View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori
2.1.1 Orang Tua
2.1.1.1 Peran Orang Tua
Orang tua menurut Kunaryo Hadikusumo (2010) sebagai pendidik
menurut kodrat adalah pendidik pertama dan utama karena secara kodrati anak
manusia dilahirkan oleh orang tuanya (ibunya) dalam keadaan tidak berdaya.
Hanya dengan pertolongan dan layanan orang tua (terutama ibu) bayi (anak
manusia) itu dapat hidup dan berkembang makin dewasa.
Karena itu orang tua menjadi pendidik adalah bukan karena keputusan
kemauan, melainkan karena memenuhi panggilan yang bersifat etis kodrati.
Hubungan orang tua dengan anaknya dalam hubungan edukatif mengandung dua
unsur, yaitu unsur kasih sayang pendidik terhadap anak dan unsur kesadaran akan
tanggung jawab dari pendidik untuk menentukan perkembangan anak.
Berdasarkan cinta kasih sayang maka perlakuan pendidik terhadap peserta
didik semata-mata sebagai pengabdian (tanpa pamrih pribadi) kepada anak dan
tuntunannya diberikan dengan penuh kebijaksanaan dan kesabaran serta keluar
dari niat yang ikhlas dengan kelembutan hati
Pendidikan orang tua terhadap anak-anaknya adalah pendidikan yang
didasarkan pada rasa kasih sayang terhadap anak-anak, dan yang diterimanya dari
kodrat. Menurut Ngalim Purwanto (2006 : 80) dalam Kunaryo Hadikusumo (
2010 ) orang tua adalah pendidik sejati, pendidik karena kodratnya. Oleh karena
itu kasih sayang orang tua terhadap anak-anak hendaklah kasih sayang yang sejati
pula, yang berarti pendidik atau orang tua mengutamakan kepentingan dan
kebutuhan anak-anak, dengan mengesampingkan keinginan dan kesenangan
sendiri. Dalam hal ini hendaknya orang tua harus ingat bahwa pendidikan
berdasarkan kasih sayang saja kadang-kadang mendatangkan bahaya. Kasih
sayang harus dijaga jangan sampai berubah menjadi memanjakan anak. Kasih
sayang harus dilengkapi dengan pandangan yang sehat tentang sikap orang tua
terhadap anak. 14
15
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Darwis Akper Telanai (2010)
mengatakan bahwa Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan orang
lain terhadap seseorang sesua kedudukannya dalam suatu sistem. Peran
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat
stabil, sementara untuk posisi tersebut merupakan identifikasi dari status tentang
seseorang dalam suatu sistem social dan merupakan perwujudan aktualisasi diri.
Peran juga dapat diartika sebagai bentuk dari prilaku yang diharapkan dari
seseorang pada situasi sosial tertentu (Wahit Iqbal Mubarak, 2006: 259).
Menururt Notoatmodjo (2003: 29) didalam penelitian Darwis Akper
Telanai (2010), berkaitan dengan kesehatan keluarga maka orang tua merupakan
sasaran utama dala promosi kesehatan, karena merupakan peletak dasar perilaku.
Sebab secara naluriah suka atau tidak mereka harus merawat dan mengasuh anak
dari mulai menggendong, memandikan memenuhi kebutuhan anak termaksud
mengembangkan kemampuan anaknya.
Peran orang tua adalah yang pertama kali tahu bagaimana perubahan dan
perkembangan karakter dan kepribadian orang tua sangat mempengaruhi
perkembangan dan kemandirian terhadap anak. Dan prosesnya haruslah realistis
dan sesuai dengan usia mereka, karena para orang tualah yang nantinya akan
menjadikan anak-anak mereka seseorang yang memiliki kepribadian baik atau
buruk (Gracia Zhuo, 2008: 71) dalam penelitian Darwis Akper Telanai (2010).
Perhatian dan kedekatan orang tua sangat mempengaruhi keberhasilan
anak dalam mencapai apa yang diinginkan. Anak memerlukan kasih sayang dan
perlakuan yang adil dari orang tuanya. Tapi, kasih sayang yang diberikan secara
berlebihan akan mengarah memanjakan, bahkan dapat menghambat dan
mematikan perkembangan kepribadian anak. Akibatnya anak menjadi manja,
kurang mandiri dan ketergantungan pada orang lain (Soetjiningsih, 2000: 9)
dalam penelitian Darwis Akper Talanai (2010).
Menurut Melinda J. Vitale (2007: 39) dalam penelitian Darwis Akper
Telanai (2010) peran orang tua sangat dibutuhkan dalam perkembangan psikologi
anak. Orang tua merupakan pemberi motivasi dan membantu dalam kecemasan
dan mencari tahu apa yang mesti dilakukan untuk terus mengembangkan identitas
16
dan kemandirian anak, sehingga diharapkan orang tua dapat memberikan
perhatian dan kasih sayang sepenuhnya pada anak. Kedekatan anak dan orang tua
memiliki makna dan peran yang sangat dalam setiap aspek kehidupan keluarga.
Jadi peran orang tua sangat dibutuhkan bagi anak, karenanya peran dari orang tua
yang menentukan perkembangan dari seorang anak, tanpa adanya peran dari
orang tua anak sulit untuk berkembang, terlebih lagi dalam mencapai tingkat
kemandirian.
