Fatwa Tarjih Muhammadiyah-Istri Berorganisasi-tarjihmuhammadiyah.blogspot.com

Embed Size (px)

Citation preview

ISTRI BERORGANISASI

31

ISTRI BERORGANISASI (Fatwa Muhammadiyah)

Pertanyaan Dari:

Yoeny Wahyu Hidayatie, SE., KTAM 853174,

Nasyiah di Harjo Barat Tersono Batang

(disidangkan pada Jumat, 22 Shaffar 1429 H / 29 Februari 2008 M)

Pertanyaan:

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Seorang istri di dalam keluarga memang berkewajiban mengurus suami dan anaknya. Teman saya sebetulnya aktivis tetapi selalu terbentur dengan kepentingan suaminya, ia sangat patuh dan perhatian kepada suaminya. Ia selalu ingin menyambut suaminya ketika pulang kerja. Teman tadi sampai tidak mau shalat jamaah di mushalla karena menunggu suaminya pulang. Sikap teman tadi sesungguhnya sangat bagus dan saya acungi jempol. Tetapi andaikan semua anggota dan khususnya Pimpinan Nasyiatul Aisyiyah seperti itu, pastilah kegiatan organisasi tidak berjalan. Mohon penjelasan, bagaimana sebetulnya posisi istri dalam permasalahan ini.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Menurut agama Islam, pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

. [ 16: 97]

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [QS. an-Nahl (16): 97]

. [ 9: 71]

Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS. at-Taubah (9): 71]

Sungguhpun demikian, dalam hal hubungan antara suami dan isteri, satu dengan yang lain masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sendiri-sendiri. Berikut ini kami uraikan jawaban atas pertanyaan yang saudara sampaikan.

Kewajiban Suami dan Istri dalam Rumah TanggaKewajiban Suami terhadap IstriSuami wajib menjaga, melindungi dan memimpin isterinya. Allah berfirman:

... [ 4: 34]

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [QS. an-Nisa (4): 34]

Bergaul dengan cara yang baik terhadap isteri. Allah berfirman:

... ... [ 4: 19]

Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. [QS. an-Nisa (4): 19]

Dalam hadits dijelaskan:

. [ ]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang mukmin yang lebih sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah orang yang terbaik terhadap isterinya. [HR. at-Tirmidzi]

Memberi nafkah kepada isteri. Allah berfirman:

... ... [ 2: 233]

Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. [QS. al-Baqarah (2): 233]

... [ 65: 6]

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. [QS. ath-Thalaq (65): 6]

. [ 65: 7]

Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. [QS. ath-Thalaq (65): 6]

Kewajiban Isteri terhadap Suami

Dalam Putusan Tarjih hasil Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976 tentang Adabul Marah fil Islam, antara lain diputuskan:

Dalam pergaulan sehari-hari, wanita yang menjadi isteri harus bersikap patuh, taat serta senantiasa hormat terhadap suaminya. Hal itu supaya benar-benar dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas, baik di hadapan suami maupun di kala suami berada di tempat yang jauh.Senantiasa bersikap sopan santun, bermanis muka, ramah tamah, dengan menampakkan kecintaan dan kepercayaan yang penuh terhadap suami.Seorang isteri hendaklah senantiasa berusaha untuk memiliki gaya dan daya penarik serta tambatan hati bagi suaminya. Isteri supaya menjadi pelipur lara di kala suami menghadapi kesusahan, menjadi penenang hatinya di kala gelisah, dan menimbulkan harapan di saat suami berputus asa. Sabda Nabi:

. [ ]

Artinya: Sebaik-baik isteri adalah yang dapat menyenangkan hatimu bila kamu melihatnya, taat kepadamu bila kamu suruh, serta dapat menjaga kehormatan dirinya dan hartamu, di kala kamu sedang tidak di rumah. [HR. ath-Thabrani di dalam al-Kabir dari Abdullah Ibnu Salam]

Bertanggung jawab di rumah suaminya, untuk kebahagiaan seluruh keluarga. Allah berfirman:

... ... [ 4: 34]

Artinya: ... Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) ... [QS. an- Nisa (4): 34]

... ... [ ]

Artinya: Dan istri bertanggung jawab di rumah suaminya dan ia akan diminta pertanggungjawabannya. [HR. al-Bukhari dari Ibnu Umar]

Mengatur rumah tangga, bersolek dan berhias dalam ukuran yang wajar dan pantas, yakni tidak berlebih-lebihan merupakan kewajiban bagi setiap wanita Islam. Sedang bagi seorang isteri, bersolek dan merias diri untuk suaminya dianjurkan oleh Islam.

Allah berfirman:

... [ (33): 33]

Artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu. [QS. al-Ahzab (33): 33]

Sikap tabarruj adalah sikap keterlaluan dalam memperlihatkan pakaian dan perhiasan, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah.

Allah berfirman:

... ... [ 21: 31]

Artinya: ... dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. [QS. an-Nur (21) :31]

Kewajiban Istri terhadap Anak.

Menurut Syariat Islam, anak adalah amanah Allah (kepada Ibu dan Bapaknya). Sabda Nabi saw:

... [ ]

Artinya: Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan anak-anak itu menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah]

Setiap amanah Allah harus dijaga dan dipelihara sedemikian rupa sesuai dengan ajaran Islam, sebagai sebuah kewajiban kepada kedua orang tua. Demikian pula terhadap pendidikan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tua, sebagaimana tersirat dalam firman Allah:

... . [ 17: 24]

Artinya: ... dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. [QS. al-Isra (17): 24]

Oleh karena itu, suami dan istri mempunyai kewajiban yang sama dalam pengasuhan dan pendidikan anak sebagai amanah Allah yang diberikan kepada mereka berdua.

Kewajiban Istri terhadap Orang Tua.

Menghormati orang tua sendiri dan orang tua suami adalah kewajiban utama yang dipikulkan kepda setiap wanita Islam. Allah berfirman:

. . [ (17): 23-24]

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemelharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. [QS. al-Isra (17): 23-24]

Istri shalat berjamaah di masjid.

Berikut ini akan kami tuliskan beberapa hadits yang berkaitan dengan perempuan pergi ke masjid.

. [ ]

Artinya: Diriwayatkan dari IbnuUmar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila isteri-isterimu minta ijin kepadamu pergi ke masjid, maka ijinkanlah. [HR. al-Jamaah kecuali Ibnu Majah]

. [ ]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar pergi ke masjid di waktu malam. [HR. Ahmad]

. [ ]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Nabi saw, beliau besabda: Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar pergi ke masjid, sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka. [HR. Ahmad dan Abu Daud]

. [ ]

Artinya: Diriwayatkan dari Ummu Salamah, dari Rasulullah saw, bahwa Nabi saw bersabda: Sebaik-baik masjid bagi perempuan ialah ruang dalam dari rumah mereka. [HR. Ahmad]

. [ ]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Janganlah kamu menghalang-halangi perempuan-perempuan ke masjid-masjid Allah. Dan hendaklah mereka keluar tanpa dengan bau-bau yang harum. [HR. Ahmad dan Abu Daud]

. [ ]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Siapa saja perempuan yang memakai dupa, maka janganlah menyertai kami dalam shalat isya. [HR. Muslim, Abu Daud dan an-Nasai]

. [ ]

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Andaikata Rasulullah saw menyaksikan para wanita sebagaimana yang kita saksikan, pastilah beliau akan melarang wanita pergi ke masjid, sebagaimana Bani Israil melarang perempuan-perempuannya. [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dari hadis-hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa perempuan-perempuan lebih baik shalat di rumah apabila dengan perginya ke masjid berkemungkinan besar akan menimbulkan fitnah. Untuk itu dituntunkan agar perempuan yang akan pergi ke masjid hendaknya berpakaian yang sewajarnya dan tidak menggunakan wangi-wangian secara berlebih-lebihan, sehingga menutup kemungkinan timbulnya fitnah. Dalam keadaan yang demikian, perempuan shalat di masjid berjamaah bersama kaum lelaki adalah lebih utama. Dalam hal yang seperti ini wajib terhadap lelaki (suami) memberi ijin kepada perempuan (isterinya) yang akan menunaikan shalat berjamaah di masjid. (Periksa asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz II, 1994, hal. 162).

