View
16
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tumbuhan Piper betle L.
2.1.1 Klasifikasi Sirih Piper betle L.
Secara taksonomi tanaman sirih Pipper betle L memiliki klasifikasi
sebagai berikut (Mubeen et al., 2014):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatopyhta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Magnoliidae
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle L.
Gambar 2.1 Tanaman P.betle L. (Hermiati dkk, 2013)
2.1.2 Nama Daerah
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beragam bahasa
daerah yang bermacam-macam hal ini dapat dilihat dari penyebutan salah satu
tanaman yaitu daun sirih hijau (Pipper betle L.) terdapat berbagai macam sebutan
nama diantanya: (Aceh) Ranub, (Gayo) Sereh, (Karo) Belo Batak, (Mandailing)
Burangir, (Mentawai) Cabai, (Minangkabau, Palembang) Sirih, (Sunda) Seureuh,
(Madura) Sere, (Dayak) Uwit, (Bima) Nahi, (Solor) Malu, (Alor) Mokeh, (Flores)
Mota, (Bacan) Bido (Sulastri, 2017).
6
2.1.3 Penyebaran
Tanaman sirih hidup tumbuh subur pada daerah dari Asia tropis hingga
Afrika Timur dan menyebar hingga hampir pada seluruh daerah Indonesia. Pada
Indonesia tumbuhan ini bisa ditemukan didaerah pulau Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku serta Papua. Awal mula tanaman sirih ditemukan
pada bagian timur di pantai Afrika, pada sekitar pulau Zanzibar yang berada pada
daerah sekitar sungai indus ke timur yang menelusuri sungai Yang Tse Kiang,
dikepulauan Bonin, Kepulauan Fiji serta di kepulauan Indonesia. Pada Indonesia
sendiri penyebarannya tidak terlalu luas akan tetapi pada pulau Jawa daun sirih
tumbuh dengan liar di hutan Jati atau yang disebut dengan hutan hujan dengan
ketinggian sampai 300m diatas permukaan laut (Buto, 2013; (Carolia, 2016).
2.1.4 Morfologi Tanaman
1. Batang Sirih Hijau
Sirih memiliki batang yang berwarna coklat kehijauan tetapi ada juga yang
berwana hijau keunguan, bentuknya bulat, pada bagian permukaan kulitnya kasar
serta berkerut-kerut, beruas dan sebagai jalan keluarnya akar (Susanto et al.,
2017).
Gambar 2.2 Batang P.betle L. (Yuli dkk, 2013)
2. Daun Sirih Hijau
Daun sirih hijau memiliki bentuk daun yang seperti jantung, tangkai
daunnya panjang, ujung daunnya runcing, tepi daunnya rata, tulang daun
menyirip, pangkal daunnya berlekuk serta daging daunnya tipis. Permukaan atas
daunnya memiliki warna hijau dan juga licin mengkilap, tulang daunnya sedikit
tenggelam. Sedangkan pada permukaan dibagian bawah daun berasa sedikit kasar,
kusam, tulangnya agak menonjol. Daun sirih hijau memiliki rasa yang pedas dan
bau aromatiknya begitu khas selain itu daun sirih hijau yang subur biasanya
memiliki lebar dengan ukuran antara 8 - 12 cm dan memiliki panjang dari 10 -
7
15cm. Pada daun pelindung memiliki bentuk lingkaran, panjang biasanya kira-
kira 1 mm serta bundar teluk terbalik atau lonjong (Inayatullah, 2012; Carolia,
2016).
Gambar 2.3 Daun P.betle L. (Ekosari R dkk, 2013)
3. Bunga dan Buah Sirih Hijau
Pada bunga berbentuk bulir, berdiri sendiri pada ujung cabang dan saling
berhadapan dengan daun. Bulir jantan memiliki panjang kira-kira sekitar 1,5 – 3
cm, terdapat dua buah benang sari yang sangat pendek. Bulir betina memiliki
panjang tangkai sekitar 2,5 – 6 cm. Kepala putiknya terdapat 3 – 5 buah, buah
bulat, dengan ujungnya yang gundul serta berwarna putih dan hijau kekuningan.
Pada bulir yang masak memiliki rambut yang kelabu, tebalnya 1 – 1,5 cm dan
juga rapat. Bijinya memiliki bentuk lingkaran (Prayoga, 2013).
2.1.5 Kandungan Kimia
Menurut (Putri, 2010) tanaman daun sirih mengandung senyawa polifenol.
Terdapat 4,2% minyak atsiri serta komponen utamanya yaitu bethel phenol dan
derivat diantaranya yaitu alkaloid, flavonoid, triterpenoid atau steroid, saponin,
terpen, fenilpropan, terpinen, diastase 0.8-1.8%, tanin, eugenol allypyrocathechine
26.8-42.5%, cineal 2.4-4.8%, methyl eugenol 4.2-15.8%, hidroksi kavikol, kavikol
7.2-16.7%, kavibetol 2.7-6.2%, estragol, ilypyrokatekol 0-9.6%, karvakrol 2.2-
5.6% (Inayatullah, 2012). Selain itu juga mengandung senyawa fitokimia lainnya
seperti eugenol, pcymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, terpenena dan
fenilpropada (Priyanto, 2018). Pada daun sirih memiliki bau khas yang
dikarenakan kandungannya yang terdiri dari minyak atsiri 1 – 4,2%, air, protein,
lemak, karbohidrat, vitamin A,B,C yodium, fosfor, gula dan pati (Susanto et al.,
2017).