2.1.1.2 Peran Orang Tua Berdasarkan Kebutuhan Dasar
Dalam penelitian Dawis Akper Tenalai (2010), peran orang tua
berdasarkan kebutuhan dasar digolongkan menjadi tiga yaitu:
a. Peran Orang Tua Dalam Pemenuhan Kebutuhan Fisik (Asuh)
1) Orang tua memberikan kebutuhan anak, seperti makan dan minum
2) Orang tua memberikan kebutuhan anak pakaian yang layak sama dengan
anggota keluarga yang lain
3) Orang tua memberikan kebutuhan anak perawatan kesehatan dasar, seperti
membawa anak rutin control kesehatan
4) Orang tua memberikan kebutuhan anak Kesegaran jasmani, seperti mengajak
anak untuk berolahraga
5) Orang tua memandikan dan menggosok gigi anak
b. Peran Orang Tua Dalam Pemenuhan Kebutuhan Fisik Emosional (Asih)
1) Orang tua memperkenalkan anak sebagai bagian dari keluarga
2) Orang tua memberikan rasa aman bagi anak untuk melakukan aktivitasnya
3) Orang tua memotivasi anak untuk bergaul dengan teman-temannya
4) Orang tua dapat menerima keadaan yang cacat
5) Orang tua jangan memperlakukan anak berbeda dengan anggota keluarga
yang lain
c. Peran Orang Tua Dalam Pemenuhan Kebutuhan Fisik Stimulasi (Asah)
1) Orang tua mengajarkan anak berkomunikasi secara lisan
2) Orang tua mengajarkan anak tentang pengetahuan akademis
3) Orang tua mengajarkan anak cara perpakaian
17
4) Orang tua mengajarkan anak latihan BAB dan BAK sendiri
5) Orang tua mengajarkan anak cara memegang pensil
6) Orang tua membujuk anak bila anak bersikap berbeda dari anggota keluarga
yang lain, misalnya pendiam atau menarik diri (Nursalam, 2008: 41) dalam
penelitian Darwis Akper Telanai (2010).
Jadi dapat diartikan peran orang tua adalah dukungan, motivasi dan
dorongan yang sangat dibutuhkan anak dalam pendidikannya karena orang tua
adalah orang yang pertama yang ada dalam dalam diri anak. Anak dilahirkan dari
seorang ibu yang disebut sebagai orang tua, dan orang tua merupakan bagian
utama dalam keluarga. Dalam pendidikan, keluarga merupakan pendidik yang
utama dan pertama.
2.1.1.3 Pendampingan Orang Tua
Moh. Muzaqi (2005) dalam penelitiannya mengatakan bahwa
pendampingan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dan dapat bermakna
pembinaan, pengajaran, pengarahan dalam kelompok yang lebih berkonotasi pada
menguasai, mengendalikan, dan mengontrol. Kata pendampingan lebih bermakna
pada kebersamaan, kesejajaran, samping menyamping, dan karenanya kedudukan
antara keduanya (pendamping dan yang didampingi) sederajat, sehingga tidak ada
dikotomi antara atasan dan bawahan. Hal ini membawa implikasi bahwa peran
pendamping hanya sebatas pada memberikan alternatif, saran, dan bantuan
konsultatif dan tidak pada pengambilan keputusa. Pendampingan berarti bantuan
dari pihak luar, baik perorangan maupun kelompok untuk menambahkan
kesadaran dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalahan
kelompok. Pendampingan diupayakan untuk menumbuhkan keberdayaan dan
keswadayaan agar masyarakat yang didampingi dapat hidup secara mandiri. Jadi
pendampingan merupakan kegiatan untuk membantu individu maupun kelompok
yang berangkat dari kebutuhan dan kemampuan kelompok yang didampingi
dengan mengembangkan proses interaksi dan komunikasi dari, oleh, dan untuk
anggota kelompok serta mengembangkan kesetiakawanan dan solidaritas
kelompok dalam rangka tumbuhnya kesadaran sebagai manusia yang utuh,
18
sehingga dapat berperan dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
Dari pengertian pendampingan diatas, pendampingan orang tua adalah
upaya yang dilakukan oleh orang tua dalam mendampingi anaknya dalam proses
memandirikan anak terutama dalam belajar di sekolah. Pendampingan orang tua
diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya agar
menjadi pribadi yang mandiri di sekolah tanpa orang tua harus mendampinginya
sampai jam pelajaran selesai.
2.1.2 Penyesuaian Diri
2.1.2.1 Perubahan Menuntut Penyesuain Diri
Kunaryo Hadikusumo ( 2010 ) mengatakan, saat anak memasuki kondisi
sekolah yang baru maka anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
tersebut. Menyesuaikan diri di sini bukan berarti anak berubah menjadi seperti
tuntutan lingkungannya. Hal yang diharapkan adalah anak dapat memadukan
potensi dan kondisi internal dirinya dengan lingkungan tempat ia berinteraksi.
Sekecil apapun perubahan yang terjadi, penyesuaian diri tetap perlu dilakukan
agar anak dapat tampil optimal. Misalnya, anak sangat terbiasa dengan cara guru
“X” mengajar, maka dengan cara tersebut ia dapat optimal mencerap materi
pelajaran. Kenyataannya, saat ia naik kelas, ia mendapatkan guru yang mungkin
berbeda cara pengajaranya dengan guru di kelas sebelumnya, hal ini tentu
mempengaruhi sikap belajar anak. Bisa saja anak menjadi tidak tertarik untuk
mempelajari materi tersebut dan menjadi malas ke sekolah. Fenomena ini wajar
dan mungkin terjadi pada anak sekolah di kelasnya yang baru. Melihat kondisi
seperti ini, anak dituntut untuk melakukan suatu penyesuaian untuk mengikuti
cara guru mengajar.
