141
I. URAIAN UMUM I.1 JUDUL PENELITIAN : Monitoring Tingkat Resiko Penurunan Kualitas Air Akibat Pola Managemen Lahan Pertanian Daerah Aliran/Catchment Area Waduk Selorejo. I.2 PENANGGUNG JAWAB PROGRAM : Nama : Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE Tempat/ tanggal lahir : Blitar, 12 Juni 1947 Alamat Tempat Tinggal : Jl. Teluk Kumai no.8 Malang No. Telp. (0341) 493 612 ' No. HP 08123314983 Pangkat Dan Jabatan Akademik : a. Pangkat : Pembina Utama Muda/ IVc b. Jabatan Akademik : Lektor Kepala 6. Bidang Keahlian Utama : Pengembangan Sumber Daya Air 7. Bidang Keahlian Penunjang: a. Environment Hydraulic b. Transportasi Sedimen c. Waduk, Bendungan Unit Kerja : Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang Telepon : 0341 575954 1

Monitoring t ingkat mari njeglek

Embed Size (px)

DESCRIPTION

www.amartha-saturnus.blogspot.com

Citation preview

Page 1: Monitoring t ingkat mari njeglek

I. URAIAN UMUM

I.1 JUDUL PENELITIAN : Monitoring Tingkat Resiko

Penurunan Kualitas Air Akibat

Pola Managemen Lahan

Pertanian Daerah

Aliran/Catchment Area Waduk

Selorejo.

I.2 PENANGGUNG JAWAB PROGRAM :

Nama : Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE

Tempat/ tanggal lahir : Blitar, 12 Juni 1947

Alamat Tempat Tinggal : Jl. Teluk Kumai no.8 Malang No.

Telp. (0341) 493 612 ' No. HP

08123314983

Pangkat Dan Jabatan Akademik :

a. Pangkat : Pembina Utama Muda/ IVc

b. Jabatan Akademik : Lektor Kepala

6. Bidang Keahlian Utama : Pengembangan Sumber Daya Air

7. Bidang Keahlian Penunjang:

a. Environment Hydraulic

b. Transportasi Sedimen

c. Waduk, Bendungan

Unit Kerja : Teknik Pengairan, Fakultas Teknik,

Universitas Brawijaya

Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang

Telepon : 0341 575954

Fax : 0341 575954

Email : [email protected]

I.3 Anggota Peneliti

Nama : Bambang Pari P ST

Bidang Keahlian : Analisa Hidrologi Pemodelan

1

Page 2: Monitoring t ingkat mari njeglek

Instansi : Program Studi Teknik Sumber Daya

Air Pasca Sarjana Universitas

Brawijaya

Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang

Telepon : 0341 575954

Fax : 0341 575954

Email : [email protected]

2

Page 3: Monitoring t ingkat mari njeglek

SUBBASIN

1

2

3

4

Konto Sub Basin (Up Stream)

Penjal Sub Basin

Kewayangan Sub Basin

Konto Sub Basin (Down Stream)

4

I.4 SUBYEK PENELITIAN

Dalam studi ini akan memfokuskan pada sumber polutan Non Point

Source yang berasal dari lahan pertanian, kususnya pada Daerah Aliran

Sungai Waduk Selorejo, dan secara khusus sebagai hasil akhir adalah

terfokus pada kondisi kualitas air waduk Selorejo.

I.5 Periode Pelaksanaan :

I.6 Jumlah Biaya Yang Di Usulkan : Rp. 9.725.000,00 ( Sembilan Juta

Tujuh Ratus Dua Puluh Lima Ribu

Rupiah)

I.7 Lokasi Penelitian : Daerah Pengaliran Sungai /Cactment

Area Waduk Selorejo yaitu Masuk

Wilayah Administrasi Kabupaten

Malang Mencakup Kecamatan,

Ngantang desa : Pagersari,

Kaumrejo, Waturejo, Jombok,

Tulungrejo, Banturejo, Sumberagung,

Sumberagung, Mulyorejo, Purworejo,

Sidodadi, Pagersari, Agantru , dan

Kecamatan Pujon, Desa : Madiredo,

Bendosari, Sukomulyo, Pujonkidul,

Pujon Lor, Pandesari, Wiyurejo,

Tawangsari, Ngabab.

3

Daerah Aliran Sungai Brantas, Jawa Timur

Gambar 1.1 Lokasi Studi, Daerah Aliran Sungai Waduk Selorejo

Page 4: Monitoring t ingkat mari njeglek

I.8 Perguruan Tinggi Pengusul : Universitas Brawijaya

I.9 Instansi Lain Yang Terlibat : PERUM JASA TIRTA I

I.10 Keterangan Lain Yang Dianggap Perlu : -

II. ABSTRAK RENCANA PENELITIAN :

Latar Belakang : Baru-baru ini Polutan Non Point Sources (NPS) telah

menjadi suatu perhatian khusus pada bidang kualitas air dan manajemen

pengolahan DAS, dimana yang menjadi salah satu parameter dari besar NPS

tersebut adalah pertanian dan urban run off. Nitrogen (N) dan Phospour adalah

bagian yang penting dalam ekosistem air, namun kandungan yang berlebih

dapat menyebabkan alga booms dan mempercepat proses eutropikasi dimana

salah satu penyebab kemunduran nilai kualitas air.

Daerah Aliran Sungai, DAS/Watershed adalah satu ekosistem yang terdiri

dari kumpulan daratan yang berbeda dalam penggunaan lahan dan terhubung

oleh jaringan-jaringan sungai. Oleh sebab itu benar bahwa kondisi sungai

sangat ditentukan oleh proses yang terjadi pada lahan areal

tangkapannya/DAS. Dimana suatu jaringan sungai mengalir mengarah pada

satu tampungan yang besar, dimana kondisi kualitas air pada tampungan

waduk tersebut dipengarui secara langsung dari kondisi proses yang terjadi

pada lahan DAS.

Dalam studi ini akan memfokuskan pada sumber polutan Non Point Source

yang berasal dari lahan pertanian, kususnya pada Daerah Aliran Sungai Waduk

Selorejo, dimana secara tidak langsung akan sangat mempengarui kondisi

kualitas air di Waduk Sengguruh itu sendiri. Sejalan dengan perkembangan

pembangunan, teknologi dan jaman, pengembangan aktifitas pertanian dan

perubahan tataguna lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau fungsi

lainnya seperti pemukiman, akan terus ditingkatkan. Hal tersebut akan dapat

menyebabkan suatu dampak kondisi perubahan kandungan dan jumlah

konsentrasi Polutan Nutrient dan sediment di waduk selorejo.

Identifikasi Masalah : Secara umum limbah yang masuk kesungai dapat

dibagi menjadi dua macam, yaitu limbah domestik dan limbah industri. Limbah

domestik merupakan limbah yang berasal dari daerah pemukiman,

4

Page 5: Monitoring t ingkat mari njeglek

perkantoran, kelembagaan dan pertanian. Sedangkan limbah industri berasal

dari kawasan industri.

Limbah pertanian adalah limbah yang berasal dari lahan pertanian. Seperti

yang telah diketahui aliran sungai Waduk Selorejo berada pada kawasan

algiculture area, Lahan Pertanian dan dimanfaatkan untuk pemenuhan

kebutuhan irigasi pertanian, Kandungan kualitas air sebelum masuk areal

pertanian dan sesudahnya barang tentu akan berbeda, karena adanya

bermacam-macam proses yang terjadi di lahan pertanian. Pengaruh pupuk

pada lahan pertanian merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran.

Pupuk pada umumnya mengandung unsur Nitrogen (N) dan Phospour (P).

Kedua unsur ini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman.

Pembawa limbah pertanian ke dalam sungai adalah hujan dan limpasan

permukaan. Untuk menentukan besarnya polutan, harus ditentukan juga

limpasan permukaan dan aliran sungai yang diakibatkan hujan pada DASnya.

Proses transpor polutan di atas akan bermuara pada suatu tampungan dimana

semua aliran sungai akan berkumpul dan tertampung.

Sebagai contoh kondisi yang pernah terjadi yaitu di Waduk Sutami di desa

Karangkates, bagian DAS Brantas hulu. Pencemaran terakhir yang terjadi di

Waduk Sutami adalah pada tahun 2004 atau tepatnya pada tanggal 4

September 2004, dan terjadi 3 kali pada tahun tersebut. Pencemaran ini

diakibatkan pembuangan limbah cair dari sejumlah industri langsung ke anak-

anak Sungai Brantas, sehingga mengakibatkan dampak matinya ikan-ikan di

Waduk Sutami yang diakibatkan menurunya derajat kadar Oksigen Demand

(DO) dari tingkat normal 3 ml/liter menjadi 0.9 ml/liter serta terjadinya blooming

algae yang muncul kepermukaan air dan adanya penurunan pH (derajad

keasaman air), serta bau yang menyengat hingga mengganggu kegiatan dan

hidup masyarakat.

Beberapa usaha yang dilakukan pasca pencemaran tersebut diantaranya

adalah dilakukan penebaran bibit ikan nila, dengan harapan bahwa pada saat

musim kemarau nanti ikan-ikan ini sudah besar dan mampu menghambat

pertumbuhan algae yang umumnya berkembang pesat pada musim kemarau.

Beberapa contoh lain yang sudah dilakukan studi tentang monitoring kualitas

air, yaitu Danau Tondano Profinsi Sulawesi Utara, Kota Manado yang memberi

5

Page 6: Monitoring t ingkat mari njeglek

satu kesimpulan sebagai berikut : “Perairan Danau Tondano menerima beban

pencemaran dari limbah perikanan jaring apung dan limbah penduduk mencapai

Posfat 784,1 kg/hari dan Nitrogen 1715,5kg/hari. Dengan luas Danau Tondano

4800 ha maka beban Posfat yang masuk ke perairan danau mencapai 0,163

kg/ha/hari, berarti masih dibawah toleransi beban Posfat yang masuk ke

ekosistem perairan lentic (danau, waduk) yaitu 0.367 kg/ha/hari. Sehingga, bila

ditinjau dari beban Posfat tersebut, maka perairan Danau Tondano masih

memungkinkan untuk pengembangan perikanan jala terapung. Namun demikian

lokasi jaring apung harus tersebar merata tidak menumpuk di satu atau dua

lokasi. Tingkat kesuburan Danau Tondano berada dalam klasifikasi mesotrophic

sampai eutrophic, kecuali unsur nitrogen yang seluruhnya masih dalam

klasifikasi oligotrophic. Untuk menghindari konflik kepentingan dalam

pengelolaan Danau Tondano ibentuk kelembagaan yang memerlukan

keterpaduan diantara ”stakeholder” Sehingga diharapkan kebijakan lembaga

pengelola ini dapat memahami bagaimana pengelolaan danau yang

berkelanjutan serta dapat mengatasi konflik yang muncul diantara stakeholder

tersebut.”

Demikian halnya pada Waduk Selorejo, telah diidentifikasi bahwa kondisi

kandungan polutan semakin meningkat, berdasarkan hasil ukur dilapangan

dengan periode 10 harian. Sehingga kondisi seperti halnya di Waduk Sutami,

kiranya sangat perlu untuk dilakukan satu monitoring dan tindakan antisipasi

secara dini untuk Waduk Selorejo tersebut.

III. TUJUAN KHUSUS

Waduk selorejo adalah Bendungan multi guna dengan pola operasi

tahunan, dimana kegunaannya adalah untuk PLTA, pemenuhan kebutuhan air

baku, irigasi, dan kebutuhan kegiatan pertanian dan industri lainnya. Tentunya

fungsi dan kegunaan waduk selorejo ini akan sangat dipengarui oleh

kemampuan daya dukung ekosistem daerah alirannya. Seiring dengan

pengembangan wilayah kabupaten malang secara umum dan kedua wilayah

administrasi kecamatan ngantang dan pujon secara kusus,

6

Page 7: Monitoring t ingkat mari njeglek

Tujuan studi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk melakukan identifikasi terhadap jumlah polutan yang bersumber dari

polutan lahan pertanian,

2. Melakukan analisa pola penyebaran polutan lokasi daerah studi, dan

kwantitas beban polutan di Waduk Selorejo,

3. Infentarisasi hasil identifikasi besar polutan sebagai warning system resiko

penurunan kualitas air waduk Selorejo.

Sedangkan maksud dari studi ini adalah untuk memberikan suatu informasi

tentang nilai dan pola penyebaran polutan akibat pengolahan lahan pertanian di

daerah lokasi studi, sebagai referensi khusus terhadap monitoring resiko

penurunan kualitas air Waduk Selorejo, dan untuk alat uji kebenaran

penggunaan paket pemodelan hidrologi dan kualitas air : AVSWAT2000 (Soil

and Water Assessment Tool 2000).

Manfaat Studi

Manfaat studi ini adalah sebagai berikut :

1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang aplikasi pemodelan

berbasis SIG AVSWAT2000.

2. Memberikan masukan informasi kondisi kualitas air Daerah Aliran Sungai

Waduk Selorejo.

3. Sebagai suatu sistem pendukung dalam pengambilan keputusan (decision

suport systems) untuk manajemen pengolahan DAS bagi stik holder.

7

Page 8: Monitoring t ingkat mari njeglek

IV. STUDI PUSTAKA

IV.1 Hidrologi dan Ekosistem DAS

Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya

(cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Termasuk di

dalamnya penyebaran, daur, dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya,

serta hubungannya dengan unsur-unsur kehidupan dalam air itu sendiri.

Sedangkan hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) sendiri adalah cabang dari

ilmu hidrologi itu sendiri, yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan

lahan di daerah tangkapan air bagian hulu (upper catchment) terhadap daur air,

termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir, dan iklim di daerah

hulu dan hilir (Chay Asdak, 2002:4).

4.1.1 Siklus Hidrologi

Siklus air atau hidrologi adalah pola sirkulasi air dalam ekosistem.

Secara alamiah daur hidrologi dapat ditunjukkan seperti terlihat pada gambar

4.1, dimana selama berlangsungnya daur hidrologi tersebut air berjalan dari

permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke

laut secara terus menerus, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai,

danau (waduk), dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia

atau makhluk hidup lainnya. Energi panas matahari dan faktor-faktor iklim

lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi

dan tanah, di laut atau badan-badan air lainnya. Uap air sebagai hasil proses

evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun

datar, dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air

tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan.

Sebelum mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan

oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di

permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan sebagian airnya

akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau

mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (steamflow). Sebagian air

hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi

kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan setelah

berlangsungnya hujan (interception loss). Air hujan yang dapat mencapai

8

Page 9: Monitoring t ingkat mari njeglek

permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration),

dan sisanya akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan

permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas

permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya

masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler

yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah, apabila kelembaban

tanah sudah cukup jenuh maka air hujan tersebut akan bergerak secara lateral

(horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke

permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Air hujan

yang masuk ke dalam tanah tersebut dapat pula bergerak vertikal ke tanah

yang lebih dalam dan menjadi bagian dari air tanah (ground water). Air tanah

tersebut pada musim kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau,

atau tempat penampungan alamiah lainnya (base flow). Sebagian air infiltrasi

yang tetap tinggal dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) kemudian

diuapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah (soil evaporation) dan

melalui permukaan tajuk vegetasi (transpiration).

Gambar 4.1 Siklus Hidrologi

Pada daur siklus hidrologi inilah, mekanisme transport polutan terjadi, sehingga

berdasarkan siklus tersebut mekanisme polutan dapat di bagi menjadi 2 fase

yaitu :

9

Page 10: Monitoring t ingkat mari njeglek

1. Siklus hidrologi pada fase/tahap terjadi di satu luasan lahan, sebagai

kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi dan pestisida yang akan masuk ke sistim

jaringan sungai.

2. Siklus hidrologi pada fase/tahap pada Aliran Sungai yang dapat

didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen, nutrisi dan pestisida melalui

aliran sungai menuju ke outlet masing-masing Sub DAS.

A. Fase Pada Lahan

Siklus hidrologi yang menjadi dasar pepersamaanan persamaan adalah

Water Ballance :

(4.1)

Dengan :

SW1 = kandungan air dalam tanah (mm H2O)

SWo = kandungan air dalam tanah pada awal periode (mm H2O)

t = waktu (hari)

R = besaran hujan yang terjadi pada hari ke i (mm H2O)

Qsurf = tinggi limpasan permukaan pada periode waktu ke i ((mm H2O)

Ea = besar evapotranspirasi pada periode waktu ke i (mm H2O)

Wseep = jumlah air yang masuk zona lapisan tanah keras pada periode

waktu ke i (mm H2O)

Wgw = jumlah air pada aliran air tanah pada periode waktu ke i (mm H2O)

10

Page 11: Monitoring t ingkat mari njeglek

Gambar 4.2. Siklus Hidrologi

B. Fase Pada Sungai

Penelusuran/Routing pada sungai-sungai utama dapat dibagi menjadi 4

komponen :

1. Penelusuran Banjir. Seperti aliran pada daerah downstream, besar

kehilangan air yang berkaitan dengan proses evapotranspirasi dan

transmisi melewati dasar sungai atau disebabkan penggunaan air sungai

untuk pertanian dan kebutuhan penduduk. Jumlah air pada sungai dapat

bersumber dari besaran hujan yang jatuh kepermukaan bumi mengalir

kesungai dan atau bersumber dari debit-debit keluaran sumber lain.

Besarnya aliran yang mengalir melewati sungai, dicari dengan

menggunakan methode Muskingum.

2. Penelusuran Sedimen. Transpor sedimen sungai memiliki 2 proses

yang terkandung yaitu degradasi dan deposisi. Pada model SWAT ini

persamaan yang digunakan lebih simpel, yaitu nilai maksimum sedimen

yang dapat terangkut dari setiap sekmen sungai memakai persamaan

kecepatan puncak yang dapat terjadi pada sungai.

