BUku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu

Preview:

Citation preview

BUKU PEGANGAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Hasil Hutan Bukan Kayu

2

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

tentang HAK CIPTA

Pasal 2

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu

ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-

masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta

rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada

umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

BUKU PEGANGAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

WAHYUDI

Editor

Wasrin Syafii

Perbanyakan dan distribusi buku ini sebagian dibiayai oleh International Tropical Timber Organization (ITTO)

126/12A

Hasil Hutan Bukan Kayu

4

BUKU PEGANGAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Oleh: Wahyudi

© PENERBIT POHON CAHAYA

Jl. Tirtodipuran 8 Yogyakarta 55142

Telp./ Fax.: (0274) 379109

E-mail: pohoncahaya@pohoncahaya.com

Website: www.pohoncahaya.com

Cetakan ke-1 : Mei 2013

Perancang Sampul : Sigit Supradah

Penata Letak : Hendra Prabawa

Editor : Wasrin Syafii Penyelaras : Hendra Prabawa

Perpustakaan Nasional RI: ISBN/

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

BUKU PEGANGAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2013.

318 hlm.; 15x23 cm

ISBN: …

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.

Dilarang mengutip dan mempublikasikan

sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin dari Penerbit

Dicetak oleh:

PERCETAKAN POHON CAHAYA

Hasil Hutan Bukan Kayu

5

Dengan mengucapkan

Alhamdulillah,

buku ini dapat terbit berkat motivasi dari

Bunda Ranti, Ananda Uda, dan Owi

Hasil Hutan Bukan Kayu

6

(halaman kosong)

Hasil Hutan Bukan Kayu

7

PENGANTAR PEMBACA

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas pentunjuk dan karunia-Nya,

buku Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ini dapat diselesaikan. Buku ini ditulis dengan tujuan untuk

memberikan bahan bacaan kepada mahasiswa Kehutanan pada umumnya. Secara khusus, buku ini

ditujukkan kepada mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan yang mengambil mata kuliah Hasil

Hutan Bukan Kayu, di mana mereka sering mengeluhkan keterbatasan akan bahan bacaan atau

referensi yang menyeluruh tentang hasil hutan bukan kayu (Non-Timber Forest Products/NTFPs), dan

beberapa pembaca yang tertarik atau berkecimpung dengan hasil hutan bukan kayu

Buku ini juga sangat informatif bagi para pembaca maupun pihak lain yang berkepentingan

dengan keanekaragaman hayati hutan tropis, khusunya keterikatan atau interaksi antara masyarakat

lokal/hutan (forest people) dengan sumber daya hutan yang mereka miliki, yang selanjutnya

diistilahkan dengan kearifan lokal (Indigenous knowledge)

Buku, bahan bacaan, dan referensi tentang hasil hutan bukan kayu, sebenarnya sangat banyak dan

beragam, dari yang bersifat pengetahuan populer, kajian ilmiah, hasil penelitian, baik dalam bentuk

laporan maupun proseding symposium, baik lokal maupun international. Akan tetapi kebanyakan

bahan bacaan tersebut tersedia dalam bahasa Inggris. Beberapa buku referensi tentang HHBK dalam

bahasa Indonesia masih kurang, bahkan belum ada. Jikalaupun ada, kebanyakan disajikan dalam

ruang lingkup yang terbatas, yaitu hanya membahas satu komoditas HHBK saja.

Karena keberagaman sumber referensi tersebut, sehingga banyak informasi tentang hasil hutan

bukan kayu yang terkesan kurang dipadukan menjadi buku yang akan memberikan wawasan yang

menyeluruh dan lengkap. Sehingga sangat diharapkan dengan membaca buku ini, pemahaman dan

penguasaan tentang komoditas hasil hutan bukan kayu dapat diperoleh oleh mahasiswa, dan pembaca

secara lengkap, objektif dan menyeluruh.

Keunikan atau kekhasan hasil hutan bukan kayu adalah ruang lingkupnya yang sangat luas, dan

kontribusinya langsung kepada masyarakat hutan serta berkaitan langsung dengan aspek kearifan

masyarakat lokal terhadap kelestarian sumber daya hutan/alam mereka. Ini yang menjadikan

komoditas HHBK menjadi bahan kajian dan perhatian utama dari beberapa negara maju dan lembaga-

lembaga keuangan dan konservasi internasional untuk berperan dalam mengoptimalkan pengelolaan

nya untuk masyarakat lokal.

Pada awalnya, buku ini merupakan hasil kumpulan materi-materi mata kuliah hasil hutan bukan

kayu yang penulis siapkan dari tahun 2001, kemudian dikemas dalam buku ajar. Dengan penambahan

beberapa referensi, pengetahuan popular, dan hasil-hasil penelitian, maka buku ini kemudian

disempurnakan untuk menjadi buku tek atau referensi untuk mahasiswa kehutanan, dan berbagai

disiplin ilmu lainnya, serta pembaca tentang universalitas komoditas HHBK.

Buku ini dirancang dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh tentang HHBK, sehingga

pokok pokok bahasan disusun ke dalam bentuk bab-bab yang saling berurutan. Susunan bab tersebut

sengaja dimunculkan agar setiap pembaca, dan khusunya mahasiswa memiliki pengetahuan tentang

tujuan dan harapan pembelajaran dari masing-masing pokok bahasan. Dengan demikian, mahasiswa

dapat menemukan proses pembelajaran yang optimum sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, sesuai

dengan kurikullum yang berbasis kompetensi.

Kiranya buku ini dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa dan pembaca pada umumnya,

segala masukan dan kritikan serta saran demi kelengkapan dan keakuratan informasi dalam buku ini,

senantiasa penulis harapkan.

Manokwari, West Papua, Mei 2013

Penulis

Hasil Hutan Bukan Kayu

8

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi –tingginya kepada para

mahasiswa bimbingan yang dengan sukarela memberikan koleksi foto-foto hasil penelitiannya untuk

mendukung illustrasi pada buku ini. Semua kontribusi kalian akan memberikan bekal pengetahuan

kepada adik-adik kalian dan mengilhami mereka untuk berbuat lebih-baik dan lebih baik lagi untuk

masa depan hutan kita bersama. Pernhargaan yang sama juga, penulis berikan kepada para mahasiswa,

temen-temen kolega dan fihak lain yang turut berperan dalam menunjang penulisan buku ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin

Syafii, M.Agr.Sc atas kesediaanya menjadi editor tunggal buku ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada International Tropical Timber Organization

(ITTO), yang telah bersedia mendanai untuk publikasi dan distribusi buku ini kepada beberapa

institusi kehutanan di beberapa wilayah Indonesia.

Hasil Hutan Bukan Kayu

9

PRAKATA

Assalamu’ alaikum Wr. Wb,

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) atau ada sebagian yang menyebutnya Hasil Hutan Non Kayu,

yang dalam bahasa Inggrisnya adalah Non-Wood Forest Products (NWFP`s) atau lembaga lain

menyebutnya sebagai Non-Timber Forest Products (NTFP`s) adalah salah satu mata kuliah wajib bagi

mahasiswa kehutanan, khususnya pada jurusan/program studi teknologi hasil hutan.

Beberapa alasan yang mendasar kenapa buku ini ditulis, kenapa hanya mahasiswa jurusan

teknologi hasil hutan yang memperoleh mata kuliah ini. Mengingat ruang kajian dari hasil hutan

bukan kayu itu sangat luas, baik menyangkut aspek biologi, taxonomy, pengolahan, analisis

laboratorium, dan bahkan keadaaan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, maka seyogianya program

studi lain di lingkungan Fakultas Kehutanan, seperti Konservasi dan Manajemen hutan juga

memperoleh mata kuliah ini. Hal ini terkait dengan fakta bahwa komponen ekosistem hutan atau

tegakan terdiri atas pohon, anakan, tumbuhan bawah, semak belukar, mikroba dan berbagai jenis

mikro flora dan fauna lainnya. Asosiasi dan ketergantungan antara tumbuhan tingkat tinggi dan

rendah, hewan bersel tunggal dan majemuk, sangat menentukan kerberlangsungan proses biologi dan

kimiawi dalam tegakan tersebut untuk tetap eksis dan berfungsi. Sehingga kajian pengetahuan yang

hanya menfokuskan pada tumbuhan yang bernilai ekonomi, seperti pohon, akan memberikan

pemahaman yang kurang menyeluruh terhadap ekosistem tegakan hutan itu sendiri.

Dengan biodiversiti yang sangat tinggi dan tingkat ketergantungan masyarakat hutan terhadap

hutan miliknya, atau di sekelilingnya, maka pembangunan dan pemberdayaan masyarakat hutan dan

juga pembangunan kehutanan dan atau pemanenan hasil hutan tidak dapat dipungkiri lagi harus

melibatkan peran serta komoditas hasil hutan bukan kayu. Hal ini yang kemudian memunculkan

paradigma baru pengelolaan hutan tropis di dunia, yaitu dari yang berorientasi pengambilan hasil

hutan utama atau kayu dengan orientasi bisnis, kepada paradigma baru yang diwujudkan dengan

pengikutsertaan peran masyarakat hutan, yang kemudian dikenal dengan pengelolaan hutan berbasis

masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini yang diyakini dapat menyelamatkan hutan

sekaligus memberdayakan dan membangun masyarakat hutan, dan paradigma baru ini yang dikenal

dengan Commnuity-based Forest Management.

Alasan yang ketiga adalah karena jenis dan ragam hasil hutan bukan kayu itu sangat beragam

(diverse), maka penulis mencoba untuk merangkumnya, dalam bentuk buku teks ini dengan harapan

memudahkan kepada para mahasiswa dan pembaca untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh

tentang produk-produk hasil hutan bukan kayu. Hal ini dilakukan karena bahan-bahan kajian referensi

kebanyakan disajikan dalam bahasa Inggris. Sementara referensi yang tersedia dalam bahasa

Indonesia, lebih banyak kepada kegiatan atau hasil penelitian tentang hasil hutan bukan kayu, yang

masih bersifat perjenis atau komoditas. Untuk memenuhi ketidaksinergisan tersebut, maka buku teks

ini dibuat, dengan harapan beberapa pandangan tentang hasil hutan bukan kayu itu dapat dipahami

dan dimengerti dengan objektif. Ada anggapan bahwa hasil hutan bukan kayu itu hanya rotan, damar,

arang, sagu, dan gondorukem, padahal hasil hutan bukan kayu bukan itu saja. Bahkan penulis sangat

percaya bahwa masa depan dan keberlanjutan potensi sumber daya hutan Indonesia terletak pada hasil

hutan bukan kayu.

Buku teks ini disusun dengan format mengikuti sistem kompentensi, yaitu setiap bab menyajikan

satu pokok bahasan dan dilengkapi dengan harapan-harapan setelah menyelesaikan pokok bahasan

tersebut. Pada setiap akhir pokok bahasan disertai dengan bahan bacaan atau referensi, yang bertujuan

untuk melatih para anak didik untuk mencari dan menggali informasi-informasi yang diperlukan dari

sumber-sumber pustaka primer yang direkomendasikan.

Buku teks ini terdiri atas 26 pokok bahasan, yang disusun berdasarkan keterkaitan topik

pembelajaran dan logika pemahaman topik. Pengertian, definisi dan alasan belajar hasil hutan bukan

Hasil Hutan Bukan Kayu

10

kayu disajikan pada bab 1, alasan-alasan pengelompokan atau penggolongan hasil hutan menurut

instansi yang mengelolanya disajikan pada bab 2. Kajian pengelolaan dan karakteristik dari hasil

hutan bukan kayu dari berbagai perpektif disajikan pada bab 3, dan bab 4 membahas tentang potensi,

produksi ddan realitas ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu. Pada bab 5 memberikan ilustrasi

tentang pola produksi, sistem pasar dan kelembagaan pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu

sedangkan bab 6 mengkritisi tentang beberapa perangkat perundang-undangan tentang hasil hutan

bukan kayu, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.

Bab 1 – 6 tersebut secara umum membahas tenang gambaran dan analisis permasalahan, tentang

jumlah dan jenis hasil hutan bukan kayu yang telah ditetapkan, dibandingkan dengan kenyataan

bahwa data tentang produksi dan ekspor atau nilau jual (kontribusi) hasil hutan bukan kayu yang

begitu kecil. Kekurangakuratan data dan informasi, antara jumlah komoditas, produksi dan penjualan

hasil hutan bukan kayu, menimbulkan berbagai pertanyaan, dari ketidaktersedianya data, baik di

tingkat daerah sampai depertemen kehutanan, aktivitas perdagangan hasil hutan bukan kayu yang

tidak termonitor oleh dinas terkait, sampai kepada belum adanya atau rendahnya pemahaman aparat

dan pelaku usaha hasil hutan bukan kayu tentang regulasi dan standarisasi hasil hutan bukan kayu.

Bab 7 sampai 24, membahas tentang jenis-jenis hasil hutan bukan kayu, baik bersifat komoditas

tunggal, seperti rotan, sagu, aren dan bambu, maupun dalam kelompok seperti produk turunan kayu

yaitu arang, briket arang dan atap sirap, yang disajikan pada bab 11. Bab 12 membahas tentang

tumbuhan penghasil warna alami, dan diikuti oleh tumbuhan obat pada bab 13. Komoditas getah-

getahan disajikan pada bab 14 sedangkan kelompok minyak atsiri juga dibahas dalam modul

tersendiri yaitu modul bab 15. Pada bab 16 pokok bahasannya adalah komia bahan alami, diikuti oleh

komoditas Buah merah pada bab berikutnya yaitu bab 17. Gaharu dibahas dalam bab 18, dan hasil

hutan bukan kayu kelompok Nabati dan hewani lainnya dibahas dalam bab 19, 20 dan 21 secara

berurutan. Sedangkan pokok bahasan tentang produk jasa dari hutan (services of forests) disajikan

pada bab 22, 23 dan 24. Produk jasa (forest services) dari hutan bibahas pada bab 22, dan ekowisata

yang merupakan potensi hasil hutan bukan kayu yang menggabungkan antara keunikan potensi

ekologi, sosial dan budaya masyarakat lokal atau suatu kawasan tertentu dibahas pada bab ke-23.

Perdagangan karbon dibahas pada bab 24. Pada akhir buku teks ini yaitu bab 25 dan 26, dilengkapi

beberapa topik penelitian dari HHBK dan beberapa judul penelitian mahasiswa strata satu (S1) berikut

tujuan dan variabel penelitiannya, dengan tujuan para mahasiswa dapat mempelajarinya dan

memahaminya. Pada bab terahir, 26, dibahas dengan singkat berbagai peluang usaha dalam bidang

HHBK, baik kewirausahaan skala rumah tangga, usaha kecil dan menegnah dan perusahaan besar.

Diharapakan setelah membaca dua pokok bahasan terakhir ini, peserta didik memiliki wawasan yang

luas, objektif dan kritis dalam merencanakan, menyusun dan mengembangkan potensi dirinya,

khususnya sebagai enterpreneurship yang baru.

Buku teks ini memimilki kelebihan-kelebihan yaitu mencoba menyajikan informasi yang

menyeluruh (komprehensif), disertai ilustrasi gambar yang jelas, karena belum tentu semua

mahasiswa atau pembaca, mengetahui sayur katok, buah pinang, aren maupun buah merah, dan

disajikan dengan pola pikir yang mengikuti kaidah logika pembelajaran, baik dalam tata bahasanya

maupun urutan pokok bahasannya. Kekurangan buku teks ini adalah ada pokok bahasannya yang

terlalu banyak, tetapi ada juga yang terlalu sedikit dan terdapat tabel-tabel yang terlalu menyita

halaman. Kekurangan lainnya adalah dalam memberikan ilustrasi gambar, atau kasus, hanya yang

terjadi di Papua, dan khusunya Manokwari.

Mengutip ungkapan moto dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, yaitu kalau bukan kita siapa

lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi, penulis membuat buku teks hasil hutan bukan kayu ini,

guna membantu mendokumentasikan kekayaan alam tropis Indonesia yang begitu kaya ini.

Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan yang telah diutarakan di atas, kiranya buku teks

ini dapat menjadi satu bahan bacaan wajib khususnya bagi mahasiswa kehutanan, farmasi, ilmu

lingkungan dan berbagai jenis latar belakang disiplin ilmu lainnya. Buku teks ini juga sangat berguna

Hasil Hutan Bukan Kayu

11

bagi para seluruh stakeholders yang berkepentingan dengan hasil hutan bukan kayu, khusunya di

Indonesia.

Dengan segala kerendahan hati, semoga buku teks ini dapat memenuhi apa yang para mahasiswa

harapkan dan pembaca inginkan. Salam Rimbawan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Salam Hormat,

Wahyudi Sayuti Pono

Hasil Hutan Bukan Kayu

12

(halaman kosong)

Hasil Hutan Bukan Kayu

13

DAFTAR ISI

PENGANTAR PEMBACA ……………………………………………………………….. 7

UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………………………… 8

PRAKATA ………………………………………………………………………………….. 9

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………….. 13

DAFTAR TABEL …………………………………………………………………………… 20

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………… 22

BAB 1. PENGERTIAN HASIL HUTAN …………………………………………………… 25

1.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………. 25

1.2. Hutan Tropis Indonesia …………………………………………………………….. 26

1.3. Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan …… 28

1.4. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu ……………………………………………… 32

1.5. Peluang Produk Minor Penggantikan Produk Major di Masa Mendatang ………… 33

1.6. Pustaka ……………………………………………………………………………. 35

BAB 2. PENGGOLONGAN PRODUK HASIL HUTAN ………………………………… 36

2.1 Pendahuluan ……………………………………………………………………. 36

2.2. Penggolongan Menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan ……………………. 36

2.3. Penggolongan Menurut Undang-Undang Kehutanan …………………………….. 37

2.4. Penggolongan Menurut Standar Nasional Indonesia ……………………………… 38

2.5. Penggolongan Hasil Hutan Menurut Sumber Lain ……………………………… 47

2.6. Pustaka ……………………………………………………………………………. 48

BAB 3. KAJIAN PENGELOLAAN DAN KARAKTERISTIK

HASIL HUTAN BUKAN KAYU ………………………………………………. 49

3.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 49

3.2. Fungsi dan Manfaat Penting Hutan bagi Masyarakat Hutan (Forest People) ………. 49

3.3. Permasalahan-Permasalahan Penting dari Hasil Hutan Bukan Kayu

dan Kemungkinan Pemecahannya, FAO (1998) ………………………………….. 53

3.4. Pustaka …………………………………………………………………………… 58

BAB 4. POTENSI, PRODUKSI, DAN EKSPOR KOMODITAS

HASIL HUTAN BUKAN KAYU ……………………………………………….. 59

4.1. Pendahuluan ............................................................................................................. 59

4.2. Potensi …………………………………………………………………………… 59

4.3. Keanekaragaman Produk …………………………………………………………. 61

Hasil Hutan Bukan Kayu

14

4.4. Produksi dan Ekspor ………………………………………………………………. 62

4.5. Pustaka …………………………………………………………………………… 68

BAB 5. POLA PRODUKSI, SISTEM PASAR DAN KELEMBAGAAN PEMASARAN ….. 69

5.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 69

5.2. Pola Produksi ………………………………………………………………………. 69

5.3. Rantai Pemasaran (Maket Chain) ………………………………………………… 72

5.4. Kelembagaan Pemasaran ………………………………………………………. 74

5.5. Produksi, Permintaan, dan Perdagangan ………………………………………….. 77

5.6. Pustaka …………………………………………………………………………… 78

BAB 6. PERANGKAT PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU ……………………………………………….. 79

6.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 79

6.2. Perundang-undangan ……………………………………………………………….. 79

6.3. Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu ………………………… 81

6.4. Izin Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu …………………….. 82

6.5. Pemberian Izin …………………………………………………………………… 82

6.6. Pemberian Izin di Daerah Kabupaten/Kota ………………………………………… 83

6.7. Daftar Pustaka ……………………………………………………………………. 89

BAB 7. ROTAN (RATTAN) ……………………………………………………………….. 90

7.1. Pendahuluan …………………………………………………………………….. 90

7.2. Botani Rotan ……………………………………………………………………… 90

7.3. Pemanenan dan Pengolahan Rotan ………………………………………………… 94

7.4. Pengujian Kualitas Rotan ………………………………………………………… 96

7.5. Beberapa Catatan Penting tentang Perkembangan

Komoditas Rotan dan Industri Rotan ………………………………………………. 97

7.6. Permasalahan Komoditas Rotan di Masa Mendatang …………………………….. 98

7.7. Pustaka ……………………………………………………………………………. 101

BAB 8. SAGU (METROXYLONSPP) ……………………………………………………… 103

8.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 103

8.2. Botani Sagu (Metroxylon spp) …………………………………………………….. 103

8.3. Potensi Sagu ………………………………………………………………………. 104

8.4. Ciri Fisik Sagu Siap Panen ……………………………………………………….. 106

8.5. Pengertian Aci Sagu ……………………………………………………………… 108

8.6. Pemanenan Sagu ………………………………………………………………….. 108

Hasil Hutan Bukan Kayu

15

8.7. Penghancuran Empulur (Menokok) dan Ekstraksi Aci Sagu ………………………. 110

8.8. Metode Tradisional ……………………………………………………………….. 110

8.9. Metode Semi Mekanis ……………………………………………………………… 114

8.10. Metode Mekanis Penuh ……………………………………………………………. 115

8.11. Pemanfaatan Pohon Sagu ………………………………………………………….. 116

8.12. Pustaka ………………………………………………………………………… 119

BAB 9. AREN (ARENGA PINNATA MERR) ……………………………………………… 120

9.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 120

9.2. Botani Pohon Aren ………………………………………………………………. 120

9.3. Pemanfaatan Aren untuk Berbagai Produk ………………………………………… 123

9.4. Pembuatan Gula Merah Aren ……………………………………………………. 127

9.5. Pemanfaatan Tumbuhan Aren sebagai Bahan Bakar Nabati ……………………….. 129

9.6. Pustaka ………………………………………………………………………….. 131

BAB 10. BAMBU …………………………………………………………………………… 132

10.1. Pendahuluan …………………………………………………………………… 132

10.2. Botani Bambu …………………………………………………………………….. 132

10.3. Keanekaragaman Bambu pada Beberapa Daerah ………………………………… 134

10.4. Kenapa Bambu Begitu Spesial ……………………………………………………. 135

10.5. Sifat-Sifat Dasar dari Bambu ……………………………………………………. 137

10.6. Produk-Produk dari Bambu …………………………………………………….. 138

10.7. Penggunaan Bambu di Pedesaan …………………………………………………. 140

10.8. Perkembangan Teknologi Bambu ………………………………………………… 143

10.9. Lembaga Penelitian Bambu dan Rotan ………………………………………….. 143

10.10. Pustaka ……………………………………………………………………………… 143

BAB 11. PRODUK TURUNAN KAYU …………………………………………………….. 145

11.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 145

11.2. Arang (Charcoal) ………………………………………………………………….. 145

11.3. Arang Aktif (Activated Carbon) ………………………………………………….. 149

11.4. Briket Arang (Briquette) …………………………………………………………… 153

11.5. Sirap ………………………………………………………………………………. 154

11.6. Pustaka ………………………………………………………………………….. 157

BAB 12. TUMBUHAN PENGHASIL PEWARNA ALAMI (NATURAL DYE) ……………….. 158

12.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 158

12.2. Pengertian Pewarna Alami ……………………………………………………….. 158

Hasil Hutan Bukan Kayu

16

12.3. Penggunaan Pewarna Alami untuk Produk Tekstil seperti Batik ………………….. 160

12.4. Pengunaan Pewarna Alami pada Industri Makanan dan Minuman …………….... 164

12.5. Tanin ………………………………………………………………………………. 165

12.6. Pewarna Alami untuk Berbagai Produk Tradisional Lainnya …………………….. 165

12.6. Pustaka ................................................................................................................... 171

BAB 13. TUMBUHAN OBAT (MEDICINAL PLANTS) …………………………………… 172

13.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 172

13.2. Tumbuhan Obat (Medicinal Plants) ……………………………………………… 172

13.3. Tumbuhan Obat di Papua ………………………………………………………… 176

13.4. Pustaka …………………………………………………………………………… 179

BAB 14. RESIN DAN GETAH-GETAHAN ……………………………………………….. 180

14.1. Pendahuuan …………………………………………………………………… 180

14.2. Istilah Umum ……………………………………………………………………. 180

14.3. Getah Perca ……………………………………………………………………… 181

14.4. Getah Jelutung ………………………………………………………………….. 182

14.5. Kopal …………………………………………………………………………….. 184

14.6. Damar …………………………………………………………………………….. 186

14.7. Getah Tusam ……………………………………………………………………… 187

14.8. Jernang ……………………………………………………………………………. 189

14.9. Kemenyan ……………………………………………………………………….. 190

14.10. Pustaka …………………………………………………………………………. 191

BAB 15. MINYAK ATSIRI (ESSENTIAL OIL) …………………………………………….. 193

15.1. Pendahuluan …………………………………………………………………….. 193

15.2. Potensi …………………………………………………………………………….. 193

15.3. Pengertian …………………………………………………………………………. 195

15.4. Sifat Fisiko-Kimia ………………………………………………………………… 196

15.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Minyak Atsiri …………………………. 196

15.6. Proses Mendapatkan Minyak Atsiri ……………………………………………… 197

15.7. Pemisahan Minyak Atsiri dari Air dan Lemak ……………………………… 200

15.8. Pengemasan dan Penyimpanan …………………………………………………… 201

15. 9. Pemanfaatan Minyak Atsiri ……………………………………………………… 201

15.10. Beberapa Penelitian Minyak Atsiri ……………………………………………… 201

15.11. Pustaka ……………………………………………………………………………. 208

Hasil Hutan Bukan Kayu

17

BAB 16. KIMIA BAHAN ALAM (NATURAL PRODUCTS OF CHEMISTRY) ………….. 210

16.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 210

16.2. Ethnobotani, Ethnopharmakologi, dan Kearifan Lokal (Indigenous Knowledge) ….. 210

16.3. Kimia Tumbuhan (Phytochemistry) ………………………………………………. 212

16.4. Kimia Senyawa Aktif Biologis Tumbuhan ……………………………………….. 213

16.5. Keanekaragaman Hayati Tanaman Obat-obatan …………………………………. 213

16.6. Bahan Obat-obatan dari Tumbuhan Tropis ………………………………………. 214

16.7. Grup Metabolit Sekunder ………………………………………………………… 214

16.8. Pustaka ……………………………………………………………………………. 216

BAB 17. BUAH MERAH (PANDANUSCONODIEUSLAMK) …………………………. 217

17.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 217

17.2. Botani Buah Merah (Pandanus conoideus L.) …………………………………….. 217

17.3. Budi Daya Buah Merah …………………………………………………………. 218

17.4. Pemanfaatan Buah Merah secara Tradisional ……………………………………. 219

17.5. Karakteristik dan Komposisi Asam Lemak Buah Merah ………………………….. 220

17.6. Uji Biologi dan Pharmacologi dari Ekstrak Buah Merah ………………………… 222

17.7. Pengolahan Buah Merah ………………………………………………………….. 222

17.8. Diversifikasi Produk-Produk Buah Merah ……………………………………… 222

17.9. Pustaka ……………………………………………………………………………. 223

BAB 18. GAHARU (AGARWOOD) ………………………………………………………… 225

18.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 225

18.2. Botani Gaharu …………………………………………………………………… 225

18.3. Potensi Gaharu …………………………………………………………………… 227

18.4. Pengertian Gaharu ……………………………………………………………….. 227

18.5. Pemanfaatan dan Komponen Kimia Minyak Atsiri dan Ektrak Gaharu ………….. 228

18.6. Perdagangan Gaharu ……………………………………………………………… 229

18.7. Pengujian dan Kualitas Gaharu …………………………………………………. 230

18.8. Pustaka ………………………………………………………………………….. 234

BAB 19. PRODUK-PRODUK NABATI LAINNYA ……………………………………… 236

19.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 236

19.2. Anggrek (Dendrobium spp) ……………………………………………………………… 236

19.3. Buah Mangrove …………………………………………………………………… 238

19.4. Daun Pandan (Pandanus spp) ……………………………………………………… 240

19.5. Nipah (Nypafruticans Wurmb) ……………………………………………………. 241

Hasil Hutan Bukan Kayu

18

19.6. Pala (Myristica spp) …………………………………………………………………………. 243

19.7. Pustaka …………………………………………………………………………….. 245

BAB 20. MIKROBA ENDOPIT DAN JAMUR (EDIBLEMUSHROOM) …………………. 247

20.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 247

20.2. Mikroba Endofit …………………………………………………………………. 247

20.3. Jamur yang Dapat Dikonsumsi (Edible Mushroom) ………………………………. 249

20.4. Nilai Nutrisi dan Bahan Aktif pada Jamur Konsumsi …………………………….. 257

20.5. Usaha Budi Daya Jamur dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal ………………… 258

20.6. Pustaka …………………………………………………………………………….. 260

BAB 21. KELOMPOK HEWANI ………………………………………………………….. 262

21.1. Pendahuluan …………………………………………………………………….. 262

21.2. Buaya dan Kulit Buaya ……………………………………………………………. 262

21.3. Rusa (Cervus spp) …………………………………………………………………. 263

21.4. Sarang Burung Walet ……………………………………………………………… 264

21.5. Kutu Lak (Sherlac) ………………………………………………………………… 265

21.6. Lebah Madu ……………………………………………………………………… 266

21.7. Ulat Sagu ………………………………………………………………………... 267

21.8. Kupu-Kupu ………………………………………………………………………. 267

21.9. Burung ……………………………………………………………………………. 269

21.10. Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrogilus ursinus) …………………………… 270

21.11. Pustaka ……………………………………………………………………………. 271

BAB 22. PRODUK JASA DARI HUTAN(FOREST SERVICES) ………………………………. 273

22.1 Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 273

22.2. Produk Jasa dari Sumber Daya Hutan (Services of Forests) ……………………….. 273

22.3. Jasa Hutan dan Pohon pada Pertanian (Agricultural Services of Forests and Trees) … 274

22.4. Jasa Hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) (Watershed Services of Forests) …… 275

22.5. Pabrik Karbon (Carbon Sequestration/Carbon Sink) ………………………………….. 275

22.6. Konservasi Habitat Satwa Liar dan Nilai Keanekaragaman Hayati

(Conservation of Wildlife Habitats and Biological Diversity Values) …………….. 276

22.7. Pustaka ……………………………………………………………………………. 276

BAB 23. EKOWISATA (ECOTOURISM) ……………………………………………….. 277

23.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 277

23.2. Pengertian ………………………………………………………………………… 277

23.3. Ekowisata dan Kawasan Konservasi …………………………………………….. 278

Hasil Hutan Bukan Kayu

19

23.4. Potensi Lokal dari Ekowisata …………………………………………………….. 279

23.5. Pustaka ……………………………………………………………………………… 282

BAB 24. PERDAGANGAN KARBON (CARBONTRADE) ………………………………. 283

24.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 283

24.2. Hutan Tropis Dunia (World Tropical Rain Forest) ……………………………….. 283

24.3. Konvensi International tentang Perubahan Iklim Global ………………………….. 284

24.4. Protokol Kyoto ……………………………………………………………………. 284

24.5. Efek Rumahkaca dan Gas Rumah Kaca (Green House Gases) ………………….. 285

24.6. Mekanisme Perdagangan Karbon Melalui Skema REDD

bagi Negara-Negara Berkembang Pemiliki Hutan Tropis ………………………… 286

25.7. Pustaka …………………………………………………………………………….. 289

BAB 25. PENELITIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU ………………………………… 290

25.1. Pendahululan ………………………………………………………………………. 290

25.2. Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu Berdasarkan

Urutan Pengembangan Komoditas Unggulan …………………………………….. 290

25.3. Beberapa Contoh Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu

di Fakultas Kehutanan UNIPA …………………………………………………….. 293

25.4. Pustaka …………………………………………………………………………… 293

BAB 26. PELUANG USAHA KOMODITAS HASIL BUTAN BUKAN KAYU …………. 299

26.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 299

26.2. Komoditas Unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu Daerah dan Nasional ………… 299

26.3. Peluang Usaha Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu …………………………… 300

GLOSARIUM ………………………………………………………………………………. 305

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………… 313

Hasil Hutan Bukan Kayu

20

DAFTAR TABEL

2.1 Jenis-jenis komoditas hasil hutan kayu kelompok batang dan turunannya

2.2 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak atsiri

2.3 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak lemak

2.4 Kelompok hasil hutan bukan kayu kelompok bunga, buah, biji dan daun

2.5 Beberapa hasil hutan buan kayu kelompok kulit dan babakan

2.6 Hasil hutan bukan kayu kelompok getah-getahan

2.7 Hasil hutan bukan kayu kelompok resin

2.8 Hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati

2.9 Hasil hutan bukan kayu kelompok aneka umbi

2.10 Hasil hutan bukan kayu kelompok hewani dan turunannya

2.11 Penggolongan jenis dan golongan hasil hutan bukan kayu

3.1 Karakteritik hasil hutan bukan kayu berdasarkan penggunaan akhir

3.2 Penggolongan hasil hutan bukan kayu berdasarkan kepentingan analisis ekonomi, skala

kegunaan dan pemasaran

3.3 Perbandingan karakteristik pengelolaan, pemanenan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu

dibandingkan hasil hutan kayu

4.1 Potensi hasil hutan bukan kayu di Irian Jaya/Papua

4.2 Produksi hasil hutan bukan kayu sepuluh tahun terakhir

4.3 Total ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu 5 tahun terakhir

4.4 Realisasi ekspor komoditas gaharu dari hutan per juli 2007

4.5 Realisasi ekspor satwa liar per juli 2007 yang diambil dari hutan belantara

5.1 Ringkasan nilai ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu utama wilyah Asia pasifik

6.1 Identifikasi beberapa jenis perizinan pemanfaatan hasil hutan pada hutan lindung

6.2 Ringkasan hasil identifikasi berbagai hal berkenaan dengan izin pemanfaatan jasa lingkungan

6.3 Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kab. Bulungan tentang berbagai aspek izin

pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung

6.4 Ringkasan hasil identifikasi beberapa aspek tentang izin usaha pemanfaatan kawasan pada

hutan produksi

6.5 Ringaksan identifikasi berbagai aspek pemberian izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan

pada kawasan hutan produksi

6.6 Ringkasan identifikasi berbagai aspek izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada

hutan produksi

6.7 Ringkasan identifikasi berbagai aspek izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada

hutan tanaman

Hasil Hutan Bukan Kayu

21

6.8 Ringkasan identifikasi berbagai aspek perizinan usaha pemugutan hasil hutan bukan kayu dari

hutan alam

7.1 Ringkasan dari permasalahan yang telah diidentifikasi dan teknologi yang diperlukan guna

keberlanjutan perkembangan komoditas rotan di negara-negara Asia Tenggara

8.1 Estimasi luas tumbuhan sagu di Indonesia, Papua New Guinea, Malaysia, Thailand dan

Filipina

8.2 Luas dan penyebaran Sagu di Irian Jaya (Papua)

9.1 Luas areal tanaman aren dan perkiraan produksi gula yang dihasilkan

9.2 Perkembangan areal tanaman aren dan produksinya dari tahun 1992-2003

9.3 Skenario pencapaian swasembada gula konsumsi 2005-2009

12.1 Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan warna yang dihasilkan

12.2 Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami, warna yang dihasilkan, metode ekstraksinya dan

penggunaan warna alami oleh suku Arfak di Kampung Mbenti Distrik Manyambou Kab

Manokwari

13.1 Jenis-jenis tumbuhan obat, bagian yang dimanfaatkan dan khasiatnya yang dapat

dikembangkan dalam rangka pengembangan hutan tanaman

13.2 Beberapa jenis tumbuhan berkayu yang dihasilkan dari hutan yang berpotensi untuk dijadikan

tumbuhan obat

15.1 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak atsiri

15.2 Pengaruh bentuk daun terhadap persentase komposisi minyak atsiri pada minyak kayu putih

15.3 Pengaruh penyimpanan terhadap rendemen dan kadar sineol dari minyak kayu putih

15.4 Variabel dan persyaratan minyak kayu putih di Indonesia

15.5 Karakteristik dan syarat mutu kayu putih berdasarkan the Essential oil association of USA

15.6 Komponen bioaktif minyak kayu putih dan rumus molekulnya serta titik didihnya

16.1 Beberapa senyawa bio-aktif tumbuhan hutan tropis, sumber tumbuhan penghasilnya dan

kategori terapinya

17.1 Karakteristik buah merah (Pandanus coneideus L)

17.2 Sifat fisiko-kimia buah Merah (Pandanus coneideus L)

17.3 Kandungan gizi buah merah (Pandanus coneideus L)

17.4 Diversifikasi produk-produk sampingan dari sari buah merah

17.5 Pemanfaatan lain dari tanaman buah merah

18.1 Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia dan daerah penyebarannya

18.2 Klasifikasi kualitas gaharu menurut ASGARIN

Hasil Hutan Bukan Kayu

22

DAFTAR GAMBAR

4.1 Profil tukang kayu lokal di teluk Wondama, Papua Barat

4.2 Produk Mebel yang diperuntukkan untuk bangku siswa sekolah dasar (SD)

5.1 Tumang sagu yang berasal dari daerah Sentani Jayapura

5.2 Diagram bagan pemasaran rotan dengan metode PCS

5.3 Bagan alir jaringa pemasaran minyak lawang di Kab. Teluk Wondama

5.4 Bagan alir jaringa pemasaran kulit kayu masohi di Kab. Teluk Wondama

7.1 Rumpun Rotan di dekat Pemukiman/persawahan penduduk di SP V distrik Masni Kabupaten

Manowari dan mahasiswa Sesmester VI program studi teknologi Hasil Hutan yang lagi

memanen rotan

7.2 Duri rotan dari jenis Calamus spp yang tumbuh di daerah SP V distrik Masni Kabupaten

Manokwari

7.3 Rotan yang telah masak tebang di hutan Werianggi, kabupaten teluk Wondama

7.4 Pengeringan rotan asalan secara sederhana di sentra industri rotan Nabire-Papua

7.5 Kursi biasa rotan yang diproduksi salah satu pelaku kerajinan rotan di Kota Nabire-Papua

5.4. Sepasang kursi sofa (jenis deluxe) yang diproduksi oleh salah satu pelaku kerajinan rotan di

kota Nabire- Papua

8.1 Anakan pohon sagu di alam dan tegakan/dusun sagu

8.2 Proses penghancuran empulur sagu

8.3 Gambaran umum proses pemanenan sagu

8.4 Dua bentuk ala tokok sagu

8.5 Penggunaan alat tokok dalam menokok sagu

8.6 Hasil proses penghancuran/tokok empulur sagu

8.7 Dua gambaran metode ekstraksi serat empulur sagu

8.8 Berbagai bentuk tumang sagu di Irian Jaya

8.9 Alat pearut empulur sagu semi mekanis

8.10 Mesin pemarut empulur sagu modifikasi aci sagu (pati sagu) yang dijual di pasar tradisional

di Kota Manokwari

8.11 Bagan proses pengolahan sagu menjadi tepung di PT Sagindo Sari Lestari

8.12 Pemanfaatan daun sagu yang telah dijepit untuk atap dan dinding rumah masyarakat lokal di

Supriori-Biak

8.13 Sagu lempeng yang dijual di pasal lokal Manokawari

8.14 Ulat sagu dari kumbang Rizhophorus spp

8.15 Diagram pemanfaatan sagu skala industri

9.1 Pohon aren yang telah dewasa

Hasil Hutan Bukan Kayu

23

9.2 Tandan (bunch) buah aren yang masih muda dan yang sudah siap panen

9.3 Bagan proses pembuatan gula aren merah

9.4 Bagan proses pembuatan gula semut atau gula kristal dari gulaaren merah

10.1 Salah satu jenis bambu yang tumbuh di salah satu desa di kab. Magetan Jawa Timur

10.2 Rumpun bambu yang tumbuh di sekitar pekarangan penduduk di Kota Manokwari

10.3 Penggunaan bambu utuh/solid dari jenis scrambling atau climbing untuk dinding rumah

penduduk

10.4 Penggunaan anyaman ruas bambu (gedhek) untuk dinding rumah penduduk di distrik Pantai

Utara Manokwari

10.5 Penggunaan bambu solid sebagai lantai/jembatan pada rumah panggung di Supriori Biak -

Papua

10.6 Penggunaan bambo solid untuk pagar kebun penduduk lokal di daerah Distrik Pantai Utara

Manokwari

12.1 Daun katuk yang sangat kaya akan klorofil dan bermanfaat untuk memperlancar produksi ASI

ibu yang lagi menyusui

12.2 Penggunaan warna merah pada tikar tradisional yang terbuat dari daun pandan (Pandanus

spp)

12.3 Hasil Kerajinan tas tradisional yang terbuat dari daun pandan yang menggunakan warna dan

tas tradisional yang terbuat dari serat kulit kayu yang tidak menggunakan pewarna

12.4 Pohon Pinang dewasa, buah pinang dan tandan buah pinang yang telah masak di pohon

13.1 Tumbuhan sirih (Piper spp) yang tumbuh merambat pada pohon Lamtorogung

13.1 Buah sirih yang pada tanaman sirih yang telah siap panen

13.3 Gambar akar atau tali kuning (Tinospera spp)

15.1 Gambar komponen aktif dari minyak sereh dan jeruk

15.2 Bagan umum proses ektraksi minyak astiri dari bagian tumbuhan

15.3 Metode distilasi dengan air/perebusan

15.4 Metode distilasi kombinasi air dan uap

15.5 Metod distilasi dengan uap

15.6 Bagan atau alur penyulingan minyak atsiri untuk memperoleh komponen yang tidak mudah

menguap

15.7 Diagram atau bagan pemisahan minyak atsiri dan lemak pada hasil ekstrak minyak atsiri

15.8 Pohon Lawang yang tumbuh di pekarangan rumah penduduk di Distrik Windesi Kabupaten

Teluk Wondama

15.9 Bekas ketel alat penyuling di Kampung Werianggi distrik Windesi Teluk Wondama - Papua

Barat

17.1 Tegakan buah merah (Pandanus coneideus L) dan posisi/letak buah merah pada batang pohon

berdiri

Hasil Hutan Bukan Kayu

24

17.2 Anakan buah merah yang siap tanam dan tanaman buah merah yang berumur 2 tahun

17.3 Buah merah yang dijual di pasal Lokal di Manokwari

18.1 Komoditas gaharu kualitas lokal dari Werianggi di Manokwari

19.1 Karakteristik anggrek tipe monopodial yang tumbuh di pekarangan rumah penduduk lokal di

Manokwari

19.2 Tipe pertumbuhan anggrek sympodial yang tumbuh kurang terawat di kebun penduduk lokal

di Manokwari

19.3 Tanaman anggrek yang dijual oleh penduduk lokal di Papua

19.4 Proses pengupasan kulit biji mangrove jenis tumuk (Bruguiera spp) di desa Sowek distrik

Supriori selatan

19.5 Hasil kupasan buah mangrove jenis Tumuk (Bruguiera spp) yang siap direbus

19.6 Pandan yang berbuah seperti durian di hutan primer Kampung Nusaulan Distrik Buruway

kab. Kaimana

19.7 Tumbuhan pandan (Pandanus tectorius) untuk bahan baku tikar pandan

19.8 Tikar dari daun pandan di kampung Nusaulan Buruway Kaimana

19.9 Penyebaran nipah di sepanjang pinggiran sungai Buruway Kaimana

19.10 Tandan buah nipah yang telah mekar

19.11 Areal tegakan pohon pala di salah satu kampung di Kaimana

19.12 Tiga jenis komoditas yang dihasilkan oleh pohon Pala

20.1 Anak buaya yang ditangkap oleh penduduk lokal di kampung Esania distrik Buruway kab.

Kaimana

20.2 Bagian tubuh rusa, tanduk, yang ditinggalkan oleh pemburu di Kaimana

20.3 Ulat sagu sebagai sumber protein hewani alternatif di Irian Jaya

20.4 Beberapa jenis Kupu-kupu yang terdapat di Irian Jaya

20.5 Burung Cenderawasih (Paradisaea minor)

20.6 Habitat Kangoru Pohon Cenderaasih (Dendrogilus spp)

20.7 Kanguru Pohon cenderawasih yang ditangkap oleh masyarakat lokal

23.1 Objek wisata pemanggilan ikan di desa Bakaro kab. Manokwari

23.2 Pantai pasir putih (pasir panjang) di kampung Nusaulan distrik Buruway Kab, Kaimana

23.3 Perpaduan ukiran batu karang (mozaik) yang dipadukan dengan kejernihan air laut di

kampung Nusaulan distrik Buruway kab. Kaimana

Hasil Hutan Bukan Kayu

25

BAB 1

PENGERTIAN HASIL HUTAN

1.1. Pendahuluan

Secara kosa kata hasil hutan diterjemahkan sebagai seluruh hasil (produk-produk) yang

dihasilkan dari Hutan. Sedangkan hutan secara sederhana dapat diartikan sebagai sekumpulan pohon-

pohon, tumbuhan dan hewan serta penyusun ekosistem lainnya yang satu sama lain tidak terpisahkan

dan ditetapkan oleh undang-undang sebagai hutan. Sehingga, hasil hutan adalah seluruh produk-

produk yang dihasilkan dari hutan, meliputi produk-produk dari pohon, tumbuhan, hewan dan

organisme penyusun ekosistem hutan lainnya. Hasil hutan yang telah disebutkan tadi, adalah hasil

hutan yang dapat ditentutan atau dihitung nilainya, bagaimana dengan produk-produk yang tidak

dapat dihitung nilainya, seperti hutan berfungsi menghasilkan udara yang bersih dan segar, hutan

mampu menampung resapan air hujan dan selanjutnya mengeluarkan air ke sungai atau mata air,

pancuran, juga fungsi lainnya seperti rekreasi, pariwisata, tempat penelitian, perlindungan satwa, dan

sebagainya.

Setelah kita cermati, ternyata hasil hutan itu memiliki pengertian dan dimensi yang sangat luas,

dan menyeluruh. Belajar dan mempelajari hasil hutan, juga perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu,

tidak hanya ilmu-ilmu dasar, seperti biologi, fisika, kimia, dan matematika. Akan tetapi, peran ilmu-

ilmu terapan seperti kehutanan, hidrologi, klimatologi, pertanian, sosiologi, peternakan, perikanan,

dan yang lainnya, juga tidak kalah pentingnya.

Setelah mengetahui ruang lingkup hasil hutan tersebut, pertanyaan yang muncul selanjutnya

adalah kenapa hasil hutan yang sering disebut-sebut di berbagai media massa, diskusi-diskusi,

seminar, penelitian, dan juga symposium hanya hasil hutan kayu? Bagaimana dengan hasil hutan yang

lainnya, yaitu selain kayu?

Hutan tropis Indonesia menghasilkan produk berbagai jenis kayu, sehingga kayu sering disebut

sebagai hasil hutan utama sedangkan produk hutan lainnya seperti rotan, kayu lawang, gaharu dan

tanaman obat serta beberapa produk hutan lainnya disebut dengan hasil hutan bukan kayu. Pernyataan

di atas menimbulkan pertanyaan, dan pertanyaannya adalah kenapa kayu lawang termasuk dalam

kelompok hasil hutan bukan kayu?. Karena pohon lawang juga menghasilkan kayu? Jawabannya

adalah bahwa kulit pohon lawang tersebut menghasilkan bahan kimia yang dapat diekstrak, diolah

dan kemudian kita kenal dengan minyak lawang. Produk minyak dari kulit lawang inilah yang

kemudian disebut sebagai produk bukan kayu dari kayu lawang.

Penjelasan singkat tersebut, mudah-mudahan dapat membantu mahasiswa dan pembaca, untuk

lebih memahami, arah dan topik bahasan yang akan disajikan dan dibahas pada buku hasil hutan

bukan kayu, atau khususnya pada bagian pertama ini. Bab pertama ini dirancang untuk membahas

tentang definisi atau pengertian dari hasil hutan secara umum, kemudian pengelompokan produk-

produk hasil hutan, yang selanjutnya dinamakan dengan komoditas hasil hutan, pengertian hasil hutan

bukan kayu dan jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang paling dominan atau

berperan penting di Indonesia.Hal ini berkaitan dengan potensi hutan tropis Indonesia yang

menghasilkan beragam produk hasil hutan bukan kayu, baik yang berupa produk barang dan jasa.

Karena keberagamannya tersebut, banyak pengertian atau istilah yang digunakan untuk

mengambarkan komoditas HHBK. Pemberian istilah ini, pada dasarnya adalah untuk dapat

mengakomodasi seluruh produk HHBK dalam suatu pengertian yang komprehensif.

Setelah menyelesaikan pelajaran pada bab pertama ini, para mahasiswa diharapkan memiliki

kemampuan untuk:

mendefinisikan pengertian hasil hutan bukan kayu secara luas;

Hasil Hutan Bukan Kayu

26

memahami alasan pengelompokkan hasil hutan;

mengelompokkan hasil hutan bukan kayu berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan

kehutanan, teknologi hasil hutan dan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan yang

berkembang saat ini;

mengidentifikasi berapa hasil hutan bukan kayu khususnya di Indonesia dan mengelompokkanya

berdasarkan klasifikasi yang telah dibuatnya sendiri.

1.2. Hutan Tropis Indonesia

Hutan hujan tropis Indonesia adalah salah satu dari tiga kelompok hutan hujan tropis dunia

(world tropical rain forest), yaitu kelompok hutan Amazon di Amerika selatan (Amazon basin of

South America), kelompok hutan di Semenanjung Zaire (the Zaire basin) of Africa, dan kelompok

Pasific dan Indomalaya (the Islands and peninsulas of South-east Asia). Hutan tropis dunia terletak

pada garis lintang dan garis bujur antara 10° lintang utara and 10° bujur selatan. Khusus untuk

kelompok Pasifik dan Indo-Malaya, hutan tropis basah ini tersebar pada beberapa negara, meliputi

India, Bangladesh, Sri Lanka, Malaysia, Brunei, Indonesia, Burma dan Papua New Guinea.

Khusus di Indonesia, dengan mempertimbangkan kemudahan pemahaman, dan kesederhanaan

pengucapan, hutan tropis basah selanjutnya dapat disebut sebagai hutan tropis Indonesia. Istilah ini

yang banyak dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, baik di lingkungan akademis maupun pragmatis

lapangan. Tetapi apabila kita mempelajari tentang tipe-tipe hutan atau formasi hutan di dunia atau

Indonesia, istilah hutan hujan tropis masih banyak dipergunakan, khususnya bila mengacu kepada

referensi beberapa tektbook dari negara-negara Eropa dan Amerika.

Hutan hujan tropis (tropical rain forest) Indonesia dikenal karena memiliki keanekaragaman

hayati yang tinggi, baik dari jumlah jenis pohon, serangga, tumbuhan berbunga, dan hewan vetebrata

dan beberapa hewan melata lainnya. Hal tersebut belum termasuk beberapa ciri khas dari hutan tropis,

seperti tanaman anggrek, buah-buahaan, tanaman hias dan beberapa jenis mikroflora dan mikrofauna

yang belum terindentifikasi. Kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) tersebut telah

memunculkan satu ciri khas yang sangat menonjol dari vegetasi hutan tropis, yaitu heterogenitas atau

keberagaman jenis yang tinggi dari penyusun ekosistemnya. Hal ini meliputi keanekaragaman

makhluk hidup yang berhabitat di dalam tanah hutan, di lantai hutan, dalam serasah, kulit pohon, di

tajuk pohon sampai pada makhluk hidup yang hidup di cabang dan puncak pohon (crown).

Menurut The Indonesian Biodiversity Foundation (KEHATI) luas daratan Indonesia itu hanya

sebesar 1,3% dari luasan permukaan bumi, tetapi keanekaragaman hayati Indonesia mewakili 17%

dari keanekaragaman hayati dunia. Rincian dari keanekaragaman hayati tersebut dapat diringkas dan

disajikan pada Gambar 1.1 berikut ini.

121

2827

240

5111531270

515

1400

480Kupu kupu (Butterfiles)

Hewan tidak bertulang

belakang (invertebrates)Species langka (rare species)

Hewan melata (Reptil)

Burung (Birds)

Amphibi (Amphibian)

Mamalia (Mammals)

Ikan (fresh water fishes)

Terumbu karang (Coral reefs)

Hasil Hutan Bukan Kayu

27

Gambar 1.1. Keanekaragaman hayati Indonesia berdasarkan jumlah spesies pada tiap kelompok

organisme

Dari gambar 1.1 tersebut, dapat dijelaskan bahwa Indonesia memiliki keberagaman jenis ikan,

burung, dan invertebrata ribuan species. Kemungkinan ditemukannya species-species yang lain, atau

yang baru, masih sangat terbuka atau memungkinkan. Mengingkat beberapa hutan tropis Indonesia

pada beberapa daerah utamanya Papua, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, belum semuanya diteliti

baik oleh peneliti kita, maupun oleh peneliti lainnya. Demikian juga dengan species-species ikan,

wilayah perairan kita sangat luas, ditambah dengan beberapa sungai-sungai besar yang belum

sepenuhnya diteliti, seperti sungai Mamberamo di Papua.

Apabila keanekaragaman hayati Indonesia tersebut direpresentasikan dalam keanekaragaman

hayati dunia, maka posisi keanekaragaman hayati yang kita miliki dapat diringkas pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2. Posisi keanekaragaman hayati Indonesia berdasarkan urutan keanekaragaman hayati

dunia

Gambar 1.2 di atas menjelaskan bahwa species langka, baik itu dari keompok hewan maupun

tumbuhan, Indonesia menempati urutan pertama di dunia. Sedangkan untuk golongan mamalia,

Indonesia menempati urutan kedua dunia, selanjutnya keberagaman jenis reptil, burung, dan hewan

amphibi, secara berurutan Indonesia berada pada posisi ke-empat, lima dan ke-enam. Untuk terumbu

karang, sekitar 60% dari populasi terumbu karang di dunia, terdapat di Indonesia.

Kedua gambar tersebut di atas, memperlihatkan betapa kayanya negara kita, potensi

keanekaragaman hayati, baik yang berada di hutan, dan lautan, merupakan asset yang tidak ternilai

harganya. Dari segi pendidikan dan penelitian, potensi keanearagaman hayati ini sudah seharusnya

memotivasi kita untuk meneliti, dan memanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan

kesejahteraan rakyat dalam arti yang sangat luas.

Kita kembali ke topik bahasan hasil hutan, heterogenitas struktur vegetasi penyusun hutan hujan

tropis tersebut memberikan manfaat atau fungsi hutan hujan tropis yang sangat kompleks dan

Species langka (urutan

pertama) Reptil (urutan ke empat)

Burung (urutan ke lima)

Amphibi (urutan ke

enam)

Mamalia (urutan ke

dua)

Terumbu karang (60 % dari terumbu karang Dunia)

Species langka (urutan

pertama)Reptil (urutan

ke empat)

Burung (urutan ke lima)

Amphibi (urutan ke

enam)

Mamalia (urutan ke

dua)

Terumbu karang (60 % dari terumbu karang Dunia)

Hasil Hutan Bukan Kayu

28

menghasilkan multi manfaat. Fungsi dan manfaat tersebut dapat diwujudkan sebagai produk-produk

yang dhasilkan dari hutan hujan tropis, yaitu produk utama (major products) sebagai kelompok kayu,

dan produk sampingan atau ikutan (minor products) yang kemudian dikelompokkan ke dalam hasil

hutan bukan kayu (HHBK). Karena kedua pengelompokkan produk tersebut di atas maka munculah

dikotomi hasil hutan utama dan hasil hutan ikutan.

Hasil hutan utama dari hutan hujan tropis masih didominasi oleh kayu atau masih berwujud dan

berbentuk kayu, baik kayu utuh atau solid (solid wood), maupun produk yang telah mengalami proses

pengolahan atau konversi awal yang kemudian dikenal dan digolongkan ke dalam produk kayu olahan

primer (primary wood processing). Produk-produk kayu olahan primer ini seperti kayu gergajian

(sawn timber) dan kayu lapis (plywood). Hasil hutan utama tersebut juga dapat berupa produk-produk

kayu olahan sekunder (secondary processed solid wood/SPWP), yang menurut Johnson (2000) dapat

terdiri atas berbagai jenis-jenis perabotan (furniture), produk moulding seperti sambungan dan sistem

knock down (joinery), jendela dan pintu (window/doors), kayu untuk tujuan pengepakan/pengemasan

(packaging) dan produk-produk kerajinan dan hiasan kayu lainnya (wood ornament).

Sedangkan hasil hutan ikutan, atau lebih sering disebut sebagai HHBK meliputi produk-produk

turunan kayu, seperti arang, arang aktif, atap sirap. Juga produk-produk nabati dan hewani yang

diperoleh dari hutan yang potensinya cukup melimpah, seperti seperti rotan, biji tengkawang,

golongan minyak atsiri, lebah madu, tanaman obat, tanaman hias, gaharu, sagu, hewan buruan, kupu-

kupu dan lain sebagainya.

Untuk kepentingan analysis ekonomi sumber daya hutan, misanya, produk hasil hutan juga dapat

dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu yang berupa produk barang (forest products) dan

produk jasa (forest services). Secara ringkas, kedua produk hutan tersebut diuraikan secara ringkas

sebagai berikut:

Produk yang dapat dihitung nilainya (tangible products) seperti kayu dan produk turunannya

(wood and its derivatived products), panel-panel kayu (reconstituted wood-products), seperti

biokomposit, papan partikel dan papan serat, serta termasuk di dalamnya beberapa komoditas

hasil hutan bukan kayu.

Produk yang tidak dapat dihitung/ditentukan nilainya (intangible products) seperti fungsi hutan

dalam menjaga sumber mata air (water hydrology), penyimpan dan penyerap karbon (carbon

sink), gas rumah kaca (green house gases), pariwisata dan ekowisata (ecotourims), serta

penelitian dan pengembangan ilmu.

1.3. Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan

Tuntutan perkembangan teknologi dan keterkaitan antar disiplin ilmu, diversifikasi pemanfaatan

sumber daya hutan, kecenderungan gaya hidup untuk kembali ke alam (back to nature), tuntutan

produk yang ramah lingkungan (friendly environmental products), permintaan produk yang dapat

didaur ulang secara biologis (biodegradable materials), dan permintaan obat-obatan yang berasal dari

bahan organik tumbuhan (herbal products) dan hewan telah memperlebar ruang lingkup pengertian

dari hasil hutan bukan kayu. Oleh karenanya, komoditas hasil hutan bukan kayu telah menjadi bahan

kajian and objek penelitian dari multi disiplin ilmu, mulai dar biologi, kimia, biokimia, kedokteran,

farmasi dan bahkan sosiologi, utamanya yang berkaitan dengan ethnobotany dan ethnopharmacology.

Dengan perkembangan persepsi di atas maka pengertian, ruang lingkup dan wawasan dari hasil

hutan bukan kayu berubah dari wawasan yang sebelumnya hanya fokus pada beberapa produk, seperti

rotan, sagu dan minyak atsiri, menjadi segala jenis produk yang dapat dihasilkan, diperoleh, dan

diolah dari suatu tegakan hutan, baik yang dapat dinilai dengan uang (tangible products) maupun

yang tidak dapat dinilai dengan uang (intangilbe products).

Dari dua pengelompokaan tersebut, muncullah apa yang kemudian dianamakan dengan produk

jasa dari hutan, seperti fungsi hutan tropis sebagai paru-paru dunia (carbon sink), fungsi penyeimbang

Hasil Hutan Bukan Kayu

29

iklim dunia dan beberapa fungsi lainnya. Karena kemultifungsian dari hasil hutan bukan kayu

tersebut, maka topik bahasannya dari hasil hutan bukan kayu melibatkan berbagai latar belakang

disiplin ilmu, baik ilmu dasar seperti kimia, biologi, biokimia, mikrobiologi (natural science), ilmu

sosial, ilmu terapan seperti kehutanan, pertanian, klimatologi, hidrologi dan beberapa disiplin ilmu

lainnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa hasil hutan bukan kayu begitu penting untuk dipelajari

oleh kebanyakan orang yang berkecimpung dalam bidang kehutanan, perhutanan sosial dan

pengembangan masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan? Dalam paradigma baru

pembangunan bidang kehutanan, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang

(developingcountries) kekayaan sumber daya hutan tropis sudah selayaknya dipanen, diolah, dan

dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan atau kualitas hidup

masyarakat, utamanya masyarakat pemilik hutan atau yang berdomisili di sekitar hutan (forest

people). Keberadaan dan keberlansungan hutan hujan tropis mutlak diperlukan untuk menjaga

keseimbangan iklim di planet ini. Fakta inilah yang mendasari kenapa beberapa lembaga keuangan

international, seperti bank dunia (world bank), bank pembangunan asia (Asian development bank),

UNESCO, dan yang lainnya, dalam memberikan dana hibahnya selalu menekankan pembangunan

kehutanan yang berkelanjutan dengan melibatkan partiipasi aktif masyarakat hutan. Paradigma baru

inilah yang lebih menitikberatkan kepada peran aktif dari masyarakat hutan dalam manejemen

kehutanan berkelanjutan yang berbasis kepada masyarakat hutan (Community Based Forest

Mangement).Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya kesalahan konsep dalam mengelola, memanen,

dan mengolah hutan hujan tropis tanpa melibatkan masyarakat hutan.

Paradigma lama dalam memanen dan mengelola hutan hanya menekankan atau

mempertimbangkan untuk mengambil kayu sebanyak-banyaknya, tanpa melibatkan masyarakat

pemilik hutan secara aktif, teknik pembalakan yang tidak proposional, tenaga kerja yang kurang

terlatih dan yang lebih menyedihkan adalah terabaikannya beberapa tumbuhan bawah atau

assosiasinya, yang kebanyakan kita kenal dengan komoditas hasil hutan bukan kayu, yang notabene

adalah penyumbang terbesar dalam kestabilan ekosistem hutan tropis.

Partisipasi masyarakat lokal pemilik hutan atau dikenal dengan istilah masyarakat

hutan/masyarakat adat (forestpeople) terhadap pengelolaan hutan juga sangat rendah. Mereka merasa

tidak dilibatkan dalam mengelola hutan tersebut, padahal penduduk lokal telah mengelola hutan

tersebut secara turun temurun. Bagi penduduk sekitar hutan, hutan bukan hanya sekedar kumpulan

pohon-pohon dan assosiasinya yang dapat diperlakukan semena-mena, tetapi merupakan bagian dari

kelangsungan kehidupan mereka, nenek moyangnya dan warisan leluhur yang harus dijaga dan yang

tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hutan sebagai sumber penghidupan dan penghasilan, sumber

inspirasi, sumber makanan, tempat berlindung, sumber spiritual dan tempat bermain yang tak

tergantikan oleh apa pun. Kerusakan terhadap hutan, berarti ancaman terhadap kelangsungan hidup

masyarakat hutan.

Hutan adalah sumber makanan yang tidak tergantikan dan saling melengkapi dengan yang

diperoleh penduduk dari kegiatan bercocok tanam. Hutan juga berfungsi sebagai sumber obat-obatan

yang murah, terjangkau dan terpercaya. Bagi masyarakat lokal, hutan juga berfungsi sebagai sumber

produk nabati dan hewani, sumber vitamin, mineral dan protein hewani, yang berperan dalam

menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh mereka. Hutan juga berfungsi sebagai sumber energi

utamanya sebagai sumber kayu bakar, dan berperan dalam meningkatkan gizi melalui ketersediaan

bahan makan yang bergizi berdasarkan skala lokal tersebut. Secara keseluruhan dapat disimpulkan

bahwa pengambilan, pengumpulan dan penjualan komoditas hasil hutan bukan kayu tersebut

merupakan sumber penghidupan dan pendapatan keluarga bagi masyarakat sekitar hutan. Oleh

karenanya, karena keberlangsungan hidup dan kehidupan mereka sangat tergantungkan dari

keberadaan hutan tersebut.

Hasil Hutan Bukan Kayu

30

Hasil hutan bukan kayu biasanya juga dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan tambahan

selama musim tertentu dan guna mencukupi kebutuhan gizi makanan untuk jangka pendek pada

musim-musim tertentu (kemarau). Pada musim ini, pada beberapa daerah yang mengalami

kekeringan, para petani mengalami krisis pangan dan pendapatan, sehingga mereka mencari makanan

dan pendapatan alternatif dari komoditas hasil hutan bukan kayu. Hal ini dapat dilihat di pulau Jawa,

seperti daerah utara Jawa Tengah dan Timur, yaitu adanya pekerja musiman pada perum perhutani

pada waktu-waktu tertentu, juga masyarakat lokal yang menjual daun jati, dan ranting-ranting pohon

jati sebagai kayu bakar.

Akhir akhir ini para pemangku kepentingan (stakeholders) yang tertarik dan terlibat dalam

pembangunan dan pengembangan masyarakat hutan (Community Forest Developmernt) dan

pembangunan hutan yang berkelanjutan (Sustainable ForestDevelopment) lebih memfokuskan pada

komoditas hasil hutan bukan kayu, dibandingkan komoditas kayu. Alasan utamanya adalah bahwa

membangun kawasan hutan akan sulit untuk berhasil, apabila tidak melibatkan masyarakat pemilik

atau yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan tersebut. Dengan mengambangkan komoditas

hasil hutan bukan kayu secara tidak langsung akan ikut memberdayakan dan membangun masyarakat

hutan tersebut.

Alasan yang telah disebutkan di atas, adalah satu dari beberapa alasan yang mendasari kenapa

berbagai organisasi swadaya masyarakat (LSM), perorangan, lembaga pemerintah dan lembaga

penyandang dana atau donor berkepentingan mengembangkan potensi hasil hutan bukan kayu. Pada

dasarnya semuanya pemangku kepentingan terseubt memiliki persamaan dalam persepsi dan cara

pandang dalam memberdayakan masyarakat hutan (forest people). Masyarakat hutan adalah

masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan (people living in and adjanten to the forest) dan

menggantungkan hidup dan kehidupannya kepada hutan di sekitarnya. Karena peran dan fungsi hutan

yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat hutan, kesejahteraan dan keberlangsungan

kehidupan masyarakat hutan, maka komoditas hasil hutan bukan kayu harus diprioritaskan untuk

digarap. Untuk itulah, maka kerja sama, kajian, dan penelitian oleh beberpa instansti dan lembaga

dengan berbagai disiplin ilmu dan latar belakang mutlak diperlukan.

Paradigma baru dalam bidang kehutanan telah mengalihkan pendapat dan sudut pandang dari

hutan sebagai sumber penghasil kayu, kepada pandangan yang memandang hutan sebagai sumber

daya alam yang bersifat multi fungsi (multiple function), multi guna (multiple benefit) dan memuat

multi kepentingan (multiple stakeholders) yang pemanfaatannya diarahkan untuk terwujudnya

kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa potensi dan produk hasil hutan

bukan kayu merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan

berhubungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu terbukti dapat

memberikan dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan

kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa negara, Sumadiwangsa dan Setyawan (2001).

Untuk menjawab paradigma baru sektor kehutanan, isu strategis, tantangan dan peluang bagi

pembangunan sumber daya yang tersedia; perlu dibuat suatu konsepsi/inovasi strategi penelitian

HHBK Indonesia. Bagi keperluan dunia penelitian dan pengambil keputusan konsepsi ini dapat

dimanfaatkan dalam rangka penyusunan rencana jangka pendek, menengah dan panjang

pembangunan produk HHBK Indonesia. Tujuannya adalah pemberdayaan dan peningkatan sumber

daya hutan, ekonomi rakyat dan peningkatan devisa bagi negara.

Beberapa alasan kenapa komoditas hasil hutan bukan kayu begitu banyak diminati oleh berbagai

pemangku kepentingan, dengan berbagai latar belakang kepentingan, dan memegang peranan penting

dalam menjaga kestabilan ekosistem hutan tropis basah di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Masyarakat sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap komoditas hasil

hutan bukan kayu, yang mana hutan dimanfaatkan sebagai sumber makanan keluarga untuk

pemenuhan unsur karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan unsur nutrisi lainnya. Hutan

juga sekaligus dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga.

Hasil Hutan Bukan Kayu

31

b. Adanya ikatan emosional dan spiritual yang sangat kuat, dan telah berlangsung turun-temurun

antara hutandengan masyarakat sekitar hutan, khususnya komoditas hasil hutan bukan kayu.

c. Secara langsung, komoditas hasil hutan bukan kayu memiliki multi manfaat dan nilai terhadap

masyarakat sekitar hutan, dari nilai sosial, ekologi dan finansial/ekonomi. Nilai sosial dapat

dilihat dari proses interaksi sosial yang terjadi dalam pemanenan, pengolahan dan penjualan

komoditas hasil hutan bukan kayu. Interaksi dan kebersamaan tersebut juga terlihat pada proses

pengelolaan hasil hutan bukan kayu tersebut. Untuk nilai ekonomi atau finansialnya, pada

kebanyakan komoditas hasil hutan bukan kayu dapat langsung di jual atau dibarter dengan

barang lain, tanpa perlu adanya pengolahan atau tahapan proses pengolahan untuk dijual dan

menghasilkan uang, sehingga masyarakat dapat merasakan langsung manfaatnya. Secara

ekologis, masyarakat hutan mengerti dan memahami bahwa komoditas hasil hutan bukan kayu

adalah merupakan bagian dari ekosistem hutan yang memiliki fungsi penting, tidak hanya bagi

hutan tetapi juga bagi masyarakat. Sehingga mereka memiliki kemauan dan tekad untuk

memelihara kelangsungan hidup, produksi dan regenerasi dari komoditas hasil hutan bukan kayu

tersebut.

d. Dari sudut pandang ilmu ekology dan penyusun ekosistem, komoditas hasil hutan bukan kayu

kebanyakan berada pada stratum bawah (lantai hutan/forest floor) sehingga sangat berperan

dalam menyeimbangkan ekosistem suatu tegakan hutan. Hal ini tentunya akan berpengaruh

terhadap iklim mikro (microclimate) dalam lantai hutan tersebut. Pengaruh pemanenan

komoditas hasil hutan bukan kayu ditinjau dari aspek ekologis juga lebih kecil dampaknya

terhadap ekosistem hutan, bila dibandingkan dengan pemanenan pohon atau penebangan pohon

hutan.

e. Komoditas hasil hutan bukan kayu adalah mega diversity (kekayaan keanekaragaman hayati)

yang tidak ternilai harganya dan merupakan penciri utama dari hutan alam tropis Indonesia

(Indonesiannatural tropical rain forest). Disinilah potensi dan kekayaan dari plasma nutfah

genetic dari hutan kita.

Alasan lain yang lebih rinci dan mendasar diuraikan oleh Arnorld dan Perez (1998) yang dikutip

oleh CIFOR (1998), tentang beberapa faktor akan pentingnya pengelolaan, pemanfaatan dan

pengolahan komoditas hasil hutan bukan kayu untuk berbagai tujuan, di antaranya adalah:

a) Nilai komoditas hasil hutan bukan kayu memiliki kelebihan dibandingkan dengan nilai hasil

hutan utama (perkayuan), di mana komoditas hasil hutan bukan kayu memberikan kontribusi

terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam dan

sekitar wilayah hutan tesebut. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat memberikan manfaat

sebagai bahan makanan, obat-obatan dan bahan baku lainnya, sumber pendapatan membuat

kerajinan tangan dan pekerjaan.

b) Eksploitasi dari hasil hutan bukan kayu menimbulkan kerusakan tegakan tinggal (impact

logging) yang minimal/sedikit dibandingkan dengan pemanenan atau eksploitasi kayu, sehingga

eksploitasi hasil hutan bukan kayu dapat dipandang sebagai cara eksploitasi yang dapat

menjamin pelaksaaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

c) Pemanfaatan komoditas hasil hutan bukan kayu dapat meningkatkan nilai tambah (added value)

dari hutan tropis, baik secara lokal dan nasional dengan cara memanfaatkan komoditas hasil

hutan yang belum dikelola secara maksium, bila dibandingkan dengan mengubahnya menjadi

lahan pertanian dan perkebunan yang intensif.

d) Pemanfaatan dari komoditas hasil hutan bukan kayu sangat berhubungan erat dengan usaha-

usaha pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

Hasil Hutan Bukan Kayu

32

Nilai tegakan hutan alam tropis basah diterjemahkan oleh Peter et al. (1989b) seperti yang

dikutip oleh Arnorld dan Perez (1998), bahwa dengan sistem pengelolaan hasil hutan bukan kayu

yang berkesinambungan, maka potensi ekonomi dari tegakan hutan akan lebih tinggi dari komoditas

kayu. Demikia juga, bila dibandingkan dengan income dari areal hutan yang dikonversi untuk

pertanian dan perkebunan. Hal tersebut diharapkan akan memacu dan membuka pasar komoditas hasil

hutan bukan kayu ini secara luas dan menyeluruh.

Pada beberapa kasus di berbagai tempat, pengelolaan hutan tropis sering melibatkan konflik

kepentingan antara pengelola, masyarakat lokal, pemerintah dan pemerhati konservasi terutama

pengelolaan hutan tropis dengan tujuan utama adalah pengambilan potensi hasil hutan utama (kayu),

pengkonversian lahan hutan untuk tujuan lain dan pengalihan fungsi hutan. Hal ini terjadi karena

adanya perbedaan pandang dan persepsi, baik antar lembaga pemerintah, lembaga donor, LSM dan

bahkan masyarakat pemilik hutan itu sendiri. Hal ini diperburuk dengan masih sedikitnya perusahaan-

perusahaan skala besar yang mau berinvestasi dan fokus dalam pengelolaan komoditas hasil hutan

bukan kayu.

Pemerintah pusat dan daerah juga belum sepenuhnya mendukung pemanfaatan komoditas ini.

Belum tersedianya payung hukum adalah salah satu contoh minimnya kontribusi dari pemerintah.

Kepastian payung hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan akan dapat mendorong

terciptanya iklim usaha yang dapat menjamin keberhasilan pengelolaam hasil hutan bukan kayu

tersebut. Pengelolaan komoditas hasil hutan bukan kayu yang dilaksanakan secara professional

berdasarkan payung hukum berpotensi untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat hutan, turut

meminimalkan potensi konflik terutama antara pengusaha, pemerintah dan penduduk lokal serta

pemerhati konservasi.

1.4. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) memiliki pengertian yang beragam, hal ini tergantung dari

mana kita ingin menerjemahkannya. Pada paradigma lama, hasil hutan bukan kayu hanya

didefinisikan sebagai hasil hutan ikutan atau sampingan sehingga memberikan kesan bahwa nilai dari

komoditas hasil hutan bukan kayu itu sangat kecil, cenderung terabaikan dan bahkan termajinalkan.

Pada kasus di Jawa, misalnya, pendapatan Perum Perhutani, lebih didominasi oleh komoditas hasil

hutan bukan kayu, dibandingkan dengan komoditas kayunya sendiri, (komunikasi pribadidengan Prof.

Wasrin Safii, IPB).

Dua produk perundang-undangan dibidang kehutanan yaitu UU No 5 Tahun 1968 tentang

Undang Undang Pokok Kehutanan, dan Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, belum

secara spesifk memuat pengertian atau definisi dari hasil hutan bukan kayu. Definisi dan pengertian

yang cukup jelas dari kedua produk undang-undang tersebut hanya meliputi pengertian dan penjelasan

dari Hasil Hutan, yang selengkapnya disajikan pada pokok bahasan atau bab kedua. Selanjutnya,

Vademecum kehutanan Indonesia tahun 1976 juga tidak menyebutkan dengan jelas pengertian dan

definisi dari hasil hutan bukan kayu. Pengertian yang definitif dan jelas tentang hasil hutan bukan

kayu diberikan oleh Pemerintah Kota Pagar Alam, seperti tercantum pada Bab I pasal 1 ayat 7. Hasil

hutan bukan kayu didefiniskan sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dapat

dimanfaatkan dari keberadaan hutan, seperti rotan, damar, getah-getahan, kulit kayu, arang bambu,

kayu bakar dan sebagainya.

Perkembangan selanjutnya, dengan memperhatikan penyusun ekosistem hutan tropis Indonesia,

hasil hutan bukan kayu dapat didefinisikan sebagai seluruh produk biologi yang dapat diperoleh dan

dipanen dari kawasan hutan. Karena cakupannya adalah seluruh produk biologi dari hutan, maka

komoditas hasil bukan kayu meliputi produk dari berbagai tumbuhan (nabati/flora), baik yang berupa

tumbuhan tingkat tinggi maupun tumbuhan tingkat rendah, dan berbagai jenis hewan (hewani/fauna),

baik hewan yang bertipe prokariota maupun hewan yang bersel sempurna jenis eukariota.

Hasil Hutan Bukan Kayu

33

Paradigma baru dalam bidang kehutanan, khususnya hutan hujan tropis, dengan

mempertimbangkan keberadaan dan partisipasi aktif dari masyarakat hutan, maka pengertian hasil

hutan bukan kayu didefinisikan seluruh produk biologi yang dapat diperoleh dari hutan, fungsi sosial

dari hutan, fungsi ekologi dari hutan, dan produk jasa dari hutan. Produk hutan yang terakhir ini

kemudian dikenal dengan sebutan forest services.

Keberagaman fungsi hutan tropis sebagai penghasil kayu dan bukan kayu tersebut, membuat

beberapa lembaga international kemudian mengistilahkan hasil hutan bukan kayu ke dalam dua

istilah. Organisasi pertanian perserikatan bangsa bangsa pangan yaitu Food and Agriculture

Organization (FAO) menamakan hasil hutan bukan kayu sebagai non-wood forest products

(NWFP’s). Sedangkan lembaga lain International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Center

for International Forestry Research (CIFOR) menggunakan sebutan non-timber forest products

(NTFP’s) untuk menyebut komoditas hasil hutan bukan kayu. Pada prinsipnya kedua istilah tersebut

mengacu kepada objek dan maksud yang sama. Selanjutnya, FAO (1998) mendefinisikan hasil hutan

bukan kayu sebagai semua benda/produk biologi yang masih asli, selain kayu, yang diambil dari

hutan dan lahan lain yang masih berasosiasi (Non-wood forest products are defined as all goods of

biological origin, other than wood, that are derived from the forests and associated land uses.)

Pengertian kayu (wood) lebih memfokuskan kepada setiap tumbuhan berkayu, baik itu berupa

pohon maupun bukan pohon berkayu. Sedangkan pengertian timber, yang apabila diterjemahkan ke

bahasa Indonesia menjadi kayu olahan, adalah kayu yang dihasilkan oleh tumbuhan berkayu yang

telah mengalami proses pengolahan atau pengkonversian. Definisi hasil hutan bukan kayuyang sangat

beragam tersebut dimungkinkan karena banyaknya objek dan kajian dari komoditas HHBK untuk

dipelajari, termasuk produk jasa dari hutan yang nota bene rumit untuk diukur dan ditentukan

nilainya.

Pengertian hasil hutan yang dikeluarkan oleh SNI 01-5010.4-202 tentang tata nama hasil hutan,

menyebutkan bahwa hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya serta jasa yang

berasal dari hutan. Apabila dipisahkan ke dalam penggolongan hasil hutan kayu dan bukan kayu,

maka pengertian dari hasil hutan kayu adalah semua jenis kayu baik kayu komersial maupun kayu

bakar. Sedangkan hasil hutan bukan kayu adalah semua jenis hasil hutan baik hayati (selain kayu)

maupun non hayati (sumber air, udara bersih, barang tambang dll.) termasuk jasa parawisata.

Dari pengertian tersebut bahwa, definisi hasil hutan bukan kayu mencerminkan adanya beberapa

hasil hutan lainnya, yang belum terakomodir dalam produk jasa dari hutan, seperti fungsi perlidungan,

pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kerancuan juga muncul dalam memasukkan barang tambang

sebagai hasil hutan bukan kayu.

1.5. Peluang Produk Minor Penggantikan Produk Major di Masa Mendatang

Selama ini, hasil hutan kayu dan produk-produk turunan dari kayu adalah produk hasil hutan

yang sangat dominan, baik sebagai penghasil devisa negara, penyerapan tenaga kerja, dan beberapa

multi manfaat langsung, dan tidak langsung dari pengolahan hasil hutan kayu tersebut. Karena

permintaan akan produk-produk hasil hutan yang berbasis kayu semakin lama semakin meningkat,

pemanenan kayu dari hutan juga terus mengalami penignkatan, degnan jumlah yang significant.

Bahkan pada beberapa kasus, boleh dikatakan pemanenan hasil hutan kayu terlalu berlebihan,

sehingga tidak lagi mempertimbangkan asas-asas pengelolaan hutan secara lestari. Luasan hutan

hujan tropis di berbagai negara, juga mengalami penurunan yang dramatis, sebagai akibat dari

pembangunan, pengkonversian lahan untuk perkebunan, pertambangan, industri dan keperluan

lainnya.

Pada akhir-akhir ini, permintaan produk-produk hasil hutan selain kayu, juga menunjukkan

peningkatan. Produk-produk mebel dari rotan, beberapa minyak atsiri, kayu gaharu, tepung sagu, dan

lainnya juga mulai diekspor. Hal ini belum termasuk beberapa tanaman hias, seperti anggrek, bunga-

Hasil Hutan Bukan Kayu

34

bungaan, ekspor hewan, seperti kera dan buaya hasil penangkaran, juga mulai memiliki pasar yang

menjanjikan.

Dengan gambaran seperti di atas, ke depan peran hasil hutan kayu, berpeluang akan digantikan

oleh hasil hutan bukan kayu. Pertimbangan-pertimbangan yang memperkuat dan mendukung kalimat

tersebut di antaranya adalah:

1. Produktivitas dan luasan hutan hujan tropis untuk menghasilkan kayu dari waktu ke waktu terus

menurun.

2. Pemanenan hasil hutan kayu ssering kali diikuti oleh rusaknya tegakan tinggal, kerusakan

ekosistem lainnya, dan pada akhirnya menurunkan kemampuan regenerasi dari hutan hujan tropis

itu sendiri.

3. Peran hutan hujan tropis sebagai penghasil kayu, akan tergantikan oleh hutan tanaman industri,

yang mampu menghasilkan kayu dalam rotasi lebih pendek. Disisi lain hutan tanaman industri,

kurang mampu menghasilkan hetrogenitas ekosistem selayaknya hutan hujan tropis.

4. Teknologi pengolahan kayu terkini, telah berhasil membuat beberapa material pengganti kayu,

baik yang berasal dari kayu maupun non kayu, melalui proses diversifikasi produk, dan

intensifikasi bahan, termasuk kayu kayu yang kualitas rendah (low-grade) dan kayu kurang

dikenal (lesserknown species).

5. Beberapa study kasus yang menunjukkan bahwa pemanenan hasil hutan kayu hanya

menguntungkan pemerintah dan pengusaha, tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata secara

ekonomi, sosial dan pembangunan kepada penduduk lokal, pemilik hak ulayat hutan tersebut.

Point ini yang patut digaris bawahi, bahwa hutan adalah harta benda yang tidak ternilai harganya

bagi penduduk lokal, pengerusakan dan pengelolaan yang kurang tepat, sama artinya dengan

menghilangkan sumber penghidupan dan pendapatan mereka.

6. Produk-produk hasil hutan bukan kayu, seperti lebah madu, tanaman obat, minyak kayu putih,

minyak lawang, buah-buahan, rotan, dan sagu, ternyata lebih memberikan nilai tambah bagi

penduduk lokal dibandingkan menjual kayu ke pengusaha.

7. Lembaga-lembaga keuagan international, seperti bank dunia, IMF, juga beberapa lembaga

konservasi WWF, Nature conservation, mulai mengkampayekan pengelolaan dan pengolahan

hasil hutan bukan kayu, khususnya untuk masyarakat lokal. Tujuan utamanya tidak hanya untuk

memberdayakan masyarakat lokal, tetapi juga untuk menjamin keberadaan dan kelangsungan

hidup dari hutan hujan tropis tersebut. Tanpa partisipasi aktif dan keterlibatan langsung dari

masyrakat lokal, akan sangat mustahil mempertahankan dan menjaga keaslian dari hutan hujan

tropis tersebut.

8. Produk jasa dari hutan (forest service) yang sangat beragam, seperti fungsi hutan sebagai paru-

paru dunia, penjaga keseimbangan iklim global, warisan nenek moyang yang tidak ternilai

harganya, sampai pada munculnya inisiatif perdagangan carbon (carbontrade). Negara-negara

penghasil gas rumah kaca (utamanya CO2) memberikan kompensasi kepada negara-negara

pengisap CO2, yaitu negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis, sebagai upaya kerja sama

untuk menangulangi pemanasan global (global warming) dan membantu pembangunan di

negera-negara berkembang.

9. Produk jasa dari hutan yang lainnya, termasuk keindahan panorama alamnya, ciri khas

ekosistemnya, juga budaya dari masyarakat lokal adalah salah satu modal dasar dalam

pengembangan wisata ekologi (eco tourism). Masyarakat yang sudah jenuh dengan peradaban

modern, ingin menikmati pemandangan dan nuansa yang lebih alami, dengan berwisata dan

Hasil Hutan Bukan Kayu

35

berpetualang ke hutan hujan tropis. Hal tersebut akan lebih terasa manfaatnya apabila

digabungkan dengan beberapa kebudayaan lokal dari masyarakat setempat.

10. Keanekaragaman hayati dari hutan hujan tropis adalah salah satu subjek dan objek penelitian

yang tidak akan habis-hasinya untuk diteliti, baik untuk sumber obat-obatan modern, obat-obatan

herbal, dan rekayasa genetika dan pengembangan rekayasa bioteknologi dalam skala yang sangat

luas.

11. Undang undang kehutanan, UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, telah mengakomodir dan

mengamanatkan bahwa komoditas HHBK diarahkan menjadi produk hasil hutan utama di masa

mendatang, mengantikan peran kayu sebagai produk hasil utama dari hutan hujan tropis

Indonesia.

Dari sebelas point yang telah diuraikan di atas, optimisme bahwa HHBK akan mengantikan

komoditas kayu adalah suatu tekad yang harus didukung, dilaksanakan dan disukseskan oleh para

pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga

keuangan. Hutan hujan tropis Indonesia, akan memberikan produk jasa yang lebih maksimal

dibandingkan menghasilkan produk kayu, yang suatu saat akan habis, dan perlu puuhan tahun untuk

menumbuhkan tegakan pohon yang siap panen.

1.6. Pustaka

Anonimous (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan. Direktorat jenderal

Kehutanan, Departemen Pertanian.

Anonimous (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kehutanan.

Departemen Kehutanan.

Arnold and Perez (1998). Income from the Forest. Methods for the Development and Conservation of

Forest Products for Local Community. Edited byWollenberg, E and A.Ingles Center for

International Forestry Research (CIFOR) Bogor.

Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The Asia-

Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization of The United

Nation, Rome Italy.

Johnson, S (2000). Secondary Processed Wood Products. Topical Forest Update Vol.7, No.4 1997.pp

5-6.

Khakim, Abdul (2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Dalam Era Otonomi Daerah. Citra

Aditya Bakti. Bandung

Peraturan Pemerintah Daerah Kota Pagar Alam No 8 tahun 2004. Izin usaha Penumpukan Kayu dan

Hasil Hutan. www.pagaralam, go.id/new/index. diakses tanggal 8 Oktober 2007.

Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan Badan Standarisasi

Nasional.

Sumadiwangsa. S dan Dendi Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001). Konsepsi Strategi Penelitian

Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. www. Dephut.go.id., diakses tgl 12 Desember

2006.

Hasil Hutan Bukan Kayu

36

BAB 2

PENGGOLONGAN PRODUK HASIL HUTAN

2.1 Pendahuluan

Pokok bahasan penggolongan hasil hutan bukan kayu ini membahas tentang pengelompok

produk-produk hasil hutan bukan kayu (HHBK), berdasarkan berbagai kategori atau perundangan,

baik yang dibuat oleh instansi pemerintah, kelompok peneliti dan berbagai organisasi internasional

yang bergerak dalam bidang sumber daya alam. Di samping itu, juga diuraikan alasan kenapa produk

HHBK tersebut dinamakan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu serta jenis-jenis komoditas hasil

hutan bukan kayu yang paling dominan atau berperan penting bagi Indonesia.

Setelah mempelajari pokok bahasan kedua ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan

untuk:

Melakukan penggolongan komoditas hasil hutan bukan kayu secara luas;

Memahami alasan pengelompokkan hasil hutan bukan kayu, ke dalam kelompok-kelompok

tersebut;

Mengelompokan hasil hutan bukan kayu berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan

kehutanan, teknologi hasil hutan, dan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan

yang berkembang saat ini;

Melakukan identifikasi beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu di Indonesia dan

mengelompokkannya berdasarkan klasifikasi yang telah dibuatnya sendiri.

2.2. Penggolongan Menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan

Menurut Undang Undang No. 5 tahun 1967 tentang Undang Undang Pokok Kehutanan (UUPK)

pada pasal 1 ayat 2, dinyatakan bahwa hasil hutan didefiniskan sebagai benda-benda hayati yang

dihasilkan dari hutan. Penjelasan lebih lanjut dari ayat ini menyebutkan bahwa hasil hutan adalah

hasil-hasil yang diperoleh dari hutan yang berupa: a) hasil-hasil nabati seperti kayu perkakas, kayu

industri, kayu bakar, bambu, rotan, rumput-rumputan, dan lain-lain bagian dari tumbuh-tumbuhan

atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan, termasuk hasil yang berupa minyak; dan

b) hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok dan lain-lain hewan serta bagian-bagiannya atau yang

dihasilkannya. UUPK ini belum mencantumkan dengan jelas tentang definisi, dan pengelompokkan

hasil hutan bukan kayu (HHBK). Akan tetapi sebagian dari jenis-jenis HHBK sudah diakomodasi

dalam UUPK terseut.

UUPK tersebut telah mengelompokkan jenis-jenis HHBK ke dalam dua kategori, yaitu hasil

hutan bukan kayu yang berasal dari tumbuha hutan (nabati) dan yang berasal dari hewan (hewani).

Rincian penggolongan secara menyeluruh dari dua kelompok tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis-jenis produk tumbuhan dari hutan

Golongan hasil hutan bukan kayu ini terdiri atas rotan (Callamus spp), sagu (Metroxylon spp),

bambo (Bambosa spp) dan aren (Arenga spp). Juga disertakan produk-produk turunan dari kayu

(derivatived-wood products) seperti bubur kayu (pulp), papan serat (fibreboard), arang

(charcoal), briket arang (briquete) dan atap sirap. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa

produk yang dihasilkan oleh tumbuhan hutan yang digolongkan dalam kelompok bahan

ekstraktif seperti resin, damar, kopal dan beberapa produk dari minyak atsiri (esssential oils).

Produk-produk bahan ektraktif ini dapat dibedakan lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

Hasil Hutan Bukan Kayu

37

getah getahan, seperti resin, kopal, damar, dan kelompok minyak atsiri, seperti minyak biji

tengkawang, minyak lawang, minyak kayu putih, minyak jarak dan sebagainya.

2. Jenis-jenisprodukhewanidarihutan.

Produk hewan yang dihasilkan dari hutan terdiri atas berbagai jenis produk satwa liar antara lain

buaya, komodo, rusa, harimau, gajah, dan burung. Terdapat juga produk-produk yang diperoleh

dari dar bagian-bagian hewan seperti gading, kulit binatang dan tanduk. Juga beberapa contoh

produk hewani yang telah ditangkarkan atau dikelola dengan tujuan ekonomi adalah komoditas

sutera alam, kutu lak, peternakan lebah madu dan sarang burung walet, penangkaran kupu-kupu,

dan penangkaran buaya.

Menurut UUPK No 5 tahun 1967 ini beberapa fungsi sosial ekonomi, jasa dari hutan, konservasi

lingkungan dan penegmbangan masyarakat hutan belum diakomodasi. Tetapi dipihak lain produk

turunan kayu, seperi bubur kertas dan kertas (pulp and paper), papan serat (fiberboards) dan

arang dan briket arang serta sirap malah masuk ke dalam jenis komoditas hasil hutan bukan kayu.

Padahal kenyataan menunjukan bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

maka hasil hutan turunan kayu tersebut akan masuk dalam kategori hasil hutan utama (major

forest products) bukanya lagi sebagai hasil hutan ikutan (minor forest products)

2.3. Penggolongan Menurut Undang-Undang Kehutanan

Dalam undang-undang tentang kehutanan yang baru yaitu Undang Undang Republik Indonesia

No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian dan klasifikasi dari hasil bukan kayu telah

mengalami perubahan yang substansial. Misalnya, pada pasal 1 angka 13 dinyatakan bahwa hasil

hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.

Sehingga pengertian hasil hutan memiliki dimensi yang sangat luas, dari seluruh produk biologi

(makhluk hidup) non hayati (benda mati) dan seluruh produk turunan dari benda biologi dan non

biologi yang diambil dari hutan. Hal tersebut masih ditambah lagi dari produk-produk jasa yang

dihasilkan dari hutan.

Selanjutnya pada pasal penjelasan, misalnya pada pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (hutan) adalah semua benda hasil

hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13. Penjelasan yang lebih rinci tentang hasil hutan

tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hasil nabati beserta turunannya, seperti kayu, bambu, rotan, rumput – rumputan, jamur – jamur,

tanaman obat, getah-getahan dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang

dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan;

2. Hasil hewani beserta turunannya, seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa

elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;

3. Benda-benda non hayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-

benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang

tidak termasuk benda-benda tambang;

4. Jasa yang diperoleh dari hutan, antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa

jasa perburuan dan lain-lain;

Mengingat begitu beragamnya hasil hutan menurut UU no 41 tahun 1999 tersebut, maka cukup

menyulitkan untuk memberikan pengelompokan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu

tersebut. Akan tetapi kalau kita perhatikan uraian penjelasan dalam UU no 41 di atas, pengertian hasil

Hasil Hutan Bukan Kayu

38

hutan secara keseluruhan dapat disimpulkan sebagai hasil hutan bukan kayu, sedangkan pengertian

hasil hutan kayu, seperti pada UUPK No. 5 tahun 1967, sudah tidak begitu dominan lagi.

Perbedaan yang cukup substansial pada UUPK No. 5 tahun 1967, yang manahasil hutan

Indonesia lebih didominasi oleh produk utama yaitu kayu, sedangkan pada UU No. 41 tahun 1999,

hasil hutan bukan kayu mendapat peran dan pembahasan yang cukup representatif. Dengan kata lain,

komoditas hasil hutan bukan kayu berpeluang untuk dapat memberikan kontribusi yang lebih besar

dan significant daripada komoditas hasil hutan kayu.

Untuk kemudahan penggolongan produk-produk hasil hutan bukan kayu, perhitungan dan

analisis ekonomi, kiranya hasil hutan bukan kayu dapat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu

hasil hutan bukan kayu yang produknya dapat dinilai dan dihitung dengan uang (tangible products),

dan hasil hutan bukan kayu yang produknya tidak dapat dinilai dengan uang (intangible products).

Produk dari HHBK yang dapat ditentukan nilai nominalnya adalah seluruh produk yang berupa

barang (forest productsor non services), yang sudah tentu melalui proses produksi (sentuhan

teknologi, aktivitas ekonomi), meskipun terkadang tanpa melibatkan suatu proses produksi sedikitpun.

Sedangkan produk HHBK yang tidak dapat dinilai dengan nilai nominal atau uang, adalah seluruh

produk jasa (forest product services) yang dapat dihasilkan dan diperoleh dari hutan tersebut.

Dengan kemajuan dan perkembangan disiplin ilmu, sebenarnya, produk produk yang masuk

dalam kategori intagile products, hal ini bukan tidak dapat ditentukan nilainya, tetapi dari para

pengambil dan pelaku kebijakan hal ini belum menjadikan suatu kebutuhan untuk dikaji lebih

mendalam. Disiplin ilmu ekonomi sumber daya alam, atau khususnya sumber daya hutan dan

ekonomi lingkungan lebih banyak mengkaji produk-produk jasa dari lingkungan. Sebagai contoh,

misalnya study menentukan nilai ekonomi dari suatu kawasan hutan, sehingga nilai jasa dari suatu

kawasan hutan per satuan waktu dapat ditentukan nilainya, bahkan suatu pohon berdiri dapat

ditentukan nilai ekonominya, baik sebagai penghasil kayu, penyerap karbon dioksida,

penghasil/pengkonversi oksigen dan pengikat nitrogen misalnya. Akan tetapi perhitungan, sosialisasi

dan pelkasanaan dari nilai ekonomi dari suatu tegakan hutan ini, tentunya masih memerlukan

sosialisasi yang intensif kepada seluruh pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat hutan.

Karena masyarakat hutan secara umum lebih suka melihat produk HHBK yang dapat segera

menghasilkan uang atau dapat dinilai dengan uang, dalam jangka waktu yang relatif pendek.

2.4. Penggolongan Menurut Standar Nasional Indonesia

Sedangkan pengelompokan hasil hutan bukan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-

5010.4-2002 tentang tata nama hasil hutan, maka pengelompokan atau pengertian hasil hutan bukan

kayu dapat didefinisikan sebagai semua jenis hasil hutan baik hayati (selain kayu) maupun non hayati

(sumber air, udara bersih, barang tambang, dll.) termasuk dalamnya adalah jasa wisata.

Menurut SNI 01-5010.4-2002 ini tata nama hasil hutan, khususnya kelompok hasil hutan bukan

kayu dikelompokan ke dalam 9 (sembilan) kelompok, mulai dari kelompok batang dan turunannya;

kelompok minyak; kelompok bunga, buah, biji dan daun; kelompok babakan/kulit; kelompok getah;

kelompok resin; kelompok aneka nabati; kelompok aneka umbi; kelompok aneka hewani dan

turunannya. Uraian dan rincian singkat dari masing-masing kelompok hasil hutan bukan kayu tersebut

dapat dilihat pada Tabel 2.1 sampai dengan Tabel 2.9.

Komoditas hasil hutan bukan kayu yang termasuk dalam kelompok batang, misalnya berasal dari

beragam jenis pohon hutan, tumbuhan golongan liana, maupun famili palmae, dan bahkan terdapat

juga produk turunan atau diversifikasi dari bagian pohon atau tumbuhan tersebut, seperti anyaman

rotan, keranjang dan sebagainya. Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok batang dan

turunannya tersebut, selengkapnya disajikan pada Tabel 2.1 berikut ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu

39

Tabel 2.1. Jenis-jenis komoditash hasil hutan kayu kelompok batang dan turuannnya

No Nama Keterangan

1 Aneka

keranjang rotan

Hasil jalinan rotan bulat/rotan belahan/rotan bulat

kupasan/kulit rotan/hati rotan menjadi aneka bentuk

keranjang

2 Anyaman rotan Hasil anyaman kulit rotan/hati rotan menjadi lembaran-

lembaran anyaman yang dapat dibentuk

3 Bambu Tumbuhan yang tergolong famili Graminae yang umumnya

berumpun dan dapat mencapai ketinggian 40 meter dan

diameter 30 cm, antara lain Bambusa spp., Dendrocalamus

spp., Dinochloa spp., Gigantochloa spp., dan

Schizostachyum spp.

4 Bambu bundar Bagian batang yang dihasilkan dari pohon bambu

5 Bebak Hasil pengolahan pelepah batang pohon Gebang (Corypha

utan)

6 Biga Endapan yang terdapat dalam batang bambu yang

disebabkan oleh faktor genetis

7 Hati Rotan Hasil proses pembelahan hati rotan, ditandai dengan

lembaran-lembaran hati yang berbentuk bulat dan persegi

konsisten sepanjang lembaran

8 Komponen

mebel terpisah

Hasil pembentukan bagian-bagian dari mebel rotan ditandai

dalam bentuk suku cadang yang diperdagangkan secara

terpisah.

9 Kulit rotan Hasil proses pengulitan rotan bulat W dan Swashed and

surphurized ditandai dengan lembaran kulit yang berukuran

tebal 1,3 mm atau lebih kecil, lebar 8 mm atau lebih kecil

ukuran-ukuran tersebut konsisten sepanjang lembaran.

10 Lampit rotan Suatu lembaran yang berbentuk empat persegi panjang,

bujur sangkar atau bentuk lain, terbuat dari susunan sejajar

hijiran rotan yang telah dilubangi dan disatukan dengan

benang serta sisi sejajar hijirannya diberi watun dan sisi

melintangnya diberi tulang walut.

11 Mebel Rotan

(Komponen

mebel rotan

terpadu)

Hasil pembentukan dan perakitan rotan bulat W&S/rotan

kikis buku/rotan bulat pendek/rotan bulat kupasan/rotan

belahan/hati rotan/kulit rotan/webbing menjadi mebel

dan/atau komponen-komponen mebel siap rakit.

12 Mopuk Hasil Pengolahan teras pohon Lontar (Borassusflabelliffer

Linn)

13 Nira Hasil sadapan pohon Nipah (Nipa fritican), Lontar

(Borassusflabelliffer Linn), dan Aren (Arengapinnata)

14 Rotan Tumbuhan yang tergolong dalam famili palmae antara lain

terdiri gari genera Callamus spp., Ceratolobus spp.,

Daemonorops spp., Nyrialepis spp., Plectocomia spp.,

Plectocomiapsis spp dan Korthalsia spp.

15 Rotan Asalan Batang rotan yang telah mengalami pembersihan dan

peruncian tetapi belum mengalami pencucian dan perlakuan

pengolahan lebih lanjut

16 Rotan Belahan Hasil pembelahan dari rotan bulat W & S dengan ukuran

Hasil Hutan Bukan Kayu

40

tebal 1,4 mm atau lebih besar, dan lebar 2,5 mm atau lebih

besar.

17 Rotan Bundar W &

S

Batangan rotan yang telah dibersihkan dan sudah mengalami

proses pencucian dan pengawetan dengan asap belerang

(washed and surphurized).

18 Rotan Bundar Besar Rotan bulat yang berdiameter 18 mm

atau lebih besar.

19 Rotan Bundar kecil Rotan bulat yang berdiameter kurang dari 18 mm.

20 Rotan Bundar

Kupasan

(Rotan Poles halus)

Hasil pengupasan kulit ari rotan bulat W & S sepanjang

batang sebagai upaya peningkatan mutu yang ditandai

dengan batangan tanpa kulit yang terpoles halus sepanjang

batang.

21 Rotan Bundar

Pendek

Batangan rotan bulat W &S dengan panjang kurang dari 1

(satu) meter.

22 Rotan KikisBuku

(Rotan poleskasar)

Hasil pengikisan buku rotan bulat W & S sedemikian rupa,

sehingga ketebalan bukunya sama dengan ketebalan ruas-

ruas yang dihubungkanya.

23 Sagu Hasil pengolahan empulur pohon Arenga spp, Corypha spp,

dan Metroxylon spp.

24 Tikar Rotan Lembaran anyaman keratan rotan secara rapat, berwarna asli

rotan dan diberi pinggiran berbentuk segi empat atau bentuk

lainnya dengan atau tanpa jenis.

25 Topi rotan Hasil jalinan kulit rotan/hati rotan menjadi topi.

Selanjutnya adalah jenis-jenis produk hasil hutan bukan kayu yang termasuk

kelompok minyak atsiri. Minyak atsiri adalah komoditas HHBK yang sangat diandalkan,

karena diversifikasi produknya yang beragam, dari bahan dasar pembuatan parfum, obat

gosok, sampai kepada minyak urut dan seterusnya. Minyak atsiri dicirikan oleh adanya

kandungan bahan yang mudah menguap (volatile matter). Beberapa komoditas HHBK

kelompok minyak atsiriselengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2. Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak atsiri.

No Nama Keterangan

1 Minyak Cendana Minyak yang dihasilkan dari penyulingan batang, dahan

dan atau akar Cendana (Santalum album Linn).

2 Minyak Euacalyptus Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun

euacalyptus (Eucalyptus spp).

3 Minyak Gandapura Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun Caulsheria

leucocarpha BL).

4 Minyak Kamper Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun dan batang

pohon Kamper (Cinanonum camphora Nees dan E.berm).

5 Minyak kayu manis Minyak yang dihasilkan dari penyulingan kulit pohon

Cassia lignea, Cinnamomum burmanii Bl., Cinnamomum

cassia Bl., Cinnamomumzeylanicum Linn).

6 Minyak kayu Putih Minyak atsiri yang berupa destilat hasil penyulingan daun

kayu putih (Melaleucaleucadendron Linn).

7 Minyak Kenanga Minyak yang dihasilkan dari bunga pohon kenanga

Hasil Hutan Bukan Kayu

41

(Canangium odoratum BAILL).

8 Minyak Keruing Minyak yang dihasilkan dari penyulingan getah dan kayu

Keruing (Dipterocarpus spp).

9 Minyak Kilemo Minyak yang dihasilkan dari penyulingan kulit, daun dan

buah Kileno (Litsea cubeca).

10 Minyak Lawang Minyak yang dihasilkan dari penyulingan pohon kulit

lawang (Cinnamomum cullilawan Bl., dan Cinnamomum

sintok).

11 Minyak Masohi Minyak yang dihasilkan dari penyulingan kulit pohon

Masohi (Cryptocaria masoya).

12 Minyak Nilam Minyak yang dihasilkan dari penyulingan tumbuhan Nilam

(Pogostemon cablin Benth).

13 Minyak Pinus Zat yang mudah menguap yang terdapat di dalam bagian-

bagian yang berbeda dari pohon Pinus spp.

14 Minyak Sereh Minyak yang dihasilkan dari dari penyulingan tanaman

Sereh (Andropogon nardus Linn).

15 Minyak Sindur Minyakyangdihasilkan dari kulitpohon Sindur

(Sindoraspp).

16 Minyak Terpentin Minyakyangdihasilkan dari penyulingangetahpohonPinus

(Pinusspp).

17 Minyak Trawas Minyakyangdihasilkan dari penyulingankulitpohon, daun

danbuah dari pohonLitseaspp.

18 Minyak Tul Minyak yang diperoleh sebagai hasil sampingan dari

pembuatan gondorukem.

19 Minyak Tol Hasil sampingan dari proses pulp sulfat, terutama terdiri

atas asam resin, dan asam lemak dengan sedikit bahan

netral.

20 MinyakYlang-ylang/

Minyakilang-ilang

Minyak yang dihasilkan

darihasilpenyulinganpohonCanangiumodoratum BAIL.

Berbeda dengan minyak atsiri yang dicirikan oleh adanya bahan yang mudah menguap, minyak

lemak mengandung komponen yang bersifat seperti lemak, terutama lipid. Golongan minyak ini

termasuk dalam golongan kimia yang tidak mudah menguap (non volatile compounds). Produk-

produk hasil hutan bukan kayu yang berupa minyak lemak dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3.Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok minyak

lemak.

No Nama Keterangan

1 Minyak Biji Jarak Minyak yang dihasilkan dari buah tanaman Jarak

(Ricinus communis Linn).

2 Minyak Biji Tengkawang Minyak lemak yang dihasilkan dari biji

tengkawang (Isoptera spp dan Shorea spp).

3 Minyak Fuli Minyak yang dihasilkan dari fuli/buah pala hutan

(Myristica spp).

4 Minyak Kemiri Minyak yang dihasilkan dari buah Kemiri

(Aleurites arisperma Blanco., A. fordii Hem., dan

A. molluca Wild).

5 Minyak Kenari Minyakyangdihasilkan dari buahKenari

Hasil Hutan Bukan Kayu

42

(Canariumcommune Linn).

6 Minyak Makadamia Minyak yang dihasilkan dari buah

Makadamiaternifolia.

7 Minyak Mimba Minyak yang dihasilkan dari hasil penyulingan

daun pohon Mimba (Azadiratchta indica A Juss).

8 Minyak Sindur Minyak yang dihasilkan dari kulit Pohon Sindur

(Sindoraspp).

Bagian-bagian dari tumbuhan hutan yang memiliki nilai atau potensi yang tinggi,

baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial. Oleh karenanya, bunga, biji, daun, buah serta

akar juga dimasukkan ke dalam produk hasil hutan bukan kayu. Komoditas tersebut

bernilai ekonomi karena bagian tumbuhan tersebut apabila dijual dapat menghasilkan

uang. Bagian-bagian tumbuhan tersebut dijual masih dalam betuk aslinya, maupun yang

telah mengalami proses pengolahan. Manfaat ekologi dari komoditas tersebut, bunga dan

biji misalnya, merupakan bagian dari suatu sistem ekologi dari suatu ekosistem hutan,

terutama dalam hal menjaga keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, melalu

regenerasi Sedangkan manfaat sosialnya adalah rantai produksi dari proses pemanenan,

pengolahan, dan pasca pengolahan, hingga pemasaran hasil akan memberikan manfaat

yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat

luas atau masyarakat hutan, khususnya hal menciptakan lapangan kerja dan sebagai

sumber mata pencaharian.

Beberapa jenis hasil hutan bukan kayu yang merupakan bagian dari tumbuhan,

seperti bunga, buah, biji dan daun dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

Tabel 2.4. Produk hasil hutan bukan kayu yang berasal dari bagian-bagian tumbuh-

tumbuhan atau kelompok bunga, buah, biji dan daun

No Nama Keterangan

1 Buah Asam Buah hasil pemungutan pohon Asam (Tamarindusindica

Linn).

2 Biji Jenitri Biji hasil pemungutan pohon Ganetri

(Elaeocarpusangustifolius Bl).

3 Biji Jarak Biji hasil pemungutan buah Jarak (Ricinuscommunis Linn).

4 Biji Kemiri Biji hasil pemungutan pohon Kemiri (Aleuritesmolucana

Wild).

5 Biji Kenari Biji hasil pemungutan buah Kenari (Canariumcommune

Linn).

6 Biji Makadamia Biji hasil pemungutan buah makadamia (Makadamia

ternifolia).

7 Biji Mimba Biji hasil Pemungutan buah Azadirachta indica A.Juss)

8 Biji Pala Hutan Biji hasil pemungutan buah Pala Hutan (Myristica spp).

9 Biji Pinang Biji hasil pemnungutan buah Pinang (Arecca spp).

10 Biji Tengkawang Biji hasil pemungutan buah Tengkawang (Shorea spp., dan

Isoptera spp).

11 Daun Pandan Daun hasil pemungutan pohon Pandan (Pandanus spp).

Hasil Hutan Bukan Kayu

43

Kulit (bark) yang merupakan bagian dari pohon hutan, juga berpotensi untuk dapat

diolah dan dimanfaatkan untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomis. Dalam

keseharian kita, mungkin secara tidak sadar, kita menggunakan beberpa produk hasil hutan

bukan kayu yang berasal dari kulit kayu. Beberapa kulit pohon hutan yang masuk dalam

kelompok produk hasil hutan bukan kayu selengkapnya dapat diringkas pada Tabel 2.5

berikut ini.

Tabel 2.5 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang berupa kulit atau

babakan

No Nama Keterangan

1 Kulit Akasia Kulit dari pohon Akasia (Acacia spp).

2 Kulit Bakau Kulit dari Pohon Bakau (Rhizophora spp).

3 Kulit Gelam Kulit dari Pohon Gelam (Melaleuca spp).

4 Kulit Gemor KulitKayudariPohonGemor (Alsodophanespp).

5 Kulit Kayu Manis Kulit dari pohon Kayu manis (Cinnamomum spp., dan

Cassia spp).

6 Kulit kayu Tingi Kulit dari kayupohonTingi (Ceriopsspp).

7 Kulit lawang Kulit dari Pohon Kulilawang (Cinnamomumcullilawan BI.,

dan Cinnamomumsintok).

8 Kulit Malapari Kulit dari Pohon Malapari (Pongamia pinnata Pierre).

9 Kulit Masohi Kulit dari Pohon Masohi (Cryptoria massoi).

10 Kulit Nyirih Kulit dari pohon Nyirih (Xylocarpus spp).

11 Kulit Pulosantan Kulit dari pohonPulosantan (Mesuaspp).

12 Kulit Salampati Kulit dari Pohon Salampati.

13 Kulit Salaro Kulit dari pohon Salaro (Marantha spp).

14 Kulit Soga Kulit dari Pohon Soga (Peltoforum spp).

15 Kulit Suka Kulit dari Pohon Suka (Gnetum spp).

16 Kulit Tancang Kulit dari pohon Bruquiera spp.

17 Kulit Tangir Kulit dari Pohon Tangir (Citrusspp).

18 Kulit Tarok Kulit dari pohon Tarok (Alocasia spp dan

Colocasia spp).

Pohon hutan juga menghasilkan getah. Getah adalah cairan atau koloid yang bersifat cair, kental

yang dikeluarkan oleh bagian tumbuhan/pohon batik dari batang dan/atau daun yang terluka. Dalam

ilmu dendrologi atau ilmu mengenal jenis pohon, getah juga dapat dipergunakan sebagai alat bantu

dalam mengidentifikasi jenis pohon tertentu. Seperti family Myrtaceae umumnya memiliki getah yang

bewarna putih. Pada sisi lain, getah juga dapat diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan

seperti bahan baku cat, vernis dan politur. Produk getah-getahan yang diperoleh dari pohon hutan

yang termasuk ke dalam hasil hutan bukan kayu, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah

ini.

Tabel 2.6.Hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok getah-getahan.

No Nama Keterangan

1 Getah Cikel Getah yang disadap dari batang Achras sapata, yang

dipergunakan dalam pembuatan permen karen.

