Upload
adisoekariawan
View
220
Download
27
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Praktikum Teknik Laboratorium Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, M.Sc.
“Analisis Cd dalam Sampel Air Menggunakan Spektroskopi Serapan Atom (SSA)”
Nama Kelompok : Made Yunarsih NIM 1092061006I Made Adi Sukariawan NIM 1092061007Made Rai Rahayu NIM 1092061008Kadek Dewi Wirmandiyanthi NIM 1092061009
Program Studi Kimia Terapan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
2011
“ANALISIS KADAR Cd DALAM SAMPEL AIR MENGGUNAKAN SPEKTROSKOPI SERAPAN ATOM (SSA)”
Page 1 of 16
I. TANGGAL : Rabu, 30 Maret 2011
II. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Dapat mengetahui dan memahami teknik analisis dalam instrumentasi
Spektroskopi Serapan Atom (SSA).2. Dapat membuat kurva kalibrasi absorbansi terhadap konsentrasi logam Cd dan
menentukan persamaan regresi liniernya.
III. DASAR TEORI
1. Spektroskopi Serapan Atom (SSA)Spektroskopi Serapan Atom (SSA) atau Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)
merupakan salah satu jenis spektrofotometri dimana spesi pengabsorpsinya adalah atom.
Alat Spektroskopi Serapan Atom ditunjukkan pada Gambar 01.
Gambar 01. Spektroskopi Serapan Atom (SSA)
Metode AAS didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom netral dalam
keadaan gas. AAS memiliki rentang garis serapan yang sangat sempit, yaitu sekitar
0,002 Å. Hal ini disebabkan pita atomik tidak dipengaruhi oleh struktur rotasi dan
vibrasi seperti pada pita absorpsi molekul. Metode AAS dapat digunakan untuk
menganalisis unsur-unsur logam pada konsentrasi dari kuantitas trans (renik) sampai
kuantitas makro. Metode ini mampu menganalisis kadar logam dalam berbagai pelarut.
Dalam analisis secara AAS, unsur yang dianalisis harus dikembalikan ke keadaan dasar
sebagai atom netral. Proses ini berlangsung dengan jalan larutan sampel yang dianalisis
disedot lewat pipa kapiler dan selanjutnya disemprotkan sebagai kabut ke dalam nyala
api, pada temperatur terjadi penguraian senyawa organik .
Proses kerja alat AAS (Atomic Absorption spectroscopy) adalah sebagai berikut.
Larutan sampel yang dianalisis disedot lewat pipa kapiler dan selanjutnya disemprotkan
Page 2 of 16
(www.elchem.kaist.ac.id)
kedalam nyala lewat alat pengkabut (nebulizer). Dalam nyala terjadi proses pengatoman
sampel. Atom yang terbentuk semula berada dalam keadaan dasar (ground state),
namun kemudian dengan menyerap cahaya dari lampu katoda, atom tersebut mengalami
eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Atom yang semula berada dalam keadaan
tereksitasi kembali ke tingkat energi dasar dengan melepaskan energi/cahaya.
Selanjutnya energi/cahaya tersebut ditangkap oleh monokromator, kemudian dibaca
oleh detektor dan diolah menjadi data output dalam bentuk skala meter atau data digital
(Khopkar, 2003). Keseluruhan dari proses ini seperti terlihat pada Gambar 02.
Gambar 02 . Diagram blok instrumen AAS
Suatu atom dikatakan dalam tingkat energi dasar apabila atom ini terdapat pada
tingkat energi yang paling paling rendah. Atom dalam keadaan ini dapat pindah ke
tingkat energi yang lebih tinggi bila atom tersebut menyerap energi/sinar. Bila atom
pindah/kembali ke tingkat energi yang lebih rendah maka akan memancarkan energi
dalam bentuk cahaya (Muderawan, 2010).
Kemampuan suatu atom untuk mengadsorpsi cahaya tergantung dari jenis atom
itu sendiri dan energi cahaya yang digunakan. Setiap atom memiliki kemampuan
menyerap cahaya sesuai dengan tingkat energi yang dimiliki oleh atom itu sendiri.
