View
1.947
Download
315
Category
Preview:
DESCRIPTION
tugas makalah
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Pada zaman yang serba modern seperti sekarang ini, maka manusia dituntut
untuk lebih maju dalam hal pengembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang wajib dimiliki oleh masing-
masing orang. Karena tanpa adanya ilmu pengetahuan maka manusia akan kesulitan
untuk bersaing dengan manusia yang lain guna kelangsungan hidup mereka di dunia
yang hanya sebentar saja. Oleh karena itu maka perlu adanya pengembangan ilmu
pengetahuan secara terus menerus.
Untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan diperlukan beberapa hal
diantaranya yaitu objek yang dikaji harus jelas, metode pengembangan yang tepat,
serta perlu adanya etos dan kode etik keilmuan. Etos keilmuan diperlukan sebagai
semangat untuk memotivasi para ilmuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Sekalipun dana dan fasilitas sudah cukup memadai, namun apabila
tidak ada semangat yang memotivasi untuk mengembangkan sebuah ilmu
pengetahuan maka ilmu tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Sedangkan kode
etik diperlukan untuk mempromosikan persamaan manusia, keadilan sosial, dan
kesejahteraan masyarakat selama proses pengembangan ilmu pengetahuan
berlangsung.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang seperti di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan etos keilmuan?
2) Apa yang menjadi pokok bahasan etos keilmuan?
3) Apa yang dimaksud dengan kode etik keilmuan?
4) Apa yang menjadi pokok bahasan kode etik keilmuan?
1
III. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah seperti di atas maka dapat diperoleh tujuan
sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui pengertian etos keilmuan.
2) Untuk mengetahui pokok bahasan yang dikaji dalam etos keilmuan.
3) Untuk mengetahui pengertian kode etik keilmuan.
4) Untuk mengetahui pokok bahasan yang dikaji dalam kode etik keilmuan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etos Keilmuan
Ethos secara etimologi berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat
yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etos adalah pandangan
hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Sedangkan keilmuan yang berasal
dari kata ilmu menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu,
yg dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan
itu sendiri.
Dari pengertian etos dan keilmuan tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa etos keilmuan adalah suatu pandangan hidup yang
dijadikan sebagai sebuah semangat untuk menggali, mendapatkan, dan
mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan.
B. Pokok Bahasan Etos Keilmuan
Di dalam islam etos keilmuan dikenal sejak diturunkannya wahyu
pertama oleh Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui Q.S. al-‘Alaq (96)
ayat 1-5 yang berbunyi sebagi berikut:
3
Dari Q.S. al-‘Alaq (96) ayat 1-5 tersebut maka dapat dipastikan bahwa
Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w untuk “membaca”. Hal itu
berarti sejak masa itu semangat untuk mencari tahu, mendapatkan, serta
mengembangkan ilmu pengetahuan sudah dianjurkan oleh Allah SWT. Etos
keilmuan juga merupakan salah satu sisi dari dua semangat kembar. Dua
semangat kembar tersebut bahkan telah diberikan Allah sejak penciptaan
Adam. Semangat keilmuan juga tampak pada Q.S. al-Baqarah (2) ayat 31
sebagai barikut :
ال�م�الئ�ك�ة� ع�ل�ى م� ه� ض� ع�ر� ث�م� ا ك�ل�ه� اء� م� األس� آد�م� و�ع�ل�م�
ين� اد�ق� ص� ك�ن�ت�م� إ�ن� ؤ�الء� ه� اء� م� س�ب�أ� ن�ب�ئ�ون�ي
� أ ال� ق� ف�
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman : Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!” (Q.S. al-Baqarah (2):31).
4
الت�و�اب� و� ه� �ن�ه� إ ع�ل�ي�ه� ت�اب� ف� ك�ل�م�ات6 ب8ه� ر� م�ن� آد�م� ى ت�ل�ق� ف�
يم� ح� الر�
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka
Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah (2):37).
