BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95589/potongan/S2... · Pada teori-teori...

Preview:

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab I mengemukakan latar belakang dari dibuatnya penelitian ini. Bab ini juga

membahas mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan yang terakhir ialah sistematika

penyajian.

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan suatu media untuk menuangkan ataupun menyampaikan

pikiran-pikiran manusia satu ke manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan yang

langsung dapat berkomunikasi dengan induknya dalam waktu yang relatif singkat,

manusia tidak dapat berbahasa ketika ia dilahirkan. Oleh karenanya, bahasa mestilah

diperoleh. Bagaimana bahasa diperoleh menimbulkan suatu polemik. Para

psikolinguis kemudian mencoba memecahkan bagaimana bahasa diperoleh. Kaum

behavioris yang diwakilkan oleh B. F. Skinner mengatakan bahwa proses

pemerolehan bahasa pertama dikendalikan oleh rangsangan di luar diri anak atau

dengan kata lain bergantung kepada lingkungan anak (Chaer, 2009: 222). Teori

behaviorisme berpendapat bahwa sesuatu yang berkaitan dengan apa yang terdapat di

dalam diri anak tidak memiliki pengaruh terhadap proses pemerolehan bahasa.

Bertentangan dengan kaum behavioris, kaum Nativis yang diwakili oleh Noam

Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak memiliki pengaruh dalam

1

2

pemerolehan bahasa. Mereka berpendapat bahwa seorang anak telah diberikan bekal,

kapasitas atau potensi di dalam genetis yang mereka sebut sebagai LAD (Language

Acquisition Device) (Pateda, 1990: 47). Mereka juga meyakini bahwa potensi-

potensi tersebut akan berkembang ketika saatnya telah tiba. Dengan demikian, kaum

ini berpandangan bahwa lingkungan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap

penguasaan bahasa. Kaum yang terakhir ialah kaum kognitif. Jean Piaget sebagai

tokoh kognitifisme menyatakan bahwa manusia itu bukanlah ciri alamiah yang

terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari

kematangan kognitif (Chaer, 2009: 223). Kaum ini berpandangan bahwa pemerolehan

bahasa dipengaruhi oleh kematangan kognitif anak. Kaum ini juga mempercayai akan

adanya pengaruh lingkungan terhadap pemerolehan bahasa.

Dari beberapa teori yang telah dikemukakan, terdapat beberapa faktor yang

dipertimbangkan di dalam sebuah proses pemerolehan bahasa pertama oleh anak.

Faktor-faktor tersebut meliputi faktor lingkungan, LAD, dan kematangan kognitif.

Dari ketiga faktor tersebut, penelitian ini mencoba untuk mengetahui apakah

perlakuan lingkungan dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa anak atau tidak.

Bahasa yang akan dibahas pada penelitian ini akan fokus terhadap salah satu elemen

bahasa yaitu fonologi. Dalam memperoleh bahasa, seorang anak dapat menguasai

bahasa pertamanya dengan waktu yang relatif singkat (Steinberg, Nagata, & Aline,

2001: 3). Dalam memperoleh bahasa, setiap anak memiliki jangka waktu yang

berbeda-beda dalam menguasainya. Beberapa anak dapat mengalami keterlambatan

3

dalam menguasai bahasa sedangkan beberapa anak lainnya dapat memperoleh bahasa

lebih cepat.

Cepat atau lambatnya pemerolehan bahasa pada anak merupakan sebuah

permasalahan yang sangat kompleks. Faktor-faktor dari dalam maupun dari luar si

anak juga sangat menentukan. Salah satu faktor yang menentukan di luar diri anak

ialah faktor perlakuan lingkungan. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh

perlakuan lingkungan berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa pada anak, maka

diperlukan sebuah penelitian yang menitikberatkan pada pemerolehan bahasa dan

perlakuan lingkungan anak. Ketika seorang bayi dilahirkan, pada saat itulah ia mulai

berinteraksi dengan lingkungannya. Pada saat itu pula, bayi telah memulai tahapan-

tahapan pemerolehan bahasanya. Dalam memproduksi bahasa, hal yang pertama kali

diperoleh ialah produksi fonologi. Oleh karenanya tulisan ini akan menitik beratkan

pada pemerolehan fonologi anak usia 0-20 bulan. Bagaimana perkembangan fonologi

anak usia 0-20 bulan, bagaimana ia mengembangkan konsep-konsep kebahasaan

yang masih terbatas di dalam komunikasinya, bagaimana kecepatan serta urutan

pemerolehan fonologisnya, serta sejauh mana perlakuan lingkungan dapat

mempengaruhi perkembangan fonologi anak merupakan hal-hal yang akan

dipecahkan di dalam penelitian ini.

Perlu diketahui lebih awal bahwa subjek penelitian di dalam penelitian ini

merupakan dua orang anak laki-laki bernama Karim dan Vintorez. Kedua anak ini

memiliki latar belakang keluarga yang berbeda namun berada pada lingkungan

tempat tinggal yang sama. Mereka merupakan anak pertama dengan berat badan

4

ketika dilahirkan ialah sekitar 3 kg. Meski memiliki jenis kelamin, urutan anak, dan

lingkungan tempat tinggal yang sama, namun kedua anak tersebut memiliki perlakuan

lingkungan berbahasa yang berbeda. Keluarga Karim merupakan keluarga dengan

basic pendidikan bahasa yang juga sangat aktif memberikan masukan-masukan

bahasa sejak Karim dilahirkan. Sebagai tambahan, Karim merupakan keponakan dari

penulis. Lain halnya dengan Karim, Vintorez memiliki keluarga yang tidak terlalu

memperhatikan bahasa sehingga sangat kurang dalam memberikan masukan-masukan

bahasa sejak ia dilahirkan hingga berusia 20 bulan.

