View
59
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu.
Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28
minggu (Mochtar, R, 1998). Frekuensi perdarahan antepartum kira-kira 3% dari seluruh
persalinan. Di Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo (1971-1975) dilaporkan 14,3% dari
seluruh persalinan; R.S. Pirngadi Medan kira-kira 10% dari seluruh persalinan, dan di Kuala
Lumpur, Malaysia (1953-1962) 3% dari seluruh persalinan (Wiknjosastro, 1999).
Perdarahan ante partum dapat disebabkan oleh plasenta previa, solusio plasenta, ruptura
sinus marginalis, atau vasa previa. Yang paling banyak menurut data RSCM jakarta tahun
1971-1975 adalah solusio plasenta dan plasenta previa. Diagnosa secara tepat sangat
membantu menyelamatkan nyawa ibu dan janin. Ultrasonografi merupakan motede pertama
sebagai pemeriksaan penunjang dalam penegakkan plasenta previa.
BAB II
ISI
PERDARAHAN ANTEPARTUM
Yang dimaksud dengan pendarahan antepartum ialah perdarahan pada triwulan
terakhir dari kehamilan. Perdarahan antepartum dapat berasal dari :³
Kelainan plasenta, yaitu plasenta previa, solutio plasenta (abruption plasenta), atau
perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya, seperti insersio velamentosa,
rupture sinus marginalis dan plasenta sirkumvalata.
Bukan dari kelainan plasenta, biasanya tidak begitu berbahaya, misalnya kelainan
serviks dan vagina (erosio porsionis uteri, polip servisis uteri, varices vulva, ca
porsionis uteri) dan trauma.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta,
sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan
serviks biasanya tidak berbahaya. Pada kasus perdarahan antepartum, pikirkan kemungkinan
yang lebih berbahaya lebih dahulu, yaitu perdarahan dari plasenta, karena merupakan
kemungkinan dengan prognosis terburuk atau terberat, dan memerlukan penatalaksanaan
gawat darurat segera.
PLASENTA PREVIA
DEFINISI
Plasenta previa ialah suatu keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat yang
abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal). Pada keadaan normal plasenta terletak
dibagian fundus uterus.
Berdasarkan letaknya, plasenta previa dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Plasenta previa totalis : seluruh pembukaan jalan lahir tertutup plasenta (plasenta
yang menutupi seluruh ostium uteri intemum.)
2. Plasenta previa lateralis/parsialis : sebagian pembukaan jalan lahir tertutup (plasenta
plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri intemum).
3. Plasenta previa marginalis : pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan
(plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum).
4. Plasenta letak rendah : plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus,
tapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian plasenta previa sekitar 1 dari 200 persalinan. Insiden pada multipara
berkisar 1 dari 20 proses kelahiran. Di RS Parkland didapatkan prevalensi plasenta previa
0,5%. Clark dkk (1985) melaporkan prevalensi plasenta previa 0,3%. Nielson dkk (1989)
dengan penelitian prospektif menemukan 0,33% plasenta previa dari 25.000 wanita yang
bersalin, di Indonesia berkisar 2-7% [1]. Prevalensi plasenta previa di negara maju berkisar
antara 0,26 - 2,00 % dari seluruh jumlah kehamilan. Sedangkan di Indonesia dilaporkan oleh
beberapa peneliti berkisar antara 2,4 - 3,56 % dari seluruh kehamilan. Angka kejadian
plasenta previa relative tetap dalam tiga yaitu rata-rata 0,36-0,37 %, tetapi pada dekade
selanjutnya angka kejadian meningkat menjadi 0,48 %, mungkin disebabkan karena
meningkatnya faktor risiko terjadinya plasenta previa seperti umur ibu hamil semakin tua,
kelahiran secara bedah sesar, paritas yang tinggi serta meningkatnya jumlah abortus yang
terjadi,terutama abortus provokatus.
Di Amerika Serikat plasenta previa ditemukan kira-kira 5 dari 1000 persalinan dan
mempunyai tingkat kematian 0.03%. Data terbaru merekam dari 1989-1997 plasenta previa
tercatat didapat pada 2,8 kelahiran dari 1000 kelahiran hidup. Di Indonesia, RSCM Jakarta
mencatat plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Antara tahun 1071-
1975 terjadi 37 kasus plasenta previa diantara 4781 persalinan yang terdaftar atau kira-kira 1
dari 125 persalinan.
