Upload
zufar-bhakti
View
6.818
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Penelitian tentang rokok terhadap remaja
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak keluhan di mana-mana tentang terjadinya global warming. Semua
orang seakan mau menghindari bahkan menghapus global warming dari muka
bumi. Akan tetapi ucapan dan tindakan mereka tak selaras. Banyak orang
ingin kenyamanan tapi tak mau mencarinya.
Terutama bagi para perokok, seakan tak memperdulikan akibat yang di
timbulkan dari asap rokok. Selain membahayakan diri sendiri, juga
membahayakan orang lain serta lingkungan. Ironisnya lagi kebanyakan
perokok adalah para remaja yang tingkat emosionalnya masih labil.
Sebenarnya para remaja belum siap untuk menghisap asap rokok. Itu dapat
di lihat dari cara berfikir dan keadaan hidupnya. Dari keadaan para remaja
yang belum mulai bekerja cenderung menjadi individu yang boros dan
mengarah ke meminta-minta ke orang tua. Selaian menjadi pribadi yang buruk
rokok juga dapat membahayakan kesehatan, bahkan dapat menghambat
pertumbuhan.
Di kalangan masyarakat tradisi rokok sekarang seakan sudah menjadi tren.
Baik dari kalangan anak anak sampai dewasa. Padahal sudah tertera jelas
bahaya akan rokok. Anggapan tentang pergaulan tanpa rokok pun seakan
terasa kuno bermunculan.
Dari keaadaan seperti ini kami sependapat untuk mengangkat “pergaulan
remaja dan rokok”. Untuk mengetahui sejauh mana perjalanan perokok muda.
Serta menginformasikan betapa bahayanya rokok. Agar para remaja memiliki
pilihin untuk tetap merokok atau tak merokok.
1
B. Rumusan masalah :
1. Bagaimana pengaruh rokok terhadap pergaulan remaja?
2. Apa pengaruh rokok terhadap perilaku remaja?
3. Apa alasan para remaja merokok?
4. Apa alasan para remaja susah berhenti merokok?
C. Tujuan penelitian:
1. Untuk mengetahui pengaruh rokok terhadap pergaulan remaja.
2. Untuk mengetahui pengaruh rokok terhadap perilaku remaja.
3. Untuk mengetahui alasan para remaja merokok.
4. Untuk mengetahui alasan para remaja tidak berhenti merokok.
D. Hipotesis :
1. Rokok berpengaruh terhadap pergaulan remaja.
2. Rokok berpengaruh terhadap perilaku remaja.
3. Para remaja tidak mempunyai alasan yang jelas mengapa mereka
merokok.
E. Manfaat penelitian :
Sebagai referensi untuk para remaja agar tahu hubungan rokok dengan
pergaulan remaja.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
Para ilmuwan psikologi umumnya sesuai dalam pendapat bahwa pokok
persoalan psikologi adalah perilaku, namun tetap terdapat perbedaan yang
besar sekali dalam pendapat mereka mengenai hal-hal apa saja tepatnya yang
harus dimasukkan ke dalam kategori perilaku tersebut. Dalam pengertian
paling luas, perilaku ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau dialami
seseorang. Ide-ide, impian-impian, reaksi-reaksi kelenjar, lari, menggerakkan
sesuatu, semuanya itu adalah perilaku. Dengan kata lain, perilaku adalah
sebarang respon (reaksi, tanggapan, jawaban, balasan) yang dilakukan oleh
suatu organisme. Sedangkan menurut pengertian yang lebih sempit, perilaku
hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif
(Chaplin, 2005). Hampir sama dengan definisi tersebut, Atkinson dkk (tanpa
tahun) menyatakan bahwa perilaku adalah aktivitas suatu organisme yang
dapat dideteksi. Munculnya perilaku dari organisme ini dipengaruhi oleh
faktor stimulus yang diterima, baik stimulus internal maupun stimulus
eksternal.
Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya
faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok
dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan
sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Sari dkk (2003) menyebutkan
bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap
rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Menurut Ogawa (dalam
Triyanti, 2006) dahulu perilaku merokok disebut sebagai suatu kebiasaan atau
ketagihan, tetapi dewasa ini merokok disebut sebagai tobacco dependency
atau ketergantungan tembakau. Tobacco dependency sendiri dapat
didefinisikan sebagai perlaku penggunaan tembakau yang menetap, biasanya
3
lebih dari setengah bungkus rokok per hari, dengan adanya tambahan distres
yang disebabkan oleh kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang.
Perilaku merokok dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas subjek yang
berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas
merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari
(Komalasari & Helmi, 2000). Sementara Leventhal & Cleary (1980)
menyatakan bahwa perilaku merokok terbentuk melalui empat tahap, yaitu:
tahap preparation, initiation, becoming a smoker, dan maintenance of
smoking.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok
adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan
pipa atau rokok yang dilakukan secara menetap dan terbentuk melalui empat
tahap, yaitu: tahap preparation, initiation, becoming a smoker, dan
maintenance of smoking.
4
1. Etiologi Perilaku Merokok Pada Remaja
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai etiologi perilaku merokok pada
remaja, akan dibahas terlebih dahulu definisi remaja. Remaja atau adolescene
berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa.” Istilah ini mencakup kematangan mental, emosional, sosial
dan fisik. Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) secara psikologis masa
remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa.
Masa remaja adalah usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat
orang dewasa melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-
kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai
banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber.
Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi yang khas
dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam
hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang
umum dari periode perkembangan. Monks (1999) membagi masa remaja
menjadi tiga kelompok tahap usia perkembangan, yaitu early adolescence
(remaja awal) yang berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun, middle
adolescence (remaja pertengahan) yang berada pada rentang usia 15 sampai
18 tahun, dan late adolescence (remaja akhir) yang berada pada usia 18
sampai 21 tahun.