8
2.1.6 Khasiat Tanaman
Daun sirih dikenal sebagai bahan untuk menginang yang berguna untuk
menguatkan gigi, menyembuhkan sariawan, menghilangkan bau mulut dan
menghentikan pendarahan gusi. Penggunaan sirih sebagai bahan obat mempunyai
dasar kuat karena adanya kandungan minyak atsiri yang merupakan komponen
fenol alami yang dapat berfungsi sebagai antiseptik yang kuat. Selain sebagai
antiseptik, daun sirih juga dapat digunakan sebagai antioksidasi dan fungisida
(Kursia et al., 2016).
Selain itu dalam rebusan daun sirih hijau memiliki khasiat sebagai obat luka
yang terbuka, impetigo, luka bakar eksim dan sakit perut. Pada daun dan akarnya
memiliki khasiat yaitu sebagai obat asma dan juga obat malaria (Dwivedi dan
Tripathi, 2014).
2.2 Aktivitas Senyawa Antibakteri Daun Sirih Hijau
Metabolik sekunder adalah senyawa yang biasanya berfungsi sebagai
perlindungan pada tumbuhan dari serangan hama penyakit. Hal ini dikarenakan
metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis oleh makhluk hidup,
hewan serta mikroba yang mempunyai aktivitas farmakologi dan biologi tersebut.
Senyawa ini biasanya hanya terdapat pada spesies tertentu atau hanya satu spesies
saja tidak seperti metabolit primer (lipid, gula, asam amino dan nukleotida) yang
biasanya terdapat hampir pada semua tanaman ataupun kingdom. Senyawa
metabolit sekunder biasanya melewati proses biosintesis yang digunakan dalam
hal menunjang kehidupan namun tidak terlalu berpengaruh seperti asam amino,
asam lemak dan juga gula (Saifudin, 2012).
2.2.1 Steroid
Steroid merupakan senyawa turunan dari skuelena, triterpena serta karoten
dan juga retinol. Steroid merupakan hasil alam yang dihasilkan oleh organisme
melewati metabolit sekunder yang biasanya senyawa ini banyak terdapat pada
hewan dan juga tumbuhan. Senyawa ini kebanyakan memiliki struktur kimia yang
terdiri atas 17 atom karbon dengan membentuk 1,2-siklopentanoperhidrofenantren
serta memiliki kerangka dasar triterpena asiklik. Ciri umum yang dimiliki oleh
steroid ialah sistem empat cincin yang bergabung. Pada cincin A, B dan C
terdapat enam atom karbon sedangkan pada cincin D terdiri lima atom karbon.
9
Selain itu steroid dapat dibagi berdasarkan beberapa kelompok menurut efek
fisiologisnya. Perbedaan pengelompokan struktur ini dapat ditentukan oleh
substituent R1, R2, R3 yang terikat pada kerangka dasar sedangkan perbedaan
didalam satu kelompok antara satu senyawa dengan senyawa lain yaitu dengan
membedakan dari panjang rantai karbon substituent, gugus fungsi yang ada pada
substituent, jumlah serta posisi gugus fungsi oksigen dan ikatan rangkap pada
kerangka dasar dan juga konfigurasi pusat asimetris yang ada pada kerangka
dasar (Salni, 2011; Endarini, 2016).
Steroid merupakan salah satu obat yang mampu mengatasi peradangan dan
juga nyeri, selain itu steroid juga mampu meningkatkan mood seseorang karena
steroid bekerja langsung pada kimiawi otak. Pada seseorang yang tidak
mengalami peradangan akan tetapi mengonsumsi steroid maka dalam sekejap
akan menjadi merasa nyaman dalam sekejap. Akan tetapi penggunaannya dalam
meredakan nyeri dan meningkatkan mood memiliki sedikit efek samping dan
mungkin saja akan menjadi berbahaya. Mekanisme kerja dari senyawa steroid
yaitu dapat menyebabkan kebocoran pada liposom yang berhubungan dengan
membran lipid dan sensitivitas terhadap komponen senyawa steroid. Selain itu
senyawa steroid dapat berinteraksi dengan membran fosfolipid sel yang memiliki
sifat permeabel terhadap senyawa-senyawa lipofilik sehingga dapat menyebabkan
integritas pada membran menurun selain itu morfologi membran sel dapat
berubah yang pada akhirnya menyebabkan sel tersebut rapuh dan juga lisis
(Rijayanti,2014).
2.2.2 Alkaloida
Alkaloid merupakan senyawa organik golongan metabolik sekunder yang
terbesar dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan dengan memiliki
kemampuan sebagai antibakteri. Fungsi alkaloid pada tumbuhan yaitu sebagai
senyawa racun yang dapat melindungi tumbuhan dari serangan serangga ataupun
herbivora (hama dan penyakit), pengatur tumbuhan atau sebagai basa mineral
untuk mempertahankan keseimbangan pada ion (Sudarma, 2014)
Senyawa alkaloid mempunyai ciri yaitu semua alkaloid memiliki paling
sedikit satu atom N yang mempunyai sifat basa dan biasanya merupakan bagian
dari cincin heterosiklik. Senyawa golongan alkaloid dapat diklasifikasikan
10
berdasarkan jenis cincin heterosiklik nitrogen, dari hal tersebut alkaloid dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu alkaloid pirolidin, alkaloid piperidin,
alkaloid isokuinolin, alkaloid indol, alkaloid piridin serta alkaloid tropana.
Pemisahan alkaloid dengan sebagaian besar komponen tumbuhan yang lainnya
dapat dilakukan berdasarkan sifat basanya. Oleh sebab itu, golongan senyawa ini
sering diisolasi dalam bentuk garamnya yaitu dengan asam klorida atau asam
sulfat (Endarini, 2016)
Mekanisme kerja alkaloid yaitu diprediksi melalui penghambatan sintesis
dinding sel sehingga tidak terbentuk secara utuh serta menyebabkan kematian
pada sel tersebut dengan cara mengganggu komponen dari penyusunnya yaitu
peptidoglikan pada sel bakteri. Selain itu mekanisme antibakteri dari senyawa
alkaloid yaitu komponen alkaloid diketahui dapat menjadi interkelator DNA dan
dapat menghambat enzim topoisomerase sel bakteri (Rijayanti, 2014).
