View
7
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Cerpen
Sebuah karya fiksi merupakan bangunan cerita dan menampilkan sebuah
dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi hanya berupa kata,
dan kata-kata. Dengan demikian, karya fiksi menampilkan dunia dalam
kemungkinan. Kata merupakan sarana terwujudnya bangunan cerita. Selain itu,
merupakan sarana pengucapan sastra. Sebuah cerpen merupakan cerita fiksi
bentuk prosa yang singkat, padat, unsur-unsur ceritanya terpusat pada satu
peristiwa pokok, sehingga jumlah pengembangan pelaku terbatas dan keseluruhan
cerita memberikan kesan tunggal.
Selanjutnya, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015: 5) menyatakan bahwa
sesuai dengan namanya, cerpen secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru
yang kecil‟ kemudian diartikan sebagai cerita pendek. Jika dibaca, jalan
peristiwanya lebih padat, sedangkan latar maupun kilas baliknya disinggung
sambil lalu saja. Di dalam cerpen hanya ditemukan sebuah peristiwa yang
didukung oleh peristiwa-peristiwa kecil lainnya. Cerita pendek juga memberikan
kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu
situasi. Menurut Nurgiyantoro (2015:12-14) ada beberapa hal yang dapat
dijadikan pedoman mengenal cerpen, yaitu sebagai berikut.
a. Menurut bentuk fisiknya, cerita pendek (atau disingkat menjadi cerpen) adalah
cerita yang pendek.
b. Ciri dasar lain cerpen adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan
kejadian yang pernah terjadi (nonfiksi) berdasarkan kenyataan yang
11
sebenarnya. Akan tetapi, benar-benar hasil rekaan pengarang. Sumber cerita
yang ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan.
c. Ciri cerpen yang lain adalah bersifat naratif atau penceritaan.
d. Cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama.
e. Cerpen dibangun dari dua unsur, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Selain itu,
memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, dan sudut pandang. Karena
bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak
sampai pada detil-detil khusus yang "kurang penting" dan lebih bersifat
memperpanjang cerita.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita
pendek (atau disingkat menjadi cerpen) merupakan karya fiksi yang bersifat
rekaan, naratif atau penceritaan yang serba ringkas (jalan ceritanya padat,
sedangkan latar maupun kilas baliknya disinggung sambil lalu saja). Selain itu,
dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik (tokoh, alur, setting, dan
penokohan) dan unsur ekstrinsik (psikologi pengarang, psikologi pembaca,
keadaan lingkungan seperti ekonomi, sosial, dan politik).
2.2 Unsur-unsur Pembangun Cerpen
Dalam karya sastra terdapat aspek yang penting untuk membangun karya
sastra, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur tersebut merupakan
unsur pembangun karya sastra yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Oleh
sebab itu, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik harus dipandang sama, sehingga
peneliti tidak bisa menganggap bahwa unsur intrinsik merupakan unsur yang
12
terpenting. Akan tetapi, dalam proses menganalisis suatu cerpen diperbolehkan
memfokuskan pada unsur intrinsik tanpa mengabaikan unsur ekstrinsiknya.
Nurgiantoro (2015:30) menyatakan bahwa unsur intrinsik merupakan unsur-
unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu
teks hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai
jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah cerpen adalah unsur
yang secara langsung turut serta dalam membangun cerita. Kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah cerpen berwujud.
Unsur yang dimaksud, yaitu plot, latar, tokoh, dan penokohan.
a. Plot atau Alur
Setiap karya fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri atas peristiwa-
peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata diajarkan begitu saja,
tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan yang lainya. Plot
merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang
menganggapnya sebagai bagian yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi
yang lain.
Plot sering disebut sebagai alur atau jalan cerita. Cerita dalam cerpen akan
lebih menarik jika jalan cerita yang disuguhkan pengarang beruntun, peristiwa
demi peristiwa saling berurutan. Namun, tidak jarang sebuah karya fiksi membuat
pembaca kebingungan dengan alur cerita. Biasanya pengarang menceritakan
sebuah kejadian yang sudah lampau atau sudah terjadi. Hal ini biasanya disebut
dengan flashback atau alur mundur. Pengarang menceritakan kembali kejadian
yang sudah pernah terjadi.
13
Hal ini sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh Aminuddin (2013:83)
bahwa plot atau alur dalam cerpen atau karya fiksi adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Plot cerpen umumnya tunggal,
hanya terdiri atas satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan
selesai, sebab banyak cerpen yang tidak berisi penyelesaian yang jelas,
penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca).
