1311-2961-1-PB.pdf

Preview:

Citation preview

8/19/2019 1311-2961-1-PB.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/1311-2961-1-pbpdf 1/7

  1

KONSEP  MASHLAHAH  NAJAMUDDIN AL-THUFI DAN

IMPLEMENTASINYA

Idaul Hasanah

FAI UMM

E-mail: idaul_h@yahoo.com 

ABSTRACT

It is not enough to say ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah. There are many materials to realize thismotto; one of them is ushul fiqh. Ushul fiqh is a methodological tool to solve social problem insociety based in al-Qur’an wa as-Sunnah. Ushul fiqh is the science that originally born in Islam. Itis develop by the developing the Islamic Law. Ushul fiqh is producted by specific condition, so it isnecessary to reform it.

Kata Kunci: Konsep Mashlahah  dan Implementasi 

PENDAHULUAN

Seiring dengan perubahan-perubahansosial dalam masyarakat, dimana persoalanselalu muncul dan berkembang, agamatertantang untuk menyelesaikannya. Sloganal-ruju’ ila al-qur’an wa al-sunnah saja tidakcukup. Untuk menyelesaikannya perlu sebuah

 perangkat metodologi hukum, yang dalamkhazanah keilmuan Islam adalah ushul fiqh(Imam Syaukani, 2006). Persoalannya,dapatkah perangkat ushul fiqih yang adadapat menyelesaikan problem-problemtersebut. Memang ada anggapan bahwa ushulfiqh adalah salah satu bidang keilmuan Islamyang final, tidak dapat diotak atik lagi. Adayang menyatakan bahwa ushul fiqh adalahsalah satu bidang ilmu yang telah matang

 bahkan gosong (Amin Abdullah, 2003),sehingga perubahan sudah tidakmemungkinkan kembali.

Pada kenyataannya metodologi ushulfiqih sudah tidak dapat menyelesaikan

 problem hidup masyarakat. Meminjamungkapan al-Turabi, kondisi ilmu ushul al-fiqh tradisional yang dijadikan sebagai

 petunjuk sudah tidak relevan lagi dalammemenuhi kebutuhan moderen. Sebab, iadisusun dalam kondisi historis dandipengaruhi oleh watak problematika hukumIslam atau fiqh yang menjadi pembahasanhukum Islam waktu itu (Hasan al-Turabi,

2003). Untuk itu perlu dilakukan kembalireformulasi ushul fiqh yang lebih acceptable dan applicable  bagi kehidupan masyarakatmodern.

Hingga saat ini, beberapa pemikirIslam telah memberikan sumbangan dalamupaya merekonstruksi bangunan epistemologihukum Islam yang lebih antisipatif terhadapkebutuhan perkembangan zaman. Sebut sajanama seperti Fazlur Rahman dengan teoridouble movement , Mahmoed MuhammadTaha dengan teori nasakh-nya, MuhammadSahrur dengan teori hudûd -nya, Kholid Aboual-Fadl dengan hermeneutiknya dansebagainya.

Jika menengok di masa ketikakejumudan pemikiran mulai menjadifenomena umat Islam setelah fiqh mazhabmengalami masa kematangannya, terdapat

 beberapa ulama yang berupaya mendobraktertutupnya pintu ijtihad tersebut dengan

 pemikiran-pemikiran yang brilian dan

kontroversial pada masanya. Ulama tersebutsemisal Ibn Taymiyah, al-Syathibi, Najamuddin al-Thufi. Yang akan menjaditopik kajian ini adalah Najamnuddin al-Thufiseorang ulama asal Thufa , sebuah desa diSarsara dekat Baghdad di mana ia dilahirkan.

 Nama aslinya adalah Sulayman Ibn `Abd al-Qawi Ibn `Abd al-Karim Ibn Sa’d. Beliauhidup sekitar tahun 1259 M hingga 1318 M,

8/19/2019 1311-2961-1-PB.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/1311-2961-1-pbpdf 2/7

  2

 pada masa hancurnya kota Baghdad akibatserbuan pasukan Mongol dibawah pimpinanHulagu Khan (Muhammad Roy, 2007).

Al-Thufi adalah produk masakemunduran Islam khususnya, juga hukumIslam yang menuntut usaha pembaruan.

