View
20
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN SEKTOR INDUSTRI KECIL
Studi Kasus : Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Ekonomi
Oleh:
RETNO MARSANTI
NIM: 021324014
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
i
MOTTO
“Bila kita melihat kehidupan dari sisi yang menyenangkan segala sesuatu yang
membuat kehidupan ini berat bisa teratasi dan hidup akan terasa indah”.
“Kamu adalah terang dunia……. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya
didepan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan
Bapamu yang di surga”. (Mat 5:13.16)
“Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah
mengeringkan tulang”. (Amsal 17:22)
Bapa di Surga
Tuhan Yesus & Bunda Maria
Kedua Orang tuaku, Bapak Yohanes Sanggito & Maria Suharti
My Honey, Mathias
Adikku, Agung
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah
Yogyakarta, 15 Mei 2007
Penulis
Retno Marsanti
vi
vii
ABSTRAK
ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN SEKTOR INDUSTRI KECIL Studi Kasus : Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten
Retno Marsanti Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi pendapatan pembuat tahu, menganalisis distribusi pendapatan dalam industri pembuat karak dan menganalisis distribusi pendapatan dalam industri pembuat kripik sukun di Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten. Penelitian ini bersifat studi kasus. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan sampel jenuh, yaitu teknik penentuan sampel sama dengan jumlah populasinya, yang berjumlah 81 orang. Metode analisis data menggunakan analisis Rasio Gini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1. Distribusi pendapatan pembuat tahu di Desa Somopuro, termasuk dalam
tingkat ketimpangan pendapatan rendah, dengan angka Rasio Gini sebesar 0,13.
2. Distribusi pendapatan pembuat karak di Desa Gondangan, termasuk dalam tingkat ketimpangan pendapatan rendah, dengan angka Rasio Gini sebesar 0,19.
3. Distribusi pendapatan pembuat kripik sukun di Desa Gondangan, termasuk dalam tingkat ketimpangan pendapatan rendah, dengan angka Rasio Gini sebesar 0,15.
viii
ABSTRACT
ANALYSIS OF INCOME DISTRIBUTION OF LOW SCALE INDUSTRY A Case Study in Jogonalan Subdisyrict, Klaten Regency, Central Java
Retno Marsanti Sanata Dharma University
Yogyakarta 2007
The objectives of this research are to analyze income distribution of (1) the soybean industry; (2) a crust of rice industry; (3) breadfruit crispy chip industry in Jogonalan Subdistrict, Klaten Regency, Central Java. This research is a case study. The technique of collecting the samples is satiated sample. It means that the total chosen samples are the same as the population of the samples. The population of the samples is 81 people. The technique of data analysis was Gini Ratio. The result of this research indicates that (1) the income distribution of the soybean small industry in Somopuro Village belongs to low level income. The Gini Ration is 0,13; (2) the income distribution of a crust of rice industry in Gondangan Village belongs to low level income. The Gini Ration is 0,19; (3) the income distribution of breadfruit crispy chip industry in Somopuro Village belongs to low level income. The Gini Ration is 0,15.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS DISTRIBUSI
PENDAPATAN SEKTOR INDUSTRI KECIL”, studi kasus di Kecamatan
Jogonalan, Kabupaten Klaten dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Ekonomi.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada:
1. Drs. T. Sarkim, M. Ed., Ph. D, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Drs. Sutarjo Adisusilo, J.R, selaku Ketua Jurusan Program Studi Pendidikan
Ekonomi Universitas Sanata Dharma.
3. Y. Harsoyo, S.Pd, MSi, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi
Universitas Sanata Dharma.
4. Y. Harsoyo, S.Pd, MSi, selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar telah
memberikan bimbingan selama penyusunan skripsi ini.
5. Drs. P.A. Rubiyanto, selaku Dosen Pembimbing II yang dengan sabar telah
memberikan bimbingan selama penyusunan skripsi ini.
6. Y.M.V. Mudayen, S.Pd yang memberikan masukan, saran maupun kritik
dalam penyusunan skripsi.
ix
7. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi yang telah membagikan
ilmu pengetahuan sebagai bekal yang akan sangat berguna bagi penulis di
masa depan.
8. Seluruh karyawan sekretariat Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas
Sanata Dharma terutama Mbak Titin dan Pak Wawiek atas pelayanan
adminitrasi yang telah diberikan selama saya kuliah.
9. Pemerintah Kabupaten Klaten terutama BAPEDA yang memberikan ijin
sehingga penulis dapat melakukan penelitian.
10. Seluruh pekerja dan pengusaha pembuat tahu, karak dan kripik sukun yang
telah bersedia menjadi responden bagi penulis.
11. Keluargaku tercinta Bapak Yohanes Sanggito dan Ibu Maria Suharti serta
adikku yang telah memberikan dorongan dan selalu mendoakan penulis,
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
12. Keluarga Bapak Yoseph Mulyatmo, B.A yang telah memberikan dukungan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13. My Beloved, Mathias makasih atas dorongan dan kasih sayangnya sehingga
skripsi ini dapat selesai dengan baik.
14. Terima kasih Supra AD 4609 PJ yang dengan setia menemani dan mengantar
penulis kemanapun pergi.
15. Teman-teman PE‘02 Nana, Wulan, Tanty, Heni, Nina, Erwin, makasih ya atas
tumpangan istirahat di sela-sela jam kuliah, serta semua temen PE‘02 terima
kasih atas kebersamaan selama ini, penulis sangat bangga punya teman-teman
x
seperti kalian. Besok wisuda bareng-bareng ya….. biar rame….OKE ???
Tetap Semangat ya…………Tuhan memberkati.
16. Teman-teman Mudika Stanislaus Santo Yusuf TPost, makasih dukungannya
ya, aku dah lulus nich…….
17. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-per satu.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-
pihak yang membutuhkan.
Yogyakarta, 15 Mei 2007
Penulis
Retno Marsanti
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………............ iii
MOTTO ……………………………………………………………………. iv
PERSEMBAHAN …………………………………………………………. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………… vi
ABSTRAK ………………………………………………………………… vii
ABSTRACT ………………………………………………………………… viii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………... ix
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xviii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……….…………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 3
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………....... 3
D. Manfaat Penelitian …………………………………......................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori tentang Distribusi Pendapatan ..………………………………. 5
B. Distribusi Pendapatan di Indonesia …………………………………. 14
xii
C. Kemiskinan …………………………………………………………. 16
D. Industri Kecil dalam Perekonomian Indonesia ……………………… 19
E. Industri Kecil dalam Perekonomian di Kabupaten Klaten ………….. 21
F. Penelitian Terdahulu ………………………………………………… 23
G. Kerangka Teoritik …………………………………………………… 24
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ……………………………………………………… 25
B. Subjek dan Objek Penelitian ………………………………………… 25
C. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………......... 25
D. Sumber Data …………………………………………………………. 26
E. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………… 26
F. Populasi dan Sampel …………………………………………………. 27
G. Metode Analisis Data ………………………………………………… 28
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH DAN SAMPEL PENELITIAN
A. Deskripsi Daerah Penelitian …………………………………………… 30
B. Deskripsi Sampel Penelitian ………….……………………………….. 36
C. Gambaran Umum Industri Kecil ……………………………………. 37
V. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Data …………………………………………………………. 47
B. Pembahasan …………………………………………………………… 55
xiii
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………… 64
B. Saran ………………………………………………………………….. 65
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II.1. Distribusi Pendapatan di Indonesia ………………………… 14
Tabel II.2. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase dari Populasi
yang Hidup di bawah Garis Kemiskinan
di Indonesia 1976-2005……………………………………. 18
Tabel IV.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaannya
Desa Somopuro Tahun 2006 ……………………………… 31
Tabel IV.2. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Somopuro
Tahun 2006 ……………………………………………….. 32
Tabel IV.3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Desa Somopuro Tahun 2006 ……………………………… 32
Tabel IV.4. Luas Wilayah Menurut Penggunaannya
Desa Gondangan Tahun 2006 …………………………….. 34
Tabel IV.5. Mata Pencaharian Penduduk Desa Gondangan
Tahun 2006 ……………………………………………….. 35
Tabel IV.6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Desa Gondangan Tahun 2006 ……………………………. 35
Tabel IV.7. Pengrajin Menurut Tingkat Umur ………………………... 36
Tabel IV.8. Pengrajin Menurut Tingkat Pendidikan ………………….. 36
Tabel IV.9. Pengusaha Tahu Desa Somopuro bulan Januari 2007 …… 37
xv
Tabel IV.10. Pekerja Industri Pembuat Tahu Desa Somopuro
bulan Januari 2007……………………………………….. 38
Tabel IV.11. Pengusaha Karak Desa Gondangan
bulan Januari 2007 ………………………………………. 40
Tabel IV.12. Pekerja Industri Pembuat Karak Desa Gondangan
bulan Januari 2007 ……………………………………… 41
Tabel IV.13. Pengusaha Kripik Sukun Desa Gondangan
bulan Januari 2007 ……………………………………… 44
Tabel IV.12. Pekerja Industri Pembuat Kripik Sukun Desa Gondangan
bulan Januari 2007………………………………………. 44
Tabel V.1. Data Pendapatan Pembuat Tahu Desa Somopuro
bulan Januari 2007 ……………………………………… 47
Tabel V.2. Statistik Deskriptif Pembuat Tahu Desa Somopuro
bulan Januari 2007 ……………………………………… 48
Tabel V.3. Penghitungan Rasio Gini Pendapatan Pembuat Tahu
Desa Somopuro bulan Januari 2007 ……………………. 49
Tabel V.4. Data Pendapatan Pembuat Karak Desa Gondangan
bulan Januari 2007 ………………………………………. 50
Tabel V.5. Statistik Deskriptif Pembuat Karak Desa Gondangan
bulan Januari 2007 ……………………………………...... 51
Tabel V.6. Penghitungan Rasio Gini Pendapatan Pembuat Karak
Desa Gondangan bulan Januari 2007 ……………………. 51
xvi
Tabel V.7. Data Pendapatan Pembuat Kripik Sukun Desa Gondangan
bulan Januari 2007 …………………………………………… 52
Tabel V.8. Statistik Deskriptif Pembuat Kripik Sukun Desa Gondangan
bulan Januari 2007 …………………………………………… 53
Tabel V.9. Penghitungan Rasio Gini Pendapatan Pembuat Kripik Sukun
Desa Gondangan bulan Januari 2007 ………………………… 54
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar II.1. Kurva Lorenz ……………………………………………. 15
Gambar II.2. Produksi Sektor Industri di Kabupaten Klaten tahun 2005 22
Gambar IV.1. Kurva Lorenz Pembuat Tahu Desa Somopuro
bulan Januari 2007………………………………………. 55
Gambar IV.2. Kurva Lorenz Pembuat Karak Desa Gondangan
bulan Januari 2007 ……………………………………… 58
Gambar IV.3. Kurva Lorenz Pembuat Kripik Sukun Desa Gondangan
bulan Januari 2007 …………………………………….. 61
xviii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum pembangunan dimengerti sebagai usaha untuk
memajukan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Dalam pengertian
ekonomi, pembangunan ekonomi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi menjadi orientasi pembangunan karena diyakini secara
otomatis dapat menetes ke bawah (trickle down effect) menyebarkan hasil-
hasil pembangunan secara lebih merata. Jadi pertumbuhan ekonomi
merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembangunan
terutama di negara sedang berkembang, tidak terkecuali di Indonesia.
Pada awal pemerintahan Orde Baru hingga akhir tahun 1970-an
strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto lebih
berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Tambunan, 2006 : 9).
Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan ekonomi nasional
dimulai di pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan seperti, pelabuhan, telekomunikasi, komplek industri, dan
infrastruktur lainnya yang tersedia di Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya
dibandingkan di propinsi lain di Indonesia. Pembangunan pada saat itu juga
hanya terpusatkan di sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki
kemampuan besar untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Pada
2
pemerintahan Orde Baru percaya bahwa hasil dari pembangunan akan
“menetes” ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Paradigma pembangunan yang dianut pemerintahan Orde Baru
tersebut merupakan satu-satunya strategi yang sesuai dengan kondisi ekonomi
Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia sejak Pelita I pada tahun 1969
hingga krisis ekonomi terjadi, akhir tahun 1997 Indonesia mengalami proses
pembangunan yang spektakuler. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per
tahun lebih dari 7,3% hingga 8,2% selama dekade 1990-an (Tambunan,
2001:49).
Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, kenyataan sektor industri
kecil mempunyai peran yang penting dalam perekonomian, terutama dalam
mengurangi pengangguran dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
(http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_7.htm). Tetapi pada
kenyataannya pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan sekarang
berusaha untuk memperbaiki ketimpangan dalam distribusi pendapatan
(Tambunan, 2006:20). Walaupun keberhasilan suatu pembangunan ekonomi
tidak hanya diukur dari laju pertumbuhan output atau peningkatan pendapatan
per kapita. Tetapi, yang lebih penting adalah pola distribusi pendapatan
tersebut. Maka penting untuk meneliti sektor ini, karena sektor ini mampu
bertahan dan diandalkan waktu krisis serta untuk ke depannya penting karena
berkurangnya sektor pertanian dan diganti dengan sektor industri kecil.
Dari latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengambil judul
“Analisis Distribusi Pendapatan Sektor Industri Kecil”
3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana distribusi pendapatan pembuat tahu di Kecamatan Jogonalan?
2. Bagaimana distribusi pendapatan pembuat karak di Kecamatan Jogonalan?
3. Bagaimana distribusi pendapatan pembuat kripik sukun di Kecamatan
Jogonalan?
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis distribusi pendapatan pembuat tahu di Kecamatan
Jogonalan.
b. Untuk menganalisis distribusi pendapatan pembuat karak di Kecamatan
Jogonalan.
c. Untuk menganalisis distribusi pendapatan pembuat kripik sukun di
Kecamatan Jogonalan.
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi Pengrajin
Diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan bahan
pertimbangan dalam mengembangkan usahanya sehingga pendapatan
dapat ditingkatkan.
4
b. Bagi Universitas
Dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang sejenis dan
memberikan informasi ilmiah yang berkaitan dengan distribusi
pendapatan.
c. Bagi Penulis
Dapat menerapkan disiplin ilmu yang diperoleh selama kuliah dan
dapat menambah pengetahuan tentang distribusi pendapatan.
d. Bagi Pemerintah
Dapat digunakan sebagai informasi tambahan dalam menyusun sasaran
pengembangan potensi-potensi sektor industri kecil, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori tentang Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan akan menentukan bagaimana pandapatan yang
tinggi mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat,
seperti mengurangi kemiskinan, penganguran dan mampu mencapai distribusi
pendapatan di masyarakat. Distribusi pendapatan yang tidak merata, tidak
akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Distribusi
pendapatan yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi
golongan tertentu saja. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan
dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki
faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih
banyak juga.
Menurut Sukirno, 1985:61, ada dua macam distribusi pendapatan,
yaitu:
1 Distribusi pendapatan relatif, adalah perbandingan jumlah pendapatan
yang diterima oleh berbagai golongan penerima pendapatan, dan
penggolongan ini didasarkan pada besarnya pendapatan yang mereka
terima.
2 Distribusi pendapatan mutlak, adalah presentasi jumlah penduduk yang
pendapatannya mencapai suatu tingkat pendapatan tertentu atau kurang.
6
Salah satu teori pembangunan yang menfokuskan pada pentingnya
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, adalah:
1. Teori Trickle Down Effect
Pada prinsipnya berbagai aktivitas pembangunan ekonomi dilakukan
tidak lain bertujuan untuk mengejar keterbelakangan dan ketertinggalan.
Keterbelakangan dan ketertinggalan itu sendiri memiliki ruang lingkup
yang multidimensi, namun dalam perspektif ilmu ekonomi, dimensi
pencapaian tingkat kesejahteraanlah yang menjadi tujuan paling utama.
Salah satu cara untuk mengejar keterbelakangan dan ketertinggalan
tersebut adalah dengan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan
demikian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan per kapita, sehingga
lambat laun akan diikuti pemerataan pendapatan dan berlanjut pada
pengurangan tingkat kemiskinan (trickle down effect)
(http://www.geocities.com/edisiestp 1175/artikel57.htm). Yang termasuk
teori trickle down effect, adalah:
Pendekatan Kuznets
Pandangan Kuznets mengenai kegiatan ekonomi masyarakat
berpangkal pada kerangka perhitungan nasional dengan penjabarannya
tentang unsur-unsur komponen dalam pendapatan nasional. Kuznets
berhasil memberi substansi secara empiris-kuantitatif terhadap pengertian
pokok dalam kerangka analisis Keynes seperti mengenai hubungan antara
konsumsi-tabungan-investasi-pendapatan dalam tata susunan ekonomi
secara menyeluruh. Satu sama lain dikaji menurut tahap perkembangan
7
yang susul-menyusul, dari satu periode ke periode yang lain. Hal yang
dikenal sebagai time series analysis. Hal ini menjadi landasan bagi
penelitian Kuznets mengenai masalah pertumbuhan ekonomi
(Djojohadikusumo, 1994:53).
Kuznets menemukan relasi antara kesenjangan pendapatan dan
tingkat pendapatan perkapita. Hasil tersebut diinterpretasikan sebagai
evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi
pedesaan ke ekonomi perkotaan, akibat dari efek menetes ke bawah. Pada
awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik
sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi dan pada akhir
proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor
industri di daerah perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari
tenaga kerja yang datang dari pedesaan lebih kecil di dalam produksi dan
penciptaan pendapatan (Tambunan, 2001:73).
2. Teori yang tidak percaya dengan Trickle Down Effect
Pada pertengahan pada tahun 1970-an, para ahli ekonomi mulai
meragukan terkonsentrasinya seluruh aktivitas ekonomi pada
pertumbuhan, ketika implementasi teori trickle down effect semakin bias.
Di banyak negara sedang berkembang terdapat gejala kemiskinan absolut,
ketimpangan distribusi pendapatan dan pengangguran yang cenderung
meningkat, meskipun pertumbuhan mengalami peningkatan secara stabil.
Misalnya saja kasus di Indonesia bisa dijadikan salahsatu contoh
8
kegagalan trickle down effect, menyusul terjadinya krisis moneter pada
akhir tahun 1997 (http://www.geocities.com/edisiestp 1175/artikel57.htm).
Adapun teori yang tidak percaya dengan teori trickle down effect adalah:
a. Pendekatan Neo Marxis
Pandangan Neo Marxis mengenai perekonomian negara-negara
berkembang bertentangan dengan gagasan para pemikir yang
mengutamakan tata nilai sosial budaya sebagai faktor dominan dalam
proses pembangunan. Hampir semuanya yang termasuk haluan kiri
radikal dikelompokkan dalam aliran Neo Marxis. Persamaan yang
menonjol dalam pandangan berbagai aliran dalam kelompok Neo
Marxis, adalah:
1) pola pendekatannya dalam gagasan teoritisnya berkisar pada
masalah pembangunan negara-negara berkembang menunjukkan
sifat normatif yang sangat kuat
2) penyajian analisisnya selalu disertai oleh serangkaian langkah dan
sasaran kebijaksanaan yang ditentukan secara normatif
3) pola dan sifat kebijaksanaannya menjurus pada reformasi radikal
ataupun revolusi perjuangan bersenjata secara eksplisit ataupun
implisit
4) unsur pesimisme yang mencolok dalam haluan pandangannya
terhadap kemungkinan pembangunan negara-negara Dunia Ketiga
(Djojohadikusumo, 1994:83).
9
Pakar ekonomi terkemuka yang berhaluan Marxis adalah Paul
Baran. Dasar pandangan Paul Baran menurut kalangan ekonomi
profesional dianggap yang paling penting dan bermutu diantara hasil
pemikiran dan penelitian golongan Marxis dan Neo Marxis di zaman
Pasca Perang Dunia II. Ia terus mengembangkan secara konsisten
sistem pemikiran Marxisme, menyesuaikannya dengan perkembangan
zaman, dan menerapkannya dalam perimbangan hubungan antara
negara-negara industri maju dengan negara terkekang dalam keadaan
ekonomi terbelakang (underdevelopment). Pokok permasalahan Baran
berkisar pada sebab-musabab tidak terjadinya perkembangan
kapitalisme di negara-negara Dunia Ketiga. Menurut Baran hal itu
bersangkut-paut dengan perkembangan kapitalisme di negara-negara
maju yang dalam sejarahnya muncul dari kondisi pra-kapitalisme yang
dianggap identik dengan feodalisme.
Sekali negara-negara Dunia Ketiga sudah terjebak perangkap
sistem kapitalisme dunia, maka tiada harapan lagi untuk mencapai
kemajuan. Hanya suatu revolusi bisa membuka jalan ke arah masa
depan yang lebih baik. Pemikiran Paul Baran telah mempengaruhi
banyak kalangan cendekiawan di Dunia Ketiga. Hal ini nampak sekali
di Amerika Latin dan Afrika, tetapi juga sebagian Asia, termasuk
sementara kalangan di Indonesia (Djojohadikusumo, 1994:85).
10
b. Aliran Dependencia
Pengertian Dependencia lazim dihubungkan dengan pandangan
dan gagasan yang dalam dasawarsa enam puluhan dicanangkan oleh
kalangan pemikir masyarakat berhaluan kiri dari Amerika Latin.
Perhatian golongan dependencia dipusatkan secara lebih spesifik pada
permasalahan sekitar perkembangan kapitalisme pinggiran (peripheral
capitalism). Hal tersebut dapat diartikan sebagai kapitalisme yang
bercorak “pinggiran” atau sebagai kapitalisme yang berada di kawasan
pinggiran (negara Dunia Ketiga), yaitu batas luar lingkungan
kapitalisme yang berinduk di negara-negara industri maju
(Djojohadikusumo, 1994:86).
Dalam hubungan ini, dapat dibedakan secara umum dua
golongan dalam aliran dependencia, yaitu golongan ekstrim radikal
yang berhaluan keras dan golongan yang berhaluan kiri tetapi yang
bersikap lebih reformis-moderat.
1) Andre’ Gunder Frank
Andre’ Gunder Frank, adalah pakar eksponen dari
pandangan garis keras dalam aliran dependencia. Dependencia
sebagai hal ketergantungan rakyat di negara-negara miskin dari
dominasi negara-negara maju merupakan akibat pemerasan
sistematis yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Dependencia kini semakin terasa di pasaran internasional dalam
sistemkapitalisme dunia. Kebanyakan negara Dunia Ketiga
11
mempunyai ekonomi yang terbuka, sedangkan produksinya
terpusat dan terbatas pada beberapa komoditi primer yang jenisnya
terbatas. Hal itu membatasi ruang gerak dan kemampuan negara-
negara underdevelopment untuk mengambil keputusan secara
mandiri mengenai penggunaan sumber daya produksinya
(Djojohadikusumo, 1994:87). Menurut Gunder Frank, aliansi
tersebut menjadi suatu kendala dahsyat yang mustahil diatasi
melalui jalan transformasi gradual. Bahkan jika hal serupa
dibiarkan, maka akan terjadi keterbelakangan yang berkelanjutan
(further development of underdevelopment). Satu-satunya jalan
keluar adalah aksi politik dengan melakukan revolusi yang
bersendikan sosialisme revolusioner.
