View
227
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Penulis memilih judul “Diskresi Sebagai Cara Penyelesaian Sengketa dengan
Keterlibatan Investor Asing yang Melakukan Penanaman Modal di Indonesia”
mengingat alasan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,1
dalam menyelesaikan sengketa atau beda pendapat di samping dapat diajukan ke
peradilan umum (litigation), juga terbuka kemungkinan diajukan melalui alternatif
penyelesaian sengketa 2 atau the alternative dispute resolution (ADR). Sengketa atau
beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa yang didasarkan pada iktikad baik (good faith) dengan mengesampingkan
penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan negeri.3
Selanjutnya undang-undang di atas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa
alternatif adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
1 Undang Undang No. 32 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2 Ibid, Bagian Menimbang. Perlu dikemukakan di sini bahwa ADR di negara maju seperti Skotlandia UK,
adalah suatu industri tidak dikelola alakadarnya. Kajian ilmiah mendalam tentang ADR sebagai suatu
industry, lihat penelitian individual Dr. Jeferson Kameo SH.LLM yang dilakukan di Glasgow (tahun 2001
sampai-dengan 2005) penelitian tidak dipublikasikan, merujuk R. Fisher and W.Ury, Getting to Yes
(Century Business, 1982).
3 Ibid, Pasal 6 Ayat (1).
2
yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non
litigation) dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.4
Hal ini menunjukan bahwa penyelesaian sengketa alternatif mengandalkan kata sepakat
atau bersifat konsensual.
Ada enam cara penyelesaian sengketa alternatif (PSA) sebagaiman dapat dilihat
pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas. penyelesaian
sengketa alternatif itu dibatasi nomenklaturnya, serta hakikat, dan pengertiannya.5
Hanya saja, dalam pandangan Dr. Jeferson Kameo SH.LLM, merujuk penelitian
individual yang dilakukan di Glasgow (tahun 2001 sampai-dengan 2005), konsultasi
tidak termasuk dalam bentuk lain atau bentuk alternative dari penyelesaian sengketa
(other forms of dispute resolution) yang ada dalam literature Ilmu Hukum. Menurut Dr.
Kameo, merujuk kepada penelitian ke penelitian yang bersangkutan,6 berikut ini adalah
apa yang disebut sebagai other forms of dispute resolution. Bentuk pertama Negotiation,
bentuk kedua yaitu Mediation and Conciliation, bentuk ke tiga yaitu Med-Arb, bentuk
keempat yaitu Neutral Expert, bentuk kelima yaitu Excutive Tribunal, bentuk keenam
yaitu Summary Jury Trial, bentuk ketujuh Ombudsmen, dan bentuk yang terakhir the
other forms of dispute resolution adalah adjudication atau Expert Determination.
4 Ibid, Pasal 1 Angka (10).
5 Undang-undang di atas tidak mendefinisikan bentuk-bentuk penyelesaiaan sengaketa tersebut. Oleh
sebab itu Penulis merujuk hasil penelitian dalam membantu mendefinisikan bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa dalam undang-undang di atas tersebut.
6 Lihat Catatan Kaki Ke-2.
3
Adapun pengertian atau makna dari masing-masing nomenklatur cara
penyelesaian sengkata tersebut di atas akan diuraikan sebagai berikut :
Konsultasi, dimintakan kepada pihak yang dianggap mampu dengan suatu tujuan
(1) untuk mencari masukan-masukan menuju forum perundingan; (2) konsultasi tidak
untuk mencari keuntungan sepihak; dan (3) konsultasi mencari solusi praktis dalam
rangka bermasyarakat dengan pihak lain atau pihak lawan dengan berkomunikasi,
musyawarah, memulai perundingan, membuat penawaran, menyikapi sikap-sikap
keras.7 Yang hanya asal keras .perlu penulis kemukakan bahwa ada sikap keras yang
diharuskan apabila hal itu menyangkut mempertahankan kebenaran.
