View
246
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Epilepsi merupakan kekambuhan periodik yang ditandai adanya bangkitan,
baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan
berlebihan dari neuron kortikal dan ditandai oleh perubahan aktivitas listrik yang
diukur oleh electro-encephalographi (EEG) (Wells dkk., 2008). Gangguan ini
sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi
psikososial yang berat bagi penderitanya, di samping itu juga dihubungkan dengan
angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk,
ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik (WHO, 2001).
Insiden epilepsi tertinggi terjadi pada kategori anak-anak dan merupakan penyakit
neurologis utama pada kelompok usia tersebut. Ditemukan bahwa prevalensi
epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara
statistik, jenis epilepsi pada masa anak-anak bervariasi, tetapi jenis epilepsi yang
secara umum lebih sering terjadi adalah epilepsi umum (generalized epilepsy)
(Pinzon, 2006).
Pengobatan epilepsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita
dengan manifestasi adanya penurunan atau pengendalian kejang, serta perbaikan
dalam aspek psikis, kognitif, dan sosial (Heaney dkk., 2002). Terapi utama
epilepsi yaitu pemberian obat anti epilepsi untuk mengontrol kejang pasien (Gidal
dan Garnett, 2005). Terapi pasien pediatrik sebaiknya diawali dengan monoterapi.
Sekitar 50% pasien epilepsi dapat terkontrol frekuensi dan aktifitas kejang
dengan obat anti epilepsi, tetapi 30-40% pasien mengalami kesukaran dalam
mengontrol kejadian kejang setelah penggunaan obat anti epilepsi dan
berkembang menjadi epilepsi refractory (Gidal dan Garnett, 2005; Lawthom dan
Smith, 2001). Kesukaran ini antara lain dikarenakan oleh banyaknya jenis
serangan epilepsi yang memerlukan terapi obat anti epilepsi (OAE) tertentu,
pengobatan yang bersifat individual, prognosis pada sebagian kasus
mengecewakan, lamanya pengobatan, seringnya terapi lebih dari 1 obat, adanya
interaksi obat-obat, timbul efek samping, toksisitas yang menahun, berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi pengobatan, dan lain-lain (Moe dkk., 2006).
Politerapi sering dipertimbangkan pada kelompok pasien ini (Lawthom dan
Smith, 2001; Gidal dan Garnett, 2005).
Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian terapi. Efek
terapi dapat diketahui dengan melihat pengurangan jumlah kejang, pengurangan
keparahan kejang, adverse reaction yang minimal dan perbaikan kualitas hidup
pasien (Gidal dan Garnett, 2005).
Kuesioner Hague Seizure Severity Scale (HASS) merupakan kuesioner
yang digunakan untuk mengevaluasi efek terapi pasien epilepsi pediatrik
berdasarkan keparahan kejang. Kuesioner tersebut merupakan pengembangan dari
kuesioner LSSS (Liverpool Seizure Severity Scale) yang digunakan untuk
mengevaluasi efek terapi pasien epilepsi dewasa. Alasan digunakan kuesioner
HASS pada penelitian ini karena HASS digunakan untuk mengevaluasi efek
terapi pada pasien epilepsi pediatrik (Carpay, 1996).
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito. Hal ini
dikarenakan RSUP Dr. Sarjito merupakan pusat rujukan rumah sakit di DIY dan
Jawa Tengah bagian selatan. Menurut sistem rujukan di DIY dan Jawa Tengah
bagian selatan, rumah sakit ini berada di posisi tertinggi. Selain itu, RSUP Dr.
Sarjito termasuk dalam rumah sakit tipe A (Anonim, 2009). Sekitar 70% pasien
dari jumlah keseluruhan pasien pediatrik rawat jalan yang berobat di Instalasi
Kesehatan Anak merupakan pasien epilepsi.
Berdasarkan fenomena dan kaidah ilmiah yang dipaparkan, peneliti tertarik
melakukan penelitian untuk mengevaluasi obat anti epilepsi politerapi terkait
dengan efek terapinya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada
klinisi terkait pengobatan epilepsi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan
atau acuan dalam penyusunan standar terapi pengobatan epilepsi pediatrik
khususnya di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang itu, disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pola pengobatan obat anti epilepsi politerapi pada pasien
epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr
Sardjito Yogyakarta?
2. Bagaimanakah efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi
pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito
Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk:
1. Mengetahui pola pengobatan obat anti epilepsi politerapi pada pasien
epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr
Sardjito Yogyakarta.