2) F.H. Cardoso dan E. Faletto
F.H. Cardoso dan E. Faletto, pengarang ini mewakili
pandangan golongan reformasi-moderat dalam aliran dependencia.
Kedua pengarang ini mengakui adanya kontradiksi berganda dan
aliansi feodalisme domestik dengan imperalisme internasional.
Perekonomian di kawasan periferi bagaimanapun merupakan
bagian integral dari sistem kapitalisme dunia. Inti dari dinamika
pada sistem kapitalisme terletak di luar lingkungan ekonomi
periferi. Dengan memperlihatkan realitas dalam perkembangan
perekonomian dunia, maka terbuka kemungkinan bagi
pembangunan negara-negara berkembang. Namun, pembangunan
12
tersebut tetap ditandai oleh ciri ketergantungan
(Djojohadikusumo,1994:88).
3) W.F. Wertheim
W.F. Wertheim adalah pakar terkenal dalam ilmu sosiologi
berhaluan Marxis. Perhatian Wertheim ditujukan terutama kepada
perkembangan Asia setelah Perang Dunia II, khususnya mengenai
Indonesia dan negara-negara tetangganya. Semasa zaman
penjajahan, Wertheim mendukung perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Akan tetapi, setelah Republik Indonesia diakui oleh
dunia internasional, Wertheim menjadi sangat kritis terhadap
struktur kekuasaan politik di Indonesia. Ia mulai mendukung rezim
Sukarno di zaman Nasakom tatkala haluan kebijaksanaan Sukarno
semakin dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia. Setelah
peristiwa Gestapu, Werttheim secara berkala melancarkan kritik
pedas terhadap rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Sikap Wertheim memang selaras dengan garis politik yang
umumnya ditempuh oleh golongan Neo Marxis dan gerakan kiri
internasional yang dikenal sebagai “New Left”. Wertheim
sependapat dengan Boeke dan Geertz bahwa dalam perimbangan di
masyarakat pedesaan sama sekali tidak ada respons terhadap
dorongan yang bersifat ekonomis, kendatipun telah dilakukan
kebijaksanaan pemerintah secara aktif. Satu-satunya jalan menurut
Wertheim untuk mendobrak ekspansi statis (Boeke) dan inovasi
13
(Geertz) adalah revolusi radikal yang dapat membendung dan
membalikkan arah kecenderungan yang sedang dialami dalam
Dunia Ketiga. Revolusi radikal dalam pandangan Wertheim harus
berlandaskan gerakan massa yang rapi secara organisatoris dengan
dibekali oleh pendidikan yang intensif dan penyuluhan secara luas
(Djojohadikusumo, 1994:90).
c. Teori Kaldor
Teori ini, terdapat dua kelompok masyarakat yang oleh Kaldor
disebut sebagai kelompok kapitalis dan buruh. Setiap kelompok
mempunyai propensity to save (s) yang berbeda : sp untuk kelompok
kapitalis dan sw untuk kelompok buruh. Q = seluruh pendapatan
nasional, P = menunjukkan keuntungan atau penghasilan dari
kelompok kapitalis, dan W = upah atau penghasilan dari kelompok
buruh. P/Q menunjukkan berapa bagian dari pendapatan masyarakat
(pendapatan nasional) yang diterima oleh kelompok kapitalis, yang
sering disebut dengan istilah profit share. Dalam model Kaldor pola
distribusi pendapatan mempunyai konsekuensi terhadap laju
pertumbuhan ekonomi, apabila sp > sw, maka semakin besar profit
share semakin tinggi pula laju pertumbuhan ekonomi. Ini berarti
bahwa semakin tidak merata pola distribusi pendapatan, semakin
tinggi laju pertumbuhan ekonomi. Model Kaldor memberikan pilihan
antara pertumbuhan GDP yang cepat tetapi dengan distribusi
14
pendapatan yang timpang, atau pertumbuhan GDP yang lambat tetapi
distribusi pendapatan yang lebih merata. (Boediono,1988:76-79).
B. Distribusi Pendapatan di Indonesia
Distribusi pendapatan mencerminkan merata tidaknya hasil
pembangunan negara di kalangan penduduknya. Dalam proses
pembangunan ekonomi, ketimpangan atau kesenjangan merupakan salah
satu masalah yang dijumpai di hampir semua negara sedang berkembang,
seperti Indonesia.
Tabel II.1 Distribusi Pendapatan di Indonesia
Tahun
Pendapatan
40% rumah
tangga miskin
Pendapatan 40%
rumah tangga
menengah
Pendapatan 20%
rumah tangga
kaya
Koefisien
Gini
2002
2003
2004
20,92
20,57
20,8
36,89
37,1
37,13
42,19
42,33
42,07
0,329
0,32
0,32
Sumber: BPS, 2005
Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2002, angka Koefisien
Gini sebesar 0,329 menunjukkan terjadi ketimpangan pendapatan rendah.
Sedangkan pada tahun 2003 turun menjadi sebesar 0,32. Dari angka
Koefisien Gini sebesar 0,32 menunjukkan terjadi ketimpangan pendapatan
rendah. Antara tahun 2003 dan 2004 angka koefisien gini di Indonesia tidak
15
mengalami perubahan, yaitu sebesar 0,32 ini menunjukkan terjadi
ketimpangan pendapatan rendah .
Ada sejumlah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan. Alat yang lazim digunakan adalah
Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank
Dunia. Koefisien Gini biasanya diperlihatkan oleh Kurva Lorenz. Kurva
Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif antara prosentase penerimaan
pendapatan penduduk dengan prosentase pendapatan yang benar-benar
diperoleh selama kurun waktu tertentu biasanya satu tahun.
Gambar II.1 Kurva Lorenz
Dari gambar diatas, sumbu horisontal menggambarkan prosentase kumulatif
penduduk, sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan
yang diterima oleh masing-masing prosentase penduduk tersebut. Sedangkan
garis diagonal di tengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap
16
titik pada garis diagonal merupakan tempat kedudukan prosentase penduduk
yang sama dengan prosentase penerimaan pendapatan.
Semakin jauh jarak garis kurva Lorenz dari garis diagonal, semakin
tinggi tingkat ketidakmerataannya. Sebaliknya semakin dekat jarak kurva
Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi
pendapatannya. Pada gambar di atas, besarnya ketimpangan digambarkan
sebagai daerah yang diarsir. Distribusi pendapatan makin merata jika nilai
Koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan
dikatakan makin tidak merata jika nilai Koefisien Gininya makin mendekati
satu. Menurut Budiman, 1995:4, tingkat ketimpangan pendapatan digolongkan
menjadi tiga kategori, yaitu:
< 0,4 = ketimpangan pendapatan rendah.
0,4 – 0,5 = ketimpangan pendapatan sedang.
> 0,5 = ketimpangan pendapatan tinggi.
C. Kemiskinan
Kemiskian dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan merupakan
dua masalah besar negara sedang berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
Karena kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan kalau dibiarkan
berlarut-larut dan semakin parah akan menimbulkan konsekuensi politik dan
sosial yang sangat serius (Tambunan, 2006:8). Suatu pemerintahan bisa jatuh
karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi
kemiskinan.
17
Menurut Tambunan, 2001:71-72, ada dua macam ukuran kemiskinan
yang umum digunakan, yaitu:
1. Kemiskinan absolut, yaitu derajat kemiskinan dimana kebutuhan-
kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi.
2. Kemiskinan relatif, yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam
distribusi pendapatan, biasanya dikaitkan dengan tingkat rata-rata dari
distribusi tersebut.
Pada awal Orde Baru (tahun 1966) rata-rata pendapatan masyarakat
Indonesia hanya sekitar 50 dolar AS per tahun, dan lebih dari 80% dari
populasi hidup di pedesaan dan sebagian besar dari jumlah ini bekerja di
sektor pertanian, yang kebanyakan adalah petani kecil dan buruh tani. Pada
tahun 1969 pemerintah mulai melaksanakan pembangunan dengan
mencanangkan Repelita 1, dan sejak itu dengan kebijakan ekonomi terbuka,
investasi dan bantuan keuangan dari luar negeri membanjiri Indonesia. Dalam
beberapa tahun, inflasi yang sempat mencapai 500% lebih menjelang jatuhnya
pemerintah Soekarno dapat ditekan hingga 1 digit dan pertumbuhan ekonomi
meningkat, yang pada tahun 1980-an hingga 1997 sebelum krisis, Indonesia
mengalami pertumbuhan rata-rata 7% (Tambunan, 2006:10).
18
Tabel II.2 Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase dari Populasi yang Hidup di bawah
Garis Kemiskian di Indonesia: 1976-2005 Tingkat miskin (%) Jumlah orang miskin (juta orang) Tahun
Perkotaan Pedesaan National Perkotaan Pedesaan Nasional1976 38,8 40,4 40,1 10,0 44,2 54,2 1978 30,8 33,4 33,3 8,3 38,9 47,2 1980 29,0 28,4 28,6 9,5 32,8 42,3 1981 28,1 26,5 26,9 9,3 31,3 40,6 1984 23,1 21,2 21,6 9,3 25,7 35,0 1987 20,1 16,1 17,4 9,7 20,3 30,0 1990 16,8 14,3 15,1 9,4 17,8 27,2 1993 13,4 13,8 13,7 8,7 17,2 25,9 1996 13,4 19,8 17,5 9,4 24,6 34,01 1998 21,9 25,7 24,2 17,6 31,9 49,5 1999 19,4 26,03 23,4 15,6 32,3 48,0 2000 14,6 22,4 19,1 12,3 26,4 38,7 2001 9,8 24,8 18,4 8,6 29,3 37,9 2002 14,5 21,1 18,2 13,3 25,1 38,4 2003 13,6 20,2 17,4 12,2 25,1 37,3 2004 12,1 20,1 16,7 11,4 24,8 36,1 2005 11,4 19,5 15,97 12,4 22,7 35,1
Sumber: BPS, 2006
Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan tersebut juga memberikan
suatu kontribusi yang besar terhadap pengurangan kemiskinan selama Orde
Baru. Seperti yang ditunjukkan oleh tabel 2, persentase kemiskinan menurun
dari 40% ke sekitar 17,5% selama 1976-1996, dan penurunan terbesar terjadi
selama periode 1970-an hingga 1980-an dengan 13 persentase poin,
sedangkan selama periode 1981-1993 laju penurunannya hanya sekitar 16
persentase point. Pada saat krisis ekonomi 1997/1998, kemiskinan mengalami
peningkatan yang substansial karena banyaknya pekerja yang di PHK akibat
banyak perusahaan yang terimbas krisis. Pada tahun 1998, tingkat kemiskinan
nasional tercatat sebesar 24,23%, dan setelah itu cenderung menurun terus.
Pada tahun 2005, kemiskinan di Indonesia sekitar 16% dari jumlah penduduk,
19
dan ini masih lebih tinggi dibandingkan angka terendah yang pernah dicapai
pada masa Orde Baru (Tambunan, 2006:11).
D. Industri Kecil Dalam Perekonomian Indonesia
Pada saat krisis melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, industri
kecil mampu bertahan dan terbukti menjadi salah satu pelaku ekonomi yang
kuat dan ulet, karena industri kecil ternyata cukup berhasil menyesuaikan diri
dengan lingkungan ekonomi yang berubah dengan cepat tersebut.
Menurut kriteria UNIDO (United National for Industrial Development
Organization) negara-negara dikelompokkan sebagai berikut: (Arsyad,
2004:354-355).
a. kelompok negara non-industri (non-industrial country) apabila sumbangan
sektor industri PDB kurang dari 10 persen.
b. kelompok negara dalam proses industrialisai (industrializing country)
apabila sumbangan tersebut antara 10-20 persen.
c. kelompok negara semi industri (semi industrialized country) jika
sumbangan tersebut antara 20-30 persen.
d. kelompok negara industri (industrial country) jika sumbangan tersebut
lebih dari 30 persen.