3. Penelusuran Nutrient. Transformasi nutrient pada aliran sungai

dikontrol dengan komponen kualitas air pada model, yang

persamaannya mengadopsi dari model QUAL2E. Model penjalaran

nutrient terlarut dalam air sungai dan nutrient yang terkandung dalam

sedimen. Larutan nutrient terangkut dengan air, sementara itu yang

11

presipitasi

atmosphere

intersepsi

evapotranspirasi

Aliran Permukaan

infiltrasi

soil store

through flow

perkolasi

Tampungan Air tanah

Aliran Airtanah Aliran kepermukaan

Tampungan di Sungai

Aliran di Sungai Tampungan permukaan

evaporasi

evaporasi

Laut

Kondensasi

Page 12: Monitoring t ingkat mari njeglek

terkandung dalam sedimen jumlahnya tetap hingga proses pengendapan

sedimen pada dasar sungai.

4. Penelusuran Pestisida. Sementara Pestisida yang nilainya dalam

jumlah besar, dalam model dimasukan sebagai data input pada input

data HRU (Hidrology Response Units). Seperti nutrient, total pestisida

yang masuk ke sungai adalah yang terlarut dan yang melekat pada

material sedimen.

4.1.2 Ekosistem DAS

Daerah Aliran Sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, karena

ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen

yang saling berintergrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Ekosistem

terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk

suatu kesatuan yang teratur. Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu

memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah

satu komponen penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam

menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu

komponen lingkungan, dan dengan demikian akan mempengaruhi ekosistem

secara keseluruhan. Pada gambar 4.3 menunjukkan adanya hubungan timbal

balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada

salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen

yang lain. Perubahan komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi

keutuhan sistem ekologi di daerah tersebut (Chay Asdak, 2002:15).

12

Page 13: Monitoring t ingkat mari njeglek

Gambar 4.3 Komponen-komponen ekosistem DAS Hulu

Sumber : Chay Asdak, 2002:16

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena

mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan

ini, antara lain dari segi fungsi tata air, sehingga DAS hulu seharusnya menjadi

fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS,

daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

Pada Gambar 4.4 menunjukkan proses yang berlangsung dalam suatu

ekosistem DAS, dimana input berupa curah hujan sedangkan output berupa

debit aliran dan atau muatan sedimen. Curah hujan, jenis tanah, kemiringan

lereng, vegetasi, dan aktivitas manusia mempunyai peranan penting untuk

berlangsungnya proses erosi-sedimentasi.

Gambar 4.4 Fungsi Ekosistem DAS

13

Input = Curah Hujan

Output = Debit, Muatan Sedimen

Vegetasi Tanah SungaiManusiaIPTEK

MATAHARI

Hutan Desa Sawah/Ladang

Manusia

Tumbuhan

Air

HewanTanah

Sungai (Debit, Unsur Hara)

Page 14: Monitoring t ingkat mari njeglek

IV.2 Mekanisme Transport Polutan

Sesuai dengan penjelasan tentang siklus hidrologi maka mekanisme transport

polutan dapat di gambarkan seperti pada Gambar 4.5 berikut:

Gambar 4.5 Mekanisme Transport Polutan

Sehingga dalam studi ini akan terbagi menjadi 3 bagian pokok bahasan yang

harus di selesaikan secara berurutan dan sitematis, yaitu :

1. Pola potensi penyebaran polutan dilahan DAS Waduk Selorejo

2. Pola penyebaran Polutan Di Sungai dan Anak Sungai yang bermuara

di waduk Selorejo

3. Kandungan Polutan di Waduk Selorejo

4.2.1 Mekanisme Transport Dilahan DAS Waduk Selorejo

Pada fase ini merupakan sebagai kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi

dan pestisida yang akan masuk ke sistim jaringan sungai. Siklus hidrologi

seperti yang disimulasikan oleh SWAT adalah menjadi dasar

pepersamaanan persamaan Water Ballance seperti persamaan (4.1):

14

presipitasi

atmosphere

intersepsi

evapotranspirasi

Aliran Permukaan

infiltrasi

soil store

through flow

perkolasi

Tampungan Air tanah

Aliran Airtanah Aliran kepermukaan

Tampungan di Sungai

Aliran di Sungai Tampungan permukaan

evaporasi

evaporasi

Laut

Kondensasi

Hujan

Infiltrasi

Evapotranspirasi

Limpasan

Aliran LateralErosi & Sedimentasi Lahan

Run Off

Q Inflow sungai

MEKANISME TRANSPORT POLUTAN

Page 15: Monitoring t ingkat mari njeglek

4.2.1.1 Limpasan Permukaan

Limpasan permukaan merupakan salah satu faktor penting dalam sistem

transport berbagai material yang akan terbawa masuk pengaliran sungai.

Limpasan permukaan terjadi ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi.

Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan atau depresi pada

permukaan tanah. Setelah pengisian selesai maka air akan mengalir dengan

bebas dipermukaan tanah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan permukaan bisa

dikelompokkan ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan curah hujan

dan yang berhubungan karateristik daerah aliran sungai. Lama waktu hujan ,

intesitas dan penyebaran hujan mempengaruhi laju dan volume limpasan

permukaan. Pengaruh DAS terhadap limpasan permukaan adalah melalui

bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan keadaan tataguna lahan.

Ada banyak metode yang dapat dipakai untuk menganalisa dan

memprediksi besaran limpasan permukaan, dalam studi ini menggunakan

persamaan SCS .

SCS merupakan model empirikal yang telah umum digunakan diberbagai

kawasan dunia, model ini dibangun guna menyediakan estimasi yang konsisten

untuk memperkirakan besarnya limpasan permukaan berdasarkan data tata

guna lahan dan jenis tanah yang bervariasi. Persamaanya adalah sebagai

berikut :

(4.2)

dengan:

Ia = abstraksi awal (initial abstraction) (mm)

Pe = hujan berlebih (mm)

S = volume dari total tampungan (mm)

P = tinggi hujan (mm)

Abstraksi awal adalah air hujan yang terinfiltrasi lebih dahulu ke dalam

tanah sebelum terjadi limpasan permukaan, yang termasuk dalam komponen

abstraksi awal adalah simpanan permukaan (retention), air yang diserap oleh

tumbuhan, evaporasi dan infiltrasi. Abstraksi awal merupakan variabel yang

berhubungan dengan kondisi jenis tanah dan faktor penutup lahan. Pendekatan

15

Page 16: Monitoring t ingkat mari njeglek

yang digunakan untuk menghitung laju abstraksi awal adalah dengan

persamaan :

Ia = 0.2 S

Dengan mensubstitusikan 2 persamaan tersebut maka persamaan

pendugaan limpasan akan menjadi :

(4.3)

Sedangkan S merupakan deskripsi hubungan antara jenis tanah dan tata

guna lahan dari suatu kawasan yang diperoleh dari bilangan Curve Number

(CN), bilangan CN ini berkisar antara 0 – 100 yang juga merepresentasikan

besar potensi dari air limpasan permukaan yang akan terjadi. S dapat dihitung

dengan persamaan :

(4.4)

Untuk nilai curve number (CN) yang berbeda-beda dapat dilihat pada grafik

pada Gambar 4.6 :

Gambar 4.6. Grafik Hubungan Limpasan Permukaan Dan Curah Hujan

Untuk Menentukan Nilai CN

Debit Puncak

Nilai limpasan puncak atau debit puncak adalah nilai maksimum dari

limpasan yang terjadi karena disebabkan oleh intensitas hujan yang turun. Nilai

ini merupakan indikator dari kekuatan erosi yang dapat ditimbulkan pada lahan

16

Page 17: Monitoring t ingkat mari njeglek

dan dapat digunakan untuk memprediksi angkutan sedimen. Perhitungan

SWAT untuk nilai debit puncak ini menggunakan modifikasi metode rasional.

Metode rasional dapat digunakan untuk mendesain saluran dengan

bentang yang lebar dan sistem saluran pengendali banjir. Metode rasional

bedasar pada anggapan bahwa hujan yang jatuh dengan intensitas ‘i’ pada

waktu t = 0 secara kontinu akan terus meningkat sampai pada waktu

konsentrasi t = tconc, anggapan ini dengan melibatkan seluruh daerah

pengaliran yang mengarah pada badan sungai (outlet).

Debit puncak dihitung berdasarkan persamaan rasional yang

dimodifikasi. Persamaan metode rasional adalah sebagai berikut:

Q = 0.278 C . I . A (4.5)

dengan:

Q = limpasan permukaan (m3/dt)

C = koefisien limpasan

i = intensitas hujan (mm/jam)

A = luas wilayah DAS (ha)

Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh air dari titik

terjauh dari DAS menuju pada otlet DAS tersebut. Waktu konsetrasi dihitung

dengan menjumlahkan waktu yang dibutuhkan oleh air yang melimpas di lahan

di tambah dengan waktu yang dibutuhkan oleh air yang melimpas di saluran

sampai pada outlet.

tcon = tov + tch

tcon = waktu konsentrasi (jam)

tov = waktu air melimpas di lahan (jam)

tch = waktu untuk air melimpas di saluran (jam)

Waktu konsentrasi air melimpas di lahan (overland flow time of concentration)

(4.6)

17

Page 18: Monitoring t ingkat mari njeglek

dengan :

tov = waktu konsentrasi air melimpah di lahan

Lslp = panjang slope DAS (m)

Slp = slope DAS

n = koefisien kekasaran Manning

Waktu konsentrasi air melimpas di saluran (channel flow time of concentration)

(4.7)

dengan :

tch = waktu konsentrasi air melimpas di saluran (jam)

L = panjang saluran

A = luas DAS (km2)

Slp = slope saluran

Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran adalah perbandingan laju debit puncak dengan

intensitas hujan. Angka koefisien limpasan merupakan salah satu indikator

untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai C

yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi limpasan

permukaan. Angka koefisien C berkisar antara 0 – 1.

(4.8)

Qsurf = debit limpasan permukaan (m3/det)

Rday = hujan harian (mm)

Intensitas Hujan

Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan per satuan

waktu, misalnya mm/menit atau mm/jam untuk berbagai rentang waktu

(duration) curah hujan tertentu. Perkiraan mengenai frekuensi hujan juga

merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan. Jika tidak ada waktu untuk

mengamati besarnya intensitas hujan atau karena disebabkan tidak adanya alat

untuk mengamati, maka dapat ditempuh cara empiris dengan menggunakan

persamaan-persamaan antara lain: Talbot, Sherman, Ishiguro dan Mononobe.

18

Page 19: Monitoring t ingkat mari njeglek

Intensitas Hujan dapat dihitung dengan persamaan :

(4.9)

dengan :

Rtc = banyaknya hujan yang jatuh pada saat waktu konsentrasi

(mm)

tcon = waktu konsentrasi

Rtc = tc x Rday

dengan :

tc = bagian dari hujan harian yang terjadi selama tcon (mm)

Rday = hujan harian (mm)

Modifikasi Metode Rasional

Dengan menggabungkan persamaan di atas didapat persamaan metode

rasional modifikasi sebagai berikut :

(4.10)

dengan :

tc = bagian dari hujan harian yang terjadi selama tcon (mm)

Qsurf = debit limpasan permukaan (m3/det)

tcon = waktu konsetrasi

A = luas DAS (km2)

4.2.1.2 Erosi Dan Sedimentasi Lahan

Erosi adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian

tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik disebabkan oleh

pergerakan air ataupun angin. Proses erosi bermula dengan terjadinya

penghancuran agregat-agregat tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang

mempunyai energi lebih besar daripada daya tahan tanah.

Begitu air hujan mengenai permukaan bumi, maka secara langsung hal

ini akan menyebabkan hancurnya agregat tanah. Pada keadaan ini,

penghancuran agregat tanah dipercepat dengan adanya daya penghancuran

dan daya urai dari air itu sendiri. Hancuran dari agregat tanah ini akan

19

Page 20: Monitoring t ingkat mari njeglek

menyumbat pori-pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi akan berkurang.

Sebagai akibat lebih lanjut, akan mengalir di permukaan tanah, yang disebut

sebagai limpasan permukaan tanah (run off). Air yang mengalir pada

permukaan kulit bumi ini mempunyai energi untuk mengikis dan mengangkut

partikel-partikel yang telah hancur, baik oleh air hujan maupun oleh adanya

limpasan permukaan itu sendiri.

Pada studi ini besaran erosi dihitung berdasarkan persamaan Modifikasi

USLE :

sed = 11.8 (Qsurf x qpeak x A) K x C x P x LS x CFRG (4.11)

dengan :

sed = sediment yied (ton)

Qsurf = volume limpasan permukaan (mm/ha)

Qpeak = debit puncak (m3/det)

A = luas DAS (ha)

K = erodibilitas tanah

C = faktor tanaman

P = faktor pengelolaan lahan

LS = faktor lereng

CFRG = faktor kekasaran material tanah

4.2.1.3 Nutrients/Pestisida

4.2.1.3.1 Nitrogen

Siklus nitrogen di dalam tanah adalah bagian dari siklus nitrogen global

yang bisa dikatakan sebagai sebuah ringkasan konsep interaksi perubahan N

secara kimia, fisika, dan biologi di dalam tanah.

Tampak pada Gambar 4.7, perubahan N terjadi karena reaksi-reaksi

berikut :

a. siklus perubahan N dalam bentuk organik dan anorganik (mineralization and

immobilization)

b. hilangnya gas N ke atmosfer (ammonia volatilization and denitrification)

c. hilangnya N karena pergerakan air dalam tanah (leaching and erosion)

d. dan Fiksasi N biologis (biological N fixation)

20

Page 21: Monitoring t ingkat mari njeglek

Mikro-oganisme di dalam tanah mempunyai peranan penting dalam

banyak proses perubahan reaksi siklus nitrogen dalam tanah.

Gambar 4.7 Siklus Nitrogen

Nitrogen (N) adalah elemen yang paling penting yang dibutuhkan

tanaman dan yang paling sulit diatur dari semua elemen nutrisi tumbuhan

lainnya. Tanaman membutuhkan nitrogen lebih banyak dari elemen-elemen

penting lain yang dibutuhkan oleh suatu tanaman, tidak termasuk karbon,

oksigen, dan hidrogen.

Nitrogen adalah elemen yang sangat dinamis. Ia mampu merubah

dirinya bersenyawa dengan elemen lain dan menghasilkan suatu elemen baru.

Kemampuan merubah diri baik secara biokimia maupun kimia melalui

serangkaian proses disebut dengan Siklus Nitrogen. Perubahan N biasanya

melibatkan proses oksidasi (pengurangan elektron) dan reduksi (penambahan

elektron) oleh atom N.

21

Page 22: Monitoring t ingkat mari njeglek

Teroksidasi +5 NO3- Nitrat

 

+4 NO2 Nitrogen dioksida

+3 NO2- Nitrit

+2 NO Nitrogen monoksida

+1 N2O Nitrogen oksida

0 N2 Gas N2 atau N Elemental

-1 NH4OH Hidroxilamin

-2 N2H4 Hidrosin

Terreduksi -3 NH3 /NH4 Gas ammonia atau ammonium

SWAT menunjukkan lima ragam bentuk nitrogen di dalam tanah

(Gambar 4.7). Dua bentuk adalah nitrogen dalam bentuk inorganik (mineral);

NH4+ dan NO3-, dan tiga selebihnya adalah nitrogen dalam bentuk organik.

Nitrogen organik murni dihubungkan dengan residu tanaman dan biomasa

mikro sementara nitrogen organik aktif dan stabil dihubungkan dengan humus

tanah. Nitrogen organik yang dihubungkan dengan humus dibagi menjadi dua

kolom untuk menghitung kemampuan perubahan humus ke mineral (Gambar

4.8).

Gambar 4.8 Bentuk Nitrogen dalam Tanah dan Proses Perubahan Bentuk

4.2.1.3.2 Tingkatan Nitrogen Dalam Tanah

Di dalam aplikasi SWAT, bisa ditentukan jumlah nitrat dan nitrogen

organik yang terkandung di dalam tanah humus pada semua lapisan tanah

22

Page 23: Monitoring t ingkat mari njeglek

pada permulaan simulasi. Jika tidak ditentukan inisial konsentrasi nitrogen,

SWAT akan mengenali tingkat nitrogen pada bentuk-bentuk yang berbeda.

Inisial tingkat nitrogen di dalam tanah di bedakan oleh kedalaman

menggunakan hubungan :

(4.12)

dimana :

= Konsentrasi nitrat di dalam tanah pada kedalaman z (mg/kg atau

ppm)

z = Kedalaman dari permukaan tanah (mm)

Konsentrasi nitrat dengan kedalaman dihitung dengan persamaan 4.12,

ditampilkan berupa grafik pada Gambar 4.9 di bawah.

Gambar 4.9 Konsentrasi Nitrat dengan Kedalaman

Tingkatan nitrogen organik mengasumsikan bahwa perbandingan C:N

untuk bahan humus adalah 14:1. Konsentrasi humus nitrogen organik pada

suatu lapisan tanah dihitung dengan persamaan :

(4.13)

23

Page 24: Monitoring t ingkat mari njeglek

dimana :

= Konsentrasi humus nitrogen organik pada lapisan tanah (mg/kg

atau ppm)

= Jumlah karbon organic pada lapisan tanah (%)

Organik N humus dibagi menjadi bentuk aktif dan bentuk stabil

menggunakan persamaan berikut :

orgNact,ly = orgNhum,ly . fractN

orgNsta,ly = orgNhum,ly . (1 - fractN )

dimana :

orgNact,ly = Konsentrasi nitrogen pada bentuk organik aktif (mg/kg)

orgNhum,ly = Konsentrasi humus nitrogen organik pada lapisan (mg/kg)

fractN = Fraksi humus nitrogen dalam bentuk aktif (ditentukan dengan angka

0,02)

orgNsta,ly = Konsentrasi nitrogen dalam bentuk organik stabil (mg/kg)

Nitrogen di dalam bentuk organik baru di set ke angka O pada semua

lapisan kecuali lapisan atas 10 mm dari tanah diset pada 0.15% dari jumlah

inisial residu pada permukaan tanah.

orgNfrsh,surf = 0.0015 . rsdsurf (4.14)

dimana :

orgNfrsh,surf = Nitrogen organik fresh pada lapisan atas 10 mm dari permukaan

tanah (kgN/ha)

rsdsurf = Material di dalam bentuk residu untuk lapisan atas 10 mm dari

permukaan tanah (kg/ha)

Ammonium untuk nitrogen tanah, NH4ly, ditunjukkan pada 0 ppm.