Isteri berorganisasi dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dawah Amar Maruf Nahi Munkar dan Tajdid bersumber pada al Quran dan as Sunnah; dengan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Pelaksanaan tujuan tersebut didorong oleh firman Allah:

. [ (3): 104]

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. [QS. Ali Imran (3): 104]

Untuk mewujudkan tujuan tersebut berbagai amal usaha telah dilaksanakan oleh Muhammadiyah, misalnya dalam bidang dakwah telah dilaksanakan kajian-kajian ajaran Islam dan tabligh ke masyarakat; di bidang pendidikan, telah diselenggarakan pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi; di bidang kesehatan, telah didirikan poliklinik dan rumah sakit; di bidang ekonomi telah didirikan BMT dan BPRS serta amal usaha di bidang lainnya.

Amar maruf nahi munkar dengan berbagai amal usaha tersebut, merupakan sebagian dari berbagai bentuk ajaran Agama Islam yang dikategorikan sebagai perbuatan yang dihukumi fardlu kifayah. Dengan demikian mengambil bagian dalam kegiatan persyarikatan Muhammadiyah dapat dikategorikan melaksanakan ajaran Agama Islam dalam kategori fardlu kifayah. Perbuatan ini menjadi sangat penting, karena jika tidak seorang pun yang mau aktif dalam gerakan dakwah dan amar maruf nahi munkar, maka menjadi berdosa semua umat Islam di tempat gerakan dakwah itu berada.

Dengan demikian hendaknya menjadi perhatian bagi setiap umat Islam setempat, baik laki-laki maupun perempuan (termasuk yang telah bersuami dan beristeri) untuk mengambil bagian (berpartisipasi) dalam gerakan dawah ini. Bentuk partisipasi dapat diwujudkan dengan langsung menjadi salah seorang pimpinan atau pengurus, atau memberi dukungan baik moril maupun materiil kepada pimpinan atau pengurus agar kegiatan amar maruf nahi munkar dapat berhasil secara maksimal.

Dalam tataran pelaksanaan, tidak jarang menghadapi kendala yang berupa benturan dengan tugas atau pekerjaan-pekerjaan pribadi yang merupakan kewajibannya, seperti tugas mencari nafkah, belajar, termasuk di dalamnya adalah tugas seorang isteri terhadap suaminya, dan lain-lain. Menghadapi benturan semacam ini hendaklah dapat disiasati sedemikian rupa tanpa mengorbankan satu kepentingan demi kepentingan yang lain, atau setidak-tidaknya meminimalisir kemungkinan terjadi pengorbanan salah satu kepentingan yakni dengan memilih pengorbanan yang terkecil atau dengan kata lain mendahulukan kegiatan yang mendatangkan kemanfaatan yang lebih besar. Dalam Qaidah Fiqhiyyah disebutkan:

Artinya: Dipilih paling ringan dari dua kejelekan.

.

Artinya: Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat (kerusakan), diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya di antara keduanya itu, dengan dikerjakan yang lebih ringan di antara keduanya.

Menjawab pertanyaan saudara, tentang posisi isteri dalam menghadapi benturan dua kepentingan yakni antara kepentingan organisasi dan kepentingan keluarga, dapat disarankan:

Pertama, usahakan dua kepentingan itu tetap berjalan tanpa mengorbankan salah satu kepentingan. Misalnya jika kegiatan organisasi yang sifatnya rutin bersamaan dengan kepentingan keluarga yang juga sifatnya rutin, hendaklah kegiatan organisasi digeser sehingga tidak bersamaan waktu dengan kegiatan keluarga.

Kedua, jika kegiatan organisasi bersifat insidental --karena ada kepentingan yang lebih besar atau mendadak-- diprioritaskan kepentingan organisasi dari pada kepentingan keluarga, sepanjang kepentingan keluarga tidak termasuk kepentingan yang pokok, misalnya dengan menggeser waktu bagi kepentingan keluarga. Dalam hal ini hendaknya isteri minta ijin atau memberi tahu kepada suami. Dalam pada itu suami hendaknya memahami kepentingan organisasi (umat) adalah merupakan tuntutan yang dihukumi dengan fardlu kifayah yang akan mengakibatkan berdosa kepada umat Islam setempat --termasuk dirinya-- jika tidak ada yang melaksanakan tugas tersebut. Suami yang shalih yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab umat sebagai kewajiban fardlu kifayah, --dengan baik sangka-- suami akan dengan ikhlas mengijinkan bahkan memberi dorongan kepada isterinya.

Ketiga, jika kepentingan keluarga bersifat insidental, --karena ada kepentingan yang lebih besar atau yang mendadak-- diprioritaskan dari pada kegiatan organisasi yang sifatnya rutin.

Keempat, jika benturan itu antara kepentingan keluarga dan kepentingan organisasi yang keduanya bersifat insidental, maka kembalikan kepada qaidah fiqhiyyah di atas, yakni dengan memprioritaskan melaksanakan kegiatan yang lebih kecil kerugiannya atau dengan kata lain dengan melaksanakan yang lebih besar manfaatnya.

Yang dikemukakan di sini adalah sekedar contoh, kami yakin masih banyak kiat lain yang dapat dipilih untuk mecari solusi dari problem ini.

Sebagai penutup, perlu kami informasikan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah telah sejak lama menerbitkan buku Adabul Marah fil Islam, yang merupakan hasil Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976. Oleh sebab itu, sebagai sarana menambah wawasan dan meningkatkan ilmu, kami sarankan saudara untuk membaca buku tersebut.

Wallahu alam bish shawab. *dw)

Perlu diketahui bahwa selama ini, dalam memutuskan hukum Muhammadiyah selalu berpegang pada pokok-pokok manhaj sebagai berikut:

1.Dalam beristidlal, selalu menggunakan sumber pokok, yaitu al-Quran dan as-Sunnah as-Shahihah (maqbulah=diterima). Ijtihad dapat dilakukan apabila masalah yang dibahas tidak berkaitan dengan taabbudi.

2.Setiap keputusan harus dilakukan dengan cara musyawarah (ijtihad jamaiy).

3.Muhammadiyah tidak mengikuti salah satu mazhab dari mazhab-mazhab yang ada, tetapi pendapat para imam mazhab dapat dijadikan sebagai pertimbangan, selama tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah.

4.Jika dalil-dalil yang dipergunakan tampak adanya taarud (pertentangan), maka harus dilakukan al-jamu wa at-taufiq atau dilakukan tarjih.

Demikanlah sebagian manhaj yang harus diketahui dan dipergunakan dalam mengambil keputusan.

APA SAJA YANG BOLEH DIKERJAKAN WANITA? Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Bagaimana hukum wanita bekeria menurut syara'? Maksudnya:

bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Apakah dia boleh

bekerja dan ikut andil dalam produksi, pembangunan, dan

kegiatan kemasyarakatan? Ataukah dia harus terus-menerus

menjadi tawanan dalam rumah, tidak boleh melakukan aktivitas

apa pun? Sementara kami sering mendengar bahwa agama Islam

memuliakan wanita dan memberikan hak-hak kemanusiaan

kepadanya jauh beberapa abad sebelum bangsa Barat

mengenalnya. Apakah aktivitas yang ia lakukan itu tidak

dapat dianggap sebagai haknya yang akan menjernihkan air

mukanya, sekaligus dapat menjaga kehormatannya agar tidak

menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan seenaknya

ketika dibutuhkan atau dikurbankan ketika darurat?

Mengapa wanita (muslimah) tidak boleh terjun ke kancah

kehidupan sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita Barat,

untuk menjernihkan kepribadiannya dan memperoleh hak-haknya,

agar dapat mengurus dirinya sendiri, dan ikut andil dalam

memajukan masyarakat?

Kami ingin mengetahui batas-batas syariah terhadap aktivitas

yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk

dunianya tanpa merugikan agamanya, lepas dari kekolotan

orang-orang ekstrem yang tidak menghendaki kaum wanita

belajar dan bekerja serta keluar rumah walau ke masjid

sekalipun. Juga jauh dari orang-orang yang menghendaki agar

wanita muslimah lepas bebas dari segala ikatan sehingga

menjadi barang murahan di pasar-pasar.

