View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
a. Tinjauan Pustaka
1. Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan tepung yang dihasilkan dari hasil penggilingan biji
gandum. Keistimewaan tepung terigu jika dibanding dengan serealia lainnya adalah
kemampuannya membentuk gluten pada adonan sehingga tidak mudah hancur pada
proses pemasakan. Gluten merupakan protein tidak larut air yang hanya terdapat pada
tepung terigu. Gluten mempunyai peranan penting sehubungan dengan fungsi terigu
sebagai dasar pembuatan roti. Gluten memberikan sifat liat/elastis dan licin pada adonan
roti (Muchtadi et al., 2013).
Tabel 2.1 Kandungan Gizi Tepung Terigu per 100 gram
No Kandungan Gizi Jumlah
1 Energi (kkal) 365
2 Protein (gram) 8,9
3 Lemak (gram) 1,3
4 Karbohidrat (gram) 77,3
5 Serat kasar (gram) 1,92
6 Kalsium (mg) 16
7 Fosfor (mg) 106
8 Zat besi (mg) 1,2
9 Vitamin A (mg) 0
10 Vitamin B1 (mg) 0,12
11 Vitamin C (mg) 0
12 Air 12
13 Bagian yang dapat dikonsumsi (%) 100 Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI (1996) dalam Nofalina (2013)
Tabel 2.2 Standar Tepung Terigu menurut SNI 01-3751-2006
No Jenis Uji Satuan Persyaratam
1. Keadaan Serbuk
1.1 Bentuk - Normal (bebas dari
bau asing) terigu 1.2 Bau -
1.3 Warna - Putih, khas
2. Benda asing - Tidak ada
3. Serangga dalam bentuk
semua stadia dan
potongan-potongannya
yang tampak
- Tidak ada
4. Kehalusan, lolosa ayakan
212 µm No. 70 (b/b)
% Min 95
5. Kadar air (b/b) % Maks 14,5
6. Kadar abu (b/b) % Maks 0,6
7. Kadar protein (b/b) % Min 7,0
8. Keasaman mg KOH/100 g Maks 50
9. Falling number (atas dasar
kadar air 14%)
detik Min 300
10. Besi (Fe) Kapang mg/kg Min 50
11. Seng (Zn) mg/kg Min 30
12. Vitamin B1 (Thiamin) mg/kg Min 2,5
13. Vitamin B2 (Riboflavin) mg/kg Min 4
14. Asam Folat mg/kg Min 2
15. Cemaran logam
15.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 1,00
15.2 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05
15.3 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10
16. Cemaran Arsen mg/kg Maks 0,5
17. Cemaran mikroba
17.1 Angka lempeng total Koloni.g Maks 106
17.2 E. coli APM/g Maks 10
17.3 Kapang Koloni/g Maks 104
Sumber: Ayuningrum (2015)
Selain memiliki kelebihan, tepung terigu juga memiliki kekurangan. Kandungan
gluten yang terdapat dalam tepung terigu dapat menyebabkan alergi dan intoleransi.
Gluten menyebabkan gangguan fungsi otak pada penderita autis. Hal ini dikarenakan
penderita autis memiliki ganguan pencernaan yang menyebabkan penyerapan protein
gluten tidak normal sehingga berubah menjadi peptida yang masuk ke dalam darah dan
meracuni otak. Gangguan fungsi otak oleh peptida ini mirip dengan efek morfin sehingga
dapat menyebabkan ketergantungan (Handojo, 2008, dalam Dewanti dan Machfud,
2014).
Beberapa permasalahan makan pada anak autis diantaranya picky eaters (memilih-
milih makanan), kesulitan menerima makanan baru, dan tantrum (mengamuk). Makanan
berbahan dasar terigu dan susu adalah makanan yang sulit dihindari. Aneka gorengan
merupakan salah satu jenis makanan yang sulit dihindari oleh penderita autis. Para ahli
menyarankan penderita autis untuk menjalani diet GFCF atau Gluten Free Casein Free).
Apabila diet GFCF dilaksanakan maka terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi-terapi
yang bersifat fisik akan lebih baik. Hal ini dikarenakan terdapat pengaruh yang signifikan
diet GFCF terhadap perkembangan anak autis. Anak autis dengan diet GFCF memiliki
perkembangan yang lebih baik daripada anak autis tanpa diet GFCF. Banyak anak autis
yang mengalami perkembangan pesat dalam berkomunikasi dan bersosialisasi setelah
menjalani diet ini (Dewanti dan Machfud, 2014).
2. Uwi atau Ubi Kelapa (Dioscorea alata)
Uwi (Dioscorea alata L.) merupakan tanaman umbi yang berasal dari daerah tropis.
Nama lain uwi di beberapa daerah yaitu uwi legi (Jawa), Huwi (Sunda), Obi (Madura),
Ubi, Huwi tiang atau atau uwi manis (Sumatera / Melayu), Same (Sulawesi Selatan),
Lutu (Kepulauan Maluku) (Lingga, 1992 dalam Afidin et al., 2014). Tumbuhan uwi (D.
Alata) dalam bahasa Inggris disebut Greater Yam, Water Yam dan Ten-Months-Yam. Di
Indonesia dikenal dengan nama Ubi Kelapa. Sementara itu, masyarakat Kalimantan
menyebutnya Ubi Alabio (Balitbang Deptan, 2005).
Uwi berasal dari Asia kemudian menyebar ke Asia Tenggara, India, Semenanjung
Malaya dan Kepulauan Pasifik. Tanaman ini tumbuh baik mulai dari dataran rendah
hingga ke ketinggian 800 m dpl, tetapi juga dapat tumbuh pada ketinggian 2700 m dpl
(Balitbang Deptan, 2005). Produksi uwi secara global dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Produksi Uwi Secara Global
Lokasi Area tanam
('000 ha)
Hasil produksi
(t/ha)
Produksi
('000t)
%
Total World
World 4,928 10,5 51,778 100
Afrika 4,718 10,6 49,833 96,3
Afrika Barat 4,443 10,8 48,101 93
Nigeria 3,045 11,5 35,017 67,7
Cote Hvoire 820 8,5 6,933 13,4
Ghana 299 11,9 3,55 6,9
Benin 205 8,8 1,803 3,5
Togo 63 0,2 638 1,2
Sumber: FAO (2010) dalam Fu et al. (2011)
Di Asia Tenggara, D. alata ditanam sebagai tanaman pekarangan.
Tanaman ini penting di Papua Nugini, di mana lebih dari 30.000 orang tergantung pada
uwi untuk mata pencaharian mereka. Di selatan India, umbi D. Alata yang tumbuh,
dihargai sebagai makanan sekunder. Spesies tanaman uwi penting di beberapa wilayah
tetapi tidak semua wilayah Indonesia. Di Malaysia uwi tidak umum. Di Filipina beberapa
varietas D. alata ditemukan, tetapi beberapa dari tanaman tersebut unik dan sangat
berharga. Banyak varietas D, alata ditemukan di seluruh pulau-pulau Pasifik Selatan
(Branch dan Martin, 1976)
Uwi termasuk ke dalam famili Dioscoreaceae genus Dioscorea yang memiliki lebih
dari 600 spesies yang 10 spesies diantarana dibudidayakan sebagai bahan pangan dan
untuk obat-obatan. Enam spesies yang penting sebagai bahan pangan adalah D.
rotundata, D. alata, D. cayenensis, D. dumetorum, D. bulbifera dan D. Esculenta yang
dapat dilihat pada Gambar 2.1. Uwi tersebut dipercaya berasal dari tiga wilayah
penyebaran yang berbeda, yaitu Afrika Barat (D. rotundata, D. cayenensis dan D.
dumetorum), Asia Tenggara (D. alata dan D. esculenta), daerah tropis Amerika (D.
trifida). Tanaman uwi ditanam sebagai tanaman pangan semusim dengan umur panen
antara 180 – 270 hari setelah tanam (French, 2006).
Taksonomi Uwi:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Liliales
Famili : Dioscoreaceae
Genus : Dioscorea
Spesies : Dioscorea alata L
(Tjitrosoepomo,2013)
Tanaman uwi merupakan tumbuhan semusim, membelit ke kanan, panjang batang
mencapai 10 meter, tidak berduri tetapi ada yang berbintik di bagian dasar, batang
bersudut empat bersayap nyata, warna hijau atau keunguan, sering kali ada umbi di ketiak
daun. Daun tunggal, bertulang daun melengkung, 7 – 9 tulang daun, warna daun hijau
atau keunguan, helaian daun bulat telur dengan pangkal berbentuk jantung dan ujung
meruncing panjang, bertulang daun melengkung, sistem perakaran serabut. Bunga
berbentuk bulir, bunga jantan bulir rapat, bunga betina bulir tidak rapat, perbungaan
bulan Mei – Juni, biji pipih membulat sekelilingnya bersayap. Umbi di bawah tanah
memiliki bentuk dan ukuran bervariasi, kulit umbi coklat sampai hitam, daging putih,
krem atau keunguan (Budoyo, 2010). Enam spesies tanaman Dioscorea yang sering
dijumpai dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 D. rotundata, D. alata, D. cayenensis, D. dumetorum,
D. bulbifera dan D. Esculenta (urut dari kiri ke kanan)
(French, 2006)
Dalam hal budidayanya, tanaman uwi diperbanyak dengan potongan umbi yang
bermata tunas. Tanah digemburkan sebaik mungkin, cabang– cabang batang yang tumbuh
disisi batang induk dikurangi karena dapat mengkuruskan umbi. Panen dapat dilakukan
setelah 7-9 bulan setelah tanam, ditandai dengan menguningnya daun yang berarti umbi
telah masak. Masyarakat pada umumnya menanam pada awal musim hujan (Heyne,
1987).
