View
237
Download
3
Category
Preview:
DESCRIPTION
forensik, refrat
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Definisi HIV/AIDS
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan gejala
menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS dapat dikatakan suatu kumpulan tanda/gejala
atau sindrom yang terjadi akibat adanya penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau
tertular/terinfeksi, bukan dibawa sejak lahir. Penderita AIDS mudah diserang infeksi
oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan sistem kekebalan tubuh
normal tidak terjadi) dan kanker dan biasanya berakhir dengan kematian. Penyebab AIDS
adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yakni sejenis virus RNA yang tergolong
retrovirus. Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih
(Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai pusat
dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi
kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan
menimbulkan tanda-tanda gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh
seseorang, HIV dapat diperoleh dari lifosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag
dan cairan otak penderita AIDS (Wikipedia, 2011).
Gambar 1 Virus HIV (Wikipedia, 2011)
1
2.1.2 Manifestasi Klinis HIV/AIDS
Lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama laki-laki,
tetapi proporsi penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak,
90 % terjadi dari Ibu pengidap HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak
menunjukkan gejala-gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat
menularkan kepada orang lain. Setelah itu, AIDS mulai berkembang dan menunjukkan tanda-
tanda atau gejala-gejala. Gejala-gejala AIDS baru bisa dilihat pada seseorang yang tertular
HIV sesudah masa inkubasi, yang biasanya berlangsung antara 5-7 tahun setelah terinfeksi.
Selama masa inkubasi jumlah HIV dalam darah terus bertambah sedangkan jumlah sel T
semakin berkurang, kekebalan tubuhpun semakin rusak jika jumlah sel T makin sedikit
(Wikipedia, 2011).
Perjalanan klinik infeksi HIV dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu : (CDC, 2001)
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, arthralgia, anoreksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikaria), gejala syaraf (sakit kepala,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif dan afektif), gangguan gastrointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya virus
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya
sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar limfe menyeluruh, disebut limfadenopati (LEP),
meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostik dan tidak terpengaruh bagi
hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai
petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat
500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat
imunitas penderita.
1). Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500
2
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau
hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang
lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian
juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2). Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase
yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh
sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Gambar 2 Stadium Klinis Infeksi HIV/AIDS (Wikipedia, 2011)
Tanda dan Gejala AIDS meliputi : (Carpenter, 2011)
1. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu
gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
a. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
b. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
3
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
Gambar 3 Klasifikasi Manifestasi Klinis Infeksi HIV/AIDS (CDC, 2001)
2.1.4 Epidemiologi HIV/AIDS
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik
paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus
bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8
juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000)
merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.
Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang
dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981
(UNAIDS, 2006).
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan
perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari
4
mereka adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari
semua orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat
(76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6
juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara. Asia Selatan dan Asia Tenggara
adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region
ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengan perkiraan 5.7
juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari populasi), melewati perkiraan di Afrika
Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta) (11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini
dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia. Di 35 negara di Afrika dengan perataan
terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi
tanpa penyakit (UNAIDS, 2006)
Gambar 5 Prevalensi Penderita HIV di seluruh Dunia Pada Tahun 2008 Menurut UNAIDS (Wikipedia, 2011)
5
Gambar 6 Grafik Jumlah Penderita HIV/AIDS, Penderita Yang Baru Terinfeksi dan Kematian Akibat HIV/AIDS di Seluruh Dunia Pada Tahun 1990-2008 Menurut The
Millenium Development Goals Report (Wikipedia, 2011)
Di Indonesia dari tahun ke tahun kasus HIV maupun kasus AIDS semakin bertambah
jumlahnya, bahkan hingga Mei 2011 saja telah menembus angka 24.482 kasus di 300
kabupaten atau kota dan 32 provinsi di Indonesia (Tabel 2). Jumlah penderita laki-laki lebih
banyak dibanding penderita perempuan (Tabel 2). Namun meskipun perempuan yang
menderita AIDS lebih sedikit dibanding laki-laki, hal ini sangat berbahaya dan besar
dampaknya bagi perempuan dan remaja putri terutama yang akan menikah dan produktif
karena ini akan berpengaruh juga kepada janin yang dikandungnya. Departemen Kesehatan
juga mencatat beberapa faktor penyebab AIDS yaitu: Heteroseksual, Homo- Biseksual, IDU
(Injecting Drug User), dan Transmisi Perinatal. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa penularan
utama HIV/AIDS di Indonesia adalah melalui hubungan seksual (heteroseksual). Bila dilihat
berdasarkan umur (Tabel 4), dapat dilihat bahwa penderita terbanyak adalah pada usia
produktif (20-29 tahun). Dari tabel 5 menunjukkan bahwa persebaran kasus AIDS lima (5)
provinsi tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua dan Bali. Kelima
wilayah ini selain daerah transit dan sekaligus daerah tujuan wisata , seperti Bali adalah
tujuan wisata baik domestik maupun internasional. Sedangkan berdasarkan prevalensi kasus
AIDS secara nasional di Indonesia sebesar 7,12 artinya setiap 100.000 penduduk sebesar 7,12
6
persen diantaranya menderita AIDS. Sementara provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah
Provinsi Papua (129,35 persen) , disusul Bali (33,75 persen) , DKI Jakarta (30,52 persen),
Kepulauan Riau (23,11 persen) dan Kalimantan Barat (17,9 persen) (Depkes, 2011).