5
Dalam membahas etiologi (penyebab) gangguan penyalahgunaan dan
ketergantungan zat termasuk perilaku merokok, harus dipahami bahwa
seorang individu menjadi tergantung pada zat umumnya melalui suatu proses.
Pertama, orang yang bersangkutan harus mempunyai sikap positif terhadap zat
tersebut, kemudian mulai bereksperimen dengan menggunakannya, mulai
menggunakannya secara teratur, menggunakannya secara berlebihan, dan
terakhir menyalahgunakannya atau menjadi tergantung secara fisik padanya.
Setelah menggunakannya secara berlebihan dalam waktu lama, orang yang
bersangkutan akan terikat oleh proses-proses biologis toleransi dan putus zat
(Davison dkk, 2006). Secara lebih spesifik, Kurt Lewin (dalam Komalasari &
Helmi, 2000) berpendapat bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari
lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-
faktor dari dalam diri juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Berbagai
penelitian di beberapa negara telah dilakukan untuk mengetahui faktor apa
saja yang berperan terhadap perilaku merokok pada remaja. Beberapa
penelitian yang dilakukan terhadap para remaja menghubungkan perilaku
merokok ini dengan etnis (Scragg dkk, 2002), usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan orang tua, perilaku merokok orang tua, jumlah uang saku
(Rachiotis dkk, 2008; Paavola dkk, 2004), perilaku merokok teman (Siziya
dkk, 2007), dan intensitas melihat iklan rokok (Siziya dkk, 2008; López dkk,
2004). Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor yang berperan dalam
perilaku merokok pada remaja:
2. Faktor Individu
6
Erik H. Erikson (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menyatakan bahwa
keputusan seorang remaja untuk merokok berkaitan dengan adanya krisis
aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya, yaitu masa
mencari identitas diri seperti usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa
perannya dalam masyarakat. Dalam masa remaja ini, sering dilukiskan sebagai
masa badai dan topan karena ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan
sosial. Tugas utama seorang remaja adalah mengintegrasikan berbagai macam
identifikasi yang mereka bawa dari masa kanak-kanak menuju identitas yang
lebih utuh (Miller, 1993). Usaha-usaha untuk menemukan identitas diri
tersebut tidak semuanya berjalan sesuai harapan, oleh karenanya beberapa
remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara kompensatoris.
Di sisi lain, saat pertama kali mengonsumsi rokok, gejala-gejala yang
mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah terasa getir, dan perut mual. Namun
demikian, sebagian dari para pemula tersebut mengabaikan perasaan tersebut,
biasanya berlanjut menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi ketergantungan.
Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang memberikan
kepuasan psikologis. Gejala ini dapat dijelaskan dari konsep tobacco
dependency (ketergantungan rokok). Artinya, perilaku merokok merupakan
perilaku yang menyenangkan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat
obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin adalah adiktif, jika dihentikan secara
tiba-tiba akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Secara manusiawi, orang
cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan lebih senang
mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai kenikmatan sehingga
dapat dipahami jika para perokok sulit untuk berhenti merokok (Komalasari &
Helmi, 2000).
7
Selain karena krisis psikososial dan kepuasan psikologis, perilaku
merokok pada remaja juga dapat timbul karena pengaruh emosi yang
menyebabkan seorang individu mencari relaksasi. Merokok dianggap dapat
memudahkan berkonsentrasi, memperoleh pengalaman yang menyenangkan,
relaksasi, dan mengurangi ketegangan atau stres (Aritonang dalam Komalasari
& Helmi, 2000). Saat ini para remaja menghadapi berbagai tuntutan, harapan,
resiko-resiko, dan godaan-godaan yang nampaknya lebih banyak dan
kompleks daripada yang dihadapi para remaja generasi sebelumnya. Semua ini
sangat berpotensi menyebabkan remaja merasa tertekan dan stres. Remaja
yang mengalami stres ini sangat mungkin mengembangkan perilaku merokok
sebagai suatu cara untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena
kurangnya perkembangan ketrampilan menghadapi masalah secara kompeten
dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Santrock, 2002). Hal ini
sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KuIS)
terhadap 3.040 remaja di Jakarta yang menghasilkan temuan bahwa perilaku
merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan
tertinggi, yakni 54,59 persen.
8
Keterhubungan antara perilaku merokok dan stres telah diteliti oleh para
ahli sejak tiga dekade yang lalu. Fink (2007) mencatat bahwa terdapat
beberapa penemuan yang mengindikasikan bahwa secara klinis dan teoritis
memang terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku merokok, stres,
dan coping. Individu dengan masalah psikiatri seperti gangguan major
depressive, berbagai macam gangguan kecemasan, schizophrenia, gangguan
kepribadian antisosial, dan individu dengan trait kepribadian tertentu yang
menyebabkan mereka lebih sering mengalami distres pribadi lebih mungkin
untuk merokok. Contohnya, trait kepribadian neuroticism (kecenderungan
umum untuk mengalami perasaan negatif dan stres) ternyata berhubungan
dengan tingginya prevalensi perilaku merokok. Beberapa hasil penelitian
terhadap keluarga, saudara kembar, dan molekul genetis memperlihatkan
bahwa faktor genetis memainkan peran penting dalam perilaku merokok dan
respon terhadap stres. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terdapat banyak
gen yang berperan ganda, mempengaruhi seorang individu untuk merokok dan
membuat seorang individu cenderung mengembangkan trait kepribadian dan
gangguan psikiatri yang berhubungan dengan stres. Perilaku merokok juga
seringkali digunakan sebagai cara untuk mengatasi stres meskipun merokok
bukanlah cara coping yang sehat atau menguntungkan (Wills & Cleary dalam
Davison, 2006). Seorang mantan perokok seringkali memutuskan untuk mulai
merokok lagi ketika mereka mengalami stres karena kebanyakan perokok
telah belajar bahwa merokok merupakan cara untuk mengurangi stres
(Brandon, 2000). Hal ini berarti bahwa perilaku merokok akan terjadi dan
akan dialami sebagai sebuah ganjaran (reward) bagi para perokok (Fink,
2007).