Menurut Nurgiyantoro (2015:14), urutan peristiwa dapat dimulai dari mana
saja Misalnya, dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari
perkenalan (para tokoh dan latar). Kalaupun ada unsur perkenalan tokoh dan latar,
biasanya tidak berkepanjangan. Karena cerpen berplot tunggal, konflik yang
dibangun dan klimaks yang diperoleh pun biasanya tunggal pula.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa plot dalam
cerpen merupakan cerita yang berisi urutan kejadian. Namun, setiap kali kejadian
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
b. Latar atau Setting
Karya fiksi pada dasarnya berhadapan dengan sebuah dunia yang dilengkapi
para tokoh-tokoh penghuni. Banyak permasalahan yang terdapat dalam dunia
tersebut. Namun, hal tersebut belum lengkap sebab para tokoh yang sudah
dilengkapi dengan pengalaman-pengalaman dalam menjalani kehidupan tentunya
memerlukan berbagai ruang lingkup tampat, waktu, dan sosial, sebagaimana
manusia menjalani hidupnya dalam dunia nyata.
14
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015:302), latar atau setting disebut
juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Selain itu, juga mengacu pada pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari.
Latar yang mengacu pada waktu tampak pada peristiwa sejalan, sedangkan latar
yang mengacu pada lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, emosional
tokoh-tokohnya biasanya bersifat spiritual karena terikat dengan topik yang
dibicarakan dalam karya fiksi.
Di sisi lain, menurut Nurgiyantoro (2015:16), pelukisan latar cerita pendek
tidak memerlukan detil-detil khusus tentang keadaan latar, misalnya yang
menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan
secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu
memberikan gambaran dan suasana tertentu yang dimaksudkan. Walau demikian,
cerita yang baik akan melukiskan detil-detil tertentu yang dipandang perlu dan
fungsional. Selain itu, tidak akan terjatuh pada pelukisan berkepanjangan yang
justru terasa membosankan dan mengurangi kadar ketegangan cerita.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa latar
memberikan pijakan cerita yang jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan
realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demikian, pembaca merasa
dimudahkan dalam memahami cerita.
c. Tokoh
Seperti halnya dengan unsur plot dan latar atau setting, tokoh merupakan hal
penting dalam membangun karya fiksi. Menurut Nurgiyantoro (2015:246), tokoh
15
dapat disebut dengan tulang punggung cerita yang tidak dapat dilepaskan dalam
karya fiksi. Tanpa tokoh akan menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang
diceritakan dalam karya itu, siapa yang mengalami peristiwa demi peristiwa
dalam cerita. Oleh sebab itu, tokoh sangat penting dalam membangun karya fiksi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Aminuddin (2013:79) bahwa tokoh adalah pelaku
yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sehingga peristiwa itu mampu
menjalin suatu cerita. Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami
peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh
merupakan pelaku cerita (character) rekaan pengarang yang mengalami berbagai
peristiwa. Selain itu, juga memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Menurut Nurgiyantoro (2015:246-248), tokoh dapat dibagi menurut fungsi
dalam cerita, antara lain tokoh utama (hoofdpersoon), tokoh bawahan
(nevenfiguur), dan tokoh latar (biifigur) Tokoh tidak selalu manusia, dalam karya
sastra anak terkadang tokoh digambarkan dari hewan atau benda. Setiap objek
hidup yang berperan dalam cerita, drama atau puisi adalah tokoh.
Selain itu, juga dapat dilihat berdasarkan perkembangannya dalam cerita,
yaitu melalui perubahan-perubahan watak yang terjadi dalam perjalanan cerita.
Berdasarkan perkembangan tersebut tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh bulat
dan tokoh datar. Tokoh bulat adalah tokoh kompleks dalam perkembangan lakuan
memeperlihatkan berbagai segi wataknya yang tidak sekadar hitam putih.
Kelemahan dan kekuatannya tidak ditampilkan sekaligus melainkan berangsur-
16
angsur. Tokoh pipih adalah tokoh sederhana. Tokoh ini bersifat statis, dalam
perkembangan lakuan tokoh ini sedikit atau tidak sama sekali berubah.
Pada bab ini, penulis terpusat pada analisis tokoh utama. Gambaran dan
perkembangan tokoh utama akan dianalisis sesuai dengan perjalanannya dalam
cerita, apakah tokoh tersebut termasuk tokoh bulat atau tokoh pipih.
d. Penokohan
Menurut Nurgiyantoro (2015:248) penokohan adalah cara pengarang
menampilkan tokoh. Istilah penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita,
bagaimana perwatakan, penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan
juga menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah
cerita.
