View
232
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHIINDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT
PRIMA MASHITA PATRIOTIKA
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESISDAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ANALISISFAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKSPEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT adalah karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepadaperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karyayang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalamteks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Prima Mashita PatriotikaNIM. H141070071
ABSTRACT
PRIMA M. PATRIOTIKA,The Analysis Of Factors That Influence HumanDevelopment Index In West Java, Under Direction of DEDI B. HAKIM andBAMBANG JUANDA.
Human Development Index (HDI) is a measure for the quality of humandevelopment. The increas development will have an impact on improving thequality of economic growth. The United Nations Development Programme(UNDP) since 1990 has used the HDI to measures achievement of humandevelopment process. Human Development Index devided in three aspects:longevity, knowledge and decent living.
This study examines the factors that influence human development index inWest Java province and discussed the policy implications compared to the realitythat occure in this province.The study was conducted in West Java province byusing secondary data derived from BPS and Bappeda Jawa Barat from 2005-2009. This study used panel data regression model to determine the factors thatinfluence human development index and used descriptive analysis to discusspolicy implication.
This study showsed GDP per capita, poverty, education facilities, teacher,health fascilities, health care, and infrastructure significantly influence the humandevelopment index. Factors above should be priority to improve so that West Javawould achieve higher HDI.This study also found that Kabupaten Sukabumi,Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, and KabupatenPurwakarta have the lowest HDI in West Java Province.
Keyword: HDI, West Java, PDRB per capita, poverty, education facilities, healthfacilities, health care, infrastructure
RINGKASAN
PRIMA M. PATRIOTIKA, Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi IndeksPembangunan Manusia di Jawa Barat. Dibimbing oleh DEDI B. HAKIM danBAMBANG JUANDA.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan komponen utama pembangunanekonomi. Dampak pembangunan manusia mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan ekonomi. Dengan pembangunan manusia yang baik, pembangunannegara dapat tercapai dan derajat sosial bangsa akan meningkat sehinggamendorong pembangunan manusia yang berkualitas. IPM memiliki tiga aspekyaitu berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), danhidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapanhidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah angkamelek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur denganpengeluaran perkapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritasdaya beli dalam rupiah).
Penelitian ini membahas faktor apa saja yang mempengaruhi indeks pembangunanmanusia di Jawa Barat dan bagaimana efektivitas kebijakan yang dibuatPemerintah Provinsi Jawa Barat dalam peningkatan IPM dalam selang tahun2005-2009. Faktor yang dimasukkan dalam penelitian ini meliputi indikatorpembangunan daerah, indikator kemiskinan, indikator pendidikan, dan indikatorkesehatan. Dari indikator-indikator tersebut ditetapkan variabel-variabelindependent yang diuji dalam mempengaruhi IPM yaitu jumlah penduduk miskin,PDRB per kapita, rasio jumlah sekolah SD dan SMP terhadap usia penduduk 5-14tahun, rasio jumlah guru SD dan SMP terhadap murid SD dan SMP, rasio jumlahsarana kesehatan terhadap jumlah penduduk, rasio jumlah pelayan kesehatanterhadap penduduk, dan rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduk. Denganmenggunakan metode regresi berganda dengan model panel data yang terdiri dari25 unit cross section yaitu Kabupaten/ Kota di provinsi Jawa Barat dan 5 unit timeseries yaitu tahun 2005-2009, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwaseluruh faktor-faktor yang dianalisis berpengaruh secara signifikan terhadapindeks pembangunan manusia di Jawa Barat.
Berdasarkan hasil regresi tersebut diketahui seluruh faktor-faktor yang dianalisisyaitu PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan pendidikan, saranakesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur berpengaruh nyata terhadapindeks pembangunan manusia di Jawa Barat. Selain itu, dari penelitian inidisimpulkan Kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan, Kabupaten Cirebon,Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta merupakan daerah yangmemiliki IPM rendah di Provinsi Jawa Barat, dengan demikian kebijakan didaerah-daerah ini belum efektif dijalankan. Kelima kabupaten ini perlumenekankan kebijakan pada PDRB per kapita yang tergolong rendah dan tingkatkemiskinan yang masih tinggi.
© HAK CIPTA MILIK IPB, Tahun 2011Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkanatau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauansuatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajarIPB.Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulisapapun tanpa izin IPB.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHIINDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT
PRIMA MASHITA PATRIOTIKA
TesisSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains padaProgram Studi lmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Parulian Hutagaol, Ph.D
Judul Penelitian : Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi IndeksPembangunan Manusia di Jawa Barat
Nama : Prima Mashita PatriotikaNIM : H151070071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedi B Hakim, M.Ec Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MSKetua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah PascasarjanaIlmu Ekonomi
Dr. Ir. R Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc, Agr
Tanggal Ujian: 21 September 2011 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmatdan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dansalam semoga selalu tercurah kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas segalapedoman dan teladan kejujuran dalam menulis karya ilmiah ini.
Tesis yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang MempengaruhiIndeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat”, merupakan sumbanganpemikiran penulis dalam rangka melihat potensi kependudukan yang potensialdikembangkan di Provinsi Jawa Barat dan dalam rangka memenuhi tugas akhirsebagai syarat dalam memenuhi gelar Magister Sains pada Program Studi IlmuEkonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dedi BudimanHakim, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. BambangJuanda, Ph.D, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikanbimbingan dan masukan dalam menyusun karya ilmiah ini. Ucapan terima kasihjuga diberikan kepada Bapak Parulian Hutagaol, Ph.D dan Ibu Dr. Sri Mulatsihsebagai dosen penguji, Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku KetuaProgram Studi Ilmu Ekonomi dan Ibu Lukytawati Anggraeni, PhD selakuSekretaris Program Studi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Asdep DukunganInformatika Sekretariat Negara Bapak Hasudungan Simatupang, Kabid Basis DataKebijakan: Bapak Hamidi Rahmat, Kasubbid Ekonomi: Ibu Irma Dwi Santi, danrekan-rekan kerja di Sekretariat Negara yang telah memberikan dukungan dalampenyelesaian tesis ini. Terima Kasih yang tak terhingga juga penulis berikankepada keluarga Solver Abdi Muzacky, Intan Yustisiawati dan Winner JihadAkbar serta orang tua tercinta Alm. Abdul Jalal dan Alm. Noorcholissiyah.Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga dihaturkan untuk semua pihak yangtelah membantu dalam pembuatan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satupersatu.
Penulis sangat mengharapkan penelitian ini dapat memberi sumbanganuntuk kemajuan bangsa, negara, dan umat. Dan semoga karya kecil ini dapatbermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, September 2011
Prima Mashita Patriotika
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Prima Mashita Patriotika lahir pada tanggal 4 Mei 1985
di Jakarta. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Abdul Jalal
dan Noorcholissiyah. Penulis mengenyam pendidikan sekolah dasar di SDN 06
pagi, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 98 Jakarta. Pada tahun 2000 penulis
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 109 Jakarta.Tahun 2007 lulus sebagai
Sarjana Ekonomi di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Program Studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Di tahun yang
sama penulis melanjutkan studinya pada Magister Sains Program Studi Ilmu
Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja di
Sekretariat Negara RI sejak tahun 2008.
i
DAFTAR ISI
HalamanDaftar IsiDaftar TabelDaftar GambarDaftar LampiranBAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1.2 Perumusan Masalah1.3 Tujuan Penelitian1.4 Manfaat Penelitian1.5 Ruang Lingkup Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKAPEMIKIRAN2.1 Tinjauan Teori-teori
2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi2.1.2 Modal Manusia dalam Pembangunan dan
Pertumbuhan Ekonomi2.1.3 Pendidikan2.1.4 Kesehatan2.1.5 Pendapatan per Kapita2.1.6 Indeks Pembangunan Manusia2.1.7 Kemiskinandan Pembangunan Manusia2.1.8 Kebijakan Pro Poor Growth2.1.9 Pembangunan Infrastruktur dalam Pembangunan
Manusia2.1.10 Analisis Panel Data
2.2 Penelitian-PenelitianTerdahulu2.3 KerangkaPemikiran
BAB III METODOLOGI PENELITIAN3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian3.2 Jenis dan Sumber Data3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data3.4 Spesifikasi Panel Data3.5 Pengujian Model dan Hipotesis
3.5.1 Uji F3.5.2 Uji T3.5.3 Uji Statistik R2
3.5.4 Multikolinearitas3.5.5 Heteroskedastisitas3.5.6 Autokorelasi
iiiiivv116131313
15
151517
21222324272930
324044
464646464750505252535354
ii
BAB IV PROFIL PROVINSI JAWA BARAT4.1 Geografi4.2 Populasi4.3 Capaian IPM Jawa Barat Hingga Tahun 20094.4 Kebijakan Jawa Barat dalam Meningkatkan IPM
BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHIINDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWABARAT5.1 Analisis Model Regresi Panel Data5.2 Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan
Manusia5.2.1 PDRB Per Kapita5.2.2 Kemiskinan5.2.3 Pendidikan5.2.4 Kesehatan5.2.5 Sarana Infrastruktur5.2.6 Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM
di tiap Kabupaten/Kota5.3 Kebijakan Kabupaten/Kota dengan Nilai IPM Terendah
dalam Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN6.1 Kesimpulan6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
5658596063
66
6667
676871737577
85
888888
89
iii
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 1.1 IPM 33 Provinsi di IndonesiaTabel 2.2 Perhitungan Indeks Pembangunan ManusiaTabel 2.3 Dimensi dan Indikator KemiskinanTabel 2.4 Ringkasan Penelitian TerdahuluTabel 3.1 Definisi Data dalamTabelTabel 3.2 Variabel dalam PenelitianTabel 4.1 Monografi Provinsi Jawa BaratTabel 4.2 PerkembanganIndeks Pembangunan Manusia IPM beserta
Komponennya di ProvinsiJawa Barat tahun 2004-2009Tabel 5.1 Hasil Regresi Data Panel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Indeks Pembangunan Manusia di Jawa BaratTabel 5.2 Jumlah Penduduk Miskin dan Kota di IndonesiaTabel 5.3 Efek Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM untuk Tiap
Kabupaten/KotaTabel 5.4 Pengelompokan Kabupaten/Kota berdasarkan Nilai IPMTabel 5.5 Karakteristik Daerah dengan IPM Terendah di Jawa Barat
527254247485761
66
7077
7985
iv
DAFTAR GAMBAR
HalamanGambar 1.1 Perbandingan Jumlah Penduduk Pulau Jawa Tahun 2005-2009Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau JawaTahun 2005-2009Gambar 1.3 Kepadatan Penduduk Pulau Jawa tahun 2005-2009Gambar 1.4 Pergerakan IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009Gambar 1.5 Pergerakan IPM Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun
2007-2009Gambar 1.6 PersentaseAngka Melek Huruf di Provinsi Jawa Barat Tahun
2005-2009Gambar 1.7 Rata-Rata Lama Sekolah di ProvinsiJawa Barat tahun 2005-
2009Gambar 1.8 Jumlah SD dan SMP di Jawa Barat tahun 2005-2009Gambar 1.9 Angka Harapan Hidup Jawa Barat Tahun 2005-2009Gambar 1.10 Jumlah Puskesmas di Jawa Barat Tahun 2005-2009Gambar 1.11 Pengeluaran Per Kapita Jawa Barat Tahun 2005-2009Gambar 2.1 Hubungan Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan EkonomiGambar 2.2 Alur Konsep IPMGambar 2.3 Hubungan Infrastruktur dengan Pembangunan ManusiaGambar 2.3 Bagan Kerangka PemikiranGambar 4.1 Peta Provinsi Jawa BaratGambar 4.2 Jumlah Penduduk Jawa Barat Berdasarkan Jenis KelaminGambar 4.3 LajuPertumbuhan Penduduk Jawa BaratGambar 4.4 Pergerakan Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat tahun
2004-2008Gambar 5.1 Pergerakan Pendapatan per Kapita di Jawa BaratGambar 5.2 Pergerakan Persentase Kemiskinan di Jawa barat tahun 2004-
2009Gambar 5.3 Jumlah Sekolah SD dan SMP di Jawa barat tahun 2004-2009Gambar 5.4 Jumlah Guru SD dan SMP di Jawa Barat tahun 2004-2009Gambar 5.5 Jumlah Pelayan Kesehatan di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-
2009Gambar 5.6 Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009Gambar 5.7 Perkembangan Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat tahun
2005-2009Gambar 5.8 Pembagian Daerah Berdasarkan IPMGambar 5.9 PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Jawa BaratGambar 5.10 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di jawa Barat tahun
2005-2009Gambar 5.11 Rasio Jumlah Sekolah SD dan SMP terhadapPenduduk SD
dan SMP Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2005-2009Gambar 5.12 Rasio Jumlah Puskesmas terhadap Penduduk Kabupaten/
Kota di Jawa Barat tahun 2005-2009
23368
9
10
1011121220263045585960
616870
727374
757774808182
83
84
v
DAFTAR LAMPIRAN
HalamanLampiran 1. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota Jawa Barat
Tahun 2005-2009Lampiran 2. PDRB perkapita Provinsi Jawa Barat atas HargaKonstan 2000
menurut Kabupaten/ KotaLampiran 3. Rasio Jumlah Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama terhadap Jumlah Penduduk Usia Sekolah Dasar danSekolah Lanjutan Tingkat Pertamadi Provinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten/ Kota Tahun 2005-2009
Lampiran 4. Rasio Jumlah Guru SD dan SMP terhadap Jumlah Murid SDdan SMP di Provinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/ KotaTahun 2005-2009
Lampiran 5. Rasio Jumlah Puskesmas terhadap Penduduk MenurutKabupaten/ Kota Tahun 2005-2009
Lampiran 6. Rasio Jumlah Dokter dan Bidan terhadap Jumlah Penduduk diProvinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2005-2009
Lampiran 7. Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Penduduk di ProvinsiJawa Barat menurut Kabupaten/ kota tahun 2005-2009
Lampiran 8. Hasil Output Regresi Data Panel dengan Eviews 6.0
92
93
94
95
96
97
98
99
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar
dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat
menjadi faktor pendorong maupun penghambat pembangunan. Peubah ini
dipandang sebagai faktor pendorong pertambahan jumlah tenaga kerja dari masa
ke masa. Selanjutnya, pertambahan penduduk dan pemberian pendidikan kepada
mereka sebelum menjadi tenaga kerja, membuat masyarakat memperoleh tenaga
ahli, terampil, terdidik, dan juga enterpreneur yang berpendidikan. Selain itu,
perkembangan penduduk juga merupakan perluasan pasar. Luas pasar barang-
barang dan jasa ditentukan oleh dua faktor penting, yaitu pendapatan masyarakat
dan jumlah penduduk. Dengan demikian, apabila penduduk bertambah dengan
sendirinya luas pasar akan bertambah pula. Karena perannya ini, maka
perkembangan penduduk akan merupakan pendorong bagi sektor produksi untuk
meningkatkan kegiatannya. Dan akhirnya, pertambahan penduduk dapat
menciptakan dorongan untuk mengembangkan teknologi.
Pertambahan penduduk, di sisi lain dapat juga menjadi penghambat
pembangunan. Pertambahan penduduk menghambat ketika produktivitas sangat
rendah sementara terdapat banyak pengangguran. Dengan adanya kedua keadaan
ini, pertambahan penduduk tidak akan menaikkan produktivitas secara signifikan
namun justru dapat menurunkan pendapatan perkapita. Keadaan bertambah buruk
saat jumlah penduduk sudah sangat berlebihan. Pertambahan penduduk
menimbulkan implikasi yang tidak mendukung terhadap tingkat tabungan,
penanaman modal, pembagian pendapatan, migrasi penduduk, kemampuan
mengekspor dan beberapa faktor lain yang mempengaruhi laju
pertumbuhan.Dengan demikian perlunya pengelolaan yang tepat dalam menyikapi
pertambahan penduduk. Sehingga pertambahan penduduk menjadi modal dalam
pembangunan dan bukan menjadi beban atau permasalahan yang justru merugikan
dan menghambat pembangunan.
2
Pengelolaan penduduk yang ekstra hati-hati harus diterapkan di Jawa Barat
dikarenakan laju pertumbuhan penduduk yang pesat dapat menimbulkan social
costseperti pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas. Jawa Barat merupakan
salah satu provinsi terpadat di Indonesia. Letaknya yang startegis dan dekat
dengan Ibu Kota Jakarta membuat Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang
lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lain (Gambar 1.1)
Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah Penduduk di Pulau JawaTahun 2005-2009Sumber: BPS (2010)
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Provinsi Jawa barat
selalu lebih banyak dibandingkan dengan provinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur.Terdapat lebih dari 40 juta jiwa penduduk yang tinggal di Jawa
Barat.Selain itu, laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat juga sangat pesat.Pada
tahun 2009, laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat mencapai 1,68 persen jauh
lebih tinggi dari pada Jawa Tengah yang hanya sebesar 0,57 persen dan Jawa
Timur sebesar 0,83 persen (Gambar 1.2).
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
pend
uduk
(Jut
a)
Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
3
Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa Tahun 2005- 2009Sumber: BPS (2010)
Kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat juga lebih tinggi dari pada di
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.Pada tahun 2009, kepadatan penduduk di
Provinsi Jawa Barat sebesar 1.124 orang/km2 lebih tinggi dari kepadatan
penduduk di Provinsi Jawa Tengah (1.002 orang/km2) dan Provinsi Jawa Timur
(798 orang/km2). Keadaan ini dapat digambarkan pada Gambar 1.3 sebagai
berikut:
Gambar 1.3 Kepadatan Penduduk Pulau Jawa Tahun 2005-2009Sumber: BPS (2010)
00,20,40,60,8
11,21,41,61,8
2
2005 2006 2007 2008 2009
Laju
Per
tum
buha
n Pe
ndud
uk (%
)
Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
2005 2006 2007 2008 2009
Rata
-rat
a Ke
pada
tan
pend
uduk
(Ora
ng/k
m2)
Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
4
Paparan diatas menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki modal manusia
yang potensial untuk dikembangkan.Modal manusia ini kemudian haruslah diolah
hingga menjadi modal manusia yang berkualitas sehingga modal manusia dapat
menjadi faktor pendukung pembangunan di provinsi Jawa Barat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan indikator kualitas
pembangunan manusia melalui Human Development Index (HDI) atau Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang pencapaiannya tergantung pada derajat
kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. Indeks ini dikembangkan oleh
ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq pada tahun 1990 dan digunakan oleh
United Development Program (UNDP) pada laporan tahunannya sejak tahun
1993.
UNDP memasukkan pembangunan manusia sebagai komponen utama
dalam pembangunan ekonomi.Pembangunan manusia (human development)
dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice
ofpeople), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah “perluasan pilihan” dan
sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Di antara berbagai
pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat,
untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya
yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Di antara pilihan lain yang tak
kalah pentingnya adalah kebebasan politik, jaminan atas hak asasi manusia dan
harga diri. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan
peningkatan kemampuan manusia, seperti meningkatkan kesehatan dan
pendidikan. Pembangunan manusia juga mementingkan apa yang bisa dilakukan
oleh manusia dengan kemampuan yang dimilikinya, untuk menikmati kehidupan,
melakukan kegiatan produktif, atau ikut serta dalam berbagai kegiatan budaya,
dan sosial politik. Pembangunan manusia harus menyeimbangkan berbagai aspek
tersebut.
Jawa Barat masih harus meningkatkan IPM-nya dalam konsep
pembangunan manusia. Pada tahun 2009, Jawa Barat menempati urutan 15 dari 33
provinsi, dengan angka IPM 71,64. Berikut dapat dilihat Peringkat IPM tahun
2009 untuk tiap-tiap provinsi di Indonesia pada Tabel 1.1.
5
Tabel 1.1 IPM 33 Provinsi di Indonesia
Provinsi Tahun 2009 Provinsi Tahun 2009IPM Ranking IPM Ranking
DKI Jakarta 77,36 1 Jawa Timur 71,06 18Sulawesi Utara 75,68 2 Maluku 70,96 19
Riau 75,6 3 SulawesiSelatan 70,94 20
Yogyakarta 75,23 4 Lampung 70,93 21
Kalimantan Timur 75,11 5 SulawesiTengah 70,7 22
Kepulauan Riau 74,54 6 Banten 70,06 23Kalimantan Tengah 74,36 7 Gorontalo 69,79 24
Sumatera Utara 73,8 8 SulawesiTenggara 69,52 25
Sumatera Barat 73,44 9 KalimantanSelatan 69,3 26
Sumatera Selatan 72,61 10 Sulawesi Barat 69,18 27
Bangka Belitung 72,55 11 KalimantanBarat 68,79 28
Bengkulu 72,55 12 Maluku Utara 68,63 29Jambi 72,45 13 Irian Jaya Barat 68,58 30
Jawa Tengah 72,1 14 Nusa TenggaraTimur 66,6 31
Jawa Barat 71,64 15 Nusa TenggaraBarat 64,66 32
Bali 71,52 16 Papua 64,53 33Nanggroe AcehDarussalam 71,31 17 Indonesia
(BPS) 71,76
Sumber: BPS (2010)
Makin tinggi nilai IPM berarti makin baik kondisi sumber daya manusia di
suatu daerah.Dari Tabel 1.1 terlihat bahwa IPM Jawa Barat masih jauh tertinggal
dari IPM DKI Jakarta. Padahal sebagai Provinsi penopang ibu kota Jakarta,
kualitas sumber daya manusia di Provinsi Jawa Barat perlu diperhatikan karena
dapat menjadi potensi pembangunan daerah dan juga menopang pembangunan Ibu
Kota Jakarta. Bahkan pada jangka panjang akan memajukan pembangunan
Indonesia.
