View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
2
F.J. Ismarianto
Story Eater
3
Untuk Dia yang sekarang duduk di belakangku.
KUKIS PEDAS
Kumpulan Kisah Pendek Fantasi
Karya F.J. Ismarianto
Copyright © November 2013 by Fery Juni Ismarianto
[1. Fantasi. 2. Cerita pendek—antologi. 3. Fiksi—Supernatural. 4.
Fabel. 5. Fiksi—Komedi.]
Buku-e ini bersifat fiksi. Bila ada kesamaan nama, tempat, dan
kejadian, maka hal itu merupakaan ketidaksengajaan atau kebetulan
semata atau ditakdirkan untuk menjadi kebetulan.
Selama bukan untuk tujuan cari duit komersil atau diakui
sebagai karya sendiri, memperbanyak sebagian atau
keseluruhan buku-e ini sangat dianjurkan.
Kecuali untuk nama penulis, font untuk halaman 2 dibuat di cooltext.com.
Cover diperindah dengan menggunakan fitur di pho.to.
4
1. Sececap Kukis – 5
2. Bocah Penjual Cookies – 7
3. Rencana Orangutan – 23
4. Aku Mengubah Kekasihku Menjadi Keset – 37
5. Paradeso – 55
6. Confession of a Bookaholic – 89
7. Tentang Penulis – 105
5
Sececap Kukis
Terima kasih pada kak Mery Riansyah, Kastil Fantasi
dan Penggemar Novel Fantasi Indonesia yang telah
secara tak sengaja membuatku "terpaksa" membuat
kelima cerpen ini.
Terima kasih pada Sherina, ponsel terhebat di seluruh
dunia yang selalu menemaniku di saat aku suka mau
pun duka. Please, jangan sakit lagi ya.
Terima kasih pada keluargaku, juga teman-temanku,
juga penggemarku (ish, siapa yang mau jadi
penggemarmu, Jun?) yang telah mendukung hingga
kumcer ini bisa selesai ditulis, dibuatin cover depan
[untuk dipajang di halaman pertama dan goodreads],
dipercantik tata letaknya, hingga diupload ke
goodreads untuk bisa didownload oleh banyak orang.
Terima kasih pada cooltext.com yang telah
menyediakan font yang oke dan gratis untuk
digunakan.
Terima kasih pada pho.to yang membantu
mempercantik cover yang kubuat.
Terima kasih juga padamu. Yang telah mendownload
ebook ini dan menyisihkan sedikit waktumu yang
berharga untuk membaca Kukis Pedas yang masih
jauh dari sempurna ini. Mungkin beberapa dari kalian
sudah pernah membaca cerpen-cerpen dalam buku
6
digital ini sebelumnya, sebab semua kisah sudah
pernah dimuat di blog pribadiku, di grup Kastil
Fantasi di Goodreads dan di grup Penggemar Novel
Fantasi Indonesia di facebook. Tapi aku jamin, kalian
akan menemukan sesuatu yang baru di dalamnya.
Kini, semuanya terserah kalian. Aku hanya bisa
berharap Kukis Pedas memenuhi ekspektasi kalian.
Selamat menikmati Kukis Pedas!
Jun
Nb. Boleh banget lho kumcer ini direview ;)
7
Bocah Penjual Cookies
8
Bocah lelaki itu sengaja melepaskan sepatu bututnya di
luar dapur. Sepatu yang kekecilan itu kadang mendecit
ketika digunakan berjalan. Misinya mengendap-ngendap
di dapur akan gagal bila dia menimbulkan kegaduhan.
Bocah itu berjingkat masuk. Kepalanya berputar kesana-
kemari. Rasa cemas membayang di wajahnya. Pintu dapur
yang terhubung ke luar rumah bisa terbuka kapan saja.
Jendela kaca bisa membuat seseorang yang berada di luar
rumah mengetahui aksinya.
Tanpa sadar dia menahan napasnya.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Dia berhasil tiba di meja dapur!
Dia kembali menelan kekecewaan saat menemukan satu
piring dan diletakkan tepat di tengah meja. Jauh dari
jangkauan tangan mungilnya.
Bocah itu menatap pintu dan jendela sekali lagi. Masih
tidak ada tanda-tanda orang mendekat.
Perlahan sekali dia menarik salah satu kursi kayu. Tenaga
kecilnya tidak mampu membuat kursi itu bergeser.
Dicobanya lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh
tenaganya. Kursi kayu itu akhirnya menyerah dan
9
menuruti keinginan si bocah kecil berumur 9 tahun itu,
mundur beberapa puluh senti.
Sebelum dia memanjat kursi yang baru digesernya, bocah
itu memandang sekitarnya lagi. Dia cukup khawatir derit
kursi beradu dengan lantai tadi didengar seseorang.
Seseorang yang ditakutinya setengah mati.
Tapi tidak. Orang itu tampaknya masih sibuk di luar.
Bocah itu berharap semoga orang itu berada selama
mungkin di luar rumah melakukan entah apa.
Tiga buah donat saling bertumpuk di atas piring itu. Baru
saja bocah itu mengangkat salah satu donat. Nyaris saja
mulutnya dibanjiri rasa manis roti dan meisses cokelat.
Pintu yang sejak tadi ditatapnya lekat tertutup. Seseorang
yang ditakutinya muncul dari pintu lain. Pintu dari ruang
tengah. Pintu yang tadi dilewatinya.
"Apa yang kamu lakukan?!" bentak wanita itu. Matanya
yang tajam mengulitinya. Rambutnya yang sebahu
mencuat berantakan, menambah kesan kegarangannya.
Tangannya terangkat. Refleks si bocah merendahkan
kepalanya, pasrah menerima pukulan dari wanita itu. "Itu
bukan buat kamu!"
"Tapi, Bu, saya lapar," rengek bocah itu, sebelah
tangannya mengusap puncak kepalanya yang panas. Air
mata mendesak keluar, membanjiri pipinya yang kurus.
"Saya belum makan."
10
"Salah sendiri siapa suruh tadi kelayapan," kata wanita itu
yang tak lain dan tak bukan adalah ibu kandung bocah itu.
"Pulang sekolah itu langsung pulang ke rumah. Bukan
main di lapangan. Cepat taruh donat itu kembali!"
"Tapi saya lapar," cicit bocah itu.
"Taruh!" Lagi-lagi wanita itu memukul anaknya. "Atau
kamu nggak dapat makan sampai besok pagi!"
Mendengar ancaman dari ibunya, bocah itu
mengembalikan—dengan tidak rela—donat yang nyaris
dicerna lambungnya kembali ke tempatnya. Setelah itu dia
melompat turun dan mendorong kursi kayu masuk ke
bawah meja.
"Cepat kerjakan tugasmu," kata ibunya, menyodorkan dua
tas plastik berisi kotak-kotak cookies. "Kamu baru boleh
makan setelah menjual semua cookies-cookies ini."
"Semuanya?!" Mata bocah itu membeliak kaget. Bisa
menjual setengahnya saja butuh usaha yang sangat keras.
"Itu hukuman bagi pencuri!" Kata ibu bocah itu terlalu
keras, membuat anaknya makin mengkeret. Dia keluar
sebentar, mengambil baju kotor lusuh yang sebenarnya
lebih layak digunakan sebagai kain lap.
"Cepat gunakan ini. Ini akan membantumu menjual lebih
cepat," kata ibu bocah itu lagi sembari menyerahkan baju
11
kotor. "Tidak ada tapi-tapian!" imbuhnya cepat sebelum
anaknya sempat melontarkan protes.
Bocah itu segera menuruti perintah ibunya. Cepat-cepat
dilepaskannya seragam sekolahnya dan menggantinya
dengan baju yang disodorkan ibunya.
"Jangan pulang sebelum semuanya terjual!" teriak ibunya
sesaat sebelum si bocah keluar dari ruang depan.
Di teras dia menemukan seonggok tubuh pria pingsan.
Bukan, bukan pingsan. Lebih tepatnya dia mabuk berat.
Bau alkohol, muntah, keringat menguar dari tubuhnya.
Pria itu tiba-tiba terbangun, matanya melotot, lalu
mencekik leher kecil si bocah.
Kantong plastik yang dibawa si bocah terlepas. Sepasang
tangan mungilnya mencoba membuka cengkeraman pria
itu. "A-ayah, ja-jangan..."
"Mati kau, Sal. Mati kau, Sal!" Lelaki yang ternyata ayah
bocah itu berteriak histeris.
"A-a-ayah... A-ku buk-buk-kan om Sal..."
Sal adalah sahabat ayahnya. Dia tidak tahu pasti kenapa
ayahnya jadi benci dengan sahabatnya tersebut, hingga
menginginkan sahabatnya itu mati. Si bocah mau tak mau
juga benci dengan om Sal. Gara-gara dia ayahnya jadi
pemabuk dan tidak pernah membawakannya kertas warna-
warni lagi dari tempatnya mencari nafkah.
12
Si bocah mendengar suara derap kaki di belakangnya.
Ibunya melangkah cepat ke arah mereka. Dia
menghantamkan sekuat tenaga penggorengan yang
dibawanya ke kepala suaminya. Sungguh ajaib kepalanya
tidak pecah. "Dasar lelaki nggak berguna!" Suaminya
mengerang sekali sebelum jatuh pingsan. "Pergi sana,"
imbuh wanita itu pada anaknya.
Setelah memungut kantong plastik penuh cookies,
mengusap bekas air matanya dengan serampangan, tak
memperdulikan gemuruh halilintar yang mencoba
memperingatkannya, si bocah berjalan gontai menuju
terminal bus yang tak jauh dari rumahnya. Tempatnya
biasa menjajakan jualannya.
Ibunya salah. Tidak ada satupun manusia yang mau
membeli cookiesnya. Gara-gara bau pakaiannya yang
tidak sedap mereka menjauhinya. Bahkan beberapa orang
terang-terangan mengernyitkan hidung, mengibas-ibaskan
tangan di depan wajah, dan mengambil jalan memutar,
sambil menghardiknya atau mengusirnya. Beberapa yang
masih punya kesopanan menolaknya dengan halus—
setelah menatap penampilannya dari atas ke bawah.
Bocah itu mengistirahatkan badannya sebentar di depan
warung makan. Mendekap dagangannya erat. Menghirup
aroma cookies cokelat yang nikmat. Juga aroma makanan
yang dijajakan warung makan di belakangnya.
Menenangkan cacing-cacing yang mulai mengigiti
13
dinding ususnya, saking frustasinya belum diberi jatah
makanan.
"Hei, kamu anak yang jualan cookies tadi, kan?"
Bocah itu mendongak. Seorang gadis cantik belasan tahun
berdiri menjulang di sebelahnya. Senyum manis
menghiasi bibir mungilnya. Bocah itu buru-buru berdiri
dan mengangguk.
"Boleh lihat cookies-cookies kamu?"
Bocah itu bergerak cepat membuka ikatan kantong plastik.
Diambilnya satu kotak cookies, lalu ditunjukkan pada
gadis itu. Ekspresi gadis itu melonjakkan rasa senang si
bocah.
Dia pasti beli banyak, batinnya.
"Satunya berapa?"
Bocah itu menyebutkan harganya. Hanya empat ribu
rupiah. Dan bila gadis itu berniat membeli tiga kotak akan
mendapatkan potongan harga sebesar seribu rupiah.
"Ada berapa kotak?"
Si bocah tersenyum lebar. Dugaannya terbukti benar.
Gadis itu akan beli banyak. Dia kemudian menghitung
jumlah kotak yang dibawanya. Ibunya hanya membuat
empat belas kotak cookies.
14
"Aku beli semuanya," kata gadis itu, sambil memasukkan
jari-jarinya ke dalam dompernya yang bermotif daun-daun
kecokelatan. "Berapa semuanya?"
Si bocah mulai menghitung dengan tangannya. Tapi dia
kebingungan, karena belum pernah ada yang membeli
semua cookiesnya sekaligus, dia tidak yakin berapa gadis
itu harus membayar. Ibunya tak memberitahunya berapa
potongan harga yang harus diberikan seandainya ada
pelanggan yang membeli lebih dari tiga.
"Totalnya kalau tanpa diskon lima puluh enam ribu. Bila
tiap tiga pembelian dikorting seribu, maka totalnya
berubah. Empat puluh empat ribu, ditambah delapan ribu
karena sisa dua, jadi lima puluh dua ribu," si gadis
membantu menghitungkannya. "Ya kecuali kalau
diskonnya beda."
"Ibu tidak memberi tahu saya, berapa potongan harga
yang harus saya berikan kalau ada yang beli lebih dari
tiga," jawab si bocah.
Si gadis terdiam sebentar. Mengamati wajah si bocah
dengan seksama dengan ekspresi yang susah dibaca. "Oke,
bagaimana kalau kita lupakan soal diskon dan aku beli
semua cookiesmu seharga lima puluh enam ribu."
Si bocah mengangguk.
Si gadis menyodorkan selembar uang seratus ribuan.
"Tapi saya tidak punya kembalian."
15
"Ambil saja kembaliannya buat kamu," kata gadis itu
sambil mengedipkan sebelah matanya.
Bocah itu mengucap syukur dalam hati. Dia bahkan belum
pernah memegang uang sebanyak itu. Ibunya pasti senang
dan tidak marah-marah lagi padanya. Semua cookiesnya
terjual habis!
Di perjalanan pulang dia melihat toko yang menjual
mainan anak-anak. Sudah lama sekali dia meminta ibunya
membelikannya mobil-mobilan. Ditangannya tergenggam
uang yang cukup besar—menurut ukurannya. Dia bisa
menggunakannya untuk membeli mainan baru. Ibunya
tidak tahu mengenai uang kembaliannya yang banyak.
Kalau pun nanti wanita pemarah itu menanyakan perihal
darimana mainan itu dia bisa bilang dia menemukannya di
jalan.
Mas-mas penjual toko menghampirinya. Nyaris
mengusirnya kalau bocah itu tidak cepat-cepat
menunjukkan uangnya. Kedua ujung bibir mas-mas itu
tertarik ke belakang. Dia mempersilakan bocah itu
melihat-lihat sementara dia membawa uang bocah itu ke
meja kasir.
Mata bocah itu menangkap mobil pemadam kebakaran.
Mobil itu sudah menarik perhatiannya sejak menginjakkan
kakinya di toko. Mobil itu bukanlah mobil-mobilan
terbesar—yang terbesar adalah replika mobil yang bisa
dinaiki, memiliki setir, dan bisa dijalankan karena telah
16
dilengkapi pedal kaki, tapi mobil pemadam kebakaran
adalah satu-satunya mobil yang mempunyai tangga
panjang yang bisa ditarik-ulur.
Bocah itu tidak tahan membayangkan reaksi teman-
temannya nanti saat dia memboyong pulang mobil
pemadam kebakaran itu. Teman-temannya pasti iri dan
bergantian meminjam mainan barunya.
Ketika hendak menyentuhnya, mas-mas yang tadi kembali
dan memukul tangan mungil bocah itu. Bocah itu kaget
bukan main. Buru-buru dia menyembunyikan tangannya
di balik punggung. Rasa bingung bertengger di wajahnya.
"Kecil-kecil sudah mau nipu orang," dumel si mas-mas.