Tabel 2 Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia Menurut Jenis Kelamin Tahun 1987-Maret 2011 (Depkes, 2011)
Tabel 3 Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia Menurut Faktor Resiko Tahun 1987-Maret 2011 (Depkes, 2011)
Tabel 4 Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia Menurut Umur Tahun 1987-Maret 2011 (Depkes, 2011)
7
Tabel 5 Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia berdasarkan Provinsi Tahun 1987-Maret 2011 (Depkes, 2011)
2.1.3 Penularan HIV/AIDS
Ada empat cara penularan HIV yaitu pertama, melalui hubungan seksual dengan
seorang pengidap HIV tanpa perlindungan atau menggunakan kontrasepsi (kondom). Cara
kedua, HIV dapat menular melalui transfusi dengan darah yang sudah tercemar HIV. Cara
ketiga, seorang ibu yang mengidap HIV bisa pula menularkannya kepada bayi yang
dikandung, itu tidak berarti HIV /AIDS merupakan penyakit turunan, karena penyakit
turunan berada di gen-gen manusia sedangkan HIV menular saat darah atau cairan vagina ibu
membuat kontak dengan cairan atau darah anaknya. Dan cara keempat adalah melalui
pemakaian jarum suntik, jarum tindik dan peralatan lainnya yang sudah dipakai oleh
pengidap HIV (Wikipedia, 2011).
8
Gambar 4 Diagram Cara Penularan Infeksi HIV (CDC, 2009)
Tabel 1 Cairan Tubuh yang Dapat Menjadi Media Penularan HIV
Media penularan HIV pada pasien hidup hampir sama dengan pada pasien yang telah
meninggal. Dalam hal ini yang memiliki resiko besar untuk mendapat paparan HIV adalah
ahli patologi, dokter yang melakukan otopsi dan asisten otopsi. (Gan´czak, 2003)
Suka atau tidak, ada diantara patolog yang terpapar infeksi HIV karena pekerjaan
mereka. Pertama, mereka secara etika wajib untuk mendiagnosis pasien yang hidup dengan
virus tersebut. Peran biopsi tersebut dalam kedokteran adalah untuk membatasi mortalitas dan
tingkat morbiditas AIDS. Dengan 40 juta kasus infeksi HIV di seluruh dunia, patolog,seperti
tenaga medis lainnya, beresiko terekspos darah dan jaringan yang terinfeksi retroviral dalam
pekerjaannya sehari-hari. Kedua, meskipun penelitian AIDS sedah berjalan dua dekade, ada
begitu banyak yang harus dipelajari dari moralitas yang terkait. Mereka yang memiliki
kesempatan untuk mempelajari penyakit ini selama otopsi mengakui banyak faktor tak
9
terduga. Banyak infeksi dan komplikasi neoplastik yang mungkin tidak diketahui selama
rentang kehidupan almarhum. Otopsi memungkinkan kita untuk melihat berbagai macam lesi
yang disebabkan oleh respon host yang lemah. Selanjutnya,penting untuk membangun
argumen untuk kebutuhan dari otopsi kasus AIDS. Dalam hal ini nilai informasi yang
cenderung diturunkan oleh otopsi harus dipertimbangkan kecuali ada bahaya nyata yang
terlibat (analisis risiko-manfaat). Dari tiga ratusan, atau lebih, kasus infeksi HIV okupasional
petugas kesehatan sebagian besar terjadi pada perawat dan petugas laboratorium. (Gan´czak,
2003)
HIV yang menular ditemukan pada 5% dari sampel darah yang diperoleh dari pasien
AIDS pada 24 jam post mortem. Retrovirus yang infeksius juga ditemukan dari jaringan,
tulang dan darah enam hari post mortem, sedangkan dari limpa dua minggu post mortem.