2. Mengevaluasi efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi
pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Bagi peneliti
Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
informasi terkait efek terapi obat anti epilepsi politerapi obat anti epilepsi
pada pasien pediatrik.
Bagi rumah sakit
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan masukan dalam hal
outcome atau luaran berupa efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada
pasien epilepsi pediatrik.
2. Hasil peneltian ini diharapkan dapat memberikan umpan balik kepada
klinisi di rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lain terkait dengan
standar terapi pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik.
E. Tinjauan Pustaka
1. Epilepsi
Secara etimologi epilepsi berasal dari bahasa Yunani “epilambanein”
yang kurang lebih berarti “sesuatu yang menimpa seseorang dari luar hingga
ia jatuh” (Mutiawati, 2008). Penyakit epilepsi pertama kali ditemukan
Hippocrates, seorang dokter dari Yunani pada tahun 400 SM. Masyarakat
Yunani percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hippocrates menolak
paradigma tersebut dan menyatakan bahwa epilepsi merupakan akibat dari
terjadinya kerusakan pada otak, yang diungkapkan dalam bukunya yang
berjudul “On the Sacred Disease”. Ia menyarankan untuk memberi terapi
fisik, bukan terapi spiritual. Ia menyatakan bahwa jika epilepsi menjadi
kronis, maka epilepsi tidak dapat disembuhkan (Hantoro, 2013). Tahun
1859-1906, ahli neurologi Inggris mendefinisikan epilepsi sebagai penyakit
karena ketidakstabilan dan kerusakan pada jaringan saraf di otak, sehingga
mempengaruhi kesadaran dan tingkah laku penderita (Indrayati, 2004).
a. Definisi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat
spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai
modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal
dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah
epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama
penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya
kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007).
Menurut World Health Organization (WHO), epilepsi merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan berulang
akibat ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan
otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang
berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom
atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat (Wibowo dan Gofir, 2006).
b. Epidemiologi
Epilepsi dapat menyerang bayi, anak-anak, orang dewasa, maupun
lanjut usia. Di seluruh dunia, kasus baru diperkirakan terjadi sekitar 3,5
juta tiap tahun dengan proporsi 40% golongan anak, 40% golongan
dewasa dan 20% golongan lanjut usia (Harsono, 2001). Prevalensi di
negara berkembang 2-25 kali lebih tinggi daripada di negara maju yang
hanya 5-6/1000 penduduk (Radhakrishnan, 2000).
Diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi di Indonesia. Prevalensi
epilepsi di indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000 orang dan insidensi
sebanyak 50 kasus per 100.000 orang per tahun (Harsono, 2007). Terdapat
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan
40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).
Penelitian Heaney dkk (2002) di Inggris dilakukan secara prospektif
terhadap 369.283 orang-tahun pengamatan. Selama dilakukan penelitian
tersebut, dijumpai sebanyak 190 kasus baru epilepsi. Pada 190 kasus baru
epilepsi tersebut, 65 pasien diantaranya (34, 2%) dimulai saat pada saat
pasien berumur di bawah 14 tahun (onset epilepsi di bawah 14 tahun).
c. Etiologi
Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Setiap sel hidup, termasuk neuron otak memiliki
kegiatan listrik yang disebabkan adanya potensial membran sel. Potensial
membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron
yaitu perbedaan konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl (Shih, 2007).
Menurut Kusumastuti dan Basuki (2014) etiologi epilepsi dapat
dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu:
1). Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit
neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan
umumnya berhubungan dengan usia.
2). Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum
diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, Lennox-Gastaut,
dan epilepsi Juvenile mioklonik.
3). Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi
struktural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Beberapa penyebab yang secara spesifik dapat menimbulkan
serangan epilepsi menurut Harsono (2005) adalah:
1). Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu,
seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak
janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cidera
(trauma) atau mendapat penyinaran (iradiasi).
2). Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen
yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan
(forsep), atau trauma lain pada otak bayi.
3). Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang
dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3
tahun kemudian. Bila serangan terjadi berulang pada saat yang
berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang epilepsi.
4). Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum,
terutama pada anak-anak.
5). Penyumbatan atau kelainan pembuluh darah otak.
6). Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang
otak dapat menyebabkan epilepsi.
7). Penyakit keturunan seperti fenilketonuria. Sklerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang berulang.
8). Kecenderungan timbul epilepsi yang disebabkan ambang rangsang
serangan lebih rendah dari normal yang diturunkan pada anak.
d. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik
yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan
merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan
listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan berkurangnya inhibisi oleh
neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA) atau meningkatnya
eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamat dan aspratat melalui jalur
eksitasi yang berulang (Westbrook, 2000). Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan gerakan
keluar masuk ion-ion menembus membran neuron (Harsono, 2011).
