View
13
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB III
LAPORAN PENELITIAN
A. Deskripsi Wilayah Desa Tunas Asri atau yang sekarang disebut denan
Tiyuh Tunas Asri merupakan salah satu desa yang ada di
Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang
Bawang Barat. Tiyuh Tunas Asri memiliki 6 (enam) Rukun
Kampung, yang mayoritasnya masyarakatnya adalah suku
Jawa, tetapi ada juga sebagian yang berasal dari suku
Lampung, Sunda.
Sesuai dengan hasil musyawarah Perangkat Tiyuh
Tunas Asri dan tokoh masyarakat, maka telah ditentukan
luas dan batas wilayah Tiyuh Tunas Asri adalah sebagai
berikut:
1. Luas wilayah Tiyuh Tunas Asri mencapai 1.158 ha. 2. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Mulya Asri Kecamatan Tulang Bawang Tengah
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gunung Batin Kecamatan Terusan Nyunyai
c. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Gunung Batin Kecamatan Terusan Nyunyai
d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Margo Mulyo Kecamatan Tumijajar
3. Ketinggian dari permukaan laut 728 Ha/m2 4. Banyaknya curah hujan 2.500 mm 5. Topografi
a. Dataran rendah 720 Ha
b Berbukit -
C Aliran sungai 405 Ha
Berdasarkan tabel diatas bahwa sebagian besar
wilayah di Tiyuh Tunas Asri adalah dataran rendah, yang
biasanya terdapat banyak rawa-rawa atau sungai, yang
bisa dijadikan area persawahan oleh para masyarakat.
6. Suhu udara rata-rata 27-30 ha/m2
52
7. Keadaan penduduk Tiyuh Tunas Asri a. Luas wilayah Tiyuh
: 1.158 Ha
1 Luas pemukiman 536 Ha
2 Luas persawahan 282 Ha
3 Luas perkebunan 28 Ha
4 Luas pemakaman 1,8 Ha
5 Luas pekarangan 192 Ha
6 Luas perladangan 47.5 Ha
7 Luas taman -
8 Luas perkantoran 1,5 Ha
9 Luas jalan 181 Ha
10 Luas prasarana dan lainnya 2,58 Ha
Dengan melihat tabel diatas, dapat dilihat bahwa
sebagian besar masyarakat Tiyuh Tunas Asri
berprofesi sebagai petani, dengan luasnya daerah
persawahan yang mereka miliki mereka dapat
menanam berbagai macam tanaman yang dapat
memberikan penghasilan bagi mereka, misalnya
padi, singkong, sayuran, ataupun karet yang dapat
tumbuh di berbagai kondisi tanah.
Selain sebagai petani sebagaian masyarakat
memiliki pekarangan yang cukup luas sehingga
memungkinkan mereka untuk mempunyai ternak
yang dapat mempunyai nilai jual yang memumpuni.
Diantara ternak yang mereka miliki antara lain, sapi,
kambing, ayam, wallet, dan lain sebagainya. Dengan
adanya kualitas ekonomi yang baik maka dapat
memungkinkan bagi mereka yang ingin berpoligami
dengan tidak ada ketakuan untuk menelantarkan istri
serta anak mereka, dalam arti dapat mencukupi
semua kebutuhan lahir untuk istri dan anak mereka.
b. Orbitasi
1 Jarak ke ibukota kecamatan 30 km
2 Lama jarak tempuh ke ibukota
kecamatan
60 menit
53
3 Jarak ke ibukota kabupaten 30 km
4 Lama jarak tempuh ke ibukota
kabupaten
60 menit
5 Jarak ke ibukota provinsi 98 km
6 Lama jarak tempuh ke ibukota
kabupaten
180 menit
c. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
1 Jumlah penduduk 4.713 jiwa
2 Kepala keluarga 1286 kk
3 Laki-laki 2312 orang
4 Perempuan 2401 orang
Dari tabel c dapat dilihat bahwa seluruh
penduduk Tiyuh Tunas Asri sebanyak 4.713 jiwa,
yang lebih banyak perempuan. Melihat dari tabel
diatas banyak dari masyarakat khususnya yang
tergabung dalam ormas LDII memungkinkan
anggotanya yang ingin berpoligami. Walaupun tidak
semua istri berasal dari tiyuh Tunas Asri. Ada yang
berasal dari luar desa, Kecamatan, Kabupaten,
bahkan Provinsi di seluruh Indonesia.
d. Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan
1 Pegawai Negri Sipil 35 orang
2 Buruh tetap 693 orang
3 Buruh tidak tetap 849 orang
4 Pengusaha 20 orang
5 Pengrajin 1 orang
6 Peternak 162 orang
7 Petani 1278
orang
8 Pedagang 183 orang
9 Pertambangan 18 orang
10 Pensiunan/purnawirawan 2 orang
11 Montir 10 orang
12 Bidan 2 orang
13 Perawat 2 orang
54
14 Karyawan 126 orang
Dari data pekerjaan diatas, mayoritas penduduk
adalah seorang petani, walaupun tidak semuanya
menjadi petani mutlak. Tapi ada juga yang
mempunyai pekerjaan sambilan seperti menjadi
buruh di pabrik. Yang dapat menjamin
perekonomian mereka. Sehingga apabila mereka
berpoligami, maka tidak ada keraguan untuk
mentelantarkan anak-anak dan istri-istri mereka.
e. Jumlah penduduk menurut agama
1 Islam 4616 orang
2 Kristen 90 orang
3 Katolik 3 orang
4 Hindu 4 orang
5 Budha -
Mayoritas agama yang dimiliki masyarakat
Tiyuh Tunas Asri adalah Islam, bahkan lebih dari
85% dari jumlah keseluruan masyarakat desa yang
memungkinkan mereka untuk memaklumi adanya
poligami. Yang memang ditunjang oleh ormas LDII
yang melegalkan poligami itu sendiri, walaupun
tidak semua warga masyarakat yang menerima
adanya poligami.
