49
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak keluhan di mana-mana tentang terjadinya global warming. Semua orang seakan mau menghindari bahkan menghapus global warming dari muka bumi. Akan tetapi ucapan dan tindakan mereka tak selaras. Banyak orang ingin kenyamanan tapi tak mau mencarinya. Terutama bagi para perokok, seakan tak memperdulikan akibat yang di timbulkan dari asap rokok. Selain membahayakan diri sendiri, juga membahayakan orang lain serta lingkungan. Ironisnya lagi kebanyakan perokok adalah para remaja yang tingkat emosionalnya masih labil. Sebenarnya para remaja belum siap untuk menghisap asap rokok. Itu dapat di lihat dari cara berfikir dan keadaan hidupnya. Dari keadaan para remaja yang belum mulai bekerja cenderung menjadi individu yang boros dan mengarah ke meminta-minta ke orang tua. Selaian menjadi pribadi yang buruk rokok juga dapat membahayakan kesehatan, bahkan dapat menghambat pertumbuhan. 1

Laporan Penelitian Sosiologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penelitian tentang rokok terhadap remaja

Citation preview

Page 1: Laporan  Penelitian Sosiologi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak keluhan di mana-mana tentang terjadinya global warming. Semua

orang seakan mau menghindari bahkan menghapus global warming dari muka

bumi. Akan tetapi ucapan dan tindakan mereka tak selaras. Banyak orang

ingin kenyamanan tapi tak mau mencarinya.

Terutama bagi para perokok, seakan tak memperdulikan akibat yang di

timbulkan dari asap rokok. Selain membahayakan diri sendiri, juga

membahayakan orang lain serta lingkungan. Ironisnya lagi kebanyakan

perokok adalah para remaja yang tingkat emosionalnya masih labil.

Sebenarnya para remaja belum siap untuk menghisap asap rokok. Itu dapat

di lihat dari cara berfikir dan keadaan hidupnya. Dari keadaan para remaja

yang belum mulai bekerja cenderung menjadi individu yang boros dan

mengarah ke meminta-minta ke orang tua. Selaian menjadi pribadi yang buruk

rokok juga dapat membahayakan kesehatan, bahkan dapat menghambat

pertumbuhan.

Di kalangan masyarakat tradisi rokok sekarang seakan sudah menjadi tren.

Baik dari kalangan anak anak sampai dewasa. Padahal sudah tertera jelas

bahaya akan rokok. Anggapan tentang pergaulan tanpa rokok pun seakan

terasa kuno bermunculan.

Dari keaadaan seperti ini kami sependapat untuk mengangkat “pergaulan

remaja dan rokok”. Untuk mengetahui sejauh mana perjalanan perokok muda.

Serta menginformasikan betapa bahayanya rokok. Agar para remaja memiliki

pilihin untuk tetap merokok atau tak merokok.

1

Page 2: Laporan  Penelitian Sosiologi

B. Rumusan masalah :

1. Bagaimana pengaruh rokok terhadap pergaulan remaja?

2. Apa pengaruh rokok terhadap perilaku remaja?

3. Apa alasan para remaja merokok?

4. Apa alasan para remaja susah berhenti merokok?

C. Tujuan penelitian:

1. Untuk mengetahui pengaruh rokok terhadap pergaulan remaja.

2. Untuk mengetahui pengaruh rokok terhadap perilaku remaja.

3. Untuk mengetahui alasan para remaja merokok.

4. Untuk mengetahui alasan para remaja tidak berhenti merokok.

D. Hipotesis :

1. Rokok berpengaruh terhadap pergaulan remaja.

2. Rokok berpengaruh terhadap perilaku remaja.

3. Para remaja tidak mempunyai alasan yang jelas mengapa mereka

merokok.

E. Manfaat penelitian :

Sebagai referensi untuk para remaja agar tahu hubungan rokok dengan

pergaulan remaja.

2

Page 3: Laporan  Penelitian Sosiologi

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

Para ilmuwan psikologi umumnya sesuai dalam pendapat bahwa pokok

persoalan psikologi adalah perilaku, namun tetap terdapat perbedaan yang

besar sekali dalam pendapat mereka mengenai hal-hal apa saja tepatnya yang

harus dimasukkan ke dalam kategori perilaku tersebut. Dalam pengertian

paling luas, perilaku ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau dialami

seseorang. Ide-ide, impian-impian, reaksi-reaksi kelenjar, lari, menggerakkan

sesuatu, semuanya itu adalah perilaku. Dengan kata lain, perilaku adalah

sebarang respon (reaksi, tanggapan, jawaban, balasan) yang dilakukan oleh

suatu organisme. Sedangkan menurut pengertian yang lebih sempit, perilaku

hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif

(Chaplin, 2005). Hampir sama dengan definisi tersebut, Atkinson dkk (tanpa

tahun) menyatakan bahwa perilaku adalah aktivitas suatu organisme yang

dapat dideteksi. Munculnya perilaku dari organisme ini dipengaruhi oleh

faktor stimulus yang diterima, baik stimulus internal maupun stimulus

eksternal.

Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya

faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok

dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan

sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Sari dkk (2003) menyebutkan

bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap

rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Menurut Ogawa (dalam

Triyanti, 2006) dahulu perilaku merokok disebut sebagai suatu kebiasaan atau

ketagihan, tetapi dewasa ini merokok disebut sebagai tobacco dependency

atau ketergantungan tembakau. Tobacco dependency sendiri dapat

didefinisikan sebagai perlaku penggunaan tembakau yang menetap, biasanya

3

Page 4: Laporan  Penelitian Sosiologi

lebih dari setengah bungkus rokok per hari, dengan adanya tambahan distres

yang disebabkan oleh kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang.

Perilaku merokok dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas subjek yang

berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas

merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari

(Komalasari & Helmi, 2000). Sementara Leventhal & Cleary (1980)

menyatakan bahwa perilaku merokok terbentuk melalui empat tahap, yaitu:

tahap preparation, initiation, becoming a smoker, dan maintenance of

smoking.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok

adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan

pipa atau rokok yang dilakukan secara menetap dan terbentuk melalui empat

tahap, yaitu: tahap preparation, initiation, becoming a smoker, dan

maintenance of smoking.