Kami ingin mengetahui hukum syara' yang benar mengenai

masalah ini dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak

mengurang-ngurangkan.

JAWABAN

Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita

merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan

bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:

"... sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain

..." (Ali Imran: 195}

Manusia merupakan makhluk hidup yang diantara tabiatnya

ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak

demikian, maka bukanlah dia manusia.

Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan manusia agar mereka

beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk

menguji siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.

Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal

sebagaimana laki-laki - dan dengan amal yang lebih baik

secara khusus - untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa

Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:

"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan

berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal

orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki

maupun perempuan...'" (Ali Imran: 195)

Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala

di akhirat dan balasan yang baik di dunia:

"Barangsiapa yang mengeryakan amal saleh, baik laki-laki

maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya

akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan

sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan

pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

(an-Nahl: 97}

Selain itu, wanita - sebagaimana biasa dikatakan - juga

merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak

pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota

masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas

dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi

sesuatu pun.

Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak

diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru.

Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik

secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak

boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan

kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat

menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini,

yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya

pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan

yang berupa manusia (sumber daya manusia).

Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu

Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:

Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan

Jika Anda mempersiapkannya dengan baik

Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik

pokok pangkalnya.

Diantara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya

membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang

tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga

terkenal dalam peribahasa, "Bagusnya pelayanan seorang

wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fi

sabilillah."

Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar

rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak ada seorang pun

yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara'

yang sahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya.

Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan

itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.

Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita

bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan

kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib

apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda

atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau

keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia

sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya

dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.

Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita

untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh

anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil,

atau membantu ayahnya yang sudah tua - sebagaimana kisah dua

orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang

menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur'an

surat al-Qashash:

"... Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi

(ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu

memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang

tua yang telah lanjut umurnya.'" (al-Qashash: 23)

Diriwayatkan pula bahwa Asma' binti Abu Bakar - yang

mempunyai dua ikat pinggang - biasa membantu suaminya Zubair

bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk

dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas

kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.

Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan

wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang

wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang

memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah

wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan

laki-laki.

Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja

pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam

kondisi darurat yang seyogianya dibatasi sesuai dengan

kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.

Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib

diikat dengan beberapa syarat, yaitu:

1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya,

pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu

yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani

lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi

seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering

berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang

nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja

di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras - padahal

Rasulullah saw. telah melaknat orang yang menuangkannya,

membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal

terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan,

bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri

asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain

yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita

maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.

2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam

berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.

"Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah

mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan

janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang

(biasa) tampak daripadanya ...'" (an-Nur: 31 )

"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui

perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 )

"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga

berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

ucapkanlah perkataan yang baik" (al-Ahzab 32)

3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan

kewajibankewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti

kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan

kewajiban pertama dan tugas utamanya.

Wabillahi aufiq.

MASALAH KELUARGA BERENCANA (Fatwa Muhammadiyah)

Mutamar Majlis Tarjih Muhammadiyah setelah mempelajari :

Prasaran tentang keluarga berencana dikemukakan oleh sdr, Dr. H. Kusnadi dan H. Djarnawi Hadikusuma.Pembahasan-pembahasan daripada Mutamirin.

Berdasarkan pada

Firman Allah :

{ 72}

Dan Allah telah menjadikan bagimu beberapa jodoh dari kamu dan telah menjadikan bagimu anak-anak dan cucu-cucu dari perjodohanmu serta memberikan kamu rezeki yang baik-baik. Apakah mereka percaya (menggunakan) kepada barang-barang yang batal sedang dengan kenikmatan Allah mereka sama inkar? (Al-Quran surat An-Nahl ayat 72).

Sabda Rasulullah :

: { }

Dari Anas r.a Nabi bersabda: Berkawinlah kamu kepada wanita yang berbakat banyak anak yang penyayang; sesungguhnya aku merasa bangga akan banyaknya jumlahmu terhadap para Nabi kelak di hari Qiyamat. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Habban. Dan kesaksian hadits ini ada pada Abu Dawud. Nasai dan Ibnu Hibban juga dari Maqil bin Yasar).

: { }

Dan hadits bahwasannya lebih baik kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada kamu tinggalkan mereka yang menjadi beban yang minta-minta kepada orang banyak. (Muttafaq alaih atau diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

: : : { }

Hadist dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Orang Mumin yang kuat itu lebih baik dan lebih disayang oleh Allah, daripada orang Mumin yang lemah. (Diriwayatkan oleh Mukmin).

Berkesimpulan :

Bahwa menurut ajaran Islam, maksud perkawinan itu antara lain untuk memperoleh keturunan.Bahwa Islam mengajarkan untuk memperbanyak keturunan.Bahwa Islam menganjurkan agar kehidupan anak keturunan jangan sampai terlantar sehingga menjadi beban tanggungan orang lain.

Memutuskan :

Mencegah kehamilan adalah berlawanan dengan ajaran agama Islam. Demikian pula keluarga berencana yang dilaksanakan dengan cegahan kehamilan.Dalam keadaan darurat dibolehkan sekedar perlu dengan syarat persetujuan suami-istri dan tidak mendatangkan mudlarat jasmani dan rohani.

PENJELASAN DARI MAJLIS TARJIH

Ayat Quran dan Hadits-hadits yang disebut dalam konsideran: mengjadi pengantar konsideran berikutnya. Keseimbangan antara maksud perkawinan untuk memperoleh keturunan, anjuran untuk memperbanyak keturunan, berusaha agar anak keturunan kita jangan menjadi beban orang lain dan berusaha agar ummat Islam merupakan ummat yang kuat, menjadi kebulatan pandangan dalam perumusan keputusan Keluarga Berencana.Anjuran memperbanyak keturunan sebagaimana disebutkan dalam hadits : Berkawinlah kamu kepada wanita yang berbakat banyak anak. Seterusnya hadits dari Anas tersebut di atas, diartikan merupakan anjuran untuk ummat Islam sebagai ummat, bukan sebagai individu. Hingga setiap individu masih dapat mempertimbangkan situasinya, apakah padanya ada kemampuan untuk melaksanakan anjuran tersebut, ataukah tidak.Pencegahan kehamilan yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam ialah ; sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niyat segan mempunyai keturunan, atau dengan cara merusak/merobah organisme yang bersangkutan, seperti: memotong, mengikat dan lain-lain.Penjarakan kehamilan dapat dibenarkan sebagai kondisi dlarurat atas dasar kesehatan dan pendidikan dengan persetujuan suami-isteri dengan pertimbangan dokter ahli dan ahli agama.Yang dimaksud dalam kriteria darurat ialah :Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena mengadung atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan pengalaman atau keterangan dokter yang dapat dipercaya seseuai dengan ajaran ayat/firman Allah :

{ 195}

Janganlah kamu menjerumuskan dirimu dalam kerusakan (Al-Quran surat Baqarah ayat 195).

{: 29}

Dan janganlah kamu bunuh diri-dirimu, sesungguhnya Allah itu kasih saying kepada kamu. (Al-Quran surat Nisaayat 22).Mengkhawatirkan keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan penghidupan, seperti kekhawatiran akan terseret menerima hal-hal yang haram atau menjalankan/melanggar larangan karena terdorong oleh kepentingan anak-anak, sejalan dengan firman Allah saw dan hadits Nabi:

{: 185}

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu. (Al-Quran surat Baqarah ayat 185).

{: 6}

Tidaklah Allah menghendaki membuat kesusahan atas kamu sekalian. (Al-Quran surat Maidah ayat 6).

{ }

Kafakiran itu mendekati kekafiran. (Diriwayatkan oleh Abu Naim dalam kitab Hilyah dari Anas).Mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran terlalu rapat.

: { }

Jangan bahayakan (dirimu) dan jangan membahayakan (orang lain). (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah dari Ibnu Abbas oleh Ibnu Majah dari Ubbadah).