2 Getang Hangkang Getah dari pohon Palaquium leucarpum Burck.,

Palaquium quersifolium Biurck.,

Hasil Hutan Bukan Kayu

44

Palaquiumcalophyllum.

3 Getah Jelutung Getah dari pohonJelutung (Pyeracostulata).

4 Getah Ketiu Getah dari pohon Ketiu (Ganua monthleyana Piere.,

Payena bankensis Burck., dan Synderoxylon

glabrescens Mix).

5 Getah Kumi Getah dari Pohon Balam (Palaquium spp., dan Payena

spp).

6 Getah Merah Getah dariPohonBalam (PalaquiumabovatumEigler).

7 Getah Perca Getah dari Pohon Perca (Palaquium gutta Burck.,

Palaquium hispidium H.J.Lann, Ganua spp., dam

Payena spp).

8 Getah Pinus Getah dari Pohon Pinus (PinusmerkusiiJungh et

dsevriesdanPinusoocarpa).

9 Getah Puan Duyan Getah dari Pohon Balam (Palaquium trubii Burck).

10 Getah Putih Getah dari Pohon Balam dan Nyatoh (Palaqium spp).

Istilah getah yang dipergunakan pada bagian bab ini mengacu kepada getah sebagai hasil dari

proses metabolisme pada tumbuhan. Getah ini karena memiliki kandungan kimia yang beragam, dan

bervariasi, serta berbeda dengan getah pada pahasan berikutnya, maka dinamakan dengan resin atau

damar. Resin merupakan cairan yang dihasilkan dari pembuluh khusus pada tumbuhan. Karena alasan

inilah, beberapa getah pohon hutan dikelompokan tersendiri dalam suatu kelompok yang dinamakan

dengan resin. Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk dalam kelompok resin selengkapnya

diringkas pada Tabel 2.7 berikut ini.

Tabel. 2.7 Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok resin

No Nama Keterangan

1 Damar Kelompok resin alami yang didapat dari pohon Meranti

(Shorea spp., dan Hopea spp), seperti damar mata

kucing, damar merah, damar hitam, dan damar batu dan

juga dibuat secara sintetis.

2 Damar mata Kucing Damar yang disadap dari pohon Shorea javanica

K.et.Val).

3 Damar Putih Damar yang dihasilkan dari Pohon Vateria indica.

4 Gaharu Akumulasi damar wangi yang dihasilkan akibat adanya

infeksi jamur (misalnya : Fusarium spp)., bakteri atau

virus tertentu pada pohon Aquilaria spp dan Gyrinops

spp).

5 Gaharu Buaya Akumulasi damar wangi yang dihasilkan akibat adanya

infeksi jamur (misalnya : Fusarium spp)., bakteri atau

virus tertentu pada pohon Aetoxylon sympetalum

(V.Steen & Donke Airy Show) dan dan Gonystylus

spp).

6 Getah Jernang Getah dari Rotan Jernang (Daemonorops draco BI).

7 Getah Kemenyan Getah dari Pohon Kemenyan (Styrax spp).

8 Gondorukem Residu berupa padatan dari hasil penyulingan pohon

Pinus (Pinus merkusii jungh et de Vries).

9 Kamper Zat hablur yang berbau khas, yang diperoleh dari daun

dan kayu Kamper (Cinnamomum camphora) dan juga

Hasil Hutan Bukan Kayu

45

yang disebut sintetis.

10 Kopal Getah dari pohon Agathis spp, yang termasuk kopal

adalah kopal laba, kopal bua, kopal abu dan kopal

melengket.

Vegetasi hutan hujan tropis Indonesia kaya akan jenis tumbuhan dengan berbagai tipe

stratumnya, dan menghasilkan beberapa produk nabati yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai

keperluan, baik sebagai bahan baku industri kimia maupun industri lainnya. Karena keberagaman

produk nabati tersebut, maka dibuatlah kelompok hasil hutan bukan kayu aneka nabati. Komoditas

hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 2.8 berikut

ini.

Tabel 2.8Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati.

No Nama Keterangan

1 Gambir Endapan hasil pengolahan daun Gambir (Uncariagambir

Roxb).

2 Gambut Bahan tanah yang sebagian besar terdiri atas bahan organik

yang tidak dirombak atau dirombak sedikit, yang terkumpul

dalam keadaan ketika air berlebihan (melimpah ruah).

3 Ijuk Serat hasil pemungutan dari pohon Aren (Arengapinnata

Roxb).

4 Keluwek Buah yang sudah matang dari Pohon Pangiumedule

5 Kemangi Daun hasil pemungutan dari tumbuhan Kemangi (Ocimum

basilicum Linn. Fa-citratum).

6 Kumis Kucing Daun hasil pemungutan dari tumbuhan Kumis Kucing

(Orthosiphon spp).

7 Mulsa Bahan-bahan organik yang dihamparkan di atas tanah guna

mengurangi penguapan dan pengendalian perekembangan

gulma.

8 Picung Buah yang masih muda dari pohon Pangium edule.

9 Rebung Bambu yang masih muda yang masih dapat

dikonsumsi/dimakan.

10 Sari Mengkudu Sari dari Buah Mengkudu (Morinda spp).

Pada beberapa kondisi tertentu, seperti pada pengelolaan hutan dengan sistem agroforestry

dengan tumpang sarinya, keterlibatan penduduk lokal dalam mengelola hutan dengan menanam

tumbuh-tumbuhan jenis herba (tanaman khusus dimanfaatkan untuk tumbuhan obat-obatan), ataupun

tanaman semusim adalah sangat menguntungkan, baik bagi masyarakat maupun pengelola hutan.

Pada daerah yang padat penduduknya, seperti pulau Jawa, keberadaan industri jamu tradisional,

contohnya, telah ikut meramaikan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu kelompok umbi-umbian, dan

rimpang, seperti kencur, jahe dan temu lawak. Beberapa jenis- umbi-umbianyang termasuk ke dalam

komoditas hasil hutan bukan kayu diringkas dan disajikan pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Berbagai jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok umbi-umbian

No Nama Keterangan

1 Iles-iles Umbi hasil pemungutan dari pohon Iles-iles

Hasil Hutan Bukan Kayu

46

(Amorphopallus spp).

2 Jahe Kering Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Jahe Hutan

(Zingiber spp).

3 Kapulaga Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Kapulaga

(Amomum cardamomum Willd).

4 Kencur Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Kencur (Kaemferia

galanga Linn).

5 Kunyit Umbi hasil pemnungutan dari tumbuhan Kunyit (Curcuma

domestica Val.).

6 Lengkuas Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Lengkuas (Alphina

galanga Sw.).

7 Temu Giring Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Temu Giring

(Curcuma beyneana Val. & V.zyp.).

8 Temu Ireng Umbi hasil pemungutan daari tumbuhan temu Ireng

(Curcuma eruginosa roxb).

9 Temu Lawak Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Temu lawak

(Curcuma xanthorrizha Roxb).

Dari Tabel 2.1 sampai dengan Table 2.9 di atas, membahas komoditas kelompok hasil hutan

bukan kayu yang berasal dari tumbuhan atau nabati. Berikut ini adalah aneka komoditas hasil hutan

bukan kayu yang termasuk dalam kelompok produk-produk aneka hewani dan turunannya. Sebagian

besar referensi atau pustaka acuan, menyebut komoditas hasil hutan bukan kayu ini dengan sebutan

jenis-jenis satwa liar, meskipun berasal dari ada sebagian berasal dari hasil proses penangkaran. Jenis-

jenis komoditas hasil hutan bukan kayuyang termasuk kelompok aneka hewani selengkapnya dapat

dilihat pada Tabel 2.10 di bawah ini.

Tabel 2.10. Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok aneka hewani dan

turunannya

No Nama Keterangan

1 Asalan satwa Benda-benda yang merupakan bagian dari satwa berupa:

tanduk/cula, bulu/rambut/duri, kulit, batok/tempurung, gigi,

taring, gading, kuku/cakar, daging, lemak, otot, kelenjar,

cairan-cairan (darah, bisa), tulang, dan lain-lain.

2 Hasil Olahan

Satwa

Benda-benda hasil proses pengolahan satwa, asalan satwa dan

hasil satwa berupa minyak, serum (plasma), barang-barang

ukiran dan lain-lain.

3 Hasil Satwa Benda-benda yang dihasilkan dari satwa berupa: sarang, telur,

madu, lilin, lak, kokon sutera, guano (kotoran) dan lain-lain.

4 Satwa Semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat

dan/atau di air, dan/atau di udara.

5 Satwa liar Semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau

di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang

hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

6 Turunan satwa Benda-benda yang merupakan bagian badan satwa atau yang

dihasilkan satwa atau merupakan hasil olahannya.

Hasil Hutan Bukan Kayu

47

Penggolongan komoditas HHBK yang dibuat oleh SNI memang sangat lengkap, hal ini tentunya

berkenaan dengan segala aspek yang berhubugnan dengan sistem perdagangan, legalitas dan

perpajakan komoditas tersebut.

2.5. Penggolongan Hasil Hutan Menurut Sumber Lain

Penggolongan komoditas hasil hutan yang lebih sederhana dilakukan untuk kepentingan

pembelajaran dan juga untuk kepentingan penelitian. Sumadiwangsa dan Setiawan (2001) seperti

yang termuat dalam Buletin Volume 2 No 2 Tahun 2001, mengelompokan/menggolongkan hasil

hutan bukan kayu ke dalam sembilan kelompok.

Pada penggolongan tersebut, penulis membedakan menjadi dua karakteristik, yaitu jenis dan

golongan hasil hutan bukan kayu. Penggolongan ini lebih sederhana dan mudah dipahami serta

dimengerti. Untuk tujuan pembelajaran penggolongan ini sangat membantu, karena tidak terlalu

mendetail, sehingga memudahkan kita untuk memahami dan menghapalnya berdasarkan karakteristik

produk tersebut. Penggolongan hasil hutan bukan kayu yang dimaksud dapat diringkas seperti

disajikan pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11. Penggolongan jenis dan golongan hasil hutan bukan kayu menurut Sumadiwangsa

dan Wirawan (2001)

No Jenis HHBK Golongan HHBK

1 Resin Gondorukem, kopal loba, kopal melengket, damar mata

kucing, d. daging, d. rasak, d. pilau, d. batu, kemenyan,

gaharu, kemedangan, shellak, jernang, frankensence,

kapur barus, biga.

2 Minyak atsiri Minyak cendana, minyak. gaharu, minyak. kayu putih,

minyak keruing, minyak lawang, minyak terpentin,

minyak kenanga, minyak ilang-ilang, minyak eukaliptus,

minyak pinus, kayu manis, vanili, cendana, minyak sereh,

minyak daun cengkeh, minyak pala, minyak kembang

mas, minyak trawas, minyak kilemo.

3 Minyak lemak,

karbohidrat dan

buah-buahan

- Minyak lemak : tengkawang, kemiri, jarak, wijen, saga

pohon, kenari, biji mangga, minyak intaran

- Karbohidrat atau buah-buahan : sagu, aren, nipah, lontar,

asam, matoa, makadamia, duren, duku, nangka, mente,

burahol, mangga, sukun, saga, gadung, iles-iles, talas, ubi,

rebung, jamur, madu, garut, kolang-kaling, suweg.

4 Tanin dan getah - Tanin: akasia, bruguiera, rizophora, pinang, gambir, tingi;

- Getah: jelutung, perca, ketiau, getah merah, balam,

sundik, hangkang, getah karet hutan, getah sundik, gemor.

5 Tanaman obat dan

hias

- Tanaman obat : aneka jenis tanaman obat asal hutan;

- Tanaman hias : anggrek hutan, palmae, pakis, aneka jenis

pohon indah.

6 Rotan dan bambu Segala jenis rotan, bambu dan nibung.

7 Hasil hewan Sarang burung, sutera alam, shellak, buaya, ular, telur,

daging, ikan, burung, lilin lebah, tandung, tulang, gigi,

kulit, aneka hewan yang tidak dilindungi

8 Jasa hutan Air, udara (oksigen), rekreasi/ekoturime, penyanggah

ekosistem alam.

Hasil Hutan Bukan Kayu

48

9 Lain-lain Balau, kupang, ijuk, lembai, pandan, arang, sirap, ganitri,

gemor, purun, rumput gajah, sintok, biga, kalapari, gelam,

kayu salaro, pohon angin, uyun, rumput kawat.

Apabila kita cermati jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang telah dijelaskan dan

dicantumkan dari Tabel 2.1 sampai dengan Tabel 2.11, sebenarnya masih banyak produk-produk hasil

hutan bukan kayu, yang belum dimasukan ke dalam rincian tersebut. Contohnya adalah beberapa

produk pewarna alami yang dipergunakan untuk membuat berbagai kerajinan tangan seperti tas noke,

tas dari daun pandan, tanaman buah merah dan sarang semut di Papua, tumbuhan-tumbuhan obat dan

beberapa species tanaman hias, serta beberapa potensi pengetahuan tentang kearifan lokal dari

masyarakat hutan.

Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang belum termasuk dalam daftar kelompok

tersebut, merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua untuk terus dan terus menelitinya, sehingga

nantinya dapat direkomendasikan untuk dimasukan dalam golongan hasil hutan bukan kayu. Oleh

karenanya, penelitian dan ekplorasi pemanfaatan dari beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu,

terutama yang endemik pada suatu daerah sangat penting dilakukan, untuk membukukan komoditas

tersebut.

2.6. Pustaka

Pemerintah Republik Indonesia (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan.

Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.

Pemerintah Republik Indonesia (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-undang Republik Indonesia

tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan. Badan Standarisasi

Nasional

.

Sumadiwangsa, S dan Setiawan, D (2001). Buletin Volume 2. No 2 Tahun 2001. didownload dari

www.dephut.go.id, pada tanggal 20 Maret 2007.

Wollenberg, E and A.Ingles (editors) (1998). Income from the Forest. Methods for thr development

and conservation of forest products for local Community. Center for International Forestry

Research (CIFOR) Bogor.

Khakim, Abdul (2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Dalam Era OtonomiDaerah. Citra

Aditya Bakti. Bandung

Hasil Hutan Bukan Kayu

49

BAB 3

KAJIAN PENGELOLAAN DAN KARAKTERISTIK

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

3.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan yang ketiga ini, disajikan berbagai permasalahan dan tantangan pengelolaan,

teknologi, dan potensi serta issu-issu penting dari komoditas hasil hutan bukan kayu. Pokok bahasan

tersebut sebagian besar merupakan hasil kajian pustaka dari beberapa kasus, dan studi kasus yang

terjadi pada negara-negara berkembang yang memiliki hutan hujan tropis. Negara-negara berkembang

tersebut umumnya memiliki ciri utama, seperti tinggi penduduk miskin/kesenjangan sosial, populasi

penduduk yang besar dan angka pengangguran yang tinggi, serta dominanya kontribusi sektor

pertanian/kehutanan terhadap penduduk miskin tersebut. Hasil studi pustaka, pemikiran dan penelitian

dari beberapa studi kasus tersebut diringkas dalam materi ketiga ini.

Setelah menyelesaikan pokok bahasan yang ketiga ini mahasiswa diharapkan memiliki

kemampuan untuk:

1. Menjabarkan sistem pengelolaan dan menejemen hasil hutan bukan kayu secara luas, bila

dibandingkan dengan hasil hutan kayu

2. Mampu melakukan identifikasi beberapa kesalahan pengelolaan atau kebijakan dalam mengelola

komoditas hasil hutan bukan kayu dari berbagai perpesktif ilmu pengetahuan

3. Memiliki gambaran dan wawasan yang luas dan menyeluruh tentang kompleksitas komoditas

HHBK

3.2. Fungsi dan Manfaat Penting Hutan bagi Masyarakat Hutan (Forest People)

Penduduk dari negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis, seperti Asia Tenggara, Amerika

latin, Asia Selatan, dan Afrika Tengah, sebagian besar masih menggantungkan seluruh kebutuhan

hidup sehari-harinya dari kawasan hutan, baik secara langsung, maupun tidak langsung.

Ketergantungan tersebut khususnya untuk sumber daya hutan terutama hasil hutan bukan kayu

(HHBK), terutama untuk kkebutuhan sehari-hari, seperti kayu bakar, hewan buruan, sayur-sayuran,

dan tumbuhan obat.

Di Indonesia, India, Filipina, Thailand dan beberapa negara Amerika latin lainya, seperti Peru,

Akuador, Bolivia yang sebagian besar wilayahnya masih berhutan tropis, penduduknya boleh

dikatakan bergantung kepada kawasan hutan di sekitarnya. Khusus untuk Indonesia, khususnya di luar

Pulau Jawa, sebagian besar kebutuhan penduduk lokal dari kebutuhan makan, minum, sayuran, buah-

buahan, protein hewani dan bahkan obat-obatan dapat diperoleh dari hutan di sekitarnya. Praktek ini

telah berlangsung dari generasi satu ke generasi berikutnya. Masyarakat lokal memiliki aturan,

batasan-batasan, dan kearifan sendiri, bagaimana mereka memanfaatkan dan mengelola kawasan

hutan miliknya untuk keperluan dan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Aturan-aturan dan norma-

norma inilah yang kemudian dikenal dengan nama pengetahuan atau kearifan lokal

(indigenousknowledge). Dengan pengetahuan lokal tersebut, sumber daya hutan, khusunya

produktivitas dari komoditas HHBK telah memberikan beragam manfaat dan fungsi bagi penduduk

lokal, seperti sebagai sumber bahan makanan, tempat perlindungan sumber pendapatan keluarga, dan

pekerjaan. Bagi mereka, lapangan pekerjaan ini tidak memerlukan keahlian khusus, yang

menharuskan mereka untuk menempuh pendidikan formal. Tetapi mereka memperoleh keahlian

tersebut secara informal, dari orang tua atau pengalaman yang mengajarkan mereka.

Hasil Hutan Bukan Kayu

50

FAO (1998) mendefinisikan hasil hutan bukan kayu sebagai semua produk biologi yang

dihasilkan dari hutan dan areal atau kawasan di sekitarnya. Khusus untuk wilayah Asia Pasifik,

selanjutnya hasil hutan non kayu sangat beragam, mulai dari palem (palms), grasses, herbs, shrubs,

pepohonan, jenis binatang/hewan (serangga, burung, reptiles, dan hewan besar (gajah, harimau)

termasuk di dalamnya mikroflora dan mikrofauna.

Terdapat beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang telah dibudidayakan dalam bentuk

monoculture atau pure crops (homogen) dan ada yang dikombinasikan dalam tanaman yang heterogen

dalam sistem agroforestry. Sehingga ada beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang dikelola

dalam betuk lahan pertanian model hortikultura ataupun masih merupakan produk sampingan dari

hutan.

Komoditas HHBK memiliki karakteristik yang luas dan beragam, baik ditinjau dari aspek

keanekaragaman hayati sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat

serta kelangsungan hidup masyarakat sekitar hutan. Untuk mengetahui berbagai karakteristik tersebut

dan kemudahan dalam analisis kebijakkan serta pertimbangan teknis lainnya, beberapa klasifikasi

dibuat berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Seperti untuk kemudahan analisis eknonomi,

kemudahan dalam penggolongan produk yang dapat dikalkulasikan secara sederhana dan sebagainya.

Lembaga pertanian perserikatan bangsa-bangsa yaitu Food Agriculture Organization (FAO)

membuat kajian tentang karakteristik komoditas hasil hutan bukan kayu berdasarkan kepada

penggunaan akhir produk. Dengan kata lain, karakteristik komoditas hasil hutan bukan kayu dibuat

berdasarkan kepada tujuan pemanfaatan akhir produk tersebut. Terdapat beberapa komoditas hasil

hutan bukan kayu, seperti contohnya adalah sayur-sayuran dan buah-buahan dari hutan, yang mana

masyarakat hutan mengambil dan memetik komoditas tersebut hanya bila memang diperlukan, dan

tidak diperjual belikan. Padahal secara teoritis, komoditas teresebut sangat diminati oleh pasar atau

konsumen. Dalam kasus ini, komoditas hsail hutan bukan kayu tersebut hanya untuk konsumsi sendiri

dan bukan komersial.

Beberapa karakteristik hasil hutan bukan kayu yang dibuat oleh FAO (1998) dengan mengacu

kepada penggunaan produk akhir sebagai pokok kajian utamanya disajikan pada Tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1. Karakteristik dan klasifikasi Hasil Hutan Bukan Kayu berdasarkan penggunaan

produk Akhir (FAO, 1998).

Penggunaan akhir Contoh

A. Produk makanan dan

turunannya

Daging, kacang-kacangan, buah-buahan, madu, rebung

bambu (bambooshoot), Sarang burung (birds nest), Minyak

dari biji-bijian (oil seed), jamur (mushroom), Gula dan

Karbohidrat (palm sugar and starch), rempah-rempah

(spices), Culinary herbs, Pewarna makanan (food

colouring), getah-getahan (gum), Serangga melata/ulat-

ulatan (cartepilar), Serangga (insects) dan cendawan

(fungi).

B. Tanaman Hias

(Ornament plants and

parts of plants)

Anggrek (Wild orchids), bulbs, cycods, Palem paleman

(palm), Pakis-pakisan (tree ferns), succulent plants,

carnivorous plants.

Hasil Hutan Bukan Kayu

51

C. Satwa liar dan produk-

produknya

Plummery pelts, cage birds, Kupu-kupu (butterflies), kutu

lak (lac), cochineal dye, Sutera alam (cocoon),

sarang/rumah lebah madu (beewax), Bisa ular (snake

venom).

D. Bahan konstruksi bukan

kayu (Non Wood

contruction materials)

Bambu (Bamboo), Rotan (rattan), Rumput-rumputan/alang-

alang (grass), Bagian pohon palem-paleman (palms), daun-

daunan (leaves), serat kulit (barkfibers).

E. Komponen Bio-kimia

dari alam (Bio/organic

chemical)

Senyawa fitokimia/kima bahan alam

(Phythopharmaceutical), Senyawa aromatik dari (aromatik

chemical) and Penyedap (flavours), pafum (fragranus)

Pestisida (agrochemical/insecticides), Bahan Bakar Nabati

(biodiesel), tar (tars), bahan pewarna (colour) and pigmen

(dyes).

Karakteristik hasil hutan bukan kayu tersebut dibuat berdasarkan beberapa kenyataan bahwa

konstribusi komoditas HHBK yang begitu besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat miskin,

atau masyarakat hutan (forest people) yang kebanyakan tersebar di negara-negara berkembang dan

memiliki hutan hujan tropis.

Lebih lanjut FAO (1998) juga menjelaskan bahwa jumlah hasil hutan bukan kayu yang

diproduksi dan diperdagangkan diwilayah Asia Pasifik, menempati urutan pertama dari seluruh

perdagangan hasil hutan bukan kayu dunia. Beberapa komoditas hasil hutan kayu yang berasal dari

daerah Asia Pasifik tersebut seperti komoditas Rotan dari Kalimantan, tanaman obat-obatan

(medicinal plants) dari Mongolia dan Nepal, Kupu-kupu (Butterflies), Anggrek (Orchids) and Palem-

paleman (Palms) dari New Guinea. Contoh lainnya adalah tanaman obat dari China, yang negeri tirai

bambu ini merupakan pengekspor terbesar bahan obat-obatan tradisional, bahkan beberapa universitas

di China, telah memasukan pengetahuan obat tradisional menjadi basis kurikulum. Di beberapa

universitas ternama di China, pengetahuan tradisional obatan-obatan China telah menjadi cabang

kajian ilmu tersendiri.

Food and Agricuktural Organization (1998) juga membuat penggolongan hasil hutan bukan kayu

untuk kepentingan analisis ekonomi, yang dapat dikelompokkan berdasarkan skala

penggunaan/pemanfaat, kegunaan dan pemasarannya. Penggolongan tersebut selengkapnya dapat

diringkas pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Penggolongan hasil Hutan Bukan Kayu berdasarkan kepentingan analisis ekonomi,

skala kegunaan dan pemasaran, FAO (1998).

1. Subsistance level

(Skala subsisten) Yaitu hasil hutan yang langsung dikonsumsi secara langsung

setelah pemanenan dengan sedikit atau tanpa pengolahan

seperti buah, daging satwa liar atau hanya pengolahan

petama seperti rebung bambu (bamboo shoot).

Pada level subsisten ini perdagangan dilakukana biasanya

dengan cara barter atau tukar menukar barang dan

dikerjakan oleh anggota keluarga langsung dari hutan.

2. Local-Used level

(Skala penggunaan

lokal)

Pada kategori ini hasil hutan non kayu diolah dalam skala

kecil, tidak terpusat dan bersifat pribadi (usaha sampingan)

yang kerap kali kurang modal dan teknologi seadanya. Pada

level ini kadang-kadang hasil hutan non kayu dibartrer

dengan atau dijual dipasal lokal (local market) untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hasil Hutan Bukan Kayu

52

Biasanya pada level ini pengolahan/usaha hasil hutan non

kayu memiliki keterbatasan modal, karena hanya

menjangkau pasar lokal yang relatif kecil dengan

permintaan ang terbatas pula karena keterbatasan

penghasilan masyarakat lokal.

3. Commercial level

(Skala komersial

/diperdagangkan)

Pada kategori ini hasil hutan non kayu telah mengalami

beberapa tahapan proses pengolahan dan melalui beberapa

tahapan transaksi untuk menjadikan produksi tersebut siap

jual dipasaran. Beberapa produk dijual untuk memenuhi

kebutuhan bahan mentah (bulkdemand) seperti rotan, resin

dan produk olahan yang dapat menjangkau pasaran

international seperti madu (honey) dan aromatic chemical.

Iqbal (1997) yang dikutip oleh FAO (1998) mengklasifikasikan hasil hutan bukan kayu dalam

150 (seratus lima puluh) jenis komoditas yang berlaku dalam perdagangan international. Sedangkan

nilai total dari perdagangan hasil hutan non kayu dari tahun ketahun adalah sering berfluktuasi.

Contohnya pada tahun 1990-an, total nilai tahunan dari perdagangan hasil hutan bukan kayu adalah

sebesar 5-11 miliar dollar Amerika Serikat (US $ 5-11 billion). Untuk daerah Asia Fasifik sendiri,

nilai perdagangan ekspornya mencapai 2-4 miliar dollar AS (US $ 2 - 4 billion). Sebagian besar

komoditas hasil hutan bukan kayu diperdagangkan dalam skala kecil, bersifat lokal, dan bahkan

bersifat barter pada beberapa daerah dan kondisi tertentu. Kecuali untuk komoditas yang berorientasi

ekspor, seperti rotan, kacang-kacangan (kacang mete, nuts) diperdagangkan dalam jumlah yang sangat

signifikan.

Pada dekade akhir-akhir ini, dipasar internasional beberapa produk dari hasil hutan non kayu

umumnya mengalami menurun, karena adanya beberapa faktor seperti perkembangan dari teknologi

bahan tiruan (sintetis) seperti plastik, ketidakseninambungan dari stok bahan baku dan produk,

kualitas dan kuantitas yang tidak terjamin (konsisten), dan tidak adanya jaminan dari pasokan bahan

baku. Akan tetapi adanya perkembangan terakhir tentang kesadaran akan penggunaan produk-produk

yang ramah lingkungan, dapat didaur ulang dan gerakan kembali ke alam (back to nature) telah

merangsang kembali akan adanya permintaan produk-produk hasil hutan non kayu, yang boleh

dikatakan lebih ramah lingkungan.

Masa depan hasil hutan bukan kayu sangat terbuka lebar tetapi hal tersebut tergantung kepada

produk yang dipasarkan dan keadaan penggunaanya. Kunci utamanya adalah meningkatkan

komersialisasi dari hasil hutan bukan kayu, termasuk di dalamnya manajemen pengelolaan atau

domestikasi yang dilengkapi dengan analisis permintaan pasar yang akurat, penurunan akses

masyarakat hutan terhadap hasil hutan bukan kayu, perubahan ketergantungan masyarakat sekitar

hutan terhadap hasil hutan bukan kayu dan pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis masyarakat

(community based forest manjement).

FAO (1998) juga telah membuat gambaran dari dua keadaan atau kondisi kedepan yang harus

dicermati oleh berbagai kalangan yang berkepentingan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu.

Dua kondisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Secara keseluruhan sumber daya hasil hutan bukan kayu ada kecenderungan mengalami

depresi/penurunan. Hal ini karena kurang adanya perundang- undangan/regulasi tentang tata cara

pemungutan dan adanya tekanan permintaan dari pasar yang luar biasa baik pasar lokal maupun

internasional. Produk-produk hasil hutan bukan kayu tersebut meliputi rotan, resin, damar, kayu

gaharu, bermacam-macam kulit kayu, akar, batang, dan daun sebagai tradisional sumber obat-

obatan tradisional (traditional medicine) dan beberapa species (hewan dan tumbuhan) langka

lainnya seperti ikan.

Hasil Hutan Bukan Kayu

53

b. Adanya kecenderungan penambahan pembudidayaan dari beberapa jenis hasil hutan bukan kayu

(selected non timber forest products) seperti rotan dikembangbiakan dan dibudidayakan di

Indonesia dan Malaysia. Tetapi ini hanya terjadi pada produk yang mempunyai pangsa pasar

yang bagus (superiorproducts), sedangkan produk yang kurang diminati (inferior products)

sepertinya permintaanya menurun, dan tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang

meningkat. Sehingga terkesan perkembangan dan pembudidayaan superior produk lebih intensif

dibandingkan inferior produk.

Lebih lanjut FAO (1998) melaporkan, bahwa studi kasus yang telah dilakukan di India,

menyimpulkan bahwa kurang lebih 400 juta penduduknya yang hidup di pedesaan dan sekitar

kawasan hutan sangat menggantungkan hidupnya pada komoditas hasil hutan bukan kay, baik sebagai

pemilik, buruh pemetik ataupun pedagang hasil hutan bukan kayu tersebut. Secara lebih rinci

dikatakan bahwa 30% penduduk pedesaan sangat tergantung kepada hasil hutan bukan kayu, dan

lebih dari 80% penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan menggantungkan hidupnya pada

komoditas ini.

Selanjutnya, diilaporkan juga bahwa pekerjaan memetik, dan memanen hasil hutan bukan kayu

merupakan sumber pekerjaan atau penghasilan utama dari para buruh di pedesaan, dengan persentase

sekitar 17% dari mereka adalah penduduk yang tidak mempunyai lahan garapan, dan 39% adalah

sebagai pekerjaan sampingan dengan tujuan menambah pendapatan. Di India sendiri, devisa yang

dihasilkan oleh berbagai komoditas hasil hutan bukan kayu rata-rata pertahunnya sebesar 27 miliar

dollar AS (US $ 27 billion). Hasil tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan yang diperoleh

dari devisa perdagangan produk-produk hasil hutan utama (kayu, produk kayu olahan dan panel-panel

kayu), yang hanya sekitar 17 miliar dollar AS (US $ 17 billion).

Laporan dari FAO (1998) juga menyebutkan bahwa diperkirakan sebanyak 55% pekerja dibidang

kehutanan di India berkerja pada sektor hasil hutan bukan kayu. Komoditas hasil hutan bukan kayu

yang dihasilkan dari India di antaranya adalah bambu (bamboo), rotan (rattan), dedauan (beedi leaf),

getah-getahan (gums), golongan resin (resin), minyak biji-bijian (oil seeds), minyak atsiri (essential

oil), produk serat (fibers), flosses, kutu lak (lac), dan tumbuhan obat (medicinal plants). India setiap

tahunnya rata-rata memproduksi berbagai jenis komoditas bamboo sebesar 4.5 juta ton, dan

merupakan 50% dari sumber bahan baku industri serat untuk sumber bahan serat dan kertas (pulp and

paper).

Perkembangan terakhir menujukan bahwa stok atau bahan baku dari hasil hutan bukan kayu akan

cenderung menurun dimasa mendatang. Untuk mengatasi masalah tersebut kiranya diperlukan

program-program dan strategi jangka panjang untuk pembudiadayaan dan pengembangan hasil hutan

bukan kayu. Program-program tersebut antara lain adalah penyusunan program kebijakan dan strategi

yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dalam bentuk pengelolaan hutan

berbasis masyarakat, perluasan akses perkembangan pasar (pemasaran), domestikasi dan kultivasi

dari hasil hutan bukan kayu (aspek budi daya dan inovasi domestik), promosi komoditas hasil hutan

bukan kayu dalam pasar regional dan internasional (promotion in trade and fair into the world

market).

3.3. Permasalahan-Permasalahan Penting dari Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kemungkinan

Pemecahannya, FAO (1998)

Masalah atau isu yang sangat mendasar dan menarik yang berkaitan dengan hasil hutan bukan

kayu adalah berkaitan dengan orientasi produk yang masih berskala kecil, yaitu bersifat industri

rumah tangga dan bersifat kegiatan sampingan. Permasalahan-permasalahan lainnya seperti

permintaan komoditas hasil hutan bukan kayu yang kurang signifikan dibandingkan dengan produk

perkayuan, dan kurangnya skala prioritas dalam skala industri, rendahnya penelitian dan

Hasil Hutan Bukan Kayu

54

pengembangan, serta kurangnya diversifikasi produk dari hasil hutan bukan kayu, juga turut berperan

dalam rendahnya posisi tawar dari hasil hutan bukan kayu. Kenyataan- kenyatan tersebut yang

menyebabkan belum tertariknya pemerintah, baik pada level pusat maupun daerah, serta departemen

teknis membuat kebijaksan nasional tentang pengelolaan dan pengusahaan komoditas hasil hutan

bukan kayu.

Khusus untuk wilayah Asia Pasifik, beberapa masalah dan isu penting berikut ini kiranya penting

untuk disikapi dan ditindak lanjuti, sehingga hasil hutan bukan kayu dapat memainkan peranan yang

sangat penting di wilayah ini di masa mendatang. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan dan

komoditas hasil hutan bukan kayu di wilayah ini cukup melimpah, dan didukung oleh keadaan atau

potensi hutan alam tropisnya yang masih perawan. Serta jumlah populasi penduduk di Asia Pasifik

yang besar dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Hal-hal tersebut menjadikan salah satu

alasan untuk menjadikan kawasan ini menjadi pasar potensial dimasa mendatang.

Permasalahan permasalahan komoditas hasil bukan kayu di kawasan Asia Pasifik tersebut di

antaranya dapat dijabarkan dan dirinci sebagai beikut:

a. Belum adanya program yang terfokus pada pengelolaan hasil hutan bukan kayu (lack of focus in

non timber forest products). Salah satu kunci utama untuk melestarikan potensi ekonomi dari

hasil hutan bukan kayu adalah dengan atau tanpa memberlakukan skala prioritas pada komoditas

hasil hutan bukan kayu, sehingga semua komoditas diperlakukan sama, tidak ada komoditas

unggulan (superior products) ataupun komoditas bukan unggulan (inferior products).

b. Hasil hutan bukan kayu mempunyai nilai aspek sosial yang sangat strategis bagi penduduk yang

tinggal di sekitar kawasan hutan, yang notabene masih sangat miskin. Aspek ini dapat

dikembangkan lebih lanjut untuk dapat lebih menjamin keberlanjutan produktivitas dan potensi

sumber daya hasil hutan bukan kayu.

c. Kurangnya investasi dalam bidang penelitian dan pengembangan dibidang hasil hutan bukan

kayu seperti teknologi pengolahan, sistem dan jaringan pemasaran, standarisasi produk dan

bahan, dan beberapa faktor lainnya. Kebanyakan penelitian pada hasil hutan bukan kayu hanya

berskala kecil sehingga kurang mendapat perhatian yang cukup dari investor. Penelitian tersebut

juga kebanyakan berdasarkan pesanan dari lembaga-lembaga konservasi, bukan investor besar,

seperti lazimnya pada industri perkayuan. Tantangan kedepan adalah bagaimana penelitian dan

pengembangan komoditas ini dapat disinergikan dan bernilai ekonomi, dan layak dijual sehingga

dapat menarik investor untuk berinvestasi dalam sektor hasil huan bukan kayu dalam skala luas.

d. Minimnya kelembagaan-kelembagaan formal dan perangkat peraturan perundangan-undangan

yang belum sepenuhnya mendukung komoditas hasi hutan bukan kayu. Hal ini adalah menjadi

isu utama dari hasil hutan bukan kayu sehingga menyebabkan komoditas hasil hutan bukan kayu

tidak dapat berkembang beriringan dengan industri perkayuan. Hal ini sangat jauh berbeda

dibandingkan pada sektor industri perkayuan yang mempunayi kelembagaan dan peraturan

perudang-undangan yang cukup jelas dan mengikat. Beberapa hal tersebut yang kemudian

mendasari terbentuknya beberapa organisasi profesi international yang memfokuskan

kegiatannya pada komoditas hasil hutan bukan kayu, seperti Intenational society of etnobotany,

International society of Etnopharmacology, International Network on Bamboo and Rattan, dan

sebagainya.

e. Industri yang berskala kecil. Hasil hutan bukan kayu memegang peranan yang begitu penting

dalam skala lokal ataupun yang berskala tradisional dan tidak berskala luas. Ciri-ciri dari

kelompok ini di antaranya adalah transaksi hanya melibatkan antara petani, pengumpul dengan

pedagang atau tengkulak, dan tidak memiliki sistem tataniaga yang jelas atau baku. Bahkan pada

beberapa kasus, tata niaga in hanya bersifat barter. Hal ini menjadi salah satu sebab kenapa

perdagangan hasil hutan bukan kayu tidak dapat terdata dalam laporan statistik kehutanan.

Hasil Hutan Bukan Kayu

55

Karena skalanya kecil, dan lebih bersifat informal, ini menjadi salah satu sebab minimnya

keterlibatan pemerintah, baik dalam perencanaan dan pendanaan, dan pendampingan.

f. Nilai ekonomi hasil hutan bukan kayu tergantung kepada masyarakat sekitar hutan. Komoditas

hasil hutan bukan kayu dikumpulkan oleh masyarakar sekitar hutan yang memiliki pengetahuan

terbatas, tidak memahami harga pasar dan memiliki posisi tawar yang rendah. Petani biasanya

telah memiliki langganan pembeli/tengkulak yang tetap, dan pentani atau pengumpul

memperkejakan tenaga buruh harian dengan sistem borongan. Karena mengggunakan sistem

borongan, maka banyak komoditas hasil hutan bukan kayu yang salah panen atau penanganan.

Sistem in juga berpengaruh terhadap rusaknya potensi sumber daya hasil hutan bukan kayu.

Dalam masalah ini, isu utama dalam produksi dan perdagangan hasil hutan bukan kayu adalah

bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar hutan dapat mendapatkan manfaat atau

keuntungan yang maksimal dari komoditas ini. Sehingga akan lebih efisien bila mendirikan

industri hasil hutan bukan kayu yang berlokasi dekat dengan sumber bahan baku. Sebagai

perbandingan, industri hasil hutan bukan kayu memerlukan investasi sekitar 1750 dollar AS (US

$ 1.750) per perkerjaan, dibandingkan dengan industri perminyakan, yang mana memerlukan

26250 dollar AS (US $ 26.250) per pekerjaan.

g. Belum tersedianya informasi tentang potensi hasil hutan bukan kayu (lact ofinventory).

Kurangnya data base tentang potensi, penyebaran dan keberagaman jenis-jenis hasil hutan bukan

kayu pada level nasional dan lokal, sangat menghambat perencanaan dan pengelolaan sumber

daya ini secara terintegrasi. Pada langkah awal, data dan informasi tentang potensi dari masing-

masing komoditas hasil hutan bukan kayu pada areal yang telah ditetapkan, dengan secara lebih

terperinci mutlak untuk dilakukan dandiperlukan.

h. Dominasi dari manajemen, regulasi dan eksploitasi kehutanan yang berorientasi kepada sektor

industri perkayuan. Lebih dari satu abad, perhatian penelitian dan pengembangan sektor

kehutanan dititik beratkan pada sektor perkayuan, seperti bagaimana menghasilkan kayu dengan

riap yang besar dalam waktu yang relatif singkat dengan teknik bioteknologi, kultur jaringan dan

teknik silvikultur. Hal ini sangat bertolak belakang dengan komoditas hasil hutan bekan kayu,

yang dapat dikatakan jalan ditempat. Padahal kenyataanya bahwa hasil hutan bukan kayu

dilapangan sangat berasosiasi sangat erat dengan kayu.

i. Domestikasi hasil hutan bukan kayu. Salah satu isu penting yang dapat dipertimbangkan adalah

pemanfaatan yang optimal melalui domestikasi dan pembudidayaan satu produk yang telah

mendapat tempat di pasar, sehingga dapat digantikan oleh produk yang sama tetapi dari areal

pembudidayaan seperti perkebunan kepala sawit (oil palm), karet (rubber), jambu mete (cashew),

Perkebunan kopi (coffee), coklat (cacao) dan rempah-rempahan jenis lada (pepper).

j. Sistem pemanenan yang tidak konsisten. Pemanenan yang berlebihan, tidak rasional, tanpa

menejemen yang professional, dan kurang adanya peraturan perundang-undangan yang tegas

telah menimbulkan perbedaan pandangan bagi para pengusaha dan pelaku bisnis komoditas ini

dilapangan. Hal ini cukup serius dan akan berdampak kepada kelestarian keanekaragaman hayati

komoditas tersebut. Penelitian di Indonesia menujukkan bahwa pemanenen rotan secara

konvensional dapat menghasilkan limbah sebesar 14-28%, dan limbah selama proses transportasi

dan selama proses penyimpanan sebesar 4–12%. Padahal dengan teknologi yang lebih baik,

limbah tersebut dapat ditekan menjadi lebih minimal, yaitu berkisar dari 4 - 6%.

k. Proses pengolahan yang tidak efisien. Hasil hutan bukan kayu biasanya dihasilkan oleh negara-

negara yang sedang berkembang, dan diolah dengan teknologi yang sederhana (tradisional),

modal terbatas dan keahlian yang rendah serta pemasaran yang terbatas. Karenanya komoditas

yang dihasilkan juga bermutu rendah, dan kebanyakan masih berupa barang setengah jadi. Di

daerah Kaimana dan Fak-fak, provinsi Papua barat, pohon pala adalah hasil hutan bukan kayu

Hasil Hutan Bukan Kayu

56

yang cukup dominan. Tetapi masyarakat lokal hanya mampu mengolah komoditas ini menjadi

tiga produk yaitu biji, bunga dan manisan. Khusus untuk manisan pala, hanya berskala lokal.

Sedangkan bunga dan biji dapat dijual dengan orientasi ekspor. Dengan sentuhan teknologi, biji

dan bunga dapat diolah menjadi komoditas minyak atsiri yang menghasilkan nilai tambah lebih

tinggi tentunya.

l. Tantangan dari bahan sintetik. Perkembangan dan teknologi plastik cukup berperan dalam

mengurangi kompetisi dari produk-produk hasil hutan bukan kayu, tetapi dengan adanya

kesadaran tentang bahan ramah lingkungan dapat memberikan secercah harapan akan tingginya

permintaan komoditas hasil hutan bukan kayu dimasa mendatang.

Untuk perkembangan kedepan, kerja sama pengembangan dan penelitian yang intensif dan

terintegrasi, dengan melibatkan para ahli diberbagai bidang ilmu dari berbagi instanti terkait sangat

diperlukan untuk mengantisipasi tingginya permintaan komoditas hasil hutan bukan kayu di pasaran.

Hal tersebut juga penting dilakukan untuk memanfaat potensi keanekaragman hayati hutan tropis

Indonesia, secara ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya adalah permintaan

berbagai jenis minyak atsiri untuk industri makanan dan minuman, komestik, dan obat-obatan yang

terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan berbagai kegiatan tersebut di atas, kesempatan kerja

dapat diciptakan, kesempatan berusaha juga dapat tercipta dengan sendirinya. Khusus untuk bidang

pendidikan dan penelitian, hal tersebut akan membuat nama peneliti-peneliti dan lembaga penelitian

indonesia akan semakin diakui kontribusinya dan diakui kepakarannya.

Hasil hutan bukan kayu juga memiliki beberapa ciri khusus atau karakteristik yang khas, bila

dibandingkan dengan komoditas hasil hutan utama (industri perkayuan). Beberapa karakteristik dari

hasil hutan bukan kayu tersebut telah diidentifikasi oleh Sumadiwangsa dan Setyawan (2001)

berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan dan dirumuskan. Ringkasan dari karakteristik

komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) dibandingkan dengan komoditas hasil hutan kayu tersebut

dapat diringkas dan disajikan pada Tabel 3 3.

Tabel 3.3. Perbandingan karakteristik Pengelolaan, pemanenan dan pemanfaatan Hasil Hutan

Bukan Kayu dibandingkan dengan Hasil Hutan Kayu.

No Kriteria Hasil Hutan Kayu Hasil Hutan Bukan Kayu

1 Bagian pohon

yang

dimanfaatkan

Batang Daun, getah, kulit, bunga, biji, kayu,

batang, buah, akar atau cabutan

Hewan (kulit, tanduk, satwa hidup)

Gabungan hewani dan nabati

Alam, jasa (non komersial,

komersial)

2 Cara pemanenan

Disiplin ilmu

Penebangan

Fisika/mekanika

Penyadapan, pemetikan,

pemangkasan, pemungutan,

perabutan, perburuan, penebangan

(pengubakan, isolasi).

Kimia, biologi, fisika/mekanika

3 Efek pemanenan Merusak sekitar pohon Tanpa/sedikit merusak

4 Umur pohon 10 sampai 100 tahun

atau lebih Bulanan sampai 100 tahun atau

lebih

5 Panen/umur

pohon

Sekali Sekali sampai ratus kali

Hasil Hutan Bukan Kayu

57

6 Waktu

panen/pohon

Beberapa menit - jam Beberapa menit - puluhan tahun

7 Hasil panen Kayu (ligno-selulosa) Komoditas dan jasa komoditas :

Aris (resin), minyak lebak, pati,

minyak atsiri, tanin, kayu, selulosa,

karet, protein, bahan obat, pestisida,

bumbu dapur, pewarna, penyamak

dan bahan industri lain

8 Daur produksi Riap diameter Riap produksi

9 Pasca panen Pengeringan,

pengawetan Pelayuan, pengeringan, perendaman

(dalam air, tanah)

10 Pengolahan

Disiplin ilmu

Penggergajian,

veneering, chiping,

milling/choping,

panelling

Fisika/mekanika sedikit

kimia dan biologi

Penggorengan, pengeringan,

isolasi/ekstraksi, penyulingan,

pembaraan, pengempaan, pelarutan,

bioprosessing, seleksi/grading.

Kimia, biologi dan sedikit

fisika/mekanika

11 Perubahan

bentuk

Fisik, sedikit kimia Kimia, biologi, fisika

12 Areal

pengusahaan

Luas, modal besar Sempit - luas, modal kecil -

menengah

13 Skala

pengusahaan

Besar, menengah Kecil, menengah

14 Peralatan/

teknologi

Tinggi/menengah Sederhana, menengah

15 Tahap pemakai Nasional, internasional Dipakai sendiri, nasional,

internasional

16 Macam

pemakaian

Konstruksi (bangunan,

jembatan), mebeler,

kerajinan

Finishing, polishing, isolator,

pangan, obat, kosmetik, pewangi,

pewarna, insektida, minuman,

keperluan rumah tangga, bahan

industri, mebeler, kerajinan tangan

dan bahan industri lain

17 Keuntungan Pengusaha,

masyarakat, negara Masyarakat sekitar hutan,

pengusaha, negara

18 AMDAL Degradasi lingkungan

(terutama yang

mengabaikan

kelestarian hutan dan

lingkungan)

Tanpa atau sedikit degradasi

lingkungan

Hasil Hutan Bukan Kayu

58

3.4. Pustaka

Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The Asia-

Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization of The United

Nation, Rome Italy.

Asia-Pacific Foresty Commision, (1998). Non-Wood Forests Products Asia-Pacific Forestry Towards

2010. Report of The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food And Agricultural

Organization of The United Nation, Rome.

Wollenberg, E and A. Ingles (editors) (1998). Income from the Forest (2004). Methods for thr

development and conservation of forest products for local Community.. Center for

International Forestry Research (CIFOR) Bogor

Sumadiwangsa. S dan D. Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001).Konsepsi Strategi Penelitian Hasil

Hutan Bukan Kayu di Indonesia, .

Diakses dari www.dephut.go.id, pada tgl 12 Desember 2006

Hasil Hutan Bukan Kayu

59

BAB 4

POTENSI, PRODUKSI, DAN EKSPOR

KOMODITAS HASIL HUTAN BUKAN KAYU

4.1. Pendahuluan

Pokok bahasan tentang potensi, produksi, dan ekspor hasil hutan bukan kayu ini ditampilkan

dengan tujuan untuk melihat fakta, bagaimana potensi, produksi, peluang dan produk itu saling

berperan dan berkaitan. Apabila mengacu ke belakang pada babpertama tentang definisi hasil hutan

bukan kayu, dan bab kedua tentang penggolongan atau tata nama hasil hutan bukan kayu, kita dapat

melakukan analisis dan kajian berapa besar potensi HHBK yang kita miliki telah dipanen atau

diproduksi, diolah, diteliti, dan dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar dibanding kalau

menjualnya dalam bentuk barang mentah atau setengah jadi.

Pokok bahasan ini penting karena potensi hasil hutan bukan kayu yang dapat diambil dari hutan

Indonesia sangat banyak atau berlimpah dan dapat diolah menjadi beragam komoditas, baik untuk

pasar lokal maupun ekspor. Tetapi pada kenyataanya, hanya beberapa komoditas hasil hutan kayu

tertentu saja, yang produksi dan perdangangannya didokumentasikan oleh instansi terkait. Sebagai

warga negara Indonesia, kita juga wajib mengenal beragam komoditas hasil hutan bukan kayu

tersebut dan sekaligus ikut memikirkan dan berperan aktif dalam mengelola, mengolah dan

melestarikannya.

Pada akhir pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan untuk memiliki kemampuan untuk dapat

melakukan:

1. Analisis tentang permasalahan dan pemecahan masalah terutama adanya gap atau perbedaan

antara potensi, produksi dan realitas ekspor HHBK

2. Menjabarkan permasalahan dan alternatif pemecahannya sebagai tindak lanjut dari point 1 di atas.

3. Membuat terobosan–terobosan dalam kampanye HHKB, termasuk potensi, produksi dan peluang

ekspornya.

4.2. Potensi

Pada pokok bahasan sebelumnya, yaitu pada bab ketiga, telah disinggung tentang adanya 150

jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang diperdagangkan diseluruh dunia. Sedangkan pada bab

kedua, terutama menurut penggolongan yang dibuat oleh SNI, terdapat kurang lebih sekitar 127 jenis

komoditas yang terbagi ke dalam 9 (sembilan) kelompok. Sehingga apabila dibandingkan, terdapat

sekitar 23 komoditas hasil hutan yang tidak termasuk dalam kelompok yang diperdagangkan didunia,

atau belum didokumentasikan, atau bahkan belum dimasukan ke dalam kelompok komoditas SNI.

Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masih terdapat begitu banyak komoditas hasil hutan

bukan kayu yang belum kita sadari bahwa produk tersebut layak dan bernilai secara ekonomi.

Kelmopok tersebut terutama beberapa komoditas yang terdapat di luar pulau Jawa, seperti di

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua khusunya, karena mengingat masih luas dan aslinya hutan

alam di daerah tersebut, dan belum seluruh potensinya didata dan didokumentasikan.

Pertanyaanya sangat sederhana, kenapa masih banyak yang belum didata dan didokumentasikan?

Keanekaragaman hayati di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang tinggi, dan bila dikaitkan

dengan jumlah suku asli atau etnik yang mendiami pulau-pulau trersebut, akan menghasilkan

beberapa komoditas yang tidak ditemukan di Pulau Jawa. Fakta-fakta seperti ini yang menjadikan

komoditas hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat tinggi. Tetapi potensi tersebut masih berupa

Hasil Hutan Bukan Kayu

60

informasi- informasi yang berskala kualitatif, bukan data kuantitatif, seperti berupa luasan sebaran

dari masing-masing komoditas, potensinya per hektar dan standing stok di lapangan.

Permasalahan yang sangat mendasar adalah kegiatan mendokumentasikan, meneliti dan

mengembangkan potensi hasil hutan bukan kayu tersebut. Data tentang hasil hutan bukan kayu

kebanyakan bersifat kualitatif, yaitu banyak, tinggi dan beragam, tetapi belum ada angka yang pasti

berapa jumlah nominal atau pastinya. Diperlukan pengorbanan, biaya, tenaga yang cukup besar untuk

dapat memperoleh potensi hasil hutan bukan kayu yang pasti pada berbagai daerah tersebut.

Penelitian yang intensif, terarah dan berkesinambungan serta terintegrasi kiranya dapat memperoleh

data yang pasti tentang potensi komoditas tersebut di lapangan.

Selain beberapa faktor penghambat di atas, salah satu kendala yang dihadapi dalam melakukan

penelitian untuk memperoleh potensi komoditas hasil hutan bukan kayu adalah karakteristiknya yang

beragam, seperti penyebarannya yang tidak merata, terpencar-pencar, berukuran relatif kecil bila

dibandingkan dengan pohon, memerlukan alokasi waktu yang lebih banyak. Karena variabel

penelitian dari masing-masing komoditas hasil hutan bukan kayu adalah tidak sama, sehingga

diperlukan investasi penelitian yang besar dengan nilai komersiil yang kecil bila dibandingkan dengan

pohon.

Berikut ini adalah potensi beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang didokumentasikan

oleh Dinas Kehutanan Papua sampai dengan bulan september 2007, yang selengkapnya diringkas

pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Potensi komoditas hasil hutan bukan kayu di provinsi Papua.

No

Komoditas/

Jenis

Potensi

Luas (ha) Volume Penyebaran

1 Rotan 2.215.625 2.062,22

kg/ha

Kab. Nabire, Manokwari, Jayapura dan

Kab. Merauke

2 Sagu 4.769.548 *)

14.000**)

5,67

batang/ha

Kab. Sorong, Manokwari, Jayapura,

Merauke, dan Yapen Waropen

3 Nipah 1.150.000 na na

4 Kayu

Lawang

na na Kaimana, Fakfak, Sorong, Jayapura,

Nabire, Merauke dan Manokwari.

5 Kayu Masoi na na Kab. Manokwari, Fakfak, Kaimana,

Jayapura dan Nabire

6 Kayu Putih na na Kab. Merauke

7 Lebah Madu na na Kab. Jayapura, Jayawijaya dan Yapen

waropen

8 Kayu

Gaharu

na na Kab. Jayapura, Jayawijaya, Merauke,

Nabire, Enarotali dan Manokwari.

9 Buaya na na na

10 Kupu-kupu

(65.325 Ha) 70 jenis

Peg. Arfak, Manokwari

11 Damar na na Jayapura, Sorong, Biak, Nabie, Serui

dan Manokwari

12 Aves na na na

13 Reptil na na na

14 Insecta na na na

15 Jasa Hutan na na na

Hasil Hutan Bukan Kayu

61

Keterangan : na : not availableSumber: www.kehutanan.papua.go.id, tanggal 24 September 2007

Tabel 4.1 di atas memberikan gambaran bahwa komoditas hasil hutan bukan kayu yang

dihasilkan oleh Papua hanya 15 komoditas. Kelima belas komoditas inipun belum sepenuhnya

didokumentasikan dengan lengkap, menyakut luasnya, standing stok dilapangan, dan juga

produksinya. Informasi yang dimuat pada tabel 4.1 di atas juga kebanyakan masih bersifat kualitatif,

belum berupa data hasil penelitian lapang yang akurat. Lebih lanjut dapat dijelaskan, bahwa

komoditas hasil hutan bukan kayu dari daerah Papua tersebut, sebagian besara adalah masih berupa

bahan mentah atau baku, yang memerlukan pengolahan lebih lanjut.

Kenyataan dilapangan, beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang lain, seperti tumbuhan

Anggrek, tumbuhan obat, kulit kayu, aren, buah merah, sarang semut, berbagai jenis buah-buahan dari

hutan dan bambu memiliki potensi yang sangat melimpah diPapua. Tetapi kenyataanya, potensi

tersebut belum dimasukkan dalam komoditas hasil hutan bukan kayu oleh dinas kehutanan Papua.

Padahal, komoditas tersebut juga banyak dimanfaatkan oleh penduduk lokal dan beberapa komoditas

memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

4.3. Keanekaragaman Produk

Produk komoditas hasil hutan bukan kayu yang memberikan nilai devisa paling besar adalah

yang berasal dari diversifikasi produk-produk rotan, terutama dalam bentuk permebelan (furniture).

Produk-produk mebel ini bukan hanya terbuat dari bahan baku rotan, tetapi juga yang berasal dari

kayu atau mebel dari kayu. Hal ini menjadi alasan karena kayu tropis Indonesia memiliki tingkat

kekerasan yang tinggi, nilai dekoratif yang khas, sehingga menarik untuk dijadikan furniture. Di

samping itu kayu-kayu triopis juga memiliki warna dan karakteristik yang unik.

Data terakhir yang dikutip oleh Hamzirwan (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2005,

realisasi nilai ekspor produk mebel Indonesia mencapai 1,9 miliar dollar AS dengan volume sebesar

800 ton, dan nilai tersebut meningkat menjadi Rp. 2,2 miliar dollar AS pada tahun 2006, atau nilai

ekspor tersebut meningkat sebesar 16% dengan pertumbuhan ekspor sekitar 7 persen per tahun.

Peningkatan ini dikarenakan oleh adanya beberapa dukungan pemerintah seperti penetapan industri

mebel sebagai industri yang berorientasi ekspor dan juga adanya larangan ekspor rotan asalan dan

kayu gelondongan. Oleh karena itu pihak Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia

(ASMINDO) pada tahun 2007 berani menargetkan pertumbuhan ekspor mebel menjadi 10 persen,

dengan total nilai ekspor mencapai Rp. 2,5 miliar dollar AS. Data ASMINDO yang dikutip oleh

Hamzirwan (2007) menunjukkan bahwa ekspor produksi mebel dan kerajinan Indonesia sebanyak

75% adalah berbentuk furnitur kayu, 20 furnitur rotan, dan sisanya sekitar 5% adalah campuran

furnitur dari bambu, metal, plastik dan lainnya.

Asumsi yang dipergunakan untuk mempredikti peningkatan pertumbuhan ekspor mebel tersebut

didasarkan pada beberapa asumsi yaitu keunggulan komperatif yang dimiliki oleh negara kita, yaitu

melimpahnya sumber bahan baku, tenaga kerja yang murah, dibandingkan negara-negara pesaing kita

seperti China, Thailand, Singapura, Malaysia dan negara lainnya. Untuk itu diperlunya usaha-usaha

untuk menjaga hutan kita agar terus tetap berproduksi menghasilkan bakan baku mebel, baik yang

berbahan baku rotan maupun kayu. Dikatakan lebih lanjut bahwa dengan jumlah jenis kayu yang lebih

dari 200 jenis, dandari jumlah tersebut sangat berpotensi untuk dipergunakan sebagai bahan baku

mebel dan kerajinan, sehingga bukan hanya monopoli kayu kayu Jati (Tectona gandiis), atau Mahoni

(Switeniamahagony) saja.Potensi kerajian dan mebel tersebut belum termasuk kayu yang berasal dari

Indonesia timur, seperti Papua, yang telah dimanfaatkan untuk pembuatan mebel-mebel lokal tetapi

berkualitas ekspor. Kayu-kayu tersebut adalah kayu Merbau (Instia spp), Dao (Dracontomellum

edule), Sonokembang (Pterocarpusindicus) dan Matoa (Pometia spp) serta jenis-jenis kayu yang

belum diperkenalkan ke pasaran.

Hasil Hutan Bukan Kayu

62

Industri mebel dan kerajinan kayu juga bersifat padat karya, yang mampu menyerap tenaga kerja

sebanyak 10 juta pekerja, Hamzirwan (2007). Hal tersebut dikarenakan industri mebel dan kerajinan

adalah industri yang saling menunjang, yaitu ada yang khusus membuat kerangka kursi/mebel, ada

yang mengukir, mengamplas, mendempul, mengamplas dan beberapa rangkaian usaha lainnya.

Industri mebel kayu skala lokal, khusus di wilayah Papua, yang diperuntukan untuk memenuhi

kebutuhan lokal seperti kusen, meja dan lemari serta bangku-bangku sekolah.

Gambaran profil industri mebel skala lokal di provinsi Papua disajikan Gambar 4.1 dan Gambar

4.2. berikut ini.

Foto: Wahyudi dan Sineri (2006)

Gambar4.1. Profil tukang kayu lokal di teluk Wondama, Papua Barat.

Foto: Wahyudi dan Sineri (2006)

Gambar 4.2. Produk mebel yang dipruntukkan untuk bangku siswa Sekolah Dasar (SD)

4.4. Produksi dan Ekspor

Departemen kehutanan dalam hal ini, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004) telah

merangkum data produksi komoditas hasil hutan bukan kayu selama sepuluh tahun terakhir, yaitu dari

tahun 1995 – 2004. Rangkuman tersebut seperti ditampilkan pada Tabel 4.1. Dari tabel tersebut

Hasil Hutan Bukan Kayu

63

terlihat bahwa terdapat beberapa produksi HHBK pada tahun tertentu yang kosong atau tidak tercatat

di departemen kehutanan, seperti Kemendangan, Arang dan Getah pinus yang tidak tercatat dari tahun

1995 - 20002.

Kalau kita melihat ke Bab 2 pada Tabel 2.1 terdapat 126 jenis komoditas Hasil Hutan Bukan

Kayu berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01-5010.4-2002. Informasi yang disajikan oleh

Tabel 4.1 yaitu tetang produksi komoditas hasil hutan bukan kayu, di mana hanya tercatat sebanyak

12 jenis komoditas. Kalau dibandingkan dengan jumlah total jenis komoditas HHBK, maka yang

tercatat produksinya hanya sekitar 9.5% . Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan kepada kita,

bagaimana dengan produksi komoditas HHBK yang di luar 12 tersebut atau yang 85% ke mana?.

Apakah tidak ada produksinya, tidak dilaporkan atau memang adanya kekurang tahuan dari pelaku

dilapangan tentang komoditas HHBK tersebut.

Contoh yang mungkin jelas adalah komoditas rotan, yang tercatat dalam dalam produksi adalah

total produksi rotan, sedangkan dalam tata nama hasil hutan, terdapat sekitar 18 turunan produk atau

diversifikasi produk yang dapat diturunkan dari rotan, seperti kulit rotan, hati rotan, rotan bundar

W&S dan produk turunann lainnya.

Hal yang sama juga terjadi pada kelompok minyak atsiri, dari 20 jenis minyak atsiri, yang

dilaporkan produksinya hanya minyak kayu putih. Kenyataan dilapangan menunjukkan banyak

minyak atsiri lainnya yang tidak dilaporkan produksinya, seperti minyak lawang, minyak cendana,

minyak kayu masohi dan sejenisnya.

Informasi mengenai nilai ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu dari tahun 2000-2004 yang

tercatat di departemen kehutanan disajikan pada Tabel 4.2. Tabel tersebut menjelaskan bahwa ekspor

komoditas hasil hutan bukan kayu memberikan kontribusi yang relatif kecil, dibandingkan dengan

nilai ekspor dari hasil hutan kayu. Kecilnya nilai kontribusi tersebut juga dapat terlihat dari sedikitnya

jumlah komoditas HHBK yang menembus pasaran ekspor, yaitu hanya 8 komoditas, dibandingkan

dengan jumlah komoditas HHBK yang mencapai 126 jenis. Hal ini hanya sekitar 6% dari keseluruhan

jenis komoditas.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruh komoditas HHBK yang diekspor tercatat atau

dilaporkan ke instansi kehutanan, baik pada tingkat lokal dan tingkat nasional. Komoditas seperti kulit

buaya yang pada kenyataanya dilapangan banyak dimanfaatkan untuk bahan baku kerajinan tangan

kulit, seperti tas, sabuk/ikat pinggang, dompet dan sejenisnya tidak tercatat di komoditas HHBK yang

diekspor.

Berikutnya adalah nilai ekspor komoditas Gaharu sampai dengan kondisi tanggal 31 juli 2007,

yang selengkapnya disajikan pada Tabel 4.3. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa komoditas gaharu

yang dipanen seluruhnya diambil dari hutan, bukan dari areal budi daya. Data yang disajikan dalam

tebel tersebut juga sulit untuk dipahakami maksudnya, karena terdapat kuota yang kosong, tetapi

realisasinya tercapai dan sebaliknya. Komoditas gaharu adalah komoditas hasil hutan bukan kayu

yang paling banyak diburu oleh para pengumpul dan pedagang. Khusus di Papua, pencarian

komoditas ini dilakukan dengan menjelajahi hutan belantara, tanpa mempertimbangkan batas wilayah

administrasi, tetapi mempertimbangkan masalah batas adat hutan masyarakat lokal setempat. Pencari

gaharu menghabiskan waktu di hutanselama berbulan-bulan.

Komoditas hasil hutan bukan kayu lainnya yang dapatdiekspor untuk menghasilkan devisa

adalah dari golongan mamalia. Data realisasi ekspor satwa liar, jenis mamalia per 31 Juli 2007

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.4. Hasil hutan bukan kayu dari kelompok satwa liar ini,

khususnya mamalia, masih tebuka lebar. Hal ini ditunjukkan oleh adanya beberap kuota yang belum

terpenuhi, seperti jenis rusa, yang masih kekurangan sebanyak 39 000 ekor dan bajing kelapa

sebanyak 3180 ekor. Potensi ini apabila dapat dimanfaatkan dengan baik, akan membuka banyak

lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

Hasil Hutan Bukan Kayu

64

Contoh lain yang juga sedang berkembang di masyarakat, adalah komoditas dari biji jarak, yang

digolongkan dalam kelompok minyak lemak, buah-buahan yang diambil dari hutan, aneka produk dan

olahan satwa belum semuanya dilaporkan nilai perdangangannya.

Produk HHBK lainnya yang sangat berpotensi untukmenghasilkan devisa, dan belum di muat

dalam Tabel 2.1 adalah produk kimia bahan alam (naturalproducts of chemistry), atau yang lebih

populer dengan sebutan senyawa bio-aktif. Beberapa media lokal, nasional dan bahkan internsional

melaporkan bahwa hutan tropis Indonesia, seperti Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan Papua, memilki

keanekaragaman jenis yang tinggi, dan berpotensi untuk dijadikan sebagai surga bagi penelitian obat-

obatan modern, untuk penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker, tumor, HIV/IDS dan malaria.

Bahkan organisasi lingkungan dunia WWF, menyebut hutan Kalimantan sebagai harta karun berharga

untuk potensi dan penelitian tanaman obat-obatan, Kompas 27 April 2006.

Kelompok komoditas HHBK lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang sangat luar biasa adalah

produk jasa, dan yang mudah untuk ditentukan adalah jasa dari fungsi pariwisata dan hidrologis.

Informasi yang diberikan oleh Tabel 2.1, Tabel 4.1 sampai dengan Tabel 4.4belum memasukkan

produk jasa dari hutan (forest services). Perusahaan-perusahan yang bergerak dibidang pengusahaan

hutan, khusunya BUMN seperti Perhutani, banyak yang mengelola jasa hutan dalam bentuk ekowisata

atau ekoturisme khususnya di pulau Jawa. Kenyataan dilapangan objek-objek ekowisata tersebut

banyak diminati oleh para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tetapi nilai produk jasa

dari ekoturisme ini belum dicatatat sebagaimana komoditas HHBK lainnyapada Tabel 4.2.

Khusus untuk produk jasa yang termasuk dalam perdagangan karbon, mungkin untuk saat ini

masih cukup sulit untuk dihitung, diterapkan dan dimasukkan sebagai salah satu komoditas ekspor

yang nilai definitifnya dapat ditentukan. Hal ini terkait dengan mekanisme pengaturannya, juga masih

adanya perbedaan persepsi dan pemahaman di antara negara-negara penandatangan protokol Kyoto

sendiri, baik itu dari negara industri maju, yang menghasilkan emisi, maupun negara-negara

berkembang yang memiliki hutan.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari informasi yang disajikan pada Tabel 2.1 tentang tata nama

hasil hutan, khususnya pengelompokan atau komoditas hasil hutan bukan kayu, Tabel 4.1 tentang

produksi komoditas HHBK dan Tabel 4.2 tentang nilai ekport HHKB, bahwa masih banyak

komoditas HHBK yang produksi dan nilai perdagangannya belum dicatat. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh berbagai faktor penyebab, bisa dikarenakan kekurang pahaman petugas kehutanan,

produsen, dan eksportir HHBK tentang regulasi, advokasi dan sejenisnya. Keragaman jenis komoditas

HHBK yang sangat beragam, juga berperan dalam mendukung ketidak lengkapan data, karena banyak

instansi dan stakeholder yang terlibat.

H

asil

Hut

an B

ukan

Kay

u

65

Ta

bel

4.2

. P

rod

uk

si H

asi

l H

uta

n B

uk

an

Ka

yu

Sep

ulu

h T

ah

un

Ter

ak

hir

Je

nis

Ko

mo

dit

as

No

T

ahu

n

(Yea

r)

Ro

tan

(Rat

tan

)

(To

n)

Go

nd

oru

kem

(Gu

m r

esin

)

(To

n)

Dam

ar

(Res

in)

(To

n)

Sag

u

(Sag

o)

(To

n)

Ter

pen

tin

(Tu

rpen

tin

)

(To

n)

Su

tera

(Sil

k)

(Kg

)

Ko

pal

(Co

pal

)

(To

n)

Get

ah

Pin

us

(To

n)

Ara

ng

(To

n)

Kem

en

dan

gan

(To

n)

M.K

ayu

Pu

tih

(Co

nju

pu

ti o

il)

(lit

er)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10

) (1

1)

(12

) (1

3)

1

19

95

/96

3

6.2

56

4

7.9

60

3

.85

9

- 8

.97

5

13

.22

5

81

6

- -

- 2

35

.49

7

2

19

96

/97

5

1.5

64

5

3.7

36

1

.55

6

- 1

0.2

94

9

.67

7

82

1

- -

- 4

69

.94

8

3

19

97

/98

3

2.3

89

6

9.6

58

6

.42

3

3.9

44

13

.70

0

13

.44

0

76

4

- -

- 3

31

.45

7

4

19

98

/99

6

2.6

44

4

3.7

85

7

.88

7

1.4

79

7.6

33

13

.27

9

51

8

- -

- 3

57

.03

5

5

19

99

/00

3

8.4

17

2

4.0

25

6

.31

0

58

5

2.6

67

1.9

11

11

4

- -

- 6

3.4

65

6

20

00

94

.75

2

- 3

.34

2

11

4

- -

64

7

- -

- -

7

20

01

23

.83

6

58

0

2.2

91

- -

- 4

28

- -

- -

8

20

02

17

.77

9

- 1

.13

1

- -

- 4

42

- -

- 2

7.9

25

9

20

03

*)

12

7.2

95

4.5

92

4.4

01

- 5

44

- 4

03

84

.08

3

3.2

61

12

28

.13

8

10

20

04

1.8

80

.50

3

38

.43

5

2.7

22

.86

6

- 7

.68

4

- 3

18

- -

- 3

1.9

78

Su

mb

er:

Dir

ekto

rat

Jen

der

al B

ina

Pro

du

ksi

Keh

uta

nan

; w

ww

.dep

hu

t.co

.id

.

Ta

bel

4.3

. T

ota

l n

ila

i ek

spo

r k

om

od

ita

s h

asi

l H

uta

n b

uk

an

ka

yu

sel

am

a 5

ta

hu

n t

era

kh

ir

No

Je

nis

S

atu

an

Tah

un

/Yea

rs

C

om

od

itie

s U

nit

s 2

00

0

20

01

20

02

20

03

20

04

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

1

Ro

tan

6..

1.1

. R

atta

n

ton

rib

u U

S$

18

.70

1

11

.61

9,4

5

24

.11

6

13

.84

4,4

8

22

.99

9

13

.69

2,7

4

32

.47

6

20

.58

8,5

4

31

.60

0

20

.83

4,0

7

2

Ara

ng

kay

u

ton

77

..5

74

5

4.4

80

5

0.3

19

3

8.4

89

7

3.1

00

H

asil

Hut

an B

ukan

Kay

u

66

Wo

od

ch

arco

al

rib

u U

S$

18

.43

9,2

4

9.9

70

,86

8.5

26

,47

5.8

83

,41

12

.17

2,4

4

3

Bah

an P

eny

amak

/Gam

bir

6..

1.2

. T

ann

er/G

amb

ir

ton

rib

u U

S$

11

. 5

33

14

.70

1,6

9

14

.23

1

18

.04

0,7

4

13

.82

0

15

.73

1,4

6

8.9

20

9.6

89

,25

17

.47

8

18

.23

2,1

6

4

Min

yak

Ats

iri

6..

1.3

. A

tsir

i o

ils

ton

rib

u U

S$

5.7

97

55

.96

5,0

7

7.7

48

72

.56

2,3

9

6.8

09

71

.00

3,9

2

6.9

04

66

.40

7,0

0

6.5

63

71

.02

5,7

3

5

Sir

lak

, G

etah

& D

amar

6..

1.4

. V

arn

ish

, G

um

&R

esin

ton

rib

u U

S$

2.4

37

1.5

22

,96

3.2

32

1.8

66

,32

3.1

21

1.5

08

,70

4.9

53

2.0

57

,14

4.1

39

2.1

74

,48

6

Ter

pen

tin

6..

1.5

. T

urp

enti

n

ton

rib

u U

S$

5.5

87

1.3

49

,73

3.6

67

1.6

25

,57

5.5

30

2.5

55

,66

5.4

95

2.2

77

,21

6.7

94

3.3

57

,99

7

Bam

bu

6..

1.6

. B

amb

oo

ton

rib

u U

S$

2.9

13

1.1

60

,12

2.6

21

1.2

31

,51

1.5

78

1.0

67

,65

4.4

63

1.8

85

,93

4.8

47

2.1

05

,04

8

An

yam

an B

amb

u

6..

1.7

. R

atta

n P

lait

ed G

oo

ds

ton

rib

u U

S$

21

.36

8

53

.29

2,6

5

21

.36

8

53

.29

2,6

5

22

.60

9

53

.30

5,8

3

22

.68

2

45

.90

4,0

3

13

.47

3

30

.80

2,4

7

Su

mb

er:

Dir

ekto

rat

Jen

der

al B

ina

Pro

du

ksi

Keh

uta

nan

; w

ww

.dep

hu

t.co

.id

/…..

Ta

bel

4.4

. R

eali

sasi

ek

spo

r k

om

od

ita

s G

ah

aru

ya

ng

la

ng

sun

g d

iam

bil

da

ri h

uta

n p

er J

uli

20

07

No

N

am

a

Ku

ota

(Kg

/s)

Rea

lisa

si

Sis

a k

uo

ta

L

ati

n

Ing

gri

s L

ok

al

1

Aq

uil

aria

fil

aria

A

gar

wo

od

G

ahar

u I

rian

7

60

00

17

,80

0

58

20

0

2

Aq

uil

aria

fil

aria

A

gar

wo

od

G

ahar

u I

rian

0

1

37

,56

5

3

Aq

uil

aria

fil

aria

...

(sto

ck)

Ag

arw

oo

d

Gah

aru

Iri

an

0

20

3,4

41

4

Aq

uil

aria

mal

acen

sis

Ag

arw

oo

d

Gah

aru

(G

ub

al &

Kem

end

ang

an)

30

00

0

9,0

14

20

98

6

5

Aq

uil

aria

mal

acen

sis

Ag

arw

oo

d

Gah

aru

0

4

0,0

00

6

Aq

uil

aria

mal

acen

sis.

. (s

tock

) A

gar

wo

od

G

ahar

u

0

47

,01

0

7

Gy

rin

op

s sp

p

Ag

arw

oo

d

Gah

aru

0

3

2,5

00

Su

mb

er:

ww

w.d

eph

ut.

go

.id

, ta

ng

gal

26

Sep

tem

ber

20

07

H

asil

Hut

an B

ukan

Kay

u

67

Ta

bel

4.5

. R

eali

sasi

ek

spo

r sa

twa

lia

r je

nis

ma

ma

lia

per

31

Ju

li 2

00

7 y

an

g d

iam

bil

da

ri h

uta

n b

ela

nta

ra (

bu

ka

n p

ena

ng

ka

ran

)

No

N

am

a

Ku

ota

R

eali

sasi

S

isa

ku

ota

L

ati

n

Ing

gri

s L

ok

al

1

Hy

lob

ates

mo

loch

S

ilv

ery

gib

bo

n

Ow

a Ja

wa

0

5

2

Po

ng

o a

bel

li

Su

mat

ran

ora

ng

uta

n

Ora

ng

uta

n s

um

ater

a 0

1

3

Po

ng

o p

yg

mae

us

(blo

od

) O

ran

g u

tan

O

ran

g u

tan

0

4

5

4

Po

ng

o p

yg

mae

us

(fec

es)

Ora

ng

uta

n

Ora

ng

uta

n

0

22

0

5

Po

ng

o p

yg

mae

us

(pla

sm)

Ora

ng

uta

n

Ora

ng

uta

n

0

45

6

Po

ng

o p

yg

mae

us

wu

mb

ii (

imp

or)

O

ran

g u

tan

O

ran

g u

tan

0

4

7

Po

ng

o p

yg

mae

us

Ora

ng

uta

n

Ora

ng

uta

n

0

1

8

Mac

aca

nig

ra (

extr

act

DN

A)

Bla

ck m

acaq

ues

M

on

yet

hit

am s

ula

wes

i 0

3

90

9

Mac

aca

nig

ra (

fece

s)

Bla

ck m

on

key

K

era

hit

am

0

11

30

10

Pte

rop

us

vam

pir

us

Co

mm

on

fly

ing

fo

x

Kal

on

g k

apau

k

90

0

50

85

0

11

Od

ob

enu

s ro

smar

us

Wal

rus

Wal

rus

0

90

12

Cal

losc

iuru

s n

ota

tus

Pla

nta

in s

qu

irel

B

ajin

g k

elap

a 4

05

0

87

0

31

80

13

Cal

losc

iuru

s p

rev

ost

ii

Pro

po

st,

s sq

uir

el

Baj

ing

ber

gar

isp

uti

h

13

5

67

68

14

Cer

vu

s ti

mo

ren

ces

(ho

m)

Dee

r

Ru

sa t

imo

r 5

20

00

13

00

0

39

00

0

15

Dac

tylo

psi

la t

riv

irg

ata

Co

mm

on

st

ipp

ed

po

ssu

m

Baj

ing

ber

gan

tun

g b

erg

aris

1

80

11

2

68

16

Mac

rop

us

gig

antu

s E

aste

rn g

rey

kan

gar

oo

K

ang

uru

0

1

58

5

17

Mac

rop

us

rup

us

Red

kan

gar

oo

K

ang

uru

0

1

85

4

18

Par

ado

xu

rus

her

map

hro

dit

us

Co

mm

on

pal

m C

ivet

L

uw

ak J

awa

18

0

30

15

0

19

Pet

auru

s b

rev

icep

s S

ug

ar g

ild

ers

Tik

us

kel

apa

90

0

49

8

40

2

20

Su

s b

arb

atu

s B

eard

ed

Bab

i li

ar

0

11

21

Su

s sc

rota

W

ild

pig

ce

len

g

0

2

22

Su

s v

erru

cosu

s Ja

van

war

ty p

ig

Bab

i k

uti

l 0

2

0

23

Viv

eric

ula

mal

acce

nsi

s S

mal

l in

dia

n c

ivet

M

usa

ng

ras

e 1

13

41

72

24

Viv

erra

tan

gal

un

ga

Mal

ayan

civ

et

Ten

gg

alu

ng

mal

aya

90

28

62

Su

mb

er:

ww

w.d

eph

ut.

go

.id

, ta

ng

gal

26

Sep

tem

ber

20

07

Hasil Hutan Bukan Kayu 68

4.5. Pustaka

Hamzirwam (2007). Industri Mebel, jurus baru kuasai pasar Global. Kompas, 23 Februari 2007.

PP 21

Harian Kompas edisi 27 April 2006.Tanaman-tanaman Obat di Kalimantan Terancam Hilang.

Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan. Badan

Standarisasi Nasional .

Sumadiwangsa. S dan D. Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001).Konsepsi Strategi

Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. www.dephut.go.id.

diakses tgl 12 Desember 2006

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004). Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu

Sepuluh Tahun Terakhir ;www.dephut.co.id. Diakses tanggal 20 Juni 2007

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004). Total nilai ekport komoditas hasil Hutan

bukan kayu selama 5 tahun terakhir. www.dephut.co.id. Diakses tanggal 20 Juni

2007

Departemen Kehutanan (2007). Realisasi ekspor komoditas Gaharu yang langsung diambil dari

hutan per Juli 2007. www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007

Realisasi ekspor satwa liar jenis mamalia per 31 Juli 2007 yang diambil dari hutan belantara

(bukan penangkaran) . www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007

Hasil Hutan Bukan Kayu 69

BAB 5

POLA PRODUKSI, SISTEM PASAR DAN

KELEMBAGAAN PEMASARAN

5.1. Pendahuluan

Tiga isu yang sangat mendasar dalam komoditas hasil hutan bukan kayu adalah potensinya

yang belum dapat diketahui dengan pasti, teknologi pengolahan yang sederhana, dan

kelembagaan pemasaran yang beragam atau lebih bersifat informal. Potensi hasil hutan bukan

kayu yang ada saat ini masih terbatas kepada asumsi-asumsi yang diperoleh dari kegiatan

survey pendahuluan, informasi dari masyarakat setempat. Inventarisasi yang intensif seperti

layaknya dilakukan terhadap komoditas hasil hutan kayu belum dilaksanakan. Hal ini

dikarenakan sifat komoditas hasil hutan bukan kayu sendiri yang beragam, tersebar tidak

merata, atau hanya terdapat pada daerah-daerah tertentu dengan intensitas atau potensi yang

rendah.

Teknologi pengolahan komoditas hasil hutan bukan kayu juga sangat beragam, teknologi

yang digunakan di daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini berkenaan dengan sifat

komoditas hasil hutan bukan kayu yang kebanyakan dimanfaatkan oleh penduduk lokal,

terutama untuk keperluan sehari-hari, sehingga cara pengolahan, teknik pengolahan dan tujuan

pengolahannya sangat tergantung kepada kepentingan dan teknologi yang dimiliki oleh

masyarakat tersebut.Proses perencanaan produksi, pengawasan mutu, dan perlakuan paska

produksi, pada kebanyakan juga belum banyak dilakukan oleh pelaku usaha komoditas ini.

Pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu pada beberapa daerah masih menggunakan

sistem barter, penduduk lokal hanya bertugas sebagai pemetik atau pengumpul, sehingga harga

mutlak ditentukan oleh para pembeli atau tengkulak. Penjualan komoditas hasil hutan bukan

kayu juga kebanyakan hanya di pasar-pasar tradisional, sehingga kurang mendapat perhatian

pelaku usaha lainnya.

Pokok bahasan kelima ini, akan membahas beberapa kasus tentang pemasaran atau tata

niaga perdagangan komoditas hasil hutan bukan kayu yang belum memiliki kelembagaan yang

jelas. Pokok bahasan ini tidak berlaku untuk beberapa produk yang telah terbentuk asosiasinya,

seperti Rotan dan bebeapa produk sejenisnya.

Diharapkan setelah menyelesaikan pokok bahasan bab kelima ini mahasiswa mampu

untuk:

Mengambarkan rantai pemasaran berbagai komoditas hasil hutan yang telah memiliki

organisasi atau kelembagaan pemasaran yang ada.

Mengambarkan rantai pemasaran produk HHBK yang belum memiliki kelembagaan.

Membuat kajian rantai pemasaran alternatif, khusunya untuk komoditas HHBK yang

memerlukan teknologi pengolahan yang minimal.

5.2. Pola Produksi

Salah satu karakterisik yang khas dari komoditashasil hutan bukan kayu adalah bahwa

komoditas tersebut dipanen langsung dari hutan alam, kebun tradisional, atau hutan adat dari

masyarakat adat, bukan dari areal budi daya. Karakteristik berikutnya adalah komoditas ini

Hasil Hutan Bukan Kayu 70

dipanen dengan tujuan utama untuk di konsumsi, dan apabila hasil panen melebihi yang

dikonsumsi, baru dijual. Komoditas hasil hutan bukan kayu ini pada kebanyakan hanya dijual

pada pasar lokal, dengan sedikit pengolahan atau bahkan tanpa sentuhan teknologi dan

pengolahan yang minimal. Karekteristik penting lainnya adalah fakta dimasyarakat bahwa

aktivitas pemanenan atau pemunggutan komoditas hasil hutan hutan bukan kayu tersebut

hanyalah pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan karena, sebagain masyarakat berpendapat

bahwa komoditas hasil hutan bukan kayu tidak dapat dijadikan sebagai pekerjaan utama atau

sebagai sumber penghasilan utama pendapatan.

Masyarakat memerlukan dana yang cepat atau cash, dan caranya adalah menjual komoditas

hasil hutan bukan kayu pada pasar lokal atau para pedangan pengumpul yang mengunjungi

mereka. Karenanya komoditas tersebut kebanyakan memiliki nilai jual yang sangat rendah, dan

bahkan terkadang hal ini yang memungkinkan terjadinya perdangangan barter, baik sesama

petani maupun petani dengan pendagang pengumpul. Khusus perdagangan sistem barter, khusus

di Papua atau Indonesia pada umumnya, hanya ditemukan pada daerah-daerah yang masih

terisolir, seperti pengunungan dan kepulauan terpencil yang memeiliki akses dan frekwensi

interaksi dengan dunia luar yang minim.

Hal ini sangat berbeda dengan komoditas hasil hutan bukan kayu, seperti kayu misalnya,

yang memilki prosedur yang baku yaitu bagaimana bahan baku kayu tersebut harus diolah dan

dijaga kualitasnya. Perlakuan-perlakuan awal setelah penebangan telah dibuat dalam suatu

metode kerja yang telah dibakukan, baik oleh perusahaan dan juga oleh pemerintah. Walaupun

harus berinvestas pada daerah-daerah terpencil atau pegunugan dengan sarana yang minimal,

komoditas hasil hutan kayu masih mampu menarik investor untuk berinvestasi. Karena

komoditas kayu menjanjikan keuntungan yang besar dan modal investasi dapat kembali dalam

waktu relatif singkat. Hal ini berbalik dengan komoditas hasil hutan bukan kayu, yang belum

menarik investor besar untuk berinvestasi.

Produksi komoditas hasil hutan bukan kayu kebanyakan dipanen dari hutan alam, dan

hanya sebagian kecil yang merupakan hasil budi daya atau penangkaran. Apabila ada usaha

budi daya, usaha tersebut juga kebanyakan berlokasi dikawasan hutan atau areal perkebunan

dari masyarakat setempat yang berskala kecil.Kawasan hutan alam tersebut mengacu kepada

kawasan hutan yang dimiliki oleh masyarakat lokal setempat, atau lebih dikenal dengan hutan

masyarakat adat. Karena bersifat hutan masyarakat adat, maka kepemilikan hutan tersebut

adalah komunal, yaitu sebagai milik bersama. Potensi hutan baik kayu maupun hasil bukan

kayu yang di dalamnya adalah milik bersama dan dapat dipanen, diolah maupun dijual dengan

persetujuan bersama pula. Komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kayu, maka

masyarakat lokal memiliki aturan-aturan yang tidak tertulis, baku dan dipatuhi oleh seluruh

anggota masyarakat. Aturan-aturan tersebut yang kemudian kita terjemahkan dengan kearifan

atau pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Sedangkan untuk komoditas hasil hutan bukan

kayu, masyarakat biasanya telah membagi daerah-daerah tertentu untuk beberapa marga atau

famili yang ada dalam masyarakat adat tersebut.

Pola rantai produksi komoditas hasil hutan bukan kayu pada kebanyakan adalah pola yang

tersembunyi atau informal. Beberapa pola rantai produksi yang terjadi adalah:

Petani barter dengan petani lainnya. Pada rantai produksi ini petani melakukan barter

dengan penduduk lainnya yang masih berada dalam lingkungannya, karena adanya

kesamaan perasaan dan sosila budaya sesama anggota masyarakat adat dan sumber daya

hutan masyarakat adat yang mereka miliki bersama. Barter komoditas hasil hutan bukan

kayu dapat dilakukan baik sesama komoditas, maupun produk lain yang diinginkannya

sesuai dengan kesepakatan. Jenis-jenis komoditas yang dibarter sesama anggota

Hasil Hutan Bukan Kayu 71

masyarakat adat ini kebanyakan adalah jenis-jenis komoditas untuk tujuan sehari-hari,

seperti bahan makanan, minuman, hewan hasil buruan dan beberapa komoditas lainnya.

Khusus untuk bahan makanan, seperti hasil tokok (ekstrak) sagu, masyarakat melakukan

barternya dalam bentuk sagu mentah dalam ukuran tumang (bahasa lokal). Satu tumang

kira-kira beratnya sekitar 20-30 kg, tergantung besar kecilnya ukuran tumang tersebut.

Salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu, yaitu hasil ekstrak sagu (Tumang) di daerah

Papua dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Foto: Istalaksana (2005)

Gambar 5.1. Tumang sagu yang berasal dari daerah Sentani, Jayapura, Papua.

Petani menjual komoditasnya langsung ke pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul

pada saat saat tertentu, musim panen atau perioda tertentu, datang kemasyarakat untuk

membeli komoditas hasil hutan tertentu yang terdapat pada daerah tersebut. Pada saat-saat

tertentu juga dimungkinkan terjadinya barter, yaitu menukar komoditas hasil hutanbukan

kayu dengan pakaian, perkakas rumah tangga atau barang lainnya sesuai dengan

kesepakatan.

Petani menjual komoditasnya langsung ke konsumen ke pasar lokal. Komoditas hasil hutan

bukan kayu tertentu kebanyakan dijual langsung ke pasar lokal (tradisional), baik yang

masih merupakan bahan mentah maupun komoditas yang telah diolah menjadi bahan

setengah jadi. Komoditas yang dijual masih mentah contohnya seperti sayur-sayuran dari

hutan (daun pakis), jamur kayu, buah merah, maupun daging hewan hasil buruan.

Sedangkan yang telah diolah menjadi bahan setengah jadi, seperti sari buah merah, minyak

lawang, biji kolang kaling dan sebagainya.

Petani menjual komoditasnya ke pedagang besar. Komoditas hasil hutan bukan kayu yang

dijual langsung ke pedagang besar, biasanya komoditas yang memiliki nilai jual yang

tinggi, seperti Gaharu. Pola ini terjadi hanya pada beberapa masyarakat adat yang telah

memiliki akses berdomisili didekat daerah perkotaan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 72

5.3. Rantai Pemasaran (Maket Chain)

Menurut Lecup dkk (1998) rantai pemasaran (Market chain) adalah urutan tahapan

(sequence of stages) yang mana suatu komoditas dijualdan dibeli. Analisis rantai pemasaran

mengikuti pergerakan komoditas dari petani/pemetik/pemanen (harvestesr), pengolah

(processors), pedagang (traders) sampai kepada konsumen akhir.

Rantai pemasaran atau pergerakan produk dari produsen sampai kepada konsumen sebagai

pengguna akhir produk dapat digambarkan dengan berbagai cara. Khusus untuk komoditas hasil

hutan bukan kayu, metode rantai pemasaran dapat menggunakan metode yang dikembangkan

oleh international network for bamboo and rotan (INBAR) seperti yang dikutip oleh Belcher

(1998). Metode ini dikenal dengan istilah Production to-Consumption System (PCS).

Pengertian dari PCS adalah keseluruhan faktor, material, aktivitas dan lembaga atau

institusi yang terlibat dalam penanaman dan pemanenan bahan baku, pengolahan bahan baku

menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi dan pemasaran produk akhir dari hasil hutan

bukan kayu. Sitim PCS meliputi teknologi yang dipergunakan untuk menanam dan mengolah

bahan baku, dan sekaligus lingkungan institusi, sosial dan ekonomi di mana proses-proses

tersebut berlangsung. Pengalaman PCS pada komoditas bambo dan rotan, maka diharapkan

metode ini juga dapat diterapkan pada komoditas hasil hutan bukan kayu selain bambu dan

rotan.

Belcher (1998) mengemukakan bahwa PCS memiliki tiga dimensi penyusun, yaitu dimensi

vertikal (verticaldimension), horizontal (horizontal dimension) dan intensitas (dimension

ofintensity). Penjelasan dari masing-masing daimensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Dimensi vertikal adalah alur atau bagan (flow chart) yang mengambarkan bagaimana alur

bahan baku itu berasal dari produk sistem biologi, melalui berbagai jenis transaksi dan

proses pengolahan, yang pada akhirnya produk tersebut sampai konsumen.

Dimensi horizontal dapat didefinisikan sebagai peranserta, keterlibatan dan interaksi

sekumpulan anggota masyarakat, koperasi maupun lembaga berbadan hukum (firms)

lainnya dalam rantai pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu.

Dimensi intensitas yang diartikan sebagai jumlah kapital dan tenaga kerja yang dicurahkan

untuk suatu aktivitas pada kegiatan tertentu.

Contoh bagan analisis PCS untuk rantai pemasaran komoditas rotan, khusunya dimensi

vertikal, diberikan oleh Belcher (1998) seperti dilukiskan pada Gambar 5.2.Gambar tersebut

mengambarkan rantai pemasaran komoditas rotan, dari masing-masing pelaku pasar. Masing-

masing pelaku pasar melakukan perlakuan aktifitas ekonomi, pengolahan atau sejenisnya, untuk

meningkatkan nilai jual produknya. Dari rantai tersebut terlihat bahwa produk yang dihasilkan

oleh suatu pelaku pasar, akan merupakan bahan baku produk pelaku pasar berikutnya. Rantai ini

akan berjalan dan berakhir pada konsumen yang membeli produk tersebut. Informasi tambahan

lainnya, seperti harga jual, keuntungan dari masing-masing pelaku rantai pemasaran

berdasarkan konstribusinya terhadap pertambahan nilai produk (added value) dapat

ditambahkan. Sehingga analisis keuntungan dari masing-masing pelaku pasar, dan harga jual

produk pada masing-masing level dapat ditentukan dan dihitung. Dimensi vertikal ini

memberikan gambaran tentang keterkaitan dan ketercocokan (link and macth), serta

ketergantungan (dependency) pelaku pasar yang satu dengan yang lainnya dalam menciptakan

suatu produk akhir.

Hasil Hutan Bukan Kayu 73

Sumber :Becher (1998)

Gambar 5.2. Diagram rantaipemasaranrotan dengan metode PCS.

Dimensi horizontal pada pendekatan PCS menekankan adanya hubungan informal dan

berbagi (sharing) beberapa informasi tentang jenis-jenis aktifitas para pelaku kegiatan pada

semua lapisan manajemen. Interaksi, pendampingan, konsolidasi dan penerapan beberapa

praktek menejemen lainnya sangat penting dilakukan pada seluruhbagian dari pelaku pasar

tersebut. Konsolidasi ini memiliki tujuan untuk mencapai sinergi antar bagian yang pada

akhirnya akan tercipta hubungan yang harmonis guna meningkatkan produktifitas dan daya

saing produk.

Dimensi intensitas memahas tentang kuantitas dan kualitas input pada setiap pelaku rantai

pasar. Blacher (1998) menyatakan bahwa ilmu ekonomi membedakan dua aspek hubungan

antara modal (capital) dan tenaga kerja (labor). Dua aspek tersebut pada perkembangan

selanjutnya akan menghasilkan pembangunan/aktivitas perekonomianyang bersifat padat modal

(capital intensity) dan padat karya (labor intensity). Pada perkembangan selanjutnya, masing-

masing aktivitasakan menghasilkan daya saing atau keunggulan yang berbeda. Industri yang

bersifat padat modal akan menghasilkan keunggulan kualitatif. Dilain pihak, industri yang

bersifat padat karya akan menghasilkan keunggulan komparatif, yang mana sebagian besar

dihasilkan dari industri-industri tersebut yang berbasis sumber daya alam (natural based

resourses), investasi yang tidak begitu mahal (low capital investment), dan tenaga kerja kurang

ahli (unskilled labor). Sedangan industri yang memiliki keunggulan kualitatif dicirikan oleh

tingginya modal investasi (highly capital investment), tenaga kerja terdidik/ahli (skilled labor)

dan menggunakan tenknologi mutakhir (fully hightechnology).

Hasil Hutan Bukan Kayu 74

Industri atau aktivitas ekonomi yang berbasiskan komoditas hasil hutan bukan kayu akan

menghasilkan keunggulan komparatif, yaitu menyerap banyak tenaga kerja, memerlukanbahan

baku yang melimpah, tidak memerlukan teknologi pengolahan yang mahal, dan memiliki fungsi

sosial yang berantai. Sehingga dalam aktivitas pengusahaan, pengelolaan dan pemasaran

komoditas hasil hutan bukan kayu, peningkatan kapasitas (capacity building), pemberdayaan

dan penambahan keahlian dalam segala aspek pemasaran dari seluruh level pelaku rantai

pemasaran sangat penting untuk dilakukan.

5.4.Kelembagaan Pemasaran

Kelembagaan pemasaran yang dimaksud dalam pokok bahasan ini adalah wadah-wadah

formal yang terlibat pada produksi, pemasaran, dan perdagangan atau jual beli komoditas hasil

hutan bukan kayu. Wadah formal tersebut meliputi beberapa organisasi, kelompok masyarakat

maupun pelaku usaha lainnya yang tidak memiliki izin atau legalitas. Tetapi lembaga-lembaga

tersebut memiliki kemampuan atau kapabilitas, serta memiliki peran masing-masing dalam

lembaga pemasarantersebut. Aspek kelembagaan yang lainnya adalah belum adanya standar

pengoperasian dan pelayanan (standard operation procedure/SOP), termasuk di dalamnya

adalah jaminan kualitas produk (quality control), tata usaha komoditas atau pendokumentasian

aktivitas, dan perpindahan komoditas dan sebagainya. Hal tersebut sangat bertolak belakang

dengan komoditas kayu, yang mana telah memiliki struktur kelembagaan yang jelas, termasuk

sistem tata usaha kayunya.

Hasil penelitian Madusari (2006), salah mahasiswi jurusan budi daya hutan pada Fakultas

Kehutanan, Universitas Negeri Papua, tentang sistem pemasaran lokal minyak lawang dan kulit

kayu masohi di kabupaten teluk Wondama dan Manokwari menyimpulkan bahwa proses

pemasaran minyak lawang dari produsen ke konsumen melibatkan 3 (tiga) lembaga pemasaran

yaitu pedagang pengumpul lokal (PPL), pedagang penerima (PP) dan pedagang pengecer

(PPR). Pedagang pengumpul lokal ini dibedakan menjadi pedagang pengumpul lokal I (PPL I)

dan PPL II. PPL I berperan dalam menampung minyak lawang dari produsen dan juga bertindak

sebiagai produsen penghasil minyak lawang. Setelah terkumpul, PPL I akan menjual minyak

lawang ke PPL II. Di samping itu PPL II ini juga dapat membeli minyak lawang langsung dari

produsen. PPL II kemudian menjual minyak lawang ke pedagang penerima (PP) di kota

Manokwari. Selanjutnya PP akan menjual produknya ke PPR, yang kemudian akan dilanjutkan

untuk dijual langsung kepada konsumen.

Ketiga lembaga pemasaran minyak lawang tersebut, dalam proses interaksinya

menghasilkan 5 (lima) jaringan pemasaran. Kelima alternatif jaringan pemasaran tersebut oleh

Madusari (2006) diilustrasikan seperti pada Gambar 5.3.

Hasil Hutan Bukan Kayu 75

Keterangan: PPL= pedagang pengolah lokal ; PP= pedagang penerima dan PPR= pedagang

pengecer.

Gambar 5.3. Bagan Alir jaringan pemasaran minyak lawang di kabupaten Teluk Wondama.

Madusari (2006) juga melaporkanlembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kayu

Masohi. Peneliti ini melaporkan bahwa pemasaran ini melibatkan 2 (dua) lembaga yaitu

pedagang pengumpul lokal (PPL), yaitu PPL I dan PPL II, dan pedagang penerima (PP) dengan

3 (tiga) alternatif jaringan pemasaran. Pedagang pengumpul I adalah pedagang dan sekaligus

bertindak sebagai produsen berdomisili di pusat produksi. Sedangkan PPL II berdomisili di

ibukota distrik. Sedangkan pedagang penerima berperan dalam membeli kulit kayu masohi, baik

yang berasal dari PPL I dan PPL II. Jaringan pemasaran yang terbentuk pada komoditas kulit

kayu masohi dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Keterangan : PPL= pedagang pengolah lokal ; PP= pedagang penerima

dan PPR= pedagang pengecer.

Gambar 5.4. Bagan alir jaringan pemasaran kulit kayu masohi di kabupaten Teluk Wondama

Hasil Hutan Bukan Kayu 76

Dari gambar 5.3 dan 5.4 di atas terlihat bahwa jaringan pemasaran komoditas minyak

lawang dan kulit kayu masohi sangat berbeda. Kedua gambar tersebut juga memberikan

gambaran bahwa jaringan pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu ditentukan oleh banyak

faktor, seperti jenis komoditas, tempat asal komoditas (lokasi), sarana transportasi, dan

teknologi/proses pengolahan komoditas serta beberapa faktor lain yang berpengaruh.

Kelembagaan pemasaran untuk komoditas Repong damar di daerah pesisir Krui, provinsi

Lanpung dilaporkan oleh Wijayanto (2002). Seperti dilaporkan oleh peneliti ini, bahwa pada

kampung Krui, komoditas hasil hutan bukan kayu Repong damar telah berperan cukup besar

dalam aspek sosial, ekonomi, dan kemasyarakat dari masyarakat adat setempat. Komoditas ini

adalah warisan dari nenek moyang mereka, dan telah diturunkan ke berbagai generasi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor kenapa komoditas Repong damar berhasil

dipertahankan, dan berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat, yaitu faktor

ekologi, ekonomi-bisnis dan sosial budaya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa secara ekologis

Repong damar tumbuh dan berkembang dengan subur di wilayah adat mereka, dan dapat

bertumpang sari (bersinergy) dengan tanaman produktif penyusun ekosistem lainnya, seperti

durian, duku, manggis, dan beberapa tanaman budi daya lainnya. Secara ekonomi, komoditas

Repong damar dapat memberikan nilai ekonomi yang signifikan kepada setiap anggota

masyarakat, yang mana anggota masyarakat adat terlibat langsung dalam rantai produksi, baik

sebagai petani, pengumpul, atau hanya sebagai pekerja. Hal ini juga ditunjang oleh tidak adanya

tuntutan keahlian khusus untuk menjadi pelaku dalam rantai produksi ini. Sedangkan faktor

sosial dan budaya dapat terlihat dari kemampuan dan keteguhan dari seluruh anggota

masyarakat adat dalam menjaga warisan Repong damar ini untuk tetap berproduksi,

berkembang dan memberikan manfaat kepada mereka secara komunal. Dilaporkan juga bahwa

bila mereka berperan aktif dalam komoditas Repong damar, akan meningkatkan status sosial

mereka.

Rantai pemasaran Repong damar di wilayah adat Krui tersebut dapat digambarkan dalam

bagan, seperti yang disederhanakan pada Gambar 5.5.

Sumber: Wijayanto (2002)

Gambar 5.5 Rantai pemasaran komoditas Repong damar di wilayah Krui, provinsi lampung.

Dari Gambar 5.5 di atas terlihat bahwa kelembagaan informal dari komoditas Repong

damar di wilayah Krui, provinsi Lampung dimulai dari petani pemilik damar tersebut. Petani

menjual Repong damarnya kepada pedagang pengumpul yang berada di tingkat desa.

Pedangang pengumpul di desa ini, dapat berperan sebagai pedagang pengumpul saja, atau juga

dapat berperan sebagai petani. Selanjutnya komoditas Repong damar dijual ke pedagang

Petani Pedagang pengumpul di tingkat desa Pedagang besar

Industri/Eksportir

Hasil Hutan Bukan Kayu 77

pengumpul yang beromset lebih besar, yaitu pedagang besar. Dari pedagang besar, komoditas

ini dapat dijual langsung ke industri atau ke pedagang lain, yaitu ekportir.

5.5. Produksi, Permintaan, dan Perdagangan

Keberagaman produk hasil hutan bukan kayu dan produk jasa dari hutan membuat

beberapa pemerhati komoditas hasil hutan bukan kayu kesulitan untuk melakukan pengumpulan

data, mendefinisikan dan menghubungkan antara potensi dan pemanfaatannya, FAO

(1998).Permintaan konsumen akan berbagai produk dari hasil hutan bukan kayu tumbuh sangat

pesat pada akhir-akhir ini, tetapi sangat sulit untuk memberikan gambaran yang pasti karena

ketidaktersediaan data, dan pada beberapa kasus pasar komoditas ini adalah pasar yang bersifat

informal (informalised markets), FAO (1998). Tetapi perdagangan komoditas ini tumbuh sangat

pesat, baik pada pasar lokal (domestic markets) maupun internasional (international markets).

Khusus untuk wilayah Asia pasifik, beberapa komditas hasil hutan bukan kayu yang

menjadi andalannya seperti tanaman obat-obatan, minyak atsiri, beberapa jamur dan

sebagainya. Jenis-jenis kmoditas, volume perdagangan, dan nilai perdagangan dari ekspor

komoditas HHBK utama dari Asia pasifik dapat diringkas pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Nilai ekspor komoditas HHBK utama dari daerah Asia pasifik 1996, FAO

(1998).

Jenis komoditas HHB K 1996 nilai

ekspor

(US $

1.000)

Eksportir utama

(US $ 1.000)

Kutu lak, gum alam dan resin

(lac, natural gums, resins)

46,428 Indonesia 23,272

Minyak Atsiri (essential oils) 164,506 China 88,868

Karet alam, balata, getah perca, guayule, chicle

dan beberapa gum alam (natural rubber, balat,

gutta-percha, guayule, chicle and similar

natural gums)

3,924,053 Indonesia 1,920,055

Plaiting and similar products of plaiting

materials

265,476 China 224,132

Madu (honey) 143,667 China 110,665

Edible products of animal origin 66,613 Singapura 28,458

Ambergis, Castoreum, civet and musk etc 8,086 China 4,172

Mushrooms (fresh or chilled) 151,860 China 118,276

Mushroom and truffles (dried) 181,514 Chin 147,827

Walnuts 40,876 China 40,297

Chesnuts 178,741 Rep.

Korea

109,022

Ginseng roots 125,183 Rep.

Korea

69,576

Bambu (Bamboos) 30,719 China 26,414

Rotan (rattans) 57,552 Singapura 35,388

Sources: FAO-extracted from UN COMTRADE Database in FAO (1998)

Hasil Hutan Bukan Kayu 78

Tabel 5.1 menjelaskan bahwa karena jaringan pemasaran dan sistem pasar yang bersifat

infromal, maka untuk mendapatkan informasi dan data yang akuran tentang produksi, ekspor

dan permintaan komoditas HHBK sulit untuk diprediksi atau diperkirakan. Karena sifat-sifat

tersebut, negara seperti Singapura, yang secara fisik tidak memiliki kawasan hutan produksi

alam tropis memiliki kemapuan untuk melakukan ekspor komoditas HHBK, seperti rotan.

Bahkan menurut beberapa sumber, beberapa produk olahan rotan seperti anyam-anyaman dan

diversifikasinya telah dipatenkan oleh beberapa perusahaan di Singapura.

Beberapa produk perkayuan seperti mebel yang berbahan baku kayu juga telah dipatenkan

oleh negara lain. Headline majalah tropical forest update (TFU) dari ITTO menyebutkan buatan

Italia tapi tumbuh di Indonesia (Made in Italy, growing in the tropic). Kenyataan ini

menekankan bahwa beberapa komoditas hasil hutan dari negara-negara berkembang banyak

yang diekspor ke negara maju dengan berbagai cara, baik melalui prodesur yang resmi (legal)

maupun tidak resmi (illegal), akan berganti label atau diputihkan untuk dapat diterima dinegara

maju. Disisi lain, konsumen negara maju menghendaki bahwa produk-produk hasil hutan,

termasuk HHBK, yang ditawarkan ke mereka, wajib disertakan sertifikasi yang menyatakan

bahwa produk tersebut diolah dengan teknologi yang ramah lingkungan dan diproduksi dari

hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Kesenjangan informasi ini yang kedepan harus

dipertimbangankan masak-masak oleh perlaku industry dan pemerintah.

Kendala-kendala tersebut di atas yang menyulitkan komoditas HHBK asal Indonesia

mengalami kesulitan untuk menembus pasar internasional, khusunya negara maju. Pemanenan,

pengolahan dan standarisasi kualitas produk HHBK yang diproduksi oleh Indonesia masih

belum memperhatikan aturan-aturan tersebut.

5.6. Pustaka

Belcher, B.M (1998). A production to-Consumption Systems. Approach: Lesson from the

Bamboo and Rattan Sectors in Asia, in Income from the Forest. Method for the

development and conservation of forest products for local communities. Edited by

Eva Wollenberg and Andrew Ingles. Center for International Forestry Research,

Bogor – Indonesia, pp 57-84.

Lecup.I; K. Nicholson; H. Purwandono and S. Karki (1998). Methods for Assessing the

Feasibility Study of Sustainable Non-timber forest Products-based Enterprisesin

Income from the Forest. Method for the development and conservation of forest

products for local communities. Edited by Eva Wollenberg and Andrew Ingles.

Center for International Forestry Research, Bogor – Indonesia, pp 85-106.

Madusari, S (2006). Sistem Pemasaran Lokal Minyak Lawang (Cinnamomumcullilawane) dan

Kulit Kayu masohi (Cryptocaria massoia). Skripsi sarjana kehutanan pada Jurusan

Budi daya huta Fakultas Kehutaan Universitas Negeri Papua Manokwari (tidak

diterbitkan).

Wijayanto, N. 2002. Analisis strategis sistem pengelolaan Damar repong di pesisir Krui,

Lampung. Jurnal Manejemen Hutan Tropika. Vol.7 (1) : 39-49.

Hasil Hutan Bukan Kayu 79

BAB 6

PERANGKAT PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

6.1. Pendahuluan

Pokok bahasan yang ke-enam ini membahas tentang berbagai produk perundang-undangan

dan kebijakan yang memiliki keterkaitan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu. Produk

perundangan dan kebijakan tersebut beragam, dari produk hukum pemerintah pusat, yaitu

undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan atau peraturan menteri sampai kepada

beberapa produk perundangan pemerintah daerah, yaitu peraturan daerah. Peraturan daerah

(PERDA) dibuat dengan tujuan untuk mengatur segala aspek atau hal yang berkaitan langsung

maupun tidak langsung dengan komoditas hasil hutan bukan kayu.

Undang-undang adalah produk hukum tertinggi yang dijadikan acuan dasar untuk produk

hukum di bawahnya, seperti keputusan menteri dan peraturan daerah. Produk perundangan -

undangyang paling berperan langsung dilapangan adalah yang bersifat petunjuk teknis atau

pelaksanaan. Kedua produk hukum tersebut merupakan petunjuk operasional dilapangan yang

akan membimbing dan mengarahkan para pelaku usaha, petugas dan seluruh pihak yang

berkepentingan dengan hasil hutan bukan kayu. Petunjuk pelaksanaan yang lengkap dan jelas

akan membuat seluruh pelaku komoditas hasil hutan bukan kayu dapat berperan maksimal

sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang dibebankannya.

Setelah mempelajari pokok bahasan yang ke-enam ini, pembacadiharapkan memiliki

kemampuan untuk:

Melakukan analisis atau telaah undang-undang dan kebijakan hasil hutan bukan kayu yang

ada, apakah seluruh aspek komoditas hasil hutan bukan kayu sudah diatur dalam produk

hukum tersebut?

Melakukan kajian ilmiah terhadapperaturan daerah tentang hasil hutan bukan kayu, apakah

secara substansial memberatkan, memudahkan dan merangsang investasi komoditas

HHBK ini?

Membuat daftar saran perbaikan berdasarkan hasil kajian pada poin di atas.

6.2. Perundang-undangan

Undang-undang republik Indonesia Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentua

Pokok Kehutanan (UUPK), pada pasal-pasalnya, baik pasal dalam ketentuan umum maupun

dalam penjelasannya tidak mencamtumkan pengertian hasil hutan bukan kayu. Demikian juga

pada produk undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pada

pasal-pasalnya, baik dalam ketentuan umum dan penjelasannya tidak mencamtumkan

pengertian hasil hutan bukan kayu. Tetapi kedua produk perundang-undangan tersebut hanya

mencamtumkan pengertian dari hasil hutan.

Uraian atau penjabaran lebih lanjut tentang hasil hutan pada undang-undang no 41 tahun

1999, secara eksplisit mencamtumkan produk-produk hasil hutan bukan kayu, seperti produk

Hasil Hutan Bukan Kayu 80

jasa yang diperoleh dari hutan, hasil nabati dan hewani beserta turunannya dan benda-benda non

hayati yang secara ekologis merupakan kesatuan ekosistem dari hutan.

