wajib berjuang berkorban untuk kepentingan
masyarakat, dan masyarakat melindungi orang itu.
Setiap orang yang lahir ke dunia ini mendapatkan hak dari
masyarakat, diakui hak itu oleh undang-undang, dan dihormati oleh
hukum. Hak yang didapatkannya ialah hak kemerdekaan diri; meliputi hak
hidup, hak menentukan keyakinan dan kepercayaan, hak menentukan
pilihan atau hak politik, hak budi, dan hak berfikir, kemerdekaan hak
milik, kemerdekaan membela diri atau menangkis serangan, dan
kemerdekaan mencari nafkah.122
Hak atau kebenaran ini mesti adanya,
tidak akan berubah walau waktu berubah dan tempat berlainan. Hak ini
mesti ada pada setiap manusia yang berakal, dan keberadaannya wajib
dihormati.123
Hak dan kewajiban ini mutlak adanya. Diri pribadi dengan
masyarakat di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan kerja,
masyarakat tertentu dengan masyarakat lainnya, maupun masyarakat
dengan pemerintahnya. Semua ada aturan dan undang-undang yang harus
diikhtiarkan untuk dijalankan dan dijaga bersama. Ini adalah prinsip pokok
122
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 9-10
123Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk
Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 132
107
berperikehidupan agar terjamin format kehidupan yang diharapkan
bersama.
Selain kewajiban yang harus dipikul oleh diri di atas, yang paling
utama dan terprioritas taklif manusia sebagai makhluk Tuhan yang
sempurna dan mulia yang dijadikan sebagai khalifah124
adalah kewajiban
terhadap Yang Maha Mencipta, yakni Allah Swt. Manusia sebagai
makhluk yang terhormat dan sebaik-baik makhluk ciptaan –malaikat pun
bersujud kepadanya, memiliki kewajiban untuk menggunakan segala
potensi dan pengetahuannya hanya berorientasi pada kebaikan, yakni
ibadah atau pengabdian kepada Allah Swt. Taklif terhadap diri, terhadap
sosial, dan terhadap alam sekitar harus dikerucutkan pada satu arah, yakni
untuk beribadah kepada Allah Swt.125
Sebagai khalifah, manusia harus
menjaga diri, keluarga, dan keturunanyan dengan sebaik-baiknya agar
tidak merosot turun martabatnya sehingga jatuh menjadi binatang.126
Itu prinsip, karena hidup di dunia ini meliputi segala segi dan
aspeknya. Sejak dari hidup sendiri, sampai pertalian pribadi ibu-bapak,
suami-istri, orang tua dan anak, lingkungan tempat tinggal, masyarakat
yang lebih luas lainnya, dan negara. Sejak dari mengurus sesuap nasi yang
akan dimakan sampai dengan urusan perekonomian yang lebih luas.
Hubungan diri dengan orang lain, masyarakat dengan masyarakat, sampai
124
Hamka mengatakan bahwa jabatan khalifah yang begitu tinggi hanya dilaksanakan
oleh orang yang merasa selalu ada rasa takut kepada Allah. Orang yang senantiasa memahami
bahwa semua orang adalah sama dihadapan Allah. Lihat Hamka, Studi Islam, ....., h. 32-33 125
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, ....., h. 164-165 126
Hamka, Studi Islam, (Jakarta, Pustaka Panjimas, tt), h. 7
108
dengan negara dengan negara.127
Itulah urusan hidup yang harus diemban
oleh manusia, dan itu prinsip yang tidak bisa diganggu gugat.
4. Ikhtiar Berorientasi pada Ibadah dan Keutamaan
1. Allah sebagai Orientasi Utama
Pusat akidah atau prinsip ajaran Islam yaitu bahwa pencipta
(Khaliq) itu hanya satu, Allah adalah Esa. Akal yang berfikir sehat
harus sampai kepada akidah yang satu itu. Al-Quran telah memberikan
berbagai perumpamaan yang jelas tentang ajakan untuk berfikir yang
teratur perihal Allah Yang Maha Pencipta.128
Akal yang
dianugerahkan Allah kepada manusia memiliki salah satu pekerjaan
yaitu mencari ilmu, pengetahuan, dan rahasia alam yang diciptakan
oleh Allah. Manusia harus melakukannya, menggunakan semaksimal
mungkin potensi akal yang dimilikinya. Tujuan dari pada itu adalah
manusia akan menemukan otentisitas bukti faktual secara empiris dari
alam yang indah, penuh seni, dan teratur sebagai bukti ke-Maha
Pencipta-an Allah Swt, suatu rahasia yang beyond dan tersembunyi
yang sebelumnya dia belum ketahui.129
Bertambah luas ilmu pengetahuan dan hasil penyelidikan serta
tambah bersih cara berfikir, maka akan menghasilkan ilmu yang yakin
127
Hamka, Studi Islam,....., h. 30 128
Salah satunya bisa dilihat pada QS. Al-Hajj [22] ayat 73, yang berbicara soal
keyakinan yang menyekutukan Allah, yakni memilih sesembahan selain Allah. 129
Hamka, Studi Islam, ....., h. 7, lihat juga Hamka, Pandangan Hidup Muslim, cet. IV,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9
109
dan bertambah terbuka pula jalan kepada tauhid, asbabul asbab.130
Sebuah akhir perjalanan akal yang diiringi dengan jiwa yang suci,
walaupun dari mana pangkal memulainya. Tauhid menjadikan manusia
memiliki keyakinan teguh terhadap eksistensi Tuhan, sebagai Yang
Maha Kuasa dan Yang Maha Pencipta.131
Allah, nama Yang Maha Mulia dari dzat Yang Maha Suci, adalah
yang kita percayai dan karena-Nya kita beribadah, beramal, dan
berusaha. Dari pada-Nya kita hidup, dan dari pada-Nya pula kita
kembali. Amat sucilah Dia, dan kepada-Nya terhimpun pujian-pujian.
Yang menciptakan dunia bagai istana megah dan mengatur alam
sesisinya dengan keteraturan yang indah dan penuh seni.132
Itulah buah
dari tauhid.
Ketika kepercayaan dan keyakinan itu telah teguh kokoh tertancap
dalam diri kita, maka secara implisit terpinanglah kita dalam satu
ikatan yang bernama akidah, yaitu mengikat hati dan perasaan dengan
satu kepercayaan yang selalu dipegang teguh, yakni bahwa Allah
adalah Maha Esa, Maha Pencipta, dan Maha Kuasa atas segala yang
diciptakan, Yang Maha Hakim133
dari setiap perbuatan manusia. Jiwa
130
Hamka, Pelajaran Agama Islam, cet. XI, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 34. Lihat
juga Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 140
131 Dia-lah Tuhan, baik di langit dan di bumi, lautan dan daratan, yang gaib dan yang
nyata. Semua terjadi atas kehendaknya, dia yang menjadikan, dan Dia mutlak berkuasa atas segala
yang ada. Lihat Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 23 132
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 27 & 60. Lihat juga Hamka, Pandangan Hidup Muslim, ....., h. 9
133Yang Maha Hakim maksudnya adalah bijaksana dalam memberikan keputusan yang
terbaik dalam segala perbuatan manusia. Memberi pahala kepada manusia yang berbuat baik dan
menjatuhkan hukuman bagi manusia yang berbuat jahat. Lihat Hamka, Studi Islam, ....., h. 96
110
raga dan pandangan hidup kita terikat oleh akidah, dan dengan akidah
itu kita menentukan jalan hidup.
Hamka mengatakan, bahwa akidah ibarat battery (accu) pada
kendaraan atau mesin generator. Dengan akal yang murni dan perasaan
yang halus, maka senantiasa akidah menjadi power yang selalu fit
setiap saat. Sehingga akan selalu ready menggerakkan semangat
kehendak dalam perjalanan hidup manusia, bergerak dan berputar
menuju yang lebih baik.134
Seorang penganut akidah tauhid tidak akan mau jadi hamba
sahaya dari siapapun, begitu pun kepada benda-benda lainnya. Sebagai
insan penganut tauhid akan merasa dirinya bebas dan merdeka –dari
syahwat, ragu, takut, dan syakwasangka- di dalam alam ini. Karena
daulat yang dipertuhankan bagi seluruh alam ini hanyalah Dia, Allah
semata. Seluruh jiwa raganya hanya bersedia tunduk kepada Allah,
menyembah, beribadah, dan memohon hanya kepada-Nya ( إياك نعبد
135.(وإياك نستعين Kemudian prinsip itu menjadi pegangan hidup dalam
mengarungi bahtera kehidupan di dunia, dan demi untuk kehidupan
akhirat nantinya.
Akidah atau pegangan hidup tersebut, atau kepercayaan, disebut
sebagai iman. Iman mesti diikuti dengan amal, karena amal adalah
buah dari iman. Akidah atau iman bersifat pasang surut, bisa
bertambah kuat dan bisa melemah. Kekuatan dan kelemahan akidah
134
Hamka, Studi Islam, ....., h. 76 & 82 135
Hamka, Studi Islam, ....., h. 97-98
111
seseorang tergantung sejauh mana menggunakan kekuatan potensi akal
pikir, hati nurani bersihnya, dan jiwa sucinya untuk meyakini
eksistensi ke-Maha-an Allah Swt. Semakin tinggi pengetahuan yang
diperoleh dari penelitiannya terhadap alam ini tentang Yang Maha
Pencipta, maka akan semakin kuat keimanan seseorang.
Amal sangat berkait kelindan dengan iman. Semakin baik kadar
keimanan seseorang, maka akan membuahkan kerja, usaha, dan
kegiatan hidup yang baik pula (amal shaleh).136
Seorang yang memiliki
keimanan yang baik akan senantiasa memperhatikan dengan penuh
waspada apa saja perbuatan yang mendapatkan ridha Allah dan apa
saja perbuatan yang mendatangkan murka Allah (muraqabah). Iman
yang baik akan membuat hati menjadi bersih. Hati yang bersih
membuahkan amal yang baik. Karena amal merupakan pernyataan dari
sikap hati, dan karena iman mendorong orang menjadi merasa wajib
untuk berbuat baik.137
Sehingga dapat dipersepsikan bahwa amal yang
baik hanya akan tercipta dari oang yang beriman baik. Atau, orang
yang memiliki iman yang baik pasti akan selalu melahirkan amal yang
baik.
Untuk itu, segala amal ibadah, معاملة مع الله أو معاملة مع الناس, yang
didasari oleh akidah atau iman yang kuat, maka akan menghasilkan
amal-amal ibadah yang berorientasi hanya untuk Allah semata.138
Niat
136
Hamka, Studi Islam, ....., h. 197 137
Hamka, Studi Islam, ....., h. 122. Lihat juga Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, .....,
h. 144 138
Hamka, Studi Islam, ....., h. 133
112
dan proses amal dilakukan hanya untuk meraih ridha dan dilakukan
dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah lewat wahyu.
Wahyu illahi yang disampaikan dan ditunjukkan lewat rasul-Nya,
yakni Nabi Muhammad Saw, menyampaikan bahwa hidup kita di
dunia ini memang hanyalah untuk beribadah kepada Allah, atau
mengabdi kepada Allah. Semua amal ibadah dan kehendak selalu
berlandaskan pada ketentuan dan aturan yang telah digariskan dalam
syariatnya.139
Dalam firman-Nya di sampaikan:
نس إل لي عبدون 140وما خلقت الن وال
‚Dan tiadalah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepada-Ku.‛
Hidup dan kehidupan ini bergerak berkembang dan berubah karena
manusia selalu bergerak, berkehendak, dan berikhtiar. Aneka hiruk-
pikuk dan ragam pekerjaan dari berbagai profesi menghampar
dilakukan manusia. Berusaha, bekerja, mencari makan, adalah
kewajiban agama.141
Untuk itu, harus dilaksanakan dengan seksama
dengan tata cara sesuai syariat atau dasar hukum yang terpatri dalam
akidah. Islam mewajibkan bagi umatnya untuk menegakkan dan
memperjuangkan syariat berjalan dan berlaku kuat dalam berbagai
139
Hamka, Studi Islam, ....., h. 167 140
QS. Ad-Dzariyat [51]: 56 141
Banyak ayat yang menerangkan tentang tentang berusaha, bekerja, dan mencari
makan. Antara lain QS. Al-Baqarah ayat 60, Al-Baqarah ayat 168, Al-Maidah ayat 88, Al-An’am
ayat 142, At-Thur ayat 19, dan Al-Mulk ayat 15. Lihat Hamka, Studi Islam, ....., h. 175-176
113
kehidupan. Baik dalam diri sendiri, rumah tangga, masyarakat,
maupun negara.142
Meyakini dan mempercayai ada-Nya, bahwa Allah itu Esa, maka
konsekuensinya adalah wajib mentaati perintah dan peraturannya.
Dengan demikian, maka segala amal dan ibadah memiliki tujuan
utama, yakni hanya untuk mengabdi kepada Allah Swt. Bercita-cita
dan berikhtiar membentuk hidup yang hanya menurut ajaran yang
diyakini. Hamka mengatakan, ikhtiar yang dilakukan terus menerus
tiada putus sesuai ajaran itu disebut sebagai muslim yang bercita-cita
menuju kesempurnaan (insan kamil).143
2. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hidup tidak lah hanya sekedar hidup. Dari kelompok terkecil,
yakni keluarga, kemudian masyarakat sampai kelompok yang besar,
yakni pemerintah, memiliki aturan atau undang-undang yang mengatur
tentang tata cara hidup yang baik. Aturan tersebut ada yang tidak
tertulis, yang berupa aturan adat atau tradisi yang turun temurun, ada
juga yang tertulis dengan pasal-pasal yang jelas. Aturan itu tumbuh
dan terkemas secara alami sesuai kebutuhan dan perkembangan hidup.
Dimana yang dikatakan baik adalah yang diterima dan disukai, dan
yang dikatakan buruk adalah yang ditolak atau tidak diterima.144
142
Hamka, Studi Islam, ....., h. 203 143
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 219
144Hamka, Studi Islam, ....., h. 79 & 81
114
Setelah mengikrarkan diri percaya kepada Allah dan meyakini
Allah itu Esa, maka manusia kemudian memiliki tanggung jawab
hidup sebagai konsekuensi terhadap apa yang dipercayai. Bentuknya
adalah berupa pelaksanaan aturan yang terkemas dalam syariat yang
kemudian dimanifestasikan ke semua kegiatan hidup, baik ibadah
maupun amal perbuatan. Tata nilai tradisi yang telah dipegang turun-
temurun dari nenek moyang kemudian harus diselaraskan dan
diharmonikan dengan syariat. Sehingga pedoman aturan nilai yang
menjadi pegangan pokok adalah yang termaktub dalam syariat.