"Ini—" dia mengembalikan uang bocah itu dengan
melemparnya ke lantai, seolah itu benda paling
menjijikkan di seluruh dunia. Bocah itu cepat-cepat
memungutnya"—uang palsu tidak diterima disini!"
Wajah bocah itu kontan pucat pasi. Bayangan mengenai
teman-temannya yang akan meminjam mainan barunya
meluruh. Digantikan bayangan mengenai ibunya yang
berteriak-teriak sambil membawa kemoceng, lalu
memukuli tubuhnya yang telanjang. Tanpa sadar pipinya
telah basah oleh air mata.
Hujan lebat menyambutnya begitu kakinya menjejak
jalanan di luar toko. Orang-orang di sekitarnya berlarian
mencari tempat berteduh. Beberapa pengendara motor
17
berhenti, membuka bagasi, dan dengan gerakan secepat
kilat mengenakan jas hujan. Ada juga yang melajukan
motornya lebih cepat, berusaha menggapai daerah kering
sebelum hujan yang menyerbu membuat mereka terlalu
basah.
Bocah itu bisa saja berlari pulang ke rumahnya tanpa takut
badannya basah kuyup—dia tahu jalan mana saja di mana
dia bisa melompat-lompat diantara teras toko dan rumah-
rumah penduduk yang dilengkapi semacam tudung. Tapi
apa yang akan dikatakannya pada ibunya? Bahwa
cookiesnya dibeli dengan uang palsu? Tidak. Dia tidak
berani menampakkan mukanya di rumah. Dia lebih baik
berdiri, menangis, di bawah siraman hujan. Kalau perlu
dia tidak usah pulang lagi.
"Hei, adik kecil!" Seorang pria setinggi 175 senti tiba-tiba
muncul di hadapannya dan menyapanya. Dia mengenakan
jas hujan berwarna abu-abu. "Kok hujan-hujanan. Tidak
takut sakit?"
Si bocah menggeleng. Dia menatap curiga pria asing itu.
Tidak heran, mengingat dia baru saja mengalami hal
buruk.
"Aku melihatnya. Maksudku, aku melihatmu tadi di toko
mainan," kata pria itu. Tangis bocah itu makin menjadi-
jadi. Si pria kontan bingung. "Jangan nangis, oke," dia
berusaha menenangkan bocah itu. "Maaf aku tidak bisa
membelikanmu mainan. Tapi mungkin kamu mau
18
menukar uang palsumu dengan sedikit makanan. Tidak
baik anak sebaik kamu harus berurusan dengan polisi."
Mendengar polisi disebut-sebut, bocah itu menghentikan
tangisnya. Dia langsung menyerahkan uang palsunya yang
sudah basah terkena hujan. Pria itu tersenyum, lalu
menggiringnya ke teras toko yang masih tutup.
"Mau lihat sedikit sihir?" Tawar pria itu. Si bocah
melongo. Tak mengerti maksud pria dewasa di
sampingnya. "Perhatikan ini."
Pria itu merogoh sakunya. Mengeluarkan botol kecil
mirip-mirip botol obat kulit. Dibukanya tutupnya, lalu
dibuangnya dua tetes ke lantai teras. Tetesan-tetesan itu
bersinar redup, dan sedetik kemudian menyemburkan zat
semacam air yang kemudian memahat diri membentuk
semangkuk cookies yang dipandangi si bocah dengan
takjub.
"Cookies?"
"Cookies cokelat," kata si pria. "Aku dengar cokelat bisa
membuat bahagia pemakannya."
Selama semenit bocah itu ragu mengambil cookies itu.
Diusapnya belakang kepalanya. Teringat kejadian tadi
siang di dapur.
"Kamu tidak suka cookies?" Tanya si pria.
19
"Suka kok," kata si bocah cepat sambil menggelengkan
kepalanya.
"Kalau begitu, kenapa diam saja?" Si pria tersenyum
ramah. "Dimakan dong."
Bocah itu kemudian menyentuhkan ujung telunjuknya
pada cookies teratas dalam tumpukan. Tahu bahwa
cookies coklat itu bukan ilusi—kalau ilusi tidak mungkin
sepadat itu, bocah itu langsung menyambar dua cookies
dengan kedua tangannya. Memakannya bergantian dengan
cepat.
"Pelan-pelan," kata si pria, geli.
Belum sampai seperempat jam, mangkuknya sudah
tandas. Si bocah sebenarnya masih lapar. Dia ingin
meminta semangkuk cookies lagi. Selain karena tidak
enak, apalagi dia baru mengenal pria itu, dia merasa
mengantuk sekali. Kepalanya entah kenapa tiba-tiba terasa
berat. Seakan-akan batu berukuran raksasa diletakkan di
atas kepalanya.
Dia berusaha melawan rasa kantuknya. Kepalanya
beberapa kali terantuk, tapi buru-buru ditegakkan kembali.
Hei bangun, kamu nanti dimarahi ibumu. Sebuah suara
mencoba memperingatkannya. Mungkin suara itu berasal
dari hati kecilnya.
20
Sudahlah, dia memang wanita pemarah. Nanti saja
mendengar caci-maki dan merasakan ayunan tangannya.
Suara lain, suara yang lebih lembut, namun nadanya
seperti orang meredam kemarahan yang hendak mencelat
keluar, mengenyahkan peringatan yang tadi terdengar.
"Apa yang kamu lakukan?"
Samar-samar si bocah penjual cookies mendengar suara
seorang perempuan yang berdiri. Suaranya terdengar
sangat familiar. Bocah itu mendongakkan kepalanya,
memekik kecil ketika menyadari sosok yang berdiri di
sebelah lelaki baik yang memberinya cookies.
Gadis itu... Gadis yang tadi memberi uang palsu!
Tapi dia tidak sempat merasakan kemarahan. Matanya
terlalu berat untuk terus-terusan dibuka. Dia akhirnya
menyerah pada kantuk yang menyerangnya. Punggungnya
menyandar pada pintu toko. Matanya pelan-pelan
berangsur-angsur menutup.
"Apa yang kamu lakukan?!" ulang si gadis, kali ini
suaranya lebih tinggi satu oktaf.
Napas si bocah mulai teratur.
"Aku rasa dia pantas mati," jawab si pria datar.
"Kamu sadar apa yang kamu lakukan?" Si gadis mendelik.
"Kamu membunuhnya! Kamu membunuh tambang emas
kita!"
21
"Dia mungkin malah menyusahkan kita." Si pria tak
terpengaruh paparan emosi si gadis. Nada suaranya tetap
datar.
"Menyusahkan katamu? Tahu apa dirimu soal bocah ini?
Aku yang mengamatinya selama berminggu-minggu. Dan
perlu kamu tahu, dia belum pernah sakit sekali pun! Dia
juga tidak pilih-pilih makanan. Dan yang terpenting, dia
cukup manis. Cukup manis untuk menarik perhatian
seseorang sehingga mau membayarnya dengan harga
mahal. Sekarang lihat ulahmu! Gara-gara kamu... Buzz!
Uang kita menguap!"
Hela. Keluar. Hela. Keluar. Dada si bocah naik-turun
secara perlahan. Makin perlahan. Semakin perlahan.
"Oke, oke! Aku mengaku," pria itu sengaja meninggikan
suaranya guna menghentikan ocehan temannya. "Aku,"
dia menatap si bocah yang makin terlelap, "merasa
kasihan pada bocah ini. Bocah penjual cookies ini."
Si gadis berdecak marah. "Kasihan tidak menghasilkan
uang bagi kita! Sama artinya dengan kita tidak makan.
Kamu masih ingat hari dimana kita diusir dari desa, kan?"
"Aku ingat!" Si pria berkata kaku. Tidak suka diingatkan
dengan hal buruk yang menimpa mereka puluhan tahun
lalu. "Aku kasihan pada bocah ini. Aku hanya ingin
mengakhiri penderitaannya. Dan asal tahu saja, aku tetap
memikirkan keberlangsungan hidup kita. Ketika—"
22
"Omong-kosong!" Si gadis mendengus. "Pikirkan sebelum
menghabisi nyawa—"
Wajah si bocah memancarkan kedamaian. Senyum
merekah di bibirnya. Senyum terakhir dari bocah penjual
cookies untuk dunia.
"Aku berpikir," potong si pria dengan suara nyaring,
"untuk menjual organ dalam tubuh Bocah penjual cookies
ini."
23
Rencana Orangutan
24
Lelaki itu kelabakan mencari tempat perlindungan. Dia
terus mencoba membuka setiap pintu yang ditemuinya.
Tapi semua pintu tidak mau menuruti kehendaknya.
Semua pintu terkunci!
Dia kemudian mundur beberapa langkah, mengambil
ancang-ancang. Dia akan berlari. Dia akan mengerahkan
seluruh sisa tenaganya. Dia berniat mendobrak pintu
terakhir di ujung koridor. Satu-satunya jalan keluar
untuknya—bila terjun dari jendela lantai tiga tidak
dihitung.
Dia menggunakan kaki kirinya sebagai tumpuan. Dua
detik kemudian dia melesat. Cukup cepat untuk ukuran
pria pendek berperut buncit.
Tapi lagi-lagi dia tidak beruntung. Pintu itu hanya bergetar
sebentar. Malahan tubuhnya terpental. Entah karena
pintunya sangat kuat dan tebal, atau sisa tenaga lelaki itu
terlalu lemah untuk menaklukkannya.
Buru-buru dia kembali menegakkan tubuhnya.
Mengguncang-guncangkan kenop pintu dengan kasar,
seolah dengan melakukannya selot pintu rusak dan pintu
bisa diayunkan. Merasa upaya terakhirnya sia-sia, dia
menatap ke balik punggungnya. Menatap tepat ke arahku.
Rasa takut membayang di wajahnya yang dibanjiri
keringat. Mungkinkah dia masih ingat dengan kejadian
beberapa tahun lalu?
25
Meski belum pernah melihatku sebelumnya—secara
langsung, ini kali pertama kami bertemu, dia pasti ingat
dengan apa yang telah diperbuatnya di masa lalunya.
Menyuruh dan membayar orang untuk membasmi hama
yang mengancam produksi perusahaannya. Dan kebetulan
hama itu adalah kami.
Orangutan.
***
Terdengar bunyi tembakan lagi. Terdengar bunyi ranting
patah karena diinjak dan dihantam peluru. Terdengar
lolongan dari para orangutan yang mencoba melarikan
diri. Memang benar orangutan tidak hidup dalam
kelompok. Beda dengan dua kerabatnya: gorilla dan
simpanse. Tapi karena habitat kami tergencet, jadinya
kami tak pernah terpisah jauh dari orangutan-orangutan
lain. Baik yang suka menyendiri maupun yang bersatu
dalam kelompok kecil—sekitar tiga. Kelompok kecil itu
pun sifatnya hanya sementara.
Mungkinkah karena hal itu orangutan mudah ditangkap?
Mungkinkah karena hal itu orangutan di ambang
kepunahan?
Terdengar suara lain. Suara teriakan para pemburu yang
bersemangat menukar kami—baik dalam keadaan hidup
maupun mati—dengan sejumlah uang. Namun, tak
terdengar suara angin berhembus. Seolah-olah mereka
26
menyingkir, tidak ingin menyaksikan pembantaian yang
sedang dilakukan oleh para manusia.
Makin banyak bunyi tembakan. Beberapa orangutan
memutuskan untuk melawan. Jantan karena merasa
terusik. Betina karena melindungi anak-anaknya. Mereka
bergelayutan dari pohon ke pohon lalu menjatuhkan tubuh
mereka yang bongsor pada para pemburu dan mulai
mencabik-cabik kulit mereka dengan kuku. Para pemburu
tidak tinggal diam, tentu saja. Mereka makin brutal.
Bersatu-padu, mengarahkan semua senapan demi
menolong teman mereka.
“Cepat pergi!” Kata ayahku. Dia berusaha keras
menyembunyikan kepanikan dalam suaranya. “Mereka
mungkin akan menukarkan bangkai kita. Tapi mereka
akan membawa Aqes hidup-hidup untuk dijual ke pasar
gelap.”
Ibuku bergeming. Aku melontarkan pertanyaan yang
sebenarnya sudah jelas apa jawabannya, “Ayah tidak
ikut?”
“Bawa dia pergi, cepat!” Lengking ayahku pada ibuku.
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia kini bahkan tidak
lagi menyembunyikan kepanikan dalam suaranya.
“Mereka sudah dekat!”
Aku tahu sangat sulit untuk meyakinkannya, tapi mungkin
ibuku bisa. “Ibu, yakinkan dia untuk ikut.”
27
Tapi ibuku sudah merengkuhku dalam pelukannya. Secara
naluriah, tangan bergerak melingkari lehernya. Dia
mencium suaminya—mungkin untuk terakhir kalinya.
“Ucapkan selamat tinggal pada ayahmu,” katanya.
Aku tahu hal ini akan terjadi. Maksudku, kebersamaan
kami lazimnya bersifat sementara. Tapi seharusnya tidak
dalam keadaan kacau-balau seperti ini.
“Jangan berhenti,” kata Ayahku, “dan jangan menengok
ke belakang.” Dia lalu memaku tatapannya tepat ke
mataku. “Ikuti perintah ibumu. Apapun itu. Paham?”
Aku tidak punya pilihan selain menganggukkan kepala.
Kami kemudian berpisah. Melompat ke arah yang
berbeda. Aku tidak menuruti perintahnya. Aku
memandang ayahku hingga tubuhnya hilang ditelan
pepohonan. Ibuku berusaha menahan jatuhnya air mata.
Kubenamkan kepalaku ke tubuhnya dan mulai menangis
sejadi-jadinya. Kamu berdua tahu bukan perpisahan yang
menyebabnya. Bagi orangutan perpisahan adalah hal yang
tak terelakkan. Tapi berpisah untuk selamanya, itu baru
hal yang berbeda.
Kami mengira kami sudah cukup jauh merentangkan
jarak. Jadi aku mengusulkan agar kami beristirahat dulu
sejenak. Tapi tak lama terdengar lagi suara ranting diinjak.
Badan kami kontan menegang. Dugaan kami salah.
Manusia pemburu itu tampaknya sangat bernafsu
memburu kami hingga mengejar kami sampai kesini.
28
Aku menyarankan untuk menyembunyikan diri kami di
semak-semak sebelum para pemburu melihat kami.
Pemburu-pemburu itu pasti tahu sebagian besar hidup
kami adalah di pohon. Bahkan sekarang pun mereka
mendongakkan kepalanya mencari kami.
Ibuku menyetujui ideku. Matanya kemudian menyisir
daerah sekitar kami dengan cepat. Ada banyak semak di
sekitar kami. Tapi tak ada yang cukup besar dan lebar
untuk menyembunyikan kami berdua.
Sementara ibuku memanjat turun pohon peristirahatan
kami, kulirik sekilas tiga manusia yang berjalan ke arah
kami. Sejauh ini mereka belum mengetahui keberadaan
kami. Tapi sebentar lagi, setelah beberapa langkah, pada
akhirnya mereka akan tahu.
Ibuku tanpa sengaja menemukan parit alam. Tubuhnya
nyaris jatuh gara-gara sebelah kakinya terbenam parit
tersebut. Disingkapnya semak yang menutupinya. Cukup
lebar untukku. Terlalu kecil untuknya.
“Disana!” Teriak salah satu manusia.