Latar belakang atau konsideran diterbitkannya kedua produk undang-undang tersebut juga

berbeda. Beberapa substansi pertimbangan-pertimbangan (konsideran) yang menjadi latar

belakang lahirnya UUPK Nomor 5 tahun 1967 adalah bahwa hutan sebagai sumber kekayaan

alam karunia Tuhan Yang Maha Esa harus dilindungi dan dimanfaatkan untuk kemakmuran

rakyat, peraturan-peraturan dalam bidang kehutanan masih merupakan produk pemerinntah

kolonial, maka diperlukan suatu undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok

tentang kehutanan.

Karena dasar pertimbangannya adalah memanfaatkan sumber daya alam (hutan) untuk

menjamin kepentingan rakyat dan negara, maka hasil hutan didefinisikan sebagai hanya benda-

benda hayati yang dihasilkan dari hutan. Dalam UUPK ini kompleksitas pengelolaan hutan,

hak-hak masyarakat lokal dan peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan belum

mendapat perhatian yang semestinya.

Sehingga menurut UUPK ini hutan didefiniskan sebagai suatu lapangan bertumbuhan

pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta

alam lingkungannya dan ditetapkan pemerintah sebagai hutan.

Hal yang sangat berbeda dapat dilihat pada konsideran yang melatarbelakangi lahirnya

Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada undang-undang ini beberapa

substansi konsiderannya antara lain menyebutkan bahwa hutan sebagai karunia dan amanah

Tuhan Yang Maha Esa, wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan serta dijaga kelestariannya, hutan

sebagai penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat harus

dipertahankan dan dijaga daya dukungnya secara lestari dengan akhlak mulia, adil, bijaksana,

profesional dan bertanggung jawab. Substansi konsideran yang lainnya juga menyebutkan

bahwa pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan dunia/global harus menampung

dinamika aspirasi dan peran serta masyrakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat

berdasarkan norma hukum nasional.

Berberda dengan undang-undang sebelumnya, UUPK no 5 tahun 1967, pada UU no 41

tahun 1999 ini hutan dipandang sebagai kesatuan ekosistem penyangga kehidupan, yang di

dalamnya terdapat masyarakat, adat dan budaya, dan seterusnya serta merupakan sumber

kemakmuran rakyat. Kesadaran akan pentingnya interaksi antara kawasan hutan, masyarakat

hutan, tradisi budaya dan adat istiadat sebagai cara tradisional mempertahankan hutan telah

mendapatkan pengakuan yang kuat secara hukum pada undang-undang ini. Sebagai bentuk rasa

syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berlimpahnya potensi hutan Indonesia, maka

undang-undang memberi amanat atau menegaskan bahwahutan sebagai karunia dan amanah

dari Tuhan, harus diurus, dimanfaatkan dan dijaga daya dukungnya, termasuk eksistensinya

untuk kemakmuran rakyat. Bahkan ditegaskan lagi, hutan untuk dikelola dengan akhlak mulia,

adil, bijaksana, profesional dan bertanggung jawab.

Selanjutnya, menurut undang-undang ini, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan

ekosistem, bukan sekedar lapangan bertumbuhan pohon-pohon, berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Definisi ini memberikan

penegasan bahwa kesatuan ekosistem, mengandung makna komponen biotik (benda hidup) dan

abiotik (benda mati). Pengakuan akan peran serta dan eksistensi masyarakat adat diwujudkan

dalam pengakuan hukum tentang adanya hutan adat. Hal ini dimugkinkan karena selama ini

hutan terjaga kelestariannya, salah satunya karena peran serta masyarakat adat. Sehingga hutan

dan masyarakat hutan sebagai suatu ekosistem tidak dapat dipisahkan. Akhirnya pengertian

Hasil Hutan Bukan Kayu 81

hasil hutan menurut undang-undang nomor 41 1999 ini lebih luas dan hasil hutan didefinisikan

sebagai benda-benda hayati, non hayati dan turuannya, serta jasa yang berasal dari hutan.

6.3. Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu

Beberapa jenis kegiatan atau usaha pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan diatur

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pada bab 1 pasal 1 ayat 4

disebutkan bahwa yang dimaksud pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan

kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan

kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk

kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada ayat 5 disebutkan bahwa

pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh

manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak

mengurangi fungsi utamanya. Selanjutnya pada ayat 6 disebutkan bahwa pemanfaatan jasa

lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak

lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Khusus untuk pemanfaatan hasil hutan bukan

kayu, diatur pada bab 1 pasal 1 ayat 8, adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan

hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi

pokoknya.

Peraturan Pemerintah ini juga memuat batasan yang jelas tentang kawasan hutan yang

diperbolehkan dan dilarang untuk dimanfaatkan, sebagaimana termuat pada bab IV pasal 18.

Pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu a) hutan konservasi,

kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; b) hutan lindung; dan

c) hutan produksi. Khusus untuk kawasan konservasi, izin pemanfaatan hutan diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang sesuai, seperti tercantum pada pasa 22 bab yang sama.

Selanjutnya jenis-jenis pemanfaatan hutan pada dua kawasan hutan tersebut, yaitu hutan lindung

dan hutan produksi, secara ringkas dapat dilihat pada bab berikutnya, yaitu pada Tabel 6.1

sampai Tabel 6.10.

Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 ini juga mengatur pemungutan hasil hutan, seperti

yang terdapat pada bab 1 pasal 1 ayat 9.Ayat ini menyebutkan bahwa pemungutan hasil hutan

kayu dan atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan

atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan atau volume tertentu. Khusus untuk

pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung diatur pada bab IV pasal 26 ayat 1.

Berdasarkan ayat ini komoditas hasil hutan bukan kayu yang dimaksud adalah rotan, madu,

getah, buah, jamur atau sarang burung walet. Karena kawasan ini adalah hutan lindung, maka

pada ayat 2, terdapat ketentuan-ketentuan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan

lindung, yaitu a) hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami;

b)tidak merusak lingkungan; dan c) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi

utamanya. Pada ayat 3 dinyatakan bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan

lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Beberapa larangan yang tidak

boleh dilakukan berkenaan dengan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung

yaitu a) memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas

lestarinya, dan b) memungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi undang-undang.

Larangang-larangan tersebut dimuat pada ayat 4 pada bab IV pasal 26.

Pada peraturan pemerintah no 6 tahun 2007 ini, pihak-pihak yang boleh diberikan izin

pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan dijelaskan pada bab IV pasal 67 dari ayat 1

Hasil Hutan Bukan Kayu 82

sampai ayat 10. Pihak-pihak pemegang izin tersebut yang selanjutnya dinamakan dengan subjek

pemegang izin. Secara ringkas menurut pasal 67, subjek pemegang izin tersebut dapat

dikelompokkan menjadi perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMS Indonesia).

Berdasarkan bab 1 pasal 1 ayat 28 yang dimaksud dengan perorangan adalah warga negara

republik Indonesia yang cakap bertindak menurut hukum

6.4. Izin Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu

Setiap badan usaha, baik perorangan maupun kelompok yang ingin memanfaatkan,

mengambil, mengangkut, mengolah dan mendistribusikan komoditas hasil hutan bukan kayu

wajib mendapatkan izin dari pihak yang berwenang. Prosedur dan persyaratan untuk

mendapatkan izin pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan tersebut telah diatur dalam

Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pada bab 1 pasal 1 ayat 10 izin pemanfaatan hutan

adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri atas izin usaha

pemanfaatan kawasan (IUPK), izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), izin usaha

pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dan/atau bukan kayu (IUPHHBK), izin usaha

pemungutanhasil hutan kayu (IUPHHK) dan/atau bukan kayu (IUPHHBK) pada areal hutan

yang telah ditentukan.

Khusus mengenai izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diatur pada bab 1 pasal 1 ayat

17, yaitu izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau

hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-

obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu. Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 ini

juga mengatur tata cara pemberian perizinan, pihak atau pejabat yang berwenang untuk

mengeluarkan izin, subjek pemegang izin dan juga persyaratan administrasi untuk mengajukan

izin, serta volume hasil hutan yang diizinkan dan jangka waktu izin diberikan . Ringkasan dari

jenis-jenis izin pemanfaatan hasil hutan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu telah

dilakukan oleh Dinas kehutanan kabupaten Bulungan, seperti terdapat pada Tabel 6.1 sampai

Tabel 6.10.

Khusus untuk izin pemungutan hasil hutan pada hutan produksi, sebelumnya telah diatur

dalam surat keputusan menteri (Kepmen) kehutanan, Nomor : 6886/Kpts-II/2002, Tentang

Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) Pada Hutan

Produksi.Pada bab 1 pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa izin pemungutan hasil hutan bukan kayu

(IPHH-BK) adalah izin mengambil hasil hutan bukan kayu antara lain rotan, madu, buah-

buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan dan lain sebagainya di dalam hutan produksi.

Khusus untuk komoditas hasil hutan bukan kayu, pada Bab II pasal 2 ayat 1 dinyatakan

bahwa yang dapat mengajukan permohonan izin pemungutan adalah perorangan dan koperasi.

6.5. Pemberian Izin

Pihak-pihak atau pejabat yang berwenang untuk memberikan izin usaha pemanfaatan hasil

hutah bukan kayu (IUPHHBK) dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK)

dinyatakan pada bab IV pasal 63 Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007. Pasal 63 menyatakan

bahwa IUPHHBK pada hutan alam diberikan oleh

a. Bupati/walikota, pada areal hutan alam yang berada dalam wilayah kewenangannya,

dengan tembusan kepada menteri, gubernur dan kepala kesatuan pengelolaan hutan (KPH);

Hasil Hutan Bukan Kayu 83

b. Gubernur, pada areal hutan alam lintas kabupaten/kota yang berada dalam wilayah

kewenangannya, dengan tembusan kepada menteri, bupati/walikota dan kepala KPH;atau

c. Menteri, pada areal hutan alam lintas provinsi dengan tembusan kepada Gubernur,

bupati/walikota dan kepala KPH.

Sedangkan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) berdasarkan pada bab IV

pasal 65 diberikan oleh:

a. Bupati/walikota, pada areal hutan alam atau hutan tanaman yang berada dalam wilayah

kewenangannya, dengan tembusan kepada menteri, gubernur dan kepala KPH ; atau

b. Gubernur, pada areal hutan alam atau hutan tanaman lintas provinsi yang ada dalam

wilayah kewenangannya, dengan tembusan kepada menteri, bupati/walikota dan kepala

KPH.

Berdasarkan Keputusan menteri kehutanan, Nomor : 6886/Kpts-II/2002, Kuota atau jumlah

hasil hutan bukan kayu yang dapat ddipungut dari hutan produksi tersebut juga telah diatur pada

bab IV pasal 7 ayat 2, yaitu IPHHBK diberikan maksimal 20 (dua puluh) ton untuk jangka

waktu selama –lamanya 1 (satu) tahun dan dapat diberikan kembali setelah mengajukan

permohonan yang dilengkapi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Izin

pemungutan IPHHBK dengan kuota tersebut diberikan untuk pemakaian sendiri atau dapat

diperdagangkan, sebagaimana dimuat pada Pasal 7 ayat 2. Sedangkan untuk kuota atau volume

dan lamanya pemberian izin IUPHHBK selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.1 sampai 6.8.

6.6. Pemberian Izin di Daerah Kabupaten/Kota

Proses pemberian izin di tingkat kabupaten/kota, sebagaimana diamanatkan pada pasal 3

ayat 1 di atas, maka bupati atau walikota membuat peraturan daerah yang akan mengatur tata

cara pemberian izin, pemungutan untuk restribusi daerah dan beberapa aspek lainnya. Salah satu

contoh peraturan daerahuntuk izin usaha penumpukan kayu dan hasil hutan adalah peraturan

daerah Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Perda Nomor 8 tahun 2004, tentang

Izin Usaha Penumpukaan Kayu dan Hasil Hutan.Perda ini juga mengatur tata cara pernerbitan

izin usaha dan persyaratannya, kewajian pemegang izin, pembinaan dan pengawasan, larangan,

ketentuan pidana, Tetapi perda ini hanya mengatur izin usaha penumpukan kayu dan hasil

hutan, dan tetunya hasil hutan bukan kayu juga termasuk. Sedangkan izin pemungutan hasil

hutan bukan kayu, mungkin saja, diterbitkan atau diatur dalam peraturan daerah tersendiri.

Selanjutnya, dalam perda tersebut hasil hutan bukan kayu (HHBK) didefinisikan sebagai segala

sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dapat dimanfaatkan dari keberadaan hutan,

seperti rotan, damar, getah-getahn, kulit kayu, arang bambu, kayu bakar dan sebagainya.

Contoh lainnya yang dapat dikemukakan disini adalah ketentuan pemanfaatan hutan yang

telah dibuat oleh Dinas Kehutanan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bulungan, provinsi

Kalimantan Timur, yang mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun

2007.Ketentuan-ketentuan tersebut memuat identifikasi terhadap jenis-jenis komoditas hasil

hutan bukan kayu yang menjadi kewenangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota dengan

mengacu kepada Peraturan pemerintah No 6 tahun 2007.Ringkasan tersebut dibuat untuk

Hasil Hutan Bukan Kayu 84

memudahkan para pelaku (stakeholder) komoditas hasil hutan bukan kayu dalam merencanakan

kegiatan maupun jenis usahanya.

Ringkasan hasil identifikasi dinas kehutanan kabupaten Bulungan tersebut menghasilkan

beberapa izin usaha pemanfaatan hutan dan izin pemungutan hasil hutan, yang secara garis

besarnya dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok izin pemanfaatan

dan pemungutan hasil hutan pada hutan lindung, hutan produksi dan hutan alam, yang

selengkapnya disajikan pada Tabel 6.1 sampai pada Tabel 6.8.

Pada kawasan hutan lindung, terdapat 3 (tiga) jenis usaha perizinan, yaitu izin usaha

pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil hutan

bukan kayu. Seperti pada Tabel 6.1 tentang izin usaha pemanfaatan kawasan, apabila dilihat

dari sunstansi pemegang izinnya, yaitu perorangan dan koperasi, dengan inti usaha budi daya

koomditas HHBK, penangkaran dan rehabilitasi satwa, maka sebagian besar pemberi izin

tersebut adalah bupati atau walikota. Dalam hal ini, kawasan hutan hanya dimanfaatkan sebagai

media atau tempat usaha budi daya tersebut, tentunya dengan tidak merusak, merubah maupun

mengurangi fungsi utamanya.

Tabel 6.1. Identifikasi beberapa jenis perizinan pemanfaatan hasil hutan pada hutan

lindung berdasarkan peraturan pemerintah no 6 tahun 2007.

Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) pada hutan lindung

Pemberi izin : 1. Bupati/walikota (wilayah kewenangan)

2. Gubernur (lintas kabupaten/kota)

3. Menteri Kehutanan (lintas provinsi)

Kegiatan usaha : a. Budi daya tanaman obat

b. Budi daya tanaman hias

c. Budi daya jamur

d. Budi daya lebah

e. Penangkaran satwa liar

f. Rehabilitasi satwa

g. Budi daya hijauan makanan ternak

Jangka waktu : Paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang setelah

evaluasi setiap 1 tahun

Volume/luas : Paling luas 50 Ha setiap izin (maksimum 2 izin per

kabupaten/kota

Kewajiban

pembayaran

: Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

Pemegang izin : Perorangan, koperasi

Keterangan : Diperbolehkan untuk beberapa kegiatan usaha

Jenis-jenis kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan berbagai

aspeknya, berdasarkan Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007, yang diidentifikasi oleh dinas

kehutanan kab Bulungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 85

Tabel 6.2. Ringkasan hasil identifikasi berbagai hal yang berkaitan dengan Izin Usaha

Pemanfaatan Jasa Lingkungan

Pemberi izin : 1 Bupati/walikota (wilayah kewenangan)

2 Gubernur (lintas kabupaten/kota)

3 Menteri Kehutanan (lintas provinsi)

Kegiatan usaha : a. Pemanfaatan jasa aliran air (25 tahun)

b. Pemanfaatan Air (10 tahun, 20% dari debit air)

c. Wisata alam (35 tahun, 10% dari blok pemanfaatan)

d. Perlindungan kenaekaragam hayati (50 tahun)

e. Penyelematan dan perlindungan lingkungan

f. Penyerapan dan penyimpanan karbon (30 tahun)

Jangka waktu : Masing-masing dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap 1

tahun

Kewajiban

pembayaran

: Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD

Keterangan : Pemegang izin pada kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran

air dan pemanfaatanb air pada hutan membayar kompensasi

pada pemerintah.

Tabel di atas menjelaskan bahwa perizinan untuk usaha pemanfaatan jasa lingkungan

dalam hutan lindung dapat diberikan oleh bupati, gubernur maupun menteri kehutanan

tergantung di mana kawasan hutan tersebut berlokasi. Pemanfaatan jasa aliran air mislnya,

kegiatan usaha yang memungkinkan untuk dilakukan seperti wisata arung jeram, ataupun

bentuk wisata air lainnya. Sedangkan kegiatan pemanfaatan air, contohnya adalah pengambilan

air dari mata air oleh berbagai perusahaan air minum dalam kemasan dan beberapa perusahaan

daerah air minum. Sedangkan kegiatan usaha lainnya, seperti penyerapan dan penyimpanan

karbon, masih harus menunggu petunjuk pelaksanaannya, tentang mekanisme, jenis

kompensasi, luas kawasan dan berbagai aspek lainnya.

Perizinam untuk memungut atau memanen beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu

yang berhubungan langsung dengan keberadaan dan aktifitas kehidupan sehari-hari masyarakat

hutan dapat dilihat pada Tabel 6.3 di bawah ini.

Tabel 6.3. Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan Kabupaten Bulungan tentang

berbagai aspek izin pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung.

Pemberi izin : 1 Bupati/walikota (wilayah kewenangan)

2 Gubernur (lintas kabupaten/kota)

Kegiatan usaha : a. Rotan, madu, getah, buah, jamur

b. Sarang burung walet.

Jangka waktu : a. Paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi

setiap 6 bulan

b. Paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi

setiap 1 tahun

Volume/luas : Tidak melebihi kemampuan produksifitas lestarinya

Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), kecuali hutan adat,

Hasil Hutan Bukan Kayu 86

pembayaran hutan rakyat yang dipakai sendiri dan tidak diperdagangkan

Pemegang izin : Masyarakat sekitar hutan

Tabel 6.3 menjelaskan bahwa izin pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung

hanya diberikan kepada masyarakat yang ada atau berdomisili di sekitar kawasan hutan

tersebut. Komoditas yang dapat dipanen adalah beberapa komoditas yang berkaitan dengan

keberlangsungan hidup masyarakat sekitarnya.

Berikut ini adalah beberapa izin pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan pada kawasan

hutan produksi seperti pada Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007. Ringkasan hasil identifikasi

dinas kehutanan Kabupaten Bulungan tentang berbagai hal berkaitan dengan izin usaha

pemanfaatan kawasan pada hutan produksi selengkapnya diringkas pada Tabel 6.4.

Tabel 6.4 menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan produksi hanya diberikan izin

untuk kegiatan yang bersifat bersifat budi daya tanaman-tanaman obat-obatan dan sejenisnya.

Berbeda dengan hutan lindung, di mana diizinkan untuk budi daya hijaun ternak (Tabel 6.1),

pada hutan produksi kegiatan ini tidak diizinkan.

Tabel 6.4. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan

kawasan pada kawasan hutan produksi.

Pemberi izin : 1 Bupati/walikota (wilayah kewenangan)

2 Gubernur (lintas kabupaten/kota)

3 Menteri Kehutanan (lintas provinsi)

4 Menteri kehutanan (areal IUPHHK restorasi ekosistem hutan

alam yang belum mencapai keseimbangan ekosistem)

Kegiatan usaha : a. Budi daya tanaman obat

b. Budi daya tanaman hias

c. Budi daya jamur

d. Budi daya lebah

e. Penangkaran satwa liar

f. Rehabilitasi satwa

g. Budi daya sarang burung walet

Jangka waktu : Paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi

setiap 1 tahun

Volume/luas : Plaing luas 50 Ha setiap izin (maksimum 2 izin per

kabupaten/kota)

Kewajiban

pembayaran

: Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

Pemegang izin : Perorangan, koperasi,

Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan, dengan mengacu

kepada Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 tentang berbagai hal yang berkaitan dengan izin

usaha pemanfaatan jasa lingkungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.5.

Tabel 6.5 menjelaskan bahwa pada intinya berbagai aspek perizinan usaha pemanfaatan

jasa lingkungan pada hutan produksi sama dengan izin pemanfaatan pada hutan lindung (Tabel

6.2).Perbedaan yang sangat menyolok hanya pada pada pejabat pemberi atau penerbit izin. Pada

Hasil Hutan Bukan Kayu 87

hutan produksi, terdapat pengecualian perizinan pada kawasan hutan produksi hasil restorasi

(pemulihan) yang belum mencapai keseimbangan ekosistem.

Tabel 6.5. Ringkasan identifikasi berbagai aspek pemberian izin usaha pemanfaatan jasa

lingkungan pada kawasan hutan produksi.

Pemberi izin : 1 Bupati/walikota (wilayah kewenangan)

2 Gubernur (lintas kabupaten/kota)

3 Menteri Kehutanan (lintas provinsi)

4 Menteri kehutanan (areal IUPHHK restorasi ekosistem hutan

alam yang belum mencapai keseimbangan ekosistem

Kegiatan usaha : a. Pemanfaatan jasa aliran air (25 tahun, 20% debit air

permukaan)

b. Pemanfaatan Air (10 tahun, 20% dari debit air)

c. Wisata alam (35 tahun, 10% dari blok pemanfaatan)

d. Perlindungan keanekaragam hayati (50 tahun)

e. Penyeleamtan dan perlindungan lingkungan

f. Penyerapan dan penyimpanan karbon (30 tahun)

Jangka waktu : Masing-masing dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap 1

tahun

Kewajiban

pembayaran

: Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD

Keterangan : Pemegang izin pada kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran

air dan pemanfaatanb air pada hutan membayar kompensasi

pada pemerintah.

Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 memberikan kepastian skala kegiatan yang lebih

luas tentang usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam dan hutan tanaman.

Berbagai asek tentang izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu tersebut telah diringkas

oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan, yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6 menjelaskan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada

hutan alam lebih dititik beratkan pada kegiatan usaha yang bersifat profesional, yaitu

menggunakan pendekatan analisis studi kelayakan usaha (feasilitystudies). Hal tersebut dapat

dilihat pada beberapa jenis kegiatan seperti penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,

pengamanan dan pemasaran hasil.

Tabel 6.6. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan

hasil hutan bukan kayu pada hutan alam

Pemberi izin : 1. Bupati/walikota (wilayah kewenangan)

2. Gubernur (lintas kabupaten/kota)

3. Menteri Kehutanan (lintas provinsi)

Kegiatan usaha : a. Pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, meliputi kegiatan

pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan dan

pemasaran hasil.

b. Pemanfaatan getah, kulit kayu, buah atau biji, gaharu yang

Hasil Hutan Bukan Kayu 88

meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,

pengamanan dan pemasaran hasil.

Jangka waktu : 10 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap

tahun

Kewajiban

pembayaran

: Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD

Sedangkan ringkasan hasil identifikasi oleh dinak kehutana kabupaten Bulungan untuk izin

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan tanaman disajikan pada Tabel 6.7.

Tabel 6.7. Ringkasan identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan hasil

hutan bukan kayu pada hutan tanaman

Pemberi izin : Tidak diatur dalam PP No 6 tahun 2007

Kegiatan usaha : a. Pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, meliputi kegiatan

pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan dan

pemasaran hasil.

b. Pemanfaatan getah, kulit kayu, buah atau biji, gaharu yang

meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,

pengamanan dan pemasaran hasil.

Jangka waktu : 10 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap

tahun

Kewajiban

pembayaran

: Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD

Tabel 6.7 menyelaskan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada

kawasan hutan tanaman sama dengan pada hutan alam. Khusus pada kawasann hutan tanaman,

pihak yang berwenang memberikan izin usaha pemungutan, tidak diatur pada Peraturan

Pemerintah nomor 6 tahun 2007.

Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan tenang Izin

pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam menurut Peraturan Pemerintah nomor 6

tahun 2007, selengkapnya dapat disajikan pada Tabel 6.8 di bawah ini.

Tabel 6.8. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin pemungutan hasil

hutan bukan kayu pada hutan alam

Pemberi izin : 1. Bupati/walikota (wilayah kewenangan)

2. Gubernur (lintas kabupaten/kota)

Kegiatan usaha : a. Pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun,

gaharu, kulit kayu, tanaman obat dan umbi-umbian.

b. Tumbuhan liar dan satwa liar harus sesuai dengan ketentuan

Jangka waktu : 1 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap 6

bulan

Volume/lua : 20 ton tiap kepala keluarga (KK)

Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), kecuali dari hutan

Hasil Hutan Bukan Kayu 89

pembayaran adat, hutan hak rakyat yang dipakai sendiri dan tidak

diperdagangkan.

Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD

Keterangan : Untuk kebutuhan masyarakat setempat dan dapat

diperdagangkan

Tabel 6.8 di atas tersebut menjelaskan bahwa izin pemungutan komoditas hasil hutan

bukan kayu pada hutan alam diberikan oleh kepala daerah setempat, yaitu bupati, walikota dan

atau gubernur. Tabel tersebut juga menggarisbawahi bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu

tersebut dapat dipergunakan untuk keperluan sendiri atau diperdagangkan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari Tabel 6.1 sampai dengan Tabel 6.8, bahwa izin

pemungutan lebih merupakan wewenang dari pemerintah daerah, sedangkan izin pemanfaatan

adalah kewenangan dari pemerintah pusat, dalam hal ini menteri kehutanan dan pemerintah

daerah, baik gubernur, bupati dan walikota.

6.7. Daftar Pustaka

http://www.bulungan.go.id/v01/pelayanan-publik/perizinan/pemanfaatan-hutan-lindung.html,

diakses pada tanggal 9 Oktober 2007.

Menteri Kehutanan Republik Indonesia (2002). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :

6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan

Hasil Hutan (IPHH) pada Hutan Produksi

Pemerintah Kota Pagar Alam (2004). Peraturan Daerah Kota Pagar Alam No 8 Tahun 2005

tentang Izin Usaha Penumpukan Kayu dan Hasil Hutan

Pemerintah Republik Indonesia (1967). Undang-Undang No 5 tahun 1967 tentang Undang-

undang Pokok Kehutanan.

Pemerintah Republik Indonesia (1999). Undang-undang no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pemerintah Republik Indonesia (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata

Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 90

BAB 7

ROTAN (RATTAN)

7.1. Pendahuluan

Pokok bahasan atau bab yang ketujuh ini mulai membahas produk-produk hasil hutan

bukan kayu yang sangat penting, dominan dan dihasilkan oleh hutan tropis Indonesia.

Komoditas rotan dibahas pertama karena beberapa pertimbangan seperti Indonesia dikenal

sebagai negara penghasil komoditas rotan terbesar didunia, diversifikasi produk yang beragam

dari rotan dan penyebarannya yang merata hampir diwilayah hutan Indonesia.

Kenapa komoditas rotan penting, karena di samping potensinya yang sangat melimpah,

sehingga negara kita disebut sebagai produsen terbesar rotan dunia. Kelebihan lain dari

komoditas rotan adalah diversifikasi produk rotan yang begitu banyak dan rotan hanya tumbuh

di hutan tropis Asia tenggara. Sisi penting lainnya adalah peran serta produk-produk olahan

rotan merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia di luar minyak dan gas bumi, serta

kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja dan peluang berusaha.

Setelah mempelajari pokok bahasan rotan ini, para pembaca diharapkan mampu:

Memahami arti komoditas rotan bagi industri kecil dan kontribusi pendapatan rumah

tangga masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan;

Memahami fungsi ekologi rotan bagi keanekaragaman hayati sumber daya hutan dan

peranya terhadap ekosistem;

Mengidentifikasi penggolongan dan penggunaannya rotan secara umum dan ciri-ciri rotan

yang telah masak tebang;

Menggambarkan pengolahan rotan yang baku dan produk-produk yang dapat dihasilkan

dari rotan beserta bagan pengolahannya.

7.2. Botani Rotan

Rotan (Calamus spp) adalah termasuk tumbuhan liana atau merambat, termasuk dalam

divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotiledone, sub kelas

Lepidocarioodae, dan Family Palmae atau Aracaceae. Rotan adalah tumbuhan yang merambat

dan memiliki batang silindris yang terdiri atas berbagai ruas batang serta memiliki duri yang

menutupi hampir pada semua batang, seperti terlihat pada Gambar 7.1 dan 7.2. Salah satu ciri

khas dari tumbuhan rotan adalah adanya sulur atau fagella yang memungkinkan tumbuhan ini

dapat merambat pada pohon atau tumbuhan berkayu lainnya.

Rotan tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang merambat atau melata di atas tanah,

yang secara umum hanya dijumpai pada kawasan hutan tropis basah, bahkan rotan juga banyak

ditemukan di sekitar pemukiman penduduk, dekat kebun maupun ladang, seperti pada daerah

transmigrasi di kabupaten Manokwari, Gambar 7.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu 91

Foto : Wayudi (2007)

Gambar 7.1. Rumpun rotan di dekat pemukiman/persawahan penduduk di SP V distrik Masni

Kabupaten Manokwaari (kiri) dan Mahasiswa semester VI Jurusan Teknologi Hasil Hutan yang

akan memanen rotan untuk keperluan pratikum HHBK (kanan)

Foto : Wahyudhi (2007)

Gambar 7.2. Duri Rotan dari Jenis Calamus spp yang tumbuh di daerah SP V distrik Masni

Kab. Manokwari.

Rotan adalah salah satu produk andalan hasil hutan bukan kayu Indonesia. Lapis dkk

(2004) menyatakan bahwa rotan adalah pengertian yang dipergunakan untuk mendiskripsikan

berbagai jenis tanaman merambat yang tumbuh secara alami di hutan tropis Asia. Dikemukakan

juga bahwa terdapat sekitar 600 jenis rotan, dan hanya 10% dari jumlah tersebut yang bernilai

secara komersil, dan dari 600 jenis tersebut, setengahnya tumbuh di Indonesia. Sedangkan

Dransfields dan Manokaran (1996) memperkirakan terdapat sekitar 500 species rotan menyebar

diseluruh dunia . Selanjutnya dikemukanan bahwa jenis rotan yang dominan adalah dari jenis

Hasil Hutan Bukan Kayu 92

Calamusspp (370-400 species), diikuti oleh jenis Daemonoropsspp (115 species), jenis

Korthalsia spp (26 species). Tetapi hanya 20% dari jenis tersebut yang memiliki nilai komersiil.

Indonesia sampai dengan tahun 1977 masih memasok sekitar 90% dari kebutuhan dunia

dan selebihnya diperoleh dari Malaysia. Tetapi dewasa ini potensi rotan Indonesia terus

menurun pada potensi kira-kira 75-80%.

Sumber: Wahyudi dan Sineri (2006)

Gambar 7.3. Rotan yang telah masak tebang di hutan Werianggi, Kabupaten Teluk Wondama

Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai strategis baik dari segi

ekonomi dan ekologi. Rotan dapat memberikan pendapatan tambahan bagi penduduk yang

hidup di sekitar hutan, baik sebagai pemetik/pengumpul rotan maupun sebagai pengrajin rotan.

Sedangkan dari segi ekologi, karena memiliki perakaran yang cukup kokoh dan dapat

dibudidayakan oleh masyarakat lokal, maka perlu pembinaan dan partisipasi semua pihak untuk

mendapatkan manfaat ekolohgi dan lingkungan secara keseluruhan.

Pemanfaatan rotan secara tradisional didasarkan pada kenyataanbahwa rotan adalah bahan

baku yang serba guna. Rotan dapat dimanfaatakan untuk membuat berbagai macam produk

kerajinan, dari produk anyaman, perabotan, dan barang turunan lainnya. Beberapa masyarakat

lokal yang tinggal dekat dengan sumber penghasil rotan atau hutan, memanfaatkan rotan untuk

dipergunakan sebagai tali sebagai penganti paku baik untuk membuat rumah, maupun membuat

pagar kebun. Sedangkan untuk penggunaan sebagai pengikat atap dipergunakan untuk atap yang

terbuat dari daun-daunan tumbuhan monokotil, seperti pohon sagu, pandan maupun rumput

alang alang.

Sedangkan pemanfaatan rotan untuk skala industri atau tujuan komersil dapat

dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu :

Industri bahan baku rotan. Industri bahan baku rotan adalah industri yang hanya

mengolah rotan menjadi bahan baku industri rotan. Kegiatan pada industri rotan kelompok

ini terdiri atas memanen, mengumpulkan, membersihkan, mengeringkan dan menguliti.

Sehingga industri ini lebih sering dinamakan dengan industri yang menyiapkan rotan

mentah dan setengah olahan ataupun lebih dikenal dengan nama rotan asalan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 93

Industri kerajinan barang jadi rotan.Industri kerajinan rotan adalah industri yang

mengolah rotan menjadi barang kerajinan rotan. Bahanbakuindustri ini dapat berasal dari

industri bahan baku rotan ataupun memperolehnya langsung dari hutan dalam bentuk rotan

mentahan.Produk-produk kerajian yang terbuat dari rotan seperti keranjang, tikar, mebel,

tangkai sapu, pemukul permadani, tongkat, perangkap ikan, perangkap binatang, tirai dan

tali rotan

Tumbuhan rotan dikatakan siap dipanen apabila mengalami masa yang dinamakan masak

tebang. Kriteria rotan yang masak tebang di antaranya adalah rotan memiliki panjang batang

yang bersih dari pelepah daun sepanjang 15 meter lebih, dengan batang berwarna hijau kotor

atau kuning, seperti yang ditampilkan oleh Gambar 7.3.

Departemen Kehutanan (1994) telah mengklasifikasikan rotan berdasarkan kelas diameter

dan panjang rotan, ke dalam tiga kategori yaitu:

Rotan kecil, adalah rotan yang memilikidiameter (ø) kurang dari 0.5 cm dan memiliki

panjang antara 15 sampai 40 meter

Rotan sedang, adalah rotan yang memiliki diameter (ø) antara 0.5 – 1.9 cm dan memiliki

panjang batang antara 15 - 65 meter

Rotan besar adalah rotan yang memiliki diameter (ø) lebih besar dari 2 cm dengan

panjang batang antara 15 – 40 meter.

Koamessakh (1986) yang dikutip Pagapong (2001) mengelompokan komoditas rotan ke

dalam tiga kelompok besar. Hal ini dilakukan untuk kepentingan perhitungan aspek ekonomi

seperti nilai perdagangan, penentuan harga patokan, perpajakkan maupun pemasaran.

Komoditas rotan ini yang selanjutnya disebut dengan sortimen rotan. Pengelompokan

komoditas rotan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Rotan Bahan Mentah. Rotan mentah adalah rotan bahan baku industri rotan, dan

selanjutnya dibedakan menjadi

Rotan Bulat yaitu rotan yang masih mentah atau batang rotan yang merupakan bahan

baku untuk pembuatan barang dari rotan.

Rotan Asalan adalah rotan yang masih baru dipanen sehingga belum mengalami

perlakukan pembersihan dan pengeringan atau pengawetan,

Rotan Olahan yaitu adalah rotan yang telah mengalami proses pencucian, peruntian

(pengupasan kulit), pengasapan dan pemasakan.

2. Rotan barang setengah jadi. Rotan dalam kelompok ini terdiri atas tiga golongan yaitu :

Rotan bulat kupasan, yaitu rotan hasil proses pengupasan kulit rotan bulat W &S

(Wash and Sulfurish) yang bermutu jelek

Kulit Rotan, adalah hasil pengulitan rotan bulat W & S, lapisan kulit rotan hasil dari

proses pengulitan rotan dengan tebal < 1.3 mm dan lebar 8 mm yang memiliki ukuran

lebar yang konsisten sepanjang lembaran.

Hati rotan, adalah hasil pembentukan hati rotan dengan dimensi yang konsisten

sepanjang lembaran

Hasil Hutan Bukan Kayu 94

3. Rotan Barang jadi. Adalah rotan yang telah dirubah menjadi barang jadi (finalproducts)

seperti tikar rotan, lampit rotan, anaeka keranjang dan mebel rotan serta produk anyaman

rotan

7.3. Pemanenan dan Pengolahan Rotan

Pemanenan rotan dilakukan dengan cara manual yaitu dengan cara menebangatau

memotong langsung rotan di kebun atau hutan rotan. Rotan yang dipanen adalah rotan yang

telah masak tebang, yaitu yang memiliki panjang bebas pelepah, atau pelepah kering/busuk

dengan panjang minimal 15 m. Selanjutnya pangkal batang rotan (yang dekat dengan tanah)

dipotong dengan menggunakan benda tajam ataupun gergaji. Selanjutnya dilakukan

pembersihan pelepah dan duri rotan yang masih menempel sebagian dipelepah dan kemudian

ditarik untuk mengeluarkan seluruh panjang rotan. Rotan yang telah ditebang, kemudian

dikumpulkan ditempat terbuka dan dipotong-potong dengan ukuran panjang sekitar 4 m dan

diikat untuk dikeluarkan dari hutan.

Tahap selanjutnya adalah pembersihan rotan dari kotoran-kotoran pelepah yang masih

menempel, mapun tanah dan pasir ataupun kotoran lainnya yang masih menempel, dan

sekaligus dilakukan penyotiran berdasarkan kelas diameter maupun panjang ruas rotan.

Selanjutnya dilakukan penggorengan, untuk mempermudah dan mempercepat proses

pengeringan rotan serta meningkatkan nilai elastisitas dan keawetan alami rotan. Penggorengan

juga untuk memudahkan proses pengupasan pelepah dan lapisan kutikula, silika atau lilin yang

masih lengket pada batang rotan. Rotan yang telah digoreng kemudian dieringkan diudara

terbuka. Pada kebanyakan pengeringan batang rotan masih menggunakan sinar matahari, yaitu

dengan cara menjemur pada sinar matahari, seperti terlihat pada Gambar 7.4.

Sumber : Fugu (1997)

Gambar 7.4. Pengeringan Rotan Asalan secara sederhana di sentra industri rotan Nabire,

provinsi Papua

Pengeringan rotan tersebut juga berfungsi untuk mencegah penyusutan batang rotan

menjadi keriput setelah dibuat menjadi produk rotan. Lamanya proses pengeringan melalui

penjemuran di bawah sinar matahari langsung tersebut sangat bervariasi, tetapi rata-rata antara

14 - 21 hari, seperti dilaporkan oleh Frank (1995) yang dikutip Fugu (1997). Untuk daerah

Hasil Hutan Bukan Kayu 95

Manokwari pada tingkat kadar air kering udara, bahan baku rotan memiliki kadar air sekitar

10%.

Rotan yang telah dikeringkan dan disortir berdasarkan kelas diameter tersebut, kemudian

siap untuk diolah menjadi produk-produk dari rotan. Fugu (1997) melaporkan bahwa proses

pengolahan rotan yang terdapat di Kota Nabire, provinsi Papua yang memfokuskan produknya

pada pembuatan mebel rotan, dapat dibedakan menjadi dua jenis pengolahan, yaitu pengolahan

primer dan sekunder. Pengolahan primer adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi pencucian,

pembuangan air rotan yang baru dipotong (penurunan kadar air), sortir rotan asalan,

penggorengan, penjemuran (pengeringan), pembersihan, sortir diameter dan pelurusan batang

rotan. Pengolahan sekunder meliputi kegiatan pengukuran, pemotongan ukuran, permbersihan

ruas, penghalusan (pengamplasan), pembengkokan, pembuatan rangka, pengikatan,

penghalusan, pengecatan/vernis, penjemuran dan pemasangan bantal.

Produk-produk indusrtri kerajinan rotan yang berada di kota Nabire, provinsi Papua,

seperti yang dilaporkan oleh Fugu (1997) berupa kursi-kursi biasa/standard untuk konsumsi

rumah tangga, seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 7.5, sedangkan untuk kursi sofa

diperlihatkan oleh Gambar 7.6. Produk-produk lain dari rota yang diproduksi juga meliputi

tempat tidur, rak sudut, meja makan, sofa bulat telur, kursi makan, rak televisi, tempat koran,

box bayi, bufet, dan berbagai jenis sofa lainya.

Sumber : Fugu (1997)

Gambar 7.5. Kursi biasa rotan yang di produksi salah satu pelaku kerajinan rotan di kota Nabire,

provinsi Papua.

Hasil Hutan Bukan Kayu 96

Sumber : Fugu (1997)

Gambar 7. 6. Sepasang Kursi Sofa (jenis deluxe) yang diproduksi oleh salah satu pelaku

kerajinan rotan di Kota Nabire, provinsi Papua.

7.4. Pengujian Kualitas Rotan

Untuk menjamin kualitas bahan baku rotan dan produk-produk rotan, maka diperlukan

pedoman penentukan dan pengujian kualitas bahan baku tersebut. Selanjutnya metode

pengawasan dan pengujian kualitas rotan di Indonesia telah diatur oleh Surat Keputusan

Direktur Jenderal Kehutanan No .204/Kpts/DJ/1980 tanggal 24 November 1980 tentang

peraturan Pengujian Rotan Bulat Indonesia. Peraturan ini mengatur tentang pedoman peraturan

pengujian rotan bulat Indonesia untuk menjamin keseragaman persyaratan dan tata cara

menetapkan kualitas rotan.

Kualitas rotan yang dimaksud pada peraturan ini meliputi panjang batang, diameter batang,

panjang ruas, warna batang, cacat rotan, kesilindrisan batang rotan, elastisitas dan kadar air

rotan. Keseluruhan variabel tersebut nantinyaakan dipergunakan untuk menentukan klasifikasi

mutu rotan.

Variabel-variabel yang dipergunakan untuk penentuan dan pengujian mutu rotan

berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No .204/Kpts/DJ/1980,dapat dilihat

pada beberapa uraikan selanjutnya. Sedangkan mutu rotan dibedakan menjadi dua kelas besar,

yaitu rotan berdiameter besar dan kecil. Uraian selengkapnya diuraikan sebagai berikut:

7.4.1. Rotan Berdiameter Besar

Mutu Utama (P).Memilikiukuran panjang minimal 2,70 meter dan diameter tidak dibatasi,

batang : diluruskan dan keras, warna : cerah merata, dengan cacat-cacat: bercak-bercak

Hasil Hutan Bukan Kayu 97

hitam akibat cendawan blue stain tidak diperkenankan, lubang gerek kecil (pinholes) tidak

diperkenankan dan memiliki mata pecah (Worm holes) pada ruas diperkenankan

maksimum 3buah perbatang.

Mutu Satu (I).Memiliki dimensi ukuranpanjang minimal 2,70 meter dan diameter tidak

dibatasi, batang diluruskan dan keras, warna kurang cerah tetapi merata, cacat bercak –

bercak hitam tidak diperkenankan, lubang gerek kecil (pinholes) tidak diperkenankan,

dengan toleransi mata pecah (worm holes) pada ruas diperkenankan maksimum 10 buah

perbatang.

Mutu Dua (II). Batang rotan dengan ukuran panjang minimal 2,70 meter dan diameter

tidak dibatasi, batang sedikit bengkok dan kurang keras, warna tidak cerah dan tidak

merata, cacat bercak-bercak hitam lubang gerek kecil (pinholes) tidak diperkenankan asal

tidak patah waktu dibengkokkan.

7.4.2. Rotan Berdiameter Kecil

Mutu Utama (P). Bahan baku rotan yang memilikiukuran panjang minimal 3,25 meter dan

diameter minimum 11 milimeter, batang keras/elastis, panjang ruas minimum 25 cm,

perbedaan antara tebal (diameter) ruas dan pangkal dan ujung sepanjang 3 meter,

maksimum 1,5 milimeter, warna cerah merata seluruh batang dan bebas dari cacat-cacat

bintik-bintik hitam.

Mutu Satu (I). Rotan dengan ukuran ukuran panjang minimal 3,25 meter dan diameter

minimum 11 milimeter, batang setengah keras, panjang ruas diperkenankan kurang dari 25

cm, tebal ruas tidak dipersyaratkan, warna kurang cerah dan tidak merata dan

diperkenankan adanya cacat bintik hitam.

Mutu Dua (II). Rotan yang memiliki ukuran panjang minimal 3,25 meter dan diameter

tidak disyaratkan, kekerasan batang tidak dipersyaratkan, panjang dan tebal ruas tidak

dipersyaratkan, warna tidak dipersyaratkan, cacat bintik - bintik hitam diperkenankan, asal

tidak patah waktu dibengkokkan.

7.5. Beberapa Catatan Penting tentang Perkembangan Komoditas Rotan dan Industri

Rotan

Menurut Asia Facific Forest Industries (1989) komoditas rotan adalah salah satu produk

andalan hasil hutan bukan kayu Indonesia, karena 80-90% pasokan rotan dunia dipasok dari

Indonesia, terutama yang berasal dari Pulau Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi. Rotan tumbuh

secara alami pada hutan alam dengan luas 9 juta hektar, dan diperkirakan sampai dengan tahun

1984, diperkirakan terdapat sekitar 13 000 ha rotan yang dibudidayakan. Lebih lanjut diuraikan

bahwa Indonesia, mampu memproduksi 600 000 ton rotan segar per tahun, dan hanya 200 000

ton yang dapat diolah setiap tahun, yang diperkirakan memberikan nilai jual sebesar Rp. 1.3

trilyun (US $ 1.3 Billion). Kelebihan potensi rotan segar tersebut diekspor. Masih menurut

sumber yang sama, sampai dengan tahun 1987, ekspor rotan segar (rotan mentah/unprocessed

rattan) Indonesia telah mencapai Rp 210 miliar (US $ 210 milion), dan nilai tersebut naik

menjadi Rp 3030 miliar (US $ 303 million) pada tahun 1988.

Hasil Hutan Bukan Kayu 98

Pada tahun 1979, menteri perdagangan melarang ekspor rotan segar atau rotan mentah dan

juga pada tahun 1986, disyaratkan bahwa rotan yang akan diekspor harus yang sudah diolah

(dibersihkan/fine polishing) atau yang sudah dipersiapkan menjadi komponen mebel rotan.

Dengan kebijakan tersebut memacu tumbuhnya industri primer dan industri sekunder rotan,

terutama pada industri permebelan rotan. Dengan bantuan teknis dan training dari pemerintah,

pada awal 1989 telah berdiri 100 industri rotan dan 150 industri kerajinan tangan rotan. pada

bulan September 1989, dilaporkan telah terdapat 400 industri rotan di Indonesia, yang

seluruhnya adalah industri kecil-menegah dengan nilai asset sekitar Rp. 500 juta - 4 Miliar

(US$0.5-4 Million). Diperkirakan total nilai ekspor yang dapat disumbangkan bernilai Rp. 150

Miliar (US $ 150 million). Industri rotan ini memperkejakan sekitar 200 000 tenaga kerja.

FAO (1998) melaporkan bahwa Indonesia adalah negara pengekspor komoditas rotan

terbesar didunia, yang secara komersial dikumpulkan dari areal seluas 9,7 juta hektar yang

berasal dari hutan alam, lebih dari 300,000 hektar areal tanaman rotan setiap tahun. Indonesia

merencanakan untuk terus mengembangkan untuk menanam rotan hingga mencapai luas 1 juta

hektar. Negara pengekspor rotan terbesar kedua didunia adalah China, yang diperolah dari

30,000 hektar dari hutan alam dan 4,000 hektar tanaman rotan per tahun.

7.6. Permasalahan Komoditas Rotan di Masa Mendatang

Lapis dkk (2004) mengemukakan bahwa keberadaan komoditas rotan untuk berbagai

stakeholders tidak dapat dipungkiri lagi, tetapi pengelolaan dan ketersediaan komoditas

rotansangat diragukan kerbelanjutannya, terutama ketersediaan rotan yang berdiamer besar yang

berasal sangat drastispenurunan produksinya. Untuk mengarahkan kepada keberlanjutan

pengelolaan dan keberadaan rotan, beberapa tantangan yang perlu diperhatikan, di antaranya

adalah:

Perlunya inventarisasi potensi (better resources inventories);

Sistem teknik silvikultur baru untuk mempercepat perkecambahan (New nursery technique

for rapid and reliable propagation);

Perbaikan cara penanamam dan pengolahan (improved plantation and harvesting

practices);

Perbaikan teknik pengawetan ke arah yang ramah lingkungan (better and more

environmentally friendly preservation technique);

Pengertian akan peran sosial ekonomi rotan terhadap petani kecil dan masyarakat lainnya

(A greater understanding of the socioeconomic importance of rattan to small-scale farmer

and more).

Ringkasan dari permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi tersebut, beserta

teknologi yang diperlukan guna keberlanjutan pengembangan komoditas rotan di negara-negara

Asia tenggara dapat diringkas pada Tabel 7.1 berikut ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu 99

Tabel 7.1. Ringkasan dari permasalahan yang telah diidentifikasi dan teknology yang

diperlukan guna keberlanjutan pengembangan komoditas rotan di negara-negara Asia

tenggara (Summary of identified and prioritised technology needs for sustainable

development in ASEAN conutries)

Komponen Keperluan

1. Inventarisasi potensi

1.1. Taksonomy

1.2. Perluasan habitat aslinya/hutan

tanaman

a. Petunjuk lapangan;

b. Tenaga ahli lapangan untuk memberikan

petunjuk dan mengecek isi kebenaran informasi

dari petunjuk lapangan;

c. Standar design inventarisasi rotan untuk negara

ASEAN;

d. Pelatihan inventarisasi sebelum restocking

dilaksanaan, terutama pada hutan yang telah

dipanen;

e. ASEAN checklist.

2. Kegiatan Persemaian/Silvikultur

2.1. Perlakuan benih

2.2. Perawatan dan perlakuan Persemaian

a. Mengembangkan teknologi lanjutan

menggunakan induksi kimia untuk mengontrol

pertumbuhan rumbut, yang mungkin

menganggu pertumbuhan rotan;

b. Pengembangan dan penelitian genetic rotan,

yang mana jenis kelamin rotan diidentifikasi

dengan teknik molekuler menggunakan analisis

Isosom dan DNA;

c. Melakukan study tentang sistem regenerasi

rotan, pada 1) hutan alam- dengan

menggunakan biji untuk sisitm regenerasi untuk

keberlanjutan, 2) hutan tanaman-

pengelompokan atau sistem solitory dengan

dukungan dari pohon sekitarnya;

d. Studi teknik perkecambahan untuk species yang

kurang dimanfaatkan;

e. Studi potensi dari rotan yang kurang

dimanfaatkan, meliputi aspek anatomi, fisiologi

dan analisis kimia.

3. Membuka/membangun hutan

tanaman rotan

3.1. Persaratan tempat tumbuh

3.2. Persiapan tempat tumbuh

3.3. Perencanaan penanaman

3.4. Perawatan dan perlindungan

a) Studi eko-fisik dan karakteristik tempat tumbuh,

termasuk pencahayaan, dan pengairan dengan

proses intercroping dengan rotan;

b) Membukukan study tentang perbandingan

antara intercroping rotan dengan pohon lain

dengan rotan sebagai tanaman utama;

c) Melakukan kajian silvikultur tempat tumbuh

(menghubungkan antara produktivitas dengan

Hasil Hutan Bukan Kayu 100

penggunaan) utamanya potyensi komersialnya,

tetapi tetap berorientasi kepada rotan;

d) Melakukan konservasi ex situ untuk

membangun plasmanufah dan kebun biji, ini

termasuk membuat regulasi dan kebijakan atau

sejenis petunjuk keanekaragaman hayati;

e) Study tentang siklus pemanenan rotan secara

ekonomi menguntungkan, mengintensifkan

species rotan yang lain;

f) Melakukan analisis permintaan terhadap

kertersediaan rotan untuk menjaga

keberlanjutan antara permintaan dan penawaran;

g) Mengembangkan teknologi pembudidayaa

untuk perkecambahan dan keranjang.

4. Sistem pemanenan dan Standar

pengujian

a) Mengembangkan teknologi untuk mengurangi

limbah pemanenan, alternatif pemanfaatan

limbah rotan di hutan dan di industri;

b) Mengembangkan peralatan yang cocok untuk

pemanenan rotan yang berdiamer kecil dan

besar;

c) Mengembangkan dan melaksanakan ASEAN

standar;

d) Study untuk menentukan waktu/musim panen

yang tepat untuk mengurangi serangan serangan

dan jamur.

5. Aktivitas setelah pemanenan a) Melaksanakan studi banding pengawetan yang

berlaku di negara ASEAN;

b) Melaksanakan teknologi berjalan, baik untuk

training dan pengeringan;

c) Memperbaiki disain produk rotan berdasarakan

permintaan pasar;

d) Mulai berencana mengaplikasikan teknologi

mekanik;

e) Mengembangkan teknology pemutihan yang

ramah lingkungan;

f) Mengembangkan metode pengawetan baru pada

pabriknya;

6. Aspek sosial ekonomi a) Studi aspek sosial dan ekonomi dari rotan,

meliputi analisis finansial, sistem

kearifan/pengetahuan lokal, peranan gender dan

perhitungan contribusi rotan terhadap

pengurangan polusi karbon;

b) Studi model konsumsi dan preferensi pasar;

c) Melakukan kajian atau revies pola pemasaran

yang cocok untuk petani.

Hasil Hutan Bukan Kayu 101

7. Penguatan jaringan kerja sama antar

negara ASEAN

a) Membangun herbarium rotan pada tiap bagian

rotan di masing-masing negara;

b) Membangun data base ASEAN;

c) Membangun bank benih dan sumber

plasmanutfah;

d) Mengembangkan sistem sertifikasi untuk

ASEAN dan praktek-praktek perdagangan yang

adil;

e) Membangun jaringan kerja sama rotan ASEAN,

yang dapat berdiskusi dan sumbang saran

kebijakan yang, saling menguatkan, melengkapi

atau mendukung kebijakan projek rotan, seperti

perdaganan lintas batas;

f) Mengkoordinasikan, menyebarkan dokumen

untuk kebersamaan, seperti penyebaran

informasi melalui buletin elektronik dari

lembaga Penelitian Kehutanan, Malaysia.

8. Training Budi daya dan produksi

rotan

a) Pelatihan produksi benih, perkecambahan,

pembangunan hutan tanaman rotan di tingkat

masyarakat/petani;

b) Pelatihan taksonomy rotan;

c) Pelatihan inventarisai rotan;

d) Pelatihan pemanenan rotan.

9.Pelatihan pengolahan dan

pemanfatan rotan

a) Pelatihan penggunaan teknologi paska panen;

b) Pelatihan teknologi Pengolahan.

7.7. Pustaka

Anonimus. (1980). Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 204/Kpts/DJ/1980

tentang Peraturan Pengujian Rotan Bulat Indonesia. Jakarta.

Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The

Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization of

The United Nation, Rome Italy

Asia Pacific Forest Industries (1990). The Success of the Rattan Industry in Indonesia. October

1990

Dransfield.J dan N.Manokaran (1996). Rotan. Sumber daya Nabati Asia Tenggara No. 6. Gajah

Mada University Press – Prosea. Yogyakarta

Fugu, T.A (1997). Kajian Tentang Industri Kerajinan Rotan di Kota Nabire. Skripsi Sarjana

Kehutanan pada Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak

diterbitkan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 102

Lapis, A.; Alvin A.Faraon; Kharina G.Bueser dan Norma R.Pablo (2004). Rattan Reborn. ITTO

Tropical Forest Update No.14/4. PP 12-13

Pagapong, I.I (2001). Pengujian dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus dan

Korthalasia asal Kebar Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak diterbitkan.

Sirait, U (1998). Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan terhadap kadar air rotan Diameter

Besar asal Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada Fakultas Pertanian,

Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak diterbitkan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 103

BAB 8

SAGU (METROXYLON SPP)

8.1. Pendahuluan

Sagu adalah tumbuhan yang sangat penting keberadaannya bagi beberapa kelompok

masyarakat adat, khususnya saudara- saudara kita yang berdomisili di Indonesia bagian timur,

seperti sebagain wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua. Sagu dimanfaatkan dan dipergunakan

sebagai tumbuhan sumber penghasil karbohidrat utama (staple food). Masyarakat yang hidup di

daerah pesisir, rawa dan daerah pantai umumnya memanfaatkan sagu sebagai pengganti

karbohidrat, karena sumber karbohidrat yang lain seperti tanaman padi tidak dapat tumbuh

dengan baik, atau masyarakat belum terbiasa dengan bercocok tanam padi. Khusus untuk daerah

Papua, sagu memegang peran yang sangat penting, karena potensinya yang cukup melimpah,

memberikan konstribusi sebagai sumber pendapatan kepada masyarakat lokal dan beberapa

sosial dan ekonomi, ekologi serta beberapa aspek lainnya yang dihasilkan dari tumbuhan sagu.

Setelah mempelajari pokok bahasan ini para mahasiswa diharapkan mampu:

1. Memahami arti penting tumbuhan sagu bagi masyarakat di luar pulau Jawa, Maluku dan

Papua khususnya sebagai sumber utama penghasil karbohidrat;

2. Menjelaskan tentang beberapa fungsi dan manfaat tumbuhan sagu kepada masyarakat, baik

aspek ekologi, sosial dan ekonomi;

3. Mendiskripsikan ciri-ciri pohon sagu yang telah masak tebang (siap panen), teknik

pengambilan tepung (Aci) sagu yang baku;

4. Menjelaskan beberapa produk-produk yang dapat dihasilkan dari Sagu beserta bagan

pengolahannya.

8.2. Botani Sagu (Metroxylon spp)

Tumbuhan Sagu (Metroxylonspp) adalah merupakan salah satu tumbuhan Monokotil dari

genus Metroxylon dan famili Palmae. Nama latin dari tumbuhan Sagu adalah Metroxylon, yang

aslinya berasal dari bahasa latin, yaitu metra dan xylem. Metra berarti empulur (pith) atau isi

dan xylem yang berarti pembuluh kayu, Flach (1977).Sehingga sagu dapat didefinisikan sebagai

jenis tumbuhan monokotil yang pembuluh kayu atau empulurnya berisi.

Berdasarkan karakteristik pembungaannya, tumbuhan sagu dapat dibedakan menjadi dua

keloompok yaitu jenis yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxantic) dan jenis yang berbunga

atau berbuah dua kali atau lebih (Pleonanthic), Soerjono, 1980; Manan, dkk 1984) yang dikutip

oleh Haryanto dan Pangloli (1992). Selanjutnya ditambahkan bahwa jenis hepaxanthic adalah

kelompok sagu yang secara umum memiliki kandungan Aci yang tinggi, sehingga memegang

peranan penting, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Sagu jenis hepaxantic di antaranya

adalah Metroxylon rumpii Martius, Metroxylon sagus Rottbol, Metroxylon sylvester Martius,

Metroxylon longispinum Martius dan Metroxylon micronatum Martius. Sedangkan kelompok

yang berbuah dua kali terdiri atas dua jenis yaitu : Metroxylon filarae dan Metroxylon elatum,

yang memiliki ciri yaitu menghasilkan kandungan aci yang rendah.

Hasil Hutan Bukan Kayu 104

Di Irian Jaya, sekarang Papua dan Papua Barat, terdapat lima 5 (lima) varietas penting

yang di budidayakan oleh masyarakat yaitu Sagu Molat (Metroxylon sagus M), Sagu Ihur

(Metroxylon sylvester M), sagu Tuni (Metroxylonrrumphii M), sagu Makanaru (Metroxylon

longispinum M) dan sagu Rotan (Metroxylon micronatum M). Pengelompokkan ke dalam jenis

yang berduri dengan tidak berduri, maka jenis sagu Molat adalah tipesagu yang tidak memiliki

duri di bagian pelepah daunnya, dan sering dinamakan dengan sagu betina, Haryanto dan

Pangloli (1992) . Contoh jenis sagu yang memiliki duri pada pelepahnya dapat dilihat pada

Gambar 8.1

Bagi masyarakat Indonesia bagian timur, khususnya Irian Jaya (Papua) dan Maluku,

tumbuhan sagu memiliki arti yang sangat penting karena sagu dimanfaatkan sebagai sumber

utama karbohidrat terutama bagi mereka yang berdomisili pada daerah dataran rendah/pantai.

Keadaan tersebut sudah berlangsung selama berabad-abad, dari generasi yang satu ke generasi

berikutnya. Sedangkan pada daerah pegunungan atau dataran tinggi di Papua, masyarakat lokal

mengkonsumsi Ubi Jalar (Ipomea Batatas) sebagai sumber karbohidrat. Bila dibandingkan

dengan sumber karbohidrat yang lainnya seperti beras, jagung, ubi kayu, sagu diperkirakan

memililiki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi. Gambaran anakan pohon sagu yang

tumbuh di alam dan berumur sekitar 2 tahun dapat dilihat pada Gambar 8.1 (kiri) sedangkan

dusun atau tegakan sagu dapat dilihat pada Gambar 8.1 (kanan).

Foto:Wahyudi (2006) Foto: Istalaksana (2005)

Gambar 8.1. Anakan pohon sagu (Metroxylon spp) yang tumbuh di Alam (kiri) dan dusun atau

tegakan sagu (kanan).

8.3. Potensi Sagu

Secara jujur harus diakui bahwa luas hutan dan potensi tanaman sagu di Indonesia belum

diketahui dengan pasti. Hal tersebut terjadi karena banyaknya data dan informasi yang berbeda,

baik menyangkut luas, potensi dan penyebaranya. Pernyataan ini lebih ditegaskan lagi oleh

Haryanto dan Pangloli (1992), yang menyatakan bahwa luas areal sagu di indonesia belum

diketahui secara pasti. Kedua penulis tersebut mengutip beberapa hasil penelitian tentang

perkiraan luas areal sagu di Indonesia, yaitu 716 000 Ha menurut Soedewo dan Haryanto

(1983), dan 850 000 Ha menurut Soekanto dan Wijandi (1983). Perkiraan luas areal sagu yang

lebih kontroversial yaitu yang dikemukakan oleh Manan dan Supangkat (1986) seperti dikutip

oleh Haryanto dan Pangloli (1993), yaitu luas areal sagu di Irian Jaya seluas 4.183.300 Ha (lihat

Tabel 8.2). Fakta luas areal ini tentu saja sangat mencegangkan dan perlu diteliti

Hasil Hutan Bukan Kayu 105

keakurantannya lagi. Sedangkan perkiraan luas areal sagu dibeberapa negara yang dibuat oleh

Flach (1983) hanya mencamtumkan 2 187 000 Ha.

Luas areal sagu untuk beberapa negara telah diperbaharui oleh Flach pada tahun 1997.

Selanjutnya, luas areal tersebut dikelompokkan mejadi dua kelompok yaitu sagu yang tumbuh

alami (wild stand) dan dibudidayakan (semi-cltivated stands). Ringkasan dari perkiraan luas

areal sagu di beberapa lokasi seperti di di Indonesia, PNG, Malaysia, Thailand, Filipina dan

kepulauan pasifik yang dibuat oleh Flach (1997) selengkapnya diringkas seperti pada Tabel 8.1.

berikut ini.

Tabel 8.1. Estimasi luas tumbuhan Sagu di beberapa lokasi seperti Indonesia, Papua New

Guinea, Malaysia, Thailand dan Filipina

Negara/Daerah Tumbuh liar (ha) Dibudidayakan (ha)

Indonesia 1 250 000 148 000

Irian Jaya, total 1 200 000 14 000

Bintuni 300 000 2 000

Danau Plain (Lake Plain) 400 000 -

Irian Selatan (Southern Irian) 350 000 2 000

Distrik lain (others districs) 150 000 10 000

Maluku 50 000 10 000

Sulawesi - 30 000

Kalimantan - 20 000

Sumatera - 30 000

Kepulauan Riau - 20 000

Kepulauan Mentawai - 10 000

Papua New Guinea 1 000 000 20 000

Provinsi Sepik 500 000 5 000

Provinsi Gulf 400 000 5 000

Provinsi Lain 100 000 10 000

Malaysia 45 000

Sabah - 10 000

Serawak - 30 000

Malaysia Barat - 5 000

Thailand - 3 000

Filipina - 3 000

Negara lainnya - 5 000

Total 2 250 000 224 000

Sumber: Flash (1997)

Dari tabel 8.1. di atas terlihat bahwa potensi sagu di Indonesia adalah sekitar 54% dari total

areal sagu secara keseluruhan. Luasan areal sagu tersebut hampir seluruhnya terdapat di

Indonesia bagian timur, khususnya Irian Jaya dan Maluku.Khusus untuk penyebaran luas areal

sagu di provinsi Irian Jaya dari berbagai sumber telah di ringkas oleh Haryanto dan Pangloli

(1993) disajikan pada Tabel 8.2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 106

Tabel 8. 2. Luas Areal sagu di provinsi Irian Jaya dari berbagai sumber

Daerah Luas (ha)

Merauke 3 569530

Fak-fak 389840

Jayapura 36690

Serui 88 020

Sorong 1) 81 810

Sorong 2)

a.Bintuni 50 200

b.S.Kamundan 66 050

c.S.Kais dan Mentawai 94 600

d.Inanwatan 53 050

e. Teminabuan 6 200

270 000

Manokwari 11330

Biak 6 500

Total 4 183300

4371590

. Keterangan : 1). Areal menurut Manan danSupangkat (1986), 2) menurut BPPT teknologi

(1987) khusus meneliti dikecamatan Inanwatan

Populasi tanaman sagu sangat tergantung pada jenis, daerah produksi dan perlakuan yang

diberikan selama massa pertumbuhan. Populasi sagu yang diusahakan atau dibudidayakan

populasinnya lebih padat daripada yang tumbuh secara liar.

8.4. Ciri Fisik Sagu Siap Panen

Istilah tumbuhan sagu siap panen adalah pengertian yang dipergunakan untuk melukiskan

ciri-ciri fisik pohon sagu yang memiliki kandungan aci yang maksium. Siap panen juga sering

dinamakan dengan pohon sagu yang telah masak tebang. Soekarto dan Wijandi (1983) dalam

Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa ciri-ciri pohon sagu yang siap panen atau

masak tebang adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang.

Tetapi ciri morphologi yang utama adalah perubahan pada primordia bunga atau kuncup bunga

yang telah keluar, tetapi belum sempat mekar. Masyarakat lokal, seperti di Irian Jaya, Maluku

dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, memiliki pengetahuan tersendiri dalam menentukan

tingkat kemasakan pohon sagu. Khusus untuk penduduk di Papua, ada yang memukul-mukul

batang sagu, apabila mengeluarkan bunyi tertentu maka pohon tersebut siap panen. Sebagian

masyarakat juga mengambil contoh empulur pohon sagu, dan apabila dikunyah atau dilarutkan

dalam air, kelihatan keruh berarti kandungan acinya sudah banyak, maka pohon tersebut telah

masak tebang.

Disisi lain, untuk keperluan inventarisasi potensi, jenis dan penyebaran tumbuhan sagu,

Simbolon dkk (1989) telah membuat suatu pedoman Inventarisasi Hutan Sagu. Dalam pedoman

tersebut, khususnya untuk melihat populasi anakan dan fase pertumbuhan, tanaman sagu

dikelompokan ke dalam lima tingkatan pertumbuhan, yaitu tingkat semai (seedling), sagu muda,

Hasil Hutan Bukan Kayu 107

pohon sagu belum masak tebang (BMT), pohon sagu masak tebang (MT) dan pohon sagu telah

lewat masak tebang (LMT).

Tingkat semai adalah sagu yang mempunyai tinggi batang dari permukaan tanah sampai

bebas pelepahnya < 0.5 m. Sagu muda adalah sagu yang mempunyai tinggi bebas pelepah 0.5- 3

m. Pohon sagu adalah adalah tumbuhan sagu yang memiliki tinggi bebas pelepah >3 m.

Khusus untuk fase pertumbuhan pohon, berdasarkan ciri kenampakan morphologis dan

kematangan pohon sagu dalam menghasilkan pati, utamanya pohon sagu yang

memilikikandungan aci yang optimum, dapat dikelompokan kefalam tiga tingkat/fase

pertumbuhan, yaitu pohon sagu Belum Masak Tebang (BMT), pohon sagu Masak Tebang (MT)

dan pohon sagu Lewat Masak Tebang (LMT). Ciri-ciri morphologis dari ketiga fase

pertumbuhan pohon sagu tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Belum Masak Tebang (BMT) dengan ciri-ciri sebagian pelepah daun telah putus dan

deretan duri pada pelepah hilang, daun pada pucuk mulai memendek, mulai keluar jantung,

dan duri dari daun hampir seluruhnya hilang.

2) Masak Tebang (MT) adalah bila seluruh pelepah daun sudah menguning, seluruh jantung

telah keluar tapi belum pecah.

3) Lewat Masak Tebang (LMT) apabila mempunyai ciri-ciri selubung jantung mulai pecah

dan keluar tangkai-tangkai bunga seperti buah sirih dan seluruh tandan bunga kelihatan

seperti tanduk rusa.

Khusus untuk daerah Maluku, seperti diuraikan oleh Pieters (1966) yang dikutip oleh

Haryanto dan Pangloli (1992), berdasarkan kandungan aci pohon sagu masyarakat mengenal

empat tingkat kematangan, yaitu tingkat Wella (putus duri), tingkat Maputih, tingkat Maputih

masa, dan tingkat Siri buah. Diskripsi morphologis yang dapat dilihat dari masing-masing fase

tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:

a) Tingkat kematangan Wela atau putus Duri, adalah suatu fase di mana sebagian dari pelepah

daun telah lenyap. Tahap ini belum kematangan sempurna sehingga tingkat acinya masih

rendah. Kandungan aci hanya terdapat pada bagian pangkal batang, sehingga ujungnya

tidak mengandung pati.

b) Tingkat Maputih adalah kematangan yang ditandai dengan menguningnya pelepah daun,

duri yang terdapat pada pelepah daun hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada bagian

pengakal pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang terbentuk ukurannya kecil dan

pendek. Khusus untuk jenis Metroxylon rumphii MART pada fase ini memiliki kandungan

acinya sangat tinggi, bila lewat fase ini acinya turun dan rasanya tidak enak lagi.

c) Tingkat Maputih Masa atau masa jantung di mana semua pelepah daun telah menguning

dan kuncup bunga sudah mulai muncul. Pada fase ini kandungan acinya telah padat

sehingga semua bagian pohon dari pangkal ke ujung dapat diolah. Tetapi acinya kurang

enak terutama pada M. RumphiiMART, sedangkan pada M sylvesterMART fase ini adalah

fase yang tepat untuk pemanenan.

d) Tingkat siri buah, adalah tingkat kematangan terakhir di mana kuncup bunga sagu telah

mekar dan bercabang menyerupai tanduk rusa dan buahnya mulai terbentuk. Saat ini adalah

fase pada sagu M. LongispinumMART. Sedangkan jenis sagu yang lain, pada fase ini

kandungan acinya sangat rendah karena sudah digunakan untuk produksi bunga dan buah.

Hasil Hutan Bukan Kayu 108

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (1982a) yang dikutip oleh Haryanto dan

Pangloli (1992) membedakan 4 (empat) fase pertumbuhan sagu, yaitu tingkat semai atau

anakan, tingkat sapihan (Sapling), tingkat tiang (Pole) dan tingkat pohon (tree). Penggolongan

fase pertumbuhan tersebut berdasarkan kepada karakteristik pertumbuhan tinggi batang sagu

yang bebas daun atau pelepah. Tingkat semai adalah anakan sagu yang masih kecil dan

memiliki batang bebas daun 0-0.5 m; tingkat sapihan adalah anakan sagu yang memiliki batang

bebas daun 0.5 – 1.5 m; tingkat tiang adalah anakan sagu dengan batang bebas daun atau

pelepah 1.5 – 5 m; dan tingkat pohon adalah tumbuhan sagu yang memiliki batang bebas daun

atau pelepah di atas 5 m.

8.5. Pengertian Aci Sagu

Terkadang kita dihadapkan kepada dua pengertian yang sangat membingungkan antara

Tepung, Acidan Pati. Keduanya adalah termasuk senyawa karbohidrat yang dibedakan

berdasarkan kehalusan partikelnya. Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa

karbohidrat atau patiadalah hasil dari proses penghancuran beberapa sumber karbohidrat yang

berupa biji atau proses ekstraksi dari umbi atau empulur dari sehingga membentuk bubuk yang

sangat halus (powder). Sedangkan aci adalah suatu bubuk dari hasil dari proses mengekstraksi

pati dari umbi atau empulur batang. Aci ubi kayu berasal dari hasil ekstrak pati ubi kayu atau

tapioka, aci garut dari umbi garut, aci sagu dari empulur batang sagu dan sebagainya. Lebih

lanjut dikatakan bahwa untuk mendapatkan aci, harus menggunakan media air, sehingga pati

dapat terlepas dari serat-serat kasarnya.

Para ahli pangan mendefinisikan tepung adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari aci.

Sehingga dengan kata lainnya tepung adalah pati yang telah dibersihkan, sehingga kandungan

karbohidratnya lebih tinggi. Dalam pati masih dimungkinkan adanya kandungan senyawa lain

selain karbohidrat dalam jumlah yang cukup tinggi, seperti serat, asam-asam maupun lignin atau

tanin.

8.6.Pemanenan Sagu

Pemanenan pohon sagu diawali dengan cara memilih pohon sagu yang telah masak tebang.

Kemudian pembersihan semak-belukar, rumpu dan beberapa tumbuhan bawah lainnya di sekitar

pohon sagu yang akan ditebang. Pembersihan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja

untuk proses penokokan yang luas, bersih, nyaman dan aman. Karena proses pemanenan sagu,

biasanya dilakukan beramai-ramai, atau melibatkan lebih dari satu keluarga (gotong royong)

seperti terlihat pada Gambar 8.2. Hal ini mengingat volume pohon sagu yang cukup besar dan

proses penokokan yang cukup memakan waktu. Penebangan dilakukan dengan menggunakan

kapak yang tajam. Kapak digunakan mengingat kulit batang pohon memiliki tingkat kekerasan

yang sama atau melebihi kekerasan batang pohon kelapa yang tua. Setelah ditebang, dilakukan

pemotongan setengah diameter batang sejajar serat, dengan panjang sesuai dengan kemampuan

penebang untuk dapat mempermudah proses penokokan atau pemarutan (menghancurkan)

empulurnya

Hasil Hutan Bukan Kayu 109

Foto: Darma (2006)

Gambar 8.2. Proses penokokan sagu (penghancuran empulur) yang dilakukan beramai-ramai

(gotong royong)

Secara umum proses pemanenan sagu di beberapa daerah di provinsi Irian Jaya, dapat

diringkas seperti ditampilkan oleh diagram alir pada Gambar 8.3

Hasil Hutan Bukan Kayu 110

Gambar 8.3. Gambaran umum diagram alir proses pemanenan sagu di beberapa tempat di

provinsi Papua dan Papua barat

8.7. Penghancuran Empulur (Menokok) dan Ekstraksi Aci Sagu

Penghancuran empulur sagu adalah pengertian lain untuk mengambarkan istilah

penokokan sagu. Metode untuk menokok berbeda untuk satu daerah dengan daerah lainnya.

Perbedaan tersebut terdapat dalam cara membelah, alat tokok yang dipergunakan dan cara

menokoknya. Secara umum metode untuk menokok sagu dapat dibedakan menjadi tiga yaitu a)

Tradisional; b) Semi mekanis; dan c) Mekanis penuh.

8.8. Metode Tradisional

Pada metode tradisional, batang sagu yang telah dibelah, dipukul-pukul dengan alat

khusus, untuk menghancurkan empulur batang sagu Umumya alat tokok ini terbuat dari kayu

keras, yang salah satu ujungnya diberi besi untuk menghancurkan empulur. Bentuk alat tokok

ini berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Bentuk alat tokok dari daerah Biak

dapat dilihat pada Gambar 8.4 (kiri), sedangkan alat tokok dari daerah Inanwatan, Sorong

Selatan dapat dilihat pada Gambar 8.4 (kanan). Sedangkan penggunaan alat tokok tersebut

dapat diihat pada Gambar 8.5.

Hasil Hutan Bukan Kayu 111

Sedangkan alat tokok yang berupa parut terbuat dari satu lembar papan kayu, dengan

lebar kurang lebih 30 cm dan panjang 1,5 m da tebal 2-3 cm, yang diberi paku atau besi tajam,

menyerupai parut kelapa. Pemarutan dilakuan dengan menggerakan alat parut bergantian arah

dan tegak lurus dengan arah serat atang sagu.

Foto Darma (2006)

Gambar 8.4. Dua bentuk alat tokok sagu dari daerah Biak (kiri) dan Inanwatan- Sorong Selatan

(Kanan)

Foto: Istalaksana (2005) Foto: Darma (2006)

Gambar 8.5. Penggunaan alat tokok dalam menokok sagu, duduk (kiri) dan berdiri (kanan)

Setelah dihancurkan dari empulurnya, Gambar 8.6 (kiri) serat empulur sagu yang telah

terpisah dikumpulkan, ditampung dalam karung plastik atau wadah lainnya, Gambar 8.6

Hasil Hutan Bukan Kayu 112

(kanan), dan siap untuk diekstrak. Serat empulur tersebut biasanya diektrak dekat dengan

sumber mata air, karena proses ekstraksi aci sagu memerlukan banyak persediaan air. Ekstraksi

aci sagu dilakukan dengan cara membuat saluran air, biasanya terbuat dari pelepah daun sagu

yang telah tua. Pelepah ini berfungsi sebagai media penampung serat empulur sagu. Empulur

sagu selanjutnya diberi air secukupnya, diremas-remas dengan kedua tangan untuk

mengeluarkan dan memisahkan aci dari seratnya.

Foto: Darma (2006) Foto : Istalaksana (2005)

Gambar 8.6. Hasil proses penokokan atau penghancuran empulur sagu (atas) dan serat empulur

yang ditampung, siap untuk di ekstrak (bawah)

Untuk mencegah terbawanya serat bersama air perasanmenuju tempat penampungang air

perasan, maka diberi saringan. Saringan iniumumnya terbuat dari kain bersih dengan pori-pori

yang tidak terlalu besar. Pelepah tersebut dibuat dengan konstruksi yang agak miring dan lebih

tinggi dari bak penampung, sehingga air perasan dapat mengalir berdasarkan gaya gravitasi,

seperti terlihat pada Gambar 8.7. Selanjutnya air perasan dibiarkan mengendap dalam bak

penampung selama beberapa jam. Apabila aci yang terlarut pada bak penampung, telah

mengendap, ditunjukkan dengan air yang bening di permukaan bak penampung, maka aci siap

untuk diambil dengan membuang terlebih dahulu airnya. Gambaran proses ekstraksi aci sagu

dapat dilihat pada Gambar 8.7.

Hasil Hutan Bukan Kayu 113

Foto: Istalaksana (2005) Foto: Darma (2006)

Gambar 8.7. Dua gambaran umum metode ektraksi serat empulur sagu untuk mendapatkan aci

di Papua

Metode ektraksi aci sagu di daerah Kalimantan, dilakukan dengan menginjak-injak

empulur sagu yang telah diparut, sambil diberi pencampuran air dengan menggunakan wadah

yang terbuat dari keranjang bambu, sehingga tidak diperlukan lagi saringan.

Aci yang masih basah dapat dimasukkan dalam tumang, ataupun dalam tas-tas kecil untuk

proses penirisan (pengeluaran air). Tumang adalah keranjang yang terbuat dari daun sagu, dan

dipergunakan khusus untuk menampung aci sagu basah. Setelah kering aci tersebut dipindahkan

dalam tumang lain yang lebih tertutup, sehingga mencegah terkontaminasi dengan udara luar

dan memudahkan dalam transportasi maupun distribusinya. Beberapa bentuk kemasan aci sagu

(tumang), di Papua, yang sempat diabadikan oleh Ir. Darma, MSi dari Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian, Universitas Negeri Papua, Manokwari dapat dilihat pada Gambar 8.6. Model

kemasan tumang yang diperlihatkan oleh Gambar 8.6 paling kanan adalah yang saat ini lagi

berkembang di mastyarakat. Model tersebut sangat simpel, ringan dan beukuran kecil, mudah

kering karena wadahnya berpori-pori besar.

Gambar 8.8. Beberapa bentuk kemasan (tumang) aci sagu di Papua

Hasil Hutan Bukan Kayu 114

Rata- rata berat satu tumang sagu basah berkisar antara 20-30 kg Untuk kemudahan

penjualan, tumbang tersebut kemudian dibagi-bagi ke dalam ukuran kecil, kurang lebih 2-3 Kg,

dalam tas plastik untuk dijual di pasar tradisional, Gambar 6.2. Satu plastik pati sagu basah atau

setengah kering, kadar air kurang lebih 30-50%, di pasal tradisional kota Manokwari dijual

dengan harga berkisar antara Rp. 5.000 – 10.000, tergantung kepada musim tokok sagu.

8.9. Metode Semi Mekanis

Ekstraksi sagu secara semi mekanis, pada prinsipnya sama dengan cara tradisional tetapi

pada proses penghancuran empulur bukan dilakukan secara manual tetapi dengan mesin

pemarut atau penghancur. Pemarut terbuat dari besi dari lempengan kayu yang diberi paku dan

lempengan kayu ditempelkan pada bingkai kayu yang berbentuk lingkaran, sehingga apabila

diputar, putaran lempengan kayu tersebut akan memarut empulur sagu. Roda pemarut ini

digerakkan oleh tenaga manusia dengan mengubungkan pemarut dengan rantai ke gigi roda

(seperti sepeda) dengan sistem pedal. Alat pemarut sagu semi mekanis sederhana ini untuk di

Universitas Negeri Papua, Manokwari dimiliki oleh Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, yang

dibuat oleh Ir.Darma, MSi.

Gambar 8.9. Alat pemarut sagu semi mekanis yang dikembangkan oleh UNIPA

Modifikasi alat pemarut empulur sagu sederhana tersebut telah dilakukan melalui

pendanaan dari Penelitian Hibah bersaing untuk perfomance atau kinerjanya padatahun 2005.

Pada prinsipnya roda penggerak yang digerakkan oleh manusi, diganti dengan penggerak dari

generator.kl listrik Sedangkan roda penghancur (crusher) dimodifikasi dengan menggunkaan

lembaran seng atau baja yang didesain sangat asar untuk menghancurkan empulur sagu.

Prototipe dari alat ini sedang di uji coba performance di laboratorium Teknologi Pertanian

Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua (UNIPA), seperti

ditampilkan pada Gambar 8.10. Dalam ekstraksi semi mekanis ini pemisahan pencucian dan

penyaringan aci sagu dilakukan dengan metode yang sama dengan pada metode tradisional.

Hasil Hutan Bukan Kayu 115

Gambar 8.10. Mesin pemarut sagu hasi modifikasi yang digerakkan oleh generator

8.10. Metode Mekanis Penuh

Metode ekstraksi sagu secara mekanis penuh yaitu semua proses dilakukan dengan mesin

seperti yang terdapat pada PT. Sagindo Sari Lestari, Arandai Manokwari Irian Jaya, yang

berdiri pada tahun 1989, dengan kapasitas poduksi sebesar 100.000 ton per tahun, dengan jatah

tebang tahunan 2379 ha, dengan menggunakan proses rotary dan hummermill, Supriyadi

(1999). Tetapi sangat disayangkan, industri ini telah kolap.

Supriyadi (1999) secara garis besar melukiskan proses pengolahan sagu di PT. Sagindo

tersebut. Pengolahan sagu diawali dari penebangan pohon sagu, sellanjutnya pohon yang telah

ditebang, dipotong potong sepanjang 1-1.5 M dan kemudian dihanyutkan pada alur-alur sungai

setelah terlebih dahulu di ikat satu sama lain dengan tali agar tidak tenggelan dan mudah dalam

penarikkan. Selanjutnya batang sagu tersebut ditarik dengan speed boat ke lokasi industri.

Batang sagu tersebut kemudian dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel, seperti

kerikil, tanah maupun pasir. Setelah itu, batang yang bersih dimasukkan ke dalam mesin

pengupas kulit dan mesin penghancur (hummermill). Selanjutnya hasil air dari hummermill

diekstrak oleh ekstraktor. Dengan bantuan sentrifuse, serat dan aci sagu dipisahkan. Aci yang

diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam mesin pemanas (drying blower). Selanjutnya aci sagu

dari pemanas, dikeringkan ke dalam hydrating blower dengan sistem uap panassamapai

kering.Setelah proses berakhir, Aci sagu tersebut sudah keluar dari mesin dalam bentuk tepung

(powder) yang telah dimasukkan dalam karung yang siap disimpan dan dipasarkan. Pengepakan

dilakukan dengan menggunakan karung dengan berat 50 kg per karung. Diagram alir proses

pengolahan sagu menjadi tepung di PT. Sagindo berdasarkan yang dilukiskan oleh Supriyadi

(1999) dapat diringkas dalam Gambar 8.11.

Hasil Hutan Bukan Kayu 116

Gambar 8.11. Diagram alir proses pengolahan sagu menjadi tepung di PT. Sagindo berdasarkan

pendapat Supriyadi (1999)

8.11.Pemanfaatan Pohon Sagu

Seluruh bagian tanaman pohon sagu dapat dimanfatakan, pelepah daun sagu, yang dalam

bahasa lokal Papua dinamakan dengan gaba-gaba adalah bahan baku dinding rumah yang murah

dan meriah tetapi berumur panjang, daun sagu yang relatif lebar dapat dipergunakan sebagai

atap rumah maupun dinding rumah (Gambar 8.12). Manfaat utamanya dari pohon sagu adalah

sebagai sumber karbohidrat dan bahan bangunan untuk skala tradisional. Seperti batang luar

sagu dapat dimafaatkan untuk membuat dinding dan lantai rumah kayu, daun sagu untuk

membuat atap dan anyaman sedangkan tulang daun sagu dapat dimanfaatkan untuk membuat

sapu lidi. Sedangkan untuk skala industri sagu diambil acinya untuk membuat tepung roti,

biscuit, mie, bahan kimia, dextrin, alkohol (fermentasi).

Penebangan Pohon sagu

Pemotongan Batang sagu menjadi log

(tualan)

Transport ke Logpond dalam bentuk rangkaian tual

Pembersihan

Hidrolic cutting (pembelahan tualan)

Pengupasan kulit (peeler machine dengan sistim Rotary)

Penghancuran empulur

(hammermill dan scraper)

Penampungan dan

penyaringan

Ekstraktor dengan sentrifuse

Pengeringan

Pengemasan

Hasil Hutan Bukan Kayu 117

Foto: marty (2005)

Gambar 8.12. Pemanfaatan daun sagu yang telah dijepit untuk atap dan dinding masyarakat

lokal di Supriori – Biak Papua.

Untuk penggunaan skala lokal, sagu banyak dimanfaatkan masyarakat untuk bahan

pembuatan Papeda, makanan khas Papua. Papeda hanya dibuat pada waktu-waktu tertentu,

misalnya perayaan ulang tahun orang dewasa, menghormati tamu, kondisi badan kurang fit dan

lain sebagainya. Untuk keperluan bepergian jauh atau keladang, masyarakat biasanya

membuatnya dalam bentuk sagu kering, dikenal dengan nama sagu lempeng, yang biasanya

dimakan dengan cara mencelupkannya dalam air putih, atau teh bahkan kopi. Contoh sagu

lempeng yang dijual dipasar lokal Manokwari dapat dilihat pada Gambar 8.13. Di daerah

Sulawesi Utara, terdapat salah satu ciri khas makanan dari sagu, yang dikenal dengan nama

Bagea.

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar. 8.13. Sagu lempeng yang dijual di Pasar Lokal Manokwari.

Penggunaan sagu untuk produk non pangan misalnya adalah pemanfaatan bagian pohon

sahu untuk bahan bangunan rumah. Hal ini terkait dengan kondisi alam penduduk lokal yang

mengusahakan pohon sagu, yang kemudian dikenal dengan nama peramu sagu, yang tinggal di

daerah rawa sebagaimana habitat pohon sagu, di mana memerlukan konstruksi rumah panggung

yang sebagian besar terbuat dari kayu.

Hasil Hutan Bukan Kayu 118

Ampas atau serat kasar dari sisa pemerasan atau ekstraksi tepung dagu dapat dimanfaatkan

sebagai sagu dimanfaatkan sebagai makanan ternak, media perkembang biakan jamur merang

dan media perkembangbiakan ulat sagu (Rhynchophorus papuanus). Khusus untuk Ulat Sagu

(Gambar 8.14), memiliki kandungan protein hewani yang cukup tinggi, dan hal ini dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk pemenuhan kebutan protein hewani. Pemanfaatan

ulat sagu sebagai sumber alternatif protein Hewani bagi masyarakat lokal Papua, telah

memnagkan Lomba karya Tulis Mahasiswa (LKTM) juara pertama ditingkat Indonesia Timur

dan juara ke empat di tingkat nasional pada tahun 2004, yang kebetulan dibimbing oleh Penulis

sendiri.

Foto: Darma (2006)

Gambar 8.14. Fase Imago dari kumbang Rhynchophorus papuanus (ulat sagu)sebagai sumber

protein hewani alternatif bagi masyarakat lokal

Pemanfaatan tepung atau pati sagu untuk keperluan industri atau yang berskala industri

telah diuraikan secara jelas oleh LITBANG Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999),

seperti disajikan pada diagram pada Gambar 8.15 di bawah ini.

Gambar 8.15. Diagram pemanfaatan pati sagu dalam skala industri

Hasil Hutan Bukan Kayu 119

Pohon Sagu (Metroxylon spp) adalah pohon masa depan, yang dapat difungsikan tidak

hanya sebagai sumber karbohidrat alternatif, tetapi juga sebagai sumber energy alternatif, yaitu

etanol. Bahkan negara Jepang, yang tidak memiliki hutan sagu, memiliki pusat penelitian

tentang sagu, yaitu Palm studies. Dalam berbagai peertemuan internasional, negara dan peneliti

Jepang sangat aktif dalam beberapa pertemuan tentang segala permasalahan sagu.

Symposium internasional mengenai sagu (the International SagoSymposium) sampai

dengan tahun 2005, telah berlangsung selama 8 (delapan) kali. Symposium Sago International

yang ke 8 diadakan di Jayapura pada tanggal 4 – 6 July 2005. Peserta symposium datang dari

Indonesia, Malaysia, Jepang, Filipina, Papua New Guinea dan Tanzania.

8.12. Pustaka

Flach, M.1997. Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of

underutilized and neglected crops 15. International Pant Genetic Resources

Institute. Rome, Italy.

Haryanto, B dan P. Pangloli.1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius Yogyakarta.

Karafir, Y.P., V.E. Fere., and Y. Toyoda. 2005. (editors). Abstracts of The International Sago

Symposium. The Japan Society for Promotion of Science.

Kaimuna, K., M.Okazaki., Y. Toyoda., and J.E. Cecil. 2002. New Frontier of Sago Palm

Studies. Proceeding of the International Symposium on Sago (SAGO 2001).

Universal Academy Press, Inc. Tokyo Japan.

Rostiwati, T., J. F.Shoon., dan M. Natadiwirya. 1999. Penanaman Sagu (Metroxylonsagu Rottb)

berskala besar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan.

Jakarta.

Simbolon, M dkk. 1989. Pedoman Inventarisai Hutan Sagu. Bagian Proyek Inventarisasi dan

Pengukuhan Hutan, Direktorat Invetarisasi Hutan dan Tata Guna Lahan,

Departemen Kehutanan.

Supriyadi, E.B. 1999. Perbedaan Kandungan Aci bahan Baku Sagu Berduri menurut Waktu

Perendaman dalam kanal pada PT. Sagindo Sari Lestari Kecamatan Arandai

kabupaten Mankwari. Skripsi sarjana kehutanan. Fakultas Pertanian universitas

Cenderawasih (tidakditerbitkan)

Susilo, A.B. 2004. Pemanfaatan Ulat Sagu (Rhynchophorus papuanus) sebagai sumber protein

alternatif bagi penduduk lokal Papua. Makalah yang sisampaikan pada Lomba

Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional.

Hasil Hutan Bukan Kayu 120

BAB 9

AREN (ARENGA PINNATA MERR)

9.1. Pendahuluan

Aren (Arenga pinnata) adalah jenis tanaman yang cukup dikenal oleh masyarakat

Indonesia, khusunya di daerah-daerah pedesaan. Tumbuhan Aren memiliki penyebaranyang

cukup luas di Indonesia, baik di daerah pedesaan, kebun-kebun masyarakat dan kawasan hutan

sekitar daerah pemukiman. Khusus di Papua, tanaman aren tumbuh secara liar di hutan dekat

pemukiman dan ada juga yang tumbuh di kebun-kebun masyarakat serta sekitar pekarangan

rumah. Pemanfaatan utama dari tumbuhan aren ini adalah untuk diambil niranya untuk

minuman tradisional yang beralkohol, pembuatan gula aren, pemanfaatan ijuk dan lidinya untuk

bahan kerajinan tangan. Karena potensinya yang melimpah, tetapi pemanfaatannya secara

maksimal belum dilakukan oleh masyarakat, maka komoditas aren perlu diperkenalkan untuk

dijadikan sebagai komoditas yang menjanjikan, terutama untuk meningkatkan pendapatan

masyarakat lokal.

Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, para pembacadiharapkan memiliki kemampuan

untuk:

1. Memahami arti pentingnya tumbuhan aren bagi masyarakat pedesaan, khususnya sebagai

sumber penghasilan tambahan;

2. Mendiskripsikan beberapa fungsi ekologi, sosial dan ekonomi dari tumbuhan aren bagi

masyarakat lokal atau ekonomi daerah secara umum;

3. Menjelaskan beberapa jenis produk yang dapat dihasilkan dari tumbuhan aren dan

mengambarkan proses pengolahan produk-produk tersebut.

9.2. Botani Pohon Aren

Aren (Arenga pinnata Merr) atau yang dalam bahasa lokal Papua lebih terkenal dengan

sebutan Pohon Enau, adalah tumbuhan hutan yang termasuk dalam ordo Carytoid dalam family

Arecaceae atau pinang-pinangan dari divisi Angiospermae. Tanaman ini dicirikan oleh bijinya

yang terbungkus oleh daging buah dan kulit buah, seperti ditunjukkan oleh Gambar 9.1.

Sumber : www.ceritamu.com

Gambar 9.1. Buah aren yang telah mengalami proses pemasakan untuk memisahkan daging dan

kulit buah

Hasil Hutan Bukan Kayu 121

Dalam perdagangan international, tumbuhan Aren lebih dikenal dengan sebutan Sugar

palm. Ini dimugkinkan karena komoditas Aren, ditanam dengan utamanya untuk mendapatkan

gula atau produk-produk turunan dari gula itu sendiri, seperti sirup misalnya. Tumbuhan Aren

dapat diperbanyak dengan menggunakan biji. Biji yang telah diseleksi untuk digunakan sebagai

benih, disemaikan pada wadah perkecambahan dengan media pasir dan pupuk kandang. Daya

kecambah dari biji aren cukup tinggi, bahkan dapat mencapai 90% (Effendi, 2010).

Aren dapat tumbuh pada ketinggian 0-1600 m di atas permukaan laut, (Rumokoi, (2004).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa di wilayah Papua, Aren dapat tumbuh di Wamena pada

ketinggian 1600 m dpl, sedangkan di Sulawesi Utara aren diketemukan tumbuh pada ketinggian

1100 m dpl, Akuba (1994) yang dikutip oleh Rumokoi (2004).

Penyebaran tanaman aren di Indonesia terutama di daerah-daerah yang memiliki curah

hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun seperti di Nanggroe Aceh Darusalam,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat,

Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku

Utara dan Maluku dan Papua. Pohon aren dapat dikenali dari pelepah pohonnya yang kotor,

karena pelepahnya tidak dapat lepas dengan sendirinya karena memiliki serabut yang dikenal

dengan nama ijuk. Sepintas banyak tumbuhan dari jenis paku-pakuan yang biasanya tumbuh

pada batang-batang aren yang telah dewasa. Contoh pohon aren yang telah berproduksi dapat

dilihat pada Gambar 9.2

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar 9.2. Pohon Aren yang telah dewasa

Buah aren terbentuk setelah terjadinya proses penyerbukan dengan perantaraan angin atau

serangga, karena pohon aren adalah tipe tanaman yang berumah satu. Buah aren berbentuk bulat

dengan diameter 4-5 cm yang di dalamnya terdapat biji sebanyak 3 (tiga). Buah aren tersebut

bergerombol membentuk untaian tandan yang memanjang sekitar 1.5 – 1.8 meter dan tiap

tandan memiliki sekitar 40 – 50 untaian buah. Contoh tandan atau mayang (bunch) dari pohon

aren yang masih muda dan sudah tua atau siap untuk dipanen dapat dilihat pada Gambar 9.2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 122

Foto : Wahyudi (2007)

Gambar 9.3. Tandan (Bunch) buah Aren (Arenga pinnata) yang masih muda (kiri) dan sudah

tua (kanan)

Sunanto (1993) seperti yang dikutip oleh Iswanto (2009) mediskripsikan tiga jenis aren

yang umum dijumpai di Indonesia. Ketiga jenis aren tersebut adalah:

1. Aren (Arenga pinnata) dari suku Aracacea. Aren ini merupakan tumbuhan berbiji tertutup

atau Angiospermae yaitu biji buahnya terbungkus daging buah. Penyebaran aren ini hampir

merata disemua daerah di tanah air.

2. Aren Gelora (Arenga undulatifolia) dari suku Aracacea. Aren jenis ini memiliki batang

agak pendek dan ramping. Pangkal batang bertunas sehingga tanaman ini tampak

berumpun. Daunnya tersusun teratur dalam satu bidang datar, sisi daunnya bercuping

banyak dan bergelombang. Aren gelora ini tumbuh liar di hutan-hutan Kalimantan,

Sulawesi, dan Filipina pada daerah ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut.

3. Aren Sagu (Arenga microcarpa) dari suku Aracacea. Aren sagu adalah suatu jenis

tumbuhan aren yang berbatang tinggi, sangat ramping dan berumpun banyak. Di Sangir

Talaud, tepung aren ini dimanfaatkan sebagai makanan utama. Selain itu, tepung ini juga

digunakan sebagai bahan pembuat kue. Aren sagu ini tumbuh liar di hutan-hutan Maluku,

Irian Jaya, dan Papua Nugini pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut.

Untuk keperluan pemuliaan dan produksi dalam skala yang lebih besar (industri atau

perkebunan), tumbuhan Aren perlu dikembangkan dengan memperhatikan beberapa sifat

genetik keunggulannya. Penyediaan bibit dari beberapa kultivar yang memiliki produktivitas

tinggi, misalnya adalah salah satu prioritas penelitian yang harus dilakukan. Untuk menunjang

tujuan tersebut, ekplorasi plasma genetik dari tumbuhan Aren di berbagai daerah mesti intensif

untuk dilakukan, khusus pada berbagai daerah sentra penghasil komoditas Aren.

Berdasarkan keragaman karakter vegetatif dan generatif, tumbuhan Aren di Desa Kandolo

Kecamatan Teluk Pandan dan di Desa Paridan Kecamatan Sangkuliran, Kabupaten Kutai

Timur, provinsi Kalimantan Timur, dibedakan menjadi dua jenis yaitu Aren Genjah dan Aren

Dalam (Tenda dkk., 2010). Selanjutnya dijelaskan bahwa Aren Genjah memiliki tinggi batang

rata-rata 2.04 m, mampu menghasilkan nira sebanyak 11.9 liter per hari, dengan lama

penyadapan selama 12 bulan per mayang. Sebaliknya, Aren Dalam memiliki batang yan lebih

Hasil Hutan Bukan Kayu 123

tingggi, yaitu 8.43 m, menghasilkan lira sebanyak 18 liter tiap hari, dan setiap mayang dapat

disadap selama 3.5 bulan.

9.3. Pemanfaatan Aren untuk Berbagai Produk

Menteri Pertanian dalam arahannya pada Seminar Nasional Aren 2004 mengatakan bahwa

tanaman Aren adalah tanaman serbaguna (multi usage) karena hampir semua bagiannya bernilai

ekonomi dan tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sehingga cocok ditanam pada lahan-

lahan marginal. Lebih lanjut dikatakan bahwa tanaman Aren memiliki toleransi yang tinggi

dalam pola pertanaman campuran termasuk dengan tanaman berkayu, tumbuh relatif cepat serta

memiliki perakaran dan tajuk yang lebat, sehingga sangat sesuai dengan tujuan konservasi tanah

dan air. Karena berbagai kelebihan tersebut, tanaman Aren disebut juga sebagai“ Wonderful

tree” karena tanaman ini memiliki berbagai fungsi, dari fungsi ekonomi, sosial, budaya, dan

fungsi konservasi, Akuba dkk (2004).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor : 511/kpts/pd.310/9/2006, tentang

Jenis komoditas tanaman binaan direktorat jenderal

perkebunan, direktorat jenderal tanaman pangan dan direktorat jenderal hortikultura, Aren

(Arengga pinnata Merr) adalah salah satu dari 126 jenis tanaman binaan dari direktorat jenderal

perkebunan. Selama ini tumbuhan Aren hanya diusahakan oleh para petani dalam skala kecil,

dan lebih bersifat sebagai usaha sampingan. Dengan berbagai potensi yang dimiliki, maka

tumbuhan Aren diarahkan untuk dijadikan sebagai komoditas unggulan sektor perkebunan

untuk berbagai tujuan, seperti produksi gula, bahan kerajian tangan, pangan, dan bahkan bahan

bakar nabati (BBN).

Pohon aren adalah pohon multi guna karena hampir seluruh bagian pohon aren dapat

dimanfaatkan seperti halnya tumbuhan sagu. Uraian secara ringkas jenis-jenis produk yang

dapat dihasilkan dari berbagai bagian tanaman aren telah di uraikan dengan jelas oleh Alam dan

Baso (2004), yang selengkapnya dapat diringkas sebagai berikut:

1. Akar pohon aren dapat dimanfaatknan sebagai obat-obatan tradisional untuk penyakit batu

ginjal, dan cambuk.

2. Batang pohon Aren dapat dimanfaatakan untuk bahan bangunan, seperti dinding, lantai dan

bahan baku bilik kamar, serta beberapa produk untuk peralatan memasak (cooking tools).

3. Daun yang masih muda/janur dapat dipergunakan sebagai kertas pembungkus rokok

keretek atau sering disebut rokok klobot, dan pembungkus gula aren, sedangkan daun yang

tua dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku keranjang buah.

4. Daging buah (endosperm) aren dapat diolah menjadi makanan yang lezat yaitu kolang

kaling, sedangkan air nira dari buah aren dapat diolah menjadi gula merah yang memiliki

nilai jual lebih tinggi dibandingkan gula merah dari tebu. Kolang-kaling adalah proses

pengolahan lebih lanjut dari daging buah pohon aren. Pengolahan dilakukan dengan cara

membakar atau merebus buah aren untuk menghilangkan lilin dan melunakan kulit buah.

Setelah lunak, ditiriskan dan buahdibelah dengan mengunakan pisau atau barang tajam

lainnya untuk mengeluarkan daging buah. Setelah dipisahkan dari kulitnya, maka daging

buah di rendam selama beberapa hari untuk menjadikannya masak. Beberapa petani

melakukan perlakuan khusus dengan merendam dengan air kapur untuk tujuan fermentasi.

5. Empulur dari pohon aren yang masak telah tebang juga dapat menghasilkan pati atau

sering dinamakan dengan aci. Satu pohon Aren dewasa menghasilkan kira kira 50-75 kg

Hasil Hutan Bukan Kayu 124

tepung. Jumlah yang jauh lebih sedikit atau hanya 1/5 dari yang dihasilkan oleh tumbuhan

Sagu. Ampasnya dari sisa-sisa ekstraksi aci tersebut dapat dimanfaatkan sebagai media

jamur dan makanan ternak. Tumbuhan Aren yang masih muda, tepung atau aci dapat

diperoleh dengan cara pemarutan empulurnya, diikuti dengan pengendapan dan pemutihan

dengan kaporit. Produk akhir dari tepung Aren ini di antaranya dimanfaatkan sebagai

bahan baku untuk membuat cendol, Soon (bihun), bakmi, tepung kue Hun kwe.

6. Pengambilan pati dari empulur pohon aren ini dapat dilakukan pada pohon aren yang telah

keluar bunga pertamanya, kira-kira umur 10-15 tahun.

7. Ijuk dari tanaman aren adalah bahan baku utama dan memiliki sifat yang kuat untuk

memproduksi barang-barang kerajian rumah tangga, seperti sapu ijuk, talo, sikat, keset,

atap penyaring air, maupun industri lainnya seperti pembungkus kabel listrik dan media

tempat bertelur ikan di kolam.

8. Bunga dari tanaman aren juga merupakan sumber makanan bagi lebah madu, sehingga

sangat cocok bila dikombinasikan dengan budi daya lebah madu.

Masih menurut Alam dan Baso (2004) dikatakan bahwa pohon aren akan mencapai tingkat

kematangan pada umur 6-12 tahun, dan akan ditandai dengan keluarnya mayang pada usia 8-9

tahun. Pada saat keluarnya mayang, kegiatan penyadapan nira mulai dilakukan. Penyadapan

dapat dilakukan dari pohon aren dan dapat berproduksi sampai sekitar 20 tahun. Setiap tandan

dari tanaman aren dapat menghasilkan rata-rata 5 liter nira setiap 24 jam, dan dari 5 liter

tersebut dapat dihasilkan 0.25 kg gula merah aren.

Mengacu kepada Tata nama hasil hutan, maka produk utama dari tumbuhan Aren yang

termasuk dalam komoditas hasil hutan bukan kayu adalah produksi nira. Nira adalah bahan

baku utama gula aren, baik dalam bentuk gula merah dan gula semut. Gula merah adalah gula

hasil pengolahan nira aren yang diuapkan airnya dan dicetak dengan dalam berbagai bentuk

seperti lempengan, balok maupun ukuran tempurung kelapa, Rumoki (2004). Sedangkan gula

semut adalah gula merah yang berbentuk serbuk.

Aspek lain dari tanaman aren ditinjau dari keterkatiannya dengan komoditas hasil hutan

non kayu adalah nilai sosial budaya, ekonomi dan ekologisya terhadap masyarakat sekitar

hutan. Aspek ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan (Forest people) dapat dilihat dari adanya

penambahan pendapatan dari tanaman Aren, baik dari penyadapan nira, kulit batang luarnya,

pati dari empulur batang, daun dan buahnya. Ijuk dari pohon aren dapat dimanfaatkan untuk

membuat sapu lantai, sikat kamar mandi, tali pengikat dan beberapa penggunaan lainnya.

Sedangkan nilai sosial budaya dari pohon aren adalah adanya keterikatan emosional masyarakat

lokal terhadap tanaman aren sebagai sumber gula, minuman tradisional, di mana mereka dapat

saling berinteraksi dan bertukar informasi.

Nilai ekologi dari aren adalah karena tanaman aren memiliki sistem perakaran yang kuat

dan banyak, seperti tumbuhan monokotil lainnya, maka tanaman ini cocok ditanam pada lahan-

lahan miringdan kritis, sehingga dapat mencegah terjadinya banjir dan tanah longsor. Pola-pola

tersebut kiranya dapat diwujudkan dalam sistem perhutanan sosial dengan sistem agroforestry.

Setiap tahun Indonesia terus mengimpor gula dari luar negeri, karena adanya perbedaan

produksi dan permintaan/konsumsi gula di dalam negeri. Menurut data dari Ditjenbun (2003)

yang dikutip oleh Rumokoi (2004) menyebutkan bahwa produksi gula nasional hanya 1.755 juta

ton sedangkan konsumsi nasional sebesar 3,2 juta ton, sehingga ada kekurangan pasokan gula

dalam negeri sebesar 1.445 juta ton per tahun. Pertanyaannya adalah dapatkah tanaman aren

Hasil Hutan Bukan Kayu 125

menghasilkan gula sebanyak, atau minimal dapat menyumbang kebutuhan gula nasional

tersebut? Hal ini tentunya memerlukan pemikiran, tindak lanjut dan partisipasi dari seluruh

pihak yang berkepentingan. Kenyataan dilapangan, pemerintah lebih mementingkan komoditas

tebu untuk meningkatkan produksi gula nasional, baik yang dilaksanakan dengan pola

intensifikasi maupun ekstensifikasi.

Untuk daerah di luar pulau Jawa, tanaman tebu belum dibudidayakan secara intensif,

seperti di Jawa. Peningkatan produk gula nasional dari sumber-sumber lain di luar tebu, masihs

dapat ditingkatkan, dan khusus untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa, beberapa komoditas

lokal perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Komoditas-komoditas lokal yang berpotensi

untuk dikembangkan menghasilkan gula, seperti aren, kelapa, singkong, pohon lontar dan nipah

dapat terus digalakkan.

Tanaman aren yang diperkirakan memiliki luasan sekitar 60482ha (Tabel 9.1), berpotensi

untuk mengganti sebagian dari kebutuhan gula impor tersebut. Peluang ini cukup terbuka bila

dikaitkan dengan potensi yang dapat dihasilkan dari tanaman aren ini. Hal tersebut karena

tanaman aren belum, dimanfaatkan dan dikelola dengan baik dan profesional. Luas areal

tanaman aren dan perkiraan produksi gula telah diringkas oleh Rumokoi (2004) seperti disajikan

pada Tabel 9.1.

Tabel 9.1. Luas areal tanaman aren dan perkiraan produksi gula yang dapat dihasikan

No Provinsi Perkiraan Total areal

(ha)

Perkiraan Produksi

(ton/tahun)

1 Nanggroe Aceh Darussalam* 4081 2114

2 Sumatera Utara* 4357 2619

3 Sumatera Barat* 1830 864

4 Bengkulu* 1748 1442

5 Jawa Barat* 131135 6686

6 Banten* 1448 1713

7 Jawa Tengah* 3078 2809

8 Kalimantan Selatan* 1442 1033

9 Sulawesi Utara* 6000 3000

10 Sulawesi Selatan* 7293 3174

11 Sulawesi Tenggara* 3070 1422

12 Maluku** 1000 500

13 Maluku Utara** 2000 1000

14 Papua** 10000 2000

Total 60482 30376

Sumber: Rumokoi (2004). Keterangan: *Ditjenbun (2003)

** Estimasi berdasarkan laju perkembangan areal sejak tahun 1990

Sedangkan perkembangan luasan Areal tanaman aren dan produksinya dari tahun 1992-

2003 dapat diringkas pada Tabel 9.2

Hasil Hutan Bukan Kayu 126

Tabel 9.2. Perkembangan Luas areal tanaman aren dan produksinya dari tahun 1992-

2003

No Tahun Areal

(ha)

Produksi

(ton)

1 1992 28.612 17.473

2 1993 32.382 19.103

3 1994 32.703 25.996

4 1995 44.825 30.394

5 1996 46.105 25.392

6 1997 45.611 19.067

7 1998 44.857 38.069

8 1999 44.680 36.727

9 2003 49.758 29.174

Sumber :Statistik perkebunan dikutipoleh Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2004)

Departemen pertanian menetapkan target areal tanaman tebu adalah seluas 399,692 ha,

dengan target, yaitu mampu menghasilkan produk gula sebesar 31,38 juta ton dan target

produktivitas tanaman tebu sebesar 79,63 ton per ha. Lebih lanjut diasumsikan apabila

rendemen gulanyasebesar 7,79 %, ditarget akan menghasilkan produksi gula nasional sebesar

2,48 juta ton. Tetapi realisasi penanaman tanaman tebu hanya 396,441 ha, dengan total produksi

sebesar 30,2 juta ton dengan produktivitas sebesar 76,3 ton per ha. Dengan rendemen gula

sebesar 7,63 persen, kenyataan tersebut hanya dapat menambah pasokan gula nasional sebesar

3,3%, menyimpang dari target semula yaitu 7,79 %. Untuk memenuhi kekurangan itu maka

pada tahun 2006, negara kita mengimpor gula putih sebesar 250,000 ton dan pada tahun 2007

juga mengimpor gula sebesar 200,000 ton.

Untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi gula nasional maka swasembada gula perlu

dilakukan, terutama adalah perluasan areal tanaman tebu, karena selama ini gula nasional hanya

dipenuhi dari Jawa. Mulai tahun 2008, yang ditargetkan sebagai tahun swasembada gula

nasional, dan tahun 2009 sebagai tahun surplus gula nasional, mudah-mudahan dapat terwujud.

Untuk merealisasikan rencana tersebut maka pemerintah telah membuat beberapa kebijakan

seperti memperluas lahan tanaman tebu ke daerah luar Jawa yaitu, Sulawesi selatan, Maluku

dan Merauke, merevitalisasi dan merelokasi beberapa pabrik gula di Jawa ke daerah luar Jawa.

Departemen pertanian seperti yang dikutip Kompas tanggal 23 Februari 2007), membuat

skenario pencapaian swasembada Gula konsumsi tahun 2005 – 2009, seperti ditampilkan pada

Tabel 9.3.

Tabel 9.3. Skenario departemen pertanian untuk Pencapaian Swasembada Gula

Konsumsi2005-2009

Tahun Luas areal

(ha)

Produktivitas

(ton/ha)

Produksi Gula

(juta ton)

2005 381.786 5,81 2,22

2006 396.441 5,82 2,47

2007 400.505 6,65 2,66

2008 405.597 6,75 2,73

2009 407.810 6,99 2,85

Hasil Hutan Bukan Kayu 127

Sumber:Deptan yang dikutip oleh Kompas

9.4. Pembuatan Gula Merah Aren

Maskar dan Sarashutah (2004) mengemukakan bahwa gula aren memiliki kekhasan, yaitu

mudah larut, memiliki aroma yang khas bila dibandingkan dengan gula tebu, dan mengandung

sukrosa 84%. Nira aren mengandung zat gizi yaitu karbohidrat (11,3%), protein (0,2%),

abu/mineral (0,2%), dan air (87,1%) menurut Anomim (1975) yang dikutip oleh kedua peneliti

tersebut.