Penggambaran atau pemunculan karakter setiap tokoh dapat ditampilkan
pengarang dengan berbagai macam cara (Aminuddin, 2013:79-81). Penjelasan itu
dapat disebutkan secara langsung, misalnya seorang yang lemah lembut, dan
dapat juga digambarkan lewat fisiknya. Misalnya, tokoh itu digambarkan
memiliki mata yang kemerah-merahan, kulitnya hitam kasar dan bibir sedikit
tebal. Selain itu, pengarang juga dapat menampilkan tokoh sebagai pelaku yang
hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam
mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan
manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan
diri sendiri
Dengan demikian, istilah penokohan dalam sebuah karya tidak semata-mata
hanya berhubungan dengan masalah siapa tokoh cerita, masalah pemilihan jenis
17
dan perwatakan para tokoh cerita, tetapi juga bagaimana melukiskan kehadiran
dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung
tujuan artistik cerita fiksi yang bersangkutan.
2.3 Representasi
Kata representasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu representation.
Representasi bisa juga diartikan sebagai gambaran (Echols dan Shadily dalam
Rafiek, 2012:67). Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta
sebuah objek, sehingga eksplorasi sebuah makna dapat dilakukan dengan
maksimal (Ratna dalam Suparman, 2012: 8). Jika dikaitkan dengan bidang sastra,
representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap
suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai
kreator. Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan
atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanya merupakan cermin,
gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra
dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan (mimesis).
Faruk (dalam Suparman, 2012: 10) mengungkapkan bahwa representasi
sebagai bagian dari karya sastra merupakan sebuah kombinasi antara kekuatan
fiktif dan imajinatif. Dua kekuatan ini mampu menangkap secara langsung
bangunan dunia sosial yang memang berada di luar dan melampaui dunia
pengalaman langsung, objek, serta gerak-gerik. Karya sastra dapat
merepresentasikan objek dan gerak gerik yang berbeda dari objek dan gerak-gerik
yang terdapat dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi strukturasi
18
atas objek dan gerak gerik, sastra dapat merepresentasikan persamaannya melalui
strukturasi dalam dunia sosial.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (dalam Suparman, 2012: 9) yang
menyatakan bahwa representasi adalah (1) penggambaran yang melambangkan
atau mengacu pada kenyataan eksternal, (2) pengungkapan ciri-ciri umum yang
universal dari alam manusia, (3) penggambaran karakteristik general dari alam
manusia yang dilihat secara subyektif oleh senimannya, (4) penghadiran bentuk-
bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta, serta dikemukakan
lewat pandangan filosofis seniman. Keempat klasifikasi yang diungkapkan oleh
Sumardjo menunjukkan bahwa selain bersifat objektif, representasi juga bersifat
subjektif. Klasifikasi satu dan dua menunjukkan bahwa representasi memiliki sifat
yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang dilihat,
dirasakan, dialami langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi tiga
dan empat menunjukkan bahwa representasi bersifat subyektif karena realitas
digambarkan secara subjektif melalui struktur mental atau struktur nalar
senimannya.
Pandangan Sumardjo tentang representasi sangat ditentukan oleh
kemampuan interpretasi sastrawan. Traine (dalam Suparman, 2012:9)
mengungkapkan tiga konsep yang menentukan kualitas interpretasi sastrawan,
yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Struktur mental ini menyebabkan timbulnya
dunia gagasan yang masih berupa benih, selanjutnya oleh pengarang diwujudkan
dalam bentuk karya sastra. Ras dikaitkan dengan sifat-sifat suatu bangsa seperti
bentuk tubuh, suasana kejiwaan, dan tingkah laku. Waktu dikaitkan dengan jiwa
zaman. Pada zaman tertentu suatu bangsa mempunyai pola kejiwaan yang sama,
19
sehingga merupakan gambaran tertentu tentang suatu bangsa. Selanjutnya,
lingkungan merupakan letak geografis dan iklim. Tentu saja letak geografis dan
iklim akan memengaruhi kondisi masyarakat sosialnya. Kondisi masyarakat inilah
yang kemudian direpresentasikan sastrawan dalam karya sastranya.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, representasi lebih mudah dipahami
jika dikaitkan dengan hakikat karya sastra. Sebuah karya sastra tercipta dari
imajinasi pengarang. Imajinasi pengarang umumnya mengacu pada kehidupan
nyata, baik itu yang dialami oleh pengarang sendiri, maupun dari fenomena sosial
yang terjadi di lingkungan sekitar masyarakat. Di dalam sebuah penggambaran
imajinatif pengarang dalam sebuah karya sastra, biasanya juga terdapat
interpretasi pengarang yang disajikan dalam bentuk alur cerita (cerpen).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa representasi dalam dunia sastra
tidak sekadar penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam kurun
waktu tertentu. Akan tetapi, lebih mengarah kepada penggambaran situasi sosial
melalui proses kreatif pengarang tersebut. Posisi pengarang dalam proses
representasi fenomena sosial dalam karya sastra sangat dipengaruhi oleh ras,
waktu, serta lingkungan yang melatarbelakanginya. Dalam penelitian ini, peneliti
mengacu pada pendapat Sumardjo yang mengatakan bahwa representasi adalah
penggambaran (pencerminan) yang melambangkan kenyataan seperti yang telah
diuraikan di atas.