Di saat genting itulah ibuku membuat keputusan yang
sama sekali tidak kusukai. “Diam dan jangan membuat
suara!” Desisnya sambil menaruh tubuhku ke dalam parit.
Setelah itu dia bergerak menjauh. “Setelah ini ibu akan
mengalihkan per—”
DOR!
29
Dia bahkan belum sempat menyelesaikan kata-katanya.
Tapi para manusia yang tak sabaran itu, yang rakus, yang
menganggap kami hama, sudah melontarkan pelurunya
tepat di punggung ibuku. Mereka menembak tidak hanya
sekali. Tapi beberapa kali!
“Ja-jangan k-keluar, s-sayang!” Katanya dengan bahasa
yang hanya bisa dipahami oleh orangutan saja. Di saat
sekarat pun masih sempat-sempatnya ibuku memasang
muka galaknya padaku!
Aku nyaris keluar dari tempat persembunyianku dan
menyerang mereka. Tapi tubuhku terlalu gemetar. Aku
terlalu takut. Tapi aku berusaha mengingat wajah mereka.
Wajah tiga pemburu itu.
Untungnya mereka tidak menyibakkan semak yang
menutupi parit tempatku meringkuk. Kalau tidak,
mungkin aku...
Sesaat setelah mereka pergi, dengan membawa mayat
ibuku, tangisku pecah.
***
Tepat di hari itu keinginan untuk membalas dendam
tumbuh subur di hatiku. Aku, dengan bantuan kawananku
kini, berhasil menemukan tiga pemburu itu. Tapi mereka
hanya orang lokal yang menginginkan hadiah. Bukan otak
dibalik pembantaian orangutan. Meski mereka memiliki
30
cukup andil, manusia mana sih yang bisa menolak sihir
uang?
Otak dibalik pembantaian kaumku sekarang berdiri
gemetar di hadapanku. Dia sekarang berteriak-teriak panik
memanggil pengawalnya.
“Percuma,” kataku. “Mereka tidak akan datang.”
Dia mendadak berhenti berteriak. Matanya menatap
takjub. “Kamu bisa bicara?!” Reaksinya sama dengan tiga
pemburu yang membunuh ibuku. Mereka tidak percaya
aku bisa bicara.
“Kamu kira apa gunanya mulut ini?”
Dua orang sahabatku yang berdiri di belakangku—berkat
bantuan mereka-lah kami bisa melumpuhkan semua
pengawal di rumah ini—kontan tertawa terbahak-bahak.
“Maksud dia, kenapa kamu bisa bicara bahasa manusia?”
Sahut Septa setelah meredakan tawanya. Disampingnya
Katai masih terpingkal-pingkal sambil memegangi
perutnya.
“Apa... Apa yang kalian inginkan?” Sadar kami bisa
diajak bicara lelaki itu mencoba bernegoisasi dengan
kami. “Kalian ingin uang? Kalian boleh meminta berapa
pun juga—”
31
“Aku tidak ingin uangmu, Pak Tua!” Aku mendekatinya
dalam satu lompatan. Muka kami sekarang sejajar.
Manusia dan orangutan. “Aku ingin nyawamu.”
Dia menelan ludah. Dengan susah-payah. “T-t-tunggu du-
dulu, aku pu-pu-punya ti-ti-ga istri dan aku—”
Aku menikamkan pisau yang sedari tadi kusembunyikan
di balik punggung. Tepat di jantungnya. Dia tidak
menjerit. Aku menyumpal mulutnya dengan tangan kiriku.
Matanya memancarkan kebencian. Kebencian yang akan
dibawanya hingga ke alam baka.
Kubiarkan pisauku tertanam di dadanya. Aku tidak berniat
memilikinya lagi. Pisau itu sudah terkontaminasi oleh
darahnya yang kotor.
“Kapan kita pergi?” Tanya Katai setelah beberapa saat aku
terdiam memandangi hasil perbuatanku.
“Katai!” Aku tidak melihatnya, tapi aku yakin Septa
melayangkan pandangan memperingatkan.
“Apa?”
Septa mendengus. “Aqes,” dia menyebut namaku. “Kalau
kau ingin sendiri dulu...”
“Tidak,” aku berbalik menatap mereka berdua. “Masih
ada rapat yang mesti aku pimpin.”
***
32
Sudah banyak orangutan yang berkumpul di ruang rapat.
Ruangan yang mampu menampung hingga 30 orangutan
itu berdinding bambu dan beratap rumbia. Mulut-mulut
yang tadi terbuka langsung tertutup begitu aku dan kedua
temanku masuk dan menempati tempat duduk kami di
depan ruangan. Dua orang orangutan betina berdiri sambil
mengangkat kantong anyaman berisi pisang berukuran
besar lalu membagikannya pada hadirin. Termasuk kami.
Itu sudah menjadi kebiasaan kami. Tapi tak satu pun dari
kami menyentuhnya sebelum rapat selesai.
Lalu kenapa dibagikan bila tak boleh dimakan saat itu
juga? Ini ide Septa. Pembagian pisang ini adalah semacam
tes kesabaran. Selama empat kali rapat, hampir 10
orangutan dikeluarkan, tidak diikutsertakan dalam
rencana. Siapa tahu ketidaksabaran mereka malah
membuat berantakan rencana yang telah disusun dengan
baik.
Aku menunggu dua orangutan betina itu duduk kembali ke
tempatnya sebelum menatap satu-persatu wajah mereka
yang hadir. Mereka balik menatapku. Seolah siap
melakukan apa pun yang sebentar lagi aku ucapkan.
Butuh perjuangan sangat panjang dan melelahkan guna
meyakinkan mereka untuk bergabung. Seperti yang aku
bilang, orangutan bukan spesies yang suka hidup dalam
kelompok, apalagi ketika usia kami menginjak dewasa.
33
“Hakam, bagaimana perkembanganmu dengan ulat bulu?”
Kepalaku menoleh pada orangutan berbadan ramping dan
tinggi yang duduk di bangku deretan depan di pojok
paling kanan.
“Mereka setuju membantu kita, pak,” jawabnya. “Bahkan
beberapa dari mereka sudah menyerang pemukiman
manusia.”
“Bagus,” kataku sambil manggut-manggut. Hakam
tersenyum bangga. “Kapu?”
Orangutan yang duduk di baris tengah, nomor dua dari
kanan, kontan menundukkan tubuhnya. “Serangga tomcat
tidak bersedia membantu kita,” cicitnya. “Maaf—”
“Kamu tidak perlu meminta maaf,” potongku. “Aku punya
rencana agar mereka mau membantu kita.”
“Bagaimana caranya?” Tanya Katai. Gelombang tanda
tanya tiba-tiba terbentuk di ruangan itu.
“Dengan memanfaatkan wereng dan para tikus,” kataku
dengan nada puas. “Sudah kamu urus kerjasama kita
dengan dua 'pejuang' itu kan, Septa?”
“Tentu saja,” jawab Septa.
“Tapi bagaimana bisa hama seperti mereka...”
“Pejuang,” aku mengoreksi kata-kata Katai. Aku benci
kata hama itu.
34
“Pejuang,” ulang Katai sedikit sebal.
“Mereka akan membuat panen gagal. Tikus akan merusak
areal persawahan yang merupakan habitat tomcat. Dan
setelah itu...”
“Mereka pindah tempat tinggal ke pemukiman manusia,”
kata beberapa orangutan serempak, termasuk Septa.
Seekor orangutan yang duduk di deretan belakang
mengacungkan tangannya.
“Ya, Meha?” Meha adalah orangutan termuda di ruang
rapat ini.
“Lintah,” kata Meha, tapi suaranya kemudian menghilang.
“Ada apa dengan lintah? Mereka nyaris punah karena ulah
manusia?”
“Jumlah mereka memang menyusut, pak. Tapi bukan itu
yang ingin saya beritahukan pada anda,” dia berhenti
sejenak untuk mendapatkan perhatian seluruh hadirin.
“Mereka setuju ikut bagian dari rencana kita. Dan kini
mereka telah mengerahkan kekuatan penuh di pemukiman
manusia di pesisir pantai kota Demak.”
“Itu berita bagus!” Aku bersorak gembira. Begitu pula
seluruh kawananku yang menghadiri rapat ini. Tampaknya
rencana kami mencari dukungan sebanyak mungkin,
sejauh ini, berjalan dengan baik.
35
Kebencianku pada manusia tampaknya tumbuh subur jauh
dari perkiraanku. Dalam perjalananku membalaskan
dendam kematian kedua orangtuaku, aku bertemu banyak
hewan yang menyimpan dendam sama besarnya pada
manusia. Mereka tidak terima habitat mereka, keluarga
mereka, keberlangsungan hidup mereka yang seolah tidak
ada artinya bagi manusia—selain bisa menghasilkan uang
untuk memenuhi kantong-kantong mereka yang
menyerupai mulut yang kelaparan, direnggut begitu saja
dari tangan kami.
Kemudian timbul dua pertanyaan di benakku: bagaimana
bila kejadian itu terulang lagi? Bagaimana bila manusia-
manusia dengan senapan apinya datang lagi untuk
membantai kami, mengambil anak cucu kami lalu
menjualnya di pasar gelap?
Dari dua pertanyaan tersebut, terbersitlah ide rencana
mengambilalih bumi di benakku.
Hanya saja, ini yang membuatku kesal setengah mati,
banyak di antara mereka takut mengambil tindakan.
Beberapa menolak, dengan alasan, sudah hukum alam
manusia menjadi makhluk hidup paling superior di muka
bumi ini.
Kutekan kekesalanku, kutebalkan mukaku, demi
membuka mata mereka lebar-lebar. Dan hasilnya... Jauh
melebihi harapanku. Hal ini berkat sifat tamak dan
serakah manusia yang tak pernah puas menghisap habis
36
sari bumi. Sehingga beberapa hewan setuju membantu
perjuangan kami.
Kami memang kalah jumlah. Jumlah orangutan sendiri
juga nyaris mendekati angka kepunahan. Tapi jumlah
tidak menjadi masalah. Sudah cukup kami
mempercayakan nasib kami pada ras manusia. Sudah
cukup kami mengalah demi memuaskan nafsu mereka.
Memang siapa mereka berani-beraninya melabeli kami
sebagai hama, lalu mengeksekusi kami kapan saja
sekehendak hati mereka?
Sudah saatnya kami menunjukkan kekuatan kami. Sudah
saatnya kami, hewan-hewan yang diberkati,
memperjuangkan hak-hak kami. Memperjuangkan hak
kami sebagai satu dari tiga makhluk hidup penghuni
planet bumi.
37
Aku Mengubah
Kekasihku Menjadi
Keset
38
"Pacarmu pulang kampung, dude?" tanya sahabatku
sambil ngupil. Ketika kalian bertemu dengannya, aku
bisa jamin kalian akan terheran-heran—atau kalau
kalian emang error, bisa sampai terkagum-kagum—
dengan ukuran lubang hidungnya selebar gua. Dia
memang biasa ngupil pakai dua jari. Telunjuk dan
jari tengah. Waktu aku tanya dulu, saat awal
pertemanan kami kalau kalian begitu kepo, kenapa
tidak pakai satu jari, jawabnya, "Siji, mana cukup?"
Aku menyemburkan onde-onde isi kacang
tanah yang setengah kukunyah. Untung tidak ada
orang lewat di depanku, kalau ada, mungkin aku
bakal kena sembur atau gampar. Di hari lain aku
mungkin tak keberatan, secara aku yang salah.
Cuman hari ini aku memakai kemeja favoritku, dan
siapa yang bisa menjamin orang yang kena
semburanku tidak menyemburku secara harfiah?
Bagus kalau dia sudah sikat gigi. Apalagi pakai pasta
gigi anak-anak yang wangi buah-buahan. Kalau
belum? Kebayang dong baunya seperti apa?
Aku tahu hari ini akan tiba. Hari di mana akan
ada seseorang yang menyadari pacarku hilang. Yang
sebenarnya bukan hal yang sulit ditebak secara
beberapa hari ini dia tidak masuk kuliah. Dan
beberapa kali malam minggu aku lewatkan di dunia
maya.
39
"Tidak," jawabku sambil bertanya-tanya dalam
hati, Apa khasiat jamu galian rapet yang aku minum
dalam rangka mengunci rahasiaku rapat-rapat telah
pudar khasiatnya?
"Kenapa, dude?" imbuhku, menggunakan
kalimat tanya yang aman dan tidak bersifat terlalu
defensif.
Dude adalah panggilan khusus kami untuk
menyebut satu sama lain. Pernah sahabatku
mengusulkan dede sebagai nama panggilan khusus
kami. Tapi aku tolak. Takutnya kalau kami sedang
ngos-ngosan, terus panggilan tersebut ketambahan
huruf "H" di belakangnya, ntar dikira kami
pendakwah yang nerima curhat.
Kalau curhatnya benar sih tidak masalah, lha
kalau curhatnya singkatan curahan hajat? Masa aku
perlu menjelaskannya?
"Akhir-akhir ini aku nggak melihat batang
hidung dan batangnya yang lain," kata sahabatku.
"Batangnya yang lain? Emang kamu kira dia
cew—"
"Maksudku batang penanya. Dia kan yang
paling rajin nulis catatan di kelas. Pikiranmu butuh
disapu tuh. Nggak semua batang mengarah ke “itu”
40
kali," sambungnya sambil cengengesan. "Jadi,
kemana dia?"
Selama sesaat aku ragu. Antara cerita, yang
akan meringankan beban masalah yang aku
tanggung, atau tetap merahasiakannya, dan tersiksa
oleh kesalahan yang disebabkan oleh ulahku sendiri.
Aku memutuskan untuk cerita.
"Aku mengubahnya menjadi keset," kataku.
Dia melongo. Jelas menganggapku sedang
ngebanyol.
Meski terdengar konyol, itulah kenyataannya.
Dan hingga kini aku sedikit menyesalkan kejadian
naas itu1.
Kisah naas ini bermula karena tingkah polah
pacarku yang, sumpah, bikin aku sakit hati. Padahal
saat masa pedekate dulu dan awal-awal kami merajut
kisah kasih kami, dia itu maniiis banget. Bahkan
sirup Ojan kalah manis kalau disandingkan
dengannya. Tapi setelah hubungan kami berjalan
empat bulan, dia berubah. Masih mending kalau
perubahannya dikarenakan serangan Negara Api,
setidaknya—kalau dia jadi korban bakar-bakar dan
1 Meski sebenarnya aku sedikit bersyukur bukan aku yang bertransformasi jadi keset
41
masih hidup—aku masih mau menerima dia apa
adanya walau kulitnya gosong kayak pantat panci.
Tapi ini, tak ada hujan tak becek tapi banyak ojek,
tiba-tiba saja dia jadi makhluk paling nyebelin di
dunia!
Apa jangan-jangan setelah empat bulan ini, dia
memutuskan memperlihatkan belangnya? Tapi
setahuku kulit pacarku itu semulus dan seputih tapi
tak sedingin pualam. Aku juga yakin banget dia
bukan siluman macan. Dan terakhir aku cek dia
bukan anggota grup penyanyi dangdut, Manis Macan
Grup.
“Kamu mengubah pacarmu jadi apa, dude?”
“Kamu sudah mendengarnya tadi,” sungutku.