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron
abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan
cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik
abnormal ini kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya atau
neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron
abnormal abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai
aktivitas listrik di dalam otak (Harsono, 2007).
e. Klasifikasi
Menurut Gidal dan Garnett (2005), berdasarkan tanda-tanda klinik
dan data EEG, epilepsi diklasifikasikan menjadi:
1). Kejang umum (generalized seizure)
Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisphere otak secara
bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:
a). Absense (petit mal)
Jenis ini jarang dijumpai, umumnya hanya
terjadi pada anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang
beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan
untuk sesaat. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya
berkedip-kedip dengan kepala terkulai.
b). Tonik-klonik (grand mal)
Merupakan bentuk kejang yang paling banyak
terjadi, biasanya didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba
jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur.
Bisa terjadi juga sianosis, ngompol, atau menggigit lidah.
Serangan ini terjadi beberapa menit, lalu diikuti lemah,
kebingungan, sakit kepala atau tidur.
c). Mioklonik
Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah
bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba.
d). Atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-
tiba kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien
terjatuh, namun dapat segera pulih kembali.
2). Kejang parsial
Kejang parsial merupakan perubahan klinis dan elektro-
ensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang
berbatas di salah satu bagian otak. Kejang parsial dibagi menjadi:
a). Simple partial seizure
Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran.
Terjadi sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
b). Complex partial seizure
Pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada
penderita dengan penurunan kesadaran maka dapat terjadi
perubahan tingkah laku misalnya automatisme.
3). Kejang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak
didukung oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk
serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritmis,
gerakan mengunyah serta berenang.
2. Diagnosa
Penegakan diagnosa untuk epilepsi terutama berdasar riwayat adanya
serangan berulang sedikitnya 2 kali dalam setahun. Bersifat stereotipik dari
suatu pengalaman atau perilaku bawah sadar (involunter) yang dilaporkan
oleh saksi. Pendekatan diagnosa lain yang banyak dimanfaatkan adalah
elektro ensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG penting kaitannya dengan
diagnosa kejang, penentuan penyebab kejang, dan klasifikasi kejang yang
sesuai (Harrison, 2000). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penegakkan
diagnosis epilepsi dalam praktik klinis adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
c. Pemeriksaan penunjang, seperti berikut:
1) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
2) Pemeriksaan pencitraan otak
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography
(PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS).
3) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan hematologis
b) Pemeriksaan kadar OAE
(Kusumastuti dan Basuki, 2014)
3. Penatalaksanaan Terapi
a. Prinsip Terapi
Tujuan pengobatan epilepsi adalah membebaskan pasien dari
bangkitan tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan pasien epilepsi
tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara normal (Gidal dan
Garnett, 2005). Menurut Shorvon (2001), pertimbangan memulai
pemberian obat anti epilepsi memperhatikan faktor atau kondisi yang
mempengaruhi, yakni:
1). Diagnosa
2). Risiko bangkitan ulang setelah kejang pertama.
3). Elektro-ensefalografi (EEG)
4). Etiologi; epilepsi simtomatik, idiopatik atau kriptogenik.
5). Umur; risiko ulang lebih besar pada usia di bawah 16 tahun atau di
atas 60 tahun.
6). Tipe kejang
7). Jenis, waktu dan frekuensi bangkitan
8). Jenis epilepsi; beberapa sindroma epilepsi benigna mempunyai
prognosis yang baik tanpa terapi, dan tidak memerlukan terapi
jangka panjang.
9). Kepatuhan berobat; keputusan dalam memberikan pengobatan
perlu dipertimbangkan pada semua keadaan jika kepatuhan berobat
diragukan.
10). Bangkitan reflektoris dan bangkitan simtomatik akut; kadang-
kadang bangkitan timbul hanya pada keadaan spesifik atau oleh
adanya pemicu terrtentu (misal fotosensitif, kelelahan, alkohol).