Dampak pembangunan manusia mempunyai pengaruh yang besar dalam
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dalam mengentaskan kemiskinan, nilai
pembangunan manusia tidak boleh dikesampingkan. Dengan pembangunan
manusia yang baik, pembangunan negara dapat tercapai dan derajatsosial bangsa
akan meningkat sehingga mendorong pembangunan manusia yang berkualitas.
6
1.2 Perumusan Masalah
Pentingnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang telah dipaparkan
diatas memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk yang besar di Jawa Barat
tidak bisa diabaikan. Diperlukan kebijakan pembangunan manusia yang tepat
sehingga Jawa Barat dapat memaksimalkan potensi modal manusia dalam
pembangunan era globalisasi.Pembangunan manusia dilakukan dengan berbagai
kebijakan seperti dengan membangun pendidikan yang baik agar lulusan sekolah
mempunyai kualitas yang baik. Selain itu juga dengan membangun fasilitas-
fasilitas kesehatan dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Penggunaan konsep IPMmembuat pembangunan manusia tak hanya terpusat
pada besarnya penghasilan. Namun memberikan suatu ukuran gabungan tiga
dimensi tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat
(diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca
tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi)
dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/ PPP,
penghasilan).
Indeks pembangunan manusia di Jawa Barat terus meningkat dari tahun ke
tahun, namun nilai IPM di Jawa Barat belum dapat menembus nilai 80 dimana
pada nilai tersebut, IPM dikategorikan tinggi. Pergerakan IPM Jawa Barat dapat
dilihat pada Gambar 1.4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa IPM Provinsi Jawa
Barat konsisten meningkat, namun dengan besaran yang tidak terlalu besar. Pada
Tahun 2009 IPM Provinsi Jawa Barat sebesar 71,64 naik dari tahun 2008 sebesar
0,52 poin.
Gambar 1.4 Pergerakan IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009Sumber: Bappeda Jawa Barat(2010)
69,970,32
70,7171,12
71,64
69,0
69,5
70,0
70,5
71,0
71,5
72,0
2005 2006 2007 2008 2009
IPM
Tahun
7
Jawa Barat menetapkan target IPM mencapai 80 pada tahun 2025 dan
menetapkan visi sebagai provinsi termaju di Indonesia. Dengan target tersebut
Pemerintah Provinsi harus mendorong peningkatan kualitas di sektor pendidikan,
kesehatan, dan perekonomian. Peningkatan di salah satu sektor tersebut dapat
mendorong peningkatan IPM. Peningkatan dalam sektor tersebut meliputi akses
masyarakat terhadap pendidikan yang mudah, yakni dari segi menjangkau dan
mengenyam pendidikan. Akses terhadap kesehatan juga sangat menentukan
peningkatan IPM. Keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
ketersediaan sarana kesehatan di setiap Kabupaten/kota akan mendukung
peningkatan IPM Jawa Barat. Selain itu, yang tidak bisa dilepaskan dari
peningkatan IPM adalah daya beli masyarakat. Daya beli menandakan
kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk dalam
mengakses pendidikan dan kesehatan.
Perbedaan karakteristik tiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat juga sangat
mempengaruhi pemenuhan target tersebut. Provinsi Jawa Barat merupakan
wilayah luas yang memiliki 26 kabupaten/ kota dengan angka IPM yang berbeda-
beda (Gambar 1.5). Dengan demikian diperlukan penerapankebijakan yang
berbeda untuk tiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.Namun dengan adanya
otonomi daerah yang dimulai tahun 1999, Pemerintah Provinsi hanya berperan
sebagai pengawas dan Pemerintah Kabupaten/Kota lebih memiliki kewenangan
dalam peningkatan kesejahteraan daerah masing-masing.
Gambar 1.5 memperlihatkan pergerakan nilai IPM untuk setiap
kabupaten/kota di Jawa Barat untuk selang tahun 2007-2009. Terlihat bahwa IPM
untuk daerah kota memiliki kecenderungan lebih tinggi daripada wilayah
kabupaten. Daerah-daerah yang letaknya lebih dekat dengan Ibu Kota Jakarta juga
memiliki perkembangan lebih cepat pada IPM daripada daerah-daerah yang
letaknya lebih jauh dari Ibu Kota Jakarta. Bukan hanya letak daerah saja yang
mempengaruhi perbedaan nilai IPM kabupaten/kota di Jawa Barat, faktor-faktor
lain berupa geografis daerah, karakteristis budaya, dan kearifan lokal secara
langsung maupun tidak sangat mempengaruhi IPM tiap kabupaten/kota yang
selanjutnya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam membuat
kebijakan di daerah tersebut.
8
Gambar 1.5 Pergerakan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun2007-2009Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010)
Kebijakan-kebijakan dalam rangka peningkatan IPM meliputi sektor
pendidikan, sektor kesehatan dan sektor perekonomian. Pada sektor pendidikan,
Provinsi Jawa Barat membuat misi meningkatkan kualitas dan produktivitas
sumber daya manusia. Kualitas pendidikan di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat
dari indikator pendidikan berupa angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.
60,00 65,00 70,00 75,00 80,00
Kab. Bogor
Kab. Sukabumi
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Majalengka
Kab. Sumedang
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Purwakarta
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
IPM
Kabu
pate
n/Ko
ta d
i jaw
a Ba
rat
2009
2008
2007
9
Kedua indikator tersebut merupakan komponen penyusun IPM dalam sektor
pendidikan.
Angka melek huruf di Provinsi Jawa Barat sudah tergolong tinggi. Terlihat
dari Gambar 1.6 pada tahun 2009 angka melek huruf Provinsi Jawa Barat telah
mencapai 95,98 persen. Meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 95,53
persen. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk provinsi Jawa Barat yang buta
huruf masih ada sebesar 4,02 persen.
Gambar 1.6Persentase Angka Melek Huruf di Provinsi Jawa Barat tahun2005-2009Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010)
Pendidikan memang merupakan hal penting dalam membangun negara.
Kesadaran inilah yang mendorong Pemerintah Pusat menetapkan Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 Bab IV pasal 6 ayat 1 mengenai
hak dan kewajiban warga negara berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun
mengikuti pendidikan dasar. Pada Pasal 11 ayat 2 dinyatakan bahwa Pemerintah
pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negaraberusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Dengan demikian, seharusnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang
tidak bersekolah.
Rata-rata lama bersekolah juga menjadi indikator pendidikan dikarenakan
rata-rata lama bersekolah dapat menjadi cerminan tingkat drop out murid.Gambar
1.6 memaparkan pergerakan rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Barat. Pada
94,694,91
95,3295,53
95,98
93,5
94,0
94,5
95,0
95,5
96,0
96,5
2005 2006 2007 2008 2009
Angk
a M
elek
Hur
uf (P
erse
n)
Tahun
10
tahun 2009, rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Barat mencapai 7,72 tahun.
Angka ini tergolong masih rendah karena angka maksimal rata-rata lama sekolah
yang ditetapkan oleh BPS adalah 15 tahun.
Gambar 1.7Rata-Rata Lama Sekolah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010)
Program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah pusat,
harus mendorong pemerintah daerah menggiatkan pembangunan sarana prasarana
pendidikan yang berkualitas.Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan
merupakan kebijakan tepat untuk memperluas akses masyarakat terhadap
pendidikan. Pembangunan sekolah akan memberikan dampak positif terhadap
peningkatan angka melek huruf dan peningkatan partisipasi bersekolah.Pada tahun
2009 jumlah SD dan SMP sebanyak 29.600 sekolah meningkat dari tahun 2008
yang sebesar 28.130 sekolah (Gambar 1.8).
Gambar 1.8 Jumlah SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2005-2009Sumber: BPS (2010)
7,4
7,50 7,50 7,50
7,72
7,1
7,2
7,3
7,4
7,5
7,6
7,7
7,8
2005 2006 2007 2008 2009Rata
-Rat
a La
ma
Seko
lah
(Tah
un)
Tahun
22,7622,88 27,18 28,13
29,60
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
seko
lah
SD d
an S
Mp
(rib
u)
11
Sektor kesehatan juga menjadi fokus dalam peningkatan IPM di Jawa Barat.
Tolak ukur kondisi kesehatan di Jawa Barat salah satunya bisa dilihat dari angka
harapan hidupnya. Provinsi Jawa Barat memiliki angka harapan hidup sebesar 68
tahun pada tahun 2009. Dibandingkan dengan nilai maksimal IPM menurut
UNDP sebesar 85 tahun, usia harapan hidup di Jawa Barat masih termasuk
rendah. Namun tren meningkatnya usia harapan hidup tiap tahun di Provinsi Jawa
Barat menandakan adanya perbaikan di sektor pendidikan di provinsi ini. (Gambar
1.9)
Gambar 1.9 Angka Harapan Hidup Jawa Barat Tahun 2005-2009Sumber: BPS, 2010
Perbaikan sektor kesehatan juga terlihat dari jumlah sarana prasarana
kesehatan yang meningkat di Jawa Barat. Pada tahun 2009, jumlah puskesmas di
Jawa Barat sebanyak 3.337 Puskesmas yang terdiri dari puskesmas umum,
puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling (Gambar 1.10). Dengan
meningkatnya jumlah puskesmas, akses masyarakat terhadap sarana kesehatan
pun akan meningkat.
67,2
67,40
67,60
67,80
68,00
66,8
67,0
67,2
67,4
67,6
67,8
68,0
68,2
2005 2006 2007 2008 2009
Angk
a Ha
rapa
n Hi
dup
(Tah
un)
Tahun
12
Gambar 1.10 Jumlah Puskesmas di Jawa Barat Tahun 2005-2009Sumber: BPS (2010)
Sektor perekonomian juga menjadi penentu peningkatan IPM. Dalam
penghitungan IPM, komponen pengeluaran per kapita menjadi indikator.
Pendapatan per kapita mencerminkan daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat
akan menentukan akses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup yang
menyangkut kualitas hidup termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Di
Jawa Barat pengeluaran per kapita masyarakat adalah Rp 628.710,- pada tahun
2009 (Gambar 1.11). Jumlah ini masih dibawah standar maksimal yang ditetapkan
oleh UNDP yakni sebesar Rp 732.720,-.
Gambar 1.11 Pengeluaran Per Kapita Jawa Barat Tahun 2005-2009Sumber: BPS (2010)
29853031
3094
3230
3337
2800
2900
3000
3100
3200
3300
3400
2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
Pusk
esm
as
619,7621,11
623,64
626,81628,71
614,0616,0618,0620,0622,0624,0626,0628,0630,0
2005 2006 2007 2008 2009Peng
elua
ran
Per K
apita
(Rib
uRp
)
Tahun
13
Berdasarkan paparan di atas, terdapat bebarapa permasalahan yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di Jawa
Barat
2. Bagaimana implikasi kebijakan peningkatan sumber daya manusia dengan
realitas yang terjadi di provinsi Jawa Barat.
1.3 Tujuan Panelitian
Tujuan dari penelitian ini dapat dijabarkan menjadi dua poin sebagai
berikut:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di
Jawa Barat
2. Mengkaji implikasi kebijakan peningkatan sumber daya manusia dengan
realitas yang terjadi di provinsi Jawa Barat
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan arahan
dan sebagai dasar pertimbangan antara lain:
1. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam
perumusan dan perencanaan kebijakan pembangunan daerah baik
pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia.
2. Sebagai informasi dan studi pustaka kepada masyarakat, pemerintah,
praktisi dan akademisi, khususnya tentang kajian pembangunan manusia
di Jawa Barat.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup dan penelitian meliputi beberapa hal. Pertama, memberikan
gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia yang meliputi
tiga aspek besar dalam penghitungan indeks pembangunan manusia yakni peluang
hidup (longevity), pengetahuan (knowladge), dan hidup layak (decent living).
Adapun peluang hidup diukur dengan pendekatan kesehatan meliputi ketersediaan
sarana kesehatan dan pelayan kesehatan. Sementara aspek pengetahuan diukur
dengan pendekatan pendidikan yaitu ketersedian sekolah dasar dan menengah di
14
suatu wilayah. Sedangkan untuk aspek hidup layak memakai pendekatan variabel
kemiskinan dan variabel PDRB per kapita. Selain ketiga aspek tersebut,
dimasukkan juga sarana infrastruktur yang dapat menunjang perekonomian suatu
wilayah. Dengan memasukkan sarana infrastruktur dengan pendekatan panjang
jalan, diduga akan memberikan pengeruh positif terhadap kesejahteraan
masyarakat.
Penelitian ini hanya meneliti Provinsi Jawa Barat yang meliputi 25
Kabupaten Kota. Adapun Kabupaten Bandung Barat yang baru terbentuk tahun
2007 dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandungtidak menjadi objek
penelitian terkait dengan ketersedian data. Penelitian ini juga meneliti kebijakan-
kebijakan yang diterapkan Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 2005-
2009 dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teori-Teori
2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi
Simon Kuznet menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari suatu negara untuk menyediakan
berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya
kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan),
dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2003).
Sementara Robinson Tarigan menekankan pertumbuhan ekonomi dalam sisi
kewilayahan dimana pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan pertambahan
pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai
tambah (value added) yang terjadi di wilayah tersebut.
Menurut pandangan kaum historis, diantaranya Friedrich List dan Rostow,
pertumbuhan ekonomi merupakan tahapan proses tumbuhnya perekonomian
mulai dari perekonomian bersifat tradisional yang bergerak di sektor pertanian
dimana produksi bersifat subsisten, hingga akhirnya menuju perekonomian
modern yang didominasi oleh sektor industri manufaktur. Menurut pandangan
ekonom klasik seperti Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus dan
John Stuart Mill, maupun ekonom neo klasik, Robert Solow dan Trevor Swan,
empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah
penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan
(4) tingkat teknologi yang digunakan. Jumlah penduduk sangat erat kaitannya
dengan pertumbuhan ekonomi dimana penduduk sebagai penggerak
perekonomian. Semakin banyak jumlah penduduk suatu daerah tidak berarti
pembangunan di daerah tersebut menjadi lebih baik. Jumlah penduduk yang
berlebihan justru akan menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah. Jumlah stok barang modal menjadi faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan produksi barang dan jasa yang
selanjutnya akan diperjualbelikan. Sementaraluas tanah dan kekayaan merupakan
pendukung kegiatan-kegiatan perekonomian. Tingkat teknologi tidak bisa
16
dilepaskan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dikarenakan teknologi dapat
menentukan efektivitas dan efisiensi kegiatan ekonomi.
Keempat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tersebut dapat
menentukan perkembangan kegiatan perekonomian. Menurut Kuncoro, 2003
suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila
tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa
sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi menitik beratkan pada
capaiaan yang lebih baik dari sebelumnya berkenaan dengan kualitas dan
kuantitas kegiatan perekonomian suatu wilayah.
Schumpeter menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan
perkembangan ekonomi adalah proses inovasi, dan pelakunya adalah inovator
atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa
diterapkan dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur. Inovasi yang
diperlukan dalam perkembangan ekonomi adalah inovasi yang memberikan
perbaikan dalam poses produksi sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas
kegiatan-kegiatan ekonomi.
Menurut Todaro (2003: hal 92-98), ada tiga faktor utama dalam
pertumbuhan ekonomi, yaitu :
1. Akumulasi modal “termasuk semua investasi baru yang berwujud
tanah/(lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human
resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari
pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali
dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang.
Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa
jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi
menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan
sumber daya manusia bermuara pada peningkatan kualitas modal
manusia, yang pada akhirnya dapat berdampak positif terhadap angka
produksi.”
2. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja. “Pertumbuhan penduduk
dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja
(labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif
17
dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak
angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin
banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.”
3. Kemajuan Teknologi. “Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi
cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi,
yakni :
a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output
yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi
input yang sama.
b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor
saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output
yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau
input modal yang sama
c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika
penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan
barang modal yang ada secara lebih produktif.”
2.1.2 Modal Manusia dalam Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
Manusia merupakan aset berharga dalam pembangunan dan juga merupakan
subjek dari pembangunan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh
Todaro dan Smith (2003) dimana pembangunan memiliki tiga nilai inti yaitu
tercapainya kemampuan hidup (life sustenance), kemandirian (self esteem) dan
kemerdekaan atau kebebasan (freedom). Kemampuan hidup diartikan
kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kemandirian berarti
mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian. Adapun kemerdekaan
berarti memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup.
Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4
(empat) komponen utama, yaitu : (1) Produktifitas, masyarakat harus dapat
meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses
memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan
ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, (2) Ekuitas,
18
masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua
hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat
dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-
kesempatan ini, (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus
dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan
datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus
dilengkapi, (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat
dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam
mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan
mereka.Dengan peningkatan kemampuan, kreatifitas dan produktifitas manusia
akan meningkat sehingga mereka menjadi agen pertumbuhan yang efektif.
Pertumbuhan ekonomi harus dikombinasikan dengan pemerataan hasil-hasilnya.
Pemerataan kesempatan harus tersedia baik, semua orang, perempuan maupun
laki-laki harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan
pelaksanaan keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan
mereka. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang
menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh
kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya
(pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia
hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis
dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan
ekonomi).
UNDP membahas pembangunan manusia dengan menghubungannyadengan
model sosial dan reproduksi sosial. Pembangunan manusia merupakan model
sosial, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang dapat mengembangkan
kemampuan pekerja, petani dan pengusaha sehingga dapat menghasilkan produk
yang berkualitas dengan teknologi dan penelitian serta pengembangan produk.
Produk ini kemudian menjadi komposisi output yang berkualitas yang dapat
diekspor.
Kekuatan timbal balik antar pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan
manusia tidak terlepas dari kebijakan institusi dan pemerintah. Kebijakan ini yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menentukan distribusi sumberdaya
19
swasta dan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi disusun oleh tiga faktor penting
yaitu tabungan luar negeri, modal fisik, dan tabungan dalam negeri. Makin baik
tiga faktor ini akan menentukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat
menguatkan kredibelitas institusi dan pemerintah.
Komitmen pemerintah dalam pendistribusian sumber daya dilakukan
melalui dua saluran, yakni dari kebijakan pengeluaran pemerintah yang ditujukan
pada prioritas sosial seperti pembangunan infrastruktur dan melalui kegiatan
pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan individu rumah tangga seperti
pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Keduanya bermuara di
tempat sama yakni model sosial yang selanjutnya dapat membangun manusia
yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi dengan sasaran pengeluaran rumah
tangga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan yaitu dengan penyediaan
lapangan pekerjaan yang merupakan jembatan antar pengeluaran pemerintah dan
pengeluaran rumah tangga (Gambar 2.1). Model UNDP ini telah banyak
digunakan dalam berbagai penelitian.
Teori-teori bahwa pembangunan ditentukan oleh modal manusia banyak
disebut-sebut oleh pakar-pakar ekonomi. Adam Smith tak hanya mengangkat
tentang kebijakan laissez-faire, tetapi juga sangat memperhatikan tentang
pembangunan. Smith pun berpendapat bahwa faktor penentu pembangunan adalah
perkembangan penduduk. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan
perluasan pasar akan meninggikan tingkat spesialisasi dalam perekonomian
tersebut. Sebagai akibat dari spesialisasi yang terjadi, maka tingkat kegiatan
ekonomi akan bertambah tinggi.
20
Pembangunan Manusia
Model Sosial, LSM, dan Organisasi kemasyarakatan
Reproduksi Sosial
Kemampuan Pekerjadan petani
pengusaha Manajer
Pengeluaranprioritas sosial
Pengeluaranrumah tangga
untuk kebutuhandasar
Produk R&D danTeknologi
Kebijaksanaan danpengeluaran pemerintah
Kegiatan danpengeluaran
rumah tangga
Komposisi outputdan ekspor
Ketenagakerjaan
Distribusi sumber daya swasta dan masyarakat
Tabungan Luarnegeri Modal Fisik
Tabungandalam negeri
Institusi dan pemerintah
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 2.1 Hubungan Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan EkonomiSumber: UNDP (1996)
21
2.1.3 Pendidikan
Menurut Schweke (2004), pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber
daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta
menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan
kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan
tidak saja berguna bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan
masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan
meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan
jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem
krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare
dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Dalam upaya mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
(sustainable development), sektor pendidikan memainkan peranan yang sangat
strategis khususnya dalam mendorong akumulasi modal yang dapat mendukung
proses produksi dan aktivitas ekonomi lainnya. Secara definisi,World Commision
on Environmental and Development, 1997 dalam McKeown (Satria, 2008), bahwa
sustainable development adalah: “Sustainable development is development that
meets the needs of thepresent without comprimising the ability of future
generations to meet their ownneeds.” Dalam konteks ini, pendidikan dianggap
sebagai alat untuk mencapai target yang berkelanjutan, karena dengan pendidikan
aktivitas pembangunan dapat tercapai, sehingga peluang untuk meningkatkan
kualitas hidup di masa depan akan lebih baik. Di sisi lain, dengan pendidikan,
usaha pembangunan yang lebih hijau (greener development) dengan
memperhatikan aspek-aspek lingkungan juga mudah tercapai.
Analisis atas investasi dalam bidang pendidikan menyatu dalam pendekatan
modal manusia. Modal manusia (human capital) adalah istilah yang sering
digunakan oleh para ekonom untuk pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia
yang lain yang dapat meningkatkan produktivitas jika hal-hal tersebut
ditingkatkan. Pendidikan memainkan kunci dalam membentuk kemampuan
sebuah negara untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan
22
kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan
(Todaro, 2003).
