13
Untuk memenuhi tugas Hukum Perjanjian Internasional Disusun oleh: Nama : Aurora Esterlia NPM : 110110100137 (2010) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jalan Dipatiukur no. 35 Bandung 2012

Consent To Be Bound

Embed Size (px)

DESCRIPTION

perjanjian internasional

Citation preview

Page 1: Consent To Be Bound

Untuk memenuhi tugas Hukum Perjanjian Internasional

Disusun oleh:

Nama : Aurora Esterlia

NPM : 110110100137 (2010)

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Jalan Dipatiukur no. 35

Bandung

2012

Page 2: Consent To Be Bound

RESUME HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Referensi Buku:

1. “Modern Treaty Law and Practice” , Anthony Aust, halaman 75-99.

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Consent to be Bound

A. Signature (Penandatanganan)

Penandatanganan adalah hal yang sering dilakukan didalam perjanjian

internasional. Perjanjian internasional menjadi sah telah terikat dan bersifat memaksa

kepada dua atau beberapa negara dengan adanya penandatanganan. Keberadaan

terikatnya suatu perjanjian dengan penandatanganan diatur di dalam Artikel 12 Vienna

Convention on Law of Treaties (VCLT), dimana penandatanganan dapat sah

mengikatkan perjanjian internasional di antarnegara ketika:

1. Isi perjanjian internasional tersebut mengatur demikian

2. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut di dalam perundingan setuju

melakukan penandatanganan

3. Negara-negara terutama pihak delegasi Full Powers di dalam perundingan

mendukung atau menyatakan bahwa penandatanganan menjadikan perjanjian

internasional sah mengikatkan.

Suatu perjanjian internasional biasanya menjelaskan bagaimana perjanjian itu

dapat mengikatkan antarnegara secara eksplisit maupun implisit pada isi aturan perjanjian

tersebut. Keberadaan penandatanganan sebagai wujud yang efektif menghindari apabila

dikemudian hari ada pihak suatu negara yang menyatakan suatu perjanjian internasional

tidak dapat dipaksakan karena negara itu tidak meratifikasi perjanjian.

Jika tidak ada indikasi atau keinginan dari seluruh anggota yang ikut di dalam

perjanjian internasional untuk melakukan ratifikasi dapat diasumsikan bahwa

penandatanganan menjadi sah mengikatkan suatu perjanjian internasional kepada dua

atau beberapa negara yang melakukan perjanjian tersebut, kecuali jika isi perjanjian

tersebut mengatur lain.

a. Open for Signature

Pengertian “open for signature” dipraktikan pada perjanjian multilateral, dimana

dibuka penandatanganan kepada seluruh negara yang ingin ikut mengikatkan diri

dalam perjanjian internasional tersebut dengan adanya pemberitahuan kurung waktu

selama waktu yang telah ditentukan sampai masa dimana penandatanganan tidak lagi

dapat dilakukan. Dengan demikian, suatu negara yang ingin ikut di dalam perjanjian

itu hanya dapat ikut serta tanpa bisa ikut menandatangani.

Page 3: Consent To Be Bound

b. Signature ad referendum

Pengertian “signature ad referendum” ialah ketika suatu negara yang memiliki

keinginan untuk ikut menandatangani suatu perjanjian internasional namun di dalam

keadaan secara nyata, negara tersebut belum siap untuk mengikatkan diri kepada isi

aturan perjanjian tersebut. Dengan demikian, negara tersebut dapat menandatangani

perjanjian internasional itu dengan menambahkan setelah tanda tangan, “ad

referendum” atau dibutuhkannya keterangan lebih lanjut untuk mengefektifkan.

