View
228
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Pati, merupakan salah satu daerah pengahasil batik. Meski bukan
daerah penghasil yang terkenal, Kabupaten Pati adalah salah satu daerah yang
memiliki batik dengan ciri khas. Salah satu batik yang telah lama ada di
Kabupaten Pati adalah batik tulis desa Bakaran. Nama batik ini diambil dari
daerah penghasilnya, yaitu desa Bakaran. Bakaran adalah sebuah desa yang ada di
Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Batik Bakaran tergolong batik pesisiran
mengingat Kabupaten Pati berbatasan dengan Laut Jawa di Utara. Selanjutnya
produk batik tulis desa Bakaran dituliskan dengan istilah Batik Bakaran.
Batik Bakaran sangat khas dan unik yang motifnya sangat berbeda dengan
batik-batik lain walaupun asal mulanya dari budaya batik yang sama yaitu budaya
Keraton. Hal ini disebabkan karena sudah terjadi perpaduan kebudayaan
pedalaman dan pesisir yang akhirnya karya masyarakat ini sangat unik. Batik
Bakaran dilihat dari segi warna pada motif mempunyai ciri tersendiri, yaitu warna
yang mendominasi Batik Bakaran adalah warna hitam,biru tua,cokelat dan putih
selain itu juga pada unsur visual terdapat latar yang bercorak retak atau remek.
Keunikan yang lain dari Batik Bakaran, memiliki motif yang kaku. Selain itu dari
segi komposisi desain masih menggunakan repeat 1 langkah.
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Yahyu dijelaskan bahwa saat ini motif
yang berkembang menurut konsumen yaitu motif gelombang cinta ,anggrek hutan,
2
kembang druju, hujan emas, anggrek pohon, kupu kasmaran, pari jotho, lung
kupu, kembang cengkeh, tlogo sunyi.
Batik Bakaran mempunyai potensi yang bisa dikembangkan dengan
pengolahan visual dengan Sumber Daya Alam yang ada di desa Bakaran. Dalam
observasi yang dilakukan kelemahan dari Batik Bakaran adalah pengolahan visual
yang kurang menarik, dan sebagaian pembatik masih membuat warna batik
mempertahankan warna klasik. Selama ini motif Batik Bakaran lebih banyak
menggunakan motif batik flora. Tantangan untuk pengolahan visual ini
menggunakan visual bandeng, udang, padi, jagung untuk mencapai keinginan.
Perancangan Tugas Akhir ini menjadi penting mengingat pengolahan visual
berdasarkan mata pencaharian penduduk kabupaten Pati, secara umum banyak
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, sektor kelautan dan perikanan
sesuai dengan semboyan Pati Bumi Mina Tani. Dengan demikian, perancangan ini
akan menghasilkan produk tekstil berupa kain batik yang mempunyai nilai
kebaruan (inovatif), mempunyai orisinalitas, unik, dan tidak meniru karya orang
lain.
3
B. Study Pustaka
1. Gambaran Umum Desa Bakaran, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati
a. Kondisi Geografis
Kabupaten Pati merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah
terletak pada 110˚ 50 sampai 111˚ 15˚ Bujur Timur dan 6˚ 25‟ sampai 7˚00‟
Lintang Selatan. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di Utara, Kabupaten
Rembang di Timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di selatan, serta
Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara di barat (Slamet Supriyadi,2008:16).
Desa Bakaran termasuk wilayah kecematan Juwana, kabupaten Pati. Desa
Bakaran, secara administratif, terbagi menjadi desa Bakaran Wetan dan desa
Bakaran Kulon. Batas wilayah desa Bakaran Wetan adalah Laut Jawa di utara,
desa Margomulyo di selatan, desa Bakaran Kulon dibarat, dan desa Dukutalit di
timur, sedangkan batas wilayah desa Bakaran Kulon adalah Laut Jawa di Utara,
desa Margomulyo di selatan,desa Langenharjo dibarat, dan desa Bakaran Kulon di
timur. Kondisi geografis desa Bakaran terletak di ketinggian 5,8 M dari
permukaan laut, curah hujan 3,68 mm/tahun, termasuk dataran rendah bila dilihat
dari topografi. Jarak dari pusat Kota Kabupaten sebagai pusat pemerintahan
kurang lebih 14,5 km, dan dari Kecamatan jaraknya lebih 2,5 km (Slamet
Supriyadi,2008:47).