Masukan data nutrient sebagai konsentrasi. Untuk mengkonversi konsentrasi

ke satuan umum, konsentrasi dikalikan kepadatan dan kedalaman lapisan

dibagi 100.

24

Page 25: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.15)

dimana :

= Konsentrasi nitrogen pada suatu lapisan (mg/kg atau ppm)

= Kepadatan pada lapisan (mg/m3)

= Kedalaman lapisan (mm)

Tabel 4.1SWAT Variabel Input

Nama

VariabelDefinisi

Input

File

SOL_NO3 NO3conc,ly : Initial NO3 concentration in soil

layer (mg/kg or ppm).CHM

SOL_ORGN orgNhum,ly : Initial humic organic nitrogen in

soil layer (mg/kg or ppm).CHM

RSDIN rsdsurf : Material in the residue pool for the top

10mm of soil (kg ha-1) .HRU

SOL_BDρb : Bulk density of the layer (mg/m3) .Sol

SOL_CBNorgCly : Amount of organic carbon in the layer

(%) .SOL

4.2.1.3.3 Pergerakan Nitrat

Nitrat di dalam tanah diangkut ke dalam aliran dan badan air akibat

peristiwa limpasan, aliran lateral atau perkolasi. Untuk menghitung jumlah nitrat

yang terangkut, konsentrasi nitrat di dalam air yang bergerak diperhitungkan.

(4.16)

dimana :

25

Page 26: Monitoring t ingkat mari njeglek

= Konsentrasi nitrat dalam air yang bergerak pada lapisan

tanah (kg N/mm H2O)

NO3ly = Jumlah nitrat pada lapisan tanah (kg N/ha)

wmobile = Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah (mm H2O)

θe = Fraksi porositas anion

SATly = Air yang memenuhi lapisan tanah (mm H2O)

Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah adalah jumlah air yang hilang

oleh limpasan, aliran lateral atau perkolasi.

w mobile = Qsurf + Qlat,ly + w perc,ly (4.17)

untuk lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah

w mobile = Qlat,ly + w perc,ly (4.18)

untuk lapisan lebih dari 10 mm dibawah permukaan tanah.

dimana :

w mobile = Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah (mm H2O)

Qsurf = Debit air limpasan permukaan (mm H2O)

Qlat,ly = Debit air pada lapisan tanah oleh aliran lateral (mm H2O)

w perc,ly = Jumlah air yang terperkolasi (mm H2O)

Nitrat yang terbawa aliran air limpasan permukaan dihitung dengan :

NO3surf = βNO3 . concNO3,mobile . Qsurf (4.19)

dimana :

NO3surf = Nitrat yang terbawa aliran air limpasan (kg N/ha)

βNO3 = Koefisien perkolasi nitrat

concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak pada

lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/mm H2O)

Qsurf = Debit limpasan permukaan (mm H2O)

Nitrat yang terbawa aliran air lateral dalam tanah dihitung dengan :

NO3lat,ly = βNO3 . concNO3,mobile . Qlat,ly (4.20)

untuk lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah

26

Page 27: Monitoring t ingkat mari njeglek

NO3lat,ly = concNO3,mobile . Qlat,ly (4.21)

untuk lapisan lebih dari 10 mm dibawah permukaan tanah

dimana :

NO3lat,ly = Nitrat yang terbawa aliran air lateral (kg N/ha)

βNO3 = Koefisien perkolasi nitrat

concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak pada

lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/mm H2O)

Qlat,ly = Debit aliran air lateral (mm H2O)

Nitrat yang terbawa air karena proses perkolasi dihitung dengan :

NO3perc,ly = concNO3,mobile . Q perc,ly (4.22)

dimana :

NO3perc,ly = Nitrat yang terbawa air karena proses perkolasi (kg N/ha)

concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak (kg

N/mm H2O)

Q perc,ly = Jumlah air yang terperkolasi (mm H2O)

27

Page 28: Monitoring t ingkat mari njeglek

4.2.1.3.4 N Organik Pada Aliran Limpasan Permukaan

N organik pada aliran limpasan permukaan dihitung menggunakan

persamaan yang dikembangkan oleh McElroy et al (1976) dan dimodifikasi oleh

Williams & Hann (1978).

(4.23)

dimana :

orgNsurf = Jumlah N organik yang terbawa limpasan (kg N/ha)

concorgN = Konsentrasi N organik pada lapisan 10 mm di bawah

permukaan tanah (kg N/metrik ton tanah)

sed = Jumlah sedimen (metrik ton)

areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)

εN:sed = Perbandingan Norganik : sedimen

Konsentrasi N organik pada lapisan permukaan tanah dihitung dengan :

(4.24)

dimana :

orgNsurf = N organik dalam fresh pool pada lapisan 10 mm di bawah

permukaan tanah (kg N/ha)

concorgN = Konsentrasi N organik dalam stable pool pada lapisan 10

mm di bawah permukaan tanah (kg N/ha)

ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m3)

depthsurf = Kedalaman lapisan tanah (10mm)

4.2.1.3.5 Perbandingan Antara konsentrasi N Organik dan Sedimen

Ketika aliran limpasan permukaan mengalir di atas muka tanah,

sebagian energi air digunakan untuk mengangkut partikel-partikel tanah.

Partikel yang kecil lebih mempunyai berat yang ringan dan mudah diangkut

daripada partikiel yang besar. Ketika distribusi ukuran partikel dari sedimen

yang terangkut dibandingkan dengan lapisan tanah permukaan, muatan

sedimen menuju aliran air utama memiliki porsi yang lebih besar dari ukuran

partikel lempung. Dengan kata lain, muatan sedimen diperbesar dalam partikel

28

Page 29: Monitoring t ingkat mari njeglek

lempung. N organik dalam tanah disertakan dalam partikel koloid (lempung),

sehingga porsi atau konsentrasi muatan sedimen akan bertambah besar pada

lapisan tanah permukaan.

Perbandingan antara konsentrasi N organik yang terangkut dengan

sedimen pada lapisan tanah permukaan ini dihitung menggunakan persamaan

yang dijelaskan oleh Menzel (1980)

(4.25)

dimana :

εN:sed = Perbandingan Norganik : sedimen

concsed,surq = Konsentrasi sedimen pada limpasan permukaan (mg

sed/m3 H2O)

Konsentrasi sedimen pada limpasan permukaan dihitung dengan :

(4.26)

dimana :

sed = Sedimen (metrik ton)

areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)

Qsurf = Debit aliran limpasan permukaan (mm H2O)

4.2.1.4 Pergerakan Phosphor Terlarut

Mekanisme utama dari pergerakan phosphor di dalam tanah adalah

disebabkan oleh difusi. Difusi adalah perpindahan ion dalam jarak pendek (1 –

2mm) dalam larutan tanah sebagai hasil sebuah gradien prosentasi. Mengacu

pada pergerakan phosphor yang lambat, limpasan permukaan hanya akan

berinteraksi dengan kandungan phosphor yang berada pada lapisan tanah 10

mm dibawah permukaan tanah. Jumlah kandungan phosphor yang terangkut

pada limpasan permukaan adalah dihitung dengan persamaan berikut:

(4.27)

dimana :

Psurf = Jumlah phosphor terlarut yang terbawa limpasan (kg P/ha)

Psolution, surf = Jumlah phosphor pada lapisan tanah 10 mm dibawah

permukaan tanah (kg P/ha)

29

Page 30: Monitoring t ingkat mari njeglek

Qsurf = Debit aliran limpasan permukaan (mm H2O)

ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m3)

depthsurf = Kedalaman lapisan tanah (10mm)

kd, surf = Koefisien tanah phosphor (m3/mg)

Koefisien tanah phosphor adalah perbandingan dari konsentrasi

phosphor terlarut pada lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah dengan

konsentrasi phosphor yang terlarut pada alairan limpasan permukaan.

4.2.1.5 P Organik & Mineral Yang Menyertai Sedimen Pada Limpasan

Permukaan

P Organik dan mineral yang menyertai sedimen pada limpasan

permukaan menuju aliran sungai utama untuk phosphor ini dihubungkan

dengan muatan sedimen dari unit respon hidrologi dan perubahan muatan

sedimen akan direfleksikan dalam bentuk muatan phosphor. Jumlah phosphor

yang terangkut sedimen menuju aliran sungai dihitung dengan persamaan

fungsi muatan yang dikembangkan oleh McElroy et al. (1976) dan dimodifikasi

oleh William & Hann (1978).

(4.28)

dimana :

seDASurf = Jumlah phosphor terangkut bersama sedimen menuju

aliran utama dalam limpasan permukaan (kg P/ha)

concsedP = Konsentrasi phosphor yang menyertai sedimen pada

lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah (g P/metrik ton

tanah)

sed = Sedimen (metrik ton)

areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)

εP:sed = Perbandingan P organik : sedimen

Konsentrasi phosphor yang menyertai sedimen pada permukaan tanah dihitung

dengan :

30

Page 31: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.29)

dimana :

conc sedP = Jumlah phosphor dalam bentuk mineral aktif pada lapisan

10 mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)

minP act,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk aktif mineral pada lapisan

10mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)

minP sta,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk stabil mineral pada lapisan

10mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)

orgP fish,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk fresh organik pada lapisan

10 mm dibawah permukaan tanah

orgP hum,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk humus organik pada

lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah

ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m3)

depth surf = Kedalaman lapisan tanah (10mm)

4.2.2 Pola Penyebaran Polutan di Sungai

4.2.2.1 Proses Di Sungai

Aliran air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dapat diklasifikasikan

dalam dua kategori yaitu aliran yang terjadi di lahan (overland flow) dan aliran

yang terjadi di sungai. Perbedaan yang utama dari kedua jenis aliran tersebut

adalah dimana pada proses aliran di sungai mempertimbangkan aliran dasar

(base flow) dan pengaruh dari laju debit. SWAT memodelkan proses aliran di

sungai yang mencakup pergerakan air, sedimen dan konstituen pollutant

(nutrients, pesticides dll) dalam jaringan sungai, siklus nutrisi di sungai (in-

stream nutrient cycling) dan transformasi pestisida di dalam sungai (in-stream

pesticide transformations).

4.2.2.2 Penelusuran Debit (Water Routing)

31

Page 32: Monitoring t ingkat mari njeglek

Saluran terbuka adalah saluran dengan aliran yang muka air nya bebas,

seperti aliran pada sungai atau pada pipa yang tidak penuh. SWAT

menggunakan persamaan Manning untuk menghitung debit dan kecepatan

aliran air. Penelusuran debit pada sungai menggunakan pendekatan dengan

metode variable storage routing atau metode Muskingum river routing. Kedua

metode tersebut merupakan variasi dari metode kinematic wave model.

Karakteristik Saluran

SWAT mengasumsikan bentuk penampang saluran sungai dengan

bentuk trapesium seperti Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Penampang Sungai Trapesium

User diharuskan untuk menentukan lebar dan kedalaman dari saluran

ketika penuh sampai permukaan tanggul maupun panjang saluran, kemiringan

sepanjang saluran dan nilai koefisien n dari Manning. SWAT mengasumsikan

bahwa sisi saluran memiliki perbandingan penampang saluran sebesar 2:1 (Zch

= 2). Kemiringan dari sisi saluran adalah ½ atau 0,5. Lebar dasar saluran

dihitung dari lebar dan kedalaman penuh dengan persamaan :

(4.30)

dimana :

Wbtm = Lebar dasar saluran (m),

Wbnkfull = Lebar atas saluran ketika penuh terisi air (m),

zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan

depthbnkfull = Kedalaman air ketika penuh sampai puncak tanggul (m).

Karena diasumsikan bahwa zch = 2, ada kemungkinan

untuk perhitungan lebar dasar dengan persamaan (4.31)

menjadi kurang atau sama dengan nol. Jika hal ini terjadi,

32

Page 33: Monitoring t ingkat mari njeglek

model tersebut menetapkan Wbtm = 0,5. Wbnkfull dan

menghitung nilai baru untuk kemiringan sisi saluran dengan

menggunakan persamaan (4.31) untuk zch:

(4.31)

Untuk kedalaman air saluran yang diketahui, lebar saluran pada

permukaan air adalah :

(4.32)

dimana :

W = Lebar saluran pada permukaan air (m)

Wbtm = Lebar dasar saluran (m)

zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan

depth = Kedalaman air pada saluran (m)

Luas penampang melintang aliran dihitung dengan :

(4.33)

dimana :

Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran (m2),

Wbtm = Lebar dasar saluran (m),

zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan

depth = Kedalaman air pada saluran (m).

Perimeter basah dari saluran ditentukan dengan :

(4.34)

dimana :

Pch = Perimeter basah kedalaman aliran yang ditentukan (m)

Jari-jari hidrolik dari saluran dihitung dengan :

(4.35)

dimana :

Rch = Jari-jari hidrolik untuk kedalaman aliran yang ditentukan,

33

Page 34: Monitoring t ingkat mari njeglek

Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran (m2),

dan

Pch = Perimeter basah untuk kedalaman aliran yang diketahui

(m). Volume air yang ada di dalam saluran adalah :

(4.36)

dimana :

Vch = Volume air yang ada dalam saluran (m3),

Lch = Panjang saluran (km), dan

Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran untuk

kedalaman yang ditentukan (m2).

Ketika volume air melampaui jumlah maksimum yang ditampung oleh

saluran, limpahan air akan menyebar ke dataran banjir. Dimensi dataran banjir

yang digunakan oleh SWAT ditunjukkan dalam Gambar 4.11.

Gambar 4.11 Ilustrasi Dimensi Dataran Banjir

Lebar dasar dari dataran banjir, Wbtm.fld, adalah Wbtm.fld = 5 . Wbnkfull. SWAT

mengasumsikan perbandingan penampang saluran dari dataran banjir adalah 4

: 1 (zfld = 4). Sehingga kemiringan dari dataran banjir adalah ¼ atau 0,25.

Ketika terjadi aliran pada dataran banjir, perhitungan dari kedalaman

aliran, luas penampang melintang aliran dan perimeter basah adalah jumlah

komponen dari saluran dan dataran banjir:

(4.37)

(4.38)

(4.39)

dimana :

depth = Kedalaman total (m),

depthbnkfull = Kedalaman air dalam saluran ketika penuh sampai puncak

tanggul (m),

34

Page 35: Monitoring t ingkat mari njeglek

depthfld = Kedalaman air pada dataran banjir (m),

Ach = Luas penampang melintang saluran untuk kedalaman yang

ditentukan (m2),

Wbtm = Lebar dasar saluran (m),

zch = Faktor kemiringan penampang saluran,

Wbtm.fld = Lebar dasar dataran banjir (m),

zfld = Faktor kemiringan dataran banjir,

Pch = Perimeter basah kedalaman aliran yang ditentukan (m) dan

wbnkfull = Lebar atas saluran ketika penuh dengan air (m).

Tabel 4.2 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Dimensi Saluran

Variabel Definisi Nama File

CH_W(2) wbnkfull : Lebar atas saluran ketika penuh dengan air (m). .rte

CH_Ddepthbnkfull : Kedalaman air dalam saluran ketika penuh

sampai puncak tanggul (m),.rte

CH_L(2) Lch : Panjang Sungai Utama (Km) .rte

4.2.2.3 Debit Aliran dan Kecepatan

Persamaan Manning untuk aliran seragam dalam suatu saluran

digunakan untuk menghitung debit dan kecepatan aliran dalam suatu

bentangan pias saluran dengan persamaan berikut :

(4.40)

(4.41)

dimana :

qch = Debit aliran dalam saluran (m3/s),

Ach = Luas penampang melintang aliran dalam saluran (m2),

Rch = Jari-jari hidrolik untuk suatu kedalaman aliran (m),

slpch = Slope sepanjang saluran (m/m),

n = Koefisen Manning untuk saluran dan

vc = Kecepatan aliran (m/s).

35

Page 36: Monitoring t ingkat mari njeglek

SWAT menelusuri air sebagai suatu volume. Nilai harian pada luas

penampang melintang aliran, Ach, dihitung dengan menyusun persamaan 4.36

untuk menentukan luasannya :

(4.42)

dimana :

Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan

kedalaman tertentu (m2),

vch = Volume air yang ada dalam saluran (m3), dan

Lch = Panjang saluran (km). Persamaan 4.33 disusun ulang

untuk menghitung kedalaman aliran untuk waktu tertentu :

(4.43)

dimana :

depth = Kedalaman aliran (m),

Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan

kedalaman tertentu (m2),

Wbtm = Lebar dasar saluran (m), dan

zch = Faktor penampang saluran.

Persamaan 4.43 hanya bisa digunakan jika seluruh air ada di dalam

saluran. Jika volume air yang ada telah memenuhi kapasitas saluran dan

masuk ke dalam dataran banjir, maka perhitungan kedalamannya adalah :

(4.44)

dimana :

depth = Kedalaman aliran (m),

depthbnkfull = Kedalaman air dalam saluran ketika penuh sampai puncak

tanggul (m),

36

Page 37: Monitoring t ingkat mari njeglek

Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan

kedalaman tertentu (m2),

Ach.bnkfull = Luas penampang melintang aliran pada saluran ketika

penuh sampai permukaan tanggul (m2),

Wbtm.fld = Lebar dasar dataran banjir (m),

zfld = Faktor kemiringan dataran banjir.

Ketika kedalaman sudah diketahui, maka perimeter basah dan jari-jari

hidrolik dapat dihitung dengan persamaan 4.34 (atau 4.39) dan 4.35 Pada point

ini, semua nilai yang dibutuhkan untuk menghitung debit aliran dan kecepatan

aliran sudah diketahui dan persamaan 4.40 dan 4.41 bisa dipecahkan.

