View
40
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
1
ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM
Oleh: Nur Hikmah & Meitha Alfinia
A. Aliran Ilmu Kalam
Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu kalam adalah Ilmu berisi tentang
alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman
dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap
orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran
golongan salaf dan Ahli Sunah.
Adapun Aliran-aliran ilmu kalam diantaranya:
1. Khawarij
Khawarij Berasal dari kata kharaja yang berarti “keluar”. Pada
awalnya, Khawarij merupakan aliran atau fraksi politik, kelompok ini
terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat Islam, tetapi mereka
membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri umat, aliran mereka
yaitu ajaran tentang pelaku dosa besar ( murtakib al-kaba‟ir ).
Menurut Khawarij, orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil
tahkim telah melakukan dosa besar. Orang Islam yang melakukan dosa
besar, dalam pandangan mereka berarti telah kafir: Kafir setelah memeluk
Islam berarti murtad dan orang murtad halal dibunuh berdasarkan hadis
yang menyatakan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda ”man badallah
dinah faktuluh.
2. Murji’ah
Kelompok Murji‟ah yang dipelopori oleh Ghilam Al-Dimasyqi
berpendapat mereka bersifat netral dan tidak mau mengkafirkan para
sahabat yang terlambat dan menyetujui tahkim dalam ajaran aliran ini,
orang islam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukum
kedudukannya dengan hukum dunia.
Mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga,
kedudukan mereka ditentukan di akhirat. Dan bagi mereka Iman adalah
2
pengetahuan tentang Allah secara mutlak. Sedangkan kufur adalah
ketidaktahuan tentang Tuhan secara mutlak, iman itu tidak bertambah dan
tidak berkurang.
3. Qodariah
Qodariah adalah aliran yang memandang bahwa Manusia memiliki
kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya.
Menurut paham ini manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Aliran ini disebut Qadariyah
karena memandang bahwa manusia memiliki kekuatan ( qudrah ) untuk
menentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan perbuatannya.
Menurut temuan sementara ajaran ini pertamakali dikenalkan oleh Ma‟bad
al-Juhani karena tidak terdapat bukti yang otentik tentang siapa yang
pertama kali membentuk ajaran Qadariyah.
4. Jabariyah
Menurut aliran ini manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya mereka
hidup dalam keterpaksaan ( jabbar ), karena aliran ini berpendapat
sebaliknya bahwa dalam hubungan dengan manusia, tuhan itu maha
kuasa. Karena itu, tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia
dan yang mewujudkannya. Ajaran ini dipelopori oleh Al-ja‟d bin Dirham.
5. Muktazilah
Muktazilah secara etimologi berasal dari kata a‟tazala yang berarti
mengambil jarak atau memisahkan diri. Secara terminologi adalah aliran
teologi Islam yang memberi porsi besar kepada akal atau rasio di dalam
membahas persoalan-persoalan ketuhanan.
Kelompok ini banyak menggunakan kekuatan akal sehingga diberi
gelar “Kaum Rasionalis Islam” dan dikenal dengan nama “Muktazilah”
yang didirikan oleh Washil bin Atha. Muncul akibat kontroversi yang terjadi
3
dikalangan Ummat Islam setelah perang saudara antara pihak Ali bin Abi
Thalib melawan Zubair dan Thalhah.
Ajaran pokok aliran Muktazilah adalah panca ajaran atau Pancasila
Muktazilah, yaitu :
1) Ke-Esaan Tuhan (Al-Tauhid)
2) Keadilan Tuhan (Al-Adl)
3) Janji dan ancaman (Al-Wa‟d wa Al-Wa‟id)
4) Posisi antara 2 tempat (Al-Manzilah bainal Manzilatain)
5) Amar ma‟ruf nahi munkar (Al-Amr bil Ma‟ruf wa An-Nahy‟an Al-
Munkar).
6. Ahlu sunnah wal jama’ah
Ahlu sunnah wal jama‟ah terbentuk akibat dari adanya penentangan
terhadap aliran Muktazilah oleh orang Muktazilah itu sendiri, mereka
adalah Abu al-Hasan, Ali bin Ismail bin Abi basyar ishak bin Salim bin
Ismail bin abdu Allah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amr bin Abi Musa
al-Asy‟ari.
Imam al-asy‟ari (260-324 H), menurut Abu bakar isma‟il al-Qairawani
adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun kemudian ia
menyatakan keluar dari Muktazilah. Setelah itu ia mengembangkan ajaran
yang merupakan volunter terhadap gagasan –gagasan Muktazilah.
Ajaran pokok Ahlu sunnah wal jama‟ah tidak sepenuhnya sejalan
dengan gagasan Imam al-Asy‟ari. Para pelanjutnya antara lain Imam Abu
Manshur al-Maturidi yang kemudian mendirikan aliran Maturidiyyah yang
ajarannya lebih dekat dengan muktazilah. Imam al- Maturidi pun memiliki
pengikut yaitu al-Bazdawi yang pemikirannya tidak selamanya sejalan
dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu para ahli menjelaskan bahwa
maturidiah terbagi menjadi dua golongan:
1) Golongan Maturidiah Samarkand, yaitu para pengikut Imam al-
maturidi.
4
2) golongan Maturidiah Bukhara,yaitu para pengikut Imam al-
bazdawi yang tampaknya lebih dekat dengan ajaran al-
asy‟ari.
B. Aliran-Aliran Fiqih
Secara historis, hukum Islam telah menjadi 2 aliran pada zaman
sahabat Nabi Muhammad SAW. Dua aliran tersebut adalah Madrasat Al-
Madinah dan Madrasat Al-Baghdad/Madrasat Al-Hadits dan Madrasat Al-
Ra‟y. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di
Madinah, aliran Baghdad/kuffah juga terbentuk karena sebagian sahabat
tinggal di kota tersebut.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah,
terbentuklah Fuqaha Sab‟ah yang juga mengajarkan dan
mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Diantara
Fuqaha sab‟ah adalah Sa‟id bin Al-Musayyab. Salah satu murid Sa‟id bin
Al-Musayyab adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri dan diantara murid Ibnu Syihab
Al-Zuhri adalah Imam Malik pendiri aliran Maliki.
Ajaran Imam Maliki yang terkenal adalah menjadikan Ijmak dan amal
ulama Madinah sebagai Hujjah. Dan di Baghdad terbentuk aliran ra‟yu, di
Kuffah adalah Abdullah bin Mas‟ud, salah satu muridnya adalah Al-Aswad
bin Yazid Al-Nakha‟I salah satu muridnya adalah Amir bin Syarahil Al-
Sya‟bi dan salah satu muridnya adalah Abu Hanifah yang mendirikan
aliran Hanafi.
Salah satu ciri fiqih Abu Hanifah adalah sangat ketat dalam
penerimaan hadits. Diantara pendapatnya adalah bahwa benda wakaf
boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, kecuali wakaf tertentu. Karena ia
berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap milik yang
mewakafkan.
Murid Imam Malik dan Muhammad As-Syaibani (sahabat dan
penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi‟I,
pendiri aliran hukum yang dikenal dengan Syafi‟iyah atau aliran Al-Syafi‟i.
5
Imam ini sangat terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam
karena pendapatnya ia golongkan menjadi Qoul Qodim dan Qoul Jadid.
Salah satu murid Imam Syafi‟i adalah Ahmad bin Hanbal pendiri
aliran Hanbaliyah. Di samping itu masih ada aliran zhahiriyah yang
didirikan oleh Imam Daud Al-Zhahiri dan aliran Jaririyah yang didirikan
oleh Ibnu Jarir Al-Thabari.
Dengan demikian, kita telah mengenal sejumlah aliran hukum islam
yaitu Madrasah Madinah, Madrasah Kuffah, Aliran Hanafi, Aliran Maliki,
Aliran Syafi‟I, Aliran Hanbali, Aliran Zhahiriyah dan Aliran Jaririyah. Tidak
dapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum islam karena
banyak aliran hukum yang muncul kemudian menghilang karena tidak ada
yang mengembangkannya.
Thaha Jabir Fayadl Al-Ulwani menjelaskan bahwa mazdhab fiqih
islam yang muncul setelah sahabat dan kibar At-Tabi‟in berjumlah 13
aliran, akan tetapi tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar dan metode
istinbath hukum yang digunakannya.
Berikut pendiri aliran-aliran tersebut :
1) Abu Sa‟id Al-Hasan bin Yasar Al-Bashri
2) Abu Hanifah Al-Nu‟man bin Tsabit bin Zuthi
3) Al-Uza‟i „Abu Amr A‟bd Al-Rahmat bin „Amr bin Muhammad
4) Sufyan bin Sa‟id bin Masruq Al-Tsauri
5) Al-Laits bin Sa‟d
6) Malik bin Anas Al-Bahi
7) Sufyan bin U‟yainah
8) Muhammad bin Idris
9) Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
10) Daud bin Ali Al-Ashbahani Al-Baghdad
11) Ishaq bin Rahawaih
12) Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalabi
6
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga
sekarang hanya beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi‟iyah, dan Hanbaliyah, akan tetapi yang sering dilupakan dalam
sejarah hukum islam adalah bahwa buku-buku sejarah hukum islam
cenderung memunculkan aliran-aliran hukum yang berafiliasi dengan
aliran sunni, sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung
mengabaikan pendapat khawarij dan syi‟ah dalam bidang hukum islam.
C. Aliran-Aliran Tasawuf
Para penulis ajaran tasawuf, termasuk Harun Nasution,
memperkirakan adanya unsur-unsur ajaran non-islam yang
mempengaruhi ajaran tasawuf. Unsur-unsur yang dianggap berpengaruh
pada ajaran tasawuf adalah kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia
dan kesenangan materi.
Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran tentang Al-Zuhd (Zuhud),
kemudian ia berkembang dan namanya diubah menjadi tasawuf dan
pelakunya disebut shufi. Zahid yang pertama adalah Al-Hasan A-Basir.
Dia pernah berdebat dengan Washil bin Atha‟ dalam bidang teologi, ia
berpendapat bahwa orang mu‟min tidak akan bahagia sebelum berjumpa
dengan Tuhan. Zahid dari kalangan perempuan adalah Rabi‟ah Al-
Adawiyah dari Basrah, ia menyatakan bahwa ia tidak bisa membenci
orang lain, bahkan tidak dapat mencintai Nabi Muhammad SAW, karenya
cintanya hanya untuk Allah SWT.
Metode tasawuf dibagi menjadi 3 (tiga), Tahalli, adalah pengisian diri
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,Takhalli adalah pengosongan
diri sufi, sedangkan Tajalli adalah penyatuan diri dengan Tuhan.
Disamping itu, dalam ajaran para sufi dikatakan bahwa Tuhan pun
tidak berkehendak untuk menyatu dengan manusia. Suatu keadaan
mental yang diperoleh manusia tanpa bias diusahakan disebut Hal-Ahwal.
Rabiah merumuskan kedekatannya dengan Tuhan dalam Mahabbah,
dengan demikian ada hubungan timbal balik antara sufi dengan Tuhan.
7
D. Aliran Falsafah
1. Idealisme
Falsafah ini dibentangkan oleh Socrates dan diikuti oleh Plato.
Mengikut Plato, “Saya fikir, oleh itu saya wujud”, segala realiti adalah
kebenaran hanya wujud dalam fikiran manusia. Kewujudan objek-objek
fizikal di alam ini hanyalah manifestasi yang timbul dalam fikiran manusia.
Pendidik beraliran ini sangat pentingkan aspek nilai yang tinggi
dalam muzik. Nilai muzik dianggap kekal, justeru hanya muzik yang
bermutu sahaja dipelajari oleh pelajar. Malah, perancangan dan
pembentukan kurikulum diberi perhatian serta tumpuan yang bersungguh-
sungguh.
2. Realisme
Falsafah ini dibentangkan oleh Aristotle. Pada pendapat beliau, realiti
yang sebenarnya adalah terletak kepada apa yang dapat dilihat secara
fisikal dengan mata, bukannya melalui idea atau pandangan. Secara am,
ia tertakluk kepada sesuatu yang jelas dan nyata tetapi bukan kepada
sesuatu yang ghaib dan abstrak.
Kebanyakkan tokoh falsafah ini bersetuju bahwa persepsi manusia
atau akal manusia boleh dianggap sebagai ”cermin” realiti kerana apa
yang dilihat merupakan satu realiti yang sebenarnya. Akal manusia hanya
boleh melihat dan memahami apa yang terdapat dalam fizikal sahaja.
Maka, sistem pemerhatian dan pembuktian secara saintifik boleh dikirakan
yang paling sah bagi pengikut-pengikut realisme.
Ahli falsafah ini bertentangan dengan falsafah naturalisme bahawa
pelajar boleh belajar dengan lebih berkesan dengan kaedah “jumpa
sendiri”. Mereka juga menolak pendapat falsafah idealisme bahawa cara
yang terbaik untuk menghasilkan sesuatu adalah melalui pemikiran yang
rasional.
8
3. Pragmatisme
Ahli-ahli falsafah ini percaya bahwa pengalaman manusia
menggambarkan realiti. Segala yang wujud sentiasa berubah dan tidak
tetap atau kekal. Jadi, sesuatu idea harus dipraktikkan dahulu secara
objektif untuk mengesahkan kebenaran sesuatu idea.
E. Aliran Pendidikan Islam
1. Aliran Religius Konserfatif ( al Muhafid)
Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al
Haitami, Ibnu Sahnun dan Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni
keagamaan dan aliran ini memaknai ilmu dengan makna yang sempit.
Menurut at Thusi ilmu adalah yang berguna di hari ini dan akan membawa
manfaat di akhirat kelak. Bila kita mau mengamalkan apa yang kita
dapatkan dan terapkan maka inilah makna ilmu yang sebenarnya.
2. Aliran Religius Rasional ( ad Diny al ‘Aqlany)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina,
dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di
belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan
rasionalitas Yunani.
Intisari daripada aliran religius rasional adalah tidak hanya
mengedepankan agama, tetapi juga ilmu yang lainnya dianggap penting
juga. Karena kita hidup di dunia dan akhirat.
3. Aliran Pragmatis Instrumental
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran
adalah pembawaan manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Ibnu
Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Ta‟lim Thabi‟iyyun fi al‟Umran al-
Basyari. (Khaldun, 1979). Pengetahuan dan pendidikan merupakan
tuntutan alami dari peradaban (al-„Umran) manusia.
9
Ide tentang adanya hubungan antara ilmu dan peradaban
memunculkan sesuatu ide yang lain yang merupakan konsekuensi
logisnya yaitu: al-„Ulum innama Takastsrat Haisu yaksuru al‟Umran wa
Ta‟adzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai dengan
perkembangan peradaban.
Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran,
Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit,
Pertama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan
secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan
kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai
instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan,
dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban,
dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang
dibutuhkan oleh filsafat.
Selain aliran-aliran yang telah disebutkan diatas ada beberapa aliran
filsafat pendidikan Islan yang ditinjau dari tipologi yaitu, aliran Perenial-
Esensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran Modernis, aliran Perenial-
Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-
masing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi
pendidikan itu sendiri.
Perenial-Esensial Salafi aliran yang bersumber dari al Qur‟an dan as-
Sunah bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai
era salaf, serta berwawasan kependidikan Islam yang beriorentasi pada
masa silam (era salafi).
Perenial-esensialis mazhabi aliran yang bersumber dari al Qur‟an
dan as-Sunah dan bersikap regresif dan konservatif dalam
mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya, mengikuti
aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta
10
berwawasan kependidikan Islam yang tradisional dan beriorentasi pada
masa silam.
Modernis aliran yang bersumber dari al Qur‟an dan as-Sunah,
menekankan perlunya berfikir bebas dan terbuka dengan tetap terikat oleh
nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana yang terkandung dalam
wahyu Illahi; progressif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon
tuntutan kebutuhan lingkungan atau zaman; serta berwawasan
kependidiksn Islam kontemporer.
Perenial-esensialis konstektual –falsikatif aliran yang bersumber dari
al Qur‟an dan as-Sunah, menekankan perlunya sikap konserfatif dan
regresif terutama dalam konteks pendidikan agama, yang lebih mengambil
jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-
wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan
tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan
yang ada, wawasan kependidikan Islam yang concern terhadap
kesinambungan pemikiran pendidikan Islam dalam merespon tuntutan
perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.
Rekonstruksi sosial aliran yang bersumber dari al Qur‟an dan as-
Sunah, di samping menekankan sikap progressif dan dinamis, juga sikap
proaktif dan antisipasif dalam menghadapi menghadapi perkembangan
Iptek, tuntutan perubahan, dan beriorentasi pada masa depan dan
menuntut kreatifitas.
11
Referensi:
Hanafi, A. 1979. Teologi Islam Ilmu Kalam. Jakarta : Bulan Bintang.
Nasution, I. 2011. Ilmu Kalam ditengah perkembangan kepercayaan dan
peradaban manusia. Medan : Duta Azhar.
Nasution, H. 1986. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya Jilid II, Jakarta: UI
Pers.
Hasbullah. 2011. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Nizar,S. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press.
12
AL-QABISI
Oleh: Fitri Hardiana & Dadang Esuki
A. Biografi Singkat
Nama lengkap Al-Qabisi adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin
Khalaf Al-Ma„arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisi adalah penisbahan kepada
sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal
namanya dengan sebutan Al-Qabisi, Ia lahir di Kota Qairawan
Tunisia pada tahun 324 H-935M. Literatur-literatur tidak
menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisi
bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun
hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah,
namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh
dalam dunia Islam.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan, Ia mulai
mempelajari Al-Qur‟an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira‟at
dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang
besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-„Abbas Al-
Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik.
Al-Qabisipernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah
menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-„Abbas. Guru-guru
lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad
Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin
Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisi pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan
menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan
sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar
besar sepertiIskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam
waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar
pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam
meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya. Al-
13
Qabisi mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penunut-
penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih.
Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang
datang dari Afrika dan Andalus. Murid-muridnya yang terkenal
adalah AbuImran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar
„Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisi terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan
fikih di samping juga sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan
dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam, maka ia
diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai
jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu„ (merendah diri), wara„ (bersih
dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah
satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental
adalah kitab “Ahwal al-Muta‟allim wa Ahkam Mu‟allimin wa al-
Muta‟allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
Konsep pemikiran tujuan pendidikannya Al-Qabisy secara umum,
sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati, yaitu:
1) mengembangkan kekuatan akhlak anak.
2) menumbuhkan rasa cinta agama,
3) berpegang teguh terhadap ajarannya,
4) mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni,
5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat
mendukung kemampuan mencari nafqah.
Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-
Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim
yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan
menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian dipahami bahwa pandangan
intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada
ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan
psikomotorik.
14
B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam
Dalam konsep pendidikan al-qabisy ada beberapa pemikiran atau
pandangan yaitu :
1. Pendidikan Anak-Anak
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-
anak yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik
anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga
kelangsungan bangsa dan Negara, oleh karena itu pendidikan anak harus
dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.
Al-Qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk menyekolahkan anak
di lembaga al-Kuttab. Oleh karena pendidikan anak merupakan tanggung
jawab orang tuanya semenjak mulai anak dapat berbicara fasih yakni
pada usia mukallaf yang wajib diajar bersembahyang (menurut hadis
Nabi).
Rasulullah saw bersabda :” Perintahlah anak-anak kalian untuk
mengerjakan sholat pada waktu usia tujuh tahun dan pukullah mereka
pada waktu usia sepuluh tahun.” Dari sabda Nabi tersebut dapat
disimpulkan bahwa pendidikan Islam dimulai pertama-tama di rumah.
Pendidikan anak di lembaga al-Kuttab hanyalah kelanjutan daripada
tugas pendidikan yang wajib ditunaikan oleh kedua orang tua di rumah.
Anak-anak yang belajar di kuttab mula-mula diajar menghafal alqur‟an,
lalu diajar menulis, dan pada waktu dzuhur mereka pulang ke rumah
masing-masing untuk makan siang, kemudian kembali lagi ke kuttab untuk
belajar lagi sampai sore.
Metode pengajaran dengan mengerjakan tugas berulang kali
demikian disertai dengan hafalan, tolong menolong antara satu dengan
yang lain untuk memantapkan hafalan, antara lain dengan menggerakkan
tangan untuk menuliskan apa yang dihafal, memfungsikan mata untuk
mengamati dan membaca, serta penggunaan daya menghafal dan
mengingat, kemudian anak disuruh menunjukkan hasilnya dihadapan
15
guru. Jika anak berbuat kesalahan tulisan atau lalai tidak menghafal atau
karena pergi bermain-main, maka guru memberi hukuman kepadanya,
metoda ini sangat efektif kita jalankan sebagai metode modern.