Tingkat virulensi postmortem dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk potensi mematikan
dari virus, strain virus, terapi antivirus premortem dan suhu kamar mayat. (Gan´czak, 2003)
Bahaya terbesar untuk patolog dan staf teknis dalam melaksanakan otopsi HIV-positif
berasal dari luka kulit akibat instrumen tajam dan spikula tulang, dan dari menghirup patogen
virulen seperti Mycobacterium tuberculosis. Infeksi oral dan konjungtiva juga mungkin
terjadi tapi dapat dicegah dengan cara sederhana. Secara umum dilaporkan bahwa patolog
mempertahankan tusukan sarung tangan selama 10% dari otopsi. Bahkan pengetahuan
sebelumnya tentang status HIV pasien belum terbukti mengurangi tingkat paparan perkutan.
(Gan´czak, 2003)
Penelitian menunjukkan bahwa infektivitas HIV dalam sampel berkurang perlahan-
lahan seiring waktu. Infektivitas ini bervariasi tergantung pada faktor lingkungan dan virus.
HIV dapat tetap menular selama tiga minggu dan terdeteksi pada 51% dari plasma dan / atau
fraksi dari mononuklear sel darah yang terinfeksi HIV. HIV terdeteksi di tulang tengkorak
pada enam hari pasca-mortem, di spesimen limpa disimpan sampai 14 hari dan dalam darah
kadaver 16,5 hari setelah kematian. Oleh karena itu mayat HIV-positif harus dianggap
mengandung HIV menular. Kenyataannya, telah didokumentasikan bahwa teknisi kamar
otopsi mempunyai kemungkinan infeksi HIV karena pekerjaannya. Ada juga risiko pekerjaan
tertular infeksi lain dari mayat dengan HIV positif. (Gan´czak, 2003)
Spektrum infeksi pada AIDS merupakan refleksi dari patogen yang lebih sering
terlihat di daerah geografis tertentu dan populasi penduduknya. Dalam keadaan
immunocompromised, organisme ini berkembang dan akibatnya spektrum infeksi pada
10
individu tersebut besar. Paparan terhadap sejumlah besar patogen dalam ruang otopsi yang
tertutup meningkatkan risiko untuk tertular penyakit yang sama antara staf ruang otopsi.
(Krishan, 2003)
Otopsi meningkatkan kemungkinan tertular infeksi melalui udara pada personel
laboratorium. Pemotongan dari paru-paru terinfeksi dengan pisau menghasilkan aerosol
partikel kecil. Sudah umum diketahui bahwa di antara para dokter, patolog memiliki kejadian
TB tertinggi. Karena otopsi terbuka lengkap memiliki risiko lebih besar terkena HIV dan juga
aerosolisasi dan penyebaran patogen oportunistik, sebuah otopsi lengkap tidak wajib
dipertimbangkan ketika diagnosis ante-mortem AIDS ditegakkan. Namun, jika prasarana
yang memadai dan fasilitas yang ada pemeriksaan dapat dipertimbangkan untuk tujuan
akademis. (Gan´czak, 2003)
Karena ada kekurangan baik vaksin yang efektif dan obat untuk menghilangkan virus
dari tubuh, pencegahan adalah satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran HIV pada
petugas kesehatan. Sebuah "paparan" yang mungkin menempatkan petugas kesehatan di
risiko Infeksi HIV didefinisikan sebagai :
• cedera perkutan (misalnya, tertusuk jarum atau terpotong dengan benda tajam)
• kontak mukosa atau kulit yang tidak utuh
• kontak dengan kulit utuh dengan durasi kontak yang berkepanjangan (yaitu beberapa
menit atau lebih) atau melibatkan wilayah yang luas, dengan darah, jaringan, atau cairan
tubuh lainnya . (Gan´czak, 2003)
Studi telah memperkirakan rata-rata risiko penularan HIV setelah pajanan
percutaneous sebesar 0,3%. Rata-rata 99,7% dari petugas kesehatan, yang terpapar HIV, tidak
akan terinfeksi. Untuk paparan mukosa risiko adalah 0,09% dan untuk kulit yang tidak utuh
bahkan kurang. Ini meningkat ketika kulit yang terkena pecah-pecah, terkelupas, atau
menderita dermatitis. Dalam konteks otopsi itu layak menyebutkan bahwa, kecuali darah,
beberapa tubuh lainnya cairan berpotensi menular:
• air mani,
• sekresi vagina, serebrospinal
• cairan sinovial, pleural, peritoneal, perikardial, ketuban.