Pertimbangan dlarurat bersifat individu dan tidak dibenarkan keluarnya Undang-Undang, sebab akan bersifat memaksa. Oleh karenanya, persutujuan bulat antara suami-isteri benar-benar diperlukan.

Hukum KB (Fatwa Yusuf Qardhawi)

Tidak syak lagi, bahwa tujuan pokok perkawinan ialah demi kelangsungan jenis manusia. Sedang kelangsungan jenis manusia ini hanya mungkin dengan berlangsungnya keturunan. Islam sendiri sangat suka terhadap banyaknya keturunan dan memberkati setiap anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Namun di balik itu Islam juga memberi perkenan (rukhshah) kepada setiap muslim untuk mengatur keturunannya itu apabila didorong oleh alasan yang kuat.

Cara yang masyhur yang biasa dilakukan oleh orang di zaman Nabi untuk menyetop kehamilan atau memperkecil, yaitu azl (mengeluarkan mani di luar rahim ketika terasa akan keluar).

Para sahabat banyak yang melakukan azl ketika Nabi masih hidup dan wahyupun masih terus turun, yaitu seperti yang tersebut dalam riwayat di bawah ini:

"Dari Jabir r.a. ia berkata: kami biasa melakukan azl di masa Nabi s.a. w. sedang al-Ouran masih terus turun." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Di riwayat lain ia berkata:

"Kami biasa melakukan azl di zaman Nabi s.a.w. maka setelah hal demikian itu sampai kepada Nabi, beliau tidak melarang kami." (Riwayat Muslim)

Diriwayatkan juga, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi lantas ia berkata:

"Ya Rasulullah! Sesungguhnya saya mempunyai seorang hamba perempuan (jariyah) dan saya melakukan azl daripadanya, karena saya tidak suka kalau dia hamil dan saya ingin seperti apa yang biasa diinginkan oleh umumnya orang laki-laki, sedang orang-orang Yahudi berceritera: bahwa azl itu sama dengan pembunuhan yang kecil. Maka bersabdalah Nabi s.a.w.: dusta orang-orang Yahudi itu! Kalau Allah berkehendak untuk menjadikannya (hamil), kamu tidak akan sanggup mengelakkannya." (Riwayat Ashabussunan)

Yang dimaksud oleh Nabi, bahwa persetubuhan dengan azl itu, kadang-kadang ada setetes mani masuk yang menyebabkan kehamilan sedang dia tidak mengetahuinya.

Di zaman pemerintahan Umar, dalam satu majlis orang-orang banyak berbincang masafah azl. Kemudian ada salah seorang laki-laki yang berkata: bahwa orang-orang Yahudi beranggapan, azl itu berarti pembunuhan yang kecil. Kemudian Ali r.a. ber kata: "Tidak dinamakan pembunuhan, sehingga mani itu berjalan tujuh tahap, yaitu: mula-mula sari tanah, kemudian menjadi nuthfah (mani), kemudian menjadi darah yang membeku, kemudian menjadi segumpal daging, kemudian daging itu dilengkapi dengan tulang-belulang, kemudian dililiti dengan daging dan terakhir menjadi manusia." Lantas Umar menjawab: betul engkau, ya Ali! Semoga Allah memanjangkan umurmu!

Alasan yang Mendorong Keluarga Berencana (Fatwa Yusuf Qardhawi)

Di antara sekian banyak alasan yang mendorong dilakukannya keluarga berencana, yaitu:

Pertama: Mengkawatirkan terhadap kehidupan atau kesehatan si ibu apabila hamil atau melahirkan anak, setelah dilakukan suatu penelitian dan cheking oleh dokter yang dapat dipercaya. Karena firman Allah:

"Jangan kamu mencampakkan diri-diri kamu ke dalam kebinasaan." (al-Baqarah: 195)

Dan firman-Nya pula:

"Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah maha belaskasih kepadamu." (an-Nisa': 28)

Kedua: Kawatir akan terjadinya bahaya pada urusan dunia yang kadang-kadang bisa mempersukar beribadah, sehingga menyebabkan orang mau menerima barang yang haram dan mengerjakan yang terlarang, justru untuk kepentingan anak-anaknya. Sedang Allah telah berfirman:

"Allah berkehendak untuk memberikan kemudahan kepadamu, bukan berkehendak untuk memberi kesukaran kepadamu." (al-Baqarah: 185)

"Allah tidak berkehendak untuk menjadikan suatu kesukaran kepadamu." (al-Maidah: 6)

Termasuk yang mengkawatirkan anak, ialah tentang kesehatan dan pendidikannya.

Usamah bin Zaid meriwayatkan:

"Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w. kemudian ia berkata: ya Rasulullah! Sesungguhnya saya melakukan azl pada isteriku. Kemudian Nabi bertanya: mengapa kamu berbuat begitu? Si laki-laki tersebut menjawab: karena saya merasa kasihan terhadap anaknya, atau ia berkata: anak-anaknya. Lantas Nabi bersabda: seandainya hal itu berbahaya, niscaya akan membahayakan bangsa Persi dan Rum." (Riwayat Muslim)

Seolah-olah Nabi mengetahui bahwa situasi individu, yang dialami oleh si laki-laki tersebut, tidaklah berbahaya untuk seluruh bangsa, dengan dasar bangsa Persi dan Rum tidak mengalami bahaya apa-apa, padahal mereka biasa melakukan persetubuhan waktu hamil dan menyusui, sedang waktu itu kedua bangsa ini merupakan bangsa yang terkuat di dunia.

Ketiga: Keharusan melakukan azl yang biasa terkenal dalam syara' ialah karena mengkawatirkan kondisi perempuan yang sedang menyusui kalau hamil dan melahirkan anak baru.

Nabi menamakan bersetubuh sewaktu perempuan masih menyusui, dengan ghilah atau ghail, karena penghamilan itu dapat merusak air susu dan melemahkan anak. Dan dinamakannya ghilah atau ghail karena suatu bentuk kriminalitas yang sangat rahasia terhadap anak yang sedang disusui. Oleh karena itu sikap seperti ini dapat dipersamakan dengan pembunuhan misterius (rahasia).

Nabi Muhammad s.a.w. selalu berusaha demi kesejahteraan ummatnya. Untuk itu ia perintahkan kepada ummatnya ini supaya berbuat apa yang kiranya membawa maslahah dan melarang yang kiranya membawa bahaya. Di antara usahanya ialah beliau bersabda:

"Jangan kamu membunuh anak-anakmu dengan rahasia, sebab ghail itu biasa dikerjakan orang Persi kernudian merobohkannya." (Riwayat Abu Daud)

Tetapi beliau sendiri tidak memperkeras larangannya ini sampai ke tingkat haram, sebab beliau juga banyak memperhatikan keadaan bangsa yang kuat di zamannya yang melakukan ghilah, tetapi tidak membahayakan. Dengan demikian bahaya di sini satu hal yang tidak dapat dielakkan, sebab ada juga seorang suami yang kawatir berbuat zina kalau larangan menyetubuhi isteri yang sedang menyusui itu dikukuhkan. Sedang masa menyusui itu kadang-kadang berlangsung selama dua tahun bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuan.

