View
249
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 1
BAGIAN I
BERGELUT DENGAN
HANTU LINGKARAN
2 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 3
1 Misteri Lingkaran Mulai Menghantui
Menurut catatan sejarah, dari tahun 2600 SM (saat Piramida
Besar dibangun) hingga tahun 575 SM (puncak peradaban
Babilonia), orang Mesir Kuno dan Babilonia (Mesopotamia)
dikenal sebagai ahli ukur bumi (geo-meter).
Seperti halnya sekarang, tanah merupakan harta yang amat
berharga. Namun, pada zaman itu, pencatatan dan penanda-
an batas-batas tanah masih dilakukan dengan cara yang
sederhana, misalnya dengan meletakkan batu di tiap titik
sudutnya, atau membuat cerukan di sekililing tanahnya.
Celakanya, bila hujan besar turun berhari-hari, yang meng-
akibatkan terjadinya banjir, batas-batas tanah tadi hilang
terhapus, dan tidak ada bangunan yang dapat dipakai untuk
membantu mereka menentukan di mana tanah mereka
semula. Yang mereka ingat mungkin hanya bentuk kavling
tanah (misalnya persegi panjang) dan ukurannya. Karena
itulah, mereka memerlukan jasa para ahli ukur bumi atau
geometer.
Kira-kira itulah cikal-bakal lahirnya ilmu Geometri, yang me-
rupakan cabang Matematika tertua. Belakangan, Geometri
kian berkembang seiring dengan tumbuhnya ilmu lainnya,
antara lain Astronomi dan Fisika.
4 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Masalah geometri sederhana
yang ditangani sejak zaman
dulu adalah bagaimana meng-
hitung luas dan keliling suatu
bidang tanah, yang merupakan
suatu bangun datar seperti
persegi panjang atau jajar
genjang. Dengan menjadikan
persegi (bujur sangkar) ber-
ukuran 1 satuan luas tertentu
(misalnya 1 hasta × 1 hasta)
sebagai pembanding, orang
Mesir Kuno dan Babilonia da-
pat menghitung luas persegi panjang dengan mudah, yaitu
dengan mengalikan panjang dan lebar-nya. Sebagai contoh,
persegi panjang dengan panjang 3 hasta dan lebar 2 hasta
mempunyai luas 3 hasta × 2 hasta = 6 hasta2.
Dengan mencermati bentuknya, para geometer menemukan
pula rumus luas jajar genjang, yaitu alas × tinggi. Dari sini
mereka kemudian dapat menghitung luas segitiga dengan
rumus ½ × alas × tinggi.
Hasta merupakan satuan
panjang yang dipakai oleh
orang Mesir Kuno dan
Babilonia; Satu hasta
menyatakan panjang
tangan manusia dewasa
dari sikut ke ujung jari.
Satu hasta sekarang
dibakukan sama dengan
45,72 cm.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 5
Dengan diketahuinya cara menghitung luas segitiga, mereka
akhirnya dapat menghitung luas poligon atau segi banyak
sembarang. Jika sebuah bangun datar memiliki simetri lipat
atau simetri putar, maka penghitungan luas bangun datar
tersebut dapat lebih mudah.
Untuk segi banyak, tentunya tidak ada kesulitan bagi para
ahli ukur bumi dalam penghitungan keliling: mereka akan
menghitung panjang tiap sisi dan kemudian menjumlah-
kannya. Tentunya mereka juga mengetahui bahwa untuk
persegi panjang dan jajar genjang, misalnya, ada rumus
keliling yang dapat dipakai untuk menyederhanakan per-
hitungan. Karena sisi-sisi yang sejajar pada jajar genjang
sama panjangnya, maka keliling jajar genjang akan sama
dengan dua kali jumlah panjang dua sisi yang berdekatan.
Segi enam beraturan
memiliki 6 simetri lipat
dan putar. Luasnya
sama dengan jumlah
luas 6 segitiga kecil
yang membentuk segi
enam tersebut.
6 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Sampai di situ, pengetahuan geometri bidang orang Mesir
Kuno dan Babilonia dapat dikatakan cukup kokoh. Namun,
ketika berurusan dengan bangun lingkaran (di sini kita tidak
membedakan lingkaran dengan cakram lingkaran, kecuali
bila diperlukan), mereka kebingungan bagaimana meng-
hitung luasnya. Walau keliling lingkaran masih dapat diukur
dengan bantuan tali atau semacamnya, mereka tidak mem-
punyai rumus (yang benar) yang dapat mereka pakai setiap
kali mereka berurusan dengan lingkaran.
Dalam Kitab Raja-Raja, Perjanjian Lama, yang berisi rekam-
an peradaban bangsa Semit dan Israel pada milenium kedua
dan pertama SM (Sebelum Masehi), terdapat sebuah ayat
yang bercerita tentang sebuah bangunan berbentuk ling-
karan, yang lebarnya dari tepi ke tepi sama dengan 10 hasta
dan kelilingnya dinyatakan kira-kira sama dengan 30 hasta.
Keliling persegi panjang
sama dengan 2(P + L),
dengan P menyatakan
panjang dan L lebar
persegi panjang tersebut.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 7
Di sini, lingkaran dihampiri dengan segi enam beraturan.
Suatu hampiran yang masuk akal, tetapi sangat kasar.
Dapat dibayangkan betapa gemasnya orang zaman dulu
dengan bangun datar berbentuk lingkaran. Bahkan bangsa
Mesir Kuno dan Babilonia yang cukup maju pada zaman itu
tidak bisa menghitung luas dan keliling lingkaran dengan
persis, sekalipun mereka bisa membangun piramida atau
zigurat (yang juga berbentuk seperti piramida), serta
menghitung volume frustum (piramida terpancung). Misteri
lingkaran mulai menghantui mereka sejak saat itu.
Satu hal yang mungkin mereka ketahui pada zaman itu ada-
lah bahwa luas dan keliling lingkaran bergantung pada jari-
jari atau diameter lingkaran tersebut. Semakin besar dia-
meter, tentu akan semakin besar pula luas dan keliling ling-
karan tersebut. Untuk segi banyak, mereka tahu bahwa bila
sisi-sisinya diperbesar k kali, maka luasnya akan membesar
k2 kali sementara kelilingnya membesar k kali. Berdasarkan
sifat segi banyak ini, mereka tahu bahwa luas lingkaran
mestilah sama dengan sesuatu kali jari-jari kuadrat.
Pada gulungan papirus matematika yang ditemukan di
Luxor, Mesir, oleh Alexander Henry Rhind pada tahun 1858,
8 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
tercantum rumus luas lingkaran L = (4/3)4R2, dengan R
menyatakan jari-jari lingkaran. Papirus matematika tersebut
diperkirakan dibuat pada tahun 1650 SM. Jadi, rumus luas
lingkaran tersebut telah dipakai di Mesir Kuno setidaknya
pada pertengahan milenium kedua SM.
Sekarang kita akan mengatakan bahwa rumus luas lingkaran
tersebut salah. Namun, sebagai suatu hampiran, rumus ini
tidak terlalu jelek. Bila pada zaman ini kita menggunakan
lambang π yang menyatakan rasio keliling dan diameter
lingkaran, maka rumus luas lingkaran di atas sama saja
dengan menganggap nilai π kira-kira sama dengan bilangan
desimal 3,16. Jadi, bila sebelumnya orang Semit menaksir
nilai π ≈ 3, suatu hampiran atau taksiran yang sangat kasar,
maka orang Mesir Kuno mempunyai taksiran yang lebih
baik, yaitu π ≈ 3,16.
Seperti halnya orang Mesir
Kuno, orang Sumeria dan Ba-
bilonia juga mempunyai tak-
siran untuk π. Melalui temuan
arkeologi berupa sebuah ta-
blet terbuat dari tanah liat,
yang ditemukan di Susa, Iran,
pada tahun 1936, diketahui
bahwa orang Babilonia pada
milenium kedua SM menggu-
nakan bilangan pecahan 25/8,
yang setara dengan 3,125, se-
bagai taksiran untuk π.
Bangsa Sumeria tinggal di
Mesopotamia (sekarang
Irak) bagian selatan.
Sekitar tahun 2000 SM,
peradaban mereka diserap
oleh bangsa Babilonia.