2.1.2.2 Anak dan Orang Tua Menyesuaikan Diri
Kunaryo Hadikusumo ( 2010 ) berpendapat, orang tua dapat berpikir
lebih lanjut bahwa saat anak malas ke sekolah dan malas belajar, toh orang tua
juga tidak dapat tinggal diam. Orang tua akan mencari cara dan membantu
19
mendampingi anak untuk menghadapi perubahan belajar tersebut. Misalnya di
tahun ajaran yang lalu, orang tua tidak pusing atau repot memikirkan anaknya
belajar, akan tetapi di tahun ajaran baru sekarang, orang tua disibukkan oleh
anaknya yang malas belajar. Kondisi ini menyadarkan orang tua bahwa
penyesuaian diri bukan hanya dilakukan oleh anak tapi juga orang tua. Contoh
lain, saat di tahun ajaran lalu, anak sekolah pagi yang dimulai pukul 07.00.
Ternyata, di tahun ajaran ini, anak harus masuk siang sehingga orang tua perlu
mengubah jadual mengantar anak ke sekolah disesuaikan dengan aktivitas orang
tua. Selain itu, ada juga perubahan jam belajar di rumah, perubahan jam istirahat
dan makan sehingga waktu aktivitas orang tua juga perlu penyesuaian. Hal kecil
ini sering terjadi namun kadang kurang disadari orang tua bahwa penyesuaian diri
anak adalah termasuk penyesuaian orang tua juga, hanya saja mungkin dengan
cara-cara yang berbeda.
2.1.2.3 Orang Tua Mendampingi Anak Dalam Proses Penyesuaian Diri
Kunaryo Hadikusumo ( 2010 ) mengatakan, ketika orang tua menyadari
bahwa anak dan orang tua perlu penyesuaian diri saat memasuki tahun ajaran
baru, maka di siitulah orang tua belajar lebih memahami karakter anak.
Penyesuaian diri anak yang satu tentu berbeda dengan anak lainnya. Pengalaman
anak sulung yang mengalami kendala ketika diajari oleh guru “X” bisa saja tidak
dialami anak kedua yang diajar guru yang sama. Pemahaman orang tua terhadap
keunikan karakter dari anak yang satu dengan lainnya akan membantu
pendampingan anak dalam menyesuaikan diri. Pada contoh kasus, orang tua
hendaknya jangan menyamaratakan pandangannya dari anak sulung ke anak yang
lain. Hendaknya orang tua memahami karakter sulung dan adiknya berbeda
sehingga orang tua lebih siap mendampingi si adik. Akan lebih mudah bagi orang
tua mendampingi anaknya jika orang tua mengenal betul karakter anaknya.
Hal lain yang menjadi penting adalah hubungan anak dan orang tua serta
komunikasi yang terjadi di antara mereka. Hubungan orang tua yang hangat
dengan anaknya akan memudahkan orang tua dalam mendampingi anak
menyesuaikan diri. Orang tua menjadi lebih mudah menggali hal-hal yang
20
menghambat anaknya saat penyesuaian diri dan si anak akan lebih terbuka pada
orang tua. Saat terjalin hubungan baik dan komunikasi yang lancar maka proses
diskusi dan cara penyelesaian suatu masalah dapat berjalan lancar. Misalnya, saat
jam masuk sekolah berubah, maka orang tua dapat berdiskusi dengan anak tentang
siapa yang akan menjemput anak lalu anak akan mengemukakan pendapatnya.
Contoh lain, saat anak murung di rumah setelah pulang sekolah, orang tua bisa
menanyakan apa penyebabnya. Dengan keterbukaan dan komunikasi yang lancar
maka anak akan menceritakan mengapa murung, lalu bersama-sama berdiskusi
untuk mencari solusinya.
Menyadari bahwa anak adalah bagian dari kehidupan orang tua dan orang
tua punya kendali pada anak, maka perlu disadari bahwa penyesuaian diri anak
adalah juga penyesuaian diri orang tua. Ada tipe orang tua yang menyadari bahwa
dirinya juga perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak yang memasuki
tahun ajaran baru. Di sisi lain ada juga orang tua yang tidak terpikir bahwa anak
membutuhkan bantuan orang tua dalam menghadapi perubahan yang ada di tahun
ajaran baru. Pilihannya ada di tangan orang tua. Hal yang perlu diperhatikan
adalah bahwa kesadaran akan perlunya penyesuaian diri yang baik dapat
membantu anak dan orang tua menjalani hari-harinya penuh bahagia tanpa beban.
Dari beberapa uraian diatas dapat dipahami bahwa penyesuaian diri sangat
penting bagi orang tua dan anak agar keduanya saling melengkapi satu sama lain
demi mewujudkan harapan-harapan kedepan yang mereka inginkan.
2.1.3 Kemandirian
Lie, 2004 dalam penelitian yang dilakuklan oleh Arif Purno ( 2007 ),
kemandirian adalah kemampuan utuk melaksanakan tugas sehari-hari sesuai
dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Kemandirian merupakan suatu
sikap individu yang diperoleh secara komulatif selama perkembangan, dimana
individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai
situasi dilingkungan, sehingga individu mampu berfikir dan bertindak sendiri.
Dengan kemandirian seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang
yang lebih mantap (Mu’tadin 2002) dalam penelitian Arif Purno ( 2007 ).
21
Kemandirian seperti halnya psikologis yang lain, dapat berkembang
dengan baik jika diberikan kesempatan berkembang melalui latihan yang
dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini, latihan tersebut berupa
pemberian tugas tanpa bantuan. Kemandirian akan memberikan dampak yang
positif bagi bagi anak, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini
mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat
diusahaakan sejak dini akan dapat dihayati dan semakin berkembang menuju
kesempurnaan (Mu’tadin 2002) dalam penelitian Arif Purno ( 2007 ).