Bentuk realisasi sebagai manifestasi syariat adalah menggerakkan
diri untuk selalu berjalan dalam koridor kebenaran dan kebaikan
(ma’ruf), dan sekuat tenaga untuk menghindarkan diri dari hal yang
salah dan buruk (munkar).145
Itu merupakan tugas hidup yang paling
rendah. Pada tahap selanjutnya, jika tahap paling rendah itu mampu
dilakukan dengan baik, maka tugas selanjutnya adalah melakukannya
di lingkungan keluarga kemudian masyarakat. Hamka mengatakan,
bahwa sebaik-baik umat adalah yang berani melakukan dan menyuruh
yang ma’ruf atau haq, dan berani menolak dan melarang yang munkar
atau bathil.146
145
Yang dimaksud amar ma’ruf adalah ketika engkau memerintahkan orang lain untuk
bertahuid kepada Allah, menaati-Nya, bertaqarrub kepada-Nya, berbuat baik kepada sesama
manusia, sesuai dengan jalan fitrah dan kemaslahatan. Atau makruf adalah setiap pekerjaan
(urusan) yang diketahui dan dimaklumi berasal dari agama Allah dan syara’-Nya. Termasuk segala
yang wajib dan yang mandub. Ma’ruf juga diartikan kesadaran, keakraban, persahabatan, dan
lemah lembut terhadap keluarga dan lain-lainnya. Sedangkan munkar adalah sebaliknya. Lihat
Ahmad Iwudh Abduh, Mutiara Hadis Qudsi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 224 146
Hamka, Pandangan Hidup Muslim,....., h. 67-68.
115
Untuk dapat melaksanakan yang ma’ruf dan yang munkar
diperlukan kemauan (iradah). Kuat lemahnya kemauan –berani atau
tidak berani- sangat tergantung pada tingkat keimanan atau
akidahnya. Selain itu juga dibutuhkan kebebasan berfikir dan
menyatakan fikiran itu. Karena kemauan tanpa dibarengi dengan
kebebasan berfikir tidak akan teralisasi dengan baik. Namun, realisasi
keberanian menyatakan yang ma’ruf dan yang munkar ini dapat
berjalan dengan baik bila jiwanya bebas atau terlepas dari rantai dan
belenggu kebendaan.
Hamka menyatakan bahwa umat Muhammad akan tetap menjadi
sebaik-baik umat selama mempunyai tiga sifat keutamaan, yakni
percaya kepada Allah, berani menyuruh perbuatan yang ma’ruf dan
melarang perbuatan yang munkar.147
Ayat Al-Qur’an yang menjadi
pedoman Hamka dalam pernyataannya adalah berikut ini:
ة أخرجت للناس ثأمرون بلمعروف وتنون عن المنكر وثؤمنون بلل كنت خي أم
‚Kamu adalah sebai-baik umat yang dikeluarkan diantara manusia,
kamu menyuruh dengan yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar, dan kamu semua beriman kepada Allah‛
Pengabdian atau ibadah seorang hamba kepada Allah mengandung
dua makna, yakni kehambaan (hamblum min allah) dan kemanusiaan
(hablum min al-nas). Dengan percaya (beriman) kepada Allah, seorang
secara spontanitas akan melaksanakan ibadah sebagai bentuk
kehambaaannya sesuai yang termaktub dalam rukun Islam. Dengan
147
Hamka, Pandangan Hidup Muslim,....., h. 64-66.
116
menyadari eksistensi kemanusiaannya (hamba Allah), seorang yang
tekun beribadah seharusnya menjadi pendorong terhadap pengabdian,
pelayanan, dan pengharhargaannya terhadap sesama manusia. Sebagai
bentuk ibadah kemanusiaan dan hubungan antar sesama manusia,
adalah berupa melaksanakan dan menyuruh perbuatan ma’ruf,
menghindari dan melarang perbuatan munkar. Secara fitrah (kejadian
dan agama yang benar[Islam]), manusia membutuhkan Allah dan
mengabdi kepada Allah.148
Hanya umat yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar
yang dikatakan Allah sebagai umat yang beruntung dan mendapat
pujian dari Allah sebagai sebaik-baik umat yang beruntung atau
bahagia. Karena ini adalah tugas mulia dan merupakan bagian dari
syiar Islam dan sarana untuk memelihara kehormatan agama.149
Setiap
orang wajib melaksanakan tugas ini walau hanya sekedar dengan hati.
Sebuah hadits nabi:
ع ت رسول الله صلى الله عليو عن أب سعيد الدري رضي الله عنو قال : سره بيده، فإن ل يستطع فبلسانو، فإن ل وسلم ي قول : من رأى منكم منكرا ف لي غي
()رواه مسلم يستطع فبقلبو وذلك أضعف اليان 150
‚Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiallahu ‘anhu berkata: ‚Saya
mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya,
148
Asep Usman Ismail, Pengembangan Diri Menjadi Pribadi Mulia, (Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, 2011), h. 71-73 & 129-132 149
Abdullah Al-Mushliih dan Shalah Ash-Shawiy, Prinsip-Prinsip Islam untuk Kehidupan, Penerjemah: M. Ridwan Yahya, Harjani Hifni, M. Hidayat Nurwahid, cet. I, (Jakarta: Bina Rena
Pariwara, 1999), h. 201 150
Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (Taman Orang-Orang Shalih), BAB 23, h. 144-145.
117
jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak
mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah
selemah-lemahnya iman.‛ (Riwayat Muslim)
Hukum wajib pada pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar
adalah kifayah151
. Untuk itu, Allah memberikan kenikmatan
kebahagiaan bagi yang melaksanakannya. Firman Allah:
هون عن المنكر نكم أمة يدعون إل الي ويأمرون بالمعروف وي ن ولتكن م152وأولئك ىم المفلحون
‚Hendaklah ada di antara kamu satu golongan yang menyeru
kepada kebaikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.‛
Begitu pentingnya tugas itu sehingga Hamka menganggap sebagai
keutamaan, dan dikarenakan pada surat Ali-Imron ayat 104 di atas
mengandung suruhan yang wajib bagi muslimin untuk
melaksanakannya.153
Oleh karenanya Hamka mengatakan bahwa
ketiganya –beriman kepada Allah, melakukan dan menyuruh yang
ma’ruf, menghindari dan melarang yang munkar- adalah keutamaan,
disebabkan ketiganya sebagai bentuk pengabdian yang ikhlas kepada
Allah dan beragama yang hanya untuk Allah semata. Dalam sebuah
firman-Nya dinyatakan:
151
Kifayah disini sama dengan hukum wajib kifayah yang dikenakan pada hukum
berkurban, sholat janazah, dan mencari ilmu. Setiap orang dikenakan taklif, tapi ketika ada
sebagian atau seseorang yang telah menjalankannya, maka batallah taklif setiap orang itu. Lihat
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Keutamaan: Keutamaan seorang Muslim (Selangor: PTS Islamika
SDN. BHD, 2014), h. 143 152
QS. Ali Imron [3]: 104 153
Hamka, Studi Islam, ....., h. 80
118
ين وما أمروا إل لي عبدوا اللو ملصين لو الد
‚Dan tidaklah mereka itu disuruh melainkan supaya mereka
mengabdi kepada Allah dalam keadaan ikhlas kepada-Nya,
beragama untuk Allah semata‛
Ayat di atas lebih menjelaskan bahwa segala gerak-gerik hidup kita
hendaklah hanya untuk ibadah kepada Allah semata. Dengan kata
lain, hidup yang hanya sementara ini hendaklah ada harganya, selalu
berikhtiar supaya usia tidak terbuang percuma.154
3. Keutamaan Budi sebagai Tujuan Kemanusiaan
Manusia dilahirkan dalan kondisi suci. Secara fitrah (kejadiannya)
berarti manusia itu eksistensinya baik dan tanpa cela.155
Tuhan
memberikan akal kepada manusia sebagai alat berfikir dan
menimbang. Itulah kelebihan dan perbedaan manusia dengan makhluk
ciptaan Tuhan yang lain, yaitu gerak-gerik hidupnya timbul dari
dalam. Segala ikhtiar yang dilangkahkan semuanya timbul dari suatu
maksud tertentu dan datang dari perasaan yang tinggi, yang
mempunyai kekuasaan dalam dirinya. Segala ikhtiar manusia timbul
dari pertimbangan akalnya. Setiap ikhtiar pikirannya
mempertimbangkan runtutan pekerjaan sampai akhirnya. Apa
154
Hamka, Studi Islam, ....., h. 170 155
Rasulullah bersabda: ‚Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Aku telah menciptakan
hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (fitrah), lalu mereka didatangi oleh syetan yang
menyesatkan mereka dari ajaran agama mereka, dan (syetan tersebut) mengharamkan kepada
mereka apa yang Aku halalkan‛. (HR. Muslim). Lihat Abdullah Al-Mushliih dan Shalah Ash-
Shawiy, Prinsip-Prinsip Islam untuk Kehidupan, ....., h. 5
119
tujuannya, bagaimana mencapai tujuannya, dan apa akibat yang
ditimbulkan apabila pekerjaan itu dilakukan.156
Akal yang diberikan Tuhan kepada manusia menjadi senjata paling
ampuh bagi manusia. Dengan akalnya manusia mampu melakukan apa
saja dan menciptakan apa saja yang menjadi kemauan dan tujuannya,
kepuasan hati dan tercapai maksud. Berbagai ilmu, pengetahuan, dan
hasil teknologi merupakan bentuk nyata keampuhan akal. Dengan akal
manusia bisa dipandang baik akal dan budinya, dan dengan akal pula
manusia bisa dipandang rendah akal dan budi serta kemanusiaannya.
Karena menurut Hamka, ada tiga sifat asli yangada pada diri manusia,
yaitu kecenderungan hewaniyah, marah, dan mementingkan diri
sendiri.157
Untuk itu, kesenangan diri tidak boleh melampaui segala-galanya.
Setiap manusia hidup bersama dengan yang lainnya, berbaur, bersama,
dan bersosial. Setiap orang harus menjaga diri, jaga ucapan, jaga
indera, dan jaga prilaku agar selalu dalam koridor tata aturan adab dan
kesopanan yang berlaku. Saling menghormati dan menghargai, saling
mengerti akan hak dan kewajiban masing-masing.
Hidup berbudi harus menjadi prinsip pokok dalam merintis cita-
cita dan menggapai segala tujuan. Setiap perbuatan dan pekerjaan
156
Hamka, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati diri, Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2016), h. 1
157Bila akal manusia dikuasai oleh kecenderungan kebinatangannya, maka dia akan tamak
dan rakus, bila dikuasai oleh marah maka manusia akan menjadi ganas, sedangkan bila dikuasai
oleh sifat mementingkan diri sendiri dia akan menjadi orang yang licik, sombong, penipu, dan
penindas, bak setan bertubuh manusia. Lihat Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015),
h. 112
120
yang dilakukan, di samping kesenangan diri, harus mempertimbangkan
kesenangan dan kesentosaan bersama. Sebab, hakekat diri tidaklah ada
jika sekiranya hidup bersama belum senang.158
Setiap kelompok masyarakat ada adat, setiap adat ada tradisi, dan
setiap tradisi termaktub aturan adab atau sopan-santun. Tiap-tiap
daerah dan negeri berdiri dengan kesopannanya masing-masing, sesuai
kemajuan lahir dan bathin kehidupannya.159
Untuk itulah segala
langkah hidup harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya untuk
tujuan di masa yang akan datang.
Hidup berbudi harus menjadi tujuan dan prinsip dari segala gerak-
gerik perilaku dan perbuatan, baik terhadap makhluk, sesama manusia,
dan khususnya kepada Tuhan. Dalam sebuah pantun Hamka
menyampaikan:
Diribut runduklah padi, dicupak datuk temanggung.
Hidup kalau tidak berbudi, duduk tegak ke mari canggung.
Pantun tersebut selaras dengan sebuah syair arab gubahan Syauqi Bey
berikut ini:
Suatu bangsa terkenal ialah lantaran dengan budinya
Kalau budinya telah habis, nama bangsa itu pun hilanglah.
Hamka mengatakan, bahwa tegaknya tujuan suci, yakni hidup
berbudi, dapat tercapai sempurna bila kita insaf, ingat, dan ikhlas.
Insaf dari perkara yang terlarang dan membahayakan bagi harmoni
158
Hamka, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati diri, Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ....., h. 2-3
159Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-
Qur’an dan As-Sunnah, ....., h. 110
121
kehidupan yang telah dilakukan, kemudian berniat untuk tidak
menuruti kehendak nafsu yang mengajak kepada keburukan dan lalai
kepada kebaikan. Mencari amalan yang disukai Allah, menghindari
amalan yang mengharapkan penghargaan dan pujian manusia. Insaf
akan segala kekurangan dan keterbatasan pada diri, dan mengakui akan
adanya kekuatan Yang Maha Dahsyat.160
Ingat dalam hal menempuh
jalan yang benar dan menjauhi kehendak yang jahat, sesuai tuntutan
dalam syariat. Ingat bahwa hidup hanyalah sebentar, bak mampir
ngombe161. Keseimbangan pemenuhan hajat hidup antara kebutuhan
dunia dan akhirat harus diseimbangkan, seperti yang diamanahkan
dalam firman-Nya di surat al-Qashash (28) ayat 77162
.
Kemudian ikhlas dalam melakukan segala kehendak dan perbuatan.