3. Faktor Lingkungan
9
Bandura dalam teori social learning berasumsi bahwa perilaku dan sistem
nilai seorang remaja terbentuk oleh sekumpulan interaksi yang kompleks
antara hubungan-hubungan sosial interpersonal. Perilaku bermasalah pada
remaja, termasuk merokok, merupakan hasil interaksi antara variabel
interpersonal seperti kepribadian, sikap, dan perilaku, dengan sistem
lingkungan, termasuk lingkungan keluarga dan teman sebaya (Jessor & Jessor
dalam Richardson dkk, 2002).
Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur keluarga, riwayat, pola
hubungan orang tua-anak, pola asuh, dan perilaku merokok orang tua. Struktur
keluarga memainkan peran yang cukup signifikan dalam hal ini, misalnya
dalam sebuah penelitian terungkap bahwa perceraian orang tua meningkatkan
resiko perilaku ini (Gil dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Di samping
struktur keluarga, riwayat keluarga juga memainkan peran yang tidak kalah
pentingnya. Keluarga dengan riwayat perilaku kejam, penyia-nyiaan, dan
pengabaian berkontribusi terhadap pemakaian dan penyalahgunaan zat pada
remaja, termasuk perilaku merokok. Pola interaksi dan hubungan dalam
sebuah keluarga merupakan faktor yang juga berkontribusi terhadap perilaku
merokok, misalnya dalam keluarga dengan tingkat peraturan dan pengawasan
yang lebih ketat akan menurunkan tingkat perilaku merokok secara signifikan
(Guo dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Pola asuh adalah faktor lain yang
mempengaruhi perilaku merokok. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan
bahwa perilaku merokok berhubungan dengan pola asuh permisif dan
rendahnya tingkat kelekatan. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu
menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok orang tua mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap perilaku merokok remaja. Conrad, Flay, dan Hill
(dalam Richardson dkk, 2002) menemukan bahwa 7 dari 13 penelitian yang
direview, perilaku merokok orang tua secara signifikan menjadi prediktor
munculnya perilaku merokok pada usia remaja.
10
Perilaku merokok juga dapat disebabkan oleh pengaruh kelompok sebaya
(peer group). Kelompok sebaya seringkali menjadi faktor utama dalam
masalah penggunaan zat oleh remaja (Richardson dkk, 2002). Selama masa
remaja, seorang individu mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan
teman sebayanya daripada dengan orang tua. Hal ini berarti bahwa teman
sebaya mempunyai peran yang sangat berarti bagi remaja, karena masa
tersebut remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai bergabung
pada kelompok sebaya. Kebutuhan untuk diterima sering kali membuat remaja
berbuat apa saja agar dapat diterima kelompoknya dan terbebas dari sebutan
“pengecut” dan “banci” (Komalasari & Helmi, 2000). Memiliki teman-teman
yang merokok memprediksi kebiasaan merokok pada seorang individu
(Davison dkk, 2006). Sikap teman sebaya terhadap penggunaan berbagai zat
termasuk nikotin dapat mempengaruhi individu untuk menggunakan zat
tersebut. Dalam sebuah penelitian longitudinal ditemukan bahwa para pemuda
New York yang pernah berhubungan dengan teman sebaya yang merokok atau
memakai mariyuana lebih mungkin untuk memakai mariyuana dalam rentang
kehidupan mereka (Brook dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Harlianti
(dalam Komalasari & Helmi, 2000) menemukan bahwa lingkungan sebaya
memberikan sumbangan efektif sebesar 33,048%. Dalam penelitian lain
terungkap bahwa identifikasi kelompok sebaya di kelas 7 memprediksi
kebiasaan merokok di kelas 8. Meskipun pengaruh teman-teman sebaya
adalah penting dalam pengambilan keputusan yang dilakukan para remaja
untuk menggunakan suatu zat, namun mereka yang memiliki rasa efektivitas
diri yang tinggi menjadi kurang terpengaruh oleh teman-teman sebaya mereka.
Para remaja yang memiliki kualitas tersebut setuju dengan pernyataan seperti
“Saya dapat membayangkan diri saya menolak memakai tembakau bersama
pelajar seusia saya dan mereka tetap menyukai saya (Stacy dkk dalam Davison
dkk, 2006).
11
Di samping karena pengaruh teman sebaya dan lingkungan keluarga,
perilaku merokok juga dapat muncul sebagai akibat dari iklan di media massa.
Iklan rokok di berbagai tempat dan media massa yang saat ini makin
merajalela sangat menarik bagi para remaja (Widiyarso, 2008). Menurut
López dkk (2004), beberapa penelitian telah menghasilkan temuan adanya
hubungan yang cukup signifikan antara keterpaparan terhadap iklan rokok
dengan perilaku merokok pada remaja. Melihat iklan di media massa dan
elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang
kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti
perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut (Mu’tadin, 2002). Iklan rokok
Joe Camel telah dituduh bertanggung jawab menyebabkan 3,5 juta anak-anak
di Amerika untuk merokok antara tahun 1988-1998 (Pierce dkk dalam López
dkk, 2004). Iklan rokok terbukti dapat menghambat usaha orang tua melarang
anak-anak mereka untuk tidak merokok dan mempengaruhi perilaku anak-
anak muda untuk tetap merokok meski orang tua mereka melarangnya
(Mu’tadin, 2002).