Uwi dapat tumbuh baik dengan hasil umbi yang maksimal jika ditanam pada tanah
yang gembur dan tidak terendam air. Tanah yang padat menghalangi proses
perkembangan umbinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Sri Widodo et al. (1996) dalam
Budoyo (2010) bahwa cara tanam dengan membuat lubang tanam atau digemburkan
memberi hasil yang lebih tinggi dari pada cara tanam cangkul setempat yaitu sebesar 24,4
% - 35,6 %. Dapat ditanam secara monokultur atau tumpang sari. Pada daerah yang
kurang baik untuk tanaman padi, penanaman D. alata dilakukan secara monokultur,
seperti yang telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa di
Kalimantan Selatan. Sedangkan di daerah yang cocok untuk tanaman padi seperti di Jawa
umumnya secara tumpang sari (Balitbang Deptan, 2005).
Penampilan fisik umbi uwi sangat bervariasi, baik ukuran, bentuk, dan warna daging
umbi sesuai dengan jenisnya. Ukuran umbi ada yang sangat besar, hingga mencapai lebih
dari 3 kg/umbi, tetapi ada juga yang kecil hanya sekitar 100 g/umbi. Bentuk umbi ada
yang tidak beraturan, lonjong, hingga bulat. Daging umbi ada yang berwarna putih,
kuning kecokelatan, hingga unggu. Uwi yang biasa disebut uwi kelapa, sego, atau uwi
putih memiliki umbi tunggal, berbentuk tidak beraturan dengan ukuran yang cenderung
besar, daging umbi warna putih kecoklatan dengan warna kulit kuning kecokelatan
hingga ungu kehitaman. Sedangkan jenis uwi yang serupa uwi kelapa tetapi dengan kulit
dan daging umbi warna ungu dikenal dengan dengan nama daerah uwi senggani. Uwi
jenis ini termasuk dalam spesies Dioscorea alata (Herison, 2010). Penampilan fisik uwi
dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Umbi Uwi
(Branch dan Martin, 1976)
Ubi kelapa dikenal sebagai tanaman yang memiliki getah dan lendir. Sebagian besar
senyawa getah yang keluar dari permukaan potongan ubi kelapa adalah senyawa alkaloid
(Branch dan Martin, 1976). Getah yang menetes ketika permukaan ubi kelapa dipotong
merupakan senyawa glikoprotein (Mar’atirrosyidah dan Estiasih, 2015).
Kandungan gizi uwi (Dioscorea alata) lebih unggul dibandingkan dengan
kandungan gizi beberapa jenis spesies dalam genus Dioscorea, salah satu keunggulan
kandungan gizi di dalam uwi yaitu kandungan betakaroten yang tidak dimiliki oleh
beberapa jenis spesies dalam genus Dioscorea. Perbandingan kandungan gizi uwi dengan
beberapa jenis spesies lainnya dalam genus Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Kandungan gizi Dioscorea
Nutrisi (g/100g) D. alata
D.
rotund
ata
D.
cayene
nsis
D.
esculen
ta
D.
dumetor
tums
% Kelembaban 65-78,6 50-80 60-80 67-81 67-79
% Karbohidrat 22-31 15-23 16 17-25 17,5
% Pati 16,7-28 16,7-28 16 25 18,25
% Gula bebas 0,5-1,4 0,3-1 0,4 0,6 0,2
% Protein 1,1-3,1 1,1-2,3 1,1-1,5 1,3-1,9 2,8
% Lemak <0,16-0,6 0,05-0,1 0,06-0,2 0,04-0,3 0,3
% Serat 1,4-3,8 1,0-1,7 0,4 0,2-1,5 0,3
% Abu 0,7-2,1 0,7-2,6 0,5 0,5-1,5 0,7
Fosfor (mg) 28-52 17 17 35-53 45
Kalsium 28-38 36 36 12-62 52
Vitamin C
(mg/100g)
2,0-8,2 6,0-12 - - -
Besi (mg) 5,5-11,6 5,2 5,2 0,8 -
Energi (kkal) 140 142 71 12 122
Betakaroten (µg) 5-10 - - - -
Thiamin (mg) 0,05-10 - - 0,1 -
Riboflavin (mg) 0,03-0,04 - - 0,01 -
Sumber: Evans C. et al. (2013)
Jika dibandingkan dengan ubi jalar dan singkong, kandungan gizi uwi lebih unggul
pada kandungan vitamin C dan vitamin B1. Kandungan gizi uwi dibanding dengan ubi
jalar dan singkong dalam 100 gram dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5 Kandungan gizi uwi dibanding dengan ubi jalar dan singkong dalam 100 gram
Zat Gizi Satuan Uwi* Ubi Jalar** Singkong**
Protein g 1,1 1,1 0,6
Lemak g 0,2 0,4 0,2
Karbohidrat g 31,3 31,8 35,5
Serat g 1 0,7 1,6
Abu g 14 1,2 0,9
Kalsium mg 56 55 30
Fosfor mg 0,6 51 49
Besi mg - 0,7 1,1
Vitamin B1 mg 4 0,1 0,12
Vitamin C mg 66,4 35 31
Air g 85 65,6 63
Energi Kkal 131 135 75 Sumber: Prabowo, et al. (2014)* dan Kurniawati (2013)**
Uwi yang termasuk dalam genus Dioscorea memiliki kandungan beberapa jenis vitamin.
Kandungan beberapa jenis vitamin dalam genus Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Kandungan Vitamin Dioscorea
Kandungan Jumlah
Vitamin A (mg retinol) 0,1
Thiamine (mg) 0,11
Riboflavin (mg) 0,03
Niacin (mg) 0,6
Asam askorbat (mg) 17
Vitamin E (mg) 0,16 Sumber: Juliano (1999) dalam Epriliati (2000)
Selain kandungan gizi dan vitamin, uwi yang termasuk dalam genus Dioscorea memiliki
keunggulan dalam sifat fungsional. Sifat fungsional dalam genus Dioscorea dapat dilihat
pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Sifat Fungsional Dioscorea
Kandungan Jumlah
Indeks glikemik (% glukosa) 51
Indeks glikemik (% roti) 62
Pati Resisten In-vitro (% pati) 1,4
Amilosa (%) 14-27 Sumber: Juliano (1999) dalam Epriliati (2000)
Komposisi asam lemak uwi dibandingkan dengan spesies lain dalam keluarga
Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.8. Asam linoleat dan linolenat adalah asam lemak
esensial yang paling penting diperlukan untuk pertumbuhan, fungsi fisiologis dan
pemeliharaan (Pugalenthi et al., 2004 dalam Shajeela et al., 2013). Pada metabolisme
tingkat jaringan, asam linoleat menghasilkan hormon seperti prostaglandin. Aktivitas
prostaglandin ini menurunkan tekanan darah dan pembangunan otot polos (Aurand et al.,
1987 dalam Shajeela et al., 2013). Komposisi asam lemak dan asam lemak tak jenuh
dalam jumlah tinggi membuat umbi Dioscorea cocok untuk aplikasi gizi. Rasio O/L
(Oleat/Linoleat) lipid dari Dioscorea spp. lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata
yang disarankan yaitu 0,75-1,09 (Attia et al., 1996 dalam Shajeela et al., 2013).
Tabel 2.8 Komposisi Asam Lemak Dioscorea spp
Asam Lemak
D. alata
D.
bulbifera
var vera
D. esculenta
D.
oppositifolia var
dukhumensis
D.
oppositifolia var
oppositifolia
D.
pentaphylla var
pentaphylla
D. spicala
D. tomentosa
D. wallichi
Palmitat (C16:0) 29,3 31,33 34,3 34,3 30,13 32,48 38,3 34,14 29,46
Palmitoleat
(C16:1) 2,41 - 2,01 4,31 3,28 3,1 - 2,16 4,32 Stearat
(C18:0) 9,2 11,48 8,21 9,4 8,24 9,78 9,46 8,36 10,21
Oleat (C18:1) 11,36 9,36 15,78 11,26 10,06 12,31 11,3 10,48 11,52
Linoleat
(C18:2) 30,66 29,34 26,54 30,34 29,48 29,76 26,3 29,48 33,21 Linolenat
(C18:3) 14,11 14,91 15,04 9,02 15,21 9,26 11,23 14,12 10,03
Others 2,96 3,58 4,12 1,37 3,6 3,31 3,41 1,26 1,25
Unsaturation ratio 1,04 0,95 0,82 0,91 1,04 0,94 0,75 0,89 1,09
O/L ratio 0,37 0,32 0,59 0,37 0,34 0,41 0,43 0,36 0,35
Sumber: Shajeela et al. (2013)
Senyawa bioaktif merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan melalui
serangkaian reaksi metabolisme sekunder. Umbi Dioscorea alata memiliki senyawa
bioaktif yang bermanfaat terhadap kesehatan seperti dioscorin, diosgenin, dan
polisakarida larut air (PLA). Dioscorin merupakan protein simpanan utama dalam ubi
kelapa, berfungsi sebagai tripsin inhibitor, enzim penyebab peningkatan tekanan darah.
Diosgenin merupakan senyawa fitokimia yang berperan dalam produksi hormon steroid,
mampu mencegah kanker usus, dan menurunkan penyerapan kolesterol. Beberapa studi
menunjukkan polisakarida larut air (PLA) mampu menurunkan kadar glukosa darah pada
hewan coba dalam keadaan hiperglikemia. Kandungan senyawa bioaktif pada ubi kelapa
menyebabkan ubi kelapa berpotensi sebagai bahan pangan fungsional (Prasetya et al.,
2016). Senyawa bioaktif lain yang ada pada ubi kelapa adalah fenol. Kadar fenol pada ubi
kelapa adalah sebesar 0.68 ± 0.04 g/100g (Mar’atirrosyidah dan Teti, 2015).