2. Tujuan Pendidikan
Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat
menumbuh-kembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam
yang benar. Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan
kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh
kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
agama yang murni. Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam
tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan dan keahlian
pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.
3. Kurikulum
Lingkungan sosial pada zaman al-Qabisi adalah lingkungan religius
yang bersih, karena tinjauan kurikulum pengajaran dari sudut keagamaan
memang sesuai dengan kurikulum yang dituntut oleh para ahli agama,
karena ciri khas kurikulum yang baik adalah jika tidak keluar dari tuntutan
lingkungan masyarakat. Di antara pendapat Al-Qabisi ialah bahwa agama
itu mempersiapkan anak untuk kehidupan yang seba baik, dan baginya
kurikulum pendidikan dapat dibagi menjadi dua kategori yakni kurikulum
Ijbari (wajib) dan kurikulum ikhtiyari (tidak wajib) sebagai berikut :
a) Kurikulum ijbari (wajib)
Kurikulum ini, yang secara harfiah berarti kurikulum yang
merupakan keharusan atau wajib bagi setiap anak. Isi dari
kurikulumnya adalah mengenai kandungan ayat al-qur‟an, seperti
sembahyang dan doa doa. Dan penguasaan terhadap ilmu nahwu
dan bahasa arab yang keduannya merupakan persyaratan mutlak
untuk memantapkan bacaan al-qur‟an. Kurikulum yang berkenaan
dengan bahasa dan baca tulis al-Qur‟an diberikan pada tingkat
16
dasar, yaitu kuttab. Pendapat al-Qabisi tentang pentingnya pelajaran
baca tulis dan pemahaman al-Qur‟an dalam hubungannya dengan
shalat itu menggambarkan kecenderungannya sebagai seorang ahli
fiqh.
Mengintegrasikan antara kewajiban mempelajari al-Qur‟an
dengan sembahyang dan berdoa berarti telah mengintegrasikan
antara aspek berfikir, merasa dan berbuat(beramal).
b) Kurikulum Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan)
Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa
arab syi‟ir, kisah masyarakat arab, sejarah islam ilmu nahwu dan
bahasa arab lengkap, dan keterampilan, ilmu berhitung(sesuai
dengan izin orangtua) peserta didik.
Al-Qabisi amat selektif dalam memasukkan pelajaran dalam
kurikulum yang besifat ikhtiyari yaitu selalu dikaitkan dengan tujuan
untuk mengembangkan akhlak mulia pada diri anak didik,
menumbuhkan rasa cinta kepada agama, berpegang teguh pada
ajaran islam serta berprilaku sesuai dengan nilai-nilai agama yang
murni. demikian pentingnya tujuan beragama dalam kurikulum
tersebut diatas tampak dipengaruhi oleh situasi masyarakat pada
waktu itu yang taat beragama. Menurut Ali al-Jumbulati bahwa
kondisi lingkungan hidup social budaya pada masa Al-Qabisi adalah
bersifat keagamaan yang mantap.
4. Metode dan Teknik Pembelajaran
Metode dan teknik belajar yang diterapkan al-Qabisi adalah
menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi langkah-langkah penting
dalam menghafal adalah didasarkan pada penetapan waktu terbaik yang
dapat mendorong meningkatkan kecerdasan akalnya. Waktu istirahat
adalah waktu yang amat penting untuk menyegarkan fikiranya. Tahapan
metode manghafal al-Alqabasi sesuai dengan hadits nabi, yaitu dimulai
17
dengan menghafal kalimat, memahami isinya dan mengulangnya kembali.
Hubungan metode menghafal dengan pendidikan akal adalah dalam
menghafal sesuatu tentu kita akan mengingatnya dalam memory kita,
kemudian hafalan tersebut sebagai dasar kita untuk berfikir dan melatih
akal kita ketika ada pengetahuan baruk masuk ke otak kita.
18
Referensi
Abdullah al-amin al=nu‟my. 1995. Kaedah dan teknik pengajaran menurut
ibnu khaldun dan al-qabisy. Jakarta.
Al-nu‟mi. Kaedah dan teknik pengajaran.
19
IBNU SINA
Oleh : Nuri Wulandari & Liva Yuliani
A. Biografi Singkat
Ibnu Sina bernama lengkap Abū „Alī al-Husayn bin „Abdullāh bin
Sīnā. Ibnu Sina lahir pada 980 M di Afsyahnah daerah dekat Bukhara,
sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia). Orang tuanya adalah
seorang pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman. Ia dibesarkan
di Bukharaja serta belajar falsafah dan ilmu-ilmu agama Islam.
Saat berusia 10 tahun dia banyak mempelajari ilmu agama Islam dan
berhasil menghafal Al-Qur'an. Ia dibimbing oleh Abu Abdellah Natili, dalam
mempelajari ilmu logika untuk mempelajari
buku Isagoge dan Prophyry, Eucliddan Al-Magest PtolemusSetelah itu dia
juga mendalami ilmu agama dan Metaphysics Plato dan Arsitoteles.
Suatu ketika dia mengalami masalah saat belajar
ilmu Metaphysics dari Arisstoteles. Empat Puluh kali dia membacanya
sampai hafal setiap kata yang tertulis dalam buku tersebut, namun dia
tidak dapat mengerti artinya. Sampai suatu hari setelah dia membaca
Agradhu kitab ma waraet thabie‟ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950
M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang
benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala ilmu Metaphysics.
Setelah berhasil mendalami ilmu-ilmu alam dan ketuhanan, Ibnu
Sina merasa tertarik untuk mempelajari ilmu kedokteran. Ia mempelajari
ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya. Meskipun secara teori dia belum
matang, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam mengobati
orang-orang sakit. Setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon
kepada Allah agar diberikan petunjuk, maka didalam tidurnya Allah
memberikan pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang sedang
dihadapinya.
Suatu ketika saat Amir Nuh Bin Nasr sedang menderita sakit keras.
Mendengar tentang kehebatan yang dimiliki oleh Ibnu Sina, akhirnya dia
20
diminta datang ke Istana untuk mengobati Amir Nuh Bin Nasr sehingga
kesehatannya pulih kembali. Sejak itu, Ibnu Sina menjadi akrab dengan
Amir Nuh Bin Nasr yang mempunyai sebuah perpustakaan yang
mempunyai koleksi buku yang sangan lengkap di daerah itu. Sehingga
membuat Ibnu Sina mendapat akses untuk mengunjungi perpustakaan
istana yang terlengkap yaitu Kutub Khana.
Berkat perpustakaan tersebut, Ibnu Sina mendapatkan banyak ilmu
pengetahuan untuk bahan-bahan penemuannya. Pada suatu hari
perpustakaan tersebut terbakar dan orang-orang setempat menuduh Ibnu
Sina bahwa dirinya sengaja membakar perpustakaan tersebut, dengan
alasan agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari
perpustakaan itu.
Ibnu Sina lahir di zaman keemasan Peradaban Islam. Pada zaman
tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu
pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks Yunani dari zaman
Plato, sesudahnya hingga zaman Aristoteles secara intensif banyak
diterjemahkan dan dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam.
Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan
oleh Al-Kindi. Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi
matematika, astronomi, Aljabar, Trigonometri, dan ilmu pengobatan.
Pada zaman Dinasti Samayid dibagian timur Persian wilayah
Khurasan dan Dinasti Buyid dibagian barat Iran dan Persian memberi
suasana yang mendukung bagi perkembangan keilmuan dan budaya. Di
zaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan Baghdad menjadi pusat budaya
dan ilmu pengetahun dunia Islam.
Saat berusia 22 tahun, ayah Ibnu Sina meninggal dunia.
Pemerintahan Samanid menuju keruntuhan. Masalah yang terjadi dalam
pemerintahan tersebut akhirnya membuatnya harus meninggalkan
Bukhara. Pertama ia pindah ke Gurganj, ia tinggal selama 10 tahun di
Gurganj. Kemudia ia pindah dari Gurganj ke Nasa, kemudian pindah lagi
21
ke Baward, dan terus berpindah-pindah tempat untuk mempelajari ilmu
baru dan mengamalkannya.
B. Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan
Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan,
menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu
terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1) lmu yang tak kekal
2) Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari
peranannya sebagai alat disebut logika.
Ibnu sina juga membagi filsafat dalam 2 bagian, yaitu teori dan
praktek, yang keduanya berhubungan dengan agama, di mana dasarnya
terdapat dalam syari‟at Tuhan, yang penjelas dan kelengkapannya di
peroleh dengan akal manusia. Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat
dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan
ilmu kulli.
2) Ilmu tidak praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah
ilmu, pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah).
Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikan oleh nabi pada
hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan
Ibnu Sina bersifat komprehensif.
Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan
tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai
hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak. Dengan
mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat dan kemauan
anak maka bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil.
Menurut Ibnu Sina kecendrungan manusia untuk memilih pekerjaan
yang berbeda dikarenakan didalam diri manusia terdapat faktor yang
tersembunyi yang sukar dipahami / dimengerti dan sulit untuk di ukur
kadarnya.
22
Mengenai kebenaran Al-qur‟an Ibnu sina membedakan bagi awam
dan intelektual (filsuf). Bagi orang awam kebenaran Al-quran itu
merupakan kebenaran harfiah, sementara bagi intelektual bersifat
simbolis. Oleh karena itu pendidikan merupakan penerapan disiplin hukum
yang hanya berlaku bagi orang awam. Sementara filsafat sebagai alat
pemahaman atas kebenaran Al-quran yang simbolis, lebih tinggi dari
pendidikan
Tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh
potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang
sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Tujuan
pendidikan menurut Ibnu Sina yaitu harus diarahkan pada upaya
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang
dimilikinya. Dan untuk mencapai kebahagiaan (sa‟adat) kebahagian
dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang
dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga,
kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan
kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat.
Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya
akan mungkin dicapai melalui risalah kenabian. Jadi para nabilah yang
membawa manusia mencapai kebahagian secara menyeluruh. Pemikiran
dalam hal pendidikan, Ibnu sina juga membagi menjadi berbagai tahapan
atau masa-masa.
1. Tahapan Masa-Masa Menurut Ibnu Sina
Pemikiran dalam hal pendidikan, Ibnu sina juga membagi menjadi
berbagai tahapan atau masa-masa.
23
a. Masa Kanak-Kanak
Menurut Ibnu Sina, masa kanak-kanak merupakan saat
pembentukan fisik, mental, dan moral. Oleh karena itu terdapat tiga
hal yang harus diperhatikan: Pertama, anak-anak harus dijauhkan
dari pengaruh kekerasan yang bisa mempengaruhi jiwa dan
moralnya. Kedua, untuk perkembangan tubuh dan gerakannya,
anak-anak harus dibangunkan dari tidur. Ketiga, anak-anak tak
diperbolehkan langsung minum setelah makan, sebab makanan itu
akan masuk tanpa dicerna terlebih dahulu. Keempat, perkembangan
rasa dan perilaku anak-anak perlu diperhatikan.
b. Masa Pendidikan
Pada masa ini, anak-anak sudah berusia antara 6 hingga 14
tahun. Pada masa ini, anak-anak harus mempelajari prinsip
kebudayaan Islam dari Alquran, puisi-puisi Arab, kaligrafi, juga para
pemimpin Islam.
Menurut Ibnu Sina, pendidikan pada masa ini harus dilakukan
dalam kelompok-kelompok, bukan perseorangan. Sehingga siswa
tidak merasa bosan serta mereka bisa belajar mengenai arti
persahabatan. Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu
Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah
yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur‟an, juga untuk
mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti
pelajaran Tfasi Al-Qur‟an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama
lainnya yang sumber utamanya Al-qur‟an.
c. Masa usia 14 tahun ke atas
Pada masa remaja ini, mereka dipersiapkan untuk mempelajari
tipe pelajaran tertentu supaya memiliki keahlian khusus. Selain itu,
mereka harus mempelajari pelajaran yang sesuai dengan bakat
mereka. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk mempelajari dan
bekerja di bidang yang tidak mereka inginkan dan mereka pahami.
Namun pelajaran dasar harus diberikan kepada mereka.
24
Ibnu Sina menganggap pendidikan pada anak-anak maupun
remaja harus diberikan karena pendidikan itu memiliki hubungan
yang erat antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Yang
paling penting, setiap pelajar harus menjadi seorang ahli dalam
bidang tertentu yang akan mendukung pekerjaannya di masa depan.
Ibnu sina mewajibkan kepada pendidik anak-anak, supaya
menjauhkan anak-anak dari kelakuan yang keji dan adat-adat
kebiasaan yang buruk dengan mempertakuti dan menginginkan,
dengan memuji sekali dan memarahi sekali, yaitu selama yang
demikian itu mencukupi. Kalau membutuhkan mempergunakan
tangan, maka hendaklah pergunakan.
2. Pandangan Ibnu Sina Tentang Pendidikan
Ibnu sina banyak memberikan saham dalam meletakkan dasar-dasar
pendidikan islam, yang amat berharga sekali dan tidak kecil pengaruhnya
terhadap pendidikan islam dewasa ini, pandangan ibnu sina terhadap
pendidikan (sistem) meliputi sebagai berikut :[4]
a. Pendidikan Keterampilan untuk Mempersiapkan Anak Mencari
Penghidupan
Ibnu sina mengintegrasikan antara nilai-nilai idealitas dengan
pandangan pragmatis, sebagaimana yang dia katakan : “ jika anak
telah selesai belajar Al-Quran dan menghapal dasar-dasar
gramatika, saat itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai
pekerjaannya, maka arahkanlah ia ke jalan itu. Jika ia menginginkan
menulis maka hubungkanlah dengan pelajaran bahasa surat-
menyurat, bercakap-cakap dengan orang lain serta berbincang-
bincang dengan mereka dan sebagainya. Kalau problem
matematika, maka caranya harus mengerjakan bersamanya,
membimbing dan menulisknnya. Dan jika ia ingin yang lain, maka
bawalah ia kesana.”
25
Pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada
pendidikan seperti bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga
akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu
mengerjakan pekerjaan secara professional.
Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Ibnu sina itu jelas
menunjukkan bahwa umat islam sejak dulu telah mengetahui tujuan
pendidikan/pengajaran. Oleh karena itu hendaknya mereka
mengarahkan pendidikan anak-anak kepada apa yang menjadikan
mereka baik, lalu menuangkan pengetahuan mereka ke dalam
prinsip-prinsip yang ditetapkan yang bersifat khusus seperti yang
dianjurkan oleh pendidikan modern.
b. Kurikulum tingkat awal untuk meningkatkan mutu pendidikan
anak
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk
menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk
mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah
rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang
disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk
menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu
pendapat Ibnu sina tentang masalah ini sangat terkenal : yaitu “
sebaiknya diawali dengan mengajarkan Al-quranulkarim tapi dengan
cara menghindarkan pengajaran yang bersifat memberatkan jasmani
dan akal pikirannya. Dalam hal ini Ibnu sina sepakat bahwa, “pada
waktu mengajarkan Al-quran anak juga diajarkan diajar huruf-huruf
hijaiyah dan beberapa ilmu lainnya, kemudian diperkenalkan syair-
syair yang dimulai dari cerita anak-anak.
Strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat
dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya.
Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu
26
dan keterampialan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya.
Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang
mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan menempuh sebagaimana
cara yang ia lakukan.
Berdasarkan uraian diatas Ibnu sina mengemukakan prinsip-
prinsip pendidikan yaitu :
a. Jangan memulai pengajaran Al-quran kepada anak melainkan
setelah anak mencapai tingkat kematangan akal dan jasmaniah
yang memungkinkan dapat menerima apa yang diajarkan
b. Mengintegrasikan antara pengajaran Al-quran dengan huruf
hijaiyah, yang memperkuat pandangan pendidikan modern saat
ini yaitu dengan metode campuran antara metode analitis dan
strukturalitis dalam mengajar membaca dan
menulis (merupakan metode paling baru dalam
pengajaran bahasa kepada anak-anak saat ini).
c. Kemudian anak diajar agama pada waktu tingkat kematangan
yang mantap dimana menurut adat kebiasaan hidup
keagamaan yang benar telah terbuka lebar sampai dapat
menyerap ke dalam jiwanya dan mempengaruhi daya indrawi
serta perasaannya.
d. Ibnu sina juga memandang penting pelajaran syair sehingga
syair itu menjadi sarana pendidikan perasaan. Pelajaran ini
dimulai dari mengajarkan syair-syair yang menceritakan anak-
anak yang glamaour, sebab lebih mudah dihafal dan mudah
menceritakannya.
e. Pengajaran yang diarahkan pada penulisan minat dan bakat
pada masing-masing anak didik, sehingga mereka mampu
menciptakan kreativitas belajar secara lebih mantap. hal ini
sesuai dengan yang dianjurkanoleh kurikulum modern saat ini.
Anak harus diajar tentang pengetahuan umum yang bersifat
dharuriyah, sehingga terbukalah bakat dan kemampuannya
27
yang pada saat ini memungkinkan anak dapat mengenal
kecenderungan-kecenderungannya.
f. Selanjutnya Ibnu sina sangat memperhatikan segi akhlak dalam
pendidikan, yang menjadi fokus perhatian dari seluruh
pemikiran filsafat pendidikan yaitu mendidik anak dengan
menumbuhkan kemampuan beragama yang benar. Oleh
karena itu pendidikan agama memang merupakan landasan
bagi pencapaian tujuan pendidikan akhlak. Jika Ibnu sina
sangat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, semata-
mata di sebabkan karena akhlak adalah sumber segala-
galanya sehingga salah seorang ahli syair bernama (Ahmad
syauqi bey )memperkokoh kedudukan akhlak dan
keutamaannya dalam pembangunan bangsa seperti terlukis
dalam bait syairnya :
وانما الأامم الاخلق مابقيت فاءن همو ذهبت اخلقهم ذهبوا
“Hanya saja suatu bangsa itu berdiri tegak selama ia masih
berakhlak namun jika akhlak mereka telah hilang maka bangsa
itupun lenyap juga”.
c. Komunikasi dengan Para Ilmuwan pada Masanya
Abu Ali Ibnu sina berkomunikasi dengan para ilmuwan pada masa
hidupnya, diantaranya dengan ibnu maskawaihi, dan Abu raihan Al-biruni,
serta dokter Abu Al-Faraj bin Tabib bin Al-jatsaliq, dan Abu nasril, Iraqi,
Abdul Khair bin Al-Khammar. Dari mereka Ibnu sina memperdalam ilmu-
ilmu logika, alam, matematika dan kedokteran, sehingga ia dapat
mengungguli guru-gurunya. Di antara ilmu-ilmu yang didalami, ilmu
kedokteran yang sangat melelahkannya untuk dipelajari, sampai ia dapat
kesalahan-kesalahan dalam berbagai kitab lama. Ia pernah disodori
sebuah buku tentang metafisika, karya Al-Farabi. Waktu itu ia mengoreksi
dan menolak dalil-dalilnya dan setelah berfikir panjang ia memberi buku
itu. Setelah pulang ke rumah kitab itu dipelajari dan terbukalah di hatinya
28
jalan pikiran baru, maka itu merasa gembira dan bersedekah kepada fakir-
miskin sebagai tanda syukur kepada Allah.
Dari kisah tersebut jelaslah bagi kita bahwa Ibnu sina mempelajari
juga kitab-kitab karangan Al-Farabi karena ia sebagai filosof Arab dan
guru kedua ( setelah Aristoteles) yang menjelaskan kitab-kitab karangan
Aristoteles.
Ibnu sina mempunyai metode khusus dalam studinya ia mengatakan
: saya study ilmu, dan ketika saya temukan satu masalah yang sulit, saya
ulangi-ulangi sampai keseluruhannya, lalu saya bersembahyang, lalu saya
tambah daya pikir saya memikirkan keseluruhannya, sampai saya terbuka
kepada hal-hal yang belum dapat saya mengerti, lalu saya mendapatkan
kemudahan dari yang sulit-sulit itu, saya menekuninya pada malam hari di
rumah dengan membacanya, dan ketika saya tidur nyenyak, saya
bermimpi tentang problematika-problematika itu menjadi jelas dalam
mimpiku itu.