Kebudayaan Babilonia
mencapai puncaknya
sekitar tahun 575 SM, di
bawah kepemimpinan Raja
Nebukadnezzar.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 9
Kelak, orang Yunani Kuno mempelajari bangun lingkaran
dengan lebih cermat. Tidak hanya itu, sejumlah orang
Yunani Kuno bahkan mengembangkan teori-teori dasar
geometri yang menjadi landasan ilmu Geometri yang di-
pelajari oleh para siswa di seluruh dunia dalam sekian abad
terakhir.∎
Kosakata Matematika dan Keilmuan
alas panjang
Astronomi persegi
bilangan desimal persegi panjang
bilangan pecahan Piramida
bujur sangkar piramida terpancung
cakram lingkaran poligon
diameter rasio
Fisika rumus
frustum satuan
geometer segi banyak
Geometri segi enam (beraturan)
hampiran segitiga
hasta sejajar
jajar genjang simetri lipat
jari-jari simetri putar
keliling sisi
kuadrat taksiran
lebar tinggi
lingkaran ukur bumi
luas volume
Matematika zigurat
10 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Nama Orang, Nama Tempat, dan Lain-Lain
Alexander Henry Rhind papirus
Babilonia Perjanjian Lama
Irak Piramida Besar
Iran Raja Nebukadnezzar
Israel Semit
Kitab Raja-Raja Sumeria
Luxor Susa
Mesir tablet
Mesir Kuno Yunani Kuno
Mesopotamia
Daftar Pustaka
A.D. Aczel, Fermat’s Last Theorem, Four Walls Eight
Windows, New York, 1996
W.S. Anglin, Mathematics: A Concise History and Philosophy,
Springer-Verlag, New York, 1994
B. Grun, The Timetables of History, Simon & Schuster/
Touchstone, New York, 1991
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 11
2 Pythagoras Membuka Jalan
Siapa yang tidak pernah mendengar nama Pythagoras? Di
sekolah dasar, nama Pythagoras biasanya disebut dalam
pelajaran matematika di tahun kelima atau keenam, ketika
guru membahas segitiga siku-siku. Anda mungkin masih
ingat, bila kita mempunyai segitiga siku-siku dengan alas a,
tinggi b, dan sisi miring c, maka ada Dalil Pythagoras yang
berbunyi: a2 + b2 = c2. Dengan dalil ini, kita dapat meng-
hitung panjang suatu sisi pada segitiga siku-siku bila di-
ketahui panjang dua sisi lainnya.
Pythagoras adalah matematikawan Yunani Kuno yang hidup
pada periode 570–500 SM. Ia dilahirkan di Samos, sebuah
12 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
pulau kecil dekat Turki. Di-
besarkan di era kejayaan Babi-
lonia, Pythagoras belajar dari
orang Babilonia tentang tripel
bilangan bulat a, b, dan c yang
memenuhi persamaan a2 + b2
= c2, yang kemudian disebut
sebagai Tripel Pythagoras.
Contoh Tripel Pythagoras ada-
lah 3, 4, dan 5. Contoh lainnya adalah 5, 12, dan 13.
Barangkali perlu dicatat bahwa istri Pythagoras, yang ber-
nama Theano, adalah juga seorang matematikawan. Kalau
anda bertanya siapa matematikawan wanita pertama, maka
jawabannya adalah Theano. Namun, jangan salah, Pytha-
goras sendiri bukanlah matematikawan pertama. Sebelum-
nya, ada Thales (~600 SM) yang mengembangkan Matema-
tika Deduktif, menekuni Astronomi, dan membuat kalendar.
Salah satu dalil Thales menyatakan bahwa sudut keliling
lingkaran yang menghadap diameter selalu merupakan
sudut siku-siku.
Melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Thales, Pythagoras
bersama para murid dan penerusnya mengembangkan lebih
lanjut pengetahuan matematika Babilonia menjadi ilmu
pengetahuan, dengan sejumlah teori, dalil-dalil, dan sis-
tematika pembuktian-nya. Selain terkenal karena dalilnya
mengenai segitiga siku-siku, Pythagoras dan para penerus-
nya juga mempelajari banyak hal, antara lain: hubungan
antara nilai rata-rata aritmetik, nilai rata-rata geometrik,
Tripel Pythagoras
sesungguhnya telah
diketahui jauh sebelumnya
oleh orang Babilonia. Fakta
ini terungkap dalam tablet
tanah liat Plimpton 322.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 13
dan nilai rata-rata harmonik, sifat-sifat bilangan sempurna,
polihedron beraturan, dan bilangan irasional seperti √2.
Polihedron beraturan memang menarik. Polihedron adalah
bangun ruang yang permukaannya terdiri dari sejumlah segi
banyak. Sebagai contoh, balok merupakan polihedron de-
ngan setiap muka pada permukaan-nya berbentuk persegi
panjang. Namun, kerucut, silinder (tabung lingkaran), dan
bola bukan polihedron, karena permukaannya tidak terdiri
dari segi banyak. Polihedron beraturan adalah polihedron
yang semua mukanya merupakan segi banyak beraturan
yang kongruen (sama dan sebangun), dan terkait dengan itu
semua sudut polihedral-nya juga sama besar. Sebagai
contoh, kubus merupakan polihedron beraturan: semua
mukanya berbentuk persegi dan semua sudut polihedral-
nya sama dengan 90o.
Di antara semua polihedron, ternyata hanya ada lima poli-
hedron beraturan, yaitu: tetrahedron, heksahedron (kubus),
oktahedron, ikosahedron, dan dodekahedron beraturan.
Pada awalnya, Pythagoras telah mengetahui empat jenis
polihedron pertama. Belakangan, salah seorang penerusnya
yang bernama Hippasus (470 SM) menemukan dodeka-
hedron beraturan.
14 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Para murid lainnya marah karena Hippasus tidak ‘mendaf-
tarkan’ penemuan tersebut atas nama Pythagoras. Pasalnya,
setiap murid dan penerus Pythagoras telah bersumpah un-
tuk menaati semua peraturan yang ditetapkan Pythagoras,
termasuk mencatatkan setiap penemuan atas nama Pytha-
goras. Karena pelanggaran yang dilakukannya, Hippasus pun
diusir dari padepokan Pythagoras.
Kisah seputar ‘kenakalan’ Hipassus tidak hanya terkait
dengan penemuannya mengenai dodekahedron, tetapi juga
dengan bocornya penemuan bahwa √2 merupakan bilangan
irasional. Penemuan tersebut semula dirahasiakan, karena
Pythagoras telah berfalsafah bahwa “Semua adalah Bilang-
an”. Yang dimaksud dengan
‘bilangan’ oleh Pythagoras
tentu saja adalah bilangan
rasional atau pecahan, yaitu
bilangan yang dapat dinyata-
kan sebagai rasio dua bilangan
bulat P dan Q, dengan Q ≠ 0.
Pada saat itu, konsep bilangan
irasional belum dikenal.
Namun, dalam perjalanannya,
para murid Pythagoras ter-
nyata menemukan sesuatu
yang menyalahi falsafah Sang
Guru. Persisnya, jika R adalah
bilangan positif yang menyata-
kan sisi miring segitiga siku-
Andaikan ada bilangan
rasional R = P/Q, dengan P
dan Q tidak mempunyai
faktor sekutu selain 1, yang
memenuhi R2 = 2.
Maka P2 = 2Q2, sehingga P2
genap dan karenanya P
juga genap. Tulis P = 2n.
Maka 4n2 = 2Q2, sehingga
Q2 = 2n2 genap dan
akibatnya Q juga genap. Ini
bertentangan dengan
asumsi awal bahwa P dan
Q tidak mempunyai faktor
sekutu selain 1.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 15
siku dengan alas dan tinggi sama dengan 1, maka menurut
Dalil Pythagoras bilangan R haruslah memenuhi persamaan
R2 = 12 + 12 = 2. (Dalam notasi sekarang, bilangan positif R
tersebut dituliskan sebagai √2.) Setelah diselidiki, ternyata
tidak ada bilangan rasional R yang merupakan akar per-
samaan kuadrat R2 = 2. Untuk tidak membuat Sang Guru
kehilangan muka, para muridnya sepakat untuk merahasia-
kan penemuan itu. Namun, belakangan Hippasus membocor-
kannya. Para murid setia Pythagoras pun berang dan konon
Hippasus pun harus dihukum mati karena telah membocor-
kan rahasia tersebut.
Penasaran dengan bilangan √2, seorang penerus Pythagoras
yang bernama Archytas (428–347 SM) mengembangkan
suatu metode untuk menaksir nilai √m sembarang secara
iteratif. Metode ini memuat rangkaian langkah yang ke-
mudian dikenal sebagai Algoritma Euclid. (Siapa itu Euclid
akan dikupas pada Bab 4.) Persisnya, misalkan X1 adalah
suatu bilangan real (yakni, X1 bisa merupakan bilangan
rasional maupun irasional). Bentuk barisan bilangan X2, X3,
X4, … sebagai berikut:
X2 = 1/(X1 – [X1]),
X3 = 1/(X2 – [X2]), …
dan seterusnya, dengan [x] menyatakan bilangan bulat
terbesar yang lebih kecil daripada atau sama dengan x.
Kemudian, bentuk pula barisan bilangan P1, P2, P3, … dan Q1,
Q2, Q3, …, dengan
16 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
P1 = [X1],
P2 = [X2]·P1 + 1,
P3 = [X3]·P2 + P1, …
dan seterusnya, dan
Q1 = 1,
Q2 = [X2],
Q3 = [X3]·Q2 + Q1, …
dan seterusnya.