Tabel 4.3 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Debit Aliran

Variabel Definisi Nama File

CH_S(2)slpch : rata-rata Slope sepanjang aluran

(m/m), .rte

CH_N(2) n : koefisen Manning untuk saluran .rte

CH_L(2) Lch : Panjang Sungai Utama (Km) .rte

4.2.2.4 Metode Penelusuran Variabel Tampungan

Metode penelusuran variabel tampungan dikembangkan oleh Williams

(1969) dan digunakan pada model HYMO (Williams dan Hann,1973) dan ROTO

(Arnold et al., 1995).

Untuk suatu bentangan pias yang diketahui, penelusuran tampungan

didasarkan pada persamaan kontinuitas :

(4.45)

dimana :

Vin = Volume inflow selama jangka waktu tertentu (m3 H2O),

Vout = Volume outflow selama jangka waktu tertentu (m3 H2O), dan

Vstored = Perubahan volume tampungan selama jangka waktu tertentu

(m3 H2O).

Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut :

37

Page 38: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.46)

dimana :

t = Lama jangka waktu (s),

qin,1 = Debit inflow pada awal jangka waktu (m3/s),

qin,2 = Debit inflow pada akhir jangka waktu (m3/s),

qout,1 = Debit outflow pada awal jangka waktu,

qout,2 = Debit outflow pada akhir jangka waktu (m3/s),

Vstored,1 = Volume tampungan pada awal jangka waktu (m3 H2O), dan

Vstored,2 = Volume tampungan pada akhir jangka waktu (m3 H2O).

Penyusunan ulang dari persamaan 4.46 sehingga semua variabel yang

diketahui berada di sisi kiri dari persamaan tersebut,

(4.47)

dimana :

qin,ave = Debit inflow rata-rata selama jangka waktu tertentu:

Waktu perambatan dihitung dengan membagi volume air pada saluran dengan

debit aliran.

(4.48)

dimana :

TT = Waktu rambat (s),

Vstored = Volume tampungan (m3 H2O) dan,

qout = Debit lepasan (m3/s).

38

Page 39: Monitoring t ingkat mari njeglek

Untuk memperoleh hubungan antara pergerakan waktu dan koefisien

tampungan, persamaan 4.47 disubstitusikan ke dalam persamaan 4.48 :

(4.50)

yang disederhanakan menjadi :

(4.50)

Persamaan ini serupa dengan persamaan metode koefisien :

(4.51)

dimana :

SC = Koefisien tampungan.

Persamaan 4.51 adalah dasar dari metode penelusuran konveks SCS

(SCS, 1964) dan metode Muskingum (Brakensiek,1967; Overton,1966). Dari

persamaan 4.50, koefisien tampungan pada persamaan 4.51 ditentukan

sebagai :

(4.52)

Itu dapat menunjukkan bahwa :

(4.53)

Jika disubstitusikan pada persamaan 4.51 akan menghasilkan :

(4.54)

Untuk menyatakan semua nilai dalam satuan volume, kedua sisi persamaan

dikalikan dengan langkah berikut :

(4.55)

39

Page 40: Monitoring t ingkat mari njeglek

4.2.2.5 Metode Penelusuran Muskingum

Metode penelusuran Muskingum memodelkan volume tampungan

sepanjang saluran sebagai kombinasi dari bentuk wedge dan prisma (Gambar

4.12).

Gambar 4.12 Tampungan dalam Bentuk Prisma dan Wedge

Ketika gelombang banjir mendekati suatu bentangan, inflow akan

melebihi outflow dan menghasilkan tampungan wedge. Ketika gelombang banjir

berkurang, outflow akan melampaui inflow pada penampang tersebut dan

wedge negatif terbentuk. Pada penambahan tampungan wedge, bentangan

pias berupa bentuk tampungan prisma dengan suatu volume konstan dari

penampang melintang sepanjang saluran.

Seperti telah ditunjukkan pada persamaan Manning (persamaan 4.40),

luas penampang melintang dari aliran diasumsikan tepat sebanding dengan

debit bentangan pias yang diketahui. Menggunakan asumsi ini, volume dari

tampungan prisma dapat ditunjukkan dengan suatu fungsi debit, K . qout, dimana

K adalah rasio tampungan terhadap debit dan memiliki suatu dimensi waktu.

Dengan cara yang sama, volume dari tampungan wedge dapat dihitung dengan

K . X . (qin – qout), dimana X adalah faktor berat yang mengontrol hubungan

penting dari inflow dan outflow dalam menentukan jangkauan tampungan.

40

Page 41: Monitoring t ingkat mari njeglek

Penjumlahan dari persamaan tersebut di atas memberikan suatu nilai total

tampungan :

(4.56)

dimana :

Vstored = Volume tampungan (m3 H2O),

qin = Debit inflow (m3/s),

qout = Debit lepasan (m3/s),

K = Waktu konstan tampungan jangkauan (s) dan X adalah

faktor berat. Persamaan ini dapat disusun menjadi bentuk :

(4.57)

Bentuk ini serupa dengan persamaan 4.51.

Faktor berat, X, memiliki batas bawah 0,0 dan batas atas 0,5. Faktor ini

adalah suatu fungsi dari tampungan wedge. Untuk tipe tampungan Badan Air,

tidak ada wedge dan X = 0,0. Untuk wedge penuh, X = 0,5. Untuk sungai, X

akan berkisar antara 0,0 sampai 0,3 dengan nilai rata-rata mendekati 0,2.

Definisi dari volume tampungan pada persamaan 4.57 dapat dimasukkan

dalam persamaan kontinuitas (persamaan 4.46) dan disederhanakan menjadi :

(4.58)

dimana :

qin,1 = Debit awal inflow (m3/s),

qin,2 = Debit akhir inflow (m3/s),

qout,1 = Debit awal outflow (m3/s),

qout,2 = Debit akhir outflow (m3/s), dan

(4.59)

(4.60)

41

Page 42: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.61)

dimana C1 + C2 + C3 = 1. Untuk menunjukkan semua nilai dalam volume unit,

kedua sisi persamaan 4.58 dikalikan dengan :

(4.62)

Untuk menjaga stabilitas numerik dan menghindari perhitungan outflow

negatif, kondisi berikut ini harus ditemui :

(4.63)

Nilai untuk faktor berat, X, dimasukkan oleh user. Nilai dari konstanta

waktu tampungan dihitung dengan :

(4.64)

dimana :

K = Konstanta waktu tampungan untuk bentangan pias (s),

coef1 & coef2 = Koefisien berat yang dimasukkan oleh user,

Kbnkfull = Konstanta waktu tampungan yang dihitung untuk

bentangan pias dengan aliran penuh (s), dan

K0.1bnkfull = Konstanta waktu tampungan yang dihitung untuk seper

sepuluh dari bagian penampang dengan aliran penuh (s).

Untuk menghitung Kbnkfull dan K0.1bnkfull, sebuah persamaan yang dikembangkan

oleh Cunge (1969) dapat digunakan yaitu :

(4.65)

dimana :

K = Konstanta waktu tampungan (s),

Lch = Panjang saluran (km), dan

ck = Kecepatan yang serupa dengan aliran untuk kedalaman

tertentu (m/s). Kecepatan ini adalah suatu kecepatan

42

Page 43: Monitoring t ingkat mari njeglek

dengan suatu variasi debit aliran yang melewati saluran.

Hal itu didefinisikan dengan :

(4.66)

Dimana debit aliran, qch, dihitung dengan persamaan Manning. Diferensial dari

persamaan 4.40 mengenai luas penampang melintang memberikan :

(4.67)

dimana :

ck = Kecepatan (m/s),

Rch = Jari-jari hidrolik untuk kedalaman tertentu (m),

slpch = Kemiringan sepanjang saluran (m/m),

n = Koefisien n Manning untuk saluran, dan

vc = Kecepatan aliran (m/s).

Tabel 4.4 Variabel yang Dibutuhkan SWAT pada Metode Penelusuran Muskingum

Variabel Definisi Nama File

MSK_X X ; nilai untuk faktor berat .bsn

MSK_CO1

coef1 : Koefisien berat yang dimasukkan oleh

user, .bsn

MSK_CO2

coef2 : Koefisien berat yang dimasukkan oleh

user, .bsn

4.2.2.6 Kapasitas Tampungan

Besarnya jumlah air yang memasuki tampungan dalam satu hari dihitung

dengan :

(4.68)

43

Page 44: Monitoring t ingkat mari njeglek

dimana :

bnkin = Jumlah air yang memasuki tampungan (m3 H2O),

tloss = Kehilangan air akibat perpindahan (m3 H2O) dan

frtrns = Fraksi dari kehilangan air pada bagian akuifer dalam

Kapasitas tampungan memberikan aliran pada saluran utama atau

sampai ke sub basin. Aliran tampungan disimulasikan dengan kurva resesi

yang serupa dengan yang digunakan pada air tanah. Volume air yang

memasuki kapasitas tampungan dihitung dengan :

(4.69)

dimana :

Vbnk = Volume air yang ditambahkan pada pias melalui aliran

kembali dari tampungan (m3 H2O),

bnk = Jumlah total air yang ada pada tampungan (m3 H2O) dan

bnk = Konstanta resesi aliran tampungan atau konstanta

proporsionality

Air dapat bergerak dari tampungan mendekati zona tidak jenuh. SWAT

memodelkan pergerakan air mendekati zona tak jenuh tersebut sebagai fungsi

dari kebutuhan air untuk evaporasi. Untuk menghindari kerancuan dengan

definisi evaporasi tanah dan transpirasi, proses ini disebut dengan ‘revap’.

Proses ini signifikan dalam DAS dimana zona tak jenuh air tidak begitu jauh di

bawah permukaan atau zona dimana akar dalam tanaman tumbuh. ‘Revap’ dari

tampungan dikontrol dengan koefisien revap air tanah yang dijelaskan pada

HRU terakhir pada subbasin.

Jumlah maksimum dari air yang kemudian akan dipindahkan dari

tampungan melalui ‘revap’ pada satu hari adalah :

(4.70)

dimana :

bnkrevap,mx = Jumlah air maksimum yang dipindahkan ke dalam zona tak

jenuh untuk mengganti kekurangan (m3 H2O),

44

Page 45: Monitoring t ingkat mari njeglek

rev = Koefisien revap,

Eo = Evaporasi potensial harian (mm H2O),

Lch = Panjang saluran (km), dan

W = Lebar saluran pada permukaan air (m).

Jumlah aktual dari revap yang akan terjadi dalam satu hari diberikan dalam

persamaan berikut :

(4.71)

(4.72)

dimana :

bnkrevap = Jumlah air aktual yang dipindahkan ke dalam zona tak

jenuh untuk mengganti kekurangan air (m3 H2O),

bnkrevap,mx = Jumlah air maksimum yang dipindahkan ke dalam zona tak

jenuh untuk mengganti kekurangan air (m3 H2O), dan

bnk = Jumlah total air yang ada pada tampungan pada

permulaan hari i (m3 H2O).

Tabel 4.5 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Kapasitas Tampungan

Variabel Definisi Nama File

TRNSRCHfrtrns ; Fraksi dari kehilangan air pada

bagian akuifer dalam..bsn

ALPHA_BNK

bnk ; Konstanta resesi aliran

tampungan atau

konstanta proporsionality.

.rte

GW_REVAP rev ; Koefisien revap, .gw

4.2.2.7 Keseimbangan Air Saluran

Kapasitas tampungan air pada bentangan di akhir waktu dihitung dengan

:

(4.73)

dimana :

45

Page 46: Monitoring t ingkat mari njeglek

Vstored,2 = Volume air pada bentangan di akhir waktu (m3 H2O),

Vstored,1 = Volume air pada bentangan di awal waktu (m3 H2O),

Vin = Volume air yang mengalir ke dalam bentangan pias selama

jangka waktu tertentu (m3 H2O),

Vout = Volume air yang mengalir ke luar bentangan pias selama

jangka waktu tertentu (m3 H2O),

tloss = Volume air yang hilang dari bagian melalui perpindahan di

dasar (m3 H2O),

Ech = Evaporasi harian (m3 H2O),

div = Volume air yang ditambahkan atau dipindahkan dari bagian

pada satu hari melalui pengalihan (m3 H2O), dan

Vbnk = Volume air yang ditambahkan pada bentangan pias melalui

aliran kembali dari tampungan kapasitas (m3 H2O).

SWAT menentukan perhitungan volume outflow dengan persamaan 4.55

atau 4.62 sebagai jumlah bersih air yang dipindahkan dari pias. Seperti halnya

kehilangan akibat perpindahan, evaporasi dan kehilangan air lainnya pada

bagian tersebut dihitung, jumlah outflow pada bagian selanjutnya dikurangi

dengan jumlah kehilangan. Ketika outflow dan semua kehilangan dijumlahkan,

jumlah total akan sama dengan yang diperoleh dari persamaan 4.55 atau 4.62.

4.2.2.8 In-Stream Nutrient Processes/Proses Nutrien Pada Aliran

Parameter yang mempengaruhi kualitas air dan dapat digolongkan

sebagai indikator polusi termasuk nutrien (zat hara), total zat padat, BOD, nitrat,

dan mikroorganisme (Loehr, 1970; Paine, 1973). Parameter penting sekunder

lainnya antara lain bau, rasa dan kekeruhan (Azevedo dan Stout,1974).

Algoritma kualitas air SWAT pada in-stream yang menggabungkan

komponen interaksi dan hubungan digunakan dalam model QUAL2E (Brown

dan Barnwell,1987). Dokumentasi yang digunakan dalam sub bab ini diambil

dari Brown dan Barnwell (1987). Model transformasi nutrient in-stream memiliki

beberapa ciri model SWAT. Untuk menelusuri pemuatan nutrien pada

downstream tanpa mensimulasi perubahan bentuk (transformasi), variabel IWQ

pada file kode kontrol input (.cod) harus diset menjadi 0. Untuk mengaktifkan

simulasi transformasi nutrient in-stream, variabel ini harus diset menjadi 1.

46

Page 47: Monitoring t ingkat mari njeglek

4.2.2.9 ALGA

Pada siang hari, alga meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di

sungai melalui fotosintesis. Pada malam hari, alga mengurangi konsentrasi

tersebut melalui respirasi (pernapasan). Ketika alga tumbuh dan berkembang,

mereka membentuk suatu bagian dalam perputaran nutrient in-stream. Sub bab

ini merangkum persamaan yang digunakan untuk mensimulasi pertumbuhan

alga pada sungai.

Chlorophyll a

Chlorophyll a diasumsikan persis sebanding dengan konsentrasi dari biomassa alga phytoplanktonik.

(4.74)

dimana :

chla = Konsentrasi chlorophyll a (g chla/L),

0 = Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga (g chla/mg alg)

dan

algae = Konsentrasi biomassa alga (mg alg/L).

Pertumbuhan Alga

Pertumbuhan dan pembusukan alga/chlorophyll a dihitung sebagai

fungsi dari laju pertumbuhan, laju respirasi, laju pengendapan dan jumlah alga

yang ada di sungai. Perubahan dari biomassa alga dalam satu hari adalah :

(4.75)

dimana :

algae = Perubahan konsentrasi biomassa alga (mg alg/L),

a = Laju pertumbuhan lokal spesifik dari alga (day-1),

1 = Laju pengendapan lokal alga (m/day),

depth = Kedalaman air pada saluran,

47

Page 48: Monitoring t ingkat mari njeglek

algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan

TT = Waktu perambatan pada pias (day). Perhitungan untuk

kedalaman

Laju Pertumbuhan Lokal Spesifik Alga

Laju pertumbuhan lokal spesifik alga adalah suatu fungsi dari

ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan, cahaya dan temperatur. SWAT pertama-

tama menghitung laju pertumbuhan pada suhu 20 C dan menyesuaikan laju

pertumbuhan dengan suhu air. User dapat menggunakan tiga pilihan untuk

menghitung dampak/pengaruh nutrien dan cahaya pada pertumbuhan:

kecenderungan bertambah (multiplikasi), nutrien terbatas, dan rata-rata

harmoni.

Option multiplikasi menggandakan faktor pertumbuhan untuk cahaya,

nitrogen dan fosfor secara bersama-sama untuk menentukan efek bersihnya

pada laju pertumbuhan alga lokal. Option ini memiliki dasar biologis dalam efek

multiplikasi dari proses enzym yang terlibat dalam proses fotosintesis :

(4.76)

dimana :

a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),

max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),

FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,

FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan

FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.

Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.

Option nutrien terbatas menghitung laju pertumbuhan alga yang dibatasi

oleh cahaya dan baik nitrogen maupun fosfor. Nutrien/efek cahaya adalah

multiplikatif, sedangkan nutrien/efek nutrien adalah bergantian. Laju

pertumbuhan alga dikontrol oleh nutrien dengan faktor batas pertumbuhan yang

lebih kecil. Pendekatan ini menirukan hukum Liebig untuk perhitungan minimum

:

(4.77)

48

Page 49: Monitoring t ingkat mari njeglek

dimana :

a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),

max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),

FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,

FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan

FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.

Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.

Laju pertumbuhan alga dikontrol dengan hubungan multiplikatif antara

cahaya dan nutrien, sementara nutrien/interaksi nutrien dipresentasikan dengan

rata-rata harmonik.

(4.78)

dimana :

a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),

max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),

FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,

FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan

FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.

Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.

Perhitungan dari faktor batas pertumbuhan terhadap cahaya, nitrogen

dan fosfor direview dalam section berikutnya.

- Faktor Batas Pertumbuhan Alga terhadap Cahaya.

Angka dari hubungan matematis antara fotosintesis dan cahaya telah

dikembangkan. Semua hubungan menunjukkan penambahan tingkat

fotosintesis dengan peningkatan intensitas cahaya sampai batas maksimum

atau nilai kejenuhan. Faktor pembatasan pertumbuhan terhadap cahaya

dihitung menggunakan metode kejenuhan separuh Monod. Pada option ini,

faktor batas pertumbuhan terhadap cahaya didefinisikan dengan persamaan

Monod :

(4.79)

49

Page 50: Monitoring t ingkat mari njeglek

dimana :

FLz = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya pada

kedalaman z,

Iphosyn,z = Intensitas cahaya fotosintesis aktif pada kedalaman z di bawah

permukaan air (MJ/m2-hr), dan

KL = sKoefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr).