Sehingga di dalam metode AAS digunakan lampu katode khusus yang dibuat atau
dilapisi dengan logam yang sama dengan unsur logam dalam sampel yang dianalisis.
Penggunaan lampu katode khusus tersebut bertujuan untuk menghasilkan pancaran
cahaya/sinar dengan rentang penjang gelombang atau energi yang sempit, tepat sama
dengan energi atom-atom penyususn logam yang dianalisis (Day dan Underwood,
1983).
Page 3 of 16
Dengan menggunakan lampu katode khusus yang mempunyai panjang gelombang
tetentu (sesuai dengan unsur yang dianalisis), AAS spesifik untuk setiap unsur. Besar
intensitas cahaya yang diserap tergantung dari kadar atomnya. Dalam hal ini berlaku
hukum Lambert Beer yang dapat ditulis dengan rumus:
dII = -k .C. db ...……………………………………………………… (1)
ln
I t
I = -k. C. db .…………………………………………………………. (2)
log
I0
I t = −k
2, 303. b .C atau …...………………………………. ……………….. (3)
logI0
I t =−ε . b . C …………….. …………………………………………... (4)
Dimana C adalah konsentrasi larutan dalam molar. Jika konsentrasi larutan dalam
bentuk gram/liter maka rumus 4 menjadi:
logI t
I0 = - a. b. C .……………………………………..…………………… (5)
It/I0 disebut konsentrasi trasmitan(T) maka
log T = -ε . b.C atau ……….……………………………………………… (6)
–log T =ε .b.C ……………………………………………………………... (7)
Dengan ketentuan:
I0 : intensitas cahaya dating
a : kofisien aktivitas
ε : koefisien aktivasi molar
C : konsentrasi
A : absorbansi
b : tebal kuvet
Cara untuk menentukan konsentrasi larutan sampel adalah dengan
membandingkan absorbansi (A) larutan sampel dengan absorbansi larutan standar yang
diketahui konsentrasinya. Selanjutnya dibuat kurva kalibrasi yaitu grafik hubungan
Page 4 of 16
C
antara absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan standar yang berupa garis lurus.
Larutan sampel diukur absorbansinya, kemudian diplot pada kurva kalibrasi tersebut.
Dengan demikian konsentrasi sampel dapat ditentukan (www.wikipedia.org/AAS).
Gambar 03. Kurva Hukum Lambert Beer (kurva kalibrasi)
2. Pencemaran Logam Cd
Logam kadmium ditemukan dalam bentuk mineralnya yaitu Greennockite (CdS)
dan selalu ditemukan bersamaan dengan mineral Spalerite (ZnS). Mineral greennockite
jarang ditemukan di alam sehingga dalam eksploitasi logam Cd biasanya merupakan
hasil sampingan dari peristwa peleburan dan refining bijih-bijh seng (Zn). Pada
konsentrat bijih Zn didapatkan 0,2 – 0,3 % logam Cd. Selain itu, logam Cd juga
diperoleh dari peleburan bijih-bijih logam Pb (timah hitam) dan Cu (tembaga).
Logam kadmium adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak
larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadium oksida bila dipanaskan.
Logam ini akan kehilangan kilapnya bila berada di udara yang basah atau lembab serta
akan cepat mengalami kerusakan bila terkena uap amonia (NH3) dan sulfur hidroksida
(SO2). Logam kadmium memiliki titik didih 767 0C dan titik leleh 321 0C. Pada
umumnya logam kadmium didalam persenyawaan yang dibentuknya mempunyai
bilangan valensi 2+ dan sangat sedikit dalam bentuk valensi 1+. Pesenyawaan logam
kadmium biasanya dengan klor membentuk kadmium klorida (CdCl2) atau dengan
belerang membentuk kadmium sulfit (CdS). Logam kadmium jika digabungkan dengan
senyawa karbonat (CO32-), senyawa fosfat (PO4
3-), senyawa arsenat (ASO32-), atau
dengan senyawa oksalat-ferro dan ferri sianat maka akan terbentuk senyawa yang
berwarna kuning dimana senyawa ini akan larut dalam senyawa NH4OH dan akan
membentuk kation kompleks Cd dengan NH3.