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama
maupun berbeda. Negosiasi merupakan saran bagi para pihak yang bersengketa untuk
mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, baik
yang tidak berwenang untuk mengambil keputusan (mediasi) maupun yang berwenang
untuk mengambil keputusan (arbitrase).8
7 Sri Harini Dwiyatmi, SH., MS., Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia Bogor, 2006, hlm. 122.
Gelar-gelar akademik dalam catatan kaki Penulis karya tulis kesarajanan ini, sengaja Penulis sertakan
secara lengkap. Hal ini dimaksudkan untuk suatu pertanggungjawaban bahwa kutipan diambil dari
mereka yang benar-benar memunyai kualifikasi akademik dalam bidang tersebut atau tidak. Kualifikasi
akademik seseorang ditandai oleh gelar yang disematkan pada namanya. Mengingat gelar telah
dicantumkan di catatan kaki maka di dalam daftar kepustakaan tidak lagi dicantumkan gelar akademik.
8 Prof. Dr. Mochamad Basarah SH., MH., Prosedur Alternative Penyelesaian Sengketa Arbitrase
Tradisional dan Modern (Online), Genta Publishing 2011, hlm. 113. yang diambil dari pendapat Dr.
Suyud Margono SH., MHum., FCIArb., dalam bukunya: ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum, hlm. 49.
4
Mediasi9 merupakan suatu penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan yang
melibatkan pihak ketiga, atau yang dikenal dengan mediator, untuk membantu para
pihak yang bersengketa, untuk mencari penyelesaian sengketa, yang mana mediator
tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan selama proses perundingan
berlangsung.10
Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral (konsiliator11
) untuk membantu pihak yang bertikai
menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak, konsiliasi
hampir menyerupai mediasi, perbedaannya terletak dalam hal bantuan konsiliator yang
bersifat pasif atau terbatas pada hal-hal yang bersifat prosedural.
Penilaian Ahli adalah upaya para pihak untuk menyelesaiakan perkaranya
dengan menunjuk seorang ahli yang independen. Ahli itu yang akan meneliti pokok
sengketa, mengajukan pemerikasaan dan pertanyaan kepada kedua belah pihak secara
9 Ketua Makamah Agung Republik Indonesia pernah memperjelas pengaturan secara khusus mengenai
mediasi, di Jakarta, pada tanggal 31 juli 2008, yaitu PERMA No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi
di pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
10
Prof. Dr. Mochamad Basarah SH., MH., Op. Cit., hlm. 115, yang juga diambil dari pendapat Dr. Suyud
Margono SH., MHum., FCIArb., dalam bukunya: ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum, hlm. 59.
11
Merujuk kepada hasil penelitian individual Jeferson Kameo Ph.D., konsiliasi sebagai satu dari other
forms of dispute resolution digunakan juga konsep mediasi. (mediation and conciliation). Kedua bentuk,
dalam hal ini : (1) mediasi; dan (2) konsiliasi sering digunakan secara bersamaan dan dianggap sinonim
atau merupakan persamaan kata. Perlu dikemukakan di sini bahwa literature yang menjadi satuan amatan
dalam penelitian Dr. Jeferson Kameo tersebut diatas adalah : Street, the Language of Alternative Dispute
Resolution [1992] ; Arbitration and Dispute Resolution Law Journal 1 hlm. 144; dirujuk pula, Fuller,
“Mediation : It’s Form and Functions [1971] California Law Review 44”.
5
terpisah atau bersama-sama, menjernihkan masalah yang disengketakan, dan pada
akhirnya memberikan pendapatnya.12
Disamping undang-undang di atas, undang-undang lain yang mengatur, terlebih
mendefinisikan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa adalah Undang Undang No 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Adapaun bentuk-
bentuk dari penyelesaian yang dikenal oleh UU tersebut adalah (1) perundingan; (2)
mediasi; (3) konsiliasi; (4) arbitrase; dan (5) litigasi. Dalam kaitan dengan itu, Undang-
Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam Pasal 136 juga mengatur
bentuk; (6) musayawarah untuk mufakat.