2.2.3 Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan salah satu kelompok metabolit sekunder
golongan fenolik yang paling banyak ditemui dialam dengan struktur kimia C6-
C3-C6 dan sering dijumpai dalam bentuk glikosidanya. Senyawa-senyawa ini
merupakan zat berwarna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning yang
terdapat pada tanaman. Menurut struktur senyawanya terdiri beberapa jenis
flavonoid yang bergantung pada tingkatan oksidasi rantaipropan yaitu kalkon,
flavan, flavanol (katekin), flavanol, flavanonol, flavon, flavanon, atosianidin dan
auron (Endarini, 2016). Flavonoid memiliki aktivitas farmakologi yaitu sebagai
anti-inflamasi, antibakteri, analgesik serta anioksidan (Rijayanti, 2014).
Gambar 2.4 Struktur Flavonoid (Redha, 2010)
Menurut (Rijayanti, 2014) mekanisme kerja flavonoid sebagai antimikroba
11
dapat dibagai menjadi 3 mekanisme yaitu menghambat sintesis asam nukleat,
menghambat fungsi membran sel dan menghambat metabolisme energi:
1) Menghambat sintesis asam nukleat
Pada cincin A dan B memiliki peran yang sangat penting dalam proses
interkelasi atau ikatan hidrogen dengan cara menumpuk basa asam nukleat yang
dapat menghambat pembentukan pada DNA dan juga RNA. Letak gugus hidroksil
yaitu pada posisi 2`, 4` atau 2`, 6` dihidroksilasi pada cincin B dan 5,7 dihidroksil
pada cincin A yang berperan pentig dalam aktivitas antibakteri flavonoid.
Flavonoid dapat menyebabkan terjadinya keruskan pada permeabilitas didinding
sel bakteri, mikrosom dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan
DNA bakteri.
2) Menghambat fungsi membran sel
Pembentukan senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan juga
terlarut sehingga hal tersbut dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti pula
dengan keluarnya senyawa intraseluler. Tetapi dalam penelitian lain dinyatakan
bahwa pada mekanisme flavonoid yang menghambat fungsi membran sel yaitu
dengan cara mengganggu permebealitas membran selnya dan juga menghambat
dalam ikatan enzim seperti ATPase serta fosfolipase.
3) Menghambat metabolisme energi
Menghambat penggunaan oksigen bakteri, pada flavonoid dapat
menghambat sitokrom C reduktase sehingga pada pembentukan metabolismenya
terhambat, selain itu pula energi tersebut dibutuhkan oleh bakteri untuk biosintesis
makromolekul.
2.2.4 Fenol
Fenol (C6H6OH) adalah senyawa aromatik yang terdiri dari cincin
karboaromatik yaitu cincin aromatic yang hanya terdiri dari atom karbon dan juga
hidrogen. Pada cincin karboaromatik biasanya dapat tersubstitusi oleh satu
ataupun lebih gugus hidroksil ataupun gugus lainnya yang lebih ekivalen saat
ditinjau dari segi biogenetik. Senyawa fenol apat dibedakan menjadi dua jenis
berdasarkan dari segi biogenetiknya yaitu berasal dari jalur asetat malonat dan
berasal dari kombinasi antar kedua jalur biosintesisnya yaitu senyawa flavonoid
(Endarini, 2016).
12
Mekanisme senyawa fenol sebagai antibakteri yaitu dengan cara merusak
dinding sel dan juga merusak enzim-enzim pada bakteri dan meracuni
protoplasma, merusak serta menembus dinding dan juga mengendapkan protein
sel bakteri (Porwoeno, 2012; Mhaske et al., 2012).
2.2.5 Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang senyawanya memiliki sebagian
senyawa fenolik serta mudah ditemukan dalam tanaman dan mudah larut dalam
air dengan berat molekul yaitu berkisar 1000-3000. Tanin memiliki struktur yang
terhidrolisis berupa asam galat (3,4,5-trihidroksil benzoate). Asam galat ini lalu
akan diesterifikasi menjadi poliol inti dan gugus galloyl dapat diesterifikasi lebih
lanjut atau secara oksidatif berikatan silang untuk dapat menghasilkan tanin
terhidrolisis yang lebih kompleks (Mercy dkk, 2013).
Berdasarkan sifat dan juga struktur kimianya senyawa tanin dibagi menjadi
dua yaitu tanin yang terhirolisis dan tanin yang terkondensasi. Tanin terhidrolisis
biasanya dapat ditemukan dalam konsentrasi yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan tanin yang terkondensasi. Tanin terkondensasi memiliki beberapa unit
flavonoid (flavan-3-ol) yang biasanya dihubungkan oleh ikatan-ikatan karbon
(Rijayanti, 2014).
Mekanisme kerja tanin sebagai antibakteri yaitu dengan cara menghambat
reverse transkiptase dan DNA topoisomerase sehingga tidak dapat terjadi
pembentukan sel bakteri. Selain itu mekanisme kerja senyawa tanin sebagai
antibakteri yaitu dengan cara memprepitasi protein, efek dari antibakteri tanin
yaitu dapat melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim dan juga
inaktivasi fungsi dari genetik. Hubungan aktivitas antibakteri senyawa tanin
dengan kemampuannya untuk menginaktifkan adhesin pada sel mikroba,
menginaktifkan enzim dan juga mengganggu transport protein yang terdapat pada
lapisan dalam sel. Selain itu tanin mempunyai target terhadap dinding sel pada
polipeptida sehingga pembentukan menjadi terganggu yang menyebabkan sel
bakteri menjadi lisis disebabkan tekanan osmotik maupun fisik sehingga sel
bakteri tersebut menjadi mati (Rijayanti, 2014).