Tampaknya, karakter metode yang ditawarkan ini masih tetap
relevan dengan tuntutan zaman hingga saat ini. Itu artinya Ibn Sina
memang memahami konsep pendidikan baik secara teoritis maupun
secara praktis sehingga pemikiran yang ia kemukakan tidak hanya berlaku
pada masanya, melainkan jauh melampaui masa tersebut. Sedangkan
materinya tetap fleksibel sesuai dengan kebutuhan zaman
29
IBNU KHALDUN
Oleh : Cici Pustika Yulianti & Dewi Novita Sari
A. Biografi Singkat
Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap „Abd al-Rahman ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn
Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn „Usman ibn Hani ibn al-Khathab ibn
Kuraib ibn Ma‟dikarib ibn al-Harish ibn Wail ibn Hujr. Sejarawan yang
mempunyai nama kecil „Abd al-Rahman ini biasa dipanggil dengan nama
panggilan (kunyah) Abu Zaid, yang diambil dari nama putra sulungnya,
Zaid. Ia pun sering disebut dengan nama gelar (laqb) Waliyuddin, sebuah
gelar yang diberikan kepadanya sewaktu memangku jabatan Hakim
Agung di Mesir. Akan tetapi ia lebih populer dengan panggilan Ibnu
Khaldun, yang dinisbatkan kepada nama kakeknya yang kesembilan yaitu
Khalid. Ibnu Khaldun lahir tanggal 27 Mei 1331/732H dan wafat pada
tanggal 19 Maret 1406/808H.
Untuk mempelajari Ibnu Khaldun, perjalanan panjang hidupnya dapat
dipetakan dalam 4 fase:
Fase pertama, dimulai sejak awal kelahiran, menuntut ilmu sampai
terjadinya wabah besar di sebagian wilayah dunia Pada masa ini talenta
keulamaannya sangat terlatih. Waktunya habis untuk menghafal Al-Qur‟an
beserta tajwid dan qiraatnya. Juga digunakan untuk mendalami berbagai
disiplin ilmu agama, termasuk fikih bermadzhab maliki. Fase ini
berlangsung sekitar 20 tahun, mulai tahun 732 H sampai 751 H.
Fase kedua, berlasung sekitar 15 tahun dimulai tahun 751 H – 776
H. Pada fase ini kehidupannya habis dalam berbagai aktivitas politik.
Beliau berhijrah dari satu daerah ke daerah lainnya, seperti Maghrib Al-
Adna, Al-Ausath, dan Al-Aqsa juga sebagian wilayah Andalusia. Sifat
oportunis Ibnu Khaldun muncul pada masa ini. Selain itu, ketajaman
analisa politik dan sosiologi pun juga terasah.
30
Fase ketiga, berlangsung sekitar 8 tahun, mulai tahun 776 H – 784
H. Fase ini adalah fase kontemplasi. Setengahnya habis di Qal‟ah Ibnu
Salamah, dan setengah selanjutnya dihabiskan di Tunis. Pada masa inilah
magnum opus-nya yang berjudul “Kitâb Al-Ibar wa Dîwân Al-Mubtada‟ wa
Al-Khabar, fi Ayyâm Al-Arab wa Al-Ajam wa Al-Barbar, Wa Man
Âsharahum min dzi Al-Sulthân Al-Akbar ” ditulis. Kitab ini terdiri dari 7 jilid,
jilid pertama dari kitab inilah yang disebut sebagai Kitab Mukaddimah Ibnu
Khaldun.
Fase keempat, adalah masa mengajar dan menjadi Qadhi di Mesir.
Masa ini berlangsung selama 24 tahun. Sejak tahun 784 H – akhir 808 H.
Sebagai seorang filosof Muslim, pemikiran Ibnu Khaldun sangatlah
rasional dan banyak berpegang kepada logika. Hal ini sangat
dimungkinkan karena Ibnu Khaldun pernah belajar filsafat pada masa
mudanya. Tokoh yang paling dominan mempengaruhi pemikiran filsafat
Ibnu Khaldun adalah al-Ghazali ( 1058-1111 M). Lebih dari itu, posisi Ibnu
Khaldun sebagai seorang filosof nampaknya mendukung posisinya
sebagai seorang ilmuwan. Selain bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang
yang rasionalis, ia juga seorang yang empiris. Ibnu Khaldun telah berhasil
memadukan antara metode deduksi dengan metode induksi dalam
pengetahuan Islam.
B. Aspek Ontologis Pemikiran Sejarah Kritis Ibnu Khaldun
Pembahasan ini ditekankan pada pemikiran ontologis Ibnu Khaldun
tentang sejarah. Aspek ontologis keilmuan biasanya mempermasalahkan
apa yang dikaji oleh sebuah ilmu pengetahuan. What is history? Inilah
pertanyaan pertama yang dikemukakan Edward Hallet Carr ketika
memulai kajiannya tentang sejarah. Pertanyaan ini memang perlu
dikemukakan mengingat bahwa sebelum mengkaji lebih jauh tentang
sejarah, terlebih dahulu hendaknya diketahui apa itu sejarah. Definisi
sejarah yang ditawarkan para ahli begitu banyak. Sehingga tidak pernah
31
ada orang yang menghitung dan mengadakan klasifikasi tentangnya, agar
ditemukan kesepakatan.
Istilah sejarah berasal dari kata Arab “syajarah” yang berarti “pohon”.
Pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa
“sejarah” setidaknya dalam pandangan orang pertama yang
menggunakan kata ini, menyangkut tentang, antara lain, syajarah al nasab
, pohon gencologis yang dalam masa sekarang agaknya bias disebut
“sejarah keluarga” (family history). Atau boleh jadi juga karena kata kerja
syajara juga punya arti “to happen”, “to occur” dan “to develop”. Tetapi
selanjutnya, “sejarah” dipahami mempunyai makna yang sama dengan
tarikh (arab), istoria (Yunani), history (Inggris), geschiedenis (Belanda)
atau gescichte (Jerman), yangs secara sederhana berarti kejadian-
kejadian yang menyangkut manusia di masa silam.
Dalam hal ini untuk mencari pengertian sejarah menurut Ibnu
Khaldun, disini akan dikemukakan beberapa ungkapan Ibnu Khaldun
seperti tertera dalam al- Muqaddimah:
Pertama: “ Sesungguhnya fann al-tarikh itu termasuk salah satu fann
dimana bangsa-bangsa dan generasi-generasi bergiliran tangan
mempelajarinya. Dipersiapkan berbagai kendaraan dan banyak perjalanan
untuk keperluan sejarah. Pada sisi batinnya sejarah itu mengandung
penalaran kritis (nazhar) dan usaha mencari kebenaran (tahqiq);
keterangan mendalam tentang sebab-sebab dan asal-usul segala
sesuatu; suatu pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan mengapa
peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu, sejarah berakar dalam dan dipandang
sebagai bagian dari hikmah (filsafat)”.
Kedua: “ketahuilah bahwa sesungguhnya fann al-tarikh itu
merupakan fann yang memiliki metode (mazhab) yang berharga, banyak
faedahnya dan mulai tujuannya. Fann al-tarikh dapat memberitahukan
kepada kita hal-ihwal bangsa-bangsa terdahulu yang terefleksi dalam
prilakunya. Fann al-tarikh juga membuat kita paham tentang biografi para
nabi, Negara-negara serta kebijakan para raja”.
32
Ketiga: “ ketahuilah bahwa hakikat tarikh adalah berita tentang
komunitas manusia (al-ijtima‟ al-insani). Tarikh identik dengan peradaban
dunia yang mencakup; perubahan watak peradaban seperti keliaran,
keramahatamahan dan solidaritas golongan („ashabiyyah); mencakup
pemberontakan sebagian manusia atas sebagian yang lain dan akibat
yang ditimbulkannya seperti berdirinya kerajaan dan Negara-negara
dengan berbagai tingkatannya; mencakup kegiatan dan kedudukan
manusia, baik dalam mencapai penghidupannya maupun ilmu
pengetahuan dan pertukangan. Pada umumnya, tarikh mencakup segala
perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu
sendiri”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fann al-tarikh berarti
penerapan tentang teori-teori rekaman peristiwa masa lalu melalui metode
sejarah. Pengertian ini secara hermeneutis dalam persepektif ilmu sejarah
lebih mendekati kepada pengertian historiografi.
Fann al-Tarikh dalam pandangan Ibnu Khaldun mengandung dua
pemahaman, yaitu luar dan dalam. Sejarah pada sisi luarnya tidak lebih
dari sekedar berita tentang masa lalu. Sejarah pada sisi ini hanya
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer yang berkaitan
dengan “apa, siapa, kapan” dan “dimana” peristiwa itu terjadi. Keempat
pertanyaan ini memang merupakan hal pertama yang dipermasalahkan
sejarawan untuk menentukan sebuah peristiwa atau event.
Dengan hanya menjawab empat pertanyaan ini adalah logis apabila
Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa antara kaum terpelajar dan bukan
terpelajar memiliki kadar yang sama dalam memahami sejarah pada sisi
luarnya. Dalam konteks kekinian, memahami sejarah hanya pada sisi
luarnya disebut dengan sejarah naratif (narrative history). Sejarah naratif
hanya berusaha melihat fakta historis sebagai suatu rangkaian data yang
dapat berbicara atau dengan istilah lain sebagai a story that told.
33
C. Objek dan Hukum-Hukum sejarah Menurut Ibnu Khaldun
Menurut Ibnu Khaldun, tarikh mencakup segala perubahan yang
terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri. Sejarah
dalam pandangannya adalah berdimensi makro, yaitu lingkup historis
yang luas cakupannya. Hal ini berakar pada pemikirannya yang
menyatakan bahwa peradaban umat manusia dan masyarakat umat
manusia, serta gejala-gejala dan kondisi-kondisi yang melekat pada
hakekat peradaban merupakan fokus ajaran Ibnu Khaldun dalam studi
sejarahnya. Ini berarti bahwa unit sejarah dalam pandangan Ibnu Khaldun
adalah keseluruhan umat manusia (mankind as whole).
Dari pernyataan Ibnu Khaldun dapat dikatakan bahwa sejarah dalam
gambaran Ibnu Khaldun itu merupakan suatu proses perubahan secara
evolutif suatu dinasti dari peradaban mengembara (badawah) dan hidup
dalam kekasaran menjadi peradaban menetap (hadharah) dan hidup
dalam kemewahan. Kemudian dinasti itu akan mengalami kehancuran
yang mengimplikasikan munculnya dinasti baru. Dinasti baru ini bukanlah
seratus persen baru, sebab ia mengambil bentuk sintesa dengan
mempertahankan sebagian kebiasaan para pendahulunya. Satu hal yang
membuat sebuah dinasti dapat mempertahankan kekuasaannya adalah
kekuatan „alshabiyyah, yaitu suatu istilah yang digunakan Ibnu Khaldun
untuk menerangkan hakekat dan watak masyarakat dalam kebudayaan
primitif. Dengan demikian sejarah itu mengambil bentuk spiral dengan
coral dialektis. Ia akan mengalami suatu proses siklus menuju evolusi dan
progress, sehingga membentuk spiral. Akan tetapi, oleh karena
kehancuran sebuah dinasti berarti berdirinya dinasti baru, maka sejarah
mengambil corak yang dialektis.
Dari ungkapan-ungkapan Ibnu Khaldun dapat dikatakan bahwa
segala yang terjadi dalam panggung sejarah itu mengikuti hukum
kausalitas (sebab-akibat). Hal ini menandakan bahwa Ibnu Khaldun
menolak hukum aksiden dalam sejarah. Hukum aksiden menyatakan
bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dianggap sebagai kenyataan yang
34
terjadi secara kebetulan. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, tidak ada istilah
kebetulan dalam peristiwa sejarah. Semuanya terjadi semata-mata karena
adanya sebab dan akibat. Selain itu, satu hal yang pasti bagi hukum
sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah masalah perubahan (change). Ia
berkata:
“Dunia dan bangsa-bangsa dengan segala kebiasaan dan sistem
kehidupannya tidaklah terus-menerus dalam satu keadaan dan cara yang
konstan. Semuanya ditentukan oleh perbedaan-perbedaan menurut hari-
hari dan periode-periode, serta oleh perpindahan dari satu keadaan
kepada keadaan lainnya. Individu-individu, waktu-waktu dan kota-kota
mengalami perubahan, maka demikian juga daerah-daerah iklim, distrik-
distrik, periode-periode dan negara-negara mengalami perubahan, karena
memang demikianlah hukum yang ditentukan Allah untuk Makhluk-Nya”.
Pernyatan Ibnu Khaldun tersebut mengandung arti bahwa
perubahan bagi sejarah merupakan hukum yang dianggap sebagai suatu
keharusan (necessity).
D. Guna Sejarah Menurut Ibnu Khaldun
Apa sebenarnya manfaat atau guna sejarah bagi manusia? Dalam
hal ini Ibnu Khaldun menyatakan bahwa seorang sejarawan “harus
membandingkan kesamaan-kesamaan atau membedakan keadaan-
keadaan antara masa kini dengan masa lampau. Pernyataan ini
membuktikan bahwa Ibnu Khaldun memiliki perspektif historis yang dapat
digunakan untuk meramalkan masa depan. Perspektif ini oleh Sartono
disebut sebagai “equation”, yaitu upaya memahami perkembangan
sejarah dengan melihat faktor-faktor sosial yang memiliki persamaan
sebagai alat analisa untuk membuat semacam proyeksi ke masa depan.
Pandangan Ibnu Khaldun yang berusaha menganalogkan masa kini
dengan masa lampau merupakan pandangan futuristik yang berguna
35
untuk meramalkan masa depan dengan melihat kecenderungan-
kecenderungan yang terjadi. Apabila masa kini dapat dianalogkan dengan
masa lampau, maka “sejarah membuat kita mengerti tentang hal-ihwal
bangsa-bangsa terdahulu yang terefleksi dalam perilakunya dan membuat
kita mengerti tentang biografi (sirah) para nabi, serta kebijakan para raja
bagi negaranya. Hal ini membuat sempurna faidah al-iqtida bagi orang-
orang yang ingin mempraktekkannya dalam kehidupan agama dan dunia.
Sejarah dalam pandangan Ibnu Khaldun adalah sebagai cara untuk
mengetahui masa lampau. Pengetahuan masa lampau melalui sejarah
seperti ini, menurut Kuntowijoyo, merupakan manfaat sejarah yang
bersifat intrinsik, artinya sejarah hanya berguna bagi dirinya sendiri. Ibnu
Khaldun dalam hal ini tidak menyebutkan guna sejarah secara ekstrinsik.
Mekipun demikian, seandainya sejarah tidak ada gunanya secara
ekstrinsik, yang berarti tidak ada sumbangannya bagi luar dirinya, maka
cukuplah sejarah itu berguna dengan nilai-nilai intrinsiknya.
36
Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Khaldun
37
AL-GHAZALI
Oleh: Lilis Intan Agustina
A. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama asli Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i, lahir pada tahun 1058 M(450 Hijrah) di
Bandat Thus, Propinsi Khurasan, Persia (Iran), Thus. Beliau adalah
seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di
dunia Barat abad Pertengahan. Gelar Al-Ghazali didapat dari ayahnya
yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya
yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi'i
menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.
Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-
cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam
Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang
terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan
kemajuan manusia. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib
Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad.
Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah
bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan
di tempat kelahirannya.
Imam Al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak
berhujjah. Beliau digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut.
Beliau sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah
yang merupakan pusat kebesaran Islam.
Beliau berjaya mengusai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam
Al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Beliau juga sanggup
meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan
mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu
pengetahuan. Sebelum beliau melakukan pengembaraan, beliau telah
38
mempelajari karaya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid
Busthami.
Imam al-Ghazali telah mengembara selama sepuluh tahun. Beliau
telah mengunjungi tempat-tempat suci yang bertaburan di daerah Islam
yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Beliau terkenal
sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa
melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil beliau telah
dididik dengan akhlak yang mulia.
Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah,
sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Beliau sangat kuat
beribadat, wara, zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan.
Kemegahan, dan kepuran-puraan dan mencari sesuatu untuk mendapat
keridhaan dari Allah SWT. Beliau mempunyai keahlian dalam pelbagai
bidang ilmu terutamanya Fiqih, Usul fiqih, dan Siyasah Syariah. Oleh
karena itu, beliau disebut sebagai seorang Faqih.
Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari
beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang
diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab
dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap
ilmu, beliau mula mempelajari ilmu Ushuluddin, ilmu Mantiq, Usul Fiqih,
Filsafat, dan mempelajari segala pendapat ke empat mazhab hingga
mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas
itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam
bidang ilmu Fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di
Naisabur.
Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah
dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas
yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah.
Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Beliau telah
mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan
Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami
39
ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis
kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada
masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
B. Karya karya buku Al Ghazali
1. Teologi
a. Al-Munqidh min adh-Dhalal
b. Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
c. Al-Risalah al-Qudsiyyah
d. Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
e. Mizan al-Amal
f. Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah.
2. Tasawuf
a. Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama, merupakan
karyanya yang terkenal
b. Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
c. Misykah al-Anwar
3. Filsafat
a. Maqasid al-Falasifah
b. Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-
kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi
oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut
4. Fiqih
a. Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul Logika
b. Mi`yar al-Ilm
c. al-Qistas al-Mustaqim
d. Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq
40
C. Konsep Pemikiran Al-Ghazali
Konsep pendidikan Al-Ghazali dapat diketahui dengan cara
memahami pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang
berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, etika guru, dan
etika murid, metode.
1. Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali
Seorang guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan
baik, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan
selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, dan lainnya. Dari
hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas
bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua,
pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka
sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari
pendidikan. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa
mengabaikan masalah duniawi.
Akan tetapi, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri
spesifik pendidikan Islam dengan mengutamakan pada sisi keruhanian.
Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak
tasawuf. Maka tidak salah bila sasaran pendidikan adalah kesempurnaan
insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai
pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui
jalur ilmu.
Keutamaan itu yang akan membuat bahagia di dunia dan
mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di akhirat kelak. Oleh
karena itu, menguasai ilmu bagi beliau termasuk tujuan pendidikan,
mengingat kandungan nilai serta kenikmatan yang diperoleh manusia
darinya.
41
2. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu
seperanngkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik.
Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya
mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut
pandang.
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ilmu tercela yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia
maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu
perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat
bagi yang memilikinya maupun orang lain dan akan meragukan
keberadaan Allah SWT.
b. Ilmu terpuji misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini
dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci bersih
dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
c. Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena
dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi
dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a. Ilmu Fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh semua orang
Muslim, yaitu ilmu Agama.
b. Ilmu Fardhu Kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk
memudahkan urusan duniawi, seperti : Ilmu Hitung, Kedokteran,
Teknik, Ilmu Pertanian dan Industri.
3. Pendidik menurut Al-Ghazali
Dalam suatu proses pendidikan adanya pendidik merupakan suatu
keharusan. Pendidik sangat berjasa dan berperan dalam suatu proses
pendidikan dan pembelajaran sehingga Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat
yang harus dimiliki pendidik diantaranya guru harus cerdas, sempurna
akal, dan baik akhlaknya; dengan kesempurnaan akal seorang guru dapat
42
memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlak yang
baik dia dapat memberi contoh dan teladan bagi muridnya.
Menurut Al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar selain
harus cerdas dan sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya.
Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan
secara mendalam, dengan akhlaknya dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan
tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum di atas pendidik kendaknya juga memiliki
sifat-sifat khusus dan tugas-tugas tertentu diantaranya:
a. Sifat kasih sayang.
b. Mengajar dengan ikhlas dan tidak mengharapkan upah dari
muridnya.
c. Menggunakan bahasa yang halus ketika mengajar.
d. Mengarahkan murid pada sesuatu yang sesuai dengan minat,
bakat, dan kemampuan siswa.
e. Menghargai pendapat dan kemampuan orang lain.
f. Mengetahui dan menghargai perbedaan potensi yang dimiliki
murid.
4. Peserta Didik Menurut Al-Ghazali
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali
menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali
potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan
oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat
dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam.
Ketika menjelaskan makna pendidikan kepada umat, Al-Ghazali
membagi manusia menjadi tiga golongan yang sekaligus menunjukkan
keharusan menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda pula,
yaitu:
43
a. Kaum awam, yaitu orang yang cara berfikirnya sederhana
sekali. Dengan cara berfikir tersebut mereka tidak dapat
mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat
lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi
dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.
b. Kaum pilihan, yaitu orang yang akalnya tajam dengan cara
berfikir yang mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut harus
dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat.
c. Kaum pendebat (ahl al jidal), harus dihadapi dengan sikap
mematahkan argumen-argumen mereka.