4. Faktor Demografis
Demografis berarti variabel-variabel kependudukan, termasuk distribusi
geografis, statistik vital, situasi fisik, dan seterusnya (Chaplin, 2005).
Beberapa faktor demografis yang berhubungan dengan perilaku merokok
adalah usia, jenis kelamin, ras dan etnis, serta tingkat sosial ekonomi.
Dalam sebuah penelitian terhadap para remaja didapatkan temuan bahwa
remaja berusia 16-17 tahun mempunyai kemungkinan lima kali lebih besar
untuk merokok (dengan prevalensi sebesar 48,2% pada remaja pria dan 47,6%
pada remaja putri) dibandingkan remaja berusia 11-12 tahun (dengan
prevalensi sebesar 9,4% pada remaja pria dan 12,8% pada remaja putri)
(Rachiotis dkk, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi merokok lebih
tinggi pada kelompok usia tertentu.
12
Selain faktor usia, jenis kelamin mempunyai hubungan yang cukup
signifikan dengan perilaku merokok. Rachiotis dkk (2008) mencatat bahwa
dalam berbagai penelitian telah terungkap kecenderungan yang lebih tinggi
pada pria untuk merokok dibanding perempuan. Namun pada beberapa negara
tertentu, prevalensi perilaku merokok pada remaja putri lebih tinggi daripada
remaja putra seperti di Swedia (13,7% vs 5,5%), Norwegia (19.9% vs 15.4%),
Austria (24.7% vs 19.5%), Belgia (19.0 vs16.8%) dan Finlandia (18.0 vs
16.4), sementara pada negara-negara lain (seperti Yunani, Jepang, Malawi,
dan Etiopia) prevalensi perilaku merokok tetap lebih tinggi pada remaja pria.
13
Penelitian menunjukkan signifikansi ras dan etnis dalam masalah perilaku
merokok pada remaja (Ellickson dkk, 2004 dan Davison dkk, 2006). Orang
kulit putih dan hispanik mempunyai kecenderungan lebih besar untuk
merokok dan mulai merokok pada usia lebih muda dibanding orang-orang
Afrika Amerika. Sementara orang Asia memperlihatkan tingkat perilaku
merokok yang lebih rendah dibanding orang kulit putih dan Hispanik.
Perbedaan perilaku merokok antar etnis ini dipengaruhi oleh setidaknya empat
faktor psikososial, yaitu: pertalian sosial (keluarga, sekolah, agama), pengaruh
lingkungan yang mendukung perilaku merokok, penanganan masalah-masalah
yang berhubungan dengan perilaku, dan sikap mendukung perilaku merokok.
Dibandingkan orang kulit putih, orang Hispanik dan Asia menunjukkan
tingkat kelekatan terhadap keluarga yang lebih tinggi, dan orang Asia
menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap pencapaian prestasi
akademis yang berakibat menjadikan mereka tidak mudah terpengaruh oleh
sikap lingkungan yang mendukung perilaku merokok. Orang Afrika Amerika
mempunyai keterikatan yang kuat dengan agama dan sikap orang tua lebih
cenderung menolak rokok, sebaliknya orang kulit putih biasanya mempunyai
lebih banyak teman yang merokok dan menerima dengan begitu saja apa yang
mereka lakukan sehingga mereka lebih mudah terpengaruh oleh perilaku
merokok teman sebaya dan orangtua. (Ellickson dkk, 2004). Selama bertahun-
tahun telah diketahui bahwa para perokok etnis Afrika Amerika mempunyai
kemungkinan lebih kecil untuk berhenti merokok dan lebih mungkin, jika
mereka tetap mempertahankan kebiasaannya, menderita kanker paru-paru
karena nikotin tersimpan di dalam darah mereka untuk waktu yang lebih lama
dibanding orang-orang kulit putih, yang berarti mereka memetabolisasi
nikotin lebih lambat. Juga diketahui bahwa etnis Afrika Amerika menghirup
jauh lebih banyak nikotin dari setiap rokok yang dihisap karena mereka lebih
sedikit menghembuskan asap dan menghisap rokok lebih dalam (Davison dkk,
2006).
14
Status sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pekerjaan, pendidikan dan
penghasilan juga mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan
perilaku merokok. Pada banyak negara berkembang, prevalensi perilaku
merokok menjadi lebih besar pada kelompok sosial ekonomi rendah
(Cavelaars dkk dalam Paavola dkk, 2004). Dalam sebuah penelitian di
Finlandia Timur terungkap bahwa anak-anak dari para pekerja kerah biru
(buruh) lebih banyak yang merokok dibandingkan anak-anak dari para pekerja
kerah putih (pegawai kantor) atau petani. Dalam penelitian ini juga ditemukan
bahwa status sosial ekonomi khususnya tingkat pendidikan mempunyai
keterhubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Pada subjek kelompok
usia 13 tahun, 10% anak-anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi merokok sementara pada anak-anak yang melanjutkan hanya
4% yang merokok. Pada subjek kelompok usia 28 tahun, 63% persen subjek
yang hanya mengenyam pendidikan wajib merokok sementara yang
mengenyam bangku kuliah hanya 12% yang merokok. Dari ketiga variabel,
satu-satunya variabel sosial ekonomi yang tidak berhubungan secara
signifikan dengan perilaku merokok adalah tingkat penghasilan (Paavola dkk,
2004). Seperti hasil penelitian Paavola dkk, Rachiotis dkk (2008) dalam
penelitian lain menemukan bahwa usia yang semakin tua, jenis kelamin pria,
tingkat pendidikan orang tua yang semakin rendah, dan ketersediaan uang
saku yang cukup banyak pada masa remaja berhubungan secara signifikan
dengan perilaku merokok saat ini. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan
bahwa anak-anak dari ayah yang mengenyam pendidikan lebih tinggi lebih
kecil kemungkinannya untuk merokok dibanding anak-anak dari ayah yang
hanya mengenyam pendidikan dasar. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seorang ayah, semakin jarang anak mereka yang menjadi perokok.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa status sosial ekonomi, khususnya tingkat
pendidikan sang ayah lebih berpengaruh terhadap perilaku remaja dibanding
tingkat pendidikan sang ibu. Sementara dari penelitian Scragg (2002) yang
dilakukan terhadap para remaja di Selandia Baru diketahui bahwa perilaku
merokok berkorelasi positif dengan jumlah uang saku yang diterima, namun
15
tergantung pada status sosial ekonomi. Kelompok remaja dengan status sosial
ekonomi rendah yang menerima uang saku lebih dari 30 dolar dalam 30 hari
terakhir merupakan kelompok yang paling besar kemungkinannya untuk
merokok. Berbagai temuan tersebut mengindikasikan bahwa perilaku merokok
sangat erat hubungannya dengan status sosial ekonomi.