Koheren dengan ketentuan peaturan perundang-undangan tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga
diatur secara tegas bahwa para pihak dapat menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.13
Atau yang dalam literatur ilmu hukum dikenal dengan out of court setlement.
Dalam bidang investasi atau penanaman modal, penyelesaian sengketa yang
terjadi menurut undang-undang akan diselesaikan melalui beberapa forum yakni,
musyawarah untuk mufakat, arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa, dan
pengadilan.14
12
Merujuk kepada penelitian individual Dr. Kameo sebagaimana telah di kemukakan di atas, maka
konsep pranata Penilaian Ahli ini perlu digunakan secara berhati-hati supaya tidak dijumbuhkan dengan
neutral expert.
13
Pasal 58, 59 Ayat (1, 2, dan 3), 60, Undang Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
14
Pasal 32, Undang Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
6
Menurut undang-undang tentang Penanaman Modal, dalam hal terjadi sengketa
di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan Penanam Modal, para pihak
terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.15
Selanjutnya apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud (pada Ayat (1) tidak
tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa yang lainnya (non litigation) atau pengadilan (litigation) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.16
Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan Penanam Modal Dalam Negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan
dilakukan di pengadilan.17
Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal asing, para pihak juga dapat menyelesaikan sengketa tersebut
melalui arbitrase internasional yang harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak.18
Dalam ranah hukum perdata peluang untuk diselesaikannya sengketa melalui
alternatif penyelesaian sengketa juga sangatlah terbuka. Para pihak dengan bebas dapat
menentukan lembaga manakah yang akan berwenang menyelesaiakan sengketa.
15
Ibid, Pasal 32 Ayat (1).
16
Ibid, Pasal 32 Ayat (2).
17
Ibid, Pasal 32 Ayat (3).
18
Ibid, Pasal 32 Ayat (4).
7
Menurut Het Herziene Indonesian Reglement (HIR) Pasal 130, maupun atau sui generis
Pasal 154 Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java
En Madura (RBg) medorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian.19
Persoalannya adalah bagaimana apabila ada sengketa atau beda pendapat antara
dua pihak atau lebih, dan pihak yang bersengketa itu melibatkan investor asing yang
menanamkan modalnya di Indonesia kenyataannya masih perlu dicarikan jalan
penyelesaiannya, padahal perbedaan pendapat atau sengketa itu sudah melalui suatu
proses yang panjang, yang pantas diasumsikan telah didahului dengan berbagai usaha
dan bentuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan semua sarana-sarana di luar
pengadilan dan akhirnya masuk ke pengadilan dengan putusan-putusab yang sudah
berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde). Tetapi, justru meskipun semua cara
dan melalui pengadilan telah mencapai puncaknya, namun masih saja terdapat sengketa
atau perbedaan pendapat yang dipandang masih harus diselesaikan.20
Memang, dalam kaitannya dengan hal itu, hukum sudah paham bahwa
pemerikasaan perkara akan diakhiri dengan suatu putusan. Akan tetapi hukum juga
paham bahwa dengan dinyatakan putusan pengadilan saja belumlah selesai
persoalannya. Dengan kata lain masih saja terbuka sengketa atau beda pendapat
meskipun sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde);
19
Menurut Surat Edaran No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengendalian Tingkat Pertama
menerapakan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR maupun / sui generis 154 RBg) belum lengkap,
sehingga perlu disempurnakan. Mahakamah Agung kemudian mengintegrasikan proses mediasi kedalam
prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama (sumber Penelitian Individual Dr. Kameo).
20
Asumsi di atas dapat dibenarkan mengingat prinsip bahwa litigasi adalah suatu mekanisme
penyelesaian sengketa yang bersifat the last resort.