Gula aren dibuat dari air nira yang diperoleh dari pemotongan tandan pohon

arenmayang/tandan (bunch), yang disebut dengan penyadapan. Penyadapan dilakukan sebelum

tandan atau mayang tersebut mekar. Nira ditampung pada tempat yang terbuat dari bambu, yang

di Jawa dikenal dengan nama Bumbung, dan diikat pada pangkal tandan atau bagian lain pohon

aren. Setelah bumbung terisi penuh dengan nira, bumbung diganti dengan yang masih kosong.

Nira yang sudah terkumpul ditampung dalam dandang atau wajan besar untuk selanjutnya

diolah menjadi gula merah aren.

Gula merah aren diolah dengan menggunakan metode tradisional dan tanpa menggunakan

bahan pengawet, bahan pemutih dan bahan pewarna atau penambahan aroma tertentu. Sehingga

gula merah aren ini aman dikonsumsi oleh kita yang suka kan pola hidup yang sehat alami

bebas bahan pengawet. Afrizon dan Gunawan (2004) mengemukakan bahwa pengolahan atau

pembuatan gula merah aren pada prinsipnya adalah proses pemanasan yang bertujuan untuk

menguapkan kandungan air nira, pengadukan dan pencetakan, dan secara sederhana dapat

dilukiskan dalam diagram Gambar 9.4.

Sumber : . Afrizon dan Gunawan (2004)

Gambar 9.4. Bagan proses pembuatan gula aren merah

Dari gambar di atas terlihat bahwa, dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana

dan minim teknologipun, hasil penyadapan tanaman aren atau nira sudah dapat diolah menjadi

Hasil Hutan Bukan Kayu 128

gula merah aren. Produk alahan sederhanan ini sudah dapat langsung dijual untuk menghasilkan

uang. Gambar 9.4 tersebut juga menjelaskan beberapa peralatan sederhana yang dipergunakan

untuk mengolah nira aren menjadi gula, sperti tungku, wajan, penyaring, kayu bakar/kompor,

sutil atau pengaduk, cetakan, dan kertas atau plastik pembungkus.

Sedangkan poses pengolahan nira aren menjadi gula aren semut (kristal) pada

prinsipnyasama dengan pengolahan gula merah aren.Gula aren semut adalah gula aren yang

dibuat berukuran kecil-kecil, menyerupai semut, dan menggunakan media gula pasir untuk

mengikat gula merahnya dan keseragaman ukuran partikelnya. Proses pembuatan gula aren

semut atau kristal adalah sama seperti pada gula aren, hanya diperlukan campuran gula pasir

untuk mengikat gula aren merah menjadi butiran-butiran atau kristal gula.Proses pembuatan

gula aren semut kira-kira dapat dijelaskan dalam bagan seperti pada Gambar 9.5.

Keterangan: Bagan dikembangkan dari Afrizon dan Gunawan (2004)

Gambar 9.5. Bagan proses pembuatan gula semut atau gula kristal dari gula aren merah

Gambar di atas menjelaskan bahwa proses pembuatan gula aren semut, yang berasal dari

gula aren merah, diawali dari:

1. Pelarutan gula merah aren ke dalam air dengan perbandingan 2:1, yaitu 2 (dua) kilogram

gula merah aren ke dalam satu liter air bersih dan sebaiknya gula merah yang dilarutkan

sudah dalam bentuk potongan-potongan kecil, sehingga mempercepat proses pelarutannya.

2. Larutan gula yang diperoleh kemudian disaring dengan kain kasa atau penyaring lainnya,

sehingga diperoleh larutan gula aren merah yang bersih, dan bebas dari kotoran seperti

serat dan sebagainya.

3. Tambahkan gula pasir sebanyak 15% dari total berat gula merah ke dalam larutan gula

merah aren tersebut.

Bagan Proses Pembuatan Gula kristal/semut dari gula aren merah

Pengeringan

Penghalusan/penguseran bagi gula kristal yang lolos penyaringan

Penyaringan

Pendinginan

Penghalusan/penguseran

Kristalisasi

Dimasak sampai jenuh

Panaskan pada suhu 110oC

Tambahkan gula pasir sebanyak 15% dari berat gula merah

Penyaringan larutan gula merah

Gula merah dilarutkan dalam air dengan perbandingan 2:1

Hasil Hutan Bukan Kayu 129

4. Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 110oC dan disertai dengan

pengadukan. Tujuan dari pemanasan ini adalah untuk menghilangkan air yang ada dalam

campuran tersebut. Seiring bertambahnya waktu dan uap air yang menguap, konsentrasi

gula akan bertambah, sehingga campuran akan menjadi pekat atau lengket.

5. Pemasakan dilakukan sampai jenuh. Tingkat kejenuhan dapat diketahui dengan cara

melarutkan sedikit campuran tersebut yang telah mengkristal ke dalam air, dan apabila

terjadi pembekuan maka campuran tersebut telah jenuh dan pemanasan dapat dihentikan

sambil terus diaduk untuk menghindari pelengketan.

6. Kristalisasi adalah perlakuan pengosokan atau pengerusan campuran yang ada diwajan,

sehingga gula tersebut berbentuk kristal atau butiran-butiran kecil.

7. Tahap berikutnya adalah penghalusan atau pengerusan dari butiran-butiran kristal tersebut

untuk menjadikan butiran yang lebih kecil dengan derajat kehalusan yang seragam.

8. Hasil pengerusan tersebut dipindahkan ke dalam wadah yang lebar, wajan atau tempayan

atau bahan lainnya, dengan tujuan untuk mempercepat proses pendinginan.

9. Penyaringan atau pengayakan dilakukan setelah gula kristal tersebut dingin.

10. Gula kristal yang tidak lolos pada nomor 9 di atas, dilakukan penghalusan/pengerusan

ulang untuk memperhaluskan gula kristal lagi.

11. Selanjutnya adalah pengeringan, dengan tujuan untuk mendapatkan kualitas gula kristal

yang baik. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari ataupun

dengan menggunakan oven.

Departemen Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) telah banyak

melakukan kajian dan penelitian tentang aren. Beberapa pokok pemikiran dan kajian

pengembangan tanaman Aren (Arenga pinnata Merr) dibahas secara panjang lebar pada

seminar nasional tentang Pengembangan Tanaman Aren yang berlangsung di Tondano, pada

tanggal 9 Juni 2004. Profil komoditas, status teknologi dan kebijakan teknologi tanaman aren,

penelitian dan Kajiannya dibahas secara mendalam dalam Prosiding Seminar Nasional Aren

dengan judul Pengembangan Tanaman Aren yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Tanaman

Kelapa dan Palma Lain 2004. Proseeding Pengembangan Tanaman Aren tersebut dapat

diperoleh dengan menghubungi BPTP pertanian Tondano, Sulawesi Utara.

9.5. Pemanfaatan Tumbuhan Aren sebagai Bahan Bakar Nabati

Bahan bakar nabati (BBN) adalah bahan bakar yang berasal dari sumber-sumber nabati

atau tumbuhan, dan bersifat dapat diperbaharui (renewableresources). Menurut Peraturan

Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang dimakasud dengan

energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara

alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain : panas

bumi, biofuel, aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu

kedalaman laut. Karena BBN berasal dari tumbuh-tumbuhan, oleh karenanya bahan bakar ini

sering juga dinamakan sebagai bioenergi. Hal ini sangat berbeda dengan bahan bakar minyak

(BBM) yang bersifat tidak dapat diperbaharui (Non renewable resources). Dalam bidang energi,

bahan bakar nabati sering disebut juga sebagai biofuel, sedangkan bahan bakan minyak disebut

dengan fossil fuel.

Tujuan utama dari Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 adalah diversifikasi energi nasional.

Selama ini energi nasional sangat tergantung pada energi BBM (fossil fuel). Karena

ketersediaan BBM ini yang semakin lama semakin menipis, , maka diperlukan strategi jangka

Hasil Hutan Bukan Kayu 130

panjang untuk menggurangi ketergantuan energi nasional kepada BBM. Diamanatkan lebih

lanjut bahwa pada tahun 2025, kontribusi BBN terhadap pasokan energi nasional ditargetkan

minimal 5%. BBN tersebut dapat berupa bioetanol dan biodiesel.

Untuk menunjang keberhasilan tersebut, terbitlah Instruksi Presiden Republik Indonesia

nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel)

sebagai bahan bakar lain, telah memerintahkah beberapa kementerian terkait, (13 kementrian),

Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan

percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar

Lain.

Berdasarkan sifat fisik dan kimianya, biofuel secara kasar dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu yang berbasis karbohidrat atau bioetanol, dan yang bebasis lemak atau biodiesel. Beberapa

tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioetanol seperti Aren (Arenga pinnata),

Sagu (Metroxylon spp), Tebu (Saccharumofficinarum L), Jagung (Zea may L), Sorgum (Sorgum

bicolor), Ubi kayu (Manihotspp), Ubi jalar (Ipomea batata) dan beberapa tumbuhan berumbi

lainnya. Sedangkan beberapa tumbuhan yang dapat dimanfaatakan sebagai sumber bahan baku

biodiesel antara lain Kelapa (Cocos nucifera), Kelapa sawit (Elaeis guineensis), Jarak pagar

(Jatropa curcas), Biji kapas (Gossypium herbaceum L), Kanola (Brassica spp), dan beberapa

tumbuhan penghasil biji yang mengandung minyak lainnya.

Departemen Pertanian telah menyusun road map untuk menunjang pengembangan

bioenergi tersebut. Mulyani dan Las (2008) mengemukakan bahwa berdasarkan

keanekaragaman karakteristik sumber daya lahan, iklim, dan agroekosistem, maka kawasan

Indonesia Barat yang realtif beriklim basah, sangat cocok untuk pengembangan komoditas

tanaman Kelapa Sawit, Kelapa, dan ubi kayu. Sedangkan kawasan Indonesia Timur sangat

potensial untuk komoditas Tebu, Kapas, dan Jarak pagar. Khusus untuk kawasan Papua dan

Maluku, Sagu adalah komoditas unggulannya. Peta potensi pengembangan komoditas tanaman

untuk bioenergi tersebut pada masing masing provinsi disajikan pada Gambar 9.6 berikut.

Sumber: Mulyani dan Las (2008)

Gambar 9.6. Peta potensi lahan untuk pengembangan komoditas tanaman bioenergi pada

masing-masing provinsi di Indonesia

Hasil Hutan Bukan Kayu 131

9.6. Pustaka

Akuba, R.H .2004. Profil Aren dalamProsiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman

Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado. Hal: 1-19

Alam, S., D. Baso. 2004. Peluang Pengembangan dan Pemanfaatan tanaman Aren di Sulawesi

Selatan. dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman Aren”.

Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado. Hal:15-21.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.1999.Penamaman sagu (Metroxylon sago

Rotttb) berskala besar. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.

Effendi, D.S. 2010. Prospek Pengembangan Tanaman Aren (Arenga pinnata Merr) Mendukung

Kebutuhan Bioetanol di Indonesia. Perpectif Vol.9 (1) Hal : 36-46.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penyediaan dan

Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.

Iswanto, A.H. 2009. Aren (Arenga pinnata). Karya tulis. Departemen Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Universitas Negeri Sumatera Utara.

Maskar., I.G.P. Sarashutah. 2004). Potensi dan Masalah PengembanganTanaman Aren di

Sulawesi Tengah dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman

Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Hal : 67-76.

Mulyani, A., I. Las. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi Pengembangan

Komoditas Pengahasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27 (1) Hal:

31-41.

Peraturan Presiden Republik Rndonesia Nomor 5 tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi

Nasional

Rumokoi, M.M.M. 2004. Aren, Kelapa dan Lontar sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan

Gula Nasional dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman

Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Hal: 22-39.

Tenda, E.T., I. Maskromo., B. Heliyanto. 2010. Eksplorasi Plasma Nutfah Aren (Arenga

pinnata Merr) di Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Buletin Palma 38 Hal :

89-94.

www.kompas.com. Areal Tanaman Tebu 2007 diperluas 1.500 Hektar, diakses pada tanggal 23

Februari 2007.

Hasil Hutan Bukan Kayu 132

BAB 10

BAMBU

10.1. Pendahuluan

Bambu adalah tanaman peradaban, karena penggunaan bambu dalam kehidupan manusia

sudah berlangsung sejak peradaban itu dimulai. Di negara negara Asia, seperti Indonesia, China,

Jepang, Korea dan beberapa negara tropis lainnya, peran bambu sangat dominan dalam segala

aspek kehidupan. Bambu merupakan bahan perumahan yang cukup murah, melimpah dan

mudah tumbuh di tanah-tanah marginal sekalipun. Begitu pentingya nilai komoditas bambu

untuk kehidupan kita ini, maka tidak salah pilih apabila menjadikan bambu sebagai komoditas

hasil hutan bukan kayu unggulan, terutama produk-produk turunannya untuk daerah-daerah

padat penduduk seperti pulau Jawa.

Setelah mempelajari pelajaran bambu ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan

untuk :

5. Memahami arti penting tumbuhan bambu bagi masyarakatkhususnya, sebagai alternatif

utama bahan kontruksi rumah di pedesaan pengganti kayu.

6. Memahami fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi dari tumbuhan bambu di

masyarakat secara luas.

7. Mendiskripsikan produk-produk yang dapat dihasilkan dari tumbuhan Bambu beserta

bagan pengolahannya.

8. Memahami ciri-ciri tumbuhan bambu yang telah masak tebang dan pemanenan dan

perlakukan sebelum dibuat suatu produk tertentu, seperti anyaman dan sebagainya.

10.2. Botani Bambu

Bambu adalah salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang penggunaanya sangat

luas di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Tanaman bambu termasuk dalam family

Graminae, suku Bambusease dan sub family Bambusoidae. Tanaman bambu mudah dikenali

dari batangnya yang beruas-ruas, seperti ditunjukkan oleh Gambar 10.1, berlubang pada bagian

tengah batang (hollow clums), tumbuh berumpun, memiliki sistem perakaran akar serabut

komplex (complex rhizome), serta memiliki ranting yang tumbuh pada tiap mata tunas ruas.

Karena ciri-ciri taxonomis tersebut, terutama akar yang lebat dan kuat serta berumpun,

menghijau sepanjang tahun, maka tanaman bambu sangat cocok ditanam pada daerah-daerah

marginal, tandus, pinggir sungai dan tempat-tempat yang sangat rentan terhadap tanah longsor

dan erosi. Daun bambu juga sangat disukai oleh ternak seperti kambing maupun sapi, serta

kelinci. Jenis pakan ini biasanya adalah makan alternatif pada musim kemarau, di mana bambu

masih bertahan hijau pada saat musim kemarau.

Dransfield dan Wijaya (1995) dan Wijaya (2000) mengemukakan bahwa di seluruh dunia

terdapat sekitar 10000 species bambu, terbagi ke dalam 80 genera, dan Asia Tenggara memiliki

sekitar 200 species bambu, yang mana 45 species di antaranya tumbuh dan terdapat di Indonesia

yang terbagi ke dalam 20 genera. Sedangkan Wijaya (2001) menyatakan bahwa di Indonesia

diperkirakan terdapat sekitar 157 jenis bambu, dan merupakan 10% dari jumlah species bambu

dunia. Jumlah species bambu di dunia ini diperkirakan antara 12250-13250 species. Selanjutnya

Hasil Hutan Bukan Kayu 133

dijelaskan bahwa dari jumlah tersebut, khusus untuk Indonesia, diperkirakan 50% adalah jenis

endemik, sedangkan sisanya adalah jenis yang potensial untuk dikembangkan.

Negara China dikenal sebagai negara tirai bambu karena memiliki areal tumbuhan bambu

yang sangat luas, yaitu sekitar 3.8 juta ha. Potensi ini terdiri atas sekitar 500 species bambu

yang terbagi ke dalam 30 genera, jumlah species bambu tersebut adalah sekitar sepertiga dari

jumlah species bambu dunia, Wei dan Chi-son (1997) dan Xinqiang (1997). Dilaporkan lebih

lanjut, bahwa pada tahun 1980 China mampu memproduksi bambu sekitar 304 juta batang,

jumlah ini meningkat menjadi 700 juta batang pada tahun 1996. Sedangkan produksi rebung

bambu mencapai 1.8 juta ton pada tahun 1996, dari produksi semula yang hanya sekitar 390.000

ton pada tahun 1986. Pada tahun 1980-an jumlah ekspor komoditas rebung bambu dalam

kemasan juga meningkat tajam dari sekitar 3.500 to per tahun menjadi 100.000 ton per tahun.

Hal ini ditunjang karena keberadaan ratusan industri pengaalengan rebung bambu di seluruh

wilayah China, Wei dan Chi-son (1997). Ekspor produk kerajian tangan dari China yang

berbahan baku bambu diperkirakan bernilai sekitar 12- 20 juta dollar Amerika Serikat per

tahunnya.

Foto: Wayudi (2007, 2012)

Gambar 10.1. Salah saju jenis bambu yang tumbuh di desa Dukuh – Magetan, Jawa Timur

(kiri), dan di Nankoku, Kochi, Jepang (kanan)

Lebih lanjut dikatakan Oleh Wijaya (2000) bahwa terdapat perbedaan yang significan

tentang penyebaran dan karakteristik bambu yang tumbuh di Indonesia bagian barat dan timur.

Karakteristik tersebut di antaranya bahwa di bagian barat didominasi oleh jenis genera Bambosa

yang dicirikan oleh diameter batang yang sedang sampai besar (lebih dari 5 cm), batang

memiliki dinding yang tebal dan ruas batang yang lurus (erect culm). Pada wilayah barat ini

didominasi oleh genera Giganthochloa dan Dendrocalamus. Bambu yang berdiamter besar ini

kebayakan tumbuh pada daerah dataran rendah, atau hutan pengunungan rendah, hutan

sekunder, hutan primer, kebun, pinggir jalan maupun pinggir-pinggir sungai, bahkan tumbuh

dengan baik di sekitar pemukiman atau kebun penduduk, seperti terlihat pada Gambar 10.2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 134

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar 10.2. Rumpun bambu yang tumbuh di sekitar pekarangan (belakang rumah) penduduk

di kota Manokwari.

Sementara di Indonesia Timur banyak didomniasi oleh Genera Schizostachyum,

Dinochloa, Nastus dan Racemobambus, dengan ciri khas yaitu memiliki dinding yang tipis,

diameter batang atau ruas bambu kecil serta sebagian besar adalah bambu yang merambat atau

melata di atas tanah (scrambling or climbing bamboo) seperti bambu hias. Bambu genera ini,

bambu yang merambat (climbing bamboo), kebanyakan tumbuh di daerah hutan

primer.Sedangkan bambu yang melata tumbuh di hutan-hutan di pebukitan.

10.3. Keanekaragaman Bambu pada Beberapa Daerah

Keanekaragaman jenis bambu di Indonesia Timur telah dilaporkan oleh beberapa peneliti

dari berbagai institusi, Universitas Negeri Papua (UNIPA), departemen Kehutanan, dan

Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI). Misalnya Susanto dkk (2000) melaporkan bahwa

di daerah Amban Pantai dan sekitarnya, Manokwari ditemukan empat jenis bambu yaitu

Phyllostachys aurea A:& C. Riviera, Schizostachyum zollingeri Kurz, Schizostachyum

bracycladum Kurz, dan Bambosa forbessi.Di kabupaten kabupaten Jayapura, khususnya di

daerah Sentani Barat ditemukan enam jenis bambu, yaitu Bambusa vulgaris Schad.ex Wendl,

Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz, Neololeba atra (Steud.) Widjaja, Schizostachyumlima

(Blanco) Merr, Schizostachyum sp, dan Thyrsostachys siamensis Gamble (Langi dkk., 2002).

Jenis bambu di daerah Indonesia Timur lainnya, seperti di pulau

Sumba dilaporkan oleh Wijaya dan Karsono (2004). Dijelaskan lebih lanjut bahwa di pulau

Sumba ditemukan 10 jenis bambu antaralain adalahBambusa blumeana, Bambusa vulgaris,

Dendocalamus asper, Dinochloa kostermansiana, Dinochloa sp, Gigantochloa atter, Nastus

reholtumianus, Phyllostachys aurea, Schisotachyum brachycladum and Schizostachyum lima.

Kesepuluh jenis bamboo tersebut memiliki habitat atau tempat tumbuh yang berlainan.

GenusDinochloa and Nastustumbuh secara liar di hutan-hutan, sedangkan genus lainnya

tumbuh secara liar dan ada yang dibudidayakan di kebun-kebun. Sedangkan bambuyang

merambat hanya ditemukan pada genus Dinochloa. Di antara bambu tersebut, jenisNastus

reholttumianus adalah jenis endemic di pulau Sumba.

Hasil Hutan Bukan Kayu 135

Sedangkan keanekaragaman bambu di kabupaten Sumedang, provinsi Jawa Barat

dilaporkan oleh Irawan dkk (2006). Dilaporkan bahwa di kabupaten Sumedang ditemukan

17jenis bambu, yaitu Bambusa glaucophylla Widjaja; B. vulgaris Schard ex.Wendl. var.vittata

A. riviere;B. vulgaris Schard ex.Wendl. var.vulgaris; B. tudoides Munro; B.multiplex (Lour.)

Raeusc; Dendrocalamus asper (Schult.) Backer ex. Heyne; D. giganteus Munro; Gigantochloa

apus (J.A.&J.H.Schultes) Kurz; G. atter (Hassk.) Kurz; G. atroviolaceae Widjaja; G. kuring

Widjaja; G. pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja; Phyllostachys bambusoides Siebold et

Zuccarini; Schyzostachyum brachycladum Kurz; S. Iraten Steud; S. silicatum Widjaja; dan

Thyrsostachys siamensis Gamble.

10.4. Kenapa Bambu Begitu Spesial

Terdapat beberapa alasan kenapa bambu menjadi komoditas yang paling diminati

khususnya di daerah pedesaan. Tanaman bambu dapat tumbuh pada segala jenis tanah,

topograpi, memiliki pertumbuhan yangrelatif cepat, dapat tumbuh dan berkembang sepanjang

tahun (tidak tergantung kepada musim), mudah dipergunakan (hanya memerlukan sedikit

pengolahan/perlakuan), dan memiliki sifat kekuatan dan keawetan yang memadai. Bambu

memiliki sifat mekanika yang sempurna (excellent), kuat, elastis dan jenis cepat tumbuh yang

membuatnya menjadika komoditas hasil hutan bukan kayu yang sangat menjanjikan dimasa

depan. Tetapi disisi lain bambu juga mudah pecah (splitting), terpuntir (twisting) dan degradasi

permukaan karena faktor iklim dan jamur, Xinqiang (1997).

Dransfield dan Wijaya (1995) menguraikan beberapa ragam penggunaan dan pemanfaatan

bambu baik dari zaman peradaban yang dipergunakan untuk bahan kontruksi membuat rumah,

sampai kepada produk-produk lainnya di zaman modern ini seperti bambu lapis (ply-bamboo),

pulp dan kertas (Pulp and paper made of bamboo), papan mosaik (bambooparquet), supit

bambu (bamboo chopping stick) dan beberapa bahan kerajinan tangan (handycraft), perlatan

musik (instrument music), peralatan dapur (Kitchenware) dan sebagainya.

Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, bahwa tumbuhan bambu adalah

tumbuhan peradaban. Sehingga pemanfaatan bambu menyesuaikan dengan tingkat teknologi

dan pengetahuan yang berkembang di mana komoditas ini ditanam, diolah dan dimanfaatkan.

Di Papua, misalnya bambu banyak dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari dengan

menggunakan teknologi yang sangat sederhana.Langi dkk (2004) melaporkan bahwa di daerah

Sentani Barat, Jayapurakomoditas bambu dimanfaatkan oleh penduduk asli untuk berbagai

keperluan. Contoh dari pemanfaatan tersebut seperti membuat pagar kebun, perangkap ikan

(rumpon) di sungai, sisir bambu, kandang ayam, peralatan berburu (kalawai untuk ikan), alat

musik (seruling), tali pengikat, ajir atau peyangga tanaman kebun sperti kacang-kacangan, dan

bagian dari kontruksi atap rumah semi permanen masyarakat setempat. Gambaran yang lebih

lengkap dan menyeluruh, tentang beberapa jenis bambu yang tumbuh di berbagai daerah di

Indonesia telah di ringkas oleh Yudobroto (1985), sedangkanbeberapapemanfaatan bambu di

Indonesiadilakukan oleh Wijaya (1980). Informasi-informasi tersebut selengkapnya dapat

diringkas pada Tabel. 10.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu 136

Tabel.10.1. Beberapa Jenis bambu yang tumbuh di Indonesia dan pemanfaataanya

Species

Bah

an b

ang

un

an

Ru

mah

asap tem

bak

au

Tem

bak

autetem

bak

au

Keran

jang

Perm

ebelan

ta

Kerajin

an tan

gan

Tan

gk

ai pan

cing

Kay

u b

akar

Pip

a air

Orn

amen

tradisio

nal

Say

ur R

ebu

ng

Alat m

usik

Ind

ustri k

ertas

Ob

at-oab

atan

Tan

aman

hias

Pen

yeb

ara

n

Arundinaria

japonica

Sieb.&Zucc ex

steud

1

Bambusa

arundinacea (Retz)

Wild

1

Bambusa atra

Lindl. 2,3

Bambusablumeana

Bl.ex.Shult.F 1

Bambusa

glaucescens

(Willd.) Sieb. Ex

Munro

1

B.polymorpha

Munro 1

Bambusa vulgaris

Schard 1-5

Dedrocalamus

asper Backer 1,

3-6

Dinochloa

scandens O.K

1

Gigantochloa apus

Kurz 1,4

Gigantochloa atter

(Hassk.) Kurz ex

Munro

1

Gigantochloa aff.

atter

Gigantochloa

verticillata Munro 1

Nastus

elegantissimus

(Hassk.) Holtt.

1

Phyllostachys 1

Hasil Hutan Bukan Kayu 137

aureaA:& C.

Riviera

Phyllostachys nigra

Schizostachyum

blumei Nees 1-3

5-7

Schizostachyum

bracycladumKurz 1-3

5

Schizostachyum

caudatum Backer 5

Lanjutan Tabel. 10.1

Species

Bah

an b

ang

un

an

Ru

mah

asap

temb

akau

Tem

bak

autetem

bak

au

Keran

jang

Perm

ebelan

ta

Kerajin

an tan

gan

Tan

gk

ai pan

cing

Kay

u b

akar

Pip

a air

Orn

amen

tradisio

nal

Say

ur R

ebu

ng

Alat m

usik

Ind

ustri k

ertas

Ob

at-oab

atan

Tan

aman

hias

Pen

yeb

ara

n

Schizostachyum

lima (Bianco) Merr 2-3

8

Schizostachyum

zollingeri Kurz 1,5

Thyrsostachys

siamensis Gamble

1

Keterangan: 1: Jawa, 2: Maluku, 3:Sulawesi, 4:Bali, 5:Sumatera, 6:Kalimantan, 7:Nusa

Tenggara Barat, 8: Papua (Wijaya, 1980; Yudodibroto, 1982).

Dari Tabel 10.1 di atas, terlihat bahwa masih penelitian bambu pada berbagai daerah,

khusunya di luar pulau Jawa, masih sangat minim sekali. Begitu juga, dengan pemanfaatan

sumber daya bambu pada beberapa daerah belum seluruhnya dilaksanakan. Hal ini tentunya

akan menjadi pekerjaan rumah kita dimasa mendatang.

10.5. Sifat-Sifat Dasar dari Bambu

Secara anatomi, bambu tersusun dari sel scelenchyma yaitu yang menebal di bawah kulit

terluar dan sel parenchyma yaitu jaringan dasar yang mengelilingi serat, di mana senyawa

karbohidrat disimpan. Sedangkan pada kulit bagian terluar terdapat jaringan parenchymatous

yang dicirikan oleh adanya lapisan yang menebal oleh adanya zat kutin, lemak atau lilin.

Secara anatomi, bambu terseusun dari sel scelenchyma yaitu yang menebal di bawah kulit

terluar dan sel parenchyma yaitu jaringan dasar yang mengelilingi serat, di mana senyawa

karbohidrat disimpan. Sedangkan pada kulit bagian terluar terdapat jaringan parenchymatous

yang dicirikan oleh adanya lapisan yang menebal oleh adanya zat kutin, lemak atau lilin.

Bambo adalah salah satu sumber daya alam di daerah tropis yang memiliki nilai yang

sangat special, dikarenakan distribusikan yang luas, ketersediaan sepanjang waktu, cepat

tumbuh, mudak pengolahan dan penanganannya, memiliki sifat yang dikehendaki oleh

penggunanya, dan memiliki banyak variasi produk, Dransfield dan Wijaya (1999). Sehingga ada

Hasil Hutan Bukan Kayu 138

pendapat yang mengatakan bahwa tidak satupun tanaman tropis yang memberikan manfaat

sedmikian besar kepada kita selaintumbuhan bambu.

Kurz (1876) yang dikutip oleh Dransfield dan Wijaya (1999) mengemukakan bahwa

tumbuhan atau batang bambu memiliki karakterisik yang unik, yaitu memiliki ruas batang yang

sangat kuat, lurus, halus, relatif ringan bila dibandingkan dengan proporsi rongga batang dan

tebal dinding batang, kemudahan dan kestabilan bila dibelah atau disayat (sliced), keberagaman

dalam ukuran, panjang ruas dan tebal dinding batang membuatnya sangat cocok untuk berbagai

penggunaan, bila dibandingkan bahan lain yang memerlukan banyak perlakukan dan

memerlukan banyak sentuhan tenaga kerja. Khusus untuk wilayaha Asia Tenggara, bambu

dimanfaatkan sebagai bahan bangunan/kontruksi dalam skala luas, sayuran, pembuatan kertas,

instrumen musik dan kerajianan tangan. Bahkan akhir-akhir ini bambo telah mampu diolah

menjadi bahan baku kertas (pulp and paper), papan parket (parquet), bambu lapis (plybambo)

dan sayuran bambu dalam kemasan (canned vegetable) yang mendapat sambutan yang sangat

baik di pasar dunia.

Wei dan Chi-son (1997) melaporkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir perkembangan

hasil penelitian bambu telah menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan tersebut

termasuk dalam bidang budi daya bambu, khususnya untuk produksi rebung bambu secara

masal, pengolahan, dan pemanfaatan bambu dalam scala luas. Ini yang lukiskan bahwa

kemajuan penelitian bambu telah berkembang dari sekedar pemanfaatan ruas bambu sebagai

bahan baku, sampai kepada penelitian sumber daya bambu yang menyeluruh dan terkoordinasi.

Penelitian-penelian tersebut di antaranya seperti untuk pembuatan kayu lapis bambu

(plybamboos), kertas (pulp and paper), rebung bambu dalam kemasan (shoot canned), beberapa

produk makanan lainnya (other food products), minuman (drinks), obat-obatan (medicine) dan

produk kerajinan (handicraft).

10.6. Produk-Produk dari Bambu

Pada sub paragrap sebelumnya, telah disinggung beberapa pemanfaatan bambu, baik dalam

skala tradisional maupun industri. Pada sub paragraph ini, akan disajikan beberapa contoh dari

produk-produk bambu yang sering kita temui sehari-hari. Produk-produk tesebut sangat

beragam, dari sayuran, kerajinan tangan, dan yang lain-lainnya.

Kita sudah terbiasa dengan sayuran rebung bambu, yaitu anakan bambu yang masih muda

(tunas), selanjutnya dikelupas kulitnya, dan dimasak menjadi sayuran. Rebung bambu ini dalam

bahasa Inggris sering disebut sebagai bamboo shoots. Di beberapa negara maju, seperti Jepang,

Korea, dan bahkan China, sayuran ini sangat popular. Di negara Jepang, rebung bambu disebut

dengan Takenoko (Take:bambu, noko: anak), jadi anakan bambu. Salah satu produk dari rebung

bambu yang dijual di supermaket Jepang disajikan pada Gambar 10.3.

Hasil Hutan Bukan Kayu 139

Gambar 10.3. Contoh rebung bambu (takenoko) yang dijual di Jepang

Rebung bambu memiliki kandungan nutrisi yang lengkap. Chongtham dkk (2010)

melaporkan bahwa rebung bambu mengandung asam amino, protein, karbohidrat, lemak, pati,

vitamin C, vitamin E, abu, air dan serat kasar. Sedangkan manfaat rebung bambu bagi kesehatan

kita, yang diringkas dari berbagai sumber, antara lain memiliki sifat antioksidant dan anti

inflammatory, antimicrobial dan antifungal, anticancer, antibacterial and antiviral, bahkan

dilaporkan dapat menurunkan kadar kolesterol.

Produk-produk kerajinan lain dari komoditas bambu, seperti untuk chopstick (supit),

penggulung susi (makanan khas Jepang), tusuk sate (bamboo skewer), dan anyaman keranjang

(basket), dapat dilihat pada Gambar 10.4 di bawah ini.

Gambar 10.4. berbagai produk kerajinan dari komoditas bambu, dari kiri kanan secara berurutan

adalah penggulung susi, tusuk sate, dan anyaman keranjang.

Produk-produk yang telah disebutkan di atas, adalah salah sebagian kecil dari beberapa

produk komoditas lain dari bambu. Produk tersebut dapat dibuat dari bambu-bambu yang

berkualitas rendah, dan dengan menggunakan teknologi yang minimal. Sehingga

pengembangan produk-produk tersebut dapat dilakukan di daerah pedesaan, dengan harapan

Hasil Hutan Bukan Kayu 140

dapat meningkatkan pendapatan dari penduduk setempat, yang seperti kita ketahui sangat

mengantungkan dari usaha pertanian. Usaha pengembangan produk tersebut juga dapat

dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai usaha sampingan, dan menggunakan waktu-

waktu yang longgar, atau di luar waktu untuk bertani atau berkebun, malam hari misalnya.

10.7. Penggunaan Bambu di Pedesaan

Penggunaan bambu di daerah pedesaan sangat beragam yang mana bambu banyak

digunakan sebagai bahan baku untuk membuat rumah, baik sebagai dinding rumah, rangka

dinding, tiang utama, gelagar dan tiang melintang (trush) dan rangka atas. Khusus untuk

dinding rumah, kontruksi bambu yang dipergunakan berbeda-beda, ada yang menggunakan

bambu utuh (solid) seperti pada Gambar 10.5. Bambu jenis ini adalah bambu yang berdiameter

kecil dan berdinding tipis, sehingga lebih baik dipergunakan secara utuh atau solid.

Foto: Dewi (2002)

Gambar 10.5. Penggunaan bambo utuh/solid dari jenis srambling atau climbing untuk dinding

rumah penduduk

Sedangkan bambu yang besar, biasanya dibelah atau disayat tipis-tipis untuk kemudian

dianyam untuk kemudian dipergunakan sebagai dinding rumah seperti ditampilkan pada

Gambar 10.6.

Foto: Dewi (2002)

Gambar 10.6. Penggunaan anyaman ruas bambu (gedek) untuk dinding rumah penduduk di

distrik Pantai Utara Manokwari.

Hasil Hutan Bukan Kayu 141

Gambar 10.5 dan 10.6. di atas tersebut adalah contoh penggunaan bambu untuk dinding

rumah di Desa Nuni, distrik Manokwari Utara, kabupaten Manokwari Papua Barat, kira-kira 60

menit dengan kendaran dari pusat kota Manokwari.

Khusus untuk anyaman bambu untuk dinding rumah ini ada dua jenis, yang kalau di daerah

Jawa Timur dinamakan gedek, yaitu anyaman bambu yang dibuat dari belahan ruas bambu

dengan tebal setebal dinding ruas bambu, sehingga nampak kasar dan mudah dilintasi udara.

Kelebihan dari gedek adalah kuat, tetapi kekuranganya adalah kurang rapi. Sedangkan yang satu

lagi adalah kepang, ini yang terbuat dari anyaman dari sayatan tipis-tipis ruas bambu (±0.5

mm). Di daerah Pulau Jawa anyaman bambu ini juga dapat dimanfaatkan untuk alas menjemur

padi atau hasil pertanian lainnya. Bahkan pada beberapa daerah, kepang dipergunakan sebagai

dinding rumah penduduk, rumah gazebo pada beberapa tempat peristirahatan, utamanya pada

daerah pegunungan.

Penggunaan bambu yang lain untuk daerah pedesaan, seperti di Pulau Supriori, Biak,

dimanfaatkan sebagai jembatan atau lantai air seperti ditunjukkan oleh Gambar 10.7. Hal

tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk di daerah ini adalah nelayan, sehingga rumah

tepat tinggalnya berupa rumah tiang di atas air laut. Pemilihan bambu berdasarkan beberapa

pertimbangan, seperti murah, potensinya melimpah, dan tidak memerlukan banyak biaya.

Foto :Marty (2005)

Gambar 10.7. Penggunaan bambu solid sebagai lantai/jembatan pada rumah panggung di

Supriori Biak - Papua.

Di daerah Pantai utara Manokwari, karena potensi bambu yang melimpah, komoditas ini

dipergunakan sebagai bahan baku membuat pagar kebun penduduk lokal, Gambar 10.8, untuk

mencegah dan melindungi tanaman penduduk dari serangan hama binatang babi atau lainnya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 142

Foto: Dewi (2003)

Gambar 10.6. Penggunaan bambo solid untuk pagar kebun penduduk lokal di daerah distrik

Pantai Utara- Manokwari.

Ranting-ranting dari dahan bambu, juga banyak dimanfaatkan oleh para petani, tidak hanya

di Indonesia tapi juga di negara maju seperti Jepang, untuk menjadi penyangga beberapa

tanaman semusim yang memerlukan tiang penyangga, seperti jenis tanaman kacang-kacangan.

Gambaran penggunaan ranting bambu untuk penyangga tanaman semusim di Jepang dapat

dilihat pada Gambar 10.9

Gambar 10.9. Pemanfaatan ranting bambu untuk penyangga tanaman semusim oleh petani di

Jepang

Bambu banyak dipergunakan pada daerah pedesaan dikarenakan sifatnya yang kuat, ulet,

batangnya lurus, keras, mudah dibelah, mudah diawetkan. Selain sifat tersebut, bambu juga

mudah diperoleh, murah dan mudah dikerjakan, ringan mudah diangkut meskipun dengan alat

yang sederhana.

Hasil Hutan Bukan Kayu 143

10.8. Perkembangan Teknologi Bambu

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bambu dapat diolah menjadi veneer yang

selanjutnya dibuat plywood dan laminated veneer bamboo dan pulp. Wei dan Chi-son (1997)

masing-masing dari Universitas Nanjing dan Zhejiang di China, melaporkan bahwa beberapa

jenis papan buatan berbahan dasar bambu telah dapat diproduksi di China. Papan buatan

tersebut seperti bambu berlapis plywood (bamboo timber plywood), plywood bambu (bamboo

sheet plywod), plywood bamboo lebar dan tipis (Bamboomat plywood), papan shaving (shaving

board) dan papan partikel (particleboard). Lebih lanjut dikemukakan bahwa samapai dengan

tahun 1996, di China telah berdiri 25 pabrik plywood bambu dengan kapasitas industri

terpasang mencapai 50.000 meter kubic (m3), hanya mampu berproduks sebesar 30.000 m3.

Kenapa bambu disukai sebagai bahan kontruksi sebagai alternatif pengganti kayu ini

disebabkan antara lain adalah potensinya berlimpah dan mudah didapat/umur pendek,

memerlukan teknologi sederhana dalam pengolahannya (belah, sayat, potong, paku),

diversifikasi produk (kulit, batang, anyam, ), mudah dikerjakan (ringan, lurus), keuletan dan

keawetannya yang tinggi, technological attributes (keras pada lap luarnya, tua makin keras).

Pemungutan dan pemanenan dilakukan dengan memotong batang bambu 30-40 cm di atas tanah

dan memotong 30-40 cm dari ujung batang bambu.

Peningkatan kualitas bambu dapat dilakukan dengan cara pengerigan dan pengawetan.

Secara traditional pengawetan dilakukan dengan perendaman di air mengalir atau sungai dengan

tujuan untuk mencuci atau mengurangi kadar selullosanya. Sedangkan pada dinding rumah

untuk menghindari serangan serangga bubuk/penggerek kayu dilakukan dengan pengecatan atau

pelaburan dengan kapur puti, (dalam bahasa jawa dinamakan gamping). Pengeringan dilakukan

dengan menjemur bambu yang sudah dibelah untuk menghindari serangan jamur perusak kayu

dan meningkatkan stabilitas dimensi dari bambu dan produk turunannya.

10.9. Lembaga Penelitian Bambu dan Rotan

Organisasi non profit internasional yang bersifat mandiri (independent) dan bergerak dalam

penelitian dan pengembangan komoditas bambu dan rotan adalah International Network for

Bamboo and Rattan (INBAR) yang dibentuk di China pada tahun 1997. Organisasi ini

beranggotakan sembilan negara yaitu Banglades, Canada, China, Indonesia, Myanmar, Nepal,

Peru, Filipina dan Tanzania.

INBAR memiliki tugas utama yaitu mengembangkan, memberikan dan mempromosikan

teknologi bambo dan rotan yang tepat beserta aspek-aspek lainnya. Sehingga dapat memberikan

solusi dan manfaat kepada masyarakat lokal dan lingkungannya dengan tujuan utamanya adalah

memajukan kualitas hidup (quality of life) dari orang miskin dan golongan terbelakang lainnya

di negara-negara berkembang. Bidang kajian dari organisasi ini meliputi keakekaragaman

jenis dan genetik sumber daya rotan dan bambu, konservasi, sistem produksi atau pemanenan,

pengolahan, pemanfaatan, sosial ekonomi dan kebijakan.

10.10. Pustaka

Chongtham, N., M. S. Bisht., S. Haorongbam.2011.Nutritional Properties of BambooShoots:

Potential and Prospects forUtilization as a Health Food.Comprehensive Review in

Food Science and Food Safety.Vol.11 Hal:153-169.

Hasil Hutan Bukan Kayu 144

Dewi, F.D. 2004. Pemanfaatan Hasi Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni Distrik

Manokwari Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

Universitas Negeri Papua (tidakditerbitkan)

Dransfield, S., E.A. Widjaja (1995). Plant Resources of South East Asia No. 7. Bambo. Prosea

Bogor Indonesia.

Irawan, B. S.R.Rahayuningsih., J. Kusmoro. 2006. Keanekaragaman jenis bambu di kabupaten

Sumedang Jawa Barat.

Langi, L.T., J. Wanggai., H. Remetwa.2005. Jenis-jenis bambu di daerah Sentani Barat

Jayapura. Info Hutan Vol.2 (2) Hal:121-134.

Marty.2006. Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu Oleh Masyarakat Sowek di Rayori Supriori

Selatan kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Prebble, C.1997. Bamboo and Rattan : Resources for the 21st Century?. Tropical Forest Update

Volume 7, No 4, 1997/4.pp 13-14 International Tropical Timber Organization.

Japan.

Susanto, I., A.R.R. Marpaung., S. Bataradewa.2000. Jenis-jenis Bambu di Amban Pantai,

kabupaten Manokwari. Beccarriana Vol.2(1) Hal:13-17.

Xinqiang, H.1997. Modification of Bamboo. Tropical Forest Update Volume 7, No 4,

1997/4.pp 14 International Tropical Timber Organization. Japan

Wei, F., Chao Chi-son.1997. China’s Bamboo Industri. Tropical Forest Update Volume 7, No 4,

1997/4.pp 15. International Tropical Timber Organization. Japan

Widjaja, A.E.2000. Bamboo Diversity and Its Future Prospect in Indonesia. Herbarium

Bogoriense, Botany Division, Research and Development Centre for Biology.

LIPI-Bogor.

Widjaja, A.E. 1980. Status of Bamboo Research Activities in Indonesia dalam Proceeding of

workshop of Bamboo Research in Asia. Editors:GillesLesserd and Amy

Chouinard. Hal.63-68.

Widjaja, A.E., Karsono.2004. KeanekaragamanBambudiPulau Sumbawa.BiodiversitasVol.6(2)

Hal:95-99.

Yudodibroto. H. 1985. Bamboo Research in Indonesia in Recent Reserach on Bamboo.

Proceddingsof the International Bamboo workshop. Hal: 33-44.

Hasil Hutan Bukan Kayu 145

BAB 11

PRODUK TURUNAN KAYU

11.1. Pendahuluan

Komoditas hasil hutan bukan kayu yang dinamakan dengan produk turunan kayu adalah

beberapa produk yang dihasilkan dari proses pengolahan lebih lanjut dari kayu, limbah-limbah

kayu, maupun bahan-bahan berkayu lainnya.Pengolahan lebih lanjut dari produk kayu ini

memang ditujukan untuk utama memanfaat sumber daya hutan secara maksimal (maximum

yields), seperti yang tertuang dalam asas-asas pemanfaatan hutan.

Produk-produk turunan kayu yang dibahas dalam hal ini adalah jenis produk langsung dari

pemanfaatan sisa-sisa kayu atau pemanfaatan langsung dari kayu yang bukan untuk untuk

tujuan kayu gergajian dan olahan lainnya. Termasuk di dalam hal ini adalah kayu-kayu yang

low grade, lesser known species, dan limbah-limbah, baik limbah eksploitasi, limbah industri

dan limbah potensi. Limbah eksploitasi adalah limbah-limbah yang berasal dari kegiatan

pemanenan hutan, seperti cabang, ranting, daun, banir dan sebagainya. Limbah industri adalah

limbah-limbah yang dihasilkan dari proses industri perkayuan, seperti serbuk, kulita, sabetan,

dan lain-lain. Sedangkan limbah potensi adalah beberapa tegakan yang berpotensi untuk

dipanen, tetapi karena berbagai pertimbangan, tegakan tersebut tidak atau belum dimanfaatkan.

Komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok turunan kayu ini dapat dibagi ke dalam

produk dari proses pembakaran (karbonisasi), yaitu arang (charcoal), arang katif (activated

charcoal), briket (briquette), dan atap sirap. Sebenarnya masih banyak produk-produk turunan

lainnya.

Setelah menyelesaikan bab ini, diharapkan para pembaca memiliki pengetahuan untuk:

1. Menjelaskan dan mengidentifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang berupa turunan

kayu, yang telah diolah, dimanfaatkan dan yang belum diolah di sekitas kita.

2. Memahami alasan pengelompokkan komoditas produk turunan kayu tersebut ke dalam

kelompok hasil hutan bukan kayu

3. Menjabarkan kegunaaan dari masing-masing hasil hutan turunan kayu tersebut.

11.2. Arang (Charcoal)

Arang adalah benda padat yang biasanya berwarna gelap dan apabila dibakar akan

menghasilkan panas. Bahan baku arang adalah kayu, limbah-limbah kayu dari proses

pengolahan kayu, oleh karenanya arang sering dikenal dengan nama Bahan Bakar Arang Kayu

atau sering dikenal dengan nama BBAK. Sebaliknya Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah

sumber energi yang berasal dari fossil fuel. Perbedaan yang sangat mendasar antara BBAK dan

BBM adalah sumber bahan bakunya. BBAK berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui

(renewable resources) sedangkan BBM berasal dari sumber daya yang tidak dapat diperbaharui

(nonrenewable resources).

Energy alternatif yang cukup melimpah di alam dan sekarang lagi menjadi bahan

pembicaraan diberbagai forum seminar dan kajian ilmiah beberapa ahli adalah enery biomasa

(Biomass energy). Energy biomas adalah energy yang bersumber dari massa penyusun

tumbuhan atau komponen organik tumbuhan. Komponen yang dominan pada massa organik

Hasil Hutan Bukan Kayu 146

tumbuhan adalah senyawa karbon yang berupa karbohidrat, dan makromolekul lainnya. Unsur

penyusun senyawa biomassa didominasi oleh atom karbon (C), Oksigen (O) dan Hidrogen (H).

Sedangkan beberapa atom lainnya seperti Mg, Ca, K, dan Mn serta Pberada dalam jumlah yang

relatif sedikit dibandingkan dengan senyawa karbon. Produk turunan dari energy biomas

tersebut di antaranya yang dikenal dengan Bioetanol, Bioalkohol dan Biodiesel.

Kedepan dengan berbagai kajian dan penelitian yang dilakukan, kemungkinan untuk

mengembangkan energi hidrogen yang diperoleh dari biomassa cukup besar, di samping energi

karbonnya. Selama ini kebanyakan untuk sumber energy carbon, hanya terfokus pada

pemanfaatan minyak bumi (fossil fuel) dan batu bara (coal). Pemanfaatan sumber-sumber

energy alternatif lainnya yang ramah lingkungan dan cukup melimpah potensinya di negara

Indonesia, belum optimal. Sumber energi alternatif tersebut misalnya panas bumi, tenaga surya

(solar cell), gelombang pasang-surut air laut, mikro hidro, dan tenaga angin (win power).

Arang pada prinsipnya adalah sumber energy yang terbarukan dan bersumber dari

pembakaran dari unsur carbon. Pembakaran arang adalah pembakaran carbon, sama dengan

minyak bumi dan batubara. Tetapi kedua bahan bakar berbahan dasar carbon itu adalah

tergolong bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui. Sedangkan arang termasuk yang dapat

diperbaharui. Arang atau charcoal adalah sisa atau residu dari proses destiliasi kayu karena

panas dengan tidak melibatkan/pembatasan oksigen yang sebagaian besar komponennya adalah

karbon. Arang biasanya berwarna hitam legam, dan terkadang mengkilap apabila terkena

cahaya yang cukup terang. Gambaran komoditas arang seperti ditunjukkan oleh gambar

7.1.Pembuatan arang dapat dilakukan pada proses pembakaran/pemanasan kayu dalam

timbunan ataupun tanur tanpa atau dengan udara yang terbatas. Proses pembuatan arang dapat

dilakukan dengan berbagai macam cara diantarnaya adalah proses karbonasi, destilasi kering,

destilasi destruktif, peruraian panas dan pirolisis.

Foto: Wahyudi (2012)

Gambar 7.1. Komoditas arang yang dipasarkan di Jepang, produksi Jepang (kiri) dan kemasan

arang asal Indonesia di Jepang (kanan)

Arang sangat digemari sebagai bahan bakar atau sumber energi karena nilai kalornya yang

tinggi (7000-7600 kal), bila dibandingkan dengan nilai kalor batubara (6000-7000 kal). Arang

juga memiliki kadar abunya yang rendah, sangat reaktif dalam reaksi kimia, dan mempunyai

absorbansi yang tinggi terutama dalam bentuk serbuk. Arang dapat dipergunakan sebagai bahan

atau penolong dalam industri makanan kimia, logam, tekstil dan lain lain.

Hasil Hutan Bukan Kayu 147

Arang banyak dimanfaakan untuk berbagai keperluan, dari rumah tangga, industri kecil

(home industri) seperti pandai besi, pedagang makanan kaki lima (kuliner) sampai kepada

industri beskala besar. Berdasarkan pemanfaatannya tersebut, arang dikelompokan ke dalam

tiga kelompok yaitu :

a) Sumber energi dalam rumah tangga seperti memasak, pemanas ruangan, tungku bakar,

tanur pengeringan untuk ikan (azar), tembakau, binatu, dan industri pandai besi atau empu.

b) Industri metalurgi yaitu sebagai bahan bakar dan reduktor dalam atau pengolahan biji

logam dalam tanur, industri aluminium, pelat baja, penyepuhan, kobalt, tembaga, nikel,

besi, serbuk besi dan lain-lain.

c) Industri kimia atau pharmacy, banyak dipergunakan karbon aktif, yang biasanya

dinamakan arang aktif (activated carbon), berfungsi untuk mengabsordi suatu zat racun

atau senyawa polutan dalam suatu larutan atau media, obat – obatan, campuran resin,

katalisator, pupuk, perekat, karbon monooksida dan termsuk di dalamnya industri

elektronika.

Arang kebanyakan dibuat dengan proses karbonisasi, dengan cara membakar bakan

bakunya sampai menghasilkan arang. Berdasarkan proses karbonisasinya, arang dibedakan

menjadi tiga yaitu:

1. Arang hitam yang dibuat pada suhu 400 - 700oC yang diperuntukan untuk pengolahan biji

besi, silikon, titanium, magnesium dan karbon aktif.

2. Arang putih yang dibuat pada suhu karbonisasi di atas 700oC yang diperuntukan dalam

pembuatan carbon bisulfida, natrrium sulfida dan natrium cianida.

3. Serbuk arang yang dibuat untuk tujuan bahan baku briket arang, karbon aktif dan bahan

bakar.

Kualitas arang kayu akan sangat dipengaruhi oleh jenis kayu, cara dan proses pengolahan

arang. Khusus untuk proses karbonisasi pada pembuatan arang banyak ditentukan oleh adanya

kecepatan pemanasan dan tekanan udara dalam tanur, di mana pemansan yang cepat akan

menghasilkan rendemen arang yang rendah karena tahapan karbonisasi sulit untu dikendalikan

dan rendeman arang makin tinggi dengan meningkatnya tekanan dalam tanur arang.

Kualitas arang dapat ditentukan berdasarkan unsur kimia yang terkandung di dalamnya,

sifat fisik dan dibedakan menurut kegunaannya. Untuk pemakaian skala industri, kualitas arang

ditentukan oleh beberapa variabel meliputi: kadar air, abu, nilai kalor, zat yang mudah menguap

(volatile matter), sisa karbon (fixed carbon), nilai kalor, kekerasan, berat jenis dan titik

bakarnya (ignition point).

Secara umum kualias arang yang terbuat dari kayu dapat dibedakan berdasarkan ciri

fisiknya. Ciri-ciri fisik tersebut di antaranya adalah :

1. Memiliki warna hitam mengkilap dan menghasilkan nyala kebiru-biruan apabila dibakar

2. Penampilanya terlihat mengkilap pada pecahan – pecahannya, seperti dapat memantulkan

cahaya.

3. Arang tidak mudah hancur atau terkikis sehingga akan mengkotori tangan apabila dipegang

4. Apabila dibakar tidak banyak mengeluarkan asap (tidak berasap)

5. Tidak memercikkan api (tidak ada percikan api) dan tidak berbau saat dibakar

Hasil Hutan Bukan Kayu 148

6. Arang akan mampu menyala terus saat dibakar walaupun tanpa dikipas

7. Tidak mudah atau cepat terbakar, dalam pengertian cepet menjadi abu

8. Berdering seperti logam bila bergesekan

Bahan baku arang akan sangat menentukan kualitas arang. Untuk membuat arang

diperlukan beberapa persyaratan di antaranya bahwa kayu daun lebar (hardwood) lebih disukai

daripada kayu daun jarum (softwood). Hal tersebut karena kayu daun lebar umunya memiliki

kerapatan atau density dan berat jenis lebih tinggi, dan memiliki kekerasan yang lebih tinggi.

Bahan baku yang berasal dari kayu teras (heartwood) lebih disarankan daripada kayu gubal

(sapwood). Bagian batang kayu menghasilkan arang yang lebih bagus dibandingkan bagian

cabang, sedangkan kayu kering lebih baik untuk bahan baku dibandingkan kayu basah. Hal

tersebut karena kayu basah memerlukan lebih banyak energy untuk menguapkan air

dibandingkan kayu kering.

Di Indonesia, pada kebanyakan kayu yang dipergunakan sebagai bahan baku arang adalah

kayu dengan nilai berat jenis kering udara antara 0.6 - 0.7, dan memiliki kadar air antara 30 - 40

% dengan diameter 10 cm - 20 cm. Kayu dengan berat jenis yang lebih dari 0.6 memerlukan

waktu pengolahan yang lama dibandingkan kayu dengan berat jenis yang rendah.

Proses pembuatan arang melibatkan proses karbonisasi yang bersifat eksoterm. Reaksi

eksoterm berarti bahwa jumlah panas atau energy yang dihasilkan untuk pembakaran lebih

besar dibandingkan jumlah energy atau panas yang diperlukan. Reaksi tersebut akan sangat

terlihat apabila suhu mencapai 300 – 400 oC di mana suhu menlonjakdengan cepat sedangkan

panas yang diberikan tetap. Proses karbonsasi pada kayu terjadi pada selang suhu antara 100 –

1000oC, dan perubahan terbesar pada massa kayu terjadi pada suhu antara 200 – 500oC. Proses

pembuatan arang dilakukan pada suhu di atas 500oC dan bahkan ada yang lebih dari 1000oC.

Sedangkan apabila menghendaki hasil akhir proses pembuatan arang adalah ter atau destilat

maka menggunakan suhu 500oC.

Pada prinsipnya proses karbonisasi dalam pembuatan arang dibagi dalam empat tahapan

proses yang dibedakan dari besarnya suhu pembakaran atau pemanasan, yang selengkapnya

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Suhu 0 – 260oC. Pada tahap awal karbonisasi ini berawal dari saat pemanasan dan

pembakaran kayu yaitu penguapan kadar air kayu, kemudian penguraian selulosa pada

suhu sekitar 200oC. Pada suhu ini juga dihasilkan beberapa destilat yang sebagain besar

mengandung asam- asam dengan sedikit metanol. Pada selang suhu antara 200 – 260 oC

dihasilkan destilat asam cuka dan asam – asam lainnya.

2. Suhu 260 –310oC. Pada tahap ini sebagian komponen selulosa telah terurai menjadi secara

itensif. Juga dihasilkan pirolygneous liquor (cairan lignin) yang berwarna kecoklatan dan

banyak mengandung persenyawaan organik dengan titik didih yang rendah, di antaranya

adalah asam cuka, methanol, dan terlarut. Sedangkan gas yang dihasilkan dari proses

pembakaran pada suhu ini di antaranya adalah gas Karbon dioksida (CO2) dan monooksida

(CO), di mana setiap setiap kilogram kayu kering tanur dihasilkan sekitar 50 liter.

3. Suhu 310 – 500oC. Pada fase suhu ini komponen lignin telah banyak terurai menjadi ter,

sedangkan komposisi prolygneous liquor dan gasnya menurun. Volume gas yang

dihasilkan tiap kilogram bahan mentah juga mengalami penurunan dari 50 liter menjadi

sekitar 30 liter. Gas karbondioksida (CO2) akan menurun, tetapi gas kabon monooksida

(CO), Methane (CH4) dan H2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 149

4. Suhu 500 – 1000 oC. Pada fase suhu ini akan diperoleh gas kayu yang sulit untuk

dikondensasikan, terutama untuk gas Hidrogen (H). Fase yang terakhir ini adalah

merupakan fase pemurnian arang.

11.3. Arang Aktif (Activated Carbon)

Arang aktif adalah arang yang telah mengalami proses pemurnian, yaitu konfigurasi atom

karbonnya dibebaskan (dimurnikan) dari ikatan dengan senyawa atau atom-atom lainnya, dan

pori-porinya dibersihkan dari kotoran atau unsur-unsur lain. Sehingga arang aktif memiliki

permukaan yang lebih luas dan pori-pori yang bersih dan lebih besar dibandingkan arang biasa.

Secara umum arang aktif juga sering disebut sebagai arang aktif.

Menurut Harsanti dan Ardiwinata (2011) arang aktif adalah sutau bahan hasil pirolisis

arang pada suhu 600-900oC. Setelah pembuatan arang, proses aktivasi arang aktif dilakukakan

pada suhu antara 800-900oC.Perbedaan yang sangat mendasar antara arang aktif dan arang,

selain pada suhu proses pembuatannya, juga pada karakteristik fisiknya. Pada permukaan arang

masih terdapat senyawa-senyawa hidrocarbon sisa-sisa dari proses pembakaran. Sedangkan

pada arang aktif, permukaan dan pori-porinya nya relatif bebas dari senyawa-senyawa

hidrocarbon. Karenanya, arang aktif memiliki daya serap atau absorpsi yang tinggi terhadap

bahan yang berbentuk larutan atau uap.

Berbagai jenis industri menggunakan dan memanfaatan arang aktif, seperti industri kimia,

makanan dan minuman, farmasi dan obat-obatan, dan bahkan industri pertanian dan kehutanan.

Arang aktif juga dapat dimanfaatkan untuk media penyerap dan pemurni berbagai pollutan, baik

dalam air minum atau tanah yang tekena polusi atau terkontaminasi. Rincian dari pemanfaatan

arang aktif untuk berbagai jenis pemanfaatan dan tujuan penggunaan seperti dilakukan oleh

Alfathoni (2002), dapat diringkas pada Tabel 11.1 berikut ini.

Tabel 11.1. Rincian dari berbagai jenis pemanfaatan dan tujuan pemakaian dari arang

aktif

No Jenis pemanfaatan/ Tujuan Pemakaian

1 Industri makanan Menyaring dan menghilangkan bau, warna, dan rasa

tidak enak pada makanan

2 Industri pengolahan

air minum

Mengihalngkan bau, warna, rasa tidak enak, gas-gas

beracun, zat pencemar air, dan sebagai pelindung resin

pada pembuatan demineralis water.

3 Industri minuman Menghilangkan warna, bau dan rasa tidak enak.

4 Industri obat Menyaring dan menghilangkan warna dan senyawa-

senyawa yang tidak diinginkan.

5 Industri pengolahan

limbah cair

Membersihkan air buangan dari pencemar warna, bau,

zat beracun, dan logam berat.

6 Pengambil gas

polutan

(pollutanremover)

Menghilangkan gas beracun, bau busuk, asap, uap air

raksa, uap benzen, dan lain lain.

7 Industri plastik Sebagai katalisator, pengangkut vinil klorida, dan vinil

acetate.

8 Industri gas alam

(LNG)

Desulfurisasi, penyaringan berbagai bahan mentah, dan

reaksi gas.

Hasil Hutan Bukan Kayu 150

9 Industri rafinery Sebagai zat perantara dan penyaring bahan mentah.

10 Industri pengolahan

emas dan mineral

Permurnian uap, uap merkuri, dan penyerap polutan.

11 Mendaur ulang

pelarut

Mengambil kembali pelarut, sisa methanol, ethanol, ethyl

acetate, dan lain-lain.

12 Industri perikanan Pemurnian, menghilangkan bau, dan warna.

13 Industri gula dan

glukosa

Menghilangkan warna, bau, dan rasa tidak enak,

menyerap nitrogen dan lipophilic kolloids sehingga

membantu penyempurnaan proses penyaringan, dan

mengurangi timbulnya busa pada proses penguapan,

yang akhirnya mempercepat proses kristalisasi.

14 Industry minyak

goreng

Pencampuran karbon aktif dengan bleaching earth sangat

efektif dan ekonomis yang berguna untuk menghilangkn

peroksida, zat warna, rasa, bau yang tidak enak akibat

proses sponifikasi.

15 Industri karet Karbon aktif yang berasal dari minyak bumi golongan

minyak bakar memiliki ukuran partikel yang sangat halus

dan kandungan carbon bebas radikal, sehingga dapat

dipergunakan untuk menghasilkan polimer karet alam,

dengan keuletan dan kekuatan yang tinggi, sangat cocok

diperuntukkan untuk bahan baku ban mobil, karet seal

dan lain-lain.

16 Industri kimia Dipergunakan dalam pembuatan asam sitrat, cafein,

gliserin, asam laktat, dan lain-lain.

Sumber: Alfathoni (2002)

Arang aktif juga dapat dimanfaat dalam bidang pertanian, seperti untuk memperbaiki sifat

fisik, kimia dan hayati tanah (Harsanti dan Ardiwinata, 2011). Dapat dijelaskan, bahwa arang

aktif dapat meningkatkan agregat tanah dan kemampuan mengikat air, dan pada tanah berliat,

arang aktif dapat membantu menurunkan kekerasan tanah dan meningkatkan kemampuan

pengikatan air tanah. Penambahan arang aktif dalam tanah, juga dapat meningkatkan jumlah

populasi mikroorganisme tanah, misalnya bakteri. Karena pori-pori kecil dari arang aktif

berberan sebagai naungan (shelter) bagi mikroorganisme tersebut. Lebih lanjut dijelaskan,

bahwa penggunaan arang aktif dilahan persawahan dapat meningkatkan bakteri, khususnya

bakteri fiksasi nitrogren (Azotobacter). Kedua peneliti ini memberikan contoh, bahwa

pemberian arang aktif pada lahan pertanian di Jepang dapat meningkatkan frekwensi bakteri

fiksasi nitrogen sebesar 10-15% di wilayah Hokaido dan Tohoku (Jepang Utara), 36-48% di

wilayah Kanto hingga Chugoku, dan 59-66% di daerah Kyusu (Jepang selatan).

Jenis bahan baku arang aktif memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kesediaan

mikroorganisme tanah, baik pada lahan pertanian yang sejenis atau beberda komoditasnya.

Contohnya adalah hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian

(Balingtan), Departemen Pertanian.Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang aktif yang

terbuat dari tempurung kelapa dan tongkol jagung dapat meningkatkan populasi mikroba tanah

dari jenis Citrobacter sp, Enterobacter sp, dan Azotobacter sp lebih banyak pada lahan padi

dibandingkan dengan arang aktif yang terbuat dari sekam padi dan tandan kosong kelapa sawit.

Tetapi pemberian arang aktif yang dari tongkol jagung pada tanaman Kubis dapat meningkatkan

Hasil Hutan Bukan Kayu 151

populasi mikroba Citrobacter sp, Pseudomonas sp, Serretia sp, Bacillus sp, Azotobacter sp, dan

Azospirrilliumsp. Beberapa bakteri tersebut adalah termasuk bakteri pendegrdasi pestisida dan

pengikat nitrogen. Kedua peneliti tersebut juga menyimpulkan bahwa penggunaan arang aktif

dalam budi daya tanaman pertanian dapat menurunkan pestisida dalam tanah, air dan produk

pertanian. Mereka memberikan contoh bahwa hasil penelitian dari Balingtan tahun 2009

menunjukkan bahwa pemberian arang aktif dari tempurung kelapa pada tanah yang ditanami

kubis dapat menurunkan residu insektisida klorpirifos di air hingga sekitar 50%. Sedangkan

arang aktif dari sekam padi, tempurung kelapa, tempurung kelapa pelapis urea, dan zeolit

ditanah areal pertamanam kubis dapat menurunkan residu lindan di air hingga 50%. Sedangkan

arang aktif dari sekam padi mampu menurunkan residu pestisida dalam tanah hingga 70%.

Karena berbagai alasan tersebut, kenapa kita sering menyaksikan para petani lebih suka

melakukan pembakaran areal persawahannya, terutama untuk membersihkan sisa-sisa panen

seperti rumput, jerami, dan lainnya. Dalam hal ini, pembakaran lahan, tidak hanya dilihat

sebagai salah satu usaha untuk membersihkan lahan, tetapi juga sebagai usaha-usaha secara

tradisional untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis dari tanah. Dalam masyarakat yang

tradisional pun, perladangan berpindah (shifting cultivation), pembakaran lahan adalah salah

satu alat manajemen tradisional yang sangat berperan dalam mengembalikan kesuburan tanah

ladang.

Bahan baku pembuatan arang aktif dapat berasal dari berbagai jenis bahan alam yang

mengandung lignosellulosa (lignocellulosic material). Artinya bahan-bahan tersebut memiliki

unsur utama perpaduan antara senyawa lignin dan selulosa, atau istilahnya memiliki serat kasar.

Bahan baku tersebut, dapat berupa bahan-bahan yang sengaja ditanam untuk tujuan tersebut,

atau berasal dari limbah-limbah kegiatan lainnya, baik limbah pertanian, perkebunan dan

kehutanan. Bahan baku pembuatan arang tersebut di antaranya adalah limbah pertanian seperti

sekam padi, jerami padi, tongkol jagung, cangkang kelapa sawit, batang jagung, serabut kelapa,

tempurung kelapa dan lain-lainnya. Limbah-limbah kehutanan seperti serpihan-serpihan kayu,

tunas kayu, serbuk kayu gergajian, tempurung biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn)

yang merupakan limbah dari pengolahan minyak nyamplung (Wibowo et al., 2011).

Berdasarkan ukuran, bentuk, dan tujuan akhir produk, arang dapat dikelompokkan ke

dalam bentuk serbuk (powder), butiran kecil (granular), pallet (pallets), serat-serat kecil (fiber),

balok, kotak atau balok (carbon blocks), bahkan ada yang bebentuk pasta (paste). Menurut

www.wikipedia.com, arang aktif secara umum dibedakan menurut kelompok penggunaannya

dan karakteristik fisiknya, terutama ukuran partikelnya yaitu:

Berbentuk serbuk (powder activated carbon/PAC) berukuran 1.0 mm dengan diameter

antara 0.15-0.25 mm. Serbuk arang aktif ini biasanya dipergunakan dalam proses penyaringan

bahan baku air minum.

Foto: Wahyudi (2012)

Gambar 7.2. Arang aktif yang beberntuk serbuk (powder)

Hasil Hutan Bukan Kayu 152

Butiran (granular activated carbon/GAC) memiliki ukuran yang bervariasi. Untuk

pengunaan pengolahan limbah air (water treatment), arang aktif yang berukuran 20 x 40

umumnya dipakai untuk proses yang menggunakan larutan (liquid application), sedangkan

yang berukuran 4x6 pada proses dengan menggunakan gas (vapor phase). Ganular ini akan

lolos dalam proses penyaringan dengan menggunakan saringan yang berukuran 20 mesh

(0.84 mm).

Foto: wahyudi (2012)

Gambar 7.3. Arang aktif yang berbentuk butiran (granular)

Pallet (extruded activated carbon/EAC) adalah serbuk arang aktif yang diberi tambahan

perlakuan kimia senyawa pengikat (binder), sehingga dapat dipadatkan dan dicetak dalam

bentuk silinder dengan diameter antara 0.38 -130 mm.

Arang aktif yang di impregnansi (impregnated active carbon/IAC) adalah arang aktif

yang diberi perlakukan tekanan dan vakum yang tinggi untuk diaktivasi/diisi dengan

senyawa kimia tertentu. Biasanya tujuan utamanya adalah untuk menyerap sumber-sumber

polusi yang ada di udara (air pollution).

Di Indonesia, standarisasi dan beberapa acuan baku tentang pembuatan, dan kualitas arang

aktif telah diatur dalam Standar industri indonesia (SII) nomor 0258-79, dan standar nasional

indonesia (SNI) nomor 06-3730-1995. Misalnya, standard industri ndonesia No. 0258-79 telah

menetapkan beberapa persyaratan minimal dari arang aktif, seperti yang ditampilkan pada Tabel

11.2 di bawah ini.

Tabel 11.2. Jenis Uji dan nilai maksimum dari masing-masing variable yang diizinkan

oleh standar industri Indonesia no.0258-79

Jenis Uji Satuan

(%)

Persyaratan

1. Bagian yang hilang pada pemanasan 950oC % Maksimum 15

2. Air % Maksimum 10

3. Abu % Maksimum 2.5

4. Bagian yang tidak mengarang % Tidak ternyata

5. Daya serap I2 % Maksimum 20

Hasil Hutan Bukan Kayu 153

Gambar 11.5. Produk arang aktif untuk skala industri atau laboratorium

11.4. Briket Arang (Briquette)

Briket arang (Briquette) adalah produk lanjutan dari arang, yaitu bahan padat (solid) hasil

campuran dari serbuk arang dan perekat yang dipress dengan tekanan yang cukup tinggi dan

kerapatan yang tinggi. Briket digunakan sebagai sumber penghasil energi panas/bakar. Tujuan

dari pembuatan briket arang adalah menghasilkan energi yang maksimum dari arang solid yang

berdimensi minimum. Tujuan lain dari pembuatan briket arang adalah pemanfaatan kayu secara

maksimum dan sumber energi alternatif penganti kayu bakar dari limbah-limbah bahan

berkayu/bahan berlignoselulosa (lignocellulosic materials) dan limbah - limbah pertanian

(agricultural residues).

Bahan baku pembuatan briket arang hampir sama dengan yang digunakan pada arang aktif.

Briket arang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan arang atau kayu bakar secara

luas yaitu:

briket dapat memperbesar rendemen pembuatan arang, karena serbuk arang yang tidak

dimanfaatkan dalam pembuatan arang dapat dibuat menjadi briket arang;

bentuk briket adalah seragam, lebik kompak (padat) sehingga menghemar biaya transport

dan penyimpanan;

Briket terbuat dari arang yang bermutu rendah sehingg lebih menguntungkan;

Briket arang dapat dibuat dari berbagai jenis kayu sehingga tidak bergantung kepada kayu

tertentu seperti pada arang.

Proses pembuatan briket arang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pembuatan arang. Proses pembuatan arang telah dibahas pada sub bab sebelumnya.

2. Pembuatan serbuk/penghalusan arang (crushing). Arang yang telah tersedia dihancurkan

atau ditumbuk untuk mendapatkan ukuran butiran yang seragam dan merata. Penghalusan

bertujuan untuk mendapatkan jumlah arang yang maksimal per satuan volume dan

mendapatkan bidang rekat yang maksimal dengan bahan perekat.

3. Penyaringan (screening). Panyaringan dimaksudkan untuk mendapatkan butiran arang

yang seragam. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas arang secara keseluruhan seperti

nilai kalor, kekerasan dan berat jenis briket arang.

4. Pemberian dan pencampuran bahan perekat (Mixing). Pemberian bahan perekat ditujukan

untuk mendapatkan briket arang yang kompak dan bermutu tinggi. Bahan perekat

Hasil Hutan Bukan Kayu 154

sebaiknya dipergunakan bahan yang ramah lingkungan dan banyak persediannya di sekitar

kita, seperti tepung dan sagu. Perbandingan antara serbuk arang dengan jumlah perekat

diperoleh dari beberapa hasil uji coba, pengalaman ataupun berdasarkan referesi dari

sumber lain.

5. Pengepreasan (pressing). Pengepresan dilakukan utntuk mendapatkan briket arang yang

padat kompak dan memiliki bentuk yang seragam. Dalam pengepresan sebaiknya hanya

menggunakan pres dingin dengan suhu ruangan atau normal.

6. Penyimpanan dan storage. Penyimpanan dilakukan untuk menjamin kualitas briket yang

dihasilkan.

Salah satu produk dari briket arang adalah briket batangan seperti ditampilkan pada

Gambar 11.8.

Sumber gambar:www.indonetwork.co.id

Gambar 11.8. Produk briket arang batangan

11.5. Sirap

Komoditas sirap yang dimaksud dalam sub bab ini adalah atap sirap. Atap sirap adalah atap

rumah adat Kalimantan, yang atapnya terbuat dari Sirap. Sirap adalah irisan tipis kayu dari hasil

penyayatan pada bidang radial yang berbentuk strip atau lembaran tipis, dan digunakan sebagai

atap rumah, khususnya di daerah Kalimantan. Sirap umumnya dibuat dari jenis kayu yang

cukup kuat, seperti kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T &B) yang potensinya cukup melimpah

di Kalimantan. Kayu ini di Kalimantan lebih dikenal dengan nama kayu besi. Untuk di wilayah

Papua, pengertian kayu besi, mengacu kepada jenis kayu Merbau, yaitu Instia bijuga dan Instia

palembanica. Produk sirap dibuat dari kayu Ulin karena kayu keras memiliki sifat yang mudah

terbelah, terutama pada bidang radialnya. Hal ini juga terjadi pasa kayu Merbau di Papua, yang

mudah terbelah pada bidang radialnya, sehingga sel jari-jarinya mudah dikenali. Hal tersebut

kemungkinan dapat dikarenakan kayu-kayu keras memiliki kerapatan yang lebih dari 1 dan

termasuk kayu yang sangat kuat.

Secara tradisional, atap sirap dapat diproduksi dengan dua macam cara., yaitu Sirap rotary

(circle) dan sirap belah. Metode pertama memiliki prinsip kerja yang sama dengan membuat

finir. Pada metode ini bahan baku kayu diputar dan pisau ditempatkan berlawanan dengan arah

perputaran bahan baku kayu. Metode ini biasanya dikerjakan dengan menggunakan mesin.

Sirap yang dihasilkan dari metode ini mempunyai keunggulan pada keseragaman dimensinya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 155

Sehingga kerapian setelah pemasangan sangat mudah terlihat. Keunggulan lainnya adalah

kemudahkan dalam pemasangan. Pada metode yang kedua, bahan baku kayu dibelah pada

bidang radialnya degnan menggunakan benda yang tajam (parang, misalnya). Keunggulan sirap

belah adalah pada daya tahannya yang lebih lama dan kenampakkan tekstur alami lebih terlihat.

Lamanya daya tahan sirap belah dibandingkan dengan sirap sircle dikarenakan sel-sel jari-jari

berperan dalam menyalurkan atau mengarahkan air hujan yang jatuh langsung bergerak ke

bawah mengikuti serat alami kayu. Kekurangan dari sirap jenis ini adalah ketebalannya yang

lebih tipis dibandingkan sirap circle.

Secara individu, bentuk sirap secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu kotak

persegi panjang vertikal dan sirap lancip vertikal.Atap sirap kayu ulin memiliki ukuran tebal

antara 0,4-0,5 cm, lebar: 8 cm, dan panjang 58-60 cm.Secara garis besar pembuatan sirap dapat

diilustrasikan sebagai berikut:

a. Kayu ulin dipotong-potong menjadi balok-balok dengan panjang sekitar 60 cm dan tebal

berkisar antara 8-10 cm, dengan lebar yang kurang dari 20 cm.

b. Balok tersebut dibuat cacahan dengan ketebalan antara 3-3.5 mm dan sekaligus dilakukan

penyobekan untuk membuat sirap.

c. Sehingga diperoleh sirap kayu ulin dengan dimensi ukuran 60 cm x 10 cmx 3- 3.5 mm

yang berbentuk persegi panjang.

Karena memiliki nilai seni yang tinggi, atap sirap biasanya dijual per ikat. Satu ikat sirap

ulin terdiri atas kurang lebih 80 lembar sirap. Gambar 11.6 mengambarkan ikatan atap sirap

yang siap untuk dipasarkan. Penelusuran dari berbagai sumber, harga satu ikat atap sirap ukuran

standar kelas utama sekitar Rp.140 000 (seratus empat puluh ribu rupiah), yang kira-kira untuk

luasan sekitar 1 m2.

Sumber gambar :www.indonetwork.co.id

Gambar 11.8. Ikatan atap sirap yang siap untuk dipasarkan

Penggunaan sirap untuk atap rumah, sirap selain dapat menambah nilai estetika dari

bangunan rumahnya, juga menambah sejuk udara dalam rumah, sehingga sangat cocok untuk

daerah tropis seperti Indonesia. Selain untuk rumah, atap sirap juga banyak dipasang pada

Hasil Hutan Bukan Kayu 156

rumah-rumah peristirahatan (villa), seperti bungalow, gazebo, hotel, restoran dan beberapa

fasilitas umum lainnya. Gazebo yang terbuat dari kayu, dan beratap sirap seperti ditunjukkan

oleh Gambar 11.6 berikut ini.

Teknik pemasangan atap sirap sangat rumit, sehingga sebaiknya dikerjakan oleh tenaga

yang ahli dibifangnya. Secara umum pemasangan atap sirap adalah seperti memasang genteng

tanah, yaitu pemasangan diumulai dari bagian bawah, kemudian ditumpuk dengan yang di

atasnya.

Uraian secara rinci pemasangan atap sirap menurut www.ciputraentrepreneurship.com

adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjaga agar tidak renggang, sebelum dipasang, bilah-bilah kayu besi bahan atap

sirap dipotong agar rapi dan benar-benar akurat;

2. Khusus untuk atap sirap expose, bilah kayu besinya harus benar-benar rapi dan rapat. Ini

dikarenakan pada bangunan yang tidak memakai plafon, sirap pada lapisan paling bawah

biasanya akan terlihat;

3. Seperti yang telah disebutkan, bilah-bilah kayu sirap dipasang seperti memasang genteng.

Agar tidak melorot, bilah-bilah ini perlu dipaku. Karena jumlah bilah ini mencapai angka

ribuan, gunakanlah pistol paku untuk memasang paku. Pistol paku bekerja menembakkan

paku dengan tenaga angin dari kompresor, sehingga pekerjaan jadi lebih cepat. Sedapat

mungkin proses ini juga dikerjakan secara bersamaan;

4. Atap sirap biasanya dipasang antara 3 hingga 4 lapis. Secara berurutan dari lapisan paling

bawah, atap sirap yang dipasang yaitu lapisan 1, tripleks, aluminium foil, sirap lapisan 2,

sirap lapisan 3, dan sirap lapisan 4.

Foto: www.sridipta.blogspot.co.id

Gambar 11.9. Rumah singgah (gazebo) yang atapnya menggunakan atap sirap

Hasil Hutan Bukan Kayu 157

11.6.Pustaka

Adan, I.U. 2003. Membuat Briket Bio Arang. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Alfathoni, G. 2002. Rahasia untuk Mendapatkan Mutu Produk Karbon Aktif dengan Serapan

Iodin di atas 1000 mg/g. www.tepatgunatek.com, diaksess pada tanggal 22

Februari 2012.

Harsanti, dan A. Nugraha. 2011. Arang Aktif Meningkatkan Kualitas Lingkungan. Sinartani

No.3400 tahun XLI : 10-13.

Hartoyo. 1983. Pembuatan Arang dan Briket Arang secara Sederhana dari Serbuk Gergaji dan

Limbah Industri Perkayuan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

(P3HH), Bada Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan,

Bogor.

Wibowo, S., W. Syafii., dan G. Pari. 2011. Karakterisasi Permukaan Arang Aktif Tempurung

Biji Nyamplung. Makara, Teknologi Vol.15 (1) : 17-24.

www.indonetwork.co.id/CVMERPATIPRATAMA/2964351/dijual-briket-arang-kayu-betuk-

persegi.htm, diaksess pada 22 Februari 2012.

www.ciputraentrepreneurship.com/teknik pemasangan atap sirap, diakses pada tanggal 22

Februari 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu 158

BAB 12

TUMBUHAN PENGHASIL PEWARNA ALAMI

(NATURAL DYE)

12.1. Pendahuluan

Pada bab ini pokok bahasanya adalah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan warna alami

(natural dyes). Dari kehidupan kita sehari-hari membuktikan bahwa hampir seluruh tumbuhan

di sekitar kita menghasilkan warna alami, apakah warna hijau, merah, coklat ataupun warna

lainnya. Yang mungkin perlu dipikirkan lebih lanjut adalah apakah warna alami tersebut dapat

bertahan permanen atau dapat langsung dibersihkan dengan mencuci dengan air. Kalau kita

mengamati praktek-praktek kehidupan baik pribadi maupun masyarakat, banyak yang

menggunakan pewarna alami, baik untuk pewarna bahan makanan, minuman maupun untuk

tujuan lainnya seperti tari-tarian pada upacara keagamaan, pernikahan dan sejenisnya.

Oleh karena itu, pada bab ini poko bahasan tanaman penghasil warna alami, cara

pengambilan warna alami tersebut, berikut cara pemakaiannya untuk berbagai tujuan akan

dibahas, secara garis besarnya, sehingga tidak semuanya dapat dibahas.

Setelah mempelajari pokok bahasan ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan

tentang:

1. Mengenali beberapa jenis tumbuhan yang menghasilkan warna alami;

2. Memahami metode atau cara mengeluarkan atau ekstraksi warna alami serta perlakuan

untuk membuat warna tersebut permanen dan tidak luntur;

3. Membedakan tumbuhan penghasil warna alami untuk dipergunakan sebagai perwarna

makanan, tektsil maupun untuk tujuan lainnya.

12.2. Pengertian Pewarna Alami

Pewarna alami adalah zat warna alami atau pigmen (pigment) yang diperoleh dari

tumbuhan, hewan, atau dari sumber-sumber mineral dari alam.Khusus pada pokok bahasan ini,

hanya membahas pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karena pewarna alami

(natural dyes) ini dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan, sehingga dinamakan dengan pewarna

nabati.Pewarna nabati diarenakan dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan yang juga adalah produk

hayati. Istilah pewarna alami mulai dipergunakan setelah timbul berbagai permasalahan

berkenaan dengan penggunaan dan dampka dari bahan pewarna buatan yang dikenal dengan

pewarna sintetis.

Wulijarni-Soetjipto dan Lemmens (1999) mendefinisikan pewarna nabati adalah bahan

pewarna yang berasal dari tumbuhan, dengan jalan fermentasi, direbus atau dihasilkan melalui

proses kimiawi yang lain. Sedangkan metode tradisional yang dipergunakan untuk mengekstrak

pewarna alami adalah dengan merebus, mengosok, merendam dan membakar bagian tumbuhan

atau tumbuhan penghasil pewarna tersebut. Tumbuhan dikatakan menghasilkan pewarna karena

tumbuhan tersebut menghasilkan zat berwarna atau pigment warna.

Masih menurut mereke, pigment warna yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan

tesebutdapat dibedakan berdasarkan komponen struktur kimia utamanya, yang selanjutnya

dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan utama yaitu: 1) klorofil, 2) karotenoid, 3)

flavanoid, dan 4) kuinon (quinone).

Hasil Hutan Bukan Kayu 159

1. Klorofil. Klorofil adalah istilah generik untuk menggambarkan pigmen tumbuhan yang

berkerabat dekat dan menghasilkan warna hijau yang jumlahnya sangat berlimpah pada

tumbuhan. Pada beberapa disiplin ilmu, seperti biokimia, fisiologi dan biologi, klorofil

umumnya sering dinamakan sebagai pigment hijau tumbuhan, sehingga sering diistilahkan

sebagai tumbuhan berhijau daun. Penggunaan klorofil sebagai pewarna, banyak

dimanfaatan untuk pewarna makanan, minuman, dan bahkan terapi kesehatan.

Penggunaan klorofil untuk bidang kesehatan juga mulai digalakkan sekarang ini. Suatu

terapi kolofil mulai diperkenalkan oleh pemenang hadiah Nobel dari Jerman, Dr Richard

Willstater dan Dr. Hans Fisher, seperti yang dikutip oleh Limantara (2004) yaitu

menemukan penggunaan lain dari klorofil untuk terapi penyakit demam berdarah, di mana

terapi hemoglobin digantikan oleh klorofil. Hal ini berdasarkan suatu asumsi bahwa

struktur dari klorofil adalah menyerupai struktur dari hemoglobin, yang hanya dibedakan

oleh atom pusatnya. Pusat molekul hemoglobin adalah besi (Fe) sedangkan pusat atom

klorofil adalah magnesium (Mg). Sebagaimana diketahui bahwa penyakit demam berdarah

dikarenakan adanya serangan virus dengue yang menyebabkan gangguan pada pembuluh

kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga menimbulkan perdarahan. Hal ini akan

diiukuti oleh menurunnya jumlah trombosit dan pengentalan darah.

Diuraikan lebih lanjut bahwa klorofil merupakan nutrisi yang sangat vital bagi tubuh dan

dapat diterima oleh tubuh secara alamiah, karena kesamaanya dengan hemoglobin. Klorofil

juga berfungsi sebagai bahan anti bakteri (disinfectan) antibiotik yang telah berlangsung

lama. Klorofil mampu membersihkan jaringan-jaringan tubuh tubuh dan tempat

pembuangan sisa limbah metabolisme dalam tubuh, sekaligus mengatasi parasit, bakteri

dan virus yang ada dalam tubuh manusia serta menghilangkan senyawa-senyawa kimia

racun dalam tubuh manusia. Ekor atau tail dari klorofil yang bersifat hidrophobic dapat

menggali ke dalam sel atau jaringan dan mengangkat hidrokarbon dari dinding sel tersebut

yang bersifat racun, yang berasal dari pestisida, obat-obatan yang tertimbun dalam tubuh,

bahan pewarna makanan, bahkan bakteri, parasit dan virus.

Limantara (2004) juga mengemukakan bahwa hemoglobin adalah molekul dalam sel darah

merah yang membawa oksigen, dan klorofil adalah pembentuk sel darah merah yang

paling cepat dalam tubuh manusia. Mengkonsumsi klorofil akan meningkatkan jumlah se

darah merah dalam tubuh manusia, sehingga pasokan energy ke dalam tubuh dapat terus

menerus terjamin, karena oksigen dalam sel darah membawa pasokan energy ke tubuh kita.

Menurut Limantara (2004) fungsi klorofil secara umum bagi tubuh manusia dapat

dikatakan sangat lengkap, fungsi-fungsi tersebut di antaranya adalah : 1). Meningkatkan

jumlah sel-sel darah, kususnya meningkatkan produksi hemoglobin dalam darah, 2)

mengatasi anemia, 3) membersihkan jaringan tubuh, 4) membersihkan hati dan fungsi hati,

5) meningkatkan daya tahan tubuh terhadap senyawa asing (virus, bakteri, parasit, dan

sejenisnya), 6) memperkuat sel dan 7) melindungi DNA dari Kerusakan.

Produk-produk klorofil dalam pasaran banyak dijual baik dalam bentuk tablet, bubuk

maupun cairan yang dikemas menarik dan dijual di toko obat, apotik dan berbagai toko

lainnya. Akan tetapi sebenarya sumber klorofil dialam ini sangat melimpah. Salah satu

jenis tumbuhan jenis liana yang cukup melimpah dan mengandung banyak klorofil adalah

tumbuhan Katuk (Sauropus androgynus Merr) Gambar 12.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu 160

Foto : Wahyudi (2007)

Gambar 12.1. Daun katuk yang sangat kaya akan klorofil dan bermanfaat untuk memperlancar

ASI ibu menyusui.

2. Karotenoid. Karotenoid adalah istilah umum pigment yang banyak kita temukan pada

sayuran dan buah-buahan. Pigment tersebut umumnya berwarna kuning, jingga, merah dan

lembayung. Pigment karotenoid umumnya dicirikan oleh adanya rantai panjang

polienealifatik yang tersusun atas satuanisoprena.(isoprena).

3. Flavanoid. Flavanoid adalah istilah umum untuk mengambarkan pigment alami yang

memiliki struktur flavon atau flavana. Flavanoid adalah pigment yang biasanya

dimanfaatkan untuk pengharum masak-masakan.

4. Kuinon (Quinones).Kuinonumumnya adalah pigment yang di dalamnya memiliki struktur

kuinon, yang umunya berwarna kuning sampai merah.

12.3. Penggunaan Pewarna Alami untuk Produk Tekstil seperti Batik

Dalam prakteknya pewarna alami banyak dipergunakan sebagai pewarna pada bahan

tekstil, khusus teksil yang berwarna dan bermotif, seperti batik. Wulijarni-Soetjipto dan

Lemmens (1999) mengemukakan bahwa pewarna alami yang banyak dipergunakan dalam

industri tekstil. Khusus untuk industri tekstil, menurut sifat dan pemanfaatnya, pewarna alami

ini dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipe, yaitu:

1. Pewarna langsung, yaitu dengan membetuk ikatan hidrogen dengan kelompok hidroksil

(hidroxyl) dari serat kain. Jenis pewarna ini memiliki ciri khas mudah luntur.

2. Pewarna asam dan basa, yang masing-masing berkombinasi dengan kelompok asam dan

basa pada wol dan sutra; sedangkan katun tidak dapat kekal warnanya jika diwarnai,

contohnya adalah pigmen-pigmen flavanoid.

3. Pewarna lemak, yang ditimbulkan kembali pada serat melaui proses redoks, pewarna ini

sering kali memperlihatkan kekekalan yang istimewa terhadap cahaya dan pencucian

(contohnya tarum).

Hasil Hutan Bukan Kayu 161

4. Pewarna mordan, yang dapat mewarnai tekstil yang telah diberi mordan berupa senyawa

metal polivalen; pewarna ini dapat sangat kekal; contohnya alizarin dan morindin.

Menurut penjelasan dari www.batikcintaku.com, pada industri batik tradisional, awalnya

warna batik yang dihasilkan adalah, paduan warna putih, atau satu warna saja.

Misalnyaperpaduan warna merah tua dengan putih atau biru tua dengan putih, yg sangat

terkenal di Jawa Barat. Atau warna cokelat dengan putih untuk batik sogan yg terkenal dari

Yogyakarta dan batik Solo. Sedangkan perpaduan warna hijau dan putih pada motif mega

mendung berasal dari Cirebon.Seiring dengan perkembangan waktu dan kemampuan para

perajin batik, sehelain kain batik terutama yg kain batik pesisir – dibuat dengan motif yang

terdiri atas beberapa paduan warna. Contohnya, adalah batik Solo dan pekalongan, yang sangat

kaya dengan kekhasannya warna cerah, yaitu perpaduan antara warna hijau, kuning, merah dan

ungu.

Warna-warna pada komoditas batik tersebut umumnya dibuat dari bahan pewarna alami,

yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di sekitar kita. Karena terbuat dari bahan pewarna alami

dengan metode yang sangat sederhana, pewarna ini relatif tidak seawet pewarna kimia. Hal ini

yang menyebabkan warna batik tersebut cenderung cepat memudar jika dicuci dengan detergen

biasa.

Berikut ini adalah beberapa tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan sebagai bahan baku

perwarna alami untuk industri batik.

Indigo (Indigofera tinctoria) tanaman perdu yg menghasilkan warna biru. Bagian tanaman

yg diambil adalah daun/ranting.

Kelapa (Cocos nucifera) bagian yg dijadikan bahan pewarna adalah kulit luar buah yg

berserabut (sabut kelapa), warna yg dihasilkan adalah krem kecoklatan.

Teh (Camelia sinensis) bagian yg diolah menjadi pewarna adalah daun yg telah tua, dan

warna yg dihasilkan adalah cokelat.

Secang (Caesaslpinia Sapapan Lin) jenis tanaman keras yg diambil bagian kayu, utk

menghasilkan warna merah. Warna merah adalah hasil oksidasi, setelah sebelumnya dalam

pencelupan berwarna kuning.

Kunyit (Curcuma domestica val), bagian tanaman yg diambil adalah rimpang, umbi akar,

yg menghasilkan warna kuning.

Bawang Merah (Allium ascalonicium L), bagian bawang merah yg digunakan sebagai

bahan pewarna adalah kulit dan menghasilkan warna jingga kecoklatan.

Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami yang tumbuh di Indonesia dan warna yang

dihasilkannya telah diringkas oleh Wulijarni-Soetjipto, N dan R.H.M.J Lemmens (1999).

Ringkasan tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12.1 berikut ini.

Tabel 12.1. Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan berbagai jenis warna yang

dihasilkan

No Nama Famili Manfaat

Umum Latin

1 Jambu mete Anacardium Anacardiaceae Pepagan dan buahnya

Hasil Hutan Bukan Kayu 162

accidentale dipergunakan untuk membuat

tinta penandaan (marking ink) dan

untuk menghitamkan rambut

2 Akar kuning Arcangelisia

flava

Menispemaceae Batangya mengandung berberin,

yang dipergunakan untuk

memberi warna kuning pada kain

3 - Archidendron

pauciflorum

Leguminoseae Pepaganya dipergunakan untuk

memberi warna hitam pada tikar,

dan buahnya untuk memberi

warna lembayung pada sutra.

4 Pinang Areca catechu Palmae Buahnya dipergunakan untuk

memberikan warna katun dan wol

menjadi cokelat- merah dan hitam

5 Nangka Artocarpus

heterophyllus

Moraceae Kayu terasnya mengandung

morin (morin), dipergunakan

untuk memberi warna kuning

pada katun dan sutera

6 Cempedak Artocarpus

integer

Moraceae Kayu terasnya mengandung

morin (morin), dipergunakan

untuk memberi warna kuning

pada katun dan sutera

7 Menteng Baccaurea

javanica

Euphorbiaceae Pepaganya digunakan untuk

memberi warna katun, kain linen,

dan kotak cerutu menjadi merah

kuning atau ungu; juga

dipergunakan sebagai mordan

(mordant)

8 Rambai Baccaurea

montleyana

Euphoriaceae Pepaganya digunakan untuk

memberi warna katun, kain linen,

dan kotak cerutu menjadi merah

kuning atau ungu; juga

dipergunakan sebagai mordan

(mordant)

9 Kapundung Baccaurea

racemosa

Euphorbiaceae Pepaganya digunakan untuk

memberi warna katun, kain linen,

dan kotak cerutu menjadi merah

kuning atau ungu; juga

dipergunakan sebagai mordan

(mordant)

10 Sedar merah Bischofia

javanica

Euphorbiaceae Pepaganya dipergunakan untuk

memberi warna merah atau hitam

pada tikar

11 Safflower Carthamus

tinctorius

Compositae Bunganya mengandung kartamin

(carthamin), yang digunakan

untuk memberi warna pada sutra,

katun dan kain linen menjadi

merah-kuning.

Hasil Hutan Bukan Kayu 163

12 Kembang

telang

Clitoria

ternatea

Leguminosae Bunganya dipergunakan untuk

memberi warna pada makanan,

tikar dan kain menjadi hijau-biru.

13 Kelapa Cocos nucifera Palmae Daging buahnyadipergunakan

untuk memberi warna hijau pada

sutra, sedangkan tangkai buahnya

untuk menghitamkan gigi.

14 Kunyit Curcuma longa Zingiberaceae Rimpanya mengandung

kurkumin, dipergunakan untuk

memberi warna pada makanan,

katun dan kain sutra, tikar dan

bagian-bagian ulit menjadi

cokelat –kuning.

15 Suji Dracaena

angustifolia

Liliaceae Daunnya dipergunakan untuk

menjadikan makanan berwarna

hijau

16 - Flemingia

grahamiana

Leguminoeae Kelenjar pada polongya

mengandung flemingin, yang

dipergunakan untuk memberi

warna jingga pada sutra

17 - Flemingia

macrophylla

Leguminoeae Kelenjar pada polongya

mengandung flemingin, yang

dipergunakan untuk memberi

warna jingga pada sutra

18 - Garcinia

atroviridis

Guttiferae Buahnya dipergunakan sebagai

mordan dalam pencelupan sutra

19 Mundu Garcinia dulcis Guttiferae Pepaganya digunakan untuk

memberi warna coklat pada kain

dan tikar

20 Manggis Garcinia

mangostana

Guttiferae Kulit buahnya dipergunakan

untuk mewarnai kain menjadi

berwarna hitam-cokelat,

pepaganya dipergunakan untuk

memberi warna kuning pada kain

21 Kembang

sepatu

Hisbiscus rosa-

sinensis

Malvaceae Bunganya dipergunakan untuk

menjadikan makanan berwarna

merah, dan menghitamkan sepatu

serta alis.

22 Mangga Mangifera

indica

Anacardiaceae Pepaganya dipergunkan untuk

memberi warna kunig pada kaida

tikar

23 Harendong,

senduduk

Melastoma

malabathricum

Melastomaceae Akarnya dipergunakan dalam

pemberian warna merah, daunya

dipergunakan dalam pemberian

warna lembayung

24 Melastoma

sanguineum

Melastomaceae Penggunaan bagian tumbuhan in

sama dengan M. malabathricum

Hasil Hutan Bukan Kayu 164

25 Jambu Biji Psidium

guajava

Myrtaceae Daunya dipergunakan sebagai

campuran dalam pemberian

warna hitam pada sutra, katun dan

tikar

26 Angsana Pterocarpus

indicus

Leguminosae Kayunya mengandung santalin

(santalin), yang dipergunakan

untuk memberi warna merah pada

katun, wol, kulit samak, bambu

dan kayu lainnya.

27 - Pterocarpus

santalinus

Leguminosae Kayunya dipergunakan sama

dengan kayu Pterocarpus indicus

28 Jambu Syzygium spp Myrtaceae Pepaganya dipergunakan untuk

mewarnai katun menjadi

berwarna hitam-cokelat

29 Bunga

tembelekan

Tagetes erecta Compositae Bunganya mengandung

kuersetagetin (quercetagetin),

yang dipergunakan untuk

memberi warna kuning pada sutra

dan daging ayam

30 Bunga

tembelekan

Tagetes patula Compositae Bunganya dipergunakan seperti

pada

Tagetes erecta

31 Asam jawa Tamarindus

indica

Leguminoseae Daging buahnya dipergunakan

sebagai mordan

32 Jati Tectona

grandii

Verbenaceae Kulit akarnya dan daunnya

dipergunakan untuk mewarnai

tikar menjadi berwrna cokelat-

kuning.

12.4. Pengunaan Pewarna Alami pada Industri Makanan dan Minuman

Negara kita tidak hanya terkenal dari keanekaragaman hayati, keanekaragaman suku

bangsa, bahasannya, tetapi juga terkenal dengan keanekaragaman makanan tradisionalnya.

Keanekaragaman makanan tradisional ini lebih menarik lagi karena memiliki aroma yang

sangat khas, dan warna-warni yang sangat menarik. Makanan-makanan tradisional yang dijual

di pasar-pasar tradisional seperti kue lapis, puding, lupis, gethuk, gethuk lindri dan sebagainya,

diberi warna dengan menggunakan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan yang ada diskitar kita. Juga

beberapa minuman tradisional, seperti cendol, es buah, dan lain-lain juga banyak memanfaatkan

pewarna alami. Secara umum, pemberian warna pada makanan atau minuman bertujuan untuk

a) menarik bagi konsumen; b) membuat identitas makanan atau minuman, dan c) memperbaiki

atau menambah aroma dari produk makanan atau minuman tersebut.

Beberapa penggunaan pewarna alami yang cukup sering kita jumpai dalam kehidupan kita

sehari-hari dan telah berlangsung dari generasi ke generasi adalah penggunaan kunyit atau

rimpang (Curcuma longa L) untuk warna kuning, yang biasanya dipergunakan untuk membuat

nasi kuning, daun pandan (Pandanus amaryllfolius Roxb) untuk pigmen warna hijau, sedangkan

untuk warna merah dapat diperoleh dari ekstrak bayam merah, dan buah merah. Gula aren dan

Hasil Hutan Bukan Kayu 165

gula kelapa adalah sumber pigmen untuk warna coklat, yang biasa dipergunakan untuk

membuat kolak maupun membuat dodol dan kue cucur.

Berdasarkan tujuan dan manfaatnya, pigmen-pigmen alami yang dipergunakan untuk

bahan pewarna pada industri makanan atau makanan dikelompokkan menjadi 4 (empat)

golongan utama yaitu:

Antioksidan (anthocyanins). Antioksidan adalah pigmen yang larut dalam air dan

memberikan warna pekat jingga, merah, biru, biasanya terdiri atas berbagai pigmen (4-6

macam pigmen) dan termasuk ke dalam golongan besar dari flavanoid. Antioksidan banyak

dijumpai pada sayur-mayur dan buah-buahan. Pigmen – pigmen jenis antioksidan dikenal

sebagai pigmen yang sangat mantap dalam keadaan masam, sehingga untuk

penyimpanannya disarankan untuk disimpan pada temapt yang mendekati masam.

Betanin (betanins). Kelompok betanin membentuk kelompok kecil pigmen merah dan

kuning yang peka terhadap pH, panas dan cahaya.

Karotenoid (carotenoids). Pigmen pigmen yang berwarna merah, kuning dan jingga, sangat

peka terhadap oksidasi, dan kemantapannya pada makanan dapat dipertahankan dengan

menhindari pencahayaan langsung.

Klorofil (Chlorophylls). Pigmen hijau daun ini sangat peka terhadap keadaan masam dan

cahaya.

12.5. Tanin

Pewarna alami lainnya yang juga cukup melimpah dialam yang dihasilkan dari tumbuhan

berkayu, jenis hewan dan, umumnya dinamakan dengan tanin. Pigmen jenis tanin ini memiliki

rasa yang pahit, kelat dan terkadang sepat-sepat. Pemakaian tanin secara luas adalah untuk

menyamak kulit, menyamak peralatan menangkap ikan seperti jala, tali, layar agar tahan

terhadap air laut, bahan perekat pada kayu lapis, bahan pewarna dan juga dipergunakan sebagai

mordan.

Pemakaian tanin yang lainnya adalah sebagai obat-obatan tradisional, seperti untuk

penyakit gula (diabetes melitus), obat cacing dan obat anti biotik. Secara tidak sadar kita

mengkonsumsi tanin dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti pada minum teh, kopi, anggur,

bir dan berbagai jenis lainnya. Pada makanan dan minnuman, pigmen tanin memberikan aroma

penyedap yang sangat digemari. Tanin juga sangat menentukan mutu kualitas buah. Komponen

kimia dari pigmen tanin adalah gula, asam galat (gallic acid), asam elagat dimer (dimer ellagic

acid), falvanoid, lignan, stillbenoid dan kuinon.

12.6. Pewarna Alami untuk Berbagai Produk Tradisional Lainnya

Pengetahuan pengunaan warna alami oleh masyarakat merupakan bentuk pengalaman yang

telah berlangsung turun temurun sebelum diketemukannya pewarna sintetis. Pada masyarakat

tradisional, penggunaan warna alami umumnya untuk penggunaan produk sehari-hari, dari

pewarna makanan untuk dijual, seperti penggunaan nasi kuning dengan menggunakan kunyit,

warna merah pada sayur gudeg dengan menggunakan pucuk daun muda pohon Jati dan lain

sebagainya.

Triana (2007) melaporkan bahwa penggunaan tumbuhan sebagai pewarna alami untuk

industri batik atau tekstil sangat beragam. Hal ini terlihat pada Museum Tekstil di Jakarta, yang

Hasil Hutan Bukan Kayu 166

memiliki kebun atau Taman Pewarna Alami dengan luas 2000 m2 (meter persegi) yang di

tumbuhi pohon-pohon yang mana daun, batang dan bunganya dapat diolah menjadi pewarna

alami yang tahan lama serta ramah lingkungan (Biodegradable).

Lebih lanjut dikatakan bahwa daun pohon randu disebut juga sebagai pohon kapuk, karena

menghasilkan kapuk untuk bahan bantal, kasur dan guling, adalah sumber warna Abu-abu,

Warna hijau adalah dengan mengolah daun Mangga, bunga pohon ketepeng rebo untuk

menghasilkan warna hijau dan kuning, buah trengguli untuk mendapatkan warna coklat muda

sedangkan warna orange berasal dari bunga pohon kembang Pulu. Masih banyak pohon dan

tumbuhan lain yang dapat diolah menjadi pewarna alami dan hal ini menunjukkan kekayaan

alam Indonesia yang saat ini mulai tergantikan oleh bahan pewarna buatan, yang sebenarya

tidak selalu aman untuk lingkungan.

Pewarna alami dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dari tanaman yang banyak terdapat di

sekeliling kita, baik yang bersumber dari daun, kulit kayu, kayu, akar, bunga, biji maupun

getah. Khusus di kalangan masyarakat lokal Papua, pewarna alami dipergunakan untuk pewarna

makanan, pakaian, kosmetika, dan beberapa produk kerajinan tangan, seperti ukir-ukiran,

anyaman, patung, kain tenun dan kosmetika untuk upacara tradisional, seperti rumah adat, dan

upacara adat.

Menurut Husodo (1999) seperti yang dikutip oleh Wibowo (2003) di Indonesia terdapat

sekitar 150 jenis pewarna alami yang telah teridentifikasi dan dipergunakan secara luas dalam

berbagai industri, seperti industri kerajinan anyaman, industri batik, industri makanan dan

tekstil.

Sumber: Marty (2006)

Gambar 12.2. Penggunaan Warna merah pada tikar tradisional yang terbuat dari daun Pandan

(Pandannus spp)

Wibowo (2003) melaporkan bahwa penduduk di desa Mbenti kecamatan Anggi, kabupaten

Manokwari, Papua Barat, menggunakan 14 jenis tumbuhan yang dipergunakan sebagai sumber

pewarna alami, yang terbagi dalam 10 famili. Dari ke 14 jenis tumbuhan tersebut dipergunakan

hanya untuk keperluan-keperluan upacara-upacara adat, seperti perias penari, pewarna alat-alat

tarian, seperti anak panah, busur panah, penghias badan, pewarna rambut dan berbagai warna

pada bahan kerajinan tangan, seperti tas yang terbuat dari daun pandan, tas yang terbuat dari

akar atau kulit pohon yang telah dibuat dalam bentuk serat (defibrinasi) yang dianyam atau

dirajut dankemudian dinamakan dengan istilah lokal yaitu Noken. Juga beberapa tikar yang

Hasil Hutan Bukan Kayu 167

terbuat dari daun pandan seperti pada Gambar 12. 2. Gambar tersebut adalah tikar yang terbuat

dari daun pandan yang telah dikeringkan dan diberi warna.

Wibowo (2003) melaporkan bahwa pada masyarakat yang mendiami kampung Mbenti,

atau suku Arfak pada umumnya, menggunakan warna alami terdiri atas Merah yang dihasilkan

oleh 6 (enam) jenis tumbuhan (lihat pada Tabel 12.2), warna Biru 2 (dua) jenis tumbuhan,

warna Hitam 5 (lima) jenis tumbuhan, dan warna Coklat 1 (satu) jenis tumbuhan. Bagian

tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan pewarna adalah bagian

kulit dan kayu masing-masing 4 (empat) tumbuhan, biji 3 (tiga) jenis tumbuhan dan kayu 2

(dua) jenis tumbuhan serta daun dihasilkan oleh 1 (satu) jenis tmubuhan. Jenis-jenis tumbuhan

penghasil warna alami, warna yang dihasilkan, metode ekstraksinya dan penggunaan warna

alami oleh suku arfak di Kampung Mbenti Kab. Manyambow Manokwari dapat dilihat pada

Tabel 12.2.

Sumber : Marty (2005) Sumber: Dewi (2003)

Gambar 12.3. Hasil kerajinan tas tradisional yang terbuat dari daun pandan (kiri) yang

menggunakan pewarna alami, dan tas tradisional yang terbuat dari serat kulit kayu (kanan)

tanpa mempergunakan pewarna.

Dari Tabel 12.2 bila diperhatikan dan dicermati, maka masyarakat suku Arfak pada

umumnya belum banyak mempergunakan pewarna buatan atau sintetis dalam kehidupannya.

Penggunanaan pewarna alami juga masih menggunakan pewarna standar atau baku, belum

melakukan perpaduan warna, seperti warna biru adalah pencampuran dari warna kuning dan

hijau.

Penggunaan pewarna pada masyarakat Arfak juga masih terbatas pada upacara keagamaan

dan pembuatan barang-barang kerajinan seperti yang telah diperlihatkan pada Gambar 12.2 dan

12.3.Khusu untuk penggunaan warna merah pada makanan, sebenarnya bukan tujuan utamanya

untuk membuat makanan tersebut berwarna merah, sehingga lebih menarik atu bernilai

ekonomis bila dijual, akan tetapi lebih kepada sifat bahan, yaitu bahwa buah merah adalah

sumber lemak atau minyak nabati alami yang potensinya cukup melimpah di daerah

Pegunungan Arfak, tempat di mana suku besar Arfak dan Kampung Mbenti berdomisili.

Ekstraksi lemak atau minyak dari buah merah akan menghasilkan warna merah, dan masyarakat

tradisional/lokal belum dapat memisahkan antara minyak dan ampas dari proses ektraksi

tersebut, sehingga minyaknya masih bercampur dengan ampas dan langsung dikonsumsi.

Hasil Hutan Bukan Kayu 168

Aktivitas memakan biji buah pinangyang dihasilkan dari pohon Pinang(Areca catechu

L)akan menghasilkan warna merah kecoklatan yang permanen. Hal ini akan terlihat apabila

beberapa penduduk lokal dan warga pendatang yang mengkonsumsi pinang, khusunya di Papua

dan Papua Barat. Biasanya biji pinang dikunyah bersamaan dengan biji sirih dan sedikit kapur.

Apabila buah pinang dikunyah, dan dicampur dengan buah sirih dan kapur, maka akan

menghasilkan warna merah yang sangat permanen. Gambar pohon pinang dewasa, buah pinang

dan buah dalam tandan buah, yang sudah dewasa dapat dilihat pada Gambar 12.4.

Foto : Wahyudi (2007)

Gambar 12.4 Pinang(Areca catechu L)dewasa, dan tandan buahnya yang telah masak di pohon

Tumbuhan penghasil warna alami adalah tumbuhan yang seluruh dan atau sebagian

tubuhnya, seperti kulit batang dan buah, umbi, akar, daun, batang, bunga, biji dan daging buah.

Ekstraksi zat warna alami dari tumbuhan dapat dilakukan dengan cara perebusan atau dengan

cara penghancuran seperti penumbukan. Tumbuhan penghasil warna alami tersebut

dimanfaatkan oleh masyarakat Papua untuk berbagai jenis tujuan seperti untuk mewarnai

pakaian, makanan, komestik, barang-barang kerajinan lokal seperti noken, tas, ukiran dan

keperluan upacara-upacara adat/perkawinan.

Zat warna yang dihasilkan oleh tumbuhan biasanya berwarna hijau, biru, merah, kuning

dan oranje. Zat-zat warna tersebut berasal dari pigmen tumbuhan yang terdapat pada tanaman

yaitu klorofil untuk warna hijau daun, karotenoid penghasil warna kuning, oranje dan merah

serta quinone untuk warna merah dan merah.

Ha

sil

Hu

tan B

uka

n K

ayu

1

69

Tab

el 1

2.2

Jen

is-j

enis

tu

mb

uh

an p

eng

has

il w

arn

a al

ami,

war

na

yan

g d

ihas

ilk

an,

met

od

e ek

stra

ksi

ny

a d

an p

eng

gu

naa

n w

arn

a al

ami

ole

h s

uk

u A

rfak

di

Kam

pu

ng

Men

ti,

Man

yam

bo

w,

Kab

Man

ok

war

i

No

6

..1

.8.