b. Mata pencaharian penduduk
Penduduk kabupaten Pati, secara umum, banyak menggantungkan hidupnya
dari sektor pertanian serta kelautan dan perikanan sesuai dengan semboyan Pati
Bumi Mina Tani, sehingga salah satu prioritas pembangunan daerah Kabupaten
4
Pati adalah perekonomian yang berbasis pada sektor pertanian dan sektor kelautan
dan perikanan, hal tersebut dapat dijelaskan dari wilayah Kabupaten Pati seluas
150.368 hektar, dimanfaatkan sebagai lahan sawah seluas 56.739 hektar (39,06%)
dan lahan bukan sawah seluas 91.629 hektar (60,94%). Penggunaan lahan sawah
meliputi pengairan setengah teknis (18,313 Ha), pengairan teknis (8.969 Ha),
Lainya (312 Ha). Luas lahan bukan sawah sebagian besar dipergunakan untuk
perumahan dari pekarangan seluas 17.866 Ha (11,88%) dan tambak seluas 10.628
Ha (7,07%). Sisanya 4,85% berupa hutan rakyat, perkebunan, kolam, dan lainnya
(Slamet Supriyadi,2008:18-19).
Sebagian besar penduduk kabupaten Pati bermata pencaharian sebagai petani,
selebihnya pedagang, buruh industri, Pegawai Negeri Sipil, nelayan dan
sebagainya. Sedangkan penduduk desa Bakaran sendiri sebagian besar memiliki
mata pencaharian sebagai petani sendiri (sawah maupun tambak) dan buruh tani
(sawah maupun tambak), selebihnya nelayan, pengusaha, buruh industri, buruh
bangunan, pedagang, pensiunan, dan lain-lain.
2. Batik Pesisir
Batik pesisir adalah batik yang berkembang dikawasan Pantai Utara Pulau
Jawa. Kemunculannya dengan membawa ciri yang sangat kuat membuat para
pengamat batik di zaman pendudukan Belanda dengan tegas mengelompokan
batik Jawa menjadi dua, yaitu batik Vorstenlanden dan batik Pesisiran. Fenomena
kemunculan batik pesisiran adalah suatu” pemberontakan “ terhadap bentuk batik
klasik yang telah ada. Motif batik pesisiran dianggap „nyleneh,” tidak mirip batik
yang telah akrab dalam kehidupan orang Jawa, terutama dalam tampilan warna
5
dan motifnya. Pada awal kemunculannya, orang jawa sebagai pemakai aktif jarit
batik memang sulit untuk menerima kenyataan bahwa yang seperti ini juga batik.
Hal itu berkaitan dengan penggunaan batik sebagai sarana pelengkap dalam
menjalani suatu ritual misalnya hajatan, pemberian pada saat akan menikah,
maupun upacara resmi yang lain (Adi Kusrianto,2013:208).