8
padahal, putusan itu harus dapat dilaksanakan. Hal ini merupakan sesuatu yang masuk
akal (reasonable). Dan dilakukan dengan suatu kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan
untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat
Negara.
Masuk akal, sebab, apabila orang yang dihukum melalui suatu putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk mengosongkan benda tetap tidak mau
memenuhi surat perintah hakim, hal ini sama saja dengan dengan masih ada sengketa
atau perbedaan pendapat yang perlu diselesaiakan melalui suatu mekanisme atau cara
penyelesaian sengketa. Maka hakim (ketua Pengadilan Negeri) karena diskresi 21
akan
memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya dengan bantuan panitera
pengadilan dan kalau perlu dengan meminta diskresi polisi misalnya (alat Negara), agar
barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya.
Persoalan yang muncul adalah bagaimana apabila ternyata dasar hukum
argumen untuk menolak pelakasanaan eksekusi oleh pihak tereksekusi itu ternyata
sangat mendasar dan berdasar ? Apakah dengan demikian diskresi dari ketua pengadilan
negeri dan pihak kepolisian, militer, serta muspida sebagaimana telah terjadi dalam
suatu kasus di Kabupaten Demak bukan lagi suatu diskresi tetapi menjadi perbuatan
melawan hukum atau suatu tindak pidana dari alat-alat Negara ?
21
Wewenang ini diatur dalam Pasal 36 Ayat 3 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasan
Kehakiman. “pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru
sita, dipimpin oleh ketua pengadilan”. Yang dimaksud dengan dipimpin yang digarisbawahi tersebut
dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai
dengan selesainya pelaksanaan putusan.
9
Dalam rangka menjawab rasa keingintahuan sebagaimana telah dikemukakan di
atas itulah, maka Penulis kemudian memilih untuk mengadakan suatu penelitian dengan
judul sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Adapun gambaran singkat yang bersifat pendahuluan22
tentang kasus sengketa
investasi mengingat melibatkan pihak asing dan PT. PMA serta penyelesaiannya akan
dijelaskan secara ringkas dalam latar belakang permasalahan di bawah ini.
1.2. Latar Belakang Permasalahan
Sengketa sebagaimana dimaksudkan di atas bermula dari kehendak investor
asing Penanam Modal di Indonesia dalam bentuk suatu Perseroan Terbatas Penanaman
Modal Asing (PT. PMA), tepatnya di Demak Jawa Tengah, hendak bekerjasama dengan
investor lainnya (investor dalam negeri) di wilayah yang sama.
Kerjasama kedua investor tersebut dilakukan melalui “jual-beli”23
antara (unsur-
unsur dalam PT. PMA investor asing) yang sepakat untuk “menjual” tanah-tanah dan
segala sesuatu yang tertanam di atas tanah “milik”nya kepada si investor lokal.24
Untuk lebih formalnya, niat atau kehendak dari unsur dalam PT PMA untuk
menjual tanah-tanahnya (kesepakatan) antara unsur investor asing untuk “menjual”
22
Gambaran yang lebih lengkap dan mendetail tentang sengketa investasi sebagaimana dikemukakan di
atas dapat dilihat dalam Bab III Tentang hasil penelitian.
23
Jual beli sengaja diberi tanda kutip oleh Penulis, sebab bukan jual beli. Dalam literatur ilmu hukum,
Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum,disebut dengan “sham sale” (Jeferson Kameo S.H., LLM., Ph.D.,
Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum , Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga).
24
Pernyataan kehendak untuk menjual sebagaimana dimaksudkan di atas dituangkan dalam suatu akta
notariil. Akta itu juga akan menjadi pokok kajian penelitian dan penulisan karya tulis ini.
10
tanah-tanah dan segala sesuatu yang tertanam di atas tanah-tanah (5 bidang tanah HM)-
nya itu kepada investor lokal kemudian dituangkan dalam suatu akta notaris.