Biasanya keterangan tersebut menggunakan memo atau surat diplomatik. Namun,

apabila suatu negara berkehendak diperlukannya ratifikasi untuk menjadikan

perjanjian tersebut sah mengikat, maka penandatanganan menggunakan “ad

referendum” tidak didiperkenankan. Suatu negara yang menggunakan “signature ad

referendum” tidak dipaksakan untuk segera mengikatkan dirinya kepada perjanjian.

c. Place of Signature

Penandatanganan selalu diadakan, baik dalam bentuk satu instrumen atau pertukaran

instrumen, di tempat dan waktu yang sama. Penandatanganan juga dapat dilakukan di

tempat pihak ketiga pada perjanjian bilateral dengan tanpa pihak ketiga terikat dalam

perjanjian tersebut. Penandatanganan yang dilakukan di tempat dan waktu yang

berbeda dapat dilakukan dengan alasan kenyamanan, protokol, atau politik.

d. Doubt about Signature

Keraguan didalam pihak yang melakukan penandatanganan perjanjian dapat

diselesaikan dengan melakukan ratifikasi meski perjanjian tersebut tidak mengatur

adanya ratifikasi.

B. Initialling

Pengertian “initialling” ialah memberikan inisial untuk suatu perjanjian

internasional yang pada umumnya suatu negara yang melakukan “initialling” berarti

negara tersebut akan mengadopsi aturan perjanjian tersebut atau akan menkonfirmasi.

Dalam kenyataannya, “initialling” adalah tindakan awal dari suatu negara tanpa

harus menandatangani suatu perjanjian. Namun tindakan “initialling” seharusnya tidak

dapat mengikatkan suatu negara akan perjanjian kecuali bila “initialling” tersebut

disepakati dalam perundingan memiliki kekuatan hukum. Bentuk “initialling” ini berupa

sebuah tanda atau penulisan pada bagian bawah tiap lembaran perjanjian internasional

tersebut.

C. The Dayton Agreement

Salah satu kasus mengenai perjanjian menggunakan “initialling” ialah

penandatanganan sebuah “Agreement on Initialling” oleh tiga negara, Bosnia dan

Page 4: Consent To Be Bound

Herzegovina, Kroasia, dan Republik Federal Yugoslavia dari perjanjian General

Framework Agreement for Peace di Bosnia dan Herzegovina tahun 1995. Perjanjian ini

awalnya diadopsi lebih dulu pada 21 November 1995 di daerah Dayton, Ohio. Pengertian

penandatangan “Agreement on Initialling” ini dilaksanakan dengan:

1. Melakukan “initialling” pada tiap signature block (tempat di bawah testimoni

dimana delegasi negara menaruh tanda tangan) pada The Dayton Agreement

dan annex dari perjanjian tersebut mengatur bahwa “initialling” tersebut

mengikatkan mereka pada perjanjian itu.

2. Seluruh pihak melakukan penandatanganan pada The Dayton Agreement dan

annex dari perjanjian tersebut di Paris menerangkan bahwa bentuk

penandatanganan tersebut menyatakan semua pihak sah terikat pada perjanjian

itu.

3. “Agreement on Initialling” dapat menjadi bentuk keharusan untuk selanjutnya

melakukan penandatanganan.

D. Witnessing

Penandatanganan suatu perjanjian internasional jika terdapat kepentingan politik

ada di dalam praktiknya, membutuhkan tanda tangan dari pihak saksi penandatanganan

perjanjian itu. Saksi tersebut adalah kepala negara atau kepala pemerintahan atau

diplomat asing dari negara pihak ketiga. Tanda tangan dari seorang saksi tidak

sepenuhnya memiliki kekuatan hukum atau dapat dijadikan sebagai penjamin dari

penandatanganan suatu perjanjian internasional. “Witnessing” ini tidak lain hanya refleksi

dari keikutsertaan negara-negara sebagai saksi tersebut untuk mensukseskan perjanjian

itu.