Untuk itu semua, Rasulullah s.a,w. bersabda:

"Sungguh saya bermaksud akan melarang ghilah, kemudian saya lihat orang-orang Persi dan Rum melakukannya, tetapi ternyata tidak membahayakan anaknya sedikitpun." (Riwayat Muslim)

Ibnul Qayim dalam menerangkan hubungan antara hadis ini dengan hadis sebelumnya, mengatakan sebagai berikut: "Nabi s.a.w. memberitakan pada salah satu segi: bahwa ghail itu berarti memperlakukan anak seperti orang-orang Persi mengadu kudanya, dan ini salah satu macam yang menyebabkan bahaya tetapi sifatnya bukan membunuh dan merusak anak, sekalipun kadang-kadang membawa bahaya anak kecil. Oleh karena itu Nabi s.a.w. membimbing mereka supaya meninggalkan ghail kendati bukan melarangnya. Kemudian beliau berazam untuk melarangnya guna membendung bahaya yang mungkin menimpa anak yang masih menyusu. Akan tetapi menutup pintu bahaya ini tidak dapat menghindari mafsadah yang juga mungkin terjadi sebagai akibat tertahannya jima' selama dalam menyusui, lebih-lebih orang-orang yang masih berusia muda dan syahwatnya sangat keras, yang tidak dapat diatasi melainkan dengan menyetubuhi isterinya. Itulah sebabnya beliau mengetahui, bahwa maslahah dalam masalah ini lebih kuat daripada menolak mafsadah. Kemudian beliau melihat dua bangsa yang besar dan kuat (Romawi dan Persi) di mana mereka itu juga mengerjakan ghilah dan justru karena kekuatannya itu, mereka samasekali tidak ada sara kawatir apa yang mungkin terjadi sebab ghilah. Oleh karena itulah beliau tidak jadi melarangnya.17

Di zaman kita ini sudah ada beberapa alat kontrasepsi yang dapat dipastikan kemaslahatannya, dan justru maslahah itulah yang dituju oleh Nabi Muhammad s.a.w., yaitu melindungi anak yang masih menyusu dari mara-bahaya termasuk menjauhi mafsadah yang lain pula, yaitu: tidak bersetubuh dengan isterinya selama menyusui, di mana hal itu sangat memberatkan sekali.

Dengan dasar inilah, kita dapat mengira-ngirakan jarak yang pantas antara dua anak, yaitu sekitar 30 atau 33 bulan, bagi mereka yang ingin menyempurnakan susuan.

Imam Ahmad dan lain-lain mengikrarkan, bahwa hal yang demikian itu diperkenankan apabila isteri mengizinkannya, karena dialah yang lebih berhak terhadap anak, di samping dia pula yang berhak untuk bersenang-senang.

Sedang Umar Ibnul-Khattab, dalam salah satu riwayat berpendapat, bahwa azl itu dilarang, kecuali dengan seizin isteri.

Demikianlah perhatian Islam terhadap hak-hak perempuan, di mana waktu itu dunia tidak mengenal dan tidak mengakuinya.

Tentang rumah (Fatwa Yusuf Qardhawi)

RUMAH adalah tempat yang dipakai seseorang untuk melindungi kebiasaan-kebiasaan tabiat dan dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan masyarakat sehingga dengan demikian tubuh ini bisa istirahat dan jiwa bisa tenang.

Untuk itulah Allah berfirman dalam hubungannya dengan mengetengahkan kenikmatannya kepada manusia:

"Allah menjadikan untuk kamu rumah-rumah kamu sebagai tempat ketenangan." (an-Nahl: 80)

Rasulullah s.a.w. senang sekali rumah yang luas, dan dimasukkan sebagai unsur kebahagiaan duniawi.

Maka sabdanya:

"Empat hal yang membawa kebahagiaan, yaitu perempuan salehah, rumah yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang enak." (Riwayat Ibnu Hibban)

Dan doa yang sering diucapkan Nabi ialah:

"Ya Allah! Ampunilah dosaku, luaskanlah rumahku, berilah barakah dalam rezekiku! Kemudian beliau ditanya: Mengapa doa ini yang banyak engkau baca, ya Rasulullah? Maka jawab Nabi: Apa ada sesuatu yang lain yang kamu cintai?" (Riwayat Nasa'i dan Ibnu Sunni)

Rasulullah juga memerintahkan supaya rumah-rumah kita itu bersih, agar nampak syiar Islam yang diantaranya ialah bersih, dan agar merupakan tanda yang dapat membedakan seorang muslim dengan orang lain yang menurut penilaian agamanya, bahwa kotor itu merupakan salah satu wasilah untuk berkorban kepada Allah.

Sabda Rasulullah s.a.w.:

"Sesungguhnya Allah itu baik, Dia suka kepada yang baik. Dia juga bersih, suka kepada yang bersih. Dia juga mulia, suka kepada yang mulia. Dia juga dermawan, sangat suka kepada yang dermawan. Oleh karena itu bersihkanlah halaman rumahmu, jangan kamu menyerupai orang-orang Yahudi." (Riwayat Tarmizi)

Lukisan (Fatwa Yusuf Qardhawi)

Demikianlah pendirian Islam terhadap gambar yang bertubuh, yakni yang sekarang dikenal dengan patung atau monumen. Tetapi bagaimanakah hukumnya gambar-gambar dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran, seperti kertas, pakaian, dinding, lantai, uang dan sebagainya itu?

Jawabnya: Bahwa hukumnya tidak jelas, kecuali kita harus melihat gambar itu sendiri untuk tujuan apa? Di mana dia itu diletakkan? Bagaimana diperbuatnya? Dan apa tujuan pelukisnya itu?

Kalau lukisan seni itu berbentuk sesuatu yang disembah selain Allah, seperti gambar al-Masih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang Hindu dan sebagainya, maka bagi si pelukisnya untuk tujuan-tujuan di atas, tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Dalam hal ini berlakulah baginya ancaman Nabi yang begitu keras:

"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat ialah orang-orang yang menggambar." (Riwayat Muslim)

Imam Thabari berkata: "Yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu orang-orang yang menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar saja."

Yang seperti ini ialah orang yang menggantungkan gambar-gambar tersebut untuk dikuduskan. Perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim, kecuali kalau agama Islam itu dibuang di belakang punggungnya.

Dan yang lebih mendekati persoalan ini ialah orang yang melukis sesuatu yang tidak biasa disembah, tetapi dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat membuat dan menciptakan jenis terbaru seperti ciptaan Allah. Orang yang melukis dengan tujuan seperti itu jelas telah keluar dari agama Tauhid. Terhadap orang ini berlakulah hadis Nabi yang mengatakan:

"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya ialah orang-orang yang menandingi ciptaan Allah." (Riwayat Muslim)

Persoalan ini tergantung pada niat si pelukisnya itu sendiri.

Barangkali hadis ini dapat diperkuat dengan hadis yang mengatakan:

"Siapakah orang yang lebih berbuat zalim selain orang yang bekerja membuat seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat biji atau zarrah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Allah mengungkapkan firmanNya di sini dengan kata-kata "dzahaba yakhluqu kakhalqi" (dia bekerja untuk membuat seperti pembuatanku), ini menunjukkan adanya suatu kesengajaan untuk menandingi dan menentang kekhususan Allah dalam ciptaannya dan keindahannya. Oleh karena itu Allah menentang mereka supaya membuat sebutir zarrah. Ia memberikan isyarat, bahwa mereka itu benar-benar bersengaja untuk maksud tersebut. Justru itu Allah akan membalas mereka itu nanti dan mengatakan kepada mereka: "Hidupkan apa yang kamu cipta itu!" Mereka dipaksa untuk meniupkan roh ke dalam lukisannya itu, padahal dia tidak akan mampu.

Termasuk gambar/lukisan yang diharamkan, yaitu gambar/lukisan yang dikuduskan (disucikan) oleh pemiliknya secara keagamaan atau diagung-agungkan secara keduniaan.

Untuk yang pertama: Seperti gambar-gambar Malaikat dan para Nabi, misalnya Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan sebagainya. Gambar-gambar ini biasa dikuduskan oleh orang-orang Nasrani, dan kemudian sementara orang-orang Islam ada yang menirunya, yaitu dengan melukiskan Ali, Fatimah dan lain-lain.

Sedang untuk yang kedua: Seperti gambar raja-raja, pemimpin-pemimpin dan seniman-seniman. Ini dosanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan yang pertama tadi. Tetapi akan meningkat dosanya, apabila yang dilukis itu orang-orang kafir, orang-orang yang zalim atau orang-orang yang fasik. Misalnya para hakim yang menghukum dengan selain hukum Allah, para pemimpin yang mengajak umat untuk berpegang kepada selain agama Allah atau seniman-seniman yang mengagung-agungkan kebatilan dan menyiarnyiarkan kecabulan di kalangan umat.

