3
1 Marketing: A Never Ending Definition Shefti Latiefah “Marketing is anywhere. Formally or informally, people and organization engage in a vast number of activities that could be called marketing.” (Kotler, 2006) Marketing (definisi pemasaran agak kurang meyakinkan, dan marketing kini sudah menjadi kata serapan) di era sekarang tidak hanya asal memunculkan iklan menggoda atau iklan seruan untuk menjual produk. Marketing kini lebih cerdas. Dengan mengusung tema-tema unik, display- diplay nyeleneh dan terkadang diluar nalar (out of the box) sehingga makin meningkatkan awareness khalayknya. Sehingga, jika Kotler bilang marketing adalah gabungan dari seni dan teknologi, maka saya bilang, marketing adalah senjata mutakhir untuk menuju goal tertentu, baik secara pribadi mapun organisasi, sosial maupun transaksional. Karena, ini berhubungan dengan yang namanya keuntungan finansial. Bolehlah kita mengadopsi paham Smith untuk sekarang ini, namun, kebutuhan finansial ini juga sebenarnya sejalan dengan konsep economic determinismnya Marx. Bahwa, memang, landasan pokok kehidupan adalah perihal ekonomi, karena melalui ekonomilah, manusia dapat mewujudkan kemanusiaannya, untuk memenuhi kebutuhan dan penghidupan. Kotler menekankan, bahwa, perusahaan tanpa marketing, mati aja! Bahkan, perusahaan sekelas Microsoft, Kodak, dan perusahaan besar lainnya mengadopsi filosofi: change or die! Mengkultuskan konsep marketing, karena, tanpanya, kekaisaran mereka akan berakhir dan perusahaan tak akan menuai keuntungan optimal. Para ahli marketing mempunyai pekerjaan rumah yang tak mudah, yakni, mengembangkan model marketing lagi dan lagi, hingga yang paling mutakhir dan bisa bersaing. Marketing, tidak hanya diartikan sebagai kemampuan menjual suatu produk, namun, bagaimana menempatkan dirinya untuk ‘terjual’ dengan sendirinya. Itulah mengapa, Drucker (dalam Kotler, 2006) menyebutkan bahwa tujuan marketing adalah untuk mengetahui apakah produk atau jasa yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Sehingga, marketing bertujuan untuk memetakan konsumen mana yang pas dan akan membeli produk atau jasanya. Tidak lagi meraba-raba dan hanya menggantungkan nasib mujur

Marketing Kotler

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Marketing Kotler

1

Marketing: A Never Ending Definition

Shefti Latiefah

“Marketing is anywhere. Formally or informally, people and organization engage in a vast

number of activities that could be called marketing.” (Kotler, 2006)

Marketing (definisi pemasaran agak kurang meyakinkan, dan marketing kini sudah menjadi kata

serapan) di era sekarang tidak hanya asal memunculkan iklan menggoda atau iklan seruan untuk

menjual produk. Marketing kini lebih cerdas. Dengan mengusung tema-tema unik, display-

diplay nyeleneh dan terkadang diluar nalar (out of the box) sehingga makin meningkatkan

awareness khalayknya. Sehingga, jika Kotler bilang marketing adalah gabungan dari seni dan

teknologi, maka saya bilang, marketing adalah senjata mutakhir untuk menuju goal tertentu, baik

secara pribadi mapun organisasi, sosial maupun transaksional. Karena, ini berhubungan dengan

yang namanya keuntungan finansial. Bolehlah kita mengadopsi paham Smith untuk sekarang ini,

namun, kebutuhan finansial ini juga sebenarnya sejalan dengan konsep economic

determinismnya Marx. Bahwa, memang, landasan pokok kehidupan adalah perihal ekonomi,

karena melalui ekonomilah, manusia dapat mewujudkan kemanusiaannya, untuk memenuhi

kebutuhan dan penghidupan.

Kotler menekankan, bahwa, perusahaan tanpa marketing, mati aja! Bahkan, perusahaan sekelas

Microsoft, Kodak, dan perusahaan besar lainnya mengadopsi filosofi: change or die!

Mengkultuskan konsep marketing, karena, tanpanya, kekaisaran mereka akan berakhir dan

perusahaan tak akan menuai keuntungan optimal. Para ahli marketing mempunyai pekerjaan

rumah yang tak mudah, yakni, mengembangkan model marketing lagi dan lagi, hingga yang

paling mutakhir dan bisa bersaing. Marketing, tidak hanya diartikan sebagai kemampuan

menjual suatu produk, namun, bagaimana menempatkan dirinya untuk ‘terjual’ dengan

sendirinya. Itulah mengapa, Drucker (dalam Kotler, 2006) menyebutkan bahwa tujuan marketing

adalah untuk mengetahui apakah produk atau jasa yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan

konsumen. Sehingga, marketing bertujuan untuk memetakan konsumen mana yang pas dan akan

membeli produk atau jasanya. Tidak lagi meraba-raba dan hanya menggantungkan nasib mujur

Page 2: Marketing Kotler

2

saja. Ini ada caranya! Untuk itulah mengapa manajer marketing tidak boleh berhenti berinovasi

karena, marketing, dalam perkembangannya, dirasa sangat cepat seirama dengan mutakhirnya

teknologi. Bayangkan saja, dulunya memasarkan produk dari mulut ke mulut, berjalan kaki

kesana-kemari sambil membawa barang, sekarang, cukup sediakan rekenening, ahli desain dan

seorang manajer marketing, kita dapat memetakan bagaimana strategi optimal agar produk atau

jasa kita laku dan menjangkau sasaran. Munculnya internet, menjadi tantangan sekaligus peluang

dalam praktek marketing kontemporer.