Menurut Kloosterman (1973), frekuensi plasenta previa pada primigravida yang
berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih sering dibandingkan dengan pramigravida
yang berumur kurang dari 25 tahun, pada grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun
kira-kira 4 kali lebih sering dibandingkan dengan grande multipara yang berumur kurang dari
25 tahun (Wiknjosastro, 2005).
ETIOLOGI
Etiologi plasenta previa sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa teori dan faktor risiko yang berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya:
1) Ovum yang dibuahi tertanam sangat rendah di dalam rahim, menyebabkan plasenta
terbentuk dekat dengan atau di atas pembukaan serviks.
2) Lapisan rahim (endometrium) memiliki kelainan seperti fibroid atau jaringan parut
(dari previa sebelumnya, sayatan, bagian bedah caesar atau aborsi).
3) Hipoplasia endometrium : bila kawin dan hamil pada umur muda.
4) Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil
konsepsi.
5) Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium.
6) Plasenta terbentuk secara tidak normal.
7) Kejadian plasenta previa tiga kali lebih sering pada wanita multipara daripada
primipara. Pada multipara, plasenta previa disebabkan vaskularisasi yang berkurang
dan perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan masa lampau. Aliran darah ke
plasenta tidak cukup dan memperluas permukaannnya sehingga menutupi pembukaan
jalan lahir. (Sumapraja dan Rachimhadi, 2005)
8) Ibu merokok
William dkk menemukan risiko relatif kejadian plasenta previa meningkat 2-4 kali
pada wanita yang merokok. Hal tersebut terjadi karena karbondioksida yang terhisap
mampu menyebabkan hipertrofi dari plasenta serta menyebabkan peradangan dan
berkurangnya vaskularisasi plasenta sehingga mempengaruhi perkembangan dari
plasenta.
9) Ibu dengan usia lebih tua.
Risiko plasenta previa berkembang 3 kali lebih besar pada perempuan di atas usia 35
tahun dibandingkan pada wanita di bawah usia 20 tahun . Hasil penelitian
menyatakan usia wanita produktif yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20-35 tahun. Hasil penelitian menyatakan peningkatan umur ibu merupakan faktor
risiko plasenta previa, karena sklerosis pembuluh darah arteli kecil dan arteriole
miometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata sehingga
plasenta tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih besar, untuk
mendapatkan aliran darah yang adekuat.
10) Riwayat section caecaria
Melahirkan dengan SC mengakibatkan parut di dalam rahim. Kejadian meningkat
pada wanita yang sudah melakukan 2 kali atau lebih SC.
GAMBARAN KLINIS
Perdarahan tanpa nyeri
Pasien mungkin berdarah sewaktu tidur dan sama sekali tidak terbangun.
Biasanya perdarahan karena plasenta previa baru timbul setelah bulan ketujuh dan
perdarahan sebelum bulan ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus.
Perdarahan pada plasenta previa disebabkan pergerakan antara plasenta dan
dinding rahim. Setelah bulan ke-4 terjadi regangan pada dinding rahim karena isi rahim
lebih cepat tumbuhnya dari rahim sendiri. Akibatnya ismus uteri tertarik menjadi bagian
dinding korpus uteri yang disebut segmen bawah rahim.
Perdarahan berulang.
Perdarahan bersifat berulang-ulang karena setelah terjadi pergeseran antara plasenta
dan dinding rahim, regangan dinding rahim dan tarikan pada serviks berkurang. Namun,
dengan majunya kehamilan regangan bertambah lagi dan menimbulkan perdarahan baru
Warna perdarahan merah segar.
Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah.
Timbulnya perlahan-lahan.
His biasanya tidak ada.
Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi.
Denyut jantung janin ada.
Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina.
Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul.
Kejadian yang paling khas pada plasenta previa adalah pendarahan tanpa nyeri
biasanya baru terlihat setelah trimester kedua atau sesudahnya. Penyebab pendarahan perlu
ditegaskan kembali. Jika plasenta terletak pada ostium internum, pada pembentukan segmen
bawah uterus dan dilatasi ostium internum akan mengakibatkan robekan pada tempat
pelekantan plasenta yang diikuti oleh pendarahan dari pembuluh- pembuluh darah uterus.