4

Page 5: Laporan  Penelitian Sosiologi

1. Etiologi Perilaku Merokok Pada Remaja

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai etiologi perilaku merokok pada

remaja, akan dibahas terlebih dahulu definisi remaja. Remaja atau adolescene

berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh

menjadi dewasa.” Istilah ini mencakup kematangan mental, emosional, sosial

dan fisik. Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) secara psikologis masa

remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa.

Masa remaja adalah usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat

orang dewasa melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-

kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai

banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber.

Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi yang khas

dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam

hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang

umum dari periode perkembangan. Monks (1999) membagi masa remaja

menjadi tiga kelompok tahap usia perkembangan, yaitu early adolescence

(remaja awal) yang berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun, middle

adolescence (remaja pertengahan) yang berada pada rentang usia 15 sampai

18 tahun, dan late adolescence (remaja akhir) yang berada pada usia 18

sampai 21 tahun.

5

Page 6: Laporan  Penelitian Sosiologi

Dalam membahas etiologi (penyebab) gangguan penyalahgunaan dan

ketergantungan zat termasuk perilaku merokok, harus dipahami bahwa

seorang individu menjadi tergantung pada zat umumnya melalui suatu proses.

Pertama, orang yang bersangkutan harus mempunyai sikap positif terhadap zat

tersebut, kemudian mulai bereksperimen dengan menggunakannya, mulai

menggunakannya secara teratur, menggunakannya secara berlebihan, dan

terakhir menyalahgunakannya atau menjadi tergantung secara fisik padanya.

Setelah menggunakannya secara berlebihan dalam waktu lama, orang yang

bersangkutan akan terikat oleh proses-proses biologis toleransi dan putus zat

(Davison dkk, 2006). Secara lebih spesifik, Kurt Lewin (dalam Komalasari &

Helmi, 2000) berpendapat bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari

lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-

faktor dari dalam diri juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Berbagai

penelitian di beberapa negara telah dilakukan untuk mengetahui faktor apa

saja yang berperan terhadap perilaku merokok pada remaja. Beberapa

penelitian yang dilakukan terhadap para remaja menghubungkan perilaku

merokok ini dengan etnis (Scragg dkk, 2002), usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan orang tua, perilaku merokok orang tua, jumlah uang saku

(Rachiotis dkk, 2008; Paavola dkk, 2004), perilaku merokok teman (Siziya

dkk, 2007), dan intensitas melihat iklan rokok (Siziya dkk, 2008; López dkk,

2004). Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor yang berperan dalam

perilaku merokok pada remaja:

2. Faktor Individu

6

Page 7: Laporan  Penelitian Sosiologi

Erik H. Erikson (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menyatakan bahwa

keputusan seorang remaja untuk merokok berkaitan dengan adanya krisis

aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya, yaitu masa

mencari identitas diri seperti usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa

perannya dalam masyarakat. Dalam masa remaja ini, sering dilukiskan sebagai

masa badai dan topan karena ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan

sosial. Tugas utama seorang remaja adalah mengintegrasikan berbagai macam

identifikasi yang mereka bawa dari masa kanak-kanak menuju identitas yang

lebih utuh (Miller, 1993). Usaha-usaha untuk menemukan identitas diri

tersebut tidak semuanya berjalan sesuai harapan, oleh karenanya beberapa

remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara kompensatoris.

Di sisi lain, saat pertama kali mengonsumsi rokok, gejala-gejala yang

mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah terasa getir, dan perut mual. Namun

demikian, sebagian dari para pemula tersebut mengabaikan perasaan tersebut,

biasanya berlanjut menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi ketergantungan.

Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang memberikan

kepuasan psikologis. Gejala ini dapat dijelaskan dari konsep tobacco

dependency (ketergantungan rokok). Artinya, perilaku merokok merupakan

perilaku yang menyenangkan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat

obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin adalah adiktif, jika dihentikan secara

tiba-tiba akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Secara manusiawi, orang

cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan lebih senang

mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai kenikmatan sehingga

dapat dipahami jika para perokok sulit untuk berhenti merokok (Komalasari &

Helmi, 2000).

7

Page 8: Laporan  Penelitian Sosiologi

Selain karena krisis psikososial dan kepuasan psikologis, perilaku

merokok pada remaja juga dapat timbul karena pengaruh emosi yang

menyebabkan seorang individu mencari relaksasi. Merokok dianggap dapat

memudahkan berkonsentrasi, memperoleh pengalaman yang menyenangkan,

relaksasi, dan mengurangi ketegangan atau stres (Aritonang dalam Komalasari

& Helmi, 2000). Saat ini para remaja menghadapi berbagai tuntutan, harapan,

resiko-resiko, dan godaan-godaan yang nampaknya lebih banyak dan

kompleks daripada yang dihadapi para remaja generasi sebelumnya. Semua ini

sangat berpotensi menyebabkan remaja merasa tertekan dan stres. Remaja

yang mengalami stres ini sangat mungkin mengembangkan perilaku merokok

sebagai suatu cara untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena

kurangnya perkembangan ketrampilan menghadapi masalah secara kompeten

dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Santrock, 2002). Hal ini

sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KuIS)

terhadap 3.040 remaja di Jakarta yang menghasilkan temuan bahwa perilaku

merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan

tertinggi, yakni 54,59 persen.