11). Harapan penderita; perlu diterangkan keuntungan dan kerugian
relatif apabila menggunakan atau tanpa pengobatan
Menurut Shih (2007) dan Budikayanti (2014), ada beberapa prinsip
terapi epilepsi yang diterapkan, yaitu terapi dimulai dengan monoterapi
dosis terendah yang disesuaikan dengan jenis epilepsi dan sindrom
epilepsi. Dosis dinaikkan bertahap sampai pada dosis yang dapat
mengontrol kejang. Jika dosis OAE pertama sudah maksimal namun masih
belum mengontrol kejang, OAE kedua yang berbeda mekanisme aksinya
diberikan dengan penaikan dosis secara bertahap, sementara OAE pertama
diturunkan dosisnya. Jika muncul kejang lagi pada penurunan dosis OAE
pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Penambahan OAE ketiga
dilakukan jika kedua OAE masih belum dapat mengontrol kejang
walaupun dosis sudah maksimal. Pada interval waktu tertentu, perlu
dimonitor kemungkinan timbulnya ketoksikan. Terapi OAE dilanjutkan
pada pasien bebas kejang hingga minimal 2 tahun dan jangan memutus
OAE tanpa mengecek EEG pasien terlebih dahulu.
b. Pediatrik
Pediatrik bukan miniatur orang dewasa. Pediatrik masih mengalami
pertumbuhan dan perkembangan dalam profil farmakologinya yang
berbeda dengan populasi dewasa (US Department of Health and Human
Service, 2014). Menurut European Medicine Agency (2001), usia pediatrik
diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu: neonatus (0-27 hari), bayi (28
hari-23 bulan), anak-anak (2 - 11 tahun) dan remaja (12-16/18 tahun).
c. Terapi Epilepsi Pada Pasien Pediatrik
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai sejak bayi dan anak. Penderita
epilepsi anak, merupakan segmen pasien tertentu, yang dalam beberapa hal
berbeda dengan pasien dewasa. Diperlukan pengetahuan tentang kondisi,
perkembangan, status penyakit anak, dan pengetahuan farmakologi OAE;
sehingga terapi epilepsi anak memerlukan perhatian khusus. Berbagai hal
perlu dicermati, misalnya pertumbuhan organ pasien, metabolisme hepar,
eliminasi ginjal, profil farmakokinetik OAE, toleransi terhadap OAE, serta
ketaatan mengkonsumsi obat. Hal-hal tersebut, berpengaruh terhadap
penyesuaian dosis OAE yang akan diberikan (Wibowo dan Gofir, 2006).
Tabel I. Pilihan Terapi untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak
Tipe kejang First-line
drugs
Second-line
drugs
Alternatif/
tambahan
Obat yang dihindari
(dapat memperburuk
kejang)
Tonik-klonik
karbamazepin klobazam asetazolamid tiagabin
lamotrigin levetirasetam klonazepam vigabatrin
valproat okskarbazepin fenobarbital
topiramat fenitoin
primidon
Absence
etosuksimid klobazam
karbamazepin
lamotrigin klonazepam
gabapentin
valproat topiramat
okskarbazepin
tiagabin
vigabatrin
Mioklonik
valproat klobazam karbamazepin
topiramat klonazepam
gabapentin
lamotrigin
okskarbazepin
levetirasetam
tiagabin
pirasetam vigabatrin
Tonik
lamotrigin klobazam asetazolamid karbamazepin
valproat klonazepam fenobarbital okskarbazepin
levetirasetam fenitoin
topiramat primidon
Atonik
lamotrigin klobazam asetazolamid karbamazepin
valproat klonazepam fenobarbital okskarbazepin
levetirasetam primidon fenitoin
topiramat
Parsial
dengan atau
tanpa
secondary
generalized
karbamazepin klobazam asetazolamid
lamotrigin gabapentin klonazepam
okskarbazepin levetirasetam fenobarbital
valproat fenitoin primidon
topiramat tiagabin
Keterangan:
a. Enzim hati menginduksi OAE
b. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE
Technology Appraisal of Newer AEDs for Children
c. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang digunakan lebih disukai
(NICE Guideline, 2012)
Tabel II. Dosis Obat Antiepilepsi untuk Terapi pada Pediatrik
Obat Dosis awal
(mg/kg/hari)
Dosis
maintenance
(mg/kg/hari)
Frekuensi
pemberian
(kali/hari)
Fenitoin 5 5-15 1-2
Karbamazepin 5 10-25 2-4
Okskarbazepin 5 10-50 2-3
Lamotrigin 0,5 2-8 1-2
Zonisamid 2-4 4-8 2
Etosuksimid 10 15-30 1-2
Felbamat 15 30-45 3-4
Topiramat 0,5-1 5-9 2
Clobazam 0,25 0,5-1 1-2
Clonazepam 0,025 0,025-0,1 2-3
Fenobarbital 4 4-8 1-2
Pirimidon 10 20-30 1-2
Vigabatrin 40 50-150 1-2
Gabapentin 20 20-40 3
Valproat 10 15-40 2-3
Levetiracetam 10 20-60 2
Tiagabin Tidak disarankan untuk anak di bawah usia 12 tahun
(Brodie dkk., 2005)
Menurut Shih (2007), ada beberapa edukasi yang dapat diberikan
pada pasien epilepsi pediatrik, yaitu pemberian informasi mengengai
masalah dan terapi epilepsi pada pasien dan keluarga, penandaan botol
berisi obat epilepsi, tetap berusaha hidup senormal mungkin, tidur yang
cukup dan menghindari kekurangan tidur. Anak-anak juga diberitahu
untuk melakukan kegiatan fisik sesuai umur mereka.