Sumbangan industri terhadap PDB di Indonesia sudah meningkat
dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970 sektor industri menyumbang 8,4 persen
terhadap PDB, dan pada tahun 1980 meningkat menjadi 15,3 persen, dan pada
tahun 1997 meningkat menjadi 25 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa
20
pada Pelita I Indonesia masih termasuk kategori negara non-industri dan pada
Pelita VI telah masuk pada kategori negara semi industri (Arsyad, 2004:354).
Pengelompokkan industri menurut jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan, menurut Biro Pusat Statistik (BPS), dibedakan menjadi empat,
yaitu (Arsyad, 2004:366):
1. Perusahaan atau industri besar jika mempekerjakan 100 orang atau lebih.
2. Perusahaan atau industri sedang jika mempekerjakan 20 sampai 99 orang.
3. Perusahaan atau industri kecil jika mempekerjakan 3 sampai 19 orang.
4. Industri kerajinan rumah tangga jika mempekerjakan kurang dari 3 orang
(termasuk tenaga kerja yang tidak dibayar).
Menurut Heijrahman Ranupandoyo, pengertian industri pedesaan
adalah:
1. Industri yang diusahakan terutama oleh rakyat pedesaan
2. Menjadi sumber penghidupan baik bersifat sampingan maupun pokok di
luar kegiatan pertanian.
Industri kecil adalah industri berskala kecil dan industri rumah tangga yang
diusahakan terutama untuk menambah pendapatan keluarga.
Menurut Mubyarto, 1987:99, ciri-ciri industri kecil adalah:
1. Menggunakan modal yang relatif kecil
2. Bersifat padat karya
3. Sederhana dalam peralatan dan proses produksi
4. Bahan dasarnya umumnya diperoleh dari desa setempat atau desa sekitar
21
5. Sebagian besar pekerjaannya sambilan untuk menambah pendapatan
keluarga
6. Tidak mempunyai ijin usaha
7. Sebagian pekerjaannya dikerjakan oleh tangan
8. Tidak ada peraturan penggajian yang pasti.
Sektor industri kecil mempunyai arti dan peranan yang penting dalam
pembangunan umumnya dan pembangunan bidang ekonomi khususnya.
Selain juga memberikan sumbangan nyata dalam penyediaan lapangan kerja
bagi masyarakat dan peningkatan pendapatan terutama masyarakat pedesaan.
Menurut Mubyarto, 1987:99, peranan industri kecil adalah:
1. Industri ini memberikan lapangan kerja pada penduduk pedesaan yang
umumnya tidak bekerja secara penuh
2. Industri memberikan tambahan pendapatan tidak saja bagi kepala keluarga
atau pekerja, tetapi juga bagi anggota keluarga lainnya.
3. Industri dalam beberapa hal mampu memproduksi barang-barang
keperluan penduduk setempat dan daerah sekitarnya secara lebih efisien
dan lebih murah dibanding industri besar.
E. Industri Kecil Dalam Perekonomian di Kabupaten Klaten
Sektor industri merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan
cukup penting dalam meningkatkan jumlah PDRB kabupaten Klaten.
Sehingga pembangunan di bidang industri merupakan salah satu prioritas
utama tanpa mengabaikan pembangunan disektor lain. Definisi klasifikasi
22
industri yang digunakan BPS dengan Dinas Perindustrian terdapat perbedaan.
BPS mengelompokkan industri dari jumlah tenaga kerja menjadi industri
besar, sedang, kecil dan rumah tangga. Sedangkan Dinas Perindustrian dari
jumlah asset yang dimiliki menjadi industri besar/menengah dan industri kecil.
Jumlah perusahaan industri dari tahun ke tahun menunjukkan
kecenderungan adanya peningkatan, tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar
0,27%. Adapun jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor ini mengalami
kenaikkan sebesar 0,04% bila dibandingkan dengan tahun 2004.
Seiring dengan membaiknya perekonomian, nilai produksi dari sektor
industri yang sempat turun selama tahun 1999 – 2001, mulai tahun 2004
mengalami peningkatan, tahun 2005 mengalami kenaikkan sebesar 17,82%.
Total investasi (dengan fasilitas) yang ditanamkan sebesar Rp
1.615.836.500.000,00. Sedangkan untuk investasi yang ditanamkan (non-
fasilitas) dengan nilai Rp 1.071.113.176.344,00 (BPS, 2005: 249).
Gambar II.2 Nilai Produksi Sektor Industri (000 Rp) di Kabupaten Klaten tahun 2005
A A. ILMKA (Industri besar/sedang) 429.471.715
11% B B. Industri hasil pertanian dan kehutanan D 515.693.250
(industri besar/sedang)1.257.756.90013%32% C. ILMKA (Industri kecil)
D. Industri hasil pertanian dan kehutanan C 1.758.247.750
44%
(Industri kecil)
Sumber: BPS, 2005
23
Dari gambar tersebut, dapat dijelaskan bahwa ILMKA (Industri besar/sedang)
sebesar 11% dengan jumlah 429.471.715. Industri hasil pertanian dan
kehutanan (industri besar/sedang) sebesar 13% dengan jumlah 515.693.250.
ILMKA (Industri kecil) sebesar 44% dengan jumlah 1.758.247.750. dan
Industri hasil pertanian dan kehutanan (Industri kecil) sebesar 32% dengan
jumlah 1.257.756.900 (BPS, 2005).
F. Peneliti Terdahulu
Dari penelitian Dinanti (1998) dalam judul Ketimpangan Lahan,
Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan, dengan tujuan penelitian
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara ketimpangan distribusi lahan,
ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di desa Demangrejo,
Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo.
Penelitian ini bersifat studi kasus. Populasi penelitian mencakup seluruh
kepala keluarga petani di desa Demangrejo yang berjumlah 298 KK. Besar
sampel yang diambil sebanyak 45 KK dari populasi yang bertempat tinggal di
tiga dusun yaitu dusun Demangan, Banaran, dan Kijan. Teknik pengambilan
sampel memakai teknik multistage area stratified proporsional random
sampling.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
luas pengusahaan lahan pertanian dengan jumlah pendapatan rumah tangga,
antara ketimpangan distribusi lahan pertanian dengan tingkat kemiskinan, dan
ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga dengan tingkat kemiskinan.
24
Penelitian Dinanti (1998) tentang “Ketimpangan Distribusi Lahan,
Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan”, di desa Demangrejo,
sangat mendukung penelitian yang peneliti lakukan karena dapat memberikan
informasi dan gambaran dalam pengembangan penelitian bagi penulis.
G. Kerangka Teoritik
Pembangunan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Kini di
kebanyakan negara mulai mengupayakan pengentasan kemiskinan dan
pemerataan pendapatan sebagai fokus utama pembangunan.
Ketidakmerataan pendapatan yang terjadi di masyarakat membuat
masyarakat mencari solusi agar kehidupannya lebih baik. Salah satu usaha
yang ditempuh adalah dengan menciptakan usaha di sektor usaha kecil karena
sektor ini tidak membutuhkan modal yang banyak dan mudah untuk
mengelolanya.
Sektor usaha kecil yang banyak dikembangkan untuk saat ini, dapat
membantu mengurangi pengangguran dan dapat membantu mengingkatkan
pendapatan masyarakat, terutama masyarakat yang tergolong ekonomi
menengah ke bawah. Dengan adanya sektor industri kecil ini paling tidak
mampu membantu dalam pencapaian pemerataan pendapatan secara lebih baik
dan merata.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi kasus yaitu penelitian pada suatu daerah yang
telah ditentukan sebelumnya sebagai subjek penelitian dan kesimpulannya hanya
berlaku pada subjek yang diteliti.
B. Subjek dan Objek Penelitian
1. Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian adalah pembuat tahu, karak dan kripik sukun.
2. Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitian adalah pendapatan pembuat tahu, karak, dan
kripik sukun. Alasannya karena peneliti ingin mengetahui distribusi
pendapatan pembuat tahu, karak, dan kripik sukun.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten.
Alasan peneliti meneliti di Kecamatan Jogonalan karena terdapat sentra
industri tahu, karak dan kripik sukun.
26
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2007.
D. Sumber Data
1. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pengrajin yang mendukung
kelengkapan data yang diperlukan dalam penelitian ini.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan dengan cara
mengadakan tanya jawab secara langsung pada bagian yang diteliti. Pihak-
pihak yang terlibat dalam proses wawancara adalah pembuat tahu, karak, dan
kripik sukun.
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara melihat dan
mempelajari buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen serta arsip-arsip yang
berhubungan dengan objek yang diteliti.
3. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data melalui pengamatan secara
langsung dengan objek dan keadaan perusahaan serta kegiatan yang dilakukan
oleh para pengrajin.
27
F. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai-nilai tes atau peristiwa
sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu
penelitian. Dalam penelitian ini populasinya adalah pembuat tahu yang
berjumlah 31 orang, karak berjumlah 29 orang, dan pembuat kripik sukun
yang berjumlah 21 orang. Data ini diperoleh peneliti dengan observasi
langsung ke tempat yang akan digunakan untuk penelitian.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang digunakan memprediksi populasi.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik sampel jenuh, yaitu
teknik penentuan sampel sama dengan jumlah populasinya. Sampel terdiri
dari pekerja dan pengusaha yang berjumlah 81 orang. Dalam penelitian ini
peneliti memilih Desa Somopuro, untuk pembuat tahu dengan pekerja dan
pengusaha berjumlah 31 responden, Desa Gondangan untuk pembuat karak
dengan pekerja dan pengusaha berjumlah 29 responden dan kripik sukun
sebanyak 21 responden.
28
G. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan peneliti untuk menjawab rumusan masalah
adalah analisis Rasio Gini.
Rasio Gini digunakan untuk mengukur pemerataan pendapatan (distribusi
pendapatan) dalam suatu populasi. Dalam penelitian ini Rasio Gini yang
menggambarkan distribusi pendapatan dicari dengan data pendapatan pengrajin.
Menurut Budiman, 1995:4, tingkat ketimpangan pendapatan digolongkan menjadi
tiga kategori, yaitu:
< 0,4 = ketimpangan pendapatan rendah.
0,4 – 0,5 = ketimpangan pendapatan sedang.
> 0,5 = ketimpangan pendapatan tinggi.
Menurut Dajan, 2000:106, rumus untuk menghitung angka Rasio Gini adalah
sebagai berikut:
:106)
Keterangan :
RG = Angka Rasio Gini
k = jumlah kelas
fi = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas i
Yi = proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif dalam kelas interval i
RG = 1- fi (Yi + Yi-1) ∑=
k
i 1
29
Kelas ke-i ini kalau dibagi menjadi 5 kelas, berarti:
- golongan 20% pertama
- golongan 20% kedua
- golongan 20% ketiga
- golongan 20% keempat
- golongan 20% kelima.
Dalam penelitian ini, jumlah responden tidak bisa tepat dibagi menjadi 5 kelas
atau 20%-an, maka dihilangkan bagian tengahnya.
30
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAERAH DAN SAMPEL PENELITIAN
A. Deskripsi Daerah Penelitian
1. Desa Somopuro
a. Keadaan Geografis
1) Lokasi Penelitian
Desa Somopuro terletak di Kecamatan Jogonalan
Kabupaten Klaten. Adapun letaknya 4 km dari pusat pemerintahan
Kecamatan Jogonalan dan 11 km dari pemerintahan Kabupaten
Klaten.
Desa Somopuro dibatasi oleh beberapa desa tetangga.