Pada saat penelitian ini dimulai (28 Februari 2014), Karim baru saja

dilahirkan sedangkan Vintorez masih berada di dalam kandungan ibunya.

Pengambilan-pengambilan video maupun catatan telah dilakukan untuk terus

mengamati perkembangan Karim. Pada saat Vintorez lahir, hal yang sama pun

dilakukan. Data-data tersebut kemudian dibandingkan. Dari data yang diperoleh, pada

saat dilahirkan, keduanya memiliki karakteristik yang sama yang juga dimiliki oleh

bayi lainnya yaitu hanya berupa tangisan yang terdiri dari bunyi-bunyi vokal [ɛ], [a]

dan konsonan frikatif [h] serta kemampuan kinesik dan komprehensinya yang belum

berkembang. Kesamaan pemerolehan bunyi juga masih terlihat saat usia mereka 6

bulan. Hingga usia 6 bulan, fonem vokal yang telah diperoleh oleh Karim maupun

Vintorez ialah bunyi-bunyi vokal [ɛ], [ə], [a], dan [e]. Produksi fonem konsonannya

pun antara Karim dan Vintorez relatif sama. Karim dan Vintorez pada usia 0-6 bulan

telah dapat memproduksi konsonan [h], [ɣ], dan [ŋ]. Perbedaan pemerolehan fonologi

5

baru terlihat ketika Karim dan Vintorez telah sampai pada tahap celotehan. Karim

terlihat lebih banyak berceloteh dari Vintorez. Pada tahap ini, dari usia 6-9 bulan,

produksi bunyi yang terdengar pada celotehannya pun bertambah. Pada Karim, bunyi

fonem-fonem konsonan dan vokal yang bertambah ialah bunyi-bunyi [u], [x], [d],

[m], dan [t] sedangkan bunyi yang bertambah pada Vintorez ialah bunyi [x] dan [i].

Pada usia 8 bulan, Karim telah dapat menunjukkan referen yang diucapkan oleh

orang dewasa dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada dialog antara KM (Karim) dan P

(Peneliti).

Dialog 1

P : Im, ada pesawat, mana pesawatnya ya, im?

KM : [u:] (menunjuk pada pesawat yang lewat)

Ia juga telah dapat menunjuk pada referen-referen lain seperti bunga, bulan, cicak,

burung, dsb. dengan mengeluarkan bunyi [u:] saat menunjuk. Pada umur yang sama,

peneliti mencoba perlakuan yang sama pada VT (Vintorez) dengan melakukan

sebuah dialog ringan.

Dialog 2

P : Vinto, ada pesawat, pesawatnya di mana ya, Vinto?

VT : (memandang peneliti lalu kemudian memandang ke arah lain)

6

Peneliti juga menanyakan benda-benda lain yang berada dilingkungannya namun ia

tetap tidak berhasil menunjuk pada referen yang dimaksud. Vintorez juga tidak

mengeluarkan bunyi saat ditanya.

Pada saat usia mereka 20 bulan, Karim telah dapat melafalkan berbagai

macam kata seperti [ʃampay] <sampai>, [ɔwaŋ] <orang>, [ʃawah] <sawah>, dan

berbagai macam kata di sekitarnya. Ia juga telah dapat mengucapkan lebih dari dua

kata seperti [wowowobɔt] <row row row your boat>, [amih kəntut apih juga] <amih

kentuh apih juga>, dan [gaboeh matiʔin aja yaʔ] <gak boleh, dimatiin saja ya>. Pada

usia yang sama, Vintorez baru dapat mengucapkan ucapan satu kata seperti [əndaʔ]

<bunda>, [əmɔh] <emoh (tidak mau)>, [əkan] <ikan>, dan [ayah] <ayah>.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka didapatkan beberapa

masalah yang menarik untuk dikaji. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah kemampuan fonologi Karim dan Vintorez pada usia 0-20

bulan?

2. Bagaimanakah perbandingan perkembangan kemampuan fonologi Karim

dan Vintorez pada usia 0-20 bulan?

3. Bagaimanakah pengaruh perlakuan lingkungan bahasa pada kemampuan

fonologi Karim dan Vintorez pada usia 0-20 bulan?

7

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang ingin dicapai ialah:

1. Mendeskripsikan kemampuan fonologi Karim dan Vintorez di usia 0-20

bulan.

2. Mendeskripsikan perbandingan kemampuan fonologi pada Karim dan

Vintorez di usia 0-20 bulan.

3. Mendeskripsikan bagaimana pengaruh perlakuan lingkungan bahasa terhadap

kemampuan fonologi Karim dan Vintorez di usia 0-20 bulan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dharapkan mampu memberikan manfaat, baik itu manfaat

secara teoritis maupun manfaat secara praktis. Adapun manfaat teoritis dan praktis

tersebut adalah sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Pada teori-teori pemerolehan fonologi seperti teori struktural universal,

teori generatif struktural universal, teori proses fonologi alamiah, dan teori

kontras dan proses keempatnya saling memperdebatkan ada tidaknya pengaruh

lingkungan terhadap pemerolehan fonologi bahasa anak. Di dalam penelitian ini

membahas mengenai perbandingan antara pengaruh lingkungan dan

pemerolehan fonologi. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan

8

memberikan manfaat teoritis berupa deskripsi mengenai pengaruh perlakuan

lingkungan pada pemerolehan fonologi anak.