Secara umum, wahyu pertama ini mengandung tiga misi kerasulan
Muhammad Saw., yaitu misi ketuhanan (rububiyah), misi kemanusiaan
(insaniyah) dan misi peradaban (al-‘ilm). Misi pertama (ketuhanan)
disebutkan dalam teks wahyu pertama dengan mengintrodusir pernyataan
bismi rabbik al-ladzi khalaq dan ungkapan wa rabbuka al-akram. Kedua
pernyataan ini untuk menegaskan ketuhanan sejati sebagai kritik atas
keyakinan ketuhanan yang menyimpang dalam tradisi masyarakat Arab.
Yaitu, keyakinan terhadap ketuhanan Lata dan Uza yang biasa mereka sebut
dalam segala bentuk ritual keagamaan dan aktivitas kehidupan. Wahyu
pertama di atas, merupakan pembebasan dari keyakinan ketuhanan semu
tersebut dengan menegaskan orientasi baru terhadap ketuhanan sejati, yaitu
Tuhan pencipta dan pemelihara kehidupan. Istilah rabb tidak hanya berarti
ketuhanan pasif, yakni sekedar pencipta, melainkan mengandung arti
ketuhanan dinamis, yakni sebagai pencipta sekaligus pemelihara dan pengatur
kehidupan (M. Quraish Shihab, 2002: 403).
Dengan demikian, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pernyataan
bismi rabbika al-ladzi khalaq (atas nama Tuhan Yang Menciptakan)
merupakan misi transendensi kehidupan, yakni bahwa segala aktivitas
kehidupan harus diorientasikan semata-mata sebagai pengabdian kepada
Tuhan sejati. Inilah, misi pertama kenabian Muhammad, Saw. yang harus
menjadi nilai atau etos dalam segala aktivitas kerja, keluarga, masyarakat,
5
organisasi, bisnis (ekonomi), politik (penyelenggaraan kekuasaan),
pengelolaan pendidikan, penegakkan hukum, pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kesehatan dan lingkungan hidup serta
pengembangan seni-kebudayaan (M. Quraish Shihab, 2002: 403).
Misi kedua dari kenabian Muhammad Saw., yakni misi kemanusiaan
ditunjukkan dalam ayat ketiga surat al-Alaq yang berbunyi: khalaq al-insâna
min ‘alaq (Yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq). Kata ‘alaq—bentuk
jamak dari ‘alaqah—mengandung arti plural, yakni di antaranya berarti
segumpal darah yang beku (al-dam al-jâmid). ‘Alaq dalam pengertian
segumpal darah yang beku ini hampir dijumpai dalam seluruh kitab tafsir
klasik, termasuk Al-Quran. Berkaitan dengan misi kemanusiaan di atas, teks
ayat ketiga dari wahyu pertama ini, menjelaskan bahwa seluruh manusia
diciptakan dari asal yang sama, yakni ‘alaqah. Oleh karena itu, semua
manusia adalah sama dan setara (equality) dihadapan Tuhan, tidak ada yang
inferior atau superior. Gagasan kesetaraan ini, merupakan misi yang
membebaskan dari segala bentuk diskriminasi sosial. Dalam masyarakat Arab
ketika itu, terjadi diskriminasi antara kelas sosial kaya (the have) dan kelas
sosial miskin (the have not), budak dan Tuan, ‘azami dan non-‘azami, serta
diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan. Praktik diskriminatif
tersebut, melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial dan penindasan atau
exploitation of man by human beings. Dengan demikian, misi kemanusiaan
dari kenabian Muhammad Saw. dalam wahyu pertamanya itu adalah
pembebasan dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan sosial dalam
rangka menegakkan cita-cita sosial yang berkeadilan (M. Quraish Shihab,
2002: 403).
Sementara misi ketiga dari kenabian Muhammad Saw. berdasarkan
surat al-Alaq di atas adalah mewujudkan masyarakat yang berperadaban
(mission civilisatrice). Misi peradaban ini, ditunjukkan dalam teks al-ladzi
‘alama bi al-qalam ‘alama al-insâna mâ lam ya’lam (Yang mengajar
6
(manusia) melalui perantaraan qalam. Mengajar manusia apa yang tidak
diketahuinya). Jika qalam merupakan simbol ilmu pengetahuan (sains) dan
ilmu pengetahuan merupakan simbol peradaban, maka qalam adalah simbol
peradaban (M. Quraish Shihab, 2002: 403).
