View
303
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
I. ABSES HATI
PENDAHULUAN
Abses hati adalah berbentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim gastrointestinal
yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari
jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. Abses hati
terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amebik (AHA) dan 'abses hati piogenik (AHP).
AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering
dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai
hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic
abscess. AHP ini merupakan kasus yang relative jarang, pertama ditemukan oleh
Hippocrates (400 SM), dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.
Penyakit AHA ini masih menjadi masalah kesehatan terutama di daerah dengan
strain virulen Entamoeba histolytica (E. Histolytica) yang tinggi. Sedangkan etiologi
AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci,
klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus,
staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens,
yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Pada era pre-
antibotik, AHP terjadi akibat komplikasi apendisitis bersamaan dengan fileplebitis.
Bakteri pathogen melalui arteri hepatika atau melalui sirkulasi vena portal masuk ke
dalam hati, sehingga terjadi bakteremia sistemik, ataupun menyebabkan komplikasi
infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis dan infeksi post operasi. Pada
saat ini, karena pemakaian antibiotik yang adekuat sehingga AHP oleh karena apendisitis
sudah hampir tidak ada lagi. Saat ini, terdapat peningkatan insidensi AHP akibat
komplikasi dari sistim biliaris, yaitu langsung dari kandung empedu atau melalui saluran-
saluran empedu seperti kolangitis dan kolesistitis. Peningkatan insidensi AHP akibat
komplikasi dari sistim biliaris disebabkan karena semakin tinggi umur harapan hidup dan
semakin banyak orang lanjut usia yang dikenai penyakit sistim biliaris ini. Juga AHP
disebabkan akibat trauma tusuk atau tumpul dan kriptogenik.
1
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
A. ABSES HATI AMEBIK
EPIDEMIOLOGI
Insiden abses hati amebik yang pasti sukar diketahui dan laporan setiap peneliti
berbeda oleh karena tergantung populasi yang diambil dan cara penelitian. Pria lebih
sering menderita abses hati amebik dibanding wanita. Prevalensi terbanyak ditemukan
pada umur antara 30-50 tahun. Kejadian penyakit ini lebih tinggi bila didapatkan pada
daerah atau masyarakat dengan sanitasi jelek, tingkat ekonomi rendah dan penduduk
yang padat.
ETIOLOGI
Abses hati amebik merupakan kombinasi ekstra intestinal yang paling sering
terjadi sesudah infeksi E.Histolytica yaitu pada 1-25% (rata-rata 8,1%) penderita dengan
amebiasis intestinalis klinis.
E.Histolytica dalam feces dapat ditemukan dalam 2 bentuk yaitu bentuk vegetatip
atau trofozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup diluar tubuh manusia.
Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten terhadap suasana kering dan
suasana asam. Bentuk trofozoit ada yang berukuran kecil (10-20mikron) dan berukuran
besar (20-60 mikron). Bentuk trofozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam.
Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease
yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi
jaringan.
PATOGENESIS
Cara penularan pada umumnya fekal oral baik melalui makanan atau minuman
yang tercemar kista atau transmisi langsung pada keadaan higiene perorangan yang
buruk. Pada kelompok homoseksual disebutkan insidens amebiasis lebih tinggi dikaitkan
dengan masalah hubungan oro-anal atau oro-genital yang dilanjutkan dengan genito-oral.
Sesudah masuk per-oral hanya bentuk kista yang bisa sampai kedalam intestin
tanpa dirusak oleh asam lambung, kemudian kista pecah, keluar trofozoit.
2
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
Di dalam usus trofozoit menyebabkan terjadinya ulkus pada mukosa akibat enzim
proteolitik yang dimilikinya, dan bisa terbawa aliran darah portal masuk ke hepar. Amuba
kemudian tersangkut menyumbat venul porta intra hepatik, terjadi infark hepatosit
sedangkan enzim-enzim proteolitik tadi mencerna sel parenkim hati sehingga kemudian
terbentuk abses. Didaerah sentralnya terjadi pencairan yang berwarna coklat kemerahan
“anchovy sauce” yang terdiri dari jaringan hati yang nekrotik dan berdegenerasi.