Menurut Al-Ghazali, ketika menuntut ilmu peserta didik memiliki
tugas dan kewajiban, yaitu:
a. Mendahulukan kesucian jiwa.
b. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
c. Jangan menyombongkan ilmunya apalagi menentang guru.
d. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Dengan tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta
didik mampu untuk menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
5. Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Perhatian Al-Ghazali terhadap metode pengajaran lebih dikhususkan
bagi pengajaran pendidikan agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah
mencontohkan suatu metode keteladanan bagi mental anak-anak,
pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri
mereka. Metode pengajaran menurut Al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua
bagian antara pendidikan agama dan pendidikan akhlak.
Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya
dimulai dengan hapalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan
keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan
keterengan-keterangan yang menguatkan akidah.
44
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai
diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin. Sebab dalam tahun-tahun
tersebut, seorang anak mempunyai persiapan menerima kepercayaan
agama semata-mata dengan mengimankan saja dan tidak dituntut untuk
mencari dalilnya. Sementara itu berkaitan dengan pendidikan akhlak,
pengajaran harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Al-
Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah suatu sikap yang mengakar di
dalam jiwa yang akan melahirkan berbagai perbuatan baik dengan mudah
dan gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan.
Selanjutnya, prinsip metodologi pendidikan modern selalu
menunjukan aspek ganda. Suatu aspek menunjukan proses anak belajar
dan aspek lainnya menunjukan aspek guru mengajar dan mendidik.
a. Asas-asas metode belajar
1) Memusatkan perhatian sepenuhnya.
2) Mengetahui tujuan ilmu pengetahuan yang akan dipelajari.
3) Mempelajari ilmu pengetahuan dari yang sederhana menuju
yang komplek.
4) Mempelajari ilmu pengetahuan dengan sistematika
pembahasan.
b. Asas-asas metode mengajar
1) Memperhatikan tingkat daya pikir anak.
2) Menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya.
3) Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang konkrit kepada yang
abstrak.
4) Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan berangsur-angsur.
c. Asas metode mendidik
1) Memberikan latihan-latihan.
2) Memberikan pengertian dan nasihat-nasihat.
3) Melindungi anak dari pergaulan yang buruk.
45
D. Relevansi Pemikiran Al-Ghazali dengan Prosesi Pendidikan Era
Modern
1. Tujuan Pendidikan Islam
Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas
bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:
a. Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah dan,
b. Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia
akhirat.
Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang
meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup
manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia didunia
dan akhirat kelak.
Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-
Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang
melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2. Materi Pendidikan Islam
Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan
menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai
dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum
tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang
bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang
pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang
dan tingkatan anak didik.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan
pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan
dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara
umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak
diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang
dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel
46
umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini
sudah tidak ada.
Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang
pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali
tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada
ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara
umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali
merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu
pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3. Metode pendidikan Islam
Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode
barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-
karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya
dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan
keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan
keterangan yang menunjang penguatan akidah.
Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan
pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah
perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid.
Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep
pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini
mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau
rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing
akal.
Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya
dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan
diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya
dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan
lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai
pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan
47
Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin
dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi
yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat
sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan
koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa
kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh
imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia
global.
48
REFERENSI
http://harismasuci.blogspot.co.id/2009/04/biografi-singkat-imam-al-ghazali.html?m=1
http://amadanwar.blogspot.co.id/2012/05/konsep-pendidikan-islam-menurut-
al.html?m=1
http://tugasekol.blogspot.com/2015/11/relevansi-pemikiran-al-ghazali-dengan-prosesi-
pendidikan-era-modern.html?m=1
49
MUHAMMAD ABDUH
Oleh: Esti Wahyuni & Melisa Gusti Ayu
A. Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memiliki nama legkap Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah, ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-
Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M.
Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah, beliau adalah
seorang petani keturunan Turki, sedangkan ibunya adalah keturunan
Arab. Masa pendidikan ditempuh Muhammad Abduh di Thanta, sebuah
lembaga pendidikan Masjid Ahmadi. Di tempat tersebut ia belajar bahasa
Arab, Nahu, Sarf, Fiqih dan sebagainya.
Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain adalah
metode hapalan diluar kepala tanpa pengertian, sehingga membuat
Muhammad Abduh merasa tidak puas dengan metode pengajaran yang
diterapkan. Rasa kecewa akan apa yang ada di Thanta membuat
Muhammad Abduh memutuskan untuk menuntut ilmu di Al-Azhar. Namun
kekecewaan kembali ia dapat saat mengetahui bahwa metode yang
digunakan sama dengan apa yang digunakan di Thanta.
Selain itu, pelajaran yang ia dapat di Al-Azhar hanya seputar agama.
Keputusasaan mulai ia rasakan hingga ia bertemu dengan Sayyid
Jamaludin Al-.Afghani yang datang ke Mesir pada masa itu.
B. Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pendidikan Islam
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang menjadi prioritas utama
Muhamad Abduh berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan
berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran
barat. Tipe pertama adalah sekolah tradisional, sedangkan tipe kedua
adalah sekolah-sekolah modern yang didirikan pemerintah Mesir oleh para
misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tersebut tidak
mempunyai hubungan sama sekali dan masing-masing berdiri sendiri.
50
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada
munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang
pertama melahirkan para ulama dan tokoh masyarakat yang
mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas
elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari
barat tanpa melakukan filterisasi.
Muhamad Abduh melihat adanya segi-segi negatif dari kedua bentuk
pemikiran itu. Ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap
dipertahankan, maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan
semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. Semetara pola fikir yang
kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka
serap dari barat tanpa nilai religius merupakan bahaya yang mengancam
sendi agama dan moral.
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan
perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pendidikan
tersebut akan saling menopang demi mencapai suatu kemajuan serta
upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga
pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Langkah yang ditempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir
kesenjangan dualisme pendidikan tersebut adalah upaya menselaraskan
dan menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran
umum. Muhammad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk
memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
1. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhammad Abduh
menetapkan tujuan pendidikan Islam yang di rumuskan sendiri yakni:
Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikan batas-batas kemungkinan
seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan
kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang
51
buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhammad Abduh
berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu
dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat
melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, tetapi juga
memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa
yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup
aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual). Jadi adanya
keseimbangan antara akal dan spiritual. Pendidikan akal ditujukan
sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat
membedakan yang baik dan yang buruk antara membawa kemaslahatan
dan kemudaratan. Dengan hal ini, Muhammad Abduh berharap
kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat
terkikis.
Bagi Muhammad Abduh, perbuatan manusia bertolak dari konklusi
bahwa manusia adalah makhluk yang bebas memilih perbuatan.
Muhammad Abduh menjelaskan bahwa yang mendukung suatu perbuatan
manusia adalah akal, kemauan dan daya. Penggabungan dengan tujuan
spiritual (afektif), diharapkan dapat melahirkan generasi baru yang
berintelektual tinggi, berpikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia
dan berjiwa bersih. Sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan
moral dapat terhapuskan.
Menurut Abduh, apabila kedua aspek tersebut dididik dan
dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan
akhlak agama, maka umat Islam akan bangkit dan dapat berpacu serta
dapat mengimbangi bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya.
2. Metode Muhammad Abduh
Dalam bidang pendidikan, Muhammad Abduh cenderung
menggunakan metode yang didasarkan Filsafat Rasionalis. Pengaruh
gurunya (Jamaluddin) ternyata cukup besar terhadap metode
52
pembelajaran yang ia terapkan setelah menjadi seorang pendidik. Metode
yang digunakan oleh Jamaluddin adalah metode praktis („maliyyah) yang
mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi.
Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu yang umumnya
dengan metode hafalan menjadi metode rasional dan pemahaman
(insight). Disamping menghafal, siswa juga diharuskan memahami materi
yang dijelaskan guru. Muhammad Abduh juga menghidupkan kembali
metode munazharah (forum perdebatan umum yang menguji kekuatan
teori dan pandangan seseorang) dalam memahami pengetahuan dan
menjauhkan metode taklid (mengikuti pendapat orang lain) pada masa
ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa
Al- Azhar. Selain itu ia juga membuat metode yang sistematis dalam
menafsirkan Al-Qur‟an yang didasarkan pada lima prinsip:
a. Menyesuaikan peristiwa yang ada pada masanya dengan Nash
Al-Qur‟an.
b. Menjadikan Al-Qur‟an sebagai sebuah kesatuan.
c. Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat.
d. Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran.
e. Tidak melalaikan peristiwa–perisiwa sejarah untuk menafsirkan
ayat–ayat yang turun pada waktu itu.
3. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam yang Integral
Disamping pendidikan akal, Muhammad Abduh juga mementingkan
pendidikan spiritual agar lahir generasi yang mampu berfikir dan punya
akhlak yang mulia serta jiwa yang bersih. Tujuan pedidikan yang demikian
ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai
ke tingkat atas. Kurikulum tersebut sebagai berikut
a. Kurikulum Al-Azhar
Karir Muhammad Abduh dimulai setelah ia menamatkan
kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya,
53
Ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, disamping
itu menjadi dosen pula pada Universitas Al-Azhar. Ia terus
mengadakan perubahan-perubahan yang terbilang radikal sesuai
dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara baru yang segar pada
perguruan-perguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan
metode-metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman,
mengembangkan kesastraan Arab sehingga menjadi bahasa yang
kaya dan hidup, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan
fanatik.
Dalam mengajar, Muhammad Abduh menekankan kepada
mahasiswanya untuk berpikiran kritis, rasional dan tidak harus terikat
kepada suatu pendapat, serta menjauhi paham fatalisme, karena
ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam yang menjadi penyebab
kemunduran umat, kelemahan umat, absennya jihad umat, absennya
kemajuan kultur umat dan tercabutnya umat dari norma-norma dasar
pendidikan Islam
Ia menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap
pelajaran yang diberikan. Ia memperingatkan para pendidik untuk
tidak mengajar murid dengan metode menghafal, karena metode
demikian hanya akan merusak daya nalar, seperti yang dialaminya
ketika belajar di sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thanta.
Krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut terjadi
pada saat itu. Salah satu penyebab dari krisis tersebut adalah
dikarenakan adanya dikotomi Ilmu Pengetahuan pada saat itu,
sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural maupun
peradaban. Begitupun yang terjadi di Al-Azhar, Muhammad Abduh
yakin bahwa apabila pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, maka
kondisi umat Islam akan ikut baik. Menurutnya perlu diadakan
pembenahan administrasi, kurikulumnya diperluas, mencakup ilmu-
ilmu modern, sehinnga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan
54
universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan
pelita bagi kaum muslimin.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-
Azhar antara lain:
a) Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa
kedalam Al-Azhar.
b) Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu
dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan
penalaran.
c) Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum
mengarah ke taqlid.
d) Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti
larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh
(penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada
mahasiswa untuk empat tahun pertama.
e) Masa belajar diperpanjang dan memperpendek masa liburan.
b. Sekolah Dasar Negeri
Muhammad Abduh berpendapat bahwa agama adalah dasar
pembentuk jiwa dan pribadi seorang manusia. Maka dari itu
hendaknya mata pelajaran agama diajarkan sedini mungkin pada
anak sejak mereka duduk di bangku SD. Mengacu pada statement
bahwa agama Islam adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi
seorang muslim, diharapkan dengan memiliki jiwa kepribadian
seorang muslim, maka masyarakat Mesir akan mempunyai jiwa
kebersamaan dan nasionalisme yang dapat mengantarkan
masyarakat mesir memperoleh kemajuan dalam kehidupan
berbangsa.
55
c. Sekolah Tingkat Atas
Salah satu upaya memperbaiki pendidikan di Mesir adalah
dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk mencetak
ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan,
perindustrian, dan sebagainya. Pada jenjang ini, Muhammad Abduh
merasa perlu menambahkan materi–materi yang berhubungan
dengan agama islam. Dengan adanya materi tentang agama,
diharapkan para calon pegawai dan perwira militer memiliki bekal
agama dan moral yang baik.
Ketiga jenis sekolah yang dibentuk Muhammad Abduh bukan
bertujuan menciptakan kelompok sosial secara eksklusif, melainkan
memiliki tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat. Prinsip
yang diterapkan Muhammad Abduh adalah perlunya mendasari
pendidikan dengan moral dan agama. Pengajaran diperlukan untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik, sedangkan pendidikan
dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan suatu
perubahan.
Diantara konsentrasi pembaharuan pendidikan Muhammad
Abduh juga adalah tentang pendidikan perempuan. Menurutnya,
perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam
menerima layanan pendidikan. Wanita harus dilepaskan dari rantai
kebodohan maka dari itu perlu diberikan pendidikan. Dalam
mengangkat harkat martabat perempuan, munurutnya ada beberapa
hal yang harus diperjuangkan pembelajaran untuk perempuan yaitu
mempersempit talak, dan pelarangan poligami. Semua pemikiran
Muhammad Abduh tentang perempuan tertuang dan dikembangkan
dalam Tahrir Al-Mar'ah karya muridnya yaitu Qosim Amin.
Dalam bidang pendidikan nonformal, Muhammad Abduh
menyebutkan usaha perbaikan (islah), dalam hal ini Muhammad
Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam
hal mempersiapkan para pendakwah.
56
Pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh
dipengaruhi oleh faktor situasi keagamaan dan situasi pendidikan
yang terjadi pada masa itu. Keadaan social keagamaan di Mesir
saat itu cukup memprihatinkan. Krisis yang menimpa umat bukan
hanya dalam bidang akidah dan syariah, tapi juga akhlak dan moral.
Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan yang ada pada saat itu.
Pembaruan bidang pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad
Abduh di Al-Azhar ternyata juga berpengaruh besar pada institusi
pendidikan yang ada di Mesir, bahkan ide pembaharuannya ditulis
dan disebarkan pula melalui majalah terkenal di Mesir, yaitu Al-
Manar dan Al-Urwat Al- Wusqa.
Muhammad Abduh berusaha membuat kurikulum yang sesuai
dengan apa yang dibutuhkan masyarakat mesir pada saat itu. Ia
berpendapat bahwa sekolah khusus yang mendidik para ulama
hendaknya diberi mata pelajaran yang luas, sehingga Ia
memasukkan beberapa ilmu tambahan pada kurikuluum Al-Azhar,
antara lain Ilmu Filsafat, Logika, dan Ilmu Pengetahuan Modern. Hal
ini ia maksud untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas, yakni para ulama yang modern.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh,
meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal.
Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan
Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar disebabkan
mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada
tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.
C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh
dengan Pendidikan Nasional
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor
pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan
Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
57
terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan
takwa.
Sumbangsi pemikiran Muhammad Abduh tentang metode
pengajaran relevan dengan pendidikan Indonesia, hal itu dapat dilihat
disekolah–sekolah yang tersebar di Indonesia. Metode yang digunakan
dalam proses belajar mengajar tidak selalu metode menghapal. Guru
berusaha menyajikan metode–metode yang dapat dipahami anak didik
dengan mudah, antara lain metode diskusi, kuis, maupun praktek.
Jika dilihat dari segi konsep, pendidikan yang dikeluarkan
Muhammad Abduh menurut penulis merasa kurang relevan dengan
keadaan di Indonesia saat ini. Muhammad Abduh ingin menggabungkan
antara kecerdasan generasi muda yang tidak lepas dari tuntunan Islam,
meski di Indonesia sekarang ini sudah ada beberapa sekolah yang
menggunakan pemikiran beliau, namun masih banyak sekolah–sekolah
umum yang kurang mementingkan pelajaran agama (terutama Islam). Hal
tersebut bisa jadi karena keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk,
dimana terdapat bermacam – macam perbedaan, salah satunya adalah
masalah agama.
58
MUHAMMAD ATHIYAH AL-ABRASYI
Oleh : Nurhasanah & Nur Laini
A. Biografi Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi adalah seorang tokoh pendidikan
yang hidup pada masa pemerintahan pada Abd. Nasser yang memerintah
Mesir pada tahun 1954-1970.
Beliau adalah satu dari sederetan nama yang tidak boleh dilupakan
oleh para cendekiawan Arab dan muslimin. Beliau adalah penulis tentang
pendidikan keislaman dan pemikiran, umurnya yang mendekati 85 tahun
akan selalu terasa pengaruhnya bagi generasi sesudahnya.
Beliau dilahirkan pada awal April tahun 1897 dan wafat pada
tangga17 Juli 1981. Beliau memperoleh gelar Diploma dari Universitas
Darul Ulum tahun 1921, dan tahun 1924 beliau terbang ke Inggris, disana
beliau mempelajari ilmu pendidikan, psikologi, sejarah pendidikan,
kesehatan jiwa, bahasa Inggris berikut sastranya.
Pada tahun 1927beliau memperoleh gelar sarjana pendidikan dan
psikologi dari Universitas Ekstar, dan pada tahun 1930 beliau berhasil
menggondol dua gelar sarjana bahasa, masing-masing adalah bahasa
Suryani dari Universitas kerajaan di London, dan bahasa Ibrani dari
Lembaga Bahasa Timur di London.
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi adalah seorang sarjana yang telah
lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir yang merupakan
pusat ilmu pengetahuan Islam, sekaligus sebagai guru besar pada
Fakultas Darul Ulum Cairo Univercity, Cairo. Sebagai guru besar, beliau
secara sistematis telah menguraikan pendidikan Islam dari zaman ke
zaman serta mengadakan komparasi di bidang pendidikan mengenai
prinsip, metode, kurikulum dan sistem pendidikan modern di dunia Barat
pada abad ke-20 ini.
59
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi adalah seorang ulama, cendekiawan
yang telah mendalami agama Islam dengan baik, menguasai beberapa
bahasa asing, seorang psikolog dan pendidik jebolan London, penulis
yang produktif dan seorang guru besar. Sebagai salah seorang dari
sekian banyak ilmuan muslim yang sangat produktif mencetuskan
gagasan dan ide menuju perbaikan dan peningkatan kualitas umat islam
pada era sekarang ini dengan menawarkan konsep-konsep dasar bagi
pendidikan islam yang merupakan hasil dari sari pati dari nilai ajaran al-
Qur‟an dan al-Hadits yang di galinya
Sesuai dengan keahliannya, beliau telah menjelaskan tentang posisi
Islam mengenai ilmu, pendidikan dan al-Hadits, serta menjelaskan pula
tentang fungsi masjid, institut, lembaga-lembaga, perpustakaan, seminar,
dan gedung-gedung pertemuan dalam dunia pendidikan Islam dari zaman
keemasannya sampai pada kita sekarang ini
Seperti diketahui pada zaman kejayaan Islam, Negeri Mesir dikenal
sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan disamping Baghdad,
Damaskus, Cordova dan lain-lain. Tetapi kemudian ketika dunia islam
mengalami kemunduran, Mesirpun turut merasakannya, lebih-lebih
setelah negeri ini berturut-turut dijajah Prancis dan Inggris.
Akibatnya Mesir mengalami kemunduran di bidang pemikiran pada
umumnya dan pendidikan pada khususnya. Di dorong kenyataan pahit
inilah MuhammadAthiyah al-Abrasyi mencoba kembali menggali nilai-nilai
dan unsur-unsur pembaharuan yang terpendam dalam khazanah
perkembangan pendidikan Islam dimasa jayanya. Ia mencoba mencari titik
persamaan dasar pendidikan islam dan pendidikanmodern.
Latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui beliau
merupakan modal dasar bagi beliau untuk berkiprah sebagai salah
seorang di antara pembaharu di Mesir dan dunia islam, mengingat umat
dan masyarakat yang dihadapinya sedang bangkit dan berkembang ke
arah kemajuan.
60
Keberhasilan pendidikan islam dari semula sampai dimasa jayanya
menurut beliau dapat dibuktikan dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan
besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Kindi, Ibnu Khaldun dan Ibnu
Maskawaih. Pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasyi tentang pendidikan
islam banyak dipengaruhi oleh dan dari rangkuman, saduran,
pemahaman, dan pemikiran serta pendidik muslim sebelumnya yang di
telusurinya dengan baik terutama pemahaman secara filosofis. Beliau
cenderung menjadikan Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Khaldun sebagai
narasumber.
B. Prinsip dan Tujuan Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. M.
Athiyah Al- Abrasyi
1. Prinsip Pendidikan
a) Kebebasan dan demokrasi dalam pendidikan
Metode pendidikan dan pengajaran dalam rangka pendidikan
Islam sangat banyak terpengaruh oleh prinsip kebebasan dan
demokrasi. Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan
kesempatan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan
yang mudah untuk belajar bagi semua orang. Pintu masjid dan
institut terbuka bagi anak didik yang ada dalam masyarakat tanpa
adanya perbedaan antara yang kaya dan yang miskin serta tinggi
rendahnya kedudukan sosial anak didik dalam masyarakat. Oleh
karena itu, didalam Islam tidak ada kelebihan antara orang Arab
dengan yang bukan Arab, kecuali ketakwaannya.