Sedangkan secara sosio-politik terjadinyafenomena disintegrasi serta fanatisme mazhabyang berlebihan sehingga tidak jarang satumazhab menghujat madzhab yang lain.Fenomena absolutisme hukum Islam inilahyang nampaknya lebih memberi inspirasi

 pendapatnya yang kontroversial.Salah satu pendapat al-Thufi yang

cukup kontroversial adalah konsepmashlahah. Konsep mashlahah  yangditawarkan al-Thufi berbeda dengan ulamalainnya. Disamping kemunculannya

 berlawanan dengan arus pada zamannya,maslahah al-Thufi lebih liberal dibanding al-Syathibi. Tulisan ini berupaya menelusurikonsep al-Thufi dan bagaimanaimplementasinya secara praksis.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maslahah

Secara etimologis maslahah berasaldari kata dasar sin, lam, dan ha yang dari kataini terbentuk kata-kata seperti  shalaha,

 shaluha, shalâhan, shulûhan  dan shilâhiyatan. Kata kerja  shaluha menurut al-Fayumi mempunyai arti yang berlawanandengan fasada yang berarti rusak atau binasa.Kata maslahah adalah bentuk mufrad  (tunggal),  jama’   (pluralnya) adalah masâlih,yang berarti baik atau benar (Kamal Mukhtar,2003). Menurut Sa’id Ramadlan al-Buthidalam bukunya  Dlawabith al-Mashlahah fi

Syari’ah al-Islamiyyah,  menyatakan bahwamashlahah  berarti kebaikan ( shalah) dankemanfaatan (naf’u). Mashlahah adalah setiap

yang mengandung kemanfaatan baik dengancara menolak bahaya dan rasa sakit(M.Dahlan, 2006).

Secara umum, ulama ushul fiqihmembagi mashlahah  menjadi dua macam,yaitu maslahah  uhkrawi yang terdiri dari

 persoalan aqidah dan ibadah serta mashlahah duniawi dalam persoalan muamalah.

Maslahah menurut pertimbangan buktitekstual; terbagi tiga:  pertama, mashlahah mu`tabarah  adalah jenis mashlahah  yangkeberadaannya diakui secara tekstual (adadalam al-Qur’an atau hadits). Kedua,mashlahah mursalah  adalah jenis mashlahah 

yang tidak didukung atau disangkal oleh buktitekstual. Dan ketiga adalah mashlahah mulghah adalah jenis mashlahah  yangkeberadaannya bertentangan dengan buktitekstual.

Dari sudut kepentingannya,mashlahah  menjadi tiga: yaitu pertamadharuriyyah  adalah sejenis mashlahah  yangkeberadaannya sangat dibutuhkan demitegaknya kemaslahatan dunia dan akhirat,sehingga kalau tidak hal ini tidak ada makakemaslahatan dunia tidak akan tercapai,

 bahkan menjadi binasa di dunia dan mendapatsiksa di akhirat. Kedua adalah hajiyyat  adalah

 jenis mashlahah  yang dibutuhkan untukmenghilangkan kesulitan, sehingga kalautidak tercapai, manusia hanya akan mendapatkesulitan dan tidak sampai binasa hidupnya.Ketiga, adalah mashlahah  tahsiniyyat   adalah

 jenis mashlahah  yang berfungsi untukmenjaga kehormatan dan kesopanan, sepertimelindungi perempuan agar tidak melakukansendiri akad nikahnya.

B. Perkembangan Teorisasi  mashlahah 

 Mashlahah  sebagai tujuan syari’atIslam telah dikenal dalam khazanah keilmuanIslam sejak masa awal. Semua ulama jugamengakui akan hal tersebut.

Ijtihad Umar bin Khaththab yangsering berbeda dengan pendapat sahabatkebanyakan adalah dalam rangkakemashlahatan; seperti pengampunan seorang

 pencuri dari potong tangan, pembatasan

waktu pengiriman tentara, dan lainsebagainya.Pada awalnya maqậ shid   syari’ah

sebagai dasar dari penetapan mashalah belumterumuskan sebagai sebuah konsep yang

 sharîh, namun secara implisit menjadi prinsipumum dari seluruh syari’at yang berlaku.