Nam

a F

am

ili

Ba

gia

n

Tu

mb

uh

an

Wa

rna

E

kst

rak

si

Ma

nfa

at

L

ok

al/

Um

um

Ilm

iah

1

Ah

on

ei

tiei

/Jar

ak

(bat

ang

hij

au

kep

uti

han

)

Ric

inu

s

com

mu

nis

Eu

ph

orb

iace

ace

Bij

i H

itam

B

iji

dib

akar

, k

emu

dia

n d

igo

sok

kan

pad

a p

erm

uk

aan

yan

g a

kan

diw

arn

ai

Pew

arn

a tu

bu

h,

un

tuk

up

acar

a ad

at

2

Ah

on

ei

ng

uo

i/Ja

rak

(Bat

ang

mer

ah)

Ric

inu

s

com

mu

nis

Eu

ph

orb

iace

ace

Bij

i H

itam

B

iji

dib

akar

, k

emu

dia

n d

igo

sok

kan

pad

a p

erm

uk

aan

yan

g a

kan

diw

arn

ai

Pew

arn

a tu

bu

h,

un

tuk

up

acar

a ad

at

3

Bin

dap

V

acc

iniu

m S

pp

E

rice

ace

Bu

ah

Bir

u

Do

go

sok

kan

pad

a p

erm

uk

aan

yan

g

akan

diw

arn

ai

Pew

arn

a p

ada

bah

an

ker

ajin

an,

pew

arn

a ta

s

atau

no

ken

4

Bim

pas

min

gu

oi

Tri

sta

nia

per

rug

inea

C.T

.

Wh

ite

My

rtac

eace

K

uli

t

Mer

ah

Ku

lit

dik

ikis

, k

emu

dia

n d

iren

dam

dal

am a

ir s

elam

a 1

-2 h

ari,

kem

ud

ian

ku

lit

dip

eras

.

Pew

arn

a k

eraj

inan

sep

erti

tas

, ti

kar

dan

no

ken

5

Bim

pas

tie

i T

rist

an

ia

ore

op

hil

lla

Die

ls

My

rtac

eace

K

uli

t M

erah

K

uli

t d

ikik

is, k

emu

dia

n d

iren

dam

dal

am a

ir s

elam

a 1

-2 h

ari,

kem

ud

ian

ku

lit

dip

eras

.

Pew

arn

a k

eraj

inan

sep

erti

tas

, ti

kar

dan

no

ken

6

Bis

uei

tie

i A

lph

ito

nia

in

can

a

BL

Rh

aman

acec

ae

Kay

u

Hit

am

Kay

u d

ibak

ar d

an a

ran

gn

ya

do

go

sok

kan

pad

a b

agia

n a

tau

per

mu

kaa

n y

ang

ak

an d

iwar

nai

Pew

arn

a tu

bu

h/b

adan

pad

a u

pac

ara-

up

acar

a

adat

, k

hu

susn

ya

tari

-

tari

an

7

Bis

uei

kao

A

ph

ito

nia

ma

cro

carp

a

Rh

aman

acec

ae

Kay

u

Hit

am

Kay

u d

ibak

ar d

an a

ran

gn

ya

do

go

sok

kan

pad

a b

agia

n a

tau

Pew

arn

a tu

bu

h/b

adan

pad

a u

pac

ara-

up

acar

a

Ha

sil

Hu

tan B

uka

n K

ayu

1

70

per

mu

kaa

n y

ang

ak

an d

iwar

nai

ad

at,

kh

usu

sny

a ta

ri-

tari

an

8

Sm

er

Sa

ura

uia

sp

p

Act

inid

acea

e K

uli

t M

erah

K

uli

t d

ikik

is, k

emu

dia

n d

iren

dam

dal

am a

ir s

elam

a 1

-2 h

ari,

dan

dip

eras

, se

lan

jutn

ya

air

per

asan

dir

ebu

s sa

mp

ai k

enta

l.

Pew

arn

a k

eraj

inan

trad

isio

nal

sep

erti

tas

,

tik

ar d

an n

oken

9

Ule

r D

eca

sper

mu

m

fru

tico

sum

My

rtac

eae

Ku

lit

Mer

ah

Ku

lit

dik

ikis

, k

emu

dia

n d

iren

dam

dal

am a

ir d

an s

elan

jutn

ya

dip

eras

.

Pew

arn

a k

eraj

inan

trad

isio

nal

sep

erti

tas

,

tik

ar d

an n

oken

10

Hib

ba/

bu

ah m

erah

Pa

nd

an

us

con

oid

eus

La

m

Pan

dan

acea

e B

uah

M

erah

B

uah

dip

oto

ng

-po

ton

g,

dih

ancu

rkan

lal

u d

ireb

us,

kem

ud

ian

dip

eras

dan

dim

asak

hin

gg

a

men

gel

uar

kan

min

yak

, d

an m

iny

ak

ters

ebu

t d

iper

gu

nak

an s

ebag

ai l

auk

dan

pew

arn

a m

akan

an u

bi,

nas

i d

an

ken

tan

g

Pew

arn

a m

akan

an

11

Min

go

i M

ela

sto

ma

sp

p

Mel

asto

mat

acea

e B

uah

H

itam

D

igo

sok

kan

pad

a p

erm

uk

aan

yan

g

akan

diw

aran

ai

Ko

smet

ik p

ewar

na

tub

uh

dan

bah

an

ker

ajin

an t

rad

iso

nal

12

Ku

mo

rab

B

ixa

ore

lla

na

L

Bix

acea

e

D

igo

sok

kan

pad

a p

erm

uk

aan

yan

g

akan

diw

aran

ai

Pew

arn

a tu

bu

h (

bad

an

dan

ram

bu

t)

13

Jng

eib

rio

i L

eea

sp

p

Lee

acea

e B

uah

B

iru

D

igo

sok

kan

pad

a p

erm

uk

aan

yan

g

akan

diw

aran

ai

Pew

arn

a ra

mb

ut

dan

bah

an k

eraj

inan

trad

iso

nal

14

Mah

ain

gu

oi

Cel

osi

a s

pp

Dau

n

Co

kla

t D

aun

dir

emas

-rem

as h

ing

ga

hal

us

dan

dig

oso

kk

an

Pew

arn

a b

ahan

ker

ajin

an t

rad

isio

nal

Su

mb

er :

Wib

ow

o (

20

03

)

Hasil Hutan Bukan Kayu 171

12.6. Pustaka

Limantara, L (2004). Daya Penyembuhan Klorofil. Harian Kompas edisi 6 April 2004. hal

38.

Triana, N (2007). Melihat Pohon-pohon Pewarna di Museum Tekstil. Harian Kompas, edisi

23 Februari 2007

Wibowo, A (2003). Identifikasi jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan

pemanfaatannya dalam kehidupan suku Hatam di kampung Mbenti distrik

Minyambouw Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan. Fakultas

kehutanan Universitas Negeri Papua. (tidakditerbitkan).

Wulijarni-Soetjipto, N dan R.H.M.J Lemmens (1999). Tumbu-tumbuhan Penghasil pewarna

dan tanin. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. No. 3 PT. Balai Pustaka Jakarta

dan Prosea, Bogor.

www.batikcintaku.com, diakses pada tanggal 28 Februari 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu 172

BAB 13

TUMBUHAN OBAT (MEDICINAL PLANTS)

13.1. Pendahuluan

Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan hutan sebagai sumber obat-obatan, sebenarnya telah

berlangsung sejak manusia berada di atas bumi, atau awal dari peradaban itu sendiri. Hal ini

dapat dipahami karena dalam hal ini, tumbuh-tumbuhan dikonsumsi untuk dua tujuan utama,

yaitu sebagai sayuran dan atau makanan, dan sekaligus sebagai obat-obatan tradisional.

Tetapi untuk membedakan perbedaam antara keduanya, adalah cukup sulit dilakukan.

Sebelum ditemukannya beberapa senyawa kimia untuk obat-obatan di laboratorium dan

diproduksi secara besar-besaran seperti sekarang ini. Manusia sangat mengantungkan

kebutuhan obat-obatan tradisional dari tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar

lingkungannya. Penggunaan obat-obatan tradisional dalam kehidupan kita sehari-hari sangat

banyak dari yang sangat sederhana, seperti obat luka, obat batuk, samapai kepada ramuan-

ramuan yang sengaja diracik atau dibuat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang

secara medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Beberapa kelebihan dari penggunaan obat

dari tumbuh-tumbuhan di antaranya adalah murah, karena cukup tersedia di sekitar kita, tidak

memiliki efek sampingan terhadap tubuh kita dan tidak beracun. Untuk lebih mengenal

tumbuhan obat, maka pada bahasan berikut ini, lebih banyakpokok pembahasannya pada

tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dapat dimanfaatakan sebagai sumber obat.

Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, para pembaca diharapkan memiliki

kemampuan untuk :

1. Menjelaskan arti penting tumbuhan obat bagi umat manusia, khususnya masyarakat

yang tinggal di pedesaan atau kawasan hutan;

2. Mendiskripsikan beberapa fungsi ekologi, sosial-budaya, ekonomi, serta kontribusi

tumbuhan obat dalam menunjang industri obat-obatan dan farmasi;

3. Mengidentifikasi ciri-ciri tumbuhan obat dari kandungan bahan aktifnya dan memahami

cara-cara pengolahan atau eksraksi komponen aktif tumbuhan obat secara sederhana.

13.2. Tumbuhan Obat (Medicinal Plants)

Masyarakat Indonesia khususnya yang hidup dan berdomisili di daerah pedesaan

(villager) dan juga masyarakat yang hidup dan berdomisili di dalam dan di sekitar kawasan

hutan (forest people) di sekitar hutan, banyak menggunakan bagian dari tumbuhan untuk

keperluan pengobatan secara tradisional. Berbagai jenis penyakit baik yang ringan sampai

kepada yang agak berat dapat diatasi dengan menggunakan pengobatan dengan bahan baku

tumbuhan, mulai dari rasa pegal, sakit kepala, sakit perut, luka-luka dan bahkan alat

kontrasepsi. Khusus masyarakat Papua, penyakit malaria masih merupakan jenis penyakit

yang menyebabkan angka kematian utama di Tanah Papua, baik bagi orang dewasa, anak-

anak, orang tua dan bahkan anak di bawah usia lima tahun (balita). Masyarakat yang

berdomisili jauh dari pusat layanan kesehatan, menggunakan ramuan obat tradisional untuk

mencegah dan mengobati penyakit malaria tersebut.

Di Papua banyak penduduk lokal yang hidup di sekitar hutan sangat mengantungkan

tumbuhan hutan sebagai sumber obat-obatan. Dewi (2004) melaporkan bahwa masyarakat

yang berdomisili di kampung Nuni dalam kehidupan sehari-hari menggunakan berbagai

tumbuhan untuk mengobati berbagai penyakit ringan. Daun Turi dan Katok hutan banyak

dimanfaatkan untuk obat pada wanita yang sehabis melahirkan, sakit lambung dapat diobati

Hasil Hutan Bukan Kayu 173

dengan tumbuhan Benalu pohon. Sedangkan untuk obat malaria, masyarakat Nuni

mengkonsumsi hasil rebusan kulit kayu Susu (Alstonia scholaris), dan kulit ketapang

(Terminalia cattapa) untuk menghilangkan rasa pegal-pegal dan mengembalikan stamina

tubuh. Masyarakat Papua mengkonsumsi obat tradisional tersebut dengan cara memakan

langsung dan merebus, serta menempelkan pada bagian yang sakit, khususnya untuk luka-

luka, memar dan bengkak.

Berbagai cara persiapan yang dipergunakan untuk meramu tanaman obat secara

tradisional seperti dimasak dengan air, ditumbuk, diparut, dikunyah dan dipanaskan

(layukan). Sedangkan menurut cara pemakaian atau penggunaanya dapat dibedakan menjadi

diminum, dimakan, digosok, dipukul-pukul, dijilat, campur air mandi, membalut dan

mencampurnya dengan makanan.

Menurut Sitepu dan Sutigno (2001), perumusan peranan tumbuhan ke dalam suatu

kebijakan pengembangan obat-obatan tradisional, yang termuat dalam tulisannya yang

berjudul Peranan Tanaman Obat dalam Pengembangan Hutan Tanaman (The Roles of

Medicinal Plants on Plantation Forest Development). Hal ini berkaitan dengan usaha

pengembangan tanaman obat dan pembangunan hutan tanaman yang berbasis masyarakat.

Pembangunan hutan tamanan dengan komoditas tanaman obat diharapkan dapat memperoleh

banyak fungsi bagi para stakeholder, seperti peningkatan pendapatan dan kesejahteraan

masyarakat hutan, konservasi sumber daya, pendidikan non formal, keberlanjutan usaha,

penyerapan tenaga kerja dan keamanan atau konflik sosial.

Selanjutnya dikatakan bahwa keuntungan majemuk dari pengembangan tanaman obat

dalam pengembangan hutan tanaman industri adalah : 1). Keberhasilan pengelolaan hutan

tanaman melalui penyediaan sumber pendapatan yang berkelanjutan; 2) penyediaan lapangan

kerja bagi masyarakat yang bekerja pada bidang pertanian, industri rumah tangga, kecil atau

menengah, perdagangan, ; 3) peningkatan pendapatan dan kesejahteraaan; 4) peningkatan

pendapatan asli daerah; dan 5) pengembangan usaha regional.

Sitepu dan Sutigno (2001) juga mengemukakan bahwa jenis-jenis tumbuhan obat yang

ada di Indonesia dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan hutan tanaman dengan

melibatkan peran serta masyarakat sekitarnya. Jenis-jenis tumbuhan tersebut beserta khasiat

atau pemanfaatannya dapat diringkas dan disajikan pada Tabel 13.1.

Tabel 13.1. Jenis-jenis tumbuhan obat, bagian yang dimanfaatkan dan khasiatnya yang

dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan hutan tanaman

6..1.9. No Tumbuhan Bagian yang

dipergunakan

Indikasi Khasiat

1 Benalu teh (Loranthus spp) Tangkai daun Anti kanker

2 Brotowali (Tinospora crispa L.) Tangkai daun Anti malaria, kencing

manis

3 Bawangputih (Alliumsativum L.) Umbi Anti jamur, penurun

lemak darah

4 Ceguk/wudani (Quisqualis indica L.) Biji Obat cacing

5 Delima putih (Punica granatum L.) Kulit buah Anti kuman

6 Dringo (Acorus calamus L.) Umbi Obat penenag

7 Handeuleum/daunwungu

(Grapthophyllumpictum Griff.)

Daun Wasir atau ambeien

8 Ingu (Ruta graveolens L.) Daun Anti kuman, penurun

panas

9 Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Rimpang Penghilang nyeri, anti

piretik, anti radang

10 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia

Swingk.)

Buah Obat batuk

Hasil Hutan Bukan Kayu 174

11 Jati belanda (Guazoma ulmifolia

Lamk.)

Daun Penurun kadar lemak

darah

12 Jambu biji/klutuk (Psidium guajava

L.)

Daun Anti diare

13 Jambu mente (Anacardium

occidentale L.)

Daun Penghilang nyeri

14 Kunyit (Curcuma domestica Val.) Rimpang Radang hati, radang

sendi, anti septik

15 Kejibeling (Strobilanthes crispus Bl.) Daun Obat batu ginjal,

pelancar air seni

16 Katuk (Sauropus androgynus Merr.) Daun Pemacu produksi air

susu ibu

17 Kumis kucing (Orthosiphon

stamineus Benth.)

Daun Pelancar air seni

18 Legundi (Vitex trifolia L.) Daun Anti kuman

19 Labu merah (Curcubita moschata

Duch)

Biji Obat cacing pita

20 Pepaya (Carica papaya L.) Getah, daun, biji Sumber enzim papain,

anti malaria,

kontrasepsi pria

21 Pegagan/kaki kuda (Centella asiatica

Urban)

Daun Pelancar air seni, anti

kuman, anti tekanan

darah tinggi

22 Pala (Myristica fragrans Houff.) Buah Penenang

23 Pare (Momordica charantia L.) Buah, biji Kencing manis,

kontrasepsi pria

24 Saga telik (Abrus precatorius L.) Daun Sariawan usus

25 Sembung (Blumea balsamifera D.C.) Daun Penghilang nyeri,

penurun panas

26 Sidowayah (Woodfordia floribunda

Salisb.)

Daun Anti kuman, pelancar

air seni

27 Sambiloto (Andrographis paniculata

Ness.)

Seluruh bagian Anti kuman, obat

kencing manis

28 Seledri (Alpium graveolens L.) Seluruh bagian Anti tekanan darah

tinggi

29 Sirih (Piper betle L.) Daun Anti kuman

30 Temu lawak (Curcuma xanthorhiza

Roxb.)

Rimpang Obat radang hati

kronis

31 Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Daun Pelancar air seni, obat

penghancur batu ginjal

Sumber : Djiman Sitepu dan Pariboto Sutigno (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat.

www.dephut.go.id/

Dari Tabel 13.1 tersebut dapat dijelaskan bahwa ke 31 jenis tumbuhan obat tersebut

adalah jenis herba, bukan yang berasal dari tumbuhan berkayu. Padahal, pada kenyataannya

banyak tumbuhan berkayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk sumber obat-

obatan tradisional. Hal ini berkenaan dengan tingkat pengetahun tradisional dan lokal

masyarakat setempat yang dikenal dengan nama kearifan lokal (Indigeneous knowledge). Di

Papua misalnya, masyarakat lokal menggunakan kulit dan getah dari kayu Susu (Alstonia

scholaris) dan kulit dari kayu Kuning (Nauclea orientalis) untuk penyakit malaria.

Hasil Hutan Bukan Kayu 175

Tumbuhan lainnya, seperti Sirih (Piper spp) yang bagian daun dan buah sirih banyak

dimanfaatkan oleh masyarakat luas sebagai obat antibiotik, seperti obat sakit gigi, sakit mata

dan mimisan (hidung mengeluarkan darah) dan juga untuk obat sakit perut, khususnya mual-

mual (Herman, 2004). Tumbuhan sirih dapat tumbuh dengan mudah dipekarangan, kebun

dan lahan-lahan marginal lainnya. Pengembangbiakannya juga dapat dilakukan dengan

sangat mudah, yaitu stek dari batang dewasa. Tumbuhan sirih dapat tumbuh dengan subur

apabilamendapatkan pohon inang atau tempelan yang cocok. Gambar 13.1 adalah tumbuhan

sirih yang merambat pada pohon Lamtorogung

Di Tanah Papua, sirih, khususnya buah sirih adalah komoditas yang memiliki nilai

historis (sosial dan budaya) tersendiri. Hal in terkait dengan kebiasaan warga asli Papua yang

mengunyah sirih sebagai bagian dari tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Hampir

disetiap pinggir jalan kita dapat menemukan penjual sirih, yang kemudian lebih populer

dengan nama pinang, karena sirih dijual bersamaan dengan biji pinang, dan kapur.

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar 13.1. Tumbuhan sirih (Piper spp) yang tumbuh merambat pada pohon Lamtorogung.

Tumbuhan sirih dapat berbuah sepanjang tahun dan satu tanaman sirih dapat

menghasilkan ratusan buah sirih, tergantung kepada lebat tidaknya tumbuhan sirih tersebut,

kesuburan lahan dan kondisi linkungan yang menunjang seperti kelembaban dan naungan.

Gambaran buah sirih yang telah masak dan siap untuk dipanen dapat dilihat pada Gambar

13.2.

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar 13.2. Buah sirih yang telah siap panen.

Hasil Hutan Bukan Kayu 176

13.3. Tumbuhan Obat di Papua

Tingkat pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat lokal di

Papua berbeda-beda untuk masing-masing suku ataupun bahkan wilayah. Herman (2004)

melaporkan bahwa pada masyarakat Ambaidiru, kabupaten Yapen Waropen sebanyak 31

jenis tumbuhan dimanfaatkan untuk tumbuhan obat dan memiliki 32 khasiat atau manfaat

yang beragam, dari sakit perut, luka bakar, sakit pinggang, malaria dan berbagai penyakit

lainnya. Suebu (2002) yang meneliti pemanfaatan tumbuhan obat pada suku Wie-Khaya di

Arso Jayapura, melaporkan bahwa terdapat 41 jenis tumbuhan yang terbagai dalam 34 famili,

untuk menyembuhkan 13 jenis penyakit yang sering diderita oleh masyarakat stempat.

Howay (2003) juga melaporkan bahwa untuk suku besar Maibrat, 40 jenis tumbuhan

dimanfaatkan sebagai sumber obat-obatan tradisional, dan tumbuhan tersebut terbagi ke

dalam 30 famili, dengan 25 khasiat, yang mana 24 khasiat untuk manusia dan 1 khasiat untuk

hewan.

Paragrap di atas hanya meringkas tentang pemanfaatan tumbuhan obat pada tiga suku di

Papua, padahal di Papua terdapat sekitar 200-an lebih suku atau etnik group. Maka dapat

dibayangkan betapa kaya potensi tumbuhan obat tradisioanal di Indonesia, dan khususnya di

Papua. Hal tersebut belum termasuk kekayaan pengetahuan lokal/kearifan lokal dari masing-

masing suku tersebut. Sungguh kekayaan dan potensi yang sangat luar biasa. Hal ini sesuai

dengan pendapat dari Padua dkk (1999) yang menyatakan bahwa New Guinea (Papua New

Guinea dan Papua) sangat kaya dalam pengetahuan lokal (kearifan lokal) tentang

pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber obat-obatan (There is a rich heritage of tradisional

knowledge on the use of plants as medicine in New Guinea). Pengetahuan yang lengkap

tentang tumbuhan obat telah dibukukan dengan sangat baik oleh PROSEA, yang termuat

dalam dua jilid buku yaitu Medicinal dan Poisonous plants 1 dan 2, atau seri terbitan no 12

(1) dan 12 (2).

Keunggulan komparatif yang kita miliki ini harus dilestarikan dan kembangkan untuk

menunjang pemanfaatan tumbuhan obat secara berhasil dan berdaya guna, dan sekaligus

usaha pelestarian kearifan lokal, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan yang

berbasis masyarakat (community based forest mangement), dan konservasi dan

pemberdayaan masyarakat hutan (forest people).

Sitepu dan Sutigno (2001) meringkas beberapa jenis tumbuham berkayu (pohon hutan)

yang tumbuh di indonesia, dan berpotensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat,

seperti tercantum dalam Tabel 13.2 berikut ini.

Tabel 13.2. Beberapa jenis tumbuhan berkayu yang dihasilkan dari hutan yang

berpotensiu untuk dijadikan tumbuhan obat.

Tipe ekosistem hutan Jenis tanaman obat Keterangan

1. Hutan hujan dataran

rendah

Pasak bumi (Eurycoma

longifolia), Akar kuning

(Arcangelisia flava), Kamfer

(Dryobalanops aromatica),

Kepayang (Scaphium

macropodum), Tabat barito

(Ficus delteidea), Kemiri

(Aleurites moluccana)

Kedawung (Parkia

roxburghii) dan Gaharu

(Aqularia malaccensis)

< 1000 m dpl;

keanekaragaman paling

tinggi; beriklim basah;

terutama di Sumatera,

Kalimantan, Irian Jaya

2. Hutan pantai Bintangur (Calophyllum Di pantai, tanah kering

Hasil Hutan Bukan Kayu 177

inophylum), Keben

(Barringtonia asiatica),

Waru (Hibiscus tilliaceus)

dan Ketapang (Terminalia

catappa)

berbatu dan regosol; di

Sumatera, Jawa, Bali,

Sulawesi

3. Hutan payau (mangrove) Api-api (Avicennia marina),

Bogem (Sonneratia ovata)

Nyirih agung (Xylocarpus

granatum), Bako rayap

(Rhizophora apiculata) dan

Tumus (Bruguiera

conjugata)

Di pantai dan tepian

sungai; dipengaruhi

pasang surut air laut;

terutama di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi,

Irian Jaya, Jawa

Sumber : Djiman Sitepu dan Pariboto Sutigno (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat.

www.dephut.go.id/

Khusus untuk di tanah Papua, beberapa tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh

penduduk lokal dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk unggulan di antaranya

adalah Rumput Kebar, Kayu Akway, Daun Gatal, Daun Mayana, Sambiloto, Mahkota Dewa,

Sarang semut, Tali kuning, kayu kuning, Akar kuning, dan masih banyak lagi. Untukitu

kiranya dukungan dana penelitian dan pengkaderan tenaga-tenaga yang kompeten dalam

bidang pengolahan sumber daya alam, khususnya tumbuhan obat harus lebih ditingkatkan ke

depan.

Pasapan (2005) melaporkan bahwa kayu Akway (Drimys beccariana Gibbs)

dimanfaatkan oleh masyarakat Arfak untuk obat stimulan, obat keluarga berencana (KB),

tuber colosis (TBC) dan bronkritis. Bagian yang dimanfaatkan adalah kulit kayu, dengan cara

merebus dalam air samapai mendidihdan setelah air rebusan dingin, kemudian diminum. Air

rebusan tersebut dapat juga dicampur dengan susu maupun teh hangat. Kayu Akway tersebut

ditunjukkan oleh gambar 13.3. Kulit Akway banyak dijual belikan di pasar tradisional

Manokwari, dan dijual dengan harga Rp. 50.000 per kilogramnya.

Gambar 13.3. Kayu Akway (D. beccariana Gibbs) dari Arfak, Manokwari

Dilaporkan lebih lanjut bahwa terdapat empat jenis kayu Akway yang dimanfaatkan

oleh masyarakat Arfak, yaitu Akway Mambri (Drimys piperita), Akway sus

(Drimysbeccariana Gibbs), Akway Athon (Drimys spp) dan Akway Mmengjei (Drimys spp).

Masyarakat lokal umumnya memanen kulit kayu ini dengan cara menebang pohonnya dan

Hasil Hutan Bukan Kayu 178

mengulitinya dirumah. Praktek pemanenan seperti ini bila terus dibiarkan dikuatirkan akan

cepat membuat potensi kayu Akway di alam terus berkurang. Masyarakat juga belum

melakukan usaha budi daya, karena regenerasinya masih bersifat alami.

Khusus untuk pengobatan dan pencegahan penyakit malaria, masyarakat di Papua

memanfaatkan beberapa jenis tumbuhan, baik tumbuhan hutan maupun non hutan. Tumbuh-

tumbuhan tersebut di antaranya adalah kayu Pulai (Alstonia scholaris), kayu Kuning

(Naucleaorientalis), Tali kuning (Tinospora dissitiflora Diels), Akar kuning (Arcanglesia

flaver), Brotowali (Tinospora crispa), Sambiloto (Andrographis paniculata), Daun pohon

Johar (Cassia siamea), Meniran (Phylantus niruri) dan daun dan getah Pepaya (Carica

papaya).

Gambaran tumbuhan obat dari Akar kuning (A. flaver)yang tumbuh di hutan primer

kampung Edor, kecamatan Buruway, kabupaten Kaimana dapat dilihat pada Gambar 13.4.

Sedangkan tumbuhan obat Tali kuning (T. Dissitiflora Diels) yang berasal dari kampung

Assay, Manokwari Utara, disajikan pada Gambar 13.5.

Foto: Wahyudi dkk (2007)

Gambar 13.4. Akar kuning (Arcanglesia flaver) sebagai obat tradisional malaria di Papua,

dicirikan oleh warna batangnya yang berwarna kuning

Suzuki dkk (2008) dan Subeki dkk (2004) melaporkan bahwa senyawa bioaktif dari

Akar kuning (Arcanglesia flaver) yang diperoleh dari Jawa barat dan Kalimantan adalah

quaternary protoberberine alkaloids, seperti berberine, jatrorrhizine, dehydrocorydalmine,

thalifendine, palmatine and columbamine, dan beberapa isoquinoline alkaloid sederhana

(pycnarrhrine), and tertiary bisbenzyl-isoquinoline alkaloids (limacine and homoaromoline).

Foto: Wahyudi (2012)

Gambar 13. 4. Batang (kiri) dan anakan (kanan) dari umbuhan obat Tali kuning (Tinospora

dissitiflora Diels) dari kampung Assay, Manokwari utara

Tali kuning dipergunakan untuk mengobati dan mencegah penyakit malaria pada hampir

seluruh wilayah Papua. Tali kuning diekstrak dengan cara direbus dalam air hingga

Hasil Hutan Bukan Kayu 179

mendidih, dan kemudian air sisa rebusanya diminum. Sebelum direbus, tali kuning yang

masih basah dibersihkan kulitnya, dengan mencuci dan mengerok (menghilangkan lapisan

jamurnya). Setelah itu dijemur dan dipotong-kecil-kecil untuk memudahkan perebusan.

Perebusan ini dapat diulangi berkali-kali, sampai hasil ekstraknya sudah tidak berwarna

kuning lagi (jernih). Menurut pendapat masyarakat, hasil ekstrak tali kuning ini sangat pahit,

menyerupai obat malaria seperti kina dan chloroquin.

Senyawa bioaktif yang dominan pada Tali kuning adalah protoberberine. Khsusus untuk

berberine, konsentrasi berberin pada tali kuning adalah sekitar 12.04%, lebih tinggi dari

tumbuhan yang dikenal sebagai penghasil berberine yaitu kulit Amur corktree, yang hanya

memilili konsentrasi sekitar 8.17% (Wahyudi dkk, 2011).

13.4. Pustaka

De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and

poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Prosea.

Bogor. Indonesia.

De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and

poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (2). Prosea.

Bogor. Indonesia.

Herman, D.L.2004. Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional oleh Masyarakat di

Desa Ambaidiru Kabupaten Yapen Waropen. Skripsi Sarjana Kehutanan,

Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Howay, M.2003. Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional olehMasyarakat Suku

Maibrat di Kampung Sembaro Distrik Ayamaru Kabapaten Sorong. Skripsi

Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak

diterbitkan)

Pasapan, E.S.2005. Jenis Tanaman Obat-obatan Tradisional oleh Suku Miole di distrik

Minyambaou kabupaten Manokwari. Skripsi Jurusan Budi daya Hutan, fakultas

Kehutanan, Universitas Negeri Papua.Manokwari (tidak diterbitkan)

Sitepu, D dan P. Sutigno.2001. Peranan Tanaman Obat dalam Pengembangan Hutan

Tanaman (The Roles of Medicinal Plants on Plantation Forest Development).

(Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat. www.dephut.go.id/.

Suebu, J. 2002. Potensi Tumbuhan Berkhasiat Obat pada Masyarakat Suku Wie-Khaya

Kecamatan Arso Kabupaten Jayapura. Skripsi Sarjana Kehutanan, Fakultas

Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).

Subeki., H. Matsura., K. Takahashi., M. Yamasaki., O. Yamato., Y. Maeda., K. Katakura.,

M. Suzuki., T. Chairul., and T. Yoshihara, 2004. Antibabesial activity of

protoberberine alkaloids and 20-hydroxyecdysone from Arcanglesia flava

against Babesia gibsoni in Culture. Journal of Veterinary medicinal Science 67

(2):223-227.

Suzuki, T., M. Maeda., S. Fuji., T. Katayama., and W. Syafii, 2008. Chemical constituents

from Akar kuning and their Antioxidant and Antifungal Activities. Proceeding

Symposium on Wood Science and Technology, International Association of

Wood products Societies (IAWPS), Habin, P.R. China, September 27-29, 2008,

pp.315-316.

Wahyudi., Y. Ohtani., H.Ichiura.2011. Berberine in the Medicinal Plant Tali Kuning

(Tinospora dissitiflora Diels). Wood Research Journal Vol.2 (2) (in press).

Hasil Hutan Bukan Kayu 180

BAB 14

RESIN DAN GETAH-GETAHAN

14.1. Pendahuuan

Berbagai jenis getah-getahan yang dihasilkan oleh berbagai jenis tumbuhan hutan dari

berbagai famili yang tersebar diseluruh kawasan hutan Indonesia, merupakan komoditas hasil

hutan bukan kayu yang memiliki nilai jual yang tinggi. Bahkan komoditas ini merupakan

komoditas unggulan bagi daerah-daerah tertentu. Istilah yang lebih umum untuk

mengambarkan hasil hutan bukan kayu dari kelompok getah-getahan, yang lebih dikenal

dengan golongan resin, walaupun definisi tersebut tidak selamanya benar. Karena dalam

berbagai kasus, resin lebih banyak dipergunakan untuk mengambarkan getah - getahan yang

telah diolah menjadi bahan perekat atau sejenisnya. Khusus di Indonesia, beberapa

komoditas kelompok ini memiliki beberapa persamaan fisik, tetapi sangat berbeda

bedasarkan asal usul tumbuhan penghasil dan komposisi kimianya. Oleh karenanya beberapa

komoditas kelompok getah-getahan dan atau resin ini terkadang di kelompokan berdasarkan

asal-asul produk tersebut, atau berdasarkan family tumbuhan yang menghasilkan produk

tersebut.

Tumbuhan atau tanaman kehutanan ada yang ditanam dengan tujuan untuk

menghasilkan getah-getahan saja, tetapi banyak juga yang produksi getahnya hanya bersifat

hasil sampingan dari tumbuhan hutan tersebut.

Pada akhir pokok bahasan ini, para pembaca diharapakan memiliki kemampuan untuk:

1. Menjelaskan definisi produk hasil hutan bukan kayu golongan getah-getahan dan resin;

2. Memahami alasan pengelompokkan komoditas getah-getahan tersebut dalam kelompok

hasil hutan bukan kayu;

3. Menjabarkan beberapa manfaat hasil hutan bukan kayu getah-getahan dari perpektif

ilmu ekonomi, ekologi dan lingkungan serta keanekaragaman hayati;

4. Mengidentifikasi beberapa produk lanjutan dari komoditas hasil hasil hutan bukan kayu

getah-getahan tersebut.

14.2. Istilah Umum

Dalam perdagangan international, beberapa istilah yang dipakai untuk mengambarkan

sekresi cairan kental yang dikeluarkan oleh tumbuhan, baik dari bagian batang dan daun,

misalnya gums, resin, kopal dan damar. Istilah-istilah tersebut dipergunakan untuk

mengambarkan perbedaan karakteristik antara masing-masing komoditas, baik bentuk

fisiknya, sifat kelarutannya, dan bahkan kandungan komponen kimianya. Perbedaan dan

persamaan antara gum, resin, dan kopal secara singkat dapat dilihat pada paragrap di bawah

ini (http://www.faculty.ucr.edu/~legneref/botany/gumresin.htm).

Secara umum, getah-getahan atau bahan lain yang disekresikan oleh tanaman atau

tumbuhan hutan, baik yang mendapat perlakuan perlukaan baik disengaja maupun karena

sebab lain dinamakan dengan getah. Getah- getahan tersebut disadap dari batang pohon

dengan melukai kulit kayu, maupun dari bagian tumbuhan yang lain, seperti dari batang rotan

misalnya. Beberapa jenis komoditas getah-getahan yang dihasilkan oleh hutan Indonesia di

antaranya adalah tersebut Getah Perca, Getah Hangkang, Ketiau dan Jelutung.

Golongan getah-getahan tersebut, ada juga yang menggolongkan ke dalam istilah lateks.

Lateks adalah sekresi cairan seperti susu yang berwarna putih atau warna lainnya oleh sel

pembuluh atau sel khuhus pada batang atau daun tumbuhan. Tiga family tumbuhan penghasil

lateks antara lain adalah Moraceae, Sapotaceae dan Apocynaceae.

Hasil Hutan Bukan Kayu 181

Secara umum, getah-getahan ini diolah menjadi beberapa produk industri seperti

insulasi/isolator pada kabel, pembuatan gigi palsu, zat penolak air pada industri permen,

industri cat dan vernis. Produk olahan dari getah-getahan dalam perdagangan internasional

sering dinamakan dengan gums.

Gum adalah hasil dari proses disintegrasi dalam sel tumbuhan, utamanya hasil

decomposisi dari sellulosa yang dinamakan dengan proses gumnosis. Gums mengandung

banyak gula, berhubungan erat dengan pektin. Gums biasanya berbentuk koloid. Untuk sifat

kelarutannyan, larut sedikit atau seluruhnya dalam air, dapat juga hanya mengembang. Tetapi

Gum tidak larut dalam alcohol dan ether. Gums dikeluarkan oleh batang karena proses

perlukaan. Dipasaran gum dijual, dalam bentuk yang telah dikeringkan. Gum biasanya

dihasilkan dari tumbuh tumbuhan yang tumbuh di lahan kering, tandus atau padang pasir.

Gum biasanya dimanfaatkan untuk bahan perekat, industri percetakan, bahan finishing

tekstil, pengisi kertas, industri cat, industri permen, dan sebagai obat. Tiga jenis gum yang

sangat terkenal adalah gum Arabic, gum tragacanth dan karaya gum.

Resin adalah hasil dari proses oksidasi minyak atsiri pada tumbuhan, memiliki struktur

kimia yang sangat kompleks dan bervariasi. Resin disekresikan oleh sel kelejar khusus dan

dikeluarkan melalui kulit tumbuhan/pohon, dan akan mengeras begitu bereaksi dengan udara

luar. Berdasarkan sifat kelarutannya, resin tidak larut dalam air, tetapi hanya larut dalam

ether, alcohol, dan pelarut organik lainnya. Resin dihasilkan oleh beberapa tumbuhan dari

familyAnacardiaceae, Burseraceae, Dipterocarpaceae, Guttiferae, Hammamelidaceae,

Leguminosae, Liliaceae, Pinaceae, Styracaceae dan Umbelliferae.Bagi tumbuhan, resin

berperan dalam melindungi tumbuhan dari jamur, karena sifatnya yang bersifat antiseptic.

Resin juga berfungsi untuk mencegah tumbuhan kehilangan air secara drastis. Berdasarkan

sifat kimianya resin dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu Hard resin,

Oleoresin dan Gum resin.

Hard resin adalah golongan resin padat, realtif transparan dan agak rapuh, tidak berbau

atau beraroma. Resin jenis ini tidak mengandung bahan yang mudah menguap (nonvolatile

compounds) dan memiliki sifat conduktor yang rendah. Resin jenis ini sangat baik untuk

bahan varnish, karena memiliki minyak yang rendah dan mudah dilaritkan dalam alcohol.

Kopal dan damar termasuk dalam kelompok hard resin. Jenis ini sangat cocok untuk produk

cat, tinta, plastik, pengisi, perekat, kembang api and beberapa produk lainnya.Oleoresin

adalah resin berbentuk cairan (liquid) yang sebagian besar mengandung minyak atsiri,

sehingga memiliki aroma dan bau yang khas. Turpentin dan balsam adalah termasuk ke

dalam oleoresin. Gum resin adalah campuran getah-getahan (gums), resin, dan terkadang

mengandung minyak atsiri. Kebanyakan gum resin dihasilkan oleh beberapa tumbuhan yang

hidup di daerah kering (arid regions), seperti Iran dan Afganistan.

14.3. Getah Perca

Getah perca adalah getah hasil sadapan dari batang tumbuhan dan ekstraksidaun family

Sapotaceae, yaitu kulit pohon Nyatoh (Palaquium spp) dan Payena spp. Getah ini termasuk

getah alam yang kurang elastis. Tetapi getah perca yang terbaik dihasilkan oleh Palaquium

gutta (Hk.f.) Bailon. Oleh karenanya getah perca sering disebut juga dengan nama gutta

perca.

Getah perca mempunyai kandungan getah (30%) dan resin (65%). Senyawa utama dari

getah perca adalah golongan terpene, sehingga gutah perca adalah polyterpene, atau polymer

dari isoprene, utamanya adalah trans-1,4-polyisoprene. Alban (C17H28O) dan fluaril

(C40H28O) yang merupakan hasil oksidasi gugus propenennya (C5H8)n adalah dua senyawa

turunan getah perca.

Getah perca dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti sebagai bahan isolasi pada

kabel dan kawat listrik, keperluan membuat master gigi palsu pada oleh mahasiswa

Hasil Hutan Bukan Kayu 182

kedokteran gigi, media penahan air (water proofing agent) dan beberapa pelapis alat mekanis

lainnya. Menurut beberapa sumber, sebelum ditemukan karet sintetis, getah perca

diperuntukkan sebagai bahan baku utama bola golf.

Menurut Pratiwi dan Kalima (2005) yang termasuk ke dalam kelompok getah perca

adalah getah Putih, getah Merah, getah Hengkang dan getah Ketiau. Penyebaran jenis-jenis

pohon penghasil getah perca tersebut telah diringkas oleh kedua penulis tersebut, dan

selengkapnya dapat dilihat pada pustaka, yang disajikan pada akhir pokok bahasan ini.

Selanjutnya, uraian singkat tentang perbedaan dan persamaan antara getah perca, dengan

jenis getah yang lainnya, menurut kedua peneliti di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

Getah putih. Getah ini dihasilkan oleh jenis pohon Palaquium trubi Burck.

Getah merah. Getah merah dihasilkan dari pohon jenis Palaquiumobouatum (Griff.)

Engler, P. krantzianum Pierre ex lecomte, dan P. theodeum Elmer.

Getah hengkang. Jenis pohon yang menghasilkan tipe getah ini adalah Palaquium

leiocarpum Boerlage, P. quercifolium Burck, P. callophylum (Teys.et Binn) Pierre.

Getah segar hengkang berwarna putih, tetapi apabila terjadi kontak dengan udara akan

berubah warna menjadi merah jambu atau merah. Getah hengkang bersifat sangat getas,

sehingga mudah patah.Apabila dibakar getah ini tidak mengeluarkan bau yang

merangsang. Komposisi kimia dari getah hengkang adalah kadar air 38%, getah

(13.4%), resin (47.4%) dan bahan lain (0,3%)

Getah ketiau. Getah jenis ini, meskipun terjadi kontak dengan udara tetap berwarna

putih. Tetapi getah ini bersifat mudah rapuh dan hancur (remuk), serta meninggalkan

berkas berupa serat benang bila dibakar. Beberapa jenis pohon yang menghasilkan getah

ketiau antara lain jenis Ganua motleyana (de Vriese) ex Dubard, Peyena dasyphylla

(Miq.) Pierre, P.obscura Burck, P.leerri (Teys& Binn) Kurz, dan P. lucida (G.Don) DC.

Secara kasar, getah ini memiliki komposisi kimia terdiri atas getah (16.27%), resin

(75.43%) dan air (8.30%).

14.4. Getah Jelutung

Getah jelutung adalah getah yang berasal dari sadapan family Apocynaceae, dari jenis

Dyera costulata (Miq.) Hk.f., dan D. polyphylla (Miq.). Pratiwi dan Kalima (2005)

menyebutkan di Indonesia, terdapat tiga jenis getah jelutung, yaitu Jelutung Banjarmasin,

Pontianak dan Palembang. Penggolongan ini hanya lebih kepada asal usul getah jelutung

tersebut, bukan berdasarkan perbedaan kualitas atau komposisi kimianya, misalnya. Getah

jelutung memiliki kandungan air sampai 60% dan bahan menyerupai karet (25%). Getah ini

dimanfaatkan sebagai bahan vernis, cat, dan campuran permen karet.

Pada masa keemasannya, Indonesia dikenal sebagai produsen terbesar getah jelutung di

dunia, tetapi saat ini potensi getah jelutung terus mengalami penurunan. Pratiwi dan Kalima

(2005) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas getah

jelutung antara lain seperti:

Kegiatan penyadapan tidak dilakukan secara kontiyu, atau terus menerus, petani hanya

menyadap getah jelutung pada saat harga sedang naik, atau hanya sebagai usaha

sampingan;

Pohon penghasil Jelutung mengalami kerusahan, karena penebangan pohon-pohon yang

berdiameter besar. Karena rendemen hasil dari pohon berdiameter besar lebih tinggi dari

yang berdiameter kecil;

Teknik penyadapan yang masih sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan pisau atau

parang;

Populasi pohon penghasil getah jelutung yang berkurang karena adanya kegiatan

ekploitasi dari HPH atau kegiatan konversi hutan lainnya;

Hasil Hutan Bukan Kayu 183

Lokasi penyadapan yang semaki jauh dari pemukiman warga;

Keterbatasan sarana dan prasarana penyadapan.

Penelitian tentang tiga teknik penyadapan getah Jelutung yaitu teknik spiral kanan-kiri,

teknik V, dan teknik spiral kiri-kanan, di wilayah Jambi dilakukan oleh Wahyudi dkk (2009).

Ketiga teknik penyadapan tersebut di ilustrasikan pada Gambar 14.1 berikut ini.

Sumber: Wahyudi dkk (2009)

Gambar 14.1. Illustrasi tiga teknik penyadapan getah, teknik spiral kanan-kiri (kiri), teknik V

(tengah), dan teknik spiral kiri-kanan (kanan) di provinsi Jambi.

Dari penelitian ketiga teknik penyadapan yang dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan,

dilaporkan bahwa teknik penyadapan setengah spiral kanan-kiri dapat menghasilkan getah

per perlukaan sebanyak 213.45 gram (2561,25 gram dari seluruh perlakuan total), 336,75

gram (4041,00 gram) untuk teknik V, dan 204,65 gram (2455,50 gram) untuk teknik

setengah spiral kiri-kanan. Getah Jelutung hasil sadapan tersebut dapat dilihat pada gambar

14.2.

Sumber: Wahyudi dkk (2009)

Gambar 14.2. Getah Jelutung hasil proses penyadapan yang masih segar

Secara umum kondisi kesehatan pohon yang disadap tersebut dilaporkan relatif baik dan

sehat. Sehingga para peneliti tersebut merekomendasikan untuk menggunakan teknik

penyadapan setengah spiral kanan-kiri, yang mana penyayatan dilakukan dengan sudut

37oterhadapsumbu pohon. Dikatakan lebih lanjut, bahwa metode tersebut sebaiknya

dibandingkan dengan metode lain yang dipergunakan oleh masyarakat lokal secara umum.

Hasil Hutan Bukan Kayu 184

14.5. Kopal

Kopal adalah getah yang disadap dari tanaman Agathis spp dari famili Araucariaceae. Kopal

yang sudah mengeras, karena bereaksi dengan udara, umumnya memiliki warna kuning

bening, transparan atau kuning pucat. Contohnyaadalah kopal yang dihasilkan dari Agathis

dammara(Lamb.)Rich & A.Rich, seperti disajikan pada Gambar 14.3 (kiri). Sedangkan

Gambar 14.3 yang sebelah kanan mengambarkan getah kopal segar yang sedang keluar dari

pohon Agathis spp..

Sumber:www.prota4u.org http://wahyukdephut.files.wordpress.com/

Gambar 14.3. Kopal dari pohon Agathis spp, yang telah mengeras dan kering (kiri) dan

masih segar (kanan).

Karena menghasilkan kopal, yang secara fisik menyerupai damar, maka pohon dari jenis

Agathis spp sering juga disebut sebagai pohon damar. Selain Agathis dammara(Lumb.) Rich

& A.Rich di atas, beberapa jenis pohon Agathis yang menghasilkan kopal di antaranya

adalah Agathis alba, A. latifolia, A.robusta, A. macrofolia, A. australia, A. selebica, dan A.

boornensis. Gambar buah jantan dan betina dari Agathis macrofolia yang dikutip dari

www.traditionaltree.org disajikan pada Gambar 14.5.Khusus di Papua, kopal diperoleh dari

sadapan pohon Agathis labillardieri Warb yang merupakan jenis endemik untuk pulau New

Guinew, yaitu meliputi Papua dan Papua New Guinew. Dua jenis lainnya yang terdapat di

Papua adalah A. cunninghamii.SW dan A. beccarri Warb.

Sumber:www.traditionaltree.org

Gambar 14.5. Cone jantan (kiri) dan betina (kanan) dari Agathis macrophylla.

Produktivitas kopal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti karakterisitk pohon

Agathis spp itu sendiri, dan lingkungan temat tumbuh, atau habitat tegakan Agathis spp

tersebut. Munajat (2004) yang dikutip oleh Irawan dkk (2007) menjelaskan bahwa produksi

kopal sangat dipengaruhi oleh beberapa variables, seperti kualitas tempat tumbuh, umur

pohon, kerapatan tegakan, sifat genetik, ketinggian tempat di atas permukaan laut, ketebalan

Hasil Hutan Bukan Kayu 185

kulit batang, diameter batang, topograpi, kualitas tegakan, dan arah penyadapan. Penelitian

tentang pendugaan produksi kopal di perum Perhutani di daerah Probolinggo dilakukan oleh

Irawan dkk (2007) dengan menggunakan peubah seperti diameter pohon, ketebalan kulit

batang, kerapatan tegakan, kelerengan dan arah menghadap lereng yang di rancang dengan

pendekatan regresi-korelasi. Dalam penelitian ini metode penyadapan yang digunakan adalah

metode kowakan (quarre), yang berukuran 10 cm x 140 cm, mengacu kepada Surat

Keputusan Direksi Perum Perhutani No.710/KPTS/DIR/1985 tentang pedoman Penyadapan

Getah Damar (Kopal).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi kopal pada sadapan berbeda nyata pada

berbagai arah mata angin (utara, selatan, timur, dan barat). Secara berurutan, arah utara

menghasilkan kopal sebesar 119.12 gram/pohon/9 hari, Selatan (136.77 gram/pohon/9 hari),

Timur (120.78 gram/pohon/9 hari), dan Barat (116.68 gram/pohon/9 hari). Lebih lanjut

disimpulkan, bahwa pada arah kelerengan yang menghadap ke arah selatan, produksi

kopalnya cenderung lebih tinggi. Dijelaskan bahwa, intensitas matahari yang kurang pada

lereng yang menghadap ke selatan, diduga berperan dalam merangsang lebih banyak

produksi kopal. Getah akan terus mengalir, (tidak membeku) karena minimnya intensitas

matahari pada lereng menghadap ke selatan, sehingga penutupan saluran getah oleh

pemadatan getah tidak terjadi. Selanjutnya disimpulkan bahwa bertambahnya diameter

pohon, ketebalan kulit akan meningkatkan produksi kopal. Juga semakin rendah kerapatan

pohon per hektar dan tinggi tingkat kelerengan akan meningkatkan produksi kopal.

Berbagai pola sadap pada penyadapan Kopal dengan metode sayatan di RPH

Sukamantri BKPH Bogor KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten telah

diteliti oleh Laksono (2004). Dilaporkan bahwa dari empat pola sadap yang diteliti, yaitu

pola lurus, miring, V, and V terbalik, pola sadapan miring memberikan hasil sadapan

tertinggi, yaitu sekitar 3.2 gram/pohon/per hari. Untuk lebih jelasnya, teknik pelaksanaan,

hasil sadapan, dan kesimpulan yang lebih lengkap dapat dilihat pada sumber aslinya, seperti

yang tertulis dalam pustaka di akhir pokok bahasan ini.

Penelitian tentang pengaruh diameter batang dan luas tajuk pohon Agathislabillardieri

Warb pada tiga lokasi yaitu blok hutan Parieri, Soon, dan Saribi, di daerah Biak, provinsi

Papua dilakukan oleh Yusuf (1978). Ringkasan hasil penelitian tersebut diringkas pada Tabel

14.1.

Tabel 14.1. Rata-rata produksi kopal per pohon dari Agathis labillardieri Warb. selama

7 hari penyadapan di tiga blok Hutan, Parieri, Saribi, dan Soon di kabupaten Biak,

Provinsi Papua

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kelompok diameter Produksi getah (gram/7 hari)

--------------------------------------------------------------------

(cm) Parieri Soon Saribi Rata-rata

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

30 - 39 194,5 219,8 214,9 209,7

40 - 49 249,9 277,4 278,0 268,4

50 - 59 306,1 293,9 333,4 311,1

60 - 69 346,2 436,4 414,0 399,1

70 - 79 674,5 504,3 589,5 589,4

80 - 89 648,1 648,2 648,2 646,5

90 - 99 725,4 565,1 711,2 667,2

100 - 109 816,5 735,7 867,8 790,0

110 - 119 875,1 910,1 119,3 896,6

diolah dari Yusuf (1978)

Hasil Hutan Bukan Kayu 186

Dari tabel 14.1 di atas secara sepintas dapat dijelaskan bahwa semakin besar diameter,

produktivitas kopal Agathis labillardieri Warb. pada tiga blok hutan di kabupaten Biak,

provinsi Papua semakin meningkat. Apabila dirata-ratakan ke dalam produktivitas kopal per

pohon, blok Parieri menghasilkan 194,5 – 875,1 gram/pohon/7 hari, blok Soon menghasilkan

219,8 – 910,1 gram/pohon/7 hari, dan blok Saribi menghasilkan 214,9 – 1119,3

gram/pohon/7 hari. Apabila mengesampingkan jenis Agathisspp dan diameter pohonya, baik

di Probolinggo maupun di Biak, maka produktivitas kopal di Biak lebih tinggi dibandingkan

di Probolinggo.

Kopal memiliki susunan kimia yang sangat beragam, tetapi hampir sebagian besar

adalah bahan kimia yang termasuk golongan componen mudah menguap (volatille

compounds). Kandungan kimia tiga jenis kopal dari daerah Amerika latin yaitu kopal

Blanko, Oro, dan Negro diteliti oleh Case dkk (2003). Ketiga kopal tersebut dibedakan

berdasarkan jenis pohon penghasil dan teknik penyadapan. Ketiga jenis kopal tersebut

dihasilkan daripohonBursera, Protium (family Burseraceae), and Hymenaea

(Caesalpiniaceae). Kopal blanco dihasilkan dari cabang, kopal oro dari batang yang telah

dikuliti, dank opal negro dari kulit yang terluka. Analisis kimia menyimpulkan bahwa 68

jenis senyawa kimia terdapat dalam kopal-kopal tersebut, yang sebagian besar adalah

golongan minyak atsiri. Kopal blanco (kemungkinan berasal dari B. bipinnata) didominasi

oleh a-copaene (14.52 1.28%) dan germacrene D (13.75 1.06%). Kopal Oro (kemungkian

berasal dariH. courbaril) mengandung a-pinene (by 21.35 5.96%) dan limonene (26.51

1.22%). Sedangkan kopal Negro (kemungkian berasal dari P. copal) didominasi oleh a-

pinene (17.95 1.35%), sabinene (12.51 0.08%) dan limonene(16.88 2.02%.)

Kopal banyak dimanfaatkan untuk bahan baku industri terutama industri vernis, tinta,

perekat, plastik dan tekstil. Di daerah Amerika Latin, kopal juga dimanfaatkan untuk

berbagai upacara keagamaan (ritual), sumber aroma, obat-obatan traditional, dan beberapa

penggunaan lainnya, yang selengkapnya dapat dilihat pada pustaka aslinya (Case dkk.,

2003).

14.6. Damar

Damar adalah resin yang dihasilkan dari pohon yang termasuk dalam famili

Dipterocarpacea, seperti Shorea spp, Vatica spp dan Dryobalanops spp. Indonesia,

khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah dikenal sebagai daerah penghasil damar di

dunia. Menurut Michon dkk (2000) berdasarkan kenampakan fisiknya, damar dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu damar batu atau hitam dan damar mata kucing.

Damar hitam atau batu adalah yaitu damar bermutu rendahberwarna coklat kehitaman,

karenanya jenis damar ini sering juga disebut dengan damar hitam. Damar ini biasanya

keluar dengan sendirinya dari pohonyang terluka, yang kemudian membentuk

gumpalan-gumpalan besar yang jatuh dari kulit pohon, yang lama kelamaan terkumpul

didekat pangkal pohon. Oleh karena gumpalan tersebut nampak seperti batu, maka

damar ini diistilahkan sebagai damar batu Jenis damar inidapat dikumpulkan dengan

menggali tanah di sekeliling pohon. Pohon-pohon damar yang telah tua, biasanya

menghasilkan banyak damar hitam di sekeliling pangkal pohonnya. Berdasarkan

warnanya damar batu bisa berwarna hitam atau kecoklatan, seperti ditunjukkan oleh

gambar 14.5 berikut.

Hasil Hutan Bukan Kayu 187

www.indonetwork.co.id http://cvsarananusantara.blogspot.com

Gambar 14.5. Damar batu dan Damar hitam

Damar mata kucing adalah jenis damar yang bening, transparan ataukekuningan. Damar

mata kucing adalah damar yang bermutu tinggi, sebanding dengan kopal. Jenis damar

ini dipanendengan cara melukai kulit pohon. Sekitar 40 spesies dari genusShorea spp

danHopeaspp menghasilkan damar mata kucing, di antaranya yang terbaikadalah

Shorea javanica dan Hopea dryobalanoides. Disebut mata kucing karena kualitas kristal

dari damar ini dapat memantulkan cahaya seperti halnya mata kucing. Contoh dari

damar mata kucing dapat dilihat pada Gambar 14.5 di bawah ini.

http://cvsarananusantara.blogspot.com

Gambar 14.5. Damar mata kucing

Sentra produksi damar mata kucing yang cukup terkenal di Indonesia adalah pesisir

Krui, Provinsi Lampung. Pada daerah ini komoditas damar adalah warisan dari nenek

moyang, turun- termurun lebih dari 100 tahun. Dalam bidang kehutanan, segala aktivitas

yang berhubungan dengan penyadapan damar ini lebih dikenal dengan istilah Repong damar.

Hal ini dikarenakan sistem pengelolaan dan pengusahaan komoditas damar ini menggunakan

sistem agroforesty, dan telah menyatu dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan adat budaya

dari masyarakat di pesisir Krui- Lampung tersebut.

Damar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti pembuatan plastik,

plester dan vernis. Jenis damar tertentu bahkan dapat dijadikan obat-obatan.

14.7. Getah Tusam

Resin secara umum banyak dipergunakan untuk mengambarkan hasil getah-getahan dari

famili Pinacea yang kebanyakan dihasilkan oleh pohon Pinusspp. Dibeberapa negara maju,

resin banyak dipergunakan sebagai bahan perekat. Getah sadapan dari pohon pinus, atau di

Indonesia, lebih dikenal dengan nama Tusam (Pinusmerkusi) dapat dihasilkan dua produk

Hasil Hutan Bukan Kayu 188

utama setelah melalui proses penyulingan yaitu produk destilat (Terpentin) dan residu

(Gondorukem).

Proses pemisahan gondorukem dan terpentin dari getah tusam secara sederhana dapat

diuraikan ke dalam 2 (dua) tahapan, yaitu pemurnian getah tusam dari kotoran (daun, pasir,

kulit dsb.), dan pemisahan terpentin dari gondorukem melalui metode destilasi atau

penguapan.

1. Proses pemurnian getah diawali dari pengenceran getah dengan terpentin, kemudian

penyaringan kotoran kasar, pencucian, penyaringan kotoran dan pengendapan.

2. Proses pemisahan gondorukem dari terpentin dengan proses distilasi, dengan pemanasan

langsung atau pemanasan tidak langsung (penguapan).

Uraian yang lengkap tentang prosedure dan tahapan serta variabel pengujian kualitas

getah tusam telah diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5009.4-2001). Panduan

teknis pengujian tersebut dapat diakses dalam alamat situs berikut ini:

http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Getah tusam.htm

14.7.1 Gondorukem

Gondorukem adalah hasil padatan atau residu dari proses penyulingan getah pohon

Pinus (Pinus spp). Uraian yang lengkap tentang prosedure dan tahapan serta variabel

pengujian kualitas getah Gondorukem telah dibuat oleh BadanStandarisasi Nasional (BSN)

yang kemudian dipublikasikan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5009.12-

2001).Informasi tersebut dapat diakses dari situs:

http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gondorukem.htm. Gondorukem yang dihasilkan oleh

Perum Perhutani dapat dilihat pada Gambar 14.7 di bawah ini.

Sumber: http://beritaenak.wordpress.com

Gambar 14.7. Gondorukem produksi dari Perum Perhutani

14.7.2. Terpentin

Terpentin, yang dalam ejaan Inggrisnya adalah Turpentine (C10H6), adalah hasil dari

proses distilasi (destilat) dari getah tusam. Dalam dunia perdagangan sering dikenal dengan

istilah oil of turpentine atau spirit of turpentine. Terpentin adalah campuran dari senyawa

golongan terpene dan minyak atsiri. Komposisi kandungan kimia dari terpentin akan

bervariasi, tergantung pada faktor geograpi pohon pinus, jenis atau spesies pohon, dan proses

distilasi yang dipergunakan. Di samping gondorukem, terpentin adalah produk andalan dari

perum Perhutani, khususnya dari pohon Pinus di Pulau Jawa. Produk ini bahkan telah

diekspor ke berbagai negara tujuan. Contoh kemasan ekspor terpentin (gum rosin) tersebut

disajikan pada Gambar 14.8.

Hasil Hutan Bukan Kayu 189

Sumber:http://unit3.perumperhutani.com/

Gambar 14.8. Kemasan ekpor komoditas terpentin dari Perum Perhutani

Komponen kimia yang dominan dari terpentin di antaranya α-pinene, β-pinene,

limonene, terpene alkohol, dan beberapa isomer terpene lainnya. Terpentine yang berasal

dari Indonesia, memiliki kandungan α-pinene (65-85%), β-pinene (1-3%), limonene (1-3%),

camphene (~ 1%), 3-carene (10-18%), dan berat jenis pada 20oC sebesar 0.865-870 g/ml

(Haneke, 2002). Informasi yang lengkap tentang terpentine dari berbagai negara, sifat kimia

dan efek toksikologinya dapat dilihat pada pustaka aslinya, seperti yang ditulis pada akhir

pokok bahasan ini.

14.8. Jernang

Jernang adalah hasil ekstrak atau inti sari dari buah rotan dari jenis Daemonorop draco

Bl dari famili Palmae. Raton jenis ini sering dikenal dengan rotan Jernang. Komoditas ini

sering disebut dengan getah Jernang, apabila kita menggolongkan kelompok hasil hutan

bukan kayu kelompok getah-getahan. Padatan ekstrak tersebut apabila kering akan berwarna

merah, menyerupai darah, sehingga komoditas ini sering juga disebut dragon blood.

Sumber : spellsandbrooms.wordpress.com

Gambar 14.9. Bentuk tepung (kiri) dan padatan (kanan) kering dari komoditas Jernang

Proses pengolahan komoditas Jernang diperoleh dari ekstraksi biji rotan jenis

Daemonorops spp yang telah masak. Buah rotan Daemonorops spp bergerombol dalam

dalam bentuk untaian atau ranting buah (Gambar 14.10), buah tersebut dipisahkan dari

tangkainya, dan selanjutnya diekstrak.

Hasil Hutan Bukan Kayu 190

Sumber: http://gisjernang.blogspot.com

Gambar 14.10. Untaian buah rotan Daemonorops spp sebagai bahan ektrak pembuatan

Jernang (kiri) dan untuk keperluan pembibitan.

Secara tradisional, proses ekstrasi dilakukan dengan cara kering yaitu langsung

menumbuk buah tersebut, setelah halus lalu diperas. Hasil perasan tersebut kemudian

diendapkan untuk mendapatkan endapan berwarna merah, yang kemudian disebut Jernang.

Proses ektraksi juga dapat dilakukan dengan mencampur buah-buah rotan yang telah

dipisahkan dari rantingnya dengan air, dan selanjutnya dilakukan penghalusan, penyaringan

dan pengendapan. Secara teori, pencampuran dengan air, akan menghasilkan rendemen yang

lebih tinggi. Apabila dikerjakan dilaboratorium, berbagai metode ekstraksi dengan berbagai

macam pelarut, tentu akan mempengaruhi rendemen dari Jernang yang dihsailkan.

Dari berbagai sumber, jernang banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti

untuk sumber bau-bauan pada berbaagai upacara adat yang bersifat magis dan religius, obat-

obatan tradisional seperti menghentikan pendarahan pada luka baru, peredam rasa sakit

akibat cedera, diare, membantu menstruasi menjadi teratur, dan obat jamur kulit. Warna

merah dari jernang, banyak dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang juga banyak dipakai

sebagai bahan vernis dan cat, pewarna keramik, marmer, dan aplikasi lainnya.

14.9. Kemenyan

Pohon Kemenyan (Stryraxsp) termasuk dalam famili Stryracaceae dan ordo Ebeneles.

Kemenyan adalah getah yang dihasilkan dari proses penyadapan dari pohon Kemenyan

(Stryrax spp). Sentra penghasil kemenyan di Indonesia adalah di Provinsi Sumatera utara.

Pada daerah ini, terdapat dua jenis pohon Kemanyan, yaitu kemenyan Toba (Stryrax

sumatrana) dan kemenyan durame (Stryrax benzoin). Getah dari kemenyan Toba berwarna

putih, sedangkan kemenyan durame berwarna agak coklat kehitaman (Sasmuko, 1995).

Dikatakan bahwa untuk kepentingan perdagangan, penduduk lokal menggolongkan kelas

mutu komoditas kemenyan berdasarkan kriteria warna, besar butiran, dan kebersihan getah

dari kotoran-kotoran. Penggolongan mutu tersebut dilaksanakan berdasarkan pengalaman

dan dilakukan secara visual. Sudah tentu metode tersebut kurang dapat

dipertanggungjawabkan, secara keilmuan, apalagi bila komoditas kemenyan akan dipasarkan

dengan tujuan ekspor. Penentuan kualitas kemenyan berdasarkan hasil laboratorium,

khususnya komponen kimianya, mungkin lebih dapat diperdan dapat diterima dipasaran luar

negeri. Untuk maksud tersebut, penelitian tentang sifat fisik dan kimia kemenyan telah

dilaksanakan oleh Sasmuko (1995). Hasil lengkap penelitian ini dapat dibaca pada sumber

aslinya, sperti tercantum pada pustaka di akhir pokok bahasan ini.

Sinaga (2008) menyatakan bahwa pemanenan atau kegiatan penyadapan getah

kemenyan di provinsi Sumatera Utara, terdiri atas tiga tahapan yaitu membuat luka sadapan

yang dikerjakan antara bulan Juli – September, mengumpulkan getah pada bulan Oktober –

Desember, dan mebersihkan getah pada bulan Januari – April.

Hasil Hutan Bukan Kayu 191

Kemenyan banyak dimanfaatkan untuk bahan baku industri kosmetik, farmasi, bahan

pengawet, dan bahan baku farmasi obat-obatan, varnish atau cat, dan industri keramik .

14.10. Pustaka

Case, R.J., A.O.Tucker., M.J. Marciarello., K.A. Wheeler.2003.Chemistry And Ethnobotany

of Commercial Incense Copals, Copal Blanco, Copal Oro, and Copal Negro, of

North America.Economy Botani57 (2) Hal: 189-202.

Haneke.K.E. 2002. Turpentine (Turpentine Oil, Wood Turpentine, Sulfate Turpentine,

Sulfite Turpentine) [8006-64-2]Review of Toxicological Literature.Integrated

Laboratory SystemsP.O. Box 13501Research Triangle Park, North Carolina

27709.

Irawan, W.S.B., E. Suhendang., J.R. Matangaran.2007. Model Penduga Produksi Kopal.

Jurnal Menejemen Hutan Tropis Vol.XIII(3) Hal:166-171.

Jafarsidik, J (1987). Jenis-jenis Pohon Penghasil Resin Damar dan Penyebarannya di

Indonesia. Majalah Duta Rimba No. 81-82/XIII/1987.

Laksono, W.2004. Penerapan berbagai pola sadap pada penyadapan Kopal dengan metode

sayatan di RPH Sukamantri BKPH Bogor KPH Bogor Perum Perhutani Unit III

Jawa Barat dan Banten. Skripsi. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan

institut Pertanian Bogor (tidakditerbitkan).

Michon, G., H de Foresta., A.Kusworo., P. Levang.2000.ContohAgroforest Indonesia. Dari

artikelaslinyaChapter 7. The Damar Agro-Forests of Krui, Indonesia: Justice for

Forest Farmers. In C. Zerner (Editor): People, Plants and Justice. Columbia

University Press

Pratiwi., T. Kalima.2005. Persebaran beberapa Jenis Pohon Penghasil lateks di Indonesia.

Info Hutan Vol.2(4) Hal: 333-343.

Sasmuko, S.A. 1995. Sifat Fisik dan Kimia Getah Kemenyan. Buletein Penelitian Kehutanan

11 (2) Hal: 191-202.

Sinaga, E.L.Y.2009. Kajian Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Hutan Kemenyan

(Stryrax spp) di desa Sibaganding. Skripsi Sarjana kehutanan. Departemen

Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Sumatera Utara. Medan.

(tidak diterbitkan).

Soenarno dan Idris (1997). Produksi Kopal pada Pohon AgahisSpp Berkulit Tebal dan Tipis

Di BKPH Cicurug KPH Sukabumi, Jawa Barat. Majalah Duta Rimba No. 81-

82/XIII/1987.

Wahyudi, I., R. Hartono., T.K. Waluyo.2009. Teknik Penyadapan Getah jelutung yang efetif

dan ramah lingkungan untuk menghasilkan lateks bermutu tinggi. Kaitan Pola

Penyebaran Saluran Getah dengan teknik Penyadapannya. Repoitory.ipb.ac.id,

diaksess tanggal 07 Maret 2012.

www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gondorukem, diakses pada tanggal 20 maret 2006.

www.dephut.go.id/informasi/SNI/Getah tusam, diaksess pada tanggal 20 Maret 2006.

www.prota4u.org, diakses pada tanggal 07 Maret 2012.

http://wahyukdephut.files.wordpress.com, diakses pada tanggal 07 Maret 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu 192

www.traditionaltree.org, Species profiles for Pasific Island Agroforestry. Agathis

macrophylla, diakses pada tanggal 11 maret 2012.

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/26/darah-naga-rimba sumatera, diakses

pada tanggal 11 Maret 2012.

http://gisjernang.blogspot.com/, diakses pada tanggal 11 Maret 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu 193

BAB 15

MINYAK ATSIRI (ESSENTIAL OIL)

15.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan ini membahas tentang komoditas hasil hutan bukan kayu yang

cukup dominan potensinya di Indonesia, yaitu dari golongan minyak atsiri, yang dalam

bahasa internasionalnya lebih dikenal dengan nama Essential oil. Dalam aktivitas sehari-

hari, secara tidak sadar kita banyak menggunakan minyak atsiri, dari sekedar untuk wangi-

wangian (parfum), maupun obat-obatan ringan, seperti masuk angin, perut kembung, mabuk

perjalanan dan sebagainya. Minyak atsiri adalah minyak yang diperoleh dari tumbuhan

melalui proses distilasi. Minyak atsiri dapat diperoleh dari hampir semua bagian tumbuhan

mulai dari akar, kulit, katang pohon, bunga, biji, dan bagian daun, tergantung kepada jenis

tumbuhannya.

Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:

1. Menjelaskan dan memahami definisi, proses pengolahan dan manfaat minyak

atsiridalam arti luas;

2. Menginventarisai beberapa jenis tumbuhan hutan yang menghasilkan minyak atsiri;

3. Mendiskripsikan berberapa metode yang dipergunakan dalam mengekstrak minyak

atsiri;

4. Mengidentifikasi beberapa komoditas minyak atsiri yang dihasilkan di Papua yang

banyak diusahakan oleh masyarakat lokal.

15.2. Potensi

Potensi dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu potensi luasan umumnya

dinyatakan dengan luas areal atau hutan, dan potensi tegakan yang dinyatakan dengan

kerapatan atau penyebaran jenis per hektar. Khusus untuk potensi minyak atsiri, baik luasan

dan kerapatannya, belum dilakukan penelitian secara terpierinci. Khusus untuk beberapa

komoditas minyak atsiri hutan tanaman, kemungkinan data-data tersebut sudah tersedia.

Tetapi untuk sebaran di hutan alam, informasi yang banyak terdapat pada beberapa buku,

laporan penelitian maupun sumber pustaka lainnya, kebanyakan hanya menjelaskan tentang

peta penyebaran dan komposisi jenisnya saja. Peta penyebaran itupun bukan berasal dari

hasil interprestasi citra satelit, GPS, atau foto udara, tetapi pada kebanyakan hanya

berdasarkan data sekunder berdasarkan informasi dari masyarakat lokal setempat.

Masyarakat setempat menyatakan bahwa potensinya banyak, hanya berdasarkan fakta

bahwa memang sering menemukan komoditas tersebut. Akan tetapi tidak memperhitungkan

berapa jumlah pohonya per hektar, diamter rata-ratanya berapa, bagaimana penyebarannya

bagaimana, kondisi pertumbuhannya dan produktifitasnya berapa, bagaimana regenerasinya

dan beberapa aspek teknis lainnya.

Dari berbagai sumber, tumbuh-tumbuhan yang berpotensi untuk menghasilkan

komoditas minyak atsiri di dunia ini diperkirakan berjumlah 150-200 spesies. Tumbuh-

tumbuhan tersebut termasuk dalam famili Pinaceae, Labiatae, Compositae, Lauraceae,

Myrtaceae dan Umbelliferaceae. Sedangkan bagian dari tumbuhan yang menghasilkan

minyak atsiri adalah daun, bunga, buah, biji, batang/stem, kulit, akar dan umbi atau

rhizoma.Menurut Gunawan (2009) terdapat sekitar 150 jenis minyak atsiri yang

Hasil Hutan Bukan Kayu 194

diperdagangkan secara international, dan saat ini Indonesiamenghasilkan sebanyak 40 jenis

komoditas minyak atsiri.

Ke 40 minyak atsiriyang dihasilkan dari Indonesia tersebut, diekstrak dari berbagai jenis

tumbuh-tumbuhan. Nama tumbuhan berikut nama botaninya, dan bagian yang menghasilkan

minyak atsiri dapat diuraikan sebagai berikut: Adas (Foenicullum vulgare), buah dan biji;

Akar wangi (Vetiveria zizanoides), akar; Anis (Clausena anisata), buah dan biji; Bangle

(Zingiber purpureum Roxb), akar; Cempaka (Michelia champaca), bunga; Cendana

(Santalum album), kayu teras; Cengkeh (Syzygium aromaticum), bunga; Eucalyptus

(Eucalyptus sp), daun, Gaharu (Aquilaria sp), kayu; Gandapura (Gaultheria sp), daun &

gagang; Jahe (Zingiber officinale), rhizome; Jeringau (Acarus calamus), Jeruk Purut

(Citrus hystrix), buah; Kapulaga (Amomum cardamomum), buah dan biji; Kayu Manis

(Cinnamomum cassia), kulit batang, Kayu Putih (Melaleuca leucadendron LI), daun;

Kemangi (Basil oil), daun; Kemukus(Piper cubeba L.), buah; Kenanga (Canangium

odoratum), bunga; Kencur(Caempreria galanga), rhizome; Ketumbar(Coriandrum

sativum), buah dan biji; Klausena(Clausena anisata), biji; Kunyit(Curcuma domestica),

rhizome; Lada(Piper nigrum L.), buah dan biji; Kayu Lawang (Cinnamonum cullilawane

B.L.), kulit; Lengkuas Hutan(AlpiniaMalacensis), akar; Lengkuas Hutan (Alpinia

Malacensis) Oil akar; Kayu Manis (Cinnamomum casea), daun; KayuMassoi(Criptocaria

massoia), batang; Mawar(Rosa spp), bunga;Melati(Jasminum sambac), bunga;

Mentha(Mentha arvensis), daun;Nilam(Pogostemon cablin), daun;Pala(Myristicafragrans

Houtt), biji dan fuli;Palmarosa(Cymbopogon martini), daun; Pinus(Pinusmerkusii),

getah;Rosemari(Rosmarinus officinale), bunga; Sedap Malam(Polianthes tuberose), bunga;

Selasih Mekah(Ocimum gratissimum), bunga; Seledri(Avium graveolens L.), daun dan

batang; Sereh Dapur(Andropogon citratus), daun; Sereh Wangi(Cymbopogon citrates),

daun; Sirih(Piper bitle k); Surawung Pohon(Backhousia citriodora), daun;

Temulawak(Curcuma xanthorizza), rhizoma;Ylang-ylang(Canangium odoratum), bunga.

Dari jumlah tersebut, menurut Balai tanaman obat dan aromatik (2006) Indonesia telah

mengekpor sebanyak 13 jenis minyak atsiri ke pasaran dunia, di antaranya adalah nilam,

serai wangi, cengkeh, jahe, pala, lada, kayu manis, cendana, melati, akar wangi, kenangga,

kayu putih, dan kemukus. Negara tujuan utama ekspor tersebut adalah Amerika serikat

(23%), Inggris (19%), Singapura (18%), India (8%), Spanyol (8%), Perancis (6%), China

(3%), Swiss (3%), Jepang (2%), dan negara-negara lainnya (8%). Masih menurut sumber

yang sama, kontribusi minyak atsiri dari Indonesia tersebut masih kecil yaitu sekitar 2.6%

dari total perdagangan minyak atsiri dunia.

Di tanah Papua, provinsi Papua dan Papua barat, beberapa komoditas minyak atsiri yang

sudah dikenal oleh masyarakat lokal adalah Kayu Lawang (Cinnamonum cullilawane BL),

kayu Masohi (Cryptocariamasohi), Kayu Putih (Melaleuca leucadendron L), Kenanga

(Cananga odorata), Cengkeh (Caryophylus spp), dan Pala (Myristicafragrans

Houtt).Pengusahaan minyak atsiri di daerah Papuapada kebanyakan masih berupa industri

rakyat, yang bersifat sampingan dan musiman. Tumbuhan penghasil minyak atsiri tersebut

tersebar secara alami pada beberapa kawasan hutan adat yang berlokasi dekat dengan

pumukiman masyarakat. Karena masih alami dan belum dibudidayakan oleh masyarakat

lokal, maka tumbuhan penghasil minyak atsiri tersebut memiliki penyebaran yang tidak

teratur (sporadis). Hal ini sangat berbeda dengan penyebaran hasil hutan kayu, yang dapat

dihitung potensinya per hektar. Karakteristik penyebaran ini juga yang merupakankendala

besar dalam indentifikasi dan inventarisasi potensi tumbuhan penghasil minyak atsiri secara

umum.

Di Tanah Papua, Kayu Lawang dan Masohi dapat ditemukan di daerah Kaimana,

Fakfak, Sorong, Jayapura, Nabire, Merauke dan Manokwari. Sedangkan minyak kayu putih,

banyak terdapat di taman nasional Wasur di Merauke. Tanaman cengkeh belum diusahakan

untuk diambil minyaknya tetapi hanya hanya diambil bunganya. Sedangkan tanaman Pala

(Myristicafragrans Houtt) banyak tersebar secara alami maupun setengan budi daya di

Hasil Hutan Bukan Kayu 195

daerah Kaimana dan Fak fak. Khusus pada daerah ini, komoditas Pala belum diolah menjadi

minyak atsiri, tetapi hanya dikelola untuk menghasilkan produk biji dan bunga. Pengertian

bunga pala ini tidak sama dengan bunga pada umumnya, tetapi lapisan endosperm yang

melapisi biji di dalam daging buah pala. Masyarakat lokal menamakan komoditas ini sebagai

bunga pala (fuli). Bunga dan biji pala dari daerah Kaimana, provinsi Papua Barat dapat dapat

dilihat pada Gambar 15.2 berikut ini.

Gambar 15.2. Bunga/fuli (kiri) dan biji pala (kanan) dari daerah Kaimana, provinsi Papua

Barat

15.3. Pengertian

Minyak atsiri adalah salah satu hasil sisa-sisa metabolisme dalam tumbuhan, yang

terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan bantuan air, Ketaren

(1985).Tanaman dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya mengalami proses

pengolahan dan pemanfaatan makanan yang kita kenal dengan metabolisme. Dalam

mempelajari metabolisme tumbuhan, kita mengenal dua hasil utama dari proses metabolisme

atau metabolit, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder.

Metabolit primer adalah hasil biosintesis suatu organisme hidup yang dikenal degnan

sebutan biomolekul atau makromolekul, seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam

nukleat. Sedangkan metabolit sekunder adalah hasil sampingan dari proses metabolit primer,

seperti komponen-komponen organik, di antaranya adalah senyawa minyak atsiri, zat

ekstraktif, alkaloids, phenolic, asam lemak dan beberapa komponen kimia lainnya.

Minyak atsiri tebentuk pada sel kelenjar pada jaringan tanaman dan ada juga yang

terbentuk dalam pembuluh resin (resin duct), sebagai contoh terpentin yang dihasilkan oleeh

pohon Pinus (Pinus spp).Ketaren (1985) menjelaskan bahwa fungsi minyak atsiri bagi

tumbuhan sangat beragam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat tersebut di

antaranya adalah membantu proses penyerbukan bunga dengan menarik beberapa jenis

serangga atau hewan, mencegah tanaman dari serangan serangga dan hewan, serta sebagai

cadangan makanan dalam tanaman. Hampir semua bagian tumbuhan dapat menghasilkan

minyak atsiri.

Kataren (1985) memberikan gambaran tentang beberapa bagian tumbuhan penghasil

minyak atsiri, yang dapat diringkas sebagai berikut:

Bunga. Tumbuhan yang bunganya mengandung minyak atsiri seperti Cengkeh, Mawar,

Melati, Sedap Malam, Lavender dan Kenanga.

Daun. Daun dari tanaman Nilam, Kayu Putih, Kayu Lawang dan Eucalyptus

mengandung minyak atsiri.

Batang. Tumbuhan yang batangnya mengandung minyak atsiri di antaranya Cendana,

Lawang dan Masohi.

Hasil Hutan Bukan Kayu 196

Akar/rizhoma. Bagian agar dari tanaman Jahe, Kunyit, Lengkuas dan Akar Wangi juga

ditemukan kandungan minyak atsiri.

Buah. Tumbuhan yang memiliki buah yang mengandung minyak atsiri di antaranya

Lada, Vanili, Adas dan Citrun.

Biji. Biji yang mengandung minyak atsiri diketemukan pada tanaman Kapulaga, kemiri,

pala, dan berbagai tumbuhan tinggi lainnya.

Kulit. Tumbuhan yang bagian kulitnya mengadung minyak atsiri di antaranya adalah

Kayu manis, Kayu lawang, kayu Masoi dan kayu Cendana.

Sifat utama dari minyak atsiri adalah pada suhu kamar atau ruangan mudah menguap

(volatile matters) tetapi tidak mengalami dekomposisi. Minyak atsiri memiliki rasa getir,

tetapi dapat menghasilkan berbauan atau aroma wangi sesuai dengan bau tanaman

penghasilnya. Misalnya minyak melati, minyak mawar, cempaka dan sebagainya. Minyak

atsiri umumnya larut dalam pelarut organik, tapitidak larut dalam pelarut air. Setiap minyak

atsiri mempunyai komponen utama(bahan aktif utama)yang berberda, baik jenis maupun

komposisinya, dan komponen–komponen tersebut ada yang menjadi primadona, karena

komponen tersebut menpunyai nilai ekonomis yang tinggi. Contohnya komponen aktif dari

minyak sereh (sereh wangi) adalah komponen alkoholdari golongan sintronelol dan geraniol.

Sedangkan minyak Cengkeh (bunga dan daun) banyak mengandung komponen eugenol,

yang banyak dimanfaatakan pada dunia kesehatan, misalnya pada praktek kedokteran gigi.

Menurut berbagai sumber, komponen kimia utama atau yang sering disebut komponen

bahan aktif (bioactive chemical constituents) dari minyak atsiri dapat dikelompokkan ke

dalam tiga kelompok, yaitu :

1. Senyawa Hydrocarbon terutama dari golonganterpene yang aktif dalam proses

oksidasi di bawah pengaruh cahaya dan udara pada penyimpanan yang kurang baik;

2. Oxygenatedhydrocarbon, adalah persenyawaan yang menyebabkan bau wangi dan

harum;

3. Lilin dan Resin, adalah komponen yang tidak mudah menguap tetapi terdapat dalam

jumlah yang kecil, yang lebih bersifat sebagai senyawa pengikat.

Secara umum, karakteristik minyak atsiri yang berasal dari berbagai bagian tumbuhan

memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya minyak lawang dan sereh campurannya

mudah dipisahkan secara kimia dan fisika. Sebaliknya untuk minyak atsiri yang diperoleh

dari bunga-bungaan campurannya cukup sukar untuk dipisahkan secara kimia dan fisika.

15.4. Sifat Fisiko-Kimia

Sifat-sifat fisik dari minyak atsiri meliputi: Berat jenis, kelarutan, titik didih, titik beku,

warna dan bau. Sedangakan sifat-sifat kimianya meliputi semua persenyawaan kimia utama

yang terdapat dalam minyak atsiri (seperti Geraniol, Sitronellol, Eugenol, Pinene dll.) yang

telah mengalami perubahan akibat adannya proses: oksidasi (O2), hidrolisa (H2O),

resinifikasi (Resin) dan Penyabunan (NaOH + KOH).

15.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Minyak Atsiri

Kualitas mutu minyak atsiri sangat ditentukan oleh berbagai faktor, seperti proses

persiapan pengolahan, saat proses pengolahan (ekstraksi) maupun perlakukan setelah

Hasil Hutan Bukan Kayu 197

pengolahan atau selama proses pengepakan dan penyimpanan. Beberapa faktor yang lain

seperti jenis tanaman dan umur panen, perlakuan bahan sebelum ekstraksi, metode ekstraksi,

jenis peralatan dan kondisi proses ekstraksi minyak, perlakuan minyak atsiri setelah ekstraksi

dan pengemasan dan penyimpanan juga berpengaruh terhadap kualitas minyak atsiri. Secara

rinci faktor - faktor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak atsiri, yang diolah dari

berbagai sumber, dapat dilihat pada Tabel 15.1.

Tabel 15.1. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak atsirimenurut

Ketaren(1985)

Tanaman

Penanganan

bahan olah

Pengolahan/

ekstraksi

Penanganan

hasil olahan

Pengangkutan/

Pengapalan

1. Umur panen 1. Pengeringan/

pelayuan

1. Methoda/

proses

1. Pemurnian 1. Lama

transportasi

2. Varietas/

3. jenis

2. Perajangan 2. Kondisi/

3. proses

2. pencampuran 2. Penanganan

selama

3. Transportasi

4. Kondisi tempat

tumbuh

3. Penyimpanan 4. Macam alat 3. Pengemasan

5. Jenis pelarut 4. Penyimpanan

5. Bahan

pengawet

15.6. Proses Mendapatkan Minyak Atsiri

Secara garis besar, proses mendapatkan atau mengluarkan minyak atsiri dari tumbuhan atau

bagian tumbuhan adalah dengan cara ekstraksi. Di Indonesia, proses ekstraksi minyak atsiri

tersebut masih dilakukan dengan cara traditional. Sehingga, masing-masing daerah,

pengrajin, petani dan bahkan jenis tumbuhan memerlukan proses ekstraksi yang beragam, hal

ini sudah tentu sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dihadapi pada daerah tersebut.

Tetapi secara umum bagan untuk mengeluarkan (ekstraksi) minyak atsiri dari bagian

tumbuhan dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 15.2.

Gambar 15.2. Bagan umum proses ekstraksi minyak atsiri

Bahan baku/bahan olah

Ekstraksi (penyulingan)

Hasil minyak dan senyawa lain

Minyak Atsiri

Pengemasan

Penyimpanan

Pemasaran/konsumen

Hasil Hutan Bukan Kayu 198

Bagan di atas menjelaskan bahwa proses ektraksi pengambilan minyak atsiri dari bagian

tumbuhan secara garis besar dapat diuraikan ke dalam empat proses utama yaitu : 1)

Persiapan bahan yang akan diekstrak; 2) Proses Ekstraksi; 3) Pemisahan minyak; 4)

Pengemasan dan penyimpanan. Penjelasan singkat dari masing-masing proses tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Persiapan bahan yang akan diekstrak meliputi perlakuan pendahuluan terhadap bahan

baku minyak atsiri baik daun, kulit, buah dan biji yang akan diekstrak. Perlakukan

pendahuluan termasuk di dalamnya adalah melakukan perajangan bahan baku ke dalam

ukuran yang lebih kecil, agar minyak mudah menguap. Hasil proses perajangan tersebut

disimpanan untuk sementara waktu untuk pengkondisian. Selanjutanya adalah pelayuan

bahan baku yang telah dirajang dengan cara dijemur pada sinar matahari (pengeringan).

Tahapan pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air dari bahan yang akan

diekstrak, sehingga pada saat proses ektraksi tidak terlalu banyak energi yang

diperlukan untuk menguapkan air dari bahan ekstrak.

2. Ekstraksi atau proses mengeluarkan minyak atsiri dari dalam bagian tumbuhan yang

mengandung minyak. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan metode perebusan,

penguapan, dan kombinasi dari kedua cara tersebut. Pemilihan metode ekstraksi sangat

tergantung kepada kondisi dan situasi di mana ekstraksi akan dilaksanakan, termasuk

tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan alat pengekatrak.

3. Pemisahan minyak atsiri dengan air dikenal dengan proses distilasi. Tujuan utamanya

adalah memisahan komponen yang berupa cairan atau padatan yang berasal dari dua

macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik uapnya dan proses ini

dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut air.

4. Proses pengemasan dan penyimpanan minyak atsiri dilakukan dengan tujuan untuk

menjaga mutu dan kualitas minyak atsiri dari kontaminan yang berasal dari luar.

Pengemasan dilakukan dengan pengisian minyak atsiri pada botolyang telah dibersihkan

dan steril, diberi tutup yang rapat. Penyimpanan dilakukan terhadap minyak atsiri yang

telah tersimpan dalam botol, selanjutnya botol disimpan dalam tempat yang sejuk, tidak

terkena matahari langsung dan bebas dari segala bau lainnya.

15.6.1 Ekstraksi Minyak Atsiri

Guenther (1948) menjelaskan bahwa secara garis besar minyak atsiri dapat diekstrak

dengan menggunakan tiga metode distilasi (penyulingan)yaitu:

1. Penyulingan dengan air (water distillation or hydrodistillation)

2. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation)

3. Penyulingan dengan uap (direct steam distillation)

1) Penyulingan dengan air. Metode penyulingan dengan air ini pada prinsipnya sama

dengan perebusan. Daun yang akan disuling dimasukkan langsung ke dalam ketel yang

telah berisi air yang bersih. Perbandingan antara banyaknya air dan daun dapat diperoleh

dari percobaan. Tetapi pada intinya adalah seluruh permukaan daun dapat terendam oleh

air. Kemudian ketel tersebut ditaruh di atas tungku untuk dipanasi. Panas dari air dan

uap panas akan memasuki sel-sel daun dan merangsang keluarnya minyak atsiri yang

terdapat pada pori-pori daun. Minyak dikumpulkan dari uap air yang telah

terkondensi.Metode perebusan ini memiliki beberapa keuntungan, seperti

mempergunakan alatnya relatif sederhana dengan modal yang relatif kecil, peralatan

yang digunakan dapat dipindah-pindahkan. Sedangkan beberapa kekurangan dari

metode ini adalah waktu yang diperlukan cukup lama, minyak atsiri masih tercampur

Hasil Hutan Bukan Kayu 199

dengan air, sehingga sebagian dari minyaknya mengalami hydrolisis dan rendemen dan

kualitas minyaknya juga rendah

2) Penyulingan dengan air dan uap. Penyulingan minyak atsiri dalam metode ini

menggunakan kombinasi antara uap air panas (steam) dan suhu. Ketel yang digunakan

dibagi atau disekat yang bentuknya seperti saringan menjadi dua, bagian bawah berisi

air dan bahan olah (daun dll.) diletakkan di atas air tersebut. Dengan metode ini uap air

panas dapat langsung berpenetrasi ke bahan olah secara merata, apalagi bila suhunya

dapat dipertahankan pada kisaran 100oC. Penyulingan minyak atsiri dengan metode ini

juga mempunyai beberapa kekurangan di antaranya seperti waktu penyulingan relatif

lama (lebih lambat dibanding dengann penyulingann air/perebusan), sebagian minyak

yang dihasilkan masih mengandung uap air. Sedangkan beberapa kelebihannya antara

lain adalah memerlukan peralatan yang digunakan relatif sederhana dan mudah

dipindah-pindahkan dan rendemen dan kualitas minyak yang dihasilkan lebih baik

dibandingkan dari metode perebusan

3) Penyulingan dengan uap. Pada metode penyulingan dengan uap air dan bahan olah

diletakkan pada dua ketel/tangki yang berbeda. Tangki yang pertama hanya berisi air,

dan ketel yang kedua berisi bahan olah saja. Uap air dari ketel pertama dialirkan ke ketel

kedua. Penyulingan minyak dengan penyulingan uap adalah metode yang paling

sempurna dibanding dua metode sebelumnya. Tetapi metode ini juga masih terdapat

beberapa kekurangan seperti bahan olah yang akan disuling tidak boleh terlalu kering

(kadar air rendah), perlu tambahan modal, karena peralatannya yang lebih kompleks dan

Peralatan yang tidak mudah untuk dipindah-pindahkan. Tetapi secara keseluruhan

kelebihan dari metode penyulingan uap adalah waktu penyulingan yang lebih cepat dan

Rendemen minyak kayu putih yang diperoleh lebih tinggi dan kwalitasnya juga lebih

baik.

15.6.2. Pengepresan

Pengeluaran minyak atsiri dengan metode pengepressan dilakukan terhadap minyak

atsiri yang terdapat pada biji-bijian, buah atau kulit buah, Ketaren (1985). Contohnya adalah

minyak almond, alpukat (apricot), Jeruk (lemon), kulit jeruk mandarin dan buah anggur

(grape).Proses pengeluaran minyak atsiri dari tumbuhan atau bagian tumbuhan yang

kemudian dikenal dengan nama proses ekstraksi minyak atsiri dengan pengepressan

dibedakan menjadi dua yaitu:

a) Hydraulic Pressing. Metode Pengepresan ini dikerjakam dengan menggunakan tenaga

hidrolik untuk menggerakkan alat pengepress (platten press) pada tiang press.

Keuntungan dari metode ini adalah minyak dapat dihasilkan dalam waktu singkat

dengan biaya yang relatif murah. Kekurangan dari metode ini adalah hanya dapat

digunakan untuk ekstraksi golongan minyak atsiri yang terdapat pada biji-bijian dan

buah. Metode ini juga tidak dapat berjalan secara terus menerus (continueous), kecuali

jika menggunakan teknologi yang sudah maju.

b) Expeller pressing. Alat press ini dilengkapi suatu poros berbentuk spiral yang dapat

berputar secara kontiyu dalam wadah berbentuk silinder, dengan kekuatan (P) = 20 000-

40 000 Psi. Keuntungan dari metode ini adalah dapat bekerja secara terus-menerus,

tidak memerlukan kain penbungkus dan tidak membutuhkan ruangan yang luas.

Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah menghasilkan jumlah kotoran/sampah

yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolik press.

Hasil Hutan Bukan Kayu 200

15.7.Pemisahan Minyak Atsiri dari Air dan Lemak

15.7.1. Pemisahan Minyak dan Air

Minyak atsiri dari hasil proses penyulingan atau pengepressan dipisahkan dari

kandungan airnya dengan menggunakan labu pemisah minyak, karena sifat minyak atsiri dan

pelarutnya yang mudah menguap. Penyulingan untuk mendapatkan komponen non-volatile

(yang tidak mudah menguap) dari minyak atsiri dapat dilakukan dengan menggunakan

prosedue seperti dilukiskan pada Gambar 15.6.

Gambar 15.6 Bagan atau alur penyulingan minyak atsiri untuk memperoleh komponen yang

tidak mudah menguap (non-volatile matters)

15.7.2. Pemisahan Minyak Atsiri dari Lemak

Hasil ekstraksi minyak atsiri yang masih bercampur dengan lemak sering dinamakan

pomade, dan dapat dipisahkan satu sama lain dengan menggunakan prosedur seperti pada

bagan Gambar15.7 di bawah ini.

Gambar 15.7. Diagram atau bagan pemisahan minyak atsiri dan lemak pada hasil ekstrak

minyak atsiri

Hasil Hutan Bukan Kayu 201

15.8. Pengemasan dan Penyimpanan

Ketaren (1985) menjelaskan bahwa minyak atsiri perlu dikemas dalam wadah yang

tertutup. Pengemasan yang baik harus mencakup beberapa aspek seperti: dapat menjamin

mutu produk untuk diperdagangkan, mudah dipakai, tidak mempersulit penanganan (material

handling), dapat melindungi isi pada tempat pengangkutan, tidak beracun dan tidak bereaksi

dengan isi, mempunyai bentuk dan rupa yang menarik.Sedangkan bahan baku kemasan

sebaiknya memiliki beberapa pesyaratan seperti tidak dapat beraksi dengan minyak atsiri,

tidak dapat dilalui/tembus cahaya, tidak dipengaruhi oleh oksigen, udara, dan akan lebih baik

jika bersifat isolator panas. Selanjutnya, dalam botolkemasan disarankan untuk menyisakan

ruang kosong (allowable space) kurang lebih sebanyak 5% untuk CO2 dan N2.

Bahan atau botol kemasan dapat terbuat dari gelas, plastik maupun drum. Kemasan yang

berbahan baku gelas tidak mudah bereaksi dengan minyak atsiri, sedangkan kemasan yang

berbahan baku dari plastik dapat bereaksi dengan minyak atsiri. Bahan kemasan yang terbuat

dari baja adalah wadah atau botol kemasan yang terbaik, tetapi hal tersebut memerlukan

pembiayaan yang tinggi atau mahal biayanya.

Minyak atsiri yang telah dimurnikan sebaiknya disimpan pada suhu di bawah 20oC,

tidak kena cahaya langsung, dan terpisah dari bahan yang berbau. Penurunan kualitas atau

mutu minyak atsiri dapat dikarenakan tiga faktor utama, yaitu karena adanya reaksi dengan

lingkungan, reaksi dengan media maupun wadah penyimpanan, dan kerusakan komponen

kimianya. Khusus untuk kerusakan komponen kimianya, hal tersebut dapat terjadi karena

adanya proses hidrolisa (air dan panas); oksidasi (panas, cahaya dan ion logam);

danresinifikasi (suhu tinggi > 100oC, tekanan tinggi 24 atmosphir). Pencampuran, reaksi,

atau kontaminasi dengan wadah/kemasan juga dapat menurunkan kualitas minyak atsiri.

15. 9. Pemanfaatan Minyak Atsiri

Minyak atsiri banyak dipergunakan untuk obat wangi-wangian baik secara langsung

maupun sebagai bahan baku campuran dalam industri obat-obatan, pada industri parfum

(wangi-wangian), juga kosmetik. Di Malaysia, minyak atsiri digunakan sebagai obat

pengusir serangga dan nyamuk. Pemanfaatan minyak kayu putih lainnya adalah untuk obat

penghilang rasa sakit kepala, sakit gigi, dan rematik (Sasegawa dkk., 2003).

Review tentang pemanfaatan minyak atsiri beserta komponen penyusunya untuk terapi

dan obat-obatan atau phramasi dilakukan oleh Edris (2007). Minyak atsiri dan komponen

kimia penyusunnya banyak dimanfaatkan untuk mencegah dan mengobati beberapa penyakit

seperti kanker, kardiovaskuler, athsrosclerosis, dan thrombosis. Sedangkan bioaktivitas dari

minyak atsiri dan komponen kimia penyusunya juga aktif pada uji antioksidan, antivirus,

antidiabetes, dan antibakteri.

15.10. Beberapa Penelitian Minyak Atsiri

15.10.1.Minyak Kayu Putih

Minyak kayu putih diperoleh dari ekstraksi daun tanaman dari family Myrtaceae yaitu

Melaleuca spp.Diperkirakan terdapat sekitar 100 jenis ordo Myrtalae yang dikenal sebagai

species yang mengandung banyak minyak atsiri (essential oil-rich species), Sasegawa dkk

(2003). Di Indonesia dikenal beberapa species Melaleuca spp, di antaranya adalah

Melaleucaleucadendron, M. cajaputi Roxb, M. viridiflora Corn dan M. minor Smith.Minyak

atsiri pada species-species tersebut terdapat pada daun dan kuncup pada ketiak daun

(terminal twigs), Sasegawa (2003). Tumbuhan minyak kayu putih adalah berbentuk pohon

dengan tinggi 12 m, berkembang biak dengan akar dan biji. Tanaman ini tahan terhadap api.

Tumbuh pada ketinggian 0-400 m di atas permukaan laut dari pantai sampai pegunungan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 202

Tumbuhan minyak kayu putih tumbuh secara alami di Maluku (p.Buru, Seram, Nusa

laut dan Ambon), Sumatera Selatan (sepanjang sungai Musi dan Palembang), Sulawesi

Tenggara, Bali, NTT, da Irian Jaya (Papua). Di pulau jawa tanaman ini dibudidayakan pada

tahun 1925- 1939 di daerah Ponorogo, Jawa Timur dan 1942- 1970 di daerah Gunung Kidul.

Pemanenan dilakukan dengan memungut atau memetik daun yang telah berumur 4

tahun, atau lebih. Untuk pemanenan daun berikutnya dilakukan tiap 6 bulan sekali. Untuk

merangsang pertumbuhan daun, maka perlu dilakukan pemangkasan pada tanaman minyak

kayu putih. Pemangkasan dilakukan terutama pada cabang yang berdiameter minimal 2 cm,

dengan tinggi pangkasan pertama adalah minimal 75 cm dari permukaan tanah.

Pemangkasan sangat diperngaruhi oleh umur tanaman, frekwensi dan methoda pemangkasan.

Dari berbagai sumber, dikatakan volume daun yang dihasilkan dari tanaman kayu putih

diperkirakan sebesar 2 ton per hektar, dengan rendemen 0.8% dan berat jenis diperhitungkan

0.9, maka per hektarnya diperkirakan dapat menghasilkan sekitar 18 liter kayu putih per

tahun.

Rendemen dan kualitas minyak kayu putih sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,

baik faktor bahan baku maupun proses esktraksinya. Beberapa faktor tersebut secara ringkas

dapat dijelaskan dalam paragrap di bawah ini.

a). Jenis/varietas pohon. Perbedaan ciri taksonomi pohon, seperti bentuk daun, tebal kulit

dan lainnya akan mempengaruhi rendemen minyak yang dihasilkan. Pakpahan (1993)

melaporkan bahwa persentase rendemen minyak, air dan cineol dua jenis minyak kayu

putih dari varietas Buru dan varietas Timor, berdarsarkan bentuk daunnya disajikan

Tabel 15.2. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa bentuk daun sangat berpengaruh terhadap

rendemen minyak yang dihasilkan.

Tabel 15.2. Pengaruh bentuk daun terhadap komposisi minyak kayu putih

Bentuk daun Persentase (%)

Air Minyak Cineol

Ellips 52.0 2.1 40

Lonjong 57 2.4 53.5

Lanciolate 36 2.7 38

Sasegawa dkk (2003) melakukan penelitian tentang komponen kimia dan sifat

antirayapnyaminyak atsiri dari Melaleuca species dari berbagai lokasi di Indonesia dan

Malaysia. Penelitian ini didasari pada kesimpangsiuran dilapangan atau kesamaan fisik

dari daun Gelam dan Kayu Putih. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan dilapangan

bahwa nama botani Melaleuca leucadendron dan Melaleuca cajuputi sering

dipergunakan untuk menyebut minyak Gelam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

komponenkimia minyak gelam sangat berbeda dengan minyak kayu putih (Melaleuca

cajuputi). Komponen kimia yang dominan dari minyak gelam adalah -Terpinene, -

Terpinene, -phellandene, dan terpinolene. Sedangkan minyak kayu putih yang

digunakan dalam ekperimen ini banyak mengandung komponen yang berjenis methyl

eugenol dan terpenoids. Methyl eugenol dan isomethyl eugenol tidak ditemukan dalam

minyak gelam dalam ekperimen ini. Secara umum minyak kayu putih dicirikan oleh

tingginya komponen kimia dari 1,8-Cineole dan -Terpeniol. Sehingga disimpulkan

bahwa minyak gelam lebih dekat dengan minyak atsiri dari M. leucadendron. Sehingga

disarankan untuk meneliti lagi taxonomi tumbuhan gelam, baik menggunakan

pendekatan statistik maupun genetik, sehingga kepastian speciesnya dapat didefinisikan

dengan pasti.

Hasil Hutan Bukan Kayu 203

b). Penyimpanan dan penyajian daun. Perlakuan penyimpanan yang dimaksudkan disini

adalah cara menyimpan daun atau bagian tumbuhan yang mengandung minyak atsiri.

Penyimpanan yang dimaksud dapat berbentuk penebaran daun dan penyimpanan dalam

karung plastik atau goni selama kurang lebih seminggu. Pakpahan (1993) melaporkan

pengaruh penyajian dari bagian dari tumbuhan yang akan diekstrak, dapat berupa daun

dan ranting secara bersama sama, atau daun tanpa ranting terhadap rendemen minyak

kayu putih. Hasil penelitian pengaruh perlakukan penyimpanan terhadap rendemen dan

kadar sineol dari minyak kayu putih tersebut disajikan secara ringkas pada tabel 15.3.

Tabel 15.3. Pengaruh penyimpanan terhadap rendemen dan kadar Sineol dari

Minyak Kayu Putih

Cara Lama Rendemen Kadar Sineol

Penyimpanan (minggu) A B A B

Ditebar 1 0.5 0.7 38.9 38.0

2 1.0 1.0 36.9 32.2

Dalam karung 1 0.4 0.8 27.8 28.4

2 0.6 0.9 34.1 34.7

A=daun tanpa ranting, B = daun + ranting Sumber : Pakpahan (1993)

c). Pengisian daun dalam ketel. Pengisian daun dalam ketel dapat menyebar secara merata

atau mengumpul pada satu titik. Keduanya mempunyai efek yang sangat berbeda

terhadap rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan.

d). Suhu dan lama penyulingan. Suhu danwaktu penyulingan akan sangat berpengaruh

tehadap rendemen dan kualitas minyak kayu putih yang dihasilkan.

e). Umur pohon dan tempat tumbuh. Umur pohon dan tempat tumbuh diduga berpengaruh

terhadap rendemen dan kualitas minyak atsiri yang dihasilkan. Karena faktor tempat

tumbuh akan berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon, khususnya dalam

memproduksi daun, kulit dan cabang.

Sifat fisik dan komponen kimia minyak atsiri dari Melaleuca leucadendron Linn. dari

tiga kelas umur, 5, 10 dan 15 tahun yang dikumpulkan dari beberapa lokasi hutan tanaman di

Gunung kidul, Gundih, dan Sukun, di Jawa telah di teliti oleh Pujiarti dkk (2011). Mereka

melaporkan bahwa sebanyak 26 komponen kimia diidentifikasi dari M. leucadendron. Dari

komponen tersebut, yang dominan di antaranya adalah 1-8 cineole (44.76 – 60.19%), -

terpeneol (5.93-12.45%), D(+)-limonene (4.45-8.85%), dan -caryophyllene (3.78-7.64%).

Dijelaskan juga bahwa dari ketiga lokasi pengambilan sample, terdapat kecenderungan

penurunan kadar 1.8-cineole dan peningkatan kadar -carophyllene seiring dengan

bertambahnya umur pohon. Komponen -Terpeniol pada umur pohon 10 tahun adalah yang

tertinggi dibanding du kelompok umur lainnya. Tetapi untuk komponen D(+)-limonene

sangat bervariasi baik antar tempat tumbuh maupun antar kelompok umur pohon.

Di Indonesia, standarminyak kayu putih yang baik memiliki beberapa persyaratan

seperti disajikan pada Tabel 15.4. Sedangkan mutu atau kualitas minyak kayu putih

berdasarkan Essential Oil Association of USA (EOA) yang dikutip Pakpahan (1993)

diringkas pada Tabel 15.5 berikut di bawah ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu 204

Tabel 15.4. Variabel dan persyaratan minyak Kayu Putih di Indonesia

Karakteristik Syarat

Warna Kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan

Berat Jenis (25o/25

oC) 0.868-0.921

Indek bias (nD 25) 1.464-1.482

Putaran Optik ()D 0o s/d (-4)

Kadar Sineol (%) 50-65

Kelarutan dalam ethanol 80% 1:1 (vol) jenuh, seharusnya jernih

Bau Segar, khas minyak kayu putih

Sumber: Sumadiwangsa (1973) seperti dikutip oleh Pakpahan (1993)

Tabel 15.5. Karakteristik dan syarat mutu kayu putih berdasarkan The Essential Oil

Association of USA

Karakteristik Syarat

Warna dan penampilan Bening berwarna hijau atau kuning dengan

penampilan jernih.

Berat Jenis pada 25oC 0.980-0.9250

Indek bias pada 20o 1.4660-1.4720

Putaran Optik ()D 0o –4 o

Kadar Sineol (%) 50-60

Kelarutan dalam ethanol 80% Larut dalam perbandingan 1:1 – 1:9

Bau Segar, khas minyak kayu putih

Bahan baku untuk membuat ketel atau ekstraktor juga berpengaruh terhadap kualitas

minyak atsiri. Ekstraktor yang terbuat dari logam atau bahan lainnya akan sangat

mempengaruhi warna minyak kayu putih yang dihasilkan. Ketel yang terbuat dari tembaga

menghasilkan warna hijau/biru, ketel dari besi menghasilkan warna kuning/coklat, ketel dari

semen atau beton menghasilkan warna minyak kuning muda. Ketel yang terbuat dari

stainless steel tidak menghasilkan warna.

Minyak kayu putih memiliki komponen utama (main compounds) seperti cineol,

terpinol dan lainnya. Rumus molekul dari masing-masing komponen utama tersebut beserta

titik didihnya diringkas dalam Tabel 15.6 di bawah ini .

Tabel 15.6. Komponen kimia (chemical constituents) minyak kayu putih, rumus kimia,

dan titik didihnya

Komponen Rumus molekul Titik didih (oC)

Cineol C10 H18 O 174 -177

Terpinol C10 H17 OH 218

Pinene C10 H18 156 – 160

Benzaldehyde C6 H5 0H 179.9

Limomene C10 H16 175 – 176

Sesquiterpenes C15 H24 230 – 277

Pakpahan (1993) melakukan pengujian kualitas minyak kayu putih berdasarkan

klasifikasi minyak kayu putih yang ditetapkan oleh Surat Keputusan DIRJEN Kehutanan No

23/Kpts/DJ/I/1974. Variabel-variabel tersebut di antaranya adalah:

Hasil Hutan Bukan Kayu 205

a). Syarat Umum - indek bias (20oC) : 1.463 – 1.42

- putaran optik : -4 – 0o

- Berat jenis : 0.874 – 0.928

b). Klasifikasi kualitas:

Kualitas utama Ka. Sineol : 50 – 60 %

Lemak : negatif

M.Pelikan : negaif

Kel.dlm alkohol 80% : 1 –1 s/d 1:9

Kualitas satu Ka. Sineol : 40- 50 %

Lain-lain : idem

Kualitas kedua Ka. Sineol : 25-40%

Sedangkan panduan lengkap dan menyeluruh mengenai prosedur dan tata cara

pengujian kualitas minyak kayu putih diuraikan dengan jelas dalam Standar nasional

Indonesia (SNI) 06-3954-2006.

15.10.2. Minyak Lawang

Minyak lawang adalah minyak atsiri yang terdapat pada kayu dan kulit tumbuhan dari

Famili Lauraceae, yaitu Cinnamomum culilawan BLyang menyebar di wilayah Maluku dan

Papua, dan Cinnamomum Sintok BLyang terdapat di Jawa, Sumatra, Maluku, Papua dan

Kalimantan. Komoditas minyak atsiri ini di daerah Papua dekenal dengan nama Kulilawang.

Penyebaran dan informasi singkat tentang tumbuhan Kulilawang dijelaskan oleh Utomo

(2002), yang selengkapnya dapat dibaca di sumber aslinya. Tumbuhan minyak lawang ini

dapat mencapai ketinggian hingga 8 m dengan diameter (ø) batang hingga 50 cm. Pohon

Kulilawang yang tumbuh di halaman rumah penduduk di kecamatan Windesi, kabupaten

Teluk Wondama, provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Gambar 15.8.

Gambar 15.8. Pohon Lawang yang tumbuh di pekarangan penduduk di distrik Windesi kab.

Teluk Wondama

Pohon kayu lawang termasuk pohon yang berdiameter besar dan tinggi dengan tajuk

lebat dan merupakan tanaman toleran dan selalu hijau. Kulit batang bewarna keputihan

Hasil Hutan Bukan Kayu 206

hingga kelabu, dan ada juga yang berwarna kemerahan. Kulit dari tanaman kayu kulilawang

mengandung minyak atsiri sebesar 1.49-3.60% dari volume beratnya sedangkan dari bagian

batang pohon/kayu terdapat minyak atsiri sebesar 0.35%

Persyaratan mutu minyak lawang di Indonesia telah diatur dalam Standar Industri

Indonesia (SII 0.377-80) seperti dikutip oleh Pakpahan (1993), selengkapnya disajikan pada

Tabel 15 7.