Ikhlas artinya suci bersih terhadap Allah. Bisa diartikan dengan jujur
atau murni. Ikhlas menjadi nyawanya pribadi. Pribadi yang tidak
memiliki keikhlasan adalah pribadi yang mati. Meskipun ia bernyawa,
arti hidupnya tidak ada.163
Ikhlas ada dua tingkatan, ikhlas terhadap manusia dan ikhlas
karena Allah. Ikhlas hubungannya dengan manusia artinya adalah di
dalam segala amal kebajikan yang dikerjakan tidak mengharapkan
160
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 96. Lihat juga Abdul Rahman Abduk Aziz,
‚Nilai Mencapai Kehidupan Sejahtera: Pandangan Hamka‛, Malim, Bil 10, 2002, h. 137 161Mampir ngombe merupakan ibarat dalam falsafah Jawa yang diartikan bahwa hidup ini
hanyalah sebentar saja. Waktu yang hanya sebentar itu diibaratkan seperti orang yang sedang
kehausan dan mampir ke warung untuk minum sejenak sekedar menghilangkan dahaga. Dan
setelah minum air yang diinginkan dan setelah hilang dahaga, maka perjalanan pun dilanjutkan
kembali. 162
نيا ار الخرة ول تنس نصيبك من الد الده Artinya: ‚Dan carilah pada apa yang .وابتغ فيما آتاك اللهtelah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.‛
163Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), h. 140-141
122
puji-sanjung dari manusia, tidak mengharap supaya namanya ditulis
orang dengan tinta emas, dan tidak mengharap untuk dibicarakan
kebaikannya oleh khalayak ramai. Karena bila tidak demikian itu
dinamakan riya’, dan riya’ amalannya tidak akan diterima oleh
Allah.164
Ikhlas karena Allah adalah menitahkan diri untuk bekerja sebaik
mungkin demi kemaslahatan diri sebagai hamba yang mengabdi. Tidak
mengharap upah, karena hubungan manusia dengan tuhan bukan
hubungan buruh dengan majikan. Bukan karena mengharap surga dan
takut akan neraka. Bukan pula mengharap imbalan pahala dari budi
yang terlaksana. Hamba yang ikhlas itu mengikuti perintah Tuhan
lantaran insaf bahwa dia hamba Tuhan.
Akal sehat kita menghendaki bahwa sebagai hamba harus
mengabdi dan beribadah kepada-Nya, berbuat baik karena memang itu
baik dan menjauhi kejahatan karena memang itu jahat. Itulah iman
yang khalis kepada Allah,165
sebagaimana yang tersurat dalam firman
Allah surat al-Bayyinah ayat 5:
ين وما أمروا إل لي عبدوا اللو ملصين لو الد
‚Dan tidaklah mereka itu disuruh melainkan supaya mereka
mengabdi kepada Allah dalam keadaan ikhlas kepada-Nya,
beragama untuk Allah semata‛.
164
Hamka, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati diri, Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ....., h. 4-5
165Hamka, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati diri, Berdasarkan
Tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ....., h. 6-8
123
Paradigma166
berfkir Hamka dalam memperbaiki kehidupan
beragama umat Islam adalah syiar atau dakwah dan gerakan. Dengan
berpidato atau berceramah di majlis taklim dan radio, mendirikan
kursus muballigh –diharapkan lahir para muballigh- dan media masa
Islam berbentuk majalah yang berisikan tema-tema keislaman bisa
dipahami bahwa Hamka menghendaki sebuah perubahan dalam
tatanan bangunan kehidupan manusia saat itu, baik di dunia maupun
akhirat.
Media syiar dan dakwah selain ceramah berupa oral di majlis
taklim, radio, dan di mimbar gerakan dalam organisasi –
Muhammadiyah- dan berupa tulisan di media massa, juga berupa
kebijakan dan himbauan saat beliau menjadi pegawai dan pejabat di
instansi pemerintah dan di panggung politik –di partai Masyumi dan
dewan konstituante. Dimana pun Hamka berada, aktifitas maintenance
umat selalu dijalankan. Kuatnya misi itu sehingga terbit berbagai buku
beliau yang bertemakan tentang keislaman, ketauhidan, dan motivasi
tentang bagaimana hidup ala Islam yang seharusnya.167
Hamka seolah
166
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun dalam karya bukunya
berjudul The Stucture of Scientific Revolution (1962) yang kemudian dikembangkan dan
dipopulerkan oleh Robert Friedrichs, Materman, George Rotzer, dll. Menurut Rotzer, paradigma
adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menajdi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan. Adapun rumusan dari Friedrichs,
paradigma adalah suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi
pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari. Paradigma membantu merumuskan
tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana cara
menjawabnya, dan aturan apa yang digunakan dalam menginterpretasikan informasi dalam rangka
menjawab persoalan itu. Lihat Aam Abdussalam, ‚Paradigma Tauhid: Kajian Paradigma
Alternatif dalam Pengembangan Ilmu dan Pembelajaran‛, Ta’lim (Jurnal Pendidikan Agama Islam), Vol. 9, No. 2, 2011, h. 115-116
167Buku-buku tesebut antara lain Lembaga Budi, Lembaga Hidup, Dari Lembah Cita-cita,
Pandangan Hidup Muslim, Pelajaran Agama Islam, Pribadi Hebat, Falsafah Hidup, Membahas
Soal-soal Islam, dll.
124
hendak membangunkan ketidaksadaran kekeliruan pemahaman
keberagamaan dan berperikehidupan umat dan menghendaki adanya
upgrade aktivasi pemahaman kegamaan dan gerakan hidup umat.
Dari paparan deskripsi Hamka tentang bangunan kemuliaan hidup
manusia, penulis memahami dan membangun kembali bagaimana
ikhtiar Hamka dapat menjadi solusi alternatif yang baik dan menjadi
prinsip dalam membangun manusia berkualitas yang memiliki
kehidupan mulia, baik di dunia maupun akhirat kelak. Menurut
pemahaman penulis, ikhtiar yang dapat menjadi pembangun harkat
hidup manusia terkonsepsikan pada bagan di bawah ini.
125
Bagan Konseptual Ikhtiar sebagai Pembangun Harkat Hidup Manusia
Ikhtiar
Unsur-unsur Ikhtiar dalam Kalam Indikator
- Daya upaya
- Memilih
- Kebaikan
- Manusia dalam bekerja dan aktifitas lainya
membutuhkan daya upaya.
- Manusia makan dan minum, membeli barang,
dan lainya sesuai pilihan dan keinginan.
- Perbuatan yang dilakukan secara proses dan
hasil bersandarkan pada kebaikan.
Hidup berharkat / yang
mulia Unsur-unsur Indikator
- Iman
- Takwa
- Teruji (mutu)
- Terpuji
- Beribadah, berdoa, dan berharap
hanya kepada Allah.
- Bekerja keras/usaha yang sungguh-
sungguh dengan niat baik dan ikhlas.
- Mencari rizki dan makanan yang halal.
- Baik bagi keluarga dan masyarakat.
- Melakukan yang baik dan meghindar
dari yang buruk.
Manusia sebagai makhluk
Sosial
Manusia sebagai
makhluk Individu
Manusia sebagai makhluk
Tuhan
Unsur-unsur:
- Jasad/raga/fisik
- Ruh/jiwa/psikis
- Kebutuhandan kewajiban
Unsur-unsur:
- Butuh orang lain
- Hidup di lingkungan sosial
- Berinteraksi
- Berkomunikasi
Unsur-unsur:
- Taat dan patuh
- Beriman dan bertakwa
Indikator:
- Mempertahankan hidup dan
keturunan
- Berkehendak, berfikir, dan
berusaha.
- Memiliki bakat dan
kemampuan (petani, teknisi,
nelayan, akuntan, dll.)
- Bekerja mencari nafkah dan
berkarya
- Memelihara kesehatan
dengan mandi, berpakaian,
makan, minum, tidur, dan
bertempat tinggal.
Indikator:
- Berbudi luhur dan bertindak
sesuai aturan (norma sosial),
karena manusia butuh bantunan
orang lain dalam memenuhi
kebutuhannya.
- Rukun dan damai dengan
tetangga, teman, kerabat, dan
lingkungan sekitar.
- Berkembang biak, berbagi rasa,
dan bertukar pikiran bersama
dengan orang lain.
- Tolong-menolong/saling
membantu terhadap sesama
Indikator:
- Beribadah (wajib / non wajib)
- Melakukan amal sholih
- Melaksanakan perbuatan
baik (akhlak mulia)
- Menuntut ilmu untuk
kemaslahatan umat
- Menjalin tali silaturahmi dan
persahabatan.
Standar/ukuran:
Islam
- Berorientasi kepada Allah
- Amar ma’ruf & nahi munkar
- Keutamaan (kemanusiaan)
126
BAB IV.
IKHTIAR DAN MEMBANGUN HIDUP YANG BERHARKAT:
MANUSIA YANG BERKUALITAS
A. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Dalam pandangan Islam, manusia itu makhluk yang mulia dan
terhormat di sisi-Nya, yang diciptakan Allah dalam bentuk yang amat
baik. Manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami ilmu yang
diturunkan Allah, berupa Al-Qur’an menurut sunah rasul. Dengan ilmu
manusia mampu berbudaya.1 Firman Allah dalam Al-Qur’an:
نسان ف أحسن ت قوي 2لقد خلقنا ال
‚Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya‛
Ayat tersebut menyampaikan bahwa manusia diciptakan Allah dalam
struktur yang paling baik diantara makhluk Allah yang lain. Manusia juga
makhluk yang istimewa karena manusia dikaruniai akal. Keistimewaan
manusia juga dikarenakan manusia memiliki potensi yang dikenal dengan
istilah fitrah3. Fitrah adalah kekuatan terpendam yang ada dalam diri
manusia, dibawa semenjak lahir dan akan menjadi daya pendorong bagi
kepribadianya.4
1Sudono Syueb, Buku Pintar Agama Islam, (Jakarta: Delta Media, 2011), h. 86
2QS. Al-Tiin [5]: 4
3Struktur manusia terdiri atas unsur jasmaniah (fisiologis) dan ruhaniah (psikologis).
Dalam unsur ini Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan,
dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut pandangan Islam dinamakan
‚Fitrah‛. Lihat M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1991), h. 42 4 Fitrah dikatakan bahwa sejak awal kejadiannya memiliki komitmen terhadap nilai-nilai
keimanan kepada Allah dan cenderung kepada kebenaran (hanif). Lihat Muhaimin dkk,
127
Dengan akal yang memiliki potensi fikir dan jiwa yang yang
mengarah pada satu tujuan, yakni Tuhan, membuat manusia juga makhluk
yang mulia dari segenap makhluk yang ada di alam raya ini, yang menjadi
berbeda dengan makhluk yang lainnya.
Menurut Ibnu Katsir, manusia sejak awal diciptakan Allah dalam
keadaan Tauhid, beragama Islam, dan berpembawaan baik dan benar.5
Sejalan dengan pendapat Ibnu Kasir, al-Maragi berpendapat bahwa Allah
menciptakan fitrah dalam diri manusia yang selalu cenderung kepada
ajaran tauhid dan meyakininya. Hal itu karena ajaran tauhid itu sesuai
dengan apa yang ditunjukkan oleh akal dan yang membimbing kepadanya
pemikirannya yang sehat.6 Hamka menafsirkan fitrah sebagai rasa asli
murni dalam jiwa manusia yang belum kemasukan pengaruh dari yang
lain, yaitu pengakuan adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, Yang
Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Raya, mengagumkan, penuh kasih
sayang, indah dan elok.7 Berarti secara kodrati dan asal permulaan
penciptaannya, manusia adalah bersih dan murni (hanif), yang memiliki
potensi jasmani dan akal yang menjadi daya untuk mengemban amanat8
yang ditaklifkan Allah kepada manusia.
Paradigma Pendidikan lslam: Upaya Mengefektifikan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 16
5Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur'an al-Karim, jilid 5, (Beirut: Dar al-Ankas, tt), h. 358.
6Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, alih bahasa: Bahrun Abubakar dkk, (Semarang: PT Karya
Toha Putra, 1992), h. 83 7Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 21, ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 78.
8Amanat yang dibebankan Tuhan kepada manusia adalah taklif khalifah, yang
diantaranya adalah tugas untuk beribadah, memperindah diri dan lingkungannya, mengelola dan
memakmurkan alam, dan sebagai stabilator alam. Sehingga dengan fitrah manusia itu kehidupan
antar manusia dan manusia dengan lingkungannya menjadi harmoni dan indah.
128
Jadi, manusia diciptakan di bumi agar manusia bertauhid dan
beribadah kepada-Nya. Sesuai dengan firman Allah Swt:
دنن 9 نس إل ل نما خلقت الن نال
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku".
Ibadah dalam arti luas ialah setiap sikap, pandangan, ucapan dan
perbuatan yang bertitik tolak ikhlas dan bertujuan vertikal mencari
keridhaan Allah, serta bertujuan horizontal mencapai kebahagian di dunia
dan di akhirat. Disamping itu manusia diciptakan untuk menjadi rahmat
bagi segenap alam sekelilingnya.10
Dengan demikian, beribadah disini
bukan hanya dalam upacara ritual seperti shalat, haji, dan puasa, akan
tetapi ibadah dalam pengertian luas, yang meliputi gerak-gerik atau
tingkah laku.
Dalam Islam terdapat keyakinan bahwa iman adalah syarat
diterima sahnya ibadah. Seperti halnya shalat akan diterima bila dalam
kondisi bersuci (berwudlu), begitu pun ibadah yang akan diterima ketika
seseorang itu dalam kondisi iman.11
Firman Allah Swt:
ن ذكر أن أنثى نىو مؤمن ف لنح نو حاة طة هم من عمل صالا م نلنجزي ن
9QS. al-Dhariyat [51]: 56
10Endang Saefuddin Anshari, Iqra’ sebagai Mabda’ (Ke arah Islamic Fundamental
Values and Norms dan Pengantar Filsafat Islam tentang Tuhan, Alam dan Manusia tentang Hidup, tentang Ilmu, dan tentang pendidikan), Reformulasi Filsafat Pendidkan Islam, ed. Chabib
Thoha, F Syukur, dan Priyono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 94 11
Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawiy, Prinsip-Prinsip Islam untuk Kehidupan, ....., h. 10
129
ملون أجرىم بأحسن ما ك 12انوا ي
‚Barang siapa yang mengerjakan amal solih baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan‛
Untuk itu, keimanan merupakan kemutlakan dalam beragama, walaupun
kadar dan tingkat kualitasnya berbeda satu sama lain. Bertambahnya
kaulitas keimanan salah satunya dipengaruhi oleh semakin bertambahnya
ilmu pengetahuan dan hasil penyelidikan yang dilakukan terhadap ciptaan
Tuhan.13
Nurcholis Madjid mengatakan bahwa ilmu terhadap iman
memiliki substansi yang penting karena menjadi faktor pelengkap
terhadap iman. Iman akan semakin cakap dalam realisasi teknisnya bila
dilengkapi dengan ilmu.14
Namun, iman tanpa realisasi ketaatan dan aksi
ibadah akan menjadi sia-sia.