2.2.6 Saponin
Saponin adalah suatu glikosida yang alamiah dan terikat dengan dengan
13
steroid ataupun triterpena yang memiliki aktifitas farmakologi yaitu sebagai
immunomodulator, antibakteri, antivirus, anti jamur, anti tumor, anti-inflamasi,
serta dapat membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik dan juga efek
hipokolestrol. Saponin terdiri dari sapogenin merupakan bagian yang bebas dari
Glikosida yang disebut dengan Aglikon. Sapogenin mengikat sakarida yang terdiri
dari monosakarida yang panjangnya bervariasi hingga mencapai 11 unit
monosakarida, tetapi pada umumnya panjang sakarida yaitu 2-5 unit. Sapogenin
(Aglikon) biasanya terdiri dari triterpenoid ataupun steroid, saponin bersifat
amfifilik hal ini dikarenakan sapogenin yang bersifat lipofilik serta sakarida yang
bersifat hidrofilik. Karena hal tersebut sehingga saponin dapat membentuk busa
dan juga dapat merusak membran sel hal ini dikarenakan terbentuknya ikatan
dengan lipid dari membran sel (Hidayah, 2016).
Gambar 2.5 Struktur Saponin (Liener, 2003)
Mekanisme kerja senyawa saponin sebagai antibakteri yaitu dapat
menyebabkan kebocoran pada protein dan juga enzim dari dalam sel. Antibakteri
pada saponin yaitu memiliki zat aktif yang permukaannya mirip dengan detergen
hal tersebut menyebabkan saponin dapat menurunkan tegangan permukaan pada
dinding sel bakteri dan juga dapat merusak permeabilitas membran. Kerusakan
pada membran sel inilah yang mengakibtkan terganggunya kelangsungan hidup
bakteri. Saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan
kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga mengganggu dan juga
mengurangi kestabilan membran pada sel. Hal inilah yang dapat menyebabkan
sitoplasma menjadi bocor lalu keluar dari sel sehingga mengakibatkan kematian
sel. Agen mikroba yang mengganggu sitoplasma bersifat bakterisida (Rijayanti,
2014).
14
2.2.7 Terpenoid
Didalam tumbuhan senyawa yang paling banyak terdapat yaitu senyawa
terpenoid. Hal ini menunjukan bahwa secara biosintesis semua senyawa tumbuhan
berasal dari senyawa yang sama. Terpenoid berasal dari molekul isoprene dan
kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih satuan (Salni, 2011).
Senyawa yang terdapat pada terpenoid yaitu mulai dari komponen minyak atsiri
yang mudah menguap yaitu senyawa monoterpena dan seskuiterpena, lebih sukar
menguap yaitu senyawa diterpena dan senyawa yang tidak mudah menguap yaitu
triterpenoid serta sterol dan juga pigmen karotenoid. Pada golongan terpenoid
semua penting baik yang ada pada pertumbuhan, metabolisme maupun yang ada
pada ekologi tumbuhan (Salni, 2011).
2.2.8 Minyak atsiri
Tanaman daun sirih hijau memiliki aktivitas sebagai antibakteri karena
mengandung minyak atsiri yaitu bethel phenol dan juga turunanya yang dapat
menghambat dalam pertumbuhan bakteri dengan cara merusak dinding sel.
Minyak atsiri pada tanaman daun sirih hijau memiliki daya antibakteri 5 kali lipat
terhadap Gram positif daripada fenol biasa hal ini disebabkan oleh adanya
senyawa fenol dan juga turunannya yang dapat mendeturasi protein sel bakteri
dan mengandung kavikol serta kavibetol yang merupakan turunan dari fenol
(Shahab, 2016).
2.3 Tinjauan Bakteri Staphylococcus epidermidis
2.3.1 Klasifikasi
Gambar 2.6 Bakteri Staphylococcus epidermidis (Lenny, 2016)
Klasifikasi Staphylococcus epidermidis menurut jawetz et al. (2010) adalah:
15
Kingdom : Bakteria
Divisi : Eucariota
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus epidermidis
2.3.2 Morfologi dan Sifat
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang sering ditemukan
pada flora normal pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka. Akan tetapi pada kulit
bakteri ini bisa berubah menjadi patogen bila terjadi peningkatan jumlah koloni
yang berlebihan. Staphylococcus epidermidis merupakan salah satu bakteri gram
positif, kokus berkelompok tidak beraturan dan bersifat anaerobik fakultatif.
Bakteri ini termasuk golongan bakteri yang heterogen bersifat nonmotil (tidak
bergerak), memiliki diameter 0,5-1,5 µm, tidak membentuk spora dan koloni
bakteri berwana putih ini tumbuh dengan optimal pada suhu 30°- 37° C (Jawetz et
al., 2010; Radji, 2011).
2.3.3 Media Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus epidermidis
Media selektif yang secara umum digunakan untuk pertumbuhan bakteri
Staphylococcus epidermidis salah satunya yaitu Tryptic Soya Broth (TSB)
direkomendasikan sebagai media yang tujuan umumnya untuk isolasi dan
budidaya berbagai bakteri. Pada media ini yang berfungsi sebagai sumber
karbohidrat yaitu dektrosa dan kalium fosfat. Selain itu terdapat kombinasi dari
kasein dan juga papain dari bungkil kedelai sehingga membuat mediumnya
bergizi dengan penyediaan asam amino dan peptida rantai panjang untuk
pertumbuhan mikroorganisme (Kafaween dkk., 2019).