Meskipun ahli patologi menggunakan dua pasang sarung tangan, apabila ia menderita
luka terpotong pisau bedah maka akan beresiko. Sayangnya situasi seperti ini cukup sering
selama otopsi. Ini telah terbukti bahwa pada pemakaian kelima, sarung tangan akan menyerap
atau menjadi permeable selama nekropsi tersebut. Weston dan Locker menunjukkan
prevalensi 8% dari tusukan sarung tangan di Petugas kesehatan di kamar mayat, dan
11
peningkatan risiko tusukan 3 - 4 kali lipat jika seorang teknisi bukan ahli patologi melakukan
pembedahan tubuh. Namun, 31,8% dari tusukan sarung tangan tidak diketahui, dan ini di
mana bahaya kulit terpapar dengan bahan yang berpotensi terinfeksi secara
berkepanjangan. Meskipun tidak setiap hasil perforasi sarung tangan dalam cedera tangan,
otopsi pemotongan kulit tetap umum (terjadi di sekitar satu di sebelas otopsi yang dilakukan
oleh penduduk, dan satu dari lima puluh lima orang yang dilakukan oleh patolog yang
berpengalaman). (Gan´czak, 2003)
Tercatat juga bahwa sekitar 67% dari luka pisau bedah didapatkan di daerah
tersebut terdiri dari jari kelingking, ibu jari dan jari tengah distal dari tangan tidak
dominan. Penggunaan sarung tangan Kevlar dengan dua lapisan sarung tangan lateks atau
rantai mail sarung tangan dianjurkan. Namun, jenis terakhir sarung tangan dikritik oleh
patolog karena kecanggungan, khususnya ketika memegang instrumen, dan
ketidakpastian tentang keberhasilan mereka dalam mencegah penetrasi dengan
tajam instrumen. (Gan´czak, 2003)
Menurut Geller, sarung tangan tersebut memiliki peran dalam pemindahan isi
perut. Artinya, seringnya mengganti sarung tangan, meskipun ada/ tidak ada robekan
atau kebocoran dianjurkan untuk mengurangi risiko ahli patolog terinfeksi. (Gan´czak, 2003)
Penelitian menyarankan bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi risiko
HIV transmisi setelah pemaparan dalam pekerjaan:
• prosedur yang melibatkan jarum ditempatkan langsung di vena atau arteri,
• perangkat terlihat terkontaminasi dengan pasien darah,
• cedera dalam,
• Sumber-pasien dengan penyakit terminal
Penanganan Jenazah pasien dengan HIV di kamar jenazah
Berikut ini adalah panduan untuk tatalaksana otopsi pasien dengan HIV positif
Autopsi tidak boleh dilakukan di mana fasilitas yang lengkap dan memakai pelindung tidak
tersedia bagi ahli patologi dan asisten otopsi. Disarankan bahwa jumlah orang yang terlibat
dalam otopsi terbatas pada tiga (ahli patologi, asisten dan 'circulator' tambahan yang tetap
tidak terkontaminasi). (Krishan, 2003)
Masuk ke area kerja dan lalu lintas masuk dan keluar dari ruang otopsi selama
prosedur harus diminimalkan dan dibatasi. Tidak ada otopsi lainnya yang harus
dilakukan secara bersamaan. (Krishan, 2003)
12
Penerapan kewaspadaan universal harus diambil untuk semua autopsy
terlepas dari status HIV. Personil menderita dari luka atau infeksi kulit, tidak harus
melakukan autopsy pada orang HIV-positif. Pakaian pelindung tambahan
juga suatu keharusan dan ini meliputi : Dua lapisan plester pita perekat harus dibungkus di
sekitar ujung jari sebelum memakai sarung tangan, karena ujung jari-jari lebih rentan
terhadap cedera jarum dan luka oleh pisau bedah. (Krishan, 2003)
Semua personil yang menangani tubuh dan berbagai jaringan harus menggunakan
sarung tangan ganda. Terus-menerus mengenakan sepasang sarung tangan yang sama
dianggap merugikan. Oleh karena itu, sarung tangan harus diganti setelah digunakan selama
satu jam. (Krishan, 2003)
Pakaian pelindung anti air harus digunakan termasuk piyama plastik dan kaos lengan
penuh dengan fasilitas untuk mengikat menuruni lengan. Celemek plastik, sepatu plastik
meliputi topi plastik dan topeng plastik juga harus digunakan. Kacamata diharuskan untuk
digunakan untuk menghindari cedera percikan ke mata. Kacamata polos tanpa pelindung
samping dianggap kurang memadai. (Krishan, 2003)
Setidaknya lima set pakaian pelindung harus selalu tersedia dirumah sakit
laboratorium dan lima perangkat tambahan di toko rumah sakit. Ini harus segera diisi ulang
setiap kali penggunaan. Itu adalah wajib untuk mengimunisasi semua potensi otopsi staf
terhadap infeksi virus hepatitis B. Staf dengan hasil tes Mantoux negative harus diimunisasi
dengan BCG sebelum kerja. (Krishan, 2003)
Jumlah instrument tajam harus dikurangi seminimal mungkin dan selalu