1.4.2 Manfaat Praktis

Pada sisi lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaatnya

secara praktis, baik itu pada dunia pendidikan maupun pada masyarakat. Di

dalam dunia pendidikan, hasil dari penelitian ini yang menyangkut bagaimana

pemerolehan bahasa anak dapat menjadi acuan dalam mengajarkan bahasa

kedua untuk anak. Guru dapat mengajarkan kata-kata yang sekiranya memiliki

bunyi-bunyi yang telah dikuasai anak sehingga penyerapan anak terhadap

kosakata tersebut akan lebih cepat. Selain itu, peneltian ini juga diharapkan

mampu memotivasi dan menginspirasi dunia pendidikan untuk menciptakan

lingkungan ideal yang mampu menunjang perkembangan bahasa anak.

Di sisi lain, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat

untuk masyarakat dalam memberikan peran yang baik dalam memberikan

lingkungan yang baik bagi anak untuk dapat berkomunikasi dengan baik di

masa pemerolehan bahasa. Jika anak mampu menguasai dan memahami bahasa

sejak kecil, maka komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak akan

semakin baik sehingga anak tidak akan terus menangis untuk mengutarakan

keinginannya dan orang tua pun tidak perlu bersusah payah dalam memahami

anaknya.

9

1.5 Tinjauan Pustaka

Di Indonesia, penelitian mengenai pemerolehan bahasa yang cukup terkenal

adalah penelitian yang dilakukan oleh Dardjowidjojo (2000) yang kemudian telah

dibukukan dengan judul buku ECHA: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia.

Pada penelitian tersebut, Dardjowidjojo (2000) meneliti pemeroleh bahasa cucunya

yang bernama Echa secara longitudinal sejak tahun pertama Echa dilahirkan hingga

usianya menginjak lima tahun. Penelitian tersebut membahas pemerolehan bahasa

Echa secara lengkap mulai dari aspek fonetik hingga pragmatik sejak Echa berusia 0-

5 tahun. Kesimpulan dari hasil analisis yang dilakukan oleh Dardjowidjojo adalah

bahwa derajat kepatuhan terhadap universalisme bahasa sangat tinggi pada tataran

elemen fonologi, tetapi menurun pada komponen sintaksis. Derajat keuniversalan ini

lebih menurun lagi pada komponen leksikon, baik macam kata, urutan, dan jumlah

pemerolehan kata yang diperoleh Echa pada rentang waktu lima tahun. Dari tataran

pragmatis, khususnya pada ragam bahasa, ragam bahasa yang diperoleh Echa

cenderung bersifat informal.

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada Echa juga dapat dilihat

perkembangan fonem-fonem yang telah dikuasai Echa dari usia 0-20 bulan. Dari usia

0-12 bulan, Echa telah dapat memproduksi bunyi-bunyi vokal [i], [e], [ə], [ɛ], [a], [o],

dan [u] sedangkan bunyi-bunyi konsonan yang telah dihasilkan ialah [p], [t], [ʔ],

[b/β], [d/ð], [g/ɠ], [ɣ], [h], [m], [ŋ], [y], [w], dan [ɹ]. Pada usia 24 bulan, Echa telah

dapat menguasai semua fonem vokal bahasa Indonesia sedangan fonem konsonan

10

yang telah dikuasai Echa ialah [p], [b], [t], [d], [k*], [g*], [ʔ], [s*], [h], [m], [n], [ŋ],

[w], [l], dan [y]. Bunyi fonem yang diberi tanda [*] merupakan fonem-fonem yang

belum muncul atau baru muncul secara terbatas. Namun demikian, hasil dari

pemerolehan fonologi pada Echa tidak dapat dijadikan perbandingan dalam

menentukan cepat atau tidaknya pemerolehan bahasa Karim ataupun Vintorez. Hal ini

dikarenakan perbedaan gender antara Echa dan Karim-Vintorez. Echa yang

merupakan seorang perempuan akan dapat memiliki perkembangan berbahasa yang

lebih cepat daripada Karim-Vintorez yang merupakan anak laki-laki. Chaer (2009:

134) mengatakan bahwa anak-anak perempuan akan lebih cepat pandai berbicara,

membaca, dan jarang mengalami gangguan belajar jika diandingkan dengan anak

laki-laki.

Lain halnya dengan penelitian Dardjowidjojo, penelitian Alamsyah, dkk. (2011)

yang terdapat dalam jurnal Malay Language Journal Education lebih menekankan

pada pemilihan bahasa pada anak yang juga merupakan permasalah dalam penelitian

yang akan dikaji ini. Alamsyah, dkk. mengambil judul Pemilihan Bahasa Indonesia

Sebagai Bahasa Pertama Anak dalam Keluarga Masyarakat Aceh Penutur Bahasa

Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian tersebut meneliti tentang faktor-

faktor pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam keluarga Aceh

penutur bahasa Aceh. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Alamsyah, dkk.

menunjukkan bahwa anak usia 2-3 tahun yang orang tuanya memilih bahasa

Indonesia menjadi bahasa pertama mereka akan merasa bingung ketika orang tuanya

11

menggunakan bahasa Indonesia kepada mereka sedangkan tetangganya menyapa si

anak dengan menggunakan bahasa Aceh. Terkait dengan pemilihan bahasa Indonesia

sebagai bahasa pertama yang digunakan dalam berinteraksi dengan anak, terdapat

banyak faktor yang mempengaruhinya yaitu; lingkungan tempat tinggal, simbol

kemajuan dan kemapanan, ada prestise tersendiri, agar anak dapat lebih mudah

mengikuti pelajaran di sekolah, anak mudah memahami bacaan, dan bahasa indonesia

diyakini dapat menetralisasi perbedaan dialek bahasa Aceh antara suami istri yang

berasal dari dialek bahasa aceh yang berbeda.