Nurcholis Madjid menambahkan bahwa sebagai manusia yang ber-
Tuhan, kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan harus disandarkan
sepenuhnya dalam diri dan dipahami dengan sedalam-dalamnya agar iman
teguh dan tegak. Tidak hanya sekedar ucapan, tapi harus mempercayai
dalam hati bahwa Tuhan dalam kualitas-Nya hanya sebagai satu-satunya
yang bersifat keilahian, dan tidak ada kualitas ketuhanan serupa yang
lain. Sebagai konsekuensinya, kita harus bersandar sepenuhnya kepada-
12
QS. An-Nahl [16]: 97 13
Hamka, Pelajaran Agama Islam, ....., h. 34 14
Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, cet. VI, (Jakarta: Paramadina Press,
2002), h. 8
130
Nya, berpandangan positif kepada-Nya, bahwa kepada-Nya lah kita
berdoa dan hanya Dia-lah tempat menggantungkan harapan.15
Untuk itu
Hamka menyerukan kepada setiap orang untuk selalu berikhtiar dan
menata hati sepenuhnya bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang keilahian-
Nya tiada duanya, dan hanya kepada-Nya mengabdikan diri dengan
seikhlas-ikhlasnya, serta beribadah dengan sebaik-baiknya. Ibadah dan
hidup-mati hanya untuk Allah dan hanya untuk meraih ridha-Nya, karena
semua dari Allah dan Dia-lah yang memerintahkan.16
Itulah fenomena kemakhlukan, dimana selain dianugerahi fitrah
yang memiliki potensi khusus, manusia adalah makhluk yang memiliki
keterbatasan dan ketidakberdayaan dibandingkan dengan Tuhan. Manusia
adalah fana, serba tidak tahu, dan butuh kasih sayang Tuhannya.
Sedangkan Tuhan adalah luhur, suci, dan kuasa dalam segala hal17
.
Fenomena kemakhlukan inilah yang kemudian berimplikasi menggugah
kesediaan manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada-Nya, berdoa
dan berharap kepada-Nya.
Hamka mengatakan bawa manusia tauhid itu mempunyai cita-cita
yang besar, yakni berbakti dan berkhidmat, beriman, dan beramal shaleh.
Kesaksian yang sungguh-sungguh itu akan menghilangkan getar, rasa
takut menghadapi halangan dan rintangan, dan memerdekakan dari segala
15
Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, ....., h. 4-5 16
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 223
17Alam ini tidak terjadi dengan tiba-tiba, tapi tercipta yang teratur rapi luar biasa. Ada
satu kekuatan, satu kekuasaan, satu iradah, dan satu kodrat yang mengaturnya. Lihat Hamka,
Dari lembah Cita-cita, (Jakarta: Gema Insani Press, 2016), h. 21
131
pengaruh.18
Dengan kepentingan itulah kemudian manusia memiliki rasa
tanggung jawab terhadap segala perbuatan dan ikhtiar serta akibat yang
ditimbulkannya. Tanggung jawab itu sebagai bentuk kesadaran akan
kewajiban-kewajiban yang ditaklifkan kepadanya, sebagai konsekuensi
makhluk yang ber-Tuhan.
Tanggung jawab manusia terhadap Tuhan antara lain yaitu
mengabdikan diri kepada Tuhan dengan beriman sepenuh hati dan
beribadah serta melakukan amal sholeh sesuai syariat yang ditetapkan.
Kemudian mensyukuri nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya, amar
ma’ruf nahi munkar, memenuhi segala kebutuhan dan kepentingan hidup,
dan menuntut ilmu yang digunakan untuk kebajikan (kemaslahatan) umat
dan keharmonisan alam19
. Realiasi tanggung jawab tersebut yang
diimplementasikan secara sungguh-sungguh dengan niat ikhlas dan
dengan pertimbangan akal sehat adalah bentuk perwujudan manusia yang
berkualitas sebagai makhluk Tuhan.
B. Manusia sebagai Makhluk Individu dan Sosial
Manusia yang unggul akan senantiasa berjaya melaksanakan
amanah dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya dan sentiasa dapat
memenuhi tuntutan-tuntutan rohani dan jasmaninya dengan terkawal.
Aspek-aspek rohani dan jasmani manuisa yang terdiri dari empat perkara
18
Hamka, Dari lembah Cita-cita, ....., h. 23-24 19
Alam seisinya (langit dan bumi) yang dijadikan Allah harus dikelola, dijaga, dan
dipelihara keselamatannya. Seperti yang dimaksudkan dalam firman Allah dalam surat Al-
Baqarah: 29, An-Nahl: 14, dan Ibrahim: 33. Lihat NA. Rasyid Dt. Mangkudun, Manusia dalam Konsepsi Islam, cet. II, (tt: CV. Karya Indah, 1983), h. 45-46
132
asas, yaitu akal fikiran, roh, jasad, dan syahwat, akan dapat dididik dan
dipandu berdasarkan fitrah berdasarkan fungsi kejadian manusia itu
sendiri sebagai makhluk istimewa dan khalifah Allah yang diamanahkan
untuk memakmurkan bumi ini.
Akal fikiran yang diciptakan Allah Swt merupakan mahkota
berharga yang menampilkan image manusia. Ia berupaya menerima ilmu,
berfikir, membedakan yang baik dan buruk, memiliki potensi untuk diajar
dan dididik serta menyampaikannya kepada orang lain. Melalui akal,
seseorang bisa mendapat hidayah dan petunjuk dari Allah Swt, meneliti,
memperhatikan dan melakukan penghayatan terhadap kejadian-kejadian
alam dan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh orang lain. Dengan akalnya
manusia dapat menjadi humanis dan memanusiakan manusia.20
Perhatian dan pengkajian ini mempunyai faedah yang sangat besar,
yaitu memenuhi dan meningkatkan kemajuan hidup untuk kepentingan
bersama dengan dasar asas kemanusiaan. Selaku makhluk yang
mempunyai daya akal dan kehendak yang berasal dari Tuhan, manusia
memiliki kecenderungan akan tunduk patuh kepada kekuasaan Tuhan
dengan penuh kesadaran dan akan melaksanakan kehidupan ini dalam
situasi yang betul dan menuju keridhaan-Nya. Insyaf terhadap segala
kekurangan lalu berusaha meniti menuju ke kesempurnaan, menggapai
cita-cita menjadi insan kamil.21
20
Nur Kholis, Humanisme sebagai Filsafat Hukum Islam, ISTI’DAL: Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, 2014, h. 58
21Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk
Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 223
133
1. Manusia sebagai Makhluk Individu
Dalam bahasa latin individu berasal dari kata individuum artinya
yang tak terbagi. Dalam bahasa inggris individu berasal dari kata in
dan divided. Kata in salah satunya mengandung pengertian tidak,
sedangkan divided artinya terbagi. Manusia dikatakan sebagai individu
diartikan sebagai perorangan atau diri pribadi. Dikatakan sebagai
individu apabila adanya keterpaduan antara jiwa dan raganya. Individu
merupakan kesatuan aspek jasmani dan rohani. Kegiatan fisik yang
dilakukan manusia merupakan kegiatan manifestasi dari kegiatan
psikisnya. Dengan kemampuan rohaninya individu dapat berhubungan
dan berfikir, dan dengan pikirannya itu mengendalikan dan memimpin
kesanggupan akali dan kesanggupan budi untuk mengatasi segala
masalah dan kenyataan yang dialaminya. Individu adalah essensi yang
tidak terbagi, atau satu kesatuan antara jasmani dan ruhani.22
Manusia telahir dan tercipta dengan latar belakang kehidupan,
lingkungan, dan keluarga yang berbeda. Kondisi yang demikian –dalam
perkembangan dan pertumbuhannya- tentunya akan melahirkan pula
manusia yang beraneka ragam kehidupan dan pekerjaan.23
Beragam
jenis manusia dan pekerjaannya itu tentunya beragam pula kewajiban
masing-masing. Ukuran kewajiban yang sesuai dengan kapasitas
pekerjaan yang dipilihnya. Walaupun berbeda manusia dan beban
22
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),
h. 59-60. 23
Beraneka kehidupan dan pekerjaan itu antara lain ada pekerja keras ada yang
menganggur, ada tani ada yang wiraswasta, ada nelayan dan ada pula pelayan (kuli), ada yang
guru ada pula hakim, ada kyai ada pula santri, dan lain-lainya. Lihat Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 3
134
tanggung jawabnya, yang pasti wujud manusia dapat dilihat hanya
satu, dengan paradigma yang sama, yakni yang pantas dianggap
sebagai manusia adalah yang menunaikan beban pikulan kewajibannya
dengan baik. Manusia yang terpuji dan kemanusiaanya baik adalah
yang sanggup memikul dan mengerjakan beban tanggung jawabnya.
Dan pembayaran kewajiban yang paling tinggi dan mulia adalah yang
dikerjakan atas perintah hati nurani24
, bukan karena mengikuti perintah
orang lain, paksaan, atau karena pujian, walau dicela dan dimaki.25
Teguh dalam menunaikan kewajiban itu adalah keutamaan. Karena
dengan kewajiban yang tertunaikan dengan baik, maka orang lain pun
akan menunaikan kewajiban yang berhubungan kita dengan baik pula.
Dengan saling kepengertian dalam menunaikan kewajiban, maka tidak
akan terjadi aniaya dan keluhan. Untuk itulah membayar kewajiban
adalah perkara yang sangat penting, menghendaki hati yang kuat, dan
butuh kemauan ikhtiar yang kuat. Karena dalam proses menunaikan
kewajiban itu terjadi perjuangan diantara perasaan hati yang suci
dengan dorongan nafsu syahwat.26
Jangan sampai diri menjadi rendah
karena lalai, memperturutkan hawa nafsu, dan tidak peduli dengan
beban tanggung jawab.27
24
Mengerjakan kebaikan karena lantaran memang wajib bahwa yang baik itu untuk
ditunaikan dan tidak mengerjakan yang jahat, tercela, atau buruk karena lantaran memang
kejahatan itu tidak pantas untuk dikerjakan. 25
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 3
26Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk
Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 5 27
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 81
135
Menjadi manusia yang termanusiakan dalam menunaikan
kewajiban dalam kaitan profesi pekerjaan yang beragam, menjadi
berpribadi adalah prinsip penting. Karena nilai seseorang adalah
pribadinya. Menurut Jung, pribadi adalah yang mencakup keseluruhan
fikiran, perasaan, dan tingkah laku, baik sadar mapun tidak sadar.
Untuk membangun kepribadian, setiap orang harus mengelola harmoni
diri agar selalu selaras dengan lingkungan dimaa pun berada. Menurut
Atkinson pribai adalah sebagai pola prilaku dan cara berfikir yang khas
atau karakteristik yang menyesuaikan diri atau memberikan
konsistensi terhadap lingkungan. Sehingga kepribadian akan
memberikan deskripsi dan tolok ukur terhadap diri seseorang.28
Dilihat dari sisi kepribadian manusia dalam perspektif psikologi
Islam, pribadi seseorang sangat dipengaruhi oleh nafs-nya. Aspek
nafsiyah memiliki potensi bawaan yang ada pada psikofisik manusia
yang dibawa sejak lahir yang akan menjadi pendorong serta penentu
bagi tingkah lakunya, baik berupa perbuatan, sikap, ucapan, dan
lainya.29
Aspek nafsiyah itu mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni kalbu
(al-qalb), akal (al-aql), dan nafsu (al-nafs). Kalbu merupakan hakekat
manusia, yang menyangkut jiwa yang halus, ruhaniah, dan
ketuhanan.30
Secara fitrah kalbu memiliki natur ilahiyah dan
robbaniyah. Dengan natur ini manusia tidak hanya mengenal
28
Wahyu Rahmat, ‚Pengaruh Tipe Kepribadian dan Kualitas Persahabatan dengan
Kepercayaan pada Remaja Akhir‛, eJournal Psikologi, 2 (2), 2014, h. 210 29
Septi Gumiandari, ‚Kepribadian Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam: Telaah
Kritis atas Psikologi Kepribadian Modern‛, Holistik, Vol. 12 Nomor 01, Juni 2011, h. 280 30
Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 89
136
lingkungan fisiknya, tetapi juga mempu mengenal lingkungan spiritual,
keagamaan, dan ketuhanan.31
Akal merupakan dimensi dari aspek
nafsiyah yang berfungsi untuk berfikir dengan aktifitas
memperhatikan, memahami, merenungkan, memikirkan, dan
mengingat. Sedangkan dimensi nafsu memiliki potensi berkehendak,
berbuat, berusaha, berkemauan, dan bereaksi. Dimensi kalbu
dikatakan sebagai fitrah ketuhanan, dimensi akal sebagai fitrah
kemanusiaan, dan dimensi nafsu sebagai fitrah kebinatangan.
Kepribadian manusia terpola dan tercipta dari intgrasi ketiga dimensi
tersebut.32
Menurut Hamka, aspek yang menentukan pribadi seseorang
adalah: 33
1. Daya tarik
Daya tarik yang dapat menyebabkan jiwa orang yang dekat makin
dekat tanpa dipaksakan. Daya tarik dapat dibangun dengan budi
yang tinggi, kesopanan, ilmu pengetahuan yang luas, sanggup
menahan diri, cerdas, pandai menjaga perasaan orang lain, lugas,
dan cekatan.
2. Cerdik dan cepat berfikir
Banyak orang yang berpengetahuan luas dan buah pikiranya, tetapi
tidak memiliki kecakapan dalam cepat merespon pikiran dan
31
Robert Frager, Heart, Self, & Soul: The Sufi Psychology of Grouth, Balance and
Harmony. Wheaton, USA : Theological Publ. House, 1999. Edisi terjemahan Indonesia oleh
Hasymiyah Rauf, Psikologi Sufi untuk Transformasi: Hati Diri, dan Jiwa (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2002), h. 129. 32
Septi Gumiandari, Kepribadian Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam: Telaah
Kritis atas Psikologi Kepribadian Modern,....., h. 282-288 33
Hamka, Pribadi Hebat, ....., h. 11-64
137
tujuan orang lain. orang yang cerdik dan cepat berfikir lebih
diutamakan dalam pergaulan hidup.