Kemandirian seorang anak diperkuat melalui proses sosialisasi yang
terjadi antara anak dengan teman sebaya. (Hurlock 1991) dalam penelitian Arif
Purno ( 2007 ) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya anak
berfikir secara mandiri dan mengambil keputusan sendiri. Dalam mencapai
kegiatan untuk mandiri sering kali anak mengalami hambatan-hambatan yang
disebabkan oleh masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain
(Mu’tadin 2002) dalam penelitian Arif Purno ( 2007 ).
Sedangkan Mohammad Ali (2008: 109) dalam penelitian yang dilakukan
oleh Darwis Akper Telanai (2010), mengatakan bahwa kemandirian berasal dari
kata dasar “diri” yang mendapat imbuhan yang kemudian membentuk suatu kata
sifat. Dalam bahasa sehari-hari anak mandiri sering dikonotasikan dengan anak
yang mampu makan sendiri atau mandi sendiri. Sebaliknya, anak yang tidak
mandiri berarti anak yang segala aktivitasnya semua harus dilayani oleh
lingkungannya.
Menurut Deborah K. Parker (2006: 226) dalam penelitian Darwis Akper
Tenalai (2010) kemandirian (self- relience) merupakan kemampuan untuk
mengola semua miliknya sendiri, dan mampu mengatasi hambatan atau masalah,
mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan
orang lain. Kemandirian berhubungan dengan tugas dan ketrampilan bagaimana
mengerjakan sesuatu, bagaimana mencapai sesuatu atau bagaimana mengola
sesuatu.
Jadi, dapat dikatakan bahwa anak yang mandiri adalah anak yang diberi
kesempatan untuk menerima dan menjadi dirinya sendiri. Orang tua yang
22
memperlakukan anak-anak menurut kekhasan mereka masing-masing adalah
orang tua yang belajar bersikap positif menghadapi berbagai perbedaan karakter
ataupun penampilan anak. Kemandirian belajar adalah belajar melakukan sesuatu
dengan sendiri tanpa harus didampingi oleh orang tua. Anak yang mandiri adalah
anak yang berani masuk kelas sendiri tanpa harus didampingi oleh orang tuanya di
sekolah.
2.1.3.1 Peran Orang Tua Dalam Memandirikan Anak Usia Sekolah
Lie (2004) dalam penelitiannya Arif Purno (2010) menyatakan bahwa
pada masa sekolah perkembangan anak sudah mulai beranjak menjadi manusia
sosial dan belajar bergaul dengan orang lain. Ada 16 peran orang tua dlm
membina kemandirian anak usia sekolah yaitu:
1. Ajari anak untuk merawat tubuhnya sendiri Walaupun anak hidup dalam keluarga kecukupan, orang tua perlu mendidik anak untuk bersikap mandiri terutama pada dirinya sendiri. Dalam keluarga yang kecukupan pelayanan yang diberikan pengasuh bias berlebihan. Hal ini hanya merugikan anak dan menghambat perkembangan kedewasaan. Orang tua perlu menyuruh anak melakukan kegiatan-kegiatan rutin seputar perawatan tubuhnya sendiri dan mengkomunikasikan harapan ini kepada pengasuh agar bias mendukung proses kemandirian anak.
2. Biarkan anak menyiapkan sarapan sendiri Banyak orang tua mengeluh mengenai kesulitan makan anak. Sebenarnya orang tua perlu menyikapi permasalahan ini dengan lebih bijak. Orang tua perlu membedakan apakah anak menolak makanan atau memprotes hilangnya otonominya dalam menentukan dan memenuhi kebutuhamya sendiri. Dengan memberi kesempatan untuk anak menyiapkan sarapan sendiri, orang tua bisa mengajarkan mandiri dalam memenuhi kebutuhan fisiologi mereka sendiri.
3. Ajari anak untuk menata buku sekolahnya sendiri Pada beberapa keluarga kelas menengah dan keatas, keberadaan pengasuh bisa membatasi anak dalam mengembangan kemandirian.
4. Jangan mengerjakan pekerjaan rumah anak Dari sekolah dasar, anak mulai mendapatkan pekerjaan rumah dari sekolah. Jumlah dan tingkat kesulitan pekerjaan rumah ini bias bervariasi dari satu sekolah kesekolah lainnya. Dibeberapa sekolah, anak bisa mendapatkan pekerjaan rumah yang cukup berat dan banyak. Walaupun orang tua merasa kasihan dan tidak tega melihat beban anak, tidakan bijak jika orang tua mengambil alih dan mengerjakan pekerjaan rumah anak.
5. Ajari anak menyelesaikan masalah sendiri Orang tua wajib mengasuh dan melindungi anak. Tapi hal ini tidak berarti orang tua mengambil alih setiap permasalahan anak. Orang tua yang
23
membiasakan diri ikut campur dan menyelesaikan permasalahananak sebenarnya kurang mendidik anak bersikap mandiri.
6. Ajari anak merapikan mainanya sendiri Orang tua dapat mulai menumbuhkan rasa mandiri anak dengan memberikan tugas-tugas sederhana seperti membereskan mainannya sendiri.
7. Ajari anak untuk melipat bajunya sendiri Pada masa ini anak diminta untuk melipat bajunya sendiri. Kegiatan ini bermanfaat bagi perkembangan motorik anak dan juga meningkatkan kemandirian anak.