Yang menarik dari pembahasan Kotler mengenai marketing secara garis besar adalah bagiamana

ia memilah antara ‘pemaksaan, ‘pengibaan’, dan ‘pemenuhan secara rela’ akan suatu barang.

Lalu ia menjelaskan perbedaan menganai penukaran (exchange) dan transaksi.

Penukaran, istilah kata, lebih mirip barter. Dimana minimal ada dua belah pihak yang saling

menukar dan memperoleh keuntungan masing-masing. Sedangkan, trasaksi, lebih kearah

kerjasama dalam memperoleh keuntungan, dan dalam contoh klasik moneter, transaksi ini

biasanya dimaknai sebagai proses jual-beli (karena tidak menukarkan barang lagi, namun, lebih

kepada penyerahaan kuasa pada ‘alat tukar’). Marketing, dilain pihak, memiliki beberapa entitas

dimensi yang dapat dikategorikan sebagai berikut: barang, servis, kegiatan, pengalaman, orang,

tempat, properti, organisasi, informasi dan ide. Ranah ini tentu hanya terjadi jika ada pasar

(market), dan dalam pasar itu tentulah ada yang namanya konsumen. Disini, Kotler, membagi

jenis-jenis konsumen menjadi tiga, yakni: pasar konsumen, pasar bisnis, pasar global dan non-

profit atau pasar negara.

Selain itu, Kotler, juga menjelaskan adanya perkembangan pasar secara umum. Adanya

marketplace, marketspace dan metamarket menjadi varian baru dalam definisi pasar (market).

Apa yang membedakan marketplace dan marketspace adalah areal fisik, dimana, marketplace

lebih menekankan pada ranah tampak fisik bangunan (pasar, toko, gudang, dst) sedangkan

marketspace pada ranah tak tampak fisik (internet). Metamarket, disisi lain, merupakan sebutan

untuk mengkategorikan produk-produk atau jasa yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

Konsep ini diperkenalkan oleh Sawhney untuk memudahkan asosiasi produk atau jasa tertentu

dalam benak konsumen. Sebagai contoh, konsumen A memiliki mobil, maka, metamarket

untuknya adalah: salon mobil, bengkel, toko oderdil, dan hal-hal yang terkait dengan

kebutuhannya sebagai pemilik mobil.

Page 3: Marketing Kotler

3

Tidak dipungkiri, bagaimanapun canggihnya marketing, tapi, ilmu ini akan basi jika tidak

diperbaharui. Begitu pula dalam tataran praksisnya. Beberapa hal yang, menurut Kotler, menjadi

tantangan, termasuk, peluang bagi para professional yang bekerja di bidang marketing adalah:

kemutakhiran teknologi, globalisasi, deregulasi, privatisasi, pemberdayaan konsumen, kompetisi

yang semakin berat, konvergensi industri, transformasi retail, dan disintermediasi (tanpa mediasi,

produsen langsung melayani konsumen). Untuk itu, tiap perusahaan (bahkan individu) harus

mengembangkan konsep marketing secara progresif. Minimal, Kotler, member landasan berupa

konsep-konsep yang terlebih dahulu harus dikuasai, kemudian silakan dikembangkan sesuai

kebutuhan. Diantaranya adalah konsep produksi, konsep konsep produk, konsep penjualan, dan

konsep marketing, kemudian baru, konsep marketing holistik yang menyangkut ketergantungan

satu sama lain dalam menjalankan strategi marketing. Ada empat hal yang patut diperhatikan

dalam penerapannya, yakni, marketing hubungan, marketing terintegrasi, marketing internal, dan

marketing pelayanan sosial. Keempat elemen ini saling berhubungan dan harus dibina untuk

menjalankan strategi marketing holistik sehingga tercipta iklim organisasi yang baik dan

mempengaruhi profit optimal perusahaan tersebut.

Apapun, inovasi kemudian menjadi kata kunci. Dunia ini berputar, bung! Jika tidak ikut

bergerak, maka, tiap saat kita akan lebih tertinggal dari putaran jam. Tidak ada yang terbaru

dalam teori marketing, adanya adalah terakhir (latest concept) dan aka nada temuan-temuan baru

yang menhgharuskan kita untuk beradaptasi lagi dan lagi. Bahkan mungkin, jika ingin

memimpin pasar, kita harus ciptakan konsep baru itu.

Tidak akan pernah ada definisi spesifik tentang marketing. Definisi ini akan terus berkembang.

Tapi, apakah mendefinisikan sesuatu itu lebih penting ketimbang menghayatinya? Saya lebih

percaya pemahaman konseptual tentang segala hal, termasuk marketing, kemudian

mengimplementasikannya secara benar. Bagaimana dengan anda?