5
Putut Dipa / 105120400111010 / A.HI.3 Agrikultur Terpuruk, WTO Dijadikan Kambing HitamTahun 1994 menjadi momentum bersejarah bagi perekonomian Indonesia khususnya di sektor perdagangan internasional. Pada tahun tersebut, tepatnya pada tanggal 2 November, pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 7 tahun 1994 tentang Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO). 1 Undang-undang tersebut menjadi simbol bahwa Indonesia telah mendelegasikan sebagian kedaulatannya pada sebuah institusi internasional, dalam hal ini adalah WTO, untuk mengatur seluruh bentuk hubungan dagangnya. Dengan mengesahkan undang-undang tersebut, Indonesia secara konstitusional telah berkomitmen untuk menjadi salah satu “pemain” dalam perdagangan bebas. Keputusan pemerintah Indonesia untuk ikut bermain dalam perdagangan bebas tentu saja tidak bisa hanya dimainkan oleh elit pemerintah seperti presiden maupun jajaran menteri, tetapi seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana tidak? WTO mengharuskan seluruh sektor perdagangan harus dibuka seluas-luasnya atau dengan kata lain pemerintah di setiap negara anggotanya, Indonesia salah satunya, harus mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk hambatan perdagangan. Akibatnya, semua sektor perekonomian di Indonesia mau tidak mau harus membuka diri dalam perdagangan bebas yang dimonitori oleh WTO. Indonesia sebagai negara agraris yang didukung oleh 13 juta hektare lahan agrikultur menjadikan sektor agrikultur sebagai tumpuan utama dalam roda perekonomian nasional. 2 Akan tetapi, semenjak mengesahkan keberadaan WTO, sektor agrikultur akhirnya harus merelakan diri untuk meladeni perdagangan bebas yang tidak lain adalah sebuah rezim global yang sangat mengikat. Segala bentuk subsidi ke sektor ini pun harus mulai berkurang sedangkan di lain pihak, pemerintah Indonesia harus memberikan akses semudah-mudahnya kepada produk agrikultur dari negara lain untuk masuk ke pasar 1 M. Sood, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, p. 282 2 Republika, Kritis, Jumlah Lahan Pertanian di Indonesia(online), 2012, http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/12/05/26/m4mavr-kritis-jumlah-lahan-pertanian-di- indonesia diakses pada tanggal 1 Januari 2013

Korelasi WTO dan Agrikultur Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas UAS

Citation preview

Page 1: Korelasi WTO dan Agrikultur Indonesia

Putut Dipa / 105120400111010 / A.HI.3

Agrikultur Terpuruk, WTO Dijadikan “Kambing Hitam”

Tahun 1994 menjadi momentum bersejarah bagi perekonomian Indonesia khususnya di

sektor perdagangan internasional. Pada tahun tersebut, tepatnya pada tanggal 2 November,

pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 7 tahun 1994 tentang Agreement on

Establishing the World Trade Organization (WTO).1 Undang-undang tersebut menjadi

simbol bahwa Indonesia telah mendelegasikan sebagian kedaulatannya pada sebuah

institusi internasional, dalam hal ini adalah WTO, untuk mengatur seluruh bentuk

hubungan dagangnya. Dengan mengesahkan undang-undang tersebut, Indonesia secara

konstitusional telah berkomitmen untuk menjadi salah satu “pemain” dalam perdagangan

bebas.

Keputusan pemerintah Indonesia untuk ikut bermain dalam perdagangan bebas tentu saja

tidak bisa hanya dimainkan oleh elit pemerintah seperti presiden maupun jajaran menteri,

tetapi seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana tidak? WTO mengharuskan seluruh sektor

perdagangan harus dibuka seluas-luasnya atau dengan kata lain pemerintah di setiap negara

anggotanya, Indonesia salah satunya, harus mengurangi atau bahkan menghilangkan segala

bentuk hambatan perdagangan. Akibatnya, semua sektor perekonomian di Indonesia mau

tidak mau harus membuka diri dalam perdagangan bebas yang dimonitori oleh WTO.