Page 5 of 16
A
(Sumber: Khopkar, 2003)
Logam kadmium dan persenyawaannya banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari terutama dalam industri pencelupan, fotografi dan lain-lain. Pemanfaatan Cd
dan persenyawaannya dapat dilihat sebagai berikut.
1. Senyawa CdS dan CdSeS, banyak digunakan sebagai zat warna.
2. Senyawa CdSO4 digunakan dalam industri baterai yang berfungsi untuk pembuatan
sel wetson karena mempunyai potensial stabil, yaitu 1,0186 volt.
3. Senyawa CdBr2 dan CdI2 secara terbatas digunakan dalam dunia fotografi.
4. Senyawa (C2H5)2Cd digunakan dalam proses pembuatan tetraetil-Pb.
5. Senyawa Cd-stearat banyak digunakan dalam industri manufaktur polyvinilklorida
(PVC) sebagai bahan yang berfungsi untuk stabilizer.
Kadmium dalam konsentrasi rendah banyak digunakan dalam industri pada proses
pengolahan roti, pengolahan ikan, pengolahan minuman serta industri tekstil.
Sehubungan dengan beragamnya pemakaian kadmium, maka keberadaan kadmium di
alam dan ditambah dengan pelepasan kadmium dari limbah industri menyebabkan
terjadinya pencemaran lingkungan. Kadmium bisa berada di atmosfer, tanah dan
perairan.
Kadmium di atmosfer berasal dari penambangan/pengolahan bahan tambang,
peleburan, galvanisasi, pabrik pewarna, pabrik baterai dan elektroplating. Kadmium di
tanah berasal dari endapan atmosfer, debu, air limbah tambang, pupuk limbah lumpur,
pupuk fosfat, dan pestisida. Sedangkan kadmium di perairan berasal dari endapan
atmosfer, debu, air limbah tambang, air prosesing limbah, dan limbah cair industri.
Kadmium secara biologis belum diketahui fungsinya dan dipandang sebagai
xenobiotik dengan toksisitas yang tinggi dan merupakan unsur lingkungan yang
persisten. Efek toksik kadmium dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
tingkat dan lamanya paparan, bentuk kimia dari logam berat Cd, kompleks protein-
logam ataupun kadmium bergabung dengan metalloprotein (suatu protein dengan bobot
molekul rendah), faktor penjamu Cd seperti toksikan lainnya, serta faktor-faktor diet
misalnya defisiensi protein, vitamin C, vitamin D, kalsium dan besi akan meningkatkan
toksisitas kadmium. Kadmium dalam bentuk asap atau gas dapat berakibat fatal bila
konsentrasi Cd 40-50 mg/m3 terinhalasi selama 1 jam dan konsentrasi kadmium 9
mg/m3 terinhalasi selama 5 jam. Konsentrasi yang lebih rendah tidak berakibat fatal.
Page 6 of 16
Keracunan yang disebabkan oleh kadmium dapat bersifat akut dan kronis.
Keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah
tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjar pencernaan serta mengakibatkan
kerapuhan pada tulang (Saeni, 1997). Gejala keracunan akut dan kronis akibat logam Cd
(Kadmium) adalah sebagai berikut.