 Maqậ shid   al-syarî’ah  sebagai sebuah teorihukum baru dirumuskan pada masa

8/19/2019 1311-2961-1-PB.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/1311-2961-1-pbpdf 3/7

  3

kemunduran Islam, yaitu oleh syaikh al-Imamal-Haramain al-Juwaini (w. th 478 H) (AhmadRasyuni, 1995). Al-Juwaini secara tegasmengatakan bahwa seseorang tidak dapatdikatakan mampu menetapkan hukum dalamIslam, sebelum ia memahami benar tujuan

Allah mengeluarkan perintah-perintah danlarangan-larangannya (Ahmad RaysuniAhmad, 1995). Tokoh lainnya ada murid al-Juwaini yaitu Abu Hamid al-Ghazali (w. th505 H) (Yusdani, ….).  Beliaumengembangkan pokok-pokok pemikirannyayang termaktub dalam kitab al-Mustashfa,

 bahwa prinsip maqâshid  adalah pemeliharaanatas lima aspek; yaitu agama, jiwa, akal,nasab dan harta. Saifu al-din al-Amidy dalamkitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam merumuskan sebuah konsep yang merupakan

ringkasan dari tiga buah buku al-Mu’tamad,al-Burhan, dan al-Mustashfa. Selain ituterdapat `izz al-Din bin abd al-salam (w.660h) seorang ulama syafi’iyyah, menekankandan mengelaborasi konsep mashlahah secarahakiki dalam bentuk menolak mafsadat   danmenarik manfaat (Ghazali, al-Mustashfah….?)

Prinsip maqậ shid   al-Syathibi secararadikal dikembangkan oleh al-Tufi yangmerumuskan sebuah teori maslahah. Gagasanal-Tufi yang cukup berani adalah penempatanmaslahah di atas teks ketika terjadikontradiksi antara teks dan maslahat, terutamadalam hal-hal yang termasuk kawasanmu’amalah, bukan dalam kawasan ibadah.Konsep maslahah al-Tufi secara aplikatifdapat diterima secara mudah oleh para ulamaketika tidak terjadi pertentangan dengan nash.Hal ini pernah juga dirumuskan oleh ImamMalik yang mengemukakan konsep maslahah,walaupun hanya dalam tataran mashalah yangdigantung oleh nash, yaitu mashlahah

mursalah, (mashlahah yang tidak didukungdan tidak dilarang oleh nash)

C. Konsep Maslahah al-Thufi

Pandangan al-Tufi tentang mashlahah berasal dari pembahasan ( syarah) haditsnomor 32 hadits Arba`in Nawawi, yang

 berbunyi la darâra wa lâ dirâra, yang artinya jangan menyebabkan bahaya atau kerugian

 pada orang lain, dan jangan membalas suatukerugian dengan kerugian lainnya. Bahasanal-Thufi mengenai hadits no 32 tersebutdikutip secara utuh dan lengkap yang

 bersumber dari bahasan Syaikh Kamaluddinal-Qasimi seorang ulama Damaskus yang

telah berupaya memisahkan bahasan al-Tufidalam hadist tersebut, kemudianmenukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia

 juga berperan sebagai pensyarah di dalamrisalah tersebut dalam hal-hal yang memangmemerlukan ulasan, ia juga memberikankomentar secukupnya. Kemudian majalah al-Manar No.IX/10, oktober 1906 memuatrisalah berikut syarahnya secara lengkap(Abdul Wahab Khalaf, 1972).

Selain hadits la darâra wa lâ dirâra,mashlahah al-Thufi juga di dasarkan pada

ayat-ayat hukum, seperti ayat tentang qishâh,tentang hukuman bagi pezina serta ayat yang

 berkaitan dengan hukuman potong tangan.(QS. 2:179;Qs. Al-Nur (24):2;Qs. AL-Maidah(5):38. bahwa dalam ayat-ayat tersebut,tersirat kemaslahatan yang harus tegak

 bersama dengan tegaknya hukum tersebut.Dalam mengutarakan teori

mashalahahnya, al-Thufi menyandarkan padaempat prinsip utama (Musthafa Zaid, 1954):

1.  Akal bebas menentukan mashlahahdan kemafsadatan, khususnya dalamlapangan mu’amalah dan adab. Untukmenentukan suatu mashlahah ataukemafsadatan cukup dengan akal.Pendirian al-Thufi bahwa akal semata,tanpa harus melalui wahyu mampumengetahui kebaikan dan keburukanmenjadi fondasi yang pertama dalam

 piramida pemikirannya. Akan tetapi,al-Thufi membatasi membatasikemandirian akal itu dalam bidangmu’amalah dan adat istiadat, dan ia

melepaskan ketergantungan atas petunjuk nash, kepentingan umumatau mafsadat pada kedua bidangtersebut. Pandangan ini bertolak

 belakang dengan mayoritas ulamayang menyatakan bahwa sekalipunmashlahah dan kemafsadatan itu dapatdicapai dengan akal, kepentinganumum itu harus mendapatkan

8/19/2019 1311-2961-1-PB.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/1311-2961-1-pbpdf 4/7

  4

 justifikasi dari nash atau ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.