Batik pesisiran mulai berani berekpresi untuk menuangkan kreasinya diluar
pakem motif batik adat, yang sekarang menjadi batik Keraton, batik Saudagar
maupun batik Petani yang sebelumnya merupakan batik Klasik. Batik pesisir
merupakan batik non klasik disebut juga batik modern. Batik pesisiran tidak
mengenal pengkhususan pengguna sebagaimana batik Keraton. Batik pesisiran
merupakan budaya silang berbagai bangsa yang pernah berinteraksi dengan
penduduk di daerah pantai Utara Pulau Jawa, batik pesisiran mampu menembus
batas bangsa, mengabaiakan batas-batas kasta maupun strata social. Batik
pesisiran cenderung lebih luwes, tidak kaku, dan bernuansa lebih cerita(Adi
Kusrianto,2013:209). Batik pesisiran yang tergolong sebagai seni folklore, batik
Lasem tidak memiliki filofosi yang mendalam sebagaimana pada bentuk-bentuk
pada motif klasik Vorstenlanden. Batik pesisir cenderung menggambarkan situasi
kehidupan rakyat jelata, kehidupan social yang penuh pembaruan hingga harapan-
harapan umum dalam kehidupan masyarakat (Adi Kusrianto,2013:209). Salah
satu batik pesisiran yang mudah dilihat adalah hiasan pinggir yang kaya dengan
motif dekoratif yang detail. Bahkan pada beberapa motif justru bagian border
yang menjadi “point of interest” dari batik pesisiran. Selain pinggiran batik
pesisiran memiliki ciri yang tidak ada pada batik Keraton maupun batik klasik,
6
yaitu pembagian motif pada batik yang terdiri dari kepala papan, badan, tumpal,
seret dan pinggir. (Adi Kusrianto,2013:210).
Dalam buku Adi Kurianto yang termasuk batik pesisiran yaitu batik
Pekalongan, batik Tegal, Batik Lasem, Batik Juwana dan Batik Tiga Negeri.
Batik pesisir , yang meliputi :
a. Batik pengaruh India, yaitu batik yang merupakan pola hias yang berasal dari
India, yaitu kain patola dan chintz atau sembagi, serta mulai dibuat oleh
pedagang-pedagang Arab dan Cina pada awal abad ke-19 dikawasan pantai
utara Pulau Jawa, terutama Cirebon dan Lasem (Santosa Doellah,2002:154);
b. Batik belanda, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang antara tahun 1840
sampai dengan tahun 1940, hampir semuanya berbentuk sarung, pada awalnya
hanya dibuat bagi masyarakat Belanda dan Indo-Belanda, dan kebanyakan
dibuat di daerah pesisir, terutama Pekalongan(Santosa Doellah,2002:164);
c. Batik Cina, yaitu batik yang dibuat oleh orang-orang Cina atau peranakan
Cina yang pola hiasnya menampilkan motif satwa mitos Cina, seperti naga,
singa, burung phoenix, kura-kura, kilin atau anjing berkepala singa, dan dewa-
dewi serta motif yang berbentuk mega atau awan yang berasal dari keramik
kuno(Santosa Doellah,2002:182);
d. Batik Djawa Hokokai, yaitu batik yang diproduksi oleh perusahan-perusahaan
batik di Pekalogan selama masa penjajahan Jepang dan latar yang
menampakan pola batik keraton. Batik Djawa Hokokai berformat „pagi-sore‟,
yaitu ditata dengan dua pola dan dua nuansa warna berbeda dalam satu kain
(Santosa Deollah,2002:202); dan
7
e. Batik Indonesia, yaitu batik yang lahir sekitar tahun 1950, secara teknis berupa
paduan antara pola hias batik keraton dan pola hias batik pesisiran yang
mengandung makna persatuan Indonesia. Jenis-jenis batik Indonesia
menerapkan berbagi pola dari berbagai daerah di Indonesia(Santosa
Doellah,2002:212).
3. Latar belakang terbentuknya batik bakaran
Legenda mengenai Nyai Ageng Danowati memiliki keterkaitan dengan
legenda asal usul Kecematan Juwana, secara umum, dan Desa Bakaran serta Batik
Bakaran, secara khusus.
Legenda tersebut bermula pada akhir abad 15 M, ketika sebuah keluarga
berusaha melarikan diri dari kerajaan Majapahit, terletak di Mojokerto, yang telah
dikuasai oleh kerajaan Demak yang telah menganut agama Islam. Keluarga
tersebut adalah Ki Dalang Becak, Ki Dukut, Kek Truno dan Nyai Ageng
Danowati, tiba di hutan rawa yang terdapat pohon druju, dan mulai melakukan
semedi untuk memohon petunjuk dari Sang Dewata. Keluarga tersebut
mendapatkan wangsit untuk membersihkan hutan druju tersebut untuk dijadikan
pemukiman, yang saat ini menjadi Kecamatan Juwana, berasal dari kata wono
druju atau druju sing wono, berarti ada pohon druju atau pohon druju yang ada
(Anshori,2011:7).