Adapun batas-batas wilayah tersebut adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Wonoboyo
Sebelah Selatan : Desa Mutihan
Sebelah Barat : Desa Geneng
Sebelah Timur : Desa Tangkisan Pos
2) Luas Wilayah Desa
Luas Desa Somopuro secara keseluruhan adalah
160,6325 Ha. Berdasarkan luas wilayah dapat diperinci menurut
penggunaan seperti terlihat dalam tabel berikut:
31
Tabel IV.1 Luas Wilayah Menurut Penggunaannya
Desa Somopuro Tahun 2006 No Jenis Penggunaan Jumlah (Ha) 1 Tegal atau ladang 2,8075 2 Sawah irigasi 1/2 teknis 71,2575 3 Sawah tadah hujan 38,7500 4 Pemukiman 47,8175
Sumber: Monografi Desa Somopuro, 2006
3) Keadaan Iklim
Wilayah Desa Gondangan merupakan daerah dataran
rendah, dengan ketinggian rata-rata 162 m diatas permukaan laut.
Suhu udara rata-rata 28oC.
b. Keadaan Penduduk
1) Jumlah penduduk
Jumlah penduduk Desa Somopuro sebanyak 3552 orang,
yang terdiri dari 1762 laki-laki dan 1790 perempuan. Jumlah
Kepala Keluarga yang ada sebanyak 937.
2) Jenis Mata Pencaharian Penduduk
Penduduk Desa Somopuro sebagian besar bermata
pencaharian sebagai wiraswasta dan pedagang. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
32
Tabel IV.2 Jenis Mata Pencaharian Penduduk
Desa Somopuro Tahun 2006 No Mata Pencaharian Penduduk Jumlah (orang) 1 Peternak 5 2 Montir 8 3 Angkutan 10 4 Pensiunan 35 5 Pegawai Negeri Sipil 80 6 Buruh Tani 156 7 Petani 196 8 Pedagang 277 9 Wiraswasta 398
Sumber: Monografi Desa Somopuro, 2006
3) Tingkat Pendidikan
Penduduk di Desa Somopuro sebagian besar telah
menikmati atau mengenyam pendidikan, walaupun tingkat
pendidikan yang mampu ditempuh oleh masyarakat sebagian besar
adalah tamat SD, yaitu sebesar 842 orang. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel IV.3 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Desa Somopuro Tahun 2006 No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) 1 Belum sekolah 179 2 Tidak tamat SD 474 3 SD 842 4 SLTP 413 5 SLTA 652 6 D1 5 7 D2 0 8 D3 28 9 S1 57 10 S2 2
Sumber: Monografi Desa Somopuro, 2006
33
2. Desa Gondangan
a. Keadaan Geografis
1) Letak Desa
Desa Gondangan terletak di Kecamatan Jogonalan
Kabupaten Klaten. Adapun letaknya 3 km dari pusat pemerintahan
Kecamatan Jogonalan dan 10 km dari pemerintahan Kabupaten
Klaten.
Desa Gondangan dibatasi oleh beberapa desa tetangga.
Adapun batas-batas wilayah tersebut adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Prawatan
Sebelah Selatan : Desa Rejoso
Sebelah Barat : Tangkisan Pos
Sebelah Timur : Bakung
2) Luas Wilayah Desa
Luas Desa Gondangan secara keseluruhan adalah
105,8328 Ha Berdasarkan luas wilayah dapat diperinci menurut
penggunaan seperti terlihat dalam tabel berikut:
34
Tabel IV.4 Luas Wilayah Menurut Penggunaannya
Desa Gondangan Tahun 2006 No Jenis Penggunaan Jumlah (Ha) 1 Pekarangan 30,8110 2 Sawah irigasi 1/2 teknis 62,5729 3 Sawah irigasi sederhana 1,0000 4 Industri 0,2360 5 Perdagangan 0,0450 6 Perkantoran 0,1668 7 Tanah wakaf 6,5729 8 Kas desa 2,5700
Sumber: Monografi Desa Gondangan, 2006
3) Keadaan Iklim
Wilayah Desa Gondangan merupakan daerah dataran
rendah, dengan ketinggian rata-rata 200 m diatas permukaan air
laut. Suhu udara rata-rata 28oC.
b. Keadaan Penduduk
1) Jumlah penduduk
Jumlah penduduk Desa Gondangan sebanyak 3750 orang,
yang terdiri dari 1890 laki-laki dan 1870 perempuan. Jumlah
Kepala Keluarga yang ada sebanyak 1025.
2) Jenis Mata Pencaharian Penduduk
Penduduk Desa Gondangan sebagian besar bermata pencaharian
sebagai wiraswasta atau pedagang sebanyak 311 orang. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
35
Tabel IV.5 Mata Pencaharian Penduduk Desa Gondangan tahun 2006
No Mata Pencaharian Penduduk Jumlah (orang) 1 ABRI 4 2 Karyawan Swasta 7 3 Pensiunan 39 4 Jasa 43 5 Buruh Tani 45 6 Pegawai Negeri Sipil 55 7 Pertukangan 59 8 Tani 105 9 Wiraswasta atau Pedagang 311
Sumber: Monografi Desa Gondangan, 2006
3) Tingkat Pendidikan
Penduduk di Desa Gondangan sebagian besar telah
menikmati atau mengenyam pendidikan, walaupun tingkat
pendidikan yang mampu ditempuh oleh masyarakat sebagian besar
adalah tingkat pendidikan SD, yaitu sebesar 59 orang. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel IV.6 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Desa Gondangan tahun 2006 No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 Taman Kanak-Kanak 51 2 Sekolah Dasar 59 3 SMP/SLTP 37 4 SMA/SLTA 38 5 Akademi ( D1 - D3) 1 6 Sarjana (S1 – S3) 1
Sumber: Monografi Desa Gondangan, 2006
36
B. Deskripsi Sampel Penelitian
Sampel penelitian yang dimaksud adalah pengrajin atau orang-orang yang
terlibat dalam pembuatan tahu, karak, dan kripik sukun. Pengrajin yang
terlibat dalam industri kecil ini sebagian besar berumur berkisar antara 41 – 56
tahun sebanyak 36 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel IV.7 Pengrajin Menurut Tingkat Umur
No Usia (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 20 - 26 10 12,35 2 27 - 40 31 38,27 3 41 - 56 36 44,44 4 57 - keatas 4 4,94
Jumlah 81 100 Sumber: Hasil Survey, 2007
Pengrajin yang terlibat dalam industri kecil ini sebagian besar mempunyai
tingkat pendidikan SMA sebanyak 35 orang. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel IV.8 Pengrajin Menurut Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 SD 17 20,99 2 SLTP 28 34,57 3 SLTA 35 43,21 4 D3 1 1,23 Jumlah 81 100
Sumber: Hasil Survey, 2007
37
C. Gambaran Umum Industri Kecil
1. Industri Pembuatan Tahu
a. Jumlah Industri
Industri pembuat tahu di Kecamatan Jogonalan kebanyakan
terdapat di Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten.
Pasca gempa Mei 2006 membuat para pekerja memilih untuk bekerja
sebagai buruh bangunan yang upahnya lebih besar dibandingkan
menjadi pekerja pembuat tahu. Hal ini menyebabkan industri tahu
kekurangan pekerja, sehingga ada beberapa industri yang sementara
tidak bisa berproduksi. Pada saat penelitian jumlah industri tahu yang
masih aktif berproduksi berjumlah 6. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dalam tabel berikut:
Tabel IV.9 Pengusaha Tahu
Desa Somopuro bulan Januari 2007 No Nama Pengusaha 1 Suwoto 2 Rawi 3 Tunggal 4 Darti 5 Sudarno 6 Sumiyat
Sumber: Hasil Survey, 2007
b. Jumlah Tenaga Kerja
Industri pembuat tahu sebagian besar pekerjanya adalah laki-laki.
Pada umumnya pekerja berasal dari sekitar lingkungan pembuatan
tahu. Dalam memproduksi tahu dilakukan setiap hari dan masing-
masing pekerja mendapatkan hari libur satu kali dalam seminggu.
38
Dalam mengambil libur antara pekerja yang satu dengan yang lain
tidak boleh mengambil hari libur yang sama, karena dalam membuat
tahu paling tidak membutuhkan 4 orang pekerja. Jam kerja pembuatan
tahu dimulai dari jam 07.30-14.30 WIB. Industri pembuat tahu
kebanyakkan memiliki 5 orang pekerja. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel IV.10 Pekerja Industri Pembuat Tahu
Desa Somopuro bulan Januari 2007 No Nama Pengusaha Pekerja 1 Suwoto Riri Hartanto Pardianto Suyat
2 Rawi Novi Suryono Iis Minto
3 Tunggal Wartiman Tukul Wahyu Setiawan Basuki Tukimin 4 Darti Awan Agus Juaini Sutoyo
5 Sudarno Kuwatno Gatot Wibowo Santoso Amat
6 Sumiyat Yanto Tomo Sukarno Sugiyono
Sumber: Hasil Survey, 2007
39
c. Bahan Baku dan Proses Produksi
Bahan baku untuk membuat tahu adalah kedelai. Kedelai diperoleh
dari pemasok dan bersifat langganan. Pada saat penelitian harga
kedelai sebesar Rp 4.000,00/kg.
Proses produksi pembuatan tahu diawali dengan mencuci kedelai,
kemudian direndam selama + 4 jam. Setelah itu kedelai digiling,
kemudian dimasak, selanjutnya disaring yang bertujuan memisahkan
antara ampas dengan sari kedelai. Setelah dipisahkan, kemudian diberi
air asam (cuka) untuk membuat jadi tahu. Langkah terakhir tahu
dicetak sesuai dengan ukuran.
d. Perkembangan Jumlah Produksi
Jumlah produksi tahu yang dihasilkan tidak banyak mengalami
perubahan, dalam sebulan menghabiskan 6 ton kedelai. Hanya pada
saat-saat tertentu saja jumlah produksi tahu mengalami peningkatan.
Misalnya pada saat hari besar atau banyak orang yang mempunyai
hajatan dapat mengalami peningkatan kurang lebih 0,5 kwintal.
e. Laba
Laba pengusaha tahu diperoleh dari total penerimaan penjualan
tahu selama 1 bulan dikurangi dengan biaya total selama 1 bulan.
Selain dari penjualan tahu, pengusaha juga mendapatkan tambahan
pendapatan dari limbah tahu/gembus. Biaya tersebut diantaranya
adalah untuk membeli kedelai, kayu bakar, kain mori, biaya listrik,
membeli ember, dan biaya perawatan mesin, serta upah pekerja.
40
Selain biaya pokok tersebut diatas, ada biaya tak terduga, seperti
ember pecah, kotak untuk mencetak tahu pecah. Setelah dikurangi
biaya-biaya tersebut, pendapatan pengusaha tahu setiap bulan berkisar
antara Rp1.000.000,00 sampai dengan Rp3.000.000,00. Sedangkan
untuk pekerja, biasanya mendapatkan upah dalam waktu seminggu
sekali dan kalau ada tambahan produksi tahu, pekerja akan
mendapatkan uang lembur. Pekerja setiap bulan mendapatkan upah
berkisar antara Rp300.000,00 sampai dengan Rp500.000,00.
2. Industri Pembuatan Karak
a. Jumlah Industri
Industri pembuat karak di Kecamatan Jogonalan kebanyakan
terdapat di Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten
Klaten. Pada saat penelitian jumlah industri karak yang masih aktif
berproduksi berjumlah 8. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel IV.11 Pengusaha Karak
Desa Gondangan bulan Januari 2007 No Nama Pengusaha 1 Rahmat 2 Sunarno 3 Tatik 4 Agus Prasetyo 5 Jumirin 6 Harjo Suwarno 7 Wardoyo Raharjo 8 Hardi Wiyono
Sumber: Hasil Survey, 2007
41
b. Jumlah Tenaga Kerja
Industri kecil pembuatan karak dilakukan setiap hari. Masing-
masing pekerja mendapatkan hari libur satu dalam seminggu. Setiap
pekerja mempunyai tugas sendiri, ada yang membuat adonan karak,
mengiris adonan sesuai ukuran yang diinginkan, menata irisan di
tempat penjemuran, menggoreng, dan mengemas. Jam kerja dalam
industri pembuatan karak biasanya dimulai jam 08.00-16.00 WIB.