E. Exchange of Instruments

Pengertian “Exchange of Instruments” ialah pertukaran dokumen perjanjian atau

nota diplomatik. Nota diplomatik biasa ditandatangani oleh duta besar atau diplomat,

juga dapat oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Keberadaan pertukaran

dokumen perjanjian ini dapat bersifat sebagai tambahan dari suatu perjanjian

internasional lain. Negara-negara melakukan hal ini apabila keberadaan nya disepakati

atau dinyatakan harus dilakukan sebagai bentuk suatu perjanjian dapat berlaku. Biasanya

dilakukan pada perjanjian bilateral.

F. Ratification

Konvensi VCLT Artikel 2 (1) (b) mengartikan Ratifikasi sebagai suatu tindakan

internasional suatu negara bilamana negara mengeluarkan peraturan nasional dalam

bidang internasional, negara itu menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian

internasional. Ratifikasi menyangkut:

1. Pelaksanaan dari dokumen yang diratifikasi oleh pihak eksekutif suatu negara.

Page 5: Consent To Be Bound

2. Pertukaran dokumen yang diratifikasi antarnegara (bilateral) atau secara

multilateral.

Keberadaan ratifikasi dibutuhkan ketika suatu negara membutuhkan waktu

sebelum suatu perjanjian internasional diterima mengikat secara hukum. Ratifikasi

dilakukan setelah dilakukannya pengadopsian dan penandatanganan perjanjian

internasional itu. Terkadang, suatu negara dapat meratifikasi langsung suatu perjanjian

internasional sebelum perjanjian tersebut berlaku secara hukum. Keuntungan yang

didapatkan bagi negara yang melakukan peratifikasian lebih awal, negara tersebut dapat

memiliki kedudukan tertinggi sebagai anggota perjanjian internasional tersebut.

Namun, resiko yang ditanggung oleh negara pun tinggi dimana aturan dalam

perjanjian internasional secara langsung bersifat memaksa terhadap negara tersebut meski

negara tersebut belum memberlakukan aturan perjanjian internasional itu secara hukum

nasional. Berdasarkan konstitusi negara, suatu perjanjian internasional membutuhkan

persetujuan parlemen negara tersebut untuk meratifikasi suatu perjanjian. Suatu negara

juga membutuhkan waktu untuk menimbang implikasi-implikasi yang dapat terjadi dari

perjanjian internasional tersebut bagi negaranya sendiri.

Perkembangan hukum internasional saat ini memperlihatkan praktik hukum

ratifikasi bukan hanya digunakan dalam mengikatkan suatu perjanjian internasional

namun juga digunakan dalam mengikatkan dokumen-dokumen seperti nota diplomatik

atau pertukaran dokumen perjanjian, meski dalam bentuk yang lebih sederhana.

Artikel 14 VCLT mengatur perjanjian internasional yang dinyatakan dalam

ratifikasi apabila:

1. Perjanjian itu sendiri mengharuskan perjanjian ini harus diberikan dalam

bentuk ratifikasi

2. Bila terbukti bahwa negara-negara anggota yang ikut perundiingan perjanjian

setuju melakukan ratifikasi

3. Bila utusan-utusan (credentials) menandatangani perjanjian dengan syarat

ratifikasi diharuskan kemudian

4. Full Powers delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan

kemudian.

a. No obligation to ratify

Walaupun suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, negara

itu secara hukum tidak dapat diwajibkan untuk meratifikasi perjanjian tersebut. Hal

demikian dinyatakan untuk memenuhi kepentingan politik dari masing-masing negara

anggota.

Page 6: Consent To Be Bound

b. Period for ratification

Tidak diatur ataupun dibatasi batas waktu suatu negara dapat meratifikasi suatu

perjanjian internasional.

c. Ratification of part of a treaty

Suatu negara dapat terikat dan bersifat memaksa pada hanya sebagian dari suatu

perjanjian internasional. Hal ini dalam praktik dimana suatu negara melakukan

ratifikasi perjanjian internasional dengan bebas memilih bagian mana dari suatu

perjanjian internasional dapat diterima untuk dilaksanakan dan mana yang tidak.