Disamping zat gizi, Dioscorea mempunyai senyawa anti gizi. Senyawa anti gizi
adalah suatu senyawa yang terdapat dalam beberapa bahan pangan yang dapat
mengganggu penyerapan zat gizi di dalam tubuh pada saat pangan tersebut dikonsumsi.
Senyawa anti gizi yang terdapat pada Dioscorea antara lain tannin, HCN, oksalat, amilase
inhibitor dan tripsin inhibitor yang dapat mempengaruhi nilai fungsional bagi kesehatan.
Seluruh senyawa tersebut merupakan senyawa yang dapat didekomposisi oleh panas dan
air. Kandungan senyawa anti gizi berbagai spesies keluarga Dioscorea dapat dilihat pada
Tabel 2.9
Tabel 2.9 Faktor Anti Gizi pada Dioscorea spp
Nama
Botani
Total
Fenol
Free
(g/100 g)
Tanin
(g/100 g)
Hidrogen
Sianida
(mg/100
g)
Total
Oksalat
(g/100 g)
Inhibitor
Amilase
(AIU/
mg Pati
larut)
Inhibitor
Tripsin
(TIU/ mg
protein)
D. alata 0,68±0,04 0,41±0,01 0,17±0,01 0,58±0,03 6,21 3,65±0,04
D. bulbifera
var vera 2,20±0,01 1,48±0,10 0,19±0,01 0,78±0,01 1,36 1,21±0,01
D. esculenta 0,79±0,07 0,20±0,01 0,21±0,03 0,33±0,02 7,8 1,92±0,07
D.
oppositifolia
var
dukhumensis
0,36±0,01 0,24±0,07 0,24±0,02 0,36±0,01 2,46 13,30±0,09
D.
oppositifolia
var
oppositifolia
0,56±0,01 0,36±0,11 0,33±0,04 0,46±0,07 2,1 11,26±0,12
D.
pentaphylla
var
0,48±0,05 0,09±0,06 0,18±0,01 0,58±0,05 2,46 3,66±0,09
pentaphylla
D. spicata 0,26±0,01 0,10±0,05 0,18±0,01 0,44±0,07 3,31 1,26±0,12
D.
tomentosa 0,41±0,01 0,06±0,01 0,34±0,03 0,31±0,11 4,64 1,41±0,11
D. wallichi 0,33±0,02 0,04± 0,02 0,16±0,05 0,26±0,01 5,27 2,48±0,07
Sumber: Shajeela et al. (2011)
Konsumsi produk umbi yang masih mengandung residu HCN akan mengganggu
kesehatan tubuh karena dua hal, menyebabkan KI (Kurang Iodium) dan KKP (Kurang
Kalori Protein). Senyawa HCN dalam tubuh yang masuk melalui makanan akan bereaksi
dengan sulfur membentuk senyawa tiosianat (SCN-). Sulfur yang digunakan berasal dari
asam amino esensial yang mengandung S yaitu metionin dan sistin. Akibatnya, dalam
tubuh akan kekurangan protein atau asam amino tersebut, yang dapat menyebabkan KKP
(Kurang Kalori Protein). Masalah lain, Iodium yang semestinya diserap oleh kelenjar
tiroid akan diikat oleh senyawa ionik, termasuk SCN-. Kebanyakan SCN dalam tubuh
akan menyebabkan deplesi senyawa iodin, sehingga dapat berakibat endemic goitre
(gondok) dan endemic cretinism (pertumbuhan lambat dengan defisiensi mental, kurang
pendengaran, dan gagu) (Pambayun, 2007).
Jika seseorang mengkonsumsi Dioscorea sebanyak porsi makan yang umum, akan
menerima oksalat terlarut sebesar 7,26 mg. Sementara dosis lethal konsumsi oksalat
untuk manusia 2-5 g; sedang untuk HCN (asam sianida) sebesar 1,08-1,09 mg/100 g.
Peneliti menyimpulkan kandungan zat antigizi pada Dioscorea belum berada pada batas
yang membahayakan. Tetapi perlu ditekankan pada konsumen untuk selalu mengatur
jumlah konsumsi setiap hari agar jumlah tersebut tidak terlampaui. Meskipun demikian
dalam proses pengolahan penurunan kadar senyawa tersebut harus tetap dilakukan
karena adanya Ca dan protein bersama adanya oksalat dan tanin dapat membentuk
endapan yang dapat merupakan beban pembersihan dan perawatan peralatan
(Udoessien dan Ifon, 1992 dalam Epriliati, 2000).
Menurut BPOM (2012), rata-rata dosis lethal asam oksalat pada manusia dewasa
adalah 15-30 gram. Dosis lethal terendah yang pernah dilaporkan adalah 6-8 gram
(setelah seseorang mengkonsumsi sup sorrel). Sementara itu, FSANZ (2005)
menyatakan dosis lethal asam sianida pada manusia sebesar 0,5 -3,5 mg/kg berat badan.
Salah satu pengembangan uwi yaitu mengolahnya menjadi produk tepung uwi.
Dalam pengolahan tepung uwi, perlu suatu metode untuk dapat mencegah browning dan
mempertahankan nilai gizi uwi terhadap pengaruh kandungan lendir dalam uwi. Salah
satu metode untuk mempertahankan kualitas tepung adalah penggunaan bahan perendam
umbi seperti sulfit yang digunakan dalam bentuk bisulfit dan metabisulfit. Bahan tersebut
dapat bereaksi mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur
dioksida juga berfungsi sebagai antioksidan (Winarno, 1992).
Kemampuan metabisulfit dalam memunculkan pigmen melanoidin yang terbentuk
dalam reaksi Millard ini yang efektif mencegah pencoklatan tersebut (Siagian, 2002
dalam Hildayati, 2005). Penggunaan SO2 pada proses pengeringan juga bertujuan untuk
mempertahankan warna, cita rasa, asam askorbat, karoten, dan stabilitas bahan selama
penyimpanan. Metabisulfit juga termasuk sebagai bahan pengawet kimia yang
menghindarkan kerusakan mikroba (Susanto dan Saneto, 1994).
Rendemen merupakan perbandingan massa bahan sebelum diolah dengan massa
bahan setelah diolah. Persentase rendemen tepung uwi dibandingkan dengan rendemen
berbagai jenis tepung keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.10
Tabel 2.10 Persentase Rendemen Berbagai Jenis Tepung Dioscorea
Jenis Tepung Rendemen (%)
Uwi (Dioscorea alata) 25,632
Uwi ungu (Dioscorea alata) 27,48
Uwi kulit ungu (Dioscorea alata) 19,639
Gembili (Dioscorea esculenta) 25,312
Uwi katak (Dioscorea pinthaphylla) 19,751
Gembolo (Dioscorea bulbifera) 24,335 Sumber: Winarti dan Erwan (2013)
Pada pembuatan tepung, perlu diperhatikan kandungan kadar air yang terdapat
dalam tepung. Kadar air yang terlalu rendah akan menyebabkan tepung bersifat
higroskopis sehingga tepung mudah menggumpal, sedangkan kadar air yang terlalu tinggi
akan menyebabkan mikroba mudah tumbuh sehingga daya simpan tepung lebih pendek.
Persentase kadar air tepung uwi dibandingkan dengan kadar air berbagai jenis tepung
keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.11
Tabel 2.11 Persentase Kadar Air Berbagai Jenis Tepung Dioscorea
Jenis Tepung Kadar Air (%)
Uwi (Dioscorea alata) 7,52
Uwi ungu (Dioscorea alata) 5,79
Uwi kulit ungu (Dioscorea alata) 9,77
Gembili (Dioscorea esculenta) 9,52
Uwi katak (Dioscorea pinthaphylla) 6,33
Gembolo (Dioscorea bulbifera) 6,87 Sumber: Winarti dan Erwan (2013)
Komponen utama pati Dioscorea adalah amilosa yang rata-rata besarnya lebih dari
25% berat kering. Sifat lain dari pati Dioscorea, banyak terkait dengan sifat fungsional
dan efek hipoglisemik pada penderita diabetes (Epriliati, 2000). Pati terdiri dari amilosa
dan amilopektin. Kandungan pati di dalam tepung akan mempengaruhi daya serap air
tepung. Semakin tinggi kadar pati, maka kadar amilosa pati juga semakin tinggi sehingga
indeks penyerapan air semakin besar. Sementara itu, kandungan amilosa dan amilopektin
juga berpengaruh terhadap tekstur produk setelah tepung diolah menjadi produk. Semakin
tinggi amilopektin maka tekstur produk akan semakin lengket, sedangkan sifat amilosa
berlawanan dengan sifat amilopektin (Winarno, 2008). Persentase kadar pati, amilosa dan
amilopektin tepung uwi dibandingkan dengan kadar pati, amilosa dan amilopektin
berbagai jenis tepung keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.12
Tabel 2.12 Persentase Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Berbagai Jenis Tepung
Dioscorea
Jenis Tepung
Kadar
Pati
(%)
Kadar
Amilosa
(%)
Kadar
Amilopektin
(%)
Uwi (Dioscorea alata) 83,38 14,81 68,57
Uwi ungu
(Dioscorea alata) 86,12 17,59 68,6
Uwi kulit ungu
(Dioscorea alata) 86,68 17,32 69,36
Gembili
(Dioscorea esculenta) 82,82 13,26 69,56
Uwi katak
(Dioscorea pinthaphylla) 79,27 7,48 71,79
Gembolo
(Dioscorea bulbifera) 84,8 18,98 65,82 Sumber: Winarti dan Erwan (2013)
Inulin adalah polimer dari unit-unit fruktosa dengan gugus terminal glukosa. Unit-
unit fruktosa dalam inulin dihubungkan oleh ikatan β(2-1) glikosidik, sehingga tidak
dapat dicerna oleh enzim dalam sistem pencernaan mamalia dan mencapai usus besar
tanpa mengalami perubahan struktur, oleh karena itu inulin dapat berfungsi sebagai
prebiotik (Robertfroid, 2005). Persentase kadar inulin tepung uwi dibandingkan dengan
kadar inulin berbagai jenis tepung keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.13
Tabel 2.13 Persentase Kadar Inulin Berbagai Jenis Tepung Dioscorea
Jenis Tepung Kadar Inulin (mg/g)
Uwi (Dioscorea alata) 1,52
Uwi ungu (Dioscorea alata) 1,42
Uwi kulit ungu (Dioscorea alata) 1,59
Gembili (Dioscorea esculenta) 1,53
Uwi katak (Dioscorea pinthaphylla) 1,46
Gembolo (Dioscorea bulbifera) 1,61 Sumber: Winarti dan Erwan (2013)
Indeks glikemik (IG) merupakan ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula
darah. Semakin tinggi indeks glikemik suatu makanan, semakin cepat dampaknya
terhadap kenaikan gula darah. IG rendah memiliki nilai di bawah 50. Beras ketika diolah
menjadi nasi putih memiliki kandungan IG sebesar 73-83 sehingga tergolong tinggi IG
sehingga berpotensi menimbulkan penyakit diabetes melitus (Kurniadi dan Ulfa, 2014).