8

Page 9: Laporan  Penelitian Sosiologi

Keterhubungan antara perilaku merokok dan stres telah diteliti oleh para

ahli sejak tiga dekade yang lalu. Fink (2007) mencatat bahwa terdapat

beberapa penemuan yang mengindikasikan bahwa secara klinis dan teoritis

memang terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku merokok, stres,

dan coping. Individu dengan masalah psikiatri seperti gangguan major

depressive, berbagai macam gangguan kecemasan, schizophrenia, gangguan

kepribadian antisosial, dan individu dengan trait kepribadian tertentu yang

menyebabkan mereka lebih sering mengalami distres pribadi lebih mungkin

untuk merokok. Contohnya, trait kepribadian neuroticism (kecenderungan

umum untuk mengalami perasaan negatif dan stres) ternyata berhubungan

dengan tingginya prevalensi perilaku merokok. Beberapa hasil penelitian

terhadap keluarga, saudara kembar, dan molekul genetis memperlihatkan

bahwa faktor genetis memainkan peran penting dalam perilaku merokok dan

respon terhadap stres. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terdapat banyak

gen yang berperan ganda, mempengaruhi seorang individu untuk merokok dan

membuat seorang individu cenderung mengembangkan trait kepribadian dan

gangguan psikiatri yang berhubungan dengan stres. Perilaku merokok juga

seringkali digunakan sebagai cara untuk mengatasi stres meskipun merokok

bukanlah cara coping yang sehat atau menguntungkan (Wills & Cleary dalam

Davison, 2006). Seorang mantan perokok seringkali memutuskan untuk mulai

merokok lagi ketika mereka mengalami stres karena kebanyakan perokok

telah belajar bahwa merokok merupakan cara untuk mengurangi stres

(Brandon, 2000). Hal ini berarti bahwa perilaku merokok akan terjadi dan

akan dialami sebagai sebuah ganjaran (reward) bagi para perokok (Fink,

2007).

3. Faktor Lingkungan

9

Page 10: Laporan  Penelitian Sosiologi

Bandura dalam teori social learning berasumsi bahwa perilaku dan sistem

nilai seorang remaja terbentuk oleh sekumpulan interaksi yang kompleks

antara hubungan-hubungan sosial interpersonal. Perilaku bermasalah pada

remaja, termasuk merokok, merupakan hasil interaksi antara variabel

interpersonal seperti kepribadian, sikap, dan perilaku, dengan sistem

lingkungan, termasuk lingkungan keluarga dan teman sebaya (Jessor & Jessor

dalam Richardson dkk, 2002).

Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur keluarga, riwayat, pola

hubungan orang tua-anak, pola asuh, dan perilaku merokok orang tua. Struktur

keluarga memainkan peran yang cukup signifikan dalam hal ini, misalnya

dalam sebuah penelitian terungkap bahwa perceraian orang tua meningkatkan

resiko perilaku ini (Gil dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Di samping

struktur keluarga, riwayat keluarga juga memainkan peran yang tidak kalah

pentingnya. Keluarga dengan riwayat perilaku kejam, penyia-nyiaan, dan

pengabaian berkontribusi terhadap pemakaian dan penyalahgunaan zat pada

remaja, termasuk perilaku merokok. Pola interaksi dan hubungan dalam

sebuah keluarga merupakan faktor yang juga berkontribusi terhadap perilaku

merokok, misalnya dalam keluarga dengan tingkat peraturan dan pengawasan

yang lebih ketat akan menurunkan tingkat perilaku merokok secara signifikan

(Guo dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Pola asuh adalah faktor lain yang

mempengaruhi perilaku merokok. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan

bahwa perilaku merokok berhubungan dengan pola asuh permisif dan

rendahnya tingkat kelekatan. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu

menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok orang tua mempunyai

pengaruh yang kuat terhadap perilaku merokok remaja. Conrad, Flay, dan Hill

(dalam Richardson dkk, 2002) menemukan bahwa 7 dari 13 penelitian yang

direview, perilaku merokok orang tua secara signifikan menjadi prediktor

munculnya perilaku merokok pada usia remaja.

10

Page 11: Laporan  Penelitian Sosiologi

Perilaku merokok juga dapat disebabkan oleh pengaruh kelompok sebaya

(peer group). Kelompok sebaya seringkali menjadi faktor utama dalam

masalah penggunaan zat oleh remaja (Richardson dkk, 2002). Selama masa

remaja, seorang individu mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan

teman sebayanya daripada dengan orang tua. Hal ini berarti bahwa teman

sebaya mempunyai peran yang sangat berarti bagi remaja, karena masa

tersebut remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai bergabung

pada kelompok sebaya. Kebutuhan untuk diterima sering kali membuat remaja

berbuat apa saja agar dapat diterima kelompoknya dan terbebas dari sebutan

“pengecut” dan “banci” (Komalasari & Helmi, 2000). Memiliki teman-teman

yang merokok memprediksi kebiasaan merokok pada seorang individu

(Davison dkk, 2006). Sikap teman sebaya terhadap penggunaan berbagai zat

termasuk nikotin dapat mempengaruhi individu untuk menggunakan zat

tersebut. Dalam sebuah penelitian longitudinal ditemukan bahwa para pemuda

New York yang pernah berhubungan dengan teman sebaya yang merokok atau

memakai mariyuana lebih mungkin untuk memakai mariyuana dalam rentang

kehidupan mereka (Brook dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Harlianti

(dalam Komalasari & Helmi, 2000) menemukan bahwa lingkungan sebaya

memberikan sumbangan efektif sebesar 33,048%. Dalam penelitian lain

terungkap bahwa identifikasi kelompok sebaya di kelas 7 memprediksi

kebiasaan merokok di kelas 8. Meskipun pengaruh teman-teman sebaya

adalah penting dalam pengambilan keputusan yang dilakukan para remaja

untuk menggunakan suatu zat, namun mereka yang memiliki rasa efektivitas

diri yang tinggi menjadi kurang terpengaruh oleh teman-teman sebaya mereka.

Para remaja yang memiliki kualitas tersebut setuju dengan pernyataan seperti

“Saya dapat membayangkan diri saya menolak memakai tembakau bersama

pelajar seusia saya dan mereka tetap menyukai saya (Stacy dkk dalam Davison

dkk, 2006).

11

Page 12: Laporan  Penelitian Sosiologi

Di samping karena pengaruh teman sebaya dan lingkungan keluarga,

perilaku merokok juga dapat muncul sebagai akibat dari iklan di media massa.