Nyai Ageng Danowati, ketika mengadakan pembersihan hutan druju,
mengadakan kesepakatan dengan saudara-saudaranya, bahwa wilayah yang akan
didapatnya adalah tanah yang terkena debu bekas abu bakar dari kayu dan daun
yang digunakannya untuk membuka lahan. Wilayah bekas abu bakar kayu dan
8
daun tersebut menjadi desa Bakaran, yang kemudian karena dirasa terlalu luas,
oleh Nyi Danowati dibagi bersama dengan Kek Truno menjadi desa Bakaran
Wetan dan desa Bakaran Kulon, tetapi Kek Truno menolak pemberian lahan
tersebut dan menyerahkan kepada Ki Demang, teman Kek Truno. Ki Dukut hanya
mendapatkan lahan kecil karena membersihkan lahannya dengan cara menebang
pohon, sehingga memakan waktu yang lebih lama, kemudian menjadi desa
Dukutalit terletak di selatan desa Bakaran Wetan(Anshori,2011:7).
Nyai Ageng Danowati kemudian membangun rumah, yang sampingnya
terdapat bangunan mirip masjid tanpa mighrab atau tempat imam, dan merubah
namanya menjadi Nyai Ageng Siti Sabirah, untuk mengelabui orang Islam agar
dirinya dianggap telah memeluk agama Islam. Nyai Ageng Danowati yang
merupakan abdi dalem di Keraton Majapahit sebagai perawat gedung pusaka dan
pengadaan seragam bagi anggota kerajaan, semasa persembunyiannya di desa
Bakaran dan mengajarkan keahliannya membatik kepada masyarakat setempat,
yang dating setelah pembukaan lahan desa Bakaran(Anshori,2011:8).
Keberadaan Batik Bakaran tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat
terhadap tokoh legenda mereka, yaitu Nyai Ageng Danowati tokoh dari kerajaan
Majapahit yang merupakan sesepuh desa dan pembawa kerajinan batik di desa
Bakaran. Legenda tersebut didasarkan pada peninggalan berupa rumah berbentuk
menyerupai masjid tanpa mighrab dan makam yang dianggap sebagai milik Nyai
Ageng Danowati, terletak di sebelah barat Balai Desa Bakaran Wetan. Tempat
tersebut sampai saat ini masih dianggap keramat dan setiap malem Jum‟at kliwon
diadakan ritual untuk menghormati Nyai Ageng Danowati(Anshori,2011:8).
9
Batik Bakaran yang dikaitkan dengan legenda Nyai Ageng Danowati hampir
sama dengan keberadaan seni ukir Macan Kurung yang ada di desa Belakang
Gunung, Kabupaten Jepara yang dikaitkan dengan legenda Ki Sungging Adi
Luwih atau Ki Prabangkara yang sama-sama diriwayatkan berasal dari Kerajaan
Majapahit. Hal ini disebabkan pusat pemerintahan dari sebagian besar wilayah
legenda selalu dikaitkan dengan Kerajaan Majapahit sebagai bentuk nasionalisme
masyarakat setempat terhadap sejarah masa lalu (Slamet Supriyadi,2008-23),
Pola hias Batik Bakaran dipercaya dibawa oleh Nyi Danowati dari Kerajaan
Majapahit dan sebagian diciptakan setelah sesampainya di desa Bakaran. Pola hias
Batik Bakaran merupakan ekspresi estetis khas masyarakat desa Bakaran yang
meyakini adanya legenda Nyai Ageng Danowati, yang dianggap danyang, atau
orang yang dikultuskan mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.