Keberadaan “ratification of part of a treaty” ini bertujuan agar perjanjian

internasional berfungsi efektif pada negara yang meratifikasi dan untuk menghindari

permasalahan-permasalahan ketika negara tunduk pada suatu perjanjian internasional.

d. Exchange or deposit of instruments of ratification

Pertukaran dokumen-dokumen ratifikasi diatur di dalam Artikel 16 VCLT, yang

menyebutkan bahwa jika isi perjanjian internasional tidak mengatur hal yang

sebaliknya, negara tunduk pada perjanjian internasional dapat dilaksanakan apabila:

1. Pertukaran dokumen-dokumen ratifikasi dilakukan antara dua negara yang

melakukan kontrak (perjanjian bilateral).

2. Penyimpanan dokumen-dokumen ratifikasi bersamaan dengan penyimpanan

perjanjian tersebut.

3. Notifikasi dokumen-dokumen ratifikasi kepada pihak negara lain atau kepada

pihak penyimpanan dokumen (sekretariat) bila disetujui.

Tunduknya suatu negara untuk mematuhi suatu perjanjian internasional menjadi

efektif dimulai dari tanggal pertukaran atau penyimpanan dokumen.

e. Conditional ratification?

Kondisi suatu negara melakukan ratifikasi tidak menentu dan tidak ada kondisi

tertentu yang harus tercapai, kecuali aturan perjanjian itu mengatur hal tersebut.

G. Instrument of Ratification

a. Who can sign?

Dokumen perjanjian yang berhak melakukan ratifikasi adalah negara, dalam hal ini

negara mengeluarkan dokumen resmi yang berisi menunjuk satu orang sebagai

perwakilan dari negara tersebut untuk diikat dalam suatu perjanjian dan

melaksanakan peruatan sehubungan dengan waktu perjanjian, atau dapat disebut Full

Powers. Full Powers ini biasa terdiri dari kepala negara, kepala pemerintahan, atau

menteri luar negeri (“The Big Three”).

Page 7: Consent To Be Bound

b. Form and content of an instrument of ratification

Format dan isi konten dari dokumen ratifikasi haruslah jelas dan tidak ambigu.

Syarat-syarat dokumen:

1. Adanya identitas perjanjian berdasarkan judul dan tanggal kapan dan tempat

dimana dokumen itu berbentuk final

2. Adnaya nama dan kedudukan dari orang yang menandatangani dokumen itu

3. Adanya keterangan negara kapan dan dimana dokumen itu dirundingkan

Bentuk dokumen dapat berbentuk surat dengan bahasa dokumen tersebut harus

disesuaikan dengan tempat dimana dokumen itu akan disimpan atau mengikuti

bahasa dari negara dimana sekretariat bertempat.

c. Place of deposit of instruments

Dokumen harus berada di tempat penyimpanan dokumen pada negara dimana

sekretariat bertempat.

d. Acknowledgement and date of deposit

Pihak penyimpanan dokumen yaitu sekretariat, akan mengirimkan suatu bentuk

ratifikasi kepada negara yang mengirimkan dokumen berupa pengakuan dalam

bentuk fomal mengenai dokumen tersebut dan notifikasi adanya pihak lain dan negara

lain yang akan menjadi pihak yang ikut serta dalam perjanjian tersebut.

H. Acceptance or Approval

Persetujuan untuk terikat dapat dinyatakan dengan „penerimaan‟ atau

„persetujuan‟ dibawah kondisi yang sama dengan kondisi yang berlaku kepada ratifikasi.

Tidak ada perbedaan substantif antara penandatangan untuk penerimaan atau persetujuan

dengan penandatangan untuk meratifikasi.

Penggunaan dari penerimaan atau persetujuan berkembang dalam rangka untuk

menghindarkan beberapa negara untuk memenuhi persyaratan konstitusional untuk

mendapatkan kewenangan parlementer untuk meratifikasi, terutama ketika proses

parlementer dijabarkan sebagai „ratifikasi‟, dan tidak ada perbedaan yang jelas yang di

buat oleh parlemen atau konstitusi diantara proses dan ratifikasi.