d. Politerapi
Setelah pasien gagal diterapi dengan 1 regimen obat, maka diperlukan
tambahan OAE kedua. Terapi tambahan dipilih OAE diantara karbamazepin,
asam valproat, atau fenitoin (Carpay dkk., 1998). Menurut NICE (2012),
politerapi adalah terapi dengan menggunakan 2 obat atau lebih, dalam hal ini
adalah obat anti epilepsi. Pasien yang masih resisten dengan 2 obat anti
epilepsi (OAE) akan dipertimbangkan penambahan jenis OAE lain.
Pertimbangan inilah yang memulai politerapi obat pada pasien epilepsi
(Carpay, dkk., 1998; Lawthom dan Smith, 2001).
Politerapi telah digunakan sejak lama. Lawthom dan Smith (2001)
menyebutkan bahwa politerapi dimulai 150 tahun lalu dengan nervine, suatu
kombinasi bromide, arsenic dan pikrotoksin. Nervine mempengaruhi sistem
syaraf secara komplementer, sehingga merupakan contoh dini penggunaan
politerapi rasional. Pertengahan abad 20, kombinasi fenitoin dan fenobarbital
menjadi terapi umum bagi epilepsi. Tahun 1980an, monoterapi menggantikan
politerapi, namun politerapi tetap digunakan pada pasien epilepsi yang belum
terkontrol. Politerapi dikatakan rasional jika:
1). Memiliki aksi penurunan kejang yang berbeda sehingga tidak terjadi
interaksi farmakodinamik.
2). Tidak berinteraksi secara farmakokinetik yang kompleks.
3). Potensi reaksi yang tidak diinginkan terendah.
4). Diresepkan pada dosis yang paling rendah.
(Lawthom dan Smith, 2011)
Meningkatnya jumlah obat anti epilepsi, maka kemungkinan efek
samping meningkat. Semakin tinggi interaksi obat, dapat meningkatkan biaya
terapi, dan mengurangi compliance pasien. Tabel III merupakan saran
kombinasi OAE oleh Lawthom dan Smith (2001).
Tabel III. Terapi Kombinasi
No Kombinasi Alasan
1
Karbamazepin, lamotrigin, atau fenitoin
dengan
Gabapentin, levetirasetam, tiagabin atau
topiramat
Merupakan politerapi rasional
karena memiliki mekanisme aksi
yang berbeda. Karbamazepin,
lamotrigin, dan fenitoin berperan
dalam inaktivasi kanal Na,
sedangkan OAE gabapentin,
levetirasetam, tiagabin dan
topiramat meningkatan transmisi
inhibitori GABA.
2 Karbamazepin, lamotrigin atau fenitoin
Tidak disarankan kombinasi antara
OAE tersebut karena mekanisme
aksinya mirip, yaitu inaktivasi
kanal Na.
3 Tiagabin dan vigabatrin
Tidak disarankan kombinasi antara
OAE tersebut karena mekanisme
aksinya mirip, yaitu meningkatkan
transmisi inhibitori GABA.
4. Obat Anti Epilepsi
Wibowo dan Gofir (2006) membagi mekanisme kerja obat antiepilepsi
(OAE) menjadi 2 bagian besar, yakni: efek langsung pada membran yang
eksitabel dan efek melalui perubahan neurotransmitter. Berikut ini adalah
penggolongan OAE berdasarkan pada mekanisme tersebut:
a). Efek langsung pada membran yang eksitabel.
Perubahan permeabilitas membran merubah fase recovery serta
mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron pada keadaan lepas
muatan listrik epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan mekanisme
pengaturan aliran ion Na+
dan ion Ca2+
(Wibowo dan Gofir, 2006).