2.  Sebagai kelanjutan dari pendapatnyayang pertama di atas, al-Thufi

 berpendapat bahwa mashlahahmerupakan dalil Syar’i mandiri yang

kehujahannya tidak tergantung padakonfirmasi nash, tetapi hanyatergantung pada akal semata. Dengandemikian mashlahat merupakan dalilmandiri dalam menetapkan hukum.Oleh sebab itu kehujahan mashlahahtidak diperlukan dalil pendukung,karena mashlahah itu didasarkankepada pendapat akal semata. Bagi al-Thufi, untuk menyatakan sesuatu itumashlahah atas dasar adat istiadat daneksperiman, tanpa membutuhkan teks.

3. 

Mashlahah hanya berlaku dalam bidang mu’amalah dan adat kebiasaan,sedangkan dalam bidang ibadat(mahdah) dan ukuran-ukuran yangditetapkan syara’, seperti shalatzhuhur empat rakaat, puasa bukanRamadlan selama sebulan, tawaf itudilakukan tujuh kali, tidak termasukobjek mashlahah, karena masalah-masalah tersebut merupakan hak Allahsemata. Bagi al-Thufi, mashlahahditetapkan sebagai dalil syara’ hanyadalam aspek mu’amalah (hubungansosial) dan adat istiadat. Sedangkandalam ibadah dan muqaddarah,mashlahah tidak dapat dijadikan dalil.Pada kedua bidang tersebut nash danijma’lah yang dijadikan referensiharus diikuti. Perbedaan ini terjadikarena dalam pandangan al-Thufiibadah merupakan hak prerogratifAllah; karenanya tidak mungkinmengetahui jumlah, cara, waktu dan

tempatnya kecuali atas dasar penjelasan resmi langsung dari Allah.Sedangkan dalam lapanganmu’amalah dimaksudkan untukmemberikan kemanfaatan dankemashlahatan kepada umat manusia.Oleh karena itu, dalam masalah ibadahAllah lebih mengetahui dan karenanyakita harus mengikuti nash dan ijma’

dalam bidang ini. Mengenai masalahhubungan sosial, manusialah yanglebih mengetahui mashlahahumumnya. Karenanya mereka harus

 berpegang pada mashlahah ketikamashlahah itu bertentangan dengan

nash dan ijma’4.

 

Kepentingan umum merupakan dalilsyara’ paling kuat. Oleh sebab itu, al-Thufi juga menyatakan apabila nashdan ijma’ bertentangan denganmashlahat, didahulukan mashlahatdengan cara takhsîs  dan bayân  nashtersebut. Dalam pandangan al-Thufisecara mutlak mashlahah itumerupakan dalil syara’ yang terkuat.Bagi al-Thufi mashlahah itu bukanhanya merupakan dalil ketika tidak

adanya nash dan ijma’ ketika terjadi pertentangan antara keduanya.Pengutamaan mashlahah atas nash danijma’ tersebut, al-Thufi lakukandengan cara bayân dan takhsîs; bukandengan cara mengabaikan ataumeninggalkan nash sama sekali,sebagaimana mendahulukan sunnahatas al-Qur’an dengan cara bayân. Haldemikian al-Thufi lakukan karenadalam pandangannya, mashlahah itu

 bersumber dari sabda nabi saw.: la

darâra wa lâ dirâra. Pengutamaandan mendahulukan mashlahah atasnash ini ditempuh baik nash itu qath’i dalam sanad dan matannya atauzhanny keduanya.Jika mashlahat tersebut sesuai dengan

nash, ijma’ dan dalil-dalil syari’at lainnya, haltersebut tidak perlu diperselisihkan lagi. Akantetapi jika ternyata terjadi pertentangan antaramashlahah dengan dalil-dalil syara’ lainnya,

 jalan keluarnya dicari kesesuaiannya, seperti

dengan bayân dan takhsîs melalui mashlahat.Argument-argumen al-Thufi dalam halmemenangkan maslahah dari pada nas adalah:

1.  Orang-orang yang menolak kehujahanijma’ mereka mengakui kehujahanmaslahah, sebab maslahah merupakansesuatu yang tidak diperselisihkan,sedangkan ijma’ merupakan sesuatuyang masih diperselisihkan. Oleh

8/19/2019 1311-2961-1-PB.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/1311-2961-1-pbpdf 5/7

  5

karena itu, berpegang pada sesuatuyang disepakati (maslahah) lebihutama dari pada berpegang padasesuatu yang diperselisihkan (ijma’).