5. Tahap-Tahap Perilaku Merokok
Pada dasarnya perilaku merokok merupakan sebuah perilaku yang
kompleks yang melibatkan beberapa tahap. Perilaku merokok pada remaja
umumnya melalui serangkaian tahapan yang ditandai oleh frekuensi dan
intensitas merokok yang berbeda pada setiap tahapnya (Mathew dkk dalam
Richardson, 2002), dan seringkali puncaknya adalah menjadi tergantung pada
nikotin. Menurut Leventhal & Cleary (1980) terdapat 4 tahap dalam perilaku
merokok sehingga seorang individu benar-benar menjadi perokok, yaitu:
a. Tahap Preparation
16
Pada tahap ini, seorang individu mendapatkan gambaran yang
menyenangkan mengenai merokok. Anak-anak mengembangkan sikap
terhadap rokok dan sebelum mencobanya mereka sudah mempunyai gambaran
seperti apa merokok itu. Sikap ini merupakan sesuatu yang penting dalam
perkembangan kebiasaan merokok nantinya. Dalam sebuah penelitian,
pernyataan yang dimaksudkan untuk mencoba rokok terbukti menjadi
prediktor terbaik bagi terbentuknya perilaku merokok selanjutnya. Tahap
persiapan (prepatory stage) melibatkan persepsi tentang apa yang dilibatkan
dalam merokok dan apa fungsi merokok. Para siswa sekolah berbeda dalam
mendeskripsikan ciri kepribadian perokok dan non-perokok; mereka
menganggap perokok sebagai orang yang bodoh, ceroboh, kuat, santai, malas,
lebih sering mengalami masalah, dan sebagainya. Menariknya, beberapa anak
yang merokok memandang diri mereka memiliki ciri-ciri tersebut. Mengapa
gambaran ini menjadi pendorong untuk merokok? Kemungkinannya adalah
merokok memberikan kesan kuat, sebuah kemampuan untuk menyatakan
dorongan, bebas dari cengkeraman kekuasaan. Anak yang kurang berhasil di
sekolah, lebih banyak melawan, dan suka melakukan hal-hal yang tidak sesuai
dengan harapan orangtua atau tradisi, akan lebih mungkin tertarik untuk
merokok pada usia kanak-kanak dan mulai menggunakan rokok sebagai
simbol bahwa dirinya adalah kuat, keren, bebas dari cengkeraman kekuasaan,
sebagaimana mereka akan memakai obat-obatan untuk selanjutnya.
17
Anak-anak muda yang menganggap diri mereka sebagai orang yang bebas
mungkin merokok bukan untuk menuruti tekanan teman sebaya. Anak muda
yang merokok untuk pertama kalinya karena dorongan teman-temannya
mungkin memiliki alasan yang berbeda pada tahap persiapan. Beberapa dari
mereka mungkin merasa cemas dan tidak mampu sehingga mereka merokok
untuk bisa diterima secara sosial dan menjadi bagian dari gang. Beberapa
orang mulai mencoba rokok adalah untuk mengendalikan emosi seperti
kecemasan kerja. Merokok mungkin dianggap dapat meningkatkan
performansi dalam ujian dan memperbesar kesempatan seseorang untuk
meraih prestasi akademik. Hal-hal tersebut mungkin merupakan sesuatu yang
penting bagi orang-orang yang mulai merokok pada usia-usia remaja akhir
atau dewasa awal, suatu jenis perilaku merokok yang banyak ditemui pada
mahasiswa kedokteran dan mahasiswa-mahasiswa lainnya.
b. Tahap Initiation
18
Tahap initiation adalah tahap ketika seseorang benar-benar merokok untuk
pertama kalinya. Tahap ini merupakan tahap kritis bagi seseorang untuk
menuju tahap becoming a smoker. Pada tahap ini, seorang individu akan
memutuskan untuk melanjutkan percobaannya atau tidak. Meskipun rasa serak
yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok merupakan faktor penting
yang mendasari keputusan ini, tampaknya tidak mungkin bahwa perbedaan
individu dalam hal respon fisiologis terhadap rokok dan terhadap rasa panas
dapat dipandang sebagai alasan utama bagi mereka yang ingin berhenti dan
tidak menginginkannya. Timbulnya rasa sakit tidaklah cukup jadi alasan untuk
menghentikan atau meneruskan sebuah perilaku, bagaimana rasa sakit itu
didapatkan hendaknya juga dijelaskan, contohnya, tanda berupa rasa sakit dan
tanda bahaya pada diri seseorang merupakan hal penting yang mendorongnya
untuk mencari nasihat medis dan menganggap dirinya sedang menghadapi
sebuah risiko. Sensasi berbahaya yang dirasakan oleh tubuh namun ditafsiri
sebagai sesuatu yang tidak berbahaya lama-lama akan menjadi sesuatu yang
biasa dan berakibat pada diabaikannya sensasi tersebut. Hal tersebut
memainkan peran penting dalam adaptasi perilaku merokok.
