Upload
rafidah-andina
View
316
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
Idealisme dan Kesederhanaan Ki Bagus
oleh: Fadh Ahmad Arifan
*Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di MTs-MA Muhammadiyah 2 kota Malang
Tanggal 5 November 2015 pemerintah mengukuhkan lima
tokoh sebagai Pahlawan Nasional. Mendiang Bernard
Wilhem Lapian, Mas Iman, alm Komjen Pol Moehammad
Jasin, I Gusti Ngurah Made Agung dan Ki Bagus
Hadikusumo (alm). Kelimanya dikukuhkan lewat
keputusan presiden (Keppres) 116/TK Tahun 2015.
Sekedar info, Indonesia adalah negara yang paling
banyak memiliki Pahlawan Nasional. Total jumlahnya
mencapai 168 orang. Lebih dari separuhnya didominasi
pahlawan berdarah Jawa. Yang berdarah Tionghoa baru ada
satu orang, yakni Laksamana muda John Lie. John Lie baru
dikukuhkan sebagai pahlawan Nasional pada tahun 2008 oleh presiden Susilo bambang
Yudhoyono.
Warga Muhammadiyah patut bergembira karena Ki Bagus Hadikusumo sudah dikukuhkan
sebagai Pahlawan Nasional. Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Dr. Sudarnoto
Abdul Hakim berpendapat, keputusan pemerintah ini sangat penting tidak saja sekedar
pengakuan dan apresiasi formal terhadap apa yang telah diperjuangkan oleh Ki Bagus, akan
tetapi sekaligus menunjukkan adanya kesadaran sejarah bahwa umat Islam merupakan elemen
penting dari Bangsa dan Negara RI ini. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Pancasila
adalah hadiah terbesar umat Islam dan Ki Bagus adalah tokoh kunci (Rakyat merdeka online,
5 november 2015).
2
Lahir di Yogyakarta pada 28 November 1890 dan wafat pada 3 September 1954 dalam
usia 64 tahun, Santrinya KH Ahmad Dahlan ini hingga akhir hayatnya meninggalkan
beberapa buku dan risalah, diantaranya: Islam sebagai Dasar Negara dan akhlak Pemimpin,
Poestaka hadi, Poestaka ichsan dan Poestaka Iman. Sebagai pucuk pimpinan Persyarikatan
Muhammadiyah, Ki Bagus dikenal sebagai pribadi yang mempunyai kecenderungan kuat
untuk menginstitusionalisasikan Islam. Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat
mendesak untuk alasan-alasan ideologi, politis dan juga intelektual (Ensiklopedi
Muhammadiyah, 2005, hal 129).
Idealisme seorang Ki Bagus seperti yang tercatat dalam sejarah, yakni menolak
penghapusan 7 kata yang telah disepakati dalam sidang PPKI. Namun demi menjaga
keutuhan bangsa, akhirnya beliau mau menerima penghapusan itu. Penerimaan atau sikap
mengalah dari Ki Bagus juga didasarkan pada pendapatnya bahwa pengertian “Ketuhanan
Yang Maha Esa” adalah Tauhid. Sekalipun beberapa pengamat politik memandang peristiwa
itu sebagai kekalahan wakil-wakil umat Islam, dilihat dari proses perjalanannya, sebenarnya
penghapusan 7 kata itu merupakan pengorbanan umat Islam dalam menyusun Pancasila. (Satu
abad Muhammadiyah, 2010, hal 127).
Untuk urusan Aqidah, Ki Bagus adalah ulama di tanah Jawa yang menolak keras ritual
“seikerei”. Mengapa Ki Bagus menolak hal itu? karena seikerei sama artinya dengan syirik.
Ki Bagus lalu dipanggil Kolonel Tsuda, Kepala Kempetai (Dinas Intelejen) Jepang. Setelah
bertemu terjadilah dialog. Ki Bagus tetap pada pendiriannya tidak mau melaksanakan perintah
itu dan melarang sekolah Muhammadiyah melakukan seikerei. (Suara Muhammadiyah 16-28
Februari 2011, hal 43).
Di bidang ekonomi, sewaktu berdakwah ke luar kota, Ki Bagus menyempatkan diri
berdagang guna menutupi biaya pribadinya dengan tidak mengharapkan imbalan dari syiar
dakwahnya itu. Keikhlasan kerap mengiringi perjalanan dakwahnya ini. Tentu saja Ki Bagus
ingat akan wejangan gurunya, KH Ahmad Dahlan, “Jangan mencari penghidupan di dalam
Muhammadiyah, tapi hidup-hidupilah Muhammadiyah.” (Tajdid Muhammadiyah, 2005, hal
75).
3
Bukan hanya keikhlasan, Ki Bagus juga pribadi yang sangat sederhana. Jendral Sudirman
amat mengagumi Ki Bagus karena kesederhanaannya. Dikisahkan bahwa Ki Bagus itu ke
mana-mana pakai sarung. Pernah sesudah proklamasi, Bung Hatta menegur, "Ki Bagus,
sekarang sudah merdeka, kok masih pakai sarung?” Ki Bagus menjawab,”La iya to, Mas.
Dulu, sebelum kemerdekaan yang pakai pakaian yang aneh-aneh kan penjajah. Lha saya ini
ya tetep konsisten pakai sarung.” (Jejak langkah Kepahlawanan dan Kenegarawanan Ki
Bagus Hadikusuma, Uhamka Press, hal 37) Demikianlah tulisan saya tentang sosok Ki Bagus
Hadikusumo yang ikhlas dan idealis, mudah-mudahan bisa menginspirasi generasi muda umat
Islam di Indonesia. Wallahu’allam.