2.   Nash-nash itu sendiri saling bertentangan dan berselisih, dan dari

itulah muncul sumber dari segala bentuk pertikaian dalam menetapkanhukum syari’at. Sedangkanmemelihara mashlahah merupakansesuatu yang hakiki dan tidakdiperselisihkan. Dengan demikian,titik temu hanya ada pada mashlahatdan mengikuti mashlahat lebih baikdari pada menolaknya.

3. 

Dalam kenyataannya terjadikontradiksi antara nash dan mashlahatdalam beberapa hal. Dalam pandangan

al-Thufi, sesungguhnya telah terjadi pertentangan antara nash denganmashlahat.

D. Implementasi Mashlahah al-Thufi

1.  Dalam masalah pencatatan perkawinanDalam fikih munakahat klasik,

terutama mazhab Syafi’I dan diakomodasidalam pasal 14 Kompilasi hukum Islam(Departemen Agama, 2001), rukun

 perkawinan ada lima: calon suami, calonisteri, wali, dua orang saksi dan ijab qabul(Ibrahim Hosen, 2003). Dalam dunia modernyang menuntut adanya ketertibanadministrasi, pencatatan menjadi sebuahkebutuhan persyaratan. Salah satu tuntutanreformasi hukum keluarga di duniainternasional, pencatatan perkawinanmerupakan salah satu pasal yang diusulkansebagai rukun perkawinan. Pro kontra yangmuncul pun beragam, menilai dari keabsahan

 penambahan rukun tersebut.Keabsahan pencatatan nikah sebagai salah

satu rukun, dapat dilihat dengan kaca matamaslahat model al-Thufi.1.

 

Mencari kemaslahatan yangdikandung dari pencatatan

 perkawinan. Dalam era moderenini, kebutuhan akan ketertibanadminitrasi sangat tinggi. Segala

 peristiwa penting manusia sejaklahir hingga meninggal, dunia

modern menuntut adanya buktiotentik yang bersifat hitam putih,tertulis. Kelahiran manusiadibuktikan dengan akta lahir,

 begitu juga dengan kematiannya,harus dibuktikan dengan surat

kematian, untuk membuktikanidentitas diri manusia tersebut.Perkawinan sebagai salah satu

 peristiwa penting manusia, sangatmembutuhkan adanya pencatatan.Hal ini disamping untukmengantisipasi ( syaddud dzarâ’i`) terhadap kekhawatiran

 penyelewangan salah satu pihaksuami isteri dalam hak dankewajiban, baik yang terkait antarakeduanya maupun yang terkait

dengan anak, juga untukmendukung keberlangsungankehidupan keluarga dalammenghadapi kehidupan modern.Dan yang lebih penting lagi adalahdalam rangka melindungi hak-hak

 perempuan dan anak yangseringkali menjadi korbankebohongan suami. Jika terjadi

 pencatatan, hak-hak isteri dan anaklebih terlindungi. Ikatan keluargayang terbangun dapat dibuktikansecara hukum, sehingga ketikaterjadi masalah suatu saat nanti,hak-hak isteri dan anak dapatterlindungi.

2. 

Mashlahah yang dirumuskan di atas bersandar pada kebenaran akal dandiakui secara universal, dan tidak

 berdasar nash3.  Dalam hubungannya dengan nash,

terdapat ayat pendukung; yaitu QS.2;282. walaupun tidak secara

langsung berbicara tentang pencatatan perkawinan, namunnilai yang dikandung bersifatuniversal, yaitu pencatatan dalam

 bermu’amalah.Berdasarkan pertimbangan tersebut,

 pencatatan perkawinan dapat dimasukkansebagai rukun perkawinan, walaupuntidak ada nash yang berbicara langsung.