Memasuki abad ke-21, paradigma pembangunan yang merujuk knowledge-
based economymenjadi semakin dominan. Paradigma ini menegaskan tiga
hal:Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan
dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi
penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses
transformasi struktural berjangka panjang.1
2.1.4 Kesehatan
Laporan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan tahun 2001 dalam
Atmawikarta(2002) menekankan pentingnya pembangunan manusia sebagai
sentral pembangunan. Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan
keluarga, kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk
belajar di sekolah. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental akan lebih
enerjik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan penghasilan yang tinggi.
Keadaan ini terutama terjadi di negara-negara sedang berkembang, dimana
proporsi terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara manual. Pada tingkat
makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik merupakan masukan (input)
penting untuk menurunkan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan
ekonomi jangka panjang. Beberapa pengalaman sejarah besar membuktikan
berhasilnya tinggal landas ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang cepat
didukung oleh terobosan penting di bidang kesehatan masyarakat, pemberantasan
penyakit dan peningkatan gizi.
Dengan demikian menurut Atmawikarta (2002), terdapat korelasi yang kuat
antara tingkat kesehatan yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Secara statistik diperkirakan bahwa setiap peningkatan 10 persen dari angka
harapan hidup (AHH) waktu lahir akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
minimal 0,3–0,4 persen pertahun, jika faktor-faktor pertumbuhan lainnya tetap.
Dengan demikian, perbedaan tingkat pertumbuhan tahunan antara negara-negara
1(Amich Alhumami- Kompas, 6/8/2004)
23
maju yang mempunyai AHH tinggi (77 tahun) dengan negara-negara sedang
berkembang dengan AHH rendah (49 tahun) adalah sekitar 1,6 persen, dan
pengaruh ini akan terakumulasi terus menerus.
Peningkatan kesejahteraan ekonomi sebagai akibat dari bertambah
panjangnya usia sangatlah penting. Dalam membandingkan tingkat kesejahteraan
antar kelompok masyarakat, dapat merujuk pada angka harapan hidup. Di negara-
negara yang tingkat kesehatannya lebih baik, setiap individu memiliki rata-rata
hidup lebih lama, dengan demikian secara ekonomis mempunyai peluang untuk
memperoleh pendapatan lebih tinggi. Keluarga yang usia harapan hidupnya lebih
panjang, cenderung untuk menginvestasikan pendapatannya di bidang pendidikan
dan menabung. Dengan demikian, tabungan nasional dan investasi akan
meningkat, dan pada selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.1.5 Pendapatan Per Kapita
Pembangunan manusia dapat diartikan sebagai suatu proses yang
menyebabkan pendapatan per kapita suatu masyarakat terus-menerus bertambah
dalam jangka panjang. Menurut Sukirno (2006), pendapatan perkapita dapat
digunakan untuk tiga tujuan berikut: (i) menentukan tingkat kesejahteraan yang
dicapai suatu negara pada suatu tahun tertentu; (ii) menggambarkan tingkat
kelajuan atau kecepatan pembangunan ekonomi dunia dan di berbagai negara;
dan (iii) menunjukkan jurang pembangunan di antara berbagai negara.
Merujuk pada penggunaan pendapatan perkapita tersebut, maka pendapatan
per kapita dapat digunakan dalam mengukur daya beli masyarakat yang kemudian
berkaitan dengan kesejahteraan yang dicapai dalam suatu negara. Pendapatan
perkapita didefinisikan sebagai besarnya pendapatan rata–rata penduduk di suatu
negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan
nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan
perkapita juga merefleksikan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita.
Produk domestik bruto per kapita atau produk domestik regional bruto per
kapita pada skala daerah dapat digunakan sebagai pengukur pertumbuhan
ekonomi yang lebih baik karena lebih tepat mencerminkan kesejahteraan
penduduk suatu negara daripada nilai PDB atau PDRB saja. Produk domestik
24
bruto per kapita baik di tingkat nasional maupun di daerah adalah jumlah PDB
nasional atau PRDB suatu daerah dibagi dengan jumlah penduduk di negara
maupun di daerah yang bersangkutan, atau dapat disebut juga sebagai PDB atau
PDRB rata-rata (Prastyo, 2010).
Bank Dunia menggunakan Produk Nasional Bruto (PNB), bukan PDB
sebagai alat ukur perkembangan ekonomi suatu negara, yaitu dengan
memperhitungkan pendapatan bersih dan faktor produksi milik orang asing.
Walaupun PDB atau PNB per kapita merupakan alat pengukur yang lebih baik,
namun tetap belum mencerminkan kesejahteraan penduduk secara tepat, karena
PDB rata-rata tidak mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang sesungguhnya
dirasakan oleh setiap orang di suatu negara. Dapat saja angka-angka rata-rata
tersebut tinggi, namun sesungguhnya ada penduduk atau sekolompok penduduk
yang tidak menerima pendapatan sama sekali. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan
unsur distribusi pendapatan di antara penduduksuatunegara. Dengan
memperhatikan unsur distribusi pendapatan itu, maka PDB atau PNB per kapita
yang tinggi disertai distribusi pendapatan yang lebih merata akan mencerminkan
kesejahteraan ekonomi yang lebih baik daripada bila pendapatan per kapitanya
tinggi namun ada distribusi pendapatan yang tidak merata. Meskipun demikian,
demi sederhananya pengukuran, pendapatan per kapita tetap merupakan alat
pengukur yang unggul dibanding dengan alat-alat pengukur yang lain (Prastyo,
2010).
2.1.6 Indeks Pembangunan Manusia
Perkembangan manusia secara berkelanjutan merupakan hal penting yang
perlu diukur dengan pengukuran indikator komposit yang cukup representatif.
Ukuran pembangunan manusia yang populer adalah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang diperkenalkan oleh UNDP dalam laporannya pada Human
development Report tahun 1997. UNDP berupaya menggantikan ukuran
kemiskinan “pendapatan” Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan “manusia”.
Satuan inilah yang kemudian dinamakan Indeks Kemiskinan Manusia (Human
Poverty Indeks-HPI atau populer juga dengan Indeks Pembangunan Manusia.
Menurut UNDP, kemiskinan manusia harus diukur dalam satuan hilangnya tiga
25
hal utama, yaitu kehidupan yang diukur dari harapan hidup penduduknya. Di
negara-negara miskin lebih dari 30 persen penduduknya cenderung memiliki
harapan hidup tidak lebih dari 40 tahun. Kemiskinan juga dihitung dari
pendidikan dasar yang diukur melalui persentase penduduk dewasa yang buta
huruf dan keseluruhan ketetapan ekonomi yang diukur oleh persentase penduduk
yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah
persentase anak dibawah 5 tahun yang kekurangan berat badan. Angka HPI yang
rendah berarti menunjukkan hal yang bagus (yakni, sedikitnya persentase
penduduk yang mengalami kehilangan 3 hal tersebut). Sementara HPI yang lebih
tinggi menunjukkan kehilangan yang lebih besar.
Dengan kata lain Indeks pembangunan mencakup tiga komponen yang
dianggap mendasar bagimanusia dan secara operasional mudah dihitung untuk
menghasilkan suatu ukuranyang merefleksikan upaya pembangunan manusia.
Ketiga aspek tersebut berkaitandengan peluang hidup (longevity), pengetahuan
(knowledge), dan hidup layak(decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan
angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama
sekolah angka melek hurufpenduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur
dengan pengeluaran perkapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity
(paritas daya beli dalamrupiah).Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup
atau e0 yang dihitungmenggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian
Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang
masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-
rata lama sekolah yang dihitung berdasarkan data Suseda. Sebagai catatan, UNDP
dalam publikasi tahunan Human Development Report (HDR). Indikator angka
melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis,
sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua
variabel secara simultan; yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan
jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Komponen standar hidup layak
diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai
catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita
riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP percapita) sebagai ukuran
komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk
26
keperluan perbandingan antar negara. Secara singkat konsep IPM dapat
digambarkan sebagai berikut:
IPM Dimensi UmurPanjang danHidup Sehat
Pengetahuan StandarKehidupanLayak
Indikator HarapanHidup saatlahir
TingkatMelekHurufDewasa(Lit)
Rata-ratalamanyabersekolah(MYS)
Pengeluaranriil perkapita(PPP rupiah)
Dimension Indeks IndeksHarapanHidup
IndeksPendapatan
Indeks Pendidikan
Indeks Pembangunan ManusiaGambar 2.2Alur Konsep IPM
Sumber: BPS, 2010
BPS memberikan ilustrasi penghitungan IPM sebagai berikut:
IPM = 1/3 (X(1) + X(2) + X(3)) (1)
Dimana:
X(1) : Indeks harapan hidup
X(2) : Indeks pedidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-
rata lama sekolah)
X(3) : Indeks standar hidup layak
Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan
antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai
maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat
disajikan sebagai berikut:
Indeks X(i) = (X(i) – X (i) min) / X(i)maks – X(i)min) (2)
Dimana:
X(i) : Indikator ke-i
X(i)maks : Nilai maksimum X(i)
X(i)min : Nilai minimum X(i)
Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada tabel di bawah
ini:
27
Tabel 2.1 Perhitungan Indeks Pembangunan ManusiaIndeks Komponen
IPM(X(1))
NilaiMaksimum
NilaiMinimum
Catatan
(1) (2) (3) (4)Angka HarapanHidup
85 25 Sesuai standar global(UNDP)
Angka MelekHuruf
100 0 Sesuai standar global(UNDP)
Rata-rata LamaSekolah
15 0 Sesuai standar global(UNDP)
Konsumsi perKapita yangdisesuaikan 1996
732.720a) 300.000b) UNDP menggunakan PDBper kapita riil yangdisesuaikan.
Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/ unit/ tahun untuk provinsi yang memiliki
angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan
formula Atkitson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per
tahun selama kurun 1993-2018
b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk provinsi yang
memiliki angka terendah tahun 1990 di daerah pedesaan Sulawesi
Selatan dan tahun 2000 di Irian Jaya.
2.1.7 Kemiskinan dan Pembangunan Manusia
BPS mendefinisikan kemiskinan dengan kondisi kehidupan yang serba
kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Sementara
Chambers mengartikan kemiskinan sebagai keadaan kekuranganuang dan barang
untuk menjamin kelangsungan hidup. Dengan demikian, kemiskinan memiliki arti
luas sebagai suatu konsep yang terintegrasi dengan memiliki lima dimensi, yaitu:
1) kemiskinan(proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan
menghadapi situasidarurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence),
dan 5) keterasingan(isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan
tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan
dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap
ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan jalan hidupnya
sendiri (Prasetyo, 2010).
28
Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan di
bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang
dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja.
b. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga
menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
c. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau
berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif
meskipun ada bantuan dari pihak luar.
d. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya
akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya
dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi
seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Sementara BPS menjabarkan kemiskinan melalui indikator dan dimensi
kemiskinan sebagai berikut:
29
Tabel 2.2 Dimensi dan Indikator Kemiskinan
Kebutuhan Dasar Contoh Indikator1. Konsumsi a. Persentase penduduk dibawah Garis
Kemiskinanb. Indeks Kedalaman Kemiskinanc. Indeks Keparahan Kemiskinan
Persentase pengeluaran makanand. Persentase penduduk dengan
konsumsi energi < 2100 kkalperkapita perhari
e. Persentase balita kurang gizi
2. Kesehatan a. Persentase penduduk meninggalsebelum 40 tahun
b. Persentase penduduk tanpa aksespada pelayanan kesehatan dasar
c. Angka Kematian Bayi
3. Pendidikan Dasar a. Persentase penduduk usia 7-15tahun tidak sekolah
b. Persentase penduduk dewasa butahuruf
4. Ketenagakerjaan a. Persentase penduduk penganggurterbuka
b. Persentase penduduk setengahpenganggur
c. Persentase pekerja sektor informal5. Perumahan a. Persentase rumahtangga tanpa akses
pada listrikb. Persentase rumahtangga dengan
lantai tanahc. Persentase penduduk dengan luas
lantai < 10 m2
6. Air dan Sanitasi a. Persentase penduduk tanpa aksespada air bersih
b. Persentase penduduk tanpa jambansendiri
Sumber: BPS (2004)
2.1.8 Kebijakan Pro Poor Growth
Pro poor growth merupakan hubungan timbal balik antara tiga unsur:
pertumbuhan, kemiskinan, dan ketidakmerataan. Tingkat kemiskinan tidak hanya
dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh level dan
perubahan ketidakmerataan (Suparno, 2010).
30
Revalion (1998) mendefinisikan pro poor growth sebagai peningkatan PDB
yang menurunkan kemiskinan. Menurut Zepeda (2004) definisi ini masih sangat
luas, implikasinya sebagian besar pertumbuhan ekonomi di dunia tergolong
sebagai pro poor growthselama terjadi penurunan kemiskinan walaupun distribusi
pendapatan memburuk. Sedangkan badan-badan internasional seperti PBB,
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), UNDP, dan
Bank Dunia lebih sering menggunakan pro poor growth sebagai pertumbuhan
ekonomi yang lebih menguntungkan penduduk miskin dan memberikan mereka
kesempatan untuk memperbaiki situasi ekonomi mereka seperti dikemukakan
Kakwani (2004).
2.1.9 Pembangunan Infrastruktur dan Pembangunan Manusia
Pembangunan ekonomi atau lebih tepatnya pertumbuhan ekonomi
merupakan prasyarat bagi tercapainya pembangunan manusia, karena
pembangunan ekonomi terjamin peningkatan produktivitas dan peningkatan
pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja. Dengan demikian,
pembangunan infrastruktur tidak dapat diabaikkan karena merupakan faktor
utama dalam peningkatan produktivitas (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Hubungan Infrastruktur dengan Pembangunan Manusia
Infrastruktur yang baik adalah sektor pendukung yang sangat penting dalam
setiap aktivitas agar berlangsung efektif dan efisien. Pembangunan akan tercapai
jika didukung oleh infrastruktur yang memadai yang diindikasikan dengan
kualitas layanan sarana dan prasarana yang baik (Indratno, 2008).
Aspek PembangunanManusia
Pendidikan
Ekonomi(pendapatan)
Kesehatan
Infrastruktur
31
Infrastruktur pembangunan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni
infrastruktur ekonomi dan infrasturktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah
infrastruktur fisik, baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang
dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini meliputi semua
prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air
bersih, dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial
antara lain meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan (Ramelan, 1997).
Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem
penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan
sebagainya yang merupakan social overhead capital, memiliki keterkaitan yang
sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh
laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat
dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem
infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang
mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam
mendukung pembangunan nasional (Bappenas, 2003).
Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas
transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke
tempat lain diseluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses
produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi.
Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses
produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian.
Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas
bagi faktor-faktor produksi.
Sebagaimana teori Lewis, kondisi pareto optimal akan tercapai bila terjadi
mobilitas faktor-faktor produksi (labour) tanpa hambatan untuk memacu
pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 2007). Daerah-daerah yang memiliki tingkat
mobilitas faktor-faktor produksi antar daerah rendah akan menyebabkan
pertumbuhan ekonominya rendah. Daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan
32
tinggi menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi di daerah yang bersangkutan
memiliki mobilitas antar daerah yang rendah.
Infrastruktur dapat digolongkan sebagai modal atau capital. Infrastruktur
tergolong sebagai social overhead capital, berbeda dengan modal yang
berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi, perluasan infrastruktur
tidak hanya menambah stok dari modal tetapi juga sekaligus meningkatkan
produktifitas perekonomian dan taraf hidup masyarakat luas.
Teori Wagner menyebutkan adanya keterkaitan positif antara pertumbuhan
ekonomi dan besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.
Teori ini menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah akan tumbuh lebih cepat
dari GDP, dengan kata lain elastisitas pengeluaran pemerintah terhadap GDP lebih
besar dari satu. Dalam, suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita
meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah akan meningkat. Dasar dari teori
Wagner ini adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju
(Mangkoesoebroto, 2001). Pengeluaran pemerintah akan meningkat guna
membiayai tuntutan masyarakat akan kemudahan mobilitas untuk mendukung
kegiatan ekonomi.
Dalam Yanuar (2006) dijelaskan ada dua kendala utama dalam pengadaan
infrastruktur. Yang pertama adalah adanya kemungkinan terjadinya kegagalan
pasar (market failure), dan yang kedua adalah menyangkut aspek pembiayaan.
Dalam pengadaan infrastruktur dibutuhkan dana investasi yang besar dan
pengadaan infrastruktur merupakan investasi jangka panjang. Kegagalan pasar
terjadi, karena beberapa jenis infrastruktur memiliki manfaat yang tidak hanya
dapat dinikmati atau dirasakan secara pribadi akan tetapi juga dapat dirasakan
orang lain. Dengan adanya kendala tersebut, maka pengadaan infrastruktur
dilaksanakan oleh pemerintah melalui pengeluaran pemerintah dengan dana yang
terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui
pengeluaran pembangunan.
2.1.10 Analisis Panel Data
Ketersediaan data seringkali menjadi kendala dalam dalam suatu penelitian.
Data dengan series yang pendek menjadi permasalahan dalam pengolahan data
33
time series karena akan mempengaruhi validitas analisis sebagai konsekuensi
minimnya jumlah data. Permasalahan lain juga terjadi apabila penelitian memiliki
jumlah unit cross section yang terbatas sehingga menyulitkan analisis prilaku dari
model yang diteliti.
Teori ekonometrika memberikan solusi untuk permasalah tersebut. Salah
satunya dengan menggunakan data panel (Pooled data). Menurut Gujarati (2003)
data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan
gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah
data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu. Metode data
panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik
yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau
cross section.
Baltagi (2005) mengemukakan kelebihan yang diperoleh dari penggunaan
data panel:
1. Dapat mengendalikan keheterogenan individu atau unit cross section;
2. Dapat memberikan informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas
diantara variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efisien;
3. Panel data lebih baik untuk studi dynamic of adjustment;
4. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak
dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series;
5. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model prilaku (behavioral
models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section
atau time series.
Analisis menggunakan data panel adalah kombinasi antara data deret waktu
dan kerat lintang. Jika T adalah jumlah observasi dan n adalah jumlah unit cross
section, maka panel data terjadi jika T 1 dan n 1. Jika observasi untuk setiap
unit cross section sama banyaknya disebut balance panels sedangkan jika tidak
sama banyak disebut unbalance panels (Johnston, 2000). Proses mengkombinasi
data cross section dan time series untuk membentuk panel disebut pooling.
Bentuk panel data dapat dinotasikan sebagai berikut:
Yit= Nilai variabel terikat (dependent variabel) untuk setiap unit
individu (cross section) i pada periode t
34
dimana i = 1, 2, …. ,n dan t = 1, 2,… ,T
Xitj = Nilai variabel bebas (independent variabel) atau disebut juga
variabel penjelas ke-j untuk unit individu (cross section) i pada
waktu t.
K merupakan indeks variabel penjelas j = 1,…,K
Dalam bentuk matrik, cara umum dalam mengelompokkan data dalam unit-
unit sebagai berikut :
Dimana it berarti disturbance term untuk unit ke-i pada waktu t. Seringkali data
tersebut mempunyai bentuk sebagai berikut :
Dimana y = nT x 1, X = nT x k, dan = nT x 1. Sehingga Model linear standar
dapat diperlihatkan sebagai berikut :
dimana
Pada persamaan di atas secara sederhana dapat dilakukan perhitungan
dengan mengasumsikan bahwa it ~ (0,2) untuk semua i dan t. Untuk semua
individual yang ditentukan, observasi tidak terjadi serial korelasi. Dan lintas
individu dan waktu terjadi homokedastisitas pada galatnya.
Analisis panel data memiliki tiga pendekatan, yaitu pendekatan kuadrat
terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan
iT
i
i
i
y
yy
y
2
1
KiTiTiT
Kiii
KiiI
i
XXX
XXXXXX
X
21
222
12
121
11
iT
i
i
i
2
1
ny
yy
y
2
1
nX
XX
X
2
1
n
2
1
Xy
k
2
1
...…….(3.2)
……..(3.1)
.………………………..(3.3)
………….……………(3.4)
35
efek acak (random effect). Ketiga pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square)
Pendekatan kuadrat terkecil merupakan pendekatan pengolahan panel
data yag paling sederhana. Pendekatan ini biasa diterapkan pada data
berbentuk pool.Jika efek individu konstan sepanjang waktu dan spesifik
terhadap setiap unit cross section maka modelnya akan sama dengan model
regresi biasa. Apabila nilai individunya sama untuk setiap unit cross section-
nya, maka OLS pendekatan kuadrat terkecil akan menghasilkan setimasi yang
konsisten dan efisien untuk variabel-variabelnya.Persamaannya dapat ditulis
seperti berikut:= ∝ + + untuk i = 1,2,….,N dan t = 1,2,…,T (3.5)
adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah time
series (periode waktu). Dengan mengasumsikan komponen error dalam
pengolahan kuadrat terkecil biasa, maka proses estimasi secara terpisah untuk
setiap unit cross sectiondapat dilakukan.
b. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect)
Terdapat kasus dimana intersep dan slope dianggap konstan untuk tiap
cross section dan time series. Oleh karena itu diperlukan metode dengan
memasukkan variabel boneka (dummy variable) untuk mengizinkan
terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas cross
section maupun time series. Pendekatan dengan memasukkan variabel boneka
inilah yang disebut model efek tetap (fixed effect) atau sering disebut juga
Least Square Dummy Variable atau Covariance model. Persamaan untuk
pendekatan ini dapat ditulis:= ∝ + + ∑ ∝ + ...................………………....(3.6)
dimana:
= Variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i∝ = intercept yang berubah-ubah untuk antar cross section unit
= variabel bebas j di waktu t untuk cross section i
36
= parameter untuk variabel ke j
= komponen error di waktu t untuk unit cross section i
Model telah ditambahkan sebanyak (N-1) variabel boneka (Di) dan
menghilangkan satu sisanya untuk menghindari terjadinya kolinearitas
sempurna antar variabel penjelas. Dengan menggunakan pendekatan ini akan
terjadi degree of freedom sebesar NT-N-K. Namun pengurangan degree of
freedom ini akan mempengaruhi keefisienan dari parameter yang diestimasi.