Indeks glikemik tepung uwi dibandingkan dengan indeks glikemik berbagai jenis tepung
keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.14
Tabel 2.14 Indeks Glikemik setelah pemberian serbuk umbi dan glukosa
Bahan IG
Glukosa 100
Uwi 22,4
Gadung 20,6
Talas 14,6 Sumber: Sari et al. (2013)
Dalam perkembangannya, pemanfaatan umbi Dioscorea tidak hanya berkaitan
dengan produk olahan menjadi berbagai bahan makanan. Salah satu jenis lokal yaitu
varietas ungu dengan umbi berwarna ungu dimanfaatkan masyarakat untuk obat penyakit
typhus. Umbinya dapat diekstrak untuk mendapatkan senyawa diosgenin yaitu sejenis
senyawa saponin yang merupakan prekursor dalam sintesis hormon steroid sebagai bahan
baku kontrasepsi. Senyawa yang dihasilkan juga dapat memicu tersedianya DHEA dalam
tubuh. DHEA (Dehydroepiandrosterone) yaitu bahan baku hormon seperti androgen,
testoteron, progesteron dan estrogen dan jenis hormon yang lain (Suismono, 2008 dalam
Budoyo, 2010).
Aplikasi uwi menjadi produk olahan kini sudah mulai berkembang. Salah satu
pengembangan produk uwi setelah diproses menjadi tepung yaitu diolah menjadi cookies,
di Indonesia. Uwi diproses menjadi tepung yang digunakan sebagai bahan pembuatan
produk pangan seperti ice cream, selai uwi dan sebagainya, di Filipina (Noche et al,
2011).
3. Koro Glinding (Phaseolus lunatus)
Legum atau kacang-kacangan merupakan sumber protein yang murah, juga
mengandung karbohidrat, menurunkan kolesterol, berkadar serat tinggi, rendah lemak,
dan tinggi konsentrasi asam lemak tak jenuh (Rockland dan Nishi, 1979
dalam Gilang et al., 2013). Koro – koroan merupakan salah satu jenis kacang – kacangan
lokal yang memiliki varietas beragam. Kandungan gizi koro tidak kalah dengan kedelai
terutama karbohidrat dan protein yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah.
Akan tetapi koro juga mengandung beberapa senyawa merugikan yaitu HCN yang
beracun dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi. Selain sebagai senyawa
antinutrisi, fitat memiliki peranan positif yaitu sebagai antioksidan sekunder. Selain asam
fitat, kacang-kacangan juga mengandung senyawa fenol dan Vitamin E yang memiliki
aktivitas antioksidan (Pramita, 2008). Tanaman koro-koroan mudah dibudidayakan dan
produktivitas biji keringnya cukup tinggi sekitar 800-900 kg/ha pada lahan kering dan
kurang lebih 1.700 kg/ha apabila lahan diberi pengairan (Robert, 1985 dalam Nafi’ et al.,
2014).
Koro glinding (Phaseolus lunatus) merupakan tanaman spermatophyta yang disebut
tanaman dikotil, karena dapat menghasilkan biji dari hasil perkawinan antara benang sari
dan sel telur. Nama lain dari koro glinding diantaranya yaitu koro kratok, lima bean,
butter bean, koro sayur, kacang mas, kacang jawa, dan kekara. Klasifikasi selengkapnya
adalah:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Phaseolus L.
Species : Phaseolus lunatus L.
(Rini, 2008)
Gambar 2.3 Tanaman Koro Glinding
(Anonim, 2015)
Distribusi koro glinding (Phaseolus lunatus L) secara geografis pertama kali
ditemukan di Amerika tengah (Mexico,Guatemala) dengan morfologi biji kecil
sedangkan Phaseolus yang terdapat di Amerika selatan (terutama di Peru) morfologi
bijinya lebih besar. Berawal dari daerah ditemukannya, maka kemudian para taksonomis
mengklasifikasikan tanaman ini dari segi morfologi, ekologi, tipe kandungan protein,
karakter molekuler mengacu berdasar cirri-ciri dari daerah asal, yang kemudian muncul
dua tipe yaitu phaseolus tipe Mesoamerican(Mexico, Guatelama) dan phaseolus tipe
Andean (Amerika selatan). Tipe Andean penyebaran geografisnya terbatas hanya pada
daerah Equador, Peru, sedangkan tipe Mesoamerican distribusi geografis menyebar
hampir ke seluruh benua Amerika. Penyebaran ke benua Eropa ke Spanyol kemudian ke
Asia pertama ditemukan di Philiphina dari Philipina ke Myanmar kemudian ke Jawa
(PROSEA, 1989 dalam Purwanti, 2014).
Berdasarkan data Baudoin et al. (2004) makin nyata resiko hilangnya
keanekaragaman genetik Phaseolus di daerah leluhurnya (Amerika Latin) serta di pusat-
pusat daerah distribusinya dibudidayakan (Afrika dan bagian dari Asia). Indonesia
mempunyai jenis- jenis kacang polong tersebut, permasalahannya adalah biji-bijian
polong tersebut belum dikembangkan secara baik, bahkan cenderung hampir dilupakan
sehingga perkembanganya sulit didapatkan pada saat ini (Balitkabi, 2012).
Koro glinding merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang dapat tumbuh di
tanah yang kurang subur dan kering. Selain untuk dimanfaatkan bijinya, tujuan
penanaman koro adalah sebagai tanaman pelindung dan pupuk hijau. Koro glinding
(Phaseolus lunatus) merupakan tanaman yang memiliki peran penting dalam mengatasi
lahan kritis, karena dapat tumbuh secara produktif di daerah yang memiliki tanah kurang
subur. Pemanfaatan tanaman ini sebagian besar untuk makanan ternak, namun sebagian
masyarakat telah memanfaatkannya untuk tempe seperti koro benguk (Kanetro dan
Hastuti, 2006).
Gambar 2.4 Koro Glinding (Phaseolus lunatus)
(Anonim, 2015)
Koro glinding merupakan salah satu jenis leguminosa yang kaya akan protein dan
karbohidrat. Menurut Guerrero et al (2012) legum mengandung protein hingga 200 – 400
g/kg, nilai ini lebih tinggi dari jenis serealia yang hanya mengandung protein sebesar 70 –
140 g/kg. Komposisi kimia kandungan gizi koro glinding dibandingkan dengan berbagai
jenis leguminosa lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Komposisi Kimia Berbagai Jenis Legum
Komponen Koro
Pedang
Koro
Komak
Koro
Glinding 1
Koro
Glinding 2
Air (%) 8,4 ± 0,1 9,3 ± 0,5 9,0 ± 1,0 14,3 ± 0,2
Protein (%) 21,7 ± 2,1 17,1 ± 1,5 14,8 ± 1,4 17,1 ± 0,1
Lemak (%) 4,0 ± 0,3 1,1 ± 0,4 2,2 ± 0,6 0,5 ± 0,1
Abu (%) 2,9 ± 0,1 3,6 ± 0,1 2,9 ± 0,1 3,0 ± 0,1
Karbohidrat (%) 64,0 ± 5,2 67,9 ± 4,2 70,2 ± 4,2 65,1 ± 0,2
HCN (mg/100g) 0,5 ± 0,1 1,1 ± 0,1 111,8 ± 5,3 1,2 ± 0,2
Fitat (mg/g) 13,2 ± 1,2 18,9 ± 0,2 13,0 ± 1,3 15,0 ± 1,5
Tripsin inhibitor
(TIU/mg) 0,15 ± 0,02 0,15 ± 0,02 35,9 ± 2,5 1,25 ± 0,22
Keterangan: Koro glinding 1: koro glinding dengan biji warna-warni
Koro glinding 2: koro glinding dengan 1 warna biji
Sumber: Subagio et al. (2009)
Salah satu pengembangan koro glinding yaitu mengolah koro glinding menjadi
tepung koro glinding dengan kandungan kaya protein karena leguminosa pada umumnya
tinggi protein. Dalam pengolahan tepung koro glinding perlu diperhatikan besar
rendemen supaya dapat diketahui seberapa besar kebutuhan bahan baku dalam
pembuatan tepung. Rendemen tepung koro glinding dapat dilihat pada Tabel 2.16.
Tabel 2.16 Rendemen Tepung Kaya Protein (TKP) Koro Komak dan Koro Glinding
Jenis TKP Rendemen (%)
Komak 1 31,7 ± 0,9
Komak 2 10,6 ± 0,8
Glinding 1 22,1 ± 0,4
Glinding 2 10,0 ± 0,5 Keterangan: angka 1 = ekstraksi pertama menggunakan air
angka 2 = ekstraksi ulang menggunakan NaOH 0,01N
Sumber: Nafi et al. (2006)
Pati merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam koro-koroan. Kadar pati
beberapa jenis koro berbanding terbalik dengan kadar proteinnya, artinya semakin tinggi
kadar pati maka proteinnya semakin rendah. Komposisi kimia tepung koro glinding dapat
dilihat pada Tabel 2.17.