Entah apa masalahnya25
, si investor lokal yang merasa telah membeli tanah dan
segala sesuatu yang berdiri dan tertanam di atas tanah-tanah itu kemudian menggunakan
akta-akta kuasa penjualan tanah-tanah serta segala yang tertanam di atasnya menjual
tanah-tanah itu kepada dirinya sendiri.
Tanah kemudian berhasil dibaliknamakan dari milik unsur dalam investasi
dalam PMA kepada si investor lokal, oleh Kantor Pertanahan Demak.
Hal menarik yang perlu dikemukakan dalam latar belakang masalah penelitian
ini adalah bahwa karena merasa tidak ada kehendak setuju satu dari tiga investor dalam
PT. PMA atas penjualan tanah-tanah dan segala sesuatu yang tertanam di atasnya, maka
satu dari investor asing yang ada di PT. PMA kemudian menggugat dua investor lainnya
dalam PT. PMA tersebut.
Pengadilan Negeri Semarang melalui putusan No.137/Pdt.G/PN.Smg
menyatakan batal demi hukum Akta yang memuat kehendak pemilik tanah untuk
menjual tanah-tanahnya kepada si investor lokal. Artinya, secara hukum, jual-beli atas
tanah-tanah dari pemilik tanah, unsur dalam PT PMA kepada investor lokal, dengan
demikian harus dianggap tidak pernah ada karena batal demi hukum.
Perjanjian yang batal demi hukum (bahasa Inggris : null and void), secara
yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara
25
Mungkin saja karena ketidaktahuan, ignorence, jika tidak mau dikatakan, suatu kebodohan, dalam
memahami hakikat dari suatu jual beli sebagai suatu kontrak.
11
orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk
meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak
dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar
hukumnya tidak ada. Hakim diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak
pernah ada suatu perjanjian atau suatu perikatan.26
Apabila hakim tidak melakukan hal
itu maka hakim melawan hukum. Mana ada orang yang namanya hakim kok melawana
hukum ? tidak ada itu
Hal menarik adalah meskipun melalui putusan 137/Pdt.G/PN.Smg “jual-beli”
yang bermula dari maksud bekerjasama saja antara PT PMA dengan Investor lokal itu
telah dinyatakan batal demi hukum, namun karena sesuatu dan lain hal, si investor PMA
yang telah “dimenangkan” dalam putusan 137/Pdt.G/PN.Smg tidak segera meminta
kepada Kantor Pertanahan Demak untuk mencoret sertifikat yang telah diterbitkan atas
nama investor lokal, tetapi, justru PT PMA mengajukan lagi gugatan kepada investor
lokal di PN Semarang dengan nomor perkara 213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto
214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008.
Akhir dari proses peradilan yang sangat mahal dan panjang tersebut di atas
mulai dari perkara nomor 213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg
Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008 adalah bahwa pengadilan justru
26
Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D., Pendapat Hukum : Amicus Curiae, hlm 2-7, yang bersangkutan
adalah dosen senior dan peneliti. Yang bersangkutan diminta melakukan tugas pengabdian masyarakat
dan banyak mengetahui persoalan investasi asing tersebut di atas. Amicus Curiae, Maxim Latin, dalam
bahasa Inggris berarti a friend of the court atau sobat terdekat pengadilan, juga abdi Hukum. Istilah itu
dipakai untuk mengidentifikasi orang terdekat dari penonton (bystander), yang tanpa kepentingan apapun
apa lagi mencari sesuap nasi, dengan keahliannya yang sangat tinggi, memberi saran (suggestion) tentang
fakta maupun hukum kepada pengadilan atau mengoreksi kesalahan (lihat penelitian Dr. Jeferson Kameo,
tidak dipublikasikan).
12
menguatkan adanya jual-beli hak atas tanah antara unsur-unsur dalam PT PMA dengan
investor lokal, sebagaimana telah dikemukanan diatas yang sebelumnya, telah
dinyatakan batal demi hukum dalam putusan 137/Pdt.G/PN.Smg.