Keputusan memasukkan variabel boneka harus berdasarkan pertimbangan
statistik yaitu dengan menggunakan statistik F. Statistik F ini berusaha
memperbandingkan antara nilai jumlah kuadrat dari error dari proses
pendugaan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dan efek tetap yang
telah memasukkan variabel boneka. Rumusan uji F adalah sebagai berikut:
, = /( )/ ( ) ……………………… (3.6)
dimana ESS1 dan ESS2 adalah jumlah kuadrat sisa dengan menggunakan
metode kuadrat terkecil biasa dan model efek tetap, sedangkan statistik F
mengikuti distribusi F dengan derajat bebas NT-1 dan NT-N-K. Nilai statistik
F uji inilah yang kemudian diperbandingkan dengan nilai statistik F tabel
yang akan menentukan pilihan model yang akan digunakan.
c. Pendekatan Efek Acak ( Random Effect)
Keputusan memasukkan variabel boneka dalam model efek tetap akan
dapat menimbulkan konsekuensi. Penambahan ini akan mengurangi
banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan
mengurangi keefisienan dari parameter yang diestimasi. Dengan demikian,
dalam model data panel diperkenalkan pendekatan ketiga yakni model efek
acak (random effect). Dalam pendekatan ini, parameter-parameter yang
berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error.
Karena hal ini, model efek acak sering disebut juga model komponen error
(error component model). Bentuk model efek acak adalah:= ∝ + + ……………………………………….(3.7)= + + ……………………………………………… (3.8)
dimana:
37
~ (0, ) = komponen cross section error~ (0, ) = komponen time series error~ (0, ) = komponen error kombinasi
Dengan menggunakan model efek acak ini, maka dapat menghemat
pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang
terjadi di model efek tetap. Dengan demikian parameter akan menjadi lebih
efisien.
Pemilihan antara model efek tetap dengan efek acak dapat ditentukan
secara teoritis. Menurut Gujarati (2003) beberapa pertimbangan untuk
menentukan apakah FEM atau ECM adalah:
a. Jika T (jumlah data deret waktu) adalah besar dan N (jumlah unit kerat
lintang) adalah kecil, maka sedikit perbedaan dalam nilai parameter yang
dihitung dengan FEM dan ECM. Oleh karena itu maka yang dipilih
berdasarkan perhitungan yang tepat. Pada sebab ini maka FEM lebih
disenangi.
b. Ketika N besar dan T kecil, menghasilkan dua metode yang secara
signifikan berbeda. Mengingat bahwa ECM 1i = 1 + i, dimana i adalah
komponen acak dari kerat lintang, padahal di FEM kita memperlakukan
1i sebagai fixed bukan acak (random). Pada kasus terakhir, statistik
inferen adalah merupakan kondisi pengamatan unit kerat lintang di dalam
sampel. Hal ini tepat jika kita percaya bahwa individu atau kerat lintang,
unit di dalam sampel bukanlah acak yang ditarik dari sampel yang besar.
Pada kasus itu, FEM lebih tepat. Namun jika unit kerat lintang dalam
sampel yang diperhatikan ditarik secara acak, maka ECM yang lebih tepat,
untuk kasus statistik inferensia maka tidak bersyarat.
c. Jika komponen galat individu i dan satu atau lebih regressors berkorelasi,
kemudian estimator ECM akan bias, sebaliknya estimator FEM adalah
tidak bias.
d. Jika N besar dan T kecil, dan jika asumsi pokok yang mendasari bagi ECM
dipegang, maka ECM lebih efisien dibandingkan FEM.
Jika tidak dapat ditentukan secara teoritis dampak dari gangguannya, maka
model efek acak dipilih jika data diambil dari sampel individu yang
38
merupakan sampel acak dari populasi yang lebih besar, dengan kata lain
menarik kesimpulan suatu populasi atau hanya meliputi beberapa individu.
Namun jika evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya
meliputi beberapa individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut
maka lebih baik digunakan model efek tetap. Cara lain dengan menggunakan
ukuran relatif jumlah individu dan rentang waktu yang digunakan untuk
jumlah individu yang tetap, semakin panjang waktu semakin kecil perbedaan
hasil estimasi antara model efek tetap dan model efek acak, Jika jangka waktu
cukup panjang maka dapat dipilih model efek tetap dengan alasan lebih
mudah dikerjakan.
d. Uji Chow
Beberapa buku menyebut uji Chow dengan pengujian F statistik. Uji Chow
digunakan untuk memilih model yang digunakan pooled least square atau
fixed effect. Terkadang asumsi bahwa setiap cross section memiliki prilaku
yang sama cenderung tidak realistis memingat bisa saja setiap unit cross
section memiliki prilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan
hipotesa sebagai berikut:
H0= Model Pooled Least Square
H1 = Model Fixed Effect (Unrestricted)
Dasar penolakan terhadap hipotesis nol tersebut adalah dengan
menggunakan F Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow (Baltagi, 2001):
CHOW = ( )/ ( )/( ) ………………………………………… (3.9)
dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square yaitu jumlah error kuadrat yang
diperoleh dari estimasi data panel dengan metode Pooled Least
Square
URSS = Unrestricted Residual Sum Square yaitu jumlah error kuadrat
yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas
39
Pengujian ini mengikuti distribusi F statistik yaitu FN-1,NT-N-K. Jika nilai
Chow Statistics (F stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup
bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga
model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.
Pengujian ini disebut uji Chow karena memiliki kemiripan dengan uji
Chow yang digunakan untuk menguji stabilitas dari parameter.
e. Uji Hausman
Pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek
individu digunakan untuk memilih apakah fixed atau random effects yang
lebih baik. Alat ujinya dapat digunakan Hausman Test. Dalam uji ini
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H0: E(τi xit) = 0 ………………..(3.10)
atau REM adalah model yang tepat
H1: E(τi xit)≠ 0 ………………..(3.11)
atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan
dengan:
H = (βREM – βfEM )’ (MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM ) ~ χ2 (k)
………………………………………………………………..….(3.12)
dimana:
M= matriks kovarians untuk parameter β
k = degrees of freedom
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan
adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya
40
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang pembangunan manusia telah dilakukan oleh Cahyadi
(2005). Cahyadi meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi indeks
pembangunan manusia di provinsi Bali. Teknik pengolahan data yang dilakukan
adalah dengan model ekonometrika OLS dengan data panel yang terdiri dari 9
kabupaten/ kota dengan tahun analisis 1996,1999, dan 2002. Variabel terikat yang
digunakan adalah indeks pembangunan manusia, sedangkan untuk variabel bebas
digunakan PDRB, investasi bruto,realisasi anggaran pembangunan sosial, rata-rata
pengeluaran rumah tangga sebulan, jumlah penduduk miskin, rasio jumlah murid
SD terhadap jumlah ruangan kelas SD, rasio jumlah sarana kesehatan terhadap
jumlah penduduk, dan persentase rumah tangga yang mempunyai akses air bersih.
Hasil dari penelitian tersebut adalah jumlah penduduk miskin berpengaruh
signifikan negatif terhadap IPM, anggaran pembangunan sosial sebagai indikator
pembiayaan pembangunan manusia dan persentase rumah tangga yang
mempunyai akses air bersih sebagai indikator kesehatan yang juga digunakan
sebagai proksi distribusi pendapatan berpengaruh signifikan secara positif
terhadap IPM dan bersifat inelastis. Sedangkan rata-rata pengeluaran rumah
tangga sebagai indikator pembiayaan pembangunan manusia, PDRB, investasi,
rasio sarana prasarana pendidikan dan kesehatan berpengaruh signifikan secara
positif terhadap IPM dan bersifat elastis.
Kajian tentang IPM juga telah dilakukan oleh Alam (2006) dengan studi
kasus Kabupaten Bekasi. Penelitian ini berfokus pada ketimpangan pendapatan
antar kecamatan di Kabupaten Bekasi pada tahun 1996-2004, kemajuan ekonomi
antar kecamatan, serta menganalisis faktor-faktor sosial dan ekonomi yang
mempengaruhi IPM di Kabupaten Bekasi. Teknik analisis yang digunakan adalah
dengan Analisis Weighted Coefficient Variation (CVw)atau Williamson (Iw)
Nilai indeks berkisar antara nol dan satu. Alat Analisis yang kedua adalah
TipelogiKlaasen dengan melihat perbandingan antara laju pertumbuhan ekonomi
(LPE) dan PDRB per kapitakecamatan terhadap angka LPE dan PDRB perkapita
rata-rata Kabupaten. Sedangkan alat Analisisselanjutnya adalah regresi data panel
dengan IPM sebagai Variabel babas, dan variabel terikatnya terdiridari: PDRB per
kapita kecamatan; Sarana pendidikan (jumlah gedung SD dan MI); Rasio guruSD
41
dan MI; ]umlah sarana kesehatan kecamatan; Rasio Tenaga Medis per 1000
penduduk; KepadatanPenduduk kecamatan; dan Akses penduduk terhadap air
bersih. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan PDRB, rasio guru terhadap murid
SD, kepadatan penduduk, dan rumah tangga yang memiliki akses terhadap air
bersih signifikan mempengaruhi IPM di kabupaten Bekasi dan disparitas
pendapatan yang tinggi di Kabupaten Bekasi tidak serta merta menyebabkan
tingginya disparitas IPM.
Muhammad (2010) juga melakukan penelitian tentang indeks
pembangunan manusia. Muhammad mengkaji pengaruh Foreign Direct
Investment (FDI) terhadap indeks pembangunan manusia di Pakistan. Variabel
yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah FDI, IPM, Ekspor-impor dan real
GDP. Penelitian ini menghasilkan FDI berpengaruh signifikan terhadap IPM
dimana kenaikan IPM menyebabkan kesempatan kerja meningkat dan menaikkan
standar hidup. Ekspor impor atau balance of trade berpengaruh signifikan
terhadap HDI dimana standar hidup meningkat dikarenakan banyaknya ekspor.
Sementara real GDP justru tidak berpengaruh terhadap IPM Peningkatan RGDP
justru menyebakan makin tingginya kesenjangan sosial karena pergerakan sumber
daya yang tidak efektif dan kegagalan pemerintah terhadap kebijakan fiskal.
Penelitian tentang Indeks Pembangunan Manusia juga dilakukan oleh
Yanuarta (2009). Penelitian Yanuarta mengaitkan alokasi anggaran pembangunan
dengan peningkatan indeks pembangunan manusia di Kabupaten Lampung Barat.
Metode analisis yang digunakan adalah dengan regresi berganda dengan
memasukkan variabel-variabel berupa belanja pembangunan sektor pendidikan,
belanja sektor kesehatan, dan belanja sektor perekonomian. Penelitian ini
menghasilkan kesimpulan Belanja pembangunan, belanja pendidikan, dan belanja
kesehatan mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan IPM. Prioritas
utama pembangunan sektor pendidikan adalah program sekolah gratis, rehabilitasi
sekolah, pemerataan guru, peningkatan kompetisi guru, pengadaan sarana
pendidikan, pembentukan PKBM, pembangunan sekolah, peningkatan insentif
guru, dan pendidikan D2 bagi guru SD. Prioritas pembangunan dalam bidang
kesehatan adalah pengobatan gratis, revitalisasi posyandu, dan pengadaan dokter
danbidan.
42
Tabel 2.4 Ringkasan Penelitian TerdahuluNo Nama Tahun Lokasi Model Hasil1 Cahyadi 2005 Bali Model 1: IPM = α10 + α11
LOGPDRB + α12 APSOS + α13LOGPDDMISKIN + α14RTAKSESAIR + ε 15Model 2 : IPM = α20 + α21LOGPENGLRT + α22 APSOS + α23LOGPDDKMISKIN + α24LOGSRPEN + α25 LOGSRNKES +α26 LOGINV + ε27Model 3: IPM = α30 + α31APSOS +α32 LOGPDDKMISKIN +α33LOGSRNPEN + ε34
1. Penduduk miskin berpengaruh signifikannegatif terhadap IPM
2. Anggaran pembangunan sosial sebagaiindikator pembiayaan pembangunanmanusia dan persentase rumah tangga yangmempunyai akses air bersih sebagaiindikator kesehatan yang juga digunakansebagai proksi distribusi pendapatanberpengaruh signifikan secara positifterhadap IPM dan bersifat inelastis.
3. Pengeluran rumah tangga, PDRB, investasi,sarana pendidikan, sarana kesehatanberpengaruh signifikan secara positifterhadap IPM dan bersifat elastis.
2 Alam,Jauharul
2006 KabupatenBekasi
IPM= f (PDRB per kapita, jumlahgedung SD/MI, rasio guru terhadapmurid SD/MI, jumlah saranakesehatan, rasio tenaga medis, rumahtangga yang dapat mengakses airbersih, kepadatan penduduk)
1. PDRB, rasio guru terhadap murid SD,kepadatan penduduk, dan rumah tanggayang memiliki akses terhadap air bersihsignifikan mempengaruhi IPM di kabupatenBekasi
2. Disparitas pendapatan yang tinggi diKabupaten Bekasi tidak serta mertamenyebabkan tingginya disparitas IPM
3 Muhammad,Sulaiman
2010 Pakistan ΔHDI = α + β1 ΔFDI + β2 Δ (Ex-Im)+ β3 ΔRGDP + β4µt-1 + εt
1. FDI berpengaruh signifikan terhadapHDI dimana kenaikan HDI menyebabkankesempatan kerja meningkat danmenaikkan standar hidup.
43
2. (Ex-IM) atau balance of tradeberpengaruh signifikan terhadap HDIdimana standar hidup meningkatdikarenakan banyaknya ekspor.
3. GDP riil tidak signifikan terhadap HDI.Peningkatan GDP riil justru menyebakanmakin tingginya kesenjangan sosialkarena pergerakan sumber daya yangtidak efektif dan kegagalan pemerintahterhadap kebijakan fiskal.
4 Yanuarta,Hendra
2009 Lampung Barat IPMt = β0 + β1Pendidikant-1 +β2Kesehatant-1 + β3Ekonomit-1+εt
IPt = β0 + β1Sarprast-1 + β2Buku t-1 +β3Gurut-1 + β4Oprst-1 + β5 iswat-1+ εt
1. Belanja pembangunan, belanjapendidikan, dan belanja kesehatanmempunyai pengaruh signifikan terhadappeningkatan IPM.
2. Prioritas utama pembangunan sektorpendidikan adalah program sekolahgratis, rehabilitasi sekolah, pemerataanguru, peningkatan kompetisi guru,pengadaan sarana pendidikan,pembentukan PKBM, pembangunansekolah, peningkatan insentif guru, danpendidikan D2 bagi guru SD. Prioritaspembangunan dalam bidang kesehatanadalah pengobatan gratis, revitalisasiposyandu, pengadaan dokter dan bidan.Sementara prioritas utama bidangperekonomian adalah diklat angkatankerja.
44
2.3 Kerangka Pemikiran
Indeks pembangunan mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar
bagimanusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu
ukuranyang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut
berkaitandengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup
layak(decent living).
Dalam mencapai indeks pembangunan yang berkualitas terdapat faktor-
faktor penghambat dan faktor pendukung. Faktor penghambat diantaranya adalah
tingkat kemiskinan, sementara faktor pendukung adalah sarana infrastruktur.
Dengan demikian kebijakan yang efektif sangat menentukan peningkatan IPM
sehingga faktor penghambat tidak mempengaruhi laju IPM di suatu daerah.
Kebijakan pemerintah terdiri dari pro growth dan pro poor, dimana tiap-tiap
kebijakan tersebut mempunyai fokus yang berbeda. Kebijakan pro growth salah
satunya adalah dengan melakukan perbaikan-perbaikan infrastruktur. Perbaikan
infrastruktur ini akan meningkatkan investasi sehingga akan membuka lapangan
pekerjaan yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita bagi
masyarakat. Pendapatan perkapita ini akan memudahkan masyarakat mengakses
pendidikan dan kesehatan yang selanjutnya meningkatkan indeks pembangunan
manusia.
Kebijakan pro poor terdiri dari jaminan sosial dan pelayanan sosial.
Pelayanan sosial dilakukan dengan membangun sarana dan prasarana kesehatan
dan pendidikan. Sementara Jaminan sosial lebih menekankan pada peningkatan
pendapatan per kapita masyarakat. Dengan demikian jaminan sosial dan
pelayanan sosial ini dapat meningkatkan pembangunan manusia.
Pembangunan manusia menyatukan antara aspek produksi dan distribusi
komoditas, serta peningkatan dan pemanfaatan kemampuan manusia.
Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat;
pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun
nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Dengan demikian, pembangunan
manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan
yang komprehensif dari semua sektor.
45
Pro Growth Pro Poor
PelayananSosial
Jaminan SosialPembangunanInfrastruktur
MeningkatkanInvestasi
MembukaLapanganPekerjaan
Indeks PembangunanManusia
Kesehatan Pendidikan Pendapatan
Faktor Penghambat:Kemiskinan
Faktor Pendukung:Sarana Infrastruktur
Efektivitas Kebijakan
MeningkatkanPendapatanperkapita
Gambar: 2.3 Bagan Kerangka Pemikiran
46
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian di lakukan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data
tahun 2005 sampai dengan data tahun 2009. Pemilihan dilakukan secara sengaja
(purposive) melihat provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan jumlah
penduduk terbesar di Indonesia dengan geografis yang strategis dan kaya akan
sumber daya alam akan tetapi kemiskinan dan ketimpangan masih relatif tinggi.
3.2 Jenis dan Sumber data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari BPS,
situs Provinsi Jawa Barat, penelitian-penelitian terdahulu, jurnal-jurnal, dan bahan
literatur sebagai pelengkap. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Indeks pembangunan manusia, jumlah penduduk miskin, PDRB per kapita,
jumlah SD dan SMP, jumlah guru, jumlah murid jumlah puskesmas, jumlah
rumah sakit, dan jumlah pelayan kesehatan, dan panjang jalan.
3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu
analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk
melihat keadaan sumber daya manusia di Jawa Barat dan bagaimana implementasi
kebijakan pemerintah daerah dengan realitas keadaan pembangunan manusia di
Jawa Barat.
Sementara analisis kuantitatif digunakan dalam mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi indeks pembangunan manusia di Jawa Barat, dan seberapa besar
sarana prasarana pendidikan dan kesehatan mempengaruhi pembangunan manusia
di provinsi tersebut. Data yang digunakan adalah data panel atau pooled data
(pooling cross section-time series regression) dengan unit cross section-nya 25
kabupaten/kota dan unit time series yang digunakan adalah tahun 2005,2006,
2007, 2008dan 2009.
47
3.4 Spesifikasi Model Panel Data
Spesifikasi model data panel dalam mengukur faktor-faktor yang
mempengaruhi pembangunan manusia di Jawa Barat didasarkan dan dimodifikasi
dari model umum yang digunakan Cahyadi (2005) yaitu:
PM = f( IPD, IPPM, IKEM, IPEN, IKES)
Dimana:
PM = Pembangunan Manusia
IPD = Indikator Pembangunan Daerah
IPPM = Indikator Pembiayaan Pembangunan
IKEM = Indikator Kemiskinan
IPEN = Indikator Pendidikan
IKES = Indikator Kesehatan
Tabel 3.1 Definisi Data dalam TabelNo. Indikator Variabel Keterangan1. Pembangunan
ManusiaTingkat Pembangunan Manusia:diwakili dengan menggunakan variabelindeks pembangunan manusia (IPM)tiap Kab/Kota di Jawa Barat
Variabel Terikat
2. PembangunanDaerah
Faktor pendapatan daerah, yaknidiwakili dengan menggunakan variabelPDRB tiap kab/kota di Jawa Barat
Variabel Bebas
3. PembiayaanPembangunan
Faktor peran pemerintah daerah yaknidapat diwakilkan dengan variabelRealisasi anggaran tiap kab/kota diJawa Barat
Variabel Bebas
4. Kemiskinan Faktor kemiskinan daerah, dapatdiwakilkan dengan variabel Jumlahpenduduk miskin di Jawa Barat
Variabel Bebas
5. Pendidikan Faktor Sarana Pendidikan, dapat dilihatdari rasio jumlah sekolah denganpenduduk di tiap kabupaten/kota diJawa Barat.Faktor Pelayan Pendidikan, dapatdilihat dari rasio guru terhadap muridsekolaha tiap kab/kota di Jawa Barat.
Variabel Bebas
6. Kesehatan Fator Sarana Kesehatan, dapat dilihatdari rasio jumlah puskesmas terhadappenduduk di tiap Kab/ Kota di JawaBarat.Faktor Pelayan Kesehatan, dapat dilihatdari rasio jumlah dokter, bidan danperawat terhadap penduduk di tiapKab/kota di Jawa Barat
Variabel Bebas
48
Dengan dasar model umum diatas, penulis memodifikasi dan memasukkan
variabel-variabel sebagai berikut:
Tabel. 3.2 Variabel dalam PenelitianNo. Variabel ID Satuan Sumber Keterangan1. Indeks
PembangunanManusia
IPM % BPS
2. PDRB per kapita PDRBk Rp BPS PDRBperkapitamenuruttahun dasar2000
3. Kemiskinan POV % BPS Persentasetingkatkemiskinan
4. Sarana Pendidikan SRNPEN sekolahper orang
BPS Rasio Jumlahsekolah SDdan SMPterhadap usiapenduduk 5-14 tahun.