terus terlihat. Blunt-end instrument sedapat mungkin akan lebih disukai. Jarum dan bilah
perlu ditangani dengan hati-hati. Yang tidak boleh adalah melepas pisau dari pemegang
karena hal ini dapat menyebabkan pisau untuk patah dan terbang menghasilkan apa yang
disebut 'missile injury” untuk personil lainnya. Tulang rusuk harus dipotong melalui tulang
rawan sehingga tidak ada bagian tepi yang bergerigi. (Krishan, 2003)
Disarankan bahwa tengkorak tidak boleh dibuka secara rutin pada autopsy pasien
HIV-positif kecuali ada bukti klinis yang menunjukkan patologi SSP. Jika tengkorak harus
dibuka, harus dibuka di bawah kantong plastik besar transparan untuk menjebak sisa jaringan
semua jaringan diambil untuk pemeriksaan histopatologi harus ditempatkan dalam 10%
buffered formalin netral untuk fiksasi dan desinfeksi. Kira-kira sampai 5 mm dalam 24 jam,
irisan jaringan tidak boleh lebih dari 2,0 cm tebal. Jaringan harus dibiarkan dalam fiksatif
untuk waktu yang cukup sebelum ditangani lagi. Jika formalin mendapat pengenceran dengan
13
darah itu harus diubah karena formaldehida yang bercampur dengan darah
adalah fiksatif yang tidak efektif. (Krishan, 2003)
Drum berisi jaringan harus diberi label dengan benar dengan label Biohazard
universal dan tambahan label 'AIDS - tangani dengan hati-hati’ Jaringan dan contoh cairan
untuk studi mikrobiologi harus dikumpulkan dalam tabung steril, yang pada gilirannya harus
ditempatkan dalam wadah plastik tahan tusukan sebelum pengiriman ke laboratorium. Wadah
ini juga harus diberi label seperti di atas. Cairan tubuh, apusan dan sampel jaringan dapat
dikumpulkan untuk studi virologi. Cairan tubuh tidak perlu bahan pengawet dan harus segera
didinginkan. Sebagian besar virus akan tetap bertahan di 2-60C dan suhu harus dijaga selama
transportasi. Sampel dapat dikirim pada es kering (untuk memastikan suhu di bawah -70C),
jika terdapat kemungkinan penundaan yang lama. (Krishan, 2003)
Spesimen tidak boleh dibekukan pada -200C karena viabilitas virus akan hilang pada
suhu ini. Tissue sampel (1-2 g) yang dapat secara rutin sampel termasuk otak, paru-paru, otot
jantung, kelenjar getah bening dan ginjal. Dubur, faring dan swab nasofaring dapat
dikumpulkan sebelum memulai otopsi. Jaringan sampel dan usapan harus dikirim dalam
dingin dalam media transportasi virus (VTM) atau Hank seimbang VTM harus berisi
buffered saline isotonic, protein suplemen (albumin sapi atau susu sapi skim's),
penisilin(200U/ml) dan streptomisin (200ug/ml). VTM dikeluarkan dalam jumlah 2,0 ml
dalam tabung atau penisilin botol akan cukup untuk satu swab atau satu bit jaringan. Di
aboratorium, etelah digunakan, semua sampel sisa jaringan pertama-tama harus
didesinfeksi dengan 30 kontak menit dengan larutan hipoklorit 1% atau cairan pemutih 1:10
(10.000 ppm klorin tersedia). Setelah itu, jaringan harus dibuang oleh Semua tindakan yang
rinci di atas harus diikuti saat pembalseman dari mayat. Cairan yang biasa untuk
pembalseman (etanol, formalin fenol) yang efektif. (NACO, 2007)
Setelah mayat diletakkan dalam kantong plastik anti bocor, tas harus dicap sebagai
'Biohazard'. Sebelum menyerahkan tubuh untuk keluarga terdekat, itu adalah tugas ahli
patologi yang bersangkutan untuk memberi kabar secara pribadi orang yang bertanggung
jawab untuk tubuh tentang bahaya dan penanganan mengekspos tubuh. HIV dapat bertahan
hingga 15 hari pada suhu kamar dan sampai 10-15 hari pada 370 C. Oleh karena
itu setelah otopsi itu wajib mendisinfeksi kamar mayat dengan sodium hipoklorit 1% atau
cairan pemutih 1: 10 (klorin tersedia 10.000 ppm) sebelum otopsi lain dilakukan di kamar
yang sama. Masa kontak setidaknya 30 menit diperlukan untuk desinfeksi. (NACO, 2007)
14
Pedoman Organisasi Jenazah dan Instrumentasi Menurut NACO (National AIDS
Control Organisation)
1. Setelah prosedur otopsi, mayat harus dijahit dengan benar sehingga tidak ada cairan
yang bisa keluar. Mayat dicuci dengan air keran dan kemudian dengan larutan 1%
sodium hipoklorit. Hidung dan mulut harus dipasang dengan spons kapas yang
direndam dengan tepat
2. Mayat kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk diserahkan kepada
keluarga untuk menghindari penyebaran HIV / AIDS. Harus ada kebijakan rumah
sakit untuk menyediakan kantong plastik untuk jenazah.