Amebanya dapat ditemukan pada dinding abses dan sangat jarang ditemukan didalam
cairan dibagian sentral abses. Kira-kira 25% abses hati amebik mengalami infeksi
sekunder sehingga cairan absesnya menjadi purulen dan berbau busuk. Hanya lebih
kurang 10% penderita abses hati yang dapat ditemukan adanya kista E.histolytica dalam
tinjanya pada waktu bersamaan, bahkan dilaporkan 2-33%. Faktor yang berperanan
dalam keaktivan invasi amuba ini belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin ada
kaitannya dengan virulensi parasit, diet, flora bakteri usus dan daya tahan tubuh
seseorang baik humoral maupun seluler.
Abses hati amebik biasanya terletak di lobus superoanterior. Besarnya abses
tervariasi dari beberapa sentimeter sampai abses besar sekali yang mengandung beberapa
liter pus. Abses dapat tunggal (soliter) ataupun ganda (multipel). Walaupun ameba
berasal dari usus, kebanyakan kasus abses hati amebik tidak menunjukkan adanya
amebiasis usus pada saat yang bersamaan, jadi ada infeksi usus lama bertahun-tahun
sebelum infeksi menyebar ke hati.
Istilah hepatitis amebik tidak tepat untuk terus dipertahankan atau dipakai karena
secara histologik jaringan hati sekitar abses tetap normal. Sejak awal penyakit, lesi ameba
dalam hepar tidak pernah difus melainkan merupakan proses lokal. Proses hepatolitik
tetap asimtomatik dan gejala yang akan muncul jika daerah ini meluas membentuk suatu
abses yang lebih besar. Lesi kecil akan sembuh dengan pembentukan jaringan parut,
sedangkan pada dinding abses besar akan ditemukan fibrosis. Amebiasis hati tidak pernah
menjadi sirosis hati.
GAMBARAN KLINIK
Riwayat Penyakit
3
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
Cara timbulnya abses hati amebik biasanya tidak akut, menyusup yaitu terjadi
dalam waktu lebih dari 3 minggu. Demam ditemukan hampir pada seluruh kasus yaitu
pada 92-96,8 %. Terdapat rasa sakit diperut atas yang sifat sakit berupa perasaan ditekan
atau seperti ditusuk. Rasa sakit akan bertambah bila penderita berubah posisi atau batuk.
Penderita merasa lebih enak bila berbaring sebelah kiri untuk mengurangi rasa sakit.
Selain itu dapat pula terjadi terjadi sakit dada kanan bawah atau sakit bahu bila abses
terletak dekat diafragma dan sakit di epigastrium bila absesnya di lobus kiri.
Anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah badan dan penurunan berat badan
merupakan keluhan yang biasa didapatkan.
Batuk-batuk dan gejala iritasi pada diafragma seperti cegukan (“hiccup”) bisa
ditemukan walaupun tidak ada ruptur abses melalui diafragma. Diare dengan atau tanpa
kolitis amebik, terjadi pada kurang dari 20%. Kegagalan faal hati fulminan sekunder
terhadap abses, merupakan keadaan yang sangat jarang terjadi.
Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya tidak begitu tinggi, kurva suhu bisa intermiten atau remiten.
Lebih dari 90% didapatkan hepatomegali yang teraba nyeri tekan. Hati akan membesar
kearah kaudal atau kranial, dan mungkin mendesak kearah perut atau ruang interkostal.
Pada perkusi diatas hepar akan terasa nyeri. Konsistensi biasanya kistik, tetapi
bisa juga agak keras seperti pada keganasan. Abses yang besar tampak sebagai masa yang
membenjol didaerah dada kanan bawah. Pada kurang dari 10% abses terletak di lobus kiri
yang sering kali terlihat seperti masa yang teraba nyeri didaerah epigastrium.
Ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Bila ikterus hebat biasanya disebabkan
abses yang besar atau multiple, atau dekat porta hepatic.
Pada pemeriksaan toraks didaerah kanan bawah mungkin terdapat adanya efusi pleura
atau friction rub dari pleura yang disebabkan iritasi pleura.
Gambaran klink abses hati amebic mempunyai spectrum yang luas dan sangat
bervariasi, hal ini disebabkan lokasi abses, perjalanan penyakit dan penyulityang terjadi.
Pada satu penderita gambaran bias berubah setiap saat. Dikenal gambaran klinik klasik
dan tidak klasik.