Penelitian lain dilakukan oleh Evans (2004) yang membahas hubungan antara

pendapatan keluarga dan perkembangan bahasa anak. Hasil dari penelitian tersebut

menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan pendapatan rendah

memiliki perkembangan bahasa yang relative terlambat. Penelitian yang dilakukan

oleh Lewis & Wilson (1972) dan Hoff- Ginsberg (1991) yang juga meneliti mengenai

pengaruh status sosial terhadap kemampuan bahasa anak juga menunjukkan hasil

yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Evans (2004). Selanjutnya

penelitian yang dilakukan oleh Tulkin dan Kagan (1972) menunjukkan bahwa ibu

dari kalangan menengah ke atas cenderung memberikan interaksi verbal yang lebih

baik daripada ibu dari kalangan menengah ke bawah. Daneshvar dan Sadighi (2014)

melakukan penelitian pada anak-anak Iran yang memiliki orang tua dari berbagai

jenjang pendidikan. Penemuannya memberikan hasil bahwa anak-anak dari orang tua

dengan jenjang pendidikan di atas diploma memiliki perkembangan bahasa yang

lebih tinggi dari anak-anak yang orang tuanya memiliki jenjang pendidikan di bawah

12

diploma. Bornstein, Leach & Haynes (2004) dan Hoff-Ginsberg (1998) mempelajari

peranan urutan kelahiran anak terhadap perkembangan bahasa anak. Hasil

penelitiannya menunjukkan hasil yang positif dimana bayi yang lahir terlebih dahulu

akan memperoleh kosakata pada umur yang lebih awal daripada bayi-bayi yang lahir

kemudian.

Dari paparan di atas, dapat dilihat bahwa penelitian-penelitian sebelumnya ada

yang meneliti mengenai pemerolehan aspek linguistiknya saja tanpa memperhatikan

latar belakang anak dan adapula penelitian yang berfokus pada pengaruh latar

belakang anak pada kemampuan bahasanya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya,

penelitian ini mengkaji pemerolehan fonologis anak dengan memperbandingkan hasil

pemerolehan fonologi pada perlakuan lingkungan bahasanya. Dengan demikian, hasil

dari penelitian ini diharapkan dapat memberi khasanah baru di bidang psikolinguistik.

1.6 Landasan Teori

Pada landasan teori, hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini diuraikan

sebagai rujukan atau landasan yang dapat membangun dan memperkuat analisis data

maupun hasil dari penelitian. Dikarenakan penelitian ini mengkaji mengenai

kemampuan fonologi anak usia 0-20 bulan serta pengaruh perlakuan lingkungan

bahasa pada kemampuan fonologinya, maka hal-hal yang berkaitan mengenai

bagaimana sejatinya konsep keuniversalan pemerolehan bahasa pertama, teori-teori

perkembangan bahasa, fonologi bahasa Indonesia, serta konsep-konsep yang

membahas mengenai perlakuan lingkungan bahasa akan dibahas pada bagian ini.

13

1.6.1 Tahap-tahap pemerolehan bahasa

Menurut Dardjowidjojo (2005), pemerolehan bahasa anak secara

umum dapat dilihat dari tahapan-tahapannya. Tahap-tahap pemerolehan bahasa

anak adalah sebagai berikut,

1) cooing atau mendekut. pada tahap ini produksi bunyi yang dilakukan oleh

bayi ialah seperti bunyi mirip vokal atau konsonan. Tahap ini terjadi pada

usia sekitar 2-5 bulan,

2) babbling atau celoteh. bayi mulai berceloteh ketika mencapai usia sekitar

6-8 bulan. pada tahap ini bayi sudah mulai mengeluarkan bunyi berupa

suku kata namun bunyi tersebut belumlah memiliki makna,

3) one-word utterances atau tahap ujaran satu kata. tahap ini terjadi ketika

usia anak sekitar 9-18 bulan,

4) two-word utterances atau tahap ujaran dua kata. tahap ini terjadi saat usia

anak 18-24 bulan,

5) tahap telegrafis. disebut tahap telegrafis dikarenakan pada usia ini anak

telah mampu memproduksi kalimat sederhana. tahap ini terjadi ketika anak

telah berusia 24-30 bulan, dan

6) tahap multikata lanjut yang merupakan tahap dimana anak telah mampu

memproduksi kalimat secara gramatikal. tahap ini terjadi pada usia di atas

30 bulan.

Pada usia 0-20 bulan, anak baru memperoleh bahasa yang diberikan oleh

lingkungannya. Pada tahap tersebut merupakan tahap dimana anak baru mulai

14

berkembang baik itu motorik, komprehensi, maupun kebahasaannya. Pada saat

dilahirkan, seorang anak hanya dapat menangis, mendekut, atau melakukan

gerakan-gerakan reflek. Bunyi-bunyi yang dikeluarkan kemudian berkembang

dari hanya tangisan atau dekutan bertambah menjadi adanya bunyi-bunyi

ocehan. Pada usia 20 bulan, secara umum anak telah dapat berbicara satu

hingga dua kata. Pada usia 20 bulan, anak juga telah dapat menunjukkan serta

mengidentifikasi gambar atau objek tertentu. Mereka juga akan dapat

melakukan suatu permintaan yang sederhana. Selain itu, mereka juga telah

mengenal apa yang mereka inginkan atau apa yang tidak mereka inginkan.

Dalam berbicara dengan anak, orang yang dekat secara emosional dengan

anak akan menggunakan bahasa yang disebut dengan motherese. Dardjowidjojo

menerjemahkan motherese sebagai bahasa sang ibu. Hal ini berbeda dengan

bahasa Ibu (mother tongue) atau bahasa pertama anak. Motherese merupakan

bahasa ibu yang struktur atau cara pengucapannya lebih disederhanakan dan

digunakan untuk berinteraksi dengan anak. Steinberg, Nagata, dan Aline (2001)

dan Pinker (1994) mengatakan bahwa motherese merupakan ujaran bahasa

yang diterima ketika mereka masih kanak-kanak. Pinker (1994) menjelaskan

bahwa ciri dari motherese ialah pengucapannya yang pelan, pendek, sederhana,

dan baku secara grammatika.