Kebanyakan gambar-gambar/lukisan-lukisan di zaman Nabi dan sesudahnya, adalah lukisan-lukisan yang disucikan dan diagung-agungkan. Sebab pada umumnya lukisan-lukisan itu adalah buatan Rum dan Parsi (Nasrani dan Majusi). Oleh karena itu tidak dapat melepaskan pengaruhnya terhadap pengkultusan kepada pemimpin-pemimpin agama dan negara.

Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Dhuha pernah berkata sebagai berikut: Saya dan Masruq berada di sebuah rumah yang di situ ada beberapa patung. Kemudian Masruq berkata kepadaku: Apakah ini patung Kaisar? Saya jawab: Tidak! Ini adalah patung Maryam.

Masruq bertanya demikian, karena menurut anggapannya, bahwa lukisan itu buatan Majusi dimana mereka biasa melukis raja-raja mereka di bejana-bejana. Tetapi akhirnya ketahuan, bahwa patung tersebut adalah buatan orang Nasrani.

Dalam kisah ini Masruq kemudian berkata: Saya pernah mendengar Ibnu Mas'ud menceriterakan apa yang ia dengar dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di sisi Allah, ialah para pelukis."

Selain gambar-gambar di atas, yaitu misalnya dia menggambar/melukis makhluk-makhluk yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, laut, gunung, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Maka hal ini sedikitpun tidak berdosa dan tidak ada pertentangan samasekali di kalangan para ulama.

Tetapi gambar-gambar yang bernyawa kalau tidak ada unsur-unsur larangan seperti tersebut di atas, yaitu bukan untuk disucikan dan diagung-agungkan dan bukan pula untuk maksud menyaingi ciptaan Allah, maka menurut hemat saya tidak haram. Dasar daripada pendapat ini adalah hadis sahih, antara lain:

"Dari Bisir bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Talhah sahabat Nabi, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar." (Riwayat Muslim)

Bisir berkata: Sesudah itu Zaid mengadukan. Kemudian kami jenguk dia, tiba-tiba di pintu rumah Zaid ada gambarnya. Lantas aku bertanya kepada Ubaidillah al-Khaulani anak tiri Maimunah isteri Nabi: Apakah Zaid belum pernah memberitahumu tentang gambar pada hari pertama? Kemudian Ubaidillah berkata: Apakah kamu tidak pernah mendengar dia ketika ia berkata: "Kecuali gambar di pakaian."

Tarmizi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah, bahwa dia pernah masuk di rumah Abu Talhah al-Ansari untuk menjenguknya, tiba-tiba di situ ada Sahal bin Hanif. Kemudian Abu Talhah menyuruh orang supaya mencabut seprei yang di bawahnya (karena ada gambarnya). Sahal lantas bertanya kepada Abu Talhah: Mengapa kau cabut dia? Abu Talhah menjawab: Karena ada gambarnya, dimana hal tersebut telah dikatakan oleh Nabi yang barangkali engkau telah mengetahuinya. Sahal kemudian bertanya lagi: Apakah beliau (Nabi) tidak pernah berkata: "Kecuali gambar yang ada di pakaian?" Abu Talhah kemudian menjawab: Betul! Tetapi itu lebih menyenangkan hatiku." (Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)

Tidakkah dua hadis di atas sudah cukup untuk menunjukkan, bahwa gambar yang dilarang itu ialah yang berjasad atau yang biasa kita istilahkan dengan patung? Adapun gambar-gambar ataupun lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok dan sebagainya tidak ada satupun nas sahih yang melarangnya.

Betul di situ ada beberapa hadis sahih yang menerangkan bahwa Nabi menampakkan ketidak-sukaannya, tetapi itu sekedar makruh saja. Karena di situ ada unsur-unsur menyerupai orang-orang yang bermewah-mewah dan penggemar barang-barang rendahan.

Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abu Talhah al-Ansari, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Saya (Zaid) kemudian bertanya kepada Aisyah: Sesungguhnya ini (Abu Talhah) memberitahuku, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda. Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Apakah engkau juga demikian? Maka kata Aisyah: Tidak! Tetapi saya akan menceriterakan kepadamu apa yang pernah saya lihat Nabi kerjakan, yaitu: Saya lihat Nabi keluar dalam salah satu peperangan, kemudian saya membuat seprei korden (yang ada gambarnya) untuk saya pakai menutup pintu. Setelah Nabi datang, ia melihat korden tersebut. Saya lihat tanda marah pada wajahnya, lantas dicabutnya korden tersebut sehingga disobek atau dipotong sambil ia berkata: Sesungguhnya Allahi tidak menyuruh kita untuk memberi pakaian kepada batu dan tanah. Kata Aisyah selanjutnya: Kemudian kain itu saya potong daripadanya untuk dua bantal dan saya penuhi dengan kulit buah-buahan, tetapi Rasulullah sama sekali tidak mencela saya terhadap yang demikian itu." (Riwayat Muslim)

Hadis tersebut tidak lebih hanya menunjukkan makruh tanzih karena memberikan pakaian kepada dinding dengan korden yang bergambar.

Imam Nawawi berkata: hadis tersebut tidak menunjukkan haram, karena hakikat perkataan sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita itu tidak dapat dipakai untuk menunjukkan wajib, sunnat atau haram.

Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari jalan Aisyah pula, ia berkata:

"Saya mempunyai tabir padanya ada gambar burung, sedang setiap orang yang masuk akan menghadapnya (akan melihatnya), kemudian Nabi berkata kepadaku: Pindahkanlah ini, karena setiap saya masuk dan melihatnya maka saya ingat dunia."(Riwayat Muslim)

Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. tidak menyuruh Aisyah supaya memotongnya, tetapi beliau hanya menyuruh memindahkan ke tempat lain. Ini menunjukkan ketidaksukaan Nabi melihat, bahwa di hadapannya ada gambar tersebut yang dapat mengingatkan kebiasaan dunia dengan seluruh aneka keindahannya itu; lebih-lebih beliau selalu sembahyang sunnat di rumah. Sebab seprai-seprai dan korden-korden yang bergambar sering memalingkan hati daripada kekhusyu'an dan pemusatan menghadap untuk bermunajat kepada Allah. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Anas, ia mengatakan: Bahwa korden Aisyah dipakai untuk menutupi samping rumahnya, kemudian Nabi menyuruh dia dengan sabdanya:

"Singkirkanlah korden itu dariku, karena gambar-gambarnya selalu tampak dalam sembahyangku." (Riwayat Bukhari)

Dengan demikian jelas, bahwa Nabi sendiri membenarkan di rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung dan sebagainya.

Dari hadis-hadis itu pula, sementara ulama salaf berpendapat: "Bahwa gambar yang dilarang itu hanyalah yang ada bayangannya, adapun yang tidak ada bayangannya tidak menqapa."27

Pendapat ini diperkuat oleh hadis Qudsi yang mengatakan: "Siapakah yang terlebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat seperti ciptaanKu? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah, cobalah mereka membuat beras belanda!" (Riwayat Bukhari).

Ciptaan Allah sebagaimana kita lihat, bukan terlukis di atas dataran tetapi berbentuk dan berjisim, sebagaimana Dia katakan:

"Dialah Zat yang membentuk kamu di dalam rahim bagaimanapun Ia suka." (ali-Imran: 6)

Tidak ada yang menentang pendapat ini selain hadis yang diriwayatkan Aisyah, dalam salah satu riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi sebagai berikut:

"Sesungguhnya Aisyah membeli bantal yang ada gambar-gambarnya, maka setelah Nabi melihatnya ia berdiri di depan pintu, tidak mau masuk. Setelah Aisyah melihat ada tanda kemarahan di wajah Nabi, maka Aisyah bertanya: Apakah saya harus bertobat kepada Allah dan RasulNya, apa salah saya? Jawab Nabi: Mengapa bantal itu begitu macam? Jawab Aisyah: Saya beli bantal ini untuk engkau pakai duduk dan dipakai bantal. Maka jawab Rasulullah pula: Yang membuat gambar-gambar ini nanti akan disiksa, dan akan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang kamu buat itu. Lantas Nabi melanjutkan pembicaraannya: Sesungguhnya rumah yang ada gambarnya tidak akan dimasuki Malaikat. Dan Imam Muslim menambah dalam salah satu riwayat Aisyah, ia (Aisyah) mengatakan: Kemudian bantal itu saya jadikan dua buah untuk bersandar, dimana Nabi biasa bersandar dengan dua sandaran tersebut di rumah. Yakni Aisyah membelah bantal tersebut digunakan untuk dua sandaran." (Riwayat Muslim)

Akan tetapi hadis ini, nampaknya, bertentangan dengan sejumlah hal-hal sebagai berikut:

1) Dalam riwayat yang berbeda-beda nampak bertentangan. Sebagian menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. menggunakan tabir/korden yang bergambar yang kemudian dipotong-potong dan dipakai bantal. Sedang sebagian lagi menunjukkan, bahwa beliau samasekali tidak menggunakannya.