Contoh OAE yang bekerja dengan mekanisme ini antara lain:
(1). Fenitoin: difenilhidantoin, Diphantoin®, Dilantin
®
Senyawa imidazolin ini tidak bersifat hipnotik seperti
senyawa barbital dan suksinimida. Fenitoin terutama efektif
pada grand mal dan serangan psikomotor, tetapi tidak boleh
diberikan pada petit mal, karena dapat memprovokasi absense
(Tan dan Rahardja, 2002).
Cara kerja utama fenitoin adalah memblokade pergerakan
ion melalui channel Na dengan menurunkan aliran ion Na yang
tersisa maupun aliran ion Na yang mengalir selama penyebaran
potensial aksi, memblokade dan mencegah potensial post
tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang
maksimal dan mengurangi penyebaran serangan. Fenitoin
berefek stabilitas pada membran yang eksitabel (mudah terpacu)
maupun yang tidak eksitabel. Fenitoin juga dapat menghambat
efek channel Ca dan menunda aktifasi ion K keluar sehingga
menyebabkan kenaikan periode refractory dan menurunnya
cetusan ulangan (Wibowo dan Gofir, 2006).
Kadar terapeutik fenitoin untuk sebagian besar pasien
adalah antara 10-20 µg/mL. Dosis awal dapat diberikan secara
oral atau intravena. Merupakan pilihan untuk status epileptikus
konvulsif. Bila terapi oral dimulai, pada umumnya pemberian
dosis kepada orang dewasa mulai dari 300 mg/hari, tanpa
memandang berapa berat badannya (Katzung, 2002).
(2). Karbamazepin: Tegretol®
Derivat anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan
parsial dan tonik klonik, dapat diberikan tunggal atau politerapi.
Mekanisme kerja dengan memblokade channel Na selama
pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta
mencegah potensial post tetanik (Wibowo dan Gofir, 2006).
Obat ini efektif untuk anak-anak. Dosis tepat adalah 15-25
mg/kg/hari (Katzung, 2002). Pemberian kronik karbamazepin
dapat menyebabkan stupor, koma dan depresi pernafasan,
bersamaan dengan rasa pusing vertigo, ataksia dan pandangan
kabur. Obat ini dapat merangsang lambung, mual dan muntah.
Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopenia terjadi
pada beberapa penderita. Obat ini mempunyai potensi untuk
menyebabkan toksisitas hati yang berat. Setiap penderita yang
mendapat pengobatan dengan karbamazpin harus mendapatkan
pemeriksaan fungsi hati yang berulang-ulang (Mycek, 2001).
(3). Etosuksimid
Mekanisme kerja obat ini menghambat channel Ca tipe T.
Etosuksimid mempunyai efek penting pada arus Ca2+,
menurunkan arus nilai ambang rendah (tipe T). Arus kalsium
tipe T diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu
pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang korteks yang
ritmis dari serangan absence. Penghambat arus tersebut
karenanya merupakan keja terapeutik dari etosuksimid
(Katzung, 2002). Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk
serangan absence pada anak-anak yang tidak disertai serangan
tonik-klonik atau mioklonik (Wibowo dan Gofir, 2006).
Kadar terapeutik sebesar 60-100µg/mL dapat dicapai pada
orang dewasa dengan dosis 750-1500 mg/hari, meski kadang
dibutuhkan dosis yang lebih tinggi atau lebih rendah (Katzung,
2002). Efek samping berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk
dan termenung, sakit kepala, anoreksia, dan mual. Leukopenia
jarang terjadi, namun gambaran darah, juga fungsi hati dan urin,
perlu dikontrol secara teratur (Tan dan Rahardja, 2002).
(4). Asam valproat: asam dipropilasetat, Depakene®, Depakote
®,
Ikalep®
Memiliki mekanisme aksi yang multipel. Obat ini
menghambat channel Ca tipe T, meningkatkan fungsi GABA
(hanya terlihat pada konsentrasi tinggi), meningkatkan sintesa
GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid Dekarboksilasi
(GAD), serta menghasilkan modulasi selektif pada arus Na
selama pelepasan muatan (Wibowo dan Gofir, 2006).
Asam valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk
epilepsi general idiopatik, epilepsi mioklonik juvenile, dapat
digunakan untuk serangan mioklonus tipe-tipe lain, epilepsi
fotosensitif dan sindrom lennox. Sebagai second-line pada terapi
spasme infantil. Sebagai first-line pada epilepsi fokal (Wibowo
dan Gofir, 2006).
Dosis sebesar 25-30 mg/kg/hari sesuai untuk sebagian
pasien, tetapi ada yang membutuhkan 60 mg/kg atau bahkan
lebih. Kadar terapeutik berkisar 50µg/mL sampai 100µg/mL.