Industri kecil pembuatan karak membutuhkan pekerja sebanyak
4-7 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel IV.12 Pekerja Industri Pembuat Karak
Desa Gondangan bulan Januari 2007 No Nama Pengusaha Pekerja 1 Rahmat Imah Ngadiyem Suminah Riyadi
2 Sunarno Suratman Sulami Ripin Ninik Sonto Sali Tukinah Hadi Bini
3 Tatik Kemi Yatmi Parno
4 Agus Prasetyo Keluarga Bersambung ……..
42
Lanjutan .. 5 Jumirin Mulyani Darmi Tika Suratman Ngadiman
6 Harjo Suwarno Wagimin
7 Wardoyo Raharjo Hartoyo 8 Hardi Wiyono Keluarga
Sumber: Hasil Survey, 2007
c. Bahan Baku dan Proses Produksi
Bahan baku untuk pembuatan karak adalah beras. Beras yang
digunakan untuk membuat karak, biasanya dikirimi dari pedagang.
Pada saat penelitian harga beras sebesar Rp 5.000,00/kg.
Proses pembuatan karak dimulai dengan membersihkan beras,
kemudian beras dimasak dalam air mendidih, setelah itu diberi garam
yang berfungsi sebagai bumbu dalam pembuatan karak. Setelah beras
sudah matang, kemudian dimasukkan ke dalam cetakan, selama kurang
lebih semalam atau kalau sudah dingin, proses terakhir adalah diiris-
iris sesuai dengan ukuran, kemudian dijemur, setelah kering digoreng
lalu dikemas.
d. Perkembangan Jumlah Produksi
Jumlah produksi karak dipengaruhi oleh harga bahan baku (beras)
dan kondisi cuaca. Semakin mahal harga beras, maka pengusaha karak
menaikkan harga karak. Selain harga beras, cuaca juga berpengaruh
dalam produksi karak. Ada sebagian pengusaha yang karena kondisi
cuaca hujan, maka pengusaha mengurangi jumlah produksi karak.
43
Kebanyakan dari pengusaha karak selama satu bulan menghabiskan
15 kwintal beras.
e. Laba
Laba pengusaha karak diperoleh dari total penerimaan penjualan
karak selama 1 bulan dikurangi dengan biaya total selama 1 bulan.
Biaya yang dikeluarkan, misalnya biaya untuk membeli beras, minyak
goreng, garam, bahan bakar, plastik untuk mengemas, serta upah
pekerja. Tingkat pendapatan pengusaha setiap bulan berkisar antara
Rp 900.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00. Sedangkan untuk
pekerja upah yang diterima setiap bulan berkisar antara Rp 375.000,00
sampai dengan Rp 750.000,00.
3. Industri Pembuatan Kripik Sukun
a. Jumlah Industri
Industri pembuat kripik sukun di Kecamatan Jogonalan
kebanyakan terdapat di Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan,
Kabupaten Klaten. Pada saat penelitian jumlah industri kripik sukun
yang masih aktif berproduksi berjumlah 5. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dalam tabel berikut:
44
Tabel IV.13 Pengusaha Kripik Sukun
Desa Gondangan bulan Januari 2007 No Nama Pengusaha
1 Suharno 2 Suharto 3 Chandra 4 Warsito 5 Ismail
Sumber: Hasil Survey, 2007
b. Jumlah Tenaga Kerja
Dalam industri kecil pembuatan kripik sukun, masing-masing
pekerja mempunyai tugas tersendiri, ada yang mengupas sukun,
mengiris sukun, menggoreng, dan mengemas. Dalam industri kecil
pembuatan kripik sukun membutuhkan pekerja sebanyak 2-5 orang.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel IV.14 Pekerja Industri Pembuat Kripik Sukun
Desa Gondangan bulan Januari 2007 No Nama Pengusaha Pekerja 1 Suharno Yatno Ramiyem
2 Suharto Rabiyem Tejo
3 Chandra Nugroho Kodir Harjanti Sumiyati
4 Warsito Widodo Ngadiman Teguh
Bersambung ……..
45
Lanjutan .. 5 Ismail Lamiyem Slamet Sukandar Lestari Maryati
Sumber: Hasil Survey, 2007
c. Bahan Baku dan Proses Produksi
Bahan baku pembuatan kripik sukun adalah sukun. Pengusaha
memperoleh sukun langsung ke petani atau penduduk yang
mempunyai pohon sukun atau membeli dari pedagang sukun .
Proses pembuatan kripik sukun diawali dengan mengupas sukun,
kemudian mencuci sukun hingga bersih lalu diiris sesuai ukuran.
Selanjutnya irisan sukun direndam selama beberapa saat dalam bumbu.
Tahap selanjutnya adalah digoreng, kemudian dikemas.
d. Perkembangan Jumlah Produksi
Jumlah produksi kripik sukun sangat dipengaruhi oleh jumlah
sukun yang diperoleh. Semakin banyak sukun yang diperoleh, maka
semakin banyak pula produksi kripik sukun dihasilkan. Sukun tidak
dapat disimpan terlalu lama, karena akan mengurangi kualitas sukun.
Jadi, sukun harus segera diolah, agar tidak mengalami penurunan
kualitas kripik sukun. Pengusaha memesan sukun sesuai dengan
kemampuan produksi sukun. Walaupun jumlah sukun dipasaran
banyak, pengusaha hanya mengambil sesuai kemampuan pengusaha.
Jadi, tidak ada peningkatan produksi yang terlalu banyak.
46
Perkembangan produksi kripik sukun tidak menentu, tergantung dari
perolehan sukun. Tapi biasanya selama satu bulan dapat memproduksi
sebanyak 6 ton sukun.
e. Laba
Laba pengusaha kripik sukun diperoleh dari total penerimaan
penjualan kripik sukun selama 1 bulan dikurangi dengan biaya total
selama 1 bulan. Biaya-biaya yang dikeluarkan pengusaha dalam
membuat kripik sukun diantaranya adalah, biaya untuk membeli
sukun, minyak goreng, bumbu, bahan bakar, dan plastik untuk
mengemas, serta upah untuk membayar pekerja. Tingkat pendapatan
pengusaha selama satu bulan berkisar antara Rp 1.620.000,00 sampai
Rp 2.760.000,00. Sedangkan untuk pekerja, upah yang diterima setiap
bulan berkisar antara Rp 450.000,00 sampai dengan Rp 525.000,00.
47
BAB V
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Data
1. Data pendapatan pembuat tahu di desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan,
Kabupaten Klaten pada bulan Januari tahun 2007 dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel V.1 Data Pendapatan Pembuat Tahu
Desa Somopuro, bulan Januari 2007 No Jumlah Pendapatan Keterangan 1 Rp 300.000,00 2 Rp 300.000,00 3 Rp 300.000,00 4 Rp 300.000,00 5 Rp 400.000,00 6 Rp 400.000,00
Golongan 20% pertama
7 Rp 400.000,00 8 Rp 400.000,00 9 Rp 400.000,00 10 Rp 400.000,00 11 Rp 400.000,00 12 Rp 400.000,00
Golongan 20% kedua
13 Rp 400.000,00 14 Rp 440.000,00 15 Rp 440.000,00
Golongan 20% ketiga
16 Rp 440.000,00 Dihilangkan 17 Rp 440.000,00 18 Rp 500.000,00 19 Rp 500.000,00
Golongan 20% ketiga
Bersambung ……..
48
Lanjutan .. 20 Rp 500.000,00 21 Rp 500.000,00 22 Rp 500.000,00 23 Rp 500.000,00 24 Rp 500.000,00 25 Rp 500.000,00
Golongan 20% keempat
26 Rp 1.000.000,00 27 Rp 1.000.000,00 28 Rp 1.500.000,00 29 Rp 1.500.000,00 30 Rp 2.500.000,00 31 Rp 3.000.000,00
Golongan 20% kelima
Sumber: Hasil Survey, 2007
Dari tabel di atas, dapat dibuat tabel statistik deskriptif yang
menjelaskan besarnya pendapatan yang diperoleh antara pengusaha dan
pekerja pembuat tahu dari yang paling besar sampai dengan yang kecil.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel V.2 Statistik Deskriptif Pembuat Tahu
Desa Somopuro, bulan Januari 2007 Pendapatan Jumlah Minimal Rp 300.000,00
Maksimal Rp 3.000.000,00 Rata-rata Rp 687.333,00
Sumber: Hasil Survey, 2007
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa pendapatan minimal
pembuat tahu di Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten
Klaten adalah Rp 300.000,00 per bulan, pendapatan maksimalnya sebesar
Rp 3.000.000,00 dan pendapatan rata-rata pembuat tahu sebesar
Rp 687.333,00.
49
Dan untuk perhitungan Ratio Gini, dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel V.3 Penghitungan Rasio Gini Pendapatan Pembuat Tahu
Desa Somopuro, bulan Januari 2007 persentase golongan persentase persentase
pendapatan penduduk Pendapatan kumulatif
Yi (Yi + Yi-1) fi(Yi + Yi-1)
golongan 20% pertama 9,700 9,700 0,09700 0,09700 0,019400 golongan 20% kedua 11,639 21,339 0,21339 0,31039 0,062078 golongan 20% ketiga 13,191 34,530 0,34530 0,65569 0,131138 golongan 20% keempat 14,549 49,079 0,49079 1,14648 0,229296 golongan 20% kelima 50,921 100 1 2,14648 0,429296 Jumlah 100 0,871208
Sumber: Data diolah dari Hasil Survey, 2007
RG = 1- ∑ fi (Yi – Yi-1) =
k
i 1
= 1 - 0,871208
= 0,128792
= 0,13
Menurut Budiman, 1995, angka Rasio Gini sebesar 0,13 menunjukkan bahwa
ketimpangan pendapatan pembuat tahu rendah, artinya ketimpangan
pendapatan masyarakat pembuat tahu tidak terlalu mencolok.
2. Data pendapatan pembuat karak di desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan,
Kabupaten Klaten pada bulan Januari 2007 dapat dilihat dalam tabel berikut:
50
Tabel V.4 Data Pendapatan Pembuat Karak
Desa Gondangan, bulan Januari 2007 No Jumlah Pendapatan Keterangan 1 Rp 375.000,00 2 Rp 375.000,00 3 Rp 450.000,00 4 Rp 450.000,00 5 Rp 450.000,00
Golongan 20% pertama
6 Rp 450.000,00 7 Rp 450.000,00 8 Rp 450.000,00 9 Rp 450.000,00 10 Rp 450.000,00
Golongan 20% kedua
11 Rp 450.000,00 12 Rp 450.000,00 13 Rp 450.000,00
Golongan 20% ketiga
14 Rp 450.000,00 15 Rp 450.000,00 16 Rp 450.000,00 17 Rp 450.000,00
Dihilangkan
18 Rp 600.000,00 19 Rp 600.000,00
Golongan 20% ketiga
20 Rp 600.000,00 21 Rp 750.000,00 22 Rp 900.000,00 23 Rp 1.000.000,00 24 Rp 1.200.000,00
Golongan 20% kempat
25 Rp 1.650.000,00 26 Rp 2.100.000,00 27 Rp 2.500.000,00 28 Rp 2.820.000,00 29 Rp 3.000.000,00
Golongan 20% kelima
Sumber: Hasil Survey, 2007
Dari tabel di atas, dapat dibuat tabel statistik deskriptif yang
menjelaskan besarnya pendapatan yang diperoleh antara pengusaha dan
51
pekerja pembuat karak dari yang paling besar sampai dengan yang kecil.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel V.5 Statistik Deskriptif Pembuat Karak
Desa Gondangan, bulan Januari 2007 Pendapatan Jumlah
Minimal Rp 375.000,00
Maksimal Rp 3.000.000,00
Rata-rata Rp 936.800,00 Sumber: Hasil Survey, 2007
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa pendapatan minimal
pembuat karak di Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten
Klaten adalah Rp 375.000,00 per bulan, pendapatan maksimalnya sebesar
Rp 3.000.000,00 dan pendapatan rata-rata pembuat karak sebesar
Rp 936.800,00.