Tabel 15.7. Variabel persyaratan mutu minyak lawang di Indonesia

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

No Parameter Nilai

==============================================================

1. BJ 15/15o 1.05 – 1.-07

2. Putaran Optik 0.54 – 0.58

3. Indek bias 1.52 – 1.53

4. Kadar eugenol min 80%

5. Kelarutan dalam alkohol

-Alkohol 90% 1:2 jernih

-Alkohol 70% 1:2 jernih

6. Sisa penguapan 3 ml contoh max 60 mg

7. Bahan asing (alkohol, lemak, pelikan,

terpentin dll.) negatif

8. Bau, rasa dan warna Normal (spt bau minyak

cengkeh dan pala)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dua komponen utama dari minyak lawang adalah eugenol dan safrol, dan merupakan

karakter atau ciri khas dari minyak lawang. Minyak kulilawang dari ekstrak batang pohon,

yaitu kayu teras (heartwood) dari bagian pangkal dan ujung, yang diperoleh dari daerah

Wasior, kabupaten Wondama, provinsi Papua Barat telah diteliti oleh Triantoro dan Susanti

(2007). Mereka melaporkan bahwa bagian pangkal teras mengandung 18 komponen kimia,

sedangkan pada bagian ujunh teras mengandung 12 senyawa kimia. Di antara senyawa-

senyawa tersebut, eugenol adalah paling dominan, yaitu 66.23% pada bagian pangkal dan

pada bagian ujung sebanyak 34.36%. Mereka juga menyimpulkan bahwa komponen utama

minyak lawang dari batang dan kulit tidak berbeda nyata.

Penggunaan minyak lawang: adalah sebagai Obat gosok, untuk mengurangi rasa nyeri

pada penyakit reumatik, atau terkilir. Dalam skala industri minyak lawang dipakai dalam

industri kimia, industri pangan dan parfum

Faktor faktor yang mempengaruhi rendemen dan kwalitas minyak lawang adalah: a)

penyiapan bahan baku; b)letak geografis; c)lama waktu penyulingan; d)waktu pengambilan

bahan baku, e)ketel; f)penutup ketel; dan g) penyalur uap serta kondesor atau pendingin.

Masing –masing faktor tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:

a) Penyiapan bahan baku. Kulit kayu lawang dapat diperoleh dari pohon, cabang dan

ranting. Tetapi karena kesulitan dalam mengambil kulit dari ranting dan cabang, maka

kulit dari pohon lawang yang banyak dimanfaatkan untuk bahan baku minyak kayu

lawang. Sebelum diekstraksi, kulit tersebut perlu diberi perlakuan pendahuluan antara

lain penyimpanan, pengeringan atau pelayuan, perajangan dan fermentasi oleh

microorganisme. Penyimpanan bahan baku dapat dilakukan dengan menimbun bahan

olah pada gudang atau ruangan tertutup dan kering dengan suhu ruangan yang relatif

rendah. Karena minyak kayu lawang mudah menguap pada udara terbuka dan suhu yang

tinggi. Penguapan minyak lawang selama penyimpanan dalam udara kering sangat

tergantung kepada beberapa faktor yaitu: kondisi bahan, metode dan lama penyimpanan,

Hasil Hutan Bukan Kayu 207

dan komposisi kimia minyak dalam bahan olah. Pengeringan dan pelayuan adalah

perlakuan pendahuluan dengan cara mengeringkan bahan baku untuk mempercepat

proses ekstraksi dan memperbaiki mutu minyak. Perajangan/pencacahan bahan baku

bertujuan untuk mempecepat proses penguapan minyak atsiri dari dalam bahan oleh ke

permukaan.

b) Letak geografis dan tempat tumbuh tanaman. Letak geografis dan tempat tumbuh

tanaman terutama yang berkaitan dengan sifat tanah, intentitas cahaya matahari, curah

hujan dan suhu akan berperngaruh terhadap rendemen dan kualitas minyak lawang yang

dihasilkan. Tim Faperta Uncen (1993) menemukan bahwa rendemen minyak lawang

dari daerah Siwi (Manokwari) adalah sebesar 1.04%, sedangkan dari Nabire 2.57% dan

dari daerah Sorong dengan rata-rata rendemen sebesar 2.00%.

c) Lama waktu penyulingan. Pengaruh lama penyulingan terhadap rendemen meniyak

atsiri secara umum adalah bahawa semakin lama waktu penyulingan tingkat rendemen

dari minyak atsiri semakin tinggi. Tetapi lama yang dimaksud tidak dijelaskan berapa

satuan waktunya.

d) Waktu/musim pengambilan bahan baku. Bahan baku yang diambil pada musim

penghujan akan menghasilkan rendemen minyak atsiri yang rendah dibandingkan

dengan kalau diambil pada musim kemarau. Semakin tinggi kandungan air bahan baku,

maka ada kecenderungan semakin rendah rendemen minyak lawang.

e) Ketel. Bentuk dan kontruksi ketel akan sangat berpengaruh terhadap rendemen dan

kualitas minyak kayu lawang yang dihasilkan.

f) Penutup ketel dan penyalur uap. Bentuk dan kontruksi dari ketel dan saluran penyalur

uap akan sangat berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas minyak lawang. Hal

tersebut berkaitan erat dengan uap air atau embun yang terkondensasi pada kedua

bagian tersebut.

g) Pendingin atau Kondensor. Bentuk dan luas permukaan dari kondensor akan sangat

berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas minyak lawang yang disuling.

15.10.3. Ektraksi minyak lawang oleh penduduk lokal

Karena potensinya cukup melimpah terutama di hutan, kebanyakan penduduk lokal

telah mampu mengolah potensi minyak lawang yang dimilikinya. Proses ekstraksi minyak

lawang tersebut mennggunakan teknologi yang sederhana dan mereka kenal dengan alat

penyulingan, seperti yang terdapat di Kampung Werianggi, Distrik Windesi Kab. Teluk

Wondama .

Kualitas minyak lawang pada kebanyakan masih sangat rendah, terutama dari aspek

pemurnian dan pengemasan, hal ini dikarenakan minyak lawang yang diproduksi tersebut

hanya diperutukkan untuk dijual di pasar lokal. Sehingga, frekwensi kegiatan menyuling

minyak lawang hanya dilakukan apabila ada yang memesan atau hanya bersifat sambilan.

Permasalahan yang sangat mendasar untuk komoditas minyak lawang adalah kelangkaan

pohon lawang. Hal ini terjadi karena masyarakat memanen pohon lawang dengan menebang

pohon lawang, sehingga regenerasi pohon lawang tidak berjalan, dan penanaman atau

peremajaan tidak dilaksanakan. Pada saat ini potensi pohon lawang berada di hutan-hutan

primer, yang lokasinya sangat jauh dari lokasi pemukiman penduduk, sehingga dari segi

efisiensi produksi tidak mengguntungkan, dan kalah bersaing dengan minyak lawang yang

diproduksi dari daerah lain. Contoh alat penyulingan minyak lawang di Kampung Werianggi

Distrik Windesi teluk Wondama Papua Barat yang telah rusak dan tertinggal di hutan dapat

dilihat pada Gambar 15.9.

Hasil Hutan Bukan Kayu 208

Gambar 15.9. Bekas ketel alat penyulingan di Kampung Werianggi Distrik Windesi teluk

Wondama Papua Barat.

Karena masyarakat lokal pada umumnya mendapatkan kulit pohon lawang dengan cara

menebang pohonya, maka dikwatirkan cara ini akan mempercepat kepunahan dari komoditas

Kulilawang. Apalagi masyarakat juga belum melakukan budi daya komoditas ini. Untuk itu,

Tokede dan Susanti (2002) melakukan kajian tentang berbagai teknik pengulitan pada pohon

Kulilawang untuk melihat efek bentuk pengulitan (bujur sangkar, persegi panjang dan

ketupat (jajaran genjang) terhadap pemulihan kulit pohon kulilawang tersebut. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa secara statistik ketiga teknik pengulitan tidak berbeda nyata.

Mereka menggarisbawahi bahwa terdapat perbedaan laju pemulihan atau pembentukan kulit

kayu (kalus) antar diameter pohon, yang mana semakin besar diameter pohon, pembentukan

kalusnya semakin lebar. Untuk perioda 6 (enam) bulan pengamatan dengan usia pohon 8

tahun dari 5-27 cm setinggi dada, maka pembentukan kalusnya bervariasi antara 3.57 - 4.36

cm atau sekitar 60-73% dari lebar sayatan atau pengulitan.

15.11. Pustaka

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2006. Strategi Pengembangan minyak atsiri

Indonesia. Hal.13-14.

Edris, A.E. 2007. Pharmaceutical and Therapeutic Potentials ofEssential Oils and Their

Individual VolatileConstituents: A Review. Phytotherapy research 21 Hal.308-

323.

Faperta, Uncen.1993. Laporan penelitiaan Lanjutan Budi daya Pohon lawang di kabupaten

Dati II Manokwari, Sorong dan Fakfak. Kerja sama Dinas Kehutanan Provinsi

Dati I Irian Jaya dan Faperta Uncen Manokwari (tidakditerbitkan)

Guenter, E.1948. The Essential Oils. Volume I. History – Origin in Plants- Production –

Analysis. Van Nostrand Reinhold Company, Inc. New York.

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN. Balai Pustaka. Jakarta.

Pakpahan, E.R. 1993. Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih

(Melaleuca cajuputi) asal Taman Nasional Wasur Merauke Irian Jaya. Skripsi

Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas

Negeri Cenderawasih. Manokwari (tidak diterbitkan).

Hasil Hutan Bukan Kayu 209

Pujiart, R., Y. Ohtani., H. Ichiura. 2011. Physicochemical properties and chemical

compositions of Melaleuca leucadendron leaf oils taken from the plantations in

Java, indonesia. Journal of Wood Science 57 Hal.446-451.

Sasegawa, M., K. Hori., M. Yatagai.2003. Composition and antitermite activities of essential

oils from Melaluca species. Journal of Wood Science 49 Hal.181-187.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3954-2006. Minyak Kayu Putih. Bandar Standarisasi

Nasional.

Tokede, M.J., C.M.E. Susanti.2002. Teknik Pemanenan berkelanjutan Kulit pohon Lawang

(Cinnamomum culilawane Bl.). Bulletin Beccariana Vol.4 (1) Hal.15-19.

Trianto, R.G.N., C.M.E. Susanti.2007. Kandungan Bahan Aktif Kayu Kulilawang

(Cinnamomum culilawane Bl.) dan Masoi (Cryptocariamassoia). Julnal Ilmu &

Teknologi kayu Tropis. Vol.5(2) Hal.82-95.

Utomo, P.S.2002. Beberapa informasi tentang minyak lawang di Papua. Bulletin Matoa 12

Hal.46-50.

Hasil Hutan Bukan Kayu 210

BAB 16

KIMIA BAHAN ALAM

(NATURAL PRODUCTS OF CHEMISTRY)

16.1. Pendahuluan

Pada pokokbahasan yang ke enambelasini, topik dari hasil hutan bukan kayu adalah

kimia bahan alam. Kimia bahan alam adalah cabang ilmu kimia organik yang memfokuskan

kajiannya pada komponen atau senyawa kimia yang diperoleh atau isolasi dari tumbuhan.

Penelitian kimia bahan alam meliputi identifikasi, isolasi dan penentuan struktur, uji

pharmakologi serta aktivitas biologisdari beberapa senyawa alam organik dari tumbuhan

tingkat rendah sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi. Karena hampir sebagian besar

bahannya diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, maka cabang ilmu yang mempelajarinya sering

dikenal dengan istilah Fitokimia (Phytochemistry).

Penelitian-penelitian dibidang kimia bahan alam memerlukan ketelitian, keuletan,

kesabaran, dan keahlian yang tinggi.Penelitian ini juga memerlukan prosedur yang baku,

biaya yang relatif tinggi, dan ketelitian, terutama dalam mencari eluenya atau keseaian

pelarutnya.

Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:

1. Menjelaskan definisi produk hasil hutan bukan kayu golongan kimia bahan alam dan

memahami alasan pengelompokkan komoditas tersebut dalam kelompok hasil hutan

bukan kayu;

2. Menginventarisai beberapa tumbuhan yang diperkirakan memiliki potensi hasil hutan

bukan kayu kimia bahan alam;

3. Menjabarkan beberapa manfaat hasil hutan bukan kayu kimia bahan alam dari berbagai

perpektif ilmu, kesehatan, ekonomi, ekologi dan lingkungan serta keanekaragaman

hayati.

16.2. Ethnobotani, Ethnopharmakologi, dan Kearifan Lokal (Indigenous Knowledge)

16.2.1. Kearifan lokal (Indigenous knowledge)

Kearifan lokal atau pengetahuan traditional adalah istilah yang sangat populer untuk

mendiskripsikan beberapa praktek tradisional pada suatu daerah oleh suatu masyarakat lokal.

Kearifan lokal dalam bahasa inggris sering disebut juga dengan indigenous knowledge.

Sehingga pengertian kearifan lokal adalah segala pengetahuan, inovasi, tata cara, nilai dan

norma-norma dari penduduk lokal yang berkaitan dengan sistem pertanian, pengobatan

traditional, pemanfaatan tumbuh-tumbuhan, sosial budaya, pengelolaan lingkungan dan

sumber daya alam yang telah turun temurun berlaku dalam sistem kehidupannya. Khusus

dalam pokok bahasan ini, kita hanya akan memfokuskan pada pengetahuan/kearifan lokal

tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional (herbal drugs) dan

sumber makanan fungsional (funcional foods).

Makanan dan minuman yang kita konsumsi, tidak hanya ditujukkan untuk memenuhi

kebutuhan dari rasa lapar dan dahaga, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan gizi, nutrisi dan

fungsi biologis lainya bagi tubuh kita. Sumber-sumber makanan ini yang disitilahkan dengan

makanan fungsional. Contohnya adalah minuman teh, selain untuk mengatasi rasa dahaga,

tetapi juga untuk mencegah adanya reaksi radikal bebas dalam tubuh kita, yang akan

memacu timbulnya penyakit-penyakit degeneratif. Dalam hal ini, teh berfungsi sebagai

senyawa antioksidan, inflammatory dan sebagainya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 211

Data dan informasi yang diperoleh dari penelitian kearifan lokal tentang makanan,

nutrisi dan kesehatan adalah merupakan informasi awal yang sangat berharga dan

bermanfaatan untuk penelitian obat-obatan modern (Janardan dan George, 2006).

Pengetahuan tentang kearifan lokal dari berbagai ethnik atau suku bangsa perlu

didokumentasikan dan dikaji lebih lanjut untuk tujuan ilmu pengetahuan secara luas. Khusus

tentang kearifan lokal pemanfaatan tumbuh-tumbuhan untuk pengobatan, maka beberapa

informasi yang sangat mendasar seperti identitas tumbuhan, bagian tumbuhan yang

dimanfaatkan, cara menyiapakan tumbuhan obat (ekstraksi), mengenali jenis atau gejala

penyakit, menentukan dosis, menentukan ramuan obat-obatan herbal, sampai kepada

menjaga kualitas obat herbal (quality kontrol) yang diperjual belikan. Informasi-informasi

tersebut sangat diperlukan dan bermanfaat untuk menunjang pengembangan obat-oabatan

herbal khususnya.

16.2.2. Ethnobotani

Secara sederhana ethnobotani dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari

pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh suatu kelompok masyarakat (ethnik) tertentu. Hal ini

didasarkan pada fakta bahwa setiap kelompok masyarakat, memiliki tata cara dan kebiasaan

masing-masing dalam memanfaatan potensi tumbuh-tumbuhan yang ada di sekelilingnya

untuk berbagai tujuan, seperti makanan, sayur-sayuran, bahan perumahan, obat-obatan

tradisional, bahan pewarna makanan, pewarna barang seni, penambah rasa makanan, bumbu

makanan, racun untuk berburu, dan bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat relegius

keagamaan atau magig. Pada saat ini, study dari ethnobotani bertujuan bukan hanya sekedar

mencatat dan mendokumentasikan pemanfaatan dan pengetahuan lokal tentang tumbuh-

tumbuhan, akan tetapi telah berkembang menjadi sumber pencarian untuk komponen-

komponen kimia baru yang memiliki banyak manfaat dan fungsi, seperti aktifitas biologi dari

komponen kimia tersebut dan aktifitas pharmakologinya.

Berawal dari studi ethnobotani kearifan lokal pada berbagai daerah, maka jenis dan

bagian tumbuh-tumbuhan untuk obat-obatan dapat diidentifikasi, dan selanjutnya menjadi

bahan baku penelitian lanjutan untuk kimia bahan alam (Janardan dan George, 2006). Hal ini

didukung oleh berbagai fakta bahwa beberapa komponen atau senyawa kimia baru yang

berhasil diisolasi lewat penelitian kimia bahan alam berawal dari studi ethnobotani (Fakim,

2006).

16.2.3. Ethnopharmakologi

Ethnopharmakologi adalah ilmu yang mempelajari kearifan lokal dari penduduk

setempat dalam pemanfaatan tumbuh-tumbuhan, baik secara utuh ataupun bagiannya, untuk

tujuan pengobatan dan kesehatan. Ethnopharmakologi bersifat multidipliner atau melibatkan

berbagai latar belakang ilmu. Dalam ethnopharmakologi, penelitian tentang identifikasi

tumbuhan, diskripsi tumbuhan, observasi penyakit atau gejala penyakit menurut pengertian

penduduk lokal perlu didiskripsikan dengan jelas menurut kaidah-kaidan ilmu secara umum.

Selanjutnya hasil dari investigasi berbagai resep tradisional dari ethnopharmakologi tersebut,

dilakukan uji coba di laboratorium, baik dengan in vitro maupun in vivo dengan

menggunakan hewan model.

Informasi, data dan pengetahuan tentang kearifan atau pengetahuan lokal melalui

ethnobotani dan ethnopharmakologi akan sangat bermanfaat dan sebagai modal awal untuk

penelitian pengembangan obat-obatan modern. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua

obat-obatan modern dikembangkan dari penelitian lanjutan dari ethnobotani dan

ethnopharmakologi.

Hasil Hutan Bukan Kayu 212

16.3. Kimia Tumbuhan (Phytochemistry)

Phytochemistry adalah ilmu ysng memperlajari komponen atau senyawa kimia yang

diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, meliputi isolasi, pemisahan, dan penentuan struktur dari

senyawa kimia yang diisolasi tersebut. Dalam bahasa indonesia, phytochemistry dapat

diartikan sebagai fitokimia. Sehingga fitokimia atau kimia tumbuhan adalah kombinasi

antara ilmu kimia organik, bahan alam dan biokimia tumbuhan. Menurut de Padua dkk

(1999) fitokimia dapat didefinisikan sebagai kimia dari metabolit tanaman dan turunannya.

Proses metabolisme kimia pada tumbuhan secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu metabolisme primer dan metabolisme sekunder. Metabolisme adalah proses kimia

yang terjadi di dalam tumbuhan secara alami, yang hasilnya dinamakan dengan metabolit,

sehingga dikenal dengan nama metabolit primer dan metabolit sekunder.

Metabolisme primer adalah proses, reaksi dan sintetis kimia yang berkaitan erat dengan

proses metabolisme utama yang pada semua tumbuhan, seperti peristiwa fotosintesis

(Fotosintesis), siklus pentosa (pentose cycle), glykolisis (Glykolysis), transport elektron

(electron transport), siklus asam sitrat (the citric acid cycle), fosforilasi (phosphorylation)

dan beberapa peristiwa biokimia lainnya. Dari metabolisme primer tersebut menghasilkan

metabolit primer. Metabolit primer diproduksi dalam wujud molekul, yang dipergunakan

untuk proses katabolisme (sintesis makromolekul), seperti seperti karbohidrat, lipid, protein

dan asam nukleat. Produk metabolit primer ini yang dipergunakan untuk membangun,

merawat, memperbaiki dan menproduksi sel makhluk hidup, yang dalam hal ini adalah

tumbuh-tumbuhan.

Metabolisme primer dan sekunder saling berkaitan satu sama lain, yang mana

biosintesis akumulasi metabolit sekunder dapat merupakan jalan balik dari metabolit primer.

Produk dari metabolit primer hampir sama pada setiap tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi,

sangat kontras dengan metabollit primer, metabolit sekunder dapat mempresentasikan

gambaran akan keberagaman ekologi, taksonomi, perbedaan dan keberagaman biokimiawi.

Biosintesis dan akumulasi dari metabolit sekunder memberikan sebuah landasan dalam

biokimiawi (biochemical systematics) dan kimia sistematik (Chemosystematics). Sehingga

pada akhir akhir ini timbulah istilah baru, yaitu penggolongan taksonomy tumbuhan

berdasarkan komponen metabolit sekundernya. Disiplin ilmu ini yang kemudian dikenal

dengan nama Kemotaksonomi

Keberagaman molekuler dari metabolit sekunder dalam kerajaan tumbuhan

mempresentasikan akan kekayaan biodiversitas tumbuhan, khususnya dalam tantangan untuk

menemukan obat - obatan modern. Hal ini tidak hanya berlaku untuk material tumbuhan itu

sendiri, tetapi juga kandungan aspek biologi molekuler dan biokimiawi dari tumbuhan akan

memberikan petunjuk kajian akan pengembangan obat-obatan modern selanjutnya.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, penggolongan metabolit primer dan sekunder

mengacu kepada perbedaan yang mendasar terhadap struktur kimia dari komponen kimianya.

Metabolit primer terdiri atas karbohidrat, protein, lipids, asam amino, peptida, protein,

enzim, purin, pirimidine dan produk-produk turunannya. Secara umum, metabolit primer

pada kebanyakan adalah golongan dari empat makromolekul atau biomolekul yaitu golongan

dari krabohidrat, protein, lipids dan asam nukleat.Sedangkan metabolit sekunder lebih

banyak dalam jenis dan keberagaman struktur molekuler dibandingkan dengan metabolit

primer. Menurut struktur dasar dan proses sintesisnya, metabolit sekunder dapat

dikelompokkan ke dalam tiga grups besar, yaitu golongan alkaloid, golongan phenol dan

terpenoid. Sedangkan berdasarkan karaktereristik atau gugus penyusunya, sekondary

metabolit dapat dikelompokkan ke dalam enam kelas, seperti terpenoids, phenolic, lemak dan

minyak (fats and oils), alkaloids, senyawa gula (saccharides), dan golongan lain, seperti yang

mengandung sulfur (S), dan sejenisnya.

Kajian utama dari fitokimia adalah aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan

ditimbun oleh tumbuhan seperti penentuan struktur kimia, biosintesisnya, fungsi biologinya,

Hasil Hutan Bukan Kayu 213

metabolisme dan penyebarannya secara alamiah. Sehingga dikenal dengan metode isolasi

(isolation), pemisahan (separation), pemurnian (purification), dan identifikasi

(identification) struktur molekulnya.

Arbain (2004) melaporkan bahwa berdasarkan hasil survey dan inventarisasi fitokimia

selama 20 tahun terhadap 120 jenis tumbuhan dari Sumatra, telah berhasil diisolasi dan

diidentifikasi lebih dari 30 senyawa baru dan 120 senyawa kimia yang telah dikenal.

Senyawa senyawa baru tersebut di antaranya adalah bukitingin yang ditemukan pada

tanaman Sapium baccatum, 15 α-metoksidihirofilokrisindan margaritarin dari tumbuhan

Silalak kulik (Margaritaria indica) dan AM-1 dan AM-2 dari tumbuhan Bonai (Antidesma

montana). Diperkirakan banyak tumbuhan Sumatra tersebut yang mengandung senyawa

kimia tertentu seperti antibiotika yang dapat dimanfaatkan untuk menghalangi pertumbuhan

atau membunuh mikroba dan jamur.

Seperti pada mikroba endofit, pada hutan tropis sumatra juga terdapat simbiosis antara

tumbuhan hutan dengan mikroba dan jamur yang dapat menghasilkan beberapa senyawa

kimia yang memiliki fungsi berragam dari menghalangi, atau mengusir, dan membunuh

organisme lain yang mengganggu tumbuhan inang. Selain itu tumbuhan juga dapat

memproduksi senyawa tertentu untuk menarik suatu organisme tertentu dalam membantu

proses pertumbuhan dan perkembangan dari tumban tersebut seperti penyerbukan dan

perkembangbiakan. Senyawa ini yang secara umum dinamakan dengan feromon.

16.4. Kimia Senyawa Aktif Biologis Tumbuhan

Senyawa murni yang diisolasi dari tumbuhan setelah ditentukan rumus struktur dan

namanya selanjutnya dilakukan uji laboratoris dan uji klinis. Uji aktivitas biologis adalah

istilah lain dari uji klinis. Uji aktivitas biologis dari ekstrak tumbuhan yang telah diisolasi

dilakukan untuk mengetahui aktivitas nyata dari senyawa baru tersebut.

Tumbuhan Ophiorrhiza cf rosacea dari family Rubiaceae berdasarkan ujiaktivitas

biologis memperlihatkan aktivitas yang nyata vasodilator pada skrining hipokratik. Senyawa

yang berhasil diisolasi dari tumbuhan ini adalah Alkaloid harman yang terkenal memiliki

berbagai aktivitas biologis dan senyawa alkaloida asam liolisidat dengan kadar yang cukup

tinggi. Tumbuhan Air Sirah (Ophiorrhiza spp) diperoleh dua senyawa yangberhasil diisolasi

yaitu alkaloid tetrahidroalstonin dan valesiakotamin yang memperlihatkan efek analgetik dan

relaksasi otot yang nyata pada skrining hipokratik, (Arbain, 2004).

Aminah dkk (2004) melaporkan bahwa metabolit sekunder yang diketemukan pada

family dipterocarpaceae terdiri atas senyawa fenol seperti golongan oligostilbenoid,

flavanoid, fenil propanoid dan turunan asam fenolat dan beberapa senyawa non fenol seperti

terpenoid.

16.5. Keanekaragaman Hayati Tanaman Obat-obatan

Dewasa ini diperkirakan lebih dari 25 % resep obat yang beredar di negara-negara maju

mengandung senyawa kimia yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Selama periode 1989 –

1995 diasumsikan lebih dari 60 % obat kanker dan obat infeksi yang telah beredar atau dalam

proses izin beredar diperoleh dari sumber-sumber hayati baik dari flora maupun fauna. Pada

tahun 1992 delapan belas (18) dari 42 obat baru yang masuk ke pasaran diperoleh dari

sumber alam hayati. Hampir dipastikan setiap jenis obat berasal dari senyawa kimia bahan

alam sebagai prototipe.

Dalam jangka panjang pengembangan obat dari sumber daya alam hayati dilakukan

melalui tiga tahapan proses yaitu:

Hasil Hutan Bukan Kayu 214

Tahap Pertama. Pada tahap ini dilakukan eksplorasi tentang pengetahuan empirik dari

obat tradisional, seperti tumbuhan obat dan ramuat obat. Hal ini dapat diperoleh dengan

cara mempelajari literature kuno dan mempelajari resep yang dirahasiakan.

Tahap Kedua. Tahap ini diawali dengan melakukan Riset dan sistematisasi dari obat

tradisional menjadi obat herbal yang disempurnakan, sehingga berkhasiat, aman dan

berkualitas berrdasarkan mutu pengamatan klinis.

Tahap Ketiga. Pada tahap ini sudah meliputi pengembangan obat modern yang diawali

oleh penelitian multi disiplin untuk menemukan senyawa bioaktif. Penelitian ini

melibatkan berbagai tahapan seperti kemos sistematik (botani), senyawa bioaktif dan

modifikasi molekul (kimia), khasiat, toksisitas, stabilitas, dan cara kerja (farmakologi),

percobaan klinik, Ratifikasi dan industri.

16.6. Bahan Obat-obatan dari Tumbuhan Tropis

Syah (2004) telah mengidentifikasi beberapa komponen bioaktif tumbuhan yang

dimanfaatkan sebagai obat-obatan yang ber sumber dari hutan tropis, yang telah berhasil

ditentukan struktur molekulnya dan uji aktivitas medisnya, seperti tercantum dalam Tabel

16.1

Tabel 16.1. Beberapa senyawa bioaktif tumbuhan hutan tropis, sumber tumbuhan

penghasilnya dan kategori terapinya

Senyawa

bioaktif

Sumber tumbuhan Kategori Terapi

Kuabin Strophantus gratus (Hook) Baill

(Apocynaceae)

Kardiotonik

Papain Carica papaya L (Caricaceae) Probiotik, mukolitik

Rotenon Lanchocarpus nicau (Autbl) Bl (Leguminosae) Pestisida

Resinamin Rauwolfia serpentina (L) Benth ex Kurthz

(Apocynaceae)

Antihipertensif,

penenang

Vinblastin Catharantus roseus (L) G.Don (Apocynacea) Antitumor

Vinkistin Catharantus roseus (L) G.Don (Apocynacea) Antitumor

Sumber : Syah (2004)

16.7. Grup Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder menghasilkan komponen bahan bioaktif yang sangat beragam dan

dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan hampir setiap jenis tumbuhan

menghasilkan senyawa yang khas untuk jenisnya sendiri. Keunikan tersebut, makanya

dikenal dengan penggolongan taxonomy tumbuhan berdasarkan komponen kimia bioaktifnya

atau kandungan metabolit sekundernya.Karena alasan keberagaman tersebut, maka

pembahasan metabolit sekunder tidak dapat dibahas semuanya, hanya dari kelompok yang

dianggap penting.

Bagi tumbuhan, metabolit sekunder memiliki fungsi yang beragam. Fungi tersebut

misalnya untuk bahan perlindungan diri bila diserang oleh jamur, serangga atau penerang

lainnya, untuk menarik serangga dalam membantu proses penyerbukan, signal untuk

regenerasi dan sebagainya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 215

16.7.1. Alkaloid

De Padua dkk (1999) mendefinisikan golongan alkaloid adalah komponen yang

diperoleh dari tumbuhan yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen (biasanya dalam

bentuk ring heterosiklik) dan umumnya memiliki efek psikologis terhadap manusia atau

hewan. Peneliti lain mendefinisikan alkaloid sebagai bagian penting dari kelompok

metabolik sekunder yang mengandung nitrogen dengan substansai dasar adalah seperti alkali

(basa) dari alam. Untuk menghindari kerancuan definisi tersebut, kemudian dibuatlah suatu

definisi yang lebih sempit tentang alkaloid yaitu suatu senyawa oraganik siklik yang

mengandung nitrogen dalam keadaan okdisasi negatif, yang memiliki distribusi terbatas

dalam makhluk hidup.

Berdasarkan strukturnya, alkaloid dikelompokkan ke dalam group bukan kelompok

heterociklik alkaloid (non-heterocyclic alkaloids) dan heterosiklik alkaloid (heterocyclic

alkaloids). Di dalam tumbuhan alkaloid dipercayai berfungsi sebagai limbah produk atau

produk sampingan dan sumber nitrogen. Tetapi alkaloid juga berperan sebagai zat proteksi

tumbuhan, perkecambahan (germination) dan perangsang pertumbuhan tanaman. Alkaloid

umumnya ditemukan lebih banyak pada golongan tumbuhan dari jenis berbiji tertutup atau

dikotil (dicothyledons) dibandingkan tumbuhan berbiji terbuka/monokotil (monocothyledon).

Famili-family tumbuhan yang kaya mengandung senyawa alkaloid seperti Amaryllidaceae,

Liliceace s.l., Apocynaceae, Berberidaceae, Leguminoceae, Papaveraceae, Ranunculaceae,

Rubiaceae dan Solanaceae.

Senyawa alkaloid terdapat pada hampur seluruh bagian tumbuhan seperi akar, kulit

batang/pohon, daun dan biji tumbuhan. Bahan alkaloid sebagain besar dimanfaatkan dalam

industri farmasi/obat-obatan sebagai obat penyembuh dan penenang. Dua komponen alkaloid

yang berbeda satu sama lain adalah Alkaloid dan Pseudoalkaloid. Hal tersebut tergantung

dari mana produk tersebut didapat dari tumbuhan. Kebanyakan alkaloid memiliki peranan

yang signifikan dalam bidang farmasi, seperti morphine untuk bahan analgesik, codeine

untuk terapi batuk, colchine bermanfaat untuk encok/pegal-pegal, quinine sebagai zat anti

malaria dan quinidine sebagai anti rematik.

Salah satu alkaloid yang sangat terkenal adalah kina, yang diperoleh dari kulit tanaman

Kina (Cinchoma succirubra Pavon) family rubinaceae. Diperkirakan terdapat kurang lebih

ada 40 varietas Cinchoma. Bahan kimia ini diperoleh dari proses ekstraksi kulit batang/pohon

kina, yang mengandung 5-8 % alkaloid dengan komponen utamanya adalah Quinine,

Cindronine, Cindronidine dan Quinidine. Kegunaan dan khasiat dari kina adalah obat

antipirestik yang mempengaruhi pusat pengatur suhu pada otak, aritmia jantung oleh stimulat

pahit sebagai obat malaria.

16.7.2. Golongan Terpenoid

Terpenoid adalah golongan kimia bahan alam yang disusun oleh beberapa unit isoprene.

Sehingga terpenoid dapat dogolongkan berdasarkan jumlah unit dari isoprene penyusunnya.

Misalnya hemiterpene hanya tersusun dari 1 isoprene, monoterpene bila terdapat 1 isoprene,

sesquiterpene mengandung 3 unit isoprene, dan seterusnya. Diterpen, sesterpene, triterpene,

dan tetraterpen bila mengandung 4, 5, 6, 7, dan 8 unit isoprene dalam struktur molekulnya.

Komponen kimia penyusus minyak atsiri sebagain besar terdiri atas golongan

ternpenoid. Bagi tumbuhan, terpenoid memiliki fungsi seperti racun terhadap gangguan

ekologi, antimikroba, penghasil aroma, penyedap rasa, dan juga repellent terhadap serangga.

Beberapa jenis terpenoid, juga berperan dalam proses metabolisme primer pada tumbuh-

tumbuhan, khususnya yang berkenaan dengan hormon tumbuh (growth regulator), seperti

giberallin dan asam abscicic.

Hasil Hutan Bukan Kayu 216

16.7.3. Golongan Phenol

Golongan phenol adalah senyawa kimia bahan alam yang memiliki minimal 1 gugus

aromatik dengan gugus hidroksil. Golongan phenol dapat berupa senyawa sederhana dengan

berat molekul yang rendah seperti asam benzoat dan coumarin, sampai pada senyawa yang

berbobot molekul tinggi seperti golongan flavanoid, stilbene, dan bahkan tannin. Khusus

untuk flavanoid, berdasarkan struktur penyusunya dapat dikelompokkan ke dalam chalcone,

falvones, flavanols, flavanone, isoflavones, flava-3.nol, anthocyanidine dan juga aurones

(Theis dan Lerdau, 2003).

Senyawa golongan phenol banyak ditemukan alam tumbuh-tumbuhan, dan sampai saat

ini kurang lebih sekitar 10 000 senyawa telah berhasil diisolasi, dan dilaporkan struktur

molekulnya (Kennedy dan Wightman, 2011). Dari golongan tersebut, kelompok flavanoid

yang terbesar jumlahnya, yaitu sekitar 6000 jenis senyawa.

Bagi tumbuhan, golongan senyawa phenol berperan dalam proses simbiosis antara

tumbuhan dan serangga, memberi warna pada tumbuhan seperti daun, bunga, memberikan

aroma untuk menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan, dan bagian pertahanan

dari tumbuhan untuk melindungi dari penyakit, termasuk serangan nematoda pada akar

tumbuhan (Mozid dkk, 2011).

16.8. Pustaka

Aminah, N.S., A.Suminar., E.H. Hakim., L.D.Juliawaty., E.L.Ghisalberti., Y.M Syah. 2003.

Beberapa Senyawa Oligostilbenoid dari Kulit batang Shorea seminin. The

Indonesian Society of Natural Products Chemistry. Vol. 4 (1) Hal: 27-34

Arbain, D. 2004. Dua Dekade Penelitian Kimia Tumbuhan Sumatra. The Indonesian Society

of Natural Products Chemistry. Vol. 4 (1) Hal:1-12.

De Padua. L.S., N. Bunyapraphatsara., R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and poisonous

plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Prosea. Bogor.

Indonesia.Forestry, The State university of Papua, Manokwari (in Indonesian).

pp. 12-18.

Fakim, A.G. 2006. Medicinal plants :Traditions of yesterdayand drugs of tomorrow.

Molecular aspects of medicine 27:1-93.

Janardhanan, K. K., and V. George, 2006. Ethnopharmacology and alternative medicine.

Current science 90(11) Hal.1460 – 1461.

Kennedy, D.O and E.L. Wightman, 2011. Herbal extract and the enhancement of human

brain function. Advances in Nutrition an International Review Journal 2:32-50.

Mozid, M., T. A. Khan., and F. Mohammad, 2011. Role of secondary metabolites in defend

mechanism of plants. Biology and medicine 3 (2): special issue: Hal. 232 -249.

Syah, Y.M., 2004. Metode Isolasi Kimia Bahan Alam. Materi Pelatihan Kimia bahan Alam

di FMIPA Unipa Manokwari. Kerja sama FKSU dan FMIPA UNIPA (tidak

diterbitkan).

Theis, N and M, Lerdau, 2003. The evolution of function in plants secondary metabolites.

International Journal of Plant Science 164 (3 suppl.) Hal. S93-S102.

Hasil Hutan Bukan Kayu 217

BAB 17

BUAH MERAH (PANDANUSCONODIEUSLAMK)

17.1. Pendahuluan

Salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu endemik Papua yang cukup banyak

dimanfaatkan oleh masyarakat asli sebagai sumber lemak nabati adalah Buah Merah

(Pandanus conoideus L). Saat sekarang ini komoditas buah merah telah menjadi bahan kajian

oleh berbagai instansi pemerintah, baik dari dinas kesehatan, pertanian, perkebunan,

kehutanan bahkan sosial dan pemberdayaan masyarakat.

Penggunaan dan pemanfaatan buah merah oleh orang Papua telah turun-temurun, dan

pada kenyataannya memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi kesehatan, dan kecukupan

gizi makanan, tetapi juga berkenaan dengan pendapatan tambahan dari usaha penjualan

komoditas buah merah. Mengingat perannya yang sangat besar tersebut, maka komoditas

buah merah dibahas dalam bab tersendiri pada pokok bahan ini.

Setelah mempelajari pokok bahasan buah merah ini, diharapkan para pembaca memiliki

kemampuan untuk :

1. Melakukan identifikasi tentang potensi buah merah, manfaat dan teknologi pengolahan

buah merah

2. Mendefinisikan manfaat buah merah ditinjau dari aspek kesehatan, sosial ekonomi dan

pemberdayaan masyarakat.

3. Merancang penggunaan tanaman buah merah sebagai tanaman konservasi pada lahan-

lahan marginal

4. Membuat rencana pengembangan diversifikasi produk-produk yang dapat dibuat dari

pemanfaatan buah merah

17.2. Botani Buah Merah (Pandanus conoideus L.)

Buah Merah (Pandanus conoideus L.) berasal dari famili Pandanceae, genus Panadanus

dan spesies conoideus. Buah merah merupakan tumbuhan bercabang dan dapat mencapai

tinggi antara 3-15 M, memiliki diameter batang berkisar antara 4,5 – 30 cm, dengan bentuk

daun memanjang dengan ukuran 5,3-9,5 cm (lebar) x 88-124 cm (panjang) dan memiliki tepi

daun berduri. Panjang buah merah rata-rata berkisar antara 30 – 100 cm, dengan diameter

antara 10-20 cm, sedangkan tandan buah berupa bonggol, dengan panjang 30-40 cm, yang

tersusun dari banyak buah batu kecil-kecil, berkelompok secara padat, memiliki perikarp

berwarna merah, endokrapnya kecil dan relatif tipis, Stone (1997). Gambar 17.1 adalah profil

tanaman buah merah yang telah dibudidayakan di Kampus Universitas Negeri Papua oleh

salah satu dosen pada jurusan pemulian tanaman pada Fakultas Pertanian dan Teknologi

Pertanian telah menghasilkan suatu tegakan dengan jarak tanam 5 m x 5 m dan telah

berbuah. Karakteristik umum dari buah merah adalah bahwa dari setiap percabangan

menghasilkan satu buah (pada umumnya).

Hasil Hutan Bukan Kayu 218

Foto : Wahyudi (2007)

Gambar 17.1. Tegakan buah merah (Pandanus coneideus L) (sebelah kiri) dan posisi buah

pada batang pohon (sebelah kanan)

Sadsoeitoboen (1999) mengemukakan bahwa secara umum buah merah

(Pandanusconeideus L) dapat dibedakan menjadi empat kultivar yaitu kultivar merah

pendek, merah coklat, merah panjang dan kuning. Tetapi masyarakat Moskona di Distrik

Merdey, mengelompokkan kulitivar buah merah menjadi 28 kultivar, yang dikelompokkan

berdasarkan ciri-ciri pertumbuhan, ukuran buah dan warna buah, ukuran biji, bulan panen

dalam satu tahun dan pemanfaatannya, (Orocomma, 2002) seperti dikutip oleh Tethool

(2005). Masyarakat suku Hatam di kampung Nuhwey membedakan buah merah menjadi 20

kultivar yang dibedakan berdasarkan ukuran buah, kandungan lemak, bentuk pohon dan

daun, Indou (2002). Sedangkan Hadad dkk (2005) seperti yang dikutip oleh Limbongan dan

Malik (2009) menyatakan bahwa berdasarkan warna, ukuran, dan bentuk buahnya, buah

meah dikelompokkan ke dalam empat tipe yaitu buah merah panjang, buah merah pendek,

buah merah kecoklatan, dan buah kuning. Sedangkan berdasarkan aksesinya yang

dikembangkan, dibudidayakan, dan disukai oleh masyarakat, kemudian dikelompokkan ke

dalam 6 aksesi, yaitu Maler, Mbarugum, Ibagaya, Kuanggo, Kenen, dan Muni. Menteri

pertanian telah menetapkan aksesi Mbarugum sebagai buah merah unggulan, berdasarkan SK

Mentan No.161/Kpts/SR.120/32006, pada tanggal 6 maret 2006.

17.3. Budi Daya Buah Merah

Tanaman buah merah dapat dibudidayakan dengan mudah, baik secara generatif

maupun secara vegetatif. Budi daya buah merah pada saat ini mulai digalakkan di tanah

Papua, khusunya untuk tanah-tanah marginal dan sekaligus program gerakan rehabilitasi

lahan dengan melibatkan peran aktif langsung dari komunitas masyarakat lokal.

Pembibitan tanaman buah telah banyak dilakukan oleh perorangan untuk mendukung

program pemerintah daerah dan adanya permintaan komoditas buah merah yang terus

meningkat. Tanaman buah merah sudah dapat mulai berproduksi pada umur sekitar 2 tahun

(komunikasi pribadi dengan bapak Marthen Kirihio, gambar 17.2 sebelah kanan).

Hasil Hutan Bukan Kayu 219

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar 17.2. Anakan buah merah yang tealh siap panen dan pohon buah merah yang telah

berumur 2 tahun

17.4. Pemanfaatan Buah Merah secara Tradisional

Di Papua, pemanfaatan buah merah terutama di Jayapura, Manokwari, Nabire dan

Wamena telah berlangsung secara turun temurun. Penduduk lokal Papua memanfaatkan buah

merah sebagai sumber lemak nabati yang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi. Masyarakat

mengkonsumsi buah merah dengan cara mengekstrak minyak yang terkandung di dalamnya,

melalui pemasakan dan mencampurkan hasil masakan tersebut dengan makanan sumber

karbohidrat lainnya, seperti uni, sagu dan kentang. Pada beberapa kasus, hasil pemasakan

buah merah juga dapat langsung dikonsumsi dengan mencampunya dengan sayuran hijau

lainnya.

Tingkat konsumsi buah merah oleh penduduk asli Papua yang telah berlangsung

secara turun temurun tersebut dapat di ketahui dari berbagai fakta dan pengalaman praktis

dilapangan bahwa, orang asli Papua memiliki fisik yang kuat dalam beradaptasi dengan

lingkungan alam sekitarnya, berbadan sehat, jarang (hampir tidak) terkena penyakit orang

perkotaan seperti kanker, stroke, demam, sakit mata dan infeksi saluran pernapasan (ISPA),

khususya bagi mereka yang mengkonsumsi buah merah secara rutin. Buah merah dijual di

pasar-pasar tradisional di Manokwari dan sekitarnya dijual dalam dua bentuk, yaitu masih

berbentuk buah seperti ditunjukkan oeh Gambar 17.3, dan yang sudah berbentuk minyak

hasil ekstraksi. Kebanyakan masyarakat lokal mengekstrak minyak buah merah denga cara

merebus dalam wajan seperti halnya minyak kelapa sehingga kualitas minyak yang

dihasilkan, seperti kemurniannya masih belum optimal.

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar 17.3. Buah merah yang dijual di pasar lokal Manokwari dan sekitarnya, dijual

berdekatan dengan komoditas lokal lainnya (ubi kayu)

Hasil Hutan Bukan Kayu 220

Warna merah pada buah merah adalah indikator bahwa buah merah memiliki kandungan

karoten yang sangat tinggi, yang menghasilkan antioksidan dan bersifat anti kanker dan

komponen tokoferol dari vitamin E, Sadsoeitoboen (1999). Dilaporkan juga bahwa

komponen bioaktif buah merah seperti β-karoten dapat mencapai 12.000 ppm atau 12 kali

lebih tinggi dari minyak kelapa sawit (palm oil). Beberapa sumber juga menyatakan bahwa

β-karoten berfungsi sebagai obat pencegah kebutaan, gangguan gondok, penyakit mata,

penyakit kulit dan bahkan obat anti kanker. Lebih lanjut dikatakan bahwa buah merah telah

terbukti dapat menyembuhkan penyakit kanker otak, flek paru-paru pada bayi, kanker

panyudara, kanker kandungan, sakit mata, mencegah kebutaan, penyakit jantung, paru-paru,

lemah dan letih lesu. Akan tetapi belum ada uji laboratoris dan uji klinis tentang berbagai

manfaat yang telah disebutkan di atas.

Berbagai penelitian dan kajian yang telah dilaksanakan baik oleh penelitian perorangan

maupun oleh departemen kesehatan, buah merah sangat cocok untuk dijadikan sumber

alternatif sumber pangan nabati, bahan baku farmasi, pewarna makanan, kosmetika jamu dan

minyak nabati yang rendah kolesterol. Beberapa penelitian tentang beberapa karakteristik

dasar dari minyak buah merah, seperti sifat fisiko-kimia, pemurnian, dan kandungan gizinya

telah dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai instansi.

17.5. Karakteristik dan Komposisi Asam Lemak Buah Merah

Karakteristikdan sifat fisiko-kimia dari buah merah telah diteliti oleh Murtiningrum

(2004), kandungan gizi dan sifat fisoko-kimia dari berbagai jenis minyak buah merah hasil

ekstraksisecara tradisional di kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya, diteliti oleh Budi (2001),

sedangkan komposisi minyak dan kandungan asam lemakdari buah merah oleh Murtiningsih

(1992).

Beberapa karakteristik dasar dari buah merah yang diteliti oleh Murtihapsari (2004)

dapat dilihat pada Tabel 17.1 di bawah ini.

Tabel 17.1. Karakteristik buah merah (Pandanus coneideus L)

Komponen Kandungan

Air (%) 39,81

Abu (bk, %) 2,98

Lemak (bk, %) 20,36

Protein (bk, %) 6,26

Serat kasar (%) 9,47

Kalsium (ppm) 2738,77

Fosfor (ppm) 97,93

Besi (ppm) 173,92

Β-karoten (ppm) 13,10

Sumber : Murtingirum (2004)

Tabel 17.1 di atas menunjukkan bahwa minyak lemak adalah komponen yang cukup

dominan setelah air. Buah merah juga mengandung serat kasar, dengan prosentase sebesar

9.5%. Sedangkan sifat fisiko kimia buah merah menurut sumber yang sama dapat diringkas

pada Tabel 17.2 di bawah ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu 221

Tabel 17.2. Sifat Fisiko Kimia Buah Merah (Pandanus coneideus L)

Parameter Hasil

Ekstraks

i

Pemurnian konvensional

Titik cair (%) 22,70 13,70

Viskositas (cp) 46,12 38,18

Warna (nilai L) 29,4 56,87

Kadar asam lemak bebas (%) 20,47 0,28

Bilangan peroksida (mgO2/100 gr) 4,36 0,00

Bilangan penyabunan 206,83 202,09

Bilangan Iod 63,12 70,68

Fosfor (ppm) 87,87 2,85

Besi (ppm) 36,62 0,41

Kalsium (ppm) 159,92 22,56

Β-karoten (ppm) 123,00 0,66

Sumber : Murtingirum (2004)

Masyarakat Arfak yang berdomisili di Manokwari dan masyarakat Wamena telah

banyak memanfaatakan buah merah sebagai minyak goreng, dan menggunakan asam lemak

(ekstrak minyak) pada buah merah untuk campuran makanan pokok lainnya seperti ubi jalar

dan kentang. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan, di mana akses untuk

mendapatkan barang-barang konsumsi, terutama minyak goreng atau minyak nabati sangat

terbatas, minyak buah merah sangat berperan dalam memnuhi kebutuhan nutrisi dan gizi

yang diperoleh dari minyak nabati. Kandungan gizi yang terdapat dalam buah merah telah

diteliti Budi (2000) yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17.3.

Tabel 17.3. Kandungan gizi buah merah (Pandanus coneideus L)

Zat gizi Nilai Kandungan

Energi (Kalor) 394,00

Protein (mg) 3.300,00

Lemak (Mg) 28.100,00

Hidrat Arang :

Total (Mg) 31.900,00

Serat (mg) 20.900,00

Calsium (Mg) 554.000,00

Fosfor (mg) 30,00

Besi (mg) 2,24

Karotin Total (mg) 200.000,00

Vitamin B1 (mg) 0,90

Vitamin C (mg) 15,70

Nailin (mg) 1,80

Air (%) 34,90

Sumber :Budi (2000)

Murtiningsih (1992) melaporkan bahwa rendemen minyak dari buah merah adalah

sebesar 35.93% dari berat kering buah, dan asam lemak yang terdapat dalam minyak buah

merah yaitu asam palmitoleat (19.58%), asam stearat (1.48%), dan asam oleat (79.92%).

Rohman dkk (2012) melaporkan tentang karakteristik minyak dari buah merah, yang mana

Hasil Hutan Bukan Kayu 222

dikatakan bahwa komponen asam lemak utama pada minyak buah merah adalah asam oleat

(68.80%) dan asam linoleat (8.49%). Sedangkan 5 komponen utama dari 35 komponen yang

mudah menguap (main volatile compounds) yang berhasil diidentifikasi dari minyak buah

merah adalah 1,3-dimethyl-benzene (27.46%), N-glycyl-L-alanine (17.36%),

trichloromethane (15.22%), and ethane (11.43%).

17.6. Uji Biologi dan Pharmacologi dari Ekstrak Buah Merah

Beberapa penelitian tentang uji biologi dan pharmakologi dari ekstrak buah merah juga

telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai instansi, baik perguruan tinggi,

lembaga penelitian pangan dan kesehatan.

Uji antioksidan dari ekstrak buah merah juga dilakukan oleh Rohman dkk (2010).

Dilaporkan bahwa buah merah dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan antioksidan alami

(natural antioxidant source) untuk mencegah beberapa penyakit yang disebabkan oleh adanya

reaksi radikal bebas dalam tubuh kita. Sifat antioksidan dari buah merah tersebut sangat

berhubungan (r2:0.645) dengan kadar komponen phenol (phenolic compounds) dan kadar

flavanoid (r2:0.709). Uji sifat pharmakologi anti kanker (apoptotic expression) terutama sel

kanker panyudara T47D, telah dilakukan oleh Atsirin dkk (2009). Mereka melaporkan bahwa

ekstrak mentah dari buah merah (P.coneideus Lamb.Var. Yellow fruit) sangat berpotensi

untuk dipergunakan sebagai obat anti kanker. Sedangkan uji teratogenic extract mentah dari

bahan yang sama terhadap perkembangan embryo tikus putih (Rattusnorvegicus). Lebih

lanjut dilaporkan bahwa pemberian ekstrak tidak berpengaruh terhadap persentase fetus

hidup, kematian intrauterus, serta berat dan panjang fetus . Tetapi pemberian ekstrak pada

induk tikus mengakibatkan kecacatan skeleton (lordosis) fetus pada dosis 0,16 mL dan

menghambat osifikasi fetus.

17.7. Pengolahan Buah Merah

Pengolahan buah merah dilakukan dengan cara memotong-motong buah yang telah

masak setelah terlebih dahulu mengeluarkan bagian tengah buah (empulur), di mana daging

dan biji buah menempel. Potongan-potongan tersebut kemudian direbus sampai kulit dan

daging buah menjadi lunak, dan pemerasan dilakukan untuk memisahkan daging buah

dengan bijinya. Pada tahap ini sebenarnya sudah diperoleh minyak, akan tetapi masih dalam

jumlah yang sedikit dan masih bercampur dengan daging buah. Untuk mendapatkan redemen

minyak yang lebih tinggi, maka dilanjutkan dengan perebusan dan penggorengan. Pada

sebagian masyarakat yang tidak memerlukan sayuran, maka hasil pengolahan ini langsung

dapat dipergunakan sebagai lauk pauk, yang dicampur dengan makanan lainnya, seperti ubi

(Manihot esculenta), sagu (metroxylon spp), batatas (Ipomea batatas), kentang dan berbagai

jenis sayuran lainnya. Dengan pencampuran tersebut, bahan makanan tersebut akan berwarna

merah dengan sendirinya.

Metode ekstraksi minyak buah merah yang lain adalah sama dengan yang telah

diuraikan di atas, akan tetapi pada saat minyak dan ampas buah merah telah terpisah, yang

ditunjukkan dengan lapisan minyak yang terpung dibagian atas, sedangkan ampas dibagian

bawah, maka pada kondisi seperti ini minyaknya diambil dengan sendok atau peralatan

lainnya, untuk kemudian ditampung pada wadah minyak yang telah disiapkan.

17.8. Diversifikasi Produk-Produk Buah Merah

Di samping dibudidayakan untuk meghasilkan minyak, tanaman buah merah juga dapat

dimanfaatkan untuk membuat berbagi diversifikasi produk, yang kita sebut sebagai produk

sampingan pengolahan buah merah, baik untuk skala rumah tangga maupun industri.

Hasil Hutan Bukan Kayu 223

Berbagai jenis produk yang dapat dihasilkan dari pengolahan buah merah selain minyak

nabati, telah dikemukakan oleh Tethool (2005), seperti diringkas pada Tabel 17.4.

Tabel 17.4. Diversifikasi produk/produk sampingan dari sari buah merah

Bagian Pemanfaatan Industri yang dapat

dikembangkan

Minyak Olekimia/bahan kosmetik Olekimia

Minyak makan Makanan

Pangan fungsional Makanan

Karoten/vitamin A Makanan dan farmasi

Margarin Makanan

Ampas/bungkil Saus Makanan

Dodol Makanan

Selai Makanan

Makanan ternak Makanan ternak

Tumbuhan Buah Merah (Pandanus coneideus L) adalah tanaman jenis pandan yang

serba guna. Hampir seluruh bagian tanaman ini dapat dimanfatakan untuk berbagai tujuan.

Selain buahnya, yang dapat dimanfaatkan adalah daun, akar dan batang seperti diringkasan

seperti pada Tabel 17.5.

Tabel 17.5. Pemanfaatan lain dari tanaman buah merah

6..1.10. Bagian Pemanfaatan Industri yang dapat

dikembangkan

Batang Bahan bagunan rumah (dinding, alas rumah

dan penyekat ruangan)

Bangunan

Kerajinan (Ukiran) Kerajinan tangan

Kayu bakar

Arang/karbon aktif Kimia

Daun muda Kertas rokok keretek Kertas rokok

kertas Kertas

Daun dewasa Anyaman tas, keranjang dll.) Kerajinan tangan

Daun tua Tikar Kerajinan tangan

Atap rumah Kerajinan tangan

Akar Tali/tambang Kerajinan

Keset Kerajinan

17.9. Pustaka

Atsirin. O.P., M. Harini., N.S. Handayani. 2009. The effect of crude extract of Pandanus

coneideus Lamb.Var. Yello fruit on apoptotic Expression of the breast cancer

cell line T47D. Biodiversitas 10 (1) Hal. 48-49.

Budi, M.I. 2001. Kajian Kandungan Zat Gizi Dan Sifat Fisiko Kimia Berbagai Jenis Minyak

Buah Merah (Pandanus Conoideus. Lam) Hasil Ekstraksi Secara Tradisional Di

Kabupaten Jayawijaya Provinsi Irian Jaya. Thesis Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor (Tidak Diterbitkan).

Indou, Y. (2002). Studi cara pengolahan dan Pemanfaatan Buah Merah (Pandanus coneideus

L) secara tradisional di Kampung Nuhwey Distrik Ransiki. Laporan Tugas

Hasil Hutan Bukan Kayu 224

Akhir. Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian. Universitas Negeri Papua

(tidak diterbitkan).

Limbongan.L., A. Malik. 2009. Peluang pengembangan buah merah (Pandanus conoideus

Lamk) di provinsi Papua. Jurnal litbang pertanian 28 (4) Hal. 134-141.

Muna. L., O.D. Astirin., Sugiyarto. 2010. Tetatogenic test of Pandanus conoideus var.yellow

fruit extract to development of rat embryo (Rattus norvegicus). Nusantara

BIOSIENCE 2 (3) Hal.126-134.

Murtiningrum (2004). Ektraksi minyak dengan metode Wet Rendering dari Buah Merah

(Pandanus coneideus L) dan Pemurnian dengan filtrasi membran. Thesis

program pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. (tidak diterbitan).

Murtiningsih.T. 1992. Kandungan minyak dan komposisi asam lemak pada Pandanus

conoideus L. dan P. jilliansttii M. Proseding Seminar hasil Litbang SDH. Hal.

373-378.

Rohman.A., R.Sugeng., N. Yuniarti., W.R. Saputra., R. Utami., W. Mulatsih. 2010.

Antioksidant activity, total phenolic, and total flavanoids of extracts anf

fractions of red fruit (Pandanus coneideus Lam). International Food Reserach

Journal 17 Hal. 93-106.

Rohman.A., R. Sugeng., Y.B. Chen Man. 2012. Characterization of red fruit (Pandanus

coneideus Lam) oil. International Food Research Journal 19 (2). Hal. 563-567.

Stone, B.C. (1997). Pandanus Parkinson. Di dalam : Verheij, E.W.M dan R.E. Coronel,

Editor. Prosea Sumber Daya hayati Asia Tenggara : Buah-buahan yang dapat

dimakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sadsoeitoboen, M.J (2002). Pandanaceae. Aspek Botani dan Etnobotani dalam Suku Arfak di

Irian Jaya. Thesis Program PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor (tidak

diterbitkan).

Tethool, E.F (2005). Potensi Pengembangan Pemanfaatan Hasil Pengolahan Tanaman Buah

Merah (Pandanus coneideus L) di Papua. Makalah Lomba Karya Tulis

Mahasiswa (LKTM). Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas

Pertanian Peternakan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua. (tidak

diterbitkan).

Hasil Hutan Bukan Kayu 225

BAB 18

GAHARU (AGARWOOD)

18.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan yang ke-18 ini, pembahasan difokuskan pada produk hasil hutan

bukan kayu yaitu komoditas gaharu. Komoditas gaharu penting dibahas karena harganya

yang cukup mahal dan hanya diperuntukan untuk komoditas ekspor bukan untuk domestik.

Dalam dunia perdagangan international, komoditas gaharu disebut dengan Agarwood, dan

Eagle wood. Komoditas gaharu tidak mudah diperoleh, atau kayu gaharu hanya dapat

diperoleh pada beberapa pohon tertentu. Fenomena terjadinya kayu gaharu adalah bersifat

pathogen, yang berarti kayu tertentu terinfeksi oleh mikroorganisme tertentu, dan

menghasilkan suatu reaksi standar kimiawi yang permanen.

Masyarakat lokal mengetahui jenis pohon inang penghasil gaharu yaitu Aquilaria spp

dan Giyinopsppdan lainnya, tetapi tidak mengetahui apakah pohon tersebut telah

menghasilkan gaharu. Sehingga masyarakat melakukan penebangan pohon jenis tersebut

secara besar-besaran, tetapi tidak memperoleh gaharu yang dimaksud. Praktek seperti ini

banyak terjadi daerah-daerah pedalaman Papua dan Papua Barat, bahkan terjadi di negara

tetangga kita, yaitu Papua New Guinea.

Pegawai dari instansi teknis, seperti dinas kehutanan, kepolisian dan beberapa instansi

yang terkait, juga belum sepenuhnya mengetahui jenis, karakteristik dan bentuk ataupun rupa

komoditas gaharu ini. Untuk itu sangat dirasakan perlu membahas gaharu dalam satu pokok

bahasan sendiri.

Setelah mempelajari pokok bahasan ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan

dan kemampuan untuk :

1. Mendefinisikan dan menjelaskan pengertian gaharu, jenis-jenis pohon inang gaharu;

2. Menjelaskan proses terbentuknya gaharu dan faktor-faktor yang mempegaruhinya;

3. Memahami penggolongan komoditas jenis-jenis gaharu, termasuk variabel penentuan

kualitasnya.

18.2. Botani Gaharu

Pohon penghasil atau inang gaharu termasuk dalam diviso spermatohyta, kelas

dicotyledoeneae, yang terbagi ke dalam tiga famili yaitu Thymeleaceae, Euphorbiaaceae dan

Leguminoceae. Sumarna (2005) seperti yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007)

mengemukakan bahwa 7 (tujuh) genus pohon penghasil gaharu adalah Aquilaria, Aetoxylon,

Enkleia, Gonystylus, Wikstroemia, Girynops, Dalbergia dan Exxocaria.

Departemen Kehutanan dalam situs resminya hhtp://www.dephut.go.id, menyatakan

bahwa pohon penghasil gaharu tumbuh di daerah tropika, yang terdiri atas tiga marga yaitu

Aquilaria, Girynops danGonystylus. Untuk marga Aquilaria, terdiri atas 15 species yang

tersebar di daerah tropis Asia, yaitu India, Pakistan, Myanmar, Laos PDR, Thailand,

Kamboja, China Selatan, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Marga Gonystylus memilki 10

species dan tersebar di Asia Tenggara yaitu Malaysia, Filipina, Peninsula, Sarawak, Sabah,

Indonesia, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Kelupauan Nicobar. Gambar pohon

penghasil komoditas gaharu dari marga Girynops seperti ditunjukkan oleh Gambar 18.1 di

bawah ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu 226

Sumber: Dimara dan Siburian (2007)

Gambar 18.1. Pohon penghasil komoditas gaharu dari marga Grynops dan bijinya (insert)

Menurut Sumarna (2005) seperti yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007)

beberapa jenis pohon penghasil gaharu dan daerah penyebarannya di Indonesia daapt

diringkas seperti disajikan oleh Tabel 18.1

Tabel 18.1. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia dan daerah peneyebaranya

No Nama botani Famili Daerah penyebaran

1 Aquilaria malaccensis Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan

2 Aquilaria hirta Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan

3 Aquilaria filaria Thymeleaceae Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya

4 Aquilaria microcarpa Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan

5 Aquilaria agalloca R Thymeleaceae Sumatera, Jawa dan Kalimantan

6 Aquilaria beccariana Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan

7 Aquilaria secundana Thymeleaceae Maluku dan Irian Jaya

8 Aquilaria moszkowskii Thymeleaceae Sumatera

9 Aquilaria tomentosa Thymeleaceae Irian Jaya

10 Aetoxylon sympethalum Thymeleaceae Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya

11 Enkleia malaccensis Thymeleaceae Irian Jaya dan Maluku

12 Wiksroemia poliantha Thymeleaceae Nusa Tenggara dan Irian Jaya

13 W. tenuriamis Thymeleaceae Sumatera, Bangka dan Kalimantan

14 W. androsaemofilia Thymeleaceae Kalimantan, NTT, Irian Jaya dan

Sulawesi

15 Gonystylus bancanus Thymeleaceae Sumatera, Bangka dan Kalimantan

16 G. macrophylus Thymeleaceae Kalimantan dan Sumatera

17 Girynops cumingiana Thymeleaceae Nusa Tenggara dan Irian Jaya

18 Girynops rosbergii Thymeleaceae Nusa Tenggara

19 Girynops verstegii Thymeleaceae NTT dan NTB

20 Girynops moluccana Thymeleaceae Maluku dan Halmahera

21 Girynops decipens Thymeleaceae Sulawesi Tengah

22 Girynops ledermanii Thymeleaceae Sulawesi Tengah

23 Girynops salifolia Thymeleaceae Irian Jaya

24 Girynops audate Thymeleaceae Irian Jaya

25 Girynops podocarpus Thymeleaceae Irian Jaya

26 Dalbergia falviflora Leguminoceae Sumatera dan Kalimantan

27 Exocaria agaloccha Euphorbiaceae Jawa, Kalimantan dan Sumatera

Hasil Hutan Bukan Kayu 227

* Irian Jaya sekarang menjadi Papua, yang terdiri atas dua porpinsi yaitu Papua dan Papua

Barat

Dari Table 18.1 di atas terlihat bahwa komoditas gaharu dapat ditemukan hampir

diseluruh wilayah Indonesia, yaitu dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi, bila kita

perhatikan dengan seksama, komoditas gaharu kebanyakan dihasilkan dari kawasan hutan

alam di luar Pulau Jawa, yang mana masih memiliki hutan hujan tropis yang asli dan luas.

18.3. Potensi Gaharu

Informasi dan data potensi pohon penghasil gaharu belum diketahui secara pasti.

Beberapa pustaka dan referensi yang membahas tentang gaharu, hanya membahas daerah

penyebaran gaharu, tanpa menyebutkan potensi tegakan gaharu yang pasti. Hal ini

dimungkinkan karena, pohon gaharu tersebar secara sporadis pada hutan alam, tidak tersebar

homogen atau terpusat pada suatu areal habitat, sperti halnya pada hutan tanaman.

Khusus penyebearan gaharu, di Papua, menurut Dinas Kehutanan Provinsi Papua

(2006), penyebaran gaharu terdapat pada daerah Jayapura yaitu Mamberamo dan Nimboton,

Jayawijaya, Merauke di daerah Agats dan Bade, Nabire, Enarotali dan Manokwari.

Sedangkan Dimara dan Siburian (2007) melaporkan bahwa penyebaran gaharu di kabupatean

Manokwari terdapat di daerah Pantai Utara, Warmare, Kebar, Merdey, dan Ransiki. Daerah

Pantai Utara gaharu dapat diperoleh dari pohon jenis Girynops spp, sedangkan daerah

Warmare, Kebar dan Ransiki gaharu dihasilkan dari dua jenis pohon yaitu Aquilaria spp dan

Girynops spp.

Penduduk lokal di Papua, umumnya mengetahui tentangkeberadaan komoditas gaharu

di beberapa kawasan hutan di daerahnya, akan tetapi mereka tidak memiliki keahlian dan

kemampuan untuk mengenali, mengidentifikasi, bahkan memanen komoditas ini. Menurut

Dimara dan Siburian (2007) masyarakat Arfak menamakan gaharu dengan nama lokal

Mokoroug, dan komoditas gaharu dibedakan menjadi tiga yaitu beringin, cengkeh dan sirsak.

Sedangkan kualitas gaharu dibedakan menjadi dua yaitu gaharu super dan gaharu

kemedangan.

Wahyudi dan Sineri (2006) melaporkan bahwa masyarakat di Werianggi distrik Wasior

kab. Teluk Wondama, tidak memiliki pengetahuanuntuk mengenali dan membedakan

kualitas gaharu dari kawasan hutan yang merekamiliki sendiri. Sehingga para pekerja

migran, yang berasal dari luar Teluk Wondama dan bahkan luar Papua, datang berburu

gaharu dan melaporkan hasilnya kepada masyarakat setempat berdasarkan kesepakatan yang

telah disepakati bersama. Penduduk asliPapua yang berasal dari Pengunugan Tengah, seperti

Wamena, Yahukimo dan daerah sekitarnya umumnya memiliki pengetahuan tentang gaharu

yang lebih maju dibandingkan dengan meraka yang tinggal di daerah pesisir. Hal ini dapat

terlihat dari beberapa orang dari daerah tersebut yang berburu kayu Gaharu sampai ke daerah

Manokwari, Mamberamo dan daerah dataran rendah lainnya.

18.4. Pengertian Gaharu

Menurut definisi yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) SNI 01-

5009.1-1999, gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk yang memiliki warna yang

khas, serta memiliki kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil

gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang

terjadi baik secara alami maupun buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi

pada pohon Aguilaria sp yang dikenal dengan nama daerah seperti Karas, Alim, Gaharu dan

lain – lain.

Proses terjadinya kayu gaharu adalah hasil dari proses pathogenic karena timbulnya

infeksi, yaitu hasil proses infeksi dari jamur jenis Fusarium spp yang terjadi pada pohon

Hasil Hutan Bukan Kayu 228

inang gaharu. Menurut berbagai sumber infeksi pada pohon inang, sehingga menghasilkan

gaharu dapat sebabkan oleh tiga sebab yaitu karena 1) infeksi jamur (fungi); 2) perlukaan dan

3) proses non pathology. Santoo (1996) seperti yang dikutip oleh Departemen Kehutanan

dalam situs resminya hhtp://www.dephut.go.id/ informasi/setjen/pusstan/

info_V02/VI_V02.htm telah berhasil mengisolasi tiga fungi pada jenisAquilaria spp yaitu

Fusarium oxyporus, F. Bulbigenium dan F. Laseritum.

Kayu yang telah terinfeksi akan mengeluarkan suatu fragnant bahan kimia yang

menyerupai minyak, dan membuat kayu tersebut lama-kelamaan akan menjadi keras dan

berwarna gelap, (Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004). Secara sepintas, gaharu adalah

seperti kayu yang mengalami proses pembusukan, tetapi pembusukan yang belum sempurna,

dan menghasilkan aroma yang khas. Di Indonesia, komoditas gaharu sering diperdagangkan

dengan nama gaharu, dalam nama perdagangan internasional dikenal dengan nama

Agarwood, Eaglewood, Aloes wood dan agalocha, (Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004).

Tiga jenis gaharu yang mulai dibudidayakan adalah Aquilaria vilaria yang

dibudidayakan di daerah Papua dan Maluku, Aquilaria malaccensis dibudidayakan di daerah

Pulau Sumatra dan Kalimantan dan jenis Gyrinops verstigi dibudidayakan diwilayah

Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara

18.5. Pemanfaatan dan Komponen Kimia Minyak Atsiri dan Ektrak Gaharu

Pemanfaatan Gaharu untuk berbagai tujuan sudah dimulai sejak zaman peradaban,

terutama untuk daerah China, India, Jepang, dan bahkan negara-negara kaya di Timur

Tengah. Pengguna gaharu di Cina mendiskripsikan aroma (fragnant) gaharu memiliki aroma

yang menyejukkan, mendalam dan penuh dengan aroma (as a sweet, deep but balanced

fragnance’) yang banyak dimanfaatakan dalam upacara-upacara keagamaan, upacara

perayaan dan beberapa produk parfum, sebagaimana digunakan di negara-negara lain seperti

negara-negara Arab, India dan Jepang. Gaharu juga dapat dimanfaatkan untuk bahan obat-

obatan tradisional, sebagaimana dipergunakan oleh para dokter di Cina sebagai obat demam

dan penyakit perut (Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004).

Aroma minyak gaharu tersebut berasal dari minyak atsiri (volatilecompounds) yang

diekstrak dan dimanfaatkan untuk membuat parfum. Parfum yang terbuat dari gaharu

memiliki nilai jual yang sangat tinggi, terutama di negara-negara Timur Tengah, karena

parfum ini memiliki kelebihan yaitu bahwa parfum tersebut tahan terhadap cuaca atau suhu

panas, dan semakin lama dipakai, aromanya akan semakin terasa.Parfum dari gaharu juga

disukai karena tidak mengandung alkohol. Untuk negara-negara Eropa, parfum yang

terbuatdari gaharu kurang mendapat tempat dipasar, hal ini dikarenakan harganya yang

mahal, dan belum adanya bahan sintetis yang dapat menghasilkan aroma yang

menyerupainya.

Minyak atsiri dari komoditas gaharu juga memiliki beberapa fungsi biologi, bagi tubuh

kita. Chen dkk (2012) melaporkan beberapa uji biologis dari minyak gaharu, seperti sifat

anti-mikroba, anti-tumor, anti-oksidan, dan dapat juga sebagai obat anantesi (penghilang rasa

sakit) bedasarkan uji Central Nrevous System (CNS).

Penelitian tentang komponen kimia dari minyak atrisi komoditas gaharutelah dilakukan

oleh berbagai peneliti. Nor Azah dkk (2008) meneliti tentang komposisi kimia dari berbagai

komoditas gaharu di Malaysia. Selanjutnya dilaporkan bahwa minyak atsiri gaharu memiliki

warna yang beragam, dari hijau kecoklatan sampai dengan coklat merah gelap. Secara umum

minyak gaharu mengandung komponen kimia yang sangat kompleks, tetapi umumnya terdiri

atas senyawa kelompok sesquiterpene hidrokarbon, sesquiterpene alkohol, dan alipatic

hidrokarbon. Untuk komoditas gaharu dari pohon Aquilara malaccensis yang bergrade C dari

berbagai daerah di Malaysia, beberapa komponen yang berhasil dideteksi adalah 3-pheny-2-

butanone, -guanine, -agarofuran, -agarofuran, Nor-ketoagarofuran, 10-epi- -eudeamol,

agarospirol, -eudesmol, Jinkoh-erenol, kusunol, dan Jinkol II.

Hasil Hutan Bukan Kayu 229

Sedangkan isolasi senyawa baru dari komoditas gaharu dari China atau Chinese Eagle

wood (Aquilariasinensis (Lour.) Gilg. yaitu 2-(2-phenylethyl) chromone, 5, 6, 7, 8-

tetrahydroxy-2-(3-hydroxy-4-methoxyphenethyl)-5, 6, 7, 8-tetrahydro-4H-chromen-4-one,

dilaporkan oleh Dai dkk (2009), seperti ditampilkan pada Gambar 18.2.

Gambar 18.2. Senyawa baru, 2(2-Phenylethyl)chromone, dari komoditas gaharu Chinese

eagle wood (Aquilaria sinensis (Lour.) Gilg.

Ringkasan lengkap dan menyeluruh terhadap berbagai jenis komponen minyak dan

ektrak dari komoditas gaharu, baik yang mudah menguap (volatile compound) maupun yang

tidak mudah menguap (non volatile compounds) terhadap tiga spesies Aquilaria, yaitu A.

malaccensis, A. sinensis, dan A. crassna, spptelah diringkas oleh Naef (2011). Dilaporkan

bahwa sebanyak 150 komponen kimia telah berhasil diidentifikasi, dan dari jumlah tersebut,

kebanyakan adalah jenis sesquitermpenoids, chromones dan senyawa aromatik volatile.

Komponen-komponen kimia dari gaharu tersebut selengkapnya dapat dilihat pada referensi

aslinya, seperti dicantumkan di referensi.

Sedangkan komposisi komponen kimia secara lengkap dari gaharu dari genus Aquilaria

dari berbagai daerah endemik asalnya, seperti Malaysia, China, Kamboja, India, Indonesia,

Kalimantan, dan Vietnam dilaporkan oleh Chen dkk (2012). Selanjutnya dilaporkan bahwa

sebanyak 132 komponen kimia telah berhasil diidentifikasi dari minyak gaharu genus

Aquilaria, yang mana sebagian besar adalah kelompok sesquiterpenoid, kelompok turunan

dari 2-(2-phenylethyl)-4-H-chromen-4-one, berbagai senyawa aromatik, dan kelompok

triterpenoid. Kelompok sesquiterpenoid dan turunan dari 2-(2-phenylethyl)-4-H-chromen-4-

one adalah dua kelompok yang dominan dalam komoditas gaharu dari genus Aquilaria.

18.6. Perdagangan Gaharu

Permintaan ekspor akan produk gaharu sangat tinggi. Contohnya untuk perioda tiga

bulan saja, dari bulan November sampai Desember 2006, untuk satu perusahaan eksportir,

CV. Agung Perdana, di Mataram, memiliki kuota untuk mengekspor 10 ton gaharu dengan

tujuan utamanya adalah Timur Tengah (www. kompas.com). Karena intensifnyapencarian,

perburuan komoditas gaharu dan penebangan liar yang berlangsung secara terus menerus,

maka populasi kayu penghasil gaharu mulai menipis. Untuk mengatasinya maka diwajibkan

kepada pengusaha pemegang izin ekspor gaharu diwajibakan untuk menyediakan areal seluas

minimal 2 ha untuk keperluan budi daya gaharu.

Untuk patokan harga, harga komoditas gaharu sangat bervariasi, untuk gaharu kualitas

utama yang dihasilkan dari Kalimantan, di pasar lokal dapat dihargai mencapai US $ 400 per

kg, dan di Singapura harga per kilogram dari gaharu dengan kualitas yang sama mencapai

US $ 1,000 kg, dan bahkan di negara-negara Arab dapat mencapai harga US $ 3,000 per kg,

(Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004). Gaharu berkualitas lokal (Gambar 18.3) di daerah

Werianggi, kabupaten Teluk Wondama dan di Manokwari dihargai sekitar Rp 400 000 per

kg pada pasar tradisional.

Hasil Hutan Bukan Kayu 230

Foto: Wahyudi dan Sineri (2007)

Gambar 18.1 Komoditas Gaharu kualitas lokal dari Werianggi di Manokwari

ASGARIN (2005) yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007) melaporkan bahwa

produksi gaharu Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 10-20% dari total kuota ekspor

gaharu nasional, sehingga berdampak kepada tingginya harga komoditas tersebut, hingga

berkisar antara Rp. 2 – 5 juta per kilogram. Realita ekspor komoditas gaharu sampai dengan

bulan September 2007, dapat dilihat pada Tabel 18.1 di bawah ini.

Tabel 18.1. Realisasi ekspor komoditas Gaharu yang langsung diambil dari hutan per

Juli 2007

No Nama Kuota

(Kg/s)

Realisasi Sisa

kuota

Latin Inggris Lokal

1 Aquilaria filaria Agarwood Gaharu Irian 7

6000

17,800 58200

2 Aquilaria filaria Agarwood Gaharu Irian 0 137,565

3 Aquilaria filaria...

(stock)

Agarwood Gaharu Irian 0 203,441

4 Aquilaria

malacensis

Agarwood Gaharu (Gubal

&Kemendangan)

30000 9,014 20986

5 Aquilaria

malacensis

Agarwood Gaharu 0 40,000

6 Aquilaria

malacensis..

(stock)

Agarwood Gaharu 0 47,010

7 Gyrinops spp Agarwood Gaharu 0 32,500

Sumber: www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007

18.7. Pengujian dan Kualitas Gaharu

Untuk keperluan standarisasi dalam kualitas, cara pengujian, cara pemungutan dan

beberapa pedoman pengujian gaharu di Indonesia telah diatur secara lengkap dalam Standar

Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.1-1999.. SNI ini mengatur tata cara pegujian dan gaharu,

yang mana di dalamnya membahas tentang definisi, lambang, singkatan, istilah, spesifikasi,

klarifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji,

syarat penandaan, sebagai pedoman pengujian gaharu yang diproduksi di Indonesia.

Berdasarkan SNI tersebut, komoditas gaharu dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu:

Hasil Hutan Bukan Kayu 231

1. Abu gaharu adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilinngan atau

penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.

2. Damar gaharu adalah jenis getah padat dan lunak, yang berasal pohon atau bagian

pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat dan ditandai oleh warnanya yang

hitam kecoklatan

3. Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil

gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh

warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.

4. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu,

memiliki kandungan damar wangi dengan aroma lemah, ditandai oleh warnanya yang

putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak.

Dalam perdagangan sehari-hari, penentuan kualitas kayu gaharu tidak mengacu kepada

standar kualitas yang ditentuntan oleh SNI 01-5009.1-1999. Penentuan kualitas biasanya

ditentukan oleh pedagang dan pembeli, maupun ditentukan sepenuhnya oleh para tengkulak.

Menurut SNI kualitas gaharu yang diperdagangkan di Indonesia, terbagai ke dalam 13 kelas

yaitu:

1. Gubal gaharu terbagi ke dalam 3 (tiga) kelas kualita yaitu mutu utama (U) setara mutu

Super; mutu Pertama (I) setara dengan mutu AB dan mutu Kedua (II) atau setara dengan

mutu Sabah Super.

2. Kemedangan terbagi ke dalam 7 (tujuh) kelas mutu yaitu Mutu pertama (I) setara

dengan Tanggung TGA atau Tanggung Kemedangan I (TKI); Mutu Kedua (II) setara

mutu Sabah 1 (SB I); mutu Ketiga (III) setara mutu Tanggung AB (TAB); mutu

Keempat (IV) setara mutu Tanggung C (TGC); Mutu Kelima (V) setara mutu

Kemedangan 1 (M1); mutu Keenam (VI) setara mutu Kemdangan 2 (M2); dan mutu

Ketujuh (VII) setara mutu Kemdangan 3 (M3).

3. Abu gaharu terbagi ke dalam 3 (tiga) kelas mutu yaitu Mutu Utama (U); mutu Pertama

(I); dan Mutu Kedua (II).

Sedangkan menurut Asosiasi Gaharu Indonesia (ASGARIN) tahun 2005 seperti yang

dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007), kualitas gaharu yang diperdagankan di Indonesia

terbagai dalam dua jenis yaitu gaharu Gubal dan Kemedangan. Uraian lengkap tentang

klasifikasi dan sub klas komoditas gaharu menurut ASGARIN ditampilkan pada Tabel 18.2.

Klasifikasi produk gaharu berdasarkan kelas, mutu dan spesifikasi dilakukan melalui

pemisahan dalam bentuk serpihan (chips), yaitu bentuk teri, kacang dan abuk. Sedangkan

peengelompokan kayu gaharu ke gubal atau kemedangan dilakukan dengan memperhatikan

faktor ukuran, bentuk, warna dan aroma. Khusus untuk pengujian aroma, dilakukan dengan

memotong dan membakar potongan (dalam bentuk serpihan kecil) dan mencium aromanya,

apakah kuat atau lemah.

Di Kalimantan, penggolongan kualitas gaharu ditentukan berdasarkan kesepakatan para

pelaku bisnis gaharu. Kalimantan Barat terdapat 9 (sembilan) jenis mutu gaharu, yaitu dari

kualitas Super A (terbaik) sampai mutu Kemedangan Kropos (terburuk). Sedangkan di

Kalimantan Timur dan Riau kualitas gaharu terbagi ke dalam 8 jenis mutu, yaitu mutu Super

A (terbaik) sampai kepada Kemedangan (terburuk).

Hasil Hutan Bukan Kayu 232

Tabel 18.2. Klasifikasi Kualitas dalam Perdagangan Gaharu di Indonesia menurut

Asosiasi gaharu Indonesia (ASGARIN, 2005)

Kelompok gaharu No Klasifikasi gaharu Sub Kelas

I. Gubal

1 Super Double super

Super tanggung

2 AB Kacang A

Kacang B

3 Teri Teri tenggelam

Teri A

Teri B

Teri C

II. Kemedangan

1 Sabah Sabah Tenggelam

Sabah Biasa

2 TGC

3 Kemedangan Mendang A

Mendang B

4 Abuk Abuk Super

Abuk Mendang

Abuk Kerokan

Dimara dan Siburian (2007) melapokan komoditas gaharu yang diperdagangkan di

pasaran lokal Manokwari, provinsi Papua Barat telah dikelompokkan ke dalam beberapa

kelas dengan karakterisitk tertentu dan harga yang sudah ditetapkan. Uraian singkat dari

ketentuan-keentuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Gaharu Kelas Super. Kelompok ini memiliki ciri-ciri fisik seperti Kayu berwarna

hitam yg tersebar merata, padat serta mengkilap, banyak mengandung minyak, Serat

Kayu tidak kelihatan. Harga untuk kelas super ini berkisar antara Rp. 1.500.000 –

2.000.000 per kg. Contoh dari komoditas gaharu kelas super ini dapat dilihat pada

Gambar 18.4 di bawah ini.

Sumber: Dimara dan Siburian (2007)

Gambar 18.4. Komoditas gaharu kelas super

2. Gaharu Kelas AB. Komoditas gaharu kelas AB memiliki ciri-ciri penampakan adalah kayu

berwarna hitam & agak mengkilap, padat & serat kayu agak kelihatan (Kelas A), dan kelas B

memiliki alur atau bintik putih, dan bagian tengah terdapat rongga. Kelas AB memiliki

kisaran harga antara Rp. 150.000 – 200.000 per kg. Komoditas gaharu kelas AB ditujukkan

oleh Gambar 18.5.

Hasil Hutan Bukan Kayu 233

Sumber: Dimara dan Siburian (2007)

Gambar 18.5. Komoditas gaharu kelas AB

3. Gaharu Kelas Teri. Komoditas gaharu kelas ini memiliki kenampakan fisik yaitu kayu

berwarna hitam, kepingan kayu berukuran kecil dan pendek, dan alur pada serat kayu

berwarna putih. Komoditas ini memiliki kisaran harga antara Rp. 75.000 – 100.000 per kg.

Contoh komoditas gaharu kelas teri dapat dilihat pada Gambar 18.6 di bawah ini

Sumber: Dimara dan Siburian (2007)

Gambar 18.6. Komoditas gaharu kelas teri

4. Gaharu Kelas Tanggung. Komoditas gaharu kelas ini memiliki penampilan fisik di

antaranya adalah kayu berwarna coklat kehitaman sampai coklat bergaris putih, serat kayu

kasar, dan kayu padat namun memiliki bobot yang agak ringan. Jenis gaharu ini memiliki

harg aberkisar dari Rp. 50.000 – Rp70.000 per kg. Contoh gaharu kelas tanggung

diperlihatkan oleh Gambar 18.7 di bawah ini.

Sumber: DimaradanSiburian (2007)

Gambar 18.7. Komoditas gaharu kelas tanggung

5. Kemedangan kelas A, B, dan C. Kelompok gaharu kemedangan A, B, dan C memiliki

karakterisik fisik di antaranya adalah kayu berwarna coklat bercampur putih, untuk kelas

kemedangan A memiliki bobot lebih berat dan serat kayu agak padat. Sedangkan untuk kelas

kemedangan B banyak memiliki alur atau bintik putih dan serat kayunya kasar. Untuk elas

kemedangan C memiliki warna kayu kuning sampai coklat muda, sedikit mengandung

gaharu dan serat kayunya juga kasar. Contoh komoditas gaharu kemedangan kelas A, B, dan

Hasil Hutan Bukan Kayu 234

C secara berurutan, kiri-ke kanan, disajikan pada Gambar 18.8 di bawah ini. Akan tetapi

khusus untuk kelas ini tidak disebutkan kisaran harganya.

A B C

Sumber : Dimara dan Siburian (2007)

Gambar 18.8. Komoditas gaharu kelas kemedangan A, B, dan C

6. Gaharu Buaya. Kelompok gaharu ini memiliki penampakan dengan ciri-ciri seperti kayu

berwarna coklat sampai coklat kehitaman, serat kayu kasar dan memiliki aroma yang tajam.

Contoh komoditas gaharu kelas buaya dapat dilihat pada Gambar 18.9 di bawah ini.

Komoditas gaharu buaya ini juga tidak disertai kisaran harga yang berlaku di pasaran

Manokwari dan sekitarnya.

Sumber: Dimara dan Siburian (2007)

Gambar 18.9. Komoditas gaharu buaya

18.8. Pustaka

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2001. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-

2001.

Chen, Huai-Qiong., J.H. Wei., J.S. Yang., Z. Zhang., Y. Yang., Z.H. Gao., C. Sui., B. Gong.

Chemical constituents of Agarwood originating from the endemic genus

Aquilaria plants. Review. Cheistry & Biodiversity 9 Hal. 236-250.

Dimara. P., R. H.S. Siburian. 2007. Jenis dan Spesifikasi Kualitas Gaharu asal hutan alam

kabupaten Manokwari. Materi Seminar Hasil-hasil Penelitian Fahutan Unipa

Manokwari.

Dai, Hao-Fi., J. Liu., Y.B. Zeng., Z. Han., H. Wang., W.L. Mei. 2009. A new 2(2-

Phenylethyl)chromone from Chinese Eaglewood. Molecule 14 Hal.5165-5168.

Goloubinoff, M; J. de Beer., E. Katz .2004. Agarwood, Frganant wood. Riches of the forest:

Food, Spices, Craft and resin of Asia. Citlalli Lopez dan Patricia Shanley.

Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Indonesia.

Hasil Hutan Bukan Kayu 235

Marty. 2006. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Sowek di Rayori

Selatan Supriori Selatan Kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan

Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).

Naef, R. 2011. The volatile and semi-volatile constituents of agarwood, the infected

heratwood of Aquilaria species. A Review. Flavour and Fragrance Journal 26

Hal.73-89

Nor Azah, M.A., Y.S. Chang., J. Mailina., A. Abu Said., J. Abd. Majid., S.SaidatulHusni., H.

Nor Hasnida., Y. 2008. Comparison of chemical profiles of selected gaharu Oils

from peninsular Malaysia. The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 12 (2)

Hal. 338 - 340

Wahyudi dan A.Sineri. 2006. Potensi Hutan masyarakat Adat di Kampung Werianggi distrik

Windesi Kabupaten teluk Wondama. Laporan Studi Kelayakan pengelolaan

hutan berbasis Masyarakat Adart. Kerja sama Fahutan Unipa dengan

Greenpeace South East Asia Programm (GSEAP). (tidak diterbitkan).

www.dephut.go.id. Diakses pada tanggal September 2007

www.kompas.com. Kayu Gaharu Asal lombok diekspor ke Timur Tengah, diakses pada

tanggal 03 Mei 2008.

Hasil Hutan Bukan Kayu 236

BAB 19

PRODUK-PRODUK NABATI LAINNYA

19.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan yang ke 19 ini, pembahasan difokuskan pada produk hasil hutan

bukan kayu kelompok nabati yang memiliki peran yang cukup penting dalam masyarakat,

perdagangan lokal dan potensinya cukup melimpah di alam. Kelompok nabati yang akan kita

bahas pada modul ini meliputi komoditas Anggrek (Dendrobium spp), buah Mangrove,

terutama dari jenis Rhizopora spp, Pandan (Pandanus spp), dan Nipah (Nypafruticans

Wurmb).

Kenapa kita membahas komoditas nabati tersebut, karena komoditas tersebut di

khususnya daerah Papua memiliki peran yang cukup signifikan, khususnya bagi penduduk

lokal, baik sebagai sumber penghasilan tambahan maupun makanan alternatif. Anggrek

potensinya cukup melimpah dan dijual dengan bebas kepada setiap tamu yang datang ke

Papua, daun pandan banyak dimanfaatkan untuk membuat tikar tradisional dan beberapa

produk nayaman lokal lainnya. Nipah pelepah daunnya untuk dinding rumah tradisional

masyarakat lokal, daunya disusun dan dijepit untuk atap rumah, sedangkan air niranya dapat

dibuat minuman lokal beralkohol. Buah Mangrove dari jenis Rhizophora spp dan Bruquiera

spp dapat dijadikan sumber karbohidrat alternatif bagi penduduk lokal di Irian Jaya

Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, para pembaca diharapkan memiliki

kemampuan untuk :

1. Melakukan identifikasi beberapa komoditas nabati lainnya yang belum dibahas dalam

pokok bahasan ini khususnya yang dimanfaatkan bagi masyarakat lokal.

2. Membedakan komoditas nabati yang dimanfaatkan untuk tujuan pemakaian sendiri atau

dapat menghasilkan uang (dijual).

3. Mengetahui beberapa produk-produk keunggulan lokal dari beberapa komoditas nabati

tersebut

19.2. Anggrek (Dendrobium spp)

Tumbuhan Anggrek adalah tumbuhan yang sangat unik, keunikan tersebut dicirikan

oleh bunganya yang sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk dan warnanya. Anggrek

adalah sejenis tumbuhan efifit yang banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Ornament

plants) karena keunikan bunganya yang memukau, baunya yang khas, yang kemudian

mengilhami untuk membuat parfum dan minyak rambut yang khas bunga anggrek. Anggrek

termasuk dalam family Orchidaceae suatu family tumbuhan yang sangat besar dan beragam

Dari keragaman jenis, Anggrek juga sangat beragam, diperkirakan terdapat sekitar 30

000 species anggrek di dunia yang terdiri atas 660 genera dengan 75 000 hibrid yang

terdaftar (Rukmana, 2000). Selanjutnya penulis yang sama mengemukakan bahwa Indonesia

diperkirakan memiliki potensi anggrek lebih dari 5000 species. Keberagaman jenis tersebut

belum termasuk beberapa jenis yang merupakan hasil persilangan, yang dilakukan setelah

diadakan usaha budi daya, sehingga jenis tersebut tidak terdapat dialam.

Anggrek memiliki karakteristik pertumbuhan batang yang khas dan unik, sehingga dapat

dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Monopodial dan Sympodial, Orchid Society of South

East Asia, (1998).

Kelompok monopodial didirikan apabila batang anggrek tumbuh secara mandiri atau

indenpenden, dan daun baru selalu muncul dan tumbuh dari pucuk batang. Biasanya

batang jenis anggrek ini tumbuh keatas, atau tumbuh merambar bila berbatang tunggal,

Hasil Hutan Bukan Kayu 237

dengan akarnya yang kokoh menenpel pada pijakan yang ditemukan, bunganya muncul

biasanya dari sisi lain dari batangnya, seperti ditunjukkan oleh Gambar 19.1.

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar 19.1. Karakteristik pertumbuhan anggrek tipe monopodial yang tumbuh di

pekarangan penduduk lokal di Manokwari.

Sympodial adalah jenis anggrek yang memiliki ciri pertumbuhan seperti berumpun dari

dasar yang sama, dengan ciri khas batang yang mengelembung (Bulb) dan bunganya

dapat muncul dari bagian lain dari batang. Pada kebanyakan anggrek yang tumbuhdi

daerah tropis adalah tipe sympodial, Gambar 19. 2.

Foto: Wahyudi (2007)

Gambar 19.2 Tipe pertumbuhan anggrek sympodial yang kurang terawat di kebun

penduduk lokal di Manokwari.

Metode lain untuk membedakan tumbuhan anggrek adalah dengan melihat habitat

tempat tumbuhnya, apakah tumbuh di atas tanah (Terresterial orchids), menempel pada

pohon (Epiphytic orchids), merambat/memanjat (Climbing orchids) dan di atas batu/tempat

kering (Lithophytic orchids).

Usaha budi daya tanaman anggrek banyak dilakukan secara trandisional maupun dengan

menggunakan teknologi kultur jaringan. Pada kebanyakan, petani anggrek masih

menggunakan metode-metode konvensioanal untuk menyilangkan dan membudidayakan

anggrek.

Penduduk lokal di Papua pada kebanyakan mengambil aggrek dari hutan dan

dibudidayakan secara alami di kebun-kebun penduduk ataupun pekarangan rumah, dan

apabila sudah tumbuh dengan baik dijual. Penjualan anggrek tersebut masih bersifat lokal,

dan dilaksanakan di pelabuhan laut, bandara atau tempat keramaian lainnya dengan kisaran

harga antara Rp 10.000 – 20.000 per tanaman.. Contoh tumbuhan anggrek yang di jual oleh

penduduk lokal digambarkan oleh Gambar 19.3

Hasil Hutan Bukan Kayu 238

Foto :Marty (2006)

Gambar 19. 3. Tanaman Anggrek yang dijual oleh Penduduk Lokal di Papua

19.3. Buah Mangrove

Tumbuhan mangrove atau bakau adalah vegetasi yang mendominasi pada hutan

mangrove, dan memiliki habitat di daerah peralihan atau perbatasan dari laut ke pantai.

Hutan ini biasanya tumbuh pada daerah-daerah yang berlumpur atau hasil sedimentasi.

Sehingga hutan mangrove selalu identik dengan istilah pasang surut air laut. Vegetasi hutan

mangrove didominasi oleh jenis Bakau (Rhizophora spp), Tumuk/tancang (Bruquiera spp),

Api-api (Avicinea spp), Pedada (Soneratia spp), dan Nyirih (Xylocarpus spp). Dari berbagai

sumber, buah dari tumbuhan mangrove yaitu bakau, tumuk, api-api dan pedada dapat diolah

dan dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif, khususny pada beberapa daerah yang

berbatasan dengan pantai atau pesisir.Khusus untuk buah dari bakau dan tumuk dapat

dipergunakan sebagai sumber karbohidrat alternatif. Sedangkan beberapa produk kue yang

dapat dihasilkan dari pengolahan buah mangrove di antaranya adalah kue seperti cake, donat,

kue tart, biskuit crispy dan bahkan dodol buah mangrove.

Buah mangrove dari jenis Bakau (Rhizoporaspp) banyak dimanfaatkan oleh masyarakat

di Supriori- kabupaten Biak Numpor, Provinsi Papua untuk bahan makanan yaitu sebagai

sumber karbohidrat atau pati. Keadaan ini berawal saat penduduk lokal kekurangan bahan

makanan pada perang dunia II. Masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan sebutan

makanan Ai-bon.

Marty (2006) melaporkan bahwa masyarakat Sowek di Rayori Supriori Selatan,

Kabupaten Supriori, memanfaatkan buah mangrove sebagai sumber karbohidrat. Makanan

dari buah mangrove ini dikenal dengan nama lokal sebagai Aibon. Ai berarti kayu dan Bon

berartibuah. Aibon dibuat dengan metode sebagai berikut: Buah yang telah siap panen dicuci

hingga bersih, kemudian buah tersebut direbus hingga mendidih pada air panas, diangkat,

didinginkan dan dikuliti atau dikupas kulitnya. Proses pengkulitan buah mangrove tersebut

seperti dilukiskan oleh Gambar 19.4. Setelah dikupas kulitnya, daging buah tersebut

dipotong atau disayat-sayat, kemudian direndam dalam air dingin selama kurang lebih 3 jam

dan kemudian direbus kembali dengan air mendidih. Setelah mendidih, daging buah teresbut

didinginkan dan diperas airnya hingga kering. Hasil perasan tersebut dapat langsung

dikonsumsi atau untuk lebih sedapnya ditambahkan gula dan parutan kelapa, Gambar 19.5.

Produk lokal ini kalau si Pulau Jawa mungkin menyerupai kue kelepon.

Hasil Hutan Bukan Kayu 239

Sumber : Marty (2006)

Gambar 19.4. Proses pengupasan kulit buah mangrove jenis Tumuk (Bruquieragymnoriza) di

Desa Sowek distrik Supriori Selatan

Sumber: Marty (2006)

Gambar 19.5. Hasil kupasan buah mangrove jenis Tumuk (Bruquiera gymnoriz) yang siap

direbus

Penelitian tentang sifat sifat fisik dan komposisi kimia buah Aibon (Brugueira

gymnorhiza L.) pada berbagai tingkat kematangan dilakukan oleh Sarunggalo dan Santoso

(2007). Mereka melaporkan bahwa secara fisik buah Aibon berbentuk bulat lurus dan tumpul

memanjang, dengan permukaan tidak rata dan bergelombang. Buah Aibon memiliki kisaran

panjang dari 12,2-35,9 cm; diameter mulai dari 2,0-3,0 cm, berat berkisar dari 30,30-61,10 g,

dan ketebalan kulitnya bervariasi dari 0,6-1,3 mm. Dilaporkan juga, bahwa waktu panen

yang tepat untuk buah aibon adalah pada tingkat buah matang optimal, karena kandungan air,

protein dan total gula buah aibon cenderung menurun dengan semakin bertambahumur

panen. Akan tetapikandungan karbohidrat (pati dan serat) akan semakin meningkat dengan

bertambahnya kematangan buah. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa, berdasarkan hasil

analisis kimianya, buah aibon pada tingkat kematangan optimal memiliki kadar abu sebesar

1,07%, protein 4,67%, lemak 0,61%, dan karbohidrat 93,66%. Sedangkan kadar pati, total

gula dan serat kasar secara berurutan adalah 54, 88, 8, 89, dan 4,7 % berdasarkan bobot

keringnya (bk).

Di Kalimantan, masyarakat yang berdomisili di daerah Margomulyo Balikpapan

menggunakan buah mangrve sebagai pengganti nasi untuk sumber karbohidrat pada tahun

1963-1965 (Kompas, 2004). Buah mangrove tersebut direbus dan dimakan dengan campuran

kelapa parut dan gula aren untuk menghilangkan rasa pahit. Buah mangrove jenis Avicinia

Alba dan Avicinia marina yang lebih dikenal dengan nama daerah Api-api lebih cocok dibuat

sebagai bahan baku keripik karena berukuran kecil dengan rasa gurih dan renyah seperti

emping melinjo.

Jenis Bakau Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata dengan panjang buah

sekitar 70 cm lebih cocok digunakan sebagai sayur asam karena rasanya yang segar.

Sedangkan untuk jenis Pedada (Soneratia alba) lebih cocok untuk dibuat permen karena

Hasil Hutan Bukan Kayu 240

rasanya yang asam. Diversifikasi makanan dari buah mangrove di antaranya adalah dodol

mangrove, cake mangrove, puding dan kue kelepon. Masyarakat lokal dalam pemanfaatan

dan pengolahan serta pengusahaan buah mangrove tersebut dibantu oleh Yayasan

Selamatkan Teluk Balikpapan (YSTB).

19.4. Daun Pandan (Pandanus spp)

Tumbuhan dari kelompok pandan-pandanan memiliki manfaat yang sangat beragam di

masyarakat.Pandan-pandanan terdiri atas beberapa jenis. Secar sepintas, terdapat pandan

yang dibudidayakan untuk tujuan utama menghasilkan daun, dan ada yang ditujukan untuk

mendapatkan buah, seperti halnya Buah merah. Karena produk buah dari pandan telah

dibahas pada bab sebelumnya (lihat Bab 17), maka pada bagian ini membahas pemanfaatan

daun pandan untuk berbagai penggunaan. Sehingga menurut pemanfaatannya, terdapat

pandan yang dipergunakan sebagai bahan baku tikar tradisional, yang mereka sebut sebagai

daun tikar. Pandan juga dapat dimanfaatkan untuk menambah aroma masakan, seperti

pembuatan nasi uduk, nasi kuning dan lainnya. Pandan ini yang kemudian dikenal dengan

pandan wangi. Di pulau Jawa juga ada daun pandan yang dipergunakan untuk membuat

bunga untuk ziarah ke makam. Pandan ini dirajang-rajang dengan pisau dan kemudian

dicampur dengan bunga mawar, cempaka, melati dan bunga lainnya menurut seleranya. Di

Irian Jaya juga terdapat pandan sebagai sumber lemak nabati, yang kemudia dikenal dengan

buah merah (Pandanus conoideus L.). Juga terdapat tumbuhan pandan yang memiliki bunga

seperti buah durian. Menurut masyarakat lokal, di kampung Nusaulan, distrik Buruway kab.

Kaimana, pandan ini merupakan makanan khas kelelawar. Pandan yang berbuah seperti

durian tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.6.

Foto: Wahyudi dkk (2007)

Gambar 19.6. Pandan yang berbuah seperti durian (insert) di hutan primer kampung

Nusaulan Distrik Buruway, kab. Kaimana

Khusus untuk pandan yang dimanfaatkan untuk menjadi bahan tikar tradisional, dan

produk anyaman lainnya seperti tas dan jas hujan. Pandan jenis ini adalah dari species

Pandanus tectorius, yaitu yang berdaun agak kecil dan lembut, seperti terlihat pada Gambar

19.7. Karena banyak dimanfaatkan untuk bahan baku tikar, maka pandan dari jenis ini

dinamakan dengan daun tikar. Menurut masyarakat Sowek di Supriori Selatan, tikar yang

terbuat dari daun pandan, akan terasa nyaman dipakai untuk alas tidur dimalam hari, karena

akan terasa hangat, (Marty, 2006).

Hasil Hutan Bukan Kayu 241

Foto : Wahyudi dkk (2007)

Gambar 19.7. Tumbuhan daun tikar (Pandanus tectorius) yang tumbuh di hutan primer

kampung Edor, distrik Buruway, kab. Kaimana

Secara garis besar proses pembuatan tikar dari daun pandan dapat dijelaskan sebagai

berikut daun pandan yang sudah agak dewasa dipanen dari pohonnya. Daun pandan

kemudian dihilangkan durinya, khusus dari pandan yang berduri, dibagian sisi kanan dan kiri

memanjang sepanjang daun pandan. Setelah itu daun pandan dijemur atau digulung

melingkar, menyerupai roll rambut, sehingga memudahkan penjemurandipanas matahari.

Penjemuran juga dapat dilakukan di atas api atau diberi pengasapan di atas api. Tujuannya

adalah agar daun cepat kering dan elastis saat akan dianyam, juga sekaligus metode

pengawetan agar tikar dapat bertahan lama. Lamanya pengasapan tersebut berkisar antara 2-4

hari.

Untuk tikar yang menggunakan daun pandan utuh, daun pandannya tidak dibelah saat

akan dianyam. Sedangkan untuk tikar yang dianyam, daun pandannya dibelah-belah dengan

lebah kurang lebih 1-2 cm dan kemudian dianyam. Setealh selesai dianyam maka tikar

dijemur agar daun pandannya kering benar-benar kering. Contoh produk anyaman tikar yang

dibuat dari daun pandan di kampung Nusaula, distrik Buruway, kab. Kaimana disajikan pada

Gambar 19.8

Foto: Wahyudi dkk (2007)

Gambar 19.8. Tikar dari anyaman daun pandan dari kampung Nusaulan, distrik Buruway

Kab. Kaimana

19.5. Nipah (Nypafruticans Wurmb)

Nipah adalah salah satu jenis tumbuhan dari famili Palmae/arecaeace dari sub famili

Nypoideae, (Tjitrosoepomo 1993 yang dikutip oleh Sokoy, 200). Tumbuhan ini memiliki

akar serabut, tumbuh secara berumpun di bawah permukaan air dengan habitan lumpur yang

labil. Tumbuhan nipah umumnya merupakan bagian dari ekositem hutan mangrove. Nipah

Hasil Hutan Bukan Kayu 242

banyak tumbuh subur pada daerah-daerah aliran sungai yang menyerupai rawa-rawa,

terpengaruh pasang surut dan berlumpur.

Tumbuhan nipah memiliki berbagai fungsi yaitu ekologi, sosial-ekonomi dan

konservasi. Fungsi ekologi nipah adalah sebagai tempat berpijah dan pengasuhan (nursery

ground) dan mencari makan (feeding ground) ikan-ikan sungai.Fungsi sosial dan ekonomi

dari tumbuhan nipah adalah bahwa bagian dari tumbuhan nipah, seperti daun, pelepah dan

sadapan air niranya, dapat merupakan media terjadinya interaksi sosial dalam masyarakat

lokal, baik dalam membangun rumah secara gotong royong, pengambilan dan pemeliharaan

secara bersama-sama. Sedangkan air sadapan niranya merupakan minuman tradisional dan

salah satu sarana di mana setiap anggota masyarakat dapat bertukar pikiran dan berinteraki

sosial. Fungsi konservasi, yaitu perakaran dan pertumbuhan berumpun dari nipah memegang

fungsi mengurangi laju aberasi pantai atau aliran sungai dari arus pasang surut dan

penyangga dari angin ribut (buffer zone). Gambaran populasi nipah yang tersebar di sekitar

sungai Buruway, distrik Buruway Kab. Kaimana dapat dilihat pada Gambar 19.9

Foto:Wahyudi dkk (2007)

Gambar 19.9. Penyebaran nipah disepanjang sungai Buruway, distrik Buruway kab.

Kaimana.

Setiap bagian dari tumbuhan nipah dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dari daun,

pelepah, akar, dan nira (sadapan dari tandan buah nipah). Anyaman daun nipah yang dijepit

dengan kayu oleh masyarakat dimanfaatkan untuk atap rumah dan dinding. Lidi atau tulang

daunya dimanfaatkan untuk sapu lidi. Atap yang terbuat dari daun nipah yang dipakai oleh

masyarakat lokal di Papua dapat bertahan antara 3-5 tahun. Daun muda dari nipah juga dapat

dimanfaatkan untuk kertas rokok. Sedangkan pelepah daun nipah dimanfaatkan untuk

dinding rumah masyarakat lokal di Papua, yang biasa dinamakan dengan gaba-gaba.Sokoy

(2006) melaporkan bahwa masyarakat suku Tabi di Jayapura memanfaatkan tumbuhan nipah

untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, makanan/minuman, obat-obatan,

perlengkapan rumah tangga, bahan kesenian dan sumber energi.

Bandini (1992) yang dikutip oleh Sokoy (2006) menyatakan bahwa pelepah nipah dapat

dimanfaatkan untuk kayu bakar, bahan baku pulp dan kertas. Dikatakan lebih lanjut bahwa

papan partikel yang terbuat dari pelepah nipah memiliki warna yang khas dan menarik.

Buah nipah yang berbentuk tandan (bunch), seperti terlihat pada Gambar 19.10,

memiliki rasa yang lezat apabila diolah menjadi kolang-kaling, (Bandini 1992 yang dikutip

oleh Sokoy, 2006). Serabut buah nipah dapat dimanfaatkan sebagai pengisi jok kursi dan

merupakan sumber api yang baik apabila dibakar. Karena buahnya berbentuk tandan, maka

Hasil Hutan Bukan Kayu 243

satu tandan dapat terdiri atas 67 buah dengan berat keseluruhan tandan sekitar 15 kg. Buah

yang sudah dewasa, dapat dimakan seperti kelapa dan yang masih muda dapat dibuat

manisan atau buah kaleng.

Bakal tandan yang belum mekar apabila dipotong dan disadap airnya akan

menghasilkan nira. Nira ini dapat dibuat menjadi produk gula merah. Gambaran tandan

bunga nipah yang telah mekar dan tandan buah nipah disajikan pada Gambar 19.11.

Foto: Wahyudi dkk (2007)http://alamendah.wordpress.com

Gambar 19.11. Bunga nipah yang telah pecah atau mekar (kiri) dan tandan buah nipah yang

telah masak (kanan)

Potensi pemanfaatan komoditas dari tumbuhan Nipah, terutama untuk sumber sumber

pangan dan industri seperti minuman beralkohol, bahan bakar nabati (BBN), arang aktif,

syrup dan kolang-kaling. Tandan bunga dari nipah yang belum mekar, dipotong dan disadao

untuk menghasilkan minuman beralkohol. Minuman ini secara tradisional di daerah Papua

dikenal dengan nama bobo. Pengolahan sadapan tersebut secara tradisional dapat

menghasilkan gula merah nipah. bahan Sedangkan, komoditas bakar nabati atau bioetanol

adalah pengolahan lebih lanjut dari nira tumbuhan nipah tersebut. Analisis investasi

pengembangan Nipah (Nypa fruiticans) berbasis desa mandiri energy di Bintuni Papua Barat,

telah dilakukan oleh Pattiasina (2011).

19.6. Pala (Myristica spp)

Tumbuhan Pala (Myristicaspp) adalahkomoditas unggulan untuk kabupaten Fakfak dan

Kaimana, di Provinsi Papua Barat. Tumbuhan Pala termasuk dalam komoditas hasil hutan

bukan kayu karena tumbuhan ini banyak tumbuh secara liar di hutan, baik hutan primer

maupun sekunder di daerah Fakfak dan Kaimana. Sampai dengan tahun 2005, luas areal

tanaman Pala (nutmeg) mencapai 1.845 ha, (BPS Fakfak, 2005). Pala (Myristica spp)

termasuk ke dalam famili Myristiceae. Nurdjanah (2007) menyebutkan bahwa di Indonesia

terdapat 5 (lima) jenis yaitu:

1. Myristica fragrans houttyang tanaman asli pulau Banda, provinsi Maluku. Pala ini

merupakan jenis utama dan mendominasi jenis lain dari segi mutu dan produktivitas.

Komoditas pala ini sering disebut sebagai pala Banda.

2. M. argenta Warb yangsering disebut dengan nama Papuanoot. Pala iniberasal dari dari

Papua atau species endemik, dan di Papua khususnya, penyebarannya di hutan-hutan

daerah sekitar kepala burung, seperti Fak-fak dan Kaimana. Mutu komoditas pala ini di

bawah pala Banda.

3. M. scheffert Warb, juga terdapat di hutan-hutan Papua.

4. M. speciosa, jenis pala inidapat ditemukan di pulau Bacan. Akan tetapi . jenis pala ini

tidak mempunyai nilai ekonomi.

Hasil Hutan Bukan Kayu 244

5. M. succeanea, yang terdapat di pulau Halmahera. Sama sperti pala no 4, jenis ini tidak

mempunyai nilai ekonomi

Khusus, di daerah Kaimana dan Fak-fak, masyarakat lokal lebih memilih komoditas

pala untuk mendapatkan penghasilan daripada komoditas hasil hutan lainnya, seperti rotan,

buah merah ataupun daun pandan. Pala dapat tumbuh di berbagai tipe tanah atau habitat, dan

dengan sedikit melakukan perawatan, tumbuhan ini mampu berbuah sepanjang tahun.

Bahkan terkesan pohon pala tumbuh secara liar pada kawasan hutan masyarakat di daerah

tersebut. Pohon pala yang tumbuh di hutan primer kampung Kambala distrik Buruway kab.

Kaimana dapat dilihat pada Gambar 19.11.

Foto: Wahyudi dkk (2007)

Gambar 19. 11. Areal tegakan pohon pala dan buahnya (insert) yang tumbuh di hutan primer

di Kampung Kampala, Kaimana

Jenis komoditas yang dapat dihasilkan dari pohon pala adalah buah pohon pala.