3. Meja dan lantai harus dibersihkan dengan larutan hipoklorit 1% untuk menghapus
noda darah, cairan tubuh dan sabun dan air.
4. Instrumen yang digunakan untuk otopsi harus dihapus dengan larutan sodium
hipoklorit. Aluminium dan instrumen baja stainless dapat rusak oleh sodium
hipoklorit dan instrumen yang terbuat dari bahan-bahan tersebut harus
didekontaminasi dengan larutan glutaraldehid 2%. Setelah 4 jam, instrumen dicuci
dan diautoklaf, dan kemudian dapat digunakan kembali.
5. Fasilitas yang memadai untuk mencuci harus tersedia di sekitar ruang otopsi. Setelah
otopsi, ahli patologi dan staf lainnya harus mencuci tangan mereka dengan teliti
dengan sabun dan air. Celemek plastik, tutup plastik sepatu, sarung tangan, topi dan
topeng plastik harus dibuang dalam kantong plastik. Pakaian yang digunakan di balik
apron plastik harus direndam dalam larutan sodium hipoklorit dan dicuci dengan air,
dan kemudian dikirim untuk diautoklaf.
Penatalaksanaan Jenazah HIV-AIDS
Sebuah otopsi terhadap mayat HIV-positif bisa untuk:
a. Follow up patologi-klinis
b. Mendokumentasikan patologi organ tertentu
c. Memvalidasi end-poin dalam uji klinis HIV
d. Mendokumentasikan reaksi obat yang merugikan
e. Pemeriksaan mediko-legal dari kematian yang tidak dapat dijelaskan dalam kasus
HIV-positif
15
Bukti antemortem yang diapatkan pada jenazah dapat menjadi kriteria AIDS sehingga
dapat menunjukkan kasus AIDS yang full blown. Bukti infeksi oportunistik dan keganasan
AIDS terkait contohnya kanker serviks, limfoma dan sarkoma Kaposi. Otopsi dalam kasus ini
berguna untuk kepentingan akademik murni dan dapat membantu dalam menetapkan pola
dari infeksi oportunistik dan penyebab kematian akibat AIDS. Dalam situasi lain, jenazah
sudah diketahui HIV-positif tanpa bukti ante-mortem AIDS
kondisi atau infeksi jelas lainnya. Dalam kasus ini autopsi mungkin menjadi kewajiban bila
diperlukan untuk menetapkan penyebab kematian.
I. Kasus untuk otopsi harus dianggap sebagai kasus potensial AIDS
a. Sarung tangan (double gloving disarankan), pelindung mata, masker, topi dan
baju, ditambah apron penutup tahan air dan sepatu harus dipakai oleh
personel yang melaksanakan atau melihat autopsi untuk mencegah parenteral atau
inokulasi melalui mukosa.
b. Jenazah harus ditandai "waspada darah / cairan tubuh". Apapun item pembuangan
harus dibungkus dalam kantong merah ganda dan segera disegel untuk
diinsinerasi.
c. Distribusi agen menular melalui udara harus dihindari; misalnya tulang yaitu lebih
baik dipotong dengan gergaji tangan dan di bawah plastik yang menutupi
daripada dengan gergaji listrik.
d. Jaringan sampel harus direndam secara fix dalam larutan formalin sebelum
pemeriksaan histologi.
e. Standar tindakan pencegahan dan kebersihan harus dipertahankan dalam kamar
otopsi. Semua cairan dan jaringan tubuh harus diperlakukan sebagai bahan
terkontaminasi.
f. Prosedur Dekontaminasi meliputi:
Setelah dibersihkan menyeluruh dengan sabun dan air menggunakan
sarung tangan, bahan-bahan berikut harus didekontaminasi dengan
1:10 dilution 5 / 25% sodium hipoklorit pada akhir otopsi. (meja otopsi,
timbangan, semua instrumen dan stainless steelware, dan item yang
terkontaminasi oleh personil tersebut seperti pegangan pintu, penyerap,
dan sebagainya (yang seharusnya tidak terkontaminasi pada tempat
pertama).
16
Di ruang otopsi prosedur pembersihan ruangan meliputi: mengenakan
sepatu bot karet, sarung tangan, dan penutup baju sebelum masuk ke
ruang otopsi; bahan pembasmi kuman solusi fenolik diikuti oleh 1:10
dilution 5 / 25% sodium hipoklorit yang digunakan untuk mensterilkan
lantai.