Pada gambaran klinik klasik didapatkan:
4
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
Penderita mengeluh demam dan nyeri perut kanan atas atau dada kanan bawah,
didapatkan hepatomegali yang nyeri. Didapatkan pada 54-70% kasus.
Gambaran klinik tidak klasik :
Tidak ada gambaran klinik klasik, disebabkan letak abses pada bagian hati yang tertentu
membeikan manifestasi klinik yang menutupi gambaran yang klasik.
1. benjolan didalam perut, seperti bukan kelainan hati misalnya diduga empiema
kandung empedu atau tumor pancreas.
2. gejala renal. Adanya keluhan nyeri penggang kanan dan ditemukan masa yang
diduga ginjal kanan. Hal ini disebabkan letak abses dibagian posteroinferior lobus
kanan hati.
3. ikterus obstruktif. Didapatkan pada 0,7% kasus. Disebabkan abses terletak didekat
porta hepatic.
4. colitis akut. Manifestasi klinis colitis akut sangat menonjol, menutupi gambaran
klasik absesnya sendiri
5. gejala kardiak. Rupture abses ke rongga pericardium memberikan gambaran
klinik efusi pericardial
6. gejala pleuropulmonal. Penyulit yang terjadi berupa empiema toraks atau abses
paru menutupi gambaran klasik abses hatinya.
7. abdomen akut. Didapatkan bila abses hati mengalami perforasi kedalam rongga
peritoneum, terjadi distensi perutyang nyeri disertai bising usus yang berkurang.
8. gambaran abses yang tersembunyi. Terdapat hepatomegali yang tidak jelas nyeri,
ditemukan pada 1,5 % kasus.
9. demam yang tidak diketahui penyebabnya. Secara klinik sering dikacaukan
dengan tifus abdominalis atau malaria. Biasanya ditemukan pada abses yang
terletak disentral dan yang dalam hati. Ditemukan pada 3,6% kasus.
Pemeriksaan Laboratorium
Ditemukan leukositosis, biasanya antara 13000-16000, bila disertai infeksi
sekunder biasanya diatas 20000 per mm. Sebagian besar penderita menunjukkan
5
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
peninggian LED. Kelainan faal hati jarang ditemukan, bila ada sering tidak mencolok dan
akan kembali normal dengan penyembuhan abses.
Pemeriksaan serologic sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dengan
sensitivitas 91-93% dan spesifisitas 94-99%. Pada pemeriksaan serologic positif berarti
sedang atau pernah terjadi amebiasis infasif. Didaerah endemic amebiasis, seseorang
tanpa sedang menderita amebiasis invasive sering memberikan reaksi serologic positif
akibat antibody yang terbentuk pada infeksi sebelumnya. Oleh karena itu pemeriksaan
kuantitatif lebih bernilai dalam diagnostic.
Titer diatas 1/512 (positif kuat) secara IHA menyokong adanya abses amebic.
Sebaliknya abses stadium awal biasa memberikan serologic negative.
Cara pemeriksaan yang cukup sensitive ialah dengan IHA dan yang paling sensitif ialah
cara ELISA.
Pemeriksaan parasit E.histolytica dilakukan pada isi abses atau cairan aspirasi
lainnya, biopsi abses, tinja atau biopsi kolonoskopi/sigmoidoskopi dengan hasil positif
ditemukan pada kurang dari 1/3 penderita.
Pemeriksaan Radiologi
Pada sinar tembus toraks tampak diafragma kanan meninggi dengan gerakan
terbatas, dan mungkin ada efusi pleura. Pada foto toraks bisa didapatkan pula kelainan
lain seperti corakan bronkovaskuler paru kanan bawah bertambah, infiltrat, atelektasis,
garis adesi tegak lurus dari diafragma ke paru-paru. Abses paling sering dibagian
superoanterior hepar sehingga tampak ada kubah dibagian anteromedial diafragma kanan.
Abses dilobus kiri memberikan gambaran deformitas berbentuk bulan sabit
didaerah kurvatura minor pada foto memakai bubur barium. Secara angiografik abses
tampak sebagai daerah avaskuler dengan pembuluh disekelilingnya yang berdistorsi dan
hipervaskularisasi.