2) Sebagian riwayat-riwayat itu hanya sekedar menunjukkan makruh. Sedang kemakruhannya itu karena korden tembok itu bergambar yang dapat menggambarkan semacam berlebih-lebihan yang ia (Rasulullah) tidak senang. Oleh karena itu dalam Riwayat Muslim, ia berkata: ''Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian pada batu dan tanah."

3) Hadis Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah itu sendiri menggambarkan di rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung. Kemudian Nabi menyuruh dipindahkan, dengan kata-katanya: "Pindahkanlah, karena saya kalau melihatnya selalu ingat dunia!" Ini tidak menunjukkan kepada haram secara mutlak.

4) Bertentangan dengar: hadis qiram (tabir) yang ada di rumah Aisyah juga, kemudian oleh Nabi disuruhnya menyingkirkan, sebab gambar-gambarnya itu selalu tampak dalam shalat. Sehingga kata al-Hafidh: "Hadis ini dengan hadis di atas sukar sekali dikompromikan (jama'), sebab hadis ini menunjukkan Nabi membenarkannya, dan beliau shalat sedang tabir tersebut tetap terpampang, sehingga beliau perintahkan Aisyah untuk menyingkirkannya, karena melihat gambar-gambar tersebut dalam shalat dan dapat mengingatkan yang bukan-bukan, bukan semata-mata karena gambarnya itu an sich.

Akhirnya al-Hafidh berusaha untuk menjama' hadis-hadis tersebut sebagai berikut: hadis pertama, karena terdapat gambar binatang bernyawa sedang hadis kedua gambar selain binatang ... Akan tetapi inipun bertentangan pula dengan hadis qiram yang jelas di situ bergambar burung.

5) Bertentangan dengan hadis Abu Talhah al-Ansari yang mengecualikan gambar dalam pakaian. Karena itu Imam Qurthubi berpendapat: "Dua hadis itu dapat dijama' sebagai berikut: hadis Aisyah dapat diartikan makruh, sedang hadis Abu Talhah menunjukkan mubah secara mutlak yang sama sekali tidak menafikan makruh di atas." Pendapat ini dibenarkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.

6) Rawi hadis namruqah (bantal) ada seorang bernama al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar, keponakan Aisyah sendiri, ia membolehkan gambar yang tidak ada bayangannya, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Aun, ia berkata: "Saya masuk di rumah al-Qasim di Makkah sebelah atas, saya lihat di rumahnya itu ada korden yang ada gambar trenggiling dan burung garuda."28

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata; Barangkali al-Qasim berpegang pada keumuman hadis Nabi yang mengatakan kecuali gambar dalam pakaian dan seolah-olah dia memahami keingkaran Nabi terhadap Aisyah yang menggantungkan korden yang bergambar dan menutupi dinding. Faham ini diperkuat dengan hadisnya yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian batu dan tanah." Sedang al-Qasim adalah salah seorang ahli fiqih Madinah yang tujuh, dia juga termasuk orang pilihan pada zaman itu, dia pula rawi hadis namruqah itu. Maka jika dia tidak memaham rukhsakh terhadap korden yang dia pasang itu, niscaya dia tidak akan menggunakannya.29

Tetapi di samping itu tampaknya ada kemungkinan yang tampak pada hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah gambar dan pelukisnya, yaitu bahwa Rasulullah s.a.w. memperkeras persoalan ini pada periode pertama dari kerasulannya, dimana waktu itu kaum muslimin baru saja meninggalkan syirik dan menyembah berhala serta mengagung-agungkan patung. Tetapi setelah aqidah tauhid itu mendalam kedalam jiwa dan akar-akarnya telah menghunjam kedalam hati dan pikiran, maka beliau memberi perkenan (rukhshah) dalam hal gambar yang tidak berjasad, yang hanya sekedar ukiran dan lukisan. Kalau tidak begitu, niscaya beliau tidak suka adanya tabir/korden yang bergambar di dalam rumahnya; dan ia pun tidak akan memberikan perkecualian tentang lukisan dalam pakaian, termasuk juga dalam kertas dan dinding.

Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara' melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian, karena mereka baru saja meninggalkan menyembah patung. Oleh karena itu secara keseluruhan gambar dilarang. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian dibolehkan gambar yang ada pada pakaian karena suatu darurat. Syara' pun kemudian membolehkan gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap orang-orang bodoh tidak lagi mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap dilarang.30

Patung Dilarang

Islam mengharamkan dalam rumahtangga Islam meliputi masalah patung. Sebab adanya patung dalam suatu rumah, menyebabkan Malaikat akan jauh dari rumah itu, padahal Malaikat akan membawa rahmat dan keridhaan Allah untuk isi rumah tersebut.

Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

"Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk suatu rumah yang di dalamnya ada patung." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ulama-ulama berkata: Malaikat tidak mau masuk rumah yang ada patungnya, karena pemiliknya itu menyerupai orang kafir, dimana mereka biasa meletakkan patung dalam rumah-rumah mereka untuk diagungkan. Untuk itulah Malaikat tidak suka dan mereka tidak mau masuk bahkan menjauh dari rumah tersebut.

Oleh karenanya, Islam melarang keras seorang muslim bekerja sebagai tukang pemahat patung, sekalipun dia membuat patung itu untuk orang lain.

Sabda Rasulullah s.a.w.:

"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat, yaitu orang-orang yang menggambar gambar-gambar ini. Dalam satu riwayat dikatakan: Orang-orang yang menandingi ciptaan Allah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan Rasulullah s.a.w. memberitahukan juga dengan sabdanya:

"Barangsiapa membuat gambar (patung) nanti di hari kiamat dia akan dipaksa untuk meniupkan roh padanya; padahal dia selamanya tidak akan bisa meniupkan roh itu." (Riwayat Bukhari)

Maksud daripada hadis ini, bahwa dia akan dituntut untuk menghidupkan patung tersebut.

Perintah ini sebenarnya hanya suatu penghinaan dan mematahkan, sebab dia tidak mungkin dapat.

Ruksah Patung Boneka

Kalau macam daripada patung itu tidak dimaksudkan untuk diagung-agungkan dan tidak berlebih-lebihan serta tidak ada suatu unsur larangan di atas, maka dalam hal ini Islam tidak akan bersempit dada dan tidak menganggap hal tersebut suatu dosa. Misalnya permainan anak-anak berupa pengantin-pengantinan, kucing-kucingan, dan binatang-binatang lainnya. Patung-patung ini semua hanya sekedar pelukisan untuk permainan dan menghibur anak-anak.

Oleh karena itu kata Aisyah:

"Aku biasa bermain-main dengan anak-anakan perempuan (boneka perempuan) di sisi Rasulullah s.a.w. dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah s.a.w., tetapi Rasulullah s.a.w. malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian mereka bermain-main bersama aku." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan dalam salah satu riwayat diterangkan:

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada suatu hari bertanya kepada Aisyah: Apa ini? Jawab Aisyah: Ini anak-anak perempuanku (boneka perempuanku); kemudian Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di tengahnya itu? Jawab Aisyah: Kuda. Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di atasnya itu? Jawab Aisyah: Itu dua sayapnya. Kata Rasulullah: Apa ada kuda yang bersayap? Jawab Aisyah: Belumkah engkau mendengar, bahwa Sulaiman bin Daud a.s. mempunyai kuda yang mempunyai beberapa sayap? Kemudian Rasulullah tertawa sehingga nampak gigi gerahamnya." (Riwayat Abu Daud)

Yang dimaksud anak-anak perempuan di sini ialah boneka pengantin yang biasa dipakai permainan oleh anak-anak kecil. Sedang Aisyah waktu itu masih sangat muda.