8. Hargai kebebasan anak dalam memilih pkaian Ketika anak mulai menganjak usia belasan tahun, dia sudah mulai engan mengunakan pakaian dengan model yang kekanak-kanakan. Dia ingin memakai model-model yang memberikan kesan pra remaja. Padahal orang tua masih memandang anaknya kekanak-kanakan. Orang tua perlu brsikap bijak dan memberikan kebebasan dalam memilih gayanya sendiri sepanjang dia tidak melanggar norma-norma kesantunan dan budaya adat setempat.
9. Ajak anak untuk merapikan dan membersihkan kamar sendiri Kamar adalah teritori tanggung jawab secara langsung. Mungkin orang tua berangapan mereka masih terlalu muda merapikan kamarnya sendiri. Tetapi tidak berarti orang tua mengambil alih tanggung jawab atas kamar anak. Secara bertahap anak bias diajak untuk mandiri terhadap ruangnganya sendiri.
10. Ajari anak untuk menabung dan berhemat Ketika anak sudah terbiasa mengelola keuangan sendiri, anda bisa mendorong dia menabung dan berhemat. Tidak seluruh uang saku harus dibelanjakan. Ajari anak mengenali manfaat menabung dan berhemat.
11. Ajari anak untuk mengembalikan buku yang sudah dibaca pada tempatnya Jika keluarga gemar membaca dan mempunyai banyak buku anak juga dilibatkan dalam menata buku-buku dan majalah yang dikoleksi keluarga.
12. Libatkan anak dalam kegiatan masak-memasak Orang tua bisa melibatkan anak dalam memberikan kesempatan anak untuk ikut membantu dan terlibat. Ketertiban anak bisa mengarahkan untuk lebih mandiri.
13. Ajak anak untuk menyiapkan hidangan makan malam. Menyiapkan hidangan makanan dalam beberapa keluarga biasanya dilakukan oleh satu orang tertentu yaitu ibu atau pembantu rumah tangga. Sekali-sekali ajak anak untuk menyiapkan hidangan makan malam agar tidak tergantung pada orang lain.
14. Minta anak untuk beberapa pekerjaan rumah tangga Sejak dini anak bisa diajarkan untuk ikut melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga. Ketika pembantu pulang, orang tua tidak terlalu repot karena anak bisa diharapkan untuk membantu pekerjaan rumah.
15. Libatkan anak dalam kegiatan belanja
24
Ketertiban anak dalam kegiatan belanja ini bisa ditingkatkan menjadi proses pendewasaan anak dan peningkatan kemandirian.
16. Libatkan anak dalam perencanaan acara liburan Acara liburan akan menjadi lebih menyenangkan jika setiap anggota keluarga ikut terlibat dan menjadi bagian penting perencanaan liburan keluarga ini, bukan hanya urusan orang tua saja. Anak juga bisa diberikan kesempatan untuk terlibat sejak awal, keterlibatan anak akan mengajarkannya untuk menjadi lebih mandiri.
2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemandirian Anak Usia
Sekolah
Soetjiningsih,1995 dan Mu’tadin 2002 dalam penelitian yang dilakukan
oleh Arif Purno mengatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat kemandirian anak usia sekolah terbagi 2 bagian yaitu:
1. Faktor internal adalah faktor dari diri anak itu sendiri yang meliputi:
a. Emosi
Faktor ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak
tergantungnya kebutah emosi dari orang lain.
b. Intelektual
Faktor ini ditunjukan dengan kemapuan untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi.
2. Faktor eksternal adalah hal-hal yang datang atau ada dari luar diri anak itu
sendiri meliputi:
a. Lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapainya
atau tidak tingkat kemandirian anak usia sekolah. Lingkungan yang
baik akan meningkatkan cepat tercapainya kemandirian anak.
b. Karakteristik sosial
Karakteristik sosial dapat mempengaruhi kemandirian anak misalnya:
tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda dengan anak
dari keluarga kaya.
c. Stimulasi
25
Anak yang mendapat stimulasi terarah dan teratur akan lebih cepat
mandiri dibanding dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan
stimulasi.
d. Pola asuh
Anak dapat mandiri akan membutuhkan kesempatan, dukungan dan
dorongan. Peran orang tua sebagai pengasuh sangat diperlukan bagi
anak sebagai penguat perilaku yang telah dilakukannya. Oleh karena
itu pola pengasuhan merupakan hal yang penting dalam pembentukan
kemandirian anak.
e. Cinta dan kasih sayang
Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikan sewajarnya
karena ini akan mempengaruhi kemandirian anak bila diberikan anak
berlebihan akan menjadikan anak kurang mandiri.
f. Kualitas interaksi anak-orang tua
Interaksi dua arah orang tua-anak dapat menyebabkan anak menjadi
mandiri.
g. Pendidikan orang tua
Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima
segala info dari luar terutama cara memandirikan anak.
Dalam blog Pondok Ibu (2011) dipaparkan empat faktor yang
mempengaruhi tingkat kemandirian anak, yaitu:
1. Faktor bawaan. Ada anak yang berpembawaan mandiri, ada yang memang
suka dan menikmati jika dibantu orang lain.
2. Pola asuh. Bisa saja anak berpembawaan mandiri menjadi tidak mandiri
karena sikap orang tua yang selalu membantu dan melayani.
3. Kondisi fisik anak. Anak yang kurang cerdas atau memiliki penyakit
bawaan, bisa saja diperlakukan lebih “istimewa” ketimbang saudara-
saudaranya, sehingga malah menjadikan anak tidak mandiri.
4. Urutan Kelahiran. Anak sulung cenderung lebih diperhatikan, dilindungi,
dibantu, apalagi orang tua belum berpengalaman. Anak bungsu cenderung
dimanja, apalagi bila selisih usianya cukup jauh dari kakaknya.