Gejala akut :
1. Sesak dada
2. Kerongkongan kering dan dada terasa sesak (constriction of chest)
3. Nafas pendek
4. Nafas terengah-engah dan bisa berkembang ke arah penyakit radang paru-paru
5. Sakit kepala dan menggigil
6. Mungkin dapat diikuti kematian.
Gejala kronis:
1. Nafas pendek
2. Kemampuan mencium bau menurun
3. Berat badan menurun
4. Gigi terasa ngilu dan berwarna kuning keemasan.
Selain menyerang pernafasan dan gigi, keracunan yang bersifat kronis menyerang
juga saluran pencernaan, ginjal, hati dan tulang. Masuknya kadmium ke dalam tubuh
manusia dan hewan dapat terjadi melalui berbagai cara diantaranya:
1. Dari udara yang tercemar, misalnya asap rokok dan asap pembakaran batu bara.
2. Melalui wadah atau tempat yang dilapisi oleh Cd yang digunakan untuk tempat
makanan dan minuman.
3. Melalui kontaminasi perairan dan hasil pertanian yang tercear Cd
4. Melalui jalur rantai makanan
5. Melalui konsumi daging yang menggunakan obat anthelminthes yang mengandung
Cd.
Adsorpsi kadmium dalam saluran pencernaan meliputi 2 tahap, yaitu:
1. Penyerapan Cd oleh lumen usus melewati membran brush border ke dalam sel
mukosa.
2. Transpor Cd ke dalam aliran darah dan deposisi dalam jaringan, terutama dideposit
di hati dan ginjal.
Page 7 of 16
Sekitar 5-8% dari makanan yang mengandung kadmium diabsorpsi dalam tubuh.
Sebagian besar Cd masuk melalui saluran pencernaan, tetapi keluar lagi melalui feses
sekitar 3-4 minggu kemudian dan sebagian kecil dikeluarkan melalui urin. Kadmium
dalam tubuh terakumulasi dalam ginjal dan hati terutama terikat sebagai metalothionein.
Metalotionein mengandung asam amino sistein, dimana Cd terikat dengan gugus
sulfhidril (-SH) dalam enzim karboksil sisteinil, histidil, hidroksil dan fosfatil dari
protein dan purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh interaksi
antara Cd dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas
kerja enzim.
Kadmium lebih beracun bila terhisap melalui saluran pernafasan daripada saluran
pencernaan. Kasus keracunan akut kadmium kebanyakan dari menghisap debu dan asap
kadmium, terutama kadmium oksida (CdO). Dalam beberapa jam setelah menghisap,
korban akan mengeluh gangguan saluran nafas, muntah, kepala pusing dan sakit
pinggang. Kematian disebabkan karena terjadinya edemi paru-paru. Apabila pasien
tetap bertahan, akan terjadi emfisema atau gangguan paru-paru yang jelas terlihat.
Keracunan kronis terjadi bila memakan atau inhalasi dosis kecil Cd dalam waktu
yang lama. Gejala akan terjadi setelah selang waktu beberapa lama dan kronik.
Kadmium pada keadaan ini menyebabkan nefrotoksisitas, yaitu gejala proteinuria,
glikosuria, dan aminoasidiuria disertai dengan penurunan laju filtrasi glumerolus ginjal.
Kasus keracunan Cd kronis juga menyebabkan gangguan kardiovaskuler dan hipertensi.
Hal tersebut terjadi karena tingginya afinitas jaringan ginjal terhadap kadmium. Gejala
hipertensi ini tidak selalu dijumpai pada kasus keracunan Cd kronis.
Kadmium dapat menyebabkan osteomalasea karena terjadinya gangguan daya
keseimbangan kandungan kalsium dan fosfat dalam ginjal. Keracunan Cd kronik ini
dilaporkan didaerah Toyama, sepanjang sungai Jinzu di Jepang, yang menyebabkan
penyakit Itai-itai pada penduduk wanita umur 40 tahun keatas.
Page 8 of 16
Gambar 05. Ginjal yang mengalami nekrotik, nephrosis dan gagal ginjal penderita penyakit itai-itai.Gambar 04. Seorang wanita penderita penyakit itai-itai.
Daya toksisitas Cd juga memengaruhi sistem reproduksi dan organ-organnya.
Pada konsentrasi tertentu Cd bisa mematikan sel-sel sperma pada laki-laki sehingga
terjadi impotensi. Hal ini dapat dibuktikan dengan rendahnya kadar testosteron dalam
darah.