Pendarahan tersebut diperberat lagi dengan ketidakmampuan serabut- serabut otot
miometrium segmen bawah uterus untuk mengadakan kontaksi dan retraksi agar bias
menekan bembuluh darah yang rupture sebagaimana terjadi secara normal ketika terjadi
pelepasan plasenta dari dalam uterus yang kosong pada kala tiga persalinan.
Akibat pelekatan yang abnormal seperti terlihat pada plasenta akreta, atau akibat
daerah pelekatan yang sangat luas, maka proses perlekatan plasenta kadangkala terhalang
dan kemudian dapat terjadi pendarahan yang banyak setelah bayi dilahirkan. Pendarahan
dari tempat implantasi plasenta dalam segmen bahwa uterus dapat berlanjut setelah plasenta
dilahirkan, mengingat segmen bahwa uterus lebih cendrung memiliki kemampuan kontraksi
yang jelek dibandingkan korpus uteri. Sebagai akibatnya, pembuluh darah memintas
segmen bahwa kurang mendapat kompresi. Pendarahan dapat terjadi pula akibat laserasi
pada bagian bahwa uterus dan serviks yang rapuh, khususnya pada usaha untuk
mengeluarkan plasenta yang melekat itu secara manual.
PATOFISIOLOGI
Dinding rahim tipisPerdarahan
Desidua lepas dari plasenta
Laserasi
MerokokRiwayat kehamilan (Caesar)
Usia ibu saat kehamilan
Multiparitas, gemeli
FaktorPendukung
Servik membuka dan mendatar
Implantasi embrio (embryonic plate) pada bagian bawah (kauda) uterus
Isthmus uteri tertarik (melebar)menjadi dinding cavum uteri (SBR/ Segmen Bawah Rahim )
Lahir tidak dapat normal (lahir sesar)
anemia
Kelainan pada rahim (atrofi, cacat)
Implantasi abnormal
Plasenta berkembang menutupi ostium interna
Plasenta akan melekat lebih kuat
Mudah diinvasi oleh pertumbuhan trofoblas
Cemas
Bayi lahir dengan BB rendah/
kematian (gawat janin)
Resiko cedera
hipoksia
Kekurangan volume cairan
Hipovolemia
Perubahan perfusi jaringan
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Perdarahan dari jalan lahir pada kehamilan setelah 20minggu, tanpa rasa nyeri, tanpa
alasan, berulang dengan volume lebih banyak daripada sebelumnya, terutama pada
multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan
dari pemeriksaan hematokrit.
2. Inspeksi
Dapat dilihat perdarahan yang keluar pervaginam: banyak, sedikit, dan darah beku.
Bila berdarah banyak ibu tampak pucat/ anemis.
3. Palpasi
Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul, apabila presentasi
kepala, biasanya kepala masih terapung diatas pintu atas panggul atau mengolak ke
samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
Tidak jarang terdapat kelainan letak, seperti letak lintang atau letak sungsang.
Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah.
Tidak terdapat nyeri tekan uterus, uterus tidak tegang, dan tidak iritabel
4. Auskultasi
Denyut jantung janin biasanya normal
5. Pemeriksaan Inspekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium
uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina. Apabila perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
6. Pemeriksaan letak plasenta tidak langsung
Pemeriksaan radiografi dan radioisotope yang sudah ditinggalkan
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan cara yang paling tepat untuk menegakkan
diagnosis definitif, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janin. Pemeriksaan
USG rutin pada kehamilan 18-20 minggu dengan plasenta letak-rendah tidak
dianjurkan, kecuali terjadi perdarahan berulang. Pemeriksaan USG rutin untuk
kehamilan dengan plasenta previa partial atau total dianjurkan setelah 32 minggu,
walaupun saat itu tidak terjadi perdarahan.
7. Pemeriksaan letak plasenta secara langsung
Diagnosis plasenta previa dahulunya jarang ditegakkan melalui pemeriksaan klinis,
kecuali jari tangan pemeriksa dimasukkan lewat serviks dan jaringan plasenta teraba.
(Dewasa ini dengan adanya pemeriksaan USG, pemeriksaan tersebut tidak lagi
dilakukan).
Pemeriksaan serviks semacam ini tidak pernah diperbolehkan kecuali bila wanita
tersebut sudah berada di kamar operasi dengan segala persiapan untuk pembedahan
seksio sesarea segera, karena pemeriksaan serviks yang paling hati-hati pun dapat
menimbulkan perdarahan hebat.