26
2.1.4 Karakteristik Siswa
Hurlock dalam Suroso (2008) membagi karakteristik pengembangan
peserta didik usia SD/MI menjadi tiga, yaitu:
Pertama, karakteristik perkembangan masa anak awal ( 2-6 tahun ). Masa
anak awal berlangsung dari usia 2-6 tahun, yaitu setelah anak meninggalkan masa
bayi dan mulai mengikuti pendidikan formal di SD. Tekanan dan harapan sosial
untuk mengikuti pendidikan sekolah menyebabkan perubahan pola perilaku,
minat dan nilai pada diri anak. Periode perkembangan anak awal ditandai dengan
ciri-ciri anak sulit diatur dan sering menimbulkan masalah, mulai dititipkan di
TPA, masuk KB dan TK, selalu ingin tahu, sering meniru tingkah laku
tokoh/orang lain, dan suka bermain.
Kedua, karakteristik perkembangan masa anak akhir ( 6-12 tahun ).
Permulaan masa anak akhir ditandai dengan masuknya anak ke sekolah formal di
SD kelas 1. Masuk SD kelas 1 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan setiap
anak, sehingga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap dan perilakunya.
Sementara anak menyesuaikan diri dengan tuntutan dan harapan di sekolah,
kebanyakan anak berada dalam keadaan tidak seimbang. Masa perkembangan
anak akhir ditandai dengan karakteristik sulit diatur, mudah bertengkar,
semaunya, mulai bersekolah di SD, suka berkelompok dan sikap kritis terutama
untuk berprestasi di sekolah.
Ketiga, karakteristik perkembangan pada masa puber (11/12-14/15
tahun).Masa puber adalah suatu periode tumpang tindih antara masa anak akhir
dan masa remaja awal. Pada masa perkembangan puber, anak biasanya memiliki
ciri suka menyendiri karena perubahan fisik yang dialaminya, emosi tidak stabil,
sering berubah-ubah, dan meledek tanpa alasan yang jelas.
Piaget (1995) dalam Wahyudi (2010) membagi tahap-tahap perkembangan
kognitif menjadi empat yaitu:
a) Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan
persepsinya yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan,
dan dilakukan langkah demi langkah. Kemampuan yang dimilikinya antara lain:
27
1) Melihat dirinya sendiri sebagai mahkluk yang berbeda dengan objek di
sekitarnya.
2) Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
3) Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.
4) Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
5) Memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
b) Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan simbol
atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif Tahap itu
dibagi menjadi dua, yaitu pemikiran simbolis dan pemikiran intuitif.
Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa
dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka
sering terjadi kesalahan dalam memahami objek. Karakteristik tahap ini adalah:
1) Self counter nya sangat menonjol.
2) Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan
mencolok.
3) Tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda.
4) Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang
benar.
5) Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan
perbedaan antara deretan.
Tahap intuitif (umur 4-8 tahun), anak telah dapat memperoleh
pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak. Dalam menarik
kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Karakteristik tahap ini
adalah:
1) Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori objek, tetapi kurang
disadarinya.
2) Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal hal yang lebih
kompleks.
3) Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
28
4) Anak mampu memperoleh prinsip-prinsip secara benar. Dia mengerti terhadap
sejumlah objek yang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak kekekalan
masa pada usia 5 tahun, kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan kekekalan
volume pada usia 7 tahun. Anak memahami bahwa jumlah objek adalah tetap
sama meskipun objek itu dikelompokkan dengan cara yang berbeda.
c) Karakteristik Tahap Operasional konkret (umur 7/8 – 11/ 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai
menggunakan aturanaturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible
dan kekekalan. Karakteristik tahap operasional konkret :
1) Sistem kekekalan
2) Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh
3) Melihat dari berbagai segi
4) Seriasi
5) Klasifikasi
6) Bilangan
7) Ruang, waktu dan kecepatan
8) Kausalitas
9) Probabilitas
10) Penalaran
11) Egosentrisme dan sosialisme
d) Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu
berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”.
Model berpikir ilmiah sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik
kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini kondisi
berpikir anak sudah dapat:
1) Bekerja secara efektif dan sistematis
2) Menganalisis secara kombinasi
3) Berpikir secara proporsional
4) Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.
29
Jadi anak kelas 1 SD karakteristiknya adalah pada tahap operasional
konkret atau perkembangan masa anak akhir, karena anak kelas 1 SD berusia 6-7
tahun.
2.1.5 Belajar
Menurut Slameto (2003:2) belajar adalah suatu proses usaha yang
dilkukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamanya dalam interaksi dengan
lingkunganya.
Perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar tersebut antara lain:
(Slameto 2003: 3-4)
1. Perubahan terjadi secara sadar
Seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-
kurangnya ia merasakan telah terjadi suatu perubahan dalam dirinya.
2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsi onal
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung
secara berkesinambungan, tidak statis.
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan
tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan
demikian makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin
baik perubahan yang diperoleh.
4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Ini
berarti tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan
dicapai.perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar
disadari.
6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
30
Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar meliputi
perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seorang belajar sesuatu, sebagai
hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam
sikap, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya.
Menurut Nana Sudjana (1989:5) dalam penelitian Mia Wijayanti (2011),
belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang. Winkel (2004:53) dalam penelitian Mia Wijayanti (2011) juga
menjelaskan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai
sikap. Perubahan tersebut bersifat relativ konstan, tetap dan berbekas. Menurut
Slavin (2000:143) dalam penelitian Mia Wijayanti (2011) belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukan perubahan perilakunya. Menurut teori
ini dalam belajar yang penting input bukan autput yang sering berupa respon.