5. Jumlah Guru GR guru perorang
BPS Rasio jumlahguru SD danSMPterhadapmurid SDdan SMP.
6. Sarana Kesehatan SRNKES puskesmasper orang
BPS Rasio jumlahpuskesmasterhadappenduduk
7. Pelayan Kesehatan PKES pelayankesehatanper orang
BPS Rasio JumlahDokter,Perawat, danBidanterhadapjumlahpenduduk
8. Sarana Infrastruktur SRNINF km perorang
BPS RasioPanjang JalanRayaterhadapjumlahpenduduk
49
Variabel PDRB per kapita dapat digunakan sebagai gambaran rata-rata
pendapatan yang dihasilkan oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu
wilayah atau daerah. PDRB per kapita diperoleh dari hasil pembagian antara
PDRB dengan jumlah penduduk. Dihipotesiskan bahwa PDRB per kapita
berhubungan positif dengan IPM, dimana makin besar pendapatan per kapita
masyarakat di suatu wilayah maka IPM di wilayah tersebut akan membaik.
Jumlah penduduk miskin dimasukkan dalam permodelan dikarenakan erat
kaitannya dengan pembangunan manusia di suatu wilayah. Diduga hubungan
antara jumlah penduduk miskin dan indeks pembangunan bersifat negatif, artinya
jika penduduk miskin di suatu wilayah meningkat, maka indeks pembangunan
manusia di wilayah tersebut akan menurun.
Jumlah SekolahDasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dimasukkan untuk melihat hubungan sarana prasarana pendidikan dalam
mempengaruhi IPM. Adapun tingkat SD dan SMP diperhitungkan sebagai jenjang
minimal dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak
sehingga dapat berpengaruh positif terhadap IPM.Rasio antara guru SD dan SMP
terhadap murid dimasukkan dalam model untuk melihat ketercukupan pengajar
dalam mendidik murid sehingga tercapai pendidikan yang meningkatkan kualitas.
Jumlah Puskesmas, jumlah rumah sakit, dan jumlah pelayan kesehatan
merupakan variabel-variabel yang menunjukkan prasarana kesehatan. Jumlah
pelayan kesehatan disini adalah jumlah dokter, perawat, dan bidan. Diduga ketiga
variabel ini berhubungan positif terhadap IPM, artinya makin banyak jumlah
puskesmas, rumah sakit, dan pelayan kesehatan, maka IPM akan meningkat.
Rasio jumlah dokter dan perawat terhadap penduduk dimasukkan dalam
model untuk melihat ketercukupan pelayan kesehatan dalam melayani penduduk,
sehingga akses kesehatan di dapat oleh semua lapisan masyarakat.
Sarana infrastruktur tidak dapat dilepaskan dalam mengukur IPM. Sarana
infrastruktur diukur dengan panjang jalan kabupaten/kota. Sarana infrastruktur
yang baik dapat menopang kelancaran masyarakat dalam mengakses sarana-
sarana pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian infrastruktur yang baik akan
mendukung peningkatan IPM.
50
Dengan demikian spesifikasi dalam mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi pembangunan manusia dapat dirumuskan sebagai berikut:
LNIPMit = α + β1LNPDRBkit+ β2LNPOVit+ β3LNSRNPENit +β4LNGRit +
β5LNSRNKESit + β6LNPKES + β7LNSRNINFit +uit
Dimana:
LNIPMit = Natural logaritma dari indeks pembangunan manusia
untuk kabupaten/kota ke-i pada tahun ke-t
LNPovit = Natural logaritma jumlah penduduk miskin untuk
kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNPDRBkit = Natural logaritma PDRB perkapita menurut tahun
dasar 2000 untuk kab/kota ke-i pada tahun ke-t (Rp)
LNSRNPENit = Natural logaritma Rasio Jumlah sekolah SD dan SMP
terhadap usia penduduk 5-14 tahun kab/kota ke-i pada
tahun ke-t
LNGRit = Natural logaritma Rasio jumlah guru SD dan SMP
terhadap murid SD dan SMP kab/kota ke-i pada tahun
ke-t
LNSRNKESit = Natural logaritma Rasio jumlah sarana kesehatan
(Puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas
keliling) terhadap jumlah penduduk pada kab/kota ke-i
pada tahun ke-t
LNPKESit = Natural logaritma Rasio jumlah pelayan kesehatan
(dokter umum, dokter gigi, dan bidan) terhadap
penduduk pada kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNSRNIINFit = Natural logaritma Rasio panjang jalan terhadap jumlah
penduduk pada kab/kota ke-i pada tahun ke-t
uit = Error term
3.5 Pengujian Model dan Hipotesis
Permodelan diatas harus diuji terlebih dahulu dengan kriteria ekonomi dan
pengujian statistik. Pengujian dengan kriteria ekonomi dapat dilakukan dengan
melihat tanda pada koefisien masing-masing peubah bebas. Dengan demikian
51
sebelum dilakukan estimasi model perlu dibuat hipotesis agar dapat dibandingkan
dengan hasil estimasi. Hipotesis tersebut dapat menjadi dasar kesesuaian hasil
estimasi. Sedangkan untuk pengujian berdasarkan kriteria statistik dapat dilakukan
dengan cara uji koefisien regresi (uji t) dan uji statistik R2.
3.5.1 Uji F
Uji F ditujukan untuk mengetahui apakah variable-variabel independen
secara bersama-sama memberi pengaruh yang signifikan terhadap variable
dependennya atau tidak.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan uji F adalah
sebagai berikut:
1. Perumusan hipotesis
Ho: = (atau ≤ )
H1: > (atau / > 1)
Dimana: adalah keragaman dari model regresi, adalah
keragaman sisaan.
2. Penghitungan nilai F-statistik. F-statistik ini dapat diperoleh dari
perhitungan komputer atau dengan manual. Secara manual, penghitungan
F dirumuskan sebagai berikut:
Fhit = KTR/KTS~ F (dbr, dbe)
KTR = kuadrat terkecil regresi
KTS = kuadrat terkecil sisa/ galat
Dapat ditunjukkan : Fk-1,n-k =
Dimana:
dbr = derajat bebas dari model regresi (k-1)
dbe = derajat bebas total model dikurangi derajat bebas model regresi
(n-k)
Bandingkan F-statistik dengan F-tabel pada α (taraf nyata 5%). Bisa juga
dilakukan dengan membandingkan probabilitas F-Statistik dengan α
(taraf nyata 5%).
3. Jika F-statistik > F-tabel pada α atau prob (F-statistic) < α (0,05), maka
terima H1, artinya, variable-variabel independen secara bersama-sama
berpengaruh signifikan terhadap variable dependennya.
52
3.5.2 Uji t
Uji t dalam beberapa buku disebut juga uji statistik parsial. Uji dilakukan
untuk mengetahui apakah masing-masing parameter bebas yang dipakai
berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter tidak bebas. Dalam Ramanathan
(1998), langkah-langkah analisisnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Perumusan Hipotesis
H0 : β = 0artinya perubahan X tidak tidak mempengaruhi Y
H1 : β ≠ 0artinya perubahan X mempengaruhi Y
2. Penghitungan nilai t-statistik. T-statistik ini dapat diperoleh dari
perhitungan komputer atau dengan menggunakan cara manual. Formula
untuk menghitung t-statistik secara manual dalam Juanda (2009) adalah:= ( )= ( / ∑ ̅)dimana = koefisien yang diestimasi
= standard error untuk
= Nilai Slope
= satuan perubahan Y akibat perubahan X
KTG = kuadrat tengah galat
3. a. Bandingkan dengan t-tabel yaitu nilai t pada df n-k dan taraf nyata α
untuk one-tailed test dan α/2 untuk two-tailed test.
b. Uji t-statistik juga dapat dilakukan dengan pendekatan p-value, p-value
adalah peluang nilai t lebih besar dari tc
4. a. Tolak hipotesis nol jika | thit| > t* artinya variabel tersebut berpengaruh
nyata terhadap nilai variabel tidak bebas.
b. Tolak H0 atau dapat disimpulkan bahwa koefisien adalah signifikan
jika p-value lebih kecil dari taraf nyata α (one-tailed test) atau α/2
(two-tailed t-test). Taraf nyata yang digunakan pada peneletian ini
adalah lima persen (5%).
3.5.3 Uji Statistik R2
Nilai R2 menunjukkan persentase variabel tak bebas dapat dijelaskan oleh
variabel bebas. Semakin tinggi nilai R2 maka semakin baik model karena semakin
besar keragaman peubah dependen yang dapat dijelaskan oleh peubah
53
independen. Perhitungan R2 dapat dilakukan dengan mengikuti rumus berikut
(Ramanathan, 1998): = 1 − ∑∑( − ) = 1 − =Dimana:
ESS = Error Sum Square atau Jumlah Kuadrat Terkecil
RSS = Regression Sum Square atau Jumlah Kuadrat Regresi
TSS = Total Sum Square atau Jumlah Kuadrat Total
= Variabel pengganggu (error term) dari model yang
diestimasi
= estimated y
= Variabel dependen rata-rata
3.5.4 Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel bebas
dalam persamaan regresi berganda (Ramanathan, 1998). Gejala multikolinearitas
ini dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali
koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai
dengan teori (Gujarati, 2003). Uji formal untuk menentukan ada atau tidaknya
multikolinearitas dilakukan jika terdapat suatu keraguan apakah nilai koefisien
determinasi termasuk tinggi atau tidak. Akan tetapi jika suatu model sudah
ditetapkan memiliki nilai koefisien determinasi yang tinggi, uji formal
menentukan multikolinearitas dapat dideteksi dari dampak yang ditimbulkan
akibat adanya multikolinearitas (Nachrowi, 2006). Multikolinearitas dalam pooled
data dapat diatasi dengan memberikan pembobotan (cross section weight) atau
GLS, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan
(Gujarati, 2003).
3.5.5 Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (εt)
sama atau homogen. Dengan pengertian lain, Var (εi) = E (εi2) = σ2 untuk setiap
pengamatan ke-i dan peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi ini
54
disebut homoskedastisitas (homoscedasticity). Jika ragam tidak sama atau Var (εi)
= E (εi2) = σi
2 untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model
regresi, maka dikatakan bahwa ada masalah heteroskedatisitas (Juanda, 2009).
Apabila asumsi homoskedastisitas tidak terpenuhi maka akan menyebabkan
dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias, dan
masih konsisten, tapi standar errornya bias ke bawah. Hal ini menyebabkan
penduga OLS tidak efisien lagi.
Heteroskedatisitas dapat dideteksi dengan membandingkan sum square
residual pada weighted statistics dengan sum square residual unweighted
statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih kecil
dibandingkan dengan sum square residual unweighted statistics maka dapat
disimpulkan terjadi heteroskedastisitas. Masalah heteroskedatisitas dapat diatasi
dengan metode white heteroskedasticity yang diestimasi dengan GLS.
3.5.6 Autokorelasi
Asumsi lain dalam persamaan linear adalah tidak adanya autokorelasi yakni
korelasi serial antara sisaan (εt) tidak ada. Dengan pengertian lain, sisaan
menyebar bebas atau Cov (εi, εj) = E (εi, εj) = 0 untuk semua i≠j, dan dikenal juga
sebagai bebas serial (serial independence) (Juanda, 2009).
Masalah autokorlasi ini akan membuat model menjadi tidak efisien
meskipun nasih tidak bias dan konsisten. Autokorelasi menyebabkan estimasi
standard error dan varian koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate.
Sehingga R2 akan besar dan uji-t serta uji-F menjadi tidak valid. Autokorelasi
yang kuat dapat menyebabkan dua variabel yang tidak berhubungan menjadi
berhubungan. Bila OLS digunakan, maka akan terlihat koefisien signifikan dan R2
yang besar atau disebut juga sebagai regresi lancung atau palsu (Nachrowi, 2006).
Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin
Watson (DW) yaitu dengan membandingkan nilai DW dari model dengan DW-
tabel. Jika d < dL, maka terjadi autokorelasi. Jika d > 4 – dL, maka ada
autokorelasi dan jika du < d < du-4, dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi. dL
disini merupakan symbol untuk DW tabel dan d adalah DW hasil perhitungan.
Untuk mengatasi permasalahan ini bisa dilakukan dengan metode pembedaan
tingkat pertama (The first-difference methode) (Nachrowi, 2006).
55
Metode Pembedaan Pertama (The first-difference methode) memberikan
sebuah kriteria untuk menggunakan metode ini jika statistik DW lebih kecil
dibandingkan dengan R2. Pada metode pembeda pertama tersebut dapat
diasumsikan bahwa ρ mendekati satu atau diasumsikan mempunyai autokorelasi
yang kuat. Akan tetapi jika diinginkan nilai ρ yang lebih tepat, ρ dapat diestimasi
berdasarkan Durbin Watson dengan rumus sebagai berikut:= 1 − 2Dimana:
= estimasi koefisien korelasi
= statistik Durbin-Watson
Kemudian data variabel bebas dan variabel terikat ditransformasikan dengan
cara: ∗ = −∗ = −Setelah ditransformasikan dapat dilakukan estimasi dengan metode Least
Square biasa.
56
IV. PROFIL PROVINSI JAWA BARAT
Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan
Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378).
Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang
Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak
pembentukannya, wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5
wilayah, yakni Kabupaten Subang(1968); Kota Tangerang (1993); Kota
Bekasi(1996); Kota Cilegon dan Kota Depok(1999). Dalam kurun waktu tersebut
telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun
kemasyarakatan. Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang
memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut
sumber daya air, sumber daya alam dan pemanfaatan lahan, sumber daya hutan,
sumber daya pesisir dan laut serta sumber daya perekonomian.
Dalam kurun waktu 1994-1999, secara kuantitatif jumlah Wilayah
Pembantu Gubernur tetap 5 wilayah dengan tediri dari : 20 kabupaten dan 5
kotamadya, dan tahun 1999 jumlah kotamadya bertambah menjadi 8 kotamadya.
Kota administratif berkurang dari enam daerah menjadi empat, karena Kotip
Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom.
Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten, maka Wilayah
Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi
Provinsi Banten dengan daerahnya meliputi: Kabupaten Serang, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten/Kota Tangerang serta Kota
Cilegon.Tahun 2007 terbentuk Kabupaten Bandung Barat yang merupakan
pemekaran dari Kabupaten Bandung. Dengan adanya pemekaran ini, Provinsi
Jawa Barat terdiri dari 17 Kabupaten dan 9 Kotamadya.
Kepadatan penduduk terendah di Provinsi Jawa Barat terdapat pada
Kabupaten Sukabumi dengan kepadatan penduduk 562 orang/km2 dan kepadatan
tertinggi terdapat di Kota Bandung dengan kepadatan14.228 orang/km2.
Sementara itu, kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah
57
terkecil adalah Kota Cirebon dengan luas 40,16 km2 dan yang memiliki wilayah
terluas adalah Kabupaten Sukabumi dengan luas wilayah 4.160,75 km2.
Laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Provinsi Jawa Barat berada di
Kabupaten Bekasi dengan laju pertumbuhan sebesar 4,69 persen dan laju
pertumbuhan terendah terdapat di Kabupaten Majalengka sebesar 0,40 persen.
Untuk jumlah penduduk terbanyak berada di Kabupaten Bogor sebanyak
4.763.200 orang dan jumlah penduduk yang paling sedikit terdapat di Kota
Cirebon sebanyak 2.065.142 orang (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Monografi Provinsi Jawa Barat
Kabupaten/KotaJumlah
Penduduk(orang)
LajuPertumbuhan
penduduk(%)
LuasWilayah
(km2)
Kepadatanpenduduk
(Orang/km2)
01. Bogor 4.763.200 3,13 2.997,13 1.58902. Sukabumi 2.339.348 1,22 4.160,75 56203. Cianjur 2.168.514 1,10 3.594,65 60304. Bandung 3.174.499 2,56 1.756,65 1.80705. G a r u t 2.401.248 1,60 3.094,40 77606. Tasikmalaya 1.675.544 0,88 2.702,85 61907. C i a m i s 1.531.359 0,47 2.740,76 55808. Kuningan 1.037.558 0,53 1.189,60 87209. Cirebon 2.065.142 0,68 1.071,05 1.92810. Majalengka 1.166.733 0,40 1.343,93 86811. Sumedang 1.091.323 1,21 1.560,49 69912. Indramayu 1.663.516 0,46 2.092,10 79513. Subang 1.462.356 0,96 2.164,48 67514. Purwakarta 851.566 1,99 989,89 86015. Karawang 2.125.234 1,76 1.914,16 1.11016. B e k a s i 2.629.551 4,69 1.269,51 2.07117. Bandung Barat 1.513.634 1,99 1.335,60 1.184Kota/city18 Bogor 949.066 2,39 111,73 8.49419 Sukabumi 299.247 1,73 48,96 6.11220. Bandung 2.393.633 1,15 168,23 14.22821. Cirebon 295.764 0,84 40,16 7.36422. Bekasi 2.336.489 3,48 213,58 10.93923. Depok 1.736.565 4,30 199,44 8.70724. Cimahi 541.139 2,06 41,20 13.13425. Tasikmalaya 634.424 1,86 184,38 3.44026. Banjar 175,165 1,14 130,86 1.338
Jawa Barat 43.021,826 1,89 37.173,97 1.157Sumber : BPS Jawa Barat, 2010
58
4.1 Geografi
Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan
104°48' - 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan
dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan
dengan Provinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat
Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera
Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat
Sunda); luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.
Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah
Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara
merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit
dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan
tengah.
Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Barat
59
4.2 Populasi
Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat
setelah Banten terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan
sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan
penduduk sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk
selama dasawarsa 1990 - 2000 mencapai angka 2,17 %.Sedangkan pada tahun
2003, jumlah penduduk telah bertambah menjadi 38.059.540 jiwa dengan
kepadatan penduduknya mencapai rata-rata 1.064 jiwa per kilometer persegi.
Menurut Hasil Angka Sementara SensusPenduduk (SP) Jumlah penduduk
Jawa Baratpada tahun 2010 mencapai 43 021 826 jiwadengan jumlah penduduk
laki-laki yang lebih banyak dari pada penduduk perempuan (Gambar
4.2).Bedasarkan periode Sensus per sepuluh tahunpada tahun 1980 sebesar 23,4
juta, tahun 1990sebesar 29,4 juta dan pada tahun 2000mencapai 35,7 juta.Sex
rasio hasil angka sementara sensuspada tahun 2010 sebesar 103,46 naik
biladibandingkan tahun 2000 sebesar 102,11ataupun tahun 1990 sebesar 100,97
persen.
Gambar 4.2 Jumlah Penduduk Jawa Barat berdasarkan jenis kelaminSumber: BPS (2010)
Jumlah penduduk di Jawa Barat memang selalu meningkat setiap tahunnya,
tetapi pertumbuhan penduduk tiap tahun relatif menurun. Hal ini menandakan
kebijakan pengendalian laju penduduk telah berhasil diterapkan di Provinsi Jawa
19,32
19,83
20,27
20,58
20,48
20,80
21,28
18,81
19,31
19,69
20,16
19,85
20,12
20,56
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Jumlah Penduduk (Ribu Jiwa)
Tahu
n
Penduduk Perempuan Penduduk laki-laki
60
Barat. Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk di Provinsi
Jawa memiliki tren menurun dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008. Namun
pada tahun 2009 laju pertumbuhan penduduk meningkat menjadi 1,89 persen.
Gambar 4.3Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa BaratSumber: BPS (2010)
Peningkatan laju pertumbuhan yang cukup signifikan di tahun 2009
dibandingkan tahun 2008 yakni 0,18 persen harus diwaspadai. Dengan laju
pertumbuhan yang meningkat, Jawa Barat yang telah menjadi provinsi terpadat di
Pulau Jawa akan mengalami masalah-masalah krusial seperti peningkatan
kemiskinan, peningkatan pengangguran, dan peningkatan kriminalitas yang pada
jangka panjang akan menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi.
4.3 Capaian IPM Jawa Barat Hingga Tahun 2009
Berbagai program dan kebijakan dibuat oleh Provinsi Jawa Barat dalam
meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia. Pergerakan IPM Jawa Barat dalam
kurun waktu tahun 2004-2009 pun meningkat. Meski meningkat, IPM Provinsi
Jawa Barat tidak mencapai target pada tahun 2009. Target yang tercantum dalam
bukuLKPJ Gubernur adalah sebesar 72,39. Namun pada tahun 2009 IPM hanya
mencapai 71,64. Hal ini dapat ditunjukkan melalui data dan grafik sebagai
berikut:
1,81 1,81
1,75 1,75 1,71
1,89
1,6
1,65
1,7
1,75
1,8
1,85
1,9
1,95
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju
Per
tum
buha
n Pe
ndud
uk (%
)
Tahun
61
Tabel 4.2 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia IPM BesertaKomponennya di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 – 2009
No Indikator Indeks2004 2005 2006 2007 2008 2009
1Angka
HarapanHidup
66,7 67,2 67,40 67,60 67,80 68
2 Angka MelekHuruf 94,0 94,6 94,91 95,32 95,53 95,98
3 Rata – rataLama Sekolah 7,2 7,4 7,50 7,50 7,50 7,72
4 Pengeluaranperkapita 616,1 619,7 621,11 623,64 626,81 628,71
5Indeks
PembangunanManusia
69,1 69,9 70,32 70,71 71,12 71,64
Sumber: BPS (2010)
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, IPM
menunjukkan tren peningkatan. Hal tersebut menggambarkan secara jangka
panjang perkembangan dari tiga dimensi dasar pembangunan manusia Jawa Barat,
yaitu angka harapan hidup, persentase melek huruf orang dewasa, angka
partisipasi sekolah bagi anak, dan GDP per kapita cenderung meningkat. Secara
grafik, IPM Jawa Barat tahun 2004-2009 dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar: 4.4Pergerakan Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat Tahun2004-2008Sumber: BPS (2010)
Peningkatan IPM ini sebagai dampak dari meningkatnya komponen-
komponen penyusun IPM. Pada tahun 2010 diprediksikan IPM Jawa Barat akan
meningkat lebih dari 0,5 poin, seiring dengan meningkatnya berbagai fasilitas dan
69,10
69,9070,32
70,7171,12
71,64
2004 2005 2006 2007 2008 2009
62
sarana pendidikan serta kesehatan yang menjadi prioritas pembangunan di Jawa
Barat.