Maka dari itu, untuk belajar pendidikan Islam, anak didik tidak
terikat pada batas umur tertentu, ijazah-ijazah atau nilai-nilai angka
dalam ujian atau peraturan khusus untuk penerimaan siswa baru.
b) Pembicaraan sesuai dengan tingkat intelektual
Prinsip ini merupakan prinsip terpenting dalam pendidikan Islam
dan termasuk prinsip terbaru dalam pendidikan modern, Al-Ghazali,
61
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi
mengutarakan bahwa:
“Seorang pendidik hendaknya membatasi dirinya dalam
berbicara dengan anak didik sesuai dengan daya pengertiannya, dan
jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh
akalnya, karena akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya
memberontak terhadapnya
Di abad modern yang serba canggih sekarang, permasalahan
kehidupan semakin rumit dan memerlukan pemecahan yang tepat
dan cepat, padahal al-Qur‟an dan al-Hadits tidak memuat
pemecahan persoalan-persoalan itu secara rinci. Al-Qur‟an hanya
bersifat global sedangkan Nabi dan wahyu tidak akan datang lagi.
Banyak hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, sekarang muncul dan
menuntut pemecahannya seperti nikah via telepon, bayi tabung dan
lain sebagainya. Semua itu menuntut pemecahan hukum yang akurat
agar umat Islam tidak bingung menghadapinya.
Terkait dengan pendidikan, maka seorang pendidik menyajikan
kepada anak didik suatu hakekat bila diketahui bahwa anak didik
sanggup memahami sendiri hakekat tersebut, yaitu dengan
penetapan setiap anak didik pada tempat yang wajar, harus
memilihkan mata pelajaran yang dapat diterimanya agar dengan
demikian berbicara dengan anak didik bisa disesuaikan dengan
akalnya, gaya yang dimengerti dan dengan bahasa yang serasi.
c) Pengaruh Pembawaan dan Instink Terhadap Pilihan
Setiap orang yang meneliti buku-buku yang ditinggalkan oleh
sarjana-sarjana Islam, akan menyaksikan pendapat mereka
mengenai instink dan cara-cara pendidikannya mengenai studi atas
kemampuan-kemampuan manusia dan hubungan dengan pendidikan
akhlak dan moral. Sarjana muslim itu berkata bahwa dalam diri
manusia terdapat:
62
1) Kemampuan untuk membedakan dan memikirkan
2) Unsur-unsur kemarahan yang mencakup sifat-sifat marah,
membantu kawan, agresif, gila kekuasaan dan penonjolan diri.
3) Unsur-unsur syahwat (hawa nafsu) yang mencakup nafsu-nafsu
mencari makan dan berbagai kelezatan –kelezatan panca
indera.
Para intelektual Islam telah lama menganjurkan agar
pembawaan, instink, dan seseorang diperhatikan dalam menuntut ke
arah bidang pekerjaan yang dipilihnya demi masa depan
kehidupannya. Dalam hal ini, Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyarankan agar menekankan
kemampuan instink anak-anak harus diperhatikan yang merupakan
landasan dalam pendidikannya. Tidak semua pekerjaan yang dicita-
citakan akan terpenuhi secara keseluruhan, hanya pekerjaan yang
sesuai dengan instink dan pembawaannya. Karena itu, kewajiban
seorang juru didik bila hendak memilihkan bidang pekerjaan untuk
anak harus memilih dahulu dan menguji, sehingga bakatnya bisa
terpenuhi sesuai dengan bidangnya.
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa Islam sangat
memperhatikan perbedaan-perbedaan individual antara anak-anak
yaitu perbedaan yang timbul akibat perbedaan keturunan,
pembawaan dan bakat dari si kecil. Hal ini terbukti dalam
penyelidikan-penyelidikan ilmu jiwa, bahwa pengekangan terhadap
kemarahan, penindasan atas hawa nafsu, ataupun penggecetan atas
instink seorang anak, akan membahayakan terhadap dirinya. Jalan
yang terbaik adalah kita tuntun ia dengan petunjuk-petunjuk,
nasehat-nasehat, pendidikan serta daya upaya lainnya sehingga
nafsu kemarahan, hawa nafsu atau instinknya yang liar itu dapat
dijinakkan dan ditundukkan.
63
d) Kecintaan terhadap pengetahuan
Setiap siswa yang cinta ilmu akan senang sekali belajar dan
menggunakan seluruh waktunya untuk melakukan penelitian,
membaca studi memecahkan problematik ilmiah, mencernakan ilmu,
bergairah dalam menggali ilmu pengetahuan dan masalah-masalah
ilmiah tanpa segan-segan bertekun siang malam mempersiapkan
pelajaran mereka buat keesokan harinya. Mereka menyerahkan
seluruh kekuatan masa muda dan hidupnya untuk menuntut ilmu
pengetahuan.
Dengan cara demikian, dikalangan muslim terdapat ulama-
ulama dan sarjana kenamaan, ahli fiqih, sastrawan, penyair dan ahli
bahasa yang telah menghasilkan karya-karya agung dan berharga
dibidang tafsir, hadits, fiqih, tauhid, balaghah, syari‟at dan
ensiklopedi-ensiklopedi bahasa, yaitu buku-buku yang merupakan
referensi yang tidak seorangpun sarjana-sarjana di Timur maupun
Barat yang sanggup menandinginy
2. TujuanPendidikan Islam
Muhammad Athiyah al-Abrasyi membagi lima (5) azas yang menjadi
sasaran tujuan pendidikan Islam, antara lain:
a) Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia
b) Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat
c) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi
kemanfaatan atau tujuan vokasional dan profesional
d) Menumbuhkan roh ilmiah (scientific sprint) pada pelajar dan
memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (curiosity) dan
memungkinkan peserta didik mengkaji ilmu sekedar sebagai
ilmu
e) Menyiapkan pelajar dari segi professional, tekhnikal, dan
pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu.
64
C. Karya-karya Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
Adapun karya-karya Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah:
1) Ruh al-Islam, Isa al- Babiel Halabi bi Sayidina Husaini, Cairo.
2) Uzmat al- Islam, jilid I dan II, Mesir, Cairo.
3) At-Tarbiyah Islamiyah,Dar al-Qoumiyah li al-Tiba‟ati wa al-
Nashir,Cairo.
4) At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
5) Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
6) Uzmat al-Rasul Muhammad SAW, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
7) Al-Ittijahat al-haditsah fi al-Tarbiyah, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.Al-
Thuruq al-Khassat al-Haditsah fi al-Tarbiyah li Tadris al-Lughat al-
Arabiyah Wadiin, Mesir.
8) At-Tufalah Sani‟atul Mustaqbal au Kaifa Nurabbi at-Falana, Mesir.
9) Al-Ilmu Shi‟ar al-Surah Thaqofyah, Al-Anglo, Mesir.
10) Ushul al-Tarbiyah Misaliah fi Emile li J. J. Rosseau, Dar al-Katib al-
Araby, Cairo.
11) J. J. Rosseau wa Waarauhu fi al-Ishlah Ijtima‟, Dar al-Katib al-Araby,
Cairo.
12) Ilmu Nafsi Tarbawi, tiga jilid, Shirqatul Qaumiyah.
13) Al-Syakhsiyah, Darul Ma‟arif, Cairo.
14) shul Tarbiyah wa Qawaid al-Tadris, Mesir.
15) Lughat al-Araby wa Kaifa Nahdlat al-Misriyah, Cairo.
16) Al-Tarbiyah wa al-Hayat.
17) Ilmu Nafsi li al-Jami‟.
18) Muskhilatu Al-Ta‟limin Ula bi Misri.
19) Min Wahyi al-Taurat, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
20) Qassasa Insaniyah li Charles Dickens, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
21) Al-Mufassil fi Lughati Suryaniyah wa Adabuha.
22) Al-Asasu fi al-Lughat al-Arabiyah.
23) Al-Adabu as-Shamiyah.
65
D. Relevasi pemikiran pendidikan Muhammad Athiyah Al Abrasi
dengan masa kini
Athiyah Al-Abrasyi mempunyai beberapa prinsip yang dapat dijadikan
pedoman dalam lembaga pendidikan islam. Yaitu:
Pertana,Berpikir bebas dan mandiri dalam belajar (Demokrasi),
maksudnya adalahpeserta didik diajarkan berpikir bebas bertujuan untuk
mengembangkanpotensi peserta didik, karena setiap manusia pasti
mempunyai keinginandan kemauan untuk berkreasi dengan bebas, tampa
adasuatu paksaan,seperti: seorang peserta didik yang disuruh oleh orang
tuanya untukmengambil jurusan A, padahal jurusan yang diinginkan
adalah jurusan B,maka keinginan peserta didik tersebut akan pupus
ditengan jalan,sedangkan yang dicita- citakan orang tuanya belum tentu
terwujud karena tidak ada semangat dalam diri anak tersebut, selain itu
peserta didik jugabebas berpikir dalam segala sesuatu yang akan
dilakukan, karena Allahmemberikan manusia akal agar belajar berpikir
lebih baik.
Kedua, Sistem belajar individual, athiyah menganggap sistem ini
adalahsalah satu dari belajar bersikap demokratis dan mandiri, yaitu
tidakbergantung dengan orang lain dalam pengembangan dirinya
terhadappotensi yang dimiliki.
Ketiga, Memperhatikan perbedaan bakat dankemampuan anak didik
dalam proses belajar mengajar, hal ini sesuaidengan UU No 20 Tahun
2003, Bab V, Pasal 12, Tentang Peserta Didikyaitu setiap peserta didik
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai denganbakat, minat, dan
kemampuan peserta didik, hal ini menunjukkan bahwamasih relevannya
pemikiran Athiyah Al-Abrasyi tentang pendidikan islam, terutama tentang
pelayanan untuk peserta didik yang mana membangunpotensinya untuk
lebih maju dan lebih baik daam memperjuangkan dirinya.
Keempat, Memperhatikan potensi dasar dari setiap anak didik, yaitu
setiappeserta didik mempunyai potensi dalam mengembangkan potensi
66
dankemampuannya, yaitu dengan latihan terus- menerus atau
mengasahpotensinya sesuai dengan bakat yang dimiliki.
Kelima, Ujian atau teskecakapan peserta didik merupakan salah satu
tes untuk memperoleh datatentang penguasaan terhadap materi yang
diajarkan, baik tes tulis maupuntes lisan, sehingga diadakan ujian atau tes
kecakapan itu. Hal tersebutsangat diperlukan untuk mengetahui
perkembangan dan kemampuanpeserta didik yaitu sebagai tolak ukur
kemampuan peserta didik.
Keenam,Berbicara (menyampaikan dan menjelaskan pelajaran)
sesuai dengan kadarkemampuan daya tangkap akal pikiran anak didik
yaitu akal seseorang itusama akan tetapi kemampuan seseorang berbeda
sesuai dengan kemauanuntuk menjunjung tinggi martabat peserta didik
tersebut. Allah tidakmenyukai sesuatu yang berlebih- lebihan seperti
maksud diatas yaituberbicara sesuai kemampuannya tampa ada gengsi.
Selain itu juga harusdiperhatikan lawan bicaranya apakah dia bisa
memahami perkataan tersebutatau atau tidak, apabila kita berbicara
dengan orang lain tidak sesuaidengan kemampuan daya tangkapnya
maka dia seperti berbicara denganpatung (tidak ada respon).
Ketujuh, Memperhatikan anak didik dengan baikdan penuh kasih
sayang. Setiap orang senang sekali apabila ada orang
yangmenyayanginya, apalagi orang yang disayangi oleh peserta didik
sendiri.
Apabila peserta didik diperlakukan dengan baik, maka dia dengan
senanghati melakukan perintahnya, karena peserta didik tersebut
mengerti ataupaham kalau orang yang menyuruhnya tidak akan
menjerumuskannyakepada kejelekan, oleh karena itu bisa dikatakan wajib
apabila menghadapipeserta didik dengan halus dan penuh dengan kasih
sayang karena merekaakan merasa terlindungi.
Kedelapan, Memperhatikan pendidikan akhlakdidik karena akhlak
merupakan gambaran bagi peserta didik, akhlah harusbenar- benar
diperhatikan, karena itu merupakan pondasi bagi kehidupanmanusia. Jika
67
mulai sejak kecil manusia tidak ditanami dengan pendidikanakhlak, maka
anak tersebut akan sering melawan terhadap apa- apa yangdiperintahkan
oleh orang tua, dan apabila sebaliknya maka dia akan patuhterhadap
perintah orang tua.
Bebeberapa karangan Athiyah Al-Abrasyi merupakanperbandingan
pada abad 20-an di dunia barat, oleh karena itu pemikiranbeliau yang
telah tertuang dalam bukunya masih sangat relevan sekalidengan
keadaan masa sekarang. Pada masa dahulu ketika beliau masih hidup
beliau ingin mencobamengembalikan keagungan islam yaitu dengan cara
pendidikan sistemmodern yang mana orang barat belum bisa
memperaktikannya. Hal itudilakukan karena seperti yang terjadi pada
masa modern ini yaitumasuknya budaya barat yang mana banyak
menimbulkan krisis di dalamkehidupan manusia, sehingga Athiyah Al-
Abrasyi memunculkan idekreatifnya yaitu ingin mengembalikan nilai- nilai
islam dengan baik danbenar dengan mengaktualisasikan lagi budaya
zaman dahulu yang masihrelevan dan mengambil dengan menyaring
budaya zaman modern. Halitulah yang merupakan salah satu dampak
masih relevannya pemikiranAthiyah Al-Abrasyi.
Tujuan Athiyah Al- Abrasyi dalam mengembangkan pendidikanislam
yaitu sangat mementingkan akhlak dan memelihara peserta didikdengan
mengembangkan potensinya, karena akhlak merupakan hakikatseseorang
dalam bertindak dan bersikap.
Dalam pemikirannya, Athiyah Al- Abrasyi dipengaruhi dan
didukungoleh Al- Ghazali dan Ibnu Sina dimana memiliki pemikiran yang
samatentang tujuan pendidikan islam, akan tetapi tujuan Pendidikan
yangdisepakati oleh tiga tokoh tersebut berbeda dengan pendapat Az-
Zarnujiyang lebih mengutamakan niat, dan Ibnu Maskawih mengutamakan
batin.Tujuan Pendidikan yang di lontarkan oleh Athiyah Al- Abrasi, Ibnu
Sina,dan Al- Ghazali berlawanan dengan pendapat Al- Qabisi yang
mengatakanbahwa tujuan pendidikan hanyalah untuk duniawi saja,
68
dimana bekerjamerupakan alat untuk memenuhi kebutuhan hidup
(ekonomi).
69
Referensi
Muhaimin. 1991.Konsep Pendidikan Islam, (Solo:Ramadhan).
Bustami A. Ghani. 1987. Jakarta: Bulan Bintang.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah....hal.129-131.
70
FAZLUR RAHMAN
Oleh : Afdila Miranda
A. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di
Hazara, suatu daerah yang sekarang terletak di barat laut Pakistan.
Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat
religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang
mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti
shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Dengan
latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar
ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun
mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan
watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur
Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih
sayang, kesetiaan, dan cinta.Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut
mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari
pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya
ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang
modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan.
Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan
keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur
Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun
dalam mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, dan melalui
ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan
keyakinan dan pembaruan Islam.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di
sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal,
Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran
tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab
71
al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi
yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di
wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman
sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis
dan tafsir.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman
kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab
sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil
mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama
gerakan neo modernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di
universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa
Arab.
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk
melanjutkan studinya di Oxford University. Selama menempuh pendidikan
di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar berbagai
bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya
ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan
berbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan
memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui
penelusuran berbagai literature.
Dan pada saat berumur 32 tahun Fazlur Rahman meraih gelar
doktornya, di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri
asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia
memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal
di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University.
Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill
University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of
Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman,
ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di
Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di
Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di
72
negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada
skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang
filsafat.
Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal
tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya
diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya,
Pakistan. Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada
Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah
berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur
Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam
(Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat
Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur
Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada
keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya
telah terkubur dalam puing-puing sejarah.
Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai
berbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman
mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang
ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai
klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang
kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam.
Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran
kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan
Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah
kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga
merupakan perkataan Muhammad saw. Akibat pernyataan-pernyataannya
tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang
tidak percaya Alquran).
Menurut Amal, kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai
pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun,
yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang
73
demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada
September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur
Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan
kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga
akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk
mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh
Ayyub Khan.
Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan
untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan
langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas
yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran,
filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism
Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan
lain-lain.
Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk
mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan
yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan.
Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas berbagai
gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di
Pakistan.
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh
kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak
dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang
terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas
Chicago.Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut
layaknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara.Dari
konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya
Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala
internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia
menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center
for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.
74
Selama kurang lebih 18 tahun menetap di Chicago, rahman telah
menampilkan sebagai pigur pemikir modern yang bertanggung jawab dan
senantiasa berfikir untuk mencari solusi-solusi dari problema yang
dihadapi islam dan umatnya. Ada sejumlah buku yang berhasil dia tulis
dan puluhan artikel lainnya yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah
internasional.Itulah sebagai peninggalnnya yang sampai kini pemikiran-
pemikirannya masih terus di kaji banyak kalangan. Pada tanggal 26 juli
1998, setelah lama terserang dibetes, Fazlur Rahma meninggal dunia.
B. Pemikiran Fazlur Rohman
Fazlur Rahman dengan segala kemampuan intelektualnya sudah
tentu tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan. Maka adalah hak kita
untuk menerima, menyetujui atau menolak seluruh atau sebagian hasil
pemikirannya untuk semua pada posisi penerimaan atau penolakan,
seorang intelektual pencari kebenaran sudah tentu akan mengumpulkan
berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran yang
di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus
memahami al-Qur‟an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di
samping Sunnah, Sejarah Islam dan lain-lain.
Di antara pemikiran Fazlur Rahman antara lain :
a. ia menegaskan bahwa al-Qur‟an bukanlah suatu karya misterius,
b. atau karya sulit yang memerlukan manusia berlatih secara teknis
untuk memahami dan menafsirkan perintah-perintahnya, di sini di
jelaskan pula prosedur yang benar untuk memahami al-Qur‟an.
c. Seseorang harus mempelajari al-Qur‟an dalam Ordo Histories untuk
mengapresiasikan tema-tema dan gagasan-gagasannya.
d. Seseorang harus mengkajikan dalam konteks latar belakang social
historisnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk ayat-ayatnya secara
individual tapi juga untuk al-Qur‟an secara keseluruhan. Tanpa
memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadai.
75
Menurut Fazlur Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah
tangkap terhadap élan dan maksud al-Qur‟an aktifitas Nabi baik di
Mekkah atau di Madinah.
Dalam karyanya Islam and Modernity 1982 Fazlur Rahman
menekankan, akan mutlak perlunya mensistematiskan materi ajaran al-
Qur‟an. Tanpa usaha ini bisa terjadi penerapan ayat-ayatnya secara
individual dan terpisah berbagai situasi akan menyesatkan.
C. Karakteristik Pemikirannya
Perlu di kemukakan bahwa konsep teologi Fazlur Rahman bukan
merupakan kajian tersendiri yang di tulis dalam suatu karya khusus, tetapi
lebih merupakan refleksi pemikiran sebgai hasil dari proses dialetika
berfikirnya. Memang dalam beberpa buku dan sejumlah artikel yang di
tulis, Rahman sering membicarakan doktrin-doktrin teologi yang pernah
dikembangkan oleh aliran-aliran terdahlu dan kemudian dia mengkritisinya
sehingga dari sinilah dapat dilacak pola-pola pemikiran teologi rahman.
Jadi karakteristik pemikiran Fazlur Rahman adalah dalam pemikiran
teologi-teologi terdahulu sejauh hal-hal yang positif harus di pertahankan
dan sebaliknya terhadap doktrin-doktrinnya yang kurang lurus dan tidak
dapat diketemukan akar-akarnya dalam ajaran Qur‟an, maka perlu
direkonstruksi. Hal demikian tidak lain mengingat sebuah sistem teologi
bisa saja secara logiskoheren, namun bisa juga sama sekali palsu
terhadap agama yang dikatakannya sebagai dirumuskannya. Dari sinilah
upaya rekonstruksiteologi dianggap penting.