Tentunya, sebagaimana telah dikemukakan bahwa mengemban risalah
atau misi ketuhanan, kemanusiaan dan peradaban ini, diperlukan suatu
persiapan yang mumpuni. Dan persiapan yang mumpuni itu hanya dapat
dicapai melalui membaca. Dengan demikian, membaca (perintah iqra’) adalah
kunci pertama yang harus dilakukan oleh Nabi dan kaum muslimin dalam
mewujudkan serta mengaktualisasikan misi profetik ketuhanan, kemanusiaan
dan peradaban (M. Quraish Shihab, 2002: 403).
Pemikiran penting dalam surat al-‘Alaq ini adalah berkait dengan
perintah membaca atau menggali ilmu pengetahuan (iqra’) yang dihubungkan
dengan keimanan atau ketauhidan (bismi rabbik).Tidak ada satu pun konsep
yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban
Islam di segala aspeknya selain konsep ilmu. Maka dapat dikatakan bahwa
tauhid dan keilmuan merupakan semangat kembar yang dibawa Al-Quran
sejak semula. Semangat tauhid dan keilmuan itulah yang terkandung dalam
formulasi wahyu pertama iqra bismi rabbik (bacalah atas nama Tuhan-mu)
dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi ‘allama bi al-qalam (bacalah dan
Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan qalam) (M. Quraish Shihab, 2002: 403).
Formulasi iqra bismi rabbik dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi
‘allama bi al-qalam di atas, juga mengisyaratkan bahwa semangat keilmuan
atau semangat menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan
suatu ikhtiar suci yang berkait langsung dengan aspek religiusitas ketuhanan.
Karena itu, tujuan akhir dari pencarian dan pengembangan keilmuan dalam
Islam adalah pencerahan spiritualitas melalui sikap ketundukan dan
7
kepasrahan kepada Tuhan. Kesadaran ketuhanan (tauhid) dan tujuan
pencerahan spiritualitas inilah yang menjadi falsafah dasar pencarian dan
pengembangan keilmuan dalam Islam. Falsafah dasar keilmuan ini berpijak
pada keyakinan akan segala ketergantungan kepada rahman dan rahim-Nya.
Karenanya, segala cita, sikap, pikir dan prilaku keilmuan seharusnya menjadi
bagian dari pengabdian seorang hamba kepada Tuhan. Sehingga semangat
pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan serta pengalihan
atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni harus menjadi sarana yang tidak
bebas nilai dan harus diorientasikan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam,
seluruh bangsa dan umat manusiaan (M. Quraish Shihab, 2002: 403).
Dengan demikian, antara awal dengan tujuan akhir dalam pencarian dan
pengembangan ilmu pengetahuan terjadi kesejalanan. Yaitu, awalnya iqra
bismi rabbik serta iqra wa rabuk al-akram, al-ladzi ‘allama bi al-qalam
(pencarian, penemuan, pengembangan dan transfer ilmu atas nama Tuhan)
dan tujuan akhirnya wa ‘sjud wa ‘qtarib serta rahmatan li al-‘âlamîn
(pencerahan spiritualitas dan kesejahteraan seluruh alam). Oleh karena itu,
tidak seharusnya kegiatan pencarian, penelitian, penemuan teori dan
pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni
tersebut melahirkan keangkuhan intelektual (intellectual arogance) apalagi
menimbulkan kemungkaran, menjauh dari dzikir kepada Allah serta
pengrusakan alam dan lingkungan. (M. Quraish Shihab, 2002: 403).
Adapun tentang semangat Tauhid tampak pada ayat sebagai berikut:
م� ي�ت�ه� ذ�ر8 ور�ه�م� ظ�ه� م�ن� آد�م� ب�ن�ي م�ن� ب@ك� ر� ذ� خ�أ� �ذ� إ و�
د�ن�ا ه� ش� ب�ل�ى ال�وا ق� ب8ك�م� ب�ر� ت� �ل�س� أ م� ه� س� �ن�ف� أ ع�ل�ى د�ه�م� ه� ش�أ� و�
8
ل�ين� غ�اف� ذ�ا ه� ع�ن� ك�ن�ا �ن�ا إ ة� ي�ام� ال�ق� ي�و�م� ول�وا ت�ق� ن� أ�
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab:
Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungghnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
(Q.S. al-a‘raf (7):172).