f. Jenis suku
1 Jawa 4581 orang
2 Sunda 52 orang
3 Lampung 21 orang
g. Aparat pemetintahan 1) Kepala Tiyuh/Desa 2) Sekertaris Tiyuh
55
3) Kepala Urusan Pemerintahan 4) Kepala Urusan Pembangunan 5) Kepala Urusan Pemberdayaan Masyarakat 6) Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat 7) Kepala Urusan Umum 8)
h. Kondisi Demografis 1) Berdasarkan pendidikan
1 SDN/MIN 529 orang
2 SMPN/MTs 46 orang
3 SMAN/MAN 17 orang
4 SMKN 11 orang
5 Putus Sekolah 17 orang
2) Sarana pendidikan
1 TK/Paud 2 buah
2 SD/Sederajat 3 buah
3 SLTP/MTS -
4 SMA/MAN -
3) Sarana Peribadatan
1 Masjid 6 unit
2 Surau/Langgar 12 unit
3 Gereja Katolik 2 unit
4 Vihara
5 Pura
4) Bidang Kesehatan Dalam meningkatkan pengetahuan dan
kehidupan masyarakat di bidang kesehatan telah
dilaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a) Mengadakan kegiatan kerja bakti dalam rangka meningkatkan kesehatan lingkungan
b) Membentuk POSYANDU untuk meningkatkan gizi dan pemeliharaan
kesehatan anak.
56
i. Data Anggota LDII
No. Pria 178
1 Wanita 256
2 Total 434
Dari data diatas, 54 anggota LDII berpoligami
atau lebih dari 30% anggota LDII di Desa Tunas
Asri.
B. Sejarah Berdirinya Lembaga Dakwa Islam Indonesia (LDII)
1. Kelahiran Lemkari Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) adalah
suatu oganisasi masyarakat yang bercikal bakal dari
Lemkari. Lemkari lahir setelah pemilu 1971 yang
dimenangi oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar.1
Keberhasilan Golkar tersebut tak bisa dilepaskan dari
sosok K.H. Nurhasan yang membantu
mengkampanyekan golkar. Seperti diketahui bahwa
menjelang pemilu 1971, partai-partai islam mengalami
masa-masa sulit karena tekanan dari Orde Baru yang
ingin menegakan ideologi Pancasila. Disaat gerakkan
umat Islam nyaris mati suri, tiba-tiba Mudijomo datang
dengan ide menghidupkan sosialisme Islam. Mudijmo
dan para kader PSI lain saat itu meliat umat Islam
merupakan kelompok terbelakang sehingga tidak mampu
berfikir kritis. Ia berfikir bahwa sosialisme harus
menyentuh masyarakat. Oleh karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama islam, logikannya aktivis
sosialis harus masuk ke dalam kelompok Islam. Bersama
Sudirman, Mudijomo mengkritisi para santri yang
hidupnya tradisional dan tidak memiliki kendaraan
politik. Pemerintah Orde Baru sendiri menekan ormas-
1 Apri Yadi, Cinta Alam Indonesia Permata XXXV, (t.tp, t.p, 2014),
h. 2
57
ormas Islam untuk tidak mengurusi politik tetapi lebih
fokus untuk mengurusi agama.2
Dalam kondisi seperti itu Mudijomo membuat
Islamic Study Club (ISC) dengan tujuan untuk
membangun kesadaran umat islam dalam berpolitik.
Sementara itu Sudirrman membentuk Perguruan Tinggi
Dakwah Islam (PTDI). Namun demikian, antara
Mudijomo dan Sudirman tidak menemui titik temu.
Mudijomo tidak sepakat gerakan membangun umat
islam diformalkan, karena sifatnya gerakan.3
Sekitar tahun 1967 datanglah seorang mubaligh
bernama Bronto yang ingin melamar menjadi pengajar di
ISC. Mudijomo mengatakan kepada Bronto, bahwa
dalam gerakan membangun umat Islam tidak ada
bayaran. Bahkan, bila berdakwah di desa, mubaligh
harus menghidupi diri sendiri dengan bekerja. Hal itu
tidak menjadi masalah bagi Bronto. Mudijomo terpesona
dengan keteguan Bronto. Sejak pertemuan itu dimulailah
serangkaian diskusi. Kompleksnya permasalahan agama
dan politik dalam diskusi itu mendorong Bronto untuk
memperkenalkan gurunya yang bernama K.H. Nurhasan
kepada Mudijomo. Mudijomo mengungkapkan
pandangan-pandangan politikya kepada K.H. Nurhasan,
bawa umat Islam harus memiliki kesadaran untuk
berorganisasi untuk meraih cita-cita bersama. Mudijomo
menginginkan umat Islam yang maju dan mandiri.
Pandangan Mudijomo ini menjadi diskusi yang panjang,
sebab K.H. Nurhasan mengimbanginya dengan sudut
pandang Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Hubungan intensif dengan K.H. Nurhasan, membuat
Mudijomo merasa ISC berjalan kearah yang tepat.
Sebaliknya di pengajian yang diselenggarakan oleh K.H.
Nurhasan, Mudijomo berperan sebagai peasihat politik.
Hubungan yang saling menguntukan ini menjadi
2 W.F. Werthein, Islam In Indonesia: Ten Years Military Terror In
Indonesia (London : Spokesman Books, 1975), h. 88 3 Op.Cit , h. 2
58
perbincangan di kalangan aktivis mantan anggota PSI.