II. Pada kasus dengan reaksi HTLV positif dan kasus yang diduga terinfeksi AIDS
a. Permintaan untuk otopsi harus dilakukan langsung oleh dokter klinis untuk
petugas otopsi atau yang berwenang pada pemeriksaan otopsi. Tujuan dan alasan
untuk permintaan tersebut harus dibuat jelas.
b. Otopsi akan dilakukan dengan risiko minimal terhadap petugas atau siapapun.
Untuk tujuan ini, di samping prosedur yang diuraikan di atas untuk semua otopsi:
Tidak ada kegiatan lainnya diizinkan di ruang otopsi pada waktu yang
sama.
Personil di ruang otopsi akan dibatasi (mungkin hanya menyertakan staf
yang bertanggung jawab, prosector, dan otopsi asisten kamar).
Pintu-pintu tertutup.
Panggilan telepon tidak akan diterima oleh individu yang terlibat selama
otopsi.
Pergerakan individu-individu yang terlibat di ruang otopsi akan terbatas
pada area yang seperlunya saja.
Kontaminasi oleh materi yang berpotensi infeksius (darah atau lainnya)
akan terbatas pada area tertentu dari meja otopsi, hanya jaringan atau
organ tertentu yang penting untuk menyelesaikan pertanyaan preotopsi
yang akan diambil. Bahan ini akan ditempatkan di formalin sesegera
mungkin setelah pengambilan dan diseksi dari bahan tersebut akan
ditunda sampai mereka fix dalam larutan formalin.
III. Semua karyawan harus diperhatikan untuk mencegah kontaminasi yang tidak perlu di
kamar otopsi . Ini adalah masalah kebersihan umum dan kesehatan dan merujuk pada
semua otopsi , bukan hanya kasus AIDS .
a. Otopsi lengkap pada kasus AIDS akan dilakukan ketika diperlukan. Personil
hamil tidak boleh melakukan atau membantu dengan otopsi ini. Disinfektan
17
pilihan adalah 5/25% sodium hipoklorit (pemutih rumah tangga standar) pada
pengenceran tidak lebih dari 1:10 dalam air. Autoklaf juga dapat digunakan, 45
menit pada suhu minimal 121 derajat Celcius dan tekanan minimal 20 PSI (pound
per square inch). Darah, produk darah, ekskresi, sekresi, dan jaringan harus
dianggap menular, dan kontak langsung dengan kulit dan selaput lendir harus
dihindari. Patuhi semua peraturan umum, ditambah:
Semua permukaan dan bagian luar tubuh yang terkena kontak harus dicuci
dengan larutan pemutih dengan pengenceran 1:10.
Cairan tubuh yang tidak untuk disimpan dan air yang terkontaminasi harus
ditangani dengan pemutih, pada pengenceran terakhir tidak melebihi 1:10,
sebelum dibuang ke saluran pembuangan.
Semua jaringan harus tetap dalam formalin 10%, baik untuk disimpan atau
sebelum insinerasi.
Semua instrumen yang digunakan kembali harus direndam dalam pemutih
diencerkan selama 15-30 menit kemudian dicuci dengan agen steril seperti
biasa atau, dapat digunakan otoklaf.
Tempatkan jenazah dalam kantung plastik mayat, dengan label 'WASPADA
AIDS'
Air yang mengalir dapat digunakan untuk mencuci jaringan dan organ yang
terfiksasi dalam larutan formalin
Pedoman Penatalaksanaan Jenazah dengan Infeksi HIV di Sarana Pelayanan
Kesehatan Menurut PPM & PL Depkes 2001
Perawatan jenazah penderita penyakit menular dilaksanakan dengan selalu
menerapkan kewaspadaan universal tanpa mengakibatkan tradisi budaya dan agama yang
dianut keluarganya. Setiap petugas kesehatan terutama perawat harus dapat menasehati
keluarga jenazah dan mengambil tindakan yang sesuai agar penanganan jenazah tidak
menambah risiko penularan penyakit seperti halnya hepatitis-B, AIDS, kolera dsb. Tradisi
yang berkaitan dengan perlakuan terhadap jenazah tersebut dapat diizinkan dengan
memperhatikan hal yang telah disebut di atas, seperti misalnya mencium jenazah sebagai
bagian dari upacara penguburan. Perlu diingat bahwa virus HIV hanya dapat hidup dan
berkembang dalam tubuh manusia hidup, maka beberapa waktu setelah penderita infeksi-HIV
meninggal, virus pun akan mati.