Intensitas cahaya fotosintesis aktif adalah radiasi dengan panjang

gelombang antara 400 sampai 700 mm. Koefisien kekeruhan separuh untuk

cahaya didefinisikan sebagai intensitas cahaya dimana tingkat pertumbuhan

alga adalah 50% dari tingkat pertumbuhan maksimum. Koefisien kekeruhan

separuh untuk cahaya ditentukan oleh user.

Fotosintesis diasumsikan terjadi di seluruh kedalaman kolom air. Variasi

dari intensitas cahaya dengan kedalaman didefinisikan dengan hukum Beer :

(4.80)

dimana :

Iphosyn,z = Intensitas cahaya fotosintesis aktif pada kedalaman z di bawah

permukaan air (MJ/m2-hr),

Iphosyn,hr = Radiasi solar fotosintesis aktif yang mencapai

tanah/permukaan air selama jam tertentu dalam satu hari

(MJ/m2-hr),

kl = Koefisien pemadaman cahaya (m-1), dan

z = Kedalaman dari permukaan air (m).

Dengan mensubstitusikan persamaan 4.80 ke dalam persamaan 4.79 dan

menggabungkannya kembali dengan kedalaman aliran didapatkan :

(4.81)

dimana :

FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya pada

kedalaman kolom air,

50

Page 51: Monitoring t ingkat mari njeglek

KL = Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr),

Iphosyn,hr = Radiasi solar fotosintesis aktif yang mencapai

tanah/permukaan air selama jam tertentu dalam satu hari

(MJ/m2-hr),

kl = Koefisien pemadaman cahaya (m-1), dan

depth = Kedalaman air dalam saluran (m).

Radiasi solar fotosintesiss aktif dihitung dengan :

(4.82)

dimana :

Ihr = Radiasi solar yang mencapai dasar selama jam tertentu pada

hari simulasi (MJ m-2-h-1), dan

frphosyn = Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif.

Untuk simulasi harian, nilai rata-rata dari faktor peredaman pertumbuhan

alga terhadap cahaya yang dihitung kembali untuk siang hari harus digunakan.

Ini dihitung menggunakan bentuk modifikasi dari persamaan 4.81 :

(4.83)

dimana :

frDL = Fraksi dari jam siang hari,

Iphosyn,hr = Intensitas cahaya fotosintesis aktif rata-rata pada siang hari

(MJ/m2-hr)

Fraksi dari jam siang hari dihitung dengan :

(4.84)

Dimana TDL adalah panjang hari (hr). Iphosyn,hr dihitung dengan :

51

Page 52: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.85)

dimana :

frphosyn = Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif,

Hday = Radiasi solar yang mencapai permukaan air pada hari tertentu

(MJ/m2), dan

TDL = Panjang hari (hr).

Koefisien pemadaman cahaya, kl, dihitung sebagai fungsi dari kerapatan

alga menggunakan persamaan nonlinier :

(4.86)

dimana :

kl,0 = Bagian non-alga dari koefisien peredaman cahaya (m-1),

kl,1 = Koefisien linear bayangan sendiri dari alga (m-1 (g-chla/L)-2/3),

kl,2 = Koefisien non linear bayangan sendiri dari alga (m-1

(g-chla/L)-2/3),

0 = Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga (g chla/mg alg)

dan

algae = Konsentrasi biomassa alga (mg alg/L).

Persamaan 4.86 mengijinkan hubungan antara varietas alga, bayangan

sendiri, dan pemadaman cahaya untuk dimodelkan. Jika kl,1 = kl,2 = 0, tidak ada

bayangan sendiri alga yang disimulasikan. Jika kl,1 0 dan kl,2 = 0, model

bayangan sendiri alga adalah linier. Jika k l,1 dan kl,2 diset dengan nilai selain 0,

model bayangan sendiri alga adalah nonlinier. Persaman Riley (Bowie et

al,1985) menentukan kl,1 = 0,0088 m-1 (g-chla/L)-1 dan kl,2 = 0,054 m-1 (g-

chla/L)-1.

- Faktor Batas Pertumbuhan Alga untuk Nitrogen

52

Page 53: Monitoring t ingkat mari njeglek

Faktor batas pertumbuhan alga untuk nitrogen didefinisikan dengan

pernyataan Monod. Alga diasumsikan menggunakan ammonia dan nitrat

sebagai sumber nitrogen inorganik.

(4.87)

dimana :

FN = Faktor batas pertumbuhan alga untuk nitrogen,

CN03 = Konsentrasi nitrat pada pias (mg N/L),

CNH4 = Konsentrasi ammonium pada pias (mg N/L), dan

KN = Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk

nitrogen (mg N/L).

Faktor batas pertumbuhan alga untuk fosfor juga didefinisikan dengan

pernyataan Monod.

(4.88)

dimana :

FP = Faktor batas pertumbuhan alga untuk fosfor,

CsolP = Konsentrasi larutan fosfor pada pias (mg P/L), dan

KP = Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk fosfor

(mg P/L).

Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk nitrogen dan

fosfor menentukan konsentrasi dari N atau P dimana pertumbuhan alga dibatasi

sampai dengan 50% dari tingkat pertumbuhan maksimum. User diijinkan untuk

menentukan sendiri nilai-nilai ini. Rentang nilai yang biasa dipergunakan untuk

KN adalah dari 0,01 sampai 0,30 mg N/L sementara KP akan berkisar antara

0,001 sampai 0,05 mg P/L.

53

Page 54: Monitoring t ingkat mari njeglek

Jika laju pertumbuhan alga pada suhu 20 C telah dihitung, koefisien

disesuaikan dengan efek temperatur menggunakan tipe formulasi Streeter-

Phelps :

(4.89)

dimana :

a = Laju pertumbuhan spesifik lokal alga (day-1),

a,20 = Laju pertumbuhan spesifik lokal alga pada suhu 20 C (day-1),

dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Laju Respirasi Lokal pada Alga

Laju respirasi pada alga menunjukkan efek bersih dari tiga proses:

respirasi alga yang dihasilkan oleh tubuh, konversi dari fosfor alga ke fosfor

organik, dan konversi dari nitrogen alga ke nitrogen organik. User menentukan

laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C. Laju respirasi tersebut ditambahkan

pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

(4.90)

dimana :

a = Laju respirasi lokal alga (day-1),

a,20 = Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Laju Pengendapan Lokal Alga

Laju pengendapan lokal alga dianggap mewakili pemindahan bersih alga

sehubungan dengan proses pengendapan itu sendiri. User menentukan laju

pengendapan lokal alga pada suhu 20 C. Laju pengendapan tersebut

ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

54

Page 55: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.91)

dimana :

1 = Laju pengendapan lokal alga (m/day),

1,20 = Laju pengendapan lokal alga pada suhu 20 C (m/day), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Tabel 4.6 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Pertumbuhan Alga

Variabel Definisi Nama File

AI00 ; Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga (g chla/mg alg)

.wwq

MUMAXmax ; Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),

.wwq

K_LKL ; Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr),

.wwq

TFACTfrphosyn ; Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif

.wwq

LAMBDA0kl,0 ; Bagian non-alga dari koefisien peredaman cahaya (m-1),

.wwq

LAMBDA1kl,1 ; Koefisien linear bayangan sendiri dari alga (m-1 (g-chla/L)-2/3),

.wwq

LAMBDA2kl,2 ; Koefisien non linear bayangan sendiri dari alga (m-1 (g-chla/L)-2/3),

.wwq

K_NKN ; Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk nitrogen (mg N/L).

.wwq

K_PKP ; Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk fosfor (mg P/L).

.wwq

RHOQa,20 ; Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1),

.wwq

RS11,20 = Laju pengendapan lokal alga pada suhu 20 C (m/day)

.swq

55

Page 56: Monitoring t ingkat mari njeglek

4.2.2.10 DAUR NITROGEN

Pada air aerobik, terjadi suatu perubahan bentuk (transformasi) bertahap

dari nitrogen organik menjadi ammonia, menjadi nitrit, dan akhirnya menjadi

nitrat. Nitrogen organik dapat juga dipindahkan dari sungai melalui

pengendapan. Sub bab ini merangkum persamaan yang digunakan untuk

mensimulasi daur nitrogen di sungai.

Nitrogen Organik

Besarnya nitrogen organik di sungai dapat meningkat karena konversi

dari nitrogen biomassa alga menjadi nitrogen organik. Konsentrasi nitrogen

organik di sungai dapat berkurang karena konversi dari nitrogen organik

menjadi NH4+ atau pengendapan dari nitrogen organik bersama sedimen.

Perubahan dari nitrogen organik dalam satu hari adalah :

(4.92)

dimana :

orgNstr = Perubahan konsentrasi nitrogen organik (mg N/L),

1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg

biomass),

a = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),

algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),

N,3 = Konstanta tingkat hidrolisa dari nitrogen organik menjadi

nitrogen ammonia (koefisien laju oksidasi ammnonia) (day-1),

orgNstr = Konsentrasi nitrogen organik pada awal hari (mg N/L),

4 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik (day-1), dan

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen ditentukan oleh user.

Persamaan 4.90 mendeskripsikan perhitungan dari tingkat respirasi lokal dari

alga.

User menentukan konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi

NH4+ pada suhu 20 C. Laju hidrolisa dari nitrogen organik ditambahkan pada

temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

56

Page 57: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.93)

dimana :

N,3 = Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+

(day-1),

N,3,20 = Konstanta laju hidrolisa lokal dari nitrogen organik menjadi

NH4+ pada suhu 20 C (day-1), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

User menentukan koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada

suhu 20 C. Laju pengendapan nitrogen organik ditambahkan pada temperatur

air lokal menggunakan hubungan berikut :

(4.94)

dimana :

4 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik (day-1),

4,20 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada suhu 20 C

(day-1), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).

Ammonia

Besarnya jumlah ammonia (NH4+) pada sungai dapat meningkat karena

mineralisasi dari nitrogen organik dan difusi dari amonia dari sedimen di dasar

sungai. Konsentrasi amonia di sungai dapat menurun karena konversi dari NH4+

menjadi NO-2 atau penyerapan NH4

+ oleh alga. Perubahan kadar amonia dalam

satu hari dihitung dengan :

(4.95)

dimana :

57

Page 58: Monitoring t ingkat mari njeglek

NH4str = Perubahan konsentrasi amonia (mg N/L),

N,3 = Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+

(day-1),

orgNstr = Konsentrasi nitrogen organik di awal hari (mg N/L),

N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),

NH4str = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),

3 = Laju benthos/sedimen untuk amonia (mg N/m2-day),

depth = Kedalaman air pada saluran (m),

frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,

1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg

biomass),

a = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),

algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+ dihitung

dengan persamaan 4.93.

Konstanta laju oksidasi biologi nitrogen amonia akan berubah sebagai

fungsi dari konsentrasi oksigen in-stream dan temperatur. Konstanta laju

tersebut dihitung dengan :

(4.96)

dimana :

N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),

N,1,20 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia pada suhu

20 C (day-1),

Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

Syarat kedua dari sisi kanan persamaan 4.96, , adalah faktor

koreksi penghambatan nitrifikasi. Faktor ini menghambat proses nitrifikasi pada

konsentrasi oksigen terlarut rendah.

58

Page 59: Monitoring t ingkat mari njeglek

User menentukan laju sumber sedimen amonia pada suhu 20 C. Laju

sumber sedimen nitrogen amonia ditambahkan pada temperatur air lokal

menggunakan hubungan berikut :

(4.97)

dimana :

3 = Laju benthos/sedimen untuk amonia (mg N/m2-day),

3,20 = Laju benthos/sedimen untuk nitrogen amonia pada suhu 20 C

(mg N/m2-day), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

Fraksi nitrogen alga yang terambil dari kolam amonia dihitung dengan :

(4.98)

dimana :

frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,

fNH4 = Faktor kecenderungan nitrogen amonia,

NH4str = Konsentrasi amonia di sungai (mg N/L), dan

NO3str = Konsentrasi nitrat di sungai (mg N/L).

Nitrit

Besarnya jumlah nitrit (NO-2) di sungai dapat meningkat karena konversi

dari NH4+ menjadi NO-

2 dan menurun karena konversi dari NO-2 menjadi NO-

3.

Konversi dari NO-2 menjadi NO-

3 terjadi lebih cepat dari konversi dari NH4+

menjadi NO-2, sehingga jumlah nitrit yang ada di sungai biasanya sangat kecil.

Perubahan kadar nitrit dalam satu hari dihitung dengan:

(4.99)

dimana :

NO2str = Perubahan konsentrasi nitrit (mg N/L),

N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),

59

Page 60: Monitoring t ingkat mari njeglek

NH4str = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),

N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),

NO2str = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), dan

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

Konstanta laju oksidasi biologi lokal dari nitrogen amonia dihitung

dengan persamaan 4.96. Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat

akan berubah sebagai fungsi dari konsentrasi oksigen in-stream dan

temperatur. Konstanta laju tersebut dihitung dengan :

(4.100)

dimana :

N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),

N,2,20 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat pada

suhu 20 C (day-1),

Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

Syarat kedua dari sisi kanan persamaan 4.100, ,

adalah faktor koreksi penghambatan nitrifikasi. Faktor ini menghambat proses

nitrifikasi pada konsentrasi oksigen terlarut rendah.

Nitrat

Besarnya jumlah nitrat di sungai dapat meningkat karena oksidasi NO-2.

Konsentrasi nitrat di sungai dapat berkurang karena pengambilan NO-3 oleh

alga. Perubahan kadar nitrat dalam satu hari dihitung dengan :

(4.101)

dimana :

NO3str = Perubahan konsentrasi nitrat (mg N/L),

N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),

NO2str = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L),

frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,

60

Page 61: Monitoring t ingkat mari njeglek

1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg

biomass),

a = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),

algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

Tabel 4.7 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Pertumbuhan Alga

Variabel Definisi Nama File

AI1 1; Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg biomass)

.wwq

RHOQa,20 ; Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1),

.wwq

BC3N,3,20 ; Konstanta laju hidrolisa lokal dari nitrogen organik menjadi NH4+ pada suhu 20 C (day-1),

.swq

RS44,20;Koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada suhu 20 C (day-1),

.swq

BC1N,1,20 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia pada suhu 20 C (day-1),

.swq

RS33,20;Laju benthos/sedimen untuk nitrogen amonia pada suhu 20 C (mg N/m2-day),

.swq

P_NfNH4 ; Faktor kecenderungan nitrogen amonia,

.wwq

BC2N,2,20 ; Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat pada suhu 20 C (day-1),

.swq

4.2.2.11 Daur Fosfor

Daur fosfor serupa dengan daur nitrogen. Pembusukan alga

menyebabkan perubahan bentuk (transformasi) dari fosfor alga menjadi fosfor

61

Page 62: Monitoring t ingkat mari njeglek

organik. Fosfor organik dimineralisasi menjadi fosfor terlarut yang tersedia

untuk pengambilan oleh alga. Fosfor organik juga dapat dipindahkan dari

sungai melalui pengendapan. Bagian ini merangkum persamaan yang

digunakan untuk mensimulasi daur fosfor di sungai.

Fosfor Organik

Besarnya jumlah dari fosfor organik di sungai dapat meningkat karena

konversi dari fosfor biomasssa alga menjadi fosfor organik. Konsentrasi fosfor

organik di sungai dapat menurun karena konversi dari fosfor organik menjadi

fosfor inorganik terlarut atau pengendapan dari fosfor organik oleh sedimen.

Perubahan kadar fosfor organik dalam satu hari dihitung dengan :

(4.102)

dimana :

orgPstr = Perubahan konsentrasi fosfor (mg N/L),

2 = Fraksi dari biomassa alga yaitu fosfor (mg N/mg alg biomass),

a = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),

algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),

P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),

orgPstr = Konsentrasi fosfor organik di awal hari (mg P/L),

5 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik (day-1), dan

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

User diharuskan untuk menentukan konstanta laju mineralisasi lokal dari

fosfor organik pada suhu 20 C. Laju mineralisasi fosfor organik ditambahkan

pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

(4.103)

dimana :

P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),

P,4,20 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik pada suhu 20 C

(day-1), dan

62

Page 63: Monitoring t ingkat mari njeglek

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

User diharuskan untuk menentukan konstanta laju pengendapan lokal

dari fosfor organik pada suhu 20 C. Laju pengendapan fosfor organik

ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

(4.104)

dimana :

5 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik (day-1),

5,20 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik pada suhu 20 C

(day-1),

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

Inorganik/Fosfor Terlarut

Besarnya jumlah dari fosfor inorganik terlarut di sungai dapat meningkat

karena mineralisasi fosfor organik dan difusi dari fosfor inorganik dari sedimen

di dasar sungai. Konsentrasi dari fosfor terlarut dapat berkurang karena

pengambilan P inorganik oleh alga. Perubahan dari kadar fosfor terlarut dalam

satu hari dihitung dengan :

(4.105)

dimana :

solPstr = Perubahan konsentrasi fosfor terlarut (mg N/L),

P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),

orgPstr = Konsentrasi fosfor organik di awal hari (mg P/L),

2 = Laju sumber sedimen untuk P terlarut (mg P/m2-day),

depth = Kedalaman air di saluran (m),

2 = Fraksi dari biomassa alga yaitu fosfor (mg P/mg alg biomass),

a = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),

algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

63

Page 64: Monitoring t ingkat mari njeglek

. User diharuskan untuk menentukan konstanta sumber sedimen untuk P

terlarut pada suhu 20 C. Konstanta sumber sedimen untuk P terlarut

ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

(4.106)

dimana :

2 = Laju sumber sedimen untuk P terlarut (mg P/m2-day),

2,20 = Laju sumber sedimen untuk P terlarut terlarut pada suhu 20 C

(mg P/m2-day), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

Tabel 4.8 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Perubahan

Konsentrasi Fosfor

4.2.2.12 Carbonaceous Biological Oxygen Demand

Carbonaceous oxygen demand (CBOD) dari air adalah besarnya

oksigen yang dibutuhkan untuk menyusun ulang material organik dalam air.