Di mata koleganya, keterlibatan Mudijomo dengan
pengajian K.H. Nurhasan menjadi semacam contoh
konkrit gerakan sosialisme kerakyatan dengan mendekati
kelompok Islam. Mudijomo memperoleh simpati dari
kader PSI lain perihal kesuksesannya itu. Selanjutnya
Mudijomo mengajak koleganya, kader-kader muda dari
PSI meramaikan masjid K.H. Nurhasan. Dengan
demikian kegiatan ISC di masjid K.H. Nurhasan di
Burengan, Kediri semakin ramai. Meskipun demikian,
ISC masih tetap merupakan sebuah gerakan yang bersifat
non-formal sebagaimana yang dimaksudkan oleh
Mudijomo.
Ketika kolaborasi K.H. Nurasan dengan para aktivis
PSI seperti Edy Masaidi, Cak Kadarusman (seniman
Surabaya), Tri Dayat, Gatot Koesoemo, Sedino (Ketua
PWI Kota Kediri) dan Mudijomo, Muhammad Alwi dari
PSII srta Kuntjoro Kaseno dari PNI sedang dibuai
semangat, tiba-tiba pada 1969 terdengar desas-desus
bahwa pengajiannya akan dibasmi dan K.H.Nurhasan
serta para pengikutya akan dibunuh. Apalagi sejak
pembubaran JPID pada 1968 praktis pengajian K.H.
Nurasan tanpa diwadahi dalam suatu organisasi. Hal itu
bisa dianggap sebagai organisasi liar atau organisasi
tanpa bentuk, sehingga kegiatannya pun juga dianggap
liar.
Sementara itu, Sekber Golkar membutukan bantuan
umat Islam unuk memenangkan Pemilu yang waktu itu
direncanakan akan dilaksanakan pada 1971. Sekber
Golkar sadar, mereka tidak akan menang di Jawa Timur
karena wilayah iu adalah wilayah Soekarnois dan
Islamis. Rupannya titik terang justru datang dari Sekber
Golkar. Untuk kebutuhan menggandeng umat Islam,
pada tahun 1970 Bupati Nganjuk Soeprapto, BA dan
Pangdam Brawijaya Mayjen Wijojo Sujono menwarkan
kepada K.H. Nurhasan untuk merapat ke Sekber Golkar.
Untuk urusan bergabung ke Sekber Golkan keduannya
merekomendasikan Mudijomo dan Edy Masaidi menmui
59
Mayjen Amir Moertono. Mudijomo dan Edy Masaidi
mendekati Mayjen Amir Moertono berasal dari Desa
Pelem, Kecamatan Kertosono, sama dengan Edy
Masaidi. Keduannya bahkan berkawan akrab. Rumah
keluarga Amir Moertono hanya berjarak 500 meter dari
rumah keluarga K.H. Nurhasan. Kedua santri K.H.
Nurhasan itu menyatakan kepada sang Jendral, bahwa
pengajian K.H. Nurhasan idak layak dibubarkan, sebab
sama sekali jauh dari urusan politik. Keduannya juga
meyakinkan Amir Moertono, bergabungnnya K.H.
Nurhasan bisa memperkuat Sekber Golkar untuk meraih
suara sebanyak-banyakya di Jawa Timur.
Tawaran Mudijomo dan Edy Masidi tidak bertepuk
sebelah tangan. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa
sejak 1967 Sekber Golkar ditinggalkan 13 ormas Islam:
Muammadiyah, Al Jamiatul Wasliah, Gasbindo
(Gabungan Serikat Buru Islam Indonesia), Nahdlatul
Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam
Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka
(KBIM), Persatuan Umat Islam, Persatuan Organisasi
Buruh Islam se-Indonesia (PORBISI), Himpunan Seni
Budaya Islam (HSBI), Pembina Imam Tauhid Islam
yang kemudian beruba menjadi Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI), Al Irsyad dan Wanita Islam.
Dalam situasi seperti itu, dengan sendirinya Sekber
Golkar akan kehilangan kaki dari para pemilih santri.
Oleh sebab itu K.H. Nurhasan yang juga memiliki santri
yang militant merupakan kekuatan yang potensial untuk
mendulang suara dari sebagian kalangan santri.
Mayjen Amir Moertono menawarkan K.H.
Nurhasan dan para pengikutnya masuk ke dalam Sekber
Golkar, dengan syarat K.H. Nurhasan dapat menunjukan
loyalitas terhadap Sekber Golkar, bukan sebagai oposisi.
Permintaan ini direspon oleh K.H. Nurhasan dengn
membantu pemenangan Sekber Golkar di Jawa.
Komitmen ini ditunjukkan oleh K.H. Nurhasan saat
menghadap Presiden Soeharto di Jakarta. Untuk imbalan
membantu pemenangan Sekber Golkar, K.H. Nurhasan
60
meminta pemerintahan menjaga dan menjamin
kebebasan untuk melaksanakan ibadah. Presiden
Soeharto dan Sekber Golkar menyanggupinnya. Namun
demikian pilian bergabung dengan Sekber Golkar
bukannya tanpa resiko. Ketika semua umat Islam
merapatkan diri kepada partai Islam, untuk melawan
dominasi partai-partai nasionalis sekuler, justru K.H.
Nurhasan memihak kepada Sekber Golkar.4
Setelah keluarnya surat keputusan Kejaksaan Agung
itu, K.H. Nurhasan menyatakan mengundurkan diri atau
menarik diri dari segala aktifitas pengajaran di Pesantren
Burengan, Kediri. Apalagi setelah penahanan di Malang
oleh Polisi Militer, kesehatan K.H Nurhasan merosot
drastis. Kondisi K.H. Nurhasan yang tidak sanggup lagi
memipin pesantren dan mengkoordinir pengikutnya di
seluruh Indonesia, serta adanya golongan generasi muda
yang ingin melakukan moderenisasi dalam dakwah Islam
yang mendorong Drs. Nurhasjim, R. Eddy Masiadi, Drs.
Bahroni Hartanto, Soetojo Wirjoatmodjo B.A., dan
Wijiono B.A., membentuk organisasi untuk menampung
dan membina pengikut K.H. Nurhasan. Kemudian K.H.