Tabel 2.17 Komposisi Kimia Tepung Kaya Protein (TKP) Koro Komak dan Glinding
Komponen
TKP
Komak 1 Komak 2 Glinding 1 Glinding 2
Air 6,4 ± 0,2 7,3 ± 0,1 4,1 ± 0,1 2,0 ± 0,1
Protein 58,4 ± 4,5 41,8 ± 1,1 30,9 ± 3,6 10,6 ± 0,6
Lemak 0,3 ± 0,1 0,3 ± 0,1 1,6 ± 0,2 9,5 ± 0,4
Karbohidrat:
-pati 26,9 ± 0,6 47,7 ± 0,3 49,6 ± 4,9 67,4 ± 0,7
-total gula 0,2 ± 0,1 0,4 ± 0,0 1,0 0, ± 0 0,4 ± 0,0
-serat 0,8 ± 0,1 0,9 ± 0,1 0,4 ± 0,0 2,4 ± 0,2
Abu 3,5 ± 0,2 1,4 ± 0,1 2,7 ± 0,0 0,9 ± 0,3
TOTAL 96,5 99,8 90,3 84,2 Keterangan: angka 1 = ekstraksi pertama menggunakan air
angka 2 = ekstraksi ulang menggunakan NaOH 0,01N
Sumber: Nafi et al. (2006)
4. Tepung Komposit
Tepung komposit adalah tepung yang berasal dari beberapa jenis bahan baku yaitu
umbi-umbian, kacang-kacangan, atau sereal dengan atau tanpa tepung terigu atau gandum
dan digunakan sebagai bahan baku olahan pangan seperti produk bakery dan ekstrusi
(Widowati, 2009 dalam Astuti et al., 2014). Letak geografis dan iklim yang tidak sesuai
untuk pertumbuhan gandum, mengakibatkan beberapa wilayah negara yang tidak dapat
menghasilkan dan mencukupi kebutuhan gandumnya sendiri seperti, negara-negara di
Asia dan Afrika. Perkembangan tepung komposit yang cukup pesat di Afrika, membuat
The African Organisationfor Standardisation (2012), mengeluarkan keputusan mengenai
standar tepung komposit dengan tujuan menjamin kualitas bahan pangan tersebut untuk
konsumen yang mengacu pada International Organization for Standardization. Tepung
komposit harus memenuhi beberapa hal, yakni syarat umum, syarat ukuran partikel,
syarat kandungan nutrisi, dan syarat kandungan asam sianida. Secara umum, tepung
komposit harus homogen, bebas dari material asing, dan dapat diterima profil
sensorisnya. Berdasarkan ISO 3588, tepung komposit berukuran sebesar 0,25 mm dengan
kandungan asam sianida maksimal 10 ppm. Sedangkan, syarat kandungan nutrisi tepung
komposit dapat dilihat pada Tabel 2.18.
Tabel 2.18 Syarat Kandungan Nutrisi Tepung Komposit
Karakteristik Syarat
Kadar protein minimal (%) 8,0 ISO 1871
Kadar lemak kasar minimal (% db) 2,0 ISO 5986
Kandungan serat kasar maksimal (% db) 1,25 ISO 5498
Nilai asam 50 ISO 7305
Kadar air maksimal (%) 13,5 ISO 712 Sumber : The African Organisation for Standardisation (2012)
Perkembangan tepung komposit saat ini diantaranya yaitu snack kaya akan protein
dari tepung komposit pati tapioka, tepung sorghum dan kasein (Patel et al., 2016); roti
dari tepung millet dan gandum (Maktouf et al., 2016); produk ekstrusi dari tepung
komposit (padi dan jagung), tepung barley, tepung kacang hijau dan tepung biji
fenugreek dan bubuk daun fenugreek (Wani dan Pradyuman, 2015); tepung komposit
dengan bahan baku Dioscorea alata dan Telifairia occidentalis (Ugwu) yang diolah
menjadi ruckbuns, biskuit dan cake kemudian masing-masing dikaji secara kimia
(proksimat dan serat kasar) serta organoleptik dan dibandingkan dengan 100% tepung
terigu, sehingga nilai yang dapat dikaji yaitu penambahan proporsi tepung Dioscorea
alata lebih tinggi didapatkan serat kasar lebih tinggi dibandingkan 100% tepung terigu
(China et al., 2016); beberapa produk bakery (cookies, bread, biscuit, muffin) dibuat dari
tepung komposit seperti tepung singkong, tepung kedelai, tepung kacang hijau (Jisha dan
Padmaja, 2011; Pasha et al., 2011 dalam Astuti et al., 2014).
Perkembangan produk tepung komposit non bakery salah satunya dijadikan produk
mi tepung komposit berbahan dasar jagung, ubi kayu, ubi jalar dan terigu (lokal dan
impor), yang mana produk tersebut dibuat perlakuan sebanyak 7 formula. Mi dari ketujuh
perlakuan mengandung daya cerna pati sebesar 64,05 – 81,43% untuk yang berbasis
terigu lokal dan 64,7 – 79,91% untuk yang berbasis terigu impor. Sedangkan kadar serat
pangan berkisar antara 4,20 – 7,21% dan 3,95-6,46% berturut-turut untuk mi berbasis
terigu lokal dan impor. Asam amino yang dominan adalah asam glutamat, asam aspartat,
arginin, leusin dan lisin sehingga nilai gizinya sangat baik (Ratnaningsih et al., 2010).
Aplikasi tepung komposit juga diterapkan dalam pembuatan beras analog. Salah
satunya yaitu beras analog dari tepung komposit berbahan dasar tepung ubi kelapa dan
tepung beras. Penambahan tepung beras yang cukup tinggi cenderung berpengaruh nyata
terhadap karakteristik fisik dan organoleptik beras analog mentah, nasi analog matang
hangat, dan nasi analog matang dingin yang dihasilkan. Penggunaan proporsi tepung ubi
kelapa putih yang cukup tinggi mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap bau nasi
analog hangat dan nasi analog dingin (Adicandra dan Teti, 2016).
5. Pangan Fungsional
Istilah “pangan fungsional” untuk pertama kalinya diperkenalkan di Jepang pada
sekitar tahun 1980-an, mengacu pada pangan olahan mengandung ingredientt yang selain
nilai gizi juga dapat membantu fungsi-fungsi dalam tubuh. Sampai sekarang, Jepang
merupakan satu-satunya negara yang telah menyusun peraturan secara rinci mengenai
pangan fungsional (Hasler, 1998). Dikenal sebagai “Food for Specified Health Use”
(FOSHU), pangan tersebut diberi tanda persetujuan (approval) dari Kementrian
Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang, dan diberi label FOSHU (Arai, 1996).
Menurut Perka BPOM RI No HK.03.1.23.11.11.09909 (2011), pangan fungsional
adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang
berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu di luar fungsi dasarnya,
terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Global Industry Analysis
memprediksi pertumbuhan produk pangan fungsional mencapai USD 130 milyar pada
tahun 2015, sementara terdapat 42% produk yang diluncurkan secara global dengan
memberikan klaim kesehatan (Innova Market Insights, 2013).
Pangan fungsional harus mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu: (1) sensory (warna
dan penampilannya menarik, citarasanya enak); (2) nutritional (bernilai gizi tinggi); dan
(3) physiological (memberikan pengaruh fisiologis menguntungkan bagi tubuh). Fungsi
fisiologis dari suatu pangan fungsional antara laim: (a) pencegahan timbulnya suatu
penyakit yang berhubungan dengan konsumsi pangan; (b) meningkatkan daya tahan
tubuh (regulating bio-defensiveness); (c) regulasi ritme kondisi fisik tubuh; (d)
memperlambat proses penuaan (aging); (e) penyehatan kembali (recovery) tubuh setelah
menderita suatu penyakit tertentu; (f) dan lain-lain (Muchtadi, 2012).
Sifat fungsional dalam makanan fungsional disebabkan oleh adanya komponen
bioaktif yang terdapat dalam bahan nabati (misalnya serat pangan, inulin, FOS dan
antioksidan) ataupun bahan hewani (EPA, DHA dan CLA). Sifat fungsional juga bisa
disebabkan oleh adanya mikroorganime yang memiliki sifat menguntungkan di dalam
sistem pencernakan, misalnya probiotik (Marsono, 2008).
Efek kesehatan dari makanan fungsional sumber serat dan pati resisten sangat
berhubungan erat dengan efek fisiologis serat pangan. Serat pangan memberikan
viskositas yang tinggi pada digesta. Sifat ini dapat mengurangi absorpsi glukosa dan
kolesterol, sehingga konsumssi serat pangan yang tinggi dapat mencegah diabetes
maupun hiperkolesterol. Serat pangan di dalam kolon akan terfernemtasi menghasilkan
SCFA (Short Chain Fatty Acids), diantaranya asetat, propionat dan butirat yang
dilaporkan dapat mencegah kenaikan kolesterol (propionat) atau mencegah kanker kolon
(butirat). Kapasitas pengikatan air yang besar dari serat pangan dapat mengakibatkan
digesta (isi usus) ruah dan berkadar air tinggi sehingga mencegah kontipasi maupun
divertikulosis. Kemampuan mengikat molekul organik dapat mengakibatkan terikatnya
empedu dan akhirnya dapat menurunkan kolesterol. Dengan demikian jelas bahwa serat
pangan dapat mencegah diabetes type II, mencegah hyperkolesterolemia serta
menyehatkan kolon (mencegah kontipasi, divertikulosis dan kanker kolon). Pangan
sumber serat pangan antara lain bekatul, sayur, buah, serealia, dan rumput laut (Marsono,
2008).