Seiring dengan berjalannya waktu, jelas akan ada perkembangan toleransi
yang bersifat fisiologis terhadap efek merokok. Pengalaman merokok, menjadi
waspada, santai, dan segar yang dialami sehari-hari dapat menjadi fakta yang
nyata bahwa merokok memang bermanfaat. Rasa sakit yang tidak terlalu
kentara yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok, seperti rasa terbakar,
rasa kesat, sengatan rasa panas dan asap rokok, mungkin ditafsiri sebagai bukti
bahwa merokok memang tidak berbahaya. Keyakinan anak-anak bahwa
merokok berbahaya bagi orang lain dan orang-orang yang lebih tua dan bukan
bagi diri mereka mungkin timbul dari pengalaman adaptasi (penyesuaian).
c. Tahap Becoming a Smoker
Salber dkk (dalam Leventhal dan Cleary, 1980) menyatakan bahwa
merokok empat batang rokok sudah cukup membuat orang untuk merokok
19
pada masa dewasa dan dapat membuat mereka jadi tergantung melalui
percobaan berulang dan pemakaian secara teratur. Data menunjukkan bahwa
85%-90% orang yang merokok empat batang rokok akan merokok secara
teratur yang secara tidak langsung berarti bahwa percobaan merokok pada
masa remaja akan mendorong mereka untuk merokok ketika dewasa, baik
ketika usia muda mereka ingin atau tidak ingin menjadi perokok. Namun jelas
bahwa banyak anak muda tidak sampai menghabiskan empat batang rokok.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 80-90% pemuda mencoba sedikitnya
satu batang rokok, dan proporsi perokok pada siswa SD, SMP, dan SMA
jarang yang melebihi 50% dari anak-anak yang mencoba rokok.
20
Sesungguhnya data yang ada tampak mendukung hipotesis bahwa
dibutuhkan 2 tahun atau lebih untuk menjadi seorang perokok berat (yang
terus-menerus merokok) dihitung dari waktu pertama kali merokok atau hanya
kadang-kadang mencoba rokok: ini adalah tahap becoming a smoker.
Persentase pelajar yang merokok bertambah secara bertahap (7% pada kelas 7
menjadi 46% pada kelas 11) dan jumlah rokok yang dikonsumsi juga
meningkat secara bertahap (1 batang seminggu 20 batang sehari), dengan
peningkatan yang cukup tinggi pada kelas 10, perempuan merokok 5-9 batang
per hari dan pria merokok 10-19 batang per hari.
d. Tahap Maintenance of Smoking
21
Pada tahap ini merokok sudah menjadi bagian dari cara pengaturan diri
(self-regulating) seseorang dalam berbagai situasi dan kesempatan. Merokok
dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan (Leventhal
& Cleary, 1980). Efek dari perilaku merokok terutama berkaitan dengan
relaksasi dan kenikmatan sensoris. Nesbitt (dalam Christanto, 2005) dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa orang yang merokok merasa rileks saat
merokok karena mereka mengatribusikan semua gejala yang muncul saat
merokok ke dalam rokoknya. Senada dengan Nesbitt, Daniel Horn, Direktur
The National Clearing House for Smoking and Health yang melakukan survei
atas 5000 orang untuk mengetahui alasan-alasan mereka merokok menemukan
bahwa sebagian besar perokok (40-50%) merokok untuk meringankan
kecemasan dan ketegangan, sedangkan lainnya karena ingin memunculkan
efek stimulan (perangsang), iseng-iseng, dan merasa santai (Psikologi
Indonesia Forum, 2006). Karch (1998) yang meneliti efek nikotin terhadap
kemampuan sensoris, motorik, perhatian, dan kognitif menemukan bahwa
nikotin tidak berpengaruh terhadap kemampuan sensoris seseorang, namun
mampu meningkatkan performa motorik, perhatian, dan kognitif. Lebih
spesifik dapat dijelaskan bahwa dalam hal performa motorik, nikotin mampu
meningkatkan tingkat ketukan jari tangan dan keseimbangan tangan.
Sedangkan dalam kemampuan perhatian dan fungsi kognitif, nikotin
meningkatkan kecepatan waktu reaksi dan menurunkan tingkat kesalahan
dalam merespon tugas-tugas yang membutuhkan perhatian. Dalam eksperimen
dengan tugas belajar kata-kata berpasangan, nikotin dapat meningkatkan
jumlah kata yang harus diingat, meningkatkan pengenalan terhadap ingatan,
mengurangi jumlah kesalahan, mengoptimalkan tingkat keterjagaan, dan
mempercepat waktu reaksi dalam tes ingatan Sternberg.
22
Pemahaman tentang fungsi pengaturan sebuah perilaku mungkin penting
untuk pengembangan teknik pengurangan dan penghentian merokok yang
mampu bertahan lama. Faktor-faktor yang berperan dalam menetapnya
perilaku merokok telah diselidiki, baik melalui pendekatan psikologis maupun
biologis. Sayangnya, dua pendekatan ini sering disajikan sebagai sesuatu yang
berbeda, yaitu fungsi-fungsi psikologis terlibat tidak lebih untuk menyelidiki
laporan tentang kepuasan merokok yang dirasakan oleh perokok, sementara
penelitian-penelitian biologi lebih banyak menjabarkan mekanisme fisiologis
yang mendasari perilaku merokok. Sebenarnya dua pendekatan tersebut saling
melengkapi dalam menjelaskan masalah yang sama. Tidak mungkin seseorang
mampu menjelaskan mekanisme biologis dalam perilaku merokok jika dia
tidak bisa menjelaskannya secara psikologis: Analisa biologis seringkali
mengikuti bentuk analisa psikologis. Paling tidak, analisa psikologis dapat
mempertajam pandangan tentang proses-proses yang mendasari sebuah respon
dan membantu menjelaskan individu serta pada keadaan apa dia merokok
mungkin mencerminkan suatu proses tertentu yang dapat menjelaskan suatu
mekanisme biologis (Leventhal & Cleary, 1980). Dengan diketahuinya tahap-
tahap terbentuknya perilaku merokok ini maka diharapkan dapat
dikembangkan strategi untuk mengendalikan perilaku merokok pada remaja.