“Sebenarnya, bukan secara langsung sih. Secara aku
tidak punya tongkat sihir yang memilihku—aku sadar
aku bukan Heli Copter yang sejak lahir sudah punya
darah penyihir di tiap nadinya. Ini kerjaan kakek tua
yang entah muncul dari mana yang mengabulkan
harapanku."
"Mengabulkan harapanmu?" ulangnya,
terdengar setengah tertarik.
"Harapan sepintas lalu sebenarnya. Yang
muncul gara-gara otak dan hatiku sedang panas."
42
"Kamu pasti nyesel banget ya?"
"Ya," kataku pelan.
"Aku sudah menduganya. Secara apa guna
keset coba? Cuman buat keset doang. Coba kamu
minta dia diubah jadi ferrari atau lambhorgini—"
"Ini bukan saatnya bercanda, dude," kataku
setengah berteriak. "Ini masalah serius!"
Dan untuk mempersempit ruang
ketidakpercayaannya, aku mengeluarkan keset—
yang sudah bisa ditebak benda itu adalah pacarku—
dari tasku.
"Oke," katanya setelah beberapa saat, dengan
mata terpancang pada keset yang kupegang dengan
dua tangan. "Aku mengerti sekarang," katanya lagi.
Kepalanya mengangguk-angguk. "Kamu diputusin
ya? Aku tahu itu bukan hal mudah. Tapi masa sampai
bikin mentalmu terganggu gini?"
"Mental tergang—aku tidak—"
"Penduduk Indonesia masih banyak yang
jomblo. Lupakan dia. Lanjutkan hidup. Cari yang
lain."
43
"Enak saja," kata sebuah suara yang familiar
bagi kami berdua. "Jun baru boleh cari cewek baru,
kalau mau dia juga boleh cari cowok baru sekalian,
setelah mengubahku kembali menjadi manusia!"
Sahabatku menatap terkejut ke arah keset.
Meski aku tak melihatnya, sebab bagian bawah keset
yang mengarah padaku, aku tahu muncul sebentuk
bibir di bagian atas keset.
"Aku rasa..." kata sahabatku akhirnya, setelah
terdiam cukup lama. Aku melihat kepercayaan di
bola matanya. "Aku siap mendengar keseluruhan
ceritamu."
Karena tak ada meja, kami duduk di salah satu
bangku panjang di halaman kampus, aku
menyampirkan keset yang merupakan pacarku di
atas tas. Kemudian aku berdeham. Bukan buat gaya-
gayaan, tapi kayaknya ada kacang tanah yang
nyangkut di tenggorokanku.
"Tak akan ada asap, kalau tidak ada api,"
mulaiku. Aku masih ingat dengan jelas peristiwa itu.
Aku bahkan masih hapal beberapa kata yang aku dan
pacarku ucapkan.
"Tak akan ada api, kalau tak ada korek api,"
sahut sahabatku.
44
"Dan tak akan ada korek api kalau John Walker
tak pernah menemukannya," kataku gemas. "Mau
dengar kisahku tidak sih?"
Sahabatku itu cengengesan lagi. Dia memang
tak akan pernah bisa benar-benar serius.
"Aku kira kita bisa langsung ke inti
masalahnya."
"Ah, itu lebih baik," sambut sahabatku.
"Kamu kan tahu aku agak muak dengan sikap
pacarku yang memperlakukanku bagai jongosnya."
"Salahmu sendiri sih tidak menuruti saranku
untuk memutuskannya."
Aku memberinya tatapan agar dia menutup
mulutnya. Tapi tampaknya dia salah menangkap
maksudku. Entah kenapa dia malah tersipu-sipu. Dia
tidak...
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Membuang jauh-jauh pemikiran yang baru melintas
di benakku.
"Suatu hari kami pergi ke mall," aku mulai
lagi.
"Ngapain?"
"Ya belanja, dude, masa menumpang mandi?!"
45
"Benar juga. Secara kan di mall tidak ada
sumur mau pun ladang."
Untung saja aku berhati baik, berbudi luhur,
rajin menabung dan setampan Sicholas Naputra.
Kalau tidak, sudah aku jitak kepala sahabatku yang
punya penyakit dodol itu dari tadi. Kalau perlu pakai
tiang lampu taman yang, selain untuk keberuntungan,
siapa tahu bisa menyembuhkan penyakitnya tersebut.
"Kok diam? Katanya mau cerita," kata
sahabatku sesaat setelah sadar aku terdiam sejuta
bahasa.
"Percuma. Aku ngomong sepatah, dua patah
kata langsung kamu sela."
"Oke, oke, aku akan mengunci mulutku,"
katanya. Dia membuat gerakan seperti menutup
risleting sepanjang mulutnya.
"Suatu hari kami pergi ke mall," ulangku.
"Seperti biasa, dia belanja banyak banget. Sudah
banyak, minta aku yang bayar, masih juga nyuruh
aku yang membawa seluruh belanjaannya."
Sebelah alis sahabatku berkedut. Aku tahu dia
hendak mengatakan sesuatu. Aku juga tahu dia
hendak mengatakan apa. Setidaknya aku bisa
menebaknya.
46
"Aku tahu itu sudah pekerjaan kita sebagai
cowok. Aku tak terlalu keberatan, sampai aku tak
sengaja menjatuhkan salah satu tas belanjaannya dan
dia mendampratku. Aku tak masalah dia mengatakan
aku bego, bodoh, idiot, kurang pintar, tapi
kemudian...”
Sahabatku yang telah memfokuskan
perhatiannya secara penuh padaku membuat suara
“mmm-hmm” yang mirip orang ngeden karena BAB-
nya tidak lancar. Tapi aku rasa suara itu bisa
diterjemahan sebagai “Kemudian apa?”
“Kemudian dia menyebutku bukan pacar yang
baik. Katanya aku beruntung bisa mendapatkannya
sebagai pacar.”
Sebelah alis sahabatku naik, dan salah satu
ujung bibirnya tertarik ke belakang. Kalau yang ini
aku tahu artinya, “Sudah kubilangkan?”
“Jelas aku tersinggung. Selama ini aku baik
padanya. Selama ini aku selalu menuruti
kemauannya—“ aku menghentikan kalimatku.
Mungkin inilah saatnya aku menggunakan “kata-kata
itu menampar diriku” tapi aku baru tahu kalimat itu
bisa datang dari diri sendiri.
47
Tidak heran aku merasa diperlakukan seperti
jongos, kacung, babu, atau apapun sebutan lainnya.
Secara aku secara sadar telah membiarkannya terjadi.
Atau sebenarnya tidak, secara cinta telah
membuatku buta?
Ah, kenapa aku jadi berkonflik dengan diri
sendiri?
Setelah pacarku mengatakan itu, harga diriku
yang teriris-iris sontak memerintah tanganku untuk
membuang semua tas belanjaannya. Bukan di tempat
sampah tentu saja. Secara letaknya jauh. Cukup di
lantai, di sekitar kakiku.
Sudah bisa diduga, dia makin marah. Dia
memungutinya satu-persatu dengan kemarahan yang
menggelegak.
“Aku nggak nyangka dirimu bisa berbuat
begini,” kata pacarku setelah berhasil mengumpulkan
seperempat tas belanjaannya.
“Aku hanya manusia biasa—“
“Memang aku pernah bilang kamu monyet?”
selanya sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
“Aku hanya manusia biasa,” ulangku. “Yang
bisa capek dan lelah menghadapi semua tingkah
lakumu.”
48
Kemudian dia terdiam. Sudut mataku
menangkap adanya bangku kosong yang bisa
kugunakan.
“Saat duduk itulah lelaki tua itu muncul,”
kataku pada sahabatku. “Selama beberapa detik kami
hanya diam. Tak ada yang tergerak untuk memulai
obrolan atau basi-basi. Hingga dia berkata,
‘Seandainya hari ini hari di mana semua harapanmu
dikabulkan, apa yang akan kamu minta?”
Kedua alis sahabatku terangkat. Dan saat
itulah kamu mengatakan harapanmu?
“Saat itulah aku mengatakan harapanku,”
tegasku. ”Aku ingin dia merasakan apa yang aku
rasakan.”
Aku masih ingat bagaimana proses perubahan
pacarku itu. Setelah lelaki tua itu bilang, ‘Oke-lah
kalau begitu,” tubuh pacarku bersinar terang. Seolah-
olah ada jutaan lampu neon nemplok di tubuhnya.
Namun anehnya, tak ada satu orang pun yang
menyadarinya perubahan itu selain aku. Entah karena
mereka tidak peduli, atau mata mereka perlu
dipasangi kacamata kuda, atau entah secara ajaib
mereka memang tidak bisa melihatnya. Padahal kami
berada di pusat keramaiaan!
49
Pacarku sontak menjatuhkan tas-tasnya dan
mulai menjerit sejadi-jadinya.
Dia memanggil-manggil namaku. Tidak
berulang-ulang. Hanya sekali tapi panjang sekali.
Seolah-olah dia sedang berada dalam slow motion
mode.
“Juuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuun!”
Kedua tangannya mengusap-usap seluruh
badannya. Seolah-olah dengan melakukannya dia
bisa mengusir sinar itu pergi meninggalkan tubuhnya.
Tapi gerakannya seperti irama musik keroncong.
Pelan, kayak orang sedang menggunakan sabun.
Aku meminta tubuhku untuk bergerak, tapi ada
suara lain yang menyuruhku untuk tetap diam di
tempat dan hanya menatapnya dengan mulut terbuka
lebar.
Untuk apa, kata suara lain itu, dia mungkin
memang pantas mendapatkannya.
Tapi dia kekasihku. Aku harus menolongnya.
Aku memutar kepalaku, memandang wajah
lelaki tua itu yang entah bagaimana tak tampak jelas.
Seperti ketika kita melihat seseorang melalui kaca
buram. Alih-alih menanyakan apakah dia penyebab
50
pacarku histeris, entah kenapa aku malah
meluncurkan kalimat, “Kenapa orang-orang—“
“Tangan kanan memberi. Tangan kiri tidak
boleh tahu,” kata lelaki tua itu sambil tersenyum dan
menunjuk ke arah pacarku.
Aku tak ingin memalingkan muka. Tapi ada
kekuatan tak kasat mata yang memaksaku untuk
melihat proses terakhir sebelum pacarku berubah jadi
keset. Tubuh pacarku mendadak kaku. Dia berdiri,
dengan tangan melekat pada sisi tubuhnya. Lalu,
perlahan-lahan tubuhnya menyusut. Menjadi
seukuran remaja. Menjadi seukuran anak baru gede.
Menjadi ukuran balita. Setelah itu dia resmi berubah
menjadi keset.
“Selamat menikmati harapanmu,” kata si lelaki
tua.
Detik berikutnya aku menoleh ke arahnya, dia
sudah menghilang.
Sahabatku yang sudah tak sabar mengomentari
“pengalaman ajaibku” membuat gerakan yang
menanyakan apakah dia sudah boleh membuka
mulutnya.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Aku hanya penasaran,” itu adalah kalimat
pertamanya yang muncul setelah segel imajiner
51
dibuka. “Apakah kamu menggunakannya”—dia
menatap keset yang merupakan jelmaan pacarku—
“sebagai keset di rumah?”
Aku merasakan dilema lagi. Lalu aku
memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya,
“Ya.”
“Apa?” Mata sahabatku membesar. ”Aku
memang tak terlalu suka padanya, dan aku berharap
kamu putus darinya, tapi kamu kok tega banget sih.”
“Itu justru aku lakukan karena aku sayang
padanya.”
“Dengan menginjak-injaknya?”
“Itu caraku memberinya makan dan minum.”
Mulut sahabatku membentuk huruf “O.”
Mungkin sekarang dia paham kenapa hanya mulut
pacarku saja yang masih ada dalam bentuknya yang
baru. “Apa nggak bisa hanya menuangkan....”
“Tidak. Aku sudah pernah coba menuangkan
air, tapi air itu hanya melewatinya saja.”
Sahabatku terdiam lagi sejenak.
“Apa kamu masih...” sahabatku sengaja
memutus kalimatnya.
“Mencintainya? Tentu saja.”
52
“Bukan, bukan. Maksudku, dia kan berubah
jadi keset, apa kamu... maksudku kalian... “ Dia
mengerucutkan semua jari tangannya. Kemudian dia
mendekatkan ujung jemari tangan kanan yang
berkumpul dengan ujung jemari tangan kiri.
Aku tahu maksudnya dengan jelas.
“Secara...” sahabatku masih terdengar ragu.
“Secara dia kan kotor.”
Aku tertawa kecil. “Tidak apa-apa kok. Lagian
itu kan kotoranku sendiri.”
Sahabatku manggut-manggut. “Apa usahamu
untuk mengubahnya kembali ke bentuk semula?”
“Sejujurnya aku sudah kehabisan akal. Sudah
banyak orang pintar yang kudatangi, tak ada satu pun
yang berhasil mengembalikannya. Mungkin kamu
punya akal?”
“Coba tanyakan pada rumput yang bergoyang.”
Ngomong-ngomong soal rumput yang
bergoyang, kadang aku bertanya-tanya, kenapa
ketika seseorang tak bisa atau malas menjawab
pertanyaan yang sulit mereka menyarankan untuk
kita bertanya pada mereka? Memang rumput punya
mulut yang digunakan bicara? Atau mungkin
goyangan mautnya sanggup menciptakan bunyi-
bunyian hingga membentuk suara dan bahasa
53
manusia dalam batas tertentu? Tapi kan kalau tak ada
angin tak akan ada rumput yang bergoyang. Ya,
kecuali memang ada yang sengaja
menggoyangkannya—yang tak mungkin kulakukan
karena... Kalian tahulah, saat melihat orang
mengguncang-guncang rumput sambil bilang, “Cepat
katakan apa yang mesti aku lakukan?!” apa yang
pertama melintas di benak kalian? Yap, pasti ada
yang tak beres dengan isi celananya, eh, maksudku
kepalanya.
“Dirimu nggak coba mencari lelaki tua itu?”
“Apa wajahku seperti orang yang belum
melakukannya?” tanyaku dengan suara sedikit
meninggi.
“Jujur, wajahmu saat ini sebelas dua belas
sama simpanse.” Dan dia pun terkekeh. “Berarti
tinggal satu cara.”
“Apa? Jangan-jangan tanya pada angin yang
berhembus ya?”
Sahabatku memasang muka yang serius.
“Bukan, Jun. Masa sih nggak bisa menebaknya.
Padahal hal ini dilakukan oleh kebanyakan manusia
saat dirundung masalah.”
Ah.
54
Aku sangat mengerti maksudnya.
Berdoa.
Aku meringis. Dari ekspresiku yang kayak
orang nahan curhat, kelihatan jelas aku belum
melakukannya. Berdoa, maksudku. Bukan
mencurahkan hajat.
55
Paradeso
56
Bila bulan tidak sedang purnama, mungkin aku tidak
akan melihat keberadaan makhluk yang melesat cepat
di angkasa. Makhluk itu berkulit hitam, bertubuh
ramping dengan kepala berbentuk runcing, dan dari
ekornya keluar asap putih. Meski jaraknya cukup
jauh dari pantai tempatku kini berdiri, aku sangat
yakin tubuhnya diselimuti baja. Terdapat lingkaran
berwarna merah, ditengah-tengah lingkaran itu ada
lingkaran lain berwarna hitam yang ukurannya tiga
kali lebih kecil, di bawah kepalanya yang langsung
kukenali sebagai mata. Sepasang mata itu
berlenggak-lenggok. Makhluk itu sedang mencari
sesuatu.