Nurhasan secara ikhlas menyerahkan pengelolaan
sekaligus mewakafkan pesantrennya kepada pengurus
organisasi yang akan dibentuk.
Kelompok muda inilah yang kemudian membentuk
Yayasan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada 3
Januari 1972 dengan Akta Notaris Mudijomo tanggal 3
Januari 1972 Nomor 1, yang kemudian diperbaharui
dengan Akta Notaris Mudijomo tanggal 27 Juli 1972
tentang pembetulan Akta tanggal 3 Januari 1972 Berisi
Pembetulan Tanggal Pendirian Lemkari, mejadi tanggal
1 Juli 1972. Tujuan organisasi ini adalah membina para
pengikut dan murid K.H. Nurhasan untuk kembali
menjalankan syariat Islam seperti yang dihimbau oleh
Kejaksaan Agung. Nama ini merupakan usulan Mayjen
4 Informasi ini bisa dibaca dalam karya Hilmi Muhammadiyah, LDII
: Pasang Surut Relasi Agama dan Negara (Jakarta: Elsas, 2013), h. 202-240
61
TNI Widjojo Sujono yang kebetulan menjadi Ketua
Umum Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI)
yang membawahi Lembaga Karate-Do Indonesia
(Lemkari). Para matan murid K.H. Nurhasan sempat
menyatakan bimbang dengan nama Lemkari. Mayjen
TNI Widjojo Sujono menyatakan: “Agar orang tau juga,
bahwa Lemkari itu saya yang mendirikan yaitu Lembaga
Karate-Do Indonesia yang juga disingkat Lemkari.”
Di dalam mottonya, Lemkari menunjukan sikap
mereka dalam berdakwah yang lebih toleran dan
mnghargai keyakinan orang lain. Lemkari membawa
semangt baru, dakwah tanpa kekerasan atau tanpa
menghujat pihak lain yang sering dituduhkan kepada
K.H. Nurhasan dan para santrinya. Sikap ini juga
sekaligus menegaskan bahwa organisasi baru ini adalah
organisasi Islam yang nasionalis dan mendukung
Pancasila dan UUD 45.
2. Lemkari : Dari Pembina Pengikut Islam Jama’ah Menjadi Organisasi Dakwah
Lemkari sebagai orgaisasi yang masih muda
menanggung beban sejarah yang berat. Tugas membina
para murid K.H. Nurhasan bukanlah tugas ringan. Selalu
terjadi perbedaan persepsi antara paradigm lama dengan
yang baru mengenai kultus individu, eksklusifitas, dan
pemahaman terhadap ajaran K.H. Nurhasan yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Penataan diri untuk menyamakan persepsi
bagaimana Lemkari di masa mendatang menjadi ide
dasar mengumpulkan para mantan murid Pesantren
Burengan. Perhelatan yang bertema temu kangen alumni
Pondok Pesantren Burengan itu diadakan pada 9-10
Februari 1975 di Pondok Pesantren Burengan, yang
dihadiri oleh Mayjen TNI H. Amir Moertono, SH, ketua
Umum Golkar. Pertemuan ini dihadiri oleh Sembilan
perwakilan provinsi dari seluruh Indonesia. Pada
akhirnya, acara ii menjadi semacam rekonsiliasi berbagai
perbeaan pendapat. Secara aklamasi para alumni
62
Pesantren Burengan, Kediri, menyatakan diri bergabung
dengan LEMKARI.
Tanpa disadari peristiwa itu justru menjadi Mubes
(Musyawarah Besar) pertama bagi Lemkari. Para peserta
menyepakati memilih R. Eddy Masiai menjadi Ketua
Direktorium Pusat dan M. Noer Ali terpilih sebagai
sekertaris. Keuntungan lain, oleh karena para peserta
Mubes dari berbagai provinsi, keputusannya merupakan
kebijakan organisasi seutuhnya. Akhirnya disepakati
pula, LEMKARI di dalam menjalankan fungsi dakwah
dan pendidikan, bukan lagi bersifat kedaerahan tapi
menuju tingkat nasional dengan perwakilan di seluruh
Indonesia. Meskipun demikian, direktorium pusat
Lemkari tetap berkedudukan di Pondok Pesantren
Burengan, Jalan HOS Cokroaminoto No. 195, Kediri,
Jawa Timur. Dalam hal ini mantan pengurus JPID tidak
semuanya bergabung ke dalam Lemkari. Di Jakarta
misalnya, mereka membentuk Karyawan Dakwah Islam
(Kadim), di Jawa Barat dibentuk Lembaga Karyawan
Dakwah Islam (LKDI), dan di Jawa Tengah dibentuk
Yayasan Karyawan Islam (YAKARI), serta di
Kalimantan Selatan KARTI.
Para pengurus Lemkari beritikad akan mengubah
fanatisme para pengikut K.H. Nurhasan yang bergabung
dalam organisasi Lemkari, dan membina mereka sesuai
harapan pemerintah. Namun Amir Moertono, Ketua
Umum Golkar saat itu terus mengingatkan kepada
masyarakat, bahwa pembinaan ini memerlukan proses.
Tidak mungkin secepat kilat dan butuh kesabaran. Dia
minta kesabaran dan pemakluman masyarakat bila ada
anggota Lemkari yang masih berprilaku seperti pengikut
K.H. Nurhasan. Semua butuh proses, begitu
penekanannya. Hal itu disampaikan dalam berbagai surat
keputusan yang berhubungan dengan Lemkari di
kemudian hari.
Hubungan Lemkari dan Golkar semakin dekat.