Aunurrahman (2011) menemukan beberapa ciri umum kegiatan belajar
sebagai berikut:
1. Belajar menunjukan suatu aktivitas pada diri seseorang yang disadari atau
disengaja
2. Belajar merupakan interaksi individu dengan lingkunganya.
3. Hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku.
Ada empat pilar belajar yang dikemukakan oleh UNESCO, yaitu :
a. Learning to Know, yaitu suatu proses pembelajaran yang memungkinkan
siswa menguasai tehnik menemukan pengetahuan dan bukan semata-mata
hanya memperoleh pengetahuan.
b. Learning to do adalah pembelajaran untuk melakukan sesuatu dalam
potensi yang kongkret tidak hanya terbatas pada kemampuan mekanistis,
melainkan juga meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan
orang lain serta mengelola dan mengatasi konflik
c. Learning to be adalah keberhasilan pembelajaran yang untuk mencapai
tingkatan ini diperlukan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua
31
dan ketiga. Tiga pilar tersebut ditujukan bagi lahirnya siswa yang mampu
mencari informasi dan menemukan ilmu pengetahuan yang mampu
memecahkan masalah, bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleransi
terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan
menumbuhkan percaya diri pada siswa sehingga menjadi manusia yang
mampu mengenal dirinya, berkepribadian mantap dan mandiri, memiliki
kemantapan emosional dan intelektual, yang dapat mengendalikan dirinya
dengan konsisten, yang disebut emotional intelegence (kecerdasan emosi).
d. Learning to live together adalah membekali kemampuan untuk hidup
bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, saling
pengertian dan tanpa prasangka.
Dari pengertian diatas dapat dirumuskan bahwa belajar merupakan proses
perubahan yang terjadi secara sadar, perubahan yang bersifat positif dan aktif,
perubahan dalam belajar, perubahan yang bersifat sementara, perubahan yang
mencakup seluruh aspek tingkah laku pada diri seseorang yang bersifat permanen
akibat dari pengalaman.
2.1.5.1 Tujuan Belajar
Dalam belajar pasti ada tujuan yang hendak dicapai, menurut Sardiman
(2001:26) dalam penelitian Mia Wijayanti (2011) menjelaskan ada tiga jenis
tujuan belajar yaitu untuk mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dan
ketrampilan, pembentukan konsep.
1. Untuk mendapatkan pengetahuan
Untuk dapat mengembangkan kemamun berfikir diperlukan bahan
pengetahuan. Tujuan inilah yang memiliki kecendrungan lebih besar
perkembanganya didalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan guru
sebagai pengajar lebih menonjol.
2. Penanaman konsep dan keterampilan
Menanamkan konsep atau merumuskan konsep juga memerlukan suatu
keterampilan. Keterampilan disini sebagai keterampilan jasmani dan rohani.
Keterampilan jasmani menitik beratkan pada keterampilan gerak dari anggota
32
tubuh seseorang yang sedang belajar sedangkan keterampilan rohani
menyangkut persoalan penghayatan, keterampilan berfikir dan kreativitas
untuk menyelesaikan dan merumuskan suatu masalah atau konsep.
3. Pembentukan sikap
Pembentukan sikap mentah dan perilaku anak didik tidak akan terlepas dari
soal pemahaman nlai-nilai, transfer of value. Oleh karena itu, guru tidak sadar
“mengajar”, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-
nilai itu kepada anak didiknya.
Irfad Faiq Abdillah (2008) dalam bloggnya menuliskan tujuan belajar
adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah
melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa.
Tujuan belajar adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan
tercapai oleh siswa setelah berlangsungnya proses belajar. Tujuan belajar
merupakan cara yang akurat untuk menentukan hasil pembelajaran.
Tujuan belajar terdiri dan tiga komponen, yaitu:.
1. Tingkah laku terminal. Tingkah laku terminal adalah komponen tujuan
belajar yang menentukan tingkah laku siswa setelah belajar. Tingkah laku
itu merupakan bagian dari tujuan yang menunjuk pada hasil yang
diharapkan dalam belajar, apa yang dapat dikerjakan/dilakukan oleh siswa
untuk menunjukkan bahwa dia telah mencapai tujuan. Tingkah laku ini
dapat diterima sebagai bukti, bahwa siswa telah belajar. Tingkah laku
(behavior) adalah perilaku (performance) yang dapat diamati atau
direkam.
2. Kondisi-kondisi Tes. Komponen kondisi tes tujuan belajar menentukan
situasi di mana siswa dituntut untuk mempertunjukkan tingkah laku
terminal. Kondisi-kondisi tersebut perlu disiapkan oleh guru, karena sering
terjadi ulangan/ujian yang diberikan oleh guru tidak sesuai dengan materi
pelajaran yang telah disampaikan sebelumnya. Peristiwa ini terjadi karena
kelalaian guru yang tidak memiliki konsep yang jelas tentang cara menilai
hasil belajar siswa sebelum dia melaksanakan pembelajaran.
33
3. Ukuran-ukuran Perilaku. Komponen ini merupakan suatu pernyataan
tentang ukuran yang digunakan untuk membuat pertimbangan mengenai
perilaku siswa. Suatu ukuran menentukan tingkat minimal perilaku yang
dapat diterima sebagai bukti, bahwa siswa telah mencapai tujuan,
misalnya : siswa telah dapat memecahkan suatu masalah dalam waktu 10
menit, siswa dapat melakukan prosedur kerja tertentu, dan sebagainya.
Ukuran perilaku tersebut merupakan kriteria untuk mempertimbangkan
keberhasilan pada tingkah laku terminal.