IV. ALAT DAN BAHAN Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini disajikan dalam tabel
berikut. Tabel 01. Alat dan Bahan
Alat Jumlah Bahan KeteranganBotol wadah sampel 1 buah Aquades secukupnyaSSA 1 set Sampel ikan tuna dan kopi 7 sampel
V. PROSEDUR KERJA DAN HASIL PENGAMATAN
Tabel 02. Langkah kerja dan Hasil PengamatanNo Langkah Kerja Hasil Pengamatan1 Penyiapan larutan standar
a. Larutan standar telah disiapkan
sebelum dilakukan praktikum
Konsentrasi larutan standar untuk pembuatan
kurva kalibrasi adalah 0, 1, 2 dan 4 ppm.
2 Pengukuran larutan standar dan
sampel
a. Absorbansi larutan standar
Cadmium (Cd2+) 0, 1, 2, 4 ppm
dan larutan sampel Cd diukur
dengan SSA pada panjang
Hasil pengamatan pengukuran larutan standar[Cd2+] ppm A
0 0,0001 0,1352 0,2554 0,452
Page 9 of 16
gelombang 228,8 nm. Kurva kalibrasi dari komputer SSA
Hasil pengamatan pengukuran sampel Sampel A
1 0,0082 0,0093 0,0024 0,0045 0,0036 0,0047 0.002
Gambar hasil pengukuran sampel dan standar
VI. PEMBAHASAN Pengukuran larutan standar dan sampel untuk Cd dilakukan dengan menggunakan
instrumentasi Spektroskopi Serapan Atom (SSA). Proses pengukuran menggunakan
SSA melalui proses pengatoman dengan nyala melalui mekanisme seperti yang
digambarkan pada gambar 6.
Sampel diserap lewat tabung kapiler oleh pengaruh udara yang dialirkan di ujung
kapiler. Sampel masuk ke bagian sistem pengkabut sehingga menjadi kabut. Sistem
pengkabut terdiri dari dua bagian yaitu nebulizer dan spray chamber. Nebulizer akan
memecah sampel menjadi aerosol berupa tetes kecil dengan berbagai diameter lewat.
Aerosol tersebut disemprotkan ke arah spray chamber dimana sebagian besar tetesan
akan jatuh ke pembakar dan mencapai nyala kabut atau aerosol dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu kabut kasar dan kabut halus. Kabut kasar akan jatuh ke bawah
Page 10 of 16
desolvation
larutan
vaporization
padat
aerosol
liquefaction
nebulization
cair
gas
gas
gas
gas
atomization
excitation
ionization
Cd2+
Cd2+
Cd2+
Cd2+
Cd2+
Cdo
Cd*
Cd2+ + 2e
E0
E1
E~
n = 1
n = 2
n = ~
dalam bentuk tetesan yang dikeluarkan lewat drain off sedangkan kabut halus didorong
menuju sistem pembakaran. Proses atomisasi dalam nyala dapat digambarkan seperti
bagan berikut.
Gambar 06. Proses atomisasi larutan standar dan sampel Cd dalam nyala SSA
Untuk Cd digunakan panjang gelombang maksimum (λmax) 228,80 nm. Ini
menunjukkan bahwa pada panjang gelombang tersebut Cd dapat diukur karena terjadi
eksitasi dari Cdo menjadi Cd*. Terjadinya eksitasi dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 07. Eksitasi atom
Page 11 of 16
Energi radiasi elektromagnetik yang diperlukan untuk atom Cd sehingga terjadi
eksitasi dapat dihitung melalui perhitungan berikut.
Energi awal - Energi akhir = energi foton
Ei – Ef = hv
ΔE = h. c / λ
λ = 228,8 nm
ΔE = h cλ =
6,63 x 10−34 J . s .3 x108m / s228,8 x10−9
= 8,69 x 10-19 J = 5,36 eV
Jadi energi radiasi elektromagnetik yang digunakan atom Cd adalah 8,69 x 10-19 J atau
5,36 eV. Dari hasil perhitungan energi ini, dapat ditentukan eksitasi terjadi dari keadaan
dasar (n = 1) ke kulit yang di luar menggunakan persamaan berikut.