CBOD ditambahkan di sungai bersama dengan pemuatan dari limpasan

permukaan atau ujung sumber. Di dalam sungai, dua proses dimodelkan yang

mempengaruhi level CBOD, yang keduanya berfungsi untuk mengurangi

carbonaceous oxygen demand ketika air bergerak menuju downstream.

Perubahan kadar CBOD di dalam sungai dalam satu hari dihitung dengan :

64

Page 65: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.107)

dimana :

cbod = Perubahan kadar konsentrasi CBOD (mg CBOD/L),

k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1),

cbod = Konsentrasi carbonaceous oxygen demand (mg CBOD/L),

k3 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD (day-1), dan

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

User diharuskan untuk menentukan laju deoksigenasi carbonaceous

pada suhu 20 C. Laju deoksigenasi CBOD ditambahkan pada temperatur air

lokal menggunakan hubungan berikut :

(4.108)

dimana :

k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1),

k1,20 = Laju deoksigenasi CBOD pada suhu 20 C (day-1), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

User diharuskan untuk menentukan laju kehilangan akibat pengendapan

dari CBOD pada suhu 20 C. Laju kehilangan akibat pengendapan ditambahkan

pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

(4.109)

dimana :

k3 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD (day-1),

k3,20 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD pada suhu

20 C (day-1), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

Tabel 4.9 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Kadar

Konsentrasi CBOD

65

Page 66: Monitoring t ingkat mari njeglek

4.2.2.13 Oksigen

Konsentrasi oksigen terlarut yang cukup adalah suatu kebutuhan

mendasar untuk ekosistem akuatik yang sehat. Konsentrasi oksigen terlarut di

sungai adalah suatu fungsi dari reareasi atmosfir, fotosintesis, respirasi

tanaman dan hewan, kebutuhan sedimen, BOD, nitrifikasi, salinitas dan

temperatur. Perubahan kadar konsentrasi oksigen terlarut dalam satu hari

dihitung dengan :

(4.110)

dimana :

Oxstr = Perubahan kadar konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/L),

k2 = Laju aerasi untuk difusi Fickian (day-1),

Oxsat = Konsentrasi oksigen saturasi (mg O2/L),

Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L),

3 = Laju produksi oksigen per unit dari fotosintesa alga (mg O2/mg

alg),

a = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),

algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),

k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1),

cbod = Konsentrasi carbonaceous oxygen demand (mg CBOD/L),

k4 = Laju kebutuhan oksigen sedimen (mg O2/(m2.day)),

depth = Kedalaman air dalam saluran (m),

5 = Laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NH4+ (mg O2/mg

N),

N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),

NH4str = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),

66

Page 67: Monitoring t ingkat mari njeglek

6 = Laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NO-2 (mg O2/mg

N),

N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),

NO2st = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), dan

TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).

User menentukan laju produksi oksigen per unit fotosintesa alga, laju

oksigen yang ditangkap respirasi alga per unit, laju oksigen yang ditangkap per

unit oksidasi NH4+, laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NO-2.

Konstanta laju oksidasi biologi dari NH4+ dihitung dengan persamaan

4.96 sedangkan konstanta laju oksidasi NO-2 dihitung dengan persamaan

4.100. Laju deoksigenasi CBOD dihitung dengan persamaan 4.108.

User diharuskan untuk menentukan kebutuhan oksigen sedimen pada

suhu 20 C. Kebutuhan oksigen sedimen ditambahkan pada temperatur air lokal

menggunakan hubungan berikut :

(4.111)

dimana :

k4 = Laju kebutuhan oksigen sedimen (mg O2/(m2.day)),

k4,20 = Laju kebutuhan oksigen sedimen pada suhu 20 C

(mg O2/(m2.day)), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

Konsentrasi Kejenuhan Oksigen

Besarnya jumlah dari oksigen yang dapat larut dalam air adalah fungsi

dari temperatur, konsentrasi zat padat terlarut, dan tekanan atmosfir. Suatu

persamaan yang dikembangkan oleh APHA (1985) digunakan untuk

menghitung konsentrasi kejenuhan oksigen terlarut:

67

Page 68: Monitoring t ingkat mari njeglek

(4.112)

dimana :

Oxsat = Konsentrasi kejenuhan oksigen seimbang pada 1,00 atm (mg

O2/L),

Twat,K = Temperatur air dalam Kelvin (273,15 + C).

Reaerasi

Reaerasi terjadi dari difusi oksigen dari atmosfir ke dalam sungai dan

oleh pencampuran air dan udara yang terjadi selama aliran turbulen.

Reaerasi oleh Difusi Fickian

Pengguna menentukan laju reaerasi pada suhu 20 C. Laju reaerasi

ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :

(4.113)

dimana :

k2 = Laju reaerasi (day-1),

k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1), dan

Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).

Metode numerus telah dikembangkan untuk menghitung laju reaerasi pada

suhu 20 C, k2,20. Beberapa metode diantaranya ada di bawah ini. Brown dan

Barnwell (1987) memberikan beberapa metode tambahan.

Dengan menggunakan pengukuran, Churchill, Elmore dan Buckingham

(1962) menjabarkan hubungan berikut :

(4.114)

dimana :

68

Page 69: Monitoring t ingkat mari njeglek

k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),

vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan

depth = Kedalaman rata-rata sungai (m).

O’Connor dan Dobbins (1958) mengembangkan karakteristik aliran

sungai turbulen menjadi suatu persamaan. Untuk sungai dengan kecepatan

aliran rendah dan kondisi isotropik, berlaku

(4.115)

dimana :

k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),

Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day),

vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan

depth = Kedalaman rata-rata sungai (m).

Untuk sungai dengan kecepatan aliran tinggi dan kondisi non isotropik

berlaku:

(4.116)

dimana :

k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),

Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day),

slp = Kemiringan dasar sungai (m/m), dan

depth = Kedalaman rata-rata sungai (m).

Koefisien difusi molekuler dihitung dengan persamaan:

(4.117)

dimana :

Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day), dan

Twater = Temperatur air rata-rata (C).

Owens et al. (1964) mengembangkan suatu persamaan untuk

menentukan laju aerasi daerah dangkal, aliran bergerak cepat dimana

69

Page 70: Monitoring t ingkat mari njeglek

kedalaman sungai adalah antara 0,1 sampai 3,4 m dan kecepatannya berkisar

antara 0,03 sampai 1,5 m/s.

(4.118)

dimana :

k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),

vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan

depth = Kedalaman rata-rata sungai (m).

Reaerasi Oleh Aliran Turbulen Pada Dam

Reaerasi akan terjadi jika air jatuh melewati suatu dam, bendung atau

struktur bangunan lain di sungai. Untuk mensimulasi bentuk reaerasi ini,

sebuah ‘struktur’ garis perintah ditambahkan pada file konfigurasi watershed

(.fig) pada setiap titik sepanjang sungai dimana aliran melewati suatu bangunan

terjadi.

Besarnya jumlah dari reaerasi yang terjadi adalah fungsi dari defisit

oksigen di atas struktur bangunan dan koefisien reaerasi:

(4.119)

dimana :

Oxstr = Perubahan konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/L),

Da = Defisit oksigen di atas bangunan (mg O2/L),

Db = Defisit oksigen di bawah bangunan (mg O2/L), dan

rea = Koefisien reaerasi.

Defisit oksigen di atas bangunan, Da dihitung dengan:

(4.120)

dimana :

Oxsat = Konsentrasi oksigen jenuh seimbang (mg O2/L), dan

70

Page 71: Monitoring t ingkat mari njeglek

Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L).

Butts dan Evans (1983) mendokumentasikan hubungan berikut yang

dapat digunakan untuk menentukan koefisien reaerasi:

(4.121)

dimana :

rea = Koefisien reaerasi,

coefa = Faktor empiris kualitas air,

coefb = Koefisien aerasi dam empiris,

hfall = Tinggi air jatuh (m), dan

Twater = Temperatur air rata-rata (C).

Faktor empiris kualitas air ditunjukkan dengan nilai yang didasarkan

pada kondisi sungai:

coefa = 1,80 pada air bersih

coefa = 1,60 pada air terpolusi sebagian

coefa = 1,00 pada air terpolusi sedang

coefa = 0,65 pada air terpolusi berat

Koefisien aerasi dam empiris ditunjukkan dengan nilai yang didasarkan

pada kondisi sungai:

coefb = 0,70 sampai 0,90 untuk bidang puncak bendung datar

coefb = 1,05 untuk puncak bendung tajam dengan kemiringan

permukaan lurus

coefb = 0,80 untuk puncak bendung tajam dengan permukaan vertikal

coefb = 0,05 untuk sluice gate dengan debit tenggelam

Tabel 4.10 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Konsentrasi

Oksigen

71

Page 72: Monitoring t ingkat mari njeglek

4.2.3 Pola Penyebaran Polutan di Waduk

4.2.3.1 Nutrients In Water Bodies

SWAT menggunakan suatu model empiris sederhana untuk

memprediksikan status tropis dari badan air. Untuk studi yang membutuhkan

model detail dari kualitas air danau, SWAT telah dihubungkan untuk

mendistribusikan model kualitas air danau seperti WASP.

SWAT menentukan empat tipe badan air yang berbeda: kolam, daerah

basah, Badan Air dan pothole. Proses nutrien yang dimodelkan di dalam kolam,

daerah basah, dan Badan Air adalah serupa. Proses nutrien belum dapat

dimodelkan di dalam potholes.

4.2.3.2 Transformasi Nutrien

Ketika menghitung transformasi nutrien di dalam badan air, SWAT

mengasumsikan sistem sebagai sistem campuran. Dalam suatu sistem

campuran, ketika sedimen memasuki badan air maka akan secara langsung

terdistribusi di seluruh volume. Asumsi dari suatu sistem campuran komleks

tersebut mengabaikan stratifikasi danau dan intensifikasi dari phytoplankton di

dalam epilimnion.

Jumlah nitrogen dan fosfor mula-mula dalam badan air dalam satu hari

dihitung dengan menjumlahkan massa nutrien yang masuk ke dalam badan air

pada hari tersebut dengan massa nutrien yang sudah ada di dalam badan air.

(4.122)

dimana :

Minitial = Massa nutrien mula-mula dalam badan air pada satu hari (kg),

72

Page 73: Monitoring t ingkat mari njeglek

Mstored = Massa nutrien dalam badan air pada akhir hari sebelumnya

(kg),

Mflowin = Massa nutrien yang ditambahkan dalam badan air pada hari

tersebut (kg).

Dengan cara yang sama, volume air mula-mula dalam badan air dihitung

dengan menjumlahkan volume air yang masuk ke dalam badan air pada hari

tersebut dengan volume yang telah ada di dalam badan air sebelumnya.

(4.123)

dimana :

Vinitial = Volume air mula-mula dalam badan air pada satu hari (m3

H2O),

Vstored = Volume air dalam badan air pada akhir hari sebelumnya (m3

H2O),

Vflowin = Volume air yang masuk ke dalam badan air pada hari tersebut

(m3 H2O).

Konsentrasi nurien mula-mula dalam badan air dihitung dengan

membagi massa nutrien mula-mula dengan volume air mula-mula.

Transformasi nutrien yang disimulasikan pada kolam, daerah basah dan

Badan Air dibatasi pada perpindahan nutrien karena pengendapan.

Transformasi antara kolam nutrien (contohnya NO3 NO2 NH4) dianggap

diabaikan.

Kehilangan karena pengendapan dalam badan air dapat ditunjukkan

sebagai suatu fluks dari massa memanjang area permukaan dari pengaruh

sedimen-air (Gambar 4.13) (Chapra, 1997).

73

Page 74: Monitoring t ingkat mari njeglek

Gambar 4.13 Kehilangan karena Pengendapan dalam Badan Air sebagai suatu Fluks dari Massa Memanjang Area Permukaan dari Pengaruh

Sedimen-Air

Massa nutrien yang hilang karena pengendapan dihitung dengan

mengalikan fluks pada area permukaan air-sedimen.

(4.124)

dimana :

Msettling = Massa nutrien yang hilang karena pengendapan dalam satu

hari (kg),

v = Kecepatan pengendapan nyata (m/day),

As = Area dari permukaan air-sedimen (m2),

c = Konsentrasi nutrien mula-mula dalam air (kg/m3 H2O), dan

dt = Panjang jangka waktu ( 1 day).

Kecepatan pengendapan disebut ‘nyata’ karena mewakili efek bersih dari

proses berbeda yang membawa nutrien ke dalam sedimen dari badan air.

Badan air diasumsikan memiliki kedalaman air seragam dan area dari

permukaan air-sedimen adalah ekuivalen dengan area permukaan dari badan

air.

Kecepatan pengendapan nyata biasanya paling banyak ditulis dalam

satuan m/tahun dan inilah caranya nilai dimasukkan ke dalam model. Untuk

danau natural, kecepatan pengendapan fosfor terukur paling banyak

berfrekuensi jatuh antara 5 sampai 20 m/tahun meskipun nilainya kurang dari

1m/tahun sampai lebih dari 200 m/tahun sudah pernah ditulis (Chapra,1997).

Panuska dan Robertson (1999) mencatat bahwa rentangan nilai kecepatan

pengendapan nyata untuk Badan Air buatan manusia cenderung secara

signifikan lebih besar daripada danau natural. Higgins dan Kim (1981) menulis

bahwa kecepatan pengendapan nyata fosfor berkisar antara -90 sampai 269

m/tahun untuk 18 Badan Air di Tennessee dengan nilai tengah 42,2 m/tahun.

Untuk 27 Badan Air Midwestern, Walker dan Kiihner (1978) menulis bahwa

kecepatan pengendapan nyata fosfor berkisar antara -1 sampai 125 m/tahun

dengan nilai rata-rata 12,7 m/tahun. Kecepatan pengendapan negatif

mengindikasikan bahwa sedimen pada Badan Air adalah sumber dari N atau P;

74

Page 75: Monitoring t ingkat mari njeglek

kecepatan pengendapan positif mengindikasikan bahwa sedimen pada Badan

Air adalah endapan dari N atau P.

Angka inflow dan properti bendungan lainnya mempengaruhi kecepatan

pengendapan nyata pada badan air. Faktor penting utama termasuk bentuk

fosfor di dalam inflow (terlarut atau terurai) dan fraksi terurai dari kecepatan

pengendapan. Di dalam bendungan, kedalaman rata-rata, pelepasan potensial

untuk resuspensi sedimen dan fosfor dari sedimen akan mempengaruhi

kecepatan pengendapan nyata (Panuska dan Robertson, 1999). Badan air

dengan pelepasan fosfor internal tinggi cenderung memiliki daya tahan fosfor

lebih lemah dan kecepatan pengendapan nyata fosfor yang lebih rendah

daripada badan air dengan pelepasan fosfor internal rendah (Nurnberg,1984).

Tabel 4.11 meringkas kisaran ciri-ciri kecepatan pengendapan fosfor untuk

sistem-sistem yang berbeda.

Tabel 4.11 Rekomendasi Nilai Kecepatan Pengendapan Nyata untuk Fosfor

SWAT memasukkan variabel yang berkenaan dengan pengendapan

nutrien pada pond, daerah basah dan Badan Air seperti dalam tabel 4.11.

Model tersebut mengijinkan user untuk menentukan dua laju pengendapan

untuk setiap nutrien dan waktu selama sepanjang tahun dimana laju

pengendapan yang digunakan. Laju pengendapan yang bervariasi juga diijinkan

sehingga efek dari temperatur dan faktor musim lainnya dapat dihitung dalam

model dari pengendapan nutrien. Untuk menggunakan hanya satu laju

pengendapan selama sepanjang tahun, kedua variabel untuk nutrien dapat

diset pada angka yang sama. Membuat semua variabel menjadi angka nol akan

menyebabkan model tersebut mengabaikn pengendapan nutrien dalam badan

air.

Setelah kehilangan nutrien dalam badan air ditemukan, konsentrasi akhir

dari nutrien dalam badan air dapat dihitung dengan membagi massa akhir

nutrien dengan volume air mula-mula. Konsentrasi nutrien pada outflow dari

badan air adalah ekuivalen dengan konsentrasi akhir dari nutrien pada badan

75

Page 76: Monitoring t ingkat mari njeglek

air pada hari tersebut. Massa nutrien pada outflow dihitung dengan mengalikan

konsentrasi nutrien dalam badan air dengan volume air yang meninggalkan

badan air pada hari tersebut.

76

Page 77: Monitoring t ingkat mari njeglek

Tabel 4.12 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk mengontrol Pengendapan

pada Kolam, Daerah Basah dan Badan Air

4.2.3.3 Keseimbangan Total

Dengan mengasumsikan bahwa volume air pada badan air adalah tetap

sepanjang waktu, proses yang telah dijelaskan di atas (inflow, pengendapan,

outflow) dapat dikombinasikan ke dalam persamaan massa seimbang berikut

untuk badan air tercampur:

(4.125)

dimana :

V = Volume sistem (m3 H2O),

c = Konsentrasi nutrien dalam sistem (kg/m3 H2O),

dt = Panjang jangka waktu (1 day),

77

Page 78: Monitoring t ingkat mari njeglek

W(t) = Jumlah nutrien yang masuk ke dalam badan air sepanjang hari

(kg/day),

Q = Debit aliran air yang keluar dari badan air (m3 H2O/day),

v = Kecepatan pengendapan nyata (m/day), dan As adalah luas

area dari permukaan sedimen-air (m2)

4.2.3.4 Eutrofikasi

Di bawah kondisi cahaya dan temperatur yang menguntungkan, jumlah

berlebih dari nutrien dalam air akan dapat meningkatkan pertumbuhan alga dan

tanaman lainnya. Akibat dari pertumbuhan ini adalah peningkatan dari laju

eutrofikasi, yang merupakan proses ekologi alami dari perubahan lingkungan

minim-nutrien menjadi kaya-nutrien. Eutrofikasi didefinisikan sebagai proses

dimana suatu badan air menjadi kaya akan nutrien terlarut (seperti phospat)

yang menstimulasi pertumbuhan dari kehidupan tanaman akuatik, biasanya

menyebabkan menipisnya oksigen terlarut (Merriam-Webster,Inc., 1996).