Indonesia sebagai negara agraris yang didukung oleh 13 juta hektare lahan agrikultur

menjadikan sektor agrikultur sebagai tumpuan utama dalam roda perekonomian nasional.2

Akan tetapi, semenjak mengesahkan keberadaan WTO, sektor agrikultur akhirnya harus

merelakan diri untuk meladeni perdagangan bebas yang tidak lain adalah sebuah rezim

global yang sangat mengikat. Segala bentuk subsidi ke sektor ini pun harus mulai

berkurang sedangkan di lain pihak, pemerintah Indonesia harus memberikan akses

semudah-mudahnya kepada produk agrikultur dari negara lain untuk masuk ke pasar

1 M. Sood, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, p. 282

2 Republika, ‘Kritis, Jumlah Lahan Pertanian di Indonesia’ (online), 2012,

http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/12/05/26/m4mavr-kritis-jumlah-lahan-pertanian-di-indonesia diakses pada tanggal 1 Januari 2013

Page 2: Korelasi WTO dan Agrikultur Indonesia

Putut Dipa / 105120400111010 / A.HI.3

Indonesia demi tujuan tercapainya “pasar persaingan sempurna”. Tentu hal ini menjadi

sebuah tantangan besar bagi pemerintah dan petani Indonesia.

Menariknya, dampak yang diterima oleh Indonesia, khususnya di sektor agrikultur, setelah

bergabung sebagai negara anggota WTO tidak sama dengan konsep perdagangan bebas

selama ini. Yang ada justru setiap tahunnya produk-produk agrikultur Indonesia selalu

dihambat masuk oleh pasar dari beberapa negara maju yang juga merupakan anggota WTO.

Selama tahun 1999 tercatat ada 1.300 kasus produk Indonesia yang ditolak dan ditahan oleh

AS melalui instansi Food and Drug Association (FDA) dengan alasan tidak memenuhi

syarat standar mutu. Jumlah kasus ini ternyata meningkat lebih dari dua kali lipat

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana tercatat pada tahun 1997 tercatat ada 450

kasus dan 550 kasus pada tahun 1998.3

Baru-baru ini FDA juga melakukan aksi lain yaitu menunjukan sinyal untuk menghambat

ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia karena dianggap tidak memenuhi aturan standar

baru mengenai kadar minyak dan lemak dalam makanan. Parahnya, FDA mewajibkan agar

setiap produk Indonesia yang mengandung minyak tropis ( minyak kelapa sawit dan inti

sawit ) untuk dipasangi label trans fatty acid ( asam lemak jenuh ), padahal minyak kelapa

sawit tidak mengandung lemak asam jenuh. Kebijakan tersebut sebenarnya adalah upaya

proteksionisme AS untuk melindungi American Soybean Association ( ASA ) selaku

produsen minyak kedelai yang dhasilkan melalui rekayasa genetika.4 Lantas mengapa hal

ini bisa dibiarkan terjadi padahal ada sebuah institusi raksasa yang mengatur

perdagangan bebas agar berjalan dengan baik?

WTO pun sebenarnya mengakui bahwa sektor agrikultur merupakan sektor yang sensitif

ketika dilibatkan dalam perdagangan bebas baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial,

maupun politik. Kesadaran WTO ini kemudian termanifestasikan dalam The Agreement on

Agriculture yang merupakan perjanjian khusus (di antara perjanjian komditas lainnya)

3 Sood, p. 261

4 Pikiran Rakyat, ‘Indonesia Keberatan Standardisasi Kelapa Sawit AS’ (online), 2012, http://www.pikiran-

rakyat.com/node/182414, diakses pada tanggal 1 Januari 2013

Page 3: Korelasi WTO dan Agrikultur Indonesia

Putut Dipa / 105120400111010 / A.HI.3

untuk mengatur perdagangan komoditas agrikultur. Bahkan perjanjian di sektor agrikultur

ini ditempatkan sebagai annex I dalam Perjanjian Morocco.5

The Agreement on Agriculture ini memiliki tiga bagian utama: bagian II mengenai Market

Access, bagian III mengenai Domestic Support ( subsidy ), dan bagian IV mengenai Export

Subsidy.6 Dalam bagian Market Access sebenarnya telah dinyatakan bahwa suatu negara

anggota WTO tetap bisa melindungi pasar dalam negerinya.7 Terlebih lagi bahwa ada

kebijakan WTO yang mengizinkan kepada suatu negara untuk menolak produk asing yang

masuk ke negaranya jika dianggap membahayakan kesehatan ataupun lingkungan.8

Sehingga, sebenarnya jika mengikuti aturan yang telah disepakati bersama sebagaimana

yang telah diatur di dalam WTO, negara yang menerapkan kebijakan hambatan berupa

standar mutu atau pun bentuk hambatan yang serupa memang diperbolehkan dalam

kerangka operasional perdagangan WTO.

Sulit rasanya bagi Indonesia untuk keluar dari keanggotaan di WTO mengingat Indonesia

sudah menjadi salah satu bagian dari complex interdependency global. Yang bisa dilakukan

oleh pemerintah Indonesia saat ini tidak lain tidak bukan adalah mengoptimalkan kembali

potential dan actual power yang dimiliki. Potential power merujuk pada kemampuan untuk

memanfaatkan sumber daya dari dalam negeri baik dari SDM, SDA, maupun teknologi.