Untuk perhitungan Ratio Gini, dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel V.6 Penghitungan Rasio Gini Pendapatan Pembuat Karak
Desa Gondangan, bulan Januari 2007 persentase golongan persentase persentase
pendapatan penduduk Pendapatan kumulatif
Yi (Yi + Yi-1) fi(Yi + Yi-1)
golongan 20% pertama 8,967 8,967 0,08967 0,08967 0,017934 golongan 20% kedua 9,607 18,574 0,18574 0,27541 0,055082 golongan 20% ketiga 10,888 29,462 0,29462 0,57003 0,114006 golongan 20% keempat 19,001 48,463 0,48463 1,05466 0,210932 golongan 20% kelima 51,537 100 1 2,05466 0,410932 Jumlah 100 0,808886
Sumber: Data diolah dari Hasil Survey, 2007
52
RG = 1- ∑ fi (Yi – Yi-1) =
k
i 1
= 1 - 0,808886
= 0,191114
= 0,19
Menurut Budiman, 1995, angka Rasio Gini sebesar 0,19 menunjukkan
bahwa ketimpangan pendapatan pembuat karak rendah, artinya
ketimpangan pendapatan masyarakat pembuat karak tidak terlalu
mencolok.
3. Data pendapatan pembuat kripik sukun di desa Gondangan, Kecamatan
Jogonalan, Kabupaten Klaten pada bulan Januari 2007 dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel V.7 Data Pendapatan Pembuat Kripik Sukun Desa Gondangan, bulan Januari 2007
No Jumlah Pendapatan Keterangan 1 Rp 450.000,00 2 Rp 450.000,00 3 Rp 450.000,00 4 Rp 450.000,00
Golongan 20% pertama
5 Rp 450.000,00 6 Rp 450.000,00 7 Rp 450.000,00 8 Rp 450.000,00
Golongan 20% kedua
9 Rp 480.000,00 10 Rp 480.000,00
Golongan 20% ketiga
11 Rp 480.000,00 Dihilangkan 12 Rp 525.000,00 13 Rp 525.000,00
Golongan 20% ketiga
Bersambung ……..
53
Lanjutan .. 14 Rp 525.000,00
15 Rp 525.000,00
16 Rp 525.000,00
17 Rp 1.620.000,00
Golongan 20% keempat
18 Rp 1.845.000,00
19 Rp 2.100.000,00
20 Rp 2.340.000,00
21 Rp 2.760.000,00
Golongan 20% kelima
Sumber: Hasil Survey, 2007
Dari tabel di atas, dapat dibuat tabel statistik deskriptif yang
menjelaskan besarnya pendapatan yang diperoleh antara pengusaha dan
pekerja dari yang paling besar sampai dengan yang kecil. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel V.8 Statistik Deskriptif Pembuat Kripik Sukun
Desa Gondangan, bulan Januari 2007 Pendapatan Jumlah
Minimal Rp 450.000,00
Maksimal Rp 2.760.000,00
Rata-rata Rp 892.500,00 Sumber: Hasil Survey, 2007
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa pendapatan minimal
pembuat kripik sukun di Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan,
Kabupaten Klaten adalah Rp 450.000,00 per bulan, pendapatan
maksimalnya sebesar Rp 2.760.000,00 dan pendapatan rata-rata pembuat
kripik sukun sebesar Rp 892.500,00.
54
Dan untuk perhitungan Ratio Gini, dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel V.9 Penghitungan Rasio Gini Pendapatan Pembuat Kripik Sukun
Desa Gondangan, bulan Januari 2007 persentase golongan persentase Persentase
pendapatan penduduk pendapatan
Kumulatif
Yi (Yi + Yi-1) fi(Yi + Yi-1)
golongan 20% pertama 10,084 10,084 0,10084 0,10084 0,020168 golongan 20% kedua 10,084 20,168 0,20168 0,30252 0,060504 golongan 20% ketiga 11,260 31,428 0,31428 0,61680 0,123360 golongan 20% keempat 17,900 49,328 0,48328 1,11008 0,222016 golongan 20% kelima 50,672 100 1 2,11008 0,422016 Jumlah 100 0,848064
Sumber: Data diolah dari Hasil Survey, 2007
RG = 1- ∑ fi (Yi – Yi-1) =
k
i 1
= 1 - 0,848064
= 0,151936
= 0,15
Menurut Budiman, 1995, angka Rasio Gini sebesar 0,15 menunjukkan bahwa
ketimpangan pendapatan pembuat kripik sukun rendah, artinya ketimpangan
pendapatan masyarakat pembuat kripik sukun tidak terlalu mencolok.
55
B. Pembahasan
Sebelum peneliti menjawab rumusan masalah pertama, bagaimana
distribusi pendapatan pembuat tahu di Kecamatan Jogonalan, peneliti untuk
mencari data menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara
berstruktur. Dalam mencari data, peneliti bertanya kepada responden jumlah
pendapatan selama satu bulan, setelah mengetahui jumlah pendapatan dari
responden, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis Rasio Gini.
1. Distribusi Pendapatan Pembuat Tahu
Untuk menggambarkan distribusi pendapatan pembuat tahu di Desa
Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, dapat dilihat dalam
gambar Kurva Lorenz di bawah ini:
Gambar V.1 Kurva Lorenz Pembuat Tahu
Desa Somopuro, bulan Januari 2007
A
B
C
D
E
0
20
40
60
80
100
0 20 40 60 80 10
% rumah tangga
%
0
pend
apat
an
Kurva Lorenz
Garis Pemerataan
Sumber: Data Tabel V.3
56
Kurva Lorenz menunjukkan adanya hubungan antara persentase
jumlah rumah tangga pembuat tahu dari total rumah tangga dengan
persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total
pendapatan selama satu bulan. Dari gambar tersebut nampak jelas bahwa
distribusi pendapatan pembuat tahu di Desa Somopuro, Kecamatan
Jogonalan, Kabupaten Klaten berada pada tingkat ketimpangan
pendapatan yang rendah. Titik A menunjukkan bahwa golongan 20%
pertama dari total jumlah rumah tangga pembuatan tahu hanya menerima
9,70% total dari pendapatan rumah tangga pembuat tahu
(Rp 20.620.000,00). Titik B menunjukkan bahwa golongan 20% kedua
hanya menerima 21,33% total pendapatan, sedangkan untuk titik C
menunjukkan bahwa golongan 20% ketiga memperoleh 34,53% total
pendapatan rumah tangga. Titik D menunjukkan bahwa golongan 20%
keempat menerima 49,07% total pendapatan dan titik E menunjukkan
bahwa golongan 20% kelima memperoleh 100% total pendapatan. Dari
titik A, B, C, D dan E, jika ditarik garis akan menunjukkan gambar kurva
Lorenz, yang menggambarkan keadaan distribusi pendapatan pembuat
tahu di Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten pada
bulan Januari 2007.
Kriteria sistem penggajian dalam industri pembuatan tahu
berdasarkan pada jumlah masuk kerja dan besarnya produksi tahu. Sistem
penggajian dilakukan setiap satu minggu sekali. Bila terjadi peningkatan
produksi tahu, maka pekerja akan mendapatkan uang lembur karena
57
bekerja melampaui jam kerja. Sebagai contoh, pekerja yang setiap bulan
mendapatkan upah sebesar Rp 300.000,00, tapi karena ada peningkatan
produksi yang menyebabkan melampaui jam kerja, maka pekerja akan
mendapatkan uang lembur yang menyebabkan upah yang diterima lebih
besar, misalnya menjadi sebesar Rp 330.000,00. Untuk industri kecil
pembuatan tahu, kerja lembur jarang sekali dilakukan.
Besarnya uang lembur dalam industri pembuatan tahu berkisar
antara Rp 5.000,00 sampai dengan Rp 10.000,00. Jumlah yang diterima
tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 102/MEN/VI/2004. Pemerintah
menetapkan cara perhitungan upah kerja lembur yaitu, untuk jam kerja
lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 kali upah sejam, dan untuk
setiap jam kerja berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 kali upah sejam
(http://www.nakertrans.go.id/perundangan/kepmen_102_2004.php). Hal
ini berarti jumlah upah yang diterima pekerja tidak sesuai dengan
keputusan Menteri.
Distribusi pendapatan industri pembuat tahu di Desa Somopuro,
Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa terjadi
tingkat ketimpangan pendapatan rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya
mekanisme bekerja dalam team, sehingga terjadi perbedaan upah yang
sedikit. Selain itu, terjadi perbedaan upah antar pekerja yang sangat kecil,
yaitu sebesar Rp 300.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00. Semua upah
pekerja pembuat tahu tersebut masih dibawah Upah Umum
58
Regional (UMR) di Kabupaten Klaten yang seharusnya Rp 540.000,00.
Sedangkan untuk laba bagi pengusaha berkisar antara Rp 1.000.000,00
sampai dengan Rp 3.000.000,00. Pada tahun 2004, distribusi pendapatan
Indonesia juga menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan yang
rendah, dengan angka rasio gini sebesar 0,32.
2. Distribusi Pendapatan Pembuat Karak
Untuk menggambarkan distribusi pendapatan pembuat karak di
Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, dapat dilihat
dalam gambar Kurva Lorenz berikut ini:
Gambar V.2 Kurva Lorenz Pembuat Karak
Desa Gondangan, bulan Januari 2007
A
B
C
D
E
0
20
40
60
80
100
0 20 40 60 80 10
% rumah tangga
% p
enda
pata
n
0
Sumber: Data Tabel V.6
Kurva Lorenz di atas menunjukkan adanya hubungan antara
persentase jumlah rumah tangga pembuat tahu dari total rumah tangga
Garis Pemerataan
Kurva Lorenz
59
dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total
pendapatan selama satu bulan. Dari gambar tersebut nampak jelas bahwa
distribusi pendapatan pembuat karak di Desa Gondangan, Kecamatan
Jogonalan, Kabupaten Klaten berada pada tingkat ketimpangan
pendapatan yang rendah. Titik A menunjukkan bahwa golongan 20%
pertama dari total jumlah rumah tangga pembuatan tahu hanya menerima
8,96% total dari pendapatan rumah tangga pembuat karak
(Rp 23.420.000,00). Titik B menunjukkan bahwa golongan 20% kedua
hanya menerima 18,57% total pendapatan, sedangkan untuk titik C
menunjukkan bahwa golongan 20% ketiga memperoleh 29,46% total
pendapatan rumah tangga. Titik D menunjukkan bahwa golongan 20%
keempat menerima 48,46% total pendapatan dan titik E menunjukkan
bahwa golongan 20% kelima memperoleh 100% total pendapatan. Dari
titik A, B, C, D dan E, jika ditarik garis akan menunjukkan gambar kurva
Lorenz, yang menggambarkan keadaan distribusi pendapatan pembuat
karak di Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten pada
bulan Januari 2007.