Iklan rokok di berbagai tempat dan media massa yang saat ini makin

merajalela sangat menarik bagi para remaja (Widiyarso, 2008). Menurut

López dkk (2004), beberapa penelitian telah menghasilkan temuan adanya

hubungan yang cukup signifikan antara keterpaparan terhadap iklan rokok

dengan perilaku merokok pada remaja. Melihat iklan di media massa dan

elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang

kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti

perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut (Mu’tadin, 2002). Iklan rokok

Joe Camel telah dituduh bertanggung jawab menyebabkan 3,5 juta anak-anak

di Amerika untuk merokok antara tahun 1988-1998 (Pierce dkk dalam López

dkk, 2004). Iklan rokok terbukti dapat menghambat usaha orang tua melarang

anak-anak mereka untuk tidak merokok dan mempengaruhi perilaku anak-

anak muda untuk tetap merokok meski orang tua mereka melarangnya

(Mu’tadin, 2002).

4. Faktor Demografis

Demografis berarti variabel-variabel kependudukan, termasuk distribusi

geografis, statistik vital, situasi fisik, dan seterusnya (Chaplin, 2005).

Beberapa faktor demografis yang berhubungan dengan perilaku merokok

adalah usia, jenis kelamin, ras dan etnis, serta tingkat sosial ekonomi.

Dalam sebuah penelitian terhadap para remaja didapatkan temuan bahwa

remaja berusia 16-17 tahun mempunyai kemungkinan lima kali lebih besar

untuk merokok (dengan prevalensi sebesar 48,2% pada remaja pria dan 47,6%

pada remaja putri) dibandingkan remaja berusia 11-12 tahun (dengan

prevalensi sebesar 9,4% pada remaja pria dan 12,8% pada remaja putri)

(Rachiotis dkk, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi merokok lebih

tinggi pada kelompok usia tertentu.

12

Page 13: Laporan  Penelitian Sosiologi

Selain faktor usia, jenis kelamin mempunyai hubungan yang cukup

signifikan dengan perilaku merokok. Rachiotis dkk (2008) mencatat bahwa

dalam berbagai penelitian telah terungkap kecenderungan yang lebih tinggi

pada pria untuk merokok dibanding perempuan. Namun pada beberapa negara

tertentu, prevalensi perilaku merokok pada remaja putri lebih tinggi daripada

remaja putra seperti di Swedia (13,7% vs 5,5%), Norwegia (19.9% vs 15.4%),

Austria (24.7% vs 19.5%), Belgia (19.0 vs16.8%) dan Finlandia (18.0 vs

16.4), sementara pada negara-negara lain (seperti Yunani, Jepang, Malawi,

dan Etiopia) prevalensi perilaku merokok tetap lebih tinggi pada remaja pria.

13

Page 14: Laporan  Penelitian Sosiologi

Penelitian menunjukkan signifikansi ras dan etnis dalam masalah perilaku

merokok pada remaja (Ellickson dkk, 2004 dan Davison dkk, 2006). Orang

kulit putih dan hispanik mempunyai kecenderungan lebih besar untuk

merokok dan mulai merokok pada usia lebih muda dibanding orang-orang

Afrika Amerika. Sementara orang Asia memperlihatkan tingkat perilaku

merokok yang lebih rendah dibanding orang kulit putih dan Hispanik.

Perbedaan perilaku merokok antar etnis ini dipengaruhi oleh setidaknya empat

faktor psikososial, yaitu: pertalian sosial (keluarga, sekolah, agama), pengaruh

lingkungan yang mendukung perilaku merokok, penanganan masalah-masalah

yang berhubungan dengan perilaku, dan sikap mendukung perilaku merokok.

Dibandingkan orang kulit putih, orang Hispanik dan Asia menunjukkan

tingkat kelekatan terhadap keluarga yang lebih tinggi, dan orang Asia

menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap pencapaian prestasi

akademis yang berakibat menjadikan mereka tidak mudah terpengaruh oleh

sikap lingkungan yang mendukung perilaku merokok. Orang Afrika Amerika

mempunyai keterikatan yang kuat dengan agama dan sikap orang tua lebih

cenderung menolak rokok, sebaliknya orang kulit putih biasanya mempunyai

lebih banyak teman yang merokok dan menerima dengan begitu saja apa yang

mereka lakukan sehingga mereka lebih mudah terpengaruh oleh perilaku

merokok teman sebaya dan orangtua. (Ellickson dkk, 2004). Selama bertahun-

tahun telah diketahui bahwa para perokok etnis Afrika Amerika mempunyai

kemungkinan lebih kecil untuk berhenti merokok dan lebih mungkin, jika

mereka tetap mempertahankan kebiasaannya, menderita kanker paru-paru

karena nikotin tersimpan di dalam darah mereka untuk waktu yang lebih lama

dibanding orang-orang kulit putih, yang berarti mereka memetabolisasi

nikotin lebih lambat. Juga diketahui bahwa etnis Afrika Amerika menghirup

jauh lebih banyak nikotin dari setiap rokok yang dihisap karena mereka lebih

sedikit menghembuskan asap dan menghisap rokok lebih dalam (Davison dkk,

2006).

14

Page 15: Laporan  Penelitian Sosiologi

Status sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pekerjaan, pendidikan dan

penghasilan juga mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan

perilaku merokok. Pada banyak negara berkembang, prevalensi perilaku

merokok menjadi lebih besar pada kelompok sosial ekonomi rendah

(Cavelaars dkk dalam Paavola dkk, 2004). Dalam sebuah penelitian di

Finlandia Timur terungkap bahwa anak-anak dari para pekerja kerah biru

(buruh) lebih banyak yang merokok dibandingkan anak-anak dari para pekerja

kerah putih (pegawai kantor) atau petani. Dalam penelitian ini juga ditemukan

bahwa status sosial ekonomi khususnya tingkat pendidikan mempunyai

keterhubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Pada subjek kelompok

usia 13 tahun, 10% anak-anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang

yang lebih tinggi merokok sementara pada anak-anak yang melanjutkan hanya

4% yang merokok. Pada subjek kelompok usia 28 tahun, 63% persen subjek

yang hanya mengenyam pendidikan wajib merokok sementara yang

mengenyam bangku kuliah hanya 12% yang merokok. Dari ketiga variabel,

satu-satunya variabel sosial ekonomi yang tidak berhubungan secara

signifikan dengan perilaku merokok adalah tingkat penghasilan (Paavola dkk,

2004). Seperti hasil penelitian Paavola dkk, Rachiotis dkk (2008) dalam

penelitian lain menemukan bahwa usia yang semakin tua, jenis kelamin pria,

tingkat pendidikan orang tua yang semakin rendah, dan ketersediaan uang

saku yang cukup banyak pada masa remaja berhubungan secara signifikan

dengan perilaku merokok saat ini. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan

bahwa anak-anak dari ayah yang mengenyam pendidikan lebih tinggi lebih

kecil kemungkinannya untuk merokok dibanding anak-anak dari ayah yang

hanya mengenyam pendidikan dasar. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seorang ayah, semakin jarang anak mereka yang menjadi perokok.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa status sosial ekonomi, khususnya tingkat

pendidikan sang ayah lebih berpengaruh terhadap perilaku remaja dibanding

tingkat pendidikan sang ibu. Sementara dari penelitian Scragg (2002) yang

dilakukan terhadap para remaja di Selandia Baru diketahui bahwa perilaku

merokok berkorelasi positif dengan jumlah uang saku yang diterima, namun

15

Page 16: Laporan  Penelitian Sosiologi

tergantung pada status sosial ekonomi. Kelompok remaja dengan status sosial

ekonomi rendah yang menerima uang saku lebih dari 30 dolar dalam 30 hari

terakhir merupakan kelompok yang paling besar kemungkinannya untuk

merokok. Berbagai temuan tersebut mengindikasikan bahwa perilaku merokok

sangat erat hubungannya dengan status sosial ekonomi.

5. Tahap-Tahap Perilaku Merokok

Pada dasarnya perilaku merokok merupakan sebuah perilaku yang

kompleks yang melibatkan beberapa tahap. Perilaku merokok pada remaja

umumnya melalui serangkaian tahapan yang ditandai oleh frekuensi dan

intensitas merokok yang berbeda pada setiap tahapnya (Mathew dkk dalam

Richardson, 2002), dan seringkali puncaknya adalah menjadi tergantung pada

nikotin. Menurut Leventhal & Cleary (1980) terdapat 4 tahap dalam perilaku

merokok sehingga seorang individu benar-benar menjadi perokok, yaitu:

a. Tahap Preparation

16

Page 17: Laporan  Penelitian Sosiologi

Pada tahap ini, seorang individu mendapatkan gambaran yang

menyenangkan mengenai merokok. Anak-anak mengembangkan sikap

terhadap rokok dan sebelum mencobanya mereka sudah mempunyai gambaran

seperti apa merokok itu. Sikap ini merupakan sesuatu yang penting dalam

perkembangan kebiasaan merokok nantinya. Dalam sebuah penelitian,

pernyataan yang dimaksudkan untuk mencoba rokok terbukti menjadi

prediktor terbaik bagi terbentuknya perilaku merokok selanjutnya. Tahap

persiapan (prepatory stage) melibatkan persepsi tentang apa yang dilibatkan

dalam merokok dan apa fungsi merokok. Para siswa sekolah berbeda dalam

mendeskripsikan ciri kepribadian perokok dan non-perokok; mereka

menganggap perokok sebagai orang yang bodoh, ceroboh, kuat, santai, malas,

lebih sering mengalami masalah, dan sebagainya. Menariknya, beberapa anak

yang merokok memandang diri mereka memiliki ciri-ciri tersebut. Mengapa

gambaran ini menjadi pendorong untuk merokok? Kemungkinannya adalah

merokok memberikan kesan kuat, sebuah kemampuan untuk menyatakan

dorongan, bebas dari cengkeraman kekuasaan. Anak yang kurang berhasil di

sekolah, lebih banyak melawan, dan suka melakukan hal-hal yang tidak sesuai

dengan harapan orangtua atau tradisi, akan lebih mungkin tertarik untuk

merokok pada usia kanak-kanak dan mulai menggunakan rokok sebagai

simbol bahwa dirinya adalah kuat, keren, bebas dari cengkeraman kekuasaan,

sebagaimana mereka akan memakai obat-obatan untuk selanjutnya.

17

Page 18: Laporan  Penelitian Sosiologi

Anak-anak muda yang menganggap diri mereka sebagai orang yang bebas

mungkin merokok bukan untuk menuruti tekanan teman sebaya. Anak muda

yang merokok untuk pertama kalinya karena dorongan teman-temannya

mungkin memiliki alasan yang berbeda pada tahap persiapan. Beberapa dari

mereka mungkin merasa cemas dan tidak mampu sehingga mereka merokok

untuk bisa diterima secara sosial dan menjadi bagian dari gang. Beberapa

orang mulai mencoba rokok adalah untuk mengendalikan emosi seperti

kecemasan kerja. Merokok mungkin dianggap dapat meningkatkan

performansi dalam ujian dan memperbesar kesempatan seseorang untuk

meraih prestasi akademik. Hal-hal tersebut mungkin merupakan sesuatu yang

penting bagi orang-orang yang mulai merokok pada usia-usia remaja akhir

atau dewasa awal, suatu jenis perilaku merokok yang banyak ditemui pada

mahasiswa kedokteran dan mahasiswa-mahasiswa lainnya.

b. Tahap Initiation

18

Page 19: Laporan  Penelitian Sosiologi

Tahap initiation adalah tahap ketika seseorang benar-benar merokok untuk

pertama kalinya. Tahap ini merupakan tahap kritis bagi seseorang untuk

menuju tahap becoming a smoker. Pada tahap ini, seorang individu akan

memutuskan untuk melanjutkan percobaannya atau tidak. Meskipun rasa serak

yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok merupakan faktor penting

yang mendasari keputusan ini, tampaknya tidak mungkin bahwa perbedaan

individu dalam hal respon fisiologis terhadap rokok dan terhadap rasa panas

dapat dipandang sebagai alasan utama bagi mereka yang ingin berhenti dan

tidak menginginkannya. Timbulnya rasa sakit tidaklah cukup jadi alasan untuk

menghentikan atau meneruskan sebuah perilaku, bagaimana rasa sakit itu

didapatkan hendaknya juga dijelaskan, contohnya, tanda berupa rasa sakit dan

tanda bahaya pada diri seseorang merupakan hal penting yang mendorongnya

untuk mencari nasihat medis dan menganggap dirinya sedang menghadapi

sebuah risiko. Sensasi berbahaya yang dirasakan oleh tubuh namun ditafsiri

sebagai sesuatu yang tidak berbahaya lama-lama akan menjadi sesuatu yang

biasa dan berakibat pada diabaikannya sensasi tersebut. Hal tersebut

memainkan peran penting dalam adaptasi perilaku merokok.