Pola hias batik yang dipercaya dibawa oleh Nyai Ageng Danowati antara lain
limaran, truntum, padas gempal, merak ngigel, sido rukun, blebak kopik, liris, dan
kawung tunjung, sedangkan pola hias batik yang dipercaya dibuat Nyai Ageng
Danowati setelah sesampainya di desa Bakaran antara lain manggaran, blebak
lung, rawan, puspo baskoro, gringsing, gandrung, kedele kecer, ungker cantel,
magel ati, bregat ireng, blebak urang, nogo rojo dan kopi pecah. Pola-pola hias
tersebut dipercaya diambil dari unsur-unsur lingkungan kehidupan sehari-hari dari
Nyai Ageng Danowati.
4. Motif Klasik Batik Bakaran
Pola hias batik yang dipercaya dibawa oleh Nyai Ageng Danowati antara lain
limaran, truntum, padas gempal, merak ngigel, sido rukun, blebak kopik, liris, dan
10
kawung tunjung, sedangkan pola hias batik yang dipercaya dibuat Nyai Ageng
Danowati setelah sesampainya di desa Bakaran antara lain manggaran, blebak
lung, rawan, puspo baskoro, gringsing, gandrung, kedele kecer, ungker cantel,
magel ati, bregat ireng, blebak urang, nogo rojo dan kopi pecah. Pola-pola hias
tersebut dipercaya diambil dari unsur-unsur lingkungan kehidupan sehari-hari dari
Nyai Ageng Danowati.
Gambar 1. Motif Batik Limaran
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
Gambar 2. motif batik manggaran
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
11
Gambar 3. Motif Batik Kedele Kecer
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
Gambar 4 .Motif Batik Nogo Rodjo
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
Gambar 5. Motif Batik Magel Ati
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
12
Gambar 6. Motif Batik Rawan
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
Gambar 7. Motif Batik Bledak Kopi
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
Gambar 8. Motif Batik Ungker Cantel
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
13
Gambar 9. Motif Batik Wahyu Tumurun Bledak
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
Gambar 10. Motif Batik Kawung Buketan
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
Gambar 11. Motif Batik Kawung Peksi
Sumber : www. Batik Tulis Bakaran Motif-Motif Klasik.htm
14
5. Pola batik tradisi
Struktur batik merupakan struktur atau prinsip dasar penyusunan batik, yang
terdiri dari unsur pola atau motif batik yang disusun berdasarkan pola yang sudah
baku. Unsur pola hias atau motif batik, dapat dibagi sebagai berikut:
1. Motif utama , yaitu unsur pokok pola berupa gambar-gambar yang
menentukan jiwa atau arti pola;
2. Motif pengisi, yaitu gambar-gambar yang berfungsi sebgai pengisi bidang
untuk memperindah pola tersebut;dan
3. Isen, atau isen-isen, yaitu hiasan yang mengisi bagian-bagian motif, berupa
titik-titik(cecek), garis-garis (sawut), kombinasi antara titik dan garis (cecek
sawut), sisik melik dan sebagainya, untuk memperindah motif yang
memperindah pola hias secara keseluruhan(Dharsono,2007:87).
Dari uraian di atas , dapat diketahui bahwa pola merupakan suatu desain yang
terdiri dari satu atau lebih motif yang dimultiplikasi atau dilipatgandakan, dan
ditata dalam rangkaian yang teratur. Sedangkan motif adalah satuan terkecil dari
suatu ornament. Motif adalah satuan pembentuk pola, tetapi bukan pola,
digunakan untuk menciptakan berbagai pola sesuai dengan system
pengorganisasinnya. Ornamen diartikan sebagai sesuatu yang dirancang untuk
menambah keindahan suatu benda(Guntur , 2004:124,113,2). Ornamen juga
disebut ragam hias, seni hias atau pola hias tegantung subyektifitas penyebutnya,
sehingga dalam tulisan ini digunakan istilalah pola hias.