Dalam uji efikasi, pemberian obat sebaiknya tidak dihentikan
hingga kadar puncak waktu pagi hari paling sedikit 80µg/mL
sudah dicapai; beberapa pasien dapat memerlukan dan
menoleransi kadar puncak yang lebih besar dari 100µg/m
(Katzung, 2002).
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan saluran
cerna yang bersifat sementara, ada kalanya juga sedasi, ataksia,
udema pergelangan kaki, dan rambut rontok (reversibel). Efek
lainnya kenaikan berat badan terutama remaja putri (Tan dan
Rahardja, 2002).
(5). Okskarbazepin : Trileptal®
Okskarbazepin adalah 10-keto analog dari OAE
karbamazepin, dikembangkan dalam upaya untuk menghindari
oto-induksi dan potensi interaksi sebagaimana terdapat pada
karbamazepin. OAE ini telah memperoleh lisensi di seluruh
dunia, lebih dari 50 negara termasuk Inggris. Di beberapa
negara okskarbamazepin telah digunakan sebagai obat pilihan
pertama (Harsono, 2007).
Okskarbazepin digunakan sebagai monoterapi atau terapi
tambahan pada serangan parsial, baik dewasa dan anak-anak,
termasuk pasien yang baru terdiagnosa (Browne dan Holmes,
2000). Mekanisme aksi dengan memblokade kanal Na,
berdampak pada konduktansi kalium dan memodulasi tegangan
tinggi sehingga mengaktivasi kanal kalsium (Shorvon, 2000).
(6). Lamotrigin : Lamictal®
Lamotrigin diindikasikan sebagai terapi tambahan
pada pasien dewasa dengan serangan parsial yang tidak
terkontrol dengan obat-obat pilihan pertama seperti fenitoin dan
karbamazepin. Lamotrigin memiliki toksisitas tergantung dosis
yang minimal dan tidak memerlukan monitoring hasil
laboratorium. Penggunaan obat ini menimbulkan efek samping
yaitu rash yang dihubungkan dengan sindrom Steven-Johnson,
terutama jika digunakan pada anak-anak. Lamotrigin tidak bisa
diberikan sebagai loading dose. Pemberian secara parenteral
tidak dimungkinkan. Ditemukan beberapa interaksi pada
penggunaan obat ini (Browne dan Holmes, 2000).
b). Efek melalui perubahan neurotransmitter
(1). Blokade aksi glutamat
(a). Felbamat
Mekanisme kerja dengan memperkuat aktivitas
GABA yakni memblokade reseptor NMDA. Memblokade
channel Na voltage-dependent, tetapi tidak berefek pada
reseptor GABA (Wibowo dan Gofir, 2006). Felbamat
terbukti efektif pada monoterapi maupun politerapi pada
serangan parsial pada pasien dengan usia di atas atau saat
14 tahun. Obat ini bermanfaat untuk sindrom Lennox-
Gastaut yang tidak berespon pada terapi lain (Wibowo
dan Gofir, 2006).
Dosis lazim berkisar antara 2000-4000mg/hari
pada orang dewasa, dan rentang kadar plasma efektif
adalah 30µg/mL sampai 100µg/mL (Katzung, 2002).
Efek samping berupa mual, muntah, gangguan
penglihatan, pusing, dan reaksi alergi di kulit serta
anemia aplastik (Tan dan Rahardja, 2002).
(b). Topiramat: Topamax®
Obat ini memiliki mekanisme aksi yang
beragam, menghambat reseptor glutamat subtipe
Alpha-amino-3-hidroxy-5methylisoxazole-4propionicacid
(AMPA), menghambat karbonik anhidrase dengan lemah,
menghambat channel Na high-voltaged-activated,
memperpendek durasi ledakan spontan dan frekuensi
potensial aksi, dan menghambat GABA dengan
mekanisme yang tidak diketahui dengan pasti. Topiramat
sebagai terapi adjuvan pada epilepsi parsial dan general
tonik-klonik sekunder, epilepsi general tonik-klonik
primer dan sindrom Lennox-Gastaut.
Dosis obat ini biasanya berkisar dari 200mg/hari
sampai 600 mg/hari, dengan sedikit pasien menoleransi
dosis lebih besar dari 1000 mg/hari (Katzung, 2002). Efek
tidak diinginkan yang berhubungan dengan dosis paling
sering terjadi dalam 4 minggu pertama meliputi rasa
kantuk, kelelahan, pusing, lambat berpikir, parestesi,
kegelisahan, dan bingung (Katzung, 2002).