Sedangkan actual power merupakan bentuk refleksi dari potential power ketika

didiplomasikan pada kancah perpolitikan internasional.

Karena jika ingin menengok ke dalam, pemerintah Indonesia sendiri saat ini belum

merealisasikan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan potential power-

nya. Misalnya saja, belum adanya cetak biru agrikultur dan industri di pedesaan.

Revitalisasi Agrikultur, Perkebunan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pemerintah

5 UNCTAD, Dispute Settlement World Trade Organization : 3.15 Agriculture, United Nations, Genewa, 2003,

p. 5 6 UNCTAD, p. 5

7 UNCTAD, p. 6

8 Sood, p. 44

Page 4: Korelasi WTO dan Agrikultur Indonesia

Putut Dipa / 105120400111010 / A.HI.3

pada tahun 2006 lalu pun tidak secara sistematis memecahkan masalah.9 Yang terjadi di

lapangan adalah diskriminasi antara pemain besar dengan petani kecil. Petani kecil yang

merupakan mayoritas dibiarkan tak berdaya menghadapi masalah kompleks: mulai dari

akses dan hak atas tanah hingga pasca produksi sehingga menyebabkan petani kecil susah

bersaing dengan produk global.

Selain itu, inovasi produk turunan hasil pertanian juga relatif masih minim. Contohnya saja,

sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia masih mengandalkan produk

mentah saja yang diekspor ke negara lain. Padahal, Malaysia yang merupakan negara

tetangga terdekat Indonesia yang juga merupakan produsen CPO, sudah mampu

menciptakan berbagai produk turunan CPO seperti palm kernel cake dan oleokimia.

Sebagai contoh, pabrik oleokimia di Malaysia mencapai 17 unit dengan produksi 1,3 juta

ton, sementara Indonesia hanya memiliki 8 unit dengan produksi sekitar 0,8 juta ton. Hal

ini merupakan salah satu penyebab industri kelapa sawit Malaysia lebih tahan terhadap

goncangan pasar internasional dibandingkan dengan Indonesia.10

Langkah Malaysia ini

sangat cerdas karena lebih mengedepankan peningkatan nilai tambah dari produk turunan

bukannya justru memperluas lahan kelapa sawit mengingat bahaya lingkungan yang

mungkin muncul. Sehingga, mereka mampu mengantisipasi jika suatu saat nanti muncul

fenomena oil boom lagi seperti pada akhir tahun 1970-an.11

Sehingga, sebenarnya permasalahan bukan terletak pada perdagangan bebas ataupun WTO

yang dianggap sebagai “wasit” dalam permainan ini, melainkan bagaimana suatu

pemerintahan mengatur strategi yang sesuai dengan kondisi dalam negerinya misalnya saja

dengan memberikan alokasi lebih pada institusi yang melakukan research and development

untuk produk-produk yang inovatif. Sehingga ke depannya, negara ini bisa melihat sistem

global dari kacamata yang lebih optimis dan tidak terus menerus larut dalam melankolisme

perpolitikan internasional.

9 Muhammad Ikhwan, Usir Wto Dari Pertanian Perjuangan Rakyat Menuju KTM VII WTO, Serikat Petani

Indonesia, Jakarta, 2010, p. 23 10

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, ‘Membandingkan Industri CPO Indonesia dengan Malaysia’, 2011, Bogor, p. 11 11

A. Prasentyatoko, Ponzi Ekonomi, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, p. 149

Page 5: Korelasi WTO dan Agrikultur Indonesia

Putut Dipa / 105120400111010 / A.HI.3

Referensi

Buku

Ikhwan, Muhammad. 2010. Usir Wto Dari Pertanian Perjuangan Rakyat Menuju KTM VII

WTO. Jakarta: Serikat Petani Indonesia

Prasentyatoko, A. 2010. Ponzi Ekonomi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Sood, Muhammad. 2011. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada

Susila, Wayan R. 2011. Membandingkan Industri CPO Indonesia dengan Malaysia. Bogor:

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia

UNCTAD. 2003. Dispute Settlement World Trade Organization : 3.15 Agriculture.

Jenewa: United Nations

Artikel dalam Surat Kabar

Hanifa, Afriza. 2012. „Kritis, Jumlah Lahan Pertanian di Indonesia‟. www.republika.co.id.

Diakses pada tanggal 1 Januari 2013

Voice of America. 2012. „Indonesia Keberatan Standardisasi Kelapa Sawit AS‟.

www.pikiran-rakyat.com. Diakses pada tanggal 1 Januari 2013