Komoditas buah tersebut, dapat dibagi ke dalam daging buah, tempurung, biji, dan fuli.

Gambaran keempat komoditas tumbuhan pala tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.12.

Buah

Daging buah Fuli/Bunga Tempurung dan biji

Foto: wahyudi dkk (2007)

Gambar 19.12. Jenis-jenis komoditas dari tumbuhan pala (Myristica spp)

Khusus di daerah Kaimana dan Fak fak, komoditas fuli oleh masyarakat lokal disebut

dengan bunga pala, sepert ditunjukan oleh warnanya yang merah pada Gambar 19.12.

Hasil Hutan Bukan Kayu 245

Komoditas ini memiliki nilai jual yang paling tinggi, yaitu mencapai Rp 50.000 (lima puluh

riburupiah) per kilogram, sedangkan biji pala dalam kondisi kering udara dijual dengan

harga Rp 20.000 (dua puluh ribu rupiah) per kilogram. Untuk komoditas daging buah buah

pala, masyarakat lokal belum mampu mengolahnya, seperti dibuat bahan manisan pala atau

bebeapa produk lainnya.

Dalam setahun pohon pala dapat dipanen antara 2-3 kali dan rata-rata per pohon pala

dapat menghasilkan 3-4 ton, hal ini tergantung pada intensitas kelebatan buah pala dan

diameter pohon pala yang akan dipanen. Rat-rata tiap satu keluarga di kampung Nusaulan

memiliki areal tumbuhan pala minimal 1 ha, (Wahyudi dkk, 2007).

Nurdjannah (2007) menyatakan bahwa Indonesia adalah produser terbesar dari

komoditas pala, hampir 60% kebutuhan pala dunia dipasok dari Indonesia. Negara penghasil

komoditas pala lainnya adalah India, Sri Langka, dan Papua New Guinea. Komoditas pala

yang diekspor tersebut, sebagian besar masih berupa bahan mentah, atau barang setengah

jadi, seperti biji pala kering (baik yang telah dikupas maupun yang masih mengadung

kulit/tempurung), bunga pala/fuli kering dan sebagian kecil minyak atsiri dari pala.

Sedangkan khusus dari daerah Kaimana dan Fak fak, komoditas tersebut dijual dengan

menggunakan patokan, berat komoditas per kilogram, dan kemudian disimpan dalam karung-

karung palstik. Sistem tersebut dapat mengurangi mutu dan kualitas komoditas pala secara

keseluruhan. Hal ini tentunya menjadi perhatian kita bersama, supaya kedepan komoditas –

komoditas tersebut dapat diolah dengan standard minimal, dan dikemas dengan baik untuk

menjaga kualitas, sekaligus meningkatkan nilai jualnya.

Muchtaridi dkk (2010) melaporkan bahwa rendemen minyak atsiri dari biji pala

(Myristica fragrans Houtt) adalah sebesar 6.85% w/w. Sedangkan komponen kimia

utamanya adalah sabinene (21.38%), 4-terpineol (13.92%) and myristicin (13.57%).

Senyawa-senyawa kompartemen yang lain, di antaranya adalah allylbenzene and turunan dari

propylbenzene, seperti myristicin, safrole, dan eugenol.

19.7. Pustaka

Anonimous (1998). Orchid Growing in the tropics. Orchid Society of South East Asia

(OSSEA). Kanggoroo Press. Singapore

Badan Standarisasi Nasional (BSN), (2001). Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-

2001.

Goloubinoff, M; J. de Beer dan E. Katz (2004). Agarwood, Frganant wood. Riches of the

forest: Food, Spices, Craft and resin of Asia. Citlalli Lopez dan Patricia

Shanley. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Indonesia.

Marty. 2006. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Sowek di Rayori

Selatan Supriori Selatan Kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan

Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).

Muchtaridi., A. Subarnas., A. Apriyantono., R. Mustarichie. 2010. Identification of

compounds in the essential oil of Nutmes seeds (Myristica fragrans Hout.) that

inhibit locomotor activity in Mice. International Journal of Molecular Science

11 Hal. 4771-4781.

Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan pala. Penyunting Edy Mulyono dan Risfaheri.

Balitbang Pertanian, Balai besar penelitian dan pengembangan pascapanen

Pertanian.

Pattiasina, T.A. 2011. ANALISIS INVESTASI PENGEMBANGAN NIPAH (Nypa

fruticans) DALAM MENDUKUNG DESA MANDIRI ENERGI

DIKABUPATEN TELUK BINTUNI PROVINSI PAPUA BARAT. Thesis

Hasil Hutan Bukan Kayu 246

magister of Science, Sekolah Tinggi Pasca sarjana, Institute Pertanian Bogor

(tidak diterbitkan).

Rukmana, R. 2000. Budi Daya Anggrek Bulan. Penerbit Yayasan Kanisius Yogyakarta.

Sarungalao, Z., B. Santoso. 2007. Sifat sifat fisik dan komposisi kimia buah Aibon

(Brugueira gymnorhiza L.) pada berbagai tingkat kematangan. Jurnal Bionatura

9 (1) Hal. 83-92.

www.kompas.com. Aneka manfaat Buah mangrove, dari permen hingga bedakedisi Diakses

pada tanggal 5 Oktober 2004..

www.kompas.com.Keripik Buah Mangrove upaya untuk melestarikan hutan. Diakses pada

tanggal 5 Oktober 2004

www.kompas.com. Kayu Gaharu Asal lombok diekspor ke Timur Tengah. Diakses pada

tanggal 26 November 2006.

Hasil Hutan Bukan Kayu 247

BAB 20

MIKROBA ENDOPIT DAN JAMUR

(EDIBLEMUSHROOM)

20.1. Pendahuluan

Mikroba endopit dan edible mushroom adalah termasuk dalam kelompok jamur atau

Fungi. Mikroba endopit bersifat mikroskopis, sedangkan yang edible mushroom bersifat

makroskopis. Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya kita dengan tidak sengaja telah

memanfaatkan kedua produk tersebut, baik untuk produk makanan dan minuman, obat-

obatan, dan bahkan obat pembasmi seranga atau baik pestisida maupun insektisida yang

ramah lingkungan atau sering disebut sebagai agen pengendali hayati. Contoh yang paling

sederhana dari pemanfaatan fungi adalah produk tempe, ragi tape, dan beberapa produk

fermentasi lainnya. Sedangkan untuk edible mushroom, beberapa komoditas tersebut sering

kita mengkonsumsi sehari-hari, misalnya jamur merang, jamur tiram, jamur kuping, bahkan

shittake.

Terdapat beberapa alasan kenapa kelompok jamur ini dibahas dalam pokok bahasan

tersendiri. Pertama adalah bahwa hutan hujan tropis Indonesia memiliki keanekaragaman

hayati yang sangat tinggi, khususnya untuk kelompok mikroba endopit belum banyak yang

belum dieksploitasi dan diteliti untuk berbabagai tujuan. Karena dalam satu jenis tumbuhan

terdapat bermacam-macam jenis mikroba endofit yang berasosiasi dengan tumbuhan

tersebut. Masing-masing mikroba endofit tersebut memiliki peran sendiri-sendiri dalam

bersimbiosis dengan sel inangnya. Kedua beberapa penelitian yang berhasil mengisolasi

mikroba endofit dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, seperti untuk obat-obatan,

senyawa anti-kanker, anti-tumor, anti-oksidan, dan sebagainya. Mikroba endofit merupakan

media bioteknologi yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Sedangkan alasan

lainnya adalah bahwa iklim mikro pada tegakan hutan tropis basah di Indonesia, dapat

dimanfaatkan sebagai lingkungan tumbuh untuk pembudidayaan edible mushroom, yang

murah, ramah lingkungan, dan sustainable. Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah

pemberdayaan masyarakat lokal pemilik hutan untuk memanfaatkan kawasan hutanya

dengan membudidayakan edible mushroom (jamur).

Setelah menyelesakan pokok bahasan ini, para pembaca diharapkan memiliki kemapuan

untuk:

Melakukan perhitungan dan perkiraan tentang potensi jamur (mikroba endopit dan

edibel mushroom) yang terdapat di hutan tropis basah Indonesia;

Melakukan identifikasi jenis-jenis mikroba endofit yang bermanfaaat untuk

dikembangkan menjadi produk kesehatan, obat-obatan, kosmetik, pestisida, dan produk

lainnya;

Melakukan identifikasi multi manfaat yang diperoleh oleh masyarakat hutan, dan

pemerintah tentang pemanfaatan iklim mikro tegakan hutan untuk budi daya edible

mushroom.

20.2. Mikroba Endofit

Mikroba endofit adalah istilah yang dikhususkan pada kajian mikroorganisme yang

bersimbiosis atau memiliki inang dengan tumbuhan, lebih sering dikenal dengan mikroba

tanaman. Mikroba endofit merupakan organisme yang berukuran mikroskopis dan hidup di

Hasil Hutan Bukan Kayu 248

dalam jaringan tanaman (xylem dan phloem), daun, akar, buah dan batang selama periode

tertentu dari siklus hidupnya (Tarigan dan Kuswandi, 2010). Menurut Radji (2005) mikroba

endopit adalah jenis mikroba yang hidup di dalam jaringan tumbuhan pada masa tertentu dan

berkembang biak atau membentuk koloni, tanpa membayakan tumbuhan inangnya. Mikroba

endopit ini mampu menghasilkan berbagai senyawa biologi, yang dikenal dengan istilah

metabolit sekunder sebagai akibat dari proses interaksi (respon bbiologis) antara mikroba dan

tumbuhan inangnya. Kemampuan mikroba endopit untuk menghasilkan berbagai metabolite

sekunder pada berbagai jenis tumbuhan tersebut adalah peluang yang dapat dimanfaatkan

untuk produksi senyawa kimia secara alami dan bersifat masal, serta ramah teknologi dan

lingkungan.

Pada pertengahan 1990-an para ilmuwan yang berkecampung dalam bidang

mikrobiologi khususnya mikrobiologi kedokteran, mulai menyadari bahwa setiap tumbuhan

hampir dipastikan menjadi inang antara 10-15 jenis mikroba. Para ilmuwan berkesimpulan

bahwa apabila terjadi transfer genetik antara tumbuhan induk (inang) dengan mikroba, maka

akan terjadi produksi zat-zat kimia yang bermanfaat pada tanaman danmikroba tersebut.

Kalau mikroba penghasil molekul berpotensi tersebut dapat diidentifikasi, diisolasi, dan

dibudidayakan (culture), maka proses produksi molekul kimia akan lebih mudah, dapat

dikontrol dalam jumlah yang banyak dan tidak merusak lingkungan (www.kompas.com).

Senyawa taksol, adalah senyawa anti kanker yang harus diekstrak dari daun tanaman.

Bila menggunakan cara konvensional banyak tanaman yang harus dipanen dan ditebang

untuk menghasilkan taksol dalam jumlah banyak. Apabila mikroba penghasil taksol tersebut

diperoleh, maka mikroba tersebut selanjutnya dipelihara dengan proses fermentasi

(www.kompas.com).Proses produksi senyawa taksol dengan memanfaatkan jasa mikroba

tersebut lebih mudah dikontrol dan lebih ramah dengan ligkungan.

Secara teori mikroba endofit memiliki fungsi yang menguntungkan juga terhadap

tanaman inangnya yaitu meningkatkan daya saing rumbuhan untuk bertahan

hidup/berkompetensi. Khusus untuk tumbuhan kehutanan, diasumsikan bahwa pada hutan

hujan tropis Indonesia dapat ditemukan berbagai mikroba endofit unggulan, yang dapat

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan ilmu dan pengetahan, baik skala domestik maupun

ekspor. Lebih lanjut dikemukakan bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah

mengkoleksi sekitar 5000 endofit yang diperoleh dari 500 pohon yang terdapat pada kebun

raya Bogor.

Tarigan dan Kuswandi (2010) melaporkan bahwa isolate bakteri endopit yang berasal

dari berbagai bagian tanaman kedelai, isolate yang berasal dari nodul tanaman kedelai dapat

menghambat atau mengendalikan penyakit busuk batang (Sclerotium rolfsii Sacc) pada

tanaman kedelai (Glycine max (L.)Merill.).Dalam hal ini penyakit busuk batang pada

tanaman kedelai, dapat dikendalikan atau diatasi dengan memanfaatkan bakteri endopit yang

terdapat pada tanaman kedelai itu sendiri. Mikroba endopit yang berperan seperti ini lah yang

dapat dikelompokkan ke dalam agen pengendali hayati. Contoh lain dari pemanfaatan

mikroba endopit untuk agen pengendali hayati pada tanaman lainnya adalah seperti

kemukakan oleh Sudantha dan Abadi (2011). Kedua peneliti tersebut melakukan uji

efektivitas beberapa jenis jamur endofit Trichoderma spp. isolat lokal NTB terhadap jamur

fusarium oxysporum f. sp. vanillae penyebab penyakit busuk batang pada bibit vanili. Dalam

penelitian ini, jamur endofit Trichoderma spp. isolat lokal NTB, diuji antagonismenya

terhadap lima ras jamur F. oxysporum f. sp. vanillae, yaitu: isolat ENDO-01 (T. viride), isolat

ENDO-02 (T. koningii), isolat ENDO-03 (T. longibrachiatum), isolat ENDO-04 (T.

polysporum), dan isolat ENDO-05 (T. pseudokoningii). Selanjutnya, dilaporkan bahwa hasil

in vitro test menunjukkan bahwa kelima jamur endofit Trichderma spp. isolat lokal NTB

dapat mengedalikan jamur F. oxysporum f. sp. Vanillae, yang diamati bedasarkan mekanisme

kompetisi ruang, mikoparasit dan antibiosis. Dari kelima isolat lokal tersebut, secara in-situ,

terdapat tiga isolat jamur endofit Trichoderma spp. yang mampu mencegah infeksi penyakit

busuk batang. Ketiga isolat tersebut adalah ENDO-02 (T. koningii), ENDO-04 (T.

Hasil Hutan Bukan Kayu 249

polysporum), dan ENDO-05 (T. pseudokoningii). Sedangkan dua isolat mikroba endopit yang

lain, yaitu isolat ENDO-01 (T. viride) dan isolat ENDO-03 (T. longibrachiatum) belum

mampu menghambat terjadinya infeksi penyakit busuk batang pada bibit vanili.

Pemanfaatan mikroba endopit untuk bidang kesehatan, khususnya dunia kedokteran dan

obat-obatan telah banyak diteliti dan dilaporkan oleh berbagai peneliti. Berbagai jenis

mikroba endopit yang berhasil diisolasi dari tumbuhan inangnya, dan senyawa kimia

(metabolite sekunder) yang dihasilkan untuk keperluan dunia kedokteran dan obat-obatan

sebagian telah diringkas oleh Radji (2005). Cotohnya adalah senyawa antibiotika (anti jamur)

Cryptocandin dihasilkan oleh mikroba endofit Cryptosporiopsis quercina yang berhasil

diisolasi dari tumbuhan obat Tripterigeum wilfordii. Senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai

antijamur yang pathogen terhadap manusia, seperti Candida albicans dan Trichopyton spp

(Strobel GA et.al., 1999 yang dikutip oleh Radji, 2005). Beberapa mikroba endopit lainnya

yang berhasil diisolasi dan metabolite sekundernya dapat dimanfaatkan sebagai bahan

antivirus, antikanker, antimalaria, antidiabetes, antioksidan, dan imunosupresif (obat yang

diberikan kepada pasien yang akan menjalani transplantasi organ), beserta tumbuhan

inangnya dapat dilihat pada referensi aslinya di bagian pustaka di akhir pokok bahasan ini.

Pemanfaatan mikroba endopit untuk menghasilkan enzim, khususnya enzim xilanase

yang diisolasi dari pohon Meranti merah (Shorea balangeran Korth.) telah dilaporkan oleh

Kumala dan Fitri (2008). Xilanase merupakan kelompok enzim hidrolase yang dapat

menghidrolisis senyawa xilan menjadi xilosa. Dalam industri kertas misalnya, xilanase dapat

digunakan untuk mengurangi jumlah kebutuhan bahan kimia jenis klorin pada proses

pemutihan pulp. Dengan menggunakan enzim xilanase, limbah klorin dapat diminimalisir

karena senyawa ini menjadi salah satu faktor pencemar lingkungan dari industri

kertas.Mereka melaporkan bahwa dari mikroba endopit dari meranti merah berhasil diisolasi

sebanyak 9 (sembilan) kapang mikroba endopit, dan 8 (delapan) di antaranya mampu

menghasilkan enzyme xilanase antara 1.279 u/ml (tertinggi) - 0.12 u/ml (terendah).

Review yang lengkap dan menyeluruh terhadapat jamur (mikroba) endopit dilakukan

oleh Rodriquez dkk (2008), yang mana artikel aslinya berjudul Tansley review, Fungal

endophytes: diversity and functional roles. Uraian dan penjelasan lengkapnya dapat dibaca

pada referensi aslinya, seperti tertulis di pustaka akhir pokok bahasan ini.

20.3. Jamur yang Dapat Dikonsumsi (Edible Mushroom)

Mushroom adalah istilah umum dari divisi atau kelompok jamur yang dapat dikonsumsi

oleh manusia. Di negara maju seperti Jepang, China, Korea, US, Rusia, juga negara negara

Eropa, mushroom adalah makanan yang sangat populer. Shitake adalah salah satu jenis jamur

konsumsi (mushroom) yang cukup populer di Jepang. Sedangkan di Indonesia, mushroom ini

lebih dikenal dengan istilah Jamur, atau jamur yang dikonsumsi. Karena terdapat beberapa

jamur yang tidak dapat dikonsumsi, atau bersifat racun (toxic). Sehingga apabila kita

mengkonsumsi jamur tersebut dapat mengalami gangguan kesehatan, dari yang ringan seperti

kepala pusing, keracunan, dan bahkan sampai meninggal dunia apabila tidak dengan cepat

tertangani dengan benar.

Dikutip dari berbagai sumber, jamur yang beracun biasanya tumbuh secara liar dialam

bebas, baik di ladang pekarangan, kebun, maupun hutan. Ciri-ciri dari jamur beracun

menurut (www.berbisnisjamur.com) tersebut di antaranya adalah

Umumnya memiliki warna yang sangat mencolok, seperti merah, hijau, biru, hitam, dan

sebagainya, berasal dari alam, bukan hasil budi daya;

Jamur tersebut senyawa sulfida dan cianida, sehingga menimbulkan bau busuk. Jamur

jenis ini di alam umumnya jarang dihinggapi serangga atau binatang kecil lainnya.

Bereaksi dengan benda-benda yang terbuat dari logam seperti pisau, sendok, garpu, atau

cincin. Jamur jenis ini apabila dikerat atau dipotong-potong dengan bahan tersebut,

Hasil Hutan Bukan Kayu 250

maka akan muncul warna hitam pada permukaan bahan yang disebabkan oleh adanya

senyawa sulfida atau warna kebiruan yang disebabkan senyawa cianida.

Bila dimasak akan mengeluarkan warna. Misalnya jamur beracun yang dimasak dengan

nasi, maka nasi tersebut akan berubah warna, seperti cokelat, kuning, merah atau hitam.

Dapat dimungkinkan jenis jamur tersebut adalah mengandung racun.

Jamur tersebut tumbuh atau memiliki habitat pada tempat-tempat kotor atau daerah

dengan saitasi yang buruk. Jamur yang tumbuh di atas kotoran hewan, atau tempat-

tempat pembuangan sampah sudah dapat dipastikan apabila jamur tersebut mengandung

racun.

Suharjo (2006) menyatakan bahwa saat ini terdapat kurang lebih 15 jenis jamur

konsumsi yang dibudidayakan di seluruh dunia, utamanya di Cepang dan China. Sedangkan

www.indojamur.com, mengemukakan bahwa sampai dengan saat ini kurang lebih terdapat

10 jenis jamur yang dapat dikonsumsi, seperti jamur Kancing, jamur Tiram, jamur Kuping,

jamur Shiitake, jamur Merang, jamur Enokitake, jamur Maitake, Jamur Matsutake, Jamur

Truffle, dan Jamur Ling Zi. Penjelasan singkat dari masing-masing jamur tersebut dapat

diringkas sebagai berikut:

1. Jamur Kancing atau Champignon (Agaricus bisporus). Jenis jamur ini adalah jenis

jamur yang paling banyak dibudidayakan di berbagai negara di seluruh, dengan

kontribusi sekitar 38% dari total produksi jamur dunia. Di Indonesia jamur Kancing

sering juga disebut dengan jamur Kompos. Jamur Kancing (Agaricus bisporus) atau

champignon merupakan jamur pangan yang berbentuk hampir bulat sepertikancing dan

berwarna putih bersih, krem, atau coklat muda. Gambar jamur kancing dapat dilihat

pada Gambar 20.1 di bawah ini.

Sumber:www.naturindonesia.com

Gambar 20.1. Jamur kancing (Agaricus bisporus).

Dalam bahasa Inggris, jamur Kancing sering disebut juga dengan namatable

mushroom, white mushroom, common mushroom atau cultivated mushroom. Di Perancis

disebut sebagai champignon de Paris. Jamur Kancing dipasarkan dalam bentuk kemasan

segar (fresh) dan dalam bentuk kalengan (canned mushroom). Dinegara maju, jamur

kancing digunakan untuk bahan masakan berbagai jenis makanan, seperti omelet, pizza,

kaserol, gratin, dan selada. Jamur kancing yang masih muda saat dipanen memiliki

diameter ( ) berkisar antara 2-4 cm, dan jamur kancing dewasa dengan payungnya yang

telah mekar dapat memuliki diamter sekitar 20 cm (www.naturindonesia.com). Jamur

kancing memiliki aroma khas, seperti sedikit manis atau bertekstur menyerupai daging.

Jamur kancing yang masih segar tidak mengandung lemak dan sodium, tetapi kaya

vitamin B dan mineral jenis potasium. Kandungan kalori dari jamur kancing juga rendah

kalori, yaitu 5 buah jamur ukuran sedang mengandung sekitar 20 kalori.

Hasil Hutan Bukan Kayu 251

2. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus). China atauTiongkok merupakan produsen jamur

tiram utama, yang mana sekitar 25% dari total produksi jamur dunia berupa jamur tiram.

Jamur ini sering disebut juga sebagai shimeji, dengan nama populer Oyster

Mushroom.Jamur ini memiliki ciri-ciri yaitu tangkai tudungnya menyerupai cangkang

tiram dengan bagian tengah agak cekung dan berwarna putih hingga krem.Batang

tubuhnya (tangkai) berada di pinggir (Latin: pleurotus) dan tudung atau atapnya

bentuknya seperti tiram (ostreatus), sehingga jamur tiram mempunyai nama

latinPleurotus ostreatus. Penampakan dari jamur Tiram dapat dilihat pada 20.2 di bawah

ini. Jamur tiram ini masih satu kerabat dengan Pleurotus eryngii atau King Oyster

Mushroomyang ditunjukkan pada Gambar 20.3.

Sumber : www.natureindonesia.com

Gambar 20.2. Jamur Tiram/Oyster mushroom (kiri) dan King oyster mushroom (kanan)

Terdapat beberapa beberapa jenis jamur tiram yaitu jamur tiram putih, jamur tiram

merah jambu, jamur tiram kelabu, dan jamur tiram coklat. Tetapi jamur tiram putih yang

paling banyak dibudidayakan karena paling diminati oleh masyarakat luas.

Di alam, jamur tiram dapat dijumpai pada hampir sepanjang tahun, terutama pad hutan-

hutan daerah pegunungan yang memiliki suhu udara relatif rendah dan berhawa sejuk.

Di hutan alam, jamur Tiram dapat dijumpai dan tumbuh secara bergerombol pada

beberapa permukaan batang pohon yang sudah melapuk atau banir pohon masih

tertinggal. Pembudidayaan jamur ini tergolong mudah dan sederhana, yang biasanya

menggunakan media serbuk gergaji steril yang dikemas dalam kantung plastik

berukuran kecil sampai sedang.

3. Jamur Merang (Volvariella volvaceae). Jamur merang memiliki kontribusi pemasarn

sekitar 16% dari total produksi jamur dunia. Jamur ini sering juga dikenal dengan nama

Volvaria volvacea, Agaricus volvaceus, Amanita virgata atau Vaginata virgata. Jamur

merang banyak banyak dibudidayakan di wilyah Asia Timur dan AsiaTenggara, karena

tropis atau subtropis sangat cocok untuk pembudidayaan jamur ini. Di wilayah Asia,

jamur merang telah lama dibudidayakan sebagai bahan pangan karena memiliki rasa

yang enak dan tekstur yang baik.

Jamur merang yang masih muda memiliki penampakan tubuh buah berbentuk bulat

telur, berwarna cokelat gelap hingga abu-abu dan dilindungi selubung, seperti

ditunjukkan oleh Gambar 20.4 (kiri). Sedangkan jamur merang yang telah dewasa,

tudung berkembang seperti cawan berwarna putih keabu-abuan, seperti terlihat pada

Gambar 20.4 (kanan).

Hasil Hutan Bukan Kayu 252

Sumber: www.bisnisukm.com Sumber : www.myopera.com

Gambar 20.4. Jamur Merang

Jamur merang yang dipasarkan untuk keperluan konsumsi biasanya adalah tubuh buah

jamur yang masih muda, yaitu tudungnya belum berkembang. Nama merang diapkai

untuk menyebut jenis ini, karena jamur ini dibudidayakan dengan menggunakan media

merang (tangkai dari untaian padi) atau jerami. Menurut berbagai sumber, limbah kapas

adalah media yang terbaik untuk produksi dan pertumbuhan jamur merang. Karena

jamur merang memerlukan suhu ruangan yang realtif tinggi, yaitu berkisar antara 30-

38°C dengan suhu optimumnya 35°C, maka budi daya jamur merang biasanya

dilakukan pada rumah-rumah kaca atau green house, yang sering disebu dengan kubung.

Karena tingginya tempeatur tersebut maka Jamur merang dikenal sebagai warm

mushroom, yaitu jamur yang dapat hidup dan mampu bertahan pada suhu yang relatif

tinggi.Sebagai bahan pangan yang bergizi, jamur merang mempunyai rasa lezat, gurih,

dan tidak mengalami perubahan bentuk jika dimasak, sehingga dapat dimasak untuk

berbagai jenis menu masakan, seperti mi ayam campur jamur, sayur tumis jamur, pepes

jamur, sup jamur dan berbagai variasi capcay.

4. Jamur Shiitake (Lentinula edodes). Jamur shiitake adalah jamur yang paling terkenal

di Jepang, China, Taiwan, Hongkong dan Semenanjung Korea. Sekarang jamur shiitake

telah mendunia, setelah beberapa negara lainnya berhasil membudidayakannya, seperti

Singapura, Thailand, Australia, Amerika Serikat, Brazil, dan beberapa negala lainnya.

Sampai saat ini, Jepang dan China adalah exportie terbesar shiitake. Shii berasal dari

nama pohon untuk media jamur ini yaitu Shii (Pasania spp) atau Oaks (Quersus spp),

dan take berarti jamur pohon. Jamur ini di AS dikenal dengan sebutal black forest

mushroom, sedangkan di Perancis dikenal dengan lectin (Chen, 2005). Di Indonesia,

jamur shitake disebut juga dengan jamur kayu cokelat, karena tempat tumbuhnya di

kayu dan tudungnya memiliki warna cokelat (Widyastuti, 2008).

Di Jepang, shiitake kebanyakan dibudidayakan pada media (log berdimaeter kurang

lebih 15-30 cm, dan panjang 1-1.2 m) dari jenis kayu hardwood yang telah disiapkan.

Setelah proses inokulasi jamur, log-log tersebut diletakkan di dalam kawasan hutan, di

bawah naungan tegakan, di mana kelembaban dan intensitas cahya mataharinya

dianggap sesuai dengan syarat pertumbuhan shiitake. Satu kali proses inokoluasi pada

saat awal musim gugur, pada musim semi berikutnya jamur shiitake sudah dapat

dipanen. Untuk satu kali inokulasi pada log tersebut, jamur shiitake dapat dipanen

kurang lebih selama 3 – 5 tahun, sampai log tersebut benar-benar telah lapuk atau

busuk. Berdasarkan waktu pemanenan, aroma dan manfaat kesehatannya, jamur shiitake

dapat dibedakan menjadi donko, dan koshin (www.mitoku.com). Donko adalah Shiitake

kelas utama karena rasa atau aroma dan manfaat kesehatannya. Jamur shiitake yang

masih segar dan dikeringkan yang dijual di beberapa supermaket Jepang, dapat dilihat

pada Gambar 20.5.

Hasil Hutan Bukan Kayu 253

Gambar 20.5. Jamur Shiitake segar (kiri) dan kering (kanan)

5. Jamur Kuping. Jamur kuping adalah jenis jamur yang sangat populer di Indonesia.

Disebut jamur kuping karena jamur ini memiliki ciri-ciri fisik yang lembut, agak

koloidal, menyerupai kuping. Jamur kuping biasanya dimasak untuk campuran sup

supan, cap cay, sayur tumis, bahkan dapat direndam dengan air hangat dan dimakan.

Jamur terdiri atas jamur kuping putih (Tremella fuciformis), jamur kuping hitam

(Auricularia polytricha) dan jamur kuping merah (Auricularia auricula-judae). Salah

satu contoh dari jamur kuping merah dapat dilihat pada Gambar 20.6 di bawah ini.

Sumber:www.naturindonesia.com

Gambar 20.6. Jamur kuping merah

Dibeberapa negara maju, seperti Jepang, Korea, dan China, jamur kuping dijual pada

beberapa supermaket dalam bentuk kering dalam kemasan yang telah divakuum,

sehingga sangat padat, dan rapat. Sehingga dengan kesaman yang cukup kecil, tetapi

apabila direndam dengan air panas akan mengembang menjadi banyak. Contohnya

adalah jamur kuping hitam yang berasan dari China, sperti ditunjukkan pada Gambar

20.7.

Gambar 20.7. Kotak kemasan (kiri) dan bungkusan padat (vakum) dari produk jamur

kuping hitam kering asal China.

Hasil Hutan Bukan Kayu 254

Masyarakat dipedesaan, pada umumnyamemperoleh jamur kuping untuk keperluan

sehari-harinya dengan mengambil dari dari alam sekitarnya. Jmur kuping in dapat

tumbuh pada batang-batang pohon yang sudah mulai lapuk.

6. Jamur Enokitake (Flammulina velutipes). Yamanaka (2011) menyatakan bahwa pada

tahun 1928 jamur Enokitake (Flammulina velutipes) ditemukan oleh Hikosaburo

Morimoto di Kyoto, Jepang, dengan menggunakan media serbuk gerjagi yang

ditampung dalam botol gelas. Keberhasilan ini, kemudian diiukuti dengan budi daya

jamur Enokitake skala industri di wilayah utara provinsi Nagano pada tahun 1950. Sejak

saat itu, jamur ini diproduksi untuk tujuan komersial diJepang, seiring dengan

penggunaan wadah dari polypropylene.Jamur enokitake dalam kemasan yang banyak

dijual di beberapa supermaket Jepang disajikan pada Gambar 20.7.

Gambar 20.7. Jamur Enokitake

7. Jamur Maitake (Grifola frondosa). Menurut Yamanaka (2011) jamur Maitake mulai

dibudidayakan pada tahun 1970 an dengan menggunakan media serbuk gergaji pada

kantong-kantong plastik, tetapi saat ini lebih kuran sekitar 26% medianya diletakkan

dalam botol. Jamur maitake yang dijual di Jepang dapat dilihat pada gambar 20.8.

Gambar 20.8 Jamur Maitake di Jepang

Hasil Hutan Bukan Kayu 255

Di alam jamur Maitake tumbuh secara liar di bawah pohon Oaks tua di tegakan hutan

alam di daerah tengah, dan timur utara Jepang. Jamur ini awalnya hanya dikonsumsi

oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Sampai dengan pertengahan tahun

1980 an, jamur Maitake belum terlalu popular, terutama budi daya dalam skala industri.

Biasanya jamu ini dibudidayakan dalam kantong-kantung plastik dengan menggunakan

media serbuk gergaji. Sampai dengan tahun 2009, sekitar 80% produksi jamur Mitake di

Jepang, hanya dihasilkan oleh tiga perusahaan. Khusus di Jepang, saat ini jamur Maitake

sangat popular di seluruh Jepang, san sampai dengan tahun 2009 produksi jamur ini

menempati urutan ke empat di Jepang.

8. Jamur Matsutake (Tricholoma matsutake (S.Ito et Imai) Sing.)Di Jepang, jamur

Matsutake adalah salah satu jenis jamur langka (wild mushroom) yang hanya dapat

tumbuh di hutan P.densiflora. Dinamakan langka karena, sampi saat ini belum ada

petani jamur yang berhasil membudi dayakan jamur tersebut. Karenanya, jamu ini

memiliki harga yang sangat mahal, yaitu sekitar US $ 600 – 1.800 per kg atau sekitar 6

– 18 juta rupiah per kilogram. Sebagai gambaran, produksi jamur matsutake pada tahun

1941 adalah 12 000 ton, tetapi pada sepuluh tahun terakhir jumlah prosukdinya terus

menurun antara 30 - 100 ton per tahun. Alasan utamanya adalah berkurangnya luasan

tegakan hutan P. densiflora karena terserang beberapa penyakit dan infeksi nematoda.

Jamur Matsutake memiliki beberapa sinomin di antaranya adalah Armillaria matsutake

S, Swedish matsutake (Tricholoma nauseosum), Tricholoma nauseosum (A. Blytt),

Armillaria nauseosa A. Blytt, Tricholoma caligatum var. nauseosum (A. Blytt) Bon,

juga sering disebut sebagai T. caligatum (Viv.) Rick. Untuk species America yaitu T.

magnivelare (Peck) Redhead, serta beberapa species lainnya, yaitu T. bakamatsutake, T.

quercicola, T. fulvocastaneum and T. robustum (www. healing-mushroom.net). Dua

jenis jamur Matsutake, Matsutake Jepang (Tricholoma matsutake) dan Matsutake putih

(Amillaria ponderosa) disajikan pada Gambar 20.11.

Sumber: www.healingmushroom.net Sumber:www.ediblemushrooms.org.

Gambar 20.10. Jamur Matsutake Jepang (kiri) dan Matsutake putih (kanan)

9. Jamur Truffle (Tuber magnatum, Tuber aestivum, Tuber melanosporum, dan Tuber

brumale). Jamur ini adalah jenis jamur yang sangat langka, karena sangat sulit untuk

diperoleh. Tuber adalah istilah yang ditujukkan untuk menunjukkan bahwa jamur ini

mempunyai habitat tersembunyi di dalam tanah, sekitar 7.5 -30 cm di bawah pohon

tertentu dan memiliki bentuknya menyerupai umbi (tubes). Di beberapa negara eropa,

pencarian jamur ini melibatkan bantuan hewan, yang memiliki indera penciuman yang

tajam, seperti babi dan najing (www.sabatinotartufi.com). Di Italia, Truffle putih

dihasilkan oleh wilayah bagian utara negara ini. Sedangkan Alba truffles berasal dari

negara Kroasia. Inang atau simiosis dari jamur ini adalah beberapa species pohon seperti

oaks, hazel, poplar dan beech.

Hasil Hutan Bukan Kayu 256

Truffle putih memiliki variasi varna dari pale krem sampai coklat dengan marbling putih

tersedia pada bulan Oktober dan Nopember. Sedangkan Alba truffles memiliki aroma

yang menyerupai minyak biji matahari atau walnut. Keduanya memiliki harga yang

sangat mahal karena dikategorikan kemewahan aromanya. Contoh jamur ini disajikan

pada Gambar 20.11

Sumber: www.sabatinotartufi.com

Gambar 20.11. Jamur Truffle dari Italia

10. Jamur Ling zhi (Ganoderma lucidum). Jamur Ling zhi adalah jenis jamur yang

dimnafaatkan bukan dikonsumsi, seperti jenis-jenis jamur konsumsi lainnya, karena

keras dan sulit untuk dicerna. Akan tetapi jamur ini hanya dimanfaatkan untuk tujuan

kesehatan, atau teraphy untuk berbagai jenis penyakit dan beberapa keperluan spiritual

lainnya. Di negara China dan Korea, jamur ini dikenal dengan nama Ling Zhi (jamur

untuk kesehatan dan kelahiran kembali), sedangkan si Jepang dikenal dengan nama

Reishi mushroom (Mannentake), yang berarti jamur 10 000 tahun (Wasser, 2005).

Jamur ini biasanya tumbuh dan dapat ditemukan pada pohon-pohon yang telah mati,

terutama akarnya yang terbenam dalam tanah. Jenis-jenis pohon yang menggugurkan

daun (decideous trees) adalah inang yang paling disukai oleh jamur ini.

www.wikipedia.com memberikan contoh salah satu contoh jamur Ling Zhi atau Resihi

mushroom, seperti disajikan pada Gambar 20.12 di bawah ini.

Gambar 20.12 Reishi mushroom atau Ling Zhi (G. lucidum)

Bagi sebagian masyarakat di China, Jepang dan India, kepemilikan dari ekstrak dari

jamur Resishi ini dapat melambangkan kemakmuran, kesehatan, kekayaan dan kelahiran

kembali. Di samping dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang bersifat ritual keagamaan,

jamur Reishi juga memiliki beberapa manfaat kesehatan, seperti mengatasi gangguan tidur,

Hasil Hutan Bukan Kayu 257

tekanan darah tinggi, bronkitis, asma, anti tumor, antikarsiogenic, immunostimulant dan

berbagai manfaat lainnya (Wesser, 2005).

Masih menurut penulis yang sama, berdasarkan warna tubuh jamur dan rasanya, jamur

Ling Zhi (Reishi) dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok, yaitu warna biru (blue)

yang menghasilkan arom rasa asam (sour), merah (red) dengan rasa pahit (bitter), Kuning

(yellow) menghasilkan rasa manis (sweet), putih (white) dengan rasa pedas (hot/pungent),

hitam (black) untuk rasa asin (salty), dan ungu (purple) menghasilkan rasa manis (sweet).

Warna merah termasuk jamur Reishi yang memiliki memiliki fungsi kesehatan yang tinggi.

Berbagai informasi tentang jamur Reishi secara lengkap dapat dilihat pada pustaka aslinya,

seperti dicantumkan pada referensi pada pustaka acuan.

20.4. Nilai Nutrisi dan Bahan Aktif pada Jamur Konsumsi

Jamur adalah bahan makanan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi dan realtif

lengkap, sehingga termasuk jamur dapat dikatakan sebagai sumber makanan yang sehat.

Jamur memiliki kandungan nutrisi yang beragam dan lengkap, dari protein, serat kasar

(fiber), vitamin, dan beberapa bahan unsur kimia lainnya (http://www.mushroom-

appreciation.com). Jamur rata-rata memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu berkisar

antara 20-30% dari total berat keringnya. Ini sangat bagus sebagai makanan bagi mereka

yang vegetarian, dan mereka yang lagi diet dengan tujuan ingin mengkonsumi protein dalam

jumlah yang tinggi. Serat kasar (fiber) dalam jamur akan sangat membantu menurunkan

kadar kolesterol dan membantu sistem pencernaan tubuh. Jamur adalah sumber vitamin B

dan Niacin. Vitamin B biasanya hanya dapat diperoleh dari jaringan hewan. Jamur sebagai

sumber vitamin B sangat baik bagi mereka yang vegetarian. Beberapa jamur juga

mengandung vitamin D, yang diperlukan untuk proses absorpsi kalsium. Jamur juga

mengandung beberapa mineral, seperti kalsium, kalium, magnesium, dan lainnya.

Unsur tembaga dalam jamur berfungsi untuk membatu tubuh menyerap oksigen dan

membentuk sel darah merah.Unsur selenium yang terdapat dalam jamurberfungsi sebagai

agen antioksidan yang akan membantu menetralisi reaksi radikal bebas. Sehingga dapat

mencegah kerusakan sel yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit kanker, dan

penyakit degeneratif lainnya. Kandungan unsur selenium pada jamur ini bahkan diklaim

yang tertinggi dibandingkan sumber penghasil lainnya. Jamur mengandung unsur kalium

yang cukup tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan pisang. Dalam tubuh kalium berperan

penting dalam meregulasi tekanan darah dan memelihara fungsi sell agar tetap berfungsi

dengan baik. Beberapa unsur mineral lainnya adalah pospor, seng, magnesium, dan sodium

Jamur mengadung lemak dalam jumlah yang relatif rendah dan tanpa kolesterol.

Khusus untuk jamur tiram misalnya, menurut penjelasan dari www.jamur-tiram.com,

mengandung protein rata-rata 3,5-4% dari berat basah atau dua kali lebih tinggi dari

asparagus dan kubis. berat Jamur tiram yag telah dikeringkan, memiliki kandungan

proteinsekitar 19-35%, lebih tinggi dari beberapa sumber makanan lainnya, seperti beras

(7,3%), gandum (13,2%), dan susu sapi 25,2%. Sedangkan sembilan asam amino esensial

yang tidak dapat disintesis dalam tubuh yang terdapat dalam jamur tiram antara lain lisin,

metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. Asam-asam

lemak pada jamur tiram adalah adalah asam lemak tidak jenuh. beberapa vitamin penting

dalam jamur tiram antara lain kelompok vitamin B, vitamin C dan provitamin D. Kandungan

vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), niasin dan provitamin D2 (ergosterol)-nya cukup tinggi.

Beberapa unsur mineral utama pada jamur tiram di antaranya kalium (K), kemudian fosfor

(P), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Sedangkan mineral minornyaadalah

seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga.

Wasser (2005) yang mengutip berbagai sumber menyatakan bahwa komponen utama

dari jamur Ling Zhi (Reishi) adalah protein, asam lemak, karbohidrat dan serat kasar.

Sedangkan komponen bioaktif (bahan aktif) dari badan, buah dan spora dari jamur ini dari

Hasil Hutan Bukan Kayu 258

400 jenis senyawa berhasil diidentifikasi dan ditentukan struktur kimianya. Bahan-bahan

aktif tersebut kebanyakan termasuk ke dalam kelas triterpenoids, polysakarida, nukleotida,

sterols, steroids, fatty acids, protein, dan peptida.

20.5. Usaha Budi Daya Jamur dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Lingkungan tropis, pengaruh ekogeograpi, dan kondisi iklim mikrobeberapa kepulauan

di Indonesia sangat mendukung untuk budi daya jamur konsumsi. Beberapa sentra produksi

dan budi daya jamur konsumsi, misalnya beberapa daerah di Jawa Barat untuk Jamur Merang

dan Tiram, Jawa Tengah untuk jamur Kuping dan Shiitake, Yogjakarta dan Jawa Timur

sebagai sentra produksi jamur Tiram.

Suharjo (2006) menyatakan bahwa usaha budi daya jamur konsumsi memiliki beberapa

keunggulan komparatif, dibandingkan usaha pertanian lainnya, seperti sayur-sayuran.

Keunggulan-keunggulan tersebut di antaranya adalah:

Tidak memerlukan lahan usaha yang luas;

Bahan baku atau media nya sangat melimpah, yaitu dari limbah pertanian, kehutanan,

perkebunan;

Nilai gizi yang lengkap pada jamur konsumsi, lebih memudahkan pemasarannya

dibandingkan dengan komoditas sayur-sayuran;

Budi daya jamur merupakan industri yang berwawasan lingkungan dan tidak

menimbulkan pencemaran, karena media bekas jamur masih dapat dimanfaatkan untuk

sumber pupuk kompos dan media tanam sayuran atau tanaman lainnya;

Populasi penduduk indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa adalah pasar yang potensial;

Budi daya jamur konsumsi juga tidak memerlukan modal awal dalam jumlah yang

relatif besar;

Tidak memerlukan teknologi yang padat modal;

Tidak memerlukan keahlian khusus, tetapi lebih kepada keuletan dan keterampilan.

Dikutip dari berbagai sumber, Indonesia pernah menjadi produsen jamur konsumsi

terbesar di Asia Tenggara. Tetapi saat ini Indonesia hanya mampu menyusplai sekitar 0.9 %

dari kebutuhan jamur konsumsi dunia, di mana China masih menjadi pemain utamanya, yaitu

sebagai negara eksportir utama jamur konsumsi. Bahkan China dapat memasok sekitar lebih

dari 60.0% dari total kebutuhan jamur konsumsi dunia. Menurunya kontribusi ekport jamur

konsumsi indonesia terhadap konsumsi jamur dunia dapat disebabkan oleh beberapa kendala

seperti belum adanya standarisasi proses budi daya dan produksi, termasuk pasca panennya,

diversifikasi produk yang masih terbatas. Belum adanya campur tangan dari lembaga

keuangan atau perbankan, seperti permberian kredit dan pedampingan manejemen, juga

berkontribusi terhadap penurunan tersebut. Belum tersediannya bibit unggul yang cukup

pada tiap waktu panen juga turut berperan dalam menurunnya volume ekpor jamur konsumsi

tersebut.

Belajar dari para petani jamur di daerah Qingyuan, China, yang mana usaha budi daya

jamur Shiitake mampu mengangkat potensi ekonomi masyarakat setempat. Masyarakat yang

sebelumnya miskin di mana hanya sekitar 6% yang membudidayakan jamur Shiitake. Tetapi

setelah adanya campur tangan pemerintah daerah untuk membudidayakan Shiitake,

membantu proses pemasaran, memberikan pendapingan manajemen dan sekaligus

memberikan kredit murah, hampir 80% jumlah penduduknya menjadi petani Shiitake,

dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai media tanamnya. Karena budi daya Shiitake

tersebut, menjadikan daerah Qingyuan merupakan satu di antara 3000 kota terkaya di

Chinasaat ini (Chen, 2005), dengan total produksi dari 2,765 ton pada tahun 1986 menjadi

105,800 ton pada tahun 1997. Total pendapatan dari budi daya jamur Shiitake ini mencapai

46,4 milliar US dollar, atau hampir sekitar Rp. 500 miliar.

Hasil Hutan Bukan Kayu 259

Beberapa daerah di Indonesia, khususnya di luar pulau Jawa, seperti Papua, juga

memiliki peluang sebagai sentra budi daya jamur konsumsi. Sampai dengan saat ini, secara

umum beberapa jamur konsumsi yang dijual pada beberapa pasar tradisional di daerah

Papua, diambil dari hutan atau daerah lain di sekitar pekarangan penduduk setempat.

Masyarakat lokal belum membudidayakan komoditas jamur konsumsi tersebut. Sehingga

aktifitas pemanenan dan penjualan jamur konsumsi ini hanya bersifat usaha sambilan atau

sampingan dan aktifitas musiman. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kurangnya stok atau

penawaran, terutama untuk kebutuhan rumah-rumah makan dan perhotelan, sehingga

pasokan jamur konsumsi harus dipasok dari luar Papua. Beberapa contoh jamur konsumsi

yang tumbuh secara alami di beberapa kawasan hutan di sekitar pemukiman penduduk dapat

dilihat pada Gambar 20.22.

Seperti yang terlihat pada Gambar 20.22, jamur-jamur konsumsi tersebut tumbuh secara

alami atau liar pada pohon-pohon yang sudah mati atau tumbang, tanpa ada campur tangan

manusia. Dengan lingkungan iklim mikro yang dimilikinya, kawasan hutan alam adalah satu

habitat yang sangat ideal untuk usaha budi daya jamur konsumsi. Penduduk lokal belum

tertarik untuk membudidayakan jamur konsumsi tersebut karena berbagai pertimbangan. Di

antaranya adalah keterbatasan pengetahuan dan teknologi budi daya jamur konsumsi. Untuk

maksud tersebut, kiranya kedepan materi budi daya jamur konsumsi perlu diperkenalkan

kepada para mahasiswa, dan masyarakat luas.

Gambar 20.22. beberapa jamur konsumsi yang tumbuh secara alami di kawasan hutan ekat

pemukiman penduduk di Manokwari utara.

Penyuluhan, pelatihan pelatihan teknis tentang budi daya jamur konsumsi oleh berbagai

instansi terkait, sangat disarankan untuk budi daya jamur konsumsi tersebut, khususnya

untuk pemberdayaan masyarakat lokal, pemanfaatan kawasan hutan, dan memenuhi

kebutuhan lokal akan jamur konsumsi. Kemitraan antara masyarakat atau kelompok tani,

pemerintah daerah, lembaga keuangan dan konsumen seperti perhotelan dan rumah makan

sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan program ini. Pembekalan pengetahuan

kepada para mahasiswa yang akan terjun kemasyarakat, terutama pada kegiatan Kuliah Kerja

Nyata(KKN) juga dapat membantu kesuksesan program terseb

Limbah kelapa sawit (tandan kosong kelapa sawit) yang banyak ditemukan diareal

Perkebunan kelapa sawit di daerah Manokwari, juga banyak ditemukan jamur liar, yang

dapat dikonsumsi. Jamur tersebut sangat lezat. Kenampakan jamur yang tumbuh di bekas

tandan kosong kelapa sawit tersebut dapat dilihat pada Gambar 20.23.

Hasil Hutan Bukan Kayu 260

Gambar 20.23. Jamur yang tumbuh secara alami di bekas tandan kosong kelapa sawit di

daerah Manokwari.

20.6. Pustaka

Chen, A.W. 2005. Shiitake Cultivation. Mushroom grower, s Handbook 2. Mushworld.

Hal.1-10.

http://naturindonesia.com/jamur-pangan, diaksess pada tanggal 12 april 2012.

http://www.mushroom-appreciation.com/nutritional-value-of-mushrooms. Diakses pada

tanggal 12 April 2012.

http://berbisnisjamur.com/ciri-ciri-jamur-beracun, diakses pada tanggal 12 April 2012.

Kumala. S., N.A. Fitri. 2008. Penapisan kapang endofitranting kayu Meranti merah (Shorea

balangerankorth.)sebagai penghasil enzim xilanase.Jurnal Ilmu Kefarmasian

Indonesia.Vol. 6 (1) Hal. 1-6

Radji, M. 2005. Peranan bioteknologidan mikroba endofitdalam pengembangan obat

herbal.Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II (3) Hal. 113 – 126.

Rodriquez, R.J., J.F. White Jr., A.E. Arnold., R.S. Redman. 2008. Tasley Review Fungal

endophytes: diversity and functional role. Review. New Phytologist PP.1-17.

Sudandha, I.M., A.L. Abadi. 2011. Uji efektivitas beberapa jenis jamur endofit Trichoderma

spp. Isolat lokal NTB terhadap jamur fusarium oxysporum f. Sp. Vanillae

penyebab penyakit busuk Batang pada bibit vanili. Jurnal of Crops Agro Vol.4

(2) Hal. 64-73.

Suharjo, E.2006. Budi daya industri Jamur konsumsi di Indonesia. Makalah temu teknis

nasional tenaga fungsional pertanian. Balai Penelitian dan pengembangan

peternakan. Hal. 6-11.

Tarigan, R., Kuswandi. 2010. Efektivitas asal isolat bakteri endofit dan kerapatan

pengenceran dalam mengendalikan penyakit busuk batang (sclerotium rolfsii

sacc) pada tanaman kedelai. Laporan penelitian (tidak diterbitkan).

Wasser, S.P. 2005. Reishi or Ling Zhi (Gaoderma lucidum). Encyclopedia of Dietary

supplements. Hal.603-622.

Widyastuti, N. 2008. Limbah gergaji kayu sebagai bahan formula media jamur shiitake

(Lentinula edodes). Jurnal Teknologi Lingkungan 9 (2) Hal. 149-155.

www.kompas.com. Pengakuan untuk Pemburu Mikroba. Diakses pada tanggal 28 Oktober

2003.

www.lifeinkochi.net/Pleurotus eryngi, diaksess pada tanggal 12 April 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu 261

www.jamur-tiram.com, diakses pada tanggal 12 April 2012.

Yamanaka, K. 2011. Mushroom cultivation in Japan. WSMBMP Bulletin Vol.4 Hal.1-10.

Hasil Hutan Bukan Kayu 262

BAB 21

KELOMPOK HEWANI

21.1. Pendahuluan

Pokok bahasan hasil hutan bukan kayu kelompok hewani, memliliki berbagai jenis

komoditas yang sangat beragam, mulai dari kelompok mikroorganisme, seperti mikroba dan

bakteri, berbagai jenis serangga, sampai kepada hewan berukuran raksasa seperi gajah,

harimau, badak dan sejenisnya. Sedangkan menurut Praturan Menteri Kehutanan Republik

Indonesia Nomor: P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator penetapan Jenis hasil

hutan bukan kayu unggulan disebutkan bahwa hasil hutan bukan kayu hewani adalah hasil

hutan bukan kayu berasal dari hewan dan produk turunannya. Selanjutnya HHBK hewani

dikekelompokkan ke dalam tiga kelompok komoditas yaitu a) kelompok hewan buru seperti

babi hutan, kelinci, kancil, rusa, dan buaya; b)kelompok hewan dari hasil proses

penangkaran, yang meliputi ikan arwana, kupu-kupu, rusa, dan buaya; c) kelompok hasil

hewan seperti sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat sutera, dan lebah madu.

Untuk itu rasanya tidak mungkin membahas ketiga kelompok komoditas hewani

tersebut satu persatu. Sehingga, pada pokok ini, produk hasil hutan bukan kayu kelompok

hewani yang dibahas adalah semua produk hewani dari golongan hewan tertentu saja, seperti

rusa, buaya dan burung serta kelompok serangga seperti lebah, kupu-kupu dan beberapa

hewan lainnya yang dilindungi.

Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:

1. Mendefinisikan dan menjelaskan hasil hutan bukan kayu kelompok hewani secara luas

2. Menggolongkan kelompok komoditas hasil hutan bukan kayu hewani berdasarkan

bagian yang dikomersiilkan.

3. Mendiskripsikan proses pengolahan hasil hutan bukan kayu hewani berdasarkan tujuan

produksi yang direncanakan.

4. Mengidentifikasi berapa hasil hutan bukan kayu hewani di Papua yang banyak

diusahakan oleh masyarakat.

21.2. Buaya dan Kulit Buaya

Buaya (Crocodylus spp) adalah termasuk binatang bertulang belakang (vetebrata) yang

dapat tumbuh di darat dan diair. Sehingga berdasarkan habitatnya dikenal dengan buaya

muara, buaya air laut dan buaya air tawar serta buaya rawa. Diperkirakan terdapat sekitar 27

jenis buaya di dunia, sedangkan Indonesia memiliki beberapa jenis buaya. Di Indonesia,

buaya termasuk species binatang langka (wild life) yang dilindungi dengan undang-undang

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/men/10/1980 dan telah

masuk dalam pengawasan perdagangan internasional CITES (Conservation on International

Trade Endanger Species of Wild Flora & Fauna).

Kalimantan memiliki empat jenis buaya yaitu Crocodylus porosus, C. sianensis,

Tomistoma schlegelii, dan C. raninus, dan species yang terakhir ini adalah endemik asli

Kalimanatan (Kurniati, 2007). Juga dikatakan bahwa benua Afrika saja hanya memiliki tiga

jenis buaya. Selanjutnya dilaporkan bahwa genus Crocodylus adalah jenis buaya muara. Dari

keempat jenis buaya di kalimantan tersebut, tiga jenis, yaitu C.porosus, C. sianensis, dan T.

schlegelii adalah memiliki tipe sarang yang menggunung, di mana sarangnya terbuat dari

bahan seperti rumput-rumputan, ranting pohon dan beberapa tumbuhan mengapung lainnya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 263

Menurut berbagai sumber khusus untuk Papua, yaitu Papua barat dan Papuaterdapat dua jenis

buaya, yaitu buaya Muara (Crocodylus porosus) dan buaya Air Tawar (Crocodylus

novaeguineae).

Indonesia pada tahun delapan puluhan banyak mengekspor kulit buaya sekitar 2000 ekor

setiap tahun. Seiring dengan makin punahnya populasi buaya maka pembatasan ekspor kulit

buaya mulai diberlakukan dan hanya diperbolehkan buaya dari hasil penangkaran. Produk

dari kulit buaya yang paling banyak diminati adalah beberapa produk kulit dalam skala

industri kecil seperti ikat pinggang (sabuk), dompet, topi, tas, kopor dan beberapa produk

kulit lainnya. Contoh anak buaya yang ditangkap penduduk di kampung Esania distrik

Buruway kab. Kaimana ditampilkan pada Gambar 21.1

Foto : Wahyudi dkk (2007)

Gambar 21.1. Anak buaya yang ditangkap oleh penduduk di Kampung Esania distrik

Buruway, kab Kaimana.

21.3. Rusa (Cervus spp)

Rusa adalah kelompok kewan mamalia dari famili Corvidae yang banyak ditemukan

diwilayah Papua. Hewan rusa memiliki ukuran tubuh yang kecil dengan kulitnya berwarna

kecoklatan. Ciri yang sangat menonjol dari hewan ini adalah adanya tanduk pada kepalanya

dan tanduk tersebut bercabang-cabang.

Merauke adalah daerah penyebaran rusa yang paling terkenal untuk wilayah Papua,

sehingga sering dinamakan dengan kota rusa. Pada taman nasional atau suaka margasatwa

Wasur Merauke telah ditetapkan sebagai salah satu tempat berburu karena adanya over

populasi dari rusa. Rusa adalah bukan jenis mamalia endemik Papua, tetapi adalah hasil

introduksi dari Pemerintah Hindia Belanda waktu menduduki Papua. Bagian tubuh rusa yang

dimanfaatakan adalah kepala dan tanduknya sebagai ornamen hiasan pada beberapa rumah di

Papua, kulit rusa untuk bahan baku beberapa produk kulit seperti topi, lukisan dan sabuk.

Anak rusa yang masih kecil (fetus) yang diberi perlakukan khusus dengan alkohol juga

dipercaya memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan kaum pria pada beberapa daerah di

Idonesia timur khususnya.

Strutur populasi, kondisi habitat dan taman perburuan Rusa Timor (Cervustimorensis) di

Taman nasional Wasur, Merauke, terutama di tiga desa yaitu Poo dengan luasan (200 ha),

Tomer (200 ha), dan Sota (100 ha) telah dilaporkan oleh Andoy (2002). Dijelaskan bahwa

kepadatan populasi rusa tertinggi terdapat di desa Poo yaitu 1630 ekor, diikuti oleh desa

Tomer (900 ekor), dan desa Sota (390 ekor), atau dengan total kepadatan populasi 2920 ekor.

Sedangkan struktur populasinya, disominasi oleh rusa berumur dewasa, dengan rasio jantan

25,07%, betina18,42%, sehingga memiliki sex ration 1:0.56.

Keberadaan dan populasi Rusa Timor di taman nasional Wasur tersebut, telah

dikombinasikan dengan potensi keindahan alam taman nasional wasur untuk paket pariwisata

Hasil Hutan Bukan Kayu 264

berburu, petualangan dan penelitian. Potensi ekopariwisata ini adalah termasuk salah satu

dari nilai tambah dari fungsi hutan dan ekonsistemnya yang tidak secara langsung dapat

ditentukan nilai ekonomisnya.

Khusus di kabupaten Kaimana, Papua Barat, Wahyudi dkk (2007) melaporkan bahwa

populasi rusa liar telah melebihi kapasitas lahan juga terjadi di kawasan hutan primer di

distrik Buruway. Kelebihan populasi rusa ini telah menimbulkan permasalahan dibidang

pertanian tradisional, terutama pada ladang-ladang atau kebun penduduk. Komoditas

tanaman sayuran, ubi-ubian dan juga tanaman palawija lainnya menjadi sasaran sumber

makanan rusa. Penduduk telah berusaha mencegahnya dengan membuat pagar dari kayu,

tetapi hewan ini masih dapat masuk ke dalam areal kebun dengan cara melompat. Oleh

karena itu, penduduk di distrik Buruway, seperti di kampung Nusaulan membuka lahan atau

kebun di pulau-pulau kecil di sekitar perkampungan mereka, untuk menggurangi gangguan

rusa tersebut. Populasi rusa yang meningkat tersebut, banyak dimanfaatkan oleh masyarakat

kota, terutama yang berasal dari Kaimana, untuk wisata berburu. Gambar 21.2 menunjukan

sisa hasil buruan yaitu tanduk rusa yang tidak dimanfaatkan/diambil oleh penduduk dan

pemburu.

Foto: Wahyudi dkk (2007)

Gambar 21.2. Tanduk rusa yang ditinggalkan oleh pemburu di areal perburuan di Kaimana

21.4. Sarang Burung Walet

Indonesia adalah merupakan produsen utama dari sarang burung walet dan lebih dari

separo kebutuhan sarang burung walet dunia dipasok dari Indonesia. Negara-negara

penghasil sarang burung walet lainnya adalah Thailand, Vietnam, Singapura, Myanmar,

Malaysia, India dan Srilangka. Khusus untuk Indonesia, sebagian besar, sarang burung Walet

masih dihasilkan dari alam, bukah hasil dari penangkaran, baik yang berasal dari berbagai

daerah di pulau Jawa atau luar pulau Jawa. Di Pulau Jawa, beberapa daerah disepanjang

pesisir pantai utara dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah habitat yang cocok

untuk pengembangan komoditas sarang burung walet.

Burung Walet adalah jenis burung dari keluarga Apodidae dari genus Collocalia.

Mengutip dari berbagai sumber, Lau dan Malville (1994) menyatakan bahwa burung walet

terdiri atas 30 jenis, tetapi dari jumlah tersebut, hanya empat jenis yang menghasilkan sarang

walet untuk konsumsi. Keempat jenis tersebut adalah burung walet putih (C. fuciphagus),

walet hitam (C. maxima), burung walet germani (C. germani), dan burung walet indian (C.

unicolor).Burung walet adalah salah satu jenis burung liar yang dapat menghasilkan liur

untuk dijadikan sebagai bahan baku membuat sarangnya. Air liur burung walet ini yang

selanjutnya dikenal dengan komoditas sarang burung walet yang memiliki nilai ekonomis

yang sangat tinggi.

Habitat alami burung walet terdapat pada gua-gua yang terdapat pada tepi pantai yang

berwarna gelap gulita. Habitat buatan dapat dibuat pada rumah-rumah penduduk, baik yang

khusus untuk budi daya sarang burung walet, atau rumah biasa. Habitat buatan ini baisanya

Hasil Hutan Bukan Kayu 265

banyak ditemukan pada daerah-daerah di sekitar pesisir. Karena perbedaan kedua habitat

tersebut, ada pengelompokkan sarang walet gua dan sarang walet rumahan (Mardiastuti,

1997).

Air liur atau komositas sarang burung Walet mengandung protein dalam jumalh yang

cukup dominan yaitu 50-60%, karbohidrat sekitar 25%, dan air sebesar 10%, sedangkan

beberapa mineral seperti kalsium, phosphor, sulphur, dan potassium dalam jumlah yang

relatif kecil. Sarang burung walet utamanya diolah untuk berbagai jenis makanan, utamanya

jenis sup-supan, karena kandungan gizi yang relatif tinggi. Makanan dari burung Walet

tersebut bernilai jual yang mahal, sehingga merupakan makanan yang elite pada beberapa

restoran di Hongkong, Singapura dan beberapa negara Asia lainnya. Di samping itu, berbagai

sumber menyatakan bahwa sarang burung walet juga dipercaya memiliki beberapa manfaat

kesehatan, memperkuat paru-paru, daya kerja syaraf, sistem pencernaan, meningkatkan

stamina tubuh dan memperbaharui sel–sel tubuh yang rusak, dan sebagainya. Kotoran dari

burung walet juga dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos yang sangat baik bagi

tanaman.

21.5. Kutu Lak (Sherlac)

Kutu lak atau sherlac adalah hasil sekresi dari serangga Lak (Laccifer lacca Keer.) dari

famili Kerriidae dan ordo Hemiptera yang hidup pada pohon inangnya. Kutu lak dapat

menghasilkan lak bila mendapatkan pohon inang yang cocok, dengan lingkungan tumbuh,

dan nutrisi yang menunjang pertumbuhan dan perkembangannya produksi lak tersebut.

Selama ini pohon inang utama kutu lak adalah tumbuhan Kesambi (Scheichera oleosaMerr).

Akan tetapi, menurut berbagai sumber, beberapa tumbuhan lain juga dapat digunakan

sebagai tumbuhan inang kutu lak, seperti pohon Akasia (Acasia spp), Beringin (Ficus spp),

Trembesi/kihujan (Samanea saman), Kacang gude (Cajanus cajan) dan Jamuju. Di

Indonesia, kutu lak dibudidayakan oleh perum perhutani, yaitu di daerah Banyukerto,

Pasuruan Jawa Timur, dan beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, seperti Alor, dan Nusa

Tenggara Barat, sedangkan negara penghasil kutu lak lainnya adalah Thailand dan India

(Taskirawati dkk, 2007).

Rostaman dan Suryatna (2009) melakukan penelitian tentang evaluasi produktivitas

Kutu Lak, Laccifer lacca, pada tiga jenis tanaman inang di daerah hutan Kosambi, Kupang.

Mereka melaporkan bahwa kutu lak yang hidup pada tumbuhan Kosambi memiliki siklus

hidup selama 20-22 minggu, yang mana telur terdapat dalam tubuh induknya yang memiliki

kulit yang keras. Selanjutnya, telur akan menetas dan menghasilkan nimfa. Nimfa tersebut

akan bergerak atau terbawa angin untuk mendapatkan tumbuhan inang yang cocok. Apabila

diraca cocok, maka nimfa tersebut akan menetap secara permanen untuk berganti kulit dan

tumbuh menjadi dewasa. Dilaporkan juga bahwa produksi kutu laka pada pohon inang jenis

Ksambi lebih tinggi, 2 kali lipat, daripada pada pohon Kabesak hitam (Acasia spp) dan

Kabesak putih (Acasia spp). Kutu lak yang dihasilkan dari pohon inang Kosambi tersebut

dibedakan menjadi dua, yaitu lak cabang dan lak butiran, seperti diperlihatkan oleh Gambar

21.3.

Sumber: Rostaman dan Suryatna (2009)

Hasil Hutan Bukan Kayu 266

Gambar 21.3. Komoditas kutu lak yang dihasilkan oleh serangga Lak (Lacciferlacca) pada

tumbuhan inang Kesambi, yang berupa batangan (kiri) dan butiran (kanan)

Teknik kultur seranggan Lak secara garis besar meliputi Persiapan tularan, Penularan

bibit lak, pemeliharaan tularan, pemungutan bekas bibit, pemanenan dan seleksi kualitas kutu

lak. Pengolahan Lak dapat dibedakan menjadi dua yaitu Pembuatan seedlak (lak butiran) dan

Pembuatan sherllac (lak lembaran).Kutu lak sangat banyak dimanfaatkan untuk berbagai

macam produk industri seperti bahan baku piringan hitam, vernis, isolasi alat-alat listrik,

kembang api dan bahan baku dalam industri kesehatan dan kosmetika.

21.6. Lebah Madu

Lebah madu termasuk hewan golongan serangga bersayap yang termasuk ke dalam

genus Apidae. Dikutip dari berbagai sumber, di Indonesia terdapat beberapa jenis lebah

madu, di antaranya adalahApis andreniyormis, Apis dorsata dorsata, Apis dorsata binghami,

Apis cerana, Apis koschevnikovi, Apis nigrocicta, Apis mellifera.Dari jenis-jenis tersebut, A.

dorsata yang paling produktif menghasilkan madu, dapat ditemukan hampir diseluruh

wilayah Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa jenis A. dorsata adalah lebah madu liar,

karena. Akan tetapi, menurut Hadisoesilo (2001), berdasarkan hasil penelitian terkini di

Indonesia paling sedikit terdapat lima jenis lebah madu, yaitu Apis andreniformis, A. dorsata,

A. cerana, A. koschevnikovi, dan A. nigrocincta. Menurut Maa (1953) yang dikutip oleh

Hasisoesilo (2001) telah mengklasifikasikan lebah madu ke dalam tiga genera yaitu Megapis,

Micrapis, dan Apis yang kemudian terbagi ke dalam 24 species. Review tentang keragaman

jenis lebah madu di Indonesia telah dilakukan oleh Hadisoesilo (2001). Disimpulkan bahwa

kemungkian masih banyak jenis-jenis lebah madu yang belum diteliti di berbagai tempat di

Indonesia, terutama pada daerah-daerah yang masih terisolir. Dari penelitian tersebut,

kemungkinan ditemukannya jenis lebah baru masih sangat terbuka.

Hasil utama dari peternakan lebah madu adalah lebah madu. Madu adalah zat manis

yang dihasilkan oleh lebah madu dengan cara mengumpulkan dan merubah nektar

bunga/sekresi bagian suatu tanaman, dicampur dengan investin dan disimpan dalam sistem

sarang lebah. Hasil sampingan dari lebah madu adalah malam atau lilin lebah yang

merupakan hasil metabolisme dari lebah sendiri yang diproduksi oleh kelenjar yang terdapat

pada disebelah bawah perut lebah (Mashudi, et al, 1988). Royal jelly yang sering dikenal

dengan sebutan susu ratu adalah cairan hasil sekresi dari kelenjar rahang pada lebah pekerja

muda yang telah bercampur dengan madu bunga dan serbuk bunga.

Madu banyak dimanfaatkan sebagai industri makanan seperti membuat roti dan berbagai

jenis kue. Madu juga dimanfaatkan pada pembuataan makanan dan minuman serta buah-

buahan yang dikalengkan. Dalam bidang kecantikan madu juga dimanfaatkan sebagai bahan

komestik untuk facial, cream dan sabun. Beberapa khasiat dari madu di antaranya adalah

sebagai tonikum bagi jantung, sebagai antibiotika yang berfungsi sebagai disinfektan pada

rongga mulut, larutan encer madu dapat dipergunakan untuk berkumur untuk penyakit

radang, meningkatkan kadar butir darah merah (hemoglobin) pada anak-anak, meningkatkan

nafsu makan karena bersifat stimulan bagi pencernaan.

Malam pada sarang madu banyak dimanfaatkan pada industri batik, industri farmasi dan

obat-obatan. Sedangkan royal jelly memiliki manfaat yang sangat banyak dalam dunia

kedokteran seperti keterbelakangan pertumbuhan badan, penurunan berat badan,

menyembuhkan penyakit lemah syaraf, liver, pengobatan radang sendi, menambah gairah

dan semangat bekerja pada kebanyakan orang.

Hasil Hutan Bukan Kayu 267

21.7. Ulat Sagu

Larva serangga penggerek tumbuhan sagu atau yang lebih dikenal dengan istilah ulat

sagu adalah termasuk kelas insecta dari Anak Suku Rhynchophorinae dengan marga

Rhynchophorus, banyak ditemukan di Papua berasal dari kumbang Rhynchophoruspapuanus.

Kumbang Rynchophorus papuanus memiliki kebiasaan untuk terbang pada siang hari

dan tertarik pada tanaman sagu yang telah mati atau bagian-bagiannya yang luka dan juga

tertarik pada batang sagu yang telah membusuk setelah ditebang. Kumbang betina yang akan

bertelur akan membuat lubang di tempat yang sudah ada luka pada bagian pohon dengan

moncongnya sedalam kira-kira 3 mm dengan telur di dalamnya.

Satu kumbang betina dapat menghasilkan sekitar 400-530 butir. Telur tersebut akan

menetas dalam waktu 2-3 hari yang selanjutnya dinamakan dengan larva yang dapat bertahan

sekitar 2 bulan sebelum tumbuh menjadi pupa. Contoh ulat sagu yang banyak dimanfaatkan

oleh masyarakat lokal sebagai sumber protein hewani alternatif dapat dilihat pada Gambar

21.4.

Foto: Darma (2006)

Gambar 21.4. Ulat sagu sebagai sumber protein hewani alternatif bagi masyarakat lokal di

Papua

Istalaksana (1994) yang dikutip oleh Susilo (200) melaporkan bahwa larva kumbang

Rhynchophorus atau biasanya disebut sebagai ulat sagu memiliki kandungan asam lemak

antara lain: kaprat 10.79%, laurat 5.92%, miristat 1.23%, palmitat 36.63%, palmitoleat

3.97%, oleat 39.89%, linoleat 1.05%, dan linolenat 0.50%. Penulis yang sama juga

melaporkan bahwa ulat sagu memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi seperti kalori 353

kal, lemak 18.15 gram, protein 11.47 gram, Air 67.35 gram dan Abu sebesar 2.54 gram.

Kandungan lemak yang tinggi pada ulat sagu, diduga dipergunakan sebagai energi cadangan

ulat sagu saat memasuki fase pupa. Ulat sagu memiliki kandungan nilai gizi yang tidak kalah

dengan kandungan nilai gizi protein hewani lainnya. Ulat sagu mudah diperoleh dan

harganya relatif terjangkau, banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional di wilayah Papua.

21.8. Kupu-Kupu

Di provinsi Papua Barat, khususnya di Cagar Alam Pegunugan Arfak (CAPA) terdapat

komoditas hasil hutan bukan kayu yang khas yaitu Kupu-kupu dari family Papilionidae yang

endemik Papua. Kupu-kupu yang telah dibudidayakan adalah Kupu-kupu sayap burung

(Ornithoptera spp). Produk akhir dari budi daya kupu-kupu tersebut adalah kupu-kupu yang

Hasil Hutan Bukan Kayu 268

diawetakan (specimen) yang ditujukan untuk cenderamata dengan sasaran pasar ke luar

negeri (ekspor). Kupu –kupu sayap burung termasuk ke dalam family Papilionidae, dengan

ciri-ciri sebagai berikut: Berukuran sedang hingga besar, keenam kakinya sempurna, kuat

dan dapat dipergunakan untuk berjalan, serta perbedaan antar jantan dan betina secara umum

agak mirip.

Siklus hidup kupu-kupu sayap burung secara umum adalah sebagai berikut:

Telur. Telur berbentuk bulat, dengan warna kuning kehijauan, berdiameter 0.1 –0.2 cm

dengan lama stadia antara 2-3 hari;

Larva atau ulat. Larva atau ulat adalah larva yang terdiri atas kepala, toraks, dan

abdomen, dengan lima phase instar, yaitu phase 1-5 dengan perioda waktu antara 22-26

har;

Pra-pupa, yaitu phase di mana larva memintakan benangya untuk menggantungkan diri

pada tumbuhan pakanya;

Pupa atau kepompong, keadaan atau kondisi di mana tubuh pupa sudah dibungkus oleh

kulit yang mengeras;

Imago atau kupu dewasa, pada phase ini kupu-kupu sudah mulai dapat bergerak.

Satu-satunya lembaga atau instansi di Papua yang memeperoleh izin untuk melakukan

ekspor spesimen kupu kupu adalah Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderaawsih (YBLBC),

yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memfokuskan salah satu

kegiatannya pada usaha penangkaran Kupu-kupu sayap burung di kawasan Cagar Alam

Pengunungang Arfak (CAPA) yang mendapat bimbingan teknis dari World Wild Fund fo

Nature (WWF), Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melalui Konservasi

Sumber Daya Alam (KSDA) setempat. Seperti dilaporkan oleh YBLBC bahwa sampai

dengan perioda tanggal 18 Maret 1997, telah berhasil mengirim (ekspor) specimen kupu-

kupu sebanyak 1070 pcs (pieces) ke Australia, 122 pcs ke Belgia, 840 pcs ke Spanyol, 326

pcs ke Perancis dan 70 pcs ke Madrid (Spanyol), dengan kisara harga antara US $ 6,67 –

793,75 per ekor, tergantung kepada jenis dan mutunya. Akan tetap sangat disayangkan,

bahwa sekarang usaha budi daya kupu-kupu dan yayasan tersebut sudah tidak beroperasi lagi

karena berbagai kendala teknis. Beberapa jenis kupu-kupu yang terdapat di Pegunungan

Arfak dan daerah lainnya di Papua dapat dilihat pada Gambar 21.5.

Foto: jurusan Biologi Unipa (2007)

Gambar 21.5. Beberapa jenis kupu-kupu yang terdapat di pegunungan Arfak dan daerah

lainnya di Papua

Panjaitan (2008) melaksanakan penelitian tentang keragaman dan distribusi kupu-kupu

padaberbagai ketinggian tempat di daerah Manyambou, Cagar Alam Pegunungan Arfak.

Hasil Hutan Bukan Kayu 269

Dilaporkan bahwa sebanyak 113 jenis kupu-kupu berhasil diidentifikasi, yang terbagike

dalam 54 genus dan empat family, yaitu Papilionidae, Peridae, Lycaenidae dan

Nymphalidae.Kupu-kupu tersebut dapat dijumpai pada berbagai ketinggian tempat, bahkan

hingga 2200 m dpl. Selanjutnya, disimpulkan bahwa dicatat 7 jenis kupu-kupu endemik

Arfak, dari 23 jenis yang pernah dilaporkan.

21.9. Burung

Indonesia dikenal memiliki keaneragaman jenis burung yang begitu tinggi, khusus untuk

Papua dilaporkan memiliki lebih dari 650 species burung dengan tingkat endemik sekitar

52% atau sekitar 338 jenis, Dinas Kehutanan Kab. Biak Numfor (2002). Salah satu burung

endemik tersebut adalah burung Cenderawasih, yang menjadikannya tanah Papua sebagai

pulau Cenderawasih. Berbagai jenis burung Cenderawasih diperlihatkan oleh Gambar 21.6.

Sumber : http://dody94.wordpress.com

Gambar 21.6. Beberapa jenis burung Cenderawasih, yaitu Paradisaea minor (kiri atas),

Seleucidis melanoleuca (tengah atas), Cicinnurus respublica (kanan atas), Parotia wahnesi

(kanan bawah) dan Paradisaea rubra (kiri bawah).

Burung-burung endemik Papua lainnya adalah jenis burung nuri atau dikenal dengan

Kakaktua, jenis-jenis Merpati atau Dara, jenis-jenis burung Kasuari, jenis Elang dan

sebagainya. Burung-burung tersebut sebagian atau seluruhnya terdapat pada penangkaran

burung yang terdapat pada Taman Burung dan Taman Anggrek Biak, dan koleksi teresbut

sangat lengkap pada tahun 2002.

Berdasarkan buku panduan yang dikeluarkan oleh pengelolan Taman burung dan taman

anggrek mencantumkan bahwa koleksi burung pada tahun 2002 tersebut terdiri atas jenis-

jenis Cenderawasih (Paradisaea minor, Diphyllodes magnificus, Seleucidas melanoleuca,

ptiloris magnificus, Manucodia atra dan sebagainya, jenis-jenis burung Nuri atau dikenal

dengan Kakaktua seperti Lorius lory, Eos cyanogenia, Trichoglossus haematodus,

Chalopisitta atra, Psittaculirostis desmaresti, Alisterus chloropterus, Eclectus roratus,

Cacatua galerita, Cacatua pastinator dan sebagainya, jenis-jenis burung merpati atau burung

dara di antaranya adalah Ducula pinon, Duculabicolor, Caloenas nicobarica, otidiphapa

nobilis, Trugon terrestris, Goura cristata, Goura victoria dan sebagainya, Jenis Bower

(Ailuroedus buccoides), jenis-jenis burung Kasuari seperti Casuarius casuarius, Casuarius

unappendiculatus, dan Casuariusbenetti, jenis-jenis Elang seperti Heliastur indus,

Hasil Hutan Bukan Kayu 270

Heliaeetus leucogaster, dan sebagainya, jenis burung Rangkong atau Taun-taun seperti

Rhyticeros plicatus, Cikukua (Philemon buceroides), Kenanga (Vanellus miles) dan berbagai

jenis burung lainnya. Dikatakan lebih lanjut bahwa sampai dengan tahun 2002, jumlah

koleksi burung yang dapat dilihat mencapai 46 jenis yang terdiri atas 10 famili.

Perburuan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung

jawab, kerusakan habitat dan berbagai gangguan alam lainnya, telah menggurangi populasi

burung dialam. Perdagangan burung tidak hanya terjadi antar pulau, juga sudah dalam

tingkatan antar negara. Akibatnya populasi dialam terus-menerus berkurang, seperti Jarak

Bali yang sudah mulai langka, burung kutilang yang hanya tinggal nyanyian, burung

Kepodang dan berbagai jenis endemik lainnya.

21.10. Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrogilus ursinus)

Kanguru pohon merupakan salah satu mamalia yang dikenal oleh masyarakat Papua.

Hewan ini dilindungi oleh Pemerintah berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor

247/Kpts/Um/4/1975. Di Kawasan ini ditemukan empat jenis kanguru pohon yang endemik

di Papua yaitu: Dendrolagus ursinus, Dendrolagus inustus, Dendrolagus dorianus dan

Dendrolagus goodfelowi (Petocz, 1994 yang dikutip oleh Mustamu, 2006). Selanjutnya

menurut Flannery (1995) dan Menzies (1991) yang dikutip oleh Mustamu (2006) hanya dua

jenis yang dapat ditemui di Kepala Burung yaitu D. inustus dan D. ursinus.

Kanguru Pohon Cenderawasih (D. ursinus) merupakan mamalia endemik Kawasan

Pegunungan Arfak. Menurut Flannery (1995) yang dikutip oleh Mustamu (2006), hewan ini

memiliki punggung berwarna hitam sampai hitam kecoklatan, pipi berwarna pucat atau

kemerah-merahan. Bagian leher hingga perut berwarna putih sampai kekuningan sama

seperti bagian wajahnya, terlihat pada habitatnya, seperti terlihat pada Gambar 21.7 dan 21.8.

Ciri morpholofis lainnya yang mencolok dari kanguru Cenderawasih ini adalah memiliki

telinga besar dengan bagian dalam berbulu dan pada ujung daun telinga bulunya berjumbai.

Ekor biasanya lebih pendek daripada panjang tubuh, dengan warna putih pada bagian ujung

(tetapi terkadang tidak ditemukan).

Sumber : Mustamu (2006)

Gambar 21.7. Habitat Kanguru Pohon Cenderawasih

Sumber : Mustamu (2006)

Gambar 21.8. Kanguru Pohon Cenderawasih yang ditangkap oleh masyarakat lokal.

Hasil Hutan Bukan Kayu 271

Dalam kehudupan sehari-hari, hewan-hewan endemik, termasuk dalam jenis langka dan

dilindungi ini oleh masyarakat diburu untuk diambil dagingnya untuk sumber protein

hewani. Dalam berburu, masyarakat hanya mengandalkan peralatan tradisional, seperti busur

dan anak panah serta sistem jerat.

21.11. Pustaka

Andoy, E.E.S. 2002. Study Populasi Rusa Timor (Cervus timorensis) dan perburuan oleh

penduduk di desa Poo, Tomer dan Sota dalam taman nasional Wasur, Merauke.

Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).

Baan, Y. 2002. Morfologi dan Tingkah Laku Lebah Madu pada Peternakan lebah Madu di

Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura. Skripsi Sarjana Pertenakan.

Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua

(tidak diterbitkan)

Dinas Kehutanan Kabupaten Biak Numfor .2002. Melihat dari Dekat Taman Burung dan

Taman Anggrek Biak (leaflet)

Koessoy, M.S.C (2002). Sistem Produksi Dan Sifat Fisik Madu Pada Peternakan Lebah

Masu Di Deas Koya Timur Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura.

Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan

Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).

Kurniati, H. 2007. Habitat buaya air tawar potensial di luar kawasan lindungan daerah

Kalimantan. Fauna Indonesia Vol.7(2) Hal.26-31.

Lau, A.S.M., D.S. Malville. 1994. Species in Danger. International trage in Swithflet nest

with specific reference to Hongkong. TRAFFIC International United Kingdom.

Mardiastuti, A. 1997. Pemanfaatan sarang burung walet secara lestari. Makalah pada

Seminar Pendayagunaan Potensi Burung Untuk Menunjang Pembangunan

Nasional. Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 29 April 1997

Hal.1-11.

Mashudi., P. Ketut., Suwanda.1988. Lebah madu madu lebah di Indonesia tahun 2000.

Cetakan pertama. Penerbit Pusat Apiari Pramuka. Jakarta.

May, B.I. 2005. Sistem Pemeliharaan lebah madu di Kampung Ambaidiru Distrik

Andkaisera Kabupaten Yapen. Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan

Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Mustamu, J.T. 2006. Karakteristik Morfologi Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrolagus

ursinus) di Kawasan Pegunungan Arfak Manokwari. Skripsi Sarjana Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua.

(tidak diterbitkan).

Panjaitan, R. 2008. Distribusi kupu-kupu (superfamili papilionoidae: lepidoptera) di

Minyambou, Cagar Alam Pegunungan Arfak, Manokwari, Papua Barat. Berkala

Ilmiah Biologi 7(1) Hal. 11-16.

Peraturan Menteri Kehutanan No.P.21/Menhut/2009 tentangKriteria dan indikator penetapan

hasil hutan bukan kayu unggulan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 272

Rostaman., B.S. Suryatna. 2009. Evaluasi produktivitas Kutu Lak, Laccifer lacca Kerr.

(Hemiptera : Kerridae) pada tiga jenis tanaman inang. Jurnal Entomologi

Indonesia. Vol.6 (2) Hal.70-76.

Taskirawati, I., F.G. Suratmo., D. Darusman, , N. F. Haneda. 2007. Peluang investasi usaha

budi daya kutu lak (Laccifer laccaKerr): Studi kasus di KPH Probolinggo perum

Perhutani unit II Jawa Timur. Jurnal Perennial 4(1) Hal. 23-27.

Hadisoesilo, S. 2001. Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia, REVIEW.

Biodiversitas Vol 2 (1) Hal. 123-128.

Warisno.1996. Budi daya lebah Madu. Penerbit kanisius. Yogyakarta

Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderawasih.1998. Laporan Realisasi Satwa Liar dan

Tumbuhan Alam. Manokwari.

Hasil Hutan Bukan Kayu 273

BAB 22

PRODUK JASA DARI HUTAN(FOREST SERVICES)

22.1 Pendahuluan

Pokok bahasan yang ke duapuluh duaini, membahas tentang produk jasa yang dapat

dihasilkan dari hutan. Sampai dengan ssat ini, belum banyak kajian dan studi intensive

dilakukan untuk mengidentifikasi berapa besar potensi dari produk jasa hutan Indonesia, dan

khusunya di Papua. Usaha-usaha yang telah ada hanya terbatas pada pemanfaatan komoditas

unggulan seperti rotan, damar, sagu dan bambu, itupun diusahakan secara kecil kecilan

sebagai usaha sampingan khususnya di Papua. Untuk menggali potensi dari beberapa produk

jasa dari hutan, maka pokok bahasan ini sengaja dimunculkan guna memberikan gambaran

jenis-jenis produk jasa yang dihasilkan oleh hutan tropis Indonesia.

Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:

1. Menjelaskan pengertian produk jasa hutan sebagai bagian dari komoditas hasil hutan

bukan kayu;

2. Menginventarisai beberapa produk jasa hutan sebagai komoditas hasil bukan kayu

potensial asal Papua;

3. Menjabarkan faktor penghambat dan penunjang dalam merancang proses inventarisasi

potensi tersebut;

4. Menganalisis studi kelayakan usaha jasa produk hutan yang paling cocok untuk

diterapkan pada penduduk lokal di Papua.

22.2. Produk Jasa dari Sumber Daya Hutan (Services of Forests)

Undang Undang No 4 tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa hasil hutan

bukan kayu termasuk di dalamnya adalah jasa yang diperoleh dari hutan seperti jasa wisata,

jasa keindahan, komunikasi, jasa berburu dan lain lain.

Paradigma baru dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, hutan bukan hanya

dipandang sebagai penghasil kayu log atau gelondongan dan kayu bakar, tetapi hutan

dipandang sebagai objek yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga banyak

harapan dan jasa yang diberikan oleh hutan kepada masyarakat, lingkungan, sistem

pertanian, dan tentunya sistem kehidupan secara keseluruhan.

Eksistensi atau keberadaan hutan dunia, khusunya Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain

Forest) saat ini telah menjadi isu global dan pusat perhatian serta kajian dari berbagai

stakeholders dari tingkat lokal, nasional, regional dan bahkan internasional. Keberadaan

hutan yang selama ini hanya dipandang sebagai penghasil kayu dan peyeimbang sistem tata

air (fungsi hidro orologis) pada kenyataanya hutan memiliki beberapa fungsi yang sangat

penting dan beragam. FAO (1998) menguraikan produk jasa dari hutan tropis basah di

antaranya adalah sebagai :

Sumber keanekaragaman hayati (Biological diversity)

Penyimpan dan penyerapankarbon (Carbon sink)

Jasa wisata dan sejenisnya (Recreational and opportunities)

Rekreasi dan pendidikan buat wisatawan (Recreational and Education for Tourist)

Hasil Hutan Bukan Kayu 274

Nilai ekonomis dari produk jasa hutan yang telah diuraikan di atas, sangat sulit untuk

diukur dan ditentukan, dalam beberapa konsep atau basis sulit untuk ditentukan dengan

perhitungan matematis dan ekonomis. Hal ini dikarenakan produk jasa tersebut lebih sering

dirasakan manfaatnya dalam satu sistem kehidupan yang menyeluruh, bukan berdasarkan

produk barang yang dapat ditentukan.

FAO (1998) mengelompokkan produk jasa hutan meliputi beberapa aspek dengan

berbagai kategori umum (broad types) di antaranya :

1. Jasa yang memiliki potensi pasar dan dapat dikembangkan (Those for which o formal

market exists and could be developed). Contohnya adalah air bersih (clean water),

Penggembalaan (Grazing), Ekoturisme/Ekowisata (Ecotourism), rekreasi (Recreation),

perburuan (Hunting) dan sumber bahan baku (Gathering)

2. Jasa hutan yang tidak ternilai dengan uang dan tidak dijual dipasar (Those functions that

are largely intangible and not sold through market). Contohnya seperti nilai budaya dan

spiritual (Cultural and Spritual values), penyeimbang iklim (Influence on Climate),

Mengendalikan Erosi (Erosion control) dan Konservasi keanekaragaman hayati

(Biological diversity conservation).

Untuk produk jasa hutanyang terakhir mungkin akan lebih tepat kalau dikategorikan

sebagai produk eksternal hutan (Forest external). Jasa eksternal hutan dapat didefinisikan

sebagai jasa dari hutan yang memberikan manfaat kesejahteraan (kenyamanan) tetapi tidak

dapat ditentukan harganya dengan uang dan sistem pasar.

Konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janero Barzil 1992 dan dilanjutkan

dengan konferensi sejanis di Tokyo Jepang yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto 1997

telah menghasilkan beberapa kesepakan internasional tentang pengakuan produk jasa hutan

tersebut, terutama yang berhubungan langsung dengan ilkim global (Global climate) dan

penguranga gas pencetus efek rumah kaca (Reducing emmision gasses). Produk jasa dari

hutan mulai diagendakan dalam konferensi, harga jual dari jasa hutan tersebut mulai

ditetapkan. Sehingga produk jasa dari hutan seperti penyimpan karbon (Carbon sink/carbon

sequestration) atau hutan sebagai sumber genetik (Forest genetic resources) dan konservasi

keanekaragaman hayati (Biological diversity conservation) mulai ditentukan diperhitungkan

kompensasinya dalam konferensi internasional tersebut.

FAO (1998) melaporkan bahwa studi atau penelitian pada berbagai tempat diseluruh

dunia menyimpulkan bahwa nilai produk jasa dari hutanseperti Rotasi rantai makanan

(NutrientCycling), penyeimbang iklim global (Climate regulation), mengontrol erosi (Erosi

control) dan jasa lainnya melebihi 60% dari nilai total suatu kawasan hutan.

22.3. Jasa Hutan dan Pohon pada Pertanian (Agricultural Services of Forests and Trees)

Keberadaan hutan yang masih hijau akan sangat berpernaruh terhadap ketersediaan

produk-produk pertanian secara umum, baik itu menyangkut ketersediaan bahan makanan,

komodidti peternakan dan perikanan serta perkebunan. Hal tersebut sudah lama disadari oleh

berbagai kalangan baik dari pihak pemerintah, petani maupun stakeholder lainnya. Sehingga

dengan kata lain bahwa Interaksi antara keberadaan atau eksistensi hutan dan pertanian

sangat positif dan memberikan banyak manfaat kepada makhluk hidup dalam suatu sistem.

Interaksi antara eksistensi hutan, pohon dan aspek pertanian secara luas tersebut sulit untuk

dinilai dan ditentukan oleh sistem pasar, karena manfaatnya langsung kepada kemakmuran

dan kesejahteraan umat manusia.

Pada skala tradisional mungkin dapat ditentukan oleh sistem pasar atau ekonomis,

seperti interaksi antara jasa hutan dengan sistem perladangan berpindah (Shifting cultivation).

Terdapat bebera interaksi antara jasa hutan dan sistem pertanian yang sudah lama dikenal

oleh kita di antaranya seperti : memulihkan lahan kritis (Repleshing degraded land), menjaga

Hasil Hutan Bukan Kayu 275

rantai makanan (Recycling Nutrients), menjaga dan memperbaiki struktur tanah (Maintaining

and rehabilitating soil structures), berperan dan menjaga siklus air (Contributing to the

water cycle and regulation of Water), melindungi Daerah Aliran Sungai/DAS (Protecting

Watersheds), aspek perlindungan dan penyangga (Providing shade and Shelter)

22.4. Jasa Hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) (Watershed Services of Forests)

Hutan memiliki konstribusi secara langsung kepada kawasan atau Daerah Aliran Sungai

(DAS) yang lebih sering dikenal dengan nama fungsi stabilisasi ekologi (The Ecological

Stabilisation Function of Forest). Fungsi stabilisasi hutan tersebut diberikan langsung kepada

daerah aliran sungari atau kawasannya yang meliputi aspek menstabilkan tanah kawasan

(Stabilising on-site soil), mengurangi laju sedimentasi (Reducing off-sitesedimentation),

mengurangi aliran dan mencegah banjir pada beberapa kawasan DAS kecil (reducing flood

peaks on streams in small watersheds) dan menstabilkan air tanah dan sumber mata air

(repleneshing ground water and watercources). Fungsi hutan pada stabilisasi kawasan DAS

tersebut pada akhirnya akan berpengaruh langsung terhadap pengelolaan sumber tenaga air

(Hydropower) dan sistem irigasi atau pengairan (Irigation).

Beberapa kasus yang terjadi akhir kahir ini seperti banjir bandang, tanah longsir dan

bencana banjir adalah merupakan salah satu bentuk penyimpangan, atau tidakberfungsinya

Hutan sebagai stabilisator, dari fungsi atau jasa hutan dalam menjaga stabilisasi kawasan

DAS.

22.5. Pabrik Karbon (Carbon Sequestration/Carbon Sink)

Salah satu fungsi penting dari keberadaan hutan, khususnya hutan tropis, adalah

kemampuanya dalam menetralisir polusi dunia yaitu kemampuan hutan tropis untuk

mengkonversi/menetralisir polusi Karbon dioksida (CO2) menjadi Oksigen melalui Proses

Fotosintesis. Pada beberapa pertemuan international seperti KKT BUMI di Rio de Janero

(1992) dan Protokol Kyoto (1997) telah diepakati untuk memberikan imbalan jasa hutan

tropis karena fungsinya sebagai paru paru dunia tersebut dalam bentuk dana kompensasi

yang kemudian dikenal dengan nama Provision of Carbon Sink.

Kawasan hutan tropis basah mengolah Karbondioksida dan mengolahnya menjasi

komoditas kayu. Pohon yang cepat tumbuh (faster growth) berarti lebih banyak menyerap

karbon. Sehingga apabila hutan tropis basah mengalami kerusakan (degraded due to burning

orcleared), maka konsentrasi karbon dioksida, atau gas rumah kaca (Greenhouse

gassemissions), di atmosfer akan semakin meningkat baik yang berasal dari industri, maupun

hasil pembakaran kaendaraan bermotor, industri rumah tangga serta pembakaran hutan.

Dengan ketentuan ini, maka negara-negara industri maju (Industried and Developed

Nations) akan membayar kompensasi kepada negara negara berkembang atau miskin

(Poorest and Developing Nations) yang memiliki kawasan hutan tropis basah yang masih

hijau

Untuk perdagangan karbon tersebut menurut FAO (1998) terdapat tiga alterntif atau

skenario yang dapat dikembangkan yaitu:

Manajemen konservasi untuk mencegah emisi (Management for conservation for

prevention emissions), dengan tujuan utamanya adalah untuk menjamin kelangsungan

stok karbon di hutan.

Manajemen pengembangan stock karbon dengan cara menambah areal atau kerapatan

karbon di alam dan perluasan hutan tanaman (plantation forest). Management for

storage (short-term measures over next 50 years or so).

Pengelolaan untuk penggantian/konversi (Management for substitution) (long term

measures). Tujuan jangka panjang ini adalah untuk meningkatkan keanekaragaman

(diversity) penggunaan biomassa hutan ke dalam beberapa produk berbasis karbon

Hasil Hutan Bukan Kayu 276

seperti bahan bakar berbasis biomass (Bioalkohol, Bioethanol Dan Biodiesel)

dibandingkan menggunakan bahan bakar yang berbasis fossil fuel (Fossil-fuel-based

energy products) dan beberapa produk material berbasisi biomassa (Biocomposite)

seperti papan sement (cement-based products) dan produk turunan kayu (wood

basedpanel products)

22.6. Konservasi Habitat Satwa Liar dan Nilai Keanekaragaman Hayati (Conservation

of Wildlife Habitats and Biological Diversity Values)

Dua komponen penting dalam konservasi habitat satwa liar dan nilai konservasi

keanekaragaman hayati adalah : memberikan habitat kepada satwa liar (to provide habitat for

wildlife), dan melakukan usaha konservsi terhadap sumber daya biologi (to conserve

biological resources)

Informasi yang dikelurakan oleh World Conservation and Monitoring Centre (WCMC)

yang dikutip oleh FAO (1998) menunjukkan bahwa kawasan Asia Pasific sangat disarankan

untuk dijadikan daerah perlindungan (protected areas). Republik rakyat Cina (RRC), adalah

negera nomor tiga yang memiliki keanekaragaman tanaman berbunga (Flowering plants)

setelah di bawah Brasil dan Colombia dan Indonesia tidak jauh berbeda. Untuk keneragaman

hayati jenis Mamalia Indonesia memiliki ranking nomor dua di dunia, sedangkan untuk

spesies burung (birds) Indonesia berada pada posisi kelima.

Indeks untuk perhitungan Keanekaragaman hayati (Calculation of Biological Indices)

yang merupakan tingkat pentingnya suatu negara terhadap keanekaragaman hayati dunia,

Indonesia memperoleh nilai yang cukup tinggi yaitu 26,8%, diikuti oleh Filipina (14,0 %),

Malaysia (13.7 %), Papua New Guinea (13,3%) dan Vietnam (12,7 %).

22.7. Pustaka

Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of

The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture

Organization of The United Nation, Rome Italy.

Hasil Hutan Bukan Kayu 277

BAB 23

EKOWISATA (ECOTOURISM)

23.1. Pendahuluan

Era globalisasi dalam bidang pariwisata telah merubah orientasi kepariwisataan dari

yang semula memfokuskan pada wisata-wisata konvensional, seperti musium, peninggalan

bersejarah, benda purbakala, dan objek-objek wisata lainnya, kepada paradigma baru yang

mengkombinasikan nilai-nilai keindahan alam, petualangan, hiburan dan sekaligus tantangan.

Hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan perubahan pola hidup untuk kembali ke

zaman atau periode di mana alam masih sangat bersahabat dengan kita. Dari persfektif inilah

kiranya Ekotwisata mulai diperkenalkan yang memadukan potensi, kelebihan dan keindahan,

serta kekhasan ekologi dan budaya lokalnya dengan berbagai aspek pariwisata lainnya.

Ekowisata atau lebih dikenal dengan ekturisme dibahas dalam pokok bahasan ini untuk

memberikan gambaran tentang potensi ekowisata di beberapa kepulauan Indonesia

khususnya. Kegiatan ekowisata dicanangkan untuk menumbuh kembangkan rasa kebanggaan

akan keindahan dan keunikan alam dengan tujuan utama untuk menumbuh kembangkan rasa

tanggung jawab dan kewajiban terhadap kelestarian alam.

Pada akhir pelajaran ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:

1. Menjelaskan definisi ekowisata dan alasan pengelompokkan komoditas ini sebagai salah

satu hasil hutan bukan kayu

2. Menginventarisai beberapa kawasan hutan di Papua yang dapat dijadikan sebagai target

ekowisata.

3. Menjabarkan keunggulan hasil hutan bukan kayu ekowisata dari berbagai perpektif ilmu

seperti ekonomi, ekologi dan lingkungan

23.2. Pengertian

Ekowisata adalah suatu kegiatan pariwisata yang memanfaatkan potensi sumber daya

alam dengan mengikutsertakan potensi masyarakat yang berdomisili di sekitarnya.

Pengertian yang lebih luas dari ekowisata diberikan oleh departemen kebudayaan pariwisata

dan WWF (2009) yaituperjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan

menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana

pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam

Sedangkan Permendagri no 23 tahun 2009 tentang pedoman pengembangan ekowisata di

daerah dinyatkan bahwa ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung

jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-

usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal.

Ekowisata sering juga disebut dengan ekoturisme, tetapi ekoturisme lebih menekankan pada

aspek keunikan potensi ekologi, ekosistem dan sosial budaya masyarakat setempat. Dua

komponen utama dalam ekoturisme adalah potensi sumber daya alam dan potensi masyarakat

di sekitar hutan, baik itu potensi sosial budaya maupun potensi sistem nilai - nilai spiritual.

Ekowisata adalah istilah lain dari ekoturisme. Ekowisata dapat dipahami sebagai wisata

ekologi, yang berarti pergi berwisata ke suatu tempat untuk menyaksikan atau menikmati

keindahan keunikan dan kekhasan potensi ekologi dari daerah tersebut. Potensi ekologi yang

dimaksud adalah potensi sumber daya alam, baik yang terdiri atas benda hidup (makhluk

hidup) maupun benda mati, beserta kekhasan penduduk yang mendiami wilayah ekologi

tersebut.

Sehingga dengan ekoturime diharapakan dapat tercipta pengertian antara pelaku wisata

dan masyarakat objek wisata untuk saling membutuhkan. Masyarakat di samping sebagai

Hasil Hutan Bukan Kayu 278

pemilik objeck wisata, sekaligus berperan sebagai pelaku wisata dan stakeholder

pemberdayaan potensi wisata, khusunya aspek konservasi dan pemberdayaan.

Pemberdayakan hubungan timbal balik antara wisatawan dengan lingkungannya tersebut

diharapkan dapat memberikan rangsangan untuk menjaga sumber daya alamnya seperti

hutan, satwa liar, taman burung dan sumber mata air untuk dikelola berdasarkan asas

kelestarian dan kesinambungan manfaat.

Asosiasi Ekoturieme Australia (The Ecotourism Association of Australia)

mendefinisikan ekoturisme sebagai kegiatan wisata yang berbasiskan potensi ekologi yang

berkelanjutan dan menekankan pemahaman kepada aspek budaya, lingkungan dan

konservasi. Sedangkan kantor kepariwisataan nasional (The sameconuntry’s Office of

National Tourism) mendefinisikan ekoturisme sebagai wisata yang di dalamnya terdapat

unsur interpretasi terhadap lingkungan, budaya dan pengelolaan sumber daya alam secara

berkelanjutan yang berbasis potensi ekologi.

Sumber daya alam yang dapat dijadikan objek dalam ekoturisme dapat berupa flora,

fauna dan faktor abiotik dari penyusun ekosistemnya seperti sungai, goa, iklim,

keindahan(panorama) alam dan beberapa potensi keunikan dan kekhasan lainnya. Sedangkan

potensi masyarakat di sekitar hutan meliputi kebudayaan, adat istiadat, kesenian, jenis

makanan, obat-obatan dan beberapa objek yang dianggap sakral lainnya. Pengusahaan

ekoturisme lebih menekan kepada aspek kesederhanaan, keaslian dan kemurnian potensi

sumber daya alam dan potensi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan tersebut

sebagai karunia Tuhan yang maha kuasa yang patut dijaga keasliannya.

23.3. Ekowisata dan Kawasan Konservasi

Ekoturisme akan berhasil dan bermanfaat bagi masyarakat lokal baik secara ekonomi,

sosial dan lingkungan apabila dapat menggabungkan antara potensi alam dari suatu kawasan

hutan yang dilindungi, aspek sosial masyarakat setempat, dan partisipasi masyarakat

setempat, baik sebagai pelaku maupun penyelengara dari kegiatan ekoturisme itu sendiri.

Seperti yang dikemukakan oleh Trisurat (2003) yang menggarisbawahi bahwa Ekoturisme

hanya akan dapat berjalan apabila masyarakat lokal mendapatkan manfaat dari kegiatan

ekotorisme itu dan terlibat sepenuhnya dalam kegiatan tersebut. Ecotourism will only work,

though, if the local communities benefit from it and are fully involved in its

management.Lebih lanjut dikatakan bahwa khusus untuk daerah-daerah atau kawasan hutan

penyangga yang memiliki nilai keunikan dan memiliki perbatasan dengan wilayah lain, maka

metode Trans Boundary Conservation Area atau TBCA adalah pola yang cocok

dikembangkan. Contohnya adalah pengembangan ekoturisme di sungai Mekong, diamana

potensi keindahan alamnya dikelola dengan mengandeng masyarakat lokal sebagai pelaku

utamanya.

Beberapa potensi ekowisata yang cukup dan telah terkenal misanya festival lembah

baliem di Wamena, festival danau Sentani, di Jayapura, Provinsi Papua. Juga ada festival

danau Samosir di Sumatera Utara, dan beberapa wisata khas daerah lainnya di berbagai

penjuru tanah air. Sedangkan khusus untuk ekowisata kawasan konservasi bahari di Papua

Barat, yang cukup terkenal sampai ke mancanegara adalah kawasan kepulauan Raja Ampat,

di Papua Barat. Gugusan kepulauan Raja Ampat terdiri atas empat pulau besar, yaitu

Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, serta ratusan pulau-pulau kecil yang terbentang,

seperti berurutan satu sama lainnya. Menurut beberapa sumber, kawasan Raja Ampat adalah

termasuk segitiga karang dunia (coral triangle), yang memiliki kekayaan species karang

tertinggi di dunia. Hal ini juga didukung oleh tingginya biodiversity dari jenis-jenis ikan dan

beberapa tumbuhan laut lainnya. Makanya raja ampat ibaraat surganya bagi para pecinta

olahraga menyelam (diving). Gambaran gugusan kepulauan Raja Ampat dapat dilihat pada

Gambar 23.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu 279

Sumber: http://csstribe.com

Gambar 23.1. Gugusan kepulauan di objek wisata ekoturisme Raja Ampat

23.4. Potensi Lokal dari Ekowisata

Negara republik Indonesia sebagai negara tropis dan kepulauan terbesar di dunia, yang

mana terdiri atas sekitar 17 000 pulau besar dan kecil, memiliki potensi yang cukup besar

untuk mengandalkan sektor Ekoturisme. Hal ini ditunjang dengan keberagaman jenis suku

dan etnik, yang hampir ditemukan keunikaanya pada setiap pulau atau kelompok masyarakat.

Potensi keunikan dalam bidang budaya, bahasa, kesenian yang dikombinasikan dengan

keunikan jenis flora, fauna dan kondisi fisik lahan atau hutan, akan menempatkan Indonesia

sebagai negara tujuan Ekoturisme terkemuka di dunia. Menurut Permendagri No.3 tahun

2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah dijelaskan bahwa jenis-jenis

ekowisata di daerah dapat berupa ekowisata bahari, ekowisata hutan, ekowisata pegunungan

dan/atau, ekowisata karst.

Pada beberapa daerah di Pulau Jawa, potensi ekowisata ini telah dikelola oleh Perum

PERHUTANI, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah Jogjakarta. Untuk

daerah-daerah di luar perum Perhutani, biasanya potensi ekotorisme tersebut dipadukan

dengan aspek konservasi, sehingga ditangani oeh Dirjen Perlindungan dan Pelestarian Alam

(PHPA) departemen kehutanan yang dalam operasionalnya dilapangan di laksanakan oleh

Balai Koservasi Sumber daya Alam (BKSDA), maupun unit pelaksana Teknis, seperti Balai

Taman Nasional.

Khusus untuk daerah Papua, di Manokwari, terdapat Balai Taman Nasional Teluk

Cenderawasih (BTNTC), yang mengelola kawasan cagar alam teluk Cenderawasih, dengan

luas mencapai 1.453.500 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 472/Kpts-

II/1993 dan merupakan kawasan taman nasional laut (perairan) terluas di Indonesia, dengan

rincian luasan adalah daratan 68.000 Hektar, yang meliputi 12.400 Hektar pesisir pantai,

55.800 Hektar daratan pada pulau-pulau, dan 80.000 Hektar terumbu karang dan lautan

dengan luas 1.305.500 Hektar, TNTC dan WWF (2006).

Mengacu kepada Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) 2006-2031, yang

disusun oleh BTNTC dan WWF (2006) dalam Desain Model Pengelolaan tentang Rencana

Tata Ruang dan Tapak Zona Pariwisata Alam, beberapa Peluang dan Prospek Pariwisata

Alam yang dapat dikembangkan, di antaranya adalah:

1) Potensi Flora dan Fauna yang meliputi keanekaragaman jenis tumbuhan, hewan dan

khususnya biota laut yang khas dan unik yaitu: Terumbu karang, Ikan karang, Biota

Laut, Burung Cenderawasih, Burung Kesturi kepala hitam, Burung Junai Mas, Rusa,

Buaya, Penyu, Ikan Duyung, Ikan Paus, Ikan Lumba-lumba, Penyu, Vegetasi mangrove,

Vegetasi Lamun Kantung semar, dan berbagai jenis tumbuhan obat-obatan tradisional.

Hasil Hutan Bukan Kayu 280

2) Fenomena Alam, yang unik sepertisumber air panas. Air terjun (water fall), goa,

matahariterbit (sunrise) danbeberapagejala alam lainnya.

3) Keindahan Alam yang merupakan perpaduanantarapotensikeindahandaratan, laut,

bawahlaut dengan formasiterumbukarangnya.

4) Keunikansumber daya alam spesifik Papua, seperti Burung cenerawasihdankimaraksasa.

5) Panorama Objek pemandangan alam (Natural view) pada areal yang terbuka dan luas

seperti wisata bahari.

6) Peninggalan sejarah peradaban dan sejarah masuknya Injil di tanah Papua, seperti

Kuburan tua, Tngkorak manusia zaman dulu, Gereja tua dan Alkitab tua.

7) Atraksi budaya spesifik yang bersifat lokal, seperti batu amitui (batu ramal), upacara-

upacara adat (ritual) sebelum pemotongan rambut dan anting-anting

Kawasan hutan wisata Gunung Meja yang berada di bawah wilayah pengelolaan sub

BKSDA menawarkan potensi keanekaragaman vgetasi hutan tropis basah. Hal ini terkait

dengan fungsi utama hutan Gunung Meja sebagai daerah resapa air dan sumber mata air

untuk Kota Manokwari dan sekitarnya. Hutan Wisata Gunung Meja telah ditetapkan sebagai

daerah resapan air sejak zaman kolonialisme Belandan dan Jepang, bahkan terdapat tempat

wisata bersejarah yaitu Tugu Jepang, tugu yang diperuntukkan untuk mengenang

pergorbanan tentara Jepang yang gugur selama perang dunia II. Tetapi sangat disesalkan

bahwa potensi ini sudah mulai pudar, karena kurangnya perhatian pemerintah dan tindakan

dari masyarakat umum yan tidak bertanggung jawab.

Di tingkat pemerintah daerah Kabupaten Manokwari, khususnya Dinas Pariwisata, telah

menentukan dua potensi ekowisata yaitu Tempat Pemanggilan Ikan di Bakaro dan ekowisata

Hutan Bakau. Tempat pemanggilan ikan menekankan kepada aspek ekologi perairan/pantai

dan keunikan mengumpulkan ikan laut dalam waktu singkat (kurang lebih 5-10 menit),

dengan menggunakan umpan rumah rayap dan menggunakan peluit, yang dilakukan oleh

orang tua atau penerusnya yang memang telah memiliki keahlian turun-temurun, Gambar

23.2.

Gambar 23.2. Objek wisata pemanggilan ikan di desa Bakaro, Kab. Manokwari

Ekowisata hutan mangrvove yang berlokasi sekitar 5 Km dari pusat kota Manokwari,

adalah objek wisata yang mengedepankan fungsi ekologi dari pohon mangrove, khusunya

untuk pelindung daerah pesisir dan pantai. Hutan mangrove ini adalah hasil suksesi alam dari

proses pendangkalan yang telah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun terakhir. Selain

tujuan konservasi kawasan pesisir dan pantai, hutan mangrove ini juga dimanfaatkan untuk

media pendidikan publik, yaitu menumbuh kembangkan kesadaan akan pentingya kawasan

pantai dan pesisir yang hijau, dan bersih. Hal ini terkait dengan kondisi/keberadaan wilayah

Papua yang rentan terhadap gempa bumi dan kemungkinan akan terjadinya gelombang

pasang (tsunami) seperti yang terjadi pada tahun 1998.

Hasil Hutan Bukan Kayu 281

Pengembangan potensi sumber daya alam untuk tujuan ekowisata selain bermanfaat

secara ekonomi, pengembangan potensi ekowisata ini juga sekaligus memberikan manfaat

konservasi, dan pelestarian dari kearifan lokal (indigenous knowledge) dari masyarakat

tersebut. Aspek konservasi yang dimaksud adalah menempatkan masyarakat sebagai subjek

dan objek dari ekowisata, dengan melibatkan secara langsung, baik dari perencanaan,

pelaksanaan sampai kepada moniroting keberhasilan dan kegiatan ekowisata itu sendiri.