Pinker (1994) mengatakan bahwa perkembangan bahasa akan berubah

dalam dua arah, yaitu berkembangnya pemerolehan kosa kata yang sangat pesat

dan produksi sintaktik sederhana (dua kata) telah dimulai pada usia 18 bulan.

15

Pada tahap ini, masukan-masukan linguistik yang telah diberikan maupun yang

sedang diberikan akan sangat diperlukan oleh anak.

1.6.2 Tahap-tahap perkembangan fonologi

1) Teori Struktural Universal

Teori struktural universal dikemukakan pertama kali oleh Jakobson

(1968). Teori ini berpendapat bahwa bunyi-bunyi yang diucapkan oleh orang

dewasa tidak akan mempengaruhi bunyi-bunyi yang muncul pada anak-anak.

Urutan bunyi-bunyi yang muncul pada anak-anak akan mengikuti bunyi-bunyi

yang sering muncul pada bahasa-bahasa di dunia. Meski demikian bunyi-bunyi

yang muncul pada bayi yang masih belum memiliki arti (saat babbling) tidak

bisa dikatakan sebagai bahasa. Masa tersebut disebut juga sebagai masa senyap.

Oleh karena itu, Jakobson membagi dua tahap pemerolehan fonologi yaitu

tahap membabel (prabahasa) atau masa senyap dan tahap pemerolehan bahasa

murni.

Pada pemerolehan bahasa murni, Jakobson (via Chaer, 2009: 204)

berpandangan bahwa urutan bunyi-bunyi yang muncul akan sama pada semua

anak di dunia. Urutan yang diramalkan oleh jakobson ialah bahwa bunyi

konsonan yang muncul pertama kali ialah bunyi bilabial dan bunyi yang

terakhir diperoleh ialah bunyi likuida seperti /l/ dan /r/. Pada bunyi vokal, yang

pertama kali muncul biasanya adalah vokal lebar yaitu /a/. bunyi-bunyi tersebut

juga tidak muncul satu demi satu melainkan berupa oposisi-oposisi atau

16

kontras-kontras fonemik. Berdasarkan urutan bunyi konsonan dan vokal maka

oposisi fonemik yang pertama muncul ialah oposisi bunyi oral dan bunyi nasal

seperti [pa-pa], [ma-ma] dilanjut dengan oposisi labial dan dental/alveolar.

Pada kontras vokal yang muncul pertama ialah [a] dengan [i] diikuti oleh [i] –

[u], [e] – [u], dan [o] – [e].

Menurut Jakobson (via Dardjowidjojo, 2000: 21-24) urutan pemerolehan

bunyi berjalan sesuai dengan kodrat bunyi itu sendiri dan anak memperoleh

bunyi-bunyi tersebut melalui cara yang konsisten. Urutan-urutan pemeroleh

bunyi vokal ialah bunyi vokal minimal (a, i, u) akan muncul lebih awal dari

vokal lainnya. Pada bunyi konsonan, urutannya ialah konsonan hambat →

frikatif → afrikat. Urutan tersebut tidak dapat dilakukan sebaliknya. Terlebih

lagi, masing masing kelompok hambat, frikatif, dan afrikat juga memiliki

urutan tersendiri seperti kontras antara bilabial [b] dengan dental [d] yang akan

dikuasai terlebih dahulu daripada antara bilabial [b] dengan velar [g] atau dental

[d] dengan velar [g]. bilabial dental [b-d] dikuasai sebelum frikatif [v-s]; bunyi

hambat dan frikatif [b-d-v-s] dikuasai sebelum bunyi alveopalatal [ʦ-ʤ]. Bunyi

likuid dan glaid dikuasai belakangan dan bunyi gugus konsonan dikuasai lebih

belakangan lagi. Dari urutan pemerolehan bunyi tersebut dapat dilihat bahwa

pemerolehan bunyi pada anak diawali dari bunyi yang paling mudah terlebih

dahulu kemudian diikuti oleh bunyi yang paling sukar. Urutan tersebut

dinamakan Kaidah Usaha Minimal (the Law of Least Efforts). Hal ini senada

dengan apa yang dikatakan oleh Steinberg, Nagata, dan Aline (2001: 6) bahwa

17

konsonan-konsonan yang mudah dilihat cara pengucapannya akan lebih

dikuasai di awal seperti bunyi /m/, /p/, dsb daripada yang tak terlihat seperti

bunyi /k/, /g/, /z/, dan /s/ yang akan dikuasai di akhir.

2) Teori Generatif Struktural Universal

Teori generatif struktural universal ini diperkenalkan oleh Moskowitz

yang merupakan perluasan dari teori struktural universal. Teori ini dikenal

dengan penemuan konsep dan pembentukan hipotesis berupa rumus-rumus

yang dibentuk oleh anak-anak berdasarkan data linguistik utama (DLU), yaitu

kata-kata dan kalimat-kalimat yang didengarkan sehari-hari (Chaer, 2009: 205).

Moskowitz berpendapat bahwa sesuai dengan kemampuan nuraninya, bayi

dapat membedakan bunyi-bunyi atau suara-suara dari manusia dengan bunyi-

bunyi lainnya. Kemudian bayi berusaha untuk menirukan bunyi-bunyi manusia

dengan mengembangkan kemampuan linguistiknya dengan cara membabel

sehingga bunyi-bunyi masukan yang merupakan bunyi-bunyi bahasa yang

didengar.