3. Menimbang rasa (empati)
Orang yang memiliki empati hatinya akan bersinar sehingga
mendorong diri untuk bersedia memberi dan menerima dalam
perbedaan dengan penuh pengertian. Tidak merasa benar sendiri
dan pemaaf.
4. Berani
Berani maksudnya adalah kesanggupan menghadapi segala
kesulitan dan bahaya hidup dengan akal sehat. Melakukan
tindakan dengan pertimbangan siap menerima atau menghadapi
segala resiko yang terjadi. Keberanian yang benar adalah dengan
ilmu, bukan asal-asalan. ‚Jika kail panjang sejengkal tentu tidak
berupaya menduga laut‛. Orang yang berani adalah berpendirian
karena benar dan mengabdi pada kebenaran.34
Melakukan sesuai
kapasitas kemampuan dan selalu memperbaiki kekurangan.
5. Bijaksana
Bijaksana adalah meletakkan sesuatu sesuai tempatnya. Benar
atau salah, patut atau tidak patut. Adil, cakap dalam berfikir, dan
logis.
6. Berpandangan baik (positif thinking)
Setiap orang memiliki kekurangan. Orang yang berpandangan baik
akan selalu berikhtiar untuk selalu membangun dan memperbaiki
34
Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ....., h. 252
138
diri, selalu optimis dalam menapaki tujuan hidup, selalu memberi
arti hidup dan bermanfaat bagi hidup.
7. Tahu diri (tawadhu’)
Sepopuler apapun, setiap orang bisa dipastikan tidak akan tahu
dalam segala hal. Untuk itu, tiap diri hendaknya tau posisi,
kapasitas dan kualitas diri, kelebihan dan kekurangan, dan
mengerjakan sesuai kesanggupannya pada profesi dan keahlian
masing-masing.
8. Sehat tubuh
Tubuh yang sehat akan mencerminkan pikiran yang sehat dan
menjadikan hati gembira. Tubuh yang sehat akan menimbulkan
iradah yang kuat yang dapat menghidupkan kehidupan.
9. Bijak dalam berbicara
Orang yang bijak dalam berbicara adalah yang halus perasaaannya,
fasih dalam berbicara, dan kaya bahasa. Kefasihan mencerminkan
jiwa yang baik. Karena lidah yang fasih adalah pandu ilmu, ilmu
adalah pandu akal, sedangkan akal adalah pandu jiwa.
10. Percaya diri sendiri
Manusia telah dibekali perasaan, akal, kekuatan, dan kemauan.
Percaya diri sendiri adalah gambaran orang yang merdeka. Karena
jiwanya yang bebas akan selalu mengejar kebenaran. Untuk itu,
orang yang percaya diri akan memiliki kekuatan, keteguhan tabiat,
dan akhlak.
139
Untuk menjadi pribadi yang kuat, seorang harus memiliki tujuan
dalam hidup yang selalu diikhtiarkan dengan segenap upaya dan
kemauan yang keras. Selain itu juga harus memiliki rasa wajib dalam
mengerjakan beban tanggung jawab dan tentunya memiliki keimanan
yang kuat; rajin sholat dan ibadah lainya. Seorang yang berpribadi
secara implisit tercermin dalam dirinya kemuliaan budi.
2. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia tidak akan terlepas dari pengaruh masyarakat dan orang
lain, baik di rumah, di sekolah, dan di lingkungan yang lebih besar.
Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, yaitu
makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari
pengaruh manusia lainnya.35
Dalam kehidupan semacam ini akan
terjadi kegiatan interaksi atau komunikasi.
Sigmund Freud mengungkapkan bahwa hati nurani, norma-norma,
dan cita-cita pribadi setiap manusia akan terbentuk dan berkembang
jika bergaul dengan manusia lainnya.36
Lingkungan kelompok sosial
yang menjadi area kegiatan interaksi dan komunikasi manusia adalah
keluarga, pertemanan, kelompok pekerja, dan masyarakat secara luas.37
Sebagai makhluk sosial, manusia harus menempatkan diri dan berperan
sesuai dengan statusnya dalam masyarakat dan lingkungan tempat ia
35
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),
h. 63 36
W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1996), h. 25 37
Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
h. 45
140
berada. Di setiap lingkungan ada tata aturan masing-masing yang harus
dipenuhi agar dalam hubungan antar individu dengan kelompok
lingkungannya terjalin hubungan yang baik, lancar dan harmonis.38
Karena manusia sebagai makhluk sosial, dimanapun dia berada,
tidak terlepas dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Dimana pun
manusia berada, dia pasti berkumpul, berkelompok, berserikat,
berteman, berkomunikasi antar sesama, bekerja bersama, dan
bertetangga. Menurut Hamka, manusia sebagai makhluk sosial hidup
di 2 (dua) lingkungan, yakni keluarga dan masyarakat.
a. Hidup dalam Keluarga
Keluarga atau rumah tangga adalah pusat persatuan terkecil.
Rumah tangga adalah tempat mengasuh, tempat kembali, dan
tempat mengumpulkan kekuatan untuk menyambung perjuangan
hidup. Dalam keluarga itulah pokok dan dasar pergaulan hidup dan
masyarakat pertama dipelajari.39
Laki-laki atau perempuan semua memiliki hasrat untuk
memiliki pasangan. Pada saat cukup usianya, semua orang, baik
laki-laki atau perempuan, pasti menghendaki untuk menikah,
berpasangan secara sah. Ketika itu pula keduanya memiliki taklif
dan tanggung jawab baru terhadap kewajiban yang menjemputnya,
yakni sebagai keluarga. Keduanya tidak lagi hidup sendiri, harus
saling menjaga, saling asah-asuh, menghormati-menghargai, dan
38
H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 42 39
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 244-245
141
bersama meniti bahtera hidup dengan rukun dan damai. Sabda
Nabi Saw:
ر راع، نالرجل راع على أىل كلكم راع، نكلكم مسؤنل عن رعتو، نالأم نالمرأة راعة على ب ت زنجها ننلده، فكلكم راع، نكلكم مسؤنل عن رعتوب تو،
40()رناه بخاري
‚Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian
bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang
amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin
atas keluarganya, dan isteri juga pemimpin bagi rumah
suaminya dan anak-anaknya. Kamu sekalian adalah pemimpin
dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawabannya atas
kepemimpinannya.‛
i. Sebagai orang tua
Sebagai suami-istri, yang menjadi dasar paling teguh
dan asli ialah amanah, yakni saling mempercayai. Karena
amanah adalah pokok keberuntungan rumah tangga yang
sejati, pangkal kasih-sayang, cinta, dan rahmat. Semua yang
berat akan terasa nikmat, hati senang dan jiwa pun bahagia.41
Masing-masing mengerti dan memahami beban dan tanggung
jawab yang harus diikhtiarkan untuk menunaikan kewajiban-
kewajibannya.
Kewajiban yang pertama yang harus dikhtiarkan sebagai
pasangan keluarga setelah seorang (anak) lahir dari
40Hadits shahih diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 893, 5188, 5200), Muslim (no. 1829),
Ahmad (II/5, 54, 111) dari Ibnu ‘Umar ra. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari. 41
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 250
142
pernikahannya adalah menjaga dan memimpin sampai anak itu
tegak berdiri sendiri. Menyusui dan memberikan makanan
yang sehat dan halal42
, memberikan pendidikan dan mendidik
dengan tauladan yang baik (akhlak) ketika akalnya mulai
tumbuh43
, dan setelah beranjak remaja harus diberikan arahan
dan menjaga kemana haluan yang dituju.
Anak adalah bunga hidup, harum-haruman rumah
tangga. Anak adalah tempat menggantungkan harapan
keluarga di kemudian hari dan cita-cita dalam segenap
kepayahan. Dia adalah kekuatan umat yang akan datang yang
meneruskan perjuangan hidup. Orang tua wajib memimpin
kenakalan anaknya supaya berguna di waktu besarnya. Diasuh
dalam kasih-sayang yang diletakkan dalam pelupuk hati.
Berikhtiar untuk memeliharanya lahir dan bathin44
, supaya
bermanfaat, berfaedah, dan berguna. Sehingga ketika suatu
saat anak jauh dari rumah, bekerja atau berumah tangga,
walau jauh dari pelupuk mata tapi akan selalu di hati, akan
selalu terikat, tak terseraikan barang sesaat.45
42
Pendapat Imam Al-Ghazali yang dikutip oleh Hamka mengatakan bahwa halal-
haramnya makanan dan minuman yang kita makan sangat berpengaruh terhadap darah yang
mengalir dalam tubuh anak. Makanan, minuman, dan pakaian yang dihasilkan dari yang harap
akan mengakibatkan terhadap diijabahnya doa olah Allah. Lihat Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 234
43Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, ‚tidak ada pemberian yang lebih utama dari
seorang ayah kepada anaknya daripada pendidikan yang baik (mengajarkan adab yang baik).‛
(HR. Tirmidzi dan al-Hakim dari Amru bin Sa’id bin Ash). 44
Hamka juga mengistilahkannya dengan ‚tangan dingin‛. Proses pembimbingan
terhadap anak yang berdasar pada kebaikan dan kebenaran sesuai kaidah-kaidah yang terdapat
dalam Islam. 45
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 233-237 & 262-266. Dalam sebuah hadits Rasulullah
143
ii. Sebagai anak
Anak yang telah beranjak remaja dan dewasa, yang telah
dididik dan disuh dengan hati, kemudian menjadi tahu
bagaimana dia harus mengenang jasa dan membalas budi atas
perjuangan orang tuanya selama mengasuhnya. Menghormati
dan menyayangi serta membahagiakannya dengan sepenuh
hati. Berikhtiar berjuang memberikan yang terbaik untuk
orang tuanya, yang dapat membuatnya tersenyum dan
bahagia. Itulah beban dan tanggung jawab anak kepada orang
tua, tanpa melihat kondisi ekonomi dan materi. Tanpa me-
review masa lalu akan kekurangan dan kelemahan orang tua
saat mengasuh kita. Karena kekurangan dan kelemahan
kehidupan masa lalu adalah histori yang perlu dibenahi, bukan
dicaci atau di-copy.
Prilaku anak yang dapat membuat orang tua tersenyum
dan bahagia akan membuat orang tua senang dan ridho.
Dengan keridhoannya, maka Allah pun ridho.46
Orang tua
akan mendoakan hidup anaknya, dan doa seorang anak
diijabah oleh Allah karena ridhonya kedua orang tuanya.
bersabda, ‚Peliharalah anak-anakmu dan perbaikilah budi pekerti mereka. Sesungguhnya anak-anak itu adalah hadiah Allah kepadamu.‛ (HR. Bukhari)
46Rasulullah bersabda,‛Keridhaan Tuhan tergantung atas keridhaan dua orang ibu dan
bapak. Kemarahan Tuhan pun bergantung atas keridhaan dua orang ibu dan bapak. Kemarahan Tuhan pun tergantung pula atas kemarahan keduanya.‛ (HR. Thabrani dan Ibnu Umar). Lihat
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 268
144
Membalas jasa dan budi baik orang tua yang telah
membesarkannya bukan semata dengan uang. Yang terpenting
dan menjadi jiwa pertalian anak dengan orang tua adalah
cinta, bakti, hormat, dan taat.47
iii. Sebagai saudara
Setiap orang dalam keluarga pasti memiliki saudara,
baik kandung maupun sepupu. Hendaknya hubungan antar
saudara dijunjung tinggi kemuliaannya. Saling menolong,
saling membantu, dan saling menopang, saling peduli dalam
senang dan susah. Yang lebih tua menghargai dan memimpin
yang lebih muda, dan yang muda menghormati yang lebih tua.
Ketersambungan tali silaturahmi hanya bisa diandalkan
dengan ikhtiar selalu lemah lembut prilaku perbuatan dan
manis mulut.
Untuk menetapkan perhubungan silaturahmi diantara
sesama saudara hendaklah mereka sama-sama tahu kewajiban
dan hak masing-masing. Yang kuat membantu yang lemah
hingga bisa tegak berdiri, tidak sombong dan angkuh. Dan
yang lemah hendaknya insaf untuk mengerti dan memperbaiki
diri akan kekurangan dan kelemahannya, tidak berpangku
memperberat beban saudaranya. Tidak menjadi benalu pada
47
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 238
145
yang kuat. Selalu berikhtiar untuk tegak di atas kaki sendiri,
meskipun hanya seorang kuli.
Kelemahan manusia adalah lepasnya kontrol nafsu,
hingga emosi tidak terkendali. Hingga membuat tatanan
kemanusiaan porak-poranda bercerai-berai. Biasanya harta
dan warisan adalah penyebab pokoknya, selain pangkat,
derajat, dan uang. Untuk itu perlu tanamkan bibit kasih
sayang, cinta, dan nilai-nilai agama (akhlak) dalam keluarga.
Selain orang tua, saudara tua memiliki beban dan tanggung
jawab soal kewajiban ini. Keberuntungan keluarga –damai,
rukun, dan bahagia, akan terjaga bila ditopang saling
kepengertian antar sesama saudara. Itulah kewajiban terhadap
saudara.48
b. Hidup dalam Masyarakat
Kewajiban manusia terhadap sesama adalah merupakan
kehendak keadilan. Tiap manusia wajib memenuhi kewajiban
kepada sesamanya lantaran asal-usulnya adalah satu, satu
turunan dan satu tabiat yaitu kemanusaian, dan satu tujuan
yaitu kemuliaan. Semua manusia sama-sama dianugerahi akal
buat berfikir dan menimbang, dan hati nurani untuk merasa.
Manusia mempunyai kemerdekaan dalam berbuat dan
bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang dikerjakan.
48
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 239-248
146
Setiap orang tidak bisa menunaikan kewajibannya jika
dia hanya tegak hidup sendiri. Keberlangsungan hidup setiap
orang membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain. Untuk
itu, dalam mencapai kesentosaan kebersamaan dalam
masyarakat setiap orang harus mengikuti peraturan, yaitu
peraturan budi. Keteguhan hubungan antar sesama dalam
masyarakat dengan peraturan budi itu disebut dengan
kemuliaan.