2.4 Konsep Maskulinitas
Maskulin adalah sifat yang melekat pada laki-laki, serta menggambarkan
keadaan yang cenderung bebas, agresif, dan tidak emosional (Dagun, 1992:3).
20
Maskulinitas juga diartikan sebagai sekumpulan karakteristik tingkah laku yang
diasosiasikan dengan anggota jenis kelamin tertentu (Tessa dalam Aisyah,
2000:56). Berdasarkan kedua pengertian tersebut maskulinitas menunjukkan suatu
kualitas yang diasosiasikan dengan laki-laki atau konsep diri (jenis kelamin) yang
memiliki karakteristik (ciri-ciri) secara khusus dikaitkan dengan sifat kelaki-
lakian. Penggunaan istilah maskulinitas menjadi lebih menarik daripada sekadar
menggunakan istilah “kepriaan” karena melibatkan karakteristik psikologis,
seperti keberanian. Hal ini tampak pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Sifat Maskulin
Sifat ideal
maskulin
Sangat agresif
Sangat bebas
Tidak emosional
Hampir memendamkan emosi
Sangat objektif
Tidak mudah terpengaruh
Dominan
Tidak terpengaruh kemelut yang kecil
Aktif
Menggunakan logika
Orientasi dunia
Tidak mudah tersinggung
Sulit menangis
Sangat percaya diri
Tampil sebagai pemimpin
Menyukai situasi agresif
Sangat ambisi
Kasar
Riuh rendah
Tidak mudah meluapkan perasaan
Sumber: Dagun, 1992:3-4
Berdasarkan tabel di atas, laki-laki dikaitkan pada standar maskulin yang
baku. Hal ini sejalan dengan pemikiran Jung (seorang neo-freudian) mengenai
gender tradisional yang dilekatkan terhadap laki-laki (dalam Putri, 2013:12-13).
Beliau menulis “menyembunyikan sifat-sifat feminin merupakan suatu keutamaan
21
bagi laki-laki”. Lebih lanjut Bem Sex-Role inventory (BSRI) menegaskan
mengenai dimensi maskulinitas mencakup ciri-ciri sifat (1) mempertahankan
pendapat atau keyakinan sendiri, (2) berjiwa bebas atau tidak terganggu pendapat
orang, (3) berkepribadian kuat, (4) penuh kekuatan atau fisik, (5) mampu
memimpin atau punya jiwa kepemimpinan, (6) berani mengambil risiko, (7) suka
mendominasi atau menguasai, (8) punya pendirian atau berani bersikap, (9)
agresif, (10) percaya diri, (11) bersikap analitis atau melihat hubungan sebab-
akibat, (12) mudah membuat keputusan, (13) mandiri, (14) egois, (15) bersifat
kelaki-lakian, (16) berani bersaing atau berkompetisi, (17) bersikap atau bertindak
sebagai pemimpin.
Selain itu, karakteristik biologis dari laki-laki dan perempuan merupakan
dasar dari perbedaan gender yang berfokus pada bagaimana kromosom X dan Y,
serta kegiatan hormon yang juga mempengaruhi berbagai kualitas individu seperti
fungsi tubuh, pemikiran, dan suasana hati. Hubungan antara jenis kelamin dan
gender tidak benar-benar alamiah. Ann Oakley menambahkan bahwa gender
adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan (dalam
Istibsyaroh, 2008:84). Perbedaan biologis, yaitu perbedaan jenis kelamin yang
bermuara dari kodrat Tuhan, sementara gender adalah perbedaan yang bukan
kodrat Tuhan, tetapi diciptakan oleh kaum laki-laki dan perempuan, melalui
proses sosial dan budaya yang panjang.
Gender mengacu ke peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan
secara sosial. Peran tersebut berubah dari waktu ke waktu dan beragam menurut
budaya dan antarbudaya. Sebaliknya, identitas sex biologis ditentukan oleh ciri-
ciri genetika dan anatomis (dalam Istibsyaroh, 2008:84). Akan tetapi, secara
22
khusus tampak bahwa secara biologis (kromosom dan hormon otak)
mempengaruhi perkembangan, fisiologi, berpikir, dan perilaku, sehingga dapat
terlihat di mana pilihan individu dipengaruhi oleh faktor bawaan dan relatif stabil.