Jika X1 bilangan rasional, katakanlah X1 = P/Q, maka untuk
suatu bilangan asli n nilai Xn akan sama dengan suatu bilang-
an bulat, sehingga Xn – [Xn] = 0. Dalam hal ini, barisan akan
terhenti pada langkah ke-n, dan Pn/Qn merupakan bentuk
pecahan sederhana dari P/Q. Sebagai contoh, jika X1 = 10/6,
maka [X1] = 1, sehingga X2 = 1/(10/6 – 1) = 6/4 dan [X2] =
1. Selanjutnya, X3 = 1/(6/4 – 1) = 2 dan [X3] = 2. Jadi baris-
an terhenti pada langkah ke-3. Sekarang kita hitung
P1 = [X1] = 1,
P2 = [X2]·P1 + 1 = 1·1 + 1 = 2,
P3 = [X3]·P2 + P1 = 2·2 + 1 = 5,
dan
Q1 = 1,
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 17
Q2 = [X2] = 1,
Q3 = [X3]·Q2 + Q1 = 2·1 + 1 = 3.
Dalam hal ini kita peroleh P3/Q3 = 5/3, yang merupakan
bentuk pecahan sederhana dari pecahan semula, yaitu 10/6.
Jika X1 bilangan irasional, maka proses iterasi akan berlanjut
terus. Bila kita hentikan iterasi pada langkah ke-n, maka
Pn/Qn merupakan suatu taksiran atau hampiran untuk X1.
Sebagai contoh, misal X1 = √3. Maka, [X1] = 1 dan dapat
dihitung (dengan sabar) bahwa
X2i = (1 + √3)/2 dan X2i+1 = 1 +√3,
untuk i = 1, 2, 3, … , sehingga
[X2i] = 1 dan [X2i+1] = 2,
untuk i = 1, 2, 3, … . Selanjutnya, kita dapat menghitung P1,
P2, … , Pn, dan Q1, Q2, … , Qn, untuk mendapatkan nilai
hampiran Pn/Qn untuk √3.
Pythagoras dan para muridnya telah membuka jalan yang
memungkinkan generasi berikutnya menguak misteri
lingkaran, sedikit demi sedikit. Dengan Algoritma Euclid,
Archimedes (tokoh yang akan kita soroti nanti) melakukan
perhitungan hingga iterasi ke-9 dan memperoleh nilai ham-
piran √3 ≈ 265/153. Ia kemudian memakai nilai hampiran
ini untuk menaksir nilai π ≈ 22/7, sebagaimana akan kita
kupas pada Bab 5.∎
18 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Kosakata Matematika dan Keilmuan
akar Matematika Deduktif alas muka Algoritma Euclid nilai rata-rata aritmetik Archimedes nilai rata-rata geometrik balok nilai rata-rata harmonik barisan bilangan oktahedron bilangan asli pecahan bilangan bulat pecahan sederhana bilangan irasional pembuktian bilangan positif permukaan bilangan rasional persamaan bilangan real persamaan kuadrat bilangan sempurna polihedron bola polihedron beraturan Dalil Pythagoras sebangun dodekahedron segi banyak beraturan faktor sekutu segitiga siku-siku genap silinder heksahedron sisi miring ikosahedron sudut keliling (lingkaran) ilmu pengetahuan sudut polihedral iterasi sudut siku-siku iteratif tabung lingkaran kalendar tetrahedron kerucut tinggi kongruen Tripel Pythagoras kubus
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 19
Nama Orang, Nama Tempat, dan Lain-Lain
Archytas Samos
Euclid Thales
Hippasus Theano
Plimpton 322 Turki
Pythagoras Yunani Kuno
Daftar Pustaka
A.D. Aczel, Fermat’s Last Theorem, Four Walls Eight
Windows, New York, 1996
W.S. Anglin, Mathematics: A Concise History and Philosophy,
Springer-Verlag, New York, 1994
J. Gullberg, Mathematics: From the Birth of Numbers, W. W.
Norton & Company, New York, 1997
20 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 21
3 Antiphon dan Eudoxus Turun Tangan
Antiphon dan Eudoxus memang tidak setenar Pythagoras.
Bahkan nama mereka mungkin tidak pernah disebut-sebut
di buku pelajaran matematika sekolah. Padahal, Antiphon
(425 SM) merintis suatu pemahaman yang cermat tentang
lingkaran melalui segi banyak, dengan menerapkan apa yang
dikenal sekarang sebagai Prinsip Induksi Matematika. Se-
mentara itu, kontribusi Eudoxus (405–355 SM) pada penge-
tahuan tentang lingkaran, melanjutkan apa yang telah di-
rintis oleh Antiphon, amat signifikan. Bahkan, metode yang
ia gunakan merupakan cikal-bakal Teori Integral, yang me-
rupakan salah satu teori penting dalam matematika modern.
Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1, orang Semit tahu
bahwa lingkaran dapat dihampiri ‘dari dalam’ oleh segi
enam beraturan (lihat gambar lingkaran dan segi enam pada
Bab 1). Antiphon melangkah lebih jauh, yakni menghampiri
lingkaran dengan segi 2n beraturan, dari dalam lingkaran
tersebut. Ia mengamati bahwa luas persegi ‘di dalam
lingkaran’ melampaui ½ kali luas lingkaran tersebut. Lebih
lanjut, ia bisa menghitung bahwa luas segi delapan ber-
aturan di dalam lingkaran lebih besar daripada ¾ kali luas
lingkaran tersebut. Dengan Prinsip Induksi Matematika,
akhirnya ia bisa membuktikan bahwa luas segi 2n beraturan
22 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
di dalam lingkaran melampaui 1 – 21-n kali luas lingkaran
tersebut, untuk setiap n = 2, 3, 4, … .
Penjelasannya kira-kira sebagai berikut. Misalkan R me-
nyatakan jari-jari lingkaran. Dengan menggunakan per-
bandingan trigonometri yang kita kenal sekarang, khusus-
nya cos t yang menyatakan perbandingan alas dan sisi
miring segitiga siku-siku yang membentuk sudut sebesar t,
panjang sisi persegi di dalam lingkaran dapat dihitung se-
bagai 2R·cos 45o. Jadi, ‘jari-jari’ atau jarak dari titik pusat ke
sisi persegi tersebut sama dengan R·cos 45o (lihat gambar).
Selanjutnya, ‘jari-jari’ segi delapan beraturan di dalam
lingkaran tersebut sama dengan R·cos 22,5o. Bila kita bagi
dua terus sudutnya hingga langkah ke-(n – 1), n = 2, 3, 4, … ,
maka kita peroleh ‘jari-jari’ segi 2n beraturan di dalam
lingkaran sama dengan R·cos (45o/2n-2).
Bila persegi di dalam lingkaran diperbesar 1/(cos 45o) atau
√2 kali, maka kita peroleh persegi dengan ‘jari-jari’ R yang
memuat lingkaran (lihat gambar). Jadi luas lingkaran lebih
kecil daripada luas persegi berjari-jari R, yang sama dengan
(√2)2 atau 2 kali luas persegi di dalam lingkaran tersebut.
cos <AOB = |OB| : |OA|
|OA| = R
<AOB = 45o
Jadi, |OB| = R·cos 45o
A
B O
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 23
Akibatnya, luas persegi di dalam lingkaran lebih besar dari-
pada ½ kali luas lingkaran tersebut.
Dengan cara yang sama, bila segi delapan beraturan di
dalam lingkaran diperbesar 1/(cos 22,5o) kali, maka kita
peroleh segi delapan beraturan dengan ‘jari-jari’ R yang
memuat lingkaran. Jadi luas lingkaran lebih kecil daripada
luas segi delapan beraturan berjari-jari R, yang luasnya sama
dengan 1/(cos2 22,5o) kali luas segi delapan beraturan di
dalam lingkaran tersebut. Akibatnya, luas segi delapan ber-
aturan di dalam lingkaran lebih besar daripada cos2 22,5o
kali luas lingkaran tersebut. Mengingat cos2 22,5o > ¾, luas
segi delapan beraturan di dalam lingkaran mestilah lebih
besar daripada ¾ kali luas lingkaran tersebut.
Selanjutnya, jika pada langkah ke-(n – 1) kita telah me-
ngetahui bahwa cos2 t ≥ 1 – 21-n, maka pada langkah ke-n
kita akan memperoleh
cos2 ½t = ½·(1 + cos t)
> ½·(1 + cos2 t)
≥ ½·(1 + 1 – 21-n)
= 1 – 2-n.
Di sini kita telah menggunakan Rumus Sudut Rangkap, yaitu
cos 2t = 2·cos2 t – 1, dan fakta bahwa cos t > cos2 t untuk
t > 0 (tapi kecil). Dengan Prinsip Induksi Matematika, kita
dapat menyimpulkan bahwa untuk setiap n = 2, 3, 4, … luas
24 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
segi 2n beraturan di dalam
lingkaran akan lebih besar
daripada 1 – 21-n kali luas
lingkaran tersebut.