Dan salah satu karakeristik pemikiranya juga adalah bahwa manusia
dengan kekuatan moralnya, tema tentang ketuhanan dan alam semesta
sekan hanya bagianpelengkap dari tema besar moralitas manusia, krena
tujuan sentrala agama tidak lain adalah membentuk pribadi manusia yang
luhur dan bermoral.
76
D. Konsep Pendidikan dan Pendidikan Tinggi Islam Fazlur
Rahman
Pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman mencakup dua pengertian
besar (Dr.Sutrisno,2006:170 ) . Yaitu :
1) Pendidikan Islam dalam pengertian Praktis, yaitu pendidikan yang
dilaksanakan di dalam Islam, seperti di Pakistan, Mesir, Sudan,
Saudi, Iran, Turki, Maroko, Indonesia dan lain-lain.
2) Pendidikan tinggi Islam yang disebut dengan intelektualisme Islam.
Lebih dari itu, pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman dapat
dipahami juga sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuan)
integratif, yang padanya terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis,
inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya.
1. Tujuan Pendidikan Islam
Dengan mendasarkan pada al-Qur‟an, tujuan pendidikan
menurut Fazlur Rahman adalah untuk mengembangkan manusia
sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya
akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang
memungkin manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam
untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan,
kemajuan, dan keteraturan dunia.
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dihadapkan dengan
tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan penyebaran
islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme
umat manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda
dengan tuntutan hidup yang multi komplek pula .Ditambah lagi
dengan beban psikologis umat islam dalam menghadapi barat.
Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,strategi pendidikan Islam yang
dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat
mekanis. Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa
yang berbau Barat,bahkan adapula yang mengharamkan pengambil
77
alihan ilmu dan teknologinya. Sehingga apabila kondisi ini terus
berlanjut akan dapat menyebabkan kemunduran umat Islam.
Menurut Rahman, ada beberapa hal yang harus
dilakukan pertama, tujuan pendidikanIslam yang bersifat desentif dan
cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut
harus segera diubah. Tujuan pendidikan islam harus berorientasi
kepada klehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber
pada AL-Qur‟an.
Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat
harus segera dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis
umat Islam tersebut, Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian
Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai
perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti
teologi,hukum,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan
berpegang kepada AL-Qur‟an sebagai penilai.
Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan
juga harus dirubah. Sebab menurut Rahman,
ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah
penggunanya.
2. Sistem Pendidikan Islam
Fazlur Rahman berpendapat, bahwa “kita tidak bisa lepas dari
system pendidikan Barat karena umat Islam juga ingin belajar
dengan dunia Barat, tetapi system pendidikan Barat telah
mendehumanisme dan membekukan jiwa manusia” Dari sini dapat
kita asumsikan bahwa Rahman mencoba mengintegrasikan antara
ilmu sekuler (modern) dan ilmu-ilmu agama.Namun yang saat ini
menjadi pombardir penghalangnya adalah karena sering terjadinya
dikotomi dalam dunia pendidikan Islam.
Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan, menurut
Rahman dunia pendidikan Islam harus memberi ruang bagi ilmu-ilmu
78
sekuler (modern), atau dalam arti kata luas harus adanya integrasi
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler/sains. Dengan pola
integrasi ini maka tidak akan lagi terjadi dikotomi dalam dunia
pendidikan Islam. Jadi, hendaknya dalam silabus-silabus
pembelajaran harus dicantumkan ilmu-ilmu di luar agama, seperti
sosiologi, antropologi, biologi dan sebagainya.
Zaman selalu mengalami perkembangan, sudah semestinya
pendidikan Islam harus merespons dan dituntut pula untuk
berkembang secara dinamis dalam mewujudkan manusia yang kritis
dan kreatif sehingga mampu mandiri dalam menyesuaikan diri dalam
lingkungan sekitar.Oleh karena itu perlunya di terapkan konsep
pendidikan demokratis yang selalu membuka ruang kebebasan dan
perubahan yang bersifat positif dan dinamis di berbagai lembaga
pendidikan agar dapat memenuhi tuntutan tersebut di atas.
a) Anak Didik (Peserta Didik)
Dalam proses trasnpormasi ilmu pengetahuan dalam
pendidikan, peserta didik menjadi obyek dari pendidikan itu sendiri,
namun bukan karena dia menjadi obyek maka tidak diberikan
kebebasan dalam mengakpresikan dan mengembangkan kreativitas
mereka, akan tetapi dengan mengsinergikan antara peserta didik
dan tujuan pendidikan, maka peserta didik harus diberikan keluasan
ruang dan waktu untuk mengeksplorasikan semua imajinasi kreatif
mereka untuk pengembangan pribadi mereka.
Kemerdekaan (kebebasan) adalah hak dasar bagi setiap
manusia yang ada di dunia ini. Dengan kebebasan manusia dapat
keratif dan dapat mengetahui tujuan yang di anggapnya baik.
Namun, dal mengimplementasikan kemerdekaan tentunya tidak
melanggar kebebasan orang lain.
79
b) Pendidik (Mu‟allim)
Era kontemporer ini dirasakan sangat minimnya pendidik,
namun bukan tenaga pendidiknya yang kurang, lebih dari itu
problema yang kita hadapi sekarang minimnya guru yang
professional dan mempunyai klasifikasi kemampuan yang
memadai. Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik seperti itu,
Rahman menawarkan beberapa gagasan, yaitu :
1) Merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki bakat-
bakat terbaik dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
lapangan agama (Islam). Anak didik seperti ini harus dibina dan
diberikan insentif yang memadai untuk membantu memnuhi
keperluannya dalam peningkatan karir intelektual mereka.
2) Mengangkat lulusan madrasah yang relatif cerdas atau
menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar
doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di
lembaga-lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar-guru
besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi, dan sejarah
Islam.
3) Mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki
pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka
dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan
universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan memberi
mereka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik
seperti Hadis, dan yurisprudensi Islam.
4) Menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya
keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Di samping
menlulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus
mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam.
80
E. Karya-karya Fazlur Rohman
Karya-karya yang mula di tulis, selain disertai doktralnya tentang
Ibnu sina adalah teks terjemahan ke dalam bahasa inggris di karya
monumental IbnuSIna kitab an-Najat denagn judul Avicenna‟s psychology
(1952). Beberapa tahun kemudian Rahman menyunting karya Ibnu Sina
lainnya Kitab An-Nafs dan di terbitkan dengan judul Avicenna‟s De Anima
(1959). Karya lain menjelang tahun 1960-an adalah propechy in Islam:
philosophy Ortodoxy and (1956), Islamic Methodology in History (1965),
Major Themes Of The Qur‟an (1980), Islam and Modernitiy;
Transpormation of an Intllectual Tradition (1982).
F. Relevansi Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman dengan Dunia
Modern
Menurut Harun Nasution sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin
istilahmodern berarti masa yang dimulai dari tahun 1800 M sampai
seterusnya.Duniamodern ini ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan filsafat yangberkembang pesat di Eropa setelah sekian
lama bertahta di dunia Islam. Keadaanini semakin menunjukkan akan
kemunduran dunia Islam dibandingkan duniabarat.Kemunduran di dunia
Islam terjadi karena salah pandang umat Islamterhadap sistem pendidikan
yang ada saat ini. Diantara kritikan yang dilontarkan
oleh Fazlur Rahman bahwa tujuan pendidikan Islam sekarang hanya
diorientasikan kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat defensif
serta adanya dikotomi atau pemilahan antara ilmu pengetahuan umum
dan pengetahuan agama.
Dalam kajian sejarah tentang dikotomi ilmu, Islam sangat
berkebalikan dengan barat yang memang manghendaki adanya dikotomi
keilmuan. Bagi dunia Islam dikotomi itu sangatlah berbahaya. Pandangan
dikotomi dapat mengancamrealisasi Islam dalam kehidupan umat. Bila
dikotomi berkembang di dunia Islam, maka diantara akibatnya adalah
adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan agama.
81
Keadaan seperti inilah yang mendorong Fazlur Rahman untuk
mencetuskanide-ide perubahan, dengan semangat yang menggebu-gebu
dia sedikit banyaktelah ikut bersumbangsih bagi Islam maupun dunia, baik
berupa tenaga, kritikan, karya-karya ilmiah dan sebagainya. Salah satu
upaya pembaharuan yangdilakukan Fazlur Rahman dalam sistem
pendidikan adalah dengan melakukanintegrasi ilmu pengetahuan.
82
Referensi
Abdul razak dan rosihun anwar, ilmu kalam, (Bandung: CV. Pustaka setia,
2001).
Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz, Teologi islam
modern,(Surabaya:Gitamedia Press, 1999)
Fazlur Rahaman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2001)
83
K.H. AHMAD DAHLAN
Oleh: Dani Suyanti & Febrina Aspyan Tari
A. Biografi Tokoh K.H. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus
1868 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera ke
empat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri
dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu. Dalam sumber lain K.H. Ahmad Dahlan
dilahirkan pada tahun 1869.
K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23
Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren,
Mergangsan, Yogyakarta.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Saat
masih kecil beliau diasuh oleh ayahnya sendiri yang bernama K.H. Abu
Bakar. Karena sejak kecil Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik,
budi pekerti yang halus dan hati yang lunak serta berwatak cerdas, maka
ayah bundanya sangat sayang kepadanya.
Ketika Muhammad Darwis menginjak usia 8 tahun Ia dapat
membaca Al-Qur‟an dengan lancar. Dalam hal ini Muhammad Darwis
memang seorang yang cerdas pikirannya karena dapat mempengaruhi
teman-teman sepermainannya dan dapat mengatasi segala permasalahan
yang terjadi diantara mereka.
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, K.H.Ahmad Dahlan
mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India,
untuk kemudian berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan
juga sering mengadakan pengajian agama di langgar atau mushola.
Ada beberapa faktor intern dan faktor ekstern, yang mendorong
mengapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
84
Faktor interennya adalah:
a) Kehidupan beragama tidak sesuai dengan Al-Qur‟an dan
Hadits, karena merajalelanya taklid, bid‟ah dan churafat (TBC),
yang menyebabkan Islam menjadi beku.
b) Keadaan bangsa Indonesia serta umat Islam yang hidup dalam
kemiskinan, kebodohan, kekolotan dan kemunduran.
c) Tidak terwujudnya semangat ukhuwah Islamiyah dan tidak
adanya organisasi Islam yang kuat.
d) Lembaga pendidikan Islam tak dapat memenuhi fungsinya
dengan baik, dan sistem pesantren yang sudah sangat kuno.
Adanya pengaruh dan dorongan, gerakan pembaharuan dalam
Dunia Islam.
Faktor-faktor ekstern, mencakup:
a) Adanya kolonialisme Belanda di Indonesia.
b) Kegiatan serta kemajuan yang dicapai oleh golongan Kristen
dan Katolik di Indonesia.
c) Sikap sebagian kaum intelektual Indonesia yang memandang
Islam sebagai agama yang telah ketinggalan zaman.
d) Adanya rencana politik kristenisasi dari pemerintah Belanda,
demi kepentingan politik kolonialnya.
B. Karya-karya K.H. Ahmad Dahlan
a) Rukuning Islan lan Iman.
b) Aqaid, Salat, Asmaning Para Nabi kang selangkung.
c) Nasab Dalem Sarta Putra Dalem Kanjeng Nabi.
d) Sarat lan Rukuning Wudhu Tuwin salat.
e) Rukun lan Bataling Shiyam.
f) Bab Ibadah lan Maksiyating Nggota utawi Poncodriyo.
85
C. Konsep Pemikiran Pendidikan menurut K.H. Ahmad
Dahlan
1. Tujuan Pendidikan
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya
diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi
pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham
masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari
tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu
pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di
satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan
individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler
yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
2. Materi pendidikan
KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi
pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan
karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan As-
Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara
perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan
intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
86
3. Metode Mengajar
Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia,
yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Pandangan
Ahmad Dahlan, ada problem mendasar berkaitan dengan lembaga
pendidikan di kalangan umat Islam, khususnya lembaga pendidikan
pesantren. Menurut Syamsul Nizar, dalam bukunya Filsafat
Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan
dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan.
Dari realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan
menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan
modern Barat dengan metode pendidikan pesantren.
Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan
K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang
dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Metode pembelajaran
yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual
melalui proses dialogis dan penyadaran.
Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat al-
Ma‟un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri
itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita
memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus
mengamalkan isinya.
Hal ini karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan
atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi
dan kondisi. Adapun perbedaan model belajar yang digunakan
antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan yang diajarkan
oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
a. Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem
Weton dan Sorogal, madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan
menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
87
b. Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama.
Sedangkan di madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan
pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c. Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-
murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki
otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah yang
dibangun Ahmad Dahlan mulai mengembangkan hubungan
guru-murid yang akrab.
4. Pendidik
Muhammadiyah menanamkan keyakinan paham tentang Islam
dalam sistem pendidikan dan pengajaran. Penerapan sistem
pendidikan Muhammadiyah ini ternyata membawa hasil yang tidak
tenilai harganya bagi kemajuan, bangsa Indonesia pada umumnya
dan khususnya umat Islam di Indonesia.
Muhammadiyah, berpendirian, bahwa para guru memegang
peranan yang penting di sekolah dalam usaha menghasilkan anak-
anak didik seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah. Yang penting
bagi para guru ialah memahami dan menghayati serta ikut beramal
dalam Muhammadiyah. Dengan memahami dan menghayati serta
ikut beramal dalam Muhammadiyah, para guru dapat menjalankan
fungsinya sesuai dengan apa yang dicita-citakan Muhammadiyah.
5. Peserta Didik
Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada
sumbernya yaitu Al-Qur‟an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan
meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan
itu, muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di
seluruh Indonesia.
88
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah
mengadakan pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam
sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok
pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan
kehendak zaman.Pengajaran agama Islam diberikan di sekolah-
sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Metode baru yang diterapkan oleh sekolah Muhammadiyah
mendorong pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis secara bebas oleh
para pelajar sendiri. Tanya jawab dan pembahasan makna dan ayat
tertentu juga dianjurkan dikelas. “Bocah-bocah dimardikaake pikire
(anak-anak diberi kebebasan berpikir)”, suatu pernyataan yang
dikutip dari seorang pembicara kongres Muhammadiyah tahun 1925,
melukiskan suasana baik sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama
kali (Mailrapport No. 467X/25: 13).
D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh K.H. AHMAD
DAHLAN dengan Pendidikan Masa Terkini
Relevansi pemikiran tokoh KH. Ahmad Dahlan tentang pendidikan
terkini berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya
meliputi:
1. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan
karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan As-
Sunnah.
2. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara
perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan
intelek serta antara dunia dengan akhirat.
3. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
Uraian di atas merupakan bagian dari konsep Islam tentang
manusia. Kaitannya dengan persoalan pendidikan, maka secara ringkas
89
dapat dikatakan bahwa dalam proses pendidikan haruslah mampu
menghasilkan lulusan yang Memiliki :
1. Kepribadian yang utuh, seimbang antara aspek jasmani dan
ruhaninya, pengetahuan umum dan pengetahuan agamanya,
duniawi dan ukhrawinya.
2. Memiliki jiwa sosial yang penuh dedikasi.
3. Bermoral yang bersumber pada al-Qur‟an dan sunnah.
90
Referensi
Damami & Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.
Soedja, M. 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Rhineka
Cipta.
Safwan, Mardanas. & Kutoyo, S. 2001. KH. Akhmad Dahlan, Riwayat Hidup dan
Perjuangannya. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Nizar, S. 2002.Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers.
91
K.H. HASYIM ASY’ARI
Oleh : Anggun Purnama Sari & Iftiatul Hidayati
A. BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY’ARI
Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, adalah seorang ulama Jawa yang
menjadi panutan banyak dari para kyai di Indonesia. Beliau lahir di desa
Gedang, sekitar dua kilometer sebelah timur Jombang, pada tanggal 24
Dzul Qa‟dah 1287 H, bertepatan pada tanggal 14 Pebruari 1871. Nama
asli yang diberikan oleh orang tua beliau adalah Muhammad Hasyim,
sedangkan ayahnya bernama Asy‟ari dan ibunya bernama Halimah.
Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka
Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI, juga dipercayai
merupakan keturunan bangsawan.
Ayah beliau adalah seorang kyai pendiri Pesantren Keras di
Jombang, sementara kakeknya, kyai Utsman adalah kyai terkenal pendiri
Pesantren Gedang, sementara moyangnya, kyai Sihah adalah pendiri
Pesantren Tambakberas Jombang. Sahingga wajar saja apabila K.H.
Hasyim Asy‟ari menyerap lingkungan agama dari lingkungan pesantren
keluarganya dan mendapatkan ilmu pengetahuan agama Islam yang luas.
K.H. Hasyim Asy‟ari bersama K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri
Syansuri, mendirikan Nahdlatul Ulama di Surabaya pada tanggal 16 Rajab
1344, bertepatan tanggal 31 Januari 1926. Organisasi NU bermaksud
untuk mempertahankan praktik keagamaan yang sudah mentradisi di
Nusantara untuk mengimabangi gencarnya ekspansi pembaruan Islam.
NU sendiri memberikan perhatian besar bagi pendidikan, khususnya
pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaannya.
Kemudian NU mendirikan madrasah-madarasah dengan model Barat.
Dalam hidupnya, beliau juga ikut berperan penting dalam bidang
politik nasional. Di samping itu, beliau menjadi salah satu motivator para
pejuang bangsa Indonesia dalam mengusir pendudukan kolonial di tanah
air, untuk meraih kemerdekaan. Akhir hayatnya, K.H. Hasyim Asy‟ari wafat
92
pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H, bertepatan tanggal 25 Juli 1947,
disebabkan tekanan darah tinggi.
B. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari Mengenai Pendidikan
Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy‟ari yang berbicara
tentang pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim fima Yahtaj
Ila al-Muta‟alim fi Ahuwal Ta‟allum wa ma Yataqaff al-Mu‟allim fi Maqamat
Ta‟limi. Sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap
masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika.
Namun demikian, karya tersebut tidak berarti menafikan beberapa aspek
pendidikan lainnya. Karyanya ini merujuk pada kitab-kitab yang
ditelaahnya dari berbagai ilmu yang diterima dari para gurunya ditambah
dengan berbagai pengalaman yang pernah dijalaninya.
1. Tujuan Pendidikan
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu,
pertama bagi murid, hendaknya ia berniat suci menuntut ilmu, jangan
sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau
menyepelekan. Kedua, bagi guru, dalam mengajarkan ilmu
hendaknya ia meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata-mata.
K.H. Hasyim Asy‟ari menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu
pengetahuan adalah mengamalkannya. Dalam hal belajar, yang
menjadi titik penekanannya adalah pada pengertian bahwa belajar
itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan
seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karenanya, belajar harus diniati untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai Islam, bukan sekadar menghilangkan
kebodohan.
93
2. Konsep Pendidik
Dalam kitab karangan K.H. Hasyim Asy‟ari yang disebut di atas,
disebutkan tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik
antara lain:
a. Etika yang dipedomani seorang guru
1) Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.
2) Senantiasa takut kepada Allah.
3) Senantiasa bersikap tenang dan berhati-hati.
4) Senantiasa tawadhu‟, mengadukan persoalannya kepada
Allah.
5) Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian
semata.
6) Tidak selalu memanjakan anak didik.
7) Berlaku zuhud dalam kehidupan dunia.
8) Menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah.
9) Mengamalkan sunah Nabi.
10) Mengistiqamahkan membaca Al-Qur‟an.
11) Bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan salam.
12) Membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah.
13) Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
pengetahuan.
14) Tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya.
15) Membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas.
b. Etika guru ketika dan akan mengajar
1) Mensucikan diri dari hadas dan kotoran.
2) Berpakaian yang sopan dan rapi serta usahakan berbau
wangi.
3) Berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
kepada anak didik.
4) Sampaikanlah hal-hal yang diajarkan oleh Allah.
94
5) Biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan.
6) Berilah salam ketika masuk ke dalam kelas.
7) Sebelum mengajar, mulailah terlebih dahulu dengan
berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggalkan
kita.
8) Berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak
pantas dipandang mata.
9) Menjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa.
10) Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah,
mengantuk, dan sebagainya.
11) Pada waktu mengajar, hendaklah mengambil tempat
duduk yang strategis.
12) Usahakan tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas,
dan lugas, serta tidak sombong.
13) Dalam mengajar, hendaknya mendahulukan materi-materi
yang penting dan sesuaikan dengan profesi yang dimiliki.
14) Jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang bersifat
syubhat yang bisa membinasakan.
15) Perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam
mengajar dan tidak terlalu lama, menciptakan ketenangan
dalam belajar.