Salah satu fokus dari faktor biologis yang mempengaruhi kualitas individu,
yaitu kromosom. Kromosom adalah struktur genetika yang terdapat pada inti sel
manusia. Sel manusia biasanya mengandung 46 kromosom (26 pasang
kromosom). Kromosom dibedakan atas 2 tipe, yaitu tipe kromosom yang tidak
ada hubungannya dengan penentuan jenis kelamin (yang disebut sebagai autosom)
dan kromosom yang menentukan jenis kelamin individu, disebut kromosom
kelamin. Kromosom kelamin ada dua macam, yaitu X dan Y. Manusia laki-laki
mempunyai autosom 22 pasang dan sepasang kromosom kelamin XY, sedangkan
pada perempuan mempunyai 22 pasang autosom dan sepasang kromosom kelamin
XX (Dagun, 1992:6).
Kebanyakan laki-laki memiliki struktur kromosom XY karena mereka
mewarisi kromosom X dari ibu mereka dan kromosom Y dari ayah. Kebanyakan
perempuan memiliki struktur kromosom XX karena mereka mewarisi kromosom
X dari setiap orang tua (Dagun, 1992:6). Pada tahun 1996 ahli genetika
melaporkan bukti bahwa beberapa gen yang mengendalikan kecerdasan terletak
hanya pada kromosom X. Ini berarti bahwa kecerdasan laki-laki diwariskan dari
ibu mereka, sedangkan perempuan dapat mewarisi kecerdasan dari kedua orang
tuanya.
Peneliti genetik juga telah melaporkan bahwa gen yang bertanggung jawab
untuk keterampilan sosial hanya aktif pada kromosom X laki-laki (Dagun,
1992:101). Hal ini dapat menjelaskan mengapa perempuan umumnya lebih mahir
23
daripada pria saat berinteraksi dalam situasi sosial karena perempuan mewarisi
kromosom X dari kedua orang tuanya, sedangkan laki-laki mewarisi kromosom X
hanya dari ibu mereka.
Sifat yang ada pada diri manusia juga dipengaruhi oleh hubungan individu
dengan faktor-faktor lingkungannya. Dengan kata lain, sifat yang terlihat dari
individu merupakan interaksi antara gen dengan lingkungannya. Dalam hal ini,
sangat mungkin terjadi mutasi genetik, yaitu suatu perpindahan kromosom yang
diakibatkan oleh keadaan tertentu. Individu laki-laki yang mempunyai kromosom
kelamin XXY akan bersifat seperti perempuan karena terdapat kromosom X
berlebih dalam dirinya, begitu juga halnya dengan wanita. Hal ini juga akan
menjadi blueprint bagi seseorang atas perilaku yang dihasilkannya. Namun
lingkungan juga masih memiliki peranan penting dalam hal ini.
Fokus kedua dari faktor biologis adalah kegiatan hormonal yang berperan
dalam membentuk perilaku dan berkaitan dengan gender (Dagun, 1992:7). Dalam
hal ini, hormon seks mempengaruhi perkembangan otak serta tubuh. Hormon seks
adalah hormon yang dikeluarkan oleh jaringan di gonad (testis pada pria dan
ovarium pada wanita) dan juga oleh kelenjar adrenal, yang terdiri dari tiga jenis
utama, terdapat pada kedua jenis kelamin. Hanya saja berbeda jumlah dan
proporsinya antara pria dan wanita setelah remaja.
Androgen (bagian terpentingnya adalah testosteron) merupakan hormon
maskulin yang dihasilkan di testis (Dagun, 1992:9). Androgen mulai bekerja
menghasilkan perubahan fisik pada pria ketika memasuki masa remaja, misalnya
suara yang lebih mendalam dan pertumbuhan rambut di wajah, dada, dan
beberapa tempat lainnya. Testosteron juga mempengaruhi rangsangan seksual
24
pada pria dan wanita. Hormon utama laki-laki inilah yang dominan dengan
beberapa perilaku agresif (Dagun, 1992:18). Puncak siklus testosteron yang buruk
bahkan dapat menyebabkan mereka berperilaku seperti menggunakaan obat-
obatan, berperilaku kasar, dan berbagai kekerasan lainnya untuk mengekspresikan
amarah.
Di sisi lain, estrogen merupakan hormon feminin yang mengakibatkan
perubahan fisik pada wanita ketika menginjak masa remaja, seperti perkembangan
payudara dan mengalami menstruasi (Dagun, 1992:54). Progesteron sendiri
berkontribusi pada pertumbuhan dan pemeliharaan lapisan uterus dalam
menyiapkan telur yang dibuahi, di luar fungsi-fungsi lainnya. Estrogen dan
progesteron utamanya dihasilkan di ovarium. Selain itu, juga dihasilkan di testis
dan kelenjar adrenal.