Aturan dapat diaplikasikan pada ratifikasi berlaku sama rata bagi penerimaan atau

persetujuan. Kecuali ketika perjanjian mengatakan yang sebaliknya, penerimaan atau

persetujuan memiliki efek hukum yang sama dengan ratifikasi. Menyatakan persetujuan

untuk terikat oleh penerimaan atau persetujuan, tetapi tanpa penandatanganan lebih

dahulu, dapat disamakan dengan aksesi, dan untuk beberapa perjanjian hal ini adalah

satu-satunya cara untuk menyatakan persetujuan.

Page 8: Consent To Be Bound

I. Accessions

Artikel 15 menyatakan bahwa pengertian aksesi adalah suatu negara dapat

menyetujui untuk terikat dengan suatu perjanjian apabila:

1. Perjanjian tersebut menyatakan demikian;

2. Hal ini jika tidak ditetapkan bahwa negara-negara yang bernegosiasi menyepakati

bahwa persetujuan dapat diekspresikan demikian;

3. Seluruh peserta telah setelah itu setuju bahwa suatu negara dapat menyatakan

persetujuannya dengan cara tersebut.

Aksesi pada pokoknya menjadi sarana bagi sebuah negara untuk menjadi peserta

apabila, untuk alasan apapun, tidak dapat menandatangani suatu perjanjian. Hal ini dapat

terjadi karena, seperti yang telah dinyatakan oleh Artikel 81 pada Konvensi, perjanjian

melarang penandatanganan oleh negara tertentu, untuk beberapa perjanjian hal ini adalah

satu-satunya pengertian dari menjadi peserta.

Tidak ada negara yang memiliki hak untuk ikut serta kecuali perjanjian mengatakan

demikian atau peserta-peserta lainnya setuju. Pada praktiknya aksesi utamanya relevan

dengan perjanjian multilateral.

Apabila, bagaimanapun, perjanjian menyatakan bahwa suatu negara dapat ikut serta

hanya setelah tanggal tertentu atau peristiwa tertentu, tetapi dokumen hukum dari aksesi

diterima sebelumnya, maka lembaga penyimpan akan memberitahu negara tersebut

bahwa dokumen hukum akan diadakan sampai tanggal atau peristiwa yang telah

ditentukan terjadi. Sampai saat itu dokumen tidak akan dihitung untuk kepentingan dari

kalkluasi ketika kondisi untuk pelaksanaan perjanjian telah terpenuhi.

Prasyarat untuk aksesi

Bersamaan dengan adanya hak untuk menandatangani, hak untuk ikut serta

mungkin terlarang untuk kategori yang spesifik atau kategori negara-negara, dan

mungkin dapat menjadi suatu subjek untuk kondisi atau persetujuan. Kondisi ini

pada kenyataannya, misalnya, bahwa suatu negara telah menjadi peserta dari

perjanjian tertentu.

Ketika suatu perjanjian telah diubah atau ditambahkan dengan perjanjian

setelahnya, dan hal ini penting atau diperlukan sekali bahwa negara yang melakukan

aksesi juga harus terikat dengan perjanjian-perjanjian tersebut, ketika mengundang

suatu negara untuk mengaksesi para peserta akan menuntut ,sebagai kondisi untuk

aksesi, bahwa negara tersebut setuju untuk terikat juga oleh perjanjian-perjanjian

selanjutnya.