Indeks Pendidikan (IP) sebagai salah satu komponen utama dalam IPM
merupakan nilai rata-rata dari variabel angka melek huruf (AMH) dan rata-rata
lama sekolah (RLS). Indeks Pendidikan pada tahun 2009 mencapai angka 81,14
meningkat dari tahun 2008 yang mencapai angka 80,35. Angka Melek Huruf
(AMH) yang menggambarkan proporsi penduduk usia 15 Tahun ke atas yang
dapat membaca dan menulis (latin dan huruf lainnya) sebagai salah satu variabel
dari indeks pendidikan di samping variabel rata-rata lama sekolah(RLS), pada
periode Tahun 2006–2009 mengalami peningkatan walaupun relatif kecil. Kondisi
ini memberikan gambaran bahwa sampai dengan Tahun 2009, telah terjadi
peningkatan terhadap kemampuan baca masyarakat. Pada tahun 2009 AMH Jawa
Barat telah mencapai 95,98%.Sementara untuk nilai Rata-rata Lama Sekolah
(RLS) yang menggambarkan lamanya penduduk usia 15 Tahun ke atas yang
bersekolah (dalam Tahun), pada tahun 2009 mencapai 7,72 tahun, jika
dikonversikan pada tingkat kelulusan, maka rata-rata tingkat pendidikan penduduk
Jawa Barat adalah tidak tamat SLTP atau baru mencapai kelas 1 SLTP. Oleh
karena itu untuk mencapai tujuan pencapaian RLS maksimal 15 Tahun, masih
memerlukan rentang waktu yang cukup lama dan biaya yang besar.
Indeks Kesehatan mempresentasikan derajat kesehatan masyarakat suatu
wilayah pada periode waktu tertentu, yang diukur melalui angka harapan hidup
waktu lahir (AHHe0). Pada tahun 2009, indeks kesehatan Jawa Barat mencapai
angka 71,67 meningkat 0,34 poin dari tahun 2008 yang mencapai 71,33 poin.
Angka tersebut merupakan gambaran kinerja pembangunan kesehatan yang dilihat
dari meningkatkan angka harapan hidup masyarakat Jawa Barat yangmencapai 68
Tahun pada tahun 2009 dari 67,8 tahun pada tahun 2008.
Indeks Daya Beli Masyarakat sebagai komponen utama IPM
merupakanindikator dengan fluktuasi perubahan yang dinamis, sebab indeks ini
sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal Jawa Barat, seperti kebijakan fiskal dan
moneter. Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap dinamika
naik turunnya kekuatan daya beli masyarakat, yaitu faktor pendapatan dan inflasi
(tingginya harga barang dan jasa). Pada tahun 2009, indeks daya beli meningkat
63
sebesar 0,44 poin dari tahun 2008 yaitu mencapai 62,10 poin dari angka 61,66
poin. Angka ini dipengaruhi oleh nilai Paritas Daya Beli masayarakat Jawa Barat
yang ada tahun 2009 mencapai Rp. 628,71.
4.4Kebijakan Jawa Barat dalam Meningkatkan IPM
Jawa Barat membuat beberapa kebijakan dalam rangka terus meningkatkan
Indeks Pembangunan Manusianya. Kebijakan-kebijakan tersebut bermula pada
tahun 2003 dimana Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuat program akselerasi
IPM generasi pertama dengan leading sector berbasis kelompok masyarakat. Pada
tahun ini digulirkan program “Raksa Desa” untuk mendorong perekonomian
pedesaan melalui pemberian bantuan permodalan bergulir dan pembangunan atau
perbaikan infrastruktur pedesaan. Sementara itu dalam bidang pendidikan dan
kesehatan, digulirkan program “Desa Cerdas” dan “Desa Sehat” dimana
implementasinya kurang optimal.
Pada tahun 2005, digulirkan program akselerasi IPM generasi ke-2 dengan
leading sector Pemerintah Kabupaten/ Kota yang berbasis multistakeholder.
Program akselerasi IPM generasi ke-2 ini membuat sebuah program yang
melibatkan seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat. Program tersebut
adalah Pendanaan Kompetisi Akselerasi Peningkatan IPM (PPK-IPM). Melalui
PPK-IPM Pemerintah Provinsi Jawa Barat memfasilitasi Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk menggalang peran serta stakeholders pembangunan di
daerahnya masing-masing untuk bersama-sama menyusun strategi dan
menjalankan upaya-upaya peningkatan IPM di Kabupaten/Kota masing-
masing.Strategi dan upaya tersebut dituangkan ke dalam sebuah proposal dan
diajukan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, untuk kemudian dinilai dan
diseleksi oleh sebuah Tim Reviewer Independen yang terdiri unsur Perguruan
Tinggi, Konsultan, LSM dan masyarakat profesional, serta unsur Pemerintah
Provinsi yang ditunjuk oleh Gubernur.Proposal yang dinilai layak serta
Pemerintah Kabupaten/Kota dan stakeholdersnya yang dinilai memiliki kesiapan
dan komitmen yang kuat dalam upaya peningkatan IPM, akan dipilih dan
ditetapkan sebagai Kabupaten/Kota yang berhak mendapatkan dana stimulan
antara 15 sampai dengan 25 milyar rupiah per tahun per Kabupaten/Kota, selama
dua tahun. Kegiatan ini mulai di implementasikan pada tahun 2006. Pada tahun
64
2006 juga diterapkan kebijakan 10 Kabupaten dengan IPM terendah, yakni
memberi perhatian khusus kepada 10 Kabupaten dengan IPM terendah dengan
jalan memprioritaskan program dan kegiatan sektoral yang terkait dengan IPM
untuk diarahkan ke 10 Kabupaten tersebut.
Tahun 2008, Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus melakukan komitmen
dalam meningkatkan IPM. Upaya yang dilakukan yakni dengan pemerataan
pendidikan di Jawa Barat melalui kegiatan Akselerasi Penuntasan Wajar Dikdas
Sembilan Tahun, yang pada tahun 2008 memasuki tahun atau fase yang ke-4.
Pada tahun ini juga dibuat MoU Role Sharing Pendanaan Peningkatan Sarana dan
Prasarana Pendidikan Dasar. Beasiswa juga diberikan kepadasiswa
SMP/MTs/PKBM yang berasal dari keluarga tidak mampu, upaya tersebut
diharapkan telah optimal memenuhi sasaran. Selain itu, upaya Rintisan Wajib
Belajar 12 Tahun di kabupaten/kota Jawa Barat telah menjadi agenda stakeholders
terkait, baik dalam tataran perencanaan maupun pelaksanaannya.
Komitmen dalam bidang kesehatan pada tahun 2008 lebih difokuskan
pada pelayanan kesehatan dasar yang masih belum mencapai standar pelayanan
minimal (SPM), prasarana pelayanan kesehatan dasar belum dapat diakses
sepenuhnya oleh masyarakat terutama penduduk miskin, tenaga kesehatanbelum
merata terutama di perdesaan, masih munculnya kasus-kasus penyakit seperti
DBD, diare, suspect flu burung, gizi buruk dan peran serta masyarakat belum
menunjukkan yang lebih baik, terutama dalam pemahaman terhadap perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS). Di samping itu juga, kesehatan lingkungan, air
bersih dan sanitasi perumahan masih belum sesuai dengan apa yang
diharapkan.Dengan demikian, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memfokuskan
kebijakan dalam meningkatkan aksesibilitas dan kualitas kesehatan sehingga
permasalahan diatas dapat diatasi.
Pada bidang pendidikan tahun 2010 telah diprioritaskan untuk
menciptakan sumber daya manusia Jawa Barat yang Mandiri dan Dinamis serta
berdaya Saing, dengan sasaran : tuntasnya pemberantasan Buta Aksara dalam
rangka Jabar bebas Buta Aksara; meningkatnya angka partisipasi jenjang
pendidikan dasar dan menengah; meningkatnya angka yang melanjutkan antar
jenjang dalam rangka Jabar Bebas Putus Jenjang Sekolah; meningkatnya mutu
65
pendidikan dasar dan menengah bertaraf internasional; meningkatnya kompetensi
dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan. Beberapa upaya yang
dilakukan adalah melalui penuntasan dan pemeliharaan Bebas Buta Aksara
melalui Program Keaksaraan Fungsional (KF); BOS Provinsi Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah; pengadaan Paket Buku Teks Pelajaran untuk
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah; peningkatan Kesejahteraan Guru PNS,
Non PNS dan Guru Bantu Negeri/Swasta Daerah Terpencil dan Perbatasan;
bantuan Baju Seragam Sekolah untuk Siswa SD/MI dan SMP/MTs dari Keluarga
Tidak Mampu; pembinaan dan pengembangan Sekolah Standar Nasional (SSN)
dan Sekolah bertaraf Internasional (SBI) jenjang SD, SMP, SMA dan SMK;
Revitalisasi Sarana dan Prasarana Daerah Khusus; rehabilitasi pembinaan
Kelembagaan dan Peningkatan Mutu SD-SMP Satu Atap; pembinaan SMP
Terbuka; beasiswa Reguler, Satu Siklus, Tahun Pertama dan Tugas Akhir bagi
Mahasiswa Berprestasi dari Keluarga Tidak Mampu; peningkatan Sarana dan
Prasarana SMA/SMK Dalam Rangka Pencanangan Wajib Belajar 12 Tahun;
peningkatan RLS Melalui Program Paket B dan C berbasis life skill; perluasan
Peningkatan Layanan PAUD Non Formal; pendidikan dan pelatihan
kewirausahaan bagi Siswa SMA/SMK; optimalisasi Pendidikan Kejuruan melalui
Pemberdayaan Lembaga Tri Partit Bidang Pendidikan; Sertifikasi Guru dan Siswa
Pendidikan Menengah Kejuruan; rehabilitasi bangunan sekolah yang mengalami
kerusakan berat akibat bencana gempa bumi Jawa Barat 2009.
Pada bidang kesehatan beberapa kegiatan difokuskan pada peningkatan
prilaku hidup bersih dan sehat, pencegahan penyakit serta kualitas pelayanan
kesehatan dasar, dengan sasaran : menurunkan angka kematian ibu dan angka
kematian anak; meningkatkan pengendalian, pencegahan penyakit menular;
meningkatkan prilaku hidup bersih dan sehat; meningkatkan kuantitas dan
kualitas tenaga kesehatan; meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dasar, dan
penanganan gizi buruk. Kegiatan yang telah dilakukan adalah: peningkatan
kualitas tenaga kesehatan melalui fasilitasi dan bimbingan teknis; peningkatan
kuantitas sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan;
perbaikan sanitasi, screening penderita dan Pengobatan TB paru; pendidikan
kesehatan mengenai PHBS dan gizi masyarakat.
66
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS
PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT
5.1 Analisis Model Regresi Data Panel
Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Data yang digunakan dalam
persamaan regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunder BPS menurut
Kabupaten/ Kota di Jawa Barat selama tahun 2004-2008. Tabel 5.1 menyajikan
hasil estimasi regresi dari model data panel. Pada model data panel, koefisien
estimasi yang disajikan merupakan hasil dari dua metode estimasi, yaitu Fixed
Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Penggunaan kedua
metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat
kebaikan serta validitas kedua metode estimasi yang digunakan.
Tabel 5.1 Hasil Regeresi Data Panel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks
Pembangunan Manusia di Jawa Barat.
Variabel FEM REMKoefisien P-Value Koefisien P-Value
(1) (2) (3) (4) (5)C 4,195010 0,0000 4,284716 0,0000LNPDRBK 0,006177 0,0000 0,007869 0,0280LNPOV -0,008545 0,0883 -0,025559 0,0000LNSRNPEN 0,014065 0,0248 0,016927 0,0000LNGR 0,014856 0,0000 0,091829 0,7192LNSRNKES 0,005097 0,0130 -0,013509 0,0768LNPKES 0,003635 0,0000 0,006641 0,0877LNSRNINF 0,013470 0,0130 0,005178 0,3393Hausman Test 34,660205 0,0000F-Statistic 339,7745 0,0000 14,84418 0,0000Adjusted R-Squared 0,988331 0,438684
Dari hasil regresi data panel tersebut, terlihat bahwa FEM lebih baik
dibandingkan dengan metode REM. Hal ini tercermin dari statistik uji Hausman
(34.6602) yang signifikan terhadap taraf uji 10 persen dengan p-value 0,0000,
artinya cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara peubah
penjelas dengan komponen error.
67
Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf uji 10 persen yang
ditunjukkan dengan nilai statistik uji F (339,7745) dan p-value0,00. Nilai adjusted
R2bernilai 0,988331yang berarti keragaman tingkat indeks pembangunan manusia
dapat dijelaskan oleh PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan
pendidikan, sarana kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur sebesar
98,83 persen, sedangkan sisanya 1,17 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
diluar model.
Model FEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
pembobotan pada cross section (Panel EGLS /Cross-section weights). Hal ini
dilakukan untuk mengurangi heteroskedastis antar unit cross section.Berdasarkan
hasil estimasi pada tabel 5.1, semua variabel yang diuji signifikan terhadap indeks
pembangunan manusia. Selain itu bentuk natural logaritma dari model dilakukan
untuk memudahkan mengukur elastisitas antar variabel. Dengan demikian
koefisien parameter dari hasil regresi tersebut juga menunjukkan elastisitas dari
variabel-variabel yang dimasukkan dalam model.
5.2 Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia
5.2.1 PDRB per kapita
Berdasarkan tabel 5.1, PDRB per kapita mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap IPM Jawa Barat. PDRB per kapita berpengaruh positif
terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien PDRB per kapita adalah
0,006177yang berarti kenaikan 1 persen PDRB per kapita akan menaikan
IPM sebesar 0,006177, dengan asumsi cateris paribus.
PDRB per kapita juga menggambarkan kemampuan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. PDRB per kapita juga
menggambarkan kesejahteraan keluarga dalam suatu kabupaten/ kota.
Peningkatan PDRB per kapita tentu memberikan kemudahan dalam
memenuhi segala kebutuhan dasar termasuk akses terhadap pendidikan
dan kesehatan yang selanjutnya menentukan Indeks Pembangunan
Manusia.
PDRB per kapita di Jawa Barat dalam selang waktu 2005-2009
mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan dalam
68
daya beli masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Meski nilai ini masih bersifat
kasar karena PDRB per kapita tidak dapat mencerminkan pemerataan
pendapatan. Menurut Adiyas (2008), PDRB per kapita di suatu daerah
yang besarnya diatas Rp. 2 juta sudah dapat dikatakan tinggi dan
sebaliknya apabila besarnya dibawah Rp. 2 juta dikatakan
rendah.Berdasarkan hal itu, PDRB per kapita di Jawa Barat pada tahun
2009 yang berada pada posisi Rp. 6,96 juta dianggap tinggi (Gambar 5.1).
Dengan nilai yang tergolong tinggi tersebut, maka penduduk Provinsi
Jawa Barat memiliki daya beli yang tinggi. Dengan daya beli yang tinggi
penduduk Jawa Barat memiliki kemampuan dalam mengakses pendidikan
dan kesehatan sehingga IPM di Jawa Barat dapat meningkat.
Gambar 5.1 Pergerakan Pendapatan per kapita di Jawa BaratTahun 2005-2009. Sumber: BPS 2010
5.2.2 Kemiskinan
Hasil regresi Tabel 5.1 menununjukkan tingkat kemiskinan
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Tingkat
kemiskinan berpengaruh negatif terhadap peningkatan IPM. Nilai
koefisien tingkat kemiskinan adalah -0,008545 yang berarti kenaikan 1
persen tingkat kemiskinan akan menurunkan IPM sebesar 0,008545,
dengan asumsi cateris paribus.
5,53
6,246,55
6,776,96
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
2005 2006 2007 2008 2009
PDRB
per
kap
ita (R
p Ju
ta)
69
Kemiskinan terkait erat dengan variabel ekonomi makro lainnya baik
secara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja,
tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, gerak
sektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi,
investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek
sosial, kemiskinan sangat terkait dengan tingkat dan jenis pendidikan,
kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja,
kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik serta bencana alam
(Yudhoyono dan Harniati, 2004). Upaya penanggulangan kemiskinan
tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi
peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan
peningkatan pendapatan masyarakat (Bappenas).
Dengan demikian kemiskinan merupakan hambatan dalam
meningkatkan IPM, hal ini dikarenakan kemiskinan membuat akses
terhadap pendidikan dan kesehatan sebagai tolak ukur peningkatan IPM
terganggu. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh BPS
mengenai kemiskinan yaitu kondisi kehidupan yang serba kekurangan
yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Dengan
demikian ketidakmampuan ini akan mengganggu kebutuhan terhadap
pendidikan dan kesehatan yang pada akhirnya akan membuat indeks
pembangunan manusia menjadi rendah.
Jawa Barat masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain
ditandai oleh masih tingginya proporsi penduduk miskin. Jumlah
penduduk miskin pada tahun 2009 adalah sebesar 11,58 persen dari jumlah
penduduk Jawa Barat, menurun dari tahun 2008 yang mencapai angka
11,74 persen (Gambar 5.2). Tingkat kemiskinan ini dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
perbulan dibawah Garis Kemiskinan.
70
Gambar 5.2 Pergerakan Persentase Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Sumber: BPS: 2010
Meski persentase angka kemiskinan di Jawa Barat terus menurun,
namun angka tersebut masih dianggap tinggi. Kemiskinan di Provinsi
Jawa Barat terdiri dari kemiskinan perkotaan dan pedesaan. Pada tahun
2009, kemiskinan di perkotaan mencapai 2,53 juta orang dan di pedesaan
mencapai 2,45 juta orang. angka kemiskinan di perdesaan secara berurutan
menurun 3,2 dan 10 persen, sedangkan di perkotaan secara berurutan
menurun 1 dan 3,4 persen. Meski demikian, bila dibandingkan dengan
Jawa Tengah dan Jawa Timur, penurunannya masih relatif lebih lambat.
Tabel. 5.2 Jumlah Penduduk Miskin Desa dan Kota di Indonesia
13,06
14,49
13,55
12,74
11,58
9,00
10,00
11,00
12,00
13,00
14,00
15,00
2005 2006 2007 2008 2009
Pers
enta
se K
emisk
inan
Tahun
71
5.2.3 Pendidikan
Sarana pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM
Jawa Barat. Tingkat sarana pendidikan berpengaruh positif terhadap
peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana pendidikan adalah 0,014065yang
berarti kenaikan 1 persen sarana pendidikan akan menaikkan IPM sebesar
0,014065, dengan asumsi cateris paribus.
Dalam model ini, sarana pendidikan merupakan penghitungan rasio
dari jumlah sekolah SD dan SMP terhadap penduduk usia sekolah SD dan
SMP. Hal ini dikarenakan adanya program wajib belajar 9 tahun yang
dicanangkan pemerintah.Pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan
peningkatan IPM. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Todaro(2003)
dimana desebutkan pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk
kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern
dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta
pembangunan yang berkelanjutan.
Aspek pendidikan tidak hanya berkaitan dengan sarana pendidikan,
tetapi terdapat aspek-aspek lain yang lebih menyentuh terhadap kualitas
pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini dimasukkan
juga rasio jumlah guru terhadap jumlah murid. Rasio jumlah guru terhadap
jumlah murid mempunyai pengaruh nyata terhadap indeks pembangunan
manusia. Hal ini terlihat dari probabilitasnya yang sebesar 0,0000. Nilai
koefisien rasio jumlah guru-murid adalah 0,014856yang berarti kenaikan 1
persen rasio jumlah guru-murid akan menaikkan IPM sebesar 0,014856,
dengan asumsi cateris paribus.
Dengan demikian investasi pendidikan berupa pembangunan sekolah
harus juga diikuti dengan mendorong partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan. Biaya murah terhadap pendidikan juga sangat menentukan
tingkat partisipasi masyarakat untuk bersekolah. Dengan meningkatnya
partisipasi masyarakat pada pendidikan maka akan menjadi investasi tak
hanya bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat
umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan
meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan
72
merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial
dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan
melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas,
penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban
sosial politik bagi pemerintah.
Di Provinsi Jawa Barat, sektor pendidikan merupakan variabel yang
memiliki pengaruh yang yang paling besar terhadap indeks pembangunan
manusia diantara variabel-variabel lain yang diuji dalam penelitian ini.
Angka melek huruf di Jawa Barat memang sudah cukup tinggi, yaitu pada
tahun 2009 sebesar 95,98 persen. Begitu juga dengan angka lama sekolah
yang menunjukkan angka sedikitnya drop out di Provinsi Jawa Barat yang
sudah cukup baikyaitu 7,72 tahun. Keadaan ini merupakan dampak dari
dilakukannya perbaikan sarana prasarana pendidikan di Jawa Barat. Pada
Gambar 5.3 terlihat bahwa jumlah sekolah SD dan SMP pada tahun 2009
meningkat dari tahun 2008. Pada tahun 2009 banyaknya jumlah sekolah
SD dan SMP sebesar 23.110 sekolah.