16) Menasehati dan menegur dengan baik bila terdapat anak
didik yang bandel.
17) Bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-
oersoalan yang ditemukan.
18) Berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya
ketinggalan dan ulangi penjelasannya agar tahu apa yang
dimaksud.
19) Dan bila sudah selesai, berilah kesempatan kepada anak
didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas ataau
belum dipahami.
95
c. Etika guru terhadap murid-muridnya
1) Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan
serta menghidupkan syariat Islam.
2) Menghindari ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian.
3) Hendaknya selalu melakukan introspeksi diri.
4) Mempergunakan metode yang mudah dipahami murid.
5) Membangkitkan antusias peserta didik dengan
memotivasinya.
6) Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu.
7) Selalu memerhatikan kemampuan peserta didik.
8) Tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik
dan menafikan yang lainnya.
9) Mengarahkan minat peserta didik.
10) Bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik.
11) Membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta
didik.
12) Bila terdapat peserta didik yang berhalangan, hendaknya
mencari hal ikhwal kepada teman-temannya.
13) Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik.
14) Tawadhu‟.
3. Konsep Peserta Didik
Dalam kitab karangan K.H. Hasyim Asy‟ari yang disebut di atas,
disebutkan tentang tugas dan tanggung jawab peserta didik antara
lain:
a. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
1) Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan
keduniawian.
2) Membersihkan niat.
3) Tidak menunda-nunda kesempatan belajar.
96
4) Bersabar dan qanaah terhadap segala macam pemberian
dan cobaan.
5) Pandai mengatur waktu.
6) Menyederhanakan makan dan minum.
7) Bersikap hati-hati (wara‟).
8) Menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan
kemalasan dan kebodohan.
9) Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak
kesehatan.
10) Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.
b. Etika murid terhadap guru
1) Hendaknya selalu mendengar dan memperhatikan apa
yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru.
2) Memilih guru yang wara‟ di samping professional.
3) Mengikuti jejak-jejak guru.
4) Memuliakan guru.
5) Memerhatikan apa yang menjadi hak guru.
6) Bersabar terhadap kekerasan guru.
7) Berkunjung kepada kepada guru pada tempatnya atau
meminta izin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa
harus tidak pada tempatnya.
8) Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan dengan
guru.
9) Berbicaralah dnegan sopan dan lemah lembut.
10) Dengarkan segala fatwanya.
11) Jangan sekali-kali menyela ketika guru sedang
menjelaskan.
12) Gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan sesuatu
kepadanya.
97
c. Etika murid terhadap pelajaran
1) Memerhatikan ilmu yang bersifat fardhu „ain untuk
dipelajari.
2) Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu
„ain.
3) Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
4) Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada
orang-orang yang dipercayainya.
5) Senantiasa menganalisis dan menyimak ilmu.
6) Pancangkan cita-cita yang tinggi.
7) Bergaullah dengan orang yang berilmu lebih tinggi.
8) Ucapkan salam bila sampai dim tempat majlis ta‟lim.
9) Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya
ditanyakan.
10) Bila kebetulan bersamaan dengan banyak teman,
sebaiknya jangan mendahului antrean kalau tidak
mendapatkan izin.
11) Ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada
jangan lupa membawa catatan.
12) Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinu.
13) Tanamkan rasa semangat dalam belajar.
4. Kurikulum Pendidikan
Pada awal mulanya, mata pelajaran yang di ajarkan oleh Kyai
Hasyim adalah menekankan pada syariat Islam atau ilmu
pengetahuan dasar keagamaan Islam, yaitu tauhid, fiqih dan tafsir.
Sedangkan ilmu bahasa yang dipelajari adalah bahasa Arab, dan
tulis menulis Arab. Setelah berkembangnya tuntutan zaman,
kurikulum yang sebelumnya ditambahkan pelajaran Qur‟an dan
Hadits, dan bahasa Indonesia dan Melayu, serta bahasa asing
Belanda.
98
Seiring berkembangnya model pesantren tradisional yang
dipadukan dengan model sekolah moderen, mata pelajaran pun
ditambah dengan mempelajari baca tulis dengan tulisan latin, ilmu
hitung, ilmu geografi, ilmu sosial.
5. Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan
Pada dasarnya tradisionalisme pendidikan Kyai Hasyim Asy‟ari
mengindikasikan bahwa aplikasi pendidikan berkaitan dengan model
dalam pembelajaran, lebih berpusat pada subject matter oriented
dengan posisi sentral pada keberadaan seorang guru sebagai subjek
yang menentukan dalam proses belajar mengajar, atau disebut
teacher centre learning (pengajaran berpusat pada guru).
Dalam hal ini, sesungguhnya konsep dan aktualisasi pendidikan
Kyai Hasyim Asy‟ari lebih dekat kepada kerangka esensialisme (lebih
menitikberatkan pada materi) dari pada progresifisme (lebih
menitikberatkan pada aspek intelektual atau kecerdasan). Selain itu,
pembelajaran pendidikan di pesantren juga menggunakan
pendekatan kontekstual dan pembiasaan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, Kyai Hasyim menggunakan
beberapa metode antara lain dengan cara halaqah, mubahatsah,
sorogan, bandongan, dan muthalaah, yang identik dengan metode
ceramah, demonstrasi, tanya jawab, diskusi dan dialog. Dalam mata
pelajaran bahasa Arab, terutama dalam belajar shorof,
menggunakan metode hafalan.
6. Evaluasi Pendidikan
Mengenai evaluasi, menurut pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari
memang dalam proses evaluasi tidak menggunakan standarisasi
nilai, namun jika diteliti sistem pendidikan islam sebenarnya proses
itu sudah menilai dari segala aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
99
Pemikiran beliau lebih menitikberatkan pada persoalan hati
(qolb) sehingga yang menjadi hal terpenting atau modal dalam
menuntut ilmu adalah niat yang tulus dan ikhlas dan mengaharapkan
ridha Allah SWT. Selain itu beliau juga sangat menekankan
penanaman akhlak dan moral terhadap siswa.
Jika dikaitkan dengan pendidikan sekarang maka pemikiraan
K.H. Hasyim Asy‟ari berhubungan erat dengan aspek afektif siswa.
pada dasarnya pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari mengenai tujuan atau
pun dasar yang digunakan adalah sangat tepat bahkan sangat
sesuai karena menggunakan dasar Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Karena
dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits terwujud suatu sistem pendidikan
yang komprehensif yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
C. Relevansi Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari Dengan Pendidikan
Saat Ini
Relevansi pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari terhadap pendidikan
sekarang, dapat kita lihat dari banyaknya pesantren-pesantren yang
dibangun. Pesantren sampai sekarang masih menjadi satu-satunya
lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang
berkualitas, dalam arti mendalam pengetahuan agamanya, agung
moralitasnya dan besar dedikasi sosialnya.
Konsep pendidikan oleh K.H. Hasyim tidak hanya berupa teori dan
pemikirannya saja, akan tetapi beliau juga mempraktikkannya langsung
dalam aktivitas kependidikannya. Walaupun pemikiran beliau masih
bercorak tradisionalis, tetapi pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari tetap sesuai
dan tepat jika diterapkan dalam pendidikan Islam saat ini, terutama dalam
beberapa aspek antara lain yaitu dalam hal tujuan pendidikan, materi dan
dasar yang digunakan yaitu Al-Qu‟an dan Al-Hadits.
Pemikiran Kyai Hasyim tentang pemaduan antara pesantren yang
tradisionalis dengan model sekolah barat yang lebih moderenis,
100
sebelumnya banyak dikhawatirkan oleh banyak kyai lain. Namun, beliau
konsisten dengan pemikiran yang telah dipertimbangkannya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Kyai Hasyim merupakan tokoh
yang berusaha memelihara tradisi turun temurun dari pondok pesantren,
juga mengembangkan pendidikan keilmuan di pondok pesantren. Hingga
sekarang, pendidikan Islam berkembang dari model pesantren tradisional,
pesantren moderen, madrasah dan sekolah Islam.
101
Referensi
Khuluq, L. 2000.Fajar Kebangunan Ulama – Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari .
Yogyakarta: LKiS.
Kurniawan, S& Mahrus, E. 2013.Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
Maguwoharjo: Ar Ruzz Media.
102
ABDUL KARIM AMRULLAH
Oleh :Masithoh Bella Dina
A. Biografi Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim AmrullahatauHamka, lahirdi Sungai Batang,
Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad, 16 Februari 1908 dari keluarga
yang taat beragama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering
disebut Muhammad rasul, seorang ulama yang pernah mendalami Islam
di Makkah dan tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya
bernama Siti Shafiyah Tanjung.
Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan belajar
membaca Al-Quran dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya
ke Padang Panjang. Dan pada usia 7 tahun masuk ke sekolah, meski
akhirnya ia keluar dari sekolah itu setelah 3 tahun belajar, danbelajar
mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Sejak Zainudin Labai El-Yunusi
mendirikan sekolah Diniyah di Pasar Usang Padang panjang, Hamka lalu
dimasukkan ayahnya kesekolah ini.
Pagi hari Hamka pergi kesekolah desa dan sore hari pergi mengaji
ke sekolah Diniyah, dan pada malam hari berada disurau dengan teman-
temannya.Seperti itulah kegiatan rutinitas yang selalu dilaluinya.Aktifitas
yang begitu monoton membuat Hamka jenuh. Bahkan karena hobinya, ia
pernah diam-diam mengicuh guru ngajinya karena ingin menonton Film
Eddie Polo dan Marie Walcamp. Kebiasaan menonton film ini berlanjut,
dan kerapkali ia mendapat inspirasi menulis karya-karya sastra dari
menonton film ini. Hal ini dibenarkan oleh A.R. Sultan Mansur, orang yang
sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang
muballigh.
Kemudian di surau Jembatan Besi, tempat Syeikh Abdul Karim
Amrullah memberikan proses pendidikan agama dengan metode lama,
dirobah menjadi madrasah yang kemudian dekenal dengan Thawalib
School. Tentunya dengan keinginan kelak anaknya jadi ulama
103
sesuaidengan harapannya.Syeikh Abdul Karim Amrullah memasukkan
Hamka ke Thawalib School yang diiringi Hamka harus berhenti dari
sekolah Desa.
Dalam perkembangan awalnya Thawalib School ini masih belum
mampu melepaskan diri dari cara-cara lama dalam proses pembelajaran
agama.Perobahan sudah mulai tampak mewarnai lembaga pendidikan ini.
Menurut Mahmud Yunus, Surau Jembatan Besi yang sejak dulu
memberikan pelajaran agama dengan pola lama, merupakan surau
pertama yang mempergunakan sistem klasikal. Sekalipun sistem yang
menerapkan menghafal ini yang membuat Hamka cepat bosan.
Kondisi dengan pola belajar yang mengakibatkan keseriusannya
untuk belajar tidak tumbuh dari dalam hatinya, namun terpaksa dari
kehendak ayahnya. Keadaan inilah yang membuat Hamka betah berada
di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai el-Yunusi dan Bagindo
Sinaro.Hamka menjadi asik di perpustakaan ini mendalami buku-buku
cerita dan sejarah. Perpustakaan ini diberi julukan dengan nama Zainaro,
menumbuhkan semangat tertentu bagi Hamka. Tekanan hati yang
dirasakannya seolah mendapat tempat pelarian di perpustakaan ini.Ide
yang polos dari seorang anak-anak dapat berkembang dan tumbuh,
namun seiring dengan pertumbuhan idenya itu, tidak serta merta
mendapat mendapat dukungan dari ayahnya.
Di usianya yang ke 12 tahun, merupakan goncangan jiwa yang
cukup berat baginya. Dikarenakan perceraian ayah dan ibunya. Karena
peristiwa ini yang dapat membentuk sikap Hamka yang memandang
peraktek adat tidak sesuai ajaran agama Islam.Adat, terutama adat kawin
cerai, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas, menurut
Hamka, “Seumpama batu yang sudah berlumut sudah masanya untuk di
simpan”. Setiap ketetapan yang dijalankan didalam adat, serta terlalu
mudahnya dalam menafsirkan tentang kebolehan untuk berpoligami..
Kenyataan ini pula yang didapatkan oleh Hamka dalam keluarganya, yang
104
berujung menjadi anak “tinggal”, yang pada gilirannya dapat membentuk
“kenakalan” dalam keseharian Hamka.
Kenyataan yang demikian membuat Hamka merasa ingin jauh dari
kehidupan ayahya. Hamka, berangkat ke tanah Jawa seorang diri. Tapi
pelariannya terhenti di Bengkulu karena ia terkena penyakit cacar..
Setelah sembuh ia kembali pulang ke Padang. Hamka berngkat kembali
untuk yang kedua kalinya menuju tanah Jawa pada tahun 1924.
Selama kurang lebih satu tahun Hamka menetap di tanah Jawa,
menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan ”semangat
baru” baginya dalam mempelajari agama Islam. Musafir dalam dalam
pencarian ilmu ia mulai dari kota Yogyakarta. Melalui Ja‟far Amrullah,
pamannya, Hamka kemudian memperoleh kesempatan mengikuti kursus-
kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.
Dalam perjalanannya itu bertemu dengan Hos Tjokroaminoto
dan menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada Hos
Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan K.H.
Fakhrudin.Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training
pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.Hamka
juga mendengar langsung ceramahnya tentang Islam dan Sosialisme.
Disamping itu ia berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh penting
lainnya, seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Rijal. Dimana kota tersebut
telah memberikan sesuatu dalam mendorong kesadaran keagamaan
Hamka. Namun ia sudah dipandang sebagai pemuka diantara rekan-
rekannya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di Yogyakarta Islam itu sebagai
sesuatu yang hidup, yang mengedepankan kedinamisan dalam pendirian
dan perjuangan.
Sejak Hamka berkunjung ke Amerika Serikat, Hamka mempunyai
pandangan yang lebih luas dan terbuka terhadap bangsa diluar Islam.
Sepulangnya Hamka menerbitkan sebuah buku yang mengisahkan
tentang perjalanannya dengan judul Empat Bulan di Amerika ,ia
memenuhi undangan Universitas Al-Azhar Kairo dalam rangka
105
memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia.
Pada gilirannya penampilan Hamka itu membuahkan hasil gelar Doktor
Honorius Causa.
Perkembangan politik di Indonesia semakin memburuk, ditambah
dengan dikeluarkannya Dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959 oleh
Soekarno, yang menegaskan Indonesia melaksanakan sistem Demokrasi
Terpimpin.
Aktivitas yang begitu banyak disaat usianya sudah mulai tua,
sehingga Hamka masuk rumah sakit menjelang hari peringatan ulang
tahunnnya yang ke-70 tahun, bertepatan pada tanggal 16 Februari 1978.
Dua tahun menjelang wafatnya, Hamka sejak tahun 1975 menjadi
ketua Majelis Ulama Indonesia mengundurkan diri.Sebab dari mundurnya
Hamka dari jabatannya adalah perayaan Natal bersama antara Umat
Kristen dan penganut Umat lainnya termasuk agama Islam. Sementara
pada waktu itu Majelis Ulama Indonesia yang dipimpin oleh Hamka telah
mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti
perayaan Natal.
Dua bulan setela Hamka mengundurkan diri dari ketua Majelis Ulama
Indonesia, ia kembali masuk rumah sakit akibat serangan jantung yang
cukup berat. Lebih kurang satu minggu Hamka dirawat di rumah sakit
Pertamina Jakarta Pusat, yang ditangani oleh dokter ahli. Namun ternyata
Allah berkehendak lain. Pada tanggal 24 Juli 1981 bersamaan dengan
tanggal 22 Ramadhan 1401 H, ditemani oleh istrinya Khadijah dan
beberapa teman dekat serta puteranya Afif Amrullah, Hamka berpulang
kerahmatullah dalam usia 73 tahun.
B. Konsep Pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amarullah Tentang
Pendidikan Islam
Hamka adalah sosok manusia atau aset Negara Republik Indonesia
yangmultiperan. Selain sebagai ulama, ia juga seorang pemikir. Diantara
buah pikirannya adalah gagasan tentang pendidikan. Pentingnya manusia
106
mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka, bukan hanya untuk
membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, melainkan
lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya,
memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan
Allah.
Buya Hamka membedakan makna pendidikan dan
pengajaran.Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya
yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak,
dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya
untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan.
Pemikiran Hamka tentang pendidikan secara garis besar adalah
sebagai berikut :
1. Urgensi Pendidikan Bagi Manusia
Hakekat pendidikan menurut beliau terbagi menjadi 2 Bagian, yaitu
: pertama,pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan
kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan
akal. Kedua, pendidikanrohani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan
fitrah manusia dalam ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
didasarkan kepada agama.
2. Terminologi dan Tujuan Pendidikan Islam
Menurutnya pendidikan merupakan serangkaian usaha yang
dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak,
dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana
yang baik, dan mana yang buruk. Sedangkan pengajaran adalah upaya
untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan.
Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi;
bahagia di dunia dan di akhirat.Untuk mencapai tujuan tersebut
manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah.
107
3. Tugas Dan Tanggung Jawab Pendidik
Menurut Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah
memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk
memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfa‟at bagi
kehidupan masyarakat. Untuk melaksanakan hal ini ada 3 institusi yang
bertugas dan bertanggung jawab :
a. Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
b. Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah)
c. Lembaga Pendidikan Non Formal (Masyarakat)
4. Kurikulum
Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan Islam masih bersifat
tradisional. Kurikulum pendidikan masih tradisional , yang berkisar pada
al-Quran dan pengajian kitab, yang meliputi Ilmu Nahwu Sharaf, Fiqih,
Tafsir dan lainnya, yang hanya terpaku disitu saja. Kurikulum pendidikan
yang demikian dipandang kurang memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman , sehingga tergerak hati Hamka dan kawan-
kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum
pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab-kitab yang digunakan juga
tidak terpaku pada satu kitab saja.Sebagai rencana pelajaran yang
merupakan bentuk usaha peningkatan pendidikan, kurikulum terdiri dari 6
kelompok, yaitu :
a. Agama
b. Bahasa
b. Pengetahuan Umum
c. Keguruan/Dakwah dan Kepemimpinan
d. Sistem dan Metode Pembelajaran
Pertama antara lain:
1). Diskusi,proses bertukar pikiran antara dua belah pihak.
2). Karya wisata,mengajak anak mengenal lingkungannya.
108
3). Resitasi, memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal
untuk dikerjakan.
Adapun yang kedua antara lain:
a). Amar ma‟ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan
mencegah berbuat jahat.Bertujuan agar tulus hati dalam
memperjuangkan kebenaran.
b). Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman materi
pada peserta didik.
5. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi adalah menentukan tarap kemajuan suatu pekerjaan
didalam pendidikan Islam atau tahap akhir yang dilakukan dalam
proses pendidikan, bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses
belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah. Pandangan Buya
Hamka dalam evaluasi yakni mengarah pada kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Evaluasi dapat dilakukan dengan memberikan beberapa
tugasi. Ini merupakan evaluasi yang dilakukan secara global atau
yang biasa dilakukan secara umum. Sedangkan dalam pendidikan
tauhid, evaluasi mengarah pada sesuatu yang menyadarkan diri
(introspeksi diri) dimana syur(perasaan).
C. Relevansi Pendidikan Haji Abdul Malik Karim Amarullah Pada
Era Global Saat ini
Pendidikan adalah bagian dari pembelajaran kepada peserta didik dalam
upaya mencerdaskan dan mendewasakan serta memperbaiki akhlak.
Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala
potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh dan terbaik diantara
makhluk lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar
berbeda susunan fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia memilki
kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki
potensinya masing-masing yang sangat mendukung, dengan kata lain
109
potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah yang terbaik.
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 dijelaskan bahwa
pendidikan merupakan pendidikan dasar dan menengah yang
mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta
didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar,
menengah,dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang
ajaran agama dan/atau menjadi ahli agama.
Hakikat pendidikan yang dikemukakan oleh Hamka sangat dapat
diterapkan di zaman sekarang ini, yakni pendidikan agama dan
pendidikan umum saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, dari mulai
tingkat Pendidikan Dasar hingga ke tingkat Pendidikan Tinggi.
110
REFERENSI
Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati, Pendidikan Luar Sekolah, (Surabaya:
Usaha nasional)
Assep Purna, 101 Kisah Inspiratif, (Jakarta : Gagas Media, 2011
111
MUHAMMAD NATSIR
Oleh : Agia Gavinda
A. Biografi Muhammad Natsir
Kelahirannya Muhammad Natsir adalah pribadi yang penuh pesona.