Menurut Sewan Susanto (1980:214-215), pola-pola hias batik tradisi jawa
secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
15
1. Motif batik yang disusun secara geometris
Suatu ciri dari golongan pola hias batik dengan pola geometris adalah susunan
motif yang dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut dengan raport, yang
didasarkan pada pembagian ilmu ukur. Berdasarkan raportnya, golongan pola
geometris dapat dibedakan menjadi dua macam, yang pertama adalah raport
berbentuk bidang seperti persegi, persegi panjang, dam lingkaran dan yang kedua
adalah raport garis diagonal. Pemolaan raport motif batik dapat dibagi sebagai
berikut:
a. Pola raport ABCD, bila raport motif persegi disusun ke kanan dank e kiri
menurut arah horizontal dan vertikal.
Gambar 12. Pola raport ABCD
Sumber : Sewan Susanto,1980:216
b. Pola raport WXYZ, bila raport motif persegi disusun searah garis
diagonal.
Gambar 13. Pola Raport WXYZ
Sumber : Sewan Susanto,1980:216
16
c. Pola raport OPQR, bila raport motif belah ketupat disusun searah garis
diagonal.
Gambar 14. Pola Raport OPQR
Sumber : Sewan Susanto,1980:216
Kelompok pola yang tersusun berdasarkan raport bidang persegi, persegi
panjang dan lingkaran adalah banji, ceplok, ganggong dan kawung, sedangkan
kelompok pola yang tersusun berdasarkan raport diagonal adalah parang dan
lerengan (SewanSusanto,1973:215).
Pola batik yang masuk ke dalam golongan pola geometris adalah :
a. Pola banji
Motif utama pola banji berbentuk silang dengan ujung bengkok
menggambarkan swastika, yang melambangkan keabadian dan kebahagiaan bagi
masyarakat etnis Cina (Santoso Doellah, 2002 :183). Batik dengan pola banji
termasuk pola hias batik tradisi yang saat ini sudah jarang ditemui. Daerah
pembatikan yang masih membuat batik dengan pola banji adalah Banyumas,
Pekalongan dan Lasem yang masih mendapatkan pengaruh kebudayaan Cina.
Ragam pola hias banji antara lain banji guling, banji bengkok, banji kacip dan
banji kerton (Sewan Susanto,1973:218).
17
b. Pola ganggong
Pola ganggong pada umumnya menggambarkan tumbuhan ganggong yaitu
Cryptocoryne ciliate fisch, termasuk diantaranya araceae. Pola ganggong sering
pula dianggap sebagai pola ceplokan. Ciri ganggong yang membedakan dari
ceplok adalah gaya isen yang terdiri dari seberkas garis-garis yang panjangnya
tidak sama dan ujung garis yang terpanjang terdapat garis yang melintang
sehingga menyerupai salib (Sewan Susanto,1973:218-219).
Ragam pola hias ganggong antara lain ganggong sari, ganggong rejuna,
ganggong garut, ganggong puspita, ganggong puspasari, ganggongg madusari,
ganggong kurung, ganggong rante, ganggong gandosan, ganggong ranti,
ganggong branto, ganggong jubin, ganggong ceplok dan ganggong
sidokromo(Sewan Susanto,1973:221).
c. Pola ceplokan
Saceplok, dalam bahasa Jawa, berarti sekuntum bunga yang relative besar.
Ceplokan, dalam seni batik, berarti susunan dari gabungan dua macam motif
bunga atau lebih dengan garis batas yang terhimpit (Nyi Kusharjanti,2008:27).
Motif utama pola ceplokan dapat menggambarkan bunga dari depan, buah
yang dipotong melintang, bunga dan daun, binatang yang tersusun melingkar dan
variasi lainya(Sewan Susanto,1973:221).
18
Penamaan pola hias pada pola ceplokan dapat ditinjau atas dasar-dasar sebagai
berikut:
1) Penamaan pola hias berdasarkan nama pencipta pola hiasnya, antara lain
ceplok Purbonegoro, ceplok Madu Sumirat, ceplok Sirat Madu Dn ceplok
Cokrokusumo.
2) Penamaan pola hias berdasarkan motif utamanya, antara lain ceplok
manggis, ceplok salak sategal, cepkok supit urang, ceplok cakar ayam dan
sebagainya.