8/19/2019 1311-2961-1-PB.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/1311-2961-1-pbpdf 6/7

  6

merupakan salah

2.  Dalam Masalah poligamiPoligami selalu menjadi topik

 pembicaraan yang hangat. Apalagi akhir-akhirini banyak muncul para pelaku poligami dari

kalangan politisi, ulama, bahkan pengusahayang dengan terang-terangan di depan publikmenunjukkan poligaminya. Bagaimanamemandang poligami dengan kaca matamaslahah?

1.  Apa mashlahah yang muncul dari poligami? Dan apa mafsadat yangmuncul? Mashalah dari poligami jikayang dinikahi adalah janda dengan

 banyak anak dan bermaksudmenolong, dapat membagikesejahteraan dengan orang lain.

Mafsadatnya apa? Isteri terzholimi,anak tidak mendapatkan hak

2.  Mashlahah dari poligami seperti yangdirumuskan di atas bersandar padakebenaran akal dan diakui secarauniversal. Dibandingkan denganmashlahahnya, mafsadat yang muncullebih besar.

3.   Nash yang ada membolehkan poligami. Qs. Al-Nisa’ (4) ayat 3

4.  Terdapat kontradiksi antara nashdengan mashlahah, sehinggadilakukan takhsîs dan tabyîn, dengankesimpulan, kebolehan poligamidengan syarat-syarat yang cukup ketat,atau dalam istilah KHI, prinsipmonogami terbuka.

KESIMPULAN

Konsep mashlahah al-Thufi cukuprelevan dalam merumuskan ataumengistinbathkan hukum sesuai dengankebutuhan masyarakat modern. Karena al-Thufi mengambil konsep yang palingmendasar dalam kehidupan manusia, ayitukemashlahatan manusia, yang juga menjaditujuan dari syari’at Islam.

Kajian tentang konsep mashlahah al-Thufi menyisakan satu tersendiri dalammenentukan kriteria nash yang dapatdikalahkan oleh maslahah. Apakah yangqath’i atau zhanny? Atau bisa kedua-duanya?Hal itu belum secara tuntas dibahas oleh al-

Thufi dan menjadi tantangan kajian berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah , Rekonstruksi Metedologi

 Ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta:SUKA Press, 2003).

Abdul Wahab Khalaf. Mashadir al-Tasyri’ al-

 Islami Fi ma la Nassa Fih, (Quwait:Dar al-Qalam, 1972), sebagaimanadikutipYusdani, Peranan Kepentingan

Umum dalam Reaktualisasi Hukum:

 Kajian Konsep Hukum Islam Namajuddina Al-Thufi.  (Yogyakarta:UII Press, 2000).

Departemen Agama,  Kompilasi Hukum Islam

(Jakarta: Ditbinbapera, 2001).Hasan al-Turabi, Fiqh Demokratis: Dari

Tradisionalisme Menuju ModernismePopulis (Tajidi Fikr al-Islami) terj.(Bandung: Arsy, 2003), Dalam Imam

8/19/2019 1311-2961-1-PB.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/1311-2961-1-pbpdf 7/7

  7

Syaukani, Rekonstruksi EpistemologiHukum Islam Indonesia danRelevansinya bagi PembangunanHukum Islam Indonesia. (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006).

Ibrahim Hosen,  Fiqh Perbandingan Masalah

 Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus,2003).

Kamal Mukhtar,  Maslahah Sebagai Dalil

 Penetapan Hukum Islam, dalam AminAbdullah,  Rekonstruksi Metodologi

 Keislaman, (Yogyakarta:SUKA Press,2003)

Muhammad Roy,  Filsafat Hukum al-Thufi

dan Dinamisasi Hukum Islam.

(Yogyakarta: Pondok Pes. UII, 2007)M. Dahlan, Epistemologi Hukum Islam (Studi

Atas Pemikiran Abdallhi an-Na`im),

Disertasi, Yogyakarta: Pasca SarjanaUIN Jogjakarta, 2006.

Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-

 Islami wa Najamuddin al-Thufi, (Beirut:dar al-Fikr, 1954), Sebagaimana dikutipoleh Yusdani, baca juga kutipannyaMuhammad Roy, ibid, Lihat jugaAbdallah M. Al_husain al-Amiri,

 Dekonstruksi Sumber Hukum Islam:

 Pemikiran Hukum Najm al-Din al-thufi terj. (Jakarta: Gaya Media Pratama,2004).