Berdasarkan rekomendasi Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah
63
(Pangkopkamtibda) Jawa Timur No. STR
54/KAMDA/4/1973 yang resmi turun pada 2 April 1973
dan rekomendasi ari DPD Golkar Jawa Timur No. STR
01/GOLKAR/1974, Lemkari secara resmi menjadi
organisasi yang terhimpun dalam Golkar. Lemkari
merupakan organisasi kemasyarakatan Islam yang
pertama kali masuk ke dalam tubuh Golkar. Meskipun
begitu, Lemkari tetap menjadi sasaran fitnah.
Jika terjadi persoalan terhadap Lemkari, biasanya
Golkar turun tangan. Inilah yang menyebabkan DPP
Golkar mengeluarkan surat bernomor PB-
/GPLKAR/I/1976 pada 13 Januari 1976. Surat ini
membantah bahaw Lemkari adalah kelanjutan JPID.
Golkar perlu memberi penjelasan kepada masyarakat,
sebab tidak bisa dipungkiri, K.H. Nurhasan dan para
pengikutnya memiliki andil besar dalam pemenangan
Golkar terutama di Jawa Timur.
Perkembangan selanjutya pada 10-12 Juni 1981,
diadakan Musyawarah Besar (Mubes) Lemkari yang
kedua bertmpat di Gedung Grnaa, Jakarta, yang diwakili
19 perwakilan tingkat I. Para peserta mubes pada
akhirnya memutuskan untuk berdakwah dalam skala
yang lebih luas. Artinya Lemkari bukan hanya milik
karyawan yang awalnya Lembaga Karyawan Islam
diubah menjadi Lembaga Karyawan Dakwah Islam.
Mubes ini membawa semangat pembaharuan dalam
metode dakwah. Para pengurus Lemkari menyepaati
tema Mubes saat itu adalah “Peningkatan Metodologi
Dakwah dalam Rangka menunjang Pembinaan Trilogi
Kerukunan Hidup Beragama serta Partisipasi Umat
Beraagama dalam Menyukseskan Pembangunan
Bangsa.”
Mubes saat itu menegaskan, Lemkari sebagai
lembaga pendidikan kegamaan dan kemasyarakatan terus
menjaga citranya, yang dirumuskan ke dalam kerangka
tri daya guna/fungsi. Fungsi pertama, Lemkari sebagai
pendidikan dakwah dakwah keagamaan dan fungsi
kedua, sebagai pendidikan kemasyarakatan, menuntut
64
agar senantiasa memberikan pendidikan nilai dan akhlak
kemanusiaan yang luhur, meningkatkan kecerdasan dan
kreatifitas masyarakat, tanpa memandang golongan dan
lapisan masyarakat, memberikan ilmu-ilmu yang dapat
langsung diamalkan, melalui metode yang praktis,
sehingga masing-masing warga Lemkari dalam
masyarakat tetap utuh dan terpelihara kepribadiannya
selaku insane pancasila. Ketiga, sebagai pengembang
potensi Golkar, maka Lemkari senantiasa berusaha
memperluas dan memasyakatkan gagasan-gagasan
pembangunan agar segenap lapisan masyarakat dapat
mengerti, serta membina potensi budidaya masyarakat,
bersatu dalam barisan Orde Baru dalam Keluarga besar
Golongan Karya.
Lemkari menegaskan kembali, bahwa kerukunan
antar umat beragama merupakan salah satu prinsip
dakwah Lemkari. Salah satu pikiran dalam kelompok-
kelompok dakwah itu, Lemkari mengkarapkan; (a) setiap
umat islam menghilangkan sifat fanatisme buta; (b)
menghilngakan sifat tak peduli atas hak dan perasaan
orang lain; (c) membentuk sifat lapang dada,
keterbukaan dan toleransi, tanpa harus menjadi
sinkretetis yang dibuat-buat sehingga merusak nilai
agama itu sendiri. Sebagai keluarga besar Golkar, dalam
Mubes itu Lemkari mengeluarkan pernyataan siap
mendukung dan memenangkan Golkar dalam Pemilu
1982.
Untuk menyesuaikan kebijakan organisasi yang
bersifat nasional ini, direktorium atau kantor pusat
Lemkari dipindah, dari Kediri ke Jakarta. Lokasi kantor
pusat terletak di jalan Tanah Abang IV/51, Jakarta pusat.
Mubes yang dihadiri 13 perwakilan propinsi ini kembali
memilih R. H. Eddy Masiadi sebagai Ketua Umum dan
Drs. H. Sjamsudin Zahar sebagai Sekertaris.
Pada 1986, sebanyak 19 perwakilan provinsi
bertemu kembali mengadakan Mubes Lemkari ketiga.
Peristiwa ini terjadi pada 2-4 Mei 1986. Mubes kali ini
menjadi penting karena lahirnya Undang-undang No. 8
65
Tahun 1986 yang mengatur mengenai keormasan.
Undang-undang ini mewajibkan semua ormas harus
berasaskan Pancasila dalam anggaran dasar organisasi.
Dalam mubes ini dipilih Drs. H. Ahmad Suarno sebagai
Ketua Umum dan Drs. Sjamsuddin Zahar sebagai
Sekertaris Jendral. Direktorium pusatnya pun berpindah
dari Tanah Abang ke Jalan Tawakal IX/13-15, Jakarta
Barat.
Setelah Mubes kedua tahun 1986, perkembangan
Lemkari sangat cepat. Dalam waktu singkat, perwakilan
Lemkari berkembang dari 19 Provinsi pada 1986
menjadi 26 provinsi pada tahun 1989. Perkembangan
yang pesat ini barangkali mencengangkan ormas islam
yang lain. Kecurigaan itu memuncak dengan
dibekukannya kepengurusan Lemkari Jawa Timur oleh
gubernur Jawa Timur, Soelarso, pada 24 Desember 1989
dengan Surat Keputusan Nomor 612 Tahun 1989 tentang
Pembekuan Pengurus Perwakilan Lemkari Provinsi
Daerah Tingkat 1 Jawa Timur.