B. Kerangka Berpikir
Dalam melakukan penelitian kami menggunakan kerangaka berpikir
sebagai berikut Dampak Rokok Terhadap Perilaku Remaja dengan
narasumber anak remaja di Kecamatan Wonosobo
(mulai)
23
Remaja
Merokok
(memengaruhi)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini bertempat di Desa Singkir Kecamatan Wonosobo dan di
sekitar Jalan Ahmad Yani Wonosobo.
B. Waktu Penelitian
Waktu yang dibutuhkan peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah
satu bulan. Yakni dilaksanakan dimulai pada tanggal 14 April sampai 14
Mei 2014.
C. Bentuk Strategi
Bentuk strategi yang peneliti gunakan dalam penelitian ini ada tiga yaitu:
1. Wawancara
2. Observasi non partisipatif
3. Studi pustaka
D. Sumber Data
Sumber data yang peneliti gunakan dalam penelitian berdasarkan cara
memperolehnya dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Data Primer:
a. Wawancara
b. Observasi non partisipatif
24
Perilaku
2. Data Sekunder:
a. Studi Pustaka
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang kami digunakan dalam penelitian ini
adalah interview atau wawancara dan observasi non partisipatif.
Wawancara tersebut kami lakukan dengan para perokok aktif. Observasi
dilakukan pada tanggal 8-14 mei 2014 di Desa Singkir serta Jalan Ahmad
Yani dari perempatan traffic light Jaraksari sampai pertigaan Pengadilan
Negeri Wonosobo.
F. Teknik Sampling
Teknik sampling atau metode pengabilan sampel yang digunakan dalam
penelitian adalah purposive random sampling dan survey.
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunkan dalam penelitian ini adlah teknik
analisis data kualitatif. Adapun tahap – tahapnya yaitu :
1. Reduksi
2. Display
3. Kesimpulan
25
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pembahasan
1. Pengaruh Rokok Terhadap Pergaulan Remaja
Pergaulan remaja yang di warnai oleh rokok memiliki dua kubu pengaruh.
Tergantung dari kelompok siapa yang merokok. Jika anak yang buruk maka
pergaulan akan di warnai minuman keras juga. Bahkan akan banyak terjadi hal
hal yang melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tetapi jika
anak yang dari dasarnya berperilaku baik. Maka tidak ada yang terpengaruhi
dari pergaulannya.
2. Pengaruh Rokok Terhadap Perilaku Remaja
Perilaku merokok yang telah dimulai sejak dini akan mengikat remaja ini
untuk terus mengkonsumsinya hingga dewasa karena dalam rokok terkandung
zat adiktif. Apabila telah memasuki gejala tobacco dependency atau tahap
ketergantungan tembakau maka akan sulit terlepas darinya karena perilaku
merokok telah menjadi perilaku menyenangkan dan dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat obsesif
(Juliansyah, 2011).
26
Dampak psikologis yang ditimbulkan dari perilaku merokok (BNP
JABAR, 2011) adalah timbulnya pengaruh terhadap pikiran, perasaan, dan
perilaku merokok. Antara lain (1) adiksi (ketagihan), nikotin dalam asap rokok
merupakan bahan yang menimbulkan efek ketagihan, sebagaimana kelompok
zat adiktif lainnya seperti heroin, morfin, alcohol, dan psikotropika lainnya,
(2) toleransi dan dependensi, efek ketagihan akan berkembang secara
fisiologis menjadi efek toleransi (penambahan dosis) sehingga pada akhirnya
secara psikologis merokok menimbulkan efek dependensi (ketergantungan)
yang menyebabkan perokok mengalami reaksi putus zat apabila dihentikan
secara mendadak, (3) Gaya hidup perokok, kondisi umum perokok di
Indonesia saat ini adalah mulai dari usia muda (15- 19 tahun), sebagai life
style dan simbolisasi.
Selain itu dampak psikologis yang lain ditimbulkan adalah merangsang
timbulnya depresi ringan, gangguan daya tangkap, pikiran, perasaan, tingkah
laku, dan lainnya. Seperti, kurang tenaga, egois, kegugupan, frustasi, kurang
fokus, pusing, insomnia, detak jantung tidak teratur, berkeringat, depresi,
gangguan sosial, gangguan belajar, dan lainnya. Selanjutnya, perilaku
merokok pada remaja akan menyebabkan meningkatnya resiko gangguan
kecemasan (anxiety) pada remaja akhir dan dewasa awal, seperti perasaan
bersalah, kecemasan akan mengalami impotensi, kecemasan bahwa pasangan
tidak dapat menerima dirinya (Opie itu aku, 2011). Merokok adalah pintu
gerbang terhadap penyimpangan dan kenakalan remaja yang lebih besar lagi
yaitu penggunaan obat terlarang dan pergaulan bebas. Selain itu itu, rokok
juga menyebabkan remaja menjadi boros karena harus rutin mengeluarkan
uang untuk membeli rokok.