Peraturan budi yang harus diketahui dan diikuti yaitu
saling menghormati dan menghargai, saling tolong-menolong,
dan sama-sama memikul dan menjaga hak individu dalam
masyarakat. Hak tersebut meliputi, pertama, hak hidup, yaitu
hak asasi yang pertama di atas hak yang lain. Karena segala hak
seseorang tidak akan tertunaikan bila dia tidak hidup. Sebab
itu, setiap orang warga masyarakat harus menghormati,
melindungi, dan menjaga hak hidup manusia karena kehidupan
adalah wasilah paling utama dalam mencapai segala cita-cita.
Semua orang harus menjaga dan peduli terhadap hak hidup
orang lain selama di posisi yang benar dan berbuat kebenaran.49
Untuk itu, tidak boleh menghilangkan nyawa, baik oleh diri
sendiri atau orang lain, tanpa sebab perkara dan hukum yang
jelas. Islam pun melarang perbuatan penghilangan nyawa tanpa
49
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 157-158
147
sebab yang hak.50
Menghilangkan nyawa (bunuh diri) karena
terdesak ekonomi atau putus asa terhadap masalah hidup adalah
pengecut.51
Kedua, hak mencari rezeki. Setiap orang bebas
menjelankan pekerjaannya sesuai profesi tanpa intimidasi.52
Kecuali pekerjaan itu melanggar hak dan aturan hukum undang-
undang yang ada di masyarakat, khususnya Islam. Ketiga, hak
milik dan rasa aman. Setelah setiap orang menjalankan
pekerjaan dalam rangka mencari rezeki, maka padanya ada hak
hasil atas usahanya. Hak milik itu boleh dibelanjakan sesuka
hatinya asal tidak membahayakan masyarakat. Seluruh anggota
masyarakat wajib menjaga hak milik setiap orang agar rasa
aman, nyaman, dan tentram, mewarnai hiruk-pikuk perjalanan
kehidupan.
Keempat, pengajaran dan pendidikan. Tiap orang
mempunyai hak untuk menuntut ilmu dengan segala tenaga,
usaha, dan kecakapannya. Karena ilmu dapat memberikan
pemahaman akan hak dan aturan serta akan memiliki naluri
memikul beban lebih baik.53
Kurangnya ilmu pada setiap orang
dapat mengakibatkan orang tersesat, lalu berbuat dosa dan
فس الت حرم اللو إل بالق 50 (33)السرى: ل ت قت لوا الن
51Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk
Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 49 52
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 23
53Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk
Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 43
148
kejahatan, karena sempitnya jangkauan pandangan. Untuk
itulah pendidikan dapat membukakan mata setiap orang agar
memiliki penglihatan yang lebih luas dan jauh. 54
Kelima, hak persamaan dan kemerdekaan, yaitu semua
memiliki hak dan petut mendapatkan hak, juga memiliki
kebebasan dalam menentukan kehendak asalkan sesuai undang-
undang masyarakat. Semua sama-sama berhak sepantasnya
sesuai kapasitas. Dalam sebuah pepatah ‚duduk sama rendah
tegak sama tinggi‛. Dalam syariat Islam terdapat pelajaran
tentang persamaan yang sangat jelas, yakni semua manusia
memiliki kedudukan sama dihadapan Tuhan. Kemualiaan dapat
diperoleh bagi mereka yang bertaqwa.55
Keenam, hak kepercayaan dan keyakinan (hak
penyatakan pendapat dan pendirian). Orang mempunyai hak
kemerdekaan berfikir dan berpendapat menurut keyakinannya
sendiri-sendiri. Setiap orang bebas menyatakan pendirian atau
kepercayaannya, akan tetapi tidak boleh mengganggu
ketentraman umum, harus sesuai undang-undang kesopanan
umum yang disepakati menjadi budi pekerti yang tinggi. Tidak
layak menyinggung perasaan orang lain, menghina, mengejek,
atau dengan perkataan kasar di luar batas keadilan dan
54
Hamka, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ....., h. 139
55Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk
Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 21-22
149
keinsafan kehormatan sesama manusia.56
Di samping itu, setiap
warga masyarakat dalam menyatakan pendapat dan fikiran
hendaknya mempertimbangkan perasaan hati. Karena kecil itu
tidak pernah berdusta.57
Kemerdekaan menyatakan fikiran dan pendapat
merupakan hal yang penting. Karena kemajuan suatu
masyarakat menuju yang lebih mulia merupakan hasil dari
pembaruan yang berasal dari kemerdekaan menyatakan fikiran
dan pendapat. Sebab, proses pembaruan dapat mengeliminasi
tahayul, kurafat, dan pembodohan yang mengakibatkan
kemunduran masyarakat.58
Ketujuh, hak politik. Setelah memperoleh hak
persamaan, setiap orang mesti dapat hak politik, yakni hak
berpartisipasi dalam kancah memilih dan dipilih, baik dalam
wilayah pemerintahan atau lembaga masyarakat.
Implementasi budi pekerti hubungan sesama dalam
masyarakat dapat tercipta bila tabiat kemanusiaan terterapkan
dengan baik. Karena kewajiban yang diperintahkan oleh hati
adalah hasil dari tabiat kemanusiaan.
Semua orang memikul tanggung jawab dalam
masyarakat. Ayah terhadap anaknya, suami terhadap istrii dan
56
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h.185
57Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk
Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 165-166 58
Hamka, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi,....., h. 41-42
150
sebaliknya, guru terhadap murid, imam terhadap makmum,
tokoh masyarakat terhadap warganya, pemerintah terhadap
rakyat, dan warga dengan warga sekitarnya. Tuntutan tanggung
jawabnya adalah menjaga kehidupan maju bersama hidup
berbudi.59
Manis bersama dan pahit bersama, tidak nafsi-nafsi
menuruti kehendak sendiri-sendiri. Dalam bahasa jawa dikenal
dengan istilah ‚ojo sak kepenake dewe‛.
Tabiat kemanusiaan yang mencerminkan budi pekerti
sebagai tujuan hidup dapat terimplementasi dengan baik jika
setiap orang dalam masyarakat ada keberanian dalam
menyatakan kebenaran, baik tindakan maupun ucapan.
Keberanian budi ini dalam Islam dinamakan amar ma’ruf nahi
munkar. Watak berani dalam kebenaran inilah yang menjadi
jiwa tegaknya masyarakat, masyarakat yang berharkat.60
Keberanian itu bisa muncul dan menjadi nyata bila ada
kebebasan. Intisari kebebasan itu ada 3 (tiga), yakni kebebasan
kemauan (iradah), kebebasan fikiran, dan kebebasan jiwa.
Kebebasan kemauan meniscayakan seseorang, pemimpin atau
warga, berani menjadi pelaksana dan penyuruh perbuatan yang
ma’ruf. Kebebasan berfikir menimbulkan keberanian
menentang yang munkar, dan kebebasan jiwa dapat membuat
59
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, ....., h. 65 dan Hamka, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ....., h. 2-4.
60Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-
Qur’an dan As-Sunnah, ....., h. 252-253
151
orang bebas dari segala belenggu dan hanya tertuju pada Yang
Maha Pencipta, Allah Swt.
Kebebasan jiwa menjadi dinamo dan spirit utama dalam
menggerakkan kebebasan yang lainnya. Karena dengan jiwa
yang bebas dari belenggu dunia, iradah dan fikir memiliki
tenaga dan petunjuk dalam mengetahui mana yang benar dan
salah, hak dan bathil, mana yang ma’ruf dan yang munkar.61
Semua perjalanan hidup manusia tidak ingin rusak dan
binasa, semua ingin selamat, sehat, punya arti, dan bahagia.
Supaya keinginan itu tercapai dan tujuan perjalanan hidup itu
lurus, hendaklah berpegang teguh pada syariat-Nya dengan
mengadakan aturan yang tertuju pada syariat yang diturunkan
Allah melalui perantara nabi-nabi-Nya. Dengan demikian akan
tercapai keselamatan hidup yang fana dan yang baka, hidup
dunia dan akhirat. Syariat adalah laksana jembatan yang
menghantarkan sampai ke seberang.62
3. Kemuliaan Hidup Manusia (Manusia Berkualitas)
Sebagian pandangan mengatakan bahwa orang yang patut disebut
mulia adalah orang yang memiliki rumah megah, mobil mewah, dan uang
yang berlimpah. Ada juga yang berpandangan bahwa orang yang mulia
adalah yang berpangkat atau bertitel dan memiliki gelar. Disegani,
61
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, ....., h. 65-66 62
Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ....., h. 402-403
152
dikagumi, dan dihormati, diagungkan setiap orang. Setiap orang
cenderung ingin dimuliakan, disegani, dihormati, dan dibanggakan.
Masyarakat di dunia sekarang ini telah memasuki abad global
dengan kemajuan lmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang.
Dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipastikan
memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya bisa
dilihat dengan berkembangnya pembangunan fisik dan kemudahan akses
informasi serta pertumbuhan di sektor ekonomi. Sisi negatifnya tercermin
dari prilaku masyarakat yang berubah economic oriented, materi menjadi
ukuran, kualitas tergerus dengan kuantitas, dan yang paling terlihat
ekstrim adalah ideologi agama secara perlahan yang mengalami erosi oleh
ilmu pengetahuan.63
Dari dampak globalisasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan itu, pribadi insan ideal, yang berkualitas, yang mulia, atau
berharkat, sangat diperlukan untuk mewujudkan pembangunan ilmu
pengetahuan yang lebih manusiawi dan mengarah pada kemaslahatan
manusia.64
Menurut Al-Ghazali65
, untuk menjadi mulia, manusia harus
menitikberatkan pandangannya pada kehidupan akhirat.66
Manusia harus
memiliki tujuan ma’rifat, yaitu paduan ilmu dan amal dengan dengan
memfungsikan keutamaan-keutamaan di dunia. Aktualisasinya berupa
63
Tengku Jacob, Manusia, Ilmu, dan Teknologi: Pergumulan Abadi dalam Perang dan Damai (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 9
64Elfi dan Damardjati Supadjar, ‚Konsep Manusia Ideal dalam Pemikiran Hamka‛,
HUMANIKA, 17 (2), 2004, h. 280. 65
Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-
Syafi'i. Seorang teolog dan filosof muslim dari Persia. Nama al-Thusi adalah identitas tempat
kelahirannya, sedangkan asy-Syafi’i adalah identitas kemadzhabannya, karena Al-Ghazali
merupakan salah satu penerus dari Asy-Syafi’i. 66
Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, ....., h. 186.
153
menjalankan syariat Islam secara kaffah yang menjadikan ibadah sebagai
parameter setiap gerak laku kehidupan.67
Kemuliaan dan bentuk kesempurnaan manusia sebagai makhluk
mayoritas diungkapkan dengan jalur tasawuf. Seperti Al-Raniry yang
menyatakan bahwa manusia mulia, ideal, atau insan kamil adalah nur
Muhammad, yakni yang memiliki penjelmaan karakter dan sifat-sifat
Nabi Muhammad Saw. Jasadnya menjadi khalifah di alam, sedangkan
ruhnya bermunajat kepada Alla Swt.68
Karakternya dipenuhi sifat-sifat
kenabian dan prilakunya selalu berorientasi ibadah. Kehadiranya di
tengah-tengah umat dan lingkungan hidupya selalu menjadi penyelamat
dan membahagiakan.
Sejalan dengan Al-Gazali, Hamzah Fansuri menyatakan bahwa
manusia ideal, mulia, dan sempurna adalah manusia yang esensinya telah
mencapai tingkat ma’rifat. Sebuah tingkatan spiritual yang dicapai
setelah melewati praktek spiritual tahap sebelumnya yakni syariat dan
tarikat. Syariat adalah aspek awal yang berupa amalan lahiriah yang
terangkum dalam rukun Islam yang didasari oleh keyakinan dan
kepercayaan bahwa Nabu Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt.
Kemudian tahapan selanjutnya adalah tarikat, yakni upaya amalan yang
secara ruhaniyah menuju Tuhan. Pada tahap ini manusia diminta untuk
taubat nasuha, menjauhi segala larangan, dzikrullah, dan melakukan
67
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr VIII, 1980), h. 119 & 135 68
M. Dawam Raharjo, Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam (Jakarta: Grafiti
Pers, 1987), h. 104
154
amalan-amalan sunnah.69
Hamzah Fansuri mengatakan manusia yang
telah mencapai tahap ma’rifat disebut dengan ‘arifin atau ahl al-tamam,
yang diilustrasikan ibarat burung emas nan elok rupanya.70
Menurut Ali Syariati, manusia yang ideal adalah manusia
theomorfis, yaitu manusia yang dalam dirinya memiliki sifat-sifat
ketuhanan. Aktifitasnya selalu bergerak maju menuju sasaran, yaitu Yang
Mutlak. Bergerak dalam alam dan di tengah-tengah masyarakat dengan
selalu memahami Allah. Peduli dan memperjuangkan alam dan umat
manusia dalam rangka menemui Allah Swt.71
Sebuah konsep yang
mencerminkan keharmonisan hubungan hidup spiritual manusia secara
vertikal dan horisontal.
Hamka berpendapat bahwa kemuliaan itu ialah kemuliaan jiwa.
Jiwa yang selalu menggeliat untuk selalu mencari dan melakukan
pekerjaan yang berguna, baik untuk diri maupun orang lain. Sebuah usaha
melawan dan menghadapi nafsu yang jahat dan menegakkan budi pekerti
yang mulia (al-akhlaq al-karim). Membangun umat yang telah binasa dan
lalai, membuka selubung kebodohan, memberi peringatan menuntut hak
yang terampas, menyadarkan dari kelengahan, dan memberi semangat
69
Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung:
Mizan, 1995), h. 65. Lihat juga Sangidu, Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dengan Nuruddin Ar-Raini (Yogyakarta: Gama
Media, 2003), h. 47-54. 70
M. Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, (Yogyakarta: Gelombang
Pasang, 2004), h. 164 71
Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda,
1982), h. 161-162
155
hidup. Kemuliaan yang tercatat karena perilaku yang bernaung pada
akhlak mulia dan berhiaskan amal shaleh.72
Jiwa adalah tempatnya rasa, yang memiliki posisi tinggi dari
urusan kebendaan dan ilmu, yang fungsinya untuk menangkap keindahan
alam yang terbentang. Halusnya rasa harus diasah dan diasuh, dan itu
sangat tergantung pada sejauh mana orang memandang hidup dan alam
sekitarnya. Bila hidup hanya sekedar menumpuk harta, tekun mencari
makan, berangkat petang pagi pulang malam hari, hanya menghitung-
membilang, maka hidup akan terasa gersang. Hamka mengatakan,
kekayaan manusia bukan berkutat pada urusan gedung dan mobil dan
tumpukan ilmu. Nilai umur dan nilai hidup manusia ditentukan oleh
halus-kasarnya perasaan melihat keindahan yang terbentang di alam.