2.1.5.2 Prinsip-prinsip Belajar
Slameto (2003: 27-28) menggolongkan prinsip-prinsip belajar menjadi
empat bagian, yaitu:
a. Berdasarkan persyaratan yang diperlukan untuk belajar
1. Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif,
meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan
instruksional.
2. Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan memotifasi yang kuat
pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional.
3. Belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat
mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif.
4. Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya
b. Sesuai hakikat belajar
1. Belajar itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut
perkembanganya.
2. Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery.
3. Belajar adalah kontinguitas ( hubungan antara pengertian yang satu dengan
pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan
pengertian yang diharapkan.
Davies (1991:32) dalam Aunurrahman (2003:113) mengingatkan beberapa
hal yang dapat menjadikan kerangka dasar bagi penerapan prinsip-prinsip belajar
dalam proses pembelajaran yaitu:
34
1. Hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajari sendiri
2. Setiap murid belajar menurut tempo (kecepatanya) sendiri dan untuk
setiap kelompok umur terdapat variasi dalam kecepatan belajar.
3. Seorang murid lebih banyak belajar bilamana setiap langkah diberikan
penguatan.
4. Penguasaan secara penuh dari setiap langkah-langkah pembelajaran
memungkinkan murid belajar secara lebih berarti.
5. Apabila murid diberikan tanggung jawab untuk mempelajari sendiri,
maka ia lebih termotivasi untuk belajar, dan ia akan belajar dan
mengingat lebih baik.
c. Sesuai materi atau bahan yang harus dipelajari
1. Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur,
penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap
pengertiannya.
2. Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan
tujuan instruksional yang harus dicapainya.
d. Syarat keberhasilan belajar
1. Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar
dengan tenang.
2. Repetisi, dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian
ketrampilan/sikap itu mendalam bagi siswa.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Kajian penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Idayati (2008), dengan judul pengaruh pendampingan orang
tua terhadap kemampuan sosial, emosional dan kemandirian anak usia pra
sekolah. Hasil penelitian mengatakan, anak yang mendapatkan pendampingan
penuh orang tua saat di sekolah mempunyai daya sosial yang rendah, pada saat
jam istirahat siswa tersebut tidak bermain bersama dengan teman-temannya tetapi
siswa tersebut mendekati orang tua nya. Selain itu anak yang di damping orang
tua saat sekolah mempunyai daya emosional yang tinggi, karena dia beranggapan
35
orang tuanya selalu ada didekat dia jadi sewaktu-waktu dia bisa mendapatkan
pembelaan dari orang tuanya. Jadi anak yang didampingi orang tua saat di sekolah
mempunyai kemandirian yang kurang.
Tutik Herlina (2010), dengan judul perbedaan perkembangan anak usia 4-
5 tahun yang ikut PAUD dengan yang tidak ikut PAUD di Desa Tepas,
Kecamatan Geneng Kabupaten Ngawi. Hasil penelitian menyebutkan, bagi orang
tua anak secara umum, sebaiknya memperbaiki dan meningkatkan pola asuh anak
di rumah dan bagi orang tua anak yang tidak ikut PAUD, diharapkan perlu
memasukkan anaknya ke pendidikan formal sesuai dengan usia anak karena
sesuai dengan hasil penelitian, anak yang ikut PAUD memiliki perkembangan
yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak ikut PAUD.
Dari kedua penelitian diatas ada perbedaan dengan hasil penelitian. Hasil
penelitian pengaruh pendampingan orang tua terhadap kemandirian belajar anak
di sekolah pada siswa kelas I SD Gugus Mahesa Jenar Kecamatan Ambarawa
Kabupaten Semarang tahun ajaran 2011/2012 mengatakan bahwa anak yang
didampingi orang tua di sekolah memiliki kemandirian belajar yang tinggi pula.
Jadi kedua penelitian diatas menjadi dasar bagi penulis dalam
melaksanakan penelitian, karena anak usia pra sekolah dan PAUD memiliki usia
yang berdekatan dengan anak kelas 1 SD, selain itu usia PAUD dan kelas 1SD
masih dalam tahap oprasional kongrit atau perkembangan masa anak akhir.
2.3 Kerangka Berpikir
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi sifat kemandirian anak yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri anak itu
sendiri, seorang anak dapat mandiri atau tidak berasal dari sifat atau karakter yang
ada dalam dirinya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar
diri anak, salah satunya adalah orang tua, kemandirian pada anak terbentuk tak
luput dari peran serta orang tua, terlebih cara orang tua mendampinggi anaknya.
Setelah penulis mengupas pengertian pendampingan orang tua dan
kemandirian seperti dikemukakan oleh para ahli di dalam kajian pustaka dapat
disimpulkan bahwa:
36
Gambar 2.1 Bagan kerangka berfikir pengaruh pendampingan orang tua
terhadap kemandirian belajar anak
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pendampingan orang tua dengan
kemandirian belajar anak di sekolah pada siswa kelas I SD Negeri Gugus Mahesa
Jenar Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang Tahun Ajaran 2011/2012.
Ha: Ada pengaruh yang signifikan antara pendampingan orang tua dengan
kemandirian belajar anak di sekolah pada siswa kelas I SD Negeri Gugus Mahesa
Jenar Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang Tahun Ajaran 2011/2012.
PENDAMPINGAN ORANG TUA
( X )
KEMANDIRIAN BELAJAR
( Y )
DIDAMPINGI ORANG TUA KARENA ANAK TIDAK
MANDIRI
ANAK MENJADI TIDAK MANDIRI KARENA DI
DAMPINGI ORANG TUA
Recommended