J. Any Other Agreed Means

Artikel 11 adalah contoh yang baik mengenai keleluasaan yang melekat pada

hukum perjanjian, yang direfleksikan dalam banyak bagian dari Konvensi, yang

didalamnya menyatakan bahwa persetujuan dari suatu negara untuk terikat dapat

Page 9: Consent To Be Bound

dinyatakan dengan pengertian sepakat lainnya. Kesepakatan tidak harus dinyatakan:

kesepakatan cukup dengan diimplikasikan dalam teks pada suatu perjanjian atau jika

tidak ditetapkan, sebagai contoh, oleh tingkah laku. Jadi mungkin bagi suatu perjanjian

untuk diadopsi, tanpa penandatanganan atau prosedur lainnya, dan mulai berlaku secara

instan untuk seluruh negara yang mengadopsi.

K. Signatory, Party, Adherence

Di media massa dinyatakan bahwa negara adalah „peserta penandatanganan‟ dari

suatu perjanjian, dengan implikasi bahwa negara tersebut adalah peserta. Seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya dan selanjutnya, penandatanganan hanyalah salah satu cara

yang paling sering menjadi subjek dari ratifikasi. Dan bahkan ketika persetujuan telah

diberikan, tidak berarti bahwa suatu perjanjian telah mulai berlaku, yang mana mungkin

akan menjadikan suatu negara sebagai „peserta. Oleh sebab itu „peserta penandatanganan‟

adalah suatu pengertian yang longgar dan salah, dan harus dihindari kecuali ketika jelas

dalam konteks yang mana kata ini digunakan mengacu hanya kepada fakta bahwa suatu

negara telah menandatangani dan tidak ada selebihnya.

Untuk menghindari kesalahpahaman, apabila seseorang ingin hanya mengatakan

bahwa suatu negara telah menandatangani, hal ini lebih baik dikatakan bahwa,

menambahkan, jika diperlukan, bahwa itu adalah subjek dari ratifikasi. Apabila suatu

negara telah meratifikasi, seseorang harus mengatakannya tepat demikian. Ketika suatu

perjanjian mulai berlaku untuk suatu negara, termasuk ketika suatu perjanjian mulai

berlaku setelah penandatanganan, seseorang harus selalu menjabarkannya sebagai

„peserta‟. Orang itu juga dapat menggunakan istilah umum untuk mengutarakan fakta

bahwa suatu negara telah setuju untuk terikat dengan mengatakan, setidaknya dalam

Bahasa Inggris, bahwa negera tersebut telah „adhered‟ atau „taat‟ pada suatu perjanjian.

L. “The All States” and “Vienna” Formulas

Selama Perang Dingin permasalahan timbul dari aplikasi ketentuan-ketentuan

perjanjian yang mana „semua negara‟ atau „negara apapun‟ berhak untuk menjadi peserta.

Pada waktu itu terdapat beberapa badan yang mana memiliki permasalahan apakah

mereka adalah negara, misalnya, Republik Demokratis Jerman, Korea Utara, dan

Vietnam Utara. Untuk mengindari perbedaan apakah mereka memiliki kapasitas yang

dibutuhkan untuk menjadi peserta dalam perjanjian tertentu, suatu „formula Vietnam‟

dimasukkan menjadi suatu perjanjian baru. Didalamnya badan yang bermasalah diberi

hak untuk menjadi peserta apabila ia adalah anggota dari setidaknya satu dari sejumlah

organisasi internasional yang spesifik.

Klausa “semua negara” harus karenanya sekarang digunakan untuk perjanjian

yang mana dimaksudkan untuk memiliki aplikasi universal. Meskipun demikian, badan

Penyimpanan perjanjian multilateral dapat menerima dokumen ratifikasi dari suatu badan

Page 10: Consent To Be Bound

yang mengenainya tidak terdapat keraguan atau kontroversi apakah badan tersebut adalah

negara.