Alasan semangat keilmuan (etos keilmuan) dijadikan sebagai semangat
kembar menurut Santoso, 1992 adalah sebagai berikut:
1. Tidak seorang pun dapat menangkap pesan-pesan wahyu kecuali orang-
orang yang memiliki ilmu dan menggunakan akalnya. (Q.S. Ali ‘Imran
(3):7)
2. Kekurangan ilmu yang benar dapat menggiring manusia untuk memaki
(baca:sombong kepada) Allah (Q.S. al-An’am(6):180), bahkan
menyembah selain Dia.(Q.S. al-Hajj(22):71).
3. Barang siapa yang mendapatkan hikmat (ilmu), sungguh ia telah diberi
kebajikan yang banyak (Q.S. al-Baqarah (2): 269)
4. Bahkan hanya orang-orang yang beriman dan berilmu yang akan
ditinggikan beberapa derajat.(Q.S. al-Mujadilah(58):11)
5. Dan hanya orang-orang yang berilmu yang benar-benar takut kepada
Allah dan (karenanya tetap) melangkah di jalan kebajikan.(Q.S. Fathir
(35): 28)
9
6. Tak heran bila di antara doa-doanya, Nabi Muhammad s.a.w. memohon
ditambah dan dikembangkan ilmunya. (Q.S. Thaha (20): 114)
C. Pengertian Kode Etik Keilmuan
Kode etik berasal dari dua kata. Kode artinya tanda yang desetujui
dengan maksud tertentu. Sedangkan Etik itu berasal dari bahasa yunani yaitu
“ethos” yang memiliki arti watak, adab, cara hidup. Sadirman A.M,.
mengatakan bahwa etika itu sebagai tata susila atau hal-hal yang berhubungan
dengan ketatasusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kode etik
pada dasarnya tidak lain dari sejumlah nilai dan norma yang mengatur dan
mengarahkan tentang bagaimana seseorang mengekspresikan diri dengan
mempertegas kedudukan dan peranannya sekaligus untuk melindungi
profesinya. Sedangkan dalam pendidikan islam Kode Etik merupakan
Pedoman tingkah laku yang harus di ikuti dan ditaati oleh anggota- anggota
suatu tertentu.
D. Pokok Bahasan Kode Etik Keilmuan
Sebuah tawaran tentang kode etik islami untuk pengembangan ilmu telah
direkomendasikan dalam sebuah seminar internasional tentang Pengetahuan
dan Nilai di Stockholm, Swedia,1981. Tawaran kode etik yang dimaksud
masih bersifat umum, terdiri dari sepuluh nilai yaitu (Sardar,1988:7-8):
1. Tauhid (keesaan atau kasatuan)
2. Khilafah (perwakilan)
3. Ibadah
4. ‘ilm
5. Halal
10
6. Haram
7. ‘adl (keadilan)
8. Zhulm (penindasan)
9. Istishlah (kepentingan umum)
10. Dhiya (pemborosan atau kesia-siaan)
Dari kesepuluh nilai itu, nilai yang paling mendasar adalah tauhid yang
biasanya bermakna keesaan Tuhan: Allah itu Esa, tidak mempunyai partner
dan tidak ada satu pun yang patut disembah kecuali Dia. Makana yang sangat
teologis ini meluas ke semua ciptaan-Nya menjadi kesatuan manusia (antara
jasmani dan rohaninya, antara fikr dan dzikrnya), kesatuan manusia dan alam,
keatuan pengetahuan dan nilai, kesatuan sunnatullah (antara yang diwahyukan
dan yang tidak diwahyukan) semua kesatuan ini diperlukan bagi
pengembangan ilmu (Sardar.1998:7;Santoso.1992:18-19)
Dari Tauhid lahir nilai khilafah. Alllah memberikan mandate kepada
manusia untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi, sehingga manusia tidak
bebas sebebas-bebasnya tetapi bertanggung jawab kepada Allah, termasuk
dalam kegiatan pengembangan dan penerapan ilmu. Khilafah
mengimplisitkan bahwa manusia tidak mempunyai hak yang eksklusif
terhadap sesuatu dan bahwa ia harus bertanggung jwab untuk memelihara dan
melindungi integritas tempat dimana ia hidup dan menjalani kehidupannya.