Orang Yunani Kuno sebelum
Antiphon telah mengetahui
bahwa luas segi 2n beraturan
di dalam lingkaran sebanding
dengan kuadrat dari diagonal
terpanjangnya, yang sama
dengan diameter lingkaran
tersebut. Bagi Antiphon, ling-
karan mirip dengan segi 2n
beraturan. Antiphon meng-
anggap lingkaran sebagai segi banyak beraturan yang
memiliki ‘tak terhingga sisi’ (suatu anggapan yang akan kita
tinjau ulang nanti). Dengan alasan yang agak kabur ini,
Antiphon kemudian menyimpulkan bahwa luas lingkaran
pun mestilah sebanding dengan kuadrat dari diameternya,
yakni
luas lingkaran berjari-jari R = k·(2R)2 = 4kR2.
Di sini k adalah suatu konstanta positif yang belum diketahui
nilainya oleh Antiphon.
Mungkin karena penasaran dan kurang puas dengan argu-
mentasi Antiphon yang agak kabur tadi, beberapa puluh
tahun kemudian Eudoxus, murid dan teman diskusi Plato,
turun tangan membuktikan ulang sifat bahwa luas lingkaran
Prinsip Induksi Matematika
sering digunakan dalam
pembuktian pernyataan
matematika P(n) yang
terkait dengan bilangan
asli n. Jika P(1) benar dan,
untuk setiap bilangan asli
m, kebenaran P(m)
mengakibatkan kebenaran
P(m+1), maka pernyataan
P(n) benar untuk setiap
bilangan asli n.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 25
sebanding dengan kuadrat dari diameternya, dengan
langkah-langkah yang lebih cermat. Dalam pembuktiannya,
selain menggunakan fakta mengenai segi 2n beraturan ‘di
dalam lingkaran’ yang telah dibuktikan oleh Antiphon,
Eudoxus juga menggunakan fakta bahwa luas segi 2n
beraturan ‘yang memuat lingkaran’ selalu lebih kecil dari-
pada (1 + 22-n) kali luas lingkaran tersebut. Jadi, selain
menggunakan hampiran dari dalam, Eudoxus juga meng-
gunakan hampiran dari luar. Lebih jauh, ia memanfaatkan
fakta bahwa galat atau kesalahan dalam penghampiran ini
dapat dibuat sekecil-kecilnya.
Buktinya adalah sebagai berikut. Misalkan k menyatakan
luas lingkaran c1 yang berdiameter 1. (Tentu saja k = π/4,
tetapi seperti halnya Antiphon ketika itu Eudoxus juga
belum mengetahui berapa nilai k tersebut). Kemudian,
misalkan L menyatakan luas lingkaran cD yang berdiameter
D. Akan dibuktikan bahwa L = kD2 secara tidak langsung
(yakni, menggunakan metode pembuktian dengan kontra-
diksi). Andaikan L > kD2. Tinjau segi 2n beraturan di dalam
lingkaran c1 dan segi 2n beraturan di dalam lingkaran cD,
dengan n yang sama. Kita pilih bilangan n cukup besar se-
hingga 21-n·L < L – kD2. Dalam hal ini, n memenuhi
(1 – 21-n)·L > kD2.
Karena itu, dengan menggunakan fakta yang telah dibukti-
kan oleh Antiphon, diperoleh bahwa
luas segi 2n beraturan di dalam lingkaran cD > kD2.
26 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Selanjutnya, Eudoxus tahu bahwa luas segi 2n beraturan di
dalam lingkaran cD sama dengan D2 kali luas segi 2n ber-
aturan di dalam lingkaran c1. Tetapi, luas segi 2n beraturan
di dalam lingkaran c1 pastilah lebih kecil daripada luas
lingkaran c1 yang berdiameter 1 itu, yaitu k. Akibatnya, kita
peroleh
kD2 > (luas segi 2n beraturan di dalam lingkaran c1 )·D2
= luas segi 2n beraturan di dalam lingkaran cD.
Ketaksamaan ini jelas bertentangan dengan ketaksamaan se-
belumnya. Jadi pengandaian bahwa L > kD2 mestilah salah.
Dengan cara yang serupa, tetapi dengan menggunakan fakta
bahwa untuk setiap n = 2, 3, 4, … luas segi 2n beraturan
‘yang memuat lingkaran’ lebih
kecil daripada (1 + 22-n) kali
luas lingkaran tersebut,
Eudoxus juga membuktikan
bahwa L < kD2 tidak mungkin
terjadi. Jadi, karena L > kD2
dan L < kD2 tidak mungkin,
maka --- berdasarkan apa
yang kita kenal sebagai
Hukum Trikotomi --- Eudoxus
sampai pada kesimpulan
bahwa L = kD2, yang berarti bahwa luas lingkaran se-
banding dengan kuadrat dari diameternya.
Hukum Trikotomi untuk
bilangan real berbunyi
sebagai berikut: Jika kita
mempunyai dua bilangan a
dan b, maka hanya satu di
antara tiga kemungkinan
berikut yang benar:
a < b, a = b, atau a > b.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 27
Sampai di sini, pengetahuan orang Yunani Kuno tentang
lingkaran cukup memuaskan. Namun, masih ada misteri
yang tersisa. Berapa nilai konstanta k yang menyatakan luas
lingkaran berdiameter 1 itu? Berbekal pengetahuan masa
kini, kita akan mengatakan bahwa nilai k tersebut sama
dengan π/4. Namun kemudian pertanyaannya adalah: bera-
pa nilai π tersebut?
Sesungguhnya, π hanya merupakan lambang, yang me-
nyatakan perbandingan keliling dan diameter lingkaran.
Baik Antiphon maupun Eudoxus telah mempelajari luas
lingkaran, tetapi belum menyentuh keliling lingkaran ---
padahal di sinilah kuncinya yang menentukan. Walau
demikian, Antiphon dan Eudoxus telah mewariskan dua
metode penting dalam memahami lingkaran, yaitu peng-
hampiran melalui segi banyak (beraturan) dan pengontrol-
an kesalahannya, serta keampuhan pembuktian dengan
kontradiksi yang melibatkan Hukum Trikotomi. Antiphon
dan Eudoxus juga secara implisit telah menerapkan konsep
ketakterhinggaan (infinitesimal), sesuatu yang ditolak oleh
Zeno (450 SM) dan Aristoteles (384–322 SM).
Kelak, muncul seorang matematikawan yang juga merang-
kap sebagai fisikawan dan insinyur tersohor dari Yunani
Kuno, bernama Archimedes, yang akan mengembangkan
lebih lanjut penemuan Antiphon dan Eudoxus tentang
lingkaran. Sebelum sampai ke sana, kita akan tengok dahulu
seorang matematikawan lainnya dari Yunani Kuno, yang
bernama Euclid.∎
28 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Kosakata Matematika dan Keilmuan
cos t pembuktian tidak langsung diagonal perbandingan trigonometri galat pernyataan matematika Hukum Trikotomi Prinsip Induksi Matematika infinitesimal Rumus Sudut Rangkap kesalahan segi delapan ketakterhinggaan tak terhingga konstanta Teori Integral kontradiksi titik pusat
Nama Orang, Nama Tempat, dan Lain-Lain
Antiphon Eudoxus
Archimedes Plato
Aristoteles Pythagoras Euclid Zeno
Daftar Pustaka
W.S. Anglin, Mathematics: A Concise History and Philosophy,
Springer-Verlag, New York, 1994
J. Gullberg, Mathematics: From the Birth of Numbers, W. W.
Norton & Company, New York, 1997
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 29
4 Jasa Besar Euclid
Kota Alexandria (Al-Iskandariya), yang terletak di pantai
utara Mesir, dibangun oleh Alexander Agung pada tahun 322
SM, menyaingi kota Athena. Pada tahun 300 SM, Raja
Ptolemy I Soter (323–283 SM) menjadikannya ibukota dan
mendirikan pusat studi Museum di sana. Konon, perpustaka-
an di Museum mempunyai koleksi ratusan ribu gulungan
papirus (berfungsi seperti buku teks pada zaman sekarang).
Euclid (~330–270 SM) diangkat oleh Raja Ptolemy I Soter
sebagai ‘Kepala Pusat Studi’ Matematika pertama di
Museum. Sepanjang karirnya, ia menulis beberapa buku
tentang Optik, Musik, dan Astronomi, serta tentu saja Mate-
matika. Nama Euclid harum karena buku matematikanya
yang berjudul “Stoicheia” (Ind. “Elemen”), yang terdiri dari
13 jilid, membahas Geometri dan dasar-dasar Teori
Bilangan. Buku ini ditulis kira-kira pada tahun 300 SM, dan
menjadi semacam buku pegangan wajib bagi setiap pelajar
yang ingin mendalami Matematika di Alexandria ketika itu.
Museum beberapa kali diserang bangsa Romawi dan, pada
tahun 641 M, Alexandria pun ditaklukkan bangsa Arab.