Dengan kata lain, sebagai hasil dari proses peradilan yang telah disebutkan di
atas, ada dua putusan pengadilan yang saling bertentangan. Putusan yang pertama
mengesahkan jual-beli batal demi hukum, namun putusan belakangan menyatakan
bahwa jual-beli sah. Sungguh aneh tetapi nyata, hal yang demikian itu terjadi di dalam
negara hukum republik indonesia ini.
Sengketa atau perbedaan pendapat memuncak. Banyak eksekuasi gagal
dilaksanakan dan akhirnya pada tanggal 20 Februari 2012 ketua PN Demak, karena
“diskresinya”, 27
dengan merujuk pada hasil putusan yang dikemukakan di atas,28
pihak
Kepolisian Resor Demak, Brimop, Satpol PP, dan unsur Militer lain di Demak, diminta
untuk membantu melaksanakan eksekusi. Pihak Kepolisian Demak dengan
diskresinya29
yang dimintai bantuan oleh Ketua Pengadilan Negeri Demak, untuk
membantu pelaksanaan putusan tersebut, berhasil melaksanakan eksekusi, sebagaimana
diberitakan oleh media massa yaitu Koran-koran dan Televisi.
27
Mengenai konsep diskresi; Lihat, Khrisna D. Darumurti, SH., MH., dalam bukunya Kekuasaan
Diskresi Pemerintah.
28
Putusan Nomor 468PK/Pdt/2008, Juncto 630K/Pdt/2007, Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg, Juncto
213/Pdt.G/2005/PN.Smg.
29
Pasal 15 Ayat (1) Huruf (i), Undang Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, menegaskan bahwa POLRI berwenang memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan
pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; wewenang tersebut
dilaksanakan berdasarkan permintaan instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat.
13
Persoalan atau legal issue yang melatarbelakangi penelitian ini adalah, pihak
kepolisian Resort Demak, sudah barang tentu di bawah pemantauan Polda Jawa Tengah
yang dimintai bantuan oleh Ketua Pengadilan Negeri Demak untuk memberikan
bantuan pengamanan dalam pelaksanaan putusan Pengadilan No.
213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto
468PK/Pdt/2008, pada saat yang bersamaan juga dimintai bantuannya untuk melayani
masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Ayat (1) huruf i yaitu : “melindungi
keselamatan harta benda, masyarakat termasuk memberikan bantuan dan pertolongan
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Hal ini berarti bahwa pihak Kepolisian Demak harus memenuhi permohonan
pihak pemenang perkara diperkara No. 213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto
214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008 yang
disampaikan melalui Pengadilan Negeri Demak yang harus melaksanakan suatu Putusan
Pengadilan yang cacat hukum (karena telah dinyatakan batal demi hukum oleh putusan
yang berkekuatan hukum tetap; Nomor 137/Pdt.G/PN.Smg) dan pada saat yang
bersamaan harus juga memperhatikan permohonan masyarakat (dalam hal ini Investor
Asing PT. PMA) yang juga mepunyai harta benda yang harus dilindungi oleh pihak
Kepolisian Demak di bawah pemantauan Kapolda Jawa Tengah yang dibenarkan oleh
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yaitu putusan nomor 137/Pdt.G/PN.Smg.
Selama ini, di bawah diskresi 2 (dua) Kapolda Jawa Tengah, (1) Alex Bambang
dan (2) Edward Aritonang, dengan menggunakan diskresi, tidak pernah ada
pengamanan eksekusi atau pelaksanaan Putusan Nomor 213/Pdt.G/2005/PN.Smg
14
Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto 468PK/Pdt/2008. Tetapi
setelah datangnya Kapolda 30
setelah Edward Aritonang, putusan pengadilan yang sudah
ada “dikubur”, kemudian dibangkitkan oleh Kapolda melalui Kapolres Demak. Apakah
hal ini bisa disebut bahwa mereka, para aparat itu menggunakan diskresi sebagai cara
penyelesaian sengketa ?