Media lain yang dapat digunakann untuk pertumbuhan bakteri ini yatiu
Manitol Salt Agar (MSA), Mueller Hinton Agar (MHA) dan Mueller Hinton
Broth (MHB). Pada media MHB terdapat komposisi yaitu infus daging sapi dan
hidrolisat asam kasein yang berfungsi sebagai pemberi senyawa nitrogen, karbon,
sulfur dan nutrisi penting lainnya pada bakteri (Kafaween dkk., 2019).
16
2.2.4 Patogenitas
Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit manusia dan
tidak terdapat masalah bagi yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang bagus.
Akan tetapi bermasalah pada manusia yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang
buruk. Karena bakteri ini menyebkan infeksi oportunistik. Selain itu bakteri ini
juga memproduksi sejenis toksin atau zat yang beracun. Bakteri ini juga
memproduksi lendir sehingga memudahkan untuk menempel dimana-mana.
Lendir ini pula yang membuat bakteri Staphylococcus epidermidis lebih tahan
terhadap fagositosis (salah satu mekanisme pembunuhan bakteri oleh sistem
kekebalan tubuh) dan beberapa antibiotika tertentu (Madani, 2010).
Staphylococcus epidermidis merupakan salah satu bakteri yang dapat
menimbulkan penyakit infeksi pada kulit yang ditandai dengan pembentukan
abses seperti jerawat, infeksi kulit, infeksi saluran kemih dan infeksi ginjal. Selain
itu bakteri ini dapat menimbulkan infeksi pada neonatus, pada orang-orang yang
memiliki kekebalan tubuh yang rendah serta pada orang yang menggunakan alat
didalam tubuhnya (Rajdi, 2011).
2.2.5 Tinjauan Pewarnaan Gram pada Bakteri Staphylococcus epidermidis
Pada bidang kesehatan tindakan yang paling penting yang harus dilakukan
terutama menyangkut mikroorganisme adalah melakukan identifikasi terhadap
mikroorganisme yang ingin kita temukan seperti jenis bakteri, jamur maupun
virus. Hal yang dilakukan pertama kali untuk mengetahui bakteri yang kita dapat
dari hasil swab yang kita lakukan pada suatu lokasi tertentu yaitu pewarnaan
gram. Pewarnaan gram merupakan identifikasi tahap awal untuk mengetahui
penggolongan bakteri gram positif ataupun negatif (Brookset et al., 2010)
Pada metode ini bisa untuk mengetahui morfologi dari suatu bakteri
seperti diplokokus, kokus, rantai maupun berkelompok. Pewarnaan gram ini
biasanya sering menggunakan reagen yaitu etil alkohol, safranin, kristal violet dan
iodine. Etil alkohol berfungsi yaitu pada bakteri gram negatif akan hilang pada
saat pewarnaan pertama dikarenakan jumlah lipopolisakarida yang besar dalam
dinding sel sedangkan pada bakteri gram positif dapat menahan pewarnaan tahap
pertama hal ini disebabkan karena peptidoglikan dan asam teichonic berubah
menjadi cross-links. Fungsi safranin yaitu pada bakteri gram positif tidak
17
memberikan efek sedangkan pada bakteri Gram negatif akan memberikan warna
merah. Pewarnaan kristal violet berfungsi sebagai pewarnaan pertama pada
seluruh bakteri yang selanjutnya akan digunakan oleh iodine yang berfungsi
sebagai mordant yaitu meningkatkan reaksi antara dinding sel dengan pewarnaan
pertama (Delost, 2015).
2.4Tinjauan Infeksi Bakteri Staphylococcus epidermidis
2.4.1 Pengobatan Jerawat
Dalam pemilihan pengobatan jerawat biasanya menggunakan antibiotik
yang dapat menghambat inflamasi dan membunuh bakteri. Selain itu dalam
pemilihan antibiotik dapat didasarkan pada analisis mikrobiologi dari bagian yang
terinfeksi serta tanda-tanda klinisnya. Penggunaan lazim yang biasa digunakan
dalam mengobati jerawat adalah penggunaan antibiotik seperti tetrasiklin,
eritromisin, doksiklin dan klindamisin. Selain itu jerawat dapat pula diobati
menggunakan benzoil peroksida, asam azelat dan retinoid (Dermawan et al.,
2015).
2.5 Tinjauan Antibiotik
Mikroba ataupun fungi dapat menghasilkan suatu zat yang dapat
menghambat maupun membasmi mikroba jenis lain (FK UI, 2007). Biasanya zat
ini disebut dengan antibiotik dan sering digunakan dalam pengobatan untuk
menghilangkan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme serta patogen asing
(Pejcic et al., 2010). Antibiotik merupakan suatu zat antimikrobia yang
didapatkan dari atau dibentuk dan dihasilkan oleh mikroorganisme yang pada
umumnya adalah jamur maupun sintetik lainnya. Dalam jumlah yang sedikit
maupun dalam jumlah yang banyak zat antimikrobia ini memiliki daya hambat
untuk mikroorgnaisme yang lain, akan tetapi untuk toksisitasnya terhadap
manusia cukup rendah. Turunan zat-zat ini, yang dibuat secara semi sintetis, juga
termasuk dalam kelompok ini, begitu pula senyawa sintetis dengan khasiat
antibakteri (Priyanto, 2010).