1λ=
−E1
ch ( 1nf
2−1ni
2 )1
228,8 x 10−9 =8,69 x 10−19
3 x108 . 6,63 x10−34 ( 11− 1
nf2 )
( 11− 1
nf2 ) 4.369 x 106 = 4,37 x 106
( 11− 1
nf2 )≈ 1
nf =
Jadi pada atom Cd, pada panjang gelombang maksimumnya terjadi eksitasi dari kulit K
(n = 1) ke kulit tak hingga.
Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi larutan standar Cd, diperoleh kurva
kalibrasi standar Cd menggunakan excel sebagai berikut.
Page 12 of 16
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.50
0.050.1
0.150.2
0.250.3
0.350.4
0.450.5
f(x) = 0.116809523809524 xR² = 0.996452012160366
Kurva Kalibrasi
Konsentrasi
Absorbansi
Gambar 08. Kurva kalibrasi hasil pengukuran larutan standar Cd
Data dari pengukuran absorbansi larutan standar, diperoleh persamaan
regresinya sebagai berikut.
y = 0,116x
Dari persamaan ini, absorbansi hasil pengukuran sampel dapat dihitung sehingga
didapatkan konsentrasi. Perhitungan konsentrasi sampel dihitung sebagai berikut.
Sampel 1, dengan absorbansi 0,008
y = 0,116x
0,008 = 0,116x
x = 0,068
Sampel 2, dengan absorbansi 0,009
y = 0,116x
0,009 = 0,116x
x = 0,077
Sampel 3, dengan absorbansi 0,002
y = 0,116x
0,002 = 0,116x
x = 0,017
Sampel 4, dengan absorbansi 0,004
y = 0,116x
0,004 = 0,116x
x = 0,034
Sampel 5, dengan absorbansi 0,003
y = 0,116x
0,003 = 0,116x
x = 0,026
Sampel 6, dengan absorbansi 0,004
y = 0,116x
0,004 = 0,116x
x = 0,034
Sampel 7, dengan absorbansi 0,002
y = 0,116x
0,002 = 0,116x
x = 0,017
Page 13 of 16
Kadar Cd yang terkandung pada semua sampel tidak dapat ditentukan, karena
sampel telah disiapkan sebelumnya tanpa diketahui massa sampel dan prosedur saat
dilarutkan.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, kadar Cd hanya dapat ditentukan pada
sampel larutannya. Tabel berikut menyajikan kadar Cd pada larutan sampel dari hasil
perhitungan dan pengukuran kadar menggunakan AAS.
Tabel 04. Hasil perhitungan dan pengukuran kadar Cd
Sampel Pengukuran (AAS) Perhitungan1 (ikan tuna) 0,056 0,069
2 (ikan tuna ekor kuning)
0,067 0,078
3 (ikan tuna matang) 0,014 0,0174 (kopi 1) 0,033 0,0345 (kopi 2) 0,023 0,0266 (kopi 3) 0,032 0,0347 (kopi 4) 0,015 0,017
Penggunaan program microsoft excel dalam menentukan standar deviasi dan t-
test untuk mendapatkan signifikansi hasil perhitungan dan pengukuran. Standar deviasi
yang diperoleh dengan penggunaan program excel adalah 0,022. Dan hasil t-test
terhadap hasil pengukuran dan perhitungan (dua sampel independen) adalah 0,676. Jika
hasil t-test perhitungan dibandingkan dengan ttabel dengan taraf signifikansi 95% (1,94)
dan 99% (3,14) maka dapat dinyatakan bahwa hasil pengukuran dan perhitungan tidak
berbeda secara signifikan karena nilai t-test perhitungan lebih kecil dari ttabel.