Moskowitz juga menjelaskan bahwa yang diperoleh pertama kali ialah

unit kalimat yang dibedakan dari intonasi kemudian berlanjut pada penemuan

unit suku kata. Setelah unit suku kata, anak-anak akan menemukan unit-unit

lainnya yaitu satuan bunyi di bawah kata. Satuan bunyi ini menurut Maskowitz

(via Chaer, 2009: 208) bukan sebagai fitur fonem atau fon namun merupakan

namun merupakan unit suku kata seperti KV, KVK, VK, V, dan KVKV.

18

Setelah itu unit segmen seperti konsonan atau vokal kemudian diperoleh

dimana pemerolehan unit segmen antara satu anak dengan anak lainnya akan

berbeda. Unit terkecil yang diperoleh ialah unit fitur distingtif berupa kontras-

kontras atau oposisi dengan urutan yang sama seperti yang dikemukakan oleh

Jakobson. Moskowitz (via Chaer, 2009: 208) juga memperkenalkan idiom-

idiom fonologi yaitu idiom progresif dan idiom regresif. Idiom progresif ialah

bunyi-bunyi yang berkembang menyerupai bunyi yang diucapkan oleh orang

dewasa sedangkan idiom regresif ialah jika bunyi yang telah menyerupai bunyi

orang dewasa mengalami kemunduran menjadi bunyi yang lebih primitif.

3) Teori Proses Fonologi Alamiah

Teori yang diperkenalkan oleh David Stampe ini berpandangan bahwa

proses fonologi anak-anak bersifat alamiah atau nurani (Chaer, 2009: 208).

Proses fonologi anak-anak harus mengalami penindasan (supresi), pembatasan,

dan pengaturan sesuai dengan penuranian (internalization) representasi

fonemik orang dewasa.

4) Teori Kontras dan Proses

Teori ini menggabungkan bagian-bagian dari teori Jakobson dan teori

Stampe kemudian menyelaraskan dengan teori perkembangan dari Piaget. Teori

yang diperkenal kan oleh Ingram ini berpandangan bahwa anak-anak

memperoleh system fonologi orang dewasa dengan cara menciptakan

19

strukturnya sendiri dan kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya

mengenai system orang dewasa semakin baik. Terdapat tiga tahap yang terjadi

hingga akhirnya anak dapat mengucapkan kata. Tahapan ini tidak terlepas dari

persepsi, organisasi, dan pengeluaran. Pada tahap persepsi terbagi lagi menjadi

tahap vokalisasi praucap (membabel) dan tahap fonologi primitif (satu kata).

Pada tahap pengeluaran, anak terlihat sangat aktif yang terjadi pada usia

satu setengah tahun. Tahap ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu

terjadinya pertumbuhan kosakata dengan cepat dan munculnya ucapan-ucapan

dua kata. Tahap ini terus berkembang hingga usia tiga tahun enam bulan sampai

empat tahun (Chaer, 2009: 214). Di dalam urutan bunyi-bunyi yang diucapkan

masukan yang dengar oleh anak-anak akan menentukan bunyi-bunyi yang

pertama diperoleh anak. Pemerolehan juga dilakukan secara perlahan-lahan dan

berangsur-angsur. Proses-proses tersebut adalah proses subtitusi, proses

asimilasi, dan proses struktur suku kata (Chaer, 2009: 215-216).

1.6.3 Fonologi bahasa Indonesia

Kajian ini berfokus pada aspek linguistik berupa fonologi. Kemampuan

anak dalam memproduksi bunyi-bunyi ketika berucap kemudian akan

ditranskripsikan melalui kajian fonetik. Fonetik merupakan kajian di dalam

bidang linguistik yang mengkaji mengenai bunyi-bunyi tanpa memperhatikan

arti atau perbedaan makna dari bunyi-bunyi tersebut (Chaer, 2003: 10). Fonetik

20

yang dikaji di dalam penelitian ini ialah fonetik artikulatoris dimana pada

fonetik artikulatoris kajian terletak pada proses produksi bunyi yang dilakukan

pada organ bicara penutur.

Bunyi-bunyi yang muncul pada data rekaman ditranskripsikan ke dalam

transkripsi fonetik. Menurut Chaer (2013: 13), transkripsi fonetik adalah

penulisan bunyi-bunyi bahasa secara akurat atau secara tepat dengan

menggunakan huruf atau tulisan fonetik. Jadi, ketika penutur berkata “ada kera

sama monyet di kebun binatang”, maka penulisan fonetiknya bukanlah [ada

kera sama monyet di kebun binatang] namun penulisannya menjadi [ada kəra

sama moñзt di kəbun binataŋ]. Hal ini dikarenakan tulisan latin tidak dapat

mewakilin bunyi-bunyi yang sangat banyak. Bunyi huruf <e> pada <kera>

berbeda dengan <e> pada <monyet> sehingga bunyi <e> dimodifikasi menjadi

/ə/ pada <kera> dan /з/ pada <monyet>. Selain itu, bunyi juga tidak bisa

diwakili oleh dua huruf ataupun sebaliknya sehingga bunyi <ny> pada

<monyet> dimodifikasi menjadi /ñ/ dan bunyi <ng> pada <binatang>

dimodifikasi menjadi /ŋ/. Pernyataan ini diperkuat oleh Chaer (2013: 14) yang

mengatakan bahwa bunyi hanya bisa dilambangkan oleh satu huruf sehingga

penggunaan satu huruf untuk dua bunyi maupun satu bunyi oleh dua huruf tidak

bisa digunakan. Oleh karena itu, modifikasi pada tulisan latin untuk

menyesuaikan dengan bunyi-bunyi yang ada sangat diperlukan.