TATA LAKSANA
Semua penderita perdarahan antenatal tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam
kecuali kemungkinan plasenta previa telah disingkirkan atau diagnosa solusio plasenta telah
ditegakkan. Penatalaksanaan plasenta previa yang tercantum dalam Standar Pelayanan Medik
(2008), dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan Konservatif
Dilakukan pada bayi prematur dengan TBJ <2500 gram atau umur kehamilan <37
minggu dengan syarat denyut jantung janin baik dan perdarahan sedikit atau berhenti.
Cara perawatan:
o Observasi ketat di kamar bersalin selama 24 jam.
o Keadaan umum ibu diperbaiki, bila anemia berikan transfusi PRC (Packed Red
Cell) sampai Hb 10-11 gr%.
o Berikan kortikosteroid untuk maturitas paru janin (kemungkinan perawatan
konservatif gagal) dengan injeksi Betametason/Deksametason 12 mg tiap 12 jam
bila usia kehamilan <35 minggu atau TBJ < 2000 gram.
o Bila perdarahan telah berhenti, penderita dipindahkan ke ruang perawatan dan
tirah baring selama 2 hari, bila tidak ada perdarahan dapat mobilisasi.
o Observasi perdarahan, denyut jantung janin dan tekanan darah setiap 6 jam.
o Bila perdarahan berulang dilakukan penanganan aktif.
o Pemeriksaan USG, Hb, dan Hematokrit.
Bila selama tiga hari tidak terjadi perdarahan setelah melakukan pengawasan
konserpatif maka lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak
ada perdarahan. Bila timbul perdarahan segera bawa ke rumah sakit dan tidak
boleh melakukan senggama.
o Bila perdarahan ulang tidak terjadi setelah dilakukan mobilisasi penderita
dipulangkan dengan nasihat:
- Istirahat
- Dilarang koitus
- Segera masuk Rumah Sakit bila terjadi perdarahan lagi
- Kontrol tiap minggu
b. Perawatan Aktif
Segera dilakukan terminasi kehamilan. Jika perdarahan aktif (perdarahan >500 cc
dalam 30 menit) dan diagnosa sudah ditegakkan segera dilakukan seksio sesarea
dengan memperhatikan keadaan umum ibu. Perawatan aktif dilakukan apabila:
o Perkiraan berat bayi > 2000 gram.
o Gawat janin.
o Anemia dengan Hb < 6 g%, janin hidup, perkiraan berat bayi > 2000 gram.
o Perdarahan aktif
PROGNOSIS
Karena dahulu penanganan relatif bersifat konservatif, maka mortalitas dan
morbiditas ibu dan bayi tinggi, mortalitas ibu mencapai 8-10% dan mortalitas janin 50-80%.
Sekarang penanganan relatif bersifat operatif dini, maka angka kematian dan
kesakitan ibu dan perinatal jauh menurun. Kematian maternal menjadi 0,1-5% terutama
disebabkan perdarahan, infeksi, emboli udara, dan trauma karena tindakan. Kematian
perinatal juga turun menjadi 7-25%, terutama disebabkan oleh prematuritas, asfiksia, prolaps
funikuli, dan persalinan buatan (tindakan).
SOLUTIO PLASENTA
DEFINISI
Solutio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri
sebelum waktunya yaitu sebelum janin lahir. Biasanya terjadi dalam triwulan ketiga. Plasenta
secara normal terlepas setelah anak lahir. Ada juga yang mengartikan solutio plasenta
merupakan pelepasa sebagian atau seluruh plasenta yang normal implantasinya antara
minggu 22 dan lahirya anak.
Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio plasentae, abruptio plasentae,
accidental haemorrhage dan prematur separation of the normally implanted placenta.
KLASIFIKASI
Menurut derajat lepasnya plasenta :
1. Solusio plasenta totalis, bila plasenta terlepas seluruhnya
2. Solusio plasenta parsialis, bila plasenta sebagian terlepas
3. Ruptura sinus marginalis, bila hanya sebagian kecil pnggir plasenta yang terlepas.
4. Solusio plasenta dengan perdarahan yang keluar, perdarahan dapat menyelundup
keluar dibawah selaput ketuban.
5. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, perdarahan tersembunyi dibelakang
plasenta.