Sebagian besar koleksi perpustakaan di Museum, termasuk
karya Euclid, musnah. Namun, buku “Elemen” termasuk
30 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
yang terselamatkan, setidaknya dalam bentuk salinannya
yang diterbitkan oleh Theon (dari Alexandria) pada abad ke-
4 M. Selain itu ada edisi lainnya yang berbasis pada naskah
yang ditemukan di Bizantium pada abad ke-8 dan 9 M. Dari
edisi Bizantium itulah buku “Elemen” kemudian diterjemah-
kan ke beberapa bahasa, termasuk bahasa Arab dan bahasa
Inggris. (Kini anda masih dapat menemukannya di toko
buku, bila kebetulan ada stok-nya. Bila beruntung, anda
mungkin menemukannya dalam bentuk e-book di dunia
maya.)
Dari buku “Elemen”-lah kita mengetahui karya-karya Pytha-
goras dan para penerusnya, khususnya Hippasus dan Archy-
tas, serta para matematika-
wan kondang lainnya, ter-
utama Antiphon, Hippocrates
(~430 SM), dan dua murid
Plato yang cerdas, Eudoxus
dan Theaetetus (~375 SM).
Lalu apa kontribusi Euclid
sendiri? Jasa besar Euclid
dalam hal ini adalah menulis-
kan dan menyusun karya-
karya matematikawan ter-
dahulu secara logis dan
sistematis, serta mengoreksi
kesalahan-kesalahan kecil
yang dibuat oleh para pen-
dahulunya. Setiap dalil di-
Mengingat karyanya yang
luar biasa, kita patut
bertanya: siapa Euclid?
Sayangnya, tidak banyak
informasi mengenai asal-
usulnya. Namun, menurut
para muridnya, Euclid
pernah belajar di
Achademya yang didirikan
Plato di Athena. Dari
umurnya, ia lebih muda
daripada Eudoxus dan
Aristoteles, tapi lebih tua
daripada Archimedes dan
Eratosthenes.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 31
buktikan oleh Euclid dengan cermat, dimulai dari definisi
dan hipotesis. Bila anda pergi ke perpustakaan dan mem-
baca buku teks matematika, maka kira-kira seperti itulah
pula buku “Elemen” yang ditulis Euclid. Ya, gaya penulisan
buku matematika a la Euclid tetap dipertahankan sebagai
model hingga saat ini.
Buku “Elemen” Jilid I
membahas dasar-dasar Geo-
metri, dimulai dari definisi
titik, garis, permukaan, sudut,
dan seterusnya, yang kemu-
dian diikuti dengan lima
postulat dan lima konsep
umum, serta sejumlah pro-
posisi dan buktinya. Jilid I
memberitahu kita antara lain
bagaimana caranya membuat
segitiga sama sisi (lihat
gambar) dan memeriksa ke-
sebangunan dua segitiga.
Selain itu dibahas pula Dalil
Pythagoras tentang segitiga siku-siku, dan kebalikan-nya!
Dalil Pythagoras
menyatakan bahwa pada
segitiga siku-siku berlaku
jumlah alas kuadrat dan
tinggi kuadrat sama dengan
sisi miring kuadrat.
Kebalikannya menyatakan
jika jumlah alas kuadrat dan
tinggi kuadrat sama dengan
sisi miring kuadrat, maka
segitiga tersebut mestilah
siku-siku.
Mulai dengan ruas garis AB.
Dari titik A, tarik busur
lingkaran dengan jari-jari
|AB|. Lakukan hal yang sama
dari titik B, sehingga
memotong busur tadi di C. A B
C
32 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Jilid II mengupas hubungan antara persegi panjang dan
persegi. Sifat aljabar seperti Hukum Distributif (P + Q)·L =
PL + QL dijelaskan secara geometris. Persegi panjang yang
panjangnya P + Q dan lebarnya L mempunyai luas (P + Q)·L.
Namun, persegi panjang ini terdiri dari dua persegi panjang:
yang pertama panjangnya P dan lebarnya L, sehingga luas-
nya PL; sementara yang kedua panjangnya Q dan lebarnya L,
sehingga luasnya QL (buat sendiri gambarnya). Jadi luas
persegi panjang tersebut sama dengan PL + QL. Karena itu
mestilah (P + Q)·L = PL + QL. Pythagoras dan para murid-
nya merupakan tokoh utama di balik buku “Elemen” Jilid I
dan II.
Buku Jilid III membahas sifat-sifat lingkaran. Bagi orang
Yunani Kuno, lingkaran merupakan bangun datar yang
paling sempurna. Salah satu sifat lingkaran yang diulas
dalam Jilid III adalah bahwa garis singgung pada lingkaran di
suatu titik P akan tegak lurus pada jari-jari lingkaran OP
(lihat gambar).
P
P
O
P
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 33
Jilid IV menjelaskan cara membuat persegi, segi lima, segi
enam, dan segi 15 beraturan di dalam lingkaran. Segi 15
dibuat dengan terlebih dahulu membuat segitiga dan segi
lima beraturan di dalam lingkaran, dengan salah satu titik
sudut yang berimpit (P). Mengingat bahwa 2/5 – 1/3 =
1/15, panjang busur AB mestilah sama dengan 1/15 keliling
lingkaran (lihat gambar). Dengan menggunakan jangka,
titik-titik sudut lainnya dari segi 15 beraturan tersebut
dapat diperoleh. Matematikawan yang bertanggungjawab di
balik Jilid III dan IV adalah Hippocrates.
Buku “Elemen” Jilid V membahas konsep rasio atau per-
bandingan dua bilangan, termasuk perbandingan senilai,
yang dikembangkan oleh Eudoxus. Sementara itu, Jilid VI
mengulas konsep kesebangunan dua bangun datar, yang
telah diketahui oleh Pythagoras dan para muridnya. Sebagai
contoh, dua segitiga dikatakan sebangun jika perbandingan
panjang sisi-sisi yang berpadanan sama. Pada gambar
berikut, sisi-sisi segitiga kedua mempunyai panjang dua kali
P
A
B
34 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
sisi-sisi segitiga pertama. Ini berarti kedua segitiga tersebut
sebangun.
Dua segitiga sebangun yang berukuran sama dikatakan
kongruen. Selanjutnya, kesebangunan dua segi banyak dapat
diperiksa melalui kesebangunan segitiga-segitiga yang mem-
bentuknya.
Jilid VII – IX berisi dasar-dasar Teori Bilangan, yang diyakini
merupakan kontribusi Archytas. Dalam Jilid VII dibahas
Algoritma Euclid untuk menghampiri bilangan irasional
seperti √3. Dalam Jilid VIII dibahas barisan geometrik.
Sementara itu, dalam Jilid IX dibuktikan bahwa bilangan
prima itu tak terhingga banyaknya, dan dijelaskan bagai-
mana caranya menemukan bilangan sempurna. Bilangan
prima adalah bilangan asli yang hanya mempunyai dua
faktor, yaitu 1 dan dia sendiri. Sebagai contoh, 2, 3, 5, dan 7
merupakan bilangan prima, sedangkan 4, 6, 8, dan 9 bukan
bilangan prima. Bilangan sempurna adalah bilangan asli
yang sama dengan jumlah dari faktor-faktornya selain dia
sendiri. Sebagai contoh, 6 adalah bilangan sempurna karena
faktor-faktornya selain dia sendiri adalah 1, 2, dan 3, yang
jumlahnya sama dengan 6.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 35
Jilid X merupakan bagian tersulit dari buku “Elemen”, yang
diyakini merupakan kontribusi Theaetetus (417–369 SM).
Dalam Jilid X ini bentuk aljabar seperti akar dari 1 + 2√3
dipelajari.
Jilid XI – XII menyoroti masalah Geometri Ruang. Jilid XI
menjelaskan cara mengkonstruksi sejumlah bangun ruang,
yang telah diketahui oleh Pythagoras dan para penerusnya.
Jilid XII membahas metode penghampiran yang digagas oleh
Antiphon dan Eudoxus. Dalam Jilid XII dijelaskan bagaimana
Eudoxus menghitung volume piramida, kerucut, silinder,
dan bola, tanpa bantuan Kalkulus Integral secanggih yang
kita kenal sekarang.