Pemeriksaan Ultrasonografi
Cara pemeriksaan ini non invasif, murah, mudah dengan sensitivitas kira-kira
90%. Cara ini digunakan rutin untuk diagnosa, penuntun aspirasi dan pemantauan hasil
terapi. Dengan usg dapat dibedakan lesi padat dan kistik, dan dapat dievaluasi sifat cairan
6
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
abses. Hal ini merupakan kelebihan USG dibandingkan dengan sidik hati memakai
radioisotop. Hasil positif palsu kira-kira 5% misalnya pada kista, tumor dengan nekrosis
sentral, heamtom atau abses piogen. Abses ameba dengan infeksi sekunder bisa
memberikan hasil negatif palsu.
Gambaran USG yang sangat mencurigakan abses hati amebik ialah
a. Lesi hipoekoik “gain” normal maupun ditinggikan pada gain tinggi jelas tampak
echo halus, homogen tersebar rata.
b. Lesi berentuk bulat oval, pada abses hepar tampak lobulasi, tidak berdinding,
terletak dekat permukaan hati.
c. Terdapat peninggian echo pada bagian distal abses.
Gambaran USG yang khas dan lengkap seperti kriteria diatas hanya ditemukan pada
37,8% kasus.
Pemeriksaan Sidik Hati
Dengan cara ini sifat struktur lesi tidak dapat dibedakan, karena itu dianjurkan
kombinasi sidik hati dan USG untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam
diagnosis abses amebik. Lesi abses hati akan tampak kosong (filling defect) pada sidik
hati memakai radiokoloid113m, yodium99m, tegnetium atau 198mAu dan bila dilanjutkan
dengan sidik hati maemakai blood pool isotop misalnya 113mYodium transferin, akan
menunjukkan lesi yang tetap kosong dan sekitar lesi ada gambaran halo akibat sifat
hipervaskularisasi.
Keuntungan sidik hati ialah mampu mendeteksi abses hati pada stadium dini
dimana aktifitas sel kupfer sudah terganggu dan sudah terjadi gangguan penangkapan
isotop.
Pemeriksan Topografi Dengan Komputer
Merupakan cara terbaik untuk melihat gambaran abses terutama untuk abses yang
multipel atau yang letaknya posterior. Senstitivitas 98 % dan dapat mendeteksi lesi
berukuran 5mm. Dibanding USG, pemeriksaan ini mahal.
KRITERIA DIAGNOSIS
7
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
1. hati membesar dan nyeri
2. Leukositosis tanpa anemia, pada penderita abses amebik yang akut, atau
leukositosis ringan diseai anemia pada abses kronik
3. adanya pus amebik yang mungkin mengandung trofozoit E. Histolytica
4. Pemeriksaan serologik terhadap E.histolytica positif
5. Gambaran radiologi yang mencurigakan terutama pada fo toraks posteroanterior
dan lateral kanan
6. adanya filling defect pada sidik hati
7. Respon yang terbaik terapi Metronidazol
PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Prinsip pengobatan terdiri dari pemberian amebisid jaringan untuk
kelainan dii hati, disusul amebiasis intestinal untuk E.histolytica didalam usus
sehingga dicegah kambuhnya abses hati. Sebagai amebisid jaringan Metronidazol
dosis 3x750 mg/hari selama 10 hari merupakan pilihan pertama.
Pilihan kedua kombinasi Emetin-hidroklorida atau Dehidro emetindengan
klorokuin. Baik emetin maupun dehidro emetin merupakan amebisid sangat kuat,
didapat dalam kadar tinggi di hati, jantung dan organ lain. Obat ini bisa juga
sebagai amebisid intestinal, kurang sering dipakai oleh karena efek sampingnya
toksik terhadap otot jantung dan uterus. Jadi merupakan kontra indikasi pada
penyakit jantung (kecuali perikarditis amebik) dan wanita hamil.
Amebisid jaringan yang lain adalah klorokuin yang mempunyai nilai
kuratif sama dengan emetin hanya pemberian membutuhkan waktu lama. Kadar
yang tinggi terdapat pada hati, paru dan ginjal. Efek samping retinopati pada
pemakaian lama. Dosis yang diberikan 600mg klorokuinbasa, 6 jam kemudian
300 mg dan selanjutnya 2x150mg/hari selama 28 hari, ada pula yang memberikan
klorokuin 1gram perhari selam 2 hari diteruskan 500mg/hari selama 21hari.