Mataku kontan melebar ketika mengenalinya.
Bukan makhluk. Tapi benda. Itu misil!
Dia menemukanku. Dia menemukan tempat
persembunyianku!
Padahal aku sudah bersusah payah sampai di
sini. Padahal aku sudah gembira tak menemukan
poster dengan ilustrasi wajahku terpasang di setiap
sudut tempat ini. Padahal aku sudah mengubah
drastis penampilanku, dan aksen bicaraku, agar tak
dikenaliku oleh penduduk setempat.
Tapi tetap saja.
Dengan sumber dayanya yang melimpah—
Ditambah dengan kekayaan yang harusnya
menjadi milikku tapi dirampas olehnya—
Dia berhasil melacak keberadaanku.
57
Selama dua detik, atau terasa dua abad bagiku,
mataku dan mata si misil saling bersitatap. Detik
berikutnya, misil itu menutup matanya, tanda bahwa
dia telah menemukan targetnya, dan secara tiba-tiba
mengubah arahnya. Dia kini menukik menuju ke
arahku.
Inilah saatnya, pikirku.
Namun... Misil itu melesat terus, membelah
udara di atas kepalaku, melewati pantai tempatku
berdiri.
Tunggu... Bukan ke arahku. Lebih tepatnya ke
arah Paradeso. Misil itu mengarah ke Paradeso!
Oh, tidak...
Mungkinkah beberapa detik cukup untuk
memperingatkan para penduduk?
Belum sempat aku menggerakkan kakiku
barang satu senti pun, tiba-tiba misil itu meledak di
tengah udara sebelum sempat menghantam sesuatu.
Seolah-olah ada dinding tak kasat mata yang
menghentikan lajunya. Seolah-olah ada kekuatan
supernatural yang memaksanya meledak sebelum
menyentuh bangunan atau sejengkal tanah di
Paradeso. Refleks kedua tanganku menutupi telinga.
Meredam suara nyaring yang akan memecahkan
gendang telingaku.
Aku bersorak girang dalam hati.
Hanya sesaat.
58
Sudah lama tak melihatnya, membuatku lupa
bagaimana cara misil itu bekerja.
Misil itu tidak menghantam sesuatu atau ada
seseorang berkekuatan supernatural yang
menghentikannya. Lagipula mustahil ada dinding
ajaib yang menyelubungi Paradeso. Dan selama
hampir setengah tahun tinggal di sini aku belum
pernah melihat satu pun penduduk dengan bakat
supernatural.
Misil tadi meledak karena memecah diri. Misil
yang awalnya hanya sebuah, berukuran besar,
bertransformasi menjadi misil-misil berukuran mini
berjumlah ratusan!
Menghujani Paradeso.
Bunyi ledakan, teriakan meminta tolong,
teriakan memanggil keluarga, jerit kesakitan
memenuhi udara.
Misil itu melaksanakan tugasnya dengan sangat
baik. Kini giliran api, yang makin lama makin besar,
melahap apapun yang ditemuinya. Rumah, hewan,
bahkan manusia.
Beberapa misil berhasil melubangi tanggul
danau di atas bukit. Air yang bertahun-tahun
ditampungnya mendesak keluar. Seperti tsunami, dia
melewati padang rumput yang rumputnya telah
menguning dan mulai melibas apapun yang berada di
hadapannya. Termasuk penginapan tempatku
tinggal.
59
Dalam hitungan detik, malam yang remang-
remang berubah menjadi seterang siang. Dalam
hitungan detik, tempat yang dulunya seindah surga
itu berubah menjadi lautan api.
Aku juga baru menyadari kakiku tak bisa
digerakkan. Aku terpaku di tempatku. Di pantai.
Menyaksikan tragedi berlangsung di hadapanku.
Kedua telapak tanganku masih melekat di daun
telingaku.
Kenapa dia melakukan ini?! Kenapa dia tidak
langsung mengarahkan misil itu kepadaku? Aku yang
diincarnya, kematianku yang diidam-idamkannya,
lalu kenapa dia malah menghancurkan Paradeso dan
membinasakan penduduknya yang tak bersalah?
Dia tidak berpikir penduduk Paradeso
menyembunyikanku, kan?
Aku mengira semuanya sudah berakhir. Aku
mengira aku adalah satu-satunya manusia yang
selamat. Ternyata masih ada satu misil mini yang
sejak tadi melayang-layang di sekitarku. Tapi begitu
aku menyadarinya, rasa sakit menjangkitiku, teriakan
terlontar dari tenggorokanku. Beberapa detik
kemudian kegelapan menyergapku.
Aku masih merasakan udara memenuhi rongga
paru-paruku.
Aku juga merasakan kedua tanganku dan
kakiku masih berada di tempatnya. Tidak terlepas
60
dari jaringannya. Atau lebih buruk lagi, hancur
berkeping-keping.
Itu tandanya aku belum mati.
Aku masih hidup.
Aku masih hidup.
Mimpi barusan anehnya terasa sangat nyata.
Amat sangat nyata hingga aku tak bisa menyadari
aku sedang di alam mimpi. Dengan kemampuan yang
aku miliki, hal itu tidak normal. Aku biasanya dengan
mudah membedakan apakah aku sedang bermimpi
atau tidak. Lalu kenapa mimpi ini berbeda? Kenapa
aku tidak bisa langsung mengenalinya sebagai
mimpi?
Semakin dipikir, semakin membuat kepalaku
pusing.
Aku selalu ingin memiliki kemampuan kebal
terhadap segala hal. Senjata tajam, senjata api, sihir,
dan segala hal bentuk serangan yang dimaksudkan
untuk menyakitiku. Sayangnya, Pencipta Kehidupan
memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang
kita inginkan. Dan Dia memberiku kemampuan yang
aku butuhkan. Kemampuan untuk bertahan hidup.
Kemampuan yang memberiku lebih banyak waktu
untuk menghindar dan menjauh. Kemampuan untuk
mengetahui masa depan melalui mimpi.
Langit jingga menyambutku saat kubuka mata.
Tinggal hitungan menit sebelum malam tiba.
61
Kelemahan kemampuanku adalah tidak
mengetahui pasti kapan hal buruk—yang tertera
dalam mimpiku—akan terjadi. Aku diharuskan
menganalisa mimpiku. Kesalahan analisa sedikit saja
akan berakibat fatal.
Dulu aku pernah salah menganalisa waktu.
Yang aku kira menjelang sore, ternyata terjadi dua
jam lebih awal. Gara-gara hal itu aku kehilangan
teman perjalananku. Abdiku yang paling setia.
Kutegakkan badanku. Kupandangi sekali lagi
untuk terakhir kalinya kepulangan sang surya. Laut
yang memantulkan cahayanya memperparah
keindahannya. Membuatku nyaris enggan
meninggalkan pantai itu.
Saatnya pergi dari Paradeso. Bila aku tetap di
sini, misil itu akan menemukanku dan Paradeso akan
berubah jadi lautan api.
Hal terakhir yang kuinginkan.
Kuputar badanku. Kubersihkan pakaianku,
juga rambutku, dari pasir yang menempel. Lalu aku
mulai berjalan menuju Kompleks B Paradeso.
Paradeso terdiri dari tiga Kompleks. Kompleks
A berada di bawah bukit. Tepatnya di bawah danau
Leka yang merupakan sumber air minum penduduk
Paradeso. Di Kompleks A kita juga akan menjumpai
rumah kepala desa, kantor pengolahan air minum,
dan penginapan yang jarang sekali mendapatkan
tamu yang dibangun di dekat pintu masuk Paradeso.
62
Kompleks A dan Kompleks B dihubungkan
oleh jembatan Atotheb. Sejak tiba di Paradeso aku
merasa jembatan itu sudah saatnya untuk diperbaiki.
Kompleks B merupakan kawasan terpadat.
Pelabuhan, meski jarang disinggahi kapal—kadang
seminggu ada kapal yang singgah, atau kadang baru
sebulan baru ada kapal yang mampir—merupakan
pusat perekonomian Paradeso, tepat bersebelahan
dengan pantai Enda. Tempatku kini berada.
Selain penginapan di dekat pintu masuk desa
dari daratan—tempatku tinggal, pantai Enda
merupakan tempat tersering yang aku kunjungi.
Keunikan dari pantai Enda adalah pasir
pantainya berwarna merah jambu. Aku jarang sekali
mengunjungi pantai, pantai bukan tempat yang aman
untuk bersembunyi, tempatnya sangat terbuka. Tapi
aku yakin, jarang ada pantai yang memiliki pasir
berwarna seperti itu. Pantainya juga bersih dari
sampah. Membuat kita tanpa ragu, tanpa
membentangkan alas, merebahkan diri di antara
jutaan pasir.
Tapi itu belum apa-apa bila dibandingkan
dengan pemandangan matahari terbenam yang
ditawarkannya. Lengkungan batu yang membentang
dari bukit hingga ke batu karang yang berdiri kokoh
di tengah lautan memberi sensasi berbeda. Seakan-
akan aku sedang menatap lukisan senja (lengkungan
batu itu adalah bingkai atasnya) alih-alih memandang
kepulangan matahari ke peraduannya.
63
Kompleks terakhir di Paradeso adalah
kompleks C. Tidak seperti kedua temannya,
kompleks ini terpisah dari daratan utama. Untuk
mencapainya, kita harus menggunakan perahu karena
dia terapung di tengah-tengah lautan. Tidak ada yang
istimewa dari kompleks C selain menjadi tempat
tinggal 30% penduduk Paradeso dan semuanya
berprofesi sebagai nelayan.
Selama perjalanan menuju penginapanku,
beberapa orang menyapaku. (Hei, Rino!)
Kebanyakan orang pemilik kios makanan dan
minuman. Aku membalasnya dengan seulas senyum
dan anggukan. Ada beberapa yang memintaku
mampir. Aku menjawabnya dengan menambahkan
“sedang terburu-buru” di akhir kalimat.
Karena tak tahan mendengar canda tawa
beberapa orang, aku memutuskan untuk berlari. Bila
aku tidak segera angkat kaki dari "surga" ini, maka
beberapa jam lagi senyum dan tawa di wajah
mereka...
Aku tak mau membayangkannya.
Aku ingin sekali mengatakan yang sebenarnya.
Tapi pengalaman di masa lalu mengunci lidahku.
Bahkan orang-orang yang kukira temanku tak pernah
benar-benar percaya padaku.
Sebelumnya aku pernah memperingatkan
orang-orang—yang hanya kulakukan saat aku
kehabisan waktu atau berada di menit-menit akhir
sebelum ramalan mewujud nyata atau ada orang yang
64
menghalangi pelarian kami (saat aku masih bersama
seorang teman). Tapi mereka malah mentertawai
kami.
“Mimpi itu bunga tidur, nak,” kata salah
seorang dari mereka.
“Jadi setengah jam lagi tempat ini akan rata
dengan tanah?” kata seseorang di kesempatan lain.
“Lebih rata mana dengan hidungnya,” orang itu
menunjuk temannya yang berhidung rata. Sontak
seluruh orang di ruangan tertawa bersamanya.
“Dan aku punya bakat membuat orang jatuh
cinta,” sahut seseorang di kesempatan yang lain lagi.
Dan di kesempatan yang lain lagi, aku sempat
membuka identitasku yang sebenarnya. Bukannya
kaget, atau menangkapku untuk ditukarkan dengan
hadiah di pos prajurit terdekat, mereka malah
menjadikanku bahan lelucon. Menyuruhku supaya
bangun dari mimpi. Memberi nasihat agar aku
menyerahkan diri ke rumah sakit jiwa. Tak sedikit
yang mencercaku habis-habisan. Saat itu aku senang
tapi sekaligus marah. Senang karena penyamaran
kami berhasil—dengan poster wajahku dan sahabatku
terpampang di tiap dinding negeri, marah karena
untuk pertama kalinya aku marah tak ada yang
mengenaliku.
Hingga kemudian ketika aku tak sengaja
bertemu mereka lagi di jalan, mereka menganggapku
pembohong, pembual dan penipu karena ramalanku
terbukti salah.
65
Namun, tak selamanya kemampuanku
membuatku jadi bahan lelucon. Ada kalanya
kemampuanku itu memudahkan proses pelarian.
Tanpa pikir dua kali mereka menyingkir dan
memberi jalan. Sejauh yang aku tahu kemampuan
mengetahui masa depan melalui mimpi belum pernah
ada sebelumnya. Atau kalau ada, mungkin sangat
sedikit sekali yang memilikinya. Beberapa orang
takut terhadap kemampuanku, bahkan beberapa lagi
berusaha membunuhku, karena aku dianggap
mencuri rahasia Pemberi Kehidupan.
Aku menerjang masuk pintu penginapan. Rira,
gadis yang bekerja sebagai pelayan di penginapan—
satu-satunya orang di lantai satu, menghentikan
kegiatan mengelap mejanya sejenak. Rambut
merahnya yang diekor kuda bergoyang-goyang saat
dia bergerak.
“Tumben kamu sudah pulang,” katanya, rasa
heran terpancar di matanya. “Biasanya baru saat
makan malam batang hi—”
“Aku harus pergi,” kataku tanpa menoleh ke
arahnya. Terus melangkahkan kaki ke lantai dua.
“Kenapa?” Rira terdengar sangat kaget. Sejak
hari pertama aku terdampar di Paradeso—aku datang
ke Paradeso menggunakan perahu—kami sudah
akrab. Obrolan kami mengalir lancar. Seolah kami
telah saling mengenal. Padahal itu perjumpaan
pertama kami. “Kenapa?” Rira mengulang
pertanyaannya di ambang pintu kamarku.
66
Sebenarnya Rira adalah satu alasan kenapa aku
menetap di Paradeso, di suatu tempat, cukup lama.
Padahal perburuanku tidak mengizinkan hal itu.
“Karena...” Jujur atau bohong? Bila aku jujur,
sangat mungkin sekali aku akan ditertawakan. Tapi,
apa salahnya melihat dia tertawa untuk terakhir
kalinya? Maksudku, bila ini adalah pertemuan
terakhir kami, maka aku ingin membungkus
senyumnya—senyum mengejek sekalipun—dan
menyimpannya di dalam hati. “Karena bila aku tidak
segera pergi dari sini Paradeso akan berubah menjadi
lautan api.”
“Apa maksudmu?” Reaksi Rira jauh dari
perkiraanku. Dia terperanjat alih-alih menunjukkan
tanda-tanda tertawa.
Aku lalu menceritakan semuanya. Tentang
mimpiku. Tentang misil itu. Tentang kebakaran dan
danau yang jebol. Tak ketinggalan, tentang
kemampuanku. Bakatku.
“Kenapa kamu baru menceritakannya
sekarang?”
“Aku baru mendapatkan mimpi itu hari ini.”
“Maksudku, tentang kemampuanmu. Bakatmu
melihat masa depan melalui mimpi.”
“Itu...” Sejujurnya aku malu mengatakan
alasan yang sebenarnya. “Itu... Itu...”
Rira menempelkan telunjuk di depan bibirku.
“Aku rasa kita bisa membicarakannya nanti.