Efek kesehatan inulin dan FOS (Frukto Oligo Sakarida) antara lain mengurangi
konstipasi, menambah frekuensi ke belakang, melunakkan feses, menaikkan kadar air
feses, meningkatkan bifidobakteri, laktobasili serta menurunkan Enterobakteri &
Clostridium perfringen. Inulin dan FOS banyak terdapat dalam : bawang merah, bawang
putih, pisang dan asparagus (Marsono, 2008).
Antioksidan alami terdapat di berbagai bahan pangan antara lain yaitu karotenoid,
flavonoid dan phenolic. Antioksidan kelompok karotenoid telah diklaim memiliki efek
menyehatkan antara lain (i) dapat menetralkan radikal bebas yaitu suatu senyawa yang
dapat merusak sel dan mengakibatkan timbulnya penyakit kanker, (ii) meningkatkan
pertahanan oksidasi, (iii) membantu menyehatkan mata, (iv)membantu meningkatkan
kesehatan prostat, serta membantu mencegah timbulnya penyakit jantung (Boileau et
al.,1998 dalam Marsono, 2008). Efek kesehatan yang bisa ditimbulkan antara lain (i)
meningkatkan pertahanan antioksidan tubuh, (ii) memperbaiki fungsi otak, (iii) menjaga
kesehatan jantung, (iv) menetralkan radikal bebas. Isoflavon (daidzein, genistein) banyak
terdapat di dalam kedelai dapat membantu mempertahankan kesehatan tulang dan otak
serta meningkatkan kekebalan (Marsono, 2008). Vitamin E juga termasuk ke dalam
golongan antioksidan. Vitamin E memeiliki fungsi antioksidan yang signifikan pada
membrane sel dan lipoprotein. Banyak peenlitian membuktikan bahwa vitamin E
membantu menurunkan resiko penyakit jantung koroner, kanker dan penyakit kronik
lainnya (Papas, 1999).
PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acids) dan CLA (Conjugated Linoleic Acids)
merupakan komponen bioaktif yang banyak terdapat pada bahan pangan hewani. PUFA
khususnya asam lemak Omega 3, banyak terdapat dalam salmon, tuna dan beberapa
hewan laut lainya, berpotensi untuk merungurangi resiko penyakit jantung koroner, dan
memabantu memperbaiki kesehatan mental dan fungsi pengelihatan. Sedangkan CLA
banyak terdapat dalam daging domba dan sapi serta keju, dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh, menekan pertumbuhan tumor lambung (Hasler, 2004).
Prebiotik didefinisikan sebagai ingridien pangan tak tercerna yang mempunyai efek
menguntungkan bagi inang yang mengkonsumsinya dengan perangsangan selektip pada
pertumbuhan dan atau aktivitas salah satu atau beberapa bakteri di dalam kolon, sehingga
dapat mencegah kanker kolon dan meningkatkan kesehatan (Gibson and Roberfroid,
1995).
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu indeks glikemik dari makanan. Indeks
glikemik (IG) merupakan ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula darah.
Semakin tinggi indeks glikemik suatu makanan, semakin cepat dampaknya terhadap
kenaikan gula darah (Marsono, 2002). Skala indeks glikemik yaitu 0-100. Indeks
glikemik disebut rendah jika berada pada skala <50, indeks glikemik sedang jika nilainya
50-70 dan indeks glikemik tinggi jika pada skala >70 (Kurniadi dan Ulfa, 2014).
6. Karakteristik Fisik
a. Daya Serap Air
Daya serap air (rehydration weight) merupakan kemampuan suatu bahan untuk
menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan (Astawan, 2006 dalam
Yunita et al., 2013). Daya serap air tepung perlu diketahui dalam penyusunan formula
adonan. Penambahan air pada pembuatan adonan roti disesuaikan dengan daya serap
air tepung. Penetapan daya serap air tepung juga dapat digunakan untuk menilai mutu
terigu. Daya serap air tepung terigu sekitar 60% dianggap baik, Semakin rendah daya
serap air tepung, semakin rendah mutu tepung tersebut (Muchtadi at al., 2013).
Komponen amilosa berkaitan dengan daya serap air dan kesempurnaan proses
gelatinisasi produk. Molekul amilosa akan memiliki karakteritik jika diestruksi akan
membentuk ekstrudat yang rapat, keras, dan kurang mengembang secara radial.
Kandungan amilosa yang tinggi juga berpotensi digunakan sebagai bahan baku
produk instan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kandungan amilosa maka semakin
tinggi daya rehidrasi produk. Peningkatan daya rehidrasi produk berkaitan dengan
peningkatan gugus hidrofilik yang memiliki kemampuan menyerap air lebih besar
(Hidayat et al., 2007).
Daya serap air sangat penting peranannya dalam makanan panggang karena
dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan penanganannya. Di samping
itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit
dan roti. Daya serap air dan lemak penting dalam pembuatan produk daging tiruan
karena dapat menyebabkan perubahan tekstur tepung kering (bahan dasar untuk
membuat daging tiruan) menjadi kental berserat menyerupai tekstur daging dan
berperan dalam penyerapan cita rasa atau flavor daging yang ditambahkan (Koswara,
1992 dalam Putri, 2010).
b. Swelling Power
Swelling power merupakan suatu sifat yang mencirikan daya kembang suatu
bahan, dalam hal ini yaitu kekuatan tepung untuk mengembang. Faktor-faktor yang
mempengaruhi antara lain: perbandingan amilosa-amilopektin, panjang rantai, dan
distribusi berat molekul. Apabila kadar amilosa lebih tinggi maka pati akan bersifat
kering, kurang lekat, dan cenderung menyerap banyak air (higroskopis). Besarnya
swelling power untuk setiap tepung berbeda karena swelling power sangat
menentukan sifat dan kegunaan dari tepung (BeMiller et al., 1997).
Swelling power terjadi jika pati pada keadaan berlebihan air dan suhu suspensi
pati meningkat di atas rentang tertentu, ikatan hidrogen molekul terganggu, molekul
air akan terikat dengan gugus hidroksil pada amilosa dan amilopektin sehingga
granula pati akan semakin membesar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan
ikatan-ikatan hidrogen yang menghubungkan moleku-molekul amilosa dan
amilopektin semakin melemah dengan peningkatan suhu pemanasan sehingga
menganggu kekompakan granula pati. Peningkatan suhu menyebabkan molekul-
molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah
berpenetrasi ke dalam granula pati (Indrastuti et al., 2012).
c. Oil Holding Capacity (OHC)
Oil Holding Capacity (OHC) merupakan jumlah minyak yang ditahan serat
setelah pencampuran, inkubasi dengan minyak dan sentrifugasi (Elleuch, 2011).
Kapasitas penyerapan minyak menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat
minyak. Kapasitas penyerapan minyak pada tepung berkaitan dengan kadar lemak
dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein, akan semakin besar
kapasitas penyerapan minyak. Campuran minyak dan pati akan mempengaruhi sifat
fisik pati karena minyak dan lemak dapat membentuk kompleks dengan amilosa yang
menghambat pembengkakan granula sehingga pati sulit tergelatinisasi (Fennema,
1985 dalam Rohmah, 2012).
Penyerapan minyak goreng pada bahan pada proses penggorengan dipengaruhi
oleh kehalusan partikel tepung. Semakin kasar partikel tepung, maka akan semakin
rendah tingkat penyerapan minyak goreng oleh bahan pada proses penggorengan. Hal
ini dapat disebabkan semakin kasarnya partikel tepung atau semakin luas permukaan
partikel, maka semakin sedikit kemungkinan air yang dapat terserap oleh bahan
selama pembuatan adonan, sehingga produk hasil penggorengan memiliki struktur
lebih mekar dan porus, lebih sedikit pula minyak goreng yang dapat terserap dan
terperangkap dalam produk (Nurani et al., 2013).
d. Water Holding Capacity (WHC)
Water Holding Capacity (WHC) merupakan jumlah air yang dapat
dipertahankan oleh 1 gram serat pada kondisi suhu, lama sentrifugasi yang telah
ditetapkan (Fleury dan Lahaye, 1991). Water Holding Capacity merupakan indikator
untuk mengetahui kemampuan suatu bahan dapat dimasukkan ke dalam formula
makanan yang mengandung air. Serat pangan dengan WHC yang tinggi dapat
ditambahkan pada makanan untuk menghindari sineresis yaitu suatu fenomena
dimana keluarnya cairan dari gel (Grigelmo-Miguel et al., 1999).
Serat pangan terutama serat tidak larut memiliki sifat mampu menahan air
(water holding capacity). Polisakarida mempunyai kemampuan menyerap dan
menahan air karena adanya residu gula yang mempunyai gugus polar. Pektin, gum,
mucilages dan sebagian hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air yang
tinggi. Kemampuan hidrasi serat dapat menyebabkan terbentuknya matriks gel. Hal
ini dalam usus halus dapat meningkatkan viskositas isi usus halus dan dapat
memberikan efek memperlambat pengosongan usus, difusi dan absorpsi zat gizi. Hal
ini disebabkan karena nutrien yang larut air akan terperangkap di dalam matriks gel
sehingga difusi nutrien dalam usus halus berjalan lambat atau hanya sebagian nutrien
yang dapat terabsorbsi (Schneeman, 1986 dalam Pangestika, 2016).
7. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih
elektron kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal bebas dapat terhambat.