3) Penamaan pola hiad berdasarkan tempat asal pola hias, antara lain ceplok
Madura dan ceplok Pekalongan.
d. Pola nitik
Pola nitik menyerupai pola ceplokan yang tersusun oleh garis yang terputus-
putus, cecek-cecek, dan variasinya(Sewan Susanto,1973:224). Pola nitik diilhami
oleh pola kain bwat kling yang disebut juga kain cinde atau kain patola yang
berasal dari India(Nyi Kusharjanti,2008:21).
Ragam pola hias dari kelompok pola nitik antara lain rengganis, nitik
krawitan, nitik jonggrong, nitik pijetan, cakar melik, jaya Santana, nitik
gendangan, nitik cakar wok, nitik onengan, nitik sulaman, nitik yuyu, nitik
rogahina, nitik kembang sikatan, nitik kembang kacang, jlamprang, dan cinden
Yogyakarta(Sewan Susanto,1973,224).
e. Pola parang dan lerengan
Parang berarti senjata tajam yang lebih besar dari pisau lebih kecil dari
pedang, sedangkan lerengan berarti miring, kedua jenis pola hias tersebut, secara
19
umum, disusun secara diagonal yang menggambarkan pandangan hidup manusia
bahwa perjalanan hidupnya mendaki, terdapat banyak cobaan, tetapi tegas menuju
ke atas menurut jalan ilahi(Nyi Kusharjanti,2008:15).
Parang berbentuk rangkaian pilin berganda menyerupai bilah keris terhunus
atau senjata parang yang ujungnya saling berlawanan. Setiap kelompok pilin
berganda dibatasi dengan rangkaian motif mlinjon atau buah melinjo dalam posisi
miring. Motif mlinjon merupakan pembeda antara pola parang dan pola lereng,
sehingga walaupun suatu motif tersusun menurut pola diagonal tetapi tidak ada
motif mlinjon maka tidak termasuk pola parang. Melainkan pola lerengan
(Sektiadi&D.S.Nugrahani,2008:10).
Ragam pola hias yang termasuk pola hias parang antara lain parang rusak,
parang rusak ageng, parang rusak alit, parang gondosuli, parang ganti, parang
sari, parang teja, parang cantehl, parang sujen, parang cengkeh, parang tanjung,
dan parang rusak barong.
Ragam pola hias yang termasuk pola hias lerengan antara lain pring sedapur,
thathit, udan liris, sekar liris, sekar kopi, dan lereng ukel (Sewan
Susanto,1973:221).
f. Pola kawung
Pola kawung menggambarkan mimesis dari biji kawung, yaitu biji buah
siwalan atau buah pohon tal yang dibelah melingtang. Ide dasar pola kawung
adalah simbolisasi dari konsep pancapat, yang digambarkan empat sususnan kecil
sebagai pusat intinya(Nyi Kusharjanti,2008:21).
20
Pola kawung diberi nama pola hias sesuai dengan ukuran biji kawungnya,
seperti pola hias kawung picis, yaitu kawung berukuran kecil, pola hias kawung
bribil, yaitu kawung yang berukuran lebih besar dari kawung picis , dan pola hias
kawung sen, yaitu kawung yang berukuran lebih besar dari kawung bribil (Sewan
Susanto,1973:226).
2. Motif batik yang disusun secara non-geometris
Golongan pola batik non-geometris, pembagian raportnya tidak teratur
menurut bidang gemotris. Golongan pola batik non-geometris biasanya terdiri dari
motif seperti tumbuh-tumbuhan, meru, binatang, dan sebagaianya yang tersususn
tidak beraturan, tetapi dalam bidang luas akan terjadi pengulangan kembali
susunan pola tersebut(Sewan Susanto,1973:215).