M. Rights and Obligations Prior to Entry into Force

Dalam periode yang lebih dahulu untuk mulai berlaku bagi suatu perjanjian,

tindakan untuk mengadopsi, menandatangani, dan menyetujui untuk terikat akan

menciptakan hak dan kewajiban tertentu bagi negara-negara yang bernegosiasi, dan untuk

lembaga penyimpanan apapun. Hubungan paling nyata dengan hal-hal tersebut yang

harus dihadiri sehingga perjanjian dapat mulai berlaku. Sejak saat teks tersebut

mengadopsi ketentuan pada fungsi penyimpanan, autentikasi, persetujuan untuk terikat,

reservasi, dan hal-hal lainnya timbul sebelum mulai berlaku, akan diaplikasikan. Hak dan

kewajiban lainnya akan timbul selama periode sementara apabila Konvensi atau

perjanjian dalam hal ini mengatakan demikian.

Kewajiban untuk tidak menggagalkan objek dan tujuan dari suatu perjanjian sebelum

berlaku

Artikel 18 mensyaratkan suatu negara „untuk menjauhkan diri dari tindakan yang

akan mengggagalkan objek dan tujuan dari suatu perjanjian‟ sebelu mulai berlakunya

perjanjian tersebut pada negara tersebut. Ketika suatu perjanjian menjadi subjek dari

ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, kewajiban ini berlaku sampai negara telah

menyatakan dengan jelas maksud untuk tidak menjadi peserta. Hal yang pasti adalah

suatu negara dapat menetapkan apakah ketentuan berlaku hanya dengan menguji

perjanjian dalam hal ini dalam setiap aspek.

negara yang menandatangani karenanya harus tidak melakukan apapun yang kemudian

dapat mempengaruhi kemampuannya secara penuh untuk mematuhi perjanjian ketika

mulai berlaku. Hal ini diikuti dengan bahwa negara tersebut tidak harus menjauhkan diri

dari segala tindakan yang mungkin akan dilarang ketika perjanjian tersebut mulai

berlaku. Tetapi negara dapat tidak melakukan tindakan yang mungkin akan (bukan hanya

mungkin) membatalkan tujuan dasar dari suatu perjanjian. Dengan demikian, ketika

kewajiban dari suatu perjanjian didasarkan pada keadaan tetap pada suatu waktu tertentu

yang dengan cara tertentu akan mencegah negara dari melakukan perjanjian akan menjadi

suatu pelanggaran dari suatu artikel.

Penarikan persetujuan untuk terikat sebelum perjanjian mulai berlaku

Suatu persetujuan adalah persetujuan untuk terikat ketika perjanjian mulai

berlaku, tidak sebelumnya. Pada Konferensi Wina satu delegasi mengacu pada „hak

berdaulat dari suatu negara untuk mundur dari suatu perjanjian kapanpun sebelum

perjanjian tersebut akhirnya mengikat‟. Tidak ada satupun delegasi yang menentang

Page 11: Consent To Be Bound

pernyataan ini. Artikel 68 juga berhubungan dengan menyatakan bahwa notifikasi

atau seperangkat pengaturan mengenai ketidakabsahan, pengunduran diri, dan

lainnya, dapat dicabut kapanpun sebelum menimbulkan efek. Komisi Hukum

Internasional merasa bahwa hak untuk membatalkan telah diberikan secara implicit

bahwa notifikasi tidak akan memiliki efek sampai tanggal tertentu.

Kewajiban dalam Artikel 18 tidak melarang suatu negara untuk

mengundurkan diri dari suatu peraturan. Kewajiban pada artikel ini adalah untuk

menjauhkan diri dari tindakan yang dapat membatalkan objek dan tujuan dari suatu

perjanjian sebelum mulai berlaku. Tetapi, meskipun tidak terdapat konsekuensi

hukum dari pengunduran diri, hal ini dapat merugikan secara politis. Pelaporan pada

lembaga penyimpanan mengenai suatu ratifikasi adalah tindakan yang serius. Bahkan

jika suatu pemerintahan baru yang berkuasa tidak menyukai perjanjiannya, bukanlah

suatu alasan yang baik untuk menarik persetujuan. Persetujuan yang diberikan oleh

pemerintahan sebelumnya diberikan atas nama negara, yang berlanjut meskipun

terdapat pergantian pemerintahan.