Sampel 1, 2 dan 3 yaitu sampel ikan tuna yang mengandung Cd. Dalam larutan
sampel 1, 2 dan 3, kemungkinan terpapar melalui proses rantai makanan. Di mana ikan-
ikan tersebut memakan ikan yang telah terpapar Cd sebelumnya. Sumber pencemaran
logam Cd dimungkinkan berasal dari limbah industri yang dibuang ke laut. Sehingga
plankton dan organisme kecil lainnya mengabsorpsi logam tersebut, kemudian dimakan
oleh ikan kecil hingga akhirnya dimakan oleh ikan tuna blalalalal. Logam Cd ini dapat
terakumulasi di dalam tubuh sesuai dengan jumlah konsumsi ikan yang terpapar logam
Cd.
Sampel 4, 5, 6 dan 7 yaitu kopi, kemungkinan mengabsorpsi Cd dari tanah yang
telah tercemar dengan logam tersebut. Tanah tersebut tercemar logam Cd yang dapat
berasal dari pembuangan limbah industri. Air yang terkandung dalam tanah dapat
terserap oleh akar tanaman kopi hingga disimpan dalam tanaman kopi.
Page 14 of 16
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
907/MENKES/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan
kualitas air minum nilai ambang batas Cd pada air minum adalah 0,003 ppm. Jika hasil
pengukuran pada sampel-sampel ini ada yang melebihi nilai ambang batas dan ada yang
tidak. Terutama pada ikan tuna yang matang, kadar Cd menurun. Sehingga perlu
dilakukan pengolahan terhadap ikan tuna sebelum dikonsumsi. Sedangkan pada kopi,
perbedaan kadar Cd dimungkinkan karena perbedaan lokasi tanam kopi yang diukur
kadar kadmiumnya.
VII. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Pengukuran kadar Cd menggunakan instrumentasi Spektroskopi Serapan Atom
(SSA) melalui proses pengatoman Cd dalam larutan sampel, kemudian pada λmax
228,8 nm, larutan sampel diukur absorbansinya untuk menentukan kadar Cd
dalam sampel.
2. Kurva kalibrasi absorbansi terhadap konsentrasi logam Cd larutan standar
dengan intersep (0,0) didapatkan persamaan regresi liniernya adalah y = 0,116x.
3. Kadar Cd hasil pengukuran menggunakan AAS dalam larutan sampel 1 sampai 7
berturut-turut adalah 0,056; 0,067; 0,014; 0,033; 0,023; 0,032; 0,015 ppm.
4. Kadar Cd hasil perhitungan dari persamaan y = 0,116x dalam larutan sampel 1
sampai 7 berturut-turut adalah 0,069; 0,078; 0,017; 0,034; 0,026; 0,034; 0,017
ppm.
5. Kadar Cd dalam larutan sampel baik dari hasil pengukuran maupun perhitungan
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan setelah dilakukan uji t-test dua
sampel independen menggunakan program microsoft excel dimana thitung (0,676)
< ttabel (1,94 dan 3,14).
6. Sumber Cd yang terkandung dalam ikan tuna kemungkinan dari proses rantai
makanan yang memakan ikan yang telah terpapar Cd. Sedangkan kopi yang
mengandung Cd kemungkinan dari absorpsi akar air pada tanah yang telah
tercemar logam Cd.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Page 15 of 16
Anonim. 2009. Atomic Absorption Spectroscopy (AAS). Diakses pada tanggal 21 Maret 2009 dari www.elchem.kaist.ac.kr
Gritter, Roy J., James M. Bobbit, Arthur E. S., 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung.
Day, R.A. dan A.L. Underwood. 1983. Analisa Kimia Kuantitatif Cetakan ke-4. Diterjemahkan oleh R. Soendoro. Jakarta: Erlangga.
Dean, John A. 1976. Lange’s Handbook of Chemistry 5th Edition. McGraw-Hill, Inc
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 907/MENKES/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum nilai ambang batas pada air minum
Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Diterjemahkan oleh A. Saptorahardjo. Jakarta: UI-Press
Nur, A. Anwar dan Hendra Adijuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Bogor: IPB.
Page 16 of 16