Seiring dengan berjalannya waktu, jelas akan ada perkembangan toleransi

yang bersifat fisiologis terhadap efek merokok. Pengalaman merokok, menjadi

waspada, santai, dan segar yang dialami sehari-hari dapat menjadi fakta yang

nyata bahwa merokok memang bermanfaat. Rasa sakit yang tidak terlalu

kentara yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok, seperti rasa terbakar,

rasa kesat, sengatan rasa panas dan asap rokok, mungkin ditafsiri sebagai bukti

bahwa merokok memang tidak berbahaya. Keyakinan anak-anak bahwa

merokok berbahaya bagi orang lain dan orang-orang yang lebih tua dan bukan

bagi diri mereka mungkin timbul dari pengalaman adaptasi (penyesuaian).

c. Tahap Becoming a Smoker

Salber dkk (dalam Leventhal dan Cleary, 1980) menyatakan bahwa

merokok empat batang rokok sudah cukup membuat orang untuk merokok

19

Page 20: Laporan  Penelitian Sosiologi

pada masa dewasa dan dapat membuat mereka jadi tergantung melalui

percobaan berulang dan pemakaian secara teratur. Data menunjukkan bahwa

85%-90% orang yang merokok empat batang rokok akan merokok secara

teratur yang secara tidak langsung berarti bahwa percobaan merokok pada

masa remaja akan mendorong mereka untuk merokok ketika dewasa, baik

ketika usia muda mereka ingin atau tidak ingin menjadi perokok. Namun jelas

bahwa banyak anak muda tidak sampai menghabiskan empat batang rokok.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 80-90% pemuda mencoba sedikitnya

satu batang rokok, dan proporsi perokok pada siswa SD, SMP, dan SMA

jarang yang melebihi 50% dari anak-anak yang mencoba rokok.

20

Page 21: Laporan  Penelitian Sosiologi

Sesungguhnya data yang ada tampak mendukung hipotesis bahwa

dibutuhkan 2 tahun atau lebih untuk menjadi seorang perokok berat (yang

terus-menerus merokok) dihitung dari waktu pertama kali merokok atau hanya

kadang-kadang mencoba rokok: ini adalah tahap becoming a smoker.

Persentase pelajar yang merokok bertambah secara bertahap (7% pada kelas 7

menjadi 46% pada kelas 11) dan jumlah rokok yang dikonsumsi juga

meningkat secara bertahap (1 batang seminggu 20 batang sehari), dengan

peningkatan yang cukup tinggi pada kelas 10, perempuan merokok 5-9 batang

per hari dan pria merokok 10-19 batang per hari.

d. Tahap Maintenance of Smoking

21

Page 22: Laporan  Penelitian Sosiologi

Pada tahap ini merokok sudah menjadi bagian dari cara pengaturan diri

(self-regulating) seseorang dalam berbagai situasi dan kesempatan. Merokok

dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan (Leventhal

& Cleary, 1980). Efek dari perilaku merokok terutama berkaitan dengan

relaksasi dan kenikmatan sensoris. Nesbitt (dalam Christanto, 2005) dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa orang yang merokok merasa rileks saat

merokok karena mereka mengatribusikan semua gejala yang muncul saat

merokok ke dalam rokoknya. Senada dengan Nesbitt, Daniel Horn, Direktur

The National Clearing House for Smoking and Health yang melakukan survei

atas 5000 orang untuk mengetahui alasan-alasan mereka merokok menemukan

bahwa sebagian besar perokok (40-50%) merokok untuk meringankan

kecemasan dan ketegangan, sedangkan lainnya karena ingin memunculkan

efek stimulan (perangsang), iseng-iseng, dan merasa santai (Psikologi

Indonesia Forum, 2006). Karch (1998) yang meneliti efek nikotin terhadap

kemampuan sensoris, motorik, perhatian, dan kognitif menemukan bahwa

nikotin tidak berpengaruh terhadap kemampuan sensoris seseorang, namun

mampu meningkatkan performa motorik, perhatian, dan kognitif. Lebih

spesifik dapat dijelaskan bahwa dalam hal performa motorik, nikotin mampu

meningkatkan tingkat ketukan jari tangan dan keseimbangan tangan.

Sedangkan dalam kemampuan perhatian dan fungsi kognitif, nikotin

meningkatkan kecepatan waktu reaksi dan menurunkan tingkat kesalahan

dalam merespon tugas-tugas yang membutuhkan perhatian. Dalam eksperimen

dengan tugas belajar kata-kata berpasangan, nikotin dapat meningkatkan

jumlah kata yang harus diingat, meningkatkan pengenalan terhadap ingatan,

mengurangi jumlah kesalahan, mengoptimalkan tingkat keterjagaan, dan

mempercepat waktu reaksi dalam tes ingatan Sternberg.