Karena itu, praktik pengembangan dan penrapan ilmu yang mengekploitasi
dan mendominasi alam tidaklah memperoleh tempat dalam kerangka berfikir
di atas (Sardar, 1988:7). Khilafah mengimplisitkan juga pemenuhan tanggung
jawab terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia dan makhluk lainnya yang
disesuaikan dengan kehendak Allah. Pelaksanaan yang tepat terhadap
tanggung jawab yang luhur ini sesungguhnya merupakan hakikat sebenarnya
dari ibadah (Santoso, 1992:19).
Ibadah yang berarti kontemplasi terhadap keesaan Allah yang memang
banyak manifestasinya. Salah satu bentuk manifestasinya yang bermakna
11
sempit adalah ritus dalam bentuknya yang khusus, tetapi dalam maknanya
yang luas manifestasi ibadah adalah suatu kehidupan yangs ecara terus
menerus mengabdi dan patuh kepada Allah, mencakup semua kegiatan
spiritual, sosial, ekonomi, politik, budaya yang tujuan luhurnya mencari ridha
Allah. Salah satu manifestasi dari ibadah yang merupakan prasyarat bagi
pelaksanaannya yang efektif adalah ‘ilm (Santoso,1992:19).
Dilihat dari sumbernya ‘ilm dapat dipilah antara yang bersumber dari
wahyu (qauli) dan yang bersumber dari non wahyu (kauni). Pencarian ‘ilm
kategori pertama merupakan fardh al-‘ain (kewajiban setiap individu) karena
ia penting bagi individu agar bertahan hidup, tidak saja di dunia ini tetapi juga
di kehidupan nanti. Sementara pencarian ‘ilm kategori kedua merupakan fardh
al-kifayah (kewajiban kelompok, tidak setiap individu) karena ia penting bagi
kelangsungan keseluruhan masyarakat (al-Attas,1979:41-42). Pencarian ‘ilm
baik kategori pertama maupun kedua, sekali lagi adalah ibadah. Karena itu,
ditolak pernyataan “ilmu itu untuk kepentingan ilmu” dan “ilmu itu alat untuk
mencapai tujuan”. Mengingat ilmu dikembangkan bukan untuk kepentingan
ilmu, tetapi untuk pengabdian kepada Allah, ternyata tidak semua ilmu
memenuhi maksud tersebut. Ini berimplikasi kepada kategorisasi halal dan
haram (Santoso,1992:19; cf. Sardar,1988:7).
Halal mencakup semua ilmu dan kegiatan yang bermanfaat bagi individu,
masyarakat dan lingkungan. Ilmu yang halal akan mempromosikan ‘adl
(keadilan sosial) dan istishlah (kepentinagn umum) (Sardar,1988:8). Di dalm
semua bidang ‘adl dan istishlah dengan dimensinya yang luas memastikan
bahwa ‘ilm itu dikembangkan untuk mewujudkan persamaan universal,
kebebasan individual, martabat sosial, dan nilai-nilai lain yang meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan peradaban muslim (Santoso, 1992:29).
Adapun haram mencakup semua ilmu dan kegiatan yang merusak manusia
dan lungkungannya, bai secara fisik, intelektual, maupun spiritual.
Sehubungan denagn itu, penelitian yang mempromosikan alienasi,
dehuamanisasi, pengangguran, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang,
12
dan perusakan lingkungan ditolak. Kegiatan seperti itu bersifat zhulm
(penindasan) dan dinilai sebagai dhiya’ (kesia-siaan) (Sardar, 1988:8).
Pertama, etika atau kode etik dalam konteks “kebebasan akademik”,
mencakup kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan/profesi.