Surat keputusan tersebut sangat mengejutkan para
pengurus Lemkari Jawa Timur karena biasanya SK
sepenting itu diawali melalui teguran, lalu peringatan
kedua terlebih dahulu. Bila masi belum ada perubahan
barulah dilakukan pembekuan, atau semacamnya. Akan
tetapi yang terjadi sebaliknya, peringatan pertama
langsung disusul pembekuan, tanpa waktu yang
memadai untuk konsolidasi pengurus Lemkari. Meski
terkesan buru-buru, rekomendasi pembekuan pengurus
Lemkari Jawa Timur ternyata dating atas usulan MUI
Jawa Timur dan Mayor Jendral TNI Sugeng Subroto,
Pangdam V Brawijaya selaku Ketua Bakortranasda.
Selain tuduhan Lemkari memicu ketidak rukunan antar
umat beragama, juga mempermasalahkan Lemkari masih
eksklusif.
Padahal sebetulnya pangkal masalah bersumber dari
perebutan warisan berupa masjid di Dusun Sumber
Agung, Desa Kresek, Kediri, Jawa Timur, antara K.H.
66
Toha, salah satu warga Lemkari dengan keluarganya
yang kebetulan warga NU.
3. Kelahiran LDII Ketika kepengurusaan Lemkari perwakilan tinggkat
1 Jawa Timur dibekukan, Direktorium pusat Lemkari di
Jakarta berencana mengelar Mubes ke-empat yag pada
ahirnya di hadiri oleh 26 provinsi. Meskipun telah
mengalami perkembangan pesat, namun masih ada
anggapan Lemkari belum sepenuhnya mengatur
anggotanya yang dianggap menganut idiologi Islam
Jama’ah. Selain itu dengan berdiri di bawah naungan
Golkar, tentu Lemkari bersebraan dengan ormas
pendukung partai Islam. Kebanyakan ormas-ormas Islam
saat itu menyalurkan aspirasi politiknya ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Masalah partisan
terhadap partai inilah yang merupakan salah satu pemicu
berkembangnya kontoversi dan kesan eksklusif.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang membuat
kepengurusn hasil Mubes Lemkari ke-tiga segera
menyelenggarakan Mubes keempat. Untuk itu
pendekatan intensif dilakukan dengan Menteri Dalam
Negeri Rudini.
Diskusi dan konsultasi dengan Rudini membuahkan
ide-ide segar untuk menyempurnkan keberadaan
Lemkari. Bahkan Rudini menganjurkan Lemkari
mengubah nama karena nama Lemkari mirip dengan
lembaga Karate-Do Indonesia yang juga disingkat
dengan sebutan Lemkari, dimana Rudini juga menjabat
sebagai ketua umum. Perubahan nama tersebut sekaligus
juga mengubah visi-misi Lemkari agar lebih profesional
inklusif, dan lebih berwawasan nasional. Hal ini sesuai
dengan cangkupan cabang Lemkari yang telah tersebar
di 26 provinsi di Indonesia.
Dari pertemuan dengan Rudini itu, akhirnya lahirlah
nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia atau LDII.
Nama itu segera mencuat dalam Mubes Lemkari
keempat yang digelar pada 19-20 November 1990 di
67
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Mubes kali ini
dihadiri Menteri Dalam Negeri Rudini dan Ketua Umum
DPP Golkar, Wahono. Dalam Mubes itu, secara terbuka
Suarno menyebut perkembangan yang sebelumnya
memiliki 19 perwakilan menjadi 26 perwakilan di
seluruh Indonesia bukan karena kehebatannya sebagai
Ketua Umum atau pimpinan kolektif Dirpus Lemkari,
namun karena bantuan pemerintah. Posisi ini
menunjukan, Golkar memegang peranan dalam
perkembangan Lemkari. Lemkari menyadari benar
hingga ketika Suarno tidak berminat mencalonkan
dirinya kembali, para pegurusnya memberikan jaminan
siapapun Ketua Umum yang terpilih akan menyalurkan
aspirasinya ke Golkar. Barangkali hal ini bisa dikatakan
sebagai balas budi Lemkari atas kerjasamanya dengan
Golkar. Rudini menyambut baik prakarsa pergantian
nama dari Lemkari menjadi LDII. Dengan harapan,
perganian nama tersebut semakin lebih sesuai dengan
ruang lingkup kegiatan yang diminati, serta sifat
kekhususan yang melekat pada organisasi sekaligus juga
menunjukan keorganisasiannya. Dalam sambutannya, ia
menyatakan:
“Saya menilai bahwa prakarsa itu sangat tepat
agar dapat menghilangkan keracunan dalam hal
nama. Berhubung nama “Lemkari” ini juga telah
dipakai terlebih dahulu oleh organisasi
kemasyarakan lainnya, yang mempunyai kegiatan
di bidang olahraga Karate. Karena organisasi ini
mempunyai komitmen dengan kegiatan dakwah
Islam, maka gagasan untuk menyempurnakan
nama Lembaga Karyawan Dakwah Islam
Indonesia akan semakin memperjelas identitas
organisasi.”
Dalam salah satu sidang untuk memilih Ketua
Umum yang dipimpin oleh Prasetyo Soenaryo dan
Kemal Taruc salah seorang utusan Jawa Timur yang
bernama Supriasto, SH, mengusulkan akan diadakan
68
pemilihan langsung ketua umum. Usul ini diterima
secara bulat oleh pesertaa. Selanjutnya terpilihlah H.
Hartono Slamet sebgai Ketua Umum DPP LDII dan H.
Syamsuddin Zahar sebagai Sekertaris Jenderal.
Dengan demikian perubahan nama resmi dari
Lemkari menjadi LDII terjadi pada 20 November 1990.