Antioksidan juga dapat diartikan sebagai bahan atau senyawa yang dapat menghambat
atau mencegah terjadinya oksidasi pada substrat atau bahan yang dapat teroksidasi,
walaupun memiliki jumlah yang sedikit dalam makanan atau tubuh jika dibandingkan
dengan substrat yang akan teroksidasi. Berkaitan dengan reaksinya di dalam tubuh, status
antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh
manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas, yang
secara berlanjut dibentuk sendiri oleh tubuh. Jika jumlah senyawa oksigen reaktif ini
melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan menyerang komponen
lipid, protein, maupun DNA sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut
dengan stres oksidatif (Mar’atirrosyidah dan Estiasih, 2015).
Antioksidan dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan kelarutan, yaitu
antioksidan larut dalam air dan yang larut dalam lemak. Antioksidan yang larut dalam air
meliputi vitamin C dan asam urat, sedangkan antioksidan yang larut dalam lemak
meliputi ubiquinon, tokoferol dan karpotenoid, glutation, sulfhidiril (GSH), karotenoid,
retinoid, tokoferol dan flavonoid. Antioksidan dapat berbentuk senyawa gizi, seperti
vitamin E dan vitamin C, serta dapat berupa zat non gizi seperti enzim (glutation
peroksida, koenzim Q10) dan pigmen (karotenoid, likopen, flavonoid, klorofil dan
polifenol) (Prakash, 2001).
Penentuan kandungan antioksidan dapat dilakukan dengan metode DPPH. DPPH
adalah radikal bebas stabil berwarna ungu yang digunakan secara luas untuk pengujian
kemampuan penangkapan radikal bebas dari beberapa komponen alam seperti komponen
fenolik, antosianin atau ekstrak kasar. Metode DPPH berfungsi untuk mengukur elektron
tunggal seperti transfer hidrogen sekaligus juga untuk mengukur aktivitas penghambatan
radikal bebas (Miryanti et al., 2011).
Prinsip dari uji DPPH yaitu DPPH akan menerima elektron atau radikal hidrogen
dan akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan
DPPH, baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan
karakter radikal bebas dari DPPH. Terdapat tiga langkah mekanisme reaksi senyawa
antioksidan dengan DPPH. Langkah pertama meliputi delokalisasi satu elektron pada
gugus yang tersubstitusi dari senyawa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen
untuk mereduksi DPPH. Langkah berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal
fenoksil, yang akan mentransfer radikal hidrogen yang akan bereaksi kembali dengan
radikal DPPH. Langkah terakhir adalah pembentukan kompleks antara radikal aril
dengan radikal DPPH. Pembentukan dimer maupun kompleks antara zat antioksidan
dengan DPPH tergantung pada kestabilan dan potensi reaksi dari struktur molekulnya
(Bintang, 2010). Mekanisme reaksi senyawa antioksidan dengan DPPH dapat dilihat pada
Gambar 2.5
Gambar 2.5 Mekanisme reaksi senyawa antioksidan dengan DPPH
(Brand-Williams, 1995 dalam Sanger, 2014)
8. Fenol
Senyawa fenol merupakan kelas utama antioksidan yang berada dalam tumbuh-
tumbuhan. Kandungan senyawa fenolik banyak diketahui sebagai terminator radikal
bebas. Pada umumnya kandungan senyawa fenolik berkorelasi positif terhadap aktivitas
antiradikal (Marinova dan Batcharov, 2011).
Salah satu jenis golongan senyawa fenol yaitu polifenol. Polifenol adalah salah satu
kategori terbesar dari fitokimia dan paling banyak penyebarannya di antara kingdom
tanaman. Beberapa polifenol berperan sebagai antioksidan dengan mengkelat ion logam
sehingga dapat mengurangi kapasitas logam untuk menghasilkan radikal bebas. Polifenol
dapat dikatakan sebagai antioksidan jika memenuhi dua kondisi, antara lain (1) ketika ada
dalam konsentrasi rendah yang relatif terhadap substrat yang akan dioksidasi, polifenol
dapat menghambat, mencegah, mengurangi auto-okisidasi atau oksidasi yang dimediasi
radikal bebas, dan (2) bentuk hasil radikal setelah scavenging harus stabil untuk
mengganggu reaksi rantai okisidasi (Furham dan Aviram, 2002).
Polifenol pada tanaman lima beans atau koro glinding memiliki kandungan total
fenol tinggi yang selaras dengan aktivitas antioksidan pada koro-koroan tersebut. Hal ini
memungkinkan memberikan manfaat bagi manusia. Jenis koro glinding putih memiliki
kandungan polifenol terendah, sedangkan golongan kedua adalah jenis koro linding yang
memiliki kandungan fenol tidak terlalu banyak atau tidak sedikit (medium level), koro
glinding yang memiliki fenol yang tinggi adalah koro glinding coklat, merah muda, dan
koro glinding hitam (Costa et al, 2015).
Selain polifenol, asam galat (asam 3,4,5 – tri hidroksil benzena) termasuk dalam
senyawa fenolik dan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Penentuan kandungan
fenolik total dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteu (Lee et al.
2003). Metode ini berdasarkan kekuatan mereduksi dari gugus hidroksi fenolik. Semua
senyawa fenolik termasuk fenol sederhana dapat bereaksi dengan reagen Folin -
Ciocalteu, walaupun bukan penangkap radikal (antiradikal) efektif. Adanya inti aromatis
pada senyawa fenol dapat mereduksi fosfomolibdat fosfotungtat menjadi molibdenum
yang berwarna biru (Huang et al., 2005).
Gambar 2.6 Mekanisme Folin-Ciocalteu dengan Fenol
(Hardiana et al., 2012)
Antioksidan fenolik (PPH) menghambat peroksidasi lemak dengan mendonasi
cepat atom hidrogen ke radikal peroksi (ROO.) sehingga menghasilkan formasi alkil
hidroperoksida (ROOH). Berikut adalah reaksinya:
ROO’ + PPH → ROOH + PP
’
Radikal fenoksil polifenol (PP’) yang dihasilkan dapat distabilkan lebih lanjut dengan
mendonasikan atom hidrogen dan pembentukan kuinon, atau dengan bereaksi dengan
radikal lain, termasuk radikal fenoksil lain, sehingga mengganggu proses reaksi inisiasi
rantai baru (Furham dan Aviram, 2002).
9. Serat Pangan
The American Association of Cereal Chemist (AACC) pada tahun 2000
mendefinisikan serat pangan sebagai “bagian tanaman dapat dimakan atau analog
karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh usus halus manusia, tetapi dapat
dicerna (difermentasi) sebagian atau seluruhnya dalam usus besar”. Golongan serat
pangan diantaranya polisakarida, oligosakarida, lignin dan komponen tanaman lain. Serat
pangan memberikan efek fisiologis menguntungkan, termasuk laktasif, menurunkan
kadar kolesterol dalam darah dan menurunkan kadar gula darah (Tungland dan Meyer,
2002).
Secara umum, serat pangan digolongkan berdasarkan sifat kelarutan serat pangan
dalam air, yaitu serat pangan larut air dan serat pangan tidak larut air. Sifat yang
berhubungan dengan kelarutan serat pangan dalam air adalah kemampuan dapat atau
tidaknya serat pangan untuk difermentasi oleh mikroflora usus (Muchtadi, 2012).
Serat pangan larut air adalah serat pangan yang dapat difermentasi oleh miklofora
usus (Muchtadi, 2012). Golongan serat pangan larut air diantaranya yaitu polisakarida
non pati, SCFA, psyllium, propionat, dan sebagainya. Golongan polisakarida yang tidak
dapat dicerna terdiri dari semua Polisakarida Non Pati (PNP) yang tahan terhadap
pencernaan dalam usus halus, tetapi dapat difermentasi dalam usus besar. Polisakarida
yang tergolong sebagai PNP antara lain selulosa yang mempunyai ikatan β-glikosida,
gula-gula non-glukosa (hemiselulosa; misalnya arabinoksilan dan arabinogalaktan); gula
asam (pektin); gum dan mucilage. Contoh oligosakarida resisten, misalnya fruktan (inulin
dan oligofruktosa atau frukto-oligosakarida, FOS), dikarakterisasi sebagai karbohidrat
dengan derajat polimerisasi (DP) yang rendah dibandingkan PNP. FOS berbeda dengan
fruktopolisakarida (inulin) hanya dalam panjang rantainya. Dalam ilmu kimia,
oligosakarida didefinisikan sebagai karbohidrat yang mempunyai DP antara 3 sampai 10
(Englyst at al., 1995 dalam Muchtadi, 2012).
Serat pangan larut air pada umumnya akan membentuk larutan kental dalam usus
(misalnya gum guar, kecuali gum arab dan inulin) namun beberapa jenis lainnya akan
membentuk gel (misalnya pektin) (Tungland dan Meyer, 2002). Oleh karena itu, serat
pangan larut air memberikan viskositas tinggi dalam usus besar, sehingga mempunyai
potensi untuk mengurangi respons glisemik (Jenkins et al., 1977) serta meningkatkan
sensitivitas insulin (Fukagawa et al., 1990).
Serat pangan larut air dapat memberikan pengaruh kesehatan terhadap penyakit
kardiovaskuler. Mekanisme penurunan kadar kolesterol oleh serat pangan larut air,
misalnya psyllium, oat dan pektin yaitu serat pangan tersebut dapat mengikat asam
empedu sehingga akan meningkatkan ekskresinya (melalui feses) serta menurunkan
sintesis kolesterol dalam hati (Forman et al., 1968).
Efek hipokolesterolemik serat pangan juga disebabkan adanya SCFA yang
dihasilkan dari fermentasi serat. SCFA dapat diserap oleh usus besar; butirat dapat
digunakan oleh sel-sel mukosa usus dan propionat digunakan oleh sel-sel hati, sedangkan
asetat akan diangkut oleh darah ke seluruh tubuh (peripheral circulation). Propionat
dapat menghambat metabolisme asam lemak, yang mempunyai peranan penting dalam
sintesis kolesterol (Nishina dan Freeland, 1990 dalam Muchtadi, 2012).