Bahwa setiap anggota sivitas akademika dan/atau tenaga ahli dari luar
perguruan tinggi yang bersangkutan memiliki kebebasan untuk
menyampaikan pikiran dan pendapat atau melaksanakan kegiatan yang terkait
dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
bertanggungjawab dan mandiri, dalam bentuk seminar, ceramah, simposium,
diskusi panel, dan ujian dalam rangka pelaksanaan pendidikan akademik
dan/atau profesional. Akan tetapi kebebasan akademik itu harus tetap
disesuaikan dan dan dilandasi oleh norma dan kaidah keilmuan/profesi (PP.
no. 60, pasal 17-18). Kedua, etika atau kode etik dalam konteks “pelaksanaan
tugas dan tanggungjawab keilmuan/profesi”. Berdasarkan etika ini, seorang
dosen adalah tenaga pendidik atau kependidikan pada perguruan tinggi yang
berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat dengan tugas utama
mengajar (PP. no. 60/1999, psl. 5; 101:2), melakukan penelitian, membuat
karya ilmiah, dan pengabdian pada masyarakat (SK. Menkowasbangpan, no.
38/1999). Dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab
keilmuan/profesinya, secara etis harus tunduk dan patuh terhadap norma-
norma dan kaidah-kaidah keilmuan/profesi (PP. no. 60, pasal 2:2b; pasal
101:2; SK. Menkowasbangpan No.38/1999), dan terhadap batas-batas
spesialisasi atau konsentrasi bidang disiplin keilmuan/profesinya (Shils,
1993). Seorang guru juga adalah tenaga pendidik yang diberi tugas,
wewenang, dan tanggungjawab untuk melaksanakan pendidikan (mengajar,
membimbing) di jenjang pendidikan dasar dan menengah, juga aktivitas
pengembangan profesi dan pengabdian pada masyarakat (UU no. 20/2003; SE
Bersama Mendikbud & Ka. BAKN, 1999). Ketiga, etika atau kode etik dalam
konteks “penggunaan, pengambilan, dan pengumuman dan/atau perbanyakan”
13
sebagian atau keseluruhan dari karya-karya cipta keilmuan/profesi.
Berdasarkan etika ini, setiap bentuk penggunaan, pengambilan, dan
pengumuman dan/atau perbanyakan sebagian atau keseluruhan dari karya-
karya cipta keilmuan/profesi secara etis wajib atau harus menyebutkan
sumbernya secara legkap, baik untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan,
dan/atau ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan (UU no. 19/2002; pasal 15). Karya-karya cipta keilmuan/profesi
tersebut meliputi: buku, karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya
tulis lain, ceramah, kuliah, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan, terjemahan 9 tafsir, saduran, bunga
rampai, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan (pasal 12: 1); ciptaan-
ciptaan yang tidak atau belum diterbitkan, terlebih lagi ciptaan-ciptaan yang
sudah merupakan suatu kesatuan yang nyata, yang memungkinkan
perbanyakan atas hasil karya itu (ayat 2), termasuk berita-berita elektronik dan
tertulis yang terdapat di media-media massa (pasal 14). Keempat, etika atau
kode etik dalam konteks “penerjemahan (dan perbanyakannya)” karya-karya
keilmuan/profesi oleh orang atau pihak lain. Berdasarkan etika ini, setiap
bentuk aktivitas penerjemahan dan perbanyakan terhadap ciptaan-ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan oleh orang atau pihak lain wajib atau harus
terlebih dahulu meminta ijin penerjemahan dan perbanyakannya kepada
penciptanya. Kecuali penerjemahan dan perbanyakan tersebut dilakukan oleh
pencipta sendiri. Akan tetapi, dalam hal bahwa karya tersebut dipandang
sangat dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta
kegiatan penelitian dan pengembangan, Menteri dapat mewajibkan pemegang
hak cipta untuk melaksanakan sendiri, memberi izin atau menunjuk pihak lain
untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan, atas dasar
pertimbangan Dewan Hak Cipta (pasal 16:1). Sungguhpun demikian,