Seorang pria yang mempunyai kadar hormon estrogen tinggi akan bersifat
feminin, seperti seorang wanita. Begitu juga dengan wanita yang mempunyai
kadar hormon androgen tinggi akan terlihat maskulin seperti laki-laki. Dengan
kata lain, faktor genetik ini sudah ada sejak anak dalam kandungan. Hal ini terkait
dengan tingginya kadar hormon. Hormonlah yang membuat seseorang itu menjadi
seorang pria atau wanita. Hal ini sejalan dengan pendapat Durand dan Barlow
(dalam Mahfudhotin, 2012: 28) yang mengatakan bahwa tingkat hormon
testosteron atau esterogen yang lebih tinggi pada periode kritis tertentu dalam
perkembangan dapat memaskulinkan janin perempuan atau memfemininkan janin
laki-laki. Dengan kata lain, jika perkembangan hormon dalam janin sempurna,
maka kelak akan lahir ke dunia sebagai pria sejati dan wanita tulen. Sebaliknya,
25
jika ada sesuatu yang kurang dalam proses tersebut, maka akan terlahir sebagai
pria feminin atau wanita maskulin (Dagun, 1992:8).
Meskipun hampir tidak ada peneliti membantah pengaruh biologi tentang
gender, ada kontroversi besar tentang seberapa kuat dan seberapa tetap kekuatan
biologi itu. Mereka yang memegang versi ekstrim teori biologis mempertahankan
bahwa kromosom dan program faktor biologis lainnya menentukan maskulin dan
perilaku feminin (Allan Bloom dalam Dagun, 1992:7).
2.4.1 Maskulinitas dalam Berpikir
Soemanto (dalam Kurniawan, 2013:8) mendefinisikan bahwa berpikir
mempunyai arti meletakkan hubungan antarbagian pengetahuan yang diperoleh
manusia. Adapun yang dimaksud pengetahuan di sini mencakup segala konsep,
gagasan, dan pengertian yang telah dimiliki atau diperoleh manusia. Di sisi lain,
Chulsum dan Novia (2014:534).mengatakan bahwa berpikir adalah penggunaan
akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menemukan jalan
keluar dan menimbang-nimbang dalam hati. Berdasarkan kedua pendapat
tersebut, berpikir dapat diartikan sebagai proses yang dinamis dalam menempuh
tiga langkah berpikir, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat dan
pembentukan keputusan.
Dalam hal ini, kegiatan hormon mempengaruhi berbagai kualitas individu
dalam berpikir. Seorang laki-laki memiliki kelebihan, seperti dominasi dalam
pekerjaan dan sebagai pemimpin. Laki-laki hanya berpikir dari dalam dirinya.
Oleh karena itu, dianggap rumit dalam berpikir, orientasi diri. Karena itu pula ia
mengalami kesulitan dalam dirinya sendiri (Dagun, 1992:192). Dalam hal ini,
laki-laki dianggap kurang memperlihatkan emosi dalam berpikir (tanpa pengaruh),
26
tetapi lebih mengedepankan rasional. Emosi diartikan sebagai perasaan yang
mendalam (Dagun, 1992:50).
Dagun (1992:3) menjelaskan bahwa maskulinitas dalam berpikir meliputi
(1) sangat objektif atau tanpa adanya pengaruh pandangan pribadi, (2) sangat
menggunakan logika, (3) terpusat atau berorientasi pada diri sendiri, (4) gengsi
lebih tinggi, dan (5) analitis atau melihat hubungan sebab-akibat. Hal ini sejalan
dengan pendapat Miladiyah (2012) yang mengatakan bahwa bagi laki-laki,
berpikir adalah diam. Tabiat pokok para laki-laki adalah perhatian pada sesuatu
yang di luar, sehingga ketika ia mengalami kesukaran, maka akan menarik diri
dan mulai berpikir secara diam. Ia berusaha memecahkan permasalahan yang
dialami. Demikianlah cara laki-laki bersikap agar telepas dari kesukaran dan
kelelahan.
Lelaki yang merasa lelah akan berusaha mencari kelegaan dengan berusaha
mendapatkan tempat yang cukup tenang, jauh dari kebisingan. Secara umum
berusaha menghindarkan diri untuk tenggelam pada perdebatan dalam bentuk
apapun. Ia tidak ingin berbicara, baik pada permasalahan yang dihadapi maupun
teman lainnya.