Beberapa pedoman perawatan jenazah adalah seperti berikut:
18
A. Tindakan di Luar Kamar Jenazah
1. Mencuci tangan sebelum memakai sarung tangan
2. Memakai pelindung wajah dan jubah
3. Luruskan tubuh jenazah dan letakkan dalam posisi terlentang dengan tangan
di sisi atau terlipat di dada
4. Tutup kelopak mata dan/atau ditutup dengan kapas atau kasa; begitu pula
mulut, hidung dan telinga
5. Beri alas kepala dengan kain handuk untuk menampung bila ada rembesan
darah atau cairan tubuh lainnya
6. Tutup anus dengan kasa dan plester kedap air
7. Lepaskan semua alat kesehatan dan letakkan alat bekas tersebut dalam wadah
yang aman sesuai dengan kaidah kewaspadaan universal
8. Tutup setiap luka yang ada dengan plester kedap air
9. Bersihkan tubuh jenazah dan tutup dengan kain bersih untuk disaksikan oleh
keluarga
10. Pasang label identitias pada kaki
11. Beritahu petugas kamar jenazah bahwa jenazah adalah penderita penyakit
menular
12. Cuci tangan setelah melepas sarung tangan
B. Tindakan di Kamar Jenazah
1. Lakukan prosedur baku kewaspadaan universal yaitu cuci tangan sebelum
memakai sarung tangan
2. Petugas memakai alat pelindung:
Sarung tangan karet yang panjang (sampai ke siku)
Sebaiknya memakai sepatu bot sampai lutut
Pelindung wajah (masker dan kaca mata)
Jubah atau celemek, sebaiknya yang kedap air
3. Jenazah dimandikan oleh petugas kamar jenazah yang telah memahami cara
membersihkan/memandikan jenazah penderita penyakit menular
4. Bungkus jenazah dengan kain kaifan atau kain pembungkus lain sesuai
dengan agama dan kepercayaan yang dianut
5. Cuci tangan dengan sabun sebelum memakai sarung tangan dan sesudah
melepas sarung tangan
6. Jenazah yang telah dibungkus tidak boleh dibuka lagi
19
7. Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik untuk pengawetan kecuali oleh
petugas khusus yang telah mahir dalam hal tersebut
8. Jenazah tidak boleh diotopsi. Dalam hal tertentu otopsi dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari pimpinan rumah sakit dan dilaksanakan
oleh petugas yang telah mahir dalam hal tersebut
9. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan adalah:
Segera mencuci kulit dan permukaan lain dengan air mengalir bila
terkena darah atau cairan tubuh lain
Dilarang memanipulasi alat suntik atau menyarumkan jarum suntik ke
tutupnya. Buang semua alat/ benda tajam dalam wadah yang tahan
tusukan
Semua permukaan yang terkena percikan atau tumpahan darah
dan/atau cairan tubuh lain segera dibersihkan dengan larutan klorin
0,5%
Semua peralatan yang akan digunakan kembali harus diproses dengan
urutan: dekontaminasi, pembersihan, disinfeksi atau sterilisasi
Sampah dan bahan terkontaminasi lainnya ditempatkan dalam
kantong plastik
Pembuangan sampah dan bahan yang tercemar sesuai cara
pengelolaan sampah medis
20
DAFTAR PUSTAKA
Carpenter, R.J. 2011. Early Symptomatic HIV Infection. Medscape Reference.
http://emedicine.medscape.com/article.
CDC. 2001. Revised Classification System for HIV Infection and Expanded Surveillance
Case Definition for AIDS Among Adolescents and Adult. . Center for Disease Control
And Prevention. USA. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00018871.htm
CDC.2009. HIV And Its Transmission. Center for Disease Control And Prevention. USA. http://www.cdc.gov/hiv/resources/factsheets/transmission.htm
Depkes. 2001. Pedoman Tatalaksanaan Klinis Infeksi HIV di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Ditjen PPM & PL Depkes Republik Indonesia.
Depkes. 2011. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Ditjen PPM & PL Depkes Republik
Indonesia.http://docs.google.com/view.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.
pdf+hiv+aids+di+indonesia.
Gan´czak, et al. 2003. Pathologist and HIV - Are Safe Autopsies Possible? (PDF) Pol J
Pathol 2003, 54, 2, 143-146.
Krishan,V. 2003. Risk Factors And Prevention Of Infection In Autopsy Room - A Review.
www.forensicindia.com/icfmt/web/vol1no1/riskfactors.htm.
UNAIDS. 2006. "Overview of the global AIDS epidemic" (PDF). 2006 Report on the global
AIDS epidemic. http://data.unaids.org/pub/GlobalReport/2006/2006.pdf.
Wikipedia. 2011. AIDS. Wikimedia Foundation. http://en.wikipedia.org/wiki/AIDS.
Wikipedia. 2011. HIV. Wikimedia Foundation. http://en.wikipedia.org/wiki/HIV.
Wikipedia. 2011. HIV/AIDS di Indonesia. Wikimedia Foundation.
http://id.wikipedia.org/wiki/HIV/AIDS_di_Indonesia
National Aids Control Organisation. 2007. Autopsies On Cadavers Infected With The Human
Immunodeficiency Virus
http://Www.Nacoonline.Org/National_Aids_Control_Program.
21
Recommended