Jilid XIII menjelaskan cara mengkonstruksi lima polihedron
beraturan. Dalam Jilid XIII juga dibuktikan bahwa tidak ada
polihedron beraturan selain kelima polihedron yang telah
diketahui oleh Pythagoras dan para penerusnya (termasuk
Hippasus). Sang jenius di balik Jilid XIII adalah Theaetetus.∎
Kosakata Matematika dan Keilmuan
akar kebalikan
Algoritma Euclid kesebangunan
Astronomi kongruen bangun ruang Matematika barisan geometrik Musik
bentuk aljabar Optik
bilangan prima perbandingan senilai
bilangan sempurna permukaan
36 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
bukti postulat
busur proposisi
dalil rasio Dalil Pythagoras ruas garis
definisi sebangun faktor segi lima (beraturan)
garis segitiga sama sisi
garis singgung sudut
Geometri Ruang tegak lurus
hipotesis Teori Bilangan
Hukum Distributif titik
Kalkulus Integral titik sudut
Nama Orang, Nama Tempat, dan Lain-Lain
Achademya Eudoxus Alexander Agung Hippasus Alexandria (Al-Iskandariya) Hippocrates
Antiphon Mesir Arab Museum
Archimedes Plato Archytas Pythagoras Aristoteles Raja Ptolemy I Soter
Athena Romawi
Bizantium “Stoichea” (“Elemen”)
Eratosthenes Theaetetus
Euclid Theon
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 37
Daftar Pustaka
W.S. Anglin, Mathematics: A Concise History and Philosophy,
Springer-Verlag, New York, 1994
Euclid, Stoicheia, Museum, Alexandria, ~300 SM
J.J. O’Connor & E.F. Robertson, “Euclid of Alexandria”
[http://www-history.mcs.st-and.ac.uk/Biographies/Euclid.html]
38 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 39
5 Archimedes Bergelut dengan Lingkaran
“Beri saya tempat untuk bertumpu, maka saya sanggup
mengangkat Bumi.” Demikian ujar Archimedes dari Syracusa
(287–212 SM), salah seorang jebolan sekolah yang diasuh
oleh Euclid di Alexandria. Tak sedikit skolar masa kini
menilai bahwa Archimedes adalah matematikawan dan
fisikawan terhebat sebelum Isaac Newton.
Banyak kisah menarik tentang Archimedes, antara lain
ketika ia sedang mandi dan menemukan cara menghitung
volume sebuah mahkota, lalu berlari ke jalan sambil ber-
teriak “Eureka!”, yang berarti “Aku menemukannya!”, tanpa
mengenakan pakaiannya. Sebelumnya, Raja Hieron yang
merupakan teman baiknya meminta ia untuk menghitung
proporsi emas dan perak dalam mahkotanya. Untuk me-
laksanakan tugas itu, Archimedes perlu mengetahui volume
mahkota tersebut. Namun, karena bentuknya yang rumit,
tidak ada rumus yang tersedia untuk menghitung volume-
nya. Hingga pada suatu saat, ketika mandi berendam dalam
bak, ia mendapat ide cemerlang bagaimana menghitung
volume benda pejal sembarang, yaitu dengan mencelupkan-
nya ke dalam air dan menghitung volume air yang dipindah-
kan oleh benda tersebut.
40 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Demikian pula cerita tentang kematiannya, yang terjadi pada
tahun 212 SM ketika Syracusa diserang pasukan tentara
Roma. Ketika sedang asyik mengerjakan hitung-hitungan
matematika di atas tanah, ia
dihampiri oleh seorang ten-
tara Roma yang memang
mengincarnya dan berniat
membunuhnya. Konon, se-
belum dihabisi, Archimedes
sempat meminta waktu ke-
pada tentara Roma tadi untuk
menyelesaikan hitung-hitung-
annya terlebih dahulu.
Dalam Matematika, kontribusi
Archimedes tercatat mulai
dari pemecahan masalah
dengan menggunakan apa
yang kita kenal sekarang
sebagai Kalkulus, hingga Teori
Bilangan. Salah satu masalah
yang ia geluti dalam Teori
Bilangan baru terpecahkan di
tahun 1965.
Dalam Geometri, yang akan kita bahas sekarang, nama
Archimedes melekat pada rumus luas lingkaran. Persisnya,
Archimedes membuktikan bahwa luas lingkaran sama
dengan setengah keliling kali jari-jarinya. Jika π menyatakan
rasio keliling terhadap diameter lingkaran (yang kelak akan
ditaksir nilainya oleh Archimedes), maka luas lingkaran
Selain karyanya dalam
Matematika, Archimedes
dikenal pula karena karya-
karyanya dalam Fisika.
Kutipan pada awal bab ini
berkaitan dengan temuan-
nya tentang tuas. Selain itu,
kita juga mengenal Hukum
Archimedes yang berkaitan
dengan gaya apung benda
dalam air. Ia juga membuat
banyak peralatan, antara
lain katapel, yang dipakai
sebagai senjata dalam
perang. Konon, ia diincar
oleh tentara Roma karena
senjata ciptaannya telah
banyak mencederai tentara
Roma.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 41
sama dengan π kali jari-jari kuadrat. (Pada waktu itu, Archi-
medes tidak menggunakan lambang bilangan π. Lambang ini
baru dipakai oleh seorang matematikawan dari Wales ber-
nama William Jones pada tahun 1706.)
Bagaimana Archimedes membuktikan rumus luas lingkaran
tersebut? Dengan memotong lingkaran menjadi sejumlah
bagian, dan menyusun potongan-potongan lingkaran ter-
sebut seperti pada gambar di bawah ini, tampak bahwa luas
lingkaran kira-kira akan sama dengan setengah keliling kali
jari-jarinya.
Archimedes membuktikan bahwa luas lingkaran memang
persis sama dengan setengah keliling kali jari-jarinya, se-
bagai berikut. Andaikan luas lingkaran (=L ) > ½ × keliling
× jari-jari (=T ). Pilih bilangan asli n cukup besar sedemi-
kian sehingga
T < luas segi 2n beraturan < L.
Misalkan AB adalah salah satu sisi pada segi 2n beraturan
tersebut. Pada segitiga OAB, ruas garis ON tegak lurus
terhadap AB. Di sini, |ON| lebih kecil daripada jari-jari, se-
bagaimana diperlihatkan pada gambar berikut.
42 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Jadi, kita peroleh
luas segi 2n beraturan = 2n × (½|AB| × |ON|)
= ½ × (2n|AB| × |ON|)
< ½ × keliling × jari-jari = T,
yang bertentangan dengan yang kita ketahui sebelumnya.
Jadi pengandaian bahwa L > T mestilah salah.
Dengan cara yang serupa, Archimedes juga sampai pada
kesimpulan bahwa L < T juga tidak mungkin terjadi.
Dengan demikian, berdasarkan Hukum Trikotomi, kemung-
kinan yang tersisa adalah L = T, dan ini adalah fakta yang
ingin dibuktikan.
Berdasarkan temuan ini, kita dapatkan bahwa luas lingkaran
berdiameter 1 sama dengan K/4, dengan K menyatakan
keliling lingkaran berdiameter 1. Selanjutnya, misal L me-
nyatakan luas lingkaran berjari-jari r. Maka, berdasarkan
temuan Antiphon dan Eudoxus sebelumnya, yang menyata-
kan bahwa luas lingkaran sebanding dengan kuadrat dari
diameternya, kita mempunyai
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 43
Akibatnya, kita peroleh L = Kr2. Masalahnya adalah, berapa
nilai K tersebut? Ingat bahwa K sama dengan keliling ling-
karan berdiameter 1. Menggunakan lambang bilangan yang
diperkenalkan oleh William Jones, K adalah bilangan π yang
nilainya kira-kira sama dengan 3,14.
Archimedes pun penasaran ingin mengetahui berapa nilai π
yang merupakan perbandingan keliling lingkaran dan dia-
meternya. Dengan menggunakan segi 96 beraturan ‘yang
memuat lingkaran’, Archimedes memperoleh taksiran
𝜋 <22
7.
Langkah-langkah yang dilakukannya untuk memperoleh
taksiran ini adalah sebagai berikut. Ia memulai dengan segi 6
beraturan yang memuat lingkaran berjari-jari r sembarang.
.1
)2(
4/ 2
2r
K
L
44 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Archimedes mendapatkan bahwa π < 2√3 ≈ 530/153 (lihat
kembali penjelasan pada Bab 2 tentang bagaimana meng-
hampiri nilai √3 dengan Algoritma Euclid).
Selanjutnya, Archimedes membagi dua sudut di titik puncak
segitiga (yang berimpit dengan titik pusat lingkaran) pada
segi enam beraturan tadi, dan menaksir keliling lingkaran
dengan keliling segi 12 beraturan yang memuat lingkaran.
Dengan menggunakan kesebangunan dua segitiga dan per-
hitungan perbandingan panjang sisi-sisi segitiga yang ter-
libat dengan teliti (lihat gambar dan keterangannya),
Archimedes mendapatkan taksiran yang lebih halus, yaitu
π < 12 × 153/571 = 1836/571.
Ia kemudian membagi dua lagi sudut di titik puncak segi 12
beraturan untuk memperoleh segi 24 beraturan dan, dengan
perhitungan yang semakin rumit, ia mendapatkan taksiran
berikutnya untuk π, yaitu π < 24 × 153/1162,125. Per-
hatikan betapa Archimedes tidak ingin mengabaikan nilai
0,125 yang sama dengan 1/8 itu dalam perhitungannya,
guna mendapatkan taksiran yang teliti untuk π.