Kriteria sistem penggajian pekerja pembuat karak berdasarkan
pada jumlah masuk kerja dan besarnya produksi karak. Sistem penggajian
dilakukan setiap satu minggu sekali. Karak yang diproduksi mempunyai
dua ukuran, yaitu besar dan kecil. Ukuran karak memberikan pengaruh
terhadap jumlah pendapatan bagi pengusaha dan pekerja. Karak yang
berukuran kecil dalam proses pembuatannya membutuhkan waktu yang
60
lama dan lebih ulet, sehingga harga karaknya juga lebih mahal
dibandingkan karak yang berukuran besar. Dengan harga karak yang lebih
mahal, maka pendapatan pengusaha dan upah pekerja juga akan lebih
besar pula. Dalam industri pembuatan karak, jika pengusaha meningkatkan
produksi, maka pekerja akan menerima uang lembur, karena bekerja
melampaui jam kerja. Sebagai contoh, pekerja yang setiap bulannya
mendapatkan upah sebesar Rp 375.000,00, tapi karena ada uang lembur
membuat karak, maka upah yang diterima lebih besar misalnya menjadi
sebesar Rp 400.000,00. Uang lembur yang diberikan sekitar Rp 2.000,00
sampai dengan Rp 5.000,00 per kali lembur dan tidak dihitung per jam
serta jumlahnya tidak dapat dipastikan. Jumlah yang diterima tersebut
tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 102/MEN/VI/2004. Pemerintah menetapkan
cara perhitungan upah kerja lembur yaitu, untuk jam kerja lembur pertama
harus dibayar upah sebesar 1,5 kali upah sejam, dan untuk setiap jam kerja
berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 kali upah sejam
(http://www.nakertrans.go.id/perundangan/kepmen_102_2004.php).
Distribusi pendapatan industri pembuat karak di Desa Gondangan,
Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa terjadi
tingkat ketimpangan pendapatan rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya
mekanisme bekerja dalam team, sehingga terjadi perbedaan upah yang
sedikit. Selain itu, terjadi perbedaan upah antar pekerja yang sangat kecil,
yaitu sebesar Rp 375.000,00 sampai dengan Rp 750.000,00. 76,47% upah
61
pekerja pembuat karak tersebut masih berada dibawah Upah Umum
Regional (UMR) di Kabupaten Klaten. Sedangkan untuk laba bagi
pengusaha berkisar antara Rp 900.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00.
Pada tahun 2004, distribusi pendapatan Indonesia juga menunjukkan
adanya ketimpangan pendapatan yang rendah, dengan angka rasio gini
sebesar 0,32.
3. Distribusi Pendapatan Pembuat Kripik Sukun
Untuk menggambarkan distribusi pendapatan pembuat kripik sukun di
Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, dapat dilihat
dalam gambar Kurva Lorenz berikut ini:
Gambar V.3 Kurva Lorenz Pembuat Kripik Sukun Desa Gondangan, bulan Januari 2007
E
D
C
A
B
0
20
40
60
80
100
0 20 40 60 80 10
% rumah tangga
%
0
pend
apat
an
Sumber: Data Tabel V.9
Kurva Lorenz di atas menunjukkan adanya hubungan antara
persentase jumlah rumah tangga pembuat tahu dari total rumah tangga
Garis Pemerataan
Kurva Lorenz
62
dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total
pendapatan selama satu bulan. Dari gambar tersebut nampak jelas bahwa
distribusi pendapatan pembuat kripik sukun di Desa Gondangan,
Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten berada pada tingkat ketimpangan
pendapatan yang rendah. Titik A menunjukkan bahwa golongan 20%
pertama dari total jumlah rumah tangga pembuatan tahu hanya menerima
10,08% total dari pendapatan rumah tangga pembuat kripik sukun
(Rp 17.850.000,00). Titik B menunjukkan bahwa golongan 20% kedua
hanya menerima 20,16% total pendapatan, sedangkan untuk titik C
menunjukkan bahwa golongan 20% ketiga memperoleh 31,42% total
pendapatan rumah tangga. Titik D menunjukkan bahwa golongan 20%
keempat menerima 49,32% total pendapatan dan titik E menunjukkan
bahwa golongan 20% kelima memperoleh 100% total pendapatan. Dari
titik A, B, C, D dan E, jika ditarik garis akan menunjukkan gambar kurva
Lorenz, yang menggambarkan keadaan distribusi pendapatan pembuat
kripik sukun di Desa Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten
Klaten pada bulan Januari 2007.
Kriteria sistem penggajian industri pembuatan kripik sukun
berdasarkan pada jumlah masuk kerja dan besarnya produksi kripik sukun.
Sistem penggajian dilakukan setiap satu minggu sekali. Sama dengan
industri pembuat tahu dan karak, dalam industri pembuatan kripik sukun
bila pekerja bekerja melampaui jam kerja, maka pengusaha memberikan
uang lembur bagi pekerjanya. Sebagai contoh, pekerja yang setiap
63
bulannya mendapatkan upah sebesar Rp 450.000,00 karena ada kerja
lembur maka mendapatkan upah yang lebih besar menjadi
Rp 480.000,00. Uang lembur berkisar Rp 2.000,00 sampai dengan
Rp 5.000,00. Jumlah yang diterima tersebut tidak sesuai dengan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 102/MEN/VI/2004. Pemerintah menetapkan cara perhitungan upah
kerja lembur yaitu, untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah
sebesar 1,5 kali upah sejam, dan untuk setiap jam kerja berikutnya
harus dibayar upah sebesar 2 kali upah sejam
(http://www.nakertrans.go.id/perundangan/kepmen_102_2004.php).
Distribusi pendapatan industri pembuat kripik sukun di Desa
Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten menunjukkan
bahwa terjadi tingkat ketimpangan pendapatan rendah. Hal ini disebabkan
oleh adanya mekanisme bekerja dalam team, sehingga terjadi perbedaan
upah yang sedikit. Selain itu, terjadi perbedaan upah antar pekerja yang
sangat kecil. Semua upah pekerja pembuat kripik sukun masih dibawah
Upah Umum Regional (UMR) di Kabupaten Klaten yang sebesar
Rp 540.000,00, karena upah pekerja hanya berkisar antara Rp 450.000,00
sampai dengan Rp 525.000,00. Sedangkan untuk laba bagi pengusaha
berkisar antara Rp 1.620.000,00 sampai dengan Rp 2.760.000,00. Pada
tahun 2004, distribusi pendapatan Indonesia juga menunjukkan adanya
ketimpangan pendapatan yang rendah, dengan angka rasio gini
sebesar 0,32.
64
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Distribusi pendapatan industri kecil pembuat tahu di Desa Somopuro,
Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, menurut kriteria Blomstrom
dalam bukunya Budiman, termasuk dalam tingkat ketimpangan
pendapatan rendah, karena angka Gini Rasio yang diperoleh kurang dari
0,4 yaitu sebesar 0,13, artinya ketimpangan pendapatan masyarakat
pembuat tahu di Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten
Klaten tidak terlalu mencolok.
2. Distribusi pendapatan industri kecil pembuat karak Desa Gondangan,
Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, menurut kriteria Blomstrom
dalam bukunya Budiman, termasuk dalam tingkat ketimpangan
pendapatan rendah, karena angka Gini Rasio yang diperoleh kurang dari
0,4 yaitu sebesar 0,19, artinya ketimpangan pendapatan masyarakat
pembuat karak di Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten
Klaten tidak terlalu mencolok.
3. Distribusi pendapatan industri kecil pembuat kripik sukun di Desa
Gondangan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, menurut kriteria
Blomstrom dalam bukunya Budiman, termasuk dalam tingkat
65
ketimpangan pendapatan rendah, karena angka Gini Rasio yang diperoleh
kurang dari 0,4 yaitu sebesar 0,15, artinya ketimpangan pendapatan
masyarakat pembuat kripik sukun di Desa Gondangan, Kecamatan
Jogonalan, Kabupaten Klaten tidak terlalu mencolok.
B. Saran
Setelah selesai dalam penyusunan skripsi ini, maka berdasarkan hasil
temuan, kesimpulan, dan pengamatan pribadi di lapangan, maka penulis
sedikit memberikan saran sebagai berikut:
1. Pengusaha diharapkan dapat meningkatkan upah bagi pekerja sehingga
melebihi Upah Minimum Regional Kabupaten Klaten.
2. Pengusaha diharapkan mengikuti ketentuan dari Pemerintah dalam
menetapkan upah kerja lembur bagi pekerja, yaitu untuk jam kerja lembur
pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 kali upah sejam, dan untuk setiap
jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 kali upah sejam.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolyn. 2004. Ekonomi Pembangunan, edisi ke-4. Yogyakarta: STIE
YKPN Boediono. 1988. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE BPS. 2005. Kabupaten Klaten dalam Angka 2005. Klaten: BPS ____. 2005. Kecamatan Jogonalan dalam Angka 2005. Klaten: BPS Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Dajan, Anto. 2000. Pengantar Metode Statistika 1. Jakarta: LP3ES Dinanti, Christina Hari. 1998. Ketimpangan Distribusi Lahan, Ketimpangan
Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan. Skripsi. Yogyakarta: FKIP-USD Djojohadikusumo, Sumitro. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan
Ekonomi Pembangunan . Jakarta: LP3ES Mubyarto. 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinar
Harapan Sukirno, Sadono.1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijaksanaan. Jakarta: FEUI Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris.
Jakarta: Ghalia Indonesia ______. 2006. Keadilan dalam Ekonomi. Jetro: Kadin Indonesia http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_7.htm http://www.geocities.com/edisiestp1175/artikel 57.htm http://www.nakertrans.go.id/perundangan/kepmen_102_2004.php
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK PENGUSAHA “ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN SEKTOR INDUSTRI KECIL”
No. Responden: ____ Alamat : _______________ A. Identitas Responden
1. Nama : ______________ 2. Umur : ____ tahun 3. Jenis kelamin: a. Laki-laki
b. Perempuan 4. Status perkawinan: a. Kawin
b. Belum kawin c. Duda / Janda
5. Pekerjaan a. Pokok : ____________________ b. Sampingan : ____________________
6. Pendidikan terakhir yang pernah ditempuh bapak/ibu: ___________
7. Berapa jumlah anggota keluarga yang ditanggung bapak / ibu? ………. orang No Nama Status Pekerjaan Pendidikan
B. Pertanyaan untuk pengrajin/produsen
1. Ada berapa banyak pekerja yang bekerja ditempat bapak/ibu? ………… orang 2. Berapa besar bapak/ibu memberikan upah pada para pekerja? Rp…………….. 3. Berapa total biaya atau pengeluaran bapak/ibu setiap bulan? Rp…………….. 4. Berapa total revenue atau penerimaan bapak/ibu setiap bulan? Rp…………….. 5. Berapa total keuntungan atau laba bapak/ibu setiap bulan?
Rp……………..
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK PEKERJA “ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN SEKTOR INDUSTRI KECIL”
No. Responden: ____ Alamat : _______________ A. Identitas Responden
1. Nama : ______________ 2. Umur : ____ tahun 3. Jenis kelamin: a. Laki-laki
b. Perempuan 4. Status perkawinan: a. Kawin
b. Belum kawin c. Duda / Janda
5. Pekerjaan a. Pokok : ____________________ b. Sampingan : ____________________
6. Pendidikan terakhir yang pernah ditempuh bapak/ibu: ___________
7. Berapa jumlah anggota keluarga yang ditanggung bapak / ibu? ………. orang No Nama Status Pekerjaan Pendidikan
B. Pertanyaan untuk pekerja/buruh
1. Berapa jumlah upah yang diperoleh bapak/ibu setiap bulan? Rp. ………….. 2. Berapa total pengeluaran bapak/ibu setiap bulan?
Rp. …………...
Recommended