67
Sekarang kita harus memberitahukan hal ini pada
Kepala Desa.”
Rumah Kepala Desa tidak jauh dari
penginapan. Cukup lima menit dengan berjalan kaki.
Rumahnya berdiri di atas pulau kecil. Menjulang
tinggi, menurut perkiraanku ada sekitar empat lantai,
melebihi bangunan-bangunan di sekitarnya. Bahkan
dari pantai Enda rumahnya masih bisa dilihat dengan
mata telanjang. Sepetak tanah yang bisa dilalui dua
orang yang berjalan berjajar menjadi penghubung
antara pulau kecil itu dengan daratan utama.
Ini bukan kali pertama aku bertemu dengan
lelaki berkepala plontos itu yang, untuk ukuran
Kepala Desa, masih tampak sangat muda. Mungkin
sekitar 5 sampai 6 tahun lebih tua dariku. Kali
pertama adalah saat dia menyambut kedatanganku di
desanya yang, diakuinya, sederhana. Namun ini
pertama kalinya aku memasuki rumahnya.
Ruang tamunya terkesan sempit dan sumpek.
Juga sedikit kotor—mungkin jarang dibersihkan. Ada
setidaknya tiga lemari, satu yang setinggi pinggang
diletakkans sekitar dua langkah dari anak tangga
tangga terbawah yang mengarah ke lantai dua, dua
lainnya ditempatkan berjajar di dinding di
seberangnya. Salah satunya tak berpintu dan berisi
benda-benda yang tampaknya telah lama rusak. Dua
kursi dan satu meja kayu ditempatkan di dekat
jendela yang menghadap ke laut.
68
Aku menyerahkan bagian penjelasan pada
Rira. Jelas karena Rira adalah penduduk asli
Paradeso. Aku baru nimbrung ketika Rira
melemparkan pertanyaan padaku. Itu pun hanya
kujawab dengan anggukan dan gelengan. Selama
percakapan Kepala Desa mengangguk-angguk.
Seperti Rira, tampaknya dia langsung percaya dengan
penglihatanku.
“Apa sebaiknya kita memberitahu para
warga?” tanya Rira pada Kepala Desa.
“Jangan!” cegahku. “Maksudku,” imbuhku
cepat-cepat. “Itu akan menimbulkan kepanikan.
Kepanikan biasanya berujung pada malapetaka.”
“Tapi kalau tidak diberitahu mereka tidak akan
tahu. Dan bila mereka tidak tahu mereka bisa mati!
Kamu mau mereka mati?”
“Jangan salah paham, Rira. Aku bisa pergi dari
sini dan misil itu hanya akan melewati Paradeso.”
“Dan membawa serta setengah dari hatiku?”
kata Rira dengan intonasi mantap dan tanpa keraguan
sedikit pun.
“Rira? Kamu...”
“Ya, aku suka sama kamu. Aku juga tahu—”
Rira menundukkan kepalanya “—kamu suka
denganku.”
Jadi selama ini dia tahu? Aku kira aku sudah
cukup baik menyembunyikan perasaanku.
69
Aku memang sengaja tak menyatakan cinta
padanya karena aku belum bisa memberinya rasa
aman dan kesejahteraan. Apakah sekarang waktu
yang tepat mengakuinya?
“Salah satu alasan yang memperkuat niatku
untuk pergi.”
“Kamu tega meninggalkanku, Rino?”
Aku terdiam. Berpikir sejenak. “Ya,” kataku
akhirnya. Mata Rira membulat sebesar telur ayam.
“Kalau itu bisa membuatmu tetap hidup.”
“Kamu akan tetap pergi meski aku memohon?”
Aku mengangguk.
Rira menggigit bibirnya. “Kalau begitu, ajak
aku.”
“Apa?”
“Ajak aku,” ulangnya. ”Aku tidak punya apa-
apa lagi di sini. Orangtuaku sudah lama meninggal.
Aku tak punya saudara, atau kalau punya aku tak
tahu di mana mereka.” Rira meraih kedua tanganku.
Selama beberapa saat kami menunduk memandang
tangan kami yang bertaut. “Jadi?”
“Hidup dalam pelarian tidaklah semudah—”
“Aku juga tidak akan merasa hidup bila tidak
ada dirimu di sampingku.”
Dehaman sebanyak dua kali menyisip di antara
percakapan kami. Kami nyaris lupa sedang berada di
rumah Kepala Desa.
70
“Apakah kalian sudah selesai?” tanyanya.
Mukanya jadi sedikit aneh karena menahan senyum
demi tampak berwibawa.
Rira kontan menundukkan kepalanya kembali.
Sementara aku melakukan kebalikannya,
menegakkan kepalaku. Kuabaikan rasa hangat pada
pipiku.
“Aku rasa kalian sudah selesai,” Kepala Desa
menjawab pertanyaannya sendiri. Dia kemudian
mengarahkan pandangannya pada Rira. Mimik
mukanya berubah serius kembali “Rira, panggil
semua Pengantar Pesan, atau yang bisa kamu
temukan, untuk menghadap kepadaku.”
Rira mengangguk sekali lalu berlari keluar.
Setelah Rira berada jauh dari kami, Kepala
Desa berbalik dan menatap langsung ke mataku.
“Nah, Pangeran Aarino—”
Darimana dia tahu identitasku yang
sebenarku?!
“—bisa lebih detail lagi Anda mendeskripsikan
mimpi Anda?”
Kepala desa sejak awal kedatanganku ke
desanya telah curiga mengenai identitasku.
Penyamaran yang aku pilih, yakni sebagai pelajar
tingkat tinggi yang sedang mencari ketenangan
sebelum menyusun tugas akhir, dinilainya payah.
71
“Coba Anda bilang Anda seorang pelukis,
dengan seringnya Anda di pantai Enda, saya mungkin
tidak akan curiga. Itu pun bila tanpa
memperhitungkan jumlah uang Anda yang
tampaknya cukup untuk biaya makan seluruh
penduduk Paradeso selama sebulan.”
Lalu kemudian aku muncul di hadapannya.
Dengan Rira mengatakan aku punya kemampuan
untuk melihat masa depan. Keraguan yang
menghinggapinya sontak sirna, digeser oleh
keyakinan. Dan dengan ekspresi kagetku, makin
memperkuat bahwa kecurigaannya selama ini benar
adanya.
“Apakah Anda hendak menyerahkan saya pada
paman saya?” tanyaku, tanpa sanggup
menyembunyikan nada menuduh.
Kepala Desa tersenyum. ”Ah ya, saya pernah
mendengar kabar mengenai hal itu. Akan ada
imbalan yang sangat besar bagi yang menyerahkan
Anda hidup-hidup.”
“Jadi?” tanyaku, sebab dia terdiam cukup lama
dan belum menjawab pertanyaanku.
“Apakah saya seperti orang yang hendak
melaporkan Anda?”
Sejujurnya aku tidak tahu. Aku tidak sepandai
Hora'an—sahabatku, temanku, abdiku yang setia—
dalam membaca bahasa tubuh seseorang.
72
“Banyak berita mengenai Anda di luaran sana,”
kata Kepala Desa sambil duduk di salah kursi
kayunya. Dia membuat gerakan agar aku duduk di
kursi di hadapannya. “Saking banyaknya sampai saya
tidak yakin mana yang benar. Ada yang mengatakan,
Anda pergi dari istana karena tidak betah diejek dan
dijauhi terus-terusan karena bakat unik yang Anda
miliki. Namun ada yang mengatakan bahwa Anda
melarikan diri setelah membunuh Yang Mulia—”
“Bukan saya yang melakukannya!” Aku
melompat dari kursiku. Begitu cepatnya seolah-olah
ada yang menyengat bokongku.
“Saya tidak menuduh Anda, Pangeran” kata
Kepala Desa tenang, tak terpengaruh percikan
kemarahanku. “Saya hanya ingin tahu kebenarannya.
Itu saja.”
“Bukan saya yang melakukannya,” kataku, kali
ini lebih pelan, sambil menghembuskan napas
panjang dan kembali menempati tempat dudukku.
“Paman saya, High-Lord Aajasa, yang
melakukannya.”
Aku teringat lagi hari di mana aku
mendapatkan mimpi itu. Mimpi yang mana pasukan
pamanku menyelinap masuk ke kamarku di tengah
malam, saat aku tertidur lelap, dan menggorok
leherku. Pada awalnya aku tidak bisa menduga niat di
balik pembunuhanku. Kalau dia hendak merebut
tahkta, kenapa aku yang dibunuh dan bukannya ayah.
Tak ada untungnya membunuhku. Setidaknya belum.
73
Saat menduga-duga itulah eksekutorku datang
melalui jendela. Aku langsung meraih pedangku yang
kusandarkan pada meja di samping tempat tidurku.
Tapi hanya sarung kosong yang kutemukan.
Pedangnya sendiri hilang. Tak ada pertarungan hebat
yang terjadi. Aku yang masih belum sepenuhnya
bangun dikalahkannya dengan mudah hanya dalam
dua gerakan cepat. Beruntung Hora'an, pengawal
pribadiku, yang berjaga di luar kamar, mendengar
bunyi denting pedang yang beradu. Dia sontak
menghambur masuk dan menghantam penyerangku.
Hora'an berhasil membuat musuh tersudut.
Namun sayang, musuh berhasil kabur lewat lubang
kedatangannya.
Kemudian kami mendengar teriakan dari
kamar Raja dan Ratu—orangtuaku. Teriakan yang
keluar dari mulut orang yang sekarang bernafsu
membunuhku: High-Lord Aajasa, adik kandung
ayahku, pamanku. Aku dan Hora'an berlari ke sana.
Tidak hanya terlambat, kami dituduh
bersekongkol membunuh Raja dan Ratu. Aku dituduh
membunuh kedua orangtuaku. Hora'an setengah
melindungiku dari sergapan prajurit setengah
menyeretku pergi. Tapi mataku masih sempat melihat
sekilas pedangku, pedangku yang hilang, tertancap
dalam di dada kiri ayahku.
”Saya rasa Anda berkata jujur, Yang Mulia,”
kata Kepala Desa, mengembalikanku ke dunia nyata.
Untuk kedua kalinya, aku nyaris lupa akan
74
keberadaannya. Dan untuk pertama kalinya dia
memanggilku dengan Yang Mulia.
Tentu saja, tapi aku tak mengatakannya.
“Maaf bila saya lancang, tapi apakah Anda
tidak marah diperlakukan tidak adil?”
“Memang sejak kapan hidup itu adil?”
”Ah, pertanyaan yang sama rumitnya dengan,
'apakah kedamaian benar-benar ada di dunia ini?'”
Kepala Desa memandang keluar jendela, ke laut,
sebentar. ”Jadi, Anda tidak marah?” kejarnya.
“Tentu saja saya marah. Tapi apa yang bisa
saya perbuat, saya hanya seorang diri. Sekutu saya
satu-satunya telah mengorbankan dirinya demi
menjaga saya tetap hidup. Sementara dia—” aku
menggertakkan gigiku. Kedua telapak tanganku
mengepal. Teringat senyum hangat palsu pamanku.
Kepala Desa masih tetap tenang. Tak
terpengaruh panasnya amarah yang menggelegak di
dalam dadaku.
”Apakah Anda yakin, dengan Anda pergi dari
Paradeso, misil itu akan membatalkan misinya untuk
membumihanguskan Paradeso?” tanyanya.
”Misil kami dilengkapi sensor yang bisa
mendeteksi keberadaan seseorang. Dan dalam kasus,
ini keberadaan saya.”
”Koreksi bila saya salah. Tapi di mimpi Anda,
Anda bilang sedang berdiri di pinggir pantai dan
75
menyaksikan misil itu memporak-porandakan
Paradeso.”
Gambaran akan mimpiku itu kembali lagi. “Ya,
tapi setelah mata misil itu melihat saya.”
”Bagaimana bila dugaan Anda salah?
Bagaimana kalau seperginya Anda misil itu tetap
meluluh-lantakkan Paradeso?”
Sejujurnya aku tidak tahu. Sejujurnya
kemungkinan itu bisa saja terjadi. Bukan rahasia lagi
bahwa High-Lord Aajasa sering membuat onar,
menghancurkan sebuah desa hanya untuk bersenang-
senang. Atau membunuh pelayannya hanya karena
pelayannya terpeleset dan tak sengaja menyentuh
tubuh bangsawannya.
“Maaf bila sekali lagi saya lancang, tapi
apakah Anda tidak berminat merebut kembali apa
yang menjadi hak anda?”
Dia tahu jawabanku tanpa aku perlu repot-
repot membuka mulutku.
“Kalau Anda berminat, kami bisa dan siap
membantu mengambil kembali tahta Anda,” kata
kepala desa di luar dugaan.
Kalimatnya kali ini benar-benar menarik
perhatianku sepenuhku.
“Maksud Anda dengan kami, apakah warga
Paradeso?” Oke, bilang saja aku meremehkan
mereka. Apa yang bisa nelayan lakukan selain
menangkap dan menjaring ikan?
76
“Jangan menyepelekan kemampuan seseorang
yang belum Anda kenal betul, Pangeran,” jawab
kepala desa seolah bisa membaca pikiranku. “Kami
bisa menghancurkan puluhan ribuan tentara kalau
kami mau.”
Yang menjadi masalah adalah aku percaya
padanya. Meski kalimatnya sangat sulit untuk
dipercaya. Tapi intonasinya, ketegasan dalam setiap
kalimatnya, seolah mereka pernah benar-benar
mengalahkan 10.000 pasukan!
Apakah Rira tahu soal ini? Tentu saja dia tahu.
Dia penduduk asli Paradeso. Bahkan mungkin dia
salah satu yang membunuh 10.000 pasukan itu!
Namun kenapa Kepala Desa menawariku
bantuan kalau dia dan penduduk Paradeso mampu
mengambil alih kerajaanku?
Sebuah pemahaman tiba-tiba menghantamkan.
“Andai aku mau menerima tawaran baik Anda,
apa yang Anda minta sebagai balasan? Separuh
kerajaanku?” pancingku. Bisa saja seandainya kami
menang, dan berhasil membinasakan Aajasa, dia
berbalik mengkhianatiku.
”Itu tawaran yang menarik.”
Sudah aku duga. Dia meminta lebih!
”Tapi tidak. Kami memang sedang kesusahan.
Tapi itu bukan jenis investasi yang bagus. Kami
hanya meminta satu permintaan kecil saja,” dia
mengalihkan pandangan ke arah pintu rumahnya.
77
Aku mengikuti arah pandangnya. Di kejauhan
tampak Rira bersama semua Pengantar Pesan—
pemuda-pemudi yang mengenakan ikat warna merah
di lengan kanannya.
“Kami ingin,” lanjut Kepala Desa. ”Paradeso
menjadi bagian dari kerajaan Anda.”
”Kenapa? Bukankah Paradeso baik-baik saja
tanpa menjadi bagian dari kerajaan mana pun?”
”Apa Anda bercanda? Apa Anda tidak melihat
sekitar Anda?”
Melihat apa? Melihat keindahannya? tanyaku,
hanya dalam hati. Aku tak mengatakannya keras-
keras karena aku tak yakin itu yang dimaksud oleh
Kepala Desa, selain aku tak mau terlihat tidak
mengerti Ketatanegaraan. Aku sebenarnya juga tak
mengerti apa maksudnya saat mengatakan "bukan
jenis investasi yang bagus." Maksudku, setengah
kerajaan jumlah yang sangat besar, kenapa disebut
investasi buruk? Tampaknya aku masih harus belajar
banyak soal ekonomi.