Kadar hambat minimum (KHM) merupakan kemampuan antibiotik untuk
menghambat bakteri dalam kadar terendahnya. Sedangkan kadar bunuh minimum
(KBM) merupakan kemampuan antibiotik dalam membunuh bakteri dengan kadar
terendah setelah masa inkubasi 24 jam (Radji, 2011). Menurut (Patel dkk.,2017)
18
Pada Clinical and Laboratory Standards Institude 27th Ed kekuatan daya hambat
bakteri adalah sebagai berikut:
Tabel I. Kriteria Kekuatan Antibakteri
Interpretive Category Breakpoints*
MIC (µg/mL) Zone Diameter (mm)
Susceptible (Rentan) ≤4 ≥20
Susceptible-Dose Dependent
(Menengah atau rentan
tergantung dosis)
8 – 16 15 – 19
Intermediate (Menengah) 8 – 16 15 – 19
Resistant (Resistan) ≥32 ≤14
Nonsusceptible (Tidak Rentan) >4 <20
*Formerly “Interpretive criteria”
2.5.1 Penggolongan antibiotik
Berdasarkan spektrum aktivitas, tempat kerja dan struktur kimia antibiotik
dapat dikelompokkan menjadi 6, yaitu:
1) Antibiotik dengan spektrum luas yang efektif terhadap Gram-negatif ataupun
Gram-positif, yaitu: seperti beberapa turunan-turunan penisilin (ampisilin,
amuksisilin dan hetasilin), turunan tetrasiklik dan turunan amfenikol.
2) Antibiotik yang memiliki aktivitas lebih dominan untuk bakteri Gram-negatif,
yaitu: sulfomisin, kolistin serta polimiksin B sulfat
3) Antibiotik yang memiliki aktivitas lebih dominan untuk bakteri Gram-positif,
yaitu: beberapa turunan penisilin, turunan linksamid serta beberapa turunan
sepalosporin
4) Antibiotik yang memiliki aktivitas lebih dominan untuk Mycobacteriae
(antituberkolosis), yaitu: viomisin, sikloserin serta kapreomisin.
5) Antibiotik yang memiliki aktivitas lebih dominan untuk jamur (antijamur),
yaitu: antibiotik poilen (nistatin dan kandisidin)
6) Antibiotik yang memiliki aktivitas lebih dominan untuk neoplasma
(antikanker), yaitu: bleomisin, aktinomisin serta vinkristin (Soekardjo et al.,
2008).
19
2.5.2 Tinjauan Siprofloksasin
Siprofloksasin dengan nama kimia 1-cyclopropyl-6 fluoro 1,4 dihydro-4-
oxo-7-(1-piperazinyl)-3-quinoline carboxylic acid merupakan antibiotik yang
digolongkan sebagai fluorokuinolon disebut demikian karena terdapat adanya
atom fluor pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Siprofloksasin merupakan
generasi ke 2 dan memiliki spektrum luas (broad spectrum). Kegunaan dari
siprofloksasin yaitu untuk mengobati infeksi yang biasanya disebabkan oleh
bakteri gram-negatif seperti E.coli, P.mirabilis, Klebsiella sp, Shigella sp,
Enterobacter, Haemophylus, Salmonella sp dan P.aeruginosa serta gram-positif
tertentu seperti Staphylococcus sp dan Streptococcus sp (Ikonne dkk., 2009).
Siprofloksasin banyak digunakan dalam antibiotik dikarenakan
availabilitasnya yang baik dalam bentuk sediaan oral maupun intravena.
Antibiotik ini diabsrobsi dengan baik melalui saluran cerna, biovaibilitas
absolutnya yaitu sekitar 70% tanpa kehilangan yang bermakna dari metabolisme
fase pertama. Selain itu antibiotik ini juga cepat dieksresi dari tubuh pada kondisi
tubuh yang normal. Siprofloksasin merupakan suatu alternatif yang digunakan
untuk obat-obat yang lebih toksik seperti aminoglikosid dan dapat bekerja
sinergik bersamaan dengan obat-obat beta-laktam (Setiabudy R, 2007).
Mekanisme kerja antibiotik ini dengan cara menghambat sintesis asam
nukleat sehingga dapat masuk ke dalam sel dengan cara difusi pasif yang melalui
kanal protein terisi air pada membran luar sel bakteri secara intra seluler.
Sehingga obat ini dapat menghambat replikasi pada DNA bakteri dengan cara
mengganggu kerja DNA girase selama pertumbuhan dan reproduksi bakteri
(Mycek, 2001)
2.6 Uji Kepekaan Aktivitas Antimikroba Secara In-Vitro
Pada metode ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi pada suatu zat
antimikroba sehingga diperoleh suatu sistem pengobatan yang efektif dan juga
efisien. Terdapat tiga metode dalam pengujian kepekaan aktivitas antimikroba
secara in vitro yaitu metode dilusi, difusi dan juga bioautografi. Pada metode
dilusi yaitu teknik pengukuran yang dilakukan secara kuantitatif dalam
menentukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM). Akan tetapi pada metode
difusi dan juga bioautografi merupakan teknik pengukuran yang dilakukan secara
20
kualitatif yaitu dengan cara menunjukkan ada atau tidaknya senyawa antimikroba
(Choma dan Grzelak, 2010). Beberapa macam tersebut antara lain.