Pengayaan nutrien dari air bergerak dan danau adalah suatu akibat

normal dari pelapukan tanah dan proses erosi. Evolusi bertahap dari danau Ice

Age menjadi rawa, dan akhirnya tanah organik adalah suatu hasil dari

eutrofikasi. Bagaimanapun juga, proses ini dapat dipercepat oleh debit buangan

yang mengandung nutrien berlevel tinggi di dalam danau atau sungai. Salah

satu contoh adalah danau Erie, yang diperkirakan memiliki umur ekuivalen 150

tahun alami dalam 15-tahun rentangan percepatan eutrofikasi.

Pertumbuhan tanaman berlebih yang disebabkan oleh eutrofikasi yang

dipercepat dapat membuat kemunduran air. Kemunduran ini disebabkan oleh

peningkatan BOD oleh pembusukan tanaman sisa. Akibat dari peningkatan

BOD ini adalah kecenderungan terhadap kondisi anaerobik dan

ketidakmampuan dari badan air untuk mendukung ikan dan organisme aerobik

lainnya.

Nitrogen, karbon dan fosfor merupakan faktor penting dalam

pertumbuhan biota akuatik. Mengingat kesulitan dari mengontrol perubahan

nitrogen dan karbon di antara atmosfir dan air dan fiksasi dari nitrogen atmosfir

oleh sekelompok alga biru-hijau, dicoba untuk mengurangi eutrofikasi fokus

78

Page 79: Monitoring t ingkat mari njeglek

pada input fosfor. Dalam suatu sistem air bersih, fosfor seringkali merupakan

elemen tak hingga. Dengan mengontrol penambahan fosfor, percepatan

eutrofikasi pada air danau dapat dikurangi.

Di dalam sistem dimana fosfor adalah unsur penting, kontrol batas

nutrien dalam eutrofikasi badan air, jumlah fosfor yang ada dalam badan air

dapat digunakan untuk menentukan jumlah eutrofikasi yang ada dalam badan

air.

Korelasi Fosfor/Chlorophyll

Suatu hasil persamaan bilangan empiris telah dikembangkan untuk

menghitung level chlorophyl a sebagai suatu fungsi dari konsentrasi fosfor total.

SWAT menggunakan suatu persamaan yang dikembangkan oleh Rast dan Lee

(1978) untuk menghitung konsentrasi chlorophyl a dalam badan air.

(4.126)

dimana :

Chla = Konsentrasi chlorophyl a (g/L), dan

= Konsentrasi total fosfor (g/L).

Persamaan tersebut telah dimodifikasi untuk memasukkan koefisien

yang ditentukan oleh user:

(4.127)

Koefisien yang ditentukan user, Chlaco, ditambahkan untuk membiarkan

user menyesuaikan prediksi konsentrasi chlorophyl a untuk batas nutrien yang

berbeda dengan fosfor. Ketika Chlaco diset menjadi 1,00, Persamaan 4.127

adalah ekuivalen dengan Persamaan 4.126. Untuk sebagian besar badan air,

persamaan aslinya sudah mencukupi.

Korelasi Chlorophyll /Secchi-Disk

Kedalaman secchi-disk adalah ukuran lain dari status tropis pada badan

air. Kedalaman secchi-disk menentukan kejernihan air, suatu atribut yang

79

Page 80: Monitoring t ingkat mari njeglek

biasanya diserap oleh publik umum. Kedalaman secchi-disk dapat dihitung dari

level chlorophyl a menggunakan persamaan (Chapra,1997):

(4.128)

dimana :

SD = Kedalaman secchi-disk (m) dan

Chla = Konsentrasi chlorophyl a (g/L).

Untuk menggabungkan dengan SWAT, Persamaan 4.128 dimodifikasi

untuk memasukkan koefisien-user:

(4.129)

Koefisien-user, SDco, ditambahkan untuk mengijinkan user menyesuaikan

prediksi kedalaman secchi-disk sebagai pengaruh dari sedimen melayang dan

bahan terurai lainnya pada kejernihan air yang diabaikan oleh persamaan

orisinilnya. Ketika SDco diset menjadi 1,00, persamaan 4.129 adalah ekuivalen

dengan persamaan 4.128. Untuk sebagian besar badan air, persamaan aslinya

sudah mencukupi.

Sementara evaluasi dari kualitas air oleh pengukuran kedalaman secchi-

disk adalah hasil subjektif, beberapa korelasi umum antara kedalaman secchi-

disk dan persepsi publik mengenai kualitas air telah dihasilkan. Salah satu

korelasi yang dibuat untuk Danau Annebessacook di Maine (EPA,1980)

diberikan dalam Tabel 4.13.

Tabel 4.13 Hubungan antara Kedalaman Secchi-Disk dan Persepsi Publik

Mengenai Kualitas Air

80

Page 81: Monitoring t ingkat mari njeglek

Tabel 4.14 Variabel yang Dibutuhkan SWAT yang Mempengaruhi Perhitungan

Eutrofikasi pada Kolam, Daerah Basah and Badan Air

81

Page 82: Monitoring t ingkat mari njeglek

V. METHODE PENELITIAN

Untuk melaksanakan penyelesaian studi ini diperlukan landasan teori

yang baik dan benar, kemudian harus diikuti dengan validnya data yang

diperoleh baik secara langsung maupun secara tidak langsung, dan didukung

dengan personil yang memang ahli pada bidangnya, sehingga hasil analisa dan

desain rencana dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk memperoleh hasil yang optimal, maka studi penelitiaan ini berusaha

melakukan pendekatan dan Metodologi sebagai berikut :

5.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada studi ini menggunakan metode survei, yaitu

perolehan data dilakukan dengan cara langsung dikumpulkan dari sumber

pertama (data primer) dan dari instansi terkait atau secara tidak langsung (data

sekunder).

Data yang dikumpulkan pada dasarnya terdiri dari data spasial atau ruang

dan data non spasial ataupun poin yang menggambarkan kondisi kajian dan

karakteristik DAS Kali Konto Otlet Waduk Selorejo.

1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui pengambilan/pengukuran langsung di

lapangan berupa sampel air untuk dilakukan analisis dilaboratorium.

Teknik yang dilakukan untuk pengambilan sampel air tersebut dilakukan

pada titik-titik pertemuan sungai dan waduk selorejo.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data dasar yang diperlukan untuk analisa model.

Adapun jenis data sekunder yang dibutuhkan adalah :

1. Data curah hujan mulai 1990 – 2005,

2. Data jenis tanah tahun 2004

3. Peta topografi Bakosurtanal skala 1 : 25000

4. Peta Tataguna Lahan Skala 1 : 25000.

5. Data klimatologi, meliputi data temperatur udara, kelembapan relatif udara,

kecepatan angin dan radiasi sinar matahari. Data ini dapat diperoleh dari

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

6. Data peta jaringan sungai

82

Page 83: Monitoring t ingkat mari njeglek

7. Data pertanian meliputi :

a. Data rencana Tata Tanam Global (RTTG) tahun 2002/2003 dan

2004/2005

b. Data jenis pupuk. Jenis pupuk yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Urea, SP36, KCL dan ZA (sesuai dengan rekomendasi Dinas

Pertanian Propinsi Jawa Timur dan pemakaian yang dilakukan petani

pada umumnya).

c. Data jadwal pemberian pupuk. Jadwal pemberian pupuk ini disesuaikan

dengan tanaman masing-masing, mulai dari pengolahan lahan, irigasi,

pemupukan sampai dengan masa panen.

5.2 Metode Analisis

Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis dan mengevaluasi

terhadap kandungan polutan nutrien, adalah dengan metode simulasi

pemodelan yaitu AVSWAT2000.

Hasil simulasi akan dibandingkan dengan standart baku mutu air yang

dikeluarkan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

199 tanggal 5 Juni 1990.

5.3 Metode Simulasi Pemodelan AVSWAT2000

AVSWAT 2000 merupakan pengembangan dari ekstensi model program

ArcView GIS yang digabungkan dengan model program SWAT (Soil And Water

Assessment Tool) sebagai model simulasinya (Arnold et all, 1998). SWAT

dibuat untuk tujuan mensimulasikan/memprediksi dampak manajemen

penggunaan lahan yang diantaranya air, sedimen, unsur kimia dari lahan

pertanian dalam jumlah besar dan dalam periode waktu tertentu.

Model AVSWAT 2000 ini, telah benyak digunakan untuk berbagai studi

pengelolaan DAS yaitu diantaranya :

a. TMDL Sungai Bosque Propinsi Erath Texas, yaitu analisa tentang prediksi

jumlah sedimen, nitrogen, dan unsur phospor yang akan tertampung di

Waduk Waco dari berbagai sumber : pembuangan limbah dari perusahaan

industri susu, limbah hasil pengolahan pertanian, daerah

83

Page 84: Monitoring t ingkat mari njeglek

pemukiman/perkotaan, dengan metode perhitungannya menggunakan

metode simulasi dan analisa.

b. TMDL Sungai Poteau Oklahoma Arkansas. Studi ini berisikan pekerjaan

meliputi menentukan jumlah sedimen, nitrogen, phospor yang akan

tertampung di Waduk Wister dan kandungan oksigen, temperatur, alga, dan

CBOD pada aliran sungai. Dalam skenario perhitungannya juga meliputi

besarnya hasil limbah peternakan unggas.

c. Nilai DDT di wilayah DAS Sungai Yakima, Washington. SWAT digunakan

untuk mensimulasikan kondisi eksisting dan kedepan tentang besar

konsentrasi sedimen yang terkontaminasi oleh DDT di Sungai Yakima

tersebut.

d. Kantor EPA urusan pestisida telah mengevaluasi dengan menggunakan

model AVSWAT untuk menganalisa tingkat pemakaian Peptisida.

Model program SWAT ini dalam simulasi perhitungan tentang kejadian

hidrologi maupun hidrolik pada suatu DAS, yaitu menggunakan konsep dasar

kesetimbangan air/Water ballance. Untuk tingkat keakuratan hasil : penyebaran

pestisida, sedimen atau nutrient, siklus hidrologi, simulasi dari model haruslah

memiliki kesesuaian dengan kondisi yang terjadi dilapangan.

Simulasi hidrologi pada suatu areal Daerah Pengaliran Sungai, secara

umum dapat dibagi menjadi 3 pokok bahasan, yaitu :

(1) Siklus hidrologi untuk fase di lahan

(2) Siklus hidrologi untuk fase di sungai

(3) Siklus hidrologi untuk fase di waduk

Langkah pengerjaan pemodelan ini disajikan seperti pada Gambar 5.1 :

5.4 Kalibrasi dan Verifikasi

Pengertian kalibrasi dalam kamus umum adalah suatu tanda-tanda yang

menyatakan pembagian skala atau suatu proses peneraan, sedangkan

verivikasi adalah pemeriksaan atau pembuktian kebenaran suatu laporan.

Dalam kaitan dengan studi ini, yang dimaksud dengan kalibrasi dan verifikasi

adalah pengecekan tentang satuan-satuan yang dipakai dalam model

AVSWAT2000 dan mencocokkan hasil running dengan hasil pengukuran dan

84

Page 85: Monitoring t ingkat mari njeglek

data-data sekunder langsung di lapangan, sehingga diperoleh kesesuaian dan

validitas hasil pemodelan terhadap hasil lapangan dan laboratorium.

Mengingat bahwa model ini merupakan hasil penelitian dari suatu lembaga

riset amerika, maka untuk mendapatkan hasil model yang sesuai dengan

kondisi di lapangan khususnya di DAS Kali Koto Outlet Waduk selorejo, maka

harus dilakukan kalibrasi hasil model dengan hasil pengukuran lapangan dan

laboratorium.

Jika terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai Polutan hasil

pengukuran lapangan an laboratorium dengan hasil model, maka terlebih

dahulu dilakukan pengecekan parameter-parameter yang dipakai dalam model

sebagai data masukan, yaitu berupa hubungan antara jenis tataguna ahan

dengan koefisien yang dipakai dan hubungan antara tekstu tanah dengan nilai

komponen tanah.

85

Page 86: Monitoring t ingkat mari njeglek

Gambar 5.1 Diagram alir kerja model AVSWAT 2000

86

Mulai

PetaTopografi

Data Hidrologidan Peta

Stasiun Hujan

Peta Lokasi sumberPolutan

dan Data-dataKeluaran Limbah

Peta JenisTanah dan

TabelParametern

ya

Peta TatagunaLahan dan

TabelParameternya

Pengolahan DEM

PenggambaranBatas DPS dan

Sub DPS

PembangunanJaringan Sungai /Stream Net Work

PenggambaranBatas-batas

Polygon TatagunaLahan

Pembuatan TabelParameter DataBase Polygon

tataguna Lahan

PenggambaranBatas-batas

Polygon JenisTanah

Pembuatan TabelParameter DataBase PolygonJenis Tanah

Pembuatan TabelParameter DataBase Keluaran

Limbah

Pembuatan TabelParameter Data

Base Hirologi

DATA INPUTMODEL AVSWAT

2000

SIMULASIMODEL AVSWAT

2000

SimulasiLimpasan

Permukaan

SimulasiPenyebaran

Polutan

SimulsiTransport

sedimen Sungai

Simulasi ErosiLahan

Lahan

N Organik : Nitrogen Organik P Organik :Phospor Organik NO3 (Nitrat) transport masuk Sungai

melalui Proses Limpasan Phospor transport masuk Sungai melalui

Proses Limpasan Mineral Phospor transport yang terbawa

olrhj aliran sedimen

Aliran sungai

N Organik Transport (kg N) P Organik Transport (kg P) NO3/Nitrat Transport (kg N) NH4/Amonium transport (kg N) NO2/Nitrite transport (kg N) Mineral Phospor transport(kg P) Alga Biomas transport (kg) BOD/COD (kg O2) DO (kg O2) Peptisida Transport (mg)

Selesai

Page 87: Monitoring t ingkat mari njeglek

LAMPIRAN I RENCANA ANGGARAN BIAYA

Rekapitulasi Rencana Anggaran BiayaNo.

UraianJumlah Harga

(Rp) I. BIAYA LANGSUNG PERSONIL             1.1.

Ketua 2,400,000

1.2.

Anggota 1,260,000

1.3.

Surveyor  

        120,000

  Sub Total Biaya Langsung

Personil 3,780,000

II. BIAYA LANGSUNG NON PERSONIL          

 

2.1.

Perjalanan Dinas 180,000

2.2.

Pekerjaan Survei Dan Investigasi 1,315,000

2.3.

Pengumpulan Data 2,050,000

2.4

Operasional Kantor 1,950,000

87

Page 88: Monitoring t ingkat mari njeglek

. 2.5.

Pelaporan  

450,000

Sub Total Biaya Langsung Non Personil 5,945,000 Total Harga 9,725,000

Terbilang : Sembilan Juta Tujuh Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah

 

I. ANGGARAN BIAYA LANGSUNG PERSONIL

No

Pelaksanaan

Jumlah Pelaksa

na

Jumlah Jam/Minggu

Jumlah Minggu

Honor/jam Biaya (Rp)

1 Ketua 1 10 24 Rp 10,000.00

Rp 2,400,000.00

2 Anggota 1 15 24 Rp 3,500.00 Rp 1,260,000.00

3 Surveyor 2 4 1 Rp 15,000.00

Rp 120,000.00

Total Biaya Rp 3,780,000.00

88

Page 89: Monitoring t ingkat mari njeglek

89

II. ANGGARAN BIAYA TIDAK LANGSUNG

Jumlah Waktu Harga Satuan Jumlah Harga(Bulan/Kali) (Rp) (Rp)

2.1. Perjalanan Dinas1 KETUA 1 6 15,000 90,000 2 ANGGOTA 1 6 15,000 90,000

180,000 2.2. Pekerjaan Survei Dan Investigasi

6 Akomodasi Surveiyor 2 1 Minggu 47,500 665,000 7 Dokumentasi 1 1 100,000 100,000 9 Sewa GPS 2 1 Minggu 25,000 350,000

13 Bahan Alat-alat Bantu 1 1 200,000 200,000 1,315,000

2.3. Pengumpulan Data1 Pengumpulan Data Peta Prasarana Kota 1 1 100,000 100,000 2 Pengumpulan Data Jenis Tanah 1 1 100,000 100,000 3 Pengumpulan Data Hidrologi 1 1 100,000 100,000 4 Peta Tataguna Lahan Bakosurtanal (1 :25000) 3 1 250,000 750,000 5 Pengujian Laboratorium 1 1 1,000,000 1,000,000

2,050,000 2.4. Operasional Kantor

2 Sewa Komputer 1 6 100,000 600,000 3 Sewa Printer 1 6 150,000 900,000 4 Bahan/ATK 1 6 50,000 300,000 5 Komunikasi 1 6 25,000 150,000

1,950,000 2.5. Pelaporan

4 Laporan Akhir (10 eks.) 6 75,000 450,000 450,000

5,945,000

No. Uraian (Org./Ls./Unit/Eks)

Sub Total

Sub Total

Sub Total

Sub Total

Sub TotalTotal Biaya Langsung Non Personil

Page 90: Monitoring t ingkat mari njeglek

LAMPIRAN III BIOGRAFI PENELITI

KETUA PENELITIAN1. Nama : Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE

2. Tempat/ tanggal lahir : Blitar, 12 Juni 1947

3. Alamat Tempat Tinggal : Jl. Teluk Kumai no.8 Malang No. Telp.

(0341) 493 612 ' No. HP 08123314983

4. Alamat Kantor : Jl MT Haryono 167 Malang

No. Telp : 0341-553286

No. Fax. : 0341-551430

5. Pangkat Dan Jabatan Akademik :

a. Pangkat : Pembina Utama Muda/ IVc

b. Jabatan Akademik : Lektor Kepala

6. Bidang Keahlian Utama : Pengembangan Sumber Daya Air

7. Bidang Keahlian Penunjang:

a. Environment Hydraulic

b. Transportasi Sedimen

c. Waduk, Bendungan

8. Unit Kerja : Teknik Pengairan, Fakultas Teknik,

Universitas Brawijaya

Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang

Telepon : 0341 575954

Fax : 0341 575954

Email : [email protected]

9. Pendidikan Akademik

A. Jenjang Pendidikan Akademik

pernah ditempuh

(S 1 s/d S3)

Lokasi Studi

Tahun Studi (Awal -Akhir)

Gelar Bidang Ilmu

1. S1UNIBRAW MALANG

1967-1977 Ir Teknik Sipil

2. DiplomaIHE Delft Belanda

1980-1981 Dipl. HE.Hydraulic Structure

3.S3UNIBRAW Malang

2001-2006 DrTeknik Sumber

Daya Air

90

Page 91: Monitoring t ingkat mari njeglek

B. Pendidikan Gelar Terakhir : S3

a. Judul Disertasi : Model Aliran Polutan di Sungai Brantas

Tengah

b. Promotor : Prof. Dr. In Soemarno, MS.