Sebagai amebisid intestinal bisa dipakai Diloksanid furoad 3x500 mg /
hari selama 10 hari atau Diiodohidroksikuin 3x600mg/hari selama 21 hari atau
klefamid 3x500mg/hari selama 10 hari
8
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
2. Aspirasi terapeutik
Indikasi :
a. abses yang dikhawatirkan akan pecah
b. respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada
c. abses dilobus kiri karena mudah pecah ke rongga peritonium atau
perikardium.
Yang paling mudah dan aman, aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG. Bila
sarana USG tidak tersedia dapat dikerjakan aspirasi secara membuta pada daerah
hati atau toraks bawah yang paling mmenonjol atau daerah yang paling nyeri pada
palpasi.
3. Pembedahan
Pembedahan dilakukan bila :
a. abses disertai infeksi sekunder
b. abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang nterkostal.
c. Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil.
d. Ruptur abses kedalam rongga intraperitoneal, pleural, perikarditis.
Tindakan bisa berupa drainase terbuka atau tertutup atau tindakan reseksi
misalnya lobektomi.
KOMPLIKASI
1. Infeksi Sekunder
Merupakan komplikasi paling sering. Terjadi pada 10-20% kasus.
2. Ruptur Atau Perjalanan Langsung
Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses, misalnya abses di
lobus kiri mudah pecah ke perikardium sdan intraperitonium. Perforasi paling
sering ke pleuropulmonal (10-20%), kemudian ke rongga intra peritonium 6-9%,
perikardium 0,01% dan organ lain seperti kulit dan ginjal.
3. Komplikasi Vaskular
Ruptur kedalam vena porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal jarang
terjadi
4. Parasitemia, Amebiasis Serebral
9
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain
misalnya otak yang akan memberikan gamabaran klinik dari lesi fokal intrakranial
PROGNOSIS
Faktor yang mempengaruhi prognosis:
a. Virulensi parasit
b. Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita
c. Usia penderita, lebih buruk pada usia tua
d. Cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosis lebih buruk
e. Letak dan jumlah abses, prognosis buruk bila abses di lobus kiri atau multipel
f. Stadium penyakit.
g. Komplikasi
Bila terapi adekuat, resolusi abses akan sempurna tetapi imunitas tidak permanen dan
dapat terjadi lagi reinfeksi.
B. ABSES HATI PIOGENIK
EPIDEMIOLOGI
Di negara-negara yang sedang berkembang, Abses Hati Amebik (AHA)
didapatkan secara endemik dan jauh lebih sering dibanding Abses Hati Piogenik (AHP).
AHP ini tersebar di seluruh dunia dan terbanyak di daerah tropis dengan higiene atau
sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan beberapa kepustakaan barat didapatkan prevalensi
autopsi bervariasi antara 0,291,47%, sedangkan prevalensi di RS antara 0,008-0,016%.
AHP lebih sering terjadi pada pria daripada perempuan, dengan rentang usia >40 tahun
dengan insidensi puncak pada dekade ke-6
ETIOLOGI
Infeksi terutama disebabkan oleh kuman gram negative dan penyebab terbanyak
adalah E.Coli. Di samping itu penyebabnya adalah juga S.Faecalis, P.Vulgaris dan
Salmonella Typhi. Dapat pula bakteri anaerob seperti bakteroides, aerobakteria,
10
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
aktinomises dan ster anaerob. Untuk penetapan kuman penyebab perlu dilakukan biakan
darah, pus, empedu dan swab secara aerob maupun anaerob.
Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari Vena Porta
yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan pielflebitis porta atau emboli
septic.
1. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik
menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu, kanker,
striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.
2. Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses
perinefrik, kecelakaan lalu lintas.
3. Septisemia atau bekterimia akibat di tempat lain.
4. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut
usia.
PATOFISIOLOGI
Hepar merupakan organ yang menerima darah baik dari aliran sistemik maupun
sirkulasi vena portal. Hal ini semakin memudahkan terinfeksinya hati oleh karena
paparan bakteri yang berulang. Tetapi dengan adanya sel Kupffer yang membatasi
sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut.
Penyakit traktus biliaris menjadi penyebab yang utama terhadap Abses Hati
Piogenik, sehingga adanya obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya
proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-
cabang dari vena portal dan limfatik sehingga terbentuk formasi abses pylephlebitic.
Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia
sitemik.
Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim
hati sehingga terjadi abses hati piogenik. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan
nekrosis hati, perdaahan intrahepatik dan terjadi kebocoran saluran empedu sehingga
terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri
ke hati dan terjasi pertumbuhan bakteri dengan proses supurasi dan pembentukan pus.
11
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
Lobus kanan hati lebih saring terjadi abses hati piogenik dibandingkan lobus kiri,
hal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima aliran darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri
mesenterika inferior dan aliran limfatik.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi sistemik AHP biasanya lebih berat daripada abses hati amebic.
Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri spontan
perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua
tangan diletakkan di atasnya. Demam/panas tinggi merupakan keluhan utama, keluhan
lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan gejala syok.
Setelah era pemakaian antibiotic yang adekuat, gejala dan manifestasi klinis AHP adalah
malaise, demam yang tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada abdomen yang
menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses hati piogenik letaknya dekat
dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu
sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektasis. Gejala lainnya adalah rasa mual dan
muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintentional,
kelemahan badan, ikterus, buang air besar yang berwarna seperti kapur dan buang air
kecil berwarna gelap.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan febris hingga demam/panas tinggi, pada
palpasi terdapat hepatomegali serta perkusi terdapat nyeri tekan hepar, yang diperberat
dengan adanya pergerakan abdomen, splenomegali didapatkan apabila AHP telah
menjadi kronik, selain itu bisa didapatkan asites, ikterus, serta tanda-tanda hipertensi
portal.
DIAGNOSTIK
Menegakkan diagnosis Abses Hati Pyogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik , dan laboratorium serta pemeriksaan penunjang. Diagosis AHP kadang-kadang sulit
ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Sedangkan diagnosis dini
memberikan arti penting dalam pengelolaan AHP karena penyakit ini dapat
disembuhkan. Sebaliknya, diagnosis dan pengobatan yang terlambat akan meningkatkan
12
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
angka kejadian morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya
dengan CT scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT scan mempunyai nilai prediksi
yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes
serologi yang negative menyingkirkan diagnosis Abses Hati Amebik, meskipun terdapat
pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif setelah beberapa hari kemudian. Diagnosis
berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan
kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis.
PENATALAKSANAAN
Secara konvensional, penatalaksanaan abses hati piogenik ialah dengan drainase
terbuka secara operasi dan antibiotik spektrum luas oleh karena bakteri penyebab abses
terdapat didalam cairan abses yang sulit dijangkau dengan antibiotik tunggal tanpa
aspirasi cairan abses. Saat ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan
menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen
ultrasound atau tomografi computer. Komplikasi yang mungkin timbul adalah
perdarahan, perforasi organ intraabdominal, infeksi ataupun terjadi kesalahan dalam
penempatan kateter untuk drainase. Reseksi hati kadang – kadang diperlukan pada
abses hati piogenik multiple.
Penicillin digunakan pada terapi awal penatalaksanaan dengan antibiotic.
Selanjutnya dikombinasikan antara ampisillin, aminoglikosida atau sefalosporin generasi
III dan klindamisin atau metronidazol. Jika dalam waktu 48-72 jam belum ada perbaikan
klinis dan laboratoris, maka antibiotik yang digunakan diganti dengan antibiotika yang
sesuai dengan hasil kultur sensitifitas aspirat abses hati. Pengobatan secara parenteral
dapat diubah menjadi oral setelah pengobatan parenteral selama 10-14 hari, dan
kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian.
Pengelolaan dengan dekompresi saluran biliaris dilakukan jika terjadi obstruksi
sistim biliaris yaitu dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi.
KOMPLIKASI
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat, seperti
septikemia/bakteremia dengan mortalitas 85 %, ruptur abses hati disertai peitonitis
13
KELOMPOK II IPD2 BD ABSES HATI
generalisata dengan mortalitas 6-7 %, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke
dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam
perikard atau retroperitoneum.
Sesudah mendapat terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses
rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses.
PROGNOSIS
Pada kasus yang mendapat pengobatan antibiotik yang sesuai dengan bakterial
penyebab dan dilakukan drainase, mortalitas sebesar 10-16 %. Prognosis yang buruk
apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang
memperlihatkan bacterial penyebab multiple, tidak dilakukan drainase pada abses,
adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain.
14
Recommended