22

Page 23: Laporan  Penelitian Sosiologi

Pemahaman tentang fungsi pengaturan sebuah perilaku mungkin penting

untuk pengembangan teknik pengurangan dan penghentian merokok yang

mampu bertahan lama. Faktor-faktor yang berperan dalam menetapnya

perilaku merokok telah diselidiki, baik melalui pendekatan psikologis maupun

biologis. Sayangnya, dua pendekatan ini sering disajikan sebagai sesuatu yang

berbeda, yaitu fungsi-fungsi psikologis terlibat tidak lebih untuk menyelidiki

laporan tentang kepuasan merokok yang dirasakan oleh perokok, sementara

penelitian-penelitian biologi lebih banyak menjabarkan mekanisme fisiologis

yang mendasari perilaku merokok. Sebenarnya dua pendekatan tersebut saling

melengkapi dalam menjelaskan masalah yang sama. Tidak mungkin seseorang

mampu menjelaskan mekanisme biologis dalam perilaku merokok jika dia

tidak bisa menjelaskannya secara psikologis: Analisa biologis seringkali

mengikuti bentuk analisa psikologis. Paling tidak, analisa psikologis dapat

mempertajam pandangan tentang proses-proses yang mendasari sebuah respon

dan membantu menjelaskan individu serta pada keadaan apa dia merokok

mungkin mencerminkan suatu proses tertentu yang dapat menjelaskan suatu

mekanisme biologis (Leventhal & Cleary, 1980). Dengan diketahuinya tahap-

tahap terbentuknya perilaku merokok ini maka diharapkan dapat

dikembangkan strategi untuk mengendalikan perilaku merokok pada remaja.

B. Kerangka Berpikir

Dalam melakukan penelitian kami menggunakan kerangaka berpikir

sebagai berikut Dampak Rokok Terhadap Perilaku Remaja dengan

narasumber anak remaja di Kecamatan Wonosobo

(mulai)

23

Remaja

Merokok

Page 24: Laporan  Penelitian Sosiologi

(memengaruhi)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di Desa Singkir Kecamatan Wonosobo dan di

sekitar Jalan Ahmad Yani Wonosobo.

B. Waktu Penelitian

Waktu yang dibutuhkan peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah

satu bulan. Yakni dilaksanakan dimulai pada tanggal 14 April sampai 14

Mei 2014.

C. Bentuk Strategi

Bentuk strategi yang peneliti gunakan dalam penelitian ini ada tiga yaitu:

1. Wawancara

2. Observasi non partisipatif

3. Studi pustaka

D. Sumber Data

Sumber data yang peneliti gunakan dalam penelitian berdasarkan cara

memperolehnya dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

1. Data Primer:

a. Wawancara

b. Observasi non partisipatif

24

Perilaku

Page 25: Laporan  Penelitian Sosiologi

2. Data Sekunder:

a. Studi Pustaka

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang kami digunakan dalam penelitian ini

adalah interview atau wawancara dan observasi non partisipatif.

Wawancara tersebut kami lakukan dengan para perokok aktif. Observasi

dilakukan pada tanggal 8-14 mei 2014 di Desa Singkir serta Jalan Ahmad

Yani dari perempatan traffic light Jaraksari sampai pertigaan Pengadilan

Negeri Wonosobo.

F. Teknik Sampling

Teknik sampling atau metode pengabilan sampel yang digunakan dalam

penelitian adalah purposive random sampling dan survey.

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunkan dalam penelitian ini adlah teknik

analisis data kualitatif. Adapun tahap – tahapnya yaitu :

1. Reduksi

2. Display

3. Kesimpulan

25

Page 26: Laporan  Penelitian Sosiologi

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

1. Pengaruh Rokok Terhadap Pergaulan Remaja

Pergaulan remaja yang di warnai oleh rokok memiliki dua kubu pengaruh.

Tergantung dari kelompok siapa yang merokok. Jika anak yang buruk maka

pergaulan akan di warnai minuman keras juga. Bahkan akan banyak terjadi hal

hal yang melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tetapi jika

anak yang dari dasarnya berperilaku baik. Maka tidak ada yang terpengaruhi

dari pergaulannya.

2. Pengaruh Rokok Terhadap Perilaku Remaja

Perilaku merokok yang telah dimulai sejak dini akan mengikat remaja ini

untuk terus mengkonsumsinya hingga dewasa karena dalam rokok terkandung

zat adiktif. Apabila telah memasuki gejala tobacco dependency atau tahap

ketergantungan tembakau maka akan sulit terlepas darinya karena perilaku

merokok telah menjadi perilaku menyenangkan dan dapat menghilangkan

ketidaknyamanan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat obsesif

(Juliansyah, 2011).

26

Page 27: Laporan  Penelitian Sosiologi

Dampak psikologis yang ditimbulkan dari perilaku merokok (BNP

JABAR, 2011) adalah timbulnya pengaruh terhadap pikiran, perasaan, dan

perilaku merokok. Antara lain (1) adiksi (ketagihan), nikotin dalam asap rokok

merupakan bahan yang menimbulkan efek ketagihan, sebagaimana kelompok

zat adiktif lainnya seperti heroin, morfin, alcohol, dan psikotropika lainnya,

(2) toleransi dan dependensi, efek ketagihan akan berkembang secara

fisiologis menjadi efek toleransi (penambahan dosis) sehingga pada akhirnya

secara psikologis merokok menimbulkan efek dependensi  (ketergantungan)

yang menyebabkan perokok mengalami reaksi putus zat apabila dihentikan

secara mendadak, (3) Gaya hidup perokok, kondisi umum perokok di

Indonesia saat ini adalah mulai dari usia muda (15- 19 tahun), sebagai life

style dan simbolisasi.

Selain itu dampak psikologis yang lain ditimbulkan adalah merangsang

timbulnya depresi ringan, gangguan daya tangkap, pikiran, perasaan, tingkah

laku, dan lainnya. Seperti, kurang tenaga, egois, kegugupan, frustasi, kurang

fokus, pusing, insomnia, detak jantung tidak teratur, berkeringat, depresi,

gangguan sosial, gangguan belajar, dan lainnya. Selanjutnya, perilaku

merokok pada remaja akan menyebabkan meningkatnya resiko gangguan

kecemasan (anxiety) pada remaja akhir dan dewasa awal, seperti perasaan

bersalah, kecemasan akan mengalami impotensi, kecemasan bahwa pasangan

tidak dapat menerima dirinya (Opie itu aku, 2011). Merokok adalah pintu

gerbang terhadap penyimpangan dan kenakalan remaja yang lebih besar lagi

yaitu penggunaan obat terlarang dan pergaulan bebas. Selain itu itu, rokok

juga menyebabkan remaja menjadi boros karena harus rutin mengeluarkan

uang untuk membeli rokok.