Dimana di belakang alam yang membentang indah ada keindahan yang
mutlak, yang abadi, yang azali, yakni Yang Maha Indah.73
Jiwa juga harus kuat dan besar. Kuat dalam konsistensi dan
komitmen terhadap bakat keahlian dan pekerjaan, sesuai ukuran
kemampuan dan tidak berlebihan. Besar akan konsekuen terhadap bakat
keahlian dan pekerjaan itu. Karena hidup yang dipaksakan melebihi
kapasitas kemampuan dan kesanggupan hanyalah menggelisahkan jiwa.
Menurut Hamka, sendi-sendi yang dapat membuat kebesaran jiwa
itu ada 3 (tiga), yakni yang pertama yaitu tenang dan tidak gelisah. Tidak
mudah takut, cemas, cemburu, hasud, dan dengki. Kedua yaitu rela atau
72
Hamka, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ....., h.275-277
73Hamka, Pandangan Hidup Muslim, ....., h. 78-80
156
ikhlas menerima hidup dan berusaha. Rela menerima hidup bukan
menyerah menerima apa adanya tanpa berusaha. Rela di sini adalah
menyempurnakan pekerjaan sendiri dan mempertinggi kualitasnya. Berani
membantah yang salah dan menegur yang tidak adil dan dhalim. Hamka
mengatakan, bahwa rela menerima apa adanya tanpa bereaksi bak hidup
yang mati. Sedangkan berusaha adalah untuk mencapai kemajuan dan
menuntut yang lebih baik dan sempurna. Sendi yang ketiga adalah
bermuka jernih. Muka yang jernih mendatangkan simpati dan sebagai tali
penyambung pada sesama. Sehingga dengan jernih muka akan
mendatangkan banyak teman dan sahabat. Pergaulan dan interaksi pada
sesama menjadi harmonis. Muka yang jernih merupakan cerminan dari
jiwa yang jernih.74
Itulah yang membuat hidup seseorang menjadi bernilai
dan menuai kebahagiaan.
Praktik tasawuf modern dalam bukunya Tasawuf Modern, Hamka
menghendaki kaum muslim pro aktif dalam usaha menggapai
kebahagiaan dunia dengan langkah yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Meninggalkan kemalasan dan kebodohan dan menggunakan
waktu dengan sebaik-baiknya untuk tujuan yang bermanfaat. Hamka
menekankan agar kaum muslim dalam menjalankan tugas-tugas
keduniaan sayogyanya untuk pemenuhan spiritual. Membaur dalam
masyarakat, berinteraksi, menolong sesama, dan menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Aktifitas intelektual dan spriritual
74
Hamka, Pribadi Hebat, ....., h. 100-110
157
semacam itulah yang diharapkan dapat menjalankan esensi Islam yang
kaffah dan dapat membentuk jiwa yang sempurna (insan kamil).75
Dua bentuk aktifitas tersebut memberikan pengertian bahwa
untuk memiliki hidup yang mulia setiap orang sayogyanya senantiasa
menjaga diri pada setiap aktifitasnya agar selalu bernilai ibadah dan
kemanusiaan (keutamaan). Begitu juga dalam menjalani perjalanan hidup
tidak lepas untuk senantiasa menyerukan kebaikan dan menghindar atau
mencegah segala yang bernilai kemunkaran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa semua orang dalam kehidupannya
menghendaki akan kebahagiaan. Semua ikhtiar yang dilakukan
didambakan dapat menuai kebahagiaan dan kesuksesan. Kebahagiaan itu
biasanya terdiri dari kebahagiaan agama berupa ibadah, kebahagiaan budi
pekerti, dan kebahagiaan harta-benda. Untuk dapat meraih rasa
kebahagiaan itu, Hamka menawarkan 3 (tiga) prinsip yang harus dipegang
teguh. Ketiga prinsip itu yaitu melakukan introspeksi (muhasabah), baik
kaitanya dengan hubungan vertikal maupun horizontal. Prinsip kedua
yaitu belajar dan melatih diri untuk membersihkan atau mengosongkan
dan membuang sifat tercela. Kemudian prinsip ketiga yaitu menghiasi diri
dengan sifat terpuji (mulia).76
Demikain lah yang membuat jiwa menjadi
halus dan kuat, dan membuat manusia menjadi memiliki nilai atau ideal.
Pemikiran tokoh tentang kemuliaan manusia atau manusia yang
ideal tersebut pada prinsipnya memiliki maksud yang sama. Semua
75
Susilawati, Pemikiran Tasawuf Hamka dalam Kehidupan Modern, Annida’: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 40, No. 2, 2015, h. 120-121
76Susilawati, Pemikiran Tasawuf Hamka dalam Kehidupan Modern, ....., h. 123
158
mengungkapkan bahwasanya manusia yang mulia atau ideal adalah
manusia yang hatinya selalu terpaku pada Allah (spiritual oriented),
dimana hidupnya dipenuhi dengan ibadah, baik itu hablum minallah
maupun hablum minannas. Dimulai dengan proses penyucian diri dari
sifat tercela dan segala dosa, baik lahir maupun batin (takhalli), kemudian
mengisi dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji dan amal-amal sholih
(tahalli), kemudian melalui proses pelatihan dan usaha yang sungguh-
sungguh manusia akan terpaku kehadirat Allah dalam segala gerak prilaku
dan ibadah (tajalli). Sehingga kebaikan menjadi karakternya.77
Dalam Islam, konsepsi manusia yang mulia, berkualitas, ideal,
atau kamil secara singkat dapat dipahami sebagai manusia yang
istikomah dalam takwa78
yang selalu memperbaiki dan menghiasi diri
dengan akhlak yang baik (akhlaq al-karim), baik dalam tataran vertikal
maupun horizontal. Dimana kedua tataran akhlak itu dimplementasikan
dan dijalin dengan baik secara seimbang dan harmonis.79
Takwa menjadi
standar khusus dan fundamental bagi kemuliaan manusia dikarenakan
dalam Islam ditegaskan bahwa nilai manusia dihadapan Allah karena
ketakwaannya. Dalam Al-Quran Allah berfirman:
77
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), 191-193 78
Pengertian takwa dalam satu literatur adalah keinsyafan mengikuti dengan kepatuhan
dan ketaatan, melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Pius
A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 735.
Menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, orang yang bertakwa adalah orang yang tidak lepas dari
perbuatan mensucikan diri; orang yang selalu berusaha membenamkan dirinya dalam semua hal
yang diridhai Allah serta menjauhkan diri dari semua perbuatan yang dimurkai Allah. Lihat
Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Rahasia Sufi, Terjemahan kitab Ar-Risalatul as-Sufiyyah,
penerjemah Abdul Majid dan Khatib (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), Cet.3, h. 51. 79
Marzuki, Pembinaan Akhlak Mulia dalam Berhubungan antar Sesama Manusia dalam
Perspektif Islam, HUMANIKA, Vol. 9 No. 1, Maret 2009, h. 30
159
ن أ ن ذكر وأنث وجعلناك شعوبا وقبائل لتعارفوا ا ن خلقناك م
ا الناس ا أتقاك ي أيه كرمك عند الل
عليم خبي ن اللا
80
‚Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.‛
Pada dasarnya pemikiran Hamka dengan tokoh yang lain tentang
kemuliaan manusia ini terletak pada tataran implementasi penyampaian.
Semua berlandaskan pada fundamen pokok dalam Islam, yakni Al-Qur’an
dan Hadits, dan pada koridor sufistik dalam menjelaskannya. Namun bila
dicermati, Hamka dalam menyampaikan pemikiranya lebih praktis,
aplikatif, dan rasional. Tidak mengawang-awang, menggunakan bahasa
yang ringan, dan penjelasanya lebih rinci.
Apa yang ditawarkan oleh Hamka tersebut, dalam kajian studi
semantik Al-Qur’an dikatakan bahwa manusia ideal disebut dengan ulul
albab. Dideskripsikan bahwa ulul albab adalah manusia yang memiliki
keshalihan individu, keshalihan sosial, kedalaman spiritual, dan kepekaan
emosional. Keshalihan pribadi terwujud dengan keteguhan beribadah dan
mencari ridha-Nya. Keshalihan sosial tercermin dari upaya selalu
melakukan perilaku terpuji dan menghindarkan diri dari pebuatan tercela
yang dapat memicu bara permusuhan. Sedangkan keshalihan spiritual
adalah kesadaran yang terhujam dalam diri bahwa Allah Swt senantiasa
80
QS. Al-Hujarat [49]: 13
160
mengawasi setiap gerak prilaku, baik pikiran, ucapan maupun perbuatan,
baik itu yang baik maupun yang buruk.81
Bagan Kemuliaan Manusia
81
Ainol Yaqin, Ulul Albab sebagai Potret Manusia Ideal (Studi Semantik Al-Quran),
OKARA, Vol. 1, Tahun X, Mei 2015, h. 20
Bertakwa (hablum minallah dan
hablum minannas) dan berakhlakul
karimah.
Hamka Tokoh Lain
Manusia
Berorientasi ibadah, keutamaan (Allah
sebagai orientasi utama, amar ma’ruf
nahi munkar, dan kemanusiaan), ikhlas,
dan optimalisasi akal.
Berharkat / Mulia
Bernilai / Berkualitas
161
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama Islam menyerukan untuk menghardik dan menghasung
supaya umatnya rajin berusaha, bersungguh-sungguh dalam berusaha dan
bekerja. Karena berusaha dan bekerja adalah pangkal kemuliaan dan
ketinggian martabat. Takdir Tuhan merupakan prinsip kebijaksanaan
yang berupa ketentuan-ketentuan, tapi bukan berarti mematikan
kehendak manusia. Akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia
adalah amunisi untuk berjuang menjadi makhluk yang mulia, yang
memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Untuk itulah ikhtiar penting
dalam Islam. Hamka juga mengharuskan setiap orang untuk berikhtiar
dalam segala hal yang baik. Tesis ini menyimpulkan bahwa:
1. Ikhtiar bagi Hamka adalah berusaha dan bekerja mencapai
kemanusiaan dengan sepenuh daya upaya yang dilakukan sesuai
tuntunan syariat dengan niat dan dilakukan dengan ikhlas. Ikhtiar
merupakan bentuk aksi untuk memenuhi keinginan dan kehendak
sesuai harapan, yakni sesuai takdir Tuhan. Ikhtiar adalah fasilitas
potensi dari Tuhan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan dan
segala taklif kewajiban sesuai ketetapan illahi. Namun ruang gerak
ikhtiar manusia terbatasi oleh aturan hukum Tuhan yang bernama
takdir. Ikhtiar dan takdir itu seiring-sejalan. Takdir menurut Hamka
adalah hinggaan atau jangkauan. Setiap ikhtiar akan mendapatkan
162
hasil sesuai jangkauannya. Takdir adalah hukum penentu nasib atau
takaran hasil dari setiap kehendak yang dilakukan manusia. Seberapa
besar ikhtiar manusia, disitu akan mendapatkan takdir sesuai yang
diusahakan. Namun demikian, manusia diberikan potensi kebebasan
dalam berkehendak untuk menggapai cita-citanya. Bagi Hamka,
kemauan adalah inti eksistensi manusia. Manusia hidup harus punya
kemauan. Untuk itulah Hamka mengharuskan setiap orang untuk
berikhtiar dalam setiap kemauan, kebutuhan, taklif ibadah, dan
kegiatan yang baik.
2. Ikhtiar bagi Hamka menunjukkan gerak yang selalu mengarahkan
pada kebaikan dan kebenaran. Bertitik tolak pada niat yang baik dan
untuk meraih hasil yang baik pula. Mengarahkan manusia untuk lebih
berprikemanusiaan, dan supaya manusia memiliki hidup yang mulia
(berharkat), baik di dunia maupun di akhirat nanti. Hidup yang mulia
dalam wilayah manusia sebagai makhluk Tuhan, individu, dan sosial.
Karena ikhtiar menurut Hamka yang paling utama adalah mampu
menuntaskan tugas hidup sebagai manusia, yakni amar ma’ruf nahi
munkar dalam segala bidang kehidupan. Dengan demikian, pemikiran
ikhtiar Hamka dapat dijadikan sebagai prinsip hidup, untuk hidup
yang berharkat (mulia, bernilai, berkualitas).
B. Saran
Setiap manusia adalah lemah dan selalu ada kelemahan dalam
setiap tindakannya. Apapun paradigma yang dilakukan seseorang
163
terhadap orang lain pasti memberikan kesan ada kekurangan terhadap apa
yang dipandangnya. Begitu pula dalam proses penulisan riset ini. Apapun
kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada hasil riset ini semoga
dapat menjadi inpsirasi dan masukan terhadap motivasi kehendak setiap
orang dalam hidupnya, supaya lebih baik dan mulia.
Penulis mengakui bahwa penelitian ini masih sangat mendasar dan
banyak kelemahan yang perlu dilakukan penyempurnaan. Oleh karena itu,
hasil dari riset ini dapat menjadi titik tolak terhadap penelitian
selanjutnya untuk mendapatkan hasil riset yang lebih baik dan ilmiah.