pewajiban oleh pemerintah/menteri tersebut, hanya boleh dilakukan setelah
lewat jangka waktu 3 tahunsejak ciptaan-ciptaan itu diterbitkan, dan belum
14
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (UU no. 19/2002; pasal
16:2-4). Pewajiban penerjemahan dan perbanyakan oleh pemerintah tersebut
berbeda untuk setiap bidang keilmuan/profesi. Untuk bidang matematika dan
ilmu pengetahuan alam, boleh dilakukan setelah 3 tahun sejak diterbitkan;
untuk bidang ilmupengetahuan sosial setelah 5 tahun sejak diterbitkan; dan
untuk bidang seni dan sastra setelah 7 tahun sejak diterbitkan (pasal 16:3a-c)
dengan catatan bahwa karya-karya cipta keilmuan/profesi di ketiga bidang itu
belum pernah diterjemahkan dan diperbanyak (pasal 16:4). Kelima, etika atau
kode etik dalam konteks “tempat penerjemahan, perbanyakan,dan
pemakaiannya”. Berdasarkan etika ini, setiap bentuk atau aktivitas
penerjemahan baik dilakukan sendiri oleh pencipta maupun oleh orang atau
pihak lain atas izin pencipta atau karena diwajibkan oleh pemerintah; juga
penggunaan atau pemakaian karya-karya hasil terjemahan dan
perbanyakannya tersebut, hanya berlaku di dalam wilayah Indonesia (UU no.
19/2002; pasal 16:1-4). Keenam, etika atau kode etik dalam konteks
penerimaan dan penggunaan “gelar akademik” (Sarjana, Magister, atau
Doktor); dan “sebutan profesional”. Gelar akademik adalah gelar yang
diberikan kepada lulusan perguruan (Kepmendiknas no. 178/U/2001, psl. 1:1),
dan yang dimaksud pendidikan akademik adalah pendidikan yang diarahkan
terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan(Kepmendiknas no. 178/U/2001,
psl. 1:4). Gelar akademik terdiri atas Sarjana, Magister dan Doktor (psl.6)
(Shils,E.1991).
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan di atsa maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Etos Keilmuan merupakan semangat kembar yang digunakan untuk
mengembangkan keilmuan.
2. Kode Etik Keilmuan merupakan pedoman tingkah laku yang harus diikuti
dan ditaati oleh anggota- anggota suatu tertentu dalam hal pengembangan
dunia keilmuan.
B. SARAN
Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka kelompok kami
menyarankan agar dalam hal mengembangkan dunia keilmuan para ilmuan
harus memiliki etos keilmuan yang tinggi agar ilmu yang didapat bermanfaat
dan diridhai Allah SAW, dan harus memperhatikan kode etik keilmuan agar
tidak tersesat di jalan saat mengembangkan dunia keilmuan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1979. Premilinary Thughts On The
Nature Of Knowledge And The Definition And Aims Of Education
dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas (ed.), Aims And Objectives
Of Islamic Education. Jeddah: hodder and Stoughton dan King
Abdul Aziz Uneversity.
M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah,Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati. vol. XV, hal. 403.
Q.S. al-‘Alaq (96) ayat 1-5
Q.S. al-An’am(6) ayat 180
Q.S. al-a‘raf (7) ayat 172
Q.S. al-Baqarah (2) ayat 31;37;269
Q.S. Fathir (35) ayat 28
Q.S. Ali ‘Imran (3) ayat 7
Q.S. al-Hajj(22) ayat 71
Q.S. al-Mujadilah(58) ayat 11
Q.S. Thaha (20) ayat 114
Sadirman A.M.1990. Interaksi dan Motivasi Belajar.Jakarta: Rajawali
Press.hal.149
Santoso, M.A. Fattah. 1992. Ilmu Pengetahuan Dalam Pandangan Islam
Dalam Akademika (jurnal Universitas Muhammadiyah Surakarta),
nomor 01, Tahun X, h.11-21.
17
Sardar, Ziauddin. 1988. Introduction: Islamic and Western Approaches to
Science dalam Ziauddin Sardar (ed.), The Touch Of Midas: Science,
Values And Environment In Islam And The West. Petaling Jaya
(Malaysia): Pelanduk Publication.
Shils, E. 1991. Etika Akademis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
18
Recommended