21

Dalam hal ini, kajian linguistik internasional membentuk abjad fonetik

untuk menyamakan modifikasi huruf untuk melambangkan bunyi. Perangkat

yang telah dibuat dinamakan The International Phonetic Alphabet (IPA).

Meskipun perangkat IPA digunakan di dalam penelitian ini, namun penelitian

ini juga perlu mengetahui bunyi-bunyi apa saja yang terdapat di dalam bahasa

Indonesia. Fonologi bahasa Indonesia dipilih dikarenakan anak-anak lebih

banyak terekspos dengan bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga ingin

mengetahui apakah input bahasa menentukan bunyi-bunyi yang diperoleh anak.

Ingram (1989) berpendapat bahwa kata-kata masukan yang didengar oleh anak

akan menentukan bunyi-bunyi pertama yang diperoleh anak. Hal ini

bertentangan dengan pendapat Jakobson (1968) yang menyatakan bahwa

masukan tidak dipengaruhi oleh apa yang didengar oleh anak dari

lingkungannya namun urutan pemerolehan didapat dari nurani. Sebagai

landasan teori mana yang benar maka di sini akan disajikan bunyi-bunyi

konsonan dan vokal yang terdapat di dalam bahasa Indonesia. Fonem yang

terdapat di dalam bahasa Indonesia menurut Chaer (2013: 68-70) adalah fonem

vokal /i/, /e/, /a/, /ə/, /u/, /o/, fonem diftong /ay/, /aw/, /oi/, dan fonem konsonan

/b/, /p/, /m/, /w/, /f/, /d/, /t/, /n/, /l/, /r/, /z/, /s/, /ʃ/, /ñ/, /j/, /c/, /y/, /g/, /k/, /ŋ/, /x/,

/h/, dan /ʔ/.

22

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Sumber Data

Sumber data yang digunakan pada penelitian ini ialah tuturan yang

diucapkan sehari-hari oleh dua orang anak dengan rentang usia 0-20 bulan.

Kedua anak tersebut ialah Karim Salman Aziez dan Vintorez Qurrota’ayun.

Selain itu, penelitian ini juga memperoleh sumber data dari orang tua dan

orang-orang yang berada di lingkungan kedua anak tersebut dimana data yang

diperoleh digunakan untuk mengetahui bagaimana lingkungan bahasa

memperlakukan bahasa terhadap masing-masing anak. Sebagai informasi

tambahan, peneliti merupakan orang yang telah tinggal di lingkungan anak-

anak tersebut sebelum Karim dan Vintorez lahir. Oleh karena itu, peneliti turut

mengamati langsung bagaimana perlakuan lingkungan bahasa dan pemerolehan

bahasa kedua anak tersebut.

1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode simak.

Metode simak ini dilakukan dengan menyimak ucapan sehari-hari yang

dilakukan oleh dua orang anak, yaitu Karim dan Vintorez melalui data-data

yang diambil melalui teknik sadap dan wawancara. Teknik sadap adalah teknik

yang digunakan pada metode simak dengan menyadap penggunaan bahasa

seseorang atau beberapa orang baik dalam bentuk lisan maupun tulisan

23

(Kesuma, 2007: 43). Data-data rekaman dalam bentuk audio, video, dan catatan

percakapan Karim maupun Vintorez diambil oleh peneliti maupun orang tua

Karim dan Vintorez. Rekaman-rekaman tersebut merupakan rekaman

keseharian anak-anak tersebut yang akan digunakan untuk pengambilan data

fonologi. Selain itu, data tulisan juga diambil dari catatan-catatan penulis yang

berupa percakapan dan ujaran keseharian. Percakapan dan ujaran ini merupakan

percakapan dan ujaran yang tidak sempat terekam oleh audio maupun video

dikarenakan proses perekaman tidak selalu standby sedangkan percakapan atau

ujaran pada anak terjadi secara spontan dan natural.

Kemudian, teknik yang kedua yaitu teknik wawancara. Teknik

wawancara merupakan pengumpulan data yang diperoleh melalui percakapan

atau tanya-jawab (Nasution, 1992: 69). Untuk menghindari ketidaklengkapan

dan ketidakterperincian data, maka wawancara dilakukan dalam bentuk

rekaman. Wawancara ini dilakukan pada orang tua anak untuk mengetahui

perlakuan apa yang biasa dilakukan dalam mengembangkan kemampuan

bahasa anak-anak mereka. Sebagai tambahan, peneliti tinggal pada lingkungan

yang sama sehingga dapat mengetahui perkembangan serta perlakuan

lingkungan bahasa anak-anak tersebut. Setelah itu, peneliti menggunakan

teknik catat. Kesuma (2007: 45) menjelaskan lebih lanjut bahwa teknik catat

adalah teknik yang digunakan dalam menjaring data dengan mencatat hasil dari

menyimak data. Catatan yang dilakukan adalah dengan mengubah data

percakapan dan ujaran yang disadap ke dalam transkrip ortografis atau transkrip

24

dengan ejaan dan juga transkrip fonemisnya. Data kemudian dipilah dan

diklasifikasikan berdasarkan tuturan dan percakapan dari masing-masing anak.