164
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Qur’an Al-Karim
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009
Abbas, Nukman, Al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan,
Jakarta: Erlangga, 2002
Abdullah, Amin, ‚Kajian Ilmu Kalam‛ dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro
Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi
Islam, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 2000
Abdul Muin, M. Taib Tahir, Risalah Qada dan Qadar , Yogyakarta: Sumbangsih,
1964
Abdullah, Hafiz Firdaus, 47 Persoalan Qadar dan Qadha, Johor, Malaysia:
Perniagaam Jahabersa, 2011
Abu Zahrah, Imam Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
terjemahan dari judul asli Tarikh al-Madzhahib al-Islamiyah oleh Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996
Ahmad Supadie, Didiek dkk., Pengantar Studi Islam, edisi revisi, cet. III, Jakarta:
Rajawali Press, 2015
Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Qur’an: Filsafat, Spiritual, dan Sosial dalam
Isyarat Qur’an, cet. II, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996
Al-Asy’ari, Imam Abu Al-Hasan, Kitab Al-Luma’: Arrod ‘ala Ahl al-Zig wa al-
Bada’, Mesir: Matba’ah al-Munir, t.th.
___________________________, Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, Madinah:
Markaz Syu’un al-Da’wah, 1410 H.
___________________________, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-
Musallin, al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah, 1950, jilid I dan
II
Al-Bahiy, Muhammad, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1986
165
Alfian, M. Alfan, Hamka dan Bahagia: Reaktualisasi Tasauf Modern di Zaman
Kita, Jakarta: Penjuru Ilmu, 2014.
al-Hamd, Syekh Muhammad bin Ibrahim, al-Iman bi al-Qadha wa al-Qadar, edisi
terjemahan oleh Ahmad Syaikhu dengan judul Kupus Tuntas Masalah
Takdir, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005
Ali Engineer, Asghar, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999
Ali, Amir, The Spirit of Islam, New Delhi: Low Price Publications, 1995
Al-Juwayni, Abu al-Ma’ali ‘Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad, al-
‘Aqidah al-Nizamiyyah, al-Qahirah: Maktabat al-Kulliyyahal Azhariyyah,
1979.
Al-Zuahili, Muhammad, Imam Al-Juwaini, Damaskus: Darul Qalam, 2002.
Al-Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawiy, Shalah, Prinsip-Prinsip Islam untuk
Kehidupan, Penerjemah: M. Ridwan Yahya, Harjani Hifni, M. Hidayat
Nurwahid, cet. I, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1999
Amin, Ahmad, Al-Akhlaq, terjemahan Indonesia oleh KH. Farid Ma’ruf, Etika
(Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Anshori, M. Afif, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta:
Gelombang Pasang, 2004
Anwar, Rosihon dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991.
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Perkasa, 1994
As-Sukandani, Ibnu Atho’ilah, Samudera Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha
Jaya, 2005
Awang, Abdul Hadi, Beriman kepada Qadak dan Qadar, Selangor, Malaysia: PTS
Islamika, 2008
166
Azra, Azyumardi, ‚Prof. Dr. Hamka: Pribadi Institusi MUI‛, dalam Tokoh dan
Pemimpin Agama: Biografi Sosial Intelektual,(ed), Azyumardi Azra dan
Saiful Umam, Jakarta: Litbang Depag dan PPIM IAIN Jakarta, 1998
Bakhtiar, Amsal, Tema-tema Filsafat Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005
Bastaman, Hanna Djumhana, Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Paramadina,
1998
Britton, Karl, Filsafat Kehidupan: Dekonstruksi atas Makna Kehidupan, Terj.
Inyiak Ridwan Muzyir, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002
Damami, Mohammad, Tasawuf Positif dalam Pemikiran HAMKA, Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2000
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve,1994
Dt. Mangkudun, NA. Rasyid, Manusia dalam Konsepsi Islam, cet. II, tt: CV.
Karya Indah, 1983
Fatma, Aries, Cara Cepat Meraih Prestasi Diri, Jakarta: LPDS, t.th.
Fethullah Gulen, Muhammad, Tasawuf untuk Kita Semua, penerjemah Fuad
Syaifudin Nur, Jakarta: Republika Penerbit, 2013
Frager, Robert dkk, The Sufi Psychology of Grouth, Balance and Harmony.
Wheaton, USA : Theological Publ. House, 1999. Edisi terjemahan
Indonesia oleh Hasymiyah Rauf, Psikologi Sufi untuk Transformasi: Hati
Diri, dan Jiwa, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002
Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Fikr VIII, 1980
Gulen, Fethullah, Qadar: Di Tangan Siapakah Takdir atas Diri Kita?, cet. III,
edisi terjemahan dari judul asli al-Qadaru fi Dhau-i al-Kitab wa al-
Sunnah, Jakarta, Republika Press, 2005
Hadi WM, Abdul, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya,
Bandung: Mizan, 1995
167
Hady, M. Samsul, Islam Spiritual: Cetak Biru Keserasian Eksistensi, Malang:
UIN-Malang Pess, 2007
Hamim, Nur, Manusia dan Pendidikan Elaborasi Pemikiran HAMKA, Sidoarjo:
Qisthos, 2009
Hamim, Thoha, Paham Keagamaan Kaum Reformis, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000
Hamka, Dari Lembah Cita-cita, Jakarta: Gema Insani Press, 2016
______, Falsafah Hidup: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan
Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Cet. III, Jakarta: Republika
Penerbit, 2015
______, Iman dan Amal Sholeh, Jakarta: Gema Insani Press, 2015
______, Kenang-kenangan Hidup, Jakarta:Bulan Bintang, 1990, Jilid I
______, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban
untuk Hidup sesuai Ketetapan Illahi, Jakarta: Republika Penerbit, 2015
______, Pandangan Hidup Muslim, cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
______, Pelajaran Agama Islam, cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
______, Pribadi Hebat, Jakarta: Gema Insani Press, 2014
______, Studi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, tt
______, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, Juz I, VI, IX, XI, XIII-
XIV, XXI.
______, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987
Hamka, Irfan, Ayahku: Kisah Buya Hamka, Jakarta: Republika Penerbit, 2013
Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Herimanto & Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara,
2008
Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur'an al-Karim, jilid 5, Beirut: Dar al-Ankas, tt
168
Ibrahamov, Binyamin, Islamic Theology; Tradisionalism and Rasionalism,
Edinburgh University Pers: Edinburgh, 1998
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan
Perbedaaannya dengan Al-Asy’ari, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1997.
Iwudh Abduh, Ahmad, Mutiara Hadis Qudsi, Bandung: Mizan Pustaka, 2006
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia , Filsafat, dan
Pendidikan, cet. IV, Jakarta: Rajawali Press, 2014
Jacob, Tengku, Manusia, Ilmu, dan Teknologi: Pergumulan Abadi dalam Perang
dan Damai, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Jalaluddin H., Teologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Junaedi, Didi, Pahlawan-pahlawan Indonesia Sepanjang Masa, Yogyakarta:
Indonesia Tera, 2014
Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, Aswaja an-
Nahdliyah, Surabaya: Khalista, 2007
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1991
Madjid, Nurcholis, Islam, Dokrin, dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000
_______________, Pintu-pintu Menuju Tuhan, cet. VI, Jakarta: Paramadina
Press, 2002
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Maragi, Tafsir al-Maragi, alih bahasa: Bahrun Abubakar dkk, Semarang: PT
Karya Toha Putra, 1992
Mardiyah, Anisatul, Pemikiran Teologi Islam Modern, Palembang: IAIN Raden
Fatah Press, 2006
Mirnawati, Kumpulan Pahlawan Nasional Terlengkap, Depok: Penebar Swadaya
Grup, 2012
Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan lslam: Upaya Mengefektifikan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
169
Muhammad, Herry, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh pada Abad 20,
Jakarta: Gema Insani Press, 2006
Mustafiet, A. Khoiron, Takdir 13 Skala Righter: Mempertanyakan Takdir Tuhan,
Depok: Qultummedia, 2009
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. II, Jakarta: UI-Press, 1986
_____________, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:
UI Press, 1987
_____________, Pembaharuan dalam Islam: sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975
_____________, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, UI
Pres: Jakarta, 1978
Nasution, M. Yunan, Dinamika Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1966
Nasution, Yasir, Manusia menurut Al-Ghazali, Jakarta: Rajawali Press, 1988
Nawawi, Hadari & Martini, Mimi, Manusia Berkualitas, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1994
Nawawi, Imam, Riyadhus Shalihin (Taman Orang-Orang Shalih), BAB 23
Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Inteletual dan Pemikiran HAMKA
tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008
Nor Wan Daud, Wan Mohd, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003
Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Jakarta: PP Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2008
Rahman, Fazlur, Islam, terjemahan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka
Salman, 1990
Raharjo, M. Dawam, Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam,
Jakarta: Grafiti Pers, 1987
Rakhmat, Jalaluddin, Kata Pengantar dalam Homo Philipus l\ile (Ed.), Kamus
Filsafat, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995
170
Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983, Cet. II
Saefuddin Anshari, Endang, Iqra’ sebagai Mabda’ (Ke arah Islamic Fundamental
Values and Norms dan Pengantar Filsafat Islam tentang Tuhan, Alam dan
Manusia tentang Hidup, tentang Ilmu, dan tentang pendidikan),
Reformulasi Filsafat Pendidkan Islam, ed. Chabib Thoha, F Syukur, dan
Priyono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Sangidu, Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin As-Sumatrani dengan Nuruddin Ar-Raini, Yogyakarta:
Gama Media, 2003
Setiadi, Ellly M, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Prenada Media Group,
2006.
Shahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, Bairut: Dar al-Fikr, t.th
Schuon, Frithjof, Islam and The Perrenial Philosophy, terj. Rahmani Astuti,
Bandung: Mizan, 1988
Siraj, Said Agil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi bukan Aspirasi, Bandung: Mizan dan Yayasan Khas, 2006
Soleh, HA. Khudori, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2013
Shihab, M. Qurais, Wawasan Al-Qua’an, Bandung: Mizan, 1996
Syafiie, Kencana, Filsafat Kehidupan, Jakarta: Bumi Aksara, 1998
Syueb, Sudono, Buku Pintar Agama Islam, Jakarta: Delta Media, 2011.
Syari’ati, Ali, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta:
Ananda, 1982
Syukur, M. Amin dkk, Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadapt
Jedonisme Kehidupan Modern, Semarang: Tiga Serangkai, 2003
Teew, Andries dalam Sides Sudyarto DS, ‚Hamka, Realisme Religius‛, dalam
Hamka di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1984
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, ketua
penyusun: Prof. Dr. H. Harun Nasution, Jakarta: IAIN Press, 1992
171
Titiek W.S, ‚Nama Saya Hamka‛, dalam Nasir Tamara, dkk, HAMKA Dimata
Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1983
Usman Ismail, Asep, Pengembangan Diri Menjadi Pribadi Mulia, Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo, 2011
Wahyuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Jakarta:
Grasindo, 2009
Yahya, Zurkani, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, cet. I, Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 1996
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990
Yusuf, M. Yunan dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: Rajagrafindo
Persada dan MP Dikdasmen PP Muhammadiyah, 2005
Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar; Sebuah Telaah dalam
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990
Za’ba, Falsafah Takdir, penyunting Hamdan Hassan, Pahang-Malaysia: Syarikat
Percitakan Inderapura, 1980
Jurnal, Papper, dan Karya Ilmiah
Abduk Aziz, Abdul Rahman, ‚Nilai Mencapai Kehidupan Sejahtera: Pandangan
Hamka‛, Malim, Bil 10, 2002
Ahmad, Mawardi, ‚Pemikiran Murtadha Muthahhari tentang Keadilan Illahi‛,
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2006
Elfi & Damardjati Supadjar, ‚Konsep Manusia Ideal dalam Pemikiran Hamka‛,
HUMANIKA, 17 (2), 2004
Gumiandari, Septi, ‚Kepribadian Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam:
Telaah Kritis atas Psikologi Kepribadian Modern‛, Holistik, Vol. 12
Nomor 01, Juni 2011
Harono, Rodi, ‚Harkat dan Martabat Manusia dan Implikasinya terhadap
Pendidikan‛, Papper, 2009.
172
Juliandi, Azuar, ‚Parameter Prestasi Kerja dalam Perspektif Islam‛, Jurnal
Manajemen dan Bisnis, Vol. 14, No. 1, 2014
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, Januari- Juni 2003
Kamaluddin, Muhim, ‚Kebebasan dalam Pandangan Islam‛, InPAS: Institut
Pemikiran dan Peradaban Islam, Desember 2013.
Kholis, Nur, ‚Humanisme sebagai Filsafat Hukum Islam‛, Isti’dal, Jurnal Studi
Hukum Islam, Vol. I, No. 1, Tahun 2014
Mufid, Fathul, ‚Menimbang Pokok-pokok Pikiran Teologi Imam Asy’ariyah dan
Maturidiyah‛, Fikroh, Vol. I, No. 2, 2013.
Murodi, ‚Hamka: Potret Ulama-Pujangga‛, Academia, Vol. 21 No. 2, 2014.
Purba, Zainal Arifin, ‚Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan-Nya: Analisa
Perbandingan antar Aliran‛, Jurnal IAIN Padang Sidimpuan, Vol. 2, No.
1, 2016
Rahmat, Wahyu, ‚Pengaruh Tipe Kepribadian dan Kualitas Persahabatan dengan
Kepercayaan pada Remaja Akhir‛, eJournal Psikologi, 2 (2), 2014
Rajab, Khairunnisa & Fariq, Wan Muhammad, ‚Psikologi Qada’ dan Qadar‛,
Jurnal Hadari, Vo. 6 No. 1, 2011
Rusli, Muhammad, ‚Reorientasi Kajian Teologi Islam: Ikhtiar Kontributif Atasi
Masalah Kekinian‛, Ulumuna (Jurnal Studi Keislaman), Vol. 16, No. 2,
2012
Suhartini, Andewi, ‚Agama dan Problem Makna Hidup‛, Hermeneia, 2013
Susilawati, Pemikiran Tasawuf Hamka dalam Kehidupan Modern, Annida’:
Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 40, No. 2, 2015
Syafeih, ‚Konsep Al-Kasb Al-Asy’ariyah dan Modernisasi dalam Islam‛, Papper,
2014
______, ‚Sejarah Munculnya Ilmu Kalam dan Kerangka Berfikir Aliran Kalam‛,
Papper, 2013
______, ‚Ahlussunnah Wal Jamaah Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah‛, Papper,
2013
173
Tahqiq, Nanang, ‚Kajian dan Pustaka Falsafat Islam di Indonesia‛, Ilmu
Ushuluddin (Jurnal Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin), Vol. 1,
No. 6, 2013
Zulkifli, ‚Mewujudkan Generasi Optimis: Perspektif Islam‛, Papper, 2016
Recommended