Perlu dikemukakan di sini bahwa sebagai organ negara, pemerintah bertindak
untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat
bertindak baik dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan
(bestuuren).31
Artinya dalam melaksanakan tugasnya, pada dasarnya pemerintah tidak
hanya melaksanakan undang-undang tetapi juga melakukan perbuatan-perbuatan atau
tindakan-tindakan yang belum diatur secara tegas oleh undang-undang.32
Tetapi
menurut hukum pembentukan suatu norma-norma hukum dalam masyarakat itu tidak
hanya dilakukan oleh pembuat undang-undang (kekuasaan legislatif) dan badan-badan
peradilan saja, tetapi juga oleh aparat pemerintah dalam hal ini Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.33
30
Didiek Sutomo Triwidodo (Jendral Polisi bintang dua).
31
Iskatrinah SH., Mhum., Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang DepHan 2004.
32
Prof, Dr. Phillipus M. Hadjon SH., dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 138.
33
Dr. Marcus Lukman SH., MH., Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan
Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah Serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi
Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Bandung : Universitas Padjajaran, 1996, hlm. 205.
15
Kekuasaan diskresi sebagai kekuasaan pemerintah tersebut berpotensi untuk
terjadi tindakan diskresi oleh pemerintah, dalam situasi-kondisi dimana hukum ceteris
paribus (semua variable dalam keadaan sama) berlaku, maka asas legalitas yang
berlaku dan kekuasaan premerintah dibawah asas legalitas adalah kekuasaan terikat.
Adapun dalam situasi kondisi abnormal dimana hukum citeris paribus tidak berlaku,
maka demi hukum asas legalitas tidak berlaku dan kekuasaan pemerintah dalam situasi
demikian kekuasaan bebas atau diskresi.34
Dalam hal pemerintah menghadapi suatu masalah, tetapi tidak ada aturan yang
tertulis, maka karena tuntutan hukum yang selalu tertulis, pemerintah harus melihat
asas-asas yang dapat mendukung atau menopang suatu tindakan yang harus dilakukan
sebelum terlambat dalam hal menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu instruksi
hukum yang dapat mendukung atau menopang pemerintah adalah diskresi atau freies
ermessen atau dikenal dengan istilah discretionary power. Hal ini sangat dikenal di
lingkungan undang-undang Kepolisisan Republik Indonesia.
Bahwa freies ermessen atau juga dikenal dengan istilah discretionary power
adalah kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-
tugas untuk mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga
negara;35
selain itu Nata Saputra Freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang
diberikan kepada alat Administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya
34
Hal ini diambil juga dari pendapat Carl Schmitt, lihat Khrisna D. Darumurti, SH., MH., Op. Cit., Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 6-8.
35
Ridwan HR, SH., MHum., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 51.
16
memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu
tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum36
. Tetapi untuk memperkuat
perlindungan hukum maka pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara yang selalu
menghendaki efektifitas harus memperhatikan Asas-Asas Pemerintahan yang Baik; 37
dalam hal ini menurut penulis keputusan tersebut juga bisa dilakukan oleh alat negara.
Diskresi dalam undang-undang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan
bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisisan Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.38
Sementara itu, menurut penjelasan Pasal 18 Ayat (1) yang dimaksud dengan
“bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan
oleh Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus
mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk
kepentingan umum.
Dengan bersandar kepada freies ermessen, Administrasi Negara dalam hal ini
termasuk polisi negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai
tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan
kesejahteraan umum. Untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum.
Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak,
36
Nata Saputra SH., Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm. 15.
37
Prof, Dr. Philllipus M. Hadjon SH., dkk, Op. Cit., hlm. 270-278.