3. Zat – zat yang terkandung di dalam rokok adalah sebagai berikut :
a. Nikotin
b. Tar
c. Karbon monoksida
27
d. Zat karsinogen
e. Zat iritasi
4. Dampak bagi kesehatan
a. Bibir dan gusih menjdi hitam
b. Kulit jadi hitam
c. Mata merah
d. Kukuh membiru
e. Pipih perokok terlihat kempok
f. Mudah terserang penyakit batuk
g. Nafas bau
h. Perokok terlihat tenang dengan asiknya mengisap rokok
5. Efek dari rokok juga menimbulkan
a. Gigi menjadi kuning karena noda dari nikotin
b. Mengganggu penciuman
c. Mengganggu pengecapan
d. Infeksi pada tenggorokan
e. Kanker paru-paru
f. Borok pada usus
g. Impotensi
h. Gangguan kehamilan dan janin
6. Alasan Para Remaja Merokok
Masa remaja adalah masa paling kritis, saat kita menginjak remaja berarti
kita menginjak masa transisi dimana saat-saat pencarian jati diri. Masa remaja
cenderung banyak meniru dan mencoba hal-hal baru. Factor lingkungan pun
28
menjadi pengaruh besar terhadap kebiasaan merokok remaja. Serta anggapan
bahwa merokok secara simbolik dapat dihubungkan dengan kedewasaan,
kepercayaan diri, keberanian, kekuatan, kejantanan, daya tarik, gaul, serta
pertualangan. Awalnya mereka mencoba-coba join dengan teman
sepergaulannya. Lama kelamaan mereka mencoba dengan membeli walau
hanya 1 batang. Dan akirnya menjadi konsumen primer.
7. Alasan Para Remaja Sulit Berhenti Merokok
Rokok mengandung bahan adiktif yang membuat si pengguna menjadi
kecanduan. Saat berhenti merokok rasa tak semangat, kurang konsentrasi serta
mata menjadi kurang focus. Walaupun para perokok tau tentang bahaya rokok,
akan tetapi mereka lebih mementingkan kenikmatan yang sementara
ketimbang dengan dampak yang akan di derita pada akhirnya.
8. Pro dan kontra terhadap rokok
Di suatu kalangan masyarakat sudah semestinya terjadi penerimaan atau
penolakan suatu budaya. Penolakan serta penerimaan ini juga tercermin
kepada kebiasaan rokok pada remaja. Sebagai perokokaktif tentunya akan
terbiasa bahkan menikmati setiap batang rokok yang mereka isap. Sebagai
orang tua pun ada yang tidak mengalami masalah jika anaknya merokok.
Selain sebagaian ada yang menerima, penolakan pun banyak yang
mencuat dari para korban asap rokok. Terutama dari kalangan perempuan.
Banyak dari mereka tidak suka dengan laki-laki yang merokok karena
berkesan nakal. Ada juga yang hanya tidak kuat dengan bau yang ditimbulkan
dari rokok.
B. Analisis
Setelah kami melakukan penelitian kami menganalisis data yang hasilnya
bahwa terdapat beberapa dampak yang dihasilkan antara pengaruh merokok
29
terhadap perilaku remaja. Berikut adalah beberapa dampak pengaruh merokok
terhadap perilaku remaja:
1. Dampak positif: Rokok dalam pergaulan menjadikan pertemanan
semakin akrab.
2. Dampak negative: Pergaulan dengan rokok akan menimbulkan
berbagai hal yang tidak baik.
Kami mewawancarai dua orang perokok aktif di desa singkir kira-kira
berumur 15-an tahun, serta kami mensurvei dari beberapa sumber yang
menunjukkan pergaulan positif dan negatif dari para perokok. Bukan
rokok yang mempengaruhi pergaulan mereka,akan tetapi sifat asli dari
perkumpulan tersebut yang menunjukkan kegiatan perkumpulan itu positif
atau negatif.
Wawancara juga kami lakukan pada anak perempuan yang sebagai
perokok pasif (korban perokok aktif). Mereka mengaku merasa terganggu
terhadap asap rokok.
30
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rokok kebanyakan membahayakan untuk pergaulan remaja. Remaja yang
awalnya hanya terpengaruh lingkungan pun menjadi korban terjerumus ke
rokok. Padahal mereka semua tahu bahaya rokok. Akan tetapi rasa
ketergantungan itu membuat para remaja susah berhenti dari rokok.
B. Saran
Sebaiknya untuk para perokok untuk berhenti merokok dan menghormati
orang-orang yang tidak merokok. Dan untuk pelajar sebaiknya hindari
rokok karena dapat memengaruhi perilaku. Tergantung bagaimana kita
bisa menyikapinya.
31
DAFTAR PUSTAKA
32
Aritonang, M.E.R. 1997. Fenomena Wanita Merokok. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Atkinson, Rita L; Atkinson, Richard C.; Smith, Edward E. dan Bem, Darly J. Tanpa tahun. Pengantar Psikologi. Batam: Interaksara.
Brandon, Ph.D., Thomas. 2000. Smoking, Stress, and Mood. H. Lee Moffit Cancer Center and Research Institute at the University of South Florida.
Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta. Rajawali Pers.
Christanto, A. 2005. Merokok: Antara Ya dan Tidak (Suatu Kajian Praktis Filsafat Ilmu), (online), http://www.mailarchive.com/dokter@yahoo- groups.com/msg0035.html, diakses 1 Maret 2009).
Cohen, Sheldon & Lichtenstein, Edward. 1990. Perceived Stress, Quitting Smoking, and Smoking Relaps. Health Psychology, 9(4): 466-478.
Davison, Gerald C.; Neale, John M. and Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal (Edisi ke-9). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
http://unikunik.wordpress.com/2009/05/03/teori-perilaku-merokok/
Pusat Remaja.com, 2011
http://lifestyle.okezone.com
33