(2). Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyric Acid (GABA)
pada membran pasca-sinaptik dan neuron
(a). Klonazepam: Rivotril®
Sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap resepto GABA-A. Efektif
untuk serangan mioklonik dan subkortikal mioklonus.
Obat ini juga efektif pada serangan umum dan sedikit
berperan pada serangan parsial. Obat ini digunakan
sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter.
Klonazepam juga digunakan sebagai terapi emergensi
pada status epileptikus seperti diazepam (Wibowo dan
Gofir, 2006).
Efek sedasi cukup men onjol terutama pada alwal
terapi, dosis awal seharusnya rendah. Dosis maksimal
yang dapat ditolerir berkisar antara 0,1-0,2 mg/kg, tetapi
untuk pasien tertentu diperlukan beberapa minggu untuk
mencapai dosis tersebut. Kadar terapeutik obat dalam
darah biasanya kurang dari 0,1 µg/mL (Katzung, 2002).
(b). Fenobarbital: fenobarbiton, Luminal®
Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan
berikatan pada tempat ikatan barbiturat sehingga
memperpanjang durasi pembukaan channel Cl,
mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan
menurunkan eksitabilitas glutamat. Merupakan OAE
spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial
dan serangan umum sekunder. Obat ini digunakan
sebagai second drug karena memberikan efek buruk
seperti sedasi dan penurunan daya kognitif. Namun pada
status epileptikus, obat ini masih digunakan sebagai first
drug (Wibowo dan Gofir, 2006).
Kadar terapeutik fenobarbital berkisar antara 10-
40µg/mL. Efektif untuk kejang demam. Kadar dibawah
15µg/mL tidak efektif untuk mencegah kambuhnya
kejang demam. Batas atas dari rentang terapeutik sulit
ditetapkan karena banyak pasien menoleransi kadar
kronis di atas 40 µg/mL (Katzung, 2002).
(c). Klobazam : Frisium®
Klobazam merupakan derivat 1,5-benzodazepin
yang dipasarkan sebagai transquilizer, tetapi memiliki
khasiat antikonvulsi yang sama kuatnya dengan
diazepam. Klobazam digunakan sebagai obat tambahan
pada absence yang resisten terhadap klonazepam.
Klobazam tidak dapat dikombinasikan dengan valproat
(Tjay dan Rahardja, 2010).
Klobazam merupakan terapi tambahan pada
serangan parsial dan umum, terapi intermittent, terapi
one-off profilaktik, dan non-konvulsif status epileptikus,
namun tidak tersedia di Amerika Serikat (Shorvon, 2000).
5. Efek Terapi
Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian terapi.
Salah satu cara untuk mengetahui efek terapi adalah pengurangan keparahan
kejang. Pengurangan keparahan kejang akan berdampak langsung pada fungsi
psikososial pasien (Sabaz dkk, 2001). Pengukuran outcome terapi epilepsi
yang lain dapat dinilai dari adverse reaction yang minimal dan perbaikan
kualitas hidup pasien (Gidal dan Garnett, 2005).
Penurunan jumlah kejang merupakan penilaian outcome yang paling
mudah dilakukan. Setiap kali pasien datang kontrol ke poliklinik, akan mudah
menanyakan jumlah kejang yang terjadi setelah kontrol sebelumnya, ataupun
jumlah kejang sesuai periode yang diinginkan, misalnya sebulan, seminggu,
ataupun sehari. Pasien dikatakan berespon terhadap pengobatan jika
pengurangan frekuensi kejang lebih dari 50% (Bachtera, 2007). Selain
penurunan jumlah kejang, pengukuran keparahan kejang juga merupakan
parameter efek terapi obat anti epilepsi (OAE).
Hague Seizure Severity Scale (HASS) merupakan bentuk kuesioner
yang dikembangkan oleh Carpay, dkk. (1996) untuk mengukur keparahan
kejadian kejang yang terjadi selama 3 bulan terakhir berdasarkan persepsi
orang tua. Nilai HASS berkisar antara 13 (kejang kurang parah) hingga 54
(kejang paling parah). Kuesioner HASS ditujukan untuk pasien epilepsi
pediatrik yang berumur 4-16 tahun (Carpay dkk., 1996).
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran efek terapi pasien
epilepsi pediatrik. Efek terapi pada penelitian ini dinilai dari 2 aspek, yaitu:
jumlah kejang dan keparahan kejang. Kedua aspek yang dialami pasien dinilai
dalam suatu kuesioner yang diberikan kepada subyek penelitian yang bersedia.
Recommended