Langkah yang serupa dilakukan lagi oleh Archimedes, se-
hingga ia memperoleh taksiran untuk π melalui segi 48 ber-
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 45
aturan, yaitu π < 48 × 153/2334,25. Akhirnya, melalui segi
96 beraturan, ia mendapatkan taksiran yang menggembira-
kan: π < 96 × 153/4673,5 = 22/7. Eureka!
Apakah Archimedes berhenti sampai di sini? Tidak, ia masih
melanjutkan menaksir nilai π ‘dari sebelah kiri’, dengan
menggunakan segi 96 beraturan ‘di dalam lingkaran’. Dalam
hal ini, ia memperoleh taksiran π > 223/71. Dengan hasil
ini, Archimedes menyimpulkan bahwa 223/71 < π < 22/7.
Bila kita kemudian menganggap π ≈ 22/7, maka kesalahan
dalam penaksiran ini tentunya takkan lebih daripada 22/7 –
223/71 ≈ 0,002.
Archimedes menuliskan semua hitung-hitungan di atas
dalam salah satu karyanya yang berjudul “Pengukuran pada
Lingkaran”.∎
Kosakata Matematika dan Keilmuan
benda pejal π (baca: Pi)
gaya apung taksiran katapel tuas
Nama Orang, Nama Tempat, dan Lain-Lain
Archimedes Roma
Eureka Syracusa
Isaac Newton Wales
Raja Hieron William Jones
46 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Daftar Pustaka
W.S. Anglin, Mathematics: A Concise History and Philosophy,
Springer-Verlag, New York, 1994
T.L. Heath (ed.), The Works of Archimedes, Dover Edition,
1953.
C. Lindsey, “Archimedes’ Approximation of Pi”
[http://itech.fgcu.edu/faculty/clindsey/mhf4404/archimedes/
archimedes.html]
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 47
6 Menguak Misteri Bilangan π
Penemuan Archimedes tentang bilangan π (yang merupakan
rasio keliling dan diamater lingkaran) bukan merupakan
akhir dari cerita tentang lingkaran. Sebaliknya, penemuan
ini justru telah membuka pintu menuju pertanyaan berikut-
nya: berapakah nilai bilangan π itu sesungguhnya? Kemu-
dian, apakah π merupakan bilangan rasional atau irasional?
Penasaran dengan nilai bilangan π, beberapa matematika-
wan dan ilmuwan generasi berikutnya mencoba meng-
ungkap nilai π, atau persisnya menaksir nilainya dengan
ketelitian yang lebih tinggi. Sebagai contoh, Claudius
Ptolemy (~85–165 M), astronom dan ahli Geografi dari
Alexandria, berhasil memperoleh taksiran π ≈ 377/120 ≈
3,14166. Nilai taksiran ini diperolehnya dengan mengguna-
kan segi 360 beraturan dan taksiran √3 ≈ 1,73205.
Seperti halnya di Yunani Kuno, bilangan π telah pula mem-
buat beberapa matematikawan Tiongkok Kuno penasaran.
Sejak awal abad ke-1, para matematikawan di sana telah
menggunakan taksiran π ≈ 3,1547. Sekitar tahun 265, Liu
Hui menggunakan segi 3072 beraturan dan mendapatkan
taksiran π ≈ 3,1416. Taksiran ini diperoleh Liu Hui dengan
melanjutkan hitung-hitungan Archimedes dari segi 96 ke
48 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
segi 192, segi 384, segi 768, segi 1536, dan akhirnya segi
3072 beraturan, tentunya dengan ketekunan yang luar biasa.
Tak puas dengan hasil yang diperoleh Liu Hui, pada tahun
480-an, Zu Chongzi menggunakan segi 12288 beraturan dan
memperoleh taksiran π ≈ 355/113 ≈ 3,1415929. Dengan
hasil ini, Zu Chongzhi telah menaksir nilai π dengan tepat
hingga 6 angka di belakang koma, suatu taksiran yang jauh
lebih baik daripada taksiran Ptolemy.
Pada awal abad ke-9,
matematikawan Persia yang
bernama Al-Khwarizmi meng-
gunakan taksiran π ≈ 3,1416,
yang mengisyaratkan bahwa
hasil yang telah diperoleh
sebelumnya oleh Zu Chongzi
belum diketahui di Persia.
Baru pada tahun 1430-an, Al-
Khasi, yang juga berasal dari
Persia, menghitung nilai bilangan π dengan tepat hingga 15
angka di belakang koma. Hasil ini diperolehnya dengan
sangat ulet, menggunakan segi 6×227 beraturan!
Taksiran Al-Khasi tak tertandingi hingga akhir abad ke-16,
ketika matematikawan Belanda Ludolph van Ceulen meng-
hitung nilai π dalam bentuk desimal dengan tepat hingga 34
angka di belakang koma. Pada tahun 1630, Christoph Grien-
berger, seorang astronom dari Austria, berhasil menghitung
nilai π dengan tepat hingga 37 angka di belakang koma.
Seperti halnya Archimedes, Zu Chongzhi, dan Al-Khasi,
Seorang astronom India
yang bernama Aryabhata
menggunakan taksiran π ≈
3,1416 dalam suatu
perhitungan yang ia
abadikan dalam bukunya
pada tahun 499 M.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 49
Ceulen dan Grienberg menggunakan segi banyak beraturan
untuk memperoleh taksiran tersebut.
Pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1660-an, Isaac New-
ton, seorang matematikawan dan fisikawan dari Inggris,
menghitung nilai π dengan tepat hingga 15 angka (termasuk
angka 3 di depan koma), tetapi dengan menggunakan meto-
de yang berbeda.
Sebelumnya, Gottfried Wilhelm Leibniz, matematikawan
dari Jerman, menemukan rumus deret fungsi
arctan x = x – x3/3 + x5/5 – x7/7 + x9/9 – x11/11 + … .
Bila tan x menyatakan perbandingan trigonometri antara
tinggi dan alas segitiga siku-siku (dengan x menyatakan
sudut antara alas dan sisi miringnya), maka arctan x adalah
invers dari tan x. Dengan mensubstitusikan nilai x = 1 ke
dalam deret di atas dan fakta bahwa arctan 1 = π/4, Leibniz
memperoleh deret bilangan
π/4 = 1 – 1/3 + 1/5 – 1/7 + 1/9 – 1/11 + … ,
yang telah diketahui oleh matematikawan India bernama
Madhava pada abad ke-14.
Menggunakan deret di atas, kita dapat menghitung (atau
menaksir) nilai π, dengan ketelitian yang diinginkan. Se-
makin banyak suku deret yang dipakai untuk menaksir nilai
π, semakin teliti taksiran yang diperoleh. Sayangnya, untuk x
= 1, deret di atas konvergen dengan ‘sangat lambat.’ Untuk
mendapatkan taksiran dengan ketelitian hingga 4 angka di
50 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
belakang koma, misalnya, kita harus menggunakan 5000
suku deret tersebut.
Newton kemudian menggunakan rumus deret serupa tapi
konvergen lebih cepat daripada deret Leibniz, yaitu
π
24=
√3
32+
1
3 ∙ 8−
1
5 ∙ 32−
1
7 ∙ 128−
1
9 ∙ 512−⋯ ,
Rumus ini diperolehnya melalui perhitungan sebuah integral
yang menyatakan luas suatu daerah di bawah busur
lingkaran (lihat gambar).
Pada gambar ini, kita mempunyai sebuah lingkaran berjari-
jari 1. Titik X = ½ adalah titik tengah OA. Luas sektor OAB
sama dengan 1/6 kali luas lingkaran, yaitu π/24. Suku
pertama di sebelah kanan tanda “=” pada rumus di atas
adalah luas segitiga siku-siku OXB, sedangkan deret dalam
tanda kurung adalah luas daerah yang dibatasi oleh ruas
garis XA, ruas garis XB, dan busur lingkaran AB.
Mengetahui taksiran nilai π yang telah diperoleh sebelum-
nya oleh Grienberg, Newton menyadari bahwa hasil yang ia
peroleh tidak terlalu bagus. Bahkan Newton menyatakan
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 51
bahwa ia malu dengan
penemuannya itu. Namun,
Newton dan Leibniz telah
menawarkan suatu cara baru
untuk menaksir nilai π dengan
menggunakan deret (baca:
Kalkulus), tidak lagi meng-
gunakan segi banyak ber-
aturan (baca: Geometri).
Pada tahun 1706, seorang
matematikawan Inggris yang
bernama John Machin berhasil
menghitung nilai bilangan π dengan tepat hingga 100 angka
(termasuk angka 3 di depan koma). Machin mendapatkan
hasil tersebut dengan menggunakan rumus
𝜋
4= 4 ∙ arctan
1
5− arctan
1
239
dan deret Leibniz untuk arctan x, dengan x = 1/5 dan x =
1/239, yang konvergen lebih cepat daripada deret untuk
arctan 1. Perhatikan bahwa dengan menggunakan tiga suku
saja, kita peroleh taksiran
π ≈ 16(1/5 – 1/375) – 4/239 ≈ 3,14.