Aku jadi menyesal termakan desas-desus yang
beredar di lingkungan sekolahku. Bahwa yang belajar
ilmu pengetahuan sosial adalah mereka yang
kecerdasannya di bawah rata-rata. Sekarang aku ada
ditengah-tengah masalah sosial, dan aku kebingungan
bagai anak ayam kehilangan induknya.
”Maaf bila saya sekali lagi lancang, tapi mau
sampai kapan Anda berlari dan hidup berpindah-
pindah?” tanya Kepala Desa, kembali memusatkan
78
pandangannya kepadaku. ”Paman Anda tak akan
berhenti. Dia akan selalu menemukan Anda. Sebab
seperti yang kita semua tahu, tak pernah benar-benar
ada tempat yang aman dan damai di dunia ini.”
Dulu saat Hora'an masih hidup, dan aku terlalu
nyaman berada di suatu tempat, dia sering
mengatakan hal yang sama, ”Rasa aman itu ilusi,
Pangeran. Bahkan di tempat paling damai sekali pun,
selalu ada bahaya mengintai.” Yang kadang ada
imbuhannya, ”Terkadang malah dari tempat yang tak
terduga. Orang yang kita pikir peduli dengan kita.”
Sejujurnya aku sudah bosan terus-terusan
berlari dan hidup berpindah-pindah. Dicekam rasa
takut. Selalu was-was. Tak pernah mampu tidur
nyenyak. Kadang aku berpikir untuk membiarkan
pamanku berhasil membunuhku. Tapi itu sama saja
dengan aku menyerahkan hidupku, sementara masih
banyak hal yang ingin aku lakukan. Dan, sama
seperti kebanyakan orang, aku takut pada kematian.
”Jadi, apa keputusan Anda, Pangeran?” desak
Kepala Desa.
Rira dan para Pengantar Pesan sedang
menyeberangi jembatan.
Namun alih-alih menjawabnya, aku malah
melontarkan, “Apakah Rira—”
Kepala Desa menggelengkan kepalanya.
79
”Dia sama seperti Anda,” katanya singkat,
sebelum berpaling menyambut tamu yang baru saja
datang.
Pengantar Pesan, yang jumlahnya sekitar dua
puluh orang, telah diberi instruksi yang cukup jelas.
Bahwa Paradeso akan kedatangan tamu yang sangat
tidak ramah. Bahwa mereka mesti bersiap-siap
menyambutnya. Bahwa mereka mesti menjamu tamu
tersebut dengan sikap yang sama.
Orang tua, wanita, anak-anak dan orang-orang
yang tidak bisa bertempur berbondong-bondong
masuk ke rumah Kepala Desa. Rumahnya jauh lebih
besar dari kelihatannya. Ruang bawah tanahnya—
sebuah bunker bertingkat, begitulah kata
pemiliknya—mampu menampung dua kali jumlah
seluruh penduduk Paradeso.
Aku sempat meminta Rira untuk berlindung
bersama mereka. Tapi dia bersikeras untuk tetap
berada di sampingku. Dia sama skeptisnya denganku
mengenai kemampuan Paradeso menangani senjata
mematikan seperti misil.
Yang aku heran, mereka melakukannya tanpa
pertanyaan (seperti, kenapa misil itu menyerang
kita?) mau pun protes.
Rira sama herannya denganku. Juga kaget.
Sama sekali tak menyangka tempat tinggalnya
80
selama beberapa tahun terakhir ini... Lebih dari yang
dibayangkannya.
Setelah memerintahkan Pengantar Pesan
mengabarkan berita mengenai kedatangan tamu yang
tidak diundang, Kepala Desa mengarahkanku dan
Rira ke puncak rumahnya. Bertepatan dengan
langkah kami menaiki tangga, ada suara benda
bergeser. Kata Kepala Desa, itu suara dinding-
dinding kayu lantai teratas, juga atap, yang bergerak
ke bawah.
”Wow...” Aku mendengar Rira menyuarakan
ketakjubannya. Dan memang tak ada kata yang lebih
tepat lagi untuk menggambarkannya.
Bisa dibilang tempat itu sangat pas untuk
melihat bintang. Sebab semua dindingnya, bahkan
atapnya, yang ketika tidak digunakan ditutupi oleh
dinding kayu, terbuat dari kaca. Kaca yang sangat
bening yang kebeningannya nyaris menyamai air.
Memberi pandangan ke seluruh Paradeso sekaligus
memudahkan mata misil melihatku. Mengirim pesan
yang sangat jelas pada pamanku bahwa aku
menantangnya.
Begitulah rencana Kepala Desa.
Aku baru ingat. Dalam mimpiku, rumah
Kepala Desa, yang puncaknya tinggi sekali hingga
tampak dari pantai, sama sekali tidak terbakar atau
roboh terkena gempuran misil dan air danau.
“Tempat ini diselubungi kaca yang sangat
tebal,” jelas Kepala Desa tanpa diminta. “Bisa
81
menahan hampir semua serangan. Termasuk bom
terkuat buatan manusia.”
Bila Klompleks A menjadi tempat
perlindungan, Kompleks B dan Kompleks C bertugas
menangkal serangan dan menyerang balik.
Yang paling mengejutkanku, dan menghapus
keraguanku akan kemampuan mereka, adalah
Kompleks C. Kompleks C melebar. Rumah-rumah
bergerak ke pinggir pulau, membentuk lingkaran,
membuka lubang besar yang mereka sembunyikan.
Dari lubang itu muncul menara yang puncaknya
ditenggeri oleh empat kristal bening yang bertumpuk.
Menurut Kepala Desa, menara yang disebutnya
Pensil itu-lah yang merupakan senjata andalan
Paradeso. Aku belum pernah melihat senjata seperti
itu sebelumnya. Apa kira-kira keandalan senjata itu
hingga Kepala Desa yakin misil yang hendak
mengarah kemari bisa dihancurkan bahkan sebelum
menyentuh sejengkal tanah Paradeso?
Matahari telah terbenam sepenuhnya. Kini
tugas bulan untuk menerangi dunia.
Harusnya misil itu sebentar lagi akan
menunjukkan moncongnya yang runcing.
Dan benar saja.
Ekor mataku menangkap garis kecil di langit
barat.
Akhirnya datang juga.
82
Kepala Desa, juga Rira, mengikuti arah
tatapanku. Tangannya yang sedari tadi memegang
cangkang kerang terangkat. Aku mengenali cangkang
kerang itu sebagai alat komunikasi. Aku pernah
melihat beberapa pengejarku, orang-orang suruhan
pamanku, pernah menggunakannya. Di dekatkannya
cangkang kerang itu ke mulutnya.
“Semua siap di posisi,” katanya.
Seperti yang aku lihat di dalam mimpi, misil
besar itu membelah diri menjadi ratusan misil mini—
“Tahan,” kata Kepala Desa pada alat
komunikasinya.
Misil-misil itu menanjak naik, tampaknya
sedikit terkejut dengan landskap baru Paradeso,
menembus awan—
“Tahan,” kata Kepala Desa lagi, kali ini
suaranya terkontaminasi ketegangan. Matanya
memandang dengan intensitas tinggi ke arah langit,
ke arah misil-misil yang menghilang.
Keringat dingin menuruni punggungku. Rira
makin mengeratkan pelukannya pada tubuhku.
Membenamkan wajahnya di dadaku. Matanya
terpejam. Aku bisa merasakan degup jantungnya
yang berdetak cepat dan napasnya yang memburu.
“Tembak!” seru Kepala Desa tepat saat
puluhan misil jatuh bersamaan dari awan seperti
hujan.
83
Pasukan atau orang-orang—aku tidak yakin
bagaimana harus memanggilnya—di Kompleks B
menembakkan senjata mereka dari atap-atap rumah
mereka. Beberapa misil meledak di udara. Beberapa
lagi lolos dan menghantam rumah Kepala Desa.
Banyak misil menabrakkan diri. Tapi kaca
yang menyelimuti rumah Kepala Desa masih sama
mulusnya. Tidak ada goresan. Tidak ada retakan.
Bahkan tak setitik debu pun. Suara ledakan juga
teredam. Malahan, aku tidak merasakan getaran sama
sekali.
Misil-misil yang memiliki mata itu mengubah
formasi, berkelit di antara desingan peluru, terbang
lebih tinggi jauh dari jangkauan tembakan. Dan
ketika melihat kesempatan, mereka menjatuhkan diri
dan memporak-porandakan apa saja yang diciumnya.
”Mana Pensil-ku?” teriak Kepala Desa pada
alat komunikasinya. ”Aku butuh Pensil segera
membabat habis misil-misil sialan itu!”
”Pensil masih belum siap, Pak,” jawab seorang
pria.
Kepala Desa mengumpat.
Lima bangunan di Kompleks B hancur. Dua
bangunan di Kompleks C tenggelam. Warga yang
kurang beruntung, yang belum sempat melemparkan
diri ke jalanan atau bangunan di sebelahnya,
tubuhnya terbakar. Beberapa yang lain meledak
menjadi potongan-potongan kecil.
84
Kepala Desa mengumpat lagi.
Aku menutupkedua mataku. Meski telah
menyaksikan banyak hal mengerikan, aku masih
belum juga terbiasa. Aku bersyukur ada Rira di
dekapanku. Seandainya Rira tidak memelukku,
mungkin aku sudah terduduk lemas.
Melihat situasinya yang semakin lama semakin
parah, tampaknya kami akan kalah. Tampaknya
Paradeso akan tetap menjadi lautan api. Persis seperti
di mimpiku.
”Rino,” panggil Rira lirih. Cukup lirih hingga
hanya aku yang bisa mendengarnya.
”Ya?”
Sebuah misil lagi-lagi menabrakkan dirinya ke
dinding kaca. Tapi dinding itu masih belum
tergoyahkan.
”Menurutmu...” Suara Rira menurun saat
mencapai suku kata terakhir. Seakan-akan tak yakin
akan apa yang hendak diucapkannya. ”Menurutmu,
sampai kapan dinding rumah ini bisa bertahan?”
”Aku tidak tahu. Kaca itu bisa pecah sewaktu-
waktu,” kataku, apa adanya. ”Aku rasa ini saatnya
kamu ke lantai bawah—”
”Tidak,” potong Rira. ”Bila memang hari ini
adalah hari terakhirku hidup. Aku ingin berada di
sampingmu.”
Kali ini dua buah misil menghantam dinding
berbarengan.
85
Sejujurnya aku senang Rira memutuskan untuk
tinggal. Sadar atau tidak, dia menjadi salah satu
alasanku aku masih tegak berdiri. Meski di sisi lain,
aku ingin dia berada di tempat yang lebih aman.
Ada tiga misil yang hendak menabrak dinding
bersamaan, namun di detik-detik terakhir, mereka
merubah arah dan kembali menuju langit. Lagi-lagi
menyembunyikan diri di balik awan.
”Mungkinkah mereka menyerah?”
Namun, sebelum aku sempat merespon kata-
kata Rira yang penuh harap, alat komunikasi Kepala
Desa berbunyi nyaring.
”Pensil sudah siap, Pak,” kata pria yang sama.
”Persiapkan diri kalian,” kata Kepala Desa,
entah pada kami atau pria yang barusan berbicara via
kerang komunikasi. ”Mereka akan menyerang rumah
ini dengan kekuatan penuh.”
Dan benar saja.
Seluruh sisa misil yang selamat dari tembakan
Kompleks B bergerak cepat menuju ke arah kami!
Dua puluh meter.
Tujuh belas meter.
”Tahan...” Kali ini Kepala Desa tak
menyembunyikan ketegangannya. Suaranya bergetar.
Empat belas meter.
Sebelas.
86
Sepuluh.
Sembilan.
Delapan.
”Tembak!”
Empat kristal bening menara Kompleks C
bersinar. Sinar itu kemudian menyatu membentuk
bola. Berkedip sedetik sebelum meledak dan sinarnya
menyebar ke segala arah.
Misil-misil yang mengenai sinar itu, yang aku
kira bakal meledak di tengah udara, begitu tersentuh
sinar Pensil langsung berubah menjadi serpihan.
Tersisa satu misil terakhir.
Melayang sendirian di langit malam dalam
posisi vertikal.
Matanya berada di sisi bawah.
Pensil siap membidiknya. Namun, di luar
dugaan, dia meledakkan dirinya sendiri.
Sayup-sayup telingaku menangkap bunyi
sorakan kegembiraan di Kompleks B dan Kompleks
C.
Kepala Desa bersorak. Dia melempar senyum
pongahnya padaku. Seakan-akan mengatakan, ”Lihat
apa yang bisa kamu lakukan?”
Sementara Rira... Dia meneteskan air mata
bahagia.
87
Aku tahu aku harusnya ikut gembira karena
serangan High-Lord Aajasa ke Paradeso, atau lebih
tepatnya serangan padaku, berhasil digagalkan. Tapi
aku merasa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang
luput dari perhatianku.
Misil terakhir yang kulihat di mimpi. Misil
yang menyerangku setelah misil-misil yang lain
mengubah Paradeso menjadi lautan api, ukurannya
sama besarnya dengan misil pertama sebelum
memecah diri menjadi berkali lipat.
Tunggu sebentar.
Misil pertama...
Misil pertama!
Oh, tidak.
”Rino?” tanya Rira yang menyadari
perubahanku.
Di kejauhan, mataku menangkap beberapa
garis hitam berekor merah.
Melihat mataku membulat lebar, Rira
mengikuti arah pandangku, ”Oh, tidak.”
Beberapa... Tidak hanya satu. Tapi dua, tiga,
lima... jumlahnya lima!
Kalimat singkat Rira menarik perhatian Kepala
Desa. Dan untuk ketiga kalinya, Kepala Desa yang
tak memiliki rambut di kepalanya itu mengumpat.
Namun yang ketiga ini jauh lebih keras dibanding
dua pendahulunya.
88
Tidak heran. Secara satu misil saja sudah
membuat Paradeso kewalahan. Gimana dengan lima
misil?!
”Setidaknya kegigihan paman Anda bisa kita
tiru,” kata Kepala Desa padaku, sebelum kembali
ngobrol dengan orang-orangnya via kerang
komunikasi.
Tunggu dulu—
Ternyata masih ada dua lagi.
Kepala Desa tertawa hambar.
Rira kembali membenamkan kepalanya di
dadaku.
”Matilah kita,” kataku, setelah menelan ludah
dengan susah payah.
Tujuh misil berkekuatan dahsyat sedang
melesat cepat ke arah kami!
”Malam ini akan menjadi malam yang sangat
panjang,” gumam Kepala Desa.
89
Confession of
a
Bookaholic
90
Jika kamu menemukan surat ini, tentunya
kamu sedang membacanya sekarang, itu
artinya aku sudah mati. Atau aku masih
hidup, tapi telah berada di alam lain,
bukan sebagai manusia lagi. Tapi sebagai
sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin
kamu takuti.
Sebelumnya, aku ingin
memperkenalkan diriku. Namaku Erri.
Aku seorang kutu buku. Atau aku rasa
julukan itu terlalu sederhana bagiku yang
sangat mencintai buku lebih dari apapun.