Ia ibarat mata air yang tak pernah kering meskipun kemarau datang
berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di Bandung dan terlibat
dalam berbagai polemik intelektual di bidang keagamaan dan politik, ia
selalu menjadi fokus perhatian orang. Muhammad Natsir lahir pada
tanggal 17 Juli 1908 di Kampung Jambatan, Alahan Panjang, Padang,
Sumatera Barat, dan wafat di Jakarta pada tanggal 5 Februari 1993.
Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana,
ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana, dan kakeknya
adalah seorang ulama.
Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) serta di
sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun
1923- 1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene
Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di
Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional
antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan
Syahrir.
Karakter Muhammad Natsir yang menonjol menjadikannya berperan
dalam kegiatan-kegiatan besar seperti ketua Jong Islamieten Bond di
Bandung, Menteri Penerangan, Perdana Menteri, dan Ketua Partai
Masyumi. Kapasitasnya tidak hanya diakui di dalam negeri saja tetapi juga
di luar negeri. Pada tahun 1980 Muhammad Natsir dianugerahi
penghargaan oleh King Faisal atas pengabdiannya pada Islam. Selain itu
atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Muhammad Natsir
memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk
112
perjuangannya membantu kemerdekaan negara-negara Islam di Afrika
Utara.
Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin
negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah
selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan
fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah
lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda
dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.
Namun dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah
tersenyum itu, sosok pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia
termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam
berhubungan dengan orang-orang lain, ia terkesan terbuka dan malahan
cenderung kompromistik, sejauh kemungkinan kompromi-kompromi itu
memang dapat dicapai tanpa mengorbankan prinsip-prinsip yang
diyakininya.
B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam
Bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, tokoh seperti
Muhammad Natsir dengan pemikiran dakwah Islamnya sangat di
perlukan, karenanya dengan mengtahui pemikiran itu, diharapkan dakwah
Islam akan berjalan lebih terarah, dan dapat memberikan motivasi pada
generasi berikutnya untuk berkiprah lebih tekun dalam dakwah Islam pada
berbagai kehidupan umat. Tanpa hal tersebut, semangat membangun
bangsa dari segi spiritual menjadi lemah, sementara itu generasi
berikutnya kehilangan jejak dalam berdakwah. Akhirnya, kelanjutan
dakwah berpijak pada pemikiran yang tidak jelas arah dan tujuannya,
sehingga amar ma‟ruf nahi mungkar tidak berfungsi sebagai kekuatan
pengendali dan motivasi. Di saat itulah, akan timbul berbagai kenyataan
sosial yang mengerikan dan memperhatinkan umat Islam.
Salah satu solusi yang paling tepat menurut penulis, adalah
mengungkapkan kembali konsep dan isi dakwah Islam Muhammad Natsir,
113
kemudian menganalisa dengan sedikit modifikasi sesuai dengan
perubahan zaman. Bukan satu hal yang mustahil, bahwa dakwah Islam
yang terus digerakkan dengan konsep pemikiran yang terarah, akan turut
memperkecil kemungkaran. Dengan demikian cita-cita menuju
pembentukan kehidupan umat yang berbahagia, sejahtera, dan aman
dapat dijangkau. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ali-
Imran, 104:
ة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن ولتكن منكم أم
المنكر وأولئك هم المفلحون
Artinnya : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah
dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Muhammad Natsir adalah pemimpin umat. Sekaligus warga
negara, yang dalam pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, dan
agama, selalu memberikan andil nyata melalu gerakan dakwah Islam.
Keberadaan Muhammad Natsir sebagai dai tidaklah diragukan lagi,
kebanyakan orang mengakuinya sebagai orang besar Indonesia.
Kepercayaan orang terhadap Muhammad Natsir ini semakin kuat ketika ia
mendirikan dan memegang Dakwah Islamiyah di Indonesia (DDII).
Muhammad Natsir dengan konsep dakwahnya telah memberikan posisi
dakwah Islam sebagai hal yang sangat penting. Disebut demikian, karena
dakwah Islam, menurut beliau akan ikut menentukan jatuh bangunnya
suatu masyarakat dalam suatu bangsa.
Selain bidang dakwah (tablig), persis juga menjadikan pendidikan
sebagai salah satu sarana dan wahana bagi tercapainya persis. Pada
tahun 1930 di Bandung diselenggarakan pertemuan antara persis dengan
tokoh umat Islam yang menaruh perhatian terhadap pendidikan generasi
muda Islam. Pertemuan tersebut telah menghasilkan satu keputusan,
114
untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan Islam, berusaha
memadukan dan mengembangkan pelajaran dan pengetahuan modern
dengan pendidikan dan pelajaran Islam dalam arti yang seluas-luasnya.
Adapun program yang disetujui dalam pertemuan tersebut, adalah
sebagai berikut :
1) Memenuhi pelajaran bagi generasi muda mengingat mereka haus
sekalu terhadap pengetahuan modern dan sesuai pula dengan
penghematan pemerintah dalam pendidikan.
2) Mengatur pendidikan dan pengajaran generasi muda dengan
berdasarkan kepada jiwa Islam, dan mempraktikkannya secara lebih
rapi.
3) Mengatur dan menjaga pendidikan generasi muda agar mereka tidak
bergantung kepada gaji dan honor setelah keluar dari sekolah dan
dapat bekerja dan percaya kepada kemampuan sendiri.
Muhammad Natsir, tampaknya sangat tanggap terhadap masalah-
masalah sosial kemasyarakatan, termasuk masalah pendidikan pada
lembaga pasantren dan madrasah-madrasah. Sikap tanggapnya ini
kemudian diantisipasi dengan konsep atau pemikiran-pemikiran sekaligus
keterlibatanya dalam pendidikan sebagai pengelola dan pendidik.
Kekhususan untuk pasantren yang dilaksanakan oleh persis,
Muhammad Natsir memang sebagai pengurus, pengelola, dan juga
sebagai pendidik, hal tersebut ditulis oleh Syafig A. Mughi, yang isinya;
“Di samping itu, didirikan lembaga pendidikan berupa pasantren yang
diberi nama “Pasantren Persatuan Islam”, di Bandung bulan Maret 1936,
sebagai hasil pertemuan di masjid persatuan Islam jalan pangeran
Sumedang Bandung. Pengurus dan guru-gurunya terdiri atas orang-orang
yang sukarela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk pasantren
mereka itu, antara lain, R. Abdul Kadir (alumnus sekolah teknik Bandung)
yang mengajar dalam bidang teknik, Muhammad Natsir yang mengajar
ilmu pendidikan sekaligus sebagai penasehat, serta Hassan yang
merangkap sebagai kepala pasantren.
115
Keberadaan Muhammad Natsir dalam masyumi telah membawa
nuansa baru bagi perjuangan umat Islam Indonesia terhadap kepentingan
agama, politik, ekonomi, dan sosial karena masyumi merupakan
organisasi kesatuan, maka anggota-anggotanya memiliki bermacam-
macam pandangan keagamaan, politik, ekonomi dan sosial. Masyumi
bentukan Jepang sudah barang tentu mempunyai tujuan politis yang
menguntungkan pihak Jepang, yaitu mempersatukaan semua
perserikatan atau organisasi yang diakui oleh Jepang. Sekaligus juga
mempersatukan para kiai dan ulama Indonesia dalam partai tersebut, agar
semua potensi umat Islam itu ikut melestarikan penjajahan Jepang
terhadap bangsa Indonesia. Lain halnya dengan gerakakan masyumi,
bentuk kongres umat Islam pada bulan November 1945, masyumi
dibentuk dan didirikan oleh umat Islam tanpa campur tangan pihak luar,
partai ini disambut hangat oleh berbagai elemen, dari hampir semua
gerakan Islam nasional maupun lokal, politik, sosial keagamaan.
Masyumi ini, benar-benar dari, oleh dan untuk umat Islam pasca
kemerdekaan. Disebut demikian, karena telah menyatukan sebagian
besar potensi umat Islam, melalui dari politisi, ulama dan cendikiawan
dalam berbagai organisasi Islam pada waktu itu, maka bersatulah wakil-
wakil dari organisasi Islam, seperti Muhammaddiyah, Persis, Nahdiatul
Ulama (NU), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Serikat
Islam Indonesia (PSII).
Muhammad Natsir memimpin masyumi sebagai ketua umum sejak
1949 sampai 1958, dua tahun sebelum dibubarkan, sembilan tahun
Muhammad Natsir memimpin dan memainkan perannya dalam gerakan
masyumi sebagai parai Islam tersbesar dan percaturan politik di
Indonesia. Sebagai pemimpin politik Islam, Muhammad Natsir secara
maksimal telah memberikan seluruh tenaga dan pikirannya bagi
kepentingan umat Islam Indonesia dan seluruh bangsa Indoneisa.
Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam
mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem
116
peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu
adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu
kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-
tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat,
ketatanegaraan, pemerintah dan perundang-undangan. Tapi adalah
ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orang diberi
kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam
musyawarah bersama, seperti dalam firman Allah SWT:
“Dan hendaklah urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!”.
Aspek pemikiran Muhammad Natsir
1. Bidang Politik
Pemikiran politik Natsir di samping terpengaruh pemikiran politik
intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya monumentalnya
seperti al- Mawardi dengan al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juga terpengaruh
oleh pemikiran politik intelektual muslim modern seperti al-Maududi dan al-
Afgani. Keempat, trend pemikiran politik Barat yang sedang merebak di
dunia Islam sebagai akibat kontak dengan peradaban Barat dalam bentuk
imperialisme Barat di negara-negara yang mayoritas penduduknya
muslim, tak terkecuali Indonesia yang pernah dijajah oleh kolonial Belanda
selama kurang lebih 350 tahun seperti terma-terma demokrasi, dewan
perwakilan rakyat, republik, nasionalisme, dan lain- alainnya. Konsekuensi
dari pengenalan terhadap terma-terma politik Barat tersebut, para
intelektual Indonesia baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis
hampir tidak dapat ditemukan pemikiran politiknya tentang pendirian
sistem monarki dengan didasarkan ikatan agama, melainkan mereka
menghendaki suatu negara republik yang didasarkan pada rasionalisme.
2. Bidang Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh Mohammad Natsir adalah
membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan
117
mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu
beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Selain itu
bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali
dengan keduanya. Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
manusia. Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan kehidupan
manusia, tujuan ini tercermin dalam al Qur‟an Surat Al-An‟am: 162.
“Katakanlah: „Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku
hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam‟.” (QS. Al-An‟am: 162)
Bagi Muhammad Natsir, fungsi tujuan pendidikan adalah
memperhambakan diri kepada Allah SWT semata yang bisa
mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya. Hal ini juga yang
disimpulkan oleh Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, tentang tujuan
pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir, bahwa pendidikan Islam
ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan
jasmaninya kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam
terhadap manusia itu sendiri. Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk
menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Oleh karenanya segala
usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di antaranya adalah
pendidikan.
C. Relevansi dengan Pendidikan Sekarang yang Bisa Diterapkan
Natsir dikenal sebagai intelektual Islam masa pra-kemerdekaan dan
awal kemerdekaan yang dikagumi dan disegani di dalam dan luar negeri.
Pemikirannya yang fenomenal antara lain Negara dan Agama, Capita
Selekta I dan II, Islam sebagai Dasar Negara. Selain itu tulisannya banyak
tersebar di berbagai majalah.
Pada masa kebangkitan nasional 1908 hingga kemerdekaan, situasi
yang sangat pelik penuh dengan gejolak dan dinamika, banyak pemikiran
besar tumbuh dan berkembang. Para Pendiri Bangsa bertarung gagasan
dengan tajam disertaiperdebatan dengan sesama teman seperjuangannya
118
mengenai Indonesia Merdeka, tanpa menghilangkan persahabatan
diantara mereka serta tanpa melupakan esensi perjuangan bangsa. Natsir
merupakan tokoh panutan diantaranya. Pemikiran Natsir dipengaruhi oleh
Jamaludin Al Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Ali Abdul Razik, Al
Mawardi, Ibn Taimiyah, Al Maududi, Hasan Albana dan Al Farabi.
Pandangannya mengenai Islam dan Kebangsaan bagaikan sekeping
mata uang logam dimana Islam dan Kebangsaan adalah dua hal yang
tidak terpisahkan. Pemahaman ini bersifat integralistik, agama dan negara
menyatu (integral). Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap
dengan pengaturan segala aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan berpolitik dan bernegara. Paradigma ini yang kemudian
melahirkan paham negara agama dimana kehidupan kenegaraan diatur
dengan prinsip keagamaan, melahirkan konsep Islam dan Negara.
Sumber hukum positifnya adalah agama, masyarakat tidak bisa
membedakan aturan negara dan agama karena keduanya menyatu.
Dalam paham ini rakyat menaati segala ketentuan negara dan agama,
sebaliknya melawan negara berarti melawan agama dan Tuhan.
Peran Islam dan pembentukan Kebangsaan Indonesia merupakan
peranan yang saling mempengaruhi. Islam di Indonesia adalah roh
pergerakan Kebangsaan yang membangun spirit perlawanan terhadap
segala bentuk penindasan dan penjajahan. Islam mampu membentuk
identitas perlawanan tersebut dalam masyarakat Indonesia, sejarah
perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan tidak
lepas dari keterlibatan Islam sehingga sangat nyata sekali bahwa Islam
merupakan salah satu kekuatan pokok. Konsepsi mengenai ke-
Indonesiaan Natsir dan pendiri negara lainnya merupakan suatu sikap
untuk kehidupan bersama dalam kerangka NKRI yang bertujuan
menghadirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Perdebatan mengenai
dasar Negara bila dipelajari secara seksama bukanlah untuk saling
menghegemoni pemahaman satu terhadap pemahaman lainnya tetapi
merupakan sikap untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan dan
119
merumuskan kerangka kerja dalam rangka kepentingan rakyat banyak.
Hal ini terlihat dari sikap Natsir yang mengajukan “Mosi Integral” pada saat
Indonesia terbagi-bagi dalam beberapa negara bagian. Sikap ini sangat
mengejutkan kalangan politisi saat itu bahwa Natsir mampu melihat jauh
kedepan tentang kepentingan yang lebih besar.
Islam-Pancasila dan Islam-Kebangsaan Dalam perdebatan tentang
Pancasila pada masa Dewan Konstituante, Ia berpendapat bahwa Islam
merupakan satu kesatuan konsepsi ketatanegaraan yang tak terpisahkan.
Islam merupakan “Rahmatin il alamin” bagi semua elemen kehidupan
berbangsa khususnya dan dunia pada umumnya. Islam sebagai agama
pembebasan kemanusiaan, ajaran Islam harus diturunkan untuk
melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan menjadi spirit menjaga
persatuan dan kesatuan.
Oleh sebab itu, orang Islam itu tidak boleh bertaklid buta dalam
menerima suatu ajaran/pemahaman tanpa mengecek kebenarannya.
Pemahaman yang benar terhadap suatu hal yang telah teruji haruslah
diterima atau diakui kesahihannya walaupun itu berasal dari musuh atau
pihak yang berseberangan. Sehingga, pemahaman akan kemerdekaan
bukan pada peristiwa heroik saja tetapi lebih pada perjuangan
memanusiakan kemanusiaan dan menegakkan keadilan tanpa pandang
bulu. Pancasila haruslah dipahami sebagai nilai-nilai dasar tentang
kemanusiaan yang bersumber dari ajaran Ketauhidan. Sila pertama
Pancasila merupakan bentuk pengakuan ajaran Keilahian Tuhan, sumber
utama kehidupan yang harus menjiwai empat sila lainnya.
Perbedaan pemikiran Natsir dan Soekarno mengenai Ketuhanan,
hanya terletak dalam pemahaman nilai spiritualitas. Natsir lebih
berpandangan bahwa Islam haruslah menjadi dasar utama perumusan
undang-undang dan peraturan lainnya, sedangkan Soekarno lebih
berpijak pada budi nurani sebagai landasan nilai spiritualitas. Kedua
pandangan tersebut merupakan “Tuntutan Hati Nurani” manusia yang
terdalam dalam pengakuan Ketuhanan yang Maha Esa, perjuangan
120
haruslah bernilai kemanusiaan tanpa adanya upaya mengeksploitasi
manusia satu terhadap manusia lainnya serta memahami riwayat/sejarah
perkembangan masyarakat dan tata ekonomi dunia.
Berbeda dengan para pendiri republik di Eropa atau Amerika yang
tidak memperhatikan agama dalam negara, para pendiri bangsa termasuk
Natsir dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa agama merupakan
realitas yang hidup. Agama telah menjadi bagian dari sistem sosial dan
budaya masyarakat. Hingga pada tingkat tertentu, agama telah berperan
sebagai sumber inspirasi dan alat mobilisasi dukungan untuk melawan
penjajahan. Karena itu, terdapat posisi dan peran yang sesuai bagi agama
dalam negara-bangsa (nation-state) yang mereka bangun. Sejak awal
Natsir cenderung meletakkan kata sifat agama di belakang negara.
Nasionalisme Indonesia harus bersifat "Kebangsaan Muslimin", Islam
sebagai ideologi. Pandangannya itu didorong oleh pemahaman
teologisnya, mengutip Montgomery Watt, "Islam is more than a religion, it
is a complete civilization". Berbeda dengan Soekarno yang mengutip
paham Ataturisme atau Kemalisme mengenai pemisahan hubungan
antara agama dan negara. Menurut Natsir, sekularisme mengingkari
kenyataan sosiologis masyarakat Indonesia karena agama telah menjadi
"a living reality".
121
REFERENSI
Abu Ghazali, Pimpinan Umat Islam Sedunia, dalam Hakiem, Pemimpin
pulang,(Jakarta: Media Dakwah, 1993)
Al-Izzah, Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif
sejarah,( Jakarta: Yayasan Idayu, 1976)
Kunto Wijoyo, “Tjoko, M. Nasir, dan Habibie, Sebuah Artikel yang Dimuat
dalam Majalah Ummat, No. 9 Tahun I/30 oktober 1995.
Syafig A. Mughni, Hassan Bandung, Pemikiran Islam Radikal, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1994)
Thohir Luth. M. Nasir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani,
1999)
Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com)
122
DAFTAR PUSTAKA
Abdul razak dan rosihun anwar. 2001. ilmu kalam. Bandung : CV.
Pustaka setia.
Abdullah al-amin al=nu‟my. 1995. Kaedah dan teknik pengajaran
menurut ibnu khaldun dan al-qabisy. Jakarta.
Abdullah Qodim Zallum. 1976. Pemikiran Politik Islam, (Bangil : Al-
Izzah, 2001. Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam
perspektif sejarah. Jakarta: Yayasan Idayu.
Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati. Pendidikan Luar Sekolah. Surabaya:
Usaha nasional.
Abu Ghazali. 1993. Pimpinan Umat Islam Sedunia, dalam Hakiem,
Pemimpin pulang. Jakarta: Media Dakwah.
Assep Purna. 2011. 101 Kisah Ins piratif. Jakarta : Gagas Media,
Bustami A. Ghani. 1987. Jakarta: Bulan Bintang.
Damami & Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru.
Fazlur Rahman. 2001. Gelombang Perubahan Dalam Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Hanafi, A. 1979. Teologi Islam Ilmu Kalam. Jakarta : Bulan Bintang.
Hasbullah. 2011. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Khaldun
Khuluq, L. 2000. Fajar Kebangunan Ulama – Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari .
Yogyakarta: LKiS.
Kunto Wijoyo, “Tjoko, M. Nasir, dan Habibie, Sebuah Artikel yang
Dimuat dalam Majalah Ummat, No. 9 Tahun I/30 oktober 1995.
123
Kurniawan, S & Mahrus, E. 2013. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
Maguwoharjo: Ar Ruzz Media.
Muhaimin. 1991. Konsep Pendidikan Islam. Solo:Ramadhan.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah.... hal.129-
131.
Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz. 1999. Teologi islam modern,
Surabaya: Gitamedia Press.
Nasution, H. 1986. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya Jilid II, Jakarta:
UI Pers.
Nasution, I. 2011. Ilmu Kalam ditengah perkembangan kepercayaan dan
peradaban manusia. Medan : Duta Azhar.
Nizar, S. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers.
Nizar,S. 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press.
Safwan, Mardanas. & Kutoyo, S. 2001. KH. Akhmad Dahlan, Riwayat
Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Soedja, M. 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Rhineka
Cipta.
Syafig A. Mughni, Hassan Bandung. 1994 Pemikiran Islam Radikal.
Surabaya: PT Bina Ilmu.
Thohir Luth. M. Nasir. 1999. Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta:
Gema Insani.
Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com),
diakses 10 April 2017.
Recommended