Imam Syaukani mengatakan: hadis ini menunjukkan, bahwa anak-anak kecil boleh bermain-main dengan boneka (patung). Tetapi Imam Malik melarang laki-laki yang akan membelikan boneka untuk anak perempuannya. Dan Qadhi Iyadh berpendapat bahwa anak-anak perempuan bermain-main dengan boneka perempuan itu suatu rukhsah (keringanan).

Termasuk sama dengan permainan anak-anak, yaitu patung-patungan yang terbuat dari kue-kue dan dijual pada hari besar (hari raya) dan sebagainya kemudian tidak lama kue-kue tersebut dimakannya.

Hukum Musik (Fatwa Muhammadiyah)

Ayi Abdul Rozak,

Tanjung Gading, Asahan, Sumatra Utara

Pertanyaan :

1. Sejauh mana pandangan Islam tentang Seni Budaya (musik, tari, dan MTQ yang

selalu diperlombakan itu) ?

2. Apakah suara wanita termasuk aurat, halalkah atau haramkah mendengar nyanyian

serta apakah hukumnya bagi kita yang menyaksikannya ?

Jawaban :

1. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa yang dikatakan kebudayaan itu

adalah hasil cipta budi dan daya ummat manusia sendiri. Masyarakat tumbuh oleh

kebudayaan, tak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat dan tiap masyarakat

melahirkan kebudayaannya sendiri. Sedangkan kesenian itu, baik musik, tari, lukis, dan

sebagainya ialah penjelmaan rasa keindahan umumnya, rasa keharuan khususnya, untuk

kesejahteraan hidup. Rasa itu disusun dan dinyatakan oleh pikiran, sehingga ia menjadi

bentuk-bentuk yang dapat disalurkan dan dimiliki.

Keindahan dalam segala hal, dan bagi kehidupan ummat manusia dituntut oleh

agama Islam untuk mencintai keindahan itu, dan itu telah menjadi fithrah manusia.

Rasulullah SAW bersabda:

:

( )

Artinya: Empat perkara termasuk dalam kategori kebahagiaan: wanita yang

shalihah, rumah yang luas/lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang

menyenangkan. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya).

Di dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab

Shahihnya, Rasulullah SAW bersabda:

( )

Artinya: Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, ia menyukai keindahan. (HR.

Muslim).

Di dalam hadits yang lain lagi yang diriwayatkan oleh Imam AlBukhari dan Iman

Abu Dawud, Nabi SAW bersabda:

(

)

Artinya: Hiasilah AlQuran itu dengan suaramu. Bukanlah ia golongan kami,

Siapasiapa yang tidak melagukan (bacaan) AlQuran.

(HR. AlBukhari dan Abu Dawud).

Di dalam kitab Fathul Bari, Syarah Shahih AlBukhari, disebutkan:

( )

Artinya: Dari Aisyah r.a., beliau menjelaskan, telah masuk kepadaku Rasulullah

SAW sementara bersama saya terdapat dua orang gadis sedang bernyanyi dengan Buats, lalu Rasulullah SAW berbaring di atas tikar sambil memalingkan mukanya. Dan masuklah Abu Bakar, lalu ia membentak aku sambil berkata: Serunai syaithan di sisi Nabi SAW? Lalu Rasulullah menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar, sambil berkata: Biarkanlah mereka bernyanyi (hai Abu Bakar). Dan manakala Rasulullah SAW tidak ada perhatiannya lagi, keduanya saya singgung (sentuh), lalu mereka keluar. (HR. Bukhari).

Di dalam riwayat yang lain disebutkan dengan redaksi:

Artinya: Kedua gadis itu bernyanyi dengan memukul rebana.

Dengan memperhatikan dalildalil tersebut di atas, maka seni budaya (yang baik),

baik berupa musik atau taritarian yang sopan yang tidak mengundang atau

membangkitkan nafsu syahwat, dibolehkan dalam Islam. Apalagi musabaqah tilawah AlQuran, lebihlebih lagi diperbolehkan, apalagi kalau hal itu dipakai sebagai sarana

untuk mendakwahkan agama Islam.

2. Sebelum menjawab pertanyaan saudara yang kedua, di bawah ini kami

sebutkan hadits berikut ini:

( )

Artinya: Dari Aisyah, beliau berkata: Sebenarnya saya pernah melihat

Rasulullah SAW pada suatu hari (berdiri) di pintu kamarku, sementara orangorang Habsyi sedang melakukan pertunjukan di masjid. Rasulullah menutupi saya dengan selendangnya sambil memperhatikan (menonton) permainan mereka.

Hadits ini diriwayatkan oleh AlBukhari.

Dalam suatu riwayat lain: Adalah hari itu Hari Raya, dimana orangorang

hitam (Habsyi) itu sedang bermainmain dengan perisai dan

tombak. Adakala saya bertanya (sesuatu) kepada Rasulullah SAW dan adakala beliau bertanya: Anda suka melihatnya. Ya, jawab aku. Lalu beliau menegakkan saya dibelakangnya, pipi saya bersentuh dengan pipi beliau sambil beliau bersabda: Teruskan hai anak Arfadah, sehingga bila saya telah bosan. Rasulullah bersabda: Cukup? Ya, jawab aku. Pergilah, sabda beliau.

Dalam hadits lain lagi disebutkan:

( )

Artinya: Dari Aisyah bahwa beliau mempertandingkan seorang wanita dengan

seorang lakilaki dari kaum Anshar, lalu berkata Nabi SAW: Hai Aisyah, apakah ada padamu permainan, karena kaum Anshar amat suka kepada permainan.

Dalam kaitan hadits tersebut di atas, diriwayatkan oleh AsSarraj dari Hasyal

bahwa Nabi SAW pernah bersabda

Artinya: Supaya orangorang Yahudi mengetahui bahwa agama kita (Islam)

adalah lapang, sungguh aku diutus untuk membawa agama yang lapang (mudah) bagi manusia.

Dari kedua hadits tersebut di atas, maka jelas kepada kita bahwa suara perempuan

itu bukan aurat, dan kita boleh mendengar nyanyian yang dinyanyikan oleh orang

perempuan (biduwanita), asal penampilannya sopan, menutup aurat, tidak

mempertontonkan bodinya dengan pakaian yang seronok, serta nyanyian yang

dinyanyikannya tidak bersifat porno dan mengumbar hamwa nafsu birahi.

Dalam kaitan itu, maka tidak dapat disalahkan kalau ada ulama yang

mengharamkan nyanyian, tarian, musik, dan semisalnya, karena disebabkan oleh faktafakta dari luar (aridly) yang bertentangan dengan jiwa agama, bukanlah haram zatnya, yaitu musik, lagu, dan tari itu sendiri. Bahkan akhirakhir ini tayangantayangan

lewat media elektronik banyak yang bersifat merusak, destruktif. Misalnya penayangan filmfilm kartun (walaupun itu boneka), karena ditayangkan tepat pada waktu maghrib,

sehingga melalaikan anakanak dari melakukan shalat.

Sebagai penutup uraian untuk saudara, barangkali ada baiknya kami sebutkan di

sini apa yang ditulis Imam AlGhazali dalam kitab Ihya Ulumiddin Juz 2 halaman 284

yang maksudnya kurang lebih sebagai berikut: Bahwa permainan itu gunanya untuk menyenangkan hati, meringankan bebanbeban berat yang terpendam dalam pikiran manusia. Hati (akal) itu apabila terus menerus dipaksakan untuk berpikir, ia akan menjadi buta. Membuat kesenangan kepada hati/pikiran serta jiwa sebenarnya satu pertolongan baginya untuk dapat bergiat kembali.

Tidaklah berlebihan, hiburanhiburan itu adalah obat hati terhadap penyakit letih,

lesu, bosan, dan jemu, maka seharusnyalah hiburan berupa nyanyian, musik, tarian, itu

menjadi mubah hukumnya. (*th)__