Hal tersebut dapat terlihat dari cara berpikirnya yang terkonsentrasi
(terpusat) pada kebutuhannya dan hanya memperhatikan dirinya saja. Selain itu,
juga berpikir secara sentratif (memusat) dengan mengaitkan satu hal dengan hal
lainnya, kemudian secara bertahap membentuk sebuah gambaran yang dapat ia
mengerti. Cara berpikir inilah yang mendasari sikap dan tindakan yang akan
ditunjukkannya. Contoh sederhana adalah saat berbelanja. Bagi lelaki yang cara
berpikirnya terkonsentrasi akan langsung membeli barang yang dibutuhkannya
27
dan mengabaikan lainnya. Contoh lainnya ketika menyelesaikan masalah
kadangkala harus satu persatu, dipikirkan secara seksama, dan harus sesuai
dengan logika.
Bagi laki-laki akan sulit sekali merubah pikirannya dalam waktu sekejab.
Jika dalam kondisi konsentrasi penuh melakukan suatu hal, maka akan sulit
baginya untuk membagi konsentrasi pada hal lainnya (Dagun, 1992:50). Interaksi
dengan dunia luar adalah pergulatan dengan dunia luar. Pergulatan yang
membutuhkan energi besar dan keharusan untuk memenangkannya dan menjadi
orang yang berada di urutan teratas.
Saat di luar rumah, berjuang dan berkorban untuk mendapatkan
kebutuhannya, laki-laki juga sangat suka berbicara. Akan tetapi, pada saat di
rumah ia menjadi pendiam karena baginya rumah bukan tempat untuk berjuang.
Rumah adalah tempat untuk beristirahat, mengistirahatkan otaknya (Dagun,
1992:68).
Akan tetapi, laki-laki juga bersedia memberikan bantuan kepada perempuan.
Tujuannya adalah untuk membuat dia merasa diperlukan. Sementara dalam dunia
kaum laki-laki, memberikan bantuan suka rela dianggap sesuatu yang tak dapat
diterima. Kadang ditafsirkan sebagai penghinaan atas sebuah ketidakmampuan
(gengsi laki-laki lebih tinggi).
2.4.2 Maskulinitas dalam Bersikap
Secara umum, sikap berarti perbuatan yang didasarkan pada pendirian
(Depdiknas dalam Suparman, 2012:11). Di sisi lain, Myers (2012:164)
menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluatif yang menyenangkan atau
tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang (sering kali berakar pada
28
kepercayaan seseorang, dan muncul dalam perasaan, serta perilaku seseorang.
Sikap juga diartikan sebagai pernyataan evaluatif terhadap objek, orang, atau
peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sementara
itu, Gerungan (dalam Suparman, 2012:11) mengungkapkan bahwa sikap dapat
berupa sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan
kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu.
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, bersikap adalah bagaimana seseorang
mengambil sikap atau menunjukkan reaksi atau respon terhadap sesuatu.
(Chulsum dan Novia, 2014:621). Dengan kata lain, bersikap memberikan suatu
cara yang efisien untuk menyelesaikan sesuatu (Myers, 2012:164). Ketika harus
memberikan respon secara cepat, cara untuk merasakan hal tersebut dapat
memberikan petunjuk bagaimana untuk bereaksi. Misalnya, orang yang percaya
suatu kelompok etnis tertentu adalah pemalas dan agresif mungkin merasa tidak
menyukai orang tersebut, sehingga berniat untuk berperilaku secara diskriminatif.
Setiap manusia yang normal sejak lahir telah membawa pembawaan jenis
kelamin masing-masing, laki-laki atau perempuan. Pada jenis kelamin itu terdapat
pula perbedaan sikap dan sifatnya terhadap dunia luar (Purwanto, 1988:29).
Ketika anak 10 tahun ditanya, siapakan yang lebih cerdas pria atau wanita? Ia
menjawab, pria lebih pintar karena mengerjakan sesuatu pakai pikiran, serta
mampu sukses dalam pekerjaannya. Ketika anak berusia 8 tahun, muncul sikap
toleransi pada anak karena dipengaruhi faktor biologi. Tetapi, pada usia 10 tahun
muncul perasaan cemas, cemas akan tanggapan orang tua atau teman jika
melakukan sikap salah (Dagun, 1992:23). Mereka mulai menyadari bahwa harus
29
bersikap berbeda. Selain itu, juga dapat mengetahui bahwa ciri dan kekhasan laki-
laki bukan hanya faktor biologi saja, tetapi juga faktor kepentingan sosial.