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Menurut Nasution (1992: 126), analisis pada data kualitatif dilakukan

dalam upaya menyusun data yang diperoleh agar mudah ditafsirkan. Pada

penelitian ini, data yang telah diperoleh dan dikumpulkan kemudian dianalisis

dengan menggunakan metode analisis padan. Sudaryanto (1993: 13)

mengemukakan bahwa metode analisis padan merupakan metode analisis yang

alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa

(langue). Metode analisis padan dipilih dikarenakan data dianalisis dengan

menggunakan pengetahuan-pengetahuan linguistik yang telah dikuasai oleh

peneliti. Aspek linguistik yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah

kemampuan fonologi yang dimiliki anak. Data-data yang telah melalui proses

transkrip fonologi kemudian dipecah ke dalam satuan kata-kata. Fonem-fonem

pada satuan kata-kata tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui

bagaimana perkembangan fonologi Karim dan Vintorez pada 0-20 bulan.

Data berikutnya yang diperoleh melalui wawancara dianalisis dengan

menggunakan metode deskriptif dimana hasil dari wawancara akan diolah ke

dalam bentuk-bentuk penjabaran. Selanjutnya, peneliti melakukan interpretasi

pada data-data. Nasution (1992: 127) menjelaskan bahwa

25

interpretasi berarti menyusun dan merakit unsur-unsur yang ada dengan cara baru, merumuskan hubungan baru antara unsur-unsur lama, mengadakan proyeksi melewati apa yang ada, memberanikan diri bertanya, “bagaimana hanya jika…”, atau “misalkan…”. Jadi peneliti harus bereksperimentasi, “bermain” dengan ide-ide.

1.7.4 Metode dan Teknik Penyajian Analisis Data

Hasil dari analisis data kemudian disajikan dengan menggunakan metode

informal dan formal. Sudaryanto (1993: 145), di dalam bukunya yang berjudul

“Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa”, menerangkan bahwa metode

informal merupakan penggunaan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti

dan tetap menggunakan terminologi yang bersifat teknis. Metode lainnya ialah

metode formal yang merupakan penyajian analisis data dengan menggunakan

rumusan tanda-tanda atau lambang-lambang.

1.8 Sistematika Penyajian Data

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai penelitian ini, maka

sistematika penyajian data disajikan pada penelitian. Sistematika penyajian data pada

tesis ini nantinya akan dibagi menjadi lima bagian atau bab; bab I merupakan latar

belakang, bab II berupa pembahasan dengan judul “Pemerolehan fonologi anak usia

0-20 bulan”, bab III berupa pembahasan dengan judul “Perbandingan kemampuan

fonologi”, bab IV juga masih merupakan pembahasan dengan judul “Perlakuan

lingkungan dan kemampuan fonologi anak”, dan yang terakhir ialah bab V yang

merupakan bab terakhir pada penelitian yaitu berupa kesimpulan.

26

Pada bab I, dijelaskan permasalahan yang melatarbelakangi dari dilakukannya

penelitian ini. Beberapa sub-bab yang terdapat pada bab I ialah rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode

penelitian. Rumusan masalah dituliskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang

merupakan permasalahan dari penelitian ini yang didasari dari permasalahan yang

terdapat pada latar belakang. Setelah itu, tujuan penelitian dipaparkan agar penelitian

ini pada akhirnya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada sub-bab

rumusan masalah. Selanjutnya yaitu manfaat penelitian yang dibagi menjadi dua

bagian; manfaat secara teoritis dan praktis. Kemudian tinjauan pustaka yang berisikan

tentang penelitian-penelitian serupa yang telah dilakukan terlebih dahulu. Lalu

diikuti oleh sub-bab selanjutnya yaitu landasan teori yang merupakan kerangka

berfikir yang digunakan dalam memecahkan masalah yang berkenaan dengan topik

atau objek penelitian. Sub-bab terakhir yaitu berupa metode penelitian yang

merupakan paparan dari metode-metode serta teknik-teknik apa saja yang digunakan

di dalam penelitian ini yang dimulai dari metode pengumpulan data hingga metode

analisis data.

Bab II berisi tentang pembahasan dengan judul “Pemerolehan fonologi anak

usia 0-20 bulan”. Bab ini berisi tentang kemampuan-kemampuan fonologi yang telah

dikuasai Karim dan Vintorez pada rentang usia 0-20 bulan. Kemampuan fonologi

yang dimaksudkan tidak hanya berupa kemampuan pengucapan bunyi vokal dan

konsonan, namun juga perkembangan kinesik, perkembangan komprehensi, inventori

fonem, dan aturan fonologis.

27

Pada bab III, pembahasan berisikan tentang hasil analisis perbandingan

kemampuan fonologis yang dimiliki oleh Karim dan Vintorez. Perbandingan ini

dilakukan untuk mengetahui apakah anak-anak usia 0-20 bulan tersebut dalam

penguasaan fonologisnya memiliki percepatan yang sama ataukah berbeda. Oleh

karena itu, judul yang sesuai yang diberikan pada bab ini ialah “Perbandingan

kemampuan fonologi”. Bab selanjutnya yaitu bab IV. Pada bab IV, judul yang

diberikan adalah “Perlakuan lingkungan dan kemampuan fonologi anak”. Bab ini

akan memaparkan bagaimana perlakuan lingkungan bahasa dalam mengekspos

bahasa pada anak; apakah sebelum tidur anak dibacakan dongeng, apakah terdapat

direct feedback ketika anak melakukan kesalahan dalam pelafalan, ataukah anak

hanya didiamkan saja ketika melakukan kesalahan, dan lain sebagainya. Perlakuan-

perlakuan ini kemudian akan dikorelasikan dengan bagaimana kemampuan bahasa

anak. Kemudian data juga dianalisis untuk mengetahui apakah ada pengaruh

signifikan antara perlakuan bahasa pada anak dengan kemampuan yang mereka

miliki.

Pada bab terakhir, yaitu bab V, berisikan kesimpulan dari hasil analisis data

yang terdapat pada bab-bab pembahasan yang merupakan jawaban dari pertanyaan-

pertanyaan akan permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah.

Recommended