2.6.1 Metode Dilusi
Pada metode ini dibedakan menjadi dua cara yaitu dilusi cair dan dilusi padat.
a. Metode Dilusi Cair (broth dilution test)
Tahapan pertama yang dilakukan yaitu membuat seri pengenceran agen
antimikroba pada media cair kemudian ditambahkan dengan mikroba uji (Pratiwi,
2008). Pada metode ini jumlah koloni yang ditambahkan yaitu sejumlah 1 – 5 x
105 CFU (colony forming unit)/ml. Kemudian dilakukan pencampuran didalam
tabung lalu disimpan pada suhu 35˚C selama satu malam. Langkah selanjutnya
yaitu memeriksa apakah ada pertumbuhan bakteri pada konsentrasi antibiotik
terendah yang diberikan tersebut, sehingga itulah istilah dari konsentrasi hambat
minimum (KHM) atau yang disebut minimm inhibitory concentration (MIC)
(James dan Marry, 2009).
b. Metode Dilusi Padat
Metode ini biasanya digunakan untuk menentukan konsentrasi hambat
minila dan konsentrasi bunuh minimal dari suatu uji atau obat terhadap kuman
percobaan. Tahap yang dilakukan sama dengan metode dilusi cair akan tetapi
yang membedakan yaitu menggunakan media padat. Metode ini memiliki
keuntungan yaitu pada satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji biasanya
dapat digunakan dalam menguji beberapa mikroba uji (Inayatullah, 2012).
2.6.2 Metode Difusi
Metode ini juga disebut dengan metode Kirby-Baurer dan Stokes adalah
metode yang biasa digunakan dalam hal pengujian antimikroba. Pada metode ini
menggunakan piringan cakram kertas yang sudah berisi agen antimikroba. Setelah
itu diletakkan pada permukaan media agar yang sebelumnya sudah ditanamani
mikroorganisme bakteri uji pada permukaannya. Kemudian setelah inkubasi
dilakukan pengukuran diameter zona hambat yang ada pada sekitar cakram untuk
mengetahui kekuatan hambatan yang ada pada obat terhadap organisme uji. Pada
area jernih maka mengindikasikan bahwa terdapat hambatan pertumbuhan
mikroorganisme yang dilakukan oleh agen antimikroba pada permukaan media
agar (Gyure dan Ruth, 2012).
21
Pada metode ini tes yang dilakukan yaitu menggunakan inokulum bakteri
yang biasanya berkisar kira-kira 1-2 x 108
CFU/ml yang ada pada permukaan plat
Mueller Hinton Agar. Tahapan pertama yang dilakukan yaitu menyiapkan 12
macam konsetrasi pada cakram kertas antibiotik di atas permukaan inokulum
agar. Setelah itu plat diinkubasi selama 16-24 jam dengan suhu 35˚C yang
kemudian didapatkan hasil zona hambat pada pertumbuhan disekitar cakram
antibiotik yang biasanya pengukurannya menggunakan satuan panjang milimeter.
Diameter dari zona hambat ini biasanya berhubungan langsung dengan kerentanan
isolasi dan juga tingkat difusi pada bahan uji. Setelah itu diameter zona hambat
diinterpretasikan dengan menggunakan kritesia dari Clinical and Laboratory
Standards Institute (CLS) atau juga Us Food and Drug Administration (FDA).
Kemudian hasil dari tes difusi cakram tersebut yaitu kualitatif. Metode ini
memiliki keuntungan merupakan tes yang sederhana karena tidak membutuhkan
banyak peralatan khusus dalam kategore hasil dapat dengan mudah
diinterpretasikan dan juga lebih fleksibilitas dalam hal pemilihan cakram untuk
pengujian. Akan tetapi kekurangan dari metode ini adalah tidak adanya
mekanisme atau automatisasi (Inayatullah, 2012).
2.6.3 Metode Bioautografi
Pada metode ini bertujuan untuk mendeteksi aktivitas mikroba yang belum
teridentifikasi yaitu dengan cara melokalisir aktivitas antimikroba tersebut dalam
suatu kromatogram (Choma dan Grzelak, 2011). Tahapan pertama yang dilakukan
pada metode ini yaitu meletakkan plat KLT sampel yang sebelumnya sudah
dikeringkan diatas media yang telah diberikan suspensi bakteri selama 20 menit.
Setelah itu media diinkubasi pada suhu 37˚C selama 18-24 jam. Kemudian
mengamati zona hambat yang terbentuk. Pada metode ini tahapan yang dilakukan
hampir sama dengan metode difusi agar. Perbedaan dari metode difusi agar yaitu
senyawa uji berdifusi dari kromatografi ke media agar yang telah diinkubasi. Pada
metode bioautorafi dapat dibagi lagi menjadi bioautografi kontak, imersi (agar
over-play) dan juga langsung (Choma dan Grzelak, 2011).
2.7 Kromatografi Lapis Tipis
2.7.1 Definisi Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu cara atau teknik
22
dalam pemisahan dengan menggunakan cara adsorben (fase stasioner) yaitu
berupa lapisan tipis seragam yang disalutkan pada permukaan bidang datar yang
berupa lempengan kaca, pelat aluminium ataupun pelat plastik. Biasanya teknik
kromatografi ini banyak digunakan dalam hal analisis kualitatif senyawa organik,
isolasi pada senyawa tunggal dari campuran multikomopen, analisis kuantitatif
dan juga isolasi berskala preparatif (Mukhriani, 2014).
Pada KLT bahan yang digunakan dalam menyerap cairan atau gas
mempunyai karakteristik permukaan yang berbeda dan juga sifat fisikokimia yang
berbeda juga. Pada kromatografi terjadi pengembangan yaitu ketika fase gerak
terlapis melewati adsorben (Deinstrop dkk., 2007). KLT dapat digunakan jika:
1. Senyawa yang tingkat penguapannya rendah atau tidak menguap
2. Senyawa yang bersifat polar, semi polar, non polar atau ionik.
3. Pada sampel yang banyak harus dianalisis secara simultan, hemat biaya dan
dalam jangka waktu tertentu.
4. Sampel yang dianalisis akan merusak kolom pada Kromatografi Gas (KG)
ataupun Kromatografi Cair (KC).
5. Pelarut yang biasanya digunakan dapat mengganggu penjerap dalam kolom
Kromatografi Cair.