Perubahan nama juga berimplikasi pada perubahan
struktur organisasi. Bila Lemkari susunan organisasinya
identik dengan dunia pendidikan, LDII mengubah
struktur organisasinya mirip dengan struktur organisasi
Golkar. Hal ini dapat dipahami karena struktur
organisasi Golkar sudah apan dan dapat mencukupi
seluruh kebutuhan organisasi. Mungkin hal ini
merupakan pengaruh Golkar yang cukup besar dalam
tubu Lemkari, terlihat dari beberapa pengurus Lemkari
menjadi kader Golkar di berbagai daerah.
Di tingkat Provinsi, perwakilan Lemkari disebut
Perwakilan Daerah Tingkat I, sedangkan LDII
menyebutnya sebagai Dewan Pimpinan Daerah Tingkat
I, yang dipilih oleh musyawarah daerah tingkat I, dan
disahkan oleh Dewan Pimpinan Pusat. Demikian pula
perwakilan di kabupaten/kota. Lemkari menggunakan
istilah Senat di Daerah Tingkat II, sedangkan LDII
menyebutnya sebagai Dewan Pimpinan Daerah Tingkat
II dan disahkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I.
Dengan adanya semangat perubahan ini beberapa
penjabat mulai menaruh simpati. Bahkan pada 8 Januari
1992, Sularso, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat
pembekuan kepengurusan Lemkari pada 1989, berkenan
hadir memberikan sambutan di Pondok Pesantren LDII
di Kediri, mendampingi kunjungan kerja Rudini, Menteri
Dalam Negeri. Tiga tahun kemudian, pada 27 Juni 1995,
DPD Tingkat I Jawa Timur semakin dapat legitimasi
dengan kunjungan Mayor Jendral TNI Imam Utomo,
Panglima Kodam V Brawijaya pada acara Perkemahan
69
Cinta Alam Indonesia (CAI) di Bumi Perkemahan
Kumbokarno, Wonosalam, Jombang, Jawa Timur.5
Untuk wilayah Lampung sendiri LDII masuk kurang
lebih sekitar tahun 1970 yang dibawa oleh KH. Nur
Hasan, yang merupakan seorang mubhalig besar utusan
dari Jakarta. KH. Nur Hasan mengemban tugas untuk
menyebarkan LDII di Provinsi Lampung. Setelah
beberapa tahun KH. Nur Hasan memilih para muridnya
yang dianggap mampu untuk menyebarkan di daerah-
daerah kabupaten di seluruh provinsi lampung. Beliau
memilih Mbah Dul untuk wilayah Natar, Bandar
Lampung oleh KH. Syamsyuri, Kota Bumi oleh Bapak
Yusuf.
LDII mulai masuk Kabupaten Tulang Bawang
Barat pada tahun 1984 yang dibawa oleh Bapak Anwar
yang merupakan murid dari Bapak Yusuf selaku
mubhalig dari wilayah Kota Bumi. Untuk Desa atau
Tiyuh Tunas Asri LDII masuk sekitar tahun 1985 yang
di bawa oleh Bapak Khoiri yang merupakan murid dari
Bapak Anwar.
Pada tahun itu LDII belum terbentuk menjadi
sebuah organisasi besar, hanya berupa sebuah tepat
peribadatan kecil yang berupa mushola atau langgar.
Semakin lambat laun pengikut LDII semakin banyak,
kemudian datanglah para mubhalig dari luar desa,
bahkan luar Provinsi Lampung. Mubhalig pertama yang
pertama datang adala Bapak Ahmadan yang merupakan
utusan dari Jakarta. Awal mula pembelajaran yang di
lakukan hanyalah di ajari cara mengaji. Setelah
datangnya bapak Ahmadan, Desa Tunas Asri semakin
dikenal. Banyak para mubhalig yang datang dari
berbagai daerah, seperti Kalimantan, Palembang, Kediri
dengan tujuan untuk menambah pengetahuan tentang
agama.
5 Wawancara Chriswanto Santoso.
70
C. Poligami Menurut LDII 1. Pengertian Poligami Menurut LDII
Mengenai masalah poligami, anggota ormas LDII
tidak begitu mempermasalahkan tentang hal ini, bahkan
mereka mendukung apabila ada salah seorang dari
mereka ingin melakukan poligami. Karena poligami
adalah suatu ajaran dari Rosulullah SAW, dengan
maksud ingin melindungi dan menjaga janda-janda atau
wanita dan anak-anak mereka. Mereka beranggapan jika
melakukan sunnah Rosulullah SAW maka mereka
merasa dekat dengan Rosulullah SAW. Hanya bedanya
dahulu para nabi tidak dibatasi dalam jumlah memiliki
istri. Sedangkan kita sebagai umatnya hanya boleh
memiliki istri maksimal empat orang saja.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ahmad
Ikhwan selaku pengurus LDII di Desa Tunas Asri,
poligami adalah suatu ajaran yang turun dari Nabi,
bahkan poligami juga dilakukan orang para Nabi
sebelum Rosul. Apabila istri yang benar-benar faham
akan Islam dan keutamaan poligami maka pasti istri mau
atau bersedia di poligami. Karena ganjaran seorang istri
yang mau dipoligami adalah surganya Allah SWT dan
itulah sebaik-baik tempat di akhirat nanti.6 beliau
menambahkan poligami sendiri termasuk dalam konsep
keluarga sakinah. Menurut mereka, konsep keluarga
sakinah adalah suatu keluarga yang sama-sama satu
keyakinan, dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW.
Dalam satu keluarga diperlukan adanya rasa saling
mengerti satu sama lain, terlebih bagi mereka yang
mempunyai lebi dari satu istri. Pengertian disini
maksudnya dapat memahami sifat serta karakter satu
sama lain. Apabila satu sama lain sudah mengerti tentang
sifat masing-masing maka tidak ada pertengkaran yang
terjadi dalam sebuah rumah tangga. Maka akan tercipta
6 Wawancara dengan Bapak Ahmad Ikhwan selaku pengurus LDII
di Tiyuh Tunas Asri Kabupaten Tulang Bawang Barat, 26 Juli 2015
71
sebuah keluarga yang tenang dan tentram, sakinnah,
mawwaddah, warrohmah.