Propionat dibentuk sebagai hasil fermentasi inulin, menurunkan kapasitas hati
untuk sintesis asam lemak dan trigliserida, melalui penghambatan aktivitas enzim,
terutama gliserol-3-fosfat-asetil-transferase dan enzim sintase asam lemak. Rendahnya
kadar glukosa dan insulin dalam darah tikus yang diberi pakan inulin mempunyai
kontribusi pada menurunnya sisntesis asam lemak dan trigliserida dalam hati (Kok et al.,
1996). Menurut Ascherio et al. (1992), berpendapat bahwa sebagai tambahan pada
kandungan lipid dalam darah, terbukti adanya hubungan terbalik antara konsumsi serat
pangan dengan hipertensi, sedangkan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko
timbulnya penyakit jantung koroner.
Serat pangan larut air juga memberikan pengaruh terhadap penyskit yang bersifat
toksin. Penggunaan serat pangan larut air menyebabkan terjadinya perubahan jumlah dan
jenis bakteri, sehingga terjadi perubahan aktivitas metabolisme dalam menurunnya
pembentukan genotoksin, karsinogen dan promotor tumor (Tungland dan Meyer, 2002).
Serat pangan tidak larut air adalah serat pangan yang kurang atau tidak dapat
difermentasi oleh miklofora usus. Senyawa yang digolongkan sebagai serat pangan tidak
larut adalah lilin (waxes) dan kutin (cutin) tanaman. Komponen tersebut dapat ditemukan
sebagai lapisan lilin pada permukaan dinding sel tanaman, tersusun dari asam lemak
hidroksi rantai panjang dan lurus yang bersifat sangat hidrofobik. Senyawa lainnya yang
juga tergolong sebagai serat pangan adalah suberin. Meskipun belum dikarakterisasi
secara lengkap, dipercaya bahwa senyawa ini merupakan molekul sangat bercabang
dengan ikatan menyilang yang mengandung fenolik polifungsional asam hodroksi
polifungsional dan asam dikarboksilat serta mempunyai ikatan ester dengan dinding sel
tanaman (Kolattukudy,1981 dalam Muchtadi, 2012).
Serat pangan tidak larut air mempunyai kapasitas menahahan air (WHC) yang
tinggi (misalnya selulosa). Viskositas yang tinggi umumnya berhubungan dengan
perlambatan laju pengosongan perut (lambung) dan peningkatan waktu retensi dalam
usus halus. Serat pangan tidak larut air, juga memberikan pengaruh langsung dalam usus
besar dengan cara memperbaiki laksasi, mengurangi waktu transit feses, meningkatkan
massa feses dan mengikat senyawa seperti asam empedu dan karsinogen (Tungland dan
Meyer, 2002).
Butrum et al. (1988) menyatakan bahwa rekomendasi The National Cancer
Institute didasarkan atas data hasil penelitian yang menyebutkan bahwa makanan yang
mengandung serat memberikan perlindungan terhadap timbulnya penyakit kanker usus
besar dan rektum. Untuk itu, direkomendasikan bahwa orang dewasa harus meningkatkan
konsumsi serat pangan dari 20 gr menjadi 30 gr per hari, tetapi jangan melebihi 35 gr per
hari. Masyarakat Amerika Serikat pada waktu tersebut mengonsumsi sekitar 10 sampai
15 gr serat pangan per hari (Marlett dan Slavin, 1997). Rekomendasi konsumsi serat
pangan dari lembaga-lembaga lain dapat dilihat pada Tabel 2.16.
Tabel 2.19 Rekomendasi Konsumsi Serat Pangan
Sumber Tahun Rekomendasi Komentar
USDA & USFDA 1993 TDF 25 gr/ hari SDF 0,6 gr/ sajian
2000 Kkal
makanan
Rekomendasi NLEA
untuk kesehatan
kardiovaskuler,
National Cancer
Institute
1988 TDF 20-30
gr/hari
Dari biji-bijian utuh,
buah-buahan,
sayuran
Federation of
American Society
of Experimental
Biology
1987 TDF 25-35 gr/
hari
IDF 70-35%
SDF 25-30%
10-13 gr/ 1000 Kkal.
Konsumsi bermacam-
macam produk
biji-bijian utuh,
buah-buahan dan
sayuran
American Dietetic
Association
1988 TDF 20-35 gr/
hari
Nordisk Ministerrad 1989 12,5 gr/ 1000 Sekitar 30 gr/ hari
Standing Nordic
Committee on
Food, Dutch RDA
(Voedingsraad)
Kkal/ hari untuk dewasa
British National
Advisory
1986 TDF 30 gr/ hari
United Kingdom
Departement of
Health
1991 18 gr NSP/ hari
(kisaran 12-
24 gr/ hari)
Tidak termasuk inulin
dan pati resisten
Expert Advisory
Committee on DF
Health & Welfare
Canada
1991 TDF-curreny
intake
Level pada tahun 1985
sekitar 5,8-8 gr/
1000 Kkal
German RDA 1985 12,5 gr/ 1000
Kkal/ hari
Sekitar 30 gr/ hari
untuk dewasa Sumber: Tungland dan Meyer (2002) dalam Muchtadi (2012)
10. Pati Resisten
Pati resisten (Resistant Starch) sering diidentifikasi sebagai fraksi pati makanan
yang sulit dicerna di dalam usus halus sehingga memiliki fungsi untuk kesehatan. RS
memiliki sifat seperti halnya serat makanan, sebagian serat bersifat tidak larut dan
sebagian lagi merupakan serat yang larut (Asp, 1992 dalam Herawati, 2011).
Pati resisten (RS) dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe, yaitu RS1, RS2, RS3,
RS4 dan RS5. RS1 secara fisik dapat diperoleh secara langsung,seperti pada biji-bijian
atau leguminosa dan biji yang tidak diproses. RS2 secara alami terdapat didalam struktur
granula, seperti kentang yang belum dimasak, juga pada tepung pisang dan tepung jagung
yang mengandung banyak amilosa. RS3 terbentuk karena proses pengolahan dan
pendinginan, seperti pada roti, emping jagung dan kentang yang dimasak atau
didinginkan, atau retrogradasi amilosa jagung. RS4 merupakan pati hasil modifikasi
secara kimia melalui asetilasi dan hidroksipropilasi maupun pati ikatan silang sehingga
tahan dicerna.RS1 secara fisik merupakan pati yang terperangkap di antara matriks,
protein atau dinding sel tanaman.RS2 granula pati tahan terhadap pencernaan oleh enzim
α-amilase yang terdapat dalam pankreas.RS3 merupakan pati retrogradasi, nonanguler
atau pati untuk makanan. RS4 yaitu RS yang memiliki ikatan selain α-1,4- dan α-1,6-D-
glukosidik (Shi et al., 2006 dalam Herawati, 2010). RS5 merupakan pati yang terbentuk
antara ikatan lemak dengan amilosa (Kusnandar, 2011).
Menurut Baghurst et al. (1996) dalam Muchtadi (2012), kemungkinan manfaat pati
resisten untuk kesehatan, misalnya mengontrol kadar gula darah dan kolesterol,
mengontrol berat badan dan manajemen konsumsi energi, mencegah terjadinya kelainan
pada usus serta mencegah timbulnya kanker kolon.
Fermentasi pati resisten dalam usus besar menghasilkan asam butirat dalam jumlah
relatif tinggi. Asam butirat dapat menghambat tumorigenesis dan dapat menyehatkan
permukaan usus besar. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa pati resisten dapat
menghambat karsinogen pada usus besar tikus yang diinduksi secara kimia (Caderni et
al., 1994).
Pati resisten dapat difermentasi oleh mikrobiota usus besar pada percobaan in vitro
menggunakan slurry feses manusia. Pati resisten juga dapat meningkatkan kekambaan
feses, yang mungkin akibat meningkatnya massa bakteri dalam feses (Botham et al.,
1998 dalam Muchtadi, 2012). Konsumsi pati resisten atau maltodekstrin resisten, dapat
menstimulir pertumbuhan bakteri spesifik yang menguntungkan bagi kesehatan yaitu
bakteri Bifidus dan Lactobacillus (Tungland dan Meyer, 2002).
b. Kerangka Berpikir
· Mudah dibudidayakan
· Produktivitas biji
keringnya cukup tinggi
· Tinggi protein dan
karbohidrat
· Terbukti dapat
menurunkan gula darah
pada tikus
· Kaya asam amino dan
mineral
· Potensi produksinya dapat
mencapai 40 ton/ha
· Syarat tumbuh sangat luas
· Tinggi karbohidrat namun
rendah protein
· Kaya serat, vit C dan fosfor
· Mengandung antioksidan
dan IG rendah
· Mengandung senyawa
bioaktif dioscorin,
diosgenin, dan polisakarida
larut air
UwiKoro
Glinding
· Pengolahan di Indonesia belum optimal
· Ketersediannya di Indonesia semakin berkurang dan diabaikan
Daya simpan rendah
Tepung
Tepung Komposit Uwi dan
Koro glinding
Tepung
Terigu
· Indonesia, negara pengimpor
gandum terbesar kedua di dunia
setelah Mesir.
· Konsumsi terigu semakin
meningkat.
· Nilai impor gandum mencapai
lebih dari Rp 30 trilyun,
sehingga devisa negara banyak
terkuras karena impor gandum · Terigu mengandung gluten
yang dapat menyebabkan alergi
gluten dan tidak dapat
dikonsumsi penderita autis
· Tidak mengandung senyawa
fungsional
Perlu inovasi tepung baru
Gambar 2.7 Kerangka Berpikir
c. Hipotesis
Variasi tepung komposit dari uwi dan koro glinding berpengaruh terhadap karakteristik fisik,
kimia dan senyawa fungsional.
Recommended