Dengan demikian, manusia tidak dilahirkan dengan sikap pandangan atau
sikap perasaan tertentu, tetapi beragam attitude itu dibentuk sepanjang
perkembangannya. Dagun (1992:3) menyatakan bahwa maskulinitas dalam
bersikap meliputi (1) tidak suka berbicara atau berbicara seperlunya, (2) sangat
percaya diri, (3) sangat terus terang atau apa adanya, (4) tidak mudah meluapkan
perasaan, (5) angkuh, yaitu memandang rendah kepada orang lain, (6)
individualistis, yaitu mementingkan diri sendiri sesuai dengan kehendaknya, dan
(7) siap bertahan terhadap situasi dan kondisi tertentu.
2.4.3 Maskulinitas dalam Bertindak
Secara umum, bertindak adalah melakukan sesuatu atau melakukan tindakan
(Chulsum dan Novia, 2014:663). Dalam hal ini, kegiatan hormonal berperan
dalam membentuk perilaku atau tindakan yang berkaitan dengan gender (Dagun,
1992:7). Hormon seks adalah hormon yang dikeluarkan oleh jaringan di gonad
(testis pada pria dan ovarium pada wanita) dan juga oleh kelenjar adrenal, yang
terdiri dari tiga jenis utama, terdapat pada kedua jenis kelamin. Selain itu, juga
mempengaruhi perkembangan otak serta tubuh. Hanya saja berbeda jumlah dan
proporsinya antara pria dan wanita setelah remaja. Akan tetapi, peran gender
dalam bertindak masih terpengaruh pola pemikiran tradisional. Karakter laki-laki
digambarkan tegar, memenuhi kebutuhan sendiri, dan agresif (Dagun, 1992:20).
Pandangan ini sudah melekat dan turun temurun.
Otak lelaki memiliki bagian otak yang lebih besar dibandingkan perempuan.
Padahal, ini adalah bagian yang bertanggungjawab terhadap perilaku kasar
30
seseorang. Karena bagian ini lebih besar dan lebih aktif pada seorang lelaki, maka
tidak heran lelaki berperilaku lebih kasar dibandingkan dengan perempuan. Kalau
sedang emosi, cenderung untuk mengandalkan fisik. Selain itu, menurut Dagun
(1992:186), pada laki-laki otak yang cenderung lebih besar adalah yang kanan
karena sisi bagian kanan lebih memberi respon aktif pada hormon seks.
Dagun (1992:3) menyatakan bahwa maskulinitas dalam bertindak meliputi
(1) suka mendominasi atau berkuasa, (2) bertindak sebagai pemimpin, (3)
bersedia menanggung risiko, (4) bersedia mengambil keputusan, (5) mampu
memenuhi kebutuhan sendiri, dan (6) berambisi. Berdasarkan pemapamaran
mengenai ciri-ciri dan karakteristik maskulin (berpikir, bersikap, dan bertindak),
maka dapat diklasifikasikan dalam tema sebagai berikut.
Tabel 2.2 Dikotomi Maskulin Berdasarkan Tema
Tema Maskulin Keterangan
Afeksi (emosi) Tidak emosional
Hampir memendamkan emosi
Tidak terpengaruh kemelut
kecil
Tidak mudah tersinggung
Sulit menangis
Maskulin digambarkan
sebagai makhluk yang
miskin afeksi, cenderung
menutup diri dari berbagai
bentuk afeksi.
Kognisi
(pikiran)
Memakai logika
Objektif (tidak mudah
terpengaruh atau melihat
keadaan sebenarnya)
Terpusat atau berorientasi pada
diri
Gengsi lebih tinggi
Maskulin ditonjolkan
sebagai sosok yang
analitis, rasional Mudah
membuat keputusan.
Sikap Tidak suka berbicara
Sangat percaya diri
Sangat terus terang
Tidak mudah meluapkan
perasaan
Angkuh
Individualistis
Siap bertahan
Ciri dan kekhasan laki-
laki bukan hanya
dipengaruhi faktor biologi
saja, tetapi juga faktor
kepentingan sosial.
31
Konasi
(tindakan)
Kasar
Agresif
Aktif
Suka mendominasi
Berani bersaing atau
berkompetisi
Bertindak sebagai pemimpin
Bersedia menanggung risiko
Bersedia mengambil keputusan
Mampu memenuhi kebutuhan
sendiri
Berambisi
Dalam bertindak maskulin
dipengaruhi oleh hormon
dan pemikiran tradisional
(laki-laki lebih dominan).
Pekerjaan Orientasi dunia Maskulin mendominasi
pada ranah publik karena
digambarkan memiliki
fisik yang besar, agresif,
dominan, kuat, rasional,
sebagai pelindung,
mencari nafkah, dan
sebagai kepala rumah
tangga.
Sumber: Dagun (dalam Putri, 2013:14)
Recommended