Gambar 5.3 Jumlah Sekolah SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Sumber: BPS: 2010
Jumlah guru juga menjadi penentu peningkatan IPM. Jumlah guru
yang memadai akan dapat menjamin adanya kegiatan belajar yang
berkualitas, sehingga murid mendapatkan transfer ilmu yang optimal.
22,7622,87 22,88
22,90
23,11
22,50
22,60
22,70
22,80
22,90
23,00
23,10
23,20
2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
seko
lah
SD d
an S
MP
(rib
u)
73
Dengan demikian hal ini akan memberi dampak lulusan-lulusan sekolah
yang berkualitas yang dapat bersaing di dunia kerja dan akan memberikan
kemudahan dalam penguasaan teknologi yang selanjutnya dapat
meningkatkan produktivitas suatu daerah.Provinsi Jawa Barat pada tiap
tahun menambah jumlah. Pada tahun 2009, jumlah guru di Provinsi Jawa
Barat sebesar 286.200 ribu orang yang meningkat sebesar 3.100 orang dari
tahun 2008.
Gambar 5.4 Jumlah Guru SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004-2009.Sumber: BPS: 2010
5.2.4 Kesehatan
Dalam Penelitian ini digunakan dua variabel dalam mengukur
kesehatan. Variabel tersebut adalah sarana kesehatan dan pelayan
kesehatan. Kedua variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap
peningkatan IPM di Jawa Barat.
Berdasarkan tabel 5.1, sarana kesehatan mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap IPM Jawa Barat. Sarana kesehatan berpengaruh positif
terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana kesehatan adalah
0,005097yang berarti kenaikan 1 persen sarana kesehatan akan menaikan
IPM sebesar 0,005097, dengan asumsi cateris paribus.
Pelayan kesehatan juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
IPM Jawa Barat. Pelayan kesehatan berpengaruh positif terhadap
215,8 207,2
157,5
283,1 286,2
0,0
50,0
100,0
150,0
200,0
250,0
300,0
350,0
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Jum
lah
Guru
SD
dan
SMP
(rib
u or
ang)
74
peningkatan IPM. Nilai koefisien pelayan kesehatan adalah 0,003635yang
berarti kenaikan 1 persen pelayan kesehatan akan menaikan IPM sebesar
0,003635, dengan asumsi cateris paribus.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bappenas yang
menyatakan bahwa penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik
merupakan masukan (input) penting dalam menurunkan kemiskinan,
pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Dengan kata lain, kesehatan merupakan faktor penting pembentukan
modal manusia dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan.
Sejarah juga menulis tentang keberhasilan negara-negara dunia dalam
keberhasilan pembangunan ekonomi melalui perbaikan kesehatan. Hal ini
antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri, Jepang dan Amerika
Selatan pada awal abad ke-20, dan pembangunan di Eropa Selatan dan
Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Mereka
melakukan teroboson di bidang kesehatan dengan pemberantasan penyakit
dan peningkatan gizi masyarakatnya.
Perkembangan sarana prasarana kesehatan di Jawa Barat tergolong
mengalami peningkatan. Jumlah dokter, perawat, dan bidan selalu
bertambah tiap tahun. Pada tahun 2009, pelayan kesehatan di Jawa Barat
mencapai 11.423 orang dan Puskesmas mencapai 3.337 puskesmas.
Gambar 5.5 Jumlah Pelayan Kesehatan di Provinsi Jawa BaratTahun 2005-2009.Sumber: BPS, 2010
8509 8909 87459563
11423
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
2005 2006 2007 2008 2009Jum
lah
Pela
yan
Kesa
hata
n (o
rang
)
Tahun
75
Gambar 5.6 Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009Sumber: BPS, 2010
5.2.5 Sarana Infrastruktur
Sarana infrastruktur mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM
Jawa Barat. Sarana infrastruktur berpengaruh positif terhadap peningkatan
IPM. Nilai koefisien sarana infrastruktur adalah 0,013470yang berarti
kenaikan 1 persen sarana infrastruktur akan menaikan IPM sebesar
0,013470, dengan asumsi cateris paribus.
Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Bappenas (2003)
dimana ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara,
sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih,
sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital,
memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan
wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa
daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik,
mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang
mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci
dalam mendukung pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda
penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan
29853031
3094
3230
3337
2800
2900
3000
3100
3200
3300
3400
2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
Pusk
esm
as
76
orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh
penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi
maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Telekomunikasi,
listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi
dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian.
Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan
produktivitas bagi faktor-faktor produksi.
Dalam permasalahan penelitian ini, ketersediaan infrastruktur dapat
memudahkan masyarakat dalam mengakses aspek-aspek yang menentukan
pembangunan manusia seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan.
Sarana infrastruktur yang memadai juga akan mempengaruhi biaya yang
dikeluarkan menjadi lebih rendah. Dengan demikian pendapatan
masyarakat tidak terbuang hanya untuk biaya transportasi dan dapat
dialihkan untuk pengeluaran kesehatan maupun pendidikan.
Pada pembangunan bidang fisik, telah cukup banyak
dilakukanprogram dan kegiatan strategis oleh Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, meliputi sub bidang infrastruktur wilayah,tata ruang, energi dan
lingkungan hidup.Mengenai pembangunan Infrastruktur Wilayah, meliputi
infrastruktur transportasi, sumberdaya air dan irigasi, listrik dan energi,
serta saranadan prasarana permukiman, kondisinya masih mengalami
beberapakendala terkait beberapa isu pelayanan infrastuktur wilayah.Pada
aspek infrastruktur jalan, dengan berbagai upaya yang telahdilakukan
selama tahun 2009, panjang jalan telah mencapai 22.760 km. Panjang
jalan ini telah meningkat dari tahun 2008.
77
Gambar 5.7 Perkembangan Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat Tahun
2005-2009. Sumber: BPS, 2010
5.2.6 Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM di Tiap
Kabupaten/Kota
Dengan menggunakan FEM dapat dilihat pengaruh faktor-faktor yang
mempengaruhi IPM untuk tiap kabupaten/kota. Perbedaan pengaruh
tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 5.3. Efek Faktor-Faktor yang mempengaruhi IPM untuk tiapKabupaten/Kota
No. Kabupaten/ Kota Efek No. Kabupaten/ Kota Efek1 Kab. Bogor -0,005033 14 Kab, Purwakarta -0,0264282 Kab. Sukabumi -0,026213 15 Kab, Karawang -0,0444783 Kab. Cianjur -0,055834 16 Kab, Bekasi 0,0107004 Kab. Bandung 0,026304 17 Kota Bogor 0,0370815 Kab. Garut -0,006282 18 Kota Sukabumi 0,0270456 Kab. Tasikmalaya 0,001231 19 Kota Bandung 0,0462487 Kab. Ciamis -0,020846 20 Kota Cirebon 0,0171198 Kab. Kuningan -0,015696 21 Kota Bekasi 0,0667929 Kab. Cirebon -0,035562 22 Kota Depok 0,10249010 Kab. Majalengka -0,037271 23 Kota Cimahi 0,05863311 Kab. Sumedang -0,010724 24 Kota Tasikmalaya 0,01227112 Kab. Indramayu -0,070364 25 Kota Banjar -0,03006113 Kab. Subang -0,021119
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi IPM
memberikan efek yang berbeda-beda untuk setiap Kabupaten/ Kota di
21,72
21,29
21,74 21,75
22,76
20,50
21,00
21,50
22,00
22,50
23,00
2005 2006 2007 2008 2009
Panj
ang
Jala
n (r
ibu
km)
78
Jawa Barat. Efek individu dalam model menunjukkan adanya perbedaan
karakteristik indeks pembangunan manusia tiap kabupaten/kota di Jawa
Barat dan dimasukkan sebagai bagian dari intersep dalam
menginterprestasikan model untuk tiap kabupaten/kota.
Adanya perbedaan karakteristik juga dapat dibagi melalui
pengelompokan besaran IPM tiap Kabupaten/ Kota di Jawa Barat.
Pengelompokan ini diperlukan karena banyaknya jumlah kabupaten/kota
yang ada di Provinsi Jawa Barat, hal ini juga berkaitan dengan
karakteristik yang berbeda di tiap kabupaten/kota sehingga kebijakan yang
diterapkan untuk tiap daerah tersebut juga akan berbeda. Di Provinsi Jawa
Barat besaran IPM tiap kabupaten/kota berada dalam selang 67,39-78,61.
Dengan demkian pengelompokan berdasarkan selang IPM tersebut dapat
dibuat sebagai berikut:
IPM rendah = Nilai IPM yang kurang dari 70
IPM sedang = Nilai IPM yang lebih besar dari 70 namun kurang
dari 75
IPM tinggi = Nilai IPM yang lebih besar dari 75
Dengan pengelompokan tersebut, maka kabupaten/kota di Jawa Barat
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
79
Tabel 5.4. Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai IPMIPM
Rendah Sedang TinggiKab. SukabumiKab. KuninganKab. CirebonKab. SumedangKab. Purwakarta
Kab. BogorKab. CianjurKab BandungKab. GarutKab. TasikmalayaKab. CiamisKab. MajalengkaKab. IndramayuKab. SubangKab. KarawangKab. BekasiKota BogorKota BandungKota CimahiKota TasikmalayaKota Banjar
Kota SukabumiKota CirebonKota BekasiKota Depok
X1 Min: 3,22Rata-rata: 4,66Max: 8,28
Min: 2,74Rata-rata: 7,14Max: 24,24
Min: 4,11Rata-rata: 9,13Max: 19,97
X2 Min: 10,48Rata-rata: 14,02Max: 18,22
Min: 4,50Rata-rata: 12,15Max: 23,55
Min: 13,06Rata-rata: 7,73Max: 2,93
X3 Min: 2,63Rata-rata: 3,51Max: 4,34
Min: 2,03Rata-rata: 3,31Max: 4,81
Min: 2,45Rata-rata: 3,23Max: 4,64
X4 Min: 4,44Rata-rata: 5,12Max: 5,87
Min: 2,65Rata-rata: 4,69Max: 6,68
Min: 3,96Rata-rata: 5,33Max: 6,04
X5 Min: 8,05Rata-rata: 10,67Max: 12,10
Min: 2,07Rata-rata: 8,23Max: 13,74
Min: 2,57Rata-rata: 11,78Max: 20,62
X6 Min: 2,29Rata-rata: 3,47Max: 4,38
Min: 1,42Rata-rata: 2,89Max: 4,68
Min: 1,34Rata-rata: 3,27Max: 7,10
X7 Min: 3,54Rata-rata: 6,71Max: 8,80
Min: 0,41Rata-rata: 6,00Max: 12,37
Min: 2,58Rata-rata: 3,81Max: 4,87
Dimana X1 = PDRB per kapita (Rp juta)
X2 = Tingkat kemiskinan (persen)
X3 = Rasio sarana pendidikan (1/100.000) sekolah per orang)
X4 = Rasio jumlah guru (1/100) guru per murid)
X5 = Rasio sarana kesehatan (1/100.000 puskesmas per orang)
X6 = Rasio jumlah tenaga medis (1/10.000 tenaga medis per orang)
X7 = Rasio sarana infrastruktur
80
Dari klasifikasi tersebut terlihat bahwa sebagian besar dari
kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki IPM sedang yakni IPM diantara 70
sampai dengan 75. Sementara kabupaten/kota dengan IPM rendah dimiliki
oleh Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta. Sementara daerah yang
memiliki IPM tinggi, dimiliki oleh Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota
Bekasi, dan Kota Depok. Klasifikasi berdasarkan nilai IPM ini dapat
dipetakan dalam Gambar 5.8.
Gambar 5.8 Pembagian daerah berdasarkan nilai IPM
Dengan perbedaan IPM, maka PDRB per kapita untuk tiap
kabupaten/kota juga memiliki perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat dari
Gambar 5.9. Pendapatan per kapita untuk daerah ekstrim rendah memiliki
PDRB per kapita rendah.Dari Gambar 5.9 dapat dilihat bahwa Kabupaten
Bekasi memiliki PDRB per kapita yang tinggi meski IPM di Kabupaten
tersebut tergolong sedang. Kota Cirebon juga memiliki PDRB per kapita
yang tinggi dan Kota Cirebon termasuk dalam daerah dengan IPM tinggi.
Sementara Daerah dengan IPM rendah memiliki karakteristik yang sama
dimana Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon,
81
dan Kabupaten Sumedang memiliki PDRB per kapita yang cenderung
rendah.Hanya Kabupaten Purwakarta saja yang meski tergolong IPM
rendah namun memiliki PDRB per kapita sedang. Hal ini dikarenakan
daerah dengan IPM rendah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak
dapat mengakses sektor pendidikan dan kesehatan.
Gambar 5.9 PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Jawa BaratTahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010
Dari Gambar 5.10 dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan di
kabupaten/kota dengan IPM rendah memiliki persentasi kemiskinan yang
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00
Kab. Sukabumi
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Purwakarta
Kab. Bogor
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Majalengka
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
2009
2008
2007
2006
2005
Daerahdengan
IPMTinggi
Daerahdengan
IPMSedang
Daerahdengan
IPMRendah
82
tinggi. Sementara Kota Tasikmalaya memiliki kemiskinan yang tinggi
padahal Kota Tasikmalaya merupakan daerah dengan IPM sedang.
Keadaan ini dipicu oleh terjadinya bencana alam berupa gempa bumi yang
terjadi pada tahun 2008. Bencana ini menyebabkan kemiskinan di Kota
Tasikmalaya meningkat tajam di tahun 2008.
Gambar 5.10 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa BaratTahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010
Sementara untuk sarana dan prasarana pendidikan, setiap
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat telah memiliki sarana prasarana
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00
Kab. Sukabumi
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Purwakarta
Kab. B o g o r
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. G a r u t
Kab. Tasikmalaya
Kab. C i a m i s
Kab. Majalengka
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. B e k a s i
Kota Bogor
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
2009
2008
2007
2006
2005
Daerahdengan
IPMTinggi
Daerahdengan
IPMSedang
Daerahdengan
IPMRendah
83
pendidikan yang memadai. Pada Gambar 5.11 terlihat rasio antara jumlah
sekolah dengan jumlah penduduk usia sekolah memiliki nilai yang cukup
tinggi.Hal ini bermakna bahwa ketersediaan bangunan sekolah SD dan
SMP sudah dapat menampung penduduk usia sekolah SD dan SMP
untuk tiap kabupaten/kota. Dari Gambar 5.11, diketahui Kota Cirebon
memiliki rasio jumlah sekolah terhadap penduduk usia sekolah yang
paling tinggi yaitu sebesar 4,64.
Gambar 5.11 Rasio Jumlah Sekolah SD dan SMP terhadap PendudukSD dan SMP Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun2005-2009, Sumber: BPS, 2010
0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000
Kab. Sukabumi
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Purwakarta
Kab. Bogor
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Majalengka
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
2009
2008
2007
2006
2005
Daerahdengan
IPMTinggi
Daerahdengan
IPMSedang
Daerahdengan
IPMRendah
84
Gambar 5.12 Rasio Jumlah Puskesmas terhadap PendudukKabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2009,Sumber: BPS, 2010
Jumlah sarana prasarana kesehatan di setiap kabupaten/kota di Jawa
Barat juga sudah tergolong bagus dan sudah memadai. Namun di daerah-
daerah seperti Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bandung, jumlah
puskesmas masih tergolong rendah.
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00
Kab. Sukabumi
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Purwakarta
Kab. Bogor
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Majalengka
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
2009
2008
2007
2006
2005
Daerahdengan
IPMTinggi
Daerahdengan
IPMSedang
Daerahdengan
IPMRendah
85
5.3 Kebijakan Kabupaten/Kota Dengan Nilai IPM Terendah Dalam
Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia
Perbedaan karakteristik antar kabupaten/kota di Jawa Barat sudah terlihat
dalam bahasan sebelumnya. Daerah dengan IPM yang rendah perlu menjadi
perhatian. Hal ini penting untuk mencapai target Provinsi Jawa Barat untuk
menjadi provinsi termaju pada tahun 2025. Dari paparan diatas, dapat dipetakan
karakteristik daerah-daerah dengan IPM terendah. Karakteristik tersebut dapat
dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Karakteristik Daerah dengan IPM terendah di Provinsi Jawa Barat
Variabel Kab.Sukabumi
Kab.Kuningan
Kab.Cirebon
Kab.Sumedang
Kab.Purwakarta
PDRB PerKapita
R R R R S
Kemiskinan T T T S SSaranaPendidikan
S S S T T
Jumlah Guru R R R R RSaranaKesehatan
S S S S S
PelayanKesehatan
R S S S S
SaranaInfrastruktur
S R S S S
Ket: R = Rendah S = Sedang T= Tinggi
Tabel 5.5 diatas memperlihatkan bahwa semua daerah yang memiliki IPM
terendah di Jawa Barat juga memiliki PDRB per kapita yang rendah. Kemiskinan
di daerah ini juga cenderung tinggi, terlihat di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten
Kuningan, dan Kabupaten Cirebon. Selain itu, permasalahan yang terjadi di
daerah dengan IPM rendah di Provinsi Jawa Barat adalah karena rasio jumlah
guru yang rendah. Jumlah guru SD dan SMP di kabupaten Sukabumi, Kabupaten,
Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta
belum memadai dalam melakukan pengajaran terhadap jumlah penduduk usia
sekolah di daerah tersebut.
Kebijakan-kebijakan yang perlu diterapkan dalam mengangkat IPM ke lima
kabupaten ini dapat difokuskan pada PDRB per kapita dan kemiskinan. Kedua
variabel tersebut memang berkaitan. Ketika PDRB per kapita ditingkatnya maka
kemiskinan pun akan menurun. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang bisa
86
direkomendasikan untuk Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, dan
Kabupaten Cirebon adalah:
1. Program pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha mikro
kecil dan menengah. Program ini dapat mendorong pemerataan
pendapatan.Program ini juga akan berdampak pada peningkatan lapangan
pekerjaan dan selanjutnya meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan
demikian program ini akan efektif untuk meningkatkan pendapatan per
kapita sekaligus mengurangi persentase kemiskinan.
2. Penanganan pengangguran, yaitu dengan penciptaan lapangan pekerjaan
yang lebih bersifat padat karya bukan padat modal.Penanganan terhadap
pengangguran mutlak dilakukan, yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan
yang bersifat padat karya. Pemberian pendidikan terhadap angkatan kerja
juga sangat dibutuhkan agar dapat meningkatkan ketersediaan angkatan
kerja yang siap bekerja ataupun dapat menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri sehingga akan meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja dan
memperoleh pekerjaan. Pada akhirnya tujuan meningkatkan daya beli
masyarakat.
3. Program pembangunan infrastruktur sangat penting dilakukan, terutama di
Kabupaten Kuningan yang memiliki sarana infrastruktur rendah. Investasi
merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah. Oleh karena itu kabupaten-kabupaten dengan IPM
rendah harus membuat kebijakan yang mendukung iklim investasi.
Kemudahan pengurusan ijin investasi perlu diperhatikan. Perbaikan
infrastruktur sebagai dukungan terhadap investasi juga mutlak dilakukan.
Program perbaikan infrastruktur yang dapat dilakukan adalah dengan
pembangunan serta perbaikan jalan dan jembatan. Dengan program ini akan
memberikan kelancaran arus distribusi barang dan jasa serta meningkatkan
produktivitas barang dan jasa.
4. Pengadaan guru agar ketersediaan guru memadai untuk menciptkan
pelayanan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
87
5. Untuk Kabupaten Sukabumi, diperlukan lebih banyak tenaga medis untuk
memberikan akses kesehatan yang lebih memadai kepada penduduk di
kabupaten tersebut. Perekruitan Dokter dan Bidan sangat berpengaruh
terhadap penurunan angka kematian bayi dan dapat meningkatkan harapan
hidup di Kabupaten Sukabumi.
88
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Seluruh Faktor-faktor yang dianalisis yaitu PDRB perkapita, kemiskinan,
sarana pendidikan, pelayan pendidikan, sarana kesehatan, pelayan
kesehatan dan sarana infrastrukturberpengaruh nyata terhadap indeks
pembangunan manusia di Jawa Barat.
2. Kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan, Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta merupakan daerah yang
memiliki IPM rendah di Provinsi Jawa Barat, dengan demikian kebijakan
di daerah-daerah ini belum efektif dijalankan. Kelima kabupaten ini perlu
menekankan kebijakan pada PDRB per kapita yang tergolong rendah dan
tingkat kemiskinan yang masih tinggi.
6.2 Saran
1. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini masih bersifat makro
sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut dengan mengambil variebel-
variabel lain yang bisa lebih menggambarkan tingkat IPM di Jawa Barat
serta memasukkan ketidakmerataan sarana-prasarana kesehatan dan
pendidikan antara Kabupaten dan Kota di Jawa Barat.
2. Pemerataan pembangunan di Jawa Barat masih harus terus ditingkatkan.
Perhatian khusus harus diperhatikan pada daerah-daerah yang memiliki
IPM terendah seperti Kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan,
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta
Selain itu, diperlukan tinjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan yang
telah diterapkan di Provinsi Jawa Barat dan pembuatan Sistem Informasi
Manajemen Pembangunan Manusia yang memuat data yang terus dapat
diperbarui dan dapat dipergunakan untuk melakukan perencanaan,
pelasanaan, dan evaluasi kebijakan yang berkesinambungan.
89
DAFTAR PUSTAKA
Adiyas. 2008. Perekonomian Indonesia. Universitas Marcubuana. Jakarta.