[Bandingkan dengan Archimedes yang menghasilkan taksir-
an ini dengan susah payah melalui segi 96 beraturan.]
Apakah para matematikawan sudah puas dengan taksiran
nilai π yang telah diperoleh oleh Machin? Hmm… beberapa
Newton dan Leibniz dikenal
sebagai penemu Teori
Kalkulus, yang meliputi dua
konsep penting, yaitu
turunan dan integral. Kedua
konsep ini bertumpu pada
konsep limit, yang berkaitan
dengan bilangan
infinitesimal, sebagaimana
dirintis oleh Antiphon dan
Eudoxus.
52 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
matematikawan masih tertantang untuk menguak nilai
bilangan π lebih jauh. Pada tahun 1853, matematikawan
Inggris William Shanks menggunakan rumus Machin untuk
menaksir nilai π hingga 707 angka. Namun, pada tahun
1945, Daniel F. Ferguson, juga dari Inggris, menemukan
bahwa hasil Shanks ternyata hanya benar untuk 527 angka.
Dengan menggunakan rumus
𝜋
4= 3 ∙ arctan
1
4+ arctan
1
20+ arctan
1
1985,
Ferguson berhasil menghitung nilai π dengan tepat hingga
710 angka pada tahun berikutnya. Taksiran tersebut di-
peroleh Ferguson secara manual, dengan bantuan sebuah
kalkulator mekanis.
Memasuki era komputer, perhitungan nilai bilangan π ber-
lanjut semakin seru. Pada tahun 1949, nilai π dapat dihitung
dengan tepat hingga 2000 angka. Seiring dengan perkem-
bangan komputer, rekor ini diperbaiki menjadi 10.000
angka pada tahun 1958, dan kemudian menjadi 100.000
angka pada tahun 1961, atas nama John Wrench dan Daniel
Shanks, keduanya dari Amerika Serikat.
Pada tahun 1973, Jean Guilloud dan Martine Bouyer, yang
berasal dari Perancis, berhasil menghitung nilai π dengan
tepat hingga 1 juta angka dengan menggunakan rumus
𝜋
4= 12 ∙ arctan
1
18+ 8 ∙ arctan
1
57− 5 ∙ arctan
1
239,
dan tentunya dengan bantuan komputer yang lebih baik.
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 53
Pada tahun 1987, rekor perhitungan nilai π telah mencapai
16 juta angka, dengan menggunakan rumus yang berbeda.
Pada tahun 2002, Yasumasa Kanada dan beberapa kolega-
nya dari Universitas Tokyo, membukukan rekor dengan
1,2411 triliun angka. Rekor ini bertahan selama tujuh tahun.
Pada tahun 2010, Shigeru Kondo, seorang insinyur dari
Jepang, dan Alexander Yee, ahli komputer dari Amerika
Serikat, berhasil menghitung nilai π hingga 5 triliun angka,
dan tiga tahun kemudian mereka mencetak rekor baru
dengan 12,1 triliun angka.
Bilangan rasional seperti ½ dan ⅓ mempunyai bentuk
desimal 0,5 (yang ‘berhenti’) dan 0,3333… (yang ‘berulang’).
Dari bentuk desimalnya (lihat halaman berikut), dapat
diduga bahwa bilangan π merupakan bilangan irasional,
karena angka-angkanya yang berada di belakang koma
cenderung tidak berhenti ataupun berulang. Tetapi bagai-
mana kita bisa yakin bahwa π adalah bilangan irasional?
Kita dapat membuktikan
dengan mudah bahwa √2
irasional (lihat Bab 2), tetapi
untuk π tidak semudah itu.
Pembuktian irasionalitas π
dilakukan pertama kali oleh
Johann Heinrich Lambert,
matematikawan asal Jerman,
pada tahun 1761, dengan
menggunakan konsep pecah-
an berlanjut.
Konsep pecahan berlanjut
(Ing. continued fraction)
terkait erat dengan
Algoritma Euclid yang
dibahas pada Bab 2. Setiap
bilangan real, baik rasional
maupun irasional, dapat
dinyatakan sebagai
pecahan berlanjut.
54 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
π ≈
3,1415926535897932384626433832795028841971693993751 05820974944592307816406286208998628034825342117067 08214808651328230664709384460955058223172535940812 84811174502841027019385211055596446229489549303819 64428810975665933446128475648233786783165271201909 14564856692346034861045432664821339360726024914127 37245870066063155881748815209209628292540917153643 67892590360011330530548820466521384146951941511609 43305727036575959195309218611738193261179310511854 80744623799627495673518857527248912279381830119491 29833673362440656643086021394946395224737190702179 86094370277053921717629317675238467481846766940513 20005681271452635608277857713427577896091736371787 21468440901224953430146549585371050792279689258923 54201995611212902196086403441815981362977477130996 05187072113499999983729780499510597317328160963185 95024459455346908302642522308253344685035261931188 17101000313783875288658753320838142061717766914730 35982534904287554687311595628638823537875937519577 81857780532171226806613001927876611195909216420198 93809525720106548586327886593615338182796823030195 20353018529689957736225994138912497217752834791315 15574857242454150695950829533116861727855889075098 38175463746493931925506040092770167113900984882401 28583616035637076601047101819429555961989467678374 49448255379774726847104047534646208046684259069491 29331367702898915210475216205696602405803815019351 12533824300355876402474964732639141992726042699227 96782354781636009341721641219924586315030286182974 55570674983850549458858692699569092721079750930295 53211653449872027559602364806654991198818347977535 66369807426542527862551818417574672890977772793800
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 55
Bilangan rasional atau pecahan seperti 11/8 dapat di-
nyatakan dalam bentuk pecahan berlanjut sebagai berikut:
11
8= 1 +
1
8/3= 1 +
1
2 +1
3/2
= 1 +1
2 +1
1 +12
= [1; 2, 1, 2].
Notasi di ruas terakhir merupakan notasi baku untuk pecah-
an berlanjut. Perhatikan bahwa pada langkah pertama, kita
memisahkan bilangan bulat terbesar yang lebih kecil dari-
pada atau sama dengan bilangan yang kita punyai, dan me-
nyatakan sisanya sebagai 1/x. Lalu kita ulangi proses ini
pada langkah berikutnya terhadap bilangan x.
Iterasi berhenti bila kita sampai pada bentuk pecahan
satuan 1/n, untuk suatu bilangan asli n. Kasus ini terjadi
pada bilangan rasional, seperti pada contoh di atas. Namun,
iterasi tidak akan berhenti bila kita tidak pernah sampai
pada bentuk pecahan satuan. Kasus ini akan terjadi pada
bilangan irasional. Sebagai contoh, bilangan √3 mempunyai
bentuk pecahan berlanjut [1; 1, 2, 1, 2, 1, 2, 1, 2, ...] yang tak
pernah berhenti.
Nah, bilangan π dapat pula dinyatakan dalam bentuk pe-
cahan berlanjut sebagai [3; 7, 15, 1, 292, 1, 1, 1, 2, 1, 3, 1, …].
Tetapi ini belum membuktikan bahwa π irasional. Lambert
menggunakan bentuk pecahan berlanjut untuk tan x, dan ia
berargumen begini: Jika x rasional, maka tan x irasional.
Karena tan π/4 = 1 rasional, maka π mesti irasional.∎
56 Hendra Gunawan – Gara-Gara Hantu Lingkaran
Kosakata Matematika dan Keilmuan
arc tan x konvergen
deret bilangan limit
Geografi pecahan berlanjut
integral pecahan satuan
invers sektor
kalkulator mekanis suku
Kalkulus tan x
ketelitian titik tengah
komputer turunan
Nama Orang, Nama Tempat, dan Lain-Lain
Alexander Yee Jepang
Al-Khasi Jerman
Al-Khwarizmi Johann Heinrich Lambert
Amerika Serikat John Machin
Archimedes John Wrench
Aryabhata Liu Hui
Austria Ludolph van Ceulen
Belanda Madhava
Christoph Grienberger Martine Bouyer
Claudius Ptolemy Perancis
Daniel F. Ferguson Persia
Daniel Shanks Shigeru Kondo
Gottfried Wilhelm Leibniz Tiongkok Kuno
India Universitas Tokyo
Inggris William Shanks
Isaac Newton Yasumasa Kanada
Jean Guilloud Zu Chongzi
Bagian I – Bergelut dengan Hantu Lingkaran 57
Daftar Pustaka
B. Cipra, “Digits of Pi”, dalam D. Mackenzie & B. Cipra,What’s
Happening in the Mathematical Sciences, Vol. 6, American
Mathematical Sciences, 2006
Wikipedia, “Approximation of π”
[http://en.wikipedia.org/wiki/Approximations_of_%CF%80]
Wikipedia, “Pi” [http://en.wikipedia.org/wiki/Pi]
Wikipedia, “Proof that π is irrational”
[http://en.wikipedia.org/wiki/Proof_that_%CF%80_is_irrational]
Recommended