6. Senyawa yang digunakan dalam sampel yang akan dianalisis tidak dapat
dideteksi dengan metode KC ataupun KG ataupun biasanya memiliki tingkat
kesulitan yang tinggi.
7. Setelah proses kromatografi, semua komponen dalam sampel perlu dideteksi
(berkaitan dengan nilai Rf).
2.7.2 Fase Diam
Fase diam merupakan salah satu komponen yang penting dalam teknik
pemisahan KLT. Fase diam terdiri dari lapisan tipis seragam yang sebelumnya
disalutkan pada permukaan bidang datar yang berupa lempeng kaca, pelat
aluminium atau pelat plastik. Biasanya fase diam digunakan pada kromatografi
lapis tipis yaitu plat yang terdiri dari partikel yang homogen atau berpori
(Mukhriani, 2014).
Silika gel atau Silika merupakan fase diam yang biasanya digunakan
dalam teknik pemisahan kromatografi. Pada penggunaan silika gel yang
23
digunakan sebagai fase diam mempunyai karaktersitik yaitu adsorben yang kuat.
Selain digunakan menjadi adsorben silika gel juga digunakan sebagai pengering
hal ini karena silika dapat menyerap berbagai macam zat. Silika sendiri
merupakan bentuk koloid yang dipolimerisasi asam silikat. Asam silikat, H2SO4
tidak tersedia dalam monomer bebas namun tersedia dalam bentuk larutan natrium
silikat. Jika larutan natrium silikat diasamkan maka akan terbentuk polimer silika.
Biasanya silika gel yang digunakan dalam kromatografi akan mengalami proses
pemurnian agar menghilangkan kotoran logam yang kemudian dilumatkan,
dikeringkan dan juga difraksinasi dalam ukuran partikel yang sesuai (Gandjar dan
Rohman, 2012).
Luas permukaan pada silika gel yaitu berkisar antara 200-800g. Silika gel
memiliki luas permukaan yang menjadikan silika memiliki struktur yang berpori.
Teknik pemisahan senyawa dengan KLT menggunakan plat silika gel GR, GF254
R, HF254R dll. Ketebalan lapisan pada plat silika gel yaitu berkisar 0,25 mm atau
0,5 mm dan ukuran maksimum plat KLT yang biasa digunakan yaitu 20 x 20 cm
(Gandjar dan Rohman, 2012).
2.7.3 Fase Gerak
Fase gerak adalah suatu zat yang membawa komponen suatu campuran
melewati fase diam. Pada KLT fase gerak yang digunakan lebih non polar
daripada fase diam dan juga dari pelarut organik. Tujuan dari fase gerak yaitu
untuk:
1) Menjaga analit dalam larutan
2) Mengangkut analit melalui fase diam
3) Berkonstribusis dalam pemisahan
4) Pada fase diam silika yang digunakan adalah adsorben polar maka yang
digunakan adalah fase gerak non polar. Kekuatan fase gerak dapat ditentukan
oleh polaritas pelarut yang digunakan dan juga kepolaran pelarut yang
digunakan (Hansen dkk., 2012).
2.8 Tinjauan Pelarut
2.8.1 Pengertian Pelarut
Pelarut merupakan suatu benda cair ataupun gas yang bisa melarutkan
benda cair, padat maupun gas yang kemudian menghasilkan sebuah pelarut.
24
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan suatu pelarut yaitu harus
mempunyai daya larut yang tinggi, tidak berbahaya maupun beracun. Faktor
tersebut harus diperhatikan karena pelarut merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan suata proses ekstraksi (Guenther, 2006).
Selain itu, pelarut minyak atau lemak biasanya digunakan dalam proses
ekstraksi yaitu (Susanti et al.,2012):
1) Pelarut etanol biasa digunakan karena mempunyai kelarutan yang relatif tinggi
dan bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lainnya. Titik
didih pada etanol itu rendah sehingga memudahkan dalam hal pemisahan
minyak dari pelarutnya dalam proses distilasi.
2) Pelarut n-heksana adalah pelarut yang ringan dalam hal mengangkat minyak
yang terkandung dalam biji-bijian dan mudah menguap sehingga memudahkan
untuk refluk. Titik didih yang dimiliki pelarut ini antara lain 65-70˚C.
3) Pelarut etil asetat adalah suatu jenis yang memiliki sifat semi polar. Titik didih
pada pelarut ini cukup rendah yaitu 77˚C yang memudahkan dalam
memisahkan minyak dari pelarutnya menggunakan metode destilasi.
2.8.2 N-heksana
Pelarut ini digunakan untuk mengekstraksi minyak dan juga lemak.
Pembuatan n-heksana diperoleh dari hasil penyulingan minyak mentah dan untuk
produk dari industrinya merupakan fraksi yang dididihkan pada suhu 65-70˚C. N-
heksana merupakan hidrokarbon alkana yang lurus dan terdiri dari 6 atom karbon
dengan rumus kimianya C6H14. N-heksana merupakan isomer yang tidak reaktif
dan biasa digunakan secara luas sebagai pelarut inert pada reaksi organik sebab
sifat dari heksana yaitu sangat tidak polar (Utomo, 2017).
1) Nama resmi: N-heksana
2) Sinonim : N-heksana
3) RM/BM : C6H14/ 86,18
4) Pemerian : Cairan jernih, mudah menguap berbau mirip eter lemah atau bau
seperti potreleum.
5) Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol mutlak, dapat
dicampur dengan eter, kloroform, benzena serta minyak atsiri dan minyak
lemak.
25
6) Penyimpanan : Disimpan pada tempat sejuk dan juga dalam wadah yang
tertutup rapat, jauh dari api yang menyala.
7) Kegunaan : pelarut ekstrak (BPOM, 1995)
Recommended