Apabila memang terjadi pertengkaran dalam
keluarga hendaknya diselesaikan secara baik-baik, dan
bukan dengan latar belakang ego atau tindak kekerasan.
Perlu dicatat bahwa musyawarah keluarga tidak
mengurangi kedudukan laki-laki bahkan sebaliknya, hal
itu bias meningkatkan derajatnya di mata anak-anak
mereka, menambah kekagumannya, kecintaannya, dan
menunjukkannya kepada jalan yang benar.7
LDII sendiri tidak mengharuskan anggotanya untuk
menikahi janda, hanya saja lebih diutamakan untuk
menikahi janda, dan apabila ingin menikahi seorang
gadis maka tidak apa-apa, dengan alasan untuk
menolong seorang wanita yang yang belum menikah dan
juga yang sudah kelewat umur agar tidak melakukan hal-
hal yang dilarang oleh agama.
Menurut Bapak Edi Mulyono yang juga merupakan
salah seorang pengurus di Desa Tunas Asri, tidak
diharuskan seorang anggota LDII yang ingin berpolgami
untuk menikah dengan sesama anggota LDII, boleh saja
menikahi wanita di luar golongan LDII dengan syarat
sama-sama beragama islam.8 LDII juga tidak
memaksakan kepada seorang istri untuk masuk ke
golongan mereka.
2. Syarat Poligami Menurut LDII Pada ormas LDII, syarat poligami hanya ditekankan
pada izin istri. Tidak harus kaya yang penting ridho dan
mau di poligami. Jika istri tidak setuju atau tidak
mengizinkan suaminya melakukan poligami, maka boleh
seorang suami melakukan nikah siri. Selain itu, syarat
lainnya mengikuti atau merujuk pada syarat poligami
yang berlaku pada umumnya, yakni:
7 Abdul Latif Al-Brigawi, Fiqih Keluarga Muslim (Jakarta: Amzah,
2012), h. 44 8 Wawancara dengan Bapak Edi Mulyono selaku wakil pengurus
LDII di Tiyuh Tunas Asri, 27 Juli 2015
72
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS: An-
Nisaa 4:3)
Pada ayat di atas, dijelaskan bahwa syarat utama
untuk melakukan poligami sebenarnya ditekankan untuk
dapat berlaku adil. Berlaku adil maksudnya
memperlakukan istri dengan sama antara satu dengan
yang lainnya. Misalnya dalam memperlakukan dan
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-
lain yang bersifat lahiriyah.
Dalam ayat ini dijelaskan pula bahwa Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah
pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW, dan pada ayat ini diterangkan pula
bahwa seseorang yang ingin berpoligami dibatasi hanya
sampai empat orang saja.
Pada dasarnya, sesuai dengan ketentuan pasal 1
undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
73
bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wania sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut, hukum
perkawinan di Indonesia bedasarkan monogami.
Akan tetapi UU Perkawinan memberikan
pengecualian, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 3
ayat (2) UU, yang mana Pengadilan dapat memberikan
izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu
orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang, maka si suami mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Hal ini diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) UU perkawinan. Sedangkan
dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih
lanjut bahwa pengadilan hanya akan memberikan izin
kepada suami untuk beristri lebih dari satu jika: (a). Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri (b).
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan (c). Isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Selain hal-hal yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (2)
diatas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk
beristri lebih dari satu orang harus memenuhi syarat-
syarat yang termaktub dalam pasal 5 ayat (1) UU
Perkawinan yaitu: (a). Adanya persetujuan isteri/isteri-
isteri (b). Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-
anak mereka (c). adanya menjamin bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Pasal 5 ayat (2) UU Perkawinanmengatakan bahwa
persetujuan istri/istri-istrinya tidak diperlukan jika
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
74
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
hakim pengadilan.
Dalam Hukum Islam pengaturan tentang poligami
merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Ketentuan KHI menyangkut poligami tidak jauh berbeda
dengan UU Perkawinan. Hanya saja didalam KHI
dijelaskan antara lain bahwa pria beristri lebih dari satu
diberikan pembatasan yauitu seorang pria tidak boleh
beristri lebih dari 4 (empat) orang. Selain itu, syarat
utama seorang pria untuk mempunyai istri lebih dari satu
adalah pria tersebut harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isterinya dan anak-anaknya (Pasal 55 KHI).
Menurut KHI suami yang hendak beristri lebih dari
satu harus mendapatkan izin dari pengadilan agama. Jika
perkawinan berikutnya dilakuan tanpa izin dari
pengadilan agama, perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI).
Sama seperti dikatakan dalam UU Perkawian,
menurut pasal 57 KHI, pengadilan agama hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang jika: (a). Istri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai istri. (b). Istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhakan. (c). Istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas,
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan syarat lain
untuk memperoleh izin pengadilan agama syarat-syarat
tersebut juga merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan,
yaitu: (pasal 58 KHI) (a). Adanya persetujuan istri (b).
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
kepersluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
Pasal 58 KHI ini juga merujuk pada Pasal 41 huruf b
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (“PP 9/1975”), yang mengatakan bahwa
persetujuan isteri/isteri-isteri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, persetujuan kali ini dipertegas
75
dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan
Agama.
Jika si istri tidak mau memberikan persetujuan.
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan
terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding dan dilanjutkan kasasi (Pasal 59 KHI)
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 PP
9/1975 yang mengatakan bahwa: “Apabila Pengadilan
berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan
putusannnya yang berupa izin untuk beristri lebih dari
seorang”.9
9 Ditrektorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Bab IX tentang beristri lebih dari satu
orang, Pasal 55-59, (Jakarta, 1997)
Recommended