Alam, Jauharul. 2006. Disparitas Pendapatan dan Faktor-Faktor yangBerpengaruh Terhadap Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia diKabupaten Bekasi.[Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan PublikProgram Pascasarjana Universitas Indonesia. Depok.
Atmawikarta, Arum. 2002. Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi.Bappenas. Jakarta.
Baltagi, Badi H. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. John Willey &Sons, Ltd. England.
BPS dan Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2004. Penyusunan Data Sosial EkonomiDaerah (Suseda) 2004 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. JawaBarat.
______________________________. 2005. Penyusunan Data Sosial EkonomiDaerah (Suseda) 2005 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. JawaBarat.
______________________________. 2006. Penyusunan Data Sosial EkonomiDaerah (Suseda) 2006 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. JawaBarat.
______________________________. 2006. Penyusunan Data Basis IndeksPembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2006. BadanPusat Statistik. Jawa Barat.
______________________________. 2007. Penyusunan Data Sosial EkonomiDaerah (Suseda) 2007 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. JawaBarat.
BPS-Bappenas and UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001:Toward a New Consensus, Democracy and Human Development inIndonesia. Jakarta.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2006. Jawa Barat dalam Angka 2006. Badan PusatStatistik. Jawa Barat.
___________________. Jawa Barat dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik.Jawa Barat.
___________________. Jawa Barat dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik.Jawa Barat.
___________________. Jawa Barat dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik.Jawa Barat.
___________________. Jawa Barat dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik.Jawa Barat.
90
BPS-UNDP-Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah. 1996. IndeksPembangunan Manusia Daerah tingkat II Tahun 1990-1996. Jakarta.
Cahyadhi, Putu Eka. 2005. Pelacakan Faktor-faktor yang Mempengaruhi IndeksPembangunan Manusia (Studi Kasus Kab/Kota di Provinsi Bali). [Tesis].Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia. Depok.
Dornbusch, et al. 2008. Makroekonomi. PT Media Global Edukasi. Jakarta.
Gujarati, D. 2003. Essensial of Econometrics. Irwin McGraw-Hill. Singapore.
Indratno, Imam. 2008. Indeks Pembangunan Desa Sebagai Ukuran KeberhasilanPengembangan Perdesaan [Makalah]. Universitas Islam Bandung.Bandung.
Jhingan, M.L. 2007. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo.Jakarta.
Johnston, Jack dan John Dinardo. 2000. Econometric Method. Irwin McGraw-Hill. Singapore.
Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. IPB Press.Bogor.
Kakwani, et all. 2004. Pro Poor Growth: Concept and Measurement with countrycase study. UNDP. Brazil.
Kuncoro, Mudrajat. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, danKebijakan. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Mankiw. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga. Jakarta.
Mangkoesoebroto. 2001. Ekonomi Publik. BPFE, UGM. Yogyakarta
Maqin, Abdul. 2007. Indeks Pembangunan Manusia: Tinjauan Teoritis, Empirisdi Jawa Barat [Makalah Pelatihan Program pendanaan Kompetisi IndeksPembangunan Manusia (PPK-IPM). Sumedang.
Muhammad, Sulaiman D, et all. 2010. Impact of Globalization on HDI (Humandeveloment Index): Case Study of Pakistan.European Journal of SocialScience-Volume 13, Number 1 (2010).
Nachrowi, D dan Hardius Usman. 2006. Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomidan Keuangan. LP Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia. Jakarta.
Pindyck, R.S dan Rubinfeld D.L. 1998. Econometric Models and EconomicForecast. Irwin McGraw-Hill. Singapore.
Prasetyo, Agus. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan(Studi Kasus 35 Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah). [Tesis]. FakultasEkonomi Universitas Diponegoro. Semarang.
Ramanathan, Ramu. 1998. Statistical Menthods in Econometrics. Emerald GroupPublishing. England.
91
Ramelan,Rahardi. 1997. Kemitraan pemerintah-swasta dalam pembangunaninfrastruktur di indonesia. Koperasi Jasa Profesi LPPN. Indonesia.
Revalion, Martin. 1998. Poverty Line in Theory and Parctice: Living StandarsMeasurement Study. World Bank: Working Paper no.13.
Satria, Dian. 2008. Modal Manusia dan Globalisasi: Peran SubsidiPendidikan.http://www.diassatria.web.id/wp.content/uploads/2008/12/jurnalindef-subsidi.pdf.
Sukirno, Sudiro. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan DasarKebijakan. Kencana. Jakarta.
Suparno. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap perekonomiandi Indonesia. [Tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suharto, Edi. 2007. Merentas Kebijakan Sosial Pro Poor: Menggagas PelayananSosial yang Berkeadilan. UGM. Yogyakarta.
Todaro dan Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga.Jakarta.
Wibowo, E. 2008. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD untukMeningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia di Kabupaten Bogor. Tesis.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yanuar. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output sertaDampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia. [Tesis]. Institut PertanianBogor. Bogor.
Yanuarta, H. 2009. Strategi Alokasi Anggaran Pembangunan dalam RangkaPeningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Lampung.[Tesis]. Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Yudhoyono, S.B. dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia:Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi?BrightenPress. Bogor.
Zepeda, Eduardo. 2004. Pro-Poor Growth: What is It? IPC-IG Collection. Brazil.
92
LAMPIRAN
Lampiran 1. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota Jawa BaratTahun 2005-2009
(persen)
Kabupaten/ Kota Tahun2005 2006 2007 2008 2009
01. B o g o r 69,2 69,73 70,08 70,66 71,0902. Sukabumi 68,7 68,88 69,21 69,66 70,1403. Cianjur 66,8 67,1 67,65 68,17 68,604. Bandung 72,4 72,62 72,97 73,41 73,7705. G a r u t 68,7 69,46 69,99 70,52 70,9606. Tasikmalaya 70,4 70,86 71,24 71,35 71,7507. C i a m i s 69,3 69,8 70,14 70,57 70,9208. Kuningan 68,5 69,21 69,7 70,12 70,409. Cirebon 66 66,32 67,3 67,7 68,1710. Majalengka 66,9 68,41 68,94 69,4 69,9311. Sumedang 70,2 70,56 71,3 71,68 72,1312. Indramayu 63 65,26 66,22 66,78 67,3913. Subang 68,2 69,86 70,03 70,43 70,7814. Purwakarta 68,6 68,86 69,88 70,31 70,715. Karawang 66,4 66,95 68,45 69,06 69,4416. B e k a s i 70,4 70,72 71,55 72,1 72,44Kota17. B o g o r 74,3 74,57 74,73 75,16 74,4918. Sukabumi 72,4 73 73,66 74,17 75,619. Bandung 74,3 74,52 74,86 75,35 74,5920. Cirebon 73,7 73,8 73,87 74,26 75,9921. Bekasi 74,6 74,82 75,31 75,73 78,6122. Depok 77,1 77,67 77,89 78,36 75,1223. Cimahi 73,1 73,35 74,42 74,79 73,8924. Tasikmalaya 72,1 72,27 72,75 73,35 70,925. Banjar 69,4 69,64 70,17 70,61 71,64Sumber: BPS
93
Lampiran 2. PDRB Perkapita Provinsi Jawa Barat atas Harga Konstan 2000menurut Kabupaten tahun 2005-2009
(Juta Rupiah)
Kabupaten/ Kota Tahun2005 2006 2007 2008 2009
Kab/Reg.01. Bogor 6,11 6,30 6,52 6,75 6,9602. Sukabumi 3,20 3,30 3,42 3,52 3,6403. Cianjur 3,25 3,32 3,42 3,52 3,6404. Bandung 5,34 4,01 6,15 6,31 6,5205. G a r u t 3,78 3,84 3,94 4,03 4,1706. Tasikmalaya 2,56 2,59 2,63 2,66 2,7407. C i a m i s 3,82 3,91 4,05 4,20 4,3508. Kuningan 2,92 0,30 3,04 3,11 3,2209. Cirebon 3,01 3,12 3,25 3,36 3,4810. Majalengka 2,97 3,08 3,21 3,34 3,4611. Sumedang 4,22 4,31 4,42 4,53 4,6812. Indramayu 7,00 7,10 7,22 7,30 7,5513. Subang 4,24 4,34 4,44 4,59 4,7614. Purwakarta 7,45 7,60 7,76 8,03 8,2815. Karawang 7,29 7,66 7,92 8,31 8,5816. B e k a s i 7,03 21,99 22,87 23,75 24,24Kota/City17. Bogor 4,22 4,42 4,63 4,85 4,9518. Sukabumi 4,94 5,12 5,35 5,58 5,7119. Bandung 9,23 9,84 10,55 11,29 11,6520. Cirebon 17,50 18,20 18,98 19,48 19,9721. Bekasi 5,89 6,10 6,36 6,60 6,7322. Depok 3,46 3,64 3,84 4,03 4,1123. Cimahi 10,37 10,60 10,87 11,10 11,2524. Tasikmalaya 4,96 5,07 5,26 5,45 5,6525. Banjar 3,39 3,48 3,58 3,67 3,80Sumber: BPS
94
Lampiran 3. Jumlah Rasio Jumlah Sekolah Dasar dan Sekolah LanjutanTingkat Pertama terhadap Jumlah Penduduk Usia SekolahDasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertamadi Provinsi JawaBarat menurut Kabupaten Tahun 2005-2009
(1/100.000 sekolah/orang)
Kabupaten/ Kota Tahun2005 2006 2007 2008 2009
01. Bogor 2,010 1,894 2,155 2,404 2,53002. Sukabumi 2,757 2,700 2,876 3,007 3,12703. Cianjur 2,470 2,846 2,967 3,060 3,19704. Bandung 2,847 2,717 2,920 2,797 2,94705. G a r u t 2,949 3,085 2,848 3,143 3,24206. Tasikmalaya 3,418 3,273 3,424 3,665 3,78707. C i a m i s 4,219 3,928 4,140 4,302 4,46908. Kuningan 3,417 3,496 3,943 4,127 4,25709. Cirebon 2,204 2,139 2,307 2,509 2,62710. Majalengka 4,111 3,823 4,312 4,541 4,80511. Sumedang 3,389 3,596 3,874 4,106 4,33612. Indramayu 3,013 2,842 2,514 3,208 3,30613. Subang 3,671 3,653 3,885 4,043 4,23414. Purwakarta 3,096 2,742 2,492 3,056 3,21415. Karawang 2,968 2,684 2,522 3,157 3,28116. B e k a s i 1,977 1,978 2,015 2,610 2,648Kota/City17. Bogor 2,401 2,363 3,069 2,917 3,04818. Sukabumi 2,721 2,648 2,330 3,059 3,23619. Bandung 2,780 2,842 2,578 2,657 2,86820. Cirebon 3,362 3,575 3,529 4,410 4,64421. Bekasi 1,849 1,982 2,171 2,315 2,58522. Depok 1,862 1,983 1,863 2,347 2,44523. Cimahi 2,449 1,849 1,279 1,904 2,02624. Tasikmalaya 2,305 2,638 2,766 2,985 3,06425. Banjar 2,953 3,059 3,171 3,350 3,541Jawa Barat 2,843 2,683 3,423 2,974 3,110
Sumber: BPS
95
Lampiran 4. Rasio Jumlah Guru SD dan SMP terhadap Jumlah Murid SDdan SMPdi Provinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten Tahun2005-2009
(1/100 guru per murid)
Kabupaten/ Kota Tahun2005 2006 2007 2008 2009
01. Bogor 2,734 7,503 4,176 3,519 3,10302. Sukabumi 3,357 8,719 3,398 4,127 4,44403. Cianjur 3,316 11,642 12,100 4,219 4,74904. Bandung 3,270 7,515 3,684 5,106 4,37405. G a r u t 3,873 7,702 3,494 4,912 4,82106. Tasikmalaya 4,881 6,546 2,567 5,930 6,25907. C i a m i s 5,830 13,700 5,921 6,883 5,77208. Kuningan 5,255 12,186 5,807 6,404 5,87309. Cirebon 3,089 6,871 3,124 4,125 4,54310. Majalengka 3,937 11,316 5,012 5,836 6,68111. Sumedang 5,460 10,980 6,077 6,587 5,62112. Indramayu 3,698 8,823 3,809 4,456 4,69313. Subang 4,097 6,373 0,780 5,137 5,12714. Purwakarta 3,682 7,937 3,851 4,780 4,97615. Karawang 3,264 6,633 3,304 1,701 3,67516. B e k a s i 2,924 4,742 2,469 3,431 2,800Kota/City17. Bogor 6,009 7,496 14,444 5,429 4,62418. Sukabumi 4,519 6,334 5,200 5,006 6,02419. Bandung 4,906 6,752 4,219 4,312 4,72620. Cirebon 4,203 6,452 4,735 5,405 6,04321. Bekasi 3,354 11,291 5,679 4,922 3,95922. Depok 4,259 7,635 5,387 6,171 5,28523. Cimahi 4,557 7,407 3,347 5,566 5,07324. Tasikmalaya 5,329 9,911 6,258 5,661 2,65125. Banjar 5,045 9,561 5,196 9,219 5,939Jawa Barat 3,804 7,667 2,715 4,557 4,521Sumber: BPS
96
Lampiran 5. Rasio Jumlah Puskesmas terhadap penduduk di Provinsi JawaBaratmenurut Kabupaten Tahun 2005-2009
(1/100.000 puskesmas per orang)
Kabupaten / Kota Tahun2005 2006 2007 2008 2009
01. B o g o r 5,00 4,86 4,73 4,93 4,8702. Sukabumi 9,21 8,39 8,77 8,70 10,0303. Cianjur 8,53 8,47 8,93 8,99 9,4104. Bandung 5,56 5,34 7,74 6,55 6,1905. G a r u t 8,83 8,46 8,85 8,66 9,3806. Tasikmalaya 12,22 11,99 11,55 12,88 12,9607. C i a m i s 12,96 11,95 12,86 12,77 13,7408. Kuningan 11,58 11,80 11,75 12,21 12,1009. Cirebon 7,02 8,20 8,09 7,98 8,0510. Majalengka 11,83 12,69 12,62 12,64 11,1611. Sumedang 10,96 11,74 11,06 10,84 11,1012. Indramayu 8,07 8,66 8,52 8,44 9,1413. Subang 10,20 9,30 9,25 10,77 10,7014. Purwakarta 11,29 10,19 10,65 10,99 12,0915. Karawang 6,70 6,55 6,66 6,58 5,3916. B e k a s i 4,91 4,82 4,87 4,77 5,99Kota/City17. B o g o r 6,16 7,48 6,58 6,50 6,8118. Sukabumi 17,03 16,63 16,63 16,02 19,5819. Bandung 3,45 3,59 3,55 3,51 2,0720. Cirebon 17,79 17,87 17,90 19,40 27,6221. Bekasi 3,26 3,19 3,12 3,05 2,5722. Depok 2,77 3,52 3,68 3,84 4,3723. Cimahi 3,04 3,56 3,47 3,57 8,7624. Tasikmalaya 7,57 7,70 7,69 7,53 2,8125. Banjar 9,79 8,47 10,51 10,29 32,26Jawa Barat 7,47 7,44 7,46 7,65 0,06
Sumber: BPS
97
Lampiran 6. Rasio Jumlah Pelayan Kesehatan terhadap Jumlah PendudukdiProvinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten Tahun 2005-2009
(1/10.000 pelayan kesehatan per orang)
Kabupaten/ Kota Tahun2005 2006 2007 2008 2009
01. B o g o r 1,800 1,878 1,689 2,045 2,17102. Sukabumi 1,573 1,754 1,045 1,419 2,29303. Cianjur 1,939 1,520 1,629 2,212 2,27504. Bandung 1,414 1,475 1,448 1,489 1,99705. G a r u t 1,736 1,987 1,795 2,039 2,55206. Tasikmalaya 2,480 1,618 2,595 2,142 3,18307. C i a m i s 3,124 4,434 3,089 3,269 3,99208. Kuningan 3,510 3,638 3,752 4,161 4,38009. Cirebon 2,993 3,879 2,811 2,842 3,18810. Majalengka 2,543 3,297 4,426 4,196 4,15911. Sumedang 2,558 2,642 3,111 3,262 3,57512. Indramayu 2,431 2,536 3,375 2,749 2,41813. Subang 2,708 2,671 2,255 2,940 3,32314. Purwakarta 2,297 2,752 2,969 3,284 3,89515. Karawang 2,135 2,506 2,002 1,699 2,85816. B e k a s i 1,838 1,933 2,520 2,384 2,456Kota17. B o g o r 2,581 2,372 2,298 2,282 2,64618. Sukabumi 4,761 3,088 2,993 2,845 3,08119. Bandung 1,654 3,050 1,476 1,414 1,88820. Cirebon 6,795 9,567 5,646 7,090 7,10221. Bekasi 0,917 1,480 1,473 1,461 1,56722. Depok 0,728 1,464 1,331 1,377 1,34423. Cimahi 1,519 1,462 1,368 1,597 1,42424. Tasikmalaya 6,042 2,130 2,658 2,904 4,20125. Banjar 5,473 2,033 2,822 2,926 4,678
Sumber: BPS
98
Lampiran 7. Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Penduduk di ProvinsiJawa Barat Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
(1/10.000 km per orang)
Kabupaten / Kota Tahun2005 2006 2007 2008 2009
01. B o g o r 3,68 3,58 3,49 37,12 3,9302. Sukabumi 7,10 5,87 5,83 7,60 7,5403. Cianjur 0,43 5,00 0,45 0,42 0,4104. Bandung 7,66 7,43 10,75 10,48 8,9305. G a r u t 4,92 3,49 3,41 3,34 3,3106. Tasikmalaya 6,21 6,11 5,94 7,09 7,0107. C i a m i s 5,00 4,87 4,81 4,81 4,7808. Kuningan 3,79 3,72 3,65 3,58 3,5409. Cirebon 3,04 3,00 2,97 2,94 2,9110. Majalengka 5,75 5,79 5,75 5,91 5,8711. Sumedang 7,09 7,30 7,16 7,02 6,9612. Indramayu 4,45 4,45 4,44 4,40 4,3713. Subang 7,22 7,32 7,23 7,14 7,0914. Purwakarta 8,67 9,05 9,01 8,90 8,8015. Karawang 13,09 4,24 12,73 12,50 12,3716. B e k a s i 4,81 4,65 4,56 4,46 4,37Kota/City17. B o g o r 6,83 8,64 9,17 8,55 8,3718. Sukabumi 5,79 4,84 4,14 4,08 4,5719. Bandung 5,07 4,80 4,99 4,96 4,9120. Cirebon 5,94 4,99 5,10 4,95 4,8721. Bekasi 1,54 4,79 2,70 2,64 2,5822. Depok 3,16 3,61 3,44 3,28 3,2223. Cimahi 2,17 1,97 2,43 2,40 2,1724. Tasikmalaya 10,85 10,57 10,42 10,22 10,1725. Banjar 12,50 12,25 10,49 10,27 11,01Jawa Barat 5,43 5,23 5,24 8,94 5,33Sumber: BPS
99
Lampiran 8, Hasil Output Regresi data Panel dengan Eviews 6.0
FEM
Dependent Variable: LNIPMMethod: Panel EGLS (Cross-section weights)Date: 07/27/11 Time: 14:12Sample: 2005 2009Periods included: 5Cross-sections included: 25Total panel (balanced) observations: 125Linear estimation after one-step weighting matrixWhite diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LNPDRBK 0.006177 0.001245 4.961399 0.0000LNPKES 0.003635 0.000794 4.576748 0.0000LNPOV -0.008545 0.004960 -1.722774 0.0883LNGR 0.014856 0.002719 5.464718 0.0000
LNSRNINF 0.013470 0.005321 2.531621 0.0130LNSRNKES 0.005097 0.002754 1.850652 0.0674LNSRNPEN 0.014065 0.006164 2.281837 0.0248
C 4.195010 0.021840 192.0829 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.991248 Mean dependent var 7.929682Adjusted R-squared 0.988331 S.D. dependent var 6.651694S.E. of regression 0.008418 Sum squared resid 0.006590F-statistic 339.7745 Durbin-Watson stat 1.363965Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.965404 Mean dependent var 4.264595Sum squared resid 0.007463 Durbin-Watson stat 1.219967
100
REM
Dependent Variable: LNIPMMethod: Panel EGLS (Cross-section random effects)Date: 07/27/11 Time: 14:16Sample: 2005 2009Periods included: 5Cross-sections included: 25Total panel (balanced) observations: 125Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LNPDRBK 0.007869 0.003537 2.224846 0.0280LNPKES 0.006641 0.004212 1.576668 0.1176LNPOV -0.025559 0.004421 -5.781458 0.0000LNGR 0.016927 0.003511 4.821173 0.0000
LNSRNINF 0.005178 0.005396 0.959506 0.3393LNSRNKES -0.013509 0.007566 -1.785483 0.0768LNSRNPEN 0.006048 0.009229 0.655323 0.5135
C 4.284716 0.019983 214.4206 0.0000
Effects SpecificationS.D. Rho
Cross-section random 0.021775 0.8569Idiosyncratic random 0.008898 0.1431
Weighted Statistics
R-squared 0.470371 Mean dependent var 0.766645Adjusted R-squared 0.438684 S.D. dependent var 0.013206S.E. of regression 0.009894 Sum squared resid 0.011454F-statistic 14.84418 Durbin-Watson stat 1.005897Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.550092 Mean dependent var 4.264595Sum squared resid 0.097053 Durbin-Watson stat 0.118713
Correlated Random Effects - Hausman TestEquation: EQ06Test cross-section random effects
Test SummaryChi-Sq.Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 34.660205 7 0.0000
Recommended