N. Development of Treaties.

Prosedur yang telah dirancang sama sekali tidak di luar lingkup Konvensi,

aturannya luas dan cukup fleksibel untuk memungkinkan berbagai jenis rezim. Hal ini

dapat dilakukan dalam tiga cara:

1. kerangka perjanjian;

2. ukuran yang mengikat secara ukum yang diadopsi oleh organ-organ dalam organisasi

internasional; dan

3. yurisprudensi dari peradilan yang ditetapkan oleh perjanjian.

Suatu perjanjian juga dapat berkembang dengan cara-cara lain yang tidak melibatkan

pembentukan dari hak dan kewajiban hukum.

a. Kerangka perjanjian

Istilah „kerangka perjanjian‟ secara relative adalah suatu penemuan yang baru.

Hal ini menjelaskan perjanjian multilateral yang tidak berbeda akibat hukumnya

dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Isitilah ini tidak lagi lebih daripada penjelasan

dari jenis suatu perjanjian yang memberikan kerangka untuk perjanjian di kemudian

yang lebih mendetail, atau legislasi nasional, yang menyatukan prinsip-prinsip yang

dinyatakan dalam kerangka perjanjian. Isitilah ini digunakan secara particular dalam

hubungan dengan perjanjian mengenai lingkungan.

b. Peradilan Internasional

Sebagai bagian dari rezim perjanjian negara dapat mengadakan pengadilan

internasional atau peradilan untuk membantu lebih jauh objek dan tujuan dari suatu

perjanjian. Tugas dari Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia, mentranslasi

Page 12: Consent To Be Bound

prinsip-prinsip umum hak asasi manusia oleh Konvensi Erope mengenai Hak Asasi

Manusia menjadi suatu badan yurisprudensi yang berkembang.

PRAKTIK INDONESIA

Praktik Indonesia didalam perjanjian internasional diatur didalam Undang-undang Nomor

24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Indonesia tidak pernah meratifikasi Vienna

Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969. Namun, aturan-aturan VCLT diadopsi oleh

Indonesia ke dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

tersebut. Perbedaan VCLT dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional ini ialah VCLT menyatakan perjanjian terbuka untuk negara-negara non-anggota,

sedangkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

menyatakan hanya mengikat negara-negara anggota dan tidak boleh untuk negara-negara non-

anggota.

“Consent to be bound” dalam praktik Indonesia diatur dalam Pasal 3 Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang berbunyi:

“Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-

cara sebagai berikut:

a. Penandatanganan;

b. Pengesahan;

c. Pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;

d. Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

Di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diatur

di dalam Pasal 15 ayat (1) mengenai Perjanjian Internasional berlaku setelah:

1. Penandatanganan

2. Pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik

3. Melalui cara-cara lain yang telah disepakati.

Dalam Pasal 15 ayat (2) , ketentuan-ketentuan tersebut menjadi syarat minimal berlakunya dan

dapat mengikatnya suatu perjanjian internasional terhadap para pihak.

Pengertian “berlaku” di dalam Pasal 15 ini menjadikan titik dimana “consent to be

bound” suatu perjanjian internasional diatur didalam praktik di Indonesia. Dengan melihat

praktik secara internasional dengan praktik secara hukum nasional Indonesia, penandatanganan

ialah Signature, pengesahan ialah Ratification, pertukaran dokumen perjanjian atau nota

diplomatik ialah Exchange of Instruments, dan melalui cara-cara lain yang telah disepakati ialah

praktik Indonesia tidak membatasi dan fleksibel, sehingga Indonesia dapat memakai cara-cara

penyertaan lain persetujuan negara untuk tunduk terhadap suatu perjanjian internasional,

Page 13: Consent To Be Bound

disesuaikan dengan kesepakatan dalam perundingan negara-negara dalam suatu perjanjian

internasional.