Bidang Keahlian: Teknik Sumber Daya Air

c. Ko - Promotor : 1. Prof. Dr. In Chandrawati Cahyani, MS.

Bidang Keahlian: Kimia

2. Ir. Agus Suharyanto, M. Eng., Ph. D.

Bidang Keahlian: Sistem Informasi

Geografis

9. Pengalaman Pekerjaan

A. Pengalaman dalam jabatan AdministrasiBirokrasi/Struktural

No Nama Jabatan Masa Bakti Institusi

1

Staf Pengajar Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang

1978-sekarang

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

2Sekretaris Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya 1979-1980

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

3Ketua Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

1985-1986 dan 1986-

1990

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

4Anggota Senat Fakultas Teknik dan Universitas Brawijaya 1990-2001

Universitas Brawijaya Malang

B. Pengalaman dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran

B.1 Perkuliahan

No. Judul Mata kuliahTahun/

SemesterInstitusi/PS/FAK/PT

1. Konstruksi Bendungan I ganjil Teknik Pen airan2. Konstruksi Bendungan II genap Teknik Pen airan3. Transportasi Sedimen genap Teknik Pen airan4. Praktikum Hidrolika ganjil Teknik Pengairan

91

Page 92: Monitoring t ingkat mari njeglek

B2. Pembimbing Karya Ilmiah Skri si Sl

No. Judul Karya Ilmiah Tahun Institusi

1

Kesesuaian Penggunaan Bilangan Terjun pada Perencanaan Bangunan Terjun Tegak Miring (Uji Titik Pada Perencanaan Saluran Terbuka)

2001

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

2

Kajian Penempatan Sill Terhadap Hilir Bangunan Terjun Tegak (Uji Model Fisik di Laboratorium Hidrolika Saluran Terbuka)

2001

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

3

Analisa Agradasi dan Degradasi (Alterasi Dasar) pada Saluran Alluvial Dengan Menggunakan Metode Numerik

2002

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

4

Pengaruh Kemiringan Sudut Pemasangan Plat Settler Terhadap Efektifitas Pengendapan Sedimen Pada Bak Pengendap Tipe Settler Zigzag Horisontal

2002

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

5Studi Perencanaan Tubuh Bendungan Pelaparado di Kabupaten Bima NTB

2002

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

6Studi Perencanaan Kontruksi Bangunan Pelimpah Embung Kab. Magetan Jawa Timur

2003

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

7

Studi Perencanaan Bangunan Pengendali Sedimen di Kali Bajulmati Guna Mengurangi Sedimen Pada Waduk Bajulmati di Kabupaten Banyuwangi

2003

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

8

Pemodelan Aliran Polutan (BOD, DO, TSS) Sebagai Parameter Kualitas Air di Sungai Brantas Tengah

2003

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

9

Pemodelan Aliran Polutan di Sungai Brantas Tengah KB 159-KB 125 (Jembatan Ngujang Tulungagung-Bendung Mrican Kediri) Sebagai Salah Satu Parameter Kualitas Air

2003

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

10

Pemodelan Aliran Polutan Sebagai Parameter Kualitas Air di Sungai Brantas Tengah Dari Kotamadya Kediri - Kabupaten Nganjuk

2003

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

11

Pemodelan Aliran Polutan Sebagai Parameter Kualitas Air di Sungai Brantas Tengah Antara Bendung Gerak Mrican-Bendung Karet

2003

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

92

Page 93: Monitoring t ingkat mari njeglek

Jatimlerek

No. Judul Karya Ilmiah Tahun Institusi

12

Kajian Pengaruh penggunaan Pupuk Anorganik yang Mengandung Unsur P (Phosfat), S (Sulfat) terhadap Kualitas Air Irigasi di Daerah Irigasi Kedung Kandang

2004

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

13

Studi Tentang Profil Tirai Luapan Bawah Pada Ambang Tajam Dengan Uji Model Fisik Sebagai Dasar Perencanaan Muara Tipe Ogee

2004

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

14Studi Optimasi Pola Operesi Waduk Pondok Untuk Irigasi

2004

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

15

Prediksi Kandungan Parameter Kualitas Air (Nitrogen dan Phospor) Dengan Menggunakan Software S.LG. Auswat 2000 (Studi Kasus Brantas Tengah Bagian Hulu)

2005

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

16

Prediksi Kandungan Parameter Kualitas Air (Nitrogen dan Phospor) Dengan Menggunakan Software S.LG. Auswat 2000 (Studi Kasus Brantas Tengah Bagian Hilir)

2005

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

17

Studi Evaluasi Pemberian Air Irigasi Dan Pola Operasinya Pada Daerah Irigasi Waduk Pondok Di Kabupaten Ngawi

2005

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

18Studi Perencanaan bangunan Pelimpah Embung Kertasari Kab. Pasuruan Jawa Timur

2005

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

19

Kajian Penanggulangan Genangan Dengan Pemasangan Pompa di Desa Rejoso Kab. Pasuruan Jawa Timur

2005

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

20

Pengaruh Penambahan End Sill Pada Bangunan Postive Step Terhadap Kondisi Loncatan Hidrolik dan Aliran Air Di Hilir Sluice Gate

2006

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

21Studi Perencanaan Bangunan Utama Embung Janorejo di Kab. Tuban

2006

Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

93

Page 94: Monitoring t ingkat mari njeglek

C. Pengalaman Bidang Penelitian

No. Judul Penelitian Tahun1. Penelitian Model Hidraulika Bendungan Blega, -2. Penelitian Model Hidraulika Bendungan Wonorejo 1982

3. Penelitian Model Hidraulika Sungai Dengan SistemAutoscouring

1983

4. Penelitian Pertanian Lahan Kering di Pasuruan 1985

5.Penelitian Aplikasi Program Qual-2E Untuk Mengevaluasi Kualitas Aliran Sungai Brantas BagianTengah

-

Malang, 20 Februari 2007 Yang Menyatakan,

Dr. In Aniek Masrevaniah, Dip1.HE.NIP. 130 682 591

94

Page 95: Monitoring t ingkat mari njeglek

ANGGOTA PENELITI1. Nama : Bambang Pari Purwanto, ST

2. Tempat/ tanggal lahir : Malang, 2 Agustus 1980

3. Alamat Tempat Tinggal : Jl. Saturnus 11 A, Tlogomas Malang, No.

Telp : 0341-571005

4. Bidang Keahlian /Minat : Analisa Hidrologi Pemodelan,

Pengembangan Sumber Daya Air

5. Bidang Keahlian Penunjang:

a. Analisa Pemodelan Hidrolika Menggunakan Hec-RAS 3.01, SMS 8.1,

b. Pengolahan Data GIS

c. Analisa Pemodelan GIS Hydro

6. Pendidikan Akademik

A. Jenjang Pendidikan Akademik

pernah ditempuh

(S 1 s/d S3)

Lokasi Studi

Tahun Studi (Awal -Akhir)

Gelar Bidang Ilmu

1. S1UNIBRAW MALANG

1998 - 2003 STTeknik

Pengairan

2. S2UNIBRAW MALANG

Sedang Berjalan -Teknik Sumber

Daya Air

B. Pendidikan Gelar Terakhir : S1

a. Judul Skripsi : Evaluasi Saluran Drainase Villa Puncak

Bukit Tidar Terhadap Faktor Erosi

b. Pembibing I : Ir. Agus Suharyanto, M. Eng., Ph. D. Bidang

Keahlian: Sistem Informasi Geografis

c. Pembibing II : Dian Sisinggih ST, MT

Keahlian: Environment Hydraulic

95

Page 96: Monitoring t ingkat mari njeglek

7. Pengalaman Bidang Penelitian

No. Judul Penelitian Tahun

1.

Konservasi Air Sebagai Landasan Dalam Perencanaan Ruang (Studi Kasus Di Das Kali Sumpil), Sebagai Pembantu Penelitian Dr.Ir.H.Mohammad Bisri,MS

2003

2.Studi Konservasi dan Reboisasi Kawasan Arboretum Sumber Brantas

2004

3.Identifikasi Rawan Bencana Kota Batu, Sebagai Anggota Penelitian

2004

4.Penyusunan Sistem Informasi Kualitas Air DAS Brantas Hulu, Sebagai Anggota Penelitian

2005

5.Model Aliran Polutan Di Sungai Brantas Tengah Sebagai Anggota Penelitian, Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE

2006

6.Pola Sebaran Polutan DPS Brantas Hulu Wilayah Administrasi Kota Batu Akibat Pengolahan Lahan Pertanian, Ketua Penelitian

2006

7.Studi Daya Dukung dan Monitoring Kualitas Air Danau dan Sungai Tondano, Sebagai Anggota Penelitian

2006

Malang, 2 Juli 2007 Yang Menyatakan,

Bambang Pari Purwanto, ST

96

Page 97: Monitoring t ingkat mari njeglek

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, MB & Basco, Dr.1989.Computational Fluid Dynamics An Introduction For Engineers, Copublishedin the United State wity John Wiley & Sons, INC, New York.

Anggrahini. 1997. Hidrolika Saluran Terbuka. CV Citra Media, Surabaya.

Anonim, Beture Asie in Assosiation with PT Bina Karya. 1996. Development Operation and Maintenance of Water Quality Monitoring Pollution Control System (WQMPCS) and Protection of Water Resources. Final Report. Brantas Third Project.

Anonim. 2002. Laporan Kajian Rencana Peruntukan Sungai, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur.

Aronoff, STAN. 1993. Geographic Information System. A Management Perspective. WDL. Publication Ottawa, Canada

Arnold G.J. Luzio Di M; Srinivasan R. 2002. ArcView Interface for SWAT 2000. Usar’s Manual. Blackland Research & Extension Center Texas Agriculture Experiment Station, Texas.

Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajahmada University Perss. Yogyakarta

Budianto, Eko.2002. Sistem Informasi Geografis menggunakan ArcView GIS. ANDI Yogyakarta.

Barry C, Field. 1997. Environment Economics. The McGrawhill Companies, INC.

Cahyono, M & Yaser Arafat, 2001.Model Numerik Dua Dimensi Vertikal Angkutan Sedimen Kohesif. PIT HATHI 2001 di Malang. Proceeding. Jurusan Teknik Pengairan, Unibraw

Chanson, H. 1993. Stepped Spillways Flows and AirEntrainments. Journal CIV Eng.

Chanson, H. 1993. Self Aerated Flows on Chute and Spillwas. Journal of Hydraulic Engineering

Christ. Fulcher; Prato, Tony & Zhow. 2001. Watershed Management Decision Support System, Internet.

Chow Ven Te; David R; Maidment, Larry W. Mays. 1988. Applied Hydrologi. New York: McGrawhill.

97

Page 98: Monitoring t ingkat mari njeglek

Colosimo. C; G. Mendicino.1996. GIS for Distrbuted Rainfall-Runoff Modeling. Dalam Geographical Information System in Hydrology,195 – 235. diedit oleh Vijay P. Sigh; M, Florentino. Kluwer Academic Publisher, London.

Cornelist B, Vrengdenhil C. 1989.Computational Hydraulics. Springer – Verlag.

Di Luzio M; Srinivasan R; Arnold, J.G; Neitsch S.L. 2001. ArcView Interface for SWAT 2000 – User’s Guide, Grassland, Soil and Water Research Laboratory. USDA Agriculture Research Service. Temple, Texas. Blackland Research and Extension Centre. Texas Agricultural Experiment Station. Temple, Texas. Published 2002 By Texas Water Resources Institute. CollegeStation, Texas,

ftp.brc.tamus.edu/pub/swat.http://www.brc.tamus.edu/swat/.

Djajadiningrat, Surya T. & Harsono Harry . 1990. Penilaian Secara Cepat Sumber-Sumber Pencemaran Air, Tanah dan Udara..Gajah Mada University. Press.

Douglas B. Moog. 1999. Air Water Gas Transfer in Uniform Channel Flow, Journal of Hydraulic Engineering,

Droste Ronald R. 1997. Theory and Practice of Water and Waste Water Treatment. John Willey & Sons, INC.

Dumairy. 1992. Ekonomika Sumber Daya Air. Pengantar ke Hidrodinamika. BPFE. Yogyakarta.

Glym, Henry & Gary W. 1989. Environmental Science and Engineering. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey 07458.

Gulliver, John S; Hibbs David E; McDonald John P. 1997. Measurement of Effective Saturation Concentration for Gas Tranfer. Journal of Hydraulic Engineering.

Iehisa, Nezu; Akhihiro, Kodota & Hiroji, Nakagawa 1997. Turbulent Structure in Unsteady Depth Varying Open Channel Flows. Journal of Hydraulic Engineering.

INWRDAM 2001. Decision Support System in the Field of Water Resources Planningin Management. Internet.

James A. 1984. An Interoduction to Water Quality Modelling. John Wiley & Sons.

Jansen PPh;Bendegom L Van; Berg J Vanden; Vries Md; Zanen A. 1979. Principle of River Engineering. The Non Tidal Alluvial River. PITMan.

Kraijenhoff DA. 1956. River Flow Modelling and Forecasting. D Reidel Publishing Company, Holland.

Kilgore, L; Jennifer. 1997. Development and Evaluation of A GIS Based Spatially Distributed Unit Hydrograph Model. Virginia Polythechnic Institute.

Melquist P. 1991. River Conservation and Management. John Wiley & Sons.

98

Page 99: Monitoring t ingkat mari njeglek

Metcalf & Eddy, Inc. 1991. Waste Water Engineering Treatment Disposal Reuse. The McGrawhill International Edition.

Michael, Piasechi & Nicolas D; Katopodes 1997. Control of Contaminant Releasein Riviera I: Adjoint Sensitivity Analysis. Journal of Hydraulic Engineering

Mott McDonald Ltd. 2000. Pedoman Pemantauan Kualitas Air. Balai PSDA Jawa Timur

Muzik I. 1996. Lumped Modelling and GIS in Flood Prediction. Dalam Geographical Information System In Hydrology 269 - 301. Diedit oleh Vijay P. Sigh; M. Florentino. Kluwer Academic Publishers, London.

Neitsch, S.L; Arnold J.G.: Kiniry J.R;William J.R.; King K.W.,2002. Soil and Water Assestment Tool Theoritical documentation version 2000. Grassland, Soil and Water Research Laboratory. Agriculture Reaserch Service. Temple. Texas Blackland Research and Extension Centre. Texas Agricultural Experiment Station. Temple, Texas. Published 2002 By Texas Water Resources Institute. CollegeStation, Texas,

ftp.brc.tamus.edu/pub/swat.http://www.brc.tamus.edu/swat/.

Nemerow, Nelson Leonard. 1991. Stream Lake Estuary and Ocean Pollution. Van Nostrand Reinhold, New York.

Prahasta, Eddy. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika Bandung.

Peavy, Howard S;Rowe Donald R and Tchobanologlous, George. 1986. Environment Engineering. Singapore: McGrawhill, INC.

Petersen, Margareth S. 1986. 1986. River Engineering Practice. Hall, Engle. Woud Cliffs, NJ07632

Sole A, Valanzano, A. 1996. Digital Terain Modelling. Dalam Geographical Information System In Hydrology 175 - 194. Diedit oleh Vijay P. Sigh; M. Florentino. Kluwer Academic Publishers, London

Subramanya, K. 1986. Flow in Open Channel. New Delhi: McGrawhill.Sugiarto, 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia,

Jakarta.

Suriati, Armalia& Hatmoko, Waluyo 2001. Pengembangan Sistem Basis Data Kualitas Air Untuk Pengelolaan Sumber Daya Air. PIT HATHI 2001 di Malang. Proceeding Jurusan Pengairan Fakultas Teknik. Unibraw.

Sutamihardja, Dr.RTM. 1986. Studi Pencemaran Air Sungai Kali Brantas, Laporan Akhir. Kerjasama antara Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.

99

Page 100: Monitoring t ingkat mari njeglek

Tarboton, David. 2000, Distributed Modelling in Hydrology Using Digital Data and Geographic Infprmation Systems. Utah Stae University.

Theodole, L.; Philichi & Michael K.;Stenstorm. 1989. Effects of Dissolved OxygenProbe Log on Oxygen Transfer Parameter Estimations. Journal WPCF.

Utomo, Hadi, Wani. 1987. Erosi dan Konservasi Tanah, Communications Soil Science. Unibraw No.23, Universitas Brawijaya, Malang.

Vito A, Vanoni1983. Sedimentation Engineering (terjemahan). Jurusan Teknik Sumber Air. ITB.

Vijay P, Singh & Willy Headwater Hager. 1986. Environment Hydraulics. Kluwer Academic Publisher

Wignyo Sukant, Budi 1986. Hidrolika Numerik. PAU Ilmu Teknik.

100