Sehingga peran aktif masyarakat tersebut yang kita harapkan dapat melestarikan dan

memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk tujuan ekonomi tanpa mengorbankan

kelangsungan dan kerberlanjutan dari potensi tersebut.

Kearifan lokal yang selama ini dipergunakan oleh masyarakat dari generasi ke generasi

telah terbukti mampu mengelola potensi alam yang dimilikinya secara berkelanjutan.

Melibatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam ekowisata, secara tidak langsung juga

memberikan peluang kepada masyarakat untuk tetap dapat menjaga dan melestarikan

pengetahuan lokalnya untuk waktu yang tidak terbatas. Bentuk partisipasi ini juga

merupakan penghargaan atas sumber daya yang mereka miliki atau yang berada di bawah

hukum adatnya. Bentuk perghargaan dan partisipasi masyarakat yang seperti ini tidak ternilai

harganya, dan merupakan kelebihan utama dalam pengeloaan sumber daya alam yang

berbasis masyarakat. Berikut ini dua contoh potensi ekowisata laut untuk menyelam dan

berenang yang berada di kampung Nusaula distrik Buruway Kab. Kaimana, Provinsi Papua

Barat seperti terlihat pada Gambar 23.2 dan 23.3. Potensi keunikan alam seperti yang

ditampilkan oleh Gambar 23.2 dan 23.3 tersebut dapat menjadi keunggulan lokal masyarakat

untuk menerik wisatawan, baik domestik dan mancanegara. Untuk itu beberapa persiapan

atau kegiatan harus sudah direncanakan apabila memang ekowisata menjadi tujuan

pengelolaan. Kegiatan-kegaitan tersebut seperti sosialisasi tentang ekosiwisata beserta

seluruh aspeknya, pelatihan kader wisata di masyarakat, kelembagaan di tingkat masarakat.

Beberapa sarana dan prasarana, baik fisik, non fisik maupun peraturan daerah, baik PERDA

maupun Kampung juga harus disiapkan. Beberapa fasilitas penginapan, rumah makan,

fasilitas kesehatan, trasportasi, dan beberapa fasilitas penunjang lainnya mutlak untuk

direncanakan dengan berbagai stakeholder lainnya, terutama investor swasta.

Foto: Wahyudi dkk (2007)

Gambar 23.2. Pantai pasir putih (nama daerahnya Pasir panjang) yang berada di kampung

Nusaulan distrik Buruway Kab. Kaimana

Hasil Hutan Bukan Kayu 282

Foto: Wahyudi dkk (2007)

Gambar 23.3. Perpaduan ukiran batu karang (mozaik) yang dipadukan dengan kejernihan air

lautnya di wilayah adat kampung Nusaulan distrik Buruway kab. Kaimana.

23.5. Pustaka

Asia-Pacific Forestry Commision. 1998. Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The

Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization

of The United Nation, Rome Italy.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan

Ekowisata di Daerah.

Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dan World Wild For Fund (WWF) .2006.

Draft. Rencana Pengembangan Taman Nasional (RPTN) Kawasan Taman

Nasional Teluk Cenderawasih. Hasil Analisis, Sintesa dokumen dan Input Rapat

Internal Tim Penyusun RPTN Kawasan TNTC.dipersiapkan oleh Godlief

kawer.

Trisurat, Y .2003. Defusing the trasnboundary minefield. ITTO tropical Forest Update Vol

13 (2). Hal. 10-12.

Wollenberg, E., Andrew. I. 1999. Incomes From the Forest. Methods for development and

conservation of forest products for local communities. Center for International

Forestry Research (CIFOR).

Hasil Hutan Bukan Kayu 283

BAB 24

PERDAGANGAN KARBON (CARBONTRADE)

24.1. Pendahuluan

Peningkatan pertumbuhan perekonomian, pertambahan perduduk dunia dan tingkat

kesejahteraan manusia menyebabkan beberapa permintaan kebutuhan, baik kebutuhan bahan

pokok dan jasa naik secara significant dan substansial. Permintaan pemenuhan kebutuhan

pokok tersebut, dapat berupa kebutuhan akan bahan makanan, perumahan, sampai kepada

kebutuhan akan barang-barang jasa, baik jasa primer maupun jasa sekunder. Usaha-usaha

untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, berbagai jenis teknologi, metode dan diversifikasi

kegiatan dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Salah satu kegiatan yang berkaitan dengan bidang kehutanan adalah Kawasan hutan

dikonversi untuk lahan perkebunan, perumahan dan industri, lahan pertanian dikonversi

menjadi real estate, pabrik dan berbagai aktivitas lainnya. Pemenuhan kebutuhan sekunder,

juga berpengaruh terhadap kondisi bumi secara keseluruhan, seperti produksi sistem

pendingin ruangan pada gedung-gedung dan kendaraan berpengaruh terhadap produksi gas

rumah kaca. Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang bersumber dari fosil juga

berperan untuk meningkatkan konsentrasi karbon dioksida (CO2) diatmosfir. Pokok bahasan

ini khusus untuk mendiskusikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia dalam mengkonversi

Karbon dioksida (CO2) mejadi Oksigen (O2) melalaui proses yang dinamakan fotosintesis.

Setelah mempelajari pokok bahasan ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan

tentang:

1. Peran dan fungsi kawasan hutan hutan tropis dalam mengkonversi karbon dioksida

(CO2) menjadi Oksigen (O2);

2. Kesepakatan konvensi global tentang perubahan iklim global dan dampaknya bagi

negara berkembang pemilik hutan tropis;

3. Pengertian Perdagangan karbon (carbon trading) dan penerapan di Indonesia.

24.2. Hutan Tropis Dunia (World Tropical Rain Forest)

Hutan tropis dicirikan oleh adanya keanekaragaman jenis penyusun ekosistem hutan yang

sangat tinggi, dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Tiga lokasi penyebaran hutan tropis

dunia berdasarkan keanggotaan negara dalam Organisasi Perdagangan Negara-negara Tropis

(International tropical Timber Organization/ITTO) yaitu :

1) Hutan Amazone, yang tersebar dinegara Brasil, Peru, Ekuador, Suriname, Bolivia,

Trinidad dan Tobaco, Venezuela dan Guyana.

2) Kelompok hutan Indo Malaya dan Pasific yaitu negara-negara ASEAN termasuk

Indonesia, Papua New Guinea, Fiji, India dan Vanuatu

3) Kelompok Afrika Tengah seperti Kongo, Ghana, Kamerun, Republik Afrika Tengah,

Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, Togo dan Liberia.

Secara sederhana fungsi hutan tropis dan kawasan hutan pada umumnya adalah sebagai

paru-paru dunia, yaitu yang berfungsi untuk mengubah polutan yang utamanaya adalah

karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) melalui jasa pohon hutan atauvegetasi hutan

yang dinamakan dengan proses Fotosintesis. Karbon dioksida yang berasal dari sisa

pembakaran Bahan Bakar Fosil (BBF), yang di Indonesia dikenal dengan nama Bahan Bakar

Minyak (BBM) adalah penyumbang terbesar konsentrasi CO2 dalam atmosfer bumi. Di

samping itu, kegiatan lain yang dapat menyumbang tingginya konsentrasi CO2 di atmosfer

Hasil Hutan Bukan Kayu 284

adalah pembakaran bahan bahan organik, seperti pembakaran sampah, perladangan

berpindah, kebakaran hutan.

24.3. Konvensi International tentang Perubahan Iklim Global

Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perubahan iklim global

(United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) yang

diselenggarakan di kota Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992, yang kemudian dikenal dengan

nama deklarasi Rio de Janeiro. Konvensi ini diselenggarakan karena adanya perubahan pola

iklim global yang akan mempengaruhi seluruh aktivitas manusia di bumi ini. Dalam

konvensi tersebut telah disepakai tentang perlunya upaya-upaya dan tindakan-taindakan yang

harus dilakukan dimasa mendatang. Tindakan-tindakan tersebut belum merupakan suatu

gerakan, tindakan atau yang dikerjakan, tetapi baru sebatas kemauan dan komitmen-

komitmen negara-negara maju untuk memberikan tanggapan terhadap perubahan dalam

pemahaman ilmiah dan kemauan politik, Mudiyarso (2003).

Konvensi berikutnya adalah Sidang pertama Konferensi Para Pihak (First Session ofthe

Conference of Parties, CoP1) yang berlangsung di Berlin, Jerman tahun 1995, sehingga

konvensi ini kemudian dikenal dengan nama Mandate Berlin (BerlinMandate). Pada

konvensi ini Para Pihak memutuskan bahwa komitmen negara-negara maju untuk

mengembalikan emisi ketingkat tahun 1990 menjelang tahun 2000 sangat tidak memadai.

Untuk itu maka dilakukan upaya-upaya untuk menekankan dimulainya suatu proses

yang memungkinkan pengambilan tindakan pada perioda setelah tahun 2000, termasuk di

dalamnya adalah penguatan kominmen negara-negara maju melalui adopsi suatu protokol

atau instrumen legal lainnya. Kemudian, CoP1 memberikan mandat kepada Para Pihak untuk

segera membuat beberapa rencana pembicaraan baru untuk memperjelas komitmen negara-

negara maju, untuk alasan ini kemudian suatu Kelompok ad -hoc dibentuk untuk

menindaklanjuti Mandate Berlin (Ad-hoc Group on Berlin Mandate, AGBM) dengan tugas

utamanya adalah menyusun suatu perjanjian. Setelah beberapa kali bersidang, sebanyak

delapan kali, AGBM menghasilkan sebuah teks yang diajukan kepada CoP3 untuk

dinegosiasikan di Kyoto pada tahun 1997, yang kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto.

24.4. Protokol Kyoto

Protokol kyoto adalah sebuah instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang untuk

mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan

konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak menganggu sistem iklim bumi, Mudiyarso

(2003). Robledo (2004) mengemukakan bahwa dua stategi utama yang digunakan untuk

pendekatan pengurangan konsentrasi GRK adalah Mitigasi (mitigation) dan Adaptasi

(adaptation). Mitigasi adalah strategi yang memfokuskan pada pengurangan emisi GRK dan

menurunkan konsentrasi GRK yang telah berada di atmosfer. Sedangkan adaptasi dapat

diterjemahkan sebagai penyesuaian segala sistem ekologi dan sosial untuk menghadapi

segala dampak dari perubahan iklim global, baik yang telah, sedang dan akan terjadi.

Implikasi dari dua strategi tersebut memiliki beberapa implikasi yang sangat penting

terhadap produksi dan perdagangan segala produk hutan hujan tropis, baik produk kayu

maupun produk bukan kayu (forest good and services) dan juga aktivitas dari negara anggota

ITTO.

Tiga mekanisme yang bersifat fleksible telah disepakati dalam strategi Mitigasi, yaitu

Join Implementation (JI), International Emissions Trading (IET) and The Clean Development

Mechanism (CDM). Dua mekanisme yang pertama yaitu JI dan IET adalah mekanisme yang

berlaku antar sesama negara maju, sedangkan yang CDM adalah mekanisme yang berlaku

antara negara maju dengan negara berkembang.

Hasil Hutan Bukan Kayu 285

Khusus untuk CDM, adalah salah satu instrument penting, khususnya bagi negera-

negara anggota ITTO, yang mana mekanisme perdagangan karbon antara negera berkembang

dengan negara maju dapat diizinkan. Akan tetapi, sampai dengan tahun 2012, CDM hanya

menyangkut dua aktivitas yaitu Reforestasi (reforestration) dan Aforestasi (afforestasi), yang

keduanya diakomodasi dalam Penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan

kehutanan (Land Use- Land – Use Change and Forestry (LULUCF). Pengertian yang

definitif dari reforestrasi dan aforestrasi sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan,

Murdiyarso (2003).

Pentanyaan yang sangat mendasar untuk dijawabadalah, kenapa konvensi ini penting

untuk dilakukan?. Mudiyarso (2003) memberikan suatu illustrasi bahwa konsentrasi karbon

dioksida (CO2) di atmosfer pada tahun 1850sekitar 290 ppmv (part per million volume), akan

tetapi pada abad ke 20 ini (setelah 150 tahun) konsentrasi CO2 tersebut telah mencapai 350

ppmv, dan diperkirakan bahwa pada 100 tahun kedepan, konsentrasi CO2 teresebut akan

menjadi 580 ppmv. Hal ini akan diikuti oleh kenaikan suhu permukaan bumi sekitar 4,5oC.

Effeck yang lain adalah mencairnya cadangan es dikutub utara dan kutub selatan, yang

akan mengakibatkan naiknya permukaa laut, dan ditakutkan akan menenggelamkan beberapa

pulau atau negara yang memiliki ketinggian rendah dari atas permukaan lat. Pengaruh

lainnya adalah adanya perubahan pola cuaca dan iklim (Climate pattern changing), seperti

pola iklim musim penghujan dan musim kemarau untuk Indonesia yang sudah mulai tidak

jelas perbedaannya, terjadinya berbagai bencana alam, seperti angin topan, gelombang La

Nina dan El Nino. Perubahan pola iklim dan cuaca, kenaikan temperature permukaan bumi,

kenaikan air laut, gelombang El Nino, La Nina dan sebagainya itu adalah akibat adanya

pemanasan global yang disebakan peningkatan konsentrasi gaas rumah kaca.

Dunia semakin panas!. Ungkapan ini bukan untuk mengambarkan akan kekejaman dan

keberagaman tindak kriminal dan segala kekacauan di dunia ini, tetapi untuk memberikan

gambaran bahwa temperatur dunia ini bertambah panas dan panas. Hal ini terkait dengan

bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca atau yang lebih terkenal dengan nama Greenhouse

gases GHGs) di atmosfer, yang akan berpengaruh terhadap iklim global (global Climate).

Penomena pemanasan global ini yang kemudian dikenal dengan istilah Pemanasan Global

atau Global Warming. Untuk mengatasi penyebab dan dampak yang mungkin ditimbulkan

oleh fenomena pemanasan global tersebut, maka disusunlah skenario global untuk

menanggulangi dan mengantisipasinya, yang kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto.

24.5. Efek Rumahkaca dan Gas Rumah Kaca (Green House Gases)

Gas Rumah Kaca (GRK) atau yang dalam bahas inggrisnya lebih dikenal dengan

greenhouse gases adalah sejumlah gas memiliki kontribusi terhadap pemanasan global

(global warming). Tingginya kosentrasi GRK tersebut tidak hanya akan mempengaruhi

pemanasan global, tetapi juga akan berpengaruh terhadap penipisan lapisan ozon.

Sebagaiman kita ketahui bahwa fungsi dari lapisan ozon adalah sebagai filter atau penyaring

dari sinar atau gelombang ultra violet dari sinar maatahari. Dua fenomena tersebut,

pemanasan global dan penipisan lapisan ozon tersebut yang kemudian kita kenal sebagai

Efek Rumahkaca.

Sekarang Gas Rumah Kaca itu gas yang mana?. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang

dihasilkan oleh aktivitas manusia dan makhluk hidup lainnya, termasuk microorganisme dan

tumbuhan. dan juga peristiwa alami lainnya, seperti kebakaran hutan. Selanjutnya GRK itu

apa saja? Gas-gas rumah kaca itu terdiri atas karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitrous

Oksida (N2O), Hidrofluorocarbon (HFCs), Perfluorocarbon (PFCs), sufurheksafluorida (SF6),

karbon-sulfur gas (carbon-sulfu gases), Karbon monooksida (CO), nitric oxide, halocarbons,

dan Clorofluorocarbon (CFC), Tyler (1991) dan Mudiyarso (2003).

Efek Rumahkaca memiliki pengertian bahwa dengan meningkatnya konsenstrasi GRK

dalam atmosfer, maka suhu atmosfer akan meningkat. Peningkatan konsentrasi GRK juga

Hasil Hutan Bukan Kayu 286

akan mengurangi ketebalan lapisan ozon, sehingga fenomena yang terjadi adalah GRK

memiliki karakteristik seperti kaca, yaitu meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya

matahari, tetapi juga menyerap dan memantulkan radiasi gelombang atau radiasi yang

dipancarkan oleh bumi yang bersifat panas, dan mengakibatkan suhu atmosfer bumi makin

meningkat, Mudiyarso (2003). Lingkungan bumi yang memiliki konsentrasi GRK yang

tinggi, dapat diibaratakan seperti berada di dalam rumah kaca (greenhouse yang terbuat dari

kaca) yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan suhu di luar rumah kaca tersebut.

Fenomena ini yang kemudian dikenal dengan nama Efek Rumahkaca.

Scheider (1989) yang dikutip oleh Tyler (1991) mengambarkan efek rumah kaca adalah

energy yang dipacarkan oleh sinar matahari terdiri atas seluruh spektrum cahaya, yang mana

sebanyak 30 persen dari energy cahaya yang datang ke bumi akan direfleksikan kembali ke

atmosfer, sedangakan sisanya akan diabsorsi oleh beberapa benda di permukaan bumi, baik

dalam fase gas, padatan dan cairan (solids, gasesand liquids).

Terminology efek rumahkaca terjadi apabila terjadi penambahan atau kejadian di luar

fenomena tersebut tadi. Misalnya sebagian dari energy yang diabsorsi tadi kembali

dipancarkan ke atmosfer oleh benda-benda tadi, yang notabene energy yang dipancarkan ini

adalah spektrum gelombang elektromagentik, yaitu gelombang inframerah. Gas-gas jenis

GRK tersebut memiliki sifat atau karakteristik yang paling efektif untuk menyerab

(absorbing)gelombang elektromagnetik sinar matahari, dan memancarkan kembali (re-

emitting) ke atmosfer dan memantulkannya kembali ke permukaan bumi, yang kemudian

mengurung dan menangkap (trapping and keeping) energy matahari tersebut untuk tetap

berada di atmosfer dan permukaan bumi. Ini yang menyebabkan suhu udara menjadi naik,

dan semakin panas.

Konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janero Barzil (1992) dan dilanjutkan

dengan konferensi sejenis di Kyoto, Jepang yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto

(1997) telah menghasilkan beberapa kesepakan internasional tentang penggakuan produk

jasa hutan tersebut, terutama yang berhubungan langsung dengan iklim global (global

climate) dan pengurangan gas pencetus efek rumah kaca (reducing emmision gasses).

Produk jasa dari hutan mulai diagendakan dalam berbagai konferensi baik nasional

maupun internasional, dan harga jual dari jasa hutan tersebut mulai dikalkulasi dan

ditetapkan. Sehingga produk jasa dari hutan seperti penyimpan karbon (carbon sink/carbon

sequestration) atau hutan sebagai sumber genetik (forest genetic resources) dan konservasi

keanekaragaman hayati (biological diversity conservation) mulai ditentukan diperhitungkan

kompensasinya dalam konferensi internasional tersebut. FAO (1998) melaporkan bahwa

studi atau penelitian pada berbagai tempat diseluruh dunia menyimpulkan bahwa nilai

produk jasa dari hutan seperti rotasi rantai makanan (nutrientCycling), penyeimbang iklim

global (climate regulation), mengontrol erosi (Erosi control) dan jasa lainnya melebihi 60%

dari nilai total suatu kawasan hutan.

24.6. Mekanisme Perdagangan Karbon Melalui Skema REDD bagi Negara-Negara

Berkembang Pemiliki Hutan Tropis

Reducing Emission from Deforestration and Degradation in Developing Countries atau

disingkat REDD adalah mekanisme internasional dari beberapa negara maju dan lembaga

donor international lainnya untuk memberikan insentif bagi negara-negara berkembang yang

berhasil mengurangi emisi karbonnya dari kegiatan pengurangan luas (deforestation) dan

perusakan (degradation) hutan. REDD adalah satu bentuk mitigasi perubahan iklim global

yang bersifat sukarela (voluntary) dan menghormati kedaulatan negara (sovereignty)

berkembang tersebut. Seperti telah dilaporkan oleh berbagai sumber bahwa kegiatan

pengurangan luas hutan (deforestasi) adalah menyumbang sekitar 17.% dari total emisi green

houses gases (GHG), dan 75% dari jumlah tersebut berasal dari kegiatan deforestasi di

Hasil Hutan Bukan Kayu 287

negara-negara berkembang. Gambaran berbagai sumber penghasil gas rumah kaca secar

global dapat digambarkan pada Gambar 24.1.

Sumber: IPCC 2007.

Gambar 24.1. Penyumbang gas rumah kaca global yang dihasilkan oleh berbagai aktifitas

kegiatan lintas sektoral

Kenapa sampai ada REDD?. Setelah adanya kesepakatan global tentang pengurangan

dampak perubahan iklim global yang dikenal dengan protokol Kyoto, perbedaan pandangan

antara sesama negara-negara industri, juga negara-negara berkembang, utamanya dalam

pelaksanaannya di lapangan, semakin melebar dan tidak menemukan titik temu. Pada tahun

2005 diadakan Conference on the Parties (COP) United Nation Climate Change Conference,

di Montreal, Canada, beberapa negara pemilik hutan tropis, termasuk Costa Rica dan Papua

New Guinea, mengusulkan proposal tentang insentif bagi negara berkembang dalam

mengurangi pengkonversian hutan (avoided deforestation).Proposal tersebut kemudian

ditindaklanjuti dalam COP UNCCC -15 di Bali, Indonesia pada tahun 2007, yang kemudian

mengeluarkan dokumen yang dinamakan dengan Bali Action plan. Salah satu point penting

dari Bali action plan tersebut adalah pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di

negara-negara berkembang, yang selanjutnya disingkat dengan REDD in developing

countries. Oleh Perserikatan bangsa-bangsa, program ini kemudian diluncurkan pada tahun

2008, dengan nama United Nation Collaborative Program on Reducing Emission from

Deforestation and Forest Degradation in Developing countries (UN-REDD programnes).

Intinya REDD membantu negara berkembang dalam membangun kapasitasnya mengurangi

emisi dan memastikan peran aktif negara berkembang dalam mekanisme REDD dimasa

mendatang. Setelah diluncurkan, Norwegia menjadi negara pertama yang menjadi donor

untuk REDD tersebut. Selanjutnya, pada tahun 2009 yaitu pada saat COP-15 di Copenhagen,

Denmark, negara ini juga mencatatkan diri sebagai negara kedua yang menjadi donor, dan

diikuti oleh Spanyol pada tahun 2010.

Langkah penting REDD adalah dengan dibentuknya kemitraan dengan sembilan negara

pemilik hutan tropis sebagai pilot project, yang terletak di tiga kawasan yaitu Afrika, Asia-

pasifik, dan Karibia dan Amerika latin. Untuk negara Afrika terdiri atas negara demokratik

Congo, Tanzania, dan Zambia, sedangkan kawasan Asia pasifik terdiri atas Indonesia, Papua

New Guniea dan Viet Nam. Tiga negara di Amerika Latin dan Karibia adalah Bolivia,

Panama dan Paraguay. Hingga saat ini, jumlah negara-negara berkembang yang bergabung

dalam REDD telah bertambah menjadi 29 negara, yaitu 9 negara pilot projek dan 20 peserta

lainnya. Pada tahun 2010, negara Filipina, Kepulauan Solomon dan Kamboja menjadi tiga

Hasil Hutan Bukan Kayu 288

negara baru yang mendapat support untuk pengembangan REDD. Negara-negara yang

mendapat support untuk program REDD di seluruh dunia ditandai dengan warna merah,

sedangkan negara-negara yang juga mengajukan proposal pendanaan REDD ditandai dengan

warna Biru, sebanyak 17 negara. Negara-negara ini yang dikenal dengan nama new partner

countries. Distribusi negara-negara berkembang dalam program REDD dapat dilihat pada

Gambar 24.2.

Sumber: un-redd.org 2011

Gambar 24.2. Distribusi negara-negara berkembang yang menjadi anggota REDD

Indonesia berperan sangat aktif dalam skema perdagangan karbon melalui mekanisme

REDD ini, dan peran Indonesia sangat dominan, baik sebagai inisiator, pelaksana, dan

eksekutor di lapangan. Sebagai negara kepulauan dan pemilik hutan tropis, wilayah

Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim tersebut. Hal ini dudukung

oleh terbitnya surat keputusan presiden No. 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan

Hasil Hutan Bukan Kayu 289

Kelembagaan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang

dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 8 September 2011. Surat keputusan ini berkaitan erat

dengan telah disepakatinya kerja sama antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan

Norwegia dalam kerja sama REDD.

Sosialisasi REDD ke berbagai pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya lembaga

swadaya masyarakat, perguruan tinggi, masyarakat adat, pemilik dan perusahaan

kehutananan mutlak sangat diperlukan. Di tingkat teknis, departemen kehutanan sebagai

instansti pemerintah yang mengelola tata guna hutan di Indonesia, dituntut berperan aktifnya

dalam sosialisasi ke para pemangku kepentingan, dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah.

25.7. Pustaka

Keputusan Presiden Republik Indonesia No.25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan

Kelembagaan Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation

(REDD+).

Murdiyarso, D. 2003. Protokol Kyoto. Implikasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit

Buku Kompas. Jakarta.

Robledo, C .2004. Small Change from Climate-change negotiation?. ITTO Tropical Forest

Update. Vol 14 (1). Hal. 18-19

Tyler, S.C .1991. The Global Methane Budget in Microbial Production and Consumption of

Greenhouse Gases: Metahane, Nitrogen oxides and Halomethanes. Edited by

John E. Rogers and William B. Whitman. American Society for

Microblogy.Washington D.C.

The UN-REDD Strategy 2011-2015.United Nation Reducing Emission from Deforestation

and Forest Degradion. www.un-redd.org

Hasil Hutan Bukan Kayu 290

BAB 25

PENELITIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

25.1. Pendahululan

Berbagai ragam penelitian hasil hutan bukan kayu telah banyak dilakukan dan

dipublikasikan, mulai dari yang bersifat pengumpulan data dan informasi dasar sampai

kepada teknologi pengolahan, pemanfaatan dan bahkan sampai kepada rencana dan stategi

pengembangan komoditas tertentu dan pembangunan kapasitas yang melibatkan masyarakat

lokal.

Penelitian tentang tumbuhan obat misalnya, kajiannya akan diawali dari pengumpulan

data dan informasi tentang potensi, jenis tanaman obat, bentuk pemanfaatannya, dan sampai

kepada analisis bahan bio-aktifnya. Pada tahap selanjutnya maka akan dilanjutkan dengan uji

klinis dan laboratoris terhadap keaktifan senyawa bio-aktif tersebut kepada sel kanker, sel

tumor dan beberapa uji pharmakologi lainnya. Sudah tentu disiplin ilmu yang terlibat di

dalamnya bersifat multi disiplin ilmu, termasukdi dalamnya peran serta ilmu kehutanan,

khusunya Teknologi Hasil Hutan.

Untuk itu, pada pokok bahasan kali ini ditampilkan beberapa contoh, ide dan gagasan

beberapa penelitian hasil hutan bukan kayu. Perlu disadari bahwa tidak seluruh penelitian,

gagasan dan ide tersebut dapat dilaksanakan pada seluruh daerah di Indonesia.

Diharapkan setelah menyelesaikan pelajaran ini para pembaca memiliki kemampuan

untuk:

1. Menjelaskan dan memahami ruang lingkup penelitian hasil hutan bukan kayu,

khususnya posisi dan kontribusi disiplin ilmu teknologi hasil hutan.

2. Memiliki kemampuan untuk merencanakan penelitian hasil hutan bukan kayu yang

diinginkannya.

3. Membedakan batasan kajian penelitian hasil hutan bukan kayu antara disiplin ilmu

kehutanan, khususnya hasil hutan buka kayu, biokimia, kimia bahan alam, farmasi dan

konservasi.

25.2. Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu Berdasarkan Urutan Pengembangan

Komoditas Unggulan

Komoditas hasil hutan bukan kayu sangat beragam dan bersifat multidipliner. Hal

tersebut memiliki pengertian bahwa penelitian hasil hutan bukan kayu tidak hanya monopoli

disiplin atau bidang ilmu kehutanan saja. Akan tetapi melibatkan seluruh disiplin ilmu

terkait. Hal ini karena komoditas hasil hutan bukan kayu adalah komoditas yang bersifat

multi dimensi, meliputi dimensi aspek sosial dan budaya, ekonomi, lingkungan hayati dan

non hayati, ilmu pengetahuan alam (MIPA), keindahan (estetika), dan beberapa dimensi

lainnya.

Khusus untuk memudahkan pemahaman, kesinambungan informasi, dan

pemgembangan komoditas maupun produk ungulan, maka penelitian komoditas hasil hutan

bukan kayu kiranya dapat diringkas dalam tiga kelompok penelitian, yaitu penelitian dasar

(fundamenal/basic research), penelitian lanjutan atau terapan (appliedresearch), dan

penelitian pengembangan produk unggulan (advancedresearch and utilization).

25.2.1. Penelitian Dasar (Basic Research)

Hasil Hutan Bukan Kayu 291

Penelitian dasar sering dinamakan juga sebagai fundamental atau basic reserach.

Penelitian dasar adalah penelitian yang dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi-

informasi yang mendasar dari suatu objek penelitian. Informasi-informasi tersebut dapat

berupa data yang bersifat kwalitatif dan kwantitatif. Pengertian penelitian dasar dalam hal ini

tentu agak berbeda dengan penelitian dasar dalam bidang MIPA. Dalam bidang MIPA,

penelitian dasar dapat diartikan sebagai objek penelitian dari beberapa disiplin ilmu MIPA

dasar, seperti kimia, biologi, matematika, dan fisika.

Dalam hasil hutan bukan kayu, penelitian dasar lebih dititikberatkan pada berbagai

usaha untuk menghimpun, mendiskripsikan dari beberapa variabel alami yang dimiliki oleh

komoditas hasil hutan bukan kayu yang diteliti. Penelitian-penelitian dasar seperti ini

biasanya bersifat survey, study pustaka atau kunjungan ke lapangan, atau terkadang dapat

juga bersifat ekperiment. Informasi-informasi tentang sifat-sifat atau kajian morphologi,

karakterisasi sifat taksonomynya dan beberapa informasi sosial budaya lainnya, adalah

beberapa data dasar yang biasanya dikumpulkan pada beberapa penelitian dasar.

Penelitian dasar tentang tumbuhan obat yang dipergunakan untuk obat tradisional untuk

malaria misalnya, akan terdiri atas beberapa variabel-variabel dasar. Variabel-variabel

tersebut di antaranya adalah nama untuk tumbuhan obat tersebut, baik nama umum, daerah

dan latinnya (ilmiahnya). Untuk memastikan nama ilmiah dari tumbuhan tersebut apakah

sahih (akurat), maka tumbuhan atau bagian dari tumbuhan tersebut harus diidentifikasi dan

dideterminasi oleh taksonomis, dan selanjutnya dicocokkan dengan koleksi tumbuhan sejenis

di herbarium. Pemanfaatan tumbuhan obat tersebut oleh masyarakat lokal juga harus dicatat.

Hal ini penting karena informasi-informasi tersebut akan menjadi informasi dasar untuk

pengembangan dan pemanfaatan tumbuhan obat ini dimasa mendatang. Beberapa informasi

yang lebih rinci untuk penggunaannya sebagai ramuan obat-obatan tradisional juga harus

dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Misalnya bagaimana masyarakat lokal memanen

tumbuhan tersebut, menyiapkan ramuan, ramuan tersebut hanya terdiri atas satu tumbuhan

saja, atau diombinasikan dengan tumbuhan lainnya. Masih banyak informasi-informasi dasar

yang perlu diperhatikan dalam melakukan penelitian dasar ini.

Dengan membaca berbagai jenis penelitian dasar yang telah banyak dilakukan oleh para

peneliti sebelumnya, kita akan dapat dengan mudah memahami berbagai variabel dan

informasi dasar yang harus diambil dan diukmpulkan dari penelitian dasar tersebut.

Perlu digaris bawahi bahwa keluaran, baik output dan outcome dari penelitian dasar

belum dapat memberikan dampak yang significant terhadap objek dari penelitian tersebut.

Sehingga kesimpulan-kesimpulan dari penelitian dasar perlu ditindaklanjuti dalam bentuk

penelitian lanjutan atau terapan.

25.2.2. Penelitian Terapan atau Applikasi (Applied Research)

Keluaran atau output dari penelitian dasar selanjutkan ditindaklanjuti dengan melakukan

penelitian terapan atau applikasi. Pada tahap ini, sudah tentu bahwa tidak semua komoditas

hasil hutan bukan kayu memerlukan tahapan penelitian yang sama dengan komoditas

lainnya, untuk dikembangkan dan dibudidayakan. Hal ini akan sangat tergantung kepada sifat

dan karakteristik dari komoditas HHBK tersebut, serta tujuan pengembangan dan produk

akhir yang ingin dicapai.

Misalnya pengembangan dan budi daya komoditas lebah madu, dan sarang burung

walet, akan memiliki tahapan proses penelitian yang sangat berbeda dengan tumbuhan obat.

Khusus untuk komoditas lebah madu, apabila tujuan produk akhirnya adalah lebah madu,

maka penelitian lanjutannya dapat berupa desain kemasan, ukuran dan label kemasan, dan

beberapa aspek penting pemasaran lainnya. Kandungan nutrisi dari kemasan madu, tanggal

kedaluwarsa, dan beberapa bahan tambahan lainnya, seperti rasa jeruk, juga perlu

ditambahakan dalam kemasan. Proses dan metode untuk menghasilkan madu kualitas utama

Hasil Hutan Bukan Kayu 292

berdasarkan kepada standar umum yang telah dibakukan adalah aspek penting lainnya yang

dapat dilakukan pada penelitian lanjutan untuk komoditas lebah madu.

Khusus untuk penelitian lanjutan atau terapan bagi tumbuhan obat, setelah informasi

taksonomi tumbuhan ditetapkan, diskripsi pemanfaatan dan penggunaan, serta jenis penyakit

yang dapat diobati, maka tahap selanjutnya adalah uji pharmakologi dari ekstrak tumbuhan

tersebut pada berbagai test. Kalau tumbuhan obat dipergunakan sebagai obat anti malaria,

maka uji anti-plamodium terhadap plasmodium malaria dapat dilakukan, baik secara in vitro

maupun in vivo. Berbagai dosis atau konsentrasi dengan mengacu kepada hasil penelitian

dari penelitian dasar sebelumnya, perlu dipertimbangankan dalam menentukan dosis ekstrak

yang diujikan. Sedangkan penelitian lanjutan seperti isolasi dan penentuan bahan aktif dari

tumbuhan obat, dapat dilakukan setelah tumbuhan tersebut terbukti efektif sebagai anti

malaria. Karena malaria adalah penyakit yang sangat kompleks, dan bahan ekstrak tumbuhan

obat juga mengandung senyawa kimia yang sangat kompleks, maka tidak ada jaminan bahwa

tumbuhan obat yang di klaim sebagai anti malaria akan menunjukkan hasil yang

mengembirakan. Demikian juga, senyawa murni yang berhasil diisolasi dan ditentukan

strukturnya dari tumbuhan obat anti malaria, belum tentu menunjukkan sifat anti

plasmodiumnya. Karena itu, untuk tumbuhan obat anti malaria sebaiknya uji pharmakologi

yang lainnya, seperti anti oksidan, anti inflammatory, anti pyretik, anti analgesik dan

seterusnya dapat dilakukan. Hal ini karena malaria umumnya disertai dengan demam dan

panas yang tinggi, sehingga setiap demam dan panas yang tinggi belum tentu malaria.

Hal tersebut di atas, hanya merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan

komoditas hasil hutan bukan kayu khususnya tumbuhan obat sebagai anti malaria. Masih

terdapat ratusan bahkan ribuan komoditas HHBK yang memerlukan penelitian lanjutan untuk

dapat dikembangkan menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi.

25.2.3. Penelitian Pengembangan Produk Unggulan (Advanced Research and Utilization)

Penelitian pengembangan produk unggulan adalah penelitian yang dilakukan terhadap

beberapa komoditas HHBK yang memiliki karakteristik yang yang unik. Unik dalam hal ini

dapat diartikan bahwa produk HHBK tersebut adalah asli Indonesia, atau potensinya

melimpah, dan hanya dapat ditemukan di Indonesia. Sehingga dengan sendirinya, tidak

semua komoditas HHBK dapat dijadikan sebagai produk unggulan, dan memerlukan

penelitian yang mendalam dan menyeluruh. Bila dilihat dari wujudnya, maka komoditas

HHBK yang dapat dikembangkan menjadi produk unggulan ini dapat berupa produk barang

dan jasa. Produk barang misalnya beberapa komoditas HHBK unggulan Indonesia sepert,

produk-produk olahan dari gaharu, pala, cengkeh, rempah-rempahan dan sebagainya. Melalui

penelitian ini, komoditas tersebut bukan hanya dijual atau diekspor dalam bentuk bahan

mentah, masih berupa serbuk atau kayu gaharu, tetapi sudah dalam bentuk minyak olahan

gaharu, sehingga dapat menambah nilai tambah dan meningkatkan harga jualnya di Luar

negeri. Hal ini tentu akan menambah pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, dan

menambah devisa negara. Komoditas HHBK yang berupa Jasa, seperti wisata alam Raja

Ampat, Ujung kulon, dan orang utan, dapat dikembangkan menjadi paket wisata yang

menyeluruh, baik dari perjalanan, penginapan, keimigrasian dan beberapa aspek penting

lainnya.

Penelitian pengembangan dari tumbuhan obat adalah tahapan yang mutlak diperlukan

untuk menjamin keaslian obat herbal yang dipasarkan, mempertanggungjawabkan khasiat

obat herbal berdasarkan data penelitanilimah, standarisasi kemasan dan keamanan, serta

beberapa informasi penting lainnya yang wajib diketahui, baik oleh konsumen, pemerintah

dan beberapa independen lainnya. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman

hayati tumbuhan obat yang tinggi, dan pemanfaatan obat-obatan tradisional dari tumbuhan,

yang dikenal dengan Jamu, telah berlangsung secara turun temurun. Keanekaragaman

tumbuhan obat ini harus dapat diolah dan dikembangkan menjadi komoditas produk herbal

Hasil Hutan Bukan Kayu 293

yang berstandar, aman dan bersertifikat. Sehingga konsumen akan merasa nyaman

mengkonsumsinya.

Apabila dihadapkan pada dua pilihan yang harus dipilih, mengembangkan obat-obatan

dari tumbuhan obat, dan atau mengembangkan produk herbal dari tumbuhan obat, maka

alternatif yang kedua yang sebaiknya di jalankan. Ada beberapa alasan kenapa

pengembangan produk herbal lebih realitis untuk dikembangkan, khususnya di Indonesia,

yaitu:

1. Untuk menghasilkan obat-obatan memerlukan waktu yang sangat lama, bisa 10-15

tahun, dan juga biaya yang besar. Hanya perusahaan-perusahaan besar yang sanggup

mengembangkan obat. Karena biaya memproduksi obat-obatan memerlukan investasi

yang besar, maka harga jualnya juga mahal. Sehingga pada beberapa kasus, obat-obatan

yang pada mulanya dikembangkan dari pemanfaatan tumbuhan obat dari penduduk

lokal, dan setelah menjadi obat, penduduk lokal tidak mampu membeli obat-obatan

tersebut, karena harganya yang tidak terjangkau. Penduduk lokal juga tidak

mendapatkan royalti dari pengembangan pengetahuan lokal dan tumbuhan obat yang

mereka miliki tersebut.

2. Hak patent dari obat-obatan yang berasal dari tumbuhan obat tersebut, sebagian besar

adalah monopoli dari perusahaan –perusahaan pharmasi besar, tanpa ada kompensasi

kepada penduduk lokal pemilik asli dari tumbuhan obat tersebut.

3. Pengembangan produk herbal dari tumbuhan obat memerlukan waktu yang relatif lebih

singkat, sekitar 5-10 tahun, dengan biaya yang relatif lebih rendah.

4. Pengembangan produk herbal dapat melibatkan peran aktif dari masyarakat lokal, baik

sebagai petani tumbuhan obat, ataupun tenaga dalam proses produksinya.

5. Hak patent dari produk herbal tersebut tidak dimonopolioleh perusahaan-perusahan

farmasi besar, sehingga masyarakat juga berhak dan merasa dihargai dengan

pengembangan produk herbal dari tumbuhan obat yang mereka miliki dan budidayakan.

6. Nilai plasma nutfah dari tumbuhan obat tersebut tidak akan hilang, atau diambil oleh

orang luar, dan akan tetap menjadi milik masyarakat lokal dan dapat diteruskan kepada

anak cucunya.

7. Dari sisi pemberdayaan masyarakat hutan, pengembangan produk herbal adalah salah

satu metode yang tepat, murah dan mudah dalam pelaksanaannya.

8. Produk obat-obatan biasanya hanya diproduksi untuk menanggulangi satu jenis

penyakit. Sedangkan produk herbal biasanya adalah kumpulan dari beberapa tumbuhan

obat, sehingga efeknya tidak hanya satu penyakit, tetapi beberapa gejala penyakit

sekaligus. Hal ini ditunjang dengan kenyataan bahwa suatu penyakit selalu dibarengi

atau diimbangi oleh berbagai gejala yang muncul secara bersamaan, sehingga

memerlukan terapi secara bersama-sama.

Sebenarnya masih banyak kelebihan-kelebihan pengembangan produk herbal,

dibandingkan dengan obat-obatan. Dari segi keamanan, produk herbal sangat aman

dikonsumsi, tanpa ada efek sampingannya. Sedangkan obat-obatan, terkadang ada efek

kontradiksinya, sehingga perlu penangganan khusus.

25.3. Beberapa Contoh Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Fakultas Kehutanan

UNIPA

Berbagai jenis penelitian yang dijelaskan pada paragrap ini ditujukan untuk memberikan

gambaran tentang jenis-jenis penelitian hasil-hasil hutan bukan kayu yang selama ini

dilaksanakan, baik oleh mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dinas kehutanan, lembaga

penelitian, lembaga konservasi dan badan penelitian lainnya, khususnya yang berlokasi di

Papua dan Papua Barat.

Hasil Hutan Bukan Kayu 294

Tahapan pertama yang harus dipahami dan dipikirkan dengan seksama adalah tujuan

kita melakukan penelitian, apakah untuk sekedar membuat tulisan atau tugas akhir, seperti

pada mahasiswa misalnya, atau untuk penyusunan rencana pengembangan dan pengelolaan

komoditas hasil hutan bukan kayu oleh Dinas Kehutanan, atau eksplorasi dan identifikasi

jenis-jenis serta potensinya untuk mendapatkan senyawa bio-aktif untuk tujuan pengobatan

HIV/AIDS, malaria, maupun virus Flu Burung, ataupun dari kaca mata lembaga swadaya

masyarakat yang lebih melihat dari aspek konservasi sumber daya alam, mapun

pengembangan masyarakat lokal dengan mempelajari sosial budaya dan tingkat pengetahuan

masyarakat lokal yang dikenal dengan kearifan lokal (Indigeneous knowlwdge).

Dari paragrap di atas, kita akan memiliki gambaran tentang tujuan penelitian kita dan

bagaimana menjawab tujuan tersebut. Untuk itu, perumusan tujuan, penentuan variabel

penelitian dan metode yang akan yang akan dipergunakan perlu direncanakan dengan baik

dan benar.

Paragrap berikut ini adalah beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa di

Universitas Negeri Papua yang mengambil topik berkaitan dengan hasil hutan bukan kayu,

baik bersifat studi eksplorasi, studi diskripsi maupun beberapa penelitian eksperimen.

Harapannya adalah para mahasiswa dapat mempelajaari beberapa perumusan penelitian dan

variabel-variabel penelitian yang diperlukan untuk mendukung tujuan penelitian.

Sasaran lain yang lebih penting adalah bahwa kajian atau penelitian hasil hutan bukan

kayu sangat luas, sehingga bukan monopoli disiplin ilmu kehutanan, khusunya teknologi

hasil hutan saja, tetapi dapat dari bidnag MIPA, peternakan, konservasi, pertanian dalam arti

luas dan seterusnya. Diharapkan melalui pemaparan ini mahasiswa terbuka wawasannya

untuk menggali dan mengaji topik-topik lain yang lebih menarik, informatif dan bermanfaat.

Karena yang terjadi selama ini adalah topik dan tujuan penelitian adalah hampirsama, atau

boleh dikatakan sama, yang membedakan adalah hanya lokasi dan waktu penelitian saja. Hal

ini sangat tidak mendidik mahasiswa untuk berpikir kreatif, inovatif dan cenderung meniru

penelitian yang telah ada.

Penelitian tentang hasil hutan bukan kayu yang dilakukan oleh para mahasiswa

khususnya program strata satu, kebanyakan lebih banyak berfokus pada eksplorasi, atau

pengumpulan data dan informasi yang bersifat deskriptif. Subjek-subjek penelitian yang

banyak dikaji adalah jenis tumbuhan obat dan betuk pemanfaatannya, identifikasi rotan,

pengeringan rotan, studi teknologi rotan dan penggunaan komoditas hasil hutan bukan kayu

oleh masyarakat tertentu.

Berikut adalah beberapa penelitian yang berhasil di ringkas untuk dipelajari lebih lanjut

yaitu : Penelitian yang dilakukan oleh saudari Dewi (2003) dengan judul Pemanfaatan Hasil

Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni distrik Manokwari Kabupaten Manokwari,

memiliki tujuan untuk mengetahui jenis jenis hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan oleh

masyarakat kampung Nuni dan cara pemanfaatannya. Penelitian ini adalah penelitian

diskriptif dan dirancang denganteknik survei. Survey dilakukan untuk mengumpulkan data

dan informasi yang diperoleh dari responden, dan untuk mendapatkan contoh komoditas

hasil hutan bukan kayu dilakukan survey lapangan ke hutan maupun kebun dan kemudian

jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang belum diidentifikasi diawetkan dalam bentul

specimen dan dideterminasi di Herbarium untuk menentukan namanya ilmiahnya.

Variabel penelitian yang disusun untuk dapat menjawab tujuan penelitian hasil hutan

bukan kayu (HHBK) tersebut meliputi:

Identitas responden, menyangkut nama, umur, pendidikan, pekerjaan utama, jumlah

anggota keluarga, pendapatan, dan lama bermukim. Variabel ini dimasudkan untuk

mengetahui tingkat keterkaiatan sosial dan budaya terhadap tingkat kearifan masyarakat.

Pemanfaatan HHBK, yang meliputi Nama lokal, nama ilmiah, bagian tumbuhan/hewan

yang dimanfaatkan, Tujuan pemanfaatannya, cara pengolahannya, bentuk akhir dan asal

HHBK.

Hasil Hutan Bukan Kayu 295

Pengetahuan lokal (Indigenous knowledge) atau kearifan lokal, meliputi jumlah HHHK

setiap kali pengambilan, peremajaan atau penamanam, frekuensi pengambilan dan

lokasi pengambilan. Variabel ini untuk mengetahui tingkat kearifan masyarakat lokal

terhadap komoditas HHBK, dan usaha untuk mempertahankan sumber daya HHBK

yang dimilikinya.

Pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan responden, berarti daftar

pertanyaan telah disiapkan dalam daftar pertanyaan yang disebut sebagai kuisioner. Data dan

informasi yang telah tercata maupun terekam dari hasil wawancara dengan responden

kemudian disortir ke dalam tabel ataupun bentuk lainnya untuk kemudahan pengolahan dan

analisis.

Penelitian Hasil Hutan bukan kayu lain yang dilakukan oleh Pakpahan (1993) yaitu

tentang Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih (Melaluca cajuputi)

asal Taman Nasional Wasur. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data mengenai

berbagai komponen kualitas kayu putih asal taman nasional Wasur Merauke. Untuk itu maka

variabel penelitian yang telah dirumuskan untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah terdiri

atas Warna dan penampilan minyak kayu putih, bobot jenis, sifat putaran optik, indek bias,

kelarutan dalam alkohol, kadar sineol dan keberadaan minyak lemak.

Penelitian dari Pakpahan (1993) di atas bersifat diskriptif dengan menggunakan teknik

observasi. Kalau dicermati dengan teliti, pada penelitian ini terdapat dua kegiatan penelitian,

yaitu proses penyulingan atau ekstraksi minyak kayu putih itu sendiri dan pengujian kualita

minyak kayu putih. Pada poin yang pertama, penyulingan minyak kayu putih, juga dapat

diuraikan lagi menjadi beberapa penelitian, seperti penggunaan jenis tungku untuk

penyulingan, pengaruh ukuran perajangan terhadap rendemen minyak kayu putih, pengaruh

penjemuran tergahap rendemen minyak kayu putih dan sebagainya.

Penelitian tentang komoditas Hasil hutan bukan kayu yang dipergunakan sebagai obat-

obatan tradisional dilakukan oleh Rombe (2004) dengan judul Tumbuhan Hutan Sebagai

Bahan Obat Tradisional pada Masyarakat Suku Kanum di Kampung Yanggandur Kabupaten

Merauke. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan hutan

sebagai obat tradisional oleh suku Kanum yang bermukim di Kampung Yanggandur

Kabupaten Merauke.

Untuk menjawab tujuan penelitan yang telah dirumuskan, Rombe (2003) menguraikan

variabel penelitiannya yaitu meliputi:

1. Jenis dan bagian tumbuhan hutan yang dipergunakan sebagai bahan baku obat

tradisional

2. Cara meramu/meracik bagian tumbuhan dan pemakaiannya sebagai obat tradisional

3. Nilai-nilai sosial masyarakat suku Kanum tentang pola pewarisan pengetahuan dan

upaya konservasi dalam pemanfaatan tumbuhan hutan sebagai obat tradisional.

4. Persepsi masyaarakat Suku Kanum tentang pengobatan modern/medis maupun klinis

5. Nilai sosial ekonomi tumbuhan obat tradisional pada masyarakat suku Kanum.

Dari beberapa variabel yang telah dirumuskan tersebut terdapat beberapa aspek kajian

yang dapat dilihat dan dijadikan pokok bahasan. Pada poin pertama, mengkaji tentang jenis

tumbuhan hutan (dapat berupa pohon, herba, semak, efifitdan seterusnya) dan bagian dari

tumbuhan hutan tersebut (dapat berupa daun, akar, kulit, kayu, bunga, buah, dan bagian

tumbuhan lainnya) yang dijadikan bahan baku obat tradisional, poin kedua membahas

tentang cara meramu, meracik, mencampur maupun menyajikan tumbuhan obat tersebut.

Dalam penggunaannya tumbuhan tersebut dimanfaatkan secara murni (tanpa pencampuran

dengan tumbuhan lain), atau dicampur dengan proporsi tertentu, hal ini tentunya akan

tergantung kepada jenis penyakit yang akan dihadapi. Pemakaian atau penyajian dapat

berupa diminum, dimakan/dikunyah, digosokkan, atau bahkan ditempelkan secara terus

menerus seperti dikompres.

Hasil Hutan Bukan Kayu 296

Pada poin sosial budaya dan pewarisan, dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana

Pengetahuan atau kearifan lokal (Indegenousknowledge) masyarakat suku Kanum tersebut

dipelihara, dipertahankan dan diturunkan kepada generasi mudanya. Hal ini penting untuk

mengetahui kerberlangsungan dan keberadaan pengetahuan lokal tersebut dapat terjaga dan

terpelihara. Sedangkan untuk kajian sosial ekonomi dari penelitian ini adalah dimaksudkan

untuk mengetahui kontribuis tumbuhan hutan yang menghasilkan obat tersebut memberikan

kontribusi terhadap penambahan pendapatan terhadap masyarakat lokal atau tidak . Hal ini

akan terkait dengan salah satu karakteristik dari komoditas HHBK yang kurang dapat

bersaing dengan komoditas Kayu, karena pemanenan HHBK hanya diditujukan untuk

memnuhi kebutuhan masyarakat lokal sehari-hari, sehingga bersifat subsisten, dan bukan

bersifat komersial.

Poin yang tidak kalah pentingya adalah kajian tetang persepsi masyarakat lokal tentang

pengobatan yang dilakukan oleh tenaga medis, seperti dokter, mantri, bidan dan puskesmas.

Informasi ini penting untuk diketahui, karena khusus untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa,

seperti Kalimantan, Sumatra, Sulawei, Maluku, dengan aksesbilitas yang masih rendah,

pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan memerlukan investasi yang cukup besar. Apabila

masyarakat meyakini bahwa pengobatan tradisional masih mampu menjawab dan memenuhi

kebutuhan kesehatan meraka, maka pihak pemerintah daerah dan lembaga yang

berkepentingan lainnya memiliki kewajiban untuk memperdayakan potensi pemanfaatan

penggunaan obat tradisional tersebut.

Penelitian HHBK yang lain seperti yang dilakukan oleh Oropa (2001) dengan judul

Kajian Industri Kerajinan Rotan Asalan di kota Biak, memiliki tujuan untuk mendiskripsikan

keadaan industri kerajinan rotan di kota biak dan mengkaji beberapa aspek yang turut

mempengaruhi kelangsungan operasional industri. Penelitian ini adalah penelitian yang

kompleks, yang mana kajian pembahasannya tidak hanya meliputi komoditas HHBK rotan,

tetapi sudah kepada aspek lainnya seperti tenaga kerja, modal usaha, pengolahannya rotannya

dan beberapa kajian pemasaran misalnya.

Oropa (2001) merumuskan variabel-variabel penbelitiannya dengan uraian yang

meliputi kajian tentang : a). Bahan Baku, b) Tenaga kerja, c) Fisik Industri, d) Proses

Pengolahan dan Jenis produk, e) Biaya Produksi dan f) tata niaga. Variabel-variabel tersebut

masih memiliki parameter-parameter yang independen atau penunjang, seperti bahan baku

rotan memiliki beberapa parameter yang mempengaruhi kualitas bahan baku, seperti jenis

rotan yang dipergunakan sebagai bahan baku, cara perolehan, asal perolehan, karakteristik

rotan (diameter, panjang ruas, diameter batang, kesilindrisan, jumlah pemakaian dan

pengeringan rotan.

Variabel tenaga kerja pada industri rotan tersebut meliputi jumlah tenaga kerja, status

tenaga kerja, sistem pengupahan, jam kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keahlian, dan

pengalaman serta keterampilan. Variabel Fisik industri meliputi aksesbilitas terhadap pasar

dan bahan baku, lokasi industri, sistem permodalan, tempat usaha (menyewa, patungan atau

milik sendiri), inventaris bangunan dan sarana dan prasarana lainnya.

Variabel proses pengolahan dan jenis produk meliputi pengolahan rotan berdiameter

besar, perlakukan awal, desain produk, pembuatan produk (pembuatan bagian bagian kecil,

perakitan, pengamplasan), penambahan aksesoris, finishing dan penyimpanan. Sedangkan

variabel biaya produksi meliputi biaya tetap, biaya variabel dan biaya operasional, yang di

dalamnya terdapat depresiasi (penyusutan) alat, biaya bahan bakar, biaya suku cadang (spare

part), biaya bahan bakar, perpajakan dan sebagainya.

Variabel tata niaga akan terdiri atas sistem pemasaran (orderan atau penawaran), aliran

pemasaran (dipasarkan sendiri atau ditangani pihak ketiga/agen, atau memiliki show room),

harga jual, target produk (lokal atau ekport), jumlah produk terjual per bulan, proomosi dan

kompetisi dari industri lainnya.

Salah satu penelitian tentang Pengujian dan Evaluasi kualitas rotan untuk mengetahui

mutu rotan sebagai bahan baku industri dilakukan oleh Pagapong (2001) dengan judul

Hasil Hutan Bukan Kayu 297

Pengujian Dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus Dan Korthalsia Asal Kebar

Kabupaten Manokwari . Peneliitan ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas rotan

berdiameter besar dan kecil asal Kebar, mengetahui pengaruh berbagai kondisi penggorengan

terhadap penurunan kadar air rotan berdiameter besar, dan mengetahui sifat fisik rotan

berdiameter besar setelah dilakukan penggorengan. Variabel yang dirumuskan untuk

menjawab tujuan penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel sebelum

perlakukan penggorengan, seperti panjang batang rotan masak tebang, diameter batang,

kesilindrisan batang, panjang ruas, cacat rotan, kadar air, elastisitas dan kecerahan.

Sedangkan variabel pengujian setelah penggorengan adalah mutu seperti Kadar air, elastisitas

dan kecerahan.

Pada penelitian ini ada dua aspek penting yang dilihat yaitu aspek tanpa perlakuan, yaitu

tangpa penggorengan, yang mana mengukur dan menguji sifat dan kualitas alami, dan aspek

setelah diberi perlakuan penggorengan yaitu pengaruh penggorengan terhadap karakter alami

rotan, terutama kualitasnya. Metode penelitian ini yang pertama adalah metode diskriptif dan

yang berikutnya adalah metode eksperimen, yaitu dengan memberikan perlakuan

penggorengan.

Penelitian eksperimen yang lain terhadap komoditas Rotan juga pernah ddilakukan oleh

Sirait (1998) dengan judul yaitu Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan Terhadap

Kadar Air Dua Jenis Rotan Diameter Besar Asal Manokwari. Tujuan dari penelitiaan ini

adalah untuk mengetahui kandungan kadar air dalam rotan pada berbagai kondisi

penggorengan seperti campuran/komposisi bahan dan lama penggorengan. Karena

menggunakan metode eksperimen, maka penelitian dirancang dengan menggunakan

rancangan percobaan, yaitu menggunakan rancangan faktorial, di mana perlakuan yang

pertama adalah komposisi bahan penggoreng sebagai variabel A dengan tiga jenis komposisi

yaitu digoreng dengan minyak tanah saja (A1), Minyak tanah dan air dengan perbandingan

1:5 (A2) dan minyak tanah –air dengan perbandingan 1:10 (A3). Perlakuan yang kedua yaitu

lama penggorengan (B) yang terdiri atas tiga level yaitu 10 menit (B1), 20 Menit (B2) dan 30

Menit (B3). Perlakukan yang ketiga adalah jenis rotan yaitu Calamus aruensis Becc (C1) dan

Korthalsia zipelli Burr (C2).

Contoh penelitian Hasil hutan bukan kayu lainnya adalah penelitian tentang lebah madu,

seperti yang dilakukan oleh May (2005) dengan judul Sistem Pemeliharaan Lebah Madu di

Kampung Ambaidiru Distrik Angkaisera Kabupaten Yapen. Tujuan penelitian ini adalah

untuk melihat sistem pemeliharaan yang diterapkan oleh masyarakat peternak lebah madu di

Kampung Ambaidiru. Variabel penelitian terdiri atas variabel utama seperti:

1. Pemilihan lokasi peternakan, yang terdiri atas jarak antara lokasi dengan sumber pakak,

pemukiman pemilik lebah madu dan jalan raya.

2. Sumber bibit lebah madu, meliputi sumber-sumber dalam memperoleh jenis lebah

maadu yang diperlihara

3. Penyediaan stup (peti lebah madu), meliputi jumlah stup, ukuran stup, jarak antar stup,

ukuran kandang, ukurang sisiran dan penyanggah stup.

4. Penempatan stup, meliputi letak dan arah stup

5. Penyediaan peralatan, terdiri atas peralatan pokok peternak madu yaitu masker

pelindung kepala, pakan pelindung, alat pengasap dan ekstraktor madu

6. Sumber pakan adalah jenis tanaman yang digunakan oleh lebah sebagai sumber pakan

dengan jarak radius 1-2 km, jarak antar tanaman sumber pakan dengan stup, jarak

sumber pakan yang satu ke yang lainnya.

7. Pemanenan, pasca panen dan produksi, meliputi cara pemanenan. Jarak waktu panen

dan hasil panen dari lebah madu yang diperlihara

Sedangkan variabel penunjang terdiri atas tenaga kerja dan pelatihan dan penyuluhan

yang diikuti. Tenaga kerja meliputi tenaga kerja keluarga dan luar keluarga yang terlibat

dalam pemeliharaan lebah madu, umur dan jenis kelamin, sedangkan pelatihan adalah jenis

Hasil Hutan Bukan Kayu 298

kegiatan pelatihan dan penyuluhan tentang beternak lebah atau penunjang lainnya yang

pernah diikuti dan instansi penyelenggaranya.

25.4. Pustaka

Dewi, H.F. 2003. Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni

distrik Manokwari Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada

Jurusan Budi daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua

Manokwari (tidak diterbitkan)

May, B.I. 2005. Sistem Pemeliharaan lebah madu di Kampung Ambaidiru Distrik

Andkaisera Kabupaten Yapen. Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan

Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Oropa. H. 2001. Kajian Industri Kerajinan Rotan Alfian di Kota Biak. Skripsi Sarjana

Kehutanan pada Jurusan Budi daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

Negeri Papua Manokwari (tidak diterbitkan)

Pagapong, I.I. 2001. Pengujian dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus dan

Korthalasia asal Kebar Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. (Tidak diterbitkan).

Pakpahan, E.R. 1993. Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih

(Melaleuca cajuputi) asal Taman Nasional Wasur Merauke Irian Jaya. Skripsi

Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas

Negeri Cenderawasih Manokwari (tidak diterbitkan)

Sirait, U. 1998. Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan terhadap kadar air rotan Diameter

Besar asal Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada Fakultas Pertanian,

Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak diterbitkan

Hasil Hutan Bukan Kayu 299

BAB 26

PELUANG USAHA KOMODITAS

HASIL HUTAN BUKAN KAYU

26.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan yang terakhir ini, penulis sengaja menambahkan beberapa

informasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memulai kegiatan usaha atau

kewirausahaan komoditas HHBK. Kewirausahaan tersebut dapat berupa kegiatan

pemanenan, pemungutan, pembudidayaan, pengolahan, diversifikasi produk, pemasaran, dan

bahkan pengembangan produk unggulan dari komoditas HHBK.

Kenapa topik ini penting untuk dibahas? Karena berbagai potensi komoditas HHBK

yang dimiliki oleh Indonesia, kebanyakan belum dimanfaatkan secara optimal, ataupun

belum diolah dengan melibatkan teknologi, biarpun teknologi tersebut adalah teknologi

sederhana dan minim investasi. Selama ini komoditas HHBK asal Indonesia dijual dan

diekspor dalam bentuk produk mentah (sebagai bahan baku), atau produk setengah jadi ke

luar negeri atau antar pulau di Indonesia. Dalam hal ini, komoditas HHBK hanya dipanen

atau di petik hasilnya dan dijual dalam bentuk bahan mentah. Sehingga masyarakat lokal,

yaitu petani komoditas HHBK tidak menikmati keuntungan yang optimal. Beberapa

kelompok komoditas HHBK yang diolah, dan dikemas dengan baik, terbukti mampu

meningkatkan nilai jual dari produk-produk tersebut.

26.2.Komoditas Unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu Daerah dan Nasional

Mengacu kepada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II/2009 tentang

kriteria dan indikator penetapan hasil hutan bukan kayu unggulan, untuk tujuan prioritas

pengembangan dan pembudidayaan, komoditas HHBK unggulan dikelompokkan ke dalam

tiga kelompok unggulan yaitu unggulan nasional, unggulan provinsi dan unggulan lokal

(kabupaten/kota setempat). Kriteria-kriteria yang dipergunakan untuk menentukan komoditas

HHBK unggulan yaitu kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan

teknologi. Masing-masing kriteria tersebut memiliki indicator dan standar yang nantinya

akan dinilai dengan menggunakan skoring. Semakin tinggi nilai skor, berarti komoditas

tersebut memiliki peluang yang besar untuk dijadikan sebagai komoditas HHBK unggulan.

Berdasarkan kriteria, indikator dan standar yang ditetapkan dalam peraturan menteri

tersebut, telah ditetapkan 6 jenis HHBK unggulan nasional yaitu Rotan, Bambu, Sutera alam,

Lebah madu, Gaharu dan buah Nyamplung. Sedangkan untuk komoditas HHBK unggulan

provinsi, dan unggulan lokal, masing-masing provinsi dan daerah diberi keleluasaan untuk

menetapkan komoditas HHBK unggulannya, berdasarkan hasil skoring yang telah dilakukan.

Masing-masing daerah baik di level provinsi maupun di tingkat kabupaten atau

kotamadya, memiliki komoditas HHBK yang khas, atau hanya dapat ditemukan di daerah

tersebut. Contohnya adalah komoditas Pala (nutmeg) hanya ditemukan di daerah Maluku dan

daerah kepala burung Papua, yaitu Fakfak, dan Kaimana. Untuk kasus seperti ini, akan lebih

bijak dan realitis untuk mengembangan komoditas tersebut sebagai HHBK unggulan lokal

atau unggulan provinsi. Komoditas HHBK unggulan untuk provinsi dapat ditetapkan

berdasarkan hasil skoring beberapa HHBK yang dominan di daerah tersebut.

Sebagai contoh di provinsi Papua Barat terdapat komoditas Pala di kabupaten Fakfak

dan Kaimana, Sagu di kabupaten Teluk Wondama dan Sorong Selatan, kepulauan Raja

Ampat, di Kabupaten Raja Ampat, dan Kupu-kupu di pengunungan Arfak. Berdasarkan

kriteria dan indikator menurut peraturan menteri kehutanan no 21 tahun 2009, maka

Hasil Hutan Bukan Kayu 300

komoditas-komoditas HHBK di Papua Barat tersebut dapat ditentukan sebagai komoditas

HHBK unggulan daerah.

26.3. Peluang Usaha Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu

Mengacu kepada peraturan menteri kehutanan no 21 tahun 2009, tentang kriteria dan

indikator penetapan jenis hasil hutan bukan kayu unggulan, maka untuk memulai usaha

komoditas HHBK, baik usaha budi daya maupun usaha pengembagan produk, maka rasanya

cukup sulit dan agak rumit untuk dilaksanakan. Karena hal tersebut menyangkut

pengumpulan berbagai informasi dasar dan pengolahan data dari informasi-informasi yang

telah dikumpulkan, yang pada akhirnya akan menghasilkan kesimpulan. Masyarakat kita

belum terbiasa dengan hal-hal yang bersifat ilmiah atau penelitian, biarpun yang sangat

sederhana sekalipun. Berikutnya, pihak instansi terkait, seperti kehutanan dan lainnya, juga

belum sepenuhnya paham akan tugas dan tanggung jawabnya, terutama menyangkut

pengembangan, budi daya, dan aspek-aspek kewirausahaan dari komoditas HHBK. Pada

kebanyakan kasus, yang terjadi adalah instansi kehutanan hanya menjalankan tugas untuk

menarik iuran atau pajak dari komoditas HHBK tersebut. Akan tetapi masih sedikit dijumpai

instansi terkait memberikan pedampingan teknis dan non teknis secara berkelanjutan kepada

masyarakat dalam pengelolaan, pembudidayaan dan kewirasusahaan komoditas HHBK,

termasuk pemasaran dan pendampingan mangemen keuangannya.

Karena berbagai kendala tersebut, maka dalam hal ini peluang usaha komoditas HHBK

yang sudah dan sedang berkembang dimasyarakat, diusahakan untuk dibahas secara

terperinci. Sehingga sub pokok bahasannya akan lebih ditekankan kepada usaha-usaha untuk

meningkatkan nilai tambah dari beberapa komoditas HHBK yang telah diusahakan oleh

masyarakat lokal. Beberapa komoditas yang memiliki nilai strategis juga akan ditambahkan.

Untuk itu, kelompok usaha berbasis rumah tangga (home industri) dan usaha kecil dan

menengah menjadi dua jenis usaha yang sangat memungkinkan dan layak untuk ditawarkan.

Hal ini tentunya didasarkan kepada beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan

penguasanaan teknologi oleh masyarakat lokal, modal yang terbatas, potensi yang melimpah,

pasar yang masih terbuka, dan kompetisi yang rendah.

Dengan latar belakang penulis yang telah lama berdomisili di Papua, maka

kewirausahaan komoditas HHBK ini akan lebih banyak menyajikan komoditas-komoditas

HHBK di beberapa wilayah Papua dan Papua Barat.

26.3.1. Usaha Skala Rumah Tangga (Home Industri)

Usaha skala rumah tangga adalah wira usaha yang kebanyakan di kembangkan oleh

perorangan atau sekelompok orang. Pada awalnya usaha ini berawan dari mengembangkan

hobi, menambah pendapatan keluarga, dan sebagai usaha sampingan dari ibu-ibu dalam

mengisi waktu luang. Dengan kemampuan (skill), modal, keinginan yang kuat untuk

menghasilkan pendapatan, dan teknologi yang minimal, ditunjang dengan kejelian

memanfaatkan potensi HHBK dan membaca peluang pasar, maka usaha rumah tangga ini

dapat menjadi landasan awal untuk berwirausaha.

Beberapa komoditas HHBK yang dapat dikembangkan sebagai komoditas unggulan

kewirausahaan industri rumah tangga yaitu Serabut kelapa dan Kopra, Gula aren, Tepung

sagu, Kolang-kaling, Minyak pala, Manisan pala, sayur rebung dan beberapa komoditas lokal

lainnya. Jenis-jenis produk dari masing-masing komoditas HHBK dapat dilihat pada matrik

yang disajikan pada Tabel 26.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu 301

Tabel 26.1. Matrik jenis-jenis produk yang dapat dikembangkan dari

sebagiankomoditas HHBK di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat

Komoditas

HHBK

Jenis produk

Makanan Minuman Kerajinan Bahan baku

industri

Kelapa Kopra

Kelapa parut

Santan kelapa dalam

kemasan (cair),

dan/atau powder

(bubuk)

Nata decoco

Air kelapa dalam

kemasan

Kelapa muda

dalam kemasan

Sapu lidi

Sapu ijuk

Anyaman atap

Mebel kayu

kelapa

Serabut

kelapa

Arang kelapa

Briket arang

Aren Gula aren

Kolang kaling

Bobo Sapu lidi

Sapu ijuk

Anyaman atap

Nira

Sagu Tepung sagu

Kue sagu

Papeda

Papeda dalam

kemasan

Sagu mutiara

Sapu lidi

Anyaman atap

Pelepah sagu

Batang sagu

Ampas sagu

untuk budi

daya ulat sagu

Budi daya

jamur

Pala Manisan endosperm

buah pala

Turunan bahan olahan

endosperm buah pala

(dodol, dll.)

Juice endosperm

buah pala

Bunga pala

Biji pala

Minyak buah

pala

Minyak bunga

pala

Bambu Rebung bambu

(bamboo shoot)

Rebung bambu dalam

kemasan (Canned or

lebeled bamboo

shoot)

Anyaman

bambu

Tusuk sate

Chop stick

Dari tabel 16.1 di atas, dapat dilihat bahwa pengusahaan komoditas HHBK, diperlukan

kejelian dan keberanian dalam membaca peluang suatu produk di pasar, dengan mengikuti

selera dan daya beli konsumen. Melihat dari beberapa jenis produk yang dapat dihasilkan dan

sipasarkan, inovasi untuk membuat produk tersebut memiliki daya saing, keunikan dan harga

yang terjangkau sangat penting untuk dipertimbangkan. Misalnya, komoditas Kelapa, selama

ini hanya diambil daging buahnya untuk kelapa parut, kulit atau serabut kelapa untuk sapu

ijuk, dan daunya untuk sapu lidi.

Apabila kita mengikuti perkembangan informasi, bahwa komoditas serabut kelapa, kulit

kelapa dipisahkan antara ijuk dan serabutnya, memiliki harga pasaran yang tinggi. Serabut

kelapa merupakan bahan baku pembuat sofa dan jok mobil kelas atas, dan permintaannya

dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pengermbangan usaha serabut kelapa ini tidak

memerlukan sentuhan teknologi dengan investasi yang cukup besar, tetapi hanya

memerlukan beberapa peralatan kerja pendukung.

Demikian juga dengan beberapa komoditas dari bambu, dengan memberikan kemasan

yang menarik, rebung bambu dan tusuk sate, misalnya dapat dipasarkan di beberaa

supermaket atau pasar swalayan, sehingga dapat meningkatkan nilai jualnya. Apabila dirasa

Hasil Hutan Bukan Kayu 302

sudah dapat memenuhi kebutuhan lokal, dengan pengemasan yang tepat, kiranya dapat

dikirim untuk tujuan pasar regional atau nasional.

26.3.2.Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Salah satu karakteristik dari komoditas HHBK yang cocok diusahakan dalam skala

industri UKM atau koperasi adalah komoditas-komoditas yang potensinya cukup melimpah,

dapat diolah ke dalam berbagai jenis produk, memerlukan banyak tenaga kerja dalam

pengolahan maupun pemanenan/pemungutan, dan proses pengolahan yang bertahap. Dua

dari beberapa contoh dari komoditas tersebut adalah Pala dan sagu.

Dalam memanen dan menotok sagu, biasanya dilakukan secara bergotong royong atau

dilakukan secara komunal. Meskipun dalam beberapa kasus dapat dikerjakan oleh keluarga

dekatnya yang masih satu rumpun. Hasil panen sagu (Aci sagu) dapat diperoleh dengan

volume yang melimpah, sehingga didistribusikan ke sesama anggota keluarga dan atau

tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.

Mengingat diversifikasi produk-produk olahan yang dapat diolah dan dihasilkan dari

komoditas sagu ini sangat beragam, kiranya masing-masing keluarga dapat membuat produk

olahan yang berbeda-beda. Produk-produk tersebut dapat dijual dalam satu wadah koperasi

atau kelompok usaha. Sehingga dalam pelaksanaannya ada yang bertugas pada bagian

produksi, pemasaran/penjualan, dan keuangan, walapupun dalam prakteknya bisa saja

personelnya orang yang sama. Hal tersebut tentunya berdasarkan kesepakatan antar

anggotanya.

Produk-produk lainnya seperti anyaman atap daun sagu, pelepah daun sagu, ampas daun

sagu, batang (phloem) batang daun sagu dapat diusahakan oleh tenaga kerja pria. Ampas

sagu juga dapat dimanfaatkan untuk budi daya jamur, ulat sagu ataupun campuran pellet

ayam buras. Tentunya bimbingan dan pendampingan dari tenaga teknis dari departemen

terkait mutlak diperlukan.

Aspek yang sama juga dapat diterapkan pada komoditas pala. Selama ini komoditas pala

kebanyakan diusahakan secara pribadi atau sendiri-sendiri, sehingga sering dijumpai

perbedaan harga dan kualitas produk pada tingkat petani. Hal ini jelas akan merugikan petani

sendiri, karena akan menurunkan daya tawar produk. Apabila para petani pala ini tergabung

dalam koperasi atau kelompok tani, maka permaslahan tersebut dapat dipecahkan atau

didiskusikan bersama sehingga dapat dikurangi. Pada akhirnya, komoditas produk-produk

pala tersebut dapat ditingkatkan kualitasnya, sehingga memberikan nilai keuntungan yang

optimal kepada petani.

Di samping kedua komoditas HHBK tersebut di atas, beberapa komoditas HHBK yang

memiliki potensi melimpah, seperti kelompok buah-buahan, tanaman rimpang, dan bumbu-

bumbu juga sangat potensial untuk dikembangkan dan diolah menjadi produk-produk olahan

yang diperlukan oleh masyarakat sehari-hari. Akan tetapi dalam produksi, pengolahan,

pengemasan dan pemasarannya diperlukan sentuhan teknologi dan manejemen yang

terencana.

Misalnya komoditas rambutan, kalau dijual dalam bentuk buah utuh (baru dipetik dari

pohon, masih dalam tangkai dan berkulit), maka sebaiknya dimasukkan dalam kemasan atau

karton, yang memiliki identitas produk. Identitas seperti jenis rambutan, kuantitas

(kg/karton), kualitas (utama, primer, sekunder), tanggal kedaluwarsa, dan alamat serta nomor

kontak yang dapat dihubungi akan sangat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan

konsumen akan kualitas dari buah yang kita jual. Dengan sendirinya, harga yang kita

tawarkan akan sedikit lebih mahal apabila dibandingkan dengan yang tidak dikemas dalam

karton. Dengan kemasan tersebut, rambuatan dapat dijual antar daerah atau secara regional.

Demikian juga bila rambutan tersebut dikemas dalam bentuk produk buah kaleng, yang mana

kulit dan bijinya dipisahkan, maka perlu diolah dan diberi perlakuan khusus agar buahnya

Hasil Hutan Bukan Kayu 303

dapat bertahan lama. Misalnya ditambahkan pemanis buatan, bahan pengawet dan beberapa

perlakuan tambahan lainnya.

Beberapa komoditas sederhana lainnya seperti bumbu-bumbuan (rimpang dan daun),

dan bahan baku jamu dapat dikemas secara menarik, seperti dibungkus palstik, atau kertas

berlabel. Sehingga dengan pengemasan tersebut, produk-produk tersebut dapat bertahan lama

dan tetap segar, menarik, tetap bersih, dan menambah nilai jualnya.

26.3.3. Perusahaan Menengah/besar

Menurut UU no 41 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007, kegiatan

pengusahaan HHBK dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pemanfaatan dan pemungutan.

Pemanfaatan adalah pengusahaan HHBK yang berasal dari areal hutan produksi, baik dari

hutan alam maupun hutan tanaman. Sedangkan pengusahaan HHBK yang berasal dari hutan

lindung dikenal dengan istilah pemungutan. HHBK yang termasuk dalam kegiatan

pemungutan adalah komoditas rotan, madu, getah, buah-buahan, jamur, sarang burung walet,

dan pengakaran sawta liar. Disisi lain, HHBK yang berasal dari hutan produksi adalah getah-

getahan, rotan, nipah, sagu, kulit kayu, gaharu, buah-buahan, dan lain sebagainya.

Selanjutnya menurut peraturan menteri Kehutanan no 35/Menhut/II/2007, HHBK

dikelompokkan ke dalam sembilan kelompok yaitu: 1) Kelompok resin; 2) Kelompok

Minyak Asiri; 3) Kelompok Minyak lemak, Pati dan Buah-buahan; 4) Kelompok Tanin,

Bahan pewarna dan getah; 5) Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman hias; 6) Kelompok

Palm dan Bambu; 7) Kelompok Alkaloids; 8) Kelompok Lainnya; dan 9) Kelompok Hasil

Hewan.

Secara nasional, beberapa kegiatan pengolahan komoditas HHBK yang berskala industri

masih terbatas pada beberapa kelompok komoditas tertentu. Perum Perhutani contohnya

mengolah kelompok resin dari pohon Pinus, yang kemudian menghasilkan Terpentin, dan

Gondorukem. Tetapi dalam perkembangannya, perusahaan tersebut juga hanya mengekspor

komoditas tersebut dalam bentuk bahan mentah, bukan dalam bentuk yang telah diolah lebih

lanjut.

Pada beberapa daerah tertentu, seperti di Papua dan Riau, terdapat beberapa perusahaan

yang telah bergerak dalam pengolahan komoditas HHBK, seperti Sagu. Perusahaan besar

tersebut, mengolah komoditas sagu untuk dua produk utama, yaitu tepung sagu dan bahan

bakar hayati (bio-ethanol). Sedangkan produk sampingannya seperti biomassanya, baik

sebagai media jamur, ulat sagu, dan supplement makanan ayam maupun sebagai bahan

meterial, serat dan komposit, belum diolah atau dimanfaatkan secara optimal. Khusus untuk

tepung sagu, sebenarnya tepung tersebut dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa produk

turunannya, seperti mie sagu, papeda instant sagu, dan beberapa produk lainnya.

Beberpa komoditas HHBK lainnya yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah

Nipah untuk produk energi nabati (bio-ethanol), Aren, buah Mangrove, dan Minyak atsiri,

Buah Merah serta kelompok HHBK lainnya.

26.3.4. Keunggulan komparatif komoditas HHBK Indonesia

Sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar

(megabiodiversity), komoditas HHBK Indonesia memiliki keunikan dan keberagaman

tersendiri. Keberagaman spesies HHBK tersebut khususnya di tanah Papua, sangat tinggi, ini

terbukti dari beberapa penemuan baru species palem di tanah ini. Bahkan beberapa

komoditas HHBK adalah endemik atau asli di Papua. Keunikan, keaslian, dan ketunggalan

komoditas tersebut sudah selayaknya mendapatkan daya tawar dan nilai yang tinggi, baik

ditinjau dari aspek keilmuan, kepakaran, keaslian dan keakuratan informasi, sehingga tidak

ada duanya atau tidak tertandingi, dan tak ternilai harganya. Akan tetapi, kalau kita belum

Hasil Hutan Bukan Kayu 304

dapat memanfaatkan, dan membaca peluang tersebut, maka akan dimanfaatkan oleh orang

lain, atau bahkan orang dari negara lain.

Hasil Hutan Bukan Kayu 305

GLOSARIUM

Added value : Nilai tambah dari suatu produk atau komoditas

Agroforestry : Penggunaan lahan atau kawasan hutan yang belum

berproduksi untuk dikombinasikan dengan usaha-usaha atau

tanaman pertanian, seperti sistem tumpang sari pada tegakan

hutan jati yang masih muda.

Aibon : Makanan tradisisional masyarakat Biak (Sowek, Supriori

selatan) yang terbuat dari daging buah mangrove jenis

Bruquiera spp setelah mengalami proses pengolahan

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Arang (Charcoal) : Hasil karbonasi dari proses pembakaran bahan

berlignoselulosa yang tidak sempurna

Aren : Salah jenis tumbuhan dari famuli Palmae yang dicirikan oleh

seluruh batang yang berpelepah daun dipenuhi dengan

serabut, atau dekenal dengan ijuk. Aren memiliki bahasa

ilmiah Arenga pinnata.Salah satu hasil buah aren bagian

endospermnya adalah buah kolang-kaling.

Back to nature

(Kembali ke alam)

: Paradigma dalam dunia sekarang untuk berperilaku dan

bergaya hidup yang ramah dan bersahabat dengan alam

Bambu : Salah satu jenis tumbuhan dari famili Graminae, dengan

nama ilmiah Bambosa spp, yang dicirikan oleh batangnya

yang beruas-ruas, dengan rongga batang (hollow clums) dan

setiap rusanya terdapat mata tunas.

Bio-degradable products : Produk yang dapat didaur ulang secara biologis

Biodiversity : Keanekaragaman/keberagaman hayati, kelimpahan jenis

Bio-fuel (bahan bakar

nabati)

: Minyak jenis diesel (solar) dan bensin (ethanol) yang

diperoleh dari sumber-sumber hayati (makhluk hidup)

sehingga bersifat dapat diperbaharui (renewable). Biofuel

terdiri atas biodisesel dan bioethanol.

Biomass energy : Energy berasal dari biomassa, yaitu energy yang berasal dari

massa penyusun tumbuhan dan atau komponen organik

tumbuhan

Briket Arang (Briquette) : Bahan padatan yang memiliki kerapatan yang tinggi yang

dihasilkan dari proses pengepresan serbuk arang dengan

penambahan bahan perekat tertentu. Tujuan utamanya adalah

menghasilkan nilai kalor energi dari suat bahan yang

berdimensi minimum.

Caloric value : Nilai kalor suatu massa atau zat dalam jumlah atau satuanb

tertentu, biasnya Joule/gr atau joule/ml.

Carbon sink : Dapur karbon yang dimaksudkan adalah fungsi hutan tropis

sebagai pabrik raksasa yang mengkonversi CO2 menjadi O2

melalui proses fotosintesis.

Hasil Hutan Bukan Kayu 306

Carbon trading

: Perdagangan karbon, istilah umum untuk mekanisme

pertukaran atau perdagangan karbon

Cashew : Daging biji (endosperm) dari tumbuhan Jambu mete

CIFOR : Center For International Forestry Research

Clean Development

Mechanism (CDM)

: Mekanisme Pembangunan Bersih adalah konsep mutilateral

antara negara maju dan negara berkembang untuk

melaksanakan pembangunan yang ramah lingkungan dan

berkelanjutan

Climbing orchds : Tumbuhan anggrek yang merambat dan menempel pada

pohon atau tumbuhan inangnya yang lain

Coloring agent

(pewarna)

: Bahan-bahan pewarna

Commercila level : Pemanenan komoditas hasil hutan bukan kayu dengan tujuan

utama adalah bersifat usaha komersial, sehingga terdapat

lembaga-lembaga formal, seperti produsen, konsumen, rantai

pemasaran dan seterusnya.

Commnunity based forest

mangement (CBMF)

: Pengelolaan hutan berbasis masyarakat

Community Forest

Development (CFD)

: Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat hutan

Damar : Getah-getahan hasil penyadapan dari pohon-pohon

dipterocarpaceae.

Deklarasi Rio De Janeiro : Deklarasi global tentang usaha-usaha untuk mengurangi

polusi udara, terutama gas rumah kaca, dan perubahan iklim

global, yang dikenal dengan nama konvensi kerangka

perserikatan bangsa-bangsa tentang perubahan iklim global

Derivated wood products : Produk-produk turunan dari kayu

Developed countries

(industrilised countries)

: Negara negara maju atau industri, dikenal dengan negara-

negara barat.

Developing countries : Negara-negara sedang berkembang, dikenal dengan negara-

negara timur

Dyes compound : Komponen kimia untuk pigmen atau pewarna, seperti

klorofil, karoten dan sejenisnya

Efek Rumah Kaca (Green

houses effect)

: Fenomena yang terjadi di atmosfer, yang mana sinar

ultraviolet dari sinar matahari tidak dapat dikembalikan ke

atmosfer lagi, tetapi terkurung dalam atmosfer kita, sehingga

menyebabkan kenaikan suhu, seperti fenomena rumah kaca

yaitu suhu dalam ruangan lebih tinggi daripada suhu di luar

ruangan

Hasil Hutan Bukan Kayu 307

Ekoturisme : Pemanfaatan potensi ekologi, sosial dan budaya untuk tujuan

wisata atau pariwisata.

Environmentally friendly : Label pada barang-barang konsumsi (goods) yang

menyatakan bahwa produk tersebut terbuat dari bahan-bahan

yang ramah atau tidak merusak lingkungan

Epiphytic orchids : Tipe tumbuhan anggrek yang hidup sebagai epihit pada

tumbuhan lain

Fiberboards : Papan buatan yang terbuat dari materi-materi bahan

berlignoselulosa (lignoselulosic materials)

Fitokimia

(Phythopharmaceutical)

: Ilmu yang mempelajari senyawa-senyawa organik yang

terdapat pada tanaman

Fixed carbon : Sisa-sisa karbon pada pembuatan arang

Food and Agricultural

Organization (FAO)

: Organisaisi internasional di bawah perserikatan bangsa-

bangsa yang memfokuskan kegiatannya pada bidang pangan

dan sektor pertanian secara luas

Furniture : Perabotan rumah tangga yang sering juga dikenal engan

nama permebelan, seperti meja, kusi, meja makan, buffet

lemari dan sebagainya.

Gaharu (agarwood,

Eaglewood)

: Kayu yang telah terinfeksi cendawan sehingga terjadi

perombakan komponen kimianya, sehingga menimbulkan

aroma yang khas

Global climate pattern

change

: Perubahan pola iklim dan cuaca dunia

Green house Gases

(GHG)

: Gas-gas yang memiliki kontribusi terhadap terjadinya

fenomena efek rumah kaca, seperi gas Karbon dioksida

(CO2), Karbon monooksida (CO), Methan (CH4), Clorofluoro

carbon (CFC) dan sejenisnya

Hardwood : Penggolongan kayu yang dihasilkan oleh tumbuhan atau

pohon berdaun lebar. Sebagian menyebutnya dengan kayu

keras, tetapi tidak selamanya hardwood lebih keras dari

softwood

Hutan tropis basah

(tropical rain forest)

: Tipe hutan yang terdapat pada daerah tropis yang yang

dicirikan adanya keanekaragaman yang tinggi, hijau

sepanjang tahun, kelembaban dan curah hujan yang tinggi

Ignition point : Titik bakar, adalah suhu yang diperlukan di mana suatu

senyawa atau zat mulai terbakar.

Impact logging : Kerusakan hutan akibat kegiatan pembalakan (logging)

Inferior products : Produk-produk atau komoditas yang kurang mendapat tempat

di hati konsumen atau pasar

Intangilble products : Produk hutan yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti

jasa sumber air, pemandangan yang indah, udara yang segar

dan lainnya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 308

International Network on

Bamboo and Rattan

(INBAR)

: Jaringan kerja sama internasional tentang Bambu dan Rotan

Kayu gubal (Sapwood) : Kayu yang sel-selnya masih tumbuh dan berkembang,

dengan warna terang.

Kayu teras (Heartwood) : Kayu yang telah mati sel-selnya, sehingga memiliki Warna

yang agak gelap, lebih keras dan mengandung zat ekstaktif

yang realtif lebih tinggi daripada sapwood

Kearifan lokal

(indigeneous knowledge)

: Pengetahuan, cara, metode, kebiasaan dan adat budaya yang

dimiliki oleh masyarakat lokal dan dipergunakan dan

dilaksanakan dalam seluruh kehidupannya sehari-hari

terutama yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya

alamnya.

Kimia bahan alam

(Nature products of

chemistry)

: Senyawa-senyawa bio-aktif, atau organik, yang diperoleh

dari alam

Knock down (joinery) : Perabotan atau jenis-jenis produk mebel dan produk

perkayuan lainnya yang dapat dibongkar pasang berkali-kali.

Komoditas hasil hutan

bukan kayu

: Istilah yang dipergunakan untuk mesdiskripsikan Jenis-jenis

dan produk-produk hasil hutan bukan kayu

Kopal : Hasil penyadapan (getah) dari pohon jenis Agathis spp

Lembaga keuangan dan

pembangunan

internasional

: Adalah lembaga-lembaga yang berperan dan memiliki

keperdulian terhadap dalam pengembangan masyrakat lokal,

seperti United Nation Development Program (UNDP), Bank

Dunia (World bank), bank pembangunan Asia (Asian

Development Bank)

Lembaga Swadaya

Masyarakat

(Non Government

organization)

: Organisasi non pemerintah yang berorientasi pada misi

sosial, sumber daya alam, pemberdayaan masyarakat dan

objek lain sejenisnya yang bersifat bukan mencari laba (non

profit)

Lembagan Konservasi

Internasional

: Lembaga-lembaga nirlaba internasional yang bergerak dalam

bidang konservasi sumber daya alam, seperti Conservation

International (CI), World Wild Fund (WWF), The Nature

Conservancy (TNC) dan sebagainya

Limbah-limbah pertanian

(Agricultural residues)

: Limbah-limbah tanaman pertanian, seperti jerami, sekap

padi, dan tanaman lainnya yang berserat atau

berlignoselulosa.

Lithophytic orchids : Tumbuhan anggrek yang memiliki habitat pada tanah kering

atau batu-batuan

Local-used level : Pemanenan komoditas hasil hutan bukan kayu dengan

pengolahan yang berskala kecil, bersifat pridadi atau industri

rumah tangga dengan sentuhan teknologi yang sangat

sederhana dan untuk dijual dipasar lokal.

Major Forest Producs : Hasil Hutan yang utama (kayu), istilah yang dipergunakan

Hasil Hutan Bukan Kayu 309

untuk menyebut hasil hutan olahan dari kayu

Masyarakat adat/Lokal

(clann community)

: Kumpulan masyarakat dalam suatu komunitas yang memiliki

kesamaan dalam karakteristik budaya, sosial dan aspek

kehidupan lainnya.

Masyarakat hutan

(Forest people)

: Masyarakat adat, lokal atau penduduk asli yang hidup di

dalam, pinggir dan sekitar kawasan hutan dan memiliki

ketergantungan terhadap kawasan hutannya.

Mega diversity : Kekayaan keanekaragaman hayati

Mikrofauna : Jenis-jenis hewan yang berukuran mikro, seperti mikrob,

cacing, dan berbagai organisme tanah lainnya

Mikroflora : Tumbuh-tumbuhan yang memiliki bentuk fisik yang relatif

kecil, seperti jamur,

Minor forest product : Hasil Hutan bukan kayu, hasil hutan non kayu, hasil hutan

ikutan adalah hasil hutan yang bukan dari golongan kayu,

meskipun dalam beberapa kasus termasuk unsur kayunya

Minyak Atsiri (Essential

oils)

: Hasil proses metabolit sekunder pada tumbuhan yang

memiliki bau yang khas, seperti parfum, minyak sereh,

minyak kayu putih, minyak lawang dan sejenisnya.

Minyak Lemak : Minyak yang diekstraksi dari bagian cadangan makanan pada

suatu biji atau buah, seperti minyak jarak, minyak biji-bijian,

jambu mete dan seterusnya

Modul : Satuan acara perkuliahan atau pembelajaran yang

dikeompokkan berdasarkan kesamaan pokok bahasan atau

subjeknya

Monoculture (pure crops) : Penanaman jenis-jenis tanaman yang sejenis, atau semusim,

yang juga sering dinamakan sebagai monokultur atau

homogen

Monopodial : Karakteristik batang anggrek yang tunggal dan indenpen

Multiple benefit

(multi guna)

: Bersifat memiliki banyak manfaat dan kegunaan

Multiple funtion

(multi fungsi)

: bersifat memiliki beberapa fungsi

Multiple stakeholders

(Multi kepentingan)

: Bersifat memilki banyak kepentingan dan keterlibatan

Natural color agent : Bahan Pewarna alami yang diekstrak dari tumbuh-tumbuhan

Non-Timber Forest

Products (NTFPs)

: Istilah asing untuk Hasil Hutan bukan kayu yang dapat

didefinisikan sebagai seluruh produk biologi, selain kayu,

yang berasal dari kawasan hutan atau kawasan lainnya yang

berassosiasi dengan hutan, yang dimanfaatkan oleh manusia

Non-Wood Forest : Memiliki pengertian yang sama dengan NTFPs,

Hasil Hutan Bukan Kayu 310

Products

(NWFPs)

Organic flavours

compound

: Senyawa-senyawa kelompok penyedap

Organic fragnant

compound

: Senyawa-senyawa kimia untuk tujuan parfum atau

pengharum.

Palm oils : Jenis minyak lemak yang diekstraksi dari buah kepala sawit

(Minyak kelapa sawit)

Pemanasan global

(Global warming)

: Fenomena terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi,

kenaikan permukaan air laut dan perubahan pola iklim global

secara berkala di seluruh dunia

Penyadapan : Usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan

getah, dengan cara melukai kulit pohon tertentu.

Perhimpunan

internasional etnobotany

(International society of

etnobotany)

: Perkumpulan atau masyarakat peneliti internasional tentang

etnobotany, yaitu penggunaan tumbuh-tumbuhan pada suatu

etnis atau kelompok masyarakat untuk berbagai tujuan, baik

untuk obat-obatan, makanan alternatif dan sejenisnya.

Perhimpunan

Internasional

Pharmakologi

(International society of

Etnopharmacology)

: Perhimpunan atau masyrakat peneliti internasional tentang

obat-obatan tradisional pada suatu etnis tertentu.

Plywood : Adalah istilah umum dari kayu lapis, yaitu papan buatan yang

terbuat dari beberapa lapis veneer yang direkatkan saling

tegak lurus dan berjumlah ganjil, diberi perekat buatan dan

dipress dengan menggunakan suhu dan tekanan yang tinggi.

Pohon (trees) : Tumbuhan hutan yang berkayu dengan diameter di atas 20

cm dengan tinggi lebih dari 3 meter

Protokol Kyoto : Instrumen hukum yang dirancang untuk

mengimplementasikan konvensi perubahan iklim yang

bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca

agar tidak menganggu iklim bumi

Reconstituted wood

products

: Produk-produk papan buatan yang terbuat dari materi yang

berbahan dasar lignoselulosa (kayu) dengan berbagai

kombinasi perlakukan dengan tujuan untuk keunggulan

produk.

Reduced Impact Logging

(RIL)

: Usaha-usaha, baik peraturan maupun praktek/aksi, untuk

menggurangi dampak karena kegiatan pembalakan

Resin : Hasil sekresi (getah-getahan) dari tumbuhan-tumbuhan yang

menghasilkan resin, atau hasil penyadapan getah dari pohon

Pinus (Pinus spp)

Rotan (Rattan) : Tumbuhan dari family Palmae yang dicirikan oleh batangnya

yang silindris, merambat, pelepah daun berduri dan memiliki

sulur (Flagella) yang berduri pula

Hasil Hutan Bukan Kayu 311

Rotan asalan : Adalah komoditas rotan yang masih berupa bahan baku untuk

produk rotan berikutnya

Rotan W &S : Komoditas bahan baku rotan yang telah mengalami

pencucian dan perlakuan sulfur (washed and surfurised)

Sagu : Tumbuhan dari family Palmae yang empulur batannya

mengandung pati, dikenal dengan nama ilmiah Metroxylon

spp. Tumbuhan banyak tumbuh secara liar atau alami di

daerah-daerah berawa atau bergambut umumnya

Satwa liar (Wild animal)

: Jenis-jenis hewan yang belum dibudidayakan secara intensif,

seperti buaya yang hidup di alam, harimau, badak jawa,

burung cenderawasih dan beberapa satwa lainnya.

Sawn timber : Istilah umum dari kayu gergajian, yaitu kayu utuh yang telah

mengalami proses pembelahan dan pemotongan sehingga

memiliki ukuran berdimensi yang definitif, seperti persegi

empat, balok dan seterusnya.

Secondary processed

solid wood

: Produk-produk kayu olahan sekunder, seperti produk-produk

pintu panel, jendela, kusen ukir moluding dan sejenisnya

Senyawa-senyawa

aromatik (Aromatic

chemistry)

: Senyawa-senyawa kimia bahan alam yang memiliki cincin

aromatik, seperti benzen, phenol dan sebagainya

Serasah hutan : Bahan-bahan berlignoselulosa, seperti daun, ranting dan

cabang, serta seluruh material biologi yang jatuh atau

terdapat pada lantai hutan

Services of Forests

(forest products services)

: Pengertiannya adalah produk-produk jasa dari hutan, atau

jasa-jasa yang dihasilkan dari suatu tegakan hutan

Sirap : Sayatan tipis dari kayu Ulin yang dipergunakan untuk

keerluan atap rumah, biasanya dari Kalimantan.

Softwood : Kayu yang dihasilkan oleh pohon yang memiliki daun jarum

Solid wood : Kalau terjemahkan ke dalam bahasa indoensia adalah kayu

utuh, atau penggunaan kayu secara utuh, masih berbentuk

seperti aslinya, seperti untuk tiang jembatan, tiang listrik

(Pole) dan sejenisnya

Stakeholders : Pihak-pihak, baik perorangan, lembaga maupun instansi,

yang berkepentingan

Standar Nasional

Indonesia

: Panduan teknis yang berisi definisi, tatanama, klasifikasi,

pengujian mutu dan beberapa aspek teknis lainnya yang

dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tentang

suatu produk atau komoditas tertentu.

Stratum bawah : Lantai hutan (forest floor, ground)

Subsistance level : Pemanenan hasil hutan bukan kayu dengan tujuan untuk

dikonsumsi sendiri.

Superior products : Produk-produk yang banyak diminati oleh konsumen atau

pasar

Hasil Hutan Bukan Kayu 312

Sympodial : Karakteristik pertumbuhan batang anggrek yang memiliki

batang yang seperti berumpun, dengan batang yang

mengelembung (bulb).

Tanaman Hias

(Ornament Plant)

: Jenis-jenis tanaman tertentu karena karateristik alaminya

dimanfaatkan untuk tujuan keindahan, seperti tumbuhan

suplir, anggrek, palem dan sejenisnya.

Tandan (Bunch) : Untaian yang terdiri atas beberapa helai pijakan/tempelan

buah aren

Tangible products : Produk dari hasil hutan yang dapat dihitung nilainya dengan

uang, seperti nilai kayu, turunan kayu, minyak atsiri dan

lainnya

Terrestical orchids : Tumbuhan anggrek yang berhabitat di atas tanah

Tumbuhan Obat

(Medicinal plants)

: Tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan sebagai tumbuhan

obat-obatan tradisional

Ulat Sagu : Fase pertumbuhan serangga penggerek batang sagu,

Kumbang dari jenis Rhynchophorus papuanus yang masih

berupa larva, dan kaya akan protein dan asam lemak tidak

jenuh.

UNFCCC : United Nation Framework Convention on Climate Change

Volatile ma tter : Bahan atau zat yang mudah menguap pada suhu kamar

Water hydrology : Fungsi hutan yang berkenaan dengan aspek menjaga

keseimbangan neraca air tanah, sehingga beberapa fenomena

seperti banjir pada musim hujan, kekurangan air pada musim

kemarau tidak akan terjadi.

Window/door frame : Komponen, bingkai atau bagian kusen pintu atau jendela

rumah yang dapat dibongkar pasang

Wood ornaments : Ornamen-ornamen, hiasan-hiasan, atau produk kayu lainnya

yang terbuat dari kayu yang ditujukan untuk tujuan

keindahan (estetika), seperti lampu hias, pernik-pernik kayu

dan produk seterusnya

Hasil Hutan Bukan Kayu 313

DAFTAR PUSTAKA

Adan, I.U (2003). Membuat Briket Bio Arang. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Akuba, R.H (2004). Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman Aren”. Balai

Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.

Alam, S dan D. Baso (2004). Peluang Pengembangan dan Pemanfaatan tanaman Aren di

Sulawesi Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan

Tanaman Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Pp.15-21.

Aminah, N.S; A.Suminar.; E.H Hakim; L.D Juliawaty, ; E.L Ghisalberti, dan, Y.M, Syah

(2003). Beberapa Senyawa Oligostilbenoid dari Kulit batang Shorea seminin.

The Indonesian Society of Natural Products Chemistry. Vol 4 No. 1 January –

June 2004.

Anonimous (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan, Direktorat

jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.

Anonimous (1976). Vademecum.Kehutanan indonesia. Depaartemen Kehutanan .Jakarta

Anonimous (1998). Orchid Growing in the tropics. Orchid Society of South East Asia

(OSSEA). Kangoroo Press. Singapore

Anonimous (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-undang Republik Indonesia tentang

Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Anonimous (2003). Profil Komoditas Unggulan Kabupaten Jayapura.

Anonimous. (1980). Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 204/Kpts/DJ/1980

tentang Peraturan Pengujian Rotan Bulat Indonesia. Jakarta.

Arbain, D (2004). Dua Dekade Penelitian Kimia Tumbuhan Sumatra. The Indonesian

Society of Natural Products Chemistry. Vol 4 No. 1 January –June 2004.

Asia Pacific Forest Industries. (1990). Edisi Oktober 1990. The Success of the Rattan

Industry in Indonesia.

Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of

The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture

Organization of The United Nation, Rome Italy.

Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of

The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture

Organization of The United Nation, Rome Italy.

Baan, Y (2002). Morfologi dan Tingkah Laku Lebah Madu pada Peternakan lebah Madu di

Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura. Skripsi Sarjana Pertenakan.

Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua

(tidak diterbitkan)

Badan Standarisasi Nasional (BSN), (2001). Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-

2001.

De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and

poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Prosea.

Bogor. Indonesia.

Hasil Hutan Bukan Kayu 314

De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and

poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (2). Prosea.

Bogor. Indonesia.

Dewi, F.D (2004). Pemanfaatan Hasi Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni

Distrik Manokwari Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Fakultas

Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Dransfield, S and Elizabeth A. Widjaja (1995). Plant Resources of South East Asia No. 7

Bambo. Prosea Bogor Indonesia.

Dransfield.J dan N.Manokaran (1996). Rotan. Sumber daya Nabati Asia Tenggara No. 6.

Gajah Mada University Press – Prosea. Yogyakarta

Fugu, T.A (1997). Kajian Tentang Industri Kerajinan Rotan di Kota Nabire. Skripsi Sarjana

Kehutanan pada Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari.

Tidak diterbitkan.

Goloubinoff, M; J.de Beer dan E Katz (2004). Agarwood, Fragnant wood. Riches of the

forest: Food, Spices, Craft and resin of Asia. Citlalli Lopez dan Patricia

Shanley. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Indonesia.

Guenter, (1948). The Essential Oils Volume I. Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Hamzirwam (2007). Industri Mebel, jurus baru kuasai pasar Global. Kompas, 23 Februari

2007. PP 21

Hartoyo (1983). Pembuatan Arang dan Briket Arang secara Sederhana dari Serbuk Gergaji

dan Limbah Industri Perkayuan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil

Hutan (P3HH), Bada Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen

Kehutanan, Bogor.

Herman, D.L (2004). Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional oleh Masyarakat di

Desa Ambaidiru Kabupaten Yapen Waropen. Skripsi Sarjana Kehutanan,

Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Howay, M (2003). Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional olehMasyarakat Suku

Maibrat di Kampung Sembaro Distrik Ayamaru Kabapaten Sorong. Skripsi

Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak

diterbitkan)

http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gaharu.htm, diakses pada tgl 18 Desember 2006.

http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Getah tusam.htm diakses pada tgl 18 Desember

2006.

http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gondorukem.htm diakses pada tgl 18 Desember

2006.

Indou, Y. (2002). Studi cara pengolahan dan Pemanfaatan Buah Merah (Pandanus coneideus

L) secara tradisional di Kampung Nuhwey Distrik Ransiki. Laporan Tugas

Akhir. Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian. Universitas Negeri Papua

(tidak diterbitkan).

Jafarsidik, J (1987). Jenis-jenis Pohon Penghasil Resin Damar dan Penyebarannya di

Indonesia. Majalah Duta Rimba No. 81-82/XIII/1987.

Kaimuna. K; M.Okazaki; Y. Toyoda and J.E. Cecil (2002). New Frontier of Sago Palm

Studies. Proceeding of the International Symposium on Sago (SAGO 2001).

Universal Academy Press, Inc. Tokyo Japan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 315

Karafir, Y.P; V.E. Fere and Y. Toyoda (2005).(editors) .Abstracts of The International Sago

Symposium. The Japan Society for Promotion of Science

Khakim, Al (2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Dalam Era Otonomi Daerah.

Citra Aditya Bakti. Bandung

Koessoy, M.S.C (2002). Sistem Produksi Dan Sifat Fisik Madu Pada Peternakan Lebah

Masu Di Deas Koya Timur Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura.

Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan

Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Kompas 23 Februari 2007. Areal Tanamn Tebu 2007 diperluas 1.500 Hektar.

Kompas 28 Oktober 2003. Pengakuan untuk Pemburu Mikroba

Kompas edisi 27 April 2006.Tanaman-tanaman Obat di Kalimantan Terancam Hilang.

Kompas edisi 5 Oktober 2004. Keripik Buah Mangrove upaya untuk melestarikan hutan.

Kompas edisi 5 Oktober 2004. Aneka manfaat Buah mangrove, dari permen hingga bedak.

Kompas, edisi 23 Februari 2007 Triana, N (2007). Melihat Pohon-pohon Pewarna di

Museum Tekstil.

Kompas. 2006. Kayu Gaharu Asal lombok diekspor ke Timur Tengah.

Lapis, A.; Alvin A.Faraon; Kharina G.Bueser dan Norma R.Pablo (2004). Rattan Reborn.

ITTO Tropical Forest Update No.14/4. PP 12-13

Limantara, L (2004). Daya Penyembuhan Klorofil. Harian Kompas edisi 6 April 2004. Hal

38.

Marty (2006). Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Sowek di Rayori

Selatan Supriori Selatan Kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan

Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).

Mashudi; Patra Ketut dan Suwanda (1988). Lebah madu madu lebah di Indonesia tahun

2000. Cetakan pertama. Penerbit Pusat Apiari Pramuka. Jakarta.

Maskar dan IGP. Sarashutah (2004). Potensi dan Masalah PengembanganTanaman Aren di

Sulawesi Tengah. Dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan

Tanaman Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.pp 267-76.

May, B.I (2005). Sistem Pemeliharaan lebah madu di Kampung Ambaidiru Distrik

Andkaisera Kabupaten Yapen. Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan

Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Murdiyarso, D (2003). Protokol Kyoto. Implikasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit

Buku Kompas. Jakarta.

Mustamu, J.T (2006). Karakteristik Morfologi Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrolagus

ursinus) di Kawasan Pegunungan Arfak Manokwari. Skripsi Sarjana Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua.

(tidak diterbitkan).

Oropa. H (2001). Kajian Industri Kerajinan Rotan Alfian di Kota Biak. Skripsi Sarjana

Kehutanan pada Jurusan Budi daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

Negeri Papua Manokwari (tidak diterbitkan)

Pakpahan, E.R (1993). Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih

(Melaleuca cajuputi) asal Taman Nasional Wasur Merauke Irian Jaya. Skripsi

Hasil Hutan Bukan Kayu 316

Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas

Negeri Cenderawasih Manokwari (tidak diterbitkan)

Pagapong, I.I (2001). Pengujian dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus dan

Korthalasia asal Kebar Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. (tidak diterbitkan).

Robledo, C (2004). Small Change from Climate-change negotiation?. ITTO Tropical Forest

Update. Vol 14 (1). pp 18-19

Rostiwati. T ; J. F.Shoon dan M.. Natadiwirya (1999). Penanaman Sagu (Metroxylon sagu

Rottb) berskala besar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan

Perkebunan. Jakarta.

Rukmana, R (2000). Budi Daya Anggrek Bulan. Penerbit Yayasan Kanisius Yogyakarta.

Rumokoi, M.M.M (2004). Aren, Kelapa dan Lontar sebagai Alternatif Pemenuhan

Kebutuhan Gula Nasional dalam. Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan

Tanaman Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Pp 22-39.

Sadsoeitoboen, M.J (2002). Pandanaceae. Aspek Botani dan Etnobotani dalam Suku Arfak di

Irian Jaya. Thesis Program PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor (tidak

diterbitkan).

Simbolon, M (1989). Pedoman Inventarisai Hutan Sagu. Bagian Proyek Inventarisasi dan

Pengukuhan Hutan, Direktorat Invetarisasi Hutan dan Tata Guna Lahan,

Departemen Kehutanan.

Sirait, U (1998). Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan terhadap kadar air rotan

Diameter Besar asal Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada Fakultas

Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari.(tidak diterbitkan).

Sitepu, D dan P. Sutigno, (2001). Peranan Tanaman Obat dalam Pengembangan Hutan

Tanaman (The Roles of Medicinal Plants on Plantation Forest Development).

(Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat. www.dephut.go.id/, diakses pada

tanggal 12 Desember 2006

Soenarno dan Idris (1997). Produksi kopal pada Pohon Agathis spp berkulit tebal dan tipis di

BKPH Cicurug KPH Sukabumi, Jawa barat. Majalah Duta Rimba No. 81-

82/XIII/1987.

Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan. Badan

Standarisasi Nasional, diakses dari www.dephut.go.id tgl 12 Desember 2006.

Stone, B.C. (1997). Pandanus Parkinson. Di dalam : Verheij, E.W.M dan R.E. Coronel,

Editor. Prosea Sumber Daya hayati Asia Tenggara : Buah-buahan yang dapat

dimakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Suebu, J (2002). Potensi Tumbuhan Berkhasiat Obat pada Masyarakat Suku Wie-Khaya

Kecamatan Arso Kabupaten Jayapura. Skripsi Sarjana Kehutanan, Fakultas

Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)

Sumadiwangsa. S dan D. Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001). Konsepsi Strategi

Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. Diakses dari www.

Dephut.go.id, tgl 12 Desember 2006.

Susilo, A.B (2004). Pemanfaatan Ulat Sagu (Rhynchophorus papuanus) sebagai sumber

protein alternatif bagi penduduk lokal Papua. Makalah yang sisampaikan pada

Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional.

Hasil Hutan Bukan Kayu 317

Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dan World Wild For Fund (WWF) (2006).

Draft. Rencana Pengembangan Taman Nasional (RPTN) Kawasan Taman

Nasional Teluk Cenderawasih. Hasil Analisis, Sintesa dokumen dan Input Rapat

Internal Tim Penyusun RPTN Kawasan TNTC.dipersiapkan oleh Godlief

kawer.

Tethool, E.F (2005). Potensi Pengembangan Pemanfaatan Hasil Pengolahan Tanaman Buah

Merah (Pandanus coneideus L) di Papua. Makalah Lomba Karya Tulis

Mahasiswa (LKTM). Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas

Pertanian Peternakan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua. (tidak

diterbitkan).

Trisurat, Y (2003). Defusing the trasnboundary minefield. ITTO tropical Forest Update Vol

13 (2). pp 10-12

Tyler, S.C (1991). The Global Methane Budget in Microbial Production and Consumption of

Greenhouse Gases: Metahane, Nitrogen oxides and Halomethanes. Edited by

John E. Rogers and William B. Whitman. American Society for

Microblogy.Washington D.C.

Warisno (1996). Budi daya lebah Madu. Penerbit kanisius. Yogyakarta

Wibowo, A (2003). Identifikasi jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan

pemanfaatannya dalam kehidupan suku Hatam di kampung Mbenti distrik

Minyambouw Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan. Fakultas

kehutanan Universitas Negeri Papua. (tidak diterbitkan).

Widjaja, A.E (2000). Bamboo Diversity and Its Future Prospect in Indonesia. Herbarium

Bogoriense, Botany Division, Research and Development Centre for Biology.

LIPI-Bogor.

Wollenberg. E and A. Ingles (editors).(2004). Income from the Forest. Methods for the

development and conservation of forest products for local Community. Center

for International Forestry Research (CIFOR) Bogor

Wulijarni-Soetjipto, N dan R.H.M.J Lemmens (1999). Tumbu-tumbuhan Penghasil pewarna

dan tanin. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. No. 3 PT. Balai Pustaka Jakarta

dan Prosea, Bogor

Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderawasih (1998). Laporan Realisasi Satwa Liar dan

Tumbuhan Alam. Manokwari.