Pola batik yang termasuk ke dalam golongan non-geometris adalah:
a. Pola semen
Pola semen terdiri atas motif utama berupa meru, pohon hayat, burung, ular
dan api, motif pendukung berupa bunga dan daun, serta isen-isen berupa titik atau
cecek, garis dan cecek sawut. Motif utama pada pola semen, yaitu meru
merupakan lambang gunung tempat tumbuh-tumbuhan bertunas atau bersemi,
sehingga pola ini disebut semen yang berasal dari kata dasar semi, yang berarti
persemaian atau pembibitan. Motif-motif dalam pola hias semen, bila ditinjau dari
paham Jawa kuno, memiliki arti sebagai berikut :
1) Meru, melambangkan gunung atau tanah yang disebut bumi.
2) Api atau lidah, melambangkan nyala api yang disebut agni atau geni.
21
3) Ular atau naga, melambangkan air yang disebut banyu atau tirta.
4) Burung, melambangkan angin atau matura,
5) Garuda atau lar garuda, melambangkan mahkota atau penguasa tertinggi,
yaitu penguasa jagad dan isinya.
Motif-motif tersebut menggambarkan hidup manusia yang dikuasai oleh
kekuasaan tertinggi atau penguasa jagad, dan hidup berasal dari empat unsur yaitu
bumi. Api, air, dan angina. Keempat unsur tersebut memberikan watak dasar dari
hidup itu sendiri, yaitu angkara murka, candala, dusta dan adil suci.
Ditinjau dari konsep triloka, yang berasal dari zaman Hindu, motif-motif
dalam pola hias semen memiliki arti sebagai berikut:
1) Burung, melambangkan dunia atas atau niskala.
2) Pohon, melambangkan dunia tengah atau niskala-sakala.
3) Ular, melambangkan dunia bawah atau sakala.
Motif-motif tersebut menggambarkan hidup manusia yang tidak kekal berada
didunia tengah atau madya pada. Pengendalian hidup yang salah akan membuat
hidupnya masuk ke dunia bawah atau kesengsaraan, dan bila pengendalian
hidupnya benar akan membawanya ke dunia atas atau kemuliaan abadi (Sewan
Susanto,1973:212).
Y.E.Yasper dan Mas Pirngadie membagi pola semen, berdasarkan otif-motif
pokok dalam polanya, ke dalam tiga golongan, yaitu:
1) Pola semen yang terdiri dari motif bunga dan daun
22
Ragam pola hias termasuk dalam golongan ini adalah semen lung-lungan,
semen rengkulo, semen sumarsana, semen lung pakis, semen kembang gempol,
semen kipas, semen pisang bali, semen dudabrengos.
2) Pola semen yang terdiri dari motif bunga, daun dan binatang
Ragam pola hias yang termasuk dalam golongan ini adalah semen tluki, lung
gedawung, lung ketongkeng, lung bentul, semen kasut, semen yogya, semen
kebon, semen Lombok, semen kukila, semen klingkin, peksi gagak, peksi kablak,
peksi kandon, peksi kuwon, dan peksi garuda.
3) Pola semen yang terdiri dari motif bunga, daun dan garuda atau lar
Ragam pola hias yang termasuk dalam golongan ini adalah semen lung pakis,
lung pernis, semen sinom, semen kembang asem, asem cuwiri, semen jlenggut,
sida luhur dan semen mirong (Sewan Susanto,1973:236-237).
b. Pola buketan
Pola buketan adalah pola hias batik yang tersusun dari motif utama tumbuhan
atau lung-lungan bunga, pola buketan terdapat di daerah Pekalongan, yang
kerajinan batiknya mendapatkan pengaruh dari masyarakat peranakan Belanda
dan Cina (Sewan Susanto,1973:240). Pola buketan biasanya terdiri dari motif
flora yang tumbuh di negeri Belanda seperti bunga krisan, buah anggur, dan
rangkaian bunga gaya Eropa yang disebut bouquet (Nian Djoemena,1986:63).
23
C. Fokus Permasalahan
Fokus permasalahan proyek perancangan ini adalah bagaimana
mengembangkan motif Batik Bakaran dengan berdasarkan mata pencaharian desa
Bakaran, secara umum banyak menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian,
sektor kelautan dan perikanan sesuai dengan semboyan Pati Bumi Mina Tani ?
Recommended