Kecuali ibuku, tentu saja.
Buku sudah seperti napas kedua
bagiku. Buku sudah menjadi menu wajib
saat aku melakukan apapun (kecuali saat
aku mandi, bekerja dan tidur). Buku sudah
menjadi bagian dari hidupku. Sahabatku.
Teman hidupku. Motivator pribadiku.
Pengelola suasana hatiku.
Ya, aku rasa kamu bisa menebaknya.
Buku telah menjadi candu bagiku. Narkoba
favoritku. Sehari saja tidak menyentuhnya,
membaui aroma tubuhnya, membaca
91
jalinan kata-katanya, menelusuri susunan
kalimat-kalimatnya, tenggelam di dalam
dunia yang dibangun oleh penulisnya,
rasanya aku seolah menghembuskan napas
terakhirku.
Berlebihan memang. Aku tak
berharap kalian langsung
mempercayainya. Tapi aku berani
bersumpah demi semua bukuku yang
kumiliki bahwa begitulah kenyataannya.
Aku memang seorang bookaholic kelas
berat.
Bahkan ada yang pernah nyeletuk,
"Erri mungkin bakal menikahi buku-
bukunya," pada acara kumpul keluarga,
saat aku dilempari pertanyaan, "Kapan
kawin?" (Pertanyaan yang mulai muncul
tiga tahun lalu, semenjak usiaku menginjak
seperempat abad).
Suatu malam, saat aku menghadiri
acara kumpul bareng sesama pecinta buku,
salah seorang peserta menggumamkan
sesuatu yang menganggu pikirannya
92
beberapa minggu terakhir, "Terlalu banyak
buku, sementara waktu terlalu sedikit."
Beberapa orang mengiyakannya.
Beberapa lagi menggumamkan kata-
kata semacam, "Makanya jangan buang-
buang waktu baca buku sampah" atau
"Tampaknya mulai sekarang aku hanya
akan membaca jenis buku favoritku saja."
Tapi mungkin tidak ada yang seperti
aku.
Aku merasa seolah ditampar dengan
keras oleh gumaman itu.
Usiaku sudah nyaris tiga puluh tahun.
Usia hidup rata-rata manusia sekitar 60
sampai 70 tahun. Itu artinya aku sudah
menghabiskan hampir setengah hidupku.
Padahal baru sedikit buku yang kubaca.
Aku belum menyelesaikan daftar 1001 buku
yang kudu dibaca sebelum maut
menjemput. Seperempatnya saja belum.
Ditambah lagi masih ada lanjutan buku-
buku serial yang belum juga dirilis—dengan
skenario terburuk naskahnya belum kelar
93
ditulis, yang "menjebakku" dalam lingkaran
penasaran yang tak terpuaskan hingga
kata tamat muncul.
Aku kemudian pamit pulang lebih
awal dari acara itu. Aku bahkan masih
ingat alasan yang kugunakan (sakit
kepala!). Dan coba tebak apa yang aku
lakukan pertama kali sesampainya aku di
rumah?
Sudah bisa ditebak, aku langsung
menuju perpustakaan. Tempat favoritku di
rumah. Yang juga merupakan sanctuary
buatku, bila boleh kutambahkan.
Saat aku sendirian, buku-buku
menemaniku. Saat aku hendak belajar
sesuatu, buku-buku mengajariku—bahkan
aku selalu bisa menemukan pelajaran baru
dari buku fiksi. Saat aku suntuk, buku-buku
menghiburku. Dan, saat aku nyaris bunuh
diri, buku-buku menyadarkanku,
memotivasiku.
Aku mondar-mandir menyusuri tiap
sudutnya. Menghela dalam-dalam
atmosfirnya. Kadang menarik buku dari
94
raknya, lalu membelainya dan
memeluknya dengan sayang seolah buku
itu adalah anakku sendiri. Aku tahu aku
kelihatan gila, tapi aku tidak peduli. Aku
memang cinta pada buku-bukuku. Aku
tidak mau berpisah dengan mereka.
Kuhempaskan diriku di lantai di
tengah-tengah perpustakaan. Waktu. Usia.
Andai aku bisa menyuapnya. Atau kalau
ada yang menjualnya, aku mau sekali
membelinya.
Masih banyak buku yang belum
kubaca sama sekali. Masih banyak buku
yang ingin kubaca ulang. Di salah satu sisi
lemari aku menempelkan daftar buku-buku
yang hendak kubeli nanti.
Kebanyakan didominasi judul-judul
buku sekuel dari serial yang aku suka.
Daftar itu, sementara ini, berhenti di
nomor 117—dan masih akan terus
bertambah kalau kalian mau tahu.
Bagaimana aku bisa membaca
semuanya bila waktuku habis di dunia ini?
95
Atau, mungkin aku bisa menerima
aku bisa mati kapan saja, tapi kenapa tidak
ada pemberitahuan kapan tepatnya aku
tutup usia sehingga aku bisa
mempersiapkan diri?
Kemudian, entah darimana, Saniver
muncul. Hingga hari ini, hari dimana aku
menulis surat ini, empat hari sebelum Hari
Penjemputan-ku, aku yakin nama itu,
Saniver, bukan namanya sebenarnya.
Hingga hari ini juga, aku masih terkesima
oleh perkenalan dirinya.
Aku masih ingat, kedatangannya
saat itu tepat ketika aku sedang duduk di
beranda rumah, menikmati langit malam
yang cerah. Malam itu tepat enam hari
dari acara kumpul-kumpul bersama
komunitas pecinta buku. Bintang
bertaburan. Bulan sabit menghiasi
bentangan gelap seperti sebuah senyuman.
Aku juga ingat bunyi tawaku yang
membahana ketika dia mengaku dirinya
iblis.
96
Tentu saja saat itu aku
menganggapnya sedang bercanda.
Maksudku, siapa yang bakal percaya pada
orang asing yang tiba-tiba datang sambil
bilang, "Namaku Saniver, dan aku iblis
kelas tiga?" Apa kalian langsung
mempercayainya?
Kalau aku jelas percaya dia sedang
berusaha melucu, atau kalau boleh ge-er
dikit, dia sedang menarik perhatianku.
Membuatku terkesan dengan cara
berkenalannya yang sedikit tidak biasa.
Aku tahu aku tak seharusnya tertawa, tapi
aku tak bisa menghapus pikiran "Emang
iblis sekolah juga ya?" dari benakku.
Mendadak udara jadi lebih dingin.
Bulu kudukku meremang. Tawaku kontan
menghilang. Kedua tanganku secara refleks
menyilangkan diri di depan dada. Tiba-tiba
aku mendambakan selembar selimut
hangat.
Pada awalnya, aku mengabaikan
jeritan peringatan tubuhku itu. Aku
menduga, mungkin aku terlalu lama
97
berada di luar hingga tak sadar bahwa
malam telah larut dan angin malam yang
sedingin es kutub mulai aktif membekukan
tulang.
Baru belakangan, aku tahu itu bukan
karena malam.
Tapi karena dia.
Karena Saniver.
Saniver, yang mungkin tersinggung
aku menganggapnya melawak, kemudian
mengubah dirinya menjadi sosok yang lebih
besar. Kulitnya berwarna hijau kacang
polong. Gigi taringnya mencuat keluar dari
mulut. Sosok pria muda tampan berjas dan
berdasi yang tadi diperlihatnya hilang
tanpa bekas. Lalu bibirnya bergerak,
meloloskan sebuah kalimat, "Atau kamu
lebih suka dengan penampilanku yang ini?"
Menyaksikan perubahan itu di depan
mataku sendiri, jelas membuatku langsung
percaya.
Ternyata dia memang benar-benar
iblis!
98
Secara harfiah.
Aku menggeleng cepat. Mulutku
terlalu kelu untuk digunakan.
Detik berikutnya, raksasa hijau itu
diselimuti angin puting-beliung dan
sosoknya kembali menjadi pria muda
tampan.
Baru aku menyadari ada yang aneh
dengan matanya. Matanya... Bersinar.
"Aku dengar kamu punya masalah
besar," katanya.
"Da-da-ri du-du-lu..." Aku berdeham,
membersihkan tenggorokanku, menelan
ludah dengan susah payah. Masih
terkesima dengan transformasinya.
"Hanya... orang mati... yang tidak punya
masalah."
"Jangan terlalu yakin dulu," katanya.
"Perkenalkan namaku Saniver,” dia
mengulang perkenalan dirinya. “Dan aku
bisa membantumu menyelesaikan masalah
besarmu."
99
"Masalah... Besar? Aku sedang... tidak
dalam masalah besar."
"Jadi keterbatasan waktu bukan
masalah besar?"
"Keterbatasan waktu?" ulangku, masih
belum paham maksudnya.
"Berapa banyak buku yang ingin
kamu baca?"
Berapa banyak buku... Keterbatasan
waktu... OH! "Kamu mau membantuku
hidup abadi?"
"Tentu saja tidak. Bukan aku yang
memiliki waktu."
Dia menawarkan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang tak bisa kutolak: kemampuan
membaca cepat.
Aku tahu kemampuan itu bukan solusi
yang tepat untuk memecahkan masalah
keterbatasan waktuku. Tapi aku terpana
saat dia mendemonstrasikan (dia
menyentuh bahuku dengan tangannya)
kemampuan itu. Dia mengambil sebuah
buku tebal dari ketiadaan. Aku melihat
100
sekilas judul buku yang dipegangnya dan
aku hapal sekali buku itu punya jumlah
halaman yang lumayan fantastis—
tepatnya 1200 halaman.
Hanya dengan menyentuhnya, buku
yang tebalnya 1200 halaman itu habis
terbaca dalam waktu kurang dari 10 menit!
Bahkan tanpa membolak-balik
halamannya!
Bahkan aku juga bisa mencium aroma
kertas buku itu!
Bahkan aku juga merasakan sensasi
debaran, termasuk sensasi membuka tiap
membalik halaman demi halaman, yang
sama saat aku membaca buku dengan
kecepatan normal!
Kalau begitu, aku tidak perlu membeli
sebuah buku lagi. Cukup datang dan
menyentuh buku dan aku telah
membacanya!
Aku, yang masih dipenuhi gejolak
muda saat itu, tanpa pikir panjang,
menerimanya.
101
Namun, tentu saja, semua ada
harganya. Saniver akan datang 10 tahun
mendatang untuk mengambil jiwaku
sebagai ganti “hadiah”-nya.
"Kamu yakin mau menerima
bantuanku?" tanyanya untuk terakhir kali
sebelum mengulurkan tangannya.
Keyakinanku sebenarnya hanya
sebesar 80% saja. Tapi mengingat aku bisa
membaca cepat, tanpa kehilangan sensasi
"nikmat" saat membaca dalam kecepatan
biasa, tanpa ba-bi-bu juga be-bo tanpa ragu
aku berkata, "Ya."
Kamu tahu berapa banyak buku yang
kubaca di hari pertama aku memiliki
kemampuan membaca super kilat? 198
buku!
Salah satunya, aku penasaran ingin
mencoba, adalah buku telepon yang saking
tebalnya bisa digunakan sebagai bantal.
Aku membabatnya habis dalam waktu
kurang dari 15 menit!
102
Dana yang biasa kusisihkan untuk
membeli buku, yang biasanya minta
tambahan uang utama—uang yang ada di
dompetku untuk kebutuhan sehari-hari,
hanya tersentuh seperempatnya saja. Aku
hanya membeli, atau bisa kalian sebut
mengoleksi, buku-buku yang kuanggap
bagus saja. Aku jadi bisa membelikan
hadiah untuk ibuku—tentu saja beliau
tidak tahu-menahu soal perjanjianku
dengan Saniver. Ibuku senang. Dia
mengira, akhirnya aku sadar untuk tidak
menimbun banyak buku lagi, sebab rumah
kami, kalau aku masih meneruskan
kegemaranku, lama-kelaman tidak punya
banyak tempat lagi untuk menampung
buku-bukuku.
Ketika sendirian dan sedang tidak
ada buku baru, terkadang aku sedikit
menyesal kenapa dulu aku mengambil
perjanjian itu. Menyesal kenapa aku begitu
egois dan membiarkan ibuku menghadapi
tragedi. Hidup lebih lama dari anaknya.
Tapi aku tidak bisa membatalkan
103
perjanjian. Janji tetap janji. Mau tak mau,
jiwaku harus kuserahkan pada...
Entah kenapa mendadak aku tak
sanggup menuliskan lagi namanya.
Nah, sekarang kamu tahu rahasiaku.
Belum ada yang tahu mengenai perjanjian
yang aku buat dengan pria muda tampan
yang sempat menjelma jadi raksasa
berkulit kacang polong itu.
Siapa pun kamu, aku harap kamu
lebih bijaksana dariku dalam membuat
pilihan. Aku sendiri merasa pilihan yang
aku buat tidak sepenuhnya salah, sebab aku
sempat mencicipi nikmatnya kebahagiaan
yang tidak akan kutukar dengan apapun.
Tapi pilihanku juga tidak sepenuhnya
benar. Pilihan yang kuambil terlalu
terburu-buru dan tanpa pikir panjang,
hingga menyisakan penyesalan.
Sebelum kututup suratku ini, aku
ingin berterima kasih padamu karena telah
menyisihkan waktu sedikit untuk membaca
surat pengakuanku yang tidak penting ini,
dan bukannya membakarnya atau (lebih
104
parah lagi) menggunakannya sebagai
pengganti kertas tisu.
Sekali lagi terima kasih.
Yang ingin menjadi temanmu,
ERRI
105
Tentang Penulis
Fery Juni Ismarianto, atau yang sering, atau lebih suka, dipanggil Jun
oleh teman-teman online-nya (iya, online, kalau di dunia nyata
kebanyakan memanggilnya dengan pangeran nama depan), adalah
seorang pemuda yang jatuh cinta setengah mati pada buku-buku (juga
film-film) yang berbau [jangan tanya baunya seperti apa, itu hanya
istilah] fantasi atau fiksi ilmiah. Menurutnya, fantasi dan fiksi ilmiah
membantunya dalam mengungkapkan secara terselubung jeritan
hatinya, yang dianggap tabu dan tidak layak untuk diperbincangkan
apalagi dikupas secara tajam setajam parang. Menurutnya juga, fantasi
dan fiksi ilmiah menantang logikanya yang kadang mempertanyakan
banyak hal, termasuk hal-hal "lingkaran" yang tak ada jawabannya.
Saat ini, tepatnya bulan November tahun 2013, dia masih memikirkan
seseorang yang belum membalas perasaannya. Doakan saja dia
berjodoh dengannya. Atau kalau mereka tidak berjodoh, doakan Jun
supaya dia mudah melupakan seseorang yang menguasai hati dan
pikirannya tersebut—meski mungkin susah atau butuh waktu lama
untuk dilakukan. Atau bisa juga, doakan dia segera menemukan
seseorang yang tepat untuknya, yang dicintainya dan mencintainya.
Bukan seorang pembohong, apalagi yang pura-pura punya penyakit
kanker. Bukan yang anti komitmen. Bukan petualang cinta. Bukan pula
yang terus teringat dan terus membicarakan mantannya di setiap
kesempatan.
Jun bisa dihubungi lewat twitternya di @FJrean atau di blog pribadinya
di http://junnotes.blogspot.com
Recommended