3. Zat – zat yang terkandung di dalam rokok adalah sebagai berikut :

a. Nikotin

b. Tar

c. Karbon monoksida

27

Page 28: Laporan  Penelitian Sosiologi

d. Zat karsinogen

e. Zat iritasi

4. Dampak bagi kesehatan

a. Bibir dan gusih menjdi hitam

b. Kulit jadi hitam

c. Mata merah

d. Kukuh membiru

e. Pipih perokok terlihat kempok

f. Mudah terserang penyakit batuk

g. Nafas bau

h. Perokok terlihat tenang dengan asiknya mengisap rokok

5. Efek dari rokok juga menimbulkan

a. Gigi menjadi kuning karena noda dari nikotin

b. Mengganggu penciuman

c. Mengganggu pengecapan

d. Infeksi pada tenggorokan

e. Kanker paru-paru

f. Borok pada usus

g. Impotensi

h. Gangguan kehamilan dan janin

6. Alasan Para Remaja Merokok

Masa remaja adalah masa paling kritis, saat kita menginjak remaja berarti

kita menginjak masa transisi dimana saat-saat pencarian jati diri. Masa remaja

cenderung banyak meniru dan mencoba hal-hal baru. Factor lingkungan pun

28

Page 29: Laporan  Penelitian Sosiologi

menjadi pengaruh besar terhadap kebiasaan merokok remaja. Serta anggapan

bahwa merokok secara simbolik dapat dihubungkan dengan kedewasaan,

kepercayaan diri, keberanian, kekuatan, kejantanan, daya tarik, gaul, serta

pertualangan. Awalnya mereka mencoba-coba join dengan teman

sepergaulannya. Lama kelamaan mereka mencoba dengan membeli walau

hanya 1 batang. Dan akirnya menjadi konsumen primer.

7. Alasan Para Remaja Sulit Berhenti Merokok

Rokok mengandung bahan adiktif yang membuat si pengguna menjadi

kecanduan. Saat berhenti merokok rasa tak semangat, kurang konsentrasi serta

mata menjadi kurang focus. Walaupun para perokok tau tentang bahaya rokok,

akan tetapi mereka lebih mementingkan kenikmatan yang sementara

ketimbang dengan dampak yang akan di derita pada akhirnya.

8. Pro dan kontra terhadap rokok

Di suatu kalangan masyarakat sudah semestinya terjadi penerimaan atau

penolakan suatu budaya. Penolakan serta penerimaan ini juga tercermin

kepada kebiasaan rokok pada remaja. Sebagai perokokaktif tentunya akan

terbiasa bahkan menikmati setiap batang rokok yang mereka isap. Sebagai

orang tua pun ada yang tidak mengalami masalah jika anaknya merokok.

Selain sebagaian ada yang menerima, penolakan pun banyak yang

mencuat dari para korban asap rokok. Terutama dari kalangan perempuan.

Banyak dari mereka tidak suka dengan laki-laki yang merokok karena

berkesan nakal. Ada juga yang hanya tidak kuat dengan bau yang ditimbulkan

dari rokok.

B. Analisis

Setelah kami melakukan penelitian kami menganalisis data yang hasilnya

bahwa terdapat beberapa dampak yang dihasilkan antara pengaruh merokok

29

Page 30: Laporan  Penelitian Sosiologi

terhadap perilaku remaja. Berikut adalah beberapa dampak pengaruh merokok

terhadap perilaku remaja:

1. Dampak positif: Rokok dalam pergaulan menjadikan pertemanan

semakin akrab.

2. Dampak negative: Pergaulan dengan rokok akan menimbulkan

berbagai hal yang tidak baik.

Kami mewawancarai dua orang perokok aktif di desa singkir kira-kira

berumur 15-an tahun, serta kami mensurvei dari beberapa sumber yang

menunjukkan pergaulan positif dan negatif dari para perokok. Bukan

rokok yang mempengaruhi pergaulan mereka,akan tetapi sifat asli dari

perkumpulan tersebut yang menunjukkan kegiatan perkumpulan itu positif

atau negatif.

Wawancara juga kami lakukan pada anak perempuan yang sebagai

perokok pasif (korban perokok aktif). Mereka mengaku merasa terganggu

terhadap asap rokok.

30

Page 31: Laporan  Penelitian Sosiologi

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Rokok kebanyakan membahayakan untuk pergaulan remaja. Remaja yang

awalnya hanya terpengaruh lingkungan pun menjadi korban terjerumus ke

rokok. Padahal mereka semua tahu bahaya rokok. Akan tetapi rasa

ketergantungan itu membuat para remaja susah berhenti dari rokok.

B. Saran

Sebaiknya untuk para perokok untuk berhenti merokok dan menghormati

orang-orang yang tidak merokok. Dan untuk pelajar sebaiknya hindari

rokok karena dapat memengaruhi perilaku. Tergantung bagaimana kita

bisa menyikapinya.

31

Page 32: Laporan  Penelitian Sosiologi

DAFTAR PUSTAKA

32

Page 33: Laporan  Penelitian Sosiologi

Aritonang, M.E.R. 1997. Fenomena Wanita Merokok. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Atkinson, Rita L; Atkinson, Richard C.; Smith, Edward E. dan Bem, Darly J. Tanpa tahun. Pengantar Psikologi. Batam: Interaksara.

Brandon, Ph.D., Thomas. 2000. Smoking, Stress, and Mood. H. Lee Moffit Cancer Center and Research Institute at the University of South Florida.

Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta. Rajawali Pers.

Christanto, A. 2005. Merokok: Antara Ya dan Tidak (Suatu Kajian Praktis Filsafat Ilmu), (online), http://www.mailarchive.com/dokter@yahoo- groups.com/msg0035.html, diakses 1 Maret 2009).

Cohen, Sheldon & Lichtenstein, Edward. 1990. Perceived Stress, Quitting Smoking, and Smoking Relaps. Health Psychology, 9(4): 466-478.

Davison, Gerald C.; Neale, John M. and Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal (Edisi ke-9). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

http://unikunik.wordpress.com/2009/05/03/teori-perilaku-merokok/

Pusat Remaja.com, 2011

http://lifestyle.okezone.com

33