38
Pasal 18 Ayat (1), Undang Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
17
Administrasi Negara juga diberikan kewenangan untuk membuat instrumen
hukumnya,39
Beranjak dari pendapat di atas maka menurut Penulis, hal tersebut juga bisa
dilakukan oleh Kepolisian, tentunya dengan bersandar kepada diskresi, artinya dalam
hal ini pihak Kepolisian memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai
tindakan dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan
kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan menurut hukum. Artinya,
bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak, pihak Kepolisian
juga diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat.
diskresi ini merupakan refleksi pengakuan bahwa konsep penegakan hukum
secara total (total enforcement) dan penegakan hukum secara penuh (full enforcement)
tidak mungkin dilaksanakan, sehingga penegakan hukum yang aktual (actual
enforcement) yang terjadi. Hikmah yang terjadi adalah, bahwa diskresi yang menjadi
sumber pembaharuan hukum apabila direkam dan dipantau dengan baik dan
sistematis.40
Maka dalam hal ini menurut penulis diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa
dapat dijadikan penelitian dalam bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non
litigation) dalam kasus PMA seperti yang dikemukakan di atas. Atas dasar undang-
undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia paragraf ke-
39
Prof. Dr. Sukamto Satoto SH., MH., Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik Magister
Ilmu Hukum, Universitas Jambi, 2011, hlm. 1.
40
Muladi, SH., Mhum., Kapita Selekte Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponogoro Semarang,
1995, hlm 46-47.
18
9 serta penjelasan umum, menegaskan bahwasanya setiap Pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi yaitu kewenangan untuk bertindak
demi kepentingan umum berdasarkan penilaiannya sendiri.41
Bagaimanakah dikresi atau freies ermessen atau discretionary power tersebut
dalam peristiwa sengketa atau kasus yang telah di kemukakan di atas ? Hal inilah yang
telah menjadi latar belakang, mengapa Penulis memilih untuk mengadakan penelitian,
dan pada akhirnya menulis skripsi kesarjanaan dengan judul sebagaimana dikemukakan
di atas.
1.3. Rumusan Masalah
Atas dasar uraian latar belakang permasalahan sebagaimana dikemukakan
diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
Bagaimana diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat
dengan keterlibatan Investor Asing dalam kegiatan penanaman Modal di
Indonesia ?
1.4. Tujuan Penelitian
Ingin mengetahui Bagaimana diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa atau
perbedaan pendapat dengan keterlibatan Investor Asing dalam kegiatan penanaman
Modal (investasi) di Indonesia
41
Lihat Catatan Kaki 35 dan Paragraf Berikutnya.
19
1.5. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum. Bermaksud mencari dan menetukan
bagaimana kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum yang mengatur
diskresi sebagai cara penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat dengan
keterlibatan Investor Asing dalam kegiatan Penanaman Modal Indonesia.
Adapun satuan amatan dalam penelitian ini adalah sejumlah peraturan
perundang-undangan, beberapa keputusan pengadilan dan dokumen terkait adapun
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah sebagai berikut : (1) Undang
Undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (2) Undang Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Makamah Agung; (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; (4) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisisan Negara Republik Indonesia. (5) Kitab Undang Undang Hukum Acara
Perdata (Het Herziene Indonesian Reglement (HIR); dan (6) Kitab Undang Hukum
Acara Perdata untuk Luar Wilayah Jawa dan Madura, Reglement Tot Regeling Van Het
Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBg).
Sedangkan putusan-putusan pengadilan yang juga menjadi satuan amatan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Putusan Perkara Nomor
213/Pdt.G/2005/PN.Smg Juncto 214/Pdt/2006/PN.Smg Juncto 630K/Pdt/2007 Juncto
468PK/Pdt/2008; (2) Putusan Perkara No. 137/Pdt.G/PN.Smg. (4) PERMA No. 1 tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
20
dan (3) Surat Edaran Mahakamah Agung, No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengendalian Tingkat Pertama.
Satuan analisis penelitian ini yaitu bagaimana diskresi sebagai cara penyelesaian
sengketa atau perbedaan pendapat dengan keterlibatan Investor Asing dalam kegiatan
Penanaman modal (investasi) di Indonesia.
Recommended