Secara klinis berdasarkan tanda klinis yang menyertainya :
1. Solusio plasenta ringan
2. Solusio plasenta sedang
3. Solusio plasenta berat
EPIDEMIOLOGI
Frekuensi yang dilaporkan untuk solutio plasenta adalah 1 diantara 50 persalinan.Dii
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 1968 – 1971 solutio plasenta terjadi
pada kira – kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solutio plasenta sedang,
dan 86% solutio plasenta berat. Solutio plasenta ringan jarang didiagnosis.
ETIOLOGI
Penyebab utama dari solusio plasenta , masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun
demikian , beberapa hal tersebut dibawah ini diduga merupakan faktor – faktor yang
berpengaruh pada kejadiannya, antara lain :
1. Hipertensi essensialis atau preeklamsi
2. Tali pusat yang pendek
3. Trauma
4. Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior
5. Uterus yang sangat mengecil ( Hidramnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan
ganda pada waktu anak pertama lahir ).
Disamping itu , ada juga pengaruh dari :
1. Umur lbu yang tua
2. Multiparitas
3. Ketuban pecah sebelum waktunya
4. Defisiensi asam folat
5. Merokok, alkohol, kokain
PATOFISIOLOGI
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas.Apabila darah
yang terbentuk sedikit, hematoma hanya akan mendesak jaringan plasenta, peredaran darah
antara uterus dan plasenta belum terganggu, dan tanda atau gejalanya pun tidak jelas.Hal ini
baru diketahui setelah plasenta dikeluarkan dan terdapat cekungan pada permukaan maternal.
Apabila hematoma retroplasenter bertambah berat, sehingga sebagian atau seluruh
plasenta dapat terlepas dari dinding uterus. Hal yang dapat terjadi adalah :
Sebagian darah akan menyelundup dibawah selaput ketuban keluar dari vagina
Sebagian darah akan menembus masuk kedalam kantong selaput ketuban keluar dari
vagina
Sebagian darah akan mengadakan ekstravasasi kedalam otot uterus dan menyebabkan
seluruh permukaan uterus bebercak biru atau ungu yang disebut sebagai uterus
couvelaire. Uterus seperti ini akan terasa sangat tegang dan nyeri. Akibat kerusakan
jaringan miometrium dan pembekuan retroplasenter, banyak tromboplastin akan
masuk ke dalam peredaran darah ibu, sehingga terjadi pembekuan intravaskuler yang
akan menghabiskan persedian fibrinogen akibatnya terjadi hipofibrinogenemi yang
menyebabkan gangguan pembekuan darah tidak hanya di uterus tapi juga pada alat
tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan
intravaskuler. Oliguria dan ptoteinuria akan terjadi akibat nekrosis tubuli ginjal yang
biasanya berakibat fatal.
GAMBARAN KLINIK
1. Solutio Plasenta Ringan
Perdarahan pervaginam sedikit dan berwarna kehitam – hitaman
Tidak mempengaruhi keadaan ibu ataupun janinnya
Perut terasa agak sakit, atau terus menerus agak tegang
Bagian janin masih mudah diraba
2. Solutio Plasenta Sedang
Gejala dapat timbul perlahan – lahan seperti plasenta solutio ringan
Gejala dapat timbul mendadak dengan sakit perut terus menerus
Perdarahan pervaginam tampak sedikit namun perdarahan mungkin telah
mencapai 1000 ml
Syok
Dinding uterus tegang terus menerus dan nyeri tekan
Bagian – bagian janin sulit diraba
Bunyi jantung janin sukar didengarkan
3. Solutio Plasenta Berat
Ibu Syok
Biasanya janin telah meninggal
Uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri
Perdarahan pervaginam tampaknya tidak sesuai dengan keadaan syok ibunya
Kemungkinan besar telah terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal
DIAGNOSIS
Solusio plasenta yang ringan, pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang
jelas, perdarahan antepartum hanya sedikit, dalam hal ini diagnosis baru kita tegakkan setelah
anak lahir. Pada plasenta kita dapati koagulum-koagulum darah.
Pada keadaan yang agak berat kita dapat membuat diagnosis berdasarkan :
1. Anamnesis
Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat
mana yang paling sakit, dimana plasenta terlepas.
Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan sekonyong-konyong (non-
recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah.
Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak
bergerak lagi).
Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu
kelihatan anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.
Kadang-kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi
Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
Pucat, sianosis, keringat dingin.
Kelihatan darah keluar pervaginam.
3. Palpasi
TFU naik karena terbentuknya retroplasenter hematoma; uterus tidak sesuai dengan
tuanya kehamilan.
Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden
uterus) baik waktu his maupun diluar his.
Nyeri tekan terutama di tempat plasenta tadi terlepas.
Bagian-bagian janin susah dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
Sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140,
kemudian turun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih
dari sepertiga.
5. Pemeriksaan dalam
Serviks bisa telah terbuka atau masih tertutup.
Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu
his maupun diluar his.
Kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan
turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta, ini sering
dikacaukan dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan umum.
Tensi semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler,
tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh syok.
Nadi cepat, kecil, dan filiformis.
7. Pemeriksaan Ultrasonography (USG).
Ultrasonography adalah suatu metode yang penting untuk mengetahui adanya
pendarahan di dalam uterus. Kualitas dan sensitifitas ultrasonografi dalam mendeteksi
solusio plasenta telah meningkat secra signifikan belakangan ini. Tetapi
bagaimanapun juga ini bukan metode yang sempurna dan sensitif untuk mendeteksi
solusio plasenta, tercatat hanya 25% kasus solusio plasenta yang ditegakkan dengan
USG. Solusio plasenta tampak sebagai gambaran gumpalan darah retroplacental,
tetapi tidak semua solusio plasenta yang di USG ditemukan gambaran seperti di atas.
Pada fase akut, suatu perdarahan biasanya hyperechoic, atau bahkan isoechoic, maka
kita bandingkan dengan plasenta. Gambaran konsisten yang mendukung diagnosa
solusio plasenta antara lain adalah; gumpalan hematom retroplasenta (hyperochoic
hingga isoechoic pada fase akut, dan berubah menjadi hypoechoic dalam satu
minggu), gambaran perdarahan tersembunyi, gambaran perdarahan yang meluas.
Manfaat lainnya adalah USG dapat dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain perdarahan antepartum.
8. Pemeriksaan laboratorium
Urin,albumin (+); pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan lekosit.
Darah : Hb menurun (anemi), periksa golongan darah, kalau bisa cross match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
a/hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation Test) tiap 1
jam, test kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan test kuantitatif fibrinogen (kadar
normalnya 150 mg%).
9. Pemeriksaan plasenta
Sesudah bayi dan plasenta lahir, kita periksa plasentanya. Biasanya tampak tipis dan
cekung di bagian plasenta yang terlepas (krater) dan terdapat koagulum atau darah
beku di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplasenter.
TATALAKSANA
1. Solutio Plasenta Ringan
Ekspektatif (Konservatif)
Prinsipnya kita hanya menunggu sampai perdarahan berhenti dan kemudian
partus spontan. Dilakukan apabila kehamilan kurang dari 36 minggu, dan keadaan
hemodinamik yang stabil yakni perdarahan berhenti spontan, kontraksi uterus tidak
ada, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup.
Pasien dirawat dengan tirah baring, atasi anemia, USG, dan CTG serial,
berikan tokolisis dengan syarat keadaan janin baik, lalu tunggu persalinan spontan.
Pemeriksaan laboratoirum darah lengkap , golongan darah, pembekuan darah harus
dilakukan
Aktif
Prinsipnya kita mencoba melakukan tindakan dengan maksud agar anak
segera dilahirkan dan perdarahan berhenti. Dilakukan apabila ada perdarahan
berlangsung terus, uterus berkontraksi, dapat mengancam ibu/janin, gejala solutio
plasenta itu bertambah jelas, atau dalam pemantauan USG daerah solutio plasenta
bertambah luas.
Disseminating Intravaskular Coagulophaty (DIC) harus disingkirkan, terutama
pada kasus-kasus dengan kematian janin. Bedside bleeding test dapat
mengkonfirmasikan diagnosis tersebut. Apabila terdapat koagulopati, koreksi dengan
fresh frozen plasma atau cryoprecipitate. Segera setelah faktor pembekuan terkoreksi
dan volume cairan tergantikan, lakukan terminasi kehamilan. Bila janin hidup,
dilakukan seksio caesaria. Apabila janin mati, ketuban segera dipecahkan
(amniotomi) disusul pemberian infus oksitosin untuk mempercepat persalinan
pervaginam (dalam 6 jam). Bila kemajuan partus tidak memuaskan atau pembukaan
serviks kurang dari 5, lakukan seksio caesaria.
2. Solutio Plasenta Sedang dan Berat
Apabila diagnosis solutio plasenta ditegakkan, berarti perdarahan telah terjadi
minimal 1000 Cc. Dengan demikian, transfusi darah harus segera dilakukan. Tekanan
darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan karena vasospasmus sebagai
reaksi dari perdarahan ini akan meninggikan tekanan darah. Petunjuk paling tepat
untuk pemberian transfusi darah secukupnya ialah dengan mengukur tekanan vena
pusat (Central Venous Pressure (CVP), CVP pada triwulan ketiga sekitar 10 Cm Air.
Untuk memperbaiki hemodinamik pasien berikan lakukan juga resusitasi
cairan dengan saline atau ringer laktat dalam 2 jalur dengan jarum besar (16G, 18G).
Observasi terus keadaan janin, dan berikan O2 murni untuk pasien dengan hipotensi.
Ketuban segera dipecahkan, tidak peduli keadaan umum pasien dan tidak peduli
apakah persalinan akan dilakukan pervaginam atau per abdominam. Amniotomi akan
merangsang dimulainya persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin yang dapat
menyebabkan komplikasi nekrosis korteks ginjal (refleks uterorenal) dan gangguan
pembekuan darah. Bila perlu, persalinan dipercepat dengan pemberian infus oksitosin.
Apabila persalinan tidak selesai atau diperkirakan tidak akan selasai dalam 6
jam setelah terjadinya solutio plasenta, walaupun amniotomi dan pemberian infus
oksitosin telah dilakukan, satu-satunya cara untuk segera mengosongkan uterus ialah
dengan seksio caesaria. Seksio Caesaria tidak perlu menunggu sampai darah tersedia
secukupnya, atau syok teratasi, karena tindakan terbaik dalam mengatasi perdarahan
adalah dengan segera menghentikan sumbernya.
Apabila perdarahan tidak dapat diatasi dengan seksio caesaria, uterus
Couvelaire dengan kontraksi tidak baik, terjadi afibrinogenemia atau
hipofibrinogenemia, persediaan darah atau fibrinogen tidak ada atau tidak cukup;
maka histerektomi perlu dipertimbangkan.
KOMPLIKASI
Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dan
lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi adalah :
a. Perdarahan. Perdarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir
tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan
telah selesai, penderita belum bebas dari bahaya perdarahan postpartum karena
kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III, dan
kelainan pembekuan darah.
Kontraksi uterus yang tidak kuat itu disebabkan oleh ekstravasasi darah di anatara
otot-otot miometrium, seperti yang terjadi pada uterus Couvelaire. Apabila
perdarahan post-partum itu tidak dapat diatasi dengan kompresi bimanual uterus,
pemberian uterotonika, maupun pengobatan kelainan pembekuan darah, maka
tindakan terakhir untuk mengatasi perdarahan postpartum itu ialah histerektomia atau
pengikatan arteria hipogastrika.
b. Kelainan pembekuan darah. Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta yang
biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemi terjadi kira-kira 10%; sedangkan di
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo menurut Wirjohadiwardojo (1973) terjadi
pada 46% dari 134 kasus yang diselidikinya. Terjadinya hipofibrinogenemi
diterangkan oleh Page (1951) dan Schneider (1955) dengan masuknya tromboplastin
ke dalam peredaran darah ibu akibat terjadinya pembekuan darah retroplasenter,
sehingga terjadi pembekuan darah intravaskular di mana-mana, yang akan
menghabiskan factor-faktor pembekuan darah lainnya, terutama fibrinogen. Selain
keterangan yang sederhana ini, masih terdapat banyak keterangan lain yang lebih
rumit.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup-bulan ialah 450 mg%,
berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen lebih rendah dari 100 mg%,
akan terjadi gangguan pembekuan darah.
c. Oligouria dan gagal ginjal. Hanya dapat diketahui dengan pengukuran teliti
pengeluaran air kencing yang harus secara rutin dilakukan pada solution plasenta
sedang, dan berat, apalagi yang disertai perdarahan tersembunyi, pre-eklamsia, atau
hipertensi menahun. Terjadinya oligouria belum dapat diterangkan dengan jelas.
Sangat mungkin berhubungan dengan hipovolemia, dan penyempitan pembuluh darah
ginjal akibat perdarahan yang banyak. Ada pula yang menerangkan bahwa tekanan
intrauterine yang meninggi karena solution plasenta menimbulkan refleks
penyempitan pembuluh darah ginjal. Kelainan pembekuan darah berperanan pula
dalam terjadinya kelainan fungsi ginjal ini.
d. Gawat janin. Jarang kasus solusio plasenta yang dating ke rumah sakit dengan janin
yang masih hidup. Kalau pun didapatkan janin masih hidup, biasanya keadaannya
sudah demikian gawat, kecuali pada kasus solution plasenta ringan.
PROGNOSIS
Terhadap ibu
Mortalitas menurut kepustakaan 5-10%, sedangkan di RS Pringadi Medan dilaporkan
6,7%. Hal ini dikarenakan adanya perdarahan sebelum dan sesudah partus, toksemia
gravidarum, kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan infeksi.
Prognosis ibu tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus,
banyaknya perdarahan, derajat kelainan pembekuan darah, ada tidaknya hipertensi menahun
atau preeklampsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, jarak waktu antara terjadinya solutio
plasenta dan pengosongan uterus.
Terhadap anak
Mortalitas anak tinggi menurut kepustakaan 70-80%, sedangkan di RS Pringadi
Medan 77,7%. Hal ini tergantung pada derajat pelepasan dari plasenta, bila yang terlepas
lebih dari 1/3 maka kemungkinan kematian anak 100%. Selain itu juga tergantung pada
prematuritas dan tindakan persalinan.
Prognosis janin pada solutio plasenta berat hampir 100% mengalami kematian. Pada
solutio plasenta ringan dan sedang, kematian janin tergantung dari luasnya plasenta yang
terlepas dari dinding uterus dan tuanya kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 mL biasanya
menyebabkan kematian janin.
Terhadap kehamilan berikutnya
Biasanya bila telah menderita penyakit vaskuler dengan solusio plasenta, maka pada
kehamilan berikutnya sering terjadio solusio plasenta yang lebih berat dengan partus
prematurus atau immaturus.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Perdarahan antepartum dapat berasal dari kelainan plasenta dan bukan dari kelainan
plasenta. Perdarahan yang cepat dan banyak berasal dari kelainan plasenta. Frekwensi
terbanyak ialah plasenta previa dan solutio plasenta.
1. Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada kehamilan setelah 28 minggu.
2. Faktor-faktor terjadinya perdarahan antepartum adalah plasenta previa, solusio plasenta,
ruptur sinus marginalis, plasenta letak rendah atau vasa previa.
3. Pentingnya diagnosa secara dini membantu penatalaksanaan secara dini sehingga dapat
mengurangi angka mortalitas.
4. penggunaan Ultrasonography pada plasenta previa sangat akurat dan menunjang diagnosa
secara cepat.
5. Penatalaksanaan perdarahan antepartum yang baik dapat mengurangi angka mortalitas dan
morbiditas ibu dan janin.
Perlu kiranya kita sebagai klinisi untuk mencegah terjadinya kasus seperti ini
dikemudian hari dengan cara menjauhi predisposisi terjadinya perdarahan antepartum,
walaupun belum tentu dapat dihindari. Namun yang paling penting dari kasus ini adalah
bagaimana cara kita bertindak untuk menyelamatkan ibu dan janin dengan resiko sekecil
mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Library.usu.ac.id/download/fk/anatomi-djakobus.3.pdf
2. Wiknjosastro, H, Saifuddin A.B, Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Ilmu
Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002;362-385
3. Mochtar R, “Perdarahan Antepartum (hamil tua). Sinopsis Obstetri obstetri fisiologis
obstetri patologis, edisi kedua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1998;269-287
4.Bagian Obstetri & Ginekologi Fak.Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Obstetri
Patologi, Ed. 1984, Elstar Offset Bandung, halo 110-120.
5.Saifuddin A.B, Adriansz G, Wiknjosastro, H, Waspodo D. Perdarahan kehamilan lanjut dan
persalinan. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan
Bina Pustaka Sarwomo Prawirohardjo, Jakarta, 2002;M-18-M-22
6.Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Plasenta Previa, Antepartum hemorrhage. In :
Williams Obstetrics, 22st ed, Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange,
Connecticut, 2001; 712-716
7. Manjoer A, Triyanti K, Savitri R. Plasenta previa. Kapita Selekta